Thursday 29 September 2011

Fanfic TK: Birthday Gift

Posted by Ty SakuMoto at 11:17 26 comments
Setting: Bayang-Bayang Jingga 6 setelah selesai pentas Jane dan sebelum pemberian penghargaan Festival Seni.


Birthday Gift




Braaak!!!

Pintu Direktur Daito itu terbuka dengan kasar.
“Nona!! Nona!! Anda tidak boleh masuk!!” Kata seorang sekretaris.
Masumi mengangkat wajahnya dari dokumen yang sedang dibacanya.

“Wah... wah... wah... ada apa calon Bidadari Merah datang berkunjung ke Daito?” sebuah seringai terlihat di wajah pria tampan bernama Masumi Hayami.
“Jangan pura-pura!! Kau pasti sudah tahu maksud kedatanganku!!” Seru Maya yang kedua tangannya sedang ditahan oleh seorang pegawai.
“Sudah lepaskan dia,” perintah Masumi. “Jane sudah jadi manusia sekarang, pasti sudah jinak dan tidak akan menggigit sembarangan lagi, iya kan?” ejek Masumi sebelum kembali tertawa.
“Mau bertaruh?!!” Maya menggeram.
Masumi kembali terbahak dan gadis mungil itu sangat kesal melihatnya.
“Tidak apa-apa, kalian keluarlah!” Perintahnya kepada para bawahannya.
Walaupun ragu, mereka akhirnya keluar, meninggalkan Maya dan Masumi berdua saja.
“Selamat ya Mungil, Jane Gadis Serigalamu berhasil masuk sebagai nominasi di penghargaan festival drama nasional. Aku mendoakan yang terbaik untukmu,” kata Masumi, memutari mejanya.
“Jangan bohong!!!” Seru Maya, menatap kesal. “Aku tahu kau tidak mengharapkanku memenangkan penghargaan itu dan kembali bersaing dengan Ayumi untuk Bidadari Merah, benar kan?!”
Masumi hanya tersenyum mendengarnya dan tidak mengatakan apa pun.
“Ngomong-ngomong, kau belum mengatakan apa tujuanmu ke sini, Mungil?” Masumi menyalakan rokoknya.
“Jangan pura-pura! Aku sudah tahu apa rencana jahatmu!” kecam Maya.
“Rencana jahat yang mana?” tanya Masumi, ringan. “Aku punya banyak rencana jahat, jadi aku tidak tahu rencana jahat yang mana yang kau maksud.” Pria itu kembali menyeringai.
“Ka, kau?!!” Maya tergagap.
“Benar kan? Apa pun yang kulakukan, kau pasti menganggap aku punya rencana jahat,” ada kesedihan yang tersembunyi di balik kata-kata pria itu.
Maya terlihat gemetar, menahan marah.
“Seorang produser datang kepadaku, menawariku bermain drama untuk Daito musim gugur yang akan datang,” Maya mengeratkan rahangnya. “Itu adalah waktu untuk pementasan percobaan Bidadari Merah. Anda pasti tahu kan?! Anda yang menyuruhnya menawariku kan?!!” Mata gadis itu menatap Masumi nanar.
“Benar, ada yang salah?” tanya Masumi dingin. “Kau sangat berbakat, aku ingin kau main di drama kami. Ceritanya bagus dan perannya juga menarik.”
“Tapi kau! Berpikir aku tidak akan mampu memenangkan penghargaan dan bersaing dengan Ayumi untuk memerankan Bidadari Merah, iya kan?!” desak Maya. “Karena itu kau sengaja menawariku peran ini agar aku mau mundur dari Bidadari Merah!!”
“Kau salah, Mungil,” pria itu menatap lurus-lurus. “Aku yakin kau termasuk aktris yang diunggulkan untuk memenangkan penghargaan festival seni.”
“Tapi kau tidak yakin aku mampu memerankan Bidadari Merah!!” Maya menyerang.
Masumi tidak mengatakan apa pun dan hanya senyuman misterius menggaris di bibirnya.
“Menyebalkan!! Ingat ini baik-baik! Aku akan membuktikan bahwa aku bisa memerankan Bidadari Merah! Lihat saja!!” Tekad Maya.
“Jangan terburu-buru, Mungil. Coba pikirkan baik-baik tawaranku.”
“Tidak perlu!!” Maya memperlihatkan wajah muak.
“Yah, terserah saja, kau yang rugi!” Masumi mengepulkan asap rokoknya.
“Ingat ini baik-baik, Pak Masumi. Kau pasti akan terkagum-kagum padaku yang memerankan Bidadari Merah! Kau akan menyesal sudah menghinaku selama ini!” Seru Maya.
Entah penghinaan yang mana yang Maya maksud, tapi Masumi kemudian terbahak lagi.
“Ya, ya, aku tunggu kau membuktikan ucapanmu itu, Mungil.” Masumi tersenyum. “Kalau kau memang bersikeras ingin peran itu, kami tidak akan memaksamu. Semoga berhasil, Mungil. Aku jadi tidak sabar melihat Bidadari Merah seperti apa yang akan kau tampilkan.”
Deg!
Maya merasakan dadanya berdebar lebih kencang. Dipandanginya pria yang 11 tahun lebih tua darinya itu.
Pria aneh! Dia datang di pertunjukan kami padahal sedang ada badai. Tapi dia juga menginginkan aku melepaskan Bidadari Merah! Lalu sekarang tiba-tiba mendukungku.
Masumi Hayami, aku tidak pernah bisa mengerti apa yang dipikirkannya!
“Ada lagi yang mau kau sampaikan Mungil?” tanya Masumi pada Maya yang masih mengamatinya. “Apakah ketampananku sudah mempesonamu? Atau ada sesuatu yang menempel di wajahku?” pria itu tersenyum menggoda.
Ukh!!
Maya kembali terlihat kesal.
“Tidak ada!! Aku permisi!” Pamit Maya, membuang mukanya dan hendak segera keluar kantor Masumi.
“Mungil! Berapa nomor sepatumu?” tanya Masumi.
Eh?!
Maya kembali berbalik.
“Me, memangnya kenapa?!” Maya mengerutkan alisnya, masih terlihat jengkel dan heran dengan pertanyaan Masumi.
“Tidak apa-apa,” Masumi memutar ke belakang meja kerjanya sebentar, lalu mematikan rokoknya sebelum membuka pintu loker dokumen di meja kerjanya dan mengeluarkan sesuatu.
Masumi kemudian mendekati Maya sambil membawa sebuah tas belanja dengan sebuah kotak terdapat di dalamnya.
“Aku kemarin membelikan ini untuk ulang tahun Mizuki tapi nomornya kekecilan,” Masumi mengeluarkan kardusnya dan membukanya.
Sepasang sepatu.
Maya masih terlihat bingung dengan maksud Direktur muda tersebut. Tiba – tiba  pria itu berlutut di hadapan Maya dan membuka kardusnya.
“Mungkin nomornya akan sesuai untukmu,” kata Masumi, menarik paksa kaki kanan Maya.
“Kyaa! Pak Masumi!!” Maya yang kehilangan keseimbangan karena Masumi mengangkat sebelah kakinya, spontan memegangi bahu Masumi yang berlutut di hadapannya.
Masumi melakukannya sekali lagi pada kaki kiri Maya.
“Sangat cocok untukmu,” Masumi mengamati kedua kaki Maya sebentar lalu mengangkat wajahnya dan tersenyum.
Wajah Maya memerah melihat senyuman Masumi.
“Apakah kebesaran?” tanya Masumi.
“Ti, tidak...” gumam Maya.
“Kekecilan?”
“Ti, tidak.”
Ah...!!
Maya terhenyak, baru menyadari sedari tadi dia masih memegangi kedua bahu Masumi. Dia lalu menarik lengannya dari bagian tubuh bidang pria itu.
“Bagus. Kalau begitu sepatu itu untukmu,” Masumi tersenyum lantas kembali berdiri.
“E, eh??!!” Maya tertegun, baru menyadarinya. “Aku tidak bisa menerimanya!!”
“Kenapa?” tanya Masumi dingin, walaupun dia sudah tahu jawabannya. “Kau tidak suka sepatunya?”
“Bukan itu!”  sambar Maya.
Sepatunya cantik sekali dan sangat nyaman...
Pikir Maya. Sejujurnya dia sangat menyukai sepatu yang saat ini sedang menempel di kakinya.
“Aku tidak bisa menerima hadiah darimu!!” Maya membuka kembali kedua sepatu itu dan memasukkannya ke dalam kardus. “Aku tidak ingin menerima kebaikan hatimu!” Maya mengerutkan bibir dan hidungmu seperti jijik.
Masumi menelan ludahnya tidak kentara dan memandangi gadis mungil itu dengan sendu.
“Jangan anggap ini kebaikan hatiku, anggaplah kau menolongku,” ujar Masumi.
Eh?
Maya menoleh kepada Masumi. Mengamatinya.
“Aku juga tidak bermaksud membelikannya untukmu,” kata Masumi tidak acuh. “Aku membelikannya untuk ulang tahun Mizuki kemarin, tapi ternyata kekecilan. Jadi dia mengembalikannya kepadaku, tapi ternyata tidak bisa ditukar,” Masumi beralasan, berbohong. “Untung kau ke sini, Mungil.”
Maya tertegun.
“Ta, tapi tetap saja—“
“Walau kau membenciku, kau mau kan, setidaknya menolongku? Aku tidak tahu harus diberikan kepada siapa. Kalau kau tidak mau, kau berikan saja kepada orang lain atau kau jual lagi,” kata Masumi, pahit.
Maya terdiam, menimbang-nimbang.
“Kalau kau tidak mau menganggapnya pemberianku, anggap saja itu dari Mizuki. Aku kan sudah pernah memberikannya kepada Mizuki,” ujar Masumi.
Maya memandangi sepatu itu lagi.
Dia sebenarnya sangat menyukainya. Sangat cantik. Kakinya juga sangat menyukainya, dan entah dia mampu membelinya sendiri atau tidak.
“Baiklah,” kata Maya akhirnya, dengan perasaan aneh. “Aku terima.”
Masumi tersenyum senang.
“Terima kasih, Mungil. Kau sangat membantuku,” kata Masumi.
Maya kembali merasa berdebar-debar melihat senyuman pria tampan itu, yang sempat menerjang badai demi menghadiri pertunjukannya.
“A, aku yang berterima kasih, Pak Masumi,” kata Maya gugup.
“Semoga sukses untuk pernghargaan festival seninya,” kata Masumi tulus.
“Pasti Anda mengharapkan aku gagal!” sindir Maya.
Masumi tergelak.
“Kau selalu saja berpikiran negatif kepadaku. Yah, terserah saja Mungil. Aku hanya mendoakan yang terbaik untukmu, baik kau menang atau kalah,” ujar Masumi.
“Baiklah, a, aku permisi!” ujar Maya.
Perasaannya sedikit bingung, dia datang dalam keadaan marah dan kini malah pulang dengan membawa sepatu.
Maya baru saja hendak keluar saat pintu kantor Masumi terbuka dan Mizuki masuk ke kantornya.
“Oh, selamat siang Maya,” sapa Mizuki saat melihat Maya. “Kau sedang di sini rupanya,” Mizuki sedikit terkejut karena dia baru kembali dari sebuah urusan sehingga tidak mengetahui mengenai kehebohan yang dilakukan Maya sebelumnya.
“I, iya,” Maya terlihat bersemu sungkan. “Aku baru mau pulang, selamat siang Nona Mizuki,” kata Maya. “Oya, selamat ulang tahun,” ucap gadis itu sambil tersenyum tulus.
“Ulang tahun?” Mizuki tertegun.
Tiba-tiba mata awas dari sekretaris itu menangkap mimik tidak biasa dari atasannya. Seperti menyembunyikan rasa paniknya.
“Iya, bukankah Anda ulang tahun kemarin, Nona Mizuki?” tanya Maya heran. “I, ini,” Maya mengangkat kantong belanja yang diberikan Masumi.
“Kau ingat, Mizuki,” Masumi menekankan kata-katanya, memberi isyarat. “Sepatu yang kuberikan untukmu sebagai kado ulang tahun?”
“Sepatu...” gumam Mizuki, mengamati tas yang ada di tangan Maya, “ulang...” Mizuki memandang wajah atasannya yang berdiri di belakang Maya, menahan senyumnya, “tahun... Ku?” dia meyakinkan.
Dia sama sekali tidak berulang tahun. Tapi kemudian Mizuki sadar siapa yang sebentar lagi berulang tahun.
“Iyyyaa,” Masumi memberikan tatapan mengancam. “Yang kekecilan?” Masumi ‘mengingatkan’ “Aku memberikannya kepada Maya,” terang Masumi. “Kau tidak keberatan kan? Tokonya tidak mau menerima kembali barangnya,” Masumi menceritakan jalan cerita sandiwaranya kepada Mizuki.
Hanya untuk memberikan kado ulang tahun sebagai Masumi Hayami saja dia sampai harus membuat sandiwara dan melibatkan bawahannya. Hanya demi gadis mungil yang 11 tahun lebih muda darinya. Dan dia tidak akan membiarkan sekretaris 'tercintanya' yang tidak ada dalam daftar pemain merusak semua rencananya.
Mizuki menahan tawanya.
“Oh...” katanya, dengan nada mempermainkan.
“Anda tidak keberatan, Nona Mizuki?” tanya Maya dengan polos.
“Hmm...” Mizuki bergumam, senang dengan keadaannya dan dia tahu pasti atasannya yang terlihat tenang itu sedang kalang kabut dalam hatinya.
Kembali keduanya saling menatap.
[Anda tahu kalau saat ini saya akan memerasmu?] Adalah arti tatapan Mizuki.
[Kau membuka mulutmu dan namamu hanya kenangan di Daito,] adalah arti tatapan Masumi.
[Naikkan gaji saya!]
[Kau tidak akan punya gaji lagi jika kudepak dari sini!]
[Berikan aku hari tambahan untuk cuti!]
[Kau bisa cuti selamanya kalau kau mau!]
Mizuki tersenyum manis, tapi tampak seperti seringai licik bagi Masumi.
“Maya, sebenarnya sepatu itu—“
“Aku sudah menjanjikan untuk menggantinya dengan sesuatu yang lebih bagus!!” Sambar Masumi.
Maya menoleh kepada Masumi lalu kepada Mizuki.
“Begitu? Jadi, tidak apa-apa jika Pak Masumi memberikannya kepadaku?” tanya Maya, tidak yakin.
“Sebenarnya,” Mizuki menekankan, “aku mau mengatakan, sepatu itu memang lebih cocok untukmu, Maya. Kuharap kau menyukainya dan mau memakainya. Kalau tahu tidak bisa ditukar, aku mungkin sudah memberikannya kepadamu. Aku tidak kenal orang lain yang punya kaki seukuranmu,” Mizuki tersenyum.
Mizuki pernah jadi manajer Maya, jadi dia sedikit banyak tahu data diri gadis itu. Dan yang pasti ukuran sepatu mereka berbeda 4 nomor!
“Eh, bukankah kau besok berulang tahun?” tanya Mizuki. “Selamat ulang tahun juga untukmu, Maya.”
Maya tertegun. Dia sendiri hampir lupa.
“Eh? Mmh... ya... kurasa...” Maya mengingat-ingat, dia lalu tersenyum. “Iya, benar,” matanya berbinar. “Terima kasih, Nona Mizuki," Maya tersenyum riang. "Aku tidak tahu kalau ulang tahun kita berdekatan," imbuh Maya kemudian, sedikit segan.
Aku juga baru tahu... Pikir Mizuki sambil melirik atasannya.
“Anda tidak mengucapkan selamat, Pak?” tegur Mizuki.
“Oh,” Masumi memandang Maya yang memutar badannya menatap Masumi. “Selamat ulang tahun,” kata Masumi lembut seraya tersenyum.
“Te, terima kasih,” jawab Maya gugup.
Entah kenapa hati gadis mungil itu berdebar senang.
“A, aku permisi,” Maya berpamitan, membungkuk canggung kepada keduanya lalu keluar.
Saat keluar pintu kantor Masumi, Maya sempat mendengar Mizuki bertanya.
“Anda belum bersiap-siap? Bukankah sebentar lagi akan pergi dengan Nona Shiori?”
Deg!
Maya terpaku sejenak.
Nona Shiori...
Tiba-tiba perasaan gadis itu kembali ciut, ada yang salah dengan cara jantungnya berdebar. Terasa menyakitkan.
Aku ini... kenapa sih?!! Kenapa jadi begini kalau mendengar nama Nona Shiori...
Pikir Maya, kesal pada dirinya sendiri. Sebelum kemudian berlalu dari tempat itu.
“Jadi,” tanya Mizuki kemudian, “apa kado pengganti yang akan Anda berikan kepada saya?” wanita itu mengembalikan senyuman memeras di wajahnya.
“Pemeras!!” Desis Masumi pada sekretarisnya tersebut.

"Harus saya katakan, skenarionya bagus sekali. Tidak berpikir untuk alih profesi, Pak?" sindir Mizuki.
Direktur Daito itu mengeratkan rahangnya, tidak bisa menjawab dan hanya memasang wajah kesal. Tapi dia senang, setidaknya rencananya bisa berjalan lancar dan hadiah ulang tahunnya untuk Maya bisa diberikan.


<<< Birthday Gift ... End >>>

Wednesday 28 September 2011

Fanfic TK : Only You

Posted by Ty SakuMoto at 22:02 8 comments
Warning: Kissu kissu

 Only You
(By. Riema)



            Maya duduk bersandar pada tali ayunan. Termenung sambil menatap anak-anak yang sedang bermain riang di bak pasir. Jantungnya berdenyut sakit

            ‘Ukh....’ Maya meremas dadanya kuat-kuat, lalu menghembuskan nafas berat demi mengurangi rasa sakitnya
            Masumi...
            Maya mengusap wajahnya dengan resah, lalu menyentakkan kakinya dan berayun lagi. Tak ada yang lebih meresahkan dari pada apa yang tengah membebani hatinya belakangan ini.

            Sambil tetap memandang kelompok anak kecil tersebut, Maya meraih ponselnya yang bergetar dalam tas tangannya. Lalu melirik nama yang muncul di layarnya
           
Ditiupkannya nafasnya dengan keras sebelum menekan tombol terima
            ‘Hallo...’ Sahut Maya seriang mungkin
            ‘Sayang, kau dimana? Katanya syutingmu sudah selesai sejak siang tadi?’ suara itu terdengar begitu cemas
            ‘Aku.. di taman. Aku tidak apa-apa Masumi’ jawab Maya menenangkan
            ’Apa yang sedang kau lakukan di situ? Apa ada yang sedang kau pikirkan?’ Suara itu tahu betul kebiasaan isterinya jika sedang resah
            ’Tidak apa-apa. Aku hanya sedang , Ng.. Bermain’ Dustanya tak selancar yang diharapkannya
            ’Baiklah Maya. Aku jemput kesitu ya? Sudah sore’ Suara lelaki itu begitu lembut, Maya dapat membayangkan dengan jelas raut wajahnya saat sedang mengucapkan kata-kata itu
            ‘Oke. Aku tunggu’
Klik


Maya menatap lagi anak-anak itu. Seorang anak perempuan tembem berkuncir dua begitu menarik perhatiannya. Tiba-tiba matanya terasa panas. Saat mereka bersiap pulang, wanita cantik itu begitu ingin menangis
            Jangan pergi anak-anak...

            Maya menggerakkan lagi ayunannya.
 Apakah Masumi tahu apa yang tengah berkecamuk dalam pikirannya belakangan ini? Mungkinkah dia juga merasakan hal yang sama? Tapi kenapa dia tak pernah tampak tidak bahagia. Dia selalu begitu hangat, seolah mereka baru saja menikah tujuh bulan lalu, dan bukan tujuh tahun.

Ckiit
            Pria gagah itu turun dari sedan hitam mengilatnya. Sekali pandang, dia tahu dimana isterinya menunggunya dan segera menghampirinya

            ’Sayang...’ Sapa Masumi lembut, seraya mengusap kepala Maya ’Kenapa?’ Masumi tahu betul mimik itu, wajah wanita yang sangat dicintainya jika sedang memikirkan sesuatu. Kepolosannya tak pernah hilang. Selain dalam drama, isterinya sama sekali tak pandai berakting
            ’Masumi....’ dengan wajah cerah, disambutnya kedatangan Masumi ’cepat sekali’ Maya menatap Masumi yang menjulang tinggi di hadapannya. Tangannya yang besar seakan menyalurkan kehangatan lewat ubun-ubunnya
            ’Masih mau disini?’ Masumi menurunkan tangannya, membelai pipi istrinya yang masih saja tampak seperti remaja
            ’Tidak. Ayo kita pulang’ Maya bangun, berjinjit dan mencium pipi suaminya
            ’Oke!’ Masumi tersenyum. Meraih pinggang Maya dan membimbingnya berjalan menuju mobil mereka
***

            ’Ada yang ingin kau bagi denganku?’Masumi duduk di samping Maya yang duduk selonjor di karpet di depan perapian ’Aku masih merasa kau menyembunyikan sesuatu, sayang?’ Lengan kirinya melingkari bahu Maya, punggungnya bersandar pada sofa di belakangnya
            ’Apapun itu. Itu bukan hal yang bruruk kok’ Maya menyentuh ujung hidung mancung Masumi sambil berpikir, betapa gantengnya pria di hadapannya ini
            ’Kau yakin? Jadi aku tidak boleh tahu?’ tangan kanannya bergerak ke bawah lutut Maya dan mengangkatnya sekali sentak dan mendudukkannya di pangkuannya
            ’Kyaa...  Masumi....’  meski protes, Maya melingkarkan kedua lengannya ke leher Masumi
            ’Bukan tidak boleh. Hanya belum boleh. Nanti juga kau tahu!’ ditariknya kepala Masumi dan mengecup lembut bibir suaminya yang tampak semakin matang dan jantan di usianya yang menginjak 40 tahun ‘Aku sayaaaaang sekali padamu’ Maya mengusap pipi Masumi
            ’Aku juga...’ Meski kepalanya penuh dengan pertanyaan tak terjawab, Masumi membalas ciuman isterinya dengan hangat dan mesra. Seperti biasanya. Sejak menikah tujuh tahun yang lalu, tak pernah seharipun pria itu merasa tidak cinta pada isterinya

            Bahkan pada usia pernikahan mereka yang akan menginjak tujuh tahun bulan depan, api cinta itu tetap terjaga. Terkadang panasnya sanggup menghanguskan mereka. Selebihnya, api itu akan membara, dan panasnya yang stabil selalu menghangati rumah mereka. Bahkan juga orang-orang disekeliling mereka. Pasangan ini selalu di sorot media karena kebahagiaan mereka yang tanpa kepalsuan. Dan publik selalu mengidolakan mereka sebagai pasangan selebritis yang paling ideal.
            Meski publik tidak melulu hanya menyoroti sisi baik mereka saja. Para wartawan gosip terus saja mencari kelemahan mereka, berharap mendapati mereka bertengkar, atau apapun yang sekiranya mampu mengguncang rumah tangga pasangan tersebut.
Tapi sejauh ini, usaha mereka selalu nihil tanpa hasil

            Sebenarnya bukannya tidak ada
Seperti rumah tangga lainnya, pertengkaran-pertengkaran kecil seringkali mewarnai rumah mereka. Tapi hampir selalu mereka selesaikan dengan baik sebelum masalah itu sempat merembes keluar rumah, bahkan nyaris tidak terdengar keluar kamar

            ’Mungil sayang. Ingatlah apa yang sudah kita lewati demi bisa mencapai cinta seperti ini...’ itulah kata-kata yang selalu digaungkan Masumi setiap kali mereka menghadapi masalah. Baik Maya, maupun Masumi. Keduanya berpegang teguh pada kata-kata itu. Dan biasanya, mereka akan samakin mesra tiap kali satu masalah terselesaikan. Tiga orang pelayan di rumah mereka, tahu betul akan hal itu.

            ’Aku tidak ingin memaksamu mengatakan apa yang tidak ingin kau bagi denganku. Maksudku, belum ingin’ Ralat Masumi melihat Maya mendelik ’Tapi aku harap, kau tidak membiarkan aku menunggu terlalu lama. Aku tidak suka melihatmu berpikir keras seperti itu, tanpa bisa berbuat apa-apa’ Masumi mengecup kening isterinya
            ’Em-hm’ Maya mengangguk kecil menempelkan pipinya ke dada Masumi yang bidang. Sekali lagi berkata dalam hati, betapa harum tubuh suaminya
            ’Baumu enak sekali’ Maya menyuarakan isi hatinya.
            ’Kalau begitu nikmati saja. Semuanya cuma untukmu kok’ Masumi mengeratkan pelukannya, membiarkan Maya meringkuk di pangkuannya seperti anak kecil.

***

Maya berjalan-jalan di pusat perbelanjaan sambil sesekali memperhatikan display toko yang dilaluinya. Disampingnya , Rei memberi pendapat sambil memegang tangan seorang anak laki-laki

            ’Ah! Aku bingung! Apa yang harus aku berikan pada Masumi? Tidak ada yang menarik. Lagipula sepertinya Masumi tidak menginginkan apapun’ Maya meraih sebelah tangan anak kecil di sampingnya yang hendak berlari
            ’Gun!’ Teriak Rei dan Maya berbarengan
            ‘Aduh! Benar-benar deh anak ini!’ Rei menggelengkan kepalanya, Maya tergelak
            ‘Punya ibu setomboy kamu. Mana mungkin dia tahan diam?’ Maya berjongkok di hadapan anak lelaki dua setengah tahun itu ’Jangan nakal ya Gun?’ Maya mengacungkan telujuknya di depan wajah Gun yang cemberut. Kepala mungil itupun mengangguk, rambut ikalnya bergoyang-goyang. ’Pintar!’ dikecupnya pipi anak itu
            ’Ayo jalan lagi!’ Maya bangkit
            ‘Sulit dipercaya! Dia bahkan lebih menurut padamu daripada pada ibunya sendiri!’ Gerutu Rei gemas. Anak lelakinya itu memang sangat dekat pada Maya. Rei bukannya tak tahu, batapa sahabatnya itu menginginkan anaknya sendiri untuk disayangi.

Setelah seharian berkeliling, tak satupun barang yang menarik minatnya. Mereka memutuskan untuk makan sebelum pulang. Karena kecapean, Gun tertidur di kursi restoran. Untunglah mereka memilih meja untuk keluarga, sehingga cukup nyaman untuk menidurkan si kecil super aktif itu

            ‘Sesekali. Biarkanlah Gun menginap di tempatku Rei?’ ujar Maya penuh harap
            ’Sebaiknya tidak Maya. Apa kata Masumi nanti? Itu tidak akan baik untuk hubungan kalian. Kalau kalian memang sudah berencana. Mungkin sebaiknya kalian mulai berkonsultasi dengan dokter’
            ’Aku. Tidak!’
            ’Kenapa tidak? Inikan demi kebaikan kalian juga?’ Maya teringat pemeriksaan mereka dua tahun lalu. Pemeriksaan yang ketiga. Dan dokter masih belum mengijinkan Maya hamil karena kandungannya begitu lemah. Sudah dua kali dia mengalami keguguran, bahkan sebelum usia kandungannya genap satu bulan. Dan rasanya begitu menyakitkan. Menyakitkan, karena dia tak juga mampu memberikan keturunan pada suaminya
            ’Mungkin masalahnya ada padaku Rei? Akulah yang tidak bisa memberikan Masumi keturunan. Andai aku hamil, itu pasti akan jadi kado terindah untuk ulang tahun perkawinan kami. Pasti Masumi akan sangat bahagia’ Raut wajah Maya tampak keruh
            ’Belum tentu masalahnya ada padamu Maya. Makanya lebih baik kalian pergi ke dokter, aku yakin Masumi tidak akan keberatan?’
            ‘Aku... aku tidak tahu Rei. Masumi sama sekali tidak pernah menyinggung soal anak di depanku. Seakan-akan dia tidak menginginkannya saja. Tapi aku yakin dia juga sama menginginkannya seperti aku. Hanya saja, dia tidak mengungkapkannya’ Maya menghembuskan nafas dengan susah payah
            ‘Sedangkan ayah, sudah seringkali menyinggung hal itu. Dia pasti sudah mulai mengkhawatirkan tentang pewaris Daito. Sudah saatnya penerus Daito dididik sejak sekarang. Tapi aku bahkan belum hamil. Apa yang harus aku lakukan?’ Maya menyurukkan wajahnya ke meja. Terisak
            ’Maya. Jangan begitu. Pasti akan ada saatnya’ diusapnya punggung sahabatnya penuh sayang ’Tapi akan lebih baik kalau kau membicarakannya dengan Masumi. Tolong dengarkan saranku? Oke
?’
            ’Akan aku pikirkan’ Maya mengangkat wajahnya, melihat seorang pria menghampiri meja mereka ’Suamimu sudah datang’ Maya mengusap matanya yang terasa basah

            ’Selamat siang nyonya-nyonya?’ senyum ramah merekah di bibirnya
            ’Siang tuan Sakura Koji!’ Maya berusaha tersenyum
            ’Siang sayang’ sahut Rei begitu Koji mengecup pipinya ’duduklah’
            ’Wah! Tertidur rupanya’ Koji melirik Gun yang terlelap dengan mulut setengah terbuka ’Lucunya’ diusapnya pipi Gun gemas
            ’Jangan ganggu dia! Kau ini. Nanti dia bangun!’
            ‘Ah. Rei. Bagaimana sih...’ Koji duduk di samping isterinya
            ‘Sudah makan?’ tanya Rei penuh perhatian, menyibakkan rambut sebahunya
            ‘Aku sudah makan di lokasi tadi. Kalian sudah selesai?’ Maya dan Rei mengangguk ’Mau pulang sekarang? Atau aku bawa Gun pulang saja, siapa tahu kalian masih ingin mengobrol’
            ’Tidak tidak. Rei akan pulang bersamamu’ Geleng Maya cepat
            ’Tunggu sebentar Koji. Pak Masumi akan datang sebentar lagi’
            ’Oh. Oke. Kalau begitu, boleh aku minta kopi dulu?’
            ’Tentu saja’ Rei memberi isyarat pada pelayan dan memesan kopi untuk suaminya

Setengah jam kemudian, Masumi memasuki restoran dan langsung mendatangi mereka. Koji dan Rei segera pamit pulang tak lama setelah kedatangan Masumi
            ’Dah sayang’ Maya mengecup pipi Gun yang ada dalam dekapan Koji

            ’Kau tidak ingin makan, sayang?’ Tawar Maya sambil meminum air mineralnya yang setengah kosong
            ’Tidak. Kopi saja cukup. Aku sudah makan. Kau?’ Maya mengangguk.

            ’Masumi?’
            ’Hmm?’
            ’Apa yang kau inginkan untuk hadiah ulang tahun perkawinan kita? Jujur saja aku tidak tahu harus memberikanmu apa?’ senyum Maya memberikan rona pada pipinya
            ’Kalau aku menanyakan hal yang sama padamu? Kau akan menjawab apa?’ Masumi balik bertanya
            ’Ng. Aku tidak tahu. Aku tidak menginginkan apapun’ Maya mengangkat bahu
            ’Begitu juga aku mungilku. Tak perlu memberikan aku apapun. Aku sudah mendapatkan hadiah sepanjang masa-ku’ Maya menatap tak mengerti. ’Kau. Maka aku tak perlu apa-apa lagi’ Masumi memandang isterinya mesra
            ’Gombal!’ Maya tertawa sambil tersipu

            ‘Sebenarnya ada yang sangat ingin aku berikan padamu. Ingiiiin sekali’ Kata Maya setelah terdiam beberapa saat
            ’Apa? Kalau dengan memberikannya kau merasa bahagia, berikan saja. Apapun yang kau berikan, aku pasti akan menyukainya. Seperti biasanya’
            ’Aku akan sangat bahagia jika bisa memberikan yang satu ini. Tapi sayang, aku belum bisa memberikannya padamu’ wajah Maya berubah murung
            ’Maya? Apa yang kau bicarakan?’ Maya tertunduk
            ‘Ng. Sudah tujuh tahun kita menikah. Tidakkah kau menginginkan aku memberimu anak?’ Maya menatap Masumi ragu-ragu
            ’Oh. Itu.’ Masumi tersenyum ’Itukah yang belakangan ini selalu kau pikirkan?’ Masumi menahan dagu Maya dengan telunjuknya, wajah mungil itu mengangguk
            ’Kita akan membicarakan ini lain kali. Tidak sekarang’
            ’Tapi’
            ’Maya?’
            ’Masumi....’ Maya mulai merengek, matanya terasa panas ‘bagaimana seandainya aku tidak bisa hamil lagi. bagaimana jika aku tidak bisa memberimu anak. Aku. Aku ’
            ’Sstt.. Maya, Maya. Dengar aku sayang. Tidak apa-apa. Itu tidak apa-apa’ Masumi menatap Maya lurus-lurus. Tidak ada sedikitpun keraguan dalam kata-katanya
            ’Kita pulang sekarang’ tanpa menunggu jawaban Maya, Masumi bangkit dan menggandeng Maya keluar restoran

***
           
            Meskipun ulang tahun perkawinan Maya dan Masumi tidak dipestakan besar-besaran, hanya ada beberapa teman yang hadir malam itu. Tapi media selalu saja bisa menciumnya. Atau mungkin mereka telah mencatat tanggal pernikahan mereka dalam agenda tahunannya. Entahlah. yang pasti. Malam itu, meski tanpa undangan mereka hadir di luar gerbang kediaman Masumi Hayami.
            Masumi bukannya keberatan dengan kehadiran mereka. Tapi seperti yang terjadi dua tahun lalu. Mereka akan menanyakan pertanyaan standar pada pasangan yang belum memiliki anak.
            ’Kapan kalian akan punya anak?’
            ’Apa kalian sengaja menunda kehamilan?’ lalu
            ’Tidakkah anda iri melihat teman-teman anda yang sebagian besar hadir bersama buah hatinya?’ bla  bla  bla

Dan Masumi tahu. Kali ini,  betapa itu akan sangat melukai perasaan isterinya. Dan tak mungkin Masumi membiarkan hal itu terjadi. Dan tanpa memikirkan akibatnya, Masumi memerintahkan anak buahnya mengusir mereka

***

            Dua hari kemudian, berita kemandulan Masumi tersebar di media. Masumi sama sekali tak berniat mengkonfirmasi berita itu. Baginya itu hanyalah angin. Tak sedikitpun dia terganggu.

Tapi lain halnya dengan Maya. Justru Mayalah yang paling terguncang akan adanya berita bohong itu. Tapi melihat sikap diam Masumi, Mayapun tak bisa berbuat apa-apa.
           
            ’Masumi? Apa tidak sebaiknya kau katakan yang sebenarnya?’ Maya bergelung di pelukan Masumi, di tempat tidur besar mereka yang nyaman
            ’Tentang apa?’
            ’Kau tahu apa yang aku bicarakan? Katakan semua itu tidak benar. Bilang saja yang sesungguhnya pada mereka. Akulah yang bermasalah. Bukan kau’ Maya membuat pola-pola abstrak di dada telanjang Masumi
            ’Tidak. Lebih baik mereka beranggapan begitu. Biarkan saja’ keduanya membisu

            ’Masumi?’
            ’Ya?’
            ’Apakah aku mengecewakanmu?’
            ’Demi Tuhan Maya? Apa sih yang kau katakan?’ Masumi mengedikkan dadanya, membuat wajah Maya terarah padanya ’Jangan pernah berani mengatakan itu. Bahkan berpikir seperti itupun tidak boleh. Kau adalah anugerah terindah yang pernah Tuhan berikan padaku. Siapapun tidak boleh menyangkalnya. Tidak juga kau’ dipandangnya mata Maya dengan tatapan tajam
            ’Maaf. Aku pikir..’
            ’Jangan berpikir. Diam sajalah!’ di balik selimut, tangannya bergerak memeluk pinggang Maya. Sentuhannya membuat Maya yakin, bahwa Masumi benar-benar memujanya, mencintainya sepenuh hati. Pria itu tak pernah ragu sedikitpun. Bahwa setiap inci tubuh Maya. Jiwa dan raganya, adalah anugerah terindah yang pernah dia terima. Dalam mimpipun dia tak pernah meragukannya.

***

Entah karena berita itu, atau hal lain. Yang pasti, belakangan ini Maya berubah. Hanya sedikit perubahan, dan Masumi tahu itu.

Maya seringkali mengelak jika Masumi memberikan tanda-tanda bahwa pria itu menginginkan isterinya. Menghindari bergelung bersama di depan perapian, tidak lagi menawarkan diri untuk menggosok punggungnya saat dia mandi, juga beberapa hal kecil lainnya yang biasanya tak pernah mereka lewatkan

Masumi hapal dengan baik siklus bulanan isterinya. Dan entah kenapa tiba-tiba, bulan ini harinya lebih panjang dari biasanya. Maya menghindarinya. Bukan tidak menginginkannya, dia tahu betul bahwa Maya juga menginginkannya. Tapi entah kenapa, Maya menghindarinya.

Beberapa kali Masumi coba menyelidiki tentang itu. Sempat terpikir bahwa Maya sedang tertarik pada pria lain. Tapi dugaan itu pupus dengan sendirinya. Tatapan Maya selalu penuh cinta padanya. Dan Hijiripun tak pernah melaporkan interaksi yang berlebihan antara isterinya dan pria lain. Tapi kenapa seolah Maya menghindari bercinta dengannya. Hanya sesekali, saat wanita itu kehabisan akal untuk menghindar.

Masumi tetap berbesar hati. Dan menganggap hal itu sebagai efek dari kegundahannya memikirkan masalah keturunan. Lelaki itu tak mengeluh.

Dua minggu terakhir ini, Maya selalu membawa temannya berkunjung ke rumah. Chiharu Shoji, seorang artis baru yang cantik dan ramah. Mereka kadang ngobrol hingga larut, kadang hingga membuat Masumi ketiduran menunggu isterinya.
            ‘Aku sangat cocok berteman dengannya. Bolehkan dia sering main kesini? Aku kesepian’ elak Maya ketika Masumi mempertanyakan hal itu

            Kesepian.
Masumi tahu bagaimana rasanya kesepian. Dan dia tidak ingin wanita yang dia cintai mengalaminya juga. Karena teman-temannya sudah menikah, tidak mungkin mereka selalu menyempatkan waktu untuk menemani Maya. Maka Masumi membiarkan saja Chiharu sering-sering datang ke rumahnya


’Sore Pak Masumi?’ Chiharu bangun dari duduknya melihat Masumi memasuki ruang duduk
’Sore. Mana Maya?’ Masumi mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan
’Emm. Entahlah. Keluar sebentar’
’Kemana? Kenapa kau tidak menemaninya?’
’Aku...’ Masumi tidak mendengarkan jawabannya dan bergegas mengambil ponsel dari sakunya

’Masumi....’ Maya masuk dari arah belakang
’Sayang? Dari mana?’ Masumi meraih pinggang Maya dan memeluknya, tak peduli sepasang mata menatap mereka. Meskipun Masumi memaklumi tindakan Maya, tapi seharusnya Chiharu sedikit tahu diri. Masumi tidak bisa mentolerir tindakan gadis itu yang selalu menuruti kemauan Maya
’Masumi’ Maya menggeliat, melirik Chiharu. Masumi kesal sendiri, dia begitu merindukan isterinya. Dia berpikir untuk mengusir gadis itu. Tapi langsung mengurungkan niatnya karena yakin hal itu akan menyakiti Maya. Masumi melepaskan pelukannya
’Peralatan mandinya sudah aku siapkan’ Masumi mengangguk, berjalan ke arah tangga
’Turunlah lagi untuk ngobrol Masumi?’
‘Tidak. Aku capek’ Masumi menyeret kakinya dengan kesal. Apa yang harus dilakukannya untuk mengembalikan Maya. Tanpa  menyakiti hati isterinya. Sudah hampir satu bulan Maya tidak membiarkan Masumi menyentuhnya. Dia janji akan bicara pada isterinya besok. Sebelumnya. Dia harus meyakinkan, gadis cantik tak berotak itu tidak muncul di rumah mereka.

***

            Rencana Masumi meleset. Rapat anggaran yang berkepanjangan menyita waktunya, dia harus pulang lebih larut hari ini. Karena tak ingin membuat Maya kesepian, terpaksa dia membiarkan Chiharu menemaninya di rumah. Setidaknya sampai dia pulang.

            Masumi melihat dua orang wanita itu masih berbincang dengan akrabnya.

            ‘Selamat datang sayang’ Maya melepaskan dasinya dan mengantarnya ke kamar
            ‘Sudah makan?’ perhatian Maya tak berkurang dalam hal itu. Masumi mengangguk ‘Mau mandi sekarang?’
            ‘Boleh’ Masumi tersenyum, melepaskan kancing kemejanya. Sementara Maya pergi ke kamar mandi
            ‘Handuknya juga sudah aku siapkan. Kau mandilah’ Maya tampak begitu cantik hari ini. Atau karena Masumi sudah begitu merindukannya?
            ‘Maya?’
            ‘Ya?’
            ‘Mungkin sebaiknya kau suruh sopir mengantar Chiharu pulang pulang sekarang, sebelum terlalu larut’
            ‘Baiklah. Aku akan memberitahunya’ Maya berjalan ke arah pintu ‘Oya sayang. Kau ingat, kau pernah mengatakan akan menerima hadiah apapun dariku?’
            ’Ya. Kenapa? Kau akan memberiku hadiah?’
            ’Kau tidak bohong kan?’ Maya mengabaikan pertanyaan Masumi
            ’Tidak’ Masumi menggeleng, meski sedikit heran dengan pertanyaan isterinya tersebut
            ’Ok. Aku tidak akan lama’ Maya keluar kamar

            Masumi tersenyum ceria sekali malam itu. Air hangat yang mengucur membasahi ubun-ubun sampai kakinya memberikan kesegaran. Dia akan bicara dengan Maya. Sepertinya semua akan berjalan lancar.

            Hanya mengenakan celana pendeknya, Masumi menunggu di tempat tidur. Selimut menutupi tubuhnya sebatas pinggang. Lampu kamar sudah digelapkan.
Entah karena kelelahan, atau merasa begitu nyaman setelah mandi. Masumi jatuh tertidur.
Dia terjaga saat tempat tidur di sebelahnya bergerak
            ’Ngh. Sayang?’ Masumi mengulurkan tangan tanpa membuka matanya. Tangannya menyentuh permukaan gaun tidur yang halus, dilekuk pinggang wanita itu. Masumi mengernyit, tangannya berhenti saat menemukan lengannya. Dia tak mengenali tangan itu. Matanya sontak terbuka
            ’Kau! Apa yang kau lakukan disini?’ Rasa kantuk hilang dari matanya, yang ada hanyalah nyala amarah. Gadis itu mengkerut ketakutan

            ’MAYAAAA!!!’ Masumi berteriak, turun dari tempat tidur dan mengenakan jubah kamarnya yang tersampir di kursi
            ’MAYAAAA!!!’ Masumi berteriak sekali lagi ketika Maya tak juga muncul ’Apa yang kau lakukan disitu? Turun kau!’ tangannya yang panjang menunjuk wajah Chiharu yang pucat pasi
            ’Tutupi tubuhmu bodoh!’ Masumi melemparkan selimut ke arah Chiharu yang mengenakan gaun tidur tipis. Milik isterinya! Masumi baru saja hendak keluar saat pintu kamar itu terbuka, dan Maya muncul di baliknya
            ’APA MAKSUDMU MAYA?!!’ Hardik Masumi garang, dadanya naik turun menahan amarah.
            ’Masumi. Aku.. Ini...’ Maya tak sanggup berkata-kata
            ’Inikah yang kau sebut hadiah? Hah?! Jawab Aku!’ Suara Masumi bergetar hebat ’Maya?!’ Masumi manahan wajah Maya dengan dua tangan ’Apa yang sudah kau lakukan?’ ditatapnya kedua mata Maya gusar
            ’Masumi...’ Maya merengek, tak tahan melihat wajah Masumi yang kelam membesi
            ’Kali ini, kau sudah kelewatan. Keterlaluan!’ dihempaskannya wajah Maya hingga dia terjejer ke belakang
            ’Dan kau! Mahluk tak tahu malu!’ Masumi menuding Chiharu ’Pergi kau dari sini! Jangan pernah menampakkan diri lagi di depanku!’ Chiharu semakin menciut. Sambil menyeret selimut berat yang menutupi tubuhnya, gadis itu terseok keluar kamar. Air mata mengalir deras di pipinya

Untuk sesaat, hanya kesunyian yang mendera begitu kuat
Masumi berusaha menenangkan diri. Dihirupnya nafas panjang berulang-ulang. Tapi dia tak sanggup menyingkirkan amarahnya, nafasnya masih saja memburu. Sarat amarah.

            ’Masumi... Jangan marah.. Tolonglah...’ Suara Maya pelan memecah kesunyian
            ’Tidak. Aku tidak marah. Aku murka Maya’ Masumi kembali menatap Maya dalam-dalam ’Inikah yang kau rencanakan? Terus-menerus menghindariku, lalu menyodorkan gadis itu padaku?’ Masumi tak dapat menyembunyikan kesedihan di matanya
’Apa yang kau pikirkan?!’Bentak Masumi mengagetkan Maya, lalu dia mulai menangis
’Kau pikir. Karena aku begitu menginginkannya, aku akan mau bercinta dengan siapa saja? Oh Maya....’ Kedua tangan Masumi mengepal di samping tubuhnya ’Dia bukan  kau!’ Masumi membalikkan badannya, tak sanggup menatap wajah Maya yang basah oleh air mata

’Kau sudah menghinaku Maya. Menginjak harga diriku dan merendahkan cintaku’ Masumi menarik nafas berat ’Aku tidak mengerti. Kenapa kau bisa setega itu? Apa kau begitu menginginkan anak, sampai-sampai kau tak mempedulikan lagi perasaanku?’

’Masumi. Tolong dengarkan aku. Mengertilah’ Suaranya pecah, penuh air mata
’Jangan Maya. Tolong jangan minta aku untuk mengerti. Karena aku sama sekali tidak ingin mengerti’
’Rasanya. Aku bahkan mulai meragukan cintamu pada diriku’ Suara Masumi mengambang
’Jangan begitu Masumi, aku mohon’
’Keluarlah!’ Perintah Masumi dingin, tanpa menoleh
’Masumi....’
’Sekarang! Kau! Atau aku yang keluar?’
’Baik. Aku keluar’ Maya berbalik, memegang handle pintu ’Maaf’

***

            Masumi membenamkan diri di kursi. Kerut-kerut amarah masih terlihat jelas di wajahnya. Ingin sekali dia mabuk dan melupakan semuanya walau sesaat. Tapi Maya tak pernah membiarkan Masumi menyimpan minuman di dalam kamar, dan dia enggan keluar dari kamarnya.
            Terdengar keributan di luar. Entahlah, Masumi terlalu marah untuk menyimak. Mungkin Maya, atau gadis tak berotak itu. Atau mungkin juga para pembantu yang pasti mendengar ledakan amarahnya

Setelah dirasa cukup sepi, Masumi bangkit dan mengenakan pakaiannya. Kemudian keluar dan berjalan ke garasi. Tak lama, Masumi sudah memacu mobilnya entah kemana. Yang pasti, malam ini dia tak ingin pulang.

***

            Pagi harinya, Mizuki mengetuk pintu kamar Maya. Tepat di sebelah kamar utama yang kosong.

            ’Aku mengambil baju ganti Pak Masumi’ Maya masih tergolek di tempat tidur
            ’Apa yang bisa aku bantu Maya?’ Mizuki duduk di tepi tempat tidur, mengusap pipi Maya yang lembab
            ’Sampai kapan Masumi berniat tidak pulang?’ Maya menatap kosong
            ’Entahlah. dia tidak bilang apa-apa’
            ’Semalam. Apa kau tahu Masumi kemana? Ponselnya tidak aktif. Aku khawatir’
            ’Aku tidak yakin Maya. Mungkin hanya berkeliaran saja. Tapi aku yakin Pak Masumi tidak tidur semalaman, seperti kau juga’ Maya memandang Mizuki sekilas
            ’Ya. Sudahlah’
            ’Tidak ada acara hari ini? Mungkin sebaiknya kau pergi keluar. Perlu ku teleponkan manajermu?
            ’Tidak perlu, dia sedang berlibur. Aku menghentikan semua kegiatanku sementara. Supaya aku bisa.. Ng. Hamil’ Kata itu mengganjal di kerongkongan
            ’Baiklah. Telepon aku jika kau butuh sesuatu, ok?’ Maya mengangguk

***

            Keesokan sorenya, Masumi pulang. Dari jendela kamarnya yang besar, terlihat Maya tengah duduk di tepi kolam ikan di taman belakang. Seorang pelayan menghampirinya, mungkin memberitahukan kedatangan tuan rumahnya
            Maya menoleh ke jendela kamar, bayangan Masumi tertangkap matanya. Kepala mungil itu mengangguk. Masumi masih berdiri di depan jendela, setelah Maya berlalu

Tok...Tok...Tok...
            ’Masuk!’ Masumi tahu pasti siapa yang datang
            ’Masumi!’ Panggil Maya lemah, Masumi berbalik
            >Pucat sekali Maya< Masumi menatap Maya dan duduk di bingkai jendela
            ‘Masih ada yang aku perlu tahu? Rencanamu yang lain?’
            ‘Aku minta maaf soal malam itu...
            ’Aku tidak ingin membicarakannya’ Potong Msumi cepat
            ’Masumi. Dengarkan aku dulu’ Maya menarik nafas ’Aku salah, maafkan aku. Mungkin itu terlalu tiba-tiba. Seharusnya aku membicarakannya dulu denganmu, sehingga tidak mengagetkanmu. Aku..’
            ’Maya! Apa maksudmu? Aku bukan marah karena kaget!’ masumi mendelik
            ’Bicara? Bicara? Kau mau membicarakan tentang rencana gilamu itu denganku?’ Alis Masumi bertaut di tengah ‘Apa semua ini belum selasai?’ Masumi tak dapat menyembunyikan kekagetannya
            ‘Masumi sayang. Kita bicarakan lagi ya? Kau bisa memilih siapapun yang kau sukai’
           ’Cukup Maya. Hentikan!’ Kata-kata Maya terdengar bagai guntur di telinganya. Masumi menatap Maya lekat, mencari sesuatu disana yang mungkin dimengertinya. Tapi pria itu sama sekali tak paham jalan pikiran isterinya

            ’Mayaaa....’ Desah Masumi putus asa ’Apa yang merasukimu?’
            ‘Bagaimana bisa kau dengan begitu tenang membicarakan wanita yang akan menjadi teman tidurku? Kau sungguh sudah tidak mencintaiku, ya?’ Masumi menahan rasa perih yang memenuhi rongga dadanya
            ‘Bukan begitu. Justru karena aku sangat mencintaimu Masumi. Aku ingin memberikan sesuatu yang tidak bisa aku berikan’
            ’Tanpa mempertimbangkan keinginanku? Perasaanku?’ amarah naik lagi ke puncak kepalanya
            ’Kalau kau memang menginginkan anak, kita kan bisa mengadopsi. Lagi pula, belum tentu kau tidak bisa punya anak’
            ’Tidak tidak. Aku ingin anakmu Masumi, segera’
            ’Anakku? Tak peduli siapapun ibunya?’ Maya mengangguk. Rengekan Maya terdengar sangat menyakitkan. Masumi bangkit dan mendekati Maya. Menangkup wajah pucat itu dengan dua tangan
            ’Aku sangat mencintaimu Maya. Tapi kenapa kau seperti ini. Bodoh sekali. Masih ada cara lain untuk memiliki anak, selain menyuruhku meniduri perempuan lain. Apa sih yang ada di otakmu ini sayang?’ Masumi melepaskan tangannya dan duduk di sofa

’Kau tahu, kenapa aku begitu pencemburu? Tak tahan, bahkan saat kau hanya sedang berakting? Itu karena aku begitu mencintaimu. Aku bahkan tak ingin membagi tatapan matamu dengan pria lain’ Nafas Masumi memburu, diremasnya rambutnya dengan kesal
            ’Sekarang. Dengan tenang kau ingin membagiku? Salahkah aku yang meragukan cintamu?’  Tatapan matanya seakan berkabut, Masumi merasa oleng
            ’Kalau kau memang tidak mau lagi menempati ranjangmu? Tak perlu mengirimkan siapapun kesana. Karena aku tidak akan pernah tertarik.
Aku hanya akan bereaksi padamu, tidakkah kau tahu itu? Cuma kamu!’

            ’Dan sebaiknya kau tahu, aku menikahimu bukan hanya untuk memperoleh keturunan. Aku menikahimu karena aku mencintaimu’ hardik Masumi gemas
            ’Kau mau beranak atau tidak, aku tak peduli’ Maya tersentak
            ’Kalaupun aku menginginkan anak. Itu hanyalah anak kita. KAU DAN AKU. Cuma kamu yang aku inginkan’ Mata dan mulutnya dengan tegas mengatakan itu

            ’Tadinya aku pikir kau sudah sadar. Uff, tapi...’
            ’Ternyata keputusanku auntuk pulang adalah salah’ Masumi bangkit
            ’Aku tidak mau bicara lagi denganmu sampai kau menghilangkan ide gila itu dari kepalamu’
            ’Aku akan tinggal di rumah ayah untuk sementara. Kalau kau bersedia, tolong siapkan pakaianku. Nanti aku suruh Mizuki mengambilnya’ Masumi beranjak ke pintu
           
            ’JANGAN PERGI !!!’ Maya menubruknya dari belakang. Memeluk pinggang Masumi dengan erat
            ’Kalau kau janji tidak akan mengungkit masalah ini lagi. Aku tidak akan kemana-mana. Kau mau janji?’
            ’Maaf’ Maya menggeleng
            ’Ugh..’ Masumi melepaskan cekalan Maya di perutnya. Keluar kamar tanpa berpaling lagi


***
            Minggu ini benar-benar berat, Masumi merasa putus asa. Dia sama sekali tak berkomunikasi dengan Maya. Semuanya sangat kacau. Tak satu urusanpun bisa diselesaikannya dengan baik. Dan dia tahu betul apa penyebabnya. Dia merindukan Maya setengah mati.
            Paling tidak, Masumi ingin melihat wajahnya. Maka dia mengendarai mobilnya kembali ke rumah. Sudah lewat tengah malam. Dia mendapati kamarnya kosong. Rupanya Maya masih menempati kamar sebelah.

Masumi membaringkan tubuhnya. Lelah. Meski dia sangat marah, tapi tak seharipun Masumi tidak memikirkan isterinya. Masumi selalu merindukannya. Tak pernah dia meninggalkan Maya selama ini.

Masumi menajamkan pendengarannya, terdengar suara isakan dari ruang sebelah. Masumi mencoba mengabaikannya, tapi dia tak tahan. Akhirnya dia turun dari tempat tidur  dan mengetuk pintu kamar Maya.
Ketika tak juga ada sahutan, Masumi memutar handle pintu. Ternyata tak terkunci.

’Maya...’ kamar dalam keadaan gelap. Hanya lempu tidur yang masih menyala temaram
’Maya...’ Panggil Masumi pelan dan menghampiri tempat tidur.
Tubuh itu terbungkus selimut hingga ke dagu. Matanya terpejam, tapi suara isakan terdengar dari mulutnya
’Kau juga menangis dalam tidurmu?’ Masumi meringis seperti kesakitan
’Masumi...hik...hik..’ Maya berguling-guling gelisah. Masumi memandang iba. Wajah yang diterangi sinar temaram itu begitu pucat dan kurus
’Maya... Sayang...’ Masumi naik ke tempat tidur, Maya masih menangis dalam tidurnya

’Kau merindukan aku Maya? Aku juga sangat merindukanmu. Seperti mau mati’

’Kau pasti sangat menderita... Kenapa kau harus melakukan ini pada dirimu sendiri? Pada kita?’ diusapnya pipi Maya perlahan. Mata itu sontak terbuka, menatap tak percaya

’Masumi.....’ Maya melontarkan dirinya ke pelukan Masumi dan menangis tersedu-sedu disana
’Masumi...’ Maya tidak mengatakan apapun. Hanya terus mensngis sambil berulang kali memanggil nama suaminya. Kedua lengannya melingkari punggung Masumi dengan kencang
’Maya’ Masumi membelai rambut Maya dan membenamkan wajahnya di sela-sela rambut hitam itu. Aku rindu sekali...

Masumi menegakkan wajah Maya dan mencium kedua matanya yang basah. Bibirnya menelusuri pipinya, rahangnya dan mengecup bibir Maya yang basah. Pelan dan khidmat.
Kemudian semakin dalam dan cepat. Rakus. Masumi merasa bibir Maya sangat panas, atau mungkin bibirnyalah yang panas. Dia tak tahu lagi
Masumi tak tahu lagi apa yang terjadi kemudian. Dia melupakan semuanya. Amarah, sakit hati dan kesedihannya. Semuanya menguap. Dia hanya mendengar suara Maya yang terus mendesahkan namanya. Membuat kerinduan yang menyesakkan dadanya membuncah keluar. Hasrat yang tertahan beberapa minggu terakhir ini menuntut disalurkan

Masumi bahkan tidak ingat, kapan mereka mulai menanggalkan pakaian. Yang dia tahu, mereka bersatu lagi sekarang. Seperti seharusnya. Dengan tenang dan indah. Saling melengkapi, seperti kepingan puzzle.
Tak mungkin lebih indah dari itu.
Keduanya memikirkan hal yang sama.

***

            Masumi dan Maya berbaring berhadapan. Lengan Maya masih melekat di punggung Masumi
            ’Mimpiku kali ini, indah sekali. Sudah lama tidak merasa sebahagia ini’ Maya bernafas dengan tenang
            ’Mimipi?’ Bisik Masumi. Menatap wajah Maya yang sepertinya tidak sedang bercanda
            ’Paling tidak. Kau masih mau mendatangiku dalam mimpi’ Maya melepaskan pelukannya dan mengelus rahang Masumi ’Terima kasih’
            ’Jangan cepat-cepat pergi ya? Aku belum mau bangun. Kalau terbangun, aku pasti menangis lagi’ Bibir Maya tertekuk ke bawah, Masumi hanya memandanginya
            ‘Masumi... Aku sayaaaang sekali padamu. Seandainya kau tahu, betapa beratnya memikirkan harus membagimu dengan wanita lain’ Maya menggeleng ’Berat sekali’

            ’Aku ingin. Harum tubuhmu hanya untukku’ Maya menyurukkan wajahnya ke dada Masumi ’Kehangatan ini hanya milikku’ Masumi masih tetap membeku ’Dirimu. Sepenuhnya hanya untukku’  dikecupnya dada Masumi yang masih berkeringat, membuat jantung Masumi berdegup lebih cepat
            ’Aku sadar. Aku tak mungkin bisa membagimu. Membayangkanmu melakukan ini dengan wanita lain. Aku. Aku bisa gila.’ Maya menghirup aroma tubuh suaminya dalam-dalam
            ’Meskipun dalam mimpi, baumu tetap saja harum. Aku suka sekali. Cepatlah pulang sayang. Aku sangat merindukanmu. Aku tidak akan melepaskanmu. Tidak akan lagi’ Masumi meniupkan nafas ekstra panjang, hingga udaranya menggerakkan rambut Maya. Dan kepala itu mendongak. Lama mereka saling memandang. Masumi menahan diri untuk tidak tertawa
            ’Apa ini masih terasa seperti mimpi?’ Masumi mengusap lekuk pinggang Maya dan menarik tubuh itu ke tubuhnya
            ’Masumi?’ Matanya membelalak. Seolah kesadaran baru saja menyapanya
            ’Apa ini bukan mimpi?’ tanya Maya linglung. Masumi tergelak
            ’Sungguh ini kau, Masumi?’ Dirabanya wajah Masumi yang masih tertawa

            ’Ya ampun Maya... Masa kau sudah lupa wajahku?’ Maya menggeleng
            ‘Kalau begitu. Apa yang kita lakukan tadi hanya kau anggap sebagai mimpi? Hah! Rugi benar aku!’ Masumi mendesah panjang

            ‘Kau sudah bangun?’ Maya mengangguk, masih terpana

            ‘Bagus. Sebaiknya kali ini kau sadar mungil, atau kau akan menyesal!’ Masumi mendorong Maya hingga telentang, dan memposisikan tubuh di atasnya.

***Only You ... END***
 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting