Sunday 30 January 2011

Fanfic TK: The Wish Ch. 2

Posted by Ty SakuMoto at 18:55 26 comments
THE WISH
(Chapter 2) 


Sebuah langkah kaki yang terdengar semakin mendekat membuyarkan Masumi dari lamunannya, Ia menoleh untuk melihat siapa yang berjalan ke arahnya dan jantungnya berdegup keras melihat Maya di sana, dengan sebelah tangan menggosok matanya. Masumi mencoba meyakinkan dirinya kalau itu bukan hanya khayalannya semata. Akhirnya Ia tahu bahwa itu bukan hanya imajinasinya saja saat Maya menyadari keberadaannya dan tampak sama terkejutnya

"Ada apa? kau kenapa?" Tanya Masumi khawatir melihat Maya berkeliaran sendirian dan sudah mengganti lagi pakaiannya.

"Pak Masumi…?" Sama seperti Masumi, Maya pun tidak mengira dapat menemukan Masumi di sana.

"Aku… mmm…" Maya mencoba mengatur perasaannya setelah apa yang dilihatnya di dalam kamar tersebut terasa menghancurkan hatinya beberapa saat lalu.

"Aku benar-benar berterima kasih atas semua yang sudah Anda lakukan hari ini untukku… Aku merasa benar-benar seperti mimpi." Ucap Maya, melakukan usaha terbaiknya untuk tetap tersenyum.

"Tapi waktu bagi Cinderella sudah habis… Dan saya akhirnya kembali ke wujud saya semula…" Maya mulai merasakan desakan dari dalam dadanya untuk menangis lagi.

"Ini kukembalikan semua yang telah Anda berikan!! Mohon Anda terima." Maya membungkuk sambil menyerahkan tas berisi barang-barang yang dibelikan Masumi sebelumnya.

Tanpa berkata apa-apa Masumi mengambil tas tersebut, Ia masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.

"Dan ini…" kata Maya sendu, mengeluarkan sesuatu dari sakunya.

"Kunci kamar itu… saya tidak dapat menempati kamar tersebut…" Kata Maya, menjulurkan tangannya yang berisi kunci kepada Masumi.

"Lagipula yang seharusnya menempati kamar tersebut adalah Anda, Pak Masumi…" tambahnya.

Masumi meletakkan gelasnya di atas pagar pembatas pinggiran dek dan menerima kunci tersebut dengan hampa.

"Anda tidak perlu khawatir, saya akan tidur di sofa, tidak apa-apa kok, saya akan baik-baik saja karena saya sudah terbiasa seperti itu," Lanjut Maya, berusaha menenangkan namun perasaan sedih dalam hatinya semakin berkecamuk.

 "Lagipula… Kamar itu dipesan untuk Pak Masumi dan Nona Shiori, jadi aku… tidak mungkin tidur di kamar itu…" Maya tidak kuasa lagi membendung air matanya. Air matanya terasa mulai menggenang.

Masumi terhenyak melihat ekspresi Maya.

Maya…?

"Terima kasih banyak!!" Maya membungkukkan badannya dan segera berbalik, khawatir genangan di matanya mewujud menjadi tetesan rasa sakit hatinya.

Masumi sadar bahwa hal yang ditakutinya akhirnya terjadi juga.

Dia sudah tahu…

"Tunggu!!!" Sergah Masumi tanpa pikir panjang.

Kau salah paham… Kau harus tahu kebenarannya…. Ini tidak seperti yang kau pikirkan…

"Kau salah paham…! Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi..!" Jelas Masumi cepat, menyaringkan suara yang ada di kepalanya.

Maya terdiam mematung, merasa heran karena Masumi tiba-tiba saja menjelaskan hal tersebut kepadanya. Perlahan Maya membalikkan badannya. Masumi melanjutkan penjelasannya.

"Aku tidak pernah memesan kamar tersebut. Akupun awalnya naik ke kapal ini tanpa mengetahui apa-apa. Shiori yang telah mengatur semuanya sebagai kejutan. Mungkin karena aku terlalu sibuk bekerja..." papar Masumi. 

Semua hal tersebut keluar begitu saja dari bibirnya, Masumi sendiri tidak tahu kenapa.

Apa yang kukatakan? mengapa aku menjelaskan semua ini kepadanya?

Namun Masumi meneruskan penuturannya tanpa bisa dihentikan lagi. Tubuhnya seakan bergerak sendiri tanpa ia kehendaki.

"Tadinya aku juga hendak meninggalkan kapal ini..." Jelas Masumi.

Ia membalikkan badannya, memegang pagar pembatas ujung dek dengan erat.

"Sebelum kau akhirnya tiba-tiba muncul di hadapanku... " ungkapnya.

Baik Maya ataupun Masumi sama-sama terkejut dengan penjelasan itu. Keduanya mematung beberapa saat sebelum akhirnya masumi melanjutkan ucapannya.

"Aku juga tidak pernah berniat untuk menempati kamar tersebut..." lanjutnya.

Masumi menggenggam erat kunci tersebut di tangannya. Dia sudah mengatakan semua yang ada di pikirannya dan dia tidak menyesal. Untuk sebuah alasan, Masumi ingin agar Maya mengetahui kebenarannya.

Tanpa ragu Masumi kemudian melemparkan kunci kamar tersebut ke lautan.

"Pak Masumi!!!" seru Maya terkejut saat melihat tindakan Masumi yang diluar dugaannya.

Di dalam lubuk hatinya, Masumi merasa lega. Entah mengapa dia merasa bahwa kunci tersebut adalah sebuah simbol pengkhianatan. Dia ingin tetap setia. Ingin agar Maya tahu bahwa kesetiaannya sampai kapanpun akan menjadi milik gadis itu. Walaupun itu hanyalah sebuah kesetiaan dalam hati Masumi yang tidak pernah diketahui eksistensinya oleh gadis pujaannya tersebut, namun bagi Masumi itu merupakan hal yang sakral. Kesetiaan adalah satu-satunya yang bisa Ia persembahkan bagi gadis yang sejak lama bersemayam di hatinya dan Masumi tidak ingin Maya meragukannya walau hanya sedikit.

Maya yang terkejut dengan tindakan Masumi sempat berpikir apakah mungkin Masumi juga memiliki perasaan yang sama kepada dirinya sebagaimana perasaannya kepada Masumi. Namun keraguan kembali menyergapnya saat Ia teringat siapa dia dan siapa Masumi, serta wanita yang menjadi saingannya untuk mendapatkan cinta Masumi.

Mustahil... Mana mungkin... Dia adalah Direktur Daito dan usianya lebih tua 11 tahun di atasku. Terlebih lagi, dia sudah mempunyai tunangan yang cantik dengan berbagai kelebihannya. Sedangkan aku...

Maya kembali tenggelam dalam kesedihannya.

Masumi mengamati gadis itu yang tampaknya sedang memikirkan sesuatu. Masumi merasakan angin malam semakin kencang. Ia meraih mantelnya yang berada di atas pagar pembatas ujung dek dan memasangkannya di kepala Maya. Maya sedikit terkejut dan menoleh kepadanya.

"Pakailah, angin malam ini sangat dingin dan kencang. Jangan sampai kau sakit." Katanya tanpa melihat Maya, khawatir gadis itu mengetahui perasaannya. 

Maya terdiam, dia bisa mencium aroma Masumi di mantel tersebut. Rasa hangat membaur di wajahnya. Perlahan Maya mendekati Masumi.

"Pak Masumi... bolehkah aku tetap berada di sini? di samping Anda?" tanya Maya ragu ragu, khawatir Masumi akan keberatan dengan keberadaannya.

"Tentu saja, memang tidak ada tempat lain, bukan?" Jawab Masumi sebelum Ia menoleh pada Maya dan tersenyum ramah.

"Lagipula kita berdua memang sama-sama tidak punya kamar..." lanjutnya.

Sesaat Maya dan Masumi terdiam sebelum lantas tertawa bersama-sama. Keduanya menertawakan keadaan mereka yang ironis, berada di kapal Mewah Astoria, dengan sebuah kamar megah namun mereka malah harus berkeliaran di luar.

"Tidak apa, kau tenang saja, akan ada banyak sofa untuk kita tempati nanti di Public Area," Terang Masumi.

"Apa kau mau pergi tidur sekarang, Mungil? " tanya Masumi.

"Anda sendiri?" Maya menatap Masumi.

"Bolehkah aku berkata jujur padamu?" Kata Masumi setelah terdiam sesaat. 

Maya mengangguk.

"Aku belum mau tidur. Karena dengan tertidur, malam akan cepat berlalu dan aku..." Masumi menghentikan ucapannya.

Tidak ingin momen ini segera pergi...

Masumi tersenyum kepada Maya tapi tidak meneruskan ucapannya. Dia mengalihkan pandangannya ke lautan luas yang tampak tenang.

Maya menatap Masumi, mencoba menebak isi pikirannya, tapi tidak bisa.

Pak Masumi...?

Masumi meraih gelas yang tadi diletakkannya di atas pagar dek dan meminum tegukan terakhir wiski yang berada di dalam gelasnya. Maya menoleh dan melihat botol wiski yang ada di atas meja, dengan isi yang tinggal setengahnya. 

Pak Masumi pasti sudah banyak minum. Apakah Anda memikirkan hal yang berat, Pak Masumi?

Terka Maya dalam hati, rasa khawatir mengusik hatinya.

"Pak Masumi, Anda minum sebanyak itu, apa tidak mabuk?" Tanya Maya kembali mengalihkan pandangannya pada Masumi yang berdiri di sampingnya.

"Tidak... setidaknya, belum... Aku punya toleransi sangat tinggi pada minuman keras, jadi aku tidak mudah mabuk dan biasanya pengaruh alkohol akan bereaksi lambat padaku." Jelas Masumi.

"ehhh~ aneh sekali... kenapa aku tidak begitu??" Kata Maya tampak berpikir.

Masumi tertawa melihat mimik Maya yang serius.

"Pak Masumi, apa Anda pernah naik kapal pesiar sebelumnya?" Tanya Maya lagi. 

Entah kenapa malam ini Maya diliputi banyak keingintahuan. Ia ingin lebih mengenal sosok Masumi.

"Menurutmu?" Masumi balik bertanya. Sebuah senyum simpul terulas di sana.

"Mana mungkin aku tahu... Pernah atau tidak?" Ulang Maya.

"Aku 'kan ingin mendengar pendapatmu, apakah menurutmu aku pernah atau tidak naik kapal pesiar?" Masumi balik bertanya.

"Bisakah Anda menjawabku tanpa bertanya lagi, Pak Masumi? Anda kan tinggal bilang iya atau tidak, itu 'kan tidak sulit?" Maya mulai terdengar kesal.

"Kau sendiri? Bukankah kau baru saja melakukan hal yang sama? Menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan." Ujar Masumi dengan gaya menyebalkan andalannya.

"Aa.. aku..... aku kan... Aahh~!!!" Seru Maya putus asa. 

Maya membuang wajahnya. Masumi tergelak.

"Ini pelayaran Astoria pertamaku. Aku pernah beberapa kali menaiki kapal pesiar, tapi buka untuk liburan, biasanya pergi menemani kolega untuk membicarakan bisnis dengan santai atau menegosiasikan sebuah urusan bisnis." Terang Masumi.

"Tuh tidak sulit 'kan... hanya tinggal menjawab seperti itu saja...!" Sungut maya.

"Kau ini... sudah kujawab kenapa masih marah?" Goda Masumi.

"Habis... Anda...." Maya kehabisan kata-kata. Masumi kembali tertawa.

"Dengan kolega? Apakah dengan kapal pesiar seperti ini juga?" Sekali lagi Maya berbalik memandang Masumi dan kembali bertanya.

"Menurutmu?" Masumi tersenyum jahil.

"Aaahh cukuupp... Anda kan tinggal menjawab saja!!" Seru Maya frustasi.

Masumi kembali tergelak.

"Tidak, ayahku punya satu dua kapal pesiar pribadi, tidak sebesar kapal ini tentu saja..." jawab Masumi.

"Aahh.. seharusnya sudah bisa kuduga..." Cibir Maya. Masumi hanya tertawa.

"Tapi... ketimbang menaiki kapal pesiar..." Kata Masumi, Ia mengalihkan pandangannya pada Maya.

"Aku lebih suka menaiki sebuah sampan... di danau yang tenang... mendayung di tengah-tengah danau yang airnya memantulkan kehangatan sinar matahari sore hari..." Suara Masumi terdengar tenang dan penuh nostalgia. 

"Kenapa begitu?" tanya Maya, tidak menyadari bahwa yang Masumi maksudkan adalah ketika mereka berdua mendayung di danau di taman tempat Maya dan teman-teman teaternya mengadakan pertunjukan terbuka 'Mimpi di Malam Musim Panas'.

"Bukan hanya karena apa yang kulakukan, tapi juga dengan siapa aku melakukannya..." Masumi tersenyum penuh arti.

Maya tertegun tapi tidak bisa menebak maksud Masumi. Masumi lantas berbalik menuju meja tempat botol wiskinya berada. Ia hendak meletakkan gelasnya yang kosong. Maya mengamati punggung masumi yang membelakangingya. Terlalu banyak hal mengenai Masumi yang Ia tidak mengerti.

"Ah!!!" Maya tiba-tiba berteriak saat Masumi meletakkan gelasnya.

Masumi dengan sigap segera berbalik dan wajahnya tampak waspada. Namun dilihatnya Maya tengah memejamkan mata dengan kedua tangan terkepal di dadanya.

Masumi melangkah menghampirinya. Tidak berapa lama kemudian, Maya membuka matanya. Dengan pandangan heran masumi masih menatapnya. Maya tiba-tiba tersenyum lebar.

"Bintang jatuh... " katanya dengan berseri-seri.

"Oh.. hahaha..." Tawa Masumi terdengar lega.

"Jadi, apa yang kau minta? Apakah kau berhasil memohon sesuatu kali ini, Mungil?" Tanya Masumi.

"Aku tidak tahu... Tadi aku langsung memejamkan mataku... aku tidak tahu apakah keinginanku sah atau tidak. Karena aku mengatakannya dengan sangat cepat 'kumohonagarmawarjinggamemperolehkebahagiaannya!!!'. Aku juga mengucapkannya berulang-ulang..." Kata Maya polos, mempraktekkan caranya memohon. 

Masumi kembali tertawa.

"Apakah menurutmu permohonanmu akan terkabul, Mungil?" Masumi kembali memandangi lautan yang tampak tidak berbatas.

"Entahlah..." Jawab Maya ragu-ragu.

"Hanya Mawar Jingga yang akan mengetahui jawabannya bukan? Apakah dia merasa bahagia atau tidak, aku tidak akan mengerti." Kata Maya.

"Tapi apapun itu yang bisa membahagiakannya, aku berharap dari dasar hatiku. Dia akan mendapatkannya." Ucap Maya sungguh-sungguh.

Masumi untuk beberapa saat, merasa tersentuh dengan perkataan Maya.

Terima kasih, Maya...

"Mawar Jingga-mu ini..." kata Masumi, tidak menyadari imbuhan-mu yang tidak sengaja Ia tambahkan membuat Maya sedikit malu.

"...menurutmu dia orang yang seperti apa, Mungil?"

Eh??!

Maya tertegun sesaat. Masumi menunggu, menanti jawaban Maya.

"Eh?... mmmhh... kurasa..." Maya berpikir beberapa saat.

"Aku tidak mengenalnya secara pribadi.. namun... aku sangat yakin dia adalah seseorang yang sangat baik hati. Kalau tidak, dia tidak mungkin melakukan semua yang telah dia lakukan untukku..."ujar Maya.

"Sedangkan mengenai seperti apa dia secara fisik... mmhh... " Maya kembali memikirkan apa yang akan diucapkannya.

"Dulu, kupikir mungkin dia adalah seorang kakek tua. Temanku Rei pernah bilang, mungkin aku mirip cucu perempuan Mawar Jingga yang sudah meninggal. Dia tidak tahan dengan aku yang bodoh dan tidak bisa apa-apa ini sehingga dia memutuskan untuk membantuku..." kata Maya. Masumi tergelak.

"Aku malah pernah memberikannya selimut penghangat lutut..." kenang Maya malu-malu.

Masumi tersenyum, dia tahu apa yang Maya maksudkan.

"Aku akan sangat malu kalau ternyata dia tidak setua yang kubayangkan dulu." Pipi Maya terlihat merona.

"Kurasa dia akan mengerti, Mungil. Bahwa kau hanya ingin menyampaikan rasa terima kasihmu, dan dia pasti sangat menghargai hadiah darimu tersebut." Masumi tersenyum.

"Benarkah??" Tanya maya degan mata yang berbinar.

"Kurasa demikian. Jika tidak, dia pasti sudah mengembalikannya kepadamu melalui kurirnya atau orang suruhannya." Kata Masumi sambil tertawa.

Maya ikut tertawa.

"Anda benar..." Kata Maya kemudian. Lega.

"Ada juga temanku yang mengatakan, mungkin aku mirip putrinya yang sudah meninggal, atau mirip mantan kekasih lamanya yang sudah meninggal... Apapun itu selalu dihubungkan dengan sesuatu yang tragis atau orang yang sudah meninggal..." Maya mengerucutkan bibirnya.

Masumi tidak tahan untuk tidak tergelak.

"Dulu aku memang sering bertanya-tanya seperti apa dia. Saat selesai pentas aku akan memandangi setiap penonton dan bertanya dalam hati: 'mungkinkah itu orangnya? atau orang itu? atau yang itu?...'" tutur Maya.

"Tapi sekarang tidak... sekarang..." Maya menengadahkan kepalanya menatap Masumi.

"Sekarang aku tidak peduli orang seperti apa dia... aku tidak peduli siapa dia. Bagiku dia akan selalu menjadi orang yang paling penting di hatiku, penggemar satu-satunya yang kuinginkan untuk menonton pentasku. Asal aku tahu beliau ada sebagai salah satu penontonku... aku... bahagia..." Kata Maya.

"Maka aku akan berakting sebaik-baiknya hanya untuk dia. Agar dia tidak akan pernah pergi meninggalkanku." Lanjutnya. Maya menatap Masumi.

Masumi terdiam dan balik menatap Maya beberapa saat. Ia melihat ketulusan dan kesungguhan di mata gadis itu. Masumi tersenyum lembut.

"Dia pasti sangat senang mendengarnya..." kata Masumi dengan tulus.

"Benarkah?? Aku sangat senang kalau memang begitu..." ungkap Maya berseri-seri. 

Maya memandang Masumi dengan perasaan gembira. Dulu, melihatnya saja Maya merasa benci dan takut, tapi sekarang tidak, hanya dengan berdiri di sebelahnya saja dia sudah merasa sangat bahagia.

Kenapa hanya berbicara dengan Pak Masumi saja hati ini merasa sangat senang? Terasa begitu alami. Padahal dia adalah orang yang pernah kubenci sekian lama. Tapi kini, dengan berada di sampingnya saja aku merasa sangat bahagia...

Maya menengadahkan kepalanya. Maya ingat saat dia berperan Jean si gadis serigala, melihat manusia-manusia yang berdiri dengan kedua kakinya dan tidak dikenalnya terasa menakutkan, manusia-manusia itu seperti menyeringai kepadanya. Maya berpikir mungkin dulu begitulah apa yang Ia rasakan pada Masumi.

Pak Masumi... seperti apakah dunia yang ada dalam pandanganmu? Seperti apakah perasaanmu yang sesungguhnya? Aku ingin tahu... Aku ingin mengenalmu...

Maya lantas mengamati sisi pembatas dek. Spontan, dia menaiki pagar tersebut.

"Aaa..kh!!" Serunya. Maya sempat merasa limbung dan kehilangan keseimbangan beberapa saat.

"Mungil, apa yang kau lakukan??!!" Seru Masumi terkejut, dia langsung meraih Maya untuk menjaganya agar tidak terjatuh, tangannya meraih pinggang Maya. Maya dengan spontan memegang pundak Masumi. 

"Kenapa kau selalu melakukan sesuatu yang ber..." Ucapan Masumi berhenti seketika saat Ia mengangkat wajahnya dan mendapati Maya memandanginya.

Maya, gadis itu tengah mengamati wajahnya. Masumi tidak mengerti apa yang ada dalam benak gadis itu, tapi tampaknya Maya sangat serius dan sedang hanyut dalam pikirannya sendiri. Masumi membiarkan gadis itu mengamatinya. 


Illustration credit : Mary Regina Alacoque (thx sista. Loph U <3)
 

Begitu maya mengangkat kepalanya--setelah tubuhnya ditahan oleh tangan Masumi--dan menatap wajah pria tersebut, gadis itu terkejut. Atau lebih tepatnya, TERPANA. Baru kali ini dia melihat wajah Masumi yang sejajar dengan wajahnya. Benar-benar sejajar. Keingintahuan lantas mengambil alih otaknya, membuat Maya melupakan sopan santun dan dia terus mengamati wajah asing yang sudah lama dikenalnya yang saat ini berada di hadapannya.

Maya mengamati rambut Masumi yang bergelombang ditiup angin, tebal dan tampak lembut. Beralih pada dahinya yang seakan menegaskan bahwa Ia kini sedang berhadapan dengan seorang pria yang memiliki tekad kuat dan cerdas. Beberapa saat mengamati dahinya, Maya mengalihkan perhatiannya pada alis, pada hidung Masumi yang tinggi dan tulang pipi pria tersebut. Seketika pipi Maya merona, dia menyadari bahwa lelaki yang ada di hadapannya adalah seorang pria yang sangat tampan. Hatinya mulai berdebar, Maya mengeratkan pegangannya di bahu Masumi.

Maya lantas mengamati bibir Masumi dan rahangnya yang tegas. Maya tidak pernah menyadari bahwa laki-laki yang ada di hadapannya sangat menarik. Maya segera mengerti kenapa setiap wanita bisa tergila-gila dan memuja-muja sosoknya walaupun mereka hanya dianggap seperti kol dan lobak olehnya. 

Beberapa saat Maya hanya mengamati wajah Masumi seperti hendak mengingat setiap detail dari wajah pria tersebut, mencoba menyerap informasi sebanyak-banyaknya seperti tidak akan pernah ada kesempatan lain lagi.

Tidak... dia tidak menakutkan...

Maya lantas menatap mata Masumi. Mata yang selama ini kadang terlihat begitu mengganggu baginya, namun sering kali tampak kesepian. Tapi tidak kali ini. Ada sesuatu... Sesuatu yang lain dari pancaran mata yang biasa dilihatnya. Kedua mata itu tampak berbeda. Maya mencari tahu apa itu. 

Saat ini, mata Masumi tampak lembut... dan hangat. Namun perlu beberapa lama bagi Maya untuk menyadari apa yang menjadi objek kedua mata tersebut sehingga membuatnya tampak seperti itu: DIRINYA.

Deg!!

Pak Masumi....

Akhirnya Maya sadar bahwa untuk beberapa waktu, dia dan Masumi tengah saling bertatapan, dengan jarak yang tidak jauh, dengan level pandangan yang sama. Jantung Maya memacu lebih cepat dan tidak terkendali. Maya menjadi gusar, tapi dia tidak dapat melepaskan pandangannya dan malah memperat pegangannya di bahu Masumi. Selain itu Maya mulai menyadari sesuatu. Jarak wajahnya dan wajah Masumi semakin mendekat.

=//=

Masumi mengeratkan pegangannya pada pinggang Maya. Gadis itu, entah kenapa, tengah mengamatinya dengan sangat sedari tadi. Masumi tidak ingin bertanya. Dia hanya diam, membiarkan Maya asyik mengamati wajahnya.

Namun ternyata Masumi terjebak dengan keputusannya sendiri. Membiarkan gadis itu mengamatinya malah membuatnya semakin tidak ingin melepaskan diri darinya. Ia ingin gadis itu lebih mengenalnya dan memandanginya lebih lama. Ada deburan kecil di hati Masumi yang terasa semakin deras saat pegangan Maya semakin erat dan pandangan keduanya bertemu.

Masumi, masih sangat sadar. Dan dia tahu dia dengan sadar, mulai mengharapkan gadis itu dan menginginkannya.

Maya kumohon... katakan sesuatu atau aku... aku akan...

Tatapan gadis itu memerangkap jiwanya dan membuat Masumi tersesat di dalam bola matanya. Sambil terus memandang Maya, Masumi mulai merasakan suhu dan frekuensi tarikan nafasnya yang meningkat. Perlahan Masumi mengurangi jarak di antara mereka.

Maya... berontaklah, tolaklah aku... sebelum aku melakukan sesuatu yang bodoh...

Mohon Masumi dengan panik dalam hatinya. Tapi Maya hanya diam saja, dan Masumi semakin terkejut saat pandangan gadis itu kembali turun dari mata Masumi menyusuri tulang hidungnya dan kemudian ke bibirnya...

Maya baru saja hendak menutup matanya saat angin malam berhembus sangat kencang dan membuat mantel Masumi yang berada di atas kepala Maya terjatuh ke lantai dek.

Bruk!!!

Maya dan Masumi terhenyak bersamaan. Tubuh keduanya mematung. Dengan sangat cepat, jiwa kedua orang itu kembali pada dirinya masing-masing.

Apa yang baru saja kulakukan? Apakah aku hendak menciumnya...? Tapi gadis ini.... Apakah gadis ini...

Masumi tidak percaya dengan apa yang baru saja hampir terjadi dan Maya tidak kalah paniknya. Seluruh badannya kaku seperti bongkahan kayu.

Apakah aku... aku... barusan hendak menutup mataku dan mengharapkan Pak Masumi menciumku??...

=//=

Seperti biasa, di antara keduanya, logika Masumi bergerak lebih cepat.

Tanpa berkata apa-apa Masumi memegang kedua sisi pinggang Maya dan menurunkannya dari pagar pembatas ujung dek.

"Kau ini kenapa selalu melakukan sesuatu yang berbahaya." Kata Masumi datar.

Masumi lantas memutari Maya dan memungut mantelnya yang terjatuh sambil berusaha menenangkan hati dan fikirannya serta berusaha mencerna apa yang baru saja hampir terjadi di antara mereka.

Maya...

"Maaf... Aku tidak bermaksud membuatmu takut, kurasa wiski yang kuminum sebelumnya mulai mempengaruhiku..." Kata Masumi seraya memasangkan kembali mantelnya kali ini di pundak Maya. Bohong.

Maya terhenyak.

Maaf...?

Maya menganggukkan kepalanya dan mengeratkan mantel Masumi di tubuhnya. Ia pun masih berusaha menenangkan diri, walaupun rona merah jambu tidak kunjung hilang dari wajahnya.

Jadi yang barusan, memang sebuah kesalahan...

Rasa sedih menggores di hati Maya.

"Mungil... Gaun dan sepatu itu kau simpan saja ya..." Kata Masumi tiba-tiba.

"Eh...?" Maya tertegun, tidak yakin dengan apa yang didengarnya.

"Anggaplah itu hadiah untukmu. Kau mau menerimanya 'kan?" lanjut Masumi meyakinkan.

"Baiklah. Saya juga sebenarnya sangat menyukai gaun tersebut, Pak Masumi." Jawab Maya.

 Perasaan Maya menjadi berbunga-bunga.

"Baguslah." Masumi tersenyum lembut.

"Sebaiknya kita segera tidur Mungil, malam semakin larut dan anginnya semakin kencang." Kata Masumi.

Dan sebelum aku benar-benar mulai kehilangan kendali... Batinnya.

Maya hanya mengangguk.

=//=

Maya mengikuti Masumi turun ke dek dasar, menuju sebuah Public Area berupa taman dengan tema alam tropis. Di sana banyak kursi dan meja bagi para penumpang untuk duduk-duduk dan menikmati suasana. Juga terdapat banyak sofa-sofa yang tampak nyaman. Saat itu tidak ada siapapun di sana selain mereka berdua.

Masumi memeriksa beberapa sofa, menekan-nekannya sebelum akhirnya merasa puas dengan sebuah sofa.

"Kau tidurlah di sini, sofanya terasa nyaman dan hangat." Kata Masumi sambil mengatur bantalnya untuk Maya tiduri.

Maya menghampirinya dan duduk di atas sofa tersebut. Bahkan hanya dengan mendudukinya saja Maya sudah dapat mengkonfirmasikan ucapan Masumi.

"Baiklah, selamat malam Mungil, aku akan tidur di sofa itu..." Masumi menunjuk sebuah sofa yang berada tidak jauh di sebelah sofa yang ditempati Maya.

Pandangan Maya mengikuti telunjuk Masumi. Ia lalu mengangguk.

"Aku harus membersihkan diriku dulu. Kau tidurlah Mungil. Selamat Malam, " ucap Masumi sambil tersenyum.

"Terima kasih Pak Masumi, selamat malam..." ucap Maya.

Masumi tersenyum sebelum berbalik. Maya mengamati punggung Masumi beberapa saat sebelum mulai membaringkan dirinya. Maya berfikir kalau sofa itu memang terasa sangat nyaman. Bahkan lebih nyaman dari futon yang biasa ditidurinya di rumah kontrakannya. 

Maya menarik mantel Masumi menutupi tubuhnya. Aroma tubuh Masumi tiba-tiba tercium sangat jelas di hidungnya. Ia merasa seakan-akan Masumi sedang memeluknya. Wajah Maya kembali merona dan debaran yang sempat hilang kembali datang.

Pak Masumi...

Itu adalah kata terakhir yang terngiang di benaknya sebelum Maya akhirnya terlelap.

 =//=

Masumi mendapati Maya sudah tidur saat Ia kembali. Wajahnya terlihat sangat damai dengan sebelah tangannya berada di dalam mantel dan sebelahnya lagi tergeletak di atas bantal di samping wajahnya.

Gadis ini terlihat semakin mungil saat sedang terlelap dan ditutupi mantelku seperti ini...

Masumi mengamatinya beberapa saat, lalu mendekatinya. Masumi mulai kembali bertanya-tanya dimana semangat membara dan keberanian besar yang dimiliki gadis kecil ini bersembunyi.

Maya... untung kau tidak lebih mempesona dari ini... kalau tidak, aku tidak akan mampu berkutik lagi...

Masumi kembali teringat kejadian beberapa saat sebelumnya, saat Ia hendak mencium Maya dan Ia yakin bahwa Maya hendak menutup matanya.

Maya...

Deburan itu kembali muncul di hati Masumi.

Tidak... Itu pastilah hanya perasaan sesaat anak ini... Dia hanya terbawa suasana.

Masumi berusaha meyakinkan dirinya. Menyangkal sesuatu yang sangat ingin dipercayainya karena dia terlalu takut barharap.

Benar, seperti saat berada di kuil di lembah plum... itu hanya perasaan sesaat anak ini. Aku tidak boleh menganggapnya serius... Benar 'kan, Maya...?

Wajah Maya tiba-tiba terlihat tidak nyaman, kedua alis matanya berkerut. Menggigil.

Kedinginan...?

Masumi berlutut di hadapannya. Hati-hati, dia mengangkat telapak tangan Maya yang berada di atas bantal. Masumi membungkus dan menghilangkannya di balik kedua telapak tangannya yang lebar.

[Aku berharap Mawar Jingga memperoleh kebahagiaannya, Aku ingin agar Mawar Jingga bahagia..]

Maya... Masih bolehkah aku... mengharapkan sebuah kebahagiaan...?

Perlahan tangan Maya yang dingin mulai terasa hangat. Wajah Maya kembali terlihat tenang. Masumi tersenyum lembut melihatnya. Dengan hati-hati Masumi memasukkan tangan Maya ke dalam mantel dan menaikkan mantel tersebut sampai ke dagunya.

Masumi merendahkan badannya dan mendekatkan wajahnya pada wajah Maya.

"Selamat malam, Mungil... Semoga kau bermimpi indah dan mimpimu menjadi kenyataan." bisiknya dengan lembut di telinga Maya.

Masumi kemudian beranjak dan menuju ke sofanya. Dengan menggunakan jas sebagai selimut, Masumi berusaha untuk tidur.

Malam itu, Maya mengulang kembali kejadian selama berada di Astoria di dalam mimpinya. Hanya saja, dalam mimpinya tidak ada angin yang berhembus kencang dan mantel yang terjatuh. Dalam mimpinya, di serambi dek Masumi mencium bibirnya dengan lembut sebelum kemudian berbisik mesra di telinganya, 'Selamat malam, Sayang... semoga kau bermimpi indah dan mimpimu menjadi kenyataan...'.
 
Dalam tidurnya, seulas senyum bahagia menghias wajah Maya.

=//=

Malam akhirnya berlalu dan matahari pagi mulai menebarkan kehangatannya ke belahan bumi di mana Maya dan Masumi berada. Sinar matahari pagi yang menerobos jendela-jendela membangunkan Maya dari mimpi indahnya. Sambil memicingkan matanya yang belum terbiasa, Maya bangkit dari pembaringannya.

Maya mengintip ada sesuatu yang luar biasa di luar sana, Ia segera bergegas keluar.  Saat membuka pintu menuju geladak Astoria, Maya terkesiap, Ia melihat sesuatu yang mengagumkan yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya dan membuat Maya terpukau.


Sangat luar biasa….

Tiba-tiba Maya teringat Masumi, ingin agar pria itu juga bisa melihat keindahan yang berada di hadapannya saat ini.
  

Pak Masumi harus melihat ini!


Maya segera kembali ke dalam public area dan membangunkan Masumi yang masih tertidur diselimuti jasnya.


“Pak Masumi! Pak Masumi! bangun!! Ayo bangun cepat!!” Maya menggoncang-goncangkan tubuh Masumi.


Goncangan tersebut segera mengembalikan Masumi dari alam mimpinya.


“Ngg… Ada apa?” gumam Masumi masih antara sadar dan tidak.


“Ayo cepat!!” Maya mulai menarik-narik tangan Masumi agar beranjak dari sofanya yang nyaman.


Masumi masih berusaha mengumpulkan nyawa saat Maya menarik Masumi untuk mengikutinya.


“Ayo ikut Pak Masumi, cepat!” Ajak Maya penuh semangat.


Maya melingkarkan tangannya di lengan Masumi. Mungkin gadis itu terlalu bersemangat sampai-sampai dia tidak menyadari bahwa bahasa tubuhnya yang sederhana itu sudah mampu membuat Masumi merasakan detak jantungnya meningkat berkali-kali lipat.

“Lihat Pak Masumi, lihat itu…” Tunjuk Maya sesampainya di sisi kapal.


Akhirnya Masumi mengerti apa yang ingin gadis itu perlihatkan padanya. Di horizon, sang raja pagi memancarkan sinarnya yang berkilau keemasan, mengecat langit pagi menjadi kemerahan, memantul di seluruh permukaan laut dan membuat alam sekelilingnya turut berkilauan. Sinarnya menghangatkan sekitarnya dan juga geladak kapal Astoria tempat keduanya berada sekarang.


“Luar biasa… Langitnya berwarna kemerahan. Mataharinya juga tampak besar dan megah. Sangat indah… ” Kata Maya terkagum-kagum.


“Kau benar…” Masumi tersenyum lembut, merasakan sinar hangat yang meraba permukaan wajahnya.


Masumi mengamati Maya yang wajahnya juga tampak berseri-seri terterpa sinar matahari pagi. Ada sesuatu yang asing tumbuh di sudut hati Masumi.


“Aku mengajak Anda untuk melihat ini. Ini pertama kalinya aku melihat matahari terbit seindah ini. “ kata Maya dengan berbinar-binar.


“Anda menyukainya Pak Masumi?” Maya menengadahkan kepalanya memandang Masumi.


Masumi menganggukkan kepalanya pelan. Ia lalu menoleh pada Maya.


“Terima kasih, Mungil.” Kata Masumi tulus.


Masumi bisa merasakan kehangatan yang menyeruak masuk ke pori-porinya. Hatinya turut merasakan kehangatan itu. Melihat pemandangan yang sangat indah di pagi hari, dengan Maya di sampingnya. Masumi merasa begitu tenang dan damai. Semua perasaan berat yang menghimpitnya semalam terasa tidak berbekas lagi. Perasaan yang asing, tapi Masumi menyukainya.


["Permohonanku agar Mawar Jingga memperoleh kebahagiaannya. Aku berharap agar dia selalu merasa bahagia."]


Bahagia?? Mungkin ini yang dinamakan bahagia? Kehangatan dan kedamaian yang meluapi hatiku ini… namanya kebahagiaan?


Masumi menatap Maya yang masih mengamati indahnya langit pagi itu.


Mungkin berharap pada bintang jatuh bukan hal yang percuma... Maya?


“Syukurlah Pak Masumi juga menyaksikannya. Aku sangat senang…” Ucap Maya dengan gembira.


Masumi tertegun.


Kenapa kau mengucapkan kata-kata dan hal-hal seperti itu di hadapanku? Terkadang aku tidak mengerti dirimu. Bukankah kau membenciku? Benar kan?


Masumi terpaku, tidak tahu harus berpikir apa. 


Maya… Bolehkah aku kembali berharap bahwa suatu saat aku akan memperoleh kebahagiaanku? Merengkuhmu dalam pelukanku dan mendengarkan kalimat cinta untukku terucap dari bibirmu?

Maya menyadari Masumi sedang menatapnya, gadis itu balik menatap Masumi dan tersenyum padanya. Perasaan hangat semakin meluap dalam hati Masumi. Saat itulah Masumi menyadari bahwa api cintanya pada Maya tidak mungkin padam dan dian harapan sudah kembali menyala dalam hatinya tanpa bisa diredupkan lagi.
  
 >>> The Wish. END <<<


**Akhirnyaaaa sesuai janjiku... sampai melihat matahari di geladak kapal Astoria. Kelanjutannya bisa dibaca di betsuhana 19 .. hiks terharu akhirnya tamat juga**
 
PS: Minna, kalau diamati, pagar pembatas ujung dek di Astoria sebenarnya ngga punya sekat buat dinaiki Maya. Cuma dulu pas aku bikin ceritanya, aku salah nginget-nginget, pembatas dek kapalnya ketuker sama Titanic, Lols. Jadi anggaplah Astoria yang di sini ada sekatnya yaa..XD. Terima kasih untuk sis Regina yang udah bersedia ngebuatin ilustrasinya di tengah2 kesibukannya dan bahkan menyelesaikannya jauh-jauh hari sebelum aku sempet nulisin adegannya. Lols... Thankz <3



 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting