Friday 27 April 2012

Fanfic TK : If I Don't Have You

Posted by Ty SakuMoto at 21:04 65 comments
Genre: thriller, suspense
Setting: Sekitar BM 9, Maya belum tahu kalau Masumi adalah Mawar Ungu.
Warning: Tragic, Angst, Sad ending, Out of Character.
Rating: 17+

If I Don't Have You

 Masumi terdiam di kursi Direktur dengan wajah yang menyeramkan. Gurat-gurat kegusaran nampak jelas di wajah pria sukses itu. Sesuatu mengganggu pikirannya. Sesuatu yang sangat mengusik ketenangan batinnya.
Kedekatan hubungan Maya dan Sakurakoji ramai dibicarakan dimana-mana. Terlebih setelah keduanya menghabiskan waktu di taman hiduran seharian. Masumi malah mendapatkan yang lebih dari itu; foto-foto mereka menghabiskan waktu semalaman di rumah sepupu Sakurakoji.
Tampaknya Maya sangat senang bersama pemuda itu. Wajahnya berseri-seri dan tertawa gembira. Pertanyaan yang sama bergulir di benak Masumi entah untuk kesekian kalinya.
Kenapa laki-laki yang membuatnya bahagia itu bukan aku?
Kenapa jarak antara dia dia dan Maya semakin jauh, dinding pemisahnya semakin tebal? Kenapa dia jatuh cinta jika tidak diijinkan memilikinya?
Kepalan tangan Masumi semakin erat. Dia tidak akan mengijinkan gadis itu lepas dari tangannya.
Tidak, Maya bukan miliknya. Tapi jika Ia tidak mampu memilikinya, maka tidak ada yang bisa memilikinya. Atau aku bisa gila!! Ia membuat pernyataan pada dirinya. Tidak ada laki-laki lain yang boleh menyentuhnya. Tidak ada laki-laki lain…
=//=
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Shiori malam itu ketika mereka berkencan.
Masumi mengalihkan pandangannya dari Maya dan Sakurakoji yang sedang berkencan di bawah sana. Ia tidak sengaja tadi memergoki keduanya. “Tidak ada,” ujar Masumi datar.
“Oh, itu kan calon pemeran Isshin dan Akoya,” Shiori terkejut juga melihat keduanya. “Ternyata mereka benar pacaran ya. Sepertinya sedang berkencan,” imbuhnya. “Mereka serasi sekali ya, Masumi?”
Setiap tarikan nafas membuat laki-laki itu merasa, bahwa dia sedang memasukkan jarum ke dalam paru-parunya. Menusuk menyakitkan. “Iya…” jawabnya serak dan dingin.
“Masumi, kau kenapa?” wanita itu bertanya penuh perhatian, mengusap tangannya.
“Tidak ada apa-apa,” jawab Masumi hambar. “Kau sudah siap memesan?” tanyanya, berusaha menenangkan pikirannya tapi tidak bisa.
Mayanya berkencan dengan Sakurakoji, persetan dengan hal lainnya. Masumi sudah benar-benar geram. “Kita pulang saja,” kata Masumi.
Shiori tampak terkejut. “Pulang?” tanyanya.
“Iya, perasaanku sedang tidak enak,” Masumi berkata. “Kurasa aku akan sakit,” keluhnya.
“Sakit?” Mata wanita itu melebar. Tidak pernah Ia mendengar Masumi sakit seberapa keras pun Ia bekerja. Hal ini tentu mengejutkannya. “Ya, ya, tentu. Ayo kita pulang. Jangan sampai terjadi apa-apa denganmu.”
“Maafkan aku, Shiori,” sesalnya.
“Tidak apa-apa. Bagaimanapun kesehatanmu yang utama.”
Keduanya beranjak dari meja.
“Kau sampai jatuh sakit, padahal selama ini kau selalu sehat dan kuat. Kau jangan terlalu memforsir dirimu, Masumi…” wanita itu terus bicara.
Sementara kekasihnya tidak mendengarkan. Ia sibuk menenangkan dirinya sendiri. Meredam semua kepahitan dan kesedihan yang menyiksa batinnya. Menanggung derita cinta sebelah pihak yang mendera bertahun-tahun lamanya.
“Selamat Tuan Sakurakoji dan Nona Kitajima, semoga kalian selalu bahagia!” seru pemain biola yang baru saja menyelesaikan lagunya, diiringi tepukan orang-orang di sekeliling mereka.
Jantung Masumi berdetak keras, dengan dingin melirik ke arah suara itu saat Ia dan Shiori hendak pergi dari sana.
Dilihatnya wajah Maya dan Sakurakoji yang merona bahagia. Mengertilah Ia, keduanya sekarang sudah benar-benar menjadi sepasang kekasih.
“Terima kasih kau sudah mau menerimaku,” bisik Sakurakoji setelah keadaan tenang kembali.
Maya menundukkan wajahnya yang merona dan mengangguk.
Kebaikan hati Sakurakoji telah menyentuhnya. Saat Maya tidak bisa berakting, dia membantunya. Saat Maya bersedih, dia menghiburnya.
Sakurakoji baru-baru ini memutuskan hubungannya dengan Mai, dan meminta Maya menjadi kekasihnya. Setelah memendamnya sekian lama, akhirnya Sakurakoji punya keberanian mengungkapkan perasaannya malam ini, dan Maya akhirnya mau mencoba menerima kehadiran pemuda itu dalam hatinya.
Lagipula Sakurakoji pemuda yang sangat baik, tidak perlu membicarakan ketampanannya, semua bisa melihat Sakurakoji salah satu aktor muda paling tampan di Jepang saat ini. Tapi terlebih, sejak Maya mengenalnya, Sakurakoji selalu bersikap hangat kepadanya, selalu perhatian dan baik hati. Tidak ada salahnya bagi Maya yang belum pernah membuka hatinya kepada siapa pun lagi selain Shigeru, untuk mulai menerima sosok pria lain dalam hidupnya.
Kencan malam itu berlangsung menyenangkan. Selesai menyaksikan acara musik, keduanya makan malam. Kemudian Sakurakoji menyatakan perasaannya. Dan saat Maya menerimanya, Sakurakoji meminta seorang pemain biola memainkan sebuah lagu untuk Maya. “First Love, Utada Hikaru.”
Gadis itu menangis terharu, tersenyum malu-malu. Orang-orang di sekeliling mereka memperhatikan dan bertepuk tangan saat sang violinist menyelesaikan nada terakhir lagunya dan mengucapkan selamat kepada Sakurakoji dan Maya.
Setelahnya Sakurakoji mengantar Maya pulang dengan motornya.
“Terima kasih Maya, kau sudah mau menerimaku,” Sakurakoji berkata dengan pandangan penuh cinta saat keduanya telah tiba di apartemen Maya.
Maya mengangguk gugup dan malu-malu.
Pemuda itu melandaikan badannya, mengecup pipi gadis pujaannya dan kembali membuat wajahnya semakin menghangat dan memerah. “Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa,” Maya tersenyum hangat. “Terima kasih untuk semuanya…”
Sakurakoji melontarkan senyuman sebelum mengenakan helmnya dan berlalu dari sana dengan hati riang.
=//=
Kabar mengenai keduanya juga diberitakan di media massa, beberapa tabloid membahas mengenai kedekatan kedua pasangan pemain Sandiwara Bidadari Merah tersebut.
Masumi mengepalkan tangannya yang gemetar kuat di atas meja, sangat kuat hingga kuku-kukunya terbenam dan menyakiti telapaknya sendiri. Namun Masumi tidak merasakannya. Rasa sakit di hatinya jauh lebih kuat menyiksanya saat ini. Perasaan terbuang, perasaan terabaikan, yang membuatnya merasa semakin kesepian.
Begitu saja Maya...? Kau sudah terbang lagi ke pelukan lelaki lain? Meninggalkan aku sendirian…
Masumi membaca isi tabloid tersebut, yang memperlihatkan wajah gembira Maya dan Sakurakoji. Di sana juga disebutkan, Sakurakoji yang serius menjalin hubungan dengan Maya, dan berpikir untuk sampai ke jenjang pernikahan.
Masumi meremasnya kuat-kuat. “Arghh!!!” dihempaskannya tabloid tersebut. Ia bisa merasakan urat-urat di kepalanya berdenyut kencang semakin lama semakin menyakitkan.
Aku pun mencintainya….! Aku pun menunggunya selama ini! Aku pun akan berbuat apa saja untuknya….!! Apa saja…!!
Masumi meremas rambutnya dengan kedua tangannya. Sakit kepalanya tidak juga mau pergi. Rasa sesak di dadanya semakin kuat. “Aarrrrgghhh!!!” Masumi membanting semua yang ada di atas mejanya.
Dia sudah tidak bisa lagi menahan diri. Dia benci dengan semua ini. Dia benci dengan takdirnya. Dia benci dengan kekalahannya.
Masumi tampak terengah-engah, dan matanya nyalang bergerak liar kesana kemari. Seharusnya gadis itu bersamanya, jadi miliknya! Dia tidak bisa melihat Maya bersama lelaki lain. Dia tidak akan sanggup. Membayangkannya saja Masumi sudah merasa seakan-akan sesuatu mencekik lehernya. Menyesakkan, menyiksa…
Dia tidak sanggup.
Gadis itu harus jadi miliknya. Atau dia lebih baik mati…!
Masumi bergerak cepat keluar dari ruang kantornya. Tidak dihiraukannya Mizuki yang baru saja kembali dari makan siangnya dan hampir bertabrakan dengannya di luar.
Dengan wajah dingin dan menyeramkan, Masumi turun ke tempat parkir dan mengendarai mobilnya pergi.
Tujuannya adalah tempat latihan Bidadari Merah.
Masumi turun dari mobilnya, mengamati grup Kuronuma tengah berlatih di sebuah taman. Mereka sangat serius. Ia bisa melihat, Sakurakoji dan Maya yang tidak bisa saling jauh dari satu sama lain. Dnegan wajah dingin Masumi mengamati gerak gerik keduanya dari balik sebuah pohon.
Ia mengeratkan rahangnya. Iri. Sakit. Benci.
Maya menghampiri Sakurakoji yang baru selesai berlatih, tersenyum seraya menyerahinya sekaleng minuman. Pemuda itu menerimanya dengan wajah sumringah. Keduanya duduk di sebuah anak tangga.
Hari ini memang sangat terik. Maya bisa melihat tetesan peluh di dahi kekasihnya. Gadis itu mengarahkan handuk di tangannya ke pelipis pemuda itu. Sakurakoji tampak terkejut, namun membiarkannya. Bisa terlihat pemuda itu sangat senang dengan perhatian gadis mungil tersebut.
“Terima kasih,” katanya, tersenyum bahagia. “Oh, kau juga, minumlah…” tawar Sakurakoji, memberikan kembali kaleng yang tadi diberikan Maya.
“Baiklah,” gadis itu menerimanya, dan meminumnya.
Keduanya kemudian saling memandang dan mulai cekikikan. Tidak berapa lama teman-teman mereka menghampiri dan menggoda keduanya.
Dari kejauhan Masumi mengamati semuanya dengan perasaan hampa.
=//=
Sepulang latihan, Sakurakoji kembali mengantar Maya dengan motornya. “Sampai jumpa besok. Sekarang beristirahatlah,” katanya.
“Terima kasih,” Maya memandangi Sakurakoji lembut dengan rona kemalu-maluan yang membuat pria itu gemas.
“Kau sudah tidak sedih lagi kan, karena Mawar Ungu sudah lama tidak mengirimimu bunga?” Sakurakoji bertanya.
Maya terdiam, mengangguk pelan. Memang, Mawar Ungu penggemar setianya yang sudah lama ingin Maya temui, sudah lama tidak lagi mengiriminya bunga. Maya tidak tahu kenapa. Pikiran bahwa penggemarnya itu sudah mulai melupakannya sempat membuat Maya sangat sedih hingga tidak bisa berlatih dengan baik.
“Kau masih sedih?” tanya Sakurakoji, menyentuh bahu Maya.
Maya cepat-cepat mengangkat wajahnya dan merubah wajah murungnya jadi senyuman. “Tapi sudah tidak begitu sedih,” katanya. “Berkat kamu. Terima kasih, Sakurakoji,” Maya tersenyum tulus.
“Tenang saja, mungkin sekarang penggemarmu itu sedang sangat sibuk. Nanti dia pasti mengirimimu mawar ungu lagi saat kita pentas.”
Senyuman Maya semakin ceria, dia mengangguk. “Terima kasih. Kata-katamu selalu membuatku merasa tenang,” kata Maya.
“Aku senang kalau memang begitu,” Sakurakoji berujar.
“Benar kok, aku tidak bohong…” Maya meyakinkan.
Maya… Sakurakoji kembali melandaikan tubuhnya, membungkuk. Melihat sekilas kalung lumba-limba di leher gadis itu. Ia lantas mendekatkan bibirnya pada bibir kekasihnya.
Maya tidak menolaknya. Kecupan tipis terasa di bibirnya yang mungil. Wajah gadis itu kembali menghangat.
Keduanya berpandangan lembut.
“Aku sudah harus pulang,” pamit Sakurakoji. “Sampai besok, Maya.”
“Sampai besok,” sahut Maya. “Hati-hati di jalan ya!” Pesannya pada Sakurakoji yang sudah kembali menaiki motornya.
Pemuda itu tersenyum terakhir kalinya kepada Maya sebelum meninggalkan apartemen gadis itu.
Dari kejauhan, Masumi menyaksikan semuanya. Bersamaan dengan itu, perlahan-lahan akal sehat dan nurani Masumi Hayami sekarat… Dan mati.
=//=
Sakurakoji sangat bahagia dengan perkembangan hubungannya dan Maya. Ia tidak pernah mengira akhirnya Maya setuju menjadi kekasihnya. Sebelumnya, Sakurakoji sempat merasa cemburu kepada siapa pun itu penggemar Maya, si Mawar Ungu. Sakurakoji selalu merasa Maya terlalu memikirkan penggemarnya itu. Mereka bahkan tidak pernah bertemu.
Namun belakangan Sakurakoji sudah tidak memikirkan lagi si Mawar Ungu. Sekarang Maya kekasihnya, dan Sakurakoji bisa merasakan kebahagiaan dari berbagai perhatian yang Maya curahkan kepadanya jika mereka bersama. Sakurakoji yakin, mereka saling mencintai dan dia akan bisa membahagiakan Maya sekarang dan selamanya. Ia akan menikahinya suatu hari nanti.
Di jalanan yang cukup sepi saat Sakurakoji berbelok menuju kawasan apartemennya, sesuatu mengganggu pandangan Sakurakoji.
Sebuah cahaya menyilaukan dari spion motornya. Ia melihat ada sebuah mobil di belakangnya. Pemuda itu sedikit meminggir, memberi jalan untuk mobil itu menyusulnya walaupun sebenarnya jalanan cukup luas. Namun ada sesuatu yang ganjil, tidak wajar. Cahaya mobil itu terus semakin silau, dan semakin dekat. Saat Sakurakoji menyadarinya, sudah terlambat.
Mobil itu menabraknya dengan kecepatan tinggi. Menghantam motor Sakurakoji hingga terpelanting dan tubuh pemeran Isshin itu melayang beberapa meter sebelum jatuh dan berguling. Helmnya lepas, leher dan beberapa tulangnya patah.
Mobil itu berlalu cepat mengabaikannya.
Sakurakoji tewas seketika.
=//=


Berita mengenai kematian Sakurakoji segera tersebar dengan cepat kemana-mana. Hal ini sempat membuat gempar. Aktor muda berbakat mengalami tabrak lari dan bagaimana nasib pementasan Bidadari Merah selanjutnya?
“Dimana Masumi!?” bentak Eisuke kepada Mizuki di telepon. “Keadaan sedang seperti ini kenapa dia sampai menghilang!?”
“Maaf Pak, tapi sejak kemarin siang Pak Masumi meninggalkan kantor dan belum kembali hingga sekarang,” terang Mizuki. “Saya pun tidak mendapat kabar apa-apa darinya,” lanjutnya.
Setelah menggosok-gosok telinganya yang kesakitan mendengarkan dampratan dan suara telepon Eisuke yang dibanting, Mizuki kembali masuk ke ruangan Masumi, memandangi meja kerja atasannya tersebut yang sudah dirapikan kembali oleh office boys namun saat Mizuki melihat Masumi dengan marah keluar dari kantornya kemarin, Mizuki sempat melongok keadaan kantor atasannya itu dan menemukan keadaannya yang kacau. Semua perlengkapan berceceran di lantai. Sepertinya Masumi sedang marah besar. Dan Mizuki tahu penyebabnya, saat Ia melihat tabloid-tabloid mengenai Maya dan Sakurakoji di sana.
Mizuki yakin atasannya itu tengah merasa benar-benar marah dan kecewa. Mungkin juga kesedihan mendalam. Ia tahu pasti bagaimana Masumi diam-diam sangat mencintai Maya dan malah bisa dikatakan sedikit terobsesi. Namun sekarang sebuah peristiwa besar terjadi, Masumi malahan tidak nampak sama sekali dari kemarin. Kemana dia? Apakah tengah menenangkan dirinya sendiri? Pikir Mizuki. Tapi kemana? Apa yang tengah dilakukannya sekarang?
Handphonennya kembali berbunyi, Mizuki mengangkatnya. Kali ini dari Shiori. Ia pun menanyakan keadaan dan keberadaan Masumi. “Kudengar dari kemarin dia belum pulang ke rumah. Dimana dia? Apakah ada yang sedang dikerjakannya? Apa dia baik-baik saja? Terakhir bertemu Ia mengeluh merasa sakit,” wanita itu terdengar sangat khawatir.
Mizuki hanya bisa menenangkannya, namun meminta maaf karena Ia tidak tahu pasti dimana tepatnya Masumi berada. “Nanti jika saya sudah bertemu, saya akan memberitahukan kepada Pak Masumi bahwa Anda mencari dan mengkhawatirkannya,” Mizuki berkata. “Tenanglah Nona, memang kemarin sempat terjadi sesuatu di luar dugaan. Mungkin Pak Masumi sedang menenangkan diri dan berusaha mencari jalan keluar masalah. Biasanya beliau akan kembali setelah menemukan solusi,” terang Mizuki.
Shiori akhirnya terdengar lebih tenang. Wanita itu menutup teleponnya setelah mengatakan Ia sangat menantikan kabar dari Masumi.
Mizuki memandangi layar kaca yang berisi berita mengenai kematian Sakurakoji. Berita tersebut menjadi headline dimana-mana. Wajah Maya yang beruraian air matapun nampak dimana-mana, juga keluarga Sakurakoji. Mizuki tidak tahu pasti bagaimana keadaan Maya, karena Ia pun disibukkan dengan berbagai hal setelah menghilangnya Masumi.
Ia mengamati wajah sedih Maya dengan Simpati. Mizuki kembali teringat dengan keadaan Maya setelah kematian ibunya dulu. Gadis itu tidak bisa berakting setelahnya, dan hanya tenggelam dalam kesedihannya. Tampaknya saat ini pun tidak jauh berbeda. Wajah gadis itu tampak sangat mengkhawatirkan.
Pak Masumi, Anda kemana? Apa Anda tidak melihat keadaan Maya sekarang? Gadis itu membutuhkan Anda… wajah Mizuki nampak sangat kalut dan khawatir. Pak Masumi…
Nyatanya Masumi pun menyaksikan berita itu di villanya. Mengenai kematian Sakurakoji, mengenai keluarganya yang sedih dan juga Maya yang sangat terpukul, serta bagaimana perkembangan kasus tersebut. Saksi mata tidak bisa memberikan keterangan pasti. Ia hanya menyebutkan peristiwa itu terjadi sangat cepat, dan tidak bisa melihat pengendara mobil tersebut atau pun plat nomor mobilnya.
Masumi menyaksikan semua itu di villanya seraya meminum brandynya. Melihat perkembangan terakhir kasus itu. Lantas wajah Maya muncul. Tidak ada yang bisa mewawancarai gadis itu, teman-temannya melarang wartawan untuk mendekatinya. Gadis itu mengenakan pakaian hitam, tampak berkabung hendak menuju ke rumah duka. Wajahnya sangat mendung dan bisa terlihat Ia sudah banyak menangis.
Maya… Masumi mengamatinya. Apapun yang kulakukan aku memang hanya bisa membuatmu menangis… Kau selalu saja menderita karena aku… tapi jangan khawatir… sebentar lagi kau akan terbebas dari penderitaanmu… Masumi memandangi layar TV dengan wajah tanpa ekspresi. Dingin. “Apapun yang kulakukan kau tidak pernah menjadi milikku… Padahal aku jauh lebih mencintaimu ketimbang mereka. Apa kau tidak tahu betapa tersiksanya aku karenamu…?”
Ia lantas membalik-balik album Maya yang ada di tangannya. Diamatinya foto gadis itu satu persatu. Sudah tujuh tahun berlalu. Tujuh tahun, dan nasib malah memaksa Masumi untuk bersama Shiori, dan gadis itu malah semakin jauh dari jangkauan tangannya dan dengan mudah beralih ke pelukan pemuda lain.
Sudah cukup. Kali ini Masumi tidak akan menyerah kepada takdir. Ia akan merubah takdirnya dengan tangannya sendiri. Ia akan mengakhiri semua hal yang menyiksa dalam hidupnya.
“Masumi!!” panggil Shiori.
Masumi terenyak, Ia menoleh ke arah pintu. Ada Shiori di sana. Wanita itu datang lagi ke villa ini. Berkali-kali mengganggu hidupnya. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Masumi dingin.
Shiori tampak terkejut dengan pertanyaan Masumi, dan rautnya yang tanpa emosi. “A, aku mengkhawatirkanmu, kau bilang kau sakit waktu itu dan aku tidak mendengar kabarmu lagi. Aku menghubungi rumahmu dan ke Daito, mereka juga tidak tahu kau dimana,” Ia berkata penuh rasa khawatir. “Lalu aku ingat, kau suka menyendiri di sini… karena itu aku datang. Aku khawatir sekali padamu. Apalagi saat tadi kulihat mobilmu seperti habis menabrak sesuatu… Aku semakin khawatir dan segera masuk ke sini,” terang Shiori, yang semakin lama semakin merasa takut dengan cara Masumi memandangnya. Ia bisa merasakan lehernya meremang.
“Aku tidak butuh perhatianmu,” kata Masumi, dingin. “Pulanglah…” perintahnya.
“Tidak, Masumi, jika ada yang bisa kulakukan…”
“Pulang!!!” teriak Masumi.
Shiori tersentak, dan mulai gemetar. “A, aku…” Ia tidak pernah melihat Masumi semenyeramkan ini. Ia tertegun saat melihat album pementasan Maya yang tergeletak di meja.
Hal itu pun membuat Masumi mengalihkan perhatiannya ke sana.
Shiori juga memperhatikan tayangan televisi mengenai kematian Sakurakoji. Wanita itu memandang penuh tanya kepada Masumi. “Masumi…” suaranya bergetar. “Sebenarnya… Ada apa? Kenapa kau begitu perhatian kepada gadis itu?” pandangannya memohon jawaban. “Ka, kau bahkan memiliki album pementasannya dan mendekam dirimu di sini menonton berita mengenai gadis itu… Katakan Masumi… Sebenarnya—“
“Bukan urusanmu!!!” Bentak Masumi dengan kegusaran yang nyata. “Apa pun yang kulakukan, apa pun yang kurasakan, semuanya bukanlah urusanmu!!! Sekarang pergilah dari sini!” Masumi berjalan menghampiri Shiori dan menyeret lengannya.
“Kyaa!! Masumi!!”
“Pergi!!!” Usirnya, membawa Shiori menuju pintu.
“Ti, tidak!! Lepaskan aku!!” berontak Shiori. “Lepaskan!! Aku tidak akan pergi sampai kau beritahu ada apa sebenarnya!! AKu tunanganmu!! AKu harus tahu semuanya!!”
“Diaaam!!!” Teriak Masumi, dan sebuah tamparan yang sangat keras bersarang di pipi wanita itu.
Shiori terjegil, matanya membulat nyeri dan di ujung bibirnya tampak setetes darah. Ia memandang Masumi ngeri. “Ka… kau… siapa?” tanyanya, gemetar hebat. “A, aku tidak mengenalmu…”
“Kau tidak pernah mengenalku…” gumam Masumi serak, menakutkan. Matanya yang dingin menusuk ke hati Shiori.
“Ma, Masumi… kau perlu bantuan… kau…”
Tiba-tiba suara di televisi mengalihkan perhatian mereka. Pembawa berita menyebutkan, walaupun plat nomor mobil pelaku tidak terlihat, namun seorang saksi sempat melihat mobil hitam tersebut dan menyebutkan jenis dan merk mobilnya. Termasuk mobil yang mahal dan tidak banyak beredar di Jepang. “Bisa dipastikan pelakunya adalah orang dari kalangan elit atau setidaknya mampu memiliki mobil jenis tersebut. Dan yang pasti, motor Sakurakoji adalah jenis yang kokoh, diperlukan benturan yang sangat keras hingga bisa berakhir seperti sekarang dengan kecepatannya menabrak motor tersebut, bisa dipastikan ada kerusakan yang cukup signifikan di badan mobil sebelah kiri, apalagi. Kami akan mulai menyelidikinya dari sana. Kami harap semua pihak yang sempat melihat mobil sejenis, sesuai yang kami sebutkan, bisa melaporkannya kepada pihak yang berwajib untuk diselidiki lebih lanjut.”
Shiori bisa merasakan tubuhnya membeku seketika. Ia menoleh kembali kepada Masumi yang masih menatapnya dengan dingin dan tajam. Pikiran wanita itu kalut. Ia mulai semakin ketakutan. “Ti… tidak… mungkin… Masumi… ka, kau…”
Pria itu yang tidak membantah membuat Shiori semakin takut. Tiba-tiba wanita itu menjadi histeris. “Le, lepaskan aku!!!” teriaknya. “Tolooong!!! To—“
“Diaam!!!” Masumi membekap mulut wanita itu. Ia menyeretnya kembali, kali ini ke dalam, menuju lantai atas.
Shiori berharap sopirnya di luar bisa mendengar teriakannya, namun telapak Masumi membekapnya sangat kuat hingga membuatnya merasa kesulitan bernafas. Sekuat tenaga berusaha melepaskan diri dari Masumi namun tidak sanggup. Shiori lantas memukulkan tasnya kepada pria gagah tersebut namun Masumi sama sekali tidak tergoyahkan. Sampai akhirnya Shiori sekuat tenaga menjejakkan hak sepatu 12 sentinya ke kaki Masumi. Pria itu mengerang sangat keras, sempat melemahkan kekuatannya. Saat itu dimanfaatkan oleh Shiori untuk meloloskan dirinya dari pegangan Masumi.
Namun Ia tidak bisa pergi jauh, dengan cepat Masumi dapat kembali menangkap tangannya. Shiori berteriak menjerit.
Tangan Masumi teracung tinggi. “Wanita brengsek!!” dan kepalannya segera menghantam wajah Shiori. Tubuh lunglai wanita itu jatuh setelah kepalanya menghantam ujung meja kayu yang berat sebelum kemudian wajahnya mencium lantai. Dari hidungnya keluar darah segar. Masumi tidak repot-repot memeriksa keadaannya, karena di pintu terdengar ketukan.
Masumi menghampiri pintu, membukanya.
Tampak sopir Shiori, berwajah panik. “Mohon maaf Tuan!” katanya cepat. “Apa Nona Shiori tidak apa-apa? Saya mendengar Nona berteriak—“
Masumi mengamati sesuatu di belakang sopir itu. Mobil Shiori. Ia kembali menatap sopir tersebut. “Kau tepat waktu,” Ia berujar. “Nonamu perlu bantuan, cepat tolong dia.” Masumi menyisi dari pintu dan membukanya. “Di sebelah sana,” Masumi menunjuk.
Sopir itu buru-buru masuk dan bergegas menuju ke arah yang ditunjuk Masumi. Dilihatnya Shiori yang terbaring di lantai, wajahnya tidak terlihat. Sopir itu sangat terkejut. Ia cepat-cepat menghampiri. “Nona! Nona Shiori!! Anda tidak apa-apa!?” tanyanya khawatir. Ia pikir Shiori pingsan karena sakit, walaupun Ia heran karena Masumi membiarkannya tergeletak di lantai. Sopir itu memutar wajah Shiori, dan sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya. “Nona…!!” Sopir itu kemudian menoleh ke arah Masumi. “Tuan, apa yang sebenarnya—“ matanya terbeliak lebar.
Masumi tengah mengangkat sebuah patung marmer tinggi-tinggi dan menghantamkannya ke kepala sopir itu. Dari telinganya keluar darah.
Masumi menggeledah sopir itu dan menemukan kunci mobil Shiori lantas mengambilnya. Ia berjalan melewati tubuh keduanya, menuju kembali ke ruang duduk dengan TV yang masih menyala dan album pementasan Maya yang masih terbuka.
Masumi meraih album tersebut. Mengamatinya dengan tatapan tidak terbaca. Telunjuknya menyusuri wajah Maya di foto tersebut. “Sebentar lagi,” gumamnya. “Kau akan bertemu Mawar Ungumu…” Ia berkata, “ dan terbebas dari penderitaanmu.”
Masumi mengambil salah satu foto. Foto yang mengawali semuanya, saat Maya berperan menjadi Beth. Sejak saat itu, Masumi hanya merasakan sakit jika melihat Maya. Sekarang, Ia akan mengakhiri semuanya.
Pria itu pergi meninggalkan villanya dengan menggunakan mobil Shiori.
=//=
Dengan peristiwa yang menimpa Sakurakoji, latihan Bidadari Merah ditunda untuk kedua belah pihak. Selain itu, beberapa hari mendatang akan diadakan audisi kembali untuk pemeran Isshin bagi pihak Kuronuma. Masumi tahu, Maya tidak akan kemana-mana, Ia akan berada di kontrakannya.
Dari kejauhan Masumi bisa melihat Rei yang pergi bekerja pagi itu. Setelah tidak ada siapa-siapa, Masumi menjalankan mobilnya dan menghentikannya di depan bangunan apartemen Maya. Ia masuk ke dalam, dan mengetuk pintunya.
Tidak ada jawaban.
Beberapa kali Masumi mengetuk dan masih tidak ada jawaban. Ia lalu menggeser pintunya. Tidak terkunci.
Masumi masuk ke dalam, tanpa suara Ia mencari Maya.
Akhirnya Ia bisa melihat, gadis itu berada di sudut kamarnya, dengan pandangan menerawang sangat sedih. Ia mengenakan pakaian berkabung warna hitam. Ada baki makanan di hadapannya yang tidak disentuhnya. Masumi masuk, menghampiri.
Gadis itu tertegun, menyadari ada seseorang di sana. Ia mengangkat pandangannya, dan matanya melebar. “Masumi Hayami!!” Serunya. “Apa yang kau lakukan di sini!?” wajah sembab itu bertanya.
“Aku menjemputmu,” jawabnya datar.
“A, apa maksudmu kau menjemputku?” Maya belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi saat Masumi dengan cepat membekapnya menggunakan sapu tangan yang sudah ditetesi obat bius dan membuat gadis itu kehilangan kesadaran.
=//=
Saat Maya kembali tersadar, Maya tidak yakin apa yang terjadi pada dirinya. Semuanya gelap. Ia kemudian menyadari bahwa Ia juga tidak bisa bergerak. Tangan dan kakinya diikat. Ia duduk di sebuah kursi, dan mulutnya pun ditutup hingga Ia tidak bisa bicara.
“Hmmmmphh!! Hmmmphh!!” Maya berusaha keras berteriak dan melepaskan diri dari ikatannya, namun sebagai balasannya, Ia hanya bisa merasakan sakit di pergelangan tangannya. Maya takut sekali. Ia lantas berusaha mengingat-ingat hal terakhir sebelum Ia pingsan. Perlahan-lahan kenangannya kembali. Sesosok pria tinggi besar dan berwajah dingin di hadapannya. Pak Masumi Hayami!!
Maya tiba-tiba merasakan ketakutan yang sangat. Benarkah Masumi yang sudah mengikat dan menyekapnya? Benarkah? Tapi kenapa? Ini dimana?
Masumi Hayami….
Badan Maya tidak berhenti bergetar. Ia kembali berusaha keras menggerakkan tubuhnya dengan hatapan bahwa Ia akan bisa membebaskan diri, atau mungkin terbangun andaikan ia saat ini tengah bermimpi.
“Kau sudah sadar….” Suara itu tanpa intonasi dan terdengar sangat dingin.
Seketika Maya menjadi waspada. Benar! Ternyata orang itu adalah Masumi Hayami!!
“Hmmmmph!!!” Maya berusaha berontak, Ia terengah-engah, ingin bebas namun  tidak bisa. Ia semakin merinding saat merasakan Masumi berjalan mendekat ke arahnya. Masih tidak mengerti apa sesungguhnya yang tengah terjadi, namun yang pasti Maya bisa merasakan ngeri yang menyelimutinya.
“Aku akan membuka penutup matamu,” kata Masumi dengan parau, membangkitkan bulu kuduk Maya.
Tidak berapa lama Maya bisa merasakan ikatan di matanya melonggar. Ia bisa merasakan aliran darah yang sempat terhambat kembali mengaliri kepalanya. Gadis itu berusaha melihat ke sekelilingnya. Ia memicingkan matanya, saat korneanya kesakitan dengan cahaya yang berusaha menerobos masuk.
Mata gadis itu terbuka, dan Maya segera terperanjat, melihat wajah Masumi tepat berada di hadapannya. “Mmmhh!!!” hanya suara itu saja yang keluar dari mulutnya walaupun Maya sebetulnya berniat menyerukan nama Masumi.
“Halo… Maya…” Ia tidak lagi memanggilnya Mungil.
Tampak bibir gadis itu gemetar, tapi tatapannya berkata lain. Penuh pertanyaan, tidak mengerti.
Bingung.
Takut.
“Selamat datang di tempatku,” ia tersenyum. Senyuman tanpa makna yang bisa dimengerti Maya.
Masumi menyusuri wajah Maya dengan matanya.
“Aku sudah sejak lama mengharapkan kedatanganmu di sini, aku tidak mengira bahwa kau datang ke sini dalam keadaan seperti ini,” ia berkata dengan nada prihatin.
Masumi mencondongkan tubuhnya, “Maya…” Ia berdesis, di telinga gadis itu. Kembali mengamati wajahnya dengan penuh. “Apa kau takut kepadaku?” tanyanya, mengamati gadis itu yang gemetaran.
Maya tidak mampu berbuat apa-apa. Ada yang salah dengan pria ini, Maya meyakini. Caranya memandang, gerak geriknya, membuat gadis itu merinding. Ketakutan semakin nyata merayapi seluruh tulang punggungnya saat Masumi mendekatan wajah dinginnya kepada Maya. Ada sesuatu yang ia tidak mengerti yang membuat gadis itu sangat takut.
“Kau takut ya… kepadaku,” Masumi meletakkan tangannya di kepala gadis itu dan perlahan membelai rambutnya, “benci…?” desisnya, lantas tangannya menuju bibir Maya yang tertutup. “Ada yang ingin kau katakan…?” tanya Masumi, menyentuh kain yang membekap Maya. “Nanti… tunggu dulu. Masih ada yang ingin kukatakan… jadi dengarkan aku, Maya, karena hanya ini kesempatan terakhir kau mendengarku,” setiap ucapannya terdengar seperti desahan lirih yang terasa sangat dingin..
Maya menelan ludahnya. Jantung Maya terasa berhenti berdebar mendengarnya. Ia melirik Masumi kalut dan takut. Maya masih sangat bingung dengan semuanya, namun tatapan dingin dan menusuk milik Masumi serta sikap dan perkataannya membuat Maya gemetar ketakutan dan merasa tidak aman.
Kenapa Pak Masumi membawaku ke sini…? Kenapa dia mengikat dan membekapku? Ini dimana…. Mata gadis itu mulai berkaca-kaca karena takut.
Masumi bangkit dari hadapan Maya. Dan berjalan memutari gadis itu. Tangannya meraih sejumput rambut hitam kelam gadis itu. Maya terenyak spontan, mengelak.
Masumi bicara dengan suara serak.
“Kau… sejak aku pertama melihatmu dulu… sosokmu itu, sangat mengusikku,” Ia mengangkat dagu Maya, memaksa gadis itu menatap kepadanya yang menjulang.
“Aku sering bertanya. Sebenarnya kenapa hal itu sampai terjadi? Kenapa kau begitu mengganggu  ketenangan hidupku? Sampai saat ini aku tidak menemukan jawabannya… Wajahmu ini, Maya… apa kau tahu? Menggangguku siang dan malam. Saat aku terbangun ataupun saat aku tertidur. Dan kamu, Maya… apa kau pernah memikirkanku? Selain memikirkan betapa menyebalkannya aku atau betapa kau membenciku?”
Maya benar-benar tidak mengerti kemana tepatnya arah pembicaraan Masumi. Semua kata-katanya benar-benar membingungkan dan sepertinya Masumi masih belum selesai berbicara.
Gadis mungil itu hanya bisa memikirkan, maksud jahat apa yang dimiliki pria itu kepadanya. Apakah ia akan menyingkirkannya agar tidak mendapatkan Bidadari Merah? Atau rencana jahat lainnya?
Maya tidak ragu, pasti itulah yang ada di kepala pria jahat itu. Rasa takut mengikat hati Maya semakin ketat. Gadis mungil itu bisa melihat perbedaan yang begitu nyata dari Masumi yang dikenalnya. Tatapannya tidak lagi sinis, tapi terasa sangat kelam. Rautnya pun terlihat begitu hampa. Maya tidak merasa mengenalnya. Sosok yang begitu asing yang keberadannya semakin lama terasa semakin dingin dan membuatnya merinding.
Masumi membungkuk. Mengamati kembali wajah Maya dari dekat. Telapak Masumi menyentuh pipi Maya, gadis itu menciutkan dirinya takut-takut. Kalut.
“Aku selalu, selalu, dan selalu memikirkanmu,” desisnya. “Aku tidak tahu kenapa, tidak mengerti kenapa… Kenapa gadis sepertimu bisa mencuri perhatianku…? Padahal ada banyak gadis lain yang mempunyai banyak kelebihan ketimbang dirimu… Banyak gadis lain yang ingin mendapatkan perhatian dan cintaku…” ucapnya getir, mengusap-usap wajah Maya sangat perlahan, kali ini dengan punggung jemarinya, menikmati setiap getaran kulit wajah Maya yang memucat. “Tapi tidak… tidak,” Masumi menggeleng. “Aku harus jatuh pada gadis sepertimu. Jatuh dengan teramat dalam…” ucapnya getir.
Masumi menyusupkan wajahnya di sisi kepala gadis itu.
“Mmh!!” Maya berusaha memalingkan wajahnya walau percuma, air mata ngeri mulai menetes turun di luar kehendaknya sementara dadanya naik turun merasa sesak karena ketakutan.
Masumi menghirup nafas dalam, menciumi keharuman aroma rambut Maya, berbisik di telinganya sementara usapannya mulai turun ke leher, bahu dan lengan Maya.
“Sendirian mencintaimu, sendirian memikirkanmu, sendirian merindukanmu… dan apa yang kudapatkan? Kau hanya semakin jauh… jauh… dan semakin membenciku. Semua yang kulakukan selalu salah di matamu. Apapun yang kulakukan, aku hanya mendapatkan prasangka darimu.” Masumi mengangkat wajahnya, kembali mengamati rupa Maya yang semakin takut. Mengusap air mata gadis itu dengan ibu jarinya. “Apa pun yang kulakukan, hanya bisa membuatmu menangis…”
Namun air mata gadis itu tidak juga berhenti. Ia menggeleng-gelengkan kepala, meminta kebebasannya.
“Tapi tidak dengan mereka… Shigeru… Sakurakoji…” Masumi menelan ludahnya pahit.
Maya terenyak, menatap Masumi nanar. Mencoba mencerna semua kata-kata Masumi yang sedari tadi terdengar seperti bahasa asing yang tidak bisa diartikan karena kognitifnya terhambat semua ketakutannya.
Shigeru…? Sakurakoji…? Jantung Maya berdebar semakin tidak beraturan.
“Sendirian mencintaimu… sendirian memikirkanmu, sendirian merindukanmu…” Maya terenyak, berusaha menampik semua ucapan Masumi, namun itulah yang ia dengar sebelumnya.
Maya berusaha menatap Masumi, ngeri dan penuh tanya. Tidak mungkin…. Pak Masumi….
“Padahal tidak ada seorang pun yang mencintaimu melebihi aku…” ungkap pria itu, getir dan penuh derita.
Nafas Maya berhenti sesaat, tubuhnya tegang namun lumpuh.
Masumi Hayami, mencintainya…? Bagaimana bisa…?
Masumi mendekap wajah Maya dengan kedua telapaknya. Begitu erat, begitu ketat. Kembali mengamati wajah Maya yang beruraian air mata. Mengamati bibirnya yang terkurung namun tidak diragukan lagi gemetar di balik kain putih itu.
Maya berusaha menggelengkan keras kepalanya, berharap bisa lepas. Namun Ia baru terbebas saat Masumi menghendakinya.
Tangan Masumi menjulur ke bagian belakang kepala gadis itu dan melepaskan kain yang membekap bibirnya.
“Lepaskan aku…!!!” Teriak Maya begitu kain itu melonggar. Gemetar. “Kumohon…” Ia memelas dan air matanya mulai turun kembali. “Pak Masumi… A, apa maksudmu… Pak Masumi…?” tanyanya. “Ini dimana? Kenapa kau membawaku kesini? Ke, kenapa kau mengurungku…?” tanya Maya. “Dan kenapa kau mengatakan semua kebohongan itu…?” isak Maya.
“Kebohongan…” desah Masumi dengan miris. Menyadari di mata gadis itu semua ucapannya semata-mata hanya sebuah kebohongan.
Masumi memandangi Maya. Tatapannya menyampaikan kesedihan mendalam yang Maya tidak pahami.
“Kumohon lepaskan aku…” pinta Maya.
Sebuah senyuman misterius memulas wajah pria itu.
“Sebentar lagi… Aku akan melepaskanmu… dan membebaskanmu dari semua pederitaanmu… juga penderitaanku…” kata Masumi.
Maya tertegun tidak mengerti.
“A, apa maksudmu… Pak Masumi? Kau membuatku bingung…” Ia menghiba, “Kau membuatku takut…”
Masumi lantas beranjak, menghampiri sebuah meja dan menarik lacinya. Mengeluarkan sesuatu yang tidak bisa tertangkap mata Maya. Barulah saat Masumi berbalik, Maya bisa melihat. Mata gadis itu melebar.
Sebuah pistol.
Maya bisa merasakan jantungnya berdentam-dentam sampai kepala. Pistol….?
Masumi memasangkan pelurunya.
“A, apa yang kau inginkan Pak Masumi…!?” tanya Maya. “Ku, kumohon bebaskan aku… Pak Masumi…. Kumohon…”
“Membebaskanmu…” Masumi berkata dingin, tanpa melepaskan pandangannya dari pistol di tangannya. “Itulah mengapa aku membawamu ke sini, Maya…” tatapannya beralih kepada Maya sebentar sebelum kembali pada pistolnya.
“Tujuh tahun… Sejak pertama kali kita bertemu. Kau sangat mungil waktu itu. Aku ingat sekali pertama kali kita bertemu, kau menabrakku dan aku membantumu mencarikan tempat dudukmu… benar kan…?” Ia kembali menoleh kepada Maya.
“Benar kan, Maya…?” Ia menuntut jawab.
Maya mengangguk takut-takut.
“Jawab!!” Bentak Masumi.
Maya terperanjat. “Benar!! Benar!!” Seru Maya, mengangguk cepat, menundukkan kepalanya dalam-dalam dan kembali terisak.
“Benar… dan sejak saat itu, keberadaanmu semakin nyata dalam hidupku… berkali-kali aku berusaha mengenyahkanmu, tapi kau malah semakin memenuhi pikiranku…”
Maya mengangkat wajahnya kembali menatap bingung Masumi.
“Kau tidak pernah menyadarinya kan… penderitaan seperti apa yang kurasakan tiap kali melihatmu?” Masumi berjalan mendekat kepada Maya dengan pistol masih dalam genggamannya.
Maya mengalihkan tatapannya dari wajah Masumi kepada pistol di tangannya. Maya tidak pernah sengeri ini dalam hidupnya.
“Kau tidak pernah menyadari, sakitnya hatiku saat kau membuang wajahmu dariku…” ungkap Masumi. “Saat kau mencibirku… Kau tidak tahu kan…? Jawaaab!!!” tuntut Masumi.
“Tidak! Tidak! Aku tidak tahu!” Maya menggeleng cepat dengan panik, lantas menangis histeris. “Pak Masumi…. Kumohon lepaskan aku…!” pintanya, yang sudah tidak bisa lagi menemukan kewarasan pada Masumi. Maya hanya menganggap semua kata-kata Masumi adalah racauan dari kebenciannya selama ini.
“Kau akan kulepaskan Maya… sebentar lagi. Kau akan bebas seperti yang kau inginkan, aku juga…” Masumi menodongkan pistol pada pelipis Maya. “Kalau kau macam-macam, kau akan tahu akibatnya…” ancamnya dengan dingin.
Masumi lantas melepaskan ikatan tangan dan kaki Maya.
“Berdiri!” perintahnya.
Maya berusaha menelan ludahnya, namun tercekat.
“Berdiri, Maya…” bisik Masumi.
Maya berusaha keras memenuhi keinginannya, namun tubuhnya yang gemetar membuat gadis itu kesulitan bahkan untuk mengangkat tubuhnya. Maya hanya sanggup menangis.
Ia tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti. Situasi yang benar-benar di luar dugaannya. Ia selalu membenci Masumi, membuatnya berpikir bahwa laki-laki itu brengsek dan menyebalkan. Namun sebatas itu saja. Maya tidak pernah benar-benar berpikir pria itu jahat dalam artian kriminalitas.
Namun nampaknya ia harus mengubah pemikirannya. Saat ini, yang Maya rasakan hanyalah hawa jahat yang memancar dari pria itu. Semua yang Masumi lakukan, hanya menebarkan kengerian.
Setelah Maya berdiri, Masumi berdiri di hadapannya. Menatap gadis itu.
“Lihat aku…” perintahnya.
Maya berusaha mengikuti kemauan pria itu. Menengadah, menatapnya takut-takut.
Masumi kembali meraih wajah gadis itu, menyelipkan jemarinya di rambut hitam Maya. Sejak lama ia mendambakannya. Dapat mengusap lembut wajah dan rambut gadis itu.
“Kau takut kepadaku…?” pertanyaanya terdengar seperti ancaman.
Maya mengangguk.
Tatapan Masumi berubah pilu, sentuhannya masih belum beranjak dari wajah dan rambut Maya.
“Aku tahu, yang bisa kulakukan, hanyalah tidak berhenti membuatmu takut dan sedih. Dan aku pun, tiap kali melihatmu, hanya sanggup merasakan sakit.”
“Kumohon lepaskan aku…” kata Maya gemetar, hanya itu yang sanggup Ia katakan.
“Aku akan melakukannya Maya… Kita akan melakukannya,” Ia meremas sisi wajah gadis itu. “Kau akan terbebas dari penderitaanmu, aku juga….”
Masumi menurunkan tangannya dari wajah Maya. Pria itu lantas mengangkat pistolnya, dan menggenggamkannya ke tangan Maya.
Gadis itu terenyak. “A, apa yang…”
“Pegang pistolnya kuat-kuat, Maya, jika terjatuh, pistol itu bisa meledak…”
Maya sangat takut, dan terpaksa menggenggamnya kuat-kuat.
“A, apa yang kau lakukan—“
“Pegang pistolnya erat-erat!!” perintahnya.
Tangisan Maya semakin keras karena bentakan Masumi dan Ia menggenggamnya erat-erat sementara Masumi mengikat pistol itu ke tangannya.
“Kumohon….” Maya menghiba. “Hentikan semua ini….”
“Sebentar lagi,” ujar Masumi tenang. “Hanya sebentar lagi.”
Masumi melepaskan tangannya dari Maya. Tangan kanan gadis itu kini terikat kepada pistol, dengan telunjuknya yang bebas untuk menekan pemicu.
Pria itu lantas berlutut di hadapan Maya. Gadis itu mengamatinya kalut.
Masumi lantas mendekap kedua tangan Maya dan mengarahkan pistol di tangan Maya ke jantungnya sendiri.
“Lakukan, Maya…” pintanya. “Tarik pemicunya…”
Mata gadis itu melebar, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Air matanya menetes di pakaian da tangannya. “A, apa—“
“Bukankah kau ingin terbebas? Aku juga….” Masumi berkata. “Selama masih ada aku, kau akan terus menangis dan terluka. Dan selama aku masih bisa melihatmu… Aku hanya akan terus menderita…”
“Pak Masumi…. Kenapa kau melakukan semua ini…? Ini… Ini… kita tidak seharusnya…”
“Hanya ini caranya, agar aku bisa melepaskanmu… merelakanmu… Tarik, pemicunya, Maya…” tuntut Masumi.
“Tidak!!” teriak Maya. “Kau gila!!”
“Aku gila!!” Masumi balas berteriak.
“Kenapa… tapi kenapa Pak Masumi…” Maya terisak. “Kenapa kau harus melakukannya…?”
“Bukankah kau ingin bebas, Maya? Dengan begini aku tidak akan menyakitimu lagi—“
“Tidak harus begini,” Ia terisak keras. “Kumohon hentikan….” Maya merasakan tangannya yang kesakitan karena genggaman Masumi.
Masumi melepaskan genggamannya dari tangan Maya, dan merogoh saku jasnya sendiri. Ia mengeluarkan pistol lainnya dari sana. Kali ini Masumi menodongkannya ke pelipis Maya. Ia menatap gadis itu dengan tatapan tak terbaca, sementara Maya menatapnya tak percaya.
“Kau… atau aku…” Masumi berkata serak.
Maya menelan ludahnya. Seluruh tubuhnya gemetar keras.
Masumi kembali mengarahkan pistol Maya ke jantungnya. “Lakukan!”
“Tidak!!” teriak Maya.
“Kalau tidak, aku akan meledakkan kepalamu!”
“Tidaaak!!” berontak Maya, menggeleng keras.
“Aku tahu kau membenciku… benar kan?”
Maya menatap kalut pria itu, tidak sanggup menjawab.
“Apa kau lupa… apa yang sudah kulakukan kepada ibumu?” tanya Masumi dingin.
Deg!
Maya menatap nyalang pria itu.
“Dia sudah sangat tua. Sakit, sendirian….”
Tubuh Maya menegang, teringat bagaimana Ibunya tewas.
“Ia sangat merindukan dan hanya ingin bertemu denganmu, putri satu-satunya, keluarga satu-satunya…”
“Hentikan…” air mata Maya yang panas semakin membanjir.
Benar Maya… tumpahkanlah segala kebencianmu kepadaku untuk terakhir kalinya, dan bebaskanlah aku dari penderitaanku, dan kau akan terbebas dari penderitaanmu….
“Ia hanya ingin bertemu denganmu… tapi aku melarangnya. Aku sudah menemukannya… Aku tahu Ia ingin menemuimu, tapi aku malah mengurungnya…”
“Hentikaa…n…”
“Aku memerintahkan dokter dan perawat di sana agar mengurungnya. Melarangnya mendengar radio dan televisi. Juga melarang mereka menyebut namamu atau membicarakan segala sesuatu mengenaimu. Aku mengisolasinya, membuat kalian tidak bertemu…”
“Hentikaaan….”
“Hingga akhirnya, sampai akhir hayatnya, ibumu tidak pernah melihatmu berakting…”
Maya bisa merasakan kesedihan yang menyesaki dadanya. Kesedihan yang perlahan bangkit menjadi kemarahan.
“Hentikan…” suaranya bergetar marah. “Kenapa… Kenapa kau melakukan semua itu…”
“Agar kau terus menjadi perhatian media. Menjadi promosi gratis dan mendatangkan keuntungan bagi Daito…”
“Kau tidak punya perasaan!!” Jerit Maya.
“Aku mencintaimu….”
“Dusta!!” Maya terengah. “Kenapa kau mengatakan semua dusta itu… Apa maumu….? Kenapa kau tidak berhenti menyakiti perasaanku….!?” Tanya Maya.
“Lalu Satomi,” ujar Masumi. “Aku datang lebih dulu dalam hidupmu ketimbang dia… Tapi kau dengan mudah jatuh ke dalam pelukannya,” Masumi menggeleng kecewa. “Padahal dia tidak mencintaimu sedalam aku…”
“Omong kosong….”
“Pemuda brengsek itu yang omong kosong!!” bentak Masumi. “Saat aku minta seseorang menawari manajemennya untuk bekerja di Amerika, bukankah dia begitu saja meninggalkanmu…?”
Maya mengetatkan rahangnya. Jadi Satomi pergi ke Amerika…
“Kenapa, Pak Masumi…. Kenapa kau menjauhkan orang-orang yang kusayangi…”
“Karena aku tidak bisa melihat orang lain memilikimu, aku tidak bisa melepaskanmu...” Masumi menekankan pistol di tangannya ke pelipis Maya. “Kecuali kau yang membebaskanku dari semua ini—“
“A, apa yang kau inginkan!? Kau ingin aku menembakmu….?”
“Bukankah ini sempurna…? Hanya kau… Aku hanya ingin menyerahkan nyawa ini di tanganmu… Hanya itu yang kumau…” Kali ini, Masumi terdengar menghiba. “Lakukan…!”
“Tidaaak!!!!” berontak Maya.
“Lakukan!!!” Masumi kembali menodongkan moncong senjatanya kepada Maya. “Tembak aku… atau aku akan menembakmu… dan menembak diriku sendiri dengan senjata di tanganmu.” Masumi menggenggam erat-erat lengan pergelangan Maya. “Tembak!!!”
“TIdaaakk!!!” Maya mulai kembali menangis ngeri.
“Lakukan untuk ibumu, Maya!!!”
“Ti, tidak!!!” Maya menggeleng.
“Apa kau tidak ingat bagaimana aku membuat ibumu menderita? Membuatnya menderita dan tidak pernah melihatmu barakting!?”
“Tidaaakk!!!” Tolak Maya.
Namun Masumi bisa merasakan, gadis itu mulai menekankan pistol itu ke jantungnya.
Sedikit lagi.
“Hentikan…” Maya memohon. “Hentikan, Pak Masumi….” Maya merasakan kepalanya berdenyut-denyut keras.
“Lalu Sakurakoji…” Masumi berucap dingin.
Mata Maya membulat tidak percaya, menatap putus asa kepada Masumi.
“Tidak….”
“Wajahnya tampak sangat bahagia, begitu berseri-seri,” raut Masumi terlihat seram. “Ia pasti sangat senang karena kau menerima cintanya… Karena itu lah Ia pun harus mati…” Masumi nampak gusar.
Mata nanar Maya melebar dan pegangannya menegang.
“Ia mengendarai motornya, sendirian….”
“Hentikan….” Pinta Maya.
“Aku mengikutinya dari belakang… menunggu sampai saatnya tepat…”
“Tidak mungkin…” Maya kembali menggelengkan kepalanya.
“Ia lalu berbelok, dan aku terus mengikutinya,” Masumi bercerita dingin, tanpa melepaskan tatapannya dari mata Maya yang penuh kepedihan. Jauh dalam lubuk hatinya Masumi pun merasa sangat sakit. Tapi Ia harus melakukannya. Jika ingin semua ini berakhir. “Jalanan malam itu cukup gelap dan sepi… Aku mengikutinya dari belakang, menambah kecepatan mobilku, semakin cepat…”
“Sakurakoji….” Panggil Maya dengan air mata menganaksungai dan tanpa sadar menodongkan pistolnya lebih kuat ke dada Masumi. Mengingat semua kebaikan pemuda itu. Semua kehangatannya, kecupan mesranya.
Kebencian semakin menggeliat kuat dalam dada gadis mungil itu, memberontak lebih kuat dari yang bisa ditanganinya. Maya menatap penuh dendam kepada Masumi. Membayangkan kejadian yang merenggut nyawa kekasihnya tersebut.
Masumi menelan ludahnya. “Aku memacu mobilku sangat cepat, menabrak motornya sekeras mungkin hingga terpelanting. Suara tabrakannya sangat keras.”
“Kau….”
“Motornya terpelanting, memutar. Dan tubuh Sakurakoji melayang, terbanting kuat dengan kepala terlebih dahulu. Helmnya lepas,” Masumi menyeringai, menampakkan sisi tergelap hatinya dan berkata dengan nada meninggi. “Ia tergeletak tak bergerak, tidak bernyawa! Dan darah dari kepalanya segera menggenang—“
“DOR!!!”
Suaranya menggema memekakkan telinga.
Mata pria itu terbeliak. Rasa sakitnya memuncak, nafasnya menyesak.
“Duk!!” pistol di tangan Masumi terjatuh. Ia meraba dadanya dimana darah sudah mengalir deras membasahi kemeja dan jasnya. Ia mengamati tangannya yang basah akan darah yang pekat merah.
Tangan berdarah itu menyentuh wajah gadis terkasihnya terakhir kali. Tidak ada kata yang terucap. Hanya rasa pedih, pilu, derita yang mulai terhapus dari raut pria itu yang—berlawanan dengan perasaan di dadanya—mulai berganti kelegaan.
“Bruk!!” Masumi roboh.
Dalam hitungan detik tubuhnya lumpuh, nafasnya terhenti.
Pergi.
“Pak… Masumi…” Maya ikut ambruk di lantai.
Ia tidak mengerti apa yang tengah terjadi beberapa detik sebelumnya. Ia sudah menembak Masumi. Kesadaran itu menghantamnya begitu keras.
“Tidak…” Ia mendesah frustasi. “Tidaaakkk!!!” Maya berteriak. “Pak Masumi!!!” Maya menggoyang-goyangkan raga tak berjiwa itu. “Tidaaakk!!!”
Sesuatu jatuh dari balik jas Masumi, menyentuh lantai yang mulai dirambati darah segarnya.
Setangkai Mawar Ungu.
Maya bisa merasakan jantungnya berhenti berdetak.
Mawar Ungu!? Kenapa ada mawar ungu…!?
Tangan Maya yang terbebas meraih mawar ungu itu, tetesan darah turun dari sana.
“Tidak mungkin… Tidak...” gumam Maya dengan getir.
Saat itu sesuatu tertangkap mata Maya. Benda itu muncul dari balik saku jas dalam milik Masumi yang tersingkap. Mungkin dari sanalah tadi Mawar Ungu itu jatuh. Maya menariknya. Sebuah foto. Foto dirinya saat memerankan Beth.
Fotonya yang Ia berikan kepada Mawar Ungu.
Wajah pucat gadis itu semakin pekat. Bibir dan tubuhnya gemetar hebat.
“TIdaaaakkk!!!” Teriaknya histeris.
Hijiri segera turun dari mobilnya. Dipandangnya sekilas dua buah mobil yang ada di sana. Milik Masumi dan Shiori.
Mata pria itu melebar melihat bekas benturan di sisi kiri mobil Masumi.
“Tidak mungkin…” desisnya pahit.
Hijiri diperintah Eisuke mencari Masumi. Hijiri pun sudah mendengar mengenai kematian Sakurakoji dan bukti yang dikumpulkan pihak kepolisian. Kekhawatirannya memuncak saat mendengar Maya juga menghilang. Tidak… kumohon… Pak Masumi…. Jangan…  pinta Hijiri dalam hati saat Ia bergegas masuk ke dalam villa.
Ia masih berusaha mengenyahkan pikirannya selama ini, hingga Ia melihat apa yang dilihatnya kini.
Mayat Shiori dan sopirnya yang tergeletak.
“Tuan Muda…” desahnya gelisah. Ia harus menemukannya.
Sebuah tembakan dari lantai atas membuat Hijiri dengan segera beranjak ke sana. Melalui dengan cepat anak-anak tangga, menyusuri lorong berusaha mencari ruangan. Jeritan histeris kembali memberi arah bagi pria itu. Ia berputar balik menuju sebuah ruang pribadi Masumi.
Hijiri berusaha membuka pintu itu, namun terkunci.
“Pak Masumi!!!” teriak Hijiri. “Buka pintunya!! Pak Masumi!!”
Tidak ada sahutan apa pun. Hanya ada suara tangis tergugu.
Hijiri mengambil jarak dari pintu, lantas dengan cepat dan kuat menghempaskan dirinya dengan bahu terlebih dahulu menghantam daun pintu.
Terlalu kokoh.
Hijiri melakukannya, dan yang barulah yang ketiga kalinya membuahkan hasil.
“BRAK!!” Pintu membuka kasar.
Hijiri sedikit sempoyongan dan berusaha menyeimbangkan diri. Namun dirinya kembali goyah melihat pemandangan di dalam sana.
“Maya!!!” Serunya. Jantung pria itu tidak cukup siap, saat melihat jenazah bergelimangan darah di hadapan gadis itu. “Pak… Masumi…!?”
Hijiri baru saja beranjak hendak mendekati, jika saja Maya tidak mengangkat tangannya yang bersematkan senjata itu ke pelipisnya sendiri.
“Maya…? Apa yang kau lakukan…?” tanyanya penuh antisipasi. “Jangan…”
Gadis itu tidak menjawab, seluruh tubuhnya gemetar. Ia sangat frustasi dan putus asa. Sebagian pakaiannaya sudah basah oleh darah dari pria yang tergeletak di hadapannya. Tangan kiri gadis itu menggenggam erat setangkai mawar dan selembar foto. Sementara tangan kanannya, dengan pistol terikat kain putih yang kini merah, menempel ketat di kepalanya.
“Maya…” Hijiri berusaha menenangkan, mengedarkan pandangannya ke sekitar gadis itu. Mendapati sebuah pistol properti film tergeletak di lantai, namun Hijiri tahu yang ada di tangan Maya adalah pistol sungguhan. “Maya… dengarkan aku—“
Gadis itu tergugu, dan menggeleng.
“DOR!!!”
Sekali lagi sebuah tembakan berbunyi lantang.
Mengusik alam yang biasanya tenang dan camar mengepak pergi melanglang.
<<< If I don't have you ... END>>>
 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting