Wednesday 12 June 2013
Fan Fiksi: Unspoken 3
“Maya…? Sedang apa kau
di sini!?” Masumi terkejut, juga khawatir. “Kau, menunggu dari tadi!? Maya... Kau? kau
menungguku?" tanya Masumi, yang sangat terkejut, melihat Maya di tengah
malam seperti ini.
"Pak Masumi..." Maya
menghampiri. "Ya, a, aku ingin bicara denganmu."
"Bicara?" Wajah
Masumi berubah datar. "Bicara mengenai apa?"
Ia ingat lagi, ada Shiori di
dalam sana. wanita itu bisa melihat mereka, dan ia tak ingin kalau Shiori
sampai melakukan macam-macam kepada Maya.
"Anda... Anda, kenapa...
tidak ada kabarnya. La-lalu... apakah aku, membuatmu marah?" tanya Maya
dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca.
"Maya, ini bukan
saat yang tepat untuk membicarakannya! Aku, aku sedang tak bisa."
"Anda membenciku?"
desak Maya, dengan airmata menetes.
Maya... hati pria itu
bagai disayat sembilu, setiap tetesan airmata Maya menorehkan sakit semakin
dalam. Masumi menelan ludahnya. ia tak bisa melihatnya seperti itu.
"Maya..." Masumi berucap lebih lembut, "Nanti--"
"Wah!! Ini dia
yang kita tunggu-tunggu...!!" tiba tiba saja tiga orang yakuza muncul dari
balik semak-semak.
Maya dan Masumi sangat
terkejut dengan kehadiran ketiga orang bertampang sangar tersebut. Mereka
membawa tongkat kasti dan menghampirinya.
"Wah, wah, wah,
Direktur Daito, tengah malam sedang bersama seorang wanita... apakah dia juga
daganganmu?" tanya yang seorang, bertubuh tinggi dan tambun. "Karena
kau sudah merampas dagangan Bos kami, jadi, tidak apa-apa kan jika kami meminta
balasan yang setimpal!"
"Kyaaa!!"
Maya berteriak, saat salah seorang dari mereka menarik tangannya. Namun, dengan
cepat Masumi berekaksi, kepalannya segera melayang menonjok keras rahang pria
itu.
"BUK!!!"
"Jangan sentuh
dia!! Dia tidak ada kaitannya denganku!!" Seru Masumi dengan geram.
"Oh... rupanya
Direktur Daito sangat melindungi dagangannya!!" Ejek si Tambun.
"Menarik!!" Dengan cepat ia mengangkat tongkat kastinya tinggi dan
mengarahkannya kepada Maya.
"Kyaa!!"
Maya histeris.
"TIDAK!!!"
Masumi menghalangi dengan punggungnya. "BUG!!" tongkat itu menghantam
bahu Masumi dengan teramat keras. "Ugh!!"
"Hahahaha....
Bagus!! Jadi kau tak mau daganganmu rusak hah!? Kalau begitu kau harus
melindunginya! Ayo, lindungi dia!! Jangan melawan!!"
"BAG!! BUG!!
BUG!!" Tongkat-tongkat kasti itu menghantam dengan bergantian. Dengan
sekuat tenaga Masumi berusaha melindungi Maya. Gadis ini tak boleh terluka lagi
karena dia. Ia bersyukur tubuhnya bisa menjadi tameng untuk gadis kecintaannya
itu.
Tubuh Maya gemetar,
lemas, ia benar-benar takut dengan suasan mencekam saat ini, namun terutama,
karena Masumi. Pria itu berusaha melindunginya sekuat tenaga.
"Jangan
bergerak," erang Masumi. "Kau jangan bergerak, jangan sampai, mereka
menyakitimu!"
"Pak Masumi...
Pak... Pak Masumi..." Maya menatap getir pria itu. Pria yang selalu
melindunginya. Tidak.. pria ini pasti tak pernah bermaksud menyakitinya. Maya
bisa merasakan, Masumi melindunginya sepenuh jiwa dan raga.
"To,
toloong~" suara Maya gemetar. "To.. Long!!" maya sekuat tenaga
berusaha berteriak.
Sementara itu, di
pintu Daito, Shiori yang sudah kembali dari mengambil lipstiknya, sangat
terkejut dengan apa yang dilihatnya di parkiran. Masumi sedang dipukuli, dan
pria itu tak melawan. Dengan sekuat tenaga, pria itu berusaha melindungi Maya.
Kenapa... Kenapa
Masumi!? Kenapa kau rela melakukan ini semua demi dia? Kenapa....
"Tidaaak..."
isak Shiori. "Jangan... pukuli... Masumi... Hentikan... Hentikan..."
Namun wanita itu merasa lemas, dan jatuh pingsan.
Sementara Maya
berteriak sekuat tenaga. "HENTIKAN!!! JANGAN MEMUKULI PAK MASUMI!! JANGAN
MENYAKITINYA!! HENTIKAN!!! TOLOONG!!! TOLOONG!!!"
Teriakan Maya menarik
perhatian dua orang petugas keamanan yang menghampirinya.
"HEY! ADA APA
INI? APA YANG KALIAN LAKUKAN!!?"
"Pak Masumi....
Pak Masumi..." panggil Maya, seraya melap luka-luka di dahi dan bibir peia
itu.
Untunglah, tadi ada
petugas keamanan yang menolong mereka, dan para preman itu pun kabur. Masumi
yang tak ingin membuat Maya berurusan dengan polisi, melarang mereka memanggil
polisi. Pria itu pun tadi sempat memastikan bahwa Maya baik-baik saja dan tidak
terluka sedikit pun, sebelum akhirnya Masumi jatuh pingsan.
"Pak
Masumi..." panggil Maya lagi dengan lirih. "Bukalah matamu,"
pintanya.
Maya yakin, Masumi tak
mungkin menyakitinya. Jika pria itu memutuskan berhenti menjadi Mawar Ungunya,
pasti ada alasannya.
Maya juga melihat,
tadi, Shiori pingsan di pintu masuk. Ternyata wanita itu juga sedang berada di
gedung tersebut. Mungkin, benar, bahwa Masumi akhirnya memutuskan untuk memilih
Shiori dan bukan dirinya. Hal itu, membuat Maya sangat sedih jika
memikirkannya. walaupun demikian, Maya tak membenci Masumi. Ia coba mengerti.
Tentu saja, dirinya memang tak ada apa-apanya jika dibandingkan Shiori. Bukan
salah Masumi jika pria itu memiliki logika yang bekerja baik.
"Pak Masumi...
kekasihku... pria yang kucintai," bisik Maya di bibir pria itu. Gadis itu
membelai rambut Masumi, dan mulai membacakan dialog Akoyanya. "Hari itu,
saat aku melihatmu, Akoya langsung tahu, bahwa kau adalah belahn jiwa yang
pernah dikatakan nenek..."
"Buanglah nama
dan masa lalumu, dan jadikanlah Akoya milikmu," Maya mencium bibir pria
itu, dan air matanya menetes di pipi Masumi. Airmatanya tak bisa berhenti
mengalir, melihat masumi yang tak berdaya di hadapannya.
"Pak Masumi...
kumohon, bukalah matamu. Jika, jika kau sudah baik-baik saja, aku tidak akan
mengganggumu lagi. Maaf, maafkan aku, jika tadi tak ada aku, kau pasti bisa
melawan. tetapi, karena aku.. salahku... kau sampai jadi seperti ini,"
isak Maya. "Pak Masumi..." Maya menggenggam tangan Masumi erat-erat.
Saat itulah pintu
dengan cepat terbuka. Shiori yang sudah sadar dari pingsannya, masuk ke dalam
ruangan.
"Apa yang
kaulakukan!!?" hardiknya, saat melihat maya di dekat Masumi.
Gadis itu terlonjak
karena terkejut, "Sa-saya... saya..."
"Pergi kau!
Jangan mendekati Masumi lagi!!" SHiori dengan cepat menghampiri Maya dan
menarik lengannya. "Kau!! Gara-gara kau Masumi menjadi seperti ini! Pergi!
Jangan pernah mendekati Masumi lagi!!" pekik Shiori, yang mengusir Maya
pergi.
"Tuan, saya sudah
mendapatkan beberapa informasi. Sepertinya, orang-orang yang mencelakai Maya
adalah orang-orang dari Yamashita, sepupunya. Yamashita adalah salah satu
keluarga Takamiya yang memang dekat dengan dunia bawah tanah. Ia memiliki rekor
tidak segan-segan dalam melukai lawannya, bahkan menghilangkan nyawa siapa saja
yang mengahalangi jalannya. Namun, memang, sejak dulu Yamashita adalah salah
satu sepupu yang dekat dengan Shiori," terang Hijiri. "Saat ini saya
berusaha mencari tahu mengenai apa-apa saja bidang yang dikuasai Yamashita dan
juga relasi-relasi serta lain sebagainya."
"Kau belum
mendapatkan kelemahannya? SKandal yang bisa menjatuhkannya?" tanya Masumi.
"Belum Tuan, ada
beberapa skandal yang pernah dikait-kaitkan dengannya, namun hingga saat ini
belum da bukti apa pun terkait dengan hal tersebut," terang Hijiri.
"Tidak apa-apa,
tolong kau kumpulkan saja apa pun isu terkait Yamashita atau apa saja, bukti
bisa kita kumpulkan kemudian," terang Masumi.
"Baik,
Tuan."
Hubungan terputus.
Pintu kantor Masumi
diketuk. Mizuki masuk, "Pak, Anda sudah ditunggu di ruang rapat."
"Baik."
Masumi berdiri dan beranjak dari kantornya.
Pikiran pria itu terus
teringat mengenai kejadian beberapa hari yang lalu, saat dirinya dipukuli oleh
para yakuza. Ia yakin sekali, mendengar Maya mengucapkan kalimat cinta Akoya
dan juga menciumnya. Masumi tidak tahu apakah itu sungguh terjadi, ataukah
hanya mimpi. Akan tetapi, saat ia membuka matanya, hanya ada Shiori di sana,
yang mengatakan Maya segera berlari pergi saat Masumi pingsan. Tetapi, di
kening dan pipi Masumi, ada tetesan airmata. Ia yakin, itu milik Maya.
Masumi lega, saat ia
melihat pemberitaan yang mengatakan grup Kuronuma sudah kembali berlatih.
Maya... aku merindukanmu... batin pria itu, saat memasuki ruangan rapat.
=//=
"Maya ada yang
mencarimu." kata seorang kru.
"Baiklah."
Tampak seorang pria
dengan pakaian sopir menunggu keduanya. "Selamat siang, Nona, silakan ikut
dengan saya, ada yang ingin berbicara dengan Anda."
Maya sedikit ragu
mengikutinya, sudah banyak kejadian yang menakutkan terjadi kepadanya
belakangan. "A-aku... harus latihan, maaf, tapi..."
"Ini berkaitan
dengan Tuan Masumi Hayami."
"Apa? Pak...
Masumi...?"
Maya ikut dengannya.
Maya tak mengira,
bahwa saat itu, yang menunggunya adalah seorang wanita, yang memperkenalkan
diri sebagai kepala rumah tangga Takamiya.
"Nona Maya,
seperti yang Anda ketahui, Tuan masumi Hayami dan Nona Shiori sudah
bertunangan. Saat ini mereka sedang mempersiapkan pernikahan mereka. Akan
tetapi, Anda... tampaknya, masih sering mengganggu dan mengusik mereka
berdua."
"Ha? a-apa?"
"Ini..."
wanita itu menyodorkan sebuah amplop. "Ini imbalan, agar Anda menjauhi
Tuan Masumi, dan jangan pernah mengganggu mereka lagi."
"Ini... apa...
ini?" tanya Maya.
"Untuk Anda,
simpanlah. Pasti itu sudah lebih dari cukup kan?"
Wanita itu beranjak
dan pergi.
Maya membuka isi
amplop itu. Uang sebesar sepuluh juta yen. Mata gadis itu membulat. Mereka
menyuapnya, untuk menjauhi Masumi!?
"Maya...
kenapa... mereka memberikan uang ini untukmu?" tanya Kuronuma, tak
mengerti, saat Maya menceritakan apa saja yang baru dialaminya. "apa
kau... memang mempunyai hubungan dengan Pak Masumi?"
"Ah, saya! Tidak!
saya..." wajah Maya memerah dan ia tampak kikuk. Gadis itu memang tak
pandai berakting di luar panggung.
Sepertinya, Kuronuma
mulai mengerti, Maya yang sering bertingkah aneh dan tertutup, dan juga sering
menangis, sepertinya... memang ada hubungannya dengan masumi? Diamatinya gadis
yang tengah menunduk dengan wajah memerah itu.
"Jadi... kau
tidak mau menjauhi Pak masumi walaupun dibayar 10 juta yen?"
"Bu-bukan
begitu... saya.. saya tidak suka menerima sogokan seperti ini, saya... tidak
suka caranya."
kuronuma mengamati
Maya. "Kalau begitu..." pria itu melangkah, dan Maya mengikutinya.
"Selamat siang,
bisa saya bicara dengan Nona Shiori?" tanya Kuronuma di telepon.
"Oh... begitu... ya.. ya... kapan, dia akan berangkat?"
Pria itu menutup
teleponnya. "Shiori sedang ada di pelabuhan, dia hendak pergi naik pelayaran
Astoria. Coba kau kejar dia, dan kembalikan cek itu olehmu sendiri."
=//=
Masumi turun di
pelabuhan. Sejenak ia mengamati kapal pesiar dengan tulisan ASTORIA tersebut.
Jadi, ini, kencan yang sudah direncanakan Shiori jauh-jauh hari, dan
mewanti-wanti Masumi agar tidak membawa ponselnya? Masumi mengeratkan
rahangnya. ya,tak apalah, setidaknya ia tak perlu menghabiskan waktu berdua
saja dengan Shiori.
Masumi melangkah masuk
melewati ruang pemeriksaan dan menyebutkan namanya. "Masumi Hayami."
"Ah,ya, Tuan
Masumi, silahkan ikut dengan saya. Sesuai yang diminta oleh Nona Shiori, kami
sudah mempersiapkan yang istimewa bagi Anda."
Istimewa?
"Ah! Itu, itu
kapalnya!" Maya dengan cepat berusaha menerobos masuk.
"Tiket
Anda?"
"A-aku tidak
punya."
"Tidak punya?"
petugas itu naik pitam. "Kalau begitu Anda tidak boleh naik!"
"Tidak! Saya
hanya ingin bertemu seseorang! Sebentar saja!" Maya menerobos masuk.
"Silakan Tuan,
kamar Anda di sini."
Kamar?
"Pelayaran satu
malam Astoria adalah favorit banyak pasangan. Ini pelayaran romantis yang
sangat laris. Saya yakin Anda dan Nona Shiori pasti akan menyukainya."
Pintu kamar dibuka.
"Silakan, ini kabin khusus kalian berdua."
Masumi memasuki kabin
tersebut. Mewah, megah, luas, dan.... Dilihatnya sebuah tempat tidur kingsize
yang ada di sana. Perutnya mual seketika. Apa-apaan ini? Wanita itu bermaksud
merencanakan menghabiskan malam berdua dengannya?
Tenggorokan Masumi
langsung terasa pahit, ia berbalik.
"Saya harus
pergi!!"
"Eh, Tuan? Tuan?
Ada apa? Anda tidak suka kamarnya?"
"Saya ada
keperluan, saya tidak bisa mengikuti pelayaran ini."
"Tetapi Tuan,
Nona Shiori sudah mempersiapkan semuanya, dia--"
"Tertangkap!!"
seru awak kapal.
"Lepaskan!!!"
pekik Maya.
Masumi tertegun, ia
merasa kenal dengan suara itu, amat mengenalnya.
"Ada apa
ini?" tanya manajer.
"Ini, Pak! Nona
ini, dia menerobos masuk ke atas kapal tanpa membawa tiket!"
"Aku hanya ingin
bertemu seseorang! Aku mencari--"
"MAya...?"
Masumi memandang gadis itu tak percaya.
Begitu juga dengan
Maya. Suara itu... Maya menoleh, dan mendapati pria yang dicintainya berdiri di
sana, memandangnya. "Pak Masumi..."
"Kau... sedang
apa di sini?" tanya Masumi dengan takjub, jantungnya mulai berdebar penuh
rindu. Ia sejenak tersadar. "Tidak apa-apa. dia kenalanku. Aku bertanggung
jawab," kata Masumi.
"Ah, baiklah
kalau begitu."
Para awak meninggalkan
keduanya, yang mematung dan saling menatap tak percaya. Setelah saling
merindukan, sekarang mereka bertemu, berhadapan.
Suara pengumuman
terdengar. Astoria memulai pelayaran romantis satu malam.
Maya…
Pak Masumi…
Masumi berjalan
mendekat kepada Maya. “Kau sedang apa di sini?” tanya Masumi.
“A-aku… aku mencari
seseorang,” Maya berkata. Saat itu ia segera menyadari sesuatu. Masumi ada di
sini, pastilah pria itu sudah punya janji kencan dengan tunangannya tersebut.
“Seseorang? Siapa?”
tanya Masumi.
“Uhm… itu… mm…”
“Baiklah Mungil, mau
tidak mau, kapal sudah berangkat. Kau terpaksa menemaniku di sini. Bagaimana
jika kita makan malam dulu?” tawar Masumi.
Menemani… “Anda… sendiri?”
Masumi tersenyum
samar. “Ya.”
Keduanya lantas
beranjak ke sebuah restoran dan duduk di sebuah kursi. Maya merasa sedikit
rikuh karena ia mengenakan pakaian yang sangat sederhana, jauh berbeda dengan
Masumi yang tampil rapi dan perlente dengan setelannya.
“Pak Masumi, apakah…
tidak apa-apa… jika kita terlihat bersama?” tanya Maya ragu.
Masumi mengamati wajah
kikuk gadis itu. “Memangnya… kenapa, Maya?”
Maya… pria itu menyebut namanya. Jantung Maya sekali lagi berdebar-debar.
“Pak Masumi…” gadis itu
menatap Masumi dengan memelas.
“Kau keberatan ya,
terlihat bersamaku?”
“Ti-tidak! Bukankah…
Anda, yang tidak mau terlihat bersamaku?” raut Maya berubah sendu.”Sa-saat
terakhir kali kita bertemu, Anda… menghindariku, dan…” Maya mengangkat
wajahnya, bertemu tatap dengan Masumi yang mengamatinya lekat. Ia tak tahu,
Masumi sedang memuaskan kerinduannya.
“Maya, ada apa, kau
naik ke atas kapal?” tanya Masumi. “Kau bilang kau mencari orang, siapa?”
Maya menunduk, menelan
ludahnya. “Nona… Shiori.”
“Shiori?” desis
Masumi, “Kenapa? Ada apa kau mencarinya?”
“Pak Masumi, A-Anda…
apakah, seharusnya dia bersamamu?” tanya Maya.
Masumi tertegun.
Memang benar adanya. Seharusnya saat ini dia dan Shiori sedang berkencan. Ia
tidak tahu Shiori bermaksud mengajaknya berlayar satu malam. Pria itu tak
menjawab pertanyaan Maya.
“Jadi, kenapa kau
mencari Shiori?” sekali lagi Masumi bertanya, dan membuat Maya mengerti bahwa
pria itu enggan menjawab pertanyaannya.
Sejenak Maya ragu,
apakah harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Akhirnya ia mengelurkan
amplop berisi cek yang ada di dalam sakunya.
“Aku bermaksud
mengembalikan ini,” kata Maya dengan terbata. “Kepada Nona Shiori.”
“Apa ini…?” tanya
Masumi, meraih amplop tersebut. Ia mengeluarkan cek senilai sepuluh juta yen.
Mata pria itu melebar. “Ini…”
“Seseorang
mendatangiku, dan memintaku untuk menjauhi Anda dengan bayaran cek itu,” tangan
Maya gemetar.
Masumi terkesiap.
Shiori menyogok Maya agar mau menjauhinya? Dan, gadis itu…
“Kau menolaknya?”
tanya Masumi.
Gadis itu menatap Masumi
dengan memelas, membuat hati pria itu tak menentu.
“Tentu saja!” tegas
Maya. “Itu tidak perlu ditanyakan lagi.”
Maya… Masumi begitu tersentuh. Ia bisa merasakan kesungguhan perkataan gadis
itu, juga perasaan cintanya yang mendalam. Gadis itu sudah mencintainya seperti
ini?
“Baiklah,” Masumi
merobek cek itu menjadi dua. “Biar nanti aku yang bicara mengenai hal ini
kepadanya. Terima kasih, kau sudah menolak tawarannya. Itu sangat berarti
untukku.”
Pak Masumi…
“Maya, karena kita
sudah ada di sini, kau mau kan menemaniku semalam ini?”
Maya mengangguk. “Aku
akan menemanimu, sampai kapanpun Pak Masumi mau,” wajahnya merona.
Otot rahang Masumi
menegang mendengar perkataan Maya. Perkataan itu terlalu menggoda. Keputusan
Masumi jadi goyah, tetapi, bagaimana dengan keselamatan Maya?
“Permisi, Tuan,”
seorang pelayan menghampiri. “Kami mendapat pesan dari Nona Shiori Takamiya.
Beliau meminta maaf tidak bisa mengikuti pelayaran karena terjebak kemacetan.”
Deg. Maya tertegun.
Ternyata benar, Masumi dan Shiori merencanakan kencan ini.
“Baiklah, terima
kasih,” ujar Masumi.
Saat ia kembali
menatap gadis di hadapannya. Tampak wajah Maya sedikit sendu, dan ia hanya
menunduk. Maya… Masumi tahu benar apa
yang ada dalam benak gadis itu. Tetapi, ia tak bisa menyangkal.
“Ayo dimakan, Maya.
Kau tidak suka makanannya?” tanya Masumi.
Gadis itu menghela
napas. Ia tahu mereka sedang berpura-pura, bahwa tidak ada apa-apa yang terjadi
di antara mereka.
Maya menggeleng, “Aku,
belum terlalu lapar…”
“Ayolah, rasanya enak
sekali. Jangan sampai kau sakit karena terlambat makan. Apa perlu, aku
menyuapimu agar kau mau makan?” goda Masumi.
Maya tersenyum sendu
ia lantas mengangguk. Gadis itu mulai melahap makanannya.
“Maya, karena kita
berdua sudah ada di sini, lebih baik kita menikmati saja kebersamaan kita,
bagaimana?”
Sekali ini Maya
mengangguk, namun kali ini gadis itu tersenyum lebar.
Malam ini… aku akan
bisa menghabiskan waktu bersama Pak Masumi, walaupun hanya semalam ini…
pikirnya bahagia.
Masumi lantas membawa
Maya ke tempat kecantikan setelah selesai memilih pakaian dan aksesoris
untuknya. Ia tahu Maya sedikit rendah diri karena pakaiannya yang kurang
berkelas dibandingkan para tamu lain.
“Aku akan menunggu di
sini,” Masumi berujar, saat Maya dipersilakan masuk ke ruang kecantikan.
Cukup lama Masumi
menunggu, hampir dua jam. Ia sedikit bosan. Namun, saat pegawai salon
menegurnya, “Rekan Anda sudah siap.” Rasa kesal dan bosan itu menguap begitu
saja.
Maya tampak begitu
cantik. Dalam sekejap Masumi lupa bagaimana bernapas. Dan berkata.
“Tuan, silakan
tandatangan di sini,” tegur pegawai kecantikan.
“AH, eh, ya.. uhm…”
dengan kikuk Masumi menandatangani tagihan yang tak ia lihat jumlahnya. Bisa
melihat Maya secantik itu, sangat tak ternilai untuknya.
“Dia cantik sekali ya?
Memang jadi sedikit lupa diri kalau sudah melihat yang indah-indah,” ujar si
pegawai.
Skeali lagi Masumi
hanya tersenyum canggung.
Tatapannya beralih
lagi kepada Maya, dan jakunnya naik turun, saat ia kembali merasa terpesona.
Maya menghampiri,
dengan jantung berdebar kuat karena cara Masumi memandangnya.
“Terima kasih, untuk
semua ini,” Maya berkata dengan suara lembut dan tersenyum anggun.
Tidak… batin Masumi. Pertahanannya mendapatkan cobaan berat. Ia merasa begitu
bodoh sudah melepaskan gadis itu. Tidak. Ia harus bertahan. Ia harus
mempertahankan keputusannya. Bagaimana pun, itu semua demi kebaikan Maya.
“Kau sudah siap? Ayo,”
Masumi berbalik, hampir meninggalkan Maya.
Gadis itu tertegun dan
melangkah menyusul Masumi. Ia melirik sendu pria itu. Masumi sama sekali tak
mengatakan apapun. Maya menghela napas. Ternyata apa yang terjadi dulu adalah
kesalahan. Memang benar, bahwa Masumi sudah memutuskan untuk memilih Shiori.
Bahwa dia, juga tak ingin menjadi Mawar Ungunya lagi.
Kenapa, Pak Masumi…
Katakan padaku, kenapa? Aku mengerti, jika kau lebih memilih Nona Shiori
ketimbang aku. Tetapi…. Kenapa kau mau berhenti menjadi mawar unguku?
Maya hampir terisak,
saat Masumi bicara, “Kau sungguh… sudah tumbuh dewasa ya,” katanya, lantas
menoleh kepada Maya yang sedari tadi diam saja berjalan di sampingnya. “Sudah
menjadi gadis yang sangat cantik.”
Deg! Maya tertegun
mendengar ucapan pria terkasihnya. Gadis itu tersenyum tipis salah tingkah.
Entah kenapa ucapan Masumi yang terdengar begitu tulus, membuat hati Maya
berbunga-bunga.
“Aku memang sudah
dewasa,” kata Maya. “Aku sudah bukan si mungil lagi. Bukan anak kecil yang Anda
temui dulu. Aku sudah jadi wanita sekarang. Sebentar lagi usiaku 21 tahun.
Sudah boleh minum, juga, sudah boleh menikah!”
Deg! Masumi tertegun. Menikah…?
Benar sekali. Gadis
itu sudah dewasa. Sudah boleh menikah. Padahal, dulu Masumi menanti saat ini
tiba. Ia menunggu lama. Sangat lama. Dan sekarang, gadis itu sudah dewasa.
Gadis itu juga, mencintainya. Kenapa ia hanya bisa termangu seperti orang
bodoh? Kenapa… takdir menyiksanya seperti ini…
“Jadi… rupanya, kau
sudah ingin menikah ya…” kata Masumi, berusaha terdengar seringan mungkin.
“Tentu saja. Jika
sudah dewasa, setiap orang pasti ingin menikah dengan orang yang dicintainya,
seperti Anda… dan… Nona… Shiori…?” tenggorokan Maya tercekat. Ia menatap
Masumi, mengharap pria itu menyangkalnya.
Namun, Masumi tak
berkata apa-apa. Pria itu hanya memalingkan wajahnya. “Ayo, acaranya sebentar
lagi dimulai,” katanya, dengan pahit.
Keduanya lantas
menikmati acara pertunjukan musikal malam itu. Masumi senang karena Maya
tampaknya juga menikmatinya. Gadis itu juga tampak tertarik melihat para
pasangan yang berdansa.
"Nona Maya
Kitajima, mau berdansa denganku?" tawar Masumi, seraya menyodorkan
tangannya.
Maya tertegun, ia
mengamati lengan itu, lantas pemiliknya. "A-aku tidak bisa berdansa,"
maya menggeleng takut-takut."
"Jangan
khawatir," Masumi tersenyum. "Aku akan menuntunmu, kau hanya harus
percaya kepadaku."
Akhirnya Maya menerima
uluran tangan itu. Masumi membawanya ke lantai dansa, ke tengah-tengah.
"Santai saja, lemaskan tubuhmu, dan ikuti aku," kata Masumi.
Pria itu lantas
membimbng Maya untuk menggerakkan badannya. "Benar, seperti itu, Maya, kau
pandai...'puji Masumi.
Kau pandai... pujian
singkat yang membuat senyuman Maya semakin berseri.
Semakin lama suara
musik semakin cepat,begitu juga gerakan tubuh keduanya yang bergerak kian
lincah. Maya sangat senang dapat berdansa dengan Masumi. Tubuhnya bahkan terasa
begitu ringan.Keduanya bertatapan dan tersenyum riang. Maya sungguh merasa
bahagia.
Sementara Masumi, di
tengah dansanya masih sempat mengamati gadis mungil dalam genggamannya itu.
Rambutnya yang berkilau dan tertata rapi, wajahnya yang dirias dengan pas,
bibir merahnya, mata bulatnya, kulitnya yang bersih, pundak yang tampaknya
sangat halus, seperti tangannya yang sekarang ia genggam.
Maya sungguh memesona.
Kapan gadis ini akan menjadi miliknya?
Tepuk tangan terdengar
saat musik berhenti, dipersembahkan kepada Maya dan Masumi. Gadis itu tersenyum
senang dan juga malu-malu mendapatkan apresiasi seperti itu.
Lagu lain kembali
mengalun, kali ini lebih syahdu. Para pasangan kembali berdansa, lebih rapat
dengan kekasihnya.
"Mau berdansa
untuk satu lagu lagi?"
Maya mengangguk.
Masumi kembali meraih
tangan Maya, juga pinggangnya. Berdiri lebih dekat dari sebelumnya, hampir
merapat. Maya menengadah, mensyukuri wajah Masumi yang selalu dirindukannya,
sekarang ada di hadapannya.
"Ternyata kau
pandai berdansa," puji Masumi.
"Itu karena...
Anda pasangannya," jawab Maya seraya tersenyum merona.
Masumi tertegun.
Dipandanginya wajah Maya. Ia tak bisa bohong lagi. Tak ingin pura-pura lagi.
"Ah!!" Maya
tersentak.
Masumi memeluknya.
"Pak...! Pak!...
Pak Masumi...!" Maya panik, gelagapan. Ia menoleh ke sana kemari,
menyadari berpsang-pasang mata menatapnya. "Pak Masumi! Orang-orang
memperhatikan kita," desisnya.
Beberapa saat Masumi
tidak menjawab dan hanya memeluk Maya.
"Kau keberatan,
terlihat seperti ini bersamaku?" bisik Masumi.
Maya tertegun. Ia
melipat bibirnya. Gadis itu menggeleng. "Tapi, Pak Masumi... Anda kan...
Anda.." sudah bertunangan... batin Maya.
gadis itu tak mengerti
dengan sikap Masumi.
Pak Masumi, sebetulnya
ada apa di dalam hatimu? Aku tak bisa melihatnya. Kenapa hatimu begitu
berkabut, dan menyembunyikan banyak rahasia. Pak Masumi... Katakanlah,
sebetulnya, apa yang Anda rasakan...
Masumi lantas
menggerakkan tubuhnya lagi, mengikuti alunan musik yang romantis. Ia tahu
beberapa orang menggosipkan mereka, apalagi yang mungkin mengenalinya. Tetapi,
sekali ini ia enggan untuk peduli. Ia melingkarkan kedua tangannya pada Maya.
Kepala gadis itu
bersandar di dada Masumi, dan ia bisa mendengar, bukan hanya jantungnya saja
yang berdebar begitu kencang, tapi demikian juga dengan jantung Masumi.
Saat lagu selesai,
Maya dan Masumi saling memisahkan diri. Memandang satu sama lain dengan mesra
dan tersenyum malu-malu. Sekali lagi bisik-bisik dari sekitar mereka sempat
terdengar.
"Benar kan, itu
Masumi Hayami yang bertunangan dengan Shiori Takamiya? Lalu kemana Shiori? Dan,
siapa gadis itu?"
Maya mulai gelisah
lagi, dan Masumi melihatnya. Ia menghela napas. Tidak seharusnya ia menempatkan
Maya dalam posisi ini. Padahal, dia yang brengsek, tetapi malah Maya yang
berada dalam posisi terjepit.
"Sudah mau
tidur?" tanya Masumi. "Aku akan mengantarkan kau ke kamarmu."
"Anda?"
tanya Maya.
"Aku ingin
berkeliling-keliling dulu."
"Kalau begitu,
aku juga," jawab Maya.
Maya... Masumi
mengamatinya. Ia pikir Maya sudah tidak tahan dengan bisik-bisik di sekitarnya.
"Aku akan
mengambilkan minum, kau tunggulah di luar," kata Masumi.
"Baik,"
sekali lagi Maya tersenyum, dan ia berjalan ke luar.
Angin malam itu cukup
dingin. Maya tidak sendiri ada beberapa pasang yang lewat di, lantas masuk ke
dalam.
Masumi tidak lama, ia
segera kembali dengan dua buah minuman.
"aku tidak ingin
kau mabuk, jadi aku membawakan mocktail untukmu. Tidak ada alkoholnya."
"Aku sudah kuat
minum kok... Maya mengerucutkan bibirnya. Masumi tersenyum tipis. Gadis itu
terlihat menggemaskan.
"Di sini dingin
ya," Masumi berkata seraya memasangkan mantelnya. "Pakai ini, jangan
sampai kau sakit." Sekali lagi ia sempat mengamati kulit bahu gadis itu
yang terbuka, dan wajahnya merona. Ia berharap Maya tak menangkap kenakalannya.
Tiba-tiba Maya
mendongak kepada Masumi seraya tersenyum lebar, "Terima kasih."
"Deg!"
buru-buru Masumi memalingkan wajahnya. "Y-ya...Ya..." gumamnya tak
jelas.
Keduanya lantas
berdiri berdampingan, bersandar pada pembatas dek.
"Ayo
bersulang," ajak Masumi, mengangkat brandy-nya.
"Ya," Maya
tersenyum. "Untuk... Anda, semoga bahagia," ucap Maya.
Masumi tertegun,
mengamati gadis itu, sekali lagi terjerat kecantikannya.
"Untukmu..."
kata Masumi dengan suara agak berat dan serak, "semoga bisa menjadi
Bidadari Merah."
Pak Masumi... Maya
melipat bibirnya, tersentuh dengan ucapan Masumi.
"Terima
kasih," Gadis itu tersenyum tulus.
Masumi menyadari, Maya
sudah tidak lagi menaruh curiga pada semua perkataannya.
"Bintangnya sudah
banyak," kata Maya.
Masumi mendongak.
"Oh, ya..."
"Ah,aku tahu itu
Deneb! Dan itu vega! Lalu itu..." dengan semangat Maya menunjuk
bintang-bintang yang ada di langit malam itu.
"Kau
pintar!" puji Masumi.
Maya tergelak senang,
"Aku memang pintar kan!" seloroh Maya bangga.
Keduanya saling
memandang.
Maya sangat senang
bisa berada di sini bersama Masumi. Rasanya, perbedaan usia yang 11 tahun itu
sama sekali tidak terasa. Jika bersama Masumi, ia merasa senang.
"Ini yang kedua
kalinya, aku melihat bintang bersamamu," kata Maya seraya tersenyum
lembut.
"Kedua
kali?"
"Ya, pertama saat
di lembah plum kan? Lalu, malam ini... di sini,," Maya menatap Masumi.
"Aku senang sekali."
"Aku juga,"
jawab Masumi dengan jujur.
"Eh, jika
dihitung dengan di planetarium, semuanya jadi tiga kali," Maya berujar.
"Hm... itu bisa
dihitung tidak ya?" Masumi tersenyum.
"Pak
Masumi..." Maya mengamati wajah tampan pria itu. "Aku lega, Anda
baik-baik saja. Sejak pertemuan dengan Anda di Daito, aku, aku," mata
gadis itu mulai berkaca-kaca. "Aku sangat mengkhawatirkanmu.Jika, aku
mencarimu lagi, aku takut sekali akan merepotkan Anda. Tetapi, syukurlah bisa
bertemu denganmu di sini, dan, Anda ternyata baik-baik saja. Aku lega
sekali," gadis itu tersenyum lega.
Malam itu... ucapan
Maya mengingatkan Masumi akan sesuatu.
"Ma-maya...
saat... aku pingsan, apa... kau langsung pergi?" tanya Masumi.
"Eh? aku... saat
itu..."
"Shiori
mengatakan, kau langsung pergi. Tetapi, selama aku pingsan," Masumi
menatap lautan yang kelam. "AKu merasa kau ada di sisiku, merawatku.
Lalu.... kau mengatakan sesuatu... seperti dialog Bidadari Merah. Aku yakin
mendengar suaramu, juga..."
sentuhan tanganmu,
ciumanmu... imbuh Masumi dalam hatinya.
"Hari itu, saat
aku melihatmu pertama kali, Akoya langsung tahu, bahwa kaulah belahan jiwa yang
dikatakan nenek..." tiba-tiba Maya mengucapkan dialog Bidadari Merahnya.
"Eh!?"
Masumi tertegun, matanya membulat. Ia menoleh dan mendapati tatapan yang begitu
teduh dari gadis itu yang terus membacakan dialognya.
Dialog yang sama yang
ia dengar saat dalam keadaan setengah sadar. Suaranya, kalimatnya.
Maya... Masumi
merasakan jantungnya kembali berdebar keras.
Gadis itu menghampiri,
menjulurkan tangannya dan menyentuh wajah Masumi.
"Buanglah nama
dan masa lalumu, dan... jadikanlah Akoya milikmu..." Maya mengucapkannya
sepenuh hati, tanpa terasa airmatanya menetes menyusuri pipi.
"Maya..."
desis Masumi, yang tak kuasa mendapatkan pernyataan cinta sedemikian bergelora
dari gadis yang dicintainya.
"Pak Masumi...
aku... aku..."
"Bruk!!" Masumi
menarik Maya dan memeluknya erat.
"Aku mencintaimu,
Pak Masumi..." ia mulai menangis. "Sungguh."
Masumi menelan ludahnya.
Seharusnya ia tak pernah menyakiti hati Maya, tak pernah menyia-nyiakan gadis
yang ditunggunya begitu lama.
"Aku juga,
Maya..." balas Masumi. "Aku sangat mencintaimu... Sungguh..."
“Benarkah?” Maya
mendongak. “Benarkah yang kaukatakan? Lalu, kenapa Pak Masumi tak
menghiraukanku? Kenapa…”
“Ada banyak hal,” kata
Masumi pahit. “Ada banyak konsekuensi dari keputusanku ini. Bukan hanya
menyangkut aku, Maya, tetapi juga kau. Terutama kau! Dan juga teman-temanmu…
Aku tidak bisa egois dengan memikirkan diriku sendiri, sementara perasaanku ini
mencelakai kau dan lainnya.”
Maya tertegun,
bingung. Perasaannya mencelakai Maya dan teman-teman? Apa maksud perkataannya?
“Maksud Anda…”
“Saat kau dan
teman-temanmu diusir dari apartemen kalian, tak punya pekerjaan, kecelakaan-kecelakaan
yang hampir terjadi kepadamu,” Masumi mengamati wajah gadis cantik itu dengan
matanya yang nanar. “Semua bukan kebetulan…”
Mungkin Masumi membuat
kesalahan dengan mengatakan semua itu, karena mata Maya membulat dan wajahnya
berubah pucat. Tubuhnya pun mulai gemetar, semakin lama semakin hebat.
“Maya…” panggil Masumi
dengan khawatir, menopang tubuh gadis itu. “Maaf, maafkan aku! Aku pasti sudah
menakutimu,” sesalnya. Ia berdecak, “Ah! Bodoh!! Kenapa aku mengatakan semua
itu…” ujar Masumi dengan pedih. Tak seharusnya ia membuat gadis itu khawatir
dan ketakutan.
Maya berusaha
menenangkan dirinya. DIamatinya Masumi, lalu ia teringat saat Hijiri
mengantarkan Mawar Ungu terakhir kali. Jadi… karena itu, Masumi ingin
memutuskan hubungan dengannya? Jadi… semua ini…. Ada kaitannya dengan
pertunangan Masumi?
“Jadi Anda…” Maya
mulai berusaha bicara semampunya, “Tidak membenciku?” tanya Maya dengan mata
berkaca-kaca.
Masumi tertegun
ditanyai seperti itu. Perlahan ia menggeleng, dan wajahnya merona.
“Aku tak mungkin
membencimu…” ujarnya dengan tersenyum samar kemalu-maluan.
Wajah Maya menyala
lagi, bahagia. “Kalau begitu, sudah cukup,” Maya balas menyentuh lengan Masumi.
“Asal aku tahu Anda tidak membenciku, aku… sudah sangat bahagia,” airmata Maya
mengucur, membekas di bedaknya yang mahal. “Aku hanya tidak bisa… jika Anda
membenciku. Rasanya… aku tak bisa berpikir, tak bisa… bernapas. Dadaku sakit
sekali. Walaupun dahulu, aku yang selalu berbuat kasar kepadamu, tetapi, jika
Anda membenciku.. jika…” airmata itu terus turun. “Anda tak ingin lagi
mengenalku… rasanya… aku tak ingin melakukan apapun.”
“Maya…” Masumi
menyentuh pipi Maya dengan terenyuh. Gadis itu sudah mencintainya, sedalam rasa
cinta Masumi kepadanya. Ia mengatakan apa yang Masumi juga rasakan. “Maya…”
panggil Masumi dengan bergairah, dan dipeluknya gadis itu. “Maafkan aku… aku
pasti sudah menyakitimu. Tetapi… aku tak sanggup, jika memikirkan mereka
mungkin akan melukaimu.”
Maya menggeleng di
pelukan pria itu, “Asal kau jangan meninggalkanku,” pinta Maya. “Aku tak peduli
yang lainnya…”
“Tidak,” janji Masumi.
“Tak akan… Maafkan aku…” saat itu hati Masumi bertekad. Ia tak akan menyerah
kepada Shiori, Yamashita atau siapa pun. Ia harus bertahan. Memperjuangkan
cintanya dan Maya.
Gadis itu benar. Jika
tak bisa mewujudkan kisah kasih mereka, untuk apa semua yang ia lakukan? Untuk
apa hidupnya? Bukankah ia sudah menantikan saat ini selamanya? Sekarang gadis
itu mencintainya. Maya mencintainya. Ia tak akan menyerah.
=//=
Masumi menuntun Maya
berjalan menyusuri kabin-kabin yang sepi. Mungkin penghuninya sudah terlelap
untuk bermimpi, atau masih menikmati semua kesenangan yang ditawarkan oleh
kapal asmara tersebut.
Maya mengamati
punggung tegap kekasihnya. Lantas beralih mengamati tangan mereka yang saling
bertaut. Gadis itu merasakan pipinya yang merona, dan ia tersenyum kecil. Hanya
bergandengan tangan dengannya saja Maya sudah teramat bahagia.
Pak Masumi… aku ingin
selamanya, bisa bergandengan tangan seperti ini bersamamu.
Gadis itu tertegun,
saat mereka berpapasan dengan beberapa orang yang mengamati keduanya. Entah
mereka mengenali Masumi dan dirinya entah tidak. Yang pasti mereka mengamati
dengan heran tetapi Masumi tak menghiraukannya.
Mereka terus berjalan
hingga mencapai ujung lorong. Ada sebuah kabin, dengan pintu yang besar dan
tinggi menjulang. Sepertinya suite khusus, karena dari pintunya saja sudah
berbeda ketimbang kamar-kamar yang lain.
Masumi mengeluarkan
sebuah kunci bertuliskan suite 1001 dan membukanya.
“Masuklah, ajak
Masumi.”
“Haik… Shitsurei
Shimasu…” perlahan Maya memasuki kamar tersebut. Kamar yang sangat besar, megah
dan mewah. Mata gadis itu segera membulat takjub. “Waaah… ini kamarnya? Besar
sekali…”kata gadis itu, yang berputar-putar mengamati keindahan kamar tersebut.
“Ya, ini kamarmu. Kau
tidur di sini…” terang Masumi.
“Ah, aku tidur di
sini,” ujar Maya tak percaya. “Pak Masumi…?” ucapannya berhenti, saat ia
bertemu tatap dengan Masumi.
Pria itu memandanginya
lekat, tak berkedip. Jantung Maya jadi berderap cepat dengan seketika. Karena
siapa yang memandanganya, dan juga cara pandangnya. Pak… Masumi… tiba-tiba saja sebuah pemikiran terbetik, membuat
wajah gadis itu memanas dengan seketika. Apa
Pak Masumi juga… tidur di sini? Batin Maya, dan seketika ia menjadi salah
tingkah.
Masumi yang sedari
tadi mengamati Maya yang cantik, mulai menyadari keberadaannya membuat gadis
itu rikuh. Ini pertama kalinya, mereka berduaan di dalam sebuah kamar. Masumi
terkekeh kecil.
“Jangan berwajah
ketakutan seperti itu… Aku tak akan menerkammu,” kata Masumi. “Tidak tanpa
seijinmu,” godanya.
“Pak, Pak Masumi!!” Hardiknya.
Wajah Maya semakin merah padam.
Masumi tertawa. “Kau
tidurlah, aku keluar sekarang. Kalau ada apa-apa kau bisa menggunakan telepon
di sebelah sana.”
“Pak Masumi, mau
kemana?” tanya Maya dengan khawatir.
“Aku tidur di luar.
Jangan khawatir… ada banyak sofa di luar sana, aku juga sudah biasa begadang,
dan aku laki-laki, tak ada yang perlu kau khawatirkan,” Masumi tersenyum.
“Di… di luar?” Maya
menghampiri Masumi dengan resah.”Nanti Anda sakit… Lagipula… seharusnya, kamar
ini untukmu kan? Jika gara-gara aku, kau sampai sakit…” Maya menunduk.
“Ma, Maya…” desah
Masumi, wajahnya sontak merona. “Aku tidak ingin orang berpikir yang
tidak-tidak, apalagi kau calon Bidadari Merah.”
“Orang-orang siapa?
Tidak ada orang di sini,” kata Maya. “Lagipula, di sini juga ada sofa.
Setidaknya… Anda tak harus tidur di luar,” bujuknya.
Masumi menelan
ludahnya, menatap Maya yang memelas. Mungkin gadis itu tidak mengerti, atau
terlalu polos, bahwa dia, bagi Masumi, adalah godaan yang sangat besar. Dari
tadi ia tak bisa lepas menikmati kemulusan kulitnya. Kilauan rambutnya,
keharuman tubuhnya. Lekuk-lekuk tubuhnya yang mulai mendewasa. Bibirnya,
tatapannya. Ya, mungkin dia bajingan, pria tak tahu diri yang mencuri-curi
kesempatan. Tetapi itu berlangsung di luar kehendaknya. Terjadi begitu saja.
Ia tak tahu apa yang
mungkin terjadi jika mereka berduaan di dalam kamar seperti ini.
“Jangan,” pinta
Masumi, memutuskan tatapan mereka. Ia tak sanggup menolak jika menatap mata
gadis itu.”Aku akan baik-baik saja. Aku… Aku takut melakukan sesuatu yang dapat
menyakitimu,” akunya dengan wajah teramat merah.
Maya tertegun,
diamatinya Masumi yang salah tingkah, dan mengertilah ia apa yang Masumi
khawatirkan. Gadis itu juga jadi salah tingkah.
“Pak… Pak Masumi…”
desisnya.
“Baiklah, aku keluar.
Besok aku menjemputmu untuk sarapan,” pamitnya cepat.
Masumi membuka
pintunya, “BRAK!!” pintu itu tertutup lagi didorong Maya. Pria itu terkejut,
dan menoleh kepada gadis tersebut, memberikan tatapan bingung dan bertanya.
“Jika Anda keluar… Aku
juga keluar,” tuntutnya.
“Maya…” desis Masumi. “Jangan
begini…”
“Pak Masumi,” gadis
itu mendongak. “Aku percaya padamu. Aku tahu kau tidak akan menyakitiku. Saat
di lembah plum… kau juga melindungiku.”
“Aku, yang tak percaya
kepada diriku sendiri,” desah pria itu. “Bagaimana pun, aku ini laki-laki, Maya…
laki-laki dewasa. Kau harus mengerti… bahwa… kurasa tak akan mudah bagiku,
menjaga kepercayaanmu jika aku tak membatasi diri,” jelasnya. Ia tersenyum, “Aku
tidak akan terlalu jauh. Kalau kau memanggilku, aku pasti mendengar.”
Maya terdiam, sedikit
cemberut. Ia tak suka berada di tempat seperti ini sendirian. Setidaknya,
dengan ditemani Masumi ia bisa merasa lebih nyaman dan familiar. Tetapi, apa
yang dikatakan Masumi masuk akal. Sepertinya, pria itu memang sangat menjaga
diri.
Akhirnya Maya
mengangguk. “Tetapi… jangan pergi sekarang,” pintanya. “Bisakah Anda
menemaniku, sampai aku tertidur? Jadi aku… tak akan merasa begitu kesepian.”
Maya…? Masumi
tertegun. Ia akhirnya mengangguk. “Baiklah…”
=//=
“Ah, ini pakaianku!”
ujar Maya seraya membuka tas yang terletak di atas sebuah bufet. “Pak Masumi…
aku ganti pakaian dulu.”
“Ya,” Masumi tersenyum
seraya menuangkan sebuah minuman untuk dirinya sendiri.
Maya masuk ke kamar
mandi dan membersihkan dirinya sendiri. Saat ia keluar, Masumi masih menikmati
minumannya seraya menyaksikan sebuah film yang disediakan di sana. Tampaknya
drama romantis. Sesuai dengan tema pelayaran malam ini.
“Film apa?” tanya
Maya.
“Entahlah,” jawab
Masumi yang baru melihat film itu. Ia meraih covernya dan menyebutkan judulnya.
“Filmnya bagus?” tanya
Maya lagi.
“Sepertinya, umh…
entahlah, baru mulai.” Sebenarnya Masumi kurang memperhatikan cerita film itu.
Ia hanya teramat senang dengan perkembangan hubungannya dan Maya. Ia mengingat
lagi waktu yang sudah dihabiskannya bersama Maya sepanjang malam ini.
“Bruk!” tiba-tiba
lamunan Masumi terganggu oleh sesuatu yang jatuh. Ia menoleh, dan mendapati
Maya menjatuhkan pakaian pesta di tangannya. Gadis itu tampak terkejut, mematung.
“Maya..?” tegur Masumi yang kaget melihat keadaan Maya. Ia berdiri dan
berputar. Dan, mengertilah ia apa yang membuat Maya shock.
Gadis itu sedang
mengamati tempat tidur itu. Tempat tidur king size untuk dua orang yang berada
di kamar tersebut. Tempat tidur yang juga tadi sempat membuat Masumi enggan
berada di sana.
“Ma, Maya…” Masumi
mengitari sofa untuk menghampirinya. “Bisa kujelaskan, ini…”
“Ah!” Maya berusaha
terlihat baik-baik saja. Ia tersenyum dengan canggung, “Hahaha… a-aku bodoh ya…
Seharusnya aku tahu, A-anda kan ada di sini, untuk berkencan dengan…
tu-tunangan Anda,” Maya menceracau. Saat melihat tempat tidur tersebut, dengan
begitu saja tiba-tiba bayangan Masumi dan wanita itu bercokol di kepalanya.
Mereka bermaksud
melakukan kencan romantis, menghabiskan malam bersama sebagai sepasang kekasih.
Tempat tidur itu buktinya. Bodoh! Dia mengacaukan…
Deg! Maya terkejut,
saat sepasang tangan melingkar di bahunya. Ia menengadah, dan mendapati wajah
Masumi yang meminta pengertiannya.
“Bukan begitu,” tampik
Masumi dengan lembut. “Aku tak berencana menghabiskan malam bersamanya. Aku
bahkan tak tahu mengenai kencan ini,” jelas Masumi cepat.
Pak Masumi…
“Dia yang mengatur
semuanya, mulai dari rencana mengikuti pelayaran satu malam ini, sampai pada kabinnya.
Aku hanya diminta datang. Karena sudah berkali-kali aku membatalkan kencan, dia
jadi merencanakan ini semua.”
“Tapi kau juga tidak
menolak kan!” ujar Maya yang tiba-tiba tak bisa menahan rasa cemburunya.
“Aku baru saja hendak
pergi tadi saat mengetahui mengenai ini semua,” jelas Masumi. “Tetapi… aku lalu…
mendapatimu yang ditangkap awak kapal. Selanjutnya, kau tahu sendiri,” jelas
Masumi dengan lembut. Ia meraih dagu gadis itu, mengangkatnya, menatap matanya.
“Kau percaya kan kepadaku?” ia memohon.
Maya mengamati pria
itu. Ia menyesal, kenapa tadi sempat bicara seperti itu. Tidak seharusnya Maya
cemburu dan berkata yang tidak-tidak.
“Ya,” jawab Maya,
dengan spontan ia melingkarkan tangannya di pinggang pria itu. “Aku
mempercayaimu.”
“Maya…” desah Masumi,
yang kemudian memagut bibir gadis itu dengan bibirnya.
Maya membalasnya.
Tenggelam dalam ciuman yang yang menghanyutkan bersama kekasihnya. Mereka
saling membalas, menyampaikan rasa cinta yang tak pernah terpuaskan, mengatakan
rasa rindu yang tak kunjung terbalaskan selama ini.
Setelah bibir mereka
terpisah, Maya segera memeluk pria itu. Napasnya masih terengah dan wajahnya
terasa sangat panas. Masumi balas memeluknya dengan erat. Aku tak akan pernah melepaskan gadis ini lagi. Tak akan pernah…
Tiba-tiba dorongan
yang dikhawatirkan Masumi datang lagi. Ia ingin memiliki gadis ini. Jiwa dan
raganya. Setelah sekian lama menanti… Sekarang. Sekarang gadis itu berada dalam
pelukannya. Maya Kitajima-nya. Bintang yang jauh dari jangkauan, sekarang jatuh
ke dalam pelukannya.
Maya bisa merasakan
pelukan Masumi mengerat, tetapi ia tak mengira Masumi kembali menciuminya.
Dimulai dari ubun-ubun kepalanya, namun kali ini, tak lebih lembut dari
sebelumnya. Ciuman pria itu beralih ke pipinya, rahangnya, dagunya, sebelum
kembali menyambar bibi Maya.
Pria itu menyebut
namanya, memagut bibirnya.
“Pak Masumi…” Maya
terkesiap dengan sikap pria itu yang seperti singa menemukan makanannya. Tetapi
entah kenapa, ketimbang mencegahnya, Maya malah membalasnya, melakukan hal yang
sama. Tangan gadis itu bergerak gelisah, mengusap punggung Masumi, lalu
dadanya, lalu ke lehernya. Ia tak tahu pasti di mana tangannya harus berada, ia
hanya bisa mengusap bagian tubuh pria itu yang mana saja yang bisa digapai
tangannya.
Ia baru menyadari jas
Masumi sudah tak dikenakannya. Dan kesadaran itu datang. Ia mengerti kemana
Masumi menghendaki. Sejenak takut menghampiri benak, tetapi tak perlu waktu
lama hingga ia memutuskan untuk merelakan dirinya untuk pria terkasihnya itu.
Hingga…
“Bruk!!” Punggung Maya
menyentuh permukaan tempat tidur.
Masumi diam,
bergeming. Wajah pria itu masih tersuruk di leher Maya dan tak lagi bergerak ke
mana-mana. Napasnya masih terengah sangat cepat. Punggungnya bergerak naik
turun sesuai tarikan napasnya. “Maya…” desahnya di telinga gadis itu.
Gadis sebelas tahun
lebih muda darinya yang juga hanya terdiam.Kedua tangan gadis itu meremas kemeja
Masumi.
Pria itu mengangkat
wajahnya. Menatap Maya yang terbaring di bawahnya. Rambut gadis itu berantakan,
mungkin itu juga perbuatan tangannya tadi, entahlah. Masumi merasa ia sempat
kehilangan kesadaran, terdorong naluri dasarnya sebagai jantan yang bertemu
betinanya. Atau dewa yang bertemu dewinya. Entahlah, yang pasti kesadaran itu
datang tepat pada waktunya, bahwa ia melakukan sesuatu yang belum seharusnya.
“Pak… masumi…?” gadis
itu masih menunggu. Apa sebetulnya yang Masumi kehendaki.
Pria itu menatap Maya.
Matanya yang menatap polos tetapi penuh makna. Bibirnya yang merekah, pipinya
yang memerah, dan beberapa bagian di wajah dan lehernya yang sempat dibuatnya
basah. Ia baru tersadar Maya sudah menerimanya sepenuhnya.
“Kau cantik sekali…”
Masumi berkata, seraya tersenyum tipis, membelai kepala Maya. Alis gadis itu
terangkat, bingung. Masumi mendengus, dan memisahkan dirinya dari Maya. Ia baru
tersadar tiga buah kancing kemejanya sudah terbuka. Siapa yang membukanya. Dia?
Gadis itu? Entahlah. Masumi sungguh tak ingat kejadian yang sempat terjadi
beberapa menit sebelumnya itu. Ia benar-benar lupa diri.
Masumi duduk di tepi
tempat tidur, sementara Maya masih terbaring dengan kakinya menjuntai ke
lantai. Gadis itu menggigit bibirnya sendiri, canggung, dan juga mulai
menyadari apa yang tadi hampir terjadi. Ia sangat terkejut Masumi yang tenang
dan terkesan dingin ternyata memendam rasa sebesar itu.
Maya bangkit, duduk di
samping pria itu, menunduk.
Wajah keduanya sama
panas, sama meronanya.
“Maaf ya…” Masumi
berkata perlahan dengan suara serak tanpa melihat gadis itu. “Maafkan aku…” ia
ingat lagi bagaimana ia tadi hampir menyerah pada hasratnya memiliki gadis itu.
Maya hanya menggeleng
tanpa bicara, masih dengan menundukkan kepalanya.
Menyadari Maya tak
bicara, Masumi menoleh dan menatap gadis itu khawatir.
“Kau marah?” tanyanya
resah. “Kau berhak marah, tapi…”
Maya menggeleng. Ia
masih tak sanggup menatap Masumi. Tetapi setelah lama terdiam dia bicara. “Pak
Masumi, sebentar lagi aku sudah mau 21 tahun,” terangnya.
Pria itu tertegun,
alisnya berjungkit tipis. “Aku tahu…”
Maya menoleh, dan
mendongak kepada Masumi. “Apakah aku masih terlihat seperti anak kecil di
matamu?” tanyanya.
Masumi terkejut dengan
pertanyaan Maya, juga merasa konyol. “Tidak… kau…”
“Aku sudah dewasa,
wanita dewasa,” terang Maya, bersikeras. “Anda bisa melihatku seperti itu?”
tanyanya.
Masumi tersenyum. “Aku
sudah melihatmu seperti itu,” katanya lembut. “Kau pikir yang tadi itu… uhm…
akan terjadi… uhm… jika aku menganggapmu anak kecil?”
“Sungguh?”
“Sungguh.”
Maya tak bicara saat
sebuah pertanyaan melintas di kepalanya. Lalu kenapa, Masumi tiba-tiba
berhenti? Ia tahu, ada banyak hal yang membuat pria itu berhenti. Ia masih
punya tunangan, ikatan mereka masih belum pasti, dan berbagai kekhawatiran
lainnya. Tetapi, Maya hanya khawatir, Masumi merasakan sesuatu darinya, yang
tak disukai pria itu. Yang tak bisa Masumi terima. Dan, memikirkan itu semua…
ia jadi takut.
Seperti bisa mendengar
pertanyaan dalam hati Maya, pria itu berkata, “Tak ada yang salah denganmu,”
katanya. “Kau sangat sempurna,” Masumi masih mencegah dirinya menyentuh Maya
lagi. “Hanya saatnya yang belum tepat…” jelasnya.
Kali ini keduanya
berpandangan. Maya menatap mata mengagumkan pria itu.
“Nanti, saat urusanku
dengan Takamiya selesai, aku akan datang kepadamu dan kau akan menjadi milikku
selamanya!” tekad Masumi.
Maya tersenyum. “Sungguh?
Aku menganggapnya sebagai utang!”
“Ya!” pria itu
tersenyum kepada Maya. “Sebelum kau berusia 23 tahun, kau sudah akan menjadi istri
Masumi Hayami.”
Maya terkesiap,
tangannya spontan menyentuh bibirnya yang membulat. Mata gadis itu menatap
penuh haru. Apa tadi pria itu bilang? Istri Masumi Hayami. Kalimat yang
terdengar seperti mimpi indah yang sangat mustahil. Tetapi… airmata Maya
menetes. Gadis itu mengangguk.
“Mendengarnya saja,
sudah begini bahagia…” gadis itu berkata lirih. Entah bagaimana perasaannya
jika hal itu sungguh terjadi.
Masumi sangat
tersentuh dengan reaksi gadis itu. Dengan cepat direngkuhnya Maya dalam
pelukannya. “Hari itu akan datang,” janjinya. “Aku akan berkorban apa saja untuk
mewujudkannya.”
Maya mengangguk
berkali-kali dalam pelukan kekasihnya. Ia mengangkat wajahnya. “Bahagianya…”
katanya, dengan senyuman berseri.
Rahang Masumi
mengetat, tak sabar ingin segera menjadikan Maya miliknya selamanya. Pria itu
lantas melepaskan pelukannya dan segera berdiri.
“Tidurlah…” Masumi
berkata.
“Kau?” tanya Maya,
juga ikut berdiri. “Akan menungguiku sampai aku tidur kan?”
Masumi mengamati gadis
yang tak mengambil pelajaran dari pengalamannya itu. Pria itu menggeleng. “Aku
mau keluar, mencari udara… minum…” jelasnya.
“Jangan tinggalkan aku
sendiri,” Maya mengulangi permintaannya lagi. “Aku tak akan bisa tidur,”
rajuknya. “Pak Masumi…”
“Tapi Maya…” Masumi
mengerang. “Aku tak bisa berada di dekatmu sekarang. Kau terlalu… terlalu…”
Mungkin Maya tak akan percaya bahwa semua kesederhanaan pada diri gadis itu
begitu menggodanya.
“Anda tidur di sofa
itu saja, bagaimana?” tawar Maya dengan wajah memanas. Ia sungguh tak ingin
melihat Masumi pergi. Ia takut, Masumi tiba-tiba merubah perasaannya, mengganti
keputusannya. Ia tak mau. Tak ingin Masumi meninggalkannya lagi.
Masumi mengamati sofa
di depan televisi itu. “Aku pergi setelah kau tertidur,” Masumi mengatakan lagi
perjanjian mereka.
“Tapi Anda harus
kembali sebelum aku bangun besok…” tuntut Maya.
“Aku bisa
melakukannya.”
“Kalau aku bangun
tengah malam, bagaimana?” gadis itu memelas.
Masumi mengamati Maya.
“Sejak kapan kau jadi begini manja?” tanya pria itu dengan mata jenaka.
“Sejak aku tahu Pak
Masumi… mencintaiku,” kata gadis itu dengan wajah yang semakin memanas.
Masumi tersenyum
lebar. “Baiklah… aku tidur di sofa,” kata pria itu. “Aku dengan senang hati,
mengamatimu semalaman…”
Maya terkekeh seraya
menunduk memainkan jari-jarinya.
=//=
Maya mengamati Masumi
yang terbaring di sofa. Kakinya yang panjang membuat pria itu tampaknya kurang
nyaman berada di sana. Gadis itu hanya mengamatinya. Setelah sekian lama
dilihatnya Masumi beberapa kali berganti posisi karena tidak nyaman, Maya
bangun. Ia duduk.
“Pak Masumi…!” panggil
Maya. “Pak Masumi…”
Pria itu tersentak
mendengar suara Maya. Dengan cepat ia bangun, hingga Maya bisa melihat
wajahnya. “Ada apa?” tanya Masumi. “Kau memerlukan sesuatu?”
Maya menunduk sejenak,
terlihat ragu-ragu, “Mhh… anu… Pak Masumi… kemarilah,” ajaknya.
“Apa?” alis Masumi
terlonjak.
Maya sedikit bergeser
dan menepuk tempat di sampingnya. “Di sini, tidurlah di sini,” katanya
malu-malu. “Aku berada di dalam selimut, kau bisa tidur di luarnya kan,” Maya
mengutarakan apa yang sudah ia pikirkan semenjak tadi.
“Tidak Mungil, aku—“
“Aku bisa melihat
kalau kau gelisah dan tidak nyaman,” terang Maya. “Aku jadi tak bisa tidur.
Kemarilah…” bujuk Maya.
Gadis itu di dalam
selimut, ia di luar. Ya, mungkin tak ada masalah… lagipula mereka sama- sama
mengantuk. Apa yang bisa terjadi antara dua orang yang mengantuk. Masumi
berdiri. “Baiklah,” ia menghampiri Maya.
Pria itu terbaring di
sisi yang kosong, di luar selimutnya. Dipandanginya Maya yang wajahnya berada
180 derajat di hadapannya. Gadis itu tersenyum malu-malu.
“Mendekat padaku,”
pinta Masumi.
Gadis itu beringsut di
dalam selimut, mendekat kepada Masumi. Pria itu memeluknya. Keduanya saling memandang
lantas tertawa kecil.
“Kau terasa seperti
guling,” kata Masumi.
Gadis itu kembali
tertawa. Saat tak terdengar apa-apa lagi. Keduanya mulai merasa gugup.
Dan, kantuk mereka
hilang sama sekali.
“Selamat malam,”
Masumi berkata.
“Selamat malam…” jawab
Maya.
Gadis itu menutup
matanya. Ia sangat nyaman dipeluk Masumi seperti ini walaupun terhalang selimut
tebal. Maya yang tak bisa tidur membuka matanya. Ia mengamati Masumi yang
terpejam. Tampan. Gadis itu tersenyum. Tampaknya Masumi sudah lelap. Maya
menutup matanya lagi.
Mata Masumi terbuka.
Ia tak bisa tidur. Diamatinya Maya yang tertidur dalam pelukannya. Wajah tidurnya
menggemaskan, dan gadis itu terlihat begitu cantik. Masumi tersenyum. Tampaknya
Maya sudah tidur. Ia sempat ingin membelai wajahnya, atau mengecup keningnya. Tetapi
ia berubah pikiran. Ia takut mengusik gadis itu. Masumi kembali menutup
matanya.
Tak berapa lama,
keduanya membuka mata. Sama-sama terkejut melihat pasangannya masih terjaga.
“Belum tidur?” tanya
mereka bersamaan. Keduanya tertegun, dan sama-sama tertawa kecil.
“Dingin ya, Pak
Masumi?” tanya Maya perhatian.
“Tidak…” jawab Masumi.
Ia hanya sangat gugup bersama Maya sedekat ini. Kali ini ia bisa melaksanakan
maksud hatinya, ia membelai rambut gadis itu dan membuat gadis itu merasa
nyaman, ia menggerakkan kepalanya pelan, menyambut belaian tangan kekasihnya.
“Dulu, saat kau
memelukku di lembah plum,” wajah Maya merona lagi. “Kurasa itu tidurku yang
paling nyenyak,” aku Maya.
“Benarkah?” Masumi
tersenyum. “Tahu tidak… saat itu aku menciummu,” ia akhirnya berani mengakui.
“Ha?” Mata Maya
membulat. “Me-menciumku? Kapan?” tanyanya.
“Saat pagi datang…
dan, memang kau tidak terbangun. Jadi bisa dipastikan kau memang begitu pulas.”
“Pak Masumi…” pipi
gadis itu terasa panas.
Ia menggeliat dari
dalam selimutnya, mendekatkan wajahnya kepada wajah Masumi. “Aku jadi berpikir…
untuk membalas dendam,” katanya.
“Aduh… aku takut
sekali…” seloroh Masumi.
Keduanya tertawa di
tengah malam itu. Lalu keduanya diam, saling memandang. Masumi resah lagi.
Khawatir candaan dan kedekatan mereka, membuat Masumi lupa diri lagi.
“Sudah cepat tidur,”
pria itu merapatkan selimut kekasihnya lagi.
Maya mengangguk. Ia
membenamkan tubuhnya lagi. Masumi memeluknya, dan mengecup keningnya. Keduanya
memejamkan mata.
Tiba-tiba, mereka
merasa terhuyung. Mata keduanya membuka dan kecupan Masumi terhenti. Mereka
segera mengamati bagian atas kabin. Maya melihat lampu bergoyang.
“Gempa?” ujarnya
bingung.
“Tidak…” tampik
Masumi. “Kita di laut, tidak ada gempa.”
Tetapi, memang
goyangan kapal pesiar ini terlalu kentara. “Tunggu sebentar,” Masumi turun dari
tempat tidur. Ia berjalan menuju jendela kaca dan menyingkirkan tirainya.
Ia mengamati malam
yang tadi tenang, sekarang tampak jauh berbeda. Matanya membulat. Dari
kejauhan, halilintar menyambar-nyambar, dan hujan begitu deras. Sepertinya,
lautan mengamuk. Saat itu, sekali lagi Masumi merasakan dirinya terhuyung.
“Pak Masumi!” panggil Maya
lagi, kali ini dengan cemas karena goyangan itu terasa lebih kentara lagi.
Categories
Author : Ty SakuMoto,
Fanfic: Serial,
Hijiri,
Maya,
Rei,
Shiori,
Teater Mayuko
Subscribe to:
Posts (Atom)