Wednesday 7 September 2011

Fanfic TK : Love Story Ch. 3

Posted by Ty SakuMoto at 20:25
Warning : Bed Scene

Love Stories Chapter 3
(By. Riema)



            Sudah hampir satu jam Mizuki bicara di ponselnya, sambil menyamankan diri di sofa ruang tamunya yang mungil
            ‘Sampai seperti itu?’ Mizuki mengeryit
            ‘Yah. Aku tidak tahu bagaimana perempuan-perempuan itu bisa menjadi begitu tidak tahu malu. Aku benar-benar tidak habis fikir. Bahkan ada yang sampai datang ke rumah dan mengatakan bahwa dia mengandung anakku. Apa itu tidak gila namanya?’ Cerita Felix berapi-api
            ‘Separah itu? Apa yang dikatakannya itu benar?’
            ‘Tentu saja tidak Mizu. Aku hanya mengenalnya, tapi aku tidak pernah tidur dengannya, bagaimana mungkin dia bisa hamil olehku?’
            ‘Aku rasa. Karena mungkin kau terlalu baik. Kau selalu bersikap terlalu ramah. Bisa saja mereka salah mengartikan sikapmu’
            ‘Mungkin saja. Apa aku harus bersikap seperti bosmu? Sok dingin? Ugh.’ Mizuki tertawa ’Tapi kalau aku tiba-tiba merubah sikap, tentu aneh bukan?’
            ’Yah. Begitulah. Sudahlah, kau sudah biasa kan hidup begitu? Nikmati saja. Seperti biasanya. Ceritakan tentang orang tuamu?’ Mizuki mengalihkan pembicaraan
            ‘Mereka itu. Uuuh. Kau tidak tahu saja bagaimana orang tuaku. Mereka itu benar-benar orang tua yang aneh. Aku bertemu mereka natal tahun lalu. Ini sudah bulan Agustus, berarti hampir 8 bulan mereka keluyuran’
            ’Keluyuran?’ Mizuki terkikik mendengar perkataan Felix
            ’Memang begitu. Lalu aku harus menyebut perjalanan mereka apa? Mereka pergi dari satu tempat ke tempat lain. Berpindah negara seolah berpindah kota saja. Ugh benar-benar memusingkan. Tinggallah kami seperti yatim piatu’ Felix mendesah
            ’Yah. Yatim piatu milyuner’ sindir Mizuki
            ’Jangan sinis begitu dong. Kau membuat aku merasa seperti anak manja, yang hidup hanya dari menghabiskan harta orang tua saja’
            ’Tapi itu benar kan? Karena orang tuamu begitu sibuk, lalu kenapa kau tidak menjalankan usaha keluargamu saja? Pasti akan lebih berguna kan?’
            ’Itu. Tidak perlu. Sudah ada Ursula, perusahaan lain dipegang sudara saudara sepupuku. Aku tidak ingin bekerja dalam lingkungan yang mungkin akan memenjarakanku. Mengikatku hingga aku tak bisa bergerak. Aku sangat senang hidup bebas, aku benci ikatan’
            ’Begitu? Berarti kemungkinan besar, kau juga tidak menyukai komitmen dalam hubungan dong?’
            ’Yah. Tergantung dengan siapa aku berhubungan. Jujur saja, memang selama ini aku tidak pernah mengikatkan diri pada seorang wanitapun’
            ’Kenapa begitu?’
            ’Masa kau tidak bisa menebaknya?’ Rajuk Felix di sebrang sana
            ’Tidak. Memangnya kenapa?’
            ’Tentu saja karena aku belum menemukanmu!’
            ’Ah. Gombal lagi’ Felix tergelak
            ’Mizu. Setahuku, wanita itu pada umumnya senang di gombali ’ katanya masih setengah tertawa
            ’Oya? Berarti aku tidak termasuk salah satu dari yang umum itu’
            ’Memang tidak. Karena itulah aku suka. Karena kau special!’ Kata Felix sungguh-sungguh
            ’Bukan begitu Fe. Aku hanya logis’ bantah Mizuki
            ’Menurutku tidak. Dengar aku Mizu. Aku sempat memikirkan perkataanmu sewaktu di pantai’
            ’Yang mana?’ Dahi Mizuki bertaut di tengah
            ’tentang kemungkinan bahwa kau hanya obsesi masa kecilku’
            ’Lalu?’ Mizuki menajamkan telinganya
            ’Seperti jawabanku waktu itu, aku menolak pendapat itu. Aku sudah memikirkannya masak-masak. Aku coba memisahkan antara Saeko Mizuki dan Mizu-ku. Aku mencintai Mizu, itu aku  sangat tahu. Tapi tentang Mizuki. Yah, waktu itu aku mungkin belum yakin. Tapi setelah bergaul denganmu, tanpa menyadari bahwa kau adalah Mizu-ku. Aku rasa, aku juga mencintai Mizuki’ Beberapa saat keduanya terdiam
            ’Saeko Mizuki?’
            ’Hm’
            ’Kau percaya aku?’
            ’Aku..... belum terlalu yakin. Diantara seliweran wanita-wanita cantik di sekitarmu, yang sudah jelas-jelas memujamu. Kenapa kau harus menyukai aku? Rasanya tidak masuk nalarku’ ungkap Mizuki datar
            ’Kau sudah janji untuk jujur kan?’
            ’Aku tahu. Sekali lagi aku katakan, aku hanya mencoba memakai logikaku’
            ’Mizu.... Mizu....’ Dapat dipastikan Felix menggelengkan kepalanya ’Tidak semua hal dapat di ukur dengan logika Mizu. Simpan logikamu, gunakan hatimu!’
            ’Hati? Ah. Ingat apa kataku tentang hatiku? ’
            ’Ah.  Ya. Kau tak punya hati’ Nadanya terdengar melecehkan ’Ngomong-ngomong, sepertinya aku sudah menemukan hatimu’
            ’Benarkah? Dimana?’
            ’Disini. Dekat di hatiku. Ternyata ada di situ selama ini’
            ’UUgh.... kau ini benar-benar playboy mengerikan. Aku penasaran. Dalam kepalamu itu, selain rayuan apa ada isi yang lain?’ mizuki tertawa renyah
            ’Mendengar tawamu, rasanya aku tidak memerlukan isi kepala lagi’ Felix mendesah panjang
            ’Felix Oschin! Hentikan omong kosongmu itu! Aku benar-benar tidak tahan mendengarnya’ teriak Mizuki gemas
            ’Wow. Itu kabar bagus. Hanya sedikit lagi menuju kekalahanmu kalau begitu? Pasti sebentar lagi kau bakal menyerah padaku’
            ’Ha  ha. Yang benar saja Fe? Kekeras kepalaanku, aku yakin kau tahu. Tak mungkin semudah itu aku menyerah’ ejek Mizuki
            ’Ahh Tuhan. Kenapa begitu sulit menaklukan mahlukMu yang satu ini? Bantu aku Tuhan!’ Felix bicara dengan nada berlebihan. Sekali lagi Mizuki tertawa riang, membuatnya heran sendiri. Bisa-bisanya dia tertawa selepas itu
            ’Aku pastikan kau akan sering memperdengarkan tawa merdumu itu Mizu’
            ’Sungguh? Aku sungguh berharap begitu Fe. Apapun jadinya nanti hubungan kita. Paling tidak, aku ingin kita tetap berteman.’ Ucap Mizuki tulus
            ’Ok. Sementara itu, aku akan tetap berusaha menjadikanmu istriku’ Ujar Felix tak kalah serius. Mizuki menghela nafas, membiarkan angannya melukiskan Felix dalam benaknya.
***


            ’Ada sesuatu yang terjadi? Kau ceria sekali hari ini!’ Masumi melirik ke arah Mizuki yang tengah menaruh dokumen di mejanya
            ’Tidak ada. Tidak ada apa-apa’ Dengan lihay, Mizuki menyembunyikan senyumnya
            ’Oh. Sayang sekali.....’
            ’Apa sih maksud anda?’
            ’Tidak ada. Tidak ada apa-apa’ Masumi menekuri dokumennya. Mizuki keluar ruangan setengah menggerutu. Saat sampai di mejanya, di dapatinya Chie Kurihara sedang  menunggunya
            ’Ada apa?’
            ’Ada seseorang di ruang tunggu’
            ’Menunggu ku?’
            ’Tidak juga’
            ’Lalu? Apa yang kau lakukan disini?’ Mizuki merapikan mejanya yang sudah rapi
            ’Katanya dia ada perlu dengan tamu Daito’
            ’Apa? Aku tidak mengerti’ Mizuki mengangkat bahu
            ’Temui dia dulu. Bisa kan?’ Mizuki mengangguk, lalu berjalan di belakang Chie. Saat memasuki ruang tunggu, dilihatnya seorang gadis duduk membelakangi. Mizuki bertanya dengan isyarat, Chie mengangguk mengiyakan.
            `Selamat siang’ sapa Mizuki ramah
            ’Eh, siang?’ gadis itu bangkit ’Hallo. Aku Tamaki.  Tamaki Nami’ Gadis yang bernama Nami mengulurkan tangan. Gadis mungil berwajah cantik itu tersenyum manis, memamerkan lesung pipinya
            ’Saeko Mizuki’ sambut Mizuki
            ’Aku pergi ya’ Chie berbisik sambil berlalu
            ’Silakan duduk’ Mizuki mempersilahkan, lalu dia sendiri duduk di hadapan tamunya
            ’Ada yang bisa saya bantu?’
            ‘Anu saya.....’ Gadis itu kelihatan bingung
            ’Ya?’
            ’Maaf. Saya ingin bertanya. Apa Nona mengenal Tuan Felix Oschin?’        
‘Felix Oschin?’ Mizuki terdiam sesaat. ‘Sepertinya tidak ada karyawan Daito bernama seperti itu
‘Tidak. Tidak. Bukan pegawai Daito. Waktu itu dia bilang, dia sedang bertamu ke direktur Daito’
’Oh. Tamu pak Hayami? Lalu? Nona ada perlu dengannya?’ Mizuki merasakan debaran jantungnya semakin cepat. Merasa tidak enak hati.
’Apa anda mengenalnya?’ Nami kembali ke pertanyaan awalnya
’Ya. Saya tahu tuan Felix’
’Oh. Syukurlah. Apa dia ada di sini sekarang?’ Mizuki semakin merasa tak tenang melihat kilatan kegembiraan di mata gadis itu
’Tidak. Dia hanya bertamu sesekali. Saat ini sepertinya dia ada di Jerman’
’Begitukah?’ gadis itu tampak kecewa
’Kalau saya boleh tahu, apa ada sesuatu yang penting? Mungkin saya bisa bantu’
’Ng...... ’ Nami mengambil sesuatu dari dalam tasnya ’ini milik Pak Felix’ Nami mengeluarkan sebuah kantong kain kecil. Dia lalu membukanya, dan mengeluarkan sebuah arloji dari dalamnya. Mizuki mengambilnya dari tangan Nami dan menelitinya. Arloji platinum bertabur permata yang mewah, dan pastinya sangat mahal. Bagimana mungkin arloji Felix ada di tangan gadis ini? Mizuki tak habis fikir.
’Bagaimana ini bisa ada padamu?’ Mizuki menatap tajam
‘Aku. Aku tidak mencurinya’ Nami tampak gugup ‘Itu tertinggal di tempatku’
DEGG
Mizuki terhenyak
            ‘Di. Tempatmu?’ tanya Mizuki penuh selidik
            ’Saya bekerja di sebuah klub malam.’ Nami berkata pelan ’Sebenarnya sudah lama, waktu pak Felix berkunjung kesana. Waktu itu, dia sempat mengantar saya pulang. Lalu, lalu, arlojinya tertinggal’ Nami tertunduk ’Saya fikir ini barang mahal. Maka saya ingin mengembalikannya’
            >Mengantar pulang? Memang apa yang dilakukan Felix disana sampai harus melepas jam tangan segala<
            ’Baik sekali nona ini. Tapi, kapan tepatnya barang ini tertinggal? Dan kenapa nona baru mengembalikannya sekarang?’ Mizuki mencoba menahan amarah dalam dadanya
            ’Tolong panggil saya Nami saja’ Nami menatap Mizuki takut-takut ’ Sudah agak lama. Kira-kira beberapa bulan yang lalu’ Mizuki mengira-ngira dalam hati, apakah itu sebelum atau sesudah Felix menemukannya
            ’Sudah lama saya ingin kemari. Tapi saya ragu. Saya khawatir, Pak Felix Marah. Kalau saya sampai mendatanginya. Maka, saya hanya menunggu. Siapa tahu dia datang lagi’   ’Pernahkah dia datang lagi?’
            ’Tidak’ Jawaban Nami sama sekali tidak menghibur Mizuki
            ’Tapi teman kerjaku pernah melihatnya di Tokyo beberapa waktu yang lalu. Saya pikir dia ada di sini’ Terlihat jelas kekecawaan di mata gadis cantik itu
            ’Yah. Dia  memang datang ke sini. Apa dia tidak menghubungimu?’ gadis itu menggeleng
            ’Sayang sekali. Dia hanya beberapa hari di Jepang’ Ingin sekali Mizuki mengorek lebih banyak dari gadis di hadapannya ini. Tapi hal itu tentu saja tidak mungkin dilakukannya. Tapi hati kecilnya benar-benar ingin tahu, apa yang pernah terjadi antara Felix dan Nami. Gambaran di kepalanya benar-benar membuat sesak nafas
            ’Kalau begitu. Apa sebaiknya saya titipkan itu pada nona?’ Nami menunjuk arloji yang masih ada di tangan Mizuki
            ’Kalau memang kamu percaya, silahkan saja. Saya bisa menghubunginya nanti.’ Tawar Mizuki
            ’Ng......’ Nami tampak menimbang-nimbang
            ’Kamu bisa datang kemari lagi nanti. Kalau-kalau Pak Felix belum mengambil barangnya’ Mizuki merogoh sakunya ’Ini kartu namaku, kamu boleh menghubungiku kapan saja. Bagaimana?’ Nami menyambut kartu nama dari tangan Mizuki
            ’Baiklah. Begitu saja. ’ Nami mengangguk sambil tersenyum ’Saya titipkan pada Nona saja. Terima kasih, saya lebih tenang sekarang’
            ’Kamu mau, aku minta dia menelponmu?’ Mizuki menenangkan hatinya
            ’Kalau nona tidak keberatan.....’ Rasanya semakin perih melihat rona merah jambu di pipi Nami. Gadis ini sudah jatuh cinta pada Felix, tak diragukan lagi.
            ’Tentu saja tidak. Aka kusampaikan padanya. Dia punya nomormu?’ wajahnya datar
            ’Saya pernah memberikan nomor saya pada Pak Felix. Mudah-mudahan dia masih menyimpannya’ gadis itu merona, seolah teringat sesuatu yang membuatnya malu. Mizuki mengangguk kuat-kuat
            ’Terima kasih Nona Mizuki. Anda baik sekali’ Nami menyalami Mizuki.

            Bukan baik. Tapi bodoh sekali........... Mizuki mengangguk, tersenyum

***
Mizuki menyimpan arloji milik Felix di atas meja kerjanya, menatapnya lekat-lekat. Lalu menghembuskan nafas berat
            ’Fe...... Bagaimana ini? Aku sangat bingung. Baru saja kupikir kau benar-benar serius padaku, malah aku dihadapkan pada fakta seperti ini. Aku harus bagaimana?’ Mizuki mencoba mengabaikan penilaian pribadi dan memakai logikanya. Tapi rasanya terlalu sulit menggambarkan tidak pernah terjadi sesuatupun antara Felix dan Nami. Dari wajahnya yang merona saat menyebut nama Felix, Mizuki bisa melihat dengan jelas bagaimana perasaan gadis itu terhadap lelaki yang selalu mengetuk-ngetuk pintu hatinya
            Dan kenyataan bahwa Felix tidak pernah mengungkit pertemuannya dengan Nami, sedikit banyak membuat Mizuki berfikir bahwa pria blasteran itu memang mencoba menyembunyikan hal itu darinya. Dan kenapa dia harus menyembunyikannya jika memang tidak ada yang terjadi di antara mereka
            Mizuki terpaksa membuka kembali fakta tentang ke-casanova-an Felix yang memang telah jelas diketahuinya. Harusnya bukanlah hal aneh bila Felix selalu dikelilingi wanita cantik, dimanapun dia berada. Cara hidup lelaki dari masa kecilnya itu tentu saja bukan urusannya, dan Mizuki tidak pernah mengungkit secara serius gaya hidup lelaki itu. Hanya sesekali sebagai bahan ejekan jika mereka sedang saling ejek.
            Tapi jika disikapi dengan lebih serius, Mizuki menjadi lebih bingung. Apakah sebenarnya Felix benar-benar mencintainya seperti yang selalu dikatakannya atau tidak. Dan andaipun Felix ternyata serius, sejauh mana tingkat keseriusannya, Mizuki tidak dapat merabanya. Apakah cukup serius sampai dia mau meninggalkan kebiasaan lamanya bergonta-ganti wanita? Ataukah hanya serius sebatas dangkal sehingga dia masih akan tetap bersama para wanitanya sementara ada Mizuki di sisinya?
            Mizuki menghempaskan nafas berat lagi, berfikir. Seandainya dia mau menerima lelaki itu dalam hidupnya, sekali lagi. Apa dia akan sanggup menerima Felix yang seperti itu? Yang mungkin akan membagi-bagi dirinya kepada wanita lain?

TIDAK ! dia tidak cukup bodoh untuk membiarkan dirinya ada di posisi itu. Terjebak di antara cinta dan penderitaan. Seperti ibunya dulu. Terlalu mencintai untuk berpisah, terlalu menderita untuk bahagia. Benar-benar bukan pilihan hidup yang akan diambilnya. Tidak selagi dia masih bisa berpikir logis
Dari pada hatiku sakit, lebih baik aku tidak punya hati untuk disakiti. Putus Mizuki. Tanpa tahu, apa logika masih akan tetap bersamanya saat dia sudah berhadapan dengan Felix nanti.


***
Photo Studio

Maya sedang membaca naskah film terbarunya ’Menanti Salju Terakhir’. Film yang akan di release musim dingin tahun ini. Film tentang pecinta alam yang terpisah dari rombongan dan terjebak badai salju. Sepasang manusia yang menghabiskan beberapa hari bersama sambil menunggu badai salju reda, di sebuah pondok jaga wana. Beberapa hari yang penuh cerita itu ternyata membuat mereka yang tadinya hanya teman biasa saling jatuh cinta.
            Konflik dimulai saat akhirnya mereka berpisah dan harus kembali pada pasangannya masing-masing. Ternyata mereka sama-sama tak dapat saling melupakan
            ’Maaf  Maya, sepertinya hari ini tidak bisa pulang cepat. Pemotretannya pasti sampai malam. Masih ada beberapa lokasi yang harus kita datangi’ Maya menerima sebotol air mineral dan menenggak setengahnya
            ’Padahal aku ingin sekali ke Daito hari ini’ Maya manyandarkan punggungnya yang terasa kaku. Sesi pemotretan untuk film  terbarunya ini benar-benar memakan waktu.
            ’Ada yang penting?’ Manajernya menatap jauh, ke arah para kru yang sedang mempersiapkan salju buatan untuk setting pemotretan selanjutnya
            ’Tidak juga. Hanya ada sesuatu....’ Maya tidak meneruskan ucapannya ’Kapan aku bisa libur?’ Maya mengalihkan pembicaraan
            ’Libur? Syutingnya bahkan belum dimulai’
            ’Aku tahu. Maksudku, aku ingin libur natal kali ini bersama Masumi. Benar-benar tidak bekerja’
            ’Mungkin setelah launching film ini. Rencananya film ini di release saat natal, mungkin setelahnya kalian bisa berlibur’
            ‘Begitu ya... itupun kalau suamiku tidak sibuk’ Maya sedikit merengut
            ‘Itukan resiko menjadi isteri seorang direktur. Itu juga resiko yang harus diambil suamimu karena beristerikan seorang artis sepertimu. Kalian tidak usah mengeluh’
            ‘Aku tidak mengeluh. Tapi kami bahkan belum sempat berbulan madu’
            ‘Apa itu penting? Paling tidak kalian kan setiap hari bertemu. Anggap saja itu bulan madu. Setiap malam bulan madu, bukankah asyik!?’ Maya menyeggol lengan manajernya, lalu keduanya terkikik

            ‘Maya!!’ Seseorang terdengar memanggil, kemudian menghampiri
            ‘Koji?’ Maya menegakkan tubuhnya ‘Kok disini? Ada apa?’
            ‘Tidak. Aku hanya ada sedikit urusan dengan Pak Iwamoto, sutradaramu. Eh. Kau?’ Koji melirik ke arah manajer Maya
            ’Eh. Hai. Sakura koji?’ Koji mengangguk
            ’Kalian sudah saling kenal?’ Maya menatap mereka bolak-balik
            ’Ng. Sekilas. Dia?’
            ’Dia manajerku Kaori. Kaori, ini temanku Sakura Koji’ Maya memperkenalkan mereka
            ’Hai. Kenalkan. Lagi.’ Kaori mengulurkan tangannya, terseyum. Koji membalas ramah
            ’Ternyata kau sudah mengenalnya Koji. Padahal manajerku baru sebulan ini kembali ke Jepang’
            ’Oya? Dari mana memangnya?’ Koji memandang, tertarik
            ’Selama ini, aku jadi manajer artis di Korea’ Koji mengangguk-angguk
            ’Lalu. Apa yang akhirnya membuatmu memutuskan itu pulang?’
            ’Karena dia’ Kaori melirik Maya, Koji menatap tidak mengerti
            ’Aku sangat ingin memanajeri bidadari merah’ Kaori menjawab pertanyaan Koji, tanpa menambahkan alasan lain. Bahwa Masumi memanggilnya pulang khusus untuk menjadi manajer Maya karena pria itu terlalu cemburu untuk membiarkan isterinya berdekatan dengan lelaki lain walaupun itu hanya manajernya. Dan Masumi menganggap Kaori adalah manajer yang paling mampu menangani Maya. Disiplin, tetapi lugas dan menyenangkan. Paling tidak, Masumi tahu Kaori akan mampu mengimbangi sikap kekanakan Maya yang kadang masih saja muncul, sekaligus menjaga isterinya tersebut.
            ’Ehm. Menyenangkan bukan mengatur bidadari’ Koji tersenyum ramah
            ’Sangat menyenangkan. Apalagi kalau bidadarinya tidak sebadung ini’ Kaori memasang tampang kesal.
’Yang benar?’
’Tentu saja benar’ Keduanya tertawa
’Kau sama sekali tidak terlihat seperti manajer, Kaori’
’Oya? Apa aku terlihat seperti artis bagimu?’ kaori membelalakkan matanya dengan jenaka
Maya menelpon Masumi sambil menatap sepasang manusia di hadapannya sambil tersenyum
’Sayang?’ Masumi menyahut
’Ya. Aku tidak bisa pulang cepat. Sepertinya masih agak lama’ keluh Maya manja
’Sabar ya sayang. Sepertinya aku juga sama. Masih banyak yang harus aku selesaikan’
’jadi, kau pulang jam berapa?’
’Aku belum tahu. Mungkin aku akan menunggumu selaesai. Kita pulang sama-sama ya?’
’Tentu saja. Aku yang ke sana atau kau yang menjemput kemari’
’beritahu saja kalau kau sudah selesai, aku akan ke sana’
’Baik kalau begitu. Oya Masumi? Sepertinya aku mau jadi comblang dari satu pasangan lagi’ Maya memperhatikan Koji dan Kaori
’Hah? Lagi? Siapa lagi kali ini?’
’Koji dan Kaori. Sepertinya mereka cocok’
’Koji. Dan Kaori? Kau sudah memperkenalkan mereka?’
’Bukan aku. Mereka memang sudah saling kenal’ Masumi terdiam sesaat
’Kenapa kau mau melakukan itu?’ Nada suaranya terdengar tidak ramah
’Memangnya kenapa?’ Dahi Maya mengeryit tak mengerti
’Kenapa? Bukannya kau melakukan itu karena masih merasa bersalah pada Koji? Masih merasa tidak enak hati karena tidak memilih dia?’ tuduh Masumi dingin
’Masumi? Aku... aku sama sekali tidak pernah berfikir begitu. Aku hanya senang melihat mereka akrab. Aku tidak....’
’Maya! Sudah mau mulai. Ayo!’ Kaori menginterupsi percakapan mereka. Maya mengangguk, sedih karena tuduhan Masumi
’Masumi?’ Panggil Maya lemah ’Jangan begitu. Jangan marah’ bujuk Maya
’Ngh’
’Masumi?’
’Iya sayang?’
’Jangan marah’
’Kita bicara lagi nanti ya!’
’Baiklah. Aku juga sudah mau mulai’
’Dah !’
’Dadah !’
’Maya?’
’Ya?’
’Jangan cemberut. Nanti pekerjaanmu tidak selesai-selesai. Aku tidak mau menunggu lama’ Maya meraba wajahnya yang tertekuk. Tahu saja dia
’Aku coba. Siapa suruh kau membuatku sedih? Menyebalkan!’ Sungut Maya. Masumi tertawa
’Maya!’ Panggil Kaori menunjuk pergelangan tangannya
’Sudah ya Masumi. Kaori sudah melotot’
’Ok!’ Sambungan telpon terputus, Maya menghembuskan nafas, menata hati

***

            ’Kaori, kau suka Koji?’ Tanya Maya sambil menunggu Masumi menjemputnya
            ’Suka? Maksudmu?’
            ’Ya...... maksudku, kau suka dia tidak? Berminat menjadikan dia pacarmu?’
            ’Ah. Entahlah. aku tidak bisa memutuskannya hanya dalam sekali pertemuan. Kenapa kau menyanyakan itu?’
            ’Tidak apa-apa’
            ’Jangan katakan kalau kau masih memikirkan mantan pacarmu itu?’ Tuding Kaori tajam
            ’Tidak!. Bisa-bisanya kau berfikir begitu? ’ Maya merengut, teringat Masumi
            ’Bukan hanya aku yang akan berfikir begitu jika mendengarmu bicara seperti itu Maya. Orang lain juga mungkin akan berfikir sama. Kau saja yang terlalu naif’ Kaori menatap Maya lurus-lurus.
            ’Tapi aku sama sekali tidak berfikir begitu’ Maya berusaha meyakinkan
            ’Aku tahu. Apapun maksudmu, orang bisa saja menafsirkan lain. Apa lagi suamimu..... Apa kau mengatakan hal ini padanya?’ Maya mengangguk
            ’Maya?! Kau ini. Benar-benar deh. Bisa-bisa Pak Masumi menegurku nanti’
            ’Tidak mungkin! Kau kan tidak melakukan apa-apa’ Kaori memutar bola matanya. Teringat betapa setiap hal remeh saja tidak luput dari perhatian atasannya.
            ’Kau bisa membuat aku kena masalah bahkan sebelum aku berbuat salah’ Kaori mendesah panjang ’Padahal hari ini Koji mengajakku minum kopi’
            ’Wah....! yang benar?’ Mata Maya berbinar ceria
            ’Maya?’ Kaori protes melihat reaksi Maya
            ’Kau akan pergi kan?’ Tanya Maya penuh harap
            ’Setelah mendengar informasi tadi, aku jadi tidak yakin’ Sungut Kaori
            ’Kaori? Pergi saja. Ya? Jam berapa dia akan menjemputmu? Maya tidak kehilangan antusiasmenya
            ’Seharusnya setengah jam lagi. Tapi sebaiknya aku tidak usah pergi saja’ Kaori menggeleng bimbang
            ’Jangan begitu. Masumi tidak akan memarahimu. Dia bahkan mungkin tidak akan tahu’ Maya mengerling. Tanpa tahu, bahwa dalam pikirannya, Kaori meyakinkan diri, tak ada yang akan luput dari perhatian Masumi Hayami.
            ’Pak Masumi sudah datang!’ Kaori menunjuk dengan dagunya, lalu bangkit berdiri
            ’Selamat malam Pak Masumi’ Kaori mengangguk hormat
            ’Malam’ Masumi membalas sekenanya, menghampiri Maya yang masih duduk  ’Siap pulang sayang?’
            ’Ayo ’ Maya mengulurkan tangannya pada Masumi
            ‘Dasar Manja!’ Masumi menarik tangan Maya yang terkekeh
            ’Mau sekalian di antar?’ tawar Masumi
            ’Tidak usah Pak Masumi, terima kasih’
            ’Sampai besok Kaori’ Maya melambai, Kaori membungkuk pada pasangan tersebut, lalu memperhatikan mereka keluar gedung.

Tidak lama kemudian, Koji menelponnya.
            ’Ya?’
            ’Aku sudah ada di depan? Kau sudah selesai, atau aku perlu masuk dulu?’
            ’Tidak usah. Aku keluar sekarang’ Sambil berjalan keluar, Kaori masih berfikir untuk membatalkan janjinya. Tapi pikiran itu segera terhapus begitu melihat Koji.
            ’Hai!’ Koji duduk di atas motornya, lalu menyerahkan sebuah helm ’Kita pergi sekarang?’ Kaori mengangguk
            ’Trims! Motor yang bagus!’ Kaori menatap motor Koji
            ’Kau suka motor?’
            ’Dibanding mobil? Ya, aku lebih suka motor’ Kaori duduk di belakang Koji
            ’Kau mengendarai motor?’ Koji menoleh ke belakang
            ’Em-hm’ aku Kaori ’Sekali-kali, kita balapan ya?’
            ’Boleh’ Koji tertawa, lalu menstart motornya dan berlalu

***
            Dua hari kemudian, Masumi mendapati beberapa gambar Koji dan Kaori terpampang di halaman muka sebuah tabloid. Terbentang di mejanya. Direktur Daito tersebut mungkin tidak akan segusar itu andai nama isterinya tidak ikut disinggung. Di artikel itu, berkali-kali disebutkan, Koji yang mantan pacar artis Maya Hayami. Membuat Masumi geram membacanya.
            Belum lagi Koji yang katanya mendekati Manajer Maya agar dapat kembali mendekati mantan pacarnya tersebut.
            ’Benar-benar cari mati!’ Wajahnya tampak dingin saat menyampaikan beberapa instruksi melalui telepon 
            Tok tok tok....
            ’Pak Masumi. Nona Shinohara sudah di sini’ Mizuki tetap memberi pemberitahuan meskipun Masumi sudah berpesan agar langsung menyuruh Kaori masuk.
            ’Ya. Suruh masuk’ Masumi mengangguk. Bangkit dari kursinya dan mengitari meja kerjanya
            ’Selamat pagi Pak?’ Kaori mengangguk, gurat kecemasan sekaligus waspada terlihat di wajah cantiknya yang polos tanpa make-up
            ’Duduklah!’
            ’Terima kasih’ keduanya duduk berhadapan
            ’Kau pasti sudah tahu alasan aku memanggilmu kan? Shinohara?’ Masumi menyilangkan kakinya
            ’Saya kira begitu’
            ’Dan kau pasti punya penjelasan yang masuk akal tentang berita itu. Kau tidak benar-benar sedang berkencan dengan Sakura Koji kan?’
            ’Saya. Sebenarnya, itu memang bukan kencan’ Kaori menjawab ragu-ragu
            ’lalu?’
            ’Kami hanya minum kopi Pak Masumi. Hanya ngobrol tentang pekerjaan’
            ’Seperti aku. Aku yakin, media tidak akan peduli, apa yang kalian minum, atau apa yang kalian bicarakan. Yang pasti, kalian tertangkap kamera. Sedang bicara begitu akrab, saling berboncengan. Apa yang kau fikirkan? Memberikan bahan spekulasi pada mereka’ Hardik Masumi tajam
            ’Maaf. Saya tidak berfikir sejauh itu. Saya hanya bermaksud menerima ajakan seorang teman. Saya tahu saya salah’ Kaori tertunduk
            ’Apa istriku tahu, tentang ini?’
            ’Tidak!’ sambar Kaori cepat. Terlalu cepat. Membuat Masumi mengambil kesimpulan terbalik dari jawaban yang diberikannya ’Saya akan segera mengklarifikasi. Saya sudah bicara dengan Koji dan manajernya’
            ’Aku tahu! Mereka sudah menghadap sebelum aku memnaggilmu. Tapi aku tetap tidak suka! Bagaimana bisa? Kau yang seharusnya menjaga imej artismu, malah terlibat affair yang pastinya akan membawa nama istriku?! Aku tidak suka itu!’
            ’Saya salah. Saya mohon maaf!’ Kaori tertunduk lebih dalam
            ’Huh! Bereskan urusan ini secepat kemunculannya! Aku tidak mau Maya direcoki wartawan’ Kaori mengangguk ’Kau juga harus ingat, siapa yang kau manage. Dan apa alasanku memilihmu. Aku tidak peduli kalau kau tidak becus mencari job untuk Maya. Dia tidak akan pernah kekurangan job. Kau sudah memenuhi kriteria yang kutetapkan. Tapi berbuat bodoh dimasa percobaanmu sepertinya kurang bijaksana kan, Shinohara?’ Kaori mengangguk lagi
            ’Pergilah!’ Masumi memalingkan wajahnya
            ’Terima kasih, permisi’ Kaori bangkit
            ’Antarkan Maya pulang hari ini. Bilang padanya tidak usah menungguku!’ Perintah Masumi tanpa menoleh
            ’Baik’ Kaori mengangguk, lalu keluar ruangan. Menghembuskan nafas berat. Berakhir juga pertemuannya dengan atasannya yang galak itu. Meskipun tampang seramnya sama sekali tak nampak saat bersama istrinya. Kaori tahu pasti hal itu.
            Dalam hati, dia berharap Maya tidak terkena bias amarah dari berita kelakuannya ini.

***     
            Dalam ruangannya, Masumi masih mencoba menerka jalan pikiran isterinya. Lelaki itu yakin benar akan perasaan cinta Maya padanya. Mereka sudah menikah, seharusnya tidak ada rahasia lagi di antara mereka.
            Dia tahu, bukan saatnya dia tenggelam dalam kecemburuan. Tapi, sikap istrinya yang begitu polos dan baik hati seringkali membuatnya tak bisa menepis perasaan itu dari hatinya. Padahal dia tahu, Maya tidak mencintai Koji. Tapi dia juga tahu, bahwa Koji pernah sangat mencintai Maya. Atau bahkan masih? Masumi menyalakan rokoknya, dan menghisapnya dalam-dalam
            >Kalau keadaannya tidak seperti ini, mungkin seharusnya aku senang Koji akhirnya menemukan seseorang yang dia sukai. Masalah gampang menggantikan manajer Sakura Koji yang sekarang dengan Kaori. Sayang sekali aku sangat membutuhkan Kaori di samping Maya saat ini. Jika para yakuza itu benar-benar membuktikan ancamannya, paling tidak ada dia yang bisa menjaga Maya selagi tidak ada aku atau Hijiri< Asap tipis mengepul dari mulut dan hidungnya.
***
            Maya duduk di hadapan meja riasnya, menyisir rambut hitamnya yang tak terasa sudah semakin panjang. Diam-diam melirik Masumi yang duduk selonjor di tempat tidur, bersandar pada dua buah bantal besar sambil membaca. Masih belum bicara sejak kepulangannya. Rupanya masih marah tentang berita Kaori dan Koji. Pikir Maya
            Maya belum berani membuka percakapan, bagaimanapun Masumi sudah mengingatkannya. Tapi dia malah tidak menganggap serius omongan Masumi
Psst  psst
            Maya menyemprotkan parfum ke lehernya, kanan kiri. Ditatapnya lagi wajahnya di cermin, bersih dan putih sehabis mandi. Di balik jubah kamarnya, dia mengenakan gaun tidur hitam transparan yang seksi dan sangat di sukai Masumi. Yang dengan alasan malu, jarang sekali digunakannya. Malam ini adalah saat yang jarang itu, dia bertekad akan membuat Masumi bahagia.
Jantungnya berdegup kencang saat menghampiri tempat tidur. Malu dan gugup.
            ’Ng. Masumi? Mau minum coklat?’ Tawar Maya, mencoba menenangkan debaran jantungnya
            ’Boleh’ Masumi menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari buku yang tengah dibacanya.
            ’Baiklah. Aku ambilkan’ Maya beranjak beluar ruangan, diam-diam Masumi menatap punggung istrinya

Lima menit kemudian, Maya kembali sambil membawa nampan kecil dengan 2 buah gelas tinggi di atasnya

TRAK
Maya menaruh nampan di atas nakas, lalu duduk di tepi tempat tidur
            ’Ini. Hangat kok’ Maya menyodorkan gelas berisi coklat hangat pada Masumi
            ’Terima kasih’ Maya tersenyum, lalu mengambil gelas susunya
            ’Cheers?’ Maya mengangkat gelasnya
            ’Cheers!’ Masumi menyentuhkan gelasnya pada gelas Maya, lalau menenggak isinya. Sekali hirup, setengah isi gelas berpindah ke perutnya ’Mmm.. Enak’ Masumi menjilat bibir atasnya
            ’Hm. Lebih enak daripada alkohol kan?’ Maya meminum susunya pelan-pelan
            ’Pada saat tertentu. Ya.’
’Ng, Masumi. Masih marah ya?’ Maya menatap Masumi yang tidak menatapnya
’Ah! Aku masih belum ingin membicarakannya. Habiskan susunya Maya’ Masumi menandaskan isi gelasnya dan menyerahkannya pada Maya
            ’Iya’ Maya menyimpan gelas Masumi di atas nampan dan menghirup susunya lebih cepat, lalu menghembuskan nafas berat
            ’Kenapa? Menghela nafas seperti itu? Sedang ada masalah?’ Tanya Masumi. Meski dia tahu, sikap diamnyalah yang mungkin membebani istrinya
            ’Eh. Tidak’ Maya menunduk. Dia hanya sedang berusaha menenangkan degup jantungnya yang semakin bertalu-talu. Masumi hanya terdiam, lalu kembali pada bukunya.

Maya menyimpan gelas susunya yang sudah kosong dan beranjak ke kamar mandi. Menggosok gigi sekali lagi. Saat kembali ke kamar, dilihatnya Masumi masih asik dengan bacaannya. Maya berdiri di ujung tempat tidur, dekat kaki suaminya
            ’Masumi?’
            ’Hm..’ Masumi masih tidak mempedulikannya, membuat Maya kesal
            ’Apa buku itu lebih menarik dari pada aku?’ Kata Maya sengit, Masumi mendongak.
Maya melepaskan buhulan tali di pinggangnya dan membiarkan jubah kamarnya luruh ke lantai
            ’Maya.....’ Masumi ternganga
            ’Kau akan membaca semalaman? Atau.....’ Maya naik ke tempat tidur, jantungnya masih berdegup kencang
            ’Ng...’ Masumi pura-pura berfikir. Sebenarnya dia mencoba menahan diri untuk tidak menarik Maya ke pelukannya saat itu juga
            ‘Baca buku saja terus......’ Maya bersungut, sambil merangkak mengangkangi kaki Masumi. Kegugupannya sudah hilang sama sekali. Kali ini, jantung Masumilah yang berdetak tak karuan
            ‘Ehem..’ Masumi menelan ludah. Lalu menyimpan buku di makas di samping tempat tidurnya. Masih berusaha bersikap tenang.
            ’Huh! Masih saja berlagak. Menyebalkan’ Maya menghentikan gerakannya, seraya duduk di paha Masumi
            ’Aku. Aku tidak mengerti apa maksudmu?’ Masumi masih ingin melarikan pandangannya ke arah lain. Tapi tidak mungkin mengabaikan pemandangan indah di hadapannya. Sangat tidak mungkin mengabaikan godaan yang sangat diinginkannya.
Beberapa saat keduanya terdiam, saling menjaga ketenangan
            Tapi saat Maya merangkulkan tangannya ke leher Masumi, dan membenamkan wajahnya di sana, Masumi menyerah. ketenangannya luruh sudah. Dan semakin tak dapat menahan diri saat Maya menjilat lehernya dan menyapukan lidah ke talinganya.
            ’Ugh..... Maya..... ’ Masumi balas memeluk Maya dengan gemas dan mengecup tengkuknya yang terbuka. Kali ini dia mengaku kalah.

***

            ’Sayang?’ masumi membelai kepala Maya dalam pelukannya
            ’Hmmm’
            ’Kalau tahu reaksimu begini. Mungkin aku akan lebih sering marah dan mendiamkanmu’ Maya terkikik
            ’Apa kau bahagia?’ Maya bertanya ragu
            ’Tentu saja. Dimanjakan seperti itu, siapa yang tidak?’ Pipi Maya merona
            ’Aku senang sekali. Bisa membuatmu bahagia’
            ’Jadi, kau melakukan itu. Hanya untuk membuatku bahagia?’
            ’Tentu saja. Memang apa lagi?’ Maya mendongak, menatap wajah Masumi
            ’Apa kau bahagia?’ Masumi balik bertanya, mengusap pipi istrinya
            ‘Aku saaaaangat bahagia’ Maya tersenyum
            ‘Kalu begitu, aku bohong. Aku tidak merasa bahagia’ Mata Maya membesar
            ‘Aku tidak hanya bahagia. Tapi aku sangat sangat bahagia. Berlipat-lipat dari pada kebahagiaan yang mungkin kau rasakan’
            ‘Tidak mungkin. Bagaimana bisa begitu?’ Maya mencebik
            ’Emmm. Dengar. Kalau soal ”itu”, kau bisa saja membeku seperti batang pohon. Dan aku akan tetap bahagia. Tapi mengetahui bahwa kau berusaha membuat aku bahagia, itu, rasanya jauh lebih menyenagkan’
            ’Seperti batang pohon? Maksudmu, seperti malam pertama kita di Astoria?’ Wajah Maya memerah. Teringat bagaimana waktu itu dia pura-pura tidur saking malunya. Masumi tergelak, teringat pengalaman pertamanya yang lucu itu.
            ’Persis begitu. Tapi aku toh tetap bahagia. Waktu itu, kita kan sama-sama gugup dan tidak berpengalaman. Sepertinya kita sudah semakin maju sekarang. Keduanya tertawa.

***

Hijiri berlari menembus kegelapan malam, mengabaikan rasa sakit di bahu dan lengan kirinya. Pandangannya berkunang-kunang dan kian mengabur. Tapi lelaki itu tak sedikitpun memperlambat langkahnya.
            ’Ukh.....’ Tangan kanannya menahan lengan kirinya dengan keras. Panas, cairan kental dan hangat merembes dari balik bajunya.
            ’Kejar ! Cepat! Jangan biarkan dia lolos’ Terdengar suara sahut-menyahut di belakangnya
            ’Hah...hah.... huh....’ Nafasnya tersengal-sengal. Paru-paru dan tenggorokannya panas. Titik-titik peluh tampak membasahi kening dan pelipisnya. Matanya yang semakin buram memandang sekeliling, mencari kemungkinan dia bisa bersembunyi. Tanpa menghentikan larinya
            BRUK
            ’Aduh!’ Terdengar pekik suara perempuan
            ’Maaf!’ Hijiri menelan ludah, mengaduh
            ’Anda?...... kenapa?’
            ’Nona.... ’ Hijiri menoleh ke belakang, sama-samar terdengar derap langkah para pencarinya
            ’Ayo ikut aku!’ Hijiri menurut saat gadis itu menyeretnya ke tepi jalan, masuk ke sebuah pintu besi dan berlindung di balik keremangan sebuah pohon besar. Tak berapa lama, beberapa orang berlari melewati mereka. Keduanya tetap terdiam, menunggu.
            ’Nona, aku....’ Hijiri roboh, tubuhnya tersungkur ke depan tanpa pertahanan. Tapi lelaki itu masih bisa merasakan kesadarannya. Masih bergerak menyeret kakinya saat tubuhnya dipapah menaiki beberapa anak tangga. Lalu berjalan menyusuri lorong dengan cahayanya yang redup. Dia ingin melepaskan diri dan berlari lagi, tapi tubuhnya tidak bereaksi sesuai keinginannya.
            Hijiri mendengar suara pintu di buka, lalu samar-samar cahaya yang lebih terang masuk ke matanya. Membutakannya. Lalu kesadaran itu tak lagi bersamanya.

***

            Hijiri merasa sudah terbangun, tapi dia tidak bisa melihat apa-apa. Juga tidak dapat merasakan apa-apa, seolah olah dirinya mengambang. Lalu rasa sakit itu mulai menyerangnya. Betapa inginnya dia berteriak, tapi mulutnya seolah terkunci.
            >Pergi! Biarkan aku sendiri< Lelaki itu hanya bisa berteriak dalam hati
            ’Nona, saya tidak punya cukup obat bius untuknya. Dan saya khawatir tidak bisa menanganinya. Dia harus ke rumah sakit’ Terdengar suara seseorang, Hijiri hanya mendengarnya samar-samar
            >Jangan. Jangan ke rumah sakit. Biarkan saja aku!< Hijiri berharap bisa meneriakkan suara hatinya
            ’Jangan ke Rumah sakit. Tolong obati saja dia semampu anda.’ Kata seorang gadis dengan nada khawatir
            ’Saya akan coba. Tapi mungkin dia akan merasa kesakitan’
>Lebih baik aku sakit dari pada harus ke rumah sakit<
’Saya yakin dia pria yang kuat. Tolong ya dokter.....’
‘Baiklah. Nona bisa bantu saya? Tolong siapkan air panas......’ Hijiri merasakan kesadarannya timbul tenggelam. Suara percakapan itu terdengar mendekat dan menjauh, seperti mimpi.
Lalu rasa sakit itu datang, kali ini sangat nyata. Hijiri menutup mulutnya rapat-rapat. Dia mengenali perasaan ini. Rasa panas dan perih mengoyak tubuhnya. Samar-samar dia malah mengingat-ingat, kapan dia pernah merasa sesakit ini

***

Hijiri membuka matanya, menatap langit-langit kamar yang tidak terlalu tinggi. Memperhatikan keadaan sekelilingnya. Rupanya dia tengah berada di sebuah kamar, tidak terlalu besar. Disingkirkannya selimut yang menutupi dada telanjangnya, sebuah futon biru tua mengalasi tubuhnya.
            ’Ukh...!’ Hijiri mengeluh merasakan tarikan rasa sakit di bahu kirinya ketika mencoba duduk. Dirabanya lilitan verband di lengannya, juga terasa menutupi sebuah luka di bahunya
            ’Berapa lama aku tidak sadar?’ Hijiri mencium bau harum masakan, diliriknya sebuah meja hidangan di samping kanannya, Hijiri mengabaikannya dan kembali membaringkan tubuhnya. Tapi rasa lapar membuatnya berpaling ke arah aroma yang menggoda lidahnya dan menariknya mendekat.
”Baju anda ternoda darah, jadi aku cuci. Istirahatlah dulu sampai aku pulang. Kalau anda lapar, silakan makan hidangan yang sudah aku siapkan. Makan yang banyak yaaa.......” Hijiri membaca secarik kertas yang terlampir di tepi meja. Satu pinggan sedang berisi macaroni schotel yang masih hangat dan segelas air putih semakin membuat perut Hijiri keroncongan. Hijiri memotong dan meletakkan makanannya di piring.
            >Enak< tanpa bicara pria itu menikmati makanannya, dan menambahkan sepotong lagi saat dirasanya masih kurang
            ’Ah......’ Hijiri melongo tak percaya, ternyata sudah setengah pinggan macaroni yang masuk ke perutnya ’Ternyata aku selapar itu’ Hijiri menghabiskan air putihnya dan mendorong mejanya menjauh.
            ’Sebaiknya aku pergi. Tapi. Aku bahkan belum berterima kasih. Mungkin sebaiknya aku tunggu dia pulang dulu. Lagipula......’ Hijiri mnelirik tubuhnya yang polos ’Aku tidak bisa bisa pergi tanpa bajuku’ Dihembuskannya nafas berat, seraya bersila.

***

<<< Love Story Ch. 3 ... Bersambung >>>

8 comments:

Anonymous said...

hmmmm maya nakal .hahahahahaha

mommia kitajima on 7 September 2011 at 22:14 said...

huaaa...
keren mom riem
smua kbagian yah, mizuki, koji, hijri
kudu HE smuanya ^^

-mia-

Puji Aditya on 7 September 2011 at 22:38 said...

waaa..... maya 'berani' ya.... hihihi, suka cerita ny koji ma kaori, trus hijiri sama sapa tu ya.... lanjuuuuuuuuuut love story ny... ^^
*Puji*

Anonymous said...

Mom Riemmmm...love your story so mucchhhh....!!! Ringan, mengalir & menarik hati :) *rini*

purple on 8 September 2011 at 09:30 said...

posisi hijiri dalam keadaan lemah...
bisa- bisa Maya dalam keadaan bahaya nich
gawaatttt..
sukaaaa

ivoneyolanda on 8 September 2011 at 09:31 said...

Wah2 seru Maya agresif gtu dong kan gak musti nunggu bola terus ya agak heheheheh

Anyway siapa tuh yg nolomg Hijiri? Penasaran... N Mizu kyknya mulai cemburu2an nih sama Fe...

Ty momRiem lanjutannya jangan lama2 ya :D

Anonymous said...

cepeeeet updateom riema. Akusukamaya selangkah lebih maju.bisa jugadia godain suaminya. Masumi beruntung bgt...... !

tati

Anonymous said...

suka-suka suka-suka

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting