Saturday 25 February 2012

The Owner of My heart 2

Posted by dina ( I ♥ Topeng kaca ) at 23:23 5 comments
  note : kissu missu +18 thn                  

                   My first kiss............
                                 is not first 

            Masumi berbicara dengan beberapa pengurus persatuan drama ketika menangkap sosok Maya yang masih mengenakan kimono Bidadari Merah ,Masumi terpesona hingga terdiam dan hanya memandang Maya ,demikian pula Maya seakan waktu berhenti berjalan dan terdiam memandang Masumi .
             Mata saling bertaut seakan berbicara tanpa suara ,tapi rasa rindu tersampaikan antara satu dengan lainnya ,seakan terisolasi dengan keadaan dunia luar hanya seorang yang penting keberadaannya dan berada diseberang sana saling memandang ,entah berapa lama mereka melakukannya ,karena keadaan tersebut terputus ketika Masumi dipanggil ketua persatuan drama . Sedangkan Maya dipeluk oleh Rei dan kawan kawan yang datang menonton .
            Tak jauh disana Koji mengamati keduanya dalam diam ,entah kenapa adegan tadi lebih mempengaruhinya daripada adegan yang dilihatnya di pelabuhan waktu itu ,ia tak pernah menduga perasaan Maya kepada Pak Masumi begitu dalam.Ia mendesah dan menjauh dari keramaian yang malah membuatnya merasa kesepian ini .
             Masumi mendengarkan telpon dari Hijiri laporan tentang perusahaan Takamiya .Seperti diduga Masumi perusahaan Takamiya tak sebagus yang diperlihatkannya .Bila dibiarkan Takamiya akan mengalami kehancuran ,hal itu bisa dimaklumi kakek Shiori memang pengusaha ulung seperti Eisuke bedanya Eisuke punya Masumi yang memiliki kemampuan mengurus perusahaan . Sedangkan Ayah Shiori sebenarnya memiliki kemampuan yang lumayan ,tapi sayangnya ia memiliki kelemahan yaitu Wanita cantik dan judi .Ia lebih lama berada di depan meja judi daripada kantornya dan selalu ditemani  wanita cantik.
             Sudah menjadi rahasia umum para artis mendekatinya agar diorbitkan ,itulah awal kehancuran Takamiya ,beberapa artis yang diorbitkan benar benar tidak sesuai standar hanya bermodalkan wajah cantik ,dan untungnya masih ada beberapa aktor atau artis yang memang berbakat itu yang menyelamatkan Takamiya.Dan sejak awal Masumi mengerti keluarga Takamiya hendak menyelamatkan perusahaan dengan menjadikan Masumi menantu dan bekerja di perusahaan Takamiya yang berada di awal kehancuran .
              "Tuan Masumi apa yang harus saya lakukan "kata Hijiri di seberang telpon , Masumi terdiam " amati saja dulu ,pastikan saja pihak perusahaan korea itu menerima penawaran kita ,lalu bagaimana dengan perusahaan yang berada di Amerika ?" tanya Masumi mendengarkan laporan Hijiri memberikan beberapa perintah ," Hijiri ,pastikan Maya aman ,aku tak peduli berapa biaya dan orang yang kamu perlukan untuk pastikan Maya aman ,aku tidak mempercayai keluarga Takamiya terutama Shiori " kata Masumi sebelum menutup telpon.
               Masumi mendesah melihat tumpukan dokumen di depan mejanya ,ia meraih kertas berisi laporan ,sambil melihat di layar monitor komputernya 









Masumi berusaha keras untuk berkonsentrasi ,tapi pikirannya kembali ke Maya dan kejadian tadi siang .Kerinduan akan Maya seakan akan tak terbendung lagi . Tanpa menghiraukan tumpukan dokument ,Masumi keluar dari kantornya.
              Maya membuka jendelanya ,Rei kembali pulang ke rumah orangtuanya ketika diberitahu bahwa ayahnya sakit . Kembali Maya merasa kesepian ,ia merasa kesepian , ia tersenyum mengingat kejadian tadi siang ,ia mendesah satu satunya alasan bahwa ia tidak 'melemparkan ' dirinya ke Pak Masumi karena banyak orang yang sedang berkumpul .
               Maya menegakkan kepala ketika menyadari sebuah mobil yang dikenali sebagai mobil Masumi berhenti di depan apertement nya dan Masumi keluar dari mobil ,ia bisa melihhat Maya yang sedang duduk di jendela,tapi hanya sebentar karena Maya langsung turun dan keluar dari apartemennya.
                Maya berhamburan memeluk Masumi,Masumi membalas memeluknya erat ' akhirnya .......aku bisa memeluknya lagi " pikir keduanya ,Tak ada yang bergerak ,mereka menikmati suasana ini .
                Akhirnya Masumi yang tersadar ,ia mengutuk dirinya ,sekali lagi ia merasa tidak dapat menahan diri .Ia menjauhkan badannya melihat Maya yang tersipu, Masumi tersenyum simpul yang membuat maya berdebar kencang karena senyuman itu membuat Masumi semakin tampan ." kamu belum tidur ,mungil ? tanyanya pada Maya . Maya menggeleng " aku tidak bisa tidur " ,Masumi merapikan rambut Maya dan menaruhnya di belakang telinga Maya dan bertanya " Memang temanmu belum tidur? " bisiknya sambil setengah membungkuk wajahnya tepat di depan wajah Maya.
    Melihat Masumi sedekat itu Maya menjadi gugup " tidak ....tahu ....eh maksudku ..ah ....Rei ...pulang ke rumah orangtuanya " Masumi sedikit terkejut " Kalau begitu kamu sendirian ?" Maya mengangguk . Entah mengapa tiba tiba sikap Masumi menjadi siaga ,ia mengamati sekeliling . Maya memandang Masumi dengan bingung " Pak Masumi ,ada apa ? " tanyanya . Tapi Masumi hanya tersenyum
                           " Aku dapat ide bagus ,bagaimana kalo kita jalan jalan ,aku yakin beberapa bulan ini kamu sibuk latihan " Maya mengangguk antusias . Bukan hanya jalan jalan yang membuatnya senang tapi waktu yang dihabiskan bersama Masumi yang membuatnya seperti melayang ke langit ke tujuh .
                      " Jadi .......dari sekian banyak tempat di Tokyo ,kamu malah memilih ke taman ini ? Ke ayunan ini ? " Tanya Masumi yang menopang wajahnya dengan tangan dan duduk di ayunan di sebelah Maya .Ia melihat Maya yang terlihat rileks di sampingnya dan mengayunkan ayunan tersebut pelan . Maya tertawa " aku suka ayunan,karena sibuk aku bahkan tak sempat datang ke ayunan ini "katanya sambil menoleh ke arah Masumi . Tapi ia malah melihat Masumi yang memandangnya dengan wajah muram .
                   Masumi duduk berlutut  di depan Maya yang masih berada di ayunan  ,ia teringat ketika kematian ibu Maya ,ia menemukan Maya dengan keadaan menyedihkan .Masumi tak pernah melupakan malam itu ."Maya ......aku ...." kata Masumi tapi belum selesai ia bicara maya menutup bibir Masumi dengan tangannya " jangan ...... aku mohon ......biarkan masa lalu tetap di masa lalu , karena tidak ada satu pun yang dapat  mengubahnya ....jadi ...biarkan saja " kata Maya pelan ,rupanya Maya mengerti apa yang akan diucapkan Masumi .
                    Masumi tetap terdiam ,mengambil tangan Maya yang menutup bibirnya dan menciumnya ,Maya merona ,tersipu dengan apa yang dilakukan Masumi ,Masumi mencium tangan maya kembali sebelum mendekatkan wajahnya  ke wajah Maya .Maya melihat permintaan tanpa suara itu dengan malu ia menganggukkan kepalanya sedikit.
    Tapi itu sudah cukup ,karena Masumi memegang dagu dengan tangannya yang bebas dan mencium Maya. Ciuman itu sebentar ,Masumi hanya menempelkan bibirnya ke bibir Maya .Kemudian ia menjauhkan sedikit wajahnya dari Maya ,mengamati Maya yang seperti bingung antara Malu dan ingin di cium kembali .Masumi nengamati bibir Maya yang setengah terbuka ,ia mengeluh sebelum mencium Maya .
                   Ia melepaskan tangan dan dagu Maya dan merengkuh Maya , mendekap nya dan merapatkan tubuh Maya ke tubuhnya sendiri  . Maya seakan tubuhnya melayang semua indranya tertuju hanya satu tempat ,di bibir dimana Masumi menciumnya .Masumi menciumnya seperti tiada akhir karena akhir sebuah ciuman merupakan awal ciuman yang lain .Dan yang hanya bisa dilakukan Maya adalah mendekap erat tubuh Masumi ,karena Maya tak ingin ciuman ini berakhir .
                                         ( bersambung )

Fanfik TK : After Wedding

Posted by Miarosa at 19:12 7 comments
Rate :18+


After Wedding
( By Tati Diana )

Pesta pernikahan itu telah usai. Pernikahannya yang meriah dengan sang pangeran dari Daito.

Dan kini dia berdiri di kamar pengantinnya. Kamar yang luas dengan perabotan yang cukup elegan dan memancarkan kesan mewah. Kamar itu kini telah dihias dengan Mawar merah yang  melambangkan cinta. Tempat tidurnya terlihat besar dengan taburan kelopak mawar merah yang disebar diatasnya.


Sesekali dia memandang dirinya di cermin. Menatap dirinya yang mengenakan pakaian tidur yang belum pernah dikenakannya. Dia sangat malu sekali melihat penampilannya yang memperlihatkan lekukan tubuhnya. Ada sedikit perasaan menyesal mengapa dia menyetujui saran Ayumi yang mengantarnya berbelanja ke toko pakaian wanita beberapa hari sebelum hari pernikahannya tiba.

“Aku kira pakaian tidur itu akan bagus kau kenakan untuk malam pengantinmu, Maya” kata Ayumi saat mereka mampir di sebuah toko pakaian wanita.


“Ah..oh..tidak,. mana mungkin aku memakainya. Aku pasti akan malu” kata Maya yang mukanya bersemu merah membayangkan dirinya memakai baju tersebut.


“ Hahahaha.... jangan katakan bahwa kau akan memakai piyama saat malam pengantinmu?” ejek Ayumi.


“Ayolah, tak ada salahnya kau menyenangkan hati Masumi Hayami” kata Ayumi lebih lanjut sambil mengelus-elus pakaian wanita tersebut yang dipajang di sebuah maneqin .


“Kau pasti ingin membahagiakannya juga kan , Maya? “ tanya Ayumi yang berusaha membujuk Maya.  Ayumi tahu Maya adalah gadis yang polos dan tidak berpengalaman dalam masalah pakaian wanita.


“ Tentu,ah  eh...tentu saja aku ingin membahagiakannya. Tapi apa aku harus memakai pakaian seperti itu?” kata Maya yang terlihat ragu.


“Tentu saja, kau harus tampil mempesona di malam pengantinmu. Baiklah, aku akan memberikan pakaian ini padamu. Harap jangan kau tolak pemberianku. Tapi kau harus berjanji bahwa kau akan memakainya di malam pengantinmu” ancam Ayumi yang bergegas menuju casier untuk membayar barang yang dibelinya.


Lamunannya kemudian terputus dan kembali menatap dirinya di cermin.


“Aduh..bagaimana ini. Aku merasa malu sekali jika Masumi melihatku. Apa aku harus  mengganti pakaianku ?” kata Maya penuh ragu.


Tapi kebimbangannya itu terlambat, karena Masumi kini telah masuk ke kamar itu. Maya dapat melihat dari pantulan cermin yang ada dihadapannya bahwa suaminya itu sedang berjalan kearahnya dan mendekatinya.


Ada sedikit ketakutan dan rasa malu menghinggapi Maya. Merasakan bahwa dia hanya berdua dengan Masumi ditambah lagi pakaian yang dikenakan Maya terlalu terbuka. Sehingga semakin rikuh dan gugup sikap Maya.


Tetapi Masumi malah sebaliknya, baru pertama kali dia melihat gadis yang dicintainya itu dalam balutan pakaian yang seksi yang memamerkan lekukan tubuhnya. Ternyata tubuh gadis kecil yang kini telah menjadi istrinya itu menakjubkan. Dan menggetarkan hatinya melihat pemandangan yang terpampang indah dihadapannya.


Masumi melihat kegugupan di wajah istrinya. Tetapi itu hal yang wajar mengingat Maya adalah wanita yang polos, kemungkinan dia gugup karena berduaan dengannya di kamar. Masumi menghampirinnya dan memeluknya dari belakang.


“Kau sangat cantik sekali ,sayang!” Bisiknya serak di telinga Maya.


Bisikan mesra suaminya itu membuat pipi Maya semakin merona, dia jengah tetapi juga bahagia akan perlakuan suaminya. Dia hanya bisa terdiam tidak tahu bagaimana membalas perlakuan mesra suaminya. Akan lebih mudah jika seandainya dia harus menghapal adegan ataupun dialog drama yang telah dibuat scriptnya. Tetapi menghadapi keadaan yang sedang terjadi sekarang dia sungguh tak mampu berkutik.


Sesaat kemudian dia memutuskan untuk mengikuti kata hatinya saja. Dan membiarkan segalanya terjadi sebagaimana mestinya.



@@@@@@@



Sinar matahari pagi yang menembus gorden di kamar itu menandakan hari telah berganti.

Maya mengerjap-ngerjapkan matanya. Kamudian dia menatap suaminya yang masih tertidur pulas di sampingnya. Seulas senyum tersungging di wajah suaminya yang terlihat bahagia.

Maya kemudian mencium kening suaminya dan bergegas mengambil mantel mandinya dan masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan badannya.


Suara gemericik air di kamar mandi membangunkan Masumi. Dia merasakan kebahagiaan. Dia merasa bahagia sebagai seorang lelaki dan merasa lengkap sebagai seorang manusia. Kini dia berstatus menjadi seorang suami dari wanita yang dicintainya.


Masumi merasa bahagia penantiannya berbuah manis, Bidadari merahnya kini telah menjadi miliknya. Jiwa dan raga. Tak ada lagi ketakutan dan kekhawatiran tentang perasaan cinta Maya yang tidak berbalas padanya. Maya telah membuktikan padanya. Betapa wanita itu juga mencintainya.


“Ahhh.......inikah rasanya bahagia...!

*****

The End

Fanfik TK : The Wedding

Posted by Miarosa at 19:06 5 comments
Rate :18+


The Wedding
( By Tati Diana )

Masumi duduk di sebuah gereja di barisan paling depan, dia dapat dengan jelas menyaksikan upacara pernikahan yang akan digelar pagi itu. Sesekali dia terlihat gugup. Dia memandang sang mempelai lelaki yang tengah berdiri gagah dengan setelan jas putihnya di altar menunggu pengantin wanitanya.

Di pintu gereja hadirlah sosok mungil pengantin wanita dengan berbalut gaun pengantin putih yang memperlihatkan bahunya yang putih mulus laksana mutiara. Wanita itu nampak cantik dengan hiasan bunga mawar merah muda yang diselipkan di antara untaian rambut yang ditata dengan indah dan bunga mawar yang digenggamnya senada dengan bunga di hiasan kepalanya,. Denting alunan lembut piano mengiringi langkah kaki sang mempelai wanita menuju altar. Sang mempelai pria dengan sabar menanti pengantin wanitanya. Hingga kehadiran wanita yang dinantinya akhirnya tiba di sampingnya. Keduanya tampak tersenyum bahagia. Kebahagiaan sepasang insan yang akan melabuhkan cinta mereka dalam ikatan suci pernikahan.

Sang pendeta akhirnya memulai upacara sakral pernikahan itu, saat kedua pengantin berjanji setia sehidup semati dalam suka dan duka akan mengarungi bahtera hidup berumahtangga bersama. Hingga tiba mempelai pria membuka cadar yang menutupi wajah sang mempelai wanita dan menciumnya dengan lembut.

“apa kau bahagia, sayang? Akhirnya dia menikah juga?” tanya wanita yang duduk di samping Masumi sambil meremas mesra telapak tangan lelaki itu.

Masumi menoleh ke arah wanita tersebut dan tersenyum lembut. “ ya.... aku bahagia, akhirnya dia menikah juga. Aku harap dia bahagia” ucap Masumi.

“tentu saja, dia bahagia. Kita bisa melihat kebahagiaan yang terpancar dari keduanya. Kau tidak usah mengkhawatirkan dirinya” kata wanita itu lebih lanjut.

Kedua mempelai akhirnya keluar dari gereja yang diikuti dengan taburan bunga yang mengiringi langkah kaki keduanya. Resepsi pernikahan tersebut juga diadakan di taman di samping gereja tersebut. Resepsi bernuansa pesta kebun tersebut terasa hangat. Kedua pengantin tampak santai dan berkeliling menyapa siapa saja yang menghadiri resepsi pernikahan mereka. Mereka memang ingin pesta mereka jauh dari kesan formal seperti resepsi pernikahan umumnya, mereka ingin resepsi mereka terasa hangat dan kental dengan kekeluargaan.

Saat mata Masumi bertatapan dengan mata sang mempelai pria, spontan Masumi merangkul pria tersebut.

“selamat atas pernikahanmu” ucap Masumi.

“terima kasih, ayah” ucap lelaki itu.

“aku harap kau bahagia. Doaku menyertaimu, Takeshi” ucap Masumi lebih lanjut.

“ayah tenang saja. Aku bahagia. Akhirnya penantianku berakhir. Aku bersyukur penantianku yang panjang untuk selalu menunggunya agar dia membalas cintaku berbuah manis.” Jawab lelaki itu yang ternyata bernama Takeshi.

“oh, ya mana Mama?” tanya Takeshi.

Masumi menunjuk wanita mungil bergaun biru cerah yang tengah berbicara dengan wanita bergaun pengantin. Melihat postur tubuh mereka yang sama-sama mungil, terlihat menyolok diantara para tamu yang hadir.

Takeshi Hayami selain dirinya mewarisi ketampanan dan kepiawaian ayahnya dalam berbisnis, rupanya dalam hal asmara juga mengikuti jejak ayahnya dalam hal mencintai wanita. Mungkin suatu kebetulan jika Takeshi tertarik pada seorang wartawati cantik bertubuh mungil yang ceria dan spontan dalam berbicara, Aiko Owada. Lama keduanya berkenalan semenjak mereka di bangku kuliah. Takeshi yang tahu Aiko sudah memiliki kekasih, hanya bisa menahan rasa cinta dalam hatinya dan berharap suatu hari sang pujaan hati dapat membalas cintanya.

Kedua orang tuanya Masumi dan Maya Hayami pernah beberapa kali menanyakan kapan anak lelaki mereka akan menikah dan memberikan keturunan bagi keluarga Hayami. Hingga Takeshi akhirnya mencurahkan isi hatinya pada ayahnya, dan berharap sang ayah mau mengerti posisinya. Dia akan menunggu hingga dia tidak mempunyai harapan lagi pada gadis itu.

Dan kini penantiannya berbuah manis, gadis impiannya menerima lamarannya dan kini telah sah dipersunting sebagai istrinya. Bagian dari keluarga Hayami. Menantu yang diharapkan memberikan keturunan sebagai penerus Daito kelak.

Tiba akhirnya sesi pengambilan foto bagi keluarga mempelai. Nampak kebahagiaan yang terpancar dari keluarga besar Hayami, Raja entertainment Daito dan sang bidadari merah tersebut tampak mengapit kedua mempelai dengan senyum ceria dan bahagia.

******The end ******

The owner of My heart

Posted by dina ( I ♥ Topeng kaca ) at 01:05 9 comments
     note : kejadian diatas dan setelah Astoria                

                                      
 The owner of my heart 
Dina KD

                " Ah...pulau " kata Masumi ketika Astoria mendekati sebuah daratan ," Kita sudah diujung pelayaran kita akan kembali pulang " Masumi menunjuk ke arah daratan " itu  semenanjung Izu " kata Masumi kemudian kepada Maya yang berdiri di dekatnya ,Masumi memandang daratan dan bercerita " Di pesisir pulau itu ada 'tempat persembunyianku ' " Maya terkejut dan bertanya 
" tempat persembunyian ?" .
                  Masumi tersenyum sambil meneruskan ceritanya " tempat persembunyianku adalah sebuah villa , tempat dimana aku bisa bebas ,hanya beberapa penduduk lokal yang tahu ,bahkan ayah medkipun ada beberapa pengecualian " kata Masumi .
                  Maya memucat " Nona Shiori " ketika Masumi bahwa ada yang tahu tempat persenbunyian Masumi dan entah kenapa hal itu membuat Maya cemburu mengetahui bahwa Shiori ( si mak lampir berjambul ....>< ) mengetahui beberapa hal mengenai Masumi yang bahkan olehnya tidak diketahui .Hal itu membuat Maya terdiam .
                  Masumi menyadari Maya yang tiba tiba membisu dan bertanya " ada apa ? " tanyanya ke maya ,Maya segera menjawab '" tidak apa apa " lalu berusaha mengalihkan perhatian Masumi dengan bertanya "Villa itu tempatnya seperti apa "birunya laut terpantul di lautan pasific ......aku datang ke sana pada hari Minggu atau kapan pun saat aku ingin mendinginkan kepalaku .Berjalan telanjang di atas pasir putih hingga berbunyi ,pasirnya terasa agak dingin ....sangat menyenangkan berjalan diatasnya "
               Maya mendengarkan dengan asyiknya sesekali menimpali ,maya mengamati wajah masumi yang nampak lain dari biasanya ,tak lagi ada kesan dingin malah Masumi nampak santai .Tiba tiba Masumi bertanya "Kapan kapan maukah kau kesana denganku ?"  Maya begitu terkejut sehingga ia hanya memandang masumi sambil berpikir 'Eh ...Barusan pak masumi Bilang apa ? '
             Tapi Maya hanya melihat Masumi yang sedikit tersipu yang seakan ucapan yang ia keluarkan tidak disengaja (keprucut bahasa jawanya ,>< bahasa Indonesia nya apa ya ) .Masumi tersipu dengan tangan menutup mulutnya " Ah .....Tidak lupakan saja " kata Masumi yang masih canggung ,tapi kemudian Ia malah terkejut ketika Maya menjawab " Bolehkah ?" kata Maya " Ke tempat yang sangat penting bagi Pak Masumi ,bolehkan ?" tanyanya sekali lagi " Saya ingin berjalan diatas pasir putih ,melihat kepiting yang menyemburkan busa dan melihat bintang bintang dari teras " lanjutnya sambil tersenyum .
              Masumi masih nampak tersipu ketika bertanya  " apakah kau tidak keberatan ? Karena hanya ada aku sendiri ...." Maya terdiam dengan wajah memerah seperti tomat dalam hatinya dia berpikir ' Pak Masumi sendiri ! Hanya berdua saja dengannya di villa itu ",hatinya semakin berdebar saat iya menyadari sesuatu 'Pastinya aku tidak pulang malam itu ? Pasti ...... malam itu ......', Maya tidak berani membayangkannya ,setelah terdiam beberapa saat"Baiklah,sayapun akan datang sendiri pak Masumi .
              Masumi tertegun karena terkjut dan gembira ,ia memandang Maya lekat lekat diamati wajah kekasihnya yang bersemu merah lalu dengan suara setengah berbisik" Benarkah ?Tidak apa apa ? kata Masumi seolah meyakinkan dirinya sendiri " ya ,Pak masumi " kata Maya pelan sambil memandang Pak Masumi . Seakan akan terhipnotis mereka saling memandang dalam diam seakan merajut kata tanpa suara " Aku adalah dirimu yang satunya .......dirimu adalah diriku yang satunya ........"

                       Para penumpang mulai bangun dan beranjak menuju ke restauran ,tapi Maya dan Masumi tidak beranjak dari dek .Mereka menyadari pelayaran hampir berakhir walaupun ingin ,mereka sadar untuk berduaan kembali seperti ini di masa mendatang pasti sulit .Mereka berdua tetap di dek yang sepi dari pengunjung "sungguh aneh ya .......bersamamu aku merasa bebas ,aku merasa bisa melakukan apa pun tanpa berbohong."  Maya mendengarkannya " Usia kita berbeda 11 tahun,tumbuh dan besar di lingkungan yang berbeda ......tapi kenapa aku merasa nyaman ? Aku sendiri tidak mempercayainya ...." lanjut Pak Masumi . Maya tiba tiba menggeserkan badannya ,merapat ke tubuh Masumi dengan wajah kembali bersemu merah ,dan ternyata wajah Masumi juga tak kalah merahnya .Masumi meraih pundak Maya dan merangkulnya .Sama seperti Maya ,Masumi  pun ingin waktu berhenti .
                                                       ************************
                       Maya memandang keluar dari jendela kamar ,Rei sedang pulang ke rumah orang tuanya ,malam ini Maya sendirian di apertementnya yang kecil ,bukan karena Rei pergi ia merasa kesepian tapi karena ia tidak bisa bertemu dengan Masumi .Maya merasa gelisah rasa rindu di dada rasanya tak tertahan tanpa terasa dua butir air mata jatuh dari matanya .
                       Banyak yang terjadi Koji yang kecelakaan sedangkan pentas uji coba Bidadari Merah sebentar lagi ,tapi Koji sendiri memang pantang menyerah dalam beberapa hari ia mulai berlatih walau pun Maya tahu bahwa kaki kiri dan badannya pasti sakit semua .Dan karena kecelakaan itu Koji seperti memahami sesuatu tentang Isshin yang membuat Isshin nya semakin sempurna .
                     Maya memandang langit ,sepertinya langit pun tidak berpihak dengannya ,karena tak satu bintang terlihat ,dalam gundah Maya menutup jendela sambil berharap semoga ia memimpikan kembali Masumi dan dirinya di atas kapal Astoria,seperti yang terjadi hampir setiap malam 

                                      *****************
                       Besok hari terpenting buat Maya ,akhirnya ia akan menjadi Bidadari Merah ,ia berada lapangan  kosong  yang akan digunakan sebagai tempat pementasan . 'Khas Bu Mayuko ' desah Maya ,Maya dapat menebak bahwa hingga hari pementasan besok para pemain tak kan pernah tau apa seperti apa setting yang akan digunakan .
                      Maya tersenyum ketika melihat Ayumi dan Bu Utako berbincang bincang diujung ,Maya berjalan ke arah mereka dan menyapa keduanya .Maya dan Ayumi tidak nampak seperti bersaing ,malah seperti sahabat lama yang bertemu dan mengobrol . Beberapa kali tawa mereka keluar membuat paparazi dan wartawan tampak sibuk megabadikan moment tersebut.
                      Berbeda dengan bintang utama yang nampak akrab ,Koji dan pak Korunuma nampak berhadapan dengan Pak Onodera dan bintang veteran Akeme Kei yang nampak sedikit meremehkan Koji yang masih berjalan dengan sedikit pincang ." Eh ...nak ,kamu yakin bisa memerankan Isshin dengan kakimu seperti itu ?" dengan nada mengejek Akeme kei bertanya pada Koji .
                        Dasar koji bukannya merasa diejek iya malah tersenyum yang menambah ketampanan wajahnya ,bahkan beberapa artis dari pihak Onodera tampak terpesona dan mendesah tanpa sadar.Membuat Akeme Kei sedikit sadar dari segi fisik dia kalah dengan Koji dan sebagus apa pun ia berakting ia tidak dapat membangun cemestri dengan Ayumi yang notabene seumuran dengan putrinya ( udah tuwir sie ....jadi Ayumi rada males ......mungkin wajah akeme harus ditempeli foto Hammil ,biar Ayumi semangat ) . " Jangan kuatir Pak Akeme ,saya malah dalam kondisi prima untuk memainkan Isshin ,sebaliknya bapak jangan lupa minum obat kuat agar tidak kelelahan " kata Koji sambil memamerkan senyum terbaiknya .Pak Korunuma mengubah suara tawanya menjadi batuk batuk ketika melihat kedua orang yang ada di depannya melotot.Tanpa berkata apa apa keduanya beranjak menjauh.
                        Begitu mereka menghilang Pak korunuma memukul kepala Koji dengan Naskah yang dibawanya 'PLAK' .Dan Koji hanya bisa mengaduh sambil memegang kepalanya yang kena pukul " Apa yang kamu lakukan ,bagaimana juga kamu harus menghormati mereka karena mereka lebih tua dan mereka adalah seniormu !!"
                        "Jadi maksud bapak ,aku harus diam saja ,aku yakin bila diberi kesempatan ,mereka kan menghina habis habisan sepanjang pertemuan ,ini sepanjang siang atau bahkan sampe besok " kata Koji membela diri .Kemudian ia mencondongkan badan dan berbisik "Bukannya bapak yang tertawa tadi ? " Pak korunuma hanya bisa mendengus dan menarik Koji menuju tempat konfrensi press yang mulai dipadati orang orang .
                                                                ****************
note : ^^ mohon maaf untuk adegan pementasan sengaja saya skip .....terusterang nggak berani dialog yang penuh makna bisa hancur kalo yang nulis  jadi harap makhlum.

              Suasana di sekitar panggung masih sunyi .Para penonton masih terhipnotis dengan Bidadari Merah Ayumi yang sempurna menurut penonton .Bidadari Merah Ayumi nampak hidup karena keluwesan Ayumi dalam bergerak ,keangunan dan kecantikan Ayumi dan teknik yang dikuasai Ayumi benar benar hebat  . Ayumi memang 'berakting' dengan sempurna sebagai Bidadari Merah . Terlihat Pak Onodera yang nampak puas dan ia merasa yakin dengan Ayumi dan Akeme akan memenangkan hak pementasan Bidadari Merah.
               Maya bersiap ,Ia sudah menggunakan kostum Bidadri Merah , ia membiarkan dirinya menatap   cermin " Aku bidadari Merah .....Isshin  adalah Belahan jiwaku .......Mawar Ungu .....Pak Masumi ......lihatlah ....hari ini aku menjadi Bidadari Merah khusus untuk anda " sambil melangkah menuju panggung.
           *********Maya di panggung **********

              Kembali suasana sunyi bila tadi para penonton terhipnotis ,kali ini tidak hanya terhipnotis tapi juga sedih adegan diman Isshin menebang pohon plum yang merupakan jiwa dari sang kekasih menguras emosi penonton ,banyak yang menangis hingga tersedu sedu .Beda dengan Ayumi walau kesedihan tersampaikan tapi tak sedalam yang ditampilkan oleh Koji dan Maya .Cinta yang tak bersatu karena ada hal yang lebih penting ,mengorbankan diri untuk yang lain membuat penonton bersedih.
            Ayumi yang menonton ( mendengar karena matanya sakit/buta ) kembali merasa terkejut 'Maya setiap kali .....aku selalu merasa kalah olehmu 'pikirnya .Tapi Ayumi tetap tersenyum dan bertepuk tangan ketika para penonton akhirnya sadar dan bertepuk tangan sengan riuh .
             Masumi bertepuk tangan matanya nampak berbinar bangga terhadap Maya yang begitu menakjubkan saat memerankan Bidadari Merah. Maya nampak sangat cantik.Tidak hanya itu ia juga nampak anggun setiap kali ia bergerak seperti pohon plum yang bergoyang tertiup angin .Bahkan  penonton seakan dapat mencium harumnya bunga plum setiap kali Maya bergerak .
            Masumi sedikit cemburu karenaKoji dan Maya berakting seperti sepasang kekasih yang benar2 jatuh cinta .Beberapa kali Maya tersenyum ke arah penonton dan Masumi berharap senyum itu untuk dirinya               
              Di ujung ,tampak Shiori duduk dengan muka pucat pasi dan tangan terkepal ,di salah satu tangannya masih terbungkus dengan perban . Ia dapat melihat reaksi Masumi dari tempat ia duduk .Dan tadi ia juga melihat betapa sempurnanya akting Maya .Membuat  ia semakin membenci gadis bertubuh mungil itu .
    Apalagi ia juga tahu ,beberapa kali kakeknya mendesak agar pernikahan segera dilangsungkan dan beberapa kali pula Masumi menolaknya .Dan Shiori yakin hal itu pasti karena Maya . " ini tak boleh dibiarkan " kata Shiori dalam hati " aku harus mencari cara agar Masumi menjauhi gadis itu " Ia berjalan kluar dengan lesu .
                                       ( bersambung )

Sunday 12 February 2012

Fanfic TK: Finally Found You - The Ending

Posted by Ty SakuMoto at 18:32 272 comments

Genre: Romance, Comedy
Rating: 18+
Warning: Kissu kissu, skinship


Finally Found You: The Ending Chapter



“Selamat pagi,” sapa Masumi.

Maya dengan cepat menoleh pada suara di sampingnya. Ada Masumi di sana, menopang kepalanya dengan sebelah tangannya. 

Wajah gadis itu merona. “Pagi…” sapanya.

Masumi bangun dari tempat tidur. “Kau baik-baik saja?”

“Sedikit pegal-pegal,” jawab Maya. “Mungkin aku masih kelelahan karena perjalanan jauh dari Nara,” katanya, lantas tersenyum. “Apa Pak Masumi yang mengangkatku ke sini?”

“Tidak,” jawab Masumi. “Kau jalan sendiri sambil tidur.”

“Ha?” Gadis itu tercengang. “Aku jalan—“

“Hanya bercanda.”

Maya tertegun. “Pak Masumiii~!!!” Rajuknya, mendorong dada pria itu.

Masumi terbahak. Gemas, tunangannya itu masih saja mudah Ia goda. “Maya, kalau kau masih letih, istirahat saja, agar nanti tidak kelelahan saat melakukan gladi resik dan pentas perdana Bidadari Merahnya,” saran Masumi.

“Tidak kok, sudah tidak apa-apa. Hari ini aku mau menemui pemain yang lain. Aku juga mau meminta maaf karena sudah membuat mereka berlatih tanpa aku selama ini, terutama Sakurakoji,” kata Maya.

Masumi mengamati gadis mungil itu. Menenangkan perasaannya, mengingatkan dirinya agar tidak cemburu. “Baiklah. Sekalian kuantar saja ke tempat latihan. Cepat bersihkan dirimu.”

Maya mengangguk dan beranjak berdiri.

Kemarin mereka sampai cukup larut dari Kampung Halaman Bidadari Merah. Masumi meminta Hijiri menjemputnya dengan helikopter. Dalam perjalanan, Maya tertidur. Akhirnya Masumi memutuskan untuk menginap di tempat Maya. Ada beberapa orang melihat Masumi menggendong aktris mungil itu ke dalam apartemen. Tampaknya mereka terkejut mengingat kabar berita yang beredar bahwa mereka putus belum lama ini. Masumi sudah berhenti peduli. Biar saja. Mereka akan tahu keduanya saling mencintai. Ia akan menikahi gadis ini.

=//=

Maya mengamati jari manisnya saat membuatkan sarapan pagi untuk mereka. Sebuah cincin terpasang di sana. Sangat cantik. Cincin yang Masumi pesankan khusus untuknya. Cincin yang sudah menunggu cukup lama sebelum tersemat di jemari mungilnya.

Sebuah tangan melingkar di pinggang Maya. “Sayang, kalau kau melamun terus, kopinya bisa meluap.”

“Ah!!” Maya tertegun, segera mengangkat teko di tangannya, menengadah pada Masumi dan menyeringai malu.

“Aku benar-benar merasa cemburu sekarang pada cincin itu. Sepertinya aku sudah salah memberikannya,” keluh Masumi.

“Ha? Apa maksud Pak Masumi, Pak Masumi menyesal sudah melamarku?”

“Menyesal? Melamarmu? Yang benar saja! Setelah aku begitu menginginkannya seumur hidupku, aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi,” tangannya melingkar semakin ketat di pinggang Maya.

“Jadi aku sekarang… benar-benar bertunangan dengan Pak Masumi?” gumam Maya, kembali mengangkat jemarinya yang mengenakan cincin itu, memandanginya dengan penuh binar kebahagiaan.

“Aku sangat bahagia,” bisik Masumi.

Maya tertawa kecil. “Seharusnya aku, yang berkata begitu.”  Gadis itu memutar tubuhnya, menengadah pada kekasihnya. Dipandanginya Masumi yang telah mencarinya berkilo-kilo meter untuk menemukannya. Yang telah menembus badai dalam kegelapan, untuk menemukannya. Gadis itu mengusap rahang calon suaminya, tersenyum bahagia.

Masumi menundukkan wajah hendak menciumnya, sebelum Maya berkata. “Nanti telurnya juga gosong, Pak Masumi…” Ia menoleh ke penggorengan.

Masumi mengerucutkan bibirnya. “Masa kau lebih memilih telur daripada aku,” keluhnya.

Maya tertawa kecil. Berbalik lagi pada penggorengan. “Kalau telur kan bisa gosong. Kalau Pak Masumi tidak!” ujarnya.

Setelah selesai sarapan, keduanya turun dari apartemen Maya. Beberapa orang memperhatikan mereka. Keduanya tidak malu-malu berjalan berdekatan dan dari wajahnya, jelas mereka adalah dua orang yang tengah saling jatuh cinta.

“Selamat pagi, Pak Masumi, Nona Maya,” sapa beberapa staf yang mengenal mereka. Atau para selebritis yang bekerja untuk Daito.

Keduanya akan menjawab dengan senyuman yang tidak juga hilang dari wajah mereka. Maya—Masumi menyadari—sejak kembali dari Nara sudah memkiliki pembawaan yang lebih tenang, Mungkin karena latihannya sebagai Akoya di kuil, atau hal lainnya, namun selain itu, Maya jadi tampak lebih percaya diri karena dia tidak mudah gugup. Tidak terus menerus menekuri lantai saat tengah berjalan bersama Masumi. Sangat jauh berbeda dengan saat keduanya berada di Yokohama dulu. Masumi sangat senang dengan perkembangan ini.

=//=

“Sayang, nanti malam, ke rumahku ya, aku akan menjemputmu sehabis latihan. Ayah pasti ingin bertemu denganmu,” kata Masumi sebelum menurunkan Maya di tempat latihan.

Maya mengangguk. “Baiklah. Aku akan menunggu Pak Masumi. Oya, apa Pak Sawajiri—“

“Dia sudah tahu kau kembali berlatih hari ini. Jaga dirimu baik-baik,” Masumi mengecup keningnya. “aku mencintaimu.”

Maya tersenyum, “aku juga,” jawabnya. Dan wajah kekasihnya tampak berbinar mendengarnya.

Gadis itu lantas turun dari mobil, melambaikan tangannya sebelum mengamati mobil Masumi berlalu dari hadapannya. Maya tersenyum tipis lantas masuk kembali ke dalam gedung. Beberapa orang yang melihatnya menyambutnya dengan ucapan selamat pagi. “Halo Maya, kau sudah kembali? Pagi-pagi sekali kau sudah ada di sini.”

“Iya. Pak Kuronuma ada kan?”

“Ada. Kau tahu dia tidak pernah meninggalkan teater ini. Kemarinan istrinya datang kemari dan menitipkan pengajuan surat cerai untuk Pak Kuronuma. Baru saat itu dia pulang ke rumah. Itu pun tidak lama, hanya satu hari sekarang dia sudah di sini lagi,” ungkap resepsionis itu.

Maya tertawa kecil mendengarnya. Ia lalu berpamitan untuk menuju ruang latihan di lantai atas. “Permisi… selamat pagi…” Maya memberi salam, membuka pintu teater. Tidak ada siapa-siapa. Maya lantas masuk ke dalam.

“Kitajima! Apa itu kau?” tanya seseorang yang muncul dari arah ruang ganti.

“Ah! Pak Kuronuma!!” Maya segera membungkuk. “Aku sudah kembali! Maaf merepotkan!”

“Hmm..” Kuronuma mengamati gadis itu. “Apa masalahmu sudah selesai? Dan apa kau sudah berhasil lebih mendalami lagi peranmu?”

“I, iya Pak Kuronuma! Saya akhirnya bisa lebih mengerti dengan cara hidup dan lingkungan di sekitar Akoya. Dan, dan masalahku pun—“

“Kalau melihat cincinnya, sepertinya juga sudah beres.”

“Ah!” Maya mengangkat wajahnya yang merona. Semenjak tadi Maya berusaha menyembunyikan cincin itu dari orang-orang yang ia temui, karena Masumi mengatakan agar cincinnya jangan dulu dilihat wartawan.

“Pak Masumi sudah melamarmu?”

“I, iya, Pak Kuronuma,” Maya terlihat bersemu merah.

“Wah, hahahaha… selamat kalau begitu. Baiklah, kurasa kau sudah siap mengejar ketertinggalanmu, makanya datang sepagi ini kan?”

“Siap, Pak!”

“Bagus. Sekarang ganti pakaian, kita mulai berlatih sebelum yang lain datang siang nanti.”

Maya beranjak ke ruang ganti pakaian. DI sana, Ia melepas cincinnya, menciumnya seraya mengingat Masumi dan tersenyum, lantas memasukkannya ke dalam tasnya. Ia lalu berganti pakaian.

=//=

“Maya sudah kembali semalam. Pak Masumi yang memberitahuku,” terang Sawajiri kepada Rei pagi itu saat gadis itu membawakan sarapan untuknya.

“Oh, benarkah!? Aku sangat senang mendengarnya. Ahh… aku lega sekali. Hanya beberapa hari lagi pementasan dan aku sangat mengkhawatirkannya. Syukurlah akhirnya semua baik. Sepertinya Pak Masumi memang berjodoh dengan Maya. Seperti apa pun anak itu membuat masalah, Pak Masumi selalu bisa menyelesaikannya,” Rei berujar lega.

Keduanya diam sejenak sebelum Sawajiri memecah keheningan. “Rei, kau pindah saja ke sini.”

Rei tertegun. Bingung. Ia mengangkat wajahnya, memandangi Sawajiri dengan wajah datarnya. “A, apa?” tanyanya tidak yakin.

“Kau pindah saja ke sini, tinggal bersamaku,” Sawajiri menatap Rei. “Apartemenku cukup luas untuk kita berdua. Dan aku ingin menjadi manajermu, setelah itu, seperti yang pernah kukatakan, jika dorama mu di Doremi selesai, aku ingin menemui orang tuamu Rei.”

Rei mematung tidak percaya. “Menjadi manajerku? Tapi kau kan bekerja untuk Daito, dan aku bukan aktris Daito. Terlebih lagi, aku sedang menangani Maya. Lalu… menemui orang tuaku…? Shin, kau tidak mungkin serius kan dengan ucapanmu?”

“Aku serius.” Nada dan rautnya menguatkan. “Aku ingin kau tinggal di sini bersamaku, dan aku akan menjadi manajermu, lalu aku akan menemui kedua orang tuamu.”

Rei menatap kalut. “Ti, tidakkah itu terlalu cepat?” tanyanya.

“Terlalu cepat? Kurasa tidak. Jika cepat atau lambat kita akan melakukannya, kenapa kita harus menundanya?”

Rei mengeratkan rahangnya. “Shin! Berhentilah membuat rencana secara sebelah pihak seperti itu! Kalau kau ingin melakukan sesuatu, ajak aku bicara saat kau ingin membuat keputusan! Bukan saat kau telah membuat keputusan dan memaksaku mengikuti kemauanmu!”

“Dimana masalahnya, Rei?” tanya Sawajiri, terheran. “Aku tidak melihat ada yang salah dari keinginanku. Ini demi kau. Demi kita—“

“Egois sekali! Kau tidak tahu apa yang terbaik untukku!”

“Iya Rei, aku tahu.”

“Tidak!” Rei beranjak berdiri. “Sudahlah, aku tidak ingin membicarakannya, hari ini aku ada syuting aku tidak mau suasana hatiku rusak karena hal ini,” Rei berbalik pergi.

“Rei!” Sawajiri mengejarnya, menahan pergelangannya. “Tunggu sebentar!”

“Tidak mau! Aku sudah membuat keputusan! Aku, tidak, ingin, mendengarkanmu, bagaimana!?” tanyanya tajam. “Sekarang lepaskan!!” Rei berusaha menghempaskan tangannya dari genggaman erat Sawajiri.

Terlalu erat.

“Kau yang bilang, tidak suka membiarkan masalah berlarut-larut kan? Kalau kau pergi, kita tidak akan bisa menyelesaikannya.” Sawajiri mengikat Rei lebih kuat. “Tinggallah sebentar lagi, kita bicarakan dulu,” bujuknya.

Rei menatap enggan beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah.”

“Kenapa kau tidak mau tinggal bersamaku?” tanya Sawajiri saat keduanya sudah berada di ruang duduk. “Rei, kita sudah cukup dewasa untuk tinggal bersama kan? Berapa usiamu sekarang? 25 tahun?”

“Ta, tapi, tinggal bersama… maksudku… rasanya terlalu cepat. Aku—“

“Apa kau tidak yakin dengan hubungan kita?”

“Bukan begitu Shin, hanya saja… akan ada terlalu banyak perubahan dalam hidupku, dan itu rasanya terlalu instan.”

“Dengarkan aku Rei. Aku sungguh-sungguh memikirkan kepentinganmu. Kalau kau bersamaku, aku bisa membantu urusanmu. Lagi pula tempat ini cukup luas untuk kita berdua. Selain itu, dari sini lebih dekat ke studio Doremi dari pada dari apartemenmu. Dan aku juga, bisa mengantarjemputmu. Sebentar lagi, Bidadari Merah akan dipentaskan. Aku yakin sekali  Daito akan sangat sibuk, begitu juga Maya. Artinya, aku pun akan sangat sibuk. Kau sendiri, jadwal syutingmu semakin padat dan masih akan terus seperti itu hingga tiga bulan ke depan kan? Kalau kau di sini, akan lebih mudah untuk kita bertemu,” bujuknya.

“Shin…” Rei menatap gamang kekasihnya itu.

“Dan karena itulah, aku pun sudah memutuskan. Bulan depan, setelah Bidadari Merah selesai, aku akan mengundurkan diri dari Daito dan menjadi manajermu. Mungkin, aku bisa menjadi manajer untuk kau dan teman-temanmu di Mayuko, kalau kalian mau. Tapi yang pasti, aku ingin menjadi manajermu. Ini adalah saat yang tepat Rei, bagimu menapaki jenjang karirmu lebih baik. Dan aku ingin membantumu mencapainya.”

“Ta, tapi Shin, kau tidak perlu melakukan hal sebanyak itu untukku. Karirmu akan jauh lebih baik di Daito. Aku sungguh berterima kasih untuk niat baikmu, tapi tetap saja, aku tidak ingin kau meninggalkan pekerjaanmu demi aku, padahal belum tentu kita selamanya seperti ini. Maksudku—“

“Kau, benar-benar tidak yakin dengan hubungan kita rupanya,” Sawajiri tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya.

“Bukan, bukan begitu. Hanya saja masih terlalu cepat jika kita harus membicarakan ini semua. Apalagi mengenai kau yang hendak menemui kedua orang tuaku,” pungkas Rei. “Shin,” Rei meraih tangan pria itu, menggenggamnya. “Aku mengerti jika kau sudah memikirkan semuanya baik-baik. Tapi tidak semua hal harus diputuskan dan dilakukan tergesa-gesa seperti mengejar waktu. Aku ingin kita menjalani semuanya perlahan-lahan. Kau benar, ada banyak perubahan yang kurasakan dan aku masih butuh menyesuaikan diri. Mengenai rencanamu menemui orang tuaku, jangan dulu dibicarakan. Begitu juga mengenai kau yang hendak mengundurkan diri sebagai manajer Maya, aku tidak ingin kau melakukannya. Setidaknya jangan sekarang. Pikirkan baik-baik Shin, dan aku akan memikirkan mengenai tawaranmu untuk tinggal bersama denganmu di sini. Kau mau kan, memikirkan kembali semuanya?” Suara Rei terdengar melunak.

Sawajiri tahu tidak akan ada yang berubah dari keputusannya, tapi pada akhirnya Ia mengangguk. “Baiklah, Rei.”

Rei tersenyum mendengarnya.

=//=

“Mai!” Sapa Maya, yang melihat Mai muncul di tempat latihan. “Menjemput Sakurakoji ya? Dia sepertinya masih berganti pakaian.”

“Ah, I, iya,” Mai tersenyum malu-malu. “Maya, kau sudah kembali?”

Maya tertegun. Tidak biasanya Mai mengajaknya berbincang. “Iya, aku baru kembali semalam.”

“Aku menunggu, pementasan kalian,” Mai tersenyum ramah kepada Maya. “Pasti akan luar biasa, seperti yang kulihat dahulu.”

“Terima kasih, Mai,” Maya tersenyum.

“Mai, maaf, sudah lama menungguku?” Sakurakoji muncul dari belakang Maya.

“Tidak, aku baru saja tiba.”

“Oh, baguslah.” Sakurakoji beralih kepada Maya. “Aku pulang duluan ya. Apa Pak Masumi akan menjemputmu?”

Maya mengangguk. “Hati-hati di jalan.”

Sakurakoji dan Mai mengangguk lantas berpamitan.

=//=

“Mai, terima kasih sudah menungguku.”

“Tidak apa-apa. Aku senang bisa pulang bersama Kak Sakurakoji.”

Sakurakoji meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya. “Kita mampir dulu ke toko cake kesukaanmu?”

Wajah gadis itu berbinar. “Ah, Mai senang sekali. Mai dengar ada kue baru di sana, rasa jeruk. Pasti Kak Sakurakoji juga suka.”

“Oya? Aku jadi tidak sabar ingin mencobanya. Kita juga bisa belikan untuk adik dan ibumu di rumah.”

“Ah, mereka pasti senang!” Wajah gadis itu semakin berbinar. Ia lantas merapat kepada Sakurakoji. “Terima kasih, Kak Sakurakoji.” Katanya lembut.

Sakurakoji bisa merasakan dadanya berdebar, ia tersenyum tipis. “Kau bisa berhenti memanggilku dengan sebutan ‘kak’, Mai. Kau bisa memanggil namaku.”

“Yuu,” panggil gadis itu perlahan. “Aku mencintaimu.”

Pemuda itu merasakan wajahnya merona. “Aku juga, Mai.”

=//=

Maya memandangi Sakurakoji dan Mai yang berlalu pergi. Senyuman menghias di bibir gadis mungil itu. Sakurakoji sudah bercerita tadi bahwa Ia dan Mai sekarang berpacaran. Maya turut senang mendengarnya. Maya pun sudah mengatakan bahwa Ia sudah kembali dengan Masumi. Maya dan Sakurkoji bersalaman, sepakat bahwa keduanya akan melakukan yang terbaik untuk pementasan Bidadari Merah kali ini.

“Melamun.” Sebuah suara mengejutkan gadis itu. Ada Masumi, kekasihnya di sana.

“Pak Masumi!” Maya segera menoleh dan menghampiri.

“Melamun saja, memikirkan apa? Awas saja kalau bukan aku yang kau pikirkan,” Masumi pura-pura bersikap sok kuasa.

Maya tertawa kecil. Berjalan menghampiri. “Sudah otomatis. Kalau tidak melakukan apa-apa, ya jadi melamun.”

Masumi tersenyum lebar. “Ayo, sudah bisa pulang? Aku sudah mengatakan kepada Ayah bahwa kita akan makan malam di rumah.”
Maya mengangguk.

“Maya, mana cincin…?”

“Ah!” Maya melihat jemarinya yang polos. “Aku lupa, tadi seharian latihan, aku simpan di dalam tas…” Maya merogoh saku tasnya dan mengeluarkan cincin cantik itu dari sana. “Nah…” wajah gadis itu kembali berbinar. Ia memasangkannya di jari manisnya dan kembali mengamatinya dengan berseri.

“Uh, rupanya aku salah, tidak seharusnya aku menanyakannya,” sesal Masumi.

Maya tergelak, melingkarkan tangannya di lengan Masumi. “Pak Masumi… aku sangat menyukainya karena selain cincin ini cantik,ini adalah pemberian darimu. Aku jadi selalu ingat bahwa Pak Masumi sangat mencintaiku. Bahkan kalaupun yang kau berikan itu hanya cincin yang terbuat dari benang atau plastik, aku akan tetap menyukainya, karena cincin ini mengingatkan aku pada Pak Masumi.”

“Baiklah. Alasanmu diterima. Tapi bisakah jika orang yang kau cintai itu benar-benar ada, kau lebih sering memandangi orangnya daripada cincinnya?”

Maya tertawa dan mengangguk.

Kehangatan tangan pria itu kembali terasa di pundak Maya saat mereka keluar dari gedung latihan Daito. Di parkiran, mereka tahu ada beberapa Paparazzi yang mengambil foto mereka. Keduanya membiarkan.

Maya masuk ke dalam mobil Masumi dan mobil itu meluncur cepat menuju kediaman Hayami.

“Pak Masumi, apa kita tidak membelikan sesuatu untuk Paman?” tanya Maya saat dalam perjalanan.

“Membelikan sesuatu? Membelikan apa?”

“Entahlah, apakah ada yang dia sukai? Makanan?”

“Dia suka Bidadari Merah dan uang. Sisanya aku tidak tahu. Tapi apa pun yang ia inginkan, BU Michie bisa membuatkannya untuk Ayah.”

Maya terdiam sejenak. “Tapi aku ingin membelikan sesuatu untuk Paman. Apa ada makanan kesukaannya saat anak-anak?”

“Aku tidak tahu Sayang. Aku tidak pernah bertanya dan dia tidak pernah membicarakan hal-hal seperti itu. Kalau kami berbicara, biasanya membicarakan masalah pekerjaan, tidak lebih.”

Maya mengerti, mengenai hubungan keduanya. Masumi sudah pernah bercerita dulu mengenai bagaimana hubungan mereka berdua. Walaupun statusnya Ayah dan anak, hubungan mereka begitu dingin dan formal. Tidak ada basa-basi, hanya seperti hubungan atasan dan bawahan.

“Sayang,” Maya mulai membujuk. “Paman sekarang sudah tua. Saat aku di desa kemarin, aku banyak bertemu para orang tua di kuil. Banyak anak-anak mereka yang pergi meninggalkan desa untuk bekerja di kota. Dan para orang tua itu, yang berjalan cukup jauh dari rumahnya ke kuil, serta menaiki tangga walaupun sangat kelelahan, melakukan itu semua hanya untuk mendoakan anak-anaknya yang entah sempat entah tidak mengingat orang tua mereka. Mereka bilang, jika sudah seusia mereka, semua hal terasa tidak berarti lagi, mereka hanya ingin diperhatikan oleh anak-cucunya. Ada seorang nenek yang mengenakan sandal yang sudah tak layak lagi dipakai, itu karena sandal tersebut pemberian putranya. Aku tahu Paman Eisuke memang keras. Tapi jika sudah beranjak semakin tua, kurasa… semua orang tua sama saja, hanya mengharapkan perhatian anaknya.”

Masumi hanya terdiam. Ia tahu benar bagaimana Eisuke sangat menyukai Maya. Mungkin, itu semua karena Maya sangat hangat dan perhatian seperti saat ini.

“Kurasa, tidak penting apa kesukaan Paman, kita belikan saja taiyaki untuknya,” Maya akhirnya memutuskan.

“Taiyaki? Sayang, kurasa Ayah tidak suka taiyaki.”

“Biar saja, yang penting kita berniat membelikannya untuk menunjukkan perhatian kita kepadanya. Kuharap Paman akan menyukainya. Lagipula, Paman Eisuke, na, nanti kan jadi ayahku juga,” suara Maya terdengar tergugup. “Ja, jadi, aku ingin mulai memperhatikannya seperti Ayahku.”

Maya… Masumi termenung. Gadis ini memang sudah beranjak semakin dewasa dan bijaksana. “Baiklah, kita belikan taiyaki untuk ayah.”

=//=

“Paman!” Sapa Maya saat melihat Eisuke sudah menunggu di ruang makan. “Selamat malam.”

“Halo, selamat malam, Maya,” pria tua itu tersenyum. “Kau semakin cantik saja. Kukira aku tidak akan pernah lagi melihatmu muncul di rumah ini. Apa putraku menyusahkanmu?”

Maya tergelak kecil sementara Masumi sedkit cemberut.

“Tidak, Paman. Pak Masumi memperlakukanku dengan sangat baik,” gadis itu merona.

“Baguslah kalau masalah kalian sudah benar-benar selesai. Ah! Apa itu? Cincin?” Eisuke tertegun. “Kau tidak bilang sudah melamarnya,” ujar Eisuke kepada Masumi, mengajukan keberatannya.

“Sekarang ayah sudah tahu kan,” ujarnya datar.

Eisuke tersenyum simpul. “Kuharap kau sudah mempertimbangkan matang-matang sebelum mengatakan iya, Maya. Yang akan kau nikahi itu lebih dingin dari es batu.”

Maya tersenyum kecil. Masumi sama sekali tidak begitu terhadapnya. Ia begitu hangat dan penuh kasih. Tapi biar saja hanya Maya yang tahu. “Ah, Paman, aku dan Pak Masumi membelikan sesuatu untuk Paman.” Maya memberikan sebuah bungkusan kepada seorang pelayan yang menyerahkannya kepada Eisuke.

“Apa ini?” Eisuke membuka bungkusan tersebut. “Oh, kue taiyaki,” ujarnya terkejut.

“Iya, kami tidak tahu apa yang Paman sukai, karena itu kami membelikan itu saja.”

Eisuke terbahak. “Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Wah… jadi bernostalgia. Terakhir kali aku memakannya, pasti sudah puluhan tahun yang lalu,” Eisuke menggigit taiyakinya, wajah pria tua itu tampak berbinar. “Terima kasih banyak Maya.”

“Bagus sekali jika paman menyukainya,” Maya tampak senang. “Bukan aku, Paman, itu Pak Masumi yang membelikannya,” kata Maya.

“Maya yang memintaku membelinya.”

“Aku yakin begitu,” Eisuke berujar.

“Tetap saja, itu uangnya Pak Masumi, berarti Pak Masumi yang membelikannya,” Maya bersikukuh.

Eisuke tertawa. “Wah, aku lupa rasanya seenak ini. Kurasa malam ini, aku tidak akan makan malam. Aku makan kue ini saja,” katanya.

Maya tertegun, lalu tersenyum. Sementara Masumi hanya terdiam mengamati Eisuke yang dengan gembira melahap taiyaki itu. Ayah…

“Oya, kapan kalian berencana mengumumkan pertunangan kalian?”

“Nanti, Ayah, setelah pementasan perdana Bidadari Merah, aku bermaksud mengumumkannya saat itu. Maya tidak menginginkan pesta yang terlalu menghebohkan dan aku juga sedang tidak ingin memecahbelah konsentrasiku antara Bidadari Merah dan pesta pertunangan. Jadi nanti diumumkan saja saat pesta pementasan perdana Bidadari Merah.”

“Oh… baiklah, terserah kalian saja. Lalu pernikahannya?”

“Kami belum membicarakannya,” terang Masumi. “Saat ini Maya masih harus memfokuskan diri pada Bidadari Merah. Kalau sukses, bisa dipastikan Maya sangat sibuk. Kami sepakat masalah pernikahan ini nanti saja setelah pementasan Bidadari Merah selesai.”

“Begitu… ya… ya… kuharapkan yang terbaik untuk kalian. Dan Maya, aku sungguh tidak sabar ingin menyaksikan Bidadari Merahmu lagi. Sudah hampir tiga tahun kan, sejak terakhir kali aku melihatnya. Aku tidak akan pernah bisa lupa perasaanku saat itu.”

Maya tersenyum senang melihatnya. “Iya, Paman, aku juga.”

=//=

“Terima kasih sudah mau datang. Ayah tampak senang sekali dengan kedatanganmu,” kata Masumi.

Keduanya berada di taman belakang, di atas ayunan.

“Aku juga rindu ada di sini. Saat aku sakit, orang-orang di sini yang membantu dan merawatku. Aku sangat berterima kasih,” Maya memandangi Masumi.

Masumi menarik gadis itu dalam dekapannya dan menciumnya. Bibirnya sedikit dingin, mungkin karena angin malam.

“Mungil, pernikahan seperti apa yang kau inginkan?” tanya Masumi, saat bibir mereka terpisah.

Maya terdiam sejenak, bersandar di dada Masumi sementara bahunya dimanjakan kehangatan lengan pria tersebut. “Entahlah, apa saja.”

“Nah, mulai lagi dengan apa saja…”

Maya tergelak kecil. “Pak Masumi…. Bisa bersama Pak Masumi seperti ini, aku, aku sudah sangat bahagia. Aku sudah tidak bisa memikirkan apa-apa. Aku tidak ingin meminta apa-apa lagi. Aku tidak peduli rumah seperti apa yang akan kita tinggali, dengan cara bagaimana Pak Masumi menikahiku, kemana Pak Masumi membawaku berbulan madu, aku sungguh tidak memikirkannya.” Gadis itu menengadah. “Aku hanya mau menjadi istrimu, berada di sampingmu selamanya. Selebihnya, aku tidak peduli. Walaupun Pak Masumi menyeretku ke catatan sipil malam ini, aku juga tidak akan menolak,” wajah gadis itu merona.

Masumi tergelak, bahagia sekali mendengarnya. “Ingin sekali aku melakukannya, Mungil. Menyeretmu ke catatan sipil. Tapi bagaimana pun, aku harus menghormati orang tuamu, menghormati kau sebagai wanita yang akan menjadi pendampingku. Jadi aku harus melakukannya dengan cara terbaik yang bisa kulakukan,” Masumi tersenyum, mendekap Maya lebih erat kepadanya.

“Aku sangat bahagia mendengarnya, Kekasihku,” bisik Maya, terdengar sangat mesra.

Masumi bisa merasakan jantungnya berdebar sangat kuat sekarang, bersamaan dengan dekapannya yang mengetat di tubuh mungil itu. Ia sungguh tidak sabar menantikan hari dimana gadis itu menjadi miliknya seutuhnya, untuk selamanya, segera tiba.

=//=


“Maya, ini jadwalmu untuk dua hari ke depan sampai pementasan besok malam,” Sawajiri menyerahkan sebuah kertas berisi jadwal Maya di apartemennya pagi itu.

Maya menerimanya, matanya melebar. “Se, sebanyak ini!?” Serunya.

“Iya. Sebanyak itu. Siapa suruh kau menghilang kemarin?” ujar Sawajiri datar.

“Maafkan aku,” gumam Maya perlahan. Diamatinya jadwal Maya. Mulai dari jadwal latihan, promosi, pemotretan, wawancara, bintang tamu sampai pemeriksaan kesehatan. Padat sekali jadwalnya sebelum pentas perdana lusa malam. “Kapan bertemunya dengan Pak Masumi…” Ia bergumam tanpa mengira Sawajiri mendengar keluhan kecilnya itu.

“Tidak ada. Kau tidak ada jadwal bertemu beliau, dan beliau tidak ada jadwal bertemu denganmu. Pak Masumi juga memiliki jadwal yang sangat padat karena pergi mengejar-ngejarmu kemarin.”

Maya tertegun. “Maafkan aku…” sekali lagi Ia bergumam. Maya tahu sekali manajernya itu sedang memarahinya. “Ah, Kak Sawajiri, bagaimana keadaan Rei?” Maya mengalihkan perhatian Sawajiri agar tidak marah.

“Begitulah, anggota tubuhnya lengkap,” pria itu lalu beranjak berdiri.

Maya bengong mendengarnya. Sepertinya, tidak seharusnya Maya mengungkit-ungkit Rei.

“Kenapa masih bengong?” tanya Sawajiri. “Lihat jadwalmu. Kau akan tampil di acara TV sekarang jam setengah 9 hanya sekedar mempromosikan Bidadari Merah, latihan dan gladi resik dari jam setengah 10 sampai jam setengah 1. Pemotretan jam 2 sampai jam 5. Akan ada majalah yang meliput pemotretanmu, Gekidan, sekaligus wawancara. Juga akan ada beberapa orang dari butik yang membawakan beberapa pilihan gaun untuk kau kenakan saat pesta setelah pentas perdana Bidadari Merah. Kau dan Pak Masumi akan mengumumkan pertunangan kalian kan? Jadi kau harus tampil istimewa. Karena kau tidak sempat ke butik, aku sudah meminta mereka mengirimkan orangnya dan membawakan gaun yang cocok untukmu. Lalu syuting iklan dari jam 6 sampai selesai. Semua baju dan kostum yang harus kau pakai sudah ada padaku. Ayo cepat!” Tidak menunggu, Sawajiri bergegas keluar.

“I, iya, baik!!” Maya segera bangun dari duduknya. Sudah terbayang, bagaimana hari ini akan menyiksanya.

Dan benar saja apa yang dikhawatirkannya terjadi. Maya tampil di depan televisi, tampil dalam sebuah tayangan info pagi, ditanya ini itu, lalu diminta menyampaikan promosinya terkait sandiwara Bidadari Merah yang akan dipentaskan besok. Sedangkan mengenai hubungan Maya dan Masumi, Sawajiri sudah memastikan bahwa tidak akan ada pertanyaan itu keluar dari mulut mereka.

Setelahnya Maya pergi ke tempat latihan milik Daito, melakukan gladi resik. Tidak seperti pentas percobaannya dahulu, kali ini Maya melakukan beberapa gerak tarian dan hal lainnya yang sungguh melelahkan. Walaupun karena Ia pernah mengalami kebisuan, setidaknya tenggorokan Maya cukup tertolong dengan adanya beberapa alih suara yang pernah dilakukannya dulu.

“Semuanya baik-baik saja?”

Sebuah suara yang ingin sekali Maya dengar. Ia segera menoleh dan mendapati Masumi sedang berbicara dengan penanggung jawab efek khusus untuk pementasan besok. Wajah gadis itu tampak berbinar, hendak mendekati. Namun Masumi tengah membaca sesuatu, wajahnya sangat serius. Maya bertanya-tanya sejak kapan Masumi datang dan apakah Ia tidak menyadari kekasihnya itu ada di sekitarnya.

“Maya selanjutnya gladi resik babak kedua. Bersiaplah,” kata Sawajiri.

Maya menoleh kepada Sawajiri, mengangguk. Sebelum beranjak Maya kembali menoleh kepada Masumi yang sekarang sedang berbicara dengan Pak Kuronuma. Maya menghela nafasnya dan berbalik pergi.

“Pak Masumi menitipkan Mawar Ungu,” terang Sawajiri datar. “Ada di kamar gantimu.”

“Be, benarkah?” wajah gadis itu tampak berseri-seri.

Sawajiri tidak menjawab pertanyaannya, namun Maya segera berlari ke tempatnya berganti kostum.

Benar saja ada buket bunga Mawar Ungu di sana. Maya bahagia sekali. Ia segera menghampirinya. Ada sebuah kartu ucapan untuknya :

Untuk kekasihku Maya Kitajima
Hari ini kau pasti harus bekerja keras. Jangan menyerah sayang. Tetap semangat.
Aku mencintaimu,
Masumi Hayami.

Ini yang Maya butuhkan. Dukungan dari kekasihnya. Semua rasa lelah itu sepertinya segera menghilang. Maya mengecup bunganya.

“10 menit lagi Maya, pemain lain sudah mulai berkumpul,” Sawajiri mengingatkan.

“Ah, I, iya, baik!” Maya segera meletakkan buket tersebut dan berganti pakaian.

Ia lantas menuju ke panggung. Sekali lagi Maya melihat Masumi di belakang panggung. Ia tampak sedang sibuk melihat sesuatu di monitor. Lantas mengangguk-angguk. Pak Masumi… Maya tertegun. Kali ini kekasihnya itu menoleh kepadanya. Dan tersenyum. Maya senang sekali melihat senyumannya. Gadis itu balas tersenyum.

Masumi mengepalkan tangannya untuk Maya. Semangatlah.

Maya mengangguk dan senyumnya semakin lebar. Tiba-tiba pandangannya terhalang oleh Sawajiri. Gadis itu menengadah menatap manajernya. “Jangan cengengesan. Adegan selanjutnya Akoya sedang menderita.”

“Ah, I, iya….” Maya menunduk segan.

Gladi resik pun berjalan lancar. Pak Kuronuma tampaknya puas dengan hasil gladi resik siang itu. Saat Maya mencari, Masumi sudah tidak ada. Pak Masumi… Walaupun semalam mereka masih bersama, namun Maya sudah kembali merasa rindu pada kekasihnya itu. Kalau begini, kapan aku akan bertemu Pak Masumi…

Dan Sawajiri kembali muncul. “Cepat bersihkan dirimu, kita akan menuju ke butik. Makan siang di mobil saja.”

“Ke, ke butik?”

Sawajiri memang tidak suka mengulangi perintahnya. Kembali Sawajiri tidak menghiraukan dan Maya terpaksa segera mengikuti kemauannya.

=//=

“Turun,” Sawajiri berkata sementara ia sendiri sudah melakukannya.

Maya segera turun, ia lantas kembali mengikuti Sawajiri ke dalam sebuah butik. “Kak Sawajiri, apa yang akan kita lakukan di sini?” tanya Maya ragu.

“Akiko!!!” Sawajiri berteriak, hampir semua pengunjung butik melihat ke arahnya.

Yang bernama Akiko segera menghampiri. “Ah, Pak Sawajiri—“

“Sudah terima pesanku?”

“Sudah, aku pun telah—“

“Bagus, bawa kami ke sana. ini orangnya,” Sawajiri menunjuk Maya tanpa menoleh atau berhenti melangkah.

“Ah, ya, ya. Silahkan…” Akiko mengajak Sawajiri dan Maya menaiki sebuah tangga menuju sebuah ruangan di bagian atas butik megah tersebut.

Maya menolehkan kepalanya ke sana-kemari, kembali merasa gugup. Mereka memasuki sebuah ruangan dengan ratusan gaun dan sepatu yang dijejerkan. Gaun-gaun dan sepatu-sepatu itu sudah dipilihkan sesuai ukuran tubuh Maya yang telah Sawajiri informasikan sebelumnya.

“Jadi kau yang bernama Maya Kitajima? Ah, ya… aku sempat melihat iklanmu belum lama ini,” Akiko berusaha bersikap ramah.

“Ah, I, iya…”

“Ternyata kau lebih mungil dari yang kukira,” katanya. “Kau juga akan bertunangan dengan Tuan Masumi?”

“I, iya,” wajah gadis itu merona.

“Ahhh, beruntung sekali! Tuan Masumi adalah salah satu pe—“

“Yang ini!” potong Sawajiri.

Akiko terperanjat dan segera menghampiri pria itu, menerima pakaian yang diserahkan Sawajiri.

“Yang ini!” Sawajiri menarik sebuah gaun lainnya. “Yang ini. Tidak ada warna lain?”

“Ada hitam.”

“Yang lain?”

“Tidak ada.”

Sawajiri menggantungkan kembali gaun itu. Ia lantas menarik gaun berikutnya dan memasukkannya lagi. “Ke sini, Maya.” Perintahnya, saat Ia mengamati sebuah gaun.

Maya menghampiri. Sawajiri memasangkan gaun itu di depan Maya.
“Ada yang lebih pendek sekitar… 5 senti?”

“Tidak ada. Kami punya yang—“

“Ya sudah.” Sawajiri memasukkan kembali gaun itu ke deretan.

“Yang ini, ada yang lebih kecil?”

“Ada.”

“Aku mau yang itu.”

“Baik,” Akiko mencatat.

Sawajiri kemudian kembali mengepaskan sebuah gaun kepada Maya, mengamatinya ke atas dan kebawah.

"Biru?"

"Ada."

"Itu saja."

Ia lalu beranjak ke bagian sepatu, melakukan hal yang sama. Maya tidak mencoba apa pun. Sawajiri hanya membayangkannya saja dalam kepalanya.

Hal itu berlangsung kurang dari 1 jam. Saat Sawajiri berhenti bergerak, catatan Akiko sudah penuh dan gadis itu memegang sekitar 12 gaun di tangannya dan sekeranjang sepatu.

“Bawa semua ke lokasi. Maya akan mencobanya di sana,” kata Sawajiri. “Ayo Maya,” dan Ia kembali melangkah.

“Baik,” dengan tanggap Akiko menyanggupi.

Maya membungkuk tergesa-gesa sebelum kembali membuntuti Sawajiri. Tidak berapa lama keduanya sudah melesat menuju tempat pemotretan.

“Cepat turun,” perintah Sawajiri.

Maya kembali menuruti, keduanya lantas memasuki studio. Seorang karyawan sudah menunggu untuk mendandani Maya. Kali ini adalah pemotretan untuk merchandise pentas Bidadari Merah yang akan dijual kepada para penggemar, juga untuk poster yang akan dipasang di dalam gedung.  Tidak seharusnya kemarin aku melarikan diri, pikir Maya.

“Maya!”

“Ah, Sakurakoji!!” Maya senang sekali bisa bertemu lagi dengan Sakurakoji.

Sakurakoji sudah berganti pakaian dan bersiap di setting. “Sepertinya kau sibuk sekali hari ini,” tanyanya ramah.

“Begitulah, rasanya nafasku sudah mau habis,” keluh Maya.

“Kau tahu apa yang menakutkan? Katanya ini belum seberapa jika pementasan ini sukses.”

Maya tertegun. “Ha? Masih belum seberapa…?” Maya tidak percaya mendengarnya. Ia sudah sangat lelah padahal baru sehari.

Akhirnya Sakurakoji dan Maya melakukan beberapa sesi pemotretan. Saat istirahat, keduanya menjawab pertanyaan dan wawancara dengan majalah Gekidan yang meliput sesi pemotretan tersebut. Maya juga mencuri-curi waktu saat istirahat untuk mencoba kedua belas gaun yang dibawakan Akiko untuk pesta besok malam.

Tapi itu belum selesai, masih ada lagi syuting iklan produk sponsor yang harus Maya jalani. Ia bahkan makan malam di lokasi syuting.

Kegiatan hari ini selesai jam 10 malam dan Maya tiba di apartemennya setengah jam kemudian.

“Haaa….”

Bruk!! Maya membanting tubuhnya di atas tempat tidur. Lelah sekali… batinnya. Rasanya tulangnya rontok semua. Pak Masumi… rindu… Maya memejamkan matanya, mencari bayangan wajah kekasihnya. Rasanya pada saat seperti ini, Maya ingin sekali Masumi memeluknya. Merindukan kenyamanan saat pria itu mendekapnya.

Tidak lama kemudian, gadis itu jatuh tertidur.

=//=

Sawajiri memarkir mobilnya, mengamati jendela apartemen Rei yang masih menyala. Apa yang sedang dilakukannya? Mungkin… menghapal naskah? Pikirnya. Sawajiri sebentar berpikir apakah akan mengganggunya atau tidak. Akhirnya Ia memutuskan untuk masuk untuk sekedar menyapanya.

Di depan pintu ruang apartemen Rei, Sawajiri melihat dua pasang sepatu yang bukan milik Rei.

“Iya, sepertinya Maya sibuk sekali hari ini,” itu suara Rei.

“Oh, kau tahu dari mana?” sedangkan itu suara Taiko.

Terdengar Sayaka tertawa. “Tentu saja Rei tahu. Kalau pacarnya sibuk, berarti Maya juga sedang sibuk,” godanya.

Rei tahu wajahnya merona. “Mina juga sibuk ya? Pernikahannya kan sebentar lagi. Akhir tahun ini?”

“Oh, Rei, pernikahan Mina diundur sampai musim semi tahun depan. Mungkin bulan April,” terang Taiko.

“Oya? Ah… aku belum sempat bertemu Mina lagi.” Sesal Rei.

“Sudah ada dua teman kita yang akan menikah. Mina tahun depan dan Maya besok akan mengumumkan pertunangannya kan?” ujar Taiko.

“Rei! Apa kami juga akan mendapatkan segera undangan darimu?” Tanya Sayaka dengan semangat.

Raut wajah gadis tomboy itu tampak tidak tenang. “Entahlah, mmh… sebenarnya. Shin sudah mengatakan hal itu—“

Mata Sayaka membulat. “Waa!! Ternyata Rei dan Kak Sawajiri—“

“Belum tentu, Sayaka!” Potong Rei. “Aku sebenarnya sedang bingung sekali. Shin… mm… dia…” Rei menimbang-nimbang apakah akan bercerita atau tidak kepada teman-temannya. Akhirnya dia memutuskan untuk bercerita. “Entahlah, dia… mengajakku tinggal bersama. Aku sangat terkejut. Kami baru berhubungan beberapa bulan. Dan lebih jauh lagi, dia bilang mau berhenti dari Daito untuk menjadi manajerku, dan setelah syuting doramaku selesai, dia akan menemui kedua orang tuaku.”

“Wahh Rei!! Rupanya Kak Sawajiri sangat serius terhadapmu!” Seru Sayaka.

“Kau beruntung sekali. Itu artinya sebentar lagi kau—“

“Aku belum mengambil keputusan apa pun,” tegas Rei. “Seperti yang sudah kukatakan kepadanya, aku merasa semuanya terlalu cepat.”

Taiko menyetujui. “Iya, sih…”

“Mungkin dia memang sangat mencintaimu Rei.”

“Iya, mungkin… tapi aku merasa, sepertinya Ia tidak mempertimbangkannya baik-baik. Seperti, berhenti dari Daito… maksudku, bagaimana jika dia sudah berkorban sebanyak itu, ternyata hubungan kami tidak berhasil? Aku… masih belum yakin. Untukku semuanya masih terlalu cepat. Aku bahkan belum terlalu mengenalnya,” kata Rei perlahan. “Aku belum siap mengikuti kemauannya.”

“Srek!!” pintu apartemen Rei terdengar dibuka. Ketiga gadis itu serempak menoleh ke sana.

“Maaf mengganggu,” ujarnya. Sawajiri kepada Rei, “aku ingin mengambil kemejaku yang tertinggal.”

“Ah… ya…” Rei, gugup, segera berdiri.

“Halo Sayaka, Taiko,” sapa Sawajiri sebelum berlalu ke kamar Rei.

Sayaka dan Taiko saling berpandangan. “Ku, kurasa kami sudah harus pulang,” kata keduanya bersamaan kepada Rei.

Rei mengangguk. Sayaka dan Taiko lantas berpamitan. Apartemen keduanya hanya beberapa blok dari tempat Rei.

“Kau tahu, melihat Maya dan Rei, kurasa aku tahu tipe pria seperti apa yang kuidamkan,” ujar Sayaka saat keduanya sudah keluar dari apartemen Rei.

“Seperti apa?” tanya Taiko.

“Yang ekspresif.” Jawab Sayaka pasti.

Rei baru saja hendak masuk ke dalam kamar saat Sawajiri keluar dengan membawa kemeja miliknya.

“Mau dipakai ya?” tanya rei basa basi.

Karena itu basa-basi, Sawajiri tidak menjawabnya, hanya menatap tajam pada kekasihnya itu.

Rei tampak gugup. “Shin, sudah larut. Apa tidak menginap saja di sini?” tawarnya, seraya bertanya-tanya, apa Sawajiri mendengar percakapannya tadi.

“Aku mendengar pembicaraanmu dengan mereka,” terang Sawajiri, menerangkan sikap dinginnya.

Rei menelan ludahnya. “Shin…”

“Sudahlah, Rei,” katanya, terdengar lebih tenang. “Jangan memaksakan. Kalau kau tidak yakin dengan hubungan kita, kita akhiri saja.”

Rei tersentak mendengarnya. “A, apa maksudnya!? Shin, kau tidak bisa—“

Sawajiri bergerak, duduk di atas sebuah zabuton. Rei menghampiri, duduk di sampingnya. “Apa kau serius dengan ucapanmu?”

Sawajiri menoleh padanya. “Aku selalu serius dengan ucapanku.”
Baru kali ini, Rei merasakan hal seperti yang dirasakan hatinya. Sesak. Sakit. Ia yakin ia hampir menangis. “Begitu saja? mu, mudah sekali—“

“Rei. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang kau inginkan. Aku mengajakmu menjalani hubungan ini dengan serius, kau ragu. Ya sudah, kau ingin putus? Baik, putus saja.”

“Aku tidak pernah mengatakan aku ingin putus!”

“Lalu apa? Apa yang kau inginkan, Rei?” tekan Sawajiri.

“A, aku…” Rei merasa semakin bingung. “Aku hanya ingin menjalani hubungan kita, tidak dengan terburu-buru, Shin. Sampai kita merasa siap—“

“Dan kapan kau akan siap?”

Rei tertegun. “Mu, mungkin…”

“Kau tidak akan siap, sebelum kau memutuskan bahwa kau siap,” ujar Sawajiri. “Kalau kau hanya ingin menjalani hubungan ini tanpa arah,” sekilas pandangan Sawajiri tampak sendu. “Aku tidak bisa. Aku tidak bisa membuang-buang waktuku, juga waktumu, untuk sesuatu tanpa tujuan.” Pria itu meraih tangan Rei. “Kalau kau bilang belum siap, Rei, aku mengartikannya kau meragukanku. Kau masih tidak yakin kepadaku—“

“Bukan begitu, Shin—“ kilah Rei.

“Jadi untuk apa kau menjalani sesuatu yang tidak kau yakini? Aku sudah mengambil keputusan. Saat aku mengatakan bahwa aku mencintaimu, maksudku bukan hanya saat itu, atau sampai saat ini saja. Aku bermaksud mencintaimu sampai…” pria itu sejenak berpikir, “…nanti,” katanya serius. “Tapi aku pun tidak bisa bersama dengan orang yang tidak menginginkan hal yang sama denganku. Yang kuinginkan, saat kita memutuskan untuk bersama, itu berarti untuk selamanya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa depan, karena itu kita hanya bisa meyakini perasaan kita saat ini. Dan aku yakin Rei, perasaanku kepadamu cukup kuat untuk menghadapi apa pun yang akan kita hadapi nanti,” tangan pria itu berpindah ke pangkal leher Rei. “Tapi sepertinya kau tidak,” gumamnya, terdengar getir. “Aku tidak akan memaksamu, atau mendesakmu lagi Rei.” Sawajiri menurunkan tangannya, terdengar helaan nafas darinya yang jarang sekali dilakukannya. Pria itu lantas berdiri. “Selamat malam Rei, jaga dirimu baik-baik.”

Rei kembali menelan ludahnya. Tenggorokannya semakin tercekat. Dipandanginya punggung Sawajiri yang meninggalkannya. “Shin…” panggil Rei pelan.

Tapi pria itu tidak menoleh lagi. Ia segera pergi dari apartemen Rei. Gadis itu bergeming, hanya ditemani kekosongan. Kekosongan yang semakin lama semakin menelan dirinya. Ia merasa sangat kesepian. Tanpa disadari Rei mulai menangis.

=//=

Maya mengucek-ngucek matanya. Tidurnya benar-benar lelap. Ia lupa membersihkan diri namun tetap saja tidak sempat terbangun. Ia bahkan tidak bermimpi.

Maya mengangkat badannya bersandar pada kepala tempat tidur. Hari ini… hari yang ia tunggu-tunggu. Nanti sore, pementasan perdana Bidadari Merah. Ia akan memerankannya lagi. Senyuman bahagia memulas bibirnya. Dan selain itu, Masumi akan mengumumkan pertunangan mereka berdua. Maya menatap cincin di jari manisnya. Matanya terpaku di sana. Tidak peduli berapa lama Ia memandangnya, seberapa lebar matanya kini, namun tidak ada yang berubah. Cincin itu, tidak ada di sana. Hilang.

Maya terperanjat, mengangkat punggungnya. Dengan panik Ia membolak-balik telapaknya. Tidak ada! Nihil!

“Aduh…!! Cincinku…! Cincin pertunanganku dari Pak Masumi ada di mana…!?” Dengan panik Maya mencari ke sana kemari. Di tempat tidurnya, di kolong ranjang, di tasnya, hasilnya tetap sama.

Cincin cantik itu menghilang!

=//=


Maya segera membuka pintu saat pintu apartemennya diketuk.
Sawajiri ada di baliknya.
“Pak Sawajiri!” serunya, panik.
“Ada apa?”
“Aku, aku… aku bodoh…!” gadis itu tampak hendak menangis. “Aku seharusnya, lebih hati-hati, tidak ceroboh. Aku… hiks!” akhirnya Maya menangis. “Pak Masumi pasti akan kecewa kepadaku.”
“Ada apa? Jangan panik, Maya. Aku tidak mengerti. Katakan perlahan-lahan dan kalau ada masalah kita cari jalan keluarnya.” Sawajiri menarik Maya ke sofa.
“Ci, ci, cincinku…” Maya memperlihatkan jemarinya. “Cincin tunangan dari Pak Masumi, hilang…”
“Hilang!?”
“Hilang. Aku tidak ingat kapan aku melepasnya dan meletakkannya dimana. Aku sudah mencarinya di kamarku, di tas, dimana-mana. Aku tidak bisa menemukannya!” Maya kembali terisak.
“Cincin tunanganmu dari Pak Masumi… hilang?”
“Iya…”
“Sudah jangan menangis!” Ujar Sawajiri. “Apa kau ingat kapan terakhir memakainya?”
“Sudah kupikirkan. Malam sebelumnya saat aku di rumah Pak Masumi, aku masih memakainya.”
“Kemarin pagi aku masih melihatnya di jarimu, kurasa.”
“Iya, aku sempat melepasnya saat mandi, lalu aku yakin memakainya lagi. Saat mau gladi resik, aku melepasnya. Tapi saat istirahat, aku masih melihatnya di dalam tasku.”
“Aku tidak melihatmu memakainya di butik. Kau juga tidak memakainya saat pemotretan dan wawancara kan? Begitu juga saat syuting iklan. Jadi kemungkinan, cincinmu hilang di gedung sandiwara Bidadari Merah.”
“Tidak…” sanggah Maya. “Sesekali aku mengeceknya. Aku meletakkannya di dalam tasku, dan merabanya setiap kali agar tidak lupa. A, aku saat mau ke butik, masih merasakannya di tasku. Begitu juga saat pemotretan—“
“Setelah itu?”
“Tidak, aku tidak ingat mengeceknya lagi saat syuting iklan,” Maya kembali hendak menangis.
“Baiklah, tenanglah. Jadwalmu masih padat hari ini. Dan nanti sore pementasan perdana Bidadari Merah. Selain itu malamnya pesta—“
“Tapi tidak akan ada pesta pertunangan tanpa cincin. Pak Masumi pasti membenciku dan tidak akan ingin lagi bertunangan denganku.”
Kenapa para gadis selalu berpikir irasional, batin Sawajiri.
“Maya, kita bisa berdebat seharian dan cincin itu tidak akan ketemu, sementara kau masih punya banyak hal untuk dikerjakan. Karena itu, sebaiknya kita pergi sekarang juga dan bicarakan mengenai hal ini dalam perjalanan,” Sawajiri berdiri.
“Kak Sawajiri, tapi aku…”
“Aku manajermu, Maya. Dan aku tahu apa yang penting bagimu. Dan aku tahu ini hal yang penting untukmu. Karena itu aku akan mencarikan jalan keluarnya. Sekarang, kau harus bekerja. Kau harus profesional jika tidak ingin mengecewakan Pak Masumi.”
Maya mengepalkan tangannya. “Tapi dengan menghilangkan cincin itu, aku sudah mengecewakan Pak Masumi…”
“Kalau begitu, jangan mengecewakannya lebih banyak lagi.”
Maya tertegun. Ia akui Sawajiri benar. Masumi paling sedih jika Maya tidak bisa bekerja. Akhirnya Maya bangkit mengikuti Sawajiri.
“Bagaimana jika beritahukan saja hal ini kepada Pak Masumi? Dia pasti tahu apa yang terbaik untuk dilakukan,” kata Sawajiri saat keduanya dalam perjalanan untuk melakukan tes kesehatan bagi Maya.
“Me, memberi tahu Pak Masumi!? Tidak! Tidak! Kak Sawajiri, tolong jangan mengatakan apa-apa mengenai hal ini. A, aku merasa bodoh sekali sudah menghilangkannya. Dan aku tidak mau Pak Masumi kecewa—“
“Dan kalau cincinnya tidak ketemu? Sedangkan nanti malam kau akan secara resmi mengumumkan pertunangan kalian. Mereka pasti ingin melihat cincinnya.”
“Tidak, aku akan membujuk Pak Masumi agar tidak mengumumkan pertunangan kami malam ini—“
“Itu, Maya, baru tindakan bodoh,” ujar Sawajiri tegas.
“Ta, tapi…”
“Semua yang terlibat produksi Bidadari Merah tahu kau akan bertunangan malam ini. Tapi mereka tidak tahu cincinnya. Karena itu, akan lebih mudah mengganti cincinnya daripada mengganti susunan acaranya. Kau mengerti?”
“Ta, tapi.”
“Sudah kuputuskan. Aku akan bicara kepada Pak Masumi. Kurasa dia tidak akan keberatan mencari cincin yang lain.”
“Aku tidak mau cincin yang lain. Aku mau yang itu!”
Gadis ini bisa jadi sangat keras kepala!
“Baiklah. Akan kupikirkan. Tapi aku harus mendampingimu sampai selesai. Jadi aku tidak tahu kapan kita ada waktu mencari cincinmu—“
“Tidak apa-apa. Aku bisa sendirian. Kak Sawajiri tolong carikan saja cincinnya—“
“Aku tidak percaya padamu,” ujar Sawajiri. “Kau begitu mudah dialihkan perhatiannya dan  sering sekali melamun apa lagi jika sedang memikirkan sesuatu seperti sekarang. Karena itu aku tidak bisa meninggalkanmu kecuali aku bisa menemukan seseorang yang bisa mengawasimu dengan baik.”
“Tapi Kak—“
“Sudah sampai, ayo cepat turun.” Sawajiri keluar dari mobil. Disusul oleh Maya. Keduanya lantas masuk ke dalam rumah sakit.
“Kau tenang saja, lakukan semua yang harus kau lakukan dan aku akan coba mencari jalan keluarnya.”
Maya mengangguk.
Sawajiri menunggu di luar sementara Maya menjalani pemeriksaan untuk kesehatannya. Pria itu mengeluarkan handphonenya. Menimbang sebentar, tapi dia tahu dia tidak ada waktu. Akhirnya Sawajiri menekan salah satu nomor di daftar kontaknya.
=//=
“Shin!”
Sawajiri menoleh. Rei menghampiri dengan terburu-buru. Ia bernafas dengan terengah. “Aku datang secepatnya!” katanya.
“Iya, terima kasih Rei. Maaf, jika bukan darurat aku mungkin tidak akan meminta—“
“Tidak apa-apa,” potong Rei. “Maya kan temanku. Dan aku sedang tidak ada jadwal hari ini. Aku bisa menemaninya sampai pementasan nanti.”
“Kuharap aku akan bisa menemukan cincin itu secepatnya.” Sawajiri mengeluarkan daftar di tangannya. “Ini jadwal Maya untuk hari ini. Jadwalnya padat, tolong diperhatikan apa yang harus dia kerjakan dan apa yang harus kau kerjakan. Maya kadang harus dibuat bergegas karena dia suka memikirkan hal yang tidak penting untuk pekerjaannya—“
“Iya, Shin, aku tahu. Aku sudah tinggal bersamanya selama 7 tahun sebelumnya.”
“Ah, ya, maaf… Aku hanya harus mengatakannya. Dia juga susah makan kalau sedang memikirkan sesuatu jadi sebisa mungkin sempatkan dia makan. Dan Pak Masumi biasanya mengirimkan mawar ungu sekitar jam setengah 12 siang. Dimana pun dia berada saat itu. Sepertinya mawar ungu hari ini akan membuat Maya sedih karena teringat cincinnya. Jadi tolong katakan apa saja untuk menenangkannya. Yang pasti Rei, buat dia tetap bekerja. Aku tahu kau bersimpati padanya, tapi kau harus ingat. Aku percaya padamu. Aku mempercayakan Maya kepadamu. Dan dia harus menyelesaikan semua pekerjaannya hari ini.”
“Baik Shin, aku mengerti,” Rei mengamati jadwal Maya di tangannya. “Aku akan berusaha agar Maya bisa menyelesaikan semua pekerjaannya tepat waktu.”
“Terima kasih,” kata Sawajiri.
Keduanya lantas terdiam. Tidak ada yang bersuara. Rei mulai merasa canggung, dan dia tidak menyukainya. “Apa masih lama, pemeriksaannya?” tanya Rei akhirnya.
“Kurasa sebentar lagi. Dia sudah cukup lama di dalam sana.”
Sepi lagi.
“Shi, Shin…” Rei menoleh. “Mengenai semalam…”
“Rei, aku tidak ingin membicarakannya,” potong Sawajiri. “Aku memintamu datang bukan untuk membicarakan masalah kita, tapi masalah Maya. Aku sedang bekerja sekarang.” Katanya dingin.
Rei terdiam. Hatinya merasa sakit. Tidak pernah dia merasa sesakit ini karena tidak bisa berbicara dengan seseorang. Apa Shin sama sekali tidak merasakan seperti yang kurasakan? Pikirnya. Dia bahkan tidak bertanya mengenai kabar Rei.
Maya kemudian keluar dengan seorang dokter. Maya tampak terkejut melihat ada Rei di sana. Dokter lantas menjelaskan kepada mereka bahwa semuanya baik-baik saja. “Pita suaranya pun sudah baik. Walaupun seharusnya diistirahatkan, namun Nona Maya sudah menjelaskan bahwa beberapa adegan tidak mengharuskan dia berbicara dan berteriak di panggung, saya rasa keadaannya sudah baik.”
“Terima kasih, Dokter,” kata Sawajiri, lega. “Maya, untuk hari ini aku sudah meminta Rei menggantikan aku untuk menjadi manajermu. Aku akan mencari cincinmu di gedung pertunjukan dan butik juga tempat syuting iklan kemarin. Aku juga akan mencari ulang di apartemenmu, kalau-kalau kau lupa meletakkannya di mana saja.”
“Kak Sawajiri, ka, kalau kau ke apartemenku, tempat cincin itu ada di laci lemari bajuku. Di sana ada tas bertulisan cartier, Di dalamnya, ada desain cincin tersebut. Kalau cincinnya tidak ketemu. Bisakah kak Sawajiri pergi ke galeri Cartier dan memesankan cincin yang sama? A, aku masih punya cek bayaran Bidadari Merah yang belum kugunakan.”
Sawajiri menatap Maya tidak yakin. “Akan kuusahakan. Tapi itu adalah pilihan terakhir. Aku tidak yakin mereka punya cincin yang sama…”
“Kumohon… Aku tidak mau membuat Pak Masumi kecewa lagi kepadaku…”
“Baiklah, Maya. Aku akan melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan. Sekarang aku pergi dulu. Kau pakai mobil yang  ada di tempat parkir, aku kembali dulu ke apartemenku untuk menggunakan mobilku. Hubungi aku jika ada apa-apa. Ingat untuk menjaga dirimu baik-baik selama bekerja, Maya,” pandangannya beralih kepada Rei. “Kau juga, Rei.” Katanya.
Sawajiri lantas pergi meninggalkan kedua gadis itu.
Rei mengamati punggung Sawajiri yang menjauh. Tanpa disadarinya dia mendesah. Ia menoleh, dan mendapati Maya yang juga sedang termenung dan tampak galau. Baiklah! Dia sudah berjanji membantu Sawajiri. Dua orang gadis yang putus asa tidak akan bisa menyelesaikan tugas dengan baik.
“Ayo Maya, kita bergegas. Kau masih punya banyak hal untuk dikerjakan.”
“Baik, Rei.”
“Jangan memasang wajah seperti itu! Bagaimana jika tertangkap wartawan? Mereka akan mengira terjadi sesuatu pada Bidadari Merah atau hubunganmu dan Pak Masumi.”
“Rei…” Maya merajuk.
“Jangan merajuk! Aku tidak akan memanjakanmu hari ini, Maya. Aku menyayangimu, karena itu aku akan memastikan semua pekerjaanmu selesai dengan baik. Aku yakin, itu juga yang diinginkan Pak Masumi.”
Maya terdiam, lantas mengangguk.
“Ayo,” Rei beranjak, dan Maya mengikuti.
“Rei,” panggil Maya.
“Iya?”
“Kau semakin mirip saja dengan Kak Sawajiri,” gadis itu berujar polos.
Rei menghembuskan nafasnya kasar. “Dan aku baru menyadari, memang orang seperti Pak Masumi dan Shin yang sesuai untuk mengurus gadis sepertimu, Maya.” Dia lalu tersenyum.
=//=
Sepanjang hari itu Rei berusaha keras membuat Maya menyelesaikan semua pekerjaannya dengan baik. Dari mulai menjadi bintang tamu untuk mengiklankan pementasan Bidadari Merah, wawancara radio, majalah, sampai konferensi pers yang diadakan Daito.
“Ini adalah kegiatan promosimu yang terakhir,” terang Rei siang itu. “Setelah itu kita akan menuju ke gedung pementasan dan mengikuti pertemuan dan instruksi terakhir dari Pak Kuronuma.”
“Rei, apa Pak Masumi sudah tiba?”
“Belum.”
“Dia juga belum mengirimiku bunga hari ini.”
Maya benar. Tidak ada kiriman mawar ungu seperti yang Sawajiri katakan.
“Mungkin aku ingin menyerahkannya sendiri?”
Maya dan Rei menoleh ke arah pintu.
“Pak Masumi!” seru Maya.
Pria itu tersenyum lebar, dengan buket Mawar Ungu di tangannya. Ia berjalan mendekati.
Entah kenapa, bahkan hingga sekarang, Masumi masih saja mampu membuat jantung Maya berdebar-debar sangat keras jika melihatnya. Penuh kerinduan, penuh cinta.
“Selamat siang, Pak Masumi,” Rei menyapa formal, mengingat dia sekarang bekerja pada Doremi yang sudah menjadi anak perusahaan Daito.
“Siang Rei, kenapa kau di sini? Mana Sawajiri?” Masumi mencari sosok berwajah tanpa emosi itu.
Maya langsung gugup. “A, i, anu, Kak—“
“Kak Sawajiri sedang ada urusan mendadak,” Rei memutar otaknya. “A, ada urusan keluarga, se, sedikit mendesak. Tapi dia bilang akan kembali sebelum pementasan.”
Urusan keluarga? Masumi berpikir. Sawajiri bukan orang yang akan mengalihkan tanggung jawabnya begitu saja. Ia bahkan berkeras menunggui Maya di rumah sakit sampai tahu kabarnya dan tetap mempromosikan serta mencarikan pekerjaan untuk Maya bahkan saat gadis itu tidak bisa bicara. “Begitu,” ujar Masumi. “Terima kasih Rei.”
“Ba, baiklah saya permisi dulu, saya…” Rei melihat daftar dan membacanya. “Harus mengecek apakah ruang konferensinya sudah siap dan tidak ada sesuatu pun yang akan mencelakai Maya. Mengecek lampu, mic, meja, kursi, serta pertanyaan wartawan,” Rei membacanya dengan nada tidak percaya. Ia tidak mengerti kenapa Sawajiri bekerja sedetail ini. Sebelumnya Rei bahkan memeriksa agar renda di pakaian Maya tidak ada yang keluar dari jalurnya atau lepas jahitannya. Tapi Rei sudah berjanji mengambil alih tugasnya.
Masumi tersenyum. “Baiklah.”
Rei akhirnya keluar menuju ruang konferensi.
“Untukmu,” Masumi menyerahkan buket Mawar Ungunya.
“Terima kasih,” Maya menerimanya, namun tidak berani menatap Masumi. Ia masih merasa bersalah dengan hilangnya cincin tunangan dari Masumi. Mengingatnya lagi, Ia sungguh menyesal dengan begitu cerobohnya dia dan juga jadi ingin menangis.
“Hei, ada apa?” tanya Masumi. “Sebentar lagi kau akan berhadapan dengan kamera, kenapa wajahmu—“
“Ti, tidak,” Maya membuang mukanya. “A, aku hanya sangat bahagia akhirnya hari ini datang juga, aku jadi terharu…” Maya berbohong.
“Tapi jangan menangis, Sayang. Simpan air mata harumu untuk nanti malam. Setelah kau sukses memerankan Bidadari Merah, setelah kita mengumumkan—“
“Pak Masumi,” Maya berusaha menatap pria itu. “Ku, kurasa—“
Masumi tampak curiga. “Iya?”
“Me, mengenai pengumuman—“
“Semua sudah siap, Pak Masumi, mereka sudah menunggu,” kali ini Mizuki yang tiba-tiba muncul yang bicara.
“Sebentar, Mizuki.”
“Tapi Pak—“
“Se,ben,tar.” Masumi menatap tajam. “Ada apa, Maya?” tanya Masumi, kembali beralih kepada Maya.
Maya tersenyum gugup. “Ti, tidak apa-apa. Kurasa kita harus segera ke tempat konferensi. Tidak enak kalau terlambat,” kata Maya.
Masumi mengamati Maya sebentar. “Baik, aku menyusul. Kau ke sana terlebih dahulu dengan Mizuki.”
“Pak Masumi…”
“Tidak apa-apa, sebentar lagi aku menyusul. Ada yang harus kulakukan,” Masumi tersenyum.
Maya mengangguk dan keluar dari ruang tunggu dengan Mizuki.
Masumi mengangkat handphonenya. Menunggu beberapa saat.
“Halo, Hijiri…”
=//=
“Shin, sebentar lagi Maya akan konferensi pers. kau sedang dimana sekarang?” Rei bertanya melalui handphonenya.
“Aku baru keluar dari Cartier. Aku sudah mencarinya dan tidak ketemu. Nihil. Akhirnya aku pergi ke Cartier seperti yang Maya minta, aku menunjukkan desainnya.”
“Lalu?”
“Mustahil dapat cincin itu lagi. Pihak Cartier mengatakan, perlu waktu 2 minggu untuk mendapatkan cincin yang sama dan hanya Pak Masumi yang bisa meminta mereka membuatkannya lagi.”
“Apa? Hanya Pak Masumi?”
“Iya. Pak Masumi mematenkannya. Hanya dia yang bisa memesan cincin model tersebut.”
“Ya ampun…” Rei mendesah keras. “Kalau begitu, tidak ada cara lain selain mengatakan semuanya kepada Pak Masumi.”
“Kurasa begitu, walaupun mustahil mendapatkan cincin itu lagi, setidaknya Pak Masumi bisa membeli cincin yang lain.”
“Kurasa Maya tidak akan mau cincin yang lain.”
“Iya, Rei. Tapi minimal butuh dua minggu untuk mendapatkan cincin yang sama, dan acara pertunangannya nanti malam.”
“Jadi? Kau akan bicara dengan Pak Masumi?”
“Bukan aku yang harus bicara, tapi Maya. Kalau bisa, bujuk dia agar bicara dengan Pak,” ucapan Sawajiri terhenti. “Ah, tidak, jangan dulu katakan apa-apa kepada Maya. Aku takut pekerjaannya menjadi kacau. Katakan saja aku sedang mencarinya sekarang. Dia sudah makan?”
“Sudah, sedikit susah, tapi dia makan. Cukup banyak. Semuanya baik-baik, Shin,” Rei menenangkan.
“Kau sudah makan?” Ia bertanya lebih lembut.
Rei tertegun. “Sudah,” jawab Rei, juga lebih lembut.
“Baiklah, terima kasih Rei. Aku akan mencoba mencari sekali lagi. Aku akan kembali sebelum pementasan, dengan atau tanpa cincin itu.”
“Baiklah, hati-hati,” pesan Rei. Ia menutup handphonenya dan mengalihkan pandangannya kepada konferensi yang sudah mau dimulai.
Konferensi dimulai saat Masumi memasuki ruangan. Sudah ada Maya, Sakurakoji dan Kuronuma di sana serta para pemain Bidadari Merah lainnya. Masumi duduk di samping Kuronuma.
Dengan senyuman di wajahnya, Moderator mulai membuka. “Selamat siang, rekan-rekan semuanya. Terima kasih untuk kehadirannya. Akhirnya hari ini tiba juga, saat yang telah dinanti-nantikan oleh begitu banyak orang. Nanti sore, tepatnya jam 5.30 adalah pentas perdana dari sebuah mahakarya abadi karya Ichiren Ozaki, sandiwara Bidadari Merah. Hari ini, telah hadir di sini orang-orang yang berperan penting dalam pagelaran kali ini. Pak Masumi Hayami, selaku produser eksekutif dari Daito, Sutradara, Pak Ryuzo Kuronuma, Serta Maya Kitajima yang menjadi pemeran utama sebagai Akoya sekaligus Bidadari Merah, dan Sakurakoji Yuu sebagai Isshin. Kami akan memberikan kesempatan kepada Pak Masumi Hayami, untuk berbicara mengenai proyek pementasan ini. Silahkan Pak Masumi.”
Masumi mengangguk. Ia berjalan ke tengah panggung. “Selamat siang,” sapanya. Ia lantas mulai menyampaikan beberapa hal. Kemudian Kuronuma, Maya, dan Sakurakoji. Setelah pembawa acara menanyakan beberapa pertanyaan, kesempatan bertanya diberikan kepada para wartawan. Konferensi berjalan dengan baik.
“Maya, apa kau dan Pak Masumi sudah kembali berhubungan spesial? Katanya kalian sudah berbaikan dan kau pernah terlihat memakai cincin, apa itu cincin pertunangan? Kalau benar, kenapa hari ini kami tidak melihat cincin itu. Apa kau menyembunyikannya?” tanya seorang wartawan.
Masumi mengeratkan rahangnya. Selalu saja ada yang melanggar jalur, pikir Masumi.
“Ahh… a, aku,” Maya gugup, menoleh pada Masumi yang terpisah dua bangku darinya.
“Biar aku yang menjawab,” kata Masumi. Ia menegakkan badannya. “Aku akan bicara sekali dan kuharap tidak akan ada pertanyaan lanjutan mengenai hal ini,” Ia tersenyum tipis. “Saya dan Nona Maya memang memiliki hubungan khusus. Tepatnya, ikatan khusus. Dengan kata lain dia adalah kekasih saya. Yang berarti, tentu saja dia calon istri saya.”
Ruangan terdengar riuh.
“Tapi kami berusaha profesional. Pada saatnya kami bekerja, kami bekerja. Oleh karena itu, konferensi hari ini adalah mengenai Bidadari Merah, aku harap rekan-rekan semua tetap fokus pada hal itu. Walaupun begitu, tidak ada hal yang harus disembunyikan mengenai kenyataan bahwa saya dan Maya memang saling mencintai.” Ia menoleh pada wartawan yang bertanya. “Tolong kata-kata saya dikutip baik-baik. Dengan cincin, atau tanpa cincin, Maya Kitajima adalah calon istri saya. Jadi jika kalian nanti melihatnya mengenakan cincin dan lain waktu melihatnya tanpa cincin, tidak usah dipermasalahkan. Hal itu tidak ada kaitannya dengan kenyataan kami berdua saling mencintai dan sudah siap untuk saling mendampingi dan hidup bersama.”
“Hidup bersama? Seperti menikah atau—“
“Tidak ada pertanyaan lanjutan,” Masumi menekankan. Dingin. “Akan ada saatnya untuk hal itu. Selanjutnya hanya pertanyaan mengenai Bidadari Merah yang akan ditanggapi.”
Moderator mengambil alih. “Baiklah, pertanyaan berikutnya mengenai Bidadari Merah?”
Beberapa wartawan mengacungkan jarinya.
Maya melirik kepada Masumi sebentar.
[“Dengan cincin, atau tanpa cincin, Maya Kitajima adalah calon istri saya.”]
Pak Masumi... Apa yang harus kulakukan kalau sampai nanti malam cincinnya tidak ketemu… batin Maya.
Mizuki mengamati konferensi pers tersebut. Tampaknya berjalan lancar. Tiba-tiba seorang wartawan terlihat meninggalkan ruangan. Mizuki tertegun. Ia merasa mengenalinya. Eh, Pak Hijiri? Sedang apa dia di sini… dan mau kemana dia? Mizuki mengalihkan pandangannya sebentar kepada Masumi di atas panggung. Tampaknya konferensi masih akan berlangsung beberapa puluh menit lagi. Mizuki akhirnya memutuskan untuk membuntuti Hijiri.
=//=


Mizuki membuntuti Hijiri beberapa waktu. Ia masuk ke sebuah ruangan dan tidak lama kemudian keluar lagi. Mizuki tetap mengikutinya sampai Mizuki kemudian melihat Hijiri berbelok dan menghilang.
Lagi-lagi… pikir Mizuki, kecewa dan menghela nafasnya.
“Kau membuntutiku?”
Mizuki terperanjat, dan berbalik. Hijiri sudah berdiri di belakangnya. Mizuki tidak bisa menyembunyikan sikap slaah tingkahnya.
“Aku tidak tahu kau begitu tertarik kepadaku,” ujar Hijiri.
“Bukan,” sanggah Mizuki cepat. “kupikir, jika kau ada di sini, mungkin ada sesuatu? Ada masalah yang… tidak begitu… baik?’
Sudut bibir Hijiri bergeser 2 milimeter. “Jadi aku sudah menjadi semacam… pertanda buruk?” tanyanya tenang.
Mizuki tertegun. “Bukan, maksudku… apakah terjadi sesuatu yang penting?” tanyanya.
Selalu ingin tahu… pikir Hijiri, sudah mulai hapal tabiat sekretaris pribadi Masumi itu.
“Kalaupun demikian, aku tidak berhak memberi tahu siapa-siapa,” kata Hijiri.
“Apakah terjadi sesuatu?” Desak Mizuki.
Hijiri bicara perlahan dengan nada ditekan. Berrahasia. “Nona Mizuki, kita tidak boleh terlihat bersama, apalagi berbicara seperti saat ini, dan kau benar, ada sesuatu yang mendesak. Aku harus permisi,” pamit Hijiri.
“Pak Hijiri—“
Hijiri tidak menghiraukan dan berlalu. Mizuki mengamati punggungnya menjauh. Sebenarnya ada apa…? Ia merasa gelisah.
=//=
Konferensi pers selesai dan semua kembali ke belakang ruang konferensi setelah beberapa sesi foto bersama pihak-pihak yang terlibat.
Maya segera menghampiri Rei. “Rei, apakah sudah ada kabar dari Kak Sawajiri?”
“Maya, Shin bilang—“
“Maya!” panggil Masumi, menghampiri.
Kedua gadis itu menoleh. “Pak Masumi…”
Masumi mendekati keduanya dan bicara pada Rei. “Rei, Mizuki akan naik mobil bersamamu ke teater. Maya akan naik mobilku. Bersamaku,” pandangannya beralih pada Maya.
Maya tekejut. Ia melirik sebentar pada Rei. “Pak Masumi, apakah—“
“Ada yang ingin kubicarakan. Ayo.” Masumi menegaskan. Ia lalu menggenggam tangan Maya. “Kau mengerti kan Rei?”
Rei ragu-ragu mengangguk.
Masumi membawa serta Maya bersamanya dan keduanya mulai melangkah pergi. “Pak Masumi, kita—“ Maya sedikit canggung dengan perhatian yang diperolehnya dari orang-orang sekitarnya saat melihat Ia dan Masumi berjalan bersama.
Masumi menoleh kepada Maya, tersenyum tipis. “Apa aku berjalan terlalu cepat untukmu?” tanyanya penuh perhatian.
Maya tertegun, menggeleng. “Tidak, Pak Masumi,” Maya menggenggam erat tangan yang kuat itu dan mempercepat langkahnya hingga sejajar Masumi.
Wartawan-wartawan tampak tidak pernah kehabisan baterai recorder ataupun kamera foto mereka, kembali memburu Masumi dan Maya, bertanya mengenai ini itu, memotret keduanya yang sedang bersama.
“Kami menunggu kehadiran semua orang untuk datang di pementasan Bidadari Merah malam ini. Silahkan datang dan saksikan,” hanya itu yang keluar dari mulut Masumi dan tidak menghiraukan pertanyaan apa pun lagi dari para kuli tinta tak bertinta itu. Selanjutnya sepasang kekasih itu tidak mengatakan apa-apa lagi hingga masuk ke dalam mobil Masumi yang telah disiapkan dan pergi dari sana.
Maya duduk di samping Masumi. Ia sangat merindukannya. Saat ia sedang mengamati wajah Masumi dan berpikir demikian, Masumi menoleh. Maya agak tertegun dan kemudian tersenyum tipis. Masumi kembali meraih tangan Maya dan menggenggamnya. Maya mengamati tangan mereka yang bertumpuk.
Tiba-tiba Masumi menarik kepala Maya dan menyandarkannya di dadanya. “Kita bisa seperti ini sampai di teater,” ujarnya.
Maya merasa sangat bahagia. Ia memeluk Masumi. “Benar tidak apa-apa seperti ini?”
“Benar,” Masumi mengusap lengan Maya. “Sayang, apakah ada sesuatu? Kau ada masalah?” tanya Masumi. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu menegang.
“A, apa maksudmu ada masalah?” Maya balik bertanya. “Aku tidak mengerti,” Maya menundukkan kepalanya lebih dalam.
“Aku tidak baru mengenalmu semalam, dan hubungan kita pun bukan baru satu dua hari,” kata Masumi. “Kau itu tunanganku, Maya. Calon istriku. Aku tahu jika ada sesuatu mengganggu pikiranmu,” kata Masumi lembut.
Maya terdiam. Dia semakin merasa bersalah telah menghilangkan cincin itu.
“Jadi, ada apa?” tanya Masumi.
Maya menelan ludahnya. Tepatkah dia mengatakannya sekarang? Dia belum mendengar kabar dari Sawajiri dan belum sempat bertanya kepada Rei. Mungkin Sawajiri sudah menemukannya?
“Maya,” panggil Masumi.
Maya mengangkat wajahnya, bertatapan dengan tunangannya. “Aku, hanya gugup, Pak Masumi. Setelah sekian lama, sekarang aku memainkan Bidadari Merah lagi, dan ada banyak hal yang baru pertama kali aku lakukan dalam pentasku. A, aku jadi… agak gugup.”
Masumi menyelami mata Maya. “Begitu,” gumamnya. “Tenanglah, aku yakin kau bisa. Aku percaya kau mampu berakting dengan sebaik-baiknya dan menyukseskan pementasan ini,” Masumi meyakinkan. “Jadi jangan risau. Lakukan saja seperti biasa. Maya yang mencintai akting, dan bermain drama sepenuh hatinya. Itu yang selalu mempesonaku,” kata Masumi. “Dan ribuan orang lainnya,” Masumi menenangkan.
Maya merasa terharu, mengetatkan pelukannya. Pak Masumi… bagaimana ini? Kebaikan hatimu malah membuatku merasa… bahwa aku ini memang selalu menyusahkanmu, batin Maya.
“Sawajiri sudah menyiapkan pakaian untuk kau kenakan saat pesta nanti malam?” tanya Masumi.
“Sudah,” jawab Maya. Jantungnya berdebar-debar, teringat mereka akan secara resmi mengumumkan pertunanganya.
“Cincinnya tidak lupa kau bawa?” tanya Masumi.
Deg! Maya terdiam. Cincinnya…
“Pak Masumi, nanti apa yang akan Pak Masumi lakukan sebelum pementasan Bidadari Merah?” tanya Maya, mengalihkan perhatian.
Dia berhasil.
“Aku akan memastikan semuanya berjalan dengan lancar dan sesuai rencana. Mendengarkan laporan terakhir dari para kru mengenai pementasan ini dan mencoba menyelesaikan masalah jika ada seuatu yang di luar rencana, sementara kau bersiap-siap dan membaca naskahmu terakhir kali sebelum pentas dimulai.”
“Sibuk sekali,” ujar Maya.
“Iya. Demi Bidadari Merah, kita harus melakukan yang terbaik.”
Maya sekali lagi mengangguk. “Paman akan datang?”
“Tentu. Ayah sudah kuberikan kursi yang strategis. Ia tidak sabar. Ia juga penggemarmu sekarang.”
Maya tersenyum. Tapi pikirannya tidak juga beranjak dari cincin itu. Bagaimana jika Sawajiri tidak menemukannya? Bagaimana jika Masumi mengetahuinya dan akan berang kepadanya? Berbagai kemungkinan berkelebat di kepala Maya mengenai hilangnya cincin tersebut. “Pak Masumi, nanti malam sepertinya akan sangat ramai, dan karena ini pementasan perdana, ba, bagaimana kalau kita fokus pada pementasannya saja du, dulu?” tanya Maya.
Masumi tertegun. “Apa maksudmu?” tanya Masumi.
“Ma, maksudku, apakah kita harus mengumumkan pertunangan kita nanti malam? Ma, maksudku, bukankah lebih baik kita memikirkan Bidadari Merah saja dulu? Karena—“
Masumi menatap tajam. “Apa kau berniat membatalkan pertunangan kita?”
“Tidak, tidak, bukan!” Sanggah Maya. “Maksudku, ki, kita lakukan satu-satu.”
“Kita sama-sama tahu Maya. Kau dan aku sangat sibuk. Dan jika pentasmu sukses, percayalah padaku, bahkan bertemu saja kita akan sulit. Apalagi membicarakan dan merencanakan pesta lainnya. Aku tidak tahu kapan kita bisa mengadakan pesta pertunangan. Lalu persiapan pernikahannya, kapan? Pernikahannya? Dan kapan kita akan jadi suami istri kalau begini. Kapan kau akan jadi milikku?” desan Masumi. “Aku sudah tidak mau menunggu lagi. Apalagi aku sangat mengenalmu.” Masumi memeluk Maya erat. “Aku tidak mau kau pergi lagi dengan alasan yang tidak masuk akal!” tegasnya.
“Pak, Pak Masumi, bukan membatalkannya, hanya menun—“
“Sudah sampai Pak,” kata Oshima.
“Kita bicarakan lagi nanti,” Masumi melonggarkan pelukannya. “Dengar Maya. Kau jangan mengkhawatirkan apa pun soal pertunangan. Kita hanya harus hadir, mengumumkan bahwa aku sudah melamarmu dan kita sekarang bertunangan, memperlihatkan cincinnya, dan berpesta seperti biasa. Itu saja. Jangan terlalu membebani pikiranmu, Sayang,” kata Masumi.
Maya terdiam, lantas mengangguk.
Keduanya turun dari mobil. Sekali lagi Masumi menggandeng tangan Maya ke dalam.
“Selamat sore,” sapa resepsionis yang melihat mereka.
Maya dan Masumi mengangguk lantas berlalu.
“Kita harus bekerja lagi sekarang,” kata Masumi. “Sampai jumpa nanti malam Sayang. Aku akan menemuimu di ruang ganti.”
Maya mengangguk, menatap kekasihnya dengan merindu. “Sampai nanti.” Maya melangkah ke tempat para pemain berkumpul.
Masumi pergi ke bagian perlengkapan. Dalam perjalanannya Ia menghubungi Hijiri. “Bicaralah, Hijiri.”
=//=
“Jadi Pak Sawajiri juga tidak menemukannya?” tanya Maya kepada Rei. Putus asa.
Rei dengan muram menggeleng. “Ia sudah mencari di semua tempat yang pernah kau kunjungi. Tidak ada. Dia juga sudah ke Cartier dan dikatakan cincinmu itu tidak bisa dipesan lagi kecuali oleh Pak Masumi sendiri karena dia sudah mematenkannya.”
“Apa?”
“Iya Maya, kekasihmu itu—“
“Jadi bagaimana?” Maya mulai panik lagi. “Kalau cincinnya tidak ada nanti malam, dan… dan… Pak Masumi sama sekali tidak mau membatalkan pesta pertunangan kami. Ia bersikeras meresmikan pertunangan kami nanti malam.”
“Tentu saja Maya, kenapa dia harus membatalkannya? Kecuali kau katakan kepadanya sesegera mungkin bahwa cincinnya hilang agar dia bisa segera membeli gantinya.”
“Tapi aku sangat menyayangi cincin itu. Pak Masumi membuatkannya khusus untukku. Dia membuatnya dengan memikirkan aku.”
“Sekarang bukan saatnya untuk hal-hal yang sentimentil Maya. Kau harus mengatakan kebenarannya kepada Pak Masumi dan dia pasti akan segera mencarikan jalan keluarnya,” kata Rei.
Maya menghela nafasnya. Selalu saja seperti ini. Ia yang mencari masalah dan Masumi yang menyelesaikannya. Maya kembali jadi merasa tidak berguna. “Mungkin nanti akan kukatakan, kalau waktu Pak Masumi sudah agak senggang. Sekarang sepertinya dia masih banyak pekerjaan.”
“Pasti pekerjaannya banyak, Maya! Ini mau pementasan Bidadari Merah! Setidaknya dia masih punya 5 jam sebelum pesta syukurannya nanti malam. Dia bisa melakukan sesuatu, misalnya memesan cincin penggantinya.”
Maya terdiam, mengangguk. “Baiklah, aku akan mengatakannya.” Akhirnya Maya mengambil keputusan. “Aku akan menghubunginya dan menanyakan dimana keberadaannya,” Maya mengulurkan tangannya, meminta hapenya dari Rei. Rei memberikannya.
Maya lantas menghubungi Masumi. Tapi telepon kekasihnya itu terdengar sibuk. Maya mencoba beberapa kali lagi dan masih saja sama. Akhirnya Ia mencoba menelpon sekali lagi dan masih sama saja. Maya menghela nafasnya. “Sibuk. Mungkin Pak Masumi sedang mengurus sesuatu yang penting.”
“Iya Maya. Bidadari Merah,” ujar Rei.
=//=
Masumi memutuskan hubungannya dengan kepala pengelola gedung terkait cat yang sedikit mengelupas yang sempat tertangkap matanya dan memarahinya habis-habisan sebelum kemudian menghubungi Hijiri.
“Bagaimana, Hijiri?”
“Iya Pak, saya sudah melihat dari cctv, memang ada beberapa orang yang tidak berkepentingan dengan Bidadari Merah yang masuk ke ruang latihan Bidadari Merah saat Nona Maya ada di sana. Tapi karena tidak ada cctv di ruang latihan, saya tidak tahu apakah ada yang menyelinap ke ruang ganti atau tidak. Sedangkan di tempat pemotretan memang suasananya nampak riuh, tapi tas nona Maya dititipkan pada Sawajiri dan tidak ada yang aneh. Kecuali Sawajiri yang mengambilnya, saya rasa kemungkinan ada yang mengambil cincin itu sangat sedikit. Demikian juga saat syuting iklan. Tas Nona Maya dipegang oleh Sawajiri.”
“Begitu. Aku tidak bisa bertanya kepada Maya kapan Ia melihat cincinnya. Ia masih tidak mau bicara kepadaku, dan aku tidak mau mendesaknya. Aku takut dia merasa aku menekan dan menyalahkannya,” kata Masumi. “Baiklah, kurasa aku akan memesan cincin yang lainnya saja. Aku akan meminta Mizuki membelikannya jika sampai pementasan dimulai cincinnya masih belum ditemukan.”
“Baik, Tuan.”
Masumi menghela nafasnya dan Ia segera beranjak untuk pekerjaan selanjutnya.
=//=
“Shin! Kau sudah kembali!” Seru Rei.
“Iya, Rei. Bagaimana Maya?”
“Ia sedang mendengarkan beberapa instruksi terakhir dari Pak Kuronuma sebelum bersiap-siap,” terang Rei. “Dia masih saja gelisah, karena masalah cincinnya dan juga karena belum bisa bertemu Pak Masumi. Ia ingin memberitahukan masalah cincin itu tetapi Pak Masumi sangat sulit dihubungi.”
Tiba-tiba handphone Sawajiri menyala. Pria itu memandang layar monitornya. “Ternyata tidak sesulit itu,” Sawajiri memperlihatkan monitornya kepada Rei. Telepon dari Masumi.
Rei tampak heran melihatnya. “Ada apa Pak Masumi menghubungimu?”
“Mungkin masalah Maya. Apalagi?” Ia mengangkat teleponnya. “Selamat sore, Sawajiri di sini.” Sebentar Ia mendengarkan. “Sudah Pak, saya sudah kembali.” Kembali mendengarkan. “Baik Pak, segera.” Ia menutup teleponnya. “Tolong awasi Maya. Pak Masumi memanggilku, Ia ingin menemuiku.”
Rei memutuskan untuk tidak bertanya mengenai apa pun. “Baik.”
=//=
Masumi sedang berada di bagian merchandise saat Sawajiri datang.
“Anda memanggil saya?”
“Iya, ikut denganku.” Masumi membawanya ke ruangan yang lebih sepi.
Sawajiri hanya mengamati punggung atasannya itu sebelum kemudian Masumi berbalik dan bicara.
“Apa cincin Maya sudah ketemu?”
“Ci, cincin…?” Sawajiri sebentar tampak panik. Seharusnya Ia sudah bisa menduga Masumi mengetahui masalah itu.
Sawajiri menghela nafasnya. “Belum, Pak.”
“Begitu…” kata Masumi berat. “Kapan Maya terakhir melihat cincin itu?” tanya Masumi.
“Maya mengatakan, dia membukanya sebelum gladi resik. Setelahnya Ia hanya merabanya untuk memastikan cincin itu masih ada. Sampai di butik dan saat pemotretan dia masih merasakan cincin itu ada di tasnya, namun setelah itu Ia tidak memeriksanya lagi.”
“Saat latihan, Maya tidak menyimpan tasnya bersamamu?”
“Tidak Pak, Maya menyimpannya di ruang gantinya. Selalu seperti itu jika sedang berlatih. Apalagi sekarang Maya punya ruang ganti sendiri. Tapi saat pemotretan dan syuting iklan, tasnya saya yang memegang.”
“Begitu.”
“Pak, apa Anda mencurigai saya?”
“Aku tidak bilang begitu.”
“Iya, tapi jika saya cermati sekarang,” kata Sawajiri. “Kemungkinan cincin itu hilang saat pemotretatan dan selama itu, tasnya saya yang memegang.”
Masumi terdiam. Memandangi Sawajiri. “Apa kau mengambilnya? Kau mencuri cincin tunanganku?”
“Tidak Pak.”
“Baiklah. Kita kembali saat latihan Bidadari Merah. Apakah ada yang aneh? Yang tidak biasa terjadi kemarin saat gladi resik?” tanya Masumi.
Sawajiri mengingat-ingat cukup lama. “Saya rasa, ada.”
Masumi tertegun. “Apa itu?”
“Saat Anda mengirimkan Mawar Ungu—“
Hijiri mendengarkan dari balik pintu, percakapan Sawajiri dan Masumi. Akhirnya Ia melangkah pergi setelah Sawajiri selesai bercerita.
=//=
Dua jam lagi pementasan akan dimulai. Di balik panggung baik pemain dan staf semuanya sibuk.
“Bagaimana, Hijiri?” Masumi bertanya di telepon seraya mengamati staf mengecek lampu panggung yang dipastikan bekerja baik.
“Iya Pak, sudah dipastikan. Memang dia pelakunya.”
“Dia sudah mengaku? Bawa dia ke sini.”
“Saya rasa, dia akan datang dengan sendirinya.”
=//=
“Jadi memang kau pelakunya.” Sebuah suara yang dingin berkata.
Orang itu sangat terkejut. Cincin itu jatuh dari tangannya. Dan juga buket bunga mawar ungunya.
“Kenapa kau mengambil cincin Maya?”
Gadis itu berbalik, wajahnya pucat. “Maaf Tuan! Saya mohon maafkan saya!!” Ia menunduk dalam-dalam.
“Masumi! Ada apa!?” Maya baru saja kembali ke ruang gantinya, saat dikatakan Masumi ada di sana oleh Sawajiri. Maya datang bersama Rei dan Sawajiri.
Maya terkejut ada gadis lain di sana. Misaki Sakurada, resepsionis di lantai bawah yang setiap hari bertemu Maya sebelum latihan.
“Maya!! Maafkan aku! Aku sungguh menyesal!” Gadis itu terisak.
Sawajiri melangkah masuk, mengambil cincin yang terjatuh.
“Cincin itu…” Maya sangat terkejut, matanya melebar. “Kak Sakurada…” Ia lantas menoleh kepada Masumi. “Pak Masumi…” Ia meminta penjelasan.
“Iya, Maya. Dia yang sudah mengambil cincinnya. Kau tidak bercerita kepadaku mengenai hilangnya cincin itu. Tapi aku tahu saat aku meminta anak buahku menyelidiki apa yang terjadi.”
Maya tahu yang Masumi sebut anak buah adalah Hijiri.
“Cincinmu diambil saat gladi resik kemarin. Sakurada mengantarkan mawar unguku ke ruang gantimu dan dia mengambil cincin dari tasmu.”
“Tidak mungkin!” Aku ingat, saat di butik aku masih bisa merasakan cincin itu—“
“Itu bukan cincin,” kata Masumi, “saat anak buahku ke apartemenmu, dia menemukan ini di lantai kamarmu. Pasti terjatuh dari tasmu. Ini hanya sebuah kawat yang dililit-lilit membentuk lingkaran, mungkin untuk menipumu dan membuatmu berpikir cincinnya masih ada di tasmu. Awalnya kami bingung siapa yang mengambilnya. Hijiri mengatakan ada beberapa orang yang tidak biasa, terlihat masuk tempat latihan Bidadari Merah. Ada Mai, kekasih Sakurakoji dan beberapa orang yang berhubungan dengan pemain, ada petugas yang memperbaiki wastafel. Dan Sakurada, resepsionis yang membawa Mawar Ungu. Tapi Sawajiri mengatakan, ia sempat melihat Sakurada keluar dari ruang gantimu. Sakurada mengatakan aku memintanya meletakannya di ruang gantimu. Ia sedikit heran karena biasanya pengirim bunga langsung mengirimkannya kepadamu. Tapi aku tidak pernah memintanya berbuat demikian. Terlebih lagi, tidak banyak yang pernah melihat cincinmu. Aku yakin Sakurada termasuk yang tahu mengenai keberadaan cincinmu. Benar kan, Maya?”
Maya terdiam. “Kenapa, Kak Sakurada?” tanya Maya tidak percaya.
“Maafkan aku, putriku sakit,” terang gadis itu. Ia lalu menerangkan, Ia adalah orang tua tunggal dan putrinya sedang dirawat di rumah sakit dan membutuhkan biaya yang cukup besar. Ia tidak tahu harus kemana, utangnya juga sudah cukup besar hingga Ia tidak bisa lagi meminjam uang. Dua hari yang lalu Ia melihat Maya mengenakan cincin itu. Sakurada sempat terpikir mengambilnya. Ia juga tahu Maya suka melepas dan memakai cincin itu, karena Ia hanya melihat Maya memakai cincin saat datang ke tempat latihan. Ia juga sempat melihat Maya meraba ke dalam tasnya dan tersenyum lega setelahnya. “Dari sana aku tahu, Maya meletakkan cincinnya di dalam tas dan merabanya untuk memastikan cincin itu masih ada. Ka, karena itulah. Aku menyiapkan cincin kawat itu untuk aku masukkan ke dalam tas Maya. Saat pengirim bunga mawar ungu datang, kukatakan bahwa di atas sedang sangat sibuk karena gladi resik, jadi aku bilang aku saja yang mengantarkannya. Aku lalu masuk ke ruang ganti untuk Maya. Kulihat tasnya ada di sana. Aku lalu menjalankan rencanaku. Tapi saat aku keluar, Pak Sawajiri memergoki aku. Kukatakan aku mengantarkan mawar ungu kejutan untuk Maya dan diminta meletakannya di ruang ganti,” gadis itu terisak.  “Tapi sejak bertemu Pak Sawajiri perasaanku sungguh tidak tenang. Aku takut sekali perbuatanku terbongkar. Tapi aku sangat membutuhkan uang untuk perawatan anakku,” Sakurada menangis. “Maafkan aku, Tuan… Tolong jangan masukan saya ke penjara. Anak saya hanya memiliki saya. Saya takut sekali, karena itu saya bermaksud mengembalikannya cincinnya hari ini…”
Keadaan senyap. Masumi, Maya, Sawajiri dan Rei hanya memandangi resepsionis tersebut.
“Pak Masumi…” Maya memelas.
Masumi sudah tahu. Dia pasti ingin meminta Masumi memaafkannya.
“Dengar, Sakurada.” Kata Masumi. “Aku tidak akan melaporkan perbuatanmu kepada polisi. Yang paling penting sekarang cincin Maya sudah kembali. Tapi aku juga tidak bisa memaafkan perbuatanmu begitu saja. Bagaimana pun kau sudah mencuri, dan Daito tidak bisa mempertahankan seorang pencuri sebagai karyawannya.”
“Tuan—“ mohon Sakurada. “Tolong jangan pecat saya…”
Masumi tidak menghiraukan, Ia menghubungi Mizuki, memintanya datang.
“Masumi…” pinta Maya saat Masumi menutup teleponnya. “Kumohon—“
“Maya, aku Direktur Daito. Ini keputusan yang kuambil sebagai Direktur Daito, kau tidak bisa mengubahnya.”
Mizuki datang di tengah suasana tegang. “Anda memanggil saya, Pak?” tanyanya.
“Iya, tolong minta—“
“Pak Masumi,” Maya menghampiri, menatapnya dengan memelas. “Bisakah kita bicara? Berdua saja?” Ia meminta.
Masumi menghela nafasnya. Ia tidak bisa mengelak kalau Maya sudah memandangnya dengan tatapan seperti itu. “Baiklah,” katanya.
Masumi menarik Maya pergi dari sana, keduanya bicara di ruangan yang kosong.
“Pak Masumi… kumohon jangan—“
“Kenapa kau tidak bilang padaku kalau cincinmu hilang?” tanya Masumi tajam.
“Ah! Itu! A, aku…”
“Apa aku harus lebih mengandalkan Hijiri daripada kau? Apa aku harus selalu meminta Hijiri menyelidiki keadaanmu walaupun kau sudah jadi tunanganku!?” AKhirnya yang Maya takutkan benar-benar terjadi. Masumi marah kepadanya.


Maya hanya terdiam dan menundukkan kepalanya.
Masumi mengamati kekasihnya itu. Ia lantas menghembuskan nafasnya, “Ada yang mau kau katakan?” tanyanya tajam.
Maya memandang ragu kepada Masumi. “Pak Masumi, Anda kan yang bilang, aku harus dewasa, bertanggung jawab dengan perbuatanku. Karena itu aku tidak bercerita. Aku ingin berusaha menyelesaikan masalahku sendiri dan tidak merepotkanmu terus,” kata Maya. “Aku… aku… rasanya aku terus menerus hanya menyusahkanmu. Karena itu, kupikir aku harus berusaha menyelesaikan—“
“Dengan tidak mengatakan bahwa cincin tunanganmu hilang dan lebih memilih membatalkan pesta pertunangannya!?”
“Lalu aku harus bagaimana?” tanya Maya, putus asa. “Aku tadinya mau beli lagi cincinnya. Tapi katanya cincin itu sudah Anda—“
“Bukan masalah cincinnya Maya! Tapi kau, tidak mau berterus terang kepadaku!“
“Aku bukannya tidak mau berterus terang! Aku hanya tidak ingin menyusahkanmu!”
“Tapi akhirnya menyusahkan juga kan!? Akan lebih cepat selesai masalahnya kalau kau bicara kepadaku!” Masumi meninggikan suaranya.
Maya terdiam, lantas terisak. “Aku memang menyusahkan. Aku memang hanya bisa menyusahkan!”
Masumi memejamkan matanya, berdecak. Ia bicara lebih lembut. “Bukan itu masalahnya, Maya. Masalahnya, kau menyembunyikan masalah dariku, sementara aku adalah tunanganmu. Sampai kapan ini akan berlangsung? Apa kau akan terus menerus menyembunyikan sesuatu dariku, sementara aku harus mengandalkan instingku kalau kau sedang terlibat masalah dan meminta Hijiri menyelidikinya?” tanya Masumi. Ia lantas duduk di sebuah kursi dan meminta Maya duduk di sampingnya. “Dengar, Maya. Hal itu mungkin bisa berhasil dulu. Saat kita belum tahu perasaan masing-masing. Tapi sekarang, kita akan menikah, menjadi suami istri. Sudah tidak bisa lagi seperti itu. Apa Hijiri harus tahu terlebih dahulu masalahmu bahkan sebelum aku, suamimu nanti?” desak Masumi.
Maya dengan memelas menatap Masumi. “Aku tidak bermaksud begitu,” katanya, masih sedikit terisak. “Habis Pak Masumi kan sedang sangat sibuk. Aku tidak mau menambah-nambah masalah. Dan juga, a, aku merasa sangat bersalah sudah menghilangkan cincin itu. Aku takut Pak Masumi marah dan membenciku.”
“Kau pikir aku akan membencimu karena kau menghilangkan cincin?”
Maya terdiam, lantas menggeleng. Ia tahu Masumi tidak akan membencinya karena hal itu.
“Mungkin aku akan merasa kesal,” kata Masumi. “dan mungkin, aku juga akan marah jika kau melakukan kesalahan lainnya nanti. Kau pun pasti begitu. Jika aku melakukan kesalahan, kau pasti marah padaku kan?”
“Mungkin.”
“Benar. Tapi masalah tidak akan selesai dengan disembunyikan, Sayang. Jika kita harus bertengkar, maka kita bertengkar, selama hal itu bisa memberi jalan dan memperbaiki keadaan. Tapi kau jangan menyembunyikan masalah dariku. Kau mengerti?” tegas Masumi.
Maya mengangguk lemah. “Mengerti.”
Masumi mengamati Maya, berusaha meyakini kekasihnya itu memahami apa yang Ia maksudkan. “Kau tidak akan menyembunyikan masalah di belakangku lagi?”
Maya memandangi Masumi. “Tidak akan,” katanya pelan. “Tapi! Pak Masumi juga tidak boleh menyembunyikan masalah dariku! Se, seperti soal Nona Shiori kemarin—“
“Itu berbeda, Sayang. Itu semua untuk kepentinganmu—“
“Tuh kan—“
“Lain kali, aku akan coba membicarakan masalahnya denganmu, kalau itu tidak akan menyakitimu.”
Maya menghela nafasnya, “aku tidak suka bertengkar denganmu.”
Masumi tersenyum. “Aku juga. Tapi dengan menyembunyikan masalah, pertengkarannya hanya tertunda, bukan tidak ada. Dan semakin cepat kita menyelesaikan masalah, semakin baik bukan?”
Maya mengangguk. “Jadi kau sudah tidak marah lagi kepadaku?”
“Apa kau masih mau bertunangan denganku?” tanya Masumi.
Maya tersenyum lebar, mengangguk.
“Berarti sudah tidak ada masalah,” Masumi tersenyum.
“Pak Masumi, mengenai Sakurada… tolong jangan dipecat, kasihan dia—“
“Tapi dia sudah mencuri. Itu bukan sesuatu yang bisa ditolerir di Daito, Sayang.”
“Tolonglah, demi aku?” bujuk Maya. “Ini hari pementasan perdana Bidadari Merah, dan kita meresmikan pertunangan kita. Aku tidak mau sepanjang malam merasa bersalah karena teringat ada seseorang yang kehilangan pekerjaannya hari ini,” rayu Maya.
Masumi memandangi kekasihnya. “Kau semakin pandai merayu ya…”
Maya tersenyum semanis mungkin, mendekati Masumi. “Aku akan belajar banyak untuk membahagiakanmu, Kekasihku,” Maya kembali merayu.
Masumi menghembuskan nafasnya. “Kalau kau sampai berperilaku seperti ini untuk Sakurada, baiklah, aku akan memikirkan sesuatu agar dia tidak perlu dipecat.”
Wajah Maya tampak berseri. “Aku mencintaimu,” gadis itu mencium kekasihnya. “Dan maaf soal cincin itu.”
“Sudahlah,” Masumi tidak akan bisa marah lama-lama jika kekasihnya itu sudah menatapnya dengan memelas. “Sebaiknya kita kembali, yang lain sudah menunggu.”
=//=
Masumi dan Maya kembali ke ruang ganti Maya.
“Aku sudah mengambil keputusan,” kata Masumi. Ia memandang Sakurada. “Sakurada, kau sudah mencuri. Aku tidak bisa menutup mata dari hal itu. Tapi karena permintaan Maya, dan juga karena menimbang masalah anakmu, aku akan memikirkan cara agar kau tidak perlu dipecat.”
Wajah gadis bernama Sakurada itu tampak tidak pucat lagi.
“Aku tahu kau tidak mendapatkan asuransi untuk putrimu dari perusahaan karena kau terdaftar tidak menikah. Dan aku tidak bisa memberikan pengecualian untuk hal itu, karena artinya aku harus memberlakukan hal itu pada semua karyawan dengan status yang sama denganmu, dan itu melanggar aturan perusahaan. Tapi aku bisa meminjamkan uang untukmu secara pribadi, kau bisa mengembalikannya kapanpun kau sanggup. Mizuki akan mengurusnya nanti. Dan mengenai hukumanmu, karena Maya sudah memaafkan, kasus pencurian ini akan dianggap tidak ada. Namun kau masih harus mendapat sanksi untuk tindakanmu, karena itu kau akan mendapat surat peringatan karena telah meninggalkan pos mu saat masih jam kerja. Apa kau mengerti.”
“Me, mengerti! Terima kasih banyak Pak Masumi,” gadis itu membungkuk berkali-kali. “Dan saya sungguh menyesal mengenai cincinnya. Saya benar-benar minta maaf, saya—“ gadis itu tercekat, menangis.
“Sudahlah, Sakurada,” kata Maya. “Semoga putrimu lekas sembuh.”
“Terima kasih, Maya,” Ia masih saja menangis.
Masumi berkata kepada Mizuki. “Mizuki, kau sudah mencatat semuanya? Tolong diurus.”
“Baik Pak,” dengan sigap Mizuki menyanggupi. “Ikut denganku, Sakurada.”
Mizuki lantas meninggalkan ruangan bersama Sakurada.
Sawajiri segera menghadap Masumi saat kedua wanita itu sudah pergi. “Pak Masumi, saya sungguh meminta maaf. Semua ini karena kelalaian saya. Seharusnya, saat saya melihat Sakurada keluar dari ruang ganti Maya, saya menyelidikinya. Hanya saja saat itu memang pikiran saya sedang tidak berada di tempatnya. Saya sungguh-sungguh meminta maaf karena sudah lengah.”
Rei mengamati Sawajiri, memikirkan apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran Sawajiri selama ini? Biasanya Ia bekerja sangat tajam dan teliti.
“Sudahlah Sawajiri, bukan salahmu. Dia memang mempunyai alasan yang bagus untuk masuk ke kamar ganti Maya,” kata Masumi.
“Iya, Kak Sawajiri,” kata Maya. “Aku juga ceroboh karena tidak benar-benar memeriksanya.”
“Cincinnya,” Masumi menjulurkan tangannya, meminta cincin di tangan Sawajiri. “Biar aku saja yang memegangnya sampai nanti malam.”
Maya tersenyum malu-malu pada Masumi.
Sawajiri dan Rei keluar sebentar, memberikan waktu untuk Maya dan Masumi bicara.
“Lakukan yang terbaik. Aku tahu kau pasti bisa,” kata Masumi, tersenyum pada Maya.
 Gadis itu mengangguk. “Anda harus menyaksikannya sampai habis.”
“Jika aktingmu bagus.”
“Aktingku pasti bagus. Pak Masumi akan terpesona dan tidak berkedip melihatku!” tantang Maya.
Senyuman Masumi melebar. “Aku semakin tidak sabar,” Ia mencium bibir Maya. “Aku harus pergi sekarang. Semoga sukses Sayang.”
Maya mengangguk. “Untukmu, Kekasihku, Mawar Unguku.”
Sekali lagi keduanya berciuman dengan sangat dalam sebelum akhirnya Masumi keluar dari ruang ganti Maya.
Rei dan Sawajiri, yang sejak tadi hanya saling berdiaman, kemudian masuk ke ruang ganti Maya. Membantu gadis itu bersiap-siap untuk pagelaran akbarnya.
=//=
Maya menunggu di belakang panggung, dengan menggenggam buket mawar ungunya erat. Akhirnya, aku kembali menjadi Bidadari Merah. Menjadi Akoya. Lihatlah Bidadari Merahku, Sayang. Untukmu, Pak Masumi, hanya untukmu.
“Sudah siap, Akoya?” panggil Sakurakoji.
“Iya, Isshin,” Maya tersenyum.
“Mari kita sukseskan sandiwara ini,” Sakurakoji mengulurkan tangannya. “Belahan jiwaku, Akoya.”
Maya mengangguk, menerima uluran tangannya. “Belahan jiwaku, Ishin.”
Maya menyerahkan buket bunganya kepada Sawajiri. Dunianya sudah memanggil. Dunia Bidadari Merah.
=//=


Teater itu dipenuhi para penonton yang sangat tidak sabar melihat Bidadari Merah. Beberapa berbincang dan membicarakan bagaimana Bidadari Merah begitu menggemparkan dulu saat kemunculannya. Dan mereka yang pernah melihat Bidadari Merah Maya 3 tahun yang lalu pun tidak sabar menunggu pementasannya lagi. Apalagi pementasan kali ini tampak berbeda dari pementasan uji coba dulu yang diadakan di alam terbuka, begitu alamiah.
Sekarang pementasan ini dikemas dengan modern. Mereka tidak sabar menanti seperti apa hasil kolaborasi Daito dan Kuronuma.
Gedung teaternya lebih luas dan juga panggungnya tampak lebih besar dari standar. Tidak hanya panggungnya, bahkan bagian tempat duduk penonton pun, turut didekorasi. Ada beberapa pohon plum di sana, patung dan pahatan. Bahkan di bagian atap terdapat awan-awan. Penonton bahkan sudah terpesona dan penasaran hanya dari dekorasi ruangan tersebut.
Artis-artis besar nampak di sana. Juga ada Ayumi dan suaminya, Mr. Hamill. Juga Utako Himekawa dan suaminya. Ada Onodera dan keponakannya. Ada juga anggota teater Mayuko dan Ikkakuju. Serta para pemerhati sandiwara di Jepang. Para kritikus dan tentu saja, Eisuke Hayami yang duduk di samping Masumi.
Pengumuman terdengar bahwa pertunjukan akan di mulai. Masumi duduk di kursinya dengan sabar. Seharusnya dia di belakang panggung, namun sekali ini Ia ingin menjadi penonton Maya. Ingin merasakan keajaiban yang akan gadis itu suguhkan kepadanya.
Ruangan gelap seketika, sama sekali tidak ada cahaya. Senyap. Lantas perlahan-lahan suhu ruangan menurun, semakin dingin. Penonton bertanya-tanya ada apa sebenarnya. Cahaya temaram semakin berpendar di seluruh ruangan dan tirai panggung mulai terangkat. Saat itulah penonton tersadar, pandangan mereka terhalang. Ada kabut di ruangan itu, berwarna pink.
“Waa… ada kabut…”
Mereka bisa segera merasakan hawa pegunungan yang dibawa ke sana. Para penonton sudah siap dibawa ke dunia Bidadari Merah.
Tirai yang terangkat memperlihatkan gambar pemandangan lembah plum. Suara burung bercicitan dimana-mana, lalu suara air terjun dan semilir angin yang terasa nyata di kulit para penonton. Damai.
Sebuah bukit tampak bergerak mendekat, selaras dengan gambar di layar besar di bagian belakang panggung. Perlahan-lahan sebuah sosok nampak. Ia memejamkan matanya, tampak cantik. Apakah Ia bernyawa? Semua bertanya dalam benaknya.
Ia hanya terdiam di sana, namun semua mata memandang kepadanya, bukan karena mereka mau, tapi karena mereka tak bisa mengelak. Begitu terpesona.
Kenapa…? Kenapa aku tidak bisa memalingkan mataku padahal Ia sama sekali tidak bergerak.
Sosok itu, di atas sana, sudah menjadi sumber gravitasi di alam yang baru saja Ia ciptakan.
Alam yang damai dengan suara semilir angin, aliran air, dan cicit burung, serta kelopak-kelopak bunga plum yang berjatuhan, memperlihatkan sebuah alam yang sangat damai. Kedamaian yang merasuk ke dalam jantung setiap manusia di sana.
“TAM!!” sebuah suara yang mengejutkan terdengar. Sebuah suara, yang memperkenalkan alam yang lainnya.
Hawa di dunia itu berubah. Suara angin tak lagi terasa, kabut dan kelopak bunga plum tak lagi nampak.
Para pemain, mulai bermunculan di panggung, dengan aktivitasnya masing-masing. Layar di belakang memperlihatkan keadaan langit. Ada bintang jatuh di sana.
“Hei, apakah itu bintang peri?”
“Bintang peri? Apakah akan ada kerusuhan?”
Lampu mati, alam kembali gelap.
Penonton lantas dikejutkan dengan para tentara yang muncul di antara kursi mereka. Tentara Kaisar dan Bakufu yang berperang.
“Bunuh semuanya!! Jangan disisakan!!”
“Hidup Kaisar!!!” Seorang tentara mengangkat tombaknya.
“Hidup Shogun!!!” Seorang tentara lain mengangkat pedangnya.
Peperangan berlangsung di mana-mana. Suara cicit burung diganti teriakan penuh amarah. Suara angin berganti suara pedang yang beradu dan suara aliran air berganti tangisan dan kesedihan. Keadaan di sekitar penonton terasa semakin panas. Di atas panggung tampak bara apa memenuhi layar, sementara orang-orang berlarian berusaha menyelamatkan diri.
“Apakah ada kebakaran?” tanya salah satu penonton. Ia bisa dengan jelas mencium sesuatu yang terbakar.
“Bukan, ini bagian dari efek sandiwara.”
Penonton itu merinding. Ia merasa benar-benar berada di tengah peperangan. Hampir semua orang merasa begitu frustasi, sangat berbeda dengan suasana hati yang mereka rasakan pada awal pertunjukan.
Tiba-tiba terdengar ledakan yang memekakkan telinga, terlihat sebuah gunung memuntahkan amarahnya berupa lahar panas. Kembali jeritan dan tangis terdengar.
“Rasanya aku ingin pulang,” kata seorang gadis pada pacar yang duduk di sampingnya. “Aku tidak kuat,” dia terisak. “Aku sangat takut.”
Sosok itu, semenjak tadi tidak bergerak barang sedikitpun. Para penonton sudah tidak ragu bahwa Ia bukan manusia.
Suara-suara peperangan kemudian menciut seperti suara televisi yang semakin pelan. Hanya orang-orang yang berperang yang masih terlihat saling menghabisi satu sama lain tanpa suara.
Lampu sorot berganti pada dunia lain, memperlihatkan bagian lain panggung. Sebuah kuil. Seorang pendeta keluar dari sana. Ia tampak sangat sedih dan bibirnya tak henti mengucapkan doa. Ia tampak terkejut saat memandang ke langit, begitu juga penonton. Matahari yang bersinar sangat terik, menampilkan sebuah pohon plum yang sangat cantik. Sebuah fatamorgana. Pendeta itu begitu terpesona. Semakin lama, perlahan, kain-kain berputar dan pohon itu semakin pudar sementara sebuah sosok tampak semakin nyata. Ia begitu cantik, terus berputar dan menari di angkasa dengan latar belakang mentari yang bersinar. Sebuah harapan.
“Apakah ini… jawaban dari doaku?” kata Sang pendeta, takjub. Ia mencoba merasionalisasi apa yang nampak di hadapannya. Sosok yang mempesona itu begitu elok, melayang-layang diantara maya dan nyata. Ia seperti transparan dengan gerakan yang sangat ringan seakan digerakkan angin. Pendeta itu akhirnya mengerti, bahwa itu adalah petunjuk agar dunia ini memperoleh kedamaian. “Saat ini kasih dewa sudah semakin dilupakan manusia. Hati manusia semakin kacau, waktu terus berlalu dan bintang peri serta bidadari merah yang memekarkan bunga plum sudah semakin dilupakan.”
Kini sosok itu pun semakin memudar dari pandangan mata penonton, sebelum kemudian menghilang.
Panggung kembali gulita.
Piiip… piip… piiip… sosok yang semenjak tadi tidak bergerak kembali terlihat. Ia masih tidak bergerak, dan kemudian menghilang. Kemisteriusan dari keberadaannya membekas sangat kuat di benak penonton walaupun Ia sudah tidak nampak.
Tiba-tiba suara kerusuhan kembali terdengar keras dan semakin memekakkan. Perselisihan yang tak kunjung henti antara pasukan kaisar dan shogun yang berperang dan saling memusnkahkan. Hawa di sekitar kembali memanas. Para penonton mulai kembali gelisah, saat melihat para korban kelaparan bergelimpangan, para perampok merajalela dan manusia begitu menderita di atas panggung dan di sekitar mereka.
Tiba-tiba dua jin berupa gagak terbang mengambang di atas penonton, di antara awan-awan. Mereka membicarakan masalah dunia yang tidak kunjung damai. Kebencian dan dendam yang semakin menguasai dunia manusia.
“Menurut raja Kurama, tak seorang pun yang menyadari kekacauan ini ada hubungan sebab akibat dengan dunia para dewa.”
“Apa? Jadi kekacacauan ini akibat salah paham Buddha dan para dewa?”
Panggung terbagi dua dunia, dunia para manusia yang tengah berperang dan dunia para dewa yang tengah berselisih.
Diantaranya, memperlihatkan sebuah dunia mimpi, pertemuan antara dunia manusia dan dunia dewa. Dunia mimpi ini, milik seorang Kaisar.
Sekali lagi Bidadari cantik yang tadi muncul dari sinar matahari, menari dengan cantik, di angkasa, di hadapan raja yang terpesona. Sebuah suara menggema namun begitu halus.
“Jika ada yang memahatku menjadi patung, maka kekacauan di dunia ini akan teratasi.”
Apakah itu suara Maya? Pikir Rei. Suaranya sangat berbeda. Begitu halus dan mistis.
Setiap kali Maya muncul, walaupun hanya terdiam, atau bergerak perlahan dan ringan, semua perhatian akan terpusat kepadanya. Mereka berdebar-debar, bertanya-tanya, siapakah dia? Kenapa mereka tidak bisa berpaling darinya dan kenapa keberadaannya begitu nyata.
Dunia mimpi selesai saat kaisar terbangun. Kaisar duduk di singgasananya dan memberikan titah.
“Ini pasti Bidadari Merah yang pernah dilihat di dalam bulatan matahari pagi oleh pendeta tinggi dahulu. Cari pemahat patung Buddha! Pemahat yang bisa memahat patung Bidadari demi kedamaian dunia ini!”
Panggung kembali gelap gulita.
Hoooo…. Hooooo….
Suara yang mistis bergema di seluruh ruangan. Dekat namun jauh. Para penonton bisa merasakan bulu kuduk mereka berdiri. Beberapa merapat pada orang di sampingnya.
Perlahan tapi pasti lampu sorot berpusat pada sebuah titik. Lampu itu semakin terang dan membesar, memperlihatkan kembali wujud yang semenjak tadi tak membuka matanya. Mematung. Dengan pakaian kebesarannya. Suara alam kembali terdengar, dari kejauhan. Burung bercicit, air mengalir, angin berhembus. Kemudian berganti suara api yang membakar semua benda di sekitarnya. Jeritan manusia, pedang beradu menjadi latar belakang. Di suatu tempat, di kegelapan di sekeliling sosok itu.
Perlahan, sosok itu berayun.
Para penonton menatapnya lekat. Jantung mereka berdebar hebat. Mengantisipasi.
Ayunannya semakin kentara. Ranting-ranting, tangannya, berayun anggun mengikuti irama angin. Rambutnya, dedaunan dan bunga plum. Sedangkan kakinya merupakan akar pohon plum. Ia terusik dengan suara-suara di sekitarnya, dengan angin yang berhembus semakin kencang. Angin itu tidak lagi sejuk, terasa panas. Hawa yang penuh kebencian.
Sosok itu bergerak semakin kentara. Tangannya, lehernya, tubuhnya. Lantas matanya terbuka, mencari pengusiknya. Menatap yang tak tertatap makhluk fana.
Semua penonton terkesiap. Mereka takut. Takut menjadi tertuduh oleh mata yang tampak dingin itu.
Bidadari Merah. Ia menari, begitu anggun dan ringan. Ia kemudian terbang, terangkat tinggi, berputar dan tampak gemulai.
Apa itu? Angin putting beliung? Gerakan badannya sangat elok namun penuh kekuasaan. Sebentar nampak seperti angin, sebentar seperti air yang mengalir deras, lalu seperti lahar panas. Maya menggerakkan tubuhnya dengan sempurna dan tanpa cela. Menari mengilustrasikan alam di sekitarnya.
Aku adalah semesta…
Tubuh Maya berputar-putar turun dengan cantik hingga menginjak tanah. Ia kembali menari dengan sangat indah.
Masumi bahkan tidak tersadar bahwa Ia berhenti bernafas, hingga Ia merasa sesak. Maya… Ia kembali menjadi penggemar beratnya. Ia bertanya-tanya apakah dewi itu memang gadis yang selama ini bersamanya? Kekasihnya?
Akhirnya gerakan tubuh sang dewi berhenti, sementara suara-suara yang mengusik itu semakin keras.
“Siapa…” tanyanya. Untuk pertama kali Ia berbicara. “Siapakah yang telah memanggilku,” Ia kembali bergerak dengan gerakan tak manusiawi. Kakinya melayang, matanya mencari. “Apakah gaung sang hutan? Ataukah kesenyapan malam?” Suaranya, sebagaimana sosoknya, begitu agung.
Ayumi mengeratkan pegangannya di tas tangannya. Meremasnya. Ia sungguh tidak percaya. Maya… kau sudah maju begitu pesat. Ia masih saja ingin menangis. Kenapa kau bisa berakting seperti itu. Bagaimana kau bisa bergerak seperti itu… Ia teringat, bagaimana Maya dulu, saat berlatih Bidadari Merah bersamanya di kampung halaman Bidadari Merah. Gadis itu begitu kaku, gerakan tubuhnya sangat awam dan berat. Sekarang bahkan Ayumi tidak yakin bahwa hal dulu itu benar pernah terjadi. Maya sangat luar biasa. Semuanya.
“Tidak, ini jelas bau darah…”
Dua buah lampu menyala, memperlihatkan keadaan dunia di sekeliling Bidadari Merah yang saling beradu, saling membinasakan. Para prajurit dan ksatria, orang-orang yang kelaparan dan alam yang murka.
Bidadari Merah mengamatinya, dengan pilu. Ia belum berhenti menari. Setiap langkah kakinya, seringan bulu. Gerakan tangan dan tubuhnya, adalah karya seni tinggi. Ia adalah awan. Ia adalah angin. Hanya rautnya yang memperlihatkan perasaannya. Sedih, kecewa, pilu, marah, melihat manusia saling beradu.
Suara hatinya bergema di semesta, saling susul menyusul seperti datang dari masa lalu dan masa depan.
“Kulihat dua pusaran saling bertabrakan—“
“Pusaran putih dan pusaran merah—“
“Terus bertabrakan dan saling merusak setiap benda yang ada di sekitarnya—“
Monolog Bidadari Merah terdengar di seluruh ruangan, saling berbalasan seperti sedang berdialog. Penonton seakan dibawa ke dalam benak dan hati Bidadari Merah yang mempesona di hadapan mereka. Ikut memikirkan apa yang dipikirkan oleh sosok sang dewi, dan merasakan apa yang dirasakannya.
“Apa yang harus kita lakukan?” sebuah suara misterius tanpa sosok bertanya.
“Biarkan saja,” suara sang dewi berkata, entah dari mana.
Kedua suara itu saling berbalas, saling bertanya mengenai keberadaan manusia. Kemudian sang Dewi berhenti bergerak. Ia mengangkat tangannya dan tubuhnya kembali terangkat. Terbang. Melayang. Tangannya terentang menunjukkan kuasa.
“Pada saat manusia tidak teringat dosanya. Akan kuperintahkan sang naga merobek-robek dunia!” Dan suara deras air terdengar memekakkan. “Membuatnya banjir!!”
Para penonton menoleh, mereka takut sekali terendam. Apakah ada air masuk ke dalam ruangan? Sementara seluruh ruangan terasa semakin dingin.
“Untuk membersihkan semua kotoran, membayar semua kesalahan manusia,” mata itu melebar, mengancam. Membuat bulu kuduk para pendosa merinding.
Sang dewi tertawa. Tawa yang menakutkan, penuh kuasa, dan mengandung hukuman. Tiba-tiba tubuhnya meluncur turun, sang dewi panik, dan gelisah. Gerakan gemulai itu kembali nampak, namun kali ini menampakkan kegalauan.
Maya kembali berpantomim dengan sangat sempurna.
“Apa ini?? Perasaanku aneh…” suaranya kembali menggema.
Hooooo~ suara itu terdengar dari kejauhan.
“Apa ini? Perasaan aneh membara. Menakutkan, tapi ada rasa hampa yang indah. Kebahagiaan dan kesedihan yang mengiris-iris dadaku.” Sang dewi memeluk tubuhnya sendiri, gemetar. “Ooo…! Kenapa… perasaan ini… baru kali ini kurasakan. Rasanya aku akan mengalami sesuatu… Bahaya… Aku tidak boleh mendekat! Tapi aku tidak bisa berlari dari perasaan ini.“ Ia tampak kalut. “Bagaimana jadinya badanku ini? Apa aku akan naik ke langit atau jatuh ke bumi? Entahlah…”
Untuk terakhir kalinya, Ia menari sebagai sang Dewi. Sosok halus penuh kuasa. Menebarkan keajaiban di sekitarnya. Perlahan-lahan, tubuhnya kembali terangkat sebelum kemudian menghilang.
Bahkan setelah sosok itu tak lagi nampak, keagungan dan keanggunannya masih sangat membekas. Meninggalkan perasaan mistis yang membekas pekat di setiap indra para penontonnya. Sosoknya, suaranya, hawanya.
Panggung selanjutnya mempertontonkan bagaimana Isshin memulai petualangannya. Seorang pemahat patung Buddha yang memiliki pemikirannya sendiri. Menolak menodai kesucian Buddha dengan memperjualbelikan patung sosok suci itu. Pemikirannya membuat laki-laki itu diusir.
Ia lantas menjadi perampok, terombang-ambing keadaan di dunia, sebelum kemudian Ia memilih untuk menyendiri.
Suatu hari Ia melihat mayat yang bergelimpangan di sekitarnya, dan ia teringat saat Ia dulu memahat patung buddha dahulu. Akhirnya Ia memahatkan patung-patung buddha bagi para mayat itu. Sampai kemudian Ia bertemu Terafusa yang menunjuknya untuk memahatkan patung Bidadari Merah. Awalnya Isshin menolak keras, namun saat patungnya berhasil memberikan ketenangan dan kebahagiaan pada seseorang sebelum kematiannya. Isshin akhirnya menemukan tujuan hidupnya.
“Patung yang bisa menolong hati orang-orang yang menderita di dunia ini, kalau tangan ini mampu, akan kukorbankan jiwaku untuk bisa memahat patung Bidadari itu!” Tekadnya.
Sakurakoji memainkan perannya dengan sangat bagus. Ia masih muda, namun para kritikus memujinya. Tidak mudah bagi seorang aktor muda tampil menonjol dalam sandiwara bertema sejarah seperti Bidadari Merah, namun Ia berhasil.
Selain itu, berbagai tekhnik panggung, efek yang disuguhkan sungguh luar biasa. Menghadirkan dunia lampau dengan segala modernitas. Semua tekhnik tinggi dari teknologi yang dipakai mampu merekonstruksi masa sejarah tempat Isshin dan Akoya hidup, malah melibatkan penonton secara langsung.
Penonton melihat kabutnya, merasakan dinginnya, panasnya, damainya, kerusuhannya. Bahkan kelopak bunga plum yang berjatuhan di atas kepala mereka atau ke pangkuan mereka, aroma bunga plum dan hawa mistis yang melingkupi mereka. Tidak seorang penonton pun beranjak dari tempat duduk mereka, karena mereka adalah ‘penduduk’ dunia bidadari merah. Kejeniusan Kuronuma dan Kekuatan Daito, nampak jelas dalam sandiwara itu.
Namun puncak pesona, tentu berada pada kekuatan akting pemainnya. Dan akting Maya, tidak terbantahkan, sangat luar biasa. Akting kata, akting rupa, akting jiwa dan raganya. Sempurna.
Akoya tengah mencabuti rumput obat, sementara kekasihnya, pria yang sebelumnya Ia temukan tak sadarkan diri di lembah, menatapnya lekat.
Akoya menyadarinya, tersipu kecil. “Apa yang kau lihat?” tanyanya.
“Kamu, Akoya,” kata Isshin lembut.
“Aku? Bukankah kau selalu melihatku?”
“Aku selalu ingin melihatmu. Aku hanya mempunyai wajahmu di benakku. Sebelum berkenalan denganmu, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dalam hidup ini. Saat aku baru sadar, tubuhku sakit sekali, dan wajahmu lah yang pertama kali kulihat. Cantik sekali, kupikir seperti itulah cantiknya Bidadari di surga.”
Akoya dan Isshin, dua insan yang sedang jatuh cinta, saling mengutarakan kalimat cinta dengan raut penuh kasih, dengan tutur kata lembut mendayu. Menyebarkan kehangatan dan kelembutan di hati para penonton. Cara mereka saling menatap, saling menyentuh dengan penuh kasih, membuat setiap yang melihatnya terbuai.
Masumi, selain terpesona, juga cemburu. Sangat cemburu. Ia tidak rela gadis itu membagi tatapan penuh cintanya pada laki-laki lain selain dirinya. Namun Masumi mengingatnya, dalam hati Maya, hanya ada dirinya. Gadis itu memikirkannya. Rasa cintanya, semua kalimat cinta yang dilontarkannya, dalam hati gadis itu, ditujukan kepadanya, kekasihnya. Masumi menenangkan setiap sel dalam dirinya, meyakinkannya, Maya hanya mencintai dirinya. Kekasihku… Masumi tahu, semua kata-kata cinta Akoya, ditujukan kepada dirinya. Semata-mata dirinya.
“Aku bukan hanya jatuh cinta kepada fisik Akoya,” Isshin berkata, “cinta sejati adalah ikatan jiwa. Apa pun wujud Akoya, aku akan tetap mencintainya. Dan walaupun mati, cintaku tak akan berubah.”
Kata-kata itu, begitu menggetarkan jiwa siapa pun yang mendengarnya. Membangkitkan keharuan mendalam. Perasaan cinta Isshin yang teramat, dapat tersampaikan.
Semakin lama penonton semakin terhanyut dengan jalan cerita Bidadari Merah dan melupakan posisi mereka sebagai penonton. Mereka bergitu terlibat dengan jalan cerita dan tokoh di dalamnya. Walaupun cerita ini berlangsung ratusan tahun yang lalu, di dunia yang jauh lebih lampau dari saat ini, namun mereka tidak merasa asing. Semuanya terasa wajar. Penonton bisa menghayati setiap adegan dan dialognya.
Saat Bidadari Merah berwujud Akoya menampakkan dirinya di daerah terlarang, sangat galau dan kalut, saat petunjukanya menyebabkan para pencuri tewas. Manusia yang saling membunuh.
Dia benci.
Keadaan mencekam masih terasa saat Akoya menghilang ke dalam daerah terlarang. Para penonton merasa was was, seperti para tertuduh yang gelisah menunggu keputusan hakim.
Tidak terasa, babak pertama selesai sudah.
Lampu-lampu kembali menyala. Untuk beberapa saat semuanya masih terpana di tempatnya. Apakah mereka habis bermimpi? Tak seorang pun beranjak dari tempatnya untuk sekian lama walaupun layar sudah tertutup.
“Luar biasa,” suara Eisuke tercekat kekagumannya sendiri. “Maya sangat luar biasa,” pujinya.
Masumi menoleh pada Ayah angkatnya. Apakah Ayah menangis? Pikir Masumi, menatap mata berkaca-kaca Eisuke. Entah dari mana datangnya, Ia merasa sangat terharu melihat Eisuke. Ia bisa mengerti perasaan Eisuke. Mungkin sama dengan perasaan meluap-luap yang mengisi hatinya kini.
Ia ingin bertemu Maya. Ingin berjumpa dengannya.
“Ayah, ayo kita beristirahat,” ajak Masumi.
Eisuke menggeleng. “Aku ingin di sini.”
Masumi menatap Ayahnya yang tampak lebih muda. Mungkin Ia sedang bernostalgia. “Aku akan kembali dengan sekaleng kopi,” kata Masumi. Ia lantas beranjak berdiri.
Masumi beranjak ke belakang panggung, berbicara dengan beberapa staf. Sangat sibuk di belakang sana, mempersiapkan semua yang diperlukan untuk babak kedua. Semua setting dan perlengkapan panggung maupun perlengkapan para pemain. Staf memeriksa beberapa keamanan peralatan yang digunakan dan lain sebagainya. Masumi mendapatkan semua laporannya dengan cepat, berbicara sebentar dengan Kuronuma sebelum Ia berlalu ke kamar ganti Maya.
Masumi mengetuk pintunya. Ia sangat merindukan kekasihnya, padahal baru 70 menit keduanya berpisah, dan bahkan mereka tidak benar-benar berpisah.
“Selamat malam Pak,” Sawajiri membukakan pintu.
“Maya?”
“Di dalam,” terang Sawajiri. Ia sudah selesai memeriksa semua kostum dan kelengkapan Maya, memeriksa semuanya baik-baik saja. “Saya akan kembali jika pentas sudah mau dilanjutkan,” terang Sawajiri, permisi pergi.
Masumi mengangguk, ia lantas masuk ke dalam ruang ganti. Tatapannya bertemu tatapan Maya di kaca rias. Ia sangat cantik. Maya memutar tubuhnya, menatap kekasihnya. Ia tersenyum lembut.
Masumi tidak tahu apakah itu Maya atau Akoya, tapi dia tidak peduli. Masumi balas tersenyum lembut kepadanya. Gadis itu berdiri, menghampirinya cepat dan memeluknya.
Keduanya tidak ada yang bicara. Ada sesuatu yang terasa begitu hangat diantara mereka yang hanya tersampaikan dengan pelukan dari satu sama lain.
Hari itu...saat aku pertama kali melihatmu di lembah, Akoya langsung tahu bahwa kau adalah belahan jiwaku yang hilang seperti yang dikatakan nenek.” Maya berkata dalam pelukan Masumi.
Masumi tertegun. Maya…
“Umur, status dan kedudukan sama sekali tak ada hubungannya. Bila keduanya bersua, mereka akan langsung saling tertarik. Satu jiwa tidak akan berhenti merindukan jiwa pasangannya. Mereka ingin segera menjadi satu jiwa. Keduanya seperti gila, merindukan satu sama lain. Itulah cinta...” Maya menatap Masumi penuh cinta. “Cinta artinya kita merindukan jiwa sang kekasih, untuk menjadikan manusia sebagai seorang dewa. Rasanya aku juga tak percaya, perasaan seperti ini baru pertama kualami. Hanya dengan mengingatmu, dadaku begitu bergemuruh, hatiku melambung hanya dengan mendengar suaramu, dan betapa bahagianya aku bila kau menyentuhku...
Masumi bisa merasakan dadanya berdebar hebat, sama seperti yang dirasakannya saat Ia menyaksikan Akoya dan Isshin di panggung tadi. Masumi akhirnya mengerti maksud Maya. Kekasihnya tahu, bahwa Masumi sempat cemburu tadi. Sempat merasa menderita menyaksikannya di panggung.
Maya menengadahkan kepalanya, menatap Masumi. “Untuk apa nama dan masa lalu? Kita bisa bertemu dan sekarang ada di sini. Bukankah itu saja sudah cukup? Buanglah nama dan masa lalumu dan jadikanlah Akoya milikmu. Kau adalah aku yang satunya lagi, dan aku adalah kau yang satunya lagi.
Pria itu tersenyum, memeluk Maya lebih erat.
“Kekasihku…” panggil keduanya bersamaan, tersenyum penuh cinta pada satu sama lain.
Untuk beberapa lama, keduanya hanya berpelukan tanpa sepatah katapun terucap.

Ketukan dari Sawajiri mengejutkan sepasang kekasih itu. “Lima menit lagi babak kedua dimulai,” terangnya.
Maya dan Masumi saling memandang. Pria itu lantas membungkuk, mengecup ringan bibir dan dahi kekasihnya. Ia tersenyum lembut, lantas keluar dari kamar ganti Maya. Wajah gadis itu tampak berbinar-binar.
Masumi keluar dari ruang ganti Maya, mengangguk sebentar pada Sawajiri dan berjalan menuju kursi penonton.
Maya keluar tidak lama kemudian, mengikuti Sawajiri ke belakang panggung dan bersiap untuk babak kedua.
=//=
Mizuki baru saja keluar dari toilet wanita dan hendak kembali ke belakang panggung saat Ia kembali melihat sosok Hijiri. “Pak Hijiri…?” gumamnya. Kembali Mizuki mengikutinya. Ada apa dia di sini? Dan sekali lagi, Mizuki mengikutinya.
Sama seperti sebelumnya, Mizuki kehilangan jejaknya dan Ia tiba-tiba sudah berada di belakangnya.
“Apa kita akan terus seperti ini, Nona Mizuki? Kau mengikutiku setiap kali melihatku. Apa kau tidak ingat apa kata Pak Masumi waktu itu? Kau harus menganggap apa yang kau lihat hari itu tidak pernah terjadi. Jadi kau harus berpura-pura tidak mengenalku.”
Mizuki sedikit terkesiap. “A, aku tidak bermaksud membuntutimu!”
“Aneh sekali. Kukira itu yang kau lakukan sekitar,” Hijiri melihat jam tangannya, “4 menit yang lalu?”
Mizuki menelan ludahnya. “Aku bukan membuntutimu. Aku ha, hanya berpikir jangan-jangan ada sesuatu hingga kau—“
“Dan kemudian kau, membuntutiku!” tegas Hijiri.
Mizuki mengerrutkan alisnya. Ia tidak bisa mengelak. Memang demikian adanya. “Apakah ada sesuatu?” tanya Mizuki, mengalihkan perhatiannya.
“Kalaupun ada. Aku tidak bisa bilang kan?”
Mizuki berdecak kecil.
Hijiri sebenarnya merasa terhibur, melihat wajah setengah putus asa milik Mizuki. Ia begitu penuh keingintahuan, sementara Ia sendiri penuh rahasia. Perbincangan mereka tidak akan membawa mereka kemana-mana.
“Nona Mizuki.”
“Iya?”
“Aku harus pergi. Kau juga. Terlebih lagi, aku tidak bisa terlihat berbicara denganmu. Kau pasti sudah mengerti mengenai hal ini. Jadi bisakah kau berhenti mengikutiku?”
Mizuki nampak tidak rela. Ia sangat ingin tahu dan rasanya keingintahuannya itu bisa membunuhnya. “Apakah ada sesuatu?” desak Mizuki.
“Kau tidak akan melepaskanku begitu saja, ya?”
“Apakah ada sesuatu?” sekali lagi Mizuki bertanya.
“Tidak ada,” kata Hijiri. “Aku hanya berada di sini untuk memastikan semuanya baik-baik saja.”
“Benar begitu?”
“Benar, Nona. Sekarang, bisa kau kembali ke tempatmu dan biarkan aku menjalankan tugasku?”
Mizuki menghela nafasnya. “Baiklah—“
“Dan tolong, jangan mengamatiku, jangan menyapaku, dan terutama, jangan mengikutiku dan mengajakku bicara,” tegas Hijiri.
Raut tidak puas nampak di wajah sekretaris itu. Masalahnya, Ia sangat ingin tahu mengenai Hijiri. Ia tidak pernah begitu penasaran pada sesuatu seperti pada sosok pria di hadapannya itu. Ia merasa begitu tertarik. Lebih tertarik dibandingkan apa yang dirasakannya pada semua rahasia dan kekompleksan atasannya, Masumi. “Baiklah,” Ia mendesah.
Keduanya bertatapan beberapa saat, Mizuki membalik badannya hendak pergi, setelah melangkah beberapa saat, Mizuki kembali berbalik. Namun Hijiri sudah tidak ada. Ia sedikit terkesiap, lantas kembali mendesah. Sepertinya Ia dan pria itu tidak akan bisa mengenal lebih jauh. Karato Hijiri… Sebenarnya siapa dirimu…
Untuk sekian lama, nama itu terus bergaung di kepala Mizuki.
=//=
Hawa dingin dan syahdu, kabut samar merah jambu kembali menghiasi ruangan saat penonton dibawa lagi ke dunia Bidadari Merah.
Akoya sedang mencabuti rumput obat dan Isshin menemaninya saat Ia bertanya, apakah gadis itu sudah menemukan nama untuknya.
“Nama apa pun yang kau pakai, kau adalah kau,” Akoya berujar. “Dulu manusia tidak punya nama, namun manusia juga yang membawa nama ke dunia. Dahulu, waktu manusia masih menjadi dewa, mereka berkomunikasi dengan menggunkan hati. Kita tinggal memikirkan orang itu. Dewa saja tidak punya nama. Mereka digelari karena kegiatannya dan kepribadiannya,” kata Akoya.
“Lalu bagaimana kepribadianku?” tanya Isshin.
“Rahasia,” Akoya tergelak kecil, menggodanya.
“Ayolah, Akoya… Siapa namaku?”
“Panggilan apa pun sama saja. Apa kau tidak bisa merasakan kontak batin?”
“Kontak batin? Akoya, siapa yang mengajarkan itu kepadamu?”
“Langit.”
“Langit?”
“Juga bumi.”
“Bumi?”
Akoya lantas mengungkapkan bagaimana bumi ini dipenuhi nafas para dewa, bagaimana musik mengalun di seluruh semesta, mengantarkan kehidupan. Bergaung di setiap benda, setiap makhluk yang hidup dan yang mati. Akoya lantas tersenyum, dengan begitu agung. Rautnya begitu suci, hingga setiap orang yang melihatnya menahan nafasnya. Mereka disadarkan siapa Akoya: Ia seorang Dewi.
Isshin yang tersentak, melihat sosok sang dewi yang nampak pada Akoya, seketika ingatannya yang sempat tenggelam muncul ke permukaan.
Ishhin terpaku di tempatnya, kesadaran itu datang seperti listrik yang menyambar. Ia mempunyai sebuah tugas yang harus diselesaikan.
Isshin dan Akoya, saling memandang pertama kalinya, sebagai seorang gadis yang dititisi dewi dan seorang pemuda yang dititisi Buddha. Keduanya saling memandang dengan perasan sendu entah dari mana, entah kenapa. Seakan tahu apa yang akan terjadi dengan masa depan cinta mereka. Tiupan seruling yang menyayat hati, membuat para penonton mulai dirasuki kesedihan yang sangat.
Selanjutnya perlahan-lahan Isshin yang lama muncul. Ia memperlihatkan keahlian pedangnya saat seseorang hendak membunuhnya, Ia pun bermaksud membuatkan sisir namun malah memahat patung Buddha.
“Keterampilan tangannya sangat luar biasa,” kata seorang kritikus, mengomentari Sakurakoji. “Tidak bisa dipercaya ini adalah sandiwara jidaigeki pertamanya.”
“Sebenarnya siapa aku ini!?” Isshin nampak sangat putus asa.
“Kekasihku.” Jawab Akoya, terdengar tenang namun mengandung kepiluan.
“Aku tidak tahu siapa diriku, ada diriku yang lain muncul. Sebenarnya siapa aku!?” Isshin terlihat sangat kalut.
“Kekasihku, kemarilah, mendekat padaku. Beristirahatlah di sini,” Akoya memeluk Isshin, mendekap kepalanya, mengasihinya.
“Aku ingin terus begini, tapi hatiku seakan menyuruhku bangun. Siapa aku? Siapa yang ingin membangunkan aku dari mimpi indah ini? Aku tak mau bangun. Aku ingin terus berada di dalam mimpi ini. Akoya,” Ia menengadahkan wajahnya, membelai pipi Akoyanya. “Aku tidak ingin bangun. Aku ingin bermimpi terus bersamamu.”
“Kekasihku, kalau kau sebut ini mimpi, seumur hidup aku tidak ingin bangun,” Akoya berucap lembut, membelai sayang rambut kekasihnya.
“Akoya,” Isshin memejamkan matanya di pangkuan Akoya. “Kau sewangi bunga plum…” gumamnya.
Akoya menatap sendu kekasihnya. Membelainya hingga pria itu tertidur. “Istirahatlah, Kekasih, lupakanlah semuanya.”
Akoya lantas menengadahkan wajahnya. Wajahnya tidak banyak berkata, namun matanya menatap pedih ke langit. Pohon plum yang jatuh cinta, dan hatinya tengah dilanda kepiluan.
Kepedihan yang juga dirasakan para penonton. Diam-diam banyak yang menangis melihat adegan itu.
Selanjutnya jalan cinta Isshin dan Akoya semakin terjal. Saat Akoya mulai kehilangan kemampuannya. Indranya tak lagi bisa menerima gelombang dari para dewa. Ia tidak bisa mengerti bahasa alam. Orang-orang menyalahkan Isshin untuk hal itu. Mereka berusaha keras memisahkan keduanya. Hingga akhirnya Isshin ditahan di benteng kusunoki setelah difitnah sebagai seorang mata-mata.
Keadaan Akoya setelah berpisah dengan Isshin semakin mengkhawatirkan. Ia terlihat sangat rapuh dan lemah. Nafasnya berat.
Sekarat.
Ia tidak bisa hidup. Ia butuh kekasihnya. Tubuhnya semakin melemah dan Ia sakit.
Menderita.
Namun saat Kusunoki bertanya mengenai kehidupan, mengenai dewa. Sang Bidadari bangkit dalam diri Akoya, dengan nafas tersenggal, Ia mengisahkan kasih dewa di dunia. Bahwa manusia tidak punya hak atas nyawa orang lain. Manusia tidak boleh mengambil nyawa orang lain. Mimik yang suci dan agung itu kembali muncul. Semua bisa melihat jiwa bidadari merah yang tertidur di dalam diri Akoya.
Mendekati klimaks, peperangan kembali terjadi. Tentara datang dari berbagai arah, suara-suara api dan pedang kembali terdengar lantang. Teriakan, kepedihan, ketakutan, membahana menguasai suasana di dalam ruang teater. Membuat penonton gemetar, ketakutan.
Saat Akoya yang sudah kehilangan kekuatannya pergi berlindung ke daerah terlarang dengan penduduk desa, Isshin kembali mencarinya. Namun yang ditemuinya adalah mayat-mayat bergelimpangan. Hal itu membawa semua ingatannya dari masa lalu kembali.
Isshin gemetar hebat. Ia kini tahu. Siapa dirinya. Apa tugasnya. “Aku harus memahat patung Buddha!! Aku harus memahat patung Bidadari!! Dari Pohon Plum Abadi!!” Teriakan Isshin menggema menembus setiap sudut ruang. Menggetarkan setiap orang yang mendengarnya.
Ia sudah menemukan jati dirinya. Ia kini mencari kekasihnya.

Isshin menemui nenek Akoya.
“Dasar pembawa sial!” rutuk si Nenek. “Semua gara-gara kamu!! Gara-gara kau Akoya kehilangan kekuatannya dan sekarat.”
Isshin sangat terkejut mendengarnya. “Apa maksudmu Nek? Dimana Akoya?”
Isshin merasa jantungnya diremas kuat, saat Nenek Akoya menjelaskan siapa Akoya sesungguhny. Apa yang bersemayam di tubuh Akoya.
“Akoya adalah putri dewa! Dia adalah pohon plum abadi. Pohon plum merah abadI!”
“A, apa!!?” kembali tubuh pria itu bergetar hebat, dengan kapak di tangannya.
Sebuah suara yang mengejutkan terdengar. Para penonton terlonjak. Suara itu adalah para prajurit yang memasuki daerah terlarang, tengah di serang para dewa. Di sanalah Akoya berada sekarang. Ke sanalah, Isshin menuju.
“Aku harus memahat patung bidadari dari pohon plum berusia ribuan tahun…” Terseret-seret Isshin menuju ke daerah terlarang. Rautnya sangat galau.”Akoya… Kekasihku…” Ia menengadah ke puncak bukit. Sebuah gerbang dengan kertas doa menghiasinya.
Lampu sorot beralih ke sisi lain gerbang. Sebuah pohon plum abadi menjulang di sana, dan Akoya yang sekarat sedang berusaha mengumpulkan kekuatannya, berusaha bertahan hidup. Di kaki bukit, Isshin berusaha mendakinya, dengan kapak besar di tangan, hendak menjalankan misinya.
Tiba-tiba para tentara muncul dari sisi kiri dan kanan penonton. Sekarang seluruh ruangan menjadi daerah terlarang. Para dewa terbang diantara awan. Dewa yang satu meniupkan angin yang berhembus kencang. Dewa lainnya menurunkan kabut yang menghalangi pandangan mata. DEwa satunya lagi menyalakan petir. Ruangan itu berkejap beberapa kali dan terdengar suara petir yang memekakkan telinga. Para penonton berteriak terkejut.
Sementara Akoya tubuhnya semakin lemah, tersungkur di kaki pohon plum, bahkan untuk bangun pun sangat sulit. Wajahnya pucat pasi dan nafasnya sangat berat. Ia tampak begitu kesakitan dan rasa sakit itu pun dirasakan para penonton. Beberapa memegangi dadanya sendiri, berusaha bernafas.
Isshin berusaha keras mendaki bukit dengan angin besar berhembus ke arahnya, kabut menghalangi pandangan matanya, Ia terus mendaki.
“Namun, ada seorang yang bisa menebang pohon itu, yakni orang yang mencintai Bidadari Merah.” Kata seorang dewa.
“Lihat! Dia sudah datang dengan membawa kapak!!”
“Huh! Dasar tak tahu malu!! Ayo kita ingatkan dia—“
“Percuma! Walaupun diingatkan angin dan halilintar, kekuatan kita tak akan ada pengaruhnya!”
“Lalu bagaimana!? Kalau dia sampai menebang pohon plum, raga Bidadari Merah kita, nyawa kira juga terancam!”
“Yang bisa mengatasinya hanya kekuatan Bidadari Merah! Jika Pohon plum itu ditebang, Bidadari Merah pun tidak akan bisa menyelamatkan nyawanya.”
“Apakah Bidadari Merah akan mampu melawan? Ia harus mencurahkan kekuatannya!!”
Semenatar Ishin sudah semakin dekat menuju pohon plum berusia ribuan tahun, Bidadari Merah tengah berusaha mengumpulkan kekuatannya.
“Aku harus melindungi Pohon Plum ini. Aku harus melindungi dunia para dewa…”
“Aku harus memahat patung Bidadari, agar kedamaian kembali ke muka bumi!” Tekad Isshin.
Saat itu angin bertiup semakin kencang, petir menyambar semakin keras.
Para penonton benar-benar sudah lupa diri dimana mereka berada. Mereka seperti pepohonan, bebatuan di daerah terlarang. Ada di sana, menjadi bagian dari peristiwa penting namun hanya sanggup menyaksikan.
Bidadari Merah berusaha keras berdiri, perlahan-lahan sosok penuh kuasa itu kembali berusaha bangkit. Saat alam semakin mengamuk, ditengah angin kencang dan suara petir yang mengguncang, akhirnya Bidadari Merah terbangun dalam diri Akoya. Ia kembali melayang, menari di udara. Sangat lembut, dan cantik. Menginjak tanah dengan anggun dan masih nampak seringan bulu, selembut kapas. Sosoknya yang seakan tak berdaging dan tak nyata, menari dengan indahnya mempesonakan mata di tengah keporakporandaan alam sekitarnya.
Bidadari Merah telah bangun. Dan saat itulah, Isshin datang, dengan kapak besar di tangannya.
Keduanya berhadapan. Penonton terbelit dengan ketegangan dan juga kepiluan dari sepasang kekasih yang harus melawan satu sama lain.

“Akoya…” Mata Isshin membulat. “Benarkah Akoya, bahwa kau adalah Bidadari Merah?”
“Benar, Isshin…” Suara itu bening dan jernih, segala kesakitan yang tadi nampak padanya sudah tak ada. Ia terlihat begitu agung dan berkuasa. “Dan apa yang kau lakukan di sini?”
“A, aku…” Isshin memandangi Akoya. “A, aku…” suaranya bergetar, Ia lantas memandang kapak besar di tangannya. Aku harus memahat patung Bidadari Merah. Ia kembali menatap pada Bidadari Merah dengan kebimbangan yang sangat. “Akoya, aku sudah ingat siapa diriku. Aku sudah tahu apa tugasku…” katanya. Caranya berbicara seperti memohon, agar Akoya mau memahaminya.
“Dan apa tugasmu, Isshin!?” Mata itu menatap nyalang, petir kembali terdengar.
Isshin menggenggam kapak dengan kedua tangannya. “Kau pasti sudah tahu apa tugasku… benar kan, Akoya?” tanya Isshin sendu. “Kau pasti tahu siapa aku. Kenapa Akoya? Kenapa kau tidak mengatakan siapa aku? Kenapa kau tidak mengatakan siapa kamu…?”
“Apakah itu penting, Isshin? Siapa diriku dan siapa dirimu? Apa yang akan kau lakukan dulu jika kau tahu siapa aku dan siapa kamu? Apa yang akan kau lakukan, Isshin?” Desak Akoya. “Bukankah sekarang pada akhirnya kau tahu? Aku berada di sini sekarang, begitu juga dirimu. Bukankah kau sudah menemukan jawabannya?”
“Akoya…” ujarnya, sangat getir. Ia menelan ludahnya pahit. “Aku harus memahat patung Dewi dari batang pohon plum berusia ribuan tahun,” Isshin memandang pohon di belakang Akoya.
“Aku tidak akan membiarkan!!” Suara Bidadari Merah melengking nyaring, dan petir kembali menyambar. “Lihat dirimu Isshin! Apa yang kau lakukan!!? Kau mengabdikan dirimu, pada makhluk-makhluk tidak berbudi? Manusia?” Suaranya mulai menggema menakutkan. “Makhluk yang hanya tahu bagaimana membuat kekacauan? Makhluk-makhluk egois yang hanya bisa mendatangkan kehancuran di muka bumi? Bagi kaumnya sendiri dan bahkan seluruh alam!!?” Murkanya. “Hoooooooo~!!!!!” Akoya mengangkat tangannya, sangat marah dan angin yang teramat kencang berhembus kuat.
“Tapi manusia juga makhluk yang penuh kasih!” Seru Isshin. “Mereka rela berkorban demi orang-orang yang disayanginya. Kasih sayang Ibu kepada anak-anaknya, pengorbanan seorang ayah bagi keluarganya, perjuangan seorang anak untuk berbakti kepada orang tuanya, ketulusan cinta sepasang kekasih, sahabat yang saling berbagi, bukankah kau tahu itu?” Isshin berjalan mendekat.
“Jangan mendekat!!” Teriak Bidadari Merah. “Aku tidak mengira kau bisa menjadi kacung untuk makhluk bodoh dan tidak tahu diri! Mereka saling membunuh! Mereka tidak lagi ingat bagaimana belas kasih dewa yang sudah diberikan pada mereka selama ini. Lihatlah para prajurit selatan itu!!” Akoya menunjuk kepada para prajurit selatan yang tengah menyerbu masuk daerah terlarang. “Mereka sudah menghina para dewa! Mereka membawa senjata ke daerah terlarang, rumah para dewa! Dan bermaksud membunuh! Sungguh tidak tahu budi! Mereka pikir siapa mereka, sehingga merasa punya hak membuat kekacauan!? Merenggut nyawa orang lain? Bahkan seujung kuku bukan mereka yang menciptakan! Bahkan sehelai rambut bukan mereka yang menumbuhkan!!!” Amarah sang dewi semakin menjadi. Awan hitam bergelantungan di langit dan petir menyambar-nyambar semakin keras. “Menyingkirlah Isshin!!!”
“Aku tidak akan pergi!!” Isshin berusaha menahan rasa perih di matanya akibat angin kencang yang terasa menusuk-nusuk matanya. “Manusia memang bodoh, karena itu mereka sering melupakan semua kenikmatan yang telah mereka peroleh! Namun mereka hanya terlupa. Akoya! Tidakkah kau mendengar, doa dan harapan dari orang-orang yang merasa ketakutan dengan ini semua? Mereka pun menginginkan kedamaian. Mereka pergi ke kuil untuk berdoa meminta kedamaian. Ke kuil para dewa, atau ke kuil Buddha, setiap saat, hanya berharap semua ini segera berlalu, agar mereka bisa kembali bercocok tanam. Bisa berkumpul dengan keluarganya, dengan orang yang dikasihinya. Bisa melakukan perayaan dan memberikan persembahan. Anak-anak bisa bermain lagi dan senyuman bisa muncul di wajah mereka lagi. Tidak selalu ketakutan seperti sekarang. Mereka hanya harus diingatkan. Hanya perlu melihat harapan bahwa cinta kasih itu masih ada…” ujar Isshin.
Akoya memandang kekasihnya dengan bersikukuh. “Tapi aku harus melindungi para dewa!”
“Bukankah manusia awalnya adalah dewa?” tanya Isshin. “Bukankah itu yang kau katakan? Manusia ingin bertemu kekasihnya, agar bisa menjadi dewa, dan melahirkan manusia-manusia lainnya? Jika para kekasih terpisah, maka tidak akan ada lagi dewa. Jika kebencian terus meluas seperti ini, para dewa akan semakin dilupakan. Tapi jika ada kedamaian dan cinta kasih, perlahan-lahan manusia akan teringat kepada siapa mereka harus berterima kasih, saat melihat matahari terbit, saat melihat tumbuhannya bermekaran, tanamannya berbuah, dan senyuman kembali di wajah anak-anak dan kekasih mereka,” kata Isshin.
“Kau ingin aku mati?” tanya Akoya pilu. “Kau ingin dunia para dewa hancur!!!?”
Isshin menatapnya sendu. “Akoya, Kekasihku… Entah sudah berapa lama aku menunggu, entah sudah berapa kehidupan kujalani sebelum aku bertemu kamu,” katanya. “Tapi aku tidak menyesal, walau hanya menghabiskan waktu yang singkat bersamamu. Kau membuatku mengerti bagaimana rasanya begitu mencintai dan dicintai. Kau begitu penuh cinta dan kasih sayang.” Ia berkata seakan-akan baru disadarkan pada sesuatu yang penting. “Aku mencintai jiwamu, siapa pun kamu. Selama hati kita satu, kita tidak perlu menyebut nama. Hanya kau dan aku,” kata Isshin. “Kau adalah aku yang satunya lagi, aku adalah kau yang satunya lagi. Selama aku bernafas, kau tidak akan pernah mati bagiku. Jika aku mampu, Kekasihku, bahkan raga ini akan kupersembahkan untukmu. Biar aku yang menanggung semua rasa sakitmu,” kata Isshin. “Mendekatlah kepadaku, Kekasihku.” Ia mengulurkan tangannya.
Sangat ironis, pikir penonton. Ia mengulurkan satu tangannya sementara tangan satunya menggenggam kapak.
Bidadari Merah mematung di tempatnya. Kemarahannya sudah tidak begitu tampak, namun berganti kesedihan yang sangat. “Kenapa kau mau melakukan semua itu?”
“Agar tercipta kedamaian di bumi,” jawab Isshin. “Agar manusia ingat, kepada siapa mereka harus berterima kasih untuk semua berkah yang mereka peroleh. Agar tercipta harapan,” Ia menjawab lebih lembut.
Wajah sang Bidadari kembali mengeras.
“Aku akan memerintahkan angin menghempaskanmu! Apa yang akan kau lakukan?”
“Aku akan bangkit, dan maju selangkah mendekatimu.”
“Aku akan memerintahkan petir menyambarmu! Apa yang akan kau lakukan!?”
“Aku akan menerimanya, dan maju selangkah mendekatimu.” Katanya mantap.
“Hooooooo~!!!!” Sang dewi bertudung Merah mengangkat tangannya dan menatap nyalang.
Seketika angin yang kencang berhembus sangat kuat, Isshin terhempas ke tanah.
BRUG!!!
Dan para penonton terenyak.
Sang dewi menatapnya, menahan tangisannya.
Perlahan Isshin bangkit, dengan kapak masih tergenggam kuat di tangannya. Kembali Ia menjulurkan tangan satunya. “Kekasihku,” katanya, selangkah mendekati Bidadari Merah.
“HOOOOO~!!!!” Bidadari Merah kembali memerintah, dan, Ctaaaar!!! Suara petir menyambar sangat keras. Sebuah kilat muncul menghantam lengan Isshin.
“Aaarrggghh!!!!” Isshin mengerang kuat. Kesakitan. Kapaknya lepas dari tangannya dan terjatuh, Isshin pun tersungkur.
Bidadari Merah mengamatinya. Semua bisa melihat, betapa keras raut wajahnya, namun betapa sedih sorot matanya.
Isshin tidak bisa menggerakkan sebelah tangannya yang menghitam tersambar petir, namun dengan tangan satunya, Ia kembali meraih kapak besar itu. Isshin kembali bangkit, menatap sendu kepada Bidadari Merah. “Kekasihku…” katanya, dan berjalan selangkah mendekatinya.
Bidadari Merah menatap begitu pilu kepada Isshin. Keduanya tahu, andaikan Ia mau, Isshin akan kehilangan nyawanya sebelum dia.
Bidadari Merah berlari ke arah Isshin. “Kekasihku…!!” Serunya, menghempaskan diri pada pelukan Kekasihnya yang tak pernah dilihatnya selama berbulan-bulan, yang sungguh sangat Ia rindukan. “Kekasihku…” hanya itu yang diucapkannya, saat Isshin menjatuhkan kapaknya dan mendekapnya sangat erat.
“Akoya, Kekasihku, aku sangat merindukanmu,” Isshin berkata dengan begitu bergelora. “Aku begitu mencintaimu, tidak melihatmu membuat setiap detak jantungku terasa begitu menyakitkan karena aku merindukanmu.”
“Kekasihku,” Akoya menyentuh pipinya. “Apa kau akan melupakanku?”
“Tidak akan pernah,” ucap Isshin sendu. “Di mataku, hanya ada kamu. Dalam setiap helaan nafasku, hanya akan ada namamu. Dalam setiap denyut nadiku, hanya akan memanggil jiwamu. Jika aku telah menunaikan tugasku,” Isshin meremas tangan Akoya di wajahnya. “Aku akan datang kepadamu!”
Mata sang dewi melebar. Sebegitu dalam cinta kekasihnya kepadanya. Raut wajahnya kini kembali tenang. Dan suci. “Manusia sedang tersesat, mereka tidak ingat lagi bagaimana caranya saling mengasihi. Tapi kau, dan aku, akan mengajarkan kepada mereka, apa itu cinta kasih yang sesungguhnya,” sang bidadari tersenyum. Senyuman yang memikat dan mempesonakan setiap orang karena tampak begitu damai. “Demi kembalinya kedamaian ke dalam hati manusia, tunaikanlah tugasmu, Kekasihku.”
Pelukan Isshin mengerat. ”Kekasihku! Andai bisa kupersembahkan tubuh ini sebagai penggantimu. Andai aku sanggup mengubah takdir—“
“Kekasihku,” sang dewi menyurukkan wajahnya di dada kekasihnya. “Sebagaimana kau yang rela mati di tanganku, tidak ada yang lebih sempurna dari kematianku di tanganmu, demi sebuah harapan bahwa kedamaian akan tercipta di bumi ini.” Ia kembali menengadahkan wajahnya. “Tapi kau, Kekasihku. Hiduplah untukku.”
“Kekasihku…”
Bidadari Merah meraih tangan Isshin yang tersambar petir, Ia mengecupinya perlahan. Ajaib, tangan itu kembali sembuh perlahan-lahan. Tangan yang nanti akan mencabut nyawanya. Lantas sang Dewi menengadahkan wajahnya, tersenyum penuh cinta kepada Isshin. “Tunaikanlah tugasmu, Kekasihku. Aku akan selalu bersamamu.”
“Kekasihku…!” Isshin semakin tidak rela. “Kau adalah aku yang satunya lagi, aku adalah kau yang satunya lagi. Kita asalnya satu jiwa dan akan kembali menjadi satu jiwa. Kebahagiaanmu akan menjadi kebahagiaanku, dan rasa sakitmu akan menjadi rasa sakitku,” ucap Isshin.
Keduanya berpandangan, alam semakin tenang. Hanya kabut tipis kemerahan yang masih terlihat di sekelilingnya. Bidadari Merah mengecup pipi Isshin. “Sampai jumpa, Kekasihku.”
Ia melepaskan diri dari pelukan Isshin dengan cepat.
“Kekasihku!!!” Isshin menggapaikan tangannya.
“Piiiiiiip… Piiiiip… Piiiiiip…” Suara mendayu sendu kembali terdengar.
Bidadari Merah memperlihatkan kembali tariannya yang indah dan mempesonakan. Isshin terpana di tempatnya. Kekasihnya terlihat begitu cantik. Setiap mata memandangnya hampir tanpa kedip dan setiap fotografer tidak berhenti mengabadikannya. Ada kepiluan dari setiap gerakannya namun juga keindahan tak terkira. Semua begitu terpana seakan terkena hipnotis. Perlahan-lahan kedamaian kembali terasa. Kain-kain berputar, melambai. Saat Bidadari Merah menghilang, tudung merahnya jatuh menyentuh tanah. Saat itu bahkan semua masih terpesona.
“Kekasihku…” Isshin berlari, menghampiri kain tudung yang tergeletak di tanah. “Kekasihku…!” Ia memeluknya, dan mulai menangis.
Sebuah suara menggema di semesta. “Tunaikan tugasmu, Kekasihku. Dan hiduplah untukku. Kembalikan kedamaian di muka bumi ini. Kekasihku….”
Isshin tertegun, Ia kembali menoleh kepada kapak besar yang tergeletak. Ia bangkit, melingkarkan tudung Akoya di tubuhnya, Ia lantas mendekati kapak besar itu. Mengangkatnya. Terasa jauh berat dari sebelumnya. “Beri aku kekuatanmu, Kekasihku, untuk menunaikan tugasku,” Ia mengangkatnya. Sedikit terhuyung-huyung mendekati pohon plum merah berusia ribuan tahun yang menjulang agung di hadapannya.
Isshin menyentuhnya, merabanya lembut. “Kekasihku,” bisik Isshin. “Kau hangat sekali. Di tengah hawa yang begitu dingin ini, kau terasa begitu hangat,” katanya. Ia lantas memeluknya. “Kekasihku… Kau adalah aku yang satunya lagi, aku adalah kau yang satunya lagi. Kita asalnya satu jiwa dan akan kembali menjadi satu jiwa. Kebahagiaanmu akan menjadi kebahagiaanku, dan rasa sakitmu akan menjadi rasa sakitku.” Isshin lantas melepaskan pelukannya. Ia mengangkat kapaknya tinggi dan menghantamkannya ke batang pohon itu.
“Kraak!!” Mata kapak menembus batang pohon.
“Aaaarggghh!!!!” Isshin mengerang kesakitan. Ia sangat kesakitan. Ia memegangi perutnya dan susah payah berusaha untuk bernafas dengan berat. Ia menguatkan dirinya. Diangkatnya tinggi kapak itu.
Lampu sorot menyala, memperlihatkan bidadari merah tersimpuh di tanah, terengah.
“Kraak!!” Mata kapak kembali menembus lebih dalam.
“Blug!!” Isshin terjatuh di lututnya, dan tubuhnya gemetar. Ia kembali mengerang kesakitan.
Bidadari Merah yang sekarat, tampak pucat, Ia memegangi perutnya dan nafasnya terputus-putus. “Kekasihku…” bisiknya berat.
“Kekasihku…” panggil Isshin, begitu pilu. Ia mengangkat kapaknya kembali tinggi-tinggi dan menghujamkannya ke fisik sang bidadari merah, kekasihnya. Air matanya menetes dan semakin deras. Karena sakit lahirnya, karena sakit batinnya.
Para penonton hanya menjadi saksi bisu dengan air mata beruraian di wajah mereka, melihat pengorbanan dua kekasih demi kembalinya kedamaian di muka bumi.
Isshin akhirnya berhasil merubuhkan pohon itu. Nafasnya sudah begitu sesak menahan rasa sakitnya. Ia merasa nafasnya sudah berada di ujung tenggorokannya. Tapi Ia harus kuat. Ia mengambil sebongkah batang pohon, dan meletakannya di hadapannya. Ia menangkupkan tangannya dan membungkuk. “Bawalah kedamaian kembali ke hati manusia.” Ia lantas mengeluarkan peralatan memahatnya, dan mulai memahat. Wajah Isshin mulai berubah, Ia tampak kembali damai dan sangat khusyuk dengan pahatannya. Kemudian patung itu pun jadi. Sebuah patung Bidadari Merah, yang dipahatnya dengan perasaan cinta yang Ia miliki untuk Kekasihnya. Patung yang begitu cantik, begitu suci dan agung dengan raut yang membuat siapapun yang melihatnya merasa begitu damai.
Isshin berdoa di hadapannya. Lelah, Ia akhirnya tertidur. Saat Isshin tidur, angin berhembus dengan damai. Kelopak-kelopak bunga plum berjatuhan. Suara cicit burung kembali terdengar dan suara jatuhan air terjun yang damai. Lampu sorot mengecil, dan gelap.
Sebuah dunia mimpi muncul. Akoya berlari dan Isshin mengejarnya, keduanya tertawa-tawa begitu bahagia. Isshin memeluknya, gadis cantik itu memekik kecil. Keduanya duduk mesra di bawah sebuah pohon plum, Isshin memeluk kekasihnya.
“Siapa aku?” tanya Isshin.
“Kekasihku,” jawab Akoya mesra.
“Siapa namaku?”
“Kau adalah kau. Siapapun namamu, kau adalah dirimu. Dulu manusia tidak punya nama. Bahkan Dewa tidak punya nama. Dia hanya digelari menurut sifat dan pekerjaanya. Berdasarkan kepribadiannya,” kata Akoya, yang selalu berseri jika bercerita mengenai para dewa.
“Lalu bagaimana keprbadianku?” Isshin kembali bertanya.
Akoya tersenyum sangat lembut. Ia bangkit dari sandarannya, menangkup wajah Isshin. “Kau adalah seseorang yang sangat tulus. Ketulusan. Itulah dirimu Kekasihmu. Hanya dengan Ketulusan, maka kedamaian akan mengisi hati manusia, dan  kemudian memancar dan tercemin di seluruh alam,” Ia tersenyum. Begitu suci. Tidak terelakkan, Ialah Sang Dewi, Bidadari Merah.
Isshin membalas ucapan kekasihnya, dengan sebuah senyuman yang begitu damai.
Dunia mimpi itu selesai. Selanjutnya adalah adegan penutup yang mengisahkan bertahun-tahun kemudian saat Kaisar memandangi sebuah pohon plum dan berkata penuh sesal kepada Terafusa, “Jadi kamu tidak tahu kemana pemuda itu? Padahal aku ingin membalas jasanya.”
Terafusa menjawab, “saya sudah berusaha mencarinya sekuat tenaga tetapi nihil. Namun saya mendengar kabar dari desa ke desa mengenai pendeta pengembara sakti. Pendeta itu tidak pernah menyebut namanya. Dia bisa memahat patung Buddha yang indah untuk disembah. Bila perndeta itu berdoa di depan patung buatannya, kemarau akan berganti hujan, tanah yang rusak akan subur kembali dan di tanah yang kering akan keluar mata air. Selain itu, sekali dia berdoa, badai akan berhenti, hujan akan hilang, bahkan aliran sungai akan tenang. Daerah yang dilanda penyakit akan bebas dari wabah penyakit jika Ia memahatkan patung Buddha. Doa juga pandai meramu obat dari tumbuhan. Dia tidak pernah lama tinggal di suatu tempat. Sambil memahat patung Buddha, ia terus mengembara. Berbicara dengan langit, bersapa dengan bumi, berteman dengan awan. Kadang berdoa demi perdamaian, kadang menolong rakyat jelata. Kadang menyuburkan tanah tandus.Ia selalu berdoa melalui patung Buddha yang dipahatnya. Barangkali raganya saja yang masih di bumi, sedangkan jiwanya sudah berjalan di langit,” tutur Terafusa. “Walaupun kita menemukannya, jiwanya taka akan ikut turun.”
Kaisar memandangi khidmat pohon plum di hadapannya. “Ada wanita yang jiwanya milik dewa, ada pula laki-laki yang demikian. Keduanya telah bersatu seperti dewa dan sang Buddha yang sekarang diagungkan. Dalam patung itu mungkin telah bersemayam pula roh sang pendeta pengembara tadi…”
Kaisar memandang ke arah langit. Langit yang tenang dan damai. Angin berhembus perlahan, semilirnya begitu terasa, dengan keharuman bunga plum yang dibawanya. Perlahan lampu sorot hanya menyinari sebuah pohon plum yang dipenuhi bunga-bunga plum merah yang bermekaran memenuhi batangnya. Lampu itu menyorot semakin kecil, hingga hanya tinggal sebuah bunga plum merah, lantas gulita.
“Kekasihku,” suara Isshin terdengar menggema dalam kegelapan. “Dimana dirimu?”
Tidak lama terdengar jawabnya. “Di sini. Bersamamu,” jawab Akoya.
Tirai lantas turun menutup panggung Bidadari Merah, dan lampu kembali menyala. Para penonton terkejut. Mereka lupa dimana mereka berada. Mereka tidak merasa sedang melihat sandiwara, mereka merasa ditarik melalui ruang lorong dan waktu dibawa ke dunia Bidadari Merah sebelum kemudian dihempaskan kembali ke tempat duduknya masing-masing. Di ruang Teater gedung Daito.
Tepuk tangan segera terdengar begitu bergemuruh, seakan-akan sebuah badai datang tiba-tiba. Sangat riuh. Tidak ada pertunjukan yang pernah mendapat sambutan sehebat ini. Semua orang berdiri, ada yang masih menangis. Mereka tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata apa yang mereka rasakan secara pasti, bahkan rasanya standing applaus tidaklah cukup menggambarkan kekaguman mereka pada persembahan yang baru saja dilihatnya.
Perlahan tirai kembali terbuka para pemain inti dipanggil. Dan saat Maya melangkahkan kakinya memenuhi panggilannya, gedung itu semakin bergemuruh seakan-akan hendak runtuh.
Maya menatap Masumi yang memandanginya lekat. Ia bertepuk tangan dan tersenyum puas. Hanya dia saja yang Maya pandangi. Bahkan di tengah tepuk tangan yang begitu gemuruh, Maya bisa mendengar tepuk tangan Masumi yang begitu kuat di telinganya, seakan-akan berkata, “kau hebat, Kekasihku!”
Maya tersenyum lebar untuknya. Pria yang telah begitu setia menjadi pendukung dan pelindungnya sejak pertama kali Ia naik panggung. Pria yang telah begitu tulus mencintainya dan dicintainya dengan sepenuh hati.

Hingga tirai diturunkan kembali, masih terdengar riuh rendah tepuk tangan penonton dan seruan memanggil Akoya dan Isshin. Malam itu, pementasan perdana Bidadari Merah sukses besar.
Masumi kembali duduk, mengamati Ayahnya yang sedang menghapus air matanya dengan sapu tangan.
“Ayah,” panggil Masumi lembut. “Ayo kubantu ke kursi rodamu.” Katanya.
Masumi mengangguk. Ada seorang pegawai yang sudah menyiapkan kursi roda, Masumi memapah Eisuke ke sana dan mendudukkannya. Eisuke mengamati Masumi beberapa saat. Putranya ini semakin hangat belakangan. Ia suka menanyakan kabar Ayahnya, kadang mengingatkannya makan. Mungkin awalnya Maya yang mengingatkan Masumi agar lebih perhatian kepada Ayahnya, namun lama-kelamaan, sudah mulai jadi kebiasaan pria tampan tersebut.
“Ayah, aku akan menemui Maya di ruang ganti. Ayah duluan saja ke ruang pesta,” Masumi berujar.
“Oh, ya, ya, kalau aku jadi kau, aku pun pasti tidak sabar ingin bertemu dengannya.
Masumi tertegun, Ia bisa merasakan wajahnya sedikit menghangat, dan dalam diam berlalu malu dari ayahnya.
Eisuke tersenyum tipis melihat anaknya yang salah tingkah Ia buat. Masumi memang nampak seperti remaja jika sudah berkaitan dengan Maya. “Ayo kita ke ruang pesta,” perintah Eisuke.
=//=
Masumi berjalan ke belakang panggung. Di belakang para staf dan pemain terlihat sangat gembira dengan kesuksesan pementasannya. Ada yang tampak terharu, namun wajah mereka terlihat berseri-seri.
“Kerja yang bagus, semuanya,” puji Masumi, terdengar sangat berwibawa.
Para pegawainya membungkuk, mengatakan mereka sangat bersyukur.
“Anda sangat hebat, Pak Kuronuma. Aku mohon kerja samanya untuk menyukseskan pentasnya hingga hari terakhir.”
Kuronuma menerima uluran tangan Masumi dan menjabatnya erat. “Saya sungguh tidak mengira, hasilnya seluar biasa ini,” aku Kuronuma. “Daito benar-benar luar biasa, dengan teknologi modern, bisa memenuhi keinginan saya untuk membuat pentas ini sealamiah mungkin. Saya akan berusaha keras Pak Masumi, untuk menyukseskan pentas sampai hari terakhir.”
Masumi mengangguk. Ia lantas berjalan menuju ruang ganti rekan bisnisnya, pemilik hak pementasan Bidadari Merah, sekaligus Bidadari Merah itu sendiri dan juga Kekasihnya.
“Pak Masumi!” Mizuki menghampirinya, dengan sesuatu di tangannya. “Ini tuxedo dan dasi Anda untuk pesta malam ini.”
Masumi mengangguk Ia lantas berganti pakaian sebelum menuju ke ruang ganti Maya.
=//=
“Maya…” Masumi mengetuk pintu ruang ganti Maya. Ada sebuah buket Mawar Ungu di tangannya.
Ia bisa mendengar seseorang berbicara di dalam sepertinya Sawajiri. Pintu kamar rias terbuka, Sawajiri lantas membungkuk.
“Selamat malam Pak.”
“Selamat malam,” sapa Masumi. “Maya sedang apa?”
“Sedang dirias, sudah mau selesai.” Jelas Sawajiri. Handphonenya kembali menyala. “Saya permisi dulu Pak, sudah banyak tawaran yang datang kepada Maya sejak tadi,” terang Sawajiri.
“Tolong berikan dokumennya besok kepadaku.”
“Baik Pak,” Sawajiri lantas permisi pergi.
Masumi masuk ke dalam. Maya sedang berdiri di depan cermin, mengenakan sebuah gaun malam panjang berwarna merah dengan leher berbentuk V yang sangat cantik. Dari bagian bahu kirinya sebuah kain menjuntai seperti selendang ke belakang punggungnya. Di bagian pinggangnya terdapat berbagai hiasan cantik berwarna putih yang membuatnya terlihat anggun. Rambutnya dibuat ikal, diikat dan diangkat ke belakang. Antingnya berwarna senada dengan manik yang menghiasi gaunnya. Maya terlihat sangat cantik.
“Sudah selesai?” tanya Masumi.
“Sudah Pak, hanya tinggal sepatunya,” perias itu meraih sebuah boks sepatu.
“Olehku saja,” kata Masumi.
Perias itu mengangguk dan pamit keluar.
Masumi menatap kekasihnya yang juga sedang menatapnya seraya tersenyum mesra kepadanya.
“Kau cantik sekali,” puji Masumi. Bisa dilihatnya gadis itu tersipu-sipu sementara jantungnya sendiri berdebar-debar. Masumi menghampirinya tanpa sedetikpun melepaskan pandangan darinya, dengan hampir tanpa kedip.
Maya hanya mematung di tempatnya. Masumi pun terlihat sangat tampan, Ia merasa lututnya menjadi lemas. Dasi dan sapu tangan pria itu berwarna merah, sesuai dengan gaun yang dikenakannya sekarang.
“Pak Masumi,” Maya menyebut namanya seraya menengadahkan wajahnya, saat pria itu berjarak setengah meter darinya.
Keduanya saling memandang, saling mengagumi.
“Untukmu,” Masumi menyerahkan buket mawar ungunya,
Gadis itu tersenyum lebar, menerimanya dengan berseri-seri. “Terima kasih,” katanya penuh haru. “Cantik sekali,” Mendekapnya, menciuminya.
“Begitu juga dirimu,” Masumi berucap. “Cantik sekali, Sayang.” Ia mengusap pipi Maya dengan punggung jemarinya. “Cantik sekali,” gumamnya lagi, terdengar sangat kagum. “dan aktingmu tadi, sungguh luar biasa. Sebuah pertunjukan yang sangat istimewa. Sempurna.” Puji Masumi.
Gadis itu semakin berseri-seri, bisa dirasakannya dadanya yang semakin berdebar saat Masumi menuturkan, bagaimana perasaannya saat melihat Maya berakting. Bahwa Masumi merasa seakan-akan sedang menyaksikan keajaiban, bertemu dengan seorang dewi yang sesungguhnya. Caranya bicara, bergerak, bicara, menari, Masumi benar-benar terpikat. “Ahh… bahkan sekarang aku masih merasa gugup berhadapan denganmu,” Masumi berkata.
“Bruk!!” Maya memeluk Masumi dan membuat pria itu terkejut. Maya tertawa kecil, namun matanya berkaca-kaca. Ia sangat tersentuh dengan semua pujian dan kata-kata Masumi. “Benarkah? Benarkah semua yang Anda katakan itu, Pak Masumi?”
“Tentu, Maya. Aku tidak pernah merasa sebegitu takjub. Kau benar-benar hebat…” puji Masumi.
“Aku melakukannya, sambil memikirkanmu. Aku ingin Pak Masumi senang melihat aktingku. Aku ingin memberikan persembahan yang terbaik untukmu. Dan mendengar semua ucapanmu barusan, aku sangat bahagia.”
Masumi tersenyum, mendorong bahunya perlahan, dan meraih dagu gadis itu, membungkukkan tubuhnya dan menciumnya penuh cinta. “Aktingmu sangat bagus, Kekasihku…”
“Terima kasih,” bisik Maya, saat bibir mereka masih dekat. “Terima kasih banyak,” ia terharu.
Masumi tersenyum, lantas meraih boks sepatu Maya. “Biar kupasangkan.” Masumi berlutut di hadapannya, Maya mengangkat gaunnya saat pria itu memasangkan kedua sepatu di kakinya.
Masumi menengadah dan tersenyum. Ia lantas berdiri, meraih tangan Maya dan mengecup punggung tangannya. Ia mengamati jemari Maya yang berbalut sarung tangan putih. “Ah!” berseru pelan. Ia lantas merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah cincin. Cincin pertunangan. Ia memasangkannya lagi di jari Maya. “Nah, cincin ini sudah kembali ke tempatnya,” kata Masumi.
Maya kembali mengamati cincinnya. Cincin pernyataan cinta dari Masumi.
“Ayo,” Masumi menyodorkan lengannya, dan Maya mengaitkan lengannya di sana. Keduanya melangkah keluar dari ruang ganti Maya.
=//=
Sebelum mencapai ruang pesta, Sawajiri dan Mizuki berjalan menghampiri Maya dan Masumi.
“Pak, tiket sudah habis sampai pertunjukan 10 hari ke depan, diperkirakan besok seluruh tiket sudah habis sampai pertunjukan hari terakhir.” Kata Mizuki.
“Maya, aku sudah menyiapkan beberapa jadwal wawancara untukmu besok pagi, nanti jadwalnya aku letakkan di dalam tasmu,” kata Maya.
Keduanya terus memberondongi Maya dan Masumi dengan berbagai hal sampai mereka mencapai pintu ruang pesta.
“Sudah datang! Pak Masumi Hayami dan Maya Kitajima sudah datang!” Seru seseorang.
Dengan cepat semua mata mengarah kepada mereka dan semua kamera membidik ke arahnya. Maya sedikit menyembunyikan wajahnya karena cahaya kamera terasa agak menyilaukan bagi mereka. Maya dan Masumi lantas diantar menuju meja mereka. Bahkan sampai keduanya duduk, jepretan kamera masih saja belum berhenti.
Bisa terdengar decak kagum dari orang-orang di sekeliling mereka. Masumi begitu tampan malam itu dan Maya terlihat sangat cantik. Dia sudah menjadi kupu-kupu, bisik beberapa orang. Masumi dan Maya duduk di sebuah meja bersama Eisuke, Kuronuma, Pak Yamagishi, Sakurakoji serta beberapa orang lain yang berperan penting bagi drama Bidadari Merah.
Seorang MC membuka acara. Mengucapkan terima kasih kepada para hadirin yang telah datang dan menyaksikan pementasan Bidadari Merah. Dia juga mengatakan mengenai tiket Bidadari Merah yang terus diburu dan telepon menerima pesanan yang tidak kunjung henti. Pertunjukan malam ini benar-benar sukses dan kabar betapa istimewanya pertunjukan ini sudah beredar di televisi. Dan bahwa akan ada kabar penting yang akan diumumkan malam itu dari Direktur Daito, Masumi Hayami. Setiap orang berkasak-kusuk, pengumuman penting apa yang akan dikabarkan direktur tampan tersebut. Namun sebagian besar sudah bisa menebaknya, bahwa malam itu ada hal penting yang akan disampaikan mengenai hubungannya dan Maya.
Pak Yamagishi selaku ketua perwakilan drama memberikan sambutannya, serta berbagai pujian untuk drama yang tadi baru disaksikannya. “Saya, sudah melihat semua sandiwara Bidadari Merah. Sejak masih diperankan oleh Ibu Mayuko Chigusa, lantas saat pentas percobaan Maya dan Ayumi tiga tahun lalu, dan kemudian pentas malam ini. Semuanya, sangat luar biasa. Bidadari Merah, memang sebuah sandiwara yang patut disebut sebagai sebuah mahakarya di dunia sandiwara. Masing-masing pementasan itu, memberikan kesan yang mendalam dan berbeda. Namun yang istimewa dari pentas malam ini, adalah bagaimana kita bisa melihat tekhnologi modern bisa begitu sempurna membangun kembali dunia kuno tempat Bidadari Merah hidup. Ini adalah buah karya kerja sama berbagai pihak yang telah ahli di bidangnya masing-masing. Produser, para ahli, sutradara, dan juga para pemainnya. Semua layak memperoleh tepuk tangan atas kerja keras dan bakat yang ditunjukkan oleh semua pihak. Saya benar-benar bersyukur masih bisa menyaksikan semuanya dengan mata kepala saya sendiri. Dan saya yakin, Pak Ichiren dan Bu Mayuko, mereka pasti tersenyum bahagia melihat bagaimana jadinya sandiwara Bidadari Merah sekarang. Sangat luar biasa,” Pak Yamagishi tersenyum.
Setelah Yamagishi, Eisuke Hayami maju dan memberikan sambutannya. Ia berkata merasa sangat terhormat saat Daito ditunjuk menjadi penyelenggara pertunjukan Bidadari Merah. Ia sendiri karena telah menyerahkan semuanya kepada Masumi sehingga Ia saat duduk tadi merasa benar-benar sebagai orang awam.
“Jantungku berdebar-debar, menunggu seperti apa pertunjukannya. Dan memang hanya satu kata yang bisa kuucapkan. Sempurna. Dari dulu, Bidadari Merah adalah alasan kenapa Daito didirikan dan saat menyaksikan pertunjukan tadi, aku seakan merasa mimpiku yang paling indah telah menjadi kenyataan,” senyuman puas memulas bibir pria tua itu. Senyuman yang entah kenapa menyentuh hati setiap orang yang ada di sana. Beberapa saat Ia terdiam, seperti menerawang. “Aku… sungguh sangat bersyukur, dan berterima kasih, kepada Ichiren Ozaki karena telah menuliskan sebuah cerita yang begitu indah,” katanya khidmat. “Dan kepada aktris yang sangat luar biasa, Mayuko Chigusa, yang berusaha sekuat tenaga menjaga agar Bidadari Merah tetap hidup.”
Sejenak ruangan hening. Banyak yang tahu bahwa hubungan Daito, terutama Eisuke Hayami dengan Ichiren Ozaki dan Mayuko Chigusa semasa hidupnya memang tidak baik.
“Ayah…” desah Masumi.
Maya menoleh kepada Masumi, mengamatinya.
Masumi tampak tersentuh. Ia tidak mengira Ayahnya akan berkata demikian.
Eisuke melanjutkan sambutannya. “Dan bahkan, Bu Mayuko menemukan penggantinya yang tidak bisa disangkal adalah seorang aktris yang sangat istimewa. Ia bisa begitu sempurna memerankan Bidadari Merah yang sungguh mempesona. Aku sangat bersyukur, anakku Masumi tidak hanya bekerja dengan baik sebagai Direktur Daito yang berhasil mendapatkan hak mementaskan Bidadari Merah, namun juga sudah bekerja sangat baik sebagai seorang laki-laki yang berhasil mendapatkan hati sang bidadari merah,” canda Eisuke.
Terdengar tawa perlahan dari para hadirin. Perhatian kembali beralih pada Maya dan Masumi.
“Ayah…!” Desis Masumi, kesal, karena menyadari ayahnya itu menggodanya.
Maya menundukkan wajahnya. Ia yakin wajahnya pastilah sangat merah sekarang karena ia bisa merasakan permukaan kulitnya yang memanas.

Setelah Eisuke selesai dengan pidatonya, Kuronuma memberikan sedikit pandangannya mengenai keseluruhan pementasan malam ini. Ia mengaku puas dengan hasilnya. Ia bahkan tidak mengira pementasan sesungguhnya bahkan lebih baik dari yang sempat terbayang di benaknya. Ia membuat penonton tertawa saat mengatakan pementasan ini sungguh setimpal dengan kerja kerasnya walaupun Ia sempat dikirimi surat cerai oleh istrinya hanya karena Ia tidak pernah pulang.
Masumi lantas diberikan kesempatan untuk berbicara mengenai pementasan malam ini. Pria gagah itu berdiri tegap dari tempatnya dan melangkah mantap menuju panggung.
Ia lantas mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah bekerja keras dengan sangat baik dan juga telah turut serta mensukseskan pertunjukan ini.
“Mewakili Daito, saya ingin mengatakan betapa bangganya kami karena telah terpilih sebagai sebagai biro penyelenggara pertunjukan luar biasa ini. Saya yakin, setelah apa yang saya saksikan tadi, sandiwara Bidadari Merah akan menjadi sandiwara ke depannya akan dapat meraih lebih banyak kesuksesan lagi. Sekali lagi, terima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan kepada Daito.”
Tepuk tangan meriah terdengar di seluruh ruangan.
“Dan untuk malam ini,” Masumi bisa merasakan jantungnya berdebar saat Ia hendak mengumumkan berita gembira yang membuat hatinya berbunga-bunga berhari-hari belakangan ini. “Ada pengumuman lainnya yang ingin kusampaikan.”
Ruangan senyap. Mengantisipasi berita bahagia dari sang Direktur Daito tersebut.
“Hari ini, tidak hanya kesuksesan pementasan Bidadari Merah yang membuatku merasa sangat bahagia,” kata Masumi. “Namun selain itu, karena ada peristiwa yang bisa saya katakan adalah peristiwa paling membahagiakan dalam seumur hidup saya. Bisakah saya meminta Nona Maya Kitajima untuk naik ke atas panggung?” Masumi menatap Maya dengan lembut dan tersenyum kepadanya.
Belum apa-apa setiap orang di ruangan sudah bisa merasakan suasana penuh cinta dari keduanya.
Maya berdiri dari kursinya, gugup. Wajahnya terlihat merona saat melangkah anggun ke arah panggung.
Masumi menghampirinya, mengulurkan tangannya, membantu Maya menaiki panggung setinggi 30 senti tersebut. Ia lantas membawanya ke tengah panggung. Keduanya saling menatap dan tersneyum penuh cinta pada satu sama lain. Tampak begitu bahagia.
“Haaa~” setiap orang di ruangan terhanyut. Mereka bisa melihat betapa keduanya saling mencintai dan tampak serasi. Di luar berbagai perbedaan di antara keduanya, jelas terlihat mereka benar-benar saling jatuh cinta.
Masumi berdeham sebentar sebelum melanjutkan bicaranya. “Dalam kesempatan yang luar biasa ini, saya juga hendak mengumumkan sebuah berita gembira antara saya dengan Nona Maya Kitajima,” Masumi kembali tersenyum mesra pada kekasihnya yang tampak merona bahagia. “Beberapa hari yang lalu, saya telah melamar Nona Maya Kitajima untuk menjadi istri saya, dan Nona Maya bersedia.” Masumi tersneyum lebar. “Oleh karena itu, saya ingin mengumumkan bahwa saat ini saya, Masumi Hayami, telah resmi bertunangan dengan Nona Maya Kitajima,” Masumi berkata.
“Waaa~” ruangan ramai seketika. Orang-orang berbicara, bertepuk tangan, dan kamera-kamera kembali beraksi. Lampu blitz tidak berhenti menyala silih berganti.
“Terima kasih banyak untuk semua pihak yang telah mengijinkan saya menggunakan kesempatan ini untuk merayakan berita bahagia ini. Selanjutnya kami mengharapkan doa dan dukungan Anda semua agar semuanya dapat berjalan lancar untuk kami berdua.”
Tepuk tangan dan lampu kamera masih menyala saat keduanya kembali duduk ke kursinya. Kuronuma, Yamagishi, Sakurakoji menjadi yang pertama menyelamati mereka.
MC lantas mengumumkan pesta dimulai. Hadirin dipersilahkan menikmati hidangan serta hiburan yang telah disiapkan panitia.
Suasana malam itu sangat meriah. Maya dan Masumi masih diburu wartawan untuk beberapa lama. Ditanyai apa yang membuat mereka jatuh cinta kepada satu sama lain, kapan tepatnya Masumi melamar Maya, dan apakah mereka sudah ada rencana yang pasti mengenai kapan tepatnya akan menyelenggarakan pernikahan mereka.
“Saat ini kami belum membicarakannya. Kami masih memusatkan perhatian pada pementasan Bidadari Merah ini,” terang Masumi. “Tapi kami harap, begitu ada waktu, kami bisa segera menikah secepatnya,” Masumi tersenyum hangat.
Bisa terlihat hati Direktur Daito yang dingin itu sedang mengalami musim semi. Maya dan Masumi kemana-mana selalu terlihat berdua. Lengan gadis itu tidak pernah lepas dari Masumi dan keduanya tidak malu-malu terlihat begitu mesra. Mereka pun tidak menghindari pertanyaan apa pun yang terlontar berkaitan dengan hubungan mereka.
Masumi juga memperkenalkan Maya kepada beberapa orang yang belum familiar dengannya. Rekan bisnis Masumi. Mereka juga menerima selamat dari teman-teman Maya, dari Ayumi dan Hamill, Utako, dan para hadirin yang datang malam itu. Suasana yang meriah dan dipenuhi kehangatan begitu terasa di pesta syukuran pementasan perdana Bidadari Merah tersebut.
“Ayo kita berdansa, Sayang,” ajak Masumi, setelah keduanya menikmati makan malam mereka.
Maya tersenyum dan mengangguk, membiarkan kekasihnya membawanya ke tengah ruangan untuk berdansa. Sekali lagi mereka mencuri perhatian, walaupun semenjak tadi tidak ada yang benar-benar mengalihkan perhatian dari keduanya.
Maya terlihat sangat cantik dan anggun. Jauh berbeda dari kemunculannya dulu sebagai Bidadari Merah tiga tahun lalu yang sangat sederhana. Kali ini Maya benar-benar terlihat seperti seorang dewi. Mungkin juga, jatuh cinta yang telah membuat cahaya di wajah gadis itu tidak juga redup.
“Kau jadi pendiam,” kata Masumi saat keduanya berdansa. “Padahal sudah makan ‘kan?”
Maya menengadah terkejut dengan ucapan Masumi, lantas mengerucutkan bibirnya. Masumi hanya tertawa. “Ada apa Sayang?” tanya Masumi penuh perhatian. “Ada yang mengganggumu?”
Maya menggeleng. “Aku hanya gugup,” Maya berterus terang. “Ra, rasanya, semua orang melihat dan memperhatikan. Kemana pun aku menoleh. Ada saja yang sedang menatapku,” Maya berkata setangah berbisik.
“Tentu saja. Karena ini malammu. Kau sangat luar biasa tadi di panggung, membuat mereka merasa sangat kagum,” kata Masumi.
“Tapi aku jadi gugup,” kata Maya. “Aku takut sekali membuat kesalahan. Karena itu aku jadi diam saja. Aku takut membuat Pak Masumi malu.”
“Membuatku malu?” Masumi mengamati Maya. “Kau tidak akan membuatku malu. Kau malah membuatku sangat bangga bisa berdansa bersamamu. Pasti banyak yang iri kepadaku sekarang,” Masumi menyombongkan diri.
Maya tertawa kecil. “Bukan sebaliknya? Pasti lebih banyak wanita yang kecewa melihatmu bersamaku sekarang.”
“Wanita? Wanita mana maksudmu?” Ia lantas membisikkan sesuatu di telinga Maya. “Aku hanya bisa melihat lobak dan kol. Tidak ada wanita.”
Maya tertegun, menengadah. “Jahat!” ujarnya. Lantas tertawa kecil. Kekasihnya itu juga ikut tertawa.
Beberapa orang berbincang mengenai pertunangan Maya dan Masumi. Mereka disebut-sebut sangat serasi dan bisa dipastikan akan menjadi pasangan istimewa di dunia hiburan. Yang satu pewaris Daito, yang satu pewaris karya Bidadari Merah. Dan setelah malam ini, bisa dipastikan karir Maya akan terus menanjak. Dan dengan Masumi di sisinya, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengganjal karir gadis itu. Setidaknya itu yang mereka pikirkan.
Namun ada hal lain juga yang menarik perhatian wartawan. Setelah penampilan Maya dan Sakurakoji tiga tahun yang lalu, para pecinta Saku-Kita sudah muncul sebagai penggemar yang mendukung hubungan Maya dan Sakurakoji di luar panggung. Dan setelah pertunjukan malam ini, dimana Akoya dan Isshin bahkan terlihat lebih emosional dan erat di atas panggung, bisa dipastikan para pendukung Saku-Kita akan semakin banyak.
“Pasti ada banyak penggemar yang lebih menginginkan Sakurakoji bersama dengan Maya, dan mungkin kecewa dengan berita pertunangan ini serta kabar Sakurakoji kembali berpacaran dengan Mai Asou yang bisa dibilang bukan siapa-siapa di dunia hiburan,” pendapat para wartawan.
Kedua pasangan yang dibicarakan, sedang menikmati dansa mereka.
Tidak dengan Mizuki.
Sejak tadi asisten pribadi Masumi itu tengah sibuk di sebuah meja mencatat janji pertemuan Masumi dari berbagai pihak dan kalangan. Ia bahkan tidak sempat menghela nafas walau sejenak.
Ia merasa sangat lega saat akhirnya telepon-telepon itu selesai juga. Mizuki sangat lega. Ia meregangkan tangannya, mengedarkan pandangan pada pesta malam itu yang bisa dikatakan sukses. Tidak percuma Mizuki mengaturnya selama ini. Ia bersandar. Baru tersadar kalau Ia merasa sangat haus.
Mizuki lantas beranjak mengambil minuman. Kembali ke kursinya. Sendirian. Mengamati Masumi dan Maya yang tengah berdansa. Keduanya tampak bahagia. Mizuki sungguh sangat bahagia melihatnya. Ia yang tahu pasti bagaimana atasannya tersebut begitu menderita memendam rasa cintanya pada gadis mungil tersebut, kini keduanya sudah bertunangan. Ada keharuan yang tidak dapat dijelaskan oleh Mizuki melihat pasangan tersebut. Ia pun merasa sangat bahagia setelah melalui banyak sekali halangan dan rintangan, keduanya bisa bersatu.
Handphone Mizuki kembali berbunyi setelah tegukan terakhir gelas sampanyenya. Mizuki melirik jamnya. Jam setengah 10 malam.
Bukankah terlalu malam untuk mengatur janji temu? Pikir Mizuki.
Namun bukan handphone kerjanya yang bergetar, melainkan nomor pribadinya. Mizuki mengerutkan alisnya. Tidak ada nomor pemanggilnya. “Siapa?” Nomornya dirahasiakan dan itu membuat Mizuki semakin penasaran. Akhirnya Ia mengangkat sambungan tersebut.
“Halo?”
“Nona Mizuki?”
Suara ini…? “Pak Hijiri?” Mizuki meredam suaranya.
“Selamat malam,” sapa Hijiri.
“Selamat malam. Apakah ada sesuatu?” tanya Mizuki waspada.
“Tidak ada, aku melihatmu sendirian dan sepertinya tidak sedang sibuk, jadi aku memutuskan untuk mengajakmu bicara.”
Mizuki mengedarkan pandangannya. “Kau ada di sini?” tanya Mizuki.
“Hmm…” suara itu penuh rahasia. “Aku tidak bisa bilang.”
Mizuki tertawa. Hijiri melihatnya dari kejauhan dan berpikir wanita itu tampak menarik saat tengah tertawa.
“Hei, bukankah kau bilang bahwa kita tidak boleh bicara?” Mizuki memastikan.
“Maksudku, kita jangan saling menyapa atau berbicara jika ada orang lain yang melihat. Kalau hanya melalui telepon—“
“Ah, apa seperti ini biasanya kau berhubungan dengan Maya saat jadi penghubungnya dan Mawar Ungu?” tanya Mizuki penasaran.
“Hmm…” suaranya kembali penuh rahasia. “Aku tidak bisa bilang.”
“Tidak bisa? Hanya tinggal mengatakan iya dan tidak saja!” paksa Mizuki.
“Maaf, tidak bisa. Metode kerjaku tidak boleh dibocorkan kepada siapa pun.”
“Tidak akan ada yang tahu,” gerutu Mizuki.
Bisa terdengar Hijiri mendengus, mungkin tersenyum.
“Baiklah, kurasa aku harus pergi sekarang. Terima kasih sudah mengangkat teleponku. Selamat menikmati pudingmu, Nona Mizuki.”
Mizuki tertegun. “Sudah? Itu saja?”
“Iya. Aku harus kembali sekarang, sepertinya semua berjalan lancar dan tidak ada yang harus dikhawatirkan.”
Mizuki mengitari ruangan dengan matanya, mencari Hijiri. Tidak nampak. “Apa kau akan menghubungiku lagi?”
“Tidak sering.”
“Pak Hijiri, jika tidak ada yang melihat, kita masih bisa bicara kan? Seperti sekarang?”
“Begitulah.”
“Berarti jika tidak ada yang melihat, bukankah kita bisa bertemu?” Mizuki memastikan.
“Terlalu beresiko, Nona.”
“Tidak, jika di tempatku.”
Hijiri terdiam beberapa saat, kemudian berkata. “Atau di tempatku?”
“Kau boleh memberitahukan tempat tinggalmu?” Mizuki mungkin terdengar terlalu bersemangat, tapi dia tidak peduli.
“Tidak juga. Kecuali kau berhasil menemukannya sendiri.”
Mizuki tersenyum. “Aku dengan senang hati akan menyelidikinya.”
“Semoga berhasil.”
“Waspadalah, Pak Hijiri.”
Terdengar Hijiri tertawa kecil. Mizuki tidak begitu yakin seperti apa wajah pria itu saat tertawa.
“Selamat malam Nona Mizuki.”
“Selamat malam. Terima kasih sudah meneleponku. Sayang sekali kau tidak mengajakku berdansa.”
“Aku akan mengajakmu berdansa jika kau berhasil menemukan tempat tinggalku.”
“Tolong pilihkan lagu yang bagus.”
“Tentu. Selamat malam.”
“Selamat malam.” Mizuki menutup handphonenya. Sekali lagi Ia mencari dengan berkeliling. Tidak ada tanda-tanda Hijiri yang dikenalnya di ruangan itu.
Sepanjang pesta Mizuki memikirkan pria itu. Ia terlalu menarik untuk tidak dihiraukan. Kurasa aku semakin menyukainya, pikir Mizuki.
Dan hal yang sama juga dirasakan Hijiri.
=//=
Rei beberapa kali mencuri pandang kepada Sawajiri saat Ia sedang bercengkrama bersama anggota teater Mayuko dan Ikkakuju sebelum kemudian memutuskan untuk menghampirinya.
“Aku permisi dulu,” pamit Rei kepada teman-temannya.
Sawajiri, berdiri bersandar di sisi ruangan dengan segelas sampanye di tangannya. Wajahnya tanpa ekspresi, matanya beredar mengamati sekitarnya.
Tadi Rei dan Sawajiri sempat beberapa kali bertemu mata, namun sejak pesta dimulai, keduanya belum sempat saling menyapa.
“Shin,” Rei memanggilnya.
Sawajiri menoleh, mendapati Rei yang terlihat sangat cantik malam ini berjalan menghampirinya. “Halo Rei.”
“Sendiri saja?” Rei berusaha tidak gugup.
Sawajiri tidak menjawab, hanya tersenyum tipis. Rei akhirnya mengambil tempat di sampingnya. Untuk beberapa saat keduanya hanya terdiam. Saat Rei mulai berpikir mungkin Ia sudah membuat keputusan yang salah dengan menghampiri Sawajiri, pria itu berkata, “kau cantik sekali malam ini.”
Rei tertegun. Ia bisa merasakan wajahnya merona dan menghangat. “Te, terima kasih,” Rei bergumam.
Sawajiri tidak berkata apa-apa sementara Rei merasa semakin gugup.
“A, aku biasanya memakai blazer dan celana panjang,” terang Rei. “Tapi ada permintaan dari pihak Doremi, katanya aku harus lebih feminim,” Rei menjelaskan malu-malu seraya menundukkan kepalanya.
“Itu bukan hal yang penting,” kata Sawajiri.
“Apa?”
“Maksudku, bagiku, kau, terlihat cantik apapun yang kau kenakan,” Sawajiri dengan cepat mengoreksi ucapannya.
Rei tertegun. Ia baru menyadari bahwa mungkin Sawajiri pun sama gugup dengan dirinya. “Te, terima kasih,” kata Rei. “Kau juga, Shin.”
“Apa?” Tanya Sawajiri. “Apa aku juga terlihat cantik? Atau aku terlihat bagus memakai blazer ataupun gaun?”
Rei tertawa kecil mendengarnya. “Maksudku kau terlihat tampan malam ini,” Rei berkata dengan wajah merona.
“Terima kasih,” gumam Sawajiri.
Keduanya kembali terdiam beberapa saat.
“Mau berdansa denganku, Rei?” ajak Sawajiri.
“Dengan senang hati,” Rei tersenyum.
Keduanya meletakkan gelas sampanye mereka dan mulai menuju ke tengah ruangan untuk berdansa.
“Aku senang sekali melihat Maya yang terlihat begitu bahagia,” kata Rei. “Dan terima kasih sudah menjaganya selama ini.”
“Aku manajernya. Itu sudah tugasku,” kata Sawajiri.
Keduanya kembali saling berpandangan tanpa bicara.
“Shin, ada yang ingin kubicarakan, mengenai yang kau katakan waktu itu.”
Sawajiri hanya memperhatikan tanpa berkata apa-apa.
“Aku hanya ingin kau tahu, aku bukannya tidak menganggap serius hubungan kita, atau tidak yakin bahwa ke depannya kita… ya, harus kuakui, aku tidak bisa sungguh-sungguh meyakini bahwa hubungan kita pasti akan berjalan mulus dan berhasil, perasaan ragu itu memang ada, tapi bukan berarti aku tidak meyakini perasaanku kepadamu Shin,” tutur Rei. “Aku cukup tahu bahwa aku mencintaimu. Hanya saja, jika kita bergerak terlalu cepat, aku takut hubungan ini akan cepat berakhir. Aku sangat bahagia sekarang, mmh, kemarin, saat bersamamu. Dan aku takut jika kita terlalu cepat menuju tahap yang lebih jauh, akan ada banyak hal yang… entahlah, aku hanya khawatir ternyata setelah kita melanjutkan hubungan kita ke tahap berikutnya, ternyata tidak seindah yang sedang kita jalani…” Rei menunduk, “kemarin.”
Sawajiri mengamati Rei, menaik-turunkan telapak tangannya di pinggang gadis itu dengan halus dan membuat Rei merasa sedikit tegang karenanya. “Rei,” panggilnya lembut, dan melanjutkan ucapannya saat gadis itu memandangnya. “Aku tidak pernah mengambil pekerjaan yang tidak bisa kuatasi, dan aku tidak pernah mengambil tanggung jawab yang tidak bisa kupenuhi. Yakinlah kepadaku Rei, aku mencintaimu,” Sawajiri berkata lembut. “Karena itu aku ingin menjalankan tanggung jawabku untuk membahagiakanmu, karena aku yakin aku bisa. Setidaknya aku akan berusaha semampuku. Tapi jangan menyerah sebelum kita mencobanya,” pinta Sawajiri. “Aku hanya berpikir, jika kita merasa begitu bahagia bersama, tapi tidak ada kemajuan yang berarti dengan hubungan kita, aku sungguh tidak bisa melakukannya. Itu hanya akan membuang-buang waktuku dan juga dirimu. Jika hubungan ini tidak berhasil, bukankah lebih cepat kita mengetahuinya akan lebih baik? Setidaknya kita sudah mencoba dan kita tahu hasilnya, tidak menebak-nebak seperti sekarang. Rei, tidak ada gunanya kita tetap bertahan dalam hubungan yang sama sekali tanpa tujuan hanya karena kita bahagia dengan keadaan kita sekarang, jika pada akhirnya kita bukan untuk satu sama lain.”
“Shin, aku takut sekali kau menyesali keputusanmu. Bagaimana jika setelah kita tinggal bersama, ternyata ada banyak hal yang tidak kau sukai dariku? Atau kebiasaan kita yang baru terungkap dan kita mulai merasa tidak cocok—“
“Bukankah memang begitu hubungan orang dewasa? Saling menyesuaikan? Berkompromi? Bertoleransi? Aku cukup tahu bahwa aku sangat mencintaimu untuk dapat menerima semua kelebihan dan kekuranganmu. Setidaknya,” Sawajiri tersenyum tipis, “aku akan berusaha. Sejauh ini semua hal yang kuketahui mengenai dirimu hanya membuatku semakin menyukaimu.”
“Kau benar-benar pandai bicara,” Rei mendengus dan tersenyum.
“Tugasku bernegosiasi dengan banyak orang. Tentu saja aku pandai bicara.”
Rei kembali tertawa.
“Aku mencintaimu Rei, kembalilah kepadaku,” kata Sawajiri serius. “Aku akan berusaha keras membuatmu bahagia jika kau bersamaku.”
Sejujurnya, hanya dengan bersamanya saja sudah membuat Rei merasa bahagia. Gadis itu memeluk Sawajiri. Ia tidak begitu peduli bahwa mereka sedang berada di tengah ruangan dan ada banyak orang di sekeliling mereka.
“Aku juga mencintaimu Shin,” Rei berkata sungguh-sungguh. “Aku benar-benar sedih kau mendiamkanku. Kau sudah menyiksaku, kau tahu?”
“Oya? Maafkan aku, aku tidak menyadarinya sudah membuatmu merasa begitu.”
“Kau bohong!”
“Memang.”
“Menyebalkan…”
“Maaf.”
“Kumaafkan.”
“Jadi kau mau tinggal bersamaku?”
Rei mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Baiklah.”
Sawajiri mendekatkan wajahnya kepada Rei dan berbisik. “Rei, aku ingin sekali menciummu, tapi tidak sopan jika kita melakukannya di sini.”
Rei bisa merasakan wajahnya memanas. “Jangan mengatakan hal yang aneh-aneh saat sedang banyak orang begini Shin!” hardiknya.
Sawajiri hanya tersenyum kecil dan dibalas senyuman oleh kekasihnya.
Pesta syukuran pentas perdana Bidadari Merah berlangsung sangat meriah. Para wartawan jelas sangat puas dengan banyaknya kabar yang akan mereka turunkan besok.
=//=
“Pak Masumi, kau mampir dulu ke apartemenku kan?” tanya Maya, sedikit memelas.
Masumi memandang jam tangannya, sudah mau jam sebelas malam, tapi dia teringat mulai besok pekerjaan yang sangat banyak sudah menunggunya dan dia mungkin tidak akan punya banyak waktu bertemu Maya. “Tentu,” Ia tersenyum.
Keduanya masuk ke dalam gedung apartemen Maya. Mencuri perhatian orang-orang yang ada di sana. Beberapa orang yang mengenal keduanya menghampiri dan memberi selamat atas pertunangan mereka yang sudah ditayangkan di televisi.
“Aku lelah sekali,” kata Maya saat keduanya telah berada di apartemen gadis itu.
“Tapi kau sangat luar biasa tadi,” untuk kesekian kali Masumi memujinya.
Maya tersenyum bahagia mendengarnya. “Aku ganti baju dulu, Pak Masumi mau kuambilkan sesuatu? Mau minum?” tawar Maya.
Masumi tersenyum. “Biar kuambil sendiri,” kata Masumi.
Gadis itu masuk ke dalam kamar. Tidak perlu waktu lama sampai kemudian Ia keluar lagi dan tersenyum malu-malu. “Pak Masumi…”
Masumi mengalihkan perhatiannya dari minuman. “Iya?”
“Nggg… anu… ini…”
Masumi berdiri dari tempatnya. “Ada apa?” Ia menghampiri.
“Ini… resletingku,” gadis itu menunduk dalam.
Masumi tertegun. Terjadi lagi, pikirnya. “Sini kubantu,” Masumi menjangkaukan tangannya ke punggung Maya, mencari resletingnya.
“Kenapa Kak Sawajiri selalu memberikan pakaian yang resletingnya sulit kuraih?” keluh Maya saat kekasihnya menurunkan resletingnya.
“Maya, kurasa bukan resletingnya yang salah, tapi memang lenganmu yang pendek,” goda Masumi.
“Ha!? Apa!?” Maya menengadah dengan alis berkerut protes.
Masumi tergelak. “Kurasa memang begitu.”
“Pak Masumi~!!” Rajuknya, memukuli dada bidang kekasihnya.
“Aduh! Maya!” Masumi berusaha menghindari pukulan kekasihnya.
“Rasakan serangan dari tanganku yang pendek!!” Seru Maya, masih berusaha memukuli.
Masumi tertawa mendengar ucapan kekasihnya. Ia lantas menangkap kedua tangan Maya, dan menatapnya lembut. Pria itu lalu membungkuk dan mencium bibirnya, Maya membalasnya.
“Sudah,” bisik Masumi di bibir Maya.
Gadis itu tertegun. Ia menjangkaukan tangannya ke belakang. Resletingnya sudah terbuka. “Terima kasih,” katanya malu-malu.
Masumi tersenyum dan kembali ke sofa, meraih minumannya. Ia memandangi pintu kamar Maya yang tertutup, mencoba membayangkan apa yang gadis itu tengah lakukan. Masumi tertegun, wajahnya memanas. Ia merasa malu sendiri atas apa yang mengisi pikirannya. Bodoh! Ia merutuki dirinya, lantas meneguk minumannya hingga habis.
Maya keluar kemudian dengan membawa handuk menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara Masumi menyaksikan berita di televisi yang dipenuhi kabar kesuksesan Bidadari Merah dan berita pertunangan Sang Pangeran Daito dan Sang Bidadari Merah.
Masumi sangat puas dengan apa yang disaksikannya.
“Oh! Itu kita!” seru Maya, setelah selesai membersihkan diri. Ia menghampiri Masumi dan memeluk pria itu di sofa. “Ah, rasanya aneh ya melihat diri kita sendiri di televisi,” Maya terkekeh.
Masumi mengamati gadis itu yang sekarang tanpa riasan namun tetap sangat cantik di matanya. Ia memeluk gadis itu erat dan mulai menciuminya lagi. “Cepatlah tidur. Besok kau akan sangat sibuk.”
“Pak Masumi juga?” rajuk Maya.
“Aku juga,” agak sendu Masumi mengucapkannya.
“Pak Masumi, jangan dulu pulang sebelum aku tidur ya…” pinta gadis itu.
“Baiklah…” Masumi menarik gadis itu dan menempatkannya di antara kedua kakinya. Ia memeluk Maya hingga gadis itu terlelap dan kemudian menggendongnya ke tempat tidur.
“Mimpi indah, Bidadariku,” Ia mengecup bibir Maya sebelum keluar dari kamar gadis itu dan pulang ke kediamannya.

=//=
Pagelaran Bidadari Merah benar-benar sukses besar setelah media memberitakan bagaimana luar biasanya pementasan tersebut. Para kritikus pun melemparkan pujian luar biasa untuk sandiwara tersebut yang pamornya semakin menanjak. Belum lagi mengenai pertunangan Masumi dan Maya yang menjadi perbincangan dimana-mana.
Hal itu membawa kedua pasangan kekasih itu benar-benar sibuk dan sangat jarang bertemu. Keduanya hanya dapat bertemu saat pementasan Bidadari Merah. Itu pun masih dalam keadaan bekerja dan tidak saling berbicara. Masumi akan pergi sebelum pentas selesai untuk pekerjaan lainnya.
Bahkan Masumi sempat pergi keluar kota selama beberapa hari dan sama sekali tidak melihat Maya. Terkadang keduanya hanya sempat saling meninggalkan pesan di voicemail masing-masing.
Masumi sedang berpikir di mobilnya, tepatnya memikirkan Maya yang sudah tidak dilihatnya secara langsung beberapa hari ini, saat Mizuki menyadarkannya.
“Jadi bagaimana, Pak Masumi? Apakah rencana memperpanjang waktu pementasan Bidadari Merah akan direalisasikan?”
Masumi menghela nafasnya. Ia tahu tidak boleh bersikap egois, tapi Ia sangat merindukan Maya. Dulu hanya dia yang sibuk dan hanya tinggal menyesuaikan jadwalnya untuk bertemu Maya. Sekarang mereka berdua sibuk dan mencocokkan jadwal mereka berdua sangat sulit.
Kadang Masumi sedang rapat, kadang Masumi sedang menggelar konferensi pers untuk produksi baru Daito, kadang dia sedang melobi orang-orang penting, meresmikan sesuatu, menghadiri pemutaran perdana film, pergi ke pesta penting sedangkan Maya sibuk melakukan syuting iklan, menjadi bintang tamu, wawancara, promosi dan lain sebagainya di luar pementasan.
Dan sekarang ada permintaan dari banyak pihak untuk memperpanjang pementasan Bidadari Merah. Ini benar-benar hal yang luar biasa, tapi Masumi sudah sangat tersiksa dengan kerinduannya sekarang. Bahkan berbicara dengan gadis itu saja sudah sulit.
“Pak Masumi?” tanya Mizuki sekali lagi.
“Ah, iya,” Masumi membetulkan posisi duduknya. “Aku akan membicarakannya lagi nanti mengenai hal itu,” kata Masumi singkat.
Ia harus membicarakan masalah biaya produksi, kontrak aktris dan staf dan sebagainya. Memperpanjang jadwal pementasan Bidadari Merah berarti Ia dan Maya akan semakin sulit bertemu. Kadang pekerjaannya selesai tengah malam, begitu juga Maya jika dia ada syuting iklan. Hasilnya sekarang Masumi bisa melihat wajah gadis itu dimana-mana, termasuk layar lebar di sisi jalan yang memperlihatkan Maya dan Sakurakoji tengah mengiklankan sebuah daerah wisata di Nara. Mereka terpilih menjadi duta wisata di perfektur tersebut.
Masumi memandanginya melalui jendela kaca mobil yang berembun malam itu. Ia sangat merindukannya.
“Mizuki.”
“Iya Pak?” Mizuki mengangkat wajahnya.
“Kapan aku dan Maya bisa menikah?” tanya Masumi.
“Hah!? Apa!?” Mizuki terperanjat mendengarnya. Ia tidak mengira pertanyaan itu yang akan keluar dari Masumi.
“Aku dan Maya semakin sibuk. Seharian ini aku menelponnya hanya sempat meninggalkan pesan di voicemailnya dan begitu juga sebaliknya. Kalau terus seperti ini, kapan aku bisa menikah dengannya?”
Mizuki memandang heran kepada Masumi. Bossnya itu sampai membicarakannya dengannya, Ia pasti begitu memikirkannya.
“Ehm, Pak… menurut saya, bukankah lebih baik jika Anda membicarakannya dengan… Maya?”
Masumi menghela nafasnya. “Iya, kau benar. Tapi aku bahkan tidak tahu kapan bisa bertemu dengannya.”
“Saya bisa mengatur jadwal Anda bertemu dengan Maya. Saya bisa membicarakannya dengan Sawajiri.”
Bagus sekali, mau bicara dengan tunanganku pun harus dijadwalkan asistenku.
“Baiklah,” ujar Masumi. Ia lantas kembali terdiam. “Mizuki, sampai kapan aku begini? Maksudku, kesulitan bertemu dengan Maya? Kira-kira kapan aku bisa bertemu dengannya?”
Mizuki mengingat sebentar. “Pementasan Bidadari Merah tinggal dua minggu lagi dan setelah pementasan selesai, kontraknya dan Daito akan selesai. Oh ya Pak Masumi, bagaimana rencananya setelah Maya tidak ditangani Daito lagi?”
Masumi menghempaskan nafasnya. “Entahlah, kami belum membicarakannya. Bertemu pun tidak bisa. Bicara pun tidak bisa!” Masumi sedikit kesal mengatakannya.
Mizuki mengangkat alisnya terkejut. “Anda sudah tahu bahwa Maya adalah artis Daito terakhir yang akan ditangani Sawajiri? Ia sudah mengajukan pengunduran diri dan akan berhenti setelah membereskan kontrak Maya. Ada banyak tawaran untuk Maya setelah Bidadari Merah dan saat itu Maya sudah bukan artis Daito, jadi Maya harus menentukan sendiri tawaran mana yang akan diambilnya seperti dulu,” terang Mizuki.
“Iya aku sudah tahu.”
“Apa Maya akan bisa mengatasinya?”
“Entahlah. Aku belum bisa bicara dengannya!” ujar Masumi dengan gusar. “Mungkin karena Maya sudah tidak lagi dikontrak Daito, Sawajiri juga akan bisa menangani Maya.”
“Anda akan melepaskan Sawajiri?”
Masumi terdiam. “Dia manajer artis yang sangat handal. Aku tidak ingin Daito kehilangannya.” Masumi kembali berpikir. “Sungguh akan jauh lebih mudah jika Maya menjadi artis Daito.”
“Maya akan mau melakukannya?”
Masumi tampak ragu. “Entahlah,” ujarnya. “Tolong atur jadwalku untuk bertemu dengannya.
“Makan siang? Makan malam?”
“Makan malam saja,” kata Masumi. “Setelah pentas Bidadari Merah.” Ia berpikir sejenak. “Pokoknya, kosongkan saja jadwalku dan Maya setelah pementasan Maya, kau tidak perlu mereservasi restoran, selama aku bisa bertemu Maya.”
“Baik, Pak.”
“Tidak, tidak,” Masumi mengubah keputusannya. “Jadwalkan saja rapat mengenai perpanjangan Bidadari Merah dalam minggu ini. Aku bisa bertemu Maya saat itu.”
Sekali lagi Mizuki menyanggupi. “Baik, Pak.”
=//=
“Selamat malam,” Sawajiri memasuki apartemennya.
Rei yang sedang membereskan barang-barangnya berbalik. “Selamat malam,” gadis itu tersenyum.
“Maaf aku tidak membantumu mengangkat barang-barangmu ke sini,” sesal Sawajiri.
“Ya tidak apa-apa, aku mengerti kalau kau memang sibuk. Maya pasti sibuk sekali ya?” Rei menghampiri.
“Begitulah,” Sawajiri mengecup Rei. “Sini kubantu membereskan barang-barangmu.”
“Tidak perlu, aku saja. Kau pasti masih lelah,” Rei tersenyum. “Bagaimana kabar Maya? Aku sangat merindukannya, oh, apa kau sudah makan malam? Aku membuat korokke tadi kalau kau mau. Ada di meja makan.”
“Terima kasih, aku mau membersihkan diriku dulu. Dan omong-omong, Maya sedang sangat sibuk dan sering sekali mengeluh kalau dia merindukan Pak Masumi,” terang Sawajiri. “Bu Mizuki memintaku mengosongkan jadwal setelah Bidadari Merah untuk Maya, dan ternyata jadwalnya baru kosong minggu depan,” Ia bercerita.
“Aku beruntung sekarang bisa bertemu denganmu setiap hari, ya?”
Sawajiri tersenyum. “Aku lupa belum mengucapkan selamat datang kepadamu,” ia melingkarkan tangannya di pinggang Rei. “Selamat datang, Rei di apartemenku yang sekarang juga menjadi apartemenmu,” Ia tersenyum. “Kuharap kau merasa nyaman di sini.”
“Terima kasih,” Rei memeluk Sawajiri. “Shin, ka jadi mengundurkan diri dari Daito? Mereka sudah menyetujuinya?”
“Belum ada jawaban. Katanya kalau pentas Bidadari Merah diperpanjang, begitu juga kontrak Maya, diharapkan aku tidak berhenti sampai saat itu,” terang Sawajiri.
“Sayang kurasa, kau tidak perlu berhenti dari Daito—“
“Rei—“
“Aku sungguh-sungguh. Maksudku, ini karirmu yang sedang kita bicarakan. Kau tidak perlu menjadi manajerku. Lagipula aku masih bisa mengatasi semua tawaran yang datang dan mengatur jadwalku sendiri,” gadis itu memelas. “Shin, karirmu sangat bagus di Daito dan mereka pun sangat membutuhkanmu,” bujuk Rei. “Aku berjanji walaupun kau bukan manajerku, aku pasti membicarakan semua tawaran yang datang kepadaku denganmu, lagipula sekarang aku tinggal denganmu. Bagaimana?”
Sawajiri terdiam sejenak. “Nanti kupikirkan,” ia mengecup dahi Rei sebentar. “Sekarang aku mandi dulu.”
=//=
“Maya, kau baik-baik saja?” tanya Sakurakoji saat keduanya makan siang sebelum pementasan siang itu.
“Iya, aku hanya…” Maya menghela nafasnya. “Memikirkan sesuatu…”
“Pak Masumi? Ia tampaknya sangat sibuk, sudah beberapa hari ini tidak melihatnya ada di sini.”
“Kak Sawajiri bilang kemarin-kemarin Pak Masumi keluar kota dan baru pulang kemarin lusa. Barusan aku menelponnya dan Nona Mizuki bilang Pak Masumi tengah makan siang dengan klien. Aku tanya apa Pak Masumi akan ada saat pementasan siang ini atau nanti malam, Nona Mizuki bilang Pak Masumi ada acara.” Keluh Maya. “Bahkan saat kami bertengkar dulu lebih mudah untukku berbicara dengannya ketimbang sekarang.”
Sakurakoji memperhatikan Maya. Gadis itu tidak pernah mengeluh selama ini, terutama mengenai hubungannya dan Masumi. Namun nampaknya Maya benar-benar merindukan kekasihnya itu dan tidak tahu kepada siapa harus bercerita. Lagipula belakangan mereka sangat sering bersama dan sudah semakin dekat.
“Apa Pak Masumi tidak menghubungimu?” tanya Sakurakoji.
“Pak Masumi tahu semua jadwalku. Dia kadang hanya meninggalkan pesan di voicemail untukku, tapi aku…” Maya menghela nafasnya. Merindukannya…
“Tenanglah Maya, kurasa begitu ada waktu Pak Masumi pasti akan menemuimu. Kadang dia datang ke pementasan Bidadari Merah kan?”
“Iya, kurasa…” Maya berkata perlahan. “Walaupun aku tidak tahu kapan dia akan datang lagi ke teater. Yang pasti kami baru bisa bertemu minggu depan.”
Sawajiri menghampiri Maya dan duduk di sampingnya. “Maya, kau akan diminta datang ke Daito besok pagi untuk membicarakan masalah perpanjangan masa pementasan Bidadari Merah.”
“Oh, benarkah!?” Gadis itu tampak sangat antusias. “Apa aku akan bertemu Pak Masumi?”
“Tentu saja,” kata Sawajiri. “Bagaimana pun semuanya harus dengan persetujuanmu.”
“Aku setuju!!” Seru Maya dengan berbinar-binar.
“Maksudnya, persetujuanmu untuk memperpanjang jadwal pementasan, Maya, bukan bertemu Pak Masumi.” Sawajiri mengoreksi.
“Oh…” wajah gadis itu merona dan terkikik malu sementara Sakurakoji tampak tertawa.
Dari kejauhan beberapa wartawan memotret mereka.
=//=
“Jadi Anda setuju dengan tawaran kami, Nona Maya?” tanya Masumi kepada Maya siang itu di Daito.
“Uhum…” Maya mengangguk gugup.
Masumi menyerahkan beberapa dokumen kepada Mizuki yang kemudian menyerahkannya kepada Maya untuk ditandatangani.
“Silahkan tanda tangan di sebelah sini Nona Maya,” Mizuki menunjuk pada dokumen dan Maya menandatanginya.
Ia mengamati gadis itu menangani beberapa berkas dengan serius. Hati pria itu berdebar-debar karena merindukannya. “Senang bekerja sama dengan Anda, Nona Maya Kitajima,” Masumi mengulurkan tangannya.
“Saya juga, Pak Masumi Hayami,” Maya tersenyum manis malu-malu.
Gadis itu lantas menyalami beberapa orang lainnya sebelum rapat hari itu dibubarkan.
“Nona Maya, bisa ikut ke kantorku sebentar? Ada yang ingin kubicarakan denganmu,” Masumi tersenyum pada Maya.
“Oh, bolehkah!?” mata gadis itu melebar.
Begitu juga senyuman Masumi. “Tentu saja. Ikut denganku.”
“Tentu!”
=//=
“Mizuki,” Masumi menatap penuh arti kepada asistennya saat mereka tiba di depan kantor Masumi.
“Baik Pak, saya akan menahan semua telepon,” kata Mizuki.
“Terima kasih,” Ia beralih kepada Maya. “Silahkan masuk, Maya.”
Gadis itu masuk ke kantor kekasihnya. “Terima ka, kya!!” Maya terpekik saat Masumi segera menarik gadis itu masuk dan menutup cepat pintu kantornya, memeluk Maya dan menciumnya dengan penuh kerinduan. Perlu waktu beberapa lama Maya meredam rasa terkejutnya sebelum membalas ciuman Masumi.
“Aku sangat merindukanmu,” Masumi bergumam di bibir Maya. “Rindu sekali ingin melihatmu dalam bentuk nyata dan bukannya di poster ataupun televisi.”
Maya tersenyum tipis. “Aku juga, Pak Masumi. Aku juga,” gadis itu memeluknya erat.
Keduanya kembali berciuman.
Masumi lantas mempersilahkan Maya duduk di sofa.
“Sebentar lagi Kak Sawajiri menjemputku,” terang Maya.
Masumi tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. “Mungil…”
“Mungil?” alis gadis itu terangkat. Sudah sangat lama Masumi tidak memanggilnya demikian.
Masumi lantas duduk di sofa, meminta Maya bergeser ke sudut sofa dan gadis itu menurutinya. Masumi lantas membaringkan kepalanya di pangkuan gadis itu.
Maya membiarkannya dan kemudian mengamati Masumi. “Pak Masumi, kenapa memanggilku Mungil?” tanya Maya.
“Entahlah,” ujar pria itu. “Kurasa aku hanya ingin memanggilmu begitu karena terlalu merindukanmu?” canda Masumi.
Maya tergelak. “Apa hubungannya?”
“Kita jarang sekali bertemu ya?” Masumi menatap Maya.
“Iya, aku selalu menunggu Anda muncul di teater tapi sudah lama Anda tidak datang.”
“Maaf, banyak sekali pekerjaan yang harus kubereskan. Aku akan ke pementasan Bidadari Merah saat aku sempat.” Masumi mengamati Maya, Ia lantas mengulurkan tangannya membelai pipi gadis itu, mengamatinya penuh kerinduan dan cinta.
Saat itulah handphone Maya berbunyi.
“Kak Sawajiri,” Maya berkata lesu tanpa mengangkatnya. Ia harus pergi. “Mmmh… Pak Masumi juga sibuk ‘kan?” tanyanya seraya memainkan rambut pria itu.
“Iya,” Masumi menunjuk tumpukan dokumen di mejanya. Ia kembali memandangi gadis itu. “Aku akan sangat merindukanmu.”
“Aku sudah merindukanmu, Sayang,” Maya berujar sedikit sedih.
Masumi bangun dari pangkuan Maya dan mulai menciuminya lagi. “Kau cantik sekali Sayang. Dan apa yang kau lakukan benar-benar luar biasa. Aku sudah melihat semua iklanmu dan postermu,” pujian Masumi membuat gadis itu tersenyum. “Tapi aku belum melihat berita-berita di koran. Mizuki bilang banyak kabar mengenai dirimu dan semuanya bagus-bagus.”
“Iya, Kak Sawajiri menangani semuanya dengan baik,” Maya tergelak kecil.
“Maya aku akan sangat merindukanmu. Aku tidak pernah mengira akan mengatakan hal ini, namun aku bahkan merindukan bento buatanmu,” ujar Masumi.
“Hahaha… benarkah? Kalau begitu aku percaya Pak Masumi memang sangat merindukanku,” gadis itu mencium kekasihnya.
Handphone Maya kembali berbunyi dan gadis itu tahu Ia harus kembali bekerja.
“Sampai jumpa Sayang,” kata Masumi. “Selamat bekerja.”
Maya memandangi Masumi dengan sendu. “Pak Masumi juga.” Sejenak gadis itu terdiam.
“Ada apa, Maya?”
“Pak Masumi, sampai kapan kita akan seperti ini? Jangankan bertemu lama-lama, bicara di telepon saja tidak bisa. Dan kapan kita akan bertemu lagi?” rajuknya.
“Maya, kau tahu pekerjaanku selalu banyak, dan sekarang kau juga sibuk, wajar saja jika kita tidak sering bertemu. Tapi aku janji akan mencoba meluangkan waktuku jika kau sedang tidak sibuk dan aku pun sudah mengatakan kepada Mizuki dan Sawajiri untuk mengatur pertemuan kita kalau sedang sama-sama luang,” Masumi menenangkan.
Maya mendesah. Ternyata sekarang mau bertemu Masumi memang harus dijadwalkan. Padahal dulu Ia bisa berlari kapan saja menerobos Daito semaunya.
“Tapi aku akan datang pada pertunjukan terakhir,” Masumi menghibur.
“Itu masih bulan depan!” Maya merajuk.
“Aku akan mampir sesekali ke pertunjukan saat sempat,” pria itu kembali membujuk Maya.
Saat Maya dan Masumi berjalan mendekat ke pintu, terdengar ketukan di sana.
“Selamat siang Pak,” sapa Sawajiri yang kemudian nampak di baliknya. Ia lantas menatap pada Maya yang tidak kunjung datang saat ditungguinya di parkiran.
Maya menunduk malu-malu.
“Maya sedang membicarakan sesuatu yang penting denganku barusan,” Masumi memberi alasan.
Sawajiri menunduk. “Baik Pak, tapi sekarang Maya sudah ditunggu untuk pertemuan dengan Pak Matsunaga.”
“Oh ya,” Masumi beralih pada Maya. “Jaga dirimu,” ia tersenyum.
“Anda juga, Pak Masumi.”
Masumi kembali beralih pada Sawajiri. “Sawajiri, karena kontrak Bidadari Merah diperpanjang, ada yang harus kau ketahui. Selama ini yang menangani pekerjaan Maya adalah kau. Oleh karena itu masalah pengunduran dirimu mungkin tidak akan mendapat persetujuan sampai kontrak Maya juga selesai. Kuharap kau bisa mengerti.”
“Saya mengerti Pak,” Sawajiri membungkuk.
“Kita akan membicarakan masalah pengunduran dirimu nanti.” Ia beralih kepada Maya. “Dan aku akan menemuimu saat aku sempat. Dan kau sempat,” imbuhnya.
Maya tersenyum tipis sedikit sedih.
Masumi mengantar gadis itu sampai ke pintu. Saat pintunya tertutup, Masumi sudah kembali merasa kehilangan. Pria itu lantas kembali ke meja kerjanya dan menenggelamkan diri dengan pekerjaannya.
=//=
“Terima kasih Mai, bentonya enak sekali,” puji Sakurakoji siang itu sebelum pementasan.
“Mai senang kalau kau suka.” Kata gadis itu, lantas terdiam beberapa lama.
“Ada apa Mai?” tanya Sakurakoji, menyadari kekasihnya itu sedang gelisah.
“Ti, tidak ada apa-apa,” Mai menggeleng.
“Jangan begitu, kalau ada yang mengganggumu kau harus bercerita kepadaku. Ayolah, ceritakan kepadaku,” bujuk Sakurakoji.
Gadis itu terdiam, lantas terisak. Sakurakoji sangat terkejut melihatnya. “Mai! Ada apa?”
“Yuu… Apa aku tidak pantas untukmu?” tanya Mai.
“Hah? Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu?” Sakurakoji tertegun. Ia sepertinya mengerti. “Apa karena yang diberitakan di tabloid? Mengenai aku dan Maya? Mai, kau pasti sudah tahu bagaimana yang kurasakan.”
“Ta, tapi mereka benar. Mereka bilang aku tidak pantas untukmu. Kau seharusnya bersama Maya. Kau dan Maya sangat serasi. Sedangkan aku, hanya gadis yang tidak… sangat tidak sesuai—“
“Mai, sudahlah. Baik aku atau Maya tidak pernah memikirkan ini. Ini hanya pendapat orang-orang, tapi tidak begitu kenyataannya. Maya dan Pak Masumi saling mencintai, dan aku mencintaimu, lama-kelamaan masalah ini juga akan menghilang, orang-orang tidak akan membicarakannya lagi,” Sakurakoji menenangkan.
“Benarkah, Yuu?”
Sakurakoji memeluknya. “Benar. Sudah jangan kau risaukan. Yang penting aku menyayangimu. Tidak akan ada yang memikirkan masalah ini.”
=//=
“Mizuki!!!!” Masumi berseru di kantornya. “Apa maksud semua ini!? Sejak kapan hal seperti ini beredar?” pria itu tampak sangat marah dengan isi berbagai media cetak yang ada di hadapannya.
Ia memang tahu Maya dan Sakurakoji adalah pasangan yang sedang sangat populer saat ini. Banyak yang memakai mereka untuk iklan bersama-sama. Bahkan untuk produk-produk bagi pasangan kekasih, misalnya handphone berpasangan, promosi perjalanan untuk bulan madu dan lain sebagainya. Namun Masumi tidak tahu bahwa pemberitaannya sampai menjurus mengenai siapa yang lebih serasi dengan siapa.
Bahkan ada tabloid yang membandingkan kenapa Maya lebih cocok dengan Sakurakoji ketimbang dengan dirinya, atau kenapa Sakurakoji lebih cocok dengan Maya ketimbang Mai.
“Lihat!! Bahkan suara untuk Sakurakoji dan Maya lebih besar ketimbang Maya dan aku!!!” Teriak Masumi.
“Hanya berbeda 3 persen Pak, dan saya rasa itu—“
“Tetap saja mereka pikir Maya lebih cocok dengan Sakurakoji!! Lihat apa katanya di sini!” Ia menunjuk sebuah tabloid dan membacanya, “warna rambut Maya dan Sakurakoji lebih serasi! Apa aku harus mengecat rambutku lebih gelap!!??” pria itu semakin murka. “Dan masalah umur— aku tidak percaya!! Apa yang harus kulakukan dengan umurku!? TIDAK ADA yang bisa membuat usiaku berkurang!!!”
“Ta, tapi Pak, banyak yang berpikir Anda dan Maya adalah pasangan yang sangat—“
Tampaknya, Maya tidak akan tahan dengan gaya hidup Masumi Hayami, Gaya hidupku yang mana!? Siapa ini yang bicara? Pengasuhku!!??”
Mizuki menelan ludahnya. Ia tadi diminta membawakan pemberitaan mengenai Bidadari Merah selama ini karena Masumi belum sempat membacanya dan hanya tahu garis besarnya dari Mizuki apakah ada kabar baik atau buruk mengenai pementasan. Mizuki tidak pernah mengungkapkan mengenai opini publik dan penggemar mengenai hubungan Masumi dan Maya. Ia tidak pernah menganggapnya sepenting ini. Namun melihat reaksi Masumi, sepertinya Ia salah.
“Oh! Dan lihat ini, mereka bahkan membesar-besarkan karena Maya dan Sakurakoji makan bersama, dan oh, wow!! Menunya sama! Mereka memang serasi, mereka pasangan sehidup semati!” sindir Masumi.
Mizuki merasa semakin terdesak. Entah kenapa Ia jadi merasa Ia lah pendosanya. “Ehm, maaf Pak, penggemar memang seringkali—“
“Apa yang harus kulakukan!?” Masumi menghempaskan nafasnya kasar. Tidak pernah Mizuki menduga dapat melihat atasannya itu begitu gusar dan gelisah. Bahkan penurunan saham Daito tidak pernah membuat Masumi melepaskan wajah dinginnya.
“Pak, saya rasa Anda tidak perlu terlalu—“
“Aku mau cuti!”
“Hah!?”
“Iya, benar! Mereka jarang melihatku dan Maya karena kami sama-sama sibuk. Karena itulah lebih banyak foto Maya dengan pemuda itu! Tapi jika aku cuti, aku bisa bersama dengan Maya dan semua orang bisa melihat bahwa kami saling mencintai dan kami sangat serasi!”
“Saya tidak yakin Anda akan diijinkan untuk cuti, dengan semua jadwal kegiatan Daito dan proyek besar yang sedang kita tangani juga pementasan Bidadari—“
“Aku Direkturnya!! Siapa yang bisa—“
“Dan alasan Anda cuti?”
“Aku… mmh… ingin bersama Maya?”
“Anda pikir para CEO akan menerima alasan Anda jika sampai terjadi sesuatu pada proyek dan Anda sedang cuti, lantas pada rapat pertanggungjawaban Anda mengatakan, Anda cuti karena ingin bersama kekasih Anda?”
Masumi terdiam.
“Lagi pula Maya sedang sibuk sekarang Pak—“
“Aku akan menikah!!” seru Masumi. “Benar! Siapkan semuanya. Besok aku akan menikahi—“
“Pak Masumi,” Mizuki menghela nafasnya. “Saya pikir itu bukan ide yang bagus. Menikah itu bukan seperti membeli fastfood yang bisa dilakukan dengan instan.”
“Aku mau menikah!!!”
“Katakan itu kepada Maya, bukan kepada saya,” ujar Mizuki akhirnya. “Pak Masumi, cobalah pikirkan posisi Maya, mungkin—“
“Aku tahu!” Masumi menegakkan duduknya. “Berikan nama-nama pemimpin redaksi media-media ini! Semuanya! Mereka harus tahu dengan siapa mereka berurusan—“
“Pak! Anda masih punya banyak hal untuk diselesaikan dan saya rasa ini bukan hal yang penting. Hal seperti ini sudah biasa di—“
Masumi menggebrak mejanya. “Kau ini sekretarisku atau sekretaris mereka!!?”
“Se, sekretaris Anda…”
“Kalau begitu, berhentilah membela mereka dan lakukan perintahku!!!”
“Baik, Pak…” Mizuki menjawab cepat sebelum beranjak dari kantor Masumi. “Aku harus menghubungi Maya dan memberi tahu bahwa kekasihnya sudah mulai gila,” desahnya.
“Aku mendengarnya!!!” Teriak Masumi dari dalam ruangan.
=//=


“Sayang, jangan lupa makan dan jaga kesehatanmu. Aku sangat merindukanmu,” adalah isi pesan dari Masumi untuk Maya.
Maya tersenyum tipis. Ini adalah pesan Masumi di handphonenya entah untuk keberapa kalinya hari ini. Gadis itu menyadari, memang ada yang berbeda dari Masumi belakangan ini, namun entah kenapa. Ia pikir mungkin Masumi memang sangat merindukan dirinya seperti juga gadis itu merindukan kekasihnya.
Tapi Maya pun merasa, sikapnya benar-benar berlebihan. Puluhan pesan tertinggal di handphone Maya karena Masumi sudah melarang Sawajiri mengangkat telepon darinya untuk Maya. Dan Masumi mengiriminya buket bunga Mawar Ungu sangat sering. Begitu juga yang tadi terjadi sebelum pementasan Bidadari Merah, ada kiriman buket Mawar Ungu sangat besar di hall. Dan yang dimaksud besar itu benar-benar besar. Maya harus menengadah melihatnya dan mungkin bisa terlihat hingga beberapa ratus meter.
Sebenarnya ada apa dengan Pak Masumi, batin gadis itu seraya memandangi handphonenya. Ia lantas menghubungi Masumi. Menunggu beberapa saat, menebak-nebak apakah Masumi atau voicemailnya yang akan menerimanya.
“Maya!” Sapa Masumi.
Maya sedikit terkejut. “Pak Masumi…” Ia tersenyum lebar. “Selamat malam.” Ia bisa mendengar keriuhan di belakang Masumi. “Anda dimana?”
Masumi menyingkir dari keramaian. “Aku sedang di pesta ulang tahun pernikahan Pak Kawashima,” terang Masumi, lantas sedikit berbisik. “Membosankan, tapi banyak relasiku di sini dan beberapa orang yang harus kubujuk bekerja sama dengan Daito.”
Maya tertawa kecil. “Ah, Pak Masumi, aku tidak bisa lama. Aku pun ada undangan makan malam dan Kak Sawajiri sedang berjalan ke arahku sekarang,” terang Maya.
Masumi berdecak. “Semoga kenyang, Sayang.”
“Hah?” gadis itu tertawa. “Aku baru mendengar ucapan seperti itu.
“Aku tidak tahu harus mengatakan apa,” Masumi terdengar sinis. “Oh, di sini banyak sekali yang menanyakanmu. Kau tahu, aku lelah menerima pertanyaan kapan bisa bertemu denganmu. Aku pun menanyakan hal yang sama pada diriku sendiri,” Masumi mengeluh.
“Aku juga sangat ingin bertemu denganmu. Ah, Pak Masumi, aku pergi sekarang ya! Nanti kuhubungi lagi, atau hubungi aku.”
“Baik, Maya, hati-hati, aku men—“ sambungan terputus. “… cintai… mu…” imbuhnya lemah. Masumi mematikan handphone.
“Pak Masumi,” Mizuki menghampiri. “Ada Ibu Honda. Bukankah Anda hendak membicarakan sesuatu dengannya?”
Masumi masih tercenung beberapa saat. Bahkan mengatakan aku mencintaimu saja sangat sulit.
“Pak Masumi,” tegur Mizuki sekali lagi.
“Iya, tunggu sebentar.” Masumi kembali menghubungi Maya.
Tidak diangkat hingga masuk mailbox.
“Halo ini aku Masumi. Sayang, aku mencintaimu,” Ia kembali berbisik. “Jangan lupa kenakan cincinmu kemanapun kau pergi,” ujarnya. “Sampai nanti calon istriku.”
Masumi menghembuskan nafasnya dan tersenyum puas. Ia lantas melangkah pergi, meninggalkan Mizuki yang memandang atasannya itu tidak percaya.
=//=
Mizuki kembali menyerahkan beberapa dokumen dan pesan yang diterimanya, serta beberapa media cetak yang diminta Masumi sementara pria itu mengurung dirinya mengevaluasi beberapa rating acara yang dibintangi oleh bintang Daito.
Karena Maya saat ini masih dikontrak Daito, Masumi pun mendapat laporan mengenai gadis itu. Setiap Ia datang ke sebuah acara, bisa dipastikan saat itu menjadi puncak rating tertinggi acara tersebut. Masih lebih baik dari Sakurakoji jika datang sendirian ke sebuah acara, namun jika keduanya hadir dalam sebuah acara bersamaan, maka ratingnya menjadi lebih tinggi lagi.
Mereka sangat menyukai pasangan ini, batin Masumi dengan gusar.
“Pak Masumi, hanya sekedar memastikan,” ujar Mizuki setelah menyerahkan semua yang diminta atasannya tersebut. “Apa Anda meminta untuk mengirimkan buket bunga lima kali hari ini? Ke setiap tempat yang akan dikunjungi Maya?”
“Iya benar,” Masumi tidak mengalihkan pandangannya dari sebuah tabloid yang dibacanya.
Mizuki menghela nafasnya. “Maaf Pak Masumi, tapi kali ini saya harus ikut campur.”
“Dari dulu kau suka ikut campur.”
“Iya, tapi kali ini harus. Jika Anda tidak ingin hubungan Anda dan Maya berakhir.”
Masumi terenyak. Ia segera mengangkat wajahnya memandang tajam pada Mizuki. “Jelaskan!” tuntutnya.
Mizuki duduk di hadapan atasannya tersebut. “Pak Masumi, apa Anda tidak sadar apa yang Anda lakukan? Anda mengekang Nona Maya. Mengirimi banyak bunga, meninggalkan banyak pesan. Anda benar-benar posesif. Apa Anda tidak khawatir Maya malah akan pergi dari—“
“Kenapa!? Kenapa Maya harus kabur!?”
“Karena semua pesan dan buket bunga yang Anda kirimkan—“
“Dia suka menerima pesan dariku! Juga buketnya! Dia suka mawar ungu!” tegas Masumi.
“Tapi kalau berlebihan,” Mizuki menghela nafasnya. “Pak Masumi, Anda menunggunya 9 tahun. Apa Anda ingin semuanya berakhir sebelum 9 bulan?” Mizuki menekan. “Anda harus menyadari, bersikap posesif, dan cemburu buta akan membawa masalah yang tidak diperlukan bagi—“
“Aku tidak cemburu buta! Aku hanya memperlihatkan bahwa aku, aku, aku… sangat mencintainya.”
“Seluruh Jepang tahu Anda mencintainya! Pertunangan Anda disiarkan ratusan kali di televisi. Cincin pertunangan Anda bahkan dibahas puluhan kali. Bagaimana Anda mematenkannya dan sebagainya. Semua tahu—“
“Tapi mereka menganggap Maya dan Sakurakoji lebih cocok,” Masumi menunjuk kesal tabloid di hadapannya.
“Dan Maya? Bukankah yang paling penting apa pendapat Maya dan apa yang Maya rasakan?”
“Mana aku tahu apa pendapat Maya, mereka tidak mensurveinya!”
“Nah, itu, Pak Masumi, namanya cemburu buta,” ujar Mizuki. “Anda harus segera berbicara dengan Maya,” sarannya. Ia tahu hanya gadis itu yang akan meluluhkan atasannya tersebut. “Aku akan mencoba berbicara dengan Sawajiri mengenai hal ini, bahwa Anda harus bertemu Maya secepatnya. Dan sementara,” Mizuki meraih tabloid-tabloid tersebut. “Anda sebaiknya tidak membaca ini dulu.”
“Hei! Mau kau bawa kemana!? Kembalikan, Mizuki!”
Mizuki tidak menghiraukan dan berlalu dari kantor Masumi. “Saya akan kembali membawakan kopi milik Anda,” ujarnya sebelum menutup pintu.
“Tidak usah kembali! Kau kupecat!” Seru Masumi.
=//=
“Uhhmm…” Maya menggeliat kecil saat terbangun dari tidurnya. Dan menghela nafasnya perlahan. Ia masih teringat Masumi yang hadir di mimpinya tadi dan sisa-sisa figurnya masih membekas di kepala gadis itu.
Hingga Ia menyadari ada yang lain. Sebuah tangan melingkar di pinggangnya. Ia sangat terkejut, dan saat Ia menoleh, pria yang semalam Ia impikan sedang terpejam di sebelahnya.
“Pak Masumi…?” Desisnya tidak percaya. Wajah gadis itu tampak berseri. “Pak Masumi!” Maya segera bangkit dan menggoyang-goyangkan pria itu. “Pak Masumi! Pak Masumi! Kapan Anda datang!? Pak Masumi!!”
Masumi mengerutkan alisnya dan menggosok matanya sebentar.
“Pak Masumi!!” Maya memeluk pria itu. “Aku sangat merindukanmu. Aku tidak mengira bisa bertemu denganmu!”
Masumi yang sudah bangun seutuhnya, segera memeluk Maya. “Aku juga merindukanmu. Aku datang semalam, dengan kunci yang kau berikan melalui Sawajiri,” ujar Masumi.
“Jadi Anda sudah menerimanya?” Maya mengangkat wajahnya, tersenyum lebar.
“Iya, kemarin lusa Sawajiri memberikannya kepadaku,” Masumi tersenyum.
“Pak Masumi, kapan Anda datang? Apa Anda masih mengantuk?” Gadis itu tersadar telah mengganggu tidur Masumi.
Maya bangkit terduduk, tak lagi memeluk Masumi. Gadis itu mengamati wajah Masumi. “Anda sepertinya masih sangat lelah,” Ia mengusap wajah kekasihnya.
“Tadi malam aku datang jam setengah dua dan kurasa baru tidur jam tiga,” tutur Masumi.
“Ah! Maafkan aku, kalau begitu Anda teruskan saja tidurnya, aku mau mandi dulu,” Maya mengecup pipi Masumi.
“Sudah mau pergi?” tanya Masumi tidak rela.
“Satu setengah jam lagi. Tapi aku mau membuatkan sarapan untukmu,” gadis itu tersenyum manis.
Masumi menarik gadis itu dan memeluknya beberapa lama tanpa berkata-kata.
“Bangunkan aku setelah kau selesai mandi,” kata Masumi.
=//=
“Enak,” puji Masumi sambil tersenyum saat menyantap telur orak arik buatan Maya.
“Oya? Anda tidak bohong kan?” Selidiknya.
Masumi tertawa kecil. “Tidak, sungguh, aku menyukainya,” kata Masumi.
Gadis itu tersenyum bahagia mendengarnya.
Sejenak hanya ada suara piring dan sendok garpu yang beradu.
Maya tertegun saat menyadari kekasihnya tengah mengamatinya. “Ada apa?” tanya Maya. “Apakah ada sesuatu?”
“Mmh… Sayang, aku mau bertanya,” Masumi tampak ragu sebentar. “Apa menurutmu, aku harus mengubah gaya rambutku? Seperti menghitamkannya, atau mungkin membuatnya lebih bergelombang?” tanya Masumi.
Maya tertegun, tidak yakin dengan apa yang didengarnya. “Rambut?”
“iya,” Masumi menyisir sisi rambutnya dengan jemari. “apa menurutmu aku harus membuatnya lebih gelap atau membuatnya lebih bergelombang?” tanyanya sekali lagi.
“Kurasa tidak perlu, mmh… kenapa Pak Masumi mau mengubah gaya rambut Pak Masumi? Apa merasa bosan?”
“Apa kau bosan?” tanya Masumi cepat.
“Mmh… tidak,” Maya menggeleng. “Bagiku tidak masalah Pak Masumi memiliki gaya rambut seperti apa,” Maya tersenyum hangat. “Apa itu merisaukanmu? Apa aku juga harus berganti potongan rambut?” Maya mengusap bibirnya dan meletakkan peralatan makannya.
“Tidak, tidak, tidak ada yang salah denganmu,” Masumi menggeleng cepat.
Maya menghela nafasnya lega.
“Kalau… mmh… gaya hidupku? Apakah ada sesuatu yang membuatmu, ya… kesal?” tanya Masumi lagi.
“Gaya hidup Pak Masumi?” gadis itu kembali berpikir. “Mmmh… Pak Masumi sangat sibuk, dari dulu begitu,” gumam Maya. “Malah sekarang aku pun ikut-ikutan jadi sibuk. Mmmh… entahlah, kurasa tidak ada yang perlu diubah… kan?” tanyanya tidak yakin.
“Ayolah Sayang,” Masumi meraih tangan Maya dan meremasnya. “Tidak ada sesuatu yang mengganggumu?”
“Entahlah, mungkin… Pak Masumi yang selalu sibuk. Tapi aku mengerti dengan hal itu. Mmmh… Oh, mungkin kebiasaan Anda merokok?”
“Rokok?”
“Mmh… Iya…” Maya turun dari kursinya, memeluk bahu Masumi. “Bukannya aku keberatan atau apa, hanya saja… Aku memikirkanmu. Kurasa akan baik kalau kebiasaan Anda merokok dikurangi?” Maya menatap sedikit memelas.
Masumi mengamati kekasihnya. “Sakurakoji tidak merokok ya?”
Maya tertegun. “Sakurakoji?” Ia mengamati Masumi lekat. “Setahuku tidak…”
“Oh…” Wajah Masumi berubah kusam. “Jadi aku harus mengurangi—“
“Pak Masumi, apa itu masalahnya?”
“Masalah? Masalah apa?”
“Entahlah, sepertinya ada yang merisaukanmu, dan caramu membicarakan Sakurakoji….”
“Tidak,” Masumi membuang wajahnya.
“Ayolah Pak Masumi, aku sebenarnya berpikir sepertinya ada yang aneh padamu. Semua buket Mawar Ungu yang tak kunjung henti… pesan yang membanjiri mailbox-ku…” Ia membujuk. “Ada sesuatu kan?”
Masumi menghela nafasnya. Ia melingkarkan tangannya di pinggang Maya. “Kau tahu… itu… tabloid…”
“Tabloid?”
“Iya, apa kau tidak membacanya? Mengenai survei apakah kau lebih cocok denganku, atau dengan Sakurakoji atau mengenai apakah kita akan bertahan lama—“
“Oh… itu,” Maya tampak sedikit terkejut. “Ya, Kak Sawajiri pernah mengatakan bahwa banyak pihak mendukung kedekatanku dan Sakurakoji, mmh… tapi dalam artian yang bagus, maksudnya, mereka senang melihat kami main barsama,” ujar Maya hati-hati.
Masumi berdecak tidak kentara, dan Maya mengamatinya.
“Apa… apa itu yang mengganggu Anda Pak Masumi?” tanya Maya, mengusap bahu kekasihnya.
Masumi tidak berkata apa-apa dan hanya diam saja.
“Kak Sawajiri juga tidak pernah membiarkanku membaca tabloid atau berita seperti itu. Mungkin Kak Sawajiri takut itu akan mempengaruhi perasaanku. Dia sudah tahu kalau aku mudah sekali terpengaruh dengan pemberitaan mengenai diriku,” kata Maya pelan. “Tapi aku tidak mengira Pak Masumi juga merasa khawatir.”
“Tentu saja aku khawatir,” Masumi berujar dengan gundah. “Kau semakin sulit kutemui, aku lebih sering bertemu mailbox mu daripada kau. Sedangkan, ehm, Sakurakoji, dia sering kali bersamamu bahkan sampai seharian penuh. Aku sebenarnya tidak peduli bagaimana pendapat orang lain mengenai kau dan aku. Tapi jika mereka mulai membanding-bandingkan, mengatakan kau lebih cocok dengan dia ketimbang aku,” Masumi tercekat, diam sejenak menenangkan dirinya lantas memandang Maya lekat. “Maya, sudah dari dulu, ada bagian dalam diriku yang merasa takut aku ini tidak layak untukmu, yang begitu kalah setiap kali melihat laki-laki lain bersamamu dan memang lebih serasi jika bersanding bersamamu. Tapi rasanya masih bisa kutahan selama suara itu masih berada di kepalaku. Tapi saat kemudian orang-orang mengatakan sesuatu yang paling kutakutkan, aku,” Masumi mengeratkan rahangnya. “Rasa sakitnya jadi lebih nyata untukku, dan membuatku…” Masumi tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
Maya mengamati kekasihnya dengan berkaca-kaca kemudian mengalungkan kedua tangannya di lehernya. “Aku mengerti, Pak Masumi, aku sangat mengerti dengan apa yang kaurasakan. Aku pun pernah merasa seperti itu, dan saat itu, Anda yang menenangkan perasaanku,” Ia lantas membenamkan wajahnya di leher Masumi. “Aku tidak mengira Pak Masumi bisa merasa seperti itu juga. Tapi percayalah padaku. Bagiku hanya Pak Masumi yang kucintai dengan sepenuh hati. Saat di Yokohama dulu, aku sudah memilih. Dan aku memilih tetap tinggal bersamamu dan tidak pergi bersama Sakurakoji. Sampai sekarang, aku sama sekali tidak pernah menyesali keputusanku dan tidak pernah sekalipun berpikir untuk mengubah keputusanku. Aku hanya mencintaimu Pak Masumi.”
“Maya…” Masumi balas memeluknya. “Aku memang begini, mungkin aku terlalu posesif, tapi aku tidak pernah begitu mencintai seseorang dan merasa begitu bahagia seperti saat aku bersamamu. Aku jadi sangat takut kehilanganmu. Mizuki bilang, kalau kau gadis lain, mungkin sudah kabur dengan kelakuanku yang over-protektif ini.”
Maya tertawa kecil, menghapus air matanya sendiri. “Tidak. Anda sudah bilang aku ini belahan jiwamu kan? Jadi aku sudah diciptakan punya banyak ruangan di hatiku untuk menampung perasaan Anda yang berlebihan itu.”
Masumi tersenyum tipis, lantas mencium bibir kekasihnya dengan lembut. “Kau semakin hari semakin cantik saja,” bisik Masumi. “Rasanya jadi semakin berat jika melihat postermu dan juga kau di televisi,” keluh Masumi. “Dan aku jadi kesal tiap kali ada yang bertanya kapan bisa bertemu denganmu
Maya kembali tertawa. “Aku juga sering memikirkan, Pak Masumi di pesta bertemu siapa? Apa akan ada wanita yang jauh lebih cantik yang memikat hatimu? Tapi setelah Anda meninggalkan berpuluh-puluh pesan voicemail dan mengirimiku banyak bunga Mawar Ungu, aku tahu kalau aku selalu di hatimu. Walaupun ada juga yang mengatakan pria suka tiba-tiba bersikap manis setelah melakukan kesalahan atau sedang berselingkuh!”
Masumi tertegun. “Hah!? Apa…!?”
Maya tertawa, mengeratkan pelukan di leher kekasihnya. “Tapi Anda selalu bersikap manis padaku selama ini, jadi kurasa Anda tidak berselingkuh.”
“Tentu saja tidak!”
“Iya. Aku tahu Pak Masumi sangat mencintaiku, dan aku pun sangat mencintaimu. Jadi jangan khawatir. Ini tidak ada hubungannya dengan warna atau model rambutmu. Aku akan mencintaimu walaupun nanti rambutmu berwarna putih atau sudah sampai botak sekalipun.”
“Sayang,” Masumi mengusap rambut Maya. “Aku tidak mau sampai botak.”
Maya kembali tertawa dan bicara setelah tawanya mereda. “Nanti, aku akan mengusahakan, jika kita sudah menikah,” Maya bisa merasakan wajahnya merona hangat. “Aku akan berada di rumah sebelum Anda pulang bekerja,” Ia tersenyum lembut.
Masumi balas tersenyum. “Atau aku bisa datang ke tempatmu latihan dan syuting.”
Keduanya saling memandang hangat dan mesra lantas kembali saling mendekatkan bibir mereka dan saling berciuman berkali-kali dengan penuh kerinduan. Masumi membenamkan jemarinya di rambut Maya yang tebal hitam berkilau dan mengeratkan pelukannya di pinggang gadis itu. Merasakan bibir gadis itu perlahan semakin menghangat, begitu juga helaan nafasnya. Kadang desahan tipis keluar dari bibir mereka yang saling membelai.
Sebuah ketukan di pintu menghentikan sepasang kekasih itu dari perbuatannya. Bahu Maya sedikit terlonjak karenanya.
“Kak Sawajiri,” bisik Maya. “Tunggu sebentar!” teriaknya ke pintu.
Masumi pun sudah tahu. Ia mengamati Maya beberapa saat. Mengamati wajah gadis itu yang ingin dilihatnya setiap saat. Yang selalu Ia inginkan untuk menemaninya saat ini hingga nanti.
Pria itu membelai rambut Maya lembut. “Sayang, kapan kau ingin menikah?” tanyanya.
Maya tertegun, memandangi Masumi penuh tanya.
“Musim semi? Musim panas? Musim gugur—“
“Kapan saja,” Maya tersenyum tipis, membelai rahang pria itu lantas mengecup bibirnya. “Bagaimana baiknya saja, Sayang.”
Masumi balas tersenyum, lantas melepaskan pelukannya di pinggang Maya.
Gadis itu beranjak ke pintu dan membukanya. “Selamat pagi Kak Sawajiri.”
“Selamat pagi. Ma,” Sawajiri sebentar tertegun melihat Masumi di ada di sana. “Selamat pagi Pak Masumi.”
“Pagi,” sapa Masumi datar. Ia beranjak ke kamar meraih jasnya.
“Kau sudah siap, Maya?” tanya Sawajiri.
“Sudah. Tunggu sebentar aku mau ambil tasku dulu,” Maya lantas beranjak ke kamar.
Ada Masumi yang sedang menyisir rambutnya. Keduanya berpandangan di cermin sebentar, Masumi lantas berbalik.”Sudah mau pergi?”
“Iya,” Maya menghampiri. “Aku pergi dulu, satu jam lagi aku syuting di talk show NTV. Pak Masumi, selamat bekerja.” Ia meraih bahu pria itu dan mengecup pipinya. “Aku sangat mencintaimu.”
Masumi balas mengecup bibir Maya dan tersenyum. “Selamat bekerja. Lakukan yang terbaik.”
Gadis itu mengangguk lantas berbalik keluar kamarnya.
Masumi merasa sedikit kesepian. Diamatinya kamar Maya, dirasainya aroma kamar tersebut dengan sisa-sisa keberadaan gadis itu di sana. Masumi menghembuskan nafasnya. Ia lantas merapikan pakaiannya, meraih tas kerjanya. Masumi meninggalkan beberapa perlengkapannya di apartemen Maya, kalau-kalau Ia akan datang lagi sewaktu-waktu. Ia lalu keluar dari sana.
=//=
Sawajiri tengah menikmati bentonya bersama Rei. Hari ini kebetulan lokasi syuting Rei tidak jauh dari tempat Sawajiri bekerja, jadi Ia menyempatkan diri makan siang bersama kekasihnya tersebut.
“Kau habis darimana?” tanya Rei pada kekasihnya yang tampak lahap memakan makan siangnya.
“Dari NTV, mengambil rekaman talk show saat Maya menjadi bintang tamu. Karena kemarin sempat membicarakan masalah pribadi Maya, maka harus diperlihatkan dulu kepada Pak Masumi untuk mendapatkan persetujuan,” terang Sawajiri. “Aku tadi melihat syutingmu sebentar. Permainanmu bagus sekali,” puji Sawajiri datar.
Rei tersenyum tipis. “Akan lebih menyenangkan kalau wajahmu juga mendukung ucapanmu,” katanya.
Sawajiri tertegun. “Maaf, tapi aku sungguh-sungguh,” katanya.
Rei tersenyum tipis, “bercanda,” ujarnya. Ia lantas menopang kepalanya dengan sebelah tangannya. “Shin, apa kau tidak menyukai teman-temanku?”
“Tidak. Maksudku, aku tidak membenci mereka. Mereka tidak pernah melakukan apa-apa kepadaku kenapa aku harus benci?”
“Iya…” telunjuk Rei menyusuri punggung telapak Sawajiri. “Tapi jangan terlalu dingin pada mereka… aku kan… mmh… untukku teman itu sangat berarti. Jadi… aku,” wajah gadis itu berubah segan. “Kau jangan marah ya…” bujuknya.
Sawajiri menoleh pada kekasihnya. “Akan kuusahakan,” ujarnya.
“Aku hanya tidak ingin mereka berpikir kau tidak menyukai mereka,” imbuh Rei cepat.
“Iya, aku mengerti,” kata Sawajiri. “Akan kuusahakan, lebih ramah pada mereka,” imbuhnya.
Rei tersenyum tipis, puas. “Dan mengenai Daito…? Kau tidak jadi berhenti… kan?”
“Aku tidak mau membicarakannya.”
“Aku akan sangat merasa bersalah jika karirmu gagal gara-gara aku.”
“Aku tidak akan gagal.”
“Tapi mungkin tidak akan sesukses jika kau di Daito,” Rei membujuk. “Shin… Tidak perlu keluar gara-gara aku, ya…” pintanya. “Aku belum butuh manajer. Nanti jika aku memerlukannya, aku akan bicara denganmu…”
Sawajiri beberapa lama memakan bentonya tanpa suara sementara Rei merasa semakin gelisah.
“Sayang…” bujuk Rei.
Sawajiri menghela nafasnya. “Tapi aku akan datang menemui orang tuamu setelah doramamu selesai, dan tidak akan ada yang bisa menghentikanku melakukannya,” tegas Sawajiri.
Rei tersenyum lebar. “Iya.” Gadis itu meraih koran di hadapannya dan menutupi pandangan para wartawan yang mengamati mereka dari kejauhan. Ia lantas mengecup pipi Sawajiri. “Terima kasih.”
=//=
“Ini rekaman dari Star Speaks NTV yang akan tayang hari jumat nanti. Sawajiri meminta Anda melihatnya sebelum memberikan persetujuan pada pihak NTV,” terang Mizuki seraya menyalakan rekaman tersebut.
“Kenapa diberikan kepadaku?” Ia menyandarkan punggungnya dan membuat dirinya senyaman mungkin.
“Karena ada nama Anda disebut. Maya sudah mengijinkan mereka memberikan pertanyaan pribadi, namun Sawajiri dan pihak NTV khawatir ada yang membuat Anda keberatan.”
Tayangan itu menyala. Tampak Maya duduk di sebuah sofa panjang, dan pembawa acaranya Shota Katsuragi duduk di sebuah sofa di hadapannya agak menyamping. Mizuki memfast-forward rekaman tersebut sampai bagian yang dipersoalkan.
“Maya, bagaimana hubunganmu dengan Pak Masumi? Kalian tampak sangat sibuk hingga jarang terlihat bersama,” Katsuragi bertanya seraya tersenyum.
Gadis itu balas tersenyum. “Baik. Kami baik-baik saja.”
“Seperti yang kita tahu, saat ini Sakurakoji dan Maya Kitajima, sudah menjadi pasangan favorit di mata masyarakat. Bahkan banyak yang berharap kau akan benar-benar bersamanya.”
“Iya, kudengar juga begitu,” Maya tertawa kecil. “Aku dan Sakurakoji tidak mengira bahwa masyarakat bisa begitu menerima kami sebagai Akoya dan Isshin. Kami benar-benar senang,” wajah gadis itu tampak berbinar. “Tapi jika bersama…” gadis itu kembali tersenyum. “Kami berdua sudah menemukan orang yang kami cintai.”
“Tapi kau dekat dengan Sakurakoji kan?”
“Tentu. Kami teman yang cukup akrab. Aku sudah lama mengenalnya dan dia sering sekali membantuku.”
“Apa karena itu kau bisa memerankan Akoyamu dengan sempurna?”
“Oya? Akoyaku… sempurna…?” Maya kembali terlihat segan.
“Benar, Maya, banyak yang memuji Akoyamu dan Isshinnya Sakurakoji sangat sempurna. Karena itu banyak yang berpikir jika kau dan Sakurakoji bisa menjadi pasangan yang sempurna juga di luar panggung. Mungkin karena kalian bisa terlihat begitu saling mencintai di atas panggung.”
Maya menggeleng kecil. “Mungkin… mmh… karena Sakurakoji lawan mainku, aku memang bisa merasa lebih nyaman di atas panggung mengekspersikan perasaanku. Seperti yang sudah kukatakan, kami sudah kenal lama dan akrab. Kami jadi tidak ragu saling mencurahkan pikiran kami, seperti mengenai akting yang bagaimana yang harus kami lakukan untuk sebuah adegan, atau ide apa yang ada di kepala kami. Aku sangat bersyukur lawan mainku Sakurakoji.” Ujar Maya. “Namun sesungguhnya, jika membicarakan mengenai bagaimana aku bisa mengekspresikan perasaan cintaku, mmh… mungkin itu karena aku sudah tahu bagaimana rasanya begitu mencintai dan dicintai seseorang. Sehingga—“
“Maksudmu, Pak Masumi Hayami?”
“Mmh… Iya,” gadis itu tersenyum malu-malu lagi namun wajahnya tampak berbinar. “Jadi maksudku, saat aku memerankan Akoya, seperti apa pun aku jatuh cinta pada Isshinku di atas panggung, itu karena dalam hati aku selalu mengingat orang yang kucintai.”
Ruangan itu terdengar sunyi beberapa saat.
“Maksudmu, Pak Masumi Hayami kan?” Katsuragi menggodanya.
Wajah Maya tampak memerah saga. “I, iya.”
Terdengar tawa di ruangan itu. Maya menutup separuh wajahnya dengan kedua tangannya menyembunyikan rasa malu.
“Kau manis sekali, Maya,” ujar Katsuragi. “Oh, cincin yang menjadi bahan pembicaraan,” Katsuragi berucap spontan melihat jari Maya. “Cincinnya benar-benar cantik. Lebih cantik dari yang kulihat di TV atau majalah.”
“Te, terima kasih.”
“Kau lebih suka cincinnya atau orang yang memberikannya?”
“Mmh… keduanya,” kata Maya spontan. Orang-orang di studio terdengar teratwa. “Tapi aku jauh lebih mencintai orang yang memberikannya, karena jika cincin ini hilang, dia bisa membelikanku cincin lainnya. Tapi jika yang memberikannya yang hilang, cincin ini tidak bisa berbuat apa-apa,” candanya.
Kembali terdengar tawa di studio.
“Apakah sudah ada tanggal untuk hari bahagianya?”
“Ah, itu…” Maya menggeleng tipis seraya tersenyum.
“Kuharap hubunganmu dan Pak Masumi akan bertahan lama.”
“Terima kasih,” Maya tersenyum tulus.
“Setelah ini kami akan kembali dan membicarakan mengenai kesibukan Maya selama ini, jangan kemana-mana,” Katsuragi berbicara ke layar kaca.
Masumi tersenyum tipis melihat Maya yang tampak salah tingkah digodai seperti itu. Maya… Masumi memanggilnya dalam hati penuh rindu.
Ia beberapa lama menonton acara itu sebelum kemudian menoleh kepada Mizuki. “Mizuki, minta Sawajiri besok menghadap kepadaku, dan ada beberapa hal yang aku ingin kau lakukan secepatnya.”
“Baik, Pak.”
=//=
“Hari ini adalah hari terakhir pementasan Bidadari Merah. Ayo kita laksanakan dengan sebaik-baiknya…” kata Pak Kuronuma.
Tanpa terasa dua bulan sudah Maya memerankan Akoya sekaligus Bidadari Merah. Dan seperti malam-malam sebelumnya, malam ini pun pentasnya sukses besar. Sangat sempurna. Tepuk tangan yang mengiringi mengkonfirmasi itu semua. Tepuk tangan itu bagai tanpa henti, seakan-akan menggambarkan ketidakrelaan semua orang bahwa mimpi indah, dunia Bidadari Merah sudah akan berakhir.
Maya terdiam beberapa saat di ruang gantinya. Mengamati wajahnya yang perlahan-lahan berubah kembali menjadi wajah Maya Kitajima. Tapi sisa-sisa Akoya masih mengalir di darahnya. Tadi ada jiwa yang lain yang hidup dalam dirinya. Menggunakan suaranya, matanya, tubuhnya. Akoya.
Maya akan rindu memerankannya lagi. Akoya…
Pintu ruang ganti Maya diketuk.
“Masuk,” kata Maya. Ia mengharapkan Masumi yang datang, tapi ternyata bukan.
Sawajiri masuk, bersama beberapa perias untuk pesta malam ini.
“Cepat Maya, ganti pakaian.” Ia menyerahkan sebuah gaun kepada seorang pelayan.
“Mana Pak Masumi?” tanya Maya.
Masumi sudah seminggu ini bahkan tidak terlalu sering menghubunginya, juga tidak muncul di apartemennya. Hari ini Masumi datang ke pertunjukan, namun Ia tidak menemuinya di belakang panggung atau di ruang ganti. Maya sempat berpikir ada sesuatu dengan kekasihnya itu, tapi Maya masih menerima kiriman mawar ungu darinya selama ini, jadi Maya pikir memang Masumi sedang sangat sibuk mengurus banyak hal.
“Nanti dia menemuimu,” Sawajiri berujar singkat. “Ini darinya,” Ia meletakkan sebuah buket bunga kecil di atas meja rias. “Dan ini juga darinya untuk kau pakai malam ini,” Ia membuka sebuah kotak perhiasan.
Ada tiara kecil di sana. Mata Maya melebar. Tiara itu tampak sangat cantik. “I, ini dari Pak Masumi?” tanyanya takjub.
“Kau nanti akan mengenakan ini, dan mereka akan membantumu berdandan.” Sawajiri menunjuk pada tiga orang perias. “Maya, saat kau memasuki ruangan itu nanti. Kau adalah seorang aktris papan atas. Kau jangan lupa itu. Mulai hari ini hidupmu berubah. Kau adalah seorang selebritis ternama di Jepang dan kemunculanmu hari ini akan menjadi sorotan. Kau harus tampil sempurna,” kata Sawajiri.
Maya menelan ludahnya. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu sebelumnya. Sekarang Ia jadi merasa agak gugup. “Pak Masumi mana?” tanyanya lagi.
“Ia akan menemuimu nanti, sekarang ada yang sedang diurusnya. Cepatlah berpakaian sekarang,” kata Sawajiri. “Aku nanti kembali.
Manajer itu lantas keluar kamar ganti Maya.
“Silahkan Nona,” seorang perias menyerahkan pakaian ganti Maya, sebuah gaun putih bergaya dewi Yunani jatuh tergerai hingga kakinya dengan hiasan benang-benang emas putih menghias bagian pinggang gadis itu. Rambut Maya dibuat bergelombang dan disanggul sederhana dengan bunga-bunga kecil menghiasi rambut di bagian sanggulannya. Terakhir Maya dipasangi tiara yang sangat cantik di kepalanya.
Gadis itu memandangi tiara pemberian Masumi itu dengan takjub di atas kepalanya melalui cermin, dan tersenyum tipis. Kekasihnya itu, memang terlalu memanjakannya.
Maya sudah siap saat Sawajiri tiba. “Ayo Maya, kau sudah siap?”
Maya mengangguk. Gugup.
“Dimana Pak Masumi?” tanya Maya. “Kenapa tidak menemuiku?”
“Nanti dia akan menemuimu,” Sawajiri lantas berbicara pada seseorang di radio komunikasi. “Maya sebentar lagi tiba di sana, kami sudah keluar ruang ganti,” katanya.
Maya menghela nafasnya. Kembali teringat dengan ucapan Sawajiri sebelumnya bahwa dia akan tampil sebagai bintang besar untuk pertama kalinya. Bahwa hari ini Ia tampil perdana sebagai Maya sang selebritis kelas atas. Perut gadis itu terasa melilit, gugup. Jantungnya berdebar keras. Mana Pak Masumi… gadis itu rasanya ingin menangis. Ia tidak bisa masuk ke dalam ruangan dimana setiap mata akan memandangnya tanpa ada Masumi di sana. Gadis itu berhenti melangkah.
Sawajiri tertegun. “Maya? Ada apa?” Ia sangat terkejut melihat wajah pucat Maya.
“Dimana Pak Masumi…?” tanyanya. “Aku mau bertemu Pak Masumi, aku tidak mau ke sana tanpa—“
“Maya!” Panggil seorang pria.
Maya menoleh. Ada Pak Kuronuma. Bahkan Kuronuma berdandan sangat rapi. Maya terkejut melihat pria itu yang biasa tampil berantakan malam ini tampak sangat rapi dengan tuxedonya. “Pak… Kuronuma?”
“Kenapa lama sekali? Semua sudah menunggumu.”
“Pak Kuronuma apa kau melihat Pak Masumi?”
“Iya, tentu saja. Dia sudah menunggumu.”
“Benarkah? Dia sudah menungguku?”
“Iya, dia sudah menunggu di sana, ayo kuantarkan kau kepadanya.” Kata Kuronuma, Ia lantas tersenyum kepada Sawajiri.
“Anda rapi sekali, Pak Kuronuma,” kata Maya.
“Tentu saja. Karena ini hari yang sangat istimewa. Kau pun cantik sekali Maya,” entah darimana, ada keharuan dari cara Kuronuma bicara. “Aku sangat berterima kasih kau sudah menunjukkan seorang Bidadari Merah yang melewati harapanku. Aku sungguh diberkati dapat melihat aktingmu. Aku mungkin terlalu keras saat mengarahkanmu, tapi itu karena aku tahu kau bisa berbuat lebih dari yang sudah kau lakukan. Aku sudah menganggapmu seperti putriku sendiri, Maya. Dan aku tahu kau akan menjadi aktris yang hebat.”
“Pak Kuronuma…” Maya jadi ikut terharu. “Aku pun sangat berterima kasih untuk semua bimbingan Anda, dan membuatku menjadi aktris yang lebih baik lagi dalam berakting. Aku tidak pernah keberatan dengan metodemu mengarahkanku, dan aku pun, sudah merasakan kasih sayang seorang ayah darimu. Terima kasih Pak Kuronuma,” ucap Maya tulus.
Tanpa sadar rasa gugup Maya berkurang karena Kuronuma mengajaknya bicara, sampai kemudian Ia kembali teringat Masumi.
“Pak Kuronuma, Anda sudah bertemu Pak Masumi?” tanyanya.
“Sudah, dia yang memintaku menjemputmu.” Kata pria itu. “Maya, kau mencintainya kan?”
Maya tertegun. “Iya…”
“Sangat mencintainya?”
Maya tertegun, menoleh kepada Kuronuma. “Iya… memangnya ada apa?”
Saat keduanya berbelok menuju Hall tempat diadakan pesta malam itu. Maya melihat Rei bersama seorang pria yang tidak Ia kenal. Rei…? Gadis itu tampak cantik dengan gaun ungu yang dikenakannya dan buket bunga di tangannya.
“Maya…” Rei tersenyum lebar melihatnya. “Kau cantik sekali…”
“Rei, sedang apa kau di sini?” tanya Maya.
Pintu Hall kemudian terbuka, terdengar lagu mengalun di dalam ruangan.
“Sampai nanti Maya,” kata Rei, Ia mengaitkan tangannya pada pria di sampingnya dan masuk ke dalam ruangan.
“Maya, kau bilang kau sangat mencintai Pak Masumi kan?” tanya Kuronuma.
“I, iya…” jantung gadis itu berdebar keras.
“Bagus. Karena kau akan menikah dengannya sekarang.”
“A, apa….!?” Maya bisa merasakan nafasnya berhenti. “Pak Kuronuma—“
Kuronuma meraih tangan Maya dan melingkarkannya di lengannya. “Kau dan Pak Masumi akan menikah sekarang. Ia menunggu di dalam.”
“Bohong…”
“Ayo Maya,” ajak Kuronuma.
“A, aku… aku…” Maya tergagap saat memasuki Hall tersebut.
Ruangannya gelap. Sebuah lagu mengalun lembut.
“Hati-hati, pelan-pelan saja,” gumam Kuronuma perlahan. “Tenangkan dirimu. Kau harus sampai ke ujung sana dengan selamat.”
Maya menatap apa yang Kuronuma sebut dengan “ujung sana”.
Di ruangan gelap itu, atap dan dindingnya dipenuhi bintang seperti di planetarium. Hanya sebuah karpet berwarna merah yang disinari lampu biru yang membuatnya berwarna ungu yang bisa dilihat Maya. Karpet panjang itu bertaburan kelopak mawar, terbentang panjang. Di ujung sana, ada Masumi, berdiri dengan setelan berwarna putih, terlihat sangat tampan bersama seorang pendeta di sana.
Maya tidak bisa melihat sekelilingnya selain karpet tersebut dan bintang-bintang hasil proyektor yang membuat gadis itu merasa berjalan di luar angkasa saat ini, namun Ia bisa mendengar bisik-bisik samar dari sekelilingnya. Jelas ada banyak orang di sana walaupun tidak ada orang lain yang bisa dilihatnya dan juga tidak satu lampu blitz pun yang menyala.
Maya bisa merasakan Ia gemetar. Gugup, takut. Benarkan Ia akan menikah? Nafas gadis itu terasa sesak. Kesal, marah, pada Masumi yang bahkan tidak mengatakan apapun kepadanya, tapi juga haru, dan bahagia yang berlebihan saat Ia melihat, di ujung jalannya ada Masumi yang menantinya.
Maya menghirup nafas dalam-dalam, pegangannya mengetat di lengan Kuronuma dan tatapannya tidak lepas dari Masumi.
Pak Masumi… semakin Ia melangkah, semakin dekat, pria itu semakin jelas. Ia terlihat begitu tampan dan wajahnya tampak tenang. Entah hatinya.
Nyatanya Masumi sangat gugup. Berdiri kaku melihat gadis itu menyusuri karpet mendekat kepadanya. Sempat terpikir gadis itu akan berbalik pergi dan berlari. Masumi benar-benar tegang mengikuti setiap langkah kaki gadis itu yang mengantarkannya semakin dekat kepada dirinya.
Akhirnya Maya dan Masumi berdekatan, Kuronuma menyerahkan tangan Sang Gadis pada Peminangnya. Keduanya berhadapan.
Maya melemparkan pandangan merajuk dan sedikit mengecam pada Masumi. Masumi tahu artinya, gadis itu marah karena tidak tahu apa-apa. Masumi balas tersenyum lebar kepadanya. Berseri-seri dan penuh kebahagiaan.
“Bisa kita mulai sekarang?” tanya si Pendeta.
Masumi bertanya kepada Maya. “Bisa kita mulai sekarang?”
Maya tertegun, menoleh tipis pada pendeta tersebut dan mengangguk.
Pendeta tersebut memulai, “malam ini, kita berkumpul di sini, para kerabat, keluarga dan sahabat, untuk menyaksikan penyatuan suci, antara Masumi Hayami dan Maya Kitajima…”
Sementara pendeta tersebut bicara, kedua insan yang akan disatukan itu saling memandang tanpa saling melepaskan. Maya bisa merasakan tangan yang begitu Ia rindukan menggenggamnya erat dan terasa sangat hangat. Tangan Masumi, Mawar Ungu-nya, Kekasihnya yang selalu berada di sampingnya, mendukungnya dan mencintainya.
Maya menengadahkan wajahnya, memandangi Masumi yang terlihat sangat tampan. Bintang-bintang bergerak perlahan di sekeliling mereka, mengiringi setiap hembusan nafas dan detak jantung tidak sabar dua insan yang saling menyadari ingin segera bersama.
Perlahan-lahan perasaan Maya menjadi semakin tenang dan damai. Ia bersama Masumi sekarang. Tidak ada yang lebih sempurna dari saat ini untuknya. Ia sudah berada di tempat seharusnya Ia berada. Beberapa saat keduanya merasa seakan-akan dunia di sekelilingnya lenyap, dan hanya tinggal mereka berdua. Tenggelam dalam tatapan mata masing-masing.
Hanya berdua. Untuk satu sama lain.
“Masumi Hayami, apakah kau menerima Maya Kitajima sebagai istrimu? Dalam segala kebahagiaan dan kedukaan, dalam sehat dan sakit hingga maut memisahkan kalian?”
Masumi tersadar dari perasaan terpesonanya. “Aku bersedia,” Masumi berkata mantap.
“Maya Kitajima, apakah kau menerima Masumi Hayami sebagai suamimu? Dalam segala kebahagiaan dan kedukaan, dalam sehat dan sakit hingga mau memisahkan kalian?”
Beberapa saat suasana senyap dan Maya membisu. Mengamati Masumi dalam kesunyian.
Pria itu menatap penuh harap pada Maya, begitu gelisah melihat Maya yang bergeming dan bibirnya terkatup.
Mata gadis itu bersinar jahil, dan tersenyum menggoda Masumi. “Aku bersedia,” ucap Maya.
Masumi bernafas sangat lega. Ia tahu Maya menghukumnya untuk semua kejutannya. Pria itu masih bisa melihat senyuman tipis penuh kejahilan dari Maya. Masumi tersenyum gemas dengan kelakuan gadis itu.
“Cincinnya,” pinta Pendeta.
Masumi menerima cincin dari pria asing tadi. Maya pun menerima sebuah cincin dari Rei.
Masumi meraih tangan kiri Maya. Sebelum memasangkan cincinnya, pria itu menatap kekasihnya.
“Maya, kau adalah gadis paling istimewa dalam hidupku. Saat bersamamu, kau membuatku merasa lengkap dan sempurna dan aku sangat bahagia bisa memperistrimu hari ini. Cincin ini akan menjadi lambang kesetiaanku untuk selalu mendampingimu hingga denyutan terakhir jantungku dan helaan terakhir nafasku.” Masumi lantas memasangkan cincin itu di jari manis Maya dan tersenyum.
Maya menggigit bibirnya, menahan isakannya. Gadis itu bisa merasakan tenggorokannya tercekat haru.
Maya meraih cincinnya, menatap Masumi. Ia tidak tahu harus mengatakan apa, dia tidak menyiapkan kata-kata apapun, dan perasaannya campur aduk. Ia menatap Masumi, mengamati wajah kekasihnya yang selalu membuatnya merasa damai. “Pak Masumi, terima kasih karena kau sudah menjadi bagian hidupku selama ini. Dan aku ingin kau selamanya berada di sisiku. Aku berjanji akan selalu bersamamu, mendampingimu. Selamanya,” gadis itu tersenyum lebar. Maya lantas memasangkan cincin pada jari manis Masumi.
Pendeta itu tersenyum. Ia lantas menutup upacara itu dengan mengucapkan, “…kalian resmi sebagai suami istri.” Dan tersenyum kepada Masumi dengan mengatakan. “Kau boleh mencium mempelai wanitanya.”
Masumi tersenyum lebar, membungkukkan badannya, mendekatkan wajahnya pada wajah Maya yang menengadah malu-malu menatapnya.
Bibir keduanya bersentuhan. Begitu lembut, dan hangat. Sekali lagi Maya merasa seakan-akan Ia tengah dibawa Masumi melayang ke luar angkasa.
Saat ciuman keduanya usai, lampu ruangan menyala dan orang-orang di sekeliling mereka bertepuk tangan dan mengucapkan selamat. Maya tertegun, menyipitkan matanya karena lampu ruangan yang tiba-tiba benderang. Ia bisa melihat orang-orang yang berkumpul di sekeliling mereka.
Ruangan itu sangat cantik. Dindingnya, mejanya, kursinya, karpet dan tirai-tirai yang nampak begitu Indah. Ia menoleh pada pria di sampingnya. Air mata gadis itu sudah tidak bisa bertahan, perlahan-lahan turun menyusuri wajahnya saat Ia merasakan kebahagiaan yang sangat di hatinya.

[bersambung]
 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting