Monday 27 August 2012

Fanfic TK: Fallen Up to the Sun

Posted by Ty SakuMoto at 21:29 77 comments

Warning: Kissu-kissu, skinship
Overall Rating: 18
Setting: Sampai Bidadari Merah bersatunya dua jiwa, saat Shiori mencoba bunuh diri.

Fallen Up to the Sun
(Final Decision)


“Kau cantik sekali,” Rei berkata, seraya mengamati wajah Maya. “Jika ibumu masih hidup, ia pasti bahagia sekali melihatmu sekarang,” imbuhnya.
“Benarkah, Rei? Benarkah yang kau katakan?” tanya gadis mungil itu.
“Ya, Maya,” Rei tersenyum lembut.
“Maya…!!” Sayaka masuk ke dalam ruang pengantin wanita. “Kau cantik sekali!!” Disusul oleh teman-temannya dari teater Mayuko.
Wajah Maya bersemu merah, kehilangan kata-kata dengan semua pujian yang mereka lontarkan.
“Akhirnya, kau benar-benar bersatu dengan Ishinmu!” Taiko mengimbuh, terdengar turut bahagia.
Sekali lagi Maya hanya tersenyum tipis, sedikit sendu.
“Kau kenapa?” tanya Mina. “Kenapa terlihat sedih…?”
“Ibu Mayuko…” gumam Maya, lirih.
Gurunya itu tidak bisa datang pada acara yang penting ini. Setelah malam penobatan Maya sebagai penerus Bidadari Merah, kondisi ibu Mayuko sempat kritis kembali. Namun sekali lagi wanita tua bersemangat baja itu bisa melaluinya dan tetap bertahan hidup.
Namun Ibu Mayuko tidak bisa aktif lagi di dunia yang pernah membesarkan namanya. Dunia yang pernah dijalaninya mati-matian untuk bertahan hidup. Dunia keaktrisan. Ia sekarang menyepi, di kampung halaman Bidadari Merah bersama Genzonya yang setia.
“Ayo Maya, sudah mau dimulai. Ishinmu sudah menunggu,” kata Sayaka.
Maya menatap dirinya di kaca.
Ia akan menikah hari ini.
“Belahan jiwa itu sebenarnya apa?” tanya Maya kepada Bu Mayuko pada hari akhir pertemuan mereka. “Maaf… tapi bukankah, Pak Ichiren mempunyai istri? Lalu… Belahan jiwa Pak Ichiren itu… siapa?”
Ia memberanikan diri bertanya, sempat berpikir gurunya itu akan murka. Namun tidak. Mayuko tersenyum hangat pada murid kesayangannya itu.
“Kau sudah memerankan Bidadari Merah, nyaris sempurna Maya… kenapa kau masih mempertanyakannya? Bukankah seharusnya, kau sudah memahami apa Belahan Jiwa itu sesungguhnya?”
Maya menggeleng perlahan. “Ya. Aku mengerti,” ungkap Maya. “Belahan jiwaku di atas panggung, aku memahaminya,” gadis itu menunduk. “Tapi belahan jiwa yang sesungguhnya, aku masih tidak mengerti,” matanya berkaca-kaca. “Kenapa, belahan jiwa tidak bisa saling memiliki, bukankah itu berarti bukan belahan jiwanya? Siapa yang bisa memastikan bahwa itulah jiwa yang satunya lagi, jika kebersamaan mereka menyakiti orang lain? Kenapa mereka ditakdirkan sebagai belahan jiwa, jika tidak bisa bersama?”
“Bukankah Ishin dan Akoya, akhirnya bersatu walaupun—“
“Tapi tidak ada orang lain yang harus berkorban demi cinta mereka, bukan? Tidak ada yang tersakiti selain diri mereka masing-masing. Bukankah… bukankah Ibu merasa sakit, melihat Pak ichiren bersama wanita lain? Tidakkah… istri Pak ichiren pun—“ Maya menghentikan perkataannya sebelum melewati batas lancang.
“Maya…” Mayuko berkata dengan lemah. “Belahan jiwa… tidak mementingkan ikatan semu yang bersifat badaniah. Belahan jiwa, lebih dari itu. Mereka adalah dua jiwa yang saling terikat, saling terkait, saling terpaut. Tidak peduli seberapa jauh mereka terpisah, seberapa berbedanya mereka antara satu dan yang lain, jiwa mereka akan saling tarik menarik. Saling merindukan.”
“Tapi tidak harus bersatu?”
Bu Mayuko menggeleng.
“Kalau begitu, sia-sia saja menemukan belahan jiwa, jika tidak bisa saling bersatu!” protes Maya. “Apalagi… jika karena kedua jiwa yang saling merindukan itu, malah menyakiti jiwa yang lainnya. Bukankah itu egois? Bukankah… jadinya, cinta itu… egois?”
“Karena itulah, Ishin dan Akoya berkorban, bukan? Untuk kepentingan jiwa-jiwa lain. Tapi bukan berarti cinta keduanya telah mati. Mereka tetaplah belahan jiwa, yang keberadaannya saling menghidupkan satu sama lain.”
Maya tersadar dari lamunannya saat melihat Kuronuma yang tersenyum kepadanya.
“Kau sangat cantik, Maya,” pujian yang sama pun keluar dari bibir Kuronuma sebelum mengantarkan Maya ke altar.
Pintu terbuka. Maya dengan gugup mengeratkan pegangannya di lengan Kuronuma.
Terdengar orang-orang terkesiap melihat kecantikan wajah Maya.
Maya Kitajima, Sang Bidadari Merah. Pemegang predikat aktris terbaik saat ini sekaligus idola papan atas di Jepang, akhirnya akan melepas masa lajangnya. Setelah keberhasilan pementasan Bidadari Merah lebih dari setahun yang lalu, Maya mendapat banyak sekali penghargaan sekaligus tawaran dari banyak rumah produksi.
Karir Maya, Kuronuma dan Sakurakoji langsung meroket. Tawaran yang datang tidak tanggung-tanggung, demikian juga kontraknya.
Maya merasa semua berlangsung begitu cepat. Ia sempat terseret-seret awalnya, namun bantuan dari teman-temannya membuat Maya akhirnya bisa menyesuaikan diri dengan semua kesuksesan yang datang tiba-tiba tersebut. Terutama, karena pria yang kini menunggunya di altar, selalu berada di sisinya.
Setelah pementasan itu, teater Mayuko kembali didirikan. Atas saran Masumi, Maya berkeras tidak bergabung dengan teater manapun dan bertekad mempertahankan teater Mayuko. Ia dan teman-temannya lantas mengelola Mayuko dengan sponsor Daito.
Ibu Mayuko tidak keberatan. Ia sudah menyerahkan semuanya kepada Maya. Eisuke Hayami pun, bersikap lunak. Ia tidak bersikeras merebut hak pementasan. Ia hanya menginginkan kerja sama dengan teater Mayuko, dan menjadi penyelenggara pementasannya saja.
Semua itu berkat Masumi, Mawar ungunya. Karena dialah Daito tidak lagi mengusik Maya dan teater Mayuko. Mereka sudah cukup puas hanya menjadi sponsor dan penyelenggara pertunjukan.
Ah, Masumi Hayami… Pria itu memang penguasa. Pengendali atas semua hal di sekeliling hidupnya.
Kecuali kehidupannya sendiri.
Maya berjalan perlahan menyusuri karpet merah. Dadanya berdebar-debar gelisah. Ia meyakinkan dirinya. Ia akan bahagia. Akan menjalani bahtera rumah tangga dengan pria yang dicintainya.
Pria yang kini menatapnya lembut, penuh cinta. Wajah yang dihiasi senyuman mengembang dan wajah menyala riang.
“Masumi Hayami dikabarkan telah kembali ke Jepang. Setelah kematian istrinya, Shiori Hayami beberapa bulan yang lalu di Amerika, Masumi Hayami sudah memutuskan untuk meneruskan kembali perannya sebagai pengusaha yang berpengaruh di industri hiburan Jepang dan juga sebagai pemilik perusahaan Takamiya yang diserahkan Shiori kepadanya.”
Maya teringat berita yang ditontonnya semalam. Pak Masumi… hatinya gelisah.
“Maya…!?” terdengar teguran.
Kesadaran Maya kembali pada ruang gereja yang sekarang ditempatinya. Maya menoleh ke arah pendeta yang tadi menegurnya.
“Jawabanmu?” tanyanya lagi.
Maya tercenung sesaat. “Ah, aku…” ia melirik gelisah pada sekelilingnya.
“Ada yang ingin kau katakan?” tanya pendeta.
“Mmhh…” Maya menggigit bibirnya tipis, menggeleng.
“Kalau begitu, kita ulangi lagi,” pendeta itu berkata. “Kitajima Maya, apa kau menerima Sakurakoji Yuu sebagai suamimu, baik di saat suka maupun duka, di kala sehat dan sakit, bersama saling melengkapi dan melindungi dengan saling menghormati hingga maut memisahkan kalian?”
Maya menelan ludahnya, menatap Sakurakoji yang memandangnya harap-harap cemas.
Sakurakoji tahu ada yang meresahkan pikiran calon istrinya itu. Ia tahu pasti. Itu pastilah hal yang sdmpat terjadi dulu sebelum pementasan Bidadari Merah. Hal yang mungkin hanya ia yang tahu.
Hal mengenai Masumi Hayami dan Maya.
Sakurakoji mengetatkan rahangnya, berbisik pelan, “aku mencintaimu, Maya…”
Maya merasakan hatinya berdebar menyakitkan. Kenapa, ia tidak tahu. Gadis itu kembali menatap dalam mata Sakurakoji. Pria ini akan membahagiakannya. Maya tahu. Maya yakin.
Pandangannya beralih kepada pendeta. “Saya ber—“
BRAK!! Pintu gereja terbuka lebar.
Gereja yang sepi  segera dipenuhi dengungan penasaran. Kepala-kepala itu menoleh ke sana kemari mencari sumber kegaduhan.
Masumi Hayami, bernapas terengah dengan wajah memerah berdiri di ambang pintu.
Wajah-wajah di dalam gereja terkejut.
Pria yang ramai dibicarakan di media, sekarang hadir di tengah pernikahan Maya. Apakah ada sesuatu?
Maya kehilangan kata. Untuk beberapa saat ia yakin keterkejutan telah membuatnya mati rasa. Namu kesadarannya tetap menyala. Tampak dari matanya yang semakin terbuka.
Pak Masumi…!?
Masumi berjalan dengan angkuh menyusuri lorong di antara kursi, menapaki karpet merah yang tadi dilewati Maya.
“Semuanya harap tenang,” pinta Pak Pendeta. “Harap Tenang!”
Pendeta itu berhasil mencuri perhatian dan menenangkan suasana. Namun tidak ketegangannya. Mereka masih mengamati pria yang sekarang berstatus duda.
“Apakah ada yang ingin Tuan sampaikan?” tanya si Pendeta.
Banyak. Ada banyak sekali… batin Masumi, mengamati Maya di altar.
“Tidak ada,” kilahnya. “Aku hanya ingin menjadi saksi seperti yang lainnya. Aku tidak akan mungkin melewatkan pernikahan Bidadari Merah.”
Pak Masumi…!? Maya merasa luka hatinya kembali terbuka saat melihat pria yang pernah sangat dicintainya itu.
“Tolong jangan membuat gaduh, silakan duduk, Tuan,” pinta Pendeta.
Tanpa sepatah kata terucap, Masumi duduk di salah satu bangku. Dan sejak itu, tatapannya terpasung kepada Maya. Seperti saat melihat gadis itu di atas panggung, Masumi mencari tempat duduk yang paling strategis, yang dapat melihat gadis itu dengan jelas.
Dan seperti saat melihat sandiwara gadis itu, Masumi pun tidak akan pergi sampai semuanya selesai. Sampai pertunjukannya berakhir.
“Bisa kita ulangi lagi, Maya?” tanya Pak Pendeta.
Ya Tuhan… batin Maya. Kenapa dia harus datang ke sini? Kenapa Pak Masumi…
Maya mengangguk. Dan Pendeta itu kembali mengulang pertanyaan yang sama untuk ketigakalinya.
Maya menengadah, mencoba menyelami tatapan Sakurakoji yang penuh ratap. Maya tahu saat ini pria itu berharap Maya mengatakan “ya,” dan menguatkan ikatan di antara mereka berdua untuk seumur hidup.
Seumur… hidup…? Itu artinya dia dan Masumi, memang tidak akan mungkin… Ah, Masumi… kenapa tatapan berupa bayangan di sudut pandangan itu, tetap saja terasa tajam? Tetap saja membuat Maya pikirannya resah dan jiwanya gelisah.
Tapi Sakurakoji… Maya berusaha keras menatap lekat mata kekasihnya itu. Mata pria yang berada di sisinya selama ini. Mendukungnya, membantunya. Pria yang sudah menawarkan dunia akting yang terasa lebih indah saat Maya berpasangan dengannya.
Belahan jiwa…
Ia tahu belahan jiwa itu ada. Tapi Maya tidak tahu yang mana.
Ia sudah kehilangan yang satunya. Ia tidak akan kehilangan yang lainnya.
“Ya. Saya bersedia…” jawab Maya.
Sakurakoji tersenyum, bahagia. Ia mendapatkan cintanya. Gadis yang sudah sekian lama menghiasi mimpi-mimpinya. Gadis dimana ia melabuhkan hati dan pikirannya. Sekarang istrinya.
Senyuman pun terpulas di bibir Masumi. Pahit. Sakit. Masumi mengira, ia sudah tahu semua yang disebut derita, sampai ia mendengar kata yang terlontar dari bibir Maya.
Bahagia? Apa itu bahagia? Hanya sebuah harapan kosong yang hanya dengan mengharapkannya saja, membuat hatinya bertabur duka.
Semoga kau bahagia, Maya…
Ruangan segera riuh saat keduanya dipersilakan berciuman. Ciuman yang bahkan tidak akan bisa memenuhi syarat sebagai sebuah kecupan, karena Maya segera menarik diri saat bibir keduanya bersentuhan.
Tapi tepuk tangan tetap membahana. Sakurakoji meraih tangan Maya dan mengaitkan pergelangan istrinya ke lengannya.
Bukankah seharusnya ia bahagia sekarang? Bukankah pernikahan adalah hari paling sakral dan membahagian bagi sepasang manusia? Tapi kenapa, di hatinya hanya ada hampa…?
Maya berdoa sungguh-sungguh. Ia dan Sakurakoji akan benar-benar bahagia, meskipun Masumi sekarang sudah kembali. Gadis mungil itupun mengharapkan hal yang sama bagi pria yang pernah begitu dicintainya. Ia berharap Masumi, akan menemukan belahan jiwanya.
Pak Masumi… Maya mencari.
Pria itu sudah tidak ada. Pergi dari pernikahannya. Dari hidupnya.
Pak Masumi….

“Argghh!!!!!!”
PRANG!!!!
Gelas itu hancur berkeping-keping setelah membentur tembok. Masumi mengamatinya dengan hati yang tak kalah remuk redam.
Di sekelilingnya terdapat pecahan kaca dari semua gelas kristal dan botol minuman miliknya yang ia lemparkan penuh murka.
Saat ini Masumi berada di rumah yang sempat ia tempati bersama Shiori setelah mereka menikah selama beberapa bulan, sebelum kondisi Shiori melemah dan dibawa ke Amerika untuk pengobatan.
Masumi menemani Shiori hingga akhir hayatnya. Namun saat wanita itu pergi, kekasih jiwanya juga sudah menjadi milik pria lain.
“Maya…” Suara Masumi tercekik segala duka lara yang memenuhi emosinya.
Tubuhnya gemetar, rambut yang acak-acakan menambah suram raut wajahnya.
Sejenak ia tertegun mengamati cermin yang merefleksikan bayangan diri. Dengan gontai ia berjalan menghampiri. Dalam bayangan itu ia hanya sendirian, ditemani kesepian yang menusuk menyakitkan.
“Laki-laki pengecut!!” ia memarahi dirinya sendiri dengan raut menakutkan yang terpasung ke cermin. “Mati saja kau dalam kesendirian. Mati saja kau dalam kesepian!!!” serunya geram.
PRANG!!! Benda berkaca terakhir di kamarnya itu pun berubah menjadi serpihan.
Darah mengucur dari kepalan tangan Masumi. Sakit, perih. Namun luka yang dirasa tangannya tetap tidak mampu menghapus derita hatinya.
Masumi bersandar, menyeret turun punggung yang bersandar ke tembok dan jatuh terduduk. Menunduk.
“Maya…” ia memanggil penuh rintih. Membenamkan kepalanya di lengan yang ditahan di atas lututnya yang tertekuk. “Aku merindukanmu, Maya…. Aku sangat… merindukanmu….”
Dan setelah berhasil melalui semuanya sendirian tanpa air mata, malam ini…
Ia menangis.
=//=
“Kya!!” Pekik Maya, saat tiba-tiba kakinya tak lagi menyentuh lantai.
“Selamat datang di rumah kita,” ujar Sakurakoji.
Maya tertegun, mengamati jauh ke dalam rumah melalui ambang pintu dimana ia berada sekarang. Benar. Rumah kita. Rumahnya dan Sakurakoji sekarang.
“Kau sudah siap?” tanya Sakurakoji, dengan wajah berbinar.
Maya tersenyum tipis dan mengangguk.
Sakurakoji membawa Maya masuk ke dalam rumah yang sudah ia siapkan. Mereka berdua yang memilih rumah ini.
Setelah pementasan Bidadari Merah mereka yang sukses besar dan berhasil mengumpulkan puluhan ribu penonton dalam sebulan pementasannya, Maya dan Sakurakoji semakin dekat. Akhirnya, sesuai yang dijanjikan, Maya memberikan jawaban atas perasaan Sakurakoji.
Ia bersedia, untuk mencoba merajut kasih bersama pemuda itu.
Tidak tergambarkan sungguh rasa bahagia yang mengisi hati Sakurakoji saat itu.
Ia sudah tahu bahwa ada sesuatu mengenai Maya dan Masumi. Ia melihat mereka berpelukan saat di pelabuhan. Sakurakoji bahkan sempat kesal dan mendiamkan Maya karena perasaan cemburu dan sakit hatinya.
Namun, entah apa yang terjadi setelah itu. Walaupun sempat tertunda, pernikahan Masumi Hayami dan Shiori Takamiya tetap dilangsungkan.
Maya pun tidak mengatakan apa-apa mengenai dirinya atau Masumi. Dan apapun kisah yang pernah terjadi di antara keduanya—mungkin juga saat di Astoria itu—ikut terkubur kemudian.
Tapi Sakurakoji tidak peduli lagi. Yang pasti setelah bertahun-tahun, rasa terpendamnya mendapat jawab. Maya akhirnya berpacaran dengan Sakurakoji.
Sekali dua kali Sakurakoji mendapati wajah Maya yang sendu. Gadis itu jadi pendiam. Tidak jarang matanya sembap. Kenapa, ia tidak tahu. Tapi saat Sakurakoji menegurnya, dengan cepat Maya kembali menampakkan wajahnya yang ceria, walaupun tidak berhasil menyembunyikan bekas air di matanya.
Sakurakoji bersumpah, apapun itu yang sudah membuat Maya bersedih, ia akan membuat Maya melupakannya. Ia tidak ingin menoleh ke belakang, dan berusaha keras menerima Maya dan berharap perlahan tapi pasti Maya akan menerimanya.
Semuanya tidak sia-sia. Perlahan-lahan binar di wajah Maya kembali, dan mereka semakin dekat. Sakurakoji pun merasakan, Maya berusaha keras menjadi kekasih yang baik untuknya. Sekali dua kali Maya membuatkan bento (makan siang dalam kemasan) untuknya. Dari jeleknya rupa bento itu, bisa terlihat usaha keras Maya.
Walaupun mereka semakin terkenal dan semakin banyak pekerjaan, kebanyakan tawaran itu diberikan untuk mereka berdua. Karena itu kebersamaan mereka semakin sering. Sakurakoji sudah memiliki mobil yang kemudian dipakai untuk mengantar jemput kekasihnya saat sempat.
Dan keluarga Sakurakoji, yang dulu menentang dan tidak menyukai Maya, sekarang sudah benar-benar menerimanya.
“Sudah Yuu… turunkan aku,” pinta Maya, dengan wajah memerah.
“Kenapa? Bukankah pengantin digendong seperti ini,” Yuu berkelakar.
“Memangnya tidak berat ya?” tanya Maya.
“Tidak. Badan sekecil ini, apanya yang berat!”
Maya tertawa.
Mereka lantas berdiri di depan pintu kamar pengantin.
Maya tersadar, matanya sedikit melebar. Kamar pengantin mereka. Kamarnya dan Yuu mulai dari malam ini, hingga selamanya. Gadis mungil itu menelan ludahnya, sedikit mencuri pandang ke arah pasangannya.
Tampak wajah Sakurakoji yang memerah. Pasti jika di raba, suhu wajahnya meningkat beberapa derajat.
Yuu… batin Maya, menggigit tipis bibirnya dan menunduk.
“Jeklek! Krieeet…” pintu kamar itu terbuka.
Semerbak keharuman Lily segera menyapa hidung mereka. Terasa begitu elegan, mewakili kamar yang kini keduanya masuki.
“Sudah, Yuu…” bisik Maya, lirih. “Turunkan aku…”
Tapi Yuu mengeratkan dekapannya dan terus berjalan masuk, menghampiri tempat tidur berukuran besar dengan cover bed putih berenda kuning.
Tubuh gadis mungil itu menegang di dekapannya. Maya tiba-tiba merasa panik. Tidak perlu dikata hendak kemana tindakan mereka selanjutnya, gadis yang kekanakan itu pun sudah cukup paham.
Maya tiba-tiba membekap mulutnya sendiri. “Uuoo…” terdengar hendak muntah.
Sakurakoji terkejut, pandangannya beralih kepada Maya yang tampak pucat.
“Maya… kau tidak apa-apa…?” tanyanya khawatir.
Sekali lagi suara mual itu terdengar. Maya menggeleng dan mulai memegang keningnya.
“Kepalaku pening…” lirihnya.
“Kau sakit?” Suaminya terdengar semakin khawatir.
“Entahlah, aku…” Maya menggeleng pelan, memejamkan matanya. “Turunkan aku, Yuu…” pinta Maya dengan suara semakin lemah.
Sakurakoji menurunkan Maya di sisi tempat tidur.
“Kau tidak apa-apa?” Masih khawatir dan semakin risau melihat wajah Maya yang kian memucat.
Maya menggeleng.
“Mungkin aku kelelahan,” ia berusaha tersenyum.
Sakurakoji menghela napas pelan, mengusap lembut rambut istrinya.
“Ya, apalagi tadi kulihat kau makan sedikit sekali. Padahal resepsinya cukup lama,” ujar suaminya. “Kau pasti kelelahan. Ayo istirahatlah. Biar kusiapkan air untukmu membersihkan diri,” Sakurakoji berdiri.
“Tidak usah, Yuu… olehku saja,” sergah Maya, menahan pergelangan tangan suaminya.
Yuu menunduk, tersenyum tipis kepada istrinya. Pengertian.
“Kau istirahat dulu sebentar,” kembali telapaknya mengusap kepala Maya yang dicintainya, sebelum berbalik pergi dan berbelok masuk ke kamar mandi. “Para pelayan baru akan datang besok pagi,” terang Sakurakoji setengah berseru dari arah kamar mandi.
“Oh, begitu…!” jawab Maya, juga berseru.
Selanjutnya gadis mungil itu tenggelam lagi dalam lamunannya, saat matanya menemukan cermin.
Dirinya, bergaun pengantin.
Pengantinnya Sakurakoji…
Pak Masumi… batin Maya, kembali ingin menangis.
Pesta pernikahannya sangat meriah. Di samping Ibu Mayuko, semua yang mengenal Maya dan Sakurakoji turut hadir. Kecuali Mai, dan Satomi, mantan kekasih mereka.
Juga Masumi.
Maya awalnya tidak mengharapkan acara pernikahannya terlalu besar, cukup orang-orang terdekat saja yang diundang. Tapi pihak keluarga Sakurakoji menginginkan pernikahan yang terbaik bagi keduanya.
Ya, tentu saja mereka mampu. Keduanya sudah bisa masuk kelompok selebritis berbayaran tertinggi sekarang. Ada ratusan orang dari dunia hiburan yang datang meramaikan suasana pesta malam tadi.
Tapi Maya sama sekali tidak bisa berpura-pura. Ia selalu saja gelisah sendiri.
Kembali teringat Masumi yang muncul di tengah pernikahannya. Duduk diam dengan entah apa yang ada di dalam pikirannya. Maya benar-benar tidak ingin Masumi ada di sana tadi. Ia sakit. Sakit sekali melakukan semua ini. Aneh, padahal seharusnya ia bahagia. Karena, walau Masumi tidak mengatakan apa-apa, Maya tahu benar pria itu terluka. Walau tidak pernah terucap, kata cinta di antara mereka.
Pria yang ia kira, akan menghilang dari hidupnya untuk selamanya.
“Sudah siap, Maya,” perkataan Sakurakoji terasa menegur kesadaran Maya. Si Mungil tertegun, menatap Sakurakoji beberapa lama seakan lupa siapa dia dan kenapa ia ada di sana. “Air untukmu membersihkan diri. Sudah siap,” ulangnya.
“Ah, ya,” Maya teringat. “A, aku membersihkan diriku dulu,” Maya berdiri dan berujar tanpa menatap Sakurakoji. Seperti seorang tersangka, ia tidak sanggup. Ia merasa berdosa.
“Maya,” kata Sakurakoji lembut, saat menahan lengan Maya dan menoleh kepadanya. “Kalau ada sesuatu, beritahu aku,” pintanya.
Sesaat kamar itu senyap.
“Hehehe... iya,” Maya memasang wajah bahagia dengan senyuman lebar pura-pura lega. “Terima kasih Yuu...” elak Maya, kembali menarik lengannya dan berlalu pergi ke kamar mandi.
Sakurakoji menelan ludahnya, mengamati punggung Maya yang sedikit terpamerkan oleh gaun pengantin yang transparan di belakangnya.
Pria itu bukan tidak menyadarinya. Saat Masumi masuk tadi, Sakurakoji bisa merasakan sebuah ancaman. Belum lagi Maya yang nampak tidak berkonsentrasi saat pengambilan ikrar pernikahan mereka.
Tapi syukurlah, akhirnya semua berlangsung dengan baik. Maya kini istrinya. Dan ia tidak akan pernah melepaskannya. Gadis itu sudah menerimanya, mengijinkannya masuk ke dalam kehidupannya dan ia tidak akan pergi lagi.
Biarlah, andai Maya masih punya ruang kecil di hatinya yang ia simpan entah untuk siapa. Sakurakoji punya banyak waktu untuk mengenyahkan cinta itu dari hati Maya. Dan ia punya waktu seumur hidup.
Siapapun pria itu, waktunya telah habis.
Sakurakoji menatap cermin, membuka dasi dan tuxedonya. Lalu membuka lemari pakaian empat pintu tempat pakaiannya dan Maya berada.
Pasti manajer Maya yang telah menyiapkan semua ini. Seorang laki-laki bernama Hijiri, saat ini menjadi manajer Maya. Daito yang menunjuknya, dan Maya menyetujuinya. Entah hanya perasaannya saja, namun Sakurakoji sering merasa, Maya dan manajernya tersebut seperti berahasia kepadanya. Tidak jarang, mereka berhenti bicara saat melihat Sakurakoji.
Memang, ada yang lain dengan Maya, setelah kejadian hari itu.
Saat ia turun dari Astoria dan Sakurakoji sempat melihat ia dan Masumi Hayami berpelukan. Ia sudah cukup heran mendapati Masumi ada di pelabuhan bersama Maya. Apalagi saat Maya menyusul masuk kembali ke dalam dan Sakurakoji mendapatinya berlari ke pelukan pria musuh bebuyutannya itu.
Ia masih ingat, bagaimana terkejut dirinya saat itu. Ia benar-benar syok. Ia tidak benar-benar mengerti apa yang terjadi. Namun adegan itu sudah cukup mengungkapkan, ada yang khusus antara Maya dan Masumi.
Cara keduanya berdekapan, cara Maya menyurukkan wajahnya di dada pria itu dan menangis di sana. Cara Masumi menyusupkan jemarinya di rambut Maya dan membelai kepalanya...
Sakurakoji mengeratkan kepalan tangannya. Ia masih saja resah jika teringat hari itu. Namun entah apa yang terjadi selanjutnya antara mereka berdua. Pada akhirnya Masumi tetap menikah dengan Shiori dan tidak pernah ada yang tahu tepatnya apa yang terjadi antara Maya dan Direktur Daito tersebut.
Yang pasti Sakurakoji sebagai lawan main Maya, benar-benar merasakan perubahan nyata gadis itu. Maya sering sekali terlihat murung dan bermata sembap. Ia juga sering terlihat melamun, tapi saat ditanya ada apa, ia hanya menjawab tidak ada apa-apa.
Tapi hubungan Masumi dan Maya memang membaik. Maya tidak pernah lagi berteriak-teriak kepada Direktur dingin itu, dan Masumi pun memperlakukan Maya dengan lebih hormat.
Suara pintu kamar mandi mengusik kesadaran Sakurakoji. Ia menoleh dan mendapati istrinya sudah keluar dengan mengenakan pakaian tidur. Sakurakoji menatap jam dinding. Setengah jam Maya ada di dalam sana. Cukup lama. Dan dalam waktu berselang itu pula, Sakurakoji masih saja teringat masa lalu.
Walau tidak ada bukti lebih jauh mengenai Maya dan Masumi, jujur saja pria itu meraa terancam dengan kedatangan kembali Masumi ke Jepang. Apalagi ia sudah tidak terikat pernikahan.
“Sudah selesai?” tanya Yuu, mengahampiri Maya.
Gadis itu tersenyum. “Sudah,” jawabnya lembut.
Ia nampak berseri. Mungkin perasaannya memang sudah lebih baik. Yuu benar-benar senang melihatnya.
“Aku mandi dulu sebentar,” pamit suaminya.
Wajah gadis mungil itu merona, dan mengangguk.
Maya lantas menyisir seraya mengamati wajahnya sendiri. Ia sudah tidak adil kepada Sakurakoji. Sejak Masumi datang tadi, pikiran Maya tidak juga beranjak dari pria itu. Bahkan saat acara resepsi, Maya terus bertanya-tanya, dimana Masumi sekarang berada. Benar-benar tidak adil. Maya merasa muak kepada dirinya sendiri.
“Kau sekarang Sakurakoji Maya,” wanita itu berucap kepada dirinya di cermin. “Istri Sakurakoji...” gumamnya.
Ia tidak boleh berlaku tidak adil kepada pria itu. Sakurakoji sudah sangat baik kepadanya selama ini. Walaupun pria itu sempat mendiamkannya beberapa lama setelah tabrakan yang menimpanya, Sakurakoji perlahan-lahan bersikap ramah kembali kepada Maya. Ia bahkan menghiburnya kala Maya dirundung duka dan kesedihan karena harus berpisah dengan Masumi dulu.
Ingatan Maya segera terlempar kembali ke masa lalu, pada saat yang paling menyedihkan untuknya.
“Pernikahan Masumi Hayami dan Shiori Takamiya dikabarkan akan diundur, terkait dengan kesehatan Nona Shiori Takamiya. Walau tidak ada pihak yang berkenan mengungkapkan apa alasan sesungguhnya dan bagaimana kondisi Nona Shiori Takamiya, kabar angin menyebutkan, sebelumnya Nona Shiori sempat ditemukan terluka di pergelangan tangannya di sebuah kamar mandi restoran mewah di pusat Tokyo.”
Sesosok wanita dengan wajah diburamkan dan suara diubah seperti chipmunk berkata, “kami sangat panik saat itu, dan Tuan Masumi Hayami juga terlihat sangat terkejut. Namun, dari yang kulihat, itu tampak seperti usaha bunuh diri.”
“Itulah kesaksian yang sempat diberikan oleh X, bekas pegawai di restoran tersebut, namun semua pegawai restoran menyangkal dan tidak ada yang bersedia memberi kesaksian mengenai hal tersebut.”
“Tidak pernah terjadi apa-apa di sini. Memang Tuan Masumi dan Nona Shiori sering makan di sini. Biasanya mereka akan menyewa ruangan VVIP. Tapi tidak pernah terjadi peristiwa seperti yang disebutkan. Nona Shiori hanya pernah pingsan di kamar mandi, karena penyakit darah rendahnya kambuh,” terang seorang pria bertitel Manajer PR Restoran X.
“Duk! Glundung.... Glundung...!” Apel dari genggaman Maya terjatuh dan menggelinding, membentur kaki meja.
Rei tertegun, menoleh kepada sahabatnya itu.
“Maya...? Kau kenapa?” tanyanya, kepada Maya yang nampak berdiri pucat di belakanganya.
Maya hanya membisu, tatapannya terpaku pada layar kaca.
“Sampai saat ini tidak ada seorang wartawan yang diijinkan melihat keadaan Nona Shiori. Sumber kami dari Event Organizer yang mengurus pernikahan kedua sejoli ini dan tidak menghendaki namanya disebut, mengatakan bahwa sempat ada permintaan dari pihak Masumi Hayami untuk membatalkan semua rencana pernikahan...”
“Maya...!? Kau kenapa pucat sekali?” tanya Rei, berdiri dan menghampiri Maya.
“Ah...!” Maya terenyak. “Ti, tidak...” ia membalik badannya, menuju wastafel.
Rei menoleh kembali ke layar kaca. Apa karena ini? Karena berita mengenai Masumi Hayami itu? Pikirnya tidak yakin.
“Apa berita pernikahan Pak Masumi Hayami ini mengganggumu?” tanya Rei.
“Ti, tidak!” Maya menggeleng keras, meraih gelas dan menyalakan keran wastafel yang mengalirkan air dengan deras. “Ke, kenapa aku harus...” Maya bergumam tidak jelas.
“Berani sekali wartawan ini,” Rei berujar, mengomentari berita di televisi. “Tidak ada media yang berani mengusik Masumi Hayami, apalagi sampai menyebarkan isu seperti ini,” imbuh Rei. “Tapi kuingat-ingat lagi, memang tidak ada aktris Daito yang main dalam drama di stasiun Banzai TV ini. Mungkin pernah ada konflik di masa lalu antara stasiun TV ini dan Daito?”
Maya tidak mendengarkan. Ia bahkan tidak meyadari air di dalam gelas sudah meluap membasahi tangannya.
Pak Masumi... apa benar berita itu...? batinnya. Aku tidak tahu, gadis itu terisak diam-diam. Aku tidak tahu kau menghadapi masalah seperti itu... Dan aku hanya diam saja... padahal akulah, yang sudah membuatmu terlibat masalah...
“Maya!!!” tegur Rei, saat melihat gadis mungil itu sudah melanggar protokol penghematan mereka. “Airnya, Maya! Air!!” Ia menghampiri dan mematikan kerannya.
Maya tersentak. “Ah...! Maaf...”
Rei tertegun mengamati gadis itu. “Apa kau... menangis, Maya? Matamu berkaca-kaca.”
“Eh?” gadis mungil itu tidak menyadarinya. “Tidak! Aku... aku menguap barusan. Mengantuk!” katanya. Maya lantas meletakkan gelasnya. “Aku mau keluar dulu!” katanya cepat dan segera berlalu.
“Kau mau kemana!?” Tanya Rei dengan terkejut. “Maya! Pakai jaketmu! Sudah malam!”
Maya keluar dari kontrakannya dan terdengar kaki-kakinya yang menuruni tangga dengan cepat dan keras. Rei hanya menghela napas bingung sementara terdengar teriakan induk semang yang meminta Maya tidak ribut.
Gadis itu berlari menuju Daito. Sudah cukup malam, tapi ia mengenal Masumi. Pria itu seringkali bekerja hingga larut.
Maya berdiri di parkiran Direktur, di antara kerimbunan tanaman di taman. Ia pernah melakukannya dulu, saat tengah malam Masumi melindunginya dari serangan para yakuza. Malam yang mengungkapkan semua rasa terpendam di dalam hati gadis mungil itu.
Setengah jam berlalu, hampir satu jam.
“Apa aku naik saja? Apa Pak Masumi... masih ada di dalam?” pikir Maya. Bodoh... kenapa aku tidak meneleponnya dahulu?
Akhirnya Maya memutuskan untuk masuk ke dalam gedung.
Daito sudah nampak lengang, walaupun ada beberapa orang di sana.
“Mau kemana nak?” tanya seorang pria dengan rambut belah pinggir dan kacamata kotak tebal.
“A, aku mau menemui Pak Masumi Hayami.”
“Kau sudah tidak boleh ada di sini. Waktu kunjungan sudah habis untuk tamu. Datang lagi besok dan buat janji dulu,” terang pria berjas itu.
“Ta, tapi, ini penting!” Maya bersikukuh.
“Kau harus pulang, atau kami akan memanggil sekuriti!” ia meraih tangan Maya dan menyeretnya.
“Maya...?” panggil suara seseorang.
Maya dan pria itu menoleh. Tampak Mizuki dan tas kerjanya baru keluar dari lift.
“Selamat malam Bu!” pria itu membungkuk.
Maya tertegun, ikut membungkuk. “Ibu Mizuki...”
Mizuki menelan ludahnya, menatap Maya. Ia sudah tahu perihal Astoria dari atasannya itu.
“Kau mau bertemu Pak Masumi?” tanya Mizuki.
Maya mengangguk pasti. “Apa dia ada?”
Mizuki terdiam sejenak. “Kau boleh pergi, Kato, aku mengenal gadis ini.”
“Baik Bu,” pria bernama Kato itu melepaskan tangan Maya.
“Pak Masumi ada di atas, di kantornya. Mungkin akan turun sebentar lagi. Kuantar kau ke atas,” kata Mizuki.
Maya mengangguk berterima kasih, dan segera mengikuti Mizuki masuk kembali ke dalam lift.
Sejenak keduanya terdiam di dalam lift. Mizuki mengamati Maya. Gadis yang sudah sangat dicintai atasannya selama bertahun-tahun.
“Pak Masumi sempat cuti selama dua minggu, tapi karena pentas percobaan Bidadari Merah sudah tinggal sebentar lagi, ia sudah mulai bekerja lagi, mengurus Bidadari Merah,” papar Mizuki.
“A, apa aku akan mengganggunya?” tanya Maya tiba-tiba.
“Bukankah seharusnya kau memikirkan hal itu sebelum kau datang ke sini?” tegus Mizuki.
Maya tertegun, menelan ludahnya sungkan.
“Yah, tapi baguslah kau datang ke sini. Kurasa yang paling baik bagi Pak Masumi sekarang, memang bertemu denganmu.”
“Eh?” Maya mendongak cepat. Dilihatnya Mizuki yang memberi pandangan penuh arti kepadanya. Tahulah Maya bahwa wanita itu sudah mengetahui apa yang terjadi antara ia dan Masumi. “A, aku....”
Lift terbuka.
“Sudah sampai,” Mizuki berujar dan segera keluar dari sana.
Maya mengikutinya.
Di sepanjang lorong hanya terdengar suara tegas ketukan hak Mizuki dan gesekan gelisah sol sepatu Maya.
Sudah kosong di sana, sepertinya para eksekutif sudah pulang.
“Tunggu sebentar,” pinta Mizuki.
Maya terdiam di hadapan pintu setinggi tiga meter itu.
“Kupikir kau sudah pulang,” ujar Masumi saat melihat Mizuki lah yang mengetuk pintunya.
“Ada yang ingin bertemu dengan Anda.”
“Siapa?” Masumi tidak mengalihkan matanya dari layar laptop.
“Maya Kitajima.”
Sontak semua indera Masumi membeku sesaat. Ia menatap Mizuki.
“Maya?”
“Ya. Dia menunggu di pintu.”
Maya... gadis yang sangat dirindukannya, yang namanya kerap kali ia sebut dalam tiap detak jantungnya.
“Biarkan dia masuk,” perintah Masumi.
“Ada lagi Pak?” tanya Mizuki.
“Ya. Tinggalkan kami, Mizuki.”
Itu memang rencannya. “Baiklah, saya pulang duluan Pak,” ia izin untuk keduakalinya.
Masumi berusaha menenangkan diri. Maya, gadis itu datang ke sini. Dengan cepat Masumi menyimpan semua pekerjaannya dan segera mematikan layar komputernya.
“Krieet..” pintu itu terbuka.
 Sosok mungil yang hanya setara setengah ketinggian pintu kantornya itu muncul dari baliknya.
“Selamat malam...” salam Maya dengan sungkan saat masuk ke dalam ruangan.
“Maya...” sambut Masumi, berdiri dari kursinya dan hanya terdengar seperti desahan.
“Pak Masumi...” Maya tidak bisa mencegahnya lagi, mata gadis itu segera berkaca-kaca.
“Kenapa kau tiba-tiba ke sini? Kenapa tidak bilang mau ke sini?” Masumi berjalan menghampiri.
Dan Maya berlari.
“Bruk!!” gadis itu menumbukkan dirinya ke tubuh pria jangkung tersebut.
“Maya...!?” Mata Masumi membulat terkejut.
“Pak Masumi...” terdengar gadis itu memelas. “Apa benar yang kudengar? Apa benar Nona Shiori—“ ucapan Maya terpotong. Suaranya tercekat.
Masumi menelan ludahnya, perih.
“Ikutlah denganku,” ajak Masumi. “Jangan membicarakannya di sini.”
Maya mengangguk.
Masumi lantas meraih tas kerjanya dan keduanya keluar dari sana. Kembali menyusuri lorong lantai eksekutif Daito yang lengang. Keduanya masuk ke dalam lift, Direktur itu menekan tombol turun.
Ia kembali berdiri di samping Maya, pintu mulai tertutup.
Tidak ada yang bicara. Ada kesenduan yang aneh yang mereka rasakan di sana. Sekali lagi Maya ingin menangis. Ia tahu apa yang terngah terjadi bukan hal yang baik. Ia bisa merasakannya dari kebisuan Masumi.
Gadis itu menoleh tipis, menatap tangan Masumi yang tergantung di sampingnya.
Maya mengangkat tangannya sendiri, menyentuh lembut ujung jemari Masumi dengan ujung jemarinya. Ia bisa merasakan Masumi sedikit tersentak. Maya melanjutkan tindakannya. Perlahan-lahan ia menggenggam tangan lebar pria itu semakin erat.
Maya.... batin Masumi, pilu.
Dengan tegas Masumi balas menggenggam tangan Maya.
Gadis itu menunduk dan mulai terisak. Tanpa bicara keduanya tahu mereka sudah di ambang perpisahan. Maya membekap bibirnya sendiri, namun air matanya mulai menetes turun.
Maya... Masumi mengeratkan rahangnya.
Ia menarik gadis itu cepat dan memeluknya. Membiarkan Maya merintih sedih di dalam pelukannya.


“Maya!?” panggil Sakurakoji, yang telah kembali dari kamar mandi.

Maya tertegun, rahangnya sedikit mengetat dengan panggilan suaminya. Tanpa disadarinya, Maya sudah naik ke atas tempat tidur, bahkan menarik selimut hingga hampir menenggelamkan kepalanya.
“Maya…? Kau sudah tidur?” tanya Sakurakoji dengan sedikit terkejut, melihat istrinya sudah terbaring membelakangingya.
Maya menggigit tipis bibirnya. “Ngg…” gumamnya, sedikit menggeliat. “Yuu…?” ia menoleh. “Sudah selesai? Ma, maaf ya… aku tidur duluan. Aku lelah sekali, rasanya tulangku rontok semua,” tutur Maya.
Pria itu tertegun sejenak. Ia lantas menghela napasnya. “Ya, tidurlah Maya, aku tidak ingin kau sakit…”
Maya sungguh merasa tidak enak hati. “Kau juga cepatlah tidur. Selamat malam.”
Sakurakoji naik ke atas tempat tidur, menghampiri Maya. Ia menundukkan kepalanya hendak mengecup bibir istrinya. Sekali lagi Sakurakoji bisa merasakan Maya sedikit menarik diri darinya.
“Selamat malam,” kata Sakurakoji.
“Se, selamat… malam…” jawab Maya lemah.
Ia lantas berbalik lagi dan berusaha memejamkan matanya. Kali ini sungguh-sungguh.
Setelah itu suaminya mematikan lampu kamar hingga hanya penerangan dari arah balkon yang memberi pencahayaan ke dalam kamar mereka.
Maya… Yuu mengamati istrinya yang kini membelakanginya. Benar… pasti karena dia… batin Sakurakoji. Selama ini Maya selalu bersikap baik kepadanya, hangat. Tapi tadi saat pernikahan Sakurakoji bahkan bisa merasakan Maya seakan hendak menolak ciumannya. Karena dia sudah kembali… Yuu mengetatkan rahangnya, memandang sedikit gusar rambut istrinya yang tergerai di atas bantal.
Maya sedikit terlonjak, saat tangan Sakurakoji melingkar pada tubuhnya yang mungil.
Sakurakoji… mata gadis itu melebar, dan dadanya berdebar.
“Apakah ada sesuatu?” bisik Sakurakoji di telinga istrinya. “Kalau kau ada masalah, ceritakan kepadaku,” imbuhnya.
Dengan berat Maya menelan ludahnya. Ia menggeleng, dan menoleh pada suaminya.
“Ti, tidak, Yuu…” Maya tersenyum. “Hanya lelah.”
Perlahan Yuu menghela napasnya. “Baiklah, kalau kau bilang tidak ada apa-apa.” Ia mengeratkan pelukannya.
Maya memejamkan matanya pedih. Hatinya gelisah, benar-benar gelisah. Bahkan berada dalam pelukan suaminya membuat Maya tidak nyaman. Pikirannya masih tidak juga beranjak dari Masumi.
Kedatangnnya yang tiba-tiba. Kebisuannya.
Gadis mungil itu menyadari. Ia mengharapkan sesuatu yang seharusnya tidak ia harapkan.
Ia berharap Masumi tadi membuka bibirnya dan menggagalkan pernikahannya.
Ya Tuhan… apa yang kupikirkan… Maya diam-diam meneteskan airmata. Bahkan sejak hari pertama, ia sudah gagal menjadi seorang istri.
Yuu… maafkan aku… sungguh… Maya bertahan agar tidak terisak. Tapi ternyata, aku… kepada Pak Masumi…
“Aku tidak bisa meninggalkannya,” terang Masumi dengan sangat perlahan.
Setelah keluar dari Daito, malam itu Maya dan Masumi pergi menuju teluk Tokyo. Keduanya terdiam di dalam mobil seraya mengamati lautan yang menghitam seiring malam.
Maya membisu mendengar ucapan pria tercintanya itu. Lalu terisak.
“Maya…” desah Masumi perlahan.
“Maaf,” Maya menoleh, dengan wajah memelas dan pilu. “Aku, aku seharusnya, tidak mengganggu Pak Masumi—“
“Kau tidak menggangguku!” tegas Masumi, menahan nyeri. “Kau sama sekali tidak menggangguku! Sejak lama aku… sejak dulu…” suaranya gemetar.
Maya mengamati mata kekasihnya itu. Pak Masumi…
Pria itu menelan lagi kata-katanya. Apa yang hendak dikatakannya? Apa yang akan dihasilkan oleh kata-katanya? Tidak ada. Hanya akan ada luka, harapan kosong, dan pengkhianatan.
Masumi menunduk. Putus asa.
“A, apa Nona Shiori akan baik-baik saja?” tanya Maya, sungguh-sungguh khawatir.
Masumi kembali mengangkat wajahnya. Berusaha memasang raut sedingin es yang biasa dikenakannya, namun kali ini tidak berhasil. Wajahnya hanya menampakkan kegalauan.
“Keadaannya sempat membaik,” terang Masumi, menegakkan posisi duduknya dan kembali memandang lautan hitam di kegelapan malam. “Aku beberapa kali datang ke rumahnya, untuk membantunya memulihkan diri. Bagaimana pun, itu tanggung jawabku, hingga Shiori sempat ingin mengakhiri—“ tenggorokannya tercekat, dan gadis mungil di sampingnya terkesiap.
Ternyata benar begitu… Shiori yang punya segala-galanya itu, sampai hendak mengakhiri hidupnya hanya karena kehilangan Masumi? Laki-laki yang menjadi segala-galanya bagi Maya saat ini…?
“lalu…?” tanya Maya, gemetar.
“Tapi… jika aku tidak datang, saat dia tidak melihatku, dia… sama sekali tidak ingin melakukan apa-apa. Tidak bergerak, tidak makan. Hanya terdiam di kursi menunggu kedatanganku…”
“Nona…” Mata Maya melebar. Paru-parunya menyempit. Sakit.
Terdengar Masumi mendecakkan lidahnya. “Belum pernah aku merasa segalau ini… Aku…” Ia menoleh kepada gadis yang dicintainya. “Maya… seharusnya aku tidak melibatkanmu, seharusnya—“
“Tidak, Pak Masumi, tidak…” Maya menggeleng keras-keras. “Aku, yang sudah tiba-tiba saja mengganggu hidupmu, seharusnya… seharusnya, aku yang pergi, seharusnya aku yang berhenti… hiks…” Maya sudah tidak bisa pura-pura lagi. “hiks…” ia terisak semakin keras dan kembali tergugu. “maaf…” isak Maya. “maaf… Pak Masumi…” air mata gadis itu terus berderaian. Kehilangan, bahkan saat pria itu masih ada di hadapan.
“Maya…” Masumi menarik gadis itu dan memeluknya. Sangat erat. “Aku yang meminta maaf. Jika saja aku tidak begitu pengecut…” ujarnya pahit. “Jika saja aku tidak begitu penakut bahwa kau akan menolakku, mungkin aku…”
Maya menggeleng keras-keras. Ia tahu, ia yang sudah membuat Masumi menjadi pengecut dan penakut. Jika saja Maya pun bisa lebih jujur dengan perasaannya, jika saja ia tidak begitu penuh prasangka dan selalu saja bersikap memusuhi pria ini, pastilah…
Sesal. Hanya itu yang memenuhi rongga dada kedua insan yang saling mencintai itu.
“Aku tidak bisa membiarkanmu begini,” tekad Masumi, memeluk Maya lebih dalam. “Katakan, Maya. Apa yang kauingin aku lakukan?” tanya pria itu. “Katakan…” ia meminta kekuatan. “Akan kulakukan…” ia membenamkan wajahnya di leher gadis itu. “Apa pun yang kau inginkan, akan kulakukan…”
Pak Masumi… Maya masih tergugu. Yang ia inginkan? Ia ingin pria ini menjadi miliknya. Ia ingin pria ini jadi pemiliknya.
Shiori wanita kaya, cantik, pintar, berkuasa. Kenapa Masumi harus menjadi segala-galanya bagi Shiori? Ia masih punya yang lain! Akan ada pria lain yang mengantri dan berebut menggantikan posisi Masumi.
Tapi bagi Maya, Masumi sungguh segala-galanya. Ia tidak punya apa-apa lagi. Hanya punya cinta milik Masumi yang bahkan terlarang diakuinya. Jika Masumi tidak ada, dia bagaimana? Mereka belahan jiwa. Jika tidak bersatu, bagaimana? Apa seumur hidup jiwa mereka sekarat? Maya meremas kemeja Masumi kuat-kuat. Tidak ingin ia pergi, tidak ingin ditinggalkan.
Kenapa Tuhan tidak menciptakannya lebih egois? Sehingga dengan mudah ia bisa meminta kekasihnya ini meninggalkan tunangannya dan membawa dirinya pergi? Kenapa ia harus punya iba terhadap saingannya? Kenapa ia harus merasa bersalah atas kebodohan wanita lain yang menyepelekan kehidupannya sendiri?
Tapi jika ia egois, tentulah ia bukan Maya yang Masumi cinta. Ia hanya akan jadi gadis miskin yang bahkan tidak punya hati.
“Menikahlah…” bisik Maya diantara airmatanya. “Menikahlah dengan Nona Shiori,” katanya.
“Maya…!” Mata Masumi melebar. “Aku…!”
“Jika sampai terjadi apa-apa kepadanya, Pak Masumi, apa kau bisa membayangkan…?” tanya Maya getir. Bahkan membayangkan rasa bersalah yang akan menghantui mereka seumur hidup saja sudah terasa nyeri. “Dia lebih membutuhkanmu.”
Masumi mengetatkan rahangnya. Ia tahu itu. Ucapan Maya sangat benar. Tidak mungkin disangkal. Ia sungguh berharap sebentar saja mereka kehilangan logika. Maya memintanya meninggalkan Shiori dan membawanya pergi meninggalkan semua ini. Maka Masumi akan melakukannya. Ia pasti akan melakukannya, jika Maya yang meminta.
Tapi nyatanya, ada jiwa lain yang turut tarik menarik dengan kerinduan jiwa mereka, yang mungkin terluka dan mati jika keduanya memaksakan diri bersama.
“Aku mengerti,” bisik Masumi pilu. “Maafkan aku…”
Maya mengangguk beberapa kali, meratap.
“Maya... bolehkah aku meminta sesuatu darimu?” tanya Masumi.
Keduanya memisahkan diri, Maya mengamati wajah kekasihnya dan mengangguk pasti. “Katakan, Pak Masumi… akan kulakukan,” katanya sungguh-sungguh, membuat Masumi trenyuh.
“Aku hanya ingin meminta malam ini darimu,” Masumi berkata. “Semalam ini, aku ingin kau bersamaku. Menemaniku menyambut matahari terbit, seperti saat di atas kapal Astoria,” Masumi menyentuh lembut pipi Maya yang panas.
Maya berusaha keras menghentikan tangisannya. Ia lalu mengangguk.



Keduanya lantas berkendara di malam yang cukup dingin tersebut, membeli makanan hamburger kesukaan Maya melalui drive thru McD. Membicarakan banyak hal yang mereka sukai namun belum sempat diperbincangkan. Mereka hanya berusaha menghibur hati masing-masing dengan keberadaan satu sama lain. Sampai kemudian keduanya kembali lagi ke teluk Tokyo tengah malam itu.

“Pak Masumi, tidak pulang?” tanya Maya seraya meminum sekaleng jus jeruk di samping Masumi yang sedang menyesap rokoknya. Keduanya berdiri bersandar ke kap mobil.
Masumi menoleh dan tersenyum tipis. “Kau pikir usiaku berapa sampai ada yang harus mencariku jika tidak pulang?” ia menahan tawanya.
Wajah Maya memerah karena kikuk. “Ya… kan, kan Pak Masumi punya keluarga yang menunggu…”
Keluarga… Masumi tersenyum pahit dalam hatinya.
“Tidak, saat ini aku sedang tidak tinggal di rumah. Aku tinggal di hotel,” terang Masumi.
“Di hotel?” Maya menengadah. Rambutnya sempat menutupi wajah, terkibas angin dingin malam itu.
“Ya. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri dan berpikir mengenai banyak hal,” Masumi memberi jeda beberapa lama. Membiarkan hanya suara ombak dan siuran angin yang semarak di sekitar mereka. Ia menelan ludahnya. “Memikirkan apa keputusan terbaik yang harus kuambil.” Tatapan kosongnya membelah malam di hadapannya.
Maya menunduk, memutar-mutar kaleng di tangannya. “Aku sama sekali tidak bisa membantu ya, Pak Masumi…?” gumam Maya, kecewa kepada dirinya sendiri.
Pria itu menoleh pada gadis mungil itu. Meletakkan telapaknya yang lebar di atas ubun-ubunnya. “Kau sudah sangat membantu,” Masumi berkata lembut. “Kau membuat jiwaku tenang, membuat hatiku terasa hangat,” tuturnya. “Baru kali ini, aku…” Masumi berhenti berkata sementara gadis itu mengangkat wajahnya, memberikan tatapan sedikit sendu kepadanya. “Terima kasih,” tangan Masumi turun ke bahunya dan menarik Maya mendekat. “Terima kasih banyak.” Dan kali ini fisiknya pun bisa merasakan kehangatan dari tubuh mungil yang merapat kepadanya itu.
Maya mengangkat tangannya dan memeluk tubuh gagah Masumi. Berusaha menikmati kehangatan yang masih boleh ia rasakan sebelum dirampas darinya.
Pak Masumi… padahal kita sudah saling mengenal sangat lama. Namun kenapa… waktu untuk kita bersama… hanya sekejap saja…?
Maya kembali hendak terisak jika saja ia tidak teringat janjinya dengan Masumi sebelumnya, bahwa mereka hanya akan menikmati malam ini tanpa memikirkan sesuatu yang menyedihkan.
Namun tentu saja hal itu hanya berlaku di bibir semata.
Dalam kepalanya, Masumi pun memelihara kegundahan yang sama. Hanya hingga matahari terbit tiba… maka kebersamaan mereka akan sirna.
“Sudah semakin dingin, ayo kita masuk,” ajak Masumi. Keduanya sudah sepakat, akan menghabiskan malam ini di tepi teluk Tokyo sampai mentari bersinar lagi. “Kau di kursi belakang saja, kalau kau lelah, kau bisa berbaring.” ujar Masumi.
Untuk beberapa lama, Maya menatap Masumi ragu sebelum wajah gadis itu bersemu dan bersuara, “Aku ingin berada dekat Pak Masumi,” nada bicaranya sangat halus. Dan semakin halus. “Sedekat mungkin…” sejenak alisnya berjungkit, menahan kesedihannya.
Bibir Masumi merekah sedikit, menyebut nama gadis itu hanya berupa hembusan udara tanpa suara.
“Bolehkah… Pak Masumi?” pinta Maya, memelas.
Masumi mengangguk.
Tentu.
Setelah sekian lama indranya tersiksa rindu mendambakannya, ingin memeluk dan mengikat dengan kedua lengannya tiap kali ia melihat sosok mungil Maya, mustahil Masumi mengatakan tidak pada permintaannya.
Akhirnya Maya menghabiskan malam dalam pelukan kekasihnya. Masumi merangkulnya dengan erat, memberikan kehangatan pada gadis yang diam-diam terisak di dadanya.
“Cepatlah tidur, Maya,” bisik Masumi dengan lembut. “Bukankah kau masih harus berlatih Bidadari Merah?”
Maya menengadah, mencari mata Masumi dalam temaramnya mobil itu.
“Aku tidak ingin tidur,” katanya. “Aku tidak ingin esok cepat datang, aku tidak ingin Pak Masumi segera pergi,” tolak Maya dengan mata berkaca-kaca.
Senyum miris muncul di bibir Direktur Daito tersebut. “Maaf aku tidak bisa memenuhi janjiku, untuk menjemputmu...” kata Masumi. “Tapi, janjiku untuk mengajakmu ke Izu, suatu saat nanti pasti akan kutepati,” Ia meraih wajah gadis itu, menghapus airmatanya dengan ibu jari. “Saat itu, maukah kau ikut denganku ke sana? Sebentar saja, aku ingin memperlihatkan kepadamu hal-hal yang tampak indah di mataku.”
Gadis mungil itu mengangguk. “Aku akan ikut. Aku sangat ingin melihat apa yang sudah Pak Masumi ceritakan kepadaku. Ingin melihat sisi lain Pak Masumi yang tidak pernah kukenal,” ungkap Maya.
Maya… Masumi mengetatkan giginya. Hatinya mulai lagi dilanda egoisme. Ia ingin membawa gadis itu pergi. Mendekapnya selamanya. Ia benar-benar tidak rela membiarkan pipit kecil yang sudah beranjak dewasa ini pergi. Apalagi Masumi tidak pernah mengira, bahwa ternyata… ia yang melepaskannya sendiri.
“Pak Masumi… Apa menurutmu aku mampu memerankan Bidadari Merah?”
Pertanyaan Maya mengusiknya. Bidadari Merah… iya… benar. Gadis ini masih punya Bidadari Merah. Apa yang dipikirkannya barusan? Membawa Maya lari? Pergi dari semua ini? Lantas membiarkan wanita yang tidak bersalah mati? Begitu juga impian Maya.
Bodoh… Masumi merutuk dirinya. Sudah terlambat ribuan tahun jika ia membuat rencana untuknya dan Maya sekarang. Semua sudah terlambat, semenjak ia mengatakn “ya” pada tawaran ayahnya untuk menemui Shiori.
“Tentu,” Masumi berkata. “Kau aktris paling luar biasa yang pernah kulihat. Kau sangat mengagumkan dan berbakat. Aku yakin, kau akan bisa naik ke atas panggung untuk memerankan Bidadari Merah.”
Mendengar perkataan pria tercintanya, Maya sungguh terharu. Ia ingat dengan siapa ia sekarang. Mawar Ungu. Penggemar setianya sekaligus dewa penolongnya selama ini.
“Maya…” Masumi meneruskan berbicara. “Ada yang harus kau ketahui,” katanya, menyelinapkan jemarinya di rambut gadis itu. “Penyelenggara pementasan nanti, sudah bisa dipastikan Daito yang akan melakukannya,” terang Masumi. “Tapi, jika kau yang mendapatkan perannya, dan aku yakin begitu, maka aku akan memastikan bahwa kau tidak akan mendapatkan kesulitan apa pun nanti. Aku tidak akan membiarkanmu terkena masalah. Percayalah kepadaku mengenai yang satu ini.” Ia memasung tatapannya dengan pasti. “Aku akan selalu menjaga dan melindungimu, walaupun nyawaku taruhannya.”
Ucapan kekasihnya yang begitu bergelora, membuat jantung Maya berdebar dengan sangat. Ia tersentuh hingga ke dalam lubuk hatinya jauh. Sekali lagi airmatanya menetes. Ia memang cengeng, ia akui itu. Tapi tak apa, sekarang ia hanya ingin menangis di pelukan pria yang dicintainya, sebelum kesempatan itu hilang, bahkan untuk sekedar memandang.
Sepanjang malam keduanya berbicara, mengenai pertemuan pertama mereka ketika Maya masih lebih mungil dari si Mungil saat ini. Wajahnya masih sangat polos dan kemalu-maluan. Sekarang kecantikannya sudah semerbak, seiring kedewasaan yang terus beranjak. Juga mengenai kesukaan Masumi memandangi Maya di panggung. Ia tak lagi ragu mengakuinya.
“Tidak pernah ada seorang aktris yang keberadaannya di atas panggung begitu mempengaruhiku. Aku tidak bisa mengatakannya dengan baik, tapi saat aku melihatmu, aku bisa merasakan semangatmu, energimu, dan aku bisa merasa lebih hidup, hanya dengan memandangmu,” katanya.
Maya terus mendengarkan pengakuan Masumi malam itu dengan tidak percaya. Tak dinyana, pria itu ternyata memang begitu setia mengawasinya di atas dan setelah turun dari panggung.
Pak Masumi… gadis itu menanti, namun Masumi tak jua berkata, bahwa dialah si pengagum rahasia.
Keduanya berpandangan suram dalam temaram. Fisik mereka telah semakin tak berjarak, saling memeluk erat.
“Kenapa belum tidur juga? Tidak bosan mendengar ceritaku?”
Gadis itu menampik cepat dengan menggeleng. Ia tidak pernah mendengar Masumi berbicara begini banyak. Ah, pernah… saat mereka berdua terjebak di lembah plum. Masumi juga berkata panjang lebar malam itu, hanya saja tidak sehangat sekarang, tidak seantusias saat ini. Mendengarkannya, Maya benar-benar merasa pria itu memang begitu menaruh perhatian kepadanya selama ini.
Ahh… kenapa ia harus menyadarinya di saat semua sudah begitu terlambat?
Maya menyurukkan wajahnya lagi di dada Masumi, meresapi kehangatan yang dibagi tubuh perkasa itu pada fisiknya yang mungil. Menggesekkan tipis pipinya pada kemeja Armani mahal milik Masumi dan menyesap banyak-banyak kewangian tubuh pria itu yang tidak akan pernah ia lupakan. Segar, jantan, kuat, seperti longsoran glester di kutub utara. Hanya saja tidak dingin, namun hangat. Teramat hangat…
Pak Masumi… menjelang dini hari yang teramat sepi, Maya akhirnya terlelap.
Sinar mentari menyapa hangat kelopak matanya, hendak merayu agar segera terbuka.
“Mmh…” geliat kecil si wanita mungil, saat kesadarannya kembali terpanggil. Matanya terpicing, berhati-hati menangkap kembali semua objek di depan matanya. Tampak langit sudah memerah, hendak kembali cerah. “Pak Masumi…” panggil Maya pelan, kepada pria yang memeluknya sepanjang malam. Yang telah memberinya kenyamanan walaupun mereka hanya tertidur dengan posisi yang tidak mengenakkan. “Pak Masumi…” pangggil Maya lagi.
“Hmm…” geliatan sekaligus sahutan, kepada suara sayup-sayup yang tertangkap di luar kesadaran. “Maya…?”
“Pak Masumi, bangun,” ia menggoyangkan pelan tubuh Masumi. “Sudah fajar… ayo… katanya mau melihat matahari terbit,” ajak Maya.
“Mmhh…” Masumi kembali menggeliat, merentangkan sebelah tangannya. “Sudah pagi?” Ia memicingkan matanya.
“Sudah…” Maya tersenyum. “Ayo..”
“Hmmm,” kali ini gumaman setuju.
Masumi menjangkaukan tangan membuka pintu. Keduanya keluar dari mobil seraya bergandengan. Angin dingin sisa semalam, bersaing dengan kehangatan mentari di hari baru.
“Indahnyaa…” seru Maya. “Benar-benar indaaah!” keduanya berjalan ke dinding pembatas dermaga. Gadis itu memejamkan matanya, dalam-dalam menghirup udara segar di pagi itu untuk dikonsumsinya. “Bagus kan, Pak Masumi?” Maya menengadah, menatap wajah pria itu.
Wajah Masumi nampak berkilau, hangat, sendu. Ada senyum tipis tak terbaca melukis bibirnya, seperti tengah mencari kedamaian, atau malah meresapi kedamaian terakhir yang mungkin akan dirasakannya.
Maya bergeser, menyentuhkan bahunya ke lengan pria itu. Menunggu pria itu menoleh dan Maya segera memberikan tatapan penuh harap.
Masumi mengamati wajah gadis mungil di sampingnya. Ada pilu tak terperi yang coba disamarkannya. Ia tersenyum. Tangannya terangkat dan melingkar di pundak gadis itu.
“Indah sekali…” Masumi berkata dengan bisikan. Dan tersenyum.
Maya balas tersenyum seraya menahan perasaan trenyuhnya. Ia lantas mengangguk dan kembali megalihkan tatapannya ke arah matahari terbit.
Keduanya diam. Membisu. Bergeming.
Mungkin berharap diamnya mereka akan mampu menghentikan waktu.
Namun tentu tidak begitu.
Hawa yang terus menghangat, mentari yang semakin naik, dan hari yang kian benderang, menyadarkan keduanya, bahwa diam terpaku tidak akan mencegah waktu berlalu.
“Kuantar kau ke apartemen,” Masumi berujar, dengan masih memasung tatapannya jauh ke sana.
Untuk beberapa saat Maya tidak menjawab sampai terdengar gadis itu mendesah pasrah.
“Pak Masumi… bukankah aku sudah memenuhi keinginanmu, untuk menemani sepanjang malam dan melihat mentari pagi bersamamu?” tanya Maya.
“Ya.”
“Maukah sekarang Anda yang memenuhi keinginanku?”
Masumi menoleh, menurunkan tatapannya. “Apa?” tanyanya.
Maya tampak gelisah sejenak, tapi keputusannya sudah bulat.
“Ada seseorang, yang ingin kutemui… sejak lama,” kata Maya, ia lantas kembali menatap Masumi. “Ia… seseorang yang sangat berarti untukku. Aku berutang banyak kepadanya. Dan aku… aku ingin sekali menemuinya, Pak Masumi…”
Masumi mengantisipasi, menerka-nerka, apakah yang Maya maksudkan…
“Dia penggemarku… Mawar Ungu,” ia berbalik menghadap Masumi, menggenggam erat lengannya. “Aku sangat ingin bertemu dengannya. Apa Pak Masumi bisa…” ia memelas. “Bisa… mempertemukan aku dan dia?”
Masumi tertegun. Matanya nampak melebar penuh keterkejutan. Maya…!? Dia…
“Bertemu dengannya?” tanya Masumi, “kau yakin?” entah kenapa ia ragu. Kenapa?
Sebaliknya, Maya mengangguk pasti seraya memberikan tatapan penuh arti.
Tahulah Masumi, gadis itu sepertinya sudah menyadari… tapi sejak kapan? Ah, apakah penting lagi? Mungkin ini memang hal terakhir yang bisa dilakukannya untuk gadis terkasihnya. Kenapa tidak? Ya… untuk Maya, tidak ada tidak.
“Baiklah,” Masumi tersenyum lembut, selembut binar matanya. “Akan kupertemukan.”
Wajah Maya segera berseri, senyumannya nampak sangat lebar. “Sungguh!?”
“Ya.” Masumi mengusap rambut di pelipis Maya. “Kau yakin tidak akan menyesal, mengetahui siapa dia?”
“Tidak!” Maya menggeleng, “malah sepertinya… aku…” gadis itu mengamati mata Masumi penuh harap, “akan sangat bahagia saat tahu siapa dia…”
“Maya…” Masumi mendesah sementara jantungnya berdebar kuat. “Baiklah,” ia menggenggam tangan Maya. “Akan kupertemukan,” ia lantas menarik Maya menuju mobil.
“Eh? Pak Masumi...? Mau kemana? Pak Masumi…!?”
=//=
Maya dengan cepat membuka matanya yang segera nyalang, namun kemudian terpicing lagi saat sinar matahari yang menyilaukan menusuk matanya.
“Kau sudah bangun?” sapa Sakurakoji. “Bagaimana perasaanmu?”
Maya tertegun, berusaha menyadari dimana ia berada.
Di kamarnya, bersama Sakurakoji… iya, benar… yang barusan itu hanya mimpi. Mimpi saat-saat terakhir ia dengan kekasihnya.
“Maya?” tegur Sakurakoji lagi saat istrinya itu tak kunjung menyahut.
“Ah, ya… maaf… aku… baik-baik saja,” kata Maya.
“Baguslah. Para pelayan sudah pada datang. Sebaiknya bersihkan dirimu sebelum berkenalan dengan mereka,” saran Sakurakoji.
“Mh… ya…” Maya mengangguk. Lantas masih dengan agak sempoyongan Maya berjalan menuju kamar mandi.
Yuu mengamati punggung istrinya. Pak Masumi… tadi istrinya memanggil dalam tidurnya. Rahang pria itu terkatup sangat rapat, dan pergelangannya terkepal kuat.



“Selamat pagi Maya-sama…” sapa Hijiri.

“Hijiri-san…” Maya tersenyum lebar saat memasuki ruang tengah.
Suaminya sudah ada di sana, tampak tengah membaca sesuatu.
“Selamat pagi Sayang,” sapa Sakurakoji.
“Selamat pagi, Danna…” Maya berkata setengah berbisik. Sungkan, karena ada Hijiri.
Maya lantas berkenalan dengan para pelayan yang memang sudah dicarikan Hijiri. Selain sebagai manajer yang ditunjuk Daito, semua urusan Maya memang ditangani Hijiri. Awalnya Sakurakoji sempat bingung dan tidak nyaman karena ia tidak mengenal Hijiri, namun Maya menenangkannya. “Ia orang yang bisa dipercaya,” kata Maya.
“Ini Pak Ueto, yang akan menjadi kepala urusan rumah tangga,” Hijiri memperkenalkan seorang pria di usia 40 bertubuh kurus. Ueto membungkuk. Hijiri lantas memperkenalkan sopir mereka, tiga orang pelayan dan koki serta seorang asisten dapur. “Tukang kebun akan datang siang nanti, namanya Pak Shudo dan putranya. Lalu akan datang juga pengurus dua minggu sekali untuk merapikan dan membersihkan kebun secara keseluruhan.”
“Terima kasih, Hijiri-san.” Kata Maya. Ia lantas mengucapkan selamat datang kepada para pegawainya sebelum mereka membubarkan diri.
“Sarapan sudah siap, mau makan sekarang?” tanya Sakurakoji.
“Ya,” Maya menoleh kepada Hijiri. “Hijiri-san, ikutlah makan bersama kami.”
“Maaf Maya-sama, saya tidak bisa, ada sesuatu yang harus saya urus,” sahut Hijiri. “Namun sebelumnya, ada yang harus saya katakan, mengenai pekerjaan Anda selanjutnya.”
“Pekerjaan!?” pertanyaan Sakurakoji dilontarkan dengan nada tinggi. Mereka baru saja menikah kemarin. Tiba-tiba manajernya itu sudah berbicara mengenai pekerjaan?
“Ya. Daito sudah menerima sebuah pekerjaan untuk Anda berdua.”
“Tapi kami—“
“Danna,” potong Maya, dengan hati-hati. “Tolong biarkan Hijiri-san melanjutkan perkataannya,” pintanya. Ia tahu apa pun yang Hijiri sampaikan, itu pasti atas kehendak Masumi.
Suaminya tertegun. Yuu akhirnya tidak berkata apa-apa. Setuju.
“Sakurakoji-san nanti siang ada pertemuan dengan Sutradara Koizumi, Beliau mendadak ada urusan di Amerika, oleh karena itu waktunya sangat terbatas. Anda akan bertemu dengannya nanti siang di restoran Grill and co.” terang Hijiri.
“Ini untuk sandiwara Romeo dan Juliet?” Sakurakoji memastikan. Itu memang tawaran yang sempat diajukan untuknya. Namun Sakurakoji belum sempat bertemu Pak Koizumi, sang sutradara yang namanya sudah cukup harum di dunia internasional.
“Ya, benar.”
“Baiklah,” Sakurakoji menghela napasnya. “Nanti aku dan Maya akan bertemu dengannya.”
“Ah, Maya-sama… sudah ada pertemuan lain,” tukas Hijiri. “Mengenai tawaran menjadi Brand Ambassador untuk produk Pantene,” terangnya.
Alis Sakurakoji terjungkit kecil. “Iklan Pantene? Aku tidak pernah dengar,” katanya. “Apa Hijiri-san sudah menerimanya?”
“Tidak, belum. Ini baru tawaran masuk saja, nanti Maya-sama bisa mempertimbangkannya. Oleh karena itu nanti siang Maya-sama akan diminta datang ke Daito,” terang Hijiri.
“Daito?” Yuu mulai gelisah. “Menemui siapa?”
Maya pun bisa merasakan jantungnya berdebar semakin keras.
“Direktur Masumi dan perwakilan dari P&G,” ungkap Hijiri.
Sakurakoji kembali mengeratkan rahangnya. Masumi Hayami… segera saja Yuu merasakan ancaman tiap kali nama itu disebut.
“Baiklah,” kata Maya, berusaha tetap tenang. “Aku mengerti. Hijiri-san, apa kau akan menjemputku nanti siang?”
“Ya, Maya-sama.”
“Aku mengerti,” Maya tersenyum tipis. “Danna… aku sudah lapar,” sedikit merajuk Maya menatap suaminya. “Ayo kita sarapan.”
Masih berusaha menenangkan diri, Sakurakoji beberapa saat menatap Hijiri sedikit menyelidik. Bagaimana pun ia memang anak buah Masumi. Bekerja untuk Daito. Jujur saja Sakurakoji merasa kurang nyaman dengan keberadaan pria itu.
Dan itu diungkapkannya saat keduanya sarapan pagi itu. Untuk pertama kalinya sebagai sepasang suami-istri.
“Hijiri-san sepertinya… sangat dipercayai Pak Masumi,” ungkap Sakurakoji. “Padahal dia masih sangat baru di Daito, dan langsung segera diminta menangani kita secara khusus.”
Sejenak Maya tertegun, namun berusaha seakan-akan ucapan suaminya sama sekali tidak mengusiknya.
“Pak Masumi sempat berkata, bahwa Hijiri-san adalah manajer artis yang sangat handal di agensi tempatnya bekerja sebelumnya. Kurasa pilihan Pak Masumi tidak salah. Bukankah selama ini dia selalu mencarikan pekerjaan yang menguntungkan kita? Ia bahkan tahu kapan tidak menerima pekerjaan dan membiarkan kita berlibur,” Maya tersenyum riang.
Berbalikan dengan Maya yang selalu merasa senang tiap punya kesempatan mengucapkan nama Masumi, Sakurakoji merasa telinganya sakit mendengar nama itu.
“Tapi dia menerima pekerjaan sehari setelah kita menikah!?” tanya Sakurakoji tajam.
Maya terkejut dengan nada tajam itu. Tidak biasanya Yuu berbicara dengan gusar begitu.
“Danna… kau pasti sudah mendengar, bahwa Sutradara yang menangani Romeo dan Juliet, hanya sempat—“
“Dan kau? Kenapa kau harus—“
“Mungkin, pihak dari Pantene mengharapkan…”
Sakurakoji tidak mendengarkan ucapan Maya. Firasatnya mengatakan, ini semua bisa jadi ulah Masumi Hayami. Mungkinkah… pria itu punya rencana sesuatu terhadap dirinya dan Maya? Dari dulu Masumi sudah dikenal senang bersiasat. Yuu benar-benar gelisah. Terutama karena… Maya sekarang, sudah sama sekali tidak pernah berprasangka apa pun kepada Masumi. Ia selalu mengikuti apa katanya. Kenapa begitu? Kenapa bisa begitu? Dulu Maya sangat membencinya… Tapi sekarang…
Sudahlah Yuu… batin hatinya sendiri. DIa sekarang istrimu. Dia mencintaimu… jangan mencurigainya terus. Kau yang akan rugi nanti. Apa kau mau rumah tanggamu terancam karena sebab-sebab yang tidak pasti? Logikanya mengingatkan.
=//=
“Maya-sama, ada kiriman bunga,” terang pelayannya, Rui.
Wanita itu menoleh ke arah pintu. “Kiriman bunga?”
“Ya. Untuk Nyonya. Karang bunga Mawar Ungu yang sangat besar!”
Mata gadis mungil itu membesar. “Mawar Ungu…!?” Ia segera berdiri dari bangku rias dan beranjak keluar kamar dengan terburu-buru. Ia menuruni tangga dengan cepat dan mengejutkan para pelayan dengan kelakuannya.
“Dimana karangan bunganya!?” tanya Maya. Bersamaan dengan itu, mata bundar Maya semakin membundar saat menemukan jawabannya.
Karangan bunga Mawar Ungu tersebut sangat besar dengan tinggi sekitar  tiga meter. Maya segera menghampiri. Ada ucapan “Selamat Menempuh Hidup Baru” di sana. Maya menelan ludahnya. Ia meraih kartu ucapannya.
“Kepada Maya Sakurakoji. Selamat atas pernikahanmu. Maaf aku tidak bisa ikut merayakan pestanya. Ini akan menjadi kiriman terakhir dariku untukmu. Kau sudah menjadi aktris yang luar biasa. Sudah menemukan seseorang untukmu bersandar. Kau sudah tidak membutuhkanku lagi. Tapi ingatlah bahwa aku selalu mengharapkan yang terbaik untukmu. Tidak akan pernah berhenti menyemangatimu dalam hatiku. Semoga kau bahagia. Selalu. Dari Penggemarmu.”
Sesaat napas Maya terasa sesak. Ini akan menjadi kiriman terakhir dariku untukmu… apa maksudnya? Wanita itu tidak rela. Tidak… Masumi akan berhenti mengiriminya Mawar Ungu? Seperti mengatakan bahwa oksigen akan berhenti dialirkan ke dalam paru-parunya. Tidak….!
Memang setelah Masumi menikah dengan Shiori, kiriman mawar ungu darinya masih tiba. Hanya saja, sudah tidak pernah disertai ucapan apa-apa lagi. Namun itu sudah cukup bagi Maya. Tahu bahwa Masumi akan selalu mendukungnya. Tapi sekarang… saat karangan itu datang dengan disertai ucapan. Itu adalah ucapan selamat tinggal?
Tidak mau…!
“Selamat siang, Maya-sama,” sapa Hijiri yang sudah datang untuk menjemputnya.
Suami Maya sudah pergi setengah jam lalu dengan sopir mereka.
“Hijiri-san!” Maya menghampiri Hijiri dengan raut gelisah. “Ini… ini… dari Pak Masumi?” tanyanya. Ia tahu pasti siapa yang membelikan bunga itu. Tidak lain dari manajernya sendiri. Hijiri mengangguk. “La, lalu, kenapa dia bilang… ini akan menjadi Mawar Ungu terakhir untukku…” mata Maya berkaca-kaca. “Aku tidak mau… aku…” Maya memandang Hijiri dengan nanar.
“Anda bisa menanyakannya sendiri kepada Pak Masumi,” Hijiri berkata dengan tenang.
Gadis itu teringat. Ia akan menemuinya sekarang. Ia mengangguk.
“Bawa aku kepadanya,” pinta Maya.
Keduanya berkendara dalam diam. Maya masih tidak mengerti dan tidak mau menerima, bahwa Masumi tidak akan mengiriminya lagi Mawar Ungu. Tidak mau… Ia melipat bibirnya, kembali teringat saat Masumi pertama kali memberikan Mawar Ungu dengan tangannya sendiri.
Selepas dari teluk Tokyo, Masumi membawanya menuju toko bunga yang baru saja buka pagi itu.
“Ayo…” ajak Masumi, tersenyum tipis.
Maya sudah mengerti. Keduanya turun dari mobil dan masuk ke dalam toko tersebut.
Ada beraneka bunga di dalamnya, namu mereka sudah bisa langsung melihat, bunga lambang cinta pada pandangan pertama tersebut.
“Bisa tolong buatkan buket semua bunga mawar ungunya?” pinta Masumi.
Pegawai toko bunga tersebut menyanggupi. Ia lantas meraih dan mengemasnya dengan cantik, setelah Maya memilih kertas pembungkus dan juga pitanya.
“Ini bunga yang sangat mahal dan langka, hanya ini saja stok yang kami miliki untuk hari ini,” terang si Nona penjaga toko bunga. Ia lantas menyerahkannya kepada Masumi sementara Masumi menyerahkan kartu kreditnya. “Mohon tunggu sebentar,” pamitnya, masuk ke dalam.
Masumi, mendekap buket itu, berbalik kepada Maya dan berjalan ke arahnya. Melihat gadis itu yang mengantisipasi kedatangannya. Alisnya terjungkit haru dan kedua mata bulatnya tidak lepas memandang wajah pria yang dicintainya itu.
“Untukmu…” ucap Masumi lembut, menyodorkan buket bunga cantik itu. “Dari pengagummu,” imbuhnya.
Maya menahan airmatanya, dan menerima pemberian itu. “Terima… kasih…” ia tercekat keharuan, memandangi bunga dalam dekapannya dan memeluknya ketat. Ia lantas kembali menengadah, menatap Masumi. Ternyata benar, memang pria ini… “Pak… Masumi…” ucapnya lirih. “Aku… A, aku…”
Saat itu pelayan toko tersebut kembali untuk meminta tanda tangan Masumi. Pria itu menoleh dan menandatanganinya. “Terima kasih,” ucapnya.
Pelayan itu balik berterima kasih, tersenyum ramah kepada Maya dan mengangguk.
Saat Masumi berbalik kembali kepada Maya, gadis itu tengah berjalan mendekat kepadanya tanpa melepaskan tatapannya.
Maya… kembali jantung Masumi berdebar semakin keras.
“Ternyata memang Anda…” katanya, “orang yang paling ingin kutemui, orang yang sudah berbuat begitu banyak untukku, yang sudah mendukungku…”
“Maya…” desah Masumi. “Ya… akulah, orang yang sudah menjadi pengagummu selama ini, sejak pertama kali kau naik panggung. Mawar Ungu.”
Maya melipat bibirnya. Ingin sekali ia berlari memeluk Masumi, namun ia tidak bisa melakukannya. “Terima kasih… Terima kasih…” ucapa Maya berkali-kali seraya menahan airmatanya.
Masumi pun kehilangan kata-kata. Ia hanya sanggup mengangguk perlahan. Kembali bertanya, kenapa ia begitu pengecut selama ini. Hanya bersembunyi di balik bayangan. Hanya mempertahankan hubungan semu dengan gadis yang sangat dicintainya, hanya karena ia takut tidak bisa lagi terlibat dengannya. Nyatanya, walaupun ia bersembunyi, itulah yang harus dilakukannya sekarang. Tidak lagi terlibat dengan Maya. Ia harus bertanggung jawab dengan keputusannya melibatkan Shiori dahulu.
“Ayo kuantar pulang,” Masumi berkata.
“Pak Masumi…” terdengar menolak, ia tidak ingin berpisah.
“Waktunya kau pulang, Maya…” kata Masumi. “Aku juga.”
Maya tahu mereka sudah tidak bisa mengelak lagi menghadapi kenyataan.
Maya mengangguk dan Masumi mengantarnya pulang.
“Masuk dulu,” ajak Maya saat keduanya telah tiba di apartemen.
“Aku pulang saja,” tolak Masumi dengan halus. Ia ingat Shiori tidak akan sarapan sebelum ia datang.
“Masuklah dulu,” Maya mengajak lagi, sedikit memaksa.
Maya… Masumi memandang wajah gadis itu yang memelas. “Aku sudah ditunggu,” terangnya.
Maya tertegun, baru tersadar. Ia tersenyum, sendu. Lantas menundukkan wajahnya. Sudah ditunggu…
Masumi mengangkat tangannya, menepuk halus kepala gadis itu.
“Aku menunggu Bidadari Merahmu,” Masumi berkata. “Hanya Bidadari Merahmu, Maya.”
“Pak Masumi…” lirihnya. “Aku… a, aku…” air mata yang lama ditahannya akhirnya tak terbendung lagi dan turun menetes.
“Jangan menangis, Maya…”
“Tapi…” Maya mengangkat tubuhnya, dan memeluk Masumi. Ia sekali lagi menangis. Ingin sekali menarik kata-katanya yang meminta Masumi menikahi Shiori.
Masumi memeluk tubuh mungil itu semakin erat. “Aku akan menjagamu,” janji Masumi. “Aku akan selalu mendukungmu, dan mengawasimu. Aku tidak akan melepaskanmu dari pandanganku,” katanya. “Dan setelah itu…” Masumi menelan ludahnya, berat. “Setelah kau menjadi Bidadari Merah, jadilah aktris yang hebat. Mainkan peran-peran yang hebat,” kata Masumi. “Kau pasti bisa. Kau aktris yang luar biasa…”
“Pak Masumi…!”
“Lalu temukanlah olehmu, pria yang baik yang bisa menggantikanku melindungimu.”
Maya tertegun, mata gadis itu membulat. Ia memisahkan dirinya. Menatap tak rela dan penuh tanya.
“Pria yang hatinya baik, yang sungguh-sungguh mencintaimu dan bisa membahagiakanmu,” kata Masumi.
“A, aku…. Aku…” Maya tak kuasa berkata.
“Kau harus bahagia,” Masumi mengusap pipi gadis itu. “Berjanjilah kepadaku, kau akan bahagia.”
“A, aku…” Maya tergugu. Ia hanya menunduk dalam seraya mendekap buket mawar ungunya kuat kuat. “Aku… kepada Pak Masumi… aku…” ingin sekali Maya berkata mencintainya. Hanya dia.
Masumi melandaikan badannya, mengecup pelan ubun-ubun gadis itu seraya mengusap lembut rambutnya. “Jadilah gadis yang bahagia, Maya… maka aku akan bahagia,” pesannya. “Hanya itu yang kuharapkan. Aku tidak berhak meminta apa-apa lagi. Sejak aku…” Masumi tercekat, “memperhatikanmu… aku tahu, aku memang harus melepasmu suatu saat… walaupun aku tidak mengira, karena kebodohanku lah, kau akhirnya terbang dari tanganku…” ucapnya getir. “Karena itu, terbanglah yang tinggi Maya, rentangkan sayapmu dan terbanglah setinggi mungkin. Maka aku akan sangat bahagia melihatnya. Itulah yang kutunggu selama ini,” ungkap Masumi, memeluk Maya ketat-ketat.
Maya balas memeluk Masumi erat. Mungkin kelopak matanya sudah benar-benar bengkak tapi ia tidak peduli. Ia tak ragu-ragu lagi. Ia menangis di pelukan Masumi, tergugu keras. Airmatanya membasahi kemeja mahal pria itu yang mendekapnya dengan hangat. Ditunggunya hingga tangisan Maya mereda dan selesai, Masumi tidak lagi bicara.
Akhirnya suara tangisan Maya semakin perlahan dan mulai berkurang. Keduanya memisahkan diri. Wajah gadis itu benar-benar merah dan basah. Masumi mengeluarkan saputangannya dan menghapus airmata di wajahnya. Tatapannya jatuh ke bibir gadis itu, ingin sekali mengecapnya. Ingin sekali… Sampai tiba-tiba wajah Shiori mengusiknya. Masumi menelan ludah dan melepaskan wajah Maya. “Turunlah.”
“Pak Masumi…” Maya berkata sangat menghiba. “Terima kasih untuk semua kebaikan hatimu, dan maafkanlah aku, untuk semua perkataan dan sikap kasarku kepadamu. Aku… aku seharusnya—“ kembali gadis itu hendak terisak.
“Sshhtt….” Masumi menyentuh lembut bibir gadis itu dengan jemarinya. “Sudahlah. Aku pun punya banyak kesalahan terhadapmu. Kesalahan yang fatal…” ucapnya pilu, teringat keputusannya mengenai ibu Maya. “Tapi aku akan berusaha menebusnya dengan sekuat tenaga. Dengan mendukungmu untuk menjadi seseorang yang bisa membuat… ibumu bangga…” tekad Masumi. “Aku akan memastikan, tidak ada yang macam-macam denganmu sampai hari itu tiba.”
“Pak Masumi…”
“Sekarang lupakanlah mengenai masa lalu. Melangkahlah… Maya… aku menunggumu,” ucapnya.
Maya menunduk, mengangguk. “Pak Masumi juga… berjanjilah satu hal kepadaku,” ia menatapnya lekat. “Berjanjilah Pak Masumi juga akan bahagia.”
“Tentu,” tukasnya cepat. “Jika kau menjadi bidadari merah, aku bahagia, Maya… sungguh.”
“Pak Masumi…” mata gadis itu melebar. “Maksudku, bersama Nona—“
Sekali lagi jemari Masumi menahan ucapan gadis itu. “Asal kau menjadi Bidadari Merah, aku akan sangat bahagia melihatnya,” tutur Masumi. “Sungguh. Itulah yang kuanantikan selama ini. Karena itu, jadilah Bidadari Merah, jadilah aktris yang besar.”
“Pak Masumi…” lirih Maya. Ia lantas mengangguk.
Maya kemudian turun dari mobil Masumi. Sekali lagi melemparkan tatapan memelas sementara Masumi tersenyum berusaha tidak sendu. Masumi melambaikan tangannya.
“Sampai jumpa,” pamit Masumi.
Maya hanya sanggup mengangguk. Ia menatap mobil Masumi yang kembali melaju meninggalkannya.
Masumi mengetatkan rahang dan pegangan tangannya di setir. Selamat tinggal…. Batinnya. Selamat tinggal… Kekasihku… Masumi berusaha keras tidak menangis. Bukan airmata yang ia butuhkan saat ini. Bukan…
Namun Maya sebaliknya. Begitu masuk kembali ke dalam apartemennya, airmata segera menganaksungai di wajahnya. Menangisi cintanya yang terlarang, menangisi kisahnya dan Masumi yang harus berakhir sebelum dimulai.
Setelah itu Maya dengan luar biasa menarik perhatian juri saat pementasan Bidadari Merah. Dengan telak ia mengalahkan Ayumi yang berjuang memerankan Bidadari Merah dengan matanya yang hampir buta. Tapi Ayumi tidak menyesal. Ia mengatakan, itu adalah akting terbaik yang pernah dilakoninya. Ia bisa melihat paradigma baru dalam berakting walaupun ironisnya, ia harus kehilangan penglihatannya.
Untunglah masih belum terlambat operasi mata dilakukan untuk gadis itu, dan mata Ayumi kembali dipulihkan walaupun ia harus beristirahat sangat lama.
Masumi sendiri setuju melanjutkan rencana pernikahan dengan Shiori, setelah berunding dengan Eisuke. Ayahnya tidak diminta lagi turut campur masalah Maya. Dan jika gadis itu setuju bergabung dengan Daito, maka Eisuke pun tidak akan turut campur lagi masalah Bidadari Merah. Ia mengatakan, bahwa ia bisa membuat Maya menyerahkan Bidadari Merah kepada orang lain jika Eisuke melanggar Persetujuan mereka.
Eisuke yang sudah mulai memahami hubungan antara Masumi dan Maya, bahwa ada sesuatu di antara mereka, setuju untuk tidak mengganggu Maya. Lagipula, daito mendapatkan Bidadari Merah, dan ia menyukai Maya. Belum lagi Masumi menikah dengan Shiori adalah ekspansi luar biasa bagi Daito. Tidak ada yang dikeluhkan. Eisuke setuju dengan semua syarat Masumi.
Akhirnya Masumi menikah, Maya dan Sakurakoji kembali menjadi artis Daito. Ia menunjuk Hijiri sebagai manajer mereka. Setelahnya Masumi jarang terlihat di Daito, ia lebih banyak mengurus Shiori yang kondisinya tak juga bisa kembali pulih seperti semula. Malahan karena peristiwa percobaan bunuh diri itu, jantung Shiori turut bermasalah. Hal itu membuatnya tidak bisa menjalankan kewajiban sebagai seorang istri dengan sempurna, dan Masumi pun tidak pernah menuntut apa-apa mengenai hal itu dari Shiori.
Semua masalah Daito diurus Masumi di rumahnya. Ia lantas mengusulkan mengenai Teater Mayuko untuk bergabung dengan Hayami di bawah bendera perusahaan mereka. Mencarikan guru-guru terbaik dan menyeleksi ketat para calon-calon pemain di pentas Bidadari Merah selanjutnya.
Pementasan Bidadari Merah berlangsung sangat sukses. Setelahnya, Masumi dan Shiori pergi ke Amerika untuk pengobatan Shiori. Sementara Maya dan Sakurakoji mulai menjalin kasih.
=//=
 
 
 
 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting