Sunday 12 June 2011

Fanfic TK: Finally Found You Ch. 5

Posted by Ty SakuMoto at 21:12
Rating : 18+ (kissu kissu)

Finally Found You
(Chapter.5)



“Selamat datang Tuan,” sapa salah satu pelayannya yang menyambut Masumi di pintu.
Masumi menanggapi dengan sebuah anggukan sambil menyerahkan tas kerjanya untuk diantarkan ke kamarnya.
“Ayah?” tanya Masumi singkat.
“Beliau menunggu di ruang baca…” terang pelayan tersebut.
Masumi bahkan belum membuka jas dan dasinya saat bergegas menemui ayahnya.
Dari awal, aku sudah bertekad, akan melakukan apapun untuk memenangkan tender tersebut, karena itu satu-satunya cara memastikan agar dia tidak menyentuh Maya...
Berlawanan dengan kegundahan hatinya, Masumi berjalan dengan mantap menuju ruang baca dimana ayahnya telah menunggu.
Tapi Maya, kenapa kau mengajukan persyaratan seperti itu. Ayahku pasti…
Masumi mengetatkan rahangnya. Mempersiapkan diri, saat pintu ruangan itu hanya berjarak satu depa di hadapannya.
Ayah yang ikatannya denganku hanya dihubungkan oleh pekerjaan.
Masumi mengetuk pintu dan Asa membukakannya.
“Selamat malam, Ayah…” sapa Masumi.
Mendengar sapaan anaknya, Eisuke mengangkat wajahnya dan segera meletakkan buku yang sedang dibacanya. Asa disuruhnya meninggalkan mereka berdua.
Masumi lantas mengambil tempat di sebuah sofa yang membuatnya berhadapan dengan Eisuke. Jaraknya tidak dekat, seakan-akan menggambarkan bagaimana hubungannya dengan Eisuke selama ini.
“Bagaimana pertemuannya? Dengan Maya Kitajima?” Ayahnya memulai.
“Semuanya berjalan baik…” Masumi menatap lurus pada Ayahnya, menebak apakah Sang Jenderal sudah tahu apa yang terjadi pada pertemuannya dengan Maya.
“Hanya saja, ada syarat tambahan yang diminta oleh Maya.”
“Dia ingin ada hitam di atas putih bahwa KAU, Masumi Hayami, menangani Bidadari Merah,” sambung Eisuke, dingin.
Masumi memandangnya tidak berkedip.
“Benar.”
Sebuah senyum melecehkan tersungging di bibir pria tua tersebut.
“Sudah sejauh mana hubunganmu dan anak itu, Masumi?” Tanya Eisuke.
Pertanyaan yang membuat Masumi terpaksa bereaksi. Matanya melebar dan alisnya sedikit naik.
“Masumi… sudah kubilang berkali-kali, jangan meremehkanku. Kau adalah hasil didikanku, tidak ada satu rahasiapun yang bisa kau simpan dariku,” Eisuke menekankan.
“Gadis itu mencintaiku,” jawab Masumi setelah terdiam cukup lama.
“Selamat,” ucap Eisuke, nadanya seperti menyindir. “Lalu?”
“Itu saja,” tutup Masumi.
“Aku tidak membaca apapun mengenai hal ini di media, kau menyembunyikannya dengan sangat rapi,” puji Eisuke.
“Tapi kau tentu tidak bodoh, Masumi. Dengan permintaan gadis itu, seluruh dunia akan bisa melihat hubungan khusus yang terjadi antara kau dan anak itu. Lalu buat apa selama ini kalian berpura-pura dan menutupi semuanya?” Ejek Eisuke.
“Kalau sudah menyangkut anak itu, cara pikirmu jadi tersumbat…” ucapnya tajam.
Masumi menelan ludahnya tak kentara.
“Aku tidak ada maksud menutup-nutupi semuanya. Aku hanya ingin memastikan Maya dan Daito tidak akan dituduh macam-macam terkait tender bidadari Merah. Mengenai keinginan Maya, aku pun sudah mengerti akan hal itu, tapi Maya sangat berkeras dengan keinginannya. Aku sudah jelaskan duduk persoalannya…”
“SEJAK KAPAN KAU BERKOMPROMI???!!! SEJAK KAPAN DAITO BERKOMPROMI?!!!” Teriak Eisuke, menggelegar.
Lelaki tua itu mungkin sudah semakin uzur, kesehatannya sudah semakin merosot. Tapi tidak dengan harga dirinya.
Eisuke menghirup nafasnya.
“Seumur hidupku, tidak ada seorangpun yang berani mengatur cara kerjaku, dan sekarang…” Eisuke memicingkan matanya, wajahnya menampakkan raut tidak suka.
“Ayah, Maya tidak ada maksud seperti itu. Dia hanya berpikir, karena dia hanya mengenal baik diriku, dan mempercayaiku, dia merasa lebih tenang bekerja sama denganku. Lagipula dengan kedudukan Maya sekarang, dengan posisinya sebagai pemegang resmi hak pementasan Bidadari Merah, dia memang memiliki hak untuk bernegosiasi.”
“Apa kau, yang memintanya mengajukan usulan tersebut?” tembak Eisuke.
“Tidak,” jawab Masumi tegas.
“Lalu bagaimana, Maya, gadis itu. Maya yang KITA kenal, bisa berkeras dan menuntut untuk bernegosiasi?”
“Dia bersama seorang pengacara. Kemungkinan Maya mengatakan keinginannya dan pengacara tersebut memberikan masukan agar hal tersebut dimasukkan ke dalam kontrak,”
Sebuah senyum yang aneh berkembang di bibir Eisuke.
“Pengacara itu, siapa yang mengusulkan?”
“Aku…”
“Dan yang mencarikan?”
“Hijiri.”
Eisuke terbahak culas.
“Kau! Kau! Sudah jelas sekali! Kau lebih mendukung anak itu daripada Daito, dan aku, harus menyerahkan Bidadari Merah kepadamu? Hahaha…. Memuakkan!”  serunya.
Masumi mengeratkan kepalannya.
“Ayah, akan kutegaskan,”  jawab anaknya dingin.
Eisuke memperhatikan.
“Benar sekali, aku yang meminta anak itu membawa pengacara untuk melindungi hak-haknya. Aku, bukannya tidak punya cara untuk menghancurkan gadis itu. Aku punya seribu cara untuk merebut hak itu darinya walaupun dia membawa seratus pengacara bersamanya. Tapi aku tidak akan menyentuh Maya Kitajima sedikitpun.” Tegasnya.
“Kau!”
“Bahkan dengan adanya pengacara itu di sisinya, aku masih bisa menuntut balik keduanya dan tetap bisa mementaskan Bidadari Merah di bawah Daito kalau aku menghendakinya,” mata Masumi memancar dingin.
“Tapi AKU TIDAK MAU,” Masumi menekankan.
Keduanya bertukar pandangan saling menekan. Masumi akhirnya memutuskan untuk mengatakan apa yang dia pikirkan.
“Tidakkah Ayah lelah? Dengan semua yang terjadi antara Ayah dan Bu Mayuko…”
DUGG!!!
“BERANINYA KAU MENGUNGKIT-UNGKIT MAYUKO!!!!” Eisuke memukul meja dengan keras menggunakan kepalan tangannya.
Ketegangan kembali terasa semakin pekat diantara mereka.
Masumi lantas mengangkat badannya dari sandaran sofa.
“Ayah… kumohon… pertimbangkan keinginan Maya. Dia hanya butuh jaminan aku ada di sana terlibat dalam Bidadari Merah. Serahkan Bidadari Merah padaku. Aku akan melakukan yang terbaik bagi Bidadari Merah dan Daito. Aku tidak akan mengecewakanmu…” kata Masumi tenang dan penuh kesungguhan.
Eisuke mengamati, menilai. Mencoba membaca pikiran Masumi. Satu sisi dia merasa anaknya itu lancang. Namun di sisi lain…
“Beri tahu aku, Masumi, kalau aku, merebut Bidadari Merah dari tangan anak itu DENGAN CARAKU, apa yang akan kau lakukan?”
Masumi kembali bersandar di sofa sambil mengaitkan jari jemarinya di depan torsonya. Mengamati karpet di hadapannya, lalu kembali menatap Ayahnya.
“Aku akan menghancurkan Ayah DENGAN CARAKU,” jawab Masumi datar.
“Jangan menggertak, Nak,” Eisuke meremehkan.
“Tidak. Aku yakin Ayah paling tahu bahwa aku tidak pernah mengatakan sesuatu yang tidak mampu kulakukan,” Masumi meyakinkan.
“Ayah, apakah Ayah memiliki seseorang, selain aku, yang dapat memberikan keuntungan dan kemajuan seperti yang kuberikan pada Daito?” tanya Masumi percaya diri.
“Lancang! Sombong sekali! Aku bisa mendapatkan orang lain dengan kemampuan sama hebatnya bahkan lebih darimu!” Eisuke menunjuk dengan geram.
“Aku meragukannya,” kata Masumi dengan yakin.
”Jika memang demikian, untuk apa Ayah harus repot-repot mengangkat dan membesarkanku dengan tangan Ayah sendiri?” tekan Masumi.
Eisuke menggertakkan rahangnya, jelas tidak suka dengan posisinya sekarang. Masumi tidak pernah menekannya seperti ini sebelumnya. Tidak pernah seberani ini menantangnya.
“Sekali pun aku tidak pernah lupa, bahwa aku berada di dalam rumah ini bukan untuk makan gratis. Oleh karena itulah aku mengabdikan hidupku demi pekerjaanku, demi Daito. Bukankah itu tujuan Ayah mengangkatku? Sekarang Ayah bisa menilai sendiri. Apakah aku sudah menjadi orang seperti yang Ayah harapkan atau belum untuk memimpin Daito, Ayah pasti tahu,” katanya.
Eisuke menghembuskan nafasnya berat.
“Baiklah, sekarang jawab pertanyaanku, Masumi. Maya Kitajima dan Daito. Jika kau harus memilih salah satu, dan mengkhianati salah satu, yang mana yang akan kau pilih?” Eisuke memicingkan matanya.
Masumi terdiam.
“Kau tidak bisa menjawabnya, ‘kan?  Maka kau belum menjadi orang yang sesuai dengan harapanku, Masumi. Dan pada orang seperti itu, mustahil aku akan menyerahkan Bidadari Merah, cita-citaku. Setelah dalam genggaman, kini harus kulepaskan begitu saja dan hanya jadi penonton? Jangan membuatku tertawa, Masumi.” Desis Eisuke.
“Ayah, hari dimana aku berhenti menjadi anakmu, adalah hari dimana aku berhenti bekerja untuk Daito. Jadi aku tidak akan pernah mengkhianati Daito selama aku masih menyandang nama Hayami di belakangku. Namun bagiku, keberadaan Daito, atau Hayami, tidaklah seberapa jika dibandingkan arti keberadaan Maya untukku. Jadi jika Ayah memintaku untuk memilih, Ayah sudah tahu sendiri jawabannya.”
Eisuke mengamati anaknya yang tidak sedikitpun kehilangan ketenangannya. Duduk  di hadapannya bak Zeus* dengan tatapan seperti Ares**.
*Zeus : Raja para dewa dalam mitologi Yunani.
**Ares: dewa perang dalam mitologi Yunani.
“Aku akan melakukan apapun demi Daito. Dan yang kuinginkan, hanyalah agar Ayah mengijinkanku bersama gadis yang kucintai. Berikanlah aku kesempatan untuk menangani proyek Bidadari Merah kali ini dan berikan jaminan tersebut seperti yang diinginkan gadis itu. Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu, Ayah.” Kata Masumi, pasti.
Eisuke menimbang. Setelah sekian lama, akhirnya kini Daito bisa mementaskan Bidadari Merah seperti yang dicita-citakannya sejak lama. Namun syaratnya, dia harus mempertaruhkan kewenangannya dan menyerah pada tuntutan Sang Bidadari. Konyol. Ironis. Eisuke sangat tidak menyukai keadaan ini.
“Apa yang anak itu katakan jika aku tidak memenuhi keinginannya?” tanya Eisuke, menyelidik.
Eh?
Masumi mengaitkan tangannya lebih erat. Menghirup nafas berat.
“Dia akan bicara sendiri pada Ayah,” jawab Masumi.
Eisuke kembali terbahak dan tersenyum puas.
“Kalau begitu, minta dia bicara sendiri kepadaku,”
“Ayah!!” seru Masumi, gusar.
“Jika seseorang menginginkan sesuatu dariku, sebaiknya dia datang sendiri dan memintanya langsung padaku,” Eisuke menegaskan.
“Tapi Maya...!!” Masumi berusaha mengubah keputusan Ayahnya.
“Kau dengar perkataanku!! Aku ingin anak itu datang padaku!!” Seru Eisuke.
“Sekarang pergilah!! Aku lelah, pembicaraan kita sudah selesai,” putus Eisuke.
Keduanya kembali bertatapan, saling mengamati. Masumi akhirnya beranjak berdiri.
“Selamat malam, Ayah…” pamitnya basa-basi.
Blam!
Ruang baca itu tertutup rapat. Sunyi.
Eisuke tenggelam dalam pemikirannya.
[“Aku akan menghancurkan Ayah DENGAN CARAKU…”].
Menghancurkan aku… menghancurkan Daito… Aku tidak ragu sedikitpun kau bisa melakukannya, Masumi.
Aku yang membesarkanmu. Sudah dua puluh tujuh tahun… dua puluh tujuh tahun… aku sudah mengajarkan semuanya kepadamu. Aku yakin sekali dia bisa memporakporandakan Daito dan menghancurkannya jika dia mau.
Tepatnya… menghancurkanku.
Mungkin dia belum menyadari, atau malah sudah, bahwa pendukungnya di Daito saat ini semakin bertambah dan mungkin sudah lebih banyak dari pendukungku.
Cih! Tentu saja… Mereka berebut menjilatnya dan berdiri di pihaknya, di pihak masa depan Daito, dan meninggalkanku yang mungkin tidak lama lagi hanya menjadi sejarah.
Dia tahu semua kelemahan dan kelebihan Daito. Dia bisa dengan mudah melumpuhkan perusahaan yang kubangun dengan darah dan keringat…
Aku yang mengajarkannya agar tidak lengah… Namun ternyata, aku yang lengah…
Eisuke meminum kopinya yang sudah dingin.
Aku lupa, memelihara anak harimau sama dengan mempertaruhkan nyawa kepadanya.
Mata Eisuke berkilat, sebuah senyuman misterius menggaris di bibir pria tua tersebut.                                                                                                                                                                                                                                                     
=//=
“Silahkan Nona, Tuan sudah menunggu,,,”
Maya merasakan debaran yang menyerang hatinya. Tubuhnya terasa panas dingin.
Sudah tidak bisa mundur, dia harus maju, melanjutkan. Untuk Masuminya.
Seorang pelayan membuka pintu menuju sebuah ruangan seperti kantor.
“Nona Maya sudah datang, Tuan,“ terang pelayan tersebut pada seorang pria yang duduk di atas sebuah kursi roda.
Maya tidak bisa melihat wajah pria yang duduk membelakanginya tersebut dan sepertinya sedang mengamati sesuatu di luar jendela.
“Se... se… se… selamat siang!! Saya Maya Kitajima!” Sapa Maya, gugup.
Eisuke menarik satu sudut bibirnya, tersenyum. Ia lantas memutar kursi rodanya.
“Halo, Maya, sudah lama tidak bertemu. Apa kabarmu?”
Maya sedikit memicingkan matanya, karena wajah pria tersebut tidak terlihat jelas pada awalnya. Bias cahaya dari jendela menghalanginya. Namun ketika Eisuke menggerakkan kursi rodanya mendekat. Maya bisa melihat wajahnya. Mata gadis itu membelalak dan bibirnya terbuka.
“Kakek Es Krim!!” Serunya tidak percaya.
Eisuke tersenyum ramah kepadanya.
Maya ingat, terakhir kali, kakek tersebut menemuinya untuk mengucapkan selamat atas terpilihnya dia sebagai Bidadari Merah dan kembali mentraktirnya makan es krim.
“Kakek!” Maya menghampiri dengan wajah riang, “sedang apa di sini? Apa kau sehat-sehat saja?” Tanya Maya, sejenak tidak menyadari siapa kakek tua tersebut.
Namun tidak lama kemudian gadis itu tertegun, dan melepaskan genggaman tangannya dari lengan Eisuke.
“A… apakah kakek, ayah dari Pak…” wajah gadis itu memucat dan perlahan memberi jarak dirinya dan Eisuke.
“Benar, Maya. Aku adalah ayah dari Masumi Hayami dan juga Presiden Direktur Daito,  Eisuke Hayami,” katanya penuh wibawa.
=//=
Masumi segera turun dari mobilnya dan dengan cepat melesat ke dalam rumahnya.
“Mana Ayahku?” tanyanya setengah berteriak.
“Di ruang makan, Tuan Muda.”
Dengan tidak sabar Masumi segera  menuju ke ruang makan.
[Sebelumnya di Daito.
“Pak Masumi, kudengar hari ini Maya dan Pak Eisuke akan bertemu?” tanya Mizuki sambil menyerahkan kopi sebagai pengganti  makan siang Masumi.
“Eh? Apa kau bilang?” Masumi terperanjat.
“Anda belum tahu?” Mizuki tidak kalah terkejut.
“Kemarin Hino berbincang-bincang dengan saya, dan dia sempat mengatakan bahwa Pak Hayami meminta untuk bertemu dengan Maya. Pak Presdir meminta Maya menemuinya seorang diri tanpa didampingi Hino. Hino sudah menganjurkan Maya untuk menolaknya, namun katanya, Maya diberi tahu bahwa Pak Hayami ingin berbicara lebih pribadi. Oleh karena itu Pak Hayami meminta Maya datang ke rumahnya. Dan kudengar, Maya berencana menemuinya hari ini.”]
Orang tua itu…
Masumi merasa dicurangi. Dia mempercepat langkahnya, tangannya mengepal keras.
Aku belum mengatakan apapun pada Maya dan masih menunggu saat yang tepat. Tapi dia malah mendahuluiku…
Masumi hampir sampai di ruang makan.
Namun tiba-tiba pria itu menghentikan langkahnya, tertegun. Masumi mendengar sesuatu dari dalam sana.
Hah? Kenapa mereka…
Tertawa?
Masumi bisa mendengar tawa keduanya dengan jelas dari dalam. Terdengar riang dan tawa Eisuke terdengar lantang.
Akhirnya Masumi memutuskan untuk masuk ke ruang makan.
“Selamat siang,” sapanya datar.
Tawa keduanya terhenti dan segera memalingkan wajah ke arahnya.
“Ah, Masumi!” sambut Eisuke.
“Pak… Masumi…” Maya terkejut melihatnya.
“Apa aku mengganggu?” Masumi menatap dingin ke arah Eisuke.
Hal itu tidak luput dari pengamatan Maya.
“Tidak, tidak. Sama sekali tidak.” Jawab Eisuke cepat.
Masumi lantas mengalihkan pandangannya pada Maya.
Maya…
“Kau sudah makan?” tanya Eisuke acuh.
“Belum. Dan aku tidak yakin aku ingin makan,” Masumi mengambil tempat di hadapan Maya.
“Makanlah Masumi, kau bisa menemani Maya. Aku sudah mau selesai,” terang Eisuke.
“Sudah mau selesai?” Maya menoleh pada Eisuke, “Anda makan sangat sedikit, Kakek,” kata Maya khawatir.
“Ah, Maya, untuk orang setua aku dengan keadaan seperti ini, semakin lama nikmatnya makanan sudah tidak bisa kurasakan lagi. Asal bisa memenuhi kewajiban pada tubuhku, itu sudah cukup,” tutur Eisuke.
Masumi hanya mengamati keduanya berinteraksi. Kenapa mereka berdua terlihat akrab? Masumi tahu bahwa Eisuke pernah bertemu dengan Maya. Itu sudah pernah dikatakannya. Namun mengenai kedekatan mereka, Masumi sama sekali tidak tahu.
Masumi mengamati Eisuke dangan tatapan waspada. Curiga.
“Kenapa kau diam saja Masumi?” Tanya Eisuke, sambil menyeringai tidak kentara ke arahnya.
“Tidak, aku…”
“Hei, ambilkan makan siang untuk Masumi!” perintah Eisuke kepada salah seorang pelayan yang segera dilaksanakan.
“Baiklah, aku permisi dulu. Tubuhku sudah minta diistirahatkan. Kau tidak keberatan ‘kan Maya, jika anakku yang menemanimu?” Tanya Eisuke, sedikit menggodanya.
Maya melirik pada Masumi sebentar lalu tersenyum malu-malu sambil menunduk.
“Tidak Kek…” jawabnya perlahan.
Eisuke terbahak.
“Aku kan sudah bilang, kau bisa memanggilku Paman. Aku ini kan Ayah Masumi. Mungkin nanti akan menjadi Ayahmu juga, Maya…”
Maya tertegun dan berhenti menyuap sebentar sementara Masumi menundukkan pandangannya. Tidak percaya mendengar ucapan ayahnya tersebut.
“Hiburlah aku sedikit. Jika kau memanggilku Paman, aku jadi merasa sedikit lebih muda. Walaupun aku tahu, Masumi yang lebih cocok kau panggil Paman…” sindir Eisuke.
Maya tertawa kecil.
“Baiklah. Paman…” ucap Maya sambil tersenyum hangat.
Eisuke kembali tertawa sementara Masumi tidak merasakan ada yang lucu sedikitpun.
Seorang pelayan menghidangkan makanan di hadapan Masumi.
“Sampai di sini saja ya, aku permisi dulu…” ucap Eisuke sambil tersenyum ramah pada Maya.
Pria tua itu melemparkan tatapan misterius saat pandangannya dan Masumi bertemu.
“Ahh… kalian pasti akan punya anak-anak yang pemberani. Aku tidak sabar melihat seperti apa cucu-cucuku nanti…” ujarnya sambil berlalu.
Masumi yang sedang memakan supnya langsung tersedak dan susah payah berusaha menelan makanannya sambil meraih air minum. Sementara Maya hanya tertegun dan tertunduk malu tanpa suara.
Hanya tawa Eisuke yang masih terdengar namun semakin menjauh berlalu menyusuri lorong kediaman Hayami meninggalkan mereka.
Beberapa lama hanya suara denting sendok dan piring yang terdengar diantara Masumi dan Maya.
“Maya…” panggil Masumi pelan.
“Iya?!” Jawab Maya, gugup, setengah terperanjat.
Keduanya berpandangan canggung.
“Kau suka makananmu?” tanya Masumi basa basi.
“I… iya,” jawab Maya.
Saat ini berbicara dengan Masumi lebih membuatnya gugup daripada berbicara dengan Eisuke tadi.
“Baguslah,” gumam Masumi.
Keduanya kembali pada makanannya.
“Maya…”
“Iya?!” Maya kembali mengangkat wajahnya.
Masumi menghirup nafasnya setenang mungkin.
“Kau… belum pernah berkeliling di sini, ‘kan? Mau kutemani melihat-lihat kebunku?” tawar Masumi.
Maya tersenyum riang.
“Benarkah? Dengan senang hati,” jawab Maya sambil mengangguk.
Masumi tersenyum padanya sebelum kembali pada makanannya.
“Maya…” panggilnya sekali lagi, namun kali ini tanpa mengangkat wajahnya.
“Iya?” jawab Maya, lebih tenang dari sebelumnya.
Masumi terdiam sebentar.
“Aku sangat senang, bisa bertemu denganmu di sini,” kata pria itu pada sepotong ikan di piringnya.
Maya merasakan wajahnya merona dan kembali tertunduk.
“A… aku juga sangat senang, bisa bertemu Anda di sini…” jawab Maya, juga pada sepotong ikan di piringnya.
=//=
Maya dan Masumi menyusuri kebun di sekitar kediaman Hayami. Masumi menerangkan beberapa tanaman yang ada di sana. Dia juga memberi tahu mengenai beberapa tanaman berkhasiat yang berada di apotik hidup dalam kebun mereka.
Maya mendengarkan dan mengamati dengan antusias.
“Mungil, bukankah Akoya sangat pandai mengobati orang-orang dengan tanaman-tanaman herbal seperti ini?” kata Masumi.
Rasa canggung di antara keduanya sudah mulai menghilang.
“Iya… tapi aku belum banyak mempelajari mengenai tanaman obat-obatan ini,” kata Maya, masih mengamati beberapa tanaman di sana.
Keduanya lalu mengelilingi taman yang terawat dan tertata rapi.
“Tukang kebun biasanya datang seminggu sekali ke sini. Kalau ada waktu, aku juga sering mengurus beberapa tanaman di sini,” terang Masumi.
Maya mengamati pria itu dengan tatapan kagum.
“Berkebun itu sepertinya menyenangkan,” ujar Maya.
“Begitulah. Kau tidak pernah berkebun, Maya?” tanya Masumi sambil mulai melangkah meninggalkan apotik hidupnya.
“Tidak, Anda tahu sendiri aku ini bodoh dalam melakukan apapun, termasuk berkebun. Pasti tanamannya akan mati semua kalau aku yang mengurus,” keluh Maya.
Masumi tersenyum simpul mendengar perkataan gadis itu.
“Mungil…” panggil Masumi.
Maya menoleh ke arahnya.
“Berhentilah menyebut dirimu bodoh,” katanya lembut.
“Dari awal aku mengenalmu, aku tidak pernah sekalipun berpikir kau itu gadis yang bodoh.”
Maya merasakan jantungnya berdebar, tersentuh.
Masumi membalikkan badannya ke arah Maya, berhadapan dengannya. Pria itu lantas membelai rambut Maya. Gadis itu terkejut, tapi membiarkan.
“Kau mungkin ceroboh, tidak mahir pada beberapa bidang. Itu wajar saja, tidak ada seorang pun yang bisa melakukan semua hal di dunia ini. Kau sama sekali tidak bodoh. Sebaliknya, kau sangat istimewa, luar biasa. Kau punya bakat di bidang akting yang menurutku, adalah anugerah tidak terkira.” Masumi sedikit membungkukkan badannya hingga wajah mereka berhadapan lurus.
“Aku sudah berkali-kali mengatakannya, dan aku akan mengatakannya lagi. Kau adalah seorang gadis yang mempesona, Maya. Aku tidak mau lagi mendengarmu mengatakan dirimu bodoh. Kau mengerti?”
Maya kembali menangis, “maafkan aku,” katanya, lalu mengangguk mantap.
Masumi tersenyum puas. Ia lalu menepuk kepala Maya beberapa kali sebelum menurunkan tangannya.
“Ayo kita ke sana,” ajak Masumi kemudian.
Keduanya sekarang menyebrangi sebuah jembatan kecil yang melintas di atas kolam memanjang, kolam ikan yang terhubung pada kolam besar di belakang kediaman Hayami. Maya dan Masumi terdiam sebentar, berdiri di jembatan tersebut mengamati sekelilingnya.
“Maya,” panggil Masumi tanpa menoleh pada gadis itu.
“iya?” Maya menengadahkan kepalanya pada Masumi yang berdiri di sampingnya.
“Apa yang kau bicarakan dengan Ayah, kenapa kau tidak mengatakan padaku bahwa kau akan menemuinya?” Masumi mulai menatap gadis itu.
“Aku, diminta Paman datang sendiri kemari, jadi aku…”
“Apa kau tidak tahu betapa khawatirnya aku saat tahu kau datang sendiri menemuinya?” Masumi bertanya sedikit lantang.
“Maaf…”
“Ah, sudahlah, maafkan aku,”
“Tidak apa-apa, aku tahu Anda hanya mengkhawatirkanku,” kata Maya.
Perlahan telapak tangan gadis itu bergeser, mencapai telapak Masumi yang memegang pinggiran jembatan.
Maya…
Masumi bisa merasakan detak jantungnya yang berdebar cepat.
“Terima kasih,” kata Maya lembut.
Masumi menarik lepas telapaknya dari genggaman Maya dan berbalik menggenggam tangan gadis itu, dengan sangat erat.
“Kalian tadi akrab sekali. Aku terkejut mendengarnya,” gumam Masumi.
“Aku pun awalnya sangat takut. Aku sudah mendengar kalau Paman kejam dan sebagainya. Namun ternyata Pak Eisuke Hayami adalah Kakek Es krim yang sudah beberapa kali bertemu denganku,” tutur Maya.
“Kakek Es krim?” Masumi memandang gadis itu, dahinya berkerut.
“Iya, kami sudah beberapa kali bertemu, dan Paman juga sudah beberapa kali mentraktirku makan es krim,” terangnya.
Dahi Masumi semakin berkerut. Ayahnya, makan es krim? Rasanya tidak pernah selama 28 tahun dia mengenal pria itu, Masumi melihat Eisuke memakan es krim ataupun tertawa gembira seperti yang dilakukannya dengan Maya tadi.
[Sebelumnya di ruang baca Eisuke.
“Duduklah Maya,” Eisuke mempersilahkan sambil menggeser kursi rodanya mendekat.
"Kudengar, kau meminta syarat tambahan untuk penggunaan Bidadari Merah, benarkah begitu, Nak?" Eisuke memulai.
“Eh... A... Aku...” Kegugupan menyerang Maya dengan sangat saat ini.
“Tenanglah Maya, kau tidak perlu merasa takut. Aku hanya ingin tahu alasanmu,” kata Eisuke tenang.
Kakek...
“Be, benar. Aku mengatakan pada pengacaraku, Pak Hino bahwa aku... Hmm... Ingin Pak Masumi menangani pementasan Bidadari Merah. Pak Hino lalu menganjurkan agar aku mengajukannya langsung kepada Daito, dan jika memungkinkan, aku ingin ada pernyataan resmi mengenai hal itu,” terang Maya dengan suara pelan.
Eisuke mengamatinya sebentar sebelum mulai bicara.
“Maya, aku tidak bisa mengabulkannya. Adalah wewenangku sepenuhnya untuk menentukan siapa saja yang ingin kulibatkan dalam pagelaran ini—“
“Karena itulah aku mohon kepadamu Pak Eisuke. Aku hanya ingin jaminan bahwa Pak Masumi—“
“Kenapa kau begitu keras kepala? Apa kau, tidak mempercayaiku, Maya?” Tanya Eisuke tajam.
Maya mengatupkan bibirnya.
Gadis itu mengangguk.
“Aku tidak mempercayai Anda,” katanya terus terang.
Mata Eisuke melebar.
“Aku... menyukai Anda, sebagai Kakek Es Krim. Anda sangat menyenangkan,” tutur Maya sambil menundukkan wajahnya.
Menyenangkan...
Tidak pernah sekalipun Eisuke mendengar seseorang menyebutnya menyenangkan.
“Namun, sebagai Pak Eisuke Hayami, seorang Presiden Direktur Daito, aku tidak mengenalnya. Aku.. Tidak bisa mempercayai Anda,” kata Maya tegas.
“Dan kau mempercayai Masumi?”
Maya mengangguk pasti.
Eisuke menyeringai.
“Kakek, aku sama sekali tidak bermaksud ikut campur dengan masalah Daito. Aku, hanya menginginkan Pak Masumi—“
“Kau menginginkan Masumi?” potong Eisuke.
Maya tertegun.
“Bukan, bukan begitu...” Maya mulai salah tingkah.
Eisuke terbahak.
“Ah, perkiraanku salah. Kupikir kau menyukai anakku.” Godanya.
“Aku menyukainya!” Kata Maya spontan.
Gadis itu tertegun lantas menutup mulutnya.
Eisuke kembali tertawa.
“Aku mengerti maksudmu, Maya...” Kata Eisuke tenang.
“Kemarin Masumi sudah mengatakan yang kau inginkan, bahwa Masumi menjadi penanggung jawab sandiwara ini untuk Daito. Dan aku pun sudah memikirkannya dan mengambil keputusan.” Kata Eisuke.
Kesunyian mengambil tempat beberapa lama diantara keduanya.
“Maya, Bidadari Merah, sejak pertama kali aku melihatnya, dia sudah mempesonaku. Aku tidak pernah begitu menginginkan sesuatu seperti aku menginginkan Bidadari Merah. Aku melakukan segalanya, cara yang benar atau salah, untuk mendapatkan Bidadari Merah,” raut wajah Eisuke terlihat mengeras.
“Namun Bidadari Merah itu, Mayuko, dia membenciku dari dasar hatinya, karena aku sudah menjadi penyebab dia berpisah dengan kekasihnya, Ichiren,” kenangnya pahit.
Kakek...
“Aku, sama sekali tidak pernah bermaksud menyudutkannya seperti itu. Aku sangat terkejut saat tahu laki-laki itu bunuh diri. Tapi aku yang sudah masuk ke dalam kubangan dosa, sudah tidak bisa lagi keluar dan hanya bisa menjalani kehidupanku seperti ini. Aku tahu Mayuko sampai akhir hayatnya masih mendendam padaku,” ucapnya suram.
“Tidak kakek... “ Maya berpindah duduk di dekat Eisuke, menggenggam lengan lelaki tua itu.
“Bu Mayuko sudah memaafkan Anda. Ibu bilang, segala dendam dan kebencian di sekitar Bidadari merah harus dihapuskan, harus dibuang. Termasuk masalah Mayuko dan Daito. Bu Mayuko bilang dia sudah memaafkan semua musuh-musuhnya di masa lalu. Karena itu juga, aku tidak ragu-ragu memilih Daito untuk memenangkan tender kemarin," tutur Maya.
Eisuke memandang gadis mungil dì sampingnya dan tersenyum.
"Kau... Mencintai anakku, Masumi, Maya?" tanya Eisuke.
Maya mengangguk.
"Dia laki-laki yang beruntung..." Eisuke menepuk-nepuk tangan Maya yang menggenggam lengannya.
Lelaki tua itu lantas tersenyum lembut.
Kakek...
“Tidak, Kakek, akulah yang beruntung,” kata Maya sambil tertunduk malu.
Eisuke kembali tertawa.
“Maya, mengenai keinginanmu, aku sudah memutuskan untuk mengabulkannya. Namun aku tidak bisa memasukan hal tersebut ke dalam kontrak. Kita akan membuatnya dalam perjanjian yang terpisah. Sebagai perjanjian pribadi antara kau dan aku. Kau mengerti? Nanti biar pengacara Daito dan pengacaramu yang mengurus hal ini,” Eisuke tersenyum.
“Benarkah? Jadi... Pak Masumi sudah pasti ikut menangani—“
“Iya, tidak akan ada yang menggeser posisi Masumi, aku pastikan. Malah, aku sudah memikirkan untuk menyerahkan semua masalah Bidadari Merah ini kepadanya. Aku, sudah cukup lelah,” kata Eisuke seraya tersenyum.
Kakek...
“Lagipula, dengan Bidadari Merah yang ini, aku tidak ingin bertikai,” tambahnya.
“Terima kasih kek…” kata Maya tersentuh.
“Maya, bukankah kau akan menikah dengan anakku?” Tanya Eisuke tiba-tiba.
“Eh, tentang itu aku dan Pak Masumi...” Maya langsung gagap dan wajahnya berubah merah padam.
“Kau tidak ada keinginan menikahi Masumi?”
“Bu, bukan begitu Kek...” elak Maya cepat.
“Nah, bisakah kau memanggilku Paman? Aku tahu ini belum saatnya bagimu memanggilku Ayah. Tapi, kalau Paman, tidak apa-apa ‘kan?”
“Baiklah, Paman...” ucap Maya sambil tersenyum malu-malu.]
=//=
“Jadi Ayah… menyetujuinya?” tanya Masumi, sambil mengamati riak-riak air di kolam.
“Iya, malah Paman bilang, dia akan menyerahkan semuanya pada Pak Masumi,”
Ayah…
“Aku tidak mengira,” gumam Masumi, suaranya terdengar seperti memikirkan sesuatu.
“Bidadari Merah adalah impian terbesar Ayah. Aku tidak menyangka dia akhirnya melepaskannya kepadaku. Padahal aku sudah berkali-kali mengecewakannya. Kupikir, suatu saat Ayah akan berubah pikiran untuk membiarkanku ikut serta menangani Bidadari Merah,”
“Pak Masumi…”
“Maya,” Masumi menoleh pada gadis di sampingnya, “sudah waktunya, kau mengetahui mengenai keluargaku.” Katanya.
“Keluarga Pak Masumi?”
“Iya, keluarga Hayami. Aku ini adalah anak angkat Ayah. Dulu, ibuku adalah seorang pembantu di rumah ini. Ayah menikahinya karena ingin mengangkatku sebagai anaknya dan dididik sebagai penerusnya,” terang Masumi.
Pria itu lantas menceritakan kisah hidupnya pada Maya. Mengenai perasaannya pada Eisuke, berbagai kejadian yang menimpanya, termasuk tekadnya merebut Bidadari Merah dan juga kejadian penculikan saat dia kecil.
Maya mendengarkan dengan seksama. Sekali-kali Maya terkesiap, berkaca-kaca mendengar kisah hidup Masumi.
“Jujur saja,” aku Masumi, Ia melepaskan genggamannya dari telapak Maya dan mulai berpegangan ke sisi jembatan dengan erat.
“Aku memendam dendam yang sangat kuat kepada Ayahku, dan bertekad merebut semua miliknya.” Tangan Masumi gemetar.
“Namun entah sejak kapan, semuanya mulai tidak terasa penting lagi bagiku…”suaranya melembut.
“Aku masih bertekad untuk mementaskan Bidadari Merah dengan tanganku, tapi itu karena, aku tahu pementasan itu penting bagimu,” Masumi menoleh pada Maya.
“Aku ingin memastikan semuanya akan berjalan dengan baik untukmu, ingin melindungimu dan sesuatu yang  berharga untukmu,” terang Masumi.
“Aku tahu Ayah juga tidak pernah benar-benar menganggapku anaknya, aku hanya…”
“Bukan begitu, Pak Masumi,” potong Maya.
“Paman berkata padaku, dia tidak main-main saat mengangkatmu menjadi putranya. Mungkin, ada beberapa hal yang tidak seharusnya dia lakukan. Tapi dia memang tidak punya anak, dia hanya melakukan apa yang dia anggap perlu untuk mendidikmu. Dia menyadari dia sudah sering berbuat kasar kepadamu, namun itu bukan karena Paman membencimu. Paman sama sekali tidak pernah membenci Anda, Pak Masumi. Paman bilang, dia bangga kepadamu,”
“Eh?” Masumi tertegun bingung, “bangga… kepadaku?” gumamnya tidak percaya.
“Benar. Bangga. Anda sudah melampaui harapannya. Itu yang dia katakan kepadaku saat di ruang makan,” Maya tersenyum hangat.
Ayah…
Masumi sama sekali tidak mengira. Selama ini, Eisuke sudah dia jadikan tujuan hidupnya. Sebuah dendam yang harus dibalas. Walaupun entah sejak kapan Masumi sudah tidak memikirkan Eisuke lagi karena segala perhatiannya mulai beralih dan terpusat pada Maya. Namun mendengar bahwa Eisuke merasa bangga kepadanya, ada keharuan menyeruak dalam hati pria itu. Sekali pun, Masumi tidak pernah mendengar pria yang dipanggilnya Ayah itu mengatakan dia bangga kepadanya.
“Aku lega…” bisik Masumi, “aku… sungguh sangat lega mendengarnya…” sebuah senyuman yang hangat melukis wajahnya.
“Maya, sekarang kau sudah tahu mengenai masa lalu dan kisah hidupku, kau—“
“Aku tidak peduli, Pak Masumi,” kata Maya, “sebenarnya semua itu tidak ada pengaruhnya selain aku lebih mengenalmu. Walau siapapun dirimu, aku… mencintaimu. Mencintai Masumi Hayami yang sekarang berdiri di hadapanku,” Maya memandangnya dengan penuh cinta.
“Maya…” Masumi menyentuh pipi gadis itu dan gadis itu menggenggam telapaknya.
“Pak Masumi, Anda tidak kembali ke kantor?” tanya Maya.
Masumi menggelengkan kepalanya.
“Aku sudah mengatakan pada Mizuki tidak akan kembali ke kantor. Aku sudah khawatir kalau terjadi apa-apa antara kau dan Ayah, syukurlah tidak terjadi apapun,” Masumi menarik bahu Maya dan merangkulnya.
“Pak Masumi… apa tidak apa-apa jika kita… sedekat ini?” tanya Maya ragu-ragu.
Masumi menoleh sebentar pada Maya.
“Tidak apa-apa, tidak ada wartawan yang akan berani mendekati kediaman Hayami,” kata Masumi.
“Lagipula, hanya masalah waktu, sampai aku bisa mengatakan pada mereka bahwa aku mencintaimu.” Pria itu merangkulnya lebih erat, “nanti jika masalah kontrakmu sudah selesai, aku… ingin mengajakmu makan malam, berkencan…” kata Masumi, suaranya semakin lama semakin pelan dan wajahnya merona saat mengucapkan kata berkencan.
Maya mengangguk. Perlahan, Maya melingkarkan tangannya pada pinggang pria itu.
“Maya, apakah Hino menceritakan mengenai kencannya dengan Mizuki?” tanya Masumi tiba-tiba.
Alis Maya berkerut bingung.
“Memangnya kenapa? Anda mulai bertingkah seperti tabloid gosip…” sindir Maya.
“Tidak apa…  hanya saja, Mizuki adalah salah satu orang kepercayaanku, aku tidak mau kalau kencannya dengan Hino mempengaruhi efektivitas kerjanya,” kata Masumi, mengucapkan kata-kata yang sering dilontarkan Mizuki pada dirinya.
“Juga karena Hino mempunyai kepribadian yang terbuka dan sepertinya sangat berterus terang, mungkin saja dia pernah…”
“Mmhh… Pak Hino memang pernah menyinggung Nona Mizuki. Saat itu, dia bertanya mengenai Mawar… mmh… Anda...”
“Aku?” Kedua alis Masumi terangkat.
“Iya…” Maya terkekeh, “Pak Hino bertanya padaku siapa waliku sebenarnya. Karena dia sedikit cemburu katanya,” terang Maya.
“Eh?”
“Saat sedang berkencan dengan Pak Hino, Nona Mizuki beberapa kali bertanya pada Pak Hino apakah dia tahu siapa orang yang menyewanya. Lalu Pak Hino bilang, dia tidak tahu dan tidak pernah bertemu, hanya bertemu perantaranya. Lalu Nona Mizuki bertanya banyak hal mengenai perantaranya itu. Tapi Pak Hino sudah diminta untuk bungkam sebelumnya, jadi dia tidak bisa banyak bercerita. Dan Nona Mizuki terlihat sedikit kecewa,” terang Maya.
“Uhhmm…” Masumi termangu, berpikir.
Mizuki sudah tahu siapa aku, jadi untuk apa dia bertanya pada Hino. Kecuali…
Kedua alisnya bertaut.
Kecuali dia ingin mencari tahu mengenai Hijiri…
“Pak Masumi!” Panggil Maya saat melihat kekasihnya itu melamun.
“Hm?” Masumi sedikit tersentak lantas memandang pada Maya, “ada apa?”
“Anda yang ada apa, kenapa diam saja?” tanya Maya.
Masumi tersenyum, “tidak ada,” jawabnya.
“Hei Mungil, kau tahu, ada seekor ikan yang dalam hati kuberi nama sepertimu,” kata Masumi  mengalihkan pembicaraan.
“Eh? Benarkah? Yang mana?” tanya Maya.
Masumi menarik lengan gadis itu menyusuri kolam.
“Yang itu, kau lihat?” Masumi menunjuk seekor ikan Koi yang ada di sana.
“Iya… kenapa Anda menamainya seperti aku?” tanya Maya penasaran.
“Aku selalu menyebutnya Maya. Karena ikan itu makannya banyak. Dia selalu melahap semua makanan yang diberikan padanya, tapi badannya tetap paling kecil dibanding yang lain, sepertinya pertumbuhannya terhambat,” terang Masumi.
“Pak Masumi!!” Maya melirik kesal padanya, “menyebalkan!!”
Masumi hanya terbahak-bahak. Puas dengan reaksi Maya.
Dari kejauhan, Eisuke sedari tadi mengamati keduanya dari balik jendela kamarnya.
“Aku kalah,” gumam Eisuke diantara nafas tuanya yang terdengar sedikit terengah. “Aku sudah kalah olehmu, Masumi.”
Laki-laki itu tersenyum puas lantas memutar kursi rodanya menjauh dari jendela.
=//=
Masumi mengangkat wajahnya saat mendengar kegaduhan di luar pintunya. Pintu kantornya segera terbuka dan menampakkan seorang pria, berusia mendekati 50, berperawakan gemuk dengan setelan jas berwarna hitam. Wajahnya merah padam penuh amarah. Dua orang keamanan menahan kedua lengannya.
“Maaf pak, kami sudah mengatakan bahwa Anda tidak bisa diganggu namun…”
“Sudah tidak mengapa,” kata Masumi dingin sambil menutup mapnya.
“Pak Nakahara,” Masumi mengangguk penuh percaya diri.
“Anda jauh-jauh datang menemuiku, apakah ada yang bisa kubantu?” Tanya Masumi, sebelah alisnya terangkat tak kentara.
CIH!!! Dasar picik!! Keterlaluan kau Masumi. Apa maksudmu menekan Doremi? Apa kau mau menghancurkan kami, hah?!!” Tanya Nakahara emosional.
Masumi menatapnya tajam, bibirnya sedikit mengerucut, menilai lawannya.
“Pak Nakahara, berbicara mengenai Doremi, coba saya ingat-ingat. Apakah Anda bermasalah dengan drama seri produksimu yang ratingnya terus menurun? Nitta Yui yang menolak melanjutkan kerja sama dengan Doremi? Atau Pak Ueto yang akhirnya menolak tawaran untuk menulis naskah untuk Anda lagi? Apakah itu masalah Anda?”
Pria itu tidak menjawab dan terlihat geram.
“Ya… ya… aku tahu, menyalahkan orang lain memang lebih mudah daripada mengevaluasi diri Pak Nakahara, tapi saya tidak mengerti untuk apa Anda jauh-jauh datang kepada saya? Mencurahkan isi hati?” ledek Masumi.
“Dasar kau tidak punya hati!!! Aku tahu kau menyabotase Nitta dan juga sengaja meminta stasiun TV MBS untuk memindahkan jam tayang drama kami ‘kan? Sekarang drama itu terancam dikenakan pemotongan episode karena rating yang terus turun. Dan Pak Ueto, salah satu penulis naskah yang merupakan aset terbaik Doremi pun kau rebut. Kau sungguh picik Masumi!!!”
“Tidak punya hati? Memanfaatkan seseorang karena dia merasa berhutang budi, siapa di sini yang tidak punya hati?” Masumi mulai menyalakan rokoknya.
“Kau???!!!”
Masumi terbahak. Mencela.
“Ah, sudahlah Pak. Berbicara masalah hati bukanlah tugas orang-orang seperti kita. Maaf jika saya boleh berpendapat. Kita bekerja dengan manusia di sini Pak Nakahara. Bukan dengan kamera, dengan mesin pengepakan, dengan kuas atau apapun. Jika pada akhirnya orang-orang itu meninggalkan Anda, tentu itu karena mereka menyadari mana yang lebih baik bagi mereka…”
“Kau menekan mereka!! Aku yakin kau memanipulasi mereka!!” Serunya murka.
“Oya?” Masumi menyeringai.
“Buktikan!” desisnya tajam.
“Biarkan saya memberikan penilaian professional saya. Melihat keadaan Doremi sekarang, tidak akan sampai satu tahun perusahaan Anda akan dinyatakan pailit dan bangkrut. Saya sarankan Anda mulai memikirkan bisnis yang lain,” cela Masumi.
“Brengsek kau Masumi!!! Tunggu saja pembalasanku…!!” Laki-laki setengah baya tersebut mengatupkan rahangnya kuat-kuat sementara mengarahkan kepalan tinjunya pada Masumi.
“Seharusnya, Anda berpikir lebih bijaksana sebelum menantang Daito, Pak Nakahara,” Masumi mengepulkan asap dari bibirnya dengan gaya.
“Sudah cukup saya mendengarkan, sekarang saya tidak punya waktu lagi untuk Anda. Anda mungkin tidak mengerti, tapi pekerjaan seorang direktur perusahaan sukses seperti Daito menyita banyak waktu. Saya tidak ada waktu bersantai seperti Anda. Apalagi sampai jauh-jauh berkunjung ke perusahaan lain hanya untuk curhat karena di perusahaannya sendiri sudah tidak ada pekerjaan,” Masumi menyeringai penuh kebanggaan.
“Kurang ajar kau!! Suatu saat aku akan menghancurkanmu!! Aku akan melakukan apapun demi melihat kau dan Daito hancur!!!” Nakahara mengancam sambil berusaha melepaskan diri dari cengkraman keamananan.
Masumi tersenyum menantang sebelum memperlihatkan wajah dinginnya, ”AKU TUNGGU!!!”
Masumi lantas memberi tanda agar keamanan menyeret Nakahara dari ruangannya.
“Ah, Nakahara,” serunya, sudah menghilangkan panggilan ‘pak’, “kudengar saat ini, bisnis takoyaki sedang ramai kembali. Kurasa itu akan cocok untukmu,” ujarnya mengejek lantas tertawa.
Nakahara memandang wajah Masumi penuh kebencian saat Ia akhirnya diseret keluar ruangan Masumi.
Masumi masih terbahak puas saat Nakahara berlalu, namun tidak lama kemudian pria itu terperangah.
Ia melihat ada Maya di sana. Di dekat pintu. Wajah gadis itu terlihat sangat terkejut.
Masumi tidak ingin Maya melihatnya. Melihat dia yang seperti ini.
“Maya…?” desisnya tidak percaya.
Gadis itu masuk ke dalam, memperhatikan Masumi sampai dia yakin pria itu cukup jinak untuk didekati.
“Kau melihat semua itu?” Tanya  Masumi, gundah.
Masumi lantas mematikan rokoknya.
“Iya…” jawab Maya, masih sedikit ciut.
“Maaf, aku tidak ingin kau melihatku seperti itu…” kata Masumi.
Wajahnya terlihat resah.
“Anda memintaku datang, Pak Masumi?” tanya Maya masih terdengar ragu.
“Ya, duduklah, Maya…” Masumi mempersilahkan.
Maya duduk di sofa panjang dan Masumi mengambil tempat di sofa yang satunya.
“Mengenai manajermu,” terang Masumi cepat.
“Saat ini, kau belum punya manajer. Oleh karena itu, Daito akan mencarikan seorang manajer untukmu, bagaimana? Atau kau punya seseorang yang kau kehendaki sebagai manajermu?” Tanya Masumi tanpa basa-basi.
Maya terdiam sebentar, berpikir.
“Tidak ada. Terserah Anda saja Pak Masumi, aku percaya padamu,” putus Maya.
Maya…
Masumi memandanginya sebentar. Gadis itu terlihat gugup. Ia lalu melanjutkan.
“Baiklah Maya, nanti aku akan meminta Minako dari HRD untuk mencarikan manager untukmu. Lalu masalah kontrakmu akan segera diurus, kami usahakan secepatnya. Pertemuan selanjutnya kau bersama Hino bisa segera menyelesaikan urusan kontrak dengan Daito ini beberapa hari lagi. Setelah itu, aku akan menginstruksikan bagian produksi drama panggung agar mulai bekerja dan proyek ini akan segera dimulai, dalam minggu ini. Apakah terlalu cepat untukmu?” Tanya Masumi menerangkan dengan cermat.
Maya berusaha mengikutinya, lalu menggelengkan kepalanya.
“Pak Kuronuma sudah menyampaikan beberapa hal kepadaku dan aku juga sudah tidak sabar ingin segera berlatih dan memerankan Bidadari Merah,” Maya tersenyum hangat.
“Dan aku… sudah tidak sabar, ingin menyaksikannya.” Masumi menatap lembut pada Maya.
“Pak Masumi…” Maya tersenyum senang.
Pria itu akhirnya menampakkan senyumnya juga.
Jantung gadis itu berdebar lebih keras. Maya mengamati wajah Masumi.
Apakah dia masih orang yang sama yang terlihat mengerikan tadi?
Pikir Maya.
Melihat Masumi bersikap manipulatif seperti tadi, membuat Maya merasa tegang, takut melihatnya.
Namun saat bersamanya seperti ini, hanya dia dan Masumi, hanya kehangatan yang bisa Maya rasakan dari pria itu.
“Pak Masumi, apakah semua ini… memang Anda sendiri juga yang mengurusnya?” Tanya Maya.
“Seharusnya tidak. Tapi karena aktrisnya kau… aku ingin menyampaikannya sendiri,” jawab Masumi jujur.
Pak Masumi…
Maya dapat merasakan wajahnya menghangat.
Keduanya terdiam beberapa saat dan hanya berpandangan.
“Baiklah, aku sudah selesai. Kau boleh pergi, Maya,” kata Masumi sambil memutar wajahnya.
Terdengar pintu diketuk dan Mizuki masuk membawakan minum.
“Silahkan Maya,” katanya sebelum beralih pada Masumi.
“Pak Masumi, tiket pesawat Anda untuk nanti malam sudah disiapkan,” terang Mizuki.
“Terima kasih Mizuki,” jawab Masumi singkat.
“Anda mau kemana?!” Seru Maya, spontan memegang lengan Masumi.
Masumi menoleh ke arah gadis itu, lalu kembali pada Mizuki.
“Tolong minta Minami mencarikan manager untuk Maya,” instruksi Masumi.
“Baik Pak,”
“Tidak ada lagi, kau boleh pergi,”
“Saya permisi, Pak, Maya…” pamit Mizuki sopan.
Masumi kembali menoleh pada Maya.
“Beberapa staf ahli panggung untuk Bidadari Merah kami datangkan dari luar negeri dan aku harus membuat beberapa kesepakatan dengan mereka. Selain itu aku harus bernegosiasi dengan distributor untuk DVD mu. Juga pihak-pihak yang terlibat dalam promosimu nanti. Kerja sama antar perusahaan seperti ini, harus kuurus secepatnya. Mungkin beberapa hari, atau beberapa minggu. Mungkin kita tidak akan bertemu cukup lama,” terang Masumi.
“Kalau ada apa-apa, kau bisa sampaikan pada Mizuki,” lanjutnya.
Maya hanya mengamatinya. Kesedihan terpancar di matanya.
“Maya…?”
“Kalau aku tidak tanya… Anda pasti tidak akan bilang…” keluh Maya.
Kesal dan sedih bercampur dalam hatinya.
“Aku tahu aku tidak bisa membantu, tapi setidaknya bisakah…” Maya menatap Masumi sendu, “berpamitan padaku jika Anda hendak pergi?”
“Maaf… rasanya sulit jika sudah berhadapan denganmu untuk mengucapkan perpisahan.” Masumi menatap Maya juga sendu.
“Nanti setelah urusanku selesai, aku akan menemuimu…” kata Masumi lembut.
“Sementara itu, lakukanlah yang terbaik untuk Bidadari Merahmu, Maya. Aku juga akan melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan,” Masumi menggenggam tangan Maya.
Maya mengangguk. DIa tahu dia akan sangat merindukannya. Pasti merindukannya.
Tiba-tiba gadis itu menangis.
Masumi terhenyak.
“Maya?! Kau kenapa?”
Maya menggeleng kuat-kuat.
“Bicaralah…” Masumi membelai rambut gadis itu.
“Aku… hanya… sangat merindukanmu. Rasanya, sudah tidak tahan, terus berjauhan seperti ini, berpura-pura seperti ini. Aku mungkin memang egois. Tapi aku sudah tidak mau terus menerus menyembunyikan perasaanku. Tidak bisa mengatakan aku merindukanmu. Ingin menemuimu, memelukmu. Rasanya berat sekali…” papar Maya sudah tidak bisa menyembunyikan lagi perasaannya.
“Setelah tahu Anda juga mencintaiku, rasanya malah semakin berat, semakin sulit. Tidak adil…” tetesan air matanya terus jatuh semakin deras.
“Maya…” Masumi berpindah ke sebelah gadis itu dan memeluknya erat.
“Rasa rindu itu menyakitkan, Pak Masumi… menyakitkan…” Maya terisak keras.
Maya…
“Aku tahu…” Masumi memeluknya semakin erat.
=//=
Maya sangat lelah dengan semua perubahan di sekelilingnya yang sangat cepat. Belum lagi berbagai kesibukan yang dijadwalkan untuknya. Manajer yang ditunjuk menanganinya, Shin Sawajiri, ternyata tidak kalah gila kerjanya seperti Masumi. Hanya saja, Maya yang terkena imbasnya.
Jadwalnya sangat padat untuk promosi, latihan dan wawancara. Sangat sedikit waktu yang akan dihabiskannya untuk bersantai dengan teman-teman dari teater Mayuko. Untunglah sebagian besar waktu yang dihabiskannya adalah bersama Sakurakoji. Maya setidaknya merasa lebih nyaman saat harus melalui semua ini bersama Sakurakoji.
Dan yang paling mengejutkannya adalah bayaran yang diterimanya dari Daito untuk penggunaan naskah Bidadari Merah. Maya hampir pingsan melihat angkanya. Dia tidak mengira harganya semahal itu. Setidaknya  bagi Maya, itu adalah uang yang sangat banyak. Terlalu banyak.
“Ini belum termasuk bayaran dari kontrakmu sebagai aktris dan juga tambahan berupa 2% dari setiap keuntungan yang Daito peroleh dari Bidadari Merah,” terang Sawajiri sementara Maya memandangi cek di tangannya dengan gemetar.
Uang itu cukup untuk membangun teater Mayuko dari nol.
Maya lantas mengalihkan pandangannya kepada Hino, pengacaranya. Bibir gadis itu terbuka tanpa suara, masih shock, tidak tahu harus berkata apa.
“Jangan memandangku, Maya, kau tidak punya kewajiban memberikan bagian padaku. Walimu sudah memberiku bayaran yang sangat memuaskan…” kata Hino tersenyum puas.
Maya tertegun.
Waliku…
Pak Masumi…
Dipandanginya cek tersebut.
Aku sudah berhutang sangat banyak kepadanya, Mawar Unguku
=//=
“Haaaahhh????” Mata Rei hampir saja loncat keluar saat melihat angka yang tertera pada selembar cek yang Maya perlihatkan padanya.
Saat ini mereka sedang berada di kafe tempat Rei bekerja. Diantara jadwalnya yang padat, Maya menyempatkan diri mengunjungi sahabatnya tersebut.
“I… ini… uang…?” Rei berbisik-bisik.
Maya mengangguk.
“A… aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan uang ini…”
“Ssshhht Maya.. cepat masukan cek itu sebelum ada yang melihatnya…”
“Ah, iya…” Maya menuruti sahabatnya dan memasukan cek tersebut ke dalam tasnya.
“Aku berpikir… mungkin aku bisa menggunakannya untuk membangun kembali teater Mayuko. Bagaimana menurutmu Rei?” Tanya Maya.
“Teater…” Rei mengamati Maya.
Gadis itu menggenggam lembut tangan sahabatnya tersebut.
“Maya, itu adalah uangmu, hakmu. Tidak mengapa jika kau berpikir menggunakan uang itu untuk kepentinganmu sendiri. Misalkan membeli rumahmu sendiri,” Sarannya.
“Rumah…” Ada binar ketidakpercayaan di matanya.
“Rumahku… sendiri…”
“Benar, atau mobil, itu cukup untuk sekarang. Kau sudah pasti akan mendapatkan lebih banyak lagi dari Bidadari Merah. Belum lagi kontrak iklanmu ‘kan? Dan juga jika pentasmu sukses, berbagai tawaran akan datang padamu. Hanya tinggal menunggu waktu kau menjadi seorang selebritis, Maya. Meniti karirmu lagi, bahkan mencapai puncak yang lebih tinggi dari yang pernah kau gapai dulu,” tutur Rei, matanya berbinar, menyemangati.  
Maya membayangkan rumahnya, rumah impian. Tiba-tiba terbayang sosok Masumi di matanya. Rumah impiannya, rumah dimana ada Masumi di sana. Wajah Maya terlihat lembut dan rona merah jambu menghias wajahnya.
“Ehem!! Pak Masumi!!” goda Rei.
Maya membelalakkan matanya lalu membenamkan wajahnya. Rei tertawa kecil.
“Rei, aku… akhir minggu ini, akan pindah ke apartemen yang sudah disediakan Daito untukku. Pak Sawajiri yang mengatur, katanya atas permintaan Pak Masumi. Tapi nanti kau dan teman-teman bisa datang kapan saja. Aku sudah memastikan kejadian seperti dulu tidak akan terulang lagi,” kata Maya.
“Ya, tidak masalah,” Rei tersenyum.
“Apa kau mau kami mengantarmu pindahan?” tawar Rei.
“Aku hanya membawa baju saja dan barangku tidak banyak, tapi aku akan sangat senang jika kalian mengantarku,” kata Maya dengan ceria.
“Bagus! Kita bisa merayakannya di tempat barumu nanti,” kata Rei.
“Lalu… uangmu?”
“Sebenarnya, ada hal lain yang kupikirkan. Kurasa… aku ingin memberikannya kepada Pak Masumi.”
“Hah? Pak… Pak Masumi?!!” Rei terbelalak.
Maya mengangguk pasti.
“Aku sudah berhutang sangat banyak kepadanya. Bagiku, bisa memerankan Bidadari Merah sudah sangat cukup. Dan semuanya bisa terjadi karenanya. Aku merasa… seharusnya uang ini kuberikan kepadanya,” Maya menatap sahabatnya, meminta pendapat.
“Maya, itu uangmu, terserah padamu mau bagaimana kau menggunakannya. Hanya saja, kurasa Pak Masumi tidak akan mau menerimanya. Dia… maksudku, apakah kau mau membayar kebaikan hatinya? Dia tulus membantumu, bagaimana perasaannya jika kau tiba-tiba menyerahkan cek itu untuk membayar jasa-jasanya padamu…”
“Bukan itu maksudku Rei…” sanggah Maya.
“Hanya saja…” Maya terdiam, menelan ludahnya lalu meminum sirupnya.
Gadis itu tidak berkata apa-apa lagi.
=//=
Hari ini Maya sudah mulai pindah ke apartemen yang disediakan untuknya. Rei dan teman-temannya mengantar Maya pindahan ke tempat barunya tersebut.
Mereka juga berkesempatan mengamati Shin Sawajiri, manajer yang sekarang menangani Maya.
“Maya beruntung, selalu ditemani pria tampan,” bisik Taiko pada Sayaka yang disetujui dengan segera.
“Tapi dia sedikit kurang ramah, tidakkah kau pikir demikian? Pada kita saja dia tidak tersenyum,” kata Mina.
“Kurasa untuk orang-orang sepertinya, memang harus serius seperti itu. Apalagi aktris yang ditanganinya Maya, Bidadari Merah, dan dia harus bertanggung jawab pada Pak Masumi. Jelas saja dia tidak ada waktu untuk tersenyum,” Rei berpendapat.
“Wah Maya! Bagus sekali apartemenmu…!” Seru Sayaka saat mereka memasuki apartemen yang diperuntukkan bagi Maya.
Apartemen itu memang cukup besar jika dibandingkan tempat Maya sebelumnya bersama Rei. Sebuah apartemen bergaya Eropa. Sangat besar untuk Maya seorang, karena seperti kebanyakan ruangan bergaya Eropa, apartemen tersebut memiliki atap yang tinggi dan ruang yang lebar dari satu fungsi ruangan ke fungsi ruangan lainnya. Seperti ruang tamu dimana mereka berada saat ini, walaupun bersatu dengan dapur dan ruang makan, namun ada cukup ruang untuk banyak barang diantara ruang duduk, ruang makan dan dapur tersebut.
“Maya, kau tidak boleh menyalakan api tanpa pengawasan,” Rei mengingatkan.
“Aku masih mengkhawatirkanmu, karena kau sering melamun apalagi kalau sudah nonton TV atau membaca naskah,” kata Rei sebelum mendaratkan tubuhnya di atas sebuah sofa.
“Benarkah Maya?” tanya Sawajiri serius.
Maya menoleh pada Sawajiri lantas mengangguk tidak membantah.
“Kalau begitu, kau tidak boleh menyalakan kompor jika aku tidak ada. Ingat itu Maya. Nanti kebutuhanmu biar aku yang menyiapkan,” kata lelaki itu.
Sekali lagi Maya mengangguk.
Sudah hampir dua minggu Maya bekerja sama dengan Sawajiri, namun sampai sekarang Maya masih belum merasa dekat dengannya. Dulu saat dengan Mizuki, walaupun memang mereka berdua sama efektifnya, Mizuki  sering mengajak Maya membicarakan masalah di luar pekerjaan. Seperti sekolahnya, kesukaannya dan lain-lain.
Tapi Sawajiri berbeda. Jika dia membuka mulut, maka bisa dipastikan pembicaraan tidak akan berbelok dari pekerjaan Maya sebagai aktris atau pekerjaannya sebagai manajer. Hubungan mereka tidak lebih hanya hubungan professional seorang aktris dan manajernya.
Kelimanya mulai berpesta merayakan kembalinya Maya ke dunia panggung. Makan dan minum-minum. Mina bercerita bahwa dia sempat melihat beberapa artis Daito lainnya di gedung apartemen tersebut. Sementara Rei terpesona dengan sistem kemanannya yang berlapis, Sayaka menyukai interior gedung yang bergaya Eropa dan sangat mewah. Sedangkan Taiko, membujuk Maya agar mencoba kolam renangnya sekali waktu.
Lantas kelimanya mulai berbicara mengenai keinginan kembali mengadakan pentas bersama dan lain sebagainya. Sementara Sawajiri berada dalam posisi antara ada dan tiada. Dia ada di sana, ikut minum yang ingin diminumnya, makan yang ingin dimakannya, namun wajahnya datar saja dan tidak ada sepatah kata pun atau seulas senyum yang terlontar dari bibirnya.
Sesekali Maya melirik pria itu.
Bahkan Pak Hijiri tidak setenang ini. Dan kepribadiannya, sangat jauh bertolak belakang dengan Pak Hino…
Akhirnya kelima teman Maya berpamitan. Maya mengantarnya sampai ke pintu.
Setelah teman-temannya berlalu, Maya kembali ke dalam. Masih ada Sawajiri di sana.
“Kak Sawajiri, terima kasih untuk bantuannya,” kata Maya.
Pria itu mengangguk kecil. Ia lantas menyerahkan sesuatu pada Maya.
“Itu adalah jadwalmu untuk satu minggu ke depan. Jangan sampai lupa,” katanya saat menyerahkan jadwal tersebut pada Maya.
Maya membacanya dan menghela nafasnya tidak kentara.
“Baiklah aku permisi dulu,” Sawajiri beranjak dari duduknya, “tidak perlu mengantarku.”
Maya yang hendak berdiri, kembali menekankan tubuhnya ke sofa.
“Oya Maya, jika kau lapar, turunlah ke mini market di bawah. Dan jangan memasak mie instan, mengerti? Buatlah mie seduh tapi aku melarang keras kau menyalakan kompor. Kau mengerti?”
Takut-takut, Maya kembali mengangguk sekali lagi. Bahkan pria ini lebih manipulatif daripada Masumi.
“Kak Sawajiri!” panggil Maya.
Pria itu membalikkan badannya.
“Apa… Anda sudah bertemu Pak Masumi?” tanyanya ragu-ragu.
“Belum. Jadwalmu kuberikan lewat Nona Mizuki. Beliau belum bisa ditemui. Kenapa? Apakah itu sesuatu yang penting?” tanyanya.
Maya menggeleng dengan cepat.
Laki-laki itu kembali ke sofa.
“Baiklah Maya. Aku sempat mendengar berita simpang siur mengenai kedekatanmu dengan Pak Masumi. Sekarang aku ingin memastikan, apa kau… mempunyai hubungan istimewa dengannya?” tanya Sawajiri, menyelidik.
Maya tertegun.
“Ti… tidak, aku…” Mata gadis itu bergerak gelisah ke sana kemari.
Kau terlalu mudah dibaca…
Pikir Sawajiri.
“Maya, saat ini, aku adalah manajermu. Aku adalah saluran untukmu berhubungan dengan pihak luar. Kutekankan sekali ini, segala sesuatu menyangkut dirimu, adalah tanggung jawabku. Menutupi kesalahanmu dan menjaga citramu adalah tugasku. Oleh karena itu, aku tidak mau mendengar apapun dari orang lain. Kau tidak boleh bermain rahasia denganku. Apapun mengenai dirimu, aku harus tahu. Ingat itu baik-baik, Maya,” tegasnya. “Aku selalu berhasil dengan pekerjaanku dan aku tidak mau kau merusak catatan karirku, kau mengerti?”
Maya tertegun dengan perkataan Sawajiri. Sekali lagi dia mengangguk.
“Sekarang, apa kau dan Pak Masumi mempunyai hubungan khusus?” tekannya.
“Aku… menyukainya,” aku Maya dengan wajah tertunduk dan memerah.
Sawajiri tidak menunjukkan reaksi apapun.
“Aku mengerti,” katanya, lantas beranjak pergi.
Aku mengatakannya…
Batin Maya.
Aku akhirnya mengatakannya kepada Kak Sawajiri. Apakah aku akan merepotkannya…?
Maya melangkah ke tempat tidurnya.
“Pak Masumi…” panggilnya, rindu.
Kini apartemen itu sepi sekali, dan kesepian itu merasuk ke dalam jiwanya.
“Pak Masumi…” panggilnya sekali lagi sambil memeluk gulingnya.
Gadis itu lantas menangis dan jatuh tertidur.
=//=
“Maya!” sapa Sakurakoji saat bertemu dengan Maya di studio pemotretan.
Keduanya mengenakan kostum untuk pentas Bidadari Merah. Maya terlihat bercahaya dan anggun dengan kostum Bidadarinya. Gadis itu tersenyum pada Sakurakoji yang membuat pemuda itu sempat menahan nafasnya.
“Ishin…” Sapanya, lalu tersenyum lembut.
Akoya…
Maya dan Sakurakoji kembali dekat belakangan ini dengan berbagai promosi yang mereka lakukan. Termasuk untuk wawancara majalah atau tabloid, membintangi iklan atau menjadi bintang tamu dalam sebuah acara variety show dalam rangka mempromosikan sandiwara mereka selanjutnya. Maya bisa merasakan perbedaan yang sangat dalam penanganan pentasnya kali ini.
Untung saja lawan mainnya adalah Sakurakoji, yang selalu membuatnya merasa nyaman saat bersamanya. Pemuda itu juga sangat perhatian kepadanya.
Namun hal ini malah membuat perasaan Sakurakoji semakin tidak tenang. DIa tidak pernah dapat melupakan gadis itu yang sudah pergi selama dua tahun ke Paris, apalagi sekarang. Tidak jarang mereka bersama selama hampir 12 jam. Untuk latihan serta berbagai macam promosi.
 “Akoya, sekarang sandarkan kepalamu di dada Ishin, sedikit kesepian, karena kalian harus berpisah,” arah si fotografer.
Maya menuruti.
“…dan Ishin, berikan kami ekspresi yang pilu seakan-akan kau akan pergi jauh darinya. Iya benar… bagus… eh, Akoya? Maya?”
Maya mengangkat wajahnya dari dada Sakurakoji. Tatapannya jatuh pada sesosok pria yang ternyata sedang mengamati jalannya pemotretan.
“Pak Masumi…” bisiknya lirih.
Sakurakoji yang mendengar gumaman gadis itu mengikuti arah pandangnya.
Pak Masumi?
Ada debaran cemburu mengisi ruang hatinya.
“Maya… Sakurakoji!” Fotografer tersebut menjentikkan jarinya.
“Ah, maaf…” wajah Maya merona merah.
“Ayo kita mulai lagi, kalian siap?”
Keduanya mengangguk.
“Bisakah kalian lebih dekat?” pinta fotografer tersebut.
“Ba.. baik..” rona malu-malu terlihat di wajah gadis itu saat mulai menyandarkan kepalanya kembali di dada Sakurakoji.
“Selanjutnya kalian berpandangan pada satu sama lain. Maya, letakkan tanganmu di dada Sakurakoji.”
Maya meletakkan tangannya di dada Sakurakoji dan pria itu menggenggamnya. Keduanya saling memandang satu sama lain.
“Berikan tatapan yang lebih lembut Maya, Sakurakoji. Ingatlah bahwa yang berada di hadapan kalian adalah belahan jiwamu…”
Maya….
Sakurakoji mempererat genggamannya di tangan Maya.
“Iya bagus seperti itu…” puji sang fotografer saat melihat keduanya bertatapan penuh cinta.
Tapi Sakurakoji tahu, gadis ini tidak memandangnya. Yang dilihatnya bukan dirinya, melainkan Masumi Hayami. Hanya bayangan Masumi Hayami yang menari di depan mata gadis itu.
“Selanjutnya Maya memakai kostum Akoya…” kata Asisten fotografer.
“Make up!!!” teriak sang fotografer.
Maya mencari Masumi. Pria itu sudah tidak ada di tempat tadi dia melihatnya.
Kemana? Pak Masumi kemana? Kenapa dia tidak menemuiku?
Spontan Maya beranjak dari setting menuju keluar studio.
“Maya kau kemana? Kau harus ganti kostum… Maya!!” Panggil Sawajiri.
=//=
Masumi mempercepat langkahnya. Rasa cemburunya tidak bisa ditahan. Pemandangan yang dilihatnya terlalu mengganggu. Terlalu menyiksa.
Masumi… kenapa kau tidak juga terbiasa… itu pekerjaannya. Kau paling tahu itu. Sampai kapan kau akan bersikap egois seperti ini.
“Pak Masumi…!”
Sayup-sayup Masumi mendengar ada yang memanggilnya.
Maya…
Tapi Masumi tidak berhenti, dia terus berjalan semakin cepat, tidak mau Maya melihat keadaannya yang seperti ini.
“Pak Masumi, tunggu!!” Maya berlari sambil mengangkat kimononya agar tidak terinjak, kostum itu berat sekali di tubuhnya, Masumi meninggalkannya sudah cukup jauh.
Bruk!!
“Aw!! A… aduuhhhh….” Ringis Maya saat dia akhirnya jatuh juga.
“Maya!” Masumi segera berbalik saat mendengar rintihan Maya.
Dilihatnya Maya sedang berusaha berdiri.
Terburu-buru Masumi menghampiri.
“Maya kau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir.
Cepat-cepat Maya menggelengkan kepalanya.
Masumi meraih kedua lengan gadis itu, membantunya berdiri. Keduanya sempat berpandangan. Saling membaca mata masing-masing.
“Hmpph… hahahaha Bidadari badung, kenapa kau bisa sampai jatuh,” tawa Masumi, tidak menghiraukan Maya yang kesal padanya.
“Jahat!” Seru Maya.
“Aku mengejar, memanggil, apa tidak terdengar?” katanya, kesal.
Masumi tertegun.
Dia mendengarnya, hanya saja dia mengabaikannya.
“Maaf,” katanya sambil membantu Maya berdiri.
Keduanya lantas kembali  saling memandang dengan tatapan merindukan.
“Maya!” Sayup-sayup terdengar seseorang mencarinya, Sawajiri.
“Ah!” Maya menoleh terkejut.
“Kesini!”  Masumi menarik Maya mengikutinya.
Keduanya memasuki sebuah ruangan, sebuah studio foto berisi peralatan pemotretan yang sedang tidak digunakan.
Maya terkekeh karena berhasil menghindari manajernya.
“Hhh… maaf, tidak seharusnya aku menyembunyikanmu,” kata Masumi, baru menyadari perbuatannya.
“Tidak apa-apa, aku sudah bosan melihat kamera…” keluh Maya.
Masumi tersenyum tipis, lalu meraih bahu gadis itu.
“Bertahanlah,” katanya memberi semangat.
Maya menengadahkan kepalanya.
“Iya…” katanya sambil tersenyum tipis.
“Kapan Anda datang Pak Masumi?” tanya Maya, baru tersadar.
“Tadi pagi, aku ke Daito sebentar. Lalu aku ke sini, saat melihat jadwalmu, kau sedang ada pemotretan untuk poster dan booklet Bidadari Merah,” terang Masumi.
“Aku senang Anda menyempatkan datang,” kata gadis itu, tanpa menyembunyikan kebahagiaannya.
Maya…
Masumi lantas memeluknya. Dia sangat merindukan gadis ini.
Maya balas memeluknya.
“Aku merindukanmu Pak Masumi…” kata Maya
“Aku juga Maya…” Masumi mengeratkan pelukannya, “sangat merindukanmu sampai hampir gila rasanya…”
Eh?
Maya menengadahkan wajahnya, memandang Masumi yang balas menatapnya sangat dalam.
Jantung Maya berdebar hebat. Pengaruh tatapan itu tidak main-main.
“Ke… kenapa Anda tadi tidak menemuiku? Dan langsung pergi?” tanya Maya.
Masumi terdiam.
“Pak Masumi?”
“Karena aku cemburu, melihatmu bersama Sakurakoji. Maaf, tidak seharusnya aku mengabaikanmu…”
“Pak Masumi…” Maya menyurukkan kepalanya kembali ke dada Masumi, “Anda yang paling tahu, siapa orang yang kucintai.” Gumam gadis itu.
“Siapa?”
Maya memukul dada pria itu perlahan. Malu karena Masumi menggodanya.
Masumi menundukkan wajahnya, mengangkat dagu gadis itu dengan jemarinya. Ia lalu mengecup bibir Maya perlahan. Lalu sekali lagi, dan lagi. Sampai Maya membalas ciumannya.
“Aku sangat bahagia, bisa mencium seorang bidadari…” ujar Masumi saat bibir keduanya terpisah.
Maya bisa merasakan wajahnya merona.
“Maya, bisakah kau meluangkan waktumu sabtu malam ini? Aku ingin mengajakmu makan malam…”
“Eh?”
“Apa kau bersedia, berkencan denganku?”
“Tentu saja Pak Masumi… aku sangat senang. Aku akan meminta Kak Sawajiri mengosongkan jadwalku. Kuharap dia tidak keberatan,” kata Maya.
“Kurasa dia tidak akan bisa menolak permintaan dari direktur perusahaan yang mempekerjakannya,” kata Masumi.
Maya tertegun.
“Anda benar…” Maya lalu tertawa.
“Kau sudah harus kembali, Maya. Aku juga harus kembali ke kantor sekarang.” Masumi mengingatkan.
Gadis itu terlihat sedikit murung, lalu mengangguk.
“Sampai jumpa,” kata Maya.
“Ah, Pak Masumi, aku sekarang sudah pindah…”
“Aku tahu,” terang Masumi.
Gadis itu tertegun.
“Tidak seru! Anda selalu saja lebih tahu…” keluhnya kesal, namun tidak lama kemudian kembali tersenyum.
Maya lalu berpamitan dan keluar dari studio tersebut.
“Maya! Kau di sini rupanya… aku sudah mencarimu kemana-mana…!”
Masumi dapat mendengar Sawajiri memarahi Maya sementara dia hanya tersenyum simpul di dalam studio.
“Kenapa kimononya sampai kotor begini?” Tanya Sawajiri keras.
“Maaf… aku tadi terjatuh…”
“dan lipstikmu… apa kau barusan makan dengan sembunyi-sembunyi? Maya, kau kan sudah bukan anak SD lagi…”
“Eh, tidak… bukan… ini…” Maya gugup tidak bisa menjawab.
“Sudahlah, cepat ke ruang make up, mereka masih menunggumu. Gara-gara kau kita terlambat dari jadwal, kau harus meminta maaf. Aku akan mengatakan kau tadi mendadak harus ke kamar mandi.”
“Ba... baik…” kata Maya, merasa tidak enak.
Diam-diam, Sawajiri melirik ke arah studio tempat Masumi berada.
“Maaf…” kata Sawajiri dengan wajah ramah penuh maksud saat mereka sudah kembali ke studio foto.
“Maya mendadak sakit perut, sekarang sudah tidak apa-apa,” terangnya.
“Maafkan saya…” Maya menunduk sungkan.
“Sudah cepat ke ruang make up,” bisik Sawajiri.
“Perbuatanmu pergi begitu saja sangat tidak sopan Maya, dan di sini aku sedang memberikan teguran keras padamu,” kata manajer tersebut.
Maya mengangguk menyesal.
“Kau sudah kembali, Maya?” sapa Sakurakoji ramah.
Maya mengangguk dan tersenyum, “iya, maaf merepotkan.”
Gadis itu kemudian berlalu ke ruang rias.
Sakurakoji mengamatinya.
Binar itu… senyum itu… dia pasti tadi menemui Pak Masumi.
Mata Sakurakoji mengikuti gadis itu dengan sendu.
Semua itu tidak luput dari pengamatan Sawajiri.
=//=
Malam itu Masumi menyetir sendiri, menjemput Maya di apartemennya.
Mengangguk seperlunya pada beberapa orang yang mengenalnya, Masumi terlihat sedang dalam suasana hati yang bagus. Beberapa orang terlihat berkasak kusuk dengan matanya. Saling melirik penuh makna.
Masumi Hayami, dengan suasana hati yang bagus, membawa sebuah buket Mawar Ungu di gedung apartemen mereka. Apa yang dilakukannya di sini pada hari sabtu malam?
Masumi lantas menekan bel pintu apartemen Maya. Tidak lama kemudian pintu terbuka.
Pria itu tertegun. Dilihatnya Sawajiri yang membukakan pintu.
“Selamat malam Pak Masumi,” sapanya, mengangguk sopan.
“Selamat malam. Kau sedang di sini?” tanya Masumi.
“Iya, saya baru saja mau pergi. Maya ada di kamarnya, mungkin sebentar lagi keluar. Silahkan masuk, saya permisi dulu,” tutur Sawajiri.
Sekali lagi keduanya saling mengangguk sopan sebagai salam perpisahan.
Sawajiri lantas meninggalkan apartemen Maya. Dia sempat melihat apa yang Masumi bawa di tangannya untuk Maya. Mawar Ungu.
Masumi Hayami memberi buket bunga di luar pementasan. Terlebih lagi itu adalah buket bunga mawar ungu.
Sebuah senyum tipis mengembang di bibir Sawajiri.
Hmm… Menarik.
Masumi masuk ke dalam apartemen Maya dan menunggu di sebuah sofa. Jantungnya berdebar keras. Gugup. Sudah lama, sejak di Yokohama dia dan Maya tidak berkencan. Penuh antisipasi Masumi menunggu kekasihnya tersebut.
Pintu kamar Maya terbuka. Dengan sigap—seperti seorang prajurit yang melihat komandannya—Masumi berdiri dari sofanya.
“Pak Masumi,” sapa Maya berseri-seri.
“Maya…” desis Masumi, jelas terpukau.
Malu-malu Maya menghampiri pria tampan tersebut.
“Apakah Anda menunggu lama?”
“Tidak,” Masumi menggeleng.
“Kau… terlihat sangat mempesona,” puji pria tersebut.
Kekasihnya itu tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagia mendengar ucapannya. Masumi bisa melihat rona merah melintas di wajahnya, tersanjung.
“Sekali ini aku percaya kata-kata Anda,” kata Maya, berpura-pura terlihat angkuh dengan mengangkat dagunya dan sedikit memalingkan wajahnya saat mengatakan hal itu pada Masumi.
Pria itu tersenyum. Tapi memang Maya terlihat mempesona di hadapannya. Mengenakan ombre dress sutra dengan gradasi warna biru laut ke biru gelap yang halus, gaun tersebut menempel ketat membentuk lekuk tubuh atasnya dengan jelas, seakan menyadarkan Masumi bahwa Maya memang sudah jadi wanita dewasa. Dress itu berleher kotak dengan lengan sebatas bahu, membuat bagian bahu, dada dan lengannya menampakkan diri lebih banyak dari yang biasa Masumi lihat. Sebuah ban dan pita mini cantik berwarna hitam menghias bagian pinggangnya sebelum menuju bagian bawah dress yang lebih longgar, menjuntai sampai di bawah lututnya. Angin sekecil apapun akan membuat bagian roknya berkibar dan berkilau satin dengan elegan.
Masumi tersenyum, melihat kalung yang dikenakan gadis itu. Sebuah kalung yang pernah dihadiahkannya, dengan liontin berbentuk kubus berukuran 1 sentimeter kubik. Setiap sisi pada kubus tersebut dihiasi batu permata kecil berwarna-warni, terlihat seperti sebuah rubik. Namun jika diamati lebih dekat, batu-batu permata itu sebenarnya membentuk mawar ungu pada setiap sisinya.
Kalung itu menghiasi leher Maya yang telanjang karena gadis itu tidak membiarkan rambutnya terurai. Kedua sisi rambutnya dikepang dengan rapi dan kembali dikepang menjadi kepang tunggal bergaya british yang menjuntai anggun di punggung gadis itu.
“Kau memakainya…” kata Masumi, sambil mengamati kalung tersebut dan tersenyum.
“Aku menyukainya, aku sudah menunggu untuk memakainya saat bertemu dengan Mawar Ungu-ku,” kata Maya.
Masumi menyerahkan buket bunga yang dibawanya.
“Untukmu,” katanya.
Maya menerimanya dengan takjub. Entah untuk keberapa-kalinya dia menerima buket bunga tersebut. Namun setiap kali melihatnya, rasa takjub itu selalu mengisi hatinya.
“Terima kasih, indah sekali,” katanya dengan tulus.
Maya lantas beranjak ke kamarnya, menyimpan buket itu di sana sebelum kembali pada Masumi.
“Sudah siap pergi sekarang?” Masumi menyodorkan lengannya.
Maya tertegun, lantas mengangkat wajahnya.
“Kenapa? Kau kencanku malam ini ‘kan?”
Maya kembali tersenyum, menyelipkan lengannya di lengan Masumi.
Keduanya terlihat mesra berjalan menyusuri gedung Apartemen. Masumi tidak menghiraukan tatapan orang-orang kepada mereka. Sementara Maya masih belajar sepertinya. Tatapan mereka masih membuatnya gugup, dan rasa gugup membuat genggamannya semakin erat di lengan Masumi.
 =//=
Keduanya tiba di restoran yang sudah dipesan oleh Masumi. Sebuah restoran di pinggir dermaga yang terlihat ramai malam itu. Maya ingat, dia pernah ke kawasan ini sebelumnya. Bersama Sakurakoji. Ingatan itu kembali. Dia menerima setangkai mawar ungu di sini, dan saat mencari Masumi—Mawar Ungu—dia terjatuh dan terseret sebuah kapal. Saat itu, Sakurakoji menolongnya.
Maya memandang Masumi.
Saat itu, dia di sini. Aku tidak melihatnya, tapi dia melihatku…
Apakah saat itu Pak Masumi bersama…
Maya kembali mempererat pegangannya.
Masumi menoleh ke arahnya dan tersenyum.
“Maya!!” tiba-tiba seseorang memanggilnya.
Maya dan Masumi bersamaan menolehkan kepalanya pada sumber suara.
Dilihatnya sepasang kekasih yang menghampiri mereka. Ayumi dan Hamill.
“Ayumi!!” seru Maya dengan gembira.
Ayumi dan Hamill menghampiri keduanya. Ayumi sedikit terkejut melihat siapa yang sedang bersama Maya.
“Halo Ayumi, Mr. Hamill,” sapa Masumi ramah.
“Halo Pak Masumi,” kata Ayumi sambil bersalaman dengan keduanya.
“Seperti biasa, kau terlihat semakin cantik,” puji Masumi tulus.
“Terima kasih, Pak Masumi. Demikian juga dengan gadis di samping Anda…” kata Ayumi.
Wajah Maya merona merah sementara Masumi hanya tersenyum simpul.
“Bonjour Mademoiselle…” sapa Hamill pada Maya.
)* Apa kabar, Nona.
Pria Peranacis itu meraih telapak Maya dan mengangkatnya perlahan.
“Vous regardez ce soir belle,” gumamnya sebelum hendak mengecup punggung tangan Maya.
)* Kau terlihat sangat cantik malam ini.
Masumi sedikit memicingkan matanya melihat hal itu.
“Sayang,” sergah Ayumi, “Maya tidak terbiasa dengan perlakuan seperti itu. Lagipula…” Ayumi melirik sekilas pada Masumi dan Maya sebelum memandang kekasihnya.
“Aku sedikit cemburu melihatnya…” rajuk Ayumi, menutupi bahwa dia tahu situasi yang sedang berlangsung.
“Ah… pardonnez-moi,” kata Hamill dengan sopan dan riang lantas melepaskan tangan Maya dan bersalaman dengan Masumi.
)*Maafkan saya.
“Ayumi, selamat, kudengar drama seri yang kau bintangi meraih rating tertinggi. Aku sangat senang mendengarnya. Kami selalu bisa mengharapkanmu, Ayumi,” kata Masumi.
“Terima kasih Pak Masumi,” sebuah senyum penuh kebanggaan terulas dari bibir gadis itu.
“Aku selalu menontonnya loh,” kata Maya dengan riang.
Ayumi tersenyum tenang dan kembali berterima kasih.
“Apakah kalian sudah selesai makan malam? Mau bergabung dengan kami?” tawar Masumi.
“Tidak terima kasih, kami hanya melihat-lihat. Sedang mencari tempat yang sesuai, untuk acara keluarga sebelum resepsi kami nanti,” bongkar Ayumi sedikit berbisik.
Maya terkesiap, sebuah senyum mengembang di bibirnya, ikut senang mendengar kabar tersebut.
“Baiklah, kami permisi dulu, ada satu tempat lagi yang harus kami lihat,” kata Ayumi.
Keempatnya lalu berpamitan.
“Kuharap aku tidak akan mendapatimu menangis di tengah jalan lagi, Maya,” goda Ayumi sambil mengedipkan sebelah matanya sebelum berlalu.
Gadis itu merona malu.
“Apa maksudnya, Maya?” tanya Masumi.
Maya menggelengkan kepalanya cepat.
“Aku lapar…” katanya, sambil menyeret Masumi dengan wajah memerah.
Masumi menghampiri seorang Manajer restoran yang menyambut keduanya.
“Selamat malam Tuan Masumi, meja yang Anda pesan sudah kami siapkan,” sapa Manajer bernama Saito tersebut.
Dia memberi tanda dengan telunjuknya dan seorang pelayan menghampiri.
“Antarkan Tuan Hayami ke mejanya,” perintahnya.
Masumi dan Maya lantas mengikuti pelayan tersebut pada sebuah meja yang disediakan untuk mereka. Masumi lantas memesankan makanan bagi mereka berdua.
“Kenapa kau diam saja?” tanya Masumi saat keduanya masih menunggu makanannya datang.
“Tidak…” jawab Maya.
Masumi meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya.
Terdengar kasak kusuk di ruangan tersebut. Maya melirik dengan matanya pada beberapa sumber suara. Maya baru kembali pada Masumi saat pria itu menggenggam tangannya lebih erat.
Pak Masumi…
“Bisakah kau jangan menghiraukan mereka dan memperhatikanku saja Maya? Bisakah?” Tanya Masumi yang entah kenapa terdengar seperti memohon.
Maya memandangi tangan mereka lalu kembali memandang wajah Masumi. Gadis itu tersenyum lantas mengangguk.
“Maaf,” kata Maya pendek.
“Tidak perlu meminta maaf. Aku hanya ingin kau menikmati malam ini, Mungil. Aku tidak ingin kau menjalani kencan yang tidak kau nikmati. Jadi jika kau merasa tidak nyaman…”
“Tidak Pak Masumi, maaf… aku sangat menantikan hari ini. Bahkan semalam aku sampai tidak bisa tidur,” terang gadis itu yang mengundang senyuman di bibir Masumi.
“Hanya saja, saya khawatir mereka salah paham—“
“Mengenai apa?”
“Mengenai Anda. Bagaimana jika mereka berbicara yang tidak-tidak mengenai Anda?”
“Seperti apa, Mungil?”
“Seperti… kenapa orang seperti Anda mau berkencan dengan—“
“Berhenti.” Potong Masumi.
Alisnya berkerut tidak suka. Pria itu memandangi Maya.
Pelayan datang dengan pesanan mereka dan menghidangkannya di meja.
“Harada,” panggil Masumi pada pelayan yang menghidangkan makanan di meja mereka.
“Iya Tuan?”
“Bagaimana menurutmu tentang gadis di hadapanku ini?” Tanya Masumi.
Eh?
Maya sangat terkejut dengan pertanyaan Masumi.
Pelayan tersebut menoleh pada Maya dan mengamatinya sebentar saja.
“Cantik sekali Tuan,” kata pelayan tersebut sambil tersenyum.
“Dan jika kukatakan dia kekasihku, bagaimana menurutmu?” tanyanya kemudian.
“Pak Masumi!” Seru Maya.
“Anda beruntung sekali, Tuan,” jawab pelayan bernama Harada itu.
Harada tidak terkejut. Ribuan tamu sudah dilayaninya dan pertanyaan yang diajukan tamu istimewanya kali ini, bukan pertama kali didengarnya.
Seorang milyuner tampan, Pangeran Berkuda Putih dan Cinderellanya yang tidak percaya diri. Klasik.
Pikir Harada.
Pelayan itu lulus tesnya. Masumi tersenyum dan Harada mengundurkan diri.
“Kau dengar?” kata Masumi.
Maya menatap Masumi kesal, malu. Tapi saat Masumi memperkenalkannya sebagai kekasihnya, Maya merasakan kebahagiaan mengisi hatinya.
“Tentu saja, jika ditanya seperti itu. Lain halnya—“ Maya tertegun sendiri dan menghentikan ucapannya.
Maya lalu mengambil garpu saladnya.
“Itadakimasu,” kata Maya memulai makannya.
“Kenapa kau tidak melanjutkan kata-katamu?” tanya Masumi.
Maya meliriknya sebentar lantas tidak menghiraukannya.
“Bukankah kau yang bilang agar kita saling mengungkapkan pikiran masing-masing?” Masumi masih menunggu gadis itu melanjutkan kata-katanya.
Maya meraih air putih dan meminumnya untuk melegakan tenggorokan.
“Tapi Anda tidak akan suka mendengarnya,” kata Maya akhirnya dengan setengah bergumam.
“Mengenai hal itu biar aku yang memutuskan,” ujar Masumi datar.
“Mm, mm, lain halnya jika Anda bersama Nona Shiori. Tanpa ditanyapun pelayan itu pasti,” suara Maya semakin lama semakin pelan, “mengatakan betapa cantiknya pasangan Anda.” Maya menundukkan kepalanya.
Masumi terdiam.
“Kau benar,” ujar Masumi, masih sama datarnya. “Aku tidak suka mendengarnya.”
Maya melirik pada Masumi yang menatap lekat kepadanya. Gadis itu sedikit merasa takut. Mereka tidak pernah membicarakan mengenai masalah Shiori sebelumnya. Dan sejujurnya Maya juga tidak suka membicarakannya.
“Aku sering bertemu dengan rekan bisnisku di sini,” terang Masumi.
“Aku juga beberapa kali berkencan dengan Shiori di sini,” akunya.
“Tapi aku tidak pernah merasa begitu bahagia saat berada di sini seperti sekarang saat aku bersamamu,” tuturnya.
“Pak Masumi…”
“Berhentilah bersikap rendah diri seperti itu, atau aku akan mengartikannya sebagai penghinaan atas pilihanku,” kata Masumi.
Maya tersenyum kecil.
“Anda memang pandai bicara,” katanya, sedikit melepaskan ketidak-nyamanannya.
Masumi balas tersenyum kepadanya.
“Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin aku bisa menjabat sebagai direktur Daito,” kata Masumi.
“Maafkan aku,” ujar Maya, “hanya saja sampai saat ini, walaupun aku tahu Nona Shiori sudah menikah dengan orang lain, setiap teringat kepadanya, aku masih sering merasa rendah diri,” aku Maya.
“Jangan,” kata Masumi, “kau hanya perlu ingat bahwa bagiku, kau adalah gadis paling istimewa.”
“Gombal!” serang Maya, namun gadis itu tersenyum dan kembali melahap makanannya.
Masumi tersenyum lebar melihat Maya dan mulai memakan makanannya.
Keduanya mulai membicarakan banyak hal, dan tidak menghiraukan beberapa bisikan dan kasak kusuk yang kadang masih terdengar. Masumi menilai kebersamaannya dan Maya kali ini sudah bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkannya. Karena sampai sejauh ini semua persiapan untuk Bidadari Merah sudah berjalan dengan baik.
Masumi lantas bertanya mengenai Sawajiri dan apakah Maya kerasan bekerja bersamanya.
“Kak Sawajiri sangat baik, walaupun dia memang sangat tegas dan keras, aku sudah terbiasa bertemu dengan orang seperti dia. Jadi aku sama sekali tidak merasakan ada masalah yang berarti,” kata Maya sebelum memasukkan sendokan terakhir chocolate mousse ke dalam mulutnya.
“Tadi dia juga yang menemaniku ke sana kemari untuk melakukan persiapan kencan,” terang Maya.
“Oya?” Masumi sedikit terkejut.
“Iya, saat aku mengatakan padanya aku akan pergi makan dengan Anda, dia bilang penampilanku di hadapan publik sangatlah penting. Akhirnya dia memaksa menemaniku kesana kemari. Kak Sawajiri ternyata punya banyak kenalan dengan para manajer toko pakaian dan pusat kecantikan,” terang Maya, kagum.
“Ya, begitulah. Dan aku kagum dengan hasilnya. Kau membuatku benar-benar terpana.” Puji Masumi.
Maya tersenyum, tapi hanya sebentar.
“Anda juga terpana saat melihat bentoku kan?” Maya mengingatkan.
Masumi tertawa.
“Kali ini aku terpana dalam artian yang bagus Mungil,” kata Masumi.
Mungil…
Batin Maya.
Sampai kapan Pak Masumi memanggilku Mungil…
“Ayo,” Masumi menyodorkan tangannya, “berdansalah denganku,” pintanya.
Maya tersenyum dan menerima permintaan pria tersebut.
Keduanya menuju lantai dansa dan mulai menggerakkan badan mereka sesuai iringan musik. Lagi-lagi bisik-bisik itu terdengar, tapi Maya sudah belajar mengabaikannya. Dia hanya memperhatikan Masumi dan mengikutinya.
Keduanya terlihat begitu mesra dan bahagia. Bahasa tubuh dan tatapannya pada satu sama lain membuat siapapun yang melihat akan segera mengetahui bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara.
“Pak Masumi, dulu saat aku berkencan dengan Sakurakoji di sini, Anda melihat kami?” tanya Maya.
Masumi ingat dengan jelas peristiwa apa yang dimaksudkan kekasihnya tersebut.
“Iya…” jawab pria itu.
“Anda mengirimiku setangkai mawar ungu,” kenang Maya.
“Aku mencarimu kemana-mana sampai putus asa, tetap saja tidak dapat menemukanmu,” Maya menengadahkan wajahnya.
“Iya, dulu aku hanya bisa memandangimu dan tidak berani menghampirimu,” ujar Masumi pelan.
“Seperti baru terjadi kemarin, dan sekarang aku berada di sini bersama Anda,” Maya mendekatkan tubuhnya semakin rapat pada Masumi, “rasanya seperti mimpi. Mimpi yang sangat indah.” Gadis itu menyandarkan kepalanya di dada Masumi.
“Benar, rasanya seperti mimpi. Mimpi yang sangat indah.” Masumi tersenyum mendengarnya.
Maya menengadahkan wajahnya dan tersenyum bahagia.
Masumi tidak melepaskan pandangannya dari gadis itu. Merekam wajah Maya yang berseri-seri malam itu untuk dia simpan dalam album hatinya yang selama ini sudah dipadati wajah kekasihnya tersebut.
Masumi menahan nafasnya saat memandang bibir Maya. Ingin mengecapnya.
Masumi menghela nafasnya perlahan.
“Kurasa sudah saatnya kita pulang,” desis Masumi.
Maya mengangguk setuju.
Masumi dan Maya akhirnya keluar meninggalkan restoran tersebut. Maya kembali mengaitkan lengannya pada Masumi. Keduanya terlihat menikmati kencan mereka sejauh ini.
Masumi pikir, dengan banyaknya kasak kusuk yang dia dengar, besok pasti akan terdengar desas-desus mengenai mereka berdua. Namun dia salah.
“Pak Masumi, Maya, apakah kalian berdua berkencan?” Tanya seorang wartawan yang entah datang dari mana dan entah menunggu sejak kapan untuk menanyakan hal tersebut.
Masumi sangat terkejut, apalagi Maya.
Tidak perlu menunggu sampai besok. Saat ini ada sekitar sepuluh wartawan yang tiba-tiba mengerubungi mereka.
Maya merapatkan dirinya pada Masumi yang melingkarkan lengannya di pinggang gadis itu saat keduanya berusaha keluar dari kungkungan wartawan tersebut.
“Pak Masumi!” panggil yang satu.
“Maya! Maya!” panggil yang lainnya.
Masumi masih membungkam, sampai beberapa wartawan menghalangi pintu mobilnya. Ingin sekali dia berteriak ‘menyingkirlah dari hadapanku!’ jika dia tidak ingat bahwa saat ini dia sedang bersama Maya. Mungkin gadis itu yang akan mendapatkan konsekuensinya, dengan pemberitaan yang menyakitkan atau sesuatu yang membuat nama Maya tercemar.
Akhirnya Masumi berhenti dan membuka mulutnya.
“Saya dan Nona Kitajima mempunyai hubungan baik dengan satu sama lain. Selebihnya kami memilih untuk menggunakan hak kami untuk tidak mengatakan apa pun. Sekarang permisi, kami sudah harus pergi,” Masumi tersenyum ramah, namun matanya menatap mengancam, ‘aku tahu atasanmu dan bisa membuatnya memecatmu jika kau tidak minggir sekarang juga!’ pada para wartawan yang menghalangi jalannya.
Wartawan itu mulai menggeser dirinya dari pintu mobil dan akhirnya Maya bisa masuk ke dalam mobil Masumi.
Para kuli tinta tersebut masih memanggil-manggil nama Maya sementara Masumi memutar masuk ke dalam mobilnya. Tidak perlu waktu lama sampai mobilnya melesat pergi meninggalkan kerumunan para pencari berita tersebut.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Masumi pada Maya yang sedari tadi masih diam saja.
Maya menggelengkan kepalanya, “ha… hanya sedikit terkejut,” katanya syok.
“Bagaimana mereka bisa tahu mengenai kita dan dimana kita berada. Menakutkan,” ujar Maya.
Masumi hanya terdiam dan memacu mobilnya lebih kencang saat meyakini beberapa wartawan itu pasti membuntuti mereka ke apartemen Maya.
Masumi masih menimbang-nimbang apakah dia harus mengantar Maya ke apartemennya atau tidak saat gadis itu memintanya untuk berkunjung ke apartemennya.
“Pak Masumi, bisakah Anda ke tempatku terlebih dulu? Ada sesuatu yang mau kuberikan padamu,” kata Maya.
Masumi termangu sejenak, lantas turun bersamanya.
=//=
“Silahkan masuk,” kata Maya sambil memasuki apartemennya.
“Permisi...” kata Masumi.
Maya lantas mempersilahkan Masumi duduk sementara dia berlalu ke dalam kamar. Gadis itu membawa sesuatu di tangannya. Selembar kertas.
Maya lantas mengambil tempat di sebelahnya.
Masumi mengamati cek yang Maya pegang. Masumi tahu itu adalah cek bayaran untuk penggunaan naskah Bidadari Merah.
“Ini,” Maya menyodorkan cek itu pada Masumi.
Dahi pria tersebut berkerut.
“Kenapa? Kau ada masalah dengan ceknya?” tanyanya.
Maya menggelengkan kepalanya.
“Ini, ambillah. Untuk Anda,” kata gadis itu.
Hah?
Masumi tertegun.
“Apa maksudmu? Mungil, aku tidak mengerti,” Masumi masih terlihat bingung.
Maya menelan ludahnya.
“Berjanjilah Anda tidak akan marah atau menolaknya,” kata Maya gugup.
Masumi mengamati gadis mungil di hadapannya.
“Aku tidak bisa berjanji untuk sesuatu yang belum tentu bisa kutepati,” katanya tegas.
“Jelaskan apa maksudmu.” Tuntutnya.
“Pak Masumi,” mata bening gadis itu bertemu mata Masumi yang memandang kuat ke arahnya, “Anda selama ini sudah sangat baik kepadaku dan aku sudah berhutang banyak. Jadi aku…”
“Kau mau membayar hutangmu, maksudmu?” Nada suara Masumi meninggi.
Maya terkejut dengan perkataan Masumi yang hampir terdengar seperti membentak.
Keduanya berpandangan. Maya bisa melihat kekasihnya itu marah padanya.
“Bukan begitu, hanya saja Anda…”
“Kau mau membayar kebaikanku, begitu?” potong Masumi
“Pak Masumi, dengar dulu,”
“Aku menolak mendengarkan!” Masumi berdiri dari tempatnya.
“Tunggu!” Maya menggenggam pergelangannya, “tunggu dulu!” Mohonnya.
Masumi menoleh pada gadis itu.
“Kali ini kau sudah keterlaluan Kitajima!” ucapnya tajam dan dingin.
Masumi lantas menarik tangannya lepas dar Maya dan beranjak pergi.
Maya hanya bergeming di tempatnya.
Blam!
Pintu apartemen Maya bergema di kesunyian.
Beberapa saat Maya seperti kehilangan dirinya dan hanya tertegun.
Pak Masumi!
Maya cepat-cepat berdiri dari sofa menuju pintu. Dilihatnya lorong yang kosong.
Tidak ada! Bagaimana ini… dia marah…
Maya panik, dengan segera dia berlari ke kamar mencari handphonenya di dalam tasnya.
Mencari dengan jari dan matanya, akhirnya dia menemukan nama Masumi. Maya menghubunginya.
Beberapa saat hanya nada tunggu yang terdengar.
Kumohon angkatlah Pak Masumi…
Maya merasakan desakan air mata yang berusaha sekeras mungkin ditahannya.
Kumohon…
Klek!
“Halo…” jawab Masumi datar.
“Pak Masumi!” seru Maya.
Sementara hanya terdengar kekosongan.
“Bisakah Anda kembali… aku…”
“Aku tidak—“
“Aku perlu bantuanmu!” potong Maya, hampir menangis.
Masumi terdiam beberapa saat.
“Sebaiknya ini hal yang penting, Maya.” Ucap Masumi akhirnya.
Maya terduduk di pinggiran tempat tidur sambil memeluk buket mawar ungu yang tadi dibawakan Masumi untuknya. Bel kembali berbunyi. Dengan segera Maya berlari ke pintu dan membukanya.
Masumi berdiri di sana dengan wajah dinginnya. Jantung Maya berdebar melihatnya. Masumi yang seperti itu memang menakutkan.
“Masuklah…” kata Maya, membujuk.
“Kau perlu bantuan apa?”
Maya kembali memegang pergelangan Masumi.
“Bisakah Anda masuk dulu?” pinta Maya, memelas.
Masumi melihat buket mawar ungu yang dipeluk Maya, dan menemukan bekas air mata di wajah gadis itu.
Maya…
Hatinya kembali mencair.
Maya menuntun Masumi kembali ke sofa. Cek itu masih tergeletak di atas meja.
“Pak Masumi... maaf, aku tidak bermaksud membuatmu marah…” kata gadis itu.
“Jika kita tidak kembali membicarakan masalah sebelumnya, tidak, aku tidak akan marah,” ujarnya, “jadi kau merubah keputusanmu?”
Maya menundukkan kepalanya. Kemudian menggeleng.
“Maya!”
“Pak Masumi… hanya ini satu-satunya caraku membalas semua kebaikan Anda padaku, aku… aku… sangat berterima kasih atas semua yang Anda lakukan untukku,”
“Kalau begitu, terima kasih saja sudah cukup, Mungil!” Masumi menekankan.
“Tapi aku belum tentu akan punya kesempatan untuk—“
“Apa kau meragukan ketulusan hatiku?”
“Tidak!” jawab Maya cepat
“Lalu? Kau ingin memutuskan hubunganmu denganku?”
“Tentu saja tidak Pak Masumi!” tentang Maya, keras.
“Kalau begitu? Aku hanya akan mengartikannya seperti itu jika kau tetap ingin membayarku atas semua yang sudah kulakukan.”
“Bukan begitu… hanya saja… hanya saja… Anda sudah berbuat banyak untukku. Anda adalah orang yang sangat berarti bagiku…”
“Begitu juga dirimu, Maya,” Masumi meyakinkan.
“Dan ini satu-satunya yang bisa kulakukan untuk membalas—“
“Tidak, kau sudah melakukan banyak hal untukku,”
“Pak Masumi…”
“Kau sudah menghadapi Ayahku, pernah kupaksa menemaniku seharian, sudah membuat hari-hariku di Yokohama tidak membosankan, lalu mengajakku ke tempat-tempat kenanganmu. Terutama saat kau memutuskan untuk tinggal dan tidak pulang bersama Sakurakoji…” Masumi merendahkan wajahnya sejajar dengan Maya dan mengelus pipi gadis itu perlahan.
“Dan saat kau mengatakan bahwa kau mencintaiku. Kau tidak dapat membayangkan kebahagiaan seperti apa yang kau berikan kepadaku,” kata Masumi lembut.
Air mata Maya menetes mendengarkan pengakuan Masumi.
“Pak Masumi…” bisiknya lirih.
“Dan juga bentomu,” Masumi tersenyum lebar.
“Pak Masumi..!” rajuknya kesal, lalu tertawa kecil.
Maya lalu meremas telapak Masumi di pipinya.
“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu.”
Masumi tersenyum.
“Jika kau benar-benar ingin berterima kasih padaku, ucapan terima kasih dan kata-kata bahwa kau mencintaiku sudah cukup,” ujar Masumi, “dan jadilah Bidadari Merah yang akan memukau ribuan penontonmu, Maya. Lakukanlah yang terbaik untuk Bidadari Merahmu. Aku tidak menginginkan cek itu dan kau tidak berhutang apapun kepadaku.”
Maya mengangguk. Ia lalu melandaikan tubuhnya dan memeluk Masumi.
“Terima kasih Pak Masumi, aku mencintaimu…” bisiknya di telinga pria itu.
“Aku juga sangat mencintaimu,” Masumi balik memeluk Maya.
Wajahnya kembali merona saat mengatakan hal itu.
Keduanya lantas bertatapan lembut. Maya mendekatkan bibirnya pada bibir Masumi. Keduanya sempat berpandangan dulu sebentar pada satu sama lain sebelum memejamkan matanya dan berciuman.
Masumi tersenyum lembut pada Maya saat bibir mereka terpisah.
“Benar kan… kau sudah membuatku sangat bahagia,” kata Masumi.
Tangannya masih melingkar di pinggang gadis itu sementara tangan Maya masih melingkar di pundaknya.
“Benarkah?” tanya Maya polos, sebuah senyum mengembang di wajahnya.
“Benar.”
“Anda sudah tidak marah lagi?”
“Tidak.”
“Syukurlah!” Maya merangkul kembali leher pria tersebut, “aku takut Anda akan meninggalkanku,” akunya.
Masumi tersenyum. Ia membelai kepala Maya sampai ke ujung kepangannya.
“Mungil, bukankah kau tadi mengatakan bahwa kau memerlukan bantuanku? Bantuan apa? Atau kau berbohong?”
“Tidak kok!” Maya dengan cepat mengangkat wajahnya.
“A… aku…” Maya kembali ke posisi duduknya semula dan menundukkan wajahnya.
“Tidak bisa membuka resleting bajuku,” kata gadis itu dengan wajah merah padam.
Hah?!
Masumi terperangah mendengarnya.
“Tidak bisa membuka… resleting bajumu?” tanya Masumi memastikan.
“Iya,” kata Maya.
Gadis itu lantas mempraktekkannya. Mencoba meraih resleting dengan kedua tangannya tapi nihil, tidak dapat menggerakkannya. Masumi terkikik melihat Maya yang tampak kepayahan.
“Baiklah, sini.” Kata Masumi, “mana resletingnya,” Masumi menarik bahu Maya agar membelakanginya.
Masumi masih terkikik sampai Maya memutar punggungnya menghadap dirinya. Tiba-tiba jantungnya berdebar aneh dan wajahnya memanas. Mata Masumi bergerak bingung, gelisah. Membuka resleting baju Maya rasanya terlalu menggoda untuknya.
“Maya, balikkan lagi badanmu,” kata Masumi, tenggorokannya terdengar kering.
Maya kembali membalikkan badannya menghadap Masumi. Gadis itu sama. Dia baru menyadarinya dan kini sama rikuhnya dengan Masumi. Maya tidak berani memandang pria tersebut.
Masumi meraih resleting Maya dari depan dengan cara mencondongkan badannya. Cara ini pun sama tidak nyamannya, karena Maya dan Masumi berada dalam posisi yang sangat dekat. Masumi bahkan bisa merasakan nafas gadis itu di lehernya.
Masumi menelan ludahnya, saat mulai menarik resleting Maya turun. Dia memang tidak melihat apa yang ada di balik resleting itu, tapi bukan berarti benaknya tidak dapat membayangkan. Apalagi saat dia bisa merasakan resleting tersebut baru saja melalui salah satu bagian dari pakaian dalam Maya, Masumi sempat menahan nafasnya. Pria itu berusaha keras menjernihkan pikirannya, namun posisi mereka yang sangat dekat membuat usahanya sia-sia.
Akhirnya resleting itu menyentuh pangkalnya.
“Sudah,” kata Masumi serak dan dengan cepat menegakkan badannya lagi.
Maya meraih ke bagian belakang pinggangnya.
“Iya,” desisnya, “terima kasih Pak Masumi.”
Maya melirik bingung, bagaimana caranya sampai ke kamar.
Masumi lantas membuka jasnya dan menyampirkannya di pundak Maya.
“Kau pakai saja dulu,” katanya.
Maya mengangguk lantas segera beranjak ke kamarnya.
Masumi menghela nafasnya lega. Ia lantas memejamkan matanya erat dan menggelengkan kepalanya mengusir semua insting lelaki yang sempat memenuhi benaknya. Pria itu lalu pergi ke kamar mandi Maya, mencuci wajahnya agar kepalanya bisa lebih dingin.
Saat Ia kembali, Maya sudah berganti pakaian.
“Terima kasih,” kata gadis itu, menyerahkan kembali jasnya.
Masumi menerimanya.
“Aku pulang dulu, Mungil.” Pamit Masumi.
Maya mengangguk dan mengantarkannya sampai pintu.
“Terima kasih untuk semuanya Pak Masumi, aku senang sekali malam ini,” kata Maya.
“Aku juga,” Masumi tersenyum. “Selamat malam.”
“Selamat malam,” Maya balas tersenyum.
=//=
“Ramai sekali, kabar mengenai kau dan Maya di surat kabar,” kata Eisuke saat keduanya sedang sarapan.
“Iya, sepertinya begitu. Aku belum membacanya.” Kata Masumi dengan enggan.
“Bahkan lebih heboh daripada pemberitaanmu dengan Shiori dulu. Yah, wajar saja, Bidadari Merah dan para pemainnya sedang menjadi perhatian sekarang, dan tiba-tiba muncul pemberitaan seperti ini. Pemeran Bidadari Merah dan Direktur Daito. Hahaha…” Eisuke tertawa puas, “kau memang sangat pandai mempromosikan proyekmu Masumi.” Puji Eisuke.
Masumi melirik sebentar pada Eisuke.
“Terima kasih untuk pujiannya Ayah. Tapi aku tidak bermaksud demikian. Walaupun aku memang membiarkannya karena kupikir ini akan menyedot semakin banyak perhatian pada Bidadari Merah. Jadi biarlah, kuberikan saja apa yang mereka inginkan,” Masumi memasukkan sesuap sandwitch ke mulutnya.
Eisuke tersenyum.
“Apa kau tidak berpikir untuk mengadakan konferensi pers mengenai hal ini?” tanya Eisuke.
Masumi menggelengkan kepalanya.
“Terlalu riskan, aku tidak ingin media lebih memperhatikan kami dari pada Bidadari Merah. Belum lagi, kasihan Maya, kalau kemana-mana dia ditanyai mengenai hal ini. Gadis itu sudah punya banyak hal untuk dipikirkan, demikian juga aku. Jadi untuk apa mengundang badai yang akan datang dengan sendirinya? Lambat laun juga para wartawan itu pasti ‘memakan’ kami juga.”
“Dan kau pikir setelah kencan semalam, mereka tidak akan menanyai gadis itu? Sudah sangat jelas dari foto yang dimuat di sana, kalian itu sepasang kekasih,” kata Eisuke.
“Benar. Tapi selama kami membungkam mulut kami, beritanya tidak akan terlalu ramai dan tidak akan mengisi headline terlalu sering. Kami juga punya alasan untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Dan hal itu akan jadi promosi yang bagus untuk Bidadari Merah.” Tutur Masumi.
“Jika kami mengadakan konferensi pers, ke depannya tidak ada alasan bagi kami untuk mengelak setiap kali pertanyaan itu dilontarkan. Dan Ayah tahu sendiri wartawan. Mereka selalu menggali lebih dalam dari yang diijinkan. Bisa-bisa pertanyaan yang terlontar hanya sekitar kisah cinta kami saja.” Masumi sedikit terdengar seperti menggerutu.
“Jadi lebih baik kami tidak bicara apa-apa. Walaupun aku dan Maya sudah tidak berniat menutup-nutupi lagi.” Terang Masumi.
Eisuke mengamati Masumi. Putranya itu sekarang sudah jauh lebih berterus terang kepadanya. Sikapnya juga sudah tidak terlalu dingin. Eisuke tidak tahu apakah ini pertanda baik atau buruk bagi Masumi sebagai penerus Daito.
“Apa kau berniat menikahi Maya?”
Masumi menghentikan garpunya, lalu mengangkat wajahnya.
“Tentu saja, Ayah.” Jawab Masumi sangat yakin, seakan-akan pertanyaan Ayahnya adalah hal yang tidak wajar.
“Kalau begitu, lakukanlah secepatnya. Bisa-bisa kau tidak ada waktu mendidik penerus Daito nantinya,” kata Eisuke.
Masumi bersyukur meja makan mereka sangat panjang, hingga dia bisa menyembunyikan rona wajahnya yang tiba-tiba berubah memerah.
Eisuke mengamati kegugupan anaknya. Seumur hidup mengenalnya baru sekarang Eisuke mendapati Masumi terlihat sangat gugup.
“Ayah menyetujuinya?” tanya Masumi.
“Tentu saja, Masumi.” Jawab Eisuke sangat yakin, seakan-akan pertanyaan Masumi adalah hal yang tidak wajar.
“Lagipula aku tidak mau jika rumah ini terus menerus hanya diisi bujangan. Orang-orang akan mulai berpikir bahwa Daito membawa kutukan bagi keluarga kita.” Kata Eisuke.
Masumi tersenyum tipis.
“Terima kasih, Ayah,” kata Masumi, kaku.
“Ya... ya...” gumam Eisuke sambil mengangguk-angguk.
“Dalam berita itu dikatakan, setelah makan malam kau mengantarkannya ke apartemen dan menghabiskan satu jam di sana,” lanjut Eisuke.
Deg!
Wartawan brengsek!
Pikir Masumi, kesal mendengarnya.
“Mereka berspekulasi, apa yang dilakukan dua orang yang sedang dimabuk asmara berduaan di apartemen.”
“Mereka tidak bisa melihat kami! Tahu dari mana kami berduaan.” Sungut Masumi.
“Memangnya ada siapa lagi?” tanya Eisuke.
Masumi terdiam.
“Tidak ada, hanya kami,” jawab Masumi, mulai merasa konyol. “Tapi aku tahu apa maksud para wartawan itu, dan mereka salah,” lanjutnya.
“Maya bermaksud memberikan cek bayaran Bidadari Merah kepadaku,” terang Masumi.
Eisuke tertegun.
“Cek?”
“Iya, katanya untuk membalas semua yang sudah kulakukan,” terang Masumi.
Eisuke kembali terbahak.
“Menarik sekali, gadis itu memang menarik.” Katanya, setelah tawanya reda.
“Masumi, kapan-kapan kau ajaklah gadis itu ke sini lagi. Aku menyukainya. Tenang saja, aku tidak akan mengganggu waktu pribadi kalian,” goda Eisuke.
Sekali lagi dia bisa melihat Masumi berusaha menenangkan dirinya.
“Baik, Ayah,” jawabnya datar.
Eisuke selesai dengan sarapannya dan memutar kursi rodanya ke belakang sebelum pergi.
“Masumi, mengejutkan sekali. Kalian berdua tampak sangat serasi semalam. Aku melihat fotonya. Maya terlihat sangat cantik. Tapi baju yang dikenakan gadis itu…” Eisuke memberi jeda dan mengamati Masumi. “Tidakkah gadis itu minimal meminta kau membukakan resletingnya?”
Melihat Masumi tersedak, Eisuke tahu jawabannya. Lelaki tua itu kembali tertawa.
“Ah, Masumi, setidaknya masalah wanita, bahkan kau masih belum selevel denganku yang amatiran ini,” kata Eisuke.
Cih!
Sungut Masumi dalam hatinya.
Eisuke berlalu keluar ruang makan.
Dia sempat beberapa kali melihat Masumi yang bersikap ceroboh dan pikirannya mengawang-awang. Sekarang dia sudah tahu apa penyebabnya. Putranya itu langsung berubah 180 derajat jika sudah menyangkut gadis mungil itu.
Eisuke merasa terhibur setiap kali melihat anaknya itu salah tingkah. Setidaknya di hari tuanya, selain Maya, sekarang dia sudah menemukan sesuatu yang menghibur dan tidak kalah menarik lainnya.
Masumi.
Eisuke sangat ingin melihat apa yang akan terjadi jika keduanya benar menikah.
Sementara itu setelah selesai dengan sarapannya Masumi beranjak ke kamarnya. Membuka handphonenya, mencari foto Maya.
Dia merindukannya.
Dia lantas menekan nomor gadis itu. Menunggu.
“Halo…” terdengar jawaban dari seberang telepon.
Pria itu tertegun, bukan Maya yang mengangkat teleponnya.
“Mana Maya?” tanya Masumi.
“Sedang syuting iklan bersama Sakurakoji,” terang Sawajiri.
“Kenapa kau yang mengangkat telepon?” Masumi terdengar tidak suka.
“Apakah saya melakukan kesalahan, Pak?” Sawajiri balik bertanya.
Masumi terdiam.
“Tidak,” jawab Masumi.
“Baiklah, tolong sampaikan bahwa aku menelpon,” kata Masumi.
“Baik, Pak.” Jawab Sawajiri.
Masumi lantas menutup teleponnya.
Dia lupa memeriksa jadwal Maya. Tapi mengetahui Sawajiri mengangkat telepon Maya, membuatnya tidak suka. Belum lagi saat ini Maya sedang syuting bersama Sakurakoji.
Arrghhh!!! Kenapa perasaan cemburu seperti ini masih saja menyiksaku…!
Batinnya kesal.
=//=
 “Sebentar lagi kita reading* istirahat dulu 15 menit, lalu kembali berkumpul di sini…” terang Kuronuma.
)*latihan membaca naskah sesuai peran masing-masing. Seperti berakting dengan suara. Biasanya para pemeran dan sutradara duduk semeja dan masing-masing membaca dialog perannya. Dilakukan sebelum latihan berakting yang melibatkan gerak.
Maya seperti biasanya, hanya tenggelam membaca naskah di salah satu sudut ruangan. Di sampingnya adalah sebuah meja. Ada makanan untuknya di sana, sebuah bento dan air mineral.
“Maya, sebaiknya kau makan dulu, latihan hari ini cukup berat karena kau akan latihan sepanjang hari sampai malam,” Sawajiri mengingatkan sambil menutupi naskah Maya dengan tangannya agar Maya berhenti membaca.
Maya menengadahkan kepalanya dan tersenyum pada Sawajiri.
“Terima kasih kak Sawajiri,” Maya mulai melahap makan siangnya.
“Dan ini, tadi diberikan oleh resepsionis,” Sawajiri memberikan sesuatu.
Setangkai mawar ungu dan sekotak coklat.
“Seseorang menitipkannya untukmu,” terangnya.
Maya tertegun sebentar, raut wajahnya berubah sangat gembira.
“Terima kasih!” serunya saat menerima titipan tersebut.
Maya membaca kartunya. Hanya ada tulisan ‘Untuk Nona Maya Kitajima,’
“Tidak ada ucapannya…” gumam Maya.
“Maya, aku ada janji dulu dengan seseorang di café seberang jalan. Dia ingin memakaimu di salah satu iklan. Kalau ada apa-apa kau telpon saja aku,” kata Sawajiri.
Maya menganggukkan kepalanya.
Sawajiri keluar dari studio tempat para pemain Bidadari Merah berlatih. Dia lantas berdiri di depan sebuah lift. Saat pintu lift terbuka, Masumi keluar dari sana.
“Ah, Pak Masumi?” pria itu tampak terperanjat.
“Sawajiri,” sapanya sedikit mengangguk.
“Aku hendak ke tempat latihan Bidadari Merah, sedang apa sekarang?”
“Mereka sedang beristirahat Pak, sebelum reading sebentar lagi.” Terang Sawajiri.
“Maya ada di sana, namun saya harus pergi, ada agen mau memakai Maya untuk bintang iklannya,” terang Sawajiri.
“Baiklah,”  Masumi lantas berlalu.
“Ah, Sawajiri,” Masumi kembali memutar badannya.
“Iya Pak?” Tanya Sawajiri sigap.
“Apa kau menyampaikan pada Maya saat aku menelponnya?”
Sawajiri mengingat-ingat.
“Iya Pak, hanya saja Maya sangat sibuk saat itu, beberapa kali salah melakukan adegan. Dia tidak sempat menghubungi Anda lagi,” terang manajer tersebut.
Masumi mengangguk.
“Mengenai Maya, tolong jangan terlalu memforsir tenaganya. Kalau iklan, tidak seberapa, tapi kemunculannya di variety show, bisakah dikurangi? Selain memakan waktu sangat lama untuk syutingnya, keberadaannya pun tidak terlalu signifikan.” Instruksi Masumi.
“Dan satu hal lagi, tolong kau saring setiap pertanyaan masuk untuknya dalam wawancara. Kemarin, aku membaca ada pertanyaan mengenai masa lalu Maya yang pergi dari rumah. Jangan sampai terjadi lagi, kau selaku manajernya, seharusnya tahu hal-hal apa saja yang sensitif bagi Maya,” tambah Masumi dengan dingin.
Sawajiri tertegun, dia tidak mengira pertemuan tidak sengaja dengan Masumi, malah menjadi ajang evaluasi baginya.
“Baik Pak,” jawab pemuda tersebut.
Masumi mengangguk lantas pergi.
Sawajiri kembali menekan tombol lift itu sekali lagi.
Sedikit termenung, dia memikirkan mengenai Masumi. Betapa Direktur Daito tersebut sangat memperhatikan Maya. Tidak diragukan, Maya memang seseorang yang istimewa bagi pria tersebut.
Masumi berjalan mendekati studio latihan Bidadari Merah. Masih sedikit kesal karena Maya tidak menghubunginya walau dia sudah menelpon. Beberapa orang yang berpapasan dengannya mengangguk hormat.
“Maya beruntung sekali, kudengar penggemarnya itu sudah mendukungnya sejak dia pertama kali naik pentas,” kata seorang gadis yang tadi berpapasan dengan Masumi, melanjutkan ceritanya yang terpotong.
“Iya, coklat yang dihadiahkan Mawar Ungu itu, enak sekali loh, dan sangat mahal! Aku pernah mencobanya dulu. Ah, aku sangat iri padanya,” jawab gadis yang satunya.
Masumi tertegun.
Coklat?
Masumi mempercepat langkahnya.
Ia lalu masuk ke dalam studio. Maya melihatnya dan tersenyum lebar.
Maya…
Saat Maya berdiri untuk menghampirinya, tiba-tiba gadis itu terlihat meringis, kesakitan.
“Maya kau tidak apa-apa…?” tanya beberapa orang.
Masumi mendekati keriuhan secepatnya.
“Ada apa?!” Seru Masumi, dilihatnya Maya terbaring di lantai dengan wajah kesakitan. Salah satu tangannya memegang tenggorokannya. Dia tidak berhenti terbatuk, tenggorokannya terasa terbakar dan tangan satunya memegang perutnya dengan posisi tubuh setengah melingkar.
“Minggir!!” Seru Masumi menggelegar.
Orang-orang tersebut langsung memberinya jalan.
“Maya kau tidak apa-apa?!” tanya Masumi khawatir, dia segera menyandarkan gadis itu yang terlihat sangat kesakitan pada dirinya.
Masumi melihat sebatang cokelat yang tergeletak di sampingnya dan juga sebatang Mawar Ungu yang tidak dikirimnya.
Mata pria itu terbelalak. Diambilnya cokelat tersebut dan digendongnya Maya dengan cepat keluar studio.
“Maya bertahanlah…” Suara Masumi bergetar hebat.
“Pak… Ma… su… mi…” katanya lirih, “Pak… Ma… su… mi…” panggil Maya sekali lagi, suaranya semakin tenggelam.
Nafas gadis itu semakin lama terdengar semakin berat.
“Kau kesulitan bernafas?” Tanya Masumi.
Susah payah Maya mengangguk. Wajahnya terlihat semakin pucat. Masumi menurunkan Maya di lantai lift. Ia lalu membuka mulut Maya dan meniupkan udara ke dalamnya.
“Bertahanlah!!” Seru Masumi gundah, “bertahanlah Maya.”
Maya terlihat sangat kesakitan dan lidahnya kelu. Pria itu mendekap Maya sekuatnya dan sedekat mungkin sementara berlari membawa Maya menuju mobilnya saat pintu lift terbuka.
=//=
Masumi segera menurunkan Maya di bagian Unit Gawat Darurat. Gadis itu dibawa dengan sebuah brankart memasuki pintu ruang gawat darurat.
“Tuan, tunggu di luar,” cegah salah satu perawat.
“Suster, tolong… tolong gadis itu…” Masumi terlihat sangat panik dan wajahnya pucat pasi bahkan air mata hampir keluar dari matanya.
“Iya, Tuan, tenang dulu. Tim rumah sakit kami akan melakukan yang terbaik untuknya. Sekarang bisakah Tuan ikut dulu dengan kami untuk mengisi data administrasinya?” Pinta suster tersebut.
Masumi menurutinya. Saat Masumi kembali ke ruangan tadi, sudah ada Kuronuma, Sawajiri, Sakurakoji dan Rei.
“Bagaimana kabarnya?” tanya Kuronuma.
Masumi menggelengkan kepalanya putus asa.
“Maya katanya keracunan, dokter akan melakukan cuci perut. Aku belum mendengar apa-apa lagi…” terang Masumi.
Kuronuma meraih bahu Masumi dan menepuknya, menguatkan. Beberapa lama tidak ada yang bersuara. Sampai murid-murid teater Mayuko berdatangan dan bicara pada Rei.
Masumi hanya terdiam. Tangannya saling mengepal kuat dan menahan kepalanya yang terbenam. Kalut.
Seorang dokter keluar dari ruangan tersebut bersama seorang perawatnya. Semua orang berdiri menghampiri.
“Dokter, bagaimana keadaan Maya?” tanya mereka hampir bersamaan.
Perawat tersebut membaca sesuatu yang dipegangnya.
“Pak Hayami,” panggilnya.
“Saya,” kata Masumi tanpa ekspresi.
“Boleh saya tahu Anda siapanya pasien?” tanya dokter tersebut.
“Saya calon suaminya,” jawab Masumi dingin.
“Apakah tidak ada keluarganya?” tanya dokter bernama Fujiwara tersebut.
“Gadis itu tidak punya siapa-siapa, dia hanya punya saya!!! Sekarang cepat katakan apa yang terjadi padanya!” Masumi kehilangan ketenangannya.
Dia terlihat gusar. Kesedihan mendalam sudah membuatnya merasa murka.
“Silahkan ikut saya,” kata dokter tersebut masih dengan pembawaannya yang tenang.
Masumi mengikutinya masuk ke dalam kantornya.
“Silahkan duduk Pak,” kata dokter tersebut sementara dia sendiri duduk di tempatnya.
“Nona Maya mengalami keracunan. Kami sudah memompa semua isi perutnya, dan menemukan lambungnya terluka. Kabar baiknya, dia memakan coklat tersebut tidak dalam keadaan perut yang kosong, jadi efeknya berjalan lambat pada tubuh. Untung cepat dibawa ke sini jadi bisa ditangani secepatnya dan kemungkinan terburuk bisa dicegah,” Terang dokter tersebut.
Masumi menghela nafasnya lega.
“Namun…”
Seorang perawat mengetuk pintu dan menyerahkan sesuatu pada dokter Fujiwara. Dokter itu membacanya lantas kembali menatap Masumi.
“Pak Hayami, apakah tunangan Anda itu seorang penyanyi?” tanya Dokter Fujiwara.
Masumi menggelengkan kepalanya dengan waspada, mengantisipasi keterangan dokter selanjutnya.
“Hanya saja, tenggorokan Nona Maya, lebih tepat pita suaranya, mengalami trauma hebat.” Terang dokter tersebut.
“Apa?” Masumi masih tidak mengerti.
“Saya sudah dapatkan hasil lab dari coklat yang Anda bawa. Coklat itu positif mengandung racun biosintesis yang biasanya dihasilkan dari tanaman seperti Arum Maculatum dan Dieffenbachia dan mungkin lainnya.”
“Tanaman beracun?” Masumi terperangah.
“Benar, Arum Maculatum menimbulkan alergi dengan efek iritasi pada kulit, mulut dan tenggorokan yang menyebabkan bengkak, perasaan terbakar dan kesulitan bernafas serta sakit perut yang hebat. Sedangkan Dieffenbachia menyebabkan rasa terbakar, iritasi dan kelumpuhan pada lidah, mulut dan tenggorokan. Juga menimbulkan pembengkakan pada area tersebut yang mampu menyumbat penafasan dan dalam kasus yang jarang, bisa berakhir pada kematian. Ada beberapa tanaman lagi yang mengandung toksin yang menyerang tenggorokan lainnya.” Papar dokter tersebut.
“Saya pernah menangani kasus serupa beberapa kali selama karir saya. Biasanya, racun ini sering disalahgunakan oleh mereka yang bersaing ketat di dunia hiburan, terutama dunia tarik suara, karena itulah saya bertanya—“
“Lalu apa yang terjadi pada Maya?!” Seru Masumi, meninggikan suaranya.
“Pak Hayami, beruntung Nona Maya masih bisa diselamatkan. Hanya saja…” Dokter itu mengaitkan jari jemarinya. “Pita suaranya mengalami trauma hebat dan Nona Maya kehilangan suaranya.”
Masumi terpasung di tempatnya. Kaku.
=//=
<<< Finally Found You Ch. 5 ... Bersambung ke Chapter 6 >>>

21 comments:

Anonymous said...

Makasih banyak Ty, apdetan kali sangat memuaskan TOP BGT maapkeun klo nagih2 apdetan....

kasian Maya keracunan T_T, masih ada aja yak hambatan keduanya cpt2 bersatu gitu

-fagustina-

Widiya on 12 June 2011 at 23:07 said...

Ty.....................puas bacanya tapi sayang endingnya buat penasaran hehehe

Makasih Ty

Anonymous said...

aauuuuua kok kehilangan suara >< brbrbrbr moga2 sembuh

Nana said...

Ty...super hits skali deh ffy ini! Aku pikir sebentar lg happily ever after, eehh, ternyata di akhir cerita ada twist yg sgt tragisssss.... Poor maya..and masumi.
Tapi waktu masumi bilang ke dokter: saya calon suaminya, hadeeehh gemesin pengen namparrr gituuu.. Kyaaaa

orchid on 13 June 2011 at 07:58 said...

menjadi penasaran, apa ty mau bikin pentas BM dgn si akonya tanpa dialog, tapi racunnya dari tumbuh2an, dirumah masumi ada apotek hidup, akoya pandai meracik obat2an, wuah, terang masumi teramat sedih, gara2 ada yg manfaatin mawar ungu, pasti shiori ini, pasti, semoga kerjaannya ty lancar

Anonymous said...

HUAAA BANyak bangeeet updetannya tp nanggung niiiii waduh gmana ni ud mau pementasan kok suara maya malah ilang siiiii????
sukaa banget untung berantemnya gak kelamaan heheheh
siapa yaa? klo gak shiomay si nakahara kali tuh
anita f4evermania

Anonymous said...

Ty.. apakah sawaraji itu anteknya Shiori...?? Haduh... penasaran ki Ty...
-Nita-

Anonymous said...

Hoooreeee apdatean Ty banyak banget... dirapel ya Ty... hehehe tapi bagus deh... jadi penasaran kan siapa sebenarnya yang kasih maya racun. Manajernyakah...? atau pengacaranyakah...?? Bagaimanakah kisah Maya dan Masumi selanjutnya...?? haduh..kok kaya iklan aja ya..
-vanda-

Nalani Karamy on 13 June 2011 at 12:15 said...

ty...........aq semakin mencintai dirimu...keren, tapi aq agak gak suka ama sawajiri itu, kok kali ini instingnya Masumi kurang jalan ama keberadaan si Sawajiri ini, biasanya kan Masumi selalu detail memeriksa orang2 yg berhubungan ama Maya (atau kemisteriusan ini emang sgj kw ciptakan ty???)tapi salut banget MM yg udah mulai proklamir cinta mereka n eisuke yg udah mulai nyadar bahwa emang dia sudh saatnya mengalah,

eva

Anonymous said...

I've a bad feeling with Sawajiri :( ... curiosity to that guy ...hmm.... ( rini )

Anonymous said...

Ty... Maya kehilangan suaranya cuma sementara kan...?? Nggak selamanya kan...?? Kasian Masumi n Maya dong Tyyy... Wah kami ni malah membuat org jadi penasaran aja... kan malah jadi banyak yang minta kamu apdate lagi.. termasuk aku...heheheh
-Meilinda-

Anonymous said...

Waaaaaaaahhh.. itu pasti kelakuan si Sawajiri niy, eh tp.. keren banget deh imajinasimu say.

arigato.. and ditunggu dgn TIDAK SABAR kelanjutan updatenya.

Maye

Anonymous said...

Jangankan Masumi... aku saja sampai tahan nafas dan kering tenggorokan cuma gara2 baca Masumi buka resletingnya Maya... Xixixi Ty... lanjut dong.. tapi moga2 Maya gak papa ya.. pengen MM Happy End yah...

Nadia

Anonymous said...

bagusss sekaliii... pantas utk ditunggu... tapi krn aku telanjur suka sama karakter sawajiri, aku berharap dia termasuk karakter yg protagonis. terimakasih apdetannya ty!
-nadine-

Anonymous said...

waaaa...banyak apdetannya puas bacanya...terima kasih ya Neng Ty...ku akan sabar menunggu lanjutannya...mudah2an cepat beres kerjaannya,semangat!!! -khalida-

Anonymous said...

Ty sen......kau keren sekaleeeeeeeeee....semoga cepet selesai kerjaannya dan semoga bisa lanjut yaaaaaaaaaaa ;) hehehee...in the meantime, one shots ditunggu yaaaa...(kalo moodnya baik aja, jangan yg sedih2 ihiiikkssss ;P )
-reita

Resi said...

akhirnyaaaa, bisa komen jg setelah sekian lama bc FFY dr hp. Baca dr PC emang lebih menyenangkan, sambil denger Backstreet Boys. Haduuuuuh, ga kuku deeeh.
You're the best lah poko na mah ty. Sukaaaaa............

Anonymous said...

Akhirnya aku bisa komen juga di sini.. sukaaaa banget Ty... sampai tahan nafas membayangkan Masumi yang buka resletingnya maya... ditunggu kelanjutannya ya... FFymu selalu kutunggu
-Fefe-

Mawar Jingga on 1 July 2011 at 00:02 said...

tyyyy................pokoke sebelum puasa update yach.....we'll wait ur FFY......muaaaaaccchhhh

Anonymous said...

Aku tagih janji Ty mau apdate FFY di bulan Juli....
-Nita-

Mrs.J (Muria Hasni) on 4 July 2011 at 01:20 said...

lama tak berkunjung,, belum ada sambungannya tho'

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting