Saturday 17 August 2013

FFTK : Unspoken 6

Posted by Ty SakuMoto at 18:42 53 comments
UNSPOKEN 6




Seperti yang Eisuke inginkan, baik Maya dan Masumi bungkam mengenai hubungan mereka. Hanya teman-teman Maya dan Pak Kuronuma yang mengetahui mengenai mereka.
Maya berlatih keras untuk peran ini. Saat Sakurakoji bertemu lagi dengannya, keduanya tak ada yang membahas mengenai masalah asmara mereka.
“Sepertinya, Maya berlatih sangat keras belakangan…” kata seorang staf.
“Hmm…” Kuronuma mengamatinya. Dia sudah mulai sangat serius. Mungkin ia akhirnya mengerti, seberapa penting peran ini.
=//=
“Apa? Jadi Maya… sudah mulai berlatih dengan serius?” ujar Ayumi yang penglihatannya sudah mulai bisa bekerja dengan baik lagi. Kalau begitu…. Aku juga tidak akan kalah… Maya!!
Gadis cantik itu sudah mulai memahami, apa yang selama ini membuat Maya unggul darinya. Kekuatan imajinasinya. Saat ia kehilangan penglihatannya, ia juga berusaha mendekati kepribadian Bidadari Merah, dan ia bisa merasakan apa yang menjadi kekuatan Maya selama ini.
Sebentar lagi, hanya tinggal sebentar lagi….
=//=
Kelompok Maya melakukan gladi resik tertutup di Area X pada pagi hari. Maya sangat takjub saat mengamati keadaan sekelilingnya. Besok… di sini aku akan menjadi Bidadari Merah, batin Maya. Imajinasinya mulai berjalan, ia memasuki dunia bidadari merah, portal penghubung alam manusia dan para dewa, tempat di mana Bidadari Merah bisa melihat semua kehidupan dengan matanya.
Gladi resik pagi itu berjalan lancar, Maya sangat senang. Ia menyadari, setelah tidak berakting, Sakurakoji masih menjaga jarak darinya. Namun itu tentu saja hal yang wajar, mengingat ia tak bisa menuntut Sakurakoji tetap seperti sebelumnya. Keduanya sudah mulai bisa berkomunikasi dengan baik. Bagaimana pun mereka adalah sepasang kekasih di atas panggung. Walaupun Maya bisa melihat, Sakurakoji bersikap begitu tertutup. Mungkin pria itu masih berusaha mengobati luka hatinya.
Namun yang membuat Maya resah, ia sudah beberapa lama tidak melihat Masumi. Pria itu memang mengatakan bahwa ia tidak akan menyaksikan gladi resik Bidadari Merah karena ia ingin melihat sandiwaranya langsung dengan utuh nanti. Tetapi, Maya juga tidak bisa menghubunginya. Ia tahu Eisuke sudah memperingatkan agar mereka tidak membongkar masalah hubungan mereka sampai keputusan mengenai Bidadari Merah. Namun bukan berarti pria itu lantas menghilang begitu saja kan? Maya takut sekali Masumi nanti tiba-tiba muncul dan mengatakan hal-hal yang konyol lagi seperti, “Kurasa aku berubah pikiran. Kita batalkan saja pernikahannya. Aku tidak bisa melanjutkan lagi rencana kita. Ternyata aku tidak mencintaimu…” Dan kalimat lainnya yang mengerikan.
Maya menghembuskan napas dari mulutnya dan membuat pipinya menggembung. Ia harus menghubungi Masumi. Awas saja jika pria itu mengatakan hal-hal yang aneh-aneh.
“Daito selamat siang dengan Mizuki di sini ada yang bisa saya bantu?”
“Selamat siang. Ini Maya Kitajima… uhm… apakah Pak Masumi Hayami ada?”
“Ada, tunggu sebentar saya sambungkan.”
Tidak berapa lama Maya menunggu, akhirnya ia bisa mendengar suara kekasihnya itu.
“Masumi Hayami di sini.”
“Oh… jadi masih di Jepang ya?”
Alis Masumi berkerut, “Maya?”
“Kalau masih di Jepang kenapa tidak menghubungiku? Kupikir kau amnesia atau apa sampai sama sekali tidak ada kabarnya!” Maya terdengar mencerocos dengan sewot.
Masumi tertegun dan menahan tawanya. “Ini Maya Kitajima ya?” godanya. “Maaf… maaf… Banyak sekali pekerjaan belakangan ini karena aku sempat tidak bekerja, dan… kupikir kau juga sedang sibuk untuk persiapan Bidadari Merahmu, aku tidak ingin mengganggu.”
“Oh, begitu… Ya sudah kalau begitu, selamat tinggal!”
“HAH!? Eh, Maya! Maya!”
“Aku masih di sini.”
Sekali lagi Masumi tertegun dan tertawa. “Kau ini kenapa?” tanyanya saat menyadari Maya merajuk.
“Habis… Pak Masumi menyebalkan. Masa seminggu ini tidak ada kabarnya? Memangnya tidak… tidak…” Maya terdiam dan wajahnya merona. “Tidak… rindu ya kepadaku?”
Gadis itu tidak tahu bagaimana Masumi berusaha keras menahan dirinya menemui Maya. “Tentu saja aku rindu,” balas pria itu dengan lembut seraya tersenyum.”Tetapi aku tidak mau mengganggumu. Nanti kalau sudah bertemu, akan sulit loh mengusirku.”
“Siapa yang akan mengusirmu,” gerutu Maya, dan Masumi sekali lagi tertawa.
“Besok pentas percobaannya kan? Bagaimana tadi gladi resiknya?”
“Gladi resiknya berjalan lancar. Tetapi… A-aku gugup sekali. Saat ini Ayumi sedang gladi resik dan sepertinya… Sepertinya… Dia sangat luar biasa. Aku mendengar para staf mengatakan aktingnya semakin matang dan dia berbeda dari biasanya dia—“
“Maya,” potong Masumi yang mendengar suara kekasihnya gemetar. “Kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu… Bukankah kau punya Akoyamu sendiri? Aku akan menyaksikan Akoya mu itu besok, dan aku akan pergi kalau aktingmu berubah buruk. Tetapi, sampai saat ini aku belum pernah beranjak dari kursiku saat melihatmu. Dan besok, pada saat Bidadari Merah, aku ingin kau meyakinkanku bahwa aku akan tetap berada di tempatku sampai pertunjukan usai,” kata Masumi.
Maya mengeratkan genggamannya di gagang telepon. Ia memang tidak ingin Masumi beranjak di tengah pertunjukan. Ia ingin Mawar Ungu-nya tetap duduk hingga pertunjukan berakhir.
“Aku akan membuatmu menyaksikan pertunjukan sampai selesai,” tekad Maya.
“Bagus. Itu yang ingin kudengar,” Masumi tersenyum.
Pak Masumi… Maya menghela napasnya. “Sekarang aku malah semakin… ingin bertemu,” suara Maya, juga rautnya, berubah sendu.
Masumi membisu. Ia tak tahan mendengar suara Maya dan hampir saja memutuskan untuk menghampiri gadis itu dan tidak memikirkan masalah hubungan mereka yang mungkin terbongkar atau lainnya, kalau saja Mizuki tidak tiba-tiba masuk dengan wajah serius membawa beberapa dokumen.
“Aku sudah harus bekerja lagi.”
“Menyebalkan!” sembur Maya, membuat kekasihnya sangat heran dengan sikap uring-uringannya itu.
“Sebenarnya ada apa?” tanya Masumi. “Tidak biasanya kau uring-uringan seperti ini…”
“Habisnya aku, ah, tidak!” Maya menggelengkan kepalanya, berusaha untuk tidak memikirkan rasa pesimisnya lagi bahwa ia mungkin tak akan boleh menemui Masumi setelah pementasan jika ia gagal mendapatkan peran Bidadari Merah. “Tapi besok Anda datang kan? Pasti datang kan?”
“Walaupun badai menghadang, aku akan datang,” kata Masumi.
Maya tahu ia tak perlu meminta bukti dari ucapan tersebut, Masumi sudah pernah melakukan hal itu untuknya.
“Baiklah… Selamat bekerja. Aishiteru…”
“Ai,” Masumi diam, karena ada Mizuki di sana. “Aku juga,” ujarnya sebelum menutup telepon.
“Dari pacarnya ya Pak?” goda Mizuki dengan wajah datar.
“Mau tahu saja, sana urusi pacarmu sendiri,” ujar Masumi seraya meraih dokumen-dokumen yang dibawa Mizuki. “Apa ini?”
“Laporan post-production dari film-film Daito triwulan ketiga.”
“Baik, sekarang kau boleh keluar.”
“Baik Pak. Salam untuk kekasih Anda.”
“Ya, untuk kekasihmu juga.”
Cih! gerutu Mizuki dalam hatinya, mentang-mentang dia akhirnya mendapatkan Maya…
Saat pintu kantornya tertutup, Masumi sejenang termenung. Ia juga merindukan Maya. Kekasihku… batinnya. Dan pria itu tersenyum tipis. Ia yakin status kekasih di antara mereka tidak akan berakhir, kecuali kemudian berubah menjadi suami-istri.
Sebaiknya, aku memesan cincin dari sekarang, putusnya.
=//=
“Maya! Ada karangan bunga untukmu!” panggil seorang staf saat Maya tengah bersiap untuk pementasan Bidadari Merah. “Mawar Ungu!”
Mawar Ungu! Maya dengan cepat keluar dari tenda ruang ganti dan menghampiri staf tersebut. “Terima kasih!” katanya dengan mata berbinar.
Panggung yang merupakan area pembangunan rel kereta api itu memang hanya dibatasi sebuah kain besar yang membedakan antara dunia panggung dan belakang panggung. Para penonton sendiri sudah sangat ramai menunggu di luar Area untuk dipersilakan masuk. Bahkan dari tempat ganti Maya dan para pemain lain sudah bisa mendengar dengungan mereka yang berbincang dan penasaran. Pentas percobaan itu hanya dihadiri oleh orang-orang penting di dunia sandiwara dan para wartawan saja, tanpa penonton umum.
“Sandiwara akan dimulai, para hadirin silakan memasuki area panggung…” terdengar pengumuman dari speaker.
Seraya berbisik-bisik para hadirin memasuki area pementasan. Di sana sudah disediakan beberapa bagian untuk tempat duduk penonton. Panggung terbuka yang menggunakan alam sebagai settingnya, tampak menghipnotis bahkan sebelum pementasan dimulai.
Kabut-kabut samar yang tampak di akhir musim gugur ini, menambah aura mistis di sana.
“Piiip….! Piiiip…! Piii…ppp!!” terdengar suara yang membuka alam Bidadari Merah.
Perlahan tapi pasti, kabut-kabut yang tebal menipis, memperlihatkan bayangan sebuah pohon plum, yang semakin lama diamati, tampaklah seorang gadis yang memejamkan matanya. Maya Kitajima, sebagai Bidadari Merah.
Maya…. hati Masumi berdesir, gadis yang amat dirindukannya itu sekarang tengah berdiri di hadapannya, laksana dewi. Sangat cantik.
“Tam! Tam!” Dan Maya mulai bergerak, dengan cantik. Perubahan dari pohon plum menjadi Bidadari amat mulus dan perlahan, sehingga para penonton bisa melihat bagaimana metamorfosis yang terjadi. Mata makhluk itu terbuka perlahan. Bersinar, namun tidak fokus.
“Hooo….” Suara itu keluar dari mulutnya. “Hooo…” dan rautnya semakin terusik. “Siapa…? Siapa yang memanggilku?” Dan sejak itu, perhatian penonton langsung tersedot kepada Bidaadri Merah.
Mereka merasakan kemarahan Bidadari Merah, merasakan kebahagiaannya, kesedihannya. Ia tahu bagaimana bahagianya dicintai dan mencintai dari cara Akoya bertutur, bertingkah dan berekspresi. Banyak yang merasakan hatinya tersayat tatkala Akoya sekarat karena cintanya dipaksa mati.
Panggung tidak hanya berada di depan, tetapi di sekeliling mereka sudah menjadi panggung. Ada dewa gagak turun dari sebelah kanan, dan dewa hujan berteriak dari belakang mereka, kemudian Bidadari Merah melayang dari kejauhan menghampiri mereka. Para penonton bisa merasakan keberadaan mereka di tengah dunia bidadari merah.
Mungkin merek sama dengan pepohonan atau bebatuan di alam bidadari merah tersebut. Mereka tidak berpartisipasi, tetapi sudah menjadi bagian dalam cerita.
Bidadari Merah juga berhasil menampilkan ilusi yang menjerat penontonnya. Mereka merasakan adanya angin besar yang dihasilkan olehnya, juga bagaimana api dan air bergerak menurut kehendaknya. Para penonton sama sekali tidak bisa duduk tenang. Mereka gelisah saat Bidadari Merah marah, senang saat ia bahagia, dan lega saat Bidadari Merah memutuskan memaafkan kesalahan-kesalahan manusia dan memberinya kesempatan lagi.
Belum lagi percikan-percikan benci dan cinta, peran musuh dan kekasih yang diperankan Maya dan Sakurakoji, sangat meyakinkan. Mereka begitu tampak jatuh cinta dan hanya hidup bagi satu sama lain.
Para penonton dipaksa menangis saat akhirnya mereka tidak bisa bersatu dengan kekasihnya seperti kebanyakan makhluk hidup lainnya.
Saat Bidadari Merah menghilang terakhir kali ke belakang panggung, penonton masih tidak rela. Rasanya, pementasan 100 menit itu hanya terasa sangat sekejap. Mereka ingin menyaksikan Bidadari merah lagi, ingin melihat Maya berakting lagi, ingin terusan dari drama itu lagi.
Tepuk tangan Masumi menggema pertama kali dengan sangat keras, menyadarkan para penonton sandiwara lainnya bahwa mereka harus kembali ke alam nyata. Para hadirin perlahan mulai ikut bertepuk tangan, dan menggema ke seluruh bagian.
Termasuk Eisuke Hayami, yang bertepuk tangan seraya tersenyum puas.
Ayumi membatu di tempatnya. Ia tahu ia seharusnya tidak menyaksikan permainan Maya. Seharusnya ia mendengarkan kata hatinya. Namun, ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Bagaimana jika akting yang disuguhkan Maya adalah salah satu akting terbaik yang bisa dilakukan? Ayumi tidak ingin menyia-nyiakan untuk menyaksikannya.
Tetapi, ia harus menerima konsekuensinya sekarang. Seluruh tubuhnya gemetar melihat akting gadis itu. Apalagi saat mereka tadi sempat tak sengaja bertukar pandang, Ayumi yakin sekali yang menatapnya bukan Maya Kitajima. Sesuatu yang derajatnya tinggi.
Ayumi menelan ludahnya. Belum pernah ia setakut dan segugup ini sebelum menampilkan sebuah peran. Ya Tuhan… tidak adil… tidak adil… isak Ayumi. Apakah gadis itu kehilangan penglihatannya dulu untuk bisa berperan seperti itu? Apakah ia menghabiskan waktu dengan latihan yang sangat berat untuk bisa berakting seperti tadi?
Pengumuman di speaker terdengar, akan ada istirahat 20 menit untuk menyiapkan setting bagi pementasan selanjutnya, grup Onodera. Para hadirin dipersilakan menikmati hidangan yang sudah disediakan dan diminta kembali ke tempat dalam 20 menit.
Ayumi memasuki ruang ganti. Ia berpapasan dengan Maya dan tidak bicara apa-apa. Maya pun, masih berada dalam kondisi trans, ia berjalan tanpa tujuan dan hanya melangkah, ke sebuah tempat yang agak jauh dari keramaian. Ia belum mengenali sekitarnya, sampai sebuah bayangan tertangkap matanya.
Mata gadis itu hidup lagi, dan melebar, berbinar. Ia melihat Masumi. Masumi Hayami yang berdiri di hadapannya. Pria itu tersenyum kepadanya, dan Maya tahu ia sudah melakukan yang terbaik. Maya tak berpikir panjang, ia menghampiri pria itu masih dengan kostumnya.
Tanpa banyak kata Maya memeluk Masumi. Ia sungguh merindukan pria itu. Dan, dari cara Masumi balas memeluknya, ia tahu pria itu merasakan hal yang sama.
“Aktingmu sangat bagus. Kau sangat pandai, luar biasa…” puji Masumi dengan tercekat.
Maya memejamkan matanya bahagia. Itu kata-kata paling menyentuh yang pernah didengarnya. Ia amat bahagia saat Masumi mengucapkannya, hingga airmatanya luruh juga.
=//=
“Kubilang jangan ada yang masuk!!” teriak Ayumi yang sedang menangis di dalam ruang gantinya, saat pintunya terbuka. Gadis itu terenyak saat mendapati Hamill sedang berdiri di ambang pintu.
“Kau menangis?” pria itu terkejut.
Ayumi memalingkan wajahnya. “Keluar!” usirnya keras.
Hamill memandangi punggung Ayumi. Ia mengenal gadis yang cantik dan memesona itu, ia memiliki kebanggaan yang sangat tinggi. Sekarang, kenapa gadis itu menangis sendirian di ruang gantinya? Itu sama sekali tidak terlihat seperti Ayumi yang dikenalnya.
Hamill menghampiri Ayumi tanpa menghiraukan usiran yang ia dapatkan dari gadis itu tadi. Disentuhnya bahu Ayumi perlahan. “Kau tidak seperti Ayumi yang kukenal,” ujarnya.
“Diam! Apa yang kau tahu mengenai aku? Kau sama sekali tidak mengenalku!”
Alis Hamill terjungkit. “Yang aku tahu kau tidak pernah diam-diam menangis dan mengaku kalah sebelum melakukan bagianmu,” ujarnya. “Yang aku tahu, kau seorang gadis yang selalu percaya diri dan siap menghadapi tantangan apa pun yang menghadangmu. Yang berusaha melakukan semuanya dengan kekuatanmu sendiri tanpa rasa takut.”
Hamil… Ayumi tercenung. Tangannya mengepal. Masih gemetar. Ia bahkan belum berani menoleh kepada pria itu. “Tetapi aku takut…” akunya, untuk pertama kali dalam hidupnya kata-kata itu keluar dari bibirnya. “Aku takut kepada Maya Kitajima. Dia… dia tidak pernah bisa kulalui, selalu tiba-tiba menyusulku dengan sangat jauh dan sekarang aku yang tertinggal.”
“Lalu? Kau masih punya apa yang dia tidak punya. Kesempatan, Ayumi. Dia sudah menggunakan kesempatannya dan waktunya kau menggunakan kesempatanmu. Kau masih bisa melakukan yang lebih baik darinya. Kau masih punya kesempatan itu.”
“Tidak!” Ayumi terisak keras, menggelengkan kepalanya. Hatinya ciut begitu saja karena kebodohannya memutuskan melihat Maya berakting. “Aku sudah kalah…!”
“Tentu saja kau kalah jika hanya menangis di sini!! Keluar, Ayumi! Beraktinglah!! Lakukan apa yang kau sukai! Apa kau mau mengaku kalah tanpa pernah memerankan Bidadari Merah seumur hidupmu!!?”
Deg!! Tidak pernah memerankan Bidadari MErah… seumur hidup…
“Andaikan kau kalah… Apa kau puas kekalahanmu adalah karena kau menyerah? Jika ini memang satu-satunya kesempatanmu memerankan Bidadari MErah,” Hamill meraih bahu Ayumi dan memutar tubuh gadis itu ke hadapannya. “Maka lakukan yang sebaik-baiknya, seakan-akan kau tidak akan pernah memerankannya lagi. Beraktinglah seakan-akan ini akting terakhirmu, Ayumi. Perankan Bidadari Merah yang akan membuat dirimu bahagia dan puas. Aku tahu benar bagaimana perjuanganmu untuk sampai di sini. Aku tidak akan rela kalau kau menyerah begitu saja…!” tegas Hamill.
Ayumi tertegun. Hamill… ditatapnya pandangan tegas pria itu. Apakah ia pernah, menemukan seseorang yang begitu mendukungnya seperti saat ini? Yang saat mendengar ucapannya, ia menjadi lebih berani, dan dadanya berdebar sekeras ini?
Memerankan Bidadari Merah yang membuatnya puas dan bahagia…
“Ayumi! Apa kau sudah siap? Lima menit lagi akan dimulai!’”
“Ah ya!” seru Ayumi, ia sejenak hanya bertatapan dengan Hamill. “Aku akan keluar sebentar lagi!” Hamill tersenyum mendengarnya. “Cepatlah keluar! Aku harus berias!” perintah Ayumi.
“Tentu, Nona…” Hamill tersenyum dan ia beranjak keluar dari sana.
Ayumi sejenak mematung mengingat Hamill, ia lantas berbalik dan segera merias wajahnya untuk menyembunyikan sembapnya. Tidak usah memikirkan Maya Kitajima. Aku punya yang dia tidak punya, dan aku akan melakukan yang terbaik untuk Bidadari Merahku saat ini… Ya, cukup pikirkan saat ini saja…
=//=
Saat Bidadari Merah Ayumi dimulai, para penonton segera menahan napas saat melihat sosok memesona yang diam mematung tersebut. Gerak geriknya begitu lembut dan halus, caranya melayang, menari, melangkah, sungguh luar biasa. Banyak yang sempat berpikir bahwa Bidadari MErah hanya Maya seorang, kali ini tak bisa berhenti terpikat dengan tingkah polah Bidadari Merah Ayumi.
Suatu waktu mengasihi, lantas tampak mengintimidasi. Mereka percaya Ayumi memang Bidadari yang mewujudkan diri di hadapan mereka. Semuanya begitu takjub, dada mereka dipenuhi rasa khidmat yang aneh. Banyak yang merasa, bahwa Bidadari Merah Ayumi lebih
Ayumi pun memerankan Akoya dengan baik. Sorot mata jatuh cinta tampak dari sana saat ia menatap Isshin kekasihnya. Mereka melihat Ayumi yang baru, Ayumi yang luar biasa dan tak pernah mereka lihat dalam berperan sebelumnya. Padahal, aktingnya dahulu selalu menuai pujian. Melihat Ayumi saat ini, para ahli drama kehilangan kata-kata. Belum lagi usianya masih dua puluh tahun.
Tepuk tangan segera bergemuruh begitu Ayumi menghilang dan dongeng Bidadari Merah berakhir. Tepuk tangan itu sangat riuh hingga memekakkan telinga.
Ayumi diam di belakang panggung. Saat namanya disebut ia membungkuk sekali lagi kepada para penonton yang kembali menyorakinya penuh pujian. Ayumi tak pernah merasakan perasaan membuncah seperti ini, bahkan lebih dari saat ia memerankan Origeld dahulu.
Tatapannya mencari seseorang di tengah keriuhan, dan ia melihat Hamill yang tak berhenti memotretnya. Saat Ayumi mengarahkan pandangan kepadanya, priaitu menurunkan kameranya dan menatap Ayumi takjub. Saat itu Ayumi menyadari sesuatu, mengetahui pria itu ada di sana dan hanya melihatnya, Ayumi merasa bahagia.
=//=
Setelah kedua grup sukses mementaskan pentas percobaan itu, tinggallah tim penilai yang sangat bingung kepada siapa nantinya hak dan peran Bidadari MErah akan diberikan. Apakah kepada Maya Kitajima, si Badai di Atas panggung yang penuh bakat tak tertandingi dan penuh kejutan, juga murid Mayuko Chigusa, ataukah Ayumi Himekawa, gadis berdarah seni sejak lahir dengan pengalaman yang sangat banyak dan sudah menempuh level lebih tinggi dalam tingkat aktingnya.
Para wartawan pun turut berdebat. Ada yang menjagokan Maya dan ada juga yang menjagokan Ayumi. Persaingan Bidadari Merah itu terus menjadi berita hangat di koran dan televisi, hingga waktu yang ditentukan oleh Dewan Drama Nasional untuk mengumumkannya satu minggu sejak pementasan.
“Akting Ayumi sungguh luar biasa…” gumam Maya saat ia duduk bersandar kepada Masumi di sofa ruang tamu apartemennye.
“Kau juga luar biasa…”
“Tapi…” Maya menggumam perlahan, “Ayumi… benar-benar membuatku tidak percaya diri. Pak Masumi, bagaimana jika aku tidak memenangkannya? Bagaimana jika…” Maya tidak meneruskan perkataannya. Ia melingkarkan lengannya pada pinggang Masumi yang lebar.
“Setidaknya kita masih punya beberapa hari untuk bersama,” gumam Masumi.
Maya terlonjak dan mendongak. “Tidak mau!” seru Maya. “Aku tidak mau jika harus berpisah denganmu…”
“Karena itu jangan memikirkan yang tidak-tidak. Aku yakin sekali, kau akan memenangkannya. Maya, aktingmu memiliki kemajuan pesat. Selain itu… Kau unggul satu hal yang tidak bisa dikalahkan Ayumi, kurasa, semua mata malam itu bisa menilainya. Ayumi memang memiliki gerak tubuh yang sangat indah. Dan, bisa terlihat itu adalah akting terbaik dalam karirnya. Ia sangat menjiwai dan ia bisa menggerakkan panggung, menguasai semua teknik dengan baik. Bahkan, gelora cintanya juga sangat terasa.”
“Tapi…?” tanya Maya, mendongak.
“Dia itu ‘hanya’ seorang Bidadari,” Masumi tersenyum.
Alis Maya berkerut tidak mengerti.
=//=
Ruangan masih ribut saat konferensi Pers belum dimulai dan segera senyap saat ketua dewan drama nasional memasuki ruangan dengan beberapa orang yang mengikutinya termasuk Mayuko Chigusa yang tampak pucat namun matanya tampak berbinar.
“Terima kasih, sudah hadir dalam acara konferensi pers ini. Hari ini, kami sudah memutuskan mengenai siapa yang paling layak mewarisi peran dan hak pementasan karya agung Bidadari Merah. Kami cukup memiliki perdebatan panjang lebar mengenai siapa yang paling layak antar Ayumi Himekawa, dan Maya Kitajima. Juga, Sutradara, pemeran Isshin dan pemain-pemain lainnya. Kami akan mengumumkan nama-nama pemenangnya terlebih dahulu dan, akan menjelaskan alasannya kemudian. Karena itu harap jangan memotong hingga kami selesai bicara,” pinta ketua persatuan drama. “Daftar ini kami buat dengan kesepakatan bersama, dan kami tidak sabar untuk menyaksikan drama ini dalam versi teater nanti.” Pak Yamagishi menyerahkan daftar kepada Ibu Mayuko, sementara para calon pemeran dari kedua pihak duduk di samping kiri dan kanan ruangan dengan tegang. Di bagian depan sudah ada kursi-kursi kosong yang akan diisi oleh para pemenang peran yang diperebutkan.
Maya melirik khawatir kepada Masumi yang juga hadir dalam pengumuman itu. Masumi tersenyum tipis kepadanya untuk menenangkan. Maya berdoa dan berdoa. Dia sungguh ketakutan. Takut setelah hari ini, ia sungguh tidak akan bisa bertemu Masumi lagi.
“Dan untuk pemeran Bidadari Merah, juga pewaris hak pementasannya, jatuh kepada,” suara serak sekaligus tegas Mayuko terdengar di penjuru ruangan, menumbuhkan rasa tegang yang terus menggeliat di hati setiap orang. “MAYA KITAJIMA!!” serunya dengan tegas.
“WAAA!!” ruangan ramai seketika. Maya terbelalak tidak percaya. Namanya? Namanya yang disebut tadi? Ia kembali menoleh kepada Masumi dan wajah lega pria itu tersenyum kepada kekasihnya.
“Maya, silakan duduk di sini,” pinta salah satu anggota persatuan drama.
Dengan gemetar Maya berdiri, kakinya benar-benar tidak seimbang dan caranya berjalan teramat kaku. Beberapa orang cekikikan melihatnya. Maya lantas duduk di bangku itu dan kembali menatap Masumi, hanya Masumi. Begitu juga pria itu, yang tidak bisa berhenti tersenyum kepadanya. Keduanya terus saling menatap, dan akhirnya Maya menyadari sesuatu… Dirinya dan Masumi bisa bersama! Eisuke Hayami sudah berjanji tidak akan mengganggu mereka, sudah berjanji tidak akan memaksa Masumi menikahi Shiori.
Saat tatapan Maya bergeser kepada Eisuke, herannya, kakek tua itu pun hanya tersenyum kepadanya. Maya heran melihatnya, dan ia membuang muka. Lantas, ia melihat Ayumi. Gadis itu hanya duduk tenang di tempatnya, dengan wajah tanpa ekspresi.
Ayumi…. Aku… mengalahkan Ayumi? Bagaimana bisa? Padahal, aku tidak menari seindah dia… tidak bicara selembut dia… juga tidak secantik dia… kenapa… batin Maya.
“Ryuzo Kuronuma!” Suara Bu Mayuko mengejutkan Maya. Dan, dilihatnya pria yang mirip beruang itu berdiri dari kursinya dan duduk di kursi Maya.
“Yuu SakurakojI!”
Koji! Mata Maya melebar. Jadi, Koji akan menjadi Isshinnya lagi di atas panggung! Pemuda itu berdiri dan duduk di samping Maya.
Satu persatu para pemeran Bidadari Merah diumumkan. Kebanyakan didominasi oleh grup Kuronuma. Onodera segera beranjak pergi seraya berdecak menghina saat nama Kuronuma disebut.
“Para hadirin, inilah sutradara dan para pemain lengkap pementasan Bidadari Merah yang akan mulai dipentaskan januari nanti!” umum Mayuko.
“Yoroshiku Onegaishimasu…” orang-orang yang berjajar itu membungkuk, dan kamera mulai memotret mereka tanpa henti.
“Sekarang, saya akan menjabarkan alasan kenapa kami sepakat memilih Maya Kitajima,” terang Bu Mayuko. “Karena Maya, berhasil memerankan kedua perannya dengan sempurna. Kenapa saya katakan kedua perannya? Karena… Dalam Bidadari Merah ini, ada dua pribadi yang harus mereka kuasai. Yaitu Bidadari Merah itu sendiri, dan juga Akoya, gadis desa biasa sekaligus istimewa. Gadis yang raganya manusia, namun dalam tubuhnya, terdapat bidadari yang bersemayam. Ayumi memang luar biasa sempurna dalam memerankan Bidadari Merah. Jujur, saya sangat terkejut dengan perkembangan Ayumi dalam mendalami sebuah peran, saya tidak mengira Ayumi berkembang sejauh ini. Namun, Ayumi lupa berakting sebagai gadis biasa. Sisi manusianya sangat jarang terlihat. Gerak geriknya begitu indah hingga kita hampir tak melihat Akoya yang manusia. Akoya gadis biasa yang kekanakan dan ceria. Saat melihat Ayumi, kita hanya diingatkan bahwa dia adalah seorang Bidadari. Penuh kuasa, menggerakkan alam, bergerak dengan indahnya. Hampir tidak ada yang fana dari Bidadari Merah Ayumi. Maya, di sisi yang lain, masih harus belajar mengenai gerak tubuh yang indah. Namun, dalam hal itu pun saya melihat Maya cukup berkembang pesat. Lagipula, dua-tiga bulan latihan intensif, saya yakin Maya akan menguasai semua teknik menggerakkan badan itu. Namun yang paling penting, selain berhasil memerankan Bidadari Merah, Maya juga sempurna memerankan Akoya. Gadis yang rapuh tanpa kekuatan. Kita tidak tahu bahwa Akoya adalah titisan Bidadari Merah sebelum neneknya bercerita. Dan, saat menuju klimaks, ketika Akoya memperlihatkan mimik kedewiannya, saat itulah kita ingat kembali, Akoya memang titisan bidadari. Pada titik itulah, Maya berhasil melakukannya, lebih baik dari Ayumi.”
Ayumi menelan ludahnya. Diam-diam dia tersenyum pahit. Akoya… yang manusia…? Bodoh… dia begitu terobsesi mendekati pribadi Bidadari Merah hingga melupakan kemanusiaan Akoya. Dan, di sanalah Maya unggul darinya.
Gadis itu berdiri, di wajahnya, kebanggaan itu masih ada. Ia lantas berjalan menghampiri Maya dan mengulurkan tangannya. “Aku sangat bahagia, karena gadis dengan kemampuan sepertimulah yang berhasil unggul dariku,” Ayumi tersenyum tipis.
Dengan gugup Maya berdiri dan mengulurkan tangannya. “Terima kasih,” kata Maya dengan haru. “Terima kasih sudah berada di depanku selama ini, dan membuatku termotivasi untuk menyusulmu.”
Ayumi lantas membungkuk kepada barisan juri dan juga kepada Bu Mayuko. Wanita itu tersenyum penuh rasa bangga kepada Ayumi. Ayumi tahu, Bu Mayuko memuji kemajuannya dalam berakting. Gadis itu lantas melangkah keluar ruangan dengan perasaan agak hampa. PAdahal, ia sangat menginginkan peran itu, karena dengan demikian ia baru percaya bahwa ia berdiri di sini karena kerja kerasnya sendiri, bukan karena nama besar Papa dan mama.
Papa dan mama pasti sudah menunggu kabar dariku… batin Ayumi saat menuju tempat parkir. Ia mengeluarkan ponsel. Namun, saat ia hendak menghubungi ibunya, Ayumi berganti pikiran. Ia menghubungi orang lain.
“Halo,” suara Hamill terdengar, “Apa kabar Ayumi?”
“Aku tidak mendapatkannya,” kata Ayumi, kali ini entah kenapa suaranya tercekat padahal ia sudah berusaha untuk kuat.
“Lalu?”
“Aku…” Ayumi menelan ludahnya pahit dan matanya berkaca-kaca.
“Kau kecewa dengan Bidadari Merahmu?”
Langkah kaki Ayumi berhenti. “Tidak,” ia menggeleng. “Itu yang terbaik yang sanggup kulakukan.”
“Kalau begitu kau sudah jadi yang terbaik,” Hamill berkata.
Ayumi tertegun, dan berbalik. Ternyata fotografer itu ada di sana, berjalan ke arahnya. Padahal, Ayumi sudah melarang Hamill datang karena—untuk alasan yang tidak begitu dipahaminya—Ayumi tidak ingin pria itu melihatnya gagal. Ayumi menutup ponselnya.
“Yang aku tahu, kau sudah memerankan Bidadari Merah yang hanya bisa diperankan olehmu sendiri. Bahkan Maya Kitajima tidak akan bisa memainkan Bidadari Merahmu. Kau sudah jadi pemenang,” Hamill tersenyum, seraya menaikkan kameranya dan mulai memotret Ayumi. Untuk pertama kalinya Ayumi tidak protes Hamill memotretnya terang-terangan di hadapannya.
Ayumi menghela napasnya. “Terima kasih,” katanya, terdengar tulus dan juga baru kali itu ia ucapkan kepada Hamill.
Saat gadis itu tersenyum hangat, Hamill bisa merasakan wajahnya menghangat dan jantungnya berdebar.
“Jadi, kapan?” tanya Ayumi seraya mendongak.
“Apa?” tanya Hamill yang masih linglung karena efek senyuman Ayumi.
“Kau berencana mengajakku berkencan.”
“Eh?” Hamill tertegun dan semakin salah tingkah.
“Aku ini aktris dan pandai berakting, sedangkan kau tidak,” ujar Ayumi, berusaha tenang. ”Jadi, kapan?” tanyanya lagi.
“Rencananya malam ini,” ujar Hamill. “Masih rencana…”
“Hmm…” Ayumi kembali berbalik, “Rencana yang bagus,” ujarnya dan meneruskan langkahnya yang tadi terhenti.
Hamill tersenyum lebar dan ia mengikuti gadis itu. Ia tak mengira Ayumi mulai membuka hati untuknya. Padahal, Hamill tahu benar tak ada yang mengisi kepala gadis itu selain akting.
“Siapa saja yang sudah kau beritahu mengenai hasilnya?” tanya Hamill lagi.
“Baru kau, aku bermaksud memberitahu Mama tetapi—“
“Senangnya,” ujar Hamill.
Ayumi tertegun, menyadari sesuatu dan wajahnya mendadak merona. Ia memalingkan wajahnya dari Hamill. Pria itu benar, ia tak harus kecewa karena kegagalan jika ia sudah melakukan yang terbaik. Selamat, Maya… Aku pun, tidak akan menyerah di sini. Aku akan terus menjadi semakin baik, tekad Ayumi.
=//=
“Maya, nanti aku ke apartemenmu ya,” kata Masumi kepada Maya saat konferensi pers sudah selesai.
“Pak-Pak Masumi… teman-teman dari teater Mayuko mau merayakan keberhasilanku ini, juga bersama Bu Mayuko. Maaf ya, Pak Masumi… kita bertemu lagi besok saja, bagaimana?” bujuk Maya.
Tak kentara Masumi menghela napasnya. “Baiklah…” desahnya. Ia ingin sekali memeluk dan mencium pipi gadis itu namun ia menahan diri agar tidak melakukannya. “Besok kita bertemu lagi. Aku harus mengantar Ayah pulang.”
Keduanya bertatapan. Mereka tahu saat ini waktunya Eisuke menyatakan sikap atas kesepakatan mereka sebelumnya.
“Brak!” Masumi menutup pintu mobil dan di sana sudah ada ayahnya.
“Jalan!” perintah Eisuke kepada sopir dan mobil segera melaju.
“Ayah—“
“Calon istrimu itu…” Eisuke memotong. “Benar-benar hebat. Dia bisa memenangkan kemungkinan satu persen tersebut.”
Calon istrimu… masumi tertegun mendengar perkataan Eisuke. “Ayah… kau…”
“Aku akan menepati janjiku. AKu tidak akan mengganggu kalian. Malahan,” ia menghela napasnya lega. “Memiliki menantu seorang Bidadari Merah memang luar biasa,” katanya.
“Ayah… jadi… Ayah tidak menentang hubunganku dan Maya?”
“Sejak dulu aku tidak pernah bermaksud menghancurkannya jika aku tahu dia berguna untuk kita.”
“Untukmu,” koreksi Masumi dengan dingin.
“Ya, apa pun. Secara pribadi aku tak ada dendam dengannya. Malahan, aku menyukainya. Aku sudah beberapa kali berbincang dengannya dan aku tidak heran jika kau memang jatuh cinta kepadanya. Hanya saja, kau tidak pernah mengatakan perasaanmu kepadanya.”
“Apakah jika kau tahu, kau akan mendukung perasaanku kepadanya?” tanya Masumi dingin.
“Entahlah,” tanggap Eisuke. “Toh hal itu tidak pernah terjadi sampai aku mengetahuinya sendiri dan kau sudah menyetujui pertunangan dengan Shiori.”
Shiori… Masumi terdiam. Tiap kali nama wanita itu disebut, Masumi hanya merasakan kepahitan. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Perasaan bersalah karena Ia melibatkan wanita itu. Mungkin, jika Masumi tidak membiarkan wanita itu jatuh cinta terlalu dalam, Shiori sudah menemukan pasangannya.
“Jadi, kapan kalian akan menikah?”tanya Eisuke.
“Ah, itu….” Masumi termenung. “Aku belum tahu. Belum sempat membicarakannya dengan Maya.”
“Aku akan memenuhi janjiku. Biar aku yang meminta maaf secara pribadi kepada keluarga Takamiya.”
“Ayah, aku ikut. Aku merasa… harus bicara dengan mereka sekali lagi.”
“Apa kau yakin?”
“Ya.”
=//=
“Kampaaaaii~!!!”seru Maya dan teman-temannya saat mereka merayakan kemenangan Maya di apartemen mereka.
“Jadi ini… apartemen kalian yang baru…” ujar Mayuko seraya tersenyum. Ini pertama kalinya Mayuko menginjakkan kaki di sini.
“Ini apartemen Maya,” terang Sayaka.
“Bu-bukan! Bukan! Ini apartemen Mawar—uhm, Pak Masumi!” Koreksi Maya cepat. Ah! Maya terdiam, begitu juga teman-temannya. Mereka bersamaan menoleh kepada Bu Mayuko.
Bu Mayuko hanya tersenyum mendengarnya. “Jadi sekarang kau mempunyai hubungan istimewa dengan Pak Masumi ya?”
“Ah…! I-itu… aku…” maya menunduk dan memainkan jemarinya. “Apakah ibu marah?”
“Tentu tidak… Ibu malah bangga kepadamu, karena kau sudah bisa bersikap dewasa, bisa memaafkan musuhmu. Ibu tahu benar bagaimana sulitnya itu, tetapi kalau kau lebih bahagia seperti itu, tentu saja kami semua juga bahagia.”
Maya tampak berkaca-kaca dan ia mengangguk. “Pak Masumi ternyata… pria yang sangat baik, dia adalah orang yang selalu mendukungku selama ini. Dia adalah si Mawar Ungu…”
“Pantas saja… sejak pementasanmu, ibu melihat ada yang berbeda di antara kalian berdua. Ternyata… kalian memang saling jatuh cinta. Selamat Maya, semoga bahagia,” ucap Bu mayuko.
Maya tak kuasa, ia memeluk gurunya itu. “TErima kasih, Bu Mayuko… terima kasih… Kupikir Ibu akan memarahiku…”
“Hahaha… tentu saja tidak. Kalau aktingmu buruk, aku pasti sangat marah. Tetapi masalah hati, itu sepenuhnya urusanmu, Maya,” Bu Mayuko balas memeluk anak didiknya itu. “Semoga bahagia.”
Yang lain pun ikut terharu melihat pemandangan tersebut.
=//=



Eisuke dan Masumi duduk dengan tenang di ruang tamu keluarga Takamiya. Tak lama kemudian tampak Tenno Takamiya menghampiri mereka dengan wajah dingin. Ia bahkan tak menyapa keduanya dengan ramah.

“Ada apa?” tanya pria tua itu tanpa memandang mereka.

“Tuan,” Eisuke Hayami membungkuk dalam di hadapan pria tua itu. “Aku sungguh meminta maaf atas semua keributan yang kami sebabkan,” pintanya.
Takamiya tak berkata apa-apa. Ia menelan ludahnya. Ia pun tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia sudah kehilangan seorang cucu laki-laki, dan satu-satunya cucu perempuan kesayangannya sudah mulai kehilangan akal. Ia yakin tak hanya Masumi. Siapa pun tidak akan mau lagi kepada cucunya tersebut.
“Saya turut prihatin atas apa yang terjadi kepada Tuan Yamashita dan juga kepada Nona Shiori. Apabila ada yang bisa kami lakukan untuk membantu, tolong jangan ragu untuk mengatakannya kepada kami,” imbuh Masumi.
“Kau mau menikah dengannya?” tanya tenno takamiya. Masumi terpaku, ia tak berkata apa pun. “Kalau begitu, tak ada apa pun yang bisa kau lakukan,” lanjutnya. Pria tua itu menghela napasnya. “Aku hanya ingin dia sembuh. Itu saja… aku akan memberikan apa pun kepadamu. Aku akan mewariskan semua yang kumiliki kepada Shiori, kau bisa menikmatinya, Masumi… Hanya itu yang bisa kulakukan untuk mengembalikan kesadaran Shiori.”
Masumi mengepalkan tangannya. Tidak bisa… ia tidak bisa seperti itu. Ia memiliki Maya dan ia milik Maya. Masumi tidak akan sanggup berpisah dengan gadis itu dan ia pun tahu Maya juga begitu. Mereka bisa mati perlahan jika dipisahkan.
“Maaf…” kata Masumi berat. “Sungguh… maafkan saya. Seharusnya, sejak pertama saya tidak menyetujui perjodohan ini. Jika tidak begitu, pasti Shiori pun tidak akan demikian berharap atas pernikahan kami.”
“Ini salahku,” tukas Eisuke. “Aku yang sudah tua ini yang memaksakan kehendak kepada putraku. Tuan Takamiya. Selama aku mengenal Shiori, dia adalah gadis yang sangat baik. Aku bahkan sudah menganggapnya putriku sendiri. Walaupun, mungkin aku bukan ayah yang baik. Jika saja ada yang bisa kulakukan untuk membuatnya kembali seperti dahulu, aku akan melakukannya,” terang Eisuke. “Karena itu, aku sudah memikirkannya. Mungkin, saat ini semua hal yang ada di sekitar Shiori membuatnya selalu terkenang kepada Masumi dan semua hal yang sudah terjadi. Karena itu, jika Tuan menghendaki, bagaimana jika Nona Shiori sementara waktu tidak tinggal dulu di sini? Mungkin menenangkan diri di suatu tempat? Saya  tahu kuil tempat orang-orang menenangkan diri dan dengan pemandangan indah dan suasana yang tenteram di Hokkaido. Di sana tidak hanya semata-mata guru dan biksu, tetapi juga terdapat para ahli, karena kuil tersebut memang sudah dijadikan tempat untuk mengembalikan kesadaran dan ketenangan batin seseorang. Saya rasa, jika Shiori tinggal di sana untuk beberapa bulan, dia pasti bisa sembuh,” saran Eisuke.
Takamiya menatapnya ragu. “Kau yakin?”
“Ya. Putri salah satu temanku pernah mengalami hal yang sama. Hanya dua bulan dia berada di sana, sekarang kesadarannya sudah sembuh total. Tolong, Tuan, pikirkan baik-baik, saya rasa ini patut dicoba,” saran Eisuke. “Aku pun pernah berada di sana untuk beristirahat. Suasananya memang sangat menentramkan.”
Takamiya menghela napasnya. “Terima kasih, Eisuke, aku akan mencobanya. Kuharap Shiori memang masih memiliki harapan.”
“Ya. Karena itu, mohon kerelaan Tuan Takamiya, untuk memutuskan masalah pertunangan Masumi dan Shiori. Aku harap di masa yang akan datang, tidak akan ada dendam dan perasaan mengganjal di antara kita. Aku masih berutang sangat banyak kepada keluarga Takamiya. Kuharap suatu saat akan diberi kesempatan membalasnya.”
Takamiya hanya mengangguk-angguk. “Baik, Eisuke, aku sudah mengerti maksud kalian.”
Kedua pihak saling membungkuk memberi hormat.
Takamiya menatap Masumi. “Apakah kau sudah memiliki rencana pernikahan dengan wanita lain?”
Masumi terdiam dan membungkuk membenarkan. “Saya akan menikahi wanita yang saya cintai,” terangnya. “Saya harap Shiori pun akan menemukan pria yang lebih baik dari saya, yang sesuai untuknya dan mencintainya.”
“Terima kasih, Masumi. Aku hargai kejujuranmu.”
Ayah dan anak itu berpamitan dan kemudian permisi dari kediaman konglomerat tersebut.
“Masumi, nanti ajak Maya makan malam bersama,” ujar Eisuke setelah keheningan yang lama.
“Mau apa?” tanya Masumi penuh curiga.
“Kau jangan khawatir begitu, aku tidak akan melakukan apa pun kepadanya. Apa salahnya menyambut anggota keluarga baru? Uhm… calon. Walaupun kurasa anak itu tidak menyukaiku, ya… kuharap kami bisa mengenal lebih baik sebelum kita menerimanya di rumah kita kan?”
“Ayah mengenai hal itu, aku tentu sudah tidak akan tinggal bersamamu lagi setelah menikah dengan Maya.”
Eisuke menyadari hal itu, mengingat Masumi pun sudah menyiapkan rumah yang akan ditinggalinya bersama Shiori saat keduanya masih berencana menikah.
“Aku tahu,” tukas Eisuke. “Tetap saja, mungkin suatu saat dia akan menjadi nyonya di rumah yang kita tinggali saat ini. Tidak ada salahnya kan aku lebih mengenal calon pewarisku?”
Masumi tidak berkata apa-apa lagi.
=//=
Maya bolak balik di depan cermin dengan sangat gugup. Tadi siang Masumi menghubunginya dan mengatakan bahwa Eisuke ingin mengajak makan malam bersama.Maya sangat terkejut. Dan, mengingat Eisuke adalah ayah Masumi, berarti calon mertuanya, Maya benar-benar gugup bukan main.
“Maya…” tegur Mina yang masuk ke kamar Maya dan Rei. “Tadi sebelum pergi bekerja Rei bilang kau sedang kesulitan dan aku diminta membantumu, kau kesulitan apa?” tanyanya.
“Minaa… tolong akuu!” rengek Maya. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan… Aku tidak tahu harus pakai baju yang mana… harus kuapakan rambutku… wajahku… aku harus tersenyum seperti apa? La-lau… berjalannya bagaimana?” tanyanya panik seraya melakukan jalan di tempat.
Mina ingin sekali tertawa kalau saja ia tidak melihat betapa serusnya wajah panik Maya.
“Kau gugup sekali ya?” Mina menghampiri Maya yang hanya mengenakan pakaian dalamnya. “Hum… kalau hanya bertemu Pak Masumi, pasti seperti itu saja dia sudah senang.”
“Hah!?” Maya menunduk mengamati dirinya. “Minaaa~!!” rajuk Maya dengan wajah semerah kepiting.
Akhirnya Mina tertawa. Ia mengerti sekali. Mina saja jika diajak makan bersama Eisuke Hayami pasti ia akan benar-benar panik dan salah tingkah. Tetapi, karena hal ini menimpa Maya, maka ia memutuskan bahwa ia harus berperan bijak.
“Maya, kurasa… karena kau akan menjadi anggota keluarga mereka, kau harus berusaha menjadi dirimu sendiri.”
“Menjadi diriku? Yang… yang makannya lahap sampai pipiku penuh. Yang sering nasinya belepotan? Yang tiba-tiba melamun saat teringat drama yang kutonton? Yang mendadak tuli saat melihat tayangan televisi? Yang menari-nari dan berteriak-teriak kalau mabuk?”
“Hahahaha… ya… tidak sampai sejauh itu. Kau kan, tidak akan melakukan itu semua jika kau menyadari bahwa itu salah.
“Tapi kesadaranku mudah sekali hilang,” keluh Maya seraya mengerucutkan bibirnya dan mendudukkan bokongnya di sisi tempat tidur.
“Begini saja, bagaimana jika kau… membayangkan bertemu dengan Kakekmu yang sudah lama tidak kau temui? Nah, tidak begitu menegangkan kan? Walaupun pasti awalnya gugup dan canggung, karena itu kakekmu, kau pasti akan berusaha menjaga perasaannya dan mau lebih mengenalnya. Walaupun… sebenarnya dia calon mertuamu.”
Menganggapnya kakekku… batin Maya. Mungkin tidak terlalu sulit. Dia sudah beberapa kali berbicara dengan Eisuke walaupun pria itu menyembunyikan identitasnya.
Aneh sekali kalau dipikir-pikir. Ayah dan anak itu suka sekali berpura-pura menjadi orang lain. Hanya saja, jika Masumi selama ini berperan antagonis padahal dia sangat mencintai dan perhatian kepada Maya, Eisuke sebaliknya. Ia bersikap sangat baik dan menyenangkan. Padahal, sesungguhnya dia pria berhati dingin musuh besar gurunya.
“Hhh…”
“Sudah, sudah,” tegur Mina, “Sampai kapan kau tidak akan berpakaian? Nanti masuk angin. Ayo cepat, kubantu memilihkan baju.”
Akhirnya, setelah memilah-milah dari sekian banyak gaun yang pernah dibelikan oleh Mawar Ungu, Maya memilih sebuah gaun sebatas betis dengan lengan panjang. Ia tidak banyak mengotak-atik rambutnya selain menysisirnya dengan rapi dan mengikat bagian atasnya ke belakang serta menyematkan pita dengan warna senada dengan pakaiannya. Mina membantu Maya mengaplikasikan make up di wajahnya agar ia tampak lebih cantik.
“Sudah!” kata Mina. “Kau manis sekali, Maya…”
“Manis…?” protes Maya. “Hh…” Maya menunduk.
“Loh? Memangnya kenapa? Kau memang manis, wajahmu manis, perilakumu juga manis.”
“Tapi di usiaku ini, aku kan sudah tidak pantas disebut manis. Hanya anak SMP yang akan merasa senang disebut manis.”
“Hahaha… tidak juga, masih banyak kan orang-orang dewasa yang malah berbicara dengan cara kekanakan agar mereka terlihat manis?”
“Tapi aku tidak mau….” Ia membayangkan bagaimana orang-orang akan mengatakan Masumi Hayami menikah dengan gadis yang manis. Bukannya dia tidak puas dengan predikat manis, ia bahkan sama sekali tidak merasa demikian. Tetapi, jika misalkan ada sesuatu yang bisa ia lakukan agar bisa mendapat predikat wanita yang anggun, bukankah itu lebih baik lagi?
“Sudahlah, kau jangan mengkhawatirkan yang tidak-tidak. Yang pasti,kau sekarang bisa bersama dengan pria yang kaucintai. Kau sangat beruntung!” Seru Mina seraya tersenyum lebar membujuk.
Maya melipat bibirnya dan perlahan senyuman terulas di sana. “Kau benar,” ujarnya. “Seharusnya aku memang tak perlu mengkhawatirkan yang tidak-tidak…”
“Ya!” Mina lantas memeluk Maya. “Selamat ya Maya… kuharap kau akan bahagia.”
“Terima kasih,” ucap Maya penuh haru.
***
“Wahh…” Mata Masumi melebar dan tampak melebar saat ia menjemput Maya petang itu. “Kau… tampak… sangat manis!” pujinya.
Maya yang sedari tadi tersenyum lebar, perlahan senyumannya terhapus dari wajahnya.
“Loh, ada apa?” tanya Masumi.
“Tidak,” Maya memalingkan wajahnya.
“Tidak? Tapi… Ayolah Mungil. Ada apa?”
“Mungil…” Maya merajuk.
“Ah, iya! Aku lupa sudah berjanji tak akan menyebutmu itu lagi,” Masumi menyeringai.
Maya tak bicara apa-apa.
“Ada apa?” desak Masumi. “Kenapa mendadak murung?”
“Pak Masumi, kita ini tidak serasi ya?” Maya mendongak dan wajahnya memelas, membuat Masumi terkejut.
“Tidak serasi?”
“Iya…” Maya menunduk lagi. “ Maksudku, kita ini berbeda sekali. Dari segi fisik saja, Anda sangat tinggi, tampan, berwibawa, cerdas—“
“Wah! Terima kasih,” kata Masumi, mengangguk tersanjung.
“Belum selesai,” tukas Maya dengan kecewa.”Aku sebaliknya. Pendek…”
“Benar.”
“Hah!?’ Dengan cepat Maya mengangkat wajahnya dan menatap Masumi kesal.
“Benar. Kau pendek,” Masumi menegaskan.
“Pak Masumi…!!” calon istrinya itu merajuk sementara Masumi tertawa saja. “Jangan tertawa! Aku serius… Aku…”
“Mung—eh, Maya, sudahlah, berhenti mengkhawatirkan hal-hal seperti itu,” kata Masumi lembut seraya merangkulkan tangannya ke bahu Maya. “Aku sama sekali tidak pernah—“
“Itu karena Pak Masumi bukan aku,” tegas Maya. “Karena di sini aku yang… yang… tidak…”
“Apa?”
“Yang… tidak sesuai untukmu. Maksudku, jika aku memintamu memikirkan wanita yang anggun kau pasti tidak memikirkanku kan? Mungkin… Ayumi? Atau…” suara Maya mengecil. “Shiori…”
Masumi mengerutkan alisnya, menatap Maya. “Maya…” pria itu menarik bahu gadis itu mendekat. “Kenapa kau harus merisaukan hal seperti itu?”
“Tapi—“
“Coba, kita ingat lagi. Sebelum saat ini, apa saja yang kita lalui hingga sekarang kau dan aku duduk berdampingan di sini?” Masumi berkata lembut seraya tersenyum hangat.Maya mendongak kepadanya. “Percobaan pembunuhan, badai di lautan, penculikan, ayahku… hm.. Sakurakoji…” Masumi menghitung dengan jarinya. “Nah? Banyak sekali kan? Jika setelah melalui itu semua lalu kita akan mulai merisaukan sesuatu seperti kau yang tidak anggun, perawakan kita yang tidak serasi… bukankah… itu sedikit terlambat?” Masumi tersenyum menggoda calon istrinya.
Maya tertegun. Perkataan Masumi sangat benar. Ia tersenyum malu.
“Jika menurutku ketidakanggunanmu atau apa pun itu yang sedang membuatmu merasa risau memang sesuatu yang bisa menghalangi kebersamaan kita, sudah tentu aku memikirkannya dari dulu kan? Tapi nyatanya, bagiku itu tidak penting,” Masumi meraih tangan Maya dan menggenggamnya. “Aku hanya ingin kita bisa seperti ini untuk selamanya, itu adalah hal harapanku yang paling besar… Karena itu, jangan lagi memikirkan hal-hal seperti tadi.”
Maya menghela napasnya seraya menunduk. Masumi benar. Mereka sudah berhasil melalui hal-hal besar yang bahkan mengancam hidup mereka. Mereka juga sudah menentukan sikap pada pihak=pihak lain yang menaruh hati kepada mereka. Seharusnya, Maya memang tidak perlu memikirkan hal-hal bodoh seperti masalah mereka yang tidak serasi bagi satu sama lain.
“Pak Masumi, kau tidak akan menyesal kan?” Maya bergumam memastikan.
“Tentu saja tidak. Sudah terlambat untuk menyesal, Maya, sudah terlalu banyak yang terjadi bagiku melepaskanmu dengan mudah. Karena itu, kau harus bersiap-siap karena seumur hidup, aku tidak akan melepaskanmu lagi!”
Maya mendongak dan wajahnya merona. Ia hanya tersenyum bahagia.
“Maaf ya,” katanya, “Kurasa… aku gugup, aku jadi berpikir yang tidak-tidak… kurasa… Pak Eisuke, pasti bermaksud menghabisiku…”
“Hahaha…” Masumi tertawa mendengar perkataan Maya. “Sepertinya tidak. Dia sudah menerimamu. Bagaimana pun, kau itu Bidadari Merah. Hanya orang bodoh yang akan menolak kedatangan Bidadari Merah.”
“Bisa saja…” gumam Maya dengan wajah memerah.
Masumi berbisik di telinga gadis itu agar sopirnya tidak mendengar. “Menurutku kau sangat cantik dan manis, aku tidak mengerti mengenai gadis lain karena aku tak peduli kepada mereka.
Saat keduanya tiba di kediaman Hayami, Masumi meraih tangan Maya dan menuntunnya masuk ke dalam. Ia bisa merasakan ketegangan di tubuh gadis itu, dan sesungguhnya, Masumi pun merasakan ketegangan yang sama. Ia tidak tahu benar apa yang Eisuke kehendaki dengan pertemuan mereka berdua.
“Tuan Besar sudah menunggu,” sambut seorang pelayan.
“Terima kasih,” jawab Masumi, dan genggaman tangannya semakin erat.
Keduanya berjalan menuju ruang makan. Dan di sana memang sudah ada Eisuke.
“Selamat malam,” sapa Masumi.
“Selamat malam,” Maya ikut menyapa dengan gugup dan hanya terdengar bergumam.
“Selamat malam,” suara berat Eisuke terdengar. “Silakan duduk.”
Masumi duduk di kepala meja di seberang Eisuke sementara Maya duduk di sebelah kanan Masumi. Eisuke lantas memberi aba-aba kepada kepala pelayan agar menghidangkan makan malam mereka.
“Kau terlihat cantik, Maya,” puji Eisuke.
“Eh? Ah… te, terima kasih, Tuan…” jawab Maya gugup. Masumi pun hanya terdiam ia merasa seperti sedang berada di ruang ujian.
“Oh ya, selamat untuk keberhasilanmu mendapatkan Bidadari Merah. Jadi, kau akan menunjuk Daito sebagai penyelenggaranya kan?” tanya Eisuke.
Sama sekali tanpa basa-basi… batin Masumi.
“Mengenai hal itu,” Maya bergumam, sejenak memberikan lirikan kepada Masumi. “Saya sudah memikirkannya baik-baik dan saya ingin Pak Masumi yang mengatur semuanya.”
Masumi tampak terkejut. “A-aku?”
“Mungkin maksudmu Daito?” Eisuke mengoreksi.
“Bukan. Pak Masumi. Aku akan membicarakannya dengan Pak Masumi apa yang sebaiknya kulakukan, aku menyerahkan keputusannya kepada Pak Masumi.”
“Maya…” Masumi mendesis terharu.
“Wah, wah, wah wah…” EIsuke mendecak dan menggeleng. “Kau sungguh tidak percaya kepadaku ya, saat kukatakan bahwa kau dan Masumi bisa bersama? Jadi karena itu kau menyerhkan keputusannya kepada Masumi? Jadi maksudmu, aku tidak bisa menyingkirkannya dari Daito atau pun melarangmu bersamanya karena sekarang kalian berdua yang memegang keputusan mengenai akan dikemanakan Bidadari MErah itu? Hahahaha…. Tidak kukira, kau sangat cerdas,” puji Eisuke.
“Benar. Bidadari Merah mungkin bisa dipentaskan oleh Daito jika Pak Masumi menginginkannya,” kata Maya.
Sekali lagi Eisuke tertawa. “Maya Kitajima,” ia kali ini tersenyum ramah. “Percayalah, aku tidak akan melanggar perjanjianku denganmu. Masumi sudah sepenuhnya milikmu kalau kau mau. Lagipula, saat aku melihat Bidadari Merahmu, aku sangat bersyukur, aktris sepertimulah yang akhirnya meneruskan Bidadari merah Mayuko. Aku tak mengira kau bisa berakting sehebat itu.”
Maya tertegun, mengamati Eisuke dengan bingung. Pak tua itu terdengar tulus. Apakah ia sedang berpura-pura? Atau…
“Aku benar-benar bahagia, di usia tuaku ini, aku tak mengira masih diberi kesempatan untuk menyaksikan sandiwara Bidadari Merah. Rasanya sangat luar biasa. Aku sempat putus asa saat Mayuko mengalami kecelakaan,kupikir selamanya akting Bidadari Merah tidak akan pernah bisa ditampilkan lagi. Tetapi… saat melihatmu, seperti diberi kesempatan kedua untuk hidup lagi. Aku sudah merasa seakan-akan semua usahaku membuahkan hasil. Aneh memang padahal kita ini orang asing,” Eisuke tertawa lagi. “Karena itu, aku dengan senang hati menyambutmu di keluarga kami jika kau memutuskan menjadi putriku. Aku sangat berharap pernikahanmu dan Masumi bisa terwujud,” pria itu tersenyum hangat.
“Paman…” desah Maya terkejut, juga tersentuh. Ia tak mengira pria itu benar-benar menerima Maya di rumahnya. “Te-terima.. kasih…” wajah gadis itu merona.
“Yah, walaupun mungkin kau tidak tinggal di sini, karena Masumi sudah menyediakan rumah untuk kalian nanti—“
“Rumah?” Maya tertegun, menoleh bingung kepada Masumi.


“A-ayah… kami belum membicarakan masalah itu,” tukas Masumi.

“Oh, berarti kau juga belum memberinya cincin?”
“CIncin?” mata Maya membulat.
“A-Ayah! Itu…” Masumi menoleh gugup kepada Maya yang memandangnya tak percaya.
“Wah… Aku sepertinya sudah merusak kejutanmu ya,” Eisuke tertawa sementara Masumi mendelik kesal.
***
Setelah selesai dengan makan malam mereka, Eisuke dengan tahu diri menyingkir dari keduanya sementara Masumi mengajak Maya berjalan-jalan di taman. Ia menyampirkan jasnya di bahu gadis itu saat Maya sedang mengamati airmancur yang berada di taman. Gadis itu mendongak dan tersenyum malu-malu kepada Masumi.
“Terima kasih,” gumamnya hampir tidak terdengar. Entah karena suasananya, atau apa yang ia dengar dari Eisuke, bahwa Masumi telah menyiapkan semuanya untuk masa depan mereka nanti, Maya merasa gugup di dekat Masumi saat ini.
Masumi mengamati Maya dengan hangat. “Kau sudah harus pulang ya,” sesalnya.
Maya mengangguk sedikit cemberut. “Kapan kita bertemu lagi?” tanya Maya yang bisa merasakan hatinya merindu.
“Besok mungkin,” ungkap Masumi. “Kurasa aku bisa menyempatkan diri bertemu denganmu. Kau masih libur dari latihan kan?”
“Iya,” wajah Maya berbinar. “Wah… senangnya… besok sudah bisa bertemu lagi.”
Masumi tersenyum simpul. “Aku ingin mengajakmu ke vilaku nanti kalau sudah ada waktu,” wajah pria itu menghangat.
“Kapan?” tanya Maya.
“Entahlah… menurutmu, kapan sebaiknya?”
Maya berpikir dengan wajah menghangat. “Kapan saja aku setuju.”
“Kalau menikah denganku? Kapan kau menginginkannya?” tanya Masumi, membuat Maya terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba tersebut.
“Me-menikah…” Ia tahu Masumi sudah berniat melakukan hal itu, namun Maya masih sering tidak percaya bahwa mereka berdua akan berada di pelaminan.
“Ya… kau pasti sudah mendengar apa yang ayah katakan tadi kan?” Masumi tersenyum seraya meraih kedua tangan Maya dan menggenggamnya. “Aku ingin kau menikah denganku,” ia mengusap jemari Maya. “Memang kejutannya gagal, tetapi…” Masumi meraih ke dalam saku jas yang sekarang dikenakan Maya, mengeluarkan sesuatu dari sana. “Aku memang sudah menyiapkan cincin ini untukmu dan kuharap ukurannya pas.”
“Pak, Pak Masumi…” Maya terkesiap, dan matanya segera berkaca-kaca.
Pria itu melepaskan genggaman tangannya dan memasukkan cincin dengan batu permata merah tersebut ke jari manis Maya. “Sepertinya pas,” pria itu lega.
“Iya…” kali ini Maya sudah menangis. “Pas.” Gadis itu mendongak dan menggigit bibirnya tipis.
“Eh, kau menerima lamaranku kan?” Masumi menggodanya.
“Ya! Tentu saja!” jawab Maya dengan pasti, dan ia bisa melihat wajah Masumi segera menyala bahagia.
Pria itu meraih pinggang kekasihnya, keduanya berpelukan. Tidak terlalu lama dengan posisi tersebut, tangan Masumi meraih rahang Maya dan bibirnya segera meraih bibir gadis itu, memagutnya, menciuminya dengan dalam. Maya mulanya sangat terkejut dan tak bisa mengimbangi Masumi yang sepertinya tiba-tiba saja di luar kendali. Gadis itu berusaha keras hanya untuk sekedar bernapas.
“Pak… Pak Masumi…” Maya terengah saat keduanya mulai memisahkan diri. Wajahnya sangat panas dan berwarna begitu merah. Mata mereka bertemu dan tiba-tiba saja Maya jadi merasa lumpuh, semua kekuatan menghilang dari tubuhnya. Gadis itu susah payah menelan ludahnya sendiri karena tatapan Masumi membuatnya merasa tercekat.
Masumi tak berkata apa-apa dan sekali lagi dengan cepat memeluk gadis mungil itu dengan erat. “Aku telah lama menunggumu…” katanya dengan suara bergetar. “Menunggu kau menerimaku dalam hidupmu. Dan, tidak lama lagi, kau benar-benar akan menjadi milikku,” masumi berkata penuh rasa bahagia.
“Pak Masumi,” Maya menyurukkan dirinya lebih dalam. “Aku hanya untukmu. Untukmu seorang. Kau bisa menjadikanku milikmu kapanpun kau mau.”
“Maya…” pria itu tersenyum bahagia. “Bagaimana jika tanggal 14?” tawar Masumi. “Tanggal 14 Februari mendatang?”
“Valentine?” alis Maya terangkat.
“Ya. Saat itu pementasanmu sudah selesai. Sempurna kan? Dan… liburan akhir tahun ini, natal nanti… Kita umumkan mengenai pertunangan kita.”
“Valentine… tahun depan?” tanya Maya. Sekitar empat bulan lagi. Maya tersenyum bahagia. “Ya! Aku mau!!”
Masumi kembali tersenyum lebar, ia mengangkat pinggang gadis itu dan memutarnya, keduanya tertawa bahagia.
“Valentine! Kami datang!” seru Masumi, dan Maya hanya tertawa-tawa saja.
Di kamarnya, Eisuke menggaruk-garuk kepalanya karena tidak bisa tidur mendengar seruan dan tawa dari keduanya.
***
Para wartawan tampak bingung dengan undangan konferensi Pers yang diadakan Daito—tepatnya, Masumi Hayami—menjelang liburan natal tahun ini. Mereka pikir ini mungkin berkaitan dengan pementasan Bidadari Merah yang akan diadakan awal tahun nanti.
Memang banyak yang tidak mengira, walaupun tidak begitu terkejut, bahwa akhirnya Daito berhasil ditunjuk sebagai penyelenggara pementasan Bidadari Merah Maya Kitajima. Akhirnya perseteruan abadi antara teater Mayuko dan Daito berakhir dengan kolaborasi di antara keduanya. Dan sepertinya, hubungan keduanya semakin membaik. Beberapa kali Maya dan Masumi terlihat makan bersama, dan gosip pun beredar bahwa kedekatan keduanya lebih dari sekedar rekan.
Apalagi cincin dengan permata rubi yang tidak pernah lepas dari tangan Maya pun semakin menimbulkan tanda tanya mengenai apakah gadis itu sudah tidak sendiri. Namun, banyak juga yang meragukan bahwa kerja sama antara Maya dan Masumi berakhir dengan kisah asmara, karena mereka berpikir keduanya sama sekali tidak serasi.
Belum lagi, semua sudah tahu bagaimana gencarnya Masumi mendekati seseorang yang penting bagi perusahaannya. Tidak hanya sekali dua kali Masumi tampak makan siang dengan seorang wanita yang penting di dunia hiburan atau seorang primadona. Banyak yang mengira, Masumi mengemban motif yang sama saat pria itu mendekati Maya.
Namun di luar dugaan, memang untuk itulah Masumi mengadakan konferensi pers malam ini. Hanya ada Maya dan Masumi yang duduk di meja narasumber. Maya terlihat cantik dan menunduk dengan gugup. Sementara Masumi walaupun terlihat tenang sebenarnya menyembunyikan rasa gelisahnya
“Terima kasih kepada rekan-rekan wartawan yang sudah memenuhi undangan kami. Singkat saja, konferensi pers ini untuk mengumumkan mengenai hubungan saya dan Nona Maya Kitajima.”
Ha? Semua wartawan terkejut, dan ruangan segera riuh.
“Saya sudah melamar Nona Maya, dan kami sudah sepakat untuk menikah. Pernikahan kami akan diselenggarakan setelah pementasan Bidadari Merah selesai. Kami memohon doa restunya, serta dukungan dari semua pihak. Semoga setelah ini kita bisa bekerja sama dengan baik. Terima kasih atas dukungannya selama ini kepada kami…” Masumi membungkuk memberi hormat dan diikuti oleh Maya.
“Silahkan jika ada rekan wartawan—“
“Apakah ini demi kepentingan bisnis? Apakah ini ada kaitannya dengan promosi Bidadari Merah?”
Maya dan Masumi saling memandang. Pria itu sudah mengatakan bahwa pasti akan ada pihak yang berpikir demikian.
“Kami sepakat menikah karena saling mencintai, dan ingin saling mendukung satu sama lain. Tidak ada kaitannya dengan promosi Bidadari Merah. Ini bukanlah sensasi yang sengaja kami buat hanya untuk menaikkan popularitas pementasan itu. Bidadari Merah tidak membutuhkan hal seperti ini hanya untuk menaikkan popularitasnya, pentas itu sendiri sudah cukup fenomenal. Ini adalah komitmen kami berdua agar semua pihak tahu bahwa kami berdua berniat menikah.”
“Maya, seperti yang kau tahu, maaf…” wartawan wanita itu tertawa ramah. “Sebelumnya Tuan Masumi sudah bertunangan cukup lama dengan seorang wanita namun tiba-tiba rencana pernikahannya dibatalkan beberapa bulan lalu. Dan, sekarang tiba-tiba kau bertunangan dengan Tuan Masumi, apakah… tidak khawatir hal—“
“Aku akan memastikan hal itu tidak akan terjadi,” tegas Masumi yang tak memedulikan fakta wartawan itu bertanya kepada Maya. “Andai saja Maya tidak ada jadwal latihan dan pentas, kami mungkin sudah menikah saat ini juga.”
Maya melirik mesra kekasihnya dan tersenyum tipis. “Saya harap pernikahan kami bisa mendapat dukungan semua pihak, dan saya berjanji hal ini tidak akan mengganggu masalah latihan atau pementasan. Karena itu, mohon bantuan dan kerja samanya.” Maya mengucapkan kata-kata yang sudah dilatihnya.
“Sejak kapan kalian menjalin hubungan?”
“Apa konsep pernikahan yang akan digunakan?”
“Apakah ada pihak yang menentang—“
Masumi tidak menghiraukan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya dan hanya mengatakan ia akan mengabari lagi setelah tanggal pernikahan diumumkan. Ia lantas membawa Maya keluar dari sana dan tidak ada yang berani mencegahnya.
“Hhh… melelahkan,” keluh Masumi saat mereka berdua sampai di kantor pria itu. “Banyak sekali mulut yang bicara dan mereka itu selalu saja ingin tahu!”
“Itu kan pekerjaan mereka…” timpal Maya seraya tersenyum pengertian. Ternyata memang ada kalanya Masumi yang terkesan dingin itu mengeluh. Hm… tampaknya Maya harus mengubah pandangannya mengenai pria itu. Masumi memang terlihat dingin, tetapi sebetulnya tidak. ia jauh dari itu, ia sangat perhatian dan hangat. Setiap hari Masumi menghubunginya dan bertanya mengenai kabarnya, latihannya, padahal Masumi juga cukup sering datang ke studio latihan mereka.
Begitu juga saat ini, pria itu bertanya apakah Maya sudah makan, apakah konferensi pers tadi melelahkan, apakah dia mengalami kesulitan saat berlatih dan sebagainya.
“Aku baik-baik saja, semuanya menyenangkan,” terang Maya seraya tersenyum walaupun tubuhnya sangat pegal karena ia terus-terusan berusaha melenturkan dan meringankan tubuh. Ia juga belajar beberapa tarian agar gerakan tubuhnya lebih indah.
“Benar?” tanya Masumi tidak percaya. “Kudengar kau sampai menangis…”
“Habiiiss… tak peduli apapun yang kulakukan, aku tak bisa berdiri di atas ibu jarikuuu!” keluh Maya akhirnya. Terdengar Masumi tertawa keras.
Pria itu melingkarkan lengannya di bahu Maya. “Bersabarlah. Aku sudah melihat banyaak sekali kemajuan darimu. Aku yakin pementasan nanti, kau akan jauh lebih baik dari pentas percobaannya. Orang-orang yang sudah terpesona dengan aktingmu saat itu, aku jamin akan semakin terpesona nanti. Pasti begitu!”
“Pak Masumi…” Maya terharu. “Terima kasih…” Gadis itu memeluk Masumi. Keduanya bertatapan, dan kembali berciuman.
“Kau masih akan ada di sini kan?” kata Masumi seraya merangkul Maya.
Alis Maya berkerut mendengar pertanyaan Masumi. “Aku memang sedang libur latihan, tetapi apa yang harus kulakukan di sini?” tanya Maya.
“Ya, diam saja di sini, asal aku bisa melihatmu.”
“Mengigau,” Maya tertawa.
“Iya, di sini saja, seperti pajangan. Pasti kantorku lebih menyenangkan.”
Dan sekali lagi Maya tertawa semakin keras. “Kurasa aku sudah harus pergi. Ibu Matsuyama sudah menunggu. Katanya aku sudah bisa mencoba kimononya.”
“Aku ikut.”
“Pak Masumi, katanya kalau mempelai pria melihat pakaian mempelai wanita, nanti bisa sial.”
“Pakaian apa? Pakaian dalam?”
“Bukan!” Maya menggeleng dan sekali lagi tertawa. “Pakaian pengantinnya!”
“Ah, itu kan mitos barat. Di Jepang tidak ada yang seperti itu. Kalau di sini, saat melihat pakaian pengantin wanitanya, mempelai pria bisa semakin jatuh cinta.”
“Oh ya?” alis Maya terlonjak. “Aku baru mendengarnya.”
“Ya karena aku pun baru mengarangnya.”
“Hahaha…. Pak Masumi… ada-ada saja,” Maya tertawa manja.
“Tapi kurasa memang akan seperti itu. Membayangkan kau memakai pakaian pengantinnya saja…” Masumi tak meneruskan ucapannya, tetapi cara pria itu memandang sudah menjelaskan semuanya. Jemari pria itu membelai rambut Maya lembut dan tatapannya semakin teduh, sementara Maya merasa semakin gugup saat wajah Masumi semakin mendekat.
Gadis itu bisa merasakan hembusan napas kekasihnya yang hangat, dan kemudian bibirnya. Keduanya kembali terlibat dalam ciuman yang dalam dan panjang. Maya bisa merasakan wajahnya terasa semakin panas demikian juga tubuhnya yang dirangkul semakin dekat.
“Su-sudah…” pinta Maya, saat berusaha memalingkan wajahnya dari Masumi. “Pak Masumi…” sekarang gadis itu merajuk meminta Masumi melepaskan pelukannya. Satu sisi dalam dirinya masih ingin berada dalam pelukan pria itu, dan satu sisi bisa menyadari Masumi sepertinya sedang tidak bisa menahan dirinya padahal mereka masih berada di kantornya! Bagaimana jika sekretarisnya masuk dan memergoki mereka? Eh, apakah tadi Pak Masumi mengunci pintunya atau tidak? Belum sempat Maya mengingat jawabannya, bibir pria itu sudah kembali mengecup pipi Maya.
Gadis itu terkejut dan menoleh kepada kekasihnya. “Pak Masumi…” Maya semakin merona. “Sudah…” katanya, mendorong dada pria itu menjauh.
Tatapan sakit sejenak tampak di mata pria itu. “Kau tidak merindukanku ya…”
“Ri-rindu…” aku Maya jujur. “Tetapi… Pak Masumi… jangan… anu… nanti… anu hmm…” Maya tampak mali dan salah tingkah, dan hal itu juga menular kepada Masumi. Ia menyadari sedikit lupa diri.
“Iya, maaf ya…” suara pria itu terdengar jantan. “Hanya saja aku begitu merindukanmu, jadi aku…” ia menarik tangannya dan meluruskan posisi duduknya. “Mungkin karena aku juga sangat senang karena sekarang semua orang sudah tahu bahwa kita bertunangan. Hanya beberapa bulan lagi kita menikah.”
“Pak Masumi…” gadis itu kembali tersentuh. “Sekarang jadi aku yang ingin memelukmu,” ujar Maya malu-malu. Masumi menoleh mendengar perkataannya dan tersenyum hangat. Ia menyambut Maya yang kembali dalam pelukannya.
“Nanti setelah rapat selesai, aku akan menyusulmu ke butik.” Masumi berkata seraya mencium rambut kekasihnya.
***
Maya benar-benar gugup saat persiapan pementasan Bidadari Merah. Tiket terjual dengan sangat cepat. Hanya dalam waktu satu hari, sudah hampir semua tiket terjual untuk pementasan satu bulan ke depan. Selain itu, orang-orang yang menyaksikan pada hari pertama bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka merupakan para kritikus dan orang-orang ternama. Tidak hanya saja yang sedang populer saat ini namun juga orang-orang legendaris di dunia sandiwara baik sebagai produser ataupun pemain. Maya sangat gugup saat mengetahui ada nama-nama yang sudah dia dengar sejak masih kecil.
Aduuuh… bagaimana ini… Maya gelisah di ruang gantinya. Aku tidak akan sanggup berakting di depan orang-orang itu… aduhh… tanganku dingin begini, dan, gemetar seperti ini…  Maya juga merasakan perutnya melilit karena gugup. Pak Masumi… kau di mana? Kenapa kau belum mendatangiku. Aku membutuhkanmu sekarang.
Harapan Maya terjawab. Sebuah ketukan terdengar di pintu ruang gantinya dan gadis itu mendengar Masumi berkata.
“Maya, ini aku.”
Maya dengan cepat beranjak ke pintu dan membukanya. Ia mendongak, mendapati sebuah buket mawar ungu yang besar menutupi wajah seseorang. Hanya melihat telapaknya saja Maya sudah mengenal itu Masumi.
“Pak Masumi!”
Masumi menurunkan buket bunga dari wajahnya. “Kejutan!” ujarnya seraya tersenyum. “Ini untukmu,” ia menyerahkannya kepada Maya.
“Pak Masumi…!” Maya dengan cepat menerima buket bunga tersebut dan segera memeluk Masumi. “Pak Masumi… aku takut…” isak Maya, dengan suara dan tubuh yang gemetar. “A-aku tidak sanggup… orang-orang itu…mereka… orang-orang hebat. Bagaimana kalau… kalau… aku gagal, kalau aku…”
“Tentu saja yang datang orang-orang hebat,” ujar Masumi dengan tenang walaupun ia sangat terkejut dengan keadaan Maya, namun ia bisa memahaminya. “Karena, pementasan ini adalah pementasan yang hebat. Sandiwara hebat, peran yang hebat, sutradara yang hebat, para pemain yang hebat, dan,” Masumi mengangkat dagu Maya lalu tersenyum. “Pemeran utama yang hebat! Hanya kau, yang bisa memerankan Bidadari Merahmu.”
“Pak… Masumi…”
“Kalau melihat penonton lain membuatmu takut, kau mau kan melakukannya untukku? Hanya untukku? Bayangkan saja kau hanya berakting di hadapanku. Tidak menakutkan kan? Aku sudah menontonmu sejak pentan perdana dulu. Aku penonton setiamu loh, pasti kau sudah terbiasa berakting di hadapanku kan?”
Pak Masumi… Maya menatap kekasihnya penuh rasa haru dan terima kasih, dan perlahan rasa tenang dan damai menghampiri hatinya. “Iya…” gadis itu perlahan tersenyum lagi. “Aku memang selalu berakting hanya untukmu, Mawar Unguku… Pak Masumi… terima kasih,” matanya berkaca-kaca.
“Bagus! Dan aku sangat tahu dari perkembanganmu, kau luar biasa. Kau akan membuat mereka terpesona, juga aku!” kedua telapak lebar pria itu menyentuh bahu Maya. “Kau akan baik-baik saja.”
Kau akan baik-baik saja…
Maya tersenyum tipis dan mengangguk. “Terima kasih, Kekasihku…”
Perlahan Masumi mengusap pipi Maya. “Kau sangat cantik,” pujinya. “Sayang sekali aku tak bisa melakukan apa pun saat ini terhadap wajahmu karena make up mu akan luntur,” keluhnya dan Maya tertawa kecil dengan wajah merona yang menggemaskan. “Aku menunggumu, di dunia Bidadari Merah, tunjukkan mimpi yang indah kepadaku, seperti saat itu,” pinta Masumi di telinga gadis itu.
Maya menoleh dan kembali mengangguk. “Anda akan bangga kepadaku,” ia bertekad.
AKhirnya Maya bisa lebih tenang, apalagi saat ia membaca kartu yang berada dalam buket Mawar Ungu yang Masumi bawa. Gadis itu berusaha menyingkirkan semua kerisauannya. Ia akan menjadi Bidadari Merah. Bidadari Merahnya sendiri.
Pementasan malam itu berlangsung sukses.Sejak awal pementasan dimulai hingga pementasan selesai, tidak ada seorang pun yang beranjak meninggalkan tempat duduknya. Bahkan para senior yang datang dengan perasaan skeptis dan berpikir akan pulang di menit-menit awal babak pertama, tetap diam di tempatnya hingga pementasan selesai.
Maya sangat memesona, bahkan jauh berkembang dari saat pementasan percobaan. Gerakannya memukau, cara bicaranya, berekspresi dengan setiap bagian tubuhnya dari ujung rambut hingga kaki. Setiap penonton sama sekali tidak melihat Maya Kitajima. Yang mereka lihat hanya Akoya, dan Bidadari Merah. Tak seorang pun memalingkan tatapannya dari panggung.
Saat pementasan berakhir, tepuk tangan bergemuruh dengan sangat keras dan panjang. Tanpa henti. Banyak yang bahkan mengucurkan airmata di wajah mereka. Satu per satu pemain di panggil kembali ke atas panggung. Saat Maya menampakkan dirinya, semua orang di ruangan itu berdiri, dan terus bertepuk tangan tanpa henti. Tetapi hanya kepada satu orang mata gadis itu mencari. Masumi Hayami.
Dan pria itu ada di sana, tersenyum penuh rasa bangga dan bahagia. Saat itulah Maya tahu, bahwa ia sudah melakukan yang terbaik. Maya balas tersenyum kepada pria itu yang tanpa suara mengucapkan. “Aishiteru.” Wajah Maya bersemu, dan airmatanya mulai luruh ke pipinya.
***
“Maya! Maya!” panggil Sakurakoji, yang membuat Maya kembali kepada dirinya snediri. Ia tertegun, mengamati wajah di hadapannya.
Isshin… Sakurkoji Yu…
“Sakurakoji…” gumam Maya. Ia merasa seidkit tegang. Selama ini keduanya tak banyak berinteraksi di luar latihan. Walaupun mereka berusaha bersikap profesional, teramat jarang Sakurakoji menyapa Maya di luar waktu latihan. “Ada apa?” tanya Maya dengan gugup.
“Tadi itu,” wajah Sakurakoji melembut, “sangat luar biasa. Kau, benar-benar luar biasa. Aku jadi terbawa, aku… selama ini, bahkan saat pentas percobaan, tidak pernah begitu hanyut dalam peranku menjadi Isshin. Tetapi tadi… aku sungguh bersyukur lawan mainku adalah kau. Aku bisa mengerti dan merasakan, bagaimana mencintai dan dicintai sepenuh hati, sehidup semati…” ucap Sakurakoji. “Kau lawan main yang istimewa, aku sungguh merasa terhormat bisa menjadi pasanganmu di atas panggung,” ia mengulurkan tangannya. “Mari kita sukseskan pementasan ini sampai hari terakhir.”
“Sakurakoji…” Maya berkaca-kaca. “A-aku juga… jika bukan kau lawan mainku, mungkin… mungkin aku pun tidak akan bisa menjadi Akoya yang seutuhnya.” Maya menerima uluran tangan itu. “Mohon kerja samanya, Isshin…”
Sakurakoji tersenyum lembut. “Dan selamat, untuk pertunanganmu dengan Pak Masumi. Kuharapkan yang terbaik bagi kalian berdua.”
“Kau juga,” jawab Maya.
Setelah saling menatap beberapa lama, Sakurakoji melepaskan genggaman tangannya dan meninggalkan Maya.
“Mesranyaa…” seseorang berseloroh.
Maya menoleh ke arah suara. “Pak Masumi!!” raut Maya tampak bahagia. Spontan kakinya berlari menuju kekasihnya dan ia segera memeluk Masumi dengan sangat erat. Masumi menyambutnya dengan cara yang sama.
“Kau luar biasa!” puji Masumi seraya memeluk Maya dengan erat.
“Benar?”
“Ya!”
“terima kasih! Aku senang sekali jika Anda menyukainya.”
“Ya, dan juga seluruh penonton,” ujar Masumi.
Maya tersenyum riang. “Oh, ya… apa maksudmu dengan kata-kata mesranya tadi?”
“Itu… kau dan Isshinmu, mesra sekali sepertinya barusan.”
Maya tekikik, “Kami hanya bersalaman, dan sepakat untuk melakukan yang terbaik sampai hari pementasan terakhir.”
“Ya… tapi melihat kalian benar-benar membuatku cemburu. Apalagi adegan Isshin dan Akoya.”
“Yang mana?” tukas Maya cepat. “Katakan, yang mana Pak Masumi? Aku akan mengucapkan dialognya untukmu juga,” rayu Maya. “Karena kau lah Isshinku yang sesungguhnya.”
Masumi sejenak tertegun, dan ia tersenyum lebar. ISshin yang sesungguhnya…
Masumi memeluk gadis itu lagi. “Terima kasih…” ia mengecup pipi gadis itu. Ia lantas menjauhkan Maya darinya. “Semua orang sudah menunggu di tempat pesta. Cepat berganti pakaian, kita ke sana bersama-sama.”
“Baik!” Maya mengangguk dengan wajah riang dan segera beranjak ke ruang gantinya. Sudah ada pakaian yang disiapkan untuk pesta syukuran pementasan perdana ini.



Gadis itu keluar lagi setelah siap dengan dandanan dan riasannya. Masumi sudah menunggu, pria itu tersenyum lebar.
“Kau benar-benar cantik,” pujinya. “Aku jadi ingat saat kita berada di Astoria.”
“Terima kasih,” gadis itu merona. “Kuharap kau bukan hanya hendak membesarkan hatiku.”
“Tidak, kau benar-benar cantik.” Puji Masumi seraya mengusap pipi gadis itu dengan ibu jarinya. “Aku jadi ingin segera membawamu lari dari sini dan menyekapmu.”
“Mengerikan,” seloroh Maya. “Aku masih trauma dengan penculikan sebelumnya.”
Masumi terkekeh mendengarnya. Ia lantas menawarkan lengannya kepada Maya. “Mari?”
Maya mengangguk dan mengaitkan lengannya di sana. Gadis itu menghela napas dan melangkah bersama kekasihnya.
Sepanjang pesta malam itu tidak sekalipun keduanya berjauhan. Masumi memperkenalkan Maya kepada orang-orang yang belum dikenalnya. Pria itu selalu berbicara perlahan dan menatap wajah Maya saat keduanya berbicara. Terlihat jelas sekali bahwa Masumi sangat mencintai dan menyayangi Maya. Walaupun awalnya banyak yang meragukan, namun kali ini mereka mengerti bahwa Masumi memang teramat mencintai gadis mungil yang berada di sampingnya. Yang beberapa kali tampak tertawa kecil digoda kekasihnya. Yang wajahnya merona dengan mudah saat mendengar rayuan calon suaminya. Tidak sekali dua kali Masumi mengusap telapak Maya yang terkait di lengannya. Malahan, ada kalanya mereka seperti terlihat hanya ada di sana untuk satu sama lain dan tak melihat orang-orang di sekitarnya.
Masumi mengantar Maya setelah pesta penutupan itu selesai.
“Tidur yang nyenyak,” pesan Masumi.
Maya menatap kekasihnya. “Pasti,” gadis itu tersenyum lembut.
“Hanya tinggal dua minggu lagi sebelum pernikahan kita nanti,” Masumi menatap penuh cinta kepada kekasihnya. “Kau harus menjaga dirimu baik-baik. Aku tidak mau mendengar alasan apa pun yang akan membuatmu tidak muncul di hari pernikahan kita.”
Maya tertawa. “Ya. Aku pasti datang. Kalau Anda kabur juga, aku pasti mengejar!”
“Mustahil aku kabur, badanku sebesar ini, mau sembunyi di mana?”
Maya mendengar ucapan Masumi dan tertawa, namun tawanya perlahan lenyap saat tatapan penuh cinta Masumi mulai membuat jantungnya kalang kabut. Pria itu meraih tengkuk Maya dan kembali menciumi calon istrinya itu. Membuat Maya mengerti dan merasakan, betapa besar keinginan Masumi untuk segera menjadikan Maya miliknya seutuhnya. Untuk selamanya. Masumi lantas memeluk Maya tanpa berkata apa-apa, namun Maya sudah mendengar isi hatinya. Ia tahu masumi teramat mencintainya. Ia tidak akan meragukannya lagi, juga tidak akan memikirkan hal-hal remeh yang akan membuat mereka tidak bahagia.
=//=
Pernikahan keduanya diselenggarakan di pagi awal musim semi, 14 Februari yang cantik. Mereka mengenakan kimono tradisional karena pernikahan diselenggarakan dengan tradisi Shinto. Kulit Maya diwarnai putih dari atas sampai bawah, dan ia mengenakan kimono putih dengan corak bunga plum merah kecil. Maya mengenakan penutup kepala putih dan berjalan menunduk bersama Masumi mengikuti pendeta Shinto yang akan menyucikan dan menikahkan keduanya.
Pernikahan itu hanya dihadiri orang-orang dekat. Dari pihak Masumi hanya ada Eisuke, Mizuki, Asa dan beberapa orang CEO perusahaan Hayami. Dari pihak Maya ada Kuronuma dan kelima temannya dari teater Mayuko. Ibu Mayuko sendiri belum bisa turun gunung. Namun baik Maya dan Masumi sudah mengunjunginya di Nara, kampung halaman Bidadari Merah.
Upacara pernikahan berlangsung singkat namun khidmat. Kedua mempelai meneguk sembilan kali dari tiga gelas sake yang disediakan. Lalu setelah itu pihak keluarga dan kerabat yang saling bergantian minum sake. Terakhir upacara ditutup dengan memberikan sesaji kepada para dewa.
Acara dilanjutkan dengan acara makan dan berbincang bersama. Kedua pengantin tentu tidak henti menjadi sasaran godaan dan keduanya hanya bisa berwajah merah. Mereka memang sengaja melakukan ritual pernikahan secara tradisional agar lebih khidmat, namun acaranya tidak hanya selesai sampai di sana. Nanti sore adalah puncak acara resepsinya yang mengundang ribuan orang di salah satu gedung termegah milik Daito. Pengisi acara pun didatangkan dari luar negeri. Setelah selesai dengan makan siang keluarga, keduanya meluncur ke gedung tersebut. Sekali lagi Maya dan Masumi dirias untuk acara resepsi nanti malam.
Membayangkannya saja Maya sudah merasa lelah. Tetapi wajahnya tetap tampak berseri-seri, karena ia ingat mulai hari ini dia dan Masumi akan hidup bersama sebagai suami istri.
Ketukan terdengar di pintu ruang rias dan Masumi menghampiri Maya yang tampak cantik dengan gaun pengantin megah berwarna putihnya. Rambut gadis itu disanggul dan dipasangi tiara. Ia tampak seperti ratu hari ini.
“Sebentar lagi para tamu akan datang,” kata Masumi seraya menghampiri Maya yang tampak tegang.
“A-aku sudah siap,” Maya tergugup.
“Tegang sekali,” goda Masumi seraya melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu.
Maya menengadah. “Anda tenang sekali, sudah terbiasa menikah ya?”
Masumi tertawa. “Ya, tadi pagi aku baru saja menikahi seorang gadis yang luar biasa,” terangnya.
“Masumi…” Maya merajuk.
Seorang staf WO mengetuk pintu. “Sudah mau dimulai, Pak Masumi silahkan menuju ruang resepsi.”
“Aku menunggumu, istriku,” Masumi berpamitan seraya melepaskan lengannya dari pinggang Maya. Tetapi pria itu menyempatkan mengusap rahang Maya seraya berkata. “Kau sangat cantik. Aku benar-benar beruntung,” ia tersenyum lembut dan meninggalkan Maya yang hanya diam terpukau.
Istriku… kata-kata itu membuat setiap sel dalam diri Maya dirambati perasaan bahagia. Rasanya ia ingin menangis tergugu begitu saja tanpa alasan yang pasti.
Ibu… sekarang aku sudah menjadi seorang istri. Sayang sekali ibu tidak berada di sini. Tetapi, aku janji akan mencoba menjadi istri yang baik. Dan, aku pun akan mengembalikan nama baik keluarga kita yang sempat tercoreng. Aku akan menjadi aktris yang membuatmu bangga… Terima kasih, ibu… untuk semua yang sudah kau berikan kepadaku. Sudah merawat dan menjagaku…
Maya memandangi dirinya yang berada di cermin. Ia sudah menjadi istri Masumi dan mungkin akan menjadi ibu dari anak-anak mereka nanti. Membayangkan hal itu segera saja wajahnya memanas. “Aduuh…” Maya meraba pipinya sendiri dan menggeleng-geleng malu.
Pesta resepsi malam itu pun berlangsung dengan sangat meriah. Makanan yang berlimpah dan juga dekorasi yang sangat indah. Tirai-tirai cantik perpaduan merah, ungu dan putih dengan hiasan mawar yang indah menghiasi gedung berkapasitas ribuan orang tersebut. Suasananya sangat ramai terutama saat sesi hiburan dimana para tamu dipersilahkan berdansa diiringi nyanyian para pengisi acara dari luar dan dalam negeri.
Di beberapa bagian terdapat layar yang memperlihatkan kebersamaan Maya dan Masumi, sebuah film yang sengaja dibuat oleh mereka berdua untuk pesta malam itu. Film itu terbuat dari slide-slide foto keduanya. Mereka juga berdansa dnegan satu sama lain juga dengan para tamu yang ingin berdansa dengan mereka. Ada yang lucu bagi Maya, saat ia berdansa dengan beberapa orang pria, Masumi tampak serius mengamatinya dengan wajah tidak suka. Suaminya itu bahkan tidak berpura-pura berbesar hati dan Maya merasa sangat lucu saat melihatnya.
“Wajahmu menyeramkan,” komentar Maya saat gadis itu kembali ke pelukan suaminya.
“Ya, aku tidak suka melihatmu… berdansa dengan mereka.”
“Tapi kebanyakan mereka kan juga sudah punya istri,” rayu Maya.
“Tetap saja…” Masumi merajuk, dan Maya tertawa melihatnya. Ia bisa merasakan Masumi melingkarkan tangannya lebih ketat lagi di pinggangnya dan tubuhnya tegang sekaligus lemas seketika. Dorongan untuk balas memeluk Masumi muncul begitu saja. Akhirnya sang istri pun jadi balas memeluk dan menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya. Sangat hangat dan kokoh, seperti Masumi yang dikenalnya belakangan. Bodoh sekali ia dahulu berpikir Masumi dingin dan menyebalkan. Sekarang, Maya hanya tahu Masumi yang mencintai dan sangat ia cintai.
Keduanya tidak menyadari perilaku mesra mereka menjadi pusat perhatian para tamu. Bahkan, banyak dari mereka yang diam-diam merona melihat kemesraan keduanya, Namun, mereka sudah tidak ragu lagi. Bintang baru Jepang dan juga produser kelas atas Jepang itu memang saling mencintai satu sama lain.
=//=
Masumi mengamati punggung istrinya yang perlahan tampak saat ia menurunkan resleting gaun pengantin Maya. Rambut gadis itu disampirkan ke bahunya, sehingga Masumi bisa melihat tengkuknya yang membuat pria itu menelan ludah. Ia tak bisa melihat wajah Maya yang sedang membelakanginya, tetapi ia bisa memperkirakan bahwa wajah gadis itu juga pasti semerah dan sepanas dirinya, tubuhnya sekaku dia, begitu juga debaran jantungnya. Ia tahu mereka sama-sama tegang karena sedari tadi tak ada yang bersuara. Jari Masumi bergerak turun dan ia bisa melihat kait pakaian dalam Maya. Dengan cepat tangannya berhenti, dan dia bertanya-tanya, apakah Maya sudah siap untuk malam pertama mereka? Karena Masumi mulai merasa ia sepertinya tak akan bisa menahan dirinya jika diteruskan.
“Maya…” bisik Masumi dengan suara parau.
“Hm?” tanggap Maya tanpa menoleh karena dia pun tegang sekali.
“Apa kau lelah?” tanya Masumi, mengingat seharian ini mereka terus-terusan menyambut tamu.
Maya menoleh, dan Masumi bisa melihat wajah gadis itu yang memang sangat merah. Maya menggeleng dan berkata perlahan, “A-aku… baik-baik saja,” katanya.
Masumi mengamati wajah cantik istrinya, wajah menggemaskannya, wajah gadis yang dicintainya. Pria itu menatap Maya lembut, menangkap dagunya dan tatapannya tak berhenti memasung pada mata Maya yang mulai kehilangan tenaga. Gadis itu menutup mata saat Masumi mengecup bibirnya. Ciumannya tak hanya sekali atau dua kali, melainkan tanpa henti. Maya tak sanggup lagi menghitung saat kepalanya mendadak kosong begitu Masumi membelai dan memeluknya. Tangan pria itu perlahan menurunkan pakaian melewati bahu Maya, saat kecupannya pun beranjak turun ke dagu dan leher gadis itu. Keduanya tidak ada yang bicara lagi, hanya ada napas satu sama lain yang mengisi kesenyapan malam pengantin mereka.
“Trek!” lampu padam, dan kamar itu semakin temaram.
Maya membuka matanya dan menyadari sesuatu. Ada yang melihat mereka!
“Masumi!” keluhnya dengan terkejut.
“Hm?” tanggap Masumi tanpa menghentikan apa yang dilakukannya.
“Tirainya,” pinta Maya, “tirai jendelanya… ditutup… dulu,” wajah gadis itu semakin merah.
“Biarkan saja, tidak akan ada yang melihat,” sahut Masumi kurang jelas, namun kecupannya beranjak naik lagi ke bibir gadis itu. Ia menatap Maya. “Kita di rumah baru, belum ada siapa-siapa,” desisnya, mengusap-usap wajah Maya penuh rasa sayang, merasakan suhunya semakin meningkat menghangat.
“Ta-tapi… bulannya, melihat kita…” keluh Maya dengan sangat malu.
Masumi menoleh ke arah jendela, mengamati bulan purnama yang tampak benderang di luar sana. Masumi tersenyum tipis. Ia kembali menoleh kepada Maya. “Biar saja,” katanya. “Mungkin dia memang sengaja datang untuk mengintip.”
“Ta, tapi… Masumi…” rengek Maya dengan manja. Tetapi Masumi tidak menghiraukannya. Ia kembali menciumi Maya dengan lembut.
“Biarkan saja,” bisiknya di bibir Maya. “Di bulan belum ada yang menemukan teropong, aku yakin tak akan ada yang mengintip kita,” katanya menggoda istrinya.
Maya tertegun dan tertawa kecil, sampai Masumi kembali memagut bibirnya, dan ia membalasnya. Sepanjang malam keduanya tenggelam dalam suasana berkasih-kasihan, Menyampaikan perasaan terpendam mereka bagi satu sama lain yang sempat terasa tanpa harapan, kini begitu dipenuhi dengan kebahagiaan.
=//=
6 Tahun kemudian.
Masumi mengecup bibir istrinya. “Terima kasih ya, Sayang,” katanya kepada Maya yang selesai membantunya berpakaian.
“Hari ini anak-anak akan mulai sekolah,” kata Maya. “Aku akan mengantar mereka.”
“Jangan lupa nanti siang ke studio Daito. Akan mulai reading untuk film barumu kan?”
“Ya, mana mungkin aku lupa… Tokito sangat ketat dan terus-menerus mengingatkanku akan jadwal-jadwalku,” Maya menghela napas saat menyebutkan nama manajernya yang begitu ketat dan disiplin. Hanya satu orang yang bisa membuat Tokito melonggarkan jadwal Maya. Masumi.
“Hahaha… karena itu aku memilihnya. Tetapi dia baik kan?”
“Ya, cukup menyenangkan jika tidak sedang memegang ponselnya, dan itu sangat jarang terjadi.”
Sekali lagi Masumi tertawa.
“Ayo, kita sarapan,” ajak Maya kepada suaminya.
Enam tahun bersama pria itu, Maya tidak pernah melalui satu hari tanpa merasa tidak bahagia. Walaupun tidak sekali dua kali keduanya bertengkar, keduanya sudah berbaikan sebelum memejamkan mata atau sebelum salah satunya pergi. Mereka memang sudah sepakat, harus menyelesaikan masalah sebelum hari berakhir apalagi jika mereka harus bekerja dan tidak bertemu satu sama lain selama berhari-hari. Masalahnya tidak jauh-jauh, Masumi yang cemburu berlebihan, begitu juga Maya. masumi cemburu pada lawan-lawan main Maya yang lebih muda, dan Maya cemburu pada wanita-wanita di sekitar Masumi yang lebih anggun. Pada saat seperti itu, biasanya Hijiri dan Mizuki yang repot.
Hijiri terbiasa membujuk Masumi dan membuat pria itu berpikir lebih logis, sementara Mizuki meyakinkan Maya bahwa bagi Masumi, wanita-wanita lain masih tidak lebih dari lobak dan kol.
Dan, sekarang pernikahan mereka sudah bertahan Enam tahun. Masih belum seberapa ketimbang target keduanya yang ingin mencapai target pernikahan intan.
“Papa!! Papa!!” seorang gadis cilik dengan rambut bob lurus sebatas telinga menghampiri dengan wajah berbinar.
“Selamat pagi… Yumi,” Masumi tersenyum lebar.
“Ah, sayang, itu…” sergah Maya.
“Aku bukan Yumi! Ruuumi!! Ruumii!!” rengek anak itu.
“Ru.. mi?” Masumi menoleh kepada Maya dan istrinya itu mengangguk. “Tetapi? Sejak kapan Rumi berambut pendek?”
“Rumi potong rambut kemarin,” jelas Maya.
“Ah! Papa!! Kerja terus! Kerja! Kerja! Kerja! Kerja!” protes si kecil Rumi. “Jadi tidak tahu kan, Rumi sudah potong rambut,” gadis mungil itu merajuk.
Memang Masumi sering sekali pulang malam sehingga tidak sempat bertemu anak-anaknya yang sudah tidur. Kemarin dia juga baru pulang dari luar kota saat larut malam.
“Maaf ya… Papa tidak tahu Rumi potong rambut. Aduuh… cantik sekali,” bujuk Masumi kepada Rumi yang memang mempunyai watak keras kepala.
“Papa! Mama!” kali ini seorang gadis mungil dengan rupa yang serupa dengan Rumi muncul.
“Nah, itu Yumi,” terang Maya kepada gadis manis yang menghampiri mereka. Bocah itu tampak agak pemalu.
“Aku tahu,” keluh Masumi. DIpandanginya kedua putri kembarnya yang sekarang benar-benar serupa. Sekarang, bagaimana dia bisa membedakannya? Keduanya memakai seragam yang sama, dengan wajah dan rambut yang sama. Duh… mata minusnya benar-benar terasa seperti kekurangan yang sangat besar pada saat seperti ini.
“Kau harus lebih sering menghabiskan waktu dengan anakmu! Agar kau bisa membedakan mereka!” desis Maya seperti hapal apa yang ada di kepala suaminya.
Memasuki ruang makan, sudah ada seorang bocah laki-laki yang sedang membaca koran. Bocah laki-laki lima tahun membaca koran.
“Selamat pagi Yuto,” sapa Masumi kepada putranya yang wajahnya tidak jauh berbeda dari Yumi dan Rumi.
Yuto mengangkat wajahnya, wajah yang terlalu serius untuk anak berusia lima tahun. “Papa, rupanya saham Daito naik lagi, sehingga para investor diuntungkan oleh…” anak laki-laki itu tertegun. Ia kembali mengamati koran dengan serius. “Kanji apa ini…” gumamnya kesal. “Aku harus tanya kakek,” tandasnya.
“Ya ampun,” Masumi menghela napas perlahan. “Ia harus mengurangi bergaul dengan ayah,” keluh Masumi.
“Itu karena papanya jarang ada untuk diajaknya bermain!” timpal Maya kepada suaminya yang super sibuk itu. Andai saja bukan dia yang bertugas menenangkan anak-anaknya, ia sendiri yang ingin ngambek dan merajuk kepada suaminya yang jarang sekali main dengan anak-anaknya.
Masumi memperhatikan istrinya tersebut. Bisa diketahui istrinya itu juga sedikit kesal dengan kesibukannya belakang setelah menjadi presdir Daito.
“Papa!! Mama!!” seorang anak laki-laki lain menerobos masuk ke ruang makan sambil tersenyum riang. Tangannya terjulur lurus membentuk pistol dan kepalanya ditundukkan. Ia menyeruduk masuk sambil membunyikan suara-suara senjata dari mulutnya. Ia menuju ke arah Masumi dan menumbukkan tubuhnya kepada tubuh gagah ayahnya. “Desing!! Desing!! Desing!! Dor!! Dor!! Dor!!”
“Akh!!” Masumi memegangi dadanya dan pura-pura mati.
“HAHAHAHA!! Rasakan itu Monster MASUDON!!”
Masudon? Masumi tertegun. Anaknya itu terlalu banyak menonton tokusatsu. Ia kembali membuka matanya. “Sudah. Masudon sudah lapar, pasti robot Yuji juga sudah mau sarapan.”
“Aku bukan robot!” pungkas Yuji dengan serius. “Aku adalah pahlawan dari planet Oro! Yuji-Oro!!”
Maya tampak terkikik melihat kelakuan Yuji yang memang sangat berbeda dengan saudara kembarnya Yuto yang selalu serius dan tertarik dengan hal-hal yang belum waktunya. Jika Yuto terobsesi dengan jas dan dasi Masumi, tas kerja dan dokumen-dokumennya, Yuji terobsesi dengan playStation, tokusatsu dan mainan perang-perangan. Rumi pandai bicara dan keras kepala. Gadis itu sangat percaya diri dan ingin melakukan segala sesuatu semaunya. Sementara Yumi pemalu dan sangat manis. Ia terobsesi pada puteri-puteri dalam dongeng dan sangat menyukai barbie.
Keempatnya dikandung Maya pada saat bersamaan. Yuto terlahir lebih dahulu, dan ia merupakan kembar identik Yuji. Sementara Rumi kembar identik dengan Yumi. Keempatnya terlahir berurutan dengan perbedaan tiga menit. Tetapi Maya yang melahirkan tengah malam, membuat dua putri mereka memiliki tanggal lahir yang berbeda dengan kedua putra mereka. Semuanya memang terasa seperti keajaiban bagaimana tubuh mungil Maya bisa menjadi begitu besar seperti balon udara dan sembilan bulan kemudian mereka tiba-tiba sudah mempunyai empat orang anak.
Itu belum semuanya.
“Selamat pagi Tuan, Nyonya,” sapa Haruhi, babysitter mereka. Tangannya menggandeng seorang bocah laki-laki berusia tiga tahun.
“Yuki-chan!” Sapa Maya kepada putranya yang sudah tampak rapi itu.
“Mama!!” Dengan kaki pendeknya Yuki berlari-lari menghampiri Maya. Maya mengecup pipi putranya yang bundar kemerahan dan Yuki yang ceria tertawa kegelian.
Tawa Yuki selalu terdengar begitu riang. Si Bungsu ini lahir belakangan, tiga tahun yang lalu. Walaupun Masumi tidak mengharapkan anak lagi, ternyata Yuki memang sudah seharusnya ada, ya… dia lahir juga. Masumi mengamati Yuki dengan senang. Anak itu selalu berwajah riang dan lucu, sangat menggemaskan.
Akhirnya ketujuhnya sarapan pagi itu. Seperti biasa selalu terdengar ramai dan gaduh dengan topik pembicaraan masing-masing. Maya sangat sibuk menenangkan anak-anaknya. Saat sarapan seperti ini, anak-anak yang jarang bertemu Masumi akan banyak bicara dan merajuk kepada ayah mereka itu, seperti meminta perhatiannya. Masumi berusaha mengingat semua permintaan anak-anaknya walaupun untuk membedakan wajah mereka saja Masumi masih sering bingung.
Setelah berbagai keramaian di ruang makan, tibalah saatnya mereka semua pergi. Keempat Kakak itu akan mulai masuk Taman Kanak-Kanak, sementara si bungsu menuju preschool bersama babysitternya. Setelah mengantarkan mereka semua, Maya akan pergi ke studio dan melakukan kegiatannya keaktrisannya.
Masumi menciumi anaknya satu persatu dan dengan riang mereka masuk ke dalam sebuah SUV yang akan mengantarkan mereka. Haruhi duduk di depan bersama sopir. Di kursi belakang ada Yuji dan Yuto, di tengah ada Rumi dan Yumi, sementara Maya masih menggendong Yuki berpamitan kepada suaminya.
“Papa nanti malam pulang jam berapa?” tanya Maya.
“Aku pulang cepat, sekitar jam 9.”
Maya menghela napasnya. Ia mampu menunggui suaminya sampai larut malam tapi anak-anaknya sudah tidur jam 9. Masumi memang sudah mendisiplinkan mereka semenjak dulu.
“Apa tidak bisa makan malam di rumah?” bujuk Maya. “Anak-anak merindukanmu… Masa mereka hanya bisa makan malam bersama ayahnya di akhir pekan…”
“Iya. Rindu,” Yuki membeo.
Masumi tertegun dan mengamati Yuki, lalu tertawa. “Yuki rindu pada papa?” tanyanya.
“Rindu. Yuki rindu Papa… main kuda-kudaan…” kata anak itu, Masumi tertawa.
“Aku usahakan,” kata Masumi. “Tapi makan siang nanti aku akan berkunjung ke studiomu.”
“Baiklah,” ujar Maya pasrah. Ia lantas menatap Masumi. Apakah tepat jika ia mengatakannya sekarang? Tetapi Maya tidak yakin dengan reaksi suaminya.
“Ada apa?” tanya Masumi.
“Ah, tidak!” Maya menggeleng perlahan. “Aku pergi dulu ya, sampai nanti malam. Selamat bekerja.”
“Kau juga, Sayang,” Masumi mengecup pelan dahi Maya. Saat itu Yuki yang berada di gendongan Maya melingkarkan tangannya di leher Masumi dan memeluknya erat-erat.
“Aduh! Aduh! Aduh!!” keluh Masumi yang hampir kehilangan keseimbangan karena perbuatan putra bungsunya yang tenaganya cukup kuat untuk anak seusianya. Ia berusaha membebaskan diri dari Yuki dan tertawa. “Yuki juga mau dicium hah? Mau dicium?” tanya Masumi seraya menciumi pipi bundar putranya yang menggemaskan. Maya hanya mengamatinya seraya tertawa.
Maya lantas berpamitan dan naik ke atas mobil bersama anak-anaknya, sementara Masumi menaiki sedan yang sudah menunggunya untuk menuju ke kantor.
Saat dalam perjalanan, ponselnya berbunyi, mengalihkan perhatian Masumi dari dokumen yang sedang dibacanya.
“Halo?”
“Sayang.”
Maya? “Ada apa?” tanya Masumi.
“Uhm… Papa, itu… anu…”
“Ya?”
“A-ada sesuatu… untukmu.”
“Untukku? Apa?” tanya Masumi dengan alis berkerut.
“Ada sesuatu… di belakang kursi sopir,” terang Maya. “Ada amplop, untuk…mu…”
Masumi tertegun, ia merogohkan tangannya ke dalam lipatan di belakang jok sopir, dan memang mendapati sesuatu dari sana. “Apa ini?” tanya Masumi.
“Itu…”
“Dari rumah sakit? Punya siapa ini? Kau sakit?” tanya Masumi dengan nada tinggi, khawatir.
“Dibuka dulu,” pinta Maya. “Nanti kuhubungi lagi.”
Masumi membukanya dengan waswas. Ternyata, itu adalah hasil tes lab. Masumi dengan cepat membacanya. Pasien Maya Kitajima, hasil tes urin. Kehamilan. Positif.
Hah!!? Masumi tercengang. Apa ini? Istrinya mengerjainya. Masumi melihatnya berulang kali-kali. Tidak salah lagi. Itu pemberitahuan bahwa istrinya hamil… lagi! Masumi melihat tanggal di bagian atas, dan itu memang tes yang baru. Jadi… maya hamil!? Ya, ampun…
Ia menghitung. 1,2,3,4…5! Dengan yang ini, jadi… 6! Mungkin saja jadi 7,8, atau malah 9! Masumi langsung merasa pusing.
Sebenarnya, jika dihitung-hitung, Maya baru hamil 3 kali.Tetapi kehamilan pertama yang luar biasa itu membuat mereka memiliki lima anak hanya dengan dua kali hamil. Padahal mereka sudah sepakat tidak akan punya anak lagi. Bukan apa-apa, tetapi Masumi dan Maya khawatir tidak bisa membagi perhatian mereka kepada anak-anaknya. Seperti kejadian tadi pagi. Masumi masih saja sering tidak bisa membedakan putra putrinya, terutama saat mereka tertidur, untunglah keempatnya tumbuh menjadi pribadi yang begitu berbeda satu sama lain.
“Hhh…” Masumi menghela napas. Jadi ini alasannya Maya tidak mau bilang sendiri? Istrinya itu pasti sudah tahu apa yang ada dalam pikiran Masumi. Saat Maya hamil oleh Yuki saja, Masumi juga sempat merasa sama kesalnya.
Ia segera menghubungi dokter Ohno.
“Dokter! Istriku hamil lagi!!” bentak Masumi kepada dokter kandungan istrinya itu.
“Ya, Tuan, benar… Selamat ya.”
“Anda ini bagaimana!” Masumi masih terdengar sangat kesal. “Bagaimana bisa istriku hamil lagi!”
“Loh… Pak Masumi… Anda kan suaminya. Jelas Anda yang paling tahu kenapa istri Anda bisa sampai hamil,” dokter yang selalu ramah itu berkelakar.
“Mak-Maksudku!! Bukankah kami—alat kontrasepsi—“
“Pak Masumi, saya sudah pernah mengatakannya dulu saat istri Anda hamil kedua kali, tidak ada alat kontrasepsi yang dapat menjamin 100% dapat mencegah kehamilan. Selama Anda dan istri masih berhubungan, kemungkinan istri Anda hamil masih ada. Kecuali, Anda tidak merasa berhubungan… ya… Anda boleh marah-marah.”
Masumi menghela napas. Ya ampun… kelima anaknya saja masih kecil, sudah akan ada lagi bayi di rumah mereka.
“Nyonya Maya sudah mengira, Anda akan kalang kabut seperti ini. Saat dia tahu dia hamil, Nona Maya sebetulnya sangat senang, tetapi dia sangat khawatir dengan reaksi Anda. Tuan, Anda pasti sudah tahu bagaimana yang terbaik. Walaupun mungkin ini di luar perkiraan Anda, tolong jangan membuat istri Anda khawatir, karena saat ini kehamilannya masih rawan,” dokter Ohno mengingatkan.
Masumi terdiam. Ia merasa diingatkan. “Anda benar,” katanya seraya menghela napas. “Aku hanya terkejut, dan—dan— Hh… Maafkan saya.”
“Selamat, Tuan Masumi,” kata dokter Ohno penuh pengertian.
“Ya. Terima kasih banyak…” Ia menutup sambungan dengan dokter Ohno. Sekali lagi dipandanginya surat hasil lab tersebut. Seharusnya ia tidak bereaksi berlebihan seperti tadi. Memang merepotkan memiliki enam anak yang masih kecil, mungkin sedikit sulit mendapatkan ketengangan di hari liburnya seperti dahulu. Akan semakin banyak yang merajuk dan merengek. Tetapi… mereka anak-anaknya dengan wanita yang ia cintai. Ada banyak pasangan di luar sana yang mungkin ingin bertukar tempat dengannya saat ini.Lagipula, ia mencintai setiap mereka dengan sepenuh hati.
Masumi tersenyum tipis dan menghubungi Maya lagi.
“Papa,” sapa Maya perlahan.
“Sayang…” Masumi menyahut lembut. “Aku sudah melihatnya...”
“La, lalu…?”
“Aku senang sekali.”
“Benar!?” Maya terdengar terkejut.
“Mama! Itu Papa??”
“Papa belum sampai kantor?”
“Papa!! Papa!!”
Di belakang terdengar suara anak-anaknya yang berisik, memanggil-manggil kepadanya. Ramai sekali. Ada masanya ia pernah merasa begitu sendirian di dunia ini. Sekarang Tuhan begitu baik hati dengan begitu ramai dan riuh keluarganya.
“Sebentar, Sayang, sebentar…” pinta Maya kepada salah satu anak mereka yang tampaknya ingin merebut ponsel ibunya.
“Papa pulangnya jangan malam-malam!!” seru Yumi.
“Malam juga tidak apa-apa, Pekerjaan Papa itu penting!” seru Yuto.
Masumi tersenyum tipis. “Sepertinya, aku sudah membuatmu sangat repot,” kata Masumi.
Maya tertawa. “Tidak kok…” tampiknya. “Syukurlah, kupikir kau akan histeris lagi…”
Ya… semoga saja dokter Ohno tidak akan mengatakan apa-apa, batin Masumi.
“Tidak, aku… hanya baru menyadari betapa beruntungnya aku. Kalau begitu, hati-hati ya… kau kan sedang hamil muda.”
“Ya, aku akan menjaganya baik-baik. Ini bukan pertama kalinya aku hamil.”
“Aku khawatir karena kau kalau sudah berlatih peran sering lupa diri.”
“Hahaha… tidak… eh, sebentar lagi kami sampai.”
“Baiklah. Aku mencintaimu, Sayang.”
“Aku juga…”
“Yeeeeee…. Mama pacaran!!” seru Rumi saat melihat wajah ibunya merona.
“Sudah! Ayo salam kepada Papa.”
“Papa! Sampai jumpa! Sampai ketemu! Kami sayang Papa!!” seru anak-anaknya yang ramai berebut bicara.
Saat itu tiba-tiba Masumi begitu terharu, entah kenapa ia ingin menangis. Seharusnya ia memang menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya.
***
“Kiriman bunga untuk Maya KItajima!!” seru seorang pengantar bunga saat Maya baru selesai melakukan reading naskah dengan para pemain lainnya. Untunglah peran yang diberikan kepadanya saat ini bukan peran yang akan menguras tenaganya secara fisik. Lagipula, shooting film ini diperkirakan akan selesai dalam dua bulan.
“Terima kasih,” kata Maya, saat ia menerima buket mawar ungu yang sangat besar itu. Ia membaca kartunya.
“Kepada Nyonya Maya Hayami,
Selamat untuk kehamilanmu, untuk merayakannya, kuharap kau dan anak-anakmu tidak akan keberatan menyisihkan waktu akhir pekan ini untuk berlibur ke Hakone.
Yang mencintaimu,
Tn. Masumi Hayami.”
Maya tersenyum lebar. Hingga saat ini Masumi memang tidak pernah berhenti mengiriminya mawar ungu. Baik hanya sekuntum setiap harinya, atau sebuah buket bunga besar yang dikirim ke tempat kerjanya seperti ini. Maya sangat bahagia.
Aku mencintaimu… Masumi Hayami… selamanya…
Wanita itu mengecup buket bunga itu. Ia lantas mengusap perutnya perlahan. “Kau sangat beruntung, karena akan memiliki ayah yang luar biasa,” kata Maya. “Kakak-kakak yang menyenangkan, dan ibu yang akan sangat mencintaimu.”
Wanita itu tertegun. Kau… atau… kalian ya…? Pikirnya. Ia lantas tertawa kecil. Biarlah, ia tak peduli. Sekarang ia sudah mempunyai karir yang luar biasa, suami yang sangat mencintainya, dan keluarga besar yang diimpikannya.
“Nyonya Hayami! Reading selanjutnya akan segera dimulai!” seru sebuah suara.
“Baik!!” seru Maya dengan riang. Wanita berusia 26 tahun itu kembali mendongak ke arah suara, dan ia mendapati suaminya di sana. “Sayang!!”
Masumi tersenyum lebar. “Sudah kukatakan aku akan datang saat makan siang kan?”
Maya tersenyum lebar berseri-seri. Wajah istrinya itu sudah tampak lebih anggun dan cantik, juga dewasa. Walau tubuh mungilnya masih sering membuatnya terlihat seperti anak-anak, namun karisma yang memancar darinya membuat Maya sekarang terlihat seperti artis besar.
“Apa benar, kau akan mengajak kami ke Hakone akhir minggu nanti?”
“Ya,” Masumi melingkarkan tangannya di pinggang Maya. “Aku janji akan berusaha menghabiskan waktu lebih banyak dengan kalian. Maaf ya…”
“Tidak apa-apa… kami mengerti kok kalau kau sibuk, jadi—“
“Tapi memang tidak adil, kau saja yang sudah menjadi artis besar dan memiliki jadwal yang padat masih bisa mengatur waktumu agar bisa pulang sebelum malam dan setidaknya akhir pekan bisa berada di rumah. Ya… aku setidaknya akan mencoba lebih sering makan malam di rumah,” kata Masumi.
“Senangnya…” sahut Maya dengan riang. Tiba-tiba, Masumi menyentuh rahang istrinya. Ia hampir saja lupa diri dan mencium Maya jika saja istrinya itu tidak berdesis memperingatkan. “Ini tempat umum, Sayang…”
“Ah, ya,” Masumi kecewa. “Baiklah, mari…?” Masumi menyodorkan sikunya untuk Maya, dan istrinya itu menggamitnya. Keduanya keluar dari gedung Daito dengan diiringi anggukan dan bungkukan hormat dari orang-orang yang mereka lalui.
Di luar para wartawan memburu keduanya, bertanya ini itu, termasuk mengenai kehamilan Maya. Masumi sangat terkejut dengan begitu cepatnya kabar itu beredar. Mereka mungkin sempat melihat atau mendengar Maya memeriksakan kehamilannya.
“Ya, ya… istri saya memang hamil, tetapi jangan khawatir, tidak akan mempengaruhi jalannya syuting.” Kata Masumi seraya menggandeng istrinya segera masuk ke mobil.
“Waah… selamat ya, Maya… kami tidak mengira bahwa kau hamil lagi.”
“Memang apa salahnya? Dia punya suami, tidak aneh kan kalau sampai hamil,” sahut Masumi. “Sekarang permisi. Kami harus pergi merayakan kehamilan istriku,” pamit Masumi seraya menutup pintu mobil mereka. “Masih saja usil,” keluhnya.
“Mereka kan wartawan…” Maya tertawa.
Masumi meraih pundak istrinya dan memeluknya. Lantas menciumnya dengan dalam. Sopir keduanya terpaksa pura-pura tidak melihat. Ia tahu benar bagaimana keduanya memang selalu mesra.
Masumi lantas mengelus perut Maya. “Kau anak yang beruntung, akan memiliki seorang ibu yang luar biasa, dan kakak-kakak yang menyenangkan,” ujar Masumi.
“Ara! Aku tadi baru mengatakan hal yang sama kepadanya!” sahut Maya.
“Benar?”
“Ya!”
Keduanya lantas tertawa bahagia. Mereka tahu masih banyak kejadian luar biasa lain yang akan mereka hadapi. Namun, keduanya sudah berikrar untuk terus bersama. Tidak hanya berdua, tetapi juga berlima, berenam, bertujuh, berdelapan atau bersembilan, Masumi tidak peduli, yang penting ia sekarang sudah memiliki orang-orang yang paling berharga dalam hidupnya, dan ia tidak akan menukar mereka dengan apa pun juga.
   

UNSPOKEN 6 END
 
 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting