Thursday 30 June 2011

Fanfic TK: Final Story

Posted by Ty SakuMoto at 02:54 21 comments
Setting  : Cerita ini pakai settingan betsuhana lama yang ngga diterusin sama Miuchi-sense.

Karena ini cerita draftnya udah lama (abis The Wish) dan males gantinya jadi di sini pakai Mawar Jingga bukan Mawar Ungu :D


Final Story


Masumi membaca dengan tenang dokumen yang diserahkan Hijiri padanya sebelum Ia menumpuknya dengan dokumen-dokumen lain.

“Seperti biasanya, kerja yang bagus Hijiri. Terima kasih.” Ucapnya sebelum lantas meneguk kopinya juga dengan tenang, sementara Hijiri tidak mengeluarkan sepatah katapun.

“Ada hal lainnya?” Tanya Masumi.

Ia dapat memastikan bahwa ada sesuatu yang hendak disampaikan orang kepercayaannya tersebut. Hijiri menunggu sesaat seakan mencari waktu yang tepat sebelum Ia memutuskan untuk bersuara.

“Mengenai Nona Maya Kitajima...” ucap Hijiri. Ia dapat melihat jari tangan Masumi menegang, walaupun hanya sesaat, sebelum Ia meletakkan cangkir kopinya.

“Ada apa dengannya?” Tanya Masumi datar.

“Ia memberikan ini kepada saya...” Hijiri mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Selembar tiket pertunjukan percobaan sandiwara Bidadari Merah.

“Katanya Ia sangat ingin mengundang Anda… Mawar Jingga ke pertunjukannya, secara pribadi. Nona Maya sangat berharap Anda dapat memenuhi undangannya...” Hijiri menunggu reaksi masumi namun pria itu tidak bergeming. Ia hanya memandang tiket yang tergeletak tidak jauh dari jangkauannya.

“Melihat matanya yang berbinar penuh harap, saya, tidak bisa menolak dan akhirnya saya katakan padanya bahwa saya akan mencoba bertanya apakah Anda akan…”

“Kau tahu itu tidak mungkin Hijiri!” Potong Masumi dengan tajam namun tidak dapat menyembunyikan kepahitan dalam suaranya. “Kau tahu aku tidak bisa...” lanjutnya, lebih lemah dari sebelumnya. “Dengan mengambil tiket ini, berarti aku mengungkapkan jati diriku padanya. Aku tidak bisa melakukannya. Tidak sekarang...”

“Lalu kapan?” Hijiri menatap tajam mata Masumi namun masih dengan penuh hormat dan rasa simpati.    “Dia telah sangat lama menunggu kesempatan ini. Mengundang Anda datang ke pertunjukan Bidadari Merah adalah satu-satunya impian Nona Maya...”

“Bukannya aku tidak akan datang sama sekali ke pertunjukannya. Itu mustahil. Akupun telah lama menunggu gadis itu memerankannya. Hanya saja… Sebagai Mawar Jingga…” Masumi mengirup nafasnya berat, “aku tidak bisa! Tidakkah kau mengerti? Mengungkapkan jati diriku sebagai Mawar Jingga saat Ia akan memerankan Bidadari Merah hanya akan membawa bencana baginya…” Masumi sudah tidak bisa lagi menyembunyikan kegundahannya.

Dia berdiri dari kursinya dan melangkah keluar ke arah balkon yang terbuka dan menampakkan matahari senja yang tampak memerah di ujung cakrawala.

“Dia mungkin akan hancur… Ketika mengetahui bahwa aku, lelaki yang paling dibencinya, adalah Mawar Jingga. Itu hanya akan menambah beban berat yang sudah banyak ditanggungnya. Bantulah aku, Hijiri...”

 Walaupun Ia hanya bisa melihat punggungnya, namun Hijiri dapat mengenali rasa frustasi Masumi yang terdengar jelas dari suaranya. Hijiri terdiam sejenak, sebelum akhirnya Ia berkata,

“Baiklah. Apa yang Anda ingin saya lakukan?”

=//=

Maya hanya memandang makanan yang belum dihabiskannya. Sedari tadi pikirannya melayang. Hanya beberapa hari lagi Ia akan memerankan Bidadari Merah yang selama ini hanya menjadi impiannya. Rasanya tidak percaya bahwa sebentar lagi, Ia akan berdiri di atas panggung dimana kakinya, tangannya, wajahnya serta seluruh tubuhnya akan menjadi Akoya. Menjadi Bidadari Merah. Ini adalah kesempatan sekali seumur hidup. Ia mungkin saja berhasil atau gagal mendapatkan peran itu namun setidaknya Ia akan dapat memerankannya walaupun hanya sekali saja.

Maya ingin memerankan Bidadari Merah untuknya. Hanya untuk dialah, satu-satunya orang yang Ia harapkan dapat melihat Bidadari Merahnya. Masumi, si Mawar Jingga. Tanpa sadar wajahnya bersemu saat Ia membayangkan Masumi datang ke hadapannya dengan membawa buket mawar jingga dan mengatakan bahwa Ia menyukai akting Akoyanya.

Tiba-tiba saja Maya merasa gundah. Akankah dia menerima undangannya dan memberikan namanya? Mawar Jingga masih selalu mendukungnya. Ia sering menerima kiriman mawar jingga ke tempat latihannya. Bahkan belum lama ini Ia dikirimi sebuah kimono yang sangat indah. Maya bahkan menangis saat menerimanya. Namun, Masumi belakangan selalu bersikap dingin padanya. Ia tidak pernah lagi menyapa atau menggodanya seperti dulu. Maya teringat saat Ia tidak sengaja bertemu dengan Masumi dan Nona Shiori. Masumi mengabaikannya…

Hati Maya kembali merasa sakit. Mengingat kejadian itu masih terasa mengiris hatinya. Lebih baik Masumi menggoda dan mempermalukannya daripada tidak menghiraukannya seperti itu. Mata gadis itu berkaca-kaca tanpa disadarinya.

 “Maya!! Kau mendengarku tidak??” Teriak Rei di hadapannya yang membuat Maya terkejut dan sedikit terpekik.

“Ma, Maaf, Aku… A, Apa?” Tanyanya kalang kabut, bingung karena pikirannya belum kembali seluruhnya.

“Ada telepon untukmu Maya... dari seorang pria, dia ingin bicara denganmu. Sekarang juga!” sahut Rei sambil menarik kedua tangan Maya agar bangkit dari duduknya.

“Seorang pria...? Ah!!” Maya langsung menghambur ke arah pintu. Menyusuri tangga menuju telepon yang berada di ruang tamu pemilik apartemennya.

Itu pasti dari dia!! Kuharap itu dia!!

“Ha... halo...  di sini Maya.” Katanya dengan terbata-bata, tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.

“Nona Maya, saya Hijiri.” Kata lelaki yang ada di seberang telepon.

“Pak Hijiri, terima kasih sudah menghubungiku.” Jawab Maya, Ia menunggu-nunggu dengan tidak sabar apa yang hendak disampaikan Hijiri mengenai undangannya untuk Mawar Jingga.

“Mengenai tiket yang Anda berikan...” Hijiri berhenti sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. Sedikit ragu-ragu karena dia harus memberikan jawaban yang tidak diharapkan gadis itu.

“Aku telah menyerahkan tiket tersebut dan menyampaikan maksud baik Anda untuk mengundang beliau ke pertunjukanmu. Saya sedang bersama beliau saat ini dan beliau sangat menghargai undangan yang Anda berikan. Tapi, mohon terima permintaan maaf yang beliau sampaikan. Beliau akan datang ke pertunjukan Bidadari Merah namun… Beliau tidak dapat menerima undangan Anda. Sampai saat ini Tuan belum bisa menemui Anda.” Sesaat Hijiri menunggu jawaban Maya. Namun Maya tetap terdiam dan Ia tidak bisa mendengar apapun. Hijiri tahu Maya pasti sangat sedih dan kecewa. Begitu juga Masumi. Hijiri menunggu. Sunyi.

“Nona Maya... “

“Ah… Iya... Saya mengerti...” Jawab Maya, berusaha sekeras mungkin agar dia tidak menangis.

Dia tidak ingin menemuiku sampai saat terakhir. Dia menolakku...

“Beliau selalu mendukung Anda dan senantiasa mendoakan yang terbaik untuk Anda. Jadi lakukanlah yang terbaik karena beliau sangat menantikan Bidadari Merah Anda.”

“Iya…  Aku akan melakukan yang terbaik… Tolong sampaikan rasa terima kasihku kepadanya dan aku... “ Tiba-tiba sesuatu melintas dalam benaknya.

Aku ingin bicara padanya…

 “Pak Hijiri!! Dia ada di sana kan? Dia ada bersamamu?!” Tanya Maya dengan antusias.

“Benar. Saat ini beliau ada bersama saya.” Sekilas Hijiri melihat ke arah Masumi yang sedari tadi memperhatikannya tanpa bersuara.

“Tolong ijinkan saya berbicara padanya... Sebentar saja. Mungkin dia sedang sibuk, namun aku ingin bicara padanya. Dia tidak perlu bicara apapun. Cukup dengarkan aku saja. Kumohon… Bisakah Anda tanyakan padanya Pak Hijiri?” Maya memohon dengan sangat.

Aku harus mengungkapkan perasaanku. Jika memang dia hanya menyukaiku sebagai aktris, tidak mengapa. Sudah cukup untukku walaupun hanya diperhatikan sebagai seorang aktris.

”Baiklah, tunggu sebentar, saya akan bertanya padanya. Saya akan segera kembali.” Jawab Hijiri. Ia tidak bisa menolak permintaan Maya yang terdengar sangat sungguh-sungguh.

Maya menunggu beberapa saat dengan was-was sebelum akhirnya Ia mendengar instruksi dari Hijiri.

“Beliau bersedia mendengarkan Anda. Nona Maya, silahkan Anda tutup teleponnya. Setelah telepon kembali berdering, itu adalah telepon darinya. Kau bisa bicara padanya dan beliau akan mendengarkan tapi tidak akan berbicara ataupun menjawab pertanyaan apapun. Anda mengerti?” Tanya Hijiri.

“Mengerti.” Jawab Maya.

Maya menutup telponnya dengan berdebar-debar. Ia tidak perlu menunggu lama sampai teleponnya kembali berdering dan Maya mengangkatnya dengan gugup.

 “Halo..???!!” Serunya, hampir seperti berteriak dan sudah terlambat baginya untuk menyadari. Maya menutup mulutnya dengan tangan yang satunya.

“Ah... Ma, maaf Mawar Jingga… apakah Anda ada di sana...?”

Tidak ada jawaban apapun.

“Ah… iya… Anda tidak bisa menjawabnya kan ya?” Maya tersenyum canggung, lebih gugup dari sebelumnya.

“A, aku sangat senang Anda mau menerima telponku… Eh, Anda kan yang menelponku… uh, aku, maksudku…” Maya mengutuki dirinya sendiri yang merasa sangat gugup dan bicara tidak karuan.

Tapi itu tidak bisa dihindari. Saat ini dia berbicara dengan Mawar Jingga, kepada Masumi. Hatinya berdebar lebih keras saat Ia membayangkan Masumi mendengarkannya saat ini.

Di sisi lain, Masumi tersenyum simpul, mendengarkan betapa gugupnya gadis itu saat ini.

“Ma, Mawar Jingga. Pak Hijiri sudah menyampaikan bahwa Anda tidak bisa memenuhi undanganku.” Sampai di sini, Maya tiba-tiba merasakan desakan dari rasa kecewa dan sedihnya mulai memenuhi dirinya. “A, aku mohon maaf, seharusnya aku mengerti bahwa Anda sangat sibuk dan aku sudah sangat merepotkanmu. A, aku tidak akan memaksa Anda untuk datang kepadaku. Aku hanya ingin Anda tahu, bahwa aku… aku…”

Maya…

Masumi menelan ludahnya, dia bisa mendengar gadis itu terisak.

“Aku memerankan Bidadari Merah hanya untuk Anda. Mungkin aku tidak akan bisa memerankannya dengan sempurna ataupun memenangkan peran tersebut melawan Ayumi. Namun aku, hanya ingin Anda tahu, bahwa saat aku memerankan Akoya, aku memerankannya untukmu. Hanya untukmu,” Maya terisak.

Maya…

Alis pria itu bertaut kalut, sebelah tangannya meremas kabel telepon dengan keras. Sebuah pikiran mengisi kepalanya.

Haruskan aku bicara sekarang? Mengakui bahwa aku…

Matanya mengambang gelisah.

Tidak, aku tidak bisa melakukannya.

Masumi mengeratkan remasannya pada kabel telpon.

Hijiri hanya mengamati Tuannya yang gelisah dalam diam.

“Jika bukan karena Anda, aku tidak akan ada di sini seperti sekarang ini. Mawar Jingga, a, aku…” gadis itu menarik nafasnya keras. “Cinta…” bisiknya lirih.

Ucapannya berupa bisikan namun efeknya laksana  guntur. Masumi terperangah dan seketika listrik dalam darahnya seakan meningkat ribuan volt.

["Cinta…"]

Kata-kata itu kembali terngiang.

“Ingin bertemu…” lanjut gadis itu, terdengar sangat memohon.

Masumi sudah tidak kuasa lagi mendengarkannya. Ia memberi tanda kepada Hijiri dengan matanya. Cekatan Hijiri mengambil alih.

“Nona Maya,” panggil Hijiri. Didengarnya gadis itu sedang terisak di telpon.

“Pak, Hijiri…” desisnya pelan.

“Mawar Jingga sudah cukup mendengarkan. Beliau berterima kasih untuk telponmu. Semoga kau sukses dengan pertunjukanmu,” kata Hijiri dengan formal.

“Apakah dia marah kepadaku?” tanya Maya khawatir sambil sesegukan.

Hijiri kembali mengalihkan pandangannya kepada Masumi yang saat ini duduk tertunduk di mejanya.

“Tidak, beliau tidak marah kepadamu,” Hijiri menenangkan.

“Sampaikan permintaan maafku kepadanya, a, aku…” Maya kembali terisak, “seharusnya tidak mengatakan hal seperti itu,” lanjutnya.

“Beliau mengerti, Nona Maya,” kata Hijiri walaupun dia sendiri tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi.

Maya menutup telponnya. Tubuhnya merosot ke lantai. Masumi masih tidak bicara dengannya. Lelaki itu, menolaknya. Memang tidak pernah mencintainya seperti itu.

Walaupun Maya sudah tahu, walaupun dia seharusnya sudah siap dengan penolakan pria itu, namun entah kenapa air matanya tidak mau berkompromi. Membasahi kedua matanya, meleleh menyusuri wajahnya yang suram.

Selamat tinggal Pak Masumi, Mawar Jingga-ku, batinnya.

Hijiri mengalihkan pandangannya kepada Masumi setelah dia menutup telponnya. Kali ini Masumi kembali  memandangi lautan dari balkonnya.

“Nona Maya meminta maaf, katanya dia seharusnya tidak mengatakan hal seperti itu…” ucap Hijiri dengan datar, menatap punggung Tuannya.

“Cinta…” Masumi berucap perlahan, “gadis itu mengatakan dia cinta dan ingin bertemu denganku,” terang Masumi.

Bibir Hijiri terbuka tidak percaya. Itukah yang diucapkan gadis kecil itu tadi di telpon sehingga membuat Tuannya galau seperti sekarang?

“Bagaimana ini, Hijiri…” suaranya terdengar pedih dan kalut. “Kenapa semuanya jadi berantakan seperti ini…” ucapnya, “keputusanku, perasaanku…” Masumi mengeratkan kepalannya. “Kenapa gadis itu harus mengucapkan hal-hal seperti itu,” lengan  kokoh pria itu terlihat gemetar.

“Mungkin karena Maya juga merasakan penderitaan yang sama seperti Tuan, perasaannya tersiksa karena mencintai seseorang yang tidak seharusnya dia cintai. Hanya saja,” Hijiri menelan ludahnya tidak kentara, “gadis itu memutuskan untuk mencoba.”

Masumi terhenyak mendengarnya. Lalu tersenyum masam.

Maya… panggilnya sendu.

Kau memang luar biasa, aku sudah kalah olehmu. Kau sudah sepenuhnya menaklukkanku…

=//=

“Kau harus makan yang banyak Maya, tinggal beberapa hari lagi adalah pementasan uji coba Bidadari Merah kan?” anjur Rei.

Maya mengangguk lemah.

“Apakah ada yang kau pikirkan?” tanya Rei lembut.

Maya mengangkat wajahnya. Benar, hanya kepada Rei dia bisa menceritakan isi hatinya saat ini.

“Rei, a, aku sudah mengatakannya, kepada Pak Masumi, kepada Mawar Jingga bahwa aku,” Maya menggigit bibir bawahnya yang gemetar, “mencintainya,” terang Maya.

“Maya…!” Rei terkejut mendengar pengakuan gadis itu. “Lalu? Apakah dia mengatakan sesuatu?” tanya Rei.

Maya menggeleng.

“Aku mengatakannya melalui telpon, dia tidak mengucapkan apa pun,” terang Maya yang kembali menangis. “Seharusnya aku tidak mengatakannya, sepertinya dia marah kepadaku. Rei… aku tidak mau sampai dia marah kepadaku dan meninggalkanku.”

“Maya…”  Rei mengamati sahabatnya tersebut. Sahabatnya yang kini memendam cinta sangat dalam kepada Masumi Hayami. Sungguh tidak dapat Ia bayangkan sebelumnya hal seperti ini bisa terjadi.

“Aku yakin Maya, dia tidak akan marah dan meninggalkanmu. Mencintai bukanlah hal yang buruk. Dan kau tidak melakukkan hal-hal yang tercela karenanya. Mungkin dia tidak bisa membalas cintamu, tapi dia pasti berterima kasih kau mempunyai perasaan seperti itu kepadanya.” Rei  menepuk kepala Maya.

“Lagipula, bagaimana pun dia penggemar setiamu. Jika dia tidak meninggalkanmu saat kau sedang terpuruk, aku yakin dia tidak akan meninggalkanmu hanya karena kau jatuh cinta kepadanya.” Rei tersenyum menenangkan.

Maya menatap sahabatnya yang tampan. Ucapannya sedikit menenangkan dirinya.

“Terima kasih,” bisiknya lirih.

=//=

Maya mengusap peluh yang memenuhi seluruh tubuhnya dengan handuk. Dia sudah berlatih sangat keras belakangan karena sebentar lagi pementasan uji coba Bidadari Merah akan dilaksanakan.

[“Aku benci kau yang tidak bisa berakting!”]

Kata-kata itu terus terngiang di benak Maya. Saat Masumi datang kepadanya dengan membawa Mawar Jingga dan menghina penggemarnya tersebut. Awalnya Maya bingung dengan apa yang Masumi perbuat. Namun lambat laun Maya mulai mengerti. Itu adalah caranya menyemangati Maya. Pria itu ingin agar dirinya tidak terus-terusan terpuruk karena perasaannya dan berjuang dengan maksimal untuk memerankan Bidadari Merah.

Aku akan melakukannya Pak Masumi, demi Anda… Aku akan melakukannya. Akan kubuat kau terpesona dan merasa bahwa Bidadari Merah ini benar ada. Walaupun kau tidak bisa mencintaiku sebagai seorang wanita, namun aku tidak mau kau membenciku. Tidak mau…

Tekad Maya.

“Maya!” Panggil Sakurakoji yang melemparkan sebuah kaleng soft drink saat gadis itu menoleh. Dengan cekatan Maya menangkapnya.

“Tangkapan yang bagus!” Puji Sakurakoji.

“Terima kasih,“ Maya tersenyum lebar.

Keduanya makan siang di sebuah meja bersamaan. Bisik-bisik mengenai kedekatan keduanya kembali terdengar.

Sakurakoji…

Maya memandangi Sakurakoji yang makan dengan lahap di sampingnya. Belakangan ini keduanya kembali dekat. Maya berpikir untuk memberikan kesempatan kepada pemuda itu. Dan Sakurakoji masih menunggu, menunggu sampai Bidadari Merah selesai dipentaskan. Sampai Maya memberikan jawaban atas cintanya selama ini.

Namun hati Maya tidak juga bergeming untuk balas mencintai seperti pemuda itu mencintai dirinya. Terlalu banyak rasa terima kasih yang dimilikinya untuk bisa menolak pemuda itu, namun rasa cintanya sudah habis dipersembahkan bagi si Mawar Jingga. Maya menunduk dan memakan makan siangnya dengan kurang lahap.

Maafkan aku, Sakurakoji. Aku tidak bisa membohongi perasaanku dan tidak ingin mengorbankan perasaanmu. Aku… mencintai Mawar Jingga dan hanya dia. Aku tidak bisa menerimamu.

Maya menghela nafasnya berat. Andai saja Sakurakoji lebih brengsek dari ini, andai saja Sakurakoji memberinya seribu alasan untuk ditolaknya. Namun Maya sama sekali tidak punya alasan menolak pemuda itu, selain kenyataan bahwa dia tidak mencintainya dan hanya bisa mencintai Masumi Hayami.

“Tidakkah kau pikir Akoya yang Maya mainkan terasa semakin pilu setiap kali kita melihatnya?” Tanya salah satu kru pada sejawatnya saat mereka menyaksikan latihan Maya dan Sakurakoji.

“Iya, benar, hatiku merasa tersayat setiap saat melihat mereka berlatih adegan perpisahannya,” yang lainnya membenarkan.

“Kiriman bunga untuk Maya Kitajima!!” Seru seseorang.

Dengan cepat Maya menoleh dan berlari ke arahnya.  Ditemukannya Hijiri yang berdiri di sana dengan membawa buket mawar jingga tercintanya.

Pak Hijiri!

“Selamat malam Nona, sepertinya sedang sibuk,” sapa si pengantar bunga basa basi.

“Selamat malam. Untukku?” tanya Maya. Matanya tidak lepas memandang buket bunga tersebut.

“Benar, dari penggemar Anda. Dia mendoakan yang terbaik untukmu dan dia nanti akan datang menyaksikan pertunjukanmu.” Si pengantar bunga menyerahkan buket tersebut.

Sebuah senyum bahagia terulas di bibir Maya.

“Apakah dia tidak marah akan perkataanku kemarin?” tanya Maya khawatir, saat kembali mengangkat wajahnya menatap Hijiri.

Hijiri terdiam sebentar lalu menggeleng.

“Beliau sangat berterima kasih untuk perasaanmu, namun…”

“Aku mengerti,” tetesan air mata sekuat tenaga ditahannya, “aku mengerti. Aku tidak menuntut apa-apa darinya. Tolong sampaikan. Aku hanya ingin dia datang ke pertunjukanku dan melihatnya sampai akhir. Aku hanya ingin dia melihat hasil latihanku selama ini.” Gadis itu tersenyum pilu namun penuh tekad.

Nona Maya…

“Dia pasti akan datang,” Hijiri meyakinkan. “Apapun yang terjadi, dia tidak akan mengingkari janjinya kepadamu. Dia sudah menantikan hari ini sangat lama,” Hijiri tersenyum.

Pak Masumi tidak marah kepadaku, dia tidak membenciku. Pak Masumi… Benar… jika Pak Masumi tidak membalas perasaanku, tidak apa… Asalkan dia datang ke pertunjukanku dan melihatnya sampai selesai, aku sudah bahagia. Pak Masumi…

“Terima kasih, terima kasih,” akhirnya air mata gadis itu menetes juga namun bibirnya menggaris bahagia.

=//=

Hari yang dinanti-nantikan pun tiba. Malam ini adalah saatnya bagi Maya untuk menunjukkan Bidadari Merahnya. Sehari sebelumnya, Ayumi berhasil menampilkan sosok sang Bidadari yang begitu cantik luar biasa. TIdak hanya wajahnya, tubuhnya pun bergerak dengan indahnya. Setiap orang seakan-akan disuguhi tarian dan nyanyian setiap kali Ayumi bergerak dan membaca dialog. Tiada kata yang cukup pantas untuk mengungkapkan bagaimana indahnya Bidadari yang disajikan Ayumi.

Bahkan saat Akoya pada akhirnya berpisah dengan Ishin, setiap orang bisa melihat betapa besar pengorbanan dari keduanya. Mengorbankan cinta mereka demi sesuatu yang lebih besar. Demi kelangsungan hidup orang lain. Ayumi berhasil membuat setiap orang tidak rela melihat kepergiannya karena setiap penonton sudah dibuatnya jatuh cinta pada Akoya.

Maya mengamati para penonton dari balik panggung. Ada Pak Masumi beserta Nona Shiori. Para anggota Persatuan Drama Nasional dan Bu Mayuko, Pak Genzo serta tamu-tamu penting lainnya. Di sebuah kursi, tepat di depan Masumi, ada sebuah bangku dengan buket Bunga Mawar Jingga tergeletak di sana. Kursi yang Maya persembahkan untuk penggemar setianya itu, kini hanya kursi kosong. Dia lebih memilih datang sebagai Masumi Hayami, Direktur Muda Daito sekaligus tunangan dari Shiori Takamiya.

Shiori sempat melihatnya, kursi kosong yang hanya terdapat buket Mawar Jingga itu. Tunangannya tersebut ternyata masih mengirim Mawar Jingga kepada Maya. Hati wanita itu gelisah. Tidak pernah perasaannya segelisah hari ini. Ditatapnya Masumi yang tampak tidak mnghiraukan keadaan di sekitarnya. Hanya terdiam mengantisipasi kapan mulainya pementasan tersebut.

Masumi… Masumi… apakah aku masih belum berhasil? Apakah Mawar jingga di hatimu belum juga layu? Bukankah kau berjanji akan melupakannya? Kau berjanji tidak akan berdiri di pihak gadis itu lagi dan menjadi suamiku. Bukankah itu yang pernah kau katakan? Namun kenapa kau masih juga mengiriminya Mawar Jingga?

Hati wanita itu menjerit. Namun dia tidak sanggup bertanya. Masumi sudah bersikap sangat dingin belakangan ini kepadanya. Sejak pria itu tahu bahwa dia mencoba bunuh diri untuk mencegah pertemuannya dengan Maya. Pria itu memang setuju untuk melupakan Maya dan menikah dengannya, namun Shiori malah diperlakukan sangat dingin. Masumi tidak pernah menelponnya atau menanyakan kabarnya. Tidak pernah berpura-pura ramah atau berpura-pura menyukai sesuatu seperti dulu.

Pernah saat keduanya berkencan, Masumi tidak melontarkan sepatah katapun. Saat Shiori menanyakan alasannya, Masumi hanya berkata bahwa tidak ada yang menarik yang ingin dibicarakannya. Shiori menangis dan pergi, namun Masumi tidak mengejarnya.

Akhirnya lampu diredupkan dan layar mulai terangkat. Berpasang-pasang mata menunggu, penuh rasa penasaran dan ingin tahu Bidadari Merah seperti apa yang akan ditampilkan Maya malam itu.

Semua orang merasa terkejut, dan takjub. Saat Maya pertama kali muncul sebagai Bidadari Merah. Dia terlihat sangat jauh, sangat agung dan tidak terjangkau. Saat Bidadari Merah mulai berbicara, suaranya terdengar mistis. Begitu lembut namun mengguncang. Bulu kuduk meremang saat mendengarnya berbicara. Seakan-akan suaranya muncul dari dunia lain.

Caranya bergerak tidak dapat dijelaskan. Itu bukanlah gerakan manusia. Kakinya berjalan seperti meluncur, mengawang. Gerakan tangannya, lehernya, bukan tarian juga bukan gerakan awam. Setiap gerakannya seakan-akan menggerakkan alam. Tangannya membuat angin berhembus, matanya membuat api membara dan kakinya membuat air mengalir.

Saat Bidadari Merah mengeluarkan amarahnya, pandangannya mengitari para penonton seakan mencari siapa tersangka perusak buminya tercinta. Para penonton dibuatnya takut, ngeri dengan kuasanya. Mereka tidak merasakan ini dari Bidadari Merah Ayumi. Keberadaannya sangat kuat, perbedaan kedudukan Bidadari Merah dan manusia sangat mencolok. Mereka bukan lagi penontonnya, namun hanya menjadi manusia jelata di hadapan sang bidadari nan suci. Hanya sekumpulan makhluk penuh dosa dan tak tahu terima kasih.

Itu bukan Maya. Itu adalah Bidadari Merah. Bidadari Merah yang sesungguhnya. Bidadari Merah yang menampakkan dirinya di hadapan mereka saat ini. Itulah keyakinan dari para penonton. Dia begitu cantik sekaligus menakutkan. Penuh kekuatan sekaligus lemah lembut dan welas asih.

LIhatlah aku Mawar Jingga, aku akan membuatmu terpesona dari awal hingga akhir. Lihatlah persembahanku untukmu, Mawar Jinggaku, Pak Masumi Hayami…

Masumi tidak mampu memalingkan tatapannya. Semuanya menjadi nihil baginya. Hanya ada Maya, Bidadari Merah di matanya. Dia begitu terpesona. Pesona yang menariknya semakin dalam terjerumus memuja sosok yang berdiri kini di hadapannya. Entah si Mungil, Maya Kitajima atau Bidadari Merah. Sosok itu telah membuatnya bahkan tidak rela untuk berkedip barang sedetikpun.

Maya, buatlah aku terpesona seperti yang selalu kau lakukan dan menangkanlah taruhanku…

Kemudian Akoya muncul, terlihat sangat ceria dan polos. Mimiknya begitu penuh kasih saat berhadapan dengan Ishin. Maya dan Sakurakoji membuat setiap penonton merasa terbuai dengan kata-kata memadu syahdu yang dilontarkan untuk satu sama lain. Belum lagi tatapan keduanya yang begitu penuh cinta. Kadang keduanya hanya berakting dengan gerak dan mimiknya saja namun bisa menyampaikan kedalaman perasaan mereka kepada penonton. Keduanya berhasil meyakinkan bahwa belahan jiwa itu memang ada.

Masumi menontonnya dengan perasaan cemburu membakar hatinya. Mereka terlihat begitu saling jatuh cinta. Masumi tidak rela, wajahnya berubah dingin dan menyeramkan. Shiori yang duduk di sebelahnya, mengamati dengan mimik terkejut. Kenapa tunangannya bisa terlihat sangat cemburu seperti itu? Padahal tidak pernah sekalipun pria itu cemburu kepadanya, bahkan Shiori tidak yakin bahwa laki-laki itu pernah benar-benar peduli kepadanya.

Menonton Bidadari Merah hari ini, Shiori mengerti, kenapa Maya begitu istimewa bagi tunangannya. Sebagai seorang aktris dan sebagai seorang wanita. Dia pun telah terpesona oleh kehandalan akting Maya hari itu yang muncul sebagai seorang Bidadari di hadapannya, setelah sebelumnya sempat memukaunya dengan peran sebagai Jean si gadis serigala. Gadis itu memang luar biasa.

Dan kini, Shiori menyaksikan cinta yang membara dan bergelora antara Ishin dan Akoya, hatinya iri kepada kedua tokoh tersebut. Yang saling mencintai dengan begitu tulus dan dalam. Pernahkah Masumi mencintainya sedalam itu? Akankah dia merasakan manisnya cinta seperti yang diperlihatkan Ishin dan Akoya kini di hadapannya? Sebagai manusia, sebagai seorang wanita, Shiori pun ingin mengecap kebahagiaan. Dulu dia yakin dia akan mendapatkannya selama ada Masumi di sampingnya, namun sekarang dia tak lagi yakin. Hatinya hanya dipenuhi keresahan.

Sekali lagi dipandanginya Masumi yang masih terpesona dengan pementasan Bidadari Merah tersebut. Keberadaannya di hati pria itu sungguh kecil dan tidak berarti. Alangkah bodohnya dia, memaksakan kehendaknya selama ini dan hanya membuat dirinya sendiri tetap terikat dalam ketidakbahagiaan.

Saat adegan perpisahan sebagai klimaks pertunjukan Bidadari Merah dimainkan, di sana diperlihatkan Akoya yang kembali ke wujud aslinya sebagai Bidadari Merah. Gadis yang sudah berhari-hari kehilangan kekuatannya karena tidak dapat lagi mendengarkan suara para dewa, kini harus menghadapi kematiannya sendiri, di ujung kapak kekasihnya.

Ishin menyadari bahwa dia yang ingin mengembalikan kedamaian di bumi, harus mengorbankan kekasihnya, belahan jiwanya untuk misi yang diembannya. Ishin berontak, menolak. Namun kekasihnya, Akoya, membimbingnya dengan tangannya sendiri untuk menumbangkan pohon plum abadi di hadapannya yang tidak bukan adalah tempat bersemayam roh kekasihnya tersebut.

Menebaskan kapak ke batang pohon itu laksana menebaskan kapak ke tubuh Akoya, kekasihnya tercinta.

“Ishin, lakukanlah tugasmu, Kekasihku. Kau tidak membunuh, kau menghidupkan. Kau menghidupkan harapan jutaan makhluk bumi agar tercipta kedamaian. Tebaslah pohon ini, ambillah kayunya dan pahatlah menjadi patung pembawa kedamaian. Jalankan misimu dan aku dengan rela mati di tanganmu, Kekasihku…”

“Tidak, Akoya… Aku sungguh tidak sanggup,” lengan lelaki itu gemetar memegang kapak yang pasti terjatuh andai Akoya, yang berdiri di belakang Ishin, tidak menopangnya, tidak membantunya memegang kapak tersebut. “Aku tidak ingin kehilangan dirimu, aku lebih baik mati…”

“Tidak ada yang lebih baik dari kehidupan, Kekasihku. Aku tidak akan mati, tidak akan pergi, tidak akan meninggalkanmu. Aku akan terus hidup dalam hatimu,” tangan Akoya membantu Ishin mengangkat kapaknya tinggi-tinggi.

Krak!!!

Kapak itu tertancap.

“Akoya…!!” Seru Ishin, menoleh pada Akoya di belakangnya.

Nafas gadis itu terengah, perlahan tapi pasti darah mengalir merembes dari pinggangnya. Ishin belum melihatnya.

“Benar, Ishin, seperti itu, kau pasti bisa melakukannya,” gadis itu tersenyum menyembunyikan kesakitan yang dialaminya, sekali lagi Akoya membantu Ishin mengangkat kapaknya.

Krak!!!

Dan sekali lagi kapak itu menembus lapisan batang pohon plum abadi. Wajah Akoya memucat dan darah yang keluar semakin banyak hingga mengalir membasahi tubuhnya. Saat itulah Ishin melihat darah yang membanjiri tanah. Ishin menoleh dan didapatinya Akoya yang sekarat.

“Tidaaakk!!!” serunya, “Akoya!! Akoya!!” Ishin memeluk Akoyanya erat. Dirabanya perut gadis itu dan darah yang tidak berhenti mengalir.

Gadis itu sekarat, namun tetap tersenyum. Ishin menyandarkannya ke batang pohon plum tersebut, nafasnya terengah-engah.

“Ishin, ingatlah aku, jika kau mengingatku, berarti aku masih hidup. Selama kau masih mengingatku maka aku akan tetap hidup dalam hatimu dan cinta kita akan abadi,” tangan berdarah Akoya mengusap pipi kekasihnya yang dibanjiri air mata.

Sekilas Maya menatap pada Masumi dan pandangan keduanya bertemu.

Selamat tinggal Pak Masumi…

Masumi merasakan jantungnya berdebar hebat dan tercabik-cabik. Ada sesuatu dari cara gadis itu memandangnya. Masumi yakin Maya menatap ke arahnya.

Apakah gadis itu mengucapkan selamat tinggal kepadaku? Apakah dia…

Perasaan perih itu terus merayapi hati Masumi. Semakin lama semakin dalam rasanya. Perasaan perih yang merupakan wujud dari ketidakrelaannya.

Perpisahan tidak pernah mudah. Apalagi saat harus berpisah sebelum sempat bersatu, seperti yang dialaminya kini.

Masumi mengepalkan tangannya sangat erat sampai-sampai ujung-ujung kukunya yang pendek menusuk ke telapaknya. Tidak, dia tidak akan pernah rela. tidak akan pernah rela melepaskan gadis itu dari pelukannya. Tidak akan pernah rela membiarkan jalan hidupnya tidak bersentuhan dengan jalan hidup Maya.

=//=

Layar kembali diangkat dan tepuk tangan yang menggema malam itu kembali terdengar. Maya melangkah ke depan saat nama dan perannya disebutkan.

“Maya Kitajima sebagai Akoya!”

Setiap yang melihatnya yakin yang berdiri di sana adalah Akoya. Para penonton itu tidak bisa berhenti bertepuk tangan setelah sebelumnya gedung seakan ditelan kesunyian, tak seorangpun bergeming saat layar ditutup. Sampai kesadaran kembali pada tempatnya masing-masing. Sejak saat itu tepuk tangan mulai terdengar dan tidak bisa dihentikan.

Semua sudah tahu siapakah pemenang antara Bidadari Merah yang diperankan Ayumi dan Maya. Ayumi sendiri harus mengakui, bahwa Maya adalah Bidadari Merah yang sebenarnya. Tidak ada iri ataupun dengki, yang ada hanyalah rasa kagum.

Maya maju ke tengah panggung, membungkuk anggun penuh rasa berterima kasih kepada penontonnya. Dipandanginya orang-orang yang ada di sana dan tersenyum lembut penuh kasih.

Sekuntum mawar jingga melesat dari arah penonton, terjatuh tepat di dekat kaki Maya. Maya tertegun, lantas memungutnya.

Mawar Jingga…

Gadis itu memandangi bunga tersebut penuh cinta, lantas mengecupnya takjub. Maya mengangkat pandangannya. Mencari sesosok pria yang sangat dicintainya. Dia tahu Hijiri yang telah melemparkan bunga itu untuknya. Tapi Matanya lantas terpaku pada si Direktur Daito yang dingin dan gila kerja, Masumi.

Pria itu juga sedang menatapnya terpesona. Perlu waktu beberapa detik sampai dia menyadari sang Bidadari kini sedang memandangnya. Jantungnya berdegup keras dan tubuhnya menggigil  secara tiba-tiba saat pandangannya dan Maya saling memasung satu sama lain.

Maya…

Masumi yakin gadis itu pun menggumamkan namanya barusan. Aliran darah pria itu semakin deras dan dia tidak berkutik saat gadis itu tersenyum samar namun hangat kepadanya. Berbagai pertanyaan dalam relung hatinya seakan mendapat jawaban. Gadis itu tahu siapa dia. Dan gadis itu, juga mencintainya.

Tiba-tiba perasaan yang pernah terjadi di lembah plum juga terjadi lagi malam itu. Jiwanya terasa ringan, melayang. Roh seakan terlepas dari raga, mencari pasangan jiwanya yang satunya lagi.

Aku mau kemana?

Kesunyian meliputinya. Semuanya kosong. Jiwanya bergerak ke suatu arah, ke suatu tempat. Dilihatnya dari kejauhan ada jiwa lainnya yang terlihat terang, berbinar, menghampirinya. Maya.

“Kekasihku…!!!” Seru keduanya, bergema. Saling memeluk erat jiwa polos satu sama lain.

Terasa sangat hangat dan damai. Tidak ada satu suara pun. Kini dua kutub yang berbeda telah saling bertemu, gelap dan terang sudah menjadi satu.

Lantas keduanya terpaksa saling melepaskan.

“Kekasihku!” Seru si wanita, memegang erat lengan si lelaki yang juga tidak rela dipisahkan. Namun keduanya sudah harus berpisah lagi kini. Sekuat apa pun genggaman tangan mereka, ada kekuatan lain yang menuntut mereka dijauhkan.

“Aku mencintaimu, Maya…!” seru lelaki itu saat ujung jemari mereka bersentuhan terakhir kali. “Aku mencintaimu!!!”

Deg!!!

Masumi terhenyak. Yang barusan itu, apa?

Dia sedang berdiri sekarang, diantara para penonton yang bagai terhipnotis, belum berhenti memberikan sambutan meriah kepada Maya, si Mungil-nya.

Masumi kembali menatap Maya, yang juga terlihat sama terpana dengan dirinya.

Maya… gadis itu, apakah dia mengalami yang baru saja kualami? Merasakan yang baru saja kurasakan?

Tirai merah kembali turun. Namun Maya dan Masumi tidak kunjung saling melepaskan tatapan masing-masing.

Maya… aku ingin melihatmu, jangan pergi…

Batinnya.

Tirai itu terus turun menghalangi keduanya dan kini menutup rapat. Memisahkan kembali dunia mimpi dan dunia nyata.

“Masumi!!!” Shiori menggoyang-goyangkan lengan pria itu yang tidak menghiraukannya. Dia menyeru berkali-kali namun telinga pria itu seakan pekak akan panggilannya.

Masumi memalingkan wajahnya pada gadis anggun di sebelahnya. Kepalanya hanya dipenuhi Maya, hanya menginginkan untuk melihatnya lagi. Dia bahkan tidak bereaksi apapun seakan tidak mengenali Shiori.

Maya…! Maya…! Aku merindukanmu… aku ingin bertemu denganmu, Kekasihku.

“Maafkan aku,” katanya, Masumi lantas melepaskan genggaman Shiori dari lengannya dan Masumi melangkah pergi setengah berlari setelah mengambil buket bunga dari tempat duduk di depannya.

“Masumi!!!” panggil Shiori. Namun seperti sebelum-sebelumnya, pria itu sama sekali tidak menghiraukannya.

Shiori terburu-buru beranjak meninggalkan tempat duduknya mengikuti Masumi. Namun di pintu keluar, tangannya tertahan.

“Nona Shiori.”

Wanita itu memalingkan wajahnya. Mizuki adalah yang memanggilnya barusan.

“Kau pasti sudah tahu,” ujar Shiori, “kau sudah lama tahu bahwa Masumi dan gadis itu…”

“Benar, Nona Shiori,” Mizuki tidak mengelak. “Pak Masumi tidak akan mampu mencintai wanita lain. Dari dulu hatinya hanya untuk Maya Kitajima. Nona Shiori, sebaiknya Anda mulai memikirkan kebahagiaan Anda sendiri. Kebahagiaan yang tidak akan Anda dapatkan apabila Anda memaksakan kehendak Anda kepada Pak Masumi,” tutur Mizuki.

Shiori terlihat gemetar, meremas sapu tangannya gelisah. Saat itu kepala rumah tangganya yang setia datang menghampiri.

“Nona, kemana Tuan Masumi?” tanyanya.

“Ayo pulang Bi,” ajak Shiori.

“Pulang? Bukankah sebaiknya kita menunggu Tuan Masumi?” si bibi terlihat bingung dengan ucapan Nonanya.

“Bi, tolong… jangan sebut-sebut namanya lagi, jangan pernah menyebut nama itu lagi,” pinta si cucu milyuner berlinangan air mata.

“Nona Shiori…”

Akhirnya Shiori berlalu pergi dengan diikuti kepala rumah tangganya dan tatapan penuh simpati dari Mizuki.

=//=

“Maya, kau benar-benar hebat!” Seru orang-orang di belakang panggung, “Apa kau dengar tepuk tangan itu? Itu untukmu, Maya. Kau benar-benar luar biasa.”

Gadis itu hanya memandangi orang-orang di sekitarnya. Tidak bisa mengerti ucapan mereka. Dia hanya mendengar sebuah panggilan untuknya.

[“Kekasihku…!]

Pak Masumi… aku ingin melihatmu, ingin melihatmu lagi. Yang tadi terjadi, bukan mimpi kan? Pak Masumi…

“Maya, selamat, aku yakin kau—” belum selesai ucapan Sakurakoji, gadis itu berlalu mengabaikannya. Mengangkat kimononya berlari meninggalkan bagian belakang panggung.

“Maya kau mau kemana?!!” Seru Sakurakoji.

Masumi berlari dengan cepat. Tujuannya adalah ruang ganti. Ingin menemui Maya secepatnya. Namun langkahnya berhenti perlahan saat dilihatnya sesosok bayangan tampak mendekat sebelum kemudian sosok aslinya muncul. Bidadari Merah. Berlari kecil ke arahnya.

Masumi berhenti. Menunggu. Bidadari itu akhirnya menyadarinya. Dia juga menghentikan langkahnya. Keduanya kembali saling berpandangan dengan nafas sama tidak teraturnya.

Pak Masumi…

Panggilnya dalam hati. Maya melihat apa yang ada dalam genggaman pria itu. Mawar Jingga. Maya ingin sekali menyebut nama pria itu namun suaranya sama sekali tidak keluar. Mereka hanya bisa terpaku dan membisu. Sedikit demi sedikit melangkah mendekat pada satu sama lain.

“Hari itu… saat Akoya pertama kali melihatmu, Akoya tahu, bahwa kau adalah belahan jiwa seperti apa yang selalu diceritakan nenek…” tiba-tiba saja Maya mengucapkan dialog Akoya untuk Ishinnya.

“Maya…” bisik Masumi, mendesau seperti angin, hampir tidak terdengar.

Dia hanya mematung dan jantungnya berdetak keras mendengarkan dialog pernyataan cinta Akoya yang diucapkan oleh Maya kepadanya. Gadis itu berjalan semakin dekat kepadanya.

“Kau adalah diriku yang satunya dan aku adalah dirimu yang satunya. Kita adalah gelap dan terang yang menjadi satu. Lupakanlah nama, status dan masa lalumu,” air mata mulai membasahi pipi gadis itu, “dan jadikanlah Akoya milikmu…”

Pria itu terdiam, terpana. Masih merasa tidak percaya bahwa gadis itu mengucapkan kalimat tersebut kepadanya. Masumi lantas menjulurkan sebelah tangannya kepada Maya.

Pak Masumi…?

Maya mengamati tangan itu lantas kembali menatap wajah pujaannya dengan tidak percaya.

Masumi tersenyum. Teduh dan penuh cinta.

Setengah berlari, Maya menghempaskan dirinya ke dalam pelukan Masumi dan pria itu merengkuhnya. Hangat dan damai, seperti yang mereka rasakan sebelumnya.

“Maya…” panggil pria itu, memeluknya semakin erat.

“Pak Masumi…” dan Maya menyurukkan wajahnya semakin dalam.

“Aku mencintaimu… sangat mencintaimu.” Ucap pria itu pada akhirnya.

Bagaikan dialiri gelombang listrik, Maya terkejut. Dia mengangkat wajahnya, mengamati wajah pria itu. Mencari kebenaran di sana dan hanya itu yang didapatinya.

“Anda…”

“Aku mencintaimu, Maya. Sangat mencintaimu,” ucapnya, hampir seperti berseru, takut gadis itu tidak mendengar atau tidak mengerti ucapannya.

“Aku juga…” jawab Maya, “Pak Masumi, aku juga, sangat mencintaimu,” ulangnya sambil tersenyum bahagia.

Masumi menyerahkan buket bunga yang dibawanya dan Maya menerimanya dengan rona bahagia memenuhi wajahnya.

“Untukmu. Aku adalah penggemarmu sejak pertama kali melihat pentasmu Maya,” aku Masumi.

Maya menengadahkan kepalanya, tersenyum manis, “terima kasih,” ucapnya, menatap kedua bola mata Masumi bergiliran.

Masumi menghapus air mata Maya dengan kedua ibu jarinya, mendekap wajahnya dengan telapaknya yang lebar. Meyakinkan dirinya bahwa semuanya bukan mimpi. Dia benar-benar merasakan kulit gadis itu di kulitnya, suhu gadis itu yang memanas di telapaknya. Pria itu merendahkan dirinya, ingin mengecup bibir bidadarinya.

Masumi lantas mendekatkan bibirnya pada bibir Maya dan mengecupnya perlahan dengan penuh cinta dan kasih sayang. Saat keduanya berpisah, Maya dan Masumi saling memandang sedikit malu, wajah keduanya memerah saga. Namun tersenyum bahagia.

Maya kembali memeluk Masumi.

Di balik punggung Masumi, Maya melihat ada seseorang di sana. Hijiri. Pria setia itu tersenyum penuh makna kepadanya lantas mengangguk permisi dengan sopan.

Sedangkan di sisi yang lain, berusaha menyembunyikan dirinya, Sakurakoji masih tidak percaya dengan apa yang disaksikannya barusan.

Hah? Maya… dan Pak Masumi??

Dipandanginya kedua makhluk beda jenis tersebut. Sekarang mengertilah Ia. Pria yang selama ini dicintai Maya dengan segenap hatinya, penggemar setianya, si Mawar Jingga adalah Masumi Hayami. Sakurakoji tahu dia sudah tidak punya harapan lagi. Sudah sejak lama dia kalah dari pria itu. Sakurakoji mengepalkan tinjunya erat-erat. Pahit.

Semoga kau bahagia Maya. Ini adalah jalan yang kau pilih. Semoga kau bahagia dengan pilihanmu.

Doanya. Pemuda itu lantas memutar badannya dan berlalu pergi.

Keriuhan di dalam gedung sudah mulai berkurang. Lalu terdengar pengumuman mengenai akan diadakannya pesta syukuran. Keduanya tertegun.

“Aku harus kembali,” kata Maya.

“Aku juga,” kata Masumi.

Sekian lama tidak ada yang bergeming diantara keduanya sebelum kemudian dengan enggan menjauhkan tubuh masing-masing. Wajah keduanya masih merona merah saat tersenyum pada satu sama lain.

“Katakan sekali lagi bahwa kau mencintaiku,” pinta Masumi. Dipandanginya kembali wajah gadis itu.

“Aku mencintaimu,” ucap Maya.

Wajah pria itu berbinar. Dia mengecup kening kekasihnya sebelum berbisik.

“Kembalilah kau ke tempatmu. Kita akan bertemu lagi nanti. Dan saat itu tiba, aku akan menjadikanmu milikku, Akoya,” ucapnya.

Maya berdebar mendengar ucapan Masumi. Gadis itu mengangguk dan keduanya berpisah menuju tempatnya masing-masing namun dengan keyakinan keduanya akan segera bertemu lagi. Dan kali ini, tidak akan ada yang bisa memisahkan mereka. Sepasang belahan jiwa di dunia nyata.


<<< Final Story ... End >>>
                                                  
 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting