“Dua tahun,” pinta Maya.
“Dua bulan,” tegas Masumi.
“Dua tahun!”
“Dua bulan!”
“DUA TAHUUN!!”
“DUA BULAN!”
Kedua calon mempelai itu terus berdebat sementara orang-orang di sekeliling mereka terus mengamati keduanya bergantian hingga kepala mereka tidak berhenti bergerak dari Maya ke Masumi dan juga sebaliknya, dan terlihat menggeleng-geleng.
“Berhenti!” Pak Miyake mengerakkan tangannya mengahadang keduanya. “Jangan diteruskan lagi!” ujarnya. Ia bisa melihat kedua orang ini sama-sama keras kepala. “Kita ambil tengahnya saja, bagaimana? Satu tahun satu bulan?”
“SATU TAHUN!?” keduanya terenyak. “Rasanya masih terlalu lama,” gumam Masumi. “Itu sih terlalu cepat!” tandas Maya.
Miyake menghela napasnya.
“Karena itu kita ambil di antara keduanya, jadi—“
“Aku tidak bisa,” Masumi menggeleng. Ia lantas menunduk pura-pura putus asa. “Ini… adalah wasiat kedua ibu kami. Rasanya... tidak benar jika menundanya terlalu lama. Bagaimana jika terjadi sesuatu dan akhirnya kami tidak bisa melaksanakan wasiat ini? Lagipula, aku tidak mau jika ibuku mengira, aku hanya setengah-setengah melaksanakan keinginannya. Jika memang Nona Maya Kitajima sama sekali tidak berniat berbakti kepada ibunya, ya sudah. Kita sudahi saja—“
“Tunggu dulu!!” Maya mengulurkan tangannya tegas, meminta Masumi berhenti bicara. “Yang tidak ingin melaksanakan kemauan ibuku itu siapa? Aku kan sudah pernah mengatakannya kepadamu! Bahwa—“ Maya tertegun, pandangannya sejenak beredar pada orang-orang di sekelilingnya, dan Maya merasakan wajahnya memerah. Ia mengatur lagi cara bicaranya. “Maksud saya, saya sudah pernah mengatakan bahwa saya juga ingin melaksanakan kemauan ibu, dan… dan saya betul-betul berniat berbakti kepada ibu saya!” tegas Maya.
Masumi tak lekang menatap calon istrinya itu dengan tajam. Walaupun pria itu tidak mengatakan apa-apa, Maya bisa merasakan tekanannya,
“Ba-baiklah! Dua bulan!” Maya akhirnya setuju.
“Maya…!” mata Rei membulat tak percaya sahabatnya memutuskan menikah secepat itu.
HORE!!! Hati Masumi bersorak lagi. Dalam pikirannya dia meniupkan terompet dan menyalakan kembang api raksasa yang membentuk tanda hati dan tulisan di angkasa : “AKU AKAN MENIKAHI MAYA KITAJIMA!!!”
“Bagus kalau begitu,” ujar Masumi dengan angkuh dan tenang. “Berarti kita memiliki tujuan yang sama.”
“Ta-tapi!” Maya angkat bicara lagi. “Kalau… Empat bulan, bagaimana?” Maya ragu-ragu memperlihatkan keempat jari tangannya. “Ada… beberapa hal yang ingin aku lakukan sebelum menikah, jadi—“
“Maya! Kau tidak akan bunuh diri kan?” Rei tak dapat menahan mulutnya.
Maya tertegun, dan cepat-cepat menggeleng. “Ti-tidak…! Tidak… hanya… mempersiapkan diri saja…” terang Maya.
Tetapi untuk masalah ini, Masumi tidak ingin kompromi. “Tiga bulan,” tegasnya. “Tidak lebih!”
Maya mengetatkan rahangnya dan menatap pria di hadapannya keki. Pria ini….! Jika saja bukan karena keinginan ibunya semasa hidup… Maya cemberut dan akhirnya mengangguk. “Baiklah.”
Dalam benaknya Masumi mengangguk-angguk bangga. Tiga bulan… tidak lama, tidak lama…. Walaupun awalnya dia ingin dua minggu, tetapi tak mengapa, menunggu tiga bulan agar Maya benar-benar siap, dan juga…
Ya ampun! Bagaimana dia bisa lupa? Tentu sebagai suami, dirinya pun harus mempersiapkan diri. Tetapi… apa? Apa yang harus dia persiapkan sebelum menikah?
Badannya proporsional, dia tidak harus diet atau menambah asupan gizi. Pekerjaan dia punya, villa dia ada, kendaraan banyak, uang apalagi. Rumah bisa menyusul, Anak bisa dibuat—Masumi juga cukup yakin dengan yang satu ini, walaupun sesuatu terjadi di luar kehendaknya dan Maya, itu akan menjadi masalah nanti. Toh Masumi juga tidak berpikiran berkeluarga dengan wanita lain selain Maya. Dia hanya ingin gadis di hadapannya ini yang menjadi ibu dari anak-anaknya kelak.
Jadi apa? Apa yang harus dilakukannya dalam tiga bulan ini?
Masumi mengamati Maya dengan lekat. Mereka bertemu pandang, dan Maya tampak masih cemberut. Dia menunduk lagi tidak ingin melihat Masumi yang membuatnya kesal.
Ah, tentu saja… itu dia. Masumi hampir saja melupakan sesuatu yang paling penting. Cinta.
Itu yang kurang dari hubungannya dan Maya.
Jangan ditanyakan mengenai perasaannya. Masumi mencintai Maya melebihi hidupnya sendiri. Tetapi Maya sebaliknya. Dia sepertinya lebih menyukai kecoa ketimbang dirinya.
Aku harus membuatnya mencintaiku, pikir Masumi. Ia menatap Maya lekat. Aku akan membuatmu mencintaiku.
=//=
“HAH!!? MAYA AKAN MENIKAH DENGAN PAK MASUMI HAYAMI DALAM TIGA BULAN!!?” seru anggota teater Mayuko berbarengan.
Rei mengangguk. “Itu hasil dari pembicaraannya. Dua minggu lagi mereka bertunangan.”
“HAH!!? DUA MINGGU LAGII!!?”
“Benar,” Rei mengonfirmasi. “Memang tidak percaya, penentuan tanggalnya begitu cepat, tetapi Maya dan Pak Masumi memiliki pertimbangannya sendiri.”
Anggota teater Mayuko lantas semuanya menoleh kepada Maya. Gadis yang sedari tadi diam saja dan sudah kehilangan selera makannya. Maya hanya tampak menunduk saja.
“Maya! Maya…!” Rei menggoyang-goyangkan bahu gadis itu.
“AAARRGGHH!!!” Maya tiba-tiba berteriak, dan meremas rambutnya sendiri. “Apa yang sudah kulakukan!!? Tidak! Tidak! Tidak! Sebenarnya, apa yang sudah kulakukan!!?” Maya tampak putus asa. “Bagaimana bisa aku setuju menikah dengan Masumi Hayami dari Daito dalam tiga bulan! Bagaimana bisa aku—“
“DUK!!” Maya menjatuhkan keningnya ke atas meja. “Bodoooh…. Kenapa aku berakhir berjodoh dengannya…” Lalu tiba-tiba kepalanya terangkat lagi. “Ini pasti kesalahan!! Ada kesalahan!! Haru Kitajima kan banyak! Aya Fujimura juga banyaak!!” Maya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Mungkin bukan ibuku atau ibu Pak Masumi yang bersahabat! Mungkin bukan aku dan Pak Masumi yang berjodoooh!!” Maya tampak frustasi.
“Maya! Tenanglah, tenang! Kendalikan dirimu!” Rei menjepit kedua pipi Maya hingga bibir gadis itu jadi monyong dan tidak bisa bicara. “Kau dan Pak Masumi kan sudah membicarakannya! Kau sudah sepakat! Lagipula—“
“Permisiii!!!” terdengar seruan dari balik pintu apartemen.
Kelimanya saling bertukar pandang.
“Apakah ada yang menunggu seseorang?” tanya Mina yang ditanggapi dengan gelengan oleh keempat temannya yang lain.
“Permisiii~!!!” kembali terdengar seruan itu.
“Biar aku yang buka,” Rei beranjak dari duduknya dan menuju ke pintu.
“Selamat siaaang~” sapa seorang pria dengan suara nyaring, dan disusul suara gitar coimbra yang dipakai ketiganya.
Ketiga orang itu juga mengenakan topi dan mantel latin, ala trio Los Panchos.
“I-iya…?” Rei agak terkejut melihat tiga orang Jepang berkostum Amerika latin itu.
“Apakah Anda Nona Maya Kitajima?” tanya yang seorang dengan gaya flamboyan.
“Bu-bukan…” Rei menggeleng, lantas dengan ragu dia berseru, “Ma-Maya! Maya! Ada yang mencarimu.”
Maya dan ketiga temannya yang sudah mendengar suara ramai dipintu, beranjak ke sana.
“Mencariku?” tanya Maya.
“Iya…”
“Nona Maya?”
“Benar…” Maya mengangguk ragu dan takut-takut.
“Ini untuk Anda,” pria itu berbalik sejenak dan menyerahkan sebuah boneka yang sangat besar. Bahkan begitu besar hingga menutupi separuh badannya dan wajahnya sama sekali tidak kelihatan.
“Wah, Maya! Kau mendapat hadiah boneka yang begitu besar!!” mata Mina membulat.
“Cepat ambil, Nona…” pria itu mengerang, agak berat mengangkut boneka itu.
“I-iya…” Maya meraihnya, dan memeluk boneka itu. Maya mengamatinya bingung. Ia pernah mendengar ada orang menghadiahkan bonek raksasa seperti ini. Tetapi…
“Siapa yang memberimu boneka sapi ini?” tanya Sayaka.
“Dan, kenapa harus sapi?” tanya Mina.
“A-aku tidak tahu…” Maya menggeleng.
Boneka sapi itu sebanding besarnya dengan anak sapi, bahkan tingginya seleher Maya.
Di leher sapi itu terdapat bel dan juga pita berwarna biru. Ada kartu di sana.
“Dari Masumi Hayami!!” seru Maya tak percaya saat membaca kartunya di sana.
“Hah!? Untuk apa Pak Masumi memberimu boneka sapi?” tanya Taiko.
“JRENG! JERENG! JRENG! JRENG! JRENG! JRENG!!!” suara gitar coimbra kembali terdengar, mengalihkan perhatian Maya dan teman-temannya dari boneka sapi yang memenuhi ruang apartemen mereka.
“Maaf, tetapi, kami masih harus melaksanakan tugas yang diberikan Tuan Masumi Hayami.”
Alis Maya berkerut. “A-apa?”
“JRENG!!” ketiganya memetik gitar, dan mulai berpose. Yang di tengah berdiri, yang di kiri dan kanannya menekuk salah satu lutut mereka, dan mulai bermain gitar, serta menyanyikan lagu balada untuk Maya.
Lagu itu adalah lagu latin yang sudah dibahasa-jepangkan. Ketiganya begitu bersemangat menyanyikan serenada untuk Maya tersebut.
“Hei apa itu, berisik sekali! Jangan menyalakan radio terlalu keras!!” teriak induk semang yang sedang berada di tempatnya.
“Su-sudah! Sudah! Sudah!” pinta Maya cepat, agar trio itu menghentikan nyanyiannya.
“Tetapi, masih ada 10 lagu lagi yang dipesan Tuan Masumi Hayami,” terang mereka.
“Sepuluh!?” telinga Maya langsung berdenging saat mendengarnya.
“Ya! Dan semuanya sudah dia bayar,” terang yang satunya dengan riang. “Mari, kita lanjutkan!” ajaknya kepada kedua temannya.
“Ti-tidak! Tidak!” Maya menolak cepat. “La-lagunya bagus sekali. Suara kalian… dan juga permainan gitarnya juga sangat bagus… tetapi… Uhm, a-aku bisa diusir jika membiarkan kalian menyanyikan semuanya,” terang Maya. “Maaf! To-tolong cepat pulang!” Maya membungkuk.
Ketiga orang itu saling bertukar pandang dan mengangkat bahu mereka. Akhirnya mereka menurunkan topi dan membungkuk.
“Baiklah Nona… jika memang itu masalahnya. Tetapi kami tidak akan mengembalikan uangnya lagi. Tolong katakan kepada tunangan Anda mengenai hal itu.”
Ketiganya lantas pergi seraya memainkan sebuah lagu, menuruni tangga dan keluar dari gedung apartemen Maya. Induk semang Maya keluar dari ruangannya. Ia melongok dari pintu. “Apa itu…?” tanyanya bingung. Ia mendongak ke lantai dua. Maya dan Rei cepat-cepat menutup pintu.
Sekarang kelima orang gadis itu menatap bonek sapi super besar di hadapan mereka tersebut.
“Kloneng! Kloneng!” Taiko menggerakkan bel yang terikat di leher boneka itu. “Wah! Belnya bunyi!”
“I-ini… ini apa-apaan sih…” keluh Maya.
“Maya, coba kau baca dulu kartunya,” saran Mina.
Maya mengikuti saran temannya tersebut. Ia melepaskan kartu dari pita yang terikat di leher boneka sapi itu.
“Halo Maya. Mungkin kau sudah tahu, sebagai orang yang hendak membina hubungan, saling memberikan hadiah adalah hal yang harus dilakukan. Maka ini adalah hadiah dariku. Mizuki bilang kau suka makan hamburger, maka kusimpulkan kau menyukai sapi. Jadi, kuberikan hadiah boneka sapi ini. Semoga kau menyukainya. Tunanganmu. Masumi Hayami.”
“Hah?” Alis Rei melonjak. “Karena Maya… menyukai… ham… bur… ger…”
Dan meledaklah tawa anggota teater Mayuko. Mereka sangat geli dengan alasan yang diberikan Masumi. Sayaka memegangi perutnya dan Mina sampai menangis. Bahu Taiko juga bergetar hebat dan suara tawa Rei begitu keras.
Tetapi Maya tidak. Bibirnya mengerucut begitu panjang. Dia sama sekali tidak suka hadiahnya. Dia sama sekali tidak suka kata ‘tunanganmu’ di akhir kalimat itu. Ia sama sekali tidak suka—
“Tidak!!! Tidak! Tidak! Tidak! Aku bisa gilaaa!!” seru Maya frustasi, membuat teman-temannya berhenti tertawa seketika. “Aku tidak ingin meneruskan pertunangan ini!” ia menggelengkan kepalanya ngeri. “Sayaka! Kumohon, ayo bertukar tempat denganku!! Taiko! Mina! Siapa saja! Kalian pasti pernah mendengar kan orang yang bertukar tempat karena tidak mau dinikahkan!! Kumohon! Ayolaaahh!!”
“Uhm Maya… tetapi, kau kan pendek. Jika kita bisa melakukan sesuatu untuk terlihat tinggi, apa yang harus kami lakukan agar lebih pendek?”
Maya tertegun, menyadari kebenarannya. “Huhuhu… kenapa aku harus terlahir begini pendeekk!!” sesalnya seraya menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Mina memiringkan kepalanya, mengamati Rei yang sedang sibuk sendiri. “Rei, apa yang sedang kau lakukan? Kenapa kau menyeret-nyeret boneka itu?” tanya Mina yang membuat perhatian teman-temannya beralih kepada Rei.
“Oh, uhm, anu,” Rei melepaskan pelukannya dari leher sapi itu. “Aku sedang berpikir, di mana bagusnya aku meletakkan sapi ini. Di sini menghalangi TV, di sana dekat kompor, sebelah sana pintu kamar mandi, sebelah sini, menutup jendela, di sebelah situ menghalangi pintu masuk…” ujar Rei bingung. “Aku berusaha mencari tempat yang cocok untuk meletakkannya. Tetapi… Ketimbang boneka dia lebih tampak seperti… penghuni baru,” Rei menggaruk-garuk kepalanya.
Sekali lagi teman-teman Maya hanya cekikikan mendengarnya. Maya dengan kesal menghampiri boneka sapi itu dan memukul perutnya keras. “Dasar boneka menyebalkan!!”
“MOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!!!!!” sapi itu melenguh sangat keras dan lantang, membuat kelimanya terlonjak kaget, apalagi tidak hanya sekali, sapi itu melenguh berkali-kali dan membuat Maya kepayahan menghentikan lenguhannya.
“Su-sudah dong! Diam! Diam!!” hardik Maya. “Diam!!” dia memukul perutnya lagi, dan sapi itu mengulangi lenguhannya.
Teman-teman Maya sekali lagi tertawa begitu keras, sementara dari bawah terdengar teriakan.
“MAYA!! REI!! KALIAN MEMELIHARA SAPI!!!?”
=//=
Masumi tampak mengumbar senyumnya ke sana kemari saat Daito selesai melakukan rapat pemegang saham. Sudah diputuskan Masumi meneruskan posisinya sebagai Direktur di sana dan juga kabar-kabar menggembirakan lainnya mengenai Daito.
Namun tentu saja, pembicaraannya dan Maya dua hari yang lalu, serta rencana pertunangan mereka dua minggu yang akan datang, adalah hal yang paling membuat senyuman Masumi tak kunjung menghilang.
“Pak Masumi, ada yang menunggu Anda,” terang Mizuki. “Perwakilan dari TV Chuo, yang hendak membicarakan mengenai acara pencarian bakat yang bekerja sama dengan Daito.”
“Ah, ya… ya…” Masumi mengangguk. Ia lantas berjalan tegap menuju ke ruang tamu.
Di sebuah sofa tampak seorang wanita yang sangat cantik, tengah membaca majalah hiburan yang diletakkan di atas kakinya yang saling bersilang di satu sama lain.
“Maaf menunggu lama,” sapa Masumi, yang tampak mengejutkan wanita.
“Ah, Pak Masumi Hayami!” sapanya, seraya menutup majalah itu dan berdiri. “Tidak, kebetulan saya baru saja datang. Perkenalkan, nama saya Shiori Takamiya, saya dari Chuo TV sekaligus eksekutif produser untuk Japan Rising Star nanti,” Shiori menyerahkan kartu namanya.
“Oh, ya… senang bertemu Anda Nona Takamiya,” Masumi tersenyum ramah dan menyerahkan kartu namanya. “Saya Masumi Hayami, Direktur Daito Geino. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik.”
Shiori menerima kartu itu dengan kedua tangannya dan membaca nama Masumi di sana. Gadis itu kembali menatap pria tampan dan menawan di hadapannya, lalu tersenyum sangat manis dengan mata berbinar.
=//=
Pak Miyake menuruni mobilnya dan berjalan memasuki kediaman Hayami.
“Saya sudah ada janji dengan Tuan Eisuke Hayami.”
“Oh ya, Tuan Eisuke sudah menunggu.”
Pria itu membawa Miyake ke sebuah ruangan, dengan tempat duduk dari sofa yang lembut. Miyake bisa melihat Eisuke tengah berbincang dengan seorang pria.
“Maafkan keterlambatan saya,” ucap Miyake. “Ada sedikit masalah tadi mengenai pabrik saya yang di Hong Kong,” terangnya.
“Tidak apa-apa, Pak Miyake,” sahut Eisuke. “Ini, perkenalkan, tuan Soichi Takamiya, putra dari Tenno Takamiya yang akan bekerja sama dengan kita nanti mengenai proyek angkutan ini.”
Saat Miyake hendak bicara, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita di belakangnya.
“Maaf mengganggu,” wanita itu berkata, dan berjalan. “Saya ada sedikit urusan dengan suami saya,” katanya.
“Ah… ya… maaf, sebentar,” Soichi berdiri.
Pak Miyake menoleh ke arah wanita yang baru saja datang tersebut. Ia terkejut melihatnya. Memang, wanita itu sudah lebih tua dari yang terakhir diingatnya. Mungkin sama seperti dirinya yang juga beranjak tua.
Namun, Miyake tidak akan mungkin melupakannya.
“Shizuka…?” desisnya spontan.
Wanita yang disebut namanya itu tertegun, dan menggeser tatapannya bertemu dengan tatapan Pak Miyake. Jelas terlihat Nyonya Shizuka Takamiya terkejut. Wajahnya tampak segera memucat.
“Kalian saling mengenal?” tanya Soichi terkejut.
Nyonya Shizuka hampir saja menampik, namun Pak Miyake segera berkata. “Kami dulu… sempat menjadi tetangga saat masih sekolah, dan…”
Pak Miyake bungkam. Ia ingat pernah bertemu kembali dengan Nyonya Shizuka setelah wanita itu menikah, dan… jika diingat sekarang, Shizuka memang menikahi seorang Takamiya.
“Sudah agak lama, aku sendiri, lupa-lupa ingat,” tukas Shizuka cepat, terlihat tak berharap Pak Miyake bicara panjang lebar. Ia langsung bicara kepada Soichi. “Danna, bisa bicara sebentar,” ajaknya, membawa suaminya keluar ruangan sejenak.
Miyake merasakan hatinya gelisah. Ia duduk dengan wajah bingung di hadapan Eisuke.
“Tadi Pak Soichi datang dengan istrinya. Shizuka sangat baik, sengaja datang menjengukku saat tahu aku sakit. Hubungan Hayami dan Takamiya memang cukup baik.”
“Ya. Aku pernah mendengar Tenno Takamiya sempat membantumu dahulu,” ujar Miyake.
“Maaf, sekarang aku sudah kembali,” Soichi berkata. “Ah, Tuan Eisuke, istri saya pamit terlebih dahulu, ayah mertua saya sakit jadi dia harus segera ke rumah sakit. Lagipula, selanjutnya kita memang akan membicarakan bisnis kan?”
Soichi meraih rokok dan menyalakannya.
“Benar, benar…” ujar Eisuke.
Soichi menawarkan rokok kepada Miyake namun Miyake menolaknya. Sesuatu terasa mengusiknya.
=//=
=//=
Maya tak bisa memejamkan matanya, begitu juga Rei.
Keduanya terbaring di futon masing-masing. Nyalang. Memelototi boneka sapi yang
berdiri angkuh di hapadapan mereka.
"Maya..." panggil Rei. "Aku tidak
bisa memejamkan mataku melihat dia di sana. Dan aku sering tiba-tiba terkejut
saat melihatnya," aku Rei.
"Apalagi aku," keluh Maya. "Rasanya ingin kutendang saja setiap kali melihatnya..."
"Jangan! Terakhir kali kau melakukannya, dia
melenguh keras sekali."
"Aduhh..." Maya memiringkan posisi
tubuhnya, menatap Rei. "Apa yang harus aku lakukan, Rei? Dia itu.... dasar
endapan lumpur!"
"Endapan lumpur apa?" Rei menoleh bingung
kepada Maya yang hanya bisa dia lihat samar-samar dalam cahaya temaram.
"Masumi Hayami! Makhluk endapan lumpur!"
"Kau... menyebut tunanganmu makhluk endapan
lumpur!?" Mata Rei terbelalak.
"Jangan menyebutnya tunanganku!!"
Tapi nyatanya dia memang tunanganmu!" tegas
Rei.
Maya mengerucutkan bibirnya dan menggerundel panjang
pendek.
"Iya! Tapi kalau kau mengatakannya begitu
jelas, rasanya leherku ada yang mencekik!"
Rei tidak tahu harus bersedih atau tertawa
mendengarnya. Maya tampaknya sangat tersiksa, namun dia sudah memutuskan untuk
menerima perjodohan itu, maka dia harus menanggung resikonya.
"Kalau kau kembalikan saja, bagaimana?"
usul Rei.
"Itu juga terpikir olehku. Tetapi aku dan dia
sudah ada perjanjian. Aku tidak boleh menolak apa pun pemberiannya!" keluh
Maya.
"Apa pun? Bagaimana kalau dia memberimu—"
"Kecuali jika benda itu bisa membunuhku dan
membuat tubuhku tercerai berai!"
"Ah... ya... ya..." Rei mengangguk paham.
"Tetapi, kenapa dia harus memberimu hadiah ya? Kan, tidak harus sampai
seperti itu..." gumam Rei, berpikir. "Kalau dia tidak begitu peduli
kepadamu, sepertinya tidak harus bertanya kepada Nona Mizuki mengenai
kesukaanmu, walaupun kesimpulannya juga jadi melenceng jauh, untuk apa dia
repot-repot mencari tahu? Mencari boneka sapi seperti ini? Menyewa trio itu dan
membayar jasa untuk 11 lagu!"
Maya tertegun, tak pernah benar-benar memikirkannya. Dahinya berkerut
dalam mencoba mencari jawaban.
"Jangan-jangan dia jatuh cinta kepadamu!"
"HAH!!!?" Seru Maya, segera bangkit dari
tempat tidurnya dan berseru lebih keras dari lenguhan sapi itu. "Rei! Ada
apa dengan kepalamu!?"
"Jangan salahkan kepalaku yang berpikir!"
tukas Rei, juga bangkit dari pembaringannya. "Coba, kenapa harus
repot-repot? Kalau hanya menjalankan kewajiban, ya sudah, jalani saja. Kenapa
dia seperti ingin kau... terkesan? Seperti kau bilang, dia tidak memperlihatkan
keberatannya dijodohkan denganmu. Dan memang, dia bahkan ingin pernikahan
segera dilaksanakan! Belum lagi... Itu, cincinmu yang seperti lampu disko! Masa
sih dia memberikan cincin sebesar itu jika sama sekali tidak ada perasaan?
Kurasa.... dia serius..."
"Ah, berhenti!" Maya mengangkat
telapaknya. "Kau jadi mengarang indah..." keluh Maya. "Dia
memang sudah mengatakan, buat dia menikah itu bukan prioritas otaknya. Dia tidak memikirkannya! Menikah
dengan siapa pun, sama saja untuknya. Dia benar-benar hanya bermaksud berbakti kepada
ibunya, seperti aku!" terang Maya.
"Lalu semua hadiah ini? Cincinnya?"
"Mana aku tahu... dia memang iseng saja ingin
membuatku kesal! Kalau cincin ini... begitu besar, itu karena... dia sepertinya rabun! Kalau bendanya kecil-kecil, tidak kelihatan.
Lihat saja dia," Maya menunjuk sapi tersebut. "Besar sekali kan! Dia
sepertinya memang terobsesi yang besar-besar! Badannya sendiri saja besar tidak jelas seperti itu!" ejek Maya.
“Haa... terserahlah!" Rei menjatuhkan lagi punggungnya ke atas futon.
"Aku kan mengatakan hal yang positif. Kalau dia memang mencintaimu, itu
jauh lebih baik daripada kalian menikah sama-sama karena terpaksa! Toh ada
cinta atau tidak, kalian harus menikah juga...."
Maya terdiam, termenung memikirkannya. "Tadi
dia memang mengatakannya..." Maya bergumam perlahan. "Katanya, dia
selalu melakukan semua hal yang menjadi kewajibannya dengan serius, termasuk
pernikahan kami nanti. Mungkin... itu yang membuatnya melakukan semua
ini?"
"Dia berkata begitu?" Rei terkesima.
"Wah. ternyata dia tidak seburuk yang kuduga," imbuhnya.
"Ah, belum ada buktinya. Kalau bicara kan dia
memang pintar. Dari dulu juga kerjanya menyindirku," tandas Maya.
"Haa...." sekarang Maya yang kembali menjatuhkan punggungnya, dan
mengamati sapi di hadapannya. "Apa yang harus kulakukan dengan sapi ini?
Jangan-jangan hari ini mengirim sapi, bisa-bisa besok dia mengirim kuda, lalu kerbau, kambing, serigala... bisa jadi peternakan
apartemen ini..."
Rei terkikik geli, lantas ia berkata. "Kalau
begitu hanya ada satu jalan. Dia melarangmu mengembalikan apa yang dia berikan,
berarti kau hanya bisa memintanya mengambil lagi Sapi ini."
Dengan cepat Maya menyetujui. "Benar juga!
Kenapa tidak terpikirkan olehku. Jika begitu, besok aku akan memintanya
mengambil lagi hadiahnya ini!"
=//=
Maya sudah menghubungi calon suaminya itu melalui
telepon tetapi Masumi katanya sedang ada rapat dan tidak bisa diganggu. Namun,
mengetahui Maya yang menelepon, Mizuki meminta agar Maya datang saja ke Daito
agar bisa bicara langsung dengan tunanganannya tersebut. Selain itu Mizuki juga
mengatakan Masumi memang ada keperluan dengan Maya. Akhirnya, karena memutuskan
mengenai sapi itu menurut Maya sangat penting—terutama agar Masumi juga tidak
mengirimkan hewan-hewan lainnya yang menurut dia mungkin akan Masumi lakukan,
maka Maya memutuskan mengikuti usulan Mizuki tersebut.
"Tuan Masumi Hayami sedang ada rapat. Kamu
sudah ada janji?" tanya salah seorang resepsionis di sana.
"Nona Mizuki sudah tahu kalau saya akan
datang."
"Kalau begitu tunggu saja di ruang tamu. Ruang
rapatnya tidak jauh dari sana, kau akan tahu jika rapatnya sudah selesai,"
terang resepsionis itu yang matanya mengilat-ngilat melihat cincin di jemari
Maya. "Itu asli?" tanyanya seraya menatap Maya takjub, tak dapat
menahan diri.
"Eh?" Maya tertegun, "entahlah...
saya tidak tahu... ini pemberian..."
"Wah, wah... coba lihat!" ujar resepsionis
itu dengan antusias.
"Eh... uhm... si-silah... kan..." Maya
ragu-ragu mengulurkan tangannya ke arah resepsionis yang di matanya
berkilat-kilat dan tampak seakan meneteskan air liur saat mengamati cincin Maya
tajam.
"Ya... ya... kemarikan! Cepat...! Aku mau
lihat..." bujuk wanita itu menggerak-gerakkan telapaknya meminta Maya
segera mendekat. Sepertinya sesuatu dalam cincin itu sudah memengaruhi jiwa
sang resepsionis.
"Maya!" suara teguran dari Mizuki
terdengar, membuat kedua orang itu--terutama si resepsionis terenyak dan
wajahnya berubah bingung.
Apa yang barusan terjadi
kepadaku? pikir resepsionis itu linglung.
Maya berjalan setengah berlari ke arah Mizuki.
"Nona Mizuki!"
"Apa kabar?" tanya Mizuki, mengamati calon
istri atasannya itu.
Ia rasanya tak kuasa menahan senyum mengingat entah
bagaimana Maya akhirnya akan bersanding dengan Masumi.
"Ba-baik," Maya membungkuk.
Tak lama lagi Maya mungkin
tidak akan memerlukan formalitas seperti itu kepada Mizuki. Sebaliknya, Mizuki
yang harus bersikap lebih hormat kepada gadis mungil itu.
"Pak Masumi sebentar
lagi selesai. Tunggulah di kantornya."
Tidak terlalu lama Maya menunggu di kantor Masumi,
dia sedang mengamati ruangan besar tempat biasa pria itu bekerja saat Masumi
membuka pintu dengan cepat.
"Maya!" sambutnya dengan wajah berbinar
yang tidak disadarinya. "Kudengar dari Mizuki kau ke sini." Dan dia
bergegas mendatangi gadis itu begitu selesai dengan rapatnya. "Ada
apa?"
"Uhm, itu... anu..."
Masumi mengamati cincin yang masih tersemat di jari
Maya. Ternyata gadis itu tidak melepaskannya.
"Sapi..."
Mendengar kata sapi perhatian Masumi kembali kepada
wajah tunangannya.
"Aah... itu," sebuah senyuman mengembang
di bibirnya. Masumi duduk membanting dirinya di sofa di samping Maya.
"Tidak perlu berterima kasih, malahan, kalau kau juga ingin boneka kuda,
kerbau, kambing atau serigala, aku juga bisa memberikannya untukmu," tukas
Masumi murah hati.
"HAH!?" Mata Maya membulat. "Tidak!
Tidak! Tidak! Pak Masumi, apa kesalahanku, sehingga Anda terus menerus
membuatku kesal?"
"Kesal?" Alis Masumi berkerut, tidak
terima dengan tuduhan Maya yang semena-mena.
"Ya! Anda tahu tidak sapi itu besar
sekali!"
"Memang! Bukankah kau menyukainya? Ah... kau
tidak mau anaknya? Aku bisa membelikan ibunya! Bahkan Bapak sapi juga bisa
kubelikan! Sapi sungguhan juga bisa kubelikan!" tegas Masumi, mencoba
meyakinkan istri mungilnya bahwa dia bisa membahagiakannya kelak.
"Bapak sapi! Ibu sapi!" tukas Maya ketus.
"Anda tahu tidak kalau anaknya saja lenguhannya sudah keras sekali!"
"Oh, ya... bagus kan? Seperti sapi sungguhan.
Ada juga boneka yang saat ditekan perutnya bisa bernyanyi lagu selamat ulang
tahun, jingle bell, bahkan berkata ‘aku mencintaimu! Aku mencintaimu!’” tiru
Masumi dengan suara sapi, “Tetapi yang melenguh itu lebih realistis
kurasa..." ujar Masumi, menunjukkan bakat analisanya yang luar biasa.
"Aku tidak peduli dengan suaranya!" tukas
Maya gusar. "Aku ingin Anda mengambilnya lagi!"
"Hah!?" Alis Masumi terlonjak keduanya.
"Kenapa? Kau... tidak menyukainya?" Harus Masumi akui dia agak shock
tunangannya tidak menyukai hadiah perdananya dari Masumi Hayami. Mungkin akan
lain ceritanya jika Mawar Ungu yang memberikan. Maya mungkin sudah membuat
desain pakaian buat si sapi!
Aah...! Kenapa dia harus cemburu kepada dirinya
sendiri?
"Apa yang harus kusukai dari boneka sapi yang
begitu besar dan selalu terlihat 24 jam di depan mataku!? Apartemen kami jadi
sesak karena dia!" tegas Maya. "Anda melihat di mana masalahnya?
Belum lagi suaranya... aduuh... induk semangku sudah marah-marah. Karena itu,
Anda harus mengembalikannya ke toko!"
"Dari sudut pandangku," Masumi
membusungkan dadanya. "Kurasa kau butuh apartemen baru!"
"Hah!? Bukan! Tidak! boneka sapinya yang
terlalu besar! Dia tidak berada di tempatnya. Ayolah... Pak Masumi... ambil
lagi," bujuk Maya. "Aku dan Rei jadi susah bergerak..."
"Tapi aku memberikannya dengan
memikirkanmu!" tegas Masumi yang tersinggung niat baiknya ditampik begitu
saja oleh gadis itu.
"Memikirkanku bagaimana...?" rajuk Maya.
"Bukankah kau suka sapi? Kau suka burger, kau
juga memandangi steak dengan sangat tajam dan berbinar-binar di restoran
itu."
"Itu tidak ada hubungannya! Yang aku suka itu
dagingnya, bukan--"
"Dengar, Maya KItajima," Masumi bicara
tegas dan tajam sebagai Direktur Daito. "Kau dan aku, akan menikah. Aku
hanya ingin, sebelum hari itu, kita sudah memiliki sesuatu... di… antara
kita!" Masumi sudah memikirkannya berhari-hari dan melatihnya ratusan kali
untuk mengatakan hal ini.
"Sesuatu?" Maya mengamati Masumi gusar.
"Sapi!?"
"Bukan, bukan," Masumi memejamkan matanya
dan menggeleng agak putus asa. "Perasaan!" tegasnya.
"Perasaan...?" Maya mengelus perutnya.
Yah, sama sekali tidak mual atau mulas. "Aku baik-baik saja."
"Tapi hubungan kita tidak!" tegas Masumi.
"Hubungan? Pak Masumi, langsung saja, apa
kaitannya antara boneka sapi raksasa dan hubungan kita, juga perasaan... jangan
memutar-mutar. Aku sudah sangat lega lulus dari SMA. memikirkan persoalan
lainnya yang memusingkan akan membuat kepalaku macet!"
"Dengar Maya," Masumi menggenggam kedua
lengan atas Maya dengan erat, membuat gadis itu menatapnya agak takut-takut,
sementara Masumi menghujamkan tatapannya yang tajam dan dalam, berkata dengan
serius. "Aku ingin, sebelum kita menikah nanti. Kau... kau berusaha
men," lidahnya kelu mendadak.
Padahal saat dia mengatakannya kepada cermin di
hadapannya, Masumi gagah sekali mengucapkannya. Begitu juga saat dia melatihnya
dengan Hijiri. Masumi juga mengatakannya dengan lantang dan tegas.
Kau harus berusaha mencintaiku!
Cerminnya tidak menjawab, dan Hijiri hanya berkata,
"Saya akan berusaha," dengan wajah datar.
Tetapi... jika dia mengatakannya kepada Maya... apa
yang akan gadis ini katakan?
"Men apa?" desak Maya, yang sudah
dagdigdug karena mendapatkan tatapan setajam golok. "Mendaki?
mendongeng?"
"Men! Me.... men!" Masumi mendadak gagap.
Tiba-tiba pintu terbuka dan keduanya terlonjak,
tangan Masumi langsung lepas dari lengan Maya.
"Direktur Masumi, permisi..." wanita itu
berkata seraya mengetuk pintu yang agak terbuka.
"MASUK!!" teriak Masumi lebih keras dari
yang ia perkirakan.
Shiori membuka pintu lebih lebar dan masuk ke dalam
ruang kantor Masumi. "Direktur Masumi, maaf ini saya tadi lupa belum
memberikan..." wanita itu tertegun, menyadari Masumi tidak sendiri. "Aah...
maaf! Maaf! Saya tidak tahu ada tamu," terangnya.
"O-oh... tidak-tidak, tidak mengapa,"
tukas Masumi yang masih belum hilang gugupnya. "Ada apa?"
"Anu... ini..." mata Shiori sejenak
mengamati gadis mungil sederhana tersebut sebelum kembali kepada Masumi yang
gagah. "Aku lupa belum menyerahkan ini kepadamu, mengenai prosedur
seleksi. Tadi... Pak Ogasawara bilang, aku susul saja ke sini..."
"Oh, ya, ya," Masumi berdiri dan meraih
map tersebut.
Shiori kembali mengamati Maya yang sedang menatapnya
terkagum-kagum.
Ya ampun wanita ini... batin Maya, cantik sekali...
apakah dia bidadari? Rambutnya indah sekali, matanya terlihat cerdas. Kulitnya
tampak sangat halus dan lembut, dan senyumnya... ya ampun...
Maya tertegun, dan dadanya
jadi berdebar sedikit saat Shiori tersenyum kepadanya. Wajah gadis itu
menghangat. Wah... benar-benar mempesona!
"Halo," Shiori mengulurkan tangannya
kepada Maya. "Sepertinya... aku... pernah melihatmu... atau..."
Shiori menyipitkan matanya agak meragu.
"Oh, ya, perkenalkan," tukas Masumi dengan
bangga dan tegas, agak mengejutkan Shiori. Masumi menarik lengan Maya berdiri.
"Ini adalah Maya Kitajima."
Maya membungkuk gugup. Dan perkataan Masumi
selanjutnya sangat mengejutkan Maya, juga Shiori.
Bukannya memperkenalkan Maya sebagai aktris, Masumi
malah berkata dengan artikulasi yang sangat jelas. "Dia tunanganku. Calon
istriku."
Shiori tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
Apakah Direktur Daito yang tadi baru saja dia lihat kecerdasannya yang
mengagumkan di ruang rapat, menyebut gadis remaja sederhana itu tunangannya?
"Eh? uhm, bagaimana?" tanya Shiori lagi.
Maya juga langsung salah tingkah karena tak mengira
Masumi akan langsung mengumumkan hal itu di hadapan orang asing--setidaknya
masih asing baginya.
"CA-LON IS-TE-RI," tegas Masumi, merangkul
bahu Maya. "Rencananya pesta pertunangan kami akan diadakan dua minggu
lagi, Oh, kau datanglah, Nona Shiori. Aku akan mengirimkan undangannya
nanti."
"Ah, oh... ya... ya... tunangan... calon
isteri..." ulang Shiori, merasakan sedikit tidak nyaman di hatinya. "Saya
Shiori Takamiya, dari TV Chuo. Senang bertemu denganmu."
"Ah, sa-saya juga..." Maya tersenyum
lebar.
"Tetapi... kenapa ya, aku merasa... sering, eh!
Maya Kitajima?" mata Shiori membulat. "Maksudmu Maya Kitajima dari
teater Mayuko? Calon Bidadari Merah? pemeran aktris terbaik mengalahkan Ayumi
Himekawa? Pemeran Satoko di Kemilau Langit?" berondong Shiori dengan
antusias. "Kau Maya Kitajima yang itu!?" tanyanya tak percaya.
"BENAR SEKALI!" suara gagah Masumi
menimpali, ia melingkarkan tangannya di bahu Maya semakin erat. "Ini Maya
Kitajima yang itu!"
Maya sedikit rikuh dengan perlakuan Masumi, ia
mengedikkan bahunya, namun percuma, rangkulan Masumi sama sekali tidak terlepas
malah semakin erat.
Perempuan di hadapannya jelas sangat terkejut. Pasti
dia tidak percaya bahwa Maya adalah calon isteri Direktur Daito tersebut.
Terlihat dari matanya yang membulat tak berkedip. Apa dia shock mendengar hal
itu dan juga mengetahui bahwa Maya adalah 'Maya
Kitajima yang itu!'
"O-oh... wah... aku penggemar beratmu,"
terang Shiori dengan kikuk. "Aku tidak mengira kau berbeda sekali dari
yang pernah kulihat, saat menjadi Satoko dan... uhm, ah, maksudku, kau..."
"Ya... aku tahu, Satoko memang sangat cerdas
dan cantik, tetapi itu... hanya akting," ujar Maya canggung.
"Bukan, bukan! Bukan itu maksudku,"
koreksi Shiori cepat, yang selalu terbiasa membina hubungan baik dengan siapa
pun. "Maksudku kau... kau sangat berbakat, bisa mengeluarkan aura yang
begitu berbeda antara peran dan dirimu yang sesungguhnya, eh," Shiori
menyadari ia salah bicara, dan menghela napasnya putus asa. "Kurasa aku
harus segera menutup mulutku," keluhnya.
Masumi tertawa cukup keras. "Jangan khawatir,
Maya tidak akan tersinggung hanya karena hal itu, iya kan?" pria itu
tersenyum kepada Maya yang juga tampak kikuk.
"Baiklah aku permisi. Aku tidak ingin
mengganggu lebih lama," Shiori mengulurkan tangannya. "Senang
berkenalan denganmu, Maya Kitajima, semoga kita bisa bekerja sama di masa yang
akan datang."
Shiori juga bersalaman dengan Masumi yang melepaskan
cengkeraman di bahu Maya. Gadis itu menatap dengan binar kagum yang otomatis
muncul di matanya namun tidak disadari Masumi yang jelas tatapannya hanya
tertuju kepada Maya saja.
Sejenak alis Shiori yang cantik berkerut saat keluar
dari kantor Masumi. Ia sangat terkejut tahu Masumi bertunangan dengan gadis
itu. Ia sama sekali tak pernah mendengarnya.
Masumi jelas salah satu pria pujaan di dunia
entertainmen, tidak ada yang tak mengenal direktur Daito yang luar biasa itu,
dan memang saat Shiori bertemu secara langsung, ia bisa mengatakan segera terpesona
kepadanya. Tetapi tak satu pun kabar kedekatan masumi dan Maya Kitajima pernah didengarnya.
Sementara Maya Kitajima? Siapa yang tak ingat bintang
muda bersinar yang kemudian terpuruk karena skandal yang mencemarkan nama
baiknya. Aneh... benar-benar aneh bagaimana Masumi dan Maya berakhir bersama.
=//=
"Jangan merangkulku seperti itu di depan orang
lain!" sembur Maya segera setelah Shiori menghilang di balik pintu.
Masumi pun selalu kesal jika Maya selalu saja
menghardiknya.
"Kau kan memang tunanganku, apa yang salah dari
itu?" tanya Masumi. "Kau ingat kesepakatan kita? aku tidak ingin baik
pertunangan atau pernikahan kita disembunyikan!”
"Tapi kan bukan berarti harus ditunjukkan
kepada siapa saja," tukas Maya. "Apalagi, sambil... merangkul seperti
tadi!" Maya cemberut.
Mungkin apa yang Maya katakan memang benar. Tak
seharusnya dia pun memperlihatkan begitu terang-terangan 'kemesraan' mereka.
walaupun itu juga di luar kesadarannya. Dia hanya terlalu senang dan tak sabar
memberi tahu orang-orang bahwa mereka bertunangan.
Namun Masumi menolak mengalah kepada gadis mungil
itu. Dia harus mengikuti aturannya.
"Benar-benar mencurigakan. Kenapa tidak mau
membiarkan orang lain tahu kita bertunangan? Takut ketahuan pacarmu ya?"
"Bukan! Lagipula, aku tidak punya
pacar..."
"Ya sudah. Jangan mencereweti hal-hal yang
tidak penting. Ah! Sekarang aku jadi ingat. Aku memang ada perlu denganmu. Ayo,
ikut aku." Masumi menggandeng tangan Maya.
"Eh! Mau ke mana? Pak Masumi!"
"Ikut saja! Jangan
cerewet," Masumi menarik gadis itu pergi, dan pembicaraan mengenai sapi
pun disudahi.
=//=
"Pak Masumi mau mengajakku ke mana sih?"
tanya Maya saat keduanya berkendara. Maya sudah cukup risi melihat orang-orang
di Daito terbengong-bengong melihat Masumi menggandeng Maya keluar dari gedung
itu.
Masumi sama sekali tidak pernah terlihat menggandeng
siapa pun!
"Aku ingin kau memilih gaun untuk pertunangan
nanti," terang Masumi.
"Ha? Membeli baju?"
"Ya! Masa mau meminjam?"
Maya cemberut lagi mendapat jawaban seperti itu.
Kenapa pria ini sama sekali tidak mesra? Apa benar dia akan menghabiskan
hidupnya dengan pria seperti Masumi Hayami ini?
"Memikirkan apa?" tanya Masumi, melihat
Maya diam saja.
"Tidak."
"Pasti memikirkan aku."
"Tidak!"
"Pasti merutuki aku dalam hatimu."
"Tidak!!"
"Bohong. Dari wajahmu saja terlihat, kau
seperti bilang, si kecoa ini, benar-benar menyebalkan."
"Itu Anda yang bilang, bukan aku!"
"Tetapi dalam hatimu kau memang bilang begitu
kan?"
"Aku tidak akan menyangkal!"
Masumi tertawa, "Benar kan, dugaanku..."
Disebut kecoa dia malah tertawa.
Laki-laki aneh...!
"Nah, memikirkan apa lagi?" tembak Masumi
kepada Maya yang mendelik kepadanya.
"Tidak!"
Keduanya bertatapan, dan Masumi mengamatinya lekat.
Maya tiba-tiba merasakan wajahnya memanas dan membuang mukanya dari Masumi.
"Hentikan! Jangan berusaha membaca pikiranku!
Aku tak memikirkan apa-apa."
Masumi menghirup udara
dalam-dalam, dan tersenyum tipis mengamati Maya yang duduk di sampingnya.
Benar-benar menyenangkan, bisa membawa gadis itu ke mana saja. Walaupun
bertengkar, Masumi sama sekali tidak kecewa. Ah... dia rasanya ingin merangkul
gadis itu lagi dan mengatakan bahwa gadis itu sangat menggemaskan. Tetapi dia
tidak bisa mengatakannya sekarang. Mungkin nanti akan ada waktunya dia bisa
melakukan hal itu tanpa mendapatkan protes dari Maya.
=//=
Keduanya turun di sebuah butik yang Maya yakin
sangat khusus. Maya tidak melihat ada orang lain saat dia dan Masumi masuk. Mungkin
sedemikian mahal hingga hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk?
Butik itu juga tampak sangat nyaman dengan begitu
banyak pilihan pakaian dan juga bunga-bunga serta pengharum ruangan yang sangat
menyenangkan.
Seorang staf dengan senyuman ramah segera
menghampiri mereka dan menyambut dengan hangat.
"Selamat siang, Tuan Masumi... Ada yang bisa
kami bantu?"
"Ya. Tolong bantu Nona Maya Kitajima memilihkan
gaun yang tepat untuk pesta pertunangan kami nanti." pinta Masumi.
Seperti orang-orang lainnya, asistant buyer bernama
Hana itu juga sekali lagi tampak terkejut. Tunangan? Masumi Hayami dari Daito
memiliki tunangan? Tetapi tentu saja sekali lagi cincin yang melingkar di jari
manis Maya tidak akan membuat siapa pun menyangsikannya.
"Kenapa diam saja?" tegur Masumi saat
gadis muda di hadapannya hanya terpaku mengamati jemari Maya.
"Ah! Ti-tidak, tidak maafkan saya Tuan. Mari
Nona, ikuti saya," ajaknya kepada Maya.
Gadis itu lantas membawa Maya ke sebuah ruangan
dengan berbagai gaun pesta.
"Busana seperti apa yang Anda cari?" tanya
gadis itu. "Bagaimana konsep pestanya?"
Maya bingung ditanya seperti itu. Karena menurut
perkiraannya, mereka belum membicarakan hal itu sehingga baik Maya maupun
Masumi tidak tahu pasti akan seperti apa pestanya nanti.
Namun ternyata tidak demikian dengan Masumi. Segera
saja pria itu menjelaskan.
"Pestanya akan diadakan malam hari, di dalam
ruangan di gedung Royal Tokyo. Formal, elegan, dihadiri cukup banyak
tamu," terang Masumi.
"Ahh... Royal Tokyo," Hana bisa menangkap
pesta itu tentu bukan sembarangan. "Baiklah, di dalam ruangan, malam
hari." ia mengamati Maya. "Warna hitam akan sangat bagus, selalu
cocok untuk pesta apa pun di malam hari. Hanya saja... saya rasa akan cukup
banyak juga tamu mengenakan gaun hitam. Bagaimana jika yang sedikit terang
namun tetap elegan, seperti warna ungu anggur?"
"Uhm.. kurasa... itu... bagus juga..."
jawab Maya ragu-ragu. masalahnya, dia bahkan tidak tahu seperti apa pesta itu
akan diselenggarakan! Dia baru mendengar semuanya barusan dari mulut Masumi
Hayami sendiri.
Dasar pria itu, sudah memutuskan semuanya sendirian!
Saat ia menoleh dan mendelik kepada Masumi dengan kesal, pria itu hanya
memberikan senyuman memanipulasinya seperti biasa. Duh! Menyebalkan!
"Ungu anggur juga bagus," sahut Masumi
memberikan persetujuan.
"Kami mempunyai beberapa gaun yang akan cocok
sekali untuk Nona Maya!" terang Hana dengan bersemangat.
"Ayo, ikutlah
dengannya," Masumi mendorong bahu Maya perlahan.
Maya menghabiskan waktu cukup lama di butik itu.
Walaupun hanya satu baju yang akan
dikenakannya, Maya mencoba begitu banyak baju yang sekiranya akan membuat pria
perfectionis di hadapannya itu puas.
Akhirnya sebuah gaun anggun one shoulder yang cantik
mendapat persetujuan Masumi. Dress itu seharusnya hanya sebatas lutut. Tetapi,
Maya yang mengenakannya, gaun itu jadi sepanjang betisnya. Tetapi selain itu, gaun tersebut berhasil membuat
Maya tampak lebih dewasa. Masumi yakin dengan tata rias yang sesuai, gadis itu
akan tampil sangat sempurna. Ia akan membuat banyak pria iri kepadanya. Tetapi
mereka tidak akan mendapatkannya. Maya Kitajima hanya akan menjadi milik Masumi
Hayami seorang.
Tak ada yang tahu pikiran itu begitu menguasai
Masumi hingga ia begitu bahagia. "Yang ini saja," ungkap Masumi dengan puas.
"Baiklah Tuan," sambut Hana dengan senyum
lebar karena dia berhasil menjual gaun yang sangat mahal. Ia akan mendapatkan
bonus penjualan yang memuaskan bulan ini.
=//=
Hampir saja mata Maya lepas melihat berapa angka
yang tampak di kasir--yang semuanya beres dengan sekali gesekan. Maya sampai
tidak saggup bicara. Dengan mata melotot dan bibir melongo. Tatapannya beralih
mengamati kartu kredit yang masuk ke dompet calon suaminya lantas ke wajah pria
itu.
"Silakan, Nona," terdengar perkataan
petugas kasir yang membuat Maya tersadar dan kemudian meraih tas tersebut.
"Pak Masumi! Kenapa kau membelikanku gaun yang
mahal seperti ini?" tanya Maya tak percaya. "Anda lihat tidak tadi
angkanya!?" Banyak loh! Banyak sekali!"
Masumi agak berdenging mendengar celotehan Maya.
"Ya, ya, aku tentu melihatnya. Aku kan harus memastikan angka yang kubayar
sesuai tagihannya."
"Hanya untuk sehelai gaun?" dahi Maya
berkerut. "Hanya satu! dan harganya... harganya... mungkin bisa untuk
menyewa apartemenku beberapa tahun! atau satu truk dorayaki!" Maya
menggeleng-geleng tak bercaya. Betapa nilai uang bagi dirinya dan masumi begitu
berbeda.
"Maya," Masumi masih berusaha tenang.
"Itu gaun yang akan kau kenakan di hari istimewamu. Tentu saja sedikit
pengeluaran ekstra tidak masalah. Lagipula, coba kau berpikir seperti ini. Mana
yang lebih baik untukmu, tampil dengan gaun itu, atau tampil telanjang sambil
membawa satu truk dorayaki?"
"Huh!?" Maya
tertegun dengan pengandaian itu. "Konyol!!" protes Maya yang langsung
saja manyun, bibirnya maju bersenti-senti. Masumi tertawa. Padahal baginya
kedua pilihan itu sama menyenangkannya. Yang penting Maya bertunangan
dengannya.
Keduanya lantas turun di sebuah restoran yang juga
terlihat mahal. Maya tertegun. Sekali lagi dia mengamati pakaiannya. Apakah
tidak apa-apa jika dia mengenakan pakaian sederhana seperti ini?
"Pak Masumi, memangnya tidak apa-apa aku ke
sini? Pakaianku sepertinya.”
"Tidak apa-apa. Kalau aku yang membawamu, kau
pikir siapa yang akan berani mengusir?"
Maya memutar matanya. Sombong sekali... pikirnya.
Memang benar, sama sekali tidak ada yang meminta
Maya pulang. Malahan mereka diperlakukan begitu baik. Tetapi Maya tetap saja
tidak nyaman karena berpasang-pasang mata mengamati mereka. Maya tampak gelisah
dan melirik tak nyaman ke sana kemari.
"Kau mau apa?" tanya Masumi saat melihat
Maya sama sekali tak membaca menu di tangannya.
Maya tertegun. ia lantas menatap masumi. "A-aku
mau pulang... rajuk maya seraya berbisik dengan dihalangi menunya."
"Pulang? Kenapa?" Masumi bukannya tidak
tahu. Ia tahu pasti wajah-wajah bergosip dan tatapan tak ramah yang diarahkan
orang-orang kepada Maya.
Maya menunduk pelan dan mengeluh. "Aku merasa
tidak nyaman," akunya. Ia lantas melayangkan tatapan tajam kepada Masumi
yang berada di hadapannya, menghujam dengan penuh kekesalan. "Anda sengaja
ya! Ingin aku malu dan ditertawakan!?" tuding Maya kesal.
Masumi tertegun. jelas bukan seperti itu
permasalahannya. Tetapi Maya sepertinya sudah terlanjur malu dan kesal. Ia
hanya memajukan bibirnya kesal.
Masumi menghela napasnya. Entah apa kasak kusuk yang
terlontar dari bibir orang-orang di sekitar mereka itu.
Masumi berdiri, dan saat rasa terkejut Maya belum
selesai, pria itu menarik pergelangan tangan Maya. Maya pikir Masumi hendak
membawanya pergi dari sana, tetapi dia salah. Masumi menyeret Maya bersamanya
menuju sebuah panggung hiburan pendek dan meraih mic yang berada di sana.
"Pak-Pak Masumi, apa yang Anda lakukan?"
"Maaf, sebentar," Masumi meminta ijin
kepada manajer restoran itu yang kemudian mengangkat tangan dan musik
dihentikan. Orang-orang di sekitar mereka bingung, saling bertukar pandang dan
mengamati pasangan itu dengan heran.
"Pak Masumi!!" desis Maya, sangat takut
memikirkan apa yang hendak pria itu lakukan.
Masumi bicara menggunakan mic di sana. "Selamat
malam, saudara saudari, maaf mengganggu waktu Anda sekalian. Saya hanya ingin
mengumumkan sesuatu," ungkap Masumi. "Saya adalah Masumi Hayami dari
Daito, dan ini adalah tunangan saya, Nona Maya Kitajima."
Rasanya seluruh aliran darah Maya membeku seketika.
Ia bahkan tak yakin bahwa dirinya masih berkedip atau tidak.
"Kebetulan saya baru saja melamarnya dan saya
sangat beruntung karena gadis ini mengatakan bahwa dia bersedia menikah dengan
saya. Karena itu, untuk hari istimewa kami, maafkanlah penampilan kami yang
seadanya ini. Kami hanya sedang sangat bahagia dan ingin merayakan hari spesial
ini di tengah Anda semua. Saya harap Anda sekalian tidak berkeberatan."
Dua detik terlewati sebelum kemudian tepuk tangan
terdengar dan ucapan selamat terlontar dari bibir orang-orang di sekitar
mereka.
Masumi tersenyum senang. "Terima kasih banyak.
Dan terima kasih banyak Pak Manajer..."
Masumi beralih kepada calon istrinya dan tersenyum
hangat. "Nah, tidak ada yang perlu kau khawatirkan lagi sekarang
kan?"
Apanya yang jangan dikhawatirkan!? Apa yang Direktur
Daito itu baru saja lakukan!? Dia baru saja memberitahukan orang-orang yang
baru kali ini dilihat Maya dalam seumur hidupnya, bahwa mereka bertunangan?
Bahkan hingga pengunjung yang di pojok ruangan dan tadi tak bisa melihatnya,
sekarang berebut melongok ingin melihat pasangan yang sedang merasakan hari
bahagia itu.
Maya ingin lari saja. Ingin segera lari! Jika saja
tangan Masumi tidak begitu erat menggenggam tangannya dan menarik Maya kembali
ke tempat duduknya semula.
Masumi Hayami benar-benar
seenaknya sendiri!!
"Apa kau sudah merasa lebih baik?" tanya
Masumi dengan percaya diri.
Maya menatap Masumi dengan alis bertaut, "Sama
sekali tidak!" desisnya. "Apa yang Anda lakukan? Sekarang mereka
malah sepertinya lebih memperhatikanku lagi."
"Tetapi yang penting, mereka sudah tahu
kebenarannya, daripada berkasak kusuk..."
"Kebenaran apa? Memangnya ini hari di mana Anda
melamarku? Pak Masumi, anda ternyata jago juga berakting..."
Kau pasti tidak tahu, bahwa
selama ini aku memang selalu hidup dalam kepura-puraan... batin Masumi seraya menatap sedikit iri kepada
gadis yang hanya berakting di panggung namun dalam kehidupan nyatanya, Maya
begitu jujur dan tentu dia melakukan semua hal dengan alami tanpa menutupi apa
pun.
Itulah satu hal yang juga membuat Masumi iri kepada
gadis mungil di hadapannya. Dia hidup lebih jujur ketimbang siapa pun.
"Kau suka makanannya?" tanya Masumi.
Maya mengangguk. "Terima kasih," ucapnya
dengan agak canggung.
"Wah, kau bisa juga bersikap manis,"
Masumi tersenyum menggodanya.
Maya kembali merengut. "Pak Masumi, sebetulnya
apa yang ingin kau bicarakan? Katanya tadi kau mengajakku pergi karena ada yang
hendak kau bicarakan?"
"Oh ya, mengenai itu..." beberapa detakan
terlewati, Masumi agak tidak tenang. Apakah Maya akan bisa menerima perkatannya
atau tidak. "Kita bicarakan nanti setelah makanmu selesai," terang
Masumi.
Maya tak banyak berpikir dan mengangguk-angguk saja.
Makanan ini memang sangat enak hingga hampir membuat Maya memaafkan apa pun
yang sudah Masumi lakukan tadi dengan tindakan di luar akal sehatnya itu.
Akhirnya, kedua piring mereka diangkat, dan pelayan
menuangkan sebotol sampanye ke masing-masing gelas mereka.
"Kau sudah bisa minum?" tanya Masumi.
"Sudah!!" jawab Maya cepat, tidak
memberikan kesempatan Masumi mengejeknya. "Sejak aku lahir aku tentu sudah
minum! Anda juga kan!?"
Masumi tertegun, mengamati Maya dan segelas sampanye
yang masih utuh.
"Kau tidak mabuk sebelum meminumnya kan?"
godanya lagi.
Wajah Maya kembali merah dan marah. "Menyebalkan!"
gerutu gadis itu.
"Maaf, maaf,"
Masumi tertawa sedikit. Ia mengangkat gelasnya. "Ayo, kita bersulang.
Untuk pertunangan kita."
Sejenak Maya tertegun. Untuk pertunangan kita. Gadis
itu menghela napasnya bingung. Dia masih benar-benar tak mengerti bagaimana
bisa berakhir di sini dengan pria di hadapannya ini. Mengingat semua yang telah
terjadi di antara mereka, mengingat apa yang telah mereka lalui, juga
perasaannya yang benci setengah mati kepada si calon suami.
Tetapi Maya tahu dia harus menerima konsekuensi dari
keputusannya. Ia harap ia mengambil keputusan yang tepat untuk berbakti kepada
ibunya. Lagipula, dalam hal ini keduanya berada dalam biduk yang sama. Mereka
memikirkan ibu mereka, dan melakukan ini semua demi janji lama keduanya.
Maya menerima tawaran Masumi. Ia mengangkat gelas
sampanyenya dan keduanya bersulang.*
"Demi... pertunangan kita," Maya
mengamini.
"Mengenai yang hendak kubicarakan," Masumi
berusaha tampak tenang dan tak kentara membenahi duduknya beberapa kali. Pria
itu berdeham lagi dan lagi, sementara Maya masih menanti. "Apa... kau
masih membenciku?"
Maya tertegun, tak mengira hal itu yang hendak
Masumi tanyakan. Ia menatap pria itu dan berpikir apa jawaban yang diharapakan
Masumi? tetapi dia tak ingin berbohong.
Maya mengangguk dan menjawab, "Benci."
Ah,,, rasa sakitnya masih saja sama. Masumi
tersenyum hambar berusaha menyembunyikan sakit hatinya.
"Anda juga begitu kan? Masih membenciku?"
tuding Maya langsung.
Masumi menghela napas perlahan dan menatap Maya
sungguh-sungguh. "Sama sekali tidak," jawab Masumi. "Aku tak
pernah membencimu."
Maya tertegun, dan mengamati Masumi teramat heran.
"Tidak? Bohong! Aku tahu benar bagaimana kau--"
"Maya," potong Masumi dengan sabar. Di
sini dia yang lebih tua. Sudah seharusnya Masumi memang bersikap lebih dewasa.
"Jika kita membicarakan hal ini, pasti tidak akan pernah berkesudahan
kan?"
Maya terdiam dan menunduk kesal.
"Karena itu, aku ingin membicarakannya. Tak
lama lagi kita bertunangan, dan dalam beberapa bulan kita menikah. Tantu saja,
agar orang tua kita tidak kecewa, kita pun harus menjalankan rumah tangga kita
nanti dengan sebaik-baiknya, dan bukan rumah tangga yang dipenuhi kebencian.
Apa kau, sepakat denganku?"
Maya mengangkat wajahnya dan menatap Masumi heran.
Pria itu benar-benar sangat berbeda dari biasanya. Ia bicara serius namun
dengan cara yang lembut. Sama sekali bukan perkataan seenaknya atau ejekan yang
membuatnya kesal. Dengan heran Maya menjawab. "I-iya..."
"Kalau begitu, kau dan aku sama-sama menyadari,
bahwa belum ada cukup cinta di antara kita berdua untuk... memulai rumah
tangga. benar kan?"
Alis Maya berkerut. Ia mengamati Masumi lekat.
"Pak Masumi... apa kau berpikir... untuk membatalkan pernikahannya?"
tanyanya.
Masumi jelas bukan bermaksud ke sana.
Yang benar saja, setelah perjuangannya yang
berdarah-darah dan jurus terbaiknya dalam memanipulasi ia keluarkan, ia tidak
akan membatalkan pernikahan ini begitu saja.
"Tidak, tentu saja bukan itu maksudku. Aku sama
sekali tak berpikir ke sana," terang Masumi.
"Lantas?" Maya menatap Masumi semakin
heran. "Apa maksud perkataanmu? Apa yang kau inginkan?"
Masumi menghela napas dalam. "Jadi maksudku,
sebelum pernikahan kita diselenggarakan, aku... aku ingin," tanpa
dikehendaki suara Masumi tiba-tiba saja menciut seperti radio yang tombol
volumenya diputar mengecil.
Maya tidak bisa mendengarnya. "Apa?" Maya
mencondongkan tubuhnya ke arah pria itu. "Kau ingin apa Pak Masumi?"
tanya Maya.
"Ehm! Ehm!!" Masumi berdeham, karena
berkali-kali ia mencoba, suaranya tak keluar. Dan Masumi menyadari, ia merasa
gugup. Bahkan tangannya terasa dingin. Aduh, bagaimana ini, jangan sampai
latihannya menjadi sia-sia.
Masumi meraih sampanyenya lagi dan meminumnya untuk
melegakan tenggorokan.
Maya tanpa sadar juga meraih sampanyenya dan
meminumnya. Sepertinya ia sudah terbawa tegang oleh Masumi.
"Jadi begini," ah, bagus sekali! suaranya
sudah jernih lagi. Sekarang tenangkan dirimu Masumi, dan sampaikan apa yang kau
inginkan. Bagaimana pun dia itu calon istrimu dan permintaanmu sama sekali
tidak berlebihan, Masumi menyemangati dirinya sendiri.
"Ya?" Maya mengamati Masumi lekat.
"Apa?" tanyanya yang sudah semakin penasaran.
"Begini... jadi, kurasa, untuk mendapatkan
suasana yang nyaman, dan menyenangkan di dalam rumah tangga kita nanti,
tidakkah menurutmu... kita harus mulai belajar untuk... untuk saling
mencintai?" Deg! Jantung Masumi berdebar sendiri. Dia berhasil
mengatakannya! Dan sekarang dia berdebar-debar menunggu jawabannya. Ini seperti
sebuah pernyataan cinta dengan cara yang berbeda.
Wajah Maya juga tampak semakin memerah. Sepertinya
gadis itu mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. Gadis itu tertunduk dalam.
"Mulai saat ini aku akan berusaha bersikap
baik, dan membuatmu bisa menerima dan mencintaiku. Begitu juga aku mengharapkan
hal yang sama darimu. Kuharap kau mau membuka hatimu, dan berusaha setidaknya
menerimaku, dan mungkin... nanti..." Masumi menelan ludahnya sendiri.
Melirik-lirik canggung kepada sekelilingnya, berharap tak ada yang mendengar.
"Mungkin nanti kau bisa belajar mencintaiku."
Maya menggigit bibirnya perlahan tanpa mengangkat
wajahnya. Ia merasa sangat canggung membicarakan ini semua dengan Masumi. Ia
tak mengira hal itu yang ingin Masumi katakan. Pria itu berharap Maya bisa
belajar mencintainya.
"Kau... mengerti kan, maksudku?" Masumi
memastikan kepada Maya yang wajahnya tertunduk dalam di hadapannya.
Maya memain-mainkan jemari di pangkuannya, dan
perlahan mengangguk.
Masumi tertegun, dan sangat gembira melihatnya.
HOREEE!!! dan sekali lagi air mancur itu meluncur cepat di dalam kepalanya,
menyala gembira membentuk hati yang banyak.
Suasana di antara keduanya masih sangat canggung dan
tidak ada satu pun di antara mereka yang tahu benar apa yang harus diucapkan
pada saat seperti ini. Hingga saat Masumi membuka mulutnya hendak bicara lagi,
seorang pelayan menghampiri, "Sampanye lagi Tuan? Nona?"
Masumi belum sempat menjawab saat Maya mendongak
mengangkat wajahnya. "Aku mau!" sahut Maya.
Pelayan itu menuangkannya ke dalam gelas Maya. Maya
segera meraih dan meminumnya. "Glek! Glek! Glek!"
Saat pelayan itu selesai mengisi gelas Masumi, Maya
kembali berkata. "Tambah lagi!!" seraya meletakkan gelasnya di atas
meja.
"Eh? Ba-baik..." pelayan itu menuangkan
sampanyenya lagi.
Sekali lagi Maya meneguknya langsung sampai habis.
"Lagi!" pintanya.
Alis pelayan itu teronjak dan dia sempat melirik
sejenak kepada MAsumi yang juga sedang memandang Maya dengan bingung. Pelayan
itu menuangkan lagi sampanyenya, tetapi "Duk!!" kepala Maya jatuh ke
atas meja.
Masumi dan pelayan itu tertegun. Ya ampun, gadis ini
mabuk...
Maya mengangkat kepalanya yang berat dan wajahnya
tampak merah padam. "SIAPA BARUSAN
YANG MENDORONG KEPALAKU!!?" seru Maya dengan marah.
Gadis itu benar-benar mabuk.
"KAU!!" tatap Maya dengan garang kepada
Masumi. "Pasti kau barusan yang mendorong kepalaku ya!? Hik!!"
Bahkan gadis itu tak bisa berpikir bahwa tangannya
tidak akan sampai pada kepala Maya. Artinya gadis ini mabuk berat.
"Heh! Jawab, Masumi!!" tuntut Maya.
Masumi mencondongkan tubuhnya ke arah Maya.
"Kita harus pulang," putus pria itu.
Ia menyerahkan kartu kredit sekali lagi untuk
dibayarkan dan menanti kartu kreditnya kembali dengan mengamati Maya. Gadis itu
sekarang membaringkan kepalanya di atas meja dan memejamkan matanya seraya
tersenyum-senyum sendiri. Entah apa yang ada di kepalanya. Jelas perilakunya
telah mengundang tanya orang-orang di sekelilingnya yang mengamati keduanya
sedari tadi. Tetapi Masumi hanya berpikir Maya benar-benar lucu. Terlepas dari
mabuk bukanlah hal yang aneh di masyarakatnya, tetap saja Masumi tidak begitu
ingat ada pengunjung yang pernah mabuk berat di restoran sekelas ini. Mengingat
orang ke sini bukan khusus untuk minum-minum seperti di cafe atau bar pada
umumnya.
"Silakan Tuan," pelayan itu menyerahkan
kembali kartu kreditnya.
"Terima kasih," sahut Masumi. "Bisa
tolong bantu aku? Naikkan dia ke atas punggungku? Rupanya gadis ini sangat
payah dengan alkohol dan tak seharusnya aku memberikannya tadi," sesal
Masumi.
"Ah, ya, tentu saja. Jangan khawatir Tuan,
sekali dua kali kejadian ini terjadi juga," pelayan itu menenangkan.
Lantas ia membantu menaikkan Maya ke punggung Masumi
dan pria itu beranjak dari sana dengan diiringi tatapan yang lebih heran lagi.
Saat keluar dari restoran, hembusan angin dingin
terasa mengusik Maya. Gadis itu menggesekkan pipinya pelan ke bahu Masumi dan
menggeliat kecil, membuat Masumi agak terkejut.
"Maya?" tegurnya, dengan pipi menghangat
karena perilaku gadis itu.
Maya mengangkat kepalanya dengan mata masih agak
terpejam dan berat. Celingukan ke sana kemari, lantas mengamati kepala Masumi
yang begitu dekat dengan wajahnya.
Maya lantas meremas rambut calon suaminya itu dan
menarik sejumput rambut dengan kedua tangannya. "KUUDAAA!!" serunya dengan riang.
Masumi mengerang tertahan karena jambakan Maya yang
mendadak itu. Apalagi kaki gadis itu mulai menjejak-jejak. "Ayooo kudaaa
lari yang cepat!!" perintah Maya dengan riang.
Masumi meringis keras-keras dengan apa yang Maya
lakukan. Untunglah ini bukan akhir pekan, sehingga tak banyak yang mendengar
Direktur Daito disebut kuda oleh gadis yang berusia 11 tahun di bawahnya itu.
"Ayooo lariii!!!" perintah Maya kepada
kuda tunggangannya.
"Ma-Maya! Lepaskan rambutku! Duuhh...
Aduudududuhh... aduuh...!!"
Ya Ampun genggaman tangan gadis ini benar-benar kuat
sekali. Masumi belum pernah merasakan penyiksaan seperti
saat ini.
"Ayo! lariii!!" perintah Maya lagi sambil
mulai melonjak-lonjak di punggung Masumi.
Rupanya dia tak punya pilihan lain selain mengikuti
keinginan calon istrinya tersebut. Masumi akhirnya mulai berjalan sambil
melonjak-lonjak seperti kuda. Sepertinya memang itulah yang Maya inginkan,
karena gadis itu mulai tergelak riang. "horeee... horeee..."
Masumi tak menghiraukan tatapan tukang parkir yang
melihatnya dengan curiga.
Tukang parkir itu jelas tahu siapa Masumi dari
Daito. Tetapi, apa dia tidak salah lihat? Tukang parkir itu beberapa kali
mengucek matanya memastikan pria yang bertingkah seperti pengasuh itu memang
pangeran Daito yang terkenal dingin dan gila kerja.
Saat akhirnya Masumi sampai ke mobilnya, dia
benar-benar kelelahan. Berjalan melonjak-lonjak seperti kuda dengan mengangkut
Maya di punggungnya bukan pekerjaan mudah. Ini salah satu hal paling menyiksa
yang pernah dikerjakannya.
Tetapi keluh kesah Masumi menghilang begitu saja,
saat lengan mungil Maya melingkar di lehernya, memeluknya kuat dan berkata,
"Aaahhh.... hebaaatt!!! Kudaku hebaaaaaaaaattt!!!!" seru Maya
keras-keras.
Masumi hanya tertawa konyol ketika dia mendengar
dengkuran tipis lantas terdengar dari bibir Maya yang kepalanya terkulai di
bahunya.
Dengan hati-hati Masumi membuka pintu mobilnya dan
agak susah payah menekuk lututnya untuk mendudukkan Maya di jok.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya si
juru parkir.
Masumi menoleh dan cukup lega dengan tawaran itu.
"Ah, ya... tolong saya untuk memasukkan gadis ini ke dalam.
"Baik, Tuan..."
Juru parkir itu lantas membantu Masumi mendudukkan
Maya di jok.
Masumi agak kesal juga melihat tangan juru parkir
itu yang melingkar di lengan Maya.
"Tolong jangan lama-lama memeganginya!"
tegur Masumi seraya menarik lepas tangan pria itu dari lengan Maya.
"Ah, eh, ah, ya, ya Tuan, maaf... maaf..."
juru parkir itu membungkuk beberapa kali dengan sungkan. "Anu... Nona
ini.... keponakan Tuan?" tanyanya.
Masumi yang tengah memasangkan sabuk pengaman Maya
tertegun. Ia menoleh dan menatap tajam si juru parkir. "Calon istriku!!" tegasnya
dengan keras. Ia lantas meraih jemari Maya dan memperlihatkan cincin
tunangannya. "TUNANGANKU!!"
Juru parkir itu terperanjat. Ia sekali lagi meminta
maaf dengan terburu-burur. Ia takut sekali Masumi akan memberikan masalah
kepadanya.
Namun ternyata Masumi cukup baik hati, dengan
memberinya tips paling besar selama dia bekerja di restoran ini.
=//=
Sekali dua kali Masumi mengamati Maya yang tidur
dengan tenang di sampingnya. Dengkuran tipisnya pun terasa seperti melodi
paling indah yang pernah didengar telinganya. Rasa sakit yang tadi sempat
membuat kepalanya berdenyut-denyut sekarang sama sekali menghilang. Direktur Daito
ini memang mendadak dungu karena gadis yang belum lepas dari masa remaja ini.
Bahkan tanpa ia sadari, Masumi senantiasa tersenyum saat mengendarai mobilnya.
Akhirnya tiba juga kembali di apartemen Maya.
Rasanya sayang sekali harus berpisah dengan gadis itu. Masumi diam beberapa
lama, masih tidak rela Maya segera hilang dari pandangannya. Ia melongok ke
jendela, dan lampu apartemennya terlihat menyala. Sepertinya Rei ada di sana.
Sejenak tangan Masumi menggapai poni Maya
menyingkapkannya tipis dan mengusap kepala gadis itu penuh rasa sayang. Masumi
tersenyum lagi memandangi Maya tenang saja dibelai-belai begini. Ya, karena
matanya terpejam. Apa jadinya jika mata gadis itu membuka, pasti berbagai
cacian dan makian akan terlontar. Tetapi Masumi cukup optimis.
Dalam hal ini, dia jelas harus optimis. Dia akan
membuat Maya mencintainya. Gadis itu juga sudah berjanji akan mencoba membuka
hati untuknya. Eh, tunggu dulu, gadis itu... pasti ingat kan apa yang dia
ucapkan? Tadi saat maya mengangguk, dia belum mabuk kan?
Ujung telunjuk Masumi menyentuh hidung gadis itu,
lalu bibirnya. Masumi berdebar-debar tak menentu. Nanti akan ada saatnya semua
itu menjadi milik Masumi Hayami. Saat dalam keadaan sadar Maya akan membalas
pelukannya, dan juga membalas ciumannya, juga mengutarakan cinta kepadanya.
Masumi merasakan wajahnya memerah. Dengan segera ia
menghalau semua pikiran kacau itu. Aku
harus segera membawanya masuk, putus Masumi.
Pria itu meggendong Maya naik ke apartemennya, dan
benar saja memang sudah ada Rei yang membukakan pintunya.
"Wah! Apa yang terjadi dengan Maya?" tanya
Rei waspada.
"Tidak, tidak apa-apa, dia hanya agak mabuk
tadi dan sekarang sedang tidur." Jelas Masumi.
Mata Rei membulat, "Mabuk? Maya memang tidak
kuat minum, dan... kalau mabuk dia sangat berisik," terang Rei seraya
mengantar Masumi ke kamar Maya. Futon gadis itu sudah disiapkan, dan di sana
juga ada si Sapi raksasa yang Masumi kirimkan.
"Baiklah aku kembali lagi," pamit Masumi
setelah beberapa saat mengamati wajah calon istri yang akan dirindukannya itu.
"A-anu... Pak Masumi..." Rei tampak canggung,
ingin menyampaikan sesuatu.
"Ya?" Masumi tertegun. Menunggu Rei
bicara.
"Saya... agak sungkan... tetapi... apakah Maya...
sudah bicara, mengenai..."
"Ya? Mengenai...?" Dahi Masumi berkerut.
Rei melirik boneka sapi itu penuh arti.
Masumi tertegun tak mengerti, dan Rei sekali lagi
melirik ke arah sapi. Masumi akhirnya menoleh dan mengamati si Sapi, lalu
kembali ke Rei.
Rei mengangkat alisnya agak memelas dan seakan
bertanya, bagaimana?
Masumi akhirnya paham, "Oh... ah, ya, ya,
baiklah aku mengerti. Akan aku usahakan secepatnya."
Rei merasa sangat lega. "Syukurlah kalau
begitu," gadis itu menghempaskan napasnya.
Sekali lagi Masumi permisi pergi dari sana.
Keesokan harinya, kiriman besar kembali datang ke
apartemen Rei dan Maya.
Kotak itu luar biasa besar hingga menghabiskan lebih
dari separuh ruangan. Saat mereka membukanya, ternyata Masumi mengirimi mereka
boneka sapi raksasa dan boneka kuda.
Di dalam kartunya Masumi berkata, "Ternyata Rei
juga menyukai boneka sapi? Kuharap temanmu itu senang menerima boneka ini,
seperti kau yang sudah pasti senang mendapatkan boneka kudanya bukan?"
"REI!!" Seru Maya kepada Rei yang tampak shock
berat karena Masumi salah mengartikan isyaratnya. "Kenapa kau malah
meminta boneka sapi juga!!? Kalau kau mau, ambil saja punyakuu!" lolong
Maya putus asa.
"Aku tidak meminta boneka sapi!!" tegas
Rei, "Kau sendiri! Kenapa meminta boneka kuda!!?"
"Aku tidak meminta
boneka kuda!! Kuda apa? Kuda apa? Aku benar-benar tidak tahu..." Maya
meremas rambutnya sendiri dengan frustasi, karena dia terikat janji akan menerima
apa pun pemberian Masumi.
Siangnya dengan gagah Maya menuju ke Daito, ke
kantor Masumi.
"Hei, kau mau ke mana? Jangan masuk! Tuan
Masumi sedang ada pertemuan penting!" Seorang karyawan menahan tindakan
agresi Maya.
"Ini juga penting!! Sangat penting!!"
tegas Maya.
"Tetapi kau tidak boleh mengganggu!!"
"Sebentar saja! Hanya sebentar!!"
Masumi yang mendengar keributan di depan kantornya
segera beranjak keluar setelah permisi kepada tamunya. "Ada apa ini
ribut-ribut!?" hardik Masumi.
"Ini Pak! Gadis ini menerobos masuk hendak mengganggu
pertemuan Anda dengan—“
"Aku perlu bicara denganmu! Penting!"
tegas Maya.
"Kau jangan bicara kurang ajar kepada Pak
Direktur!" hardik pegawai itu keras.
"Dan kau jangan kurang ajar kepada
tunanganku!!" tukas Masumi seraya menarik Maya ke arahnya.
Pegawai itu tampak terkejut. Ia pernah mendengar
Masumi hendak bertunangan tak lama lagi. Namun isu yang beredar menyebutkan
calon tunangannya sepertinya gadis yang sangat cantik, putri miliuner atau
politikus berkuasa dan lain sebagainya. Sementara gadis mungil ini.... dia
melongo mengamatinya.
"Ini! Kau lihat!!" Masumi memperlihatkan
cincin yang sengaja dipilihnya begitu besar agar semua orang tahu Maya sudah
terikat. "Ini cincin tunangannya!!"
Maya sendiri berusaha keras menyembunyikan tangan
itu dan menariknya dari Masumi karena ia merasa agak malu.
"I-iya... Maaf Pak, Maafkan saya... saya tidak
tahu."
"Sekarang kau sudah tahu! Dan kau boleh
memberitahu semua orang!" tegas Masumi dengan gagah. "Sekali lagi
kulihat kau berbuat kurang ajar kepada calon istriku, aku akan membuatmu bangun
tak tenang dan tidur pun tak tenang!"
"Ba-baik Pak... permisi..."
Maya menatap masumi penuh hardikan saat pegawai itu
sudah pergi.
"Apa kau harus menegurnya sekeras itu?"
"Dia juga kurang ajar kepadamu. Siapa pun yang
kurang ajar kepada orang-orang di sekitarku, harus mendapatkan balasannya.
Apalagi kau calon istriku," terangnya.
Calon istri... wajah Maya agak memerah.
"Omong-omong, ada apa kau datang kesini?"
tanya Masumi.
"Ah, ya! Untung kau mengingatkan. Ini
mengenai--"
"Masumi," sebuah teguran yang lembut
terdengar. Keduanya berpaling ke arah suara dari dalam kantor Masumi.
"Nona Shiori..." Maya tertegun, mengamati
gadis itu yang dia lihat juga kemarin. Apakah mereka bertemu setiap hari?
"Kurasa sudah waktunya aku pergi. Sepertinya
ada urusan yang lebih mendesak yang harus Anda selesaikan," Shiori
tersenyum.
"Lain kali kita membicarakannya lagi,"
Masumi tersenyum bisnis.
"A-apakah.... aku mengganggu?" Maya baru
tersadar, padahal tadi pegawai Masumi pun sudah mengingatkan.
"Tidak, tidak. Urusannya sudah selesai, kami
hanya berbincang sambil minum kopi," jelas Shiori. "Baiklah saya
permisi kalau begitu.”
Maya mengamati wanita itu terpesona. Wanita yang
istimewa. Sempurna! Pasti semua pria menyukai wanita seperti itu. Pasti semua
pria mengidamkan...
Tatapan Maya berputar kepada Masumi dengan
pertanyaan yang sama. Mungkinkah Masumi juga memiliki pendapat yang sama
dengannya?
"Apa?" tanya Masumi dengan wajah kakunya.
Maya segera menggeleng malu. "Nona Shiori
sangat cantik ya..." kata Maya seraya tersenyum tipis penuh rasa kagum.
"Begitulah," jawab masumi singkat. Bukan
topik favoritnya. Ia lantas duduk di sofa. "Jadi, ada apa ke sini?"
ia langsung menuju bahasan yang lebih menarik.
"Oh, iya!!" Maya ingat lagi. Dia segera
duduk di hadapan Masumi. "Sapi! Kuda!"
"Kau menghinaku?" pipi Masumi berkedut
marah.
"Bu-bukan! Maksudku, ambil kembali
boneka-boneka itu!"
"Kenapa?" dahi Masumi berkerut.
"Bukankah kau menyukai kuda dan sapi? Bahkan Rei juga menginginkan sapi
itu dan--"
"Duh, Tuan Masumi Hayami dari Daito. Lulusan
terbaik Todai, entah dari mana pendapatmu mengenai itu semua. Tidak aku, atau
pun Rei yang menyukai sapi dan kuda sedemikian rupa hingga ingin memiliki boneka
sebesar itu yang membuat apartemen kami yang tak seberapa menjadi penuh sesak
oleh benda mati yang sama sekali tidak bisa membantu dalam pekerjaan
rumah!"
"Memangnya kau bisa?" ledek Masumi.
"Tidak! Tetapi setidaknya aku tidak akan diam
kaku di tengah rumah dan membuat Rei kesulitan bergerak ke sana kemari!"
"Jadi masalahnya apartemenmu yang kurang besar
kan?"
"Masalahnya, bonekanya terlalu besar dan
terlalu banyaaakk!!" seru Maya dengan gemas.
Masumi terbahak-bahak melihat kemarahan Maya.
"Baiklah, baiklah, jadi... kau tidak mau boneka
sapi dan kuda?"
"Setidaknya tidak sebesar itu! Sampai membuat
kami susah bergerak."
"Tapi kau sudah janji tidak akan menolak semua
pemberianku."
Maya menghela napas putus asa. "Karena itulah,
aku ingin kau mengambilnya kembali."
"Kau benar-benar berharap aku mengambil lagi
hadiah itu?" tanya Masumi.
"Dengan sepenuh hatiku, Tuan Masumi
Hayami..."
Masumi menegakkan tubuhnya dan senyuman penuh
muslihat kembali terlihat di wajahnya. "Kalau begitu, ada syaratnya."
Dahi Maya mengernyit, "Syarat?"
"Ya. Barter."
"Barter?" Maya semakin bingung.
"Barter apa? Anda ingin aku memberimu hadiah?"
"Tidak... bukan begitu," kata Masumi penuh
intrik. "Untuk setiap satu boneka yang ingin kau kembalikan, ditukar
dengan satu ciuman."
Maya perlu waktu beberapa
detik untuk mencerna percakapan Masumi sebelum akhirnya ia sanggup bereaksi. Gadis
itu terlonjak dan matanya terbelalak. "APA!!?"
“Kau dengar tadi.”
“APA!!!??” Maya masih
shock.
“Kau sudah dengar!!” tegas
Masumi.
Gadis itu megap-megap,
kehilangan kata-kata, tampak kalut, takut, bingung, tak percaya. Menatap Masumi
ngeri dan berseru, “APAA!!!??”
Dan Masumi bergeming.
Menatap Maya mantap menunjukkan keseriusannya dengan perkataannya tadi. Dan dia
memang teramat sangat serius sekali. Masumi sudah memikirkannya semalaman. Dia
gelisah sendirian. Seandainya Rei tidak ada di apartemen itu, Masumi mungkin
sudah menciumi Maya seperti dulu.
“MESUM!!” dakwa Maya dengan
sangat keras. “Ka-ka kau… direktur mesum!” tudingnya dengan telunjuk gemetar
dan satu tangan menutup bibirnya.
Kesal juga Masumi dituding
seperti itu. “Apanya yang mesum!?” Masumi mengepalkan tangannya. “Kalau aku
mesum, aku sudah meminta yang lain-lain, bukan hanya ciuman!”
“Hanya? Ja-jadi… menurutmu
ciuman itu sekadar, ‘hanya?’” Mata Maya berkaca-kaca dengan dramatis. Ia
membuang wajahnya, “Cih! Bagaimana bisa aku terjebak dengan pria seperti ini?
Sama sekali tidak mengerti betapa sakralnya sebuah ciuman bagi seorang wanita,
dan betapa—“
“Tapi kita kan sudah pernah
melakukannya saat itu! Ingat tidak? saat pertemuan—“
“Cukup! Hentikan!!” Maya
meremas rambutnya sendiri dan menggeleng-geleng trauma. “Jangan ingatkan aku
lagi dengan kejadian itu!” pintanya.
Dahi Masumi mengernyit. “Hei,
Nona Maya Kitajima! Kau sudah setuju punya anak denganku tetapi kau begitu
takut hendak berciuman denganku?” tanya Masumi tajam. “Kau itu sudah pernah
belajar biologi kan? Organ reproduksi?” desak Masumi, seraya mencondongkan
tubuhnya kepada Maya, menikmati wajah ketakutan gadis itu. “Kau pasti tahu,
untuk mempunyai seorang anak, dibutuhkan lebih dari sekadar ciuman untuk—“
“Ka-kapan aku bilang ingin
mempunyai anak denganmu!?” tuding Maya, yang tubuhnya semakin condong ke
belakang karena Masumi terus mendesaknya.
“Nah, kau lupa lagi…. Saat
di restoran dulu, sebelum aku melamarmu, apa kau bilang!?”
“A-aku… aku bilang,” Mata
Maya bergerak takut ke kiri dan ke kanan, berharap kursi meja atau apa pun akan
mau menolongnya yang sedang terdesak. “Aku memang bilang ingin punya anak,
tetapi kan bukan berarti denganmu!!” seru Maya dengan gemetar.
“Bukan denganku bagaimana,
yang mau menikah denganmu kan aku! Apa kau berpikir—“
“Su-sudah! Sudah!!” tangan
Maya mendorong bahu Masumi menjauh tanpa menyentuhnya. Berharap tenaga dalamnya
bisa membuat pria itu berhenti mendekat kepadanya.
Tetapi tidak demikian,
Masumi terus saja mendesak Maya, hingga posisi gadis itu setengah terbaring
dan, “duk!” kepalanya menyentuh bagian sudut sofa.
“Pak-Pak Masumi… ja-jangan
menakutiku…” pinta Maya seperti hendak menangis.
Masumi berhenti bergerak,
matanya tak lepas mengamati wajah gadis itu, lantas berhenti di bibirnya. Otot
rahangnya sontak mengejang. Ia mendengus sejenak menahan diri, dan lantas
mengamati Maya lagi.
“Mudah sekali, Maya, satu
ciuman untuk satu boneka, dan kau bisa kembali bernapas lega di apartemenmu.
Kau bahkan boleh meminta hadiah lain untuk gantinya.” Masumi berkata dengan
suara rendahnya.
Maya merasakan tubuhnya
panas dingin, dan ia kesulitan bernapas. Masumi membuatnya begitu tegang.
Namun masumi lantas
menegakkan dirinya lagi. “Tetapi kalau kau tidak mau, ya tidak apa-apa,” ujar
Masumi. “Aku tidak akan mengambilnya lagi. Kau pun tidak boleh menjualnya,
membuangnya atau memberikannya kepada orang lain. Sebagai calon isteri yang
baik, kau harus menghargai pemberian calon suamimu, terlebih kau sudah
berjanji. Apa kau mau melanggar janjimu?”
Maya mengerucutkan bibirnya
sebal, dan menarik napas dalam-dalam. Tadi dia sangat tegang karena Masumi
mendesaknya. Walaupun jika dia berusaha, sebetulnya Maya bisa saja kabur dari
sana, entah kenapa dia malah membiarkan dirinya didesak begitu saja. Masumi
memang pandai bicara, hingga Maya tidak berkutik dan harus mengikuti
perkataannya.
Maya tidak pernah ingkar
janji. Dia akan bersalah jika sudah ingkar janji.
Tetapi Maya juga tidak bisa
membiarkan ketiga benda mati raksasa itu memenuhi apartemen mereka, apalagi
sampai harus mencari apartemen baru yang lebih mahal hanya untuk menampung
ketiga boneka raksasa itu.
Saat Masumi meraih rokok
dan hendak menyalakannya, Maya beseru, “Jangan merokok!” larangnya.
Masumi tertegun dan menoleh
kembali kepada Maya.
“A-aku tidak mau mencium
aroma rokok saat kau… ka-ka-kau… mencium…” suara Maya hampir menghilang, “ku…”
Sejenak Masumi begitu
terkejut hingga belum bisa bereaksi, dan tiba-tiba seringai senang begitu saja
menghias bibirnya. Dipandanginya Maya yang menunduk diam di sudut sofa itu.
“Jadi, kau bersedia?” tanya Masumi, dengan cepat meletakkan rokok dan
pemantiknya.
Takut-takut Maya mengangkat
wajahnya. Ya, bagaimana lagi. Toh ciuman pertamanya juga sudah direbut Masumi.
Anggap saja ini juga kecelakaan lainnya.
“Ta-tapi… tapi sedikit saja ya! Asal menempel saja!” tawar Maya.
Benar-benar negosiasi yang
tak biasa di jam kerja Masumi.
“Menempel saja?” alis
Masumi bekerut.
“Iya. Cup! Begitu,
selesai…” wajah Maya merah padam. “Pokoknya asal kena!”
Masumi berdecak. “Kalau
yang kuberikan gantungan kunci plastik, ‘Cup! Begitu, selesai…’ bisa kuterima.”
Tolak Masumi.
Maya terbelalak. “Lalu
untuk boneka sebesar itu, harus bagaimana?” tanyanya panik.
Masumi kembali beringsut
mendekati Maya, ada seringai samar yang agak menakutkan di sana. “Sudah, kau
diam saja,” perintah Masumi, yang bergerak semakin dekat.
Dan memang, Maya hanya diam
saja. Entah kenapa tubuhnya mendadak kaku seperti ini sedari tadi jika
berhadapan dengan Masumi. Hanya matanya yang menatap Masumi dengan ketakutan
dan tegang sekali.
Masumi pun walau sebenarnya
dia juga merasa sangat tegang, di permukaan ia tampak begitu tenang. Adalah
keahliannya menyembunyikan apa pun yang ia rasakan di dalam hatinya.
Masumi beringsut semakin
dekat, dan mulai meraih kepala Maya, membelai rambut gadis itu perlahan. Membuat
Maya semakin tegang dan bingung. Ia melirik takut-takut kepada tangan Masumi
yang seakan-akan bercakar seperti harimau yang sedang sedang hendak menerkam
mangsanya.
“Tutup matamu,” pinta Masumi.
Maya menurut, dia menutup
matanya dan bisa merasakan jantungnya melonjak-lonjak sangat keras.
Tidak…! Dia akan dicium
Masumi. Membayangkannya saja Maya sudah merinding. Tubuhnya panas dingin dan
terasa sangat kaku.
Apalagi saat dia akhirnya
merasakan tangan Masumi berhenti membelai rambutnya, dan terdiam di belakang
kepalanya. Tak lama, Maya merasakan napas pria itu di wajahnya. Maya memejamkan
matanya erat-erat. Antara ingin semuanya segera berlalu sekaligus sangat takut
hal itu akan terjadi.
Masumi mengamati wajah
ketakutan gadis itu. Sepertinya dia sangat tidak rela. Masumi bingung, antara
merasa geli, tersinggung, dan tak tega. Sepertinya gadis ini benar-benar tak
ingin diciumnya. Maya sama sekali tidak berpura-pura akan hal itu.
Dan walaupun Masumi sangat
menginginkannya, dia jadi merasa seperti orang jahat jika harus memaksakan
kehendaknya. Dia pura-pura lupa juga pernah mencuri ciuman dari gadis itu saat
sedang tidur dahulu.
“Sudahlah,” Masumi
menghempaskan napasnya kuat-kuat dan menjauhkan dirinya dari Maya. Ia
menyandarkan punggungnya ke sofa.
Maya tertegun dan membuka
matanya. Bingung. Sudah? Alisnya bekerut.
“Su-sudah? Sudah?” Maya
memiringkan kepalanya. “Kok, tidak ada rasanya?” dia mengedip-ngedipkan mata
dengan sangat bingung seraya menyentuh bibirnya sendiri.
Masumi terbahak
mendengarnya. “Tidak,” ujarnya. “Aku tidak melakukannya. Sepertinya kau enggan
sekali,” tukas Masumi, pura-pura tidak sakit hati. “Ya sudahlah, tidak usah.
Nanti aku malah membuatmu menangis,” sindirnya. “Nanti biar kukirim orang untuk
mengambil boneka-boneka itu dari tempatmu, mungkin dikirimkan saja ke panti
asuhan atau taman kanak-kanak yang bisa menampungnya, karena aku tidak mungkin
mengembalikannya ke toko. Barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan,”
terangnya.
Maya terdiam, menggigit
bibirnya tipis. Sepertinya, Masumi kecewa. Walaupun bukan urusannya jika Masumi
kecewa, tetapi Maya benar-benar tidak enak sudah membuat pria itu jadi repot
karena dia.
“Maaf ya…” ujar Maya
perlahan.
Masumi menoleh kepada Maya.
“Maaf untuk apa?”
“Karena aku sudah
merepotkanmu,” ucap Maya sungguh-sungguh.
“Ah, sudahlah,” Masumi
tersenyum pengertian. Maya tampak tulus meminta maaf kepadanya. Dia memang tahu
calon istrinya itu gadis yang baik. Hanya dengan itu saja dia sudah bahagia.
“Omong-omong, kau belum melihat lokasi pertunangan kita?” tanyanya.
Maya menggeleng.
“Nanti kita pergi ke sana,”
ajak Masumi.
Maya bimbang lagi. Ternyata
memang dia dan Masumi akhirnya akan bertunangan?
Saat Maya tersadar dari
lamunannya, Masumi tengah memandanginya dengan cara yang aneh. Maya merasakan
wajahnya mendadak panas.
“Apa!!?” bentaknya. Maya
selalu membentak jika mendadak gugup.
“Galak sekali,” tukas
Masumi.
“Ha-habis… kau memandangku
dengan cara yang aneh…” gerutunya.
“Tidak, aneh apanya?”
“Lalu? Buat apa memandangku
aneh begitu?” desak Maya kesal.
“Ya kau ada di sana! ya aku
lihat wajahmu. Apanya yang aneh? Lalu aku harus mengamati apa? Lututmu?”
Maya kehilangan kata-kata
dan kembali bersungut-sungut.
“Maya. Kau ingat kan
pembicaraan kita semalam?” tanya Masumi, memastikan.
Maya diam, dan berpikir. Ia
kembali berpikir. Dan berpikir.
“Setelah kupikir-pikir,”
kata Maya, “Aku sebetulnya… masih sangat bingung dengan cara bagaimana semalam
aku bisa kembali ke apartemen,” terang gadis itu, menggaruk sisi kepalanya
dengan telunjuk.
Kedua alis Masumi
terangkat. “Lupa?”
“Yaa… akuu…” kepala Maya
semakin miring, jelas dia berpikir sangat keras. “Ingat makanannya enak…”
“Lalu!?” desak Masumi.
“Lalu…. Oh!! Kau… kau
menyeretku dan mengatakan sesuatu yang memalukan di panggung!” Maya menutupi
wajahnya dengan kedua tangannya.
“Terus?” desak Masumi lagi.
“Terus…. Uhhmmmm….
Sepertinya Pak Masumi bertanya mengenai sesuatu… atau… apa… aduuhh… aku lupaa…
aku hanya ingat bangun tadi pagi dengan agak pusing. Rei bilang,” wajah Maya
memerah lagi dan menatap Masumi malu-malu. “Pak Masumi membawaku kembali ke
apartemen dalam keadaan mabuk dan aku sudah tidur…”
Masumi mengamati Maya tidak
rela. Hanya itu saja? Jadi dia tidak ingat susah payah Masumi mengemukakan apa
yang ada di pikirannya? Juga bagaimana Maya sudah…
“Kau tidak ingat menyebutku
kuda?” tanya Masumi.
“Ha? Kuda?” Maya tampak
terkejut.
“Ya! Kau menarik rambutku
begini!” Masumi menarik sejumput rambutnya sendiri, “Lalu berteriak-teriak.
Ingat tidak?” desak Masumi.
Maya mengerutkan keningnya.
Ku… da… akhirnya Maya ingat juga. Dia memang semalam bermimpi menaiki kuda di
padang rumput. Maya pikir itu hanya mimpi biasa. Apa dia melakukannya saat
mabuk.
“Aaakhh!!!” Maya akhirnya
tersadar. Ia menutupi bibirnya lagi dan terbelalak menatap Masumi. “Aku.. aku
pikir itu mimpi…” akunya. Maya malu sekali, wajahnya panas dan memerah.
Apa yang semalam
dilakukannya semalam kepada Masumi Hayami?
“Nah!” wajah Masumi berubah
cerah. “Bisakah kau memundurkan ingatanmu ke belakang, dan apa yang kita
bicarakan sebelumnya?”
Maya tampak kembali serius
berpikir. Semuanya kabur, agak buram. Tetapi sepertinya Maya ingat perasaan
tertekan yang dirasakannya semalam. Saat Masumi berkata…
"Mulai saat ini aku akan
berusaha bersikap baik, dan membuatmu bisa menerima dan mencintaiku. Begitu
juga aku mengharapkan hal yang sama darimu. Kuharap kau mau membuka hatimu, dan
berusaha setidaknya menerimaku, dan mungkin... nanti… Mungkin nanti kau bisa
belajar mencintaiku."
Dari perubahan raut Maya, Masumi yakin gadis itu
mulai mengingatnya. Karena wajahnya tampak pucat seperti semalam.
“Kau ingat?”
“I-ingat…” Maya cemberut.
“Aku pegang perkataanmu,” ujar Masumi.
Dan bibir Maya pun semakin mengerucut. “Pokoknya,
ambil dulu boneka-boneka raksasa itu dari apartemenku!” tandas Maya.
“Ya. Itu perkara mudah. Baiklah, aku masih harus
bekerja. Tetapi nanti malam, kau harus ikut denganku melihat lokasi diadakannya
pertunangan kita. Jangan ragu mengatakan kepadaku jika kau memerlukan sesuatu.”
“Nanti malam? Apa aku harus selalu melihat wajahmu
setiap waktu?” Maya merengut.
“Wah, perkataan apa itu? Yang datang ke sini siapa?
Jika nanti menikah kau pikir kita hanya akan bertemu setahun sekali?”
“Kalau bisa sih begitu!”
Masumi mengetatkan rahangnya. “Dasar gadis cerewet.
Kalau sudah jatuh cinta kepadaku, tahu rasa kau nanti!”
“HAH!!?” Maya menyodorkan telinganya kepada Masumi
seperti orang tuli. Masumi hanya tertawa saja melihat tingkah gadis itu.
“Kau yang tahu rasa nanti kalau jatuh cinta
kepadaku!” seru Maya seraya membanting pintu keluar dari kantornya seraya
sekali lagi bersungut-sungut.
Masumi terenyak sejenak dengan suara bantingan pintu
itu. Lantas tersenyum samar. Masumi sudah tahu sekali rasanya jatuh cinta
kepada gadis itu. Dahulu memang menyakitkan, tetapi setidaknya sekarang Masumi
bisa bersikap lebih optimis. Wlaupun gadis itu tak pernah menanggapi serius
ucapannya, setidaknya gadis itu sudah tahu, semua perbuatannya adalah bagian
dari usahanya menumbuhkan rasa cinta di antara mereka.
Masumi terbahak-bahak dengan senang.
Maya mengamati sekelilingnya dengan heran. Para
pegawai Daito tampak mengamatinya dengan aneh sekaligus heran. Bahkan Maya
yakin beberapa orang berbisik-bisik membicarakan dirinya. Ada apa?
Apakah jika dia bertemu Masumi Hayami setiap orang
selalu saja menjadikannya bahan gunjingan? Maya pura-pura tidak keberatan.
Jatuh cinta, jatuh cinta. Rasanya aneh mendengar
Masumi Hayami mengatakan hal-hal seperti itu. Tetapi mau bagaimana lagi. Pria
itu memang nantinya akan menjadi suaminya dan ucapannya—juga ucapan Rei memang
masuk akal. Sudah keputusan mereka untuk menikah dan adanya cinta memang jauh
lebih baik ketimbang hanya pernikahan karena melakukan tanggung jawab saja.
Tetapi, jatuh cinta kepada Masumi Hayami?
Membayangkannya saja Maya sudah merasa sedikit mual. Tetapi, jika mengingat
Masumi…
Maya menghirup udara dalam-dalam dan berhenti
melangkah. Tubuhnya agak panas dingin, teringat kejadian di kantor pria itu
tadi. Saat tangan Masumi membelai-belai rambutnya, dan pria itu menatapnya….
Maya bergidik seketika. Sudah jangan diingat-ingat lagi! Hardiknya kepada diri sendiri.
Perasaan aneh itu pasti karena Maya tidak biasa diperlakukan seperti itu oleh
siapa pun sebelumnya.
=//=
Shiori sedang membaca tabloid. Di salah satu artikel
ia membaca mengenai kasak-kusuk aktris MK dan Produser ternama MH menjalin
hubungan khusus. Beberapa orang sempat mendapati keduanya makan malam bersama
di sebuah restoran. Namun ketiadaan bukti foto membuat berita tersebut belum
dapat dikonfirmasikan kebenarannya.
Shiori menurunkan tabloidnya. Ia jelas tahu siapa
kedua orang yang dimaksud. Memang sangat mengherankan. Terlepas dari Masumi dan
Maya sama sekali tidak menutupi kebersamaan mereka, sangat sedikit berita yang
mengabarkannya. Mungkin karena Maya saat ini belum menjadi aktris nomor satu.
Bahkan skandalnya dua tahun lalu termasuk menghebohkan dunia hiburan.
Mabuk-mabukan, mangkir dari panggung, menelantarkan ibunya. Itu bukan berita
main-main.
Namun saat Shiori bertemu dengannya, Maya tampak
sangat biasa. Begitu polos. Sepertinya semua kabar burung itu sangat mustahil.
Tetapi, apakah mungkin Maya hanya berpura-pura menjadi gadis polos seperti
salah satu aktingnya di panggung?
Shiori sudah mendengar review pementasan terakhir
gadis itu dalam Dua Putri yang menghebohkan. Walaupun Ayumi masih diunggulkan,
namun banyak yang begitu mencintai Aldis. Dan gadis itu pasti sangat luar biasa
sehingga bisa tampil bersinar sebagai Satoko dahulu, dan begitu memukau menjadi
Aldis.
Hmm… Shiori berpikir. Entah kenapa dia begitu
tertarik dengan pasangan itu. Maya Kitajima, dan Masumi Hayami. Bagaimana bisa
mereka tiba-tiba bertunangan? Apalagi Mayuko dan Daito tidak pernah akur,
terlepas dari Mayuko Chigusa yang memutuskan untuk mengajar di salah satu
teater bergengsi Hayami.
Dengan ketertarikan yang masih sama, Shiori menyesap
kopi di cangkirnya.
“Nona… Shiori Takamiya?” sebuah teguran membuat
Shiori tertegun dan menoleh. Ia mendapati seorang pria setengah baya yang
tampak kurus namun wajahnya cukup berwibawa, terlihat seperti pekerja keras.
“Ya?” Dengan sopan Shiori berdiri dan tersenyum
ramah. “Apa saya mengenal Anda?” tanya Shiori.
“Nama saya Jin Miyake. Saya dari Chodai Corporation.”
“Chodai…?” Shiori sedikit tidak familier dengan
perusahaan tersebut. Apakah juga bergelut di bisnis media?
“Itu perusahaan angkutan dan distribusi. Menangani
ekspor impor Jepang dan Hongkong,” terang Pak Miyake.
“Aah… begitu…” Shiori mengangguk-angguk ramah.
“Silakan duduk. Darimana Anda mengenal saya? Dan… apakah ada sesuatu keperluan
dengan saya?” tanya Shiori.
Miyake hanya duduk dan mengamati gadis di hadapannya
itu. Terlihat cantik, cerdas dan berbudi pekerti baik. Tetapi ini mendesak. Ia
tidak tahu bagaimana reaksi gadis itu, namun Miyake harus mengetahuinya.
Tatapan Miyake sejenak beralih pada beberapa majalah
bisnis dan tabloid di tangan Shiori. Ada yang menarik dari kedua majalah bisnis
itu. Keduanya memasang Masumi Hayami sebagai covernya.
“Kau mengenal Masumi Hayami?” tanya Shiori.
“Ah? Eh… yaa…” Shiori tampak agak terkejut dengan
pertanyaan yang tak diduganya itu. Shiori lantas beralih mengamati majalah
bisnis yang tadi sempat diamati Pak Miyake.”Kebetulan TV Chuo sedang berencana
membuat program bersama Daito.”
“Dan bagaimana pendapatmu mengenai dia?” desak Pak
Miyake.
“Pak Masumi, tentu saja semua tahu. Ia pria muda
yang sangat hebat. Begitu cerdas,” ungkap Shiori dengan mata berbinar yang
tertangkap Pak Miyake.
“Begitu…” pria itu mengangguk-angguk setuju.
“Apakah… ada sesuatu?” tanya Shiori yang masih
bingung.
Miyake mengamati wajah Shiori dengan lekat, dan ia
kemudian berkata, “Aku tidak bermaksud kasar. Tetapi ada yang ingin kutanyakan,
kuharap kau mau menjawab dengan sejujurnya, Nona Shiori.”
Shiori tertegun dan merasa waswas. “Mengenai apa?”
“Berapa usiamu saat ini?”
“Aku? Ah… aku…” Shiori agak canggung tiba-tiba saja
ditanya mengenai usia. “25 tahun,” ungkapnya.
“Usia yang cukup untuk menikah, bukan?” ujar Miyake
setengah bergumam. Terlihat jelas pria itu berpikir.
“Pak Miyake,” tukas Shiori cepat. “Tanpa bermaksud
mengurangi rasa hormat saya, apakah ada sesuatu yang hendak Anda tanyakan?”
“Ya. Kuharap kau tidak akan tersinggung dengan
pertanyaan ini, namun aku berharap kau mau menjawab dengan sejujur-jujurnya.
Apakah kau… putri kandung Soichi Takamiya?”
Tampak jelas wajah Shiori memucat, namun gadis itu
bergeming dan berusaha tenang. “Sama sekali bukan,” terang Shiori. “Saya putri
tirinya. Ayah saya telah lama meninggal.”
“Meninggal?”
“Tuan, jika Anda tidak keberatan, saya pun tidak
bermaksud tidak sopan, tetapi ini msalah pribadi, dan kita baru saling mengenal
tidak lebih dari sepuluh menit,” tegas Shiori. “Saya tidak hendak memperpanjang
percakapan ini. Permisi!”
Shiori meraih barang-barangnya dan pergi dari sana.
Miyake mengamati gadis itu berlalu, dan rautnya
tampak sedih.
=//=
“Selamat malam,” sapa Masumi kepada Maya yang sudah
menunggu untuk dijemput.
“Aku harus ikut juga?” tanya Maya malas-malasan.
“Iya…” Masumi meraih tangan Maya “Ayo cepat, kita
sudah ditunggu…”
Maya mengamati genggaman erat tangan pria itu. Sudah
berapa kali Masumi menggenggam tangannya seperti? Sepertinya pria itu sudah
mulai terbiasa.
“Jadi apakah sudah ada tawaran lagi untuk pementasan
lainnya?” tanya Masumi berusaha mencairkan suasana di antara mereka.
“Belum, aku belum sempat memikirkan semua itu,”
tukas Maya dengan keki. Tentu saja, mana sempat dirinya memikirkan semua hal
itu jika dia sudah harus mendadak menikah dengan Masumi dalam tiga bulan?
Maya tahu dirinya sudah setuju menikah dengan
masumi, namun sebenarnya, ada hal yang dipikirkannya lagi belakangan. Maya melirik
takut-takut kepada calon suaminya itu.
Apakah Masumi akan keberatan, jika Maya minta diundur lagi?
“Ayo,” ajak Masumi saat akhirnya mereka tiba di
gedung Royal Tokyo.
Maya ikut turun dengannya. Masumi lantas membawa
Maya menemui pengurus gedung yang kemudian membawa mereka ke sebuah aula.
Ruangan itu sangat luas dan cantik. Seperti aula
dansa di rumah-rumah bangsawan Eropa. Lampu hiasnya sangat cantik, marmernya,
juga interior di dalamnya.
“Apa kau suka?” tanya Masumi.
Hanya orang bodoh yang tidak akan menyukainya.
Tetapi, benarkah memerlukan gedung sebesar ini hanya untuk pertunangan mereka.
“Maya,” tegur Masumi lembut. “Kau suka?”
Maya tertegun, dan mengangguk. “Suka…”
“Bagus, kalau begitu, aku akan melunasi
pembayarannya sekarang,” tukas Masumi yang segera disambut tatapan berbinar si
pengurus gedung.
“Aku menunggu di sini saja,” terang Maya saat Masumi
berlalu mengurus pembayaran.
“Baiklah, tunggu sebentar,” pamit Masumi.
Maya mengamati pria gagah itu melangkah. Masumi
memang bersikap baik kepadanya, Maya tidak memungkiri. Ia juga sudah kurang
emosional menghadapi pria itu. Apalagi tadi sore orang suruhannya sudah
mengambil lagi ketiga boneka raksasa itu.
Tetapi… bertunangan? Menikah? Semuanya terasa
semakin menakutkan bagi Maya. Apalagi, saat ia tadi mengamati lagi gaun
pemberian Masumi, dan sekarang, ia berada di gedung untuk pertunangan mereka.
Semuanya terasa semakin dekat dan nyata, dan Maya malah semakin takut.
Ia bahkan sempat berpikir mau kabur saja.
Maya berusaha menghirup udara dalam-dalam. Dadanya
sesak seketika. Ternyata dia memang belum begitu rela hendak melepas status
lajangnya kepada Masumi Hayami.
“Sudah selesai,” tukas Masumi dan membuat Maya
melonjak. Gadis itu berputar. “Sekarang semuanya sudah beres,” terangnya.
Pak Masumi… otot rahang Maya mengejang.
“Kenapa kau diam saja?” tanya Masumi saat keduanya
sudah kembali ke mobil mereka dan Masumi hendak mengantar Maya ke apartemennya.
Maya hanya menggeleng pelan. Kenapa Masumi sama
sekali tidak terlihat enggan? Bukankah akan lebih baik jika mereka sama-sama
menolak pernikahan? Jadi tidak hanya Maya saja yang seperti tidak ingin
berbakti kepada ibunya?
Mobil berhenti dan Maya masih saja membisu.
“Kau tidak suka gedungnya?” tanya Masumi akhirnya.
Maya menoleh kepada Masumi. “Gedungnya bagus.”
“Bagus,” Masumi mengangguk puas. “Besok kita akan
bertemu untuk membicarakan dekorasi dan katering. Dan akhir pekan nanti, aku
akan membawamu ke rumah bertemu Ayah.”
“HA!!?” Maya terenyak, “Bertemu…”
“Ya. Kau belum bertemu dengan ayahku bukan? Dan
cepat atau lambat kau harus bertemu dengannya.”
“Ta-tapi… tapi aku belum siap!”
“Belum siap? Sepuluh hari lagi pertunangannya kau
masih bilang belum siap?”
“Ta-tapi…” Maya tampak kalut. “Pak Masumi…. Bolehkah
aku berkata jujur?” tanyanya.
“Tentu. Ada apa?”
Maya tampak gelisah lagi. “Bisakah… pertunangannya
kita tunda dulu?”
“Ditunda?” Alis Masumi berkerut. “Apa kau tahu besok
undangannya sudah selesai?”
“Ha?” Maya terbelalak. “Undangan… pertunangan?”
“Ya,” tegas Masumi keras.
“Kenapa cepat sekali?”
“Tentu saja! Hanya dua minggu waktunya, kalau tidak
cepat-cepat kau pikir akan terkejar?” tanya Masumi gusar.
Dan Maya bisa melihat itu. “Te-tetapi… tapi…” Maya
menunduk bingung. Lantas mendongak lagi. “Kalau pernikahannya saja yang diundur
bagaimana?”
Masumi tak bereaksi. Wajahnya tampak dingin dan otot
rahangnya terlihat kaku.
“Kenapa ingin diundur? Sampai kapan?” tanyanya tanpa
ekspresi.
“Mungkin… setahun saja?”
“Sampai setahun?”
“Pak Masumi! Aku hanya punya waktu satu tahun untuk
mendapatkan kesempatan bersaing dengan Ayumi! Jika aku menikah denganmu, lantas
kapan aku bermain sandiwra dan memperjuangkan 1% ku? Kapan aku memikirkan
Bidadari Merahku?”
“Karena itulah lebih cepat dilakukan, lebih baik!
Setelah itu, kau bisa berkonsentrasi dengan Bidadari MErahmu. Aku janji tidak
akan mengganggumu.”
Maya sangsi dengan ucapan suaminya. Tetapi dia lebih
ragu dengan tekadnya menikah dengan Masumi. Ia takut sekali melihat gaun
pertunangannya, aula besar tadi, lalu besok bertemu EO, lantas bertemu calon
ayah mertuanya.
Ya Ampun! Semuanya begitu terburu-buru dan instan!
Padahal sebulan lalu Maya hanya sibuk dengan dua putri dan tak memikirkan
apa-apa lagi.
Masumi menatap wajah kalut Maya, tetapi dia tetap
dengan tekadnya. “Aku tidak akan memundurkan tanggalnya.”
Maya menatap Masumi geram. “Egois!”
“Memang!”
“Cih! Menyebalkan! Kalau begitu batal saja! Tidak
usah diteruskan! Pernikahannya… hmmph!!!”
Mata Maya membulat saat Masumi tiba-tiba saja
menciumnya tanpa aba-aba. Gadis itu mematung seketika dan jantungnya serasa mau
meledak.
“Ka-ka-ka-ka-ka-ka-kau!! Ap-apa yang kau lakukan!”
Maya menutup bibirnya dan menatap Masumi geram dan tak percaya. “Apa yang kau
lakukan!!” amuknya seraya memukuli lengan Masumi.
Masumi menangkap pergelangan Maya dan berkata pasti,
“Seharusnya aku melakukannya sejak siang tadi,” tegasnya. “Jika kau sekali lagi
berkata ingin membatalkan pernikahan, aku akan melakukannya lagi.”
Wajah Maya memerah dan panas karena marah, juga
karena alasan lainnya. Ia merasakan dadanya sesak dan hanya bisa menatap Masumi
geram. “A-aku! Aku…”
“Ayo, bilang!” tantang Masumi.
“Aku…” mata nanar gadis itu menantang calon
suaminya. “Aku ingin pernikahannya dibatal—hmmph!”
Sekali lagi Masumi menciumnya, dan kali ini lebih
dalam dari sebelumnya.
=//=
"Jangan! Terakhir kali kau melakukannya, dia melenguh keras sekali."
"Aduhh..." Maya memiringkan posisi tubuhnya, menatap Rei. "Apa yang harus aku lakukan, Rei? Dia itu.... dasar endapan lumpur!"
"Jangan menyebutnya tunanganku!!"
"Ah... ya... ya..." Rei mengangguk paham. "Tetapi, kenapa dia harus memberimu hadiah ya? Kan, tidak harus sampai seperti itu..." gumam Rei, berpikir. "Kalau dia tidak begitu peduli kepadamu, sepertinya tidak harus bertanya kepada Nona Mizuki mengenai kesukaanmu, walaupun kesimpulannya juga jadi melenceng jauh, untuk apa dia repot-repot mencari tahu? Mencari boneka sapi seperti ini? Menyewa trio itu dan membayar jasa untuk 11 lagu!"
Akhirnya sebuah gaun anggun one shoulder yang cantik mendapat persetujuan Masumi. Dress itu seharusnya hanya sebatas lutut. Tetapi, Maya yang mengenakannya, gaun itu jadi sepanjang betisnya. Tetapi selain itu, gaun tersebut berhasil membuat Maya tampak lebih dewasa. Masumi yakin dengan tata rias yang sesuai, gadis itu akan tampil sangat sempurna. Ia akan membuat banyak pria iri kepadanya. Tetapi mereka tidak akan mendapatkannya. Maya Kitajima hanya akan menjadi milik Masumi Hayami seorang.
"Silakan Tuan," pelayan itu menyerahkan kembali kartu kreditnya.
Saat keluar dari restoran, hembusan angin dingin terasa mengusik Maya. Gadis itu menggesekkan pipinya pelan ke bahu Masumi dan menggeliat kecil, membuat Masumi agak terkejut.
Masumi mengerang tertahan karena jambakan Maya yang mendadak itu. Apalagi kaki gadis itu mulai menjejak-jejak. "Ayooo kudaaa lari yang cepat!!" perintah Maya dengan riang.
Masumi yang tengah memasangkan sabuk pengaman Maya tertegun. Ia menoleh dan menatap tajam si juru parkir. "Calon istriku!!" tegasnya dengan keras. Ia lantas meraih jemari Maya dan memperlihatkan cincin tunangannya. "TUNANGANKU!!"
“Ta-tapi… tapi sedikit saja ya! Asal menempel saja!” tawar Maya.