Friday 29 March 2013

FFTK : Love Story Ch. 8

Posted by Ty SakuMoto at 10:11 4 comments


Love Story (Chapter 8)
By Momy Riema



Tokyo

     "Maaf, kita jadi makan di tempat seperti ini" Hijiri menggeleng penuh sesal. menatap sekeliling.
Mereka duduk di bangku panjang ,   diterangi cahaya seadanya dari lampu taman. diantara keduanya, tampak  beberapa bungkus makanan ringan, dua mangkuk ramen dan cup capuccino yang masih mengepulkan asap.

     "Apa maksudmu dengan tempat seperti ini? ini... menyenangkan ko... ngg... romantis.. tidak kalah dengan candle light dinner di restoran mewah.." Rei tertawa, memandang langit bertabur  kembang api.    

     "Hahaha... romantis?" Hijiri tergelak "Apa kau sedang berusaha mengurangi rasa bersalahku? Kalau begitu kau berhasil..." ditatapnya wajah Rei yang berkilauan ditimpa cahaya dari angkasa.

     "Siapa bilang aku begitu?" Rei menoleh  "kau pikir aku sebegitu baiknya? aku tidak begitu kok " gadis itu melengos, jengah karena Hijiri menatapnya demikian lekat.

     "Aku pikir begitu. kau memang . ng... baik." Hijiri menunduk, terdiam.  Diam-diam Rei tersenyum sendiri.

     "Ng... Maaf, Aku tidak bisa pergi ke tempat seramai itu."
     " Hm?"
     "Restoran. yang tadi hendak kita datangi. kau tau? yang itu..."
     "Ah. ya. Aku tahu. yang itu..kau tidak bisa" Rei memikirkan banyak kemungkinan tentang HIjiri yang cara hidupnya tidak wajar itu. Sementra Hijiri menduga-duga, apa yang tengah dipikirkan gadis disampingnya ini tentang dirinya.

     "Kau tahu. Aku tidak bisa seterbuka itu . maksudku. ngh.. Aku tidak bisa menjelaskan dengan detil alasannya. tapi. " Hijiri memiringkan kepala, bingung sendiri dengan apa yang hendak dikatakannya.

     "Tapi kau mengerti kan apa yang kumaksud?" Hijiri bicara cepat dan mencondongkan badan, menatap Rei dengan wajah serius. tapi entah kenapa gadis itu malah tertawa. membuat kening pria itu bertaut di tengah.

     "Kenapa sih kau bicara berbelit-belit begitu?" tanya Rei tersenyum, balik menatap Hijiri yang wajahnya hanya terpisah sejengkal dari wajahnya "Percaya deh. Aku mengerti." keduanya lama terdiam,
saling menatap. 

     "Begitu?" Hijiri bicara pelan, menghembuskan nafas panjang hampir tidak kentara. menenangkan jantungnya yang tiba-tiba saja berpacu kencang.
     "Mh-hm.. begitulah..." Jawab Rei sama pelannya. dikedipkannya matanya beberapa kali. sambil berfikir, apakah karena matanya yang mendadak jadi begitu cemerlang? ataukah karena cahaya langit yang terang? kenapa pria ini tampak lebih tampan dari biasanya. dan Kenapa dia tidak sanggup memalingkan wajahnya.

>Kenapa Aku tidak bernafas dengan normal, padahal Aku merasa sangat sesak sekarang? apakah ozon tiba-tiba. rusak parah hingga oksigen tak ada lagi?<

     "Aku.. percaya..." keduanya membeku, Hijiri bahkan tidak berani mengedipkan mata. tapi sedikit demi sedikit jarak antara mereka semkin berkurang. Hijiri mengikuti dorongan hatinya, mengangkat tangan. ingin sekali dia menyentuh pipi Rei yang licin dan tampak lembut. seinci lagi punggung tangan pria itu menyentuh pipi Rei, tiba-tiba.

DHUARRR..... DHUARRR.... DHUARR......

     Kembang api besar meledak di angkasa. membuyarkan udara padat diantara mereka. suasana yang mendadak terang membuat mereka saling menjauhkan diri.

     "Ehem... ehem..." Hijiri membersihkan kerongkongannya. "Minumlah, kau tidak haus?" Hijiri meraih capuccinonya, dan mereguknya banyak-banyak.

     "Itu bukan air mineral Hijiri, pelan-pelan sajalah.." Rei mengambil cupnya. meminumnya sambil memalingkan wajah. khawatir pria itu melihat pipinya yang pastinya memerah dan terasa panas.

     "Sebaiknya kita makan. ramennya jadi dingin." Hijiri menyodorkan mangkuk ramen dan mengambil miliknya sendiri.
     "Salahmu.. kau membiarkannya terlalu lama..." keduanya menekuri ramen masing-masing.

***

     Koji terbangunkan oleh suara piring beradu dan kucuran air di washtafel.
     "Ugghh... " seraya menggeliat. rupanya semalam dia tertidur di sofa apartemen Kaori. tapi seingatnya, dia tertidur saat tengah memeluk gadis itu dan tak berselimut. tapi pagi ini dia berselimut dan berbantal. kapan tepatnya Kaori meninggalkannya. dia bahkan tidak sadar....

     "Sudah bangun?"  seru Kaori mendengar gemerisik selimut. " apa aku membangunkanmu?" sambungnya..
     "Hmmm.. sama sekali tidak. " Koji turun dari sofa. " kenapa tidak membangunkan aku?" Koji mengucek mata menghampiri Kaori.

     "Aku tidak tega. kau tidur nyenyak sekali"  jawabnya tersenyum menoleh ke arah Koji yang gelagapan merapikan rambut ikalnya yang berantakan.
     "Oh.. eh... maaf... aku .... boleh pakai kamar mandimu?"
     " Tentu saja...." Kaori terkikik geli. mengeluarkan roti dari toaster

     "Ayo Koji, sarapan dulu." Kaori sudah menunggu di meja makan saat Koji keluar dari kamar  mandi, dengan rambut basah dan tubuh beraroma sabun.

     " Masih pagi kok, kau tidak perlu mandi sedini ini"  sambil menuang coklat, Kaori melirik Koji yang tampak sangat segar
     "Tidak apa, segar sekali. lagi pula aku ada janji pagi ini. lebih cepat aku siap kan lebih baik" Pemuda itu tersenyum, seraya menarik kursi dan duduk di hadapan Kaori.

     "Begitu... Silahkan.." Kaori menyorongkan gelas berisi coklat ke hadapan Koji, tak ingin bertanya tentang  janji apapun itu yang akan dipenuhi Koji. sebaliknya, Koji berharap gadis itu bertanya lebih jauh, sedikit saja ingin tahu tentang dirinya, tentu akan menyenangkan. pikirnya kecewa.

     "Terima kasih..." Koji menghembuskan nafas panjang
     "Kenapa? menarik nafas begitu...?"
     "Eh? Oh.. tidak.. Sedikit panas, coklatnya" dihirupnya minuman di hadapannya "Huftt! " Koji tersentak,  refleks meleletkan lidah dan menjauhkan cangkirnya  "Sangat panas malah..." ujarnya cepat dan gugup.

     "Aduh, maaf Koji... " Kaori bangkit dengan panik, menjulurkan tangan dan mengipasi mulut KOji
     "Eh, tidak apa-apa Kaori, aku baik. aku yang ceroboh... tidak apa kok..." Koji tertawa melihat wajah panik gadis di hadapannya.
     "Kau itu, malah tertawa. memangnya ada yang lucu? " Kaori merengut
     "Kau itulah, lucu. tampang panikmu lucu, kalau saja kau melihatnya" jawab Koji masih menyisakan tawa.

     "Haha, yaah benar aku lucu. profesi lainku memang badut, senang bisa membuatmu senang"
     "Kok jadi marah? memang aku salah ya? maaf kalau begitu... maaf  ya..." Koji kembali menghirup kopinya, kali ini setelah  meniupinya sebentar...

     "Mmmm.... enak sekali, terima kasih sudah menyiapkan sarapan untukku. senang sekali bisa melihatmu saat membuka mata pagi ini. menikmati sarapan yang kau siapkan, dan, bila ditambah dengan senyummu, ini akan jadi pagi paling sempurnaku..." KOji tersenyum, tak lepas memandang gadis berambut pendek tersebut

     "Koji ? Apaan sih" Kaori tersipu, bibirnya menyunggingkan senyuman.
     "Wow... pagi sempurnaku... " KOji mengembangkan tangan berlebihan

     "Dasar kau..... " Kaori menggeleng gelengkan kepala, tak mampu untuk tidak tertawa..

***


      Felix menatap pemandangan jauh di depan dari atas kap modilnya. meski cuaca luar biasa dingin dini hari itu, pria itu seolah tak merasakan apa-apa. Hatinya luar biasa galau mengingat wajah Ursula yang dilihatnya pagi ini. Betapa menakutkannya menatap wajah cantik adiknya kali itu. Tak pernah dia merasa segamang ini. Selama hidupnya yang serba sempurna, belum pernah pria tampan itu begini ragu.
           
     Dia yang dianugerahi wajah rupawan, kecerdasan dan materi di atas rata-rata. Tak pernah tidak yakin dengan keputusannya. Felix berani meninggalkan kedudukan yang telah disediakan orang tua yang mungkin diidamkan banyak pria lain dan memilih meniti kariernya sendiri, jauh dari rumah. Dan dia berhasil dengan baik dalam hal itu.
Kemampuannya menganalisa dan mengambil keputusan dengan cepat dan tepat tidak diragukan. Dia tahu benar apa yang diinginkannya

            Demikian juga masalah asmara. Meski terkenal sebagai playboy, tak satupun wanita yang dipacarinya itu dijanjikan masa depan. Hanya rayuan, tapi tidak janji-janji. Tapi toh para wanita itu dengan senang hati bertekuk lutut dikakinya. Bahkan ada yang dengan terang-terangan menyatakan kesediaannya menjadi wanita semalam pria itu. Tapi dia tak berniat melakukan itu. Sejak awal dia hanya menginginkan Mizuki sebagai wanita masa depannya. Tak sedikitpun ada ragu dihatinya bahwa kelak dia akan kembali bersama Mizuki.
            Pun pada saat kali pertama Mizuki menolaknya mentah-mentah, detik itu juga dia yakin akan sanggup menaklukan hati wanita yang teramat dicintainya itu.
Segala kebahagiaan telah terlihat di depan matanya. Segalanya berjalan sesuai rencananya, hingga kini.
           
Sungguh sesuatu yang diluar dugaan bahwa dia melakukan kebodohan fatal yang tidak bisa ditolerir, bahkan oleh dirinya sendiri.

            Lelaki tegap itu menghela nafas berat berulang-ulang.
            Kalau saja wanita itu bukan Ursula, akan lebih mudah baginya untuk mengambil keputusan, meskipun itu akan timpang.

Tapi ini Ursula. Adik cantiknya yang selalu ada untuknya. Yang melindunginya dari amarah orang tua mereka setiap kali dia berkelit dari kewajibannya dan memilih pekerjaannya sendiri. Yang akhirnya demi dia, Ursula rela melepaskan impiannya menjadi dokter dan menghabiskan waktunya mengurusi bisnis keluarga.

Ursula, adiknya yang dengan sabar mendengarkan ceritanya tentang Mizuki saat kedua orang tuanya menganggap penantiannya adalah kesia-siaan. Wanita yang selalu mendukungnya, menggantikan hukuman baginya. Ursula, satu-satunya adik yang begitu dicintainya

     Diurutnya kedua pelipisnya berulang ulang. pengaruh alkohol masih terasa sangat pekat di tubuhnya.
     "Aneh... aku bahkan tidak ingat minum banyak, bagaimana mungkin aku bisa mabuk. dan lagi toleransi alkoholku tidak main-main. kalau tidak sangat berat, bagaimana mungkin aku mabuk? sebenarnya apa yang terjadi? Dan bagaimana mungkin dengan Ursula, aku? HAH ! MENGESALKAN!" Felix mengacak rambutnya gemas. "SIALAAANNN...........!!!" Diambilnya segenggam salju, dengan sekuat tenaga dihantamkannya ke arah pepohonan..

"Bagaimana ini, harus bagaimana? Harus bagaimana?" Pertanyaan yang sama terus berulang menggema di kepalanya hingga terdengar seperti mantra. Tapi tak ada satu mantrapun yang dapat membalik keadaan.

Felix shock!

Dia tahu, hatinya hanya menginginkan Mizuki. Tapi mengabaikan Ursula bukanlah perkara mudah yang dapat diterima akal sehat dan nuraninya. Andai Mizuki tahu, diapun mungkin akan menentang hal ini. Tapi Felix tak berniat membiarkan kekasihnya tahu. Setidaknya bukan sekarang.

***

            Mizuki  menggeliat di tempat tidurnya. Sama sekali tak memejamkan matanya semalaman.

            “Felix bodoh! Dimana orang itu?” Mizuki melirik jam di samping tempat tidurnya. Masih lima jam lagi waktu keberangkatan penerbangan siang yang sudah dipesannya, tapi dia ingin segera pulang saking kesal karena semalam Felix meninggalkannya di tempat asing.

Mizuki memejamkan matanya lagi. Mengingat tadi malam dia harus menikmati tahun baru dalam kekesalan karena Felix tak juga kembali.

Ponselnya pun tak bisa dihubungi. Hanya pesan dari seorang temannya yang mengatakan dia harus pergi untuk urusan pekerjaan yang akhirnya membuat Mizuki meninggalkan tempat itu dan berkeliling lalu kembali ke hotelnya di pinggir kota, sendirian.

Mizuki bangkit dan berjalan ke jendela. Dibukanya jendela besar itu. Angin dingin mencucuk menerpa wajahnya
            “Hhhh. Indah sekali pagi ini….” Mizuki menatap pepohonan yang masih tampak kaku dibalik lapisan es tipis

            “Mizuuu!”  Teriakan nyaring khas itu membuatnya menundukan kepala, ke bawah balkon
            “Pagi cantik…” Felix melambaikan setangkai lili di tangannya
            “Huh! “ Mizuki mendengus, mengabaikan pria itu

            ‘Mizuuu! Jangan  marah sayang, please?” Teriak Felix menampilkan senyuman terbaiknya. Uap putih mengepul dari mulutnya.

            “Pergi sana! Aku tidak ingin melihatmu hari ini!” Mizuki mengibaskan tangannya
            “Salah!. Justeru kau harus bersamaku hari ini. Ayo turun. Aku siapkan sarapan ya?”
            “Tidak sudi! Go away!’ Jawabnya masih berteriak
            “Mizuuu! Maafkan aku. Please? Please?” Felix memohon-mohon, merangkapkan dua tangan di depan dahi


            “Eham. Sepertinya masih terlalu pagi dan dingin untuk berlatih sandiwara kan Nona?” Seorang pria baya berdehem di samping balkon kamarnya. Rupanya dia merasa terganggu dengan teriakan mereka

            “Ehm. Maaf Tuan, saya mengganggu tidur anda?” Mizuki membungkuk dalam dalam
            “Tidak apa. Hanya saja, dia pasti akan segera membeku jika nona tidak lekas mengundangnya masuk” pria itu melirik ke arah Felix yang tanpa mantel
            “Ng. tidak apa-apa. Biarkan saja” Jawabnya sambil tersenyum, membuat Felix mendelik mendengarnya

            “Ok then. Hanya saja, sepertinya tamu lain masih ingin tidur nyenyak pagi ini. Sepertinya  mereka baru tertidur dini hari tadi” pria itupun tersenyum maklum

            “Sekali lagi saya mohon maaf” Mizuki membungkuk lagi. Wajahnya merah karena malu

            “Ok. Sampai nanti” Pria itu masuk kembali ke kamarnya, setelah sebelumnya melayangkan senyuman ke arah pria muda di bawah balkon yang membalasnya dengan ucapan terima kasih

            “Gara-gara kau! Dasar bodoh! Merusak suasana saja” Mizuki cemberut, suaranya lebih pelan sekarang
            “Mizu?” Tatap Felix memohon, dihembuskannya nafasnya kuat-kuat. Mengepulkan uap putih tebal. Lalu dengan sigap menekuk kakinya dan menumpukan sebelah lututnya di salju.

            “What?” Mizuki terbelalak nyaris tertawa
            “I`m so sorry….. please forgive me….. Mizu sayang?”
            “Tidak.” Mizuki memalingkan wajahnya
            “Mizu? Apa aku harus memanjat kesitu seperti Romeo agar kau mau bicara baik-baik denganku?”
            “Huh. Kau berbuat begitupun, tidak nanti aku akan memaafkanmu ya?”
            “Tidak apa, paling tidak kita bicara saja dulu. Yang pasti, aku tidak bakal melepasmu pergi dalam keadaan seperti ini. Tidak akan.” Katanya tegas

            “Ugh, dasar!  Tunggulah. Aku turun sebentar lagi”
            “Oh Sayang. Terima kasih” Felix memiringkan wajahnya, menyungingkan senyuman yang tidak bisa tidak, selalu membuat Mizuki melambung
               "Mizu ! I love you... very very very much.......... !!!" Teriak Felix sekali lagi dengan wajah berbinar

            “Sudah. Bangunlah bodoh! Kau menarik perhatian tahu?” Mizuki mulai jengah pada pandangan pengurus taman yang sedari tadi memperhatikan mereka. Yang dari tatapannya terlihat jelas bahwa orang itu menyalahkannya

            “Ok. Aku tunggu di restoran ya.”  Jawabnya masih sambil berlutut
            “Huh” Mizuki berbalik ke arah pintu kaca dan masuk ke kamarnya “Sok innocent. Awas saja kau ya. Sudah salah, malah membuat aku terlihat seperti wanita jahat yang tidak pemaaf” Mizuki masih terus menggerutu selama beberapa saat

***

            “Haaaiiii” Felix menyambut Mizuki di bawah tangga dengan senyum lebar sempurna
            “Bukankah seharusnya kau menunggu di restoran?” Mizuki menerima bunga lili yang disorongkan padanya “Trims”

            “Maaf. Aku tidak sesabar itu”
            "Ukh.” Mizuki memutar bola matanya. Menuruni anak tangga terakhir sambil menepis uluran tangan Felix

            “Masih marah?” mereka berjalan bersisian
            “Tentu saja” Jawab Mizuki ketus
            “Mizu, jangan marah.... ya?” Nada memelasnya nyaris seperti anak kecil. Mau tak mau Mizuki menoleh dan mencebik

            “Kau sudah lapar? Bagaimana kalau kita jalan-jalan dulu??”
            “terserah kau saja. Toh selera makanku sudah hilang begitu melihat mukamu” Mizuki berjalan lebih cepat melintasi lobi
            “Maaf lagi untuk itu” Kaki panjangnya menjejeri langkah Mizuki tanpa kesulitan



Mereka berjalan tanpa bicara. setelah lelah menepis tangan Felix, Akhirnya Mizuki menyerah, dan membiarkan saja lelaki itu menggenggam tangannya.

            “Kau sedang berkabung? Mengenakan setelan hitam begitu” Mizuki memandang pria di sampingnya dari kepala sampai kaki. Semuanya serba hitam. Dia juga yakin, dibalik jaket hitamnya, pasti dia mengenakan baju hitam juga
            “Ya. Untuk dua alasan”
            “Yaitu?”
            “Pertama. Karena kemarahanmu hari ini, dan kedua, aku berkabung tentu saja karena kepulanganmu. Dan bila mengingatmu yang akan pulang dengan kemarahan. Itu membawaku pada alasan ke tiga” Felix menghela nafas berat
            “Ya?” Mizuki melebarkan mata
            “Berkabung untuk diriku sendiri. Karena kesedihan yang diakibatkan dua hal tersebut sudah kurasakan berlipat dari sekarang”
            “Oya?” Mizuki menyunggingkan senyuman tipis

            “Hah! Bagus sekali! Kau menertawai kesedihanku? Ukh. Tak bisa dipercaya. Begitu tidak pedulinya kau padaku?” Mizuki tertawa renyah
           
“Bodoh. Mari kita lihat lagi alasan pertama. Ng…. kalau kau bisa memberikan penjelasan yang bisa kuterima tentang tadi malam. Mungkin aku bisa mengurangi kadar amarahku” Tawar Mizuki
            “Hanya meredakan? Sedikit? Tentu saja aku punya alasan bagus. Seharusnya kau menghapuskan amarah sepenuhnya”

            “Maaf, bukan sebagus apa alasanmu. Tapi, bisakah aku menerima alasanmu yang sudah pasti bagus itu? And. Adalah urusanku mau memaafkanmu atau tidak. Tidak perlu mendebatku tentang itu!” Mizuki membentak lalu berjalan lebih cepat, menyeret Felix yang bertaut tangan dengannya

            “Ok. Lagi lagi maaf untuk mendebatmu” Suara Felix terdengar lunak. Lalu terdiam

            “So? Aku masih menunggu penjelasanmu bodoh! Apa kau kira aku punya waktu seharian?”

            “Oh. Aku yakin tidak. Sorry. Semalam aku memang terlalu seru membicarakan bisnis hingga melupakanmu. Aku benar-benar lupa waktu”
            “Hah! Yang benar saja? Kalian bicara sampai pagi?” Hardik Mizuk kesal
           
            “Mizu…. Maaf. Sepertinya tadi malam minumannya terlalu keras. Rasanya aku tidak minum sebanyak itu hingga aku mabuk. Entahlah… “ Felix memiringkan kepala setengah berfikir “Saat aku sadar, kau sudah tidak ada”

            “Tentu saja tidak. Kau pikir aku akan menunggumu seumur hidup?!” Kata-kata itu entah bagaimana sangat terasa menyakitkan di hati Felix.

            “Eh? Yah. Setidaknya begitulah harapanku” Seraya tertawa hambar “Aku……. Aku bingung Mizu” Nada ragu itu membuat langkah Mizuki tersendat

            “Ada yang tidak kau ingin bagi denganku?” Mizuki membalikan badan dan menatap Felix lurus.
            “Ng.” Felix mengatupkan rahang, menatap kesana-kemari demi menghindari menatap mata onyx Mizuki yang pasti akan langsung menghabisinya

            “Fe! Lihat aku” Mizuki menangkup wajah Felix dan  melihat banyak hal dibalik mata biru itu “Ada apa?” Tatapan tajamnya seolah menikam  tepat jantung Felix, karena pria itu seakan merasakan sakit saat melihatnya

            “Aku pulang sekarang! Tidak perlu mengantar!” Mizuki berbalik dan berniat meninggalkan Felix

            “Mizu! Mizu! Please?” Dengan  sigap Felix  menahan tangannya “Tunggu”

            “Mizu…. Ayo kita menikah sekarang?”

            “Ha?” Matanya membesar dengan mulut setengah terbuka “Hahahahaha….. Jangan mengalihkan perhatianku Fe! Aku sedang marah sekarang! Dan kau  malah bercanda begitu” Selama beberapa saat Mizuki terus tertawa hingga pipi pucatnya memerah.

Felix tersenyum  tipis. Baru saja dia berpikir untuk menipu Mizuki. Jahat sekali. Mengajaknya menikah tanpa tahu apa yang baru saja terjadi padanya, bahwa dia sudah melakukan kesalahan fatal yang bodoh.

Sekelebat tadi. Dia benar-benar ingin menjadi egois. Yang penting dia bisa bersama dengan Mizuki. Yang lain dia tak ingin peduli.

            “Aku antar kau  ke bandara sekarang. Kita sarapan di jalan saja. Aku ingin mengajakmu ke suatu  tempat” Katanya setelah terdiam cukup lama.
           
***
            Felix membawa mobilnya keluar jalan raya, melintasi lapangan rumput luas yang tertutup salju dan menghentikannya di tepi.
               "Ayo turun" Felix melepas safety belt nya
               "Tempat apa ini? padang rumput? Apa kau hendak menggembala ternak disini?" Mizuki mengikuti Felix kelur dari mobil
               "Hahaha Mizu, tak disangka kau lucu juga" Tawa Felix sarkastis
               "Terimakasih.. beberapa saat bersamamu rupanya mampu memperbaiki selera humorku.."
               "Itu bagus... sini" Ditariknya tangan Mizuki "Hati hati" Mereka berdiri tepat di tepi tebing. di hadapan mereka terhampar pemandangan yang sangat indah.  bukit bukit kecil, kastil kastil kuno dan pepohonan yang berkilauan karena salju.
              
               "Luar biasa bukan?" Felix manatap Mizuki yang terpana di sampingnya
               "Mh-hm" Jawab Mizuki tanpa menoleh. Felix mengetatkan genggaman tangannya, kemudian melepasnya.
               "Aku selalu merasa tenang disini" Felix mundur ke mobilnya, menontoni Mizuki dari  belakang.

            Mizuki menatap jauh jurang terjal di hadapannya. Indah. Tapi mengerikan.
            “Untuk apa kau butuh tempat seperti ini?” Mizuki menoleh ke belakang. Manatap Felix yang duduk bersila di atas kap mobil yang parkir dua meter dari tepi tebing

            “Melarikan diri, merindukanmu, menyendiri. Ng, menghibur diri juga…”
            “Mm. bagus, tapi. Dari apa kau harus melarikan diri? Dari pacar-pacarmu?” Mizuki terkekeh pelan, seraya duduk di samping kekasihnya.

            “Banyak kali” Felix tersenyum, meraih tangan Mizuki “Aku menghabiskan waktu di sini merindukanmu. Mungkin akan tetap begitu”
            “Apa maksudmu? Kau kan tinggal menelpon kalau rindu. Kau bisa melihatku kapanpun. Kau ada masalah dengan teknologi?” Mizuki memperhatikan wajah Felix yang tampak serius.

            “He…he..he… Betul sekali. Kapanpun aku ingin, aku bisa melihatmu” Diremasnya tangan Mizuki lembut.  “Aku sayang sekali padamu. Aku harap kau  tahu  itu”

Mizuki menghela nafas. Alih alih menanggapi pernyataan Felix, dia malah menatap sekaliling padang rumput putih itu. Lalu kembali pandangannya melekat pada wajah putih Felix. Dan pada mata biru membaranya. Mata yang  meyakinkannya bahwa dunianya tidak lagi hitam putih.
           
            “Aku suka sekali  matamu. Kau tahu?” Felix tersenyum, mengangguk
            “Lalu?” Seraya memiringkan wajah. Menyentuh kening Mizuki dengan ujung jari. Lalu menelusurkan ujung jarinya sepanjang wajah Mizuki hingga wanita itu mengerjap gugup

            “Ugh. Meskipun kau tampak sangat aneh hari ini. Dan meskipun kau sering bertindak bodoh. Percaya tidak? Aku mencintaimu….”

            “Aku. Sangat percaya” Ujung jarinya menarik dagu Mizuki mendekat. Tangan kirinya menarik pinggang Mizuki hingga merapat padanya

            “Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu” Ditutupnya jarak diantara mereka dengan menekankan bibirnya ke bibir Mizuki.  Lembut dan terlalu berperasaan.. Mizuki malah merasakan sedikit kepedihan disana. Tapi tak urung, dirangkulkannya  kedua tangan ke punggung  Felix

Tak memakan waktu lama, ciuman lembut itu berubah semakin kuat dan dalam. Dengan Felix mendesahkan namanya setiap mereka berhenti untuk menghela nafas, Mizuki semakin mabuk. Pelukannya  semakin erat.
            “Apapun yang terjadi. Aku mencintaimu.” Bisik Felix di telinga Mizuki diakhir ciuman  panjang mereka. “selamanya”
            “Menakutkan” Mizuki terkikik


***

Mizuki menatap awan-awan di luar jendela pesawat yang membawanya kembali ke Jepang. Membayangkan bagaimana jadinya kehidupannya mulai sekarang. Setelah dia mengenal cinta yang sebenarnya. Merindukan seseorang yang nyata.
            Bahagia. Sedih. Berbagai perasaan campur aduk di benaknya. Bibirnya tak bisa berhenti tersenyum tiap kali nama Felix melintas di kepalanya.

            Mizuki mengangkat pergelangan tangannya. Menatap gelang dengan hiasan sepasang ukiran  bunga salju yang berkilau  tertimpa cahaya matahari.

            “It will be my best winter. Thanks to be the best part of it” Kata Felix diujung keberangkatan Mizuki sambil memasang gelang rantai tipis tersebut. Lalu sekali lagi menciumnya dengan ganas. Tak peduli beberapa orang melirik mereka.  bahkan ada seseorang yang terang-terangan memperhatikan. tidakkah dia seharusnya malu dan memalingkan wajah? atau memang begitukah adat orang eropa? Mizuki masih sempat berpikir sebelum akhirnya tenggelam dan tidak sempat lagi merasa malu.

Saat itu, Mizuki hanya tersipu. Belakangan baru disadarinya, ciuman Felix terasa menakutkan. Seperti mereka tidak akan bertemu lagi.

“Ahh” Mizuki menggeleng “Selalu berfikir buruk. Memang begitulah Felix bukan? Meledak-ledak seperti biasa. Apa yang aneh dengan itu? Ya kan?” Mizuki bicara pada gelangnya, lalu menatap batu safir biru di jarinya. Lalu kembali tersenyum sendiri. Dan baru memahami betul kenapa Masumi seringkali bertingkah aneh saat jatuh cinta pada Maya dulu.

“Ternyata memang begitu rasanya. Sangat diluar kuasa, doesn`t make sense…” Lagi-lagi wanita itu  tersenyum

***

           Mengawasi seseorang bukanlah pekerjaan membosankan bagi Hijiri. untuknya, pekerjaan bukanlah sesuatu hal yang harus dikeluhkan. diam mengawasi, atau pasang badan menghadang senjata. itu sama. pekerjaan.  hanya seputar itulah hidupnya berkisar. maka itu tidak membosankan. pun tidak selalu menyenangkan.

          Tapi belakangan ada yang berubah. orbitnya sedikit melenceng dari biasa.  Dikepalanya kini tidak  melulu berisi pekerjaan. Tanpa mengabaikan pekerjaan- yang baginya tetaplah yang utama- pria kalem tersebut menyisakan sekelumit ruang dikepalanya. yang tertutup, dimana dia menyimpan seseorang di sana. yang bisa dia pikirkan saat senggang, bahkan saat sedang menunggu seperti saat ini.

          Menurut informasi dari seseorang yang bisa dipercaya yang bekerja di PT. X, salah satu perusahaan yang merasa pernah dirugikan Daito,  Direktur PT. X, Matsumoto, sedang merencanakan gerakan pembalasan pada Masumi Hayami, orang yang berandil besar dalam kejatuhan mereka.

          Matsumoto bukan orang pertama. Ini bukan kali pertama hal seperti ini terjadi. Hijiri harus memancang mata pada setiap korban Daito yang mungkin akan bangkit dan memberikan perlawanan. Menjegal kaki mereka sebelum mereka sempat bangkit, atau harus menjatuhkan mereka sekali lagi, hanya itu pilihannya. Yang pasti, tidak membiarkan siapapun memiliki kesempatan untuk menjatuhkan atasannya. Itu sudah menjadi kewajiban mutlaknya

          Dalam mobilnya, Hijiri masih menunggu Matsumoto yang kabarnya akan mengadakan pertemuan penting dengan seseorang sehubungan dengan rencana pembalasannya.
Matanya nyalang mengawasi. tapi pikirannya melayang pada pertemuan terakhirnya dengan Rei tadi malam.

     "Ng,,, Hijiri... Kalau boleh aku tahu.. Sebenarnya, kenapa kau mengajakku hari ini?" Rei menatap Hijiri lurus
     "Eh? aku... aku... Memangnya aku belum bilang ya?" Jawab Hijiri gugup
     "Tidak. kau sama sekali belum mengatakan alasanmu. hanya memisahkan aku dari teman-temanku begitu saja. tanpa mengatakan kenapa aku harus mengikutimu" Rei memasukkan suapan ramen terakhirnya dan membuang mangkuknya ke tempat sampah di samping kanan bangku.
    
     "Ng. aku... " Hijiri menghirup capuccinonya, mencari alasan yang tepat "Lalu. Kenapa kau mau mengikutiku begitu saja? tanpa aku mengatakan apapun?"
     "Apa?" Sambar Rei cepat "Siapa yang..... Aah,,, kan aku yang duluan bertanya padamu.. Bukankah sebaiknya kau jawab dulu pertanyaanku, baru balik bertanya?" Rei bersungut galak, membuat Hijiri tersenyum.

     "Yaah, aku hanya ingin tahu. apakah kau punya jawaban dari pertanyaanku barusan?"
     "Ngh... ini seperti kau menghindari pertanyaanku" Rei mengangguk-angguk "Tak apa. Tapi aku tentu punya jawaban."
     "Oya?" Hijiri tampak penasaran
     "Tentu saja.... aku mau pergi denganmu karena. aku ingin tahu kenapa kau mengajakku. hehehe" Rei terkekeh
     "Jawaban macam apa itu? kau memutar pertanyaanmu lagi!" Hijiri mendelik
     "Ya benar. lalu kenapa?" Tantang Rei mengangkat dagunya "Kau kira aku tidak bisa berkelit sepertimu? huh ! Enak saja!" Hijiri menggeleng tertawa melihat Rei bersungut.

     "Baiklah, tidak usah dijawab kalau begitu" Hijiri menghela nafas, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi besi dan memandang ke arah langit. "Tidak perlu ada pertanyaan, bisa tidak? jadi aku tidak perlu menjawab, karena tidak ada jawaban pasti yang bisa aku berikan" tutur Hijiri tanpa memandang Rei.
Sebaliknya, Rei memandang Hijiri lekat-lekat.

     "Hmm... baiklah kalau begitu. maaf karena aku terlalu cerewet. sudah kebiasaan, aku selalu ingin tahu." Rei bersandar dan memandang  langit juga. "Tapi aku tetap akan mengatakan, jawabanku untuk pertanyaanmu. itu akan sama dengan jawabanmu." Hijiri menoleh 
"aku pikir kau mungkin menjawab dalam hati, meski tidak mengatakannya. maka, itulah Kenapa Aku mau ikut denganmu...." Rei memandang Hijiri sekilas, lalu kembali memandang langit.
     "Hmmm... terima kasih." Pria itu tersenyum pada langit


          Hijiri menghempaskan punggungnya ke belakang. Baru kali ini dia merasa resah dengan pekerjaan menunggunya.
     "Mengapa Matsumoto tidak keluar juga, sehingga aku bisa bekerja dan berhenti melamun? Hah... " Hijiri mengusap wajahnya, tersenyum sendiri
     "Wow... bagaimana bisa aku terus teringat gadis cerewet itu?"

     "Hmm.. seandainya aku bisa menyuarakan jawabannya. bukankah itu saat yang tepat? dengan suasana seperti tadi malam, tidakkah itu saatnya aku bilang, sepertinya aku menyukaimu Rei, dan aku ingin merayakan tahun baru bersamamu. ingin sekali.. Ugh.. andai bisa mengatakan itu di depannya." Hijiri meniupkan nafas

     "Dan dia bilang jawabannya sama denganku? Ah,, apa dia yakin? Haahh... gadis itu, benar-benar deh. Ck. aku ingin melihatnya..." Dihembuskannya nafasnya sekali lagi.

    "Akhirnyaa..." Hijiri mengawasi Matsumoto yang baru keluar dari gedung kantornya disertai 2 orang bawahannya. Saat mobil mereka melaju, tak berapa lama kemudian Hijiri menyalakan mobilnya dan mengikuti sedan putih tersebut.

***

     "Maya, ini ada undangan." Kaori menghampiri Maya yang tengah menunggu di ruangan Masumi, menyodorkan selembar kertas kaku
     "Undangan apa?" Maya menerima dan membukanya
     "Entahlah, sepertinya pernikahan..."Kaori mengangkat bahu
     "Kyaaa. Minaaa..." Maya terlonjak. tak lama, teleponnya berdering.
     "Ah, Rei... Hallo..." Maya menjawab dengan riang, Kaori sedikit terusik mendengar nama itu disebut. ingatannya kembali melayang pada Hijiri.
     "Ya, aku sudah menerima undangannya"
     "Tentu saja aku akan pergi, kita bisa pergi bersama kan?" Maya mengangkat alis melihat Kaori menggeleng.
     "Ah ya, benar. aku akan sedang pergi berlibur saat itu." Maya mengangguk-angguk. "Haah,,, bagaimana ini?"
     "Tentu saja aku ingin pergi ke pernikahan Mina. tapi aku juga sangat ingin pergi belibur dengan suamiku... aku yang memaksa pergi..... ya, ya.... kita bicara lagi nanti. ok" Maya meletakkan ponselnya di meja.

     "Haah.... bagaimana ini Kaori? aku akan melewatkan pernikahan temanku jika aku pergi berlibur minggu ini" Maya merengek frustasi
     "Kapan pernikahannya?" Kaori membolak balik halaman majalah di tangannya
     "Minggu depan.."
     "Lalu? haruskah kau bicara pada pak Masumi untuk menunda keberngkatan kalian?"
     "Apa? apa itu mungkin? Masumi bahkan sudah mempersiapkan semuanya. bisakah ditunda begitu saja?" kening Maya berkerut

     "Kenapa tidak?" Kaori mengalihkan pandangannya dari majalah
     "Kau yakin bisa?"
     "Nyonya. kau lupa dengan siapa kau menikah? Tuan Masumi Hayami. dan menurut pengalamanmu? adakah hal yang tidak bisa dia lakukan? apalagi untuk isteri tercintanya?" Maya tersipu mendengar perkataan Kaori

     "Suamiku itu, benarkah akan melakukan apapun untukku?" Matanya menerawang, teringat Masumi yang memang selalu bersikap begitu. melakukan apapun untuknya, sejak dulu seperti itu

     "Tentu saja, soal itu kau yang paling mengerti kan. kau juga. pasti akan melakukan apapun untuknya bukan?" Kaori memiringkan kepala, tersenyum
     "Em-hm. Dengan segala keterbatasanku. aku pasti akan melakukan apapun untuknya. aku saaangat mencintai suamiku. kau tahu?"
     "Siapa yang tidak tahu?ng... kalian masuk berita lagi minggu ini." Kaori menunjukkan halaman majalah dimana ada gambar Maya dan Masumi di situ.

     "Wow... apa katanya? Ck... aku tidak suka gambarku"
     "Apa? Kenapa? kau tampak cantik disitu." Kaori menunjuk gambar Maya mengenakan gaun putih selutut menggandeng Masumi yang bersetelan tuksedo.
     "Ugh.... kenapa Masumi selalu terlihat begitu tampan?" Mata Maya menatap penuh puja "Aku selalu merasa tidak percaya diri" Maya cemberut.

     "Ahahaha.... Maya, Maya.... sampai kapan kau akan bicara seperti itu? Bukankah sudah jelas, Pak Masumi sangat, sangaaat mencintaimu. memilihmu diantara sekian banyak wanita. tidakkah itu seharusnya membuatmu sedikit sombong? besar kepalalah, yakinkan dirimu sendiri, 'aku sangat hebat hingga mampu meluluhkan hati seorang Masumi Hayami' yes" Kaori mengepalkan dua tangan di depan dada sambil tersenyum puas.

     "Kyaaa.... tidak mungkin aku begitu. aku terlalu malu untuk berpikir seperti itu." Maya menggeleng beberapa kali sambil tersipu "Mengatakan hal seperti itu, bahkan hanya dalam hati rasanya terlalu memalukan" Dirabanya pipinya yang memerah

     "Ah, kau ini. berpikir seperti itu akan bagus untukmu. Jika aku bisa mendapatkan seseorang seperti Pak Masumi, pasti aku akan berpikir begitu. Meyakinkan diriku, menggenggam erat suamiku, dan tidak membiarkan wanita manapun berpikir tentang mengambil suamiku dari sisiku. Hap" Kaori melakukan gerakan membabat di depan dada, membuat Maya tertawa

     "Ah, ya. Akan ku ingat-ingat petuahmu manager." Maya mengangguk
     "Omong-omong bagaimana dengan kisahmu sendiri?"
     "Kisahku? Yang mana ya?" Kaori kembali mengalihkan perhatianNya pada majalah di tangannya.
     "Yang mana lagi? hubunganmu dengan Koji maksudku. Apa kau sedang berhubungan dengan orang lain juga?"
     "Ng? tidak. aku tidak berhubungan dengan siapapun. dengan Sakura Koji pun, aku belum. Mmmm,,, kami tidak berhubungan seperti itu. Kau jangan salah faham.."
     "Salah faham? Apa begitu? Setahuku Koji sangat menyukaimu, kaupun tidak membencinya kan? apa aku salah faham?"
     "Tidak juga. Tapi, tidak membenci dengan menyukai itu dua hal berbeda Maya."
     "Ya aku mengerti. apa kau bermaksud mengatakan bahwa kau tidak menyukai Sakura Koji?"
     "Yaah,,, aku juga tidak bisa mengatakan tidak menyukainya. Tapi..." Kaori menggantung jawabannya

     "Hah... kau membuat aku bingung saja. jadi sebenarnya perasaanmu pada Koji itu bagaimana?" tanya Maya gemas
     "Aaahhh... aku tidak tahu.... perasaanku masih campur aduk. maju mundur tidak jelas. aku sangat ingin menyukainya, dia sangat pantas untuk itu. Ceria, hangat, tampan. Oh... dia benar-benar pria yang baik"
     "Tentu, dia juga aktor yang sangat berbakat. Mungkin sekarang saatnya kau berbangga diri karena membuat pria seperti itu sangat mencintaimu?" Maya tersenyum jahil, membalik kata-kata Kaori.
     "Ahahaha.... kau ini!"

     "Apa aku baru saja mendengar isteriku memuji pria lain??" Tiba-tiba saja Masumi sudah ada di belakang mereka, mendelik menatap isteri mungilnya.
     "Pak Masumi.." Kaori membungkuk
     "Hmm..." Masumi membalas dengan anggukan
     "Masumi... Sayaaang... kau sudah selesai..." Sambut Maya riang
     "Jadi?" Masumi mangangkat alis
    "Jadi?" Maya menatap tak mengerti "Kita makan siang sekarang?"
     "Bukan itu"
     "Bukan? Lalu?"
     "Lalu? kau tidak merasa bangga karena suamimu bukan aktor hebat?" Masumi menatap isterinya dengan pandangan serius
     "Oh, itu... " Maya tersenyum maklum
     "Ya sayang... itu..." Maya terkekeh lalu menggandeng lengan suaminya
     "Ayo pergi makan siang, aku sudah lapar. Kaori, ayo ikut makan bersama kami"
     "Terima kasih, mungkin lain kali. Selamat jalan" Kaori membungkuk
     "Baiklah, dadah" Maya melambaikan tangan sambil menyeret Masumi "Ayo sayang.... aku kelaparan" mereka berjalan ke arah lift
     "Ah.. isteri macam apa.. Hanya memikirkan makanan dan bukan perasaan suaminya? aku tersinggung tahu. ternyata di belakangku kau masih memuji-muji mantan pacarmu itu."
     "Oh sayang, ayolah... " Maya terkikik "Kadang aku lupa bahwa kau ini direktur Daito yang sangat ditakuti. apa itu benar kau? bagaimana mungkin kau begini kekanakan saat sedang cemburu?"
TING. pintu lift terbuka, hanya ada seorang pria karyawan Daito di dalamnya.

      "Ngh... silahkan. saya turun disini.." Sepertinya pria itu mengambil keputusan mendadak
      "Eh. oh. Silakan" Maya menarik Masumi masuk dan menekan tombol B.
      "Ya. kau memang orang yang ditakuti itu" Maya memutar bola mata
     " Apa? Aku tidak melakukan apapun. Dan aku tidak ditakuti, aku di-se-ga-ni."
     "Ah ya... dan aku tidak mau tahu apa bedanya itu" Maya bersungut "Baiklah tuan yang di-se-ga-ni. bukankah sebaiknya direktur yang disegani ini tidak begitu kekanakan?"
     "Kekankan? itu karena aku sangat mencintaimu tahu??"
     "Aku tahu, dan apa kau tahu, aku sangat bangga menjadi isterimu. rasanya seperti jadi wanita paling cantik, karena kau memilihku dari wanita lainnya" Dalam hati Maya berterimakasih pada mangernya
     "Sungguh?"
     "Yyaa. suamiku tampan.... "Maya berjinjit merangkulkan dua tangannya ke leher Masumi dan mencium bibir suaminya.
Masumi membalas dengan antusias, mengangkat pinggang isteri mungilnya hingga tak menjejak lantai. mereka menghentikan kegiatan mereka saat pintu lift terbuka di tujuan mereka.

     " Ng. sayang? Boleh tidak aku bolos bekerja? Ayo kita makan siang di rumah saja, di kamar kita? sepertinya kau sedang bersemangat " Masumi menggandeng Maya ke mobil, maya terkikik.
     "Tidak ! sama sekali tidak. aku tidak suka suami pemalas! mengerti?" Maya memelototi suaminya
     "Oh... oh... oh... isteriku galak sekali. Sebenarnya siapa yang menakutkan disini, itu jelas bukan aku.." Masumi merengut.
     "Ha ha ha... aku belajar darimu tentu saja... Aahhhh....... aku baru ingat, aku menerima undangan pernikahan Mina.
     "Di Hokaido? Kapan?" Masumi mengawasi arah sebelum mengeluarkan mobilnya dari parkiran

     "Ya. minggu depan"
     "Mmm.. bukankah saat itu seharusnya kita sedang berlibur?"
     "Ng.... Yaa.... " Nada suaranya menggantung ragu, Masumi tersenyum maklum.
     "Kau ingin menghadiri pernikahan temanmu kan?" Maya mengangguk
     "Tapi tentu saja kau tidak ingin liburan kita batal kan?"
     "Uugghh.... tentu saja tidak, aku ingin sekali pergi berlibur." Maya merajuk manja
     "Lalu?"
     "Lalu?" ulang Maya

     "Apa maumu sayang?"
     "Kau pasti tahu apa mauku. bisa kan?" rajuk Maya manja, Masumi tersenyum.

     "Kau ingin menunda liburan kita setelah pernikahan temanmu?"  Masumi menoleh melihat isterinya mengangguk senang
     "Boleh?" Matanya membulat menatap suaminya

     "Ng... nanti aku pikirkan lagi...."
     "Aaannnnggg.... Sayaaaang.... " Maya menggoyang lengan suaminya
     "Sayaang. aku sedang menyetir, bahaya." Masumi menahan senyum
     "Aahh... habisnya... kau seharusnya bilang boleh." Maya merengut, membalik badannya ke arah jendela.

Masumi meminggirkan mobilnya ke tepi, setelah beberapa saat isterinya tak juga memandangnya.
      "Hei, mungil...." tangannya yang panjang dengan mudah meraih bahu isterinya "Jangan merajuk, aku kan tidak bilang tidak bisa"
     "Tapi kau juga tidak bilang bisa" Ucap Maya setengan merengek
     "Kau ini, tidak bisa bersabar sebentar ya. aku hanya bilang akan memikirknnya, tidak berati memakan waktu semalaman kan?" dibelainya pipi Maya
     "Jadi?"
     "Tentu saja boleh. Apa sih yang tidak bisa untuk isteri imutku ini?" Masumi tersenyum, dua tangannya menangkup wajah Maya yang tersenyum lebar
     "Terima kasih sayang" Dua tangannya terulur, seraya menarik suaminya mendekat. segera saja Masumi mencium bibir istrinya. Maya merangkul Masumi senang.
     "Uukh " Masumi mendesah panjang saat melepaskan istrinya.

     "Kenapa sayang, ada yang salah?" Maya menatap khawatir.
     "Aku.."
     "Ya?"
     "Aku tidak ada nafsu makan." Ujar Masumi murung.
     " Kenapa? kau sakit?" dirabanya kening suaminya. "Badanmu seprtinya agak panas" Maya memiringkan wajah
     "Tidak, bukan begitu"
     "Lalu Kenapa, kau masih baik baik saja barusan. jangan membuat Aku khawatir dong."

     "Aku..."
     "Ya?"
     "Aku hanya sungguh sunggung ingin makan di tempat tidur sekarang. bisakah kita pulang saja?" Masumi memasang wajah memelas.

     "Dasar kau" dipukulnya bahu suaminnya
     "Maya. Aku serius. Aku tidak tahan lagi."
     "Sudah! Ayo Ke restoran sekarang" Maya berbalik, menyembunyikan wajahnya yang memerah dan terasa panas.
    
     ***
     Majalah itu masih terbentang di hadapannya. beberapa kali Kaori mengembuskan nafas berat. menatap judul berita yang dicetak dengan huruf besar dan tebal. SEKALI LAGI, KARENA DAITO

     "Bagaimana mungkin majalah ini ada di sini? Apa Pak Masumi sudah tahu mengenai ini? Seharusnya Mizuki segera pulang untuk mengawasi kantor ini" Kaori membalik halaman majalah di depannya, ada gambar pasangan Hayami disitu. Maya tidak curiga sama sekali saat dia menunjukkan gambar itu tadi siang. Nyonya mudanya itu bahkan tidak bertanya tentang isi beritanya. Dalam hati gadis itu bersyukur, wanita yang harus dijaganya terkadang sangat polos. Tidak baik baginya mendengar berita buruk tentang suaminya.

     tok...tok...tok...
Kaori reflex menutup majalah, menoleh ke arah pintu.
     "Ya?" gadis itu bangun dan membuka pintu
     "Hai..." Sapa pria ikal di depan pintu hangat
     "Koji? Kau disini?"
     "Ya... aku baru selesai mengurus kontrak kerja untuk doramaku yang baru. Aku dengar kau disini. sudah makan siang?"
     "Ngg... belum..."
     "Kenapa? Ini sudah agak terlambat bukan?" Koji melirik jam tangannya "Mau makan siang denganku?"
     "Mmm... "Kaori menggaruk pelipisnya. "Ok, tunggu sebentar. aku ambil tasku" Kaori masuk kembali ke kantor Masumi, memasukkan majalah ke dalam tasnya dan segera keluar.

***

     "Nih! "Koji mengulurkan kunci motornya ke depan Kaori
     "Hah? Apa?" Kaori mengangkat dagu heran
     "Mau mencoba motorku? biar aku duduk di belakang"
     "Aku?" Kaori tidak bisa menyembunyikan kegembiraan di wajahnya
     "Mh-hm"
     "Kau yakin?" Mata Kaori membulat jenaka "Aku sendiri tidak yakin"
     "Masa? Kau yakin tidak ingin mencoba?" Di goyang-goyangnya kunci di depan wajah gadis itu "Dia bisa lari sangat cepat loohhh...." Goda Koji melihat Kaori ragu ragu..
     "Aaahhh.... Kojiii...." Kaori menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan keinginannya sendiri. Koji tergelak melihat tingkah Kaori. Tak disangka gdis itu bisa bersikap konyol juga. Malah membuatnya semakin ingin menggoda Kaori.

     "Berikan padaku! Berikan padaku!" Disambarnya kunci di tangan Koji cepat, Koji tertawa lagi.
     "Asal tahu saja ya, Polisi Korea sudah mencabut SIM ku karena ugal-ugalan di jalanan. Aku ini seringkali menyebabkan kecelakaan tahu?" Kata Kaori sambil menaiki motor
     "Oya? Rupanya aku mengambil keputusan yang salah ya" Koji sudah siap dengan helmnya
     "Mau menarik kata-katamu?" Tantang Kaori mengenakan helm "Tidak akan kubiarkan" kaori menjulurkan lidah lalu tertawa.
     "Ahahaha.... Tentu tidak. mungkin kau akan menyebutku bukan laki-laki atau apapun, jika aku menarik kata-kataku. kan?" Koji duduk di belakang Kaori.
      "Apapun untuk bisa mengendarai motor" Kaori menstart motornya.
     "Aku tidak tahu sebegitu sukanya kau pada motor" Koji melipat tangan di depan dada
     "Sekarang kau tahu" Kaori menoleh sedikit "Kau boleh berpegangan kok" Kaori memutar gas, membuat motor itu meraung panjang. Koji yang terlonjak kaget reflex memegang pinggang gadis di depannya
     "Hahahaha.... " Kaori kembali tergelak. Dalam hati Koji mengeluh, apakah aman membiarkannya begini. sepertinya Kaori terlalu bersemangat

***

     Koji dan Kaori  sudah kembali dari makan siang bahkan sebelum pasangan Hayami kembali dari makan siang mereka. Beberapa saat, Kaori masih berada di atas motor Koji di tempat parkir. Di depnnya, Koji berdiri menumpukan tangannya pada stang

     "Sepertinya kau senang sekali hari ini?" Koji tersenyum melihat wajah Kaori yang tampak cerah
     "Tentu saja. Karena SIM ku dicabut, sudah lama aku tidak mengendarai motor. Rasanya benar-benar menyenangkan."
     "Aku tahu... aku bisa lihat itu. Dan merasakannya juga" Koji menggeleng, mengingat cara Kaori mengendarai motornya tadi "Sebagai lelaki, aku merasa malu. aku bahkan tidak mengendarai motor sepertimu. Sangat hebat" Koji mengacungkan ibu jarinya
     "Ahahaha... ugal-ugalan maksudmu?" Kaori tersenyum malu
     "Yaaahhh.... dua hal itu mungkin tidak banyak perbedaannya ya?" Koji tertawa juga
     "Terima kasih... Aku benar-benar senang, semua karena kamu" Kaori menatap Koji dengan mata berbinar dan senyum masih mengembang di bibirnya.

     "Mmmpphhhh..." Tiba-tiba saja tangan kiri Koji sudah di tengkuknya, dan bibir pria itu di bibirnya. Tak ada yang bisa Kaori lakukan karena semuanya begitu tiba-tiba. Dan bibir Koji terasa sangat hangat, sejenak gadis itu terpaku

     "Ngh... Maaf... " Koji tiba-tiba melepaskan bibirnya, tapi tangannya masih di tengkuk gadis itu. matanya masih menatap wajah gadis itu yang terlihat kaget dan bersemu. "Maaf.... " Koji melepas tangannya dan berbalik. tanpa menoleh lagi, pria itu berlari ke arah lift. meninggalkan Kaori yang masih tertegun di atas motor sendirian. merasakan sisa kehangatan yang menjalari lehernya...

***

      "Sayang mungkin sebaiknya kau pulang saja hari ini. Tidak ada rencana lain kan?" Masumi duduk di meja kerjanya, mencari sesuatu.
     "Tapi ada drama yang ingin ku tonton sore ini. Tidak bisakah aku pergi? Kaori akan menemaniku tentu saja. ya kan? Kaori? Hei Kaori?" Maya  menyentuh bahu manjernya
     "Ah, ya? Sudah saatnya pergi?" Kaori terlonjak dari duduknya
     "Kau kenapa? Melamun?"
     "Tidak. Maaf... " Ujar Kaori salah tingkah. ciut melihat tatapan tajam bosnya
     "Bagaimana? Kita bisa nonton drama kan hari ini? "Ulang Maya
     "Ng... Maya. sepertinya hari ini tidak terlalu tepat. bisa lain kali saja kan?"
     "Kenapa?" Maya merengut kecewa
     "Anu... Aku, sedang tidak terlalu sehat.. Maaf sekali. kita pergi lain hari ya?" Bujuk Kaori menngkupkn dua tangan di depan dahi
     "Tidak sehat ya? Dan aku pasti tidak boleh pergi sendiri ya?"
     "TIDAK !!" Kata Kaori dan Masumi bersamaan. Maya terkikik
     "Kompak sekali."
     "Untuk kepentinganmu, kami sependapat. jangan membantah ya sayang. Biar Kaori mengantarmu pulang dulu hari ini, dan diapun bisa beristirat. lain kali, pergilah menonton drama yang kau ingin tonton. ya? Aku akan segera pulang kok." Masumi masih coba meyakinkan isterinya
     "Uuuhhhh....  Aku mau ke kamar mandi dulu.."Maya beranjak meninggalkan ruangan

Sepeninggal Maya, Kaori mengeluarkan majalah dari dalam tas dan meyerahkannya pada Masumi
     "Anda sudah lihat ini?" Kaori membuka majalah pada halaman yang lembarannya terlipat
     "Oh.. kau menyimpannya? Yah, aku lihat tadi pagi. Aku ceroboh meninggalkannya di sini. Lupa kalian akan datang." Masumi  mengurut kening.
     "Maya tidak sempat melihatnya kan?"
     "Tidak. Sejujurnya. tidak banyak hal lain yang membuatnya tertarik selain drama. Dan dia juga tidak tertarik pada majalah. Selagi tidak ada yang menunjukkan padanya. mungkin dia tidak akan tahu" Masumi mengangguk setuju.
     "Itu yang Aku khawatirkan. Bagaimana jika ada yang dengan sengaja ingin membuat Maya mengetahui ini. Aku bukanlah orang yang banyak disukai orang. Aku selalu khawatir dia akan tersakiti karena aku."
     "Aku mengerti. Aku pasti akan menjaga isteri anda dengan baik." Kaori mengangguk mantap.

     "Yah Aku mengandalkanmu untuk itu. Hari ini,  pastikan saja Maya pulang dengan selamat. Aku tidak khawatir kalau dia di rumah."
     "Baik pak. Majalahnya?"
     "Biarkan. Hijiri akan mengurusnya. Sebenarnya akan lebih baik kalau liburan kami tidak tertunda."
     "Anda pasti bisa meyakinkan Maya untuk pergi seperti rencana semula. Aku yakin dia tidak akan menolak."
     "Tidak. Aku akan memastikan Maya mendapatkan apa yang dia inginkan. Kau. pastikan saja untuk selalu menjaganya saat tidak sedang bersamaku."
     "Baik."

     "Sedang apa?" Maya Masuk tiba-tiba.
     "Tidak ada. Kau sudah selesai?" Wajah Masumi berubah hangat.
     "Yah. Baiklah. berhubung keadaan Kaori sedang tidak baik. Aku akan pulang sekarang. Pastikan kau menemani aku lain waktu ya? "Kaori mengangguk, tersenyum.
     "Tentu saja. Kalaupun tidak. pasti Aku akan menemanimu. " Masumi yang menjawab. "Cepatlah pulang dan tunggu Aku di rumah ya"
     "Jangan pulang terlalu larut ya. Aku pasti akan bosan." Maya merengut.
     "Aku tunggu diluar" Kaori melangkah keluar tanpa menunggu jawaban.
     "Maaf. menikahiku pastilah sangat membosankan"
     "Tidak. bukan begitu maksudku.. " Maya menggelengkan kepala cepat. "Aku hanya, agak bosan kalau di rumah. Aku tidak bosan padamu"
     "Iya sayang. Aku tahu" Masumi menghampiri Maya dan mengusap pipinya.
     "Cobalah untuk sedikit sibuk. memasak barangkali? kau bisa coba membuat sesuatu untukku. kan?"
     "Hah..... Tidak akan berhasil. yang ada, Aku akan membuat pengurus rumah kesal karena mengacaukan dapurnya" Maya cemberut lagi
     "Lalu? haruskah kita segera pergi berlibur? seperti rencana kita sebelumnya?"
    "Nggg... tidak tidak. Aku tidak akan melewatkan acara pernikahan temanku"
     "Baiklah kalau begitu. kau cuma harus sedikit bersabar. ya?" Masumi mengusap rambut Maya lembut.
     "Mh hm" Maya mengangguk "Maaf Aku selalu merepotkanmu. Aku janji tidak akan mengeluh. mungkin aku akan mencoba membantu sedikit. di dapur."
     "Baiklah. cobalah. tidak akan ada yang berani merasa kesal padamu sayang"
     "Ya. Aku tahu. Mereka pasti takut kau akan memecat meraka bukan?" Maya tersenyum "Aku pulang"
     "Hmmm. hati hati" Dikecupnya bibir Maya sekilas "Sampai jumpa di rumah" Maya mengangguk dan berbalik meninggalkan Masumi.
     "Cobalah untuk tidak terlalu banyak memecahkan perabot. mungkin pengurus rumah tidak akan terlalu kesal" Masumi melambai sebelum isterinya melewati pintu.
     "Awas kau" Maya menoleh mengacungkan tinjunya "Dadah..." Maya keluar ruangan.


***
    
     "Maaf pak, saya belum berhasil mengetahui dengan siapa Matsumoto bertemu hari ini. kemungkinan besar dia menginap di hotel itu. karena saya terlambat mengetahui tempat pertemuan, saya tidak bisa berjaga sebelumnya di tempat itu. sekali lagi Maaf." Hijiri bicara pajang lebar di telepon genggamnya.
     "Ok. yang penting kau terus awasi dia. jangan sampai ada gerakan penting yang luput."
     "Baik Pak. Saya mengerti. Saya  akan minta orang saya lebih waspada."
   
     "Lalu, untuk masalah yang tadi siang Aku katakan? Bagaimana?"
     "Yah. Saya sudah mencocokkan  inisial pembuat artikel. Tidak ada jurnalis dengan nama seperti itu di sana. seperti yang dikatakan kepala redaksinya, itu memang artikel kiriman."
     "Aku mengerti. tetap saja Aku harus bicara dengan kepala redaksinya, Sembarangan sekali dia memuat berita tanpa penanggung jawab seperti itu. Aku yakin dia tahu siapa pengirimnya. Kau. cari tahu"
     "Baik Pak. Aku mengerti. kemungkinan ini masih terkait dengan Matsumoto. mengingat waktunya yang sangat bertepatan dengan berita yang kita dapat mengenai dia"
    "Aku sependapat. kau teruskan saja. kabari Aku begitu ada kabar baru"
     "Aku mengerti"
      "Baik. Aku mengandalkanmu Hijiri"
     "Baik Pak Masumi, terima kasih." Hijiri memasukkan ponsel Ke saku mantelnya, kemudian keluar dari mobil dan berjalan ke arah sebuah cafe.

     "Selamat datang!" Sapa riang seorang waitress menyambut pria itu.
    "Silakan... Eh? Silakan " Waitres tersebut menatap sekilas kemudian kembali bersikap biasa.
     "Terima kasih." Hijiri menjawab pelan seraya berjalan menuju meja di sudut cafe yang lumayan ramai malam itu.

     "Mau pesan sekarang?" Waitress tinggi kurus itu siaga dengan penanya.

     "Tolong kopi saja. terima kasih. Rei" Hijiri menengadah, mengucapkan nama gadis itu lebih pelan.

     "Ok" Rei tertegun sejenak "Ditunggu sebentar"
     
Sepuluh menit kemudian Rei kembali dengan secangkir kopi.
     "Silakan. jika perlu sesuatu lagi, silakan panggil saya" Rei meletakkan cangkir di hadapan pelanggannya.
     "Tentu. terima kasih. Aku.."
     "Rei.... Rei sini dong....!" Sekumpulan remaja putri melambai lambai memanggil waitress cantik tersebut.
     "Sabar ya gadis-gadis.... Aku segera datang!" Rei menoleh tanpa membalik badan.
     "Maaf. aku . harus pergi" Rei mengacungkan telunjuknya ke arah meja penuh gadis di belakangnya.
     "Silakan.. Selamat bekerja" Hijiri tersenyum manis, membuat mata Rei sedikit melebar.

     "He eh" gadis itu berbalik menghampiri meja besar dengan senyum manis tersungging di bibirnya.

     "Ada tambahan pesanan?" Rei dengan sigap menyiapkan senjata andalannya menghadapi pelanggan wanita. senyum. dan pena. Karena Mereka pasti akan memesan lebih banyak hanya supaya bisa melihat Rei lebih lama.

     "Rei. pilihkan minuman untukku dong... yang tidak membuat gemuk ya...." Seorang gadis, yang pastinya masih pelajar menggoyang lengan Rei. Beberapa lainnya berebut menarik perhatian waitress idola itu.

     "Hmmmmpp... " Di tempat duduknya, Hijiri tersenyum geli sendiri. betapa menyenangkannya melihat gadis itu dikerubuti gadis gadis.... Apakah Mereka begitu menutup mata tentang keadaan Rei? dia bahkan lebih cantik ketimbang beberapa dari Mereka. Tidak mungkin Mereka tidak sadar kalau Rei adalah gadis juga.
Tak urung pria tampan itu tertawa juga, lalu segera menutup mulut saat dilihatnya gadis tomboy itu menoleh dan mendelikinya.

     "Ups... sorry..." Isyaratnya tanpa suara. masih tetap tersenyum...

***
     Koji berbaring resah di tempat tidurnya. kejadian di tempat parkir siang tedi membuatnya galau. senang sekaligus takut. Khawatir pada reaksi Kaori sepeninggalnya.
     "Apa dia marah?" Koji bangun terduduk. meraih ponselnya. "Dia bahkan tidak meneleponku. atau setidaknya mengirimiku pesan?"
 Ditatapnya layar ponselnya lekat lekat.
     "Berbunyi.. berbunyi... berbunyi..." Dengan gemas Koji bicara pada ponselnya
     "Aaaaahhhh.... Mengesalkan! Kaoriiii...." Koji menghempaskan punggungnya ke belakang hingga membal.

Tak lama terdengar alunan lagu dari ponselnya. Pria itu terlonjak bangun, dan mendesah kecewa melihat nama yang tertera di layar bukan seseorang yang diharapkannya.
     "Ya. manajer?" Jawab Koji enggan
     "Kau sudah di rumah?"
     "Ya, sejak sore tadi. Aku sudah bilang padamu Aku tidak enak badan kan? Apa ada yang penting?"
     "Tidak. Hanya saja Aku melihat motormu di tempat parkir Daito tadi. Aku pikir kau masih di sana. Apa mungkin itu bukan motormu?"
     "Baru saja?" Koji tercenung
     "Ya. waktu Aku hendak pulang tadi. Aku sudah di rumah sekarang. mungkin sekitar satu jam yang lalu"
     "Ya. itu memang punyaku. Aku tidak terlalu merasa sehat untuk mengendarai motor. jadi Aku pulang naik taksi" Seketika pemuda itu merasa lesu
     "Sudah ya... Aku merasa agak pusing, ingin tidur" Koji menghembuskan nafas berat
     "Yah baiklah. kau terdengar tidak baik. Minumlah obat sebelum tidur, supaya kau lebih baik besok. Untunglah besok hari minggu, dan jadwalmu kosong. istirahatlah yang baik."
     "Baik manajer. selamat malam." Diputusnya sambungan telepon dan dihempasnya benda kecil tersebut.

     "Ternyata kau benar benar marah. kau bahkan tidak membawa motorku. Hhhh... salahku.... Kenapa Aku begitu bodoh." Koji menatap langit langit lalu menutup wajahnya dengan sebelah tangan.
     Saat ponselnya kembali berbunyi, Koji membiarkannya saja hingga akhirnya berhenti dengan sendirinya. Kali berikutnya benda itu berbunyi, barulah pemuda itu mencoba meraih ponsel yang terhempas di dekat kakinya.
Matanya melebar seketika, segera saja dia menjawab teleponnya.

     "Hallo?" Koji harap harap cemas mendengar suara lawan bicaranya.
     "Koji?" tanya suara itu datar
     "Ya. Kaori?" Koji menjawab ragu
     "Kau sudah di rumah? Manajermu bilang, kau sakit. kau Kenapa?"
     "Ah.. kau bertemu manajerku?"Koji merasa sangat malu sekarang "Aku tidak apa apa. Kau dimana?"
     "Baru saja sampai di rumah"
     "Baru pulang? Kau di Daito sedari siang tadi?" Koji duduk bersila.
     "Tidak. Aku menemani Maya di rumahnya. Aku baru pulang setelah Pak Masumi datang"
     "Kau pulang. diantar sopir?" bukan itu pertanyaan yang ingin dia ajukan sebenarnya.
     "Ya. sampai Daito. dari sana Aku pakai motormu. tidak apa kan?"
     "Tentu saja tidak. itu bagus. Aku pikir kau meninggalkannya di sana"
     "Aku? Hei... ingat siapa yang meninggalkan motornya begitu saja?" sindir Kaori telak
     "Ah....Aku . Aku . Maaf..." Koji salah tingkah. kembali teringat kejadian siang tadi.
     "Maaf? Untuk meninggalkan motormu?"
     "Ng. Ya. apa Aku perlu minta Maaf lagi? Untuk hal yang lain?"
     "Menurutmu?"
     "Menurutku. Sejujurnya. Aku tidak terlalu  merasa bersalah. apa itu buruk?"
     "Ahahaha... tidak bersalah ya.... Yah, Aku pikir itu sama sekali tidak buruk"
     "Sungguh?"Koji merasa lega mendengar jawaban Kaori.
     "Mmm. Sama sekali tidak buruk. ciumanmu juga. tidak buruk" Kaori terkikik
     "Kaori! Bagaimana mungkin ada gadis sepertimu. Apa kau sedang menggodaku?"
     "Ahahaha... Jangan bilang kalau kau sedang tersipu malu sekarang.."Kaori tertawa gelak gelak
     "Kaori! Kau benar benar membuat Aku malu tahu..." Keduanya tertawa riang


***

     "Silakan pesanannya.." Rei meletakkan cangkir kopi ketiga di meja Hijiri. "Yakin tidak ingin makan sesuatu? cheese cakenya enak loh..." Rei memasukkan tangan Ke saku celemeknya.

     "Aku yakin itu. hanya saja rasanya pasti jauh lebih enak kalau tidak makan sendiri..... Kau.  mau menemaniku?" Hijiri menunjuk kursi di hadapannya dengan dagunya.

     "Aku sedang bekerja Hijiri" Rei menoleh kanan kiri. "Meskipun sudah sepi.
     "Yaahh.. Aku hanya berharap. siapa tahu kau mau."
     "Bukannya Aku tidak mau. tapi Aku tidak bisa."
     "Ya ya... Aku tahu. aku akan tinggal sebentar lagi ."

     "Rei!"
     "Ya..." Sahut Rei cepat mendengar panggilan bosnya "Sebentar" Gadis itu dengan gesit berlari Ke bar .

     "Ada apa?" Terdengar suara Rei dalam suara rendah. Hijiri memperhatikan dengan hati hati. khawatir gadis itu terkena teguran karena terlalu lama mengobrol dengannya.

Tak lama,  si empunya cafe Masuk ke pintu di belakang bar. lalu keluar lagi dan langsung keluar cafe.

     "Ayo makan" Rei menyimpan dua potong cheese cake di meja depan Hijiri dan kemudian duduk di depannya.

     "Bosmu?" Hijiri menoleh ke arah pintu
     "Dia pulang. Aku yang closing"
     "Apa kau mendapat masalah? karena bicara denganku?" Hijiri terdengar cemas
     "Sama sekali tidak." Rei tertawa. "Makanlah. kau pasti belum makan malam kan?" Rei mendorong piring kue di depannya.
    "Hmm..." Aku bahkan belum makan siang. Hijiri menjawab dalam hati. seraya menyendok kue
     "Emmm. enak.." Hijiri menikmati rasa manisnya, mengingat perutnya hanya berisi kopi sesiangan tadi.
     "Apa kau makan tadi siang?" celetuk Rei tiba tiba
     "Ah?" Hijiri sampai terperangah mendengar pertanyaan itu, lalu tersenyum.
     "Bagaimana bisa, kau?" Pria itu tersenyum lagi.
     "Anggap saja tebakan bagus..... "Rei bangkit dari duduknya dan mematikan beberapa lampu hingga hanya tersisa lampu di atas meja sudut dimana Hijiri menatapnya heran.

     "Biar Aku tutup dulu. nanti Aku buatkan makanan untukmu... habiskan saja dulu kuenya." Gadis itu sigap membersihkan meja bar
     "Biar Aku bantu" Hijiri bangun
     "Sudah. diam sajalah. ini bukan apa apa" dengan cekatan gadis itu merapikan beberapa barang dan beralih menyeka meja meja lain.
     "Kau tidak lelah?" Hijiri kembali duduk dan hanya mengawasi Rei dari tempatnya.
     "Aku bukan orang yang gampang lelah. lagi pula, aku menyukai pekerjaanku. Dan pelangganku menyukai aku. Sama sekali tidak melelahkan" Rei tertawa riang
     "Ha ha ha.... Ya, benar. Para pelanggan sangat menyukaimu. Kalau saja kau pria sungguhan, pasti kau sudah jadi playboy. ya?" Rei mengngguk-angguk. tertawa. dalam hati Hijiri bersyukur bahwa Rei bukanlah laki laki.
***

Kriiiiingg... kriiiinnggg... kriiinnggg....
Pesawat telepon di samping Masumi berdering nyaring. Masumi merapatkan pelukannya pada Maya dan mengabaikan suara mengganggu tersebut. Saat suara itu akhirnya berhenti, Masumi kembali memejamkN matanya. Tapi ternyata suara itu tidak berhenti sampai disitu. Setelah berhenti selama 5 detik. telepon itu kembali berdering. Di telinga Masumi, suaranya terdengar lebih nyaring ketimbang tadi.
     "Uukhhh.. hallo?" Masumi menjawab ketus
     "Hallo Pak Masumi. Saya mau melapor. Saya sudah pulang."Suara di seberang telepon terdengar riang
     "Mizuki. Seharusnya Aku tahu. bahkan suara dering teleponmu menggangguku. sangat kau sekali. senang mengganggu Aku."
     "Senang juga bicara dengan anda Pak. selamat pagi..."
     "Ah.. ya... dari suaramu, sepertinya kau sangat sehat. Aku tidak akan  menanyakan kabarmu kalau begitu. Selamat datang..."
     "Terima kasih Pak. saya sangat sehat. siap bekerja kembali"
     "Baguslah. kau dimana?"
     "Saya masih di bandara Pak. baru saja mendarat
     "Wah. baik sekali kau langsung menghubungi Aku. tidak terpikir Aku mungkin masih tidur ya?" diliriknya jam di dinding kamar.
     "Sempat terpikir sebenarnya. tapi Aku ingin segera memberitahukan anda tentang kedatanganku" Mizuki sama sekali tidak terpengaruh oleh nada ketus atasannya.
     "Yah... baguslah... apa perlu Aku kirimkan sopir?"
     "Tidak perlu. saya akan naik kereta saja. senang bekerja pada anda lagi.."
     "Ya.. ya... Aku juga senang kau kambali.  bisa Aku tutup sekarang? aku masih sangat mengantuk.."
     "Silakan.... . sampai jumpa di kantor besok" klik

    "Mizuki? Sudah pulang?" Maya terjaga
     "Hmmm..."
     "Kita tidak pergi menjemputnya? Aku sudah kangen sekali padanya.."
     "Tidak perlu dipikirkan. dia akan pulang bahkan jika tersesat jauh di tengah hutan. tidurlah lagi." Masumi mendekap Maya di dadanya. Terdengar Maya mengeluh pendek, lalu kembali terlelap.
***

     "Sudah sampai?"
     "Ya.. masih menunggu taksi ke stasiun." Mizuki merapatkan mantelnya. uap putih keluar dari mulutnya selagi dia berbicara di telepon genggamnya.
     "Aku berharap bisa mengantarmu sampai depan rumah. "
     "Jangan mulai konyol Fe. Aku baik kok. Aku sudah terbiasa sendiri."
     "Itulah. jangan sampai kesendirian itu jadi kebiasaan. Sama sekali tidak bagus"
     "oke oke. Aku mengerti. tunggu sebentar,  taksinya sudah datang" Mizuki menaikkan travel bagnya ke jok belakang, kemudian masuk ke dalamnya. "Stasiun Pak" Mizuki bersandar, kembali pada ponselnya.

     "Fe?"
     "Aku masih di sini sayang"
     "Apakah disana sudah malam? Kau terdengar lelah" Tak ada yang luput dari pengamatan wanita ini.
     "Tidak. Aku tidak lelah. Aku hanya sangat merindukanmu Mizu. Rindu sekali." Suara Felix terdengar putus asa.
     "Aku juga.. sudah merindukanmu" Mizuki tersenyum. "Semoga kita bisa segera bertemu lagi."
     "Mmm. istirahatlah yang baik begitu sampai rumah ya.  mungkin Aku tidak bisa menghubungimu, ayahku memanggilku pulang. sepertinya ada hal penting yang ingin dia bicarakan denganku"
     "Ya. tidak apa. akupun pasti akan langsung tertidur begitu sampai rumah. Aku lelah sekali. telepon saja Aku begitu kau sempat. ok?"
      "Oke.  sampai nanti"
     "Ya.. hati hati hati mengemudi ya"
     "Ya sayang...Daaahhhh" Mizuki mematikan teleponnya. menatap pemandangan pagi hari di luar jendela. Senang rasanya bisa pulang, tapi sebagian hatinya tetap tinggal di Duisburg.  Ditiupkannya uap ke jendela taksi, lalu menuliskan nama Felix disitu
     "Hhh... kekanak-kanakan" wanita itu tersenyum sendiri

***

     Kaori mematut diri di depan cermin cukup lama, beberapa kali gadis itu bicara pada bayangannya sendiri.
     "Kaori, lebih baik mencintai Koji. Pasti bahagia mencintai pria seperti dia. mengerti!" Kaori mengacungkan telunjuknya ke cermin.
     "Tapi Hijiri masih tidak mau meyingkir sepenuhnya dari hatiku. Ini tidak terlalu bagus. Bagaimanapun juga aku harus bisa melupakan Hijiri. Baru aku akan bisa mencintai orang lain" Gadis itu terpekur di depan cermin. Setelah berpikir sebentar, Kaori mengambil ponselnya dan menekan sebuah nomor speed dial

     Kaori menunggu jawaban dengan gugup.
     "Hallo" Pada dering kelima, teleponnya dijawab
     "Hijiri?"
     "Aku di sini. Ada apa?"
     "Aku. Tidak yakin" Kaori ragu, Hijiripun terdiam
     "Apa yang kau lakukan hari ini?" Tanya Kaori akhirnya
     "Aku ada janji dengan seseorang." DEGG... Masih saja hati Kaori bereaksi seperti itu
     "Perempuan? Rei kah?" Tanyanya sendu. Hijiri memilih diam
     "Aku tahu aku pernah membahas ini sebelumnya. Dan kaupun sudah memberikan jawabanmu. Tapi. Aku tidak bisa melupakanmu begitu saja. Beritahu aku, apa yang harus kulakukan"
     " Itu bukanlah pertanyaan yang bisa aku jawab. Aku tidak berhak menentukan apa yang harus kau lakukan dengan hatimu. Aku hanya bisa mengatakan, tak ada yang bisa kulakukan dengan hatimu. Maaf sekali" Suara Hijiri terdengar berat "Aku. berharap kita tetap bisa bekerjasama. Sebagai pertner kerja, aku tidak ingin kehilanganmu"

     "Hmm.. Aku tidak tahu apakah bisa tetap bekerja bersamamu saat hatiku sakit karenamu"
     "Kau akan segera pulih. Bukan sifatmu memelihara rasa sakit berkepanjangan"
     "Hah... aku bahkan merasa senang karena kau begitu mengenalku. Denganmu, rasanya aku tidak merasa perlu menjelaskan siapa diriku"
     "Jangan begitu. Aku ini orang yang terlatih membaca karakter orang. Jangan merasa terbebani karenanya. Bagaimanapun, orang yang sama-sama kita lindungi adalah orang yang penting bagiku. Harap tetaplah disisinya. sekalipun kau akan sangat membenciku nantinya."

     "Pekerjaan. Itu sangat berarti untukmu bukan? Lalu... Kau yakin, kau tidak akan goyah? Apakah berhubungan dengan seseorang, tidak akan berpengaruh pada pekerjaanmu? Apakah bijaksana bagi orang itu, berhubungan denganmu?" Kaori melontarkan pertanyaan yang sebenarnya enggan dia ungkapkan. Pertanyaan yang sama yang selalu Hijiri tanyakan pada dirinya sendiri. Rangkaian pertanyaan yang selama ini membuatnya menahan diri.

     "Aku harus pergi Kaori... Sampai nanti" Hijiri memutuskan sambungan telepon.

     Di tempatnya Kaori masih mematung. Diusapnya wajahnya yang murung
     "Sepertinya aku keterlaluan. Tapi. Itulah yang harus dia hadapi. Mau tidak mau. Asal dia yakin dengan hatinya, aku akan bisa melepaskannya" Kaori menuliskan sebuah pesan singkat di ponselnya
     "Aku akan mengantarkan motor ke rumahmu sebentar lagi. tunggu aku"
    
     "Oke" Pesan singkat itu terjawab cepat

***

     "Ijinkan aku kali ini saja Pak Masumi" Hijiri mematung di depan sebuah pintu. menghembuskan nafas berulang-ulang sebelum akhirnya mengetuk.

     "Selamat datang.." Kepala mungil berambut pendek menyambutnya sumringah begitu pintu terbuka. "Kupikir kau tidak akan datang" Dibukanya pintu lebih lebar
     "Masuklah"
     "Terima kasih" Hijiri masuk ke apartemen yang pernah didatanginya sekali waktu.
     "Silakan duduk" Rei meninggalkan Hijiri ke dapur. Pria itu melihat sekeliling. tepat seperti yang diingatnya.
     Si empunya rumah mungkin tidak sadar.  Selama memulihkan kondisinya disitu. Hijiri sudah menjelajahi apartemen mungil tersebut. Dan dia mengetahui lebih banyak dari yang seharusnya dilihat seorang tamu. Dia jauh lebih mengenal Rei dari pada yang disangka gadis itu.
Kemandirian dan keceriaannya terlihat jelas dari kesehariannya. Maka seringkali Hijiri menganggapnya seperti matahari. Terang dan hangat. Dan dia merasa tenang berada di sekitar gadis itu. Lebih tepatnya, dia membutuhkannya.

     "Kau datang" Rei menghidangkan teh dan sepiring makanan kecil di meja "Pasti bukan keputusan yang mudah ya?" Rei duduk di depan Hijiri.
Hijiri tertegun. Mengerti apa yang dirasakan Kaori. memahami, perasaan senang mengetahui seseorang mengenal dirinya tanpa dia perlu mengatakan apapun.
Dengan Rei, dia mengalami hal itu. Hijiri tersenyum.

     "Jangan hanya tersenyum. katakan sesuatu!" Seperti biasa, agak ketus Rei bicara. Hijiri bahkan senang dengan cara gadis itu bicara. Tanpa sadar dia tersenyum lagi
      "Orang ini. Bener-bener deh.."Rei menggeleng kesal
      "Maaf.. sama sekali tidak berat kok"
     "Bagus. kalau begitu," Rei mengambil kantong kertas di samping meja "Pakai ini. kita lihat apakah ini masih belum berat untukmu" Disodorkannya kantong tersebut pada Hijiri.

     "Apa ini?" Pria itu menatap Rei.
     "Seperti yang Aku bilang tadi malam. Aku akan pergi denganmu hanya jika kau menerima kondisi yang aku tawarkan. ini salah satunya. silahkan" Rei mengangkat tangan, memberi isyarat.
     "Ini..." Hijiri membolak balik pandangannya dari kantong di tangannya dan Rei. "Harus aku pakai?" Rei mengangguk
     "Silahkan pakai kamarku" Tawar Rei ramah. Hijiri bangun, ragu-ragu masuk ke kamar dengan kantong kertas di tangannya.

     Rei menunggu sambil bertopang dagu. sesekali menghirup tehnya
     "Sudahkah?! Lama sekli! " Teriak Rei dari luar
     "Kenapa aku harus memakai ini? Kemana kita akan pergi?" Sahut Hijiri dari dalam kamar
     "Ke tempat ramai. Itu kalau kau bersedia. kalau tidakpun, aku akan tetap pergi denganmu. Jangan khawatir"
     "Mh.... Dari mana kau dapat ide seperti ini?" Terdengar Hijiri menahan tawa
     "Yaahhh.... begitulah aku sering melihatmu dulu. Kadang kau jadi tukang bunga, lain hari jadi wartawan. Sekali waktu jadi sopir, atau kurir. ya kan?" Rei menghirup tehnya lagi.
     "Kau. Memperhatikan aku?" Tanya Hijiri sangsi. Dia pikir, selama ini hanya dirinyalah yang sering memperhatikan gadis itu. Meski awalnya memang tanpa sengaja.

     "Aku? Tidak. Aku memperhatikan Maya. Dan daya ingatku, lumayan baik juga. Belakangan aku sadar, sering sekali melihat sosokmu di sekitar temanku. Dengan profesi yang berbeda. Yaahh... akhirnya sedikit-sedikit aku tahu tentangmu dari Maya. Kau tahu betapa seringnya dia kelepasan bicara kan? Kadang aku mendengar namamu dari mulutnya" Rei baru sadar betapa heningnya di dalam kamar
     "Hijiri? Kau masih di situ?" Rei bangun
     "Ya... Aku sudah selesai" Pintu geser itu terbuka. Hijiri berdiri di baliknya.

     "Wow....Apa yang harus kukatakan?" Rei tersenyum senang
     "Apa saja yang mungkin membuatku tenang?" hijiri melangkah keluar ruangan
     "Kau keren sekali" Rei bersidakep, menatap Hijiri dari kaki ke kepala. Celana jeans, kemeja hitam dan jaket hijau army tampak melekat sempurna di tubuh tinggi pria tersebut.
     "Hahaha.... Oya?" Pria tampan itu tertawa "Seperti. Bukan aku.."
     "Aku memang pintar memilih kan? Pas sekali."
     "Ya. Sepertinya kau tahu sekali ukuran tubuhku"
     "Ah... Itu..."Rei bersemu, teringat dada telanjang Hijiri yang bidang dan memiliki beberapa bekas luka. "Ehem" Gadis itu masuk ke kamar, lalu keluar lagi dengan beberapa barang di tangannya.
      "Coba ini." Rei bejinjit memasang syal ke belakang kepala Hijiri.    
     "Ehem.." Nafas Hijiri tertahan beberapa detik saat Rei melilitkan syal hijau pudar itu di lehernya.
Hijiri menarik nafas panjang perlahan. Aroma gadis di depannya terhirup dalam. Hijiri memang tidak banyak berdekatan dengan wanita. Tapi dia tahu kalau Rei memiliki aroma yang unik. Ada wewangian,tapi bukan parfum. Hijiri mengenalinya sebagai sampo dan sabun mandi. Dia pernah menggunakan yang sama juga selagi tinggal disitu. Lalu ada aroma khas gadis itu yang menurut penciumannya sangat enak dihirup. Aroma sama yang sangat dikenalnya, yang selama masa tidak sadarnya di rumah itu hampir selalu dekat dengannya. Hijiri sangat bersyukur penciumannya terlatih hingga dia mengingat aroma itu dengan pasti.

     "Kalau ditambah ini, pasti tidak ada yang mengenalimu" Rei memasangkan sunglass lebar. "Maaf" Katanya, lalu mengacak rambut  pria itu.
     "Hmm "Hijiri mengangguk sedikit, membiarkan saja Rei malakukan apapun padanya

     "Selesai. Cobalah bercermin" Ditariknya lengan Hijiri ke kamar
     "Keren kan?" gumam Rei Puas. Hijiri mengangguk. Tapi bukan bayangannya yang membuatnya tertarik. Yang dilihatnya adalah bayangan Rei yang tampak berpendar. Lalu pantulan bayangan mereka yang tampak sangat serasi.

     >Serasi< Hijiri tersenyum sendiri dalam hati membayangkan itu

***

     Kaori memacu kencang motornya hingga nyaris tak bisa melihat sekitarnya. Matanya hanya tertuju ke depan. Jalanan yang cukup lengang membuatnya leluasa berlari.
Inilah yang sangat disukainya saat mengendarai motor. Angin kebebasan, begitu gadis itu mengistilahkan. Hanya saat sedang begini dia bisa mendapatkannya. Baginya, belum ada hal lain yang mampu mengimbangi kesenangan mengendarai motor.

     Sebagian kepalanya masih berisi Hijiri. Membayangkan apa yang sedang dilakukan pria itu sekarang. Dengan Rei. Dia tahu itu. Tapi.
     "Hhh...."Dihembusknnya nafas panjang. mencoba menenangkan detak jantungnya yang selalu saja menghentak tiap kali memikirkan Hijiri dengan gadis itu. Dia tidak membenci Rei, sama sekali tidak. Mereka bahkan cukup sering bertemu karena Maya kerap kali mengunjungi teman-temannya.

     Dilain pihak, dia juga tak bisa memungkiri bahwa dia senang bersama dengan Koji. pemuda itu selalu membuatnya merasa istimewa. Selalu berusaha membuatnya bahagia. Bagaimana mungkin Kaori tidak tersentuh karenanya.

     "Haaahhh... Bingung" Kaori menggeleng. lalu memacu motornya lebih cepat saat dilihatnya lampu lalau lintas di hadapannya hampir berubah merah. Dia berharap bisa melewatinya agar tak menunggu.

Ckiittt...
Kaori berhenti mendadak tepat di belakang garis penyebrangan. Matanya yang tadinya mengawasi lampu lalu lintas, terbelalak seketika demi melihat pemandangan di hadapannya.

     "Hijiri? dan, Rei?" Kaori mengucek matanya. memperhatikan dengan lebih teliti dua orang yang baru saja lewat di depan batang hidungnya tersebut.
     "Apa itu benar kau?" Gadis itu memiringkan kepala

TIIINNN.... TIIIINNNN... TIIINNNN.....
     Beberapa kendaraan di belakang Kaori tidak sabar untuk melaju lagi. Gadis itu melirik lampu, lalu menarik gasnya kuat.
Benaknya dipenuhi pemandangan yang baru saja lewat.
Hijiri, berpakaian seperti itu. Baginya, seperti pria itu sedang manjalankan misi penyamaran. Dan dengan Rei disampingnya berdandan serupa. Mereka tampak seperti dua orang teman baik.

     Dan yang paling terpatri di ingatannya adalah mimik Hijiri yang sumringah. Mereka berdua benar benar sedang tertawa. Seakan sedang membicarakan gadis yang mereka sukai. terlihat sangat jatuh cinta.

     Kaori tersenyum kecut. Sebagian dirinya senang sekali melihat pria yang disukainya tertawa segembira itu. sebagian lagi merasa sedih, karena tawa itu bukan karenanya, bukan untuknya.

     "KENICHI....... JANGAAANNN....."
Teriakan melengking seseorang menyadarkan Kaori dari lamunannya. Seiring dengan itu, matanya menangkap bayangan anak leleki berlari ke jalanan, meningalkan ibunya yang berteriak histeris sambil berusaha mengejar buah hatinya.
    
     Kaori melihat anak itu berhenti , lalu menoleh padanya dan tersenyum. Rambut ikal legamnya mengingatkannya pada Koji yang sedang menantikannya di apartemennya.

     Tak ada waktu lagi untuk berpikir. Melihat sebuah motor disampingnya yang juga melaju kencang membuang arah ke kanan. secepat kilat Kaori membelokkan motornya ke arah yang berlawanan.
     Naas baginya. Dari arah kiri belakangnya, sebuah truk built up tanpa muatan tak siap menerima kejutan. motor Kaori yang tiba tiba menghadangnya tak mampu dia hindari. Sopir truk tersebut menginjak rem dalam dalam. tapi tak mempu menghentikan kendaraannya seketika. Kaoripun tak sempat lagi mengelak. Truk besar itu menghantam bagian samping motor Kaori telak.

     "Koji...."Kaori teringat bocah berambut ikal tadi. Lalu terdengar jeritan histeris seseorang sekali lagi. Mungkin si ibu yang tadi.
"Apakah bocah itu tidak selamat?"Kaori masih sempat bertanya dalam hati. Kemudian terdengar lagi suara benda bertabrakan, Telinganya mengidentifikasikan itu sebagai suara motor menabrak bahu jalan atau apapun itu yang ada di tepi jalan.

     Jeritan itu masih berlangsung. Ada apa lagi? Pikiran Kaori terasa buram.
Lalu telinganya berdenging dahsyat. Dia nyaris tak mampu mendengar dan merasakan apapun.
     Tubuhnya terlontar ke depan menghantam bagian depan motornya, Lalu genggamannya di stang terlepas. Kaori terlempar menjauh dari motornya. membentur aspal kasar, dan masih terseret hingga beberapa meter berikutnya.

     >Apakah hujan< Kaori merasakan hampir seluruh bagian wajahnya basah. Bahkan mulutnya terasa penuh cairan.

     Lalu ada perasaan lain. Bagian tubuhnya sebelah kiri terasa panas luar biasa, hingga pikiran bawah sadarnya berpikir tentang kabakaran.
     >Apakah benar benar ada kebakaran?< Lalu matanya tertutup.

***






   




















































































'












































 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting