Tuesday 24 May 2011

FanFic TK: Pada Bintang di Ujung Pelangi episode 2

Posted by the lady vintage at 23:45
(...persimpangan jalan yang menyesatkan...)
(by farida)
Cakrawala menyisakan semburat jingga senja, sejingga amarah yang kini menggelegak dalam batinnya. Termenung, terpekur dalam kubangan kegelisahan dan bara amarah yang menggelayut tebal. Menggelapkan pandangan mata batinnya. Membekukan seluruh jagad sukmanya.
Perlahan menghela nafas berat. Menghembuskan kepulan asap tebal candu kerisauan. Otaknya berputar tak menentu. Meretas kisah-kisah yang berlalu dengan cepat.
Ya, hari-hari akhir ini terasa begitu cepat, melebihi kecepatan meteor bergerak. Kebahagiaan yang menghampirinya seolah mengajak sang waktu berlomba berkejaran, menyisakan berkas-berkas kenangan yang terpatri dalam ingatannya. Laksana mimpi-mimpi terindah yang mewujud dalam nyata.
Hingga ia berada di sini. Di tepi jurang kenyataan yang siap menelannya tanpa ampun. Dengan serta merta akan menghempaskannya pada batu-batu runcing fakta menyesakkan. Tanpa ampun, tanpa belas kasihan.
Kembali menghembuskan asap tebal kegelisahan. Membentuk bayang fatamorgana hitamnya kebahagiaan. Menari-nari penuh ejekan, seakan sang nasib sendirilah yang tengah bersenda gurau dengan dirinya yang tak berdaya.
‘Shiori-san...’
Pikirannya kembali mengembara jauh, merangkai satu demi satu jejak-jejak peristiwa dalam roda kehidupannya. Berkas-berkas kisah bahagianya yang tersimpan rapi di sudut rahasia hatinya mengirimkan seulas senyum lembut di wajah tampannya yang mengeras. Sekejap dan memang hanya sekejap. Seiring berkelebatnya fakta ironis yang menghantam serta merta.
‘Shiori-san... Mengapa kebodohan jua yang kau lakukan? Mengapa kau hinakan hidupmu yang berharga sedemikan rupa?’
Kini segalanya terasa berpacu dengan waktu. Tergantung tak berdaya pada tipisnya benang nasib yang menjerat setiap pemeran dalam panggung kehidupan yang sedemikian megah. Berusaha keras memahami alur kehidupan dari Sang Sutradara Agung. Detik-detik yang berlalu penuh dengan penyiksaan. Menguras tenaga, menyisakan hanya sedikit harapan yang entah berada dimana.
“Masumi Hayami-san!”
“Takamiya-san...!”
“Bisa kau jelaskan padaku, gerangan apa yang berlaku saat ini?”
Begitu tajam menusuk. Menegaskan tuntutan akan sebuah jawaban. Mengukuhkan dominasi sang jendral veteran mumpuni yang terbiasa mereguk kemenangan di medan tempur manapun.
”Ma’afkan saya, Takamiya-san...”
”Tidak cukup hanya ma’af, Masumi Hayami-san! Selaku seorang lelaki sejati, sepatutnya engkau sadar, seberapa besar kerusakan yang kau timbulkan! Jangan hanya berkata ma’af, setelah kau mendatangkan badai dalam kehidupan keluarga Takamiya! Aku tidak butuh kata ma’afmu! Aku butuh jawaban atas pertanyaanku, tanpa alasan, tanpa basa basi! Sekali lagi, Masumi Hayami-san, apa yang tengah terjadi? Gerangan apa yang berlaku saat ini?”
Atmosfer tercipta begitu dingin mencekam tak ubahnya penjara bawah tanah yang gelap gulita tak mengenal hangatnya siraman cahaya mentari. Menggetarkan jiwa-jiwa pemberani sekalipun. Serupa aroma kematian yang kini berputar-putar, mengintip licik, menggapaikan tangan-tangan mautnya pada jiwa-jiwa lemah.
Wajah tampannya membeku, Hatinya menggeretak geram tak berdaya. Sungguh bukan ketakutan yang dirasakannya, namun rasa amarah yang kian menggelegak. Laksana binatang buas terluka yang bertahan sekuat tenaga menghadapi pemburunya. Jiwanya berontak. Berteriak pada kesunyian yang pekak.
”Takamiya-san... Saya benar-benar mohon ma’af!”
”Hah! Apa hanya sebatas ini yang mampu kau lakukan? Bukankah sudah terang-terang kukatakan padamu, hai Hayami muda, aku tidak butuh kata ma’afmu! Aku butuh kau jawab pertanyaanku!”
Mata tua itu berkilat tajam, menyiratkan amarah dengan gelegak api dingin yang menyambar gegas, menghanguskan inci demi inci jiwa para pengecut. Tutur kata mengiris bak sembilu, menorehkan irisan tajam menyayat palung-palung jiwa yang kerdil.
”Takamiya-san... Saat ini saya baru mampu menyampaikan permohonan ma’af, saya...”
”Cih!! Benar-benar tak berguna!!”
Selaksa sebuah tamparan keras melayang padanya. Menetas tajam di relung hatinya. Menusuk jiwa lelaki sejatinya. Pandangan mata elangnya menyipit, berjuang keras meredam sinyal-sinyal amarah yang kian menggelora dalam jiwanya. Membakar hatinya dengan angkara yang meledak keras, laksana bunga api berpendar membumbung tinggi membakar angkasa.
”Takamiya-san! Saya menghormati Anda selayaknya saya menghormati ayah angkat saya, Eisuke Hayami. Janganlah Anda memaksa saya untuk berubah haluan, berbalik sikap”.
”Kau, mengancamku, Masumi Hayami-san?!?”
“Ma’af Takamiya-san. Tiada terbersit sedikit pun niatan untuk bersikap tidak hormat pada nama besar keluarga Takamiya, pun pada Anda. Seperti yang telah saya ungkapkan, saya menghormati Anda selayaknya saya menghormati dan menghargai ayah angkat saya. Namun, bagaimana pun jua, saya adalah seorang lelaki. Saya ditempa dan dididik untuk menegakkan harga diri dan kebanggaan sebagai seorang pemenang sejati. Dan, saya sampai pada apa yang saya capai saat ini, bukan semata-mata hanya dengan menadahkan tangan”.
Matanya berkilat tajam, menyiratkan bara luka. Mengirimkan pesan peperangan terselubung. Menghentak sang jendral tua yang serta merta menimbang, menakar kemampuan harimau terluka dihadapannya.
“Keringat, airmata dan darah saya telah tertumpah. Berbagai medan tempur telah saya lampaui dengan membawa kemenangan tak terbantahkan, bahkan Anda pribadi telah menilai saya sedemikian tinggi hingga berkehendak menyandingkan saya dengan cucu Anda, Shiori-san”.
“Pada mulanya, saya pun berharap, walau tak setebal sehelai rambut, segalanya akan baik-baik saja. Saya bersaujana begitu jauh mengenai apa yang dapat saya rasakan terhadap Shiori-san. Mengingat dia adalah cucu Anda, sesungguhnya kualitas jiwa yang prima yang layak didapatkan. Namun sayang.... Tidak separuh, bahkan tidak sepersepuluh pun dari keteguhan hati dan kesatriaan jiwa Anda menitis pada Shiori-san. Ataukah, Anda memang tidak menitiskannya pada Shiori-san?”
“Kau?!?!”
“Ma’afkan saya Takamiya-san. Namun, dalam hemat Anda yang telah menikmati pahit manisnya kehidupan, bagaimana bisa, seorang dengan kualitas jiwa yang begitu rapuh, memaksa untuk disandingkan dengan saya?"
"Kelak, saya akan membawa Daito dalam genggaman tangan saya, dan bila saat itu tiba, tak hanya hujan deras yang akan menghadang. Bahkan badai petir pun akan menghantam, tsunami akan mengguncang, dan hanya kualitas jiwa yang terujilah yang layak bersanding di sisi saya”.
“Saya, tak hendak mengecilkan Shiori-san ataupun keluarga Takamiya, namun, apa yang terjadi kini menyadarkan saya, betapa Shiori-san bukanlah jiwa yang sepadan. Betapa tidak pandainya dia menghargai dirinya sendiri. Sungguh bukan kualitas jiwa yang patut saya hargai...”
“Masumi Hayami-san!!!! Beraninya kau!!!!”
Tubuh tegapnya membungkuk dalam, menjura memberi salam pada sang veteran, menyampaikan berjuta rasa sesal berbalut harga diri tertinggi yang mampu ditegakkan manusia.
“Ma’afkan atas keteledoran saya, tidak mampu menjaga Shiori-san. Pula, ma’afkan saya yang tidak mampu membuat Shiori-san menggali kualitas jiwa terbaiknya. Namun, saya tak hendak meminta ma’af atas apa yang telah terjadi. Selayaknya, Shiori-san yang meminta ma’af pada Anda, karena telah menumpahkan segelimang kekhawatiran dan kesedihan dalam hidup Anda, kakeknya, yang begitu menyayanginya melebihi menyayangi nyawa Anda sendiri. Ijinkan, saya mohon diri. Sekali lagi, saya mohon ma’af...”
“Masumi Hayami-san!”
Dan ia terus berlalu. Mengesampingkan rasa pedih kesedihan yang menyergap tiba-tiba, menguapkan amarah dengan serta merta.
Pandangannya berkelana jauh, menembus pekat angkasa malam. Mencari-cari kerlip bintang yang sekiranya sudi meminjamkan seberkas kekuatan lewat kerlip sinarnya. Namun, kelam jua ditemuinya, sekelam hatinya yang bergejolak gulana..


= # =


Aroma pekat batas kematian dan kehidupan terasa menggatung berat di atmosfer. Detak waktu berjalan sangat lambat, seakan-akan pedati bermuatan penuh yang tengah terseok-seok mendaki di jalan yang terjal dengan segala kemampuan yang dipunya rodanya untuk berjalan. Menyesakkan dada, membebani pikiran, menguji batas kesabaran atas pengharapan dan do’a-do’a yang mampu diucapkan.

Tubuh rapuh itu begitu lemah tak berdaya. Memaparkan pemandangan miris atas keteguhan jiwa manusia berkalang kendala. Menyedihkan dan memilukan.

Segalanya begitu gelap dan kelam. Langkah kakinya berat dan tertatih di kegelapan yang pekat. Mencari-cari dan meraba di setiap sudut pandangan yang mampu dijangkaunya. Pendaran kilas cahaya hanya sesekali tampak namun segera pudar menyisakan gemerlap asa yang segera lepas hilang tak berbekas.

“Masumi-sama!!”

Suaranya begitu asing baginya sendiri. Seakan-akan bukan dari mulutnyalah suara itu berasal. Hatinya bergetar kelu dalam kegalauan yang semakin menghujam.

“Masumi-sama... Kau dimana? Masumi-sama... Tolong aku...!! Di sini begini gelap.... Bagaimana ini...? Masumi-sama...!!”

Kembali suara asing itu bergema, menebalkan kekalutan yang kian menggelayuti setiap sudut jiwanya. Memaksa langkah kaki rapuh jiwanya berkelana tak tentu arah, mencari dan mencari di setiap titik. Memaksanya mengkais-kais setiap cahaya asa yang tampak. Begitu menggoda jiwanya yang dahaga, namun segera menghilang saat hendak digapainya. Serupa fatamorgana oase di kegersangan panasnya gurun pasir yang kejam.

“Shiori-san....”

“Masumi-sama?!? Engkaukah itu?!?”

Pandangan matanya berusaha keras menembus kepekatan kelam yang tak berujung, namun tak jua tampak.

”Shiori-san...”

Pandangannya kian nanar mencari. Berputar, berbalik, melangkah, berlari, menggapai, meraih....

”Shiori-san...”

”Ah!! Siapa engkau?”

”Siapa aku? Tak kah kau kenali siapa aku, Shiori-san? Benarkah kau tak mengenali aku?”

Jiwanya menggeliat dalam keterkejutan. Rasa sakit tiba-tiba menyerang hatinya, menggugah ketakutan terdalam dalam jiwanya. Di sana, di sudut terjauh dalam pandangan matanya, seakan tokoh utama drama yang tersinari spotlight, menfokuskan setiap pandangan hanya padanya, terpuruk sosok itu. Terbaring tak berdaya dalam kubangan merah darah dari luka di pergelangan tangannya.

”Tidak kah kau mengenali aku, Shiori-san?”

Bibir itu, bergetar pucat mempertanyakan ingatannya. Wajah piasnya mengerenyit penuh rasa sakit, meregang antara batas sadar dan nyata, sementara aliran merah segar itu semakin deras membludak. Perlahan namun pasti, seiring besaran cahaya yang menyinari, memenuhi lantai dengan aroma anyir. Bergerak mendekatinya, seolah-olah hendak mencengkeram dan menenggelamkannya.

”Tidak... Jangan... Aku tidak mau...”

Kengerian terpancar dari wajahnya, hatinya menciut kerut menyaksikan pemandangan di hadapannya.

”Apanya yang tidak, Shiori-san? Apanya yang jangan? Mengapa kau tidak mau? Kau... Kau sudah demikian kejam padaku...!! Kau sudah menyiksaku begini...!! Dasar egois!! Kau hanya memperturutkan hatimu!! Kau tak pernah peduli padaku!! Pada tubuhmu ini!! Kau hina diriku dengan menganggapku tidak cantik!! Lihat, Shiori-san!! Pandang aku baik-baik, mana yang lebih cantik? Aku yang tersiksa dalam cinta tak berbalas ataukah aku yang telah kau sayat dengan tanpa peduli akan berapa besar harga diri yang harus dipertaruhkan?!? Pandang aku!!!”

”Tidaaaaaaaaaakkkkkkk!!! Aku tidak mauuuuuuu!!!!”

”Harus, Shiori-san! Kau harus mau! Aku minta dirimu pertanggung jawabkan semuanya! Aku tidak rela kau perlakukan begini…!”

Dan tangan berlumuran darah itu menggapainya, berusaha meraihnya, membuatnya tergopoh-gopoh menyelamatkan diri.

“Tidak… Aku tidak mau… Tidak… Oh, seseorang… Siapaun... Tolong aku…”

Langkahnya kian tak menentu, terjebak dalam labirin menyesatkan yang setiap kali mempertemukannya dengan bayangan-bayangan mengerikan. Begitu nyata menghabiskan nyalinya. Memberangus setiap inci ketegarannya. Membuat jiwanya kian kalut, tak berdaya.

“Masumi-sama!”

Seketika jiwa lemahnya bergetar penuh harap. Nun jauh di sana, sosok Masumi Hayami begitu nyata terbaca. Menampakkan punggung lebarnya yang diangankannya begitu nyaman sebagai tempat bersandar. Membuatnya berjalin harap akan rasa cinta yang mungkin bisa didapatnya.

“Masumi-sama! Tolong aku!”

Suaranya masih saja terasa asing baginya sendiri, tapi ia tidak peduli. Ia bertekad akan menyuarakannya selantang mungkin, agar sosok jauh disana mau sekiranya memalingkan wajahnya, menatap padanya dan mengulurkan tangan padanya yang begitu putus asa mengharap.

Namun, sosok itu bergeming, memandang jauh ke depan, tak hendak jua memalingkan wajah, bahkan tak jua terbaca isyarat mendengarkan panggilan keputus asaannya.

“Masumi-sama! Ini aku, Shiori!”

Lagi-lagi, suara asingnya hanya serupa hembusan angin kosong yang tak berwujud. Hatinya kian gelisah...

“Mengapa kau tak mendengarku, Masumi-sama? Ataukah, kau tak mu mendengarku?”

Sejurus kemudian, sosok itu memalingkan wajahnya, matanya begitu memancarkan cinta, senyumnya menawarkan kedamaian dan uluran tangannya... Begitu menggoda, menawarkan sejuta perlindungan dan kehangatan kasih sayang.

“Masumi-sama...“

Dan senyum itu, tersungging dengan sangat manis, membuai jiwanya yang kering dengan kesejukan udara pagi. Memberikan pengharapan akan terbalasnya cinta yang bertepuk sebelah tangan. Membangkitkan angan-angan terindah akan jalinan cinta yang suci.

“Maya-chan...“

Dan...
Luluh lantak sudah dunianya. Runtuhlah sudah langit di atas kepalanya. Terbelahlah bumi yang dipijaknya. Semuanya, bukan untuknya. Bukan untuk seorang Shiori Takamiya. Tapi, untuk sesosok lain yang muncul dari balik kegelapan. Maya Kitajima.

Pandangan kosongnya begitu pasrah menyaksikan dua sejoli itu. Bertaut tangan, saling menggenggam erat menautkan janji-janji kesetiaan bersama.

“Masumi-sama...“

Bibirnya memanggil lirih tak berdaya, memandang pasrah kepergian dua sejoli yang tak jua melihat padanya. Meninggalkannya sendiri, dalam sesatnya labirin yang membingungkan. Membiarkannya tergugu dalam tangis diam berkepanjangan.


= # =


“Syukurlah, Shiori-san telah melewati masa kritisnya. Tanda-tanda vitalnya juga telah berfungsi normal. Hanya saja kondisi kejiwaannya harus benar-benar dijaga, kami sangat berharap, keluarga mampu memberikan ketenangan jiwa bagi Shiori-san”

Lamat-lamat, suara perbincangan menelusup pendengarannya, menyadarkannya dari lingkaran mimpi sesat yang menyakitkan dan melelahkan jiwanya. Sekujur tubuhnya terasa nyeri, tapi jiwanya terasa lebih nyeri lagi. Seolah ingin berteriak menyerukan kegalauan hati dan keresahan batin yang bergelut pilu.

Dunia batinnya begitu gelap gulita.

’Oh, Cahaya Agung, dimanakah kiranya engkau bersembunyi? Jiwa ini begitu merindukanmu... Mengapa pula sekehendak hatimu pergi tanpa meninggalkan pesan? Adakah sedikit kesempatan untukku untuk merasakan sedikit hangat cahayamu? Begini sakitnyakah patah hati? Seakan ada pisau tajam yang dengan kejamnya menyayat sedikit demi sedikit kisi-kisi hatiku yang hanya kupersembahkan untuknya...’

Perlahan, airmatanya mengalir sendu, rasa sesal serta merta menyeruak, menghabiskan sisa-sisa energi terakhir yang dimilikinya.

”Ah, Shiori-san telah sadar rupanya,”

”Shiori! Apa yang kau rasakan? Bagaimana perasaanmu sekarang?”

”Kakek... Ayah... Ibu...”

Palung jiwanya begitu gelap akan kesedihan. Wajah lelah kakek dan orang tuanya begitu menyayat jiwanya, mengentalkan perasaan sesal yang bergelayut erat membebani batinnya.

”Baik, Takamiya-san, saya undur diri dulu, saya harap Shiori-san dapat beristirahat lebih tenang demi kesehatannya. Apabila ada yang diperlukan, jangan segan-segan untuk menghubungi saya”

”Baik dokter, terima kasih banyak untuk hari ini...”

”Kalian berdua, pulanglah... Biarkan aku yang menemani Shiori...”

”Tapi Ayah... Ayah juga harus istirahat...”

”Sudahlah... Kalian segeralah pulang... Biarkan aku yang menemani Shiori...”

”Ayah...”

Pandangan tajam itu tak terbantahkan lagi. Menyiratkan perintah tanpa penawaran.

”Baiklah, jika itu keinginan Ayah... Shiori, ayah dan ibu pulang dulu... Beristirahatlah... Jangan memikirkan apa-apa...”

”Ayah... Ibu... Ma’afkan Shiori...”

”Sudahlah, sayang... Kami mengerti... Tolong jangan bebani pikiranmu lagi... Beristirahatlah dulu...”

Pandangan kasih penuh pengertian itu begitu menghujam relung kalbunya, serta merta semakin mengguratkan tinta penyesalan dalam kertas jiwanya.

”Ayah... Kami pulang dulu....”

= # =

Kesunyian menggantung janggal di antara ruang-ruang yang kosong. Kini hanya tinggal mereka berdua, ia dan kakeknya. Tanpa disadarinya, perasaan terhakimi menyelimuti hatinya. Betapa perasaan sebagai pesakitan semakin kental menggelayuti batinnya demi melihat kakeknya hanya duduk diam, memandang jauh menembus kaca jendela.

”Shiori... Kenapa?”

Pertanyaan itu hanyalah sebuah desah lirih dari bibir lelaki tua yang selama ini begitu menyayanginya, namun justru karena itulah, pertanyaan itu serasa petir menggelegar mengguncangkan dunianya. Entahlah, sekelumit tanya yang menggaung terasa begitu sengit menggigit di relung hatinya terdalam.

”Apakah kau benar-benar tidak bisa menghargai dirimu sendiri, Shiori? Ataukah sedemikian tinggi harga dirimu sehingga kau memutuskan mengakhiri hidupmu?”

”Kakek...”

Airmatanya serta merta mengalir menganak sungai, meningkahi lirih suaranya. Tak hendak hatinya melakukan pembelaan karena ia tahu dengan sejelas-jelasnya, tindakannya bukanlah tindakan yang mulia.. Di setiap apapun, kakeknya selalu begitu melimpahinya dengan kasih sayang, memberikan yang terbaik yang bisa didapatnya. Kakeknyalah tempatnya meminta apapun. Tempatnya berkeluh kesah. Dan dari kakeknyalah dia mengerti arti kasih sayang tulus yang sesungguhnya. Dan ia telah mengecewakan kakeknya, orang yang demikian menyayanginya melebihi menyayangi nyawanya sendiri. Kesadaran itu semakin membuatnya tenggelam dalam kubangan sesal yang begitu pekat.

”Apakah kau masih ingin melanjutkan rencana kita dengan keluarga Hayami, Shiori?”

Airmatanya semakin deras mengalir, demi mendengar apa yang dipertanyakan Takamiya senior. Kembali, kenangan itu terasa begitu menyakitkan. Kejujuran yang sangat tidak diharapkannya. Pernyataan Masumi Hayami untuk memutuskan pertunangan mereka bermain di ingatannya. Menorehkan sembilu tajam, mengiris setiap relung jiwanya. Dan celakanya, turut menusuk tajam di ketegaran jiwanya, sehingga membuatnya berpikir pendek, dengan sekehendak hati berusaha merenggut hak tubuhnya untuk lebih lama lagi menikmati indahnya dunia.

”Entahlah kakek... Aku tidak tahu lagi apa yang aku inginkan lagi... Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku perbuat... Bahkan, aku juga tak tahu lagi, apakah aku masih memiliki nyali untuk menghadapi dunia...”

Helaan nafas panjang meningkahi isak tangisnya yang semakin tergugu. Sang Jendral Tua pun bergeming dalam pikir yang dalam. Merenungi segala yang telah terjadi. Tiba-tiba ia merasa lelah, sangat lelah. Tubuh rentanya serta merta terasa sangat rapuh dengan deraan masalah yang begitu dahsyat.

Dipandanginya cucu terkasihnya yang kini terpuruk dalam tangis. Sungguh, sebuah ironi yang menyesakkan jiwa rentanya. Ia hanya ingin memberikan yang terbaik bagi cucu terkasihnya. Terbaik yang mampu ia berikan demi kebahagiaan permata hatinya. Namun, kini semua berbalik arah menyengsarakan. Selaksa bumerang yang mengenai telak kepada sang empunya.

"Ma’afkan Shiori, Kakek.... Ma’afkan Shiori... Ma’afkan cucumu yang tak berguna ini...”

Suaranya teredam jemari yang menutup penuh wajahnya. Begitu menyayat hati tuanya. Mengirimkan rasa sakit yang tak terperi di sudut-sudut jiwa lelahnya. Kepalanya tertunduk lesu, rasanya ia telah kalah. Kalah dalam permainan nasib yang melibatkan cucu terkasihnya. Selama ini dia merasa mampu untuk selalu berkuasa mengendalikan nasib siapapun. Dalam pandangannya, dia mampu memberikan yang terbaik bagi siapapun yang berada dalam jangkauan kuasanya, tapi sayang, dia baru menyadari bahwa dia telah salah memperhitungkan apa yang sesungguhnya mereka butuhkan.

Pikiran tuanya berputar keras. Menimbang. Mengukur. Menelaah. Mengkaji.

”Sudahlah Shiori... Kau istirahatlah dulu... Bagaimanapun harus kau pulihkan dahulu kesehatanmu. Jika tidak demi dirimu, tolong, lakukanlah demi kakekmu yang tinggal menunggu waktu ini....”

”Kakek...!!”

Suaranya menggantung tanpa jawab, seiring kesunyian yang kembali mengambang dengan segala kejanggalan yang ada. Menyisakan ruang sesak penantian tak berujung akan sebuah penyelesaian.
= # =


Berdua, berdampingan, menyaksikan ombak yang membuih di pasir pantai. Hanya duduk diam, saling berbincang sendiri dengan nurani masing-masing. Mencoba semampunya melepas segala penat, menghalau segala gundah yang membahana di jiwa. Memandang jauh cakrawala yang begitu cerah. Menikmati angkasa yang benderang dengan tingkah camar-camar berterbangan tinggi rendah, sesekali menyentuh permukaan samudra. Merasai angin yang berhembus kencang tak bersahabat, menerbangkan angan jauh ke tempat yang entah dimana ujungnya.

Namun, berdua tetap bergeming diam, terlena dalam kenangan masing-masing, hanya jari jemari asyik menggurat kelembutan putihnya pasir pantai.

“Bagaimana sekarang baiknya, Masumi-san...?”

Masumi kian terpekur dalam. Baginya ini sebuah hal yang teramat sangat pelik. Selama ini, kuasanya begitu besar mengatur segalanya. Jalan roda nasib yang begitu liar mampu dikendalikannya, bahkan hanya dengan sebelah tangan. Namun kini, ketika sang dewi cinta menorehkan kehangatan asmara dalam jiwanya, semuanya terasa begitu rumit dan pelik. Wajah tampannya begitu muram gulana. Menyiratkan kegelisahan hati yang tak jua mendapatkan jalan terang.

”Masumi-san....”

Kehangatan tangan mungil itu begitu menyejukkan jemari-jemarinya. Mengirimkan getar kerinduan dan energi kekuatan yang menenangkan.

’Andai saja....!’

”Bisakah, untuk saat ini, kita tidak membicarakan hal itu, Maya-chan? Kumohon...”

’Masumi-san...’

Kembali, berdua tenggelam dalam diam. Melepaskan pandangan, jauh ke laut lepas. Memandang ombak berkejaran ditingkahi hembusan angin, menghantarkan kesegaran aroma kebebasan samudra. Berharap dalam diam, segala masalah dapat larut lepas, hilang tak berbekas, tertelan musnah di kedalaman samudra tak berdasar.

”Ma’afkan aku, Masumi-san... Tapi, ini semua pasti karena kesalahanku... Aku yang bersalah hingga semua ini terjadi... Andai saja... Andai saja aku cukup tahu diri dan lebih berteguh hati menahan segala perasaan, tentunya tidak perlu sampai begini... Ini semua kesalahanku... Aku yang bodoh inilah penyebab segala kekalutan ini...”

’Mungil!’

Serta merta Masumi merengkuh Maya dalam dekapannya demi menyaksikan derai airmata gadis mungil itu. Hatinya perih, laksana luka tersiram air garam. Jiwanya tersiksa dalam ketidakberdayaan. Tak selayaknya dia membiarkan seseorang yang dicintainya menderita dalam mencintainya. Selayaknya dia mampu menjaminkan rasa bahagia dalam setiap langkah cintanya, bukan derita yang begini perih menyiksa, bukan pula rasa pedih yang mengikis setiap rasa damai jiwa.

”Ma’afkan aku yang bodoh ini, Masumi-san... Ma’afkan aku, telah membuatmu begini bingung dan tak menentu... Ma’afkan aku...”

”Maya-chan... Pandang aku... Apakah saat ini aku tengah bingung? Apakah saat ini, dimatamu, aku tampak begitu kacau? Pandang aku sebaik-baiknya, Maya-chan, pandanglah dengan hati terdalam...“

Pandangan mata itu mematri pandangan matanya, menguncinya jendela jiwanya erat-erat. Mengajaknya berkelana bersama menyelami kedalaman relung jiwa yang entah dimana dasarnya. Dan, bukan kegalauan yang didapatinya. Disana, di keteduhan yang indah, ditemukannya kedamaian yang begitu menyejukkan. Sekilas tampak riak-riak gelisah, namun segera terhapuskan oleh keindahan kedamaian yang ditawarkan tanpa pamrih.

“Masumi-san...“

”Kau... Masih percaya sepenuhnya padaku kan, Mungil...?“

Dalam linangan air mata, Maya mengangguk berkali-kali, mentasbihkan jawaban atas pertanyaan yang begitu menuntut. Berusaha meyakinkan sesuatu yang memang tidak perlu diyakinkan lagi, bahwa ia percaya. Bahwa ia selalu yakin. Bahwa ia akan selalu bersabar dengan mempertaruhkan segala kepercayaan yang dipunya. Layaknya aliran sungai yang selalu bermuara di samudra. Seperti seindahnya embun pagi yang menghiasi pucuk rerumputan menunggu datangnya sang mentari. Ya... Ia percaya dan ia meyakini apa yang dipercayainya....

„Terima kasih, Maya-chan... Kumohon tetaplah begitu.... Kumohon tetaplah percaya padaku....“

Dalam hatinya yang terdalam pun berharap resah, dirinya mampu mempercayai dirinya sendiri sebagaimana belahan jiwanya percaya padanya.



= # =

Aroma hujan mengambang di udara sore, membaur tenang bersama harumnya krisan yang mulai berkembang malu-malu di bawah jendela. Mata sayunya menatap lekat sisa hujan yang mengalir perlahan melewati kaca jendela. Begitu perlahan mengalir, menikmati perjalanannya di licinnya permukaan kaca menuju haribaan tanah basah yang telah menanti.

Hatinya bimbang mengambang.

Amarah. Malu. Sakit hati. Sedih. Terluka. Sesal. Takut. Kecewa.

Semua berkecamuk riuh dalam benaknya. Mencacah sisa-sisa ketabahan hatinya dengan kejamnya. Mengalirkan darah di luka hati yang kian meradang.

’Masumi Hayami, kau harus membayar semua ini! Harus!!’

Kembali, airmata mengalir ditingkahi suara hujan yang kembali turun dalam rinai lirih berirama sendu. Melagukan kepiluan hati tak terperi, tentang kasih tak sampai yang begitu menyakitkan. Pikirannya mengembara jauh. Berkelana jauh di dalam hutan kenangan indah yang dipunyanya.

‘Apa yang membuatmu bersikap begitu lembut padaku? Mengapa kau biarkan aku berharap begitu banyak padamu? Mengapa jiwaku kau lenakan dengan segala manisnya tingkah lakumu? Mengapa? Kau sungguh kejam, Masumi Hayami! Kejam!!’

“Selamat sore, Shiori-san...”

Sosok itu berdiri di sana kini, terbingkai birai pintu, dengan segala pesonanya. Sosok yang begitu dicintainya dengan segenap hati dan jiwanya. Sosok yang telah mengharubirukan dunia batinnya tanpa memberinya kesempatan untuk mencerna. Sosok yang kini begitu dicintainya, sekaligus dibencinya.

“Masumi-sama....”

Menyebut nama itu lagi.... Begitu membakar lidah dan merajam hatinya. Sakit sekaligus manis. Rindu sekaligus benci.

“Boleh aku masuk...?”

Canggung dan janggal. Kilasan peristiwa pahit itu kembali menghantui kebersamaan mereka di sore basah ini.

“Silahkan....”

‘Dewi Cinta... Mengapa kau teteskan embun cintamu yang begitu manis padaku jika kini menjadi racun yang begitu pahit dan siap mematikanku sewaktu-waktu jika ku kecap? Mengapa kau biarkan aku terlena dengan jerat cinta yang kau bangun? Mengapa tak jua hatimu berbelas kasih padaku, sedikit memberiku pertanda bahwa semua ini akan begini menyakitkan untukku...?’

Hatinya serta merta tergetar oleh rasa rindu yang tak terkira.

“Boleh aku duduk...?”

“Silahkan, Masumi-sama...”

“Bagaimana keadaanmu, Shiori-san...?”

‘Apa pedulimu? Apakah kau merasa bersalah kini?’

“Masih terasa sakit, di sini... Di sini... Terutama di sini... Masumi-sama....”

Matanya tertegun. Bebatan itu, dan perlambang itu. Tangan yang terpatri di arah jantung hati. Sakit dan sedih tersirat kental di sana.

“Ma’afkan aku, Shiori-san...”

Hening yang dingin menyelimuti, ditingkahi suara deras hujan yang tercurah membasahi bumi.

“Apakah.... Apakah kau datang untuk kembali memutuskan pertunangan kita, Masumi-sama...?”

Kilatan cahaya menyambar di angkasa, membiaskan cahaya menyilaukan dan sedetik kemudian, gelegar gemuruh membahana.

”Shiori-san....”

”Benarkah, Masumi-sama...? Benarkah kau datang untuk melakukannya lagi...?”

Linangan airmata mengalir tanpa bisa dicegahnya. Menyiratkan sakitnya luka hatinya yang kembali meradang.

”Masumi-sama... Kumohon... Tolong, pikirkan lagi... Tolong, urungkan niatanmu itu... Sungguh, aku memohon ma’af telah menyusahkanmu... Aku rela melakukan apapun yang kau minta, Masumi-sama... Tapi, kumohon, urungkan niatanmu itu... Kumohon, Masumi-sama... Hanya kau-lah yang kupunya....”

Isaknya begitu memilukan, segala harga dirinya telah diletakkannya. Meminta dan memohon akan kembali terajutnya jalinan yang telah terkoyak.

”Shiori-san!”

”Kumohon, Masumi-sama... Sungguh-sungguh kumohon padamu... Kasihanilah diriku ini...”

”Shiori-san, kau tak perlu begini...!”

“Iya, Masumi-sama! Aku perlu bersikap begini! Harus! Aku harus begini! Karena hanya engkaulah duniaku! Hanya engkau, Masumi Hayami! Sejak pertama kita dipertemukan, detik itu pula aku meyakini, hanya engkaulah duniaku.... Hanya engkau...”

Isaknya semakin menghiba, menyuarakan keputusasaan, kepedihan dan luka jiwa yang begitu dalam.

“Shiori-san, ku mohon, jangan begini... Bukankah telah kusampaikan sebelumnya, dimensi yang kita lalui sungguh berbeda. Saat kupandangi dan tenggelam dalam indahnya gemintang cahaya bintang yang mutlak, dirimu... Dirimu justru tengah mengagumi gemerlap nisbi pendaran lampu kota. Di kala ku teguh memegang prinsip-prinsip kesatriaan dalam menjaga rasa cinta yang ku punya, dirimu.... Ah, entahlah... Pernahkah kau sadari perbedaan yang begitu jauh di antara kita? Sejujurnya, kini aku kian tak sanggup menjembatani perbedaan itu... Sungguh tak sanggup lagi...”

’Disamping itu... Hati ini memang bukan untukmu dari sejak mula...’

”Jika memang begitu adanya, katakan padaku, apa yang membuatmu bersikap begitu lembut padaku? Mengapa kau biarkan aku berharap begitu banyak padamu? Mengapa jiwaku kau lenakan dengan segala manisnya tingkah lakumu? Mengapa? Kau sungguh kejam, Masumi Hayami! Kejam!!”

Terlontar sudah risau jiwanya, menuntut keadilan atas nama cinta tak terbalas. Mendakwa tanpa ampun di atas rasa luka batin yang perih tak terperi.

Masumi tercenung dalam.

“Semua karena Maya Kitajima, bukan? Karena dia bukan?”

Semakin dirinya tercenung dalam kesunyian yang mencekam. Berusaha mencerna dan mengurai kekusutan yang kian tak tentu ujung pangkalnya. Kebimbangan tiba-tiba merajai sudut-sudut hatinya. Pelan-pelan merambat, laksana kegelapan yang sedikit demi sedikit beranjak menggantikan posisi cahaya senja. Terbayang jelas dalam ingatannya, wajah mungil tercintanya yang berurai airmata, meyakinkan dirinya bahwa gadis mungil itu percaya sepenuhnya pada keteguhan hatinya.

"Tidak boleh! Aku tidak boleh begini! Aku harus mampu menghilangkan kebimbangan ini! Harus!! Gadis Mungil-ku begitu percaya padaku...! Wahai, dewa-dewa yang maha agung, kumohon.... Beri aku kekuatan....”

”Entahlah, Shiori-san... Bagiku segalanya terasa sulit, bahkan kini semakin sulit dan nyaris tidak mungkin lagi untuk kujalani... Bagaimana bisa kita bisa melanjutkan segalanya jika jurang ini begini jauh terbentang untuk kita jembatani? Dan aku juga sudah benar-benar patah arang untuk melakukan perjalanan hidup bersamamu...”

”Setidaknya, berikan aku kesempatan untuk membuktikannya, Masumi-sama...! Berikan aku kesempatan untuk membuat dirimu dapat mencintaiku selayaknya kau mencintai Maya Kitajima! Ajari aku untuk itu, Masumi-sama! Aku mohon!”

”Bagaimana bisa, Shiori-san? Akupun tak tahu bagaimana caranya! Engkaulah yang membuat dirimu tak layak untuk diriku. Wanita yang akan kusunting menjadi permaisuriku seyogyanya adalah wanita yang mempunyai jiwa pemenang sejati bukanlah seorang wanita pecundang, bukan pula seorang wanita yang berpikiran picik. Ma’afkan kekejaman kata-kataku ini, Shiori-san. Aku sangat menghargaimu sebagai seorang wanita, karena memang harus demikianlah seorang laki-laki berlaku pada seorang wanita. Aku menghargai keluargamu karena memang begitulah seharusnya aku bersikap. Sekali lagi, aku mohonkan ma’af atas ketajaman lidahku. Aku tahu, bagimu ini sangat kejam, tapi kuharapkan ini mampu menjadi obat bagi kita berdua. Sebagaimana mestinya obat yang perih dan pahit diawalnya, tapi nantinya akan memberikan kebaikan bagi kita.”

Tuntas sudah.
Semua begitu kejam dan final. Hatinya hancur berkeping-keping, menyerpih tak terhingga serupa debu sisa pembakaran yang hitam pekat. Meninggalkan lubang hitam berjelaga dalam jiwanya. Matanya menatap nanar tak mampu percaya pada apa yang didengarnya. Bibirnya bergetar menahan sakitnya rajaman yang mencacah hati rapuhnya. Pias wajah ayunya semakin memutih, menyiratkan derita cinta yang menyiksa.

”Begitukah, Masumi Hayami-san?”

Luka dan amarah itu begitu nyata tersirat dalam desis suaranya. Pandangan matanya membara dendam tak terperi. Mengirimkan kobaran angkara bergolak, siap menghanguskan apapun.

”Pergilah...!”

”Shiori-san...!”

”Pergi! Aku tak sudi melihatmu lagi!”

”Shiori-san...!”

”Pergi!”

’Shiori-san...’

”Ma’afkan aku, Shiori-san...”

Tubuh tegapnya menjura, berusaha sedapatnya menyampaikan sesal yang terdalam, berharap itu mampu memberi sedikit penghiburan pada jiwa terluka di hadapannya. Di hatinya menyembul asa akan terobati segalanya oleh waktu seiring langkah kakinya berlalu. Menjauh, menghindari kebimbangan dan rasa iba yang hadir tiba-tiba menyergap.

’Masumi Hayami, bagaimana bisa kau begitu kejam padaku? Tidakkah kau sadari betapa berat rasanya saat kau buat ku menangis? Bagaimana rasanya aku ingin menyerah tapi selalu aku coba untuk tak menyerah? Tidakkah jiwamu memahaminya bagaimana diriku mencoba lupakan dirimu tapi selalu saja aku bertahan, walau jalan berduri yang harus aku lalui...’

Tatapan berairmatanya tak lekat menatap bilah pintu yang tertutup. Berharap akan terbuka lagi dan memunculkan sosok Masumi Hayami, kembali padanya, menyampaikan padanya semua hanyalah mimpi buruk, menenangkan gemuruh kegelisahan jiwanya dan menjaminkan kedamaian bahwa semua akan baik-baik saja.

’Masumi Hayami, apakah hanya dalam untaian impian kau ijinkan aku tuk memberi? Ku ingin bahagia beriringan bersamamu namun tak urung tak jua bahagia kudapatkan... Ku hanya ingin dicinta, namun sia-sia semuanya, tak jua aku dicinta olehmu... Bagaimana bisa, Masumi Hayami...? Bagaimana bisa kau perlakukan hati yang menjadi milikmu ini dengan sedemikian kejam...?’

Kelam malam menyelimuti buana, gelap dan dingin, serupa dinginnya hati yang terluka. Menggigilkan raganya yang terasa penat. Ia hanya ingin terlelap sekarang, dalam tidur yang lama dan menenggelamkan jiwanya, seraya berharap dengan segenap asa yang tersisa, dalam mimpinya ia akan bahagia. Sebenar-benarnya bahagia...
= # =

Tubuh mungilnya mengayun lembut, mengikuti irama lembut ayunan yang bergoyang perlahan. Mengayun perlahan, ke depan ke belakang, hanya mengayun perlahan, dengan sangat perlahan. Sore ini, langit musim semi demikian cerahnya. Matahari tersenyum semarak mencerahkan angkasa dengan kehangatan cahayanya yang begitu lembut. Angin bertiup sepoi-sepoi nakal, mempermainkan anak-anak rambutnya yang tergerai begitu saja. Hari ini, hujan tidak turun. Bahkan, awan gelap pun tak tampak secuilpun. Benar-benar, sore ini adalah salah satu dari keindahan hari terindah hari-hari di musim semi.

Namun....

Wajahnya muram. Hatinya gundah berkalang duka. Jiwanya bimbang. Sukmanya gelisah. Tangannya menggenggam erat, berharap sangat, mencari pegangan yang pasti demi mempertahankan diri di kegoncangan dunianya.

Matanya terpaku merunduk. Terpekur diam, setengah melamun menatap barisan semut yang berjalan teratur, melewati jajaran rumput yang mulai tumbuh. Perlahan, bendungan telaga jiwanya luruh, tak tertahan airmatanya. Mengalir lambat, menyusuri pipinya.

“Boleh saya duduk di sini?”

Terperangah, setengah tergopoh, disusutkan airmatanya, menyungging senyum sebisanya pada sosok renta yang kini tengah menatapnya penuh tanya.

“Oh, eh, kakek... Silahkan, tempat ini kosong... Tapi... Ehm... Ma’af apabila saya kurang sopan, apakah tidak apa-apa kakek duduk di ayunan?”

”Ah, nikmatnya... Ternyata, sudah sangat lama aku tidak merasakan nikmatnya duduk di ayunan...“

Wajah tua itu menyunggingkan senyum dengan mata terpejam setengah menengadahkan wajahnya, seakan berusaha menyerap kehangatan cahaya mentari sore yang tercurah.

”Kakek benar... Duduk berayun seperti ini memang sangat nikmat, seakan-akan kita tengah berada dalam buaian ibu...”

Lirih suaranya menjawab, nyaris tak terdengar.

’Ibu...!’

Tiba-tiba, hatinya merasakan kerinduan yang dalam pada ibunya. Berharap saat ini ibunya hadir, memberikan belaian penuh kasih demi sekedar menenangkan gulana hatinya.

”Apakah kau sangat menggemari ayunan?”

”Bagaimana bisa kakek tahu?”

”Aku hanya sekedar menebaknya. Sudah sejak tadi aku memperhatikan dirimu yang duduk sendiri di sini. Demikian asyik dan tenggelam sendiri. Seakan-akan duniamu hanya terpusat di ayunan ini...”

”Demikiankan, kakek? Ah....”

Semburat merah jambu mewarnai wajahnya.

”Setiap saya gundah, saya selalu kemari kakek... Berayun sendiri dan berpikir... Setidaknya, di atas ayunan saya bisa berkhayal sedang dalam pangkuan mendiang ibu saya, dan dengan segenap kasih sayangnya tengah membuai saya... Dengan begitu, saya bisa sedikit merasa tenang... Kegelisahan jiwa saya sedikit bisa teredam, walaupun tidak seluruhnya reda...”

”Begitukah...? Apakah, saat ini kau tengah gundah?”

Seiring hembusan angin yang mengiringi datangnya senja, dihembuskannya nafas perlahan. Berusaha mengurangi beban yang menghimpit erat di dalam dadanya.

„Begitulah kek... Saya sedang bimbang... Apa yang seharusnya saya lakukan.... Saya benar-benar bingung...“

„Boleh kakek tahu, apa masalahmu? Seyogyanya kakek bisa sedikit meringankan beban pikiran yang kini menggelayuti benakmu...”

Senyum di wajah renta itu begitu teduh menenangkan. Gurat-gurat keriput di kulitnya bercerita dalam diam tentang segala alur kehidupan yang telah dijalaninya. Sinar matanya menawarkan kedamaian begitu dalam. Seakan menawarkan kepada siapapun yang tengah gundah hati untuk berpulang padanya, menyerap segala energi kedamaian yang ada disana.

”Entahlah, kek... Apa yang tengah saya alami ini begini rumit dan pelik... Begitu banyak melibatkan hati dan perasaan... Apapun yang akan saya jalani nantinya, saya sangat meyakini akan banyak melukai hati yang begitu tulus...”

”Benarkah...? Mengapa kau bisa begitu yakin? Atas dasar perhitungan apa dirimu meyakini sedemikian?”

”Entahlah kakek... Pada mulanya, saya pikir cinta itu indah dan damai... Mudah dan sederhana... Namun, siapa nyana, ternyata begitu penuh gejolak dan menyakitkan... Rumit dan begitu pelik...”

”Ah, rupanya ini tentang cinta....”

“Iya, kakek... Ini semua hanya tentang cinta...”

Angin musim semi yang sejuk berhembus perlahan. Menerbangkan angan keceriaan musim semi jauh mengangkasa. Menghantarkan manis aroma kuncup-kucup bunga bersemi. Melambaikan pucuk-pucuk cemara bergoyang lembut.

“Gadis Mungil, cinta memang demikian adanya... Hadirnya membawa penderitaan laksana rana dan duka yang mendalam karena terpaan kasmaran. Begitu sarat hasrat tuk bertemu dengan yang dicinta... Pula, semakin besar cinta bertumbuh, seiring pula dengan besarnya derita yang harus ditanggung...”

“Kakek...”

“Apakah, kau bertepuk sebelah tangan?”

“Cinta kami tidak sesederhana itu, kakek...”

”Pengkhianatan?”

”Bukan pula semudah itu...”

”Lantas....?”

”Kami saling bertemu dalam persimpangan jalan takdir yang begitu janggal, namun, semenjak itu, segalanya hanya terasa indah apabila bersamanya... Walau kami tak selayaknya sepasang kekasih, kami adalah belahan jiwa satu sama lain, dan saya sangat bahagia akan itu...”

”Begitu...”

”Namun, jalan kami untuk memahami jati diri kami begitu terjal dan berliku... Terkadang sangat menyakitkan dan tragis... Hingga kini... Saya merasa begitu berat beban menanggung cinta ini... Jiwa saya terus memanggil jiwanya, begitu sebaliknya... Namun, ada jiwa lain yang juga memanggil jiwanya... Memohon cinta darinya, hingga tercerai berai keinginannya untuk hidup... Saya merasa begitu jahat, kakek... Begitu egois dan mementingkan diri sendiri... Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa...”

”Gadis Mungil... Coba kau baca dengan baik hatimu... Bicaralah pada nuranimu... Ia tak akan pernah salah menuntunmu...”

”Justru itulah kakek... Jika memperturutkan hati nurani saya, sesungguhnya saya ingin selamanya bersama belahan jiwa saya... Saat saya menyaksikan dia bertunangan, dunia saya runtuh... Jiwa saya serasa hanya mampu bernafas setengahnya... Karena hanya dengan bersamanyalah saya merasa utuh... Kepingan teka teki yang selama ini saya cari hanyalah sesuai dengannya... Begitupun dengan dirinya...”

”Lantas, apalagi yang kau khawatirkan?”

”Entahlah kakek, kebersamaan kami terasa begitu tepat tapi juga begitu salah...”

”Ingatlah Gadis Mungil, cinta tak akan pernah salah... Pilihan kitalah yang seringkali salah...”

”Kakek...”

”Ah, sudah semakin senja saja... Tubuh tua ku ini benar-benar tidak dapat di ajak bersenang-senang lagi, padahal cuaca musim semi ini begini indah.... Ah, iya... Lama kita berbincang tapi aku tak tahu siapa namamu, boleh kakek tahu gerangan namamu...?

”Ah, kakek... Saya Maya Kitajima, kek...”

”Maya Kitajima? Sang calon pemeran Bidadari Merah itu? Sungguh suatu kehormatan bagi si tua ini bisa berbincang denganmu dalam suasana yang sungguh berbeda...”

”Kakek, jangan begitu... Saya hanyalah gadis biasa...”

’Iya, gadis biasa, yang sangat biasa, namun sangat luar biasa...’

”Bidadari Merah... Sebuah ruh agung penuh kebijaksanaan... Semua insan punya ruh Bidadari Merah dalam dirinya masing-masing... Semoga, ruh yang terdapat dalam jiwamu adalah ruh kebijaksanaan, Maya Kitajima...”

”Kakek...!”

”Baiklah Maya Kitajima, terima kasih telah mengijinkan aku berbincang denganmu sore ini, sayang, tubuh tua-ku ini sudah tak mampu menghadapi angin senja yang semakin keras bertiup.... Ingatlah, semua jawaban ada dalam hati nuranimu... Bertanyalah lebih dalam lagi... Dan, pilihlah jalan yang akan kau tempuh dengan bijaksana...”

”Kakek! Kakek belum menyebutkan siapa nama kakek! Setidaknya jika kita suatu saat bertemu, saya bisa menyapa kakek dengan semestinya”

”Kau boleh memanggilku, Kakek Kimono, lagipula aku akan sangat mudah dikenali bukan apabila suatu saat kita bertemu, Maya Kitajima? Sayonara...”

”Kakek...!”

Senja semakin memerah mengiringi langkah kaki tua menjauh. Angin kembali berhembus dingin, membawa sisa-sisa dinginnya udara musim dingin yang kelam.

’Shiori... Kau tak akan mampu melampaui Gadis Mungil itu...”


=> to be continued

8 comments:

Anonymous said...

ya koq cuma dikit...ayo tambah...


-Mia-

Wid Dya on 25 May 2011 at 11:00 said...

Nur kok dikit sih?

Suka semuaaaaaaaa...lagi ya...
Semangat Pujangga gombal...hehehe

fad said...

begh!..cuma dikit..blm sempat mencerna gerangan apa yg terjadi sdh habis xixixi...Tambah dong mbak Nurrr...

orchid on 26 May 2011 at 07:54 said...

menyesakkan dada habis membacanya

Anonymous said...

Lagiiiiiiiiiiii

Dikit bgt...masih kurang


Wid Dya

Anonymous said...

bgs bgt.... >_<
hebat..hebat....kata2 Masumi lain drpd yg lain bener2 menunjukkan siapa Masumi Hayami dr Daito yg sebenarnya ckckck... ak sukaaaaaaa bgt.....
ayo lanjuuuuttt......

*Theresia*

Anonymous said...

mbak Nur...lanjut doongggg...ayooo semangat update FFnya ^__^ pelipur lara hatiku dan otakku yang terkadang membeku ni hahhaha ;P *sok2 niru bahasa puitisnya ;P*
-reita

orchid on 8 July 2011 at 14:46 said...

pelik tapi apik, aku suka, tapi jadinya ikut2an sedih,

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting