Sunday 9 February 2014

Fan Fiksi : To Make You Love Me 4

Posted by Ty SakuMoto at 19:19 28 comments

To Make You Love Me
(Chapter 4)




Maya sangat terkejut dengan apa yang Masumi lakukan. Walaupun begitu, butuh waktu beberapa lama bagi Maya membebaskan dirinya dari pria itu.
 
"Lepaskaaaann iih!!!" Maya mendorong Masumi kuat-kuat dan membuang wajahnya dari pria itu.
Akhirnya, Maya terbebas juga. Matanya berkaca-kaca dan memandang Masumi dengan gusar, "Ka-kau... kau..." gadis itu gemetaran, karena sebenarnya Maya masih tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Kepalanya mendadak kosong, masih terkejut dengan apa yang Masumi lakukan dan tidak benar-benar mengerti dengan apa yang dia rasakan.
Sementara Masumi bergeming dengan dominannya. Wajahnya sama sekali tanpa ekspresi sesal atau lainnya. Pria itu berkata, "Aku tidak mau lagi mendengar mengenai keinginanmu membatalkan pernikahan. Jika memang harus gagal, biarlah rumah tangga kita gagal nanti di tengah jalan! Jangan menghalangi satu-satunya caraku berbakti kepada ibuku, kau mengerti!? Kalau kau mau menjadi anak yang tidak berbakti, jangan menyeretku jadi tidak berbakti juga!" tandas Masumi.
"Si-si-si... siapa yang tidak berbakti! Aku juga mau berbakti! Tetapi kalau menikah..."
"Hah! Itu seperti mengatakan ingin mendapatkan nilai yang bagus tetapi tidak mau belajar!" tukas Masumi dengan keras.
Maya gelagapan, tidak tahu lagi harus berkata apa. Ia ingin sekali bertemu ibunya dan bertanya apa dia sungguh-sungguh harus menikah dengan pria kasar ini? Sama sekali bukan pria idaman yang dia pikir bisa dijadikan suaminya.
"Jawab!!" seru Masumi keras.
"A!! A!!" sahut Maya spontan tidak kalah keras.
"A?" dahi Masumi berkerut. "Kau terbiasa menjawab soal pilihan ganda dengan acak ya? Tiba-tiba saja menyahut A! A!" sindirnya.
Wajah Maya langsung merah padam. Rahasianya terbongkar.
Maya menatap Masumi memelas, dan agak takut-takut. "Bi-bisa tidak sih... jangan... jangan kasar begitu!" seru Maya, hampir menangis. "Kenapa jadi aku yang dibentak-bentak, padahal... padahal... tadi aku yang marah..."
"Karena kau selalu berkata seenaknya! Sebentar bilang ini, lalu bilang itu, lantas anu, dan tiba-tiba saja, A! A! Apa itu!? Masa mau berbakti kepada orang tua saja harus berpikir sebanyak itu?"
Akhirnya, Masumi menemukan kata ajaibnya: berbakti kepada orang tua.
Maya menunduk dan memainkan jemarinya. "I-iya.... maaf... maaf..."
Hebat, Masumi! Kau yang menciumnya, dia yang meminta maaf kepadamu, pikiran culas Direktur Daito itu memuji dirinya sendiri.
"Sudahlah," Masumi menghela napasnya. "Jaga dirimu baik-baik. Saat hari pertunangan kita dan pernikahan kita nanti, kau harus sehat dan segar bugar, dan ingat, jangan berpikir kabur dari kewajibanmu. Kalau kau kabur ke manapun, aku akan mencarimu. Kalau kau sakit, aku akan membawa pendeta ke rumah sakit!" ancam Masumi.
Maya memonyongkan bibirnya lima senti, tetapi sekali lagi dia tidak bisa menampik. Akhirnya dengan bersungut-sungut Maya turun dari mobil. Tampaknya, ia benar-benar tidak bisa kabur dari pria yang berjodoh dengannya ini.
=//=
“Reeiii!!!” Maya segera memeluk Rei saat masuk ke dalam apartemennya.
“Ada apa Maya?” tanya Rei tidak kalah panik.
“Masumi Hayami….” Maya mengadu.
“Pak Masumi? Ada apa dengan Pak Masumi?”
Maya terlalu malu mengatakan Masumi tadi menciumnya, dua kali! Dan ciumannya berbeda dengan kecelakaan saat pertemuan keluarga dahulu. Sampai sekarang saja masih membekas di kepalanya (juga bibirnya). Tuh kan, mengingatnya lagi saja jantung Maya berdebar sangat keras dan wajahnya begitu panas.
“Ada apa?” tanya Rei lagi karena Maya tidak kunjung menjawab. “Jawab Maya!”
“C! C!!” seru Maya spontan.
“C?” Alis Rei berkerut. “Kau ini bicara apa sih?”
“Ah, ma-maaf… kebiasaan…” Maya segera membungkam mulutnya dengan telapak tangan.
“Jadi, kenapa? Apa yang terjadi? Bukankah kau habis melihat gedung untuk pertunangan nanti? Kau tidak menyukainya?”
“Yang benar saja! Ruangannya sangat bagus… masa aku tidak suka? Tapi… tapi Pak Masumi memarahiku…”
“Kenapa?”
Maya menunduk kesal dan sedih, “Karena aku bilang ingin membatalkan pernikahannya…”
Mata Rei membundar, “Apa? Kau mengatakan itu? Jadi… kalian tidak jadi menikah?”
“Bukan,” tampik Maya dan berkata dengan kalut. “Pokoknya dia bilang mengenai ini dan itu… soal mencari kemana pun, membawa pendeta ke rumah sakit…”
“Hah? Dia mau merumahsakitkan pendetanya kalau tidak jadi menikah?” Rei terbelalak, “Apa salah pendeta yang tidak berdosa itu?”
“Bukan, Rei! Bukan…! Bukan begitu dia mengatakannya, tetapi seperti ini…”
Tiba-tiba Maya diam, membisu. Rei memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan menyadari Maya masuk pada saat-saat trans. Maya memejamkan matanya dan memikirkan Masumi Hayami.
Masumi Hayami.. Masumi Hayami…
Aku adalah Masumi Hayami…
Saat gadis itu membuka matanya lagi, Rei merasakan dadanya berdebar keras. Maya si jago akting melihatnya dengan ekspresi yang berbeda. Tatapannya begitu percaya diri dan tajam, sikap tubuhnya mendominasi dan dia berkata dengan dalam dan mantap, “Aku tidak mau lagi mendengar mengenai keinginanmu membatalkan pernikahan. Jika memang harus gagal, biarlah rumah tangga kita gagal nanti di tengah jalan! Jangan menghalangi satu-satunya caraku berbakti kepada ibuku, kau mengerti!? Kalau kau mau menjadi anak yang tidak berbakti, jangan menyeretku jadi tidak berbakti juga!"
Rei tertegun, hatinya gentar dengan cara Maya menatapnya dan mencondongkan tubuh kepadanya. Mendadak Maya terlihat berambut pendek dan berwajah tampan.
“Kau selalu berkata seenaknya! Sebentar bilang ini, lalu bilang itu, lantas anu, dan tiba-tiba saja, A! A! Apa itu!? Masa mau berbakti kepada orang tua saja harus berpikir sebanyak itu?”
“A…? A…? Maafkan aku sudah plin plan,” ujar Rei, agak takut sekaligus bingung dengan cara bicara gadis itu yang mendominasi.
“Sudahlah! Jaga dirimu baik-baik. Saat hari pertunangan kita dan pernikahan kita nanti, kau harus sehat dan segar bugar, dan ingat, jangan berpikir kabur dari kewajibanmu. Kalau kau kabur ke manapun, aku akan mencarimu. Kalau kau sakit, aku akan membawa pendeta ke rumah sakit!"
“Ba-baiklah!” Rei mengangguk-angguk.
“Itu Rei, yang dia katakan….” Rajuk Maya yang sudah kembali ke aslinya.
“Eh!?” Rei tertegun, kembali menjadi dirinya lagi. Apa yang baru saja terjadi? Pikir Rei, seraya mengamati Maya yang tadi berakting sempurna menjadi Masumi.
“Dasar pria menyebalkan! Sama sekali tidak bisa bicara dengan lembut.”
“Tapi… kurasa perkataannya ada benarnya juga,” tukas Rei. “Kau memang harus ditegasi. Kalau tidak, kau terus saja plin-plan. Padahal, Pak Masumi yang mengurus semuanya. Mulai dari pertemuan keluarga, pertunangan, bahkan masalah pernikahan, kau kan hanya tinggal mengikutinya saja. Wajar sekali kalau dia kesal, tiba-tiba saja kau berkata, ‘tidak jadi! Batal!’ Kalau kau ada di pihaknya, bagaimana perasaanmu?”
Maya terdiam. Ia tak mengira Rei malah membela Masumi.
“Ta-tapi kan… wajar jika aku ragu-ragu. Ini masalah besar. Menikah! Aku malah heran dia sama sekali tidak terlihat memikirkannya, seperti hendak main nikah-nikahan saja, enteng sekali.”
“Tetapi nyatanya, dia mempersiapkan semuanya kan? Tidak hanya diam saja dan menyerahkan ini itu kepada pihak lain. Itu artinya, dia memang memikirkannya, dan sudah yakin menikah denganmu.”
Maya diam. Ia sama sekali tidak berpikir sejauh itu. Tetapi, kalau dipikir-pikir Rei benar juga. Masumi menangani semuanya dengan baik. Mulai soal gaun, gedung dan sebagainya. Apakah yang ragu-ragu berbakti kepada orang tuanya memang hanya dirinya?
“Sekarang, Maya, pikirkanlah baik-baik, dengan sebaik-baiknya. Tanggung jawab menjalankan amanat ini hanya kau dan Pak Masumi yang bisa melakukannya. Tetapi kau memang berhak memutuskan menjalankannya atau tidak. Hanya saja, putuskan sekali lagi. Benar-benar keputusan final, apa kau hendak menikah dengannya, atau tidak?”
Maya diam, termangu.
Masumi Hayami…
Maya memikirkan pria itu, dan ingat kembali semua sikap menyebalkannya. Semua kejahatannya untuk teater Mayuko dan bahkan menahan ibunya dahulua.
Tetapi…
Maya juga ingat pria itu beberapa kali menolongnya, dan…
Wajah Masumi Hayami yang mendekat tiba-tiba terbayang. Menciumnya. Sentuhan bibir Masumi di bibirnya. Wajah Maya merah padam seketika, tubuhnya mendadak panas dingin lagi dan kepalanya jadi kosong.
Mulai saat ini aku akan berusaha bersikap baik, dan membuatmu bisa menerima dan mencintaiku. Begitu juga aku mengharapkan hal yang sama darimu. Kuharap kau mau membuka hatimu, dan berusaha setidaknya menerimaku, dan mungkin... nanti... Mungkin nanti kau bisa belajar mencintaiku.
Maya merasakan jantungnya berderap amat cepat dan seakan hendak meledak mengingat dengan jelas ucapan Masumi malam itu.
Pak Masumi… Maya menggigit bibirnya tipis, merasakan kegalauan yang tidak biasa.
“Maya, kenapa diam saja?” tegur Rei. “Jawab, Maya!”
“Ah!! D! D!!” seru Maya spontan, seperti biasa mengacak jawaban.
=//=
"Rei, apa yang akan kita lakukan? Kau jadi terbawa aneh seperti Pak Masumi." keluh Maya saat Rei menyeretnya ke sana kemari di sebuah mall besar.
"Sudahlah, kau ikut saja. Setelah mendengar perkataanmu semalam, kurasa karena kau sudah memutuskan menikah dengan pak masumi dan juga tentang perkataan pak masumi tentang berusaha saling mencintai, maka sekarang saatnya kau juga berusaha memperbaiki diri, siapa tahu dengan begitu benar-benar akan tumbuh  cinta antara kalian berdua. Nah jika begitu, bagus bukan?" Rei menepuk tangannya senang.
"Hah! Cinta??? Musta... Hmph!!"
"Sudah diam! Jangan protes terus! Kita sudah sampai!" Rei membekap mulut Maya yang banyak protes.
 "Hah di sini!?" Maya terkejut melihat salon kecantikan di hadapannya. 
"Ya. Kau kan hendak bertemu ayah mertuamu pertama kali. Jadi kau harus tampil cantik!"
"Ukh! Kenapa aku harus tampil cantik!" keluh Maya. "Aku sama sekali tidak ingin berusaha membuat siapa pun terkesan!"
"Kau boleh berpikir begitu tetapi ini demi nama baik ayah dan ibumu. Kau harus tahu bahwa perjodohan itu tidak hanya menyangkut kepentinganmu tetapi juga nama baik dua keluarga yang diwakili olehmu dan Pak Masumi. Jadi lakukan ini demi nama baik keluargamu. Jangan sampai Eisuke Hayami memandang rendah dirimu dan keluargamu."
Maya mengerutkan dahinya dalam. "Wah kau benar Rei. Jangan sampai mereka memandang rendah Kitajima!" semangat juang Maya kembali terpacu.
"Terima kasih Rei, kau baik sekali. Tapi, apa kau baru gajian sehingga bisa membawaku ke sini?" 
"Aku?" Rei tertegun. "Memangnya siapa yang hendak membayarkan untukmu? Kau kan baru menerima bayaran dari dua putri." jawab Rei enteng. 
Haa??? Maya hanya bisa bengong. 
"Baiklah. Aku harus pergi kerja sekarang. Sampai nanti. Ingat jangan sampai kalah oleh Hayami!" 
"Baiklah Rei aku akan berjuang!"
Sementara Maya sibuk mempercantik diri, Rei sibuk menguntit seseorang. Seorang pria yang gerak geriknya mencurigakan. Pria itu turun ke lantai dasar menggunakan tangga. Ia lantas melalui tempat parkir yang sepi. Saat pria itu hendak masuk ke dalam mobil, Rei menyeru.
"Hei kau! Tunggu sebentar! Laki-laki dengan rambut panjang sebelah!"
Deg! Hijiri terenyak dan membatu.
Hijiri memutar badannya. Antara yakin dan tidak yakin dia yang dimaksud. Tetapi Hijiri jelas tahu suara siapa itu. Saat ia berbalik, dia melihat gadis tampan itu berjalan cepat ke arahnya dengan wajah geram.
"Hei, kau!" tegur Rei.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanya Hijiri.
"Kenapa kau mengikuti kami?"
Hijiri terkejut mendengarnya. Rei menyadari keberadaannya?
"Saya tidak mengikuti kalian..." tampik Hijiri.
"Bohong! Kau pikir aku tidak mengenalimu? Aku ingat beberapa kali kau mengirimkan bunga kepada Maya. Potongan rambutmu itu tidak mungkin kulupakan," Rei menyipitkan matanya penuh kecam.
Kesal juga Hijiri karena potongan rambutnya berkali-kali disinggung.
"Maaf, Nona, jika saya bekerja sebagai tukang bunga apakah itu salah? Lagipula, ini tempat umum. Keberadaan saya di sini, apakah salah? Kenapa Anda berpikir saya membuntuti? Dan apa alasan Anda berpikir saya mencurigakan?"
"Satu!" Rei mengacungkan telunjuknya. "Tukang bunga tidak akan memiliki mobil sebagus itu! Dua! Ini memang tempat umum tetapi kenapa aku terus melihatmu di tempat Maya dan aku berada? Lagipula, kau tidak mengantar bunga! Ketiga, tidak ada orang yang berpotongan rambut seaneh kau, yang menutupi sebelah wajahnya dengan poni begitu. Di antara semua orang di mal ini, jelas kau yang paling mencurigakan!!" tuding Rei.
Hijiri menelan ludahnya. Ia tak mengira Rei begitu pandai menganalisa. Agak berbeda dengan teman satu apartemennya yang sudah menerima bunga selama hampir 6 tahun dan tidak juga berpikir kemungkinan Masumi yang menjadi mawar ungu padahal sudah jelas-jelas Masumi muncul di tengah janji acara makan malamnya dan Mawar ungu.
"Ayo, jawab!" tantang Rei.
Hijiri mendengus. "Saya tidak terima dengan tudinganmu! Ini tempat umum, tidak ada siapa pun bisa melarang saya berada di sini baik sebagai pembawa bunga atau bukan! Dan bicara tentang potongan rambut, apa potongan rambutmu wajar, Nona dengan ekor rambut kriwil-kriwil? Bukankah aneh sekali ekor rambut berada di depan dan bukannya di belakang!?" tuding Hijiri seraya menyentuh sejumput rambut ikal panjang Rei.
"Ha! Tidak tahu diri!" balas Rei. "Ini apa? apa ini? Kau juga punya ekor rambut di depan telingamu!" Rei meraih rambut Hijiri. "Lagipula potongan rambutmu jauh lebih aneh! Kenapa ponimu harus menjuntai menutupi sebelah wajahmu! Potongan rambut teraneh abad ini!" ejek Rei.
"Wah!! Mengejutkan sekali! Itu komentar dari murid Mayuko Chigusa yang potongan rambutnya menutupi wajah lebih banyak dariku?? Jadi menurutmu potongan rambut gurumu super aneh kalau begitu?" serang Hijiri.
"Hei! jangan membawa-bawa ibu... eh, tunggu!! Bagaimana bisa kau tahu aku murid Bu Mayuko kalau kau tidak menguntit!!?" tuntut Rei.
"Itu karena—" Hijiri tertegun, saat menyadari wajahnya dan wajah Rei tidak berjarak jauh dan mereka saling menggenggam ekor rambut masing-masing.
Saat Hijiri terdiam dan mengamati Rei sedikit lekat, saat itu Rei pun baru menyadari bahwa posisi mereka berdua benar-benar aneh.
"Le-lepaskan rambutku!" tuntut Rei tiba-tiba saat merasakan wajahnya memanas.
"Kau dulu!" Hijiri balik menuntut.
"Kau dulu! Kau yang menggenggam rambutku duluan!" Rei tidak mau kalah.
"Baiklah!! Kita hitung sampai tiga, dan kita lepaskan rambutnya bersamaan!" usul Hijiri.
"Baik! Satu..." Rei menghitung.
"Dua..." Hijiri menghitung.
"TIGA!!" seru keduanya. "KAU TIDAK MELEPASKAN RAMBUTKU!!" mereka berseru lagi bersamaan.
Keduanya saling menatap dengan geram kepada satu sama lain dengan dahi mulai saling beradu dan berputar ke kiri dan ke kanan seraya saling menggeram. Saat itulah seorang petugas keamanan datang mendekati mereka.
"Hei! Hei! Hei!" seru petugas itu. "Apa yang kalian lakukan di sini! Apa kalian tidak bisa membaca?" ia menunjuk sebuah tanda.
Rei dan Hijiri tertegun, lantas menoleh ke arah tanda yang dimaksud. Terdapat tulisan, "No Gay Please."
"AKU INI PEREMPUAN!!" seru Rei.
Dan Hijiri tertawa terbahak-bahak.
Sementara Rei dan Hijiri mengatasi masalahnya sendiri, Maya pun menjerit-jerit di ruang salon. Baru pertama kali wajahnya diperlakukan tidak manusiawi seperti saat ini, digosok-gosok dan dipencet sana sini. Saat hendak pertemuan dua keluarga saja tidak separah ini. Tetapi, mengingat kembali harga diri keluarga yang dia pertaruhkan, Maya berusaha menahan semua derita itu. Orang bilang, kecantikan hanya bisa didapatkan melalui kesakitan. Ini mungkin setimpal.
Dan sepertinya memang begitu. Saat Masumi datang ke apartemennya siang itu, dan Maya membukakan pintunya, calon suaminya itu tampak agak terkejut dan sempat kehilangan kata-kata.
"Pak Masumi! Kenapa diam saja? Apakah kita jadi bertemu ayahmu atau tidak?" tanya Maya yang mulai merasa rikuh dengan cara Masumi menatapnya.
"Ah, ya..." Masumi mengangguk-angguk canggung. "Kau... kau tampak berbeda," kata Masumi takjub.
"Be-benarkah?" wajah Maya agak merona.
"Iya. Wah..." mata Masumi membulat, "Kau sengaja berdandan untuk pertemuan ini? Wah, aku tersanjung..."
"E-enak saja!" Sembur Maya, dengan wajah memanas. "Ini bukan untukmu! Tetapi untuk harga diri Kitajima!" tukas Maya gagah seraya membusungkan dadanya.
"Wah... luarnya saja yang berubah ya... dalamnya masih sama saja ternyata," decak Masumi pura-pura kecewa.
"Huh! Karena itu... jangan besar kepala!" tandas Maya.
"Tetapi aku terpaksa mengecewakanmu," tukas Masumi. "Ayahku sedang ada keperluan. Pertemuanmu dengannya terpaksa dibatalkan saat ini."
"Hah? APA?"
Setelah dirinya tampil habis-habisan, dan juga uang bayaran dari Dua Putri dia habiskan, dia tidak jadi berhadapan dengan Eisuke Hayami.
"Tetapi kau jangan khawatir. Aku sudah mempersiapkan acara penggantinya."
"Acara pengganti?" Maya mendongak penuh antisipasi.
"Ya! Kita pergi berkencan."
"Ha? berkencan!?"
"Ya. Ber-ken-can..." Masumi mengangguk-angguk mantap.
"Pak Masumi mau mengajakku berkencan kemana?" tanya Maya curiga.
"Sudah ikut saja! Kau ingat perjanjiannya kan? Kau akan ikut kemana pun aku mengajakmu."
"Jangan begitu! Aku tidak mau kalau kau mempermainkanku..." rajuk Maya.

"HHh..." Masumi menghela napasnya dan mengeluarkan dua buah tiket dari balik jasnya. "
Nonton drama."
"Wah!!" Mata Maya berbinar-binar. "Karenina!!"
"Nah, kan! Aku tahu kau pasti suka. Karena itu jangan banyak protes!"
Maya hanya cengengesan. Matanya tak lepas dari tiket sandiwara tersebut. Masumi rasanya ingin menyerah saja. Sepertinya semua hal begitu menarik perhatian bagi Maya kecuali dirinya.
Beberapa kali Masumi melirik kepada Maya. Gadis itu benar-benar cantik. Rasanya Masumi ingin sekali memelototi bahkan menerkamnya kalau saja bisa.
"Kau tadi..  Ke salon mana?" tanya Masumi membuka percakapan.
"Kenapa? Pak Masumi mau ke sana juga?" tuding Maya dengan semena mena. 
Masumi mendengus kesal. "Kalau bisa, cobalah menyesuaikan antara riasan dan cara bicara. Sayang sekali, jangan sampai ribuan yen terbuang percuma," sindir Masumi. 
"Memangnya siapa yang berdandan untukmu!?" Maya meradang.
"Sudah kubilang ini demi harga diri Kitajima!"
Masumi tidak mengerti ada apa dengan harga diri Kitajima yang berkali-kali Maya sebutkan itu.  Tetapi Masumi bisa melihat gadis itu sangat kesal dengan tegurannya. Masumi menjangkaukan tangannya dan menjentik bibir gadis itu. 
"Sudah jangan cemberut, jadi berkurang lagi cantiknya," goda Masumi.
Maya terperanjat dan berseru dengan gugup. "Ja, jangan sentuh bibirku!" seru Maya seraya menutupi bibirnya sendiri yang terasa sangat sensitif setelah apa yang Masumi lakukan kemarin kepadanya.
Wajah Maya benar-benar terasa panas dan jantungnya berdebar begitu keras. Lantas pandangannya jatuh di bibir Masumi dan rasanya dadanya mau meledak!
 Ada apa dengannya? Kenapa mendadak panas dingin begini? 
"Masih saja galak," keluh Masumi.
"Jangan menyentuhku semaumu!" Maya memperingatkan.  Masumi melirik Maya beberapa kali. Dan dengan berusaha tenang ia berkata, "Ingat ciuman yang kemarin ya?" tanyanya.  
Ditembak demikian, Maya semakin gelagapan  Bagaimana bisa Masumi mangungkitnya dengan cara yang begitu santai dan ringan? Padahal Maya sampai tidak bisa tidur semalaman gara-gara setiap memejamkan mata, bayangan Masumi yang menciumnya muncul lagi.
"Diam! Berisik!! Dasar genit!" protes Maya dengan sebal. "A-aku tidak mengira, Direktur Daito berani melakukan hal semacam  itu!" kecam Maya.
"Salah siapa?"
"Apa?"
"Kutanya, salah siapa!?" sifat menindas Masumi keluar lagi. "Kau tahu Newton? Aksi reaksi? Aku tidak akan melakukannya kalau kau tidak bicara yang tidak-tidak. Lain kali kau mengatakannya lagi, aku akan melakukannya lagi! Begitulah caranya menghukum bibir yang bicara sembarangan!" Masumi membuat hukumnya sendiri.
"HAH!? Newton?" alis Maya berkerut. "Dari mana Pak Masumi mengenalnya? Bagaimana bisa dia membuat hukum seenaknya sendiri!" protes Maya.
Newton yang malang. Namanya tercemar karena Masumi yang jelas-jelas senang memanfaatkan keadaan.
"Tidak usah membawa-bawa Newton. Intinya, kau sudah tahu kesalahanmu kan?" desak Masumi.
"Kau yang membawa-bawa Newton terlebih dahulu," protes Maya.
"Tidak penting! Yang penting, apa kau sudah mengerti apa kesalahanmu?"
Maya mengerucutkan bibirnya sebal.
"Jawab, Maya!!"
"E! E!!" seru Maya spontan.
=//=
Akhirnya keduanya tiba di teater yang dimaksud. Masumi mengulurkan tangannya membawa Maya turun.
"Tidak perlu!" Maya menampik uluran tangan kekasihnya.
Masumi bergeming di depan pintu.
Maya mendongak. "Minggir!! Aku bisa turun sendiri!"
Masumi menatap Maya dengan tajam dan tak terbantahkan. "Kau mau kugandeng masuk ke dalam, atau kugendong?" desak Masumi.
Maya terenyak. Ia tahu dari cara bicaranya bahwa Masumi sangat serius.
"Digandeng, atau digendong!?"
"Iya! Iya!!" Maya menerima uluran tangan tunangannya itu.
Huhuhuhu.... Ibuuu!!! Kenapa aku terjebak bersama pria seperti ini....!!? batin Maya menjerit.
Sementara Masumi dengan senang hati menggandeng Maya masuk ke dalam teater.
"Pak Masumi..." desis Maya, mengeluh. Ia ingin Masumi melepaskan tangannya, tetapi pria itu malah memegangnya semakin kuat. Apalagi, di sana juga banyak wartawan, dan Masumi benar-benar tidak menyembunyikan hubungan mereka.
"Maya, halo Maya..." sapa para wartawan yang agak segan mengganggu Masumi. Mereka sempat berpikir bahwa Masumi akan memberikan delikan tajam, namun ternyata hal tersebut sama sekali tidak terjadi.
Malahan, Direktur Daito itu tersenyum!! Sampai-sampai para wartawan begitu terkejut saking takjubnya.
"Pak Masumi, Maya, jadi benar kabar yang mengatakan bahwa kalian berdua saat ini menjalin hubungan intim?"
"Apakah benar cincin yang Maya kenakan adalah pemberian Pak Masumi?"
"Apakah benar kalian berdua dijodohkan?"
"Maya, silakan jawab!"
"C! C!" seru Maya.
"C!!?" para wartawan itu saling bertukar pandang.
Masumi tersenyum lebar. "Terima kasih atas perhatiannya, tetapi kami datang untuk menyaksikan pertunjukan. Akan ada saatnya kami berbicara mengenai hal itu."
"Pak Masumi, sedikit saja,hanya satu pertanyaan, benarkah kalian berdua dijodohkan?"
"Berjodoh," koreksi Masumi mantap. "Kami akan menikah."
"Aaaaa Pak Masumii...!" mata Maya membulat karenanya. Ia sangat terkejut Masumi bersikap blak-blakan seperti itu.
"Satu pertanyaan saja, sekarang kami permisi," tukas Masumi dan menyeret Maya bersamanya.
Para wartawan itu sekali lagi saling menoleh kepada satu sama lain.
Masumi Hayami, akan menikah dengan Maya Kitajima?? Ini baru berita!!
Dengan penuh semangat para wartawan itu mulai mengembangkan berita versinya masing-masing hanya berbekal dua kalimat dari Masumi. "Berjodoh." "Kami akan menikah."
"Pak Masumi... kenapa Anda mengatakannya kepada mereka, i-itu kan, belum dipastikan!"
"Kau mau kucium!!?" tantang Masumi.
"Kya! Ti-tidak! Tidak!!" Maya menggeleng cepat.
"Pertunangannya hanya tinggal seminggu lagi. Awas saja kau bicara macam-macam. Apa bedanya mengabarkan mengenai hal itu sekarang atau nanti. Toh hari ini undangan untuk pertunangan itu sudah disebarkan."
"Hah!? Apa!!?"
"200 orang," Masumi menyebutkan jumlah tamunya.
"Anda bilang tertutup dan pribadi!"
"Kedua ratus orang itu harus diundang jika Daito masih ingin sukses," Masumi berterus terang."Dengan pasangannya, sekitar 400 orang yang akan datang."
"Pak Masumi..." Maya ketakutan. Saat ia hendak protes, sapaan terdengar dari seorang wanita.
"Wah, Pak Masumi Hayami, kita bertemu lagi di sini," Shiori tersenyum anggun dan memesona.
“Nona Shiori Takamiya,” sapa Masumi hangat, masih senang dengan keberadaan Maya di sampingnya.
“Selamat siang, Nona Shiori,” sapa Maya seraya agak membungkuk.
Tidak salah lagi, wanita di hadapannya itu memang memiliki kecantikan seperti bidadari. Bahkan hanya tersenyum saja, sudah membuat cuaca terik terasa semakin menyilaukan… batin Maya.
“Kalian menyaksikan drama ini juga?” tanya Shiori, masih dengan senyuman yang tak lepas dari bibirnya.
“Ya. Maya sangat menyukai drama,” terang Masumi, semakin mengeratkan genggamannya di tangan calon istrinya.
“Ah… begitu… ya, Karenina memang karya yang luar biasa menyentuh dari Tolstoy. Romantis sekaligus tragis. Memperlihatkan bagaimana status sosial sering kali meminta terlalu banyak korban untuk memuaskan hasratnya, sehingga ada begitu banyak cinta yang diakhiri dengan derita,” ujar Shiori mengenai karya sastra fenomenal itu.
Maya sama sekali tak bisa berkomentar sejauh itu, sementara Masumi menanggapi
“Ya. Tetapi bukankah dari sekian banyak yang berakhir bencana, masih ada pasangan yang berakhir baik? Seperti Levin dan Kitty. Harus kukatakan, sangat lega melihat akhir dari mereka berdua,” Masumi berpendapat.
“Wah, Pak Masumi,” mata Shiori bersinar. “Saya tidak mengira Anda begitu tertarik dengan hal-hal sentimentil. Saya bisa mengatakan Anda memiliki pandangan positif dalam hal percintaan bukan?” goda Shiori, ia lantas melirik Maya.
Maya hanya salah tingkah dan benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Ia rasanya seperti tertinggal di stasiun sementara melihat Masumi dan Shiori sedang berbincang-bincang di atas kereta yang membawa keduanya semakin jauh darinya.
“Harus kukatakan, ini paradigma baru untukku,” Masumi berkata seraya tersenyum. “Sebelumnya aku tidak pernah berpikir seperti itu, pandanganku mengenai cinta sangat buruk,” aku Masumi. “Hingga aku bertemu Maya,” ia menoleh kepada Maya.
Lagi-lagi Maya tidak benar-benar tahu apa yang harus dikatakannya. Jika penumpang di atas kereta tiba-tiba menoleh kepadanya yang tertinggal di stasiun. Dia hanya tahu mereka membicarakannya tetapi tidak benar-benar tahu apa yang mereka bicarakan, bukan?
Pak Masumi ini bicara apa, pikir Maya. Kenapa dia begitu berusaha membuat orang berpikir dia mencintaiku?
Shiori agak terkejut mendengar perkataan Masumi. Jadi, Masumi Hayami memang telah jatuh cinta kepada Maya Kitajima? Pria dengan berbagai rumornya yang tidak bagus itu? gila kerja, dingin, tidak berperasaan, tidak beminat kepada perempuan, dan lain sebagainya… itu salah? Karena Shiori bisa melihat, sepertinya Masumi memang bersungguh-sungguh kepada Maya.
Ataukah… ada sesuatu? Ada settingan? Ada proyek bersama antara Daito dan Maya Kitajima?
“Baiklah, kurasa kami harus masuk terlebih dahulu,” pamit Masumi dan Maya sekali lagi hanya membungkuk.
Shiori mengamati keduanya untuk beberapa lama. Ia masih tidak percaya keduanya benar-benar saling jatuh cinta setelah semua informasi yang pernah didengarnya.
“Oh, jadi, Masumi Hayami dan Maya Kitajima itu dijodohkan?” ujar seorang wartawan kepada wartawan lainnya.
“Ya. Kudengar, ternyata ibu Masumi dan ibu Maya, bersahabat sejak kecil. Mereka dijodohkan atas permintaan Jin Miyake, dari perusahaan Chiyoda. Katanya, Jin menolak membantu Hayami dan Takamiya yang bermaksud meluaskan bisnisnya ke Hong Kong jika permintaannya tidak dipenuhi.”
Shiori tertegun. Takamiya? Hayami?
Ia berusaha mengingat-ingat, sedang ada bisnis apa di antara mereka yang berkaitan dengan Hong Kong. Dan… Jin… Miyake? Di mana dia pernah mendengar nama itu?
Shiori berpikir cukup lama, hingga dia teringat di mana pernah melihatnya. Mata Shiori melebar. Saat di café! Pria setengah baya itu, yang menghampirinya dan bertanya mengenai usia serta status kekeluargaannya…
Benar! Jin Miyake… tetapi, kenapa dia mencariku saat itu?
“Kenapa kau diam saja tadi?” tanya Masumi saat keduanya duduk di kursi undangan, menunggu Anna Karenina dimainkan. “Kau tidak menyukai Shiori?”
“A-aku? Tidak suka? Tidak mungkin…” tampik Maya. “Dia sangat cantik, dan cerdas… tidak ada orang yang tidak menyukainya,” tukas gadis itu. “Aku hanya tidak tahu apa yang harus kukatakan. Dia sangat memesona, jadi saja, aku mendadak gugup di dekatnya.”
Hah? Dia gugup dan terpesona kepada Shiori, dan sama sekali tidak merasakan apapun kepadaku? Pikir Masumi dengan kecewa.
“Anda sebaliknya. Cocok sekali berbincang dengannya. Sepertinya obrolan kalian sangat sesuai satu sama lain,” aku Maya.
Masumi tak menanggapi hal itu. Ada hal lainnya yang mengisi pikiran Masumi. Kenapa Maya sama sekali tidak bereaksi saat Masumi katakan bahwa pandangannya mengenai cinta mulai berubah setelah dia bersama Maya? Apakah gadis itu juga tidak berpikir bahwa ucapannya serius? Bahwa Masumi sangat menghargai kesempatan yang jatuh dari langit secara tiba-tiba untuknya saat ia dijodohkan dengan Maya?
Masumi meraih tangan Maya dan meremasnya erat-erat. Maya terpekik kecil karena terkejut. Ia menoleh kepada Masumi yang wajahnya terlihat serius.
“Pak… Pak Masumi… le-lepaskan…” tuntut Maya, bola matanya mengembara ke sana kemari. Ia takut apa yang Masumi lakukan dilihat orang lain.
Namun pria itu tidak melepaskannya. Ia malah menggenggam tangan Maya lebih erat.
“Pak Masumi…” Maya memohon, saat jantungnya segera berderap semakin cepat. “Lepaskan…”
“Tidak!” tegas Masumi.
“Ta-ta-tapi…”
Ruangan lantas mulai gelap dan pengumuman terdengar bahwa pementasan segera dimulai. Penonton diharap tenang dan tidak mengganggu jalannya pertunjukan.
“Sudah. Diam,” ujar Masumi tanpa melepaskan genggaman tangannya dari Maya.
Maya sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Telapak Masumi yang menyandera tangannya, sama sekali tidak berhasil membuat Maya memerhatikan pentas yang telah berlangsung beberapa menit. Dan sepertinya, Masumi sama sekali tidak ada niat untuk melepaskan genggaman tangannya.
“Pak Masumi… lepaskan,” pinta Maya, kali ini terdengar putus asa. “Aku jadi tidak bisa konsentrasi kalau Anda memegangi tanganku seperti ini.”
Beberapa saat Masumi sama sekali tidak menanggapi.
“Tapi kau harus berjanji dulu.”
“Janji apa?” tanya Maya, memberengut lagi.
“Kau tidak akan pulang sampai aku membawamu kembali ke apartemenmu.”
“Ha? Ta-tapi…”
“Ayo berjanjilah,” desak Masumi.
Maya tidak punya pilihan lain. “Ba-baiklah! Tapi… Anda pasti mengijinkanku pulang kan?” Maya memastikan.
“Mungkin.”
“Pak Masumi!” Maya menghardik.
“Iya,” janji Masumi. “Nanti kuantar. Tetapi jangan minta pulang sampai saat itu.”
Maya sebetulnya tidak rela. Namun tampaknya dia tidak memiliki pilihan lain. Akhirnya Maya mengiyakan. “Baiklah… tetapi, lepaskan tanganku sekarang juga,” tuntutnya, merasakan jantungnya terus saja menolak ditenangkan.
Masumi mengetatkan rahangnya. Ia masih tidak rela melepaskan tangan Maya. Ia suka menyaksikan sandiwara ini sambil berpegangan tangan dengan calon istrinya. Ia suka merasakan tangan mungil Maya dalam genggamannya. Ia suka kehalusan kulit tangan gadis itu, juga kehangatannya. Ia masih tidak ingin melepaskannya.
“Nanti,” putus Masumi. “Nanti aku lepaskan.”
Maya tertegun, “Tadi… katanya—“
“Sebentar lagi saja,” Masumi berkata. “AC-nya terlalu dingin, seperti ini sedikit lebih hangat,” seperti biasa Masumi beralasan.
Maya tidak punya pilihan. Ia hanya bisa bersungut-sungut lagi. Tetapi, dia jadi mulai memikirkan alasan Masumi. Dan ternyata, pria itu benar juga. Memang tangannya terasa lebih hangat. Akhirnya Maya membiarkan Masumi menggenggam tangannya sedikit lebih lama.
Dan sedikit lagi.
Dan sedikit lagi.
Sedikit lagi.
Maya baru menyadari mereka masih berpegangan tangan hingga babak pertama selesai.
=//=
“Maaf, saya ingin sekali tetap tinggal. Tetapi ada hal yang harus kami lakukan,” pamit Masumi kepada sutradara Anna Karenina yang memberinya tiket undangan premier.
Sutradara itu melirik Maya yang seperti biasa berdiri dengan canggung di sampingnya. “Oh, ya, tentu. Dan aku mendengar dari asistenku, ada undangan darimu, yah… dari Anda berdua, kurasa?” tanyanya seraya tersenyum lebar.
Maya menyadari pasti maksudnya tentang undangan pesta pertunangan mereka.
“Saya sangat berharap kau akan datang,” sahut Masumi.
“Tentu. Tentu… wah, aku sangat tidak mengira akhirnya Pak Masumi Hayami dari Daito benar-benar akan menikah. Dan… pasangannya… juga…” sutradara itu tampak tidak punya kata-kata yang tepat bagi Maya. Akhirnya ia berkata, “Sangat manis. Dan aku bisa melihat bakatmu dari beberapa sandiwara yang kulihat. Oh, dan Aldis! Luar biasa… Aku yakin kau bisa kembali menjadi aktris terkenal nanti.”
“Te-terima kasih,” jawab Maya dengan canggung.
Beberapa orang sempat kembali menyapa Masumi dan juga tersenyum kepada Maya. Walaupun begitu, entah bagaimana Maya merasa tidak percaya diri berada di tengah-tengah mereka. Sama sekali tidak berada pada tempatnya.
“Masumi! Ya Tuhan…” Onodera menatap Masumi tidak percaya. Lantas tatapan menghina terhujam kepada Maya. “Jadi benar kabar yang kudengar bahwa kau dan anak ini dijodohkan? Hahaha….” Onodera tertawa keras. “Lelucon tahun ini!”
Rahang Maya segera mengetat saat hatinya teriris perih. Dan ternyata reaksi Masumi tidak kalah keras.
“Ini bukan lelucon!” tegas Masumi dengan raut sangat dingin. “Aku dan Maya memang akan menikah. Apa kau tidak pernah mendengar, Onodera, bahwa jodoh tidak pernah ada yang tahu? Aku malah sangat beruntung, ternyata gadis penuh bakat seperti Maya Kitajima ini yang berjodoh denganku. Sekarang permisi, tunanganku sudah ingin pergi ke tempat lain dan aku harus mengantarnya,” ujar Masumi dengan angkuh. “Oh, kau tidak perlu datang ke pesta kami jika tidak ingin terlibat dalam lelucon tahun ini.”
Onodera sangat terkejut dengan serangan dari Masumi dan begitu juga orang-orang di after party tersebut. Semuanya membeku melihat kemarahan Masumi yang memang menyeramkan.
Saat Maya masih tidak tahu harus berbuat apa, Masumi dengan tangan kokohnya sudah menyeret Maya dari sana.
Pak… Pak Masumi… dengan berkaca-kaca Maya mengamati punggung Masumi yang sedang merasa geram. Ia tak mengira Masumi membelanya sedemikian rupa.
Padahal, selama ini Masumi selalu menjadi sosok yang menyebalkan baginya dan sering mengejeknya. Tetapi, sebenarnya, jika Maya ingat lagi, seharian ini Masumi tidak pernah berhenti memuji dan menyanjungnya di hadapan orang lain.
Dia bahkan, membela Maya dari serangan Onodera.
Maya begitu terharu, dan… sangat berterima kasih.
“Pak Masumi…” panggil Maya lirih saat keduanya hendak keluar dari gedung teater.
Masumi menoleh dan mengamati mata Maya yang berkaca-kaca.
“Ada apa??”
“A-aku… aku…” Maya menangis juga. “Terima kasih!” ucap Maya sungguh-sungguh.
Ia tidak tahu apakah Masumi tulus membelanya, atau ia hanya berusaha mempertahankan harga dirinya sebagai calon tunangan Maya. Apapun itu, pembelaan Masumi tadi, sudah membuat Maya bertahan dan tidak berlari dari tempat itu karena perasaan sakit hati.
“Te-terima kasih…. Karena sudah membelaku.”
Masumi terenyak, dan bisa merasakan hatinya perlahan berdebar semakin keras dan semakin hangat. Pria itu tersenyum lembut.
“Tidak perlu berterima kasih. Aku sudah seharusnya membelamu. Kau itu tunanganku. Tidak ada yang boleh menghina calon istriku.”
Tunanganku…. Calon istriku… kata-kata itu tidak terdengar terlalu menyiksa telinganya dan mencekik lehernya lagi. Maya hanya menggigit bibir bawahnya, merasa haru. Mungkin inilah yang Masumi maksud, bahwa pria itu akan berusaha menjadi orang yang lebih baik baginya, dan membuat rasa cinta tumbuh di antara mereka.
“Omong-omong, Maya… kau sadar kan, kalau kau sedang memelukku sekarang dan ada banyak orang yang memperhatikan?” bisik Masumi, menundukkan kepalanya kepada Maya yang berada dalam dekapannya.
Maya tertegun, dan berusaha mengembalikan kesadarannya kembali. Benar saja. Dia memang sedang berpelukan dengan Masumi.
“Kya!” Maya terpekik kecil.
Karena terbawa perasaan berterima kasihnya tadi dia langsung saja memeluk Masumi. Aduh! Bodohnya… kenapa dia sering bertindak tanpa berpikir.
Namun saat Maya hendak memisahkan dirinya, pelukan Masumi malah mengerat.
“Biar saja,” ujar Masumi. “Kita seperti ini dulu sebentar.”
Pak… Pak Masumi… wajah Maya terasa sangat panas dan benar-benar malu, tetapi Masumi tidak juga membebaskannya.
“Biarkan para wartawan mendapatkan foto yang bagus untuk adegan ini,” tukas Masumi.
“Pak Masumi…!” rajuk Maya, memprotes, namun gadis itu sama sekali tidak berusaha membebaskan diri dari Masumi.
=//=
“Jadi, kau belum memutuskan peran mana yang akan kau ambil?” tanya Masumi saat keduanya berjalan menuju gedung pusat kebudayaan.
“Belum. Aku tidak tahu pasti harus mengambil yang mana. Yang pasti, peran ini sangat penting, harus bisa mengantarku ke penghargaan seni. Rei bilang, aku harus mengambil peran yang besar.”
“Ophelia, Juliet. Itu peran-peran besar,” ujar Masumi. “Wah… benar-benar tak mengira sampai-sampai peran gadis-gadis cantik itu juga akhirnya ditawarkan kepadamu. Sepertinya Aldismu benar-benar meyakinkan mereka.”
“Ya… begitulah,” ujar Maya agak malu. “Mungkin mereka akan terkejut dengan bentuk asliku.”
“Hahaha…” Masumi tertawa. “Kau kan bukan siluman. Lagipula,” Masumi mengamati Maya yang berdiri di sampingnya. Aku sudah bilang, kau terlihat cantik hari ini?” tanyanya.
Napas Maya tertahan, dan ia membuang wajahnya. “Su-sudah!!”
“Percaya tidak?” tanya Masumi.
“Be-berisik!!” Maya tidak mau menoleh lagi. Karena dengan begitu, Masumi tidak akan bisa melihat wajahnya yang sangat panas dan semerah kepiting rebus.
Keduanya lantas memasuki gedung pusat kebudayaan, dan Masumi menghampiri seorang pria tua. Setelah berbincang, Maya akhirnya tahu bahwa Masumi sering datang ke tempat ini dahulu. Malahan, pria tua itu menyebut Masumi dengan sebutan si kecil Masumi.
Dan, Masumi luar biasa ramahnya. Hal itu membuat Maya terkejut.
“Naiklah melalui lift, pertunjukan sudah dimulai,” terang pria tua itu.
“Baik, Paman. Nanti kita berbincang lagi,” pamit Masumi yang membawa Maya menaiki lift.
“Ada apa?” tanya Masumi kepada Maya yang mengamatinya dengan terheran-heran.
“Ternyata… Pak Masumi bisa bersikap ramah juga…” ujar Maya.
“Tentu saja, memangnya aneh ya, jika aku bersikap ramah?” tanya masumi.
Maya hanya diam dan kemudian mengangguk.
Tampaknya, hari ini ia akan melihat sisi Masumi yang berbeda dari biasanya.
Saat keduanya memasuki planetarium, ruangan itu sudah digelapkan dan mereka hampir tidak bisa melihat apa pun selain bintang-bintang yang begitu banyak di atas mereka.
“Kita di sini saja,” kata Masumi.
Maya mengangguk.
Bintang-bintang itu sangat mengagumkan, berputar dan membuat Maya merasa melayang di angkasa.
Luar biasa… pikir Maya. Aku merasa seperti terbang…
“Dulu aku sering datang ke sini,” terang Masumi. “Rasanya semua masalah menjadi lebih ringan…”
Pak Masumi… Maya bisa merasakan tangan pria itu yang meremas bahunya.
Maya merasa seakan-akan mereka berdua melayang, terbang ke angkasa. Maya sangat terpesona walaupun tidak melihat langit yang sesungguhnya… namun rasanya begitu syahdu dan romantis.
Indah sekali… batin Maya.
Keduanya kembali tersadar saat pengumuman bahwa pertunjukan sudah selesai dan lampu dinyalakan kembali.
“Akh!!” Maya sempat merasa pusing saat ruangan kembali benderang.
“Ups!” Masumi menangkap bahu Maya.
Maya tertegun dan menoleh. “Te-te-terima kasih,” Maya berusaha membenahi dirinya. Ia mengamati Masumi yang tampak hangat, dan terlihat lebih muda.
“Aku yang seharusnya berterima kasih. Kau sudah menemaniku ke tempat kenangan. Terima kasih, ya,” kata Masumi dengan lembut dan tersenyum.
Maya bisa merasakan wajahnya mendadak panas karena senyuman itu.
“Bagaimana pertunjukannya?” tanya paman yang tadi menyapa Masumi di lantai bawah.
“Paman!” sapa Masumi, “Masih menyenangkan seperti dahulu, dan tampaknya sekarang peralatannya sudah semakin modern.”
“Ya, benar sekali, kami berusaha selalu memperbaharuinya dengan teknologi yang berkembang,” terang Paman itu.
“Boleh aku melihat proyektornya?” pinta Masumi.
“Ya, tentu saja,” sambut paman itu dengan ramah. Tak lama pandangannya jatuh kepada Maya. “Apa kau… keponakannya?” tanyanya.
“Ah, eh… bu-bukan… saya…” Maya agak canggung, tak tahu harus bicara apa. “Saya…”
“Calon isteriku,” sambung Masumi seraya menahan hidungnya supaya tidak terlihat terlalu senang dan bangga.
“Ha? Calon… isteri?” Paman itu pun terlihat tidak bisa menyembunyikan semua keterkejutannya seperti semua orang yang mendengar kabar tersebut.
“Ya, rencananya kami akan segera menikah,” imbuh Masumi.
“Wah... selamat ya… aku tidak mengira bahwa anak laki-laki yang dulu sering menangis sendirian itu sekarang sudah mau menikah.”
Eh? Maya tertegun. Menangis… sendirian? Pak Masumi?
“Ya, terima kasih Paman... Aku tak mengira Paman masih saja ingat dengan kejadian tersebut,” aku Masumi, agak malu. “Baiklah, kami harus segera pergi. Kapan-kapan kami akan datang lagi ke sini.”
“Ya, Masumi, datanglah lagi kapan-kapan…” sahut Paman itu dengan keramahan yang sama seperti dahulu.
“Pak Masumi… benarkah kau dulu suka datang ke sini dan menangis sendirian?” tanya Maya dengan tatapan heran dan tidak percaya.
Masumi melirik tipis sebelum menjawab, “Kenapa? Kau mau mengejekku?”
“Tidak. aku hanya tidak mengira Pak Masumi bisa menangis.” Maya menatap Masumi lekat-lekat. “Saat itu sedang kepedasan ya? Atau habis mengiris bawang?”
Masumi menahan tawanya yang geli. “Aku juga bisa menangis, tahu! Karena mataku berfungsi sama seperti yang lainnya.”
“Ya… tapi hatimu tidak!” sindir Maya dengan pedas.
Masumi berdecak, kesal lagi. Maya memang tak bisa diberi kesempatan, langsung saja hobinya menindas Masumi muncul lagi.
“Aku saat itu sedang sangat kesal,” aku Masumi. “Saudara tiriku datang berkunjung,mengejek aku dan ibuku. Aku tidak terima dan kemudian aku menantangnya lalu berkelahi. Sepupuku itu menangis tetapi orangtua mereka mengejekku, mengatakan aku anak pembantu, tidak tahu adat, kurang ajar dan lain sebagainya. Mereka juga mendesak dan menghina ibuku, mengatakan tidak bisa mendidikku,” Masumi tercekat. Itu memang kenangan masa kecil, tetapi sesaknya masih saja sama walaupu sudah berlalu belasan tahun. “Dan ibu menyuruhku meminta maaf kepada mereka walaupun aku tidak salah apa-apa. Aku menolak dan pergi dari rumah. Itu… pertama kalinya aku menentang perintah ibu…”
Maya trenyuh mendengar pengakuan Masumi. Ia tak mengira pria itu begitu menyayangi ibunya dan sepertinya masa lalunya kurang menyenangkan. Pak Masumi…
Tentu saja, Masumi pasti menyayangi ibunya. Jika tidak, mana mungkin Masumi setuju dijodohkan dengan gadis sepertinya kan?
Saat Maya tengah memikirkan hal itu, keduanya sudah masuk ke dalam arus manusia di tengah festival. Maya bahkan tidak menyadari bahwa mereka menuju keramaian.
“Nah, mau jajan sesuatu? Mau main sesuatu?”
“Tidak,” sahut Maya cepat. Ia ingin cepat pulang. Berapa lama Masumi berniat menahannya?
“Benar? Ayolah… jangan malu-malu,” ajak Masumi. “Kapan kau terakhir datang ke festival?”
Maya mengerutkan dahinya saat berpikir. Masumi benar juga, sudah sangat lama Maya tak pernah mengunjungi festival. Dan juga, melihat orang-orang di sekelilingnya yang terlihat riang di tengah berbagai keseruan festival, Maya memang jadi tergiur menikmati suasana yang sama.
“Baiklah!” putus Maya. “Aku tidak akan malu-malu. Aku mau main itu!” Maya menunjuk tangkap ikan koki. “Tetapi aku mau Pak Masumi juga main denganku!”
“Ha? Aku? Tapi aku—“
“Apa!?” Maya mengangkat dagunya, “malu-malu?”
“Bukannya malu-malu, aku kan… sudah… dewasa, jadi aku…” Masumi dengan bingung mengamati para pemuda di sekelilingnya.
“Payah!” ejek Maya. “Calon suami macam apa ini? Pengecut.”
“Ha?” Masumi tertegun. Calon suami… Maya baru saja menyebutku calon suami…? Jantung Masumi berdegup bahagia, matanya mendadak bersinar-sinar dan dia menukas keras. “Baik! Aku akan melakukannya!”
Wah… dasar tak mau kalah… batin Maya.
Namun berapa kali pun mencoba, Maya tidak bisa menangkap ikan koki tersebut. Masumi sebaliknya. Ia dengan mudah melakukannya.
“Jangan terlalu keras,” ujar Masumi, saat Maya sudah menghabiskan tujuh buah saringan kertas. “Seperti ini,” Masumi lantas menggenggam tangan Maya yang sedang memegang saringan kertas kelima.
Maya terkejut bukan main karena sekali lagi Masumi seenaknya saja menggenggam tangannya. Entah kenapa tubuhnya mendadak kaku.
Masumi menggerakkan tangan mereka dengan gemulai dan penuh perhitungan, hingga akhirnya berhasil menangkap seekor ikan koki dan langsung dimasukkan ke dalam plastik.
“Nah, bisa kan?” Masumi tersenyum.
Maya hanya menatap pria itu dengan perasaan tak menentu dan tangannya juga masih menggenggam erat tangan Maya. Tiba-tiba tepuk tangan diberikan orang-orang di sekeliling mereka. Tampaknya orang-orang itu juga ikut senang Maya berhasil menangkap ikan kokinya.
“A-ah… a…” Maya terbata, tak sanggup bicara apa-apa selain wajahnya yang menghangat.
“Wah, akhirnya bisa dapat ikannya ya, kalau sudah bisa dibantu pamannya,” ujar si tukang ikan yang segera saja merasakan jantungnya berhenti berebar saat tatapan mengecam Masumi mengarah kepadanya.
“Saya calon suaminya. Kami ini bertunangan,” tegas Masumi.
“Wah… eh, ya, wah… serasi ya, kalian serasi…” tukang ikan itu cengengesan ngeri. “Sangat serasi,” dia bertepuk tangan dan disusul para pengunjung lainnya yang juga bertepuk tangan.
Masumi akhirnya tersenyum senang. “Terima kasih,” tukasnya.
Sementara Maya agak cemberut karena malu dengan sambutan meriah itu.
Akhirnya tak berapa lama Maya sudah memegangi begitu banyak mainan di tangannya. Tiba-tiba…
“Pak Masumi…” desis Maya saat mengamati seorang anak kecil yang tampak terisak-isak sendirian di tengah keramaian festval itu.
Masumi segera menghampirinya bersama Maya.
“Ada apa?” tanya Masumi, agak membungkukkan badannya kepada anak itu. “Ibumu ke mana?”
“Tidak tahu…” anak itu menggeleng dengan sedih dan kembali tersedu-sedu.
Masumi meraih anak itu dan menaikkannya ke bahunya. “Nah, kalo begitu, ayo panggil ibumu keras-keras,” perintah Masumi. “Ayo…”
Dan anak itu pun menangis dengan lantang. Suaranya begitu keras hingga sekeliling mereka menoleh dan mengamatinya.
Maya merasa agak rikuh sekaligus iba, ia tidak tahu kenapa Masumi melakukannya. Namun dia akhirnya tahu saat seorang ibu menoleh dan menghampiri mereka dengan beruraian air mata. Ternyata dialah ibu si anak itu.
“Terima kasih banyak, terima kasih… saya benar-benar kebingungan. Maaf sudah merepotkan, terima kasih… terima kasih,,,” Ibu itu membungkuk berkali-kali.
Maya tertegun, ia mengamati Masumi. Kenapa pria itu memedulikan anak tadi? Bukankah dia bisa saja bersikap cuek dan tidak peduli?
“Ada apa?” tanya Masumi. “Kau terpesona dengan ketampananku,” Masumi tersenyum menggodanya.
Maya terenyak dan memanyunkan bibirnya. “Tidak!” alisnya mulai berkerut sebal. “Aku hanya heran… Pak Masumi bisa juga berbuat baik.”
“Waah… kau berpikir aku baik?” Masumi terbahak. “Kau keterlaluan. Aku juga pernah kecil, dan aku tahu bagaimana rasanya saat terpisah dari ibuku di tengah keramaian…”
“Hah!? Pak Masumi pernah kecil juga?” tanya Maya dengan suara lantang.
“Ya tentu saja! Kau pikir aku tiba-tiba saja sebesar ini?”
“Tapi aku tidak bisa membayangkan masa kecil Pak Masumi…” Maya bicara seperti kumur-kumur.
“Menurutmu, bagaimana saat aku kecil?” tanya Masumi.
“Ha? Saat Pak Masumi kecil? Hummm….” Maya sekali lagi mengerutkan dahi dan berpikir serius. “Pasti Pak Masumi nakal, menyebalkan, dan suka menindas orang lain!”
“Hahaha…” Masumi terbahak. “Kau ini jahat sekali. Saat aku masih kecil, aku ini anak yang sangat baik…”
“Oh, ya? Lalu tiba-tiba berubah, begitu?” sindir Maya.
“Ya…” Masumi menghela napas berat. Ia segera teringat bagaimana kasarnya Eisuke si tangan besi memperlakukannya.
“Aneh…” gumam Maya saat mendengar penjelasan Masumi. “Pak Masumi kan bukan Satria Baja Hitam, kenapa bisa tiba-tiba berubah?” tukas gadis itu seraya menggaruk-garuk kepalanya dan mengendikkan bahunya cuek.
“Heh?” Masumi mendelik sebal dengan pernyataan tak acuh Maya. “Memangnya hanya Satria Baja Hitam yang bisa tiba-tiba berubah? Aku juga bisa!” debat Masumi.
“Tidak. Sailormoon juga bisa. Tapi Pak Masumi kan tidak cocok memakai rok mini! Atau… Aku salah ya?” Maya menyeringai mengejek.
Masumi mendengus gemas sementara Maya berlalu dengan sikap cueknya. Kesal juga, Maya sangat sulit menganggapnya serius. Ah, sudahlah. Yang pasti Maya tidak terus menerus berbicara mengenai rencana membatalkan pernikahan mereka.
Keduanya melanjutkan makan malam di sebuah restoran mewah. Rencana Masumi sekarang, apalagi kalau bukan melakukan pendekatan. Mungkin… dia bisa membacakan puisi? Atau… merayu gadis itu? Mengatakan dia gadis tercantik yang Masumi pernah lihat? Bahwa Maya memiliki mata terindah yang bisa dimiliki seorang wanita?
“Apa sih?” bentak Maya lagi. Ia tak mengerti kenapa Masumi suka mengamatinya lekat-lekat seperti itu. Apa pria ini tidak mengerti bahwa dirinya merasa jengah? Dipelototi seperti sepotong paha ayam.
“Oh, tidak!” Masumi sendiri tak menyadari tindakan kurang sopannya itu. “Itu… salon yang kaudatangi… mereka bekerja dengan baik,” tukasnya.
“Anda benar-benar berniat mau ke salon itu ya? Kan sudah kubilang, itu salon khusus wanita! Pak Masumi ini kenapa sih? Aneh sekali…” gerutu Maya. “Tadi mau jadi Sailormoon, lalu sekarang mau pergi ke salon wanita. Jangan-jangan Anda dingin kepada wanita karena memang—“
“Hhmmm!!??’ Masumi mengangkat sebelah alisnya. “Kau mau aku memberikan pembuktian? Kau mau kejadian kemarin terjadi lagi?”
Maya langsung saja ingat bagaimana Masumi menciumnya saat di dalam mobil. “Hummph!!” Maya membekap mulutnya sendiri dan menggeleng-geleng takut. “Tidak… tidak…” tolaknya.
Masumi mendengus dan menatap Maya tajam. “Jadi jangan bicara yang tidak-tidak lagi. Mengerti!?”
Maya mengerucutkan bibirnya sebal. Ia tidak bisa apa-apa kalau Masumi sudah mengintimidasinya seperti itu. Keduanya lantas makan malam. Seperti biasa Masumi begitu royal. Ia memesan menu lengkap pembuka, menu utama, bahkan dua makanan penutup. Maya benar-benar heran dengan cara pria itu menghabiskan uang. Apalagi jika melihat harga-harga di menu yang membuatnya menggelengkan kepala.
Tetapi keheranannya tidak pernah melebihi rasa heran karena ia menyadari Masumi yang duduk di hadapannya itu sering sekali menatapnya lekat.
“A-ada apa sih?” tanya Maya dengan risi. “Ada yang salah dengan mukaku ya?”
Ya ampun anak ini memang tidak bisa mengerti? Bahwa dia terlihat sangat cantik hari ini? Pikir Masumi.
“Aku akan melihat apa saja yang ingin kulihat,” terang Masumi.
Maya mendengus sebal. “Tapi ini wajahku! Aku tidak suka ditatap seperti itu!”
“Apa masalahnya!? Aku calon suamimu!”
“Itu lagi! Itu lagi! Bicaranya ke situ-situ lagi! Bisa tidak jangan mengatakannya terus!?”
“Aku akan mengatakannya berapa kali pun! Aku calon suamimu! Aku calon suamimu! Aku calon suamimu!!” ujar Masumi keras kepala.
“Cih!!” Maya mengecam. Ia sebal bagaimana Masumi selalu melakukan apa yang tidak disukainya. Pasti Masumi mengatakannya pun bukan karena pria itu senang menjadi calon suaminya. Pasti hanya karena dia tahu hal itu akan membuat Maya kesal.
Saat itu tiba-tiba saja ponsel Masumi berbunyi. Masumi permisi sejenak untuk mengangkatnya. Ia sangat terkejut saat mendengar kabar mengenai Bu Mayuko.
“Maya, kita harus segera pergi,” terang Masumi dengan resah.
“Ada apa?” Dahi Maya berkerut.
“Ada sesuatu… dengan Bu Mayuko.”
“Bu Mayuko?” wajah Maya pucat seketika. “A-ada apa dengan Bu Mayuko…?”
“Bu Mayuko…” Masumi menelan ludahnya pahit. “Dia…”
=//=
Mobil Masumi memacu dengan cepat menuju tempat Bu Mayuko.
Bu Mayuko… kenapa harus sekarang? Di saat aku sedang berduaan dengan Maya… Kenapa…!!? Masumi mengeratkan pegangannya di setir.
Mobil itu tiba di teater Hayami yang halamannya tampak ramai dipenuhi orang-orang. Maya dan Masumi menerobosnya.
“Lihat! Itu Bu Mayuko…!” tunjuk seseorang dengan tak percaya.
Mata Maya membulat kaget dengan apa yang dilihatnya.
Mayuko berada di atap, berjalan di pembatasnya dengan memakai baju balet berwarna hitam dan stoking berwarna senada.
“Ibu!!!” panggil Maya tak percaya, mendongak mengamati Mayuko yang masih lincah menari. “I-ibu Mayuko, kenapa…?” tanya Maya dengan mata berkaca-kaca. Ia tampak sangat khawatir, takut gurunya jatuh.
“Maya!!” Sayaka berhambur menghampiri Maya. “Kau kemana saja? Kami sedari tadi mencarimu…”
“Ah, a-aku… aku…” Maya melirik Masumi yang bersamanya.
Sayaka sepertinya mengerti bahwa calon suami isteri itu tadi pergi berkencan.
“Ada apa dengan Bu Mayuko?” tanya Masumi dengan suaranya yang berwibawa.
“Ah… itu…” Taiko tampak resah. “Tadi Pak Genzo menghubungi. Dia bilang… Bu Mayuko terlalu banyak minum karena memikirkan mengenai Bidadari Merah. Tiba-tiba… Bu Mayuko mengatakan ia akan menarikan tarian balet swan lake di pesta tunanganmu nanti.”
“Hah!? APA!!?” Maya dan Masumi terlonjak bersamaan.
“Tanpa bisa dicegah Pak genzo, Bu Mayuko sudah berganti pakaian balet. Awalnya dia hanya berlatih di dalam teater. Tiba-tiba Bu Mayuko bersikeras ingin berlatih di luar dan sudah berada di atap sana….” terang Mina.
“A-apa…?” Maya tak percaya. Ia kembali mendongak, menatap Bu Mayuko dan kulit tangannya yang terlihat kisut terentang seperti hendak terbang. Ibu… Maya trenyuh. “Mana Pak Genzo!!?” bentak Maya.
“Di-di sana…” Mina menunjuk kepada Pak Genzo yang tampak kahwatir—sekaligus kagum—kepada kelincahan Mayuko yang meniti tepi pembatas.
“Pak Genzo!!” Labrak Maya, “Apa yang Anda lakukan!!? Kenapa Bu Mayuko bisa sampai mabuk!!? Dari mana bu Mayuko bisa memiliki baju baleet!!?” tanya Maya dengan geram.
“I-itu… aku… aku…” Pak Genzo gelagapan, merasa bersalah.
“Bagaimana bisa Anda lalai sampai Bu Mayuko membahayakan dirinya sendiri seperti itu! Dan… dan kenapa kau tidak memintanya turun!!?”
“Bu Mayuko tidak memperbolehkan siapa pun mendekat… Jika kami mendekat… Dia akan loncat!”
“Apa!!?” Maya terenyak. “I.. ibu…” Mata Maya kembali berkaca-kaca, mengamati Mayuko yang dengan lincah melompat-lompat di ujung jemarinya.
“Tenanglah Maya, aku akan coba mengatasinya,” ujar Masumi tiba-tiba. Sifat kepahlawanannya senantiasa tergugah jika Maya terlihat sedih seperti itu.
Akhirnya, setelah Masumi mengajak Bu Mayuko bicara, menjanjikan kenaikan gaji, dan bahwa Mayuko akan menari balet di pesta pertunangannya, Mayuko setuju menghentikan ‘latihannya’ malam itu.
Kejadian mengejutkan sempat terjadi saat Bu Mayuko tiba-tiba saja pingsan. Namun ternyata, saat dihampiri, Bu Mayuko ternyata hanya jatuh tertidur.
“Ibu…” Maya menggenggam tangan tua ibu guru yang sangat dicintainya itu. Ia sangat terharu ibu gurunya itu sangat ingin ikut berpartisipasi pada pesta pertunangannya nanti. Ia sangat lega melihat ibu gurunya baik-baik saja dan tidak cedera. Setelah memastikan Mayuko baik-baik saja, Masumi mengantar Maya  dan ketiga temannya kembali ke tempatnya masing-masing.
“Terima kasih sudah menemaniku,” ucap Masumi saat mereka tiba di apartemen Maya dan hanya berdua saja. Maya tampak agak kerepotan memegangi semua barang yang didapatkannya dari berjalan-jalan di festival.
“Sama-sama,” jawab Maya dengan wajah menghangat karena sikap sopan Masumi. Ia tidak tahu pasti bagaimana harus mengakhiri kencan mereka hari ini. Jadi Maya hanya diam saja dan menunduk. Saat ia mengangkat wajahnya lagi, Maya sangat terkejut karena Masumi mengamatinya dengan lekat dan… wajah pria itu mendekat!
E… eh! Eh…! Maya panik bukan kepalang. Matanya membulat dan jantungnya berdebar cepat. Langsung saja ia ingat kejadian sebelumnya. Apakah Masumi hendak menciumnya lagi?
Maya benar-benar panik! Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Tangannya juga tidak bisa mencegah pria itu mendekat, dan entah kenapa suaranya langsung tercekat.
Tidak!! Maya memecamkan matanya erat-erat dan menundukkan wajahnya untuk menghindar. Ia lantas merasakan sentuhan di bibirnya.
Sejenak rasanya jantung Maya berhenti berdetak.
“Kau kenapa?” tanya Masumi heran.
Eh? Maya tertegun. Ia membuka matanya lagi dan mendapati ibu jari Masumi menyentuh bibirnya. Eh… eh…!? Maya masih linglung karena apa yang Masumi lakukan tidak sesuai yang ia harapkan. Eh, ehm!! Maksudnya yang dia perkirakan.
“Ada krim di bibirmu,” terang Masumi setelah menurunkan ibu jarinya lagi. “Kau sengaja ya menyisakannya sebagai oleh-oleh?” ledek Masumi sebelum tergelak cukup keras.
Maya yang masih salah tingkah karena salah berpikir, tidak bisa menimpali walaupun dia sebal bukan main dengan selorohan Masumi. Maya hanya bisa cemberut dan mendelik keki.
“Kenapa?” tanya Masumi heran. Ia lantas menyeringai lagi, “Kau pikir tadi aku hendak menciummu ya?”
“HAH!?” Maya terkesiap.
“Wah… kenapa tidak bilang?” Masumi tak berhenti menggodanya. “Kalau memang mau, aku bisa kok… AWWWW!!! Adduuhh…” Masumi memegangi kakinya yang baru saja diinjak sangat keras oleh Maya.
“Laki-laki menyebalkan!! Si-siapa yang mau dicium olehmu!! Ukh!! Weeeekk!!!” Maya menjulurkan lidahnya panjang-panjang sebelum berusaha keras masuk ke dalam apartemennya dan sekali lagi melemparkan lirikan sebal sebelum menghilang di balik pintu.
Sementara Masumi masih meringis kesakitan karena kakinya berdenyut-denyut. Gadis itu sungguh-sungguh menginjak kakinya dengan sekuat tenaga.
“Dasar menyebalkan…! Siapa yang ingin diciumnya? Ih! Melihatnya saja aku sebal…” Maya merinding. “Apa-apaan sih dia itu… memangnya siapa dia? Seenaknya bicara yang bukan-bukan mengenai aku!” Maya masih menggerutu panjang pendek saat masuk ke dalam apartemennya dan mendapati Rei yang baru saja selesai membersihkan diri.
“Maya! Bagaimana bu Mayuko? Maaf, aku tidak bisa ke sana tadi… di café-ku sedang sangat banyak pengunjung dan master tidak mengijinkanku untuk pergi…” sesal Rei.
“Tidak apa-apa Rei, sudah beres… Pak Masumi mengatakan Bu Mayuko boleh menari balet di pesta pertunangan kami nanti.”
“Hah!!? Menari balet? Memangnya… Bu Mayuko bisa?”
“Aku tidak tahu…” ujar Maya, tidak mau menambah beban pikirannya. Sudah banyak hal yang membuatnya pusing. Jadi, jika menari balet bisa membuat Bu Mayuko senang, Maya juga akan ikut senang.
“Apa itu di tanganmu?” tanya Rei.
“Oh, i-ini… oleh-oleh dari festival.”
“Festival? Kau pergi ke festival dengan siapa? Tadi teman-teman bilang mereka tidak bisa menemukanmu. Lalu bagaimana pertemuanmu dengan keluarga Hayami? Kau membuat mereka terkesan kan?” Rei tersenyum yakin.
“Oh, i-itu…” Maya akhirnya menceritakan bahwa pertemuannya dan keluarga Hayami yang batal dan berakhir dengan berkencan bersama Masumi. “Huh! Melelahkan seharian bersama dia! Mudah-mudahan saja… aku tidak harus melihatnya sampai waktu pertunangan kami!” harap Maya.
Namun, tampaknya harapan itu sia-sia. Karena, di pagi-pagi buta, Maya harus sudah melihat calon suaminya itu di ambang pintu apartemennya lagi.
“HA!!? A-ada apa!!? Sedang apa pagi-pagi begini sudah mencemari pemandangan di apartemenku!!?” hardik Maya.
Ya ampun… apa tidak ada kata-kata lain yang lebih sadis lagi? Batin Masumi.
Wajah Masumi berubah tegas. “Ikut aku!” perintahnya.
“Ha!? Ke mana lagi?” Maya protes.
“Temani aku. Seharian ini, kau harus berada di sisiku dan membantuku melakukan banyak hal!”
“A-apa!!? Kepalamu terbentur meteor ya? Kenapa aku harus…”
“Ini!” Masumi menunjuk ke arah kakinya.
Maya menunduk, dan ia mendapati ibu jari kaki Masumi diperban dan pria itu menggunakan sandal, bukan sepatu.
“Gara-gara kau menginjakku semalam, ibu jari kakiku jadi bengkak dan aku tidak bisa bergerak bebas ke sana kemari,” tegas Masumi. “Aku menuntut tanggung jawabmu! Kau harus membantuku sampai ibu jari kakiku sembuh!”
“Hah!? Ta-tapi… tapi…” Maya gelagapan, bingung. Antara enggan dan merasa bersalah. Sepertinya Masumi sangat kesakitan.
“Kenapa? Mau lari dari tanggung jawab? Kau tahu tidak sakitnya berjalan ke sana kemari dengan kaki seperti ini? Karena itu, kau harus membantuku!" tuntut Masumi, meminta keadilan.
Maya menunduk. Masumi benar. Ia jadi iba dan merasa sangat bersalah.
“Baiklah…” Maya akhirnya setuju. “Tapi… tunggu sebentar, aku mau mandi dulu,” ungkap Maya yang teringat dia masih berada dalam kondisi memalukan.
“Ya. Cepatlah!” perintah Masumi dengan kesal. “Aku ada rapat penting pagi ini, tidak boleh terlambat!” terangnya.
“Iya, iya, tunggu sebentar!!” sahut Maya.
Masumi menyeringai. Semoga saja gadis itu tidak tahu bahwa dia hanya berpura-pura. Aduh, Masumi rasanya tidak tahan. Ingin tertawa terbahak-bahak karena rencananya berhasil.
Namun wajahnya berubah serius dan keki saat Maya kembali berbalik.
“Pak Masumi tunggulah di dalam. Bisa duduk di zabuton tidak?” tanya Maya khawatir.
“Bisa. Sudah, sana cepat mandi! Aku tidak boleh terlambat.”
“Iya! Iya!” tukas Maya. Apa sih dia ini… kenapa marah-marah terus? Aku kan hanya khawatir. Tapi… bagaimana pun ini adalah kesalahanku… batin Maya. Baiklah… aku harus menebusnya. Aku akan membantu Pak Masumi selama dia membutuhkanku.
  
Bersambung ke 2MakeU 5
 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting