Tuesday 10 May 2011

FanFic TK: Pada Bintang di Ujung Pelangi episode 1

Posted by the lady vintage at 08:56
(...betapa menyiksanya kerinduan itu...)
(by farida)

Matanya menerawang jauh ke angkasa luas yang berwarna hitam kelam. Semburat sinar lemah bulan sabit tertutup selarik awan. Dia mencari-cari. Mencari-cari sebuah bintang yang bersinar terang di gugusan Orion. Terus mencari, namun sayang, malam ini cuaca kurang bersahabat. Dia menghela nafas panjang dan dengan gerakan lemah menghisap rokok entah untuk batang yang keberapa..


Hatinya gundah, hatinya resah.

'Bagaimana ini?' tanyanya dalam hati.
'Tindakan apa yang harus aku lakukan?'

Kembali pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di dalam pikirannya seperti lingkaran sesat yang tak tentu ujung pangkalnya


Sekali lagi, matanya menerawang menembus kaca jendela, melayangkan pandangan jauh ke angkasa yang semakin muram, semuram wajah tampannya yang tampak sedih dan kesepian


'Haruskah kuikuti kata hatiku? Bagaimana nanti jadinya? Bagaimana ini? Aku, seharusnya seorang laki-laki dewasa yang tahu bagaimana bersikap sebagaimana seorang laki-laki dewasa. Aku seorang jendral di medan tempurku dan tak seorang lawankupun yang tak bisa aku taklukkan. Akulah Mars, si Dewa Perang Daito! Tapi, wahai Aphrodite Yang Agung... Betapa kejamnya dirimu...'


Matanya masih menerawang jauh, mengembarakan pikirannya jauh melayang ke batas langit. Tak tentu rimbanya, berpindah-pindah, melompat-lompat sekehendaknya, bagaikan kilasan-kilasan film pendek yang entah bagaimana akhirnya. Bahagiakah? Tragiskah? Ironiskah? Atau serupa romansa dongeng anak-anak pengantar tidur yang mengisahkan si Cantik dan Buruk Rupa? Entahlah….


Tanpa sadar, bibirnya menyunggingkan senyum getir…

“Maya…” bisiknya lirih, setengah berharap pada alam agar mau sekiranya menyampaikan kerinduan yang akhir-akhir ini sering menyeretnya dalam mimpi-mimpi meresahkan yang tak berkesudahan.

“Maya…”
= # =


Seketika ia terhenti. Kepalanya berputar mencari-cari. Namun, segera disadarinya bahwa tiada seorangpun disekitarnya.

“Aneh…” gumamnya pelan. “Sepertinya aku tadi mendengar seseorang memanggilku…” Gadis itu kembali menekuri naskah yang tengah dibacanya, namun, sejurus kemudian, lagi-lagi… Suara itu seperti menggema di dalam kepala. Memanggilnya dengan penuh kerinduan, serupa suara tak berwujud yang akhir-akhir ini seringkali menghiasi tidur-tidur gelisahnya.

“Ah…” desahnya perlahan, ‘Siapakah engkau, duhai suara penuh kerinduan? Siapakah engkau? Adakah engkau adalah orang yang aku rindukan pula selama ini? Siapakah engkau?’


Tak terasa, pandangan matanya terarah pada buket mawar ungu yang diterimanya sore tadi, mengajak ingatannya berkelana, menggapai jauh penuh harap pada satu sosok.

‘Engkaukah yang memanggilku dengan penuh kerinduan laksana sang embun menanti lembutnya cahaya pagi?’ batinnya menyeru penuh harap ‘Adakah engkau Mawar Ungu-ku? Engkaukah itu duhai Sang Malaikat Pelindung-ku? Engkaukah kiranya, Masumi Hayami?’


Maya tersentak. Sekerjap kesadaran menyergap batinnya di sela tanya berkepanjangan.

‘Isshin….’

‘Akoya….’

Demikianlah…

Demikianlah cinta sejati itu...

Demikianlah belahan jiwa itu….


Semakin lama, semakin ia mengerti akan makna keagungan dan ketulusan cinta. Semakin ia mengerti betapa belahan jiwa akan saling memanggil satu sama lain walau entah dimana berada. Tanpa terasa, airmatanya mengalir.

’Wahai Dewi Cinta, penganugerah indahnya cinta... Apabila cinta begitu indah, mengapa saat ini perasaanku begitu tersiksa?’


Ditingkahi suara hujan, gadis mungil itu menangis dalam diam, berusaha memahami rahasia takdir dalam menjalankan roda kehidupannya, menapaki jalan cintanya.


= # =


Langkah kaki mungilnya yang telanjang perlahan menyusuri jalan setapak. Suasana disekitarnya begitu tenang, sesekali angin bertiup, membawa serta aroma wangi bunga plum menuju entah kemana. Membagi kenangan magis tentang sebuah tempat yang begitu agung. Membawa khayalan siapapun yang menghirup aromanya, menembus batas angan tentang keindahan diatas yang terindah. Aroma hujan yang tertinggal di hamparan lumut basah mengiringi langkah kecilnya. Meninggalkan jejak berirama seolah jejak sang dewi agung yang dengan anggunnya menyapa alam raya.


”Selamat pagi, Gadis Manis...” cicit seekor murai mengiring langkahnya dengan kepak sayapnya yang mungil. Senyum ceria tersungging di bibir gadis mungil itu.

”Selamat pagi, Murai. Hari ini begitu cerah, agaknya sang Guntur sudah reda kemarahannya. Entah, siapa yang membuatnya sedemikian geram, hingga dia menjadi murka dan seolah-olah ingin membelah alam dengan kilatan cahayanya...”
Sang murai bercicit riang, ”Benar... Tapi, syukurlah, pagi ini tidak perlu menjadi kelabu, semua sudah baik-baik saja. Apalagi, kehadiran seseorang yang tampaknya demikian memancarkan kehangatan cinta, sehingga sang Surya pagi ini sempat mengeluh padaku, bahwasanya perannya akan tergantikan oleh kehangatan pancaran cintanya...”


Seketika mata sang gadis berbinar penuh gemintang, seolah seluruh keindahan bintang terpancar dimatanya.

”Benarkah? Benarkah dia hadir lagi? Dimana? Apakah di tempat biasanya?” tanyanya penuh harap. Kerinduannya begitu besar hingga membuatnya seolah melayang menuju tempat pujaan hatinya berada.

“Ah, Cinta... Sedemikian besar kuasamu menawan hati.... Bahkan, seorang gadis mungil pemalu pun bergegas pergi menyongsongmu, seolah hanya untukmulah dia ada”, gumam sang murai. Ranting-ranting plum pun berayun-ayun lembut seiring desau angin, mengangguk-angguk mentasbihkan gumam sang murai.


Gegas langkah kaki mungilnya terhenti serta merta. Hanya sampai di sini dia berani mendekat, berlindung di naungan bayang untaian bunga plum. Kerinduan ini begitu membuncah, laksana deru alun ombak di tengah badai dengan kuasanya memecah batu karang. Namun, dengan segenap kekuatan yang dipunyanya, dia berusaha keras meredamnya. Dia hanya mampu berdiri terpaku dengan mata bergemintang rasa cinta, memendam segala rindu dendam.


“Ayo, jangan berhenti... Kenapa hanya diam disini? Segeralah songsong dia...” gemerisik semak peony dan bunga-bunga plum berbisik di telinganya.

“Tidak... Tidak bisa... Aku malu... Dan... Apakah boleh?” bisiknya lirih

“Sudahlah, tidak perlu malu... Ayo jemputlah cinta-mu... Dia ada disana, kami tahu, dia menantimu... Mengharap bisa menatap indah matamu dan mendengar suaramu...” bahkan angin pagi ini pun turut menghembuskan desau kerinduan, seakan-akan menyuarakan sanubarinya terdalam...


Tangannya bergetar hebat menahan luapan rasa, kakinya terpaku diam, kehilangan daya untuk melangkah.

“Ah...” desahnya pelan.
Sosok itu begitu indah, mempesona, menengadahkan wajah tampannya menyongsong siraman cahaya matahari pagi. Mata tajamnya terpejam dan sesungging senyum damai menghiasi wajahnya. Ditingkahi semilir angin, guguran bunga plum menyiraminya, membuatnya tampak seperti jelmaan dewa yang tengah menikmati indahnya nirwana. Tanpa sadar, ia mendekap dadanya, berusaha keras meredakan getaran rindu yang berdentam-dentam menyesakkan di setiap helaan nafasnya.


‘Oh!’
Seketika wajah mungilnya merona. Saat ini, mata tajam itu telah menangkapnya sebelum ia sempat menyembunyikan keberadaannya. Memerangkap pandangan matanya, menatap jauh ke dalam hatinya, memikatnya dengan segenap pesonanya. Menyihir dan menarik jiwanya untuk bersama-sama menarikan tarian jiwa.

”Mungil....”

’Wahai seluruh penguasa alam, bagaimana aku tidak rindu pada alunan suara yang begitu indah memanggilku...’

”Ehm... mm... Hayami-san.. Se..se..selamat... p..pp.. pagi...” jawabnya terbata, berusaha keras mengendalikan gema kerinduan yang bertalu-talu dalam sanubarinya, memekakkan telinga batinnya. Bahkan, ia mampu mendengar gelitik suara alam menggodanya, mentertawakan ketidakberdayaannya...

”Pagi yang sangat indah bukan?”

’Benar, pagi yang sangat indah... Seindah dirimu yang begitu selaras dengan keindahan lembah plum ini....’

Namun lidahnya kelu, bibirnya terkunci, hanya mampu mengangguk, tanpa sepatah kata terucap....

”Mungil...”

Tersentak ia. Tiba-tiba suasana berubah seketika. Sosok indah itu, perlahan namun pasti, menghilang di balik kabut. Hanya sayup-sayup suaranya tertinggal, memantul di setiap sudut keheningan.

”Hayami-san!” serunya, penuh kekalutan berusaha menggapai imaji sebelum benar-benar hilang di balik kabut.

”Hayami-san!” matanya nanar, berusaha menembus kabut tebal, namun sia-sia. Tak seberkas penggal bayangpun tampak di kejauhan, yang tinggal hanya gema kesunyian jiwa, melukis kehampaan di dinginnya kabut tebal.

“Hayami-san!” tetap hanya gema suaranya sendiri menjawabnya

“Masumi Hayami-san!!!!!!!” Kali ini hatinya benar-benar tercerabut dari dadanya, meninggalkan rongga kesepian yang begitu besar dalam jiwanya. Segenap jiwanya berseru, berharap suaranya akan tersampaikan menembus tebalnya selimut alam yang dingin.


‘Ah!’
Maya tersentak bangun dari mimpinya, nyalang menatap langit-langit kamar yang balik menatap penuh simpati padanya. Mimpi itu hadir lagi menyapanya, semakin menggelisahkan tidur-tidurnya yang tidak pernah benar-benar lelap. Namun, kali ini semua terasa begitu lebih nyata. Kenangan Lembah Plum bereinkarnasi dalam mimpinya. Bahkan, aroma lembab sisa-sisa hujan di pucuk-pucuk lumut, wangi tanah basah tersiram cahaya pagi dan harum bunga plum masih menguar di sekitarnya. Dan suara tak berwujud itu, semakin nyata sosoknya, menjelma serta merta tanpa bisa dicegah namun semakin membuat helai sayap-sayap hatinya terpatahkan satu demi satu.
‘Masumi Hayami-san.... Seyakin-yakinnya aku, engkaulah dia adanya.... Belahan jiwa-ku...’
Maya terisak pelan, tanpa peduli pada sang waktu yang terus bergulir.
= # =


“Ah, tidak… Aku pasti terlambat…” gumamnya meredam panik, bergegas melangkah, berusaha keras bersiasat dengan waktu yang terus bergulir tanpa memberinya kesempatan menunda sedetikpun.


‘Mengapa aku bisa selalai ini… Semestinya aku tidak perlu menangisi mimpiku… Ah….’
Hatinya mengeluh sendu, sembari terus berharap sang waktu mau sedikit berbaik hati, memperlambat laju langkahnya. Bahkan, kehidupan di sekelilingnya ikut bergegas, menyegera, membuatnya semakin merasa tertinggal. Namun, agaknya sang waktu memang sedang tidak ingin bersahabat dengannya, dengan serta merta, tanpa memberinya peringatan, seolah-olah tengah mempermainkannya, mempertemukannya dengan sosok yang telah mengharubirukan perasaannya. Seseorang yang telah membuatnya mengerti betapa merindu bisa begitu menyiksa, melebihi luapan dahaga musafir di padang pasir yang gersang.


‘Hayami-san...’, hatinya berbisik lirih, mengharap dengan sangat adanya benang merah penghubung batin antara belahan jiwa yang terpisah, menyampaikan kerinduan yang tak terucap.


Perlahan namun pasti, sejurus batinnya bergema penuh kerinduan, sosok itu memalingkan wajah ke arahnya. Menampilkan rona wajah yang begitu mempesona, tak ubahnya jelmaan kenangan akan mimpinya semalam. Dan disinilah… Disinilah mereka kini. Di tengah belantara kehidupan yang riuh rendah berlari, berlomba, berkejaran mengejar mimpi-mimpi kehidupan manusia. Saling memandang lekat dalam sepenggalan jarak langkah.


Waktu terasa terhenti. Segala serasa melambat perlahan menuju titik nadir. Putaran dunia serasa hanya berporos pada mereka berdua. Riuh rendah anak manusia serasa tenggelam hilang, berganti dengan dentaman kerinduan meningkahi dahaga jiwa akan belahannya. Bahkan, samar-samar, aroma magis bunga plum berputar-putar di antara mereka. Semakin mengentalkan kerinduan laksana pekatnya jelaga malam.


”Mungil...”


Suara itu... Ya, kini ia semakin yakin, suara itulah yang memanggil jiwanya. Dan saat ini, di detik yang kini, suara itu memanggilnya. Tidak dengan kerinduan yang berkalang sepi menggigit, namun lebih dengan kerinduan berbalut bahagia. Bereuforia seakan menemukan sesuatu yang telah lama dicari. Dunia sekitarnya semakin mengabur dalam pandangan, menghilang tersamar dan pandangannya hanya terpaku pada satu sosok. Ya, satu dan hanya satu. Masumi Hayami.


”Masumi-sama, sampai kapan kau akan berdiri di sana? Oh, Maya-chan, apa kabar?”


Maya tersentak. Dia lupa. Dia tidak ingat. Rasa rindunya adalah kerinduan terlarang, seumpama buah khuldi bagi Adam dan Hawa. Batinnya terasa nyeri. Tanpa sadar, tubuh mungilnya menggigil, merasakan dinginnya sepi yang tiba-tiba menyergap relung-relung hatinya terdalam. Jendela jiwa-nya berkaca-kaca menatap dua sejoli di hadapannya. Begitu serasi, bak perpaduan keindahan pelangi di kemegahan angkasa biru. Hatinya semakin perih, cinta di penghujung masa remajanya terasa begitu menyakitkan.


”Selamat pagi Hayami-san, Shiori-san”, dibungkukkannya tubuhnya, menjura memberi salam, berusaha menyamarkan rasa perih. Menghindarkan pandangan mata, demi menutupi telaga jiwanya yang bergejolak resah penuh rasa cemburu dalam ketidak berdayaan menepis rasa cinta yang tak tersampaikan. Berharap cemas, semoga perasaannya tak tersirat nyata.


”Ma’af, saya sudah terlambat. Senang bertemu Anda berdua, Hayami-san, Shiori-san", sejurus kemudian dia berlari. Berharap rasa sakit yang menyergap jiwa remajanya juga berlari pergi. Namun, sia-sia jua adanya, luruh juga air matanya, menganak sungai di pipinya yang memucat. Masumi tersentak. Pandangan matanya pasti tidak salah melihat. Butiran bening yang jatuh di pipi Maya tertangkap pandangan tajamnya. Mengirimkan seiris perih tepat ke hatinya. Menghujamkan rasa dingin tak terperi ke sudut jiwanya.


’Mungil!’
”Maya-chan!”


”Masumi-sama, sudahlah, mungkin Maya-chan sedang ada masalah. Lagipula, bukankah kita juga tengah buru-buru?”
Langkahnya terhenti, demi merasa sebuah tangan menahannya. Namun bukan hanya itu. Ada sesuatu yang lebih besar yang mampu menghadang langkahnya. Jiwanya berontak. Batinnya berteriak. Sekiranya kini hanya dirinya seorang, tentu telah sampailah langkahnya menghampiri Maya. Mengulurkan tangannya menawarkan pelipur lara bagi gadis mungil itu.


’Kenapa engkau menangis Mungil? Apa gerangan yang membuatmu begitu bersedih, hingga perlu air matamu luruh membasahi wajahmu? Mengapa perlu kau dinginkan hatiku dengan derai airmatamu? Apakah kau cemburu melihatku bersama Shiori’
Hatinya berkelana tanya, menguntai rasa ingin tahu, tak berani berharap, namun tak urung jua menyelipkan sedikit asa akan rasa cinta terbalas.


Nun jauh di sudut tak terlihat, seorang gadis remaja menyusut air mata, menatap hampa kepergian dua sejoli.


’Masumi Hayami-san...’


= # =


”Masumi-sama, apa yang tengah kau pikirkan? Kenapa tak kau jawab pertanyaanku?”
Seketika layang-layang angannya meluncur turun menyentak bumi kenyatan. Seribu tanyanya yang belum terjawab melayang lepas, mencari jawaban yang entah berada dimana.


”Ma’afkan aku, Shiori-san, terserah padamu saja”


’Masumi-sama, kenapa tak jua jiwamu berada di sini, bersamaku? Mengapa kau kelanakan jauh batinmu tanpa mengajakku serta? Maya-kah yang kau harapkan menemai kembara jiwamu? Mengapa tak selayaknya pada jiwakulah jiwamu bersauh? Masumi-sama....’.


Wajah cantiknya memuram, mengguratkan keresahan dan kegelisahan jiwa. Rasanya begitu sepi. Saat ini dia disini, duduk berdampingan, berdua bersama tunangannya, namun serasa tengah sendiri. Hatinya kecilnya menjerit, berjuang keras menggapai irama jiwa. Berupaya keras menyelaraskan langkah batin. Namun semuanya sia-sia. Segala upayanya serupa centang perenang. Ibarat buih ombak yang pupus punah begitu menyentuh pasir pantai. Masumi, saat ini hanya berjarak sejengkal disisinya, namun seakan jurang bermil-mil tak kasat mata berada di antara mereka berdua.


Keayuannya semakin menggelap, Pandangan matanya tak lekang memandang sosok di sampingnya yang tak jua bergeming. Begitu menikmati dunia pikirannya sendiri serta menutup pintu masuknya dari siapapun, terutama dirinya.


”Masumi-sama...”


”Iya, Shiori-san”


”Aku ingin pulang, kita batalkan saja acara kita pagi ini”
Matanya mencari-cari sebersit harap gurat kecewa di mata Masumi. Namun semua datar adanya, tak ada kilat istimewa di sana.


”Begitu... Mengapa Shiori-san? Apakah kau sakit?”


Shiori tercenung, sedikit rasa bahagia terselip di hati kecilnya. Hanya sedikit dan segera sirna begitu melihat betapa datarnya raut wajah Masumi.


’Ah, apa perlunya engkau bertanya? Apakah kau benar-benar peduli? Ataukah hanya sekedar sopan santunmu sebagai lelaki sejati? Apakah hatimu juga ikut bertanya?’


”Sepertinya begitu Masumi-sama... Tiba-tiba aku merasa kurang sehat...”


”Perlu aku antar ke dokter?”


”Terima kasih Masumi-sama, tidak perlu. Antar saja aku pulang...”


”Baiklah, terserah padamu saja, Shiori-san. Beristirahatlah begitu sampai di rumah”


“Terima kasih, Masumi-sama, kau baik sekali...”


Hati rapuhnya semakih meretih. Begitu datarnya semua. Tak jua sedikit welas asih. Layaknya bianglala yang indah sekejap di sore hari selepas hujan turun, namun segera pupus tersapu matahari. Bahkan pandangan matanya hanya sebegitu, tidak lebih, hanya seperlunya.


’Pasti... Pasti gara-gara gadis itu! Gadis itu penyebab semua ini! Andai saja takdir yang kejam tak mempertemukan kami dengannya pagi ini… Andai saja gadis itu tidak pernah ada… Ya ! Gadis itu penyebab semua rasa sakit yang kurasakan kini!’


Kesadaran yang tiba-tiba hadir membuatnya meradang. Matanya berkilat tajam, menyiratkan tekad tak terbantahkan. Selayaknya seorang ratu yang berusaha keras mempertahankan singgasana agungnya hingga titik darah penghabisan.


’Masumi-sama, engkau milikku! Dan hanya akan menjadi milikku!


= # =


Pikirannya mengembara jauh, menggapai sosok mungil kecintaannya, berusaha menjangkau sejauh tangan jiwanya mampu menjangkau. Namun semuanya begitu jauh, belenggu kuat yang mengikatnya terasa begitu kencang mengikat. Dihelanya nafas panjang, menghirup dengan serakah udara di sekitar, berusaha mengisi rongga dada dengan kesegaran udara, mencari kelegaan yang tak jua didapatinya. Tanpa sadar langkah kakinya mengayun pelahan menyongsong kecintaannya. Dia ada di sana. Tengah memerankan tokoh agung, Sang Bidadari Merah. Tubuh mungilnya begitu berenergi, memancarkan keagungan cahaya sang dewi.


’Mungil...’ desah batinnya merana


’Akoya-ku... Ini aku di sini, Isshin-mu...’
Matanya terkunci, terpaku pada semua laku sang dewi. Entah mengapa dan bagaimana, aroma semerbak bunga plum kembali menyeruak, seiring gerak laku sang dewi. Hatinya bergetar hebat diguncang perasaan cinta.


’Oh Aphrodite Yang Agung, jangan lagi kau guncangkan dunia batinku... Tolonglah... Tolong aku...’


Matanya semakin lekat menatap sosok mungil itu. Tubuhnya. Tangannya. Kakinya. Jemarinya. Rambutnya. Bibirnya. Wajahnya. Matanya.... Betapa beban rindu ini begini berat. Laksana memikul berkati-kati batu di atas pundaknya, melewati terjalnya jalan di pegunungan.


”Sampai kapan Anda akan begini, Masumi Hayami-san?”


”Mizuki!”


”Mengapa Anda begini kejam menyiksa diri Masumi Hayami-san? Tidakkah Anda ingin meperjuangkannya? Meperjuangkan rasa cinta Anda? Lihatlah dia kini. Dia telah tumbuh menjadi dewasa. Sebentar lagi bukan lagi remaja kemarin sore yang tidak tahu apa-apa. Pandanglah dia dengan seksama, Masumi Hayami-san. Bukankah dia telah menjadi dewasa dan tumbuh sedemikian cantik sebagaimana adanya? Tidakkah Anda menyadarinya?”


“Cukup Mizuki! Tolong, jangan kau melebihi garis batas yang boleh kau lewati!” Pandangan tajam matanya memperingatkan, berkilat bara, namun tak urung tersirat jua derita asmara yang begitu menyakitkan.


“Ma’afkan saya Masumi Hayami-san. Tapi, tolong, berbelas kasihanlah pada jiwa dan hati Anda. Anda layak bahagia...”


‘Benarkah?’ tertegun serta merta. ’Benarkah aku layak untuk bahagia?’
Kembali batinnya bergejolak rindu. Pandangan matanya kembali lekat Berharap dapat tersampaikan gema suara jiwanya yang memanggil penuh kerinduan. Namun hanya sampai disitu. Hanya sampai pada keheningan yang mencekam jiwa, menggaungkan kekosongan jiwa.


”Sudahlah Mizuki, banyak yang harus kita selesaikan...”
Untuk kesekian kalinya, dipalingkan pandangannya pada sosok mungil kecintaannya. Menitip rindu pada ruang kosong diantara mereka berdua, seraya berharap setengah putus asa, suatu saat akan tersampaikan.
Entah kapan...


= # =


Bara amarah di hatinya semakin berkobar. Wajah cantiknya membatu. Kebencian dan kecemburuan bergemuruh riuh di batinnya. Laksana riuhnya pesta pora para iblis di dasar neraka. Membisikkan kedengkian di palung-palung jiwanya yang terdalam. Menyiksa jiwanya dengan hawa panas kebencian yang berkobar. Menghitamkan hatinya dengan jelaga kecemburuan.


’Masumi-sama, bagaimana bisa kau begini padaku? Siapakah Maya Kitajima? Sehebat apa dia jika dihadapkan denganku? Bukankah dia bukan apa-apa dan bukan pula siapa-siapa? Bagaimana bisa ruang hati dan jiwamu hanya terisi penuh olehnya tanpa menyisakan sedikit tempat untukku?”


Gemetar hebat tangannya tergenggam erat. Menahan sakitnya amarah terkhianati. Matanya tak lekang menatap Masumi yang terpaku diam tak bergeming menatap Maya. Di sini, di sudut tersembunyi, hatinya tercabik-cabik. Tercarut marut oleh kenyataan betapa cintanya bertepuk sebelah tangan. Tak jua gayung bersambut. Merajut harapan kosong benang-benang kebimbangan.


’Tidak Masumi-sama! Tidak akan kubiarkan! Aku, Shiori Takamiya! Akan aku mulai perang ini, dan harus akulah pemenangnya! Bahkan jika perlu, akan aku balik putaran dunia sepanjang kau tetap ditanganku!'
Hitam pekatnya kebencian memulas wajah anggunnya, memancarkan kedengkian sedemikian hingga selayaknya bara api yang siap membakar apapun yang dilaluinya.


= # =


Rinai hujan turun mewujud tirai bening tak putus-putusnya. Mengurai aroma tanah basah dengan kesegaran yang khas. Tubuh mungilnya menggigil pelan, merasai hembusan angin dingin. Matanya menatap satu persatu butiran air yang jatuh. Setengah berharap curahannya segera berhenti agar ia bisa segera melangkah pulang. Pikirannya melayang ke peraduannya, berkhayal akan kehangatannya.


’Ah, hujan yang baik, mengapa kau pilih malam ini untuk menyirami bumi?’
Selingkup rasa hangat menyelimuti tubuh mungilnya. Hatinya bertanya-tanya bimbang, siapa gerangan?


”Mari, aku antar pulang”


Suara itu...!


”Hayami-san...” wajahnya merona, memandang sosok yang selalu menghiasi mimpinya.


’Ini bukan mimpi, kan?Duhai Morfeus, janganlah kau permainkan aku’


”Sudah semakin larut Mungil, sebaiknya kau terima tawaranku untuk mengantarmu pulang. Dan, tolong, tetap kenakan mantelku, cuaca begini dingin...”


Maya menunduk, seiring rona wajahnya yang mendadu. Peri-peri kecil di hatinya bernyanyi riang. Melagukan gita cinta penuh kebahagiaan. Membawa hatinya membumbung tinggi, melampaui batas langit angan-angan. Menaburkan bunga-bunga. Menciptakan kenangan-kenangan manis penuh warna.


”Terima kasih, Hayami-san...”


Berdua, beriringan, berteduh di bawah naungan payung yang sama. Menjejak di jalan basah yang sama. Bersama-sama mendengar gemericik hujan yang seolah berceloteh riang tentang cinta.


”Bagaimana, Bidadari Merah? Apakah semuanya tak berkendala?”


’Ah, dia memanggilku Bidadari Merah...’


”Semua baik Hayami-san, semuanya baik-baik dan tiada kendala. Bahkan....” terdiam dia, selarik keraguan menghinggap dalam hatinya.


’Haruskah kusampaikan...?’


”Bahkan apa Mungil?”


Maya menatap lekat Masumi, berusaha menyelami dan memahami arah langkah perbincangan ini.


”Bahkan, saat ini saya semakin memahami cinta... Cinta Akoya dan Isshin. Lebih tepatnya, cinta antara dua belahan jiwa yang terpisah. Yang akan saling bertaut dan memanggil, walau entah dimana, walau entah sejauh apapun jarak yang terbentang...”


Masumi tertegun, terperangah tak percaya. Sebersit rasa cemburu menyelinap di relung hatinya.


’Benarkah? Benarkah kau telah memahami cinta yang sedemikian dahsyat Maya?’


Matanya menatap nanar gadis mungil disampingnya.


”Bagaimana bisa kau memahami rasa cinta yang sedemikian, Maya?”


Sesungging senyum menghias wajah polosnya, menampilkan kedewasaan yang bersahaja namun serasa begitu berarti.


”Karena saat ini saya mengalaminya, Masumi Hayami-san... Saya merasakannya...”


Tercekat Masumi mendengar penuturan dari bibir Maya, berjuang bernafas meredakan degup jantungnya yang tiba-tiba tak beraturan.


”Iya, Hayami-san... Saya kini merasakannya... Merasakan betapa hati saya menari riang hanya karena mendengar suaranya. Betapa jiwa saya melayang gembira saat melihatnya. Bagaimana irama jantung saya berderap tak menentu setiap melihat senyumnya. Betapa malam-malam saya lalui penuh kegelisahan hanya karena bermimpi akan dia. Betapa saya merindukan saat bertemu dengannya walalupun hanya sekedar berselisih paham. Bahkan... Bahkan, saya mampu merasakan, betapa hati saya berdenyut nyeri, nyeri sekali, hanya dengan melihatnya bersama yang lain. Tapi... Saya tahu, dia ada untuk saya, tidak saat ini, tapi nanti pastinya...”


’Maya... Siapakah yang telah mencuri hatimu? Siapakah yang telah membuatmu begitu dalam memahami cinta?’


’Masumi Hayami-san, tidakkah kau sadari, engkaulah yang membuatku begini... Engkaulah yang membuat memahami betapa arti cinta itu....’


Gadis itu menerawangkan pandangannnya jauh menembus rinai hujan, tersenyum sendu.


”Bukankah demikian, Hayami-san? Demikian bukan ikatan cinta Akoya sang Bidadari Merah dan Isshin sang Pemahat Budha?”


Masumi tergagap. Pandangan mata itu begitu menyedot jiwanya. Mencuri kesadarannya dengan segala kepolosan remaja yang beranjak dewasa. Menyiratkan perasaan yang begitu dalam namun tak berani diartikan lebih oleh Masumi.


”Entahlah Mungil... Aku sendiri tidak tahu... Mungkin memang seperti itulah rasanya”


’Masumi Hayami-san, Mawar Ungu-ku... Tidakkah kau dengar suara batinku? Tidakkah kau rasakan jua yang kini tengah aku rasakan?’


Masumi tercenung dalam langkah diam. Jiwanya bergejolak bimbang.


’Ya! Ya Maya! Memang demikianlah rasa cinta Akoya dan Isshin, sebagaimana apa yang aku rasakan kini padamu, hanya padamu... Namun, itukah perasaanmu pada Mawar Ungu? Atau, padaku kah apa yang kau rasakan itu?’


Berjalan berdampingan dalam diam. Hanya suara-suara jiwa saling berbincang sendiri ditingkahi gemeritik hujan menerpa payung hitam. Maya terkesiap!


”Masumi Hayami-san!”


Tangan mungilnya merasakan kehangatan, menelusup tiba-tiba ke relung jiwanya. Genggaman tangan yang mantap, menjanjikan kelembutan dan kehangatan. Membagi segenap rasa. Membagi cinta? Entahlah... Namun, ini cukup. Cukup membuatnya bahagia. Selaksa mewujud mimpi yang paling indah. Kebahagiaan membuncah tak terkira. Wajah remajanya merona, hatinya berbunga. Burung-burung kecil di taman hatinya berkepak riang.


’Masumi Hayami-san...’


Jiwa disampingnya pun bergejolak tak menentu. Entah, kekuatan apa yang memberikan keberanian padanya.


”Dewa Mars, kuharap tidak hanya sekali ini kau pinjamkan keberanianmu padaku...’


Hatinya berdentam riuh dengan segala macam rasa. Kehangatan tangan mungil di genggam tangannya begitu menentramkan jiwa sekaligus menjungkirbalikkan dunianya. Seumpama symphoni gubahan sang maestro yang berubah tempo dengan cepatnya.


’Ah, Aphrodite, inikah jawabanmu atas semua seruan ketidakberdayaanku?’


Melangkah beriringan berdua, bernaung di bawah payung yang sama, tangan bertaut erat, menyamakan irama langkah. Menikmati setiap jengkal langkah di jalan yang basah. Mengecap manisnya kebersamaan dalam diam. Bersama-sama mengukir kenangan di benak penuh harap, untuk disimpan erat di sudut hati terdalam. Jauh tersembunyi dan hanya menjadi rahasia berdua.


Masumi mendesah pelan. Entah apa ini namanya. Begitu sederhana dan bersahaja namun mampu mengisi kekosongan jiwanya. Menerangi kegulitaan jiwanya. Menghangatkan kebekuan sukmanya.


”Masumi Hayami-san....”


”Ah iya, Maya?”


”Sudah sampai...”


Dirinya semakin tertegun. Semburat merah jambu di pipi gadis mungil yang dihadapinya begitu mempesona. Membangkitkan sejuta khayalan liar dalam benaknya. Membuatnya berkeras hati, berjuang sekuat yang dimampunya untuk tidak mengulurkan tangan membelainya. Untuk tidak serta merta merengkuhnya dalam dekapannya demi satu hal, pengendalian diri. Sungguh-sungguh, inilah perang yang demikian sulit untuk dirinya meraih kemenangan mutlak.


’Maya, betapa kini kau telah tumbuh dewasa...’


”Ma’af, Masumi Hayami-san...”


”Iya, Mungil?”


”Tangan saya... Tolong lepaskan...”


”Ah, iya... Ma’af...”


Tergagap ia. Hatinya memalu, mengirimkan semburat rona dadu di wajah tampannya. Bahkan , lamat-lamat, telinga batinnya mampu mendengar sang dewi cinta menanggalkan keanggunannya, tertawa geli menyaksikan kegugupannya.


”Tidak apa-apa, Hayami-san, saya senang Anda mengantar saya. Terima kasih...”


’Bahkan gadis mungil ini lebih mampu membawa diri. Ah, bagaimana ini?’


”Sama-sama, Mungil... Terima kasih juga, telah bersedia berjalan bersamaku. Segeralah masuk, malam telah larut, beristirahatlah...”


’Bagaimana aku akan beristirahat tenang, Masumi Hayami-san, jika kau terus hadir mengganggu di setiap mimpi-mimpiku?’


”Terima kasih banyak, Masumi Hayami-san...” Berbalik ia kini, memunggungi sosok yang begitu dirindunya. Detak jantungnya masih juga berirama tak menentu.


‘Maya...!’ Hatinya berseru lantang. Kakinya begitu berat untuk melangkah berlalu dari Maya, seolah berontak pada dirinya. Bekerjasama dengan hatinya, membangkang akal sehatnya yang mengajak untuk segera beranjak pergi.


‘Masumi Hayami-san!” Seketika hatinya bersorak riang.


“Iya Mungil?”


“Selamat malam, semoga Anda mimpi indah...”


Tertegun ia. Begitu sederhana salam itu, tak istimewa, tak pula terangkai kata-kata rayuan indah, namun menghangatkan relung-relung hatinya. Menelusup jauh ke dalam jiwanya, mengisi kekosongan hatinya hingga ke sudut yang terjauh. Membuatnya melayang tinggi, jauh melewati batas khayalan.


“Terima kasih Mungil... Segera masuklah sekarang, nanti kau basah... Hawa malampun semakin dingin...”

‘Sebelum aku benar-benar kalah dalam perang batin ini, hingga berlari seketika untuk memeluk dan mendekapmu...’


“Baiklah... Sekali lagi, terima kasih, Masumi Hayami-san... Sampai bertemu kembali...”


Dan hilanglah sudah. Gadis itu menghilang di balik pintu dan serta merta kerinduan yang begitu pekat menggelayuti hatinya.


“Sampai bertemu lagi, Mungil...” bibirnya berbisik lirih. Matanya menatap lekat daun pintu yang tertutup rapat, berharap pandangannya mampu menembus bilah papan yang berdiri kokoh. Setengah memohon akan terbuka kembali, memunculkan seraut wajah yang begitu dirindunya. Untuk sekedar diingatnya kembali. Untuk sekedar diukirnya lebih detail lagi di pahatan hatinya.

Hujan tak jua berhenti. Baginya kini, rintiknya seolah menyanyikan lagu sendu tentang sepinya sebuah kerinduan.



> to be continued to FanFic TK: Pada Bintang di Ujung Pelangi episode 2

16 comments:

Anonymous said...

PERTAMAX......PREMIUM......DAN SOLAR.....
he..he... :P

ceritanya bagus...bener2 tersampaikan ke hati dan kata2nya puitis banggggeeeettttt.....

ayo lanjutkan....

@wanted@

Anonymous said...

Ayo Nur Semangat....Gw sukaaaaaaa

Wid Dya

the lady vintage on 10 May 2011 at 12:19 said...

to all:
Thank you for the compliment ^^
sedang mencari rangkaian kalimat yang pas untuk menjembatani konflik

orchid on 10 May 2011 at 12:25 said...

salut, jangan bosen dimintain update-an ya bu

Anonymous said...

salut banget, penulisnya orang sastra ya, indah betul kau merangkai kata :) langsung menembus sukma pembaca

bagus banget, ditunggu update nya :)

the lady vintage on 10 May 2011 at 23:14 said...

blushing nih dibilang orang sastra *^^*
Thank you for so much for the compliment ^^

orchid on 16 May 2011 at 18:47 said...

masih haus

Anonymous said...

Astagaaaa..Uϑªh lama ga baca yg bahasanya mengaduk2 jiwa pake bhs spt ni...baguuuusssss...jd makin terbawa ngerasa senduuuu...keep up d great work! :)

Anonymous said...

Wou wou wou klepek klepek ni hiksss

...ketika kuseram sayup-sayup dongenganmu
nan indah menyusup ke relung jiwaku
menghadirkan sepasang sayap ungu
....yang tak sabar mengepak untuk mengajakku
mendengarkan lembut senandung merdu tulisanmu...

Sukaaaaa hikssss dalam bgt woii...bagian yg ini ==>

Waktu terasa terhenti. Segala serasa melambat perlahan menuju titik nadir. Putaran dunia serasa hanya berporos pada mereka berdua. Riuh rendah anak manusia serasa tenggelam hilang, berganti dengan dentaman kerinduan meningkahi dahaga jiwa akan belahannya. Bahkan, samar-samar, aroma magis bunga plum berputar-putar di antara mereka. Semakin mengentalkan kerinduan laksana pekatnya jelaga malam.

mau lagiiiiiiiiiii

Wid Dya

fad said...

Gak Kuku nih bahasanya...lagi..lagi..lagi...

Anonymous said...

suka banget....gaya bahasanya mengaduk jiwa, mau dibawa kemana ya perasaan MM?

the lady vintage on 18 May 2011 at 12:47 said...

to All
Big Thanks for the compliment and to spare your precious time to read my simply note

Thank you so much, it means a lot for me *^^*

Anonymous said...

sukaaaa
gaya bahasanya puitis banget

Anonymous said...

sesuai dengan bidadari merahnya..... puitis banget tapi gampang dicerna. salut, bagus banget, saya suka sekali... semangat ya lanjutin ceritanya :)
*fitri*

Resi said...

baguuuus, tp bacanya hrs pelan2 spy bs dihayati krn aku krg mengerti bhs sastra hehehe

aan on 14 January 2012 at 12:54 said...

uwaaaa,,,mba farida,,

bhsnya bagusss bgettt,,,tp,hrs ngulang2 dulu soalnya blm terbiasa dgn bhs sastra yg indah dn mendayu dayu

ketinggalan bgt nih daku br bc ff inih,,maklum deh br gabung ke fftk

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting