Wednesday 12 June 2013

Fan Fiksi: Unspoken 3

Posted by Ty SakuMoto at 09:00 29 comments

“Maya…? Sedang apa kau di sini!?” Masumi terkejut, juga khawatir. “Kau, menunggu dari tadi!? Maya... Kau? kau menungguku?" tanya Masumi, yang sangat terkejut, melihat Maya di tengah malam seperti ini.
"Pak Masumi..." Maya menghampiri. "Ya, a, aku ingin bicara denganmu."
"Bicara?" Wajah Masumi berubah datar. "Bicara mengenai apa?"
Ia ingat lagi, ada Shiori di dalam sana. wanita itu bisa melihat mereka, dan ia tak ingin kalau Shiori sampai melakukan macam-macam kepada Maya.
"Anda... Anda, kenapa... tidak ada kabarnya. La-lalu... apakah aku, membuatmu marah?" tanya Maya dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca.
"Maya, ini bukan saat yang tepat untuk membicarakannya! Aku, aku sedang tak bisa."
"Anda membenciku?" desak Maya, dengan airmata menetes.
Maya... hati pria itu bagai disayat sembilu, setiap tetesan airmata Maya menorehkan sakit semakin dalam. Masumi menelan ludahnya. ia tak bisa melihatnya seperti itu. "Maya..." Masumi berucap lebih lembut, "Nanti--"
"Wah!! Ini dia yang kita tunggu-tunggu...!!" tiba tiba saja tiga orang yakuza muncul dari balik semak-semak.
Maya dan Masumi sangat terkejut dengan kehadiran ketiga orang bertampang sangar tersebut. Mereka membawa tongkat kasti dan menghampirinya.
"Wah, wah, wah, Direktur Daito, tengah malam sedang bersama seorang wanita... apakah dia juga daganganmu?" tanya yang seorang, bertubuh tinggi dan tambun. "Karena kau sudah merampas dagangan Bos kami, jadi, tidak apa-apa kan jika kami meminta balasan yang setimpal!"

"Kyaaa!!" Maya berteriak, saat salah seorang dari mereka menarik tangannya. Namun, dengan cepat Masumi berekaksi, kepalannya segera melayang menonjok keras rahang pria itu.

"BUK!!!"

"Jangan sentuh dia!! Dia tidak ada kaitannya denganku!!" Seru Masumi dengan geram.

"Oh... rupanya Direktur Daito sangat melindungi dagangannya!!" Ejek si Tambun. "Menarik!!" Dengan cepat ia mengangkat tongkat kastinya tinggi dan mengarahkannya kepada Maya.

"Kyaa!!" Maya histeris.

"TIDAK!!!" Masumi menghalangi dengan punggungnya. "BUG!!" tongkat itu menghantam bahu Masumi dengan teramat keras. "Ugh!!"

"Hahahaha.... Bagus!! Jadi kau tak mau daganganmu rusak hah!? Kalau begitu kau harus melindunginya! Ayo, lindungi dia!! Jangan melawan!!"

"BAG!! BUG!! BUG!!" Tongkat-tongkat kasti itu menghantam dengan bergantian. Dengan sekuat tenaga Masumi berusaha melindungi Maya. Gadis ini tak boleh terluka lagi karena dia. Ia bersyukur tubuhnya bisa menjadi tameng untuk gadis kecintaannya itu.
Tubuh Maya gemetar, lemas, ia benar-benar takut dengan suasan mencekam saat ini, namun terutama, karena Masumi. Pria itu berusaha melindunginya sekuat tenaga.

"Jangan bergerak," erang Masumi. "Kau jangan bergerak, jangan sampai, mereka menyakitimu!"

"Pak Masumi... Pak... Pak Masumi..." Maya menatap getir pria itu. Pria yang selalu melindunginya. Tidak.. pria ini pasti tak pernah bermaksud menyakitinya. Maya bisa merasakan, Masumi melindunginya sepenuh jiwa dan raga.

"To, toloong~" suara Maya gemetar. "To.. Long!!" maya sekuat tenaga berusaha berteriak.

Sementara itu, di pintu Daito, Shiori yang sudah kembali dari mengambil lipstiknya, sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya di parkiran. Masumi sedang dipukuli, dan pria itu tak melawan. Dengan sekuat tenaga, pria itu berusaha melindungi Maya.

Kenapa... Kenapa Masumi!? Kenapa kau rela melakukan ini semua demi dia? Kenapa....

"Tidaaak..." isak Shiori. "Jangan... pukuli... Masumi... Hentikan... Hentikan..." Namun wanita itu merasa lemas, dan jatuh pingsan.

Sementara Maya berteriak sekuat tenaga. "HENTIKAN!!! JANGAN MEMUKULI PAK MASUMI!! JANGAN MENYAKITINYA!! HENTIKAN!!! TOLOONG!!! TOLOONG!!!"

Teriakan Maya menarik perhatian dua orang petugas keamanan yang menghampirinya.

"HEY! ADA APA INI? APA YANG KALIAN LAKUKAN!!?"
"Pak Masumi.... Pak Masumi..." panggil Maya, seraya melap luka-luka di dahi dan bibir peia itu.
Untunglah, tadi ada petugas keamanan yang menolong mereka, dan para preman itu pun kabur. Masumi yang tak ingin membuat Maya berurusan dengan polisi, melarang mereka memanggil polisi. Pria itu pun tadi sempat memastikan bahwa Maya baik-baik saja dan tidak terluka sedikit pun, sebelum akhirnya Masumi jatuh pingsan.

"Pak Masumi..." panggil Maya lagi dengan lirih. "Bukalah matamu," pintanya.
Maya yakin, Masumi tak mungkin menyakitinya. Jika pria itu memutuskan berhenti menjadi Mawar Ungunya, pasti ada alasannya.
Maya juga melihat, tadi, Shiori pingsan di pintu masuk. Ternyata wanita itu juga sedang berada di gedung tersebut. Mungkin, benar, bahwa Masumi akhirnya memutuskan untuk memilih Shiori dan bukan dirinya. Hal itu, membuat Maya sangat sedih jika memikirkannya. walaupun demikian, Maya tak membenci Masumi. Ia coba mengerti. Tentu saja, dirinya memang tak ada apa-apanya jika dibandingkan Shiori. Bukan salah Masumi jika pria itu memiliki logika yang bekerja baik.

"Pak Masumi... kekasihku... pria yang kucintai," bisik Maya di bibir pria itu. Gadis itu membelai rambut Masumi, dan mulai membacakan dialog Akoyanya. "Hari itu, saat aku melihatmu, Akoya langsung tahu, bahwa kau adalah belahn jiwa yang pernah dikatakan nenek..."

"Buanglah nama dan masa lalumu, dan jadikanlah Akoya milikmu," Maya mencium bibir pria itu, dan air matanya menetes di pipi Masumi. Airmatanya tak bisa berhenti mengalir, melihat masumi yang tak berdaya di hadapannya.

"Pak Masumi... kumohon, bukalah matamu. Jika, jika kau sudah baik-baik saja, aku tidak akan mengganggumu lagi. Maaf, maafkan aku, jika tadi tak ada aku, kau pasti bisa melawan. tetapi, karena aku.. salahku... kau sampai jadi seperti ini," isak Maya. "Pak Masumi..." Maya menggenggam tangan Masumi erat-erat.

Saat itulah pintu dengan cepat terbuka. Shiori yang sudah sadar dari pingsannya, masuk ke dalam ruangan.

"Apa yang kaulakukan!!?" hardiknya, saat melihat maya di dekat Masumi.

Gadis itu terlonjak karena terkejut, "Sa-saya... saya..."

"Pergi kau! Jangan mendekati Masumi lagi!!" SHiori dengan cepat menghampiri Maya dan menarik lengannya. "Kau!! Gara-gara kau Masumi menjadi seperti ini! Pergi! Jangan pernah mendekati Masumi lagi!!" pekik Shiori, yang mengusir Maya pergi.
"Tuan, saya sudah mendapatkan beberapa informasi. Sepertinya, orang-orang yang mencelakai Maya adalah orang-orang dari Yamashita, sepupunya. Yamashita adalah salah satu keluarga Takamiya yang memang dekat dengan dunia bawah tanah. Ia memiliki rekor tidak segan-segan dalam melukai lawannya, bahkan menghilangkan nyawa siapa saja yang mengahalangi jalannya. Namun, memang, sejak dulu Yamashita adalah salah satu sepupu yang dekat dengan Shiori," terang Hijiri. "Saat ini saya berusaha mencari tahu mengenai apa-apa saja bidang yang dikuasai Yamashita dan juga relasi-relasi serta lain sebagainya."

"Kau belum mendapatkan kelemahannya? SKandal yang bisa menjatuhkannya?" tanya Masumi.

"Belum Tuan, ada beberapa skandal yang pernah dikait-kaitkan dengannya, namun hingga saat ini belum da bukti apa pun terkait dengan hal tersebut," terang Hijiri.

"Tidak apa-apa, tolong kau kumpulkan saja apa pun isu terkait Yamashita atau apa saja, bukti bisa kita kumpulkan kemudian," terang Masumi.

"Baik, Tuan."

Hubungan terputus.

Pintu kantor Masumi diketuk. Mizuki masuk, "Pak, Anda sudah ditunggu di ruang rapat."

"Baik." Masumi berdiri dan beranjak dari kantornya.

Pikiran pria itu terus teringat mengenai kejadian beberapa hari yang lalu, saat dirinya dipukuli oleh para yakuza. Ia yakin sekali, mendengar Maya mengucapkan kalimat cinta Akoya dan juga menciumnya. Masumi tidak tahu apakah itu sungguh terjadi, ataukah hanya mimpi. Akan tetapi, saat ia membuka matanya, hanya ada Shiori di sana, yang mengatakan Maya segera berlari pergi saat Masumi pingsan. Tetapi, di kening dan pipi Masumi, ada tetesan airmata. Ia yakin, itu milik Maya.

Masumi lega, saat ia melihat pemberitaan yang mengatakan grup Kuronuma sudah kembali berlatih. Maya... aku merindukanmu... batin pria itu, saat memasuki ruangan rapat.

=//=

"Maya ada yang mencarimu." kata seorang kru.

"Baiklah."

Tampak seorang pria dengan pakaian sopir menunggu keduanya. "Selamat siang, Nona, silakan ikut dengan saya, ada yang ingin berbicara dengan Anda."

Maya sedikit ragu mengikutinya, sudah banyak kejadian yang menakutkan terjadi kepadanya belakangan. "A-aku... harus latihan, maaf, tapi..."

"Ini berkaitan dengan Tuan Masumi Hayami."

"Apa? Pak... Masumi...?"

Maya ikut dengannya.

Maya tak mengira, bahwa saat itu, yang menunggunya adalah seorang wanita, yang memperkenalkan diri sebagai kepala rumah tangga Takamiya.

"Nona Maya, seperti yang Anda ketahui, Tuan masumi Hayami dan Nona Shiori sudah bertunangan. Saat ini mereka sedang mempersiapkan pernikahan mereka. Akan tetapi, Anda... tampaknya, masih sering mengganggu dan mengusik mereka berdua."

"Ha? a-apa?"

"Ini..." wanita itu menyodorkan sebuah amplop. "Ini imbalan, agar Anda menjauhi Tuan Masumi, dan jangan pernah mengganggu mereka lagi."

"Ini... apa... ini?" tanya Maya.

"Untuk Anda, simpanlah. Pasti itu sudah lebih dari cukup kan?"

Wanita itu beranjak dan pergi.
Maya membuka isi amplop itu. Uang sebesar sepuluh juta yen. Mata gadis itu membulat. Mereka menyuapnya, untuk menjauhi Masumi!?
"Maya... kenapa... mereka memberikan uang ini untukmu?" tanya Kuronuma, tak mengerti, saat Maya menceritakan apa saja yang baru dialaminya. "apa kau... memang mempunyai hubungan dengan Pak Masumi?"

"Ah, saya! Tidak! saya..." wajah Maya memerah dan ia tampak kikuk. Gadis itu memang tak pandai berakting di luar panggung.

Sepertinya, Kuronuma mulai mengerti, Maya yang sering bertingkah aneh dan tertutup, dan juga sering menangis, sepertinya... memang ada hubungannya dengan masumi? Diamatinya gadis yang tengah menunduk dengan wajah memerah itu.

"Jadi... kau tidak mau menjauhi Pak masumi walaupun dibayar 10 juta yen?"

"Bu-bukan begitu... saya.. saya tidak suka menerima sogokan seperti ini, saya... tidak suka caranya."

kuronuma mengamati Maya. "Kalau begitu..." pria itu melangkah, dan Maya mengikutinya.

"Selamat siang, bisa saya bicara dengan Nona Shiori?" tanya Kuronuma di telepon. "Oh... begitu... ya.. ya... kapan, dia akan berangkat?"

Pria itu menutup teleponnya. "Shiori sedang ada di pelabuhan, dia hendak pergi naik pelayaran Astoria. Coba kau kejar dia, dan kembalikan cek itu olehmu sendiri."

=//=

Masumi turun di pelabuhan. Sejenak ia mengamati kapal pesiar dengan tulisan ASTORIA tersebut. Jadi, ini, kencan yang sudah direncanakan Shiori jauh-jauh hari, dan mewanti-wanti Masumi agar tidak membawa ponselnya? Masumi mengeratkan rahangnya. ya,tak apalah, setidaknya ia tak perlu menghabiskan waktu berdua saja dengan Shiori.

Masumi melangkah masuk melewati ruang pemeriksaan dan menyebutkan namanya. "Masumi Hayami."

"Ah,ya, Tuan Masumi, silahkan ikut dengan saya. Sesuai yang diminta oleh Nona Shiori, kami sudah mempersiapkan yang istimewa bagi Anda."

Istimewa?

"Ah! Itu, itu kapalnya!" Maya dengan cepat berusaha menerobos masuk.

"Tiket Anda?"

"A-aku tidak punya."

"Tidak punya?" petugas itu naik pitam. "Kalau begitu Anda tidak boleh naik!"

"Tidak! Saya hanya ingin bertemu seseorang! Sebentar saja!" Maya menerobos masuk.

"Silakan Tuan, kamar Anda di sini."

Kamar?

"Pelayaran satu malam Astoria adalah favorit banyak pasangan. Ini pelayaran romantis yang sangat laris. Saya yakin Anda dan Nona Shiori pasti akan menyukainya."

Pintu kamar dibuka. "Silakan, ini kabin khusus kalian berdua."

Masumi memasuki kabin tersebut. Mewah, megah, luas, dan.... Dilihatnya sebuah tempat tidur kingsize yang ada di sana. Perutnya mual seketika. Apa-apaan ini? Wanita itu bermaksud merencanakan menghabiskan malam berdua dengannya?

Tenggorokan Masumi langsung terasa pahit, ia berbalik.

"Saya harus pergi!!"

"Eh, Tuan? Tuan? Ada apa? Anda tidak suka kamarnya?"

"Saya ada keperluan, saya tidak bisa mengikuti pelayaran ini."

"Tetapi Tuan, Nona Shiori sudah mempersiapkan semuanya, dia--"

"Tertangkap!!" seru awak kapal.

"Lepaskan!!!" pekik Maya.

Masumi tertegun, ia merasa kenal dengan suara itu, amat mengenalnya.

"Ada apa ini?" tanya manajer.

"Ini, Pak! Nona ini, dia menerobos masuk ke atas kapal tanpa membawa tiket!"

"Aku hanya ingin bertemu seseorang! Aku mencari--"

"MAya...?" Masumi memandang gadis itu tak percaya.

Begitu juga dengan Maya. Suara itu... Maya menoleh, dan mendapati pria yang dicintainya berdiri di sana, memandangnya. "Pak Masumi..."

"Kau... sedang apa di sini?" tanya Masumi dengan takjub, jantungnya mulai berdebar penuh rindu. Ia sejenak tersadar. "Tidak apa-apa. dia kenalanku. Aku bertanggung jawab," kata Masumi.

"Ah, baiklah kalau begitu."

Para awak meninggalkan keduanya, yang mematung dan saling menatap tak percaya. Setelah saling merindukan, sekarang mereka bertemu, berhadapan.

Suara pengumuman terdengar. Astoria memulai pelayaran romantis satu malam.

Maya…
Pak Masumi…
Masumi berjalan mendekat kepada Maya. “Kau sedang apa di sini?” tanya Masumi.
“A-aku… aku mencari seseorang,” Maya berkata. Saat itu ia segera menyadari sesuatu. Masumi ada di sini, pastilah pria itu sudah punya janji kencan dengan tunangannya tersebut.
“Seseorang? Siapa?” tanya Masumi.
“Uhm… itu… mm…”
“Baiklah Mungil, mau tidak mau, kapal sudah berangkat. Kau terpaksa menemaniku di sini. Bagaimana jika kita makan malam dulu?” tawar Masumi.
Menemani… “Anda… sendiri?”
Masumi tersenyum samar. “Ya.”
Keduanya lantas beranjak ke sebuah restoran dan duduk di sebuah kursi. Maya merasa sedikit rikuh karena ia mengenakan pakaian yang sangat sederhana, jauh berbeda dengan Masumi yang tampil rapi dan perlente dengan setelannya.
“Pak Masumi, apakah… tidak apa-apa… jika kita terlihat bersama?” tanya Maya ragu.
Masumi mengamati wajah kikuk gadis itu. “Memangnya… kenapa, Maya?”
Maya… pria itu menyebut namanya. Jantung Maya sekali lagi berdebar-debar.
“Pak Masumi…” gadis itu menatap Masumi dengan memelas.
“Kau keberatan ya, terlihat bersamaku?”
“Ti-tidak! Bukankah… Anda, yang tidak mau terlihat bersamaku?” raut Maya berubah sendu.”Sa-saat terakhir kali kita bertemu, Anda… menghindariku, dan…” Maya mengangkat wajahnya, bertemu tatap dengan Masumi yang mengamatinya lekat. Ia tak tahu, Masumi sedang memuaskan kerinduannya.
“Maya, ada apa, kau naik ke atas kapal?” tanya Masumi. “Kau bilang kau mencari orang, siapa?”
Maya menunduk, menelan ludahnya. “Nona… Shiori.”
“Shiori?” desis Masumi, “Kenapa? Ada apa kau mencarinya?”
“Pak Masumi, A-Anda… apakah, seharusnya dia bersamamu?” tanya Maya.
Masumi tertegun. Memang benar adanya. Seharusnya saat ini dia dan Shiori sedang berkencan. Ia tidak tahu Shiori bermaksud mengajaknya berlayar satu malam. Pria itu tak menjawab pertanyaan Maya.
“Jadi, kenapa kau mencari Shiori?” sekali lagi Masumi bertanya, dan membuat Maya mengerti bahwa pria itu enggan menjawab pertanyaannya.


Sejenak Maya ragu, apakah harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Akhirnya ia mengelurkan amplop berisi cek yang ada di dalam sakunya.

“Aku bermaksud mengembalikan ini,” kata Maya dengan terbata. “Kepada Nona Shiori.”
“Apa ini…?” tanya Masumi, meraih amplop tersebut. Ia mengeluarkan cek senilai sepuluh juta yen. Mata pria itu melebar. “Ini…”
“Seseorang mendatangiku, dan memintaku untuk menjauhi Anda dengan bayaran cek itu,” tangan Maya gemetar.
Masumi terkesiap. Shiori menyogok Maya agar mau menjauhinya? Dan, gadis itu…
“Kau menolaknya?” tanya Masumi.
Gadis itu menatap Masumi dengan memelas, membuat hati pria itu tak menentu.
“Tentu saja!” tegas Maya. “Itu tidak perlu ditanyakan lagi.”
Maya… Masumi begitu tersentuh. Ia bisa merasakan kesungguhan perkataan gadis itu, juga perasaan cintanya yang mendalam. Gadis itu sudah mencintainya seperti ini?
“Baiklah,” Masumi merobek cek itu menjadi dua. “Biar nanti aku yang bicara mengenai hal ini kepadanya. Terima kasih, kau sudah menolak tawarannya. Itu sangat berarti untukku.”
Pak Masumi…
“Maya, karena kita sudah ada di sini, kau mau kan menemaniku semalam ini?”
Maya mengangguk. “Aku akan menemanimu, sampai kapanpun Pak Masumi mau,” wajahnya merona.
Otot rahang Masumi menegang mendengar perkataan Maya. Perkataan itu terlalu menggoda. Keputusan Masumi jadi goyah, tetapi, bagaimana dengan keselamatan Maya?
“Permisi, Tuan,” seorang pelayan menghampiri. “Kami mendapat pesan dari Nona Shiori Takamiya. Beliau meminta maaf tidak bisa mengikuti pelayaran karena terjebak kemacetan.”
Deg. Maya tertegun. Ternyata benar, Masumi dan Shiori merencanakan kencan ini.
“Baiklah, terima kasih,” ujar Masumi.
Saat ia kembali menatap gadis di hadapannya. Tampak wajah Maya sedikit sendu, dan ia hanya menunduk. Maya… Masumi tahu benar apa yang ada dalam benak gadis itu. Tetapi, ia tak bisa menyangkal.
“Ayo dimakan, Maya. Kau tidak suka makanannya?” tanya Masumi.
Gadis itu menghela napas. Ia tahu mereka sedang berpura-pura, bahwa tidak ada apa-apa yang terjadi di antara mereka.
Maya menggeleng, “Aku, belum terlalu lapar…”
“Ayolah, rasanya enak sekali. Jangan sampai kau sakit karena terlambat makan. Apa perlu, aku menyuapimu agar kau mau makan?” goda Masumi.
Maya tersenyum sendu ia lantas mengangguk. Gadis itu mulai melahap makanannya.
“Maya, karena kita berdua sudah ada di sini, lebih baik kita menikmati saja kebersamaan kita, bagaimana?”
Sekali ini Maya mengangguk, namun kali ini gadis itu tersenyum lebar.
Malam ini… aku akan bisa menghabiskan waktu bersama Pak Masumi, walaupun hanya semalam ini… pikirnya bahagia.
Masumi lantas membawa Maya ke tempat kecantikan setelah selesai memilih pakaian dan aksesoris untuknya. Ia tahu Maya sedikit rendah diri karena pakaiannya yang kurang berkelas dibandingkan para tamu lain.
“Aku akan menunggu di sini,” Masumi berujar, saat Maya dipersilakan masuk ke ruang kecantikan.
Cukup lama Masumi menunggu, hampir dua jam. Ia sedikit bosan. Namun, saat pegawai salon menegurnya, “Rekan Anda sudah siap.” Rasa kesal dan bosan itu menguap begitu saja.
Maya tampak begitu cantik. Dalam sekejap Masumi lupa bagaimana bernapas. Dan berkata.
“Tuan, silakan tandatangan di sini,” tegur pegawai kecantikan.
“AH, eh, ya.. uhm…” dengan kikuk Masumi menandatangani tagihan yang tak ia lihat jumlahnya. Bisa melihat Maya secantik itu, sangat tak ternilai untuknya.
“Dia cantik sekali ya? Memang jadi sedikit lupa diri kalau sudah melihat yang indah-indah,” ujar si pegawai.
Skeali lagi Masumi hanya tersenyum canggung.
Tatapannya beralih lagi kepada Maya, dan jakunnya naik turun, saat ia kembali merasa terpesona.
Maya menghampiri, dengan jantung berdebar kuat karena cara Masumi memandangnya.
“Terima kasih, untuk semua ini,” Maya berkata dengan suara lembut dan tersenyum anggun.
Tidak… batin Masumi. Pertahanannya mendapatkan cobaan berat. Ia merasa begitu bodoh sudah melepaskan gadis itu. Tidak. Ia harus bertahan. Ia harus mempertahankan keputusannya. Bagaimana pun, itu semua demi kebaikan Maya.
“Kau sudah siap? Ayo,” Masumi berbalik, hampir meninggalkan Maya.
Gadis itu tertegun dan melangkah menyusul Masumi. Ia melirik sendu pria itu. Masumi sama sekali tak mengatakan apapun. Maya menghela napas. Ternyata apa yang terjadi dulu adalah kesalahan. Memang benar, bahwa Masumi sudah memutuskan untuk memilih Shiori. Bahwa dia, juga tak ingin menjadi Mawar Ungunya lagi.
Kenapa, Pak Masumi… Katakan padaku, kenapa? Aku mengerti, jika kau lebih memilih Nona Shiori ketimbang aku. Tetapi…. Kenapa kau mau berhenti menjadi mawar unguku?
Maya hampir terisak, saat Masumi bicara, “Kau sungguh… sudah tumbuh dewasa ya,” katanya, lantas menoleh kepada Maya yang sedari tadi diam saja berjalan di sampingnya. “Sudah menjadi gadis yang sangat cantik.”
Deg! Maya tertegun mendengar ucapan pria terkasihnya. Gadis itu tersenyum tipis salah tingkah. Entah kenapa ucapan Masumi yang terdengar begitu tulus, membuat hati Maya berbunga-bunga.
“Aku memang sudah dewasa,” kata Maya. “Aku sudah bukan si mungil lagi. Bukan anak kecil yang Anda temui dulu. Aku sudah jadi wanita sekarang. Sebentar lagi usiaku 21 tahun. Sudah boleh minum, juga, sudah boleh menikah!”
Deg! Masumi tertegun. Menikah…?
Benar sekali. Gadis itu sudah dewasa. Sudah boleh menikah. Padahal, dulu Masumi menanti saat ini tiba. Ia menunggu lama. Sangat lama. Dan sekarang, gadis itu sudah dewasa. Gadis itu juga, mencintainya. Kenapa ia hanya bisa termangu seperti orang bodoh? Kenapa… takdir menyiksanya seperti ini…
“Jadi… rupanya, kau sudah ingin menikah ya…” kata Masumi, berusaha terdengar seringan mungkin.
“Tentu saja. Jika sudah dewasa, setiap orang pasti ingin menikah dengan orang yang dicintainya, seperti Anda… dan… Nona… Shiori…?” tenggorokan Maya tercekat. Ia menatap Masumi, mengharap pria itu menyangkalnya.
Namun, Masumi tak berkata apa-apa. Pria itu hanya memalingkan wajahnya. “Ayo, acaranya sebentar lagi dimulai,” katanya, dengan pahit.
Keduanya lantas menikmati acara pertunjukan musikal malam itu. Masumi senang karena Maya tampaknya juga menikmatinya. Gadis itu juga tampak tertarik melihat para pasangan yang berdansa.
"Nona Maya Kitajima, mau berdansa denganku?" tawar Masumi, seraya menyodorkan tangannya.
Maya tertegun, ia mengamati lengan itu, lantas pemiliknya. "A-aku tidak bisa berdansa," maya menggeleng takut-takut."
"Jangan khawatir," Masumi tersenyum. "Aku akan menuntunmu, kau hanya harus percaya kepadaku."
Akhirnya Maya menerima uluran tangan itu. Masumi membawanya ke lantai dansa, ke tengah-tengah. "Santai saja, lemaskan tubuhmu, dan ikuti aku," kata Masumi.
Pria itu lantas membimbng Maya untuk menggerakkan badannya. "Benar, seperti itu, Maya, kau pandai...'puji Masumi.
Kau pandai... pujian singkat yang membuat senyuman Maya semakin berseri.
Semakin lama suara musik semakin cepat,begitu juga gerakan tubuh keduanya yang bergerak kian lincah. Maya sangat senang dapat berdansa dengan Masumi. Tubuhnya bahkan terasa begitu ringan.Keduanya bertatapan dan tersenyum riang. Maya sungguh merasa bahagia.
Sementara Masumi, di tengah dansanya masih sempat mengamati gadis mungil dalam genggamannya itu. Rambutnya yang berkilau dan tertata rapi, wajahnya yang dirias dengan pas, bibir merahnya, mata bulatnya, kulitnya yang bersih, pundak yang tampaknya sangat halus, seperti tangannya yang sekarang ia genggam.
Maya sungguh memesona. Kapan gadis ini akan menjadi miliknya?
Tepuk tangan terdengar saat musik berhenti, dipersembahkan kepada Maya dan Masumi. Gadis itu tersenyum senang dan juga malu-malu mendapatkan apresiasi seperti itu.
Lagu lain kembali mengalun, kali ini lebih syahdu. Para pasangan kembali berdansa, lebih rapat dengan kekasihnya.
"Mau berdansa untuk satu lagu lagi?"
Maya mengangguk.
Masumi kembali meraih tangan Maya, juga pinggangnya. Berdiri lebih dekat dari sebelumnya, hampir merapat. Maya menengadah, mensyukuri wajah Masumi yang selalu dirindukannya, sekarang ada di hadapannya.
"Ternyata kau pandai berdansa," puji Masumi.
"Itu karena... Anda pasangannya," jawab Maya seraya tersenyum merona.
Masumi tertegun. Dipandanginya wajah Maya. Ia tak bisa bohong lagi. Tak ingin pura-pura lagi.
"Ah!!" Maya tersentak.
Masumi memeluknya.
"Pak...! Pak!... Pak Masumi...!" Maya panik, gelagapan. Ia menoleh ke sana kemari, menyadari berpsang-pasang mata menatapnya. "Pak Masumi! Orang-orang memperhatikan kita," desisnya.
Beberapa saat Masumi tidak menjawab dan hanya memeluk Maya.
"Kau keberatan, terlihat seperti ini bersamaku?" bisik Masumi.
Maya tertegun. Ia melipat bibirnya. Gadis itu menggeleng. "Tapi, Pak Masumi... Anda kan... Anda.." sudah bertunangan... batin Maya.
gadis itu tak mengerti dengan sikap Masumi.
Pak Masumi, sebetulnya ada apa di dalam hatimu? Aku tak bisa melihatnya. Kenapa hatimu begitu berkabut, dan menyembunyikan banyak rahasia. Pak Masumi... Katakanlah, sebetulnya, apa yang Anda rasakan...
Masumi lantas menggerakkan tubuhnya lagi, mengikuti alunan musik yang romantis. Ia tahu beberapa orang menggosipkan mereka, apalagi yang mungkin mengenalinya. Tetapi, sekali ini ia enggan untuk peduli. Ia melingkarkan kedua tangannya pada Maya.
Kepala gadis itu bersandar di dada Masumi, dan ia bisa mendengar, bukan hanya jantungnya saja yang berdebar begitu kencang, tapi demikian juga dengan jantung Masumi.
Saat lagu selesai, Maya dan Masumi saling memisahkan diri. Memandang satu sama lain dengan mesra dan tersenyum malu-malu. Sekali lagi bisik-bisik dari sekitar mereka sempat terdengar.
"Benar kan, itu Masumi Hayami yang bertunangan dengan Shiori Takamiya? Lalu kemana Shiori? Dan, siapa gadis itu?"
Maya mulai gelisah lagi, dan Masumi melihatnya. Ia menghela napas. Tidak seharusnya ia menempatkan Maya dalam posisi ini. Padahal, dia yang brengsek, tetapi malah Maya yang berada dalam posisi terjepit.
"Sudah mau tidur?" tanya Masumi. "Aku akan mengantarkan kau ke kamarmu."
"Anda?" tanya Maya.
"Aku ingin berkeliling-keliling dulu."
"Kalau begitu, aku juga," jawab Maya.
Maya... Masumi mengamatinya. Ia pikir Maya sudah tidak tahan dengan bisik-bisik di sekitarnya.
"Aku akan mengambilkan minum, kau tunggulah di luar," kata Masumi.
"Baik," sekali lagi Maya tersenyum, dan ia berjalan ke luar.
Angin malam itu cukup dingin. Maya tidak sendiri ada beberapa pasang yang lewat di, lantas masuk ke dalam.
Masumi tidak lama, ia segera kembali dengan dua buah minuman.
"aku tidak ingin kau mabuk, jadi aku membawakan mocktail untukmu. Tidak ada alkoholnya."
"Aku sudah kuat minum kok... Maya mengerucutkan bibirnya. Masumi tersenyum tipis. Gadis itu terlihat menggemaskan.
"Di sini dingin ya," Masumi berkata seraya memasangkan mantelnya. "Pakai ini, jangan sampai kau sakit." Sekali lagi ia sempat mengamati kulit bahu gadis itu yang terbuka, dan wajahnya merona. Ia berharap Maya tak menangkap kenakalannya.
Tiba-tiba Maya mendongak kepada Masumi seraya tersenyum lebar, "Terima kasih."
"Deg!" buru-buru Masumi memalingkan wajahnya. "Y-ya...Ya..." gumamnya tak jelas.
Keduanya lantas berdiri berdampingan, bersandar pada pembatas dek.
"Ayo bersulang," ajak Masumi, mengangkat brandy-nya.
"Ya," Maya tersenyum. "Untuk... Anda, semoga bahagia," ucap Maya.
Masumi tertegun, mengamati gadis itu, sekali lagi terjerat kecantikannya.
"Untukmu..." kata Masumi dengan suara agak berat dan serak, "semoga bisa menjadi Bidadari Merah."
Pak Masumi... Maya melipat bibirnya, tersentuh dengan ucapan Masumi.
"Terima kasih," Gadis itu tersenyum tulus.
Masumi menyadari, Maya sudah tidak lagi menaruh curiga pada semua perkataannya.
"Bintangnya sudah banyak," kata Maya.
Masumi mendongak. "Oh, ya..."
"Ah,aku tahu itu Deneb! Dan itu vega! Lalu itu..." dengan semangat Maya menunjuk bintang-bintang yang ada di langit malam itu.
"Kau pintar!" puji Masumi.
Maya tergelak senang, "Aku memang pintar kan!" seloroh Maya bangga.
Keduanya saling memandang.
Maya sangat senang bisa berada di sini bersama Masumi. Rasanya, perbedaan usia yang 11 tahun itu sama sekali tidak terasa. Jika bersama Masumi, ia merasa senang.
"Ini yang kedua kalinya, aku melihat bintang bersamamu," kata Maya seraya tersenyum lembut.
"Kedua kali?"
"Ya, pertama saat di lembah plum kan? Lalu, malam ini... di sini,," Maya menatap Masumi. "Aku senang sekali."
"Aku juga," jawab Masumi dengan jujur.
"Eh, jika dihitung dengan di planetarium, semuanya jadi tiga kali," Maya berujar.
"Hm... itu bisa dihitung tidak ya?" Masumi tersenyum.
"Pak Masumi..." Maya mengamati wajah tampan pria itu. "Aku lega, Anda baik-baik saja. Sejak pertemuan dengan Anda di Daito, aku, aku," mata gadis itu mulai berkaca-kaca. "Aku sangat mengkhawatirkanmu.Jika, aku mencarimu lagi, aku takut sekali akan merepotkan Anda. Tetapi, syukurlah bisa bertemu denganmu di sini, dan, Anda ternyata baik-baik saja. Aku lega sekali," gadis itu tersenyum lega.
Malam itu... ucapan Maya mengingatkan Masumi akan  sesuatu.
"Ma-maya... saat... aku pingsan, apa... kau langsung pergi?" tanya Masumi.
"Eh? aku... saat itu..."
"Shiori mengatakan, kau langsung pergi. Tetapi, selama aku pingsan," Masumi menatap lautan yang kelam. "AKu merasa kau ada di sisiku, merawatku. Lalu.... kau mengatakan sesuatu... seperti dialog Bidadari Merah. Aku yakin mendengar suaramu, juga..."
sentuhan tanganmu, ciumanmu... imbuh Masumi dalam hatinya.
"Hari itu, saat aku melihatmu pertama kali, Akoya langsung tahu, bahwa kaulah belahan jiwa yang dikatakan nenek..." tiba-tiba Maya mengucapkan dialog Bidadari Merahnya.
"Eh!?" Masumi tertegun, matanya membulat. Ia menoleh dan mendapati tatapan yang begitu teduh dari gadis itu yang terus membacakan dialognya.
Dialog yang sama yang ia dengar saat dalam keadaan setengah sadar. Suaranya, kalimatnya.
Maya... Masumi merasakan jantungnya kembali berdebar keras.
Gadis itu menghampiri, menjulurkan tangannya dan menyentuh wajah Masumi.
"Buanglah nama dan masa lalumu, dan... jadikanlah Akoya milikmu..." Maya mengucapkannya sepenuh hati, tanpa terasa airmatanya menetes menyusuri pipi.
"Maya..." desis Masumi, yang tak kuasa mendapatkan pernyataan cinta sedemikian bergelora dari gadis yang dicintainya.
"Pak Masumi... aku... aku..."
"Bruk!!" Masumi menarik Maya dan memeluknya erat.
"Aku mencintaimu, Pak Masumi..." ia mulai menangis. "Sungguh."
Masumi menelan ludahnya. Seharusnya ia tak pernah menyakiti hati Maya, tak pernah menyia-nyiakan gadis yang ditunggunya begitu lama.
"Aku juga, Maya..." balas Masumi. "Aku sangat mencintaimu... Sungguh..."
“Benarkah?” Maya mendongak. “Benarkah yang kaukatakan? Lalu, kenapa Pak Masumi tak menghiraukanku? Kenapa…”
“Ada banyak hal,” kata Masumi pahit. “Ada banyak konsekuensi dari keputusanku ini. Bukan hanya menyangkut aku, Maya, tetapi juga kau. Terutama kau! Dan juga teman-temanmu… Aku tidak bisa egois dengan memikirkan diriku sendiri, sementara perasaanku ini mencelakai kau dan lainnya.”
Maya tertegun, bingung. Perasaannya mencelakai Maya dan teman-teman? Apa maksud perkataannya? “Maksud Anda…”
“Saat kau dan teman-temanmu diusir dari apartemen kalian, tak punya pekerjaan, kecelakaan-kecelakaan yang hampir terjadi kepadamu,” Masumi mengamati wajah gadis cantik itu dengan matanya yang nanar. “Semua bukan kebetulan…”
Mungkin Masumi membuat kesalahan dengan mengatakan semua itu, karena mata Maya membulat dan wajahnya berubah pucat. Tubuhnya pun mulai gemetar, semakin lama semakin hebat.
“Maya…” panggil Masumi dengan khawatir, menopang tubuh gadis itu. “Maaf, maafkan aku! Aku pasti sudah menakutimu,” sesalnya. Ia berdecak, “Ah! Bodoh!! Kenapa aku mengatakan semua itu…” ujar Masumi dengan pedih. Tak seharusnya ia membuat gadis itu khawatir dan ketakutan.
Maya berusaha menenangkan dirinya. DIamatinya Masumi, lalu ia teringat saat Hijiri mengantarkan Mawar Ungu terakhir kali. Jadi… karena itu, Masumi ingin memutuskan hubungan dengannya? Jadi… semua ini…. Ada kaitannya dengan pertunangan Masumi?
“Jadi Anda…” Maya mulai berusaha bicara semampunya, “Tidak membenciku?” tanya Maya dengan mata berkaca-kaca.
Masumi tertegun ditanyai seperti itu. Perlahan ia menggeleng, dan wajahnya merona.
“Aku tak mungkin membencimu…” ujarnya dengan tersenyum samar kemalu-maluan.
Wajah Maya menyala lagi, bahagia. “Kalau begitu, sudah cukup,” Maya balas menyentuh lengan Masumi. “Asal aku tahu Anda tidak membenciku, aku… sudah sangat bahagia,” airmata Maya mengucur, membekas di bedaknya yang mahal. “Aku hanya tidak bisa… jika Anda membenciku. Rasanya… aku tak bisa berpikir, tak bisa… bernapas. Dadaku sakit sekali. Walaupun dahulu, aku yang selalu berbuat kasar kepadamu, tetapi, jika Anda membenciku.. jika…” airmata itu terus turun. “Anda tak ingin lagi mengenalku… rasanya… aku tak ingin melakukan apapun.”
“Maya…” Masumi menyentuh pipi Maya dengan terenyuh. Gadis itu sudah mencintainya, sedalam rasa cinta Masumi kepadanya. Ia mengatakan apa yang Masumi juga rasakan. “Maya…” panggil Masumi dengan bergairah, dan dipeluknya gadis itu. “Maafkan aku… aku pasti sudah menyakitimu. Tetapi… aku tak sanggup, jika memikirkan mereka mungkin akan melukaimu.”
Maya menggeleng di pelukan pria itu, “Asal kau jangan meninggalkanku,” pinta Maya. “Aku tak peduli yang lainnya…”
“Tidak,” janji Masumi. “Tak akan… Maafkan aku…” saat itu hati Masumi bertekad. Ia tak akan menyerah kepada Shiori, Yamashita atau siapa pun. Ia harus bertahan. Memperjuangkan cintanya dan Maya.
Gadis itu benar. Jika tak bisa mewujudkan kisah kasih mereka, untuk apa semua yang ia lakukan? Untuk apa hidupnya? Bukankah ia sudah menantikan saat ini selamanya? Sekarang gadis itu mencintainya. Maya mencintainya. Ia tak akan menyerah.
=//=
Masumi menuntun Maya berjalan menyusuri kabin-kabin yang sepi. Mungkin penghuninya sudah terlelap untuk bermimpi, atau masih menikmati semua kesenangan yang ditawarkan oleh kapal asmara tersebut.
Maya mengamati punggung tegap kekasihnya. Lantas beralih mengamati tangan mereka yang saling bertaut. Gadis itu merasakan pipinya yang merona, dan ia tersenyum kecil. Hanya bergandengan tangan dengannya saja Maya sudah teramat bahagia.
Pak Masumi… aku ingin selamanya, bisa bergandengan tangan seperti ini bersamamu.
Gadis itu tertegun, saat mereka berpapasan dengan beberapa orang yang mengamati keduanya. Entah mereka mengenali Masumi dan dirinya entah tidak. Yang pasti mereka mengamati dengan heran tetapi Masumi tak menghiraukannya.
Mereka terus berjalan hingga mencapai ujung lorong. Ada sebuah kabin, dengan pintu yang besar dan tinggi menjulang. Sepertinya suite khusus, karena dari pintunya saja sudah berbeda ketimbang kamar-kamar yang lain.
Masumi mengeluarkan sebuah kunci bertuliskan suite 1001 dan membukanya.
“Masuklah, ajak Masumi.”
“Haik… Shitsurei Shimasu…” perlahan Maya memasuki kamar tersebut. Kamar yang sangat besar, megah dan mewah. Mata gadis itu segera membulat takjub. “Waaah… ini kamarnya? Besar sekali…”kata gadis itu, yang berputar-putar mengamati keindahan kamar tersebut.
“Ya, ini kamarmu. Kau tidur di sini…” terang Masumi.
“Ah, aku tidur di sini,” ujar Maya tak percaya. “Pak Masumi…?” ucapannya berhenti, saat ia bertemu tatap dengan Masumi.
Pria itu memandanginya lekat, tak berkedip. Jantung Maya jadi berderap cepat dengan seketika. Karena siapa yang memandanganya, dan juga cara pandangnya. Pak… Masumi… tiba-tiba saja sebuah pemikiran terbetik, membuat wajah gadis itu memanas dengan seketika. Apa Pak Masumi juga… tidur di sini? Batin Maya, dan seketika ia menjadi salah tingkah.
Masumi yang sedari tadi mengamati Maya yang cantik, mulai menyadari keberadaannya membuat gadis itu rikuh. Ini pertama kalinya, mereka berduaan di dalam sebuah kamar. Masumi terkekeh kecil.
“Jangan berwajah ketakutan seperti itu… Aku tak akan menerkammu,” kata Masumi. “Tidak tanpa seijinmu,” godanya.
“Pak, Pak Masumi!!” Hardiknya. Wajah Maya semakin merah padam.
Masumi tertawa. “Kau tidurlah, aku keluar sekarang. Kalau ada apa-apa kau bisa menggunakan telepon di sebelah sana.”
“Pak Masumi, mau kemana?” tanya Maya dengan khawatir.
“Aku tidur di luar. Jangan khawatir… ada banyak sofa di luar sana, aku juga sudah biasa begadang, dan aku laki-laki, tak ada yang perlu kau khawatirkan,” Masumi tersenyum.
“Di… di luar?” Maya menghampiri Masumi dengan resah.”Nanti Anda sakit… Lagipula… seharusnya, kamar ini untukmu kan? Jika gara-gara aku, kau sampai sakit…” Maya menunduk.
“Ma, Maya…” desah Masumi, wajahnya sontak merona. “Aku tidak ingin orang berpikir yang tidak-tidak, apalagi kau calon Bidadari Merah.”
“Orang-orang siapa? Tidak ada orang di sini,” kata Maya. “Lagipula, di sini juga ada sofa. Setidaknya… Anda tak harus tidur di luar,” bujuknya.
Masumi menelan ludahnya, menatap Maya yang memelas. Mungkin gadis itu tidak mengerti, atau terlalu polos, bahwa dia, bagi Masumi, adalah godaan yang sangat besar. Dari tadi ia tak bisa lepas menikmati kemulusan kulitnya. Kilauan rambutnya, keharuman tubuhnya. Lekuk-lekuk tubuhnya yang mulai mendewasa. Bibirnya, tatapannya. Ya, mungkin dia bajingan, pria tak tahu diri yang mencuri-curi kesempatan. Tetapi itu berlangsung di luar kehendaknya. Terjadi begitu saja.
Ia tak tahu apa yang mungkin terjadi jika mereka berduaan di dalam kamar seperti ini.
“Jangan,” pinta Masumi, memutuskan tatapan mereka. Ia tak sanggup menolak jika menatap mata gadis itu.”Aku akan baik-baik saja. Aku… Aku takut melakukan sesuatu yang dapat menyakitimu,” akunya dengan wajah teramat merah.
Maya tertegun, diamatinya Masumi yang salah tingkah, dan mengertilah ia apa yang Masumi khawatirkan. Gadis itu juga jadi salah tingkah.
“Pak… Pak Masumi…” desisnya.
“Baiklah, aku keluar. Besok aku menjemputmu untuk sarapan,” pamitnya cepat.
Masumi membuka pintunya, “BRAK!!” pintu itu tertutup lagi didorong Maya. Pria itu terkejut, dan menoleh kepada gadis tersebut, memberikan tatapan bingung dan bertanya.
“Jika Anda keluar… Aku juga keluar,” tuntutnya.
“Maya…” desis Masumi. “Jangan begini…”
“Pak Masumi,” gadis itu mendongak. “Aku percaya padamu. Aku tahu kau tidak akan menyakitiku. Saat di lembah plum… kau juga melindungiku.”
“Aku, yang tak percaya kepada diriku sendiri,” desah pria itu. “Bagaimana pun, aku ini laki-laki, Maya… laki-laki dewasa. Kau harus mengerti… bahwa… kurasa tak akan mudah bagiku, menjaga kepercayaanmu jika aku tak membatasi diri,” jelasnya. Ia tersenyum, “Aku tidak akan terlalu jauh. Kalau kau memanggilku, aku pasti mendengar.”
Maya terdiam, sedikit cemberut. Ia tak suka berada di tempat seperti ini sendirian. Setidaknya, dengan ditemani Masumi ia bisa merasa lebih nyaman dan familiar. Tetapi, apa yang dikatakan Masumi masuk akal. Sepertinya, pria itu memang sangat menjaga diri.
Akhirnya Maya mengangguk. “Tetapi… jangan pergi sekarang,” pintanya. “Bisakah Anda menemaniku, sampai aku tertidur? Jadi aku… tak akan merasa begitu kesepian.”
Maya…? Masumi tertegun. Ia akhirnya mengangguk. “Baiklah…”
=//=
“Ah, ini pakaianku!” ujar Maya seraya membuka tas yang terletak di atas sebuah bufet. “Pak Masumi… aku ganti pakaian dulu.”
“Ya,” Masumi tersenyum seraya menuangkan sebuah minuman untuk dirinya sendiri.
Maya masuk ke kamar mandi dan membersihkan dirinya sendiri. Saat ia keluar, Masumi masih menikmati minumannya seraya menyaksikan sebuah film yang disediakan di sana. Tampaknya drama romantis. Sesuai dengan tema pelayaran malam ini.
“Film apa?” tanya Maya.
“Entahlah,” jawab Masumi yang baru melihat film itu. Ia meraih covernya dan menyebutkan judulnya.
“Filmnya bagus?” tanya Maya lagi.
“Sepertinya, umh… entahlah, baru mulai.” Sebenarnya Masumi kurang memperhatikan cerita film itu. Ia hanya teramat senang dengan perkembangan hubungannya dan Maya. Ia mengingat lagi waktu yang sudah dihabiskannya bersama Maya sepanjang malam ini.
“Bruk!” tiba-tiba lamunan Masumi terganggu oleh sesuatu yang jatuh. Ia menoleh, dan mendapati Maya menjatuhkan pakaian pesta di tangannya. Gadis itu tampak terkejut, mematung. “Maya..?” tegur Masumi yang kaget melihat keadaan Maya. Ia berdiri dan berputar. Dan, mengertilah ia apa yang membuat Maya shock.
Gadis itu sedang mengamati tempat tidur itu. Tempat tidur king size untuk dua orang yang berada di kamar tersebut. Tempat tidur yang juga tadi sempat membuat Masumi enggan berada di sana.
“Ma, Maya…” Masumi mengitari sofa untuk menghampirinya. “Bisa kujelaskan, ini…”
“Ah!” Maya berusaha terlihat baik-baik saja. Ia tersenyum dengan canggung, “Hahaha… a-aku bodoh ya… Seharusnya aku tahu, A-anda kan ada di sini, untuk berkencan dengan… tu-tunangan Anda,” Maya menceracau. Saat melihat tempat tidur tersebut, dengan begitu saja tiba-tiba bayangan Masumi dan wanita itu bercokol di kepalanya.
Mereka bermaksud melakukan kencan romantis, menghabiskan malam bersama sebagai sepasang kekasih. Tempat tidur itu buktinya. Bodoh! Dia mengacaukan…
Deg! Maya terkejut, saat sepasang tangan melingkar di bahunya. Ia menengadah, dan mendapati wajah Masumi yang meminta pengertiannya.
“Bukan begitu,” tampik Masumi dengan lembut. “Aku tak berencana menghabiskan malam bersamanya. Aku bahkan tak tahu mengenai kencan ini,” jelas Masumi cepat.
Pak Masumi…
“Dia yang mengatur semuanya, mulai dari rencana mengikuti pelayaran satu malam ini, sampai pada kabinnya. Aku hanya diminta datang. Karena sudah berkali-kali aku membatalkan kencan, dia jadi merencanakan ini semua.”
“Tapi kau juga tidak menolak kan!” ujar Maya yang tiba-tiba tak bisa menahan rasa cemburunya.
“Aku baru saja hendak pergi tadi saat mengetahui mengenai ini semua,” jelas Masumi. “Tetapi… aku lalu… mendapatimu yang ditangkap awak kapal. Selanjutnya, kau tahu sendiri,” jelas Masumi dengan lembut. Ia meraih dagu gadis itu, mengangkatnya, menatap matanya. “Kau percaya kan kepadaku?” ia memohon.
Maya mengamati pria itu. Ia menyesal, kenapa tadi sempat bicara seperti itu. Tidak seharusnya Maya cemburu dan berkata yang tidak-tidak.
“Ya,” jawab Maya, dengan spontan ia melingkarkan tangannya di pinggang pria itu. “Aku mempercayaimu.”
“Maya…” desah Masumi, yang kemudian memagut bibir gadis itu dengan bibirnya.



Maya membalasnya. Tenggelam dalam ciuman yang yang menghanyutkan bersama kekasihnya. Mereka saling membalas, menyampaikan rasa cinta yang tak pernah terpuaskan, mengatakan rasa rindu yang tak kunjung terbalaskan selama ini.
Setelah bibir mereka terpisah, Maya segera memeluk pria itu. Napasnya masih terengah dan wajahnya terasa sangat panas. Masumi balas memeluknya dengan erat. Aku tak akan pernah melepaskan gadis ini lagi. Tak akan pernah…
Tiba-tiba dorongan yang dikhawatirkan Masumi datang lagi. Ia ingin memiliki gadis ini. Jiwa dan raganya. Setelah sekian lama menanti… Sekarang. Sekarang gadis itu berada dalam pelukannya. Maya Kitajima-nya. Bintang yang jauh dari jangkauan, sekarang jatuh ke dalam pelukannya.
Maya bisa merasakan pelukan Masumi mengerat, tetapi ia tak mengira Masumi kembali menciuminya. Dimulai dari ubun-ubun kepalanya, namun kali ini, tak lebih lembut dari sebelumnya. Ciuman pria itu beralih ke pipinya, rahangnya, dagunya, sebelum kembali menyambar bibi Maya.
Pria itu menyebut namanya, memagut bibirnya.
“Pak Masumi…” Maya terkesiap dengan sikap pria itu yang seperti singa menemukan makanannya. Tetapi entah kenapa, ketimbang mencegahnya, Maya malah membalasnya, melakukan hal yang sama. Tangan gadis itu bergerak gelisah, mengusap punggung Masumi, lalu dadanya, lalu ke lehernya. Ia tak tahu pasti di mana tangannya harus berada, ia hanya bisa mengusap bagian tubuh pria itu yang mana saja yang bisa digapai tangannya.
Ia baru menyadari jas Masumi sudah tak dikenakannya. Dan kesadaran itu datang. Ia mengerti kemana Masumi menghendaki. Sejenak takut menghampiri benak, tetapi tak perlu waktu lama hingga ia memutuskan untuk merelakan dirinya untuk pria terkasihnya itu. Hingga…
“Bruk!!” Punggung Maya menyentuh permukaan tempat tidur.
Masumi diam, bergeming. Wajah pria itu masih tersuruk di leher Maya dan tak lagi bergerak ke mana-mana. Napasnya masih terengah sangat cepat. Punggungnya bergerak naik turun sesuai tarikan napasnya. “Maya…” desahnya di telinga gadis itu.
Gadis sebelas tahun lebih muda darinya yang juga hanya terdiam.Kedua tangan gadis itu meremas kemeja Masumi.
Pria itu mengangkat wajahnya. Menatap Maya yang terbaring di bawahnya. Rambut gadis itu berantakan, mungkin itu juga perbuatan tangannya tadi, entahlah. Masumi merasa ia sempat kehilangan kesadaran, terdorong naluri dasarnya sebagai jantan yang bertemu betinanya. Atau dewa yang bertemu dewinya. Entahlah, yang pasti kesadaran itu datang tepat pada waktunya, bahwa ia melakukan sesuatu yang belum seharusnya.
“Pak… masumi…?” gadis itu masih menunggu. Apa sebetulnya yang Masumi kehendaki.
Pria itu menatap Maya. Matanya yang menatap polos tetapi penuh makna. Bibirnya yang merekah, pipinya yang memerah, dan beberapa bagian di wajah dan lehernya yang sempat dibuatnya basah. Ia baru tersadar Maya sudah menerimanya sepenuhnya.
“Kau cantik sekali…” Masumi berkata, seraya tersenyum tipis, membelai kepala Maya. Alis gadis itu terangkat, bingung. Masumi mendengus, dan memisahkan dirinya dari Maya. Ia baru tersadar tiga buah kancing kemejanya sudah terbuka. Siapa yang membukanya. Dia? Gadis itu? Entahlah. Masumi sungguh tak ingat kejadian yang sempat terjadi beberapa menit sebelumnya itu. Ia benar-benar lupa diri.
Masumi duduk di tepi tempat tidur, sementara Maya masih terbaring dengan kakinya menjuntai ke lantai. Gadis itu menggigit bibirnya sendiri, canggung, dan juga mulai menyadari apa yang tadi hampir terjadi. Ia sangat terkejut Masumi yang tenang dan terkesan dingin ternyata memendam rasa sebesar itu.
Maya bangkit, duduk di samping pria itu, menunduk.
Wajah keduanya sama panas, sama meronanya.
“Maaf ya…” Masumi berkata perlahan dengan suara serak tanpa melihat gadis itu. “Maafkan aku…” ia ingat lagi bagaimana ia tadi hampir menyerah pada hasratnya memiliki gadis itu.
Maya hanya menggeleng tanpa bicara, masih dengan menundukkan kepalanya.
Menyadari Maya tak bicara, Masumi menoleh dan menatap gadis itu khawatir.
“Kau marah?” tanyanya resah. “Kau berhak marah, tapi…”
Maya menggeleng. Ia masih tak sanggup menatap Masumi. Tetapi setelah lama terdiam dia bicara. “Pak Masumi, sebentar lagi aku sudah mau 21 tahun,” terangnya.
Pria itu tertegun, alisnya berjungkit tipis. “Aku tahu…”
Maya menoleh, dan mendongak kepada Masumi. “Apakah aku masih terlihat seperti anak kecil di matamu?” tanyanya.
Masumi terkejut dengan pertanyaan Maya, juga merasa konyol. “Tidak… kau…”
“Aku sudah dewasa, wanita dewasa,” terang Maya, bersikeras. “Anda bisa melihatku seperti itu?” tanyanya.
Masumi tersenyum. “Aku sudah melihatmu seperti itu,” katanya lembut. “Kau pikir yang tadi itu… uhm… akan terjadi… uhm… jika aku menganggapmu anak kecil?”
“Sungguh?”
“Sungguh.”
Maya tak bicara saat sebuah pertanyaan melintas di kepalanya. Lalu kenapa, Masumi tiba-tiba berhenti? Ia tahu, ada banyak hal yang membuat pria itu berhenti. Ia masih punya tunangan, ikatan mereka masih belum pasti, dan berbagai kekhawatiran lainnya. Tetapi, Maya hanya khawatir, Masumi merasakan sesuatu darinya, yang tak disukai pria itu. Yang tak bisa Masumi terima. Dan, memikirkan itu semua… ia jadi takut.
Seperti bisa mendengar pertanyaan dalam hati Maya, pria itu berkata, “Tak ada yang salah denganmu,” katanya. “Kau sangat sempurna,” Masumi masih mencegah dirinya menyentuh Maya lagi. “Hanya saatnya yang belum tepat…” jelasnya.
Kali ini keduanya berpandangan. Maya menatap mata mengagumkan pria itu.
“Nanti, saat urusanku dengan Takamiya selesai, aku akan datang kepadamu dan kau akan menjadi milikku selamanya!” tekad Masumi.
Maya tersenyum. “Sungguh? Aku menganggapnya sebagai utang!”
“Ya!” pria itu tersenyum kepada Maya. “Sebelum kau berusia 23 tahun, kau sudah akan menjadi istri Masumi Hayami.”
Maya terkesiap, tangannya spontan menyentuh bibirnya yang membulat. Mata gadis itu menatap penuh haru. Apa tadi pria itu bilang? Istri Masumi Hayami. Kalimat yang terdengar seperti mimpi indah yang sangat mustahil. Tetapi… airmata Maya menetes. Gadis itu mengangguk.
“Mendengarnya saja, sudah begini bahagia…” gadis itu berkata lirih. Entah bagaimana perasaannya jika hal itu sungguh terjadi.
Masumi sangat tersentuh dengan reaksi gadis itu. Dengan cepat direngkuhnya Maya dalam pelukannya. “Hari itu akan datang,” janjinya. “Aku akan berkorban apa saja untuk mewujudkannya.”
Maya mengangguk berkali-kali dalam pelukan kekasihnya. Ia mengangkat wajahnya. “Bahagianya…” katanya, dengan senyuman berseri.
Rahang Masumi mengetat, tak sabar ingin segera menjadikan Maya miliknya selamanya. Pria itu lantas melepaskan pelukannya dan segera berdiri.

“Tidurlah…” Masumi berkata.
“Kau?” tanya Maya, juga ikut berdiri. “Akan menungguiku sampai aku tidur kan?”
Masumi mengamati gadis yang tak mengambil pelajaran dari pengalamannya itu. Pria itu menggeleng. “Aku mau keluar, mencari udara… minum…” jelasnya.
“Jangan tinggalkan aku sendiri,” Maya mengulangi permintaannya lagi. “Aku tak akan bisa tidur,” rajuknya. “Pak Masumi…”
“Tapi Maya…” Masumi mengerang. “Aku tak bisa berada di dekatmu sekarang. Kau terlalu… terlalu…” Mungkin Maya tak akan percaya bahwa semua kesederhanaan pada diri gadis itu begitu menggodanya.
“Anda tidur di sofa itu saja, bagaimana?” tawar Maya dengan wajah memanas. Ia sungguh tak ingin melihat Masumi pergi. Ia takut, Masumi tiba-tiba merubah perasaannya, mengganti keputusannya. Ia tak mau. Tak ingin Masumi meninggalkannya lagi.
Masumi mengamati sofa di depan televisi itu. “Aku pergi setelah kau tertidur,” Masumi mengatakan lagi perjanjian mereka.
“Tapi Anda harus kembali sebelum aku bangun besok…” tuntut Maya.
“Aku bisa melakukannya.”
“Kalau aku bangun tengah malam, bagaimana?” gadis itu memelas.
Masumi mengamati Maya. “Sejak kapan kau jadi begini manja?” tanya pria itu dengan mata jenaka.
“Sejak aku tahu Pak Masumi… mencintaiku,” kata gadis itu dengan wajah yang semakin memanas.
Masumi tersenyum lebar. “Baiklah… aku tidur di sofa,” kata pria itu. “Aku dengan senang hati, mengamatimu semalaman…”
Maya terkekeh seraya menunduk memainkan jari-jarinya.
=//=
Maya mengamati Masumi yang terbaring di sofa. Kakinya yang panjang membuat pria itu tampaknya kurang nyaman berada di sana. Gadis itu hanya mengamatinya. Setelah sekian lama dilihatnya Masumi beberapa kali berganti posisi karena tidak nyaman, Maya bangun. Ia duduk.
“Pak Masumi…!” panggil Maya. “Pak Masumi…”
Pria itu tersentak mendengar suara Maya. Dengan cepat ia bangun, hingga Maya bisa melihat wajahnya. “Ada apa?” tanya Masumi. “Kau memerlukan sesuatu?”
Maya menunduk sejenak, terlihat ragu-ragu, “Mhh… anu… Pak Masumi… kemarilah,” ajaknya.
“Apa?” alis Masumi terlonjak.
Maya sedikit bergeser dan menepuk tempat di sampingnya. “Di sini, tidurlah di sini,” katanya malu-malu. “Aku berada di dalam selimut, kau bisa tidur di luarnya kan,” Maya mengutarakan apa yang sudah ia pikirkan semenjak tadi.
“Tidak Mungil, aku—“
“Aku bisa melihat kalau kau gelisah dan tidak nyaman,” terang Maya. “Aku jadi tak bisa tidur. Kemarilah…” bujuk Maya.
Gadis itu di dalam selimut, ia di luar. Ya, mungkin tak ada masalah… lagipula mereka sama- sama mengantuk. Apa yang bisa terjadi antara dua orang yang mengantuk. Masumi berdiri. “Baiklah,” ia menghampiri Maya.
Pria itu terbaring di sisi yang kosong, di luar selimutnya. Dipandanginya Maya yang wajahnya berada 180 derajat di hadapannya. Gadis itu tersenyum malu-malu.
“Mendekat padaku,” pinta Masumi.
Gadis itu beringsut di dalam selimut, mendekat kepada Masumi. Pria itu memeluknya. Keduanya saling memandang lantas tertawa kecil.
“Kau terasa seperti guling,” kata Masumi.
Gadis itu kembali tertawa. Saat tak terdengar apa-apa lagi. Keduanya mulai merasa gugup.
Dan, kantuk mereka hilang sama sekali.
“Selamat malam,” Masumi berkata.
“Selamat malam…” jawab Maya.
Gadis itu menutup matanya. Ia sangat nyaman dipeluk Masumi seperti ini walaupun terhalang selimut tebal. Maya yang tak bisa tidur membuka matanya. Ia mengamati Masumi yang terpejam. Tampan. Gadis itu tersenyum. Tampaknya Masumi sudah lelap. Maya menutup matanya lagi.
Mata Masumi terbuka. Ia tak bisa tidur. Diamatinya Maya yang tertidur dalam pelukannya. Wajah tidurnya menggemaskan, dan gadis itu terlihat begitu cantik. Masumi tersenyum. Tampaknya Maya sudah tidur. Ia sempat ingin membelai wajahnya, atau mengecup keningnya. Tetapi ia berubah pikiran. Ia takut mengusik gadis itu. Masumi kembali menutup matanya.
Tak berapa lama, keduanya membuka mata. Sama-sama terkejut melihat pasangannya masih terjaga.
“Belum tidur?” tanya mereka bersamaan. Keduanya tertegun, dan sama-sama tertawa kecil.
“Dingin ya, Pak Masumi?” tanya Maya perhatian.
“Tidak…” jawab Masumi. Ia hanya sangat gugup bersama Maya sedekat ini. Kali ini ia bisa melaksanakan maksud hatinya, ia membelai rambut gadis itu dan membuat gadis itu merasa nyaman, ia menggerakkan kepalanya pelan, menyambut belaian tangan kekasihnya.
“Dulu, saat kau memelukku di lembah plum,” wajah Maya merona lagi. “Kurasa itu tidurku yang paling nyenyak,” aku Maya.
“Benarkah?” Masumi tersenyum. “Tahu tidak… saat itu aku menciummu,” ia akhirnya berani mengakui.
“Ha?” Mata Maya membulat. “Me-menciumku? Kapan?” tanyanya.
“Saat pagi datang… dan, memang kau tidak terbangun. Jadi bisa dipastikan kau memang begitu pulas.”
“Pak Masumi…” pipi gadis itu terasa panas.
Ia menggeliat dari dalam selimutnya, mendekatkan wajahnya kepada wajah Masumi. “Aku jadi berpikir… untuk membalas dendam,” katanya.
“Aduh… aku takut sekali…” seloroh Masumi.
Keduanya tertawa di tengah malam itu. Lalu keduanya diam, saling memandang. Masumi resah lagi. Khawatir candaan dan kedekatan mereka, membuat Masumi lupa diri lagi.
“Sudah cepat tidur,” pria itu merapatkan selimut kekasihnya lagi.
Maya mengangguk. Ia membenamkan tubuhnya lagi. Masumi memeluknya, dan mengecup keningnya. Keduanya memejamkan mata.
Tiba-tiba, mereka merasa terhuyung. Mata keduanya membuka dan kecupan Masumi terhenti. Mereka segera mengamati bagian atas kabin. Maya melihat lampu bergoyang.
“Gempa?” ujarnya bingung.
“Tidak…” tampik Masumi. “Kita di laut, tidak ada gempa.”
Tetapi, memang goyangan kapal pesiar ini terlalu kentara. “Tunggu sebentar,” Masumi turun dari tempat tidur. Ia berjalan menuju jendela kaca dan menyingkirkan tirainya.
Ia mengamati malam yang tadi tenang, sekarang tampak jauh berbeda. Matanya membulat. Dari kejauhan, halilintar menyambar-nyambar, dan hujan begitu deras. Sepertinya, lautan mengamuk. Saat itu, sekali lagi Masumi merasakan dirinya terhuyung.
“Pak Masumi!” panggil Maya lagi, kali ini dengan cemas karena goyangan itu terasa lebih kentara lagi.
 
 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting