Tuesday 31 May 2011

Fanfic TK: Taiyaki Love

Posted by Ty SakuMoto at 17:10 19 comments
Cerita Orisinil bersetting kehidupan pernikahan Maya dan Masumi. Beberapa bulan setelah perkawinan dan belum memiliki anak.
Genre : Romance
*Taiyaki adalah kue khas Jepang. Rasanya manis, berbentuk ikan dan diisi selai kacang merah. Pada komik Topeng Kaca kue ini sempat dimakan Maya, Ayumi dan Masumi saat di Syair Lidah Api jilid 3 waktu pementasan Helen Keller.
A.N : FF ini buat kado ulang tahun sis Mulan dan sis Meita, juga spesial buat dokter Suki yang jauh-jauh hari rekues cerita begini, akhirnya bisa juga kubikinin. Hope you like it sistah :)

 
Taiyaki Love


“Aku pulang…” Ucap Masumi ketika memasuki ruang keluarga.
Masumi tersenyum simpul, mendapati istrinya yang sedang menyaksikan drama seri televisi di ruang keluarga mereka. Salah seorang pelayan telah membawa pergi tas kerjanya. Masumi menghampiri Maya dan mengecup ubun-ubunnya, Maya sedikit terperanjat dan menoleh ke arah suaminya.
                “Akhirnya kau memperhatikanku…” ucap Masumi.
                “Maaf, habis seru sekali,“ wajah istrinya merona, tidak lama kembali pada televisi.
                Masumi duduk di sisi lain sofa, mengamati istrinya menonton drama kesukaannya sambil melepas jas dan dasinya.
                “Yaaa…. Bersambung…” keluh Maya kecewa. Seakan teringat sesuatu, Maya sedikit tertegun lantas menoleh pada Masumi, “selamat datang…” katanya sambil tersenyum lebar.
                “Terlambat!” kata Masumi dingin.
                “Maaf…” rayu Maya dengan matanya  yang memelas.
                Masumi mencondongkan badannya sambil menyeringai sementara Maya mengamatinya sedikit takut-takut.
                “Tapi belum terlambat untuk…” Masumi mendekatkan bibirnya pada Maya, namun telunjuk istrinya menghalangi niatnya. Dahi Masumi berkerut penuh tanda tanya. Maya memberi tanda dengan matanya lantas Masumi memutar badannya. Seorang pelayan berdiri tidak jauh dari mereka,
                “Ada apa?” tanya Masumi sedikit kesal.
                “Air panasnya sudah siap Tuan,” terangnya.
                “Baik, sekarang pergilah,” usir Masumi.
                Pelayan tersebut membungkuk sedikit lantas undur diri sambil membawa jas dan dasi tuannya.
                “Terima kasih Kaori!” seru Maya sebelum mendelik pada suaminya, “kasar sekali!” hardiknya.
                Masumi mengamati wajah isterinya,
               “Maaf…” katanya lebih lembut, “habis, mengganggu saja… aku kan merindukanmu dan ingin—“
                Maya mendorong bahu suaminya menjauh.
“Sebagai hukumannya, aku tidak mau kau cium…” kata Maya angkuh sambil memalingkan wajahnya.
“Maya… nanti aku akan minta maaf padanya,” rayu Masumi.
“Tidak,” jawab istrinya tegas.
Masumi kembali duduk tegak.
“Kalau begitu, aku tidak akan memberikannya padamu,” Masumi berpura-pura mengamati sesuatu yang digenggamnya.
Maya melirik penasaran, dia tahu apa itu.
“Jadi?” tanya Masumi.
“Berikan dulu padaku,” Maya menjulurkan tangannya.
“Bagaimana aku tahu kau akan mau kucium setelah aku memberikannya kepadamu?” tanya Masumi.
“Aku ‘kan tidak pernah bohong!” Maya tersinggung.
“Kalau begitu beri aku uang mukanya,” Masumi menepuk-nepuk pipinya dengan telunjuknya.
Maya menekuk wajahnya,
“Dasar Direktur Daito,” keluhnya, lantas mendekat dan mengecup ringan pipi suaminya.
“Tidak terasa!” tolak Masumi, menyembunyikan barang yang dibawanya di balik punggung.
“Akan terasa kalau kugigit!!” Maya mulai kesal.
“Aku tidak akan menolak,” goda Masumi.
Maya menekuk wajahnya lagi. Dengan terpaksa Maya kembali mendekati Masumi, memandang suaminya dengan lembut dan lama. Maya tidak mengecup pipi Masumi, lambat-lambat dia mendekatkan jarak bibirnya dan bibir Masumi.
“Maya…” desis Masumi tidak sabar.
“Danna-sama…” bisik Maya, menggoda suaminya, “AKU DAPAT!!” Serunya sambil mengangkat tangannya dan tersenyum culas.
Masumi baru menyadari Maya berhasil merebut bungkusan dari tangannya.
“Curang!” Protes Masumi.
“Hohoho… coba dengar siapa yang bilang curang…” ledek Maya.
Masumi lantas menarik Maya dan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Maya.
“Penuhi janjimu, istriku…” tuntut Masumi.
“Tidak mauuuu~” tolak Maya sambil tertawa-tawa kegelian.
Masumi memutar badan Maya menghadap padanya,
“Baiklah, kuambil sendiri kalau begitu…” Masumi kembali mendekatkan bibirnya pada wajah Maya. Akhirnya dia berhasil, mengenainya, menciumnya. Tapi bukan Maya, melainkan bungkusannya. Pria itu tertegun, menjauhkan wajahnya dari benda yang baru saja diciumnya.
“Hehehe…” Maya menampakkan wajahnya dan menyeringai dari balik bungkusan.
“Maya Hayamiii!!!” Seru Masumi mulai kehilangan kesabaran.
Buk!
Bungkusan itu kembali menutupi wajah Masumi.
“Tidak mauuuuu mandi dulu sanaa… Mandiiiiii~!!!!” Usir Maya sambil menekankan bungkusan itu semakin dalam ke wajah Masumi.
Akhirnya Masumi menyerah,
“Baiklah… aku mandi dulu…” katanya sambil beranjak berdiri, “tapi karena pembayarannya tertunda, hutangmu berbunga, Sayang…” Masumi menyeringai.
“Dasar Direktur Daitoo!!” Seru Maya sambil menjulurkan lidahnya.
Masumi terbahak lantas pergi ke kamar mandi.
Maya membuka bungkusan yang dibawakan suaminya, bungkusan berisi kue Taiyaki. Wajahnya terlihat riang melihatnya. Maya sangat menyukai kue itu sejak dia kecil. Ada sebuah kenangan manis yang selalu terkenang olehnya saat melihat kue manis berbentuk ikan tersebut. Maya memakan salah satu kue tersebut.
“Ini tehnya Nyonya…” kata Kaori, seorang pelayannya.
Maya berterima kasih dan meminta maaf atas sikap suaminya sebelumnya. Kaori hanya tertawa kecil dan berkata bahwa dia sudah terbiasa dan juga mengerti atas sikap tuannya tersebut. Kaori lantas keluar meninggalkan Nyonya-nya yang masih lebih muda dari dirinya tersebut.
Masumi kembali ke ruang tengah dan mendapati Maya masih menikmati kue yang tadi dibawakannya. Maya terlihat sedang tiduran di sofa dan membaca sebuah majalah, TV Guide, majalah bulanan berisi referensi acara-acara televisi.
Masumi mengangkat kaki Maya dan meletakkannya di atas pahanya sendiri saat Ia ikut duduk di atas sofa. Sebentar Maya meminggirkan majalahnya dan memandang Masumi,
“Sudah selesai mandinya?” tanya Maya dan dijawab Masumi dengan anggukan dan sebuah senyuman.
“Jangan makan sambil tiduran…” kata Masumi sambil merebut kue yang ada di genggaman isterinya.
“Masumi aaaahhh..! Mengganggu saja,” keluh Maya, berusaha menjangkau kue yang direbut suaminya. Tapi percuma, tidak lama kue itu sudah masuk semua ke mulut Masumi.
“Tukang rebut!!” Maya terdengar kesal, Masumi tidak mempedulikannya.
“Apa yang kau baca?” Tanya Masumi.
“Ini, di balik layar drama seri Ayumi, sepertinya suasana syutingnya seru sekali…” kata Maya.
“Ah, mengenai drama itu, Sayang, apakah kau sudah memutuskan untuk menjadi bintang tamu di episode terakhirnya nanti?”
“Hmm… kurasa aku akan menerimanya. Aku rindu main drama dengan Ayumi, dan ini pertama kalinya aku dan Ayumi akan tampil di drama televisi. Jadi kupikir, kenapa tidak kucoba saja…” Maya tersenyum, ada binar-binar semangat di matanya. Semangat yang telah meluluhkan hati Masumi bertahun-tahun yang lalu.
Maya lantas menurunkan kakinya dari paha Masumi dan mendudukkan dirinya. Ia lantas kembali meraih kue yang dibawakan suaminya tersebut.
“Sudah habis berapa?” Tanya Masumi sambil tak bosan mengamati maya seakan gadis itu merupakan tontonan yang sangat menarik.
“Kalau dengan yang tadi kau rebut, seharusnya ini yang kelima,” jawab Maya sambil mulai melahap Taiyakinya.
“Lima?? Kau benar-benar menyukai kue itu ya…” gumam Masumi, “awas nanti gendut…” Masumi menakut-nakuti.
Maya menoleh dengan cepat pada suaminya,
“Kalau aku gendut kenapa?!” ancam Maya.
“Tidak kenapa-kenapa… kau pasti lucu sekali dan menggemaskan… aku tidak akan tahan untuk tidak menggelindingkanmu…” godanya.
“Masumiiii~!!” Rajuk Maya, memukul dada suaminya pelan.
Keduanya lantas tertawa. Maya menyandarkan dirinya di dada Masumi.
“Bukankah kau pernah bilang, kalau kau dulu juga sering memakannya? Saat kau kecil?” Tanya Maya.
“Iya… saat aku masih SD, aku sering memakannya setelah pulang bermain kasti dengan teman-temanku. Ada seorang bibi penjual Taiyaki langganan kami. Kue buatannya enak sekali, dia mengisi kuenya dengan selai kacang sampai ke ekor-ekornya…” kenang Masumi, “sayang dia sudah meninggal dan aku tidak pernah lagi makan kue taiyaki, sejak diangkat menjadi anak angkat Ayah.”
Maya mendengarkan, Ia lantas mengarahkan kue yang dipegangnya pada Masumi, pria itu menggigitnya.
“Ah, tidak… aku pernah makan taiyaki denganmu bukan? Saat Ayumi sedang pentas Helen Keller, benar?”
“Iya,” Maya membenarkan, sebuah senyum penuh kenangan menghias bibirnya.
“Kau sendiri, Sayang? Kenapa suka sekali kue ini? Apa dulu ibumu sering membelikannya untukmu?” Tanya Masumi.
Maya menggelengkan kepalanya, lalu menggigit kembali kuenya. Ada rona malu-malu menghias wajahnya saat itu.
“Maya…?” Masumi menyadarkan kembali istrinya dari lamunannya yang sekilas.
“Ah… maaf, aku jadi terkenang masa lalu…” kata Maya malu-malu.
Eh?
Masumi tertegun mendengar nada suara isterinya.
“Aku punya sebuah kenangan manis dengan kue taiyaki ini, makanya aku sangat menyukainya. Ada perasaan hangat dan tenang setiap kali aku memakannya…” terang Maya.
Masumi tertegun sementara Maya tertawa kecil.
“Kue ini selalu mengingatkanku pada cinta pertamaku…” lanjut Maya malu-malu.
Deg!!
Bagaikan dihantam batu besar, Masumi merasa sangat terpukul mendengarnya. Belum lagi rasa cemburu yang mulai mengaliri urat-urat syarafnya.
“Cinta pertamamu…?” Tanya Masumi, tegang.
Maya tidak menyadari akibat dari ucapannya pada Masumi, gadis itu kembali tertawa kecil.
“Iya…” jawabnya pelan.
Masumi menghirup nafasnya berat. Dia kembali teringat pemuda itu, Shigeru Satomi. Pemuda yang pernah mengisi hati Maya dan membuatnya tersadar bahwa dia sangat mencintai Maya. Pemuda yang pernah membuat Masumi mengerti dan merasakan derita dari sebuah rasa cemburu. Tanpa sadar Masumi mengikatkan lengannya ke tubuh Maya, memeluknya erat. Sangat takut kehilangan.
“Masumi?” Maya menengadahkan kepalanya, heran dengan reaksi Masumi.
“Maksudmu, Satomi? Kau teringat pemuda itu pada saat—”
“Bukan..!” sergah Maya cepat, “bukan dia kok…” lanjutnya, merajuk.
“Bukan?!!” Masumi terkejut. Otaknya mulai beroperasi dengan cepat mengingat kembali data riwayat hidup gadis di dalam pelukannya. Dia tidak ingat ada informasi yang menerangkan bahwa istrinya itu pernah dekat dengan laki-laki lain selain dirinya dan Satomi. Dia lalu mengingat Sakurakoji.
Atau…  Sakurakoji? Diakah pemuda yang sebenarnya cinta pertama Maya?
Masumi dapat merasakan aliran deras darahnya yang membawa rasa cemburu mengalir di setiap pembuluh darahnya.
“Siapa?” Tanya Masumi datar dan dingin.
“Seorang pemuda, yang sangat hangat dan baik hati…” tutur Maya.
“Pemuda…” gumam Masumi dingin.
Maya memutar badannya menatap Masumi, dia baru menyadari suaminya cemburu.
“Kau… cemburu, Sayang?” Tanya Maya, sedikit terkejut.
Masumi tidak menjawab.
Maya lalu terkikik. Masumi menatap istrinya dengan tatapan heran.
“Itu sudah lama sekali… saat itu aku mungkin berusia 6 tahun, aku baru masuk SD dan masih tinggal di Yokohama dengan ibuku,” Maya memulai, “saat itu, aku dan rombongan SD-ku melakukan kunjungan ke sebuah museum—Ah, mungkin memang sifatku yang sering tidak memperhatikan sekitar,—Saat itu, ada sebuah mobil yang melintas, aku ingat sekali, mobil itu memasang speaker sangat keras, mengiklankan sebuah drama yang akan dipentaskan di sebuah gedung kesenian. Cerita Cinderella. Aku sangat terpesona dengan poster yang mereka pasang dan aku mengikuti mobil itu tanpa sadar…” kenang Maya, “Saat mobil itu sudah tidak bisa kuikuti dan menghilang dari pandanganku, aku baru sadar bahwa aku sudah terpisah dari rombonganku dan tidak tahu lagi dimana aku berada. Aku panik sekali. Aku mencoba berjalan ke sana kemari tapi sepertinya malah semakin tidak menentu. Akhirnya aku berjalan sambil menangis, dan ketakutan. Aku bahkan berpikir mungkin tidak akan bisa bertemu Ibu lagi dan itu membuatku semakin takut,” wajah Maya melembut, dia kembali tertawa kecil, “lalu aku diam di sebuah taman sambil menangis sendiri, saat itulah aku bertemu dengan cinta pertamaku…” katanya sambil kembali merona malu.
Masumi menatap isterinya semakin cemburu, namun lelaki itu hanya membisu dan membiarkan isterinya bercerita.
“Dia seorang pemuda yang sangat tampan… yah, sekarang aku sudah tidak ingat wajahnya, tapi aku ingat sekali perasaanku saat melihatnya dulu. Dia sangat tampan, tersenyum hangat dan ramah lalu bertanya apakah aku baik-baik saja. Awalnya aku sangat takut, tapi dia memintaku agar percaya kepadanya, dan dia bilang, dia akan membantuku,”
“Jadi,” potong Masumi, “karena itu sudah sangat lama, ada kemungkinan dia sebenarnya tidak tampan 'kan?” ejek Masumi.
Maya segera menoleh pada Masumi dan menatapnya tajam. Ia lalu kembali menerawang,
“Pemuda itu lalu mengajakku bicara, bertanya mengenai apa yang sedang kulakukan. Dan dia…” Maya tersenyum hangat, “membelikanku kue taiyaki ini saat tahu aku belum makan siang.”
“Pemuda ini…” potong Masumi lagi, “berapa usianya?” Ia menyelidik, iri.
“Hmm... entahlah, mungkin dua puluhan, saat itu dia berpakaian seperti pegawai kantoran, memakai jas dan semacamnya…” Maya teralihkan sebentar sebelum melanjutkan, “ahhhh itu salah satu kenangan terindah dalam hidupku. Memakan kue taiyaki berdua dengan pemuda itu, cinta pertamaku, hihihi…” Maya bernostalgia, sempat lupa bahwa dia sekarang  wanita bersuami, dan suaminya sedang merasa keki.
“Sudah cukup!” kata Masumi, menarik kue yang dari tadi hanya digenggam Maya dan belum dimakannya lagi, “kau tidak boleh makan taiyaki lagi,” putus Masumi.
“Ma… Masumi!!!” protes Maya, “kenapa?!”
“Kenapa?? Sudah jelas ‘kan? Masa aku harus membiarkan kau memakan kue yang setiap melihatnya membuatmu teringat lelaki lain…” kata Masumi sambil membereskan kue taiyaki yang tersisa.
“Ya ampun… itu kan dulu, hanya kenangan masa lalu. Kau terlalu berlebihan, Masumi!” protes Maya, “lagipula, kau yang mengingatkanku kepadanya…” Maya beralasan.
“TIdak. Pokoknya kau tidak boleh lagi makan Taiyaki!” Masumi menekankan.
“Egois!!” Seru Maya.
Masumi memalingkan wajahnya dan membisu, wajahnya dingin.
“Huh!” Maya memalingkan wajahnya ke sisi yang lain.
Keduanya terdiam. Tidak lama kemudian keduanya sama-sama merasa konyol, sudah bertengkar karena kejadian yang sudah sangat lama.
“Kalau tidak ada dia, mungkin kau tidak akan pernah bertemu denganku, kau tahu…” kata Maya.
Masumi tertegun, Ia menoleh pada isterinya.
“Mungkin saja saat itu aku diculik oleh penjahat atau ada hal lain menimpaku, kalau bukan karena dia yang menjaga dan mengantarkanku mencari rombongan sekolahku,” suara Maya terdengar lemah.
Maya menoleh pada Masumi dan keduanya berpandangan.
“Dan saat itu, aku sangat ingat dengan perkataannya. Saat kuberi tahu bahwa aku terpisah dari rombongan karena mengejar mobil yang mengiklankan sandiwara. Dia bilang, ‘Chibi-chan, kalau kau menyukai drama sedalam itu, suatu hari kau harus coba memainkannya. Di atas panggung seorang aktris hidup di dunia yang berbeda. Mungkin suatu saat, kau bisa merasakannya sendiri dan mungkin saja kau malah menjadi seorang aktris,” Maya mengulang ucapan cinta pertamanya penuh nada berterima kasih.
Eh?
Masumi tertegun, mendengar ucapan Maya.
 “Aku hanya mengingat kebaikan hatinya, apa itu salah?” rajuk Maya.
“Tunggu dulu, dia memanggilmu apa?” tanya Masumi.
“Chibi-chan,” jawab Maya.
“dan kau tidak marah?”
“Tidak…”
“HA!!” seru Masumi kesal.
“Ke… kenapa aku harus marah? Anak-anak seusiaku saat itu memang biasa disebut Chibi-chan, tapi kau!” Maya menunjuk suaminya, “memanggilku Chibi-chan tidak pada waktunya, saat aku sudah tumbuh dewasa.” Maya menuding kesal.
Eh?
Sekali lagi Masumi tertegun, kali ini dia teringat hal lain.
Maya memandang suaminya bingung. Setelah agak lama, tiba-tiba Masumi tertawa terbahak-bahak.
“A, apa? Kau kenapa Masumi??” Tanya Maya.
Masumi berhenti tertawa dan memandangi isterinya.
“Tidak, aku hanya teringat sesuatu,” kata Masumi diantara tawanya yang tersisa, “aku baru ingat bahwa selain waktu SD dan saat pertunjukan Helen Keller Ayumi, aku juga pernah memakan kue taiyaki ini sebelumnya,” kata Masumi, tersenyum simpul.
“Kukira ada apa…” ujar Maya, “kau membuatku terkejut.”
“Saat itu, usiaku 17 tahun. Ayah baru saja mengangkatku sebagai sekretarisnya dan aku menemaninya bertugas ke Yokohama,” Masumi memulai, tersenyum. Memandangi isterinya dengan hangat, “aku yang baru menjabat sebagai sekretaris Ayah, membuat suatu kesalahan pada hari itu, Ayah sangat marah dan mengusirku agar kembali ke Tokyo,” kenangnya, sedikit pahit, “di perjalanan, aku sempat melihat seorang gadis kecil sedang menangis,” lanjut Masumi.
Maya tertegun, mengamati suaminya.
“Gadis itu menangis sendiri, terduduk di pojok taman. Dia tidak meminta tolong kepada siapapun dan hanya menangis sendirian. Aku awalnya berpikir untuk mengabaikannya karena masih terpukul dengan hukuman Ayah. Namun entah kenapa, anak itu sangat mengusikku, jadi kuputuskan untuk menghampiri dan membantunya,” terang Masumi.
Maya mengerutkan dahinya, mengamati Masumi. Jantungnya berdetak cepat, takjub.
“Aku tidak mengira, anak itu sekarang menjadi istriku…” ucap Masumi sambil tersenyum lembut.
“Ha? Kau…? Kau…?” Maya tidak bisa bicara.
Masumi tertawa.
“Iya, benar… aku ingat sekarang. Kau adalah anak SD yang terpisah dari rombongannya karena mengikuti mobil yang mengiklankan pertunjukan drama yang pernah kutemani dulu,” papar Masumi.
“Masumi!” Maya memeluk suaminya erat, “aku tidak percaya… ternyata…” mata Maya tiba-tiba berkaca-kaca, dan dia meneteskan air matanya, “ternyata sejak pertama bertemu, kau memang selalu membantu dan melindungiku…” katanya terharu, “terima kasih.”
Maya….
Masumi balas memeluk isterinya.
Keduanya memisahkan diri, saling bertatapan.  Masumi lantas mendekatkan wajahnya pada Maya. Dengan lembut pria itu menyentuh rahang isterinya, mengamati bibirnya.
“Maya…” bisiknya.
Maya merasakan debaran pada jantungnya yang semakin keras dan hanya bisa menunggu, mematung. Cinta pertamanya sudah Ia temukan, dan sekarang pria itu sudah menjadi cinta sejatinya.
Masumi mengamati matanya, sebuah senyuman tipis menggaris di wajah pria itu sebelum kemudian bibir keduanya…
“Tunggu dulu!” cegah Maya.
“Hm?” Masumi tertegun.
Apa lagi sih…
Pikir pria itu.
“Masumi, apa kau benar-benar tidak ingat dengan kejadian itu sebelumnya?” tanya Maya.
Masumi berpikir sebentar.
“Tidak…” gumam Masumi.
“Keterlaluan!!!” Seru Maya.
“Hah?!”
“Sementara aku selalu mengenang kejadian itu, selalu teringat akan kebaikan hati dan kehangatanmu. Malahan sudah memutuskan kau sebagai cinta pertamaku…”
“Memang apa yang salah dengan hal itu?”
“Tentu saja salah! Memangnya kau itu siapa? Superman? Spiderman? Batman? Yang sudah menolong ribuan anak kecil, sampai-sampai tidak ingat pernah menolong seorang anak kecil. AKU?”
“Purple-rose-man?” kata Masumi dengan wajah polos.
“HUH!!” Maya beranjak berdiri, “habiskan saja olehmu, aku tidak mau memakannya lagi!” ujar Maya sambil menekankan bungkusan taiyaki ke dada suaminya itu sebelum lantas berlalu meninggalkannya.
“Hei… Maya…” Masumi mengejar punggung istri mungilnya.
“Padahal aku masih anak-anak sedangkan kau sudah besar,” gerutu Maya menuju kamar mereka, “malah kau yang lupa…”
“Aku saat itu sedang dihukum ayah, ya jadi pikiranku—”
“Pikun!” seru Maya sambil memalingkan wajahnya pada Masumi, lantas berbalik kembali meneruskan langkahnya.
“Hei..! Aku tidak marah padamu walaupun kau bilang umurku dua puluhan padahal saat itu umurku tujuh belas, kau tahu. TUJUH BELAS!” Balas Masumi.
“Salahmu sendiri, siapa suruh berdandan seperti Om Om!”
“O, om-om??” Masumi tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
Keduanya sudah mencapai kamar mereka. Masumi yang masuk belakangan lantas menutup pintunya.
“Apa yang kau lakukan?” Tanya Maya saat suaminya itu juga naik ke atas tempat tidur.
“Aku mau tidur,” jawabnya datar.
“Kita ini sedang bertengkar, kalau suami istri bertengkar, suaminya harus tidur di sofa.”
“Aku tidak mau,” tolak Masumi. “Lagipula, aku bukan berdandan seperti Om om, saat itu aku sudah menjadi sekretaris presiden direktur, tentu saja aku harus tampil seperti itu. Bukankah kau tadi yang bilang, kalau saat itu aku sangat tampan?” Masumi kembali membicarakan peristiwa yang dulu.
Masumi menarik selimutnya bersiap untuk tidur sementara Maya masih duduk di sisi tempat tidurnya.  Akhirnya Maya naik juga ke tempat tidurnya.
“Baiklah, kalau begitu, apa yang kau ingat tentang aku saat itu?” tanya Maya, menatap suaminya dengan bola matanya yang bening.
Masumi memandangnya, tersenyum tipis. Ia lalu memutar badannya menyamping, menghadap Maya dan membelai rambut isterinya tersebut.
“Saat itu… kau…” senyumnya mengembang lebih lebar, “pendek.”
“Selamat malam!” Maya menyingkirkan tangan Masumi, memutar badannya dengan cepat dan mematikan lampu di sisi tempat tidurnya.
“Aku hanya bercanda…” kata Masumi di tengah tawanya.
“Selamat malam!” Maya masih membalikkan badannya, menolak untuk melihat.
“Hhh… baiklah,” kata Masumi menyerah. Ia lalu meraih lampu di sisi tempat tidurnya dan mematikannya hingga membuat kamar mereka gelap.
“Kya! Masumi!!” Seru Maya, terperanjat, saat suaminya menyergapnya dalam kegelapan tidak lama kemudian, “apa yang kau lakukan?!!!”
“Aku menagih hutangmu…” desis Masumi, “beserta bunganya.”
“MASU... hmmmphh!!”



<<< Taiyaki Love ... END >>>

Monday 30 May 2011

Fanfic TK : Next Stage

Posted by Ty SakuMoto at 21:49 7 comments
Cerita Orisinil.
Menceritakan Maya dan Masumi setelah menikah.
Genre : Romance
A.N : FF ini hadiah buat sista Vanda Meitasari yang lagi ulang tahun. Hope you like it sistah :)


Next Stage


Masumi mematikan komputernya lalu lampu ruang baca tempatnya bekerja jika sedang berada di rumah. Ia lantas beranjak ke kamarnya dimana sudah terdapat istrinya yang menunggu di peraduan.
“Kau belum tidur?” tanya Masumi sambil naik ke sisi tempat tidurnya, “menungguku?”
Maya melirik sedikit kesal ke arahnya.
“Siapa lagi yang harus kutunggu?” jawab Maya ketus.
Masumi  tersenyum simpul.
“Kemarilah,” kata Masumi setelah dia terbaring di tempat tidur dan menaikkan selimutnya.
Maya hanya diam saja. Merajuk dengan memalingkan wajahnya. Entah kenapa belakangan istrinya itu menjadi lebih sensitif dan sering merajuk. Masumi berpikir, mungkin karena Maya sedang bosan tidak ada sandiwara yang dia mainkan. Masumi lantas menggeser badannya.
“Kau marah?” tanyanya lembut.
“Kurasa,” jawab Maya singkat.
“Kenapa?”
“Tidak tahu,” Maya memutar badannya membelakangi Masumi.
 “Tadi katanya menungguku… sekarang aku sudah di sini…”
“Sudahlah,” Maya mematikan lampu di sisi tempat tidurnya. “Sudah larut,” Maya menarik selimutnya sampai menutupi dagunya.
Masumi memandangi Maya yang masih membelakanginya. Kadang dia masih tidak percaya bahwa gadis mungil yang sejak dulu dipujanya itu pada akhirnya bisa dia jadikan istri. Setelah penantian panjang, setelah berbagai peristiwa dan air mata, lebih dari setengah tahun yang lalu mereka akhirnya resmi menjadi sepasang suami istri. Maya akhirnya menjadi bidadarinya.
“Menikah denganku membosankan ya, Sayang?” Masumi membelai lembut rambut Maya yang terurai bebas di atas bantalnya.
Maya melirik pelan tanpa bisa melihat suaminya. Dia akhirnya memutar badannya menghadap Masumi.
“Tidak kok…” jawabnya perlahan, menatap suaminya dengan tatapan seorang anak kecil.
Masumi tersenyum, “bisakah kau lebih dekat padaku?”pintanya.
Maya mengangguk pelan lantas menggeser badannya mendekati Masumi dan mulai memeluk dada suaminya tersebut.
“Maaf Maya, ada banyak hal yang harus…”
“Aku mengerti,” potong Maya, “aku sebenarnya mengerti, tapi entah kenapa, belakangan, aku tidak mau mengerti…” Maya tertegun dengan ucapannya, “ah, entahlah, aku bingung dengan yang kurasakan…” katanya.
“Mungkin kau sudah ingin kembali berakting, Sayang? Sudah hampir setahun kau tidak main sandiwara. Ada tawaran yang menarik?” Tanya Masumi sambil mulai mengelus-elus lengan Maya.
“Ada beberapa… namun belum ada yang membuatku merasa terpanggil.” Maya menggerakkan bola matanya ke atas, menatap suaminya, “tidak apa-apa… aku masih menikmati peranku sebagai Nyonya Masumi Hayami,” ucapnya sambil tersenyum.
“Benarkah? Bilang padaku kalau kau sudah bosan jadi Nyonya Masumi Hayami,” ujar Masumi.
“Hm? Memang apa yang akan kau lakukan kalau aku sudah bosan jadi Nyonya Masumi Hayami?” alis Maya bertaut, bingung.
“Aku akan mengganti namaku. Mungkin setelah kau bosan jadi istri Masumi Hayami, kau ingin jadi istrinya Kotaro Minami? Istri Mamoru Chiba? Atau Istrinya Anthony Audrey? Bilang saja padaku, nanti kuurus persoalan ganti nama ini secepatnya,” canda Masumi.
Maya terkikik mendengar ucapan suaminya. “Masumiiii~” rengeknya manja, lantas memeluk suaminya lebih erat.
Sejak menjadi istrinya, semakin lama Maya memang semakin manja. Tapi Masumi sama sekali tidak keberatan, dia menyukainya. Masumi pun tidak jarang bermanja-manja pada istrinya itu. Mungkin karena mereka berdua sebelumnya tidak memiliki siapa-siapa dan hanya mengandalkan diri sendiri setiap saat. Sekarang, ketika telah menemukan seseorang untuk bersandar, Maya dan Masumi seringkali hanya saling memanjakan satu sama lain.
“Masumi,” panggil Maya perlahan.
“Hmm…?”
“Besok… hari peringatan kematian Ibu,” Maya mengingatkan.
“Iya, aku ingat…”
Keduanya terdiam, beberapa saat hanya terdengar tarikan nafas mereka.
“Besok hari minggu ‘kan? Aku akan pergi bersamamu esok pagi mengunjungi makam Ibu Haru,” terang Masumi.
Maya mengangguk. Kemudian gadis itu meraba dada Masumi, membelainya perlahan.
“Masih sakit?” Tanyanya.
“Hm,” Masumi mengiyakan dengan gumaman, “sepertinya tidak akan pernah hilang…” gumam Masumi, nyeri.
Maya mengangkat kepalanya, menatap Masumi. Keduanya berpandangan. Wanita itu lantas membelai wajah suaminya dengan lembut sementara Masumi hanya menatapnya sedikit pahit. Maya tidak dapat berkata apa-apa, hatinya seakan menciut diremas rasa sakit dan pilu. Karena teringat peristiwa di masa lampau, namun terlebih lagi, karena melihat keadaan suaminya setiap kali teringat peristiwa tersebut. Dia mendekatkan wajahnya pada Masumi lantas mengecup pipi suaminya.
“Semoga lekas sembuh,” doanya. “Aku sudah lama berhenti menyalahkanmu, Sayang,” Maya lantas membelai rambut suaminya dan mendekatkan bibirnya pada Masumi.
“Maafkan aku…” bisik Masumi.
“Cukup,” sergah Maya. Ia lantas mencium bibir Masumi, “sudah larut…” bisiknya saat bibir keduanya terpisah.
Masumi tersenyum tipis, lantas meraih lampu di sisi tempat tidurnya untuk dimatikan.
“Aku sangat mencintaimu Maya,” ucap Masumi.
“Aku juga sangat mencintaimu…” balas Maya.
=//=
Mobil yang membawa Maya dan Masumi meluncur dengan cepat ke arah pemakaman tempat Ibu Haru disemayamkan. Pagi-pagi sekali keduanya sudah sampai di sana.
Baik Maya ataupun Masumi, selama ini tidak pernah benar-benar membicarakan mengenai kesalahan Masumi di masa lalu. Itu adalah kenangan yang terlalu menyakitkan bagi keduanya. Selain itu, Maya tidak pernah sanggup melihat keadaan Masumi ketika teringat kembali peristiwa tersebut. Kini Maya dan Masumi sudah 8 bulan menikah. Terakhir kali mereka berada di sini adalah sebelum pernikahan keduanya. Saat itu Maya dan Masumi datang menghadap Ibu Haru untuk meminta restu.
               Masumi menggandeng istrinya menaiki tangga menuju tempat pemakaman. Melalui beberapa makam yang terawat rapi, akhirnya sepasang suami istri tersebut terduduk berlutut di hadapan makam Ibu Haru, ibu kandung Maya. Keduanya menyalakan dupa dan kemenyan. Menepuk tangannya beberapa kali dan mulai tertunduk, berdoa. Setelah sekian lama, keduanya kembali membuka mata, menatap lurus pada nisan Ibu Haru.
                Sejenak Maya dan Masumi hanya terkenang kembali pada kesalahan yang mereka perbuat pada wanita tua tersebut.
                “Ibu…” gumam Maya, berkaca-kaca. Ia mengusap nisan ibunya perlahan. “Bagaimana kabar Ibu? Apakah ibu baik-baik saja di sana?” tanya Maya.
                Maya…
               Masumi bisa merasakan kembali dirinya terserang rasa bersalah yang selalu menghantuinya ketika teringat ibu mertuanya tersebut.
            “Ibu, aku merindukanmu…” mata Maya berkaca-kaca, “di sana, ibu pasti sehat 'kan? Sudah tidak batuk-batuk lagi, dan penglihatan ibu sudah kembali ‘kan?” gadis itu berkedip, bisa merasakan setetes air mata terlepas dari pelupuknya.
            “Ibu, ibu pasti selalu mengawasiku seperti dulu kan…? Walaupun Ibu sangat keras, tapi Ibu sangat perhatian kepadaku dan selalu mengkhawatirkan aku yang bodoh ini,”Maya terisak.
Masumi menoleh pada istrinya dan merangkul pundak istrinya tersebut.
“Tapi ibu… sekarang Ibu sudah bisa tenang. Aku saat ini, sudah mendapatkan kebahagiaan yang tidak terkira. Aku dan Masumi, sudah menikah. Pria ini selalu menjaga dan melindungiku. Memberikan kebahagiaan dan selalu melakukan yang terbaik untukku,” ucap Maya sambil menatap pada suaminya sebelum kembali menatap nisan ibunya. “Ibu… ibu senang kan mendengarnya? Ibu selalu bilang padaku, Ibu hanya ingin melihatku bisa hidup  tenang dan bahagia, dan sekarang aku sudah mendapatkannya…” Maya terisak lebih keras, “maka ibu juga tenanglah di sana… Mohon maafkanlah kami berdua Ibu, maafkan kesalahan kami di masa lalu,” Maya memegang nisan ibunya dengan kedua tangannya, “dan kumohon bebaskanlah suamiku dari rasa bersalahnya. Berikanlah kedamaian dalam hatinya, Ibu…” tangis Maya terdengar pilu.
Masumi terkesiap mendengar ucapan istrinya. Jantungnya berdegup menyakitkan dan terasa sesak. Pria itu tidak sanggup berkata apapun.
“Ibu, ada satu hal yang ingin kuberitahukan kepada Ibu. Ibu pasti senang mendengarnya,” Maya tersenyum di antara air matanya, “aku sebentar lagi, juga akan menjadi seorang Ibu…”
Ha?
Masumi dengan cepat menoleh ke arah Maya.
“A… apa…?” tanyanya tergagap, tidak percaya.
“Saat ini aku sedang mengandung buah cinta kami, aku dan Masumi. Aku mengandung cucu Ibu…” tutur Maya.
“Maya…?” Masumi ternanap. Ada keharuan dan kebahagiaan yang tak terkira mengisi hatinya, “kau…”
“Benar Sayang…” Maya menatap Masumi, “aku sedang hamil. Aku ingin kau dan Ibu,” Maya menoleh sebentar pada foto ibunya sebelum kembali pada Masumi, “yang tahu kabar gembira ini pertama kali,” gadis itu tersenyum hangat.
“Maya…!” Masumi memeluk istrinya dengan erat. Ada kebahagiaan baru yang mengisi hatinya kala itu. Masumi lantas melepaskan Maya dan menangkupkan kedua tangannya  di dadanya.
“Ibu Haru, saya mohon maafkanlah saya. Saya tahu saya sudah melakukan kesalahan terbesar dalam hidup saya, dan karenanya, saya telah menyakiti orang yang paling  saya cintai dengan sangat dalam; putri Ibu, Maya, yang sekarang sudah menjadi istri saya. Saya berjanji, saya akan selalu berusaha membahagiakan serta senantiasa melindunginya dan juga cucu Ibu dengan segenap jiwa raga saya. Maka maafkanlah saya atas dosa-dosa yang saya perbuat,” katanya perlahan dengan pandangan nanar dan suara yang terdengar gemetar emosional.
 “Ibu sangat murah hati… dia pasti sudah memaafkanmu karena kau jugalah yang sudah membuat putrinya yang tidak berguna ini menjadi wanita paling bahagia di dunia,” Maya menggenggam telapak Masumi dan menatap suaminya penuh kasih, “maafkanlah dirimu Masumi…”
Maya…
Pria itu kembali memeluk istrinya, “terima kasih…” bisiknya lembut dan damai, “terima kasih…” ulangnya.
Pertama kalinya sejak peristiwa itu, Masumi bisa benar-benar memaafkan dirinya, dan berkeyakinan bahwa Ibu Maya telah membebaskannya dari rasa bersalah yang selalu membelenggunya selama ini.
“Ibu, kami pulang dulu…” pamit Maya, sambil menatap foto Bu Haru yang sedang tersenyum, tampak berkilau diterpa sinar mentari pagi. Seakan-akan ibunya tersebut sedang berbahagia melihat keadaan Maya sekarang, “nanti aku akan datang lagi, dan memperkenalkan ibu pada cucu Ibu. Maka lindungilah kami Ibu…” ucap Maya terakhir kalinya.
=//=
Maya melingkarkan lengannya pada lengan Masumi saat keduanya kembali berjalan menuju mobil mereka.
“Kapan kau tahu kalau dirimu sedang mengandung?” tanya Masumi.
“Seminggu yang lalu, aku melakukan tes dan hasilnya positif. Lalu aku pergi ke dokter dan ternyata benar aku mengandung. Sekarang usia anak kita 5 minggu, Sayang…”
“Kau merahasiakannya selama itu?!” Masumi tidak percaya.
“Maaf… aku ingin sekali mengatakannya secepat mungkin, tapi aku sudah berencana untuk memberitahukannya hari ini…” suaranya merayu, meminta Masumi tidak marah.
Masumi menghela nafasnya. Dia mana bisa marah, tahu istri tercintanya sedang membawa buah hati mereka di dalam rahimnya.
“Kita harus mengabari Ayah…” kata Masumi, “nanti di mobil akan kutelpon, dia pasti sangat gembira. Lelaki tua itu sudah lama tidak mendengar suara anak kecil di rumahnya.”
“Kenapa ditelepon?” tanya Maya, “kita ke rumahnya saja…” usulnya.
“Ke rumahnya?” Masumi terdengar keberatan.
“Iya, sudah cukup lama kita tidak main ke rumahnya, ya... setidaknya aku, sudah lama tidak bertemu dengannya,”
“Hhhh…” Masumi mendengus tidak suka, “dia pasti langsung memelukmu saat mendengar berita ini…”
Maya terkikik, “masa masih saja cemburu… kadang kau keterlaluan, sama Ayah sendiri cemburu…”
“Aku tidak keberatan Ayah sepertinya lebih senang punya kau sebagai menantunya, daripada mempunyai aku sebagai anaknya. Tapi bukan berarti dia harus sering-sering memelukmu kan…”
“Masumi…!” potong Maya, “siapa yang sering-sering… berlebihan sekali…” rajuk Maya.
Keduanya sudah mencapai mobil.
“Kemana Pak?” Tanya sopir mereka.
Masumi memandang istrinya.
“Masumiii….” Pinta Maya.
Sekali lagi Masumi mengalah, “ke rumah Ayahku,” putusnya kemudian.
Mobil kembali meluncur menuju rumah Eisuke.
Masumi mendekat pada Maya dan mengelus perut istrinya. Dia tidak percaya, akan ada makhluk hidup lainnya tercipta di dalam sana.
“Aku masih tidak percaya… rasanya ajaib sekali, aku akan memiliki seorang anak,” gumam Masumi takjub.
Maya tersenyum hangat, menggenggam tangan Masumi yang berada di perutnya. Keduanya berpandangan, binar kebahagiaan terpancar dari mata keduanya.
“Ah, Sayang… sepertinya kau harus menunda bermain sandiwara lebih lama lagi,” ucap Masumi sambil membelai wajah istrinya.
Maya tertegun, lalu tersenyum tipis. Dia menyandarkan kepalanya di dada Masumi.
“Tidak apa-apa… aku tidak keberatan,” katanya lembut, “sekarang aku punya peran baru untuk kumainkan,” Maya memandang perutnya dan mengusapnya perlahan,”peran sebagai seorang Ibu,” ucapnya bahagia. “Aku akan berusaha memerankan peran yang satu ini dengan sebaik-baiknya.”
“Sayang,” Masumi mengecup kepala  Maya, “aku juga akan berusaha sekuat tenagaku untuk menjalankan peranku sebagai seorang ayah dengan sebaik-baiknya,” janji Masumi.
“Mohon bimbingannya,” kata Maya sambil tertawa kecil.
Masumi ikut tertawa dengannya.
“Masumi…” ucap Maya tiba-tiba.
“Iya?”
“Aku ingin main bungee jumping…”
“Ha?!!”
Bungee jumping,” kata Maya sekali lagi, seakan memastikan Masumi tidak salah dengar.
“Bu… bungee…”
Bungee jumping.”
“Aku dengar Sayang… tapi apa maksudmu kau mau…”
“Pokoknya aku mau main—“
“Tapi kau kan sedang hamil muda… itu berbahaya sekali…” sergah Masumi.
Maya mengangkat badannya dan menatap Masumi dengan kesal. Masumi terheran melihatnya. Maya lantas menggeser duduknya ke dekat pintu dan menolak untuk melihat Masumi.
“Ma… ya…?” panggil Masumi.
Tapi Maya tidak menghiraukannya. Saat Masumi masih bingung dengan kelakuan istrinya, tiba-tiba istrinya itu menoleh.
“Kalau begitu kau yang main bungee jumping,” pinta Maya, yang lebih terdengar seperi memerintah.
“Ha? Aku??” Masumi melongo.
“Tidak mau??”
“Tapi buat apa…”
Maya kembali membuang mukanya ke luar jendela, “pokoknya kau atau aku yang melakukannya!” tuntut Maya keras kepala.
“Hm… baiklah, baiklah, akan kulakukan…” Masumi akhirnya mengalah.
“Benar ya?!” Maya kembali menoleh dengan cepat, wajahnya terlihat riang.
Masumi mengangguk tidak yakin. Maya kembali menggeser duduknya mendekati Masumi dan melingkarkan tangannya di pinggang suaminya.
“Anak kita pasti bangga sekali punya Ayah yang berani sepertimu,” gumam Maya, yakin.
Masumi menahan tawanya mendengar gumaman isterinya tersebut.
“Tujuh kali ya, Masumi…”
“Ha?”
“Bungee Jumpingnya, tujuh kali.”
“Tu… tujuh—“
Maya kembali mengangkat wajahnya dari dada Masumi, memandang suaminya dengan tatapan  menuntut.
“Ba, baiklah.Tujuh kali… sepuluh kali, terserah kau, Sayang…” Masumi menyerah lagi.
Sementara Masumi berdoa, agar dia dapat kembali dengan selamat nanti setelah memenuhi keinginan istrinya dan bisa melihat kelahiran anak mereka yang sekarang baru berusia 5 minggu, Maya tersenyum senang dan kembali menyandarkan dirinya pada Masumi. Dia sangat bahagia dan merasa antusias menyambut babak baru yang akan dimainkannya dalam drama kehidupan bersama Masumi, suaminya. Menjadi orang tua.


<<< Next Stage ... End >>>

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting