Saturday 4 January 2014

FFTK: 2MakeU Love Me 2

Posted by Ty SakuMoto at 20:40
Genre: Comedy, out of character
Setting: Setelah pentas dua puteri.

Rating: 18+
Warning: Kissu, skinship



To Make You Love Me
(Chapter 2)




 
Maya masih bersungut-sungut saat kembali ke apartemen setelah menghubungi Masumi.
“Itu kan uang koinku! Aku yang berjalan menggunakan kedua kakiku menuju telepon umum! Aku yang memencet nomor, eh… dia yang bicara! Menyebalkan! Duh!!” Maya menggerutu panjang pendek dengan wajah sangat kesal.
“Ada apa, Maya?” tanya Rei yang heran melihat Maya bicara sendiri.
“Rei!” Mata gadis itu membulat melihat sahabatnya sudah kembali. “Rei, Masumi Hayami itu memang menyebalkan! Tahu tidak, tadi aku kan menelepnnya. Eh, aku baru tersadar kalau selama menelepon, Cuma dia saja yang bicara. Padahal, aku yang menghubungi! Dasar dia itu pria menyebalkan!”
“Kau menelepon Pak Masumi? Ada urusan apa?” tanya Rei yang lebih berfokus pada hal yang lebih penting.
“oh, iya… aku mau mengajaknya bertemu.”
“Jadi kau belum sempat mengajaknya bertemu?”
“Tidak juga sih… soalnya dia sudah mengajakku bertemu terlebih dahulu,” Maya termangu. “Eh, uhm… ternyata tidak terlalu rugi juga, karena yang hendak kami bicarakan hal yang sama. Ya sudahlah, tidak apa-apa sudah kurelakan koinku itu.”
“Memangnya mau membicarakan apa?” tanya Rei ingin tahu.
“Mengenai perjodohan kami,” terang Maya. “Kata Mawar ungu, aku sebaiknya bicara dulu dengan Pak Masumi. Pasti ada alasannya aku berjodoh dengan Pak Masumi. Tetapi, sebelum aku menerimanya, aku harus memastikan bahwa ini memang keputusan tepat.”
Rahang Rei seketika terbuka. “Menerimanya?” Bagaimana bisa gadis itu sempat memikirkannya. Padahal sebelumnya Maya tampak sama sekali tidak menginginkannya.
“Belum” sanggah Maya. “Tetapi Mawar Ungu bilang, aku jangan terburu-buru menolaknya. Entahlah, Rei… bagiku, Mawar Ungu itu seperti wali atau orangtuaku sendiri. Dan, tampaknya dia malah senang dengan perjodohanku ini. Aku jadi berpikir… apakah aku yang terlalu sinis? Lagipula… memang aneh kan jika hanya tinggal aku dan Pak Masumi yang tersisa untuk mewujudkan keinginan orang tua kami. Mungkin… memang aku dan Pak Masumi…” Maya tertegun. Ia membekap mulutnya sendiri. Ia hampir saja mengatakan : Aku dan Pak Masumi berjodoh.
"Apa?" tanya Rei yang menatap bingung Maya yang membekap mulutnya sendiri.
"Ti-tidak! Tidak!!" Maya menggeleng cepat.
Apa... apaan... aku mau bicara apa barusan? pikir Maya. Tetapi... jodoh kan memang tidak ada yang tahu? kalau memang dia sudah ditakdirkan berjodoh dengan makhluk endapan lumpur itu... apa yang bisa Maya lakukan?
"Ah! Sudahlah!" seru Maya tiba-tiba. "Tidak perlu memikirkan hal itu sekarang, nanti saja... kalau sudah bicara dengan dia." tegas Maya.
Rei hanya mengamatinya ragu-ragu. Ia pikir Maya sudah tegas-tegas akan menolak pria itu. Ternyata, Maya masih saja memikirkannya.
=//=
Jadi, sekarang di sinilah dia. Di depan salah satu gedung milik Daito yang menjulang, dan di salah satu ruangan itu sudah ada Masumi menunggunya. Maya menghela napasnya. Ia pernah tahu restoran Diamond. Ia pernah mendengar dan melihatnya saat ia masih menjadi aktris Daito, namun ia sama sekali belum pernah masuk ke dalamnya.
Dan, sekarang, Maya merasa salah tingkah karena tampaknya pakaian yang ia kenakan terlalu sederhana ketimbang tempat itu. Namun saat ia hendak berbalik pergi, manajer restorannya sudah terlanjur menyapa Maya.
"Ada yang bisa kami bantu?" tanya Manajer tersebut yang tampak sangat profesional dan mempelakukan gadis berpenampilan seperti Maya dengan sopan.
"A-anu... saya... ada janji dengan...Pak Masumi..." Maya berkata ragu-ragu.
Manajer itu tertegun, kali ini tanpa sadar ia menatap Maya dengan tidak sopan. Jadi, ini tamu yang dinanti Pak Masumi?
"Apa dia sudah datang?" tanya Maya, menyadarkan kembali si manajer.
"Oh, ah, ya... ya... silakan, silakan, beliau sudah datang. Beliau menyewa private room," katanya.
Maya akhirnya mengikuti manajer tersebut. Ia menundukkan kepalanya karena ia bisa merasakan tamu-tamu di sana mengamati Maya dengan penuh keheranan.
"Di sini, silakan Nona," Manajer tersebut membuka sebuah pintu dan berkata, "Tamu Anda sudah datang." katanya ragu-ragu kepada Masumi si Dingin dan Gila kerja. Ia takut sekali membawa tamu yang salah.
Masumi, yang sedari tadi bermonolog dalam otaknya, langsung saja terlonjak. Ia gugup sekali seperti hendak melamar seorang gadis. kecuali, memang itulah yang hendak ia lakukan.
"Minta dia masuk," kata Masumi dengan suara berdecit. Sungguh, ia tidak menyadarinya kalau ia begitu tegang sampai suaranya tercekik. "EHM!!!" Masumi menegakkan badannya. "Persilakan dia masuk," kali ini suaranya terdengar tegas dan maskulin seperti biasanya.
"Silakan, Nona..." Manajer itu mempersilakan.
Maya masuk ke dalam ruangan itu, dan ia sangat terkejut. Ruangan itu teramat indah. dengan tirai-tirai keemasan yang bergantungan, tampaknya menggunakan benang emas atau sutra, Maya tidak paham. Yang pasti baik tirai, taplak meja, tampak begitu cantik. Bahkan lebih cantik ketimbang pakaian yang ia kenakan.
Lalu, ruangan itu juga dihiasi mawar-mawar berwarna warni. Ada mawar putih, merah, ungu dan kuning. Gelas-gelas kristal dan lampu kristalnya berkilauan. Begitu juga dengan lantai marmernya. Dan terlebih...
Maya terpaku, mengamati Masumi yang berdiri dalam setelan mahalnya. Tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu. Pria itu terlihat sangat tampan.
Baiklah, sekarang Maya yang mulai ketakutan. Apakah dia masuk ke dunia lain? Ataukah memang seharusnya sebuah acara mengobrol dipersiapkan sedemikian serius seperti ini?
Sekali lagi Maya ingin berbalik pergi.
"Kau sudah datang," sapa Masumi. Maya hanya diam saja, menatap pria itu ngeri. Itulah yang Masumi tangkap. Bukannya kagum, tampaknya Maya merasa ngeri. Kenapa? Apa yang salah? batinnya. "Kenapa diam saja, ayo ke sini," perintah Masumi keras.
Duh, intonasinya tampaknya salah, seharusnya ia bisa bicara lebih lembut, tetapi Masumi sendiri jadi salah tingkah.
"Pak Masumi... di, di sini?" Maya memastikan, menunjuk lantai. "Apa akan ada orang lain yang datang selain kita?"
"Tidak ada, hanya kau dan aku," jawab Masumi.
Ya, kau, dan aku. Kau tidak akan bisa lari dariku.
"Fiuuuhhh....." Maya menghela napas lepas lega. "Hanya kita saja," katanya seraya berjalan menghampiri dengan lebih santai. "Kupikir mau ada siapa lagi... kenapa ruangannya di sini, dan Anda juga..." Maya mengamati Masumi dari atas ke bawah. "Kenapa memakai baju seperti itu? Mau ke undangan ya?" tanyanya meremehkan.
Masumi tertegun. Ya ampun! si polos ini! Apa dia sama sekali tidak merasakan pesona dan karisma Masumi Hayami yang selama ini dielu-elukan para wanita? Ke Undangan?
"Bukan!" jawab Masumi ketus, yang merasa usaha kerasnya diremehkan. "Aku ini.... ini adalah... aku... begini... ini adalah..."
Maya mengamati Masumi yang terus bicara dengan kalimat tak lengkap itu. "Anda kenapa? Sakit perut?" tembak Maya.
"Bukan!" seru Masumi. Ya ampuunn gadis ini!!! "Aku ini! Pulang dari Undangan!" bohongnya.
"Oh... kupikir baru mau pergi," jawab Maya enteng, tidak memedulikan Masumi yang ngos-ngosan saking kesalnya.
"Kalau pulang dari undangan, itu artinya Anda sudah kenyang dong? Kenapa mengajak bertemu di restoran?" keluh Maya, yang ingat lagi tatapan dari tamu lain yang meremehkannya tadi.
"Sudahlah!" seru Masumi. "Minumannya sudah datang!" katanya, saat waitres yang sudah diberi pesan oleh Masumi akhirnya datang membawakan sampanye untuk mereka.
Pelayan tersebut menyerahkan menu kepada Maya dan Masumi. Kalau ada orang lain, Maya itu seperti siput, dia langsung menciut dan masuk lagi ke dalam kerangnya, tetapi jika hanya berhadapan dengan masumi hayami, dia petentengan dan bicara dengan ketus. Dasar gadis aneh...
Andai saja aku tidak mencintainya sedalam ini... batin Masumi.
"Jadi, mau makan apa?" tanya Masumi.
"Apa saja."
"Kau mau seafood atau daging?"
"Apa saja," jawab Maya. "aku tidak pernah pilih-pilih makanan."
"Bagus sekali," jawab Masumi. Akhirnya Masumi memesankan makanan untuk mereka berdua.
"Pak Masumi, kenapa banyak sekali bunga mawar di sini?" tanya Maya lagi saat pelayannya sudah pergi.
"Oh, ini," Masumi tidak mungkin mengatakan ia sengaja meminta dekorasi romantis dan menggunakan banyak sekali bunga seperti ini untuk mengesankan Maya. "Tadi saat aku dalam perjalanan ke sini, ada penjual bunga yang hampir bangkrut jadi aku membeli semuanya," jawab Masumi asal saja.
"Ha?" Maya termangu. "Penjual bunga.... yang hampir bangkrut? kasihan sekali..." raut Maya berubah begitu iba dan simpatik.
"Iya... katanya bisnis ini sedang lesu, sementara ia sedang bingung karena harus membayar uang sekolah anaknya..."
"Ya ampun..." wajah Maya semakin prihatin dan Masumi tampaknya senang karena Maya tidak pernah memperhatikannya begitu saksama seperti sekarang ini. "Memang, anaknya sekolah di mana?"
"Katanya mau masuk kuliah," lanjut Masumi, "Tapi sangat mengagumkan, karena walaupun tidak punya tangan dan kaki, Bapak itu tidak putus asa. Dia terus bekerja keras melakukan semuanya sendirian." imbuhnya semakin dramatis.
"Waah..." Mata Maya membulat, "tidak punya tangan dan kaki?" gadis itu terenyuh.
"Ya, dan dia juga sudah ditinggal istrinya semenjak dulu, jadi dia berjuang sendirian membesarkan anaknya ini."
Maya terenyak dan matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba gadis itu tertegun, "Jadi bagaimana dia membesarkan anaknya kalau tidak punya kaki dan tangan? terus, bagaimana ia melayani pembeli? Apa dia menggunakan mulutnya? kan bahaya, apalagi kalau terkena duri. Kenapa anaknya tidak membantunya?" berondong Maya penasaran.
Sementara Masumi termangu, bingung. Kenapa di saat seperti ini Maya mendadak pintar? Sekarang Masumi sangat berharap kalau dirinya adalah penulis skenario telenovela.
"Ah... itu... dia..." Otak Masumi berpikir keras. Pria itu memaksa kepalanya bekerja lebih keras dari biasanya. Ya ampunn... Tuhan, tolong aku, cerita apa saja... ia berusaha mengingat-ingat skenario-skenario yang pernah dibacanya, tetapi ia tak menemukan apa pun yang berkaitan dengan seorang penjual bunga tanpa tangan dan kaki yang ditinggal istrinya serta berjuang keras membesarkan anaknya sendirian hingga kuliah dan terpaksa mendiskon semua bunga jualannya.
"Pak Masumi!!" tegur Maya, kepada calon suami yang hanya menatapnya dengan dingin dan berkarisma. Berlainan dengan perasaannya yang begitu gelisah. "Jadi? bagaimana? Bagaimana dia hidup sehari-hari? Apakah tidak ada yang membantunya? Misal, adiknya, kakaknya..."
"Oh, ada!! Ada kakaknya!!"
"Oh, ada kakaknya..." Maya merasa lega. "Baguslah. Mungkin dia hidup dengan keluarga kakaknya itu."
"Ya, begitulah," imbuh Masumi.
Lantas keduanya terdiam.
Diam...
Diam...
Dan diam....
Maya hanya sibuk mengamati sekelilingnya. Bunga-bunga dari penjual tak punya kaki dan tangan... pikir Maya dengan tersentuh. Sementara Masumi sedang bingung harus memulai dari mana.
"Terima kasih," ucap Masumi kepada pelayan yang masuk dan menghidangkan makan malam mereka.
Maya mengamati makanan di hadapannya penuh selera. Matanya berkilat antusias. Tampaknya ia sangat lapar. Atau hanya karena penampilan makanannya yang tampak menggugah selera. Apapun alasannya, sungguh... Masumi cemburu sekali pada steak tenderloin di piring Maya.
Seandainya saja, dia adalah seonggok steak tenderloin yang sedang ditatap tanpa kedip seperti itu.
"Kalau hanya ditatap perutmu tidak akan kenyang!" ujar Masumi dengan ketus.
Maya tertegun. Setelah bermenit-menit pergi dengan saling diam pada satu sama lain, tiba-tiba saja pria itu bicara dengan nada keras. apa sih maunya? Maya hanya mendelik kepada pria di hadapannya tersebut.
"Anda ini rela tidak sih mentraktirku? Kenapa bicaranya ketus begitu? Kan, bukan mauku memesan makanan seperti ini. Kalau memang tidak rela, pesankan saja salad... aku juga tidak akan protes."
masumi mengerutkan dahinya. Jelas bukan masalah harga yang membuatnya kesal. Tetapi perhatian Maya yang tercurah lebih banyak kepada si Steak ketimbang kepadanya.
"Bukan... maksudku... itu... kau... cepatlah makan... nanti keburu dingin."
"Ah, tadi bukan seperti itu bicaranya..." Maya mengerucutkan bibirnya. "Tadi Anda bilang, ‘Kalau hanya dipelototi, tidak akan membuatmu kenyang!!’"
 
"Ya, sama saja kan! Intinya cepat kau makan!" tegas Masumi.
"Hhh..." Maya mendengus. "Anda ini musuh restoran, tahu? Tidak peduli betapa menggugah selera dan mahalnya makanan ini, seleraku berkurang karena Anda."
"Loh? Apa salahku? Aroma tubuhku wangi, penampilanku juga... sesuai untuk restoran ini, di mana salahku?" desak Masumi yang sangat terpukul mendengar ucapan Maya.
"Yah... Anda diam di situ saja, keberadaanmu itu, sudah sangat mengganggu," sembur Maya. "Menyebalkan... untung masih ada bunga-bunga indah ini, masih ada gelas dan lampu kristal yang menawan, taplak dan gorden yang bagus yang masih bisa kulihat!"
Masumi menelan ludahnya. Pantas saja, sedari tadi mata Maya jelalatan kesana kemari, ternyata gadis itu memang sengaja tidak menatapnya.
Hhh... dalam hatinya Masumi meringis. Ia jadi ragu, lamarannya kali ini akan diterima.
Masumi kembali ke piringnya, dengan tidak tenang. Ia masih kesal mengingat Maya memang lebih tertarik mengamati bunga-bunga di sekitar mereka, taplak, lampu, peralatan makan, bahkan steak di atas piringnya ketimbang dia. Calon suaminya.
Yah, kalau memang benar mereka hendak berusaha bahagia bersama, Tetapi, belum lama satu meja, asa itu sudah semakin tiada.
Masumi sekali lagi menghela napasnya. Berat sekali. P
adahal, tak ada satu pun pekerjaan yang mampu membuatnya mengeluarkan keluhan. Tetapi, hanya karena gadis ini yang...
sedang...
menatapnya...
dug... dug... dug... jantung Masumi mempercepat detakannya saat ia mengangkat pandangan dan mendapati sang calon istri idaman sedang menatapnya.
Seperti anak kecil kurang kasih sayang, begitu saja Masumi sudah bahagia. Ia baru saja hendak bertanya ada apa, saat Maya berkata dengan ketus.
"Anda ini kenapa sih? Tidak tahu terima kasih ya! Dikasih makanan enak malah mengeluh terus... dari tadi kerjanya menghela napas saja! mau dilahirkan kembali jadi sapi, agar nanti Anda yang berada di atas piring itu!!?" hardiknya.
Segera saja otot rahang lelaki itu mengejang, seperti perasaannya. Dan dia semakin dendam, pada steak di piringnya yang mendapatkan pembelaan.
Masumi berdeham, berusaha menguatkan hatinya. Ia rasa sudah cukup ia tersiksa sendirian, ia kembali menatap Maya dan bicara, "Mungil, mengenai pertunangan kita, kapan kau ingin hal itu diselenggarakan?" tanyanya.
Mendapat serangan mendadak seperti itu, Maya langsung tersedak. "Uhuk! Uhuk!!" dia menepuk-nepuk dadanya sendiri dan segera meraih air putih yang terdapat di atas meja. "Anda mau aku mati ya!? Kenapa bicara yang tidak-tidak saat sedang makan!" bentaknya lagi.
Tetapi Masumi bergeming. Seperti biasa, dia berperan sangat tenang seperti keahliannya selama ini.
"Loh, kenapa? Jangan pura-pura terkejut. Kau datang untuk membicarakan hal itu kan?"
"Hah!? Ti, tidak!" tanpa bisa dicegah wajah Maya sontak memerah.
"Oh, lalu untuk apa? Kupikir kita hendak membahas bahwa ternyata, melalui orang tua kita, kau dan aku ini ternyata BERJODOH dan kita beruntung bisa punya kesempatan berbakti kepada kedua orang tua kita yang sudah tiada."
Maya tertegun, entah kenapa dia tak bisa menyangkal, dan berpikir perkataan Masumi memang tepat.
Perkataannya sama seperti Mawar Ungu, mungkin memang benar begitu. Kami ini berjodoh dan ini kesempatan kami berbakti kepada ibu kami yang sudah tiada.
"Pak, Pak Masumi! Co-coba Anda pikirkan baik-baik. Apakah hal itu tepat? Apa benar kita berjodoh? Anda kan sudah tua!"
Sebelah alis Masumi terangkat. "Matang!'
"Aku masih sangat muda. 18 tahun!"
"18tahun usia yang legal untuk menikah."
"Gaya hidup, latar belakang, pergaulan, kebiasaan. Kita ini sangat berbeda! Aku tidak tahan lama-lama dekat denganmu! Bagaimana jika harus menikah untuk seumur hidup?" Maya ketakutan.
Masumi mengubah hatinya menjadi baja saat menjawab.
"Kita memang berbeda. Aku laki-laki dan kau perempuan. Karena itulah kita bisa menikah. Usiamu sudah legal untuk menikah. Masalah perbedaan umur, nanti saat usiamu 40 tahun, dan aku 50 tahun, perbedaan itu tidak akan terlalu mencolok. Yang pasti aku cukup mapan dan bertanggung jawab untuk menghidupimu saat menjadi istriku kelak. Lagipula, pergaulan kita sebenarnya tidak terlalu berbeda. Kita sama-sama bergerak di bidang seni. Kurasa, sama sekali tidak ada masalah yang terlalu berarti jika kita benar-benar memikirkannya." Masumi memperlihatkan keahlian negosiasinya saat melobi calon istri idamannya.
Maya tertegun mendengar keyakinan Masumi.
"Pak Masumi..." gadis itu mendesah. Ia tak percaya Masumi begitu menggebu-gebu membicarakan mengenai kemungkinan mereka menghabiskan waktu bersama. Apa benar Direktur muda itu memang tidak keberatan menikah dengannya? Menikah itu kan... menghabiskan sisa hidup bersama... Maya menyilangkan kedua tangan di dadanya dan memejamkan matanya. Ia berpikir keras. Sangat keras. Kepalanya sebentar miring ke kiri sebentar miring ke kanan. Alisnya berkerut serius. Sepertinya, ia benar-benar memikirkannya dengan sangat serius, sampai-sampai Masumi rasanya bisa melihat kepala gadis itu berasap.
Masumi mencondongkan tipis tubuhnya ke arah Maya. "Mungil...!" panggilnya perlahan. "Mungil!" desisnya lagi.
Maya agak terlonjak dan matanya terbuka lagi. Dan mengamati Masumi yang masih mengamatinya.
"Jadi bagaimana? Kapan?" tanya Masumi.
Alis Maya berkerut. "Anda ini... kenapa mendesak begini?" curiga Maya. Ia tidak tahu bahwa Masumi sudah diultimatum ayah angkatnya.
"Ya, kita kan sudah bertemu dan berniat membicarakannya. Jadi ayo kita bicarakan, jangan hanya diam saja."
"Hmmm...' Maya mengamati Masumi masih dengan curiga. Aneh sekali rasanya, Masumi memang sama sekali tidak tampak keberatan dijodohkan dengannya. Apa baginya pernikahan seremeh itu? Atau... jangan-jangan... sebenarnya... Masumi....
"Pak Masumi... Anda..." Maya mengamati Masumi lekat-lekat, "Selama ini.... jangan-jangan...."
Masumi tertegun, ia bisa merasakan jantungnya sekali lagi berdebar tak menentu. Apakah... gadis ini menyadari... bahwa dia...
Mata Maya menyipit. "Punya niat terselubung ya kepadaku!?" tudingnya. "Kau punya niat jahat apalagi!?"
"Hah!? Ni-niat... jahat!?" Alis Masumi terangkat.
"Ya! Sepertinya, Anda sama sekali tidak menganggap ini hal serius! Enteng saja Anda berkata soal pertunangan... pasti, Anda sudah menyusun rencana jahat untukku...." gadis itu mengeratkan rahangnya.
Masumi menghela napasnya. Seharusnya ia tahu, memang itulah yang ada di kepala Maya, dan bukannya berpikir Masumi telah lama jatuh cinta kepadanya.
Maya menunduk dan menghela napas berat. "Tapi aku masih belum yakin," ujar Maya seraya memain-mainkan kedua ibu jarinya.
"Begini saja," tukas Masumi yang mulai pesimis dan kehabisan waktu. "sudahlah kita coba saja untuk bertunangan dulu, bagaimana?"
"Hah? Kenapa kesimpulannya jadi begitu?"
"Ya memang harus begitu! Aku tidak tahu bagaimana denganmu, tetapi kalau aku, jelas tidak mau kualat kepada ibuku."
"Ha? A aku juga tidak mau kualat!" seru Maya.
"Nah, karena itu kita coba saja apa susahnya? Kecuali kau ingin terlahir lagi menjadi steak sirloin."
"Itu kan Anda! Eh, tidak, Anda sih nanti jadi kelabang..." decak Maya kesal. Tetapi Masumi hanya tertawa mendengarnya. Ia menghela napas dan kembali bicara. 
"Mungil, aku tahu pernikahan adalah hal serius. Kau boleh percaya atau tidak, tetapi jika nantinya kita menikah, aku tidak akan main-main. Aku tidak ingin mengecewakan ibuku dengan menyakiti putri sahabatnya. Selain itu, aku... Pernah membuat kesalahan kepada kau dan ibumu... Kan?" Masumi terdengar dingin walau hatinya pahit. Ia juga bisa melihat wajah Maya memucat dan tubuhnya menegang. Mungkin, gadis itu masih mendendam kepadanya. Masumi berkata, "Mungkin ini juga sudah takdirku, untuk menjagamu menggantikan ibumu. Jika... Itu bisa membuatmu ibumu tenang di alam sana, aku akan memikul tanggung jawab itu."
Maya tertegun, jantungnya berdetak cepat. Ia menatap Masumi, bingung. Tetapi, ia jadi mulai berpikir, jika takdir memang memiliki jalannya sendiri, untuk dirinya dan makhluk endapan lumpur di hadapannya.
Maya menelan ludahnya dan akhirnya dia mengangguk.
"BRUK!!" Masumi bangkit dari tempat duduknya, menatap Maya tidak percaya. Tadi... Gadis itu mengangguk? Dia benar-benar mengangguk? Eh, tunggu dulu, jangan-jangan dia mengantuk? Atau syarafnya ada yang salah? Atau...
Maya mendongak, "Pak Masumi! Kenapa tiba-tiba berdiri? Membuatku kaget saja!" hardik Maya dengan galak.
Masumi tertegun. Tampaknya yang tadi itu memang tidak sengaja. "Kau mengantuk ya?" tanya Masumi.
"Sedikit," jawab Maya pelan. "Memang kenapa? Anda tidak tahu kalau aku juga bisa mengantuk!?" 
Aduh, anak ini! Kenapa selalu bicara penuh emosi kepadaku! Batin Masumi.
"Pak Masumi," tegur Maya lagi, "kenapa sih Anda berdiri saja?" alis Maya berkerut.
Akhirnya pria itu bertanya dengan tegas.
"Jadi bagaimana keputusanmu?"
"Ke keputusan?" Maya salah tingkah lagi. "Anda ini bodoh ya? Kan tadi sudah kujawab! Begini ni, seperti ini!" Maya mengangguk-angguk dengan wajah memerah, "begitu saja tidak mengerti!" gerundel Maya.
Masumi terpaku tidak percaya. Jadi, tadi gadis itu mengangguk setuju? Jadi, Maya mau bertunangan dengannya? Menjadi calon istrinya?
Jantung Masumi berdebar cepat dan riang. Nada nada cinta mengalun di sekelilingnya. Rasanya ia ingin menari tango.
Tetapi nyatanya Masumi hanya membisu di tempatnya, terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Ia takut semua menghilang saat ia berkedip. Ia berusaha keras untuk tidak merengkuh Maya dalam pelukannya.
"Jadi... Ehm!!" masumi melegakan tenggorokan dan berkali meyakinkan dirinya agar tetap tenang. "Sekarang kita bertunangan?"
"Mung... kiiin..." jawab Maya bingung.
"Oh, ya, ya, kita belum meresmikannya. Nanti akan segera kuatur mengenai pesta pertunangan kita. Sementara itu," dengan gagah pria itu berjalan menghampiri Maya dan meraih ke dalam saku jasnya. Saatnya ia menyerahkan benda yang sudah dibawanya seharian.
Masumi mengeluarkan kotak beludru berwarna ungu itu. Ia mengangsurkannya kepada Maya. "Nih, pakai!" perintahnya.
Maya tertegun, mendongak. "Ha!?" tanyanya bingung.
"Pakai! Kau kan sekarang tunanganku..."
"I-ini... apa?" tanya Maya masih sangat bingung. Walaupun ia kurang lebih tahu apa kira-kira yang ada di dalam kotak cantik berbentuk hati dengan ukiran mawar di atasnya itu. Tetapi, benarkah Masumi sudah menyiapkannya? Jangan-jangan isinya granat super mini yang saat dibuka, akan meledak di depan mukanya.
Masumi yang tidak mengetahui isi kepala Maya, menjelaskan. "Ini... ya... cincin..." Masumi membuka kotak perhiasan itu dan benar saja, ada sebuah cincin yang permatanya berwarna pink tampak mencolok, dengan enam berlian lainnya mengitari cincin tersebut.
Maya benar-benar tidak mengira. Ia rasanya seperti disengat sesuatu, bisa melihat cincin seindah itu di hadapannya sekarang.
"Jadi... aku... harus memakainya?' tanya Maya sekarang ia mendongak lagi kepada Masumi.
"Ya, tentu saja. Aku sengaja membelinya untukmu. Masa pelayannya yang pakai, tunanganku kan kamu!"
Sekarang Masumi memiliki kesenangan tersendiri saat menyebut Maya tunangannya.
"Ta... tapi...." Maya ragu saat melihat cincin yang sangat berkilau itu. Sepertinya, cincin itu sangat mahal. Darimana Masumi mendapatkannya? Ah, iya... dia kan direktur Daito! Masumi Hayami itu orang kaya raya! Pasti tidak sulit baginya hanya sekadar membeli selingkar cincin.
Maya menghela napasnya. Benar. Apa nanti saat mereka menikah, Masumi akan menghargainya? Apa Masumi akan menganggapnya sebagai seorang istri? atau malah menjadikannya bahan lelucon seperti selama ini?
Saat Maya sedang bingung itulah, tiba-tiba pemandangan yang mengejutkan terjadi di hadapannya.
"Duk!" Masumi berlutut di hadapan Maya, membuat gadis itu tercengang.
"Eh-eh-eh, Pak Masumi!! A-apa yang Anda lakukan!?" desis Maya.
"Begini ya, biasanya mereka melakukannya?" ujar Masumi, kembali menawarkan cincinya.
"Mereka siapa!? Aduh! Pak Masumi.... jangan begini, aduh... Pak Masumi... ce-cepat bangun! Jangan begini..." pinta Maya yang mulai panik.
Memang benar, beberapa pelayan tampak terkejut melihat ada seorang pria berlutut, dan itu Masumi Hayami. mereka sibuk berbisik-bisik, apalagi melihat Masumi yang sedang mengarahkan kotak cincin kepada Maya.
Masumi tidak menghiraukan himbauan Maya. Ia pikir mungkin memang seharusnya ia melakukannya dengan cara yang benar, tadi ia terlalu gugup sehingga terburu-buru karena takut Maya merubah pikirannya.
"Maya Kitajima, maukah kau menikah denganku?" pinta Masumi dengan sungguh-sungguh.
Tatapannya melekat mantap kepada gadis mungil yang masih kebingungan di hadapannya. Tetapi sekarang tatapan gadis itu juga berubah.
Maya benar-benar tak percaya. Entah perasaan apa ini yang tiba-tiba saja merasuki hatinya. Seorang pria berpakaian perlente, di tengah ruangan penuh bunga yang dihias cantik, dikelilingi benda-benda berkilauan di  tempat vip sebuah restoran yang romantis, membuat Maya terpana begitu saja.
Bahkan, walaupun yang melamarnya saat ini adalah si makhluk endapan lumpur yang menjijikkannya sama seperti kecoa, entah kenapa Maya merasa begitu tersentuh dan ingin sekali mengangguk dan berseru, "Aku bersedia!!"
Dan, memang itulah yang Maya lakukan. Suaranya terdengar terlalu keras sehingga jawaban "Aku bersedia" itu tidak terdengar haru, malah seperti sedang latihan vokal, keras dan tegang.
Tetapi Masumi sudah sangat puas dibuatnya. Dengan cepat dan hati yang gembira ria, ia memasangkan cincin itu di jari manis Maya.
Para pelayan itu terkikik geli mendengar cara Maya menjawab yang begitu tegang dan canggung. Suaranya juga mengundang pemandangan orang-orang yang meperhatikan ke arah ruangan mereka yang agak tersembunyi dari para tamu lain.
Namun keduanya sama-sama tak memikirkan hal tersebut. Mereka sedang berada di dunia mereka sendiri. Masumi memasukkan cincin itu yang akhirnya tersemat cantik di jari Maya.
Beberapa lama, perasaan bahagia masih memenuhi rongga dada Masumi. Ia sungguh tak mengira hari ini datang juga, walaupun dengan cara yang aneh. Sementara Maya tak tahu pasti apa yang dirasakannya. Yang pasti, matanya tak jua lepas dari si cincin cantik dengan permata besar yang  bersarang di tangannya.
"Mungil," tegur Masumi, dengan intonasi lebih lembut dari yang disadarinya. "Terima kasih, kau sudah menerima..." Masumi terdiam, mencari kalimat yang tepat. Maya yang menyadari perkataan Masumi terhenti, lantas mendongak dan saat itulah Masumi kembali bicara," terima kasih, kau sudah mau berusaha mewujudkan impian ibu kita..." imbuhnya.
Maya termangu, teringat ibunya. Benarkah, ini yang diharapkan ibunya? Benarkah ini yang diinginkannya? Apakah... ia sungguh akan membuat ibunya bahagia, ataukah malah kecewa? Mengingat Masumi....
Tiba-tiba rasa ragu itu datang lagi. Sekali lagi ia menunduk, mengamati cincin yang menandai kesepakatannya dan Masumi yang merencanakan hidup bersama.
Hidup bersama...
Menghabiskan sisa umur bersama...
Perut Maya menegang. Ia sungguh tidak yakin lagi.
Ia mengangkat wajahnya. "Pak Masumi..." tatapannya gelisah. "Apa kau yakin, ingin menjalani ini semua? Bagaimana jika..."
"Bagiku, hanya ada satu orang yang sangat kucintai dan aku hargai. Dia adalah ibuku," Masumi berkata jujur. "Jadi, jika ibu menghendakiku menikah dengan seseorang, aku akan melakukannya, dengan sebaik-baiknya. Aku tidak akan menganggap ini permainan. Sama sepertiku, aku yakin kau tak ingin ibumu kecewa, bukan? Karena itu, bagiku sama sekali tidak ada masalah. Sudahlah, kita coba saja dulu untuk menjalaninya, setuju?"
Sekali lagi Masumi berhasil meyakinkan Maya, walaupun tidak sepenuhnya. "Ta-tapi... aku punya persyaratan," ujar Maya.
Masumi tertegun, "Persyaratan? apa persyaratannya?"
"Aku tidak ingin berhenti bermain sandiwara."
"Tentu, aku juga tidak berniat melarangmu," kata Masumi, menarik sudut bibirnya sedikit. "Persyaratan dariku--"
"Ha!? Anda punya persyaratan juga!?"
"Tentu saja! Kau memberikan persyaratan, berarti aku juga boleh mengajukan persyaratan!"
Dasar tidak mau rugi! batin Maya. "Apa persyaratannya?"
"Aku tidak ingin pertunangan ini dirahasiakan. Awas saja kalau kau ingin kita pertunangan atau pernikahan diam-diam. Aku tidak suka yang seperti itu." Padahal dia takut sekali Maya ada yang mendekati.
Maya berpikir sejenak. Itu artinya, semua orang akan tahu bahwa mereka berjodoh? tapi... kalaupun disembunyikan, berapa lama mereka bisa menyembunyikannya?
"Baiklah, terserah Anda saja!"
HORE!!! pekik Masumi dalam hatinya. Sekarang seluruh dunia akan tahu kalau Maya miliknya. HAHAHAHA...!! tenang Masumi, tenang... ia berdeham setelah bermonolog dalam benaknya.
"Yang kedua, aku akan berjuang mendapatkan peran Bidadari Merah, kau dan perusahaanmu, tidak boleh menghalanginya!!" tegas Maya seraya mengangkat dagunya.
"Ya," jawab Masumi.
"Eh?" Maya terperangah. "Benar ya!? Benar!? Ini Bidadari Merah loh yang kubicarakan. Bidadari Merah!"
"Iya, iya, aku tidak tuli. Aku tak pernah berniat menjegalmu--"
"Bohong! Selama ini kau dan Daito selalu saja--"
"Mungil," Masumi menghela napas. Cepat sekali suasana romantis ini berubah.
"Jangan panggl aku Mungil!" tukas Maya.
"Apa itu? Persyaratan lagi? Jadi, persyaratanmu sudah tiga ya? Kalau begitu, giliranku membuat persyaratan."
"Eh, tunggu dulu! soal--"
"Sudah kubilang, aku tidak akan mencegahmu menjadi Bidadari Merah. Atau malah aku akan bangga jika nanti istriku menjadi Bidadari Merah."
Istriku... Maya langsung kehilangan kata-kata dan wajahnya memerah.
"Persyaratanku yang kedua, kau tidak boleh menolak pemberianku, apa pun itu."
"Hah!? Kalau kau memberiku dinamit apa aku juga harus menerimanya!?"
"Aku tidak akan memberimu dinamit!" Tukas Masumi gemas. Memangnya istrinya pikir ia seorang teroris?
"Mana aku tahu! Kalau benar kau memberiku dinamit--"
"Kau boleh menolaknya!" sahut Masumi akhirnya. "Kalau aku memberimu dinamit, granat atau benda lainnya yang akan membuat tubuhmu tercerai berai, kau boleh menolaknya!"
"Baiklah, kalau begitu aku setuju."
"Lalu yang ketiga--"
"Ada yang ketiga!?"
"Kau sudah membuat tiga persyaratan kan! tetap main sandiwara, memerankan bidadari merah dan tidak mau dipanggil Mungil, jadi aku--"
"Kalau soal Mungil itu bukan persyaratan yang bisa ditawar! Memang siapa pria yang memanggil is...is-isi-is-ist-is... is-nya Mungil! Tidak ada kan? Nanti kau bisa dianggap aneh!"
Alis Masumi berkerut. "Is... apa?" godanya.
"Is... Is..." wajah Maya sangat panas. "Kau tahulah, apa maksudku!"
"Tidak. is apa? istal? iseng?"
"Istri!"
"Nah, itu bisa kau sebutkan," Masumi menyeringai. "Pokoknya, kau harus mengikuti persyaratan yang kuajukan. Ketiga, kau tidak boleh menolak ke manapun aku mengajakmu."
"Hah!? Kalaupun kau mengajakku ke jurang? Mengajakku mati bersama?"
Masumi sekali lagi mengeratkan rahangnya. "Ke manapun, selama kau akan kembali dalam keadaan masih bernyawa," imbuhnya.
Maya termangu sejenak. "Baiklah, kecuali...."
"Kecuali apa?"
"Kecuali aku sedang disibukkan dengan sesuatu yang berkaitan dengan sandiwaraku!"
Sedari tadi, Masumi menyadari persyaratan Maya tidak jauh-jauh dari drama. Ia tahu bahwa drama memang sangat berarti bagi calon istrinya.
"Tentu. Sudah kukatakan aku tidak akan menghalangi sandiwaramu," kata Masumi.
"Baiklah..." jawab Maya.
"Lalu."
"Masih ada lagi? Kok syaratnya lebih banyak dari Pak Masumi?" protes Maya.
"Ini penting, untuk memastikan bahwa kau dan aku berada dalam satu visi," kata Masumi.
"Baiklah, apa?" tanya Maya.
Masumi meletakkan telapaknya di atas meja dan mencondongkan tubuhnya ke arah Maya. gadis itu mendongak dan menatap bingung. "A-apa?" tanyanya.
"Apa kau tipe wanita yang ingin punya anak atau tidak?" tanya Masumi.
"Ha-ha-ha.... HAH!!?" Maya terbeliak kaget dengan pertanyaan Masumi.
"Nah, jadi bagaimana Mungil? Apa kau ingin memiliki anak atau tidak?" desak Masumi
Sontak wajah Maya merah padam mendengar pertanyaan tersebut. "Ka, kakakau! Jangan bertanya macam-macam!" bentak Maya dengan sangat grogi.

"Loh, aku kan hanya bertanya. Di
mana salahnya? Apa kau gadis yang mendahulukan karir sehingga tidak berminat memiliki anak?"
"Tentu saja aku mau! Suatu saat nanti. Tetapi tidak sekarang. Di usiaku yang masih semuda ini, mana terpikir masalah anak..." Maya menggerundel.

Masumi tersenyum puas. "Baguslah," katanya lantas kembali duduk di kursinya sendiri. "Kalau begitu, nanti aku dan perwakilan keluarga kami akan mengadakan pertemuan keluarga dengan pihak darimu. Mungkin ayahku tidak akan bisa ikut, tetapi tidak masalah kan?"
"Pertemuan keluarga?"
"Ya, sebelum mengadakan pesta pertunangan, keluarga kita tentu harus membicarakannya terlebih dahulu. Dan setelah kupikirkan, besok aku akan datang ke tempatmu. Atau kita adakan di tempat lain? Seperti restoran?Atau-"

"HA? BESOK!? Kenapa cepat sekali? Apa tidak sebaiknya nanti diatur kembali atau dipikirkan sekali lagi?"
"Tidak perlu. Nanti malah semakin lama ditunda malah semakin mengganggu kegiatan kita yang lain. Kau belum menerima tawaran sandiwara apa-apa lagi kan?" padahal Masumi takut sekali Maya yang masih tampak labil akan mengubah keputusannya.
"Belum..." jawab Maya perlahan. Masih bingung perkembangannya jadi begini.

"Nah, daripada nanti sandiwaramu terganggu karena pertunangan kita, lebih cepat diselenggarakan akan lebih baik."
Dan kau akan segera menjadi milikku! HAHAHAHAHAHA... Masumi tertawa sangat puas dalam hatinya, dan matanya mengilat jahat penuh minat seperti serigala yang melihat gadis berkerudung merah.
Gadis itu hanya menunduk dan menyahut pelan, "Baiklah."
Senyuman Masumi pun semakin lebar seperti diganjal gantungan baju.
=//=
Aku pulang...” salam Maya.
Rei yang sedang menonton televisi segera bangkit. Duk! Duk! Duk! Duk! Duk! Kaki gadis tomboi itu menjejak lantai tatami dengan keras saat berlari mendekati Maya. Ia meraih tangan gadis itu, membuat Maya terlonjak. "WAH! apa ini!? Besar sekali!" Serunya takjub, dengan mata membulat. "Sangat berkilau seperti lampu disko!" Sepertinya itu bukan kiasan karena Rei langsung menyadarinya saat Maya masuk.
"Ini dari Pak Masumi," terang Maya.
"Jadi, kau dan Pak Masumi, sungguh-sungguh akan..." Rei tak sanggup meneruskan.
"Ya Rei, mungkin aku memang berjodoh dengannya," ujar Maya masam. "Lagipula ini wasiat orang tua kami dan ini satu-satunya kesempatan kami untuk berbakti kepada ibu kami yang telah meninggal..."
Rei menghela napas seraya mengamati sahabatnya itu. "Baiklah, lalu selanjutnya apa?"
"Besok akan diadakan pertemuan kedua belah pihak untuk menyelenggarakan pesta pertunangan."
"Besok!?"
"Ya. Di rumah Pak Miyake. Saat Pak Masumi memberitahunya mengenai keputusan kami, Pak Miyake menawari menjadi waliku."
"Lalu? Lalu? Apa yang harus kaupersiarpkan?"
"Katanya aku harus tampil resmi, mengenakan kimono."
"Kau kan tidak punya kimono!"
Maya merogoh tasnya. "Pak Masumi memberiku ini, untuk semua kebutuhanku. Dia tidak memberiku alasan apa pun untuk tidak mengikuti kemauannya," Maya mengeluarkan setumpuk uang yang lagi-lagi membuat Rei tertegun dan menelan ludahnya. "Besok malam akan ada mobil yang menjemput kita."
"Sepertinya, Pak Masumi sudah memperhitungkan semuanya matang-matang. Kurasa dia benar-benar berniat menikahimu, seperti sudah dipersiapkan seumur hidupnya," seloroh Rei tak percaya. "Lantas, apa lagi yang kalian bicarakan?" tanya Rei.
"Kami sepakat bertunangan. Namun jika ternyata kami sama sekali tidak cocok, yaa kami tidak bisa memaksakan diri," Maya mengangkat kedua bahunya pasrah.
"Dan Pak Masumi memberiku syarat, termasuk tidak boleh merahasiakan pertunangan ini," terang Maya.
"Baiklah Maya. Jadi sekarang kau sudah resmi dilamar. Kau harus ceritakan padaku secara detail bagaimana dia melamarmu!"
=//=
"Bu Mayuko, ada yang mencarimu," terang Genzo. "Maya dan Rei."
"Persilakan mereka masuk," perintah Mayuko.
Maya dan Rei masuk ke sebuah ruangan yang dipersiapkan oleh Daito bagi para pengajar mereka. 
"Mungkin nyonya tidak bisa berlama-lama, karena Nyonya masih harus banyak beristirahat setelah pementasan Dua Putri yang menyita tenaganya."
Maya mengangguk ragu-ragu sementara Rei berpikir apakah ibu gurunya akan baik-baik saja menerima kabar yang sangat mengejutkan ini.
"Ada kabar apa kalian ke sini?" tanya Mayuko begitu muncul dari balik tirai. Rei dan Maya terkejut, tidak menyadari sedari tadi ada Mayuko di sana.
"I, ibu dari tadi di situ?" tanya Maya bingung.
"Ya, aku sedang mengamati pemandangan laut di bawah sana."
"La-laut?" Maya dan Rei tertegun. Mereka sama sekali tidak berada di dekat laut. Keduanya saling memandang dan raut khawatir timbul di wajah mereka saat tanda tanya besar melintas di kepala mereka. MUNGKINKAH  BU MAYUKO MENGALAMI GANGGUAN...
"Aku tidak gila," ujar Bu Mayuko seperti mengetahui apa yang ada di kepala para muridnya itu. "Itu adalah kekuatan imajinasi seorang aktris," Mayuko mengetuk-ngetuk pelipisnya yang tidak tertutup rambut dengan ujung telunjuk.
 "Wah! Ibu hebat!!" pekik Maya seraya bertepuk tangan riang.
"Tunggu dulu!!" seru Mayuko keras, seraya mengulurkan tangannya ke depan dan mengamati Maya. Matanya terpicing-picing mengamati jemari Maya. "Apa itu?" desisnya, lantas menatap Maya. "Permen Foxs!?"
"A! AH... I ini," Maya memutar-mutar cincin berlian pink di tangannya lantas menatap Rei tidak yakin.
Akhirnya Rei yang menjelaskan, "Ini cincin pertunangan Maya."
"Apa? Tunangan?" desis Bu Mayuko tidak percaya.
"Benar Bu. Kami kemari untuk memberi tahu bahwa Maya dan Pak Masumi akan mengadakan pesta pertunangan."
"APA!? MAYA DAN MASUMI HAYAMI!?" seru Bu Mayuko, terperanjat tak percaya.
"Nyonya! Nyonya! Tenang Nyonya! Anda harus tenang! Jangan panik nyonya! Ingat kesehatan Anda Nyonya, tenanglah!" seru Genzo dengan panik, padahal sedari tadi Bu Mayuko hanya membatu sambil melongo.
"I, ibu," tegur Maya. "Bu, Bu Mayuko!" Maya menggerak-gerakkan tangannya di hadapan wajah Bu Mayuko.  Mata wanita tua itu mengikuti gerakan telapak tangan Maya. "Ibu, ibu tidak apa-apa?" tanya Maya khawatir.
Dan, tiba-tiba saja, Bu Mayuko tertawa terbahak-bahak dengan sangat keras.
“Aku mengerti! Mengerti! Mengerti!” Bu Mayuko mengangguk-angguk dengan semangat. “Kalian sedang bercanda kan? Di mana kameranya? Hah? Di mana? Di mana? Hahaha…. Ini lelucon paling buruk yang pernah kudengar! Hahaha… ha… haa…” Bu Mayuko tertawa hingga mengeluarkan air mata. “Apa kau juga terlibat dengan hal ini Genzo?”
“Ti-ti… tidak Nyonya…” tampik Genzo yang tampak sedikit kurusan.
Maya dan Rei saling menatap, bingung.
“Ayo… di mana kalian meletakkan kameranya…” Bu Mayuko memelototi vas bunga di atas meja. “Apa di sini?” tanyanya, mendekatkan wajahnya ke sana, dan memeriksanya dengan teliti.
“Tidak Bu…” tampik Maya resah, “tidak ada yang…”
“Atau… di sini?” dia memeriksa sebuah lukisan.
“Bu Mayuko,” Rei juga berusaha membantu Maya. “Ini bukanlah—“
“Di sini?” Mayuko membalik sebuah tirai. “Di sini? Di sini? Di sini? Di sini?” dengan antusias Mayuko mencari di berbagai tempat di ruangan itu. Di bawah meja, di balik hiasan, pot bunga, tas Maya, bahkan cincinnya untuk menemukan kamera yang dimaksudnya namun ia harus kecewa karena tidak menemukannya.
“Tidak ada… tidak ada… hosh… hosh… hosh…” Mayuko terengah-engah setelah lelah mencari.
“Nyonya!! Jangan terlalu lelah!! Ingat kesehatan Anda Nyonya!!” Genzo berseru mengingatkan.
“Tidak ada… kenapa tidak ada kameranya…” pikir Mayuko dengan resah. “Kenapa…”
“Karena inilah kenyataannya Bu…” terang Maya dengan mata berkaca-kaca, menyadari Bu Mayuko sama sekali tidak bisa menerima kenyataan dia dan Masumi hendak bertunangan. “Aku dan Pak Masumi berjodoh. Kedua orang tua kami adalah sahabat lama dan mereka pernah sepakat menikahkan anak-anaknya kelak, yakni aku dan Pak Masumi. Kami baru mengetahuinya dan… dan memutuskan untuk mengikuti kemauan orang tua kami agar bisa berbakti kepada mereka,” ungkap gadis mungil itu dengan agak takut-takut.
Mayuko terperangah tak percaya. Maya, dan Masumi Hayami? Bukan lelucon? Bukan keisengan atau April Mop? Mereka… mereka benar-benar…
“Jantungkuu…!” erang Mayuko, “jantungku sakit…” keluhnya seraya memegangi perutnya.
“I-itu… perut Anda, Nyonya…” koreksi Genzo, seraya memindahkan telapak kanan Mayuko dari perut ke dada kirinya.
“Ah… yaa…” Mayuko mengusap-usap dadanya. “Jantungku baik-baik saja ternyata. Kurasa aku hanya salah makan,” wanita tua berambut pantene itu duduk kembali di sofanya. Ia berusaha menenangkan diri dan menghela napasnya dalam.
Maya dan Rei saling melirik. Maya diam-diam menelan ludahnya resah. Tampak Mayuko tengah memejamkan matanya berpikir dengan keras, bahkan samar-samar rambut pantene-nya terlihat semakin keriting.
Tiba-tiba matanya terbuka. Tajam dan tegas menatap Maya.
“Apa kau mencintainya!?” tanya Mayuko.
“Tidak!” jawab Maya spontan. Ia lantas menutup mulutnya.
Mayuko memicingkan matanya menilai. “Jadi, kau hanya melakukan ini untuk berbakti kepada ibumu?”
Maya diam sejenak lantas mengangguk.
Bu Mayuko menghela napas kecewa. “Apa menurutmu, ibumu mau kau menikah tanpa rasa cinta, Maya?” kali ini Mayuko bicara dengan nada keibuan. “Mungkin dia memang pernah membuat kesepakatan dengan sahabatnya, dalam hal ini ibu Masumi. Tetapi, mereka masih muda saat itu. Mungkin saja mereka basa-basi? Atau… hanya ucapan sekadarnya tanpa makna?”
“Tetapi, yang memberitahukan ini adalah Pak Miyake, yang juga bersahabat dengan mereka saat itu. Dialah yang bersikukuh menyampaikan dan merealisasikan amanat ini. Dia bahkan sampai sengaja mencari tahu keberadaan Maya dan Masumi saat mengetahui bahwa Bu Haru dan Bu Aya memiliki putra dan putri,” terang Rei.
Sekali lagi Mayuko menatap Maya. “Dan kau… benar-benar, sungguh-sungguh, tanpa paksaan, dalam keadaan sesadar-sadarnya, menyetujui hal ini Maya? Walaupun kau tidak mencintainya?”
Maya menunduk dan berkata perlahan,hampir terdengar tidak yakin. “Saya sudah bicara dengan Pak Masumi. Dia pun melakukannya demi ibunya. Tetapi, Pak Masumi bilang, jika dia menikah, maka dia akan melakukannya dengan sungguh-sungguh, bahkan denganku. Dia tidak akan main-main, karena dia tidak ingin mengecewakan ibu kami.”
“Tetapi pertanyaannya bukan itu…” ujar Mayuko. “Apakah kau bisa mencintainya? Karena tidak ada cinta di antara kalian. Bagaimana setelah kau mencoba, kau tidak bisa jatuh cinta kepadanya? Lebih jauh lagi, setelah kalian menikah, dia menemukan orang yang dicintainya, dan begitu juga kau? Muncul pemuda yang mungkin menarik perhatianmu, yang membuatmu jatuh cinta. Apa kalian hendak bercerai?”
Maya tertegun. Tidak akan tumbuh cinta di antara mereka?
“Jawab, Maya….” perintah Mayuko.
“Tu-tunggu sebentar Bu…” Maya berpikir.
“Jika terlalu sulit, aku akan memberikan pilihannya,” Bu Mayuko bermurah hati. “A. Kalian rela kehilangan cinta sejati kalian. B. Kalian berselingkuh dari satu sama lain dan membuat lebih banyak hati tersakiti. C. Menikah lalu bercerai, atau D. Kalian mencegah semua itu terjadi, dengan tidak menikah tanpa cinta.”
Maya terdiam, berpikir keras.
“Jawabanmu?”
“Tu-tunggu sebentar!!” seru Maya panik yang tengah memikirkan jawaban dari pertanyaan Mayuko.
“Aku akan menghitung sampai 10!” tegas Mayuko yang selalu keras. “1!”
“Ah! Tunggu! Tunggu! Tadi yang C apa? Aduh! Rei! Tadi yang C apa!?” tanya Maya yang memang payah menghadapi ujian, walaupun jawabannya berupa pilihan ganda.
“2!”
“Menikah lalu bercerai,” Rei mengingatkan.
“3!”
“A-aduh… aku tidak mau menikah lalu bercerai…” ujar Maya takut.
“4!”
“Na-nanti dulu! Bu! Jangan dulu dihitung!”
‘5!”
“Yang D tadi apa Rei!?” tanya Maya yang tidak bisa berpikir.
“Duh, Maya, kau kan tadi dengar sendiri… A. Kalian rela kehilangan cinta sejati kalian. B. Kalian berselingkuh dari satu sama lain dan membuat lebih banyak hati tersakiti. C. Menikah lalu bercerai, atau D. Kalian mencegah semua itu terjadi, dengan tidak menikah tanpa cinta.”
“6!”
“Uh… ya... ya… a—aku…”
“7!!” Suara Mayuko semakin keras, lupa dengan sakit perutnya.
“Aku… memilih…”
“8!!”
“A!! A!!” tukas Maya.
Mayuko mengatupkan bibirnya. “A?” alis wanita itu berkerut. “Kau rela kehilangan cinta sejatimu demi berbakti kepada orangtua?”
Maya tampak bingung namun kemudian dia mengangguk. “Mungkin, memang tidak seharusnya kami menikah tanpa cinta. Tetapi, bagaimana pun ini adalah resiko dari keputusan yang telah kami ambil. Dalam hal ini, bukan hanya aku yang dirugikan. Pak Masumi juga memiliki resiko tidak akan mendapatkan cinta sejatinya, jadi… kurasa ini adil,” ujar Maya tidak yakin. “Karena sampai saat ini, niat kami memang untuk berbakti kepada ibu kami. Jika… jika pada akhirnya nanti kami jatuh cinta kepada orang lain dan bercerai, kurasa itu… Itu resiko yang harus kami hadapi.”
Mata Mayuko membulat. Ternyata Maya memang keras kepala seperti yang dia ketahui. “Jika itu sudah keputusanmu, apa yang bisa kulakukan? Lagipula bukan aku yang akan menikah dengan Masumi Hayami, jadi segala resiko menjadi tanggung jawabmu sendiri nanti. Tetapi, dari jawabanmu, aku merasa kau sendiri memang belum pernah menemukan cinta yang sejati, karena itulah kau dengan mudah mempertaruhkan cinta sejatimu,” ujar Mayuko. “Tidak apa-apa, pengalaman akan membuatmu dewasa. Apa pun keputusan yang kau ambil, aku mengharapkan yang terbaik bagimu.”
“Bu Mayuko…” Maya melipat bibirnya penuh rasa haru. “Te-terima kasih…”
“Hanya ada satu syarat dariku,” pinta Mayuko, mengapit telapak kiri Maya dan menepuk-napuknya perlahan penuh perhatian. “Untuk resepsinya nanti, bisakah kau menyiapkan sebuah gaun khusus untukku sebagai kenang-kenangan darimu yang pernah menjadi muridku? Itu akan sangat berarti bagiku.”
“Oh, tentu Bu! Tentu!” Maya menyanggupi dengan berbinar-binar. “Gaun seperti apa yang ingin ibu kenakan nanti?”
“Yah… gaun yang lain dari biasanya, istimewa. Aku ingin gaun hitam panjang, dengan lengan panjang dan leher tertutup, serta rok model A line dengan bagian bawah yang lebaaar… Pokoknya model yang belum pernah kupakai sebelumnya!”
“Baiklah Bu…” Maya mengangguk, sementara Rei mengamati pakaian yang dikenakan Bu Mayuko dan persis sama seperti yang dia inginkan.
Apakah Bu Guru, mulai pikun? Pikir Rei khawatir. Jangan-jangan nanti dia pikir Genzo adalah calon Bidadari Merah…
“Rei! Rei!” teguran Maya membuat kekhawatiran Rei kabur dari kepalanya dengan cepat.
“Ya?”
“Kenapa kau melamun? Ayo, kita pulang, sudah malam. Ibu pasti ingin beristirahat.”
“Ah, ya,” Rei mengangguk, ikut berdiri bersama Maya. “Eh?” Alis Rei berkerut bingung saat ia menyadari sesuatu. Diraihnya tangan Maya. “Maya! Dimana cincin tunanganmu?” serunya terkejut, seraya mengamati jari manis Maya yang kini polos.
“Ah!” Maya yang baru menyadarinya terenyak kaget. “Ta-tadi di sini!!” katanya.
Keduanya menoleh kepada Mayuko.
“Ohhh…!” Mata Mayuko membulat, menyadari sesuatu. Ia mengulurkan cincin tunangan bermata besar itu kepada Maya. “Kurasa terselip di antara jemariku tadi… Hohohohoho…” Mayuko tertawa seraya menutup mulutnya dengan punggung tangannya seperti dalam serial cantik.
“Aahh…” Maya menerimanya dengan lega dan memasangkannya lagi, “Syukurlah…”
“Baiklah, kami permisi kalau begitu,” Maya dan Rei kembali berpamitan sebelum kemudian keduanya pergi.
Mayuko menghela napas, beberapa saat ia termangu di tempatnya.
“Aku tidak mengira…” ia menggelengkan kepalanya penuh haru, “Maya akan menikah. Dan… takdir membawanya kepada Masumi Hayami. Aku sungguh tak pernah menyangka…” desahnya, seraya mengusap tetesan di sudut bibirnya. “Aku lapar!” tukas Mayuko seraya berdiri. “Apa makan malam sudah siap?”
“Sebentar saya hangatkan dulu masakannya,” ucap Genzo sigap.
“Ya… ya…  Genzo, cepatlah, sementara itu aku ingin mengamati pemandangan laut di malam bulan purnama ini lagi,” putus Mayuko.
Pernyataan yang tidak disanggah Genzo karena dia tahu betapa kuatnya daya imajinasi Mayuko Chigusa sang Bidadari Merah itu walaupun tak ada laut ataupun bulan purnama di luar sana.
=//=
“Apa kau sudah siap?” tanya istri Pak Miyake yang siang ini menjadi tuan rumah pertemuan Maya dan Masumi.
Maya memakai kimono cantik berwarna merah dan Nyonya Goso Miyake sengaja menyewa perias untuk merias Maya di hari spesial ini. Walaupun Maya tidak tahu kenapa dia harus serepot ini. Toh bertemu Masumi bukan hal yang istimewa. Mereka sering bertemu sebelumnya di dalam berbagai acara.
Namun Maya tak memungkiri, jantungnya berdetak tidak karuan. Yang akan ditemuinya saat ini adalah Masumi yang akan menjadi calon suaminya. Duuuh…. Kepala dan dada Maya berdenyut-denyut tidak menentu. Ia tak mengira di usia semuda ini dia sudah hendak bertunangan dengan seorang pria.
Tetapi itulah kenyataannya. Takdir sudah membawanya berjodoh dengan Masumi Hayami dari Daito. Pria 11 tahun di atasnya yang sangat berlainan dengannya.
“Nona Maya sudah siap,” ujar si perias.
“Mereka sudah datang, Maya. Ayo…” ajak Nyonya Goso.
Maya mengangguk. Dia agak kesulitan memakai kimono berat ini. Jalannya jadi kaku dan canggung. Ia sangat berhati-hati agar tidak terantuk atau menginjak gaunnya. Maya yang tidak anggun memang agak kesulitan berjalan perlahan-lahan dan hati-hati dengan penuh keanggunan.
“Nona Maya sudah datang,” terang seorang pelayan.
Masumi bisa merasakan sejenak hatinya melonjak. Ia lantas menoleh, dan mendapati Maya di ambang pintu. Tampak sangat cantik khas wanita Jepang. Rambutnya di sanggul sempurna, matanya berbinar, bibirnya memerah dan memesona. Kimononya membuat gadis itu terlihat semakin istimewa.
Maya… sekali lagi Masumi terpana. Ia tak berkedip dan menatap Maya tanpa jeda.
Tak disadarinya Masumi hendak berdiri saking terpesonanya, jika saja Asa tidak menahan lengan Masumi. “Anda mau kemana?” bisiknya. “Tunggulah di sini, dia akan menuju kemari,” pria berambut mancung itu mengingatkan.
“A-ah… ya…” desah Masumi malu, karena sempat lupa diri.
Maya menelan ludahnya mengamati orang-orang di dalam ruangan yang tidak dikenalnya. Hanya ada Rei di sana dari pihaknya yang sudah dia anggap kakak sendiri dan akan mewakili Maya berbicara dengan pihak keluarga Masumi.
Dan juga, si makhluk endapan lumpur dengan setelan abu-abu tua yang menurut banyak orang menawa itu. Calon suaminya.
Tiba-tiba napas Maya rasanya sesak. Dia benar-benar hendak menjalin ikatan nanti dengan pria itu.
Maya memasuki ruangan. Semakin kakinya melangkah, semakin jantungnya berdenyut keras. Maya gugup bukan main. Ia bersyukur bu Mayuko sudah merestuinya, dan sekarang Maya teringat ibunya.
Ibu… berilah aku petunjuk. Jika kau tidak ingin aku bersama Pak Masumi… masih ada waktu untukku membatalkannya, dan jika ternyata aku memang berjodoh dengan Pak Masumi... “Kyaa!!” Maya terpekik saat kakinya tersandung karena dia terlalu sibuk melamun. Tubuhnya terhuyung ke depan.
“Maya!!!” Masumi bergerak cepat berusaha menahan Maya agar tidak tumbang menabrak lantai.
“CUP!!!”
Maya terenyak. Meyadari wajahnya menimpa wajah Masumi, dan bibirnya melekat di bibir Masumi. OH… TIDAK!!! mata Maya membulat tak percaya dengan apa yang terjadi. Ciuman!! Maya menahan napasnya ngeri.
Sementara hampir tanpa sadar, Masumi perlahan menyeringai. Bahagia.
=//=
“Kkkkk….kyaa!!” Maya terpekik seraya berusaha menegakkan dirinya lagi.
“Kau tidak apa-apa Mungil?” Masumi berusaha tampak baik-baik saja saat ia juga berusaha berdiri.
Maya mengamati wajah calon suaminya yang sepertinya sama sekali tidak terlihat terkejut. Lantas Maya mengamati orang-orang di sekelilingnya yang tampak syok.
Wajah Maya yang sudah merah dan panas, sekarang terasa lebih lagi. Maya menyentuh bibirnya dengan sangat terkejut dan malu, ia lantas berbalik dan berlari dari sana.
“Maya!!” seru orang –orang itu.
“Biar aku bicara dengannya!” Rei segera bangkit, namun Masumi menahannya.
“Biarkan aku yang bicara dengannya,” tegas Masumi. Ia lantas berlalu mengejar Maya.
Dilihatnya gadis berkimono merah itu berlari menyusuri ruangan hendak menuju ke halaman. “Maya!” panggil Masumi. “Maya! Tunggu sebentar!”
Maya tidak berhenti, namun langkah kakinya yang terhalangi kimono memang tidak berimbang dengan langkah kaki panjang dan lebar Masumi. Dengan cepat Masumi menahan lengan gadis itu. “Maya! Berhenti!”
Maya terenyak, ia menoleh dan Masumi akhirnya bisa melihat gadis itu menangis. “Le-lepaskan!” Maya mengentakkan tangannya namun genggaman Masumi tak juga lepas. “Lepaskan! A-aku… mau pergi! Aku—“
“Kenapa kau mau pergi?” desis Masumi yang terkejut saat melihat calon istrinya menangis.
“A-aku… aku… aku kan malu!” sembur Maya kepada Masumi, bedaknya tampak luntur karena air matanya.
“Malu kenapa?” tanya Masumi bingung.
“Ke-kenapaa!!?” Mata Maya bersinar karena marah. “Ka-karena yang tadi! I-ini!” Maya menunjuk bibirnya sendiri. “me-menempel di sini!!” Dia menunjuk bibir Masumi.
Keduanya tertegun, dan Maya bisa merasakan wajahnya semakin panas. Dia menarik jarinya lagi dan membuang wajahnya cepat. “a-aku mau pergi!”
“Maya…” Masumi menahan lengan Maya, berusaha tetap terlihat baik-baik saja walaupun kenyataannya Masumi juga merasa malu karena penjelasan Maya. “Yang tadi kan kecelakaan. Semua bisa melihat kau tadi hendak jatuh dan aku berusaha menahanmu…”
Maya masih enggan menolehkan kepalanya lagi. Masumi hanya dapat melihat sanggul dan leher gadis itu yang mulus. Ternyata Maya memiliki leher yang indah, batinnya. Sebelum kemudian tertegun sendiri dan menghardik dirinya karena berpikir demikian.
“Ayolah… tidak apa-apa kok. Memang, sedikit memalukan, tetapi kita kan bukannya sengaja berci-uman di hadapan mereka,” Masumi menelan ludahnya, teringat kejadian tadi.
“Ta-tapi…. Aku… malu…” isak Maya, “lagi pula… i-itu… kan ciuman… pertamaku.” Maya menutup wajahnya. Ia lantas menoleh kepada Masumi yang ternyata masih mengagumi lehernya. “Ini semua gara-gara Anda!” tudingnya.
“Aku?” Mata Masumi membulat.
“Ya! Coba kau biarkan saja aku jatuh! Paling aku hanya menghantam tatami, tidak harus me—me-me-mencium-mu!!”
“Hah!? Jadi sekarang ini semua salahku?” Masumi menunjuk wajahnya sendiri.
“Ya! Kalau kau tidak ada di sana tadi! Pasti hal yang memalukan itu tadi tidak akan terjadi!”
“Ini kan hendak membicarakan pertunangan kita! Ya jelas saja ada aku! Bahkan akan lebih parah kalau kau jatuh dan mencium Pak Asa!” ujar Masumi.
Maya tertegun dan wajahnya berubah pucat pasi. Calon suaminya itu benar juga. Dia tidak bisa membantah perkataan itu. Seburuk-buruknya ciuman pertama dengan makhluk endapan lumpur yang gagah perkasa, pasti lebih buruk dengan pria tua yang—tunggu dulu! Apa Masumi baru saja mencuci otaknya?
Yah, Maya harus mengakui perkataan Masumi bisa membuatnya merasa lebih tenang.
“Ayolah… kita kembali,” bujuk Masumi. “Ini pembicaraan yang penting, dan Pak Miyake serta istrinya sudah menyiapkan tempat ini untuk kita. Jangan terlalu dipikirkan, anggap saja uhm… yang tadi itu kecelakaan, atau… yaa kau juga pasti sering melihat adegan ciuman di film kan? Anggap saja tadi kau sedang berakting.”
“Akting bagaimana!” Maya marah lagi. “Yang tadi itu—ci-ci-ciuman pertamaku! Itu… ciuman impian semua gadis!” Maya menautkan kedua tangannya di dada dan dia mulai berfantasi. “Seharusnya… ciuman pertama itu manis… di tepi danau, pada malam bulan purnama. Atau di bawah pohon momiji saat musim gugur… atau… di perpustakaan, saat aku tidak bisa meraih buku yang terlalu tinggi. Lalu… pemuda itu mengambilkannya untukku. ‘ini bukumu,’ dia bilang. Lalu aku berterima kasih dan wajahku merona, kami saling memandang… lalu… dia membungkukkan badannya…” Maya benar-benar memejamkan matanya. “Lalu… kami…” sudah bisa dipastikan Maya sedang membayangkan pemuda dalam mimpinya itu sedang mendekatkan diri untuk menciumnya.
“Di perpustakaan mana?” tanya Masumi, membuyarkan fantasi Maya.
Gadis itu tertegun dan membuka matanya lagi, terlihat jelas Maya sempat melanglang buana ke dunia yang hanya ada dia dan pemuda ciuman pertamanya itu—tanpa Masumi.
Ia menatap Masumi seperti lupa ada pria itu di sana.
“KYAA!! MASUMI HAYAMI!!!!” pekik Maya saat melihat wajah Masumi yang hanya sejengkal dari wajahnya. Sangking terkejutnya, Maya hampir saja terjengkang ke belakang, “Kyaa!!”
Dengan tanggap Masumi menangkap pinggang Maya.
Mata Maya membulat, wajahnya mendongak menatap Masumi tanpa berkedip. Tiba-tiba saja alam rasanya berhenti bergerak. Beberapa saat keduanya mematung, dalam posisi tersebut. Angin semilir melewati keduanya tanpa permisi hingga kesadaran kembali menyapa Maya yang merasakan jantungnya berdebar keras dan wajahnya memerah lagi, menyadari tingkah konyolnya barusan.
“Le-lepaskan!” Maya mendorong Masumi menjauh saat ia menyadari posisi mereka yang sangat sinetroniyah.
Masumi dengan agak canggung dan enggan melepaskan Maya dari pelukannya. “Ehm! Jadi, perpustakaan mana yang tadi kau bayangkan?” tanya Masumi lagi, berusaha tampak setenang mungkin.
“Ti-tidak penting perpustakaan mana! Yang penting, seharusnya bukan seperti tadi! Bukannya karena tersandung! Dan bukan denganmu!”
Dahi Masumi berkerut. Apa gadis ini lupa bahwa mereka akan bertunangan? Bahwa suatu saat ciuman pasti terjadi di antara mereka. Kenapa gadis ini masih memikirkan ciuman pertama akan terjadi dengan orang lain? Masumi jadi keki.
“Dengar ya Maya,” Masumi menegakkan badannya dan berkata dengan tegas. Cemburu juga dia kepada siapa pun pria yang Maya pikir akan menjadi cinta pertamanya. “Nanti saja kita teruskan masalah fantasimu itu. Yang pasti, sekarang ada banyak orang yang sedang menunggu kita. Kalau kau tidak berreaksi berlebihan, yang lain juga tidak akan begitu memikirkannya. SUdahlah, kita ‘kan bukannya sengaja berciuman di depan mereka. Itu tadi kecelakaan dan hanya kecelakaan…!”
“Tapi itu ciuman pertamaku…” Maya menunduk seraya menyentuh bibirnya dengan kedua tangannya. Terpukul.
“Aku juga baru melakukannya denganmu!” Aku masumi akhirnya.
Maya tertegun dan mendongak menatap suaminya. “Bohong!”
“Tidak,” Masumi merasakan jantungnya berdebar keras dan ia bertanya-tanya kenapa ia harus mengungkapkannya tadi? Dasar bodoh…
“Baru denganku saja!? Bohong! Anda kan sudah tua! Lagipula, Anda—”
“Enak saja! Usiaku belum 30 tahun, aku ini masih sangat muda!”
“Kalau aku masih sangat muda, lalu aku apa!?”
“Bocah!.”
“HAH!?” Maya melotot. “Ka-ka-kau… kau bilang apa barusan!?”
“Nah kan, tingkahmu benar-benar kekanak-kanakan. Kalau kau tidak mau dianggap bocah, jangan membesar-besarkan masalah yang tidak perlu! Aku saja, sudah lupa apa yang terjadi tadi. Kurasa yang di dalam sana juga sudah lupa. Kalau kau memang bukan bocah, jangan berlari dari masalah seperti tadi. Kau harus menghadapinya!” tegas Masumi.
Maya mengeratkan rahangnya dan menatap Masumi keki. “Aku bukan bocah!!” tegas Maya. Ia lantas berbalik dan berjalan dengan langkah besar-besar menuju ke ruang tamu lagi.
Masumi tertegun, dan mengamati gadis mungil itu. Ternyata, keinginan gadis itu untuk membuktikan diri kepadanya masih belum berubah. Masumi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengikuti gadis itu kembali.
Sejenak Maya terenyak saat melihat pintu masuk. Rasa malunya mengusik lagi. Namun saat kakinya mundur, Masumi sudah berada di belakangnya.
“Duk!” punggung Maya menyentuh dada pria itu.
Maya menoleh dan mendongak, memberikan tatapan ragu lagi.
“Ayo,” ajak Masumi, seraya meraih telapak tangan calon istrinya dan menggandengnya masuk ke dalam.
Eh? Pak Masumi…? Maya sangat terkejut. Ia hanya mengamati tangan mereka yang saling bergandengan. Maya bisa merasakan jantungnya berdebar sangat keras hingga ia tidak bisa bicara apa-apa, sementara Masumi menuntunnya masuk kembali ke ruangan itu.
“Maaf sudah mengejutkan,” kata Masumi. Ia lantas menoleh kepada Maya memberi tanda.
Maya lantas membungkuk dan mengatakan hal yang sama. “Maaf… ta-tadi… tadi…”
“Sudah, tidak apa-apa,” kata Pak Miyake. “Wah… sepertinya, kalian sudah semakin dekat saja…” pujinya.
Maya tak bisa berkata apa-apa dan hanya bisa merasakan wajahnya memanas lagi. Keduanya lantas duduk. Masumi kembali ke tempatnya dan Maya duduk di hadapannya.
Masumi mengamati gadis itu sekali lagi. Maya hanya menunduk saja di depannya. Entah kenapa hal itu terlihat manis di matanya. Gadis itu, calon istrinya. Maya akan menjadi miliknya. Selamanya.
“Baiklah, sekarang kita sudah berkumpul,” Pak Miyake bicara lagi. “Silakan pihak keluarga laki-laki memperkenalkan diri… yah, walaupun kita memang sudah saling mengenal. Silakan pihak laki-laki terlebih dahulu.”
Asa berdeham seraya memejamkan matanya, lantas mulai bicara.
“Terima kasih sudah menerima kami di sini. Perkenankanlah kami dari pihak Hayami untuk memperkenalkan diri. Saya adalah Asa, kepala urusan rumah tangga keluarga Hayami. Tuan Besar Eisuke saat ini tidak bisa mengikuti karena sedang ada urusan di luar kota. Dan ini adalah Tuan Muda Masumi Hayami. Tuan Muda Masumi Hayami lulusan terbaik dari Universitas Tokyo jurusan Administrasi bisnis. Usianya 29 tahun. Beliau adalah Direktur Daito, salah satu perusahaan milik grup Hayami yang bergerak di bidang produksi hiburan. Beliau adalah pewaris tunggal Daito dan merupakan produser muda yang sudah menghasilkan banyak karya hebat yang diperhitungkan.”
Dengan tenang Masumi membungkuk sementara Maya yang duduk di hadapannya hanya mengamati pria itu agak takut-takut. Ada kalanya Masumi memang menakutkan.
“Saya Rei Hino,” Rei membungkuk, “mewakili Maya ingin mengucapkan terima kasih sudah menerima kami di sini. Ini adalah Nona Maya Kitajima. Tidak lama lagi Maya akan berusia 19 tahun. Maya adalah salah satu aktris teater Mayuko dan pernah mendapatkan penghargaan sebagai aktris terbaik. Maya baru saja lulus dari SMA tahun lalu dan saat ini sedang berprofesi sebagai aktris.”
Maya pun dengan canggung membungkuk ke arah Masumi yang sudah pasti mengetahui semua hal mengenai dirinya.
“Baiklah, sekarang kedua belah pihak telah saling memperkenalkan diri, apakah ada yang ingin disampaikan kepada satu sama lain?” tanya Miyake.
“Ah… ya…” Masumi bicara, terdengar sangat sopan. “Saya dan Nona Maya sudah bertemu sebelumnya, dan kami sudah sepakat untuk melakukan pertunangan dan mengikuti wasiat keluarga kami. Jadi, saya rasa bisa segera membicarakan mengenai tanggal pelaksanaannya…” terang Masumi.
“Oh, ya, ya, sepertinya demikian, jika melihat cincin yang melingkar di jari manis Maya,” Nyonya Goso tertawa kecil. Siapa pun akan segera awas dengan keberadaan cincin itu yang sangat menyolok. Jelas terlihat Masumi sama sekali tidak ingin menyembunyikan perihal pertunangan mereka nantinya.
“Mengenai hal tersebut,” Asa kembali bicara. “Tuan Muda mengatakan bahwa pesta pertunangan diadakan minggu depan dan pernikahan dua minggu kemudian.”
“HAH!? APA!?” Maya dan Rei berseru bersamaan, lantas sama-sama menutup mulutnya karena spontanitas mereka.
“Minggu depan!?” Maya dengan cepat menoleh kepada Masumi. “Minggu depan!? Apa tidak terlalu cepat!? Dan, menikah dalam dua minggu!? Itu—itu cepat sekali!”
“Bukankah kita sudah sepakat menikah? Jadi, untuk apa menunda-nunda? Lagipula, Nona Maya, selagi Pak Miyake masih di sini, bukankah kita harus menikah disaksikan olehnya?” tegas Masumi tidak ingin dibantah.
“Tapi, Tuan Masumi, Anda tidak pernah mengatakan ingin melakukannya secepat itu!” tandas Maya.
“Memangnya, kapan, Nona Maya menginginkan pernikahannya?” tanya Asa.
Maya tertegun. “Ka-kalau… dibilang aku yang ingin menikah sih…” Maya bergumam pelan, “tidak juga… tapi…”
“Nah, mulai lagi kan,” suara Masumi terdengar tak suka. “Kau mulai lagi ingkar dengan kata-katamu.”
“Tidak!” Maya mengangkat wajahnya cepat. “Memang benar kan, pernikahan ini bukan kehendak hati kita, tapi—“
“Apa Anda mengatakan, semua pertemuan ini omong kosong, Nona Maya?” desak Asa tiba-tiba yang tampak terhina.
“Tidak, tidak… bukan begitu,” Rei menengahi. “Maksud… Maksud Nona Maya, dia hanya sedikit terkejut karena tidak mengira Tuan Masumi menghendaki pertunangan dan pernikahan yang begitu cepat.”
“Memangnya, kapan, kau pikir pernikahan ini akan diadakan?” tanya Masumi dengan nada datar berusaha tenang.
“Ya-ya… mungkin… pertunangannya beberapa bulan lagi… dan… pernikahannya… beberapa tahun lagi…” ujar Maya terus terang.
Yang benar saja! lolong Masumi dalam hatinya. Menunggu Maya beberapa tahun lagi? Dia bisa benar-benar gila.
“Dan berapa ya kau maksud dengan beberapa itu?” tekan Masumi, dan Maya bisa meraskan dadanya sesak karena terancam.
“Ya… mi-minimal… dua tahun lagi…” ungkapnya.
“Dua tahun lagi!?” Masumi meninggikan suaranya tanpa sadar. “Dalam dua tahun bayi yang lahir sudah bisa berjalan, dua tahun kemudian dia sudah bisa bicara, makan sendiri, bisa berlari-lari, bahkan masuk pre-school! Apa kau tahu seberapa lama dua tahun itu?”
“Dan apa Anda tidak sadar betapa cepat 2 minggu itu? Hanya dua episode dorama!! Mana bisa sekarang aku masih lajang dan dua minggu lagi tiba-tiba sudah jadi istrimu!”
“Ini bukan tiba-tiba, ini sudah kita bicarakan sebelumnya! Kau sudah setuju untuk menikah. Untuk apa kita membicarakannya sekarang kalau kau baru mau menikah dua tahun lagi!?”
“Minimal, dua tahun, Tuan,” imbuh Rei.
“Tapi Anda juga tidak mengatakan pernikahannya dalam dua minggu! Yang benar saja. mau ujian lulus sekolah saja belajarnya satu bulan! Masa mau menikah persiapannya hanya dua minggu!”
“Baiklah… baiklah… baiklah…” Pak Miyake menengahi. Sepertinya, kedua orang ini memang sangat suka bertikai. “Sekarang kita mulai menemukan masalahnya. Jadi, pihak pria ingin pernikahan diadakan secepatnya, dan pihak wanita ingin ditunda agak lama. Bisakah aku tahu alasannya?”
“Usiaku 29 tahun!” terang Masumi, walaupun sebenarnya ia sama sekali tak pernah memikirkan soal pernikahan sebelum mengetahui masalah perjodohannya dengan Maya. “Kurasa sebaiknya aku menikah sebelum berusia 30 tahun, agar nanti aku masih bisa cukup sehat menyekolahkan anak-anakku, bahkan untuk menghadiri pernikahan mereka! Lagipula, untuk apa menunda sekian lama jika jelas-jelas Nona Maya Kitajima cepat lambat menjadi istriku. Untuk apa menunda-nunda sesuatu yang sudah diputuskan?” Ia menatap tajam kepada Maya.
“Dan usiaku baru 18 tahun!” lawan Maya. “Masih banyak hal yang ingin kukerjakan sebelum aku menjadi istri seseorang. Belum lagi, aku tidak merasa sudah cukup mengenal baik Tuan Masumi Hayami untuk memutuskan segera menikah dengannya. Kurasa, jika kita menunda pernikahan hingga waktu yang cukup, akan ada masanya kita saling mengenal lebih dalam, dan mungkin… siapa tahu kami bisa merasa lebih lengkap atau malahan… menyadari kesalahan mengenai… ini semua…”
Justru itu yang Masumi takutkan.
“Jadi kapan menurutmu?” tanya Masumi. “Minimal dua tahun? Mau sepuluh tahun!?” sindir Masumi.
“Yang pasti bukan dua minggu!!” serang Maya. Keduanya saling menatap tajam kepada satu sama lain. Maya lantas membuang wajahnya dan bicara kepada Pak Miyake. “Lagipula, aku masih memiliki cita-cita, bermain sandiwara lebih banyak, dan menjadi Bidadari Merah, dan, dan, kurasa aku tidak akan bisa berkiprah dengan total jika aku sudah menjadi istri seseorang.”
“Aku kan sudah bilang, aku tidak akan melarangmu menjalani cita-cita menjadi Bidadari Merah. Kau bisa melakukan apa saja yang kau inginkan. Aku tidak akan melarang! Hanya status saja yang berganti, dari lajang jadi menikah! Semakin cepat semuanya diselesaikan, semakin baik! Apa yang sulit dari hal itu?”
“Tentu saja sulit!!”
“Cukup, cukup…” Pak Miyake kembali menengahi perseteruan itu. “Baiklah… saya sudah mendengar perbincangan seru kalian dan sudah memahami alasan masing-masing. Aku setuju, Maya memang masih cukup muda untuk menikah. Dan Masumi sudah sangat cukup usia untuk menikah, juga mapan. Masumi, jika pernikahan diselenggarakan dalam dua minggu, pasti kau mengerti, sebagai seorang wanita, Maya pasti memiliki pernikahan idamannya sendiri.”
“Ya, mengenai hal itu, saya sudah memikirkannya. Saya hanya berpikir kami mendaftarkan pernikahan kami saja dulu agar resmi. Masalah resepsi bisa menyusul kemudian. Nona Maya bisa mengadakan resepsi seperti apa pun yang diinginkannya.”
Pak Miyake mengamati Masumi dan mengangguk-angguk.
“Kalau begini saja, bagaimana? Pertunangan yang diadakan dua minggu dari sekarang. Kurasa aku masih ada di sini. Dan pernikahannya bisa ditunda hingga beberapa bulan ke depan.”
“Dua tahun,” pinta Maya.
“Dua bulan,” tegas Masumi.
“Dua tahun!”
“Dua bulan!”
=//=
 

44 comments:

Heri Pujiyastuti on 29 December 2013 at 21:02 said...

Ya ampun gak nyangka bu Mayuko bakal gokil begitu.....hahaha
Masumi bahagia diatas "penderitaa sementara" Maya

wkekwkwkwk

Anonymous said...

Gkgkgkgkgkgk
Bu mayuko luccuuuuuuuuu

resi on 29 December 2013 at 22:21 said...

Ahaha, bener2 menghibuuur.
Asyiik, ada pengganti ayemyors.
Aku padamu pokoknya ty. Mmuach.

ferra_fam said...

wkwkwkwk.. ty.. tteganyaaa.... jd sandiwara komedi yaa... ngakaaaakkkk...
tengkyuuu ty..

Meindy on 29 December 2013 at 23:00 said...

Rame euy kocak lagi

Anonymous said...

hahaha....beneran nih neng ty, spt pa kuronuma aja wktu mementaskan jane si gadis srigala...gunta ganti karakter tokohnya...disini maya, masumi...dan ga disangka-sangka bu mayuko jg ikutan gokil...hahaha....

Unknown on 30 December 2013 at 01:37 said...

Disini karakternya pada gokil semua ya... 4 jempol buat penulisnya.

Anonymous said...

keren abis sist ty lanjuuuuuut. :)

Pastel Mood on 30 December 2013 at 05:18 said...

Wkwkwk bu mayukooo... rambutnya emang keeereeen...kyk raisaa.. :*

wi2n on 30 December 2013 at 08:39 said...

hahaha seru ty,...lucu banget suka bener 2 asli menghibur kita semua...hore...hore

Unknown on 30 December 2013 at 09:08 said...

wahahahaa... bu Mayuko kok jadi gituu?? rambut pantene, imajinasi memandang laut, nyopet cincin maya, duuuh gustii...
apa yg telah kau lakukan pada karakter bu mayuko sang aktris legendaris tyy?? ngakak sendiri jadinya.

anyway, suka deeh dengan adegan terakhir, saat maya ragu, malah ngga sengaja ciuman. itu pertanda Maya, bahwa ibumu merestui sekali, hihihiii...

Unknown on 30 December 2013 at 09:56 said...

hohohoho,...masumi si srigala terus2 an menyeringai dia ya...xixixixixi

Anonymous said...

wekekkee...
bu mayuko mupeng
ngeliat cincin maya segede permen foxs

ganbatte masumi-sama, win her heart...

-mommia-

Anonymous said...

Hahahaaa... Lucuuu, ktawa ngakak2.. Tengkyuu sis ty... Aku anggap ajaa ini versi garasu no kamen desuga, out of character tp sangat menghibuurr...

-Simplewey-

Anonymous said...

lucuuuu..
wahahhaha... musibah bagi maya, berkah bagi masumi...
xixixii.. :p

_iien fachri_

Jual on 30 December 2013 at 20:48 said...
This comment has been removed by the author.
Anonymous said...

Bu mayuko kocak hahahahahhahahaha
"Maya Kitajima, maukah kau menikah denganku?" Soooo swetttt
Sukaaa banget sama ceritanya, bikin sakit perut
Tq ya ty udah update lagi ^-^

~Rizky Muazarah~

xiaolong li on 1 January 2014 at 11:42 said...

wkwkwk
suka sekali...slalu suka ma smua crita dr mu
#dtunggu lanjutny

Unknown on 1 January 2014 at 18:52 said...

Wkwkwkw......
Masumi.....you're lucky man...
Udah dijodohkan, eh dapat ciuman lagi.. hahaahah.....

Anonymous said...

Ty, disini bu Mayukonya benar2 out of character.lucu abis. dan Masumi menjadi lucky man.tdk perlu nunggu maya lama2.

Gabriella on 1 January 2014 at 22:23 said...

Ty, disini bu Mayukonya benar2 out of character.lucu abis. dan Masumi menjadi lucky man.tdk perlu nunggu maya lama2.sori nyg diatas masuk commentnya tdk ada nama

nisa_na said...

cuuuuppp... horeeee.... sorak soray bergembira... bergembira semuaaa...
pertanda dari langit tuh maay XDD

komalasari on 2 January 2014 at 06:39 said...

Bayangin bu mayuko gokil XD

liling said...

wuiiihhhh....lucuuuuuuuu....kocaaakkk iiihhhh..............seruuuuu....gak sabar nunggu lanjutannyaaaaaaaaa......^_^

Unknown on 2 January 2014 at 09:44 said...

really like this chapter, so funny indeed #maaf teh telat kasih komengnya hehe

Anonymous said...

Bagian paling seru adalah membaca karakter bu mayuko yg jadi super heboh itu dg rambut pantene dan permen foxs .aiiiih teh ty dirimu nemu aja cara buat kita ketawa xD

-hadua-

Anonymous said...

Kocak bgt, keren Ty bisa buat cerita diluar karakter mereka yg sesungguhnya di komik. Lanjotttt terus Ty !!!
-mn-

sari said...

ceritanya keren. seandainya cerita ini dibuat jadi komik, pasti langsung saya beli :)

Anonymous said...

hihihihihi masumi mah seneng2 ajaaa

-bella-

Anonymous said...

keren & kocak ceritanya. lanjuuuuuuuuuuttttt!!!!!!! ^_^

~meliana~

nilam on 4 January 2014 at 09:45 said...

hihihi... masumi terpesona, mungkin klo dlm kartun mulutnya sudah mangap n meneteskan air liur ^^
nilam safitri Nst

RositaAmalani on 4 January 2014 at 21:00 said...

hihii masumi sdh nggak sabaran yo wes nikahnya dua hari lagi aja

Anonymous said...

2 hariiiiii hahahaha

-bella-

ferra fam said...

wkwkwkwk... maunya sii 2 jam lg nikah yaaa.. hehehe..

Anonymous said...

Jangan lama2

Anonymous said...

yaaayy...
fighting masumi !!!

-mommia-

Happy on 5 January 2014 at 04:36 said...

Bener-bener kayak anjing dan kucing.. Ha..ha..

xiaolong li on 5 January 2014 at 08:34 said...

wkwkwk
seru banget liat mreka

Anonymous said...

hahaha...masumi spt kucing ditawarin ikan asin...pingin langsung ngekeupan aja...hahaha...msh sempet ngagumin leher maya lagi ckckck....
-khalida-

Unknown on 6 January 2014 at 16:39 said...

komen pk hp ga bisa, ehhh kelupaan komen sampe hari ini, hehehe, ini knp mau nikah aja tendernya ngotot2an ya? hahahaa

ive purwanto on 6 January 2014 at 17:23 said...

hahahahaha... wanita tua berambut pantene.... ty kreatif sekali

nilam on 6 January 2014 at 20:02 said...

wahahaha.... trus aja adu mulut.. g jd2 dah masumi.. ^^
sis ty.. kluarkan kpintaran masumi dlm bernegosiasi .... ;-)

condro rahayu on 13 May 2015 at 23:31 said...

Ngakak ngguling2...

Unknown on 6 November 2015 at 21:28 said...

Hahhaha, versi komedy nya nih... Ngakak... Seru

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting