UNSPOKEN 6 END
Saturday 17 August 2013
FFTK : Unspoken 6
UNSPOKEN 6
Seperti yang Eisuke
inginkan, baik Maya dan Masumi bungkam mengenai hubungan mereka. Hanya
teman-teman Maya dan Pak Kuronuma yang mengetahui mengenai mereka.
Maya berlatih keras
untuk peran ini. Saat Sakurakoji bertemu lagi dengannya, keduanya tak ada yang
membahas mengenai masalah asmara mereka.
“Sepertinya, Maya
berlatih sangat keras belakangan…” kata seorang staf.
“Hmm…” Kuronuma
mengamatinya. Dia sudah mulai sangat serius. Mungkin ia akhirnya mengerti,
seberapa penting peran ini.
=//=
“Apa? Jadi Maya… sudah
mulai berlatih dengan serius?” ujar Ayumi yang penglihatannya sudah mulai bisa
bekerja dengan baik lagi. Kalau begitu….
Aku juga tidak akan kalah… Maya!!
Gadis cantik itu sudah
mulai memahami, apa yang selama ini membuat Maya unggul darinya. Kekuatan imajinasinya.
Saat ia kehilangan penglihatannya, ia juga berusaha mendekati kepribadian
Bidadari Merah, dan ia bisa merasakan apa yang menjadi kekuatan Maya selama ini.
Sebentar lagi, hanya
tinggal sebentar lagi….
=//=
Kelompok Maya
melakukan gladi resik tertutup di Area X pada pagi hari. Maya sangat takjub
saat mengamati keadaan sekelilingnya. Besok… di sini aku akan menjadi Bidadari
Merah, batin Maya. Imajinasinya mulai berjalan, ia memasuki dunia bidadari
merah, portal penghubung alam manusia dan para dewa, tempat di mana Bidadari
Merah bisa melihat semua kehidupan dengan matanya.
Gladi resik pagi itu
berjalan lancar, Maya sangat senang. Ia menyadari, setelah tidak berakting,
Sakurakoji masih menjaga jarak darinya. Namun itu tentu saja hal yang wajar,
mengingat ia tak bisa menuntut Sakurakoji tetap seperti sebelumnya. Keduanya
sudah mulai bisa berkomunikasi dengan baik. Bagaimana pun mereka adalah
sepasang kekasih di atas panggung. Walaupun Maya bisa melihat, Sakurakoji
bersikap begitu tertutup. Mungkin pria itu masih berusaha mengobati luka
hatinya.
Namun yang membuat
Maya resah, ia sudah beberapa lama tidak melihat Masumi. Pria itu memang mengatakan
bahwa ia tidak akan menyaksikan gladi resik Bidadari Merah karena ia ingin
melihat sandiwaranya langsung dengan utuh nanti. Tetapi, Maya juga tidak bisa
menghubunginya. Ia tahu Eisuke sudah memperingatkan agar mereka tidak
membongkar masalah hubungan mereka sampai keputusan mengenai Bidadari Merah.
Namun bukan berarti pria itu lantas menghilang begitu saja kan? Maya takut
sekali Masumi nanti tiba-tiba muncul dan mengatakan hal-hal yang konyol lagi
seperti, “Kurasa aku berubah pikiran. Kita batalkan saja pernikahannya. Aku
tidak bisa melanjutkan lagi rencana kita. Ternyata aku tidak mencintaimu…” Dan
kalimat lainnya yang mengerikan.
Maya menghembuskan
napas dari mulutnya dan membuat pipinya menggembung. Ia harus menghubungi
Masumi. Awas saja jika pria itu mengatakan hal-hal yang aneh-aneh.
“Daito selamat siang
dengan Mizuki di sini ada yang bisa saya bantu?”
“Selamat siang. Ini
Maya Kitajima… uhm… apakah Pak Masumi Hayami ada?”
“Ada, tunggu sebentar
saya sambungkan.”
Tidak berapa lama Maya
menunggu, akhirnya ia bisa mendengar suara kekasihnya itu.
“Masumi Hayami di
sini.”
“Oh… jadi masih di
Jepang ya?”
Alis Masumi berkerut,
“Maya?”
“Kalau masih di Jepang
kenapa tidak menghubungiku? Kupikir kau amnesia atau apa sampai sama sekali
tidak ada kabarnya!” Maya terdengar mencerocos dengan sewot.
Masumi tertegun dan
menahan tawanya. “Ini Maya Kitajima ya?” godanya. “Maaf… maaf… Banyak sekali
pekerjaan belakangan ini karena aku sempat tidak bekerja, dan… kupikir kau juga
sedang sibuk untuk persiapan Bidadari Merahmu, aku tidak ingin mengganggu.”
“Oh, begitu… Ya sudah
kalau begitu, selamat tinggal!”
“HAH!? Eh, Maya!
Maya!”
“Aku masih di sini.”
Sekali lagi Masumi
tertegun dan tertawa. “Kau ini kenapa?” tanyanya saat menyadari Maya merajuk.
“Habis… Pak Masumi
menyebalkan. Masa seminggu ini tidak ada kabarnya? Memangnya tidak… tidak…”
Maya terdiam dan wajahnya merona. “Tidak… rindu ya kepadaku?”
Gadis itu tidak tahu
bagaimana Masumi berusaha keras menahan dirinya menemui Maya. “Tentu saja aku
rindu,” balas pria itu dengan lembut seraya tersenyum.”Tetapi aku tidak mau
mengganggumu. Nanti kalau sudah bertemu, akan sulit loh mengusirku.”
“Siapa yang akan
mengusirmu,” gerutu Maya, dan Masumi sekali lagi tertawa.
“Besok pentas
percobaannya kan? Bagaimana tadi gladi resiknya?”
“Gladi resiknya
berjalan lancar. Tetapi… A-aku gugup sekali. Saat ini Ayumi sedang gladi resik
dan sepertinya… Sepertinya… Dia sangat luar biasa. Aku mendengar para staf mengatakan
aktingnya semakin matang dan dia berbeda dari biasanya dia—“
“Maya,” potong Masumi
yang mendengar suara kekasihnya gemetar. “Kau tidak perlu mengkhawatirkan hal
itu… Bukankah kau punya Akoyamu sendiri? Aku akan menyaksikan Akoya mu itu
besok, dan aku akan pergi kalau aktingmu berubah buruk. Tetapi, sampai saat ini
aku belum pernah beranjak dari kursiku saat melihatmu. Dan besok, pada saat
Bidadari Merah, aku ingin kau meyakinkanku bahwa aku akan tetap berada di
tempatku sampai pertunjukan usai,” kata Masumi.
Maya mengeratkan
genggamannya di gagang telepon. Ia memang tidak ingin Masumi beranjak di tengah
pertunjukan. Ia ingin Mawar Ungu-nya tetap duduk hingga pertunjukan berakhir.
“Aku akan membuatmu
menyaksikan pertunjukan sampai selesai,” tekad Maya.
“Bagus. Itu yang ingin
kudengar,” Masumi tersenyum.
Pak Masumi… Maya
menghela napasnya. “Sekarang aku malah semakin… ingin bertemu,” suara Maya,
juga rautnya, berubah sendu.
Masumi membisu. Ia tak
tahan mendengar suara Maya dan hampir saja memutuskan untuk menghampiri gadis
itu dan tidak memikirkan masalah hubungan mereka yang mungkin terbongkar atau
lainnya, kalau saja Mizuki tidak tiba-tiba masuk dengan wajah serius membawa
beberapa dokumen.
“Aku sudah harus
bekerja lagi.”
“Menyebalkan!” sembur
Maya, membuat kekasihnya sangat heran dengan sikap uring-uringannya itu.
“Sebenarnya ada apa?”
tanya Masumi. “Tidak biasanya kau uring-uringan seperti ini…”
“Habisnya aku, ah,
tidak!” Maya menggelengkan kepalanya, berusaha untuk tidak memikirkan rasa
pesimisnya lagi bahwa ia mungkin tak akan boleh menemui Masumi setelah
pementasan jika ia gagal mendapatkan peran Bidadari Merah. “Tapi besok Anda
datang kan? Pasti datang kan?”
“Walaupun badai
menghadang, aku akan datang,” kata Masumi.
Maya tahu ia tak perlu
meminta bukti dari ucapan tersebut, Masumi sudah pernah melakukan hal itu
untuknya.
“Baiklah… Selamat
bekerja. Aishiteru…”
“Ai,” Masumi diam,
karena ada Mizuki di sana. “Aku juga,” ujarnya sebelum menutup telepon.
“Dari pacarnya ya
Pak?” goda Mizuki dengan wajah datar.
“Mau tahu saja, sana
urusi pacarmu sendiri,” ujar Masumi seraya meraih dokumen-dokumen yang dibawa
Mizuki. “Apa ini?”
“Laporan
post-production dari film-film Daito triwulan ketiga.”
“Baik, sekarang kau
boleh keluar.”
“Baik Pak. Salam untuk
kekasih Anda.”
“Ya, untuk kekasihmu
juga.”
Cih! gerutu Mizuki
dalam hatinya, mentang-mentang dia akhirnya mendapatkan Maya…
Saat pintu kantornya
tertutup, Masumi sejenang termenung. Ia juga merindukan Maya. Kekasihku…
batinnya. Dan pria itu tersenyum tipis. Ia yakin status kekasih di antara
mereka tidak akan berakhir, kecuali kemudian berubah menjadi suami-istri.
Sebaiknya, aku memesan cincin dari sekarang, putusnya.
=//=
“Maya! Ada karangan
bunga untukmu!” panggil seorang staf saat Maya tengah bersiap untuk pementasan
Bidadari Merah. “Mawar Ungu!”
Mawar Ungu! Maya
dengan cepat keluar dari tenda ruang ganti dan menghampiri staf tersebut.
“Terima kasih!” katanya dengan mata berbinar.
Panggung yang
merupakan area pembangunan rel kereta api itu memang hanya dibatasi sebuah kain
besar yang membedakan antara dunia panggung dan belakang panggung. Para penonton
sendiri sudah sangat ramai menunggu di luar Area untuk dipersilakan masuk.
Bahkan dari tempat ganti Maya dan para pemain lain sudah bisa mendengar
dengungan mereka yang berbincang dan penasaran. Pentas percobaan itu hanya
dihadiri oleh orang-orang penting di dunia sandiwara dan para wartawan saja,
tanpa penonton umum.
“Sandiwara akan
dimulai, para hadirin silakan memasuki area panggung…” terdengar pengumuman
dari speaker.
Seraya berbisik-bisik
para hadirin memasuki area pementasan. Di sana sudah disediakan beberapa bagian
untuk tempat duduk penonton. Panggung terbuka yang menggunakan alam sebagai
settingnya, tampak menghipnotis bahkan sebelum pementasan dimulai.
Kabut-kabut samar yang
tampak di akhir musim gugur ini, menambah aura mistis di sana.
“Piiip….! Piiiip…!
Piii…ppp!!” terdengar suara yang membuka alam Bidadari Merah.
Perlahan tapi pasti,
kabut-kabut yang tebal menipis, memperlihatkan bayangan sebuah pohon plum, yang
semakin lama diamati, tampaklah seorang gadis yang memejamkan matanya. Maya Kitajima,
sebagai Bidadari Merah.
Maya…. hati Masumi
berdesir, gadis yang amat dirindukannya itu sekarang tengah berdiri di
hadapannya, laksana dewi. Sangat cantik.
“Tam! Tam!” Dan Maya
mulai bergerak, dengan cantik. Perubahan dari pohon plum menjadi Bidadari amat
mulus dan perlahan, sehingga para penonton bisa melihat bagaimana metamorfosis
yang terjadi. Mata makhluk itu terbuka perlahan. Bersinar, namun tidak fokus.
“Hooo….” Suara itu
keluar dari mulutnya. “Hooo…” dan rautnya semakin terusik. “Siapa…? Siapa yang
memanggilku?” Dan sejak itu, perhatian penonton langsung tersedot kepada
Bidaadri Merah.
Mereka merasakan
kemarahan Bidadari Merah, merasakan kebahagiaannya, kesedihannya. Ia tahu
bagaimana bahagianya dicintai dan mencintai dari cara Akoya bertutur, bertingkah
dan berekspresi. Banyak yang merasakan hatinya tersayat tatkala Akoya sekarat
karena cintanya dipaksa mati.
Panggung tidak hanya
berada di depan, tetapi di sekeliling mereka sudah menjadi panggung. Ada dewa
gagak turun dari sebelah kanan, dan dewa hujan berteriak dari belakang mereka,
kemudian Bidadari Merah melayang dari kejauhan menghampiri mereka. Para
penonton bisa merasakan keberadaan mereka di tengah dunia bidadari merah.
Mungkin merek sama
dengan pepohonan atau bebatuan di alam bidadari merah tersebut. Mereka tidak
berpartisipasi, tetapi sudah menjadi bagian dalam cerita.
Bidadari Merah juga
berhasil menampilkan ilusi yang menjerat penontonnya. Mereka merasakan adanya
angin besar yang dihasilkan olehnya, juga bagaimana api dan air bergerak menurut
kehendaknya. Para penonton sama sekali tidak bisa duduk tenang. Mereka gelisah
saat Bidadari Merah marah, senang saat ia bahagia, dan lega saat Bidadari Merah
memutuskan memaafkan kesalahan-kesalahan manusia dan memberinya kesempatan
lagi.
Belum lagi
percikan-percikan benci dan cinta, peran musuh dan kekasih yang diperankan Maya
dan Sakurakoji, sangat meyakinkan. Mereka begitu tampak jatuh cinta dan hanya
hidup bagi satu sama lain.
Para penonton dipaksa
menangis saat akhirnya mereka tidak bisa bersatu dengan kekasihnya seperti
kebanyakan makhluk hidup lainnya.
Saat Bidadari Merah
menghilang terakhir kali ke belakang panggung, penonton masih tidak rela.
Rasanya, pementasan 100 menit itu hanya terasa sangat sekejap. Mereka ingin
menyaksikan Bidadari merah lagi, ingin melihat Maya berakting lagi, ingin
terusan dari drama itu lagi.
Tepuk tangan Masumi
menggema pertama kali dengan sangat keras, menyadarkan para penonton sandiwara lainnya
bahwa mereka harus kembali ke alam nyata. Para hadirin perlahan mulai ikut
bertepuk tangan, dan menggema ke seluruh bagian.
Termasuk Eisuke
Hayami, yang bertepuk tangan seraya tersenyum puas.
Ayumi membatu di
tempatnya. Ia tahu ia seharusnya tidak menyaksikan permainan Maya. Seharusnya
ia mendengarkan kata hatinya. Namun, ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan.
Bagaimana jika akting yang disuguhkan Maya adalah salah satu akting terbaik
yang bisa dilakukan? Ayumi tidak ingin menyia-nyiakan untuk menyaksikannya.
Tetapi, ia harus
menerima konsekuensinya sekarang. Seluruh tubuhnya gemetar melihat akting gadis
itu. Apalagi saat mereka tadi sempat tak sengaja bertukar pandang, Ayumi yakin
sekali yang menatapnya bukan Maya Kitajima. Sesuatu yang derajatnya tinggi.
Ayumi menelan
ludahnya. Belum pernah ia setakut dan segugup ini sebelum menampilkan sebuah
peran. Ya Tuhan… tidak adil… tidak adil… isak Ayumi. Apakah gadis itu
kehilangan penglihatannya dulu untuk bisa berperan seperti itu? Apakah ia
menghabiskan waktu dengan latihan yang sangat berat untuk bisa berakting
seperti tadi?
Pengumuman di speaker
terdengar, akan ada istirahat 20 menit untuk menyiapkan setting bagi pementasan
selanjutnya, grup Onodera. Para hadirin dipersilakan menikmati hidangan yang
sudah disediakan dan diminta kembali ke tempat dalam 20 menit.
Ayumi memasuki ruang
ganti. Ia berpapasan dengan Maya dan tidak bicara apa-apa. Maya pun, masih
berada dalam kondisi trans, ia berjalan tanpa tujuan dan hanya melangkah, ke
sebuah tempat yang agak jauh dari keramaian. Ia belum mengenali sekitarnya,
sampai sebuah bayangan tertangkap matanya.
Mata gadis itu hidup
lagi, dan melebar, berbinar. Ia melihat Masumi. Masumi Hayami yang berdiri di
hadapannya. Pria itu tersenyum kepadanya, dan Maya tahu ia sudah melakukan yang
terbaik. Maya tak berpikir panjang, ia menghampiri pria itu masih dengan
kostumnya.
Tanpa banyak kata Maya
memeluk Masumi. Ia sungguh merindukan pria itu. Dan, dari cara Masumi balas
memeluknya, ia tahu pria itu merasakan hal yang sama.
“Aktingmu sangat
bagus. Kau sangat pandai, luar biasa…” puji Masumi dengan tercekat.
Maya memejamkan
matanya bahagia. Itu kata-kata paling menyentuh yang pernah didengarnya. Ia
amat bahagia saat Masumi mengucapkannya, hingga airmatanya luruh juga.
=//=
“Kubilang jangan ada
yang masuk!!” teriak Ayumi yang sedang menangis di dalam ruang gantinya, saat
pintunya terbuka. Gadis itu terenyak saat mendapati Hamill sedang berdiri di
ambang pintu.
“Kau menangis?” pria
itu terkejut.
Ayumi memalingkan
wajahnya. “Keluar!” usirnya keras.
Hamill memandangi
punggung Ayumi. Ia mengenal gadis yang cantik dan memesona itu, ia memiliki
kebanggaan yang sangat tinggi. Sekarang, kenapa gadis itu menangis sendirian di
ruang gantinya? Itu sama sekali tidak terlihat seperti Ayumi yang dikenalnya.
Hamill menghampiri
Ayumi tanpa menghiraukan usiran yang ia dapatkan dari gadis itu tadi.
Disentuhnya bahu Ayumi perlahan. “Kau tidak seperti Ayumi yang kukenal,”
ujarnya.
“Diam! Apa yang kau
tahu mengenai aku? Kau sama sekali tidak mengenalku!”
Alis Hamill
terjungkit. “Yang aku tahu kau tidak pernah diam-diam menangis dan mengaku
kalah sebelum melakukan bagianmu,” ujarnya. “Yang aku tahu, kau seorang gadis
yang selalu percaya diri dan siap menghadapi tantangan apa pun yang
menghadangmu. Yang berusaha melakukan semuanya dengan kekuatanmu sendiri tanpa
rasa takut.”
Hamil… Ayumi
tercenung. Tangannya mengepal. Masih gemetar. Ia bahkan belum berani menoleh
kepada pria itu. “Tetapi aku takut…” akunya, untuk pertama kali dalam hidupnya
kata-kata itu keluar dari bibirnya. “Aku takut kepada Maya Kitajima. Dia… dia
tidak pernah bisa kulalui, selalu tiba-tiba menyusulku dengan sangat jauh dan
sekarang aku yang tertinggal.”
“Lalu? Kau masih punya
apa yang dia tidak punya. Kesempatan, Ayumi. Dia sudah menggunakan
kesempatannya dan waktunya kau menggunakan kesempatanmu. Kau masih bisa
melakukan yang lebih baik darinya. Kau masih punya kesempatan itu.”
“Tidak!” Ayumi terisak
keras, menggelengkan kepalanya. Hatinya ciut begitu saja karena kebodohannya
memutuskan melihat Maya berakting. “Aku sudah kalah…!”
“Tentu saja kau kalah
jika hanya menangis di sini!! Keluar, Ayumi! Beraktinglah!! Lakukan apa yang
kau sukai! Apa kau mau mengaku kalah tanpa pernah memerankan Bidadari Merah
seumur hidupmu!!?”
Deg!! Tidak pernah
memerankan Bidadari MErah… seumur hidup…
“Andaikan kau kalah…
Apa kau puas kekalahanmu adalah karena kau menyerah? Jika ini memang
satu-satunya kesempatanmu memerankan Bidadari MErah,” Hamill meraih bahu Ayumi
dan memutar tubuh gadis itu ke hadapannya. “Maka lakukan yang sebaik-baiknya,
seakan-akan kau tidak akan pernah memerankannya lagi. Beraktinglah seakan-akan
ini akting terakhirmu, Ayumi. Perankan Bidadari Merah yang akan membuat dirimu
bahagia dan puas. Aku tahu benar bagaimana perjuanganmu untuk sampai di sini.
Aku tidak akan rela kalau kau menyerah begitu saja…!” tegas Hamill.
Ayumi tertegun.
Hamill… ditatapnya pandangan tegas pria itu. Apakah ia pernah, menemukan
seseorang yang begitu mendukungnya seperti saat ini? Yang saat mendengar
ucapannya, ia menjadi lebih berani, dan dadanya berdebar sekeras ini?
Memerankan Bidadari Merah
yang membuatnya puas dan bahagia…
“Ayumi! Apa kau sudah
siap? Lima menit lagi akan dimulai!’”
“Ah ya!” seru Ayumi,
ia sejenak hanya bertatapan dengan Hamill. “Aku akan keluar sebentar lagi!”
Hamill tersenyum mendengarnya. “Cepatlah keluar! Aku harus berias!” perintah
Ayumi.
“Tentu, Nona…” Hamill
tersenyum dan ia beranjak keluar dari sana.
Ayumi sejenak mematung
mengingat Hamill, ia lantas berbalik dan segera merias wajahnya untuk
menyembunyikan sembapnya. Tidak usah
memikirkan Maya Kitajima. Aku punya yang dia tidak punya, dan aku akan
melakukan yang terbaik untuk Bidadari Merahku saat ini… Ya, cukup pikirkan saat
ini saja…
=//=
Saat Bidadari Merah
Ayumi dimulai, para penonton segera menahan napas saat melihat sosok memesona
yang diam mematung tersebut. Gerak geriknya begitu lembut dan halus, caranya
melayang, menari, melangkah, sungguh luar biasa. Banyak yang sempat berpikir
bahwa Bidadari MErah hanya Maya seorang, kali ini tak bisa berhenti terpikat
dengan tingkah polah Bidadari Merah Ayumi.
Suatu waktu mengasihi,
lantas tampak mengintimidasi. Mereka percaya Ayumi memang Bidadari yang
mewujudkan diri di hadapan mereka. Semuanya begitu takjub, dada mereka dipenuhi
rasa khidmat yang aneh. Banyak yang merasa, bahwa Bidadari Merah Ayumi lebih
Ayumi pun memerankan
Akoya dengan baik. Sorot mata jatuh cinta tampak dari sana saat ia menatap
Isshin kekasihnya. Mereka melihat Ayumi yang baru, Ayumi yang luar biasa dan
tak pernah mereka lihat dalam berperan sebelumnya. Padahal, aktingnya dahulu
selalu menuai pujian. Melihat Ayumi saat ini, para ahli drama kehilangan
kata-kata. Belum lagi usianya masih dua puluh tahun.
Tepuk tangan segera
bergemuruh begitu Ayumi menghilang dan dongeng Bidadari Merah berakhir. Tepuk
tangan itu sangat riuh hingga memekakkan telinga.
Ayumi diam di belakang
panggung. Saat namanya disebut ia membungkuk sekali lagi kepada para penonton
yang kembali menyorakinya penuh pujian. Ayumi tak pernah merasakan perasaan
membuncah seperti ini, bahkan lebih dari saat ia memerankan Origeld dahulu.
Tatapannya mencari
seseorang di tengah keriuhan, dan ia melihat Hamill yang tak berhenti
memotretnya. Saat Ayumi mengarahkan pandangan kepadanya, priaitu menurunkan
kameranya dan menatap Ayumi takjub. Saat itu Ayumi menyadari sesuatu,
mengetahui pria itu ada di sana dan hanya melihatnya, Ayumi merasa bahagia.
=//=
Setelah kedua grup
sukses mementaskan pentas percobaan itu, tinggallah tim penilai yang sangat
bingung kepada siapa nantinya hak dan peran Bidadari MErah akan diberikan.
Apakah kepada Maya Kitajima, si Badai di Atas panggung yang penuh bakat tak
tertandingi dan penuh kejutan, juga murid Mayuko Chigusa, ataukah Ayumi
Himekawa, gadis berdarah seni sejak lahir dengan pengalaman yang sangat banyak
dan sudah menempuh level lebih tinggi dalam tingkat aktingnya.
Para wartawan pun
turut berdebat. Ada yang menjagokan Maya dan ada juga yang menjagokan Ayumi.
Persaingan Bidadari Merah itu terus menjadi berita hangat di koran dan
televisi, hingga waktu yang ditentukan oleh Dewan Drama Nasional untuk
mengumumkannya satu minggu sejak pementasan.
“Akting Ayumi sungguh
luar biasa…” gumam Maya saat ia duduk bersandar kepada Masumi di sofa ruang
tamu apartemennye.
“Kau juga luar biasa…”
“Tapi…” Maya menggumam
perlahan, “Ayumi… benar-benar membuatku tidak percaya diri. Pak Masumi,
bagaimana jika aku tidak memenangkannya? Bagaimana jika…” Maya tidak meneruskan
perkataannya. Ia melingkarkan lengannya pada pinggang Masumi yang lebar.
“Setidaknya kita masih
punya beberapa hari untuk bersama,” gumam Masumi.
Maya terlonjak dan
mendongak. “Tidak mau!” seru Maya. “Aku tidak mau jika harus berpisah
denganmu…”
“Karena itu jangan
memikirkan yang tidak-tidak. Aku yakin sekali, kau akan memenangkannya. Maya,
aktingmu memiliki kemajuan pesat. Selain itu… Kau unggul satu hal yang tidak bisa
dikalahkan Ayumi, kurasa, semua mata malam itu bisa menilainya. Ayumi memang
memiliki gerak tubuh yang sangat indah. Dan, bisa terlihat itu adalah akting
terbaik dalam karirnya. Ia sangat menjiwai dan ia bisa menggerakkan panggung,
menguasai semua teknik dengan baik. Bahkan, gelora cintanya juga sangat
terasa.”
“Tapi…?” tanya Maya,
mendongak.
“Dia itu ‘hanya’
seorang Bidadari,” Masumi tersenyum.
Alis Maya berkerut
tidak mengerti.
=//=
Ruangan masih ribut
saat konferensi Pers belum dimulai dan segera senyap saat ketua dewan drama
nasional memasuki ruangan dengan beberapa orang yang mengikutinya termasuk
Mayuko Chigusa yang tampak pucat namun matanya tampak berbinar.
“Terima kasih, sudah
hadir dalam acara konferensi pers ini. Hari ini, kami sudah memutuskan mengenai
siapa yang paling layak mewarisi peran dan hak pementasan karya agung Bidadari
Merah. Kami cukup memiliki perdebatan panjang lebar mengenai siapa yang paling
layak antar Ayumi Himekawa, dan Maya Kitajima. Juga, Sutradara, pemeran Isshin
dan pemain-pemain lainnya. Kami akan mengumumkan nama-nama pemenangnya terlebih
dahulu dan, akan menjelaskan alasannya kemudian. Karena itu harap jangan
memotong hingga kami selesai bicara,” pinta ketua persatuan drama. “Daftar ini
kami buat dengan kesepakatan bersama, dan kami tidak sabar untuk menyaksikan
drama ini dalam versi teater nanti.” Pak Yamagishi menyerahkan daftar kepada
Ibu Mayuko, sementara para calon pemeran dari kedua pihak duduk di samping kiri
dan kanan ruangan dengan tegang. Di bagian depan sudah ada kursi-kursi kosong
yang akan diisi oleh para pemenang peran yang diperebutkan.
Maya melirik khawatir
kepada Masumi yang juga hadir dalam pengumuman itu. Masumi tersenyum tipis
kepadanya untuk menenangkan. Maya berdoa dan berdoa. Dia sungguh ketakutan.
Takut setelah hari ini, ia sungguh tidak akan bisa bertemu Masumi lagi.
“Dan untuk pemeran
Bidadari Merah, juga pewaris hak pementasannya, jatuh kepada,” suara serak
sekaligus tegas Mayuko terdengar di penjuru ruangan, menumbuhkan rasa tegang
yang terus menggeliat di hati setiap orang. “MAYA KITAJIMA!!” serunya dengan
tegas.
“WAAA!!” ruangan ramai
seketika. Maya terbelalak tidak percaya. Namanya? Namanya yang disebut tadi? Ia
kembali menoleh kepada Masumi dan wajah lega pria itu tersenyum kepada kekasihnya.
“Maya, silakan duduk
di sini,” pinta salah satu anggota persatuan drama.
Dengan gemetar Maya
berdiri, kakinya benar-benar tidak seimbang dan caranya berjalan teramat kaku.
Beberapa orang cekikikan melihatnya. Maya lantas duduk di bangku itu dan
kembali menatap Masumi, hanya Masumi. Begitu juga pria itu, yang tidak bisa
berhenti tersenyum kepadanya. Keduanya terus saling menatap, dan akhirnya Maya menyadari
sesuatu… Dirinya dan Masumi bisa bersama! Eisuke Hayami sudah berjanji tidak
akan mengganggu mereka, sudah berjanji tidak akan memaksa Masumi menikahi
Shiori.
Saat tatapan Maya
bergeser kepada Eisuke, herannya, kakek tua itu pun hanya tersenyum kepadanya.
Maya heran melihatnya, dan ia membuang muka. Lantas, ia melihat Ayumi. Gadis itu
hanya duduk tenang di tempatnya, dengan wajah tanpa ekspresi.
Ayumi…. Aku…
mengalahkan Ayumi? Bagaimana bisa? Padahal, aku tidak menari seindah dia… tidak
bicara selembut dia… juga tidak secantik dia… kenapa… batin Maya.
“Ryuzo Kuronuma!”
Suara Bu Mayuko mengejutkan Maya. Dan, dilihatnya pria yang mirip beruang itu
berdiri dari kursinya dan duduk di kursi Maya.
“Yuu SakurakojI!”
Koji! Mata Maya
melebar. Jadi, Koji akan menjadi Isshinnya lagi di atas panggung! Pemuda itu
berdiri dan duduk di samping Maya.
Satu persatu para
pemeran Bidadari Merah diumumkan. Kebanyakan didominasi oleh grup Kuronuma.
Onodera segera beranjak pergi seraya berdecak menghina saat nama Kuronuma
disebut.
“Para hadirin, inilah sutradara
dan para pemain lengkap pementasan Bidadari Merah yang akan mulai dipentaskan
januari nanti!” umum Mayuko.
“Yoroshiku
Onegaishimasu…” orang-orang yang berjajar itu membungkuk, dan kamera mulai
memotret mereka tanpa henti.
“Sekarang, saya akan
menjabarkan alasan kenapa kami sepakat memilih Maya Kitajima,” terang Bu
Mayuko. “Karena Maya, berhasil memerankan kedua perannya dengan sempurna.
Kenapa saya katakan kedua perannya? Karena… Dalam Bidadari Merah ini, ada dua
pribadi yang harus mereka kuasai. Yaitu Bidadari Merah itu sendiri, dan juga
Akoya, gadis desa biasa sekaligus istimewa. Gadis yang raganya manusia, namun
dalam tubuhnya, terdapat bidadari yang bersemayam. Ayumi memang luar biasa
sempurna dalam memerankan Bidadari Merah. Jujur, saya sangat terkejut dengan
perkembangan Ayumi dalam mendalami sebuah peran, saya tidak mengira Ayumi
berkembang sejauh ini. Namun, Ayumi lupa berakting sebagai gadis biasa. Sisi
manusianya sangat jarang terlihat. Gerak geriknya begitu indah hingga kita hampir
tak melihat Akoya yang manusia. Akoya gadis biasa yang kekanakan dan ceria.
Saat melihat Ayumi, kita hanya diingatkan bahwa dia adalah seorang Bidadari.
Penuh kuasa, menggerakkan alam, bergerak dengan indahnya. Hampir tidak ada yang
fana dari Bidadari Merah Ayumi. Maya, di sisi yang lain, masih harus belajar
mengenai gerak tubuh yang indah. Namun, dalam hal itu pun saya melihat Maya
cukup berkembang pesat. Lagipula, dua-tiga bulan latihan intensif, saya yakin
Maya akan menguasai semua teknik menggerakkan badan itu. Namun yang paling
penting, selain berhasil memerankan Bidadari Merah, Maya juga sempurna
memerankan Akoya. Gadis yang rapuh tanpa kekuatan. Kita tidak tahu bahwa Akoya
adalah titisan Bidadari Merah sebelum neneknya bercerita. Dan, saat menuju
klimaks, ketika Akoya memperlihatkan mimik kedewiannya, saat itulah kita ingat
kembali, Akoya memang titisan bidadari. Pada titik itulah, Maya berhasil melakukannya,
lebih baik dari Ayumi.”
Ayumi menelan
ludahnya. Diam-diam dia tersenyum pahit. Akoya… yang manusia…? Bodoh… dia
begitu terobsesi mendekati pribadi Bidadari Merah hingga melupakan kemanusiaan
Akoya. Dan, di sanalah Maya unggul darinya.
Gadis itu berdiri, di
wajahnya, kebanggaan itu masih ada. Ia lantas berjalan menghampiri Maya dan
mengulurkan tangannya. “Aku sangat bahagia, karena gadis dengan kemampuan sepertimulah
yang berhasil unggul dariku,” Ayumi tersenyum tipis.
Dengan gugup Maya
berdiri dan mengulurkan tangannya. “Terima kasih,” kata Maya dengan haru. “Terima
kasih sudah berada di depanku selama ini, dan membuatku termotivasi untuk
menyusulmu.”
Ayumi lantas
membungkuk kepada barisan juri dan juga kepada Bu Mayuko. Wanita itu tersenyum
penuh rasa bangga kepada Ayumi. Ayumi tahu, Bu Mayuko memuji kemajuannya dalam
berakting. Gadis itu lantas melangkah keluar ruangan dengan perasaan agak
hampa. PAdahal, ia sangat menginginkan peran itu, karena dengan demikian ia
baru percaya bahwa ia berdiri di sini karena kerja kerasnya sendiri, bukan
karena nama besar Papa dan mama.
Papa dan mama pasti
sudah menunggu kabar dariku… batin Ayumi saat menuju tempat parkir. Ia
mengeluarkan ponsel. Namun, saat ia hendak menghubungi ibunya, Ayumi berganti
pikiran. Ia menghubungi orang lain.
“Halo,” suara Hamill
terdengar, “Apa kabar Ayumi?”
“Aku tidak
mendapatkannya,” kata Ayumi, kali ini entah kenapa suaranya tercekat padahal ia
sudah berusaha untuk kuat.
“Lalu?”
“Aku…” Ayumi menelan
ludahnya pahit dan matanya berkaca-kaca.
“Kau kecewa dengan
Bidadari Merahmu?”
Langkah kaki Ayumi
berhenti. “Tidak,” ia menggeleng. “Itu yang terbaik yang sanggup kulakukan.”
“Kalau begitu kau
sudah jadi yang terbaik,” Hamill berkata.
Ayumi tertegun, dan
berbalik. Ternyata fotografer itu ada di sana, berjalan ke arahnya. Padahal,
Ayumi sudah melarang Hamill datang karena—untuk alasan yang tidak begitu
dipahaminya—Ayumi tidak ingin pria itu melihatnya gagal. Ayumi menutup
ponselnya.
“Yang aku tahu, kau
sudah memerankan Bidadari Merah yang hanya bisa diperankan olehmu sendiri. Bahkan
Maya Kitajima tidak akan bisa memainkan Bidadari Merahmu. Kau sudah jadi
pemenang,” Hamill tersenyum, seraya menaikkan kameranya dan mulai memotret
Ayumi. Untuk pertama kalinya Ayumi tidak protes Hamill memotretnya
terang-terangan di hadapannya.
Ayumi menghela
napasnya. “Terima kasih,” katanya, terdengar tulus dan juga baru kali itu ia
ucapkan kepada Hamill.
Saat gadis itu
tersenyum hangat, Hamill bisa merasakan wajahnya menghangat dan jantungnya
berdebar.
“Jadi, kapan?” tanya
Ayumi seraya mendongak.
“Apa?” tanya Hamill
yang masih linglung karena efek senyuman Ayumi.
“Kau berencana mengajakku
berkencan.”
“Eh?” Hamill tertegun
dan semakin salah tingkah.
“Aku ini aktris dan
pandai berakting, sedangkan kau tidak,” ujar Ayumi, berusaha tenang. ”Jadi,
kapan?” tanyanya lagi.
“Rencananya malam ini,”
ujar Hamill. “Masih rencana…”
“Hmm…” Ayumi kembali
berbalik, “Rencana yang bagus,” ujarnya dan meneruskan langkahnya yang tadi
terhenti.
Hamill tersenyum lebar
dan ia mengikuti gadis itu. Ia tak mengira Ayumi mulai membuka hati untuknya.
Padahal, Hamill tahu benar tak ada yang mengisi kepala gadis itu selain akting.
“Siapa saja yang sudah
kau beritahu mengenai hasilnya?” tanya Hamill lagi.
“Baru kau, aku
bermaksud memberitahu Mama tetapi—“
“Senangnya,” ujar
Hamill.
Ayumi tertegun,
menyadari sesuatu dan wajahnya mendadak merona. Ia memalingkan wajahnya dari
Hamill. Pria itu benar, ia tak harus kecewa karena kegagalan jika ia sudah
melakukan yang terbaik. Selamat, Maya…
Aku pun, tidak akan menyerah di sini. Aku akan terus menjadi semakin baik,
tekad Ayumi.
=//=
“Maya, nanti aku ke
apartemenmu ya,” kata Masumi kepada Maya saat konferensi pers sudah selesai.
“Pak-Pak Masumi…
teman-teman dari teater Mayuko mau merayakan keberhasilanku ini, juga bersama
Bu Mayuko. Maaf ya, Pak Masumi… kita bertemu lagi besok saja, bagaimana?” bujuk
Maya.
Tak kentara Masumi
menghela napasnya. “Baiklah…” desahnya. Ia ingin sekali memeluk dan mencium
pipi gadis itu namun ia menahan diri agar tidak melakukannya. “Besok kita
bertemu lagi. Aku harus mengantar Ayah pulang.”
Keduanya bertatapan.
Mereka tahu saat ini waktunya Eisuke menyatakan sikap atas kesepakatan mereka
sebelumnya.
“Brak!” Masumi menutup
pintu mobil dan di sana sudah ada ayahnya.
“Jalan!” perintah
Eisuke kepada sopir dan mobil segera melaju.
“Ayah—“
“Calon istrimu itu…”
Eisuke memotong. “Benar-benar hebat. Dia bisa memenangkan kemungkinan satu
persen tersebut.”
Calon istrimu… masumi
tertegun mendengar perkataan Eisuke. “Ayah… kau…”
“Aku akan menepati
janjiku. AKu tidak akan mengganggu kalian. Malahan,” ia menghela napasnya lega.
“Memiliki menantu seorang Bidadari Merah memang luar biasa,” katanya.
“Ayah… jadi… Ayah
tidak menentang hubunganku dan Maya?”
“Sejak dulu aku tidak
pernah bermaksud menghancurkannya jika aku tahu dia berguna untuk kita.”
“Untukmu,” koreksi
Masumi dengan dingin.
“Ya, apa pun. Secara
pribadi aku tak ada dendam dengannya. Malahan, aku menyukainya. Aku sudah
beberapa kali berbincang dengannya dan aku tidak heran jika kau memang jatuh
cinta kepadanya. Hanya saja, kau tidak pernah mengatakan perasaanmu kepadanya.”
“Apakah jika kau tahu,
kau akan mendukung perasaanku kepadanya?” tanya Masumi dingin.
“Entahlah,” tanggap
Eisuke. “Toh hal itu tidak pernah terjadi sampai aku mengetahuinya sendiri dan
kau sudah menyetujui pertunangan dengan Shiori.”
Shiori… Masumi
terdiam. Tiap kali nama wanita itu disebut, Masumi hanya merasakan kepahitan.
Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Perasaan bersalah karena Ia melibatkan
wanita itu. Mungkin, jika Masumi tidak membiarkan wanita itu jatuh cinta
terlalu dalam, Shiori sudah menemukan pasangannya.
“Jadi, kapan kalian
akan menikah?”tanya Eisuke.
“Ah, itu….” Masumi
termenung. “Aku belum tahu. Belum sempat membicarakannya dengan Maya.”
“Aku akan memenuhi
janjiku. Biar aku yang meminta maaf secara pribadi kepada keluarga Takamiya.”
“Ayah, aku ikut. Aku
merasa… harus bicara dengan mereka sekali lagi.”
“Apa kau yakin?”
“Ya.”
=//=
“Kampaaaaii~!!!”seru
Maya dan teman-temannya saat mereka merayakan kemenangan Maya di apartemen
mereka.
“Jadi ini… apartemen
kalian yang baru…” ujar Mayuko seraya tersenyum. Ini pertama kalinya Mayuko
menginjakkan kaki di sini.
“Ini apartemen Maya,”
terang Sayaka.
“Bu-bukan! Bukan! Ini apartemen
Mawar—uhm, Pak Masumi!” Koreksi Maya cepat. Ah! Maya terdiam, begitu juga
teman-temannya. Mereka bersamaan menoleh kepada Bu Mayuko.
Bu Mayuko hanya
tersenyum mendengarnya. “Jadi sekarang kau mempunyai hubungan istimewa dengan
Pak Masumi ya?”
“Ah…! I-itu… aku…”
maya menunduk dan memainkan jemarinya. “Apakah ibu marah?”
“Tentu tidak… Ibu
malah bangga kepadamu, karena kau sudah bisa bersikap dewasa, bisa memaafkan
musuhmu. Ibu tahu benar bagaimana sulitnya itu, tetapi kalau kau lebih bahagia
seperti itu, tentu saja kami semua juga bahagia.”
Maya tampak
berkaca-kaca dan ia mengangguk. “Pak Masumi ternyata… pria yang sangat baik,
dia adalah orang yang selalu mendukungku selama ini. Dia adalah si Mawar Ungu…”
“Pantas saja… sejak
pementasanmu, ibu melihat ada yang berbeda di antara kalian berdua. Ternyata…
kalian memang saling jatuh cinta. Selamat Maya, semoga bahagia,” ucap Bu
mayuko.
Maya tak kuasa, ia
memeluk gurunya itu. “TErima kasih, Bu Mayuko… terima kasih… Kupikir Ibu akan
memarahiku…”
“Hahaha… tentu saja
tidak. Kalau aktingmu buruk, aku pasti sangat marah. Tetapi masalah hati, itu
sepenuhnya urusanmu, Maya,” Bu Mayuko balas memeluk anak didiknya itu. “Semoga
bahagia.”
Yang lain pun ikut
terharu melihat pemandangan tersebut.
=//=
Eisuke dan Masumi
duduk dengan tenang di ruang tamu keluarga Takamiya. Tak lama kemudian tampak
Tenno Takamiya menghampiri mereka dengan wajah dingin. Ia bahkan tak menyapa
keduanya dengan ramah.
“Ada apa?” tanya pria
tua itu tanpa memandang mereka.
“Tuan,” Eisuke Hayami
membungkuk dalam di hadapan pria tua itu. “Aku sungguh meminta maaf atas semua
keributan yang kami sebabkan,” pintanya.
Takamiya tak berkata
apa-apa. Ia menelan ludahnya. Ia pun tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia
sudah kehilangan seorang cucu laki-laki, dan satu-satunya cucu perempuan
kesayangannya sudah mulai kehilangan akal. Ia yakin tak hanya Masumi. Siapa pun
tidak akan mau lagi kepada cucunya tersebut.
“Saya turut prihatin
atas apa yang terjadi kepada Tuan Yamashita dan juga kepada Nona Shiori.
Apabila ada yang bisa kami lakukan untuk membantu, tolong jangan ragu untuk
mengatakannya kepada kami,” imbuh Masumi.
“Kau mau menikah
dengannya?” tanya tenno takamiya. Masumi terpaku, ia tak berkata apa pun. “Kalau
begitu, tak ada apa pun yang bisa kau lakukan,” lanjutnya. Pria tua itu
menghela napasnya. “Aku hanya ingin dia sembuh. Itu saja… aku akan memberikan
apa pun kepadamu. Aku akan mewariskan semua yang kumiliki kepada Shiori, kau
bisa menikmatinya, Masumi… Hanya itu yang bisa kulakukan untuk mengembalikan
kesadaran Shiori.”
Masumi mengepalkan
tangannya. Tidak bisa… ia tidak bisa seperti itu. Ia memiliki Maya dan ia milik
Maya. Masumi tidak akan sanggup berpisah dengan gadis itu dan ia pun tahu Maya
juga begitu. Mereka bisa mati perlahan jika dipisahkan.
“Maaf…” kata Masumi
berat. “Sungguh… maafkan saya. Seharusnya, sejak pertama saya tidak menyetujui
perjodohan ini. Jika tidak begitu, pasti Shiori pun tidak akan demikian
berharap atas pernikahan kami.”
“Ini salahku,” tukas
Eisuke. “Aku yang sudah tua ini yang memaksakan kehendak kepada putraku. Tuan
Takamiya. Selama aku mengenal Shiori, dia adalah gadis yang sangat baik. Aku
bahkan sudah menganggapnya putriku sendiri. Walaupun, mungkin aku bukan ayah
yang baik. Jika saja ada yang bisa kulakukan untuk membuatnya kembali seperti
dahulu, aku akan melakukannya,” terang Eisuke. “Karena itu, aku sudah
memikirkannya. Mungkin, saat ini semua hal yang ada di sekitar Shiori
membuatnya selalu terkenang kepada Masumi dan semua hal yang sudah terjadi.
Karena itu, jika Tuan menghendaki, bagaimana jika Nona Shiori sementara waktu
tidak tinggal dulu di sini? Mungkin menenangkan diri di suatu tempat? Saya tahu kuil tempat orang-orang menenangkan diri
dan dengan pemandangan indah dan suasana yang tenteram di Hokkaido. Di sana
tidak hanya semata-mata guru dan biksu, tetapi juga terdapat para ahli, karena
kuil tersebut memang sudah dijadikan tempat untuk mengembalikan kesadaran dan
ketenangan batin seseorang. Saya rasa, jika Shiori tinggal di sana untuk
beberapa bulan, dia pasti bisa sembuh,” saran Eisuke.
Takamiya menatapnya
ragu. “Kau yakin?”
“Ya. Putri salah satu
temanku pernah mengalami hal yang sama. Hanya dua bulan dia berada di sana,
sekarang kesadarannya sudah sembuh total. Tolong, Tuan, pikirkan baik-baik,
saya rasa ini patut dicoba,” saran Eisuke. “Aku pun pernah berada di sana untuk
beristirahat. Suasananya memang sangat menentramkan.”
Takamiya menghela
napasnya. “Terima kasih, Eisuke, aku akan mencobanya. Kuharap Shiori memang
masih memiliki harapan.”
“Ya. Karena itu, mohon
kerelaan Tuan Takamiya, untuk memutuskan masalah pertunangan Masumi dan Shiori.
Aku harap di masa yang akan datang, tidak akan ada dendam dan perasaan
mengganjal di antara kita. Aku masih berutang sangat banyak kepada keluarga
Takamiya. Kuharap suatu saat akan diberi kesempatan membalasnya.”
Takamiya hanya
mengangguk-angguk. “Baik, Eisuke, aku sudah mengerti maksud kalian.”
Kedua pihak saling
membungkuk memberi hormat.
Takamiya menatap
Masumi. “Apakah kau sudah memiliki rencana pernikahan dengan wanita lain?”
Masumi terdiam dan
membungkuk membenarkan. “Saya akan menikahi wanita yang saya cintai,”
terangnya. “Saya harap Shiori pun akan menemukan pria yang lebih baik dari
saya, yang sesuai untuknya dan mencintainya.”
“Terima kasih, Masumi.
Aku hargai kejujuranmu.”
Ayah dan anak itu
berpamitan dan kemudian permisi dari kediaman konglomerat tersebut.
“Masumi, nanti ajak
Maya makan malam bersama,” ujar Eisuke setelah keheningan yang lama.
“Mau apa?” tanya
Masumi penuh curiga.
“Kau jangan khawatir
begitu, aku tidak akan melakukan apa pun kepadanya. Apa salahnya menyambut
anggota keluarga baru? Uhm… calon. Walaupun kurasa anak itu tidak menyukaiku,
ya… kuharap kami bisa mengenal lebih baik sebelum kita menerimanya di rumah
kita kan?”
“Ayah mengenai hal
itu, aku tentu sudah tidak akan tinggal bersamamu lagi setelah menikah dengan
Maya.”
Eisuke menyadari hal
itu, mengingat Masumi pun sudah menyiapkan rumah yang akan ditinggalinya
bersama Shiori saat keduanya masih berencana menikah.
“Aku tahu,” tukas
Eisuke. “Tetap saja, mungkin suatu saat dia akan menjadi nyonya di rumah yang
kita tinggali saat ini. Tidak ada salahnya kan aku lebih mengenal calon
pewarisku?”
Masumi tidak berkata
apa-apa lagi.
=//=
Maya bolak balik di
depan cermin dengan sangat gugup. Tadi siang Masumi menghubunginya dan
mengatakan bahwa Eisuke ingin mengajak makan malam bersama.Maya sangat
terkejut. Dan, mengingat Eisuke adalah ayah Masumi, berarti calon mertuanya,
Maya benar-benar gugup bukan main.
“Maya…” tegur Mina
yang masuk ke kamar Maya dan Rei. “Tadi sebelum pergi bekerja Rei bilang kau
sedang kesulitan dan aku diminta membantumu, kau kesulitan apa?” tanyanya.
“Minaa… tolong akuu!”
rengek Maya. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan… Aku tidak tahu harus
pakai baju yang mana… harus kuapakan rambutku… wajahku… aku harus tersenyum
seperti apa? La-lau… berjalannya bagaimana?” tanyanya panik seraya melakukan
jalan di tempat.
Mina ingin sekali
tertawa kalau saja ia tidak melihat betapa serusnya wajah panik Maya.
“Kau gugup sekali ya?”
Mina menghampiri Maya yang hanya mengenakan pakaian dalamnya. “Hum… kalau hanya
bertemu Pak Masumi, pasti seperti itu saja dia sudah senang.”
“Hah!?” Maya menunduk
mengamati dirinya. “Minaaa~!!” rajuk Maya dengan wajah semerah kepiting.
Akhirnya Mina tertawa.
Ia mengerti sekali. Mina saja jika diajak makan bersama Eisuke Hayami pasti ia
akan benar-benar panik dan salah tingkah. Tetapi, karena hal ini menimpa Maya,
maka ia memutuskan bahwa ia harus berperan bijak.
“Maya, kurasa… karena
kau akan menjadi anggota keluarga mereka, kau harus berusaha menjadi dirimu
sendiri.”
“Menjadi diriku? Yang…
yang makannya lahap sampai pipiku penuh. Yang sering nasinya belepotan? Yang
tiba-tiba melamun saat teringat drama yang kutonton? Yang mendadak tuli saat
melihat tayangan televisi? Yang menari-nari dan berteriak-teriak kalau mabuk?”
“Hahahaha… ya… tidak
sampai sejauh itu. Kau kan, tidak akan melakukan itu semua jika kau menyadari
bahwa itu salah.
“Tapi kesadaranku
mudah sekali hilang,” keluh Maya seraya mengerucutkan bibirnya dan mendudukkan
bokongnya di sisi tempat tidur.
“Begini saja,
bagaimana jika kau… membayangkan bertemu dengan Kakekmu yang sudah lama tidak
kau temui? Nah, tidak begitu menegangkan kan? Walaupun pasti awalnya gugup dan
canggung, karena itu kakekmu, kau pasti akan berusaha menjaga perasaannya dan
mau lebih mengenalnya. Walaupun… sebenarnya dia calon mertuamu.”
Menganggapnya kakekku…
batin Maya. Mungkin tidak terlalu sulit. Dia sudah beberapa kali berbicara
dengan Eisuke walaupun pria itu menyembunyikan identitasnya.
Aneh sekali kalau
dipikir-pikir. Ayah dan anak itu suka sekali berpura-pura menjadi orang lain.
Hanya saja, jika Masumi selama ini berperan antagonis padahal dia sangat
mencintai dan perhatian kepada Maya, Eisuke sebaliknya. Ia bersikap sangat baik
dan menyenangkan. Padahal, sesungguhnya dia pria berhati dingin musuh besar
gurunya.
“Hhh…”
“Sudah, sudah,” tegur
Mina, “Sampai kapan kau tidak akan berpakaian? Nanti masuk angin. Ayo cepat,
kubantu memilihkan baju.”
Akhirnya, setelah memilah-milah
dari sekian banyak gaun yang pernah dibelikan oleh Mawar Ungu, Maya memilih
sebuah gaun sebatas betis dengan lengan panjang. Ia tidak banyak mengotak-atik
rambutnya selain menysisirnya dengan rapi dan mengikat bagian atasnya ke
belakang serta menyematkan pita dengan warna senada dengan pakaiannya. Mina
membantu Maya mengaplikasikan make up di wajahnya agar ia tampak lebih cantik.
“Sudah!” kata Mina.
“Kau manis sekali, Maya…”
“Manis…?” protes Maya.
“Hh…” Maya menunduk.
“Loh? Memangnya
kenapa? Kau memang manis, wajahmu manis, perilakumu juga manis.”
“Tapi di usiaku ini,
aku kan sudah tidak pantas disebut manis. Hanya anak SMP yang akan merasa
senang disebut manis.”
“Hahaha… tidak juga,
masih banyak kan orang-orang dewasa yang malah berbicara dengan cara kekanakan
agar mereka terlihat manis?”
“Tapi aku tidak mau….”
Ia membayangkan bagaimana orang-orang akan mengatakan Masumi Hayami menikah
dengan gadis yang manis. Bukannya dia tidak puas dengan predikat manis, ia
bahkan sama sekali tidak merasa demikian. Tetapi, jika misalkan ada sesuatu
yang bisa ia lakukan agar bisa mendapat predikat wanita yang anggun, bukankah
itu lebih baik lagi?
“Sudahlah, kau jangan
mengkhawatirkan yang tidak-tidak. Yang pasti,kau sekarang bisa bersama dengan
pria yang kaucintai. Kau sangat beruntung!” Seru Mina seraya tersenyum lebar
membujuk.
Maya melipat bibirnya
dan perlahan senyuman terulas di sana. “Kau benar,” ujarnya. “Seharusnya aku
memang tak perlu mengkhawatirkan yang tidak-tidak…”
“Ya!” Mina lantas
memeluk Maya. “Selamat ya Maya… kuharap kau akan bahagia.”
“Terima kasih,” ucap
Maya penuh haru.
***
“Wahh…” Mata Masumi
melebar dan tampak melebar saat ia menjemput Maya petang itu. “Kau… tampak…
sangat manis!” pujinya.
Maya yang sedari tadi
tersenyum lebar, perlahan senyumannya terhapus dari wajahnya.
“Loh, ada apa?” tanya
Masumi.
“Tidak,” Maya
memalingkan wajahnya.
“Tidak? Tapi… Ayolah
Mungil. Ada apa?”
“Mungil…” Maya
merajuk.
“Ah, iya! Aku lupa
sudah berjanji tak akan menyebutmu itu lagi,” Masumi menyeringai.
Maya tak bicara
apa-apa.
“Ada apa?” desak
Masumi. “Kenapa mendadak murung?”
“Pak Masumi, kita ini
tidak serasi ya?” Maya mendongak dan wajahnya memelas, membuat Masumi terkejut.
“Tidak serasi?”
“Iya…” Maya menunduk
lagi. “ Maksudku, kita ini berbeda sekali. Dari segi fisik saja, Anda sangat tinggi,
tampan, berwibawa, cerdas—“
“Wah! Terima kasih,”
kata Masumi, mengangguk tersanjung.
“Belum selesai,” tukas
Maya dengan kecewa.”Aku sebaliknya. Pendek…”
“Benar.”
“Hah!?’ Dengan cepat
Maya mengangkat wajahnya dan menatap Masumi kesal.
“Benar. Kau pendek,”
Masumi menegaskan.
“Pak Masumi…!!” calon
istrinya itu merajuk sementara Masumi tertawa saja. “Jangan tertawa! Aku
serius… Aku…”
“Mung—eh, Maya,
sudahlah, berhenti mengkhawatirkan hal-hal seperti itu,” kata Masumi lembut
seraya merangkulkan tangannya ke bahu Maya. “Aku sama sekali tidak pernah—“
“Itu karena Pak Masumi
bukan aku,” tegas Maya. “Karena di sini aku yang… yang… tidak…”
“Apa?”
“Yang… tidak sesuai
untukmu. Maksudku, jika aku memintamu memikirkan wanita yang anggun kau pasti
tidak memikirkanku kan? Mungkin… Ayumi? Atau…” suara Maya mengecil. “Shiori…”
Masumi mengerutkan
alisnya, menatap Maya. “Maya…” pria itu menarik bahu gadis itu mendekat.
“Kenapa kau harus merisaukan hal seperti itu?”
“Tapi—“
“Coba, kita ingat
lagi. Sebelum saat ini, apa saja yang kita lalui hingga sekarang kau dan aku
duduk berdampingan di sini?” Masumi berkata lembut seraya tersenyum hangat.Maya
mendongak kepadanya. “Percobaan pembunuhan, badai di lautan, penculikan,
ayahku… hm.. Sakurakoji…” Masumi menghitung dengan jarinya. “Nah? Banyak sekali
kan? Jika setelah melalui itu semua lalu kita akan mulai merisaukan sesuatu
seperti kau yang tidak anggun, perawakan kita yang tidak serasi… bukankah… itu
sedikit terlambat?” Masumi tersenyum menggoda calon istrinya.
Maya tertegun.
Perkataan Masumi sangat benar. Ia tersenyum malu.
“Jika menurutku
ketidakanggunanmu atau apa pun itu yang sedang membuatmu merasa risau memang
sesuatu yang bisa menghalangi kebersamaan kita, sudah tentu aku memikirkannya
dari dulu kan? Tapi nyatanya, bagiku itu tidak penting,” Masumi meraih tangan
Maya dan menggenggamnya. “Aku hanya ingin kita bisa seperti ini untuk
selamanya, itu adalah hal harapanku yang paling besar… Karena itu, jangan lagi
memikirkan hal-hal seperti tadi.”
Maya menghela napasnya
seraya menunduk. Masumi benar. Mereka sudah berhasil melalui hal-hal besar yang
bahkan mengancam hidup mereka. Mereka juga sudah menentukan sikap pada
pihak=pihak lain yang menaruh hati kepada mereka. Seharusnya, Maya memang tidak
perlu memikirkan hal-hal bodoh seperti masalah mereka yang tidak serasi bagi
satu sama lain.
“Pak Masumi, kau tidak
akan menyesal kan?” Maya bergumam memastikan.
“Tentu saja tidak.
Sudah terlambat untuk menyesal, Maya, sudah terlalu banyak yang terjadi bagiku
melepaskanmu dengan mudah. Karena itu, kau harus bersiap-siap karena seumur
hidup, aku tidak akan melepaskanmu lagi!”
Maya mendongak dan
wajahnya merona. Ia hanya tersenyum bahagia.
“Maaf ya,” katanya,
“Kurasa… aku gugup, aku jadi berpikir yang tidak-tidak… kurasa… Pak Eisuke,
pasti bermaksud menghabisiku…”
“Hahaha…” Masumi
tertawa mendengar perkataan Maya. “Sepertinya tidak. Dia sudah menerimamu.
Bagaimana pun, kau itu Bidadari Merah. Hanya orang bodoh yang akan menolak
kedatangan Bidadari Merah.”
“Bisa saja…” gumam
Maya dengan wajah memerah.
Masumi berbisik di
telinga gadis itu agar sopirnya tidak mendengar. “Menurutku kau sangat cantik
dan manis, aku tidak mengerti mengenai gadis lain karena aku tak peduli kepada
mereka.
Saat keduanya tiba di
kediaman Hayami, Masumi meraih tangan Maya dan menuntunnya masuk ke dalam. Ia
bisa merasakan ketegangan di tubuh gadis itu, dan sesungguhnya, Masumi pun
merasakan ketegangan yang sama. Ia tidak tahu benar apa yang Eisuke kehendaki
dengan pertemuan mereka berdua.
“Tuan Besar sudah
menunggu,” sambut seorang pelayan.
“Terima kasih,” jawab
Masumi, dan genggaman tangannya semakin erat.
Keduanya berjalan
menuju ruang makan. Dan di sana memang sudah ada Eisuke.
“Selamat malam,” sapa
Masumi.
“Selamat malam,” Maya
ikut menyapa dengan gugup dan hanya terdengar bergumam.
“Selamat malam,” suara
berat Eisuke terdengar. “Silakan duduk.”
Masumi duduk di kepala
meja di seberang Eisuke sementara Maya duduk di sebelah kanan Masumi. Eisuke
lantas memberi aba-aba kepada kepala pelayan agar menghidangkan makan malam
mereka.
“Kau terlihat cantik,
Maya,” puji Eisuke.
“Eh? Ah… te, terima
kasih, Tuan…” jawab Maya gugup. Masumi pun hanya terdiam ia merasa seperti
sedang berada di ruang ujian.
“Oh ya, selamat untuk
keberhasilanmu mendapatkan Bidadari Merah. Jadi, kau akan menunjuk Daito
sebagai penyelenggaranya kan?” tanya Eisuke.
Sama sekali tanpa
basa-basi… batin Masumi.
“Mengenai hal itu,”
Maya bergumam, sejenak memberikan lirikan kepada Masumi. “Saya sudah
memikirkannya baik-baik dan saya ingin Pak Masumi yang mengatur semuanya.”
Masumi tampak
terkejut. “A-aku?”
“Mungkin maksudmu
Daito?” Eisuke mengoreksi.
“Bukan. Pak Masumi.
Aku akan membicarakannya dengan Pak Masumi apa yang sebaiknya kulakukan, aku
menyerahkan keputusannya kepada Pak Masumi.”
“Maya…” Masumi mendesis
terharu.
“Wah, wah, wah wah…”
EIsuke mendecak dan menggeleng. “Kau sungguh tidak percaya kepadaku ya, saat
kukatakan bahwa kau dan Masumi bisa bersama? Jadi karena itu kau menyerhkan
keputusannya kepada Masumi? Jadi maksudmu, aku tidak bisa menyingkirkannya dari
Daito atau pun melarangmu bersamanya karena sekarang kalian berdua yang
memegang keputusan mengenai akan dikemanakan Bidadari MErah itu? Hahahaha….
Tidak kukira, kau sangat cerdas,” puji Eisuke.
“Benar. Bidadari Merah
mungkin bisa dipentaskan oleh Daito jika Pak Masumi menginginkannya,” kata
Maya.
Sekali lagi Eisuke
tertawa. “Maya Kitajima,” ia kali ini tersenyum ramah. “Percayalah, aku tidak
akan melanggar perjanjianku denganmu. Masumi sudah sepenuhnya milikmu kalau kau
mau. Lagipula, saat aku melihat Bidadari Merahmu, aku sangat bersyukur, aktris
sepertimulah yang akhirnya meneruskan Bidadari merah Mayuko. Aku tak mengira
kau bisa berakting sehebat itu.”
Maya tertegun,
mengamati Eisuke dengan bingung. Pak tua itu terdengar tulus. Apakah ia sedang
berpura-pura? Atau…
“Aku benar-benar
bahagia, di usia tuaku ini, aku tak mengira masih diberi kesempatan untuk
menyaksikan sandiwara Bidadari Merah. Rasanya sangat luar biasa. Aku sempat
putus asa saat Mayuko mengalami kecelakaan,kupikir selamanya akting Bidadari
Merah tidak akan pernah bisa ditampilkan lagi. Tetapi… saat melihatmu, seperti
diberi kesempatan kedua untuk hidup lagi. Aku sudah merasa seakan-akan semua
usahaku membuahkan hasil. Aneh memang padahal kita ini orang asing,” Eisuke
tertawa lagi. “Karena itu, aku dengan senang hati menyambutmu di keluarga kami
jika kau memutuskan menjadi putriku. Aku sangat berharap pernikahanmu dan
Masumi bisa terwujud,” pria itu tersenyum hangat.
“Paman…” desah Maya
terkejut, juga tersentuh. Ia tak mengira pria itu benar-benar menerima Maya di
rumahnya. “Te-terima.. kasih…” wajah gadis itu merona.
“Yah, walaupun mungkin
kau tidak tinggal di sini, karena Masumi sudah menyediakan rumah untuk kalian
nanti—“
“Rumah?” Maya
tertegun, menoleh bingung kepada Masumi.
“A-ayah… kami belum
membicarakan masalah itu,” tukas Masumi.
“Oh, berarti kau juga
belum memberinya cincin?”
“CIncin?” mata Maya
membulat.
“A-Ayah! Itu…” Masumi
menoleh gugup kepada Maya yang memandangnya tak percaya.
“Wah… Aku sepertinya
sudah merusak kejutanmu ya,” Eisuke tertawa sementara Masumi mendelik kesal.
***
Setelah selesai dengan
makan malam mereka, Eisuke dengan tahu diri menyingkir dari keduanya sementara
Masumi mengajak Maya berjalan-jalan di taman. Ia menyampirkan jasnya di bahu
gadis itu saat Maya sedang mengamati airmancur yang berada di taman. Gadis itu
mendongak dan tersenyum malu-malu kepada Masumi.
“Terima kasih,”
gumamnya hampir tidak terdengar. Entah karena suasananya, atau apa yang ia
dengar dari Eisuke, bahwa Masumi telah menyiapkan semuanya untuk masa depan
mereka nanti, Maya merasa gugup di dekat Masumi saat ini.
Masumi mengamati Maya
dengan hangat. “Kau sudah harus pulang ya,” sesalnya.
Maya mengangguk
sedikit cemberut. “Kapan kita bertemu lagi?” tanya Maya yang bisa merasakan
hatinya merindu.
“Besok mungkin,”
ungkap Masumi. “Kurasa aku bisa menyempatkan diri bertemu denganmu. Kau masih
libur dari latihan kan?”
“Iya,” wajah Maya
berbinar. “Wah… senangnya… besok sudah bisa bertemu lagi.”
Masumi tersenyum
simpul. “Aku ingin mengajakmu ke vilaku nanti kalau sudah ada waktu,” wajah
pria itu menghangat.
“Kapan?” tanya Maya.
“Entahlah… menurutmu,
kapan sebaiknya?”
Maya berpikir dengan
wajah menghangat. “Kapan saja aku setuju.”
“Kalau menikah denganku?
Kapan kau menginginkannya?” tanya Masumi, membuat Maya terkejut dengan
pertanyaan yang tiba-tiba tersebut.
“Me-menikah…” Ia tahu
Masumi sudah berniat melakukan hal itu, namun Maya masih sering tidak percaya
bahwa mereka berdua akan berada di pelaminan.
“Ya… kau pasti sudah
mendengar apa yang ayah katakan tadi kan?” Masumi tersenyum seraya meraih kedua
tangan Maya dan menggenggamnya. “Aku ingin kau menikah denganku,” ia mengusap
jemari Maya. “Memang kejutannya gagal, tetapi…” Masumi meraih ke dalam saku jas
yang sekarang dikenakan Maya, mengeluarkan sesuatu dari sana. “Aku memang sudah
menyiapkan cincin ini untukmu dan kuharap ukurannya pas.”
“Pak, Pak Masumi…”
Maya terkesiap, dan matanya segera berkaca-kaca.
Pria itu melepaskan
genggaman tangannya dan memasukkan cincin dengan batu permata merah tersebut ke
jari manis Maya. “Sepertinya pas,” pria itu lega.
“Iya…” kali ini Maya
sudah menangis. “Pas.” Gadis itu mendongak dan menggigit bibirnya tipis.
“Eh, kau menerima
lamaranku kan?” Masumi menggodanya.
“Ya! Tentu saja!”
jawab Maya dengan pasti, dan ia bisa melihat wajah Masumi segera menyala
bahagia.
Pria itu meraih
pinggang kekasihnya, keduanya berpelukan. Tidak terlalu lama dengan posisi
tersebut, tangan Masumi meraih rahang Maya dan bibirnya segera meraih bibir
gadis itu, memagutnya, menciuminya dengan dalam. Maya mulanya sangat terkejut
dan tak bisa mengimbangi Masumi yang sepertinya tiba-tiba saja di luar kendali.
Gadis itu berusaha keras hanya untuk sekedar bernapas.
“Pak… Pak Masumi…”
Maya terengah saat keduanya mulai memisahkan diri. Wajahnya sangat panas dan
berwarna begitu merah. Mata mereka bertemu dan tiba-tiba saja Maya jadi merasa
lumpuh, semua kekuatan menghilang dari tubuhnya. Gadis itu susah payah menelan
ludahnya sendiri karena tatapan Masumi membuatnya merasa tercekat.
Masumi tak berkata
apa-apa dan sekali lagi dengan cepat memeluk gadis mungil itu dengan erat. “Aku
telah lama menunggumu…” katanya dengan suara bergetar. “Menunggu kau menerimaku
dalam hidupmu. Dan, tidak lama lagi, kau benar-benar akan menjadi milikku,”
masumi berkata penuh rasa bahagia.
“Pak Masumi,” Maya
menyurukkan dirinya lebih dalam. “Aku hanya untukmu. Untukmu seorang. Kau bisa
menjadikanku milikmu kapanpun kau mau.”
“Maya…” pria itu
tersenyum bahagia. “Bagaimana jika tanggal 14?” tawar Masumi. “Tanggal 14
Februari mendatang?”
“Valentine?” alis Maya
terangkat.
“Ya. Saat itu
pementasanmu sudah selesai. Sempurna kan? Dan… liburan akhir tahun ini, natal
nanti… Kita umumkan mengenai pertunangan kita.”
“Valentine… tahun
depan?” tanya Maya. Sekitar empat bulan lagi. Maya tersenyum bahagia. “Ya! Aku
mau!!”
Masumi kembali
tersenyum lebar, ia mengangkat pinggang gadis itu dan memutarnya, keduanya
tertawa bahagia.
“Valentine! Kami
datang!” seru Masumi, dan Maya hanya tertawa-tawa saja.
Di kamarnya, Eisuke
menggaruk-garuk kepalanya karena tidak bisa tidur mendengar seruan dan tawa
dari keduanya.
***
Para wartawan tampak
bingung dengan undangan konferensi Pers yang diadakan Daito—tepatnya, Masumi
Hayami—menjelang liburan natal tahun ini. Mereka pikir ini mungkin berkaitan
dengan pementasan Bidadari Merah yang akan diadakan awal tahun nanti.
Memang banyak yang
tidak mengira, walaupun tidak begitu terkejut, bahwa akhirnya Daito berhasil
ditunjuk sebagai penyelenggara pementasan Bidadari Merah Maya Kitajima.
Akhirnya perseteruan abadi antara teater Mayuko dan Daito berakhir dengan
kolaborasi di antara keduanya. Dan sepertinya, hubungan keduanya semakin
membaik. Beberapa kali Maya dan Masumi terlihat makan bersama, dan gosip pun
beredar bahwa kedekatan keduanya lebih dari sekedar rekan.
Apalagi cincin dengan
permata rubi yang tidak pernah lepas dari tangan Maya pun semakin menimbulkan
tanda tanya mengenai apakah gadis itu sudah tidak sendiri. Namun, banyak juga
yang meragukan bahwa kerja sama antara Maya dan Masumi berakhir dengan kisah
asmara, karena mereka berpikir keduanya sama sekali tidak serasi.
Belum lagi, semua
sudah tahu bagaimana gencarnya Masumi mendekati seseorang yang penting bagi
perusahaannya. Tidak hanya sekali dua kali Masumi tampak makan siang dengan
seorang wanita yang penting di dunia hiburan atau seorang primadona. Banyak
yang mengira, Masumi mengemban motif yang sama saat pria itu mendekati Maya.
Namun di luar dugaan,
memang untuk itulah Masumi mengadakan konferensi pers malam ini. Hanya ada Maya
dan Masumi yang duduk di meja narasumber. Maya terlihat cantik dan menunduk
dengan gugup. Sementara Masumi walaupun terlihat tenang sebenarnya
menyembunyikan rasa gelisahnya
“Terima kasih kepada
rekan-rekan wartawan yang sudah memenuhi undangan kami. Singkat saja,
konferensi pers ini untuk mengumumkan mengenai hubungan saya dan Nona Maya
Kitajima.”
Ha? Semua wartawan
terkejut, dan ruangan segera riuh.
“Saya sudah melamar
Nona Maya, dan kami sudah sepakat untuk menikah. Pernikahan kami akan
diselenggarakan setelah pementasan Bidadari Merah selesai. Kami memohon doa
restunya, serta dukungan dari semua pihak. Semoga setelah ini kita bisa bekerja
sama dengan baik. Terima kasih atas dukungannya selama ini kepada kami…” Masumi
membungkuk memberi hormat dan diikuti oleh Maya.
“Silahkan jika ada
rekan wartawan—“
“Apakah ini demi
kepentingan bisnis? Apakah ini ada kaitannya dengan promosi Bidadari Merah?”
Maya dan Masumi saling
memandang. Pria itu sudah mengatakan bahwa pasti akan ada pihak yang berpikir
demikian.
“Kami sepakat menikah
karena saling mencintai, dan ingin saling mendukung satu sama lain. Tidak ada
kaitannya dengan promosi Bidadari Merah. Ini bukanlah sensasi yang sengaja kami
buat hanya untuk menaikkan popularitas pementasan itu. Bidadari Merah tidak
membutuhkan hal seperti ini hanya untuk menaikkan popularitasnya, pentas itu
sendiri sudah cukup fenomenal. Ini adalah komitmen kami berdua agar semua pihak
tahu bahwa kami berdua berniat menikah.”
“Maya, seperti yang
kau tahu, maaf…” wartawan wanita itu tertawa ramah. “Sebelumnya Tuan Masumi
sudah bertunangan cukup lama dengan seorang wanita namun tiba-tiba rencana
pernikahannya dibatalkan beberapa bulan lalu. Dan, sekarang tiba-tiba kau
bertunangan dengan Tuan Masumi, apakah… tidak khawatir hal—“
“Aku akan memastikan
hal itu tidak akan terjadi,” tegas Masumi yang tak memedulikan fakta wartawan
itu bertanya kepada Maya. “Andai saja Maya tidak ada jadwal latihan dan pentas,
kami mungkin sudah menikah saat ini juga.”
Maya melirik mesra
kekasihnya dan tersenyum tipis. “Saya harap pernikahan kami bisa mendapat
dukungan semua pihak, dan saya berjanji hal ini tidak akan mengganggu masalah
latihan atau pementasan. Karena itu, mohon bantuan dan kerja samanya.” Maya
mengucapkan kata-kata yang sudah dilatihnya.
“Sejak kapan kalian
menjalin hubungan?”
“Apa konsep pernikahan
yang akan digunakan?”
“Apakah ada pihak yang
menentang—“
Masumi tidak
menghiraukan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya dan hanya mengatakan ia akan
mengabari lagi setelah tanggal pernikahan diumumkan. Ia lantas membawa Maya
keluar dari sana dan tidak ada yang berani mencegahnya.
“Hhh… melelahkan,”
keluh Masumi saat mereka berdua sampai di kantor pria itu. “Banyak sekali mulut
yang bicara dan mereka itu selalu saja ingin tahu!”
“Itu kan pekerjaan
mereka…” timpal Maya seraya tersenyum pengertian. Ternyata memang ada kalanya
Masumi yang terkesan dingin itu mengeluh. Hm… tampaknya Maya harus mengubah
pandangannya mengenai pria itu. Masumi memang terlihat dingin, tetapi
sebetulnya tidak. ia jauh dari itu, ia sangat perhatian dan hangat. Setiap hari
Masumi menghubunginya dan bertanya mengenai kabarnya, latihannya, padahal
Masumi juga cukup sering datang ke studio latihan mereka.
Begitu juga saat ini,
pria itu bertanya apakah Maya sudah makan, apakah konferensi pers tadi
melelahkan, apakah dia mengalami kesulitan saat berlatih dan sebagainya.
“Aku baik-baik saja,
semuanya menyenangkan,” terang Maya seraya tersenyum walaupun tubuhnya sangat
pegal karena ia terus-terusan berusaha melenturkan dan meringankan tubuh. Ia
juga belajar beberapa tarian agar gerakan tubuhnya lebih indah.
“Benar?” tanya Masumi
tidak percaya. “Kudengar kau sampai menangis…”
“Habiiiss… tak peduli
apapun yang kulakukan, aku tak bisa berdiri di atas ibu jarikuuu!” keluh Maya
akhirnya. Terdengar Masumi tertawa keras.
Pria itu melingkarkan
lengannya di bahu Maya. “Bersabarlah. Aku sudah melihat banyaak sekali kemajuan
darimu. Aku yakin pementasan nanti, kau akan jauh lebih baik dari pentas
percobaannya. Orang-orang yang sudah terpesona dengan aktingmu saat itu, aku
jamin akan semakin terpesona nanti. Pasti begitu!”
“Pak Masumi…” Maya
terharu. “Terima kasih…” Gadis itu memeluk Masumi. Keduanya bertatapan, dan
kembali berciuman.
“Kau masih akan ada di
sini kan?” kata Masumi seraya merangkul Maya.
Alis Maya berkerut
mendengar pertanyaan Masumi. “Aku memang sedang libur latihan, tetapi apa yang
harus kulakukan di sini?” tanya Maya.
“Ya, diam saja di
sini, asal aku bisa melihatmu.”
“Mengigau,” Maya
tertawa.
“Iya, di sini saja,
seperti pajangan. Pasti kantorku lebih menyenangkan.”
Dan sekali lagi Maya
tertawa semakin keras. “Kurasa aku sudah harus pergi. Ibu Matsuyama sudah
menunggu. Katanya aku sudah bisa mencoba kimononya.”
“Aku ikut.”
“Pak Masumi, katanya
kalau mempelai pria melihat pakaian mempelai wanita, nanti bisa sial.”
“Pakaian apa? Pakaian
dalam?”
“Bukan!” Maya menggeleng
dan sekali lagi tertawa. “Pakaian pengantinnya!”
“Ah, itu kan mitos
barat. Di Jepang tidak ada yang seperti itu. Kalau di sini, saat melihat
pakaian pengantin wanitanya, mempelai pria bisa semakin jatuh cinta.”
“Oh ya?” alis Maya
terlonjak. “Aku baru mendengarnya.”
“Ya karena aku pun
baru mengarangnya.”
“Hahaha…. Pak Masumi…
ada-ada saja,” Maya tertawa manja.
“Tapi kurasa memang
akan seperti itu. Membayangkan kau memakai pakaian pengantinnya saja…” Masumi
tak meneruskan ucapannya, tetapi cara pria itu memandang sudah menjelaskan
semuanya. Jemari pria itu membelai rambut Maya lembut dan tatapannya semakin
teduh, sementara Maya merasa semakin gugup saat wajah Masumi semakin mendekat.
Gadis itu bisa
merasakan hembusan napas kekasihnya yang hangat, dan kemudian bibirnya.
Keduanya kembali terlibat dalam ciuman yang dalam dan panjang. Maya bisa
merasakan wajahnya terasa semakin panas demikian juga tubuhnya yang dirangkul
semakin dekat.
“Su-sudah…” pinta
Maya, saat berusaha memalingkan wajahnya dari Masumi. “Pak Masumi…” sekarang
gadis itu merajuk meminta Masumi melepaskan pelukannya. Satu sisi dalam dirinya
masih ingin berada dalam pelukan pria itu, dan satu sisi bisa menyadari Masumi
sepertinya sedang tidak bisa menahan dirinya padahal mereka masih berada di
kantornya! Bagaimana jika sekretarisnya masuk dan memergoki mereka? Eh, apakah
tadi Pak Masumi mengunci pintunya atau tidak? Belum sempat Maya mengingat
jawabannya, bibir pria itu sudah kembali mengecup pipi Maya.
Gadis itu terkejut dan
menoleh kepada kekasihnya. “Pak Masumi…” Maya semakin merona. “Sudah…” katanya,
mendorong dada pria itu menjauh.
Tatapan sakit sejenak
tampak di mata pria itu. “Kau tidak merindukanku ya…”
“Ri-rindu…” aku Maya
jujur. “Tetapi… Pak Masumi… jangan… anu… nanti… anu hmm…” Maya tampak mali dan
salah tingkah, dan hal itu juga menular kepada Masumi. Ia menyadari sedikit
lupa diri.
“Iya, maaf ya…” suara
pria itu terdengar jantan. “Hanya saja aku begitu merindukanmu, jadi aku…” ia
menarik tangannya dan meluruskan posisi duduknya. “Mungkin karena aku juga
sangat senang karena sekarang semua orang sudah tahu bahwa kita bertunangan.
Hanya beberapa bulan lagi kita menikah.”
“Pak Masumi…” gadis
itu kembali tersentuh. “Sekarang jadi aku yang ingin memelukmu,” ujar Maya
malu-malu. Masumi menoleh mendengar perkataannya dan tersenyum hangat. Ia
menyambut Maya yang kembali dalam pelukannya.
“Nanti setelah rapat
selesai, aku akan menyusulmu ke butik.” Masumi berkata seraya mencium rambut
kekasihnya.
***
Maya benar-benar gugup
saat persiapan pementasan Bidadari Merah. Tiket terjual dengan sangat cepat.
Hanya dalam waktu satu hari, sudah hampir semua tiket terjual untuk pementasan
satu bulan ke depan. Selain itu, orang-orang yang menyaksikan pada hari pertama
bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka merupakan para kritikus dan
orang-orang ternama. Tidak hanya saja yang sedang populer saat ini namun juga
orang-orang legendaris di dunia sandiwara baik sebagai produser ataupun pemain.
Maya sangat gugup saat mengetahui ada nama-nama yang sudah dia dengar sejak
masih kecil.
Aduuuh… bagaimana ini…
Maya gelisah di ruang gantinya. Aku tidak akan sanggup berakting di depan
orang-orang itu… aduhh… tanganku dingin begini, dan, gemetar seperti ini… Maya juga merasakan perutnya melilit karena gugup.
Pak Masumi… kau di mana? Kenapa kau belum mendatangiku. Aku membutuhkanmu
sekarang.
Harapan Maya terjawab.
Sebuah ketukan terdengar di pintu ruang gantinya dan gadis itu mendengar Masumi
berkata.
“Maya, ini aku.”
Maya dengan cepat
beranjak ke pintu dan membukanya. Ia mendongak, mendapati sebuah buket mawar
ungu yang besar menutupi wajah seseorang. Hanya melihat telapaknya saja Maya
sudah mengenal itu Masumi.
“Pak Masumi!”
Masumi menurunkan
buket bunga dari wajahnya. “Kejutan!” ujarnya seraya tersenyum. “Ini untukmu,”
ia menyerahkannya kepada Maya.
“Pak Masumi…!” Maya
dengan cepat menerima buket bunga tersebut dan segera memeluk Masumi. “Pak
Masumi… aku takut…” isak Maya, dengan suara dan tubuh yang gemetar. “A-aku
tidak sanggup… orang-orang itu…mereka… orang-orang hebat. Bagaimana kalau…
kalau… aku gagal, kalau aku…”
“Tentu saja yang
datang orang-orang hebat,” ujar Masumi dengan tenang walaupun ia sangat
terkejut dengan keadaan Maya, namun ia bisa memahaminya. “Karena, pementasan
ini adalah pementasan yang hebat. Sandiwara hebat, peran yang hebat, sutradara
yang hebat, para pemain yang hebat, dan,” Masumi mengangkat dagu Maya lalu
tersenyum. “Pemeran utama yang hebat! Hanya kau, yang bisa memerankan Bidadari Merahmu.”
“Pak… Masumi…”
“Kalau melihat
penonton lain membuatmu takut, kau mau kan melakukannya untukku? Hanya untukku?
Bayangkan saja kau hanya berakting di hadapanku. Tidak menakutkan kan? Aku
sudah menontonmu sejak pentan perdana dulu. Aku penonton setiamu loh, pasti kau
sudah terbiasa berakting di hadapanku kan?”
Pak Masumi… Maya
menatap kekasihnya penuh rasa haru dan terima kasih, dan perlahan rasa tenang
dan damai menghampiri hatinya. “Iya…” gadis itu perlahan tersenyum lagi. “Aku
memang selalu berakting hanya untukmu, Mawar Unguku… Pak Masumi… terima kasih,”
matanya berkaca-kaca.
“Bagus! Dan aku sangat
tahu dari perkembanganmu, kau luar biasa. Kau akan membuat mereka terpesona,
juga aku!” kedua telapak lebar pria itu menyentuh bahu Maya. “Kau akan baik-baik
saja.”
Kau akan baik-baik
saja…
Maya tersenyum tipis
dan mengangguk. “Terima kasih, Kekasihku…”
Perlahan Masumi
mengusap pipi Maya. “Kau sangat cantik,” pujinya. “Sayang sekali aku tak bisa
melakukan apa pun saat ini terhadap wajahmu karena make up mu akan luntur,”
keluhnya dan Maya tertawa kecil dengan wajah merona yang menggemaskan. “Aku
menunggumu, di dunia Bidadari Merah, tunjukkan mimpi yang indah kepadaku,
seperti saat itu,” pinta Masumi di telinga gadis itu.
Maya menoleh dan
kembali mengangguk. “Anda akan bangga kepadaku,” ia bertekad.
AKhirnya Maya bisa
lebih tenang, apalagi saat ia membaca kartu yang berada dalam buket Mawar Ungu
yang Masumi bawa. Gadis itu berusaha menyingkirkan semua kerisauannya. Ia akan
menjadi Bidadari Merah. Bidadari Merahnya sendiri.
Pementasan malam itu
berlangsung sukses.Sejak awal pementasan dimulai hingga pementasan selesai,
tidak ada seorang pun yang beranjak meninggalkan tempat duduknya. Bahkan para
senior yang datang dengan perasaan skeptis dan berpikir akan pulang di
menit-menit awal babak pertama, tetap diam di tempatnya hingga pementasan
selesai.
Maya sangat memesona,
bahkan jauh berkembang dari saat pementasan percobaan. Gerakannya memukau, cara
bicaranya, berekspresi dengan setiap bagian tubuhnya dari ujung rambut hingga
kaki. Setiap penonton sama sekali tidak melihat Maya Kitajima. Yang mereka
lihat hanya Akoya, dan Bidadari Merah. Tak seorang pun memalingkan tatapannya
dari panggung.
Saat pementasan
berakhir, tepuk tangan bergemuruh dengan sangat keras dan panjang. Tanpa henti.
Banyak yang bahkan mengucurkan airmata di wajah mereka. Satu per satu pemain di
panggil kembali ke atas panggung. Saat Maya menampakkan dirinya, semua orang di
ruangan itu berdiri, dan terus bertepuk tangan tanpa henti. Tetapi hanya kepada
satu orang mata gadis itu mencari. Masumi Hayami.
Dan pria itu ada di
sana, tersenyum penuh rasa bangga dan bahagia. Saat itulah Maya tahu, bahwa ia
sudah melakukan yang terbaik. Maya balas tersenyum kepada pria itu yang tanpa
suara mengucapkan. “Aishiteru.” Wajah Maya bersemu, dan airmatanya mulai luruh
ke pipinya.
***
“Maya! Maya!” panggil
Sakurakoji, yang membuat Maya kembali kepada dirinya snediri. Ia tertegun,
mengamati wajah di hadapannya.
Isshin… Sakurkoji Yu…
“Sakurakoji…” gumam
Maya. Ia merasa seidkit tegang. Selama ini keduanya tak banyak berinteraksi di
luar latihan. Walaupun mereka berusaha bersikap profesional, teramat jarang
Sakurakoji menyapa Maya di luar waktu latihan. “Ada apa?” tanya Maya dengan
gugup.
“Tadi itu,” wajah
Sakurakoji melembut, “sangat luar biasa. Kau, benar-benar luar biasa. Aku jadi
terbawa, aku… selama ini, bahkan saat pentas percobaan, tidak pernah begitu
hanyut dalam peranku menjadi Isshin. Tetapi tadi… aku sungguh bersyukur lawan
mainku adalah kau. Aku bisa mengerti dan merasakan, bagaimana mencintai dan
dicintai sepenuh hati, sehidup semati…” ucap Sakurakoji. “Kau lawan main yang
istimewa, aku sungguh merasa terhormat bisa menjadi pasanganmu di atas
panggung,” ia mengulurkan tangannya. “Mari kita sukseskan pementasan ini sampai
hari terakhir.”
“Sakurakoji…” Maya
berkaca-kaca. “A-aku juga… jika bukan kau lawan mainku, mungkin… mungkin aku
pun tidak akan bisa menjadi Akoya yang seutuhnya.” Maya menerima uluran tangan
itu. “Mohon kerja samanya, Isshin…”
Sakurakoji tersenyum
lembut. “Dan selamat, untuk pertunanganmu dengan Pak Masumi. Kuharapkan yang
terbaik bagi kalian berdua.”
“Kau juga,” jawab
Maya.
Setelah saling menatap
beberapa lama, Sakurakoji melepaskan genggaman tangannya dan meninggalkan Maya.
“Mesranyaa…” seseorang
berseloroh.
Maya menoleh ke arah
suara. “Pak Masumi!!” raut Maya tampak bahagia. Spontan kakinya berlari menuju
kekasihnya dan ia segera memeluk Masumi dengan sangat erat. Masumi menyambutnya
dengan cara yang sama.
“Kau luar biasa!” puji
Masumi seraya memeluk Maya dengan erat.
“Benar?”
“Ya!”
“terima kasih! Aku
senang sekali jika Anda menyukainya.”
“Ya, dan juga seluruh
penonton,” ujar Masumi.
Maya tersenyum riang.
“Oh, ya… apa maksudmu dengan kata-kata mesranya tadi?”
“Itu… kau dan
Isshinmu, mesra sekali sepertinya barusan.”
Maya tekikik, “Kami
hanya bersalaman, dan sepakat untuk melakukan yang terbaik sampai hari
pementasan terakhir.”
“Ya… tapi melihat
kalian benar-benar membuatku cemburu. Apalagi adegan Isshin dan Akoya.”
“Yang mana?” tukas
Maya cepat. “Katakan, yang mana Pak Masumi? Aku akan mengucapkan dialognya
untukmu juga,” rayu Maya. “Karena kau lah Isshinku yang sesungguhnya.”
Masumi sejenak
tertegun, dan ia tersenyum lebar. ISshin yang sesungguhnya…
Masumi memeluk gadis
itu lagi. “Terima kasih…” ia mengecup pipi gadis itu. Ia lantas menjauhkan Maya
darinya. “Semua orang sudah menunggu di tempat pesta. Cepat berganti pakaian,
kita ke sana bersama-sama.”
“Baik!” Maya
mengangguk dengan wajah riang dan segera beranjak ke ruang gantinya. Sudah ada
pakaian yang disiapkan untuk pesta syukuran pementasan perdana ini.
UNSPOKEN 6 END
Gadis itu keluar lagi
setelah siap dengan dandanan dan riasannya. Masumi sudah menunggu, pria itu
tersenyum lebar.
“Kau benar-benar
cantik,” pujinya. “Aku jadi ingat saat kita berada di Astoria.”
“Terima kasih,” gadis
itu merona. “Kuharap kau bukan hanya hendak membesarkan hatiku.”
“Tidak, kau
benar-benar cantik.” Puji Masumi seraya mengusap pipi gadis itu dengan ibu
jarinya. “Aku jadi ingin segera membawamu lari dari sini dan menyekapmu.”
“Mengerikan,” seloroh
Maya. “Aku masih trauma dengan penculikan sebelumnya.”
Masumi terkekeh
mendengarnya. Ia lantas menawarkan lengannya kepada Maya. “Mari?”
Maya mengangguk dan
mengaitkan lengannya di sana. Gadis itu menghela napas dan melangkah bersama
kekasihnya.
Sepanjang pesta malam
itu tidak sekalipun keduanya berjauhan. Masumi memperkenalkan Maya kepada
orang-orang yang belum dikenalnya. Pria itu selalu berbicara perlahan dan
menatap wajah Maya saat keduanya berbicara. Terlihat jelas sekali bahwa Masumi
sangat mencintai dan menyayangi Maya. Walaupun awalnya banyak yang meragukan,
namun kali ini mereka mengerti bahwa Masumi memang teramat mencintai gadis
mungil yang berada di sampingnya. Yang beberapa kali tampak tertawa kecil
digoda kekasihnya. Yang wajahnya merona dengan mudah saat mendengar rayuan
calon suaminya. Tidak sekali dua kali Masumi mengusap telapak Maya yang terkait
di lengannya. Malahan, ada kalanya mereka seperti terlihat hanya ada di sana
untuk satu sama lain dan tak melihat orang-orang di sekitarnya.
Masumi mengantar Maya
setelah pesta penutupan itu selesai.
“Tidur yang nyenyak,”
pesan Masumi.
Maya menatap
kekasihnya. “Pasti,” gadis itu tersenyum lembut.
“Hanya tinggal dua
minggu lagi sebelum pernikahan kita nanti,” Masumi menatap penuh cinta kepada
kekasihnya. “Kau harus menjaga dirimu baik-baik. Aku tidak mau mendengar alasan
apa pun yang akan membuatmu tidak muncul di hari pernikahan kita.”
Maya tertawa. “Ya. Aku
pasti datang. Kalau Anda kabur juga, aku pasti mengejar!”
“Mustahil aku kabur,
badanku sebesar ini, mau sembunyi di mana?”
Maya mendengar ucapan
Masumi dan tertawa, namun tawanya perlahan lenyap saat tatapan penuh cinta
Masumi mulai membuat jantungnya kalang kabut. Pria itu meraih tengkuk Maya dan
kembali menciumi calon istrinya itu. Membuat Maya mengerti dan merasakan,
betapa besar keinginan Masumi untuk segera menjadikan Maya miliknya seutuhnya.
Untuk selamanya. Masumi lantas memeluk Maya tanpa berkata apa-apa, namun Maya
sudah mendengar isi hatinya. Ia tahu masumi teramat mencintainya. Ia tidak akan
meragukannya lagi, juga tidak akan memikirkan hal-hal remeh yang akan membuat
mereka tidak bahagia.
=//=
Pernikahan keduanya
diselenggarakan di pagi awal musim semi, 14 Februari yang cantik. Mereka
mengenakan kimono tradisional karena pernikahan diselenggarakan dengan tradisi
Shinto. Kulit Maya diwarnai putih dari atas sampai bawah, dan ia mengenakan
kimono putih dengan corak bunga plum merah kecil. Maya mengenakan penutup
kepala putih dan berjalan menunduk bersama Masumi mengikuti pendeta Shinto yang
akan menyucikan dan menikahkan keduanya.
Pernikahan itu hanya
dihadiri orang-orang dekat. Dari pihak Masumi hanya ada Eisuke, Mizuki, Asa dan
beberapa orang CEO perusahaan Hayami. Dari pihak Maya ada Kuronuma dan kelima
temannya dari teater Mayuko. Ibu Mayuko sendiri belum bisa turun gunung. Namun
baik Maya dan Masumi sudah mengunjunginya di Nara, kampung halaman Bidadari
Merah.
Upacara pernikahan
berlangsung singkat namun khidmat. Kedua mempelai meneguk sembilan kali dari
tiga gelas sake yang disediakan. Lalu setelah itu pihak keluarga dan kerabat
yang saling bergantian minum sake. Terakhir upacara ditutup dengan memberikan
sesaji kepada para dewa.
Acara dilanjutkan
dengan acara makan dan berbincang bersama. Kedua pengantin tentu tidak henti
menjadi sasaran godaan dan keduanya hanya bisa berwajah merah. Mereka memang
sengaja melakukan ritual pernikahan secara tradisional agar lebih khidmat,
namun acaranya tidak hanya selesai sampai di sana. Nanti sore adalah puncak
acara resepsinya yang mengundang ribuan orang di salah satu gedung termegah
milik Daito. Pengisi acara pun didatangkan dari luar negeri. Setelah selesai
dengan makan siang keluarga, keduanya meluncur ke gedung tersebut. Sekali lagi
Maya dan Masumi dirias untuk acara resepsi nanti malam.
Membayangkannya saja
Maya sudah merasa lelah. Tetapi wajahnya tetap tampak berseri-seri, karena ia
ingat mulai hari ini dia dan Masumi akan hidup bersama sebagai suami istri.
Ketukan terdengar di
pintu ruang rias dan Masumi menghampiri Maya yang tampak cantik dengan gaun
pengantin megah berwarna putihnya. Rambut gadis itu disanggul dan dipasangi
tiara. Ia tampak seperti ratu hari ini.
“Sebentar lagi para
tamu akan datang,” kata Masumi seraya menghampiri Maya yang tampak tegang.
“A-aku sudah siap,”
Maya tergugup.
“Tegang sekali,” goda
Masumi seraya melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu.
Maya menengadah. “Anda
tenang sekali, sudah terbiasa menikah ya?”
Masumi tertawa. “Ya,
tadi pagi aku baru saja menikahi seorang gadis yang luar biasa,” terangnya.
“Masumi…” Maya
merajuk.
Seorang staf WO
mengetuk pintu. “Sudah mau dimulai, Pak Masumi silahkan menuju ruang resepsi.”
“Aku menunggumu,
istriku,” Masumi berpamitan seraya melepaskan lengannya dari pinggang Maya.
Tetapi pria itu menyempatkan mengusap rahang Maya seraya berkata. “Kau sangat
cantik. Aku benar-benar beruntung,” ia tersenyum lembut dan meninggalkan Maya
yang hanya diam terpukau.
Istriku… kata-kata itu
membuat setiap sel dalam diri Maya dirambati perasaan bahagia. Rasanya ia ingin
menangis tergugu begitu saja tanpa alasan yang pasti.
Ibu… sekarang aku
sudah menjadi seorang istri. Sayang sekali ibu tidak berada di sini. Tetapi,
aku janji akan mencoba menjadi istri yang baik. Dan, aku pun akan mengembalikan
nama baik keluarga kita yang sempat tercoreng. Aku akan menjadi aktris yang
membuatmu bangga… Terima kasih, ibu… untuk semua yang sudah kau berikan
kepadaku. Sudah merawat dan menjagaku…
Maya memandangi
dirinya yang berada di cermin. Ia sudah menjadi istri Masumi dan mungkin akan
menjadi ibu dari anak-anak mereka nanti. Membayangkan hal itu segera saja
wajahnya memanas. “Aduuh…” Maya meraba pipinya sendiri dan menggeleng-geleng
malu.
Pesta resepsi malam
itu pun berlangsung dengan sangat meriah. Makanan yang berlimpah dan juga
dekorasi yang sangat indah. Tirai-tirai cantik perpaduan merah, ungu dan putih dengan
hiasan mawar yang indah menghiasi gedung berkapasitas ribuan orang tersebut.
Suasananya sangat ramai terutama saat sesi hiburan dimana para tamu
dipersilahkan berdansa diiringi nyanyian para pengisi acara dari luar dan dalam
negeri.
Di beberapa bagian
terdapat layar yang memperlihatkan kebersamaan Maya dan Masumi, sebuah film
yang sengaja dibuat oleh mereka berdua untuk pesta malam itu. Film itu terbuat
dari slide-slide foto keduanya. Mereka juga berdansa dnegan satu sama lain juga
dengan para tamu yang ingin berdansa dengan mereka. Ada yang lucu bagi Maya,
saat ia berdansa dengan beberapa orang pria, Masumi tampak serius mengamatinya
dengan wajah tidak suka. Suaminya itu bahkan tidak berpura-pura berbesar hati
dan Maya merasa sangat lucu saat melihatnya.
“Wajahmu menyeramkan,”
komentar Maya saat gadis itu kembali ke pelukan suaminya.
“Ya, aku tidak suka
melihatmu… berdansa dengan mereka.”
“Tapi kebanyakan
mereka kan juga sudah punya istri,” rayu Maya.
“Tetap saja…” Masumi
merajuk, dan Maya tertawa melihatnya. Ia bisa merasakan Masumi melingkarkan
tangannya lebih ketat lagi di pinggangnya dan tubuhnya tegang sekaligus lemas
seketika. Dorongan untuk balas memeluk Masumi muncul begitu saja. Akhirnya sang
istri pun jadi balas memeluk dan menyandarkan kepalanya di dada bidang
suaminya. Sangat hangat dan kokoh, seperti Masumi yang dikenalnya belakangan.
Bodoh sekali ia dahulu berpikir Masumi dingin dan menyebalkan. Sekarang, Maya
hanya tahu Masumi yang mencintai dan sangat ia cintai.
Keduanya tidak
menyadari perilaku mesra mereka menjadi pusat perhatian para tamu. Bahkan,
banyak dari mereka yang diam-diam merona melihat kemesraan keduanya, Namun,
mereka sudah tidak ragu lagi. Bintang baru Jepang dan juga produser kelas atas
Jepang itu memang saling mencintai satu sama lain.
=//=
Masumi mengamati
punggung istrinya yang perlahan tampak saat ia menurunkan resleting gaun
pengantin Maya. Rambut gadis itu disampirkan ke bahunya, sehingga Masumi bisa
melihat tengkuknya yang membuat pria itu menelan ludah. Ia tak bisa melihat
wajah Maya yang sedang membelakanginya, tetapi ia bisa memperkirakan bahwa
wajah gadis itu juga pasti semerah dan sepanas dirinya, tubuhnya sekaku dia,
begitu juga debaran jantungnya. Ia tahu mereka sama-sama tegang karena sedari
tadi tak ada yang bersuara. Jari Masumi bergerak turun dan ia bisa melihat kait
pakaian dalam Maya. Dengan cepat tangannya berhenti, dan dia bertanya-tanya,
apakah Maya sudah siap untuk malam pertama mereka? Karena Masumi mulai merasa
ia sepertinya tak akan bisa menahan dirinya jika diteruskan.
“Maya…” bisik Masumi
dengan suara parau.
“Hm?” tanggap Maya
tanpa menoleh karena dia pun tegang sekali.
“Apa kau lelah?” tanya
Masumi, mengingat seharian ini mereka terus-terusan menyambut tamu.
Maya menoleh, dan
Masumi bisa melihat wajah gadis itu yang memang sangat merah. Maya menggeleng
dan berkata perlahan, “A-aku… baik-baik saja,” katanya.
Masumi mengamati wajah
cantik istrinya, wajah menggemaskannya, wajah gadis yang dicintainya. Pria itu
menatap Maya lembut, menangkap dagunya dan tatapannya tak berhenti memasung
pada mata Maya yang mulai kehilangan tenaga. Gadis itu menutup mata saat Masumi
mengecup bibirnya. Ciumannya tak hanya sekali atau dua kali, melainkan tanpa
henti. Maya tak sanggup lagi menghitung saat kepalanya mendadak kosong begitu
Masumi membelai dan memeluknya. Tangan pria itu perlahan menurunkan pakaian
melewati bahu Maya, saat kecupannya pun beranjak turun ke dagu dan leher gadis
itu. Keduanya tidak ada yang bicara lagi, hanya ada napas satu sama lain yang
mengisi kesenyapan malam pengantin mereka.
“Trek!” lampu padam,
dan kamar itu semakin temaram.
Maya membuka matanya
dan menyadari sesuatu. Ada yang melihat mereka!
“Masumi!” keluhnya
dengan terkejut.
“Hm?” tanggap Masumi
tanpa menghentikan apa yang dilakukannya.
“Tirainya,” pinta
Maya, “tirai jendelanya… ditutup… dulu,” wajah gadis itu semakin merah.
“Biarkan saja, tidak
akan ada yang melihat,” sahut Masumi kurang jelas, namun kecupannya beranjak
naik lagi ke bibir gadis itu. Ia menatap Maya. “Kita di rumah baru, belum ada
siapa-siapa,” desisnya, mengusap-usap wajah Maya penuh rasa sayang, merasakan
suhunya semakin meningkat menghangat.
“Ta-tapi… bulannya,
melihat kita…” keluh Maya dengan sangat malu.
Masumi menoleh ke arah
jendela, mengamati bulan purnama yang tampak benderang di luar sana. Masumi
tersenyum tipis. Ia kembali menoleh kepada Maya. “Biar saja,” katanya. “Mungkin
dia memang sengaja datang untuk mengintip.”
“Ta, tapi… Masumi…”
rengek Maya dengan manja. Tetapi Masumi tidak menghiraukannya. Ia kembali
menciumi Maya dengan lembut.
“Biarkan saja,”
bisiknya di bibir Maya. “Di bulan belum ada yang menemukan teropong, aku yakin
tak akan ada yang mengintip kita,” katanya menggoda istrinya.
Maya tertegun dan
tertawa kecil, sampai Masumi kembali memagut bibirnya, dan ia membalasnya. Sepanjang
malam keduanya tenggelam dalam suasana berkasih-kasihan, Menyampaikan perasaan
terpendam mereka bagi satu sama lain yang sempat terasa tanpa harapan, kini
begitu dipenuhi dengan kebahagiaan.
=//=
6 Tahun kemudian.
Masumi mengecup bibir
istrinya. “Terima kasih ya, Sayang,” katanya kepada Maya yang selesai
membantunya berpakaian.
“Hari ini anak-anak
akan mulai sekolah,” kata Maya. “Aku akan mengantar mereka.”
“Jangan lupa nanti
siang ke studio Daito. Akan mulai reading untuk film barumu kan?”
“Ya, mana mungkin aku
lupa… Tokito sangat ketat dan terus-menerus mengingatkanku akan
jadwal-jadwalku,” Maya menghela napas saat menyebutkan nama manajernya yang
begitu ketat dan disiplin. Hanya satu orang yang bisa membuat Tokito
melonggarkan jadwal Maya. Masumi.
“Hahaha… karena itu
aku memilihnya. Tetapi dia baik kan?”
“Ya, cukup
menyenangkan jika tidak sedang memegang ponselnya, dan itu sangat jarang
terjadi.”
Sekali lagi Masumi
tertawa.
“Ayo, kita sarapan,”
ajak Maya kepada suaminya.
Enam tahun bersama
pria itu, Maya tidak pernah melalui satu hari tanpa merasa tidak bahagia.
Walaupun tidak sekali dua kali keduanya bertengkar, keduanya sudah berbaikan
sebelum memejamkan mata atau sebelum salah satunya pergi. Mereka memang sudah
sepakat, harus menyelesaikan masalah sebelum hari berakhir apalagi jika mereka
harus bekerja dan tidak bertemu satu sama lain selama berhari-hari. Masalahnya
tidak jauh-jauh, Masumi yang cemburu berlebihan, begitu juga Maya. masumi
cemburu pada lawan-lawan main Maya yang lebih muda, dan Maya cemburu pada
wanita-wanita di sekitar Masumi yang lebih anggun. Pada saat seperti itu,
biasanya Hijiri dan Mizuki yang repot.
Hijiri terbiasa
membujuk Masumi dan membuat pria itu berpikir lebih logis, sementara Mizuki
meyakinkan Maya bahwa bagi Masumi, wanita-wanita lain masih tidak lebih dari
lobak dan kol.
Dan, sekarang
pernikahan mereka sudah bertahan Enam tahun. Masih belum seberapa ketimbang
target keduanya yang ingin mencapai target pernikahan intan.
“Papa!! Papa!!”
seorang gadis cilik dengan rambut bob lurus sebatas telinga menghampiri dengan
wajah berbinar.
“Selamat pagi… Yumi,”
Masumi tersenyum lebar.
“Ah, sayang, itu…”
sergah Maya.
“Aku bukan Yumi!
Ruuumi!! Ruumii!!” rengek anak itu.
“Ru.. mi?” Masumi
menoleh kepada Maya dan istrinya itu mengangguk. “Tetapi? Sejak kapan Rumi
berambut pendek?”
“Rumi potong rambut
kemarin,” jelas Maya.
“Ah! Papa!! Kerja
terus! Kerja! Kerja! Kerja! Kerja!” protes si kecil Rumi. “Jadi tidak tahu kan,
Rumi sudah potong rambut,” gadis mungil itu merajuk.
Memang Masumi sering
sekali pulang malam sehingga tidak sempat bertemu anak-anaknya yang sudah
tidur. Kemarin dia juga baru pulang dari luar kota saat larut malam.
“Maaf ya… Papa tidak
tahu Rumi potong rambut. Aduuh… cantik sekali,” bujuk Masumi kepada Rumi yang
memang mempunyai watak keras kepala.
“Papa! Mama!” kali ini
seorang gadis mungil dengan rupa yang serupa dengan Rumi muncul.
“Nah, itu Yumi,”
terang Maya kepada gadis manis yang menghampiri mereka. Bocah itu tampak agak
pemalu.
“Aku tahu,” keluh
Masumi. DIpandanginya kedua putri kembarnya yang sekarang benar-benar serupa.
Sekarang, bagaimana dia bisa membedakannya? Keduanya memakai seragam yang sama,
dengan wajah dan rambut yang sama. Duh… mata minusnya benar-benar terasa
seperti kekurangan yang sangat besar pada saat seperti ini.
“Kau harus lebih
sering menghabiskan waktu dengan anakmu! Agar kau bisa membedakan mereka!”
desis Maya seperti hapal apa yang ada di kepala suaminya.
Memasuki ruang makan,
sudah ada seorang bocah laki-laki yang sedang membaca koran. Bocah laki-laki
lima tahun membaca koran.
“Selamat pagi Yuto,”
sapa Masumi kepada putranya yang wajahnya tidak jauh berbeda dari Yumi dan
Rumi.
Yuto mengangkat
wajahnya, wajah yang terlalu serius untuk anak berusia lima tahun. “Papa,
rupanya saham Daito naik lagi, sehingga para investor diuntungkan oleh…” anak
laki-laki itu tertegun. Ia kembali mengamati koran dengan serius. “Kanji apa
ini…” gumamnya kesal. “Aku harus tanya kakek,” tandasnya.
“Ya ampun,” Masumi
menghela napas perlahan. “Ia harus mengurangi bergaul dengan ayah,” keluh Masumi.
“Itu karena papanya
jarang ada untuk diajaknya bermain!” timpal Maya kepada suaminya yang super
sibuk itu. Andai saja bukan dia yang bertugas menenangkan anak-anaknya, ia
sendiri yang ingin ngambek dan merajuk kepada suaminya yang jarang sekali main
dengan anak-anaknya.
Masumi memperhatikan
istrinya tersebut. Bisa diketahui istrinya itu juga sedikit kesal dengan
kesibukannya belakang setelah menjadi presdir Daito.
“Papa!! Mama!!”
seorang anak laki-laki lain menerobos masuk ke ruang makan sambil tersenyum
riang. Tangannya terjulur lurus membentuk pistol dan kepalanya ditundukkan. Ia
menyeruduk masuk sambil membunyikan suara-suara senjata dari mulutnya. Ia
menuju ke arah Masumi dan menumbukkan tubuhnya kepada tubuh gagah ayahnya. “Desing!!
Desing!! Desing!! Dor!! Dor!! Dor!!”
“Akh!!” Masumi
memegangi dadanya dan pura-pura mati.
“HAHAHAHA!! Rasakan
itu Monster MASUDON!!”
Masudon? Masumi
tertegun. Anaknya itu terlalu banyak menonton tokusatsu. Ia kembali membuka
matanya. “Sudah. Masudon sudah lapar, pasti robot Yuji juga sudah mau sarapan.”
“Aku bukan robot!”
pungkas Yuji dengan serius. “Aku adalah pahlawan dari planet Oro! Yuji-Oro!!”
Maya tampak terkikik
melihat kelakuan Yuji yang memang sangat berbeda dengan saudara kembarnya Yuto
yang selalu serius dan tertarik dengan hal-hal yang belum waktunya. Jika Yuto
terobsesi dengan jas dan dasi Masumi, tas kerja dan dokumen-dokumennya, Yuji
terobsesi dengan playStation, tokusatsu dan mainan perang-perangan. Rumi pandai
bicara dan keras kepala. Gadis itu sangat percaya diri dan ingin melakukan
segala sesuatu semaunya. Sementara Yumi pemalu dan sangat manis. Ia terobsesi
pada puteri-puteri dalam dongeng dan sangat menyukai barbie.
Keempatnya dikandung
Maya pada saat bersamaan. Yuto terlahir lebih dahulu, dan ia merupakan kembar
identik Yuji. Sementara Rumi kembar identik dengan Yumi. Keempatnya terlahir
berurutan dengan perbedaan tiga menit. Tetapi Maya yang melahirkan tengah
malam, membuat dua putri mereka memiliki tanggal lahir yang berbeda dengan
kedua putra mereka. Semuanya memang terasa seperti keajaiban bagaimana tubuh
mungil Maya bisa menjadi begitu besar seperti balon udara dan sembilan bulan
kemudian mereka tiba-tiba sudah mempunyai empat orang anak.
Itu belum semuanya.
“Selamat pagi Tuan,
Nyonya,” sapa Haruhi, babysitter mereka. Tangannya menggandeng seorang bocah
laki-laki berusia tiga tahun.
“Yuki-chan!” Sapa Maya
kepada putranya yang sudah tampak rapi itu.
“Mama!!” Dengan kaki
pendeknya Yuki berlari-lari menghampiri Maya. Maya mengecup pipi putranya yang
bundar kemerahan dan Yuki yang ceria tertawa kegelian.
Tawa Yuki selalu
terdengar begitu riang. Si Bungsu ini lahir belakangan, tiga tahun yang lalu.
Walaupun Masumi tidak mengharapkan anak lagi, ternyata Yuki memang sudah
seharusnya ada, ya… dia lahir juga. Masumi mengamati Yuki dengan senang. Anak
itu selalu berwajah riang dan lucu, sangat menggemaskan.
Akhirnya ketujuhnya
sarapan pagi itu. Seperti biasa selalu terdengar ramai dan gaduh dengan topik
pembicaraan masing-masing. Maya sangat sibuk menenangkan anak-anaknya. Saat
sarapan seperti ini, anak-anak yang jarang bertemu Masumi akan banyak bicara
dan merajuk kepada ayah mereka itu, seperti meminta perhatiannya. Masumi
berusaha mengingat semua permintaan anak-anaknya walaupun untuk membedakan
wajah mereka saja Masumi masih sering bingung.
Setelah berbagai
keramaian di ruang makan, tibalah saatnya mereka semua pergi. Keempat Kakak itu
akan mulai masuk Taman Kanak-Kanak, sementara si bungsu menuju preschool
bersama babysitternya. Setelah mengantarkan mereka semua, Maya akan pergi ke
studio dan melakukan kegiatannya keaktrisannya.
Masumi menciumi
anaknya satu persatu dan dengan riang mereka masuk ke dalam sebuah SUV yang
akan mengantarkan mereka. Haruhi duduk di depan bersama sopir. Di kursi
belakang ada Yuji dan Yuto, di tengah ada Rumi dan Yumi, sementara Maya masih
menggendong Yuki berpamitan kepada suaminya.
“Papa nanti malam
pulang jam berapa?” tanya Maya.
“Aku pulang cepat,
sekitar jam 9.”
Maya menghela
napasnya. Ia mampu menunggui suaminya sampai larut malam tapi anak-anaknya
sudah tidur jam 9. Masumi memang sudah mendisiplinkan mereka semenjak dulu.
“Apa tidak bisa makan
malam di rumah?” bujuk Maya. “Anak-anak merindukanmu… Masa mereka hanya bisa
makan malam bersama ayahnya di akhir pekan…”
“Iya. Rindu,” Yuki
membeo.
Masumi tertegun dan
mengamati Yuki, lalu tertawa. “Yuki rindu pada papa?” tanyanya.
“Rindu. Yuki rindu
Papa… main kuda-kudaan…” kata anak itu, Masumi tertawa.
“Aku usahakan,” kata
Masumi. “Tapi makan siang nanti aku akan berkunjung ke studiomu.”
“Baiklah,” ujar Maya
pasrah. Ia lantas menatap Masumi. Apakah tepat jika ia mengatakannya sekarang?
Tetapi Maya tidak yakin dengan reaksi suaminya.
“Ada apa?” tanya
Masumi.
“Ah, tidak!” Maya
menggeleng perlahan. “Aku pergi dulu ya, sampai nanti malam. Selamat bekerja.”
“Kau juga, Sayang,”
Masumi mengecup pelan dahi Maya. Saat itu Yuki yang berada di gendongan Maya melingkarkan
tangannya di leher Masumi dan memeluknya erat-erat.
“Aduh! Aduh! Aduh!!”
keluh Masumi yang hampir kehilangan keseimbangan karena perbuatan putra
bungsunya yang tenaganya cukup kuat untuk anak seusianya. Ia berusaha
membebaskan diri dari Yuki dan tertawa. “Yuki juga mau dicium hah? Mau dicium?”
tanya Masumi seraya menciumi pipi bundar putranya yang menggemaskan. Maya hanya
mengamatinya seraya tertawa.
Maya lantas berpamitan
dan naik ke atas mobil bersama anak-anaknya, sementara Masumi menaiki sedan
yang sudah menunggunya untuk menuju ke kantor.
Saat dalam perjalanan,
ponselnya berbunyi, mengalihkan perhatian Masumi dari dokumen yang sedang
dibacanya.
“Halo?”
“Sayang.”
Maya? “Ada apa?” tanya
Masumi.
“Uhm… Papa, itu… anu…”
“Ya?”
“A-ada sesuatu…
untukmu.”
“Untukku? Apa?” tanya
Masumi dengan alis berkerut.
“Ada sesuatu… di belakang
kursi sopir,” terang Maya. “Ada amplop, untuk…mu…”
Masumi tertegun, ia
merogohkan tangannya ke dalam lipatan di belakang jok sopir, dan memang
mendapati sesuatu dari sana. “Apa ini?” tanya Masumi.
“Itu…”
“Dari rumah sakit?
Punya siapa ini? Kau sakit?” tanya Masumi dengan nada tinggi, khawatir.
“Dibuka dulu,” pinta
Maya. “Nanti kuhubungi lagi.”
Masumi membukanya
dengan waswas. Ternyata, itu adalah hasil tes lab. Masumi dengan cepat
membacanya. Pasien Maya Kitajima, hasil tes urin. Kehamilan. Positif.
Hah!!? Masumi
tercengang. Apa ini? Istrinya mengerjainya. Masumi melihatnya berulang
kali-kali. Tidak salah lagi. Itu pemberitahuan bahwa istrinya hamil… lagi!
Masumi melihat tanggal di bagian atas, dan itu memang tes yang baru. Jadi… maya
hamil!? Ya, ampun…
Ia menghitung. 1,2,3,4…5!
Dengan yang ini, jadi… 6! Mungkin saja jadi 7,8, atau malah 9! Masumi langsung
merasa pusing.
Sebenarnya, jika
dihitung-hitung, Maya baru hamil 3 kali.Tetapi kehamilan pertama yang luar
biasa itu membuat mereka memiliki lima anak hanya dengan dua kali hamil.
Padahal mereka sudah sepakat tidak akan punya anak lagi. Bukan apa-apa, tetapi
Masumi dan Maya khawatir tidak bisa membagi perhatian mereka kepada
anak-anaknya. Seperti kejadian tadi pagi. Masumi masih saja sering tidak bisa
membedakan putra putrinya, terutama saat mereka tertidur, untunglah keempatnya
tumbuh menjadi pribadi yang begitu berbeda satu sama lain.
“Hhh…” Masumi menghela
napas. Jadi ini alasannya Maya tidak mau bilang sendiri? Istrinya itu pasti
sudah tahu apa yang ada dalam pikiran Masumi. Saat Maya hamil oleh Yuki saja,
Masumi juga sempat merasa sama kesalnya.
Ia segera menghubungi
dokter Ohno.
“Dokter! Istriku hamil
lagi!!” bentak Masumi kepada dokter kandungan istrinya itu.
“Ya, Tuan, benar…
Selamat ya.”
“Anda ini bagaimana!”
Masumi masih terdengar sangat kesal. “Bagaimana bisa istriku hamil lagi!”
“Loh… Pak Masumi… Anda
kan suaminya. Jelas Anda yang paling tahu kenapa istri Anda bisa sampai hamil,”
dokter yang selalu ramah itu berkelakar.
“Mak-Maksudku!! Bukankah
kami—alat kontrasepsi—“
“Pak Masumi, saya
sudah pernah mengatakannya dulu saat istri Anda hamil kedua kali, tidak ada alat
kontrasepsi yang dapat menjamin 100% dapat mencegah kehamilan. Selama Anda dan
istri masih berhubungan, kemungkinan istri Anda hamil masih ada. Kecuali, Anda
tidak merasa berhubungan… ya… Anda boleh marah-marah.”
Masumi menghela napas.
Ya ampun… kelima anaknya saja masih kecil, sudah akan ada lagi bayi di rumah
mereka.
“Nyonya Maya sudah
mengira, Anda akan kalang kabut seperti ini. Saat dia tahu dia hamil, Nona Maya
sebetulnya sangat senang, tetapi dia sangat khawatir dengan reaksi Anda. Tuan,
Anda pasti sudah tahu bagaimana yang terbaik. Walaupun mungkin ini di luar
perkiraan Anda, tolong jangan membuat istri Anda khawatir, karena saat ini
kehamilannya masih rawan,” dokter Ohno mengingatkan.
Masumi terdiam. Ia merasa
diingatkan. “Anda benar,” katanya seraya menghela napas. “Aku hanya terkejut,
dan—dan— Hh… Maafkan saya.”
“Selamat, Tuan Masumi,”
kata dokter Ohno penuh pengertian.
“Ya. Terima kasih
banyak…” Ia menutup sambungan dengan dokter Ohno. Sekali lagi dipandanginya
surat hasil lab tersebut. Seharusnya ia tidak bereaksi berlebihan seperti tadi.
Memang merepotkan memiliki enam anak yang masih kecil, mungkin sedikit sulit
mendapatkan ketengangan di hari liburnya seperti dahulu. Akan semakin banyak
yang merajuk dan merengek. Tetapi… mereka anak-anaknya dengan wanita yang ia
cintai. Ada banyak pasangan di luar sana yang mungkin ingin bertukar tempat
dengannya saat ini.Lagipula, ia mencintai setiap mereka dengan sepenuh hati.
Masumi tersenyum tipis
dan menghubungi Maya lagi.
“Papa,” sapa Maya
perlahan.
“Sayang…” Masumi
menyahut lembut. “Aku sudah melihatnya...”
“La, lalu…?”
“Aku senang sekali.”
“Benar!?” Maya
terdengar terkejut.
“Mama! Itu Papa??”
“Papa belum sampai
kantor?”
“Papa!! Papa!!”
Di belakang terdengar
suara anak-anaknya yang berisik, memanggil-manggil kepadanya. Ramai sekali. Ada
masanya ia pernah merasa begitu sendirian di dunia ini. Sekarang Tuhan begitu
baik hati dengan begitu ramai dan riuh keluarganya.
“Sebentar, Sayang,
sebentar…” pinta Maya kepada salah satu anak mereka yang tampaknya ingin
merebut ponsel ibunya.
“Papa pulangnya jangan
malam-malam!!” seru Yumi.
“Malam juga tidak
apa-apa, Pekerjaan Papa itu penting!” seru Yuto.
Masumi tersenyum
tipis. “Sepertinya, aku sudah membuatmu sangat repot,” kata Masumi.
Maya tertawa. “Tidak
kok…” tampiknya. “Syukurlah, kupikir kau akan histeris lagi…”
Ya… semoga saja dokter
Ohno tidak akan mengatakan apa-apa, batin Masumi.
“Tidak, aku… hanya
baru menyadari betapa beruntungnya aku. Kalau begitu, hati-hati ya… kau kan
sedang hamil muda.”
“Ya, aku akan
menjaganya baik-baik. Ini bukan pertama kalinya aku hamil.”
“Aku khawatir karena
kau kalau sudah berlatih peran sering lupa diri.”
“Hahaha… tidak… eh,
sebentar lagi kami sampai.”
“Baiklah. Aku
mencintaimu, Sayang.”
“Aku juga…”
“Yeeeeee…. Mama
pacaran!!” seru Rumi saat melihat wajah ibunya merona.
“Sudah! Ayo salam
kepada Papa.”
“Papa! Sampai jumpa!
Sampai ketemu! Kami sayang Papa!!” seru anak-anaknya yang ramai berebut bicara.
Saat itu tiba-tiba
Masumi begitu terharu, entah kenapa ia ingin menangis. Seharusnya ia memang
menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya.
***
“Kiriman bunga untuk
Maya KItajima!!” seru seorang pengantar bunga saat Maya baru selesai melakukan
reading naskah dengan para pemain lainnya. Untunglah peran yang diberikan
kepadanya saat ini bukan peran yang akan menguras tenaganya secara fisik.
Lagipula, shooting film ini diperkirakan akan selesai dalam dua bulan.
“Terima kasih,” kata
Maya, saat ia menerima buket mawar ungu yang sangat besar itu. Ia membaca
kartunya.
“Kepada Nyonya Maya
Hayami,
Selamat untuk
kehamilanmu, untuk merayakannya, kuharap kau dan anak-anakmu tidak akan
keberatan menyisihkan waktu akhir pekan ini untuk berlibur ke Hakone.
Yang mencintaimu,
Tn. Masumi Hayami.”
Maya tersenyum lebar.
Hingga saat ini Masumi memang tidak pernah berhenti mengiriminya mawar ungu.
Baik hanya sekuntum setiap harinya, atau sebuah buket bunga besar yang dikirim
ke tempat kerjanya seperti ini. Maya sangat bahagia.
Aku mencintaimu… Masumi Hayami… selamanya…
Wanita itu mengecup
buket bunga itu. Ia lantas mengusap perutnya perlahan. “Kau sangat beruntung,
karena akan memiliki ayah yang luar biasa,” kata Maya. “Kakak-kakak yang
menyenangkan, dan ibu yang akan sangat mencintaimu.”
Wanita itu tertegun.
Kau… atau… kalian ya…? Pikirnya. Ia lantas tertawa kecil. Biarlah, ia tak
peduli. Sekarang ia sudah mempunyai karir yang luar biasa, suami yang sangat
mencintainya, dan keluarga besar yang diimpikannya.
“Nyonya Hayami!
Reading selanjutnya akan segera dimulai!” seru sebuah suara.
“Baik!!” seru Maya
dengan riang. Wanita berusia 26 tahun itu kembali mendongak ke arah suara, dan
ia mendapati suaminya di sana. “Sayang!!”
Masumi tersenyum
lebar. “Sudah kukatakan aku akan datang saat makan siang kan?”
Maya tersenyum lebar
berseri-seri. Wajah istrinya itu sudah tampak lebih anggun dan cantik, juga
dewasa. Walau tubuh mungilnya masih sering membuatnya terlihat seperti
anak-anak, namun karisma yang memancar darinya membuat Maya sekarang terlihat
seperti artis besar.
“Apa benar, kau akan
mengajak kami ke Hakone akhir minggu nanti?”
“Ya,” Masumi
melingkarkan tangannya di pinggang Maya. “Aku janji akan berusaha menghabiskan
waktu lebih banyak dengan kalian. Maaf ya…”
“Tidak apa-apa… kami
mengerti kok kalau kau sibuk, jadi—“
“Tapi memang tidak
adil, kau saja yang sudah menjadi artis besar dan memiliki jadwal yang padat
masih bisa mengatur waktumu agar bisa pulang sebelum malam dan setidaknya akhir
pekan bisa berada di rumah. Ya… aku setidaknya akan mencoba lebih sering makan
malam di rumah,” kata Masumi.
“Senangnya…” sahut
Maya dengan riang. Tiba-tiba, Masumi menyentuh rahang istrinya. Ia hampir saja
lupa diri dan mencium Maya jika saja istrinya itu tidak berdesis
memperingatkan. “Ini tempat umum, Sayang…”
“Ah, ya,” Masumi
kecewa. “Baiklah, mari…?” Masumi menyodorkan sikunya untuk Maya, dan istrinya
itu menggamitnya. Keduanya keluar dari gedung Daito dengan diiringi anggukan
dan bungkukan hormat dari orang-orang yang mereka lalui.
Di luar para wartawan
memburu keduanya, bertanya ini itu, termasuk mengenai kehamilan Maya. Masumi
sangat terkejut dengan begitu cepatnya kabar itu beredar. Mereka mungkin sempat
melihat atau mendengar Maya memeriksakan kehamilannya.
“Ya, ya… istri saya
memang hamil, tetapi jangan khawatir, tidak akan mempengaruhi jalannya syuting.”
Kata Masumi seraya menggandeng istrinya segera masuk ke mobil.
“Waah… selamat ya,
Maya… kami tidak mengira bahwa kau hamil lagi.”
“Memang apa salahnya?
Dia punya suami, tidak aneh kan kalau sampai hamil,” sahut Masumi. “Sekarang
permisi. Kami harus pergi merayakan kehamilan istriku,” pamit Masumi seraya
menutup pintu mobil mereka. “Masih saja usil,” keluhnya.
“Mereka kan wartawan…”
Maya tertawa.
Masumi meraih pundak
istrinya dan memeluknya. Lantas menciumnya dengan dalam. Sopir keduanya
terpaksa pura-pura tidak melihat. Ia tahu benar bagaimana keduanya memang
selalu mesra.
Masumi lantas mengelus
perut Maya. “Kau anak yang beruntung, akan memiliki seorang ibu yang luar
biasa, dan kakak-kakak yang menyenangkan,” ujar Masumi.
“Ara! Aku tadi baru
mengatakan hal yang sama kepadanya!” sahut Maya.
“Benar?”
“Ya!”
Keduanya lantas
tertawa bahagia. Mereka tahu masih banyak kejadian luar biasa lain yang akan
mereka hadapi. Namun, keduanya sudah berikrar untuk terus bersama. Tidak hanya
berdua, tetapi juga berlima, berenam, bertujuh, berdelapan atau bersembilan,
Masumi tidak peduli, yang penting ia sekarang sudah memiliki orang-orang yang
paling berharga dalam hidupnya, dan ia tidak akan menukar mereka dengan apa pun
juga.
UNSPOKEN 6 END
Categories
Author : Ty SakuMoto,
Fanfic: Serial
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
53 comments:
Apakah aku jd yg pertamax?? Hehehe...
Wah g pertama yaaa! Senangnyaaa ty luarbiasa deh interpretasi lo soal knp maya lbh unggul dr ayumi hehe manteeepppp gkkalah ma suzue sensei yg asliii
Anita f4evermania
It's cool......
Ty...blm tamat kan ya?
Ty...blm tamat kan ya?
Baguss bangeeet. Serasa baca karya aslinya :)
Wah sista, dikit lg tamat ya. Sempet khawatir maya kalah dr ayumi, untung aja g? Update lg please... :-D
Nilam safitri nst
akhirny bs baca utuh, walau harus refresh bkali2 akibat sinyal lemot #msh mudik
suka sekali, akhirny tinggal nunggu MM nikah
telatttttt...pdhal kmren2 rajin buka FB buat ngecek update-an NR.....tp kok ini kelewat ya............
ini blm tamat khan neng ty..lanjutny kapan ya neng..udh penasaran endingnya...
kyaaa ty.. blm tamat kan yaaa... lanjut ty.. ampe merit... hehe... senengnyaaa.... tengkyuuuu ty.. hugz...
Wadow diriku baru Baca, baru tau kalo ada unspoken 6 he3
Yipieeee.....baru baca nich....akhirnya maya jadi bidadari merah....mau lht kelanjuttannya smpi meried.....lanjut yach Ty.... tq yach
wah terlambat baca-na saya...
moga2 maya masumi bahagia selamanya...sampai maut pun tidak memisahkan mereka... :)
huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...senang e....hip hip hura hura..dudududud...i love you miss Ty..rasaya menunggu sekian lama utk apdetan terbalas dgn kebahagian ini..You're THE BEST sis Ty...
belum selesai kan yaa...??
LegaaA...akhirnya Eisuke capek sndiri ngusilin Maya Masumi...uda mau tamat ya mbak???
Ty blm the end kan ... Lanjut smp mrka merit ya heheheheh
Sdh tamat kah?
Chapter ini terasa manis banget, semanis custard pudding lembut yg meleleh di lidah ♥
Jadi ikutan tersipu-sipu, masih lanjut kan yaaa mbak Ty.
Mesranya....
Sis ty, ini masih blum tamat jg ya. Sampai nikah tdk critanya sis ty?? :-D
Nilam Safitri.NST
So sweeettt, ditunggu adegan nikahnyaaa ya mbak ty
-bella-
Ha..ha.. baca Maya lagi ngga pd jadi ngebayangin tingkah laku Maya di komik dan di animenya...
horeyyyyyy...
mm merittttt.....
-mommia-
mbak ty,
bravo mbak....dibikin jd satu buku aj mbak dari unspoken 1 donggg...
suka...ga sabar menunggu
mg miusen jg bikin HE komikny
ga pernah bosen baca cerita nya neng ty...apalgi ttg masumi - maya, selalu pingin lagi.. :)
Suka banget Ty....aku yg baca smpi hepy sendiri, ktawa n senyum2 sendiri.....senang lht mm bersama.... tq Ty
ooh myyyyyyyy...loveeee iiitttt...
minta wedding yg romantis ya tyyy...:p
saya sukaaaaa! thanks for this ending ky. aku masih az senyum2 ndiri membayangkan, serasa muter film di depan mataku. aaah..
-Desy
my Lord...........................................................tut...tut...tut....tut...........
Terharuuuuuuu keluarga besaaar wkwkkk hamil 4 omigot gk kbayang gmn maya ngurusnya hihi.
huwaaaa so swiiittttt ty
lope it
hebat euy maya,skali hamil lsg 4 hehehe.....
-mommia-
wow anaknya mayaaaaa buanyaaaak ( dina I ♥ Topeng kaca )
Giiilaakk anaknya banyak bngeett..
Ending story yg sweeeeet banget. Thanks ya ty for the fftknya yg kereeen abiss.
ending yang so sweeetttt...
sukaaaaaaa.... <3
_iien_
waah kembar 4...gak kebayang bentuknya maya kayak apa wkwkwkwkwk
Horeee tamaat! Otsukaresa~~~
merçi pour tout,c'était très bien.
Endingnya oke mbak ty!
Luv it... luv it.... ceritanya baguuss suka banget, serasa baca karya asli Miuchi sensei, dilanjuuut dong sista 'Ty' -simple Wey-
wuaaa..... ga kebayang maya yg bertubuh mungil hamil kembar
neng ty trima kasih...
ditunggu cerita lainnya....
khalida
giling mesumi doyan bgt sampe anak nya udah bisa bikin kesebelasan bentar lagi hihihi.... btw seneng akhir nya happy ending juga
Yipieeeee....akhirnya hepy ending, senang banget lht mm meried n punya anak banyak..... tq Ty
wuahhhhhh.... senangnya kalau endingnya begini :) :) :)
akhirny end jg..
tp tetep deg2an nunggu crita yg lain..
ttep semngat ya neng ty..
akhirnya happy ending jg ^^ makasih yah ty bagus seru endingnya !!!
ditunggu cerita berikutnya hahahaha XD
-mn-
baca ulang lagi... ulang lagi,..ulang lagi..
tidak bosan -bosan nih mba :)
baca lagi baca lagi, brulang-ulang. tidak bosan-bosan :)
Makasih ya Ty buat FFnya
Terus berkarya
Sukses terus buat novel2 Ty ya
Bulat :)
Bagusss bangettt
Post a Comment
Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)