Tuesday 17 June 2014

Fan Fiksi : To Make You Love Me 8

Posted by Ty SakuMoto at 20:36 22 comments
To Make You Love Me
(Chapter 8)






Maya menangis di tepi jalan sambil menggosok-gosokkan lengannya ke matanya. Dia tak tahu kenapa begitu sedih rasanya diabaikan Masumi. Tak ada kabar sama sekali dari Direktur Daito tersebut.
Pak Masumi... Kau di mana? Apa kau begitu marah karena ucapanku...? Isakan Maya tak juga berhenti.
"Maya?" Nada heran itu menegur Maya.
Deg! Maya lebih terkejut lagi mendengar suaranya. Dengan cepat Maya mendongak dan menurunkan tangannya.
"Pak Masumi!?" seru Maya, mendapati tunangan gagahnya itu ada di hapadannya dengan tubuh agak tercondong kepadanya dengan raut keheranan.
"Sedang apa kau di sini, dan menangis seperti anak kecil?" alis masumi bertaut geli dan heran.
“A-aku... Eh, anak kecil!? Enak saja! Aku bukan anak kecil!"
Sekali lagi Masumi menahan geli, "Ya, tapi kenapa kau menangis di tepi jalan seperti ini? Seseorang merebut permenmu?"
"Tidak, aku..." Maya baru sadar pertanyaan Masumi lagi-lagi menggodanya. "Pak Masumi!! Ih! Menyebalkan!" Maya membuang wajahnya dari pria itu. Dasar tidak tahu diri. Maya sudah memikirkannya terus, datang-datang dia malah memasang wajah iseng seperti itu. Maya mengangkat wajahnya lagi, masih sedikit terisak walaupun air matanya sudah berhenti mengalir. "Pak Masumi, kau sendiri sedang apa di sini? Bukankah kau sedang berada di luar kota?"
"Oh, aku sedang..."
"Pak Masumi, Anda di sini rupanya," Shiori terdengar lega saat melihat Masumi. Namun rautnya berubah saat mendapati ada Maya di sana.
Demikian juga Maya. Kenapa wanita cantik gembul itu ada di sana? Dan... apakah Masumi dan Shiori bersama?
"maaf, tadi aku menerima telepon dulu," terang Masumi kepada Shiori. "Dan ternyata..." tatapannya beralih lagi kepada Maya. "Sepertinya ada yang sedang sedih," godanya.
Tatapan Shiori kembali beralih kepada Maya, tetapi memilih tak menghiraukannya. "Sebaiknya kita kembali, makanannya sudah mau datang."
"Oh, ya, baiklah," Masumi menyeringai kepada Maya. "Aku harus kembali. Sampai nanti Mungil, nanti aku akan memberimu balon agar kau senang," tandasnya.
Maya masih belum bisa berkata apa-apa saat Masumi dan Shiori pergi meninggalkannya.
Meninggalkannya!! Dengan gadis cantik itu!!
Apa-apaan Masumi Hayami itu!!?? Melihat tunangannya menangis, kenapa malah pergi begitu saja dengan gadis lain? Dan apa dia bllang? Seperti anak kecil? Diberi balon? Dan.... Dan... kenapa Masumi yang katanya keluar kota, ternyata sudah kembali ke Tokyo? Kenapa tidak mengabariapa-apa...?kenapa...?
begitu banyak pertanyan yang berebut dengan rasa kesal memenuhi dada Maya.. Dia benar-benar kesal hingga wajahnya terasa panas dan airmatanya turun lagi.
Masumi Hayami menyebalkaan!! Brengseeek!!!
"Duk!!" Masumi merasakan sesuatu membentur bahunya. pria itu sangat terkejut dan membalik badannya di pintu restoran. Matanya membulat melihat Maya yang dadanya naik turun penuh kemarahan.
Shiori yang berada di sebelah Masumi juga sama terkejutnya.
"Maya...?" desis Masumi,sangat terkejut saat menyadari Maya telah  melemparinya dengan sebelah sepatunya.
"Dasar kau menyebalkan! Orang paling menyebalkan!! Aku tak mau melihatmu lagiiii!!" pekik Maya teramat kesal.
Gadis itu lantas berbalik dan berlari meninggalkan Masumi. Pria itu masih sangat terkejut dengan apa yang Maya lakukan saat ia hendak mengejarnya, Shiori menahan tangannya.
"Pak Masumi." Shiori mengingatkan. "Akan sangat tidak sopan jika Anda pergi sekarang..." mohonnya.
Masumi tahu apa yang Shiori katakan benar. Ia mengamati sepatu Maya yang tadi dilemparkan kepadanya, dan memungutnya. Ia tak harus mencari siapa Cinderella yang meninggalkan sepatunya, ia hanya harus mencari tahu, bagaimana caranya mengembalikan sepatu itu.
=//=
Maya manyun mangamati kaos kakinya yang bolong dan kotor karena dirinya berkeliaran dengan sebelah sepatunya. Tetapi, ia tak punya apa pun untuk dia lemparkan kepada pria menyebalkan itu. Akhirnya, tanpa pikir panjang Maya malah melemparkan sepatunya dan terpaksa kesakitan sampai di apartemennya tanpa sepatu.
Maya kesal sekali dengan pertemuannya dan Masumi. Apalagi, Masumi sama sekali tidak mengejar dan menenangkannya. Yah, dia sedang bersama gadis cantik itu. Kenapa harus mengejarnya? Kenapa hrus memikirkannya? Pantas saja berhari-hari pria itu tak ada kabar dan sama sekali tak mengingatnya.
Uuukhh!! Menyebalkan! Sekarang, lagi-lagi Maya tak bisa berkonsentrasi dengan perannya.
Aku tak bisa begini terus! pikir Maya. Dia harus mencari tempat yang tepat untuk menenangkan pikirannya dan hanya memikirkan peran dan sandiwaranya saja...
=//=
Maya menghela napasnya lelah dan menggoyang-goyangkan tipis ayunan yang sedang dinaikinya malam ini. Memang taman ini selalu jadi pelariannya saat sedang galau dan banyak pikiran. Namun tiba-tiba saja pandangannya tertutup.
Masumi Hayami!! Maya langsung menyadari saat tangan lebar itu menutup matanya.
"Donald bebek!!?" tebak Maya dengan ketus. "Delivery service pizza hut!? debt collektor? sales kartu kredit? Pak Pos!?"
Masumi masih membisu dan menutup mata Maya. Entah wajah seperti apa yang pria itu pasang saat mengerjainya.
Akhirnya, Maya teringat sesuatu dan mencetus, "Sakurakoji??"
"Bukan!!" bantah Masumi cepat, dan pastinya kesal. Pria itu menurunkan tangannya. "Ini aku!"
Maya menoleh enteng dan berujar ringan, "Oh, kau..." lantas membuang muka lagi dengan kesal.
Masumi menyadari bahwa Maya masih marah. Sepertinya, ada beberapa hal yang harus mereka luruskan. Masumi lantas memutar dan duduk di ayunan di samping Maya.
"Maya," panggil Masumi, dengan suara lebih tenang walaupun hatinya keki. "Kau benar-benar berpikir tadi itu... Sakurakoji?"
Maya mendelik tipis ke arah Masumi dan menukas, "Yah, kupikir siapa saja bagus selama bukan kau. Aku sedang malas melihat wajahmu," Maya merajuk walaupun sebenarnya bukan begitu.
Masumi menghela napas. "Beberapa hari tidak bertemu, kau sepertinya malah jengkel sekali melihatku," ujar Masumi perlahan seakan bicara kepada dirinya sendiri. "Padahal aku sudah membelikan balon seperti yang kujanjikan," ujarnya.
Maya tertegun, dan menoleh. Ia baru menyadari, Masumi memang membawa balon untuknya. Lima buah balon berwarna merah, kuning, kelabu, hijau muda dan biru.
"Ini, ambillah..." Masumi menyodorkan balon-balon itu kepada Maya.
Maya cemberut, merenggut balon hijau dan memecahkannya. "Siapa yang ingin balon!!!" rajuk Maya saat balonnya meletus, dan membuat hati Masumi jadi teramat kacau.
Masumi memegangi sisa balonnya dengan erat. Tatapannya menelisik, kenapa kira-kira gadis itu, Maya Kitajima, tunangannya, marah kepadanya?

Tadi siang, Masumi menemukan gadis itu menangis di tepi jalan. Apakah penyebabnya sama? Atau... karena hal lainnya?

"Maya, tadi siang... kenapa kau menangis di tepi jalan seperti itu?" tanya Masumi. "Ada sesuatu dengan tempat latihanmu? Apa latihan Pak Kuronuma terlalu berat untukmu?" tanya Masumi yang tahu bahwa tempat Maya latihan hanya beberapa blok dari sana.

Tadi siang.... Maya ingat lagi, saat Masumi mendapatinya menangis dan malah menggodainya, menertawainya di depan Shiori.

"Sudah terlambat 8 episode kalau kau mau tahu alasannya!" ketus Maya.

"Wah... benar-benar sangat marah ya? Padahal, aku sudah susah payah mencari balon warna warni ini untukmu, bahkan berebut dengan bocah-bocah itu untuk mendapatkan balon ini, demi kau..." ungkap Masumi.

Demi kau... kata-kata Masumi itu terdengar menyenangkan di telinga Maya.
"Ada seorang bocah yang menginjak kakiku, dan seorang lagi ada yang menykut pahaku. Ck! bocah jaman sekarang, sama sekali tak mengerti sopan santun. Tapi terang saja dompetku lebih tebal dari bocah-bocah itu, akhirnya aku mendapatkan kelima balon ini," papar Masumi. "Tapi kenapa kau malah tidak mau menerimanya? Apa kau tidak tahu bahwa balon dari Direktur Daito Masumi Hayami itu sangat bergengsi?"
"berebut dengan anak kecil!? memalukan..." kritik Maya dengan mulut semakin mengerucut. "Benar-benar tidak dewasa ternyata..."
"Tidak dewasa? Memangnya siapa yang menangis di pinggir jalan? Dan sekarang uring-uringan di taman malam-malam begini?"
"Kau..." Maya menggeram keki. "Ukh! Sudah! Sana pergi!! Tinggalkan aku!" Maya memukul lengan kokoh Masumi.
"Sudah kukatakan itu semua demi balon-balon ini... Kupikir kau akan merasa senang jika diberi balon dan berhenti menangis," tukas Masumi. "Atau... ada yang lainnya? Apa kau mau pergi melihat kebunku yang penuh dengan bunga? Bunganya ada banyak, ada yang putih dan juga yang merah. Setiap hari tukang kebunku menyiram semua. Baik mawar atau melati, semuanya indah..." terang Masumi, membujuk Maya.
"huft!" maya membuang muka, tak termakan rayuan Masumi yang mempromosikan kebunnya.
"Atau.. mau melihat bintang kecil di langit yang biru, amat banyak, menghias angkasa..." tawar Masumi. "Aku ingin--"
"Cukup!!" tegas Maya kesal. "Kau tidak usah mempedulikan aku! Sudah sana pergi bawa lagi balonmu! Aku juga tak ingin melihat kebunmu atau melihat bintang kecil bersamamu!" Usir Maya dengan wajah berlipat-lipat marah.
"Aku tidak bisa," putus Masumi. "Aku ke sini karena kau sudah melempariku dengan sepatu tadi siang, dan aku menuntut penjelasan darimu. Aku tidak akan pergi sampai kau katakan, ada apa sebenarnya hingga kau tadi siang menangis dan marah kepadaku, bahkan menolak balon-balon yang sengaja kubelikan untuk menghiburmu," tegas Masumi.
"Aku melemparimu sepatu karena aku kesal!!" tandas Maya.

"Kenapa?"

"Kenapa!? ka-karena... karena...karena kau menggangguku terus! Mengejekku anak kecil! Apalah...! Hiks!" Dan Maya mulai menangis lagi, teringat Masumi yang mengejeknya dan melakukannya di hadapan Shiori.

Masumi benar-benar terkejut melihat tunangannya benar-benar menangis lagi. Apakah godaannya tadi benar-benar keterlaluan?

"Tapi... kenapa kau sampai menangis segala? Baiklah, baiklah, aku meminta maaf karena sudah mengejekmu tadi, aku tak bermaksud begitu. Aku hanya sangat terkejut melihatmu menangis di tepi jalan seperti itu... Dan, yah... aku hanya terbawa kebiasaan lama yang selalu menggodamu seperti itu," terang Masumi penuh perasaan. "Aku tidak akan melakukannya lagi. Kau mau memaafkanku?" Masumi menyodorkan balon-balon itu kepada Maya.
Maya tahu Masumi bersungguh-sungguh, maka akhirnya Maya menerima balon yang tinggal empat itu. "Maaf ya, aku sudah memecahkan balon hijaunya," Maya berkata.
"Yah... sayang sekali sih, tapi... kau sudah tidak marah lagi?" Masumi memastikan.
Maya menggeleng.
"Lalu? Kenapa kau tadi menangis di tepi jalan?" tanya Masumi.
Maya menunduk, bungkam. Ia masih malu mengatakan dia menangis karena memikirkan Masumi walaupun entah apa sampai dia harus menitikkan air mata. Nah, sekarang dia ingat alasannya sampai menangis. Karena Masumi marah dan mendiamkannya selama ini.
Maya mengangkat wajahnya dan menoleh, "Pak Masumi, kau sendiri.. kenapa marah lama sekali kepadaku!"
"Iyaa... bukankah kau marah kepadaku... mendiamkanku terus sejak terakhir bertemu saat itu," ujar Maya.
Masumi diam, mengingat...
"Saat di WO? pertemuan dengan bu Yukita?" Masumi memastikan.
"Ya! Kau mendiamkanku terus... sebelumnya mengajakku pergi jalan-jalan setelah bertemu bu Yukita, tapi malah langsung pulang dan itu pun tanpa bicara apa-apa..." tukas Maya. "Aku kesal! Kenapa kau marah lama sekali!!? sampai berhari-hari seperti itu. Padahal yang aku katakan kan benar, kita menikah ini karena terpaksa!"
"Ohh... itu..." Masumi akhirnya ingat. "Ya, ya..." masumi mengangguk-angguk sambil tertawa. "Benar, benar, aku memang tak banyak bicara saat itu, tetapi bukan karena marah...."
"Bu-bukan!?" Mata Maya membulat."Lalu kenapa kalau begitu!? Kau diam saja dan bahkan menghilang sama sekali! eh-eh, uhm! Bukannya aku peduli! Hanya saja... aku kesal sekali kau marah berkepanjangan begitu!"
Masumi mendengus dan tersenyum samar, "Masalah itu... Aku tak enak jika mengatakan alasannya kepadamu."
"Ha!? Kenapa?" desak Maya.
Masumi terlihat ragu sejenak, tetapi akhirnya dia berkata. "Aku sakit perut..."
"hah!? Apa??"
"Kau tahu, aku tak pernah makan mi instan di pagi buta seperti itu. Kurasa, itulah sebabnya perutku jadi sakit dan aku berkeringat dingin. Tapi... aku tak bisa mengatakannya kepadamu. Bagaimana pun, itu pertama kalinya kau membuatkan sarapan untukku..."
Maya melongo mendengar penjelasan Masumi. "sakit... perut?"
"Ya, tapi aku tak bisa mengatakannya. Lagipula, kupikir kau menyadarinya. Biasanya, kau selalu langsung menebak bahwa aku sakit perut tiap kali aku diam saja."
"I-iya... tapi..." Maya jadi kalut sendiri. Jadi, dia merasa resah dan sedih, khawatir, hanya karena... Masumi sakit perut? Konyol sekali! "Tapi kenapa kau juga mendiamkanku berhari-hari?" desak Maya. "memangnya kau sakit perut berlarut-larut? Tidak kan?"
Dituding begitu, Masumi jadi terkejut sendiri. "Aku? Marah?"
"Memang tidak... tapi..." wajah Masumi terpasang dingin lagi. "Tapi kupikir, aku mungkin terlalu mengekangmu. Kau selalu berwajah malas. Dan memang, saat kau mengatakannya kepada bu Yukita mengenai perasaanmu yang terpaksa menikah denganku, sepertinya... kau sangat tertekan. Jadi saat itu aku banyak mencoba memikirkan perasaanmu, dan kuputuskan untuk tidak terlalu mendesakmu. Lagipula, aku sedang ada kesibukan, bahkan sampai urusan ke luar kota, dan tadi aku baru saja ada rapat dengan para sponsor acara yang akan diadakan Daito dan TV Chuo," terang Masumi. "Memang aku sangat sibuk, tapi aku tak marah kepadamu."
Jadi... Pak Masumi tidak marah? Antara lega dan merasa konyol, Maya hanya bisa menatap Masumi tanpa ekspresi. Sia-sia sudah air matanya beberapa hari ini hanya karena Masumi sakit perut. Tetapi Maya akhirnya menyadari sesuatu. Walaupun sebelumnya dia memang kesal karena Masumi sepertinya begitu terburu-buru dengan segala hal dan Maya merasa 'terpaksa' harus melakukan ini itu dengannya, tetapi saat pria itu sama sekali tak menampakkan diri, Maya jadi kelabakan sendiri. Apakah ini artinya....
"Wah! Hujan!!" seru Masumi, dan Maya menyadari malam itu hujan mendadak turun. Tetesannya cukup cepat dan hujan sepertinya akan langsung deras.
Maya masih terkejut saat Masumi dengan cepat melepas jasnya dan menarik merangkul Maya. "Ayo kita ke sebelah sana," katanya.
Mereka menggunakan jas itu untuk menutupi kepala mereka dan berlindung di tempat tertutup yang paling dekat.
"Kenapa hujannya mendadak begini," kata Masumi saat mereka sudah menemukan tempat berlindung. "Semoga saja hujannya tidak lama."
Masumi lantas mengeluarkan sapu tangan dan menyerahkannya kepada Maya. "Ini, keringkan tubuhmu, aku akan meminta sopirku untuk mencarikan payung. Sudah larut, kau harus segera pulang," katanya.
Maya mengangguk dan mulai melap pakaiannya yang basah. Beberapa saat diamatinya lagi Masumi. Ada debaran tak biasa di dada Maya. Tadi, MAsumi memeluknya melewati hujan, dan dekapannya masih terasa di pundak Maya.
Masumi juga mencarikan balon yang sekarang sedang Maya pegang dengan erat hanya demi dia. Dan, bahkan,Masumi beberapa hari tak mengabarinya juga demi Maya, agar Maya tak merasa begitu terkekang, katanya... Lebih jauh lagi, Masumi tak mengatakan bahwa dia sakit perut, karena itu pertama kalinya Maya membuatkan sarapan untuknya.
Maya tak mengira Masumi begitu memikirkannya. Dan juga... ia lebih tak mengira, karena bisa begitu nyaman berada di samping pria itu...
Wajah Maya tiba-tiba memerah dan debaran jantungnya terus semakin keras, saat akhirnya Maya menyadari perasaannya.
Apakah aku... aku... tidak! Tidak mungkin! Masa, aku... jatuh cinta kepada Pak Masumi!? Aku...
"Kurasa sebentar lagi sopirku akan membawakan payung untuk kita," ujar Masumi setelah menutup ponsel yang ia pakai menghubungi sopirnya. Alangkah terkejutnya Masumi melihat wajah Maya yang tampak memerah. "Maya, kau kenapa?" tanyanya.
masumi segera meraba dahi Maya. "Kau demam!? Wajahmu merah dan panas!" Masumi agak panik.
Maya tak bisa berkata apa-apa, dia masih rikuh dengan perasaan yang baru dikenalinya ini. Tak lama kemudian dia merasakan jas Masumi membungkusnya.
"Tunggu sebentar, kurasa tak lama lagi dia datang," terang Masumi. Pria itu lantas merangkul Maya, "dingin tidak?" tanyanya penuh perhatian.
Maya mengangguk.
"Aku... peluk begini... bagaimana?' tanya Masumi, yang tiba-tiba menyadari kedekatan mereka dan dia juga mulai jadi agak berdebar.
Maya menangguk, dan Masumi mendekap Maya lebih dekat.
dug...! dug...! dug...! Maya merasakan jantungnya berdentam lebih keras.
Aduuuh... bagaimana ini... bagaimana kalau sampai terdengar oleh Pak Masumi... batin Maya, takut.
Maya... Masumi mendekap gadis itu semakin erat. Semua kerinduan yang ditahannya belakangan ini, rasanya mulai tak tertahankan. Ia ingin memeluk Maya lebih erat dan lebih lama. Sekarang ia jadi berharap, sopirnya jangan dulu datang.
Rasanya ada yang aneh, apa ya? pikir Maya.
Gadis itu lantas menyadari, bahwa dia saat ini sedang bersandar ke dada tunangannya itu. Padahal, awalnya Masumi hanya merangkul bahunya saja, kenapa sekarang mereka jadi berpelukan begini? Maya bisa merasakan Masumi memeluknya sangat erat. Walaupun dinginnya hujan masih terasa, tetapi rasanya sudah terkalahkan oleh kehangatan yang Masumi bagi kepadanya.
Saat sopir Masumi tergopoh-gopoh menghampiri sambil membawa payung, Masumi yang melihatnya segera memberi tanda dengan tangannya agar pria itu menyingkir dan meninggalkan mereka. Si sopir sepertinya mengerti, dia segera pergi lagi dari sana.
"Ada apa?" Maya mendongak, "kau mengatakan sesuatu?"
"Oh, tidak, tidak..." tukas Masumi cepat tanpa ekspresi. "hanya mengamati hujan, mudah-mudahan tidak lama..." bohongnya.
"Sopirmu kenapa belum datang ya?" tanya Maya.
"Entahlah, sudah biar saja... mungkin dia masih mencari payung," terang Masumi.

"Oh..." Maya mengangguk saja dan kembali membenamkan wajahnya di dada Masumi. "Uhm... Pak Masumi..." Maya bergumam pelan. "Nona Shiori itu... cantik sekali ya... dia belum menikah?" tanya Maya.
"Kenapa? Maya, apa kau bicara kepadaku?" Masumi memastikan karena suara Maya tertelan derasnya hujan.
"Iya, uhm, eh, tidak.... tidak..." Maya menggeleng. "Hanya bicara pada diriku sendiri saja..." terangnya.
Entah kenapa Maya merasa tak nyaman dengan keberadaan gadis cantik itu di sekitar Masumi. Padahal, Mizuki juga cantik, tetapi Maya tak pernah berpikir ada yang aneh di antara keduanya. Tapi...

Kenapa ya... aku ini sebenarnya, gelisah begini jika teringat Nona Shiori? batin Maya.Apakah aku... mata gadis itu membulat. Cemburu? Apa aku mencemburui Nona Shiori? pikirnya tak percaya.
=//=
Setelah hujan reda, Masumi mengantarkan Maya kembali ke apartemennya. tadi Masumi sempat pura-pura bertanya kemana sopirnya yang tak kunjung datang. Sopir itu terpaksa beralasan bahwa dia tidak menemukan payungnya.
"Besok kau latihan lagi?" tanya Masumi.
Maya mengangguk. "Pak Masumi, maaf ya... sudah membuatmu sakit perut," sesal Maya.
"Hahaha... itu bukan salahmu, hanya perutku saja, yang tidak biasa memakan mi gelas instan di pagi hari," kata Masumi. "Sudah, istirahatlah, sudah larut. Nanti kapan-kapan aku akan mengajakmu ke taman bermain atau pergi ke tempat les tari hula hula."
"Benar ya!!?" Maya antusias.
"Ya, ya, sampai nanti. Oh ya, nanti Mizuki akan menghubungimu untuk bertemu dengan Bu Yukita, beberapa hari ini aku sedikit sibuk," terang Masumi.
Maya mengangguk-angguk saja dengan senang.
Setelah mengantar kepergian Masumi, Maya naik ke apartemennya. Sudah ada Rei yang menunggu, dan seperti biasa sahabatnya yang teliti dan perhatian itu langsung bertanya kenapa Maya pulang begini larut.
"Kenapa kau membwa-bawa balon? Darimana kau mendapatkannya?" tanya Rei. "Apa kau masih sedih? Lalu--"
"Sudah Rei, tidak apa-apa," Maya berkata. "Ini dari Pak Masumi. Dasar orang aneh! Masa aku diberi balon, memangnya aku anak TK!" Maya pura-pura menggerundel.
Rei tertawa saja. "Jadi kalian sudah berbaikan?"
"Ya, begitulah..." jawab Maya malas-malasan. "Uhm, aku lelah...  aku duluan ya Rei, mau membersihkan diri dan langsung tidur, besok aku ada latihan khusus dari pagi-pagi sebelum yang lain datang," terang Maya.
"oh, ya, ya, kau sudah makan?"
"Uhm... sudah, tadi Pak Masumi membelikanku burger."
"Ya, selamat malam Maya."
"Selamat malam Rei," Maya berjalan lunglai ke kamarnya. Lantas setelah pintu kamar tertutup, seringai lebar muncul di wajahnya. Dia senang sekali berbaikan lagi dengan Masumi. Apalagi, sekarang dia sudah menyadari perasaannya kepada Direktur Daito itu. Akan tetapi, Maya masih malu jika harus mengakuinya kepada Rei.
"Kya..!!" Maya terpekik pelan, menahan perasaan berbunga-bunga di hatinya sambil memeluk balon-balon pemberian Masumi. "eh!" dia terlonjak, khawatir sisa balonnya juga meletus.
Maya akhirnya melepaskan keempat balon itu yang sekarang tampak mengambang di atap kamar Maya dan Rei.
Maya di bawahnya mengamati dengan senang. membayangkan Masumi dan tubuh besarnya itu berebut balon dengan anak kecil. Sekarang Maya agak menyesal sudah meledakkan balon hijaunya.
"hihihi..." Maya menarik selimut menutupi kepalanya dan cengengesan sendiri. Dia ingat lagi saat tadi Masumi memeluknya, dan wajahnya langsung merah lagi. Aduuh... hatinya kacau balau begini, sepertinya Maya tak akan bisa segera tidur.
=//=
"Bagus, Maya, kau sudah lebih konsentrasi hari ini," puji Pak Kuronuma. "Tetapi kuharap kau bisa lebih menjiwai keliaran Jean. Kau pasti menyadari perbedaan serigalamu dan serigala yang kau lihat di video itu tadi."
"ya, pak," Maya mengangguk.
Menjiwai seorang Jean si gadis serigala benar-benar sulit. Seorang gadis yang tak punya perasaan manusia, tetapi manusia. Tak bisa berbahasa, tetapi dia tahu bahwa Stewart mempedulikannya. Kesedihan serigala, senang serigala, haru serigala, marah serigala... sulit sekali.. pikir Maya.
"Duk!" Maya menumbuk seseorang saat berjalan sambil melamun. "Ah! Aduh! Maaf...!!" ujarnya cepat. "eh? Nona Shiori!!?" Jelas terlihat Maya sangat terkejut mendapati Shiori di tempat latihannya.
"Halo, Maya," shiori berusaha terlihat tenang dan anggun walaupun dia keki, karena sebenarnya sudah sedari tadi Shiori memanggil dan menyapa Maya, bahkan berteriak hingga orang-orang di sekitar Maya menoleh kepadanya tetapi gadis itu tak menghiraukannya dan malah menabraknya.
"Sedang apa anda di sini?" tanya Maya..
"Aku ingin bicara denganmu."
"Denganku? uhm... a-ada... apa?" Maya mengamati dengan saksama.
"Ikutlah denganku, bagaimana jika kita pergi minum kopi?" tawar Shiori.
"Ah, maaf, aku kurang suka minum kopi di hari terik begini," ujar Maya.
"Oh, kalau begitu... makan pizza? atau spaghetti?"
"Oh, uhm," Maya menepuk-nepuk dagunya dengan telunjuknya. "Aku tak begitu suka makanan italia jika tidak terpaksa."
"Restoran perancis, bagaimana?"
"uhm, sejujurnya... tidakkah menurutmu porsiinya terlalu kecil?" Maya mengonfimasi.
Shiori langsung merasakan wajahnya memerah. "Tentu saja tidak! Malahan, malahan, aku selalu kekenyangan sepulang dari restoran Perancis!" tandasnya.
"oh, uhm.... aku tidak..." jawab Maya.
"Memangnya kau pernah ke restoran Perancis?"
"Pak Masumi pernah mengajakku," terang Maya, dan dadanya berdebar keras saat menyebut nama tunangannya.
Sekarang Maya jadi ingat lagi, Shiori tadi bukankah bermaksud mengajaknya bicara? Membicarakan apa? apakah ini ada kaitannya dengan Masumi? Sepertinya hanya itu alasan yang masuk akal wanita itu mengajaknya bicara. Atau... ada hal lainnya?
"Maaf Nona Shiori, bukankah, kau tadi bermaksud mengajakku bicara?"
"Oh, ya! Uhm...." shiori yang sedang sibuk memikirkan di mana baiknya mereka bicara, mulai ingat lagi dengan tujuannya. "Baiklah, kalau ke restoran sushi saja bagaimana? Mereka mempunyai ruang private, jadi kita bisa bicara dengan leluasa."
"Baiklah," Maya mengangguk. Kebetulan dia sudah sangat lama tidak makan sushi.
Ketika Maya dan Shiori hendak beranjak pergi, tiba-tiba keduanya terkejut dengan kedatangan Masumi yang baru saja tiba dan tampak turun dari mobilnya.
Pak Masumi... Maya merasakan hatinya dipenuhi debaran penuh rasa rindu. Masumi yang mendapati keduanya juga sama terkejutnya dengan mereka.

"Nona Shiori, sedang apa kalian di sini?" tanya Masumi kepada wanita cantik yang tak dikiranya akan ia temui di tempat latihan Maya. "Kalian mau pergi ke mana?" tanyanya.
"Nona Shiori mengajakku makan. Katanya ada yang ingin dibicarakan denganku." terang Maya dengan senyum yang tak bisa disembunyikannya karena melihat Masumi.
"Apakah tidak masalah jika aku bergabung?" tanya Masumi.
Shiori termenung sejenak. Sebetulnya, dia hanya ingin bicara dengan Maya tetapi jika menolak keikutsertaan Masumi, sepertinya jadi mencurigakan karena selama ini urusannya berkaitan dengan Masumi, bukan dengan Maya. Akhirnya Shiori mempersilakan Masumi bergabung dengan mereka.
Tetapi, saat Masumi mengajak Maya naik ke mobilnya, Shiori juga ikut naik mobil Masumi.
"AC di mobilku sedang mati, jadi aku juga ikut di mobilmu ya, Pak Masumi?" pinta Shiori.
Akhirnya wanita cantik itu naik ke mobil Masumi dan duduk mengapit Masumi bersama Maya.
Masumi bisa merasakan ada yang ganjil. Bukan hanya karena baru kali ini dia duduk berdesakan, tetapi juga karena rasanya aneh sekali duduk dengan diapit oleh kedua gadis itu.
"Apa aku... lebih baik di depan saja?" ujar Masumi, sedikit bingung harus keluar lewat mana karena ada Maya dan Shiori yang menghalanginya.
"Tidak, tidak apa-apa, dekat kok dari sini restorannya," ujar Shiori saat sebuah ide tiba-tiba melintas di kepalanya.
Masumi mengangkat kedua alisnya tak mau ambil pusing dan akhirnya meminta sopirnya membawa mereka pergi ke restoran yang dimaksud Shiori.
Dalam perjalanan sebetulnya Masumi ingin sekali bersikap mesra dan menggodai Maya seperti biasa, tetapi keberadaan Shiori sedikit membuatnya rikuh. Dia tak ingin siapa pun mendengarnya merayu,itu agak merusak karakternya. Maya pun demikian,tidak tahu pasti harus mengatakan apa saat ada orang lain di sana. Tetapi, Maya bisa melihat, telapak tangan Masumi perlahan-lahan berusaha meraih telapak tangannya.
Jantung Maya berdebar tak keruan saat dari ekor matanya dia melihat jarak tangannya dan Masumi semakin menipis. Saat Maya menatap ke kaca spion depan, Masumi juga ternyata tengah mengamatinya dari sana. Tatapan kduanya penuh arti, walaupun bibir mereka sama-sama terkatup. Dan, Maya merasakan jemari Masumi mulai menyentuh permukaan kulit telapak tangannya.
"Pak Masumi!" tegur Shiori.
Maya dan Masumi sama-sama terperanjat, dan Masumi spontan menarik tangannya dari Maya.
"Ya, Nona Shiori?" Masumi pura-pura tenang saat menoleh dan menanggapi teguran Shiori.
"Ini, saya baru ingat. Apa Anda mendengar bahwa Pak Kawakami hendak menyerahkan sahamnya kepada keponakannya, Nyonya Irie?"
"Irie?" Masumi terkejut. "Aku belum mendengarnya," Masumi mengerutkan alisnya. Bagaimana bisa dia tak tahu berita sepenting ini?
"Aku mendengarnya dari putri Nyonya Irie," terang Shiori, "aku bertemu saat pameran media. Kurasa Hayato Kawakami pasti sangat marah."
"Pasti. Wah, bukan hanya Hayato, Semua orang yang berada di pihaknya pasti sedang panik sekarang," Masumi menyetujui.
Maya terbengong-bengong mendengarkan obrolan mereka. Apa mereka membicarakan seseorang di Jepang? Masih seseorang yang dikenalnya? Masumi dan Shiori sepertinya bisa bicara dengan begitu cocok. Mereka asyik mengobrol,hingga Maya merasa dirinya mengecil, dan menghilang.
Lantas, tatapan Maya sempat beradu dengan Shiori. Dan, entah perasaannya saja atau bukan, tetapi rasanya wanita cantik itu sempat memberikan lirikan melecehkan kepadanya.
Nona Shiori?? Maya tertegun. Shiori sudah kembali menatap Masumi dan bicara mengenai hal-hal yang Maya tak ketahui. Ah, hanya perasaanku saja, pikir Maya.
ia lantas mengamati telapak tangan Masumi yang tak jauh dari tangannya. Tidak jauh. Tapi rasanya, jadi tidak terjangkau...
=//=
Ketiganya lantas turun di sebuah restoran sushi dan menuju ruang pribadi. Shiori bisa merasakan hatinya agak galau, memikirkan saat yang tepat mengutarakan apa yang hendak ia katakan kepada Maya. Namun dia tidak akan melakukannya sebelum atau saat makan. Setelah makan—dan perut kenyang—adalah saat yang paling baik untuk mengutarakan maksudnya.
Shiori dan Maya duduk di sisi kiri dan kanan meja sementara Masumi duduk di tengah.
“Jadi, Nona Shiori, apa yang hendak kalian bicarakan?” tanya Masumi. “Kau dan Maya?”
Sejenak tatapan Shiori terpaku pada berlian pink di jemari Maya yang sedang melahap acar. Ia mulai membayangkan jika cincin itu yang melingkar di jarinya,pasti luar biasa sekali.
“Oh, ya…. itu… bisa kita bicarakan nanti,” kata Shiori. “Sebelumnya, Pak Masumi, aku jadi ingat saat kita di Yokohama kemarin, anda ingat…”
Dan sekali lagi Masumi dan Shiori tampak membicarakan hal-hal yang tidak Maya ketahui. Maya mulai merasa dikucilkan dan mengerucutkan bibirnya sedih,juga kesal. Ia melahap makanan mahal di hadadapannya tanpa selera. Maya bahkan sempat tersedak karena terlalu banyak menambahkan wasabi.
“Maya! Kau tidak apa-apa?” Masumi segera menoleh kepada Maya dengan khawatir. Gadis itu tengah menepuk-nepuk dadanya dan mengusap-usap lehernya. Masumi memberikan minum kepada tunangannya itu, dan Maya menerimanya. Masumi dengan perhatian mengusap-usap punggung mungil gadis itu. “Aduh kau ini…”
“Huee…” Maya menjulurkan lidahnya, dan terbatuk-batuk lagi setelah selesai minum.
“Ya, ampun… banyak sekali wasabi yang kau makan…” Masumi terbelalak. “Kau sedang mengikuti tantangan atau apa?”
Dilihatnya Maya menangis karena rasa pedasnya.
Akhirnya Masumi tak tahan untuk tidak tertawa saat melihat raut lucu Maya. Pria itu terbahak-bahak.
“Pak Masumi! Kenapa tertawa sih!?” hardik Maya kesal, memukul bahu pria itu sambil berdesis desis kepedasan.
“Habis kau lucu sekali…”
“Menyebalkan!!” Maya ngambek, tetapi mulutnya masih tak bisa tenang karena pedasnya sangat berlebihan.
Masumi masih saja terkekeh, dan Maya membuang wajahnya sebal.
Shiori mengamati adegan itu dengan alis berkerut tidak suka sambil melahap makanan lebih banyak karena tadi selama mengobrol dengan Masumi Shiori terpaksa memakannya dengan anggun.
“Uhuk!!-uhuk!!” Shiori terbatuk.
Masumi tertegun dan beralih kepada Shiori.
“Nona Shiori, apa kau baik-baik saja?” tanya Masumi.
“Uhuk! Uhuk! Ah… i-tu… maaf…” Shiori  meminta Masumi mengambilkan minum untuknya seperti Maya.
Masumi mengacungkan pisau. “Ini?”
“Uhuk!!” Shiori terbatuk semakin keras. “Bu-bukan, minum, minum…” pintanya.
Masumi mengambilkan minum bagi Shiori dan gadis itu meneguknya. Wajahnya tampak lega. “Terima kasih,” katanya dengan lembut dan tersenyum malu-malu.
Masumi mengangguk-angguk kecil. “Kau baik-baik saja?” tanyanya.
Shiori sekali lagi mengangguk dan tersenyum anggun. Maya mengamatinya dengan tak nyaman, dan itu bukan karena rasa pedas wasabi yang belum juga menghilang dari bibirnya.
Maya menunduk, sepertinya ada sesuatu yang terasa tidak nyaman.
“Maya!” teguran Masumi mengembalikan Maya pada keadaan awas.
“Ya? ya?” tanyanya, yang tak menyadari Masumi sudah memanggil hingga lima kali.
“Aduh… memikirkan apa sih?” goda Masumi. “Apa Jean tidak biasa makan sushi?’”
Maya mendelik sebal kepada Masumi. “Apa urusanmu!” tukasnya keki. Lantas melirik sekilas kepada Shiori yang dia cemburui.
Masumi tertegun. “Habis kau sepertinya melamun saja. Aku dari tadi bertanya kau tidak menjawab juga.”
“Benar, Pak Masumi bersikap perhatian kepadamu, tetapi sepertinya kau malah tidak menghiraukannya,” imbuh Shiori dengan lembut namun tajam di telinga Maya.
Maya jadi sungkan ditegur Shiori seperti itu, sekaligus jadi sedih.
“Me-memangnya tadi Pak Masumi bertanya apa…?” kata Maya pelan menutupi rasa sedihnya.
“Aku tanya, bagaimana dengan latihanmu hari ini?” kata Masumi.
“Baik-baik saja,” jawab Maya singkat.
“Sepertinya, Maya kalau melihat Pak Masumi selalu tampak uring-uringan ya?” tukas Shiori ringan.
“eh?’ Maya tertegun. Apa benar begitu? Ya… memang sih, dari dulu juga begitu. Tetapi kali ini memang ada pemicunya. Ia merasa Masumi mengabaikannya. Dan belakangan, jika Masumi mengabaikannya, Maya jadi kesal dan sedih.
“Yah, aku sih maklum… maksudku, latar belakang kalian kan sangat berbeda,pasti sulit ya, menyesuaikan satu sama lain. Tetapi, masalah kecil, kalau tidak diatasi dari sekarang, setelah menikah bisa menjadi masalah yang sangat besar,” terang Shiori.
Maya dan Masumi tertegun. Masumi mengamati Shiori tajam. “Apa maksud perkataanmu, Nona Shiori?”
“Ah, maaf, maaf, aku tidak bermaksud ikut campur, hanya saja…” Shiori mengambil serbet dan melap bibirnya dengan anggun. “Ini kan hanya kita bertiga, kuharap, kalian berdua tidak keberatan dan tersinggung dengan pendapatku.”
Shiori merasakan dadanya berdebar,karena dia bisa melihat Masumi yang mulai mengamatinya dengan tatapan sinis.
“Sebenarnya, apa yang hendak kau katakan, Nona Shiori?” tanya Masumi dengan dingin.
“Yah, aku kenal beberapa orang yang… saat mereka berpacaran, mereka terlihat sangat mesra dan serasi. Tetapi, setelah mereka menikah, mereka terus menerus bertengkar dan pernikahannya tidak terlalu lama…”
Maya tertegun, mengamati Shiori dengan perasaan waswas.
“Dan hubungannya dengan kami…?” Masumi tampak semakin dingin.
“Maksudku, aku tahu kalian berdua dijodohkan… tetapi, entah kenapa… sepertinya anda berdua terlalu memaksakan. Ah! Maaf… aduh…. Kenapa aku jadi membicarakannya juga.” Shiori pura-pura tak enak hati, tetapi melanjutkan ucapannya, “Maksudnya… yang diawali dengan cinta dan tampak sangat mesra saja, bisa putus di tengah jalan dan bercerai.Apalagi… jika melihat kalian berdua yang sangat jauh berbeda… belum lagi, sepertinya secara kepribadian saja tidak tampak ada kecocokan… Entahlah, kenapa sepertinya kalian berdua begitu memaksakan perjodohan ini. Padahal, hubungan kalian sangat mengkhawatirkan. Tidak tampak seperti hendak bertahan lama. Sayang sekali kan jika perpisahan itu terjadi di dalam pernikahan… padahal masih ada kesempatan memikirkannya baik-baik.”
“Apa kau mengatakan, agar aku dan Maya tidak menikah?” tuding Masumi yang tampak geram.
“Aku hanya tidak melihat hubungan kalian akan bertahan lama. Ah, maaf… aduuh… mulutku ini, kenapa tidak bisa bohong…” Shiori berujar dengan nada sungkan seraya pura-pura memukul bibirnya sendiri.
“Dengar, Nona Shiori, aku dan Maya, kami sudah sepakat untuk menikah dan melakukan yang terbaik yang kami bisa agar hubungan kami bisa bertahan sesuai keinginan orang tua kami.” Masumi tertegun dan segera menambahkan, “kurasa, aku tidak perlu menjelaskan apa pun kepadamu,” tukasnya. “Ini semua urusanku dan Maya, tak ada hubungannya denganmu.”
“ADA,” tegas Shiori. “Sekarang, ada. Karena itulah aku mengajak Maya kemari. Ada yang harus diketahuinya. Yang, Anda juga, Pak Masumi. Ini masalah kita.”
“Masalah… kita?” Maya tampak bingung. Setelah ucapan Shiori yang membuatnya memikirkan banyak hal, juga sekarang tiba-tiba saja mereka bertiga menjadi ‘kita’?
“Apa maksudmu? Jangan berputar-putar, apa kaitanmu dengan pertunanganku dan Maya? Dan apa tujuanmu mengajak Maya ke sini?”
“Aku mengajak Maya ke sini, untuk memintanya mundur. Mundur sebagai tunanganmu. Karena aku yang akan menggantikannya menerima tanggung jawab untuk menjalankan janji orangtua kita dahulu.”
Maya sangat terkejut mendengarnya begitu juga Masumi. Shiori segera mengerti reaksi mereka dan Shiori segera melanjutkan penjelasannya.
“Aku tahu kenapa kalian ditunangkan. Karena ibu kalian, dan Pak Miyake bersahabat bukan? Dan, aku jelaskan sekarang, bahwa aku dan Pak Miyake sudah melakukan tes DNA,” Shiori mengeluarkan sebuah amplop. “Di sana, hasilnya mengatakan bahwa aku, adalah putri Pak Miyake. Karena itu, Maya Kitajima,” Shiori menatap Maya lekat. “Aku minta kau mengundurkan diri sebagai tunangan Pak Masumi Hayami, dan biarkan aku yang mengambil alih posisi itu!”
Maya sangat terkejut hingga benar-benar tak tahu apa yang harus dikatakannya. Tiba-tiba saja Shiori mengatakan itu semua. Memang, dulu dia sempat berharap ada seseorang yang akan menggantikan posisinya untuk bertunangan dengan Masumi, tetapi ketika saat itu akhirnya benar-benar datang…
“Kau ini bicara apa!?” Masumi meninggikan suaranya dengan gusar. “Omong kosong! Mana bisa pertunanganku dan Maya—“
“Pak Masumi, dasar pertunangan kalian adalah perjodohan dari orang tua kita yang saling bersahabat. Oleh karena itu, aku juga memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mewujudkan janji orang tua kita.”
“Tapi aku dan Maya sudah akan menikah!” tegas Masumi.
“Tapi kau lebih sesuai bersamaku! Kita lebih serasi dan lebih baik! Dan yang pasti, tidak seperti Maya, aku bisa mencintaimu dan menghormatimu dengan layak!” Shori mengangkat dagunya dan berkata dengan tak kalah tegas.
 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting