Saturday 4 February 2012

Fanfic TK: I Remember You

Posted by Ty SakuMoto at 23:05

Setting: Ini cerita sekuel Amnesia, settingan Bayang Bayang Jingga dengan sedikit modifikasi disesuaikan sama cerita ini. Jadi kalau ga sesuai komik, harap maklum :D
Genre: Comedy, Romance
Warning: Kissu kissu
Yang belum baca Amnesia, silahkan dibaca dulu di sini: AMNESIA


I Remember You
(Sekuel Amnesia)



Hari ini pun berlalu bagi Masumi seperti biasa. Menghabiskan harinya dengan mengamati perkembangan berbagai proyek yang ditangani Daito, memimpin rapat, membaca laporan dari para manajer, mengikuti berbagai berita dan lain sebagainya. Ada yang berbeda, dan itu adalah keberadaan Shiori. Sekali dua kali ada kiriman dari wanita itu untuknya, atau pesan-pesan yang memperlihatkan perhatian dan kebaikan hati Shiori kepada Masumi.
            Masumi menghela nafasnya. Melepaskan pandangan dari dokumen di hadapannya dan menyandarkan punggungnya di kursi.
            Maya… bayangan gadis itu mulai kembali nampak di hadapannya. Kejadian hari itu, saat Masumi mengalami amnesia, tidak pernah bisa hilang dari kepala Masumi. Bagaimana ia sudah bersikap memalukan kepadanya. Mereka belum bertemu lagi semenjak itu. Namun, beberapa waktu yang lalu, Maya sempat menghubunginya. Ia bersikap aneh. Awalnya Masumi pikir ada apa, namun ternyata gadis itu bertanya mengenai gurunya, Ibu Mayuko. Tapi yang mengherankan, saat gadis itu berteriak “Semoga Anda bahagia!” di telepon. Apa maksudnya!? Masumi sungguh tidak mengerti.
            Saat menerima telepon itu pun, Masumi gugup bukan kepalang. Ia tidak mengira gadis itu akan menghubunginya. Ia sempat khawatir Maya akan membahas masalah tersebut, namun ternyata tidak. Mungkin gadis itu sudah melupakan semua kejadiannya, pikir Masumi. Lagipula, Maya tidak tahu bahwa setelah ingatan Masumi kembali, Ia mengingat semua kejadian yang terjadi saat ia amnesia. Bahkan kebersamaan mereka terus berputar di kepalanya. Dan kecupan itu… pesss…! Wajah Masumi segera merona merah mengingatnya. Dia begitu santai dan mengikuti keinginan hatinya. saat itu. Mengecup Maya yang berdiri di atas anak tangga. Dan wajahnya… Masumi teringat ekspresi Maya. Saat itu Maya sangat terkejut, dan Masumi teringat bagaimana raut gadis itu berubah kesal dan jengkel, lantas mengusirnya.
            “Selamat tinggal! Bukan sampai jumpa! Selamat tinggaaalll!!!” seru Maya saat itu kepadanya.
“Hhh…” Masumi mengusap wajahnya. Ia benar-benar brengsek. Entah dengan wajah seperti apa Ia harus menghadapi Maya nanti jika mereka bertemu. Jika kami bertemu… Ah.. Masumi sangat berharap, Ia bisa segera melihat Maya lagi. Apa pun alasannya, bagaimana pun caranya. Kalaupun bisa, Ia tidak keberatan kehilangan ingatannya lagi asal bisa seharian bersama Maya kembali, pikir Masumi.
Keributan di pintu kantornya membuyarkan semua lamunan tentang Maya. Samar-samar Masumi mendengar seseorang memaksa ingin bertemu dengannya, lantas ada suara Mizuki. Ada apa ini? Pikir Masumi. Ia beranjak dari tempat duduknya. Apakah ada bos perusahaan lain lagi yang hendak menuntutku? Masumi mengingat, belum ada perusahaan yang Ia buat bangkrut belakangan ini.
Pintu kantornya terbuka saat Masumi baru beranjak beberapa meter dari kursi direkturnya. Mizuki masuk dengan terburu-buru.
“Ada apa ribut-ribut?” tanya Masumi.
“Maaf Pak, Rei Aoki dan Maya Kitajima ingin menemui Anda,” terang Mizuki.
“Rei Aoki dan Maya?” Mata Masumi melebar, terkejut. “Ada keperluan apa?” tanyanya.
“Saya tidak tahu. Rei tidak mau cerita. Tapi dia memaksa bertemu Anda, katanya mendesak.”
Rei..? Masumi memandang ke arah pintu. Keduanya belum tampak. Masih menunggu di luar. “Dan Maya?”
“Maya juga tidak mengatakan apa pun,” terang Mizuki. “Tapi Rei bilang ini sesuatu yang sangat penting.”
“Suruh mereka masuk.”
“Baik Pak,” Mizuki berbalik, berbicara di pintu dan membuka pintunya lebih lebar.
Rei masuk namun tanpa Maya.
 “Halo Rei,” sapa Masumi, “ada yang bisa kubantu?”
“Bisa kita bicara berdua saja? Mm, maksudku, nanti bertiga dengan Maya?” pinta Rei.
Masumi tertegun. Ia lantas menoleh kepada Mizuki. “Kau boleh keluar, Mizuki.”
Mizuki mengangguk. “Baik, saya permisi.” Wanita itu lantas meninggalkan ruangan.
Masumi kembali bertanya, saat Mizuki telah pergi. “Jadi, ada apa?” tanya Masumi.
Rei tampak ragu sejenak. “Pak Masumi, apa yang sudah Anda lakukan kepada Maya?” tuding Rei.
Maya…? Masumi bingung. “Apa yang sudah kulakukan kepada Maya?” Masumi balik bertanya.
            “Benar,” tegas Rei. “Bisakah Anda beritahukan apakah Anda melakukan sesuatu kepada Maya?” bukan pertanyaan. Tuduhan.
            “Rei, aku benar-benar tidak mengerti apa yang kau maksud dengan melakukan sesuatu?” Apakah ia bercerita mengenai kelakuanku hari itu? Masumi khawatir. “Jadi tolong jelaskan kepadaku, karena aku benar-benar tidak mengerti maksudmu.”
            Rei terlihat gundah. “Pak Masumi, andai saja ini tidak darurat, aku mungkin tidak akan mengdatangi—“
            “Darurat!? Apa Maksudmu dengan darurat!?” Sekarang Masumi benar-benar resah.
            Rei terkejut dengan reaksi Masumi.
            “Apa yang terjadi pada Maya?” desaknya. Pandangan Masumi beralih ke pintu. “Maya…” Masumi hendak beranjak keluar.
Rei tampak gugup. “Tunggu sebentar, Pak Masumi,” pinta Rei, berusaha menghadang Masumi. “Biar saya saja,” katanya. Rei melangkah keluar dan tidak lama kembali. Bersama Maya.
Dengan segera mata Masumi terpaku pada sosok mungil itu. Maya… jantung pria itu berdebar. Masih tidak mengerti ada apa sebenarnya yang membuat gadis dalam pikirannya itu tiba-tiba saja sosoknya muncul di hadapan Masumi sekarang. “Mungil…” sapanya spontan. Nada suaranya terdengar lembut dan takjub. Ia melihat gadis itu lagi. Tiba-tiba wajah Masumi sedikit merona. Namun Ia heran dengan reaksi Maya. Gadis itu memandangnya seperti mengamati dan tidak bereaksi apa-apa. Tidak juga membalas sapaannya.
“Apa ini, Maya, orangnya?” tanya Rei.
Masumi tertegun. “Orangnya?” Ia mengalihkan kembali pandangannya kepada Maya yang masih mengamatinya.
Perlahan-lahan Maya menghampiri Masumi seraya terus memandangnya lekat.
“Ma, Maya!” panggil Rei, tapi Maya tidak menghiraukannya.
Maya terus menghampiri Masumi dan membuat Direktur Daito itu gugup dengan caranya melihat. Gadis itu lantas tersenyum, semakin lebar dan membuat jantung Masumi berdebar-debar sangat keras. Maya tidak pernah tersenyum dengan cara seperti itu kepadanya.
“Benar!” ujar Maya, setelah sekian lama.
Bruk! Gadis itu memeluk pria jangkung itu. “Anda! Anda orangnya!”
“Ma, Maya!” Rei sangat terkejut dengan yang Maya lakukan. Gadis itu tidak sendirian. Seketika Masumi merasa tidak menapak di tanah. Ia tidak bisa percaya gadis itu, Maya, memeluknya begini erat.
“Ada apa, Mungil?” tanya Masumi, berusaha tampak tenang. “Apakah ada sesuatu?” Masumi sekarang bisa melihat wajah sembap gadis itu. Apakah anak ini habis menangis?
Wajah Maya tampak bingung. “Mungil?” tanyanya tidak yakin.
“Pak Masumi,” Rei menghampiri, mencuri perhatian Masumi dari Maya. Ia bisa melihat pria jangkung itu tampak kebingungan. “Saya ingin mengatakan sesuatu, tapi saya harus yakin saya bisa mempercayai Anda,” kata Rei, waspada. Ia menarik Maya menjauh dari Masumi.
“Tentu,” ucap Masumi. “Ada apa sebenarnya?” Otaknya berusaha meyakinkan tubuhnya sendiri agar lebih tenang. Ia melirik Maya dan gadis itu masih memandangnya dengan wajah berbinar. Masumi sungguh tidak tahan. Ia gugup bukan kepalang.
Rei terlihat ragu-ragu saat akan bicara, akhirnya Masumi memandangnya tajam. “Rei! Ada apa sebenarnya? Aku tahu ada sesuatu kan?”
“Iya, Pak Masumi… Maya, ia mengalami amnesia,” terang Rei.
“Ha!??” mata Masumi melebar. “Maya terkena…”
“Amnesia. Hilang ingatan.”
“Apa…!? Ba, bagaimana—“ Masumi memandangi Maya tidak percaya.

Rei menerangkan setelah ketiganya duduk. Maya duduk agak jauh dari tempat mereka. Rei memberinya majalah untuk dibaca, namun sedari tadi Maya hanya memandangi wajah Masumi. “Tadi Maya sedang berlatih menjadi Jean. Ya begitulah, dia berjalan merangkak ke sana kemari. Di luar pengawasanku, Maya mencoba menuruni tangga dengan empat kakinya, dan dia… Dia terjatuh dari tangga di gedung apartemen kami.”
            “Apa!?” Masumi dengan khawatir menoleh kepada Maya yang tampaknya sedari tadi tidak lepas mengawasi Masumi. “Apa benar?” tanyanya.
            “A, aku, tidak tahu,” jawab Maya dengan ekspresi polos.
            “Dia amnesia Pak Masumi, dia tidak ingat,” terang Rei.
            Masumi tertegun. Amnesia? Seperti dirinya dulu? Masumi mengamati gadis itu tidak percaya. Ternyata benar terjadi kepada Maya?
            Maya tiba-tiba tersenyum kepada Masumi saat Masumi mengamatinya. Si Gila kerja tertegun dan segera memalingkan wajahnya, gugup. Perasaannya jadi gelisah karena jantungnya kembali salah tingkah.
            “Lalu? Sudah ke dokter? Sudah tahu masalahnya?” tanya Masumi kepada Rei, kembali berusaha keras untuk tenang.
            Rei memelankan suaranya. “Maya berkeras tidak mau. Setelah terbentur dan sempat pingsan, begitu terbangun Maya terus-terusan menangis. Dia ketakutan dan bingung karena tidak tahu apa-apa. Aku berusaha keras menenangkannya dan menjelaskan semuanya. Tapi rupanya semua terlalu membingungkan untuknya. Kemudian dia tiba-tiba bertanya mengenai seseorang. Ia bilang ia ingat seseorang dan ingin bertemu.”
            “Seseorang?” Masumi mengerutkan alisnya.
            “Iya. Ia tidak tahu namanya tapi Ia memberikan ciri-cirinya kepadaku. Ia memberikan ciri-ciri yang mirip sekali dengan Anda.”
            “Aku!?” Desis Masumi.
            “Benar. Saat kukatakan mungkin aku tahu siapa orang yang Ia maksud, ia memaksaku membawanya menemui Anda,” terang Rei, lantas menghela nafasnya. “Karena itulah kami di sini. Ia tidak ingat apa pun mengenai Anda, bahkan nama Anda atau siapa pun. Tapi bayangan Anda muncul begitu saja di kepalanya. Itu menurutnya.”
            Masumi merenung. Masih bingung. Kembali dipandanginya Maya dengan tatapan polosnya. Masih saja menatapnya sedari tadi? “Baiklah Rei, aku mengerti. Serahkan ini kepadaku.”
            Rei mengamati Masumi ragu. “Pak Masumi, walaupun Maya sendiri yang memaksaku untuk membawanya menemui Anda, namun bukan berarti aku akan menyerahkannya kepada Anda kalau aku tidak yakin Ia akan baik-baik saja bersama Anda.”
            “Dia akan baik-baik saja,” Masumi meyakinkan. “Mungkin kau pikir aku tidak bisa memegang janji, namun aku tidak ada kepentingan dengannya saat ini. Lagipula, dulu guru kalian pernah mempercayakan Maya ke tanganku bukan? Aku memang melakukan kesalahan dulu. Tapi dulu Maya bersamaku sebagai seorang aktris. Sekarang ini, di mataku dia hanya seorang gadis yang sedang sakit. Lagipula, jika aku yang membujuknya, mungkin dia mau pergi ke dokter.”
            Rei menimbang. Tidak lama. “Baiklah Pak Masumi. Mungkin memang ada alasannya kenapa Maya hanya mengingat Anda. Jujur saja di mata kami kau bukan orang baik-baik. Tapi sekarang aku hanya memikirkan kepentingan Maya. Lagipula, aku harus pergi ke Athena, dan mengajak Maya bukan keputusan yang tepat, kurasa.”
            “Bijaksana sekali,” ujar Masumi. “Tenanglah. Aku akan melakukan yang terbaik untuk Maya.”
Akhirnya dengan berat hati Rei pergi meninggalkan Maya berdua dengan Masumi. Ia akan baik-baik saja, Rei meyakinkan dirinya.
“Semoga pementasanmu sukses,” pesan Masumi di pintu kepada Rei. Ia lantas kembali berbalik dan menutup pintu. Maya masih bergeming di tempatnya. Memandangi dirinya. Maya bahkan tidak mengantar Rei ke pintu dan tidak ketakutan hanya ditinggal berdua dengannya. Tidak mengamuk, tidak protes, tidak marah-marah. Aneh sekali, dan jadi Masumi yang merasa canggung. Ia bingung kenapa jadi dirinya yang salah tingkah sendiri. “Kau mau minum apa?” tanya Masumi.
“Apa saja,” Maya kembali tersenyum. Tenang sekali walau tampak sedikit malu-malu.
Masumi berjalan ke mejanya. “Kau suka limun kan?”
“Benarkah?” Maya tertegun.
Sekarang Masumi yang tertegun. Maya tidak ingat. Ia jauh lebih mengenal gadis itu dari pada dirinya sendiri. “Benar. Kau suka limun dan cola,” terang Maya.
“Begitu,” gumam Maya. “Kalau begitu, aku mau cola. Boleh?” pinta Maya dengan wajah berseri.
Masumi tersenyum, “baiklah.” Ia lantas menghubungi Mizuki. “Bawakan Cola ke kantorku. Dingin.” Sejenak terdiam. “Cari! Jangan memalukan Daito! Minta OB membelikannya!” Lalu ia menutup hubungan. Masumi kembali berjalan ke sofa. Ia duduk di sana. Kembali berpandangan dengan Maya. “Coba kau, duduk di sini.”
Sekali lagi Maya menurut. Ia beranjak dari kursinya dan duduk di samping Masumi. Wajahnya agak menengadah menatap Masumi.
Masumi menghela nafasnya. Berusaha tenang. “Kenapa kau terus-terusan menatapku?” tanya Masumi, ingin tahu.
Maya tersenyum lebar, membuat Masumi lemas. “Aku tidak mengira, Anda benar ada. Tadi, saat aku tidak ingat apa pun, aku sangat takut dan sedih. Namun, aku hanya mengingatmu. Kupikir, hanya khayalanku saja. Ternyata kau benar-benar ada,” kata Maya takjub. “Aku jadi sedikit lega. Tidak, rasanya senang sekali. Aku jadi tidak merasa sendirian,” gadis itu berkata. Senyuman berserinya kembali tampak dan matanya kembali berbinar.
Ya Tuhan… Masumi benar-benar merasa kacau dengan sikap gadis itu. Ingin sekali memeluknya saat mendengar kata-kata Maya. “Kau tahu namaku?”
Maya berpikir sebentar. “Tadi, katanya namamu Masumi,” Maya berpikir lagi. “Masumi…”
“Hayami,” imbuh Masumi.
“Hayami. Masumi Hayami,” kata Maya, sambil tersenyum lembut.
Masumi menelan ludahnya, melemparkan tatapannya ke tempat lain sebentar sebelum terlalu terpesona. Ia tahu wajahnya menghangat. Semoga tidak merona! Doanya dalam hati.
“Kenapa, aku mengingatmu?” tanya Maya tiba-tiba.
Masumi menoleh kepada Maya. Tidak yakin.
“Aku hanya mengingatmu. Apa kau keluargaku?” Maya bertanya. “Walau sepertinya kita sama sekali tidak ada kemiripan,” keluh Maya tiba-tiba.
Masumi hampir tertawa, tapi ditahannya. Takut gadis itu marah. “Rei tidak bercerita siapa aku?”
Maya menggeleng. “Rei hanya bilang, mungkin Ia tahu siapa orang yang kumaksud dan mengajakku ke sini. Tapi tidak berkata apa-apa mengenai siapa kau. Kau pasti orang yang istimewa. Karena itu aku mengingatmu.” Kata Maya dengan polos.
Kau pasti orang yang istimewa, Masumi merasa tersentuh mendengarnya, sangat bahagia. Namun sebuah pikiran merasukinya. Karena dia sangat membenciku dan mempunyai dendam yang sangat dalam kepadaku. Karena itulah, ia tetap ingat kepadaku, batin Masumi. “Mungil—“
“Kenapa kau memanggilku Mungil?” tanya Maya, penuh rasa ingin tahu. “Apa itu panggilan kesayangan untukku?” mata gadis itu melebar berkilau.
Masumi terenyak, dan menjawab cepat. “Iya, benar!” katanya spontan.
“Aah!!” Maya tersenyum lebar. “Lucu sekali!”
Masumi terkejut mendengarnya. Lucu sekali. Di ‘dunia nyata’ gadis itu mencak-mencak tiap kali Ia memanggilnya demikian.
“Apa teman-teman memanggilku Mungil?” tanyanya lagi.
“Tidak. Hanya aku,” Masumi mengaku.
“Oh…” Maya kembali tersenyum. “Kau itu, siapa?” tanya Maya kemudian. “Apa hubungan kita?”
Masumi kembali merasa bingung. “Me, menurutmu? Apa kau tidak ada gambaran mengenai hubungan kita?” Masumi balik bertanya, seraya memikirkan apa baiknya yang ia katakan.
“A, ada sih…” Maya menunduk, malu. “Tapi aku takut salah,” ujarnya perlahan.
Alis Masumi terangkat. “Apa menurutmu hubungan kita?”
Maya masih menunduk. Menggeleng.
“Tidak apa-apa, katakan saja,” bujuk Masumi. Karena Ia juga bingung harus mengaku apa. “Aku dan kau… menurutmu…”
Maya tampak ragu-ragu, namun akhirnya Ia mengangkat wajahnya lagi memandang Masumi. “A, apa… kau…”
Masumi menunggunya mengatakan sesuatu.
“Pamanku?” tanya Maya tidak yakin.
Hah!? Masumi sangat terkejut, dan terpukul. Bahunya terlonjak saat Maya mengucapkan ‘Paman.’
“Eh? Salah ya?” Tanya Maya, tampak menyesal.
“Ti, tidak, tidak!” Sambar Masumi cepat. “Kau benar. Aku pamanmu,” aku Masumi.
Mata Maya melebar. “Benarkah!”
Bruk!! Tiba-tiba Maya memeluk Masumi. Membuat tubuh pria itu kaku seketika.
“Paman!!” Panggilnya. “Paman Masumi!!”
Masumi menelan ludahnya. Entah harus berkata apa. Hampir tidak disadarinya, Masumi mengangkat tangannya, balas memeluk gadis itu. “Maya…” bisiknya.
Tiba-tiba pintu diketuk dan terbuka. Mizuki membawa masuk Cola untuk Maya. Melihat pemandangan di hadapannya, Ia sangat terkejut. Jika tidak ingat akan pemborosan anggaran Daito, Ia pasti sudah menjatuhkan Cola dan kopi di tangannya. “Pak Masumi…!?” Mata sang Sekretaris melebar tidak percaya.

Masumi cepat-cepat memisahkan dirinya dan Maya. Tampak salah tingkah. Sementara keponakan jadi-jadiannya tampak biasa saja, tersenyum kepada Mizuki. Tampaknya Mizuki menyadari keganjilan itu. Ada apa ini? Pikirnya.
“Terima kasih, Mizuki,” kata Masumi, menyadarkan Mizuki dari keterkejutannya.
“Ah,iya.” Mizuki berjalan menghampiri. “I-ini, cola yang Anda pesan dan ini kopi Anda,” kata Mizuki. Ia meletakkan kedua minuman tersebut sebelum kemudian mengamati Maya dengan terheran, lantas melemparkan pandangannya kepada Masumi. Menyelidik.
Masumi tahu Ia harus menjelaskan semuanya kepada Mizuki. Sekretaris berinsting tajam itu pasti sudah menangkap ada sesuatu yang salah. “Maya, kau minum dulu ya. Aku keluar dulu sebentar.”
Maya mengangguk sambil meraih colanya. Pamannya itu benar. Rupanya Ia memang menyukai cola. “Baiklah Paman. Aku akan menunggu paman,” Maya tersenyum.
Paman…!? Bibir Mizuki terbuka. Membulat. Pandangannya beralih kepada Masumi. Pa-man…!?
Masumi menyeret keluar Mizuki yang tidak juga melepaskan pandangan bertanya darinya. Masumi akhirnya menjelaskan semuanya, dengan berbisik-bisik saat keduanya berada di ruangan Mizuki.
“Apa!? Amnesia!?” Seru Mizuki.
Masumi memandanginya tajam. “Buat apa aku berbisik-bisik dari tadi kalau kau berteriak begitu!” hardiknya.
“Ah, Ma-maaf!!” Mizuki menutup mulutnya dengan kedua tangannya. “Apa benar yang Anda katakan?” tanya Mizuki kemudian setelah lebih tenang.
“Benar. Itulah yang Rei katakan dan aku rasa memang demikian,” Masumi tampak sedikit kalut.
“Apa rencana Anda selanjutnya?” tanya Mizuki.
“Membawanya ke rumah sakit, tentu saja. Aku harus memastikan apakah Ia baik-baik saja. Bagaimana pun Ia jatuh dari tangga setinggi 2-3 meter dengan kepala menghadap ke bawah. Kuharap tidak akan terjadi apa-apa padanya,” Direktur itu tidak bisa menyembunyikan keresahannya.
“Ya. Kuharap demikian. Apalagi sekarang Maya sedang mempersiapkan pentasnya,” ujar Mizuki, juga terdengar khawatir. “Ah, dan ‘paman’?” tanya Mizuki.
Masumi agak gelagapan. “Ia pikir aku pamannya. Yah, bagaimana lagi. Aku tidak ada waktu menjelaskan dan tidak mengerti harus mengatakan apa. Nanti saja aku jelaskan pelan-pelan. Kuharap Ia bisa segera sembuh. Saat itu aku pun mengalami hal yang sama dengan Maya. Hampir melupakan semua hal di sekelilingku dan rasanya sangat membingungkan jika harus memaksakan diri mengingat semuanya, namun ternyata hanya berlangsung satu hari saja. Kuharap hal yang sama untuk Maya atau mungkin ia akan sembuh lebih cepat.”
“Ya, Anda benar,” Mizuki merenung. “Apakah sedang ada wabah Amnesia di Jepang sekarang ini?” keluh Mizuki.
“Kalau benar ada, Mizuki. Aku harap kau sudah mencatat semua hal yang perlu sebelum kau terkena amnesia.”
“Hah?” Dasar tukang eksploitasi! Batin Mizuki. “Oya Pak, mengenai pertemuan Anda—“
“Batalkan. Aku harus membawa Maya ke rumah sakit,” kata Masumi.
“Dan kencan Anda—“
“Batalkan!” tegasnya sebelum keluar dari ruangan Mizuki.
Bagus!! Batalkan saja semua jadwal yang sudah kususun!! Keluh Mizuki dalam hati.***

“Bagaimana perasaanmu?” tanya Masumi saat sudah kembali ke dalam kantornya. Maya tampak tengah mengamati ruang kantornya yang luas.
            “Baik, Paman. Colanya enak!” ujar Maya.
            Bukankah semua cola rasanya seperti itu, pikir Masumi. “Baguslah kalau kau suka. Mungil, kau mau kan ke rumah sakit? Kita harus memeriksakan keadaanmu,” kata Masumi.
            Pandangan mata Maya berubah khawatir. “Ke rumah sakit? Aku tidak suka rumah sakit,” rajuknya.
            Masumi duduk di sampingnya. “Tidak apa-apa. Agar kita bisa tahu apa masalahmu yang sebenarnya, dan semoga saja bisa sembuh secepatnya. Kau mau sembuh kan?”
            Maya mengangguk.
            “Kalau begitu kita harus segera ke dokter. Aku tahu perasaanmu. Kau pasti merasa takut dan sangat bingung. Benar kan?”
            Maya kembali mengangguk. Gelisah.
            “Tidak apa-apa,” Masumi tersenyum. “Semua pasti baik-baik saja.”
            “Paman akan menemaniku tidak?”
           “Tentu. Aku akan menemanimu ke rumah sakit. Memangnya kau punya uangnya?” canda Masumi.
            Maya meraba-raba dirinya. “Tidak ada,” katanya polos.
            Masumi tertawa. “Ayo, kita berangkat.”
            “Paman, bukankah paman sedang bekerja?”
            “Tidak apa-apa, jangan khawatir. Semuanya akan diatur sekretarisku. Tidak ada yang sedang mendesak,” Masumi menenangkan.
            "Sekretaris Paman?" tanya Maya.
            "Iya, yang barusan membawakan cola untukmu. Yang tadi menemuimu di depan kantor. Namanya Mizuki."
            "Ah! Yang rambutnya kotak barusan?"
            Masumi tertegun, lantas terbahak***

Di sepanjang perjalanan, Maya tidak banyak bertanya. Ia hanya melihat-lihat di sekelilingnya. Masumi mengamati gadis itu. Bertanya-tanya apa yang ada dalam pikirannya. “Apa yang kau pikirkan?” tanya Masumi.
            Maya menoleh kepada Masumi. “Tidak ada,” jawabnya. “Ada terlalu banyak hal yang ingin aku tahu, sampai-sampai aku bingung harus mulai dari mana,” terang Maya. “Paman! Kenapa bukan Paman saja yang bercerita? Bukankah paman tahu banyak hal mengenai aku? Oya, Paman Masumi, paman itu saudara ibuku atau ayahku? Lalu, apa paman tahu keluargaku? Saudaraku?” berondong Maya.
            Sekarang Masumi yang bingung. Ia menyesal sudah bertanya. Ia tidak tahu darimana harus menjelaskannya. “Mmh… Mungil, nanti saja setelah dari rumah sakit, kita bisa berbincang-bincang. Aku takut membuatmu semakin bingung,” kata Masumi akhirnya.
            “Baik, Paman!” Maya kembali tersenyum.
            Ukh! Telinga Masumi rasanya gatal setiap Maya memanggilnya ‘paman’. Tapi bagaimana lagi. Setidaknya gadis itu bersikap manis kepadanya sekarang. Ia sering kali tersenyum menyilaukan dan sikap hangatnya membuat Masumi ke awang-awang. Beginilah gadis ini sebenarnya, pikir Masumi. Sedikit pemalu dan hangat, namun juga ceria dan bersemangat pada saat yang lainnya. Rasanya memang menyenangkan bersama gadis ini.
            “Ada apa, Paman?” tanya Maya, saat menyadari pamannya itu mengamatinya.
            Masumi tertegun, sedikit canggung. “Tidak apa-apa,” katanya perlahan.
           Masumi lantas mengamati bayangan mereka berdua dari spion. Mau dilihat bagaimanapun, berapa kalipun, mereka memang tampak seperti paman dan keponakan. Masumi mendesah, menghembuskan nafasnya kesal. Kenapa mereka harus dilahirkan begini berbeda. Dan kenapa mereka harus bertemu, dan jatuh cinta. Masumi memalingkan wajahnya ke jendela. Enggan melihat bayangannya dan Maya di kaca spion itu lagi.
           Keduanya kemudian tiba di rumah sakit. Masumi turun dari mobil bersama Maya. Pria itu sedikit terkejut saat gadis itu menggandeng tangannya. Maya… Masumi menyadari dadanya berdebar-debar kembali. Mungkin Maya merasa khawatir. “Tenanglah, kau akan baik-baik saja,” kata Masumi.
            “Iya, Paman, temani aku ya. Paman Masumi jangan meninggalkan aku sendirian,” pinta Maya.
            “Tentu saja,” ujarnya.
            Masumi mendaftarkan Maya sebelum gadis itu menjalani pemeriksaan. Cukup lama dan selama itu Masumi menemaninya.
            “Pak Masumi, Nona Maya, syukurlah tidak ada gegar otak, luka dalam ataupun tulang retak dan patah di tubuh Nona Maya. Walaupun sepertinya hipotalamus sempat mengalami trauma saat Nona Maya terjatuh, karena itu ingatan Nona Maya terganggu.”
            “Apakah akan lama saya seperti ini?” tanya Maya, resah.
            “Sampai saat ini, memori masih menjadi salah satu hal yang paling misterius, Nona Maya. Entah kenapa seseorang bisa melupakan sesuatu dan justru terus-terusan mengingat hal lainnya. Karena itu, kami tidak bisa memastikan apakah hal ini akan berlangsung lama. Namun demikian, ingatan Nona Maya tidaklah menghilang, hanya bersembunyi. Apabila diingatkan, pada momen-momen tertentu, perlahan-lahan ingatan Nona Maya bisa tergali kembali. Hanya saja kapan ingatan Nona Maya kembali, kami tidak bisa menentukan. Yang pasti, kesehatan badan, dan asupan gizi pun memberi pengaruh pada cara kerja otak Anda. Namun terutama, Anda jangan terlalu memaksakan diri memikirkan sesuatu. Biarkan semuanya kembali dengan sendirinya. Karena itu Pak Masumi, tolong buat Nona Maya merasa nyaman, jangan sampai merasa takut dan bingung berlebihan.”
            Maya dan Masumi saling berpandangan.
            “Anda ini… pamannya?” tebak Pak Dokter tersebut.
            “Iya, ini pamanku,” Maya membenarkan sementara Masumi mendengus tidak kentara.
            “Baiklah, sementara, hanya itu saja. Saya akan memberikan resep. Jangan khawatir. Ini hanya obat untuk memar di kepala Nona Maya dan multivitamin untuk dikonsumsi,” terang dokter tersebut.
            “Dokter, kenapa saya mengingat paman Masumi?” tanya Maya. “Sementara saya melupakan yang lainnya?”
            Dokter itu memandang Masumi sejenak. Masumi sudah memberitahunya bahwa orang tua gadis itu sudah tidak ada. “Begini, Nona Maya. Seperti saya katakan, cara kerja otak dalam memilih informasi atau kenangan mana untuk disimpan, masih merupakan misteri. Namun, jika dari sekian banyak informasi yang tersimpan, ada yang lebih berkesan dari yang lainnya, hal itu bisa berarti dua hal. Ingatan itu adalah salah satu ingatan yang istimewa sehingga Anda terus-terusan mengingatnya. Atau, itu malah ingatan traumatik yang berusaha keras Anda tekan dan lupakan tapi malah tidak bisa dilupakan.”
            Ingatan istimewa atau malah traumatis. Tak pelak lagi. Masumi yakin ia masuk kategori kedua. Sekali lagi Masumi mendengus tidak kentara.
            “Begitu,” gumam Maya. “Pasti Paman Masumi sangat baik kepadaku selama ini, karena itu aku tidak pernah melupakan Paman,” ujar Maya dengan yakin.
            “Tidak juga,” Masumi juga bergumam hampir tidak terdengar.

Setelah membeli obat Maya, keduanya kembali pulang.
            “Kau mau pulang sekarang?” tanya Masumi.
            “Paman, aku selama ini tinggal dengan pria tadi yang bernama Rei?” tanya Maya bingung. “Kenapa aku tinggal dengan seorang pria?”
            “Ha!?” Masumi menoleh kepada Maya. Ia lantas tertawa. Maya tampak sangat bingung. Masumi masih saja tertawa untuk beberapa lama.
            “Paman?” Maya mengamati pamannya yang masih tidak berhenti tertawa. “Paman! Kenapa Paman terus-terusan tertawa?” rajuk Maya.
            “Hahahaha… maaf Mungil, maaf. Kau ini, polos sekali. Temanmu itu, Rei, dia bukan laki-laki. Dia itu perempuan,” terang Masumi.
            “Pe, perempuan!!? Tadi kukira dia laki-laki. Ma, makanya aku agak takut kepadanya,”ujar Maya.
            Masumi kembali tertawa.
            “Kenapa aku tinggal bersamanya? Apa aku tidak tinggal di rumah? Apa aku kuliah? Tadi paman bilang umurku 19 tahun kan?”
            Masumi memandangi Maya yang pasti memiliki banyak pertanyaan di kepalanya. “Benar. Kau 19 tahun. Kau tidak kuliah, Mungil. Kau adalah seorang aktris—“
            “Aktris?” mata Maya membulat. “Aku?”
            “Iya. Kau aktris. Kau bermain sandiwara. Rei itu, dia temanmu satu teater. Namanya Teater Mayuko. Gurumu, Ibu Mayuko namanya. Sekarang sedang tidak ada. Teman-temanmu di teater Mayuko sedang mengadakan pertunjukan sekarang.”
            “Kenapa aku tidak main sandiwara bersama mereka? Ja, jangan-jangan gara-gara aku amnesia?”
            “Tidak. Bukan. Kau memang tidak main bersama mereka. Kau sedang memainkan sandiwara berjudul Padang Liar yang Terlupakan, sebagai gadis serigala.”
            “Gadis serigala?” sekali lagi mata Maya melebar. “Aku?”
            “Benar.”
            “Lalu? Orang tuaku? Apa aku punya saudara yang lain selain paman? Lalu, Paman Masumi ini saudara dari Ayah atau ibuku?”
            Masumi terdiam, menelan ludahnya. “Mungil, kita pelan-pelan saja. ya? Kau ingat apa yang dokter katakan, kau tidak boleh memaksakan diri untuk mengingat. Perlahan-lahan saja, nanti kalau sudah waktunya, ingatanmu akan pulih dengan sendirinya,” terang Masumi.
            Maya terdiam lantas mengangguk. Namun hati kecilnya bertanya. Ada apa sebenarnya? Kenapa Masumi selalu saja menghindar acapkali ia bertanya mengenai orang tuanya? Mungkinkah mereka… Maya mengeratkan kepalan tangannya di roknya.
            “Paman Masumi,” panggil Maya perlahan.
            “Iya?”
            “Bolehkah aku tinggal bersama Paman?” tanya Maya.
            Masumi tertegun. “Tinggal…”
            “Apakah tidak boleh? Merepotkan?” Maya memandangi Masumi dengan memelas.
            “Tidak, tentu saja tidak. Tapi apa kau yakin?”
            Maya mengangguk pasti. “Saat ini aku hanya mengingat Paman. Ja, jadi… kalau berpisah lagi dengan Paman, aku jadi takut. Membayangkannya saja sudah kesepian sekali rasanya, Paman Masumi…”
            Masumi memandangi gadis itu. Masumi lantas melirik ke arah spion. Ia tahu sopirnya pasti sangat bingung mendengar pembicaraan Masumi dengan gadis itu sepanjan jalan ini. Sampai-sampai tanda tanya seakan-akan muncul keluar dari kepalanya. Sopirnya itu cepat-cepat mengalihkan pandangannya saat tatapannya bertemu tatapan tajam Masumi.
            “Baiklah kalau begitu. Kau boleh tinggal bersamaku. Nanti biar aku yang bicara dengan Rei,” Masumi tersenyum.
            “Benarkah? Terima kasih, Paman Masumi!” Maya lantas kembali memeluk pamannya itu. "Paman, aku akan baik-baik saja kan?" tanya Maya, masih memeluk Masumi.
            "Iya, tenanglah, kau akan baik-baik saja. Hal ini pun pernah terjadi padaku sebelumnya."
             "Hal ini?" Maya menengadahkan kepalanya, menatap Masumi.
             Wajah pria itu menghangat. Sekali lagi ia berusaha menahan diri dan tetap tenang. "Iya, amnesia. Aku kehilangan ingatanku. Tapi tidak lama. Hanya sebentar, sehari saja. Ingatanku lalu kembali dengan sendirinya."
            "Benarkah Paman Masumi?" wajah Maya berseri, merasakan harapan.
            "Benar," Masumi tersenyum. "Kau pun pasti segera sembuh," Masumi menenangkan.
            "Paman Masumi!" Maya memeluk kembali Masumi. "Sekarang aku semakin yakin kalau ternyata kita memang bersaudara!" seru Maya yakin.
            Ckiiiiiiitttt~!!!! Tiba-tiba mobil mengerem mendadak. Maya dan Masumi hampir saja terpental ke depan.
            “Ada apa!!?” Seru Masumi, sangat terkejut. Maya bahkan sampai tidak bisa berkata apa-apa.
            “Ma, maaf Tuan! Ada ayam!” Ujar Sopirnya dengan cepat.
            “Ayam!?” Masumi menoleh ke sana kemari. Masa ada ayam berkeliaran di jalan raya Tokyo? “Sudahlah! Cepat jalan lagi. Ke rumah. Kau harus lebih hati-hati Masao!”
            “Ba, baik, maaf Tuan,” katanya. Nyatanya, bukan ayam yang membuatnya sangat terkejut, namun Maya dan Masumi yang berpelukan di jok belakang mobilnya. Sebenarnya ada apa ini? Pikirnya.

Keduanya tiba di kediaman Hayami menjelang malam.
            “Selamat malam, Tuan,” sambut seorang pelayan.
            “Selamat malam,” sapa Masumi.
            Pelayan itu tertegun, melihat gadis yang takut-takut dan malu-malu di samping Masumi. Gadis itu menggenggam lengan jas Masumi agak erat.
            “Semuanya, dengarkan. Mulai malam ini, Maya, keponakanku akan tinggal bersama kita sementara waktu.”
            Para pelayan itu tertegun. Keponakan Masumi? Mereka tidak pernah tahu Masumi mempunyai saudara, terlebih lagi keponakan. Mereka berpandangan bergiliran.
            “Ada pertanyaan?” tanya Masumi dingin.
            Para pelayan itu cepat-cepat menundukkan kepala mereka. “Tidak, Tuan Muda,” katanya. Mereka sangat menurut kepada Tuan mudanya itu. Andaikan merah ia katakan biru, maka mereka harus setuju bahwa itu biru. Maka sekarang pun, jika Masumi mengatakan gadis mungil itu adalah keponakannya, maka bagi mereka pun ia adalah keponakannya.
            “Bagus. Selama Maya tinggal di sini, layani dia dengan baik. Sayoko, tolong siapkan kamar untuknya dan juga siapkan makan malam.”pinta Masumi.
            “Baik, Tuan Muda,” angguknya.
            Masumi lantas membubarkan mereka semua dan mengajak Maya ke ruang duduk.
            “Mungil, kau tunggu sebentar ya. Aku ganti baju dulu, lalu kita makan malam. Setelah itu aku akan ke apartemenmu mengambilkan pakaian dan bicara dengan Rei,” terang Masumi.
            Maya mengangguk. “Dimana kamar Paman?” tanya Maya.
            “Di atas.” Masumi menunjuk ke lantai dua. “Sebentar aku kembali.”
            Masumi lantas berlalu ke kamarnya. Saat itu Maya menunggu di ruang duduk. Seorang pelayan menghampiri, memberikan minuman. “Silahkan Nona Maya,” katanya.
            Maya tersenyum malu-malu dan mengangguk. “Mhh.. Nona—“
            “Ah, Nona Maya! Anda bisa memanggilku Nakama, cukup Nakama saja,” kata pelayan itu. “Maaf saya belum memperkenalkan diri.”
            “Ba, baiklah, Nakama… mmmh… rumah Paman Masumi, besar sekali ya?” Maya berkata agak bergumam dengan gugup.
            “Begitulah, Nona…”
            “Paman tinggal sendirian di sini? Apa Paman sudah menikah?”
            “Tidak, Tuan Muda tinggal bersama dengan Tuan Besar Eisuke, Ayahnya. Beliau tinggal di bagian rumah yang lain hanya saja saat ini sedang tidak di tempat.”
            “Ahh…” mata Maya melebar. “Kakek…?”
            Nakama terkejut. Apakah gadis ini, cucu Eisuke? Cucu dari mana? Tapi… kenapa wajahnya tidak asing? Pikir Nakama.
            “Bolehkah aku melihat album foto milik Paman Masumi?” tanya Maya.
            “Baik Nona, tentu, sebentar saya ambilkan.” Nakama lantas permisi pergi. Tidak lama kemudian ia kembali dengan sebuah album di tangannya.
            Maya menerimanya. Dan ia kemudian membuka-buka albumnya. Isinya hanya Masumi. Sendirian. Dimana orang tuaku? Apakah ini hanya album yang khusus berisi paman saja? Pikir Maya. Ia melihatnya satu per satu. Paman tampan sekali, pikir Maya. Berapa usianya sekarang? Kenapa Paman belum menikah? Ia terus mengamatinya. Kenapa wajahnya dingin sekali. Sama sekali tidak ada yang tertawa. Jangankan tertawa, tersenyum saja tidak…
            “Mungil,” panggil Masumi.
            Maya segera menoleh. “Paman!” Wajah gadis itu kembali berseri. Ternyata rasanya senang sekali jika bisa melihat wajah yang dikenalnya. “Aku sedang melihat-lihat foto paman,” terang Maya.
            “Oya? Apakah ada yang menarik?”
            “Menarik sekali,” kata Maya. “Sejak kecil Paman sudah melakukan banyak hal,” kata Maya. “Apa aku juga begitu?” Maya balik bertanya.
            Masumi duduk di sampingnya, tersenyum. “Setahuku, kau sangat suka nonton TV, film dan drama,” kata Masumi.
            “Itu saja?” gadis itu terdengar kecewa. “Tapi paman, kenapa Paman difoto sendirian saja? Tidak bersama teman? Atau orang tuaku? Atau bersama kakek dan nenek?”
            Masumi menelan ludahnya. “Aku memang terbiasa sendirian sejak kecil.” Terang Masumi, sedikit sendu.
            “Lalu? Siapa saudara paman? Ayahku? Atau ibuku? Dimana mereka sekarang?”
            Masumi mengamati wajah gadis itu. Dia sudah tidak bisa menyembunyikannya lagi. “Mungil, nanti aku akan menceritakan semuanya. Setelah kita makan malam dan setelah aku mengambil barang-barangmu dari kontrakanmu. Ya…” Masumi mengusap lengan gadis itu.
            Maya menutup album foto di tangannya. “Paman…” Ia menelan ludahnya. “apa… orang tuaku… sudah meninggal?” tanya Maya.
            Mata Masumi melebar. Tampaknya gadis itu menyadarinya. Masumi tidak bisa berkelak. “Benar, Mungil, orang tuamu sudah tiada.”
            Mata gadis itu segera berkaca-kaca. Bayangan kesedihan begitu jelas terlihat di sana. “Ternyata benar…” gumamnya. “Ayah… dan Ibu… sudah…” Maya menunduk, menangis. “Aku sama sekali tidak punya ingatan mengenai mereka. Bagaimana mereka semasa hidup, dan bagaimana mereka meninggal… Aku… tidak tahu..” Gadis itu menangis.
            Masumi menelan ludahnya pahit. Perasaannya tidak menentu. Teringat dosanya, teringat kesalahannya kepada ibu gadis ini. Dan sekarang Maya malah mengira bahwa ia pamannya. “Nanti, aku akan menceritakannya. Bukan salahmu, Mungil, kau sedang sakit sekarang. Nanti kau juga akan mengingat mereka kembali. Semua kenangan mereka akan kembali padamu,” ujar Masumi.
            “Paman…” Sekali lagi Maya memeluk Pamannya. “Terima kasih. Syukurlah ada Paman di sini. Syukurlah aku tidak sendirian…”
            Mungil… Andai kau tahu apa yang kau katakan… Pikir Masumi sendu. Aku tidaklah sebaik yang kau kira…
            “Ayo kita makan malam dulu,” ajak Masumi.
            Maya melepaskan pelukannya dan mengangguk. Keduanya turun dari sofa dan berjalan ke ruang makan. Sekali lagi Maya menggenggam tangan Masumi. Masumi terkejut, namun membiarkan. Walaupun begitu, perasaan Masumi sungguh tidak menentu. Kenapa Maya begini lengket kepadanya? Apakah Ia tidak menaruh curiga sedikit pun? Terlebih lagi, mereka bukanlah dua orang yang hidup bersama selama ini, namun kenapa Maya bisa bersikap seakrab ini kepadanya? Masumi memikirkan kembali perasaannya dulu saat ia hilang ingatan. Jujur saja, dunia memang terasa mengerikan. Ia jadi bersikap sangat agresif pada orang-orang di sekelilingnya. Saat itu hanya ada satu nama yang mengisi kepalanya. Maya. Dulu dia pun sama seperti gadis ini. Ingin sekali tahu siapa Maya itu. Dan saat ia bertemu dengannya, ia merasa sangat tenang. Setidaknya ia tahu ada seseorang yang ia kenal di dunianya yang asing, hal itu sungguh terasa seperti sebuah mukjizat. Walaupun saat ini Maya mengenalnya dengan alasan yang berbeda, mungkin karena gadis itu sangat membencinya, namun saat ini gadis itu tidak ingat. Di mata gadis itu, hanya Masumi, sosok yang familiar baginya. Di dunia asing yang Maya jalani saat ini, hanya ada Masumi saja yang Ia kenal. Masumi merenung selama berjalan menyusuri lorong dengan Maya. Diamatinya gadis yang berjalan merapat kepadanya itu. Benar, saat ini, yang Maya butuhkan adalah perasaan aman dan dilindungi. Dan saat ini hanya dia yang bisa memberikannya. Masumi mengetatkan genggaman tangannya. Maya menengadah menoleh kepadanya. Dan paman yang tampan itu tersenyum, demikian juga keponakannya.
            Saat makan malam, Masumi menerangkan mengenai siapa Maya. Masumi tidak bercerita mengenai kaburnya ia dari rumah. Ia hanya memberi tahu bahwa Maya adalah seorang aktris, apa saja yang sudah pernah dimainkannya. Ia bahkan pernah tampil dalam drama televisi. Dan Ia adalah calon pemeran Bidadari Merah, serta sedang berlatih memainkan peran gadis serigala.
            Maya termangu di tempatnya. “Aku? Bermain drama? Helen Keller? Putri Aldis yang cantik? Pack? Beth? Naik panggung sendirian?” Maya berdesis tidak percaya. “Benarkah aku melakukan itu semua paman?”
            “Benar,” ungkap Masumi. “Dan tidak hanya itu. Kau memerankannya dengan sangat bagus,” puji Masumi.
            “Benarkah!?” Mata gadisitu membulat. “Rasanya aku masih tidak percaya… Aku bisa melakukan apa yang paman katakan.”
            “Tentu saja. Nanti kau akan tahu sendiri,” Masumi tersenyum. “Sekarang, aku akan menemui Rei. Kalau kau sudah lelah, tidurlah. Mereka sudah menyiapkan kamarmu. Kalau kau ingin berganti pakaian, bisa memakai bajuku dulu. Ehm… kami tidak punya baju anak perempuan,” terang Masumi.
            Maya tersenyum. “Baik. Terima kasih banyak, Paman Masumi.”
            Maya…***

Masumi kembali cukup larut. Ia menjelaskan semuanya kepada Rei. Bahwa Maya mengira Ia pamannya dan gadis itu meminta tinggal bersamanya dulu. Awalnya Rei sangsi dengan keterangan Masumi, namun setelah Masumi menjelaskan perlahan-lahan dan meyakinkan bahwa ia tidak punya niat buruk apa pun dan akan membantu Maya semampunya demi Ibu Mayuko, akhirnya Rei setuju. Lagi pula, walaupun Rei melarang, tidak ada yang benar-benar bisa dilakukannya untuk melarang Maya tinggal di tempat Masumi.
            “Mana Maya?” tanya Masumi kepada seorang pelayan.
            “Sudah di kamarnya, Tuan Muda. Mungkin telah tertidur,” terang seorang pelayannya.
            Masumi kemudian beranjak ke kamar Maya. Ia membuka pintunya. Lampunya masih menyala. “Mungil…” panggil Masumi perlahan, masuk ke dalam kamarnya dengan membawa tasnya.
            Tubuh mungil yang terbaring itu segera terbangun. Ia memutar badannya ke arah datangnya suara. “Paman!” Panggil Maya, tampak sangat senang.
            Masumi masuk, menghampiri. “Kau menangis?” tanya Masumi lembut, saat diamatinya wajah gadis itu ternyata bercucuran air mata. Sepertinya Ia diam-diam menangis barusan. Masumi duduk di samping tempat tidur. “Ada apa?” tanya Masumi, menghapus air mata Maya dengan ibu jarinya.
            “Paman,” gadis itu sekali lagi memeluk Masumi. “A, aku takut… Kalau paman tidak ada, aku jadi takut sekali. Aku berusaha mengingat-ingat sambil berkeliling rumah ini, berpikir mungkin ada kenangan yang bisa kuingat, tapi aku tidak ingat apa-apa. Aku juga mencari kakek, tapi katanya kakek sedang tidak ada di sini. Paman, aku takut.” Isak Maya.
            “Mungil…” Masumi mendekap gadis itu. “Sudah, tidak apa-apa. Kau jangan banyak berpikir macam-macam. Anggaplah, saat ini kau sedang berlibur. Kau jangan memikirkan apa pun. Santai saja. Tenangkan dirimu,” tutur Masumi.
            “Aku berpikir pun tidak ada yang kuingat,” keluh Maya. “Seperti berjalan di kegelapan. Aku tidak tahu apa pun yang ada di sekelilingku. Aku jadi takut.” Gadis itu gemetar dalam pelukan Masumi.
            “Kan ada aku,” kata Masumi lembut. “Aku yang akan menuntunmu perlahan-lahan keluar dari kegelapan itu menuju cahaya, Mungil. Jadi kau jangan takut lagi. Kau akan baik-baik saja,” Masumi membelai rambut Maya. “Nanti, saat sudah saatnya, semuanya akan jelas lagi bagimu. Semuanya akan kembali seperti semula. Kau percaya kan, kepadaku?”
            Maya sejenak terdiam. Merasakan kehangatan dan kenyamanan dari pelukan pria gagah itu. Ia merasa damai dan aman. Ia yakin ia bisa mempercayai pria itu. Maya mengangguk. “Iya, Paman. Terima kasih. Maaf, aku sudah membuat paman khawatir,” Maya mengangkat tubuhnya dari pelukan Masumi sementara kedua tangan pria itu masih rindu ingin mendekapnya.
            “Apa itu tas ku?” tanya Maya, mengusap air matanya.
            “Iya, benar.” Masumi mengamati piyamanya yang kebesaran yang dikenakan gadis itu. “Kau mau berganti pakaian?” tanya Masumi.
            Maya menggeleng. “Biar saja. Aku pakai baju ini dulu. Sekarang aku mau tidur. Terima kasih paman.”
            “Iya, tidurlah,” kata Masumi.
            Maya kembali masuk ke dalam selimutnya dan Masumi merapikannya.
            “Selamat tidur.”
            “Paman, malam ini saja. Bisakah paman menemaniku sampai aku tidur?” pinta Maya.
            Masumi terdiam sesaat,kemudian memutuskan. “Baiklah,” Masumi lantas duduk di sisi tempat tidur Maya, menunggui gadis itu.
            “Paman,” panggil Maya.
            “Iya?”
            “Paman bilang, aku seorang aktris. Apa aku terkenal?” tanya Maya.
            “Iya, kau cukup terkenal. Kadang orang tidak mengenalimu karena kau berbeda saat di atas panggung,” terang Masumi.
            “Begitu ya… pantas saja aku tadi berkaca. Rasanya aku biasa saja, tidak istimewa sama sekali. Aneh rasanya jika aku seperti yang Paman katakan, bahwa aku seorang aktris yang sudah berkali-kali naik panggung.”
            Masumi tertawa kecil. “Tapi kau memang seorang aktris. Kau itu kandidat Bidadari Merah. Sebuah peran yang diidamkan banyak aktris. Peran yang luar biasa.”
            “Benarkah?”
            “Benar…”
            Bidadari Merah… Maya merasa tidak asing, namun ia juga tidak kenal. “Paman, apa aktingku bagus?”
            Masumi terdiam. Ia sempat bingung apakah ia harus berkata jujur. Ia tidak pernah mengakui perasaannya selama ini di depan Maya. Bagaimana jika Maya nanti ingatannya kembali? Apakah ia akan mengingat kejadian ini semua?
            “Paman? Aktingku jelek ya?” tanya Maya khawatir.
            “Tidak, tidak, Mungil. Aktingmu bagus sekali. Kau luar biasa,” kata Masumi.
            “Benarkah? Paman tidak bohong?” tanya Maya sangsi.
            “Tidak. Aku sungguh-sungguh, Mungil. Aktingmu sangat bagus. Aku kagum sekali kepadamu,” antara sadar dan tidak sadar, untuk pertama kalinya Masumi mengakui semua perasaannya.
            “Paman…” Maya menyentuh telapak tangan pria itu. “Terima kasih banyak. Paman Masumi baik sekali,” pujinya.
            Masumi kemudian menceritakan mengenai sandiwara Maya yang Ia ingat. Saat Ia demam 40 derajat dan tetap naik pentas, saat Ia memainkan Gina sendirian di panggung, saat Ia memerankan Catherine, Helen Keller dan Aldis. Saat Masumi mengamati gadis itu, Ia sudah tertidur. Sebelah tangannya masih menggenggam tangan Masumi. Pria itu mengamati wajah Maya. Gadis itu tersenyum dalam tidurnya. Masumi merasa lega. Perlahan Ia melepaskan tangannya dari genggaman Maya. Diamatinya wajah gadis itu. Mungil… Masumi mendekatkan wajahnya, mencuri ciuman darinya. Masumi tahu tidak seharusnya Ia memanfaatkan keadaan, tapi ia tidak sanggup menahan diri. Maaf… Mungil. Aku memang licik. Masumi lantas mengusap kepala gadis itu. Mimpi indah, Mungil. Pria itu lantas melangkah keluar dari kamar Maya.

Di kamarnya Masumi lantas berganti pakaian. Sebentar tertegun saat ada aroma yang nyaman menyambar hidungnya. Aroma Maya yang memeluknya. Menempel di pakaiannya. Masumi mengangkat pakaiannya, mengendusnya. Ia teringat lagi cara gadis itu memeluknya. Cara gadis itu menatapnya. Maya… Tidak pernah terpikir olehnya Maya memperlakukannya begitu lembut seperti hari ini. Bagaimana, jika ingatan gadis itu kembali? Apa yang akan dipikirkannya? Masumi tertegun. Apakah Ia akan mengingat semua hal yang menimpanya saat sedang amnesia, seperti yang terjadi kepadanya? Atau tidak akan ingat? Masumi sangat bahagia dengan kebersamaannya dan Maya saat ini. Namun di sisi lain, Ia ingin Maya cepat sembuh. Ia tidak ingin gadis itu merasakan ketakutan dan kebingungan seperti sekarang.***

Sebuah ketukan terdengar di pintu kamar Masumi. “Sebentar!” Seru Masumi. Mengamati penampilannya di cermin. Masumi lantas beranjak ke pintu, membukanya.
            “Selamat pagi, Paman Masumi!” Sapa Maya dengan wajah berseri-seri pagi itu.
            Masumi terkejut melihat gadis itu. Sebentar. Lantas tersenyum. “Selamat pagi. Kau sudah rapi.”
            “Aku mau mengajak Paman sarapan,” terang Maya. “Paman juga sudah rapi. Tampan sekali, Paman,” puji Maya.
            Jantung Masumi melonjak bahagia. Maya menyebutnya tampan! Rasanya Ia ingin meniup terompet sekarang. “Tentu saja. Aku juga sudah lapar,” Masumi tersenyum lebar.
Sangat lebar.
Terlalu lebar.
            Maya tertawa riang. “Ayo!” Ia lalu menarik tangan Masumi menuju ruang makan. Masumi mengamati punggung mungil di hadapannya dengan hati berbunga. Ia sungguh tidak sadar bahwa sedari tadi bibirnya masih tersenyum lebar. Beberapa pelayan yang berpapasan tampak sangat heran. Melongo dan mematung di tempatnya sementara Masumi sama sekali tidak menghiraukan mereka.
            Keduanya duduk di ruang makan, memakan sarapan pagi mereka.
            “Paman, terima kasih. Berkat kata-kata Paman semalam, aku jadi jauh lebih tenang,” kata Maya. Wajahnya memang tidak setegang yang Masumi lihat semalam.
            “Baguslah, Mungil. Aku lega. Kuharap, selama kau di sini, kau tidak perlu sungkan. Kau lakukan saja apa yang kau suka. Aku sudah meminta para pelayan memenuhi semua kebutuhanmu, dan mereka pasti membantumu,” ungkap Masumi.
            “Baik, Paman.” Maya tersenyum. Maya lantas beralih pada pelayan yang berdiri di dekat ruang makan. “Bolehkah aku minta jus strawberry?” pinta Maya.
            Mata Masumi melebar. Ia hampir saja tersedak. Tidak, Ia sudah tersedak. Masumi terbatuk-batuk.
            “Paman, Paman tidak apa-apa?” tanya Maya khawatir. “Paman,” Maya mengusap-usap lengan pamannya itu.
            Masumi menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak sanggup berkata tidak apa-apa. Ia meraih air putih dan meminumnya, sementara Maya sudah beranjak dari tempat duduknya dan mengusap-usap punggung pria itu. “Paman…” ujarnya khawatir.        
            “Maaf, maaf, aku tidak apa-apa, Mungil. Uhuk!” Masumi kembali meneguk air putih untuk melegakan tenggorokannya.
            “Paman, apa Paman juga mau dibuatkan jus strawberry?” tawar Maya penuh perhatian.
            “Ukh!! Uhuk!! Uhuk!!” Masumi kembali tersedak dan terbatuk-batuk.***

“Hati-hati di jalan, Paman!” Maya melambaikan tangannya. “Selamat bekerja!”
            Masumi melambaikan tangannya ke arah jendela, sebelum mobilnya melaju menuju Daito. Masumi masih sempat mengamati Maya dan bertukar pandang dengannya melalui spion samping. Gadis itu mengantarnya sampai ke mobil. Masumi tidak pernah berangkat kerja sesenang ini. Terlebih lagi, belum sampai pagar, ia rasanya sudah ingin berbalik kembali ke rumah. Ia pun tidak pernah merasa demikian sebelumnya.

Maya kembali masuk ke dalam setelah mengantar Masumi. Ia naik menuju kamarnya. Setiap pelayan yang berpapasan dengannya akan tersenyum kepada Maya dan gadis itu akan membalas dengan malu-malu. Ia masih merasa asing dengan orang-orang di sekitarnya. Ia hanya bisa merasa nyaman di dekat Paman Baik Hatinya itu. Tapi Ia akan coba mengikuti omongan Masumi, bahwa Ia harus berusaha lebih tenang dan jangan terlalu banyak berpikir yang berat-berat. Sejenak Maya tertegun. Terdiam. Tiba-tiba, selintas, Maya teringat sesuatu. Bayangan itu hanya sekilas. Masumi menggendong Maya, keduanya naik perahu. Maya terdiam. Ragu-ragu. Apakah khayalannya itu nyata atau hanya imajinasinya saja? Maya memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Nanti saja aku tanyakan sama Paman, pikir Maya.
            Di kamarnya, Maya meraih naskah Padang Liar yang Terlupakan. Semalam Masumi membawakannya dari apartemennya. Masumi tadi memberi tahu, bahwa ini adalah naskah sandiwara yang akan dimainkannya nanti. Masumi akan membantunya untuk mengabari pihak Ozawa bahwa Maya akan latihan sendiri dulu, sementara Maya diminta mempelajari naskahnya lagi dan mencoba mendalami peran serta berakting untuk melihat apakah Ia masih bisa menjalankan peranannya atau tidak. Masumi bilang, andaikan ingatan Maya belum kembali dalam waktu yang lama, setidaknya Maya akan tetap bisa berakting dan tidak perlu berhenti menjadi aktris. Ia masih bisa perlahan-lahan berusaha mengenal kembali orang-orang di sekelilingnya.
            Maya membuka naskah itu, membacanya. Perlahan-lahan Maya merasa semakin tertarik dengan naskah itu, merasa terlibat ke dalam tokoh di dalamnya. Segera imanjinasinya bekerja lebih cepat. Membuat gambaran dunia Jean di kepalanya. Hutan liar, keluasan langit, bukit dan pegunungan, suara binatang malam, para serigala. Dunia yang baru itu berkecamuk di kepala Maya, membuat Maya dengan segera larut ke dalamnya dan melupakan sekelilingnya.***

Masumi menghubungi kediamannya siang itu. Bertanya mengenai keadaan Maya dan apakah gadis itu sudah mengkonsumsi obat sesuai yang sudah dianjurkan dokter. Ia pun meminta para pelayan jangan mengganggu Maya dan membiarkan gadis itu melakukan apa pun yang Ia suka. “Kalau Ia tidak menyahut saat dipanggil, tidak perlu dipaksa. Letakkan saja makannya di dekatnya, nanti dia akan memakannya. Kalau Ia terlihat bosan, tawari Ia untuk menonton TV atau film. Dia suka tayangan drama,” terang Masumi. “Jika dia bertanya mengenai keluarganya, katakan kalian pegawai baru di rumah, jadi kurang tahu mengenai penghuni lama rumah ini. Mengerti?” intruksi Masumi di telepon.
           
            Masumi menutup telepon setelah memberikan beberapa instruksi lainnya. Ia kemudian meminta Mizuki membawakan beberapa laporan dan kopi untuknya. Mizuki masuk tidak berapa lama kemudian, membawakan pesanan dari atasannya itu. “Silahkan Pak,” Mizuki meletakkan kopi di meja setelah sebelumnya menyerahkan laporan.
            “Terima kasih,” Masumi segera meraih laporan dan mempelajarinya. Ia ingin menyelesaikan pekerjaannya sesegera mungkin.
            “Anda tidak makan siang Pak?” tanya Masumi.
            Masumi sejenak tidak menjawab. “Tidak. Nanti saja, masih banyak pekerjaan. Mizuki, pertemuanku dengan Katsuhiro, bisa kau percepat?”
            “Nanti saya hubungi dan konfirmasi ke asistennya. Dipercepat… seberapa cepat?”
            “Secepatnya,” ujar Masumi. “Tolong diusahakan. Aku ingin semua selesai sebelum jam makan malam.”
            Mizuki terdiam. “Berencana kencan dengan Nona Shiori?”
            “Tidak,” jawab Masumi singkat. “Mizuki, mengenai Shiori, tolong kirimkan bunga ke rumahnya dua atau tiga hari sekali. Untuk beberapa saat ini kurasa aku tidak akan bisa mengajaknya berkencan,” terang Masumi.
            Mizuki kembali menatapnya penuh selidik. Ingin menyelesaikan pekerjaan sebelum jam makan malam, tapi tidak ada waktu untuk berkencan dengan Nona Shiori?  Sekretaris itu kembali mengembangkan bakat alamnya sebagai detektif. “Bagaimana kabar Maya, Pak? Apa dia masih mengira Anda pamannya?” tanya Mizuki.
            “Kami sudah ke dokter kemarin. Dia memang amnesia.”
            “Itu Anda sudah katakan,” ujar Mizuki.
            “Ya begitulah. Jadi dia masih menganggap aku pamannya. Selama dia merasa nyaman dengan hal itu, ya sudah, kubiarkan saja seperti ini.”
            “Anda juga, sepertinya merasa nyaman jadi pamannya Maya,” sedikit mengejek.
            Masumi berdecak. “Aku tidak ingin berargumentasi dengan seorang gadis yang bahkan nama dan usianya sendiri saja dia tidak ingat.”
            “Apa Anda berencana makan malam dengannya malam ini?”
            Nah, itu, sudah melewati batas. Masumi mengangkat cangkirnya, tersenyum. “Bisa tambahkan kopiku lagi, Mizuki?” pinta Masumi. Artinya: Tutup mulutmu dan cepatlah pergi. Itu bukan urusanmu.
            Mizuki sedikit cemberut, meraih cangkirnya. “Tentu, Pak Masumi.” Dan keluar dari kantor Masumi.
            Malamnya Masumi pulang. Seperti biasa para pelayan menyambutnya. Ia mencari. Keponakannya tercinta tidak ada. “Mana Maya?” tanya Masumi.
            “A, anu, Tuan Muda… Nona Maya, dia… tingkahnya sedikit aneh.”
            Wajah Masumi berubah khawatir. “Aneh? Dia… dimana dia sekarang?” Masumi segera berjalan dengan cepat ke dalam.
            “Di ruang nonton TV, Tuan Muda…”
            Masumi berjalan semakin cepat. Di pintu ruang TV, tampak beberapa pelayan berbisik-bisik gelisah. Ada apa…? Pikir Masumi, semakin khawatir. “Minggir!!” Serunya.
            Para pelayan terlonjak. “Tuan Muda MasumI!”
            “Ada apa dengan Maya?” tanyanya.
            “A, anu, Tuan… Nona Maya…”
            Masumi masuk ke dalam. Dicarinya Maya dengan gelisah. Akhirnya Ia melihatnya. Maya sedang duduk di karpet. Tepatnya, berjongkok, dengan kedua tangannya menahan badannya. Sebelah kakinya menggapai-gapai ke atas kepalanya. Berusaha menggaruk.
            Masumi tercengang. Hah!? Apa yang Ia lakukan? Apakah Amnesia sudah mengganggu kerja bagian lain otaknya??
            Maya berbunyi. “Aw! Aw! Aw! Auuuu~!!!!” Seraya Masih berusaha menggaruk kepalanya dengan jari-jari kakinya.
            Masumi sepertinya mulai mengerti.
            “Sejak siang Nona Maya begitu, Tuan. Ia berjalan merangkak-rangkak ke sana kemari. Makan tidak memakai tangan dan…”
            “Hmmmphh….!!” Masumi menahan tawanya sebelum kemudian tawa itu terlepas keras. “Hahahahaha….!!” Tawa geli, juga lega.
            Maya mendengar suara tawa itu, Ia menoleh. Melihat pamannya sudah datang, wajahnya berseri. Keempat kakinya segera berderap menghampiri. Ia lalu melompat.
            Semua orang menahan nafas. “HAAAAAAAAA!!!!”
            “Bruk!!” Maya menabrak Masumi. “Brug!!” Pria jangkung itu jatuh terduduk, ditimpa si Mungil. Siku kanannya menopang tubuhnya agar tidak terbaring.
            “Mu, Mu, Mungil…” Masumi masih terkejut.
            Gadis itu tersenyum lebar. Tidak lama Masumi lantas tergelak. Para pelayan saling berpandangan, terkejut.
            “Rupanya kau sedang latihan jadi Jean ya…” Masumi tertawa lagi. Ia lantas menoleh kepada para pelayannya. “Sudah tidak apa-apa, kalian boleh pergi. Tolong siapkan makan malam,” pinta Masumi.
            Para pelayan itu masih bingung. “Ba, baik, Tuan…” Mereka lantas mulai membubarkan diri, namun masih berkasak-kusuk mengenai tingkah Masumi dan tamunya.
“Gadis yang aneh…”
“Aku tidak pernah melihat Tuan Muda seriang itu.”
“Dan mereka tampaknya akrab sekali.”
“Sepertinya mereka saling mengerti. Mungkin sudah saling mengenal sejak lama…” dan lain sebagainya.
Masumi kembali menoleh kepada Maya yang masih memandanginya dengan mata membulat polos. “Halo, Mungil. Bagaimana keadaanmu?”
Maya mendekatkan wajahnya ke dada Masumi, menggesek-gesekkan pipinya di sana.
Masumi sangat terkejut dengan tingkah gadis Mungil Itu. Badannya tegang seketika dan jantungnya jadi berdebar-debar.
Maya kembali mengangkat wajahnya, tersenyum lebar. Masumi menyentuh wajah gadis itu. Mengamatinya. Polos sekali. Tanpa maksud apa-apa. Masumi akhirnya tersenyum. “Sudah dulu latihannya. Aku ingin makan malam denganmu,” ajak Masumi.
Maya mengangguk. “Selamat datang, Paman!” Sapanya.
“Selamat malam,” Masumi tergelak, berusaha bangun saat Maya menjauhkan diri darinya. “Kau sedang latihan menjadi Jean ya?”
“Iya!!” Jawab Maya antusias. “Paman, aku sangat suka peran itu. Aku… aku ingin sekali memerankannya,” terangnya dengan bersemangat.
“Kau sudah membaca naskahnya?” tanya Masumi, menggandeng Maya ke ruang makan.
“Aku sudah hapal!”
“Kau sudah menghapalnya?” Masumi merasa takjub.
Maya mengangguk. Pria itu tersenyum lebar. “Bagus. Kurasa kau akan bisa memerankannya.”
Keduanya memasuki ruang makan. Sudah ada masakan yang lezat menyambut mereka di meja makan.
Maya dan Masumi lantas mengobrol mengenai apa saja yang sudah Maya kerjakan seharian. Sesekali Maya bertanya juga mengenai pekerjaan Masumi. Keduanya tampak bercengkrama dan terlihat akrab sekali.
            “Mungil, kau berlatih saja di sini sendirian dulu. Nanti, kalau kau sudah siap, aku akan mengantarmu ke tempat latihan. Aku juga akan memperkenalkanmu pada rekan-rekan satu studio-mu sebelum menemui mereka.”
            “Baik, Paman,” kata Maya.
            “Sebisa mungkin, mengenai keadaanmu jangan sampai orang lain tahu,” Masumi menggenggam tangan gadis itu. “Karena aku mengkhawatirkanmu. Aku takut wartawan memburumu atau malah kau semakin bingung jika semakin banyak orang bertanya mengenai keadaanmu. Sampai saat ini, yang tahu dengan kondisimu hanya aku, Rei dan Mizuki.”
            Maya merasakan genggaman tangan pamannya itu hangat sekali. Jantung gadis itu perlahan tapi pasti berdebar lebih keras. Maya tidak tahu kenapa bisa merasa demikian. “Aku mengerti,” Maya mengangguk. “Terima kasih, Paman.” Gadis itu tersenyum lembut. Ia bisa merasakan pipinya menghangat.

“Makanlah yang banyak, ingat yang dokter katakan agar asupan gizimu baik supaya kau lekas sembuh.”
“Baik, Paman!” Maya melanjutkan makannya.
Masumi berpikir, tidak pernah Maya sepenurut ini kepadanya dan rasanya menyenangkan.***

Setelah membersihkan diri, Masumi tidak segera tidur. Ia masuk ke kamar Maya, melihat keadaannya. Seperti malam sebelumnya, tampaknya gadis itu juga tidak bisa tidur.
            “Aku tidak ingin, tapi kepalaku tidak berhenti bertanya. Sebenarnya aku ini siapa? Bagaimana bisa sampai ada di sini, seperti sekarang ini…” kata Maya, yang sudah terbaring di tempat tidurnya.
            Masumi, duduk di samping tempat tidurnya seperti malam sebelumnya, mendengarkan gadis itu berkeluh kesah.
            “Kadang rasanya putus asa sekali. Aku merasa marah tapi tidak tahu marah karena apa atau kepada siapa. Aku ingin tahu, Paman, aku ingin ingat!” Gadis itu hampir terisak.
            “Mungil…” Masumi mengusap kepala gadis itu, namun tidak berkata apa-apa. Ia mengerti sekali yang gadis itu rasakan.
            “Paman, tadi, aku sempat mengingat sesuatu. Hanya sekilas.”
            Gerakan tangan Masumi berhenti seketika. Ia mencoba menenangkan dirinya sebelum melanjutkan mengusap kepala gadis itu. “Apa, yang kau ingat, Mungil?” tanyanya dengan suara pelan.
            “Ada aku, dan Paman Masumi. Paman menggendongku, lalu kemudian kita sudah berada di atas perahu,” terang Maya. “Itu saja. Lalu tidak ada apa-apa lagi. Aku bingung, apakah hal itu benar-benar pernah terjadi atau hanya khayalanku saja.”
            “Benar. Hal itu memang pernah terjadi,” ungkap Masumi. “Aku pernah mengajakmu berperahu di taman. Sudah dua kali. Yang kedua kita malah sampai tercebur ke danau,” terang Masumi.
            “Ha? Benarkah?” gadis itu tergelak. “Walaupun aku tidak ingat, sepertinya aku bisa membayangkannya. Pasti menyenangkan,” kata Maya, setengah melamun.
            Masumi hanya terdiam.
            “Aku ingin mengingat hal lebih banyak lagi, Paman. Apa saja yang biasa kulakukan. Bagaimana saat aku main drama, siapa teman-temanku dan hal-hal apa saja yang sudah pernah aku lalui. Lalu, apa saja yang pernah terjadi saat aku bersama Paman,” kata Maya.
            Masumi menelan ludahnya tidak kentara. “Apa ada hal lainnya lagi yang kau ingat?”
            Maya menggeleng. Sesungguhnya, Masumi takut. Takut sekali jika ingatan Maya kembali. Karena Masumi tahu, gadis itu akan segera pergi darinya jika hal itu sampai terjadi.
            “Paman, Paman bilang, Paman pernah mengalami hal yang sama seperti aku kan? Tapi Paman bilang, hanya sebentar. Tapi, kenapa aku belum ingat apa pun sampai sekarang? Aku hanya ingat itu saja sampai saat ini,” tanya Maya. Gundah.
            “Aku tidak tahu, Mungil. Seperti dokter bilang, cara kerja otak itu berbeda-beda. Tapi kurasa, sudah bisa mengingat kejadian di taman walau hanya sedikit, sudah merupakan hal yang bagus. Artinya otakmu sudah mulai menggali ingatannya lagi yang terkubur di dalam pikiranmu. Dulu aku juga begitu, ada ingatan-ingatan yang muncul sekilas-sekilas sebelum aku kemudian mengingat semuanya,” terang Masumi, menenangkan.
            “Terima kasih. Aku lega, kalau Paman yang berkata begitu,” kata Maya, kembali meraih tangan pamannya.
            “Besok pergilah ke dokter, katakan apa yang terjadi kepadamu hari ini,” perintah Masumi.
            “Baik, Paman,” Maya mengangguk.
            Maya kemudian kembali bertanya mengenai hubungannya dan Masumi. Mengenai keluarganya, kehidupannya. Masumi menerangkan sesuai yang sudah ia rencanakan siang tadi di kantor. Maya adalah putri ibu Haru, kakak sepupu Masumi. Maya dulu tinggal di Yokohama kemudian pergi ke Tokyo untuk belajar sandiwara dari bu Mayuko. Namun Masumi tidak mengatakan bahwa keinginan Maya ditentang ibunya. “Ibumu sangat senang saat tahu kau ingin menjadi aktris. Akhirnya Ia memperbolehkanmu pergi ke Tokyo. Ia sangat menyukai aktingmu,” tutur Masumi. Wajah gadis itu terlihat berseri-seri. Ia juga bercerita, mereka baru bertemu lagi di Tokyo. Maya bahkan pernah bekerja di perusahaan Masumi atas permintaan Bu Mayuko. “Ayumi Himekawa pernah berkata bahwa satu-satunya saingannya adalah kau,” terang Masumi.
            Mata Maya membulat. “Ayumi Himekawa? Yang cantik tadi? Aku melihatnya di TV. Dia cantik sekali, Paman! Aktingnya juga sangat bagus…. Masa dia mengatakan aku saingannya?” tanya Maya tidak percaya diri.
            “Benar. Kalian akan bersaing untuk Bidadari Merah nanti. Jika pentasmu yang ini sukses dan kau meraih penghargaan, kau akan bersaing dengan Ayumi untuk peran itu.”
            “Benarkah Paman!? Aku tidak percaya rasanya. A, aku kan… biasa saja. Apalagi sekarang aku tidak ingat apa pun—“
            “Tidak, jangan khawatir. Kau punya bakat yang luar biasa dalam berakting, Mungil. Aku yakin kau pasti bisa. Ah! Aku belum bilang, kau pernah bersaing dengan Ayumi untuk memperebutkan peran wanita terbaik, dan kau memenangkannya. Sebagai Helen Keller.”
            “A, aku!?”Mata gadis itu membulat.
            “Iya, benar. Ah, saat itu pertunjukan diadakan untuk pembukaan gedung baru Daito. Kurasa kami masih punya dokumentasinya. Besok aku akan mencarikannya dan memperlihatkannya kepadamu.”
            “Benar? A, aku ingin melihatnya! Rasanya tidak mungkin… Aku… mengalahkan Ayumi Himekawa? Padahal aku penggemar beratnya,” kata Maya.
            Masumi tersenyum. “Benar Mungil. Sudah kukatakan kau itu gadis yang luar biasa. Kau itu istimewa,” Masumi meyakinkan.
            Kau itu istimewa… Maya merasa sangat tersentuh dengan ucapan Masumi. “Terima kasih, Paman Masumi. Sepertinya aku mengerti, kenapa aku masih mengingatmu saat aku melupakan semua hal. Karena kau sangat baik hati dan aku sangat menyukaimu, Paman Masumi,” kata Maya.
            Rasanya jantung Masumi berhenti berdetak sesaat. Apakah gadis itu tidak menyadari? Kata-katanya barusan bekerja laksana listrik yang mengejutkan setiap sel dalam tubuh Masumi. Masumi terdiam, kaku. Dipandanginya gadis itu. Perasaan Masumi meluap-luap. Ada banyak hal yang ingin diakuinya. Bahwa Ia bukan pamannya. Bahwa Ia mencintainya. Tapi itu tidak adil. Gadis ini sedang tidak menjadi dirinya sendiri. “Aku tidak sabar, Mungil. Ingin melihat kau berakting lagi,” akhirnya Masumi berkata. “Aku sangat menyukai kau yang di atas panggung,” katanya.
            “Benar, Paman? Jika benar begitu, sandiwaraku selanjutnya adalah untuk paman Masumi. Aku akan memainkannya dengan sebaik-baiknya untuk Paman,” gadis itu tersenyum lebar.
            Masumi sangat bahagia mendengarnya. Ia tidak sadar, melandaikan tubuhnya, mendekatkan wajahnya. Menatap Maya dengan tatapan seorang pria.
            Gadis itu termangu, mengamati wajah pamannya yang tampak lain. Ia tidak mengerti, kenapa Masumi menatapnya seperti itu dan kenapa jantungnya berdetak dengan teramat kacau. “Ada apa, Paman?” tanya Maya, menatap ragu-ragu dan bingung kepada Masumi.
            Masumi tertegun. Bodoh!! Apa yang hendak kau lakukan!? Ia memarahi dirinya sendiri. Masumi tersenyum dan berkata dengan jarak wajah sejengkal dari wajah Maya. “Tidak, aku hanya berharap keponakan kesayanganku ini bisa cepat sembuh dan berakting lagi.” Ia mengusap kepala Maya. “Selamat malam.”
            Gadis itu tersenyum lebar. “Selamat malam.”
            Masumi lantas beranjak dari sana setelah mematikan lampu kamarnya. Di luar pintu kamar Maya, Masumi berusaha menenangkan dirinya. Hampir saja Ia mengacaukan semuanya. Untunglah ia kembali tersadar sebelum terlambat.
            Di dalam kamar, beberapa saat wajah Maya masih merona, dan jantungnya masih berdebar. Maya kembali teringat raut wajah pamannya itu yang sempat terlihat berbeda. Entah apa artinya, namun jantung Maya tidak juga berhenti berdebar-debar jika mengingatnya. Paman… Maya menarik selimutnya lebih atas. A, aku kenapa sih! Kenapa isi kepalaku Paman Masumi semua… Maya menggigiti bibirnya gelisah.***

Esoknya Maya kembali menjemput Masumi di kamarnya untuk sarapan. Keduanya merasa sangat senang dapat melihat wajah satu sama lain. Masumi bahkan terlihat lebih rapi dari sebelumnya. “Paman rapi sekali hari ini,” kata Maya.
            “Aku kan memang selalu rapi,” elak Masumi.
            “Iya deh…” Maya mengalah. “Eh, Paman, apa paman sudah punya kekasih?” tanya Maya spontan terdorong rasa ingin tahunya.
            “Mau tahu saja!”
            Maya tertegun, lalu cemberut. “Sebel!”
Keduanya menunggu sarapan disiapakan sambil duduk-duduk di ruang keluarga. Masumi membaca koran dan Maya menonton TV. Maya lantas kembali bertanya. Paman kan sudah dewasa, kenapa belum menikah?” tanya Maya lagi.
            Masumi menurunkan korannya, menundukkan kepalanya menatap Maya. “Memang menurutmu, usiaku berapa tahun?” tanyanya.
            Maya menengadah, mengamati, lantas menggeleng. “Entahlah, mmh… Jika aku 19 tahun… mungkin Paman… sekitar 35 tahun?”
            “Ti, tiga puluh lima!?”
            “Ah, salah ya?? 37? 38?”
            “37? 38!?” Masumi terbeliak.
            Maya memandanginya bingung.
            “Kau…” pria itu meletakkan korannya di atas meja. “Meledekku ya?”
            “Ti, tidak…” Maya takut-takut menatap Masumi yang memelototinya.
            “Tahun ini aku baru mau berusia 30 tahun November nanti, kau tahu!”
            “Ah!” Maya menutup bibirnya dengan kedua tangannya. “Maaf…”Katanya cepat.
            Masumi memalingkan wajahnya. Maya beringsut mendekatinya. “Paman, jangan marah,” bujuknya. “Ha, habis… Paman penampilannya seperti bapak-bapak.”
            Masumi dengan cepat kembali menoleh. “Ha!? Apa!?”
            Maya terperanjat. “Ah…! Salah lagi ya… Paman?”
            “Kau iniii….” Masumi menjepit pipi Maya dengan gemas dengan kedua tangannya.
            “Faman…! Faman…! Lefaskan!! Famaaann!!!” Maya menghempaskan wajahnya, melepaskan diri dari tangan Masumi.
            Masumi terbahak, “Hahahahaha…. Bibirmu, mirip sekali dengan ikan Koi di taman kalau sedang makan!”
            “Iiih… menyebalkan!!” Maya memukuli lengan Masumi. Masumi berusaha menangkisnya.
            “Salahmu, kenapa mengatakan aku seperti bapak-bapak. Aku ini baru 29 tahun, tahu!!”
            “Tapi 29 tahun itu kan sudah tua!! Jadi Paman memang sudah bapak-bapak!”
            “He! Enak saja, 29 tahun itu masih muda!! Semua bilang aku ini pengusaha muda, tahu! Kau sendiri, usiamu sudah 19 tahun, tapi sepertinya pertumbuhanmu berhenti sejak berumur 13 tahun!”
            Maya mengerutkan wajahnya. “Pamaaaannn!! Menyebalkaaannn!!!” Maya hendak kembali memukul Masumi dan mengejarnya yang hendak menghindar. Awalnya marah-marah, namun lantas keduanya tertawa-tawa sampai kemudian pelayan datang mengatakan sarapannya sudah siap.
            Keduanya beranjak ke ruang makan dengan berseri-seri.***

Siang itu, Masumi menemani Maya ke rumah sakit. Ia masih khawatir membiarkan Maya pergi sendirian dan Maya pun memang jauh lebih tenang jika ditemani Masumi. Dokter mengatakan bahwa sepertinya Maya sudah mengalami kemajuan. Keadaan psikologi dan emosinya juga sudah lebih stabil, namun Maya tetap diminta jangan terlalu memaksakan diri. “Biarkan saja semuanya kembali dengan alamiah. Namun hal ini menunjukkan bahwa sepertinya ingatan Nona Maya bisa kembali tidak lama lagi. Setidaknya kita punya harapan Nona Maya akan bisa segera pulih,” kata dokter.
            “Benarkah dokter!? A, aku senang sekali mendengarnya!” ujar Maya.
            Masumi hanya terdiam di sampingnya.

“Aku turun di sini, Masao akan mengantarmu ke rumah.” Kata Masumi saat keduanya tiba di Daito sekembalinya dari rumah sakit. “Nanti malam aku pulang larut, ada undangan. Kau harus menuruti nasihat dokter. Makan yang sehat dan banyak-banyak beristirahat. Jangan terlalu memikirkan masalah amnesiamu,” Masumi mengingatkan.
            Maya mengangguk. “Baik, Paman. Selamat bekerja,” Maya tersenyum.
            Masumi lantas turun dari mobil.

“Selamat datang, Nona Maya,” sapa para pelayan setibanya Ia dari rumah sakit. “Makan siang sudah disiapkan, apa perlu hal lainnya?”
            “Ti, tidak perlu, Sayoko, terima kasih,” Maya tersenyum.
            Saat berjalan menyusuri ruang tamu, mata Maya tertuju pada sebuah buket. Maya menghampirinya. “Cantik sekali, dari siapa ini?” Maya mengangkatnya. Buket bunga anggrek.
            “Itu bingkisan dari Nona Shiori untuk Tuan muda Masumi.”
            Nona… Shiori!? “Nona Shiori itu... siapa? Teman Paman Masumi?” tanya Maya.
            “Iya, Nona Maya, Nona Shiori adalah teman dekat Tuan Muda Masumi. Orangnya cantik sekali dan sangat baik hati. Ia sering mengirim bingkisan ke rumah ini. Biasanya buah-buahan atau bunga dari kediamannya. Pernah juga mengirimkan kerajinan hasil tangannya,” terang Sayoko, terdengar kagum.
            Maya terdiam. Perasaan hatinya tidak tenang. Gelisah. Tiba-tiba kepalanya berdenyut. Sebuah pemandangan sekali lagi terlihat. Masumi, mengajak masuk seorang wanita ke dalam restoran. Senyumannya sangat hangat dan ramah. Dan seperti sebelumnya, Maya tidak yakin apakah itu hanya khayalannya saja atau memang pernah terjadi. Bayangannya kali ini lebih jelas dan lebih lama dari bayangan mengenai ia dan Masumi berperahu di taman. Wajah Maya memucat, buket bunga di tangannya terjatuh dan Maya merasa hendak pingsan.
            “Nona Maya!” Sayoko dengan sigap menangkapnya. “Anda tidak apa-apa?” tanyanya, khawatir. Masumi sudah mengatakan bahwa Maya sedang sakit, dan Ia minta dikabari kalau ada apa-apa dengan Maya.
            “Ti, tidak. Aku tidak apa-apa,” ujar Maya.
            Sayoko memapah Maya ke kursi. “Saya ambilkan air…” dengan segera Sayoko beranjak ke dapur dan kembali dengan segelas air putih. “Silahkan Nona…”
            Maya meraih air tersebut dan meminumnya. “Terima kasih, aku sudah merasa lebih baik.”
            “Saya akan mengabari Tuan Muda.”
            “Tidak, jangan! Paman sedang sibuk, aku tidak mau mengganggunya.”
            “Tapi Nona, Tuan Masumi bilang, kalau ada apa-apa—“
            “Aku baik-baik saja!” sergah Maya. “Mungkin, karena aku belum minum obat. Na, nanti kalau aku sudah makan dan minum obat, pasti baik-baik saja. Tolong, Sayoko, jangan bilang apa-apa sama Paman. Aku tidak mau membuatnya khawatir.”
            Sayoko terlihat bingung, namun akhirnya mengangguk. “Baik, Nona. Kalau begitu, sebaiknya Nona segera makan sekarang,” anjurnya.
            Maya mengangguk. Ia lantas beranjak ke ruang makan. Seperti biasa, hidangan di rumah Hayami tidak kalah dari restoran bintang lima. Namun Maya tidak begitu berselera. Kelezatannya tidak terasa. Semua karena perasaan tidak nyaman di hati gadis itu, dan kepalanya yang tidak berhenti memutar adegan yang pernah dilihatnya di depan restoran.
            Ternyata Paman Masumi, sudah punya kekasih… Kata-kata Sayoko kembali terngiang di kepala Maya. Orangnya sangat baik dan cantik sekali. ***

Malam itu Masumi pulang cukup larut, mendekati jam setengah sebelas malam. Ada pembukaan Plaza baru dan pesta syukurannya.
            “Mana Maya?” itu yang selalu ditanyakannya sekarang setiapia tiba di rumah. “Apa dia sudah tidur?”
            “Belum, Tuan, Nona Maya bersikeras ingin menunggu Anda pulang. Tadi sedang menonton televisi di ruang keluarga,” terang Sayoko.
            “Apa saja yang dia lakukan seharian?”
            “Sama seperti kemarin. Nona Maya berkeliaran merangkak-rangkak kemana-mana, dan mengacak-acak macam-macam,” Sayoko bercerita. Bukan mengadu, karena Sayoko merasa tingkah penghuni barunya itu memang lucu.
            Masumi segera melangkah ke sana. Televisi menyala, dan ada Maya di hadapannya, di atas sebuah sofa. Masumi mendekat dan mendapati gadis itu sudah terpejam. Mungil…. Masumi tersenyum tipis. Kalau sudah lelah kenapa tidak pergi ke kamar… Masumi lantas mengangkat tubuh mungil itu, menggendong ke kamarnya. Cara Masumi menggendong lebih mirip sebuah dekapan.
            Masumi menurunkan Maya di atas tempat tidur. Terlebih dahulu mengamati lekat wajah polos gadis itu. Kalau begini, bagaimana aku tidak tersentuh, Mungil… Bagaimana mungkin perasaanku tidak semakin dalam kepadamu… batin Masumi. Pria itu lantas mengecup kepala Maya dan membaringkannya di atas bantal. “Selamat malam,” bisiknya. “Mimpi indah dan… semoga lekas sembuh.”
            Masumi lantas beranjak berdiri. Ia baru saja hendak mematikan lampu kamar Maya dan keluar saat gadis itu memanggilnya.
            “Paman…” gumamnya. “Itu Paman Masumi… kan?” Maya mengerjapkan matanya.
            Masumi terkejut, Ia lantas berbalik. Dilihatnya gadis itu sedang berusaha terbangun. “Mungil…”
            “Paman…” Matanya masih berat, gadis itu berusaha tersenyum. “Paman sudah pulang?”
            “Iya, aku baru datang,” Masumi kembali menghampiri. “Apa aku membangunkanmu?”
            Maya menggelengkan kepalanya. “Apa Paman yang menggendongku ke sini?”
            “Tidak. Kau lompat-lompat sendiri tadi ke atas tempat tidur,” ujar Masumi.
            Maya terdiam. “Pamaaaannn~” Rajuknya saat menyadari Masumi menggodanya.
            “Sudah tidur lagi. Sepertinya kau kelelahan,” kata Masumi. “Terima kasih sudah menungguiku tadi.”
            “Oh, iya. Selamat datang Paman,” Gadis itu tersenyum lebar.
            “Terima kasih, dan selamat malam, Mungil.”
            “Selamat malam,” Maya kembali menenggelamkan dirinya ke dalam selimut.
            Masumi tersenyum, mematikan lampu kamar dan beranjak keluar dari sana.
            Masumi meraih sebotol brandy. Tadi dia pergi ke pesta dengan Shiori. Di perjalanan Masumi kembali mendapat desakan, dengan cara halus, agar pria itu memastikan hubungan mereka berdua.
“Kakek beberapa kali bertanya mengenai hubungan kita. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, Masumi. Karena kau tidak pernah membicarakannya.”
            “Maafkan aku, Shiori. Aku ingin kau lebih yakin lagi telah memilihku. Bagaimana kalau nanti kau menyesal—“
            “Aku tidak akan menyesal. Sejak hari itu, pertama kali kita bertemu. Shiori sudah tahu yang Shiori inginkan. Shiori sudah yakin dengan keputusan Shiori. Tapi Masumi, kamu—“
“Shiori… aku, aku hanya takut tidak bisa menjadi yang terbaik untukmu. Seperti kau lihat, pekerjaanku masih banyak. Aku takut tidak bisa memperlakukanmu dengan baik.”
            Saat itu Shiori hanya terdiam. Masumi tahu dia kecewa, sebelum kemudian Shiori hanya berkata, “baiklah, Masumi. Aku akan tetap menanti jawabanmu. Kau harus tahu, Shiori belum pernah jatuh cinta. Hanya kepadamu, Masumi…”
            Masumi menyesap rokoknya kuat-kuat. Gundah. Dia teringat Maya, dan bagaimana perasaannya saat bersama gadis itu. Tidak terkalahkan dengan perasaannya terhadap siapa pun dan apa pun. Tapi mengharapkan selamanya bersama Maya pun jelas-jelas hanya mimpi belaka.
            Maya… Masumi memejamkan matanya. Mengingat wajah polos gadis itu, senyumannya, tatapannya, pelukannya… Aku mencintaimu.***

Masumi merasakan sentuhan halus di lengannya, dan badannya bergoyang perlahan. Masumi membuka matanya. Wajah cerah gadis yang dicintainya terlihat di hadapan Masumi.
            “Selamat pagi, Paman!!” sapa Maya.
            Membuka matanya di pagi hari dan wajah gadis itulah yang pertama kali dilihatnya. Mukjizat, mungkin begini rasanya. Masumi memandangi lekat wajah Maya.
            “Paman, kenapa tidak tidur di ranjang? Aku tadi sudah ketuk-ketuk pintu kamar berkali-kali tidak ada jawaban, jadi aku masuk saja. Tidak apa-apa kan, Paman?” gadis itu bertanya malu-malu.
            Masumi menariknya, memeluknya. Lebih erat. Semakin erat.
            “Pa, Paman?” Mata gadis itu melebar. Terkejut.
            Masumi tidak berkata apa-apa. Dia tidak peduli apa yang akan gadis itu pikirkan. Ia hanya ingin memeluknya.
            “Paman, kenapa?” tanya Maya, khawatir. “Ada apa?”
            “Mungil, kalau kau sudah sembuh, kau pasti akan pergi,” gumam Masumi perlahan. “Meninggalkan aku.”
            “Apa maksud Paman?” tanya Maya bingung. “Aku tidak akan meninggalkan Paman. Kalaupun aku kembali ke apartemen dengan… Rei, kapan-kapan aku akan main ke sini. Paman juga bisa menemuiku kapanpun Paman mau.”
            Masumi tersenyum tipis. Dia tahu itu mustahil. “Kau benar,” katanya. Masumi memisahkan dirinya dan Maya.
            “Sebenarnya ada apa, Paman?” tanya Maya, menyentuh bahu pamannya. Ia melirik botol minuman dan gelas di atas meja, serta mengamati keadaan Masumi. “Apakah ada yang Paman pikirkan?”
            Masumi tersenyum tipis, lalu menggeleng.
            Tapi gadis itu menangkap sesuatu. “Paman, sedang merindukan pacar Paman ya?” tanya Maya.
            Masumi terdiam, terkejut. “Pacarku…?” tanya Masumi tidak yakin.
            “I, iya,” Maya menunduk, “kemarin ada kiriman buat paman. Dari pacar Paman. Kata Sayoko orangnya cantik dan baik hati. Paman rindu ya sama dia?” tanya Maya, sedikit canggung.
            Masumi terdiam beberapa saat sebelum berkata, “aku mau membersihkan diri dulu. Kau tunggu sebentar ya,” katanya seraya tersenyum.
            Maya mengamati pamannya, lantas mengangguk. Maya lalu pergi keluar.***

“Mungil…” bisik Masumi di telinga Maya.
            Maya terperanjat, segera menoleh. Orang yang beberapa lama ditunggunya muncul juga. “Paman! Bikin kaget saja…”
            “Masa kaget, aku kan bisik-bisik barusan,” kata Masumi, duduk di sebelahnya.
            “Tetap saja kaget, habis paman tiba-tiba.”
            “Ya.. masa aku harus bilang-bilang dulu, kan sengaja membuatmu terkejut,” kata Masumi.
            “Pamaan~” Rajuk Maya manja, memukul lengan pamannya.
            “Mungil, bagaimana penampilanku sekarang? Apa masih terlihat 35 tahun?” tanya Masumi.
            Maya memperhatikan pamannya. Tidak ada yang berubah rasanya dari penampilannya kemarin. “Hmm… tidak… sekarang Paman terlihat seperti berumur 34 tahun 10 bulan!” Maya mengangguk seraya menekankan keyakinannya.
            “Hah! Apa kau bilang?” Masumi kembali marah. “Ayo, cabut lagi kata-katamu! Hayo, cabut lagi!” Masumi menggelitiki pinggang Maya.
            “Aduh! Aduh! Ampun Paman! Jangan…! Pamaaann!! Hahaha…” Maya tergelak.
            “Jadi aku harus bagaimana, agar bisa terlihat sesuai umurku?” tanya Masumi.
            Maya memandangi Masumi, lantas bibirnya berkerut, berpikir. “Hmm…” Gadis itu berdiri dengan lututnya di atas sofa. “Sepertinya aku tahu,” katanya. Maya meraih dasi Masumi, melonggarkannya. Masumi mengamatinya bingung. Lantas Ia membuka kancing kerah Masumi. Mengamatinya, lalu mengangguk-angguk. Tangan Maya lantas meraih rambut Masumi. Rambut yang tertata rapi itu diacak-acaknya menggunakan jemari. “Nih, rambutnya jangan rapi-rapi begini seperti om om. Kalau bisa, ditarik saja ke atas pakai gel rambut.” Maya menarik-narik rambut Masumi dengan kedua tangannya. Gadis itu lantas menangkup wajah Masumi, mengamatinya. “Terus Paman pakai eyeliner hitam, sama lipstik hitam. Nah, pasti terlihat lebih muda,” gadis itu menyeringai.
            Masumi memandangnya kesal. “Mungil, aku ini pengusaha, bukannya vokalis J-rock!!”
            Maya terbahak-bahak melihat ekspresi pamannya dan juga rambut acak-acakannya.
            “Kau, kau sengaja meledekku ya!!”
            “Kyaaa~!!” Maya segera berlari dan Masumi mengejarnya.
            Gadis itu lincah sekali, dan badannya ringan. Masumi sampai kesulitan mengejarnya. Maya sendiri susah payah menghindari kejaran pamannya dengan langkah panjang-panjangnya. “Kyaaaa~ hahaha…” sesekali Maya menoleh ke belakang. “Sayoko awas!!” Seru Maya, saat hampir menabrak mereka.
            “Kya!” Sayoko segera menyingkir, “Nona Maya…” ia menoleh melihat Maya yang berlarian.
            “Sayoko awas!!” Seru Masumi yang tengah mengejar Maya.
            “Kyaaa!” Sayoko yang baru melangkah segera menyingkir lagi dari lorong. “Tuan muda…”
            Keduanya berkejar-kejaran sampai ke taman, sebelum akhirnya Masumi berhasil menangkap tangan Maya. “Kena!!” Serunya.
            “Kyaa! Pamaaan!!” Maya tertawa kegirangan saat Masumi menangkapnya.
            “Sekarang kau tidak bisa lari lagi!” Ancamnya, mendekati Maya.
            “Hahaha… maaf Paman, maaf… aku hanya bercanda,” kata Maya, masih tertawa diantara helaan nafasnya yang kerap.
            Masumi juga masih berusaha mengatur nafasnya. Udara pagi itu sangat segar, sinar mataharinya terasa sangat hangat, dan wajah Maya terlihat berseri. Cantik. Debaran cepat jantung pria itu yang dikarenakan habis berlari, berganti debaran jantungnya dikarenakan rasa cintanya pada gadis itu. Raut wajahnya kembali serius, menatap gadis itu sangat dalam. Mendekatinya sementara tangannya masih menahan pergelangan Maya.
            Maya masih saja tertawa melihat penampilan Masumi yang jadi berantakan gara-gara dia. Dia baru berhenti tertawa saat disadarinya posisi Masumi yang semakin merapat kepadanya. Gadis itu menengadahkan wajahnya. “Paman…?”
            Masumi sudah tidak sanggup lagi. “Maya,” katanya perlahan. “Kita harus bicara. Ada yang harus kau ketahui.”

Cara pria itu menatapnya, membuat jantung Maya berdentam-dentam hingga kepalanya. “A, ada apa. Paman?”
            Masumi mengamati gadis itu kembali, mempertimbangkan banyak hal. “Mungil, sebenarnya aku…” Masumi menelan ludahnya berat. “Aku, bukanlah—“
            “Tuan Muda! Ada telepon,” seruan Bu Michie mengejutkan keduanya. Bu Michie tergopoh-gopoh mendekat. “Dari Tuan Besar.”
            Ayah…!? Masumi menelan ludahnya, bertatapan sebentar dengan Maya. Lantas menoleh kepada Bu Michie. Masumi melepaskan tangan Maya. “Sebentar, Mungil. Kau pergilah terlebih dahulu ke ruang makan,” kata Masumi. Masumi lantas beranjak menerima telepon dari Ayahnya.
            Maya mengamati Masumi. Paman…? Sebenarnya ada apa?***

“Maaf membuatmu menunggu,” kata Masumi, saat tiba di ruang makan.
            Maya menggelengkan kepalanya. “Telpon dari kakek?” tanya Maya.
            Masumi terdiam, mengangguk. “Mungil, Ayahku itu, dia… Dia ayah angkatku. Kami tidak punya hubungan darah,” terang Masumi.
            Maya tampak terkejut. “Ayah angkat?”
            “Iya, Ayah menikahi ibuku saat aku masih kecil. Dan aku akhirnya masuk ke dalam keluarga Ayah dan mengganti namaku menjadi Hayami.”
            “Ah.. siapa nama keluarga Paman dulu?”
            “Dulu Ayahku bernama Fujimura.”
            “Fujimura…” Maya bergumam mencoba mengingat sesuatu, namun tidak ada suatu hal pun yang Ia ingat. “Ah, jadi… aku tidak ada hubungan darah dengan Ayah Paman?”
            Sebenarnya, Mungil, kau pun tidak ada hubungan darah denganku.
“Paman, apa yang ingin Paman katakan tadi di taman?” tanya Maya setelah teringat kembali dengan kejadian sebelumnya.
Pandangan Masumi segera beralih ke makanannya. “Tidak ada. Aku hanya ingin bilang, kau bisa tinggal di sini sampai kapan pun kau suka,” kata Masumi.
Paman… “Terima kasih, Paman.” Kata Maya, tulus. “Oya Paman, mengenai penampilan Paman, aku hanya bercanda. Tidak penting Paman terlihat berusia berapa, yang penting Paman adalah orang yang sangat menyenangkan dan baik hati.”
Mungil… Masumi tersenyum. “Itu, aku sudah lama tahu!”
“Huuu… dasar!” Maya kembali mengerucutkan bibirnya sebelum tersenyum.
Sementara Masumi, kembali teringat percakapannya dengan Eisuke.
“Tenno Takamiya menghubungiku semalam. Mereka mulai tidak sabar denganmu. Kenapa kau belum juga mengambil keputusan!? Sepertinya Shiori sangat mencintaimu dan keluarganya juga sangat menyukaimu. Apa lagi yang kau tunggu? Cepat pastikan bahwa kau akan menjalin hubungan serius dengannya. Aku tidak mau mendengar alasan apa pun darimu!”***

Hari-hari selanjutnya, Masumi selalu berusaha pulang cepat ke rumah. Dan Ia menghindari Shiori. Instruksi “Kirimkan bunga 2-3 hari sekali untuk Shiori”  kepada Mizuki kembali diberikan. Masumi, tidak pernah merasa senyaman ini berada di rumah sejak pertama kali Ia menginjakkan kaki di kediaman Hayami dulu. Saat ia pulang dan tahu bahwa Ia akan bisa menemui Maya, adalah sebuah kebahagiaan baginya. Kadang gadis itu menyambutnya di pintu. Kadang Ia sedang berada di taman, mengejar-ngejar kumbang dan kunang-kunang seperti hari ini. Tangan dan wajahnya serta tubuhnya belepotan, berlatih menjadi Jean.
            Gadis itu tidak pernah lagi menceritakan mengenai ingatan apa pun. Masumi jadi ragu, apakah ingatan Maya benar akan kembali?
            Kenyataannya, perlahan-lahan ingatan Maya sudah sering muncul. Namun ingatan itu hanya sekilas. Gambar bisu seperti mimpi yang mengisi kepalanya. Maya hampir tidak mengerti isi dari ingatannya itu. Ada seseorang, mungkin ibunya, sepertinya marah. Maya tidak tahu kenapa Ia marah. Kemudian, ibunya menggandeng tangannya, tersenyum. Ingatan itu hanya potongan-potongan pendek saja yang tidak memberikan banyak petunjuk berarti. Lalu ada karangan bunga mawar ungu dengan kartu ucapan “Untuk Maya Kitajima.” Namun kepingan ingatan itu, lebih banyak berisi Masumi. Tertawa, kadang terlihat dingin. Mereka berdansa, memakai payung berdua. Dan gambarannya menghilang bahkan sebelum Maya mengerti. Maya tidak menceritakannya kepada Masumi, sampai setidaknya, ada satu dua ingatan yang benar-benar bisa diingat dan dimengerti olehnya. Maya tidak ingin membuat pamannya itu terlalu mengkhawatirkannya. Setiap malam, sedikit demi sedikit Masumi mengingatkan Maya pada orang-orang di sekitarnya. Juga berita-berita berisi dirinya. Masumi punya klipingnya. “Kau itu aktris yang sangat berbakat, Mungil. Karena itu, selain sebagai Pamanmu, sebagai Direktur Daito aku juga memperhatikanmu. Daito mempunyai banyak data mengenai orang-orang berbakat di dunia seni,” terang Masumi kepadanya. Maya sebelumnya tidak percaya mengenai Ia yang mengalahkan Ayumi sampai Masumi memperlihatkan dokumentasinya kepada Maya saat itu. Rei pun sudah pernah mengunjungi Maya di kediaman Hayami. Temannya itu tampaknya lega melihat keadaan Maya dan saat Maya mengatakan dia baik-baik saja dan Paman serta semua penghuni rumah memperlakukannya dengan baik.
            “Mungil!” panggil Masumi.
            Maya yang belepotan, menoleh. “Paman! Sudah pulang?” Maya segera berdiri dan berjalan mendekat.
            Masumi tersenyum. “Bagaimana latihanmu?”
            “Sulit, Paman, aku belum benar-benar bisa mengerti,” keluh Masumi.
            Tentu saja, gadis ini perlu pembimbing. Berkeliaran dan bermain sambil merangkak-rangkak setiap hari tidak akan membuatnya menjadi Jean si Gadis Serigala. Masumi tahu apa yang gadis itu butuhkan.

“Mungil, besok, aku akan mengingatkanmu pada orang-orang yang terlibat di Padang Liar yang Terlupakan. Aku akan meminta anak buahku mengirimkan data-datanya kepadaku. Kau harus mengingat mereka. Kalau sudah, lusa, kau bisa kembali bergabung untuk berlatih Padang Lair yang Terlupakan di teater Ozawa,” terang Masumi saat makan malam.
            “Benar, Paman!?” wajah gadis itu tampak berbinar. Matanya berseri.
            “Iya. Setahuku, saat ini kau pun masih latihan sendirian di sana. Pak Kuronuma belum mengijinkanmu berlatih dengan yang lainnya. Namun, dengan berlatih di sana, setidaknya Pak Kuronuma bisa membimbingmu dan memberikan beberapa instruksi agar kau bisa semakin mendekati karakter Jean.”
            Maya mengangguk. “Terima kasih, Paman.”***

Malam semakin larut, namun kebiasaan Masumi pulang cepat membuat setumpuk pekerjaan terpaksa Masumi bawa pulang ke rumahnya. Dilihatnya jam di dinding, sudah lewat tengah malam. Bisa dipastikan selain petugas keamanan, penghuni rumahnya sudah terlelap. Tapi Masumi tidak menyesal harus bekerja ekstra di rumah, menghabiskan waktu bersama Maya sebelum gadis itu tidur, merupakan kesenangan tersendiri untuknya. Bercanda dengannya, mendengarkan curahan hatinya, membantunya mengingat berbagai hal, Masumi dengan senang hati melakukannya.
            Tepat jam satu tengah malam handphonenya berbunyi. Masumi mengangkatnya. Hijiri. Orang kepercayaannya tersebut melaporkan berbagai hal, termasuk pengajuan proposal ke teater Ozawa mengenai pementasan lain untuk diadakan musim gugur ini.
            “Hijiri, lakukan apapun yang kau perlukan. Aku tidak mau pentas itu sampai gagal. Pentas ini sangat penting untuk Maya. Laporkan terus perkembangannya. Dan oya Hijiri, bisa bawakan data-data orang yang terlibat dalam pementasan Padang Liar yang terlupakan beserta foto mereka? Aku akan mengingatkannya kepada Maya. Aku harap Ia bisa segera bergabung lagi untuk latihan dengan yang lainnya.” Sejenak Masumi terdiam, mendengarkan. “Baiklah, Hijiri, terima kasih.” Katanya sebelum menutup percakapan.
            Setelah menutuptelponnya Masumi tenggelam dalam lamunan. Entah berapa lama sebelum pandangannya mulai terhalang dan menghilang.
            “Ayo tebak siapa…?” tanya sebuah suara saat mata Masumi tertutup sebuah tangan mungil.
            Masumi tersenyum. Tidak menjawab.
            Maya mengerucutkan bibirnya. “Tebak dong Paman…!” Terdengar merajuk.
            “Hmm… apakah ini Ratu Elizabeth?”
            Terdengar sebuah tawa. Renyah sekali. “Bukan!”
            “Spiderman?”
            “Buuuukan!”
            “Ibu!?? Apakah Ibu datang mengunjungiku!?”
            “Hahaha… Bukaan!”
            “Hmmm… entahlah, aku menyerah!”
            “Uhh… Payah!” Maya menurunkan tangannya. “Ini aku, Paman!” katanya, seakan-akan Masumi tidak tahu.
            “Ah… Mungil… kupikir siapa. Eh,” Masumi menoleh bingung ke arah pintu. “Bukankah Mungil sudah tidur, kenapa… kenapa…” Masumi menunjuk-nunjuk Maya dengan wajah kalut.
            “Aku terbangun.” Maya tertawa kecil. “Aku habis dari kamar mandi. Kulihat ruangan ini masih menyala dan ternyata Paman masih di sini,” kata Maya. “Jadi kubawakan selimut buat Paman,” Maya memperlihatkan benda di tangannya.
            Masumi mengamati selimut itu dan tersenyum. “Terima kasih.”
            “Paman, kenapa belum tidur? Ini kan sudah larut. Paman harus menjaga kesehatan.”
            “Sebentar lagi, Mungil. Ada banyak hal yang harus kuselesaikan dulu.”
            “Tapi besok kan hari minggu,” ujar Maya.
            “Justru karena besok hari minggu, agar aku bisa menikmati waktu luangku, aku harus menyelesaikan pekerjaanku malam ini,” kata Masumi.
            Maya memandangi Masumi sedikit khawatir. “Jangan memaksakan diri ya, Paman…” pesannya.
            “Terima kasih, Mungil,” Masumi tersenyum lembut. “Cepatlah tidur lagi. Selamat malam.”
            “Selamat malam…” Maya baru saja hendak keluar sebelum Ia teringat sesuatu. “Uhmm… Paman.”
            “Iya?”
            “Mmm… besok, aku ingin mengunjungi makam ibuku,” kata Maya.
            Masumi tertegun.
            “Boleh tidak?”
            “Tentu saja boleh, Mungil,” Masumi memberi jeda. “Besok aku akan mengantarmu.”
            “Jangan, tidak usah, nanti merepotkan.”
            “Tidak. Lagi pula, kau tidak ingat kan, dimana makam ibumu berada.”           
            Maya berpikir. “Paman benar. Baiklah, terima kasih, Paman.” Maya kembali mendekat, memeluk Masumi. “Aku sangat berutang kepada Paman.”
            Masumi balas memeluknya. Berujar, “sudahlah, tidak perlu khawatir. Selamat malam, Mungil. Mimpi indah.”
            “Selamat Malam, Paman.” Maya lantas keluar dari ruangan kerja Masumi. Namun sebelum Maya menutup pintu, matanya sempat menangkap sesuatu yang tadi luput dari pengamatannya.
            Rangkaian bunga mawar ungu di sudut ruangan.
            “Terima kasih, Hijiri…”
            Hijiri? Maya mengingat ucapan terakhir pamannya di telepon yang sempat terdengar olehnya. Hijiri… nama itu rasanya juga mengingatkan Maya kepada sesuatu.***

Maya sedang menikmati televisi siang itu, saat ada tamu berkunjung ke rumah Masumi. Masumi sendiri sedang pergi keluar setelah sarapan. Katanya ada hal yang harus dilakukan sebelum Ia mengantar Maya ke makam ibunya.
            “Siapa yang datang, Sayoko?” tanya Maya, saat melihat para pelayan berkasak-kusuk.
            “Itu, teman dekat Tuan Muda Masumi. Nona Shiori Takamiya.”
            Maya terenyak. “Shiori Takamiya…?” teman dekat Paman? Entah kenapa rasa tidak nyaman itu kembali menghinggapi hatinya. Maya ragu-ragu, ingin melihatnya, namun juga takut. “A, apa Paman tahu Nona Shiori datang?”
            “Tuan Muda sudah dikabari, katanya akan segera pulang, sepertinya sebentar lagi tiba.”
            “Oh, begitu…” jawab Maya lemah.

“Shiori,” Masumi segera menghampiri Shiori saat Ia tiba kembali di rumah. “Maaf aku tidak tahu kau akan datang,” kata Masumi sungkan.
            Shiori menoleh ke arahnya, menatapnya dengan memelas.
            Ada apa? Pikir Masumi. “Kalian boleh pergi,” kata Masumi kepada para pelayannya. “Jangan ke sini sebelum ku panggil.”
            “Baik, Tuan,” para pelayan itu menghormat, lantas meninggalkan keduanya untuk bicara lebih pribadi.
            “Shiori, ada apa? Kenapa kau tidak bilang kalau kau mau ke sini?”
            “Untuk apa?” serunya. “Agar kau bisa menghindariku dan mencegahku untuk datang?” mata wanita itu berkaca-kaca.
            Maya mendengar seruan Shiori. Ia berjalan perlahan ke arah ruang tamu. Ia berdiam di tempat dimana Ia bisa melihat keduanya tapi tidak sebaliknya. Ja, jadi itu, Nona Shiori… Kekasih Paman Masumi, dada gadis itu berdebar menyakitkan. Cantik sekali… Benar, dia yang kulihat dalam ingatanku. Maya mengamati keduanya. Wanita itu mengatakan sesuatu, sepertinya mereka bertengkar. Maya tidak bisa menangkap pembicaraan mereka. Hanya sayup-sayup dan tidak begitu jelas.
            “Masumi, aku tahu kau selalu pulang cepat belakangan ini dari kantor kan? Tapi kau selalu tidak punya waktu untuk Shiori. Kenapa? Kau juga tidak pernah mengajakku berkencan lagi. Apa kau ingin berhenti menemui Shiori!?”
            “Bukan begitu, Shiori, saat ini keadaannya… sedang ada sesuatu…”
            “Apa kau jatuh cinta kepada wanita lain?” tanya Shiori. Ia mulai menangis, menutupi wajahnya. “Apa Shiori melakukan kesalahan? Apa kau membenci Shiori?” Ia tergugu.
            Masumi menelan ludahnya, memegangi kedua lengan wanita itu.
            “Tentu saja tidak,” sanggah Masumi cepat. “Saat ini ada sebuah proyek yang memerlukan perhatian khusus dariku. Karena itu kukatakan, Shiori, aku takut tidak bisa menjadi kekasih yang baik untukmu.”
            “Bohong! Kau pasti membenciku!”
            “Tidak,” Masumi mendekat. “Tidak ada yang bisa membenci gadis sepertimu, Shiori.”
Maya menelan ludahnya, tangannya terkepal dan bibirnya berlipat sedih, saat dilihatnya Masumi dan wanita itu berpelukan. Sepertinya Paman Masumi, sangat mencintai wanita itu… pikirnya sendu.***

Maya sedang termenung di kamarnya, berusaha menenangkan hatinya yang gundah, saat ia mendengar beberapa pelayan berbicara. Mereka tampaknya tidak menyadari bahwa Maya sedang berada di sana.
            “Iya, Nona Maya sangat lucu dan baik hati. Tidak heran jika Tuan Muda selalu tampak senang saat bersamanya. Aku malah terkejut, Tuan Muda bisa begitu riang. Ia bahkan seringkali tidak menghiraukan sekelilingnya jika sedang bercanda dengan Nona Maya.”
            “Iya, kau benar. Namun aku sungguh tidak mengerti jika dikatakan Nona Maya adalah keponakan Tuan Muda. Setahuku Tuan Muda tidak punya saudara. Sekian lama di sini, tidak ada satu pun saudara Tuan Muda pernah berkunjung.”
            “Benar, malahan, Bu Michie sangat yakin, bahwa Nona Maya adalah gadis yang pernah Tuan Muda bawa ke rumah malam-malam dalam keadaan sakit beberapa tahun yang lalu, tapi Tuan Muda tidak pernah mengatakan bahwa dia adalah keponakannya.”
            “Setahuku Tuan Muda memang tidak punya siapa-siapa lagi.”
            Suara keduanya semakin jauh dan tidak terdengar lagi.
           Maya terpaku di tempatnya. Apa yang mereka katakan? A, aku bukan… keponakan Paman Masumi!? Jantung gadis itu berdebar-debar, takut. Lalu, siapa aku? Si, siapa Paman Masumi…!?***

“Mungil, kau di sini rupanya…” sapa Masumi, memasuki kamar Maya.
            Maya menelungkupkan wajahnya di atas meja, tidak menoleh.
            “Mungil,” Masumi mendekat, menyentuh bahu gadis itu. “Ada apa?” tanya Masumi.
            Badan Maya menegang. Ia melirik Masumi, namun tidak bisa melihatnya. Pertanyaan mengenai siapa dirinya dan siapa pria yang dia kira pamannya terus menerus mengisi kepalanya. Maya takut, juga gelisah. Tapi…
            “Mungil, ada apa?” tanya Masumi lagi, lembut. Ia mengusap kepalanya.
            Cara Masumi berkata, cara Masumi menyentuhnya, Maya bisa merasakan pria itu menyayanginya. Setidaknya, Ia sungguh bersikap tulus dan baik hati kepadanya. Akhirnya Maya mengangkat dan memutar kepalanya, menoleh kepada Masumi.
            Masumi menatap simpati wajah sembap gadis itu. “Ada apa?” tanyanya, untuk kesekian kali menghapus air mata dengan kedua ibu jarinya.
            Maya hanya menatap pria di hadapannya dengan tatapan memelas, lantas menggeleng.
            “Ayo bilang ada apa, jangan seperti ini,” bujuk Masumi. “Biasanya kalau ada apa-apa kau langsung bilang. Apa kau bosan di sini?” tanya Masumi.
            Maya kembali menggeleng.
            “Lalu?”
            “Pa, Paman,” berat, memanggil pria itu dengan sebutan tersebut. “Jadi kan, berangkat ke makam ibuku?”
            Masumi menghela nafasnya. “Iya, jadi. Tapi sekarang aku mau keluar dulu, sebentar.” Masumi berencana makan siang bersama Shiori. “Jadi kau makan siang sendiri dulu tidak apa-apa ya? Nanti aku akan segera kembali dan kita bisa mengunjungi makam ibumu. Bagaimana?”
            Paman mau pergi…! Dengan wanita itu! Pikir Maya. Gadis itu memandangi pamannya tidak rela, “baiklah,” Ia mengangguk lemah.
            “Kenapa kau menangis?” tanya Masumi lagi. “Sudah kubilang jangan memaksakan diri, Mungil. Ingatanmu pasti akan kembali dengan sendirinya. Kau pasti sembuh.” Masumi menepuk-nepuk kepalanya. “Sudah jangan seperti ini. Kau membuatku sedih,” ucapnya.
            Caranya memandang, caranya bicara, Maya tahu pria ini tulus. Tapi dia siapa? “Paman…”
            “Iya?”
            Maya tidak bisa bertanya. Dia takut, takut sekali. Kalau dia bilang bukan, bagaimana? Kalau dia bilang dia bukan Pamanku?
            Tiba-tiba Maya memeluk Masumi. Sangat takut berpisah. Tidak mau kehilangannya. “Jangan pergi,” Maya memelas. “Jangan tinggalkan aku sendirian.”
            Masumi sangat terkejut hingga lupa bernafas beberapa waktu. “Mungil…”
            “Paman jangan kemana-mana,” gadis itu terisak. “Aku membutuhkan Paman. Kalau Paman tidak ada, aku bagaimana?” Isakannya semakin keras. Maya tahu dia egois, tapi membayangkan Masumi meninggalkannya membuat hatinya teriris. Maya tidak tahu siapa dia, juga tidak tahu siapa Masumi. Yang dia tahu, dia ingin bersamanya. Dia tidak ingin Masumi meninggalkannya. Aku mencintaimu, Paman Masumi…
            “Mungil…!” Masumi sangat terkejut. “Aku tidak akan lama, hanya makan siang, sebentar aku kembali—“
            “Tidak mau!” Maya menggeleng tanpa melepaskan pelukannya. “Pamaan…” Maya kembali merajuk. “Paman Masumii…”
            Masumi benar-benar bingung dengan perilaku Maya. Ada apa sebenarnya? Apakah ada sesuatu yang membuatnya sedih? Membuatnya takut? Ia jelas tidak bisa meninggalkannya seperti ini. Tapi Shiori menunggu di ruang tamu untuk pergi dengannya. “Baiklah Mungil, tunggulah sebentar, nanti aku kembali. Aku akan makan siang denganmu dan menemanimu pergi ke makam ibumu sekarang.”
            Mata gadis itu melebar, tidak mengira Masumi akan memenuhi keinginannya. “Paman tidak akan kemana-mana?”
            “Tidak. Aku akan menemanimu.” Kata Masumi.
            “Janji?”
            “Janji.”
            Akhirnya Maya mengangkat tubuhnya tegak, memandang Masumi dengan memelas.
            Masumi rasanya tidak sanggup melihatnya. “Sudah,” kata Masumi. “Jangan bersedih lagi, Mungil. Aku tidak tahan melihatmu sedih begini,” bujuk Masumi.
            Maya menatap Masumi, bertanya, “Kenapa Paman begitu baik hati kepadaku?”
            Masumi tersenyum, menjawab, “karena aku, Pamanmu ‘kan?”
            Maya mengeratkan rahangnya. Ia tahu itu tidak benar. “Terima kasih, Paman.” Maya melandaikan tubuhnya, mengecup pipi Masumi yang berlutut di depannya. Dia bisa merasakan Masumi terkejut, namun pria itu tidak mengatakan apapun. Sedetik pandangan keduanya bertemu, Maya menundukkan kepalanya. Wajah gadis itu merona dan menghangat. Dadanya berdebar-debar keras. Apa Paman tahu…?
Masumi mengamati gadis itu. Apa ia baru saja… mengecup pipiku? Pikir Masumi tidak percaya. Pria itu bisa merasakan jantungnya berdetak lebih kuat. Tidak dibutuhkan morfin untuk membuat pikirannya melayang terbang bereuforia. Masumi gembira sekali. Ia rasanya sanggup memahat ribuan batang pohon menjadi patung dewi. Masumi bisa menangkap rona kemalu-maluan di wajah gadis itu. Apa artinya? Masumi tidak mengerti. Maya memang kekanakan, dan Ia mengira Masumi pamannya. Tapi bagaimana pun, Ia pria dewasa, dan gadis itu berusia 19 tahun, cukup mengerti bahwa Ia tidak seharusnya mengecup pipi siapa saja. Atau memang… Maya sama sekali tidak bermaksud apa-apa dan hanya ingin mengungkapkan rasa berterima kasihnya?
Masumi menenangkan dirinya. Berusaha meyakini bahwa Maya tidak mengerti dengan apa yang dilakukannya. Tenggorokannya masih tercekat dengan perasaan membuncah saat Ia berkata, “bersiap-siaplah, Mungil. Kita pergi setelah makan siang,” kata Masumi datar.
Masih menunduk, gadis itu mengangguk.***

Shiori pergi dari kediaman Masumi setelah Masumi meminta maaf dan mengatakan ada sesuatu yang mendesak untuk dia kerjakan. Masumi berjanji akan mengajaknya berkencan pekan depan dan sungguh-sungguh meminta maaf. Shiori tidak dapat berbuat apa-apa. Ia akhirnya menyetujui dan walaupun sempat kembali menangis dan menghiba, Ia akhirnya pulang setelah Masumi meyakinkannya bahwa Ia akan meluangkan waktu untuk Shiori pekan depan dan mengajaknya pergi ke tempat yang menyenangkan.
            Setelah Shiori pergi, Masumi kembali ke kamar Maya, gadis itu terlihat sudah rapi. Kembali melamun di sisi jendela seraya menopang dagunya. “Ayo kita makan,” ajak Masumi.
            Maya segera menoleh dan dengan cepat mendekatinya. “Paman! Paman! Maaf,” Maya memeluknya. “Maafkan aku… Aku… seharusnya tidak boleh egois,” katanya. “Maaf... ini salahku, paman jadi batal pergi dengan pacar Paman. Tidak apa-apa, Paman pergi saja, biar aku tunggu sampai Paman pulang. Tidak apa-apa Paman, maafkan aku…”kata Maya penuh sesal.
            Masumi tertegun, Ia lalu berlutut, menatap gadis itu. “Ada apa lagi Mungil?”
            “Maaf,” Maya memelas. “Aku barusan sudah memikirkannya. Aku tahu aku salah. Seharusnya, aku tidak melarang Paman pergi. Aku tidak boleh menyusahkan Paman. Maaf…” sesalnya. “Paman pergi saja, dengan pacar Paman. Tidak apa-apa, nanti aku tunggu,” kata Maya, yang menyadari Ia tidak berhak melarang-larang Masumi.
            Masumi mendengus, tersenyum. “Kupikir ada apa,” kata Masumi. “Tidak apa-apa, aku juga sebenarnya enggan pergi. Aku lebih senang di sini menemanimu. Jadi kau sebenarnya membantuku,” gigi-gigi pria itu tampak. Masumi menepuk-nepuk kepala Maya. “Sudah, jangan menangis lagi. Aku tidak tahan kalau melihatmu menangis.”
            “Paman…” Kembali Maya memeluknya. “Terima kasih. Terima kasih untuk semua kebaikan hatimu.”
            Masumi tertawa, balas memeluk gadis itu. Hangat sekali. Ia akan memberikan dan melakukan apa pun agar bisa selamanya seperti ini.
            “Terima kasih sudah menjaga dan menerimaku di sini,” kata Maya. “Walaupun… walaupun…”
            Walaupun? Masumi tertegun. Ada apa?
            “Paman, aku sudah bicara dengan Bu Michie tadi,” ungkap Maya, masih belum melepaskan pelukannya.
Mata Masumi melebar, berusaha mengerti kemana arah pembicaraan Maya.
 “Bu Michie, sudah bekerja di sini sejak paman datang bersama Ibu paman kan? Ibu Michie sudah bilang, kalau Paman… Paman tidak punya…” gadis itu terisak.
Sekarang Masumi mengerti. Kenapa gadis itu bersikap ketakutan dan gelisah begini. Ia memeluknya lebih erat. “Nanti aku jelaskan,” kata Masumi. “Setelah pulang dari makam ibumu, akan kuceritakan bagaimana kita saling mengenal.”
Ternyata benar… pikir Maya sendu, namun juga ada kelegaan dalam hatinya. Kami bukan paman dan keponakan…
“Sementara itu, kau masih bisa menjadi keponakanku, dan aku akan selalu menjagamu, Mungil.”
“Paman,” butiran air mata kembali menetes dari pelupuk Maya. “Aku sangat menyayangimu,” kata Maya. “A, aku…” mencintaimu…
Ia tidak sanggup mengatakannya.
            Mungil… Masumi membelai rambut gadis itu. “Sudah, ayo makan. Kau harus minum obatmu,” ajak Masumi.
            Maya mengangguk, keduanya hendak memisahkan diri. Saat kedua tangan mereka masih saling mendekap, dan wajah mereka masih saling dekat, keduanya berpandangan tanpa saling melepaskan. Mereka bisa merasakan debaran jantung mereka semakin keras dan mereka, saling menginginkan. Masumi tidak mengijinkan otaknya berpikir. Sudah terlalu sering dia berpikir. Sekali ini saja, hanya sekali ini lagi saja, ia rela disebut bajingan yang mencuri kesempatan. Padahal ia tahu bagaimana keadaan Maya. Masumi tidak peduli. Biarlah Ia akan ingat atau tidak dengan kelakuannya saat ini, yang pasti Masumi sudah tidak ingin berpura-pura.
            Masumi menciumnya.
            Menempelkan bibirnya pada bibir gadis itu. Lekat. Rapat.
            Maya segera kehilangan haluan, Ia hanya bisa berpegangan pada pria itu. Meremas kemejanya, menahan jantungnya agar tidak meledak. Tidak mengerti, perasaan apa ini yang memenuhi rongga dadanya kini.
            Bibir keduanya berpisah kemudian. Terasa cepat namun membekas pekat.
            Maya menatap Masumi seraya melipat bibirnya. Bercerita, sekaligus bertanya dengan tatapannya. Apakah pria itu juga merasakan apa yang dirasakannya?
            Masumi menyentuh wajah gadis itu lembut, dan berkata, “aku belum pernah merasa sebahagia ini,” akunya.
            Wajah merona Maya jadi berbinar. Ia sangat senang mendengarnya. Perasaannya tersampaikan dan terlebih, Masumi merasakan hal yang sama.
“Pa—“ ucapan Maya terhenti. Ia sudah tidak bisa lagi memanggilnya paman. Gadis itu menatap bingung pada Masumi.
“Mungil, nanti setelah kita kembali dari makam ibumu, ada sesuatu yang ingin kusampaikan. Sampai saat itu tiba, aku masih jadi pamanmu,” kata Masumi perlahan.
Sesuatu…? Maya mengangguk. “Baik… Paman…”
Masumi menjulurkan tangannya, dan Maya menerimanya. Keduanya kembali bergandengan tangan, namun kali ini lebih hangat, saat jemari mereka saling terjalin pada satu sama lain.
Rona bahagia terlihat di wajah mereka, dan hal itu pun tertangkap lensa mata orang-orang di sekelilingnya. Kenapa keduanya tampak mesra?
Keduanya tidak banyak bicara saat melahap makan siang mereka, hanya membicarakan hal-hal yang penting saja. Masumi bisa melihat wajah polos gadis itu terlihat sangat ceria. Apakah itu karena dia? Pikir Masumi.
Sekarang kognitif Masumi kembali bekerja sebagaimana mestinya. Dipandanginya Maya yang tengah melahap makan siangnya dengan berbinar. Apa benar gadis ini jatuh cinta kepadanya? Masumi merasa tidak yakin. Saat ini, Maya hanya merasa mengenalnya. Saat ini, di dunia Maya hanya ada dia. Tapi bagaimana, jika Maya sudah kembali ke kehidupan lamanya? Tidak mungkin, gadis ini akan menerimanya begitu saja. Apalagi, tidak ada jaminan Maya akan mengingat semua yang telah mereka lalui. Bersama Maya sekarang hanya bagaikan dunia mimpi. Dia bisa tiba-tiba bangun kapan saja dan semua ini tinggal serpihan belaka dari hal yang bahkan tidak pernah benar-benar ada.
Dia hanya terbawa perasaan, Masumi menyadari dengan sendu. Di tengah kegalauan dan ketakutannya, Maya hanya punya Masumi. Wajar, jika gadis itu sangat takut kehilangan dan menyalahartikannya dengan cinta. Sementara si lelaki telah sungguh mencintai. Kenapa nasib mempermainkan kami seperti ini?
Maya menoleh padanya, tersenyum lebar, malu-malu. Masumi balas tersenyum. Dia mendapatkan jawabannya. Tidak apa-apa, jika aku bisa melihat senyuman dan binar mata itu… Andaikan suatu saat Maya memutuskan pergi, setidaknya Masumi masih memiliki kenangan, bahwa pada suatu waktu, dia pernah membuat gadis ini bahagia, walaupun hanya dia yang tahu. “Cepat habiskan, agar tidak terlalu sore kita pergi,” ujar Masumi seraya tersenyum.
“Baik, Paman,” sekali lagi gadis itu menurut.***

Akhirnya keduanya berangkat menuju ke makam ibu Maya. Masumi membawa sesuatu di tangannya. “Ini, Mungil, adalah orang-orang yang terlibat dalam pementasan Padang Liar yang terlupakan,” Masumi menyerahkan dokumen itu. Namun ketimbang mengambilnya, Maya memutuskan untuk beringsut mendekat kepada Masumi. Masumi sedikit terkejut, diamatinya Maya,lalu tersenyum.
            “Terangkan padaku, Paman,” pinta Maya.
            Masumi membuka dokumen itu. Ia memperlihatkan direktur biro akting Ozawa, Pak Kuronuma, Sakurakoji dan yang lain.
            “Seperti beruang,” seloroh Maya saat melihat Kuronuma. Masumi tergelak. Tidak demikian saat Maya mengomentari Sakurakoji. “Ini lawan mainku? Tampan sekali. Apa dia terkenal?” tanya Maya, tanpa melepaskan pandangannya dari Sakurakoji.
            Masumi terdiam, menegang. Cemburu.
            Maya menoleh kepada Masumi saat tidak ada juga jawaban. Ia terkejut melihat wajah hangat Masumi selama ini berubah dingin. Ada apa? Pikir Maya. “Paman?”
            Masumi melirik sekilas kepada Maya sebelum berkata. “Dia dari teater Hayami, asuhan Daito. Dia itu teman dekatmu, kalian sudah mengenal cukup lama. Tapi ini pertama kalinya kalian akan main satu panggung.”
            “Teman dekatku?” Tanya Maya.
            “Iya, dia tahu banyak hal mengenaimu, jadi mungkin akan sedikit sulit berpura-pura padanya.”
            Maya mengangguk-angguk. Dia tidak mengenalnya. Tidak ingat apa saja yang pernah mereka lakukan bersama.
            “Dia memang cukup terkenal. Dia adalah aktor muda Hayami yang cukup banyak diminati, banyak penggemarnya. Dia memang tampan,” terang Masumi dingin.
            Ada yang tidak biasa dari cara Masumi bicara. Maya menoleh kepadanya, Masumi memalingkan wajahnya pura-pura melihat pemandangan di luar jendela. Alis Maya berkerut, terheran.
            “Paman,” panggil Maya.
            Masumi menoleh kepadanya.
            Maya menarik turun bahu Masumi, membisikkan sesuatu.
            “Mm? Apa?” Masumi tidak bisa mendengarnya.
            Wajah Maya merona, kembali berbisik. “Tapi masih lebih tampan Paman!”
            Masumi tertegun, tersenyum senang. “Tapi penampilanku seperti berusia 34 tahun 10 bulan!”
            Maya tergelak, bersandar di lengan Masumi, “siapa yang peduli,” selorohnya.
            Masumi sangat senang mendengarnya, terlihat dari senyumannya yang melebar. Dia merah tangan gadis itu, kembali menjalin jemari Maya pada jemarinya. Dadanya berdebar-debar gembira.
            Maya berusaha mempelajari satu persatu orang yang ada di daftar dokumen itu, terutama nama dan wajahnya. Belajar mengingat dan mengenalnya. Namun, misteri terbesar justru ada di dekatnya. Sebenarnya, siapa Paman Masumi? Tapi Maya tidak peduli, Ia akan mendapatkan jawabannya setelah dari makam ibunya, dan gadis itu yakin, siapa pun pria ini, perasaannya tidak akan berubah.***

Masumi kembali mengulurkan tangannya, mengajak Maya turun dari mobil. Keduanya bergandengan tangan menaiki tangga menuju pemakaman.
            Masumi sedikit gelisah. Rasa tidak nyaman dan bersalah kembali menyerangnya. Itu yang selalu Ia rasakan apabila berkunjung ke makam ibu Maya ini. Selalu teringat akan dosa besarnya di masa lalu. Dadanya segera merasa sesak.
            “Di sebelah sana,” kata Masumi pelan, mengajak Maya menyusuri barisan nisan yang rapi. “Inilah makam ibumu, Mungil.”
            Maya terdiam, menatap nisan di hadapannya, dan foto yang menempel di sana. Benar, ini… ini ibu. Wanita yang muncul dalam ingatanku yang sekilas. Gadis itu mengulurkan tangannya, mengusap fotonya. “Ibu…” panggilnya pelan.
            Mereka lantas menyiramkan air dan membakar dupa. Masumi bisa merasakan sakit itu kembali menyesaki dadanya. “Ayo kita berdoa, Mungil,” ajak Masumi.
            Keduanya berdoa dengan khusyuk, menangkupkan tangan di dada masing-masing dan memejamkan mata.
            Dan hal itu kembali datang. Bayangan ibunya. Tapi kali ini, lebih nyata, lebih lama, dan bersuara.
            “Dasar anak bodoh!! Kerjanya hanya nonton TV saja! Memalukan! Kau ini tidak bisa apa-apa! Bagaimana masa depanmu nanti!!” Lalu berganti. “Maya! Ini… sudah ibu siapkan kue kesukaanmu. Nanti ulang tahunmu, kita piknik!” Maya merasakan kepalanya berdenyut-denyut dan berputar. Keringat dingin menetes dan nafasnya mulai putus-putus.
            “Mungil!!” panggil Masumi. “Mungil, kau kenapa!?”
`Maya tumbang, ke pelukan Masumi, gadis itu masih memejamkan matanya, tidak sanggup melihat, bicara, bahkan bernafas. Rentetan memori sepanjang hidupnya berlomba-lomba menyesaki kepala Maya. Dia mengantarkan Mie, dia pergi dari rumah, dialog-dialognya mengeras, mengecil, menghilang, dan berganti antara satu sama lain sesuai adegannya. Maya kesakitan.
            “Mungil!! Kau kenapaa!?”
            “Pa…h… Pa…h… Pa… man….” Gadis itu sesak, “Ma… sumi…” dan pingsan.***

Masumi menanti kesadaran Maya kembali dengan gelisah. “Mungil…” resah sekali, Masumi menggenggam erat tangan Maya yang terkulai lemah di atas tempat tidur rumah sakit. Tidak henti-hentinya Masumi berdoa. Kenapa Maya belum sadar juga?
            Kemudian Ia merasakannya, gerakan tak kentara dari jemari mungil milik Maya. “Ma, Maya…!?” Gerakan itu semakin sering dan jelas. Dia sadar…! Masumi segera beranjak, memanggil perawat dan dokter yang sigap segera masuk ke dalam ruang rawat dan meminta Masumi menunggu di luar.
            “Nona Maya…?” panggil dokter, kepada Maya yang sedang mengerjapkan mata beratnya, berusaha melawan sakitnya tusukan cahaya ke pupil matanya.
            Maya membuka matanya, berusaha mengenali sekelilingnya. I, ini dimana?
            “Nona, apa Anda tahu ini dimana?” tanya dokter.
            Maya menggelengkan kepalanya bingung.
            “Anda tahu nama Anda siapa?”
            Maya terdiam, mengangguk. “Maya Kitajima.”
            “Umur anda?”
            “19 tahun.”
            “Dimana Anda tinggal?”
            “Di Tokyo. Se, sebenarnya, ada apa, Dokter? Kenapa aku di sini, dan—“
            “Dengan siapa Anda tinggal?”
            “De, dengan—“
            “Dokter, bagaimana keadaannya!?” tanya Masumi, yang memaksa masuk.
            “Tuan, Anda belum boleh—“
            Mata Maya melebar, terkejut. “Ma! Masumi Hayami!!” Serunya.
            Masumi tertegun, menatap Maya. “Mungil, bagaimana keadaanmu?”
            Maya memandanginya dengan heran. “Ke, kenapa Anda ada di sini!?” Seru Maya. “Sebenarnya ada apa!?”
            Gadis itu menatapnya, dengan tatapan asing. Masumi menyadarinya.
            “Tuan, tolong tunggu dulu di luar, kami masih harus memastikan kondisi Nona Maya.”
            “Ba, baik, dokter,” Masumi menoleh kepada Maya. “Teman-temanmu sedang dalam perjalanan, sebentar lagi mereka tiba.” Katanya pelan, sebelum berbalik pergi keluar.
            Maya memandanginya. Kenapa Masumi, menatapnya dengan begitu sendu?
            Di luar, menunggu. Masumi bertanya-tanya. Apakah Maya yang jatuh cinta kepadanya telah pergi? Apakah gadis itu, tidak ingat apa yang mereka lalui beberapa hari ini? Masumi menanti, gelisah. Lantas tersenyum kecut, pada nasibnya.
            Rei akhirnya datang, Masumi menjelaskan keadaannya.
            “Fisiknya baik-baik saja, Nona Maya juga sudah bisa mengingat berbagai hal yang sempat dilupakannya. Namun, kejadian saat Nona Maya mengalami amnesia, Nona Maya tidak bisa mengingatnya.”
“Lantas? Apa kami harus mengingatkannya?” tanya Rei.
“Jangan,” kata dokter. “Hal itu malah akan membuat Nona Maya semakin bingung. Sama seperti Dia kehilangan ingatannya bertahun-tahun, jika Ia menyadari telah kehilangan ingatannya selama ini, dia akan sangat bingung dan ketakutan, dijelaskan saja secara perlahan-lahan jika Nona Maya sudah stabil. Atau jika dia bisa mengingat peristiwa-peristiwa itu pelan-pelan. Jangan memaksa Nona Maya untuk mengingat. Dia pasti cukup terkejut jika nanti menyadari waktunya sudah hilang berhari-hari. Dijelaskan saja secara perlahan.”
Masumi bergeming. Mendengarkan.
Dokter lalu memperbolehkan mereka masuk untuk menemui Maya. Masumi meminta Rei menemui Maya. “Aku tunggu di luar saja, nanti aku antar kalian pulang,” kata Masumi.
            “Yang terakhir kuingat, aku hendak menuruni tangga, lalu terjatuh,” terang Maya kepada Rei. “Apa karena itu aku di sini Rei? Kenapa dokter tidak mengatakan apa pun?”
            “Iya, Maya. Tapi sekarang kau sudah baik-baik saja. Kau sudah boleh pulang.” Terang Rei, memapah Maya.
            Maya terkejut, melihat Masumi ada di luar kamarnya. “A, apa yang sedang Anda lakukan di sini?” tanya Maya sinis.
            Pria itu menyeringai. “Sudah merepotkan, tidak merasa lagi!!”
            Maya melepaskan dirinya dari Rei. “A, apa maksud Anda merepotkan!?”
            “Kau pikir siapa yang membawamu ke sini, Mungil!? Pakai jatuh dari tangga segala lagi!”
            “Ha!? Bagaimana Anda—“
            “Dia yang membawamu ke sini saat kau pingsan,” terang Rei.
            Maya tertegun. Menatap kesal pada Masumi.
            “Bagaimana?” Masumi kembali menyeringai.
            “Ukh!” Maya memalingkan wajahnya, “te, te, terima kasih!” ujarnya, tidak rela.
            “Sudahlah, ayo kuantar kalian pulang!” Kata Masumi.
            “Tidak perlu! Kami pulang sendiri saja,” kata Maya.
            Masumi menatap wajah yang memusuhi itu. Tersenyum. “Baiklah, bagus kalau kau sudah bersemangat lagi.” Masumi membungkukkan badannya sedikit, mengamati wajah Maya. “Syukurlah kau sudah sembuh, Mungil…” mata kesepian itu kembali memandang Maya.
            Gadis itu tertegun. Kenapa Masumi menatapnya seperti itu?
            Masumi berdiri, dan berbalik pergi. “Sampai jumpa, Mungil!”
            “Aku bukan Mungil!!” serunya kesal.
            Masumi terbahak, sebelum bergumam sangat perlahan. “Aku akan sangat merindukanmu, Mungil…”***
            “Pulang.”
            “Nona Maya—“
            “Dia tidak tinggal bersama kita lagi,” terang Masumi.
            “Ba, baik, Tuan.”
            Masao bertanya-tanya dalam hatinya. Ada apa sebenarnya? Sebelum Maya pingsan, keduanya tampak mesra. Masumi bahkan tidak mnghiraukannya. Sekarang, tuan mudanya itu tampak dingin.***

“Kau baik-baik saja, Maya?” tanya Rei saat keduanya di atas kereta.
“Ba, baik…” Maya tersadar dari lamunannya.
Rasanya ada sesuatu, yang salah. Yang tidak seharunya. Wajah Masumi dan tatapannya yang sendu tidak bisa pergi dari kepala gadis itu. Maya menahan nafas. Teringat saat terakhir kali mereka bertemu, Masumi yang amnesia telah menciumnya. Di tangga itu! Benar! Itulah yang menyebabkannya terjatuh! Maya ingat, saat itu dia sedang berlatih Jean, merangkak-rangkak. Entah apa yang ada di pikirannya, Maya bermaksud menuruni tangga sambil merangkak. Sampai kemudian dia teringat Masumi yang menciumnya di tangga. Maya kehilangan konsentrasi, begitu juga keseimbangannya yang memang sudah goyah. Ia terpeleset, jatuh ke bawah dan kepalanya terbentur keras.
Tapi kenapa, ciuman itu rasanya masih membekas begitu nyata seakan-akan baru saja terjadi? Kembali teringat pada Masumi. Ukh! Maya mulai kesal pada dirinya. Ada apa ini? Kenapa kepalanya terus menerus diisi wajah Masumi? Kenapa dia terus mengingatnya?
Paman… tanpa sadar Maya memanggilnya. Gadis itu tertegun saat menyadarinya. Pa, paman… kenapa aku memanggil Pak Masumi dengan sebutan Paman!?***

Masumi tertegun dari lamunannya. Ia merasa bisa mendengar Maya memanggilnya Paman. Masumi lantas meraih dokumen Padang Liar yang Terlupakan. “Tapi masih lebih tampan Paman!” Gadis itu tadi di sampingnya, berbisik di telinganya. Rasanya sudah sangat lama sekali. Masumi tersenyum miris.
Ingatan memang luar biasa. Hanya dengan tidak mengingatnya, sesuatu bisa menjadi tidak ada…
Masumi tersenyum tipis, lebih bahagia, memandangi foto Maya pada dokumen itu, menelusurinya perlahan dengan telunjuknya. Terima kasih, Mungil. Sudah memberiku mimpi yang sangat indah.***

<<< I Remember You ... End >>

103 comments:

Anonymous said...

hahaha...ty ty ty..
kau sukses merusak flow ku saat membaca bagian

"pamanku?"

hahaha...yang negbacanya aja langsung terjngkang jatuh dari harapan..apa lagi masumi yg merasakannya langsung...hahaha..dikarain

Tunangannya atau kekasih-ku...

hahaha...lanjut ty

Anonymous said...

hihi..lupa tulis nama... diatas itu aku ty -nida-

nisa_na on 5 February 2012 at 00:15 said...

Bener kaan... pengobat galau...
Moga2 besok bisa lanjut.. hihiiyy

Thanks Miss NR <3

Anonymous said...

hah...maya amnesia???bacanya sampe bolak-balik...jgn2 ada yg kelewat siapa tau maya pura2 krn malu kalo ketemu masumi...tp ternyata bener (bener2 diluar perkiraan).... Masumi mah dg seneng hati mengurus maya...tp bisa kissu2 ga tuh? emang maya mau di kiss sama pamannya?huahaha...ga tahan ngabayangin muka masumi dipanggil paman sama maya...hahaha...

anita f4evermania on 5 February 2012 at 00:58 said...

hahahahh paman masumi??? g pikir mah maya mau bilang kau dan aku sepasang kekasih duh syok deh masumi hihi
lumayanlah buat penawar rinduuu nih ma ayemyors n ffy ending
anita f4evermania

Anonymous said...

gubrakkkkkk!!!!paman masumiiii berasa tua tuh masumi hehehe..thanks ty bikin aku ketawa....
---indra yuli---

lucie70 on 5 February 2012 at 01:40 said...

j' aimerai voir la tête de masumi quand maya l'a appellé oncle ;très drôle.....

lucie70 on 5 February 2012 at 01:40 said...

j' aimerai voir la tête de masumi quand maya l'a appellé oncle ;très drôle.....

Anonymous said...

sebenernya aku ngebayangin di komik-nya kalo maya bikin kaget suka ada tulisan "gubrak" trus guru, temen atau org disekitarnya digambar terjengkang kaget yg lucu...tadinya aku ngebayangin masumi jg spt itu....tp mungkin jg wajah masumi digambarkan kaget yg menyedihkan, masumi yg memeluk maya sambil meringis sakit...arghh sedih kalo begini mah....

-khalida-

Mia Luna said...

haruuuhhh...kasian masumi dipanggil paman ama maya, moga besok dilanjut.

Anonymous said...

Kirain "kekasih"....
kenapa yang muncul....

"PAMAN?"


*gedubrak krompyaaaaaaangggggggggggg@#$%^&**&^^%$$#%#@$

;D

Anonymous said...

eh sori lupa...barusan itu reita ;D

aydhie on 5 February 2012 at 05:14 said...

paman masumiiiiii... emang masumi lbh cocok jdi pamannya kok:p

Anonymous said...

Paman Masumiiiiii.... I miss Yuuuuuu... ^^


-Happy-

Anonymous said...

Semustinya Masumi jawab :
"Iya mungil, aku memang Pamanmu....Paman Kaki Panjangmu"

Trus nanti Maya jawab :
"Paman Kaki Panjang? Ooooo pantas saja anda tinggi, habis anda memiliki kaki yg panjang sih"

Masumi : $€¥£¤?!*#@+."'


Btw Ty, apakah akan ada STRAWBERRY lagi? Atau kali ini mungkin akan diganti buah yg lain?
Lanjut ya Ty.....GPL ^^


~NC a.k.a Nat Choi~

chuubyy on 5 February 2012 at 06:29 said...

pamann masumiii??? oh my gottt.... wakakakaka..... ga ga ga gagaa relaaa di panggil pamann walaupun itu maya yg ngucapinnyaa.... kyaa... lanjutinn,,,, jng lama2.... HE iah ty.. thx suguhannyaa.. yrippiii

Bunda Hanifa on 5 February 2012 at 07:04 said...

hah paman? Gubrakkk! Yang ada dibayanganku Maya mengatakan bhw qta adalah sepasang kekasih, eh ga taunya??? Wkwkwk.... Woi...'Ty kamu sukses mengalihkan duniaku.

Beatrix on 5 February 2012 at 08:49 said...

Wakakakakakak....LOL....kasian Masumi...paman aka uncle aka oom???? Whattt....tp yg penting bs peluk2 Maya kan????Paman???!!!My Goshhhh....Tq Ty...lanjutken atuh....

komalasari on 5 February 2012 at 09:03 said...

Senangnya punya paman kayak Masumi...
Ganteng & kaya....mau doooong... :p


xixixi...lanjut Ty...

Tina said...

wakakakaka...lols

PAMAN GANTEEEENGGGGGGGGG XDDD

Anonymous said...

wuzzz uncle masumi, mauuu lah punya paman kiek masumi dh cakep kaya pula....^wi2n^

Anonymous said...

wuzzz uncle masumi, mauuu lah punya paman kiek masumi dh cakep kaya pula....^wi2n^

Heri Pujiyastuti on 5 February 2012 at 10:31 said...

Pammaaaaaan Masumi.....XDDDD. Bikin ngakak dech. Gmn perasaan Masumi yach waktu Maya ngebut Masumi dgn sebutan Paman....

Abis Masumi emang lebih cocok jadi pamannya Maya sie. Klo ga buru2 mengungkapkan perasaannyaaa bsa2 perasaan Maya berubah ... XD

SheevaSiwonestELF on 5 February 2012 at 12:30 said...

unn ty
masa paman
hahaha
tapi bakalan lebih menarik
xD
lanjutkan unn

Ervina on 5 February 2012 at 14:03 said...

paman wwakak..aduh gak bisa berenti ketawa... dengan sukses masumi terbang ke langit dan terhempas seketika hahahahah

Anonymous said...

wkwkwwkwk.....jangan-jangan maya minta gendong ama pamannya trus dikelonin ama manja2an ...hahahaahah...
-Katara NamGil /jung yung-

Anonymous said...

Akhirnya bisa baca.. (◦'⌣'◦)
Hihihi... Paman Masumii... Mau gak jadi pamanku?? :p

Tadinya kupikir maya bakal bilang "kekasihku".. Ternyata.... X_X
Lanjut yah Ty...

Dwi Asih aw

Ervina on 5 February 2012 at 19:48 said...

kasih maya liat strawberry... mo liat reaksinya akakakka

Anonymous said...

Paman, aku juga mau dong tinggal berdua sama Paman. Habis....habis....Paman guanteeennggg banget sih *sambil colek2 Masumi*

~NC~

nisa_na on 5 February 2012 at 19:49 said...

AYAM??? XDDDDDD

*ditunggu apdet selanjutnyaa ^^d

Anonymous said...

˚°ºĤǻнªнª...Ĥǻнªнªº°˚ Maya amnesianya yg lama yah.... :D

Suka..sukaa.. Ðέĉн Ty.. Ditunggu lagi apdetannya :p

Dwi asih

Anonymous said...

wkwkwkwk.. sumpah ngakak bacanya waktu maya bilang "paman", masumi pasti udah ngarep apaaa gitu. ni kalo lagunya olga yg hancur hatiku pas banget ama masumi. hahahah

-bella-

Anonymous said...

jiahhhh...enar dah paman masumi
kesempatan dlm kesempitan
peluk paman masumi erat2 :)

Anonymous said...

Huhuy.. ayo tinggal bareng di kondooo,,, laluuu.. he..he.. ngarep


-Happy-

chuubyy on 5 February 2012 at 20:36 said...

wakakakak.... ngakak dee bc crita akhiryaa...aneh2 wae da tu sopirr... mungkin lagi ngidem ayam kentucky ntu si sopirr.... hihihihi

Odi kitajima on 5 February 2012 at 22:15 said...

wkwkwkwkwk Tyseeeeeeeeeen Lucuuuuuuuuuu.. oh paman masumi *peyuk masumi*

regina on 6 February 2012 at 02:19 said...

ahahhaaa... aku mau jadi ponakanmuuuu *menggelayut manja ala Maya* XDD

Beatrix on 6 February 2012 at 07:53 said...

Ty apakah jd SE nantinya???secara maya kan msh binun dg perasaannya sendiri ( maya yg tdk amnesia ) melihat tingkah maya yg manja banget pasti akan menyakitkan bg Masumi stlh Maya sadar nanti....anyway tq u/ ffnya...

Anonymous said...

wakakakak... suka ma penulisan Ty... baca ini baru dikit aja dah ngakak2 trus... ayo Ty cepet disambung kisah Maya dan'pamannya'....
-Vanda-

Anonymous said...

Neng ty, dirimu tuh gak pernah kehilangan inspirasi ya?! Rasanya kok ya selalu aja bisa liat celah di antara cerita TK original utk dibuat cerita baru yg segar & menghibur :) Really really love your stories...!!!

Beatrix on 6 February 2012 at 11:21 said...

Paman Masumi mau minum juice strawberry???juice vodka maunya sihhh.....wakakakak

xiaolong li said...

ngakak guling2 baca amnesia dan yg ini

Sista, mg dengan kpolosn maya, masumi sedikit2 membuka rahasia diriny, saat maya ingat, dia akn tau klo masumi cinta maya

lanjut sista, HE ya

#xiaolong li

Anonymous said...

wkwkwkwk....aduh ga tahan sampe ga tamat2 bacanya....di jalan raya tokyo ada ayam berkeliaran?ngomong ngasal pa supir saking kagetnya ya masumi meluk maya....hahaha....

-khalida-

Anonymous said...

Mauuuuuuuuuuuuuuu donk punya pamaaaan begono *dezet*

SheevaSiwonestELF on 6 February 2012 at 13:37 said...

hehehe
unn kamu menakutkan, uploadnya malem2
xD
lanjutkan
q sukaaaaa

Resi said...

Akakak, kasian Masumiiii. Aku aja deh yg jadi ponakannya.
Sukaaa ty, lanjutkaaan.

Nalani Karamy on 6 February 2012 at 16:04 said...

suka.....jadi ingin agar maya lupa ingatan terus wk...wk...

Anonymous said...

hahaha Masumi kaget denger strawberry...dan mencium maya yg sdg tidur kayanya menjadi kebiasaan masumi...
penasaran kenapa maya mengingat masumi apa krn memori mengesankan atau tragis? bukannya meskipun maya merasa benci tapi dia percaya sama masumi....

-khalida-

Anonymous said...

uncle uncle...uncle masumi
aku bawa hadiah untuk uncle
jreng jreng....ni jus strwbery spesial untuk uncle
hihihi

lanjut ty -nida-

Anonymous said...

Paman Masumiii.... Ini aku bawakan sekeranjang strawberry...dimakan ya paman...

(Pengen punya paman seganteng paman masumi..)

Dwi asih

Anonymous said...

Mau dunk jd keponakan Masumi, pamannya ganteng sih semua orang jg mupeng (~′▽`)~нaªнaªнaªнaª
Maya jd kaya anak kecil bgt ya manja bgt bikin cemburu aja gelayutan di Masumi mulu (-`⌂´)-c<‾ε‾")
Ty emang hebat ya semua karyamu aku baca lho... ​•..τнänκ (∩_∩) чoü..•‎​
-mn-

Bunda Ita on 7 February 2012 at 08:04 said...

paman masumi mau donk ditemani seharian he he he , seruuuuuuu di tunggu lanjutannya

Anonymous said...

senyum - senyum sendiri di depan laptop....
ehh...ehh... ada yg merhatikan
ty...two thumb deh....
saluuuut...ngocok peruuut
-deggg-

Pastel Mood on 7 February 2012 at 17:08 said...

pamaaaaaaaaaaaaan ganteeeeeeeeeeeeeeeeeng...huhuy <3 <3 <3 -dian-

Lina Maria on 7 February 2012 at 18:41 said...

arghhhhhhh............... kenapa harus ada shimay si pengganggu?????

Anonymous said...

Gut gut,maya mulai cemburu nihhh..
Agak lama jg gpp
Gag usah balik lg memorinya jg gpp
Wakakaka...

Membayangkan gmana ya kl ingetan maya balik lg
Maya pasti tengsin berat mengingat dia suka peyuk2 paman masumi

-mommia-

komalasari on 7 February 2012 at 19:22 said...

yippiiii....Maya mulai cemburu....<3

chuubyy on 7 February 2012 at 20:09 said...

wahhhh... apakah sudah ad benih2 cinta dari mayaaa..... auuuuuuu.... maya cembuyu bout jambul...auu.. muantep euy... kawinnn pliss MM. upzz... qiqiqi >_<

Anonymous said...

curiga nih bakalan SE...tema song-na ga diubah...tak ada yang abadi...kebahagian masumi yg ga abadi ya?

-khalida-

regina on 7 February 2012 at 21:08 said...

widih, ga sabar menanti lanjutannyaa ^0^

xiaolong li said...

knpa harus ada shiori

sista, harus HE nie
#paksa

Anonymous said...

hahayyy...PAMAN~
diliat dr mana aja emang cuco kl masumi jd pamannya maya

bisa2ny deh ty^^ kamu ambil kesempatan dlm kesempitan spalny di komikkan cm ada adegan maya jatuh dr tangga pas br mulai latihan jd jean...
kl bisa kasi jempol lbh dr 4biji udah kutambahin jd 10 jempol buat kreatifitasmuwh....
<3 <3 <3
_aan_

regina on 8 February 2012 at 00:52 said...

#$#@%^&^%*#!!! apa itu " CUUTTTT!!" ?!??!?!?!?!?!??!?!?!??!?!?!?! *emosiiiiiii* XDDDDDDD

Ervina on 8 February 2012 at 01:12 said...

eng ing engggg ahomay munculll wakakak

nisa_na on 8 February 2012 at 04:39 said...

Paceklik??? CUT??? WHY??? *lebay ah XD

Thanks yaa ^3^

Anonymous said...

Hadehhh..
Knafah ada adegan peluk2an ituh
Masumi shiomay #geplak shiomay#

Masih menunggu kissu kissu LOL

Sik asik,jalan2 k yokohama ^^

-mommia-

chuubyy on 8 February 2012 at 05:45 said...

aaaaaaaaaaaaaaa..... kok nanggung cut nuaaa... jiahhh.... udah jam segini.... mandiiiiiiiii akh.. thx ty... >_<

Bunda Ita on 8 February 2012 at 08:25 said...

CUT ...oh noooooooooooooooooo ,*matamemelaskedipkedipmintaditambahlagi*

Nalani Karamy on 8 February 2012 at 09:26 said...

ahk...semakin menahan nafas, membuat emosiku naik turun, tapi tak ingin jika ini berakhir dengan kenyataan yg cukup menyedihkan apalagi buat Masumi

Anonymous said...

nangguuuuuung.......
maya sadaaaar....
masumi juga sadar dengan perasaan maya terhadapnya......
jad akhirnya HE pingiiin deh....
kalau maya sadar apakah akan diingatnya semua hal yang terjadi ketika dia hilang ingatan seperti masumi
endnya dengan keterlibatan strawberry pasti tambah lucu...he...he...he...
-deggg-

dewjaz on 8 February 2012 at 10:49 said...

YaaaaaaaaaaTuhaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnnnnnnnnnnnnnn :((

Anonymous said...

semakin gregetan aja nih...nunggu updatean terakhir...semoga Happy Ending

Resi said...

Yaaaaa, kok CUT siiiiiih, kurang tyyyyyyy.
Senang kl Masumi berseri-seri.

regina on 8 February 2012 at 12:57 said...

*langsung nyungsep baca tulisan CUUUTTTT*

SheevaSiwonestELF on 8 February 2012 at 14:53 said...

Ayo lanjutkan
update nanti sore unn
xD
q menunggu
# LOL

Anonymous said...

cie...cie...masumi bisa bebas meluk-meluk maya....

-khalida-

Anonymous said...

hahhh...
CUUTT....
hafah hituwh....ga boleeehhh cuuttt
next updatenyah GPL ya ty^^

ni ff rencana settingangnya mau sampe mn ty?? sampe masumi di gigit kah pas di premierny isadora??hrs siap mental bakal ada shiori terus nih....huwaa~

_aan_

xiaolong li said...

sista, q penasaran banget nie
*harus HE ya
#paksa sist NR

Anonymous said...

hah..kalo masumi bikin ribuan patung dewi pasti semuanya mirip maya...akhirnya tamat juga dan masumi kembali menjadi dingin....
Makasih Neng Ty, ditunggu cerita2 lainnya

-khalida-

Ty SakuMoto on 9 February 2012 at 01:19 said...

DARLINKS!!! Makasih banyak ya buat yang udah ngikutin cerita ini, awalnya ini tuh mau one-shot, cuma karena plotnya rada panjang, jadi semi serial deh >.<
Tadinya Amnesia tuh ga akan aku bikin sekuelnya, cuma pas kemarena lagi nge-draft buat bikin sebuah cerita, aku tiba-tiba inget ada yg pernah minta sekuel Amnesia, dan aku coba bikin plot buat I remember You ini. Akhirnya aku malah keenakan ngetik ini dan cerita yg aku tulis terbengkalai XDD

Kalo boleh ge-er, aku suka bgt cerita ini *Suka pas nulisnya, gitu, aku menikmati karena tiap adegan bisa kebayang jelas di kepala aku. Maybe endingnya ngga sesuai dengan harapan banyak orang, tapi lagi-lagi, aku sukaa endingnya XDD rada narsis ni aku sama cerita ini, entah kenapa >.<

terima kasih banyak yang udah ngikutin ya... semoga aku masih bisa bikin karya-karya lain yang bisa kalian nikmati. makasih buat yang udah setia baca dan terutama yang meninggalkan jejak komennya. Love you <3

Ty^^

xiaolong li said...

g suka, sedih banget
apa ada lanjutnnya sista, beda judul gpp, yg penting HE
Nangis
hiks...hiks...hiks

Bunda Hanifa on 9 February 2012 at 02:18 said...

ya elah Ty, baru aja happy dah merana lagi. Sungguh teganya dirimu. Ayo lanjut ke ch.2. Buat Maya menyadari perasaannya supaya paman masumi ga merana lagi.

Anonymous said...

ty dont like th end-nya ty
huaaaaaaa
bikin sekuelnya ty....
kudu harus wajib happy ending ty
please

nida

Anonymous said...

Fiiuuuhhh...I love this story gimana pun ending-nya...mengobrak abrik perasaan beneran deh!

Anonymous said...

Walo udah taw end nya bakal begini
Tapi tetep aja sesak rasanya dada ini
U r such a great kind man masumi-sama
No wonder we all in love with u
Kl maya ogah,sinih sama tante mia ajjah

Wakakaka...

-mommia-

Anonymous said...

aduuuh belum tamat ini mah baru chapter atu kan? next chapter ada doonk hehehehe bagus ceritanya slalu bagus karya ty mah lah good job

_ feny iskandar_

Bunda Ita on 9 February 2012 at 08:28 said...

whuaaaaaaaa..... sedih nian, baru saja merasa sangat happy , eh deuilalah merana lagi, piye toh iki hiks hiks hiks.
ty....chapter berikutnya happy ending yach......

Lina Maria on 9 February 2012 at 08:50 said...

cintahhhhhhhhhhh..... mau lanjutannyaaaaaahhhhh...... arghhhhhhhhhhhhh.... gak relaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

Nalani Karamy on 9 February 2012 at 09:01 said...

hiks...hiks...menangis bombay, kok hatiku yang jadi sakit dan sedih ya, rasanya gak rela kalo Maya hrs lupa, mungkin hrs buat lanjutan dgn judaul yg lain ty

Anrid Dayraw on 9 February 2012 at 09:10 said...

paman masumi, paman pilih siapa, maya atau shiori ??..

masih gantung ceritanya.. hehehhehee..


lanjut ya ty... ^0^

Muree on 9 February 2012 at 09:27 said...

Masa Masumi inget wkt dia amnesia tapi maya nggak?! Gak adil ah.Kasian paman,eh,Masumi.

Anonymous said...

yah the end
ty...
lanjutkaaan ya.....
walaupun nggak sesuai dengan jalur punya sensei suzue nggak apa-apa..
ty...please....
-deggg-

Anonymous said...

masih terasa sedih sista,,, rasanya koq g rela ya klo endingnya kaya gini,,, masih gantung,,, kasihan masumi. dibuat lanjutannya y sista,,,
Mutia na rival

Resi said...

yaaah, kok ending tyyy. Rasanya masih ada yang kuraaaang hiks. Dibuat sekuelnya y say.

Anonymous said...

ty....... dua jempol deh,,,kerrrren abis.... I luv it.. :)

Anonymous said...

Yaaah... The end.. T.T
Padahal kan gpp kl amnesianya lama.. Sama2 bahagia ini..termasuk yg baca..hehe..

Pasti merindukan Paman Masumi..♥♡♥

Lanjut apdet yg lain yah Ty kl udah sempet..◦°˚˚˚†ђąήк◦♥◦ўσυ˚˚˚°◦

Dwi Asih

aan on 9 February 2012 at 14:22 said...

sinih masumii~~..
peluukkk~~..

endingnya ga nyangka bakal kaya' gitu deh,,,huhuhuuuu~
tambah cinta mati ajah tuh uncle masumi ke maya,,cuit~ cuit~

regina on 9 February 2012 at 18:35 said...

nice ending <3 berharap ada sequelnyah XDDDDDD

Anonymous said...

Mengapa selalu endingnya Masumi yg menderita menyimpan perasaan cinta yg tak terungkapkan. Masumi bertahan tetap mencintai Maya dalam keadaan apa pun sedangkan Maya pas sudah siuman ingat siapa dirinya malah sinis ama Masumi (゚o´(┗┐ヽ(・.・ )ノ sedih bacanya setelah mereka sama2 bahagia tp sad ending. Tau gitu mending Maya ga usa kembali ingatannya, amnesia aja selamanya XDD -mn-

Anonymous said...

Aku suka endingnya..Hmm.. Jadi ngebayangin setelah itu Masumi langsung nolak Shiori dan memutuskan untuk terus menunggu Maya... ^^

-Happy-

Mawar Jingga on 9 February 2012 at 23:34 said...

PAMAN BAIK HATI...............XDDD
ya ampuuuunnnn mayaaa....hahahaha tapi endingnya ko' gak bersatu MM nya........???

Pastel Mood on 10 February 2012 at 18:54 said...

Tyyy.. kenapah oh kenapah Maya tidak ingaaaaaaat? bikin sekuelnya lg yaaaaa.... sekarang judulnya "always remember" .. Maya ingat kejadian selama amnesia...trus...menyimpulkan klo Masumi juga <3 trus... jadiaaaan... trus masumi bikin keputusan ttg shiori...trus ... HE... pleaaaassseee...*hiks..kyk ada biji kedondong di leher nih! ((

Anonymous said...

Tyyyyy....baguuuusssss (as always) heheehhehee..tp endingnya gantuuunngg...lanjut tyy,ke yg pasti2 roman komedi gt ​нα°˚:D˚°нα°˚=))˚°нα°˚:D˚°нα°˚=))™. ;P maap,eke fans ty sen yg byk maunya wAkakkakaka

-reita
Cups!!

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting