To Make You Love Me
(Chapter 11)
Keduanya
turun dari kincir raksasa sambil bergandengan tangan. Beberapa orang tampak
heran dengan pakaian mereka yang belepotan es krim. Keduanya segera mencari
toilet untuk membersihkan diri.
Masumi
mengamati kemeja mahalnya yang belepotan es krim cokelat, dan ingat lagi saat
mereka berada di dalam kincir raksasa. Wajahnya langsung menghangat. Bahagia
sekali.
Dia tak
mengira akan berakhir seperti ini. Padahal awalnya Masumi hanya ingin
mengembalikan semangat Maya. Tapi ternyata, malah berakhir dengan saling
menyatakan perasaan. Sepertinya, mulai sekarang es krim cokelat akan menjadi
makanan favoritnya.
Masumi
baru menyadari sudah berperilaku seperti orang bodoh yang senyam senyum sendiri
di depan cermin saat tatapannya beradu dengan pengunjung lain yang mengamatinya
terheran-heran.
Buru-buru
Masumi merapikan dirinya dan keluar dari toilet pria, menunggu Maya selesai
dari toilet wanita.
Gadis itu
tampak keluar dengan kondisi tak jauh berbeda. Wajahnya merah padam dan
terlihat gugup. Dia juga tadi senyum-senyum sendiri di depan cermin toilet
umum.
Masumi
mengulurkan tangannya dan Maya menyambut uluran tangan hangat itu. Keduanya
kembali mengulum senyum malu-malu mereka. Ternyata rasanya bahagia sekali bersama
dengan orang yang dicintai dan mencintai kita walau hanya berjalan bersama.
"Kurasa,
sudah saatnya kita pulang. Sudah malam," ajak Masumi, sambil menarik Maya
semakin dekat kepadanya.
"Iya,"
jawab Maya dengan suara perlahan. Masih malu-malu, dan gugup. Perhatiannya lalu
tertuju pada penjual balon.
"Pak-Masumi,
aku mau itu!" tunjuknya.
"Balon?"
Alis Masumi berkerut.
Maya
mengangguk riang.
"Tentu,
ayo. Kau mau yang mana?"
"Yang
mana ya... warnanya bagus-bagus semua..." Maya tampak bingung.
"Kalau
begitu, semuanya saja."
"Hah?
Tapi..."
Dan Masumi
membeli semua balon yang ada.
Balon-balon itu memenuhi bagian belakang mobil
Masumi. Sedikit sulit mengeluarkannya saat mereka tiba di apartemen Maya.
"Terima kasih ya, untuk hari ini..." ucap
Maya sambil tersipu-sipu malu. Badannya bergerak-gerak gelisah.
"Ya, sama-sama..." jawab Masumi dengan
senyuman tak kalah berseri.
"Juga buat balonnya."
"Tentu. Kau jadi lebih menyukaiku tidak setelah
kubelikan balon?"
Maya tertawa geli sambil mengangguk-angguk malu.
"Begitulah."
Dan senyum Masumi jadi semakin lebar.
"Aku masuk dulu, ya," pamit Maya, meminta
tangannya yang terus menerus digenggam oleh Masumi.
Masumi enggan sekali melepaskan Maya, rasanya
kebersamaan mereka masih terlalu singkat.
"Jangan lupa membersihkan dirimu dulu,"
anjur Masumi.
Tidak seperti sebelum-sebelumnya yang marah-marah
jika diberi saran, kali ini Maya mengangguk-angguk sambil nyengir lebar.
"Besok latihan yang giat ya," pesan Masumi
lagi.
"Iya..." Maya mengangguk lagi dengan mata
berbinar.
"Jangan lupa jaga kesehatanmu juga."
Maya tergelak dan mengangguk.
"Dan jangan lupa mandi."
"Hahaha... Pak Masumi..." Maya merajuk
manja.
Masumi menghela napasnya. Sepertinya, memang harus
berpisah juga.
"Jangan lupa tidur," imbuh Masumi lagi.
"Pak Masumi juga," Maya mendongak,
tersenyum kepada pria terkasihnya. "Mimpi yang indah..."
Masumi mengulum senyumnya. Apakah ada yang lebih
indah dari ini? Mengetahui bahwa Maya mencintainya, sudah melampaui mimpi indah
manapun.
"Selamat malam," Masumi melepaskan tangan
Maya.
"Selamat malam," Maya melambaikan
tangannya dan berbalik.
"Eh, Maya," Masumi kembali meraih tangan
gadis itu.
Maya menoleh kembali dan menatap penuh tanya.
"Satu lagi. Jangan lupa..."
Kedua alis Maya terangkat, mengamati Masumi yang
melangkah semakin dekat.
"Jangan lupa apa, Pak Masumi?"
"Jangan
lupa kalau aku mencintaimu."
Mendengar pengakuan Masumi, Maya hanya mampu
tersipu-sipu saja. Mungkin sangking bahagianya, Maya tak bisa menggambarkannya
dengan kata-kata. Gadis itu mendekat dan memeluk Masumi erat. Dia juga sangat
mencintai pria itu.
Masumi balas memeluknya. Ah, andai saja bisa setiap saat
seperti ini, pikir Masumi.
"Uhmm.. Pak Masumi, apakah... apakah... kita
sekarang sudah jadi... uhm... pasangan?" tanya Maya dengan wajah merah
panas di dada Masumi.
"Pasangan? maksudmu... kekasih?" Masumi
balik bertanya, mengamati ubun-ubun Maya.
Maya mengangguk canggung.
"Aku... tidak bisa mengatakan begitu, ujar
Masumi.
"Eh? A-apa...?" Maya menatap Masumi kaget,
cemas. "Jadi, bagaimana... maksudnya?" Maya berusaha melepaskan
pelukannya dari Masumi.
Masumi malah memeluknya semakin erat.
"Maksudku, dari yang aku ingat... kita sudah
lebih dari itu, bukan? Kau kan... tunanganku. Calon istriku."
Maya terpana mendengar penjelasan Masumi. Jantungnya
yang sempat terasa berhenti, sekarang berdetak lebih cepat.
"Apa kau sudah lupa?" tanya Masumi lagi,
saat Maya masih tak berkata apa-apa.
gadis itu
menggeleng. "Tentu tidak, tunanganku..." jawabnya bahagia.
Masumi
lantas menggamit dagu Maya dan mengangkatnya perlahan, ia membungkuk,
menyentuhkan bibirnya ke bibir Maya, menciumnya mesra. Ciuman yang lembut dan
membuat Maya lemas seketika.
Tiba-tiba
balon di tangan Maya terlepas. "Ah, tidak! Balonnya!" seru Maya
spontan.
Sontak Masumi menggapaikan tangannya dan sedikit melompat mengejar ikatan balon
berjumlah pululahan itu. Untunglah, tinggi badan Masumi ada gunanya. Dia bisa
mendapatkannya lagi.
"Dapat!"
"Waa..." Maya senang sekali, matanya berbinar. "Pak Masumi
hebat!" kagumnya seraya bertepuk tangan.
Masumi
senang sekali mendapatkan pujian itu, dadanya membusung karena bangga.
"Coba
bilang sekali lagi," pinta Masumi.
"PAK
MASUMI HEBAT!!!" seru Maya.
"Kau
mendapatkan lagi balonmu," Sambil menyeringai lebar Masumi menyerahkan
balonnya kepada Maya yang menerimanya dengan senang. Masumi teringat lagi akan
sesuatu saat melihat jari manis Maya yang telanjang.
Pria itu tiba-tiba berlutut di hadapan Maya.
"Eh,
Pak Masumi! Apa yang kau lakukan??" Maya panik karena Masumi tiba-tiba
berlutut di jalanan seperti ini.
"Aku
lupa," pria itu merogoh ke dalam jasnya dan mengeluarkan tempat cincin
yang sudah maya hapal. Mata gadis itu membulat.
"Pak...
Masumi..." segera saja mata Maya berkaca-kaca.
"Kali
ini aku melakukannya dengan serius," ucap Masumi, dengan tatapan yang
membuat tubuh Maya bergeming tapi jantungnya semakin kencang berdebar.
Masumi menggenggam tangan Maya yang terasa gemetar,
sama gugup seperti dirinya.
"Maya, aku ingin memintamu menjadi calon
istriku, untuk saling mendampingi dan melalui kehidupan ini bersama. Aku ingin
kau menjadi satu-satunya wanita tempatku berbagi kasih, berbagi rindu dan pilu.
Dan aku ingin menjadi satu-satunya pria yang bisa membahagiakanmu, menjagamu,
menopangmu saat kau jatuh dan membangun keluarga bersamamu. Aku ingin menjadi
pria beruntung itu, yang bisa melihat senyuman di wajahmu setiap waktu. Maya Kitajima...
Menikahlah denganku."
Air mata Maya tak bisa bertahan lagi. Bulir-bulir
kebahagiaan itu mengaliri pipinya. Maya terisak, tak sanggup menjawab.
Dia sempat berpikir akan kehilangan pria di hadapannya
ini. Tetapi, sekarang dia kembali, mengucapkan kata-kata terindah yang pernah
didengarnya, melakukan sesuatu paling berarti yang pernah didapatkannya.
Maya mengangguk. Sekali, dua kali, berkali-kali.
Senyuman lebar menghias wajahnya. "A-aku... aku..." Maya tergagap.
"Aku..."
Masumi hanya mendongak menatapnya, bergeming dengan
senyuman di bibirnya. Dengan sabar dia menunggu Maya mengucapkan kata-kata itu.
Dihayatinya wajah Maya yang tak kuasa menahan bahagia.
"A-aku bersedia... menikah denganmu, Masumi
Hayami," jawab Maya akhirnya.
Masumi merasa sangaat lega. Tiba-tiba dadanya terasa
begitu kosong dan ringan. Hanya ada rasa bahagia karena Maya menerimanya.
Dia lantas memasangkan cincin dengan permata merah
jambu yang keterlaluan besarnya itu. Lantas dikecupnya punggung tangan Maya.
"Terima
kasih..." ucap Masumi dengan perasaan berbunga-bunga.
Pak Masumi...
calon suamiku... Maya memeluk pria itu erat-erat. Masumi balas memeluk
Maya dan mengangkat gadis itu saat dia berdiri.
"Kya!" Maya terpekik senang. Di tengah air
matanya, tawa Maya terdengar riang saat calon suaminya berputar-putar membawa
Maya dalam gendongannya.
Saat putarannya berhenti, keduanya masih tertawa.
Tawa mereka perlahan-lahan terhapus dari bibir keduanya, namun binar
kebahagiaan itu masih ada di wajah dan tatapan mereka. Maya menundukkan
wajahnya, menyentuhkan hidungnya kepada hidung mancung Masumi.
Gadis itu tertawa lagi tanpa suara, dan Masumi juga
tersenyum lebar. Keduanya kembali bertatapan penuh arti.
"Kapan kau akan menciumku?" tanya Masumi.
Maya tergelak kecil, lantas membenamkan bibirnya di
bibir Masumi yang menyambutnya hangat. Keduanya kembali terlibat dalam ciuman
yang panjang dan lama, hingga Maya tanpa sadar melepaskan genggamannya di
ikatan tali balon-balon di tangannya.
"Ah, balonnya!"
Tetapi baik Maya atau Masumi sudah tak bisa
menangkapnya.
"Yaah..." Maya tampak kecewa.
"Sudah, tidak apa-apa, nanti aku belikan
lagi," bujuk Masumi kepada gadis dalam gendongannya itu.
Maya menunduk lagi, membingkai wajah Masumi dengan kedua
telapaknya. "Benar yaa..."
Masumi mengangguk-angguk.
Maya kembali menundukkan wajahnya hendak mencium
Masum.
Namun tiba-tiba terdengar suara letusan yang
mengejutkan. "DAR!!"
Keduanya terlonjak, menoleh ke arah suara. Letusan
pertama disusul letusan-letusan lainnya. Ternyata balon-balon itu menyangkut di
sebuah pohon dan meletus satu per satu.
"DAR!! DOR!! DOR!!! DOR!! DORR!!"
Malam itu jadi sangat bising, dan Maya jadi panik.
"Ah, Pak Masumi! Ba-balonnya..."
Satu per satu jendela di sekitar mereka terbuka dan
kepala-kepala melongiok keluar, mencari tahu sumber keributan.
"Ada apa sih ini?"
"Kenapa ribut sekali??"
"Itu balon siapa!!?"
"Berisiiikkk!!"
"Hei! Kenapa ada yang meledakkan balon
malam-malam!!?"
Hardik orang-orang itu, termasuk Rei dan induk
semang Maya yang juga melongok dari jendela mereka.
"Maya! Apa yang terjadi? Itu balon-balon apa?"
seru Rei dari arah jendela.
Masumi menurunkan Maya dari gendongannya, dan
keduanya tampak salah tingkah. Wajah Maya sendiri merah padam.
Sekarang saat letusan balonnya terhenti, semua
perhatian orang-orang yang keluar dari pintu rumahnya dan melongok melalui
jendela itu tertuju pada mereka berdua.
"Pak Masumi..." desis Maya salah tingkah.
Masumi meraih tangan Maya dan mengangkatnya
tinggi-tinggi, memperlihatkan cincin tunangannya.
"Kami sudah bertunangan lagi!" Masumi
mengumumkan.
Cincin yang tersorot lampu jalan itu berkilau dan
bersinar sangat terang.
"UWOOOOHHHHH~!!!"
seru orang-orang itu takjub.
=//=
"Maya,
apa kau tahu kenapa aku memanggilmu?" tanya Kuronuma.
"Tidak
tahu, Pak!" jawab Maya dengan sumringah. "Uhm... Apakah ini karena
aku belum bisa menjadi Jean yang baik?"
"Itu
kau tahu!!" sembur Kuronuma. "Sebetulnya ada apa dengan dirimu!
Kemarin-kemarin murung terus! Sekarang cengengesan terus! Sumringah terus! Apa
kau tidak juga mengerti bahwa Jean tidak punya emosi dan hanya bisa
menggambarkan perasaannya hanya melalui lolongannya saja?"
"Aaauuu...Auuuu...!!EH!"
Maya membekap mulutnya. "Me, mengerti pak!"
"Tidak!
Kau tidak mengerti! Jika kau tidak bisa mengendalikan perasaanmu dan tidak
mampu menjadi Jean. Bilang saja! Aku akan-"
"Tidak
pak, bukan begitu! Maafkan saya! Saya ingin menjadi Jean. Saya akan berusaha
menjadi Jean!"
"Baik.
Aku hargai semangatmu, akan kupegang ucapanmu itu. Jika dalam minggu ini aku tak
melihat perkembanganmu, aku akan membatalkan pentas ini!"
"ja-jangan
Pak! Aku akan berusaha!"
"Dimarahi lagi ya?" tegur Sakurakoji.
Maya tertegun sejenak dan tersenyum pasrah lantas
mengangguk.
"Ada hal baik terjadi kepadamu?" tanya
Sakurakoji.
Tiba-tiba wajah Maya merona marah. Dia lalu
menggeleng-geleng. Sepertinya hati Maya seperti buku yang terbuka. Semua bisa
membacanya. Hhh... tapi kenapa Masumi baru menyadari belakangan kalau Maya sudah
jatuh cinta kepadanya ya?
Ah, sudahlah... Setidaknya, sekarang mereka sudah
saling mengakui perasaan masing-masing. Walaupun begitu, Maya tidak mengenakan
cincin tunangannya yang superwow itu. Dia takut rusak karena latihannya berat.
Lagipula, dia tidak tahu pasti apakah mereka harus mengumumkan lagi pertunangan
mereka atau bagaimana. Masumi tak mengatakan apa pun mengenai hal itu.
Tiba-tiba Maya jadi ingin menelepon Masumi. Dia
rindu sekali kepada tunangannya. Semalam saja, walau sudah diberi pesan jangan
lupa tidur, Maya jadi lupa caranya tidur. Dia terbangun hampir sepanjang malam
mengenang hari yang dihabiskan dengan Masumi, dan lamaran pria itu kepadanya.
Aaahhhh.... ternyata hidup ini sangat indah!
=//=
"Bagus sekali Matsuo, aku suka idemu!"
sahut Masumi dengan wajah berbinar saat seorang manajer mengemukakan ide
promosinya.
Rapat selesai dengan memuaskan.
Sepertinya, suasana hati Direktur Daito itu sedang
bagus. Dia sama sekali tidak marah-marah, tidak berwajah masam atau dingin,
tidak membentak dan wajahnya tampak berbinar-binar seperti 10 tahun lebih muda!
"Anda habis facial?" tanya Mazuki saat
keduanya berjalan menuju kantor Masumi.
"Facial?" Masumi mengangkat alisnya,
lantas menahan senyumnya. "Tidak. Kenapa memang?"
"Wajah Anda cerah sekali," jujur Mizuki.
"Oh, ini..." Masumi mengetuk-ngetuk
pipinya dengan telunjuk. "ini hasil es krim cokelat."
"Ha? Es Krim cokelat?"
Masumi terbahak-bahak masuk ke dalam kantornya.
Mizuki
mengerutkan alisnya curiga. Pasti ada apa-apanya dengan Maya!
"Aku baru saja memikirkanmu," ucap Masumi
saat Maya menghubunginya dari tempat latihan.
"Benar? Bohong ah," Maya tersenyum lebar.
"Benar. Malahan, aku selalu memikirkanmu.
Aku..."
"Rindu padamu," ucap keduanya bersamaan.
Lantas keduanya terkekeh dengan wajah memanas di
tempatnya masing-masing.
"Maya, apa ada wartawan datang ke tempat
latihanmu?" tanya Masumi.
"Uhm... hanya ada 1-2... tapi sudah diusir oleh
Pak Kuronuma. Aduh... aku bingung sekali, sepertinya aku masih payah dalam
memerankan Jean,” sesal Maya.
"Kau pasti bisa," Masumi memberikan
dukungan. "Aku sudah melihatmu sejak kau pertama kali naik panggung, jadi
aku yakin dengan kemampuanmu. Kau pasti bisa."
Maya terharu sekali mendengarnya. "Apa benar
kau berpikir seperti itu?"
"Tentu saja! Kapan kau gagal berperan? Jadi
Aldis yang sangat cantik saja kau bisa, berarti kau bisa jadi apa saja..."
Masumi meyakinkan.
"Apa kau yakin, Pak Masumi?"
"Tentu. Walaupun yang lain meragukanmu, aku
akan selalu yakin kepadamu."
Pak masumi... aku tak mengira kau sangat percaya
kepada kemampuanku.
"Terima kasih," ucap Maya dengan haru.
"Hei, kau terharu ya? Sepertinya akan
menangis..."
"Pak masumi...!! Jangan menggodaku
terus..." rajuk Maya.
"Lalu siapa yang harus kugoda? Mizuki?"
"JANGAN!!" hardik Maya.
Masumi lalu tertawa.
"Uhm Maya... mengenai pertunangan kita,"
Masumi kembali bicara sedikit serius."Sebaiknya, jika ada yang bertanya
mengenai hubungan kita, kau jawab saja tidak ada komentar, atau pergi saja,
jangan memberikan komentar apa-apa..."
"Oh, begitu?" Maya bertanya-tanya dengan
heran. "Memang kenapa? Uhm, aku hanya ingin tahu alasannya."
"Karena saat ini pentasmu lebih penting. Jika
kita mengatakan bahwa kita sudah bertunangan lagi, aku khawatir beritanya akan
lebih menarik perhatian dari pementasanmu atau festival seni. Kurasa itu bukan
hal yang menguntungkan untuk kita, akan sangat melelahkan dikejar-kejar
wartawan untuk hal yang sama."
"Uh, ya, kau benar," Maya mengangguk.
"Saat ini hanya Rei yang tahu, ya... karena kejadian semalam."
"Baguslah, nanti sudah saatnya, kita bisa
mengumumkannya. Mungkin setelah kau selesai dengan pementasanmu?"
"Ya. Terima kasih Pak Masumi, aku akan berusaha
sebaik-baiknya."
"Ya, aku akan selalu mendukungm," ucap
Masumi. "Sekarang, aku ingin memelukmu."
Maya tertawa kecil. "Aku juga..." ucapnya
pelan.
"Kalau begitu, tutup matamu."
"Tutup... mata?"
"Ya, ayo, aku juga sedang melakukan hal yang
sama. Aku sedang membayangkan kau ada di depanku."
"Oh, ba-baiklah..." Maya memejamkan
matanya.
"Nah, sekarang bayangkan aku ada di hadapanmu.
Apa kau bisa melihatku."
Maya memejamkan matanya dan mulai membayangkan
Masumi. Gadis itu tersenyum. "Ya, aku bisa melihat Pak Masumi."
"Nah, sekarang aku akan memelukmu. Apa kau bisa
merasakan tanganku yang memelukmu?"
Maya yang biasa mengandalkan imajinasinya untuk
berakting mersakan jantungnya berdebar sangat keras. Karena, entah bagaimana,
dia bisa dengan kelas merasakan lengan kukuh kekasihnya melingkar di pinggang
dan punggungnya. Maya ingat sekali rasanya dipeluk seorang Masumi Hayami.
Hangat, nyaman, tenteram. Dada bidangnya di pipi
Maya, desahan napasnya di ubun-ubun Maya, debaran jantungnya, kehangatannya.
Pak Masumi... genggaman tangan Maya mengerat di
telepon. Dia benar-benar bisa merasakan dipeluk Masumi!
"Rambutmu wangi sekali," puji Masumi di
telepon.
Maya mengulum senyumnya, membayangkan pria itu
benar-benar mengatakannya. "Aku suka aroma parfummu," aku Maya.
Masumi juga tersenyum mendengar pujian tunangannya.
Ia snagat bahagia dan tak sabar bertemu dengannya lagi.
"Aku mencintaimu..." ucap Masumi.
"Aku juga... mencintaimu..." timpal Maya
malu-malu.
"Sampai jumpa, calon isteriku..."
"Sa-sampai jumpa."
Maya membuka matanya dan menutup teleponnya.
Wajahnya mengahangat. Dia ingin dipeluk Masumi dengan sebenarnya. Kapan dia bisa
bertemu lagi dengan pria itu?
"Jadi... ceritanya Anda sedang memeluk
Maya?" tembak Mizuki kepada Masumi yang melingkarkan tangan seperti
memeluk seseorang sambil memejamkan mata.
Masumi terlonjak dan membuka matanya. Ia buru-buru
menutup telepon dan menurunkan tangannya. "Siapa yang menyuruhmu masuk!"
bentaknya kepada Mizuki.
"Wah..."Mata
Mizuki membulat dari balik kaca matanya. Baru kali ini Masumi marah lagi hari
ini. "Apa sekarang saya sebaiknya membelikan es krim cokelat, Pak
Masumi?"
Masumi hanya mendelik menahan marah—sekaligus malu.
Mizuki membawakannya kopi beserta dokumen-dokumen yang dia butuhkan.
Masumi masih tak bicara. Mungkin ngambek.
“Ada lagi yang Anda butuhkan?” pertanyaan rutin
Mizuki.
“Tidak. Keluarlah,” perintah Masumi gusar.
Dan Mizuki keluar dengan menahan senyum.
“HAduuuuhhh…” Masumi menutup wajahnya dengan kedua
tangannya. Tak pernah dia semalu ini kepada siapa pun. Sepertinya mulai
sekarang, apa dia harus mengunci pintu kantornya?
=//=
Pak Masumi sedang apa ya… Maya berpikir sambil
menggoyang-goyangkan ayunannya. Sepanjang hari dia mengingat kekasihnya itu.
walaupun sempat dimarahi oleh Pak Kuronuma, tetapi Maya tidak terlalu sedih.
Andai saja aku bisa bertemu lagi dengan Pak Masumi…
senangnya… Kapan ya kira-kira aku bisa bertemu dengannya lagi?
Tiba-tiba sebuah tangan muncul di hadapan Maya.
“Kya!” spontan Maya terpekik.
“Untukmu, Nona…” sebuah suara menentramkan yang Maya
kenal terdengar.
Maya menatap tangan maskulin yang menggenggam tali
di hadapannya. Ia mendongak, mendapati ada banyak balon yang dibawa tangan itu.
Wajah Maya langsung berseri, dan menoleh cepat.
“Pak Masumi!” sambutnya.
“Hei, Nona, sendirian saja.” goda Direktur Daito
itu.
Maya tergelak kecil dan menerima ikatan balon-balon
dari Masumi. “Banyak sekali…” ia menengadah dan melihat warna-warni balon yang
menghias angkasa, lantas kembali menatap Masumi. “Terima kasih, ya…” ucapnya
dengan pipi merona.
Masumi berputar dan duduk di sampingnya.
“Sedang memikirkan aku?” tanyanya.
Maya tertawa lagi. “Bukaaaaannn aku memikirkan
sandiwaraku,” pungkirnya.
“Oh, ya? Tapi wajahmu merah begitu. Kau kan tidak
bisa bohong,” Masumi mencubit pipi calon istrinya dengan gemas.
Maya hanya tertawa lagi karena tak bisa berkilah.
Yang pasti Masumi bisa melihat suasana hati gadis itu sedang bagus karena dia
tertawa terus sedari tadi. Memang. Semua itu berkat kedatangan Masumi.
“Jadi, bagaimana perkembangan pentasmu?” tanya
Masumi.
“Masih ada satu sisi Jean yang aku tidak mengerti,”
ujar Maya, kali ini sedikit sendu. “Padahal hanya tinggal beberapa minggu lagi saja.”
“Kau masih punya waktu.” Masumi meraih kepala gadis
itu dan sedikit mengacak poninya. “Biasanya kau selalu menemukan jalan untuk
melakukan yang terbaik pada akhirnya,” Masumi tersenyum.
Maya bisa merasakan hatinya lebih tenteram dan
bahagia. Perkataan Masumi begitu berdampak untuk kepercayaan dirinya. Mungkin,
sama seperti dukungan yang diberikan Mawar Ungu, bahkan lebih.
“Terima kasih ya…” ucap Maya sambil tersenyum
hangat. “Aku akan melakukan yang terbaik,” tekadnya.
“Aku tahu,” Masumi mengimbuh lembut. “Aku yakin kau
akan memerankannya dengan luar biasa dan nanti, bersaing dengan Ayumi untuk
peran Bidadari Merah. Lalu…”
“Lalu?” Maya mengamati wajah yakin tunangannya.
“Lalu, kau akan mendapatkan peran itu. Kau harus
mendapatkannya!” tegas Masumi penuh tekad.
Maya mengamati Masumi dengan tatapan terkejut. Ia
tak mengira Masumi begitu mendukungnya mendapatkan peran itu.
“Kau sungguh-sungguh yakin aku bisa mendapatkannya?”
Masumi mengangguk pasti. “Ya. Kau harus
mendapatkannya Maya. Karena aku ingin sekali melihatmu memerankannya.” Pria itu
mengusap wajah Maya dengan telapaknya yang kukuh.
Mata Maya langsung berkaca-kaca diberikan keyakinan
seperti itu. Ia menangkup telapak Masumi di pipinya. “Te-terima kasih,” ucapnya
tercekat. “Kau membuatku terharu saja…” keluhnya pelan.
Masumi tertawa. “Senangnya bisa membuatmu terharu.”
Ibu jari pria itu mengusap-usap pelan pipi Maya.
Tatapan keduanya kembali saling memasung.
Seakan-akan ada magnet, Maya dan Masumi mencondongkan tubuh mereka kepada satu
sama lain. Debaran jantung keduanya semakin kerap saat jarak diantara satu
samalain kian berkurang.
“Aku akan menciummu,” Masumi berkata tenang.
Maya melirih. “Jangan…”
Tapi toh Masumi tak menghiraukan. Ia tetap
melaksanakan niatnya. Dan akhirnya bibir mereka bertemu. Menyatu.
Wajah Maya terasa panas dan semerah tomat. Mereka
saling bertatapan malu-malu. Rasanya selalu indah setiap kali mereka berciuman.
Padahal, sudah bukan ciuman pertama lagi. Tetap saja debaran-debaran yang sama
selalu menghampiri mereka. Malahan, semakin lama semakin mendebarkan.
Masumi menarik tangannya dari wajah Maya yang
sama-sama canggung sepertinya.
“Aku besok sudah mulai sibuk lagi,” terang Masumi
sedikit murung.
“Sibuk ke mana? Nyari yang baru?” interogasi Maya.
Masumi tertegun lantas terbahak. Speertinya Maya
akan jadi istri yang posesif. “Ya… kau tahu saja.”
“Pak Masumi!” merajuk, Maya memukul lengan pejal
Masumi.
“Hahaha… mencari talenta baru,” terang masumi. “Sambil
melihat latihan beberapa teater yang sudah terdaftar di festival seni nanti.
Mungkin aku akan berkeliling ke sana kemari beberapa hari ini hingga festival
seni dimulai. Apalagi jika nanti sudah mulai pentas perdana,” paparnya.
“Pak Masumi nanti datang ya ke pentas perdanaku,”
Maya meminta dengan matanya.
“Ya, aku pasti datang. Kau kan sudah janji mengundangku…”
“Tentu saja! Akan kuberikan kursi terbaik!” tandas
Maya.
“Maka aku akan datang.”
“Janji ya!!?”
“Iya!”
“Walaupun hujan!?”
“Walaupun badai menghadang, aku akan datang!” Masumi
mendekatkan wajahnya kepada Maya.
Maya tergelak puas. Tidak yakin. Tetapi perkataan
Masumi sudah cukup membuatnya senang.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Maya pernah berjanji
akan mengundang Masumi, juga Shiori.
Shiori…
Nama itu tak diungkit-ungkit keduanya. Tetapi,
sebetulnya bagaimana posisi Shiori diantara Maya dan Masumi?
“Ada apa?” tegur Masumi yang sudah hapal kalau Maya
sedang gelisah memikirkan sesuatu. “Dan jangan bilang tidak ada apa-apa…”
Maya yang tadinya hendak mengatakan tidak ada
apa-apa, akhirnya diam lagi sejenak. Lantas dengan terbata-bata melirih, “Uhm… No-nona
Shiori…”
Alis Masumi spontan berkedut. Dia memang enggan
membicarakan gadis itu.
“Ada apa dengannya?”
“Uhm…” Maya menoleh ragu kepada Masumi. “Kalian…
kemarin…”
“Tidak ada apa-apa,” Masumi menukas. “Sama sekali
tidak ada apa-apa,” terangnya. “Kami memang sempat membicarakan, masalah amanat
orang tua kita. Tetapi, yang kucintai itu kau. Kalau denganmu, aku tidak merasa
terpaksa sama sekali. Baik ada amanat itu atau tidak, aku ingin sekali kau
menjadi istriku.”
Dia bahkan menyusun berbagai rencana licik untuk
meyakinkan Maya bahwa mereka ‘berjodoh’.
“Pak Masumi…” Maya terdengar hendak menangis. “Pintar
sekali sih bicaranya…”
Masumi tersenyum lebar. Pria itu lantas berdiri, dan
menarik tangan Maya.
“Sekarang, bisa kabulkan yang sudah kuinginkan
sepanjang hari?”
“A-pa?”
Masumi menarik Maya dan memeluknya erat. “Ini.”
Maya terenyak sesaat dan balas memeluk Masumi.
Akhirnya, bukan hanya khayalan mereka semata. Ia bisa merasakan kenyamanan
pelukan Masumi yang hangat dan melenakan itu. Rasanya Maya bisa terus berada
dalam pelukan pria itu selamanya.
Selamanya…
=//=
Shiori mengamati salah satu kolom gosip di sebuah
tabloid hiburan. Hanya isu selewat tetapi cukup membuatnya kesal bukan main.
Kabar
burung mengatakan ada beberapa orang yang melihat pasangan yang mirip dengan
sepasang (mantan) kekasih yang sempat menghebohkan dunia hiburan dengan
pertunangan mendadak mereka yang juga kandas secara mendadak di tengah jalan.
Sepertinya pasangan berinisial MH, seorang pengusaha kaya, dan MK, seorang
aktris muda diam-diam terjalin kembali. Saksi mata mengatakan keduanya berjalan
sambil bergandengan tangan. “Mereka terlihat mesra, dan pakaian mereka kotor
berlumuran sesuatu, seperti es krim cokelat,” seorang saksi berkata. Yang
lainnya sempat melihat MK membawa balon yang sangat banyak yang dibelikan MH
untuknya. Walaupun demikian, masih banyak yang tidak yakin bahwa yang mereka
lihat memang MH dan MK, mengingat lokasi kencan yang tidak sesuai imej seorang
MH, juga melihat MH belepotan es krim cokelat dan membeli balon terasa seperti
hanya mimpi saja. “Mungkin hanya mirip saja, aku tidak yakin MH mau melakukan
semua itu,” imbuh saksi mata lainnya yang menyangsikan.
Shiori membacanya dengan geram. Mungkin, orang-orang
meragukan apakah yang mereka lihat itu memang Masumi dan Maya. Tetapi, Shiori
yakin itu memang mereka. Karena, dia punya foto keduanya saat kemarin
berkencan.
Shiori menatap foto di tangannya erat, penuh rasa
kesal. Foto itu ia dapatkan dari seseorang yang dia utus untuk menguntit
Masumi.
Ponselnya berbunyi. Ia membaca sebuah pesan.
“Buka emailmu.”
Shiori lantas membuka emailnya. Terdapat sebuah
email baru dengan beberapa file foto. Mata Shiori membuka lebar. Itu adalah
foto-foto yang terbaru. Masumi dan Maya di sebuah taman, di ayunan.
Berpelukan.
Berciuman.
Sebelah tangan gadis mungil itu menggenggam tali
balon gas yang sangat banyak.
Menyebalkaaan!! Rutuk Shiori
di depan komputernya.
Padahal, dia sudah hampir mendapatkan Masumi. Pria
itu harus menjelaskannya!!
Jadi, itu kenapa Masumi meminta waktu sebulan
sebelum menjawab? Dia masih mendekati Maya Kitajima.
“Aku tidak bisa kau singkirkan begitu saja, Masumi
Hayami. Kalau kau pikir aku menyerah begitu saja, berarti kau tidak mengenalku,”
ucap Shiori kepada foto di hadapannya.
Dengan gusar Shiori mematikan komputernya dan
beranjak dari kantornya. Saat dia keluar, di ruangan para staf tengah menghias
ruangan berita dengan pita dan balon.
“Ada apa?” tanya Shiori kepada salah satu staf.
“Itu, Nona, Ayame ulang tahun, kami sedang
menyiapkan pesta ulang tahun untuknya.”
Shiori memperhatikan balon-balon itu dengan kesal.
Ia beranjak mengambil gunting dan mendekati balon=balon tersebut yang
mengingatkannya kepada Maya dan Masumi.
Sejurus kemudian Shiori sudah meledakkan balon-balon
itu dengan emosi. Mengejutkan para staf kantor berita. Mereka bertanya-tanya,
ada masalah apa dengan wanita super cantik itu.
Shiori terengah sedikit saat dia sudah selesai
meledakkan balon-balon itu.
Dengan tenang ia meletakkan kembali gunting di
tempatnya.
“Jangan salah sangka, aku menghargai kesetiakawanan
kalian. Tetapi, aku tidak suka balon. Aku membencinya!” terang Shiori. “Sampaikan
ucapan selamat ulang tahunku untuk Ayame,” imbuhnya seraya melangkah pergi,
meninggalkan anak buahnya penuh tanda tanya.
=//=
Masumi mendengarkan pesan di telepon dari Maya saat
dia sedang rapat tadi.
“Pak
Masumi, maaf mengganggu kau yang sedang sibuk. Aku hanya ingin mengatakan..
bahwa aku akan pergi… beberaoa hari. Kau jangan khawatir, aku hanya perlu waktu
untuk mendalami peranku sebagai Jean gadis Serigala. Aku merasa, hanya dengan
menyingkir sejenak dari kehidupan kota ini, aku bisa menemukan jawabannya. Kau
jangan mengkhawatirkan aku, jaga dirimu baik-baik. Aku berjanji, Jean-ku tidak
akan mengecewakanmu. Sampai jumpa Pak Masumi. Aku mencintaimu… tunanganku…”
Masumi mengeratkan rahangnya dengan tegang. Maya
memang mengatakan jangan khawatir. Tetapi, tetap saja Masumi sangat khawatir.
“Dia itu… kenapa…” decaknya gusar, tak bisa
perpikir. Masumi berusaha menangkan diri, berusaha tidak resah.
Dia tidak tahu Maya pergi ke mana, dan mungkin saja
gadis itu juga tak tahu pasti kemana dia akan pergi. Tetapi, bagaimana pun,
Maya sangat mencintai akting, dan itu adalah salah satu hal paling penting
baginya. Masumi sangat mengerti itu. Mungkin memang inilah yang Maya butuhkan
agar dia bisa mengerti perannya. Saat ini, mau tidak mau Masumi hanya bisa
mengharapkan yang terbaik bagi gadis itu.
Jika dalam
tiga hari dia belum kembali, aku akan mencarinya!! Putus Masumi.
“Pak, mobil untuk ke teater Hikari sudah siap,”
terang Mizuki, menyebutkan tujuan lokasi latihan teater peserta festival seni
yang akan ditinjaunya.
“Baik, terima kasih Mizuki,” Masumi berusaha tidak
resah.
Maya…
segeralah kembali. Kuharap kau akan baik-baik saja. Tidak, aku tahu… kau akan
baik-baik saja!
Alangkah terkejutnya Masumi, saat dia masuk ke dalam
mobil dan menutup pintu, sudah ada seseorang di dalam mobilnya.
“Kau—“
“Pak Masumi,” Shiori tersenyum hangat dibuat-buat. “Ke
teater Hikari kan? Aku juga akan ikut ke sana. Sebagai perwakilan media patner.”
Masumi merasa risih tetapi tak begitu
menampakkannya. “Tidakkah kau membawa mobil sendiri?”
“Ya. tetapi saya juga ingin ada teman mengobrol. Kau
tidak keberatan kan? Orang tua kita dulu bersahabat, setidaknya, kau bisa
bersikap hangat kepadaku, putri sahabat ibumu?”
Masumi menghela napas malas. “Jalan,” perintahnya
kepada sopirnya.
Mobil melaju.
“Teater ini sepertinya menampilkan judul yang
menarik,” ujar Shiori membuka pembicaraan.
“Ya, kupikir juga begitu. Tetapi aktrisnya… kulihat
tidak ada yang menonjol. Yah, kita lihat saja latihannya hari ini.”
“Oh… tidak ada yang menonjol ya?” sindir Shiori. “Memangnya
siapa yang menonjol menurutmu, Pak Masumi? Maya Kitajima?”
Masumi terdiam. Tak mengira arah pembicaraan
berbelok ke sana.
“Maya aktris luar biasa,” puji Masumi, menatap
Shiori tanpa kedip.
Shiori sedikit terkejut dengan tatapan tajam Masumi
kepadanya. “Ya… mungkin, sebagai aktris, harus kuakui. Tetapi… sebagai calon
istri?”
Masumi tak melepaskan tatapannya dari Shiori. Ia
berusaha mencari tahu ke mana Shiori akan membawa pembicaraan ini.
“Katanya, Maya tak bisa menjahit, tak bisa memasak,
tak bisa berdandan.”
“Aku tak menilai seseorang adalah calon istri yang
pas untukku hanya karena dia tak bisa menjahit, memasak atau berdandan.”
“Dia juga tidak kuliah, tidak bisa bahasa Inggris
dan tidak mengerti bisnis!”
“Apa orang menikah menggunakan ijazah? Apa kami
mengobrol dengan bahasa Inggris? Apa rumah tangga itu ladang bisnis?” Masumi
balik bertanya.
“Dia tidak cocok untukmu! Dia… dia yatim piatu dan
tinggal di apartemen!”
“Aku juga sebenarnya yatim piatu, dan aku bisa
memberinya apartemen-ku!”
Shiori terkesiap dengan jawaban Masumi.
“Kau… kau bilang, kau meminta waktu sebulan untuk
memutuskan masalah kita! Ternyata kau
memanfaatkannya untuk mendekati Maya!?”
Masumi menelan ludahnya. “Aku tidak akan bohong
kepadamu. Kau layak mendapatkan kejujurannya. Sesungguhnya… aku memang
mencintai Maya, hanya gadis itu.”
Sopir Masumi pura-pura tak mendengarnya walaupun dia
sangat terkejut dengan pengakuan terang-terangan Masumi.
“Aku tak bisa memberimu harapan palsu. Saat aku
meminta waktu sebulan, kupikir akan berusaha mendekatinya, atau melupakannya
sama sekali. Aku hanya ingin melihat perkembangan pentas Maya, memastikan
pentasnya berjalan lancar dan pada saat itu, jika aku masih tak bisa melihat
masa depan dari hubungan kami setelah satu bulan ini, aku akan menyerah dan
menerima perjodohan denganmu.”
Shiori bergeming, kemarahan tampak di wajahnya namun
dia tak berkata apa-apa.
“Tetapi, aku tak mengira. Ternyata Maya juga…
memiliki perasaan yang sama denganku dan kami sepakat akan kembali bertunangan,”
terang Masumi.
Shiori menatap Masumi dengan geram, sakit hati.
“Jadi… maafkan aku, Shiori. Aku tak bisa menerima
perjodohan kita. Aku akan tetap bersama Maya, sampai kapan pun…”
Shiori tersenyum dengki. “Tidak usah terburu-buru,”
tukasnya. “Kau meminta waktu sebulan kan? Sekarang belum sebulan. Baru beberapa
hari. Jadi…”
“Keputusanku tidak akan berubah! Maya lah yang aku
pilih dan—“
“Kau yang meminta waktu sebulan, maka kuberikan
waktu sebulan!” Seru Shiori tiba-tiba. “Aku tak mau dengar jawabanmu sekarang!
Siapa yang tahu apa yang akan terjadi dalam sebulan itu? Mungkin kau berubah
pikiran? Atau Maya?” tatapan wanita itu menantang.
Masumi memicingkan matanya.
“Terserah,” suara maskulin Masumi terdengar tenang. “Mau
sekarang, atau sebulan, jawabannya sama saja. Pilihanku hanya Maya Kitajima
seorang. Dulu, sekarang, dan yang akan datang.”
Shiori menyandarkan punggungnya ke jok mobil empuk
Masumi.
Kita
lihat saja, Masumi Hayami…
=//=
Maya membaringkan tubuhnya yang lelah di tengah
dinginnya malam di hutan ini. Rasanya perjalanannya untuk melihat serigala
sangat panjang dan jauh. Dia bahkan sampai mendaki gunung tanpa persiapan apa
pun.
Maya terpaku, mengamati langit bertaburan bintang
malam ini. Tiba-tiba dia teringat saat Masumi mengajaknya ke planetarium.
Segera saja wajah pria itu membayang di langit malam. Haa… rasanya Maya jadi
sangat rindu kepada calon suaminya itu.
Wajah Maya mendadak memerah. Sebenarnya, apa yang
Maya inginkan adalah selalu bersama Masumi. Setidaknya, bertemu sekali setiap
hari dengannya. Tetapi mendalami perannya juga sangat penting. Pasti Masumi
juga bisa mengerti. Apalagi dia katanya mulai sibuk juga.
Kapan ya… mereka bisa bertemu lagi? Mungkin, bertemu
setiap hari… pasti menyenangkan sekali. Karena setiap bertemu, Masumi selalu
saja bisa menghibur dan menyemangatinya. Maya baru menyadari itu semua.
Ternyata bersama Masumi selalu menyenangkan. Dan dia sangat merindukannya malam
ini.
Aduuh… Pak Masumi kenapa wajahmu tak mau pergi…
rajuk Maya, merindu.
“PAK MASUMI HAYAMIII!!!” serunya di tengah hutan
itu. “AKU MERINDUKANMUUU!!!” pekik Maya.
Suara burung-burung dan hewan malam yang terkejut
dengan seru kerinduan Maya itu terdengar di beberapa pelosok hutan.
“Hhh…” Maya menghela napasnya.
Dia akan segera menguasai Jean dan kembali ke Tokyo
bertemu kekasihnya.
=//=
Ketua Dewan Seni memotong pita yang menandakan bahwa
festival seni sudah dibuka. Para hadirin bertepuk tangan, termasuk teater dan
penyelenggara Isadora. Tidak ada Maya atau para kru dan pemain Padang Liar yang
Terlupakan. Masumi merasa sedikit sedih karena hal itu. Karena kondisi
pementasannya, sandiwara Maya sudah diputuskan untuk tidak diikutsertakan dalam
festival secara resmi.
Oleh karena itu, diperlukan sesuatu yang luar biasa
agar pentas gadis itu dapat menarik perhatian umum dan terutama, juri festival
seni. Masumi memikirkan beberapa hal yang bisa dilakukannya untuk membantu
pentas itu mendapatkan perhatian. Bagaimana pun, ini kesempatan terakhir bagi
Maya mendapatkan penghargaan agar dapat bersaing dengan Ayumi untuk mendapatkan
peran Bidadari Merah.
Masumi mengangkat ponselnya.
“Ada apa?” Masumi bertanya pelan.
“Maya sudah kembali.” Suara Hijiri.
Masumi sangat lega. Kekhawatiran yang tiga hari ini
mengusik ketenangan hatinya mulai meringan. “Bagaimana keadaannya?”
“Uhm… saya tidak bisa bilang dia kembali dengan
utuh…”
“Hah!? Apa maksudmu…?” Masumi mengeratkan kepalan
tangannya resah.
“Yah… pakaiannya compang camping dan badannya kotor
sekali. Tetapi wajahnya tampak berseri-seri. Sepertinya, Maya sudah menemukan
apa yang dicarinya.”
“Hhh…” Masumi menghela napas lega. “Tolong kirimkan
yang biasa kepadanya,” pinta Masumi, mengatakan agar Hijiri mengirimkan mawar
ungu untuk gadis itu.
“Bisik-bisik begitu… sedang menggombali anak gadis
orang?” tegur Shiori saat Masumi menyudahi teleponnya.
Masumi segera berbalik dan memasang wajah kecut
kepada gadis yang suka ikut campur itu.
“Ada berita baik apa?” tanya Shiori lagi.
Sekeliling mereka mulai diam-diam bergosip melihat
kedekatan Masumi dan Shiori.
“Kau punya wartawan sendiri kan? Kenapa tidak
mencari tahu?” tanggap Masumi sinis.
Shiori mengangkat sebelah bahunya dan tersenyum
tanpa makna. Tetapi, ada yang aneh dari wanita itu. Bukan banyaknya makanan
yang ada di tangannya, tetapi tatapannya yang tampak mengambang. Apalagi, saat
Shiori berjalan mendekat ke Masumi, wanita itu tampak agak sempoyongan.
“Pak Masumi Hayami…” senyuman itu masih belum hilang
dari bibir Shiori. “Lagunya enak ya… dansa, yuk?” tawar Shiori, lantas ia
sedikit tersandung sempoyongan ke arah Masumi.
Masumi menahan lengan wanita itu yang sekarang
sangat dekat dengannya. Tatapan pria jangkung itu memasung. “Kau mabuk,”
dakwanya.
Shiori tertegun, mengedipkan matanya beberap saat
seaakn berusaha mengusir rasa berat di san. “Tidaaaak….” Caranya bicara jelas
semakin terlihat mabuk. Shiori tambah merapat kepada Masumi. “Dansa yuk…”
ajaknya lagi.
Kali ini tubuhnya sudah merapat kepada Masumi.
Masumi sangat terkejut dan rikuh dengan keadaannya.
Dengan cepat Masumi menjauhkan Shiori satu lengan darinya. “Kau sebaiknya
pulang.” Putusnya, menoleh ke sana kemari mencari asisten Shiori atau siapa pun
yang bisa membawa Shiori pergi dari sana.
Tetapi tak ada yang benar-benar Shiori kenal selain
Masumi. Pria itu berdecak gusar. Dan sejurus kemudian, Shiori sudah menumbuknya
lagi.
“Hei, Nona Shiori!” Masumi menahan pekikannya.
Shiori yang memejamkan matanya, dengan berat membuka
kelopaknya lagi, sedikit mendongak menatap Masumi masih dengan tatapan
mengambang. “Kau… tampan sekali… sungguh…” bisiknya, memuji.
Masumi hanya manusia biasa yang cukup tersanjung
jika ada sanjungan tulus seperti itu. menghempaskan satu helaan napas, Masumi
berusaha menopang tubuh Shiori dan menuntunnya keluar.
“Biar kuletakkan ini dulu,” Masumi meraih gelas dan
piring makanan di kedua tangan Shiori dan meletakkannya di atas nampan
pelayan-pelayan yang berseliweran di pesta pembukaan festival seni itu.
Masumi membawa Shiori ke mobil wanita itu agar
diantar pulang sebelum dia kembali bergabung dengan undangan pesta lainnya.
=//=
“I-iya, aku sudah kembali… Aku baik-baik saja, dan
sekarang aku sudah lebih mengerti mengenai Jean,” terang Maya saat Masumi
menghubunginya ke apartemen.
“Syukurlah, aku lega sekali mendengarnya.
Omong-omong, bisakah kau keluar sebentar?”
“Eh? Keluar sebentar?” Alis Maya berkerut. “Kenapa?”
“Karena aku ada di luar sekarang.”
“Ha?” Maya tertegun. “Di luar apartemenku?” tanya
Maya tak percaya. Jantungnya berdebar-debar.
“Ya.”
“Aaaaaa!!!” pekiknya riang.
“Maya! Ada apa!!!?” tanya si induk semang saat gadis
itu tiba-tiba berteriak.
“A-akh, t-tidak bu! Maafkan saya!” Maya membungkuk. “Terima
kasih sudah meminjamkan teleponnya ya!”
Maya cepat-cepat menutup teleponnya dan beranjak
keluar apartemennya.
Ternyata benar saja, pria tinggi itu menjulang dengan
gagahnya di pintu masuk apartemen Maya.
“Pak Masumi!” pekiknya lagi, senang.
Beberapa hari ini tak bertemu pria itu membuat rasa
rindunya tak tertahankan.
“Kau tidak bekerja?” tanya Maya.
“Sedang istirahat,” Masumi memperlihatkan jam tangan
mewah tag heuer-nya.
Masumi sendiri tahu Maya sedang tidak ada latihan
apa-apa hari ini.
“Apa aku boleh masuk?” Masumi memiringkan kepalanya
sedikit seperti memohon dengan main-main.
Maya tertawa kecil. Senang. Entahlah, hatinya
terlalu bahagia hingga dia bisa selalu tersenyum dan tertawa kapan saja tanpa
alasan.
“Masuklah,” Maya menarik tangan Masumi masuk ke
dalam gedung apartemennya.
“WALAH…” Mata Masumi melebar melihat apartemen Maya
sekarang penuh dengan balon. “Banyak sekali balonnya…”
“Kau pikir ini karena siapa?” Maya menoleh dan
memasang senyum lucu yang menggemaskan.
Ahh… Masumi rindu sekali melihat wajah ceria
tunangannya itu.
“Bukannya sudah berhari-hari? Seharusnya kan sudah
kempes…” Masumi duduk di sebuah zabuton.
“Iyah… kemarin baru saja aku beri gas lagi, Rei juga
sudah marah-marah karena apartemen kami jadi penuh balon begini,” aku Maya,
meraih sekaleng kopi dingin dari kulkas kecil di apartemen itu. “Ini saja ya?
Aku takut kau tidak suka kopi buatanku,” Maya memeletkan lidahnya sambil
meletakkan kopi itu di hadapan Masumi.
Masumi tersenyum lagi. “Terima kasih,” ucapnya,
dengan suara maskulin yang getarannya selalu terasa nyaman saat sampai di telinga
Maya.
“Uhm… Pak Masumi bawa apa?” tatapan Maya beralih
kepada kantong plastik yang Masumi bawa.
“Aku membawakan makan siang, karena aku belum makan
siang. Kau juga kan?”
“Oh, iya, terima kasih. Boleh kubuka?” Maya meraih
plastik itu.
“Tentu.”
“Waaah… Apa ini? Chicken cordon bleu!! Sepertinya
enak!” seru Maya dengan semamangat.
“Itu saaaangaaat enaak!” terang Masumi, membuat
binar di mata Maya semakin terang.
“Sebentar kuambilkan dulu piringnya,” Maya beranjak
lagi menuju rak piring sementara Masumi mengematinya tanpa bisa menahan
senyumnya.
Tiba-tiba sesuatu menarik perhatian Masumi. Maya
memang mengenakan cardigan di musim gugur ini sehingga Masumi tak bisa meliha
kulitnya. Tetapi, karena gadis itu memakai rok pendek, Masumi bisa melihat
sesuatu yang baru saja diperhatikannya.
“Ini kenapa?” tanya Masumi serius, menunjuk baretan
di betis Maya.
“Oh, ini…” wajah Maya agak malu. “Ini waktu di hutan
kemarin, tergores karang dan batang pohon,” terangnya.
“Mana lagi? Coba berbalik!” Masumi dengan cepat
memutar pinggang Maya, membuat gadis itu agak terkesiap dengan sikap Masumi
yang agak kasar.
“E-e… eh, uhm… Pak Masumi….” Suara Maya bergetar
saat ia merasakan Masumi mengusap-usap luka di kakinya itu. Maya jadi merasa
rikuh, dengan canggung dia kembali berbalik menghadap Masumi. “Pak Masumi… aku
tidak apa-apa kok, tidak apa-apa! Sudah tidak sakit…”Maya berusaha melepaskan
kakinya dari cengkeraman masumi.
Tetapi tindakan Masumi selanjutnya malah membuat
Maya semakin terkejut. Pria itu mengangkat rok Maya lebih tinggi.
“Apa di sini juga terluka?” tanya Masumi.
“Ikh!! Pak Masumi!!!” spontan Maya menahan roknya
dengan kedua tangannya agar tidak terangkat lebih tinggi.
Mata Masumi melebar melihat ada guratan di paha
tunangannya itu. “Ya ampun, lukanya panjang begini! Kau ini bagaimana… Kau itu
kan artis! Tubuh adalah modal dasarmu! Kau haru menjaga diri lebih baik…
Bagaimana bisa kau sampai membiarkan tubuhmu luka-luka begini, mana ada
memarnya lagi!” Masumi mengusap sebuah lebam di paha dekat lutut bagian dalam.
“Pak... Pak Masumi…!!” sergah Maya dengan suara
tertahan. Wajahnya sudah membara karena malu.
Masumi tertegun, dia mendongak dan mendapati wajah
Maya yang merah padam. Gadis itu menggigit sebelah tangannya dan membuang wajah
saat mereka bertemu pandang.
Masumi baru menyadari bahwa dia sudah membuat gadis
itu malu. Dan sekarang, dirinya juga. Cepat-cepat Masumi melepaskan tangannya
dari Maya. keduanya jadi kikuk.
Maya berusaha menenangkan jantungnya yang dag dig
dug tak keruan.
“Maaf ya, maaf, a-aku… hanya khawatir dengan
luka-lukamu…” ucap Masumi, melirik lagi ke arah kaki Maya.
Maya menelan ludahnya, tak bicara apa-apa dan
meletakkan piring di atas meja sambil duduk lagi di samping Masumi.
“Lukanya sudah mau sembuh kok,” Maya berkata lirih,
Kekuatannya masih belum kembali.
“Apa luka itu juga ada di tanganmu?” Masumi
mengamati cardigan Maya seakan-akan dia bisa melihat tembus pandang.
“Lagipula nanti aku kan memakai baju warna kulit,”
Maya tak menjawab pertanyaan Masumi yang terakhir.
Tahulah pria itu, bahwa luka itu tidak hanya ada di
kaki Maya.
“Kau harus lebih menjaga dirimu,” Masumi berkata
lembut penuh perhatian. “Aku sangat khawatir saat tak tahu apa yang kau
lakukan. Dan kembali dalam lebam-lebam seperti ini…” Masumi menghela napas
sedih. “Aku tak ingin sering-sering melihatmu begini. Semoga saja, ini yang
terakhir kali kau sampai luka-luka begini.”
Maya menunduk. Entah kenapa, walaupun dirinya yang
terluka, Maya malah merasa bersalah kepada Masumi karena sudah membuat pria itu
khawatir. Rasanya dia ingin menangis karena rasa bersalahnya. Ia tak tahu
Masumi demikian memperhatikannya.
“Lagipula… kalau baret-baret begini… Bidadari Merah
bisa ganti judul jadi bidadari obat merah.” Kali ini Masumi berujar geli.
Maya mendongak, menatap Masumi yang memasang wajah
jenaka. Gadis itu tak bisa menahan senyumnya dan tertawa kecil. Keduanya lalu
terkekeh.
Gerakan tangan Masumi selanjutnya yang membuat
senyum keduanya hilang. Pria itu menggenggam tangan Maya dengan hangat dan
erat. Maya tertegun, terjerat tatapan Masumi yang lekat.
“Aku tidak ingin sesuatu terjadi kepadamu.” Ucap pria
itu lirih, mendekatkan dirinya kepada Maya sementara jantung Maya semakin tak
terkendali. “Saat kau tidak ada, aku tak bisa berhenti mengkhawatirkan dan
memikirkanmu. Aku sangat merindukanmu…”
Maya menggigit bibirnya tipis, berusaha mengatur
napasnya yang mendadak agak sesak. “Pak Masumi… Aku… Aku juga… sangat
merindukanmu…” Diamatinya wajah tampan Masumi yang perlahan dan pasti semakin
dekat dengan wajahnya.
Lantas embusan napas pria itu di bibirnya, membuat
Maya tanpa sadar menahan napasnya sendiri. Dan gadis itu memejamkan mata, saat
kehangatan bibir Masumi, mulai terasa dan menular di bibirnya.
=//=
“Jaga dirimu baik-baik ya,” pesan Masumi saat dia
hendak pergi.
Maya mengangguk-angguk sambil mengulum senyum
malu-malu.
Masumi seidikit membungkukkan tubuhnya, menepuk pipi
dengan telunjuknya. Maya terkikik malu-malu dan mengecup ringan pipi pria itu.
Lalu dengan cepat Masumi balas mengecup pipi Maya dengan keras.
“Hihihihi…” Maya tergelak geli.
Ia melambaikan tangannya dan melepaskan Masumi
dengan tatapan penuh cinta. Ia akan merindukannya.
“Haaaa…” Maya menjatuhkan kepalanya ke sisi pintu
dan tatapannya penuh rindu.
Wajah Rei yang muncul tiba-tiba di hadapannya
membuat Maya terperanjat dan terpekik, “Kyaaaa!!!”
Rei ikut terpekik, “KYAAA!!!”
Maya mengusap dadanya, “Rei, kau membuatku kaget!!”
“Kau juga!” timpal Rei. “Sedang apa kau di ambang
pintu seperti ini?”
Maya gelagapan, berusaha menenangkan jantungnya yang
masih berdebar-debar.
Rei mengamati ekor mobil Masumi yang berlalu.
“OH… melamunkan tunanganmu si makhluk endapan
lumpur?”
“Dia bukan makhluk endapan lumpur!” tampik Maya
dengan wajah merah padam.
“Ya… aku hanya pernah mendengarnya dari seseorang,”
Rei terkekeh, melalui Maya naik anak tangga. Ia lantas menoleh lagi ke
bawah,melihat Maya sudah melamun lagi di ambang pintu. Ya ampun… gadis itu! “
Maya! Ayo cepat naik! Mau sampai kapan kau diam saja di sana?”
“Ah. Oh. Eh. Yaa… ya…” Maya beranjak keluar.
Rei menunggu dengan kedua alis terangkat, sebelum
tak berapa lama Maya kembali dengan wajah dengan lebih merah lagi.
“Ah, oh, eh… sa-salah ya… harusnya… ke dalam,…” ia
tampak kikuk sambil menutup pintu.
Rei hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Setelah apartemen mereka sempat dipenuhi boneka hewan berukuran raksasa, balon
warna warni yang tidak ada habisnya, cincin dengan batu permata yang superbesar
dan membuat semua orang jadi berniat jahat, sekarang Maya mulai kehilangan
akalnya. Hhh… belum menikah saja pasangan itu sudah membuat begitu banyak
kehebohan.
=//=
Masumi menerima telepon dari Hijiri.
“Saya sudah mengamankan semuanya. Saya pastikan
tidak ada media yang akan menurunkan berita seperti itu,” Hijiri meyakinkan.
“Terima kasih,” Masumi menutup teleponnya. Ia bisa
bernapas lega. Keberadaan wartawan di pembukaan festival semalam sedikit
mengkhawatirkannya akan beredar berita-berita mengenai pertunangannya dengan
Shiori sekali lagi.
Walaupun Masumi belum mengumumkan kembali masalah
pertunangannya dan Maya, karena hanya akan menjadi sensasi dan menenggelamkan
kabar mengenai festival seni dan tidak akan membuat orang mengakui kemampuan
akting Maya, tetapi membuat orang-orang berpikir dia memutuskan memilih Shiori
juga bukan keinginannya. Ia hanya ingin semua masalah pertunangan ini tidak
perlu diungkit-ungkit dahulu dalam waktu dekat.
Sampai Maya memiliki kesempatannya memperoleh
penghargaan.
=//=
“Jadi… sudah ada pihak yang membungkam media agar
tak mengeluarkan foto-foto kami?” tanya Shiori pada seseorang di telepon.
“Ya. Ada yang membelinya dengan harga mahal atau
menghapuskannya dengan paksa.”
Shiori cemberut sebal. “Lalu,bagaimana denganmu?”
“Tentu saja, aku masih memilikinya… Dengan angle
yang bagus.”
Bibir merah satin Shiori berkembang. “Aku memang
selalu bisa mengandalkanmu. Kirimkan padaku.”
“Email terkirim.”
Mata Shiori berbinar.
=//=
Maya mengusap peluh di dahinya dengan handuk. Tubuhnya
lelah sekali, tetapi dia sangat puas. Maya sudah bisa semakin mengerti Jean dan
belakangan, walau tak banyak bicara, Maya tahu Kuronuma sudah cukup puas dengan
penampilannya.
“Jeanmu hebat,” Koji memuji.
“Stewart, kau juga hebat…” Maya menyunggingkan
senyum lebarnya.
“Uhm… Maya, apa kau mau pergi menonton akhir pekan
nanti?” ajak Sakurakoji. “Yaa… sedikit santai setelah latihan yang keras
belakangan ini.”
“EH? Nonton?” Maya termangu sejenak memikirkan
apakah dia harus mengonfirmasi hal seperti ini kepada Masumi? Selain itu… “Kenapa
kau tidak mengajak Mai saja?”
Sakurakoji tampak kikuk sejenak. Mai sedang marah
karena melihat kedekatan Maya dan dirinya saat sedang berlatih. “Mai mungkin
tidak akan mau,” Sakurakoji berkata.
“Kenapa dia tidak mau?” Maya menatap polos.
Sakurakoji tampak berpikir bingung. “Ya… dia sedang
agak marah.”
“Wahh…” maya mendesah prihatin. “Kuharap kalian akan
kembali baik-baik saja.” gadis itu tersenyum menyemangati.
Sakurakoji menelan ludahnya. Sepertinya Maya sama
sekali tidak memikirkan perasaannya. Walaupun belakangan hubungan mereka
semakin baik, dan jelas Maya hanya memikirkan Sakurakoji sebagai teman. Tetapi rasa
sedih itu tidak juga hilang jika teringat Maya tak kunjung memberi harapan
kalau seandainya ada kemungkinan lain dari hubungan mereka.
Tetapi, setidaknya sekarang Maya tampak lebih
bersemangat dalam berarkting dan tidak selalu murung dan pendiam seperti
sebelumnya.
“Hei, kalian…” salah satu kru menghampiri maya dan
Sakurakoji. “Ini, ada undangan untuk premiere Isadora. Wah, beruntung sekali
kalian diundang ke pentas perdananya ya,” Kru itu nyengir iri.
Maya dan Sakurakoji saling berpandangan. Benar,
mereka hampir saja lupa dengan acara premier itu.
“Biar kuberikan kepada Pak Kuronuma,” Maya
menjulurkan tangannya.
“Ah, Maya, Nona itu menunggumu di luar, dia ingin
bicara denganmu. Tiket ini…” pria itu menatap Sakurakoji. “Apakah bisa kau yang
memberikannya?”
Sakurakoji mengamatinya dan mengangguk. “Ya, tentu.”
Ia meraih tiketnya dan berbalik masuk kembali menemui Kuronuma.
“Nona… itu?” Maya bergumam memikirkan siapa
kira-kira yang hendak menemuinya.
“Ya, wanita cantik yang… katanya dekat dengan Pak
Masumi,” gumamnya tak enak hati.
Maya langsung ingat Shiori. Benarkah wanita itu yang
datang? Ada apa gerangan dia datang ke tempat latihannya. Sedikit waswas maya
melangkah menemui tamunya.
“Ada yang bisa kubantu?” tanya Maya saat ia melihat
Shiori. Ternyata benar wanita itu yang datang.
“Halo, Maya… aku ingin bicara denganmu. Hal yang
penting. Bisa ikut denganku?”
Maya menatap ragu. “Aku tidak bisa menolak kan?”
Shiori tergelak. “Tentu saja tidak. Kalau kau tidak
mendengarkanku, kau akan benar-benar terluka nanti. Maksudku… hatimu,” Shiori
tersenyum dibuat-buat.
=//=
Keduanya bicara di sebuah restoran Jepang, di
ruangan private berdua saja.
“Ada apa?” tanya Maya lagi, agak tajam karena sejak
tadi dia sudah merasa resah dengan kedatangan Shiori.
“Maya, langsung saja ya. Dan tolong jangan anggap
perkataanku karena aku membencimu, tetapi… karena aku peduli kepadamu, aku tidak
ingin kau terluka.” Shiori simpati dibuat-buat.
“Sebetulnya ada apa?” Maya waswas, jantungnya
berdebar keras.
“Aku hanya ingin mengatakan, Masumi sudah berjanji,
sebulan lagi kami bertunangan,” Shiori meyakinkan dan tersenyum penuh muslihat.
Maya membeku. Sejenak ia bahkan lupa bernapas.
Lantas alis Maya berkedut, emosional. Maya berusaha mengatur napasnya.
“Sepertinya kau sangat terkejut. Tidak mengira
dengan apa yang kukatakan?”
“Bo-bohong,” Maya kalah, suaranya gemetar. “Nona
Shiori, kenapa kau mengatakan kebohongan bahwa—“
“Bohong? Aku?” Shiori menepuk dadanya sendiri. “Tidak,
tidak…” ia menggeleng dramatis. “Kau salah! Aku ke sini dengan niat baik.
Kudengar ada desas desus kau dan masumi pergi ke taman bermain bersama. Yaaa aku
hanya ingin mengingatkan, kau jangan…. Terlena. Jangan terlalu banyak berharap
dengan apa yang Masumi lakukan.”
“Ta-tapi!” Maya tercekat. Tapi, Masumi sudah
melamarnya lagi.
“Masumi bilang, dia sekarang sedang sibuk masalah
festival seni. Ya… aku juga. Nah, nanti, barulah kami bertunangan setelah semua
masalah festival ini selesai. Memangnya… dia belum bilang?”
Maya merasakan matanya memanas dan sepertinya
sebentar lagi lara itu akan mengalir dari dari sana. Maya menggeleng.
“Oh… sayang sekali. Tetapi, kupikir kau juga tidak
berharap banyak dengan hubungan kalian kan? Terakhir kali kau yang meminta
pertunangan diputuskan?”
Benar. Itu sebelum dia tahu Masumi menyukainya juga.
Atau… mengaku menyukainya.
Maya menelan ludahnya pahit. “Nona Shiori, aku tidak
tahu harus berkata apa. Yang pasti…”
“Baiklah, baiklah, berputar-putar malah akan
membuatmu bingung ya? aku hanya akan bertanya. Bagaimana tanggapanmu tentang
perkataanku bahwa aku dan Masumi akan bertunangan?”
Maya masih tampak kalut. Dia membuka mulutny dan
bertanya ragu. “Apa… Pak Masumi benar-benar mengatakannya? Dan… alasan dia
ingin bertunangan denganmu—“
“Tentu saja karena kami cocok, bukan? Selama ini
kami selalu bersama meninjau beberapa teater, membicarakan banyak hal. Yaa…
pendekatan sebelum mengumumkan kedekatan kami ini. Tetapi, aku malah mendapat
kabar mengganggu kalau kau dan Pak Masumi katanya berduaan di taman bermain.
Cis, konyol sekali…” bibirnya tersenyum sinis.
Sekali lagi Maya menelan ludahnya dengan getir. Itu
sama sekali bukan kebohongan. Mereka memang berkencan ke taman bermain dan… dan
saling menyatakan cinta. Maya tak bisa menahan perasaannya yang terluka lagi
jika teringat Masumi sudah membohonginya telak. Pantas saja Masumi tak ingin
pertunangan mereka segera diumumkan, ternyata itu alasannya sebenarnya? Bukan
karena Masumi memikirkan masalah pentasnya ataupun masalah kemampuan Maya yang
khawatir tidak diakui.
Tapi… Tapi….
Maya ingat bagaimana pria itu memandangnya,
memeluknya, menciumnya, tersenyum kepadanya. Sentuhan lembutnya, perhatiannya…
Apakah semua itu juga bohong? Tetapi, buat apa?
Untuk apa Masumi berbohong pura-pura mencintainya? Dia bukan gadis kaya, atau
superstar saat ini. Tidak ada keuntungan yang Masumi dapatkan dari pura-pura
mencintainya dan mengajak bertunangan lagi.
Maya menatap nanar kepada Shiori.
Atau…. Wanita ini yang bohong?
Benar. Tidak ada bukti bahwa Masumi sudah menipunya.
“Pak Masumi… dia… dia…” suaranya masih bergetar.
Maya berusaha tampak yakin. “Pak Masumi mengatakan, dia ingin kembali
bertunangan denganku.”
Rahang Shiori menegang. Ternyata, benar. Masumi
sudah meminta Maya jadi tunangannya lagi. Wanita itu merutuk dalam hatinya.
“Hahahahaha….” Shiori tertawa keras, membuat Maya
bengong karena terkejut. “Maya… Maya… kau memang benar-benar polos.” Shiori
menggeleng-gelengkan kepalanya, pura-pura merasa lucu.
Tentu dia tak datang jauh-jauh di tengah
kesibukannya tanpa rencana.
“Baiklah. Karena itu kukatakan kepadamu, aku datang
dengan niat baik, untuk membantumu agar kau tidak terpedaya. Aku berharap kau
mau mundur teratur dan tak membuat hal-hal yang dramatis dan mempermalukan diri
sendiri.”
“Nona Shiori, apa sih… maksudmu?” Maya mengerutkan
alisnya kecewa.
“Bisakah kau jawab, jika Masumi benar-benar
mencintaimu. Apa yang dia cintai darimu?” Shiori mendelik dari sudut matanya.
Maya membisu. Tak bisa segera menjawab.
Apa yang Masumi cintai darinya?
Apa?
Apa?
Maya benar-benar tidak tahu. Dan, Masumi tak pernah
mengatakannya. Dia hanya bilang… mencintai Maya.
Tetapi… apakah karena kecantikannya? Kepintarannya?
Kekayaannya? Kepribadiannya? Bahkan kutu saja tahu bukan itu jawabannya.
Jadi apa?
“Kau tidak bisa menjawabnya kan? Apalagi, kau dulu
juga selalu berbuat kasar kepadanya. Apa kau yakin? Benar-benar yakin, Masumi
mencintai dan memilihmu tanpa maksud?”
Maya menatap penuh kecam “Maksud?”
“Ya. Tentu. Aku tahu kau gadis yang jujur. Kau pasti
tidak mengarang saat mengatakan Masumi mengajakmu kembali bertunangan. Tetapi,
kita sepakat bahwa kau tidak punya sesuatu yang bisa membuat Masumi
tergila-gila dan mau menikahimu kan?”
Maya tak menjawab, hanya sanggup merasa sakit.
“Tetapi, aku tahu alasan apa Masumi mau berdusta
mengatakan apa yang dikatakannya kepadamu. Karena, kau memiliki apa yang dia
inginkan.”
“A-aku… memiliki apa yang dia inginkan?” desis Maya.
“Ya. Bidadari Merah.”
“Bida…” Maya tertegun lantas menggelengkan
kepalanya. “Tidak-tidak! Aku tidak memiliki Bidadari Merah!”
“Mungkin belum?” alis Shiori terangkat. “Tetapi, kau
sepertinya tidak tahu dengan obsesi Masumi terhadap Bidadari Merah?”
Maya tercenung. Dia jelas tahu. DIa ingat suatu hari
Masumi pernah memaksa bu Mayuko menyerahkan Bidadari Merah kepadanya. Hati Maya
mencelos karena itu.
“Bisa dikatakan, Masumi… terobsesi kepada Bidadari
Merah. Saat ini, kandidatnya adalah Ayumi, bukan? Tetapi… kau juga masih
memiliki kesempatan untuk menjadi calon Bidadari Merah, jika kau berhasil memanfaatkan
peluang untuk mendapatkan penghargaan, kemungkinan kau menjadi calon Bidadari
Merah juga tetap ada, bukan?”
“Apa kaitannya itu semua dengan masalah
pertunanganku dan Pak Masumi!?”
“Kau lupa. Masumi akan melakukan apa saja untuk
mendapatkan tujuannya? Ya. Apa saja, termasuk pura-pura mencintaimu jika itu
bisa membuatnya mendapatkan Bidadari Merah.”
“A-apa?”
“Kau tahu, Ayumi adalah aktris Daito. Jika dia
terpilih, dia jelas tanpa banyak masalah menunjuk Daito sebagai penyelenggara
Bidadari Merah. Tetapi kau? Kau sama sekali tidak menguntungkan jika
mendapatkan Bidadari Merah. Bisa-bisa Masumi sama sekali tak punya kesempatan
mementaskannya. Kecuali…” Shiori tersenyum licik. “Kecuali, kalau dia bisa
meluluhkan hatimu dan meyakinkanmu untuk menyerahkan Bidadari merah karena… dia
tunanganmu…”
Maya terasa disambar petir mendengar itu semua. Jadi…
jadi itu alasannya Masumi bersikap manis? Masumi, melakukan banyak hal
kepdanya? Merayunya? Menyatakan cintanya? Tangan Maya gemetar, dan kali ini air
mata mulai mengalir.
“Ah… Maya… jangan menangis! Kau tahu maksudku baik.
Aku tak ingin kau dibohongi lebih jauh dan terluka lebih dalam…” Shiori
pura-pura simpati.
“Tapi… tapi… aku bahkan belum memiliki Bidadari
Merah. Bahkan, mungkin saja aku tidak akan pernah mendapatkan kesempatannya
sama sekali…”
“Karena itu kukatakan, Masumi meminta waktu sebulan
dariku. Mungkin, dia mengatakan hal yang sama? Kurasa… dia mempertimbangkan.
Jika seandainya kau tidak ada harapan menjadi Bidadari Merah.. yah..” shiori
mengangkat bahunya. “Dia memilihku. Dan jika kau ternyata memikat juri festival
seni dan punya kesempatan mendapat penghargaan, yang membawamu pada kemungkinan
mendapatkan Bidadari merah. Bisa jadi, Masumi benar-benar akan bertunangan
denganmu. Yah… Maya, kita ini hanya dua wanita yang sedang dia permainkan,
dijadikan ajang taruhan.”
Kesedihan maya bercampur rasa geram dan marah. Ia
tidak mengira Masumi serendah itu. Tidak! Dia yang bodoh! Jelas Masumi akan
melakukan apa saja agar keinginannya tercapai. Tentu! Maya sudah lama
mengenalnya. Maya tahu siapa itu Masumi Hayami dari Daito!
“Maya… jujur kukatakan, aku tak pernah jatuh cinta
kepada siapa pun, hanya kepada Masumi. Dan… aku yakin, dia juga sebetulnya,
lebih memilihku, karena itu yang dia katakan. Dia akan menjadi tunanganku dalam
sebulan! Hanya saja, aku baru sadar, dia sedang berdiri di dua perahu. Jika…
kau punya peluang mendapatkan Bidadari Merah, kurasa dia akan meninggalkanku
untukmu, dan aku… aku… Srooott Sroott!!!” Shiori mengeluarkan sapu tangan dan
pura-pura terluka.
“Tetapi… apa
pun alasannya, walaupun sekarang dia menggantung perasaanku seperti ini. AKu
tak akan bisa menolak kehadirannya di sisiku. Aku sangat mencintainya dan tak
berdaya jika dia mempermainkan pererasaanku seperti ini. Aku akan tetap
menunggunya. Tetapi… kau, Maya… Apa kau, juga mau menjadi bahan taruhan Masumi?
Bahwa dia, hanya mengejarmu untuk mendapatkan kesempatan mengambil Bidadari
Merah?”
Tangan dan kaki Maya terasa semakin lemas. Hatinya
sudah terluka begitu dalam.
Masumi Hayami.
Tega sekali kau melakukan semua ini kepadaku!!
“Tidak…” Maya menggeleng, gemetar hebat dan mulai
meneteskan airmata. “Aku…” Dia mengangkat wajahnya menatap Shiori. “Aku… Tidak…”
Maya tak sanggup bicara untuk beberapa lama. “Aku tidak akan mengganggu kalian!”
tandasnya.
Maya berdiri, membungkuk dan keluar dari sana tanpa
berkata apa-apa karena airmatanya sudah menguras semua kata-kata Maya.
Shiori mengusap air matanya dengan gaya dibuat-buat.
“Haa… kurasa aku juga harus mulai terjun ke dunia
sandiwara,” cetusnya sambil memasukkan sapu tangan ke dalam tasnya.
=//=
=//=
“MASUMI HAYAMI!!!” Maya melabrak pintu kantor
Masumi.
Direktur Daito yang tengah menekuri dokumennya itu
terperanjat. Ia tak mengira Maya datang ke kantornya. Lebih tak mengira lagi
melihat dada gadis itu naik turun penuh amarah dengan mata menatapnya nanar.
Masumi beranjak berdiri. “Maya?”
Gadis itu berhambur mendekat, lantas melemparkan
sesuatu kepada Masumi. “Ambil itu!! Aku benci kau!!”
Masumi merasakan sesuatu membentur dadanya. Ia
menangkapnya dan mendapati cincin tunangan Maya dalam genggamannya sekarang.
“Apa ini?” desisnya kalut.
Maya mendegus sebal. “Jangan temui aku lagi!!”
serunya dengan marah dan berbalik hendak pergi lagi.
“Maya! Maya! tunggu!!” Masumi dengan langkahnya yang
panjang menghampiri Maya. “BRAK!!” dia berhasil menutup pintu keluar.
Maya terlonjak, mendongak. “BUKA!!”
“TIDAK!!”
“BUKA!!!”
“TIDAK!!” suara Masumi semakin menggelegar.
“BUKAAAAAAA!!!!” teriak Maya sambil menjinjitkan
kakinya.
“TIDAAAAAAAAKKK!!!” balas Masumi, memelototkan
matanya. “Kau pikir kau bisa datang begitu saja, melemparku dengan cincin dan
pergi dari sini!?”
Maya membuang mukanya. Muak.
Masumi menggenggam bahu gadis itu erat, “Jelaskan
padaku, apa maksudmu tiba-tiba melemparkan cincin tunangan ini dan hendak pergi
begitu saja!?”
“Semuanya sudah sangat jelas! Pertunangan kita
putus!”
Masumi bagaikan dihantam petir mendengarnya. Ia
mengeratkan genggaman tangannya di bahu Maya hingga gadis itu kesakitan.
“Le-lepaaass…” Maya berusaha membebaskan diri dari
cengkeraman masumi yang sangat kuat. “Sakiiitt… lepasss!!”
“Dan kau pikir aku tidak merasa sakit mendengar
ucapanmu??” suara Masumi bergetar getir.
Maya mengeratkan rahangnya, juga gemetar. Ia menatap
Masumi nyalang. “Tidak usah pura-pura, Masumi Hayami…” mata gadis itu
berkaca-kaca.
Alis Masumi bertaut kalut. “Berpura-pura?
Berpura-pura apa?” desisnya, mendekatkan wajahnya kepada Maya. “Bisakah kau
bicara dengan jelas dan jangan memutar-mutar membuatku bingung!!?”
“Aku sudah bicara sangat jelas! Aku ingin pertunangan
kita diakhiri! Sudah! Selesai! Menjauh dari hidupku dan biarkan aku pergi!!”
“Tidak bisa! TIDAK-BI-SA!! Apa alasan dari
permintaanmu yang tiba-tiba itu!!?”
“Alasan?? Bukankah semua sudah jelas? Aku sudah tahu
maksud tersembunyi darimu! Pantas saja kau memaksa ingin bertunangan, ternyata
kau punya niat jahat!! Dasar busuk!”
Hidung Masumi mengembang menahan amarahnya. Dan juga
sakit hati.
“Niat busuk? Maksud tersembunyi? Apa maksudmu?”
“Kau tahu apa maksudku!” Mata Maya berkaca-kaca, air
matanya sudah tak terbendung.
“Tidak. Aku tidak tahu! Kau yang katakan, apa maksud
tersembunyi dan niat busukku yang membuatmu ingin memutuskan pertunangan kita?”
cengkeraman tangan Masumi melonggar namun tatapan tajamnya masih ketat
menyandera pandangan Maya.
“Ka-kau… mempermainkanku… Kau punya niat busuk
dengan pura-pura mengajakku bertunangan. Kau sebenarnya, hanya ingin
mengamankan peluang untuk mendapatkan Bidadari Merah kan?”
Masumi terenyak. “Bida… dari… merah…”
“Ya! Hanya itu yang mungkin kau inginkan dariku.
Sekarang, semuanya jadi masuk akal bagiku. Pantas saja, kau… begitu mudah
melakukan semua kebaikan itu untukku, pura-pura bermulut manis dan
memperlakukanku seakan-akan aku ini istimewa. Ternyata… kau hanya memanfaatkanku.
Hanya ingin kesempatan merebut Bidadari Merah. Pasti… jika aku akhirnya tidak
memiliki kesempatan bersaing menjadi Bidadari MErah dengan Ayumi, kau akan
mencampakkanku kan?” tuduh Maya.
“Kau ini bicara apa…” desisan Masumi mengandung
amarah dan rasa sakit. “Bagaimana bisa kau berpikir aku akan menjadikan amanat
orang tua kita dan mempermainkan perasaanmu hanya untuk Bidadari Merah…”
“Tapi iya kan? Benar kan!!? Aku tahu benar bagaimana
kau sangat menginginkan Bidadari Merah dan akan melakukan apa saja untuk
mendapatkannya! Aku pernah mendengarmu mengatakan hal itu!”
“Apa kaitan ini semua dengan Bidadari Merah? Aku
ingin menikah denganmu tidak ada hubungannya dengan Bidadari merah!!”
“Bohong!!!!” ketus Maya. “sudah… jangan bicara lagi!
Semua yang kau katakan pasti bohong! Aku yang bodoh karena baru menyadarinya
sekarang!”
“Aku tetap akan mengatakannya!!” Masumi bersikukuh.
“Aku mencintaimu! Sangat mencintaimu! Aku ingin menikah denganmu! Menghabiskan
hidupku denganmu! Terbangun di sisimu… membentuk keluarga bersamamu… Sebesar
itu keinginanku menikah denganmu. Dan itu, semata-mata karena aku mencintaimu!
Bukan lainnya!!” tegas pria itu, menatap Maya tanpa goyah.
Maya mengamati kedua mata Masumi yang memasungnya.
Pria itu mengatakan semuanya tanpa ragu. Tetapi…. Tidak! Tidak! Lebih baik dia
yang pergi dan terluka sekarang ketimbang Masumi menyakitinya belakangan nanti.
“Kau… tidak mungkin mencintaiku,” Maya gemetar.
“Gadis seperti aku…”
“Tapi nyatanya aku mencintaimu… Aku sangat
mencintaimu Maya…” Masumi memohon dengan suaranya. “Bagaimana bisa kau tiba-tiba
memikirkan semua itu… beberapa hari yang lalu kita masih baik-baik saja kan?”
Masumi mengusap wajah Maya yang memanas dan beruraian air mata. “Percayalah
kepadaku…”
Maya terisak-isak beberapa tanpa bersuara. Ia ingin
sekali percaya pada kata-kata Masumi. Tetapi dia takut. Takut dikecewakan.
Takut harapannya terlalu tinggi dan Masumi menjatuhkannya nanti. Maya yakin
perkataan Shiori benar. Pasti Masumi menginginkan Bidadari merah. Maya ingat,
Masumi pernah mengatakan maya harus mendapatkan Bidadari Merah. Itu pasti…
karena dia juga mengincarnya.
“Tidak…” Maya menggeleng. Melepaskan diri dari
kungkungan Masumi. “Sulit sekali, aku percaya kepadamu… setelah semua hal yang
pernah kau lakukan. Aku tahu, jika aku gagal dengan pentasku… kau pasti… pasti
akan memilih Nona Shiori.”
“Shiori!?” Masumi mengerutkan alisnya.
“Ya! Bukankah saat kita putus pertama kali, kau juga
sempat berniat tunangan dengannya? Siapa yang tahu kau sebenarnya mungkin
memang lebih memilihnya.”
“Saat itu kau menolakku! Apa yang bisa kulakukan!?
Andai aku mempertimbangkan Shiori, semata-mata karena amanat orang tua kita!
Kau pasti tahu itu!!”
“Dan sekarang aku menolakmu lagi!!” seru Maya.
“Jangan mengungkit-ungkit soal pertunangan lagi! Jangan katakan apa pun lagi…
Aku sudah tak percaya kepadamu Pak Masumi. Aku benci kau!!” Maya mendorong
Masumi sekuat tenaga, membuka pintu menjulang di hadapannya dan keluar dari
kantor pria itu.
Masumi mengepalkan tangannya erat. “BUG!!” dia
memukul pintu kantornya keras-keras.
Kenapa semuanya jadi seperti ini?? Kenapa Maya
tiba-tiba datang dengan semua tuduhan itu?
Benar. Bukannya Masumi tidak memikirkan bahwa dia
akan sangat beruntung jika bisa sekaligus mendapatkan Maya dan Bidadari merah.
Tetapi, jelas bukan itu alasannya begitu antusias bertunangan dengan Maya.
Bukan.
Dia sangat mencintai Maya. Sangat mencintai gadis
itu.
Diamatinya cincin dengan berlian merah muda di
telapaknya.
Apa benar begini akhirnya? Keputusan Maya sudah
final?
=//=
“Srooott!! Srooott!!!” maya membuang ingusnya pada
tisu dan kembali menangis tergugu.
“Maya… sudahlah… kau yang memutuskan pertunangan
kenapa kau juga yang menangis habis-habisan begini!?” Rei hanya bisa
mengamatinya dengan heran.
“Ta-tapi… tapi…. Ukh!! Si Makhluk endapan lumpur
ituuu!!!”
“Kau bilang dia bukan makhluk endapan lumpur…”
“Iya!! Dia makhluk endapan lumpur!! Menyebalkan!!
Jahaaatt!! Iiiiiiiiiiikkkkhhhh!!!” Maya mengeluarkan semua tisu dari kotaknya
dan mencabik-cabik tisu-tisu tersebut dengan geram.
Tatapannya lasntas beralih kepada sebuah gunting
yang terletak di atas meja dan Maya beranjak meraihnya. Gadis itu
mengepalkannya erat-erat dan mengacungkannya.
“KYAAAA!! Maya!! Jangaaann!! Apa yang hendak kau
lakukan!?” wajah Rei pucat pasi, waswas. “Mayaa, jangan bodoh!! Jangan lakukan
itu!!”
Air mata Maya mengalir lebih deras. “Ta-tapi… a-aku…
sakit hati Rei… Padahal… Padahal aku benar-benar… benar-benar…” Maya tak kuasa
merasakan nyeri di dada dan tenggorokannya yang menggumpal. “A-aku… aku benci
cara dia memperlakukanku!! Aku benci semua kebohongannya!!”
“Maya, tenanglah!!” Rei semakin panik melihat
genggaman Maya yang semakin erat di gunting itu hingga gemetar.
“Ta-tapi… tapi…” Maya terisak lagi. Ia tak mengira
Masumi benar-benar brengsek. Padahal, Maya sudah sangat mencintainya, sudah
memikirkan banyak hal indah yang ingin dilakukan dengannya. “Aku… aku tak bisa…
terus hidup dengan kenangannya…” sesal Maya dengan pilu.
“Tapi Maya… akh, Maya!!” pekik Rei, saat Maya
mengangkat guntingnya tinggi-tinggi. “TIdaaakk!!” Rei memejamkan matanya erat
dengan ngeri sembari menutup wajahnya.
“DOR!! DOR!! DOR!! DOR!!!” suara balon-balon yang
meledak terdengar.
“Maya!! Hentikan!! Cukup!! Jangan lakukan lagi!!”
Rei berhambur dan memeluk Maya erat-erat. Maya masih menangis tergugu.
“Tapi aku kesal sekali Rei… melihat balonnya saja
aku sebal…” isak Maya dengan sakit hati.
“Ya, ya… aku mengerti Maya, tetapi kalau kau
meledakkan balonnya di sini, ribut sekali, bisa-bisa kita diusir induk semang…”
Rei mencoba memberi pengertian.
“Kau benar Rei…” isak Maya, menyetujui sahabatnya
yang bijak itu. “uuukhh!! Ingin sekali aku meledakkan balon-balon ini di
telinganya!!” geram Maya.
Lalu gadis itu menunduk sedih. Ia tak tahu apakah
rasa sakit kehilangan masumi atau kenyataan dia telah dibodohi yang lebih
menyayatnya. Yang pasti, ia ingin sekali semua ini hanya mimpi buruk dan semua
kembali seperti dulu saja… Hanya ada rasa benci, tanpa rasa cinta. Karena rasa
cintanya itulah yang telah membuat maya menderita.
=//=
“Kau mengatakan sesuatu kepada Maya ‘kan?” desis
Masumi penuh intimidasi kepada Shiori.
Shiori mengangkat kedua alisnya. Seharusnya dia bisa
mengira apa yang mengantarkan direktur Daito itu mampir ke kantornya bahkan
mengabaikan kasak-kusuk yang sedang dilakukan pegawai Shiori sekarang.
“Kami bicara dengan bahasa yang sama, apa anehnya
aku bicara dengan maya?” shiori berusaha tenang.
Masumi memberikan tatapan mengecam. “Jangan
main-main denganku, Shiori…”
“Aku? Main-main?” kedua alis Shiori terangkat. “Bukannya
kau yang suka main-main? Bilang minta waktu sebulan, belum sebulan sudah
membuat keputusan sendiri. Nah, Direktur Masumi Hayami, kalau kau bisa tenang
sedikit, tolong jelaskan kenapa kau tiba-tiba menyebut-nyebut nama Maya di
kantorku? Bertengkar lagi ya?”
Wajah Masumi merah karena marah dan dia menegakkan
badannya hingga terasa semakin mengintimidasi Shiori yang sedang duduk di kursi kerjanya.
“Aku tidak ada waktu berbasa-basi. Aku hanya ingin
mengingatkan. Apapun yang sudah kau katakan kepada Maya, tarik kembali
ucapanmu, atau—“
“Atau apa?” Shiori mengangkat dagunya. “Kau mau
menamparku? Aku tidak yakin kau akan melakukan hal itu kepada perempuan.”
“Itu karena kau belum mengenalku…” desis Masumi.
“Kau salah. Aku jauh lebih mengenalmu dari yang kau
kira. Yaaa sebagian kudapatkan dari profilmu di majalah-majalah bisnis, lainnya
kudapatkan dari obrolan Papa—angkatku, Takamiya, lainnya? Aku mengamatimu, dan
kuyakinkan aku salah satu penganalisa yang baik. Penelitianku mendapatkan nilai
sempurna, kau tahu?”
Apa Shiori baru saja menyamakan Masumi dengan tikus
percobaan?
“Tidak perlu berputar-putar! Kau mau melakukannya,
atau tidak?”
“Tidak!!”
“Kau!!”
“Itu bukan masalahku kan?” Tatapan Shiori sejenak
beredar ke luar ruang kantornya saat para pegawainya serentak berhenti bekerja
dan menoleh kepadanya ketika Masumi berteriak.
Tatapannya berhasil membuat para pegawainya kembali
pada kesibukan mereka masing-masing.
“Jadi kau mengakui kau yang sudah menyebabkan Maya
kehilangan kepercayaan terhadapku?”
“Pak Masumi, kau tidak menangkap ya? Sudah kuduga
kalau soal perempuan kau itu memang bukan ahlinya,” Shiori tertawa kecil. “Sekali
lihat saja aku tahu kau bukan tipe yang mudah jatuh cinta dan sangat setia.”
“Cukup bicara mengenai aku.”
“Nah, tapi Maya tidak mengenalmu sebaik aku kan?
Kepercayaannya kepadamu, tidak sebesar aku kan?”
“Maksudmu—”
“Maksudku, kalian ini, sebentar bertengkar, sebentar
baikan, sebentar bertengkar, sebentar baikan. Oh, jangan memasang wajah heran
seperti itu Pak Masumi, kau tahu aku bekerja di media dan akan mengetahui apa
pun yang ingin kuketahui. Yang kutangkap, kalian berdua memang tidak pernah
belajar. Terutama Maya, mudah sekali membuatnya marah dan meninggalkanmu.
Sepertinya, kabar buruk apa pun mengenai dirimu dia pasti menyetujuinya. Aku
sih…”
“Jangan menjelek-jelekkan Maya!” sergah Masumi. “Kau
tidak tahu apa-apa, Shiori. Aku dan Maya, kami memiliki masa lalu yang—“ Masumi
tertegun. Haruskah ia mengungkapkan semua kepahitan dan kesalahannya kepada
Maya yang menyakitkan itu?
Benar. Masumi tahu dia manusia kotor. Karena itu Masumi
benar-benar tak keberatan jika Maya memarahi atau menghinanya. Ia akan menerima
itu semua karena Maya berhak melakukannya. Asalkan, Maya berada di sisinya, di
dalam dekapannya. Ia tak akan peduli jika Maya menginjak kakinya, menendang
tulang keringnya atau meludahinya. Asal gadis itu diam di sisinya…
“Masa lalu kalian, itu urusan kalian. Aku hanya
berurusan dengan masa depanmu, Pak Masumi, masa depan kita,” shiori tersenyum
optimis. “Putusnya hubungan kalian sama sekali tidak ada kaitannya denganku.
Itu kesalahanmu, karena kau tidak bisa mendapatkan dan meyakinkannya dengan cinta
dan ketulusanmu, bukan? Juga salah Maya, karena dia tidak pernah benar-benar
percaya kepadamu. Apa jika ada murid yang tidak lulus ujian, yang salah
pengujinya? Tentu yang salah muridnya kan, karena tidak belajar dan tidak
melakukan persiapan yang matang…” Shiori memasang wajah tidak bersalah.
Bicara apa wanita ini mengenai hubungannya dan Maya
yang baru seumur jagung? Yang baru saja benar-benar berusaha saling mengenal? Tetapi
membuat keributan di sini juga tidak ada gunanya. Dan walaupun Masumi mau
memutuskan hubungan bisnisnya dengan Shiori, pasti ayah angkatnya dan Takamiya
akan geram, mungkin Masumi malah akan menghancurkan hubungan dua keluarga baik
yang sudah terbangun puluhan tahun.
Tetapi, Masumi akui. Perkataan Shiori ada benarnya.
Dia, dan Maya, cinta mereka belumlah sebesar dan sekuat yang Masumi kira.
Mencintai gadis itu begitu dalam tidaklah cukup, jika Masumi masih sering
merasa cemburu kepada Sakurakoji, atau Maya yang selalu merasa Masumi memiliki
motif tersembunyi terhadapnya.
“Kau tahu, Pak Masumi, kalau kau segera memilihku,
semuanya akan jauh lebih mudah. Keluarga kita sederajat, banyak hal bisa kita
bicarakan, orang tua kita, dulu bersahabat. Kita sama-sama pandai dan
terpelajar. Aku sangat mengerti profesimu. Dan, kalau kita menikah, walaupun
aku yakin kau tidak akan melakukannya, kau boleh menyegarkan pikiranmu merayu
1-2 wanita lainnya agar pernikahan kita tetap utuh dan tidak membosankan.
Sungguh…” Shiori menyentuh punggung telapak Masumi yang terletak di atas
mejanya. Masumi tertegun, mengamati tangan Shiori. “Aku akan melakukan apa saja
agar kau bahagia bersamaku…”
=//=
“Kemarin kau sudah hampir sempurna! Sekarang kemana
lagi semangatmu itu, Maya!!? Minggu depan kita sudah mulai pentas! Jangan
menyusahkan semua orang dan kerja keras teman-temanmu yang lain!!! Jika sampai
pentas ini gagal karena kau, aku tidak akan pernah memaafkanmu!!” bentak
Kuronuma.
Maya diam, menelan ludahnya getir, menahan tangis.
Ia termenung sambil menghapus keringatnya.
“Maya! Ada kiriman bunga!!” seru seseorang.
Kiriman… bunga? Mawar ungu-kah? Harapnya.
Maya dengan terburu-buru beranjak ke pintu dan
mendapati Hijiri membawa buket bunga yang sangat besar.
“Pak Hijiri,” Maya terharu. Ia sangat membutuhkan
melihat buket bunga itu saat ini. Maya segera memeluk dan menyurukkan wajahnya
di antara kelopak bunga mawar ungu saat menerimanya.
Ia ingin, ingin sekali bertemu Mawar Ungu dan
mencurahkan isi hatinya saat ini. Ia patah hati dan terluka. Sepertinya, jika
ada mawar ungu, pria itu akan mau mendengarkan dan menghibur Maya.
Hijiri mengamati Maya dengan rasa sendu yang
tersamar. Ia sudah tahu masalahnya. Bosnya yang tengah galau seperti ABG itu
sudah bercerita. Akhirnya Masumi memutuskan untuk tidak mengusik Maya dulu,
apalagi sebentar pentas Maya akan digelarm dan dia tidak ingin mengalihkan
perhatian publik dari sandiwara Maya yang sangat penting itu. Masumi kembali
memilih sosoknya dalam bayangan Mawar Ungu yang akan berperan menenangkan Maya
kali ini.
“Pak Hijiri, a-apakah… Apakah Mawar Ungu akan datang
ke pementasanku?” tanya Maya dengan mata berkaca penuh harap.
“Ya, Maya, beliau akan datang,” Hijiri tersenyum
lembut. Setidaknya perkataannya membuat binar di wajah Maya lebih cerah.
“Be-benarkah Pak Hijiri!? K-kapan? Kapan dia akan
datang ke pementasanku?”
“Pada pentas perdana. Dia tak sabar menunggu
penampilanmu,” terang Hijiri.
“Ahh… b-benarkah…” Maya melipat bibirnya penuh haru.
‘Sampaikan kepadanya aku sangat berterima kasih! Dan aku akan menunggunya.
Hanya dia yang paling aku tunggu pada pementasanku.”
“Tentu. Dan, dia berpesan, apa pun yang terjadi, dia
akan datang melihatmu. Karena itu, kau harus melakukan yang terbaik dari yang
terbaik kali ini, karena dia ingin melihat aktingmu sebagai Jean, dia tidak
ingin dikecewakan,” tandas Hijiri.
Mawar Ungu…. Maya mengeratkan rahang, mengumpulkan
tekad dan memeluk buket bunganya lebih erat.
Dia sudah kehilangan Masumi, tetapi dia masih
memiliki Mawar Ungu, penggemarnya yang setia. Untuk dialah Maya harus kuat,
melakukan yang terbaik untuk pementasannya nanti.
“ya! Aku akan melakukan yang terbaik. Dia tidak akan
kecewa, dia akan bangga kepadaku, pak Hijiri!” tekad Maya.
Hijiri mengamati binar penuh semangat di mata Maya.
pasti. Itulah yang Masumi inginkan.
=//=
Pementasan Isadora malam itu berlangsung meriah.
Tarian dan nyanyian yang memukau, sosok Madoka Enjoji yang sangat cantik dan
menjulang, begitu mencolok dan menonjol di atas panggung.
Maya tak bisa melepaskan tatapannya barang sedetik
dari pentas itu. Bahkan mulutnya sibuk berkomat-kamit mengikuti dialognya. Maya
sekali lagi menikmati petualangan paling nikmat dalam hidupnya, saat menonton
sandiwara, terlepas dari kesadaran atas sekelilingnya, dan sibuk sendiri dengan
dunia dalam pandangan mata dan alam pikirannya sendiri.
Orang-orang tampak sedang mendiskusikan keistimewaan
pementasan Isadora saat Maya, Sakurakoji dan Kuronuma muncul di ruang perayaan
itu.
Maya langsung memasang wajah gahar saat—entah
kenapa—dari ratusan orang yang ada di sana, harus Masumi yang menyadari kedatangan
mereka dan menyambut mereka.
“Wah, undangan dari Padang Liar yang terlupakan.
Terima kasih sudah datang Pak Kuronuma, Sakurakoji, dan… Maya Kitajima…”
Tatapan keduanya bertemu, Masumi sekilas saja
memperhatikan tunangannya itu, agar tidak kentara bahwa Masumi menyimpan
perhatian khusus kepadanya.
Sementara Maya yang sedang muak kepada mantan
tunangannya itu tampak seperti menggeram hendak menerkam dan mencabik-cabiknya
kapan saja. Maya kesal. Entah kenapa jika masumi bicara, ia selalu begitu menarik
perhatian orang dan Maya otomatis dalam sikap waspada, karena ia merasa Masumi
pastilah mempunyai maksud tertentu—khususnya kepadanya.
Tatapan Maya sempat bergeser kepada wanita yang
berada tak jauh dari Masumi. Cantik, anggun, percaya diri dalam gaun hitamnya
yang memukau dan tatanan rambutnya yang berkilau sempurna. Shiori Takamiya.
Maya menunduk, berusaha menutupi luka hatinya.
“Pak Kuronuma, bagaimana pendapat Anda mengenai
pementasan tadi?” tanya Masumi kepada sutradara yang terkenal blak-blakan itu.
“Yaah… kalau saja akting Madoka sebagus nyanyian dan
tariannya, pasti pentas ini menjadi lebih baik.”
Komentar pedas, yang sudah bisa diduga mengundang
decak kesal dari penyelenggara dan desas desus di sekeliling mereka.
“J-jadi… menurutmu aktingku tidak sempurna?” Madoka
terenyak, tak mampu menyembunyikan rasa tersinggungnya.
Padahal, di akhir pentas tadi, tepuk tangan untuknya
rasanya tidak berhenti-berhenti.
“Maaf kukatakan di hari pertama, tapi aku tidak
bohong…” tukas Kuronuma.
“Apa-apaan si Kuronuma itu, pentasnya saja tidak
diakui juri festival seni!!” terdengar bisik-bisik orang di sekitar mereka.
Masumi beralih kepada Sakurakoji. “Kalau menurutmu,
bagaimana, Sakurakoji?”
“Aku…? Hmm… tarian dan nyanyian Madoka membuatku
sangat kagum.”
“Lalu menurutmu, bagaimana, Nona Maya Kitajima?”
Masumi mengalihkan tatapan dinginnya kepada Maya. Ia menyusun sebuah rencana
dalam kepalanya. Akan lebih mudah jika gadis ini mau bekerja sama.
“M-menurutku… pentasnya, bagus sekali. Tariannya
sangat bersemangat, indah sekali. Dan makna setiap dialognya sangat terasa.”
Masumi menyesap rokoknya. “Oh, ya? Dialog yang mana,
misalnya?”
Masumi mendelik, kenapa Masumi tak membiarkannya
saja? ketimbang memperpanjang percakapan yang ingin dia hindari. Bukan
topiknya, tapi orang yang mengajaknya bicara. Akan Tetapi marah-marah juga
tidak akan menolongnya. Orang-orang akan heran jika Maya marah-marah tanpa
sebab di sini. Apalagi, ada Ayumi juga yang datang dan orang-orang penting.
Maya harus menjaga sikap, demi pementasannya.
“Yang itu, di babak pertama adegan 3, di kedai
minum. ‘bagiku, hidup adalah menari dan
menari adalah hidup. Inilah yang menentukan seluruh hidupku. Ya! Walaupun aku
tak ingin menari, tapi musik itu telah menyatu dengan jantungku. Dan setiap
pembuluh darahku telah menghantarkan musik ke seluruh tubuhku dan
menggerakkannya. Ketika sadar, aku sudah menari.’ Aku suka sekali dialog
itu!”
Madoka tergemap. “K-kau… kau hapal semua dialog
itu?”
Maya menoleh kepadanya dan tersenyum riang. “Ya!
semuanya!”
“HUAPAAAHH!!?” Para hadirin terenyak bersamaan
mendengar pernyataan Maya.
“Eh?” Maya menoleh ke sana kemari dengan kikuk.
Apakah dirinya seaneh itu?
“Coba, dialog yang lain yang kau hapal yang mana?”
tanya Masumi lagi.
Maya menatap Masumi dengan curiga, tetapi menjawab
juga. “Adegan terakhir, itu yang paling kusuka.”
“Dialognya bagaimana? Kau bisa memerankannya?”
tantang Masumi.
Maya mengerutkan dahinya. Apa maksud pria ini?
Kenapa dia menantangnya di tengah orang ramai seperti ini?
“Kenapa? Sebetulnya kau tidak bisa kan?” Masumi
tersenyum menyebalkan. Ayo Maya,
tunjukkan kepada orang-orang apa yang sesungguhnya kau miliki….
“A-aku… bisa…” Maya menelan ludahnya.
“Kalau begitu, ayo! Coba tunjukkan!” Masumi
mengangkat dagunya menantang.
Maya merasa kikuk, tetapi disebut pembohong oleh
Masumi di hadapan orang-orang ini juga bukan pilihan.
Maya menghela napasnya, memejamkan matanya.
Mengingat detail Isadora yang ditangkap dan coba diekspresikannya.
Isadora…
Maya membuka matanya. Dan dia sudah bukan gadis yang
sebelumnya.
Maya mulai berakting, membacakan dialognya sebagai
seorang Isadora yang sangat mencintai tarian, yang setiap gerak tubuh dan
tarikan napasnya adalah tarian. Namun, gadis itu sekarat.
Sekarat….
Isadora memeluk sepatunya erat. Bahkan sebuah
kematian hanya menyisakan sebuah tanya yang memukul jiwanya.
“Bagaimanakah caraku menari nanti?”
Para hadirin terkesima dengan akting singkat Maya,
termasuk ketua persatuan drama nasional.
Maya memakai sepatunya lagi dan membungkuk di
hadapan para hadirin yang masih terpana. “Terima kasih, sudah selesai.”
Pak Yamagishi bertanya, “Di adegan terkahir,
aktingmu berbeda dengan Madoka. Kenapa begitu?”
“Entahlah, aku hanya ingin melakukannya seperti itu.
Aku ini Madoka, pikirku,” aku Maya malu-malu.
“Ckckck… tanpa latihan bisa sebagus itu,” puji Pak
Yamagishi.
Beberapa di antara mereka juga malah ada yang
berceloteh. “Menurutku malah lebih bagus akting anak itu.”
“Ssst!! Nanti terdengar Madoka!” sikut rekannya.
Salah satu staf Isadora menyempatkan diri memeriksa
naskahnya dan menemukan, “Semua dialognya benar! Tidak ada yang salah!!”
Sekali lagi Maya menjadi pusat
perhatian—sekarang—seluruh pengunjung pesta.
Seperti biasa, Maya mulai jengah jika semua mata
telah memandang ke arahnya. Sementara Shiori, ia mengamati Masumi tajam.
Jadi, itukah niat Masumi? Membuat Maya menjadi pusat
perhatian dan memperlihatkan bahwa gadis itu istimewa?
Lalu, apalagi sekarang, Masumi? Shiori menanti,
tertarik.
“plok Plok plok plok plok!!” Masumi bertepuk tangan
keras, kembali mencuri perhatian gadis mungil itu.
“Ternyata tak sia-sia kau pernah menjadi aktris
terbaik dalam festval seni dulu,” Masumi menarik sudut bibirnya, tersenyum misterius.
Suasana di sekitar mereka menjadi riuh.
Maya
Kitajima? Calon Bidadari Merah?
Iya, dia
kan pernah menjadi aktris terbaik untuk Helen Keller…
Dia
saingan Ayumi Himekawa itu?
Para pewarta dengan cepat menjepretkan kamera mereka
ke arah Maya. Ruangan itu dalam sekejap menjadi milik Maya.
Shiori bersedekap. Bagus sekali caramu bekerja, Pak Masumi.
Namun rupanya Masumi belum selesai. Bukan hanya Maya
yang ia ingin agar diperhatikan. Namun juga pementasannya.
“Wah… sayang sekali ya, pementasan Nona Maya yang
sekarang… tidak layak mengikuti festival seni. Apakah benar tidak apa-apa,
pentas Padang Liar yang Terlupakan, dipentaskan pada saat festival seni seperti
ini? Ada banyak sandiwara yang juga sedang dipentaskan, bukan?”
Maya mengamati Masumi penuh tanya. Apa maksud mantan
tunangannya itu?
“Bagaimana, Nona Maya? Kalau kau bisa memerankan
peran orang lain, bagaimana dengan peranmu sendiri? Apa yang menarik dari
peranmu?”
Ayo, Maya, gigit umpannya, batin Masumi.
Maya mengerutkan alisnya, menatap Masumi penuh
kecam. Apa maksudnya mengungkit-ungkit soal sandiwaranya di sini? Apa Masumi
benar-benar hendak mempermalukannya?
Maya memalingkan wajahnya. Ia tak tertarik
menanggapi Masumi lagi.
“Loh, mau ke mana? Kenapa, kau tidak percaya diri
dengan pentasmu?” ejek Masumi, yang masih berusaha agar Maya menjadi pusat
perhatian. Dia harap, Maya bisa memanfaatkan momentum ini tanpa Masumi harus
berbuat jahat. Tapi sepertinya percuma, gadis itu sudah terlihat muak
kepadanya.
Masumi, harus melakukan langkah terakhirnya.
“Madoka,
bagaimana menurutmu? Setelah melihatnya memerankan Isadora, bukankah kita juga
ingin melihat dia memainkan peran yang lebih sesuai untuknya, jadi gadis
serigala?” tukas Masumi.
Maya berhenti melangkah. Terpukul. Pak Masumi… ia merasakan kemarahan yang
lebih besar mulai mengisi hatinya, mengalahkan rasa sakit dan sedihnya.
Madoka tertawa keras. “Ya, benar. Aku ingin dia
melakukannya, karena dia lebih pantas menjadi gadis serigala.”
Maya mengeratkan rahangnya, menatap Masumi nyalang.
“Loh, kenapa, MUNGIL? Kau ingin penghargaan
tertinggi dari Persatuan Drama Nasional kan? Lantai ini memudahkan gerak
langkah 4 kakimu. Mumpung di sini sedang banyak juri yang hadir. Ini
kesempatanmu memperlihatkan kepada mereka. Siapa tahu mereka tidak akan sempat
melihatnya. Ayolah, Jean gadis serigala…” Masumi menggerakkan tangannya
menantang.
Sakurakoji mendelik ke arah Masumi, dan menarik bahu
Maya. “Jangan dihiraukan. Ayo kita pergi, Maya.”
“Mau kabur!!!?” Seru Masumi yang suaranya membahana
di ruangan itu. Musik bahkan sudah berhenti akibat keriuhan yang dibuatnya. “Jangan-jangan,
kau hanya bisa memerankan peran orang lain sedangkan peranmu sendiri tak bisa,”
sindirnya. “Kalau kau lari dari sini, tak seorang pun akan melihat pentasmu.
Atau kau tak yakin bisa memerankannya, JEAN, Gadis serigala?”
“Grrrrr….” Maya benar-benar marah dengan sindiran
pria itu. Jadi, pria itu hendak mengatakan Maya memang hanya gadis liar seperti
Jean? Kalau begitu pria itu memang harus berhadapan dengan Jean.
Maya berdiri dengan tangan dan kakinya. Merangkak.
“Waaaa…!” suasana semakin riuh.
“Hmm…” Shiori mengamatinya dengan seksama. Jadi itu
yang Masumi inginkan? Dia hendak mempromosikan pentas Maya karena banyak orang
penting dan juri festival di sini? Hingga berbuat sejauh ini?
“Maya, Kau tidak usah melakukannya! Hentikan!”
hadang Sakurakoji.
Masumi mendorong bahu pemuda itu menyingkir—seperti yang
ingin sekali dilakukannya selama ini.
“Kau mundur sana! Aku yang akan mendampingi Jean!!”
tandas Masumi.
Sakurakoji tak berkutik, karena sekarang Pak
Kuronuma juga menahannya menghentikan semua kehirukpikukan ini.
Masih sebagai setengah dirinya, Maya menggeram,
mengamati mantan tunangannya yang memuakkan itu.
“Hmm… kau memang lebih cocok sebagai serigala,”
komentar Masumi yang disusul gelak tawa beberapa orang. “Oh, sebentar, kau akan
kuberi makan…” Masumi beranjak, mengambil sepotong paha ayam dan menunjukkannya
di hadapan Maya. “Nih!!”
Pak
Masumi….!!
Namun penghinaan Masumi belum selesai. Ia melemparkan
paha ayam itu ke lantai.
“Kau lebih cocok menjadi gadis serigala daripada
menjadi Isadora,” nadanya merendahkan. “Ayo, ambil makanan itu! Tuh! Ambil makananmu!”
ia menunjuk pada potongan daging itu.
Aksi itu membuat Maya semakin geram. Walaupun ragu,
Maya akhirnya mengeratkan kepalan tangannya. Ia tak bisa membiarkan.
“Kenapa diam saja? Kau tak suka ayam yang ada
rasanya?” ejek Masumi yang sekali lagi ditimpali tawa sekelilingnya.
Cukup sudah! Tubuh Maya gemetar menahan amarah. Ia
tak bisa membiarkan lagi aksi Masumi. Laki-laki
ini… membuatku menjadi bahan tertawaan di depan orang banyak.
“Ggrrrrr…..
Grrrrr….” Maya menggeram semakin menyeramkan. Demikian juga
dengan raut wajahnya. Ia sudah tidak akan menahan diri lagi. Ia akan menjadi
Jean.
Orang-orang di sekelilingnya terkejut dan merasa
ngeri dengan mimik Maya yang tampak liar dan ganas. Yang jelas, gadis serigala
itu marah.
“Akhirnya… wajahmu semakin menarik,” Masumi puas. Ia
tahu Jean yang sesungguhnya telah muncul di hadapannya.
“Hei lihat… i-ini… apa ini akting?” bisik
orang-orang di sekitarnya.
Masumi melepas jasnya dan mulai memancing Jean
seperti seorang matador memancing banteng. “Sini Jean!!”
Suasana di ruang perayaan itu semakin riuh dan
menegangkan. Para wartawan mulai sibuk dengan kameranya. Sepertinya mereka
mendapatkan berita yang lebih menarik dari pementasan perdana Isadora.
“Wah… Pak Masumi dan mantan tunangannya seperti ini,
benar-benar berita yang tidak bisa dilewatkan!”
“Direktur Daito melawan gadis serigala… ini baru
berita!!”
Sementara para hadirin lainnya mulai membicarakan
dan penasaran mengenai pentas Padang Liar yang Terlupakan.
“apa judulnya tadi?”
“Jadi ini pentas Pak Kuronuma selanjutnya? Di mana
pentasnya?”
“Apa gedung Ugetsu?”
“Kapan dipentaskannya?”
Ketertarikan orang-orang di sekitarnya semakin
jelas. Sepertinya misi Masumi tak Cuma-Cuma.
“Ayo! Kemari Jean!!!” pancing Masumi.
Jean menggeram marah. Ia lantas mulai melangkah
dengan keempat kakinya. Jean berusaha meraih potongan paha ayam di belakang
Masumi. Namun tentu pria yang berlari dengan kedua kakinya itu bergerak lebih
cepat.
Masumi menendang paha ayam itu menjauh. Maya
mengejarnya, lantas Masumi dengan tangannya menghalau gadis itu.
“Buk!” Maya merasakan tangan Masumi menghantam
pipinya.
Ruangan ribut dengan kejadian itu. Mereka tak
mengira pasangan yang sempat terlihat seperti pasangan kekasih dalam dongeng
cinderella sekarang malah seperti matador dan banteng.
Masumi melemparkan paha ayam itu lagi.
“Ayo, bangun! Kenapa diam saja? tuh! Makananmu di
situ! Ambil!!” serunya. “Atau… kau mau lari sambil melingkarkan ekormu?”
ejeknya. “Oh, aku lupa! Kau kan tidak punya ekor!” Masumi lantas tertawa penuh
celaan.
Jean sudah tak bisa membendung lagi kemarahannya. Ia
berlari ke arah Masumi, menggigit punggung tangannya.
“Ukh!!!” Masumi mengerang, jasnya terlepas dari
tangannya.
Jean menggigit jas itu, membawanya pergi. Semua
orang terenyak, melihat Jean yang bergerak dan terlihat seperti seekor serigala
liar. menaiki tangga. Menjatuhkan jas lawannya dan menginjaknya, memamerkan
kemenangannya.
Semua orang terenyak. Masumi memandangi mantan
tunangannya dengan denyut meyakinkan tidak hanya di tangannya, tapi juga di
hatinya. Ia tahu Maya sudah semakin membencinya, dan mungkin tidak akan pernah memaafkannya.
“Sudah selesai… Jean…” tandas Masumi.
Maya meraih potongan paha ayam itu dan
melemparkannya ke wajah Masumi. “Dasar brengsek!!! Kau orang paling menyebalkan
yang pernah kutemui. Aku benci kau!! Aku sangat membencimu!!!” amuk Maya, sudah
tak peduli lagi di mana ia berada atau siapa saja yang mengamati perilakunya.
Masumi tak berkutik. Gadis itu pergi dengan tangis
di wajahnya.
“Pak Masumi, selama ini aku selalu menganggapmu pria
terhormat! Tetapi sekarang aku tahu, Anda ternyata bisa melakukan hal serendah
ini,” tukas Sakurakoji sebelum beranjak pergi.
Masumi menyusut bekas lemparan Maya di wajahnya.
Suasana di sekelilingnya mulai riuh lagi membicarakan mengenai pementasan Maya.
Masumi menghela napasnya, memungut jasnya. Ia memandang keluar dan mendapati
Maya yang tengah menangis sedang ditenangkan Sakurkoji. Dalam pelukan pemuda
itu.
Ia mengeratkan kepalan tangannya, dan rahangnya.
Menahan cemburu dan luka di hatinya.
=//=
“Rupanya kau berada di sini,” sapa Shiori, saat
mendapati Masumi berdiam diri di tempat yang sepi.
Masumi tertegun, menurunkan tangan dengan luka
gigitan Maya yang baru saja dijilat dan dikecupinya.
“Kalau luka, sebaiknya jangan dijilati seperti itu,”
imbuh Shiori lagi, menghampiri Masumi.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Masumi,
dingin.
“Seharusnya itu pertanyaanku,” timpal Shiori.
Masumi membuang wajahnya, tak menjawab. Shiori
mengamati pria itu dan menyunggingkan senyum takjub.
“Tak kukira seorang Direktur Daito sepertimu sampai
melakukan hal tadi, Pak Masumi…” ujar Shiori.
“Kenapa? Kau jadi melihat sisi burukku?”
“Tidak. Malah sebaliknya. Aku tak mengira, kau
sangat mencintainya, Pak Masumi…”
Masumi termangu. Ia menoleh mengamati Shiori. Wanita
ini menyadarinya. Kenapa, Maya tak bisa menyadarinya?
Masumi menyesap rokoknya. “Aku mencintainya…”
desahnya. “Sekarang kau tahu. Kau masih tetap dengan niatmu?”
“Oh, ya,” Shiori tersenyum dengan tenang. “Tentu
saja. Aku mengagumimu. Kau bisa mencintai seseorang sedalam itu.”
“Kalau kau sudah tahu, kenapa kau masih—“
“Karena menurutku, pria sepertimu layak mendapatkan
gadis yang terbaik, yang bisa mencintaimu.” Shiori menyentuh lengan Masumi.
Tatapan pria itu beralih ke tangannya. “Aku tak pernah berharap kau demikian
mencintaiku. Aku hanya memintamu memilihku, dan aku akan mencintaimu. Sangat mencintaimu, Pak Masumi…”
Shiori mengeratkan kepalan tangannya.
Masumi tercenung beberapa saat. Ia lantas mengangkat
wajahnya, menatap Shiori, mengamati wajah cantik wanita itu. Ia tahu Shiori tak
main-main dengan ucapannya. Wanita ini benar-benar mencintainya dengan cara
yang dia ketahui.
=//=
Maya menangis habis-habisan. Sedih, kesal, marah dan
terluka. Maya tidak mengerti kenapa Masumi begitu ingin menghinannya dalam
acara penting itu?
Apakah pria itu dendam karena Maya mengakhiri pertunangan
mereka sekaligus kesempatan Masumi mendapatkan Bidadari Merah?
Tak pernah Maya semalu dan semarah ini! Dan sumber
dari perasaan menyakitkan ini adalah Masumi Hayami!! Pria yang pernah Maya
pikir ia cintai. Masihkah? Sudahkah?
Maya tidak tahu. Rasanya benci dan cinta bergantian
menguasai dirinya. Namun yang pasti, Maya tahu dia marah. Dia sangat marah
kepada pria itu.
“Pak Masumi…. Jika kau membenciku, tak seharusnya
kau menghina peran dan dramaku!!!” Maya mengepalkan tangannya erat-erat penuh
amarah. Lalu dia menangis lagi.
Tidak, dia tidak bisa seperti ini terus! Dia sudah
berkali-kali mengalami hal ini. Menangis karena Masumi. Menderita karen
perbuatan pria itu!
Tidak! Maya harus melupakan pria itu sepenuhnya!
Sekarang saat yang penting bagi Maya. Sebentar lagi dia harus memainkan salah
satu pentas terpenting bagi karirnya.
Tatapan Maya jatuh pada sekuntum mawar ungu dalam
vas.
Mawar
Ungu… benar, dia masih memiliki penggemar setianya itu.
Penggemarnya yang tak pernah meninggalkannya, tak
pernah menyakitinya dan selalu menyemangatinya. Maya ingat, Hijiri mengatakan
pengagumnya itu akan datang pada pentas perdananya. Dia akan kecewa jika
melihat Maya tak bisa berakting.
Demi
mawar Ungu… Demi Mawar Ungu aku harus menguasai perasaanku! Aku tidak boleh
terpuruk dengan keadaanku… dengan… kisah cintaku dan Pak Masumi yang telah
berakhir…
Maya bertekad, akan melakukan yang terbaik bagi
pentasnya.
Maya mengumpulkan semua balon-balon yang ada di
kamarnya. Balon-balon dari Masumi untuknya. Sekarang, Maya tak bisa
menyimpannya lagi. Karena teringat Masumi selalu membuatnya sedih dan pilu.
Maya memutuskan melupakan pria itu sepenuhnya.
Mulai saat ini, Masumi Hayami hanya akan menjadi
masa lalunya.
Ia membuka jendelanya lebar-lebar, lantas melepaskan
semua balon-balon di kamarnya.
Maya mendongak mengamati balon warna-warni itu
pergi.
Selamat Tinggal… Pak Masumi Hayami…
Mulai saat ini, cintaku kepadamu sudah selesai. Aku…
tidak akan mengingatmu lagi!!
Maya menghapusi airmata yang menganaksungai di
pipinya.
=//=
=//=
Hari ini, telepon terus berbunyi di gedung Ugetsu.
“Banyak sekali yang memesan tempat!!” seru staf
mereka. “Tiket untuk pertunjukan perdana sudah habis! Untuk hari selanjutnya
juga antri!”
“Selain itu, tawaran untuk artikel dan majalah juga
mengantri!”
Kuronuma hanya bisa bengong saja di tempatnya.
Begitu juga Maya. Ia tak mengira, ia pikir setelah kejadiannya dipermalukan
Masumi, orang-orang akan semakin mengejek teater mereka. Nyatanya, tidak.
“Pak Kuronuma!! Ini ada telepon dari juri festival
seni!!”
Perkataan yang benar-benar mengejutkan semua
penghuni teater.
Para juri
festival seni akan menonton pertunjukan kami… Ini semua karena aku bertengkar
dengan Pak Masumi? Apa… ini semua kebetulan?
=//=
“Nona Mizuki, tolong berikan ini kepada Pak Masumi,”
Maya menyerahkan amplop di atas meja. “Undangan pertunjukan perdanaku. Aku
sudah janji.”
Mizuki menerimanya, lantas mengamati Maya dengan
tatapan presenter infortainment. “Kenapa tak diserahkan langsung?”
Maya membuang wajahnya yang tampak keki. “Aku tak
ingin bertemu dia! Tak mau melihat wajahnya!!”
“Rupanya kau masih marah…”
“Tentu saja!! Aku tidak akan pernah melupakannya
seumur hidup!!”
“Tapi coba pikirkan dampak dari peristiwa itu,” ujar
Mizuki tenang. “Para juri festival seni akan menyaksikan pentasmu kan?”
Maya tertegun. “Ya… memang…”
“Syukurlah, selamat! Nah, masih ada kesempatanmu
untuk mendapatkan penghargaan. Itulah artinya, kenapa para juri mau datang.”
Mizuki meletakkan cangkir kopi yang baru saja diteguknya. “Pak Masumi, bukan
orang yang bertindak tanpa sebab.”
“Nona Mizuki, kenapa kau berkata begitu? Apa
menurutmu, Pak Masumi melakukannya karena dia tahu dampaknya akan seperti ini!?
Kenapa? Kenapa!?” desak Maya, tak percaya.
Ia tak mau percaya, sama sekali!! Jika Masumi membantunya
tanpa pamrih. Dia sudah sangat kenal dengan mantan tunangannya itu sekarang.
Mizuki tersenyum penuh teka-teki. “Yaa kamu pikirkan
saja sendiri. Kurasa, kau juga tahu apa alasannya.”
Maya mengamati Mizuki heran. Alasannya… Apa?
“Yang aku tahu, Pak Masumi hanya selalu melakukan
sesuatu yang akan menguntungkannya! Ia orang yang penuh pamrih!”
Mizuki tersenyum gemas dengan kebebalan Maya dan
menggeleng. “Aku sudah harus pergi sekarang. Ini akan kuberikan kepadanya.
Terima kasih.”
Maya termangu beberapa lama di tempatnya. Masa sih, Pak Masumi melakukan kebaikan
kepada kami? Dia tahu akhirnya akan seperti ini? Tidak mungkin!! Pasti yang dia
pikirkan, hanya cara agar mempermalukanku!! Geram Maya dengan kesal.
=//=
“Oh ya? Jadi… Pak Kuronuma sudah semakin serius?
Baguslah,” cetus Masumi, saat Hijiri datang ke villa-nya dan menjelaskan
mengenai perkembangan pentas terakhir Padang Liar yang Terlupakan.
“Ya, sepertinya sedang berlatih pentas yang lain
dari biasanya,” terang Hijiri.
Masumi mengangguk puas. Tidak percuma pertemuannya
saat itu di kedai minum dengan Kuronuma.
Shiori memasuki ruang tamu villa itu. “Apa Pak
Masumi sering ke sini?” tanyanya sambil menghempaskan pantatnya di sebuah sofa.
“Kadang-kadang di akhir minggu. Tetapi saat ini
beliau sedang ada tamu.”
“Oh ya, tidak apa-apa, aku tunggu di sini saja,”
Shiori tersenyum ramah penuh percaya diri.
Ditinggal sendiri, Shiori jadi melunjak. Dia berdiri
dan mengamati buku-buku yang ada di dalam lemari buku di sekelilingnya. Shiori
membac satu per satu judul buku di balik kaca pada rak. Semuanya tertata rapi,
kecuali satu bagian dimana sebuah bukunya terbalik dan beberapa buku lainnya
tidak sejajar dengan yang lain. SHiori mengerutkan alisnya. Ia menggeser
kacanya dan menarik buku terbalik tersebut.
Gerakan tangannya terhenti. Di balik buku, ada buku
lainnya, yang tampaknya sengaja di sembunyikan di antara buku-buku tersebut.
Shiori menarik beberapa buku itu, sebelum kemudian mengambil buku di baliknya.
Namun buku itu jatuh, dan terbuka di hadapannya.
Mata wanita itu melebar saat buku tersembunyi itu
jatuh dan terbuka di lantai.
“Ha? Ini kan…”
Ia melihat foto-foto pementasan Maya.
Album? Jadi… ini album pementasan gadis itu? SHiori
sangat terkejut, mendapati album foto Maya Kitajima tersembunyi di antara buku-buku
di rak buku Masumi Hayami.
“Shiori!?” tegur Masumi, mendapati Shiori berlutut
dan di hadapannya album foto Maya tergeletak. “Apa yang kau lakukan di sini?”
tanyanya.
Mungkin ayahnya yang memberitahu Masumi suka berada
di sini. Tetapi ayahnya seharusnya tahu, Masumi tak suka diganggu saat sedang
berada di villanya ini.
“Masumi,” wajah Shiori agak memucat. “Apa ini? Kau…
menyimpan album gadis itu?”
Masumi mendekat dengan cepat dan merenggut album itu
dari Shiori. Sejenak, Masumi mengamati foto-foto yang ada di sana sebelum
menutupnya.
Shiori mengerutkan alisnya, ia bisa melihat raut
yang lembut,penuh kerinduan sekaligus kesedihan saat Masumi mengamati foto Maya
di sana tadi.
“Apa kau sengaja mengumpulkan foto-foto Maya? Atau…
dia memberikannya kepadamu?” selidik shiori.
Masumi meletakkan kembali album itu ke tempatnya,
dan buku-buku di baliknya. Ia tak berusaha mencari alasan Shiori membongkar
buku-bukunya. Kenyataan gadis itu bisa menemukan album Maya, bisa terjadi
karena dia yang tidak merapikannya dengan baik.
“Aku ini Direktur Daito. Apa yang kuinginkan bisa
kudapatkan,” ujar Masumi. Ia lantas berbalik, menatap Shiori tajam. Melihat
gadis itu sangat terkejut dan terpukul.
Jadi begitu. Masumi sama sekali tidak melupakan
gadis itu.
“Kau… benar-benar sangat mencintai Maya?” desis
Shiori.
Masumi merasakan hatinya sakit. Sekarang dia tidak
tahu lagi bagaimana masa depan kisahnya dengan Maya. gadis itu sudah tak
mempercayai cintanya lagi, dan setelah kejadian di pementasan perdana Isadora,
apalagi yang bisa membuat Masumi berharap Maya masih akan mencintainya.
Tapi, “Ya. Kau sudah tahu itu.” Itulah yang Masumi
katakan.
“Masih?” tanya Shiori, dengan perasaan tak kalah
sakit. Setelah semua hal yang ia sebabkan, setelah teriakan kebencian Maya saat
itu. Pria ini…
“Selamanya,” jawab Masumi.
Shiori mengepalkan tangannya. “Ka-kau… bodoh!”
serunya, ia menggeretakkan giginya. “Aku tidak pernah bertemu pria sebodoh
dirimu, Masumi Hayami!” Shiori terengah karena rasa sesak akan kekecewaan,
kesedihan, kemarahan dan putus asa. “Kau… kau bisa bersamaku! Orang yang lebih
sesuai denganmu, yang tahu cara menghargai perasaanmu, mencintaimu, mengabdi
kepadamu! Yang akan membuatmu merasa bangga, tersanjung!” Serunya
menggebu-gebu. “Dan kau… kau…” shiori gemetaran, tak pernah seumur hidupnya
gadis yang penuh rasa percaya diri dan keyakinan itu gemetar seperti saat ini.
Melihat Masumi yang bersikukuh menyerah pada rasa
cintanya tidak seperti sosok seorang Direktur Daito yang sesungguhnya.
Seharusnya dia memilih jalan yang mudah untuk mendapatkan cintanya, seharusnya
ia tak perlu berpikir panjang untuk menggadaikan cintanya. Kenapa, kenapa
seorang Masumi Hayami bersikukuh dengan hal yang sia-sia… demi… Maya Kitajima?
“Dia bahkan tidak tahu cara menghormatimu, tidak
tahu betapa beruntungnya dia dicintai olehmu, dia… yatim piatu, tidak memiliki
apa-apa, Masumi. Dia bahkan tak memiliki koneksi, atau jenjang pendidikan yang
layak, kurasa. Dia terlalu sederhana, terlalu timpang untukmu…” Shiori mulai
terdengar memohon walaupun bukan itu yang dia maksudkan. “aku tidak mengerti…
ke-kenapa kau… jadi ikut bodoh….”
“Aku juga tidak tahu,” Masumi tersenyum pasrah. “Aku
bahkan tak mengenali diriku sendiri saat bersamanya. Tetapi, yang aku tahu…”
Masumi menghela napas, “Aku hanya bahagia jika bersamanya. Penampilannya memang
sederhana, tetapi kesederhanaan itu, membuatku merasa lebih nyaman dari apa
pun, senyumnya yang polos, tak pernah membuatku bosan melihatnya, tawanya
terdengar lebih merdu dari nyanyian apa pun. Bahkan kemarahannya tak mampu membuatku
melupakannya. Wangi rambutnya, tubuhnya, protes kecil yang keluar dari
bibirnya, caranya merajuk, wajah malu-malunya… dia… membuatku gila… tak bisa
berpikir lagi,” Masumi mengungkapkan perasannya dengan terus terang. “Aku
bahkan tidak tahu sejak kapan kepalaku hanya dipenuhi olehnya. Dan sampai kapan
hanya akan dipenuhi olehnya. Hanya dia…”
Shiori mengeratkan rahangnya, dan baru kali ini,
airmata mulai mengalir di pipinya. Mata nanarnya mengamati Masumi. Masumi yang
putus asa akan cintanya, sama seperti dia.
“Dan kau… kau akan tetap… menunggunya?”
Menunggunya? Masumi tidak tahu. Menunggu apa?
Menunggu Maya berpaling kepadanya? Mungkinkah? Menunggu hingga Maya menemukan
pasangan hidupnya? Sanggupkah?
“Aku hanya akan mencintainya. Hanya itu yang aku tahu,”
Masumi sekali lagi tersenyum pasrah. Senyuman yang tak akan pernah dilihat
siapa pun sebelumnya berada di wajah dingin Masumi Hayami.
Shiori gemetar mendapatkan jawaban itu. Dia pernah
mendengar cinta tulus yang tak mengharapkan balasan apa pun. Tetapi… saat dia
menemukannya, walaupun itu bukan untuknya….
Shiori meraih sapu tangan dan menghapus airmatanya.
Setidaknya, dia harus mempertahankan harga dirinya.
“Tapi aku tidak sebodoh dirimu, Pak Masumi Hayami,”
tegasnya, menyusut airmata di wajahnya. “Aku datang kepadamu, menawarkan
sesuatu yang lebih baik, yang lebih menguntungkan. Tapi jika kau tidak bisa
melihatnya…”
“Aku yakin, akan ada seseorang yang lebih cerdas,
yang menyadari betapa beruntung dia bertemu wanita sepertimu.”
“Tentu saja!” Shiori mengangguk pasti. “Ini adalah
kerugianmu,” tukasnya, memasukkan kembali sapu tangannya ke dalam tas.
Keduanya berpandangan.
Shiori mengamati sosok Masumi yang membelakangi
jendela, tampak bersinar, tegap, gagah, tampan. Pria paling memukau yang pernah
ditemuinya.
Irisan itu masih terasa di hatinya. Tetapi,
mempermalukan dirinya sendiri tidak akan mengubah perasaan Masumi. Ia tidak
akan memohon, atau menghiba. Ia seorang wanita yang lebih baik dari itu.
Dan tentu, akan ada pria yang lebih baik dari Masumi
untuknya.
“Kalau begitu, aku permisi, Pak Masumi Hayami… Aku
tidak akan menganggumu lagi. Hanya saja, kusarankan, karena Maya Kitajima
tidaklah secerdas aku, sebaiknya katakan saja sejujurnya apa yang kau rasakan
dan pikirkan. Jangan menyembunyikan apa pun karena dia tidak akan mengerti apa
yang tidak dia lihat dan tidak dia dengar. Akan lebih baik jika kau jangan
terlalu banyak berteka-teki dengannya, karena dia tidak akan memahaminya.”
“Kau yang sudah membuatnya salah paham kepadaku,”
geram Masumi, walau kali ini tak semarah sebelumnya.
Shiori tertawa puas, dan lantas beranjak dari sana.
Masumi mendengus, dan tersenyum kecil. Ia mendapat
firasat wanita itu tak akan lagi merecoki hidupnya.
Bagaimana pun, ucapan Shiori memang ada benarnya.
Maya, tak pernah benar-benar mempercayainya. Masih ada Masumi yang jahat di
dalam pandangannya. Lalu, Masumi harus bagaimana? Apalagi dengan kejadian di
Isadora, Maya pasti tak akan pernah memaafkannya.
Masumi mengamati foto Maya, menyusuri wajah ceria
gadis itu dengan telunjuknya.
Gadis itu memang sering salah paham, tetapi sekali
lagi Shiori benar, sikapnya lah yang selalu membuat Maya salah paham. Lalu…
bagaimana? Bagaimana agar Maya tahu bahwa dia benar-benar tulus mencintainya?
Bukan semata-mata karena perjodohan, karena ingin
berbakti kepada orang tua mereka, atau karena Maya seorang calon Bidadari
Merah?
Mawar Ungu….
Apakah… Jika dia membuka identitasnya sebagai Mawar
Ungu, Maya akan percaya?
Tetapi, bagaimana jika sebaliknya, jika Maya malah
berbalik marah dan tak mau menerima mawar ungu darinya lagi??
Tangan Masumi gemetaran. Dia terlalu takut
kehilangan sehingga takut mengambil resiko yang akan memutuskan hubungannya
dengan Maya dalam bentuk apa pun.
=//=
Masumi memarkirkan mobilnya. Saat ia turun dan
hendak beranjak ke rumahnya, Masumi mengamati seorang tukang kebun tengah
membawa sesuatu di tangannya.
“Apa itu!?” tanya Masumi sambil melangkah
mendekatinya.
Tukang kebun itu menoleh dan memperlihatkan benda di
tangannya. “Ini tuan…. Tadi saya menemukan balon-balon ini di kebun, sepertinya
terbawa angin entah dari mana.”
“Balon?” Masumi meraihnya. “Coba kulihat.”
Diamatinya balon-balon kempes yang agak kotor itu.
“Ini…”
“Iya, Tuan, itu ada suratnya. Ini mungkin anak SD
ya, Tuan, yang mau mengirim surat kepada teman atau idolanya,” pikir tukang
kayu itu.
Masumi membaca tulisan di amplop.
Kepada Mawar Ungu.
Alisnya naik seketika. Mawar Ungu…?
Mungkinkah….
“Tuan?” tegur si tukan kebun melihat Masumi hanya
termangu saja.
“oh, ini… biar kubawa dulu, tidak usah dibuang,”
putus Masumi.
“oooh… yaa.. ya… Tuan…” tukang kebun itu mengangguk
lambat-lambat dengan bingung. Untuk apa Masumi memungut balon-balon itu?
Masumi menghempaskan dirinya di sofa di kamarnya. Ia
meraih amplop yang lusuh itu dengan penasaran. Benarkah apa yang dipikirkannya?
Masumi membuka amplopnya, dan mendapati sebuah
surat. Ternyata benar saja! Yang disangka tukang kebun sebagai anak SD, itu
adalah Maya Kitajima! Dia hapal tulisan tangannya, juga, tentu saja ada nama di
bawah suratnya.
Senyuman Masumi terurai, walaupun dia masih bingung
dengan cara balon itu bisa terdampar di kebun rumahnya, atau alasan Maya
menerbangkan surat untuk mawar ungu dengan balon-balon—yang dia yakini balon
pemberiannya. Semuanya terasa aneh, sekaligus menakjubkan.
Masumi mulai membuka surat itu, dan membacanya.
=//=
Pak Kuronuma sibuk memberikan arahan kepada kru dan
pemain Paang Liar yang Terlupakan yang akan pentas esok hari. Para pemain,
terutama yang berasal dari kalangan awam, merasa tak sabar sekaligus gugup
karena akan melakukan pentas perdana mereka.
Mai, pacar Koji, membawakan makanan penyemangat yang
dibuatnya sendiri. Teman-temannya juga membicarakan mengenai keluarga mereka
yang akan datang dan membawakan makanan untuk mereka besok.
Maya mengamati semuanya sambil tersenyum. Ikut senang,
tetapi juga… kesepian. Teman-temannya sibuk dengan pekerjaan mereka, belum bisa
ikut menyaksikan besok.
Tapi, Maya sudah menyerahkan tiket undangan untuk
Masumi. Apa pria itu akan datang? Dia… akan datang kan?
Ah! Tidak datang juga bukan urusannya! Masa bodoh!
Dia sudah tidak ada hubungannya lagi dengan pria itu! Mau datang atau tidak,
dia tak peduli! Maya meyakinkan dirinya.
Tetapi, dia juga ingin mendapatkan ucapan selamat
dan perhatian khusus dari seseorang di hari pentas perdananya….
“Maya! Ada kiriman bunga!” panggil seseorang.
Eh? Kiriman bunga? Dengan cepat Maya beranjak,
menuju ke pintu.
“Ada kiriman
bunga,” pria yang merahasiakan sebelah matanya itu menyerahkan sebuah buket
bunga Mawar Ungu yang cantik.
“Terima kasiiih…” ucap Maya gembira, menerima buket
bunga itu. “bapak tukang bunga, apakah pengirim bunga ini akan datang ke
pementasanku?”
“Tentu saja, dia sudah sangat menantikan pentas
ini.”
“Ah! Benarkah!?” Mata Maya berkilau. “Kapan
kira-kira dia akan datang?”
“Dia akan datang pada pementasan perdana besok.”
“Oh ya? benarkah? Sungguh?”
“Ya. beliau memang orang yang sangat sibuk. Tetapi
untuk pentasmu, dia selalu menyediakan waktu. Beliau selalu menikmati janji.”
Maya terharu mendengarnya. Ia tersenyum bahagia.
Mawar Ungu akan datang di pentas perdanaku!
“Katakan kepada pengirim mawar ungu ini, walaupun
aku tidak tahu wajahnya, jika aku tahu dia ada di antara penontonku, aku akan
berakting sebaik-baiknya, untuknya, Mawar Ungu…” ucap Maya dengan tulus.
Hijiri tersenyum sendu mengamati Maya. entah kenapa
kedua orang itu harus mengakhiri kisah kasih mereka. Padahal, Hijiri tahu Maya
sempat menerima Masumi dan mungkin, gadis itu sebetulnya masih mencintai
tuannya itu.
Hijiri berpamitan dan pergi dari sana.
“Dia masih saja setia membantu dan mengirimimu
bunga,” tegur Koji, saat melihat Maya mendekat buket bunganya erat.
Wajah Maya merona, tampaknya bahagia. “Ya, katanya
besok dia akan datang.”
“Bagus sekali,” Koji tersenyum sekadarnya. “Sudah
cukup lama kan, dia mengirimimu bunga.”
“Ya. Sejak pentas perdanaku. 6 tahun yang lalu,”
Maya tersenyum.
“Dan selama itu, dia masih menyembunyikan
identitasnya darimu?”
“Begitulah.”
“Apa kau tidak tahu siapa dia?”
Maya menggeleng kecewa. “Aku sangat ingin bertemu
dengannya. Tetapi…” Maya menghela naoas pasrah. “Jika dia tidak ingin
mengungkapkan jati dirinya, aku juga tidak bisa memaksa. Aku sudah cukup senang
dia masih memperhatikanku. Kalau aku memaksa, nanti dia malah tidak mau
menontonku lagi.”
Sakurakoji mengamati bunga itu. Agak cemburu. Entah
kenapa, Sakurakoji merasa perhatian tak biasa dari pengirim bunga itu kepada
Maya, agak berlebihan. Kenapa dia harus menyembunyikan identitasnya? Pasti,
pengirim bunga itu, punya perasaan lebih dari sekadar mengangumi akting Maya
saja. Sepertinya, ada sesuatu, yang membuat pengirim bunga itu tetap
menyembunyikan identitasnya sekian lama.
“Koji!!” panggil Mai.
Koji menoleh, mendapati gadis itu merengut. Pasti,
karena Koji bicara dengan Maya.
“Mai mau pulang,” katanya, agak manja.
“Baiklah, hati-hati di jalan…”
Mai mendelik sejenak kepada Maya dan bicara lagi
kepada Sakurakoji. “Apa tidak bisa mengantar sampai halte bus?” pintanya,
kembali melirik sebal kepada Maya.
“Ah, oh, ehm… aku masuk dulu ya, mau menyimpan buket
bunganya dulu,” Pamit Maya, salah tingkah. Ia lantas berlalu meninggalkan
Sakurakoji dan Mai.
Sakurakoji mengantarkan Mai, keluar dari teater
ugetsu.
Mai mengamati ragu-ragu pemuda yang berjalan di
sampingnya. Sakurakoji memang sangat baik. Jika Mai minta ini, dia turuti, Mai
aja ke sana, dia temani. Dulu juga yang pertama mendekati, Mai, dengan alasan
minta ditemani membaca naskah. Tetapi, jika ada Maya… seprtinya, Mai jadi tidak
terlihat.
Mai sudah senang saat tahu Maya bertunangan dengan
masumi hayami. Mengejutkan—tapi biar saja, setidaknya dia tahu Sakurakoji tidak
akan bersama gadis itu lagi. Tetapi, kabar terakhir menyebutkan keduanya putus
tunangan. Mai jadi ketakutan, Koji akan meninggalkannya untuk Maya.
Mai melingkarkan tangannya di lengan Sakurakoji.
Pemuda itu menunduk dan mengamati Mai penuh tanya. Wajah gadis itu merona dan
salah tingkah.
“Besok aku akan membuatkan cake spesial untukmu,”
ucap Mai. “Cake ini, pertama kalinya Mai buatkan untuk seseorang… yang
istimewa,” ungkapnya.
Sakurakoji tersenyum, matanya menyipit. “Jangan
memaksakan, kau datang saja, aku sudah senang.”
“Benar?” Mai tak percaya.
Sakurakoji tersenyum dan mengangguk.
“Aku tahu kok, kau hanya basa basi,” Mai membuang
mukanya. “Kau juga tidak sungguh-sungguh mau aku datang kan?”
“Kenapa bicara begitu, Mai?” tanya Sakurakoji.
“Kan… ada Maya Kitajima, jadi… Mai ada atau tidak,
kau pasti tidak peduli.”
Sakurakoji terkejut, lalu menyentuh bahu Mai. “Tidak
seperti itu kok…”
Dia tahu, Maya sama sekali tak pernah melihatnya.
Bahkan, seorang Masumi Hayami yang notabene adalah musuh bebuyutannya, bisa
membuat Maya jatuh cinta. Tetapi tidak dirinya. Bukan Sakurakoji. Padahal, jika
saja Maya ada hati kepadanya walaupun hanya sedikit, Sakurakoji akan
membalasnya beribu kali lipat. Tapi tidak.
“Kami hanya teman baik. Teman lama. Tidak lebih…”
jelas Sakurakoji.
“tapi aku tahu kalian pernah dekat.”
“Hanya sebatas dekat,” jelas Sakurkoji. “Aku sudah
lama tidak melihatnya. Tetapi selebihnya… kami benar-benar hanya berteman. Aku
tahu dia mencintai orang lain, dan… dia tahu aku bersamamu.”
Mai mendongak. “Kau tidak akan membuangku demi dia?”
Sakurkoji tersenyum simpul. “Mai gadis yang baik.
Manja, dan kekanakan, tapi kau sangat baik kepadaku. Bagaimana bisa aku
membuang gadis yang baik? Kalau aku tidak bertemu gadis yang baik lagi,
bagimana?”
Mai terlihat lebih merona lagi. Gadis ini memang
kolokan, tapi dia juga gadis yang manis dan sangat perhatian kepada Sakurakoji.
Mai melingkarkan tangannya lagi di lengan Sakurakoji
erat-erat. “Aku sangat menyukai Koji!” cetusnya.
Sakurakoji menghela napasnya dan menunduk, “Aku juga
menyukaimu, Mai…” balasnya.
=//=
“Hei, hujan sudah turun!!” seru seorang kru.
“Aduuhh bagaimana ini? Apa kata ramalan cuaca?”
“Katanya badai sedang menuju Kanto!”
“Padahal orang tuaku akan datang dari desa…”
Serta banyak keluhan lain dan rasa kecewa yang
keluar dari mulut para kru dan pemain.
Maya terdiam dengan sendu, menggenggam mawar ungunya
dengan erat.
Hijiri sempat berkata Mawar Ungu akan datang pada
pentas perdananya. Tetapi, jika keadaannya seperti ini…
Mawar
Ungu… Maya menunduk, berharap Mawar Ungu akan datang.
Mawar ungu… dari semua orang yang akan datang di
hari ini, aku…. Aku sungguh berharap kau akan datang menyaksikan pentasku hari
ini, batin Maya.
Ia lantas teringat Masumi. Ia juga, sesungguhnya
ingin sekali melihat pria itu, jauh di dalam lubuk hatinya. Namun ia sudah
tahu, tak pernah ada sesuatu yang suci dan murni di antara mereka. Masumi
berkali-kali mengkhianati kepercayaannya, dan berkali-kali mengecewakannya.
Maya tahu, ia tak bisa berharap pria itu akan hadir
jika memang kondisi cuaca separah yang diramalkan. Ia sudah putus asa kepada
pria itu. tak akan berharap banyak lagi. Malahan, jika saja bisa, biar pria itu
tak usah muncul lagi di hadapan Maya, agar hatinya tak lagi merasa galau.
Sakurakoji mengamati Maya. Lama.
Seperti biasa gadis itu tak menyadari keberadaannya.
Bahkan sapaannya sempat tak dihiraukan Maya yang tengah memeluk mawar ungunya
erat. Sepertinya, tengah menantikan kehadiran orang yang tak pernah dilihatnya
itu.
Sakurakoji mendengus, pasrah. Maya memang tak akan
pernah memandangnya dengan cara selain pandangan seorang teman baik. Ia
berbalik meninggalkan Maya sambil tersenyum sendu.
=//=
Masumi mendongak, mengamati langit kelam yang
menghujani bumi dengan tetesan begitu kuat dan deras, angin keras berputar-putar,
menyetir awan dan menggerakkan alam dengan mengerikan.
“Bagaimana
pun, Anda akan tetap pergi, Pak Masumi?” Mizuki memastikan.
“Ya.”
=//=
[Topan badai dengan kekuatan angin yang tetap kuat
akan melanda daerah Timur Laut Jepang pada pukul 20.00. Telah dikeluarkan
peringatan tentang hujan deras. Dan di sekitar pantai akan ada gelombang besar.
Harap berhati-hati.]
“Bagaimana ini? Sepertinya tidak akan ada yang
datang,” resah Maya.
Semua sudah bersiap dengan kostum masing-masing dan
setting panggung sudah disiapkan. Namun cuaca tak kunjung membaik, malah
semakin memburuk.
“Pukul 20.00 kan tepat di tengah pertunjukan…”
“Kita tidak bisa membatalkan pentas, karena sudah
banyak yang membeli tiket. Walaupun yang datang hanya seorang, kita tetap akan
pentas,” putus Kuronuma.
=//=
Topan semakin kencang, dan menerbangkan berbagai
benda yang tak terancang kuat. Keadaan sangat gelap dan hanya terdengar suara
deru angin yang begitu kencang, menghasilkan suara yang menyeramkan yang terasa
menghantui, saat mobil yang ditumpangi Masumi berusaha menerobosnya.
“Jalan di depan tak bisa dilalui!!! Putar mobilmu!!”
seru seorang petugas sambil mengacung-acungkan senternya.
“Bagaimana, Pak Masumi? Selain jalan ini kita tidak
bisa menuju gedung Ugetsu,” ujar sopirnya, yang diam-diam merasa lega.
Masumi tak berpikir panjang. Ia membuka pintu
mobilnya.
“Pak Masumi!!?”
“Aku akan jalan.”
“Pak Masumi…” sang sopir termangu tak percaya.
Pria itu berjalan, menerobos badai, demi pementasan
perdana, mantan tunangannya.
Maya… Masumi
berusaha tak mempedulikan suara angin yang menakutkan dan memekakkan telinga,
berusaha tak menghiraukan rasa dingin yang menembus mantel tebal andalannya,
atau tetesan hujan yang sangat menyakitkan di wajahnya.
Ia hanya mengingat Maya.
Maya…
Maya….
Maya…
Gadis itu akan pentas perdana hari ini. Dia pasti
sangat sedih jika tidak ada penontonnya. Jika sandiwaranya tidak jadi
ditayangkan.
Suasana di sekeliling Masumi mencekam. Tidak ada
orang atau kendaraan yang berkeliaran. Hanya dia, dan badai.
Mawar
Ungu…
Masumi teringat isi surat Maya yang ditujukan kepada
Mawar Ungu dan secara ajaib jatuh di pekarangannya.
Mawar
Ungu… bagaimana kabarmu hari ini? Kuharap kau dalam keadaan sehat selalu. Mawar
Ungu, aku ingin sekali bertemu denganmu. Belakangan ini, aku merasa sangat bingung
dan galau. Aku tidak tahu kepada siapa harus kuceritakan isi hatiku… Seandainya
bisa, aku ingin sekali mencurahkan isi hatiku kepadamu.
Mungkin
aku terlalu berlebihan, tetapi walaupun tidak pernah bertemu, aku merasa aku
selalu bisa mengandalkanmu. Mungkin, seperti seorang ayah yang tak pernah
kukenal, seorang paman yang tak pernah kutemui, atau sahabat yang paling
mengerti aku.
Karena
itu, hanya kepadamu aku bisa mengatakan semua ini. Mawar Ungu, kau ingat kan
mengenai Pak Masumi Hayami yang kuceritakan di surat sebelumnya, yang
bertunangan denganku? Ya, semua karena surat darimu yang mengatakan kepadaku
agar mencoba menerimanya dan aku melakukannya. Kau juga pasti sudah membacanya
di media bahwa kami akan mengadakan pesta pertunangan.
Uhm…
ternyata… Pak Masumi Hayami, tidak seburuk yang kubayangkan. Kami memang selalu
bertengkar jika bertemu. Habis, kalau ada dia, entah kenapa aku jadi gugup dan
salah tingkah, akhirnya aku jadi marah-marah. Tapi… ternyata belakangan ini,
saat dia tidak ada… aku jadi suka uring-uringan (sahabatku Rei yang
mengatakannya). Habis, aku kesal dia mendiamkanku dan tidak ada kabarnya.
Ternyata, saat kami bertemu lagi, dia bilang kalau dia sakit perut—yah
semuanya gara-gara aku memberinya sarapan mie instant. Dan dia menghindar agar
aku tidak merasa terkekang katanya. Dia juga mencarikan balon saat aku marah.
Dia baik sekali, tak mengatakan bahwa dia sakit perut, karena itu pertama
kalinya aku membuatkan sarapan untuknya. Dia juga berjanji suatu saat
mengajakku ke taman bermain dan menari hula-hula.
Aku tak mengira Pak Masumi begitu memikirkanku. Dan juga... Aku jadi
bingung, karena sepertinya aku juga mulai menyukainya lebih dari yang kukira. Bahkan,
kurasa aku mencintainya… Sangat mencintainya. Mawar Ungu… aku menulis dengan wajah
merah padam, aku malu sekali mengakuinya. Aku hanya mengatakan ini kepadamu
karena aku mempercayaimu. Sekarang, kalau tidak bertemu dengannya, aku selalu
merindukannya. Kalau bertemu dengannya, aku jadi sangat gugup, tapi juga sangat
senang.
Mungkin, selain dirimu, Mawar Ungu, Pak Masumi adalah satu-satunya orang
yang membuatku selalu memikirkannya dan ingin sekali bertemu dan selalu
bersamanya.
Tapi, aku tidak tahu bagaimana mengatakan kepadanya bahwa aku
mencintainya. Apa aku harus mengatakannya? Tapi aku maluuu…. Nanti dia
mengejekku, bagaimana?
Selain itu, aku jadi benar-benar tak percaya diri sekarang, karena ada
seorang perempuan yang sangat cantik selalu ada di dekatnya. Dia juga pintar
dan kaya. Aku sadar aku tidak pantas untuk Pak Masumi.
Mawar Ungu, maaf jika aku membuatmu bingung, karena aku juga bingung
sekali sekarang dengan perasaanku. Aku tidak pernah jatuh cinta seperti ini,
sampai-sampai ingatanku hanya tentang dia saja. Aku sangat bahagia bertunangan
dengannya. Tetapi, sepertinya, dia hanya terpaksa bersamaku. Tidak mungkin dia
jatuh cinta pada gadis seperti aku kan? Kalau nanti setelah menikah dia sadar
sudah melakukan kesalahan bagaimana? Kalau dia selingkuh bagaimana? Tolonglah
aku, Mawar Ungu, apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak tega kalau Pak
Masumi terpaksa bersamaku yang tidak sederajat dengannya hanya karena
permintaan orang tua kami dulu. Apakah mungkin pria seperti dia mencintaiku?
Mawar Ungu, ingin sekali aku bertemu denganmu, karena selama ini kau
selalu tahu masalah yang kuhadapi dan membantuku, sepertinya aku mulai terlalu
banyak bergantung kepadamu. Maafkan aku jika menyusahkanmu terus ya…
Terima kasih banyak untuk perhatiannya. Maaf jika suratku menghabiskan
waktumu.
Salam,
Maya Kitajima yang sedang kebingungan.
Masumi sempat tertawa dan menggeleng tidak percaya
saat membaca surat Maya untuk Mawar Ungu yang sampai kepadanya. Sepertinya,
surat itu dibuat Maya sebelum mereka pergi ke taman bermain.
Tetapi, Masumi akhirnya tahu, gadis itu menyimpan
perasaan yang sama untuknya. Setidaknya, pernah memiliki rasa cinta baginya.
Dan Masumi, sangat ingin menemuinya.
Masumi ingin gadis itu tahu dia akan selalu
mendukungnya, mencintainya, dan selalu ada untuknya.
Hanya dengan memikirkan Maya, membayangkan wajah
Maya, memanggil nama Maya dalam hatinya, Masumi terus berjalan menerobos badai
yang menghadangnya. Tak selangkah pun Masumi surut dengan tekadnya menyaksikan
pentas perdana Maya.
Dia sudah berjanji akan datang, dan dia akan
menepatinya.
=//=
Kuronuma
menatap jam tangannya. Pukul 18.30. Sudah waktunya pentas dimulai. Apa boleh
buat…
“Saudara-saudara, karena hingga saat ini tidak ada
seorang pun yang datang, maka dengan terpaksa, pentas ini—“
“Krriiieeett…” suara pintu teater terbuka.
Semua perhatian sontak teralihkan ke sana.
Apakah pintu itu terbuka karena angin? Ataukah…
Semua orang terhenyak bersamaan, saat sosok di balik
terbukanya pintu terungkap. Masumi Hayami, dalam keadaan basah kuyup, muncul di
hadapan mereka.
“Pak Masumi Hayami!!” seru mereka.
Kompak sekali.
Masumi bergerak masuk, menuruni bangku penonton.
“Kenapa saudara-saudara? Seharusnya kan sudah mulai. Apa aku salah membaca
waktu dimulainya pentas ini?” tanya Masumi dengan gaya superiornya yang sangat
khas.
“lihat… dia basah kuyup…” desah seorang kru tak percaya.
Pak
Masumi… Maya tercengang mengamati pria itu.
Dengan tenang Masumi membuka mantelnya dan duduk di
kursinya. “Silakan dimulai, saudara-saudara.”
Kuronuma langsung bersemangat. “Baiklah!! Ayo
semuanya naik ke panggung! Kita mulai pentasnya!!”
“HOREEE!!!” sambut yang lainnya, tak lagi
menghiraukan badai yang semakin mengamuk di luar.
Maya melangkah mendekati Masumi dengan penuh tanya. Tak
percaya, takjub, terharu, gembira… berbagai perasaan berkecamuk di hatinya.
Tapi yang pasti, rasanya seperti mimpi melihat
Masumi di sini. Dan, pria itu memang di sini!