Genre: Comedy, out of character
Setting: Setelah pentas dua puteri.
Rating: 18+
Warning: Kissu, skinship
To Make You Love Me
(Chapter 2)
Maya masih bersungut-sungut saat kembali ke
apartemen setelah menghubungi Masumi.
“Itu kan uang koinku! Aku yang berjalan menggunakan
kedua kakiku menuju telepon umum! Aku yang memencet nomor, eh… dia yang bicara!
Menyebalkan! Duh!!” Maya menggerutu panjang pendek dengan wajah sangat kesal.
“Ada apa, Maya?” tanya Rei yang heran melihat Maya
bicara sendiri.
“Rei!” Mata gadis itu membulat melihat sahabatnya
sudah kembali. “Rei, Masumi Hayami itu memang menyebalkan! Tahu tidak, tadi aku
kan menelepnnya. Eh, aku baru tersadar kalau selama menelepon, Cuma dia saja
yang bicara. Padahal, aku yang menghubungi! Dasar dia itu pria menyebalkan!”
“Kau menelepon Pak Masumi? Ada urusan apa?” tanya
Rei yang lebih berfokus pada hal yang lebih penting.
“oh, iya… aku mau mengajaknya bertemu.”
“Jadi kau belum sempat mengajaknya bertemu?”
“Tidak juga sih… soalnya dia sudah mengajakku
bertemu terlebih dahulu,” Maya termangu. “Eh, uhm… ternyata tidak terlalu rugi
juga, karena yang hendak kami bicarakan hal yang sama. Ya sudahlah, tidak
apa-apa sudah kurelakan koinku itu.”
“Memangnya mau membicarakan apa?” tanya Rei ingin
tahu.
“Mengenai perjodohan kami,” terang Maya. “Kata Mawar
ungu, aku sebaiknya bicara dulu dengan Pak Masumi. Pasti ada alasannya aku
berjodoh dengan Pak Masumi. Tetapi, sebelum aku menerimanya, aku harus
memastikan bahwa ini memang keputusan tepat.”
Rahang Rei seketika terbuka. “Menerimanya?”
Bagaimana bisa gadis itu sempat memikirkannya. Padahal sebelumnya Maya tampak
sama sekali tidak menginginkannya.
“Belum” sanggah Maya. “Tetapi Mawar Ungu bilang, aku
jangan terburu-buru menolaknya. Entahlah, Rei… bagiku, Mawar Ungu itu seperti
wali atau orangtuaku sendiri. Dan, tampaknya dia malah senang dengan perjodohanku
ini. Aku jadi berpikir… apakah aku yang terlalu sinis? Lagipula… memang aneh
kan jika hanya tinggal aku dan Pak Masumi yang tersisa untuk mewujudkan
keinginan orang tua kami. Mungkin… memang aku dan Pak Masumi…” Maya tertegun.
Ia membekap mulutnya sendiri. Ia hampir saja mengatakan : Aku dan Pak Masumi
berjodoh.
"Apa?" tanya Rei
yang menatap bingung Maya yang membekap mulutnya sendiri.
"Ti-tidak!
Tidak!!" Maya menggeleng cepat.
Apa... apaan... aku mau bicara apa barusan? pikir Maya. Tetapi...
jodoh kan memang tidak ada yang tahu? kalau memang dia sudah ditakdirkan
berjodoh dengan makhluk endapan lumpur itu... apa yang bisa Maya lakukan?
"Ah! Sudahlah!"
seru Maya tiba-tiba. "Tidak perlu memikirkan hal itu sekarang, nanti
saja... kalau sudah bicara dengan dia." tegas Maya.
Rei hanya mengamatinya
ragu-ragu. Ia pikir Maya sudah tegas-tegas akan menolak pria itu. Ternyata,
Maya masih saja memikirkannya.
=//=
Jadi, sekarang di sinilah
dia. Di depan salah satu gedung milik Daito yang menjulang, dan di salah satu
ruangan itu sudah ada Masumi menunggunya. Maya menghela napasnya. Ia pernah
tahu restoran Diamond. Ia pernah mendengar dan melihatnya saat ia masih menjadi
aktris Daito, namun ia sama sekali belum pernah masuk ke dalamnya.
Dan, sekarang, Maya merasa
salah tingkah karena tampaknya pakaian yang ia kenakan terlalu sederhana
ketimbang tempat itu. Namun saat ia hendak berbalik pergi, manajer restorannya
sudah terlanjur menyapa Maya.
"Ada yang bisa kami
bantu?" tanya Manajer tersebut yang tampak sangat profesional dan
mempelakukan gadis berpenampilan seperti Maya dengan sopan.
"A-anu... saya... ada
janji dengan...Pak Masumi..." Maya berkata ragu-ragu.
Manajer itu tertegun, kali
ini tanpa sadar ia menatap Maya dengan tidak sopan. Jadi, ini tamu yang dinanti Pak Masumi?
"Apa dia sudah
datang?" tanya Maya, menyadarkan kembali si manajer.
"Oh, ah, ya... ya...
silakan, silakan, beliau sudah datang. Beliau menyewa private room,"
katanya.
Maya akhirnya mengikuti
manajer tersebut. Ia menundukkan kepalanya karena ia bisa merasakan tamu-tamu
di sana mengamati Maya dengan penuh keheranan.
"Di sini, silakan
Nona," Manajer tersebut membuka sebuah pintu dan berkata, "Tamu Anda
sudah datang." katanya ragu-ragu kepada Masumi si Dingin dan Gila kerja.
Ia takut sekali membawa tamu yang salah.
Masumi, yang sedari tadi
bermonolog dalam otaknya, langsung saja terlonjak. Ia gugup sekali seperti
hendak melamar seorang gadis. kecuali, memang itulah yang hendak ia lakukan.
"Minta dia
masuk," kata Masumi dengan suara berdecit. Sungguh, ia tidak menyadarinya
kalau ia begitu tegang sampai suaranya tercekik. "EHM!!!" Masumi
menegakkan badannya. "Persilakan dia masuk," kali ini suaranya
terdengar tegas dan maskulin seperti biasanya.
"Silakan,
Nona..." Manajer itu mempersilakan.
Maya masuk ke dalam ruangan
itu, dan ia sangat terkejut. Ruangan itu teramat indah. dengan tirai-tirai
keemasan yang bergantungan, tampaknya menggunakan benang emas atau sutra, Maya
tidak paham. Yang pasti baik tirai, taplak meja, tampak begitu cantik. Bahkan
lebih cantik ketimbang pakaian yang ia kenakan.
Lalu, ruangan itu juga
dihiasi mawar-mawar berwarna warni. Ada mawar putih, merah, ungu dan kuning.
Gelas-gelas kristal dan lampu kristalnya berkilauan. Begitu juga dengan lantai
marmernya. Dan terlebih...
Maya terpaku, mengamati
Masumi yang berdiri dalam setelan mahalnya. Tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu.
Pria itu terlihat sangat tampan.
Baiklah, sekarang Maya yang
mulai ketakutan. Apakah dia masuk ke dunia lain? Ataukah memang seharusnya
sebuah acara mengobrol dipersiapkan sedemikian serius seperti ini?
Sekali lagi Maya ingin
berbalik pergi.
"Kau sudah
datang," sapa Masumi. Maya hanya diam saja, menatap pria itu ngeri. Itulah
yang Masumi tangkap. Bukannya kagum, tampaknya Maya merasa ngeri. Kenapa? Apa
yang salah? batinnya. "Kenapa diam saja, ayo ke sini," perintah
Masumi keras.
Duh, intonasinya tampaknya
salah, seharusnya ia bisa bicara lebih lembut, tetapi Masumi sendiri jadi salah
tingkah.
"Pak Masumi... di, di
sini?" Maya memastikan, menunjuk lantai. "Apa akan ada orang lain
yang datang selain kita?"
"Tidak ada, hanya kau
dan aku," jawab Masumi.
Ya, kau, dan aku. Kau tidak akan bisa lari dariku.
"Fiuuuhhh....."
Maya menghela napas lepas lega. "Hanya kita saja," katanya seraya
berjalan menghampiri dengan lebih santai. "Kupikir mau ada siapa lagi...
kenapa ruangannya di sini, dan Anda juga..." Maya mengamati Masumi dari
atas ke bawah. "Kenapa memakai baju seperti itu? Mau ke undangan ya?"
tanyanya meremehkan.
Masumi tertegun. Ya ampun!
si polos ini! Apa dia sama sekali tidak merasakan pesona dan karisma Masumi
Hayami yang selama ini dielu-elukan para wanita? Ke Undangan?
"Bukan!" jawab
Masumi ketus, yang merasa usaha kerasnya diremehkan. "Aku ini.... ini
adalah... aku... begini... ini adalah..."
Maya mengamati Masumi yang
terus bicara dengan kalimat tak lengkap itu. "Anda kenapa? Sakit
perut?" tembak Maya.
"Bukan!" seru Masumi.
Ya ampuunn gadis ini!!! "Aku ini! Pulang dari Undangan!" bohongnya.
"Oh... kupikir baru
mau pergi," jawab Maya enteng, tidak memedulikan Masumi yang ngos-ngosan
saking kesalnya.
"Kalau pulang dari
undangan, itu artinya Anda sudah kenyang dong? Kenapa mengajak bertemu di
restoran?" keluh Maya, yang ingat lagi tatapan dari tamu lain yang
meremehkannya tadi.
"Sudahlah!" seru
Masumi. "Minumannya sudah datang!" katanya, saat waitres yang sudah
diberi pesan oleh Masumi akhirnya datang membawakan sampanye untuk mereka.
Pelayan tersebut
menyerahkan menu kepada Maya dan Masumi. Kalau ada orang lain, Maya itu seperti
siput, dia langsung menciut dan masuk lagi ke dalam kerangnya, tetapi jika
hanya berhadapan dengan masumi hayami, dia petentengan dan bicara dengan ketus.
Dasar gadis aneh...
Andai saja aku tidak mencintainya sedalam ini... batin Masumi.
"Jadi, mau makan
apa?" tanya Masumi.
"Apa saja."
"Kau mau seafood atau
daging?"
"Apa saja," jawab
Maya. "aku tidak pernah pilih-pilih makanan."
"Bagus sekali,"
jawab Masumi. Akhirnya Masumi memesankan makanan untuk mereka berdua.
"Pak Masumi, kenapa
banyak sekali bunga mawar di sini?" tanya Maya lagi saat pelayannya sudah
pergi.
"Oh, ini," Masumi
tidak mungkin mengatakan ia sengaja meminta dekorasi romantis dan menggunakan
banyak sekali bunga seperti ini untuk mengesankan Maya. "Tadi saat aku
dalam perjalanan ke sini, ada penjual bunga yang hampir bangkrut jadi aku
membeli semuanya," jawab Masumi asal saja.
"Ha?" Maya
termangu. "Penjual bunga.... yang hampir bangkrut? kasihan sekali..."
raut Maya berubah begitu iba dan simpatik.
"Iya... katanya bisnis
ini sedang lesu, sementara ia sedang bingung karena harus membayar uang sekolah
anaknya..."
"Ya ampun..."
wajah Maya semakin prihatin dan Masumi tampaknya senang karena Maya tidak
pernah memperhatikannya begitu saksama seperti sekarang ini. "Memang,
anaknya sekolah di mana?"
"Katanya mau masuk
kuliah," lanjut Masumi, "Tapi sangat mengagumkan, karena walaupun
tidak punya tangan dan kaki, Bapak itu tidak putus asa. Dia terus bekerja keras
melakukan semuanya sendirian." imbuhnya semakin dramatis.
"Waah..." Mata
Maya membulat, "tidak punya tangan dan kaki?" gadis itu terenyuh.
"Ya, dan dia juga
sudah ditinggal istrinya semenjak dulu, jadi dia berjuang sendirian membesarkan
anaknya ini."
Maya terenyak dan matanya
berkaca-kaca. Tiba-tiba gadis itu tertegun, "Jadi bagaimana dia
membesarkan anaknya kalau tidak punya kaki dan tangan? terus, bagaimana ia
melayani pembeli? Apa dia menggunakan mulutnya? kan bahaya, apalagi kalau
terkena duri. Kenapa anaknya tidak membantunya?" berondong Maya penasaran.
Sementara Masumi termangu,
bingung. Kenapa di saat seperti ini Maya mendadak pintar? Sekarang Masumi
sangat berharap kalau dirinya adalah penulis skenario telenovela.
"Ah... itu... dia..." Otak Masumi berpikir
keras. Pria itu memaksa kepalanya bekerja lebih keras dari biasanya. Ya ampunn... Tuhan, tolong aku, cerita apa
saja... ia berusaha mengingat-ingat skenario-skenario yang pernah
dibacanya, tetapi ia tak menemukan apa pun yang berkaitan dengan seorang penjual bunga tanpa tangan dan kaki yang
ditinggal istrinya serta berjuang keras membesarkan anaknya sendirian hingga
kuliah dan terpaksa mendiskon semua bunga jualannya.
"Pak Masumi!!" tegur Maya, kepada calon
suami yang hanya menatapnya dengan dingin dan berkarisma. Berlainan dengan
perasaannya yang begitu gelisah. "Jadi? bagaimana? Bagaimana dia hidup
sehari-hari? Apakah tidak ada yang membantunya? Misal, adiknya,
kakaknya..."
"Oh, ada!! Ada kakaknya!!"
"Oh, ada kakaknya..." Maya merasa lega.
"Baguslah. Mungkin dia hidup dengan keluarga kakaknya itu."
"Ya, begitulah," imbuh Masumi.
Lantas keduanya terdiam.
Diam...
Diam...
Dan diam....
Maya hanya sibuk mengamati sekelilingnya. Bunga-bunga dari penjual tak punya kaki dan
tangan... pikir Maya dengan tersentuh. Sementara Masumi sedang bingung
harus memulai dari mana.
"Terima kasih," ucap Masumi kepada pelayan
yang masuk dan menghidangkan makan malam mereka.
Maya mengamati makanan di hadapannya penuh selera.
Matanya berkilat antusias. Tampaknya ia sangat lapar. Atau hanya karena
penampilan makanannya yang tampak menggugah selera. Apapun alasannya,
sungguh... Masumi cemburu sekali pada steak tenderloin di piring Maya.
Seandainya saja, dia adalah seonggok steak
tenderloin yang sedang ditatap tanpa kedip seperti itu.
"Kalau hanya ditatap perutmu tidak akan
kenyang!" ujar Masumi dengan ketus.
Maya tertegun. Setelah bermenit-menit pergi dengan
saling diam pada satu sama lain, tiba-tiba saja pria itu bicara dengan nada
keras. apa sih maunya? Maya hanya mendelik kepada pria di hadapannya
tersebut.
"Anda ini rela tidak
sih mentraktirku? Kenapa bicaranya ketus begitu? Kan, bukan mauku memesan
makanan seperti ini. Kalau memang tidak rela, pesankan saja salad... aku juga
tidak akan protes."
masumi mengerutkan dahinya.
Jelas bukan masalah harga yang membuatnya kesal. Tetapi perhatian Maya yang
tercurah lebih banyak kepada si Steak ketimbang kepadanya.
"Bukan... maksudku...
itu... kau... cepatlah makan... nanti keburu dingin."
"Ah, tadi bukan
seperti itu bicaranya..." Maya mengerucutkan bibirnya. "Tadi Anda
bilang, ‘Kalau hanya dipelototi, tidak akan membuatmu kenyang!!’"
"Ya, sama saja kan!
Intinya cepat kau makan!" tegas Masumi.
"Hhh..." Maya
mendengus. "Anda ini musuh restoran, tahu? Tidak peduli betapa menggugah
selera dan mahalnya makanan ini, seleraku berkurang karena Anda."
"Loh? Apa salahku?
Aroma tubuhku wangi, penampilanku juga... sesuai untuk restoran ini, di mana
salahku?" desak Masumi yang sangat terpukul mendengar ucapan Maya.
"Yah... Anda diam di
situ saja, keberadaanmu itu, sudah sangat mengganggu," sembur Maya.
"Menyebalkan... untung masih ada bunga-bunga indah ini, masih ada gelas
dan lampu kristal yang menawan, taplak dan gorden yang bagus yang masih bisa
kulihat!"
Masumi menelan ludahnya.
Pantas saja, sedari tadi mata Maya jelalatan kesana kemari, ternyata gadis itu
memang sengaja tidak menatapnya.
Hhh... dalam hatinya Masumi
meringis. Ia jadi ragu, lamarannya kali ini akan diterima.
Masumi kembali ke piringnya, dengan tidak tenang. Ia
masih kesal mengingat Maya memang lebih tertarik mengamati bunga-bunga di
sekitar mereka, taplak, lampu, peralatan makan, bahkan steak di atas piringnya
ketimbang dia. Calon suaminya.
Yah, kalau memang benar mereka hendak berusaha
bahagia bersama, Tetapi, belum lama satu meja, asa itu sudah semakin tiada.
Masumi sekali lagi menghela napasnya. Berat sekali.
Padahal, tak ada satu pun pekerjaan yang mampu membuatnya mengeluarkan
keluhan. Tetapi, hanya karena gadis ini yang...
sedang...
menatapnya...
dug... dug... dug... jantung Masumi mempercepat
detakannya saat ia mengangkat pandangan dan mendapati sang calon istri idaman
sedang menatapnya.
Seperti anak kecil kurang kasih sayang, begitu saja
Masumi sudah bahagia. Ia baru saja hendak bertanya ada apa, saat Maya berkata
dengan ketus.
"Anda ini kenapa sih? Tidak tahu terima kasih
ya! Dikasih makanan enak malah mengeluh terus... dari tadi kerjanya menghela
napas saja! mau dilahirkan kembali jadi sapi, agar nanti Anda yang berada di
atas piring itu!!?" hardiknya.
Segera saja otot rahang lelaki itu mengejang,
seperti perasaannya. Dan dia semakin dendam, pada steak di piringnya yang
mendapatkan pembelaan.
Masumi berdeham, berusaha
menguatkan hatinya. Ia rasa sudah cukup ia tersiksa sendirian, ia kembali
menatap Maya dan bicara, "Mungil, mengenai pertunangan kita, kapan kau
ingin hal itu diselenggarakan?" tanyanya.
Mendapat serangan mendadak
seperti itu, Maya langsung tersedak. "Uhuk! Uhuk!!" dia menepuk-nepuk
dadanya sendiri dan segera meraih air putih yang terdapat di atas meja.
"Anda mau aku mati ya!? Kenapa bicara yang tidak-tidak saat sedang
makan!" bentaknya lagi.
Tetapi Masumi bergeming.
Seperti biasa, dia berperan sangat tenang seperti keahliannya selama ini.
"Loh, kenapa? Jangan
pura-pura terkejut. Kau datang untuk membicarakan hal itu kan?"
"Hah!? Ti,
tidak!" tanpa bisa dicegah wajah Maya sontak memerah.
"Oh, lalu untuk apa?
Kupikir kita hendak membahas bahwa ternyata, melalui orang tua kita, kau dan
aku ini ternyata BERJODOH dan kita beruntung bisa punya kesempatan berbakti
kepada kedua orang tua kita yang sudah tiada."
Maya tertegun, entah kenapa
dia tak bisa menyangkal, dan berpikir perkataan Masumi memang tepat.
Perkataannya sama seperti
Mawar Ungu, mungkin memang benar begitu. Kami
ini berjodoh dan ini kesempatan kami berbakti kepada ibu kami yang sudah tiada.
"Pak, Pak Masumi!
Co-coba Anda pikirkan baik-baik. Apakah hal itu tepat? Apa benar kita berjodoh?
Anda kan sudah tua!"
Sebelah alis Masumi
terangkat. "Matang!'
"Aku masih sangat
muda. 18 tahun!"
"18tahun usia yang
legal untuk menikah."
"Gaya hidup, latar
belakang, pergaulan, kebiasaan. Kita ini sangat berbeda! Aku tidak tahan
lama-lama dekat denganmu! Bagaimana jika harus menikah untuk seumur
hidup?" Maya ketakutan.
Masumi mengubah hatinya
menjadi baja saat menjawab.
"Kita memang berbeda. Aku
laki-laki dan kau perempuan. Karena itulah kita bisa menikah. Usiamu sudah
legal untuk menikah. Masalah perbedaan umur, nanti saat usiamu 40 tahun, dan
aku 50 tahun, perbedaan itu tidak akan terlalu mencolok. Yang pasti aku cukup
mapan dan bertanggung jawab untuk menghidupimu saat menjadi istriku kelak.
Lagipula, pergaulan kita sebenarnya tidak terlalu berbeda. Kita sama-sama
bergerak di bidang seni. Kurasa, sama sekali tidak ada masalah yang terlalu
berarti jika kita benar-benar memikirkannya." Masumi memperlihatkan
keahlian negosiasinya saat melobi calon istri idamannya.
Maya tertegun mendengar
keyakinan Masumi.
"Pak Masumi..."
gadis itu mendesah. Ia tak percaya Masumi begitu menggebu-gebu membicarakan
mengenai kemungkinan mereka menghabiskan waktu bersama. Apa benar Direktur muda
itu memang tidak keberatan menikah dengannya? Menikah itu kan... menghabiskan
sisa hidup bersama... Maya menyilangkan kedua tangan di dadanya dan memejamkan
matanya. Ia berpikir keras. Sangat keras. Kepalanya sebentar miring ke kiri
sebentar miring ke kanan. Alisnya berkerut serius. Sepertinya, ia benar-benar
memikirkannya dengan sangat serius, sampai-sampai Masumi rasanya bisa melihat
kepala gadis itu berasap.
Masumi mencondongkan tipis
tubuhnya ke arah Maya. "Mungil...!" panggilnya perlahan.
"Mungil!" desisnya lagi.
Maya agak terlonjak dan
matanya terbuka lagi. Dan mengamati Masumi yang masih mengamatinya.
"Jadi bagaimana?
Kapan?" tanya Masumi.
Alis Maya berkerut.
"Anda ini... kenapa mendesak begini?" curiga Maya. Ia tidak tahu
bahwa Masumi sudah diultimatum ayah angkatnya.
"Ya, kita kan sudah
bertemu dan berniat membicarakannya. Jadi ayo kita bicarakan, jangan hanya diam
saja."
"Hmmm...' Maya
mengamati Masumi masih dengan curiga. Aneh sekali rasanya, Masumi memang sama
sekali tidak tampak keberatan dijodohkan dengannya. Apa baginya pernikahan
seremeh itu? Atau... jangan-jangan... sebenarnya... Masumi....
"Pak Masumi...
Anda..." Maya mengamati Masumi lekat-lekat, "Selama ini....
jangan-jangan...."
Masumi tertegun, ia bisa
merasakan jantungnya sekali lagi berdebar tak menentu. Apakah... gadis ini
menyadari... bahwa dia...
Mata Maya menyipit.
"Punya niat terselubung ya kepadaku!?" tudingnya. "Kau punya
niat jahat apalagi!?"
"Hah!? Ni-niat...
jahat!?" Alis Masumi terangkat.
"Ya! Sepertinya, Anda
sama sekali tidak menganggap ini hal serius! Enteng saja Anda berkata soal
pertunangan... pasti, Anda sudah menyusun rencana jahat untukku...." gadis
itu mengeratkan rahangnya.
Masumi menghela napasnya.
Seharusnya ia tahu, memang itulah yang ada di kepala Maya, dan bukannya
berpikir Masumi telah lama jatuh cinta kepadanya.
Maya menunduk dan menghela napas berat. "Tapi
aku masih belum yakin," ujar Maya seraya memain-mainkan kedua ibu jarinya.
"Begini saja," tukas Masumi yang mulai
pesimis dan kehabisan waktu. "sudahlah
kita coba saja untuk bertunangan dulu, bagaimana?"
"Hah? Kenapa kesimpulannya jadi begitu?"
"Ya memang harus begitu! Aku tidak tahu
bagaimana denganmu, tetapi kalau aku, jelas tidak mau kualat kepada
ibuku."
"Ha? A aku juga tidak mau kualat!" seru
Maya.
"Nah, karena itu kita
coba saja apa susahnya? Kecuali kau ingin terlahir lagi menjadi steak sirloin."
"Itu kan Anda! Eh,
tidak, Anda sih nanti jadi kelabang..." decak Maya kesal. Tetapi Masumi
hanya tertawa mendengarnya. Ia menghela napas dan kembali bicara.
"Mungil, aku tahu
pernikahan adalah hal serius. Kau boleh percaya atau tidak, tetapi jika nantinya
kita menikah, aku tidak akan main-main. Aku tidak ingin mengecewakan ibuku
dengan menyakiti putri sahabatnya. Selain itu, aku... Pernah membuat kesalahan
kepada kau dan ibumu... Kan?" Masumi terdengar dingin walau hatinya pahit.
Ia juga bisa melihat wajah Maya memucat dan tubuhnya menegang. Mungkin, gadis
itu masih mendendam kepadanya. Masumi berkata, "Mungkin ini juga sudah
takdirku, untuk menjagamu menggantikan ibumu. Jika... Itu bisa membuatmu ibumu
tenang di alam sana, aku akan memikul tanggung jawab itu."
Maya tertegun, jantungnya
berdetak cepat. Ia menatap Masumi, bingung. Tetapi, ia jadi mulai berpikir,
jika takdir memang memiliki jalannya sendiri, untuk dirinya dan makhluk endapan
lumpur di hadapannya.
Maya menelan ludahnya dan
akhirnya dia mengangguk.
"BRUK!!" Masumi
bangkit dari tempat duduknya, menatap Maya tidak percaya. Tadi... Gadis itu
mengangguk? Dia benar-benar mengangguk? Eh, tunggu dulu, jangan-jangan dia
mengantuk? Atau syarafnya ada yang salah? Atau...
Maya mendongak, "Pak
Masumi! Kenapa tiba-tiba berdiri? Membuatku kaget saja!" hardik Maya
dengan galak.
Masumi tertegun. Tampaknya
yang tadi itu memang tidak sengaja. "Kau mengantuk ya?" tanya Masumi.
"Sedikit," jawab
Maya pelan. "Memang kenapa? Anda tidak tahu kalau aku juga bisa
mengantuk!?"
Aduh, anak ini! Kenapa selalu bicara penuh emosi
kepadaku! Batin Masumi.
"Pak Masumi,"
tegur Maya lagi, "kenapa sih Anda berdiri saja?" alis Maya berkerut.
Akhirnya pria itu bertanya
dengan tegas.
"Jadi bagaimana
keputusanmu?"
"Ke keputusan?"
Maya salah tingkah lagi. "Anda ini bodoh ya? Kan tadi sudah kujawab!
Begini ni, seperti ini!" Maya mengangguk-angguk dengan wajah memerah,
"begitu saja tidak mengerti!" gerundel Maya.
Masumi terpaku tidak
percaya. Jadi, tadi gadis itu mengangguk setuju? Jadi, Maya mau bertunangan
dengannya? Menjadi calon istrinya?
Jantung Masumi berdebar
cepat dan riang. Nada nada cinta mengalun di sekelilingnya. Rasanya ia ingin
menari tango.
Tetapi nyatanya Masumi
hanya membisu di tempatnya, terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Ia takut
semua menghilang saat ia berkedip. Ia berusaha keras untuk tidak merengkuh Maya
dalam pelukannya.
"Jadi... Ehm!!"
masumi melegakan tenggorokan dan berkali meyakinkan dirinya agar tetap tenang.
"Sekarang kita bertunangan?"
"Mung... kiiin..."
jawab Maya bingung.
"Oh, ya, ya, kita
belum meresmikannya. Nanti akan segera kuatur mengenai pesta pertunangan kita.
Sementara itu," dengan gagah pria itu berjalan menghampiri Maya dan meraih
ke dalam saku jasnya. Saatnya ia menyerahkan benda yang sudah dibawanya
seharian.
Masumi mengeluarkan kotak
beludru berwarna ungu itu. Ia mengangsurkannya kepada Maya. "Nih,
pakai!" perintahnya.
Maya tertegun, mendongak.
"Ha!?" tanyanya bingung.
"Pakai! Kau kan
sekarang tunanganku..."
"I-ini... apa?"
tanya Maya masih sangat bingung. Walaupun ia kurang lebih tahu apa kira-kira
yang ada di dalam kotak cantik berbentuk hati dengan ukiran mawar di atasnya
itu. Tetapi, benarkah Masumi sudah menyiapkannya? Jangan-jangan isinya granat
super mini yang saat dibuka, akan meledak di depan mukanya.
Masumi yang tidak
mengetahui isi kepala Maya, menjelaskan. "Ini... ya... cincin..."
Masumi membuka kotak perhiasan itu dan benar saja, ada sebuah cincin yang
permatanya berwarna pink tampak mencolok, dengan enam berlian lainnya mengitari
cincin tersebut.
Maya benar-benar tidak
mengira. Ia rasanya seperti disengat sesuatu, bisa melihat cincin seindah itu
di hadapannya sekarang.
"Jadi... aku... harus
memakainya?' tanya Maya sekarang ia mendongak lagi kepada Masumi.
"Ya, tentu saja. Aku
sengaja membelinya untukmu. Masa pelayannya yang pakai, tunanganku kan
kamu!"
Sekarang Masumi memiliki
kesenangan tersendiri saat menyebut Maya tunangannya.
"Ta... tapi...."
Maya ragu saat melihat cincin yang sangat berkilau itu. Sepertinya, cincin itu
sangat mahal. Darimana Masumi mendapatkannya? Ah, iya... dia kan direktur
Daito! Masumi Hayami itu orang kaya raya! Pasti tidak sulit baginya hanya
sekadar membeli selingkar cincin.
Maya menghela napasnya.
Benar. Apa nanti saat mereka menikah, Masumi akan menghargainya? Apa Masumi
akan menganggapnya sebagai seorang istri? atau malah menjadikannya bahan
lelucon seperti selama ini?
Saat Maya sedang bingung
itulah, tiba-tiba pemandangan yang mengejutkan terjadi di hadapannya.
"Duk!" Masumi
berlutut di hadapan Maya, membuat gadis itu tercengang.
"Eh-eh-eh, Pak
Masumi!! A-apa yang Anda lakukan!?" desis Maya.
"Begini ya, biasanya
mereka melakukannya?" ujar Masumi, kembali menawarkan cincinya.
"Mereka siapa!? Aduh!
Pak Masumi.... jangan begini, aduh... Pak Masumi... ce-cepat bangun! Jangan
begini..." pinta Maya yang mulai panik.
Memang benar, beberapa
pelayan tampak terkejut melihat ada seorang pria berlutut, dan itu Masumi
Hayami. mereka sibuk berbisik-bisik, apalagi melihat Masumi yang sedang
mengarahkan kotak cincin kepada Maya.
Masumi tidak menghiraukan
himbauan Maya. Ia pikir mungkin memang seharusnya ia melakukannya dengan cara
yang benar, tadi ia terlalu gugup sehingga terburu-buru karena takut Maya
merubah pikirannya.
"Maya Kitajima, maukah
kau menikah denganku?" pinta Masumi dengan sungguh-sungguh.
Tatapannya melekat mantap
kepada gadis mungil yang masih kebingungan di hadapannya. Tetapi sekarang
tatapan gadis itu juga berubah.
Maya benar-benar tak
percaya. Entah perasaan apa ini yang tiba-tiba saja merasuki hatinya. Seorang
pria berpakaian perlente, di tengah ruangan penuh bunga yang dihias cantik,
dikelilingi benda-benda berkilauan di
tempat vip sebuah restoran yang romantis, membuat Maya terpana begitu
saja.
Bahkan, walaupun yang
melamarnya saat ini adalah si makhluk endapan lumpur yang menjijikkannya sama
seperti kecoa, entah kenapa Maya merasa begitu tersentuh dan ingin sekali
mengangguk dan berseru, "Aku bersedia!!"
Dan, memang itulah yang
Maya lakukan. Suaranya terdengar terlalu keras sehingga jawaban "Aku
bersedia" itu tidak terdengar haru, malah seperti sedang latihan vokal,
keras dan tegang.
Tetapi Masumi sudah sangat
puas dibuatnya. Dengan cepat dan hati yang gembira ria, ia memasangkan cincin
itu di jari manis Maya.
Para pelayan itu terkikik
geli mendengar cara Maya menjawab yang begitu tegang dan canggung. Suaranya
juga mengundang pemandangan orang-orang yang meperhatikan ke arah ruangan
mereka yang agak tersembunyi dari para tamu lain.
Namun keduanya sama-sama
tak memikirkan hal tersebut. Mereka sedang berada di dunia mereka sendiri.
Masumi memasukkan cincin itu yang akhirnya tersemat cantik di jari Maya.
Beberapa lama, perasaan
bahagia masih memenuhi rongga dada Masumi. Ia sungguh tak mengira hari ini
datang juga, walaupun dengan cara yang aneh. Sementara Maya tak tahu pasti apa
yang dirasakannya. Yang pasti, matanya tak jua lepas dari si cincin cantik dengan
permata besar yang bersarang di
tangannya.
"Mungil," tegur
Masumi, dengan intonasi lebih lembut dari yang disadarinya. "Terima kasih,
kau sudah menerima..." Masumi terdiam, mencari kalimat yang tepat. Maya
yang menyadari perkataan Masumi terhenti, lantas mendongak dan saat itulah
Masumi kembali bicara," terima kasih, kau sudah mau berusaha mewujudkan
impian ibu kita..." imbuhnya.
Maya termangu, teringat
ibunya. Benarkah, ini yang diharapkan ibunya? Benarkah ini yang diinginkannya?
Apakah... ia sungguh akan membuat ibunya bahagia, ataukah malah kecewa?
Mengingat Masumi....
Tiba-tiba rasa ragu itu
datang lagi. Sekali lagi ia menunduk, mengamati cincin yang menandai
kesepakatannya dan Masumi yang merencanakan hidup bersama.
Hidup bersama...
Menghabiskan sisa umur
bersama...
Perut Maya menegang. Ia
sungguh tidak yakin lagi.
Ia mengangkat wajahnya.
"Pak Masumi..." tatapannya gelisah. "Apa kau yakin, ingin
menjalani ini semua? Bagaimana jika..."
"Bagiku, hanya ada
satu orang yang sangat kucintai dan aku hargai. Dia adalah ibuku," Masumi
berkata jujur. "Jadi, jika ibu menghendakiku menikah dengan seseorang, aku
akan melakukannya, dengan sebaik-baiknya. Aku tidak akan menganggap ini
permainan. Sama sepertiku, aku yakin kau tak ingin ibumu kecewa, bukan? Karena
itu, bagiku sama sekali tidak ada masalah. Sudahlah, kita coba saja dulu untuk
menjalaninya, setuju?"
Sekali lagi Masumi berhasil
meyakinkan Maya, walaupun tidak sepenuhnya. "Ta-tapi... aku punya
persyaratan," ujar Maya.
Masumi tertegun,
"Persyaratan? apa persyaratannya?"
"Aku tidak ingin
berhenti bermain sandiwara."
"Tentu, aku juga tidak
berniat melarangmu," kata Masumi, menarik sudut bibirnya sedikit.
"Persyaratan dariku--"
"Ha!? Anda punya
persyaratan juga!?"
"Tentu saja! Kau
memberikan persyaratan, berarti aku juga boleh mengajukan persyaratan!"
Dasar tidak mau rugi! batin Maya. "Apa persyaratannya?"
"Aku tidak ingin
pertunangan ini dirahasiakan. Awas saja kalau kau ingin kita pertunangan atau
pernikahan diam-diam. Aku tidak suka yang seperti itu." Padahal dia takut
sekali Maya ada yang mendekati.
Maya berpikir sejenak. Itu
artinya, semua orang akan tahu bahwa mereka berjodoh? tapi... kalaupun disembunyikan,
berapa lama mereka bisa menyembunyikannya?
"Baiklah, terserah
Anda saja!"
HORE!!! pekik Masumi dalam
hatinya. Sekarang seluruh dunia akan tahu kalau Maya miliknya. HAHAHAHA...!!
tenang Masumi, tenang... ia berdeham setelah bermonolog dalam benaknya.
"Yang kedua, aku akan
berjuang mendapatkan peran Bidadari Merah, kau dan perusahaanmu, tidak boleh
menghalanginya!!" tegas Maya seraya mengangkat dagunya.
"Ya," jawab
Masumi.
"Eh?" Maya
terperangah. "Benar ya!? Benar!? Ini Bidadari Merah loh yang kubicarakan.
Bidadari Merah!"
"Iya, iya, aku tidak
tuli. Aku tak pernah berniat menjegalmu--"
"Bohong! Selama ini
kau dan Daito selalu saja--"
"Mungil," Masumi
menghela napas. Cepat sekali suasana romantis ini berubah.
"Jangan panggl aku
Mungil!" tukas Maya.
"Apa itu? Persyaratan
lagi? Jadi, persyaratanmu sudah tiga ya? Kalau begitu, giliranku membuat
persyaratan."
"Eh, tunggu dulu!
soal--"
"Sudah kubilang, aku
tidak akan mencegahmu menjadi Bidadari Merah. Atau malah aku akan bangga jika
nanti istriku menjadi Bidadari Merah."
Istriku... Maya langsung
kehilangan kata-kata dan wajahnya memerah.
"Persyaratanku yang
kedua, kau tidak boleh menolak pemberianku, apa pun itu."
"Hah!? Kalau kau
memberiku dinamit apa aku juga harus menerimanya!?"
"Aku tidak akan memberimu
dinamit!" Tukas Masumi gemas. Memangnya istrinya pikir ia seorang teroris?
"Mana aku tahu! Kalau
benar kau memberiku dinamit--"
"Kau boleh
menolaknya!" sahut Masumi akhirnya. "Kalau aku memberimu dinamit,
granat atau benda lainnya yang akan membuat tubuhmu tercerai berai, kau boleh
menolaknya!"
"Baiklah, kalau begitu
aku setuju."
"Lalu yang
ketiga--"
"Ada yang
ketiga!?"
"Kau sudah membuat
tiga persyaratan kan! tetap main sandiwara, memerankan bidadari merah dan tidak
mau dipanggil Mungil, jadi aku--"
"Kalau soal Mungil itu
bukan persyaratan yang bisa ditawar! Memang siapa pria yang memanggil
is...is-isi-is-ist-is... is-nya Mungil! Tidak ada kan? Nanti kau bisa dianggap
aneh!"
Alis Masumi berkerut.
"Is... apa?" godanya.
"Is... Is..."
wajah Maya sangat panas. "Kau tahulah, apa maksudku!"
"Tidak. is apa? istal?
iseng?"
"Istri!"
"Nah, itu bisa kau
sebutkan," Masumi menyeringai. "Pokoknya, kau harus mengikuti
persyaratan yang kuajukan. Ketiga, kau tidak boleh menolak ke manapun aku
mengajakmu."
"Hah!? Kalaupun kau
mengajakku ke jurang? Mengajakku mati bersama?"
Masumi sekali lagi
mengeratkan rahangnya. "Ke manapun, selama kau akan kembali dalam keadaan
masih bernyawa," imbuhnya.
Maya termangu sejenak.
"Baiklah, kecuali...."
"Kecuali apa?"
"Kecuali aku sedang disibukkan
dengan sesuatu yang berkaitan dengan sandiwaraku!"
Sedari tadi, Masumi
menyadari persyaratan Maya tidak jauh-jauh dari drama. Ia tahu bahwa drama
memang sangat berarti bagi calon istrinya.
"Tentu. Sudah
kukatakan aku tidak akan menghalangi sandiwaramu," kata Masumi.
"Baiklah..."
jawab Maya.
"Lalu."
"Masih ada lagi? Kok
syaratnya lebih banyak dari Pak Masumi?" protes Maya.
"Ini penting, untuk
memastikan bahwa kau dan aku berada dalam satu visi," kata Masumi.
"Baiklah, apa?"
tanya Maya.
Masumi meletakkan
telapaknya di atas meja dan mencondongkan tubuhnya ke arah Maya. gadis itu
mendongak dan menatap bingung. "A-apa?" tanyanya.
"Apa kau tipe wanita
yang ingin punya anak atau tidak?" tanya Masumi.
"Ha-ha-ha....
HAH!!?" Maya terbeliak kaget dengan pertanyaan Masumi.
"Nah, jadi bagaimana Mungil? Apa kau ingin
memiliki anak atau tidak?" desak Masumi
Sontak wajah Maya merah padam mendengar pertanyaan
tersebut. "Ka, kakakau! Jangan bertanya macam-macam!" bentak Maya
dengan sangat grogi.
"Loh, aku kan hanya bertanya. Di mana salahnya? Apa kau gadis yang mendahulukan karir sehingga tidak
berminat memiliki anak?"
"Tentu saja aku mau! Suatu saat nanti. Tetapi tidak sekarang. Di usiaku yang masih semuda ini, mana terpikir
masalah anak..." Maya menggerundel.
Masumi tersenyum puas. "Baguslah,"
katanya lantas kembali duduk di kursinya sendiri. "Kalau begitu, nanti aku
dan perwakilan keluarga kami akan mengadakan pertemuan keluarga dengan pihak
darimu. Mungkin ayahku tidak akan bisa ikut, tetapi tidak masalah kan?"
"Pertemuan keluarga?"
"Ya, sebelum mengadakan pesta pertunangan,
keluarga kita tentu harus membicarakannya terlebih dahulu. Dan setelah
kupikirkan, besok aku akan datang ke tempatmu. Atau kita adakan di tempat lain?
Seperti restoran?Atau-"
"HA? BESOK!? Kenapa cepat sekali? Apa tidak
sebaiknya nanti diatur kembali atau dipikirkan sekali lagi?"
"Tidak perlu. Nanti malah semakin lama ditunda
malah semakin mengganggu kegiatan kita yang lain. Kau belum menerima tawaran
sandiwara apa-apa lagi kan?" padahal Masumi takut sekali Maya yang masih
tampak labil akan mengubah keputusannya.
"Belum..." jawab Maya perlahan. Masih
bingung perkembangannya jadi begini.
"Nah, daripada nanti sandiwaramu terganggu
karena pertunangan kita, lebih cepat diselenggarakan akan lebih baik."
Dan kau akan segera menjadi
milikku! HAHAHAHAHAHA... Masumi tertawa sangat puas dalam
hatinya, dan matanya mengilat jahat penuh minat seperti serigala yang melihat
gadis berkerudung merah.
Gadis itu hanya menunduk dan menyahut pelan,
"Baiklah."
Senyuman Masumi pun semakin lebar seperti diganjal
gantungan baju.
=//=
Aku pulang...” salam Maya.
Rei yang sedang menonton
televisi segera bangkit. Duk! Duk! Duk! Duk! Duk! Kaki gadis tomboi itu
menjejak lantai tatami dengan keras saat berlari mendekati Maya. Ia meraih
tangan gadis itu, membuat Maya terlonjak. "WAH! apa ini!? Besar
sekali!" Serunya takjub, dengan mata membulat. "Sangat berkilau
seperti lampu disko!" Sepertinya itu bukan kiasan karena Rei langsung
menyadarinya saat Maya masuk.
"Ini dari Pak Masumi,"
terang Maya.
"Jadi, kau dan Pak
Masumi, sungguh-sungguh akan..." Rei tak sanggup meneruskan.
"Ya Rei, mungkin aku
memang berjodoh dengannya," ujar Maya masam. "Lagipula ini wasiat
orang tua kami dan ini satu-satunya kesempatan kami untuk berbakti kepada ibu
kami yang telah meninggal..."
Rei menghela napas seraya
mengamati sahabatnya itu. "Baiklah, lalu selanjutnya apa?"
"Besok akan diadakan
pertemuan kedua belah pihak untuk menyelenggarakan pesta pertunangan."
"Besok!?"
"Ya. Di rumah Pak
Miyake. Saat Pak Masumi memberitahunya mengenai keputusan kami, Pak Miyake
menawari menjadi waliku."
"Lalu? Lalu? Apa yang
harus kaupersiarpkan?"
"Katanya aku harus
tampil resmi, mengenakan kimono."
"Kau kan tidak punya
kimono!"
Maya merogoh tasnya.
"Pak Masumi memberiku ini, untuk semua kebutuhanku. Dia tidak memberiku
alasan apa pun untuk tidak mengikuti kemauannya," Maya mengeluarkan
setumpuk uang yang lagi-lagi membuat Rei tertegun dan menelan ludahnya.
"Besok malam akan ada mobil yang menjemput kita."
"Sepertinya, Pak
Masumi sudah memperhitungkan semuanya matang-matang. Kurasa dia benar-benar
berniat menikahimu, seperti sudah dipersiapkan seumur hidupnya," seloroh
Rei tak percaya. "Lantas, apa lagi yang kalian bicarakan?" tanya Rei.
"Kami sepakat
bertunangan. Namun jika ternyata kami sama sekali tidak cocok, yaa kami tidak
bisa memaksakan diri," Maya mengangkat kedua bahunya pasrah.
"Dan Pak Masumi
memberiku syarat, termasuk tidak boleh merahasiakan pertunangan ini,"
terang Maya.
"Baiklah Maya. Jadi
sekarang kau sudah resmi dilamar. Kau harus ceritakan padaku secara detail
bagaimana dia melamarmu!"
=//=
"Bu Mayuko, ada yang
mencarimu," terang Genzo. "Maya dan Rei."
"Persilakan mereka
masuk," perintah Mayuko.
Maya dan Rei masuk ke
sebuah ruangan yang dipersiapkan oleh Daito bagi para pengajar mereka.
"Mungkin nyonya tidak
bisa berlama-lama, karena Nyonya masih harus banyak beristirahat setelah
pementasan Dua Putri yang menyita tenaganya."
Maya mengangguk ragu-ragu
sementara Rei berpikir apakah ibu gurunya akan baik-baik saja menerima kabar
yang sangat mengejutkan ini.
"Ada kabar apa kalian
ke sini?" tanya Mayuko begitu muncul dari balik tirai. Rei dan Maya
terkejut, tidak menyadari sedari tadi ada Mayuko di sana.
"I, ibu dari tadi di
situ?" tanya Maya bingung.
"Ya, aku sedang
mengamati pemandangan laut di bawah sana."
"La-laut?" Maya
dan Rei tertegun. Mereka sama sekali tidak berada di dekat laut. Keduanya
saling memandang dan raut khawatir timbul di wajah mereka saat tanda tanya
besar melintas di kepala mereka. MUNGKINKAH
BU MAYUKO MENGALAMI GANGGUAN...
"Aku tidak gila,"
ujar Bu Mayuko seperti mengetahui apa yang ada di kepala para muridnya itu.
"Itu adalah kekuatan imajinasi seorang aktris," Mayuko
mengetuk-ngetuk pelipisnya yang tidak tertutup rambut dengan ujung telunjuk.
"Wah! Ibu hebat!!" pekik Maya seraya
bertepuk tangan riang.
"Tunggu dulu!!"
seru Mayuko keras, seraya mengulurkan tangannya ke depan dan mengamati Maya.
Matanya terpicing-picing mengamati jemari Maya. "Apa itu?" desisnya,
lantas menatap Maya. "Permen Foxs!?"
"A! AH... I ini,"
Maya memutar-mutar cincin berlian pink di tangannya lantas menatap Rei tidak
yakin.
Akhirnya Rei yang
menjelaskan, "Ini cincin pertunangan Maya."
"Apa? Tunangan?"
desis Bu Mayuko tidak percaya.
"Benar Bu. Kami kemari
untuk memberi tahu bahwa Maya dan Pak Masumi akan mengadakan pesta
pertunangan."
"APA!? MAYA DAN MASUMI
HAYAMI!?" seru Bu Mayuko, terperanjat tak percaya.
"Nyonya! Nyonya!
Tenang Nyonya! Anda harus tenang! Jangan panik nyonya! Ingat kesehatan Anda
Nyonya, tenanglah!" seru Genzo dengan panik, padahal sedari tadi Bu Mayuko
hanya membatu sambil melongo.
"I, ibu," tegur
Maya. "Bu, Bu Mayuko!" Maya menggerak-gerakkan tangannya di hadapan
wajah Bu Mayuko. Mata wanita tua itu
mengikuti gerakan telapak tangan Maya. "Ibu, ibu tidak apa-apa?"
tanya Maya khawatir.
Dan, tiba-tiba saja, Bu
Mayuko tertawa terbahak-bahak dengan sangat keras.
“Aku mengerti! Mengerti!
Mengerti!” Bu Mayuko mengangguk-angguk dengan semangat. “Kalian sedang bercanda
kan? Di mana kameranya? Hah? Di mana? Di mana? Hahaha…. Ini lelucon paling
buruk yang pernah kudengar! Hahaha… ha… haa…” Bu Mayuko tertawa hingga
mengeluarkan air mata. “Apa kau juga terlibat dengan hal ini Genzo?”
“Ti-ti… tidak Nyonya…”
tampik Genzo yang tampak sedikit kurusan.
Maya dan Rei saling
menatap, bingung.
“Ayo… di mana kalian meletakkan
kameranya…” Bu Mayuko memelototi vas bunga di atas meja. “Apa di sini?”
tanyanya, mendekatkan wajahnya ke sana, dan memeriksanya dengan teliti.
“Tidak Bu…” tampik Maya resah,
“tidak ada yang…”
“Atau… di sini?” dia
memeriksa sebuah lukisan.
“Bu Mayuko,” Rei juga
berusaha membantu Maya. “Ini bukanlah—“
“Di sini?” Mayuko membalik
sebuah tirai. “Di sini? Di sini? Di sini? Di sini?” dengan antusias Mayuko
mencari di berbagai tempat di ruangan itu. Di bawah meja, di balik hiasan, pot
bunga, tas Maya, bahkan cincinnya untuk menemukan kamera yang dimaksudnya namun
ia harus kecewa karena tidak menemukannya.
“Tidak ada… tidak ada…
hosh… hosh… hosh…” Mayuko terengah-engah setelah lelah mencari.
“Nyonya!! Jangan terlalu
lelah!! Ingat kesehatan Anda Nyonya!!” Genzo berseru mengingatkan.
“Tidak ada… kenapa tidak
ada kameranya…” pikir Mayuko dengan resah. “Kenapa…”
“Karena inilah kenyataannya
Bu…” terang Maya dengan mata berkaca-kaca, menyadari Bu Mayuko sama sekali
tidak bisa menerima kenyataan dia dan Masumi hendak bertunangan. “Aku dan Pak Masumi
berjodoh. Kedua orang tua kami adalah sahabat lama dan mereka pernah sepakat
menikahkan anak-anaknya kelak, yakni aku dan Pak Masumi. Kami baru mengetahuinya
dan… dan memutuskan untuk mengikuti kemauan orang tua kami agar bisa berbakti
kepada mereka,” ungkap gadis mungil itu dengan agak takut-takut.
Mayuko terperangah tak
percaya. Maya, dan Masumi Hayami? Bukan lelucon? Bukan keisengan atau April Mop?
Mereka… mereka benar-benar…
“Jantungkuu…!” erang
Mayuko, “jantungku sakit…” keluhnya seraya memegangi perutnya.
“I-itu… perut Anda,
Nyonya…” koreksi Genzo, seraya memindahkan telapak kanan Mayuko dari perut ke
dada kirinya.
“Ah… yaa…” Mayuko mengusap-usap
dadanya. “Jantungku baik-baik saja ternyata. Kurasa aku hanya salah makan,”
wanita tua berambut pantene itu duduk kembali di sofanya. Ia berusaha
menenangkan diri dan menghela napasnya dalam.
Maya dan Rei saling
melirik. Maya diam-diam menelan ludahnya resah. Tampak Mayuko tengah memejamkan
matanya berpikir dengan keras, bahkan samar-samar rambut pantene-nya terlihat
semakin keriting.
Tiba-tiba matanya terbuka.
Tajam dan tegas menatap Maya.
“Apa kau mencintainya!?”
tanya Mayuko.
“Tidak!” jawab Maya spontan.
Ia lantas menutup mulutnya.
Mayuko memicingkan matanya
menilai. “Jadi, kau hanya melakukan ini untuk berbakti kepada ibumu?”
Maya diam sejenak lantas
mengangguk.
Bu Mayuko menghela napas
kecewa. “Apa menurutmu, ibumu mau kau menikah tanpa rasa cinta, Maya?” kali ini
Mayuko bicara dengan nada keibuan. “Mungkin dia memang pernah membuat
kesepakatan dengan sahabatnya, dalam hal ini ibu Masumi. Tetapi, mereka masih
muda saat itu. Mungkin saja mereka basa-basi? Atau… hanya ucapan sekadarnya
tanpa makna?”
“Tetapi, yang
memberitahukan ini adalah Pak Miyake, yang juga bersahabat dengan mereka saat
itu. Dialah yang bersikukuh menyampaikan dan merealisasikan amanat ini. Dia
bahkan sampai sengaja mencari tahu keberadaan Maya dan Masumi saat mengetahui
bahwa Bu Haru dan Bu Aya memiliki putra dan putri,” terang Rei.
Sekali lagi Mayuko menatap
Maya. “Dan kau… benar-benar, sungguh-sungguh, tanpa paksaan, dalam keadaan
sesadar-sadarnya, menyetujui hal ini Maya? Walaupun kau tidak mencintainya?”
Maya menunduk dan berkata
perlahan,hampir terdengar tidak yakin. “Saya sudah bicara dengan Pak Masumi.
Dia pun melakukannya demi ibunya. Tetapi, Pak Masumi bilang, jika dia menikah,
maka dia akan melakukannya dengan sungguh-sungguh, bahkan denganku. Dia tidak
akan main-main, karena dia tidak ingin mengecewakan ibu kami.”
“Tetapi pertanyaannya bukan
itu…” ujar Mayuko. “Apakah kau bisa mencintainya? Karena tidak ada cinta di
antara kalian. Bagaimana setelah kau mencoba, kau tidak bisa jatuh cinta
kepadanya? Lebih jauh lagi, setelah kalian menikah, dia menemukan orang yang
dicintainya, dan begitu juga kau? Muncul pemuda yang mungkin menarik
perhatianmu, yang membuatmu jatuh cinta. Apa kalian hendak bercerai?”
Maya tertegun. Tidak akan
tumbuh cinta di antara mereka?
“Jawab, Maya….” perintah
Mayuko.
“Tu-tunggu sebentar Bu…”
Maya berpikir.
“Jika terlalu sulit, aku
akan memberikan pilihannya,” Bu Mayuko bermurah hati. “A. Kalian rela
kehilangan cinta sejati kalian. B. Kalian berselingkuh dari satu sama lain dan
membuat lebih banyak hati tersakiti. C. Menikah lalu bercerai, atau D. Kalian
mencegah semua itu terjadi, dengan tidak menikah tanpa cinta.”
Maya terdiam, berpikir
keras.
“Jawabanmu?”
“Tu-tunggu sebentar!!” seru
Maya panik yang tengah memikirkan jawaban dari pertanyaan Mayuko.
“Aku akan menghitung sampai
10!” tegas Mayuko yang selalu keras. “1!”
“Ah! Tunggu! Tunggu! Tadi
yang C apa? Aduh! Rei! Tadi yang C apa!?” tanya Maya yang memang payah
menghadapi ujian, walaupun jawabannya berupa pilihan ganda.
“2!”
“Menikah lalu bercerai,”
Rei mengingatkan.
“3!”
“A-aduh… aku tidak mau
menikah lalu bercerai…” ujar Maya takut.
“4!”
“Na-nanti dulu! Bu! Jangan
dulu dihitung!”
‘5!”
“Yang D tadi apa Rei!?”
tanya Maya yang tidak bisa berpikir.
“Duh, Maya, kau kan tadi
dengar sendiri… A. Kalian rela kehilangan cinta sejati kalian. B. Kalian
berselingkuh dari satu sama lain dan membuat lebih banyak hati tersakiti. C.
Menikah lalu bercerai, atau D. Kalian mencegah semua itu terjadi, dengan tidak
menikah tanpa cinta.”
“6!”
“Uh… ya... ya… a—aku…”
“7!!” Suara Mayuko semakin
keras, lupa dengan sakit perutnya.
“Aku… memilih…”
“8!!”
“A!! A!!” tukas Maya.
Mayuko mengatupkan
bibirnya. “A?” alis wanita itu berkerut. “Kau rela kehilangan cinta sejatimu
demi berbakti kepada orangtua?”
Maya tampak bingung namun
kemudian dia mengangguk. “Mungkin, memang tidak seharusnya kami menikah tanpa
cinta. Tetapi, bagaimana pun ini adalah resiko dari keputusan yang telah kami
ambil. Dalam hal ini, bukan hanya aku yang dirugikan. Pak Masumi juga memiliki
resiko tidak akan mendapatkan cinta sejatinya, jadi… kurasa ini adil,” ujar
Maya tidak yakin. “Karena sampai saat ini, niat kami memang untuk berbakti
kepada ibu kami. Jika… jika pada akhirnya nanti kami jatuh cinta kepada orang
lain dan bercerai, kurasa itu… Itu resiko yang harus kami hadapi.”
Mata Mayuko membulat.
Ternyata Maya memang keras kepala seperti yang dia ketahui. “Jika itu sudah
keputusanmu, apa yang bisa kulakukan? Lagipula bukan aku yang akan menikah
dengan Masumi Hayami, jadi segala resiko menjadi tanggung jawabmu sendiri
nanti. Tetapi, dari jawabanmu, aku merasa kau sendiri memang belum pernah
menemukan cinta yang sejati, karena itulah kau dengan mudah mempertaruhkan
cinta sejatimu,” ujar Mayuko. “Tidak apa-apa, pengalaman akan membuatmu dewasa.
Apa pun keputusan yang kau ambil, aku mengharapkan yang terbaik bagimu.”
“Bu Mayuko…” Maya melipat
bibirnya penuh rasa haru. “Te-terima kasih…”
“Hanya ada satu syarat
dariku,” pinta Mayuko, mengapit telapak kiri Maya dan menepuk-napuknya perlahan
penuh perhatian. “Untuk resepsinya nanti, bisakah kau menyiapkan sebuah gaun
khusus untukku sebagai kenang-kenangan darimu yang pernah menjadi muridku? Itu
akan sangat berarti bagiku.”
“Oh, tentu Bu! Tentu!” Maya
menyanggupi dengan berbinar-binar. “Gaun seperti apa yang ingin ibu kenakan nanti?”
“Yah… gaun yang lain dari
biasanya, istimewa. Aku ingin gaun hitam panjang, dengan lengan panjang dan
leher tertutup, serta rok model A line dengan bagian bawah yang lebaaar…
Pokoknya model yang belum pernah kupakai sebelumnya!”
“Baiklah Bu…” Maya mengangguk,
sementara Rei mengamati pakaian yang dikenakan Bu Mayuko dan persis sama
seperti yang dia inginkan.
Apakah Bu Guru, mulai pikun? Pikir Rei khawatir. Jangan-jangan nanti dia pikir Genzo adalah calon Bidadari Merah…
“Rei! Rei!” teguran Maya
membuat kekhawatiran Rei kabur dari kepalanya dengan cepat.
“Ya?”
“Kenapa kau melamun? Ayo,
kita pulang, sudah malam. Ibu pasti ingin beristirahat.”
“Ah, ya,” Rei mengangguk,
ikut berdiri bersama Maya. “Eh?” Alis Rei berkerut bingung saat ia menyadari
sesuatu. Diraihnya tangan Maya. “Maya! Dimana cincin tunanganmu?” serunya
terkejut, seraya mengamati jari manis Maya yang kini polos.
“Ah!” Maya yang baru
menyadarinya terenyak kaget. “Ta-tadi di sini!!” katanya.
Keduanya menoleh kepada
Mayuko.
“Ohhh…!” Mata Mayuko membulat,
menyadari sesuatu. Ia mengulurkan cincin tunangan bermata besar itu kepada
Maya. “Kurasa terselip di antara jemariku tadi… Hohohohoho…” Mayuko tertawa
seraya menutup mulutnya dengan punggung tangannya seperti dalam serial cantik.
“Aahh…” Maya menerimanya
dengan lega dan memasangkannya lagi, “Syukurlah…”
“Baiklah, kami permisi
kalau begitu,” Maya dan Rei kembali berpamitan sebelum kemudian keduanya pergi.
Mayuko menghela napas,
beberapa saat ia termangu di tempatnya.
“Aku tidak mengira…” ia
menggelengkan kepalanya penuh haru, “Maya akan menikah. Dan… takdir membawanya
kepada Masumi Hayami. Aku sungguh tak pernah menyangka…” desahnya, seraya
mengusap tetesan di sudut bibirnya. “Aku lapar!” tukas Mayuko seraya berdiri.
“Apa makan malam sudah siap?”
“Sebentar saya hangatkan
dulu masakannya,” ucap Genzo sigap.
“Ya… ya… Genzo, cepatlah, sementara itu aku ingin
mengamati pemandangan laut di malam bulan purnama ini lagi,” putus Mayuko.
Pernyataan yang tidak
disanggah Genzo karena dia tahu betapa kuatnya daya imajinasi Mayuko Chigusa
sang Bidadari Merah itu walaupun tak ada laut ataupun bulan purnama di luar
sana.
=//=
“Apa kau sudah siap?” tanya
istri Pak Miyake yang siang ini menjadi tuan rumah pertemuan Maya dan Masumi.
Maya memakai kimono cantik
berwarna merah dan Nyonya Goso Miyake sengaja menyewa perias untuk merias Maya
di hari spesial ini. Walaupun Maya tidak tahu kenapa dia harus serepot ini. Toh
bertemu Masumi bukan hal yang istimewa. Mereka sering bertemu sebelumnya di
dalam berbagai acara.
Namun Maya tak memungkiri,
jantungnya berdetak tidak karuan. Yang akan ditemuinya saat ini adalah Masumi
yang akan menjadi calon suaminya. Duuuh….
Kepala dan dada Maya berdenyut-denyut tidak menentu. Ia tak mengira di usia
semuda ini dia sudah hendak bertunangan dengan seorang pria.
Tetapi itulah kenyataannya.
Takdir sudah membawanya berjodoh dengan Masumi Hayami dari Daito. Pria 11 tahun
di atasnya yang sangat berlainan dengannya.
“Nona Maya sudah siap,”
ujar si perias.
“Mereka sudah datang, Maya.
Ayo…” ajak Nyonya Goso.
Maya mengangguk. Dia agak
kesulitan memakai kimono berat ini. Jalannya jadi kaku dan canggung. Ia sangat
berhati-hati agar tidak terantuk atau menginjak gaunnya. Maya yang tidak anggun
memang agak kesulitan berjalan perlahan-lahan dan hati-hati dengan penuh
keanggunan.
“Nona Maya sudah datang,”
terang seorang pelayan.
Masumi bisa merasakan
sejenak hatinya melonjak. Ia lantas menoleh, dan mendapati Maya di ambang
pintu. Tampak sangat cantik khas wanita Jepang. Rambutnya di sanggul sempurna,
matanya berbinar, bibirnya memerah dan memesona. Kimononya membuat gadis itu
terlihat semakin istimewa.
Maya…
sekali lagi Masumi terpana. Ia tak berkedip dan menatap Maya tanpa jeda.
Tak disadarinya Masumi
hendak berdiri saking terpesonanya, jika saja Asa tidak menahan lengan Masumi.
“Anda mau kemana?” bisiknya. “Tunggulah di sini, dia akan menuju kemari,” pria
berambut mancung itu mengingatkan.
“A-ah… ya…” desah Masumi
malu, karena sempat lupa diri.
Maya menelan ludahnya
mengamati orang-orang di dalam ruangan yang tidak dikenalnya. Hanya ada Rei di
sana dari pihaknya yang sudah dia anggap kakak sendiri dan akan mewakili Maya
berbicara dengan pihak keluarga Masumi.
Dan juga, si makhluk
endapan lumpur dengan setelan abu-abu tua yang menurut banyak orang menawa itu.
Calon suaminya.
Tiba-tiba napas Maya
rasanya sesak. Dia benar-benar hendak menjalin ikatan nanti dengan pria itu.
Maya memasuki ruangan. Semakin
kakinya melangkah, semakin jantungnya berdenyut keras. Maya gugup bukan main.
Ia bersyukur bu Mayuko sudah merestuinya, dan sekarang Maya teringat ibunya.
Ibu… berilah aku petunjuk.
Jika kau tidak ingin aku bersama Pak Masumi… masih ada waktu untukku
membatalkannya, dan jika ternyata aku memang berjodoh dengan Pak Masumi...
“Kyaa!!” Maya terpekik saat kakinya tersandung karena dia terlalu sibuk
melamun. Tubuhnya terhuyung ke depan.
“Maya!!!” Masumi bergerak
cepat berusaha menahan Maya agar tidak tumbang menabrak lantai.
“CUP!!!”
Maya terenyak. Meyadari
wajahnya menimpa wajah Masumi, dan bibirnya melekat di bibir Masumi. OH… TIDAK!!! mata Maya membulat tak
percaya dengan apa yang terjadi. Ciuman!! Maya menahan napasnya ngeri.
Sementara hampir tanpa
sadar, Masumi perlahan menyeringai. Bahagia.
=//=
“Kkkkk….kyaa!!” Maya
terpekik seraya berusaha menegakkan dirinya lagi.
“Kau tidak apa-apa Mungil?”
Masumi berusaha tampak baik-baik saja saat ia juga berusaha berdiri.
Maya mengamati wajah calon
suaminya yang sepertinya sama sekali tidak terlihat terkejut. Lantas Maya
mengamati orang-orang di sekelilingnya yang tampak syok.
Wajah Maya yang sudah merah
dan panas, sekarang terasa lebih lagi. Maya menyentuh bibirnya dengan sangat
terkejut dan malu, ia lantas berbalik dan berlari dari sana.
“Maya!!” seru orang –orang
itu.
“Biar aku bicara
dengannya!” Rei segera bangkit, namun Masumi menahannya.
“Biarkan aku yang bicara
dengannya,” tegas Masumi. Ia lantas berlalu mengejar Maya.
Dilihatnya gadis berkimono
merah itu berlari menyusuri ruangan hendak menuju ke halaman. “Maya!” panggil
Masumi. “Maya! Tunggu sebentar!”
Maya tidak berhenti, namun
langkah kakinya yang terhalangi kimono memang tidak berimbang dengan langkah
kaki panjang dan lebar Masumi. Dengan cepat Masumi menahan lengan gadis itu.
“Maya! Berhenti!”
Maya terenyak, ia menoleh
dan Masumi akhirnya bisa melihat gadis itu menangis. “Le-lepaskan!” Maya
mengentakkan tangannya namun genggaman Masumi tak juga lepas. “Lepaskan! A-aku…
mau pergi! Aku—“
“Kenapa kau mau pergi?”
desis Masumi yang terkejut saat melihat calon istrinya menangis.
“A-aku… aku… aku kan malu!”
sembur Maya kepada Masumi, bedaknya tampak luntur karena air matanya.
“Malu kenapa?” tanya Masumi
bingung.
“Ke-kenapaa!!?” Mata Maya
bersinar karena marah. “Ka-karena yang tadi! I-ini!” Maya menunjuk bibirnya
sendiri. “me-menempel di sini!!” Dia menunjuk bibir Masumi.
Keduanya tertegun, dan Maya
bisa merasakan wajahnya semakin panas. Dia menarik jarinya lagi dan membuang
wajahnya cepat. “a-aku mau pergi!”
“Maya…” Masumi menahan
lengan Maya, berusaha tetap terlihat baik-baik saja walaupun kenyataannya
Masumi juga merasa malu karena penjelasan Maya. “Yang tadi kan kecelakaan.
Semua bisa melihat kau tadi hendak jatuh dan aku berusaha menahanmu…”
Maya masih enggan
menolehkan kepalanya lagi. Masumi hanya dapat melihat sanggul dan leher gadis
itu yang mulus. Ternyata Maya memiliki leher yang indah, batinnya. Sebelum
kemudian tertegun sendiri dan menghardik dirinya karena berpikir demikian.
“Ayolah… tidak apa-apa kok.
Memang, sedikit memalukan, tetapi kita kan bukannya sengaja berci-uman di
hadapan mereka,” Masumi menelan ludahnya, teringat kejadian tadi.
“Ta-tapi…. Aku… malu…” isak
Maya, “lagi pula… i-itu… kan ciuman… pertamaku.” Maya menutup wajahnya. Ia
lantas menoleh kepada Masumi yang ternyata masih mengagumi lehernya. “Ini semua
gara-gara Anda!” tudingnya.
“Aku?” Mata Masumi membulat.
“Ya! Coba kau biarkan saja
aku jatuh! Paling aku hanya menghantam tatami, tidak harus
me—me-me-mencium-mu!!”
“Hah!? Jadi sekarang ini
semua salahku?” Masumi menunjuk wajahnya sendiri.
“Ya! Kalau kau tidak ada di
sana tadi! Pasti hal yang memalukan itu tadi tidak akan terjadi!”
“Ini kan hendak
membicarakan pertunangan kita! Ya jelas saja ada aku! Bahkan akan lebih parah
kalau kau jatuh dan mencium Pak Asa!” ujar Masumi.
Maya tertegun dan wajahnya
berubah pucat pasi. Calon suaminya itu benar juga. Dia tidak bisa membantah
perkataan itu. Seburuk-buruknya ciuman pertama dengan makhluk endapan lumpur
yang gagah perkasa, pasti lebih buruk dengan pria tua yang—tunggu dulu! Apa
Masumi baru saja mencuci otaknya?
Yah, Maya harus mengakui
perkataan Masumi bisa membuatnya merasa lebih tenang.
“Ayolah… kita kembali,”
bujuk Masumi. “Ini pembicaraan yang penting, dan Pak Miyake serta istrinya
sudah menyiapkan tempat ini untuk kita. Jangan terlalu dipikirkan, anggap saja
uhm… yang tadi itu kecelakaan, atau… yaa kau juga pasti sering melihat adegan
ciuman di film kan? Anggap saja tadi kau sedang berakting.”
“Akting bagaimana!” Maya
marah lagi. “Yang tadi itu—ci-ci-ciuman pertamaku! Itu… ciuman impian semua
gadis!” Maya menautkan kedua tangannya di dada dan dia mulai berfantasi.
“Seharusnya… ciuman pertama itu manis… di tepi danau, pada malam bulan purnama.
Atau di bawah pohon momiji saat musim gugur… atau… di perpustakaan, saat aku
tidak bisa meraih buku yang terlalu tinggi. Lalu… pemuda itu mengambilkannya
untukku. ‘ini bukumu,’ dia bilang. Lalu aku berterima kasih dan wajahku merona,
kami saling memandang… lalu… dia membungkukkan badannya…” Maya benar-benar
memejamkan matanya. “Lalu… kami…” sudah bisa dipastikan Maya sedang
membayangkan pemuda dalam mimpinya itu sedang mendekatkan diri untuk
menciumnya.
“Di perpustakaan mana?”
tanya Masumi, membuyarkan fantasi Maya.
Gadis itu tertegun dan
membuka matanya lagi, terlihat jelas Maya sempat melanglang buana ke dunia yang
hanya ada dia dan pemuda ciuman pertamanya itu—tanpa Masumi.
Ia menatap Masumi seperti
lupa ada pria itu di sana.
“KYAA!! MASUMI HAYAMI!!!!” pekik
Maya saat melihat wajah Masumi yang hanya sejengkal dari wajahnya. Sangking
terkejutnya, Maya hampir saja terjengkang ke belakang, “Kyaa!!”
Dengan tanggap Masumi menangkap
pinggang Maya.
Mata Maya membulat,
wajahnya mendongak menatap Masumi tanpa berkedip. Tiba-tiba saja alam rasanya
berhenti bergerak. Beberapa saat keduanya mematung, dalam posisi tersebut.
Angin semilir melewati keduanya tanpa permisi hingga kesadaran kembali menyapa
Maya yang merasakan jantungnya berdebar keras dan wajahnya memerah lagi, menyadari
tingkah konyolnya barusan.
“Le-lepaskan!” Maya
mendorong Masumi menjauh saat ia menyadari posisi mereka yang sangat
sinetroniyah.
Masumi dengan agak canggung
dan enggan melepaskan Maya dari pelukannya. “Ehm! Jadi, perpustakaan mana yang
tadi kau bayangkan?” tanya Masumi lagi, berusaha tampak setenang mungkin.
“Ti-tidak penting
perpustakaan mana! Yang penting, seharusnya bukan seperti tadi! Bukannya karena
tersandung! Dan bukan denganmu!”
Dahi Masumi berkerut. Apa
gadis ini lupa bahwa mereka akan bertunangan? Bahwa suatu saat ciuman pasti
terjadi di antara mereka. Kenapa gadis ini masih memikirkan ciuman pertama akan
terjadi dengan orang lain? Masumi jadi keki.
“Dengar ya Maya,” Masumi
menegakkan badannya dan berkata dengan tegas. Cemburu juga dia kepada siapa pun
pria yang Maya pikir akan menjadi cinta pertamanya. “Nanti saja kita teruskan
masalah fantasimu itu. Yang pasti, sekarang ada banyak orang yang sedang menunggu
kita. Kalau kau tidak berreaksi berlebihan, yang lain juga tidak akan begitu
memikirkannya. SUdahlah, kita ‘kan bukannya sengaja berciuman di depan mereka.
Itu tadi kecelakaan dan hanya kecelakaan…!”
“Tapi itu ciuman
pertamaku…” Maya menunduk seraya menyentuh bibirnya dengan kedua tangannya.
Terpukul.
“Aku juga baru melakukannya
denganmu!” Aku masumi akhirnya.
Maya tertegun dan mendongak
menatap suaminya. “Bohong!”
“Tidak,” Masumi merasakan
jantungnya berdebar keras dan ia bertanya-tanya kenapa ia harus
mengungkapkannya tadi? Dasar bodoh…
“Baru denganku saja!? Bohong!
Anda kan sudah tua! Lagipula, Anda—”
“Enak saja! Usiaku belum 30
tahun, aku ini masih sangat muda!”
“Kalau aku masih sangat
muda, lalu aku apa!?”
“Bocah!.”
“HAH!?” Maya melotot.
“Ka-ka-kau… kau bilang apa barusan!?”
“Nah kan, tingkahmu
benar-benar kekanak-kanakan. Kalau kau tidak mau dianggap bocah, jangan
membesar-besarkan masalah yang tidak perlu! Aku saja, sudah lupa apa yang
terjadi tadi. Kurasa yang di dalam sana juga sudah lupa. Kalau kau memang bukan
bocah, jangan berlari dari masalah seperti tadi. Kau harus menghadapinya!”
tegas Masumi.
Maya mengeratkan rahangnya
dan menatap Masumi keki. “Aku bukan bocah!!” tegas Maya. Ia lantas berbalik dan
berjalan dengan langkah besar-besar menuju ke ruang tamu lagi.
Masumi tertegun, dan
mengamati gadis mungil itu. Ternyata, keinginan gadis itu untuk membuktikan diri
kepadanya masih belum berubah. Masumi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan
mengikuti gadis itu kembali.
Sejenak Maya terenyak saat
melihat pintu masuk. Rasa malunya mengusik lagi. Namun saat kakinya mundur,
Masumi sudah berada di belakangnya.
“Duk!” punggung Maya
menyentuh dada pria itu.
Maya menoleh dan mendongak,
memberikan tatapan ragu lagi.
“Ayo,” ajak Masumi, seraya
meraih telapak tangan calon istrinya dan menggandengnya masuk ke dalam.
Eh? Pak Masumi…? Maya
sangat terkejut. Ia hanya mengamati tangan mereka yang saling bergandengan.
Maya bisa merasakan jantungnya berdebar sangat keras hingga ia tidak bisa
bicara apa-apa, sementara Masumi menuntunnya masuk kembali ke ruangan itu.
“Maaf sudah mengejutkan,”
kata Masumi. Ia lantas menoleh kepada Maya memberi tanda.
Maya lantas membungkuk dan
mengatakan hal yang sama. “Maaf… ta-tadi… tadi…”
“Sudah, tidak apa-apa,”
kata Pak Miyake. “Wah… sepertinya, kalian sudah semakin dekat saja…” pujinya.
Maya tak bisa berkata
apa-apa dan hanya bisa merasakan wajahnya memanas lagi. Keduanya lantas duduk.
Masumi kembali ke tempatnya dan Maya duduk di hadapannya.
Masumi mengamati gadis itu
sekali lagi. Maya hanya menunduk saja di depannya. Entah kenapa hal itu
terlihat manis di matanya. Gadis itu, calon istrinya. Maya akan menjadi
miliknya. Selamanya.
“Baiklah, sekarang kita
sudah berkumpul,” Pak Miyake bicara lagi. “Silakan pihak keluarga laki-laki
memperkenalkan diri… yah, walaupun kita memang sudah saling mengenal. Silakan
pihak laki-laki terlebih dahulu.”
Asa berdeham seraya
memejamkan matanya, lantas mulai bicara.
“Terima kasih sudah
menerima kami di sini. Perkenankanlah kami dari pihak Hayami untuk
memperkenalkan diri. Saya adalah Asa, kepala urusan rumah tangga keluarga
Hayami. Tuan Besar Eisuke saat ini tidak bisa mengikuti karena sedang ada
urusan di luar kota. Dan ini adalah Tuan Muda Masumi Hayami. Tuan Muda Masumi
Hayami lulusan terbaik dari Universitas Tokyo jurusan Administrasi bisnis. Usianya
29 tahun. Beliau adalah Direktur Daito, salah satu perusahaan milik grup Hayami
yang bergerak di bidang produksi hiburan. Beliau adalah pewaris tunggal Daito
dan merupakan produser muda yang sudah menghasilkan banyak karya hebat yang
diperhitungkan.”
Dengan tenang Masumi
membungkuk sementara Maya yang duduk di hadapannya hanya mengamati pria itu
agak takut-takut. Ada kalanya Masumi memang menakutkan.
“Saya Rei Hino,” Rei
membungkuk, “mewakili Maya ingin mengucapkan terima kasih sudah menerima kami
di sini. Ini adalah Nona Maya Kitajima. Tidak lama lagi Maya akan berusia 19
tahun. Maya adalah salah satu aktris teater Mayuko dan pernah mendapatkan
penghargaan sebagai aktris terbaik. Maya baru saja lulus dari SMA tahun lalu
dan saat ini sedang berprofesi sebagai aktris.”
Maya pun dengan canggung
membungkuk ke arah Masumi yang sudah pasti mengetahui semua hal mengenai
dirinya.
“Baiklah, sekarang kedua
belah pihak telah saling memperkenalkan diri, apakah ada yang ingin disampaikan
kepada satu sama lain?” tanya Miyake.
“Ah… ya…” Masumi bicara,
terdengar sangat sopan. “Saya dan Nona Maya sudah bertemu sebelumnya, dan kami
sudah sepakat untuk melakukan pertunangan dan mengikuti wasiat keluarga kami.
Jadi, saya rasa bisa segera membicarakan mengenai tanggal pelaksanaannya…”
terang Masumi.
“Oh, ya, ya, sepertinya
demikian, jika melihat cincin yang melingkar di jari manis Maya,” Nyonya Goso
tertawa kecil. Siapa pun akan segera awas dengan keberadaan cincin itu yang
sangat menyolok. Jelas terlihat Masumi sama sekali tidak ingin menyembunyikan
perihal pertunangan mereka nantinya.
“Mengenai hal tersebut,”
Asa kembali bicara. “Tuan Muda mengatakan bahwa pesta pertunangan diadakan
minggu depan dan pernikahan dua minggu kemudian.”
“HAH!? APA!?” Maya dan Rei
berseru bersamaan, lantas sama-sama menutup mulutnya karena spontanitas mereka.
“Minggu depan!?” Maya
dengan cepat menoleh kepada Masumi. “Minggu depan!? Apa tidak terlalu cepat!?
Dan, menikah dalam dua minggu!? Itu—itu cepat sekali!”
“Bukankah kita sudah
sepakat menikah? Jadi, untuk apa menunda-nunda? Lagipula, Nona Maya, selagi Pak
Miyake masih di sini, bukankah kita harus menikah disaksikan olehnya?” tegas
Masumi tidak ingin dibantah.
“Tapi, Tuan Masumi, Anda
tidak pernah mengatakan ingin melakukannya secepat itu!” tandas Maya.
“Memangnya, kapan, Nona Maya
menginginkan pernikahannya?” tanya Asa.
Maya tertegun. “Ka-kalau…
dibilang aku yang ingin menikah sih…” Maya bergumam pelan, “tidak juga… tapi…”
“Nah, mulai lagi kan,”
suara Masumi terdengar tak suka. “Kau mulai lagi ingkar dengan kata-katamu.”
“Tidak!” Maya mengangkat
wajahnya cepat. “Memang benar kan, pernikahan ini bukan kehendak hati kita,
tapi—“
“Apa Anda mengatakan, semua
pertemuan ini omong kosong, Nona Maya?” desak Asa tiba-tiba yang tampak
terhina.
“Tidak, tidak… bukan
begitu,” Rei menengahi. “Maksud… Maksud Nona Maya, dia hanya sedikit terkejut
karena tidak mengira Tuan Masumi menghendaki pertunangan dan pernikahan yang
begitu cepat.”
“Memangnya, kapan, kau
pikir pernikahan ini akan diadakan?” tanya Masumi dengan nada datar berusaha
tenang.
“Ya-ya… mungkin…
pertunangannya beberapa bulan lagi… dan… pernikahannya… beberapa tahun lagi…”
ujar Maya terus terang.
Yang benar saja! lolong Masumi dalam hatinya. Menunggu Maya beberapa
tahun lagi? Dia bisa benar-benar gila.
“Dan berapa ya kau maksud
dengan beberapa itu?” tekan Masumi, dan Maya bisa meraskan dadanya sesak karena
terancam.
“Ya… mi-minimal… dua tahun
lagi…” ungkapnya.
“Dua tahun lagi!?” Masumi
meninggikan suaranya tanpa sadar. “Dalam dua tahun bayi yang lahir sudah bisa
berjalan, dua tahun kemudian dia sudah bisa bicara, makan sendiri, bisa
berlari-lari, bahkan masuk pre-school! Apa kau tahu seberapa lama dua tahun
itu?”
“Dan apa Anda tidak sadar
betapa cepat 2 minggu itu? Hanya dua episode dorama!! Mana bisa sekarang aku
masih lajang dan dua minggu lagi tiba-tiba sudah jadi istrimu!”
“Ini bukan tiba-tiba, ini
sudah kita bicarakan sebelumnya! Kau sudah setuju untuk menikah. Untuk apa kita
membicarakannya sekarang kalau kau baru mau menikah dua tahun lagi!?”
“Minimal, dua tahun, Tuan,”
imbuh Rei.
“Tapi Anda juga tidak
mengatakan pernikahannya dalam dua minggu! Yang benar saja. mau ujian lulus
sekolah saja belajarnya satu bulan! Masa mau menikah persiapannya hanya dua
minggu!”
“Baiklah… baiklah… baiklah…”
Pak Miyake menengahi. Sepertinya, kedua orang ini memang sangat suka bertikai. “Sekarang
kita mulai menemukan masalahnya. Jadi, pihak pria ingin pernikahan diadakan
secepatnya, dan pihak wanita ingin ditunda agak lama. Bisakah aku tahu
alasannya?”
“Usiaku 29 tahun!” terang
Masumi, walaupun sebenarnya ia sama sekali tak pernah memikirkan soal
pernikahan sebelum mengetahui masalah perjodohannya dengan Maya. “Kurasa
sebaiknya aku menikah sebelum berusia 30 tahun, agar nanti aku masih bisa cukup
sehat menyekolahkan anak-anakku, bahkan untuk menghadiri pernikahan mereka!
Lagipula, untuk apa menunda sekian lama jika jelas-jelas Nona Maya Kitajima
cepat lambat menjadi istriku. Untuk apa menunda-nunda sesuatu yang sudah
diputuskan?” Ia menatap tajam kepada Maya.
“Dan usiaku baru 18 tahun!”
lawan Maya. “Masih banyak hal yang ingin kukerjakan sebelum aku menjadi istri
seseorang. Belum lagi, aku tidak merasa sudah cukup mengenal baik Tuan Masumi
Hayami untuk memutuskan segera menikah dengannya. Kurasa, jika kita menunda
pernikahan hingga waktu yang cukup, akan ada masanya kita saling mengenal lebih
dalam, dan mungkin… siapa tahu kami bisa merasa lebih lengkap atau malahan…
menyadari kesalahan mengenai… ini semua…”
Justru itu yang Masumi
takutkan.
“Jadi kapan menurutmu?”
tanya Masumi. “Minimal dua tahun? Mau sepuluh tahun!?” sindir Masumi.
“Yang pasti bukan dua
minggu!!” serang Maya. Keduanya saling menatap tajam kepada satu sama lain.
Maya lantas membuang wajahnya dan bicara kepada Pak Miyake. “Lagipula, aku
masih memiliki cita-cita, bermain sandiwara lebih banyak, dan menjadi Bidadari
Merah, dan, dan, kurasa aku tidak akan bisa berkiprah dengan total jika aku
sudah menjadi istri seseorang.”
“Aku kan sudah bilang, aku
tidak akan melarangmu menjalani cita-cita menjadi Bidadari Merah. Kau bisa
melakukan apa saja yang kau inginkan. Aku tidak akan melarang! Hanya status
saja yang berganti, dari lajang jadi menikah! Semakin cepat semuanya
diselesaikan, semakin baik! Apa yang sulit dari hal itu?”
“Tentu saja sulit!!”
“Cukup, cukup…” Pak Miyake
kembali menengahi perseteruan itu. “Baiklah… saya sudah mendengar perbincangan
seru kalian dan sudah memahami alasan masing-masing. Aku setuju, Maya memang
masih cukup muda untuk menikah. Dan Masumi sudah sangat cukup usia untuk
menikah, juga mapan. Masumi, jika pernikahan diselenggarakan dalam dua minggu,
pasti kau mengerti, sebagai seorang wanita, Maya pasti memiliki pernikahan
idamannya sendiri.”
“Ya, mengenai hal itu, saya
sudah memikirkannya. Saya hanya berpikir kami mendaftarkan pernikahan kami saja
dulu agar resmi. Masalah resepsi bisa menyusul kemudian. Nona Maya bisa
mengadakan resepsi seperti apa pun yang diinginkannya.”
Pak Miyake mengamati Masumi
dan mengangguk-angguk.
“Kalau begini saja,
bagaimana? Pertunangan yang diadakan dua minggu dari sekarang. Kurasa aku masih
ada di sini. Dan pernikahannya bisa ditunda hingga beberapa bulan ke depan.”
“Dua tahun,” pinta Maya.
“Dua bulan,” tegas Masumi.
“Dua tahun!”
“Dua bulan!”
=//=
44 comments:
Ya ampun gak nyangka bu Mayuko bakal gokil begitu.....hahaha
Masumi bahagia diatas "penderitaa sementara" Maya
wkekwkwkwk
Gkgkgkgkgkgk
Bu mayuko luccuuuuuuuuu
Ahaha, bener2 menghibuuur.
Asyiik, ada pengganti ayemyors.
Aku padamu pokoknya ty. Mmuach.
wkwkwkwk.. ty.. tteganyaaa.... jd sandiwara komedi yaa... ngakaaaakkkk...
tengkyuuu ty..
Rame euy kocak lagi
hahaha....beneran nih neng ty, spt pa kuronuma aja wktu mementaskan jane si gadis srigala...gunta ganti karakter tokohnya...disini maya, masumi...dan ga disangka-sangka bu mayuko jg ikutan gokil...hahaha....
Disini karakternya pada gokil semua ya... 4 jempol buat penulisnya.
keren abis sist ty lanjuuuuuut. :)
Wkwkwk bu mayukooo... rambutnya emang keeereeen...kyk raisaa.. :*
hahaha seru ty,...lucu banget suka bener 2 asli menghibur kita semua...hore...hore
wahahahaa... bu Mayuko kok jadi gituu?? rambut pantene, imajinasi memandang laut, nyopet cincin maya, duuuh gustii...
apa yg telah kau lakukan pada karakter bu mayuko sang aktris legendaris tyy?? ngakak sendiri jadinya.
anyway, suka deeh dengan adegan terakhir, saat maya ragu, malah ngga sengaja ciuman. itu pertanda Maya, bahwa ibumu merestui sekali, hihihiii...
hohohoho,...masumi si srigala terus2 an menyeringai dia ya...xixixixixi
wekekkee...
bu mayuko mupeng
ngeliat cincin maya segede permen foxs
ganbatte masumi-sama, win her heart...
-mommia-
Hahahaaa... Lucuuu, ktawa ngakak2.. Tengkyuu sis ty... Aku anggap ajaa ini versi garasu no kamen desuga, out of character tp sangat menghibuurr...
-Simplewey-
lucuuuu..
wahahhaha... musibah bagi maya, berkah bagi masumi...
xixixii.. :p
_iien fachri_
Bu mayuko kocak hahahahahhahahaha
"Maya Kitajima, maukah kau menikah denganku?" Soooo swetttt
Sukaaa banget sama ceritanya, bikin sakit perut
Tq ya ty udah update lagi ^-^
~Rizky Muazarah~
wkwkwk
suka sekali...slalu suka ma smua crita dr mu
#dtunggu lanjutny
Wkwkwkw......
Masumi.....you're lucky man...
Udah dijodohkan, eh dapat ciuman lagi.. hahaahah.....
Ty, disini bu Mayukonya benar2 out of character.lucu abis. dan Masumi menjadi lucky man.tdk perlu nunggu maya lama2.
Ty, disini bu Mayukonya benar2 out of character.lucu abis. dan Masumi menjadi lucky man.tdk perlu nunggu maya lama2.sori nyg diatas masuk commentnya tdk ada nama
cuuuuppp... horeeee.... sorak soray bergembira... bergembira semuaaa...
pertanda dari langit tuh maay XDD
Bayangin bu mayuko gokil XD
wuiiihhhh....lucuuuuuuuu....kocaaakkk iiihhhh..............seruuuuu....gak sabar nunggu lanjutannyaaaaaaaaa......^_^
really like this chapter, so funny indeed #maaf teh telat kasih komengnya hehe
Bagian paling seru adalah membaca karakter bu mayuko yg jadi super heboh itu dg rambut pantene dan permen foxs .aiiiih teh ty dirimu nemu aja cara buat kita ketawa xD
-hadua-
Kocak bgt, keren Ty bisa buat cerita diluar karakter mereka yg sesungguhnya di komik. Lanjotttt terus Ty !!!
-mn-
ceritanya keren. seandainya cerita ini dibuat jadi komik, pasti langsung saya beli :)
hihihihihi masumi mah seneng2 ajaaa
-bella-
keren & kocak ceritanya. lanjuuuuuuuuuuttttt!!!!!!! ^_^
~meliana~
hihihi... masumi terpesona, mungkin klo dlm kartun mulutnya sudah mangap n meneteskan air liur ^^
nilam safitri Nst
hihii masumi sdh nggak sabaran yo wes nikahnya dua hari lagi aja
2 hariiiiii hahahaha
-bella-
wkwkwkwk... maunya sii 2 jam lg nikah yaaa.. hehehe..
Jangan lama2
yaaayy...
fighting masumi !!!
-mommia-
Bener-bener kayak anjing dan kucing.. Ha..ha..
wkwkwk
seru banget liat mreka
hahaha...masumi spt kucing ditawarin ikan asin...pingin langsung ngekeupan aja...hahaha...msh sempet ngagumin leher maya lagi ckckck....
-khalida-
komen pk hp ga bisa, ehhh kelupaan komen sampe hari ini, hehehe, ini knp mau nikah aja tendernya ngotot2an ya? hahahaa
hahahahaha... wanita tua berambut pantene.... ty kreatif sekali
wahahaha.... trus aja adu mulut.. g jd2 dah masumi.. ^^
sis ty.. kluarkan kpintaran masumi dlm bernegosiasi .... ;-)
Ngakak ngguling2...
Hahhaha, versi komedy nya nih... Ngakak... Seru
Post a Comment
Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)