Saturday 1 January 2011

Fanfic TK : The Wish

Posted by Ty SakuMoto at 18:21
Fanfic ini adalah new year present buat para sistas MMLovers sekaligus karena musti reses dulu dari fandom buat next 10 days :( Dan karena Betsuhana 18 so sweet and lovely, maka saya milih cerita berdasarkan bab tersebut. Anggaplah ini versi untold-story atau versi yang kena reject :p
Rencananya cerita akan dibuat sampai adegan melihat sunrise. Tadinya mau ditaro di note FB aja tapi ternyata ngga bisa karena kepanjangan, jadi di publish di sini :(





Pernyataan


1. Penulis tidak bermaksud menyalahi hak cipta, fanfic ini hanya untuk tujuan hiburan.
2. Penulis tidak menganjurkan mengkonsumsi minuman beralkohol
3. Penulis tidak menganjurkan berduaan di kamar dengan orang yang bukan muhrimnya
4. Penulis tidak menganjurkan memendam cinta selama 7 tahun lebih
5. Penulis lebih tidak menganjurkan lagi bertunangan dengan seseorang saat masih mencintai orang lain
6. Karya pertama (dan mungkin akan menjadi satu-satunya), maka sangat terbuka untuk berbagai kritik dan saran:)





THE WISH


[Cerita mengambil tempat pada saat Maya dan Masumi di kapal pesiar Astoria setelah berdansa dan mengamati bintang, antara bab Betsuhana 17 dan 18 sampai adegan di geladak kapal Astoria.]
 

Langit malam itu tampak sangat indah dan mempesonakan. Maya dan Masumi terdiam beberapa saat hanya untuk menikmati hamparan langit megah dengan ditaburi bintang-bintang yang menaungi keduanya. Tanpa sadar Masumi mengalihkan pandangannya pada Maya. Mengamati gadis yang berdiri dekat di sampingnya saat ini. Mata Maya berbinar-binar mengamati angkasa luas, bibirnya menyimpulkan senyum kegembiraan yang membuat Masumi merasa lega.

 Syukurlah, dia menikmatinya…


Pengamatan Masumi tidak berhenti sampai di sana. Ia melihat perubahan pada diri gadis itu. Bersinar dan anggun. Seorang wanita dewasa. Sesaat Masumi menahan nafasnya, mengamati rambut Maya yang berkilau dan ditata sempurna. Matanya yang berbinar, pipinya yang kemerahan, dan bibirnya…


Bibirnya…


Masumi menggertakkan giginya saat menyadari kesalahan yang Ia perbuat, memikirkan yang seharusnya tidak boleh Ia pikirkan, dan mengangkat kembali pandangannya. Saat itulah Maya menoleh padanya dan pandangan keduanya beradu. Masumi tidak berpura-pura tidak mengamati, Ia tahu bahwa sudah terlambat untuk mencari alasan maka Ia hanya terdiam, menatap Maya lebih dalam. Rona malu-malu pada wajah Maya tidak luput dari pengamatan Masumi. Masumi kembali mengutuk diri dan pikirannya.

"Pak Masumi…" bisik Maya lirih dan penuh tanda tanya, menyadarkan Masumi bahwa dia harus segera memberi alasan atas kelakuannya yang sedikit kurang ajar atau setidaknya mencari jalan keluar dari perangkap yang digalinya sendiri.

"Ah, kau pasti haus. Tunggu sebentar. Aku akan mengambilkanmu minum." Ujar Masumi sambil tersenyum dengan lembut pada Maya. Maya membalas senyumannya.

"Terima kasih." Ucap Maya.

Untung sangat mudah mengalihkan perhatiannya.

Pikir Masumi lega.

"Kau mau minum apa? Susu atau jus, mungil? Hmm... Mereka menyediakan susu tidak ya..." Goda Masumi saat hendak beranjak. Maya berbalik dengan raut wajah yang kesal.

"Jangan meledekku, aku kan sudah bilang kalau aku bisa minum alkohol!" Seru Maya ke arah Masumi.

"Hahaha… benar... benar… aku hampir saja lupa kalau kau sekarang adalah gadis dewasa, Nona Maya Kitajima." Sahut Masumi sambil berlalu.

Sepeninggal Masumi, Maya masih memasang wajah cemberut. Tiba-tiba saja kesedihan merasuki pikirannya.

Apakah begitu sulit untuknya menganggapku seorang gadis dewasa. Seorang wanita?

Bayangan Shiori kembali menghantui Maya. Maya menggelengkan kepalanya keras-keras.

Sudah Maya, jangan pikirkan yang tidak-tidak. Kau harus menikmati saat-saat bersama Pak Masumi. Walaupun hanya sebentar, hanya semalam, tapi kau bisa berada di dekatnya, di dekat Si Mawar Jingga.

Maya kembali menengadahkan pandangannya memandangi bintang-bintang.

"Ah! Bintang jatuh!!!" Serunya terkejut melihat sebuah bintang jatuh yang langsung menghilang dalam sekejap pandangan.

"Aaaahh!! Kenapa aku selalu terlambat sih..." Maya mengerucutkan bibirnya kesal.

Ia kembali mengamati langit, mengenang kembali perbincangan sebelumnya dengan Masumi mengenai konstelasi bintang. Indah sekali, Maya tidak pernah berhenti terpesona dibuatnya. Tiba-tiba sebuah suara mengejutkannya.

"Hei Nona… Sedang apa di sini sendirian..?" Sapa seseorang dari arah belakang.

Maya menoleh dan melihat seorang laki-laki tidak dikenal sudah berdiri sana. Dari wajahnya tampaknya dia setengah mabuk, berjalan agak sempoyongan mendekatinya.

"Ah.. eh.. tidak… aku…" Maya gugup dan tidak tahu harus berkata apa saat pria tersebut menghampirinya. Belum sempat Maya berpikir lebih jauh, pria itu berusaha menarik Maya.

"Ayo ikut saja denganku, bergabung dengan kawan-kawanku di sebelah sana… Kau pasti tidak kesepian lagi…"

"Tidak… Tuan… saya…" Maya berusaha melepaskan tangannya dari orang tersebut namun percuma, Maya masih kalah kuat.

=//=

Masumi baru saja kembali dengan membawa minuman untuknya dan Maya. Melihat Maya sedang berusaha diseret oleh seorang pria, sontak membuat darahnya mendidih.

Apa yang Ia lakukan dengan Maya-KU??!!

Masumi meletakkan kedua gelas di atas bangku dekat pintu dan segera merenggut Maya. Mendekap lengannya sekaligus menjauhkannya dari lelaki setengah mabuk tersebut. Lelaki itu memang hampir kehilangan kesadarannya, tapi tidak membuatnya gagal dalam memahami pesan yang disampaikan oleh tatapan tajam Masumi : Menyentuhnya semilimeter lagi, kau akan menyesal bahwa kau pernah dilahirkan.

Spontan, lelaki itu melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan Maya. Wajahnya ketakutan seperti melihat hantu. Masumi mendekap Maya lebih erat tanpa mengalihkan pandangannya dari lelaki itu.

"Gadis ini BERSAMAKU!" Ucap Masumi tegas dan tajam. Singkat namun cukup untuk membuat keadaan semakin tegang dalam sekejap.

"A…ah.. Maaf Tuan..kupikir dia sendiriaan.. Jadi… aku… aku hanya…" Lelaki itu tidak melanjutkan perkataannya melihat Masumi tidak sedikitpun tertarik dengan penjelasannya.

"Baiklah, aku~ pergi kalau… begitu..~" katanya dengan sempoyongan dan masih gemetaran.

Si pemabuk sudah pergi dan hanya tinggal mereka berdua namun untuk beberapa saat Masumi tidak melepaskan dekapannya pada lengan atas Maya dan malah terasa semakin erat. Maya dapat merasakan kehangatan tangan Masumi di kulitnya yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

"Pak Masumi… Te... Terima kasih..." ucap Maya gugup.

Masumi melepaskan dekapannya tanpa berkata-kata dan melangkah untuk mengambil minuman yang tadi sempat diabaikannya. Pikiran Masumi sedikit kalut. Ia sadar sikapnya barusan adalah berlebihan. SANGAT BERLEBIHAN.

Kenapa aku selalu kehilangan akal sehatku jika menyangkut anak ini… Aku… Masumi Hayami… Direktur Daito yang selalu mampu mengendalikan emosi di hadapan siapapun, dengan sangat mudah lepas kendali di depan orang asing hanya karena...

Kekhawatiran mengisi kepalanya. Khawatir Maya menyadari kejanggalan yang baru saja terjadi.

Apakah anak itu…

Tangan Masumi sedikit ragi-ragu saat mengangkat kedua gelas berisi sampanye tersebut. Masumi berbalik dan mengamatinya. Syukurlah menganalisa keadaan bukan salah satu dari kelebihan Maya dan itu menguntungkan Masumi terutama pada saat seperti ini. Masumi bisa selalu dengan mudahnya mengalihkan perhatian gadis itu. 

Ia merasa lega karena tampaknya Maya tidak menaruh curiga atas motif dari sikapnya barusan walaupun bisa terlihat bahwa saat ini Maya masih terkejut dengan kejadian tersebut dan mungkin saja akan mulai menaruh curiga jika Ia diberikan waktu lebih lama lagi dan jika Masumi tidak segera memecahkan keheningan diantara mereka.

"Hahahaha…!!" Tiba-tiba saja Masumi tertawa terbahak-bahak sambil menghampiri Maya dan menyerahkan gelas yang dipegangnya. Maya menerima gelas tersebut dengan penuh tanda tanya.

"Pak Masumi…?" Tanyanya masih dengan ekspresi bingung.

Masumi tersenyum pada Maya dan membungkukkan badannya, membuat wajahnya dan wajah Maya hanya dibatasi gelas diantara mereka dan sedikit jarak, namun sudah cukup membuat Maya sesak seakan kapasitas paru-parunya menyusut drastis.

"Kau tahu mungil, kupikir aku bisa berhenti mengasuhmu saat kau sudah tumbuh dewasa. Namun ternyata aku salah…"

TRING!!

Masumi mengadukan gelasnya dan Maya

"Tampaknya aku malah harus semakin ketat mengawasimu, Mungil…" Ujarnya tanpa mengurangi jarak diantara wajah mereka berdua.

Maya terdiam dan wajahnya terasa menghangat, berusaha membuka mulutnya namun tetap tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk diutarakan.

"Hahahaha…." Masumi berdiri tegak dan mengarahkan gelasnya ke langit.

"Untuk Nona Maya Kitajima yang sudah tumbuh dewasa!!!" Serunya sambil tetap tertawa.

Saat itulah Maya tersadar bahwa Masumi hanya menggodanya.

"Huh!!" Maya menghempaskan nafasnya keras.

"Anda ini kenapa suka sekali meledekku…" Ujar Maya akhirnya, melirik tajam ke arah Masumi.

"Hahaha… Aku tidak meledekmu Mungil, aku hanya terkejut kalau gadis kecil, pendek, berisik yang PERNAH kukenal sekarang sudah tumbuh menjadi wanita yang jika ditinggal sendiri, akan mengundang pria untuk mendekati dan menggodanya." Kata Masumi.

"Gadis Kecil… Pendek… Berisik?!!" Maya berusaha menahan kekesalannya dan bahkan bibirnya tampak seperti hendak menggeram.

"Ow.. ow… cukup sekali aku merasakan gigitan Jean-mu Mungil. Hahaha... Baiklah, aku mengaku salah. Kau MASIH pendek dan berisik!" Masumi melanjutkan tawanya dan sekali lagi menyesap minumannya.

"Kenapa sih sulit sekali bagi Anda menganggapku wanita dewasa?" Maya mendengus kesal.

"Lagipula, aku tidak pernah merasa Anda adalah pengasuhku!" Lanjut Maya kemudian.

"Yah, aku kan sudah mengenalmu sejak berumur 13 tahun, dan sejak pertama kali aku mengenalmu, kau sama sekali tidak berubah, Mungil. Terlebih lagi... aku belum pernah melihatmu bertindak seperti wanita dewasa." Masumi menahan tawanya melihat raut wajah Maya.

"Anda salah pak Masumi! Aku sudah berubah, tinggiku bertambah 6 cm, Anda tahu!!" Seru Maya tidak mau kalah.

"Ahh… Tapi kalau dilihat dari sudut pandangku…" Masumi menggeleng-gelengkan kepalanya tak acuh.

"Apa aku harus memperlihatkan catatan kesehatanku agar Anda percaya?"

"Lantas kenapa? Itu tidak merubah apapun, kau masih saja mungil, Mungil..."

"Itu salah Anda yang begitu tinggi, jadi tidak menyadari kalau tinggiku sudah bertambah."

"Ohh... Lalu? Apa aku harus mulai memanggilmu Semi-mungil? Atas prestasimu bertambah 6 cm?"

"Se… Semi-mungil?"

"Itu artinya sedikiiit lebih besar dari mungil..."

"Aku tidak peduli apa artinya pak Masumi!!"

"Jadi? Semi-mungil...?"

"Tidak!"

"Mungil?"

"Tidaak!"

"Ya ampun, tentukan pilihanmu... Mungil atau Semi-mungil? Jangan membuatku bingung." Jelas Masumi dengan gaya mendramatisasi.

"Tidak keduanya!!! Dan… Jangan terus-terusan memperlakukan aku seperti anak kecil.. karena aku sudah dewasa. A.. Aku juga bisa melakukan hal yang dilakukan oleh wanita dewasa, Pak Masumi!" Tambah Maya.

"Misalnya?..." Tantang Masumi.

"A… Aku bisa… bisa… Menghabiskan minuman ini dalam sekali teguk!!!" Seru Maya. 

Ia segera berniat melaksanakan ucapannya saat Masumi kembali tertawa terbahak-bahak.

"Hahahaha…!!! Mungil… Pandanganmu mengenai wanita dewasa… Hahaha… Kau tahu Mungil, hanya gadis kecil yang ingin dianggap dewasa yang akan meminum segelas sampanye dalam sekali tegukan. Wanita dewasa tidak akan melakukan hal itu. Ia akan meminumnya sedikit demi sedikit. Dengan anggun…" Kata Masumi, tangannya menahan gelas yang hendak diminum Maya.

Maya tertegun.

Seperti Nona Shiori...?

Maya menengadahkan kepalanya menatap Masumi.

"Apakah… Apakah… Nona Shiori juga seperti itu…? Caranya meminum sampanye…?" Tanya Maya, berusaha menyembunyikan suaranya yang gemetar.

Shiori…

Masumi melepaskan tangannya dari gelas Maya. Ia membalikkan badannya menghadap ke lautan, pandangannya menerawang jauh.

"Begitulah…" Ucapnya lemah dan kembali meminum sampanye miliknya. Pandangan Masumi berubah kosong dan sangat kesepian.

Maya mengamatinya.

Pak Masumi pasti sangat merindukannya, Pikir Maya.
Pak Masumi, katakanlah padaku, kenapa kadang Anda terlihat begitu sedih dan kesepian? Apakah Anda merindukan Nona Shiori?

Seketika Maya merasa seakan ada lubang di hatinya, semakin lama semakin membesar dan membuatnya sakit. Namun pikiran bahwa Masumi begitu sedih dan kesepian lebih menyakitkan bagi Maya, mengalahkan perasaan cemburu Maya pada Shiori. Maya memutar badannya dan untuk menenangkan perasaannya, ia mulai menyisip sampanye yang sejak tadi belum diminumnya. Maya menyisipnya perlahan. Merasakan manisnya sampanye di lidahnya dan meneguknya, menghangatkan tenggorokan dan menyebarkan rasa hangat itu ke tubuhnya.

"Ah! Enak!!" Seru Maya tiba-tiba dengan takjub.

Masumi menoleh ke arahnya.

"Kau suka? Baguslah. Aku tahu kau pasti menyukainya, tipe yang ringan dan cocok untukmu, Mungil." Kata Masumi.

"Iya." Maya mengangguk.

Maya sudah melupakan pertengkaran mereka sebelumnya. Ia mencoba menyisipnya sedikit lagi dan kembali berseru betapa enaknya sampanye itu. Tidak berkurang sedikitpun rasa takjubnya dari tegukan pertamanya. Masumi kembali tertawa melihat reaksinya. Gadis ini tidak pernah membuatnya bosan, selalu saja menarik perhatiannya dengan tingkah lakunya yang paling sederhana sekalipun.

"Kau tahu Mungil, kau tidak perlu berubah. Teruslah seperti ini. Sama sekali tidak ada yang perlu dirubah darimu. Menurutku kau sangat me…" Masumi menghentikan ucapannya.

Mempesona.

Hampir saja Masumi mengucapkan kata-kata itu. Masumi memilah-milah kata yang tepat dalam kamus mentalnya sebelum melanjutkan kata-katanya.

"Kau sangat menarik… -dengan caramu sendiri- Rasanya menyenangkan melihat seseorang bereaksi seperti itu saat meminum sampanye. Hahaha.."

"Maksud Anda agar Anda bisa terus menggangguku 'kan?" Tambah Maya.

"Aku tidak tahu bahwa membaca pikiran adalah salah satu keahlianmu Mungil." Sindir Masumi.

"Aku akan menganggapnya sebagai pujian!" Jawab Maya tanpa menyembunyikan kesesalannya.

Masumi kembali tertawa. Maya mengerjap-ngerjapkan matanya, rupanya pengaruh sampanye itu mulai terasa ke badannya. Maya merasa sedikit pening.

"Kau tidak apa-apa, Mungil?" Tanya Masumi khawatir.

Maya menyandarkan badannya pada sisi pembatas agar tidak kehilangan keseimbangan.

"Tidak… Tidak apa Pak Masumi… Hanya… minuman ini..." Kata Maya sambil menatap gelas di tangannya yang isinya tinggal setengah.

"Padahal aku sudah memilihkan yang paling ringan, Mungil…" Kata Masumi.

"Hmm…." Gumam Maya, berusaha mempertahankan kesadarannya.

"Ternyata toleransimu pada minuman keras sangat rendah. Sudah kuduga." Kata Masumi lebih pada dirinya sendiri.

"Iya, teman-teman sering melarangku minum minuman keras. Aku pernah minum bir, walaupun hanya sekaleng aku sudah mabuk berat. Kata mereka aku berisik sekali kalau mabuk dan kami jadi dimarahi tetangga… Sejak itu mereka selalu mengawasiku dan melarangku meminum apapun yang mengandung alkohol" Kenang Maya sambil cemberut, lalu terkikik sendiri.

Masumi terbahak mendengarnya.

"Saat kau sadarpun kau sangat berisik Mungil, tidak bisa kubayangkan bagaimana kalau kau sampai mabuk. Kasihan teman-temanmu… Hahaha… " Gelak Masumi.

"Sebaiknya kau berhenti minum sekarang." Masumi meraih gelas dari tangan Maya tanpa menghiraukan protes kecil yang keluar dari mulut Maya.

"Aku tidak mau Pak Kuronuma menyalahkanku kalau kau sampai tidak bisa latihan besok." Jelasnya.

Masumi mengambil jeda sebentar, lalu menuangkan sisa minuman Maya ke dalam gelas minumannya yang tinggal sedikit.

Maya terkejut dengan apa yang dilihatnya.

Pak Masumi… Kenapa Anda menuangkan sampanye milikku ke dalam gelas Anda...?
"Kalau Anda, Pak Masumi? Anda seperti apa saat sedang mabuk?" Tanya Maya tiba-tiba, lebih untuk mengalihkan kerikuhannya sendiri.

"Menurutmu, kalau aku mabuk, seperti apa, Mungil?" Masumi balik bertanya sambil kembali memandang Maya.

"Ummm…." Maya tampak menunduk, berpikir keras.

"Mungkin Anda akan marah-marah, memarahi semua orang di sekitar Anda. Atau jika Anda sendirian, Anda akan memarahi kursi, meja bahkan tembok. 'KAU!! JANGAN DIAM SAJA!! CEPAT BEKERJA!!!! DASAR MUKA TEMBOK!!!'" Teriaknya sambil menunjuk-nunjuk berusaha memerankan Masumi yang mabuk. 

Lantas Maya tersenyum lebar, puas dengan hasil pemikirannya sendiri.

"Mmmphh… Apakah yang barusan itu kau bermaksud menirukan aku? Hahaha…." Masumi tidak kuasa menahan tawanya dan kembali tergelak.

"Hm!! Kasihan sekali orang yang berada di sekitar Anda saat Anda mabuk.. hihihi..." Maya bersenang-senang sendiri dengan imajinasinya. 

Tampaknya pengaruh sampanye tersebut belum hilang benar.

"Aku ini seseorang yang penuh tuntutan Mungil, aku tidak pernah mabuk di depan umum karena aku dituntut untuk selalu awas dan waspada." Nada suara Masumi tiba-tiba berubah serius.

"Tapi kata seseorang yang pernah melihatku mabuk…" Dan dia adalah Hijiri, tambahnya dalam hati. "... saat aku mabuk, aku menjadi sangat depresi. Aku terdengar putus asa dan mengucapkan kata-kata yang menyedihkan…" Masumi kembali meneguk minumannya.
 
Wajah Masumi terlihat hampa. Ia sendiri tidak tahu kenapa harus menceritakan hal-hal seperti itu pada Maya. Mungkin karena dia tahu bahwa gadis itu akan mendengarkannya.

Maya memperhatikan Masumi dengan seksama.

Kenapa? Kenapa wajahnya kembali terlihat sedih seperti itu? Pak Masumi, katakanlah padaku apa yang Anda pikirkan. Aku tidak tenang melihat Anda sedih seperti itu. Tidak bisakah… Aku membahagiakanmu? Melakukan sesuatu untuk membuat Anda bahagia?

Saat itulah Maya menyadari bahwa dia tidak pernah benar-benar mengenal Masumi. Masumi sebagai si Mawar Jingga sudah sering sekali membantunya. Dia selalu tahu apa yang Maya butuhkan. Mengulurkan tangannya tanpa diminta, memberi dukungan saat Ia terjatuh dan memberinya kekuatan untuk bangkit. Namun dia sendiri tidak pernah memberikan apa-apa pada Masumi dan selalu saja berbuat kurang ajar padanya. Bahkan baru saja mereka saling berselisih.

Wajar saja kalau Pak Masumi tidak bisa melihatku sebagai seorang wanita.

Maya menjadi sedih dan perasaannya kembali dipenuhi penyesalan. Dia sudah berbuat tidak adil pada Masumi. Tenggorokan Maya tercekat, dia ingin sekali menangis.

"Kau kenapa mungil?" Tanya Masumi terkejut ketika melihat ekspresi Maya yang tiba-tiba suram.
Maya terdiam sesaat sebeum berkata,

"Anda tahu, Pak Masumi, tadi aku sempat melihat bintang jatuh." Pandangannya menerawang ke langit.
"Ah, bintang jatuh? Apa kau sempat meminta sesuatu?" Tanya Masumi.

"Tidak, seperti biasa, aku terlambat…" Keluh Maya. Masumi tertawa kecil melihat ekspresi Maya yang merengut kesal.

"Tapi… sebelumnya aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang kuinginkan. Bahkan kalaupun tahu, aku merasa permohonanku tidak akan terkabul." Maya menundukkan kepalanya, mengamati lautan luas di hadapannya.

Masumi mendengarkan Maya dengan seksama. Nada suara gadis itu membuat Masumi berasumsi bahwa apa yang ingin disampaikannya adalah hal yang penting.

"Pak Masumi… aku bisa tetap bertahan sampai sekarang, semuanya adalah berkat seseorang. Seseorang yang sangat berarti bagiku." Maya mengangkat wajahnya dan menatap Masumi.
 
"Si Mawar Jingga." Ungkap Maya.

Tidak ada ekspresi apapun dari raut wajah Masumi. Ia hanya tetap memperhatikannya dengan seksama dan Maya memutuskan untuk melanjutkan kata-katanya.

"Bagiku dia adalah orang yang paling penting di dunia ini. Aku tidak pernah tahu siapa dia, orang seperti apa dia sesungguhnya, kenapa dia sangat sering membantuku, sudah berbuat sangat banyak untukku dan sangat tulus kepadaku…" Maya tidak kuasa menahan air matanya, Ia terisak.

Maya…

"Hanya mendapatkan kiriman bunga darinya saja, dia sudah membuatku sangat bahagia. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku tanpa keberadaannya. Dia adalah penggemarku yang paling setia dan paling penting. Ucapan terima kasih sebanyak apapun, tidak akan pernah bisa cukup untuk mengungkapkan perasaanku…" Air mata mulai menetes di pipi Maya.

Pak Masumi kumohon, katakanlah… katakanlah bahwa kau adalah si Mawar Jingga, bahwa kaulah yang senantiasa menyemangati dan mendukungku,,, Dan aku akan segera memelukmu. Mengatakan betapa aku… Mencintaimu…

"Dia sudah memberikan begitu banyak kebahagiaan kepadaku. Namun saat ini, mungkin sampai kapanpun, aku tidak akan pernah bisa membayar hutang budiku padanya. Tidak akan mampu… memberikan kebahagiaan yang sama kepadanya…" Maya menyusut air matanya sebelum melanjutkan kata-katanya.

"Aku yang bodoh ini, hanya bisa berakting. Tapi jika dengan berakting sudah bisa membuatnya senang, aku akan terus berakting seumur hidupku. Menjadi aktris yang membuatnya bangga, karena hanya itu yang bisa kulakukan… Aku tidak peduli jika semua orang meninggalkanku, asal dia tetap setia, walau penontonku hanya dia, aku akan berakting untuknya. Hanya untuknya…"

Hanya untukmu, Pak masumi, Mawar jingga-ku.

"Aku akan menunggu sampai Ia datang padaku, memberikan namanya dan menyerahkan mawar jingga dengan tangannya sendiri. Aku akan menunggunya, sampai kapanpun…" Maya menatap Masumi lebih dalam, seakan meminta jawaban Masumi atas perasaannya.

Masumi mengalihkan pandangan pada gelasnya. Hanya sedikit lagi sampanye tersisa disana. Sama seperti waktu yang dimilikinya dan Maya saat ini. Hanya tinggal sedikit lagi.

"Dia… Benar-benar seorang yang beruntung, Mungil, karena kau sampai memikirkannya sejauh itu." Ucap Masumi tenang.

Sekuat tenaga Masumi menahan emosi yang mendesak di dadanya. Menekan keinginannya untuk mengusap air mata gadis itu dan memeluknya dengan erat.

Pak Masumi…

"Kurasa dia pasti punya alasannya sendiri untuk tidak menemuimu." Masumi meminum sampanyenya sebelum melanjutkan kata-katanya. Senyumannya menggaris sedih.

"Misalkan… Dia adalah… orang yang paling jahat yang pernah kau tahu… Bagaimana jika dia adalah… orang yang pernah..." Orang yang pernah membuatmu menderita. Orang yang telah menyebabkan ibumu meninggal…

Masumi menelan kembali kata-katanya. Tenggorokannya terasa kering dan sakit. Sampanye tersebut sama sekali tidak membantu.

Maya tertegun.

'Orang yang pernah..?' Pak Masumi… Kenapa Anda tidak melanjutkan kata-kata Anda..?

Maya menunggu, namun Masumi tidak tampak seperti akan melanjutkan ucapannya.

"Aku tidak peduli." Jawab Maya.

"Aku tidak mungkin membencinya. Sekalipun dunia membenci dan mengutuknya, aku akan menyukainya. Sekalipun dunia mengatakan hal yang buruk tentangnya, aku akan tetap mempercayainya. Bahkan andai setiap orang akan membenciku karena aku menyukainya, aku tidak peduli. Aku akan tetap menyukainya. Aku akan menunggunya, menunggu sampai dia datang menghampiriku. Seperti yang dia lakukan selama ini. Selalu percaya padaku dan tidak pernah meninggalkanku, menungguku menjadi Bidadari Merah." Kata Maya tanpa keraguan sedikitpun.

"Namun aku sadar, kebahagiaan yang telah dia berikan padaku, tidak akan pernah bisa aku kembalikan dengan tanganku sendiri…" Maya memandang kedua tangannya dan menggigit bibir bawahnya.

"Oleh karena itulah aku… Hanya bisa berharap pada bintang jatuh untuk mengabulkan permohonanku." Maya menangkupkan kedua tangannya.

Masumi menatap Maya. Angin malam terasa semakin dingin menerpa wajahnya.

"Aku harap kekuatannya dapat membantu mengabulkan permohonanku agar Mawar Jingga memperoleh kebahagiaannya. Aku berharap agar dia selalu merasa bahagia." Maya menundukkan kepalanya dengan khusyu.

Berharap agar Mawar Jingga memperoleh kebahagiaanNYA. KebahagiaanKU…?

"Mungil…" bisik Masumi hampir tidak terdengar. Masumi terpaku, tidak pernah seumur hidupnya Ia merasa begitu tersentuh seperti yang Ia rasakan saat ini.

Maya mengangkat wajahnya dan tersenyum tulus pada Masumi, memandangnya penuh harap.

Kumohon Pak Masumi… Katakanlah… katakanlah bahwa Andalah si Mawar Jingga.

Masumi merasakan kebimbangan dalam hatinya. Haruskah Ia mengatakan pada Maya mengenai siapa dia sebenarnya? Melihat Maya begitu memuja sosok Mawar Jingga-nya, bagaimanapun sangat menyentuh hati Masumi. Namun Masumi sangat khawatir dengan reaksi gadis ini. Bagaimana jika Maya sampai tahu bahwa sosok pujaannya tersebut adalah orang yang paling terakhir Ia inginkan untuk terlibat dalam hidupnya. Masumi telah lama membuang impiannya, Ia sudah memutuskan bahwa waktunya untuk bermimpi sudah lewat dan harus menghadapi kenyataan. Masumi lantas menghabiskan tegukan terakhir yang masih tersisa di gelasnya.

"Sudah larut, Mungil… Ayo kita tidur…" Katanya kemudian sambil tersenyum lembut.

Sesaat Maya menahan nafasnya. Kecewa, dan mengalihkan pandangannya ke lantai. Entah kenapa Maya merasa seperti itu adalah sebuah penolakan dari Masumi untuknya.

"Tunggulah sebentar aku akan kembali." Masumi mengangkat gelas yang kosong sebelum beranjak pergi.
Air mata Maya kembali mengalir.

Pak Masumi hanya menyukaiku sebagai seorang aktris… Benar… Maya bodoh! Kau sudah tahu tapi masih saja berharap. Bodoh!!!
 
Air mata mengalir semakin deras di pipinya.

Benar… Jika Pak Masumi hanya menyukaiku sebagai seorang aktris, maka aku akan menjadi aktris yang membuatnya bangga.

Maya menghapus air matanya.

Semoga Anda selalu bahagia Pak Masumi… bersama orang yang Anda cintai… Nona Shiori.

=//=

Masumi masuk ke dalam Hall yang tampak lengang. Hanya ada beberapa orang di bar.

["Permohonanku agar Mawar Jingga memperoleh kebahagiaannya. Aku berharap agar dia selalu merasa bahagia."]

Kata-kata Maya masih terngiang-ngiang di kepala Masumi. Gadis itu terdengar sangat tulus.

Kebahagiaanku…

Masumi tidak pernah merasa benar-benar bahagia dalam hidupnya. Sejak dia diangkat menjadi putra Hayami, segala kesubjektifan perlahan-lahan terhapus dari intuisinya sebagai seorang manusia, sehingga Masumi tidak pernah mengerti apakah arti dari kebahagiaan yang sebenarnya.

Apakah arti kebahagiaan untukku? Apakah sesuatu yang bisa benar-benar membuatku bahagia? Memperoleh kontrak, memenangkan persaingan dalam perebutan proyek? mengangkat nama Hayami dan Daito, mengalahkan pihak-pihak yang menjadi sainganku…? Mendapatkan hak pementasan Bidadari Merah? Apakah itu kebahagiaanku?

Bahagia. Kata-kata yang asing untuknya. Selama ini Masumi hanya diajarkan untuk menjalankan pekerjaannya. Tanpa emosi. Bahagia untuknya berarti menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ia tidak pernah benar-benar merasakan kebahagiaan berdasarkan penilaiannya secara manusiawi. Masumi tidak pernah berhak menentukan apa yang membuatnya bahagia.

Kenapa perasaanku sesak seperti ini.

["Permohonanku agar Mawar Jingga memperoleh kebahagiaannya. Aku berharap agar dia selalu merasa bahagia."]

["Kelihatannya dia jatuh cinta bukan pada Ishin dalam 'Bidadari Merah' atau pada Koji, tapi pada pengirim mawar jingga itu."]

Maya…

=//=

Masumi menyerahkan kedua gelas pada seorang bartender sebelum kemudian menyusuri sebuah kabin untuk menemui manajer pelayaran Astoria.

"Ah... Tuan Hayami, selamat malam…" sambut Manajer itu ramah.

"Selamat malam. Tuan, bisakah Anda menyediakan dua buah kamar baru untuk saya?..." Tanya Masumi.

"Kamar? Bukankah Anda telah dipesankan sebuah kamar? Royal Suite 1001…"

Manajer tersebut menyerahkan kembali kunci kamar untuk Masumi yang dipesankan Shiori sebelumnya dan sempat ditinggalkannya begitu saja.


"Apakah Anda kurang menyukai kamar tersebut…?" Tanyanya saat melihat Masumi tidak menerima kunci yang diserahkannya.


"Bukan… bukan… hanya saja… " Masumi terdiam sesaat sebelum melanjutkan.

"Begini Tuan, apakah Anda bisa menyediakannya atau tidak?" Tanya Masumi tidak sabar.

"Maaf Tuan Hayami, tapi ini adalah pelayaran favorit yang sangat diminati banyak orang. Saat ini semua kamar sudah penuh dan tidak ada kamar tersisa, saya mohon maaf, namun tidak ada kamar lainnya yang dapat Anda gunakan."

Masumi terdiam sebentar.

"Bahkan untuk satu kamar? Dimana saja?"

"Maaf Tuan…" kata sang Manajer penuh penyesalan.

Masumi menghela nafas lemah. Dia meraih kunci kamar tersebut.

"Baiklah, terima kasih. Selamat malam…"

"Selamat malam Tuan…"

Kamar itu… Kamar yang dipesankan Shiori…

Wajah Masumi mengeras seketika.

Maya…

=//=

Maya sedang duduk menunggu di sebuah kursi dekat jendela saat Ia meliihat Masumi mendekatinya. Sejak dari kejauhan Maya bisa melihat wajah Masumi yang tampak muram. Ia bertanya-tanya dalam hatinya kenapa Masumi terlihat sesuram itu.

"Ikuti aku." Kata Masumi singkat.

Maya segera bangkit dari tempat duduknya mengikuti Masumi menuju kompartemen tempat kamar-kamar mewah bagi para penumpang VIP kapal pesiar Astoria beristirahat. Maya tidak bertanya apa-apa dan Masumi tidak mengatakan apa pun. Keduanya hanya membisu. Walaupun demikian kebisuan Masumi membuat Maya sedikit khawatir.

Keduanya menyusuri kamar-kamar yang tertutup. Sepertinya para penghuninya sudah terlelap. Masumi menggenggam erat-erat kunci kamar tersebut. Kamar itu sangat mengganggunya. Ia benci melihatnya, namun terutama karena dia sebenarnya tidak ingin Maya tahu mengenai kamar tersebut. Masumi tidak ingin Maya melihat kamar tersebut. Ia khawatir dengan apa yang akan dipikirkan Maya saat melihat double-bed yang berada di dalamnya. Khawatir dengan pemikiran Maya mengenai dirinya. Tapi dia tidak punya pilihan lain.

Di depan pintu sebuah kamar yang terletak paling ujung dan merupakan kamar paling mewah yang tersedia di Astoria keduanya berhenti. Masumi membuka kuncinya. Dadanya sesak dan kakinya terasa berat. Masumi menghirup udara dengan berat sebelum akhirnya berkata,

"Masuklah..."

Maya tertegun sejenak. Masumi tahu apa yang dipikirkan gadis itu, namun Maya pada akhirnya masuk juga. Awalnya Maya tampak kikuk namun tak berapa lama Ia segera terpesona dengan kamar tersebut.

"Ahh... luar biasaa... Kamar ini indah sekali... " Serunya, mengagumi interior kamar mewah tersebut.

Bagi Masumi sendiri, yang paling istimewa dari kamar tersebut saat ini adalah keberadaan Maya di dalamnya. Tidak ada yang lebih menarik perhatiaannya dan mempesonakan baginya selain Maya yang tengah berdiri di hadapannya sekarang. Benar... Maya sudah tumbuh dewasa dan sebenarnya tidak ada yang lebih menyadari hal ini selain dirinya. Masumi ingat dengan jelas bagaimana pertama kalinya mereka bertemu. Saat itu Maya masih sangat kecil, seorang gadis kecil berusia 13 tahun.

Masumi tidak melepaskan pandangannya dari Maya. Baginya memandangi gadis itu adalah kebutuhan yang tidak akan pernah terpuaskan.

Maya... Sekarang kau adalah seorang gadis dewasa...

Saat mereka berdansa sebelumnya, Masumi menyadari perubahan pada diri Maya. Dia tahu Maya sudah lebih tinggi ketimbang saat Maya memeluknya di salah satu villa saat ia sedang berlatih untuk mengikuti audisi Helen Keller atau saat pertama kali mereka berdansa.

Dan kau semakin cantik. Maya... Apakah sebentar lagi kau akan terbang ke pelukan seorang pria? Lalu, seperti yang kau katakan sebelumnya, akan menikah dengannya? Menjadi miliknya?...

Raut wajah Masumi mengeras seketika.

Tidak... Aku tidak rela, tidak akan pernah rela... Kupikir aku bisa melepaskanmu, tapi aku salah besar. Aku tahu aku tidak akan pernah bisa melihatmu menjadi milik orang lain... Aku bisa gila...

Saat itulah Maya menyadari bahwa Ia dan Masumi hanya berdua saja di kamar tersebut. Masumi tengah mengamatinya. Mengamatinya dengan ekspresi yang tidak dapat terbaca oleh Maya.

Aku menginginkanmu Maya Kitajima... Aku ingin kau menjadi milikku... Hanya milikku...

Jantung Maya berdebar seketika melihat raut wajah Masumi yang tidak pernah Ia lihat sebelumnya.

Pak Masumi...

Masumi menyadari Maya yang sepertinya ketakutan. Sekali lagi Ia meredam emosinya, Masumi lantas tertawa kecil dan tersenyum ramah padanya.

"Jangan berwajah ketakutan seperti itu, Mungil... Kau tenang saja, aku tidak akan mengganggumu..." kata Masumi.

"Aku tadi meminta mereka menyiapkan kamar untukmu, tapi ternyata semua kamar sudah penuh. Jadi kau beristirahat saja di kamar ini aku akan tidur di tempat lain." Tambahnya.

"Kunci kamar ini akan kutinggalkan di sini." Masumi lantas meletakkan kunci kamar tersebut di atas sebuah meja tidak jauh dari pintu.

Maya terdiam, memandang Masumi dengan sedikit khawatir saat dia akan keluar kamar.

"Kau tidak perlu mengkhawatirkanku..." Masumi tersenyum, mencoba menenangkan Maya.

"Untung saja ada banyak sofa yang nyaman di kapal ini yang bisa kugunakan, jadi beristirahatlah dengan tenang, Mungil." Ucap Masumi sebelum menutup pintu kamar tersebut.

Perlu beberapa saat untuk Masumi sebelum melangkah meninggalkan kamar tersebut. Dengan galau, Masumi berjalan menyusuri lorong. Belum jauh melangkah tiba-tiba dia berhenti dan berbalik kembali menuju kamar tersebut. Di depan pintu, Masumi kembali terdiam. Memikirkan beberapa hal untuk bisa mencari alasan berbicara dengan Maya.

["Maya, apa ada yang kau butuhkan? Apakah AC nya terlalu dingin? Apa kau ingin nonton TV? Mendengarkan musik? Sesuatu? Apa saja...?" ]

Masumi membuang nafasnya.

Ya ampun Masumi... kau 'kan bukan room boy... Pikirnya putus asa.

Tapi aku ingin melihatnya... sekali lagi saja...

Masumi menenangkan dirinya. Dia baru saja hendak mengetuk pintu kamar itu lagi sebelum kembali teringat pada double-bed yang ada di dalam sana. Tangannya menegang, perlahan Masumi menurunkan tangannya dan berbalik hendak pergi. Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka.

"Pak Masumi...?" Seru Maya terkejut melihat Masumi masih berdiri tepat di depan pintu kamar tersebut.

DEG!

Perlahan Masumi berbalik.

"Ah.. ada yang lupa kusampaikan." Ujar Masumi cepat.

"Kalau ada yang kau butuhkan..." Masumi mengulur waktunya, berharap bisa memandangi Maya lebih lama.

"...Kau bisa menghubungi awak kabin dengan menggunakan telepon yang ada di sudut kamar, mereka akan melayani kebutuhanmu." Jelas Masumi.

"Ah... ba.. baiklah.." Maya mengangguk sedikit gugup.

"Kenapa kau keluar kamar Mungil?" Tanya Masumi.

"A..anu.. aku belum mengucapkan terima kasih pada Anda... dan juga belum mengatakan selamat malam.." Jawab Maya.

Masumi tersenyum. Tanpa sadar, ucapan Maya yang sebenarnya tidak istimewa sudah cukup membuat Masumi merasa senang.

"Baiklah kalau begitu. Apakah ada hal lainnya yang kau butuhkan?"

sebuah pelukan? atau sebuah ciuman barangkali, tambah Masumi dalam hatinya.

Maya terdiam sesaat.

Selain membutuhkan Anda, Pak Masumi?

"Tidak ada." Jawab Maya.

"Baiklah. Selamat malam Mungil." Masumi menepuk kepala Maya perlahan.

"Selamat Malam..." Jawab Maya.

Maya memperhatikan Masumi yang melangkah pergi sebelum kembali masuk dan menutup pintu. Lututnya terasa lemas. Maya lantas meraba kepalanya di tempat Masumi menepuknya tadi. Jantungnya berdetak lebih cepat. Maya tersenyum sendiri. Kembali dia mengamati kamar tersebut. Hatinya meluap dengan kegembiraan.

Benar-benar seperti mimpi... Rasanya aku seperti Cinderella...

=//=

Masumi berjalan dengan cepat, tidak ingin mengulang kebodohan yang sama. Ia menghempaskan nafasnya kuat-kuat berharap pikirannya yang tidak jernih bisa ikut terusir pergi. Masumi keluar dari kompartemen kamar tidur tersebut dan keluar menyusuri serambi kapal, kembali memasuki hall dan menuju bar yang sama dimana Ia memesan sampanye sebelumnya.

Si bartender masih orang yang sama dan masih dengan suasana lengang yang sama.

Masumi mengambil tempat duduk di hadapan Bartender tersebut dan menunjuk sebuah botol wiski.

"Double." kata Masumi singkat.

Si bartender mengangguk, mengambil botol wiski yang dimaksud dan menuangkannya pada sebuah gelas lalu menyajikannya pada Masumi.

Masumi menopang dagunya, memutar-mutar gelasnya sebelum meminum wiski tersebut.

Maya... Aku merindukanmu... sudah mulai merindukanmu lagi...

"Sendiri Tuan?" Tanya si Bartender.

"Seperti yang kau lihat." jawab Masumi.

Ia Membaca label nama di seragam bartender tersebut dan mendapati "Fujiwara" tertera di sana. Saat itu Fujiwara sedang meracik cocktail untuk pasangan yang juga berada di sana namun duduk agak jauh dari Masumi.

"Apakah Nyonya sudah tidur?" Bartender tersebut bertanya dengan sopan.

Berdasarkan pengalamannya, biasanya pelanggan yang datang tidak pernah sendirian. Apalagi ini adalah pelayaran semalam Astoria yang ditujukan bagi para pasangan yang ingin menikmati romantisme di tengah lautan.

"Nyonya...?" Nyonya... Masumi tertegun.

Seketika Ia kembali teringat Mayanya, yang sangat mempesona, yang dirindukannya, yang ingin sekali dilihatnya, ingin sekali dipeluknya. Seulas senyum tanpa sadar mengembang di wajahnya.

Maya...

"Begitulah. Dia mungkin sudah tidur, atau belum. Entahlah..." Masumi tertawa kecil, tidak membantah ucapan bartender tersebut.

"Ah, sedang bertengkar rupanya..." Fujiwara tersenyum dengan penuh pengertian.

Sekali lagi dia mengambil kesimpulan sendiri. Seorang lelaki tampan, dan sudah pasti sukses jika dilihat dari penampilannya dan tempatnya berada saat ini, sendirian meminum double wiski di sebuah pelayaran romantis. Kesimpulannya adalah dia bersama seorang wanita yang menyulitkan atau dia memang lelaki yang senang menyulitkan diri sendiri.

"Anda tidak perlu khawatir. Hati wanita itu mudah sekali berubah. Biarkan saja dia merajuk beberapa waktu. Nanti juga dia sadar kalau dia merindukan Anda." Sarannya tanpa diminta.

"Benarkah?.. hahaha." Masumi tertawa dan kembali meminum wiskinya.

"Tidak dengan wanita ini." Kata Masumi.

"Tipe yang keras kepala dan menyulitkan?"

"Sangat." Masumi mengulum senyumnya. Sekali lagi dia tidak membantah si bartender.

"Tapi tampaknya Anda menikmatinya." Ucap si bartender sambil menuangkan cocktail pada dua buah gelas berbentuk kerucut.

"Mmh... Aku malah akan merindukannya kalau dia tidak menyulitkanku..." Masumi tersenyum lantas menenggak habis minumannya.

Fujiwara tersenyum puas. Hipotesisnya terbukti. Fujiwara lantas menghidangkan cocktail tersebut pada sepasang kekasih yang duduk di pojok sebelum kembali mendekati Masumi.

"Wanita yang menyulitkan, bertemu pria yang senang dibuat sulit. Cocok. Tuhan memang tidak pernah salah memasangkan manusia satu dengan lainnya." Kata Fujiwara bijak, tidak menyadari akibat perkataannya bagi Masumi.

Tiba-tiba angin dingin bertiup di hati Masumi saat mendengar kalimat terakhir Fujiwara. Seketika urat syarafnya berontak minta ditenangkan.

"Berikan aku satu botol yang sama Fujiwara." Ujar Masumi sambil mengeluarkan kartu kreditnya.

Fujiwara melakukan apa yang diminta Masumi, lalu mengurus pembayaran untuk sebotol wiski.
 
"Terima kasih Tuan." Katanya saat menerima resep pembayaran dari Masumi.

Masumi merogoh sakunya, mengeluarkan uang tip namun tidak menemukan apapun untuk memasukkan uang tipnya.

"Kami tidak diperbolehkan menerima tip, Tuan" Jelas Fujiwara.

Masumi lantas meletakkan uangnya di hadapan Fujiwara.

"Tidak apa, ambil saja. Terima kasih sudah menemaniku." Kata Masumi sebelum lantas beranjak pergi. Ekspresinya terlihat dingin.

Sejenak Fujiwara tertegun dengan sikap pelanggannya yang tiba-tiba berubah. Fujiwara tidak punya hipotesis yang tepat untuk menjelaskan hal tersebut dan memutuskan untuk menyerah kali ini. Fujiwara lalu meraih uang tip yang ditinggalkan Masumi untuknya setelah yakin tidak ada siapapun yang melihat.

Andaikan setiap pelanggan suka memaksa sepertinya, pikir Fujiwara sambil memasukkan uang tersebut ke dalam saku celananya.

=//=

Masumi menggenggam botol wiski dan gelasnya erat-erat. Sesuatu membuatnya marah dan terusik, dia tidak tahu apa namun hal itu terasa menyakitkan baginya. Sambil berjalan keluar Masumi mengamati suasana bar tersebut. Ada 2-3 pasangan disana yang tampak sedang dimabuk asmara. Tidak satupun diantara mereka menghiraukannya. Masing-masing hanya sibuk mengamati pasangannya sendiri-sendiri.

Senyum yang merekah bahagia, mata yang mesra serta sentuhan-sentuhan yang penuh cinta yang diperlihatkan mereka membuat Masumi menggertakkan giginya. Dadanya terasa semakin sesak seperti dihimpit bongkahan batu besar. Masumi mempercepat langkahnya menuju serambi dek. Ia ingin segera keluar dari bar tersebut dan menghirup udara untuk menghilangkan rasa nyeri yang semakin menusuk.

=//=

Tapi Masumi tidak sendirian, rasa sakit yang sama juga mendatangi Maya saat Ia melihat tempat tidur yang disediakan dalam kamar tersebut. Sebuah Double-bed dengan ukuran King-size. Akhirnya Maya mulai mengerti dengan situasi yang sebenarnya. Masumi dan Shiori berencana berkencan dan bermalam di kamar ini, kamar yang ditempatinya saat ini. Tanpa bisa ditahan air mata mengalir begitu saja membasahi matanya dan terus turun semakin deras.

Tidak mau... aku tidak mau berada di sini... aku tidak akan bisa tidur di sini... aku tidak sanggup...

Perasaan sakit itu menggerayangi hatinya semakin dalam dan Maya hanya bisa menangis.

Benar... sampai tadi, semuanya hanya mimpi.. sebuah kebahagiaan yang seharusnya bukan untukku...

Maya segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan berganti pakaian.

Saatnya kembali pada kenyataan Maya... pada dirimu yang membosankan dan tidak akan pernah mungkin dicintai oleh seseorang seperti Pak Masumi...

=//=

Masumi merasa sedikit lega saat Ia tiba di serambi, Ia memejamkan matanya dan menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi paru paru dan diafragmanya. Tapi percuma, berkali-kali dia mencoba bernafas berkali kali pula rasa sakit itu semakin berlipat.

Masumi tidak tahu apa yang membuatnya merasa seperti itu. Ia membanting tubuhnya ke atas sebuah kursi dan mulai menuangkan wiskinya kembali ke dalam gelas dan meminumnya dalam sekali teguk. Wiski itu terasa panas membakar tenggorokan dan dadanya.

Tidak hilang… Tidak hilang… rasa sakit ini sama sekali tidak berkurang…
  
Brak!!!

Masumi meletakkan gelasnya dengan kasar. Wajahnya tertunduk sangat dalam dan matanya terpejam rapat seperti menahan sakit. Jari-jari tangan kanannya mengurut-urut keningnya dengan tidak sabar. Kembali terbayang olehnya wajah-wajah pasangan kekasih di dalam bar tersebut, tawa mereka, mata mereka, bahasa tubuh mereka…

Masumi kembali meraih wiskinya, menuangkan lebih banyak lagi dan meminumnya segera. Ia ingin segera mabuk, ingin segera kehilangan kesadarannya, karena kesadaran terlalu menyakitkan baginya.

[Tuhan memang tidak pernah salah memasangkan manusia satu dengan lainnya.]

Kata-kata Fujimura kembali terngiang. Masumi meletakkan gelasnya, dan kali ini dengan kedua tangannya Ia menopang kepalanya, menyelipkan jari jemarinya di antara rambut dan meremasnya. Masih berusaha bernafas, Masumi mengevaluasi perasaannya. Perasaan saat Ia mendengar kata-kata itu, perasaan saat Ia melihat para pasangan itu.

Akhirnya Ia tahu bahwa Ia merasa iri. Masumi iri… cemburu… merasa Ia telah ditelantarkan. Mengapa orang-orang itu mendapatkan kebahagiaan sedangkan Ia tidak? Mengapa mereka tertawa sedangkan Ia merasa terbuang dan sangat kesepian?

"Tidak pernah salah…" gumamnya pedih.

Mungkin aku memang ditakdirkan hidup seperti ini. Kebahagiaan tidak menyisakan porsinya untuk kunikmati…

Masumi kembali teringat Maya, lalu teringat Shiori.

Bahkan saat mencintai dan dicintai semuanya tidak lebih dari sebuah rasa sakit…

Masumi kembali berusaha menenangkan dirinya. Ia menuangkan wiskinya ke dalam gelas sekali lagi sebelum berdiri dan berjalan menuju pagar pembatas ujung dek. Dengan gelas di tangannya, Ia menyandarkan tubuhnya di sana dengan ditopang sikunya. Pandangannya menerawang jauh, Ia teringat Shiori.

Gadis itu mencintainya, Masumi tidak ragu akan hal itu, Dan gadis itu begitu sempurna di matanya dan tentu juga di mata semua orang. Dia adalah pasangan yang tepat baginya dan bagi Daito.

Tapi kenapa aku tidak bisa juga mencintainya? Kenapa setiap kali teringat padanya aku hanya bisa teringat betapa takdir sudah mempermainkanku dan membenciku…

Pikirannya segera beralih pada Maya, gadis kecil yang sudah sejak lama menggenggam hatinya. Masumi menyadari betapa Maya sudah menguasai semua yang ada pada dirinya. Cintanya, perhatiannya, rindunya, pikirannya, bahkan matanya tidak pernah berhenti mencari dan memandangi gadis itu.Tubuhnya akan selalu berharap bisa berdekatan dengan Maya hanya sekedar untuk merasakan udara yang sama yang juga meliputi tubuh gadis itu.

Kau sedang apa Maya? Apa kau sudah tidur..?. Apakah saat kau melihat tempat tidur itu kau…

Masumi mempererat pegangannya pada gelas, rasa khawatir akan pemikiran Maya padanya kembali mengusik ketenangannya. Ia tidak ingin gadis itu berpikiran yang tidak-tidak kepadanya. Dia tidak akan pernah peduli penilaian siapapun, tapi tidak gadis itu.

Maya…

Nama 'Maya' terus terngiang di pikiran Masumi seperti sebuah mantera yang tidak pernah hilang, berulang-ulang seperti sebuah doa yang tidak pernah dikabulkan.

Masumi meminum kembali wiskinya.

Maya aku sangat merindukanmu… Andai aku bisa melihatmu sekali lagi saja… maka aku…

Sebuah langkah kaki yang terdengar semakin mendekat membuyarkan Masumi dari lamunannya, Ia menoleh untuk melihat siapa yang berjalan ke arahnya dan jantungnya berdegup keras melihat Maya di sana, dengan sebelah tangan menggosok matanya. Masumi mencoba meyakinkan dirinya kalau itu bukan hanya khayalannya semata.

Akhirnya Ia tahu bahwa itu bukan hanya imajinasinya saja saat Maya menyadari keberadaannya dan tampak sama terkejutnya.



>>>> Continues to The Wish - Chap 2<<<

14 comments:

Bree said...

Pertamax... *Seumur-umur, gue gak pernah bilang begini meski jadi yang pertama.. Brrrrrr...*

Ty^^ said...

yaelaaahhh ente lagi breee ngagetin ane aja sumpah!!! hahahaha

Ty^^ said...

Ini tulisannya kekecilan ngga sih?? atau resolusi monitor aku aja ya.. kasi masukan ya minna soal ukuran hurufnya.... <3

Anonymous said...

Iya ty, hurufnya mungil, agak dibesarin ya. (riri)

MuTiaRa MawAr uNGu on 27 January 2011 at 20:43 said...

Ayo Ty, dilanjutken atuh neng... xixixixi :D

Anonymous said...

ayoo...dilanjutkeun...*duduk manis menanti lanjutannya*-dian-

Anonymous said...

keren banget!!-nadine-

Ty^^ said...

Dian: oke, ditunggu aja ya lanjutannya :)
nadine: thanks nadine^^ makasih juga udah komen <3

Yusri Cambrichindo on 1 February 2011 at 10:24 said...

I love the back sound
deuhh.... Ty...aku padamu!!!!

mudah2an degn post pake account ini Ty gk ketularan Bree buat panggil SALE!!!

Anonymous said...

sukaaaaaaa :))

*Tuhan memang tidak pernah salah memasangkan manusia satu dengan lainnya*

.pazza.

TY^^ said...

Sale-chan : aku padamu juga <3<3
Paz: PAAZZZZZZ <3 <3

Unknown on 17 April 2011 at 15:10 said...

weeih....keren euy...pemilihan kata2nya juga...sebbp banget

Anonymous said...

sukaaa,,,,sukaaa,,,sukaaa,,,,{a2n}

Anonymous said...

menghibur ni...lanjut chapter 2 & semoga bersatunya dua jiwa 4 cepat keluar!

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting