Monday 1 October 2012
Fan Fiksi : Fallen Up to the Sun 2
Rating: 18+ (Kissu, skinship, mature relationship)
Fallen Up to the Sun 2
(Those Two and the Other One)
“Pak
Masumi, Maya-sama datang menemui Anda,” terang Mizuki.
Masumi
menutup ballpointnya. “Persilakan dia masuk, Mizuki. Dia saja,” pintanya.
Mizuki
mengerti permintaan Masumi yang ingin ditinggalkan berdua dengan Maya.
Sekretaris itu melangkah keluar.
Masumi
menghela napas dalam, mempersiapkan diri. Entah kenapa ia jadi gugup. Padahal
Masumi sekarang adalah Direktur utama dari Daito, menggantikan ayahnya yang sudah
pensiun, juga anggota Dewan Direktur dari banyak perusahaan. Tapi kenapa,
hendak bertemu gadis mungil itu saja tubuhnya segera terasa panas dingin.
“Selamat
siang,” salam Maya dengan hati-hati dan ragu-ragu.
Tatapan
Masumi segera terpasung kepadanya. “Masuklah,” dibuat setenang mungkin.
Maya
masuk dengan sedikit gugup. Tidak, bukan, sangat gugup. Itu yang benar. Berapa
lama ia tidak melihat pria ini? Lebih dari setahun, belasan bulan, ratusan
hari, ribuan jam… tak sanggup dihitungnya, sama seperti sekian banyak namanya
yang ia sebut setiap saat ketika merindukannya. Tak terhitung jumlahnya.
“Duduklah,”
kata Masumi, masih berusaha tenang. Saat ini ia kan Direktur yang sedang
bertemu aktrisnya. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Masumi, beranjak berdiri seraya
meraih sebuah catatan. “Baik?” tanyanya.
Maya
hanya mengangguk tanpa bersuara. Kalau bicara, pasti suaranya gemetar. Ia tahu
itu. Karena saat ini saja tenggorokannya sudah tercekat. Entah kenapa ia tidak
sanggup menatap Masumi. Mungkin karena ia menyadari, ia seorang Sakurakoji sekarang.
Setidaknya
ketidaksanggupan Maya menatapnya menguntungkan Masumi. Ia bisa mengamati wanita
itu, yang semakin cantik tiap kali ia melihatnya. Ia tahu Maya pasti gugup.
Wanita itu tidak bisa menyembunyikannya. Tampak dari matanya yang gelisah, juga
jari-jarinya yang bergerak-gerak tak tentu. Pasti demikian juga jantungnya.
“Hijiri
sudah mengatakan mengenai tawaran yang diajukan dari Pantene, bukan?” tanya
Masumi, mengikis jarak dan duduk di dekat Maya.
“Su,
sudah,” Maya mengangkat wajahnya, menatap Masumi. Dan segera saja ia menyadari
kesalahannya, saat tatapannya terjebak tatapan Masumi yang memandangnya penuh
arti. Penuh kerinduan dan kesenduan. Pak
Masumi… jantung gadis itu terkena sengatan, berderap melonjak-lonjak tak
tertahankan.
Berlawanan
dengan jantung mereka, keduanya hanya terdiam, terpaku pada satu sama lain,
membiarkan diri mereka tertelan kesunyian.
Dengan
cepat Masumi mengambil keputusan untuk mengakhiri kontak jiwa itu. Ia
menundukkan pandangannya, membuka-buka berkasnya. “Jadi beberapa hari yang
lalu, sempat ada tawaran yang—“ Masumi terlonjak.
“Ini
kenapa!?” Seru Maya dengan sangat khawatir saat melihat balutan perban di
telapak Masumi. Segera digenggamnya, “Pak Masumi, Anda kenapa?” tanyanya. “Anda
terluka? Kenapa!?” Gadis itu bertanya seraya menatap pria terkasihnya.
“Tak
apa-apa…” Masumi berucap pelan, “Aku…” awalnya Masumi bermaksud menyisihkan
genggaman tangan Maya di telapaknya dengan tangan yang satunya lagi, namun
tangan pria itu malah berhenti bergerak saat menangkup tangan mungil dalam
genggamannya tersebut. “Tak apa… apa…”
Pak Masumi… Maya mendongak, dan kembali bertemu
mata dengan Masumi. Ia bisa merasakan kehangatan dari tangan pria itu walaupun
terhalang balutan perban. “Kenapa tanganmu terluka? Apa yang terjadi Pak
Masumi?” istri Sakurakoji itu bertanya tanpa melepaskan tangannya.
“Hanya
kecelakaan kecil, aku kurang berhati-hati,” jelas Masumi pelan.
“Pak
Masumi…” Maya menunduk, mengusap halus tangan pria itu yang terluka. “Anda
sangat pandai melindungi orang lain, tapi kenapa Anda begitu…” Maya mendesah,
lantas mengetatkan rahangnya sejenak. “begitu sering membiarkan dirimu sendiri
tersakiti…” tenggorokan gadis itu tercekat saat matanya memanas. Ia tak
mengerti kenapa Masumi yang dingin dan kejam, tak pernah memikirkan perasaan
orang lain, nyatanya orang yang senang memelihara dan memendam luka dalam
dirinya.
“Kau
cantik sekali…” Masumi berbisik tiba-tiba, sudut bibirnya membentuk senyuman
samar.
Maya
mendongak kaget. Alisnya berjinjit kecil, dan ia menggigit tipis bibirnya
sendiri mendengar pujian Masumi. Namun entah kemana semua kata. Ia sama sekali
tidak mampu bersuara. Mungkin karena cara Masumi yang memandangnya, hingga ia
sama sekali tak kuasa berucap walau hanya sepatah belaka.
“Saat
kemarin aku melihatmu,” Masumi kembali berkata, masih dengan cara berbisik,
“aku berpikir, kau sungguh cantik… lebih dari saat terakhir kali aku melihatmu.
Ternyata dugaanku selama ini benar, kau memang sangat cantik jika mengenakan
gaun pengantin…”
“Pak
Masumi…” akhirnya Maya menangis juga.
“Selamat
Maya… untuk pernikahanmu,” Masumi berusaha menelan ludah untuk mengenyahkan rasa
sesak pada dada dan tenggorokannya. “Aku tahu sejak dulu Sakurakoji juga mencintaimu.
Ia pun pemuda yang baik. Kau akan—“
“Pak
Masumi…” potong Maya, kembali menunduk dan mengamati tangan mereka yang masih
saling memagut. “Kenapa Anda tak akan mengirimiku lagi Mawar Ungu? Apa Anda
membenciku? Apa Anda tak lagi suka dengan aktingku…?” tanya Maya, terisak.
Masumi
sedikit terkejut dengan pertanyaan Maya. Bukankah seharusnya gadis itu sudah
mengerti? Bahwa dia, sebagai laki-laki tak lagi bisa menyimpan kekaguman kepada
gadis yang sudah ada pemiliknya. Bukan karena aktingnya, tapi karena… itu juga
lambang perasaannya yang tak pernah ia sanggup ungkapkan berupa kata.
“Apa
kau lupa siapa namamu sekarang?” tanya Masumi, menatap muram mata sendu Maya.
Maya
tertegun, menelan ludahnya. Pria itu mengingatkan bahwa ia sekarang Nyonya
Sakurakoji. Maya mengangguk. “Apa karena itu? Karena itu Anda tidak lagi
mendukungku?” tanya Maya dengan sedih.
“Aku
selalu mendukungmu, Maya…” ungkap Masumi. “Selalu. Selama kau masih berakting
dengan sebaik-baiknya. Namun…” Masumi mengamati setiap senti wajah kekasih
hatinya itu. “Aku sudah tak lagi layak menyampaikan perasaanku kepadamu. Kau
sudah tak lagi boleh mengharapkan kiriman bunga dari orang lain selain suamimu.”
Kata Masumi. “Aku hanya boleh, mengagumimu dengan taraf yang sama seperti aku
mengagumi aktris lainnya. Benar kan…?”
Mata
gadis itu membulat. Tidak terima, ingin membantah. Namun semua kata-katanya
benar. Ia tak lagi boleh mengharapkan kedatangan kiriman bunga pria lain, yang
jelas-jelas menyimpan kekaguman tak biasa terhadapnya. Maya dengan cepat
menunduk. Air matanya menetes di atas tumpukan tangan mereka yang tak pula
lepas.
“Aku…”
gadis itu terisak.
Keriuhan
di luar ruangan terdengar. Terdengar Mizuki menyapa Sakurakoji Yuu.
Sepasang
insan yang saling memendam itu saling menoleh dan dengan cepat memisahkan
tangan mereka. Tegang.
Pintu
diketuk beberapa kali dan Mizuki muncul.
“Sakurakoji-san
datang ingin bertemu,” ungkap Mizuki, bisa melihat kedua orang di hadapannya
sedang berusaha menetralisir keadaan.
“Ijinkan
dia masuk,” kata Masumi.
Sakurakoji
masuk, mendapati istrinya dan Presdir Daito itu tengah mematung. Sakurakoji tak
mengerti kenapa Masumi musti bicara sendiri kepada Maya mengenai proyek iklan.
Bukankah cukup mengurus semuanya melalui Hijiri? Namun bukan itu yang hendak
ditanyakannya saat ini.
“Ada
apa Sakurakoji?” tanya Masumi.
Ia
melirik sejenak kepada istrinya yang menghindari tatapannya. Kenapa? Sikap istrinya,
sikap Masumi, bahkan hawa di ruangan itu, semua terasa ganjil. Ia merasa
seakan-akan tak diinginkan.
“Saya
baru berbicara dengan Sutradara Koizumi,” Sakurakoji tampak gusar. “Apa maksud
Anda memisahkan Maya dan saya?”
Eh?
Maya tertegun, ia menatap suaminya bingung dan menoleh cepat kepada Masumi. “Memisahkan
kami?”
Masumi
menghela pelan napasnya. “Itu untuk yang terbaik,” kata Masumi.
“Terbaik?
Terbaik untuk siapa?” desak Sakurakoji.
“Duduklah,
Sakurakoji,” perintah Masumi.
Sakurakoji
menurut. Ia dengan segera duduk di samping istrinya. Sangat dekat.
Masumi
jengah. Ia berdiri menuju pintu. “Mizuki, buatkan minum untuk kami,” pinta
Masumi. Ia lantas masuk kembali ke dalam dan duduk di sofa yang agak jauh dari
keduanya. Ia sungguh mengharapkan kebahagiaan Maya. Ia sungguh ingin
merelakannya. Tapi jika ia melihat Sakurakoji…. “Sebelumnya, memang Romeo dan
Juliet ini direncanakan untuk kalian berdua. Mengingat kesuksesan Bidadari
Merah, tidak diragukan lagi jika kalian memerankan Romeo dan Juliet,
kesuksesannya sudah bisa dipastikan. Namun ada pertimbangan lain. Begini,
kalian berdua adalah bintang Daito, namun, begitu juga Ayumi.”
“Ayumi?”
Maya terkejut. Ia ingat kembali saingannya itu yang sudah bisa melihat kembali
namun ia belum naik panggung lagi. Lampu sorot yang benderang dianggap masih
belum mampu diimbangi kerapuhan matanya.
“Ya.
Ayumi sudah menyatakan bahwa ia siap naik panggung lagi. Dan hasil pemeriksaan
dokter menyatakan bahwa mata Ayumi sudah kembali prima. Karena itu, kami
memutuskan untuk menyerahkan peran Juliet ini kepada Ayumi.”
“Kenapa
tidak memberinya peran yang lain!?” desak Sakurakoji.
“Ini
salah satu strategi pemasaran dan manajemen popularitas. Kalian berdua, sedang
berada di puncak karir kalian sebagai pasangan idola di Jepang,” Masumi
berusaha tidak menghiraukan rasa sakit hatinya. “Namun, terlalu sering tampil
berdua, bahkan terus menerus memerankan peran sebagai pasangan, akan terasa
membosankan. Belum lagi image Ishin dan Akoya melekat sangat kuat kepada diri
kalian. Sehingga apapun peran yang kalian lakukan bersama, bisa
dibayang-bayangi oleh kesan Ishin dan Akoya yang masih mendalam, dan bisa
menggagalkan kebesaran pentas ini. Oleh karena itu, kami memutuskan, untuk
memisahkan kalian sementara waktu. Menunggu hingga penggemar kalian semakin
rindu dengan keberadaan kalian sebagai pasangan di atas panggung, dan kembali
memunculkan sandiwara lainnya yang akan menjadi masterpiece,” Masumi berkata, “tapi
bukan Romeo dan Juliet ini.”
Sakurakoji
gelisah. Ya, mungkin benar apa kata Masumi. Itu urusan manajemen, Sakurakoji
tidak ingin menghiraukannya. Tapi ia sungguh tidak nyaman tiba-tiba saja
dipisahkan dari Maya. “Lantas bagaimana dengan Maya?”
“Maya
akan memainkan drama lain. Anna Karenina.”
“Anna
Karenina?” Maya dan Yuu terkejut.
“Ya.
Sakurakoji dan Ayumi, akan main Romeo dan Juliet. Kau aktor muda paling unggul
saat ini. Ayumi melakukan comeback dengan peran yang pernah dilakoninya secara
solo dan mendapatkan penghargaan seni karenanya, Juliet. Sekarang, apakah ia
mampu melakukannya tidak kalah baik, saat ia tidak memerankannya secara solo?
Bersama aktor populer sepertimu. Ini sudah pasti akan menarik perhatian,”
pandangan Masumi beralih kepada Maya, tanpa disadarinya tatapan yang
diberikannya melembut dengan sendirinya. “Sedangkan Maya, akan memerankan Anna
Karenina. Itu adalah cerita yang sangat populer. Cerita mengenai wanita dewasa.
Mungkin peran dewasa Maya untuk pertama kalinya. Kedua drama ini, Romeo dan
Juliet, juga Anna Karenina akan dipentaskan musim dingin, untuk diikutsertakan
dalam festival seni nanti. Jika kami memasangkan Maya dengan Sakurakoji, akan
ada anggapan bahwa hal itu tak adil bagi Ayumi, karena kalian sedang sangat
populer, dan andaikan menang, mungkin bakat Maya, akan diserang oleh para
kritikus dengan mengatakan bahwa kemenanganmu sebatas popularitas. Karena kau
sedang naik daun sementara Ayumi baru saja menghilang. Sedangkan jika strategi
yang kami rencanakan ini bisa direalisasikan, Ayumi dan Sakurakoji, sedangkan
Maya dipisahkan, makan ini akan menjadi persaingan yang ketat dan adil,” Masumi
menghela napasnya. “Juga memberikan keuntungan berlipat bagi Daito,” imbuhnya.
Maya
tertegun. Anna… Karenina… drama yang tak mungkin dilupakannya. Drama kencan
pertamanya dengan Masumi. Saat pria itu mengundangnya diam-diam… Maya trenyuh
mengingat hal itu. Dulu ia penontonnya. Sekarang ia yang akan berada di atas
panggung dan memerankannya.
“Tapi
Pak Masumi,” Sakurakoji masih keberatan. Ia lantas menoleh kepada Maya. “Bagaimana
menurutmu, Sayang?”
Spontan
Masumi mendelik tajam kepada suami Maya itu. Menyadarinya, ia segera membuang
pandangan.
Maya
menoleh kepada Sakurakoji. “Aku tak keberatan,” kata Maya. Ia lantas menatap
Masumi. “Lagipula, ini pasti sudah diperhitungkan baik-baik… dan… Anna Karenina…”
ia menatap Masumi semakin lekat. “Salah satu drama favoritku.”
Maya… Ia pun mengingat nostlagia yang sama.
“Ya. Ini akan menjadi drama pertamamu sebagai wanita dewasa, Maya. Sekarang kau
sudah menikah, dan pengembangan imej itu perlu jika seorang idola ingin tetap
eksis.” Masumi beralih kepada Sakurakoji. “Atau kau ingin berperan sebagai
Karenin? Suami yang diselingkuhi istrinya dan tak mampu lepas darinya?”
Cara
Masumi bertanya… terdengar menantang dan Sakurakoji tak suka. “Aku akan membicarakannya
dengan Hijiri-san,” tukas Sakurakoji tajam.
Sekali
lagi Maya terkejut dengan cara bicara Sakurakoji.
“Ya,
Sakurakoji, lebih baik kau tetap di Romeo dan Juliet. Karena dalam drama itu,
kau dan Ayumi sama-sama berbagi peran utama. Jika kau bermain Anna Karenina,
kau tidak akan lebih menonjol dari pemeran utamanya, Anna,” imbuh Masumi,
memberi pertimbangan. “Namun percayalah kepadaku, dengan berbagai faktor yang
sudah kujabarkan, paling baik kalian dengan peran masing-masing yang sudah kami
rencanakan.”
“Akan
saya pertimbangkan,” kata Sakurakoji, kali ini lebih lunak. “Bagaimana dengan
masalah BA Pantene?” Ia menoleh kepada Maya.
Sang
Istri tertegun. Mereka belum sempat membicarakannya tadi.
“Ya,”
sahut Masumi. “Sudah diterima, nanti kontrak dan lain sebagainya akan
ditindaklanjuti oleh Hijiri, yang penting Maya sudah menyetujuinya.”
“Ah,
ya. Aku sudah setuju!” imbuh Maya.
“Baiklah
kalau begitu,” Sakurakoji berkata. “Jika tak ada lagi, kami permisi sekarang.”
“Oh,
ya, silakan,” Masumi berdiri dan tersenyum bisnis. “Dan selamat untuk
pernikahan kalian, maaf sedikit terlambat, tapi kuharap kado untuk pernikahan
kalian dari Daito, bisa tiba hari ini.”
“Hadiah?”
Maya terkejut.
“Ya…”
Masumi tersenyum hangat kepada aktrisnya.
“Sebetulnya
tidak perlu repot-repot, Pak Masumi,” Yuu merentangkan tangannya, memeluk
pundak Maya. “Ucapan selamat saja sudah cukup. Asal kami bisa selamanya saling
mencintai seperti ini,” kata Sakurakoji. “Benar kan, Anata? (Sayang)”
Masumi
sangat sakit melihatnya, hingga rasanya ia ingin marah. Namun menahan diri.
Sementara Maya benar-benar salah tingkah, hingga tak mampu berkata-kata.
“Ya,
aku bisa melihatnya,” Masumi kembali tersenyum. “Kalian sangat serasi. Kudoakan
yang terbaik bagi kalian,” katanya, beranjak ke pintu. “Selamat siang, Pasangan
Sakurakoji…”
“Terima
kasih, Pak Masumi. Selamat siang,” Yuu membungkuk, diikuti Maya yang masih tak
bisa berkata-kata.
Keduanya
lantas keluar dari ruang kantor Masumi. Masumi memejamkan matanya, menghela
napas sangat dalam, berusaha memulihkan kesakitannya. Berusaha membuangnya
perlahan.
Namun
tak bisa. Ia ternyata masih tak rela. Sungguh tak rela. Melihat Sakurakoji benar-benar
membuatnya terbakar cemburu.
“BUGH!!!”
Ia memukul keras meja kerjanya.
Mizuki
sangat terkejut. Ia segera beranjak masuk. “Ada apa, Pak Masumi?” tanyanya.
Mata Mizuki melebar, melihat raut menyeramkan atasannya. Ia tahu benar apa
penyebabnya. Ia benar-benar tahu.
=//=
Pasangan
Sakurakoji itu berada di dalam mobil menuju kediamannya sekarang. Sibuk dengan
pikirannya masing-masing. Terganggu oleh satu orang yang sama.
Masumi.
Sakurakoji
memikirkan rasa gelisah dan cemburunya, sementara Maya memikirkan kerinduannya
yang ternyata belum hilang walau sudah bertemu lagi. Disertai rasa bersalah
yang mendalam terhadap suaminya.
“Apa
yang kaupikirkan?” tanya Sakurakoji tiba-tiba.
“Ah!
Aku…” Maya terlonjak. “Me, memikirkan Karenina…” katanya.
“Kau
ingin memerankannya?” tanya Sakurakoji.
Maya
berpikir sejenak. Ia mengangguk. “Itu drama yang sangat bagus. Aku menangis
saat menontonnya dulu. Benar-benar sedih. Salah satu drama favoritku. Dan
kurasa Pak Masumi benar, aku juga harus mulai mengambil peran utama sebagai
wanita dewasa, bukan?” ia meminta dukungan.
Masih
saja mual menghampiri tiap kali Maya menyebut nama pria itu dengan bibirnya. “Kau
akan memainkannya, walaupun Pak Masumi memisahkan kau dan aku? Apa kau bosan
main sandiwara bersamaku?” tanya Sakurakoji tajam.
“Tidak!”
Maya menoleh cepat kepada Sakurakoji, “Bukan begitu! Hanya saja kupikir, alasan
Pak Masumi memang betul, dan juga… ini Anna Karenina, drama yang sangat bagus,”
Maya berargumentasi. Ia menyandarkan punggungnya lebih dalam dan mulai
menerawang. “Anna Karenina… seorang wanita yang bertemu dengan belahan jiwanya
setelah ia menikah…” ujarnya. “Aku… ingin memerankannya,” ucap Maya, hampir
seperti tanpa sadar.
Sakurakoji
mengamati istrinya dengan rahang terkatup ketat. Ia menarik Maya kepadanya, dan
memeluknya. Wanita itu sempat terpekik saking terkejutnya.
“Kau
benar-benar lebih memilih mendengarkan Pak Masumi, ketimbang bermain sandiwara
bersamaku?” desak Sakurakoji. “Begitu, Maya? Benar begitu?”
Maya
sangat terkejut. Dengan pelukan Sakurakoji yang sangat ketat, juga dengan
pertanyaanya. “A, aku…”
“Maya…”
desah Sakurakoji dengan tak tenang. “Jawablah…”
Maya
menelan ludahnya bingung. “A, aku suka berakting… apapun perannya,” Maya
berkata. “Apalagi jika bersamamu,” Maya mendongak, tersenyum tipis. “Tapi
kurasa, apa yang dikatakan Pak Masumi benar. Lagipula mereka lebih mengerti
urusan seperti ini, Danna…” bujuknya. “Apalagi, ini juga melibatkan Ayumi. Dan
mungkin benar, jika kita terlalu sering bersama, orang-orang akan mulai bosan,”
imbuhnya.
“Apa
kau bosan bersamaku?” desak Sakurakoji.
“Tidak!”
dengan cepat Maya menggeleng. “Tidak mungkin aku bosan bermain drama denganmu,”
ia meyakinkan suaminya. “Tapi kalaupun sekarang kita main drama masing-masing,
bukankah Pak Masumi mengatakan mereka juga akan menyiapkan sandiwara lainnya
untuk kita?”
Sakurakoji
mendengus, melepaskan Maya dari pelukannya dan menggeser duduknya menjauh.
Tetap saja pada akhirnya istrinya itu mendengarkan lelaki lain. Hatinya
mendongkol. Yuu membuang wajahnya ke jendela.
“Danna?”
tanya Maya, terkejut melihat sikap suaminya. “Danna?” bujuk Maya dengan lembut,
menggoyang-goyangkan lengannya. “Apa kau marah?” tanyanya sedikit terkejut.
“Sudahlah,”
ujar Sakurakoji perlahan namun tajam. “Tak perlu mengungkitnya lagi.”
Maya
sungguh tak enak hati dibuatnya. Sepertinya suaminya itu memang sangat berharap
bahwa ia akan bermain sandiwara bersamanya lagi. Tapi Maya ingin sekali
memainkan Karenina. Tapi… jika Yuu marah…
Maya melirik dengan gelisah.
=//=
Sikap
dingin Sakurakoji bertahan hingga keduanya berada di rumah. Dengan kentara pria
itu mendiamkan istrinya. Maya jadi benar-benar bingung dan merasa bersalah. Yuu
sendiri sebetulnya tidak ingin bersikap demikian kepada Maya. Namun harga
dirinya sedikit banyak, menuntut agar Maya sebagai istrinya, bisa lebih
menghiraukannya. Ia masih takut bertanya mengenai Masumi. Takut Maya
tersinggung. Namun terlebih, takut bahwa ketakutannya memang nyata adanya.
Jika
benar bagaimana? Bahwa ada sesuatu yang khusus di antara keduanya? Dan
bagaimana jika Maya masih—jika memang pernah—ada hati kepada pria yang tampak
perkasa itu? Yuu gelisah. Ia belum pernah melihat dengan mata kepalanya
sendiri, selain saat di pelabuhan dulu. Setelahnya, tak ada apa-apa, selain
hubungan Maya dan Masumi yang tampak membaik.
Bahkan
tak pernah ada kabar atau gosip tak sedap mengenai keduanya. Intuisi. Hanya itu
saja yang Yuu andalkan untuk menuduh Maya punya rasa kepada pria lainnya.
Karena itu pula ia jadi gelisah sendiri dan hanya bisa melampiaskannya dengan
bersikap tak ramah dan acuh tak acuh kepada istrinya.
Dua
orang pelayan menyambut mereka saat masuk ke dalam rumah. Sakurakoji hanya
mengangguk tanpa ekspresi sementara Maya membuntuti di belakangnya.
Pandangan
pria itu lantas terpasung melihat kiriman karangan bunga yang begitu menjulang
di ruang tamu utama. Ia menghampirinya. Mengamati warna ungu yang menyilaukan
dan menyolok di hadapannya.
“Itu
kiriman dari Mawar Ungu!” terang Maya dengan riang, masih berusaha meluluhkan
hati suaminya.
Sakurakoji
menatapnya dengan bisu. Benar. Masih ada Mawar Ungu. Yuu hampir saja lupa,
bahwa di hati Maya, juga ada Mawar Ungu.
Drama,
Mawar Ungu, dan Masumi Hayami. Ia suaminya bahkan tak mampu memuncaki rasa
cinta Maya kepada tiga hal itu.
Yuu
mendengus dan membalik badan beranjak ke lantai atas menuju kamarnya tanpa
berkata apa-apa.
Hati
Maya tersayat rasanya. Ia tahu benar Yuu sedang tak mempedulikannya. Maya
menggigit bibirnya tipis, menahan tangis. Suaminya itu tampaknya benar-benar
akan marah jika Maya memilih tak bersamanya dalam Romeo dan Juliet.
Maya
lantas terdiam di ruang TV, entah kenapa ia tak berani menghampiri Yuu. Maya
memang tak tahu bagaimana caranya membujuk seseorang yang marah kepadanya. Dari
dulu ia hanya bisa diam saat ada kemarahan atau hukuman yang ditujukan untuknya.
Bel
pintu berbunyi dan seorang pelayan membukakan pintu. Pelayan itu lantas
menghampiri Maya.
“Hijiri-san
mencari Anda,” terangnya.
“Terima
kasih Tsubaki,” kata Maya pelan. “Tolong panggilkan Tuan.”
Pelayan
itu beranjak memanggil Yuu sementara Maya beranjak menemui tamunya.
“Hijiri-san!”
sambutnya, seraya tersenyum.
Maya
dan Hijiri memang dekat, sejak Hijiri ditunjuk menjadi manajernya, tak sekali
dua kali Maya mencurahkan isi hatinya kepada Hijiri, selain Rei. Hijiri akan
menjadi pendengar yang baik dan selalu bisa menenangkan hatinya. Hanya pria ini
pula, yang tahu apa yang dirasakan dan terjadi antara dirinya dan Masumi.
Memang, masih ada Mizuki. Maya tahu wanita itu pun tahu keadaannya. Namun Maya
tak pernah bercerita perihal apapun kepada Mizuki.
“Saya
membawa kado untuk pernikahan Anda dari Daito,” ungkapnya seraya tersenyum
samar.
“Selamat
sore Hijiri-san,” sapa Sakurakoji.
Hijiri
membungkuk sedikit.
“Hijiri-san
mengantarkan hadiah dari Daito,” terang Maya, kembali dengan riang.
Sakurakoji
tak menghiraukan dan istrinya itu segera memasang wajah sendu. Hal itu tak
luput dari pengamatan awas Hijiri.
“Hadiah
apa?” tanya Yuu. “Padahal tak perlu repot.”
Hijiri
menyerahkan sebuah kado kepada pasangan Sakurakoji tersebut. Yuu membukanya. Di
dalamnya terdapat sebuah kunci dan brosur, kartu ucapan dan sebuah keterangan
kepemilikan yacht pribadi yang mewah dan modern.
“Apa
itu?” tanya Maya, mengamati brosurnya. Mata wanita itu membulat. “Kapal pesiar
pribadi?” tanyanya tak percaya.
“Ya,
kalian sudah sangat berjasa untuk kesuksesan dan kemajuan Daito, ini ucapan
terima kasih sekaligus selamat bagi kalian,” ungkap Hijiri.
Yuu
membuka kartu ucapannya. “Selamat mengarungi bahtera rumah tangga. Semoga cinta
kalian selalu kokoh. Senantiasa bahagia dan sukses selalu,” ada tanda tangan
Masumi Hayami di sana.
Yuu
mengeratkan rahangnya saat membaca nama itu. “Sampaikan terima kasih kami,” Yuu
tersenyum basa basi kepada Hijiri.
“Waa…
yacht,” Maya masih terkagum-kagum. “Aku ingin melihatnya!”
“Oh
iya, satu hal lagi. Untuk menyambut kedatangan Pak Masumi, akan diadakan pesta
penyambutan akhir pekan minggu depan di rumah Pak Masumi.”
Keduanya
membisu. Akhirnya Yuu membuka suara. “Hijiri-san, aku dan Maya… kami berencana
berbulan madu. Kami tahu kami sudah meminta libur dua minggu sebelum pernikahan,
namun bisakah kau mengatur jadwal agar aku dan Maya bisa berlibur beberapa
minggu untuk berbulan madu?”
Maya
terkejut mendengar ucapan Yuu, suaminya tak pernah mengatakan hal itu
sebelumnya.
“Kupikir
kita sudah sepakat,” kata Hijiri, yang tampak keberatan. “Kami mengijinkan
kalian menikah dengan syarat tidak akan mengganggu kegiatan kalian dan juga
jadwal yang sudah ditetapkan Daito?” desak Hijiri.
“Ya!”
Sakurakoji berkeras. “Namun, aku berubah pikiran! Aku dan Maya ingin
menghabiskan waktu bersama lebih banyak. Kami baru menikah, Hijiri-san,
kemarin! Dan istriku sudah ditawari iklan, bahkan sudah ada sandiwara untuk
musim dingin mendatang, kami—“
“Tidak
bisa!” tegas Hijiri. “Sakurakoji-san, kau tahu apa syarat yang diajukan Daito
saat kalian berniat menikah bukan? Kalian tidak akan mengganggu jadwal kerja
kalian di Daito. Kau saat itu sudah setuju! Bahwa yang penting untukmu adalah
bahwa kau dan Maya-sama menikah dulu, kalau bukan karena kau begitu—“
“Kami!
Bukan aku!” seru Sakurakoji dengan lantang. “Kami yang ingin menikah!”
Seketika
ruangan menjadi tegang dan Maya bingung kenapa. Sakurakoji mendadak jadi
pemarah hanya dalam waktu 24 jam. Suaminya itu selalu saja tegang dan
bersuasana hati buruk. Padahal sebelumnya tidak begitu.
Memang
benar apa yang dikatakan Hijiri. Saat Sakurakoji menyatakan hendak menikah
dengan Maya, pihak manajemen sangat keberatan. Pertama, karena mereka masih
sangat muda dan hubungan keduanya pun belum terlalu lama, baru beberapa bulan
saat itu. Dan kedua karena Maya dan Sakurakoji sedang berada di puncak
karirnya. Sudah bukan rahasia menikah adalah salah satu penyebab seorang aktris
berhenti aktif dari dunia hiburan, dan mungkin saat mau menjejakinya lagi,
popularitas mereka sudah tak sehebat saat meninggalkannya.
Namun
akhirnya Daito mengijinkan keduanya menikah, dengan syarat bahwa mereka tidak
akan melalaikan kewajiban dan pekerjaannya.
Sakurakoji
pun mengatakan bahwa ia hanya ingin mengikat keduanya dalam pernikahan. Mereka
tak keberatan jika tidak harus berbulan madu dan juga menunda kehamilan Maya.
Apalagi, keduanya pasangan idaman di Jepang. Tak banyak kontroversi yang timbul
saat publik tahu bahwa mereka juga akhirnya berpacaran di luar panggung.
Saat
Maya tersadar, Hijiri dan Yuu tengah menatapnya, mungkin menunggu pernyataan
keluar dari bibirnya.
Wanita
itu bingung jadinya. Ia tak bisa memutuskan. Saat Yuu melamarnya saja, Maya
masih meminta pendapat Hijiri. Dan saat Daito memberi ijin—yang artinya Masumi
juga mengijinkan—Maya setuju-setuju saja. Tapi jika keduanya berselisih seperti
ini…
“Danna,”
Maya menatap Yuu dengan memelas. “Kita sudah sepakat dulu dengan manajemen,
bahwa pernikahan kita tak akan menghalangi kewajiban kita memenuhi semua
kontrak pekerjaan yang dibuat Daito bagi kita. Bukan begitu? Jadi kurasa,
tiba-tiba saja meminta waktu untuk berlibur dan berbulan madu sementara sudah
banyak pekerjaan… sedikit…” wanita itu menggigit bibir yang menunjukkan
keraguan.
Sakurakoji
mendengus dan rahangnya mengetat. Sekali lagi istrinya ini tak mendukungnya.
Yuu tak berkata apa-apa. Dengan dingin ia hanya terdiam.
Tak
kentara mata Hijiri terpicing. Ia bisa melihat ada yang berbeda dari sepasang
suami istri ini. Sejak mereka menjadi sepasang kekasih, dan Masumi
mempercayakan Maya untuk ditanganinya, Hijiri sudah tahu bagaimana biasanya
keduanya berhubungan. Sakurakoji sangat hangat, dan wajahnya selalu berbinar di
dekat Maya. Ia tampak bahagia dan selalu bersikap ramah.
Maya
pun, selalu menanggapi semua sikap mesra Sakurakoji dengan senyuman dan wajah
malu-malu. Keduanya selalu terlihat hangat, walaupun Hijiri tahu Maya dan
Masumi memiliki ikatan khusus yang tak terjabarkan, namun ia juga bisa melihat,
Maya tampak nyaman di dekat Sakurakoji.
Tapi
hari ini sangat lain. Sakurakoji tampak uring-uringan dan sikapnya dingin,
sementara Maya terlihat takut-takut dan canggung kepada suaminya itu. Ada apa
sebetulnya?
“Maaf,
tapi kita sudah sepakat dengan Daito,” Hijiri kembali membuka mulutnya. “Kalian
tidak bisa melanggar peraturan. Untuk sandiwara berikutnya, sudah diputuskan
bahwa Sakurakoji-san akan berpasangan dengan Himekawa-san memainkan Romeo dan
Juliet sementara Maya-sama memainkan Anna Karenina.”
“Mengenai
itu pun kami belum sepakat!” Bantah Sakurakoji.
“Saya
sudah menyetujuinya,” Hijiri bersikukuh. “Sakurakoji-san, ini yang terbaik
untuk saat ini bagi kalian berdua, Saya tahu, kalian berdua memulai karir bukan
dengan cara yang mudah, terutama, Maya-sama,” pandangan Hijiri beralih
kepadanya. “Apakah adil, jika karir yang dirintis dengan susah payah dan penuh
perjuangan, hancur begitu saja, karena manajemen yang buruk? Karena penonton
yang mulai bosan melihat kalian selalu bersama?” tanya Hijiri.
Sakurakoji
terdiam. Ya tentu saja ia tahu bagaimana susah payahnya Maya mencapai posisinya
sekarang. Dan memang sudah pasti, Daito paling tahu bagaimana membuat karir dan
popularitas aktrisnya tetap langgeng. AKan tetapi Yuu tetap saja kesal,
menyadari ia tak pernah dihiraukan. Namun… memang tak adil bagi Maya, jika ia
yang harus dipojokkan karena egoismenya sendiri. Sakurakoji tak berkata apa-apa
lagi.
=//=
Pasangan
Sakurakoji itu makan malam dalam keadaan senyap. Yuu masih berkeras ia enggan
bermain Romeo dan Juliet jika bukan dengan istrinya.
Akhirnya
Hijiri pulang tanpa keputusan. Pria itu mengatakan, bahwa Yuu tak bisa mengubah
keputusan manajemen. Sesuai kontrak yang sudah ditandatangani, manajemen berhak
mengambil keputusan untuk semua pekerjaan yang akan diambil aktris dan
aktornya.
Sekali
dua kali Maya mencuri lirik kepada suaminya. Ia sungguh merasa tak nyaman dan
canggung hanya berdiaman saja dengan Yuu. Pria itu benar-benar mendiamkannya
dan membuatnya merasa bersalah.
“Danna…”
panggil Maya perlahan.
Pandangan
kesal Sakurakoji terpasung kepada istrinya.
“Aku
akan coba membujuk Hijiri-san, agar kita bisa bermain bersama di Romeo dan
Juliet,” Maya berkata.
Yuu
tertegun mendengar ucapan istrinya, terlihat jelas ia tak mengira Maya
mengambil keputusan itu. “Benar?” ia memastikan.
Maya
mengangguk. “Kalau ini sangat berarti untukmu, aku akan melakukannya. Nanti…
aku akan coba meminta Hijiri-san untuk membujuk pihak Daito.”
“Apa
ini berarti untukmu?” pria itu mendesak.
Beberapa
saat terdiam, Maya menyahut, “Ya. Tentu. Ini berarti untukku, Danna… Jika kau benar-benar
menginginkannya, aku akan melakukannya,” tegasnya.
Sakurakoji
mengamati istrinya beberapa saat dengan raut tak percaya sebelum kemudian
tersenyum. “Ini sangat berarti untukku, Sayang… Aku masih ingin bermain
sandiwara denganmu. Akan aneh rasanya, jika kita baru saja menikah dan aku
harus bermesraan dengan orang lain dan juga harus melihatmu… bermesraan dengan
orang lain,” Yuu berkata lebih lembut dan sendu
Mendengarnya,
Maya jadi tertegun dan mulai tersadar, bahwa itulah yang suaminya rasakan dan
tak pernah terpikirkan. Maya tak pernah merasa hal itu akan memberatkan siapa
pun. Itu hanya sandiwara. Pura-pura. Bu Mayuko sudah mengajarkan kepadanya
sebatas apa seseorang harus tetap berakting dan bukan menjadi tokoh yang
diperankannya.
Maya
terdiam, menyadari bahwa ia ternyata masih kurang sensitif terhadap Yuu.
Padahal sudah setahun mereka bersama.
“Aku
akan melakukannya,” Maya tersenyum lebar. “Aku paling suka berakting denganmu, Anata…” katanya, dengan wajah berbinar.
Kalimat
yang selalu membuat Yuu bahagia mendengarnya. Ia tersenyum lebih lebar dan Maya
benar-benar senang melihat binar di wajah suaminya lagi.
=//=
Yuu
keluar kamar mandi setelah membersihkan diri dan mendapati istrinya itu sedang
menonton tayangan drama di televisi. Ia mengamatinya beberapa saat, lantas
duduk di sampingnya.
Seperti
yang ia kira. Maya tak menghiraukannya. Mata istrinya itu terpasung lekat ke
layar kaca. Wajahnya sangat serius dengan mata sayu namun tajam mengamati
setiap karakter di dalamnya. Sebentar-sebentar bibirnya bergerak komat-kamit
mengulang dialog yang akan dihapalnya di luar kepala. Sakurakoji terdiam
beberapa lama, menunggu iklan datang dan Maya menyadari keadaannya.
“Danna!”
Maya sedikit terlonjak saat menoleh dan sudah ada suaminya di sana. Wajahnya
segera merona malu seperti biasa. “Apa aku sudah lama mendiamkanmu?” tanya Maya
sungkan.
Yuu,
juga seperti biasa, hanya tersenyum saja. Ia menarik lengan istrinya, meminta
wanita itu mendekat. Maya menurutinya, ia menggeser duduknya dan bersandar kepada
Sakurakoji.
“Ini
drama Cerita Cinta Berwarna Pelangi Musim Panas?” tanya Yuu seraya mendekap
istrinya.
“Iya!”
Maya dengan berbinar menerangkan sejauh mana perkembangan ceritanya dan Yuu
hanya mendengarkan.
Istrinya
itu memang selalu antusias menceritakan drama yang disaksikannya. Membuat Maya
senang itu mudah. Ajak saja menyaksikan sandiwara panggung atau membelikan
bluray drama seri atau film, dijamin gadis itu akan senang bukan kepalang. Ia
akan sangat berterima kasih seraya memeluk Yuu dengan erat.
Bagi
Yuu sendiri, asal Maya mengatakan ia sudah membuatnya senang, atau selama gadis
itu masih mau dipeluknya seperti ini, ia sudah bahagia. Sangat bahagia.
Duduk
di samping Maya tak membuat Yuu juga menyaksikan drama itu, Ia mengamati
ubun-ubun istrinya yang wangi, seraya bertanya-tanya apa yang ada di dalamnya?
Sekali lagi pemikiran Yuu melayang, dihantui kekhawatiran bahwa Maya masih
menyimpan bayang-bayang Masumi di hatinya.
Dulu
Maya pernah mengakui, saat air matanya tak kunjung henti, dan wajahnya selalu
saja sedih hingga ia tak bisa lagi berakting, ada orang lain di hatinya. Maya
menolak Yuu, dengan mengatakan ia takut menyakiti Yuu karena Maya selalu
teringat pria itu dan tak bisa mengenyahkannya dari hati dan pikirannya.
“Aku
akan menunggu,” Yuu berkata saat itu. “Sampai kau benar-benar bisa menerimaku.”
Dan
perkataannya bukan palsu. Walau ia tak tahu siapa pria dalam hati Maya, mungkin
Masumi, mungkin yang lainnya, Sakurakoji tetap berada di samping Maya.
Menghiburnya saat berduka, melipurnya saat terluka, bahkan membantunya sebelum
diminta, hingga Maya bersedia jadi kekasihnya dan mengatakan “Ya” saat
dilamarnya.
“Yaa…
sudah selesai…” keluh Maya, kecewa saat credit tittle memenuhi layar kaca.
Sakurakoji
tertawa. “Kan masih ada minggu depan.”
“Masih
lama…” Maya cemberut. “Aduuhh… aku benar-benar penasaran bagaimana jadinya,”
imbuhnya dengan gemas.
Sakurakoji
hanya tersenyum. Dikecupnya kepala istrinya yang harum. “Sudah ayo tidur, sudah
jam sebelas,” ajak Sakurakoji. Walaupun setelah ini ada acara veriety yang
sangat booming di Jepang saat ini, Yuu tahu istrinya tak pernah menyaksikan
acara semacam itu.
Maya
mengangkat tubuhnya dari sandaran dan beranjak mematikan televisi.
Beberapa
saat ia sempat tertegun lagi, melihat Sakurakoji menaiki tempat tidur yang sama
yang akan ditempatinya. Maya berusaha menghilangkan rasa jengah di hatinya dan
naik ke sisi tempat tidur yang lainnya.
Dan
wanita itu lantas diam membatu.
Sakurakoji
mematikan lampu di sisinya. Ia sengaja tak meminta Maya mematikan lampu di sisi
tempat tidurnya dan Yuu melakukannya sendiri. Ia menggapaikan tangannya ke arah
nakas di samping Maya. Wajah keduanya sangat dekat dan Maya merasakan dadanya
berdebar dengan sangat.
Yuu… gadis itu mengeratkan rahangnya saat
matanya bertemu mata Yuu yang mengamatinya penuh. Wajah pria itu semakin
mendekat. Bersamaan dengan wajahnya yang tiba-tiba gelap pekat, bibir keduanya
telah saling melekat.
Pria
itu menciumi istrinya dengan lembut, bibirnya tanpa henti memagut.
Maya
membalas semua kecupan itu, hingga tanpa dikehendakinya, bayangan Masumi melintas
begitu saja di dalam benak. Bercokol pelak.
Maya
terenyak. Tubuhnya menegang dan membuang wajahnya dengan sontak.
Sakurakoji
terkejut. Ia mengamati istrinya. “Ada apa?” tanyanya resah.
Tak
sanggup istrinya menjawab. Dadanya tiba-tiba saja sesak dan ia merasa mual.
Bukan kepada suaminya, lebih kepada dirinya. Maya tak mampu berkata. Ia membisu
dengan tubuh yang tiba-tiba gemetar.
“Kau
kenapa?” tanya Yuu lagi, menyadari dengan cepat jiwa raga wanita itu menarik
diri darinya.
“Yuu,
aku…” Maya terbata, “Aku…” dan tanpa alasan, air matanya mulai luruh penuh. Sebuah
peluh kelelahan jiwanya yang berusaha ia abaikan selama ini.
Pria
itu tertegun. Mencoba mengerti sesuatu dalam diri Maya yang selama ini tak
pernah mampu dijamahnya, apalagi dipahaminya.
Yuu
memisahkan diri. Frustasi.
Perasaan
bersalah itu sekali lagi mengaduk-aduk hati dan pikiran Maya. “Yuu…” ia
memelas, memanggil suaminya yang memalingkan wajah darinya. “Yuu…” pintanya,
masih menangis.
Yuu
mengeratkan kepalan tangannya. Mengempaskan napasnya teramat kuat. Ia ingin
marah. Ingin sekali marah karena merasa dikhianati. Tapi dikhianati oleh apa?
Siapa? Yuu tak paham. Ia tak mengerti.
Yuu
menoleh kepada Maya yang air matanya berkilau tipis di keremangan. “Kau masih
mencintainya?”
Istrinya
itu tertegun. Terdiam cukup lama dan kemudian menggeleng dan sekali lagi hanya
terisak.
Sakurakoji
bersikap lunak. Ia sudah bersabar selama ini, mungkin ia masih harus bersabar
beberapa saat lagi? Karena ia tak pernah berpikir untuk berpisah dari Maya. Tak
akan pernah.
Sekali
lagi Sakurakoji beringsut mendekat, dibelainya rambut Maya, gadis itu
mengangkat wajahnya menatap Yuu dengan sendu.
“Setelah
sekian lama, kau masih belum melupakannya?” tanya Yuu dengan perlahan dan pilu.
“Yuu…”
berat sekali wanita itu bicara. Ia sudah tahu bagaimana Yuu sangat
menyayanginya. Sangat sabar menantinya walau ia tahu di hati Maya sempat—dan sesungguhnya,
masih—ada orang lain. Yuu tak pernah bertanya siapa dia. Yuu hanya selalu
mengatakan ia akan menunggunya. Akan selalu ada untuk Maya. Gadis itu memeluk
suaminya dengan sangat erat. “Aku ingin bersamamu Yuu…” Ia tak bohong. “Aku…
ingin….” Maya terisak lebih kuat. “Aku…” dan mulai tergugu.
Beberapa
lama Yuu hanya mematung. Tak tahu apa yang harus dilakukannya jika Maya sudah
menangis.
Apa
dia Masumi Hayami? Ingin sekali Yuu bertanya dengan pasti. Tapi bibirnya hanya
mampu terkunci. Ia begitu takut mendengar kebenarannya. Ia takut untuk
mengetahui.
Akhirnya
Yuu melingkarkan tangannya di tubuh Maya, yang sekali lagi sontak terperanjat
dan membeku dalam hitungan sesaat.
Ia
tahu hati istrinya masih menolak. Bukan sekali dua kali hal ini terjadi. Satu
tahun hubungan mereka, tak pernah sekalipun keduanya terlibat hubungan fisik melebihi
sentuhan bibir. Itu pun setelah proses yang sangat perlahan hingga Maya bisa
menerima kehangatan yang ditawarkan kekasihnya. Maya akan segera menarik diri
dan menutup hati jika tiba-tiba Yuu terbawa suasana.
Yuu
memeluk istrinya semakin erat. “Tidak apa-apa,” gumamnya pelan, menahan
kekecewaan. “Aku akan menunggumu, Sayang,” katanya. “Aku masih menunggumu.”
Dada
Maya terasa semakin sesak. Peperangan antara hati dan jiwa, antara simpati dan
cinta. Ia ingin, tapi tak bisa.
“Maaf
Yuu…” isaknya. “Aku takut… Aku sangat takut…” akunya dengan gemetar.
“Tidak
apa-apa,” sekali lagi Yuu berkata kepada Maya, juga kepada dirinya. “Tidak
apa-apa Sayang. Kau jangan khawatir, kau akan baik-baik saja. Aku tak akan
memaksamu. Aku akan menunggumu,” Sakurakoji meyakinkan. “Aku sangat
mencintaimu,” tandasnya.
=//=
Pasangan
Sakurakoji sudah mulai sibuk lagi dengan kegiatan mereka, terutama tampil di
acara talkshow atau menjadi bintang tamu di acara variety show. Keduanya memang
jarang terpisah, selalu saja terlihat bersama ke mana pun mereka pergi. Tampak
hangat dan serasi di depan televisi.
“Sakurakoji-san
ditunggu di teater Hayami untuk jadi pengajar tamu,” terang Hijiri, memberi
tahu jadwal selanjutnya. “Sementara Maya-sama ada undangan di komite budayawan
Jepang,” Hijiri berkata.
“Sampai
bertemu di rumah,” salam Maya seraya tersenyum.
Keduanya
berpisah ke dalam mobil yang berbeda. Sakurakoji bersama asisten Hijiri
sementara Maya bersama Hijiri menuju acara yang di adakan komite budayawan.
Sejenak
Yuu mengamati mobil istrinya dan melambaikan tangan. Di dalam mobilnya ia
membaca modul mengenai materi apa yang akan dibicarakan di teater Hayami nanti.
Pikirannya terusik. Hijiri memang lebih sering bersama Maya. Bisa dipahami.
Maya memang lebih terkenal dan artis ketimbang suaminya itu, dan juga, karena
ia wanita, Hijiri sangat perhatian dengan semua kebutuhan Maya. Bahkan cara
Hijiri memanggil mereka saja berbeda. Manajer itu lebih berdedikasi kepada
istrinya, Yuu menyadari.
“Apa
ini, Hijiri-san?” tanya Maya saat melihat sebuah map di atas jok mobil.
“Itu
naskah Romeo dan Juliet, serta Karenina.”
Maya
tertegun. “Karenina?” tanyanya bingung. “Hijiri-san, kau pasti sudah tahu bahwa
aku telah memutuskan mengambil peran Juliet.”
“Ya.
Namun Sutradara Koizumi masih di Amerika. Kami belum memutuskan mengenai hal
itu. Maya-sama, cobalah dibaca dulu kedua naskah ini dan tentukan mana yang paling
kausukai dan ingin kau perankan.”
“Aku
sudah memutuskan,” tegas Maya.
“Tapi
Maya-sama, kau pasti sudah mendengar apa yang paling baik untukmu dan
Sakurakoji-san dari Pak Masumi.”
Maya
termangu. Ia menunduk. Memang ia sebetulnya lebih ingin memerankan Karenina.
“Hijiri-san,”
kata Maya perlahan, menatap Hijiri dengan sendu. “Yuu sudah sangat baik
kepadaku selama ini. Dan aku tahu, tak sekali dua kali aku menyakiti hatinya.
Ia bahkan seringkali kuabaikan hanya karena sandiwara atau tayangan televisi.
Tapi ia begitu sabar kepadaku. Sekarang Yuu hanya ingin aku dan dia main drama
bersama. Dan aku sangat suka main drama, apapun perannya,” tutur Maya. “Karena
itu, aku sudah memutuskan, aku akan mengambil Romeo dan Juliet.”
Tampak
Hijiri termangu sesaat. Keputusan memberi Maya peran Karenina adalah hasil
pertimbangan Masumi, dan Masumi pasti sudah memikirkan yang terbaik bagi Maya.
Namun keputusan akhir tetap ada di Maya. Selama wanita itu tak menolak bekerja,
manajemen tak bisa berbuat apa-apa.
“Baiklah,
nanti akan saya sampaikan kepada Pak Masumi,” kata Hijiri.
Pak Masumi… Maya menjadi sedih. Tak dibilang pun
Maya tahu, pasti Masumi selalu memikirkan kepentingannya. “Aku pasti… sudah
mengecewakan Pak Masumi,” ucapnya sendu.
“Maya-sama,”
Hijiri berkata. “Anda tak bisa membahagiakan semua orang. Karena itu, tak
apa-apa, jika sesekali anda mengambil keputusan untuk dirimu sendiri, selama
kedua pilihannya adalah pilihan yang baik, lakukan yang paling membuatmu
bahagia,” Hijiri berkata tanpa ekspresi namun terdengar penuh perasaan.
Tampaknya
manajernya itu juga tahu apa yang ada di kepala Maya.
“Terima
kasih, Hijiris-san,” Maya tersenyum tipis. “Tapi aku sudah mengambil
keputusan.”
“Simpan
saja dulu,” Hijiri menyerahkan naskah Karenina. “Siapa tahu Anda berubah
pikiran.
=//=
Sakurakoji
pulang lebih malam dari istrinya karena masih harus melakukan wawancara setelah
pulang dari teater Hayami. Ia mengangguk kepada pelayannya yang berdiri di
pintu.
“Nyonya?”
“Sudah
ke kamar,” jawab Tsubaki seraya menunduk.
Memang
Yuu pulang cukup larut dan Maya sudah berpamitan lewat sms bahwa ia akan tidur
terlebih dulu. Istrinya itu pasti sangat lelah dengan semua kegiatannya
seharian ini.
Yuu
masuk dan mendapati lampu kamar masih menyala, namun Maya memang sudah
memejamkan matanya. Sakurakoji beranjak mendekat. Ia tampak pulas. Maya memang
tak pernah mengeluh tak peduli seberapa berat harinya atau seberapa banyak
pekerjaan yang harus dikerjakannya.
“Eh?”
Sakurakoji terkejut, mendapati sesuatu terjatuh di lantai di samping tempat
tidur Maya. Ia memungutnya. Sebuah naskah, dengan tulisan “KARENINA” di sana.
Pria itu tertegun. Karenina?
Ada
sebuah naskah lainnya di atas nakas. Naskah Romeo dan Juliet. Bisa terlihat
Maya juga sudah membuka-buka naskah itu, namun dari kekusutannya, bisa tampak
Maya lebih banyak membaca naskah Karenina yang kini dalam genggaman Sakurakoji.
Ada bekas remasan kuat di naskah itu. Sakurakoji tahu artinya.
Maya
memang selalu membaca naskah yang disukainya dengan begitu bergairah, hingga
bekas genggaman dan remasannya membekas di sana. Yuu juga sudah tahu dari apa
yang dilihatnya, pentas mana yang sebenarnya sungguh-sungguh ingin dimainkan
Maya.
Dengan
sedikit kasar Yuu mengempaskan napasnya. Dipandanginya Maya yang tengah
tenggelam dalam dunia mimpi. Pria itu mengeratkan rahang dan genggaman
tangannya.
=//=
Masumi
menenggak wisky kesekian-gelasnya, terdiam memandangi sebuah majalah dengan
Maya di covernya. Wanita itu tampak cantik, tersenyum lebar degan lipstik pink
yang membuatnya terlihat begitu manis. Tatapan matanya yang berbinar, rambutnya
yang berkilau, kulitnya yang halus…
Dengan
jarinya Masumi menyusuri citra Maya, namun dapat dengan nyata Masumi merasakan
semua yang ada di kepala pada ujung jemarinya. Ia ingat bagaimana lembutnya
tangan Maya. Kewangian yang menguar dari pori-pori tubuh dan rambutnya.
Kehangatannya…
Masumi
mendesah keras. Teringat apa yang dikatakan Hijiri.
“Maya-sama
sudah memutuskan untuk berperan sebagai Juliet,” katanya tadi siang.
Sekarang
pria itu mengerti, bahwa keduanya memang memiliki ikatan yang sangat kuat. Masumi… ia membatin, kenapa kau masih saja berharap, ia akan menjadi bagian dari hidupmu?
Bukankah kau sudah merelakan? Sudah memutuskan hubunganmu dengannya? Tak akan
lagi mengiriminya Mawar Ungu?
Memang
dia yang sudah memutuskan tak akan lagi menyimpan perasaan untuk Maya. Tapi
semua percuma. Masumi masih tak rela melihat gadis itu bersama suaminya. Masih
begitu tergoda untuk tak henti memandangnya, menyentuhnya, memeluknya andai
bisa.
Jari
jemarinya terbenam di dalam rambutnya, meremasnya kuat. Mengharapkan rasa sakit
yang ditimbulkan di kepalanya dapat menghilangkan rasa sakit di hatinya. Tapi tak
bisa.
Mungkin
Maya benar. Ia begitu suka memendam duka. Memeliharanya. Menumbuhkannya hingga
membuatnya terus tenggelam dalam luka.
Mungkin
memang begini jalan hidupnya. Ya. Maya benar. Adalah pilihannya untuk terus
menyimpan citra gadis itu dalam benaknya dan menyiksa jiwa, ketimbang ia harus
bahagia dengan melupakannya.
Tidak.
Itu bukan pilihan. Masumi tak akan pernah melupakan Maya. Ia cintanya. Separuh nyawanya.
Jika Maya tak ada, sama saja kehilangan jiwa. Biar saja Maya ada, walau hanya
sekedar bayangan yang tak nyata.
Biar
saja…
Biar
rasa sakit ini menggerogoti kepala dan raga. Tak apa-apa, jika Maya menjadi
bagian hidupnya sebagai siksa. Selama wanita itu masih ada… Masih menjadi
bagian dalam pikirannya. Selama Masumi bisa merasa, maka ia masih berjiwa.
=//=
“Hijiri-san
bilang, minggu depan Sutradara Koizumi sudah kembali ke Jepang,” terang
Sakurakoji saat keduanya berada di ruang santai, seraya menikmati kopi pagi.
“Oya? Wah… aku sudah tak sabar, ingin cepat-cepat main
sandiwara lagi,” Maya menangkupkan kedua tangannya dan tersenyum berseri.
Beberapa saat Yuu terdiam, bertanya-tanya apa itu aktingnya
saja? Yuu tak tahu lagi.
“Sayang, semalam kau tertidur sedang membaca naskah ya?”
tanyanya. Bisa terlihat Maya tertegun, mungkin mengingat. “Karenina?”
“Ah, I, itu!” bisa terlihat Maya gugup. “Ya. Karena naskahnya
sudah selesai, Hijiri-san menyerahkan keduanya, aku sudah baca-baca semalam,”
terangnya, “Romeo dan Juliet juga sudah kubaca! Aku benar-benar menyukainya.
Sepertinya dialognya agak sulit, tapi aku merasa tak sabar memerankannya!”
Sejenak Yuu mengamati istrinya itu lantas menyentuh bahunya.
“Anata, kau boleh mengambil peran Karenina jika kau mau,” ujarnya kemudian.
Ujaran yang membuat istrinya itu terkejut. “Tidak apa-apa, kita bisa mainkan
drama yang berbeda, kemarin aku hanya—“
“Kenapa tiba-tiba? Aku mau memainkan Romeo dan Juliet.
Sungguh,” ia menggenggam tangan Yuu. “Itu salah satu cerita favoritku juga,
apalagi ceritanya sudah melegenda. Dan terlebih lagi, aku bisa main sandiwara
denganmu. Aku ingin, main sandiwara denganmu!” ia mengetatkan genggaman
tangannya. Meyakinkan.
Dipandanginya wajah Maya, menyusuri perlahan dengan matanya.
Yuu tahu istrinya itu sudah berusaha keras membahagiakannya. Ia tahu Maya tak
pernah berniat menyakiti hatinya. “Tidak apa-apa Anata, aku mengenalmu. Aku
sudah tahu kau. Aku tahu benar apa yang benar-benar ingin kau perankan,
sungguh, tidak apa-apa,” Sakurakoji tersenyum. “Aku akan selalu mendukungmu.
Bukan masalah besar apa drama yang kita mainkan. Kau istriku sekarang. Aku tahu
walau tak bisa bersama di atas panggung, kau tetap akan pulang kepadaku. Iya
kan?”
“Yuu…” Maya bergumam, terharu. “Benarkah tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa,” senyuman Yuu melebar saat ia menyentuh pipi
istrinya. “Maaf aku sudah bersikap berlebihan.”
“Yuu…” Maya memeluk suaminya. “Terima kasih banyak,” semakin
erat. “Aku janji Yuu, akan berusaha bertemu denganmu sesering mungkin. Aku akan
meminta Hijiri-san mengatur jadwal kita,” Maya meyakinkan.
“Ya, ya,” Sakurakoji balas memeluknya. Apa saja… apa saja asal
Maya tetap di sisinya. Pria itu semalam sudah memikirkannya. Semua sikap kerasnya,
semua rasa gelisahnya, mungkin malah akan menjadi penyebab Maya merasa tak
nyaman darinya, dan membuat wanita itu akan pergi dari sisinya. Karena itulah
Sakurakoji sudah bertekad akan membuat Maya jadi wanita yang sangat bahagia
selama bersamanya.
=//=
Maya merasakan dadanya berdebar lebih kuat saat dari kejauhan
ia melihat sebuah rumah teramat mewah, dengan pagar menjulang berbentuk panah
berwarna hitam.
Kediaman Masumi Hayami.
Maya berusaha menenangkan perasaannya. Ia tak pernah mengerti
apa rasa yang ada pada dirinya jika hendak bertemu Masumi. Ada perasaan tak
sabar, begitu penuh antisipasi, namun juga takut, sendu, pilu. Semua sibuk
menyerbu kalbu.
Masumi memang sudah jarang bertemu muka dengan Maya sekarang.
Pria itu sibuk ke sana kamari mengurus kerajaan bisnisnya yang semakin
menggurita di Jepang. Hijiri sempat bercerita saat Maya tak tahan bertanya
mengenainya, bahwa Masumi juga sedang mempelajari beberapa bisnis Takamiya,
termasuk transportasi yang juga menjadi jarahan bisnis Hayami.
Pak Masumi… dirasakannya tiba-tiba saja tubuhnya
panas dingin saat gerbang itu terbuka. Dua orang penjaga menyambut mereka. Di
dalamnya, sudah ada banyak mobil berjajar dengan rapi dan rumah mewah itu
tampak semarak.
Maya dan suaminya yang juga tak banyak bicara, serta Hijiri
keluar dari mobil mereka. Menaiki tangga menuju pintu rumah itu, yang lagi-lagi
disambut dengan sopan dan ramah oleh dua orang penjaga. Keduanya diantar ke
aula di dalam rumah, yang ditandai pintu besar lainnya, yang saat dibuka,
tampaklah orang-orang yang sedang saling bercengkrama.
Pesta itu ternyata cukup meriah. Ada seorang pianis dan
penyanyi di sana. Setiap orang menikmati hidangan di sebuah sofa dan tempat
duduk yang tersedia atau hanya berdiri. Para pelayan sibuk hilir mudik dengan
nampan di tangannya membawa banyak makanan. Ruangan itu tembus ke bagian
belakang rumah di mana ada banyak juga tamu yang menikmati malam di halaman
belakang.
“Pasangan Sakurakoji sudah datang,” kata seorang MC.
Orang-orang menoleh kepada keduanya. Beberapa menghampiri dan
menyapa mereka. Begitu juga Masumi.
“Terima kasih sudah datang,” Masumi tersenyum ramah.
Tanpa bisa dikuasai, wajah Maya begitu saja merona berseri.
“Terima kasih sudah mengundang kami,” jawab Sakurakoji.
“Tentu. Kalian sudah sangat berjasa kepada Daito. Rasanya tak
cukup berapa kalipun aku mengatakan terima kasih,” ungkap Masumi. “Silakan,
dinikmati pesta ini, kuharap tak akan mengecewakan kalian.”
“Tentu tidak,” sahut Maya cepat. “Pak Masumi, selamat datang
kembali ke Jepang.”
Maya menyerahkan buket bunga mawar kuning yang dibawanya dan
Masumi menerima. Sejenak tangan keduanya sempat saling menyapa, dan keduanya
sama-sama pura-pura tak merasa. Padahal dalam hatinya, persentuhan itu
meninggalkan jejak yang tak biasa.
“Mawar kuning…” Masumi bergumam.
“Ya. Katanya, Mawar Kuning melambangkan awal yang baru, kami
berharap, kembalinya Anda ke Jepang, dapat memulai kembali semuanya, memulai
awal yang baru bagi kehidupan Anda di sini,” terang Sakurakoji.
Masumi tersenyum tipis, “Perhatian sekali,” katanya. “Terima
kasih,” Ia tersenyum. “Silakan,” ia mempersilakan pasangan Sakurakoji dengan
merentangkan tangannya. “Aku akan meletakkan buket bunga ini dulu,” katanya.
Maya dan Yuu mengangguk, lantas mulai berbaur dengan tamu-tamu
malam itu. Kalangan selebritis, pekerja di belakang layar dan juga belakang
panggung. Teman-teman Maya dari Mayuko juga ada. Ayumi pun hadir di sana.
Mereka bercengkerama.
Ada beberapa pasangan berdansa, dan Sakurakoji mengajak
istrinya.
Maya tak bisa menolak, dan bersedia. Keduanya mulai
menggerakkan badan sesuai alunan musik. Tanpa Maya sadari, sekali dua kali ia
mencuri pandang ke arah Masumi yang juga entah kebetulan atau bukan, juga akan
memandangi.
Jika sudah begitu Maya mendadak resah. Berkali-kali dalam
hatinya mengatakan jangan lagi mencari Masumi. Namun belum selesai nasihat itu
ia katakan kepada dirinya, matanya dan Masumi sudah kembali saling menumbuk
satu sama lain.
“Berapa lama Anda akan menatapnya?” tanya
Hijiri yang mengambil minuman dan berdiri di samping Masumi.
Pria
itu tertegun, kalimat yang sama sempat terngiang di kepalanya. Masumi
memalingkan wajahnya. Ia pun tahu tak seharusnya memandangi wanita pria lain.
Tapi itu semua berlangsung di luar kesadarannya.
“Aku
permisi sebentar,” hanya itu yang Masumi katakan.
Ia
beranjak keluar, ruang pesta, mencari kesunyian untuk menenangkan diri dan
kembali menghayati luka hati. Namun sekali lagi, sebelum ia menghilang di balik
pintu, Masumi menatap istri Sakurakoji dengan tatapan pilu. Saat itu pun
pandangan mereka kembali beradu.
“Mau
kuambilkan minum?” tanya Sakurakoji kepada Maya saat musik berhenti dan mereka
tak lagi berdansa.
“Ah,
ya,” Maya tersadar. “Tentu,” ia tersenyum.
Yuu
menghilang di balik punggung orang-orang, begitu pula kesadaran Maya.
Tatapan
sendu Masumi yang sempat tertangkap tadi, langsung menyayat ke ulu hati. Jelas
sekali. Terasa sangat nyeri. Dan sekali lagi tanpa ia sadari, Maya melangkahkan
kaki. Pergi.
Di
antara lorong dan ruangan yang sepi ia mencari.
Lain
sekali dengan ruang pesta yang begitu gempita. Walau masih di rumah yang sama,
bagian rumah ini terasa kelam gulita.
Maya
baru menyadari betapa besar dan megah rumah ini. Dulu Masumi hidup di sini bersama
istri, dan kini ia sendiri.
Pasti
Pak Masumi sangat kesepian, ia meyakini.
Walaupun
baru pertama kali Maya ke sini, ia biarkan intuisinya mencari sementara kakinya
hanya mengikuti. Bahkan saat ia menemukan apa yang dicari, wanita mungil itu
sempat terkejut sendiri.
Masumi
berdiri di sebuah beranda di luar ruangan yang tak benderang. Matanya terarah
ke halaman luas, memandang. Tak disadarinya bahwa Maya berdiri gugup di arah
belakang.
“Pak…
Pak Masumi,” panggil Maya akhirnya, setelah pertimbangan singkat mengenai
apakah ia harus menyapanya atau tidak.
Pundak
Masumi terlonjak. Dengan cepat ia berdoa bahwa suara itu bukan hanya terngiang
di dalam otak. Namun entah kenapa tubuhnya tak mau bergerak, hingga ia kembali
mendengar panggilan lembut dari suara yang sedikit serak.
“Pak
Masumi…” panggil Maya dengan tenggorokan tercekat. Wanita itu tak ingat lagi
bagaimana ceritanya hingga sekarang berada di tempat ini. Yang ia pedulikan
bahwa ia dan Masumi sekarang berada dekat.
Pria
itu memutar tubuhnya, tampak ragu sejenak, dan kemudian terpaku, berbisik
syahdu, “Maya…” panggilnya.
“Sedang
apa Anda di sini?” tanya Maya, jelas terdengar khawatir.
“Tidak,
hanya… memandangi bulan, menenangkan diri,” ungkapnya. Atau mungkin… melarikan
diri.
Menenangkan diri? Wanita itu bertanya dalam hati, untuk
apa si pria menenangkan diri. “Anda sakit?” tanya Maya seraya perlahan
menghampiri.
Melihatmu? Ya… jawabnya dalam hati. “Tidak, aku
baik-baik saja,” itu yang terucap dari bibir Masumi. “Bagaimana kau tahu aku
ada di sini?”
“Aku
tak tahu,” ungkap Maya. “Tiba-tiba aku sampai di sini, dan melihatmu.”
“Kau
tak mencariku?” Masumi terheran.
“Kupikir
tidak…” Maya menunduk, “tapi mungkin… Ya...”
Maya… Masumi mengeratkan rahangnya.
Mungkin
wanita itu tak sadar mencarinya, seperti ia yang tak sadar menunggu
kedatangannya.
Seperti
mereka yang tak sadar kehilangan jaraknya.
Tiba-tiba
saja Maya berada dalam jangkauannya. Masumi ingin sekali mengangkat tangan dan
menyentuh pipi Maya dengan telapaknya. Merangkul tubuh mungil itu dengan
lengannya, mengecup bibir tipis itu dengan bibirnya.
“Aku
sangat senang kau datang,” ia membuat pengakuan.
“Anda
terlihat sedih,” Maya berujar. “Apakah ada sesuatu yang merisaukanmu, Pak
Masumi?” tanya Maya.
“Tidak
ada,” ia kembali berbohong. Aku hanya…
tak bisa berpaling darimu, dan kusadari itu bukan hal yang bagus jika kulakukan
di keramaian, kali ini ia berkata jujur dalam hatinya.
Maya
terpana sesaat. “Apakah seharusnya aku tak perlu datang?”
“Tidak!”
sanggah Masumi cepat. “Jika kau tak datang aku akan lebih sedih,” ujar Masumi
spontan.
“Pak
Masumi…” Maya melirih, wajahnya panas ingin menangis entah kenapa. Angin dingin
malam itu terasa kasar meraba kulitnya. Angin yang keras, berhembus kuat.
“Brak!!”
pintu ruangan tiba-tiba tertutup dan membuat keduanya terlonjak. Ruangan
menjadi lebih gelap karena penerangan dari lorong berkurang, namun masih cukup
terang dibantu lampu beranda dan terang purnama.
Jantung
Maya berdebar-debar kuat dan cepat. Kepalanya segera memerintah Maya segera
beranjak. Ia tak seharusnya berada di dalam ruang tertutup bersama seorang
pria, dengan penerangan yang tak layak. Ia tak seharusnya berada di sini sama
sekali.
Nyonya
Sakurakoji baru saja hendak permisi saat pria di hadapannya berujar,
“Aku
akan merasa lebih baik jika kau mau berdansa denganku.”
“Berdansa?”
alis Maya naik. Hanya sebentar ia menimbang, dengan segera logikanya yang tadi
tak tenang tersingkir. “Tentu,” katanya.
“Di
sini,” imbuh Masumi.
“Di
sini?” si Mungil memastikan.
“Ya.”
Alis
Maya berkerut, mencoba menangkap suara. “Tapi musiknya tak ada,” katanya
setelah tak berhasil mendengar musik dari ruang pesta.
“Kita
bisa membuat musiknya sendiri,” tawar Masumi. “Apa Anda mau berdansa denganku?”
Masumi menyodorkan tangannya.
Maya
mengamati tangan itu. Dan menerimanya. “Ya. Mohon bimbingannya, Tuan Masumi
Hayami,” ia tersenyum.
“Tenanglah,”
kata Masumi, mulai memeluk gadis itu. “Aku tak akan melepaskanmu.”
Keduanya
mulai menggerakkan badan, Maya hanya mengikuti Masumi. Memang tak ada suara di
sekitar mereka selain langkah-langkah tipis kaki keduanya yang berdansa. Namun seakan
nada-nada mengisi benak mereka, keduanya bergerak seirama.
“Kau
juga sudah pandai berdansa sekarang,” puji Masumi, senyumnya melebar.
Sejak
tadi Maya menengadah, tapi ia sama sekali tak lelah karena dengan demikian ia
bisa memandang wajah Masumi dan berusaha memenuhi kerinduannya yang tak kunjung
punah.
Keduanya
saling memandang, saling memuaskan dahaga atas satu sama lain yang tak kunjung
hilang.
Secara
perlahan dan pasti, keduanya berhenti bergerak dan melangkahkan kaki, dan
perlahan berhenti.
Sekarang
kedua insan yang bukan pasangan itu semata-mata hanya saling berdekatan, dan
mulai berpelukan.
Maya
tak ingat apapun, dibiarkannya Masumi melingkarkan kedua tangannya yang kokoh
di tubuh Maya yang mungil. Kilasan-kilasan rasa bersalah dengan begitu saja
kalah dengan kehangatan dan kenyamanan yang ia rasakan dari pelukan lelaki yang
seharusnya bukan siapa-siapa.
Pak Masumi… Maya menyurukkan wajah begitu dalam
di dada Masumi yang gagah.
Semuanya
terasa begitu tepat dan benar bagi keduanya. Saat Maya bisa merasa begitu
terlindungi menyandarkan dan menyerahkan diri dan Masumi merasa semuanya begitu
lengkap terpenuhi. Keberadaan Maya dengan segera terasa memenuhi kekosongan di
dalam jiwa dan hati.
Pelukan
Masumi semakin ketat dan kuat. Napas Maya pun menyesak namun Maya sama sekali
menolak.
Lebih
baik ia sesak karena pelukan Masumi ketimbang sesak karena kerinduannya yang
mendesak.
Hanya
dalam pelukannya saja. Cukup dalam pelukannya seperti ini….
Mata
gadis itu berkaca-kaca. Ia memang masih sangat mencintai si pria. Masih terlalu
mencintainya. Lantas mata Maya terpejam, membiarkan Masumi terus memeluknya
semakin dalam, membawanya tenggelam dalam kehangatan di tengah kedinginan malam.
“Deg!”
Keduanya terenyak. Saat lamat-lamat terdengar suara panggilan dari arah luar yang
semakin mendekat.
“Maya…!”
suara itu kembali terdengar.
Yuu!! Mata gadis itu segera terbuka. Dan
kesadaran itu menghantamnya dengan nyata. Itu suaminya! Pemiliknya!
Dengan
cepat Maya melepaskan diri dari Masumi. “Suamiku…” bisiknya dengan panik. Masumi
tak kuasa menahan Maya lepas lagi darinya.
“Aku
harus keluar,” desis Sang Istri, berbalik hendak pergi.
“Grep!!”
Masumi menahan pergelangan Maya.
“Deg!”
Maya tertegun. Jantungnya kembali berdebar lebih cepat, Pak Masumi…!!
“Jangan
pergi,” pinta Masumi, mendesah pelan. “Jangan dulu pergi,” ia memohon.
Pak Masumi… wanita itu galau.
“Maya…!?”
panggil suaminya. Kali ini sudah berada di depan ruangan keduanya berada.
Sementara
Masumi mendekati, Maya hanya diam berdiri dan tak bisa memungkiri, ia menanti. Menanti
pria itu memeluknya sekali lagi.
Dan
itulah yang terjadi.
“Kumohon…
biarkan seperti ini… sebentar lagi…” pintanya, saat Maya sudah kembali dalam
pelukannya. “Sebentar lagi saja.”
Pak Masumi… Tetesan hangat menyusuri pipi Maya.
Entah untuk apa, karena sekarang kalbu dan hatinya diserang banyak rasa yang
hanya bisa diwakili oleh airmata.
“Maya!? Maya
kau di sini?” seru Sakurakoji di tengah lorong.
Sekali
lagi pelukan Masumi kembali menyesakkannya, dan Maya tak bisa mengelak darinya.
“Maya…!?”
Sakurakoji kembali melangkah mencari istrinya.
Sementara
kedua orang di dalam ruangan masih membatu di tempatnya. Bergeming. Bernapas
dengan waspada. Hanya panggilan Sakurakoji yang kembali terdengar beberapa kali
lagi. Semakin menjauh.
Keadaan
kembali senyap.
Maya
menghela napas lega. Namun juga masih takut, dan yang pasti merasa bersalah.
“Pak
Masumi…” Maya menoleh sedikit kepada pria yang tengah memeluknya teramat erat
tersebut. “Aku harus kembali,” ia mengingatkan dengan rasa sesak mencekik
tenggorokan.
Masumi
tak bersuara. Pria itu masih tak rela. Permintaan Maya dibalasnya dengan
dekapan yang semakin kuat di raganya.
“Pak
Masumi…” Maya memohon seraya menahan isakannya.
“Maya,”
suara Masumi bergetar. “Aku ingin mengajakmu ke Izu suatu saat, apa kau tidak
keberatan?”
“Izu?”
mata wanita itu melebar dan jantungnya semakin keras berdebar.
“Ya,”
bisik Masumi.
“Ta,
tapi…” Maya ragu, menggigit bibirnya tipis.
Wanita
itu tak bisa berpikir dengan jernih saat nafas Masumi yang begitu dekat
terdengar lirih.
“Aku
masih berutang kepadamu, untuk mengajakmu ke sana. Aku selalu menepati janjiku.
Dan satu janji itu… adalah janji terakhir yang ingin kupenuhi,” bujuk Masumi.
Maya
merasa ragu namun jika ia harus jujur, ia pun menginginkannya. Bisa menikmati
hari bersama Masumi, melihat hal-hal yang biasa dilihat Masumi dalam
kesendiriannya. Tapi apakah itu boleh?
Sebuah
ketukan terdengar di pintu. Keduanya terlonjak dan membatu.
“Pak
Masumi,” suara Hijiri. “Anda di dalam sana?” tanyanya perlahan.
Kembali
ketukan itu terdengar. Maya dan Masumi saling memandang, gelisah di tengah
ruang dengan penerangan kurang.
“Pak
Masumi…” Maya berbisik resah.
Masumi
menghela napasnya. Ia melonggarkan pelukan dari Maya. Keduanya kembali bertukar
pandang dan dengan tak rela saling memberi jarak antara keduanya.
“Ada
apa, Hijiri?” jawab Masumi.
Sejenak
tak ada jawaban, sepertinya Hijiri tengah menimbang sesuatu.
“Anda
bersama Maya-sama?” tanya HIjiri kemudian.
Masumi
tahu anak buahnya itu tak bisa dibohongi.
“Ya.”
Jawab Masumi. “Masuklah, Hijiri.
Dengan
segera Hijiri membuka pintu, sedikit menyilaukan keduanya.
Hijiri
sudah mengira, namun tetap saja saat melihat mereka berdua, ia tak bisa
pura-pura tak ada apa-apa.
Tatapan
menghardik sejenak menghampiri Masumi sebelum kemudian Hijiri menatap Maya. “Sakurakoji-san
mencarimu. Aku sudah mengatakan Anda pergi ke kamar kecil dan mungkin tersesat.
Sebaiknya Anda kembali sekarang,” Hijiri mengingatkan.
“I,
iya,” wajah Maya bersemu merah. Sejenak ia melirik Masumi sebelum berjalan
mendekat kepada Hijiri.
“Ini
tidak seperti yang kaukira,” sambar Masumi kemudian saat keduanya hendak
beranjak.
Hijiri
menatap Masumi, “Anda tidak tahu apa yang saya kira,” ujar sang manajer. “Anda
pun sudah ditunggu di ruang pesta. Sebaiknya jangan meninggalkan tamu
lama-lama. Namun sebaiknya tunggu beberapa saat setelah Maya-sama kembali ke
sana,” imbuhnya.
Masumi
tak berkata apa-apa sementara Hijiri pergi dengan Maya.
Masumi
kembali ke beranda kamar. Mengempaskan napasnya kasar dan sekali lagi merasakan
sakit hatinya yang membesar.
Ia
tahu tak bisa selamanya seperti ini. Semuanya harus diakhiri. Jika bukan
Sakurakoji, maka dialah yang harus pergi.
Pergi… batin Masumi.
Mungkin
sejak awal, keputusannya kembali ke Jepang memang bukan keputusan yang tepat.
Ia tahu benar Maya dan Sakurakoji hendak menikah. Ia sendiri yang memberikan
mereka restu melalui Hijiri.
Walaupun
sempat terbersit, ia mungkin masih punya kesempatan kembali membawa Maya ke
dalam pelukan, namun hari itu saat Maya dengan sangat cantik berdiri di altar
bersama Sakurakoji, melihatnya, Masumi menyadari bahwa selama ini yang pernah
ia berikan kepada Maya hanyalah sakit hati.
Sakurakoji
adalah satu-satunya kesempatan Maya mendapatkan kebahagiaan yang tak pernah
bisa ia berikan.
Ia
tak berhak merebutnya.
Yang
harus ia lakukan adalah melupakan. Namun ternyata Masumi salah perhitungan. Ia
tak pernah sanggup, walau sekejap, melepaskan Maya dari dalam ingatan.
Pria
itu menghela napasnya. Menunggu beberapa lama sebelum kembali ke ruang pesta.
Maya
melirik canggung kepada Hijiri. Pria itu tengah mengamati. Maya dengan cepat
kembali menundukkan pandangannya lagi.
“Anda
tahu yang Anda lakukan itu salah?” tanya Hijiri.
Maya
berwajah sendu, dan mengangguk. “Tapi… tadi Pak Masumi terlhat sedih sekali.
Aku jadi ikut sedih. La, lalu…. Aku melihatnya di sana sendirian, kupikir—“
“Itu
bukan hal yang harus kau khawatirkan,” potong Hijiri, tak membenarkan. “Apa Anda
sadar apa yang tengah Anda pertaruhkan? Maya-sama, jangan sekali-kali melakukannya
lagi. Anda tidak boleh melakukannya lagi. Hanya berduaan di ruang tertutup—“
“Tadi
pintunya terbuka,” sahut Maya cepat.
“Apa
lampunya menyala?” tanya Hijiri tajam.
Maya
menunduk. Menggeleng.
“Seharusnya
Anda tidak masuk,” tandas Hijiri.
Ia
tahu benar bagaimana Masumi sering berdiam diri di tempat suram tanpa pelita.
Itu kebiasaan Tuannya semenjak lama. Namun tak seharusnya Maya pun ada di sana.
Tidak, selain dalam benak Tuannya.
“Maaf…”
gumam Maya.
“Aku
sudah mengatakan kepada Sakurakoji-san bahwa Anda tadi pergi ke kamar mandi. Sebaiknya
Anda katakan kepadanya bahwa Anda tersesat.”
“Iya…”
Hijiri
menghela napasnya. Bertanya-tanya. Sampai kapan Maya dan Masumi terus saja
seperti ini, saling memendam cinta sekaligus menorehkan luka.
=//=
Semenjak
dalam perjalanan sekali lagi Sakurakoji tak banyak bicara. Maya pun tak bertanya.
Ia benar-benar merasa bersalah karena apa yang terjadi tadi di tempat Masumi.
Sementara
Sakurakoji, merasakan ada yang tak beres. Sikap gugup Maya, canggung, serta
aroma berbeda yang melekat di tubuh istrinya setelah Maya menghilang cukup
lama. Ia tak tahu aroma siapa tepatnya. Yang pasti berbeda dengan saat
diajaknya berdansa, Maya membawa aroma mahal parfum pria bersamanya saat kembali.
Dengan
segera kepalanya menuduh Masumi, yang juga sempat menghilang beberapa lama.
Namun ia mencoba menenangkan diri dengan mengatakan kepada dirinya bahwa ada
banyak orang di sana. Mungkin aroma satu-dua orang melekat kepada Maya dengan
tak sengaja.
Walaupun
Sakurakoji tahu itu sangat mudah disangkal, namun ia meyakinkannya untuk
ketenangan diri.
Tidak.
Tak ada apa-apa antara Maya dan Masumi Hayami.
Mungkin.
=//=
Kecurigaan
itu terus saja menyerang Sakurakoji. Bahkan setelah keduanya selesai
membersihkan diri.
Tampak
Maya terbaring dan tubuhnya rapat terselimuti. Sakurakoji menghampiri. Memeluk
erat sang istri.
“Yuu!!”
Maya terlonjak sedikit, lantas wajahnya merona.
Pria
itu tak berkata apa-apa dan hanya memeluk Maya.
Ia
ingin sekali bertanya mengenai Masumi. Ingin agar semuanya jelas dan ia tak
merasa dibohongi sekaligus dibodohi.
Tapi
tetap saja bibirnya hanya mampu terkunci. Memendam semua rasa luka hanya di
dalam sanubari.
“Nanti
setelah latihan drama dimulai, pasti kita akan semakin sibuk,” kata Sakurakoji.
Air
muka Maya berganti sendu. “Ya…”
“Untunglah
kita sudah menikah,” kata Sakurakoji. “Setidaknya aku bisa setiap hari
melihatmu saat pulang ke rumah.”
Maya
tertegun. “Ya…” ia tersenyum tipis.
“Aku
mecintaimu Maya,” desis Yuu di telinga istrinya.
Rasa
berat itu selalu saja menghampiri dadanya tiap kali suaminya mengatakan kalimat
cinta.
Maya
menoleh, tersenyum berseri kepada Yuu, “Terima kasih,” ia membalik badannya dan
memeluk Sakurakoji. “Terima kasih, Sayang…”
Tak
ada balasan.
Yuu
menghela napasnya pelan. Sampai kapan, rasanya cintanya akan bertepuk sebelah
tangan?
=//=
“Anda
pasti tahu, apa yang terjadi di kediaman Anda adalah sesuatu yang terlarang,” Hijiri
mengingatkan saat keesokan harinya Masumi memanggilnya ke kantor.
“Hmm…”
Masumi bergumam perlahan seraya menyesap kopinya. Ia lantas menurunkan cangkirnya,
mengembuskan napasnya, dan menenangkan dirinya.
Teringat
kejadian semalam menyisakan perasaan emosional baginya. Sepanjang malam mata Masumi
bahkan tak sanggup terpejam. Teringat bagaimana Maya lepas dari pelukannya dan
kemudian berada dalam pelukan suaminya.
“Aku
tahu,” Masumi berkata. “Karena itulah aku memanggilmu. Ada yang ingin
kukatakan.”
Hijiri
memperhatikan.
“Aku
akan kembali lagi ke Amerika.”
“Pak
Masumi!?”
“Ya.
Itu adalah hal yang paling tepat untuk kulakukan. Aku masih berutang kepada
Takamiya untuk mengurus sebagian usahanya. Itu juga yang tertulis dalam surat
wasiat Shiori.”
Masumi
teringat bagaimana mantan istrinya menyatakan bahwa perjanjian yang pernah
terjadi antara Takamiya dan Masumi tak bisa dibatalkan setelah dia pergi.
Sebagian hak waris Shiori, diberikan kepada Masumi.
“Anda
pergi…” Hijiri berdesis. “Kapan? Maya-sama sudah tahu?”
“Belum,”
jawab Masumi. “aku tahu, keputusanku kembali ke Jepang adalah keputusan yang
buruk. Seharusnya semenjak awal aku tak perlu kembali. Namun, beberapa minggu
di sini, aku sudah tahu bahwa perkiraanku benar. Tak seharusnya aku mengganggu
Maya lagi. Dia—“ Masumi tercekat, walaupun ia sudah berusaha bicara setenang
mungkin. “Berhak bahagia. Dengan pernikahannya. Aku harus tahu diri dan
menyingkir dari kehidupannya,” kali ini Masumi tak menyembunyikan kepedihannya.
“Pak
Masumi…” Hijiri kehilangan kata-kata.
Ia
tak bisa membenarkan, atau menyalahkan keputusan Masumi.
Hijiri
tahu benar keduanya tak bisa dibiarkan berdekatan, tanpa ada kemungkinan akan
semakin jauh terbawa perasaan. Dan mungkin, akan berakibat fatal di kemudian.
“Jika
Anda sudah memutuskan…” Hijiri berkata perlahan.
“Tolong
jaga dia, Hijiri,” kata Masumi. “Aku percaya kepadamu. Kau tak pernah
mengecewakanku. Aku mungkin tak akan pernah kembali lagi ke sini nanti.”
“Dan
Maya-sama? Anda sudah memberitahunya?”
Masumi
menggeleng. “Saat ini masih ada banyak urusan yang harus kuselesaikan di sini.
Aku akan pergi setelah semua tanggung jawabku selesai. Setelah pementasan Anna
Karenina, aku akan pergi ke Amerika,” ungkap Masumi. “Aku ingin melihat Maya
mendapatkan penghargaan untuk terakhir kali.”
Diamatinya
Masumi dengan sedikit iba. “Saya mengerti,” sahut Hijiri.
“Tapi
aku membutuhkan bantuanmu untuk satu hal terakhir, Hijiri,” pinta Masumi.
“Apa
itu, Tuan?”
Masumi
menelan ludahnya. “Aku pernah berjanji kepada Maya, saat kami di Astoria, bahwa
aku akan mengajaknya ke vila,” kata Masumi. Bisa dilihatnya Hijiri sedikit
terkejut mendengarnya. “Dan aku bermaksud memenuhinya.”
Hijiri
tampak galau, “Tapi Pak Masumi—“
“Aku
tak akan melewati batas,” tukas Masumi. “Aku hanya ingin memenuhi semua janjiku
sehingga aku bisa pergi dengan tenang, Hijiri. Satu hari saja, tolong kau atur
pertemuan kami. Di sana nanti, aku akan mengatakan mengenai keputusanku ini
kepadanya.”
Hijiri
tampak menimbang-nimbang. Namun selama ini, Hijiri yang setia hanya berharap
sekali saja Masumi bahagia. Ia tahu benar bagaimana Masumi sudah menghabiskan
waktunya dengan memendam luka.
“Akan
saya usahakan,” kata Hijiri akhirnya.
“Terima
kasih,” Masumi tersenyum samar dengan sendu. Pria itu lantas bergumam. “Aku dan
Maya tak akan pernah bisa bersama. Karena itu aku hanya ingin menciptakan satu
kenangan terakhir dengannya sebelum aku melupakannya,” tuturnya. “Aku tahu Maya
hanya akan bahagia, jika aku benar-benar pergi darinya.”
Dan
Hijiri tak bisa menyangkal itu semua.
=//=
Keputusan
Maya dan Sakurakoji untuk berperan di drama yang berbeda, memunculkan pro dan
kontra. Ada yang tak sabar dengan pementasan keduanya, ada yang kecewa karena
mereka lebih berharap keduanya bisa bersama.
Namun
diluar semua reaksi itu, konferensi pers dan latihan tetap berjalan sesuai
jadwal. Ayumi akan kembali memerankan Juliet dan hal itu mendapatkan sambutan
yang cukup meriah.
Anna
Karenina akan pentas lebih cepat sebelum perdana Romeo dan Juliet. Karena
itulah Maya lebih sibuk belakangan ketimbang Sakurakoji. Belum lagi Maya sering
juga berlatih di rumah, dan saat itu, sangat jarang Sakurakoji dihiraukan
istrinya.
Sakurakoji
hanya akan mengamati Maya dengan sendu, membiarkan istrinya itu kembali hidup
dalam dunianya sendiri.
Pria
itu mulai bertanya, kenapa setelah menikah, ia malah semakin merasa Maya
mengabaikannya? Dan kenapa jiwanya, semakin tertelan oleh rasa kesepian?
Dulu
andai Maya tenggelam dalam kecintaannya kepada akting dan drama, Sakurakoji tak
ada di sana. Sehingga Yuu tak begitu merasa Maya tengah mengabaikannya.
Namun
sekarang berbeda. Walaupun Yuu ada di sisinya, Maya asyik sendiri dengan
dunianya.
Pria
itu meninggalkan ruang tengah di mana Maya begitu larut dengan naskahnya. Ia
beranjak ke ruang minum dan menenggak satu sloki minuman yang menyebarkan
kehangatan ke dalam tubuhnya.
Mungkin
satu dua bulan, satu dua tahun Yuu bisa bersabar menunggu Maya menerimanya
seperti ia menerima, hingga kata cinta terlontar dari bibir istrinya.
Tapi
jika menunggu selamanya? Apa sanggupkah ia? Yuu bertanya kepada dirinya.
Jawabannya
ia sungguh tak tahu. Yuu tak mau mundur, ia pun tak bisa memaksa maju. Semuanya
menjadi serba keliru.
Maya… pria itu kembali ragu. Apakah di hatimu, sama sekali tak ada aku?
Apakah waktu belum berhasil menumbuhkan cintamu kepadaku?
Yuu
memejamkan matanya dengan pedih dan membenamkan wajahnya begitu sedih.
=//=
“Hijiri-san,
ini jadwalku untuk seminggu ini?” tanya Maya, saat Hijiri memberika sebuah
berkas dalam perjalanan mereka menuju sebuah acara.
“Ya.”
Maya
menyadari sesuatu yang berbeda. “Kenapa tidak ada jadwal untuk besok?” Ia
membolak-baliknya. “Hanya ada jadwal untuk hari ini, lalu… lusa…” tanyanya
bingung.
“Besok
Anda tidak ada jadwal bekerja.”
“Libur?”
“Tidak,”
jawab Hijiri. “Anda akan bertemu dengan Pak Masumi,” ia segera menyambung saat
Maya hendak bertanya, “di Izu.”
Mata
wanita itu melebar. “Di…”
Hijiri
mengangguk.
“Hi,
Hijiri-san… kau mengijinkan—“
“Pak
Masumi mengatakan, ada sesuatu yang penting yang ingin ia sampaikan. Ia meminta
waktu Anda satu hari, untuk menemuinya di Izu.”
Maya
tampak tak tenang. Berusaha menimbang.
“Hijiri-san…
benar tak apa-apa?” tanya Hijiri.
Hijiri
pun tampak ragu. “Aku tak tahu,” katanya. “Terserah Anda saja. Jika tidak
berkenan, aku akan mencarikan alasannya kepada Pak Masumi dan mengatakan Anda
keberatan.”
Pak Masumi… Maya kembali teringat permintaan pria
itu saat di kediamannya.
Setelah
semua kebaikan dan pemberiannya? Bagaiama mungkin Maya tak memenuhi satu saja
permintaannya?
“Baiklah,”
Maya mengangguk. “Aku akan menemuinya.”
Dan
jantung gadis itu berdebar keras.
=//=
“Pergi
keluar kota?” tanya Sakurakoji saat Maya berkata mengenai rencananya esok hari.
“Ya,
ada acara yang harus kuhadiri besok pagi, temu penggemar di daerah yang sedikit
sulit dijangkau, mungkin pulang agak larut,” terangnya.
“Jadwalku
tak banyak untuk besok, aku bisa datang ke sana kalau kau berencana ada di sana
seharian.”
Maya
berusaha tenang walaupun ia gugup bukan kepalang.
“Jauh,
Sayang,” kilahnya. “Pak Hijiri bahkan memintaku pergi sepagi mungkin agar aku
bisa datang tepat waktu,” ia menoleh dan tersenyum menenangkan. “Hanya sehari
saja,” katanya. “Malam aku sudah kembali. Tak apa-apa kan?” bujuk Maya dengan
wajah memelas.
“Baiklah,”
Sakurakoji tak bisa menolak. “Tapi aku hanya sedikit khawatir jika kudengar kau
pergi jauh-jauh ke tempat yang tak bisa kudatangi.”
“Aku
tak sendirian,” Maya tersenyum.
“Kalau
ada apa-apa, hubungi aku,” Yuu membelai rambut Maya.
Kembali
rasa bersalah itu datang. Maya hanya mengangguk tanpa sanggup menatap Yuu.
=//=
Hijiri
membawa Maya menuju Izu. Ke villa dimana sudah ada Masumi menunggu.
Menjelang
tengah hari mobil yang mereka akhirnya tiba.
Maya
mengamati villa itu. Vila besar tempat Masumi menghabiskan waktu kesendirian.
Sekali lagi jantung wanita itu berdegup tak tentu jika teringat ia akan bertemu
lagi dengan Masumi.
Hijiri
turun dan membukakan pintu belakang mobil Maya.
“Te,
terima kasih,” Maya turun dari sana.
“Masuklah,
Tuan Masumi sudah menunggu Anda. Aku akan kembali nanti sore,” terang Hijiri.
Maya
mengangguk.
Gadis itu ragu-ragu menaiki tangga menuju
pintu. Ia menelan ludahnya dan menenagkan diri sementara mobil Hijiri telah
pergi.
Maya
mengetuk pintunya. Seorang penjaga membukakannya. Wanita itu sempat terkejut,
karena ia pikir Masumi yang akan menyambutnya.
“A,
aku… mmh… Pak Masumi ada?” tanya Maya.
“Ah,
Ya, Tuan sudah mengatakan akan ada tamu hari ini. Tuan di lantai dua. Anda
diminta langsung naik saja,” terangnya.
Maya
mengangguk beberapa kali. Bertanya-tanya apakah ia dikenali, sebagai seorang
aktris yang sudah bersuami?
Namun
Maya berusaha tak membiarkan kerisauan itu membebani. Ia menaiki tangga sekali
lagi, untuk menemui Masumi.
“Pak
Masumi…” panggil Maya, saat berada di anak tangga tertinggi. “Pak Masumi!”
serunya.
“Aku
di sini!” terdengar sahutan dari sebuah arah. Ke sanalah kaki Maya kemudian
melangkah.
Masumi
berada di belakang meja sebuah ruangan. Sedang duduk dan segera berdiri saat di
ambang pintu ia melihat Maya.
“Pak
Masumi,” Maya tersenyum saat melihat pria itu. Di belakanga Masumi pintu menuju
balkon terbuka lebar. Tirai-tirai biru pudar teriup angin dan tampak berkibar-kibar.
Masumi terlihat begitu bersinar. “Aku datang.”
Masumi
meninggalkan mejanya. “Aku sudah menunggumu,” sambutnya, dengan ucapan selembut
tatapannya.
Pak Masumi… Dan rasa meluap-luap segera mengisi
hati dan pikiran Maya. Menyendat logika dan menutup akalnya.
Istri
Sakurakoji tak sempat banyak berpikir, saat ia kemudian bergegas berlari ke
dalam pelukan hangat Masumi.
=//=
Categories
Author : Ty SakuMoto,
Fanfic: Serial,
Masumi,
Maya,
Sakurakoji
Subscribe to:
Posts (Atom)