Monday 1 October 2012

Fan Fiksi : Fallen Up to the Sun 2

Posted by Ty SakuMoto at 06:53 81 comments
Rating: 18+ (Kissu, skinship, mature relationship)


Fallen Up to the Sun 2
(Those Two and the Other One)
 





“Pak Masumi, Maya-sama datang menemui Anda,” terang Mizuki.
Masumi menutup ballpointnya. “Persilakan dia masuk, Mizuki. Dia saja,” pintanya.
Mizuki mengerti permintaan Masumi yang ingin ditinggalkan berdua dengan Maya. Sekretaris itu melangkah keluar.
Masumi menghela napas dalam, mempersiapkan diri. Entah kenapa ia jadi gugup. Padahal Masumi sekarang adalah Direktur utama dari Daito, menggantikan ayahnya yang sudah pensiun, juga anggota Dewan Direktur dari banyak perusahaan. Tapi kenapa, hendak bertemu gadis mungil itu saja tubuhnya segera terasa panas dingin.
“Selamat siang,” salam Maya dengan hati-hati dan ragu-ragu.
Tatapan Masumi segera terpasung kepadanya. “Masuklah,” dibuat setenang mungkin.
Maya masuk dengan sedikit gugup. Tidak, bukan, sangat gugup. Itu yang benar. Berapa lama ia tidak melihat pria ini? Lebih dari setahun, belasan bulan, ratusan hari, ribuan jam… tak sanggup dihitungnya, sama seperti sekian banyak namanya yang ia sebut setiap saat ketika merindukannya. Tak terhitung jumlahnya.
“Duduklah,” kata Masumi, masih berusaha tenang. Saat ini ia kan Direktur yang sedang bertemu aktrisnya. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Masumi, beranjak berdiri seraya meraih sebuah catatan. “Baik?” tanyanya.
Maya hanya mengangguk tanpa bersuara. Kalau bicara, pasti suaranya gemetar. Ia tahu itu. Karena saat ini saja tenggorokannya sudah tercekat. Entah kenapa ia tidak sanggup menatap Masumi. Mungkin karena ia menyadari, ia seorang Sakurakoji sekarang.
Setidaknya ketidaksanggupan Maya menatapnya menguntungkan Masumi. Ia bisa mengamati wanita itu, yang semakin cantik tiap kali ia melihatnya. Ia tahu Maya pasti gugup. Wanita itu tidak bisa menyembunyikannya. Tampak dari matanya yang gelisah, juga jari-jarinya yang bergerak-gerak tak tentu. Pasti demikian juga jantungnya.
“Hijiri sudah mengatakan mengenai tawaran yang diajukan dari Pantene, bukan?” tanya Masumi, mengikis jarak dan duduk di dekat Maya.
“Su, sudah,” Maya mengangkat wajahnya, menatap Masumi. Dan segera saja ia menyadari kesalahannya, saat tatapannya terjebak tatapan Masumi yang memandangnya penuh arti. Penuh kerinduan dan kesenduan. Pak Masumi… jantung gadis itu terkena sengatan, berderap melonjak-lonjak tak tertahankan.
Berlawanan dengan jantung mereka, keduanya hanya terdiam, terpaku pada satu sama lain, membiarkan diri mereka tertelan kesunyian.
Dengan cepat Masumi mengambil keputusan untuk mengakhiri kontak jiwa itu. Ia menundukkan pandangannya, membuka-buka berkasnya. “Jadi beberapa hari yang lalu, sempat ada tawaran yang—“ Masumi terlonjak.
“Ini kenapa!?” Seru Maya dengan sangat khawatir saat melihat balutan perban di telapak Masumi. Segera digenggamnya, “Pak Masumi, Anda kenapa?” tanyanya. “Anda terluka? Kenapa!?” Gadis itu bertanya seraya menatap pria terkasihnya.
“Tak apa-apa…” Masumi berucap pelan, “Aku…” awalnya Masumi bermaksud menyisihkan genggaman tangan Maya di telapaknya dengan tangan yang satunya lagi, namun tangan pria itu malah berhenti bergerak saat menangkup tangan mungil dalam genggamannya tersebut. “Tak apa… apa…”
Pak Masumi… Maya mendongak, dan kembali bertemu mata dengan Masumi. Ia bisa merasakan kehangatan dari tangan pria itu walaupun terhalang balutan perban. “Kenapa tanganmu terluka? Apa yang terjadi Pak Masumi?” istri Sakurakoji itu bertanya tanpa melepaskan tangannya.
“Hanya kecelakaan kecil, aku kurang berhati-hati,” jelas Masumi pelan.
“Pak Masumi…” Maya menunduk, mengusap halus tangan pria itu yang terluka. “Anda sangat pandai melindungi orang lain, tapi kenapa Anda begitu…” Maya mendesah, lantas mengetatkan rahangnya sejenak. “begitu sering membiarkan dirimu sendiri tersakiti…” tenggorokan gadis itu tercekat saat matanya memanas. Ia tak mengerti kenapa Masumi yang dingin dan kejam, tak pernah memikirkan perasaan orang lain, nyatanya orang yang senang memelihara dan memendam luka dalam dirinya.
“Kau cantik sekali…” Masumi berbisik tiba-tiba, sudut bibirnya membentuk senyuman samar.
Maya mendongak kaget. Alisnya berjinjit kecil, dan ia menggigit tipis bibirnya sendiri mendengar pujian Masumi. Namun entah kemana semua kata. Ia sama sekali tidak mampu bersuara. Mungkin karena cara Masumi yang memandangnya, hingga ia sama sekali tak kuasa berucap walau hanya sepatah belaka.
“Saat kemarin aku melihatmu,” Masumi kembali berkata, masih dengan cara berbisik, “aku berpikir, kau sungguh cantik… lebih dari saat terakhir kali aku melihatmu. Ternyata dugaanku selama ini benar, kau memang sangat cantik jika mengenakan gaun pengantin…”
“Pak Masumi…” akhirnya Maya menangis juga.
“Selamat Maya… untuk pernikahanmu,” Masumi berusaha menelan ludah untuk mengenyahkan rasa sesak pada dada dan tenggorokannya. “Aku tahu sejak dulu Sakurakoji juga mencintaimu. Ia pun pemuda yang baik. Kau akan—“
“Pak Masumi…” potong Maya, kembali menunduk dan mengamati tangan mereka yang masih saling memagut. “Kenapa Anda tak akan mengirimiku lagi Mawar Ungu? Apa Anda membenciku? Apa Anda tak lagi suka dengan aktingku…?” tanya Maya, terisak.
Masumi sedikit terkejut dengan pertanyaan Maya. Bukankah seharusnya gadis itu sudah mengerti? Bahwa dia, sebagai laki-laki tak lagi bisa menyimpan kekaguman kepada gadis yang sudah ada pemiliknya. Bukan karena aktingnya, tapi karena… itu juga lambang perasaannya yang tak pernah ia sanggup ungkapkan berupa kata.
“Apa kau lupa siapa namamu sekarang?” tanya Masumi, menatap muram mata sendu Maya.
Maya tertegun, menelan ludahnya. Pria itu mengingatkan bahwa ia sekarang Nyonya Sakurakoji. Maya mengangguk. “Apa karena itu? Karena itu Anda tidak lagi mendukungku?” tanya Maya dengan sedih.
“Aku selalu mendukungmu, Maya…” ungkap Masumi. “Selalu. Selama kau masih berakting dengan sebaik-baiknya. Namun…” Masumi mengamati setiap senti wajah kekasih hatinya itu. “Aku sudah tak lagi layak menyampaikan perasaanku kepadamu. Kau sudah tak lagi boleh mengharapkan kiriman bunga dari orang lain selain suamimu.” Kata Masumi. “Aku hanya boleh, mengagumimu dengan taraf yang sama seperti aku mengagumi aktris lainnya. Benar kan…?”
Mata gadis itu membulat. Tidak terima, ingin membantah. Namun semua kata-katanya benar. Ia tak lagi boleh mengharapkan kedatangan kiriman bunga pria lain, yang jelas-jelas menyimpan kekaguman tak biasa terhadapnya. Maya dengan cepat menunduk. Air matanya menetes di atas tumpukan tangan mereka yang tak pula lepas.
“Aku…” gadis itu terisak.
Keriuhan di luar ruangan terdengar. Terdengar Mizuki menyapa Sakurakoji Yuu.
Sepasang insan yang saling memendam itu saling menoleh dan dengan cepat memisahkan tangan mereka. Tegang.
Pintu diketuk beberapa kali dan Mizuki muncul.
“Sakurakoji-san datang ingin bertemu,” ungkap Mizuki, bisa melihat kedua orang di hadapannya sedang berusaha menetralisir keadaan.
“Ijinkan dia masuk,” kata Masumi.
Sakurakoji masuk, mendapati istrinya dan Presdir Daito itu tengah mematung. Sakurakoji tak mengerti kenapa Masumi musti bicara sendiri kepada Maya mengenai proyek iklan. Bukankah cukup mengurus semuanya melalui Hijiri? Namun bukan itu yang hendak ditanyakannya saat ini.
“Ada apa Sakurakoji?” tanya Masumi.
Ia melirik sejenak kepada istrinya yang menghindari tatapannya. Kenapa? Sikap istrinya, sikap Masumi, bahkan hawa di ruangan itu, semua terasa ganjil. Ia merasa seakan-akan tak diinginkan.
“Saya baru berbicara dengan Sutradara Koizumi,” Sakurakoji tampak gusar. “Apa maksud Anda memisahkan Maya dan saya?”
Eh? Maya tertegun, ia menatap suaminya bingung dan menoleh cepat kepada Masumi. “Memisahkan kami?”
Masumi menghela pelan napasnya. “Itu untuk yang terbaik,” kata Masumi.
“Terbaik? Terbaik untuk siapa?” desak Sakurakoji.
“Duduklah, Sakurakoji,” perintah Masumi.
Sakurakoji menurut. Ia dengan segera duduk di samping istrinya. Sangat dekat.
Masumi jengah. Ia berdiri menuju pintu. “Mizuki, buatkan minum untuk kami,” pinta Masumi. Ia lantas masuk kembali ke dalam dan duduk di sofa yang agak jauh dari keduanya. Ia sungguh mengharapkan kebahagiaan Maya. Ia sungguh ingin merelakannya. Tapi jika ia melihat Sakurakoji…. “Sebelumnya, memang Romeo dan Juliet ini direncanakan untuk kalian berdua. Mengingat kesuksesan Bidadari Merah, tidak diragukan lagi jika kalian memerankan Romeo dan Juliet, kesuksesannya sudah bisa dipastikan. Namun ada pertimbangan lain. Begini, kalian berdua adalah bintang Daito, namun, begitu juga Ayumi.”
“Ayumi?” Maya terkejut. Ia ingat kembali saingannya itu yang sudah bisa melihat kembali namun ia belum naik panggung lagi. Lampu sorot yang benderang dianggap masih belum mampu diimbangi kerapuhan matanya.
“Ya. Ayumi sudah menyatakan bahwa ia siap naik panggung lagi. Dan hasil pemeriksaan dokter menyatakan bahwa mata Ayumi sudah kembali prima. Karena itu, kami memutuskan untuk menyerahkan peran Juliet ini kepada Ayumi.”
“Kenapa tidak memberinya peran yang lain!?” desak Sakurakoji.
“Ini salah satu strategi pemasaran dan manajemen popularitas. Kalian berdua, sedang berada di puncak karir kalian sebagai pasangan idola di Jepang,” Masumi berusaha tidak menghiraukan rasa sakit hatinya. “Namun, terlalu sering tampil berdua, bahkan terus menerus memerankan peran sebagai pasangan, akan terasa membosankan. Belum lagi image Ishin dan Akoya melekat sangat kuat kepada diri kalian. Sehingga apapun peran yang kalian lakukan bersama, bisa dibayang-bayangi oleh kesan Ishin dan Akoya yang masih mendalam, dan bisa menggagalkan kebesaran pentas ini. Oleh karena itu, kami memutuskan, untuk memisahkan kalian sementara waktu. Menunggu hingga penggemar kalian semakin rindu dengan keberadaan kalian sebagai pasangan di atas panggung, dan kembali memunculkan sandiwara lainnya yang akan menjadi masterpiece,” Masumi berkata, “tapi bukan Romeo dan Juliet ini.”
Sakurakoji gelisah. Ya, mungkin benar apa kata Masumi. Itu urusan manajemen, Sakurakoji tidak ingin menghiraukannya. Tapi ia sungguh tidak nyaman tiba-tiba saja dipisahkan dari Maya. “Lantas bagaimana dengan Maya?”
“Maya akan memainkan drama lain. Anna Karenina.”
“Anna Karenina?” Maya dan Yuu terkejut.
“Ya. Sakurakoji dan Ayumi, akan main Romeo dan Juliet. Kau aktor muda paling unggul saat ini. Ayumi melakukan comeback dengan peran yang pernah dilakoninya secara solo dan mendapatkan penghargaan seni karenanya, Juliet. Sekarang, apakah ia mampu melakukannya tidak kalah baik, saat ia tidak memerankannya secara solo? Bersama aktor populer sepertimu. Ini sudah pasti akan menarik perhatian,” pandangan Masumi beralih kepada Maya, tanpa disadarinya tatapan yang diberikannya melembut dengan sendirinya. “Sedangkan Maya, akan memerankan Anna Karenina. Itu adalah cerita yang sangat populer. Cerita mengenai wanita dewasa. Mungkin peran dewasa Maya untuk pertama kalinya. Kedua drama ini, Romeo dan Juliet, juga Anna Karenina akan dipentaskan musim dingin, untuk diikutsertakan dalam festival seni nanti. Jika kami memasangkan Maya dengan Sakurakoji, akan ada anggapan bahwa hal itu tak adil bagi Ayumi, karena kalian sedang sangat populer, dan andaikan menang, mungkin bakat Maya, akan diserang oleh para kritikus dengan mengatakan bahwa kemenanganmu sebatas popularitas. Karena kau sedang naik daun sementara Ayumi baru saja menghilang. Sedangkan jika strategi yang kami rencanakan ini bisa direalisasikan, Ayumi dan Sakurakoji, sedangkan Maya dipisahkan, makan ini akan menjadi persaingan yang ketat dan adil,” Masumi menghela napasnya. “Juga memberikan keuntungan berlipat bagi Daito,” imbuhnya.
Maya tertegun. Anna… Karenina… drama yang tak mungkin dilupakannya. Drama kencan pertamanya dengan Masumi. Saat pria itu mengundangnya diam-diam… Maya trenyuh mengingat hal itu. Dulu ia penontonnya. Sekarang ia yang akan berada di atas panggung dan memerankannya.
“Tapi Pak Masumi,” Sakurakoji masih keberatan. Ia lantas menoleh kepada Maya. “Bagaimana menurutmu, Sayang?”
Spontan Masumi mendelik tajam kepada suami Maya itu. Menyadarinya, ia segera membuang pandangan.
Maya menoleh kepada Sakurakoji. “Aku tak keberatan,” kata Maya. Ia lantas menatap Masumi. “Lagipula, ini pasti sudah diperhitungkan baik-baik… dan… Anna Karenina…” ia menatap Masumi semakin lekat. “Salah satu drama favoritku.”
Maya… Ia pun mengingat nostlagia yang sama. “Ya. Ini akan menjadi drama pertamamu sebagai wanita dewasa, Maya. Sekarang kau sudah menikah, dan pengembangan imej itu perlu jika seorang idola ingin tetap eksis.” Masumi beralih kepada Sakurakoji. “Atau kau ingin berperan sebagai Karenin? Suami yang diselingkuhi istrinya dan tak mampu lepas darinya?”
Cara Masumi bertanya… terdengar menantang dan Sakurakoji tak suka. “Aku akan membicarakannya dengan Hijiri-san,” tukas Sakurakoji tajam.
Sekali lagi Maya terkejut dengan cara bicara Sakurakoji.
“Ya, Sakurakoji, lebih baik kau tetap di Romeo dan Juliet. Karena dalam drama itu, kau dan Ayumi sama-sama berbagi peran utama. Jika kau bermain Anna Karenina, kau tidak akan lebih menonjol dari pemeran utamanya, Anna,” imbuh Masumi, memberi pertimbangan. “Namun percayalah kepadaku, dengan berbagai faktor yang sudah kujabarkan, paling baik kalian dengan peran masing-masing yang sudah kami rencanakan.”
“Akan saya pertimbangkan,” kata Sakurakoji, kali ini lebih lunak. “Bagaimana dengan masalah BA Pantene?” Ia menoleh kepada Maya.
Sang Istri tertegun. Mereka belum sempat membicarakannya tadi.
“Ya,” sahut Masumi. “Sudah diterima, nanti kontrak dan lain sebagainya akan ditindaklanjuti oleh Hijiri, yang penting Maya sudah menyetujuinya.”
“Ah, ya. Aku sudah setuju!” imbuh Maya.
“Baiklah kalau begitu,” Sakurakoji berkata. “Jika tak ada lagi, kami permisi sekarang.”
“Oh, ya, silakan,” Masumi berdiri dan tersenyum bisnis. “Dan selamat untuk pernikahan kalian, maaf sedikit terlambat, tapi kuharap kado untuk pernikahan kalian dari Daito, bisa tiba hari ini.”
“Hadiah?” Maya terkejut.
“Ya…” Masumi tersenyum hangat kepada aktrisnya.
“Sebetulnya tidak perlu repot-repot, Pak Masumi,” Yuu merentangkan tangannya, memeluk pundak Maya. “Ucapan selamat saja sudah cukup. Asal kami bisa selamanya saling mencintai seperti ini,” kata Sakurakoji. “Benar kan, Anata? (Sayang)”
Masumi sangat sakit melihatnya, hingga rasanya ia ingin marah. Namun menahan diri. Sementara Maya benar-benar salah tingkah, hingga tak mampu berkata-kata.
“Ya, aku bisa melihatnya,” Masumi kembali tersenyum. “Kalian sangat serasi. Kudoakan yang terbaik bagi kalian,” katanya, beranjak ke pintu. “Selamat siang, Pasangan Sakurakoji…”
“Terima kasih, Pak Masumi. Selamat siang,” Yuu membungkuk, diikuti Maya yang masih tak bisa berkata-kata.
Keduanya lantas keluar dari ruang kantor Masumi. Masumi memejamkan matanya, menghela napas sangat dalam, berusaha memulihkan kesakitannya. Berusaha membuangnya perlahan.
Namun tak bisa. Ia ternyata masih tak rela. Sungguh tak rela. Melihat Sakurakoji benar-benar membuatnya terbakar cemburu.
“BUGH!!!” Ia memukul keras meja kerjanya.
Mizuki sangat terkejut. Ia segera beranjak masuk. “Ada apa, Pak Masumi?” tanyanya. Mata Mizuki melebar, melihat raut menyeramkan atasannya. Ia tahu benar apa penyebabnya. Ia benar-benar tahu.
=//=
Pasangan Sakurakoji itu berada di dalam mobil menuju kediamannya sekarang. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Terganggu oleh satu orang yang sama.
Masumi.
Sakurakoji memikirkan rasa gelisah dan cemburunya, sementara Maya memikirkan kerinduannya yang ternyata belum hilang walau sudah bertemu lagi. Disertai rasa bersalah yang mendalam terhadap suaminya.
“Apa yang kaupikirkan?” tanya Sakurakoji tiba-tiba.
“Ah! Aku…” Maya terlonjak. “Me, memikirkan Karenina…” katanya.
“Kau ingin memerankannya?” tanya Sakurakoji.
Maya berpikir sejenak. Ia mengangguk. “Itu drama yang sangat bagus. Aku menangis saat menontonnya dulu. Benar-benar sedih. Salah satu drama favoritku. Dan kurasa Pak Masumi benar, aku juga harus mulai mengambil peran utama sebagai wanita dewasa, bukan?” ia meminta dukungan.
Masih saja mual menghampiri tiap kali Maya menyebut nama pria itu dengan bibirnya. “Kau akan memainkannya, walaupun Pak Masumi memisahkan kau dan aku? Apa kau bosan main sandiwara bersamaku?” tanya Sakurakoji tajam.
“Tidak!” Maya menoleh cepat kepada Sakurakoji, “Bukan begitu! Hanya saja kupikir, alasan Pak Masumi memang betul, dan juga… ini Anna Karenina, drama yang sangat bagus,” Maya berargumentasi. Ia menyandarkan punggungnya lebih dalam dan mulai menerawang. “Anna Karenina… seorang wanita yang bertemu dengan belahan jiwanya setelah ia menikah…” ujarnya. “Aku… ingin memerankannya,” ucap Maya, hampir seperti tanpa sadar.
Sakurakoji mengamati istrinya dengan rahang terkatup ketat. Ia menarik Maya kepadanya, dan memeluknya. Wanita itu sempat terpekik saking terkejutnya.
“Kau benar-benar lebih memilih mendengarkan Pak Masumi, ketimbang bermain sandiwara bersamaku?” desak Sakurakoji. “Begitu, Maya? Benar begitu?”
Maya sangat terkejut. Dengan pelukan Sakurakoji yang sangat ketat, juga dengan pertanyaanya. “A, aku…”


“Maya…” desah Sakurakoji dengan tak tenang. “Jawablah…”

Maya menelan ludahnya bingung. “A, aku suka berakting… apapun perannya,” Maya berkata. “Apalagi jika bersamamu,” Maya mendongak, tersenyum tipis. “Tapi kurasa, apa yang dikatakan Pak Masumi benar. Lagipula mereka lebih mengerti urusan seperti ini, Danna…” bujuknya. “Apalagi, ini juga melibatkan Ayumi. Dan mungkin benar, jika kita terlalu sering bersama, orang-orang akan mulai bosan,” imbuhnya.
“Apa kau bosan bersamaku?” desak Sakurakoji.
“Tidak!” dengan cepat Maya menggeleng. “Tidak mungkin aku bosan bermain drama denganmu,” ia meyakinkan suaminya. “Tapi kalaupun sekarang kita main drama masing-masing, bukankah Pak Masumi mengatakan mereka juga akan menyiapkan sandiwara lainnya untuk kita?”
Sakurakoji mendengus, melepaskan Maya dari pelukannya dan menggeser duduknya menjauh. Tetap saja pada akhirnya istrinya itu mendengarkan lelaki lain. Hatinya mendongkol. Yuu membuang wajahnya ke jendela.
“Danna?” tanya Maya, terkejut melihat sikap suaminya. “Danna?” bujuk Maya dengan lembut, menggoyang-goyangkan lengannya. “Apa kau marah?” tanyanya sedikit terkejut.
“Sudahlah,” ujar Sakurakoji perlahan namun tajam. “Tak perlu mengungkitnya lagi.”
Maya sungguh tak enak hati dibuatnya. Sepertinya suaminya itu memang sangat berharap bahwa ia akan bermain sandiwara bersamanya lagi. Tapi Maya ingin sekali memainkan Karenina. Tapi… jika Yuu marah… Maya melirik dengan gelisah.
=//=
Sikap dingin Sakurakoji bertahan hingga keduanya berada di rumah. Dengan kentara pria itu mendiamkan istrinya. Maya jadi benar-benar bingung dan merasa bersalah. Yuu sendiri sebetulnya tidak ingin bersikap demikian kepada Maya. Namun harga dirinya sedikit banyak, menuntut agar Maya sebagai istrinya, bisa lebih menghiraukannya. Ia masih takut bertanya mengenai Masumi. Takut Maya tersinggung. Namun terlebih, takut bahwa ketakutannya memang nyata adanya.
Jika benar bagaimana? Bahwa ada sesuatu yang khusus di antara keduanya? Dan bagaimana jika Maya masih—jika memang pernah—ada hati kepada pria yang tampak perkasa itu? Yuu gelisah. Ia belum pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri, selain saat di pelabuhan dulu. Setelahnya, tak ada apa-apa, selain hubungan Maya dan Masumi yang tampak membaik.
Bahkan tak pernah ada kabar atau gosip tak sedap mengenai keduanya. Intuisi. Hanya itu saja yang Yuu andalkan untuk menuduh Maya punya rasa kepada pria lainnya. Karena itu pula ia jadi gelisah sendiri dan hanya bisa melampiaskannya dengan bersikap tak ramah dan acuh tak acuh kepada istrinya.
Dua orang pelayan menyambut mereka saat masuk ke dalam rumah. Sakurakoji hanya mengangguk tanpa ekspresi sementara Maya membuntuti di belakangnya.
Pandangan pria itu lantas terpasung melihat kiriman karangan bunga yang begitu menjulang di ruang tamu utama. Ia menghampirinya. Mengamati warna ungu yang menyilaukan dan menyolok di hadapannya.
“Itu kiriman dari Mawar Ungu!” terang Maya dengan riang, masih berusaha meluluhkan hati suaminya.
Sakurakoji menatapnya dengan bisu. Benar. Masih ada Mawar Ungu. Yuu hampir saja lupa, bahwa di hati Maya, juga ada Mawar Ungu.
Drama, Mawar Ungu, dan Masumi Hayami. Ia suaminya bahkan tak mampu memuncaki rasa cinta Maya kepada tiga hal itu.
Yuu mendengus dan membalik badan beranjak ke lantai atas menuju kamarnya tanpa berkata apa-apa.
Hati Maya tersayat rasanya. Ia tahu benar Yuu sedang tak mempedulikannya. Maya menggigit bibirnya tipis, menahan tangis. Suaminya itu tampaknya benar-benar akan marah jika Maya memilih tak bersamanya dalam Romeo dan Juliet.
Maya lantas terdiam di ruang TV, entah kenapa ia tak berani menghampiri Yuu. Maya memang tak tahu bagaimana caranya membujuk seseorang yang marah kepadanya. Dari dulu ia hanya bisa diam saat ada kemarahan atau hukuman yang ditujukan untuknya.
Bel pintu berbunyi dan seorang pelayan membukakan pintu. Pelayan itu lantas menghampiri Maya.
“Hijiri-san mencari Anda,” terangnya.
“Terima kasih Tsubaki,” kata Maya pelan. “Tolong panggilkan Tuan.”
Pelayan itu beranjak memanggil Yuu sementara Maya beranjak menemui tamunya.
“Hijiri-san!” sambutnya, seraya tersenyum.
Maya dan Hijiri memang dekat, sejak Hijiri ditunjuk menjadi manajernya, tak sekali dua kali Maya mencurahkan isi hatinya kepada Hijiri, selain Rei. Hijiri akan menjadi pendengar yang baik dan selalu bisa menenangkan hatinya. Hanya pria ini pula, yang tahu apa yang dirasakan dan terjadi antara dirinya dan Masumi. Memang, masih ada Mizuki. Maya tahu wanita itu pun tahu keadaannya. Namun Maya tak pernah bercerita perihal apapun kepada Mizuki.
“Saya membawa kado untuk pernikahan Anda dari Daito,” ungkapnya seraya tersenyum samar.
“Selamat sore Hijiri-san,” sapa Sakurakoji.
Hijiri membungkuk sedikit.
“Hijiri-san mengantarkan hadiah dari Daito,” terang Maya, kembali dengan riang.
Sakurakoji tak menghiraukan dan istrinya itu segera memasang wajah sendu. Hal itu tak luput dari pengamatan awas Hijiri.
“Hadiah apa?” tanya Yuu. “Padahal tak perlu repot.”
Hijiri menyerahkan sebuah kado kepada pasangan Sakurakoji tersebut. Yuu membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah kunci dan brosur, kartu ucapan dan sebuah keterangan kepemilikan yacht pribadi yang mewah dan modern.
“Apa itu?” tanya Maya, mengamati brosurnya. Mata wanita itu membulat. “Kapal pesiar pribadi?” tanyanya tak percaya.
“Ya, kalian sudah sangat berjasa untuk kesuksesan dan kemajuan Daito, ini ucapan terima kasih sekaligus selamat bagi kalian,” ungkap Hijiri.
Yuu membuka kartu ucapannya. “Selamat mengarungi bahtera rumah tangga. Semoga cinta kalian selalu kokoh. Senantiasa bahagia dan sukses selalu,” ada tanda tangan Masumi Hayami di sana.
Yuu mengeratkan rahangnya saat membaca nama itu. “Sampaikan terima kasih kami,” Yuu tersenyum basa basi kepada Hijiri.
“Waa… yacht,” Maya masih terkagum-kagum. “Aku ingin melihatnya!”
“Oh iya, satu hal lagi. Untuk menyambut kedatangan Pak Masumi, akan diadakan pesta penyambutan akhir pekan minggu depan di rumah Pak Masumi.”
Keduanya membisu. Akhirnya Yuu membuka suara. “Hijiri-san, aku dan Maya… kami berencana berbulan madu. Kami tahu kami sudah meminta libur dua minggu sebelum pernikahan, namun bisakah kau mengatur jadwal agar aku dan Maya bisa berlibur beberapa minggu untuk berbulan madu?”
Maya terkejut mendengar ucapan Yuu, suaminya tak pernah mengatakan hal itu sebelumnya.
“Kupikir kita sudah sepakat,” kata Hijiri, yang tampak keberatan. “Kami mengijinkan kalian menikah dengan syarat tidak akan mengganggu kegiatan kalian dan juga jadwal yang sudah ditetapkan Daito?” desak Hijiri.
“Ya!” Sakurakoji berkeras. “Namun, aku berubah pikiran! Aku dan Maya ingin menghabiskan waktu bersama lebih banyak. Kami baru menikah, Hijiri-san, kemarin! Dan istriku sudah ditawari iklan, bahkan sudah ada sandiwara untuk musim dingin mendatang, kami—“
“Tidak bisa!” tegas Hijiri. “Sakurakoji-san, kau tahu apa syarat yang diajukan Daito saat kalian berniat menikah bukan? Kalian tidak akan mengganggu jadwal kerja kalian di Daito. Kau saat itu sudah setuju! Bahwa yang penting untukmu adalah bahwa kau dan Maya-sama menikah dulu, kalau bukan karena kau begitu—“
“Kami! Bukan aku!” seru Sakurakoji dengan lantang. “Kami yang ingin menikah!”
Seketika ruangan menjadi tegang dan Maya bingung kenapa. Sakurakoji mendadak jadi pemarah hanya dalam waktu 24 jam. Suaminya itu selalu saja tegang dan bersuasana hati buruk. Padahal sebelumnya tidak begitu.
Memang benar apa yang dikatakan Hijiri. Saat Sakurakoji menyatakan hendak menikah dengan Maya, pihak manajemen sangat keberatan. Pertama, karena mereka masih sangat muda dan hubungan keduanya pun belum terlalu lama, baru beberapa bulan saat itu. Dan kedua karena Maya dan Sakurakoji sedang berada di puncak karirnya. Sudah bukan rahasia menikah adalah salah satu penyebab seorang aktris berhenti aktif dari dunia hiburan, dan mungkin saat mau menjejakinya lagi, popularitas mereka sudah tak sehebat saat meninggalkannya.
Namun akhirnya Daito mengijinkan keduanya menikah, dengan syarat bahwa mereka tidak akan melalaikan kewajiban dan pekerjaannya.
Sakurakoji pun mengatakan bahwa ia hanya ingin mengikat keduanya dalam pernikahan. Mereka tak keberatan jika tidak harus berbulan madu dan juga menunda kehamilan Maya. Apalagi, keduanya pasangan idaman di Jepang. Tak banyak kontroversi yang timbul saat publik tahu bahwa mereka juga akhirnya berpacaran di luar panggung.
Saat Maya tersadar, Hijiri dan Yuu tengah menatapnya, mungkin menunggu pernyataan keluar dari bibirnya.
Wanita itu bingung jadinya. Ia tak bisa memutuskan. Saat Yuu melamarnya saja, Maya masih meminta pendapat Hijiri. Dan saat Daito memberi ijin—yang artinya Masumi juga mengijinkan—Maya setuju-setuju saja. Tapi jika keduanya berselisih seperti ini…
“Danna,” Maya menatap Yuu dengan memelas. “Kita sudah sepakat dulu dengan manajemen, bahwa pernikahan kita tak akan menghalangi kewajiban kita memenuhi semua kontrak pekerjaan yang dibuat Daito bagi kita. Bukan begitu? Jadi kurasa, tiba-tiba saja meminta waktu untuk berlibur dan berbulan madu sementara sudah banyak pekerjaan… sedikit…” wanita itu menggigit bibir yang menunjukkan keraguan.
Sakurakoji mendengus dan rahangnya mengetat. Sekali lagi istrinya ini tak mendukungnya. Yuu tak berkata apa-apa. Dengan dingin ia hanya terdiam.
Tak kentara mata Hijiri terpicing. Ia bisa melihat ada yang berbeda dari sepasang suami istri ini. Sejak mereka menjadi sepasang kekasih, dan Masumi mempercayakan Maya untuk ditanganinya, Hijiri sudah tahu bagaimana biasanya keduanya berhubungan. Sakurakoji sangat hangat, dan wajahnya selalu berbinar di dekat Maya. Ia tampak bahagia dan selalu bersikap ramah.
Maya pun, selalu menanggapi semua sikap mesra Sakurakoji dengan senyuman dan wajah malu-malu. Keduanya selalu terlihat hangat, walaupun Hijiri tahu Maya dan Masumi memiliki ikatan khusus yang tak terjabarkan, namun ia juga bisa melihat, Maya tampak nyaman di dekat Sakurakoji.
Tapi hari ini sangat lain. Sakurakoji tampak uring-uringan dan sikapnya dingin, sementara Maya terlihat takut-takut dan canggung kepada suaminya itu. Ada apa sebetulnya?
“Maaf, tapi kita sudah sepakat dengan Daito,” Hijiri kembali membuka mulutnya. “Kalian tidak bisa melanggar peraturan. Untuk sandiwara berikutnya, sudah diputuskan bahwa Sakurakoji-san akan berpasangan dengan Himekawa-san memainkan Romeo dan Juliet sementara Maya-sama memainkan Anna Karenina.”
“Mengenai itu pun kami belum sepakat!” Bantah Sakurakoji.
“Saya sudah menyetujuinya,” Hijiri bersikukuh. “Sakurakoji-san, ini yang terbaik untuk saat ini bagi kalian berdua, Saya tahu, kalian berdua memulai karir bukan dengan cara yang mudah, terutama, Maya-sama,” pandangan Hijiri beralih kepadanya. “Apakah adil, jika karir yang dirintis dengan susah payah dan penuh perjuangan, hancur begitu saja, karena manajemen yang buruk? Karena penonton yang mulai bosan melihat kalian selalu bersama?” tanya Hijiri.
Sakurakoji terdiam. Ya tentu saja ia tahu bagaimana susah payahnya Maya mencapai posisinya sekarang. Dan memang sudah pasti, Daito paling tahu bagaimana membuat karir dan popularitas aktrisnya tetap langgeng. AKan tetapi Yuu tetap saja kesal, menyadari ia tak pernah dihiraukan. Namun… memang tak adil bagi Maya, jika ia yang harus dipojokkan karena egoismenya sendiri. Sakurakoji tak berkata apa-apa lagi.
=//=
Pasangan Sakurakoji itu makan malam dalam keadaan senyap. Yuu masih berkeras ia enggan bermain Romeo dan Juliet jika bukan dengan istrinya.
Akhirnya Hijiri pulang tanpa keputusan. Pria itu mengatakan, bahwa Yuu tak bisa mengubah keputusan manajemen. Sesuai kontrak yang sudah ditandatangani, manajemen berhak mengambil keputusan untuk semua pekerjaan yang akan diambil aktris dan aktornya.
Sekali dua kali Maya mencuri lirik kepada suaminya. Ia sungguh merasa tak nyaman dan canggung hanya berdiaman saja dengan Yuu. Pria itu benar-benar mendiamkannya dan membuatnya merasa bersalah.
“Danna…” panggil Maya perlahan.
Pandangan kesal Sakurakoji terpasung kepada istrinya.
“Aku akan coba membujuk Hijiri-san, agar kita bisa bermain bersama di Romeo dan Juliet,” Maya berkata.
Yuu tertegun mendengar ucapan istrinya, terlihat jelas ia tak mengira Maya mengambil keputusan itu. “Benar?” ia memastikan.
Maya mengangguk. “Kalau ini sangat berarti untukmu, aku akan melakukannya. Nanti… aku akan coba meminta Hijiri-san untuk membujuk pihak Daito.”
“Apa ini berarti untukmu?” pria itu mendesak.
Beberapa saat terdiam, Maya menyahut, “Ya. Tentu. Ini berarti untukku, Danna… Jika kau benar-benar menginginkannya, aku akan melakukannya,” tegasnya.
Sakurakoji mengamati istrinya beberapa saat dengan raut tak percaya sebelum kemudian tersenyum. “Ini sangat berarti untukku, Sayang… Aku masih ingin bermain sandiwara denganmu. Akan aneh rasanya, jika kita baru saja menikah dan aku harus bermesraan dengan orang lain dan juga harus melihatmu… bermesraan dengan orang lain,” Yuu berkata lebih lembut dan sendu
Mendengarnya, Maya jadi tertegun dan mulai tersadar, bahwa itulah yang suaminya rasakan dan tak pernah terpikirkan. Maya tak pernah merasa hal itu akan memberatkan siapa pun. Itu hanya sandiwara. Pura-pura. Bu Mayuko sudah mengajarkan kepadanya sebatas apa seseorang harus tetap berakting dan bukan menjadi tokoh yang diperankannya.
Maya terdiam, menyadari bahwa ia ternyata masih kurang sensitif terhadap Yuu. Padahal sudah setahun mereka bersama.
“Aku akan melakukannya,” Maya tersenyum lebar. “Aku paling suka berakting denganmu, Anata…” katanya, dengan wajah berbinar.
Kalimat yang selalu membuat Yuu bahagia mendengarnya. Ia tersenyum lebih lebar dan Maya benar-benar senang melihat binar di wajah suaminya lagi.
=//=
Yuu keluar kamar mandi setelah membersihkan diri dan mendapati istrinya itu sedang menonton tayangan drama di televisi. Ia mengamatinya beberapa saat, lantas duduk di sampingnya.
Seperti yang ia kira. Maya tak menghiraukannya. Mata istrinya itu terpasung lekat ke layar kaca. Wajahnya sangat serius dengan mata sayu namun tajam mengamati setiap karakter di dalamnya. Sebentar-sebentar bibirnya bergerak komat-kamit mengulang dialog yang akan dihapalnya di luar kepala. Sakurakoji terdiam beberapa lama, menunggu iklan datang dan Maya menyadari keadaannya.
“Danna!” Maya sedikit terlonjak saat menoleh dan sudah ada suaminya di sana. Wajahnya segera merona malu seperti biasa. “Apa aku sudah lama mendiamkanmu?” tanya Maya sungkan.
Yuu, juga seperti biasa, hanya tersenyum saja. Ia menarik lengan istrinya, meminta wanita itu mendekat. Maya menurutinya, ia menggeser duduknya dan bersandar kepada Sakurakoji.
“Ini drama Cerita Cinta Berwarna Pelangi Musim Panas?” tanya Yuu seraya mendekap istrinya.
“Iya!” Maya dengan berbinar menerangkan sejauh mana perkembangan ceritanya dan Yuu hanya mendengarkan.
Istrinya itu memang selalu antusias menceritakan drama yang disaksikannya. Membuat Maya senang itu mudah. Ajak saja menyaksikan sandiwara panggung atau membelikan bluray drama seri atau film, dijamin gadis itu akan senang bukan kepalang. Ia akan sangat berterima kasih seraya memeluk Yuu dengan erat.
Bagi Yuu sendiri, asal Maya mengatakan ia sudah membuatnya senang, atau selama gadis itu masih mau dipeluknya seperti ini, ia sudah bahagia. Sangat bahagia.
Duduk di samping Maya tak membuat Yuu juga menyaksikan drama itu, Ia mengamati ubun-ubun istrinya yang wangi, seraya bertanya-tanya apa yang ada di dalamnya? Sekali lagi pemikiran Yuu melayang, dihantui kekhawatiran bahwa Maya masih menyimpan bayang-bayang Masumi di hatinya.
Dulu Maya pernah mengakui, saat air matanya tak kunjung henti, dan wajahnya selalu saja sedih hingga ia tak bisa lagi berakting, ada orang lain di hatinya. Maya menolak Yuu, dengan mengatakan ia takut menyakiti Yuu karena Maya selalu teringat pria itu dan tak bisa mengenyahkannya dari hati dan pikirannya.
“Aku akan menunggu,” Yuu berkata saat itu. “Sampai kau benar-benar bisa menerimaku.”
Dan perkataannya bukan palsu. Walau ia tak tahu siapa pria dalam hati Maya, mungkin Masumi, mungkin yang lainnya, Sakurakoji tetap berada di samping Maya. Menghiburnya saat berduka, melipurnya saat terluka, bahkan membantunya sebelum diminta, hingga Maya bersedia jadi kekasihnya dan mengatakan “Ya” saat dilamarnya.
“Yaa… sudah selesai…” keluh Maya, kecewa saat credit tittle memenuhi layar kaca.
Sakurakoji tertawa. “Kan masih ada minggu depan.”
“Masih lama…” Maya cemberut. “Aduuhh… aku benar-benar penasaran bagaimana jadinya,” imbuhnya dengan gemas.
Sakurakoji hanya tersenyum. Dikecupnya kepala istrinya yang harum. “Sudah ayo tidur, sudah jam sebelas,” ajak Sakurakoji. Walaupun setelah ini ada acara veriety yang sangat booming di Jepang saat ini, Yuu tahu istrinya tak pernah menyaksikan acara semacam itu.
Maya mengangkat tubuhnya dari sandaran dan beranjak mematikan televisi.
Beberapa saat ia sempat tertegun lagi, melihat Sakurakoji menaiki tempat tidur yang sama yang akan ditempatinya. Maya berusaha menghilangkan rasa jengah di hatinya dan naik ke sisi tempat tidur yang lainnya.
Dan wanita itu lantas diam membatu.
Sakurakoji mematikan lampu di sisinya. Ia sengaja tak meminta Maya mematikan lampu di sisi tempat tidurnya dan Yuu melakukannya sendiri. Ia menggapaikan tangannya ke arah nakas di samping Maya. Wajah keduanya sangat dekat dan Maya merasakan dadanya berdebar dengan sangat.
Yuu… gadis itu mengeratkan rahangnya saat matanya bertemu mata Yuu yang mengamatinya penuh. Wajah pria itu semakin mendekat. Bersamaan dengan wajahnya yang tiba-tiba gelap pekat, bibir keduanya telah saling melekat.
Pria itu menciumi istrinya dengan lembut, bibirnya tanpa henti memagut.
Maya membalas semua kecupan itu, hingga tanpa dikehendakinya, bayangan Masumi melintas begitu saja di dalam benak. Bercokol pelak.
Maya terenyak. Tubuhnya menegang dan membuang wajahnya dengan sontak.
Sakurakoji terkejut. Ia mengamati istrinya. “Ada apa?” tanyanya resah.
Tak sanggup istrinya menjawab. Dadanya tiba-tiba saja sesak dan ia merasa mual. Bukan kepada suaminya, lebih kepada dirinya. Maya tak mampu berkata. Ia membisu dengan tubuh yang tiba-tiba gemetar.
“Kau kenapa?” tanya Yuu lagi, menyadari dengan cepat jiwa raga wanita itu menarik diri darinya.
“Yuu, aku…” Maya terbata, “Aku…” dan tanpa alasan, air matanya mulai luruh penuh. Sebuah peluh kelelahan jiwanya yang berusaha ia abaikan selama ini.
Pria itu tertegun. Mencoba mengerti sesuatu dalam diri Maya yang selama ini tak pernah mampu dijamahnya, apalagi dipahaminya.
Yuu memisahkan diri. Frustasi.
Perasaan bersalah itu sekali lagi mengaduk-aduk hati dan pikiran Maya. “Yuu…” ia memelas, memanggil suaminya yang memalingkan wajah darinya. “Yuu…” pintanya, masih menangis.
Yuu mengeratkan kepalan tangannya. Mengempaskan napasnya teramat kuat. Ia ingin marah. Ingin sekali marah karena merasa dikhianati. Tapi dikhianati oleh apa? Siapa? Yuu tak paham. Ia tak mengerti.
Yuu menoleh kepada Maya yang air matanya berkilau tipis di keremangan. “Kau masih mencintainya?”
Istrinya itu tertegun. Terdiam cukup lama dan kemudian menggeleng dan sekali lagi hanya terisak.
Sakurakoji bersikap lunak. Ia sudah bersabar selama ini, mungkin ia masih harus bersabar beberapa saat lagi? Karena ia tak pernah berpikir untuk berpisah dari Maya. Tak akan pernah.
Sekali lagi Sakurakoji beringsut mendekat, dibelainya rambut Maya, gadis itu mengangkat wajahnya menatap Yuu dengan sendu.
“Setelah sekian lama, kau masih belum melupakannya?” tanya Yuu dengan perlahan dan pilu.
“Yuu…” berat sekali wanita itu bicara. Ia sudah tahu bagaimana Yuu sangat menyayanginya. Sangat sabar menantinya walau ia tahu di hati Maya sempat—dan sesungguhnya, masih—ada orang lain. Yuu tak pernah bertanya siapa dia. Yuu hanya selalu mengatakan ia akan menunggunya. Akan selalu ada untuk Maya. Gadis itu memeluk suaminya dengan sangat erat. “Aku ingin bersamamu Yuu…” Ia tak bohong. “Aku… ingin….” Maya terisak lebih kuat. “Aku…” dan mulai tergugu.
Beberapa lama Yuu hanya mematung. Tak tahu apa yang harus dilakukannya jika Maya sudah menangis.
Apa dia Masumi Hayami? Ingin sekali Yuu bertanya dengan pasti. Tapi bibirnya hanya mampu terkunci. Ia begitu takut mendengar kebenarannya. Ia takut untuk mengetahui.
Akhirnya Yuu melingkarkan tangannya di tubuh Maya, yang sekali lagi sontak terperanjat dan membeku dalam hitungan sesaat.
Ia tahu hati istrinya masih menolak. Bukan sekali dua kali hal ini terjadi. Satu tahun hubungan mereka, tak pernah sekalipun keduanya terlibat hubungan fisik melebihi sentuhan bibir. Itu pun setelah proses yang sangat perlahan hingga Maya bisa menerima kehangatan yang ditawarkan kekasihnya. Maya akan segera menarik diri dan menutup hati jika tiba-tiba Yuu terbawa suasana.
Yuu memeluk istrinya semakin erat. “Tidak apa-apa,” gumamnya pelan, menahan kekecewaan. “Aku akan menunggumu, Sayang,” katanya. “Aku masih menunggumu.”
Dada Maya terasa semakin sesak. Peperangan antara hati dan jiwa, antara simpati dan cinta. Ia ingin, tapi tak bisa.
“Maaf Yuu…” isaknya. “Aku takut… Aku sangat takut…” akunya dengan gemetar.
“Tidak apa-apa,” sekali lagi Yuu berkata kepada Maya, juga kepada dirinya. “Tidak apa-apa Sayang. Kau jangan khawatir, kau akan baik-baik saja. Aku tak akan memaksamu. Aku akan menunggumu,” Sakurakoji meyakinkan. “Aku sangat mencintaimu,” tandasnya.


=//=
Pasangan Sakurakoji sudah mulai sibuk lagi dengan kegiatan mereka, terutama tampil di acara talkshow atau menjadi bintang tamu di acara variety show. Keduanya memang jarang terpisah, selalu saja terlihat bersama ke mana pun mereka pergi. Tampak hangat dan serasi di depan televisi.
“Sakurakoji-san ditunggu di teater Hayami untuk jadi pengajar tamu,” terang Hijiri, memberi tahu jadwal selanjutnya. “Sementara Maya-sama ada undangan di komite budayawan Jepang,” Hijiri berkata.
“Sampai bertemu di rumah,” salam Maya seraya tersenyum.
Keduanya berpisah ke dalam mobil yang berbeda. Sakurakoji bersama asisten Hijiri sementara Maya bersama Hijiri menuju acara yang di adakan komite budayawan.
Sejenak Yuu mengamati mobil istrinya dan melambaikan tangan. Di dalam mobilnya ia membaca modul mengenai materi apa yang akan dibicarakan di teater Hayami nanti. Pikirannya terusik. Hijiri memang lebih sering bersama Maya. Bisa dipahami. Maya memang lebih terkenal dan artis ketimbang suaminya itu, dan juga, karena ia wanita, Hijiri sangat perhatian dengan semua kebutuhan Maya. Bahkan cara Hijiri memanggil mereka saja berbeda. Manajer itu lebih berdedikasi kepada istrinya, Yuu menyadari.
“Apa ini, Hijiri-san?” tanya Maya saat melihat sebuah map di atas jok mobil.
“Itu naskah Romeo dan Juliet, serta Karenina.”
Maya tertegun. “Karenina?” tanyanya bingung. “Hijiri-san, kau pasti sudah tahu bahwa aku telah memutuskan mengambil peran Juliet.”
“Ya. Namun Sutradara Koizumi masih di Amerika. Kami belum memutuskan mengenai hal itu. Maya-sama, cobalah dibaca dulu kedua naskah ini dan tentukan mana yang paling kausukai dan ingin kau perankan.”
“Aku sudah memutuskan,” tegas Maya.
“Tapi Maya-sama, kau pasti sudah mendengar apa yang paling baik untukmu dan Sakurakoji-san dari Pak Masumi.”
Maya termangu. Ia menunduk. Memang ia sebetulnya lebih ingin memerankan Karenina.
“Hijiri-san,” kata Maya perlahan, menatap Hijiri dengan sendu. “Yuu sudah sangat baik kepadaku selama ini. Dan aku tahu, tak sekali dua kali aku menyakiti hatinya. Ia bahkan seringkali kuabaikan hanya karena sandiwara atau tayangan televisi. Tapi ia begitu sabar kepadaku. Sekarang Yuu hanya ingin aku dan dia main drama bersama. Dan aku sangat suka main drama, apapun perannya,” tutur Maya. “Karena itu, aku sudah memutuskan, aku akan mengambil Romeo dan Juliet.”
Tampak Hijiri termangu sesaat. Keputusan memberi Maya peran Karenina adalah hasil pertimbangan Masumi, dan Masumi pasti sudah memikirkan yang terbaik bagi Maya. Namun keputusan akhir tetap ada di Maya. Selama wanita itu tak menolak bekerja, manajemen tak bisa berbuat apa-apa.
“Baiklah, nanti akan saya sampaikan kepada Pak Masumi,” kata Hijiri.
Pak Masumi… Maya menjadi sedih. Tak dibilang pun Maya tahu, pasti Masumi selalu memikirkan kepentingannya. “Aku pasti… sudah mengecewakan Pak Masumi,” ucapnya sendu.
“Maya-sama,” Hijiri berkata. “Anda tak bisa membahagiakan semua orang. Karena itu, tak apa-apa, jika sesekali anda mengambil keputusan untuk dirimu sendiri, selama kedua pilihannya adalah pilihan yang baik, lakukan yang paling membuatmu bahagia,” Hijiri berkata tanpa ekspresi namun terdengar penuh perasaan.
Tampaknya manajernya itu juga tahu apa yang ada di kepala Maya.
“Terima kasih, Hijiris-san,” Maya tersenyum tipis. “Tapi aku sudah mengambil keputusan.”
“Simpan saja dulu,” Hijiri menyerahkan naskah Karenina. “Siapa tahu Anda berubah pikiran.
=//=
Sakurakoji pulang lebih malam dari istrinya karena masih harus melakukan wawancara setelah pulang dari teater Hayami. Ia mengangguk kepada pelayannya yang berdiri di pintu.
“Nyonya?”
“Sudah ke kamar,” jawab Tsubaki seraya menunduk.
Memang Yuu pulang cukup larut dan Maya sudah berpamitan lewat sms bahwa ia akan tidur terlebih dulu. Istrinya itu pasti sangat lelah dengan semua kegiatannya seharian ini.
Yuu masuk dan mendapati lampu kamar masih menyala, namun Maya memang sudah memejamkan matanya. Sakurakoji beranjak mendekat. Ia tampak pulas. Maya memang tak pernah mengeluh tak peduli seberapa berat harinya atau seberapa banyak pekerjaan yang harus dikerjakannya.
“Eh?” Sakurakoji terkejut, mendapati sesuatu terjatuh di lantai di samping tempat tidur Maya. Ia memungutnya. Sebuah naskah, dengan tulisan “KARENINA” di sana. Pria itu tertegun. Karenina?
Ada sebuah naskah lainnya di atas nakas. Naskah Romeo dan Juliet. Bisa terlihat Maya juga sudah membuka-buka naskah itu, namun dari kekusutannya, bisa tampak Maya lebih banyak membaca naskah Karenina yang kini dalam genggaman Sakurakoji. Ada bekas remasan kuat di naskah itu. Sakurakoji tahu artinya.
Maya memang selalu membaca naskah yang disukainya dengan begitu bergairah, hingga bekas genggaman dan remasannya membekas di sana. Yuu juga sudah tahu dari apa yang dilihatnya, pentas mana yang sebenarnya sungguh-sungguh ingin dimainkan Maya.
Dengan sedikit kasar Yuu mengempaskan napasnya. Dipandanginya Maya yang tengah tenggelam dalam dunia mimpi. Pria itu mengeratkan rahang dan genggaman tangannya.
=//=
Masumi menenggak wisky kesekian-gelasnya, terdiam memandangi sebuah majalah dengan Maya di covernya. Wanita itu tampak cantik, tersenyum lebar degan lipstik pink yang membuatnya terlihat begitu manis. Tatapan matanya yang berbinar, rambutnya yang berkilau, kulitnya yang halus…
Dengan jarinya Masumi menyusuri citra Maya, namun dapat dengan nyata Masumi merasakan semua yang ada di kepala pada ujung jemarinya. Ia ingat bagaimana lembutnya tangan Maya. Kewangian yang menguar dari pori-pori tubuh dan rambutnya. Kehangatannya…
Masumi mendesah keras. Teringat apa yang dikatakan Hijiri.
“Maya-sama sudah memutuskan untuk berperan sebagai Juliet,” katanya tadi siang.
Sekarang pria itu mengerti, bahwa keduanya memang memiliki ikatan yang sangat kuat. Masumi…  ia membatin, kenapa kau masih saja berharap, ia akan menjadi bagian dari hidupmu? Bukankah kau sudah merelakan? Sudah memutuskan hubunganmu dengannya? Tak akan lagi mengiriminya Mawar Ungu?
Memang dia yang sudah memutuskan tak akan lagi menyimpan perasaan untuk Maya. Tapi semua percuma. Masumi masih tak rela melihat gadis itu bersama suaminya. Masih begitu tergoda untuk tak henti memandangnya, menyentuhnya, memeluknya andai bisa.
Jari jemarinya terbenam di dalam rambutnya, meremasnya kuat. Mengharapkan rasa sakit yang ditimbulkan di kepalanya dapat menghilangkan rasa sakit di hatinya. Tapi tak bisa.
Mungkin Maya benar. Ia begitu suka memendam duka. Memeliharanya. Menumbuhkannya hingga membuatnya terus tenggelam dalam luka.
Mungkin memang begini jalan hidupnya. Ya. Maya benar. Adalah pilihannya untuk terus menyimpan citra gadis itu dalam benaknya dan menyiksa jiwa, ketimbang ia harus bahagia dengan melupakannya.
Tidak. Itu bukan pilihan. Masumi tak akan pernah melupakan Maya. Ia cintanya. Separuh nyawanya. Jika Maya tak ada, sama saja kehilangan jiwa. Biar saja Maya ada, walau hanya sekedar bayangan yang tak nyata.
Biar saja…
Biar rasa sakit ini menggerogoti kepala dan raga. Tak apa-apa, jika Maya menjadi bagian hidupnya sebagai siksa. Selama wanita itu masih ada… Masih menjadi bagian dalam pikirannya. Selama Masumi bisa merasa, maka ia masih berjiwa.
=//=
“Hijiri-san bilang, minggu depan Sutradara Koizumi sudah kembali ke Jepang,” terang Sakurakoji saat keduanya berada di ruang santai, seraya menikmati kopi pagi.
“Oya? Wah… aku sudah tak sabar, ingin cepat-cepat main sandiwara lagi,” Maya menangkupkan kedua tangannya dan tersenyum berseri.
Beberapa saat Yuu terdiam, bertanya-tanya apa itu aktingnya saja? Yuu tak tahu lagi.
“Sayang, semalam kau tertidur sedang membaca naskah ya?” tanyanya. Bisa terlihat Maya tertegun, mungkin mengingat. “Karenina?”
“Ah, I, itu!” bisa terlihat Maya gugup. “Ya. Karena naskahnya sudah selesai, Hijiri-san menyerahkan keduanya, aku sudah baca-baca semalam,” terangnya, “Romeo dan Juliet juga sudah kubaca! Aku benar-benar menyukainya. Sepertinya dialognya agak sulit, tapi aku merasa tak sabar memerankannya!”
Sejenak Yuu mengamati istrinya itu lantas menyentuh bahunya. “Anata, kau boleh mengambil peran Karenina jika kau mau,” ujarnya kemudian. Ujaran yang membuat istrinya itu terkejut. “Tidak apa-apa, kita bisa mainkan drama yang berbeda, kemarin aku hanya—“
“Kenapa tiba-tiba? Aku mau memainkan Romeo dan Juliet. Sungguh,” ia menggenggam tangan Yuu. “Itu salah satu cerita favoritku juga, apalagi ceritanya sudah melegenda. Dan terlebih lagi, aku bisa main sandiwara denganmu. Aku ingin, main sandiwara denganmu!” ia mengetatkan genggaman tangannya. Meyakinkan.
Dipandanginya wajah Maya, menyusuri perlahan dengan matanya. Yuu tahu istrinya itu sudah berusaha keras membahagiakannya. Ia tahu Maya tak pernah berniat menyakiti hatinya. “Tidak apa-apa Anata, aku mengenalmu. Aku sudah tahu kau. Aku tahu benar apa yang benar-benar ingin kau perankan, sungguh, tidak apa-apa,” Sakurakoji tersenyum. “Aku akan selalu mendukungmu. Bukan masalah besar apa drama yang kita mainkan. Kau istriku sekarang. Aku tahu walau tak bisa bersama di atas panggung, kau tetap akan pulang kepadaku. Iya kan?”
“Yuu…” Maya bergumam, terharu. “Benarkah tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa,” senyuman Yuu melebar saat ia menyentuh pipi istrinya. “Maaf aku sudah bersikap berlebihan.”
“Yuu…” Maya memeluk suaminya. “Terima kasih banyak,” semakin erat. “Aku janji Yuu, akan berusaha bertemu denganmu sesering mungkin. Aku akan meminta Hijiri-san mengatur jadwal kita,” Maya meyakinkan.
“Ya, ya,” Sakurakoji balas memeluknya. Apa saja… apa saja asal Maya tetap di sisinya. Pria itu semalam sudah memikirkannya. Semua sikap kerasnya, semua rasa gelisahnya, mungkin malah akan menjadi penyebab Maya merasa tak nyaman darinya, dan membuat wanita itu akan pergi dari sisinya. Karena itulah Sakurakoji sudah bertekad akan membuat Maya jadi wanita yang sangat bahagia selama bersamanya.
=//=
Maya merasakan dadanya berdebar lebih kuat saat dari kejauhan ia melihat sebuah rumah teramat mewah, dengan pagar menjulang berbentuk panah berwarna hitam.
Kediaman Masumi Hayami.
Maya berusaha menenangkan perasaannya. Ia tak pernah mengerti apa rasa yang ada pada dirinya jika hendak bertemu Masumi. Ada perasaan tak sabar, begitu penuh antisipasi, namun juga takut, sendu, pilu. Semua sibuk menyerbu kalbu.
Masumi memang sudah jarang bertemu muka dengan Maya sekarang. Pria itu sibuk ke sana kamari mengurus kerajaan bisnisnya yang semakin menggurita di Jepang. Hijiri sempat bercerita saat Maya tak tahan bertanya mengenainya, bahwa Masumi juga sedang mempelajari beberapa bisnis Takamiya, termasuk transportasi yang juga menjadi jarahan bisnis Hayami.
Pak Masumi… dirasakannya tiba-tiba saja tubuhnya panas dingin saat gerbang itu terbuka. Dua orang penjaga menyambut mereka. Di dalamnya, sudah ada banyak mobil berjajar dengan rapi dan rumah mewah itu tampak semarak.
Maya dan suaminya yang juga tak banyak bicara, serta Hijiri keluar dari mobil mereka. Menaiki tangga menuju pintu rumah itu, yang lagi-lagi disambut dengan sopan dan ramah oleh dua orang penjaga. Keduanya diantar ke aula di dalam rumah, yang ditandai pintu besar lainnya, yang saat dibuka, tampaklah orang-orang yang sedang saling bercengkrama.
Pesta itu ternyata cukup meriah. Ada seorang pianis dan penyanyi di sana. Setiap orang menikmati hidangan di sebuah sofa dan tempat duduk yang tersedia atau hanya berdiri. Para pelayan sibuk hilir mudik dengan nampan di tangannya membawa banyak makanan. Ruangan itu tembus ke bagian belakang rumah di mana ada banyak juga tamu yang menikmati malam di halaman belakang.
“Pasangan Sakurakoji sudah datang,” kata seorang MC.
Orang-orang menoleh kepada keduanya. Beberapa menghampiri dan menyapa mereka. Begitu juga Masumi.
“Terima kasih sudah datang,” Masumi tersenyum ramah.
Tanpa bisa dikuasai, wajah Maya begitu saja merona berseri.
“Terima kasih sudah mengundang kami,” jawab Sakurakoji.
“Tentu. Kalian sudah sangat berjasa kepada Daito. Rasanya tak cukup berapa kalipun aku mengatakan terima kasih,” ungkap Masumi. “Silakan, dinikmati pesta ini, kuharap tak akan mengecewakan kalian.”
“Tentu tidak,” sahut Maya cepat. “Pak Masumi, selamat datang kembali ke Jepang.”
Maya menyerahkan buket bunga mawar kuning yang dibawanya dan Masumi menerima. Sejenak tangan keduanya sempat saling menyapa, dan keduanya sama-sama pura-pura tak merasa. Padahal dalam hatinya, persentuhan itu meninggalkan jejak yang tak biasa.
“Mawar kuning…” Masumi bergumam.
“Ya. Katanya, Mawar Kuning melambangkan awal yang baru, kami berharap, kembalinya Anda ke Jepang, dapat memulai kembali semuanya, memulai awal yang baru bagi kehidupan Anda di sini,” terang Sakurakoji.
Masumi tersenyum tipis, “Perhatian sekali,” katanya. “Terima kasih,” Ia tersenyum. “Silakan,” ia mempersilakan pasangan Sakurakoji dengan merentangkan tangannya. “Aku akan meletakkan buket bunga ini dulu,” katanya.
Maya dan Yuu mengangguk, lantas mulai berbaur dengan tamu-tamu malam itu. Kalangan selebritis, pekerja di belakang layar dan juga belakang panggung. Teman-teman Maya dari Mayuko juga ada. Ayumi pun hadir di sana. Mereka bercengkerama.
Ada beberapa pasangan berdansa, dan Sakurakoji mengajak istrinya.
Maya tak bisa menolak, dan bersedia. Keduanya mulai menggerakkan badan sesuai alunan musik. Tanpa Maya sadari, sekali dua kali ia mencuri pandang ke arah Masumi yang juga entah kebetulan atau bukan, juga akan memandangi.
Jika sudah begitu Maya mendadak resah. Berkali-kali dalam hatinya mengatakan jangan lagi mencari Masumi. Namun belum selesai nasihat itu ia katakan kepada dirinya, matanya dan Masumi sudah kembali saling menumbuk satu sama lain.
 “Berapa lama Anda akan menatapnya?” tanya Hijiri yang mengambil minuman dan berdiri di samping Masumi.
Pria itu tertegun, kalimat yang sama sempat terngiang di kepalanya. Masumi memalingkan wajahnya. Ia pun tahu tak seharusnya memandangi wanita pria lain. Tapi itu semua berlangsung di luar kesadarannya.
“Aku permisi sebentar,” hanya itu yang Masumi katakan.
Ia beranjak keluar, ruang pesta, mencari kesunyian untuk menenangkan diri dan kembali menghayati luka hati. Namun sekali lagi, sebelum ia menghilang di balik pintu, Masumi menatap istri Sakurakoji dengan tatapan pilu. Saat itu pun pandangan mereka kembali beradu.
“Mau kuambilkan minum?” tanya Sakurakoji kepada Maya saat musik berhenti dan mereka tak lagi berdansa.
“Ah, ya,” Maya tersadar. “Tentu,” ia tersenyum.
Yuu menghilang di balik punggung orang-orang, begitu pula kesadaran Maya.
Tatapan sendu Masumi yang sempat tertangkap tadi, langsung menyayat ke ulu hati. Jelas sekali. Terasa sangat nyeri. Dan sekali lagi tanpa ia sadari, Maya melangkahkan kaki. Pergi.
Di antara lorong dan ruangan yang sepi ia mencari.
Lain sekali dengan ruang pesta yang begitu gempita. Walau masih di rumah yang sama, bagian rumah ini terasa kelam gulita.
Maya baru menyadari betapa besar dan megah rumah ini. Dulu Masumi hidup di sini bersama istri, dan kini ia sendiri.
Pasti Pak Masumi sangat kesepian, ia meyakini.
Walaupun baru pertama kali Maya ke sini, ia biarkan intuisinya mencari sementara kakinya hanya mengikuti. Bahkan saat ia menemukan apa yang dicari, wanita mungil itu sempat terkejut sendiri.
Masumi berdiri di sebuah beranda di luar ruangan yang tak benderang. Matanya terarah ke halaman luas, memandang. Tak disadarinya bahwa Maya berdiri gugup di arah belakang.
“Pak… Pak Masumi,” panggil Maya akhirnya, setelah pertimbangan singkat mengenai apakah ia harus menyapanya atau tidak.
Pundak Masumi terlonjak. Dengan cepat ia berdoa bahwa suara itu bukan hanya terngiang di dalam otak. Namun entah kenapa tubuhnya tak mau bergerak, hingga ia kembali mendengar panggilan lembut dari suara yang sedikit serak.
“Pak Masumi…” panggil Maya dengan tenggorokan tercekat. Wanita itu tak ingat lagi bagaimana ceritanya hingga sekarang berada di tempat ini. Yang ia pedulikan bahwa ia dan Masumi sekarang berada dekat.
Pria itu memutar tubuhnya, tampak ragu sejenak, dan kemudian terpaku, berbisik syahdu, “Maya…” panggilnya.
“Sedang apa Anda di sini?” tanya Maya, jelas terdengar khawatir.
“Tidak, hanya… memandangi bulan, menenangkan diri,” ungkapnya. Atau mungkin… melarikan diri.
Menenangkan diri? Wanita itu bertanya dalam hati, untuk apa si pria menenangkan diri. “Anda sakit?” tanya Maya seraya perlahan menghampiri.
Melihatmu? Ya… jawabnya dalam hati. “Tidak, aku baik-baik saja,” itu yang terucap dari bibir Masumi. “Bagaimana kau tahu aku ada di sini?”
“Aku tak tahu,” ungkap Maya. “Tiba-tiba aku sampai di sini, dan melihatmu.”
“Kau tak mencariku?” Masumi terheran.
“Kupikir tidak…” Maya menunduk, “tapi mungkin… Ya...”
Maya… Masumi mengeratkan rahangnya.
Mungkin wanita itu tak sadar mencarinya, seperti ia yang tak sadar menunggu kedatangannya.
Seperti mereka yang tak sadar kehilangan jaraknya.
Tiba-tiba saja Maya berada dalam jangkauannya. Masumi ingin sekali mengangkat tangan dan menyentuh pipi Maya dengan telapaknya. Merangkul tubuh mungil itu dengan lengannya, mengecup bibir tipis itu dengan bibirnya.
“Aku sangat senang kau datang,” ia membuat pengakuan.
“Anda terlihat sedih,” Maya berujar. “Apakah ada sesuatu yang merisaukanmu, Pak Masumi?” tanya Maya.
“Tidak ada,” ia kembali berbohong. Aku hanya… tak bisa berpaling darimu, dan kusadari itu bukan hal yang bagus jika kulakukan di keramaian, kali ini ia berkata jujur dalam hatinya.
Maya terpana sesaat. “Apakah seharusnya aku tak perlu datang?”
“Tidak!” sanggah Masumi cepat. “Jika kau tak datang aku akan lebih sedih,” ujar Masumi spontan.
“Pak Masumi…” Maya melirih, wajahnya panas ingin menangis entah kenapa. Angin dingin malam itu terasa kasar meraba kulitnya. Angin yang keras, berhembus kuat.
“Brak!!” pintu ruangan tiba-tiba tertutup dan membuat keduanya terlonjak. Ruangan menjadi lebih gelap karena penerangan dari lorong berkurang, namun masih cukup terang dibantu lampu beranda dan terang purnama.
Jantung Maya berdebar-debar kuat dan cepat. Kepalanya segera memerintah Maya segera beranjak. Ia tak seharusnya berada di dalam ruang tertutup bersama seorang pria, dengan penerangan yang tak layak. Ia tak seharusnya berada di sini sama sekali.
Nyonya Sakurakoji baru saja hendak permisi saat pria di hadapannya berujar,
“Aku akan merasa lebih baik jika kau mau berdansa denganku.”
“Berdansa?” alis Maya naik. Hanya sebentar ia menimbang, dengan segera logikanya yang tadi tak tenang tersingkir. “Tentu,” katanya.
“Di sini,” imbuh Masumi.
“Di sini?” si Mungil memastikan.
“Ya.”
Alis Maya berkerut, mencoba menangkap suara. “Tapi musiknya tak ada,” katanya setelah tak berhasil mendengar musik dari ruang pesta.
“Kita bisa membuat musiknya sendiri,” tawar Masumi. “Apa Anda mau berdansa denganku?” Masumi menyodorkan tangannya.
Maya mengamati tangan itu. Dan menerimanya. “Ya. Mohon bimbingannya, Tuan Masumi Hayami,” ia tersenyum.
“Tenanglah,” kata Masumi, mulai memeluk gadis itu. “Aku tak akan melepaskanmu.”
Keduanya mulai menggerakkan badan, Maya hanya mengikuti Masumi. Memang tak ada suara di sekitar mereka selain langkah-langkah tipis kaki keduanya yang berdansa. Namun seakan nada-nada mengisi benak mereka, keduanya bergerak seirama.
“Kau juga sudah pandai berdansa sekarang,” puji Masumi, senyumnya melebar.
Sejak tadi Maya menengadah, tapi ia sama sekali tak lelah karena dengan demikian ia bisa memandang wajah Masumi dan berusaha memenuhi kerinduannya yang tak kunjung punah.
Keduanya saling memandang, saling memuaskan dahaga atas satu sama lain yang tak kunjung hilang.
Secara perlahan dan pasti, keduanya berhenti bergerak dan melangkahkan kaki, dan perlahan berhenti.
Sekarang kedua insan yang bukan pasangan itu semata-mata hanya saling berdekatan, dan mulai berpelukan.
Maya tak ingat apapun, dibiarkannya Masumi melingkarkan kedua tangannya yang kokoh di tubuh Maya yang mungil. Kilasan-kilasan rasa bersalah dengan begitu saja kalah dengan kehangatan dan kenyamanan yang ia rasakan dari pelukan lelaki yang seharusnya bukan siapa-siapa.
Pak Masumi… Maya menyurukkan wajah begitu dalam di dada Masumi yang gagah.
Semuanya terasa begitu tepat dan benar bagi keduanya. Saat Maya bisa merasa begitu terlindungi menyandarkan dan menyerahkan diri dan Masumi merasa semuanya begitu lengkap terpenuhi. Keberadaan Maya dengan segera terasa memenuhi kekosongan di dalam jiwa dan hati.
Pelukan Masumi semakin ketat dan kuat. Napas Maya pun menyesak namun Maya sama sekali menolak.
Lebih baik ia sesak karena pelukan Masumi ketimbang sesak karena kerinduannya yang mendesak.
Hanya dalam pelukannya saja. Cukup dalam pelukannya seperti ini….
Mata gadis itu berkaca-kaca. Ia memang masih sangat mencintai si pria. Masih terlalu mencintainya. Lantas mata Maya terpejam, membiarkan Masumi terus memeluknya semakin dalam, membawanya tenggelam dalam kehangatan di tengah kedinginan malam.
“Deg!” Keduanya terenyak. Saat lamat-lamat terdengar suara panggilan dari arah luar yang semakin mendekat.
“Maya…!” suara itu kembali terdengar.
Yuu!! Mata gadis itu segera terbuka. Dan kesadaran itu menghantamnya dengan nyata. Itu suaminya! Pemiliknya!
Dengan cepat Maya melepaskan diri dari Masumi. “Suamiku…” bisiknya dengan panik. Masumi tak kuasa menahan Maya lepas lagi darinya.
“Aku harus keluar,” desis Sang Istri, berbalik hendak pergi.
“Grep!!” Masumi menahan pergelangan Maya.
“Deg!” Maya tertegun. Jantungnya kembali berdebar lebih cepat, Pak Masumi…!!
“Jangan pergi,” pinta Masumi, mendesah pelan. “Jangan dulu pergi,” ia memohon.
Pak Masumi… wanita itu galau.
“Maya…!?” panggil suaminya. Kali ini sudah berada di depan ruangan keduanya berada.
Sementara Masumi mendekati, Maya hanya diam berdiri dan tak bisa memungkiri, ia menanti. Menanti pria itu memeluknya sekali lagi.
Dan itulah yang terjadi.
“Kumohon… biarkan seperti ini… sebentar lagi…” pintanya, saat Maya sudah kembali dalam pelukannya. “Sebentar lagi saja.”
Pak Masumi… Tetesan hangat menyusuri pipi Maya. Entah untuk apa, karena sekarang kalbu dan hatinya diserang banyak rasa yang hanya bisa diwakili oleh airmata.
“Maya!? Maya kau di sini?” seru Sakurakoji di tengah lorong.
Sekali lagi pelukan Masumi kembali menyesakkannya, dan Maya tak bisa mengelak darinya.



“Maya…!?” Sakurakoji kembali melangkah mencari istrinya.
Sementara kedua orang di dalam ruangan masih membatu di tempatnya. Bergeming. Bernapas dengan waspada. Hanya panggilan Sakurakoji yang kembali terdengar beberapa kali lagi. Semakin menjauh.
Keadaan kembali senyap.
Maya menghela napas lega. Namun juga masih takut, dan yang pasti merasa bersalah.
“Pak Masumi…” Maya menoleh sedikit kepada pria yang tengah memeluknya teramat erat tersebut. “Aku harus kembali,” ia mengingatkan dengan rasa sesak mencekik tenggorokan.
Masumi tak bersuara. Pria itu masih tak rela. Permintaan Maya dibalasnya dengan dekapan yang semakin kuat di raganya.
“Pak Masumi…” Maya memohon seraya menahan isakannya.
“Maya,” suara Masumi bergetar. “Aku ingin mengajakmu ke Izu suatu saat, apa kau tidak keberatan?”
“Izu?” mata wanita itu melebar dan jantungnya semakin keras berdebar.
“Ya,” bisik Masumi.
“Ta, tapi…” Maya ragu, menggigit bibirnya tipis.
Wanita itu tak bisa berpikir dengan jernih saat nafas Masumi yang begitu dekat terdengar lirih.
“Aku masih berutang kepadamu, untuk mengajakmu ke sana. Aku selalu menepati janjiku. Dan satu janji itu… adalah janji terakhir yang ingin kupenuhi,” bujuk Masumi.
Maya merasa ragu namun jika ia harus jujur, ia pun menginginkannya. Bisa menikmati hari bersama Masumi, melihat hal-hal yang biasa dilihat Masumi dalam kesendiriannya. Tapi apakah itu boleh?
Sebuah ketukan terdengar di pintu. Keduanya terlonjak dan membatu.
“Pak Masumi,” suara Hijiri. “Anda di dalam sana?” tanyanya perlahan.
Kembali ketukan itu terdengar. Maya dan Masumi saling memandang, gelisah di tengah ruang dengan penerangan kurang.
“Pak Masumi…” Maya berbisik resah.
Masumi menghela napasnya. Ia melonggarkan pelukan dari Maya. Keduanya kembali bertukar pandang dan dengan tak rela saling memberi jarak antara keduanya.
“Ada apa, Hijiri?” jawab Masumi.
Sejenak tak ada jawaban, sepertinya Hijiri tengah menimbang sesuatu.
“Anda bersama Maya-sama?” tanya HIjiri kemudian.
Masumi tahu anak buahnya itu tak bisa dibohongi.
“Ya.” Jawab Masumi. “Masuklah, Hijiri.
Dengan segera Hijiri membuka pintu, sedikit menyilaukan keduanya.
Hijiri sudah mengira, namun tetap saja saat melihat mereka berdua, ia tak bisa pura-pura tak ada apa-apa.
Tatapan menghardik sejenak menghampiri Masumi sebelum kemudian Hijiri menatap Maya. “Sakurakoji-san mencarimu. Aku sudah mengatakan Anda pergi ke kamar kecil dan mungkin tersesat. Sebaiknya Anda kembali sekarang,” Hijiri mengingatkan.
“I, iya,” wajah Maya bersemu merah. Sejenak ia melirik Masumi sebelum berjalan mendekat kepada Hijiri.
“Ini tidak seperti yang kaukira,” sambar Masumi kemudian saat keduanya hendak beranjak.
Hijiri menatap Masumi, “Anda tidak tahu apa yang saya kira,” ujar sang manajer. “Anda pun sudah ditunggu di ruang pesta. Sebaiknya jangan meninggalkan tamu lama-lama. Namun sebaiknya tunggu beberapa saat setelah Maya-sama kembali ke sana,” imbuhnya.
Masumi tak berkata apa-apa sementara Hijiri pergi dengan Maya.
Masumi kembali ke beranda kamar. Mengempaskan napasnya kasar dan sekali lagi merasakan sakit hatinya yang membesar.
Ia tahu tak bisa selamanya seperti ini. Semuanya harus diakhiri. Jika bukan Sakurakoji, maka dialah yang harus pergi.
Pergi… batin Masumi.
Mungkin sejak awal, keputusannya kembali ke Jepang memang bukan keputusan yang tepat. Ia tahu benar Maya dan Sakurakoji hendak menikah. Ia sendiri yang memberikan mereka restu melalui Hijiri.
Walaupun sempat terbersit, ia mungkin masih punya kesempatan kembali membawa Maya ke dalam pelukan, namun hari itu saat Maya dengan sangat cantik berdiri di altar bersama Sakurakoji, melihatnya, Masumi menyadari bahwa selama ini yang pernah ia berikan kepada Maya hanyalah sakit hati.
Sakurakoji adalah satu-satunya kesempatan Maya mendapatkan kebahagiaan yang tak pernah bisa ia berikan.
Ia tak berhak merebutnya.
Yang harus ia lakukan adalah melupakan. Namun ternyata Masumi salah perhitungan. Ia tak pernah sanggup, walau sekejap, melepaskan Maya dari dalam ingatan.
Pria itu menghela napasnya. Menunggu beberapa lama sebelum kembali ke ruang pesta.
Maya melirik canggung kepada Hijiri. Pria itu tengah mengamati. Maya dengan cepat kembali menundukkan pandangannya lagi.
“Anda tahu yang Anda lakukan itu salah?” tanya Hijiri.
Maya berwajah sendu, dan mengangguk. “Tapi… tadi Pak Masumi terlhat sedih sekali. Aku jadi ikut sedih. La, lalu…. Aku melihatnya di sana sendirian, kupikir—“
“Itu bukan hal yang harus kau khawatirkan,” potong Hijiri, tak membenarkan. “Apa Anda sadar apa yang tengah Anda pertaruhkan? Maya-sama, jangan sekali-kali melakukannya lagi. Anda tidak boleh melakukannya lagi. Hanya berduaan di ruang tertutup—“
“Tadi pintunya terbuka,” sahut Maya cepat.
“Apa lampunya menyala?” tanya Hijiri tajam.
Maya menunduk. Menggeleng.
“Seharusnya Anda tidak masuk,” tandas Hijiri.
Ia tahu benar bagaimana Masumi sering berdiam diri di tempat suram tanpa pelita. Itu kebiasaan Tuannya semenjak lama. Namun tak seharusnya Maya pun ada di sana. Tidak, selain dalam benak Tuannya.
“Maaf…” gumam Maya.
“Aku sudah mengatakan kepada Sakurakoji-san bahwa Anda tadi pergi ke kamar mandi. Sebaiknya Anda katakan kepadanya bahwa Anda tersesat.”
“Iya…”
Hijiri menghela napasnya. Bertanya-tanya. Sampai kapan Maya dan Masumi terus saja seperti ini, saling memendam cinta sekaligus menorehkan luka.
=//=
Semenjak dalam perjalanan sekali lagi Sakurakoji tak banyak bicara. Maya pun tak bertanya. Ia benar-benar merasa bersalah karena apa yang terjadi tadi di tempat Masumi.
Sementara Sakurakoji, merasakan ada yang tak beres. Sikap gugup Maya, canggung, serta aroma berbeda yang melekat di tubuh istrinya setelah Maya menghilang cukup lama. Ia tak tahu aroma siapa tepatnya. Yang pasti berbeda dengan saat diajaknya berdansa, Maya membawa aroma mahal parfum pria bersamanya saat kembali.
Dengan segera kepalanya menuduh Masumi, yang juga sempat menghilang beberapa lama. Namun ia mencoba menenangkan diri dengan mengatakan kepada dirinya bahwa ada banyak orang di sana. Mungkin aroma satu-dua orang melekat kepada Maya dengan tak sengaja.
Walaupun Sakurakoji tahu itu sangat mudah disangkal, namun ia meyakinkannya untuk ketenangan diri.
Tidak. Tak ada apa-apa antara Maya dan Masumi Hayami.
Mungkin.
=//=
Kecurigaan itu terus saja menyerang Sakurakoji. Bahkan setelah keduanya selesai membersihkan diri.
Tampak Maya terbaring dan tubuhnya rapat terselimuti. Sakurakoji menghampiri. Memeluk erat sang istri.
“Yuu!!” Maya terlonjak sedikit, lantas wajahnya merona.
Pria itu tak berkata apa-apa dan hanya memeluk Maya.
Ia ingin sekali bertanya mengenai Masumi. Ingin agar semuanya jelas dan ia tak merasa dibohongi sekaligus dibodohi.
Tapi tetap saja bibirnya hanya mampu terkunci. Memendam semua rasa luka hanya di dalam sanubari.
“Nanti setelah latihan drama dimulai, pasti kita akan semakin sibuk,” kata Sakurakoji.
Air muka Maya berganti sendu. “Ya…”
“Untunglah kita sudah menikah,” kata Sakurakoji. “Setidaknya aku bisa setiap hari melihatmu saat pulang ke rumah.”
Maya tertegun. “Ya…” ia tersenyum tipis.
“Aku mecintaimu Maya,” desis Yuu di telinga istrinya.
Rasa berat itu selalu saja menghampiri dadanya tiap kali suaminya mengatakan kalimat cinta.
Maya menoleh, tersenyum berseri kepada Yuu, “Terima kasih,” ia membalik badannya dan memeluk Sakurakoji. “Terima kasih, Sayang…”
Tak ada balasan.
Yuu menghela napasnya pelan. Sampai kapan, rasanya cintanya akan bertepuk sebelah tangan?
=//=
“Anda pasti tahu, apa yang terjadi di kediaman Anda adalah sesuatu yang terlarang,” Hijiri mengingatkan saat keesokan harinya Masumi memanggilnya ke kantor.
“Hmm…” Masumi bergumam perlahan seraya menyesap kopinya. Ia lantas menurunkan cangkirnya, mengembuskan napasnya, dan menenangkan dirinya.
Teringat kejadian semalam menyisakan perasaan emosional baginya. Sepanjang malam mata Masumi bahkan tak sanggup terpejam. Teringat bagaimana Maya lepas dari pelukannya dan kemudian berada dalam pelukan suaminya.
“Aku tahu,” Masumi berkata. “Karena itulah aku memanggilmu. Ada yang ingin kukatakan.”
Hijiri memperhatikan.
“Aku akan kembali lagi ke Amerika.”
“Pak Masumi!?”
“Ya. Itu adalah hal yang paling tepat untuk kulakukan. Aku masih berutang kepada Takamiya untuk mengurus sebagian usahanya. Itu juga yang tertulis dalam surat wasiat Shiori.”
Masumi teringat bagaimana mantan istrinya menyatakan bahwa perjanjian yang pernah terjadi antara Takamiya dan Masumi tak bisa dibatalkan setelah dia pergi. Sebagian hak waris Shiori, diberikan kepada Masumi.
“Anda pergi…” Hijiri berdesis. “Kapan? Maya-sama sudah tahu?”
“Belum,” jawab Masumi. “aku tahu, keputusanku kembali ke Jepang adalah keputusan yang buruk. Seharusnya semenjak awal aku tak perlu kembali. Namun, beberapa minggu di sini, aku sudah tahu bahwa perkiraanku benar. Tak seharusnya aku mengganggu Maya lagi. Dia—“ Masumi tercekat, walaupun ia sudah berusaha bicara setenang mungkin. “Berhak bahagia. Dengan pernikahannya. Aku harus tahu diri dan menyingkir dari kehidupannya,” kali ini Masumi tak menyembunyikan kepedihannya.
“Pak Masumi…” Hijiri kehilangan kata-kata.
Ia tak bisa membenarkan, atau menyalahkan keputusan Masumi.
Hijiri tahu benar keduanya tak bisa dibiarkan berdekatan, tanpa ada kemungkinan akan semakin jauh terbawa perasaan. Dan mungkin, akan berakibat fatal di kemudian.
“Jika Anda sudah memutuskan…” Hijiri berkata perlahan.
“Tolong jaga dia, Hijiri,” kata Masumi. “Aku percaya kepadamu. Kau tak pernah mengecewakanku. Aku mungkin tak akan pernah kembali lagi ke sini nanti.”
“Dan Maya-sama? Anda sudah memberitahunya?”
Masumi menggeleng. “Saat ini masih ada banyak urusan yang harus kuselesaikan di sini. Aku akan pergi setelah semua tanggung jawabku selesai. Setelah pementasan Anna Karenina, aku akan pergi ke Amerika,” ungkap Masumi. “Aku ingin melihat Maya mendapatkan penghargaan untuk terakhir kali.”
Diamatinya Masumi dengan sedikit iba. “Saya mengerti,” sahut Hijiri.
“Tapi aku membutuhkan bantuanmu untuk satu hal terakhir, Hijiri,” pinta Masumi.
“Apa itu, Tuan?”
Masumi menelan ludahnya. “Aku pernah berjanji kepada Maya, saat kami di Astoria, bahwa aku akan mengajaknya ke vila,” kata Masumi. Bisa dilihatnya Hijiri sedikit terkejut mendengarnya. “Dan aku bermaksud memenuhinya.”
Hijiri tampak galau, “Tapi Pak Masumi—“
“Aku tak akan melewati batas,” tukas Masumi. “Aku hanya ingin memenuhi semua janjiku sehingga aku bisa pergi dengan tenang, Hijiri. Satu hari saja, tolong kau atur pertemuan kami. Di sana nanti, aku akan mengatakan mengenai keputusanku ini kepadanya.”
Hijiri tampak menimbang-nimbang. Namun selama ini, Hijiri yang setia hanya berharap sekali saja Masumi bahagia. Ia tahu benar bagaimana Masumi sudah menghabiskan waktunya dengan memendam luka.
“Akan saya usahakan,” kata Hijiri akhirnya.
“Terima kasih,” Masumi tersenyum samar dengan sendu. Pria itu lantas bergumam. “Aku dan Maya tak akan pernah bisa bersama. Karena itu aku hanya ingin menciptakan satu kenangan terakhir dengannya sebelum aku melupakannya,” tuturnya. “Aku tahu Maya hanya akan bahagia, jika aku benar-benar pergi darinya.”
Dan Hijiri tak bisa menyangkal itu semua.
=//=
Keputusan Maya dan Sakurakoji untuk berperan di drama yang berbeda, memunculkan pro dan kontra. Ada yang tak sabar dengan pementasan keduanya, ada yang kecewa karena mereka lebih berharap keduanya bisa bersama.
Namun diluar semua reaksi itu, konferensi pers dan latihan tetap berjalan sesuai jadwal. Ayumi akan kembali memerankan Juliet dan hal itu mendapatkan sambutan yang cukup meriah.
Anna Karenina akan pentas lebih cepat sebelum perdana Romeo dan Juliet. Karena itulah Maya lebih sibuk belakangan ketimbang Sakurakoji. Belum lagi Maya sering juga berlatih di rumah, dan saat itu, sangat jarang Sakurakoji dihiraukan istrinya.
Sakurakoji hanya akan mengamati Maya dengan sendu, membiarkan istrinya itu kembali hidup dalam dunianya sendiri.
Pria itu mulai bertanya, kenapa setelah menikah, ia malah semakin merasa Maya mengabaikannya? Dan kenapa jiwanya, semakin tertelan oleh rasa kesepian?
Dulu andai Maya tenggelam dalam kecintaannya kepada akting dan drama, Sakurakoji tak ada di sana. Sehingga Yuu tak begitu merasa Maya tengah mengabaikannya.
Namun sekarang berbeda. Walaupun Yuu ada di sisinya, Maya asyik sendiri dengan dunianya.
Pria itu meninggalkan ruang tengah di mana Maya begitu larut dengan naskahnya. Ia beranjak ke ruang minum dan menenggak satu sloki minuman yang menyebarkan kehangatan ke dalam tubuhnya.
Mungkin satu dua bulan, satu dua tahun Yuu bisa bersabar menunggu Maya menerimanya seperti ia menerima, hingga kata cinta terlontar dari bibir istrinya.
Tapi jika menunggu selamanya? Apa sanggupkah ia? Yuu bertanya kepada dirinya.
Jawabannya ia sungguh tak tahu. Yuu tak mau mundur, ia pun tak bisa memaksa maju. Semuanya menjadi serba keliru.
Maya… pria itu kembali ragu. Apakah di hatimu, sama sekali tak ada aku? Apakah waktu belum berhasil menumbuhkan cintamu kepadaku?
Yuu memejamkan matanya dengan pedih dan membenamkan wajahnya begitu sedih.
=//=
“Hijiri-san, ini jadwalku untuk seminggu ini?” tanya Maya, saat Hijiri memberika sebuah berkas dalam perjalanan mereka menuju sebuah acara.
“Ya.”
Maya menyadari sesuatu yang berbeda. “Kenapa tidak ada jadwal untuk besok?” Ia membolak-baliknya. “Hanya ada jadwal untuk hari ini, lalu… lusa…” tanyanya bingung.
“Besok Anda tidak ada jadwal bekerja.”
“Libur?”
“Tidak,” jawab Hijiri. “Anda akan bertemu dengan Pak Masumi,” ia segera menyambung saat Maya hendak bertanya, “di Izu.”
Mata wanita itu melebar. “Di…”
Hijiri mengangguk.
“Hi, Hijiri-san… kau mengijinkan—“
“Pak Masumi mengatakan, ada sesuatu yang penting yang ingin ia sampaikan. Ia meminta waktu Anda satu hari, untuk menemuinya di Izu.”
Maya tampak tak tenang. Berusaha menimbang.
“Hijiri-san… benar tak apa-apa?” tanya Hijiri.
Hijiri pun tampak ragu. “Aku tak tahu,” katanya. “Terserah Anda saja. Jika tidak berkenan, aku akan mencarikan alasannya kepada Pak Masumi dan mengatakan Anda keberatan.”
Pak Masumi… Maya kembali teringat permintaan pria itu saat di kediamannya.
Setelah semua kebaikan dan pemberiannya? Bagaiama mungkin Maya tak memenuhi satu saja permintaannya?
“Baiklah,” Maya mengangguk. “Aku akan menemuinya.”
Dan jantung gadis itu berdebar keras.
=//=
“Pergi keluar kota?” tanya Sakurakoji saat Maya berkata mengenai rencananya esok hari.
“Ya, ada acara yang harus kuhadiri besok pagi, temu penggemar di daerah yang sedikit sulit dijangkau, mungkin pulang agak larut,” terangnya.
“Jadwalku tak banyak untuk besok, aku bisa datang ke sana kalau kau berencana ada di sana seharian.”
Maya berusaha tenang walaupun ia gugup bukan kepalang.
“Jauh, Sayang,” kilahnya. “Pak Hijiri bahkan memintaku pergi sepagi mungkin agar aku bisa datang tepat waktu,” ia menoleh dan tersenyum menenangkan. “Hanya sehari saja,” katanya. “Malam aku sudah kembali. Tak apa-apa kan?” bujuk Maya dengan wajah memelas.
“Baiklah,” Sakurakoji tak bisa menolak. “Tapi aku hanya sedikit khawatir jika kudengar kau pergi jauh-jauh ke tempat yang tak bisa kudatangi.”
“Aku tak sendirian,” Maya tersenyum.
“Kalau ada apa-apa, hubungi aku,” Yuu membelai rambut Maya.
Kembali rasa bersalah itu datang. Maya hanya mengangguk tanpa sanggup menatap Yuu.
=//=
Hijiri membawa Maya menuju Izu. Ke villa dimana sudah ada Masumi menunggu.
Menjelang tengah hari mobil yang mereka akhirnya tiba.
Maya mengamati villa itu. Vila besar tempat Masumi menghabiskan waktu kesendirian. Sekali lagi jantung wanita itu berdegup tak tentu jika teringat ia akan bertemu lagi dengan Masumi.
Hijiri turun dan membukakan pintu belakang mobil Maya.
“Te, terima kasih,” Maya turun dari sana.
“Masuklah, Tuan Masumi sudah menunggu Anda. Aku akan kembali nanti sore,” terang Hijiri.
Maya mengangguk.
 Gadis itu ragu-ragu menaiki tangga menuju pintu. Ia menelan ludahnya dan menenagkan diri sementara mobil Hijiri telah pergi.
Maya mengetuk pintunya. Seorang penjaga membukakannya. Wanita itu sempat terkejut, karena ia pikir Masumi yang akan menyambutnya.
“A, aku… mmh… Pak Masumi ada?” tanya Maya.
“Ah, Ya, Tuan sudah mengatakan akan ada tamu hari ini. Tuan di lantai dua. Anda diminta langsung naik saja,” terangnya.
Maya mengangguk beberapa kali. Bertanya-tanya apakah ia dikenali, sebagai seorang aktris yang sudah bersuami?
Namun Maya berusaha tak membiarkan kerisauan itu membebani. Ia menaiki tangga sekali lagi, untuk menemui Masumi.
“Pak Masumi…” panggil Maya, saat berada di anak tangga tertinggi. “Pak Masumi!” serunya.
“Aku di sini!” terdengar sahutan dari sebuah arah. Ke sanalah kaki Maya kemudian melangkah.
Masumi berada di belakang meja sebuah ruangan. Sedang duduk dan segera berdiri saat di ambang pintu ia melihat Maya.
“Pak Masumi,” Maya tersenyum saat melihat pria itu. Di belakanga Masumi pintu menuju balkon terbuka lebar. Tirai-tirai biru pudar teriup angin dan tampak berkibar-kibar. Masumi terlihat begitu bersinar. “Aku datang.”
Masumi meninggalkan mejanya. “Aku sudah menunggumu,” sambutnya, dengan ucapan selembut tatapannya.
Pak Masumi… Dan rasa meluap-luap segera mengisi hati dan pikiran Maya. Menyendat logika dan menutup akalnya.
Istri Sakurakoji tak sempat banyak berpikir, saat ia kemudian bergegas berlari ke dalam pelukan hangat Masumi.
=//=
 
 
 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting