Monday 4 July 2011

Fanfic TK : Amnesia

Posted by Ty SakuMoto at 12:08
Setting : Bayang-Bayang Jingga 1, sehari setelah Masumi ketemu Shiori (hueekk!!!) hehehe....
Rating : 15+

A.n : Ini aku kado buat sis Deni yang ulang tahuun... Selamat ulang tahuun. Dan maaf Masuminya rada out of character :D


Amnesia


“Hoaaaaa…mmm…!” Maya menggeliatkan badannya.
Badannya terasa sedikit pegal-pegal. Kemarin dia baru saja berlatih dengan teman-temannya di teater Ikkakuju dan Mayuko untuk peran barunya sebagai Jean manusia serigala. Mereka mengubah studio bawah tanah menjadi sebuah tempat bermain para serigala.
Dilihatnya futon milik Rei yang sudah rapi terlipat, sepertinya dia sudah pergi ke teater bawah tanah. Maya mencuci mukanya lantas menuju ruang makan. Sudah ada beberapa makanan yang disiapkan Rei untuknya. Gadis itu merasa berhutang kepada Rei yang sudah menjadi lebih dari seorang teman untuknya. Mungkin kakak, atau bahkan ibu.
Maya baru saja selesai membereskan apartemennya dan hendak meneruskan latihannya sebagai Jean saat terdengar seruan di pintu apartemennya.
“Permisiii~!!!” terdengar suara seorang wanita dari balik pintu.
Maya sempat tertegun sejenak lantas segera membuka pintu tersebut.
“Selamat pagi,” sapa wanita itu.
“Eh? Nona Mizuki?” Maya sedikit tertegun, tidak mengira Mizuki akan mendatanginya pagi-pagi begini.
“Halo Maya, apakah aku mengganggu?” tanya Mizuki.
“Ti—“
“Mana Maya??!” Tiba-tiba seorang pria menggeser Mizuki ke samping dan melongok ke dalam apartemen Maya.
“Ha?! Pak Masumi??!!!” seru Maya, terkejut.
Pria itu dengan cepat menundukkan kepalanya, tertegun, lantas alisnya bertaut, sedikit bingung.
“A, apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Maya.
“Maksudmu dia yang bernama Maya?” tanya Masumi kepada Mizuki yang tersingkir dari depan pintu, sambil mengarahkan telunjuknya kepada Maya.
“Benar Pak, dia yang bernama Maya, dia—“
Belum selesai Mizuki berbicara, Masumi memutar kembali kepalanya memandang kepada Maya yang terlihat bingung dengan situasinya.
“Kok, pendek sekali,” kata Masumi heran.
Wajah Maya segera berubah kesal.
“Apa sih maksudnya datang pagi-pagi begini dan mencelaku?!” Maya baru saja hendak menutup lagi pintu saat Mizuki menahannya.
“Tu, tunggu sebentar Maya! Sebentar!!” pintanya.
Maya tertegun.
“Kami perlu bantuanmu,” kata Mizuki sambil mengatur nafasnya, “lebih tepatnya, dia,” Mizuki melirik kepada Masumi, “perlu bantuanmu.”
“Eh?” Maya memandang pada Mizuki dan Masumi bergantian.
=//=
“Hah? Amnesia??!!!” seru Maya saat mendengar keterangan dari Mizuki.
“Iya benar,” kata sang sekretaris.
Baru kali ini Maya melihat Mizuki begitu bingung. Keduanya sedang berbicara di pojok ruang tamu sambil membelakangi Masumi.
“Kenapa bisa sampai amnesia??” bisik Maya, melirik kepada Masumi yang kali ini sedang mengamati pemandangan di luar jendela apartemen Maya.
Harus Maya akui perilaku Masumi memang sangat aneh. Lebih kekanakan mungkin, dan seenaknya. Dia sejak datang barusan tidak berhenti kesana kemari mengamati segala sesuatu yang ada di apartemen Maya.
“Tadi pagi kepala urusan rumah tangganya menelponku, memintaku segera datang ke kediaman Hayami. Saat aku datang, aku diberitahukan bahwa Pak Masumi kemarin malam mabuk berat, dan sempat jatuh pingsan. Kepalanya mengalami benturan hebat. Saat tersadar, dia mengaku tidak ingat siapa dirinya. Tidak ingat apapun mengenai dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Menurut dokter, mungkin Pak Masumi mengalami sebuah peristiwa hebat kemarin yang membuat jiwanya shock atau semacamnya, yang secara pribadi tidak ingin diingat atau dialaminya, atau sebuah masalah yang tidak ingin dihadapinya, entahlah, hanya dia yang tahu. Namun memang sedikit mengherankan karena bukan saja Pak Masumi melupakan peristiwa tertentu saja, dia juga melupakan identitasnya,” terang Mizuki.
“Apakah itu seharusnya tidak terjadi?” tanya Maya heran.
“Dokter bilang kasus seperti ini jarang terjadi jika dilihat dari penyebabnya. Kebanyakan pasien akan melupakan orang tertentu, atau peristiwa tertentu, namun tidak diri dan identitasnya secara keseluruhan. Perlu peristiwa yang sangat dahsyat—atau tekanan psikologis yang sangat kuat—untuk membuat seseorang sampai mengalami amnesia seperti yang Pak Masumi alami. Namun Pak Masumi memang memiliki banyak faktor yang membuatnya bisa mengalami amnesia. Kau tahu, dia itu peminum kelas berat,” terang Mizuki.
Belum lagi beban psikologis yang diembannya.
Tambah Mizuki dalam hati namun tidak disuarakannya.
“Lalu, kalau semuanya belum pasti kenapa Pak Masumi dibawa ke sini?” tanya Maya bingung.
“Itulah masalahnya, Pak Masumi tidak ingin dibawa ke rumah sakit untuk tes. Tuan Eisuke juga sedang tidak ada dan Pak Asa tidak ingin masalah mengenai hal ini bocor keluar jika tidak diperlukan, dia bahkan belum memberi tahu Pak Eisuke mengenai hal ini. Namun terutama, karena Pak Masumi berkeras dia ingin menemui ‘Maya’,”papar Mizuki
“A, aku??” tanya Maya sambil menunjuk dirinya sendiri.
“Iya, Pak Masumi tidak mengingat apapun, dia hanya ingat ‘Maya’ dalam kepalanya dan memaksaku membawanya menemui Maya,” terang Mizuki.
“Ta—“ Maya baru saja hendak bicara sebelum Masumi yang entah sejak kapan sudah duduk di dekat mereka.
“Kau benar mengenai aku tidak mengingat apapun dan hanya mengingat nama Maya di kepalaku. Kupikir ‘Maya’ ini pastilah mengetahui sesuatu atau apapun untuk mengembalikan ingatanku. Tapi, bagaimana kau bisa yakin kalau ‘Maya’ yang ini,” Masumi menunjuk pada Maya seperti menunjuk sebuah barang, “yang kumaksud.” Katanya meremehkan.
“Jangan menunjuk kepadaku seperti itu!” protes Maya kesal sambil mengerutkan keningnya dan menyingkirkan tangan Masumi.
“Wah, kau galak juga ya…” kata Masumi dengan riang.
“Uuuhhhhh~~~” Maya menggeram kesal.
Mizuki menghela nafasnya perlahan.
“Saya tahu alasannya, Pak Masumi…” ujar Mizuki.
“Kalau begitu katakan sekarang juga, rambut kotak!” Katanya dengan nada mengancam.
“Ra, ra..!” Mizuki mendengus kesal. “Sudah cukup Pak Masumi! Saya sudah harus kembali ke kantor dan melakukan hal-hal yang saya perlukan untuk menghindarkan Anda dari masalah.” Mizuki beranjak dari tempat duduknya. “Sekarang saya permisi.”
“No, nona Mizuki…!” Maya panik melihat Mizuki benar-benar akan pergi dan ikut beranjak dengannya.
“Hei, kau tidak bisa meninggalkanku sendirian dengan si Pendek ini,” protes Masumi. Juga beranjak dari duduknya.
“Pen, Pen…?” Maya sampai tidak bisa bicara saking kesalnya. “Nona Mizukiii… bawa dia kembali bersamamuu…!” Maya mendorong punggung Masumi namun pria itu bergeming.
“Rambut Kotak! Apa kau tidak ingat apa yang dikatakan Si Rambut Badut (Asa) bahwa kau bertanggung jawab atas diriku hari ini?” Masumi memperingatkan.
“Sudah cukup!!”  Akhirnya — dan hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya — Mizuki    kehilangan kendali. “Dengarkan saya Pak Masumi, seperti saya bilang, saya harus membereskan banyak hal untuk Anda di Daito.” Pandangannya beralih kepada Maya. “Dan Maya, aku tahu kau bisa melakukan sesuatu untuknya, tolong jaga Pak Masumi untuk sekarang. Dokter bilang, kemungkinan besar ini tidak bersifat permanen, hanya shock kejiwaan yang mungkin hanya akan berlangsung beberapa jam, beberapa hari, beberapa minggu atau beberapa bulan.”
“Beberapa bulan???” Maya sangat terkejut.
Itu jelas bukan kabar bagus.
“Dan Anda Pak Masumi,” Mizuki mendekatkan bibirnya ke telinga bosnya itu dan berbisik. “Baik-baiklah kepada gadis ini, jangan melakukan hal yang aneh-aneh atau Anda akan sangat menyesal nanti setelah ingatan Anda kembali,” Mizuki memperingatkan.
“Baiklah, aku pergi sekarang!” Dengan cepat Mizuki memakai sepatunya dan keluar.
“Nona Mizuki!”
“Rambut kotak!!”
Tapi Mizuki hanya berlalu seperti angin, tak kembali.
Masumi dan Maya menghela nafas bersamaan, lantas keduanya saling memandang pada satu sama lain, juga bersamaan.
“Jangan meniruku!” kata Masumi dengan menyebalkan.
“Enak saja! Siapa yang meniru!!!” Seru Maya tidak terima.
Masumi mengerutkan alisnya.
“A, apa?!” Maya yang merasa diamati menjadi tidak nyaman dan risih sehingga setiap ucapannya terdengar seperti marah dan membentak.
“Kau itu….” Masumi mengamatinya dari atas sampai bawah dan kembali ke atas, “pendeknya keterlaluan! Sampai pegal leherku kalau melihatmu,” katanya enteng.
“Ka, kau!!!” Lagi-lagi Maya kesal dibuatnya. “Kau yang keterlaluan! Cara bicaramu itu! Lagipula siapa yang menyuruhmu melihatku!” balas Maya.
Tiba-tiba Masumi terbahak, dia lantas mengamati apartemen Maya dengan matanya dan sekali-kali mengangguk-angguk. Maya memperhatikan dengan waspada.
“Apa lagi?! Ada yang mau kau keluhkan?!" Tanya Maya kesal.
Pandangan Masumi kembali beralih pada gadis mungil itu.
“Kau… kenapa marah-marah terus sih? Darah tinggi ya?” sindir Masumi, seperti tidak menyadari bahwa sikapnya yang menyebalkan lah yang membuat Maya merasa terganggu.
“Ukkhhhh….” Sekali lagi Maya hanya bisa menahan kemarahannya.
=//=
Mizuki segera melarikan mobilnya ke Daito, dia sudah terlambat lebih dari satu jam dan itu sangat bukan gayanya.
          “Hhh…” wanita efektif itu mendesah mengingat Masumi. Kenapa hal seperti ini terjadi kepadanya. Mizuki sudah mendengar jauh sebelumnya kalau Masumi dijodohkan, dan dia juga tahu, kemarin Masumi baru saja menghadiri omiai dengan cucu milyuner yang sangat cantik jelita itu. Apakah itu yang menyebabkan perasaan bosnya itu terguncang?
          Mizuki kembali menghela nafasnya.
          Tapi yang lebih mengagumkan adalah bagaimana perubahan yang terjadi pada diri Masumi saat bertemu Maya. Ketika Mizuki menemuinya tadi pagi, pria itu terlihat mengerikan lebih dari biasanya. Pandangannya nyalang dan liar, dia tidak mempercayai siapapun yang mendekatinya. Wajahnya sungguh menyeramkan. Bahkan setelah diyakinkan kalau mereka yang ada di sana adalah kerabatnya, dan Mizuki setuju mengantarkannya kepada Maya, pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Sepanjang jalan Masumi hanya terlihat suram, hawa disekitarnya begitu dingin. Namun saat dia bertemu Maya, raut wajahnya jadi berseri-seri dan kepribadiannya langsung berubah. Malah sepertinya lebih seenaknya dari biasanya.
Mizuki menghela nafas lagi. Tidak pernah dia menghela nafas sebegini seringnya.
“Pak Masumi, dan terutama kau, Maya. Kuharap kalian baik-baik saja…” gumam Mizuki pada dirinya sendiri.
=//=
Sepeninggal Mizuki dan bertikai dengan Maya, Masumi lantas duduk kembali pada sebuah zabuton.
“Duduklah,” perintahnya kemudian kepada Maya.
Dengan kesal Maya menurut. Gadis itu duduk di hadapan Masumi. Sekali lagi Masumi mengamatinya. Maya mengerutkan alisnya.
“Bisakah Anda tidak—“
“Apakah kau berhutang nyawa kepadaku?”
“Hah?” Maya tertegun. “Kurasa tidak.”
“Apakah kau pernah meminjam uang yang sangat besar dariku?”
“Tidak.”
“Apakah kau kekasih gelapku?”
“Bukan!!”
“Ah, ya, pasti tidak mungkin kalau itu,” ujar Masumi.
“Ck!” decak Maya, kesal. “Sebenarnya apa maksud pertanyaan Anda?”
“Lalu, kenapa saat aku melupakan semua orang, bahkan diriku sendiri, aku malah hanya mengingatmu?” Tanya Masumi, mendekatkan wajahnya kepada Maya, mengamatinya dan membuat gadis itu merasa gugup.
“Ma, mana aku tahu!” Serunya, memalingkan wajahnya dari pria tersebut.
“Kau yakin kau tidak tahu? Si Rambut Kotak yakin sekali kalau Maya yang kuingat itu dirimu…”
“Ta, tapi aku sungguh tidak tahu apa-apa…”
“Apa pekerjaanmu?”
“Aku pemain sandiwara...”
“Ah! Jadi sekarang bisa saja kan kau sedang berpura-pura tidak tahu apa-apa. Padahal… Oh!! Jangan-jangan kau yang membuatku amnesia dan …”
“Enak saja!” Maya tersinggung dan hendak beranjak berdiri, Masumi menahan tangannya.
“Le—“
Pria itu lantas tertawa terbahak dan membuat Maya heran.
“Aku hanya bercanda… ya ampun, apa kau tidak bisa diajak bercanda?”
“Tapi menurutku tidak ada yang lucu!” sungut Maya.
“Baiklah, sudah kuputuskan!” Kata Masumi tiba-tiba dengan yakin.
“Diputuskan? Apa yang Anda putuskan?” Tanya Maya bingung.
“Kau harus membantuku mengembalikan lagi ingatanku.” Putus Masumi semaunya.
“Ta, tapi aku sungguh tidak tahu bagaimana caranya,” kata Maya putus asa.
“Yaa... kita cari tahu sama-sama dong Pendeeek!!”
“Berhenti menyebutku Pendek!!”
“Baiklah aku akan berhenti,” kata Masumi yang tidak lama kemudian kembali menyeringai, “kalau kau sudah tinggi.”
“Menyebalkan!” Maya meraih sebuah bantal duduk dan melemparkannya kepada Masumi tapi tidak mengenainya.
“Yah, mau bagaimana lagi, kau tidak punya pilihan, kau terjebak bersamaku. Hari ini kau akan membantuku mengingat semuanya.“ Sekali lagi pria itu tertawa dan Maya merengut kesal.
“Jangan memutuskan seenaknya!” protes Maya.
“Uh, aku haus,” Masumi memandang Maya, memintanya mengambilkan air.
Maya melirik ke arahnya enggan.
“Akan kuambilkan air,” katanya dengan nada terpaksa.
“Terima kasih,” Masumi tersenyum manis basa basi.
Maya mengangkat badannya setengah menggerutu. Bahkan hanya dalam beberapa menit pria itu sudah mengambil alih kendali. Tidak berapa lama kemudian Maya membawakan segelas air bagi Masumi.
“Hey Pendek, kapan terakhir kali kita bertemu?” Tanya Masumi setelah meminum airnya.
“Terakhir kali bertemu….” Maya mengingat-ingat.
Deg!
“Sa, saat Anda memintaku menemani seharian…” jawab Maya, agak bergumam.
“Menemaniku seharian? Maksudmu seperti berkencan?” Tanya Masumi.
“Bukan berkencan!” tentang Maya.
“Wah, jangan-jangan sebenarnya kau yang mengajakku berkencan ya?” tanya Masumi.
“Ih! Enak saja! Untuk apa aku mengajak Anda berkencan?”
“Ah, ya sudahlah, tidak masalah kalau kau tidak mau mengakuinya,” Masumi mengangkat bahunya tidak acuh.
“Siapa yang tidak mau mengakuinya?! Memang bukan aku yang mulai mengajak!”
“Yaa... yaa aku percaya,” ledek Masumi.
“Memang bukan aku!!” Maya bersikeras.
“Ya sudahlah, anggaplah seperti itu. Aku yang mengajakmu,” kata Masumi.
“Menyebalkan! sama sekali tidak mendengarkan perkataan orang lain!” Gerutu Maya.
Masumi terdiam. Dia mengamati gadis di hadapannya. Masumi merasa, apapun hubungannya dengan gadis mungil di hadapannya ini, jika dia sampai tidak bisa melupakannya, maka bisa jadi itu sesuatu yang sangat bagus atau malah sesuatu yang sangat buruk.
“Baiklah, kalau begitu, ayo kita pergi,” ajak Masumi.
“Hah? Kemana?” Maya terkejut dengan ajakan Masumi.
“Berjalan-jalan tentu saja, ke tempat-tempat yang kira-kira bisa mengingatkanku mengenai diriku sendiri…” Masumi mulai berdiri.
“Ha? Tapi… aku… mau latihan,” kata Maya ragu-ragu.
“Memangnya kau mau main apa Pendek??” tanya Masumi, tertarik.
“Menjadi gadis serigala…”
“Oh?” Masumi tertegun, “sepertinya sudah cocok denganmu, tidak akan terlalu sulit bagimu mendalaminya.”
“Enak saja!”
“Baiklah, ayo cepat…” Masumi menarik tangan Maya.
“Uhh…” Maya membuang nafasnya dengan keras. “Baiklah…” Ia akhirnya menyerah juga.
Masumi lalu memutar pandangannya kesana kemari.
“Apa yang Anda cari?” tanya Maya keheranan.
“Hey, kau tidak punya kalung rantai? Aku ‘kan akan membawamu jalan-jalan.” Seringainya.
“Uhhhgggg Menyebalkaaaaan!!!!!” Maya tidak tahan juga menghadapi ledekan Masumi. “Keluar sana, keluaaarr!!!” Usirnya, namun Masumi hanya terbahak.
“Apa kau tidak ingat apa yang dikatakan si rambut kotak?”
“Namanya Mizuki!!” Sungut Maya.
“Ah, ya, terima kasih sudah mengingatkan…” ujar Masumi tidak acuh. “Apa yang akan dikatakannya kalau dia tahu kau menelantarkanku? Kalau ada apa-apa denganku, atau ada yang macam-macam denganku?”
Siapa yang akan berani macam-macam dengan Masumi Hayami…
Pikir Maya.
“Yah, terserah kau saja… Pokoknya aku mau pergi berjalan-jalan. Dan kalau sampai terjadi sesuatu padaku, sampaikan salamku pada si Rambut Kotak. Katakan aku berterima kasih atas semua bantuannya, dan katakan juga bahwa semua ini karena si Pendek menelantarkanku,” kata Masumi dengan gaya yang berlebihan.
Maya kembali menghela nafasnya.
“Baiklah aku menyerah…” gadis itu mengerucutkan bibirnya dan Masumi sekali lagi tersenyum penuh kemenangan.
=//=
“Pendek, kemana kita pergi saat itu?” Tanya Masumi saat keduanya sedang menyusuri jalanan siang itu.
“Ke sebuah pertunjukan sandiwara, ke planetarium, ke festival di Ginza, makan malam di sebuah restoran…” Maya mengingat-ingat.
“Wah, kau beruntung sekali, pasti sangat senang ‘kan,” kata Masumi.
“Cih! Sama sekali tidak,” gumam Maya.
“Pendek anggaplah memang aku yang mengajakmu keluar…”
“Memang Anda kok!” Maya bersikeras.
“Apakah kau tahu kenapa aku mengajakmu keluar? Apakah kita merayakan sesuatu?” tanya Masumi.
“Tidak, saat itu Anda…” Maya kembali teringat Masumi yang ditemuinya hari itu. Terlihat sangat kesepian dan tampaknya hendak menyampaikan sesuatu. “Tidak, Anda tidak mengatakan apapun, hanya memintaku menemani Anda hari itu.”
Masumi tertegun. Dia yakin ada sesuatu mengenai dirinya dan gadis di sampingnya saat itu.
“Hmm, baiklah, kalau begitu kita mulai dari planetarium, oke?”
“Terserah Anda sajalah… asal Anda bisa kembali menjadi diri Anda yang lama,” gumam Maya.
Gadis itu tidak percaya akan mengucapkan kata-kata seperti itu.
“Nah kan, kau bohong saat bilang kau tidak menyukaiku.” Goda Masumi.
“Ugh, setidaknya Anda yang tidak sedang hilang ingatan, tidak sebegini menyebalkannya!” gerutu Maya.
Masumi terbahak. Keduanya kemudian berjalan menuju planetarium.
Setibanya di planetarium, Masumi kembali bertemu dengan paman penjaga gedng kebudayaan yang sama. Yang ditemui keduanya sebelumnya.
“Halo Hayami muda…” sapanya dengan ramah.
“Ah, halo… Paman…” sapa Masumi, juga ramah walaupun dia tidak ingat siapa orang tersebut.
“Wah, kalian datang berdua lagi?” tanya Paman tersebut sambil tersenyum melihat Maya.
“Iya,” Masumi tersenyum lebar sambil menarik pundak Maya dan merangkulnya.
Deg!
Gadis itu sangat terkejut. “E, eh, Pak Masumi…” lirihnya.
Paman itu tertegun melihatnya lantas tersenyum. Dipikirnya keduanya kini sudah menjadi sepasang kekasih. Walaupun menurutnya Maya terlihat terlalu muda untuk Masumi, tapi itu benar-benar bukan urusannya.
“Sebentar lagi pertunjukannya akan dimulai,” Paman tersebut mengingatkan.
“Baiklah, terima kasih Paman,” kata Masumi. Maya dan Masumi segera beranjak ke tempat proyeksi.
Masumi masih saja merangkul bahu Maya sampai mereka masuk ke dalam lift, dia baru melepaskannya. Maya sendiri merasa sangat gugup dengan perilaku Masumi dan akhirnya tidak bisa berkata apa-apa.
“Kau kenapa?” tanya Masumi pada Maya yang diam saja setelah dia menekan tombol lift.
“Ti, tidak apa-apa!” Kata Maya, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Dipandanginya Masumi yang bersikap seakan-akan perilakunya tadi bukan hal yang istimewa dengan penuh tanda tanya.
Keduanya lalu memasuki ruang proyeksi dan segera mengambil tempat pada kursi yang telah disediakan. Tidak berapa lama pertunjukkan dimulai. Ruangan digelapkan dan terdengar suara yang menjelaskan mengenai apa-apa yang muncul di atas mereka. Sekali lagi Maya merasakannya. Merasa dirinya melayang di udara dan alangkah kecilnya dia di dalam alam semesta ini.
Pak Masumi…
Maya menoleh pada Masumi yang sejak tadi tidak bersuara lagi.
Tiba-tiba pria itu menoleh kepadanya dan tersenyum. Senyuman yang membuat dada Maya berdebar lebih cepat. Andaikan ruangan itu tidak digelapkan, pasti Masumi dapat melihat wajahnya yang memerah. Pria itu kembali menengadah, memandang berbagai bintang-bintang tiruan di atasnya.
45 menit berlalu, akhirnya lampu kembali dinyalakan. Maya dan Masumi merasa seakan mereka baru saja terbangun dari mimpi. Suasana kembali riuh. Ruang proyeksi yang kebanyakan diisi anak-anak terdengar ramai.
Maya menoleh pada Masumi. Pria itu bergeming, bahkan sampai ruangan sepi kembali.
“Pak Masumi…” panggil Maya lembut, takut mengejutkan Masumi.
Masumi menoleh ke arahnya dan kembali tersenyum. Aneh, tiap kali pria itu tersenyum, kenapa seakan menekan sebuah tombol yang memacu jantung Maya berdebar lebih cepat, seperti kali ini?
“A, anda tidak apa-apa?” tanyanya.
“Hm,” jawab Masumi, kembali menengadah memandang langit berbintang yang kini hanya berupa layar polos.
“Aku sedang berusaha mengingat banyak hal…” ujar Masumi, “sebenarnya tidak ada kejadian apa pun yang kuingat, hanya saja, perasaanku mengatakan, tempat ini memang bukanlah tempat yang asing bagiku. Ada sesuatu, semacam déjà vu yang mengisi pikiranku, mengatakan kalau aku pernah di sini.”  Masumi kembali menoleh pada Maya, “terima kasih sudah menemaniku ke tempat kenanganku,” ucapnya lembut. “Aku suka langit berbintang, seakan mengingatkanku bahwa kita ini hanyalah sesuatu yang kecil, dan semua masalah kita seakan-akan tidak berarti.”
Maya tersenyum dan mengangguk. Tiba-tiba gadis itu tertegun.
“Ah! i, itu, saat itu Andapun mengatakan hal seperti itu…” terang Maya.
“Oh, Benarkah?” Masumi tersenyum hangat.
Deg!
Maya bisa merasakan jantungya berdebar lebih cepat lagi melihat senyum Masumi tersebut.
“Iya…” gumamnya, lantas memalingkan wajahnya dari Masumi.
=//=
“Paman, terima kasih banyak, kapan-kapan aku akan datang lagi,” Masumi berpamitan pada Paman penjaga tersebut.
“Ya, kapan-kapan datanglah lagi Hayami muda…” jawab si Paman sambil melambaikan tangannya.
“Sekarang mau kemana lagi kita?” Tanya Masumi saat keduanya keluar dari gedung pusat kebuadayaan.
“Aku tidak tahu…” jawab Maya ringan. Sepertinya gadis itu sudah mulai terbiasa dengan keberadaan Masumi.
“Baiklah, kita jalan saja ya Pendek…”
“Bisakah Anda berhenti memanggilku Pendek?!!” protes Maya untuk kesekian kalinya.
Pria itu tertegun dan berhenti berjalan, menoleh pada Maya yang berada 1-2 langkah di belakangnya.
“Kalau ada tempat yang menarik yang ingin kau kunjungi kita bisa pergi ke sana, atau jika aku menemukan tempat yang menarik, kita bisa ke sana.” Usul Masumi, tidak menghiraukan ucapan Maya sebelumnya dan kembali berjalan.
“Menyebalkan!! Sama sekali tidak mendengarkanku,” desis Maya kesal. “Iya terserah Anda saja!” seru Maya tidak tertarik.
Tidak berapa lama, Masumi baru menyadari bahwa Maya sudah tidak di sampingnya lagi, dilihatnya seseorang sedang memegang tangan gadis itu dan menahannya.
Dengan terburu-buru Masumi kembali menghampiri dan menarik Maya.
 “Heh! Apa yang kau lakukan?!!” Serunya marah.
Bruk!!
Masumi menarik Maya dengan cepat dan gadis itu sekarang memeluk Masumi. Atau sebaliknya. Karena Maya bisa merasakan Masumi mendekap erat pundaknya sementara wajahnya terbenam di dada pria itu.
“Apa yang kau inginkan dari gadis ini hah?” tanya Masumi dengan wajah mengancam.
“A… anu Tuan… saya hanya menawarkan tissue basah gratis untuk Nona ini…”
Eh?
Masumi tertegun. Pria itu lalu menundukkan wajahnya.
“Be… benar…” kata Maya yang menengadahkan kepalanya agar bisa memandang Masumi. “Dia hanya menawarkan tisu gratis, Pak Masumi,” terang Maya.
“O, oh…” Masumi tampak kikuk. “Hahaha…” dia lalu tertawa canggung, “kupikir dia berbuat yang tidak-tidak,” katanya sambil melepaskan dekapannya dari Maya.
“Pria aneh…” kata Maya tidak bersuara, sambil mencoba menenangkan dirinya.
“Tapi kau tidak perlu memegang tangannya kan?!” seru Masumi lagi.
“Maafkan saya… saya hanya mendemonstrasikan tisu untuk cuci tangan ini,” SPB tersebut menunduk meminta maaf lantas berlalu, sedikit berlari, pergi.
“Nah, bagaimana pendek? Tidakkah kau merasa lebih aman saat bersamaku?” ujar Masumi percaya diri saat keduanya kembali melangkah, meneruskan perjalanan yang tertunda.
“Uh…! Apanya yang lebih aman…” gumam Maya, menggerutu, karena merasa malu dengan sikap Masumi sebelumnya.
“Hahaha… akui saja Pendek…” kata Masumi besar kepala.
Maya memutar matanya kesal.
“Pendek, jangan-jangan kau ini dulu mantan kekasihku… atau… adik tiri dari istri gelap ayahku?” kata Masumi seenaknya.
“Enak saja! Anda benar-benar seenaknya!!” Seru Maya, kembali marah.
“Pendek, jangan galak-galak. Setahuku, kadang wanita bersikap galak pada seseorang yang disukainya,” goda Masumi.
“Uh, menyebalkan! Sudah! Aku tidak ingin menemani Anda lagi, aku sungguh tidak peduli lagi!” Seru Maya, hendak meninggalkan Masumi dan menyeberangi jalan, gadis itu tidak melihat lampunya sudah merah.
“Hei kau!!” Masumi dengan sigap menarik gadis itu ke dalam dekapannya. “Bodoh! Apa kau tidak lihat kalau lampunya merah?!!” Seru Masumi terdengar sangat khawatir.
“A, aku…” Maya bisa merasakan wajahnya memanas, ini kedua kalinya Masumi memeluknya hari ini, namun dekapannya yang ini terasa sangat kuat dan hangat.
“A, Aku…”
“Ugh!!” Tiba-tiba wajah Masumi mengernyit kesakitan, sebuah bayangan melintas di kepalanya, menyilaukan dan berputar memusingkan seperti vertigo.
“Pak, Pak Masumi! Anda tidak apa-apa?!” Tanya Maya khawatir, saat melihat raut wajah pria itu.
Masumi memeluk gadis itu lebih erat. Bayangan kejadian yang sama, persis yang baru saja terjadi melintas di kepalanya. Saat itu bersalju, gadis itu hendak menyeberang dan Masumi menariknya ke dalam pelukannya.
“Aku… aku…” nafas Masumi terengah, keringat dingin mengucur dari dahinya.
“Pak Masumi…” Maya memandangi pria itu dengan khawatir.
“Sebentar… sebentar saja…” Masumi mendekap Maya semakin erat.
Maya sekuat tenaga berusaha menahan tubuh Masumi agar tidak roboh. Tak lama kemudian nafas Masumi kembali teratur dan dekapannya melonggar.
“Anda tidak apa-apa…?” tanya Maya.
“Ah, ya… maaf…” Masumi menegakkan badannya dan mengerjap-ngerjapkan matanya. “Kurasa, aku teringat sesuatu,” gumamnya. “Pendek, bukankah hal seperti ini pernah terjadi sebelumnya?” tanyanya kemudian.
Eh?
Maya tertegun.
“Saat kau sedang mau menyeberang dan aku menarikmu. Hari itu bersalju…”
“Ah, iya…” kata Maya.
Gadis itu kembali teringat kejadian saat dia dan Masumi menggunakan payung yang sama saat hari bersalju. Hari itu pun, pelukan Masumi yang hangat sempat mempesonanya.
“Ternyata benar kau…” gumam Masumi hampir tidak terdengar.
“Eh?” Maya menengadah menatap Masumi bingung.
“Saat tadi kejadian itu berulang di kepalaku, aku melihat kau… Jadi kurasa mungkin si Rambut Kotak tidak salah, memang kau lah Maya yang kuingat.” Terang Masumi, matanya mengamati wajah Maya.
Pak Masumi…
Keduanya lantas terdiam. Sedikit canggung.
“Hey Pendek, kau sudah lapar?” tanya Masumi, mencoba mencairkan suasana.
“Sedikit,” jawab Maya.
“Ayo kita cari makan,” spontan Masumi menarik tangan Maya. Memegang gadis itu tepat di telapaknya.
Maya bisa merasakan dadanya bergetar. Dia tertegun dan sempat tidak bisa  melangkah saking terkejutnya. Dia bahkan merasakan wajahnya memanas.
Masumi yang menyadari Maya diam saja memutar badannya.
“Ada apa Pendek..?”
“A, aku…”
Masumi mengamati tangan keduanya.
“Ah, maaf,” Masumi spontan melepaskannya. Dia memalingkan wajahnya, merasakan wajahnya merona dan dadanya berdebar.
Kenapa aku? Hanya karena memegang tangannya…
Berusaha menyembunyikan kegugupannya, Masumi kembali menoleh kepada Maya dan menyeringai.
“Hey, jangan bilang dadamu berdebar-debar hanya karena aku memegang tanganmu…” ledek Masumi. “Jangan-jangan kau memang menyukaiku,” godanya.
“A, apa?!!” Wajah Maya berkerut, marah.
“Wah, apa kau belum pernah berpegangan tangan dengan laki-laki?” tanya Masumi, tertarik.
Masumi membungkukkan badannya menatap Maya dan mengamati wajahnya sambil menyeringai jahil.
“I, itu bukan urusanmu!!” Seru Maya dengan wajah memerah.
Gadis itu berjalan mendahului Masumi.
Masumi tersenyum simpul melihatnya dan berjalan menyusulnya.
“Kita ke sana saja yuk Pendek, kita bisa sambil beristirahat,” ajak Masumi saat melalui sebuah taman.
Maya menurut saja dan mengikuti Masumi. Keduanya lantas membeli hamburger dan segelas cola di sebuah kedai dan duduk di bangku taman yang terbuat dari batu-batuan.
“Ada apa?” tanya Masumi pada Maya yang beberapa kali mengamatinya.
“Ti, tidak, hanya saja, ini pertama kalinya aku melihat Anda memakan burger dan cola,” kata Maya. “Rasanya tidak sesuai dengan imej-mu,” kata Maya polos.
Masumi tertawa.
“Memangnya, aku yang seperti apa yang sesuai imej-mu?” tanya Masumi.
“Uhm, entahlah, aku tidak tahu banyak mengenai Anda, yang pasti makan burger dan cola sama sekali tidak sesuai dengan bayanganku mengenai Direktur Muda Daito yang dingin dan gila kerja, selalu mengganggu, bersikap menyebalkan dan seenaknya,” ledek Maya.
“Sepertinya kau tidak menyukaiku…” gumam Masumi, walaupun tidak ada nada merasa terganggu sedikitpun dengan ucapan Maya.
“Anda baru menyadarinya?” sungut Maya.
Masumi terbahak.
“Apakah ada alasan tertentu kau membenciku?” tanya Masumi, mengamati gadis itu.
“A, aku…” Maya mengamati Masumi. “karena Anda juga sebenarnya membenciku,” ucap gadis itu akhirnya.
Masumi tertegun.
“Aku membencimu?” Tanya Masumi, jelas terkejut.
“Aku yakin Anda membenciku,” jawab Maya mantap.
“Apa aku pernah berkata aku membencimu?” Masumi menatap gadis mungil di hadapannya.
“A, mm…” Maya mengingat, “ti, tidak…” jawabnya tidak yakin.
“Ah, jadi itu hanya kesimpulanmu saja?” Masumi kembali pada makanannya.
“Tapi Anda memang membenciku, dan aku membencimu!” Seru Maya.
Masumi termenung. Jadi sebenarnya hubungannya dan gadis ini tidaklah baik.
“Pendek, sebenarnya, hubungan kita… seperti apa?” Tanya Masumi tiba-tiba.
“Hu, hubungan kita?” Maya bingung tiba-tiba disodori pertanyaan seperti itu oleh Masumi.
“Iya, maksudku, apakah kita hanya saling mengenal? Dekat? Sangat dekat? Ada hutang budi? Dendam?” berondong Masumi.
Maya terdiam sebentar.
“Anda selalu menggangguku, usil, menyebalkan!” Kata Maya tidak acuh.
Masumi masih saja mengamati Maya. Kalau memang sebenarnya hubungan mereka tidak baik, kenapa justru gadis ini, yang katanya dibencinya lah yang dia ingat? Masumi masih tidak mengerti.
“Kurasa, aku tidak membencimu Pendek, itu hanya perasaanmu saja,” ujar Masumi kemudian.
Kau selalu mengganggu teater Mayuko, menghalangiku setiap kali pentas, selalu berharap aku gagal, dan pernah mengurung ibuku adalah apa yang terbayang di benak Maya. Namun dia urung mengatakannya. Itu bukanlah sesuatu untuk dikatakan pada Masumi saat ini. Maya hanya terdiam dan meminum cola-nya.
“Nanti setelah Anda ingat, Anda akan tahu sendiri. Untuk apa aku capek-capek menjelaskan sekarang,” sungut Maya.
Masumi tersenyum samar.
“Kalau ternyata… ingatanku tidak kembali, bagaimana?” tanya Masumi.
“Ha?” Maya mengamati Masumi.
“Apa kau akan tetap membenciku kalau ingatanku tidak kembali?” tanya Masumi, lalu terdiam, menunggu jawaban Maya.
“Ka, kalau masih menyebalkan dan mengganggu seperti sekarang, mungkin saja.” Kata Maya.
Masumi kembali terbahak.
“Ah, aku pernah pentas di sini,” Maya mengalihkan pembicaraan.
“Oh, benarkah?”
“Iya, sebagai Pack dalam Mimpi di malam musim panas.”
“Hmm, karya Shakespeare??”
“Iya… eh? kok Anda tidak lupa pada Shakespeare?” Tanya Maya heran.
“Uh, Pendek, aku hanya melupakan jati diri, pengalaman dan orang-orang yang berkaitan dengan kehidupanku namun tidak berkaitan dengan intelijensiku, kau tahu. Aku tidak lupa nama kaisar kita, aku juga hapal lagu kebangsaan kita, aku juga ingat Shakespeare dan karya-karyanya. Karena itu bagian dari intelijensiaku, tidak ada kaitan dengan jati diriku. Lain halnya kalau Shakespeare itu pamanku, mungkin aku akan lupa padanya.” Terang Masumi sambil menyeringai.
“Ah, mungkin itu mengapa Anda ingat padaku, aku ini ‘kan salah satu aktris yang pernah berada di Daito, mungkin karena itu?” Maya menyimpulkan.
Tidak, ini lebih dari itu, saat aku teringat nama Maya, itu seperti sesuatu yang penting bagiku, sesuatu yang berarti… Seakan-akan aku berkaitan erat dengannya dan aku akan dapat mengetahui jati diriku saat bertemu dengan ‘Maya’.
Pikir Masumi sambil memandangi Maya di hadapannya. Dan memang, sekarang, sedikit demi sedikit Masumi mulai paham. Dia sudah punya beberapa kesimpulan kenapa hal itu terjadi.
“Hey, apakah aku datang pada pertunjukan itu?” tanya Masumi. Hamburgernya sudah habis dan dia berusaha menghabiskan colanya.
“Ya, Anda datang menontonnya… dan juga…”
“Dan juga?” Masumi menunggu.
“Anda sempat mengajakku mendayung di danau itu saat aku sedang berlatih,” terang Maya. Maya menunjuk ke arah danau di mana Masumi sempat mengajaknya mendayung.
“Oya? nanti aku ingin melihatnya.”
“Apa?”
“Danau itu,” kata Masumi.
“Uhm… baiklah.” Maya kembali menyetujui.
Setelah keduanya menyelesaikan makan siangnya, mereka berjalan menyusuri taman tersebut dan sampailah di pinggiran danau itu. Masumi mengamatinya. Dia lantas terduduk di sisi danau tersebut, di atas rerumputan di bawah sebuah pohon.
“Kemarilah,” ajak Masumi pada Maya sambil menepuk tempat di sebelahnya.
Maya menurutinya, dia terduduk di samping pria itu. Masumi kembali hanya terdiam. Maya menoleh ke arahnya dan mengamati. Sepertinya Masumi memikirkan banyak hal.
Benarkah Pak Masumi tidak mengingat apapun? Pasti rasanya membingungkan tidak mengetahui siapa diri kita yang sebenarnya…
Pikir Maya, sambil mengamati Masumi diam-diam.
Masumi tidak melepaskan pandangannya dari danau tersebut. Airnya tampak berkilauan diterpa sinar matahari. Masumi merasakan angin yang berhembus siang itu terasa sangat menyegarkan. Orang-orang tidak ada yang mendayung hari itu, mungkin karena sekarang memang masih hari kerja. Masumi berusaha mengingat sesuatu, namun nihil, tidak ada sedikitpun bayangan melintas di benaknya.
“Mimpi di Malam Musim Panas… kapan itu, Pendek?”
“Uhm… mungkin hampir sekitar 2 tahun yang lalu,” terang Maya.
“Hm…” gumam Masumi, lantas kembali terdiam.
“Berapa usiamu sekarang?”
“Eh? Mm… 20 tahun,” kata Maya.
“Ha?” Masumi menoleh cepat pada gadis di sampingnya.
“Ke, kenapa?” tanya Maya yang tiba-tiba merasa gugup ditatap Masumi.
Masumi terbahak, ”kupikir kau masih anak SMP,” katanya.
“Enak saja! Aku sudah dewasa! Dasar menyebalkan!” Maya memalingkan wajahnya sementara Masumi masih tertawa.
“Kau tahu, memalsukan umur adalah tindakan kriminal,” goda Masumi.
“Tapi umurku memang sudah 20 tahun!” seru Maya tidak terima.
“20 tahun… sudah cukup dewasa untuk menikah, ya?” Masumi tersenyum menggodanya.
Wajah Maya memerah seketika.
“Kau punya kekasih?” selidik Masumi.
“Bukan urusanmu!”
Masumi kembali tertawa. Tiba-tiba pria itu membaringkan dirinya. Menahan kepalanya dengan kedua tangannya.
“Kurasa sebenarnya kau tidak membenciku, Pendek,” kata Masumi dengan percaya diri.
“Uh! Itu hanya perasaanmu saja!” Seru Maya, memalingkan wajahnya.
“Kalau memang kau membenciku, sedang apa kau di sini sekarang bersamaku?”
“I, itu karena… karena… aku tidak punya pilihan!!” Jawab Maya dengan wajah tidak rela.
“Hm?” Masumi menoleh kepada Maya. “Semua orang punya pilihan. Kau bisa saja mengabaikanku dan tidak mempedulikanku, kalau kau memang membenciku seperti yang kau katakan,” Masumi berargumen, “tapi kau malah di sini bersamaku,” pria itu tersenyum penuh kemenangan.
“A, aku! Itu, karena aku…” Maya kehilangan kata-kata. Dia tidak dapat menyalahkan ucapan Masumi, namun dia tidak ingin menyetujui ucapan laki-laki itu. “Itu karena aku memang baik hati!” Jawab Maya, puas.
“Hmm… benarkah?” tanya Masumi, pria itu bangkit dan menghadap ke arah Maya sambil menahan tubuhnya dengan sebelah tangannya. “Yakin bukan karena kau tertarik kepadaku?” pria itu tidak berhenti menggodanya.
“Uh! Dalam mimpi!” sembur Maya. Namun dada gadis itu berdebar mendengar ucapan Masumi, entah kenapa pria itu benar-benar membuatnya gugup.
“Oh, jadi kau memimpikanku?” Masumi mengangkat sebelah alisnya tidak kentara.
“A, aku tidak bilang begitu! Bukan itu maksudku!” Maya sedikit bergeser gelisah dari tempat duduknya semula.
“Tidak apa-apa, bukankah kau bilang kau sudah dewasa…?”
“Menyebalkan! Sudah kukatakan bukan itu maksudku!”
“Hmm…” Masumi kembali tersenyum, senyum yang aneh. “Kau tahu, jika diamati begini, kau sebenarnya cukup menarik…” gumam Masumi.
Wajah Maya terasa panas mendengarnya. Maya tidak bisa membalas ucapan Masumi karena cara pria itu menatapnya, serasa tidak wajar dan Maya benar-benar dibuat gugup olehnya.
Masumi lantas mendekat kepada Maya, tatapannya tidak terbaca olah Maya.
“Pak, Pak Masumi… apa yang…” Maya sedikit takut saat Masumi bergerak mendekat ke arahnya.
“Pendek, aku…” Masumi lantas membuka jasnya.
Mata gadis itu terbelalak.
“Pak Masumi… apa yang Anda lakukan…? Ja, jangan macam-macam…” katanya gentar.
“Tapi aku…” Masumi lantas membuka dasinya dan melemparkannya juga ke tempat dia melemparkan jas itu sebelumnya. Masumi bergerak semakin dekat kepada Maya
“Pa, Pak Masumi… jangan menakutiku,” Maya bergerak mundur, namun tubuhnya terhalang oleh pohon.
“Menakuti, apa maksudnya?” Masumi lantas melepas ikat pinggangnya.
Maya sangat terkejut. Dia memperhatikan pria itu membuka ikat pinggangnya, lantas kembali menatap wajahnya ketakutan.
Masumi tiba-tiba bergerak mendekat dengan cepat ke arah Maya.
“Kyaa!!” Maya terkejut, gadis itu menutup matanya. “Pak Masumi jangaan!!!” serunya, sambil menggerakkan tangannya ke depan.
Tiba-tiba dia merasakan tangan Masumi di tubuhnya, mengangkatnya.
A, apa…?
Maya membuka matanya dan kini menyadari dia sedang berada dalam gendongan Masumi.
A, apa…?
Maya menengadah menatap Masumi.
“Ayo kita mendayung, Pendek!” Kata pria itu tersenyum lebar.
“Ta, tapi…” Maya tahu dia sudah tidak bisa lagi menolak pria itu.
“Hahaha… kenapa? Kau kecewa ya?” Masumi menyeringai jahil.
“Ke, kecewa?”
“Ayo katakan padaku, kau pikir apa yang tadi hendak kulakukan?”
“Berhentilah menggodaku!!” Seru Maya, wajahnya memerah.
“Maafkan aku mengecewakanmu,” kata pria itu lantas terbahak.
“Siapa yang kecewa! Menyebalkaaann!!! Turunkan akuu!!” serunya kesal.
Maya benar-benar berharap bisa membenamkan wajahnya ke dalam tanah agar dapat menghilangkan rasa malunya.
=//=
Masumi mendudukkan Maya di satu sisi dan dia sendiri duduk di sisi lainnya.
Masumi mulai menggulung lengan kemejanya dengan tenang. Maya memperhatikannya.
“Hey! Kenapa Anda juga membuka ikat pinggang Anda? Sengaja menggodaku ya?” Tuduh Maya.
“Eh?” Masumi menunduk dan memperhatikan pinggangnya,
“Kau tahu, dengan posisi duduk seperti ini, memakai ikat pinggang bukanlah pilihan yang tepat untuk membuatku tetap nyaman di dalam perahu ini,” kata Masumi ringan. “Kau saja… yang berpikir macam-macam!”
“Enak saja! Siapa yang berpikiran macam-macam…” Maya memalingkan wajahnya kesal.
Masumi kembali terbahak, dia benar-benar menikmati menggoda gadis mungil di hadapannya ini. Masumi sudah mulai mendayung dan menggerakkan perahunya ke tengah danau. Sejenak tidak ada suara dari keduanya, hanya menikmati suasana di tengah danau tersebut.
 Pak Masumi…
 Maya mengamati pria di hadapannya yang sedang menoleh ke kanan dan kiri sambil mengayuh dayungnya. Saat ini hanya mereka berdua yang sedang mendayung di danau. Matahari sedikit menyengat, tengah hari sudah mulai tergelincir, namun masih belum cukup sore. Angin peralihan musim dingin ke musim semi masih terasa berhembus dingin. Maya bisa melihat air kolam yang berkilauan karena pantulan sinar matahari. Maya mengamati sekitarnya. Hari itu, hampir dua tahun yang lalu, kurang lebih seperti inilah suasananya. Dia kembali menatap Masumi yang kini sedang mengamatinya.
Pak… Masumi?
Pria itu sudah berhenti mendayung. Dia hanya terdiam memandangi Maya. Dada gadis itu kembali berdebar. Tatapan Masumi membuatnya rikuh dan entah kenapa, malu, wajahnya sedikit demi sedikit memanas.
Masumi lantas tersenyum ke arahnya. Maya tertegun dan segera menundukkan kepalanya, menyembunyikan rona merah yang menghiasi wajahnya semakin banyak.
“Aneh… walaupun aku tidak ingat siapa diriku dan banyak hal lainnya, namun berada di sini bersamamu, aku sama sekali tidak merasa kehilangan apa pun dalam hidupku,” kata Masumi tiba-tiba.
Maya yang mendengarnya, mengangkat kepalanya terkejut ke arah Masumi yang sedang memandangnya begitu lembut.
“A…” Maya kehilangan kata-kata.
“Hahaha…” Pria itu terbahak. “Maaf, aku mengucapkan kata-kata yang aneh ya?” katanya.
Maya hanya menundukkan kepalanya menyembunyikan wajahnya yang semakin memerah dan menggeleng perlahan.
“Tapi kurasa, sekarang aku sudah mengerti, kenapa di saat tidak ada seorang pun yang kuingat, bahkan diriku sendiri, aku mengingatmu, Maya…”
[“Maya…”]
Suara Masumi yang memanggilnya lembut terngiang di kepala Maya. Gadis itu bisa merasakan jantungnya berdebar lebih keras. Ada desiran aneh yang dirasakannya. Yang baru pertama kali dirasakannya. Maya tidak mengerti apa itu, namun dia merasa bahagia mendengar Masumi menyebut namanya.
“Ke… kenapa?” tanya Maya.
Pria itu mengamati Maya dan tidak lama tersenyum tipis.
“Kurasa, aku harus menunggu ingatanku kembali untuk memastikan alasannya,” Masumi tersenyum penuh rahasia.
Pria itu kembali termangu, hanyut dalam pikirannya sendiri.
Mungkinkah memang lebih baik bagiku kalau seperti ini saja? Melupakan semuanya? Apakah ingatanku sebelumnya, adalah sesuatu yang berarti, atau tidak…?
“Pendek, dengan siapa kau tinggal?”
“Dengan sahabatku, dia anggota teater Mayuko,”
“Teater Mayuko?”
“Iya, itu teater tempatku bergabung,”
“Ah, iya, kau sudah bilang kalau kau aktris ya,” Masumi tersenyum, “aku ingin sekali melihatmu berakting sekali-kali,” imbuhnya.
“Anda pasti meledekku!” serang Maya, memalingkan wajahnya kesal.
“Tidak, kurasa kau pasti memang pandai berakting,” puji Masumi jujur.
Maya kembali menoleh pada Masumi, sedikit heran, karena pujiannya terdengar tulus. “Te, terima kasih…” kata gadis itu malu-malu.
Masumi kembali tersenyum.
“Apa cita-citamu?” Tanya Masumi. Entah kenapa, gadis di hadapannya ini memang sangat menarik perhatiannya.
“A, aku, ingin memerankan Bidadari Merah…” ucap gadis itu, matanya sedikit menerawang.
“Bidadari Merah?” kata-kata itu segera terngiang berulang-ulang di kepala Masumi. Seperti mengingatkannya akan sesuatu hal, tidak pasti apa, namun terasa tidak asing, sama halnya ketika Masumi berada di planetarium tadi. “Sepertinya… Bidadari Merah ini, juga sesuatu yang berarti bagiku…” gumam Masumi.
Maya kembali memandang Masumi.
Tentu saja, Anda berusaha keras merebut hak pementasannya…!
Batin Maya.
“Yang kutahu, Daito sangat ingin mementaskannya, namun belum berhasil mendapatkan haknya dari Bu Mayuko, guruku,” itu yang dikatakan Maya pada akhirnya.
“Oh, begitu…” gumam Masumi, pendek.
“Pak Masumi, kurasa…” Maya terdengar sedikit ragu-ragu, “aku tidak akan banyak membantu. Jadi… bukankah sebaiknya Anda pergi terapi ke dokter? Atau bersama dengan seseorang yang lebih mengenal Anda saat ini? Karena aku…” Maya menggigit bibir bawahnya tidak kentara. Dia tidak yakin apa yang sudah dilakukannya membantu dan merasa khawatir akan kelepasan mengucapkan sesuatu yang menyakiti Masumi.
Tapi bukan itu masalahnya bagi Masumi. Sejak dia terbangun tadi pagi dan nama Maya tidak berhenti terngiang di kepalanya, hingga sekarang dia sedang berperahu bersama dengan gadis itu, dia benar-benar penasaran dan ingin tahu mengenai gadis itu. Bukan mengenai dirinya sendiri. Dia ingin lebih mengenal Maya. Dan perasaan itu tidak tertahankan, dia sangat tertarik dengan gadis di hadapannya dan dia tidak punya pilihan lain. Seperti terjerembab ke dalam pasir hisap yang terus menyedotnya semakin ke dasar. Semua perhatiannya hanya tertuju pada gadis itu. Ketertarikan yang ekstrim, berlebihan, tapi Masumi tidak bisa menghindarinya.
“Keluargamu dimana?” tanya pria itu.
Deg!
Mata Maya sedikit membelalak. Gadis itu menatap Masumi di matanya. Pria itu hanya memandanginya apa adanya. Murni keingintahuan.
Benar, dia tidak ingat. Dia sudah lupa…
Hati Maya merasa sakit, teriris kenangan masa lalu yang paling menyedihkan baginya.
“Aku tidak punya siapa-siapa,” tenggorokan gadis itu tercekat. “Ayahku sudah lama meninggal,” Maya menelan ludahnya, “ibuku juga…” mata gadis itu berkaca-kaca, “sudah meninggal, Pak Masumi…” lirihnya.
Masumi tertegun.
Jadi gadis ini… sebatang kara?
Rasa sakit itu juga merayapi hatinya. Tiba-tiba perasaan bersalah yang entah datang dari mana dirasakannya.
Ukh!
Masumi terjegil,  rasa sakit seperti vertigo itu kembali menyerangnya. Kepala Masumi berdenyut keras dan Masumi memejamkan matanya erat-erat. Perasaan panas dingin kembali menyerang tubuhnya. Dan keringat dingin itu kembali bermunculan, sama banyaknya dengan bayangan yang berkelebat di kepala Masumi.
[“Pembunuh!!! Kembalikan Ibuku!!! Pembunuh!!!”]
Ibu Haru yang terbujur kaku. Maya yang menjerit kepadanya dan meneriakinya pembunuh. Kenangan itu terus berputar berkali-kali di kepala pria itu. Menyakitkan. Sangat menyakitkan.
“Pak Masumi, Anda tidak apa-apa?” Tanya Maya khawatir.
Wajah Masumi terbenam sangat dalam.
“Pa, Pak Masumi!!” Maya menghampiri, memegang lengan pria tersebut dengan erat. “Apa kau baik-baik saja?? Pak Masumi!!” serunya khawatir.
Pria itu kini terengah, namun semakin lama nafasnya kembali semakin teratur. Perlahan-lahan Masumi mengangkat wajahnya, menatap Maya.
Gadis ini… berteriak pembunuh… kepadaku?? Apakah aku, yang sudah menyebabkan ibunya meninggal? Apakah benar begitu?
Tatapan pria itu terpasung pada mata Maya yang memandangnya penuh kekhawatiran.
“Anda tidak apa-apa?” tanya Maya sekali lagi.
“Aku…”
Maya mengeluarkan sapu tangan dari saku roknya, dan mengusap peluh dingin pada dahi pria tersebut.
Maya…
Masumi hanya menatapnya.
“Apakah Anda kembali teringat sesuatu?”
Maya… Apakah benar aku yang sudah menyebabkan kematian ibumu…?
Pria itu menggenggam tangan Maya.
“Pak Masumi…” Maya memandangi wajah Masumi yang tidak jauh darinya. Tatapan pria itu terlihat suram.
Ada apa sebenarnya? Pikir Maya.
Tiba-tiba pria itu terbahak.
“Pak… Pak Masumi??”
“Hahaha… wajahmu, Pendek, hahaha… wajahmu saat sedang khawatir lucu sekali,” ujar Masumi.
Maya melipat wajahnya, kesal.
“Anda…!”
“Hahaha, aku hanya bercanda…” Masumi menurunkan tangan Maya, “bagaimana? Aktingku cukup bagus untuk menjadi lawan mainmu?” pria itu menyeringai.
Dia mempermainkanku!
Maya sangat kesal sekali mendengar ucapan Masumi.
“Menyebalkan!! Sama sekali tidak lucu!” Ucapnya, sambil memukul lengan Masumi.
“Menurutku lucu…” pria itu menyeringai.
“Sama sekali tidak lucu!” hardik Maya, “apa Anda tahu betapa khawatirnya aku? Kupikir terjadi sesuatu yang…” gadis itu hampir menangis, suaranya bergetar. “Anda sungguh menyebalkan!!” Maya memukuli pria itu sebisanya dan perahu yang mereka tumpangi mulai bergoyang.
“Hey, Pendek, tenanglah! atau perahu kita akan—“
Namun terlambat, saat Masumi mengatakannya, perahu yang mereka tumpangi sudah tidak seimbang. Dengan cepat Masumi meraih Maya sebelum perahu itu terjungkal dan…
Byuuurr!!!
Melemparkan keduanya ke dalam danau.
Maya sangat terkejut, namun Masumi sudah mendekapnya, dengan sangat erat. Pria itu tidak melepaskannya sampai kemudian kepala mereka muncul di permukaan danau.
“Fuaahh!!”
Maya dan Masumi mengapung, muncul ke permukaan di samping perahu. Keduanya bernafas dengan terburu-buru.
“Kau tidak apa-apa??” Tanya Masumi, masih memegang pinggang Maya dengan sangat erat.
“Ti, tidak apa-apa,” kata Maya, berpegangan pada lengan Masumi.
“Anda tidak apa-apa Tuan? Nona?” seru si tukang perahu dari pinggir danau.
“Maaf! Maaf! Kami tidak apa-apa…!” seru Masumi sambil tersenyum lebar.
Untung  kolam saat itu sedang sepi sehingga Maya tidak merasa terlalu malu. Tapi airnya sangat dingin dirasakan oleh keduanya. Masumi bisa melihat bibir gadis itu bergetar dan tubuhnya pun gemetar.
“Kau bisa berenang?” Tanya Masumi.
Maya mengangguk. Namun Masumi tidak melepaskan Maya sepenuhnya. Masumi dengan sebelah tangannya memegang pinggang Maya dan berenang dengan tangan satunya. Mereka berusaha mencapai pinggiran danau dimana Masumi meninggalkan jasnya.
Selama berenang Maya mengamati Masumi. Maya bisa merasakan jantungnya berdetak sangat keras saat memandang Masumi. Wajah dan rambutnya basah, sinar matahari yang berkilauan membuat wajah dan rambut Masumi juga terlihat berkilau laksana… malaikat? Terlihat sangat tampan.
Ukh!
Maya tertegun, menyadari dia baru saja terpesona dengan wajah Masumi dan baru menyadari kedekatannya dengan wajah pria itu.
“Naiklah..” Kata Masumi saat keduanya mencapai pinggiran danau.
Maya menuruti dan mulai naik ke daratan, ke tempat Masumi meninggalkan jas dan dasinya serta ikat pinggangnya.
Keduanya lantas  duduk di sisi danau, berusaha mengatur nafas mereka.
Masumi memandangi Maya, lantas tertawa.
Maya menoleh ke arahnya sambil menatap heran.
“Hahahaha bersamamu benar-benar tidak membosankan. Siapa yang mengira aku akan jatuh ke danau pada saat cuaca masih begini dingin,” kata Masumi dengan riang.
“Itu bukan salahku! Tapi karena Anda yang begitu menyebalkan!” Protes Maya.
Masumi lantas meraih jasnya.
“Lepas cardiganmu, dan pakai ini. Kurasa sebaiknya kita segera membeli pakaian sebelum terserang flu,” Masumi menyerahkan jasnya kepada Maya.
Gadis itu menerimanya dan mulai membuka cardigannya.
Tiba-tiba Masumi tertegun, pandangannya terpaku pada salah satu bagian tubuh Maya.
“Pendek…” gumam Masumi, masih memandang pada titik yang sama.
“Eh?” Maya tertegun lantas menunduk, mengikuti arah pandangan Masumi.
“Aku melihat strawberry…” lanjut Masumi.
“Kyaaa!!” Maya baru menyadari bahwa air sudah membuat blouse putihnya agak menerawang dan pakaian dalamnya yang berhias strawberry terlihat oleh Masumi. Dengan cepat Maya menyilangkan kedua tangannya di dadanya.
“Dasar mesuuuum!!!” Teriaknya. Sambil berusaha melingkarkan tubuhnya dan berbalik dari Masumi.
Masumi kembali tertawa.
“Sudah tidak apa-apa Pendek, ini kan hanya aku!” ujarnya.
“Ha, hanya Anda apa maksudnya??” Maya masih menolak memalingkan wajahnya kepada Masumi.
Masumi lantas meraih jasnya dan menutupkannya ke tubuh Maya.
“Untung kutinggalkan di sini…” kata Masumi, merasa bangga dengan keputusannya yang tepat.
“Ukh…” Maya segera mengenakan jas Masumi.
“Titip,” kata Masumi sambil memasukkan dasi ke saku jasnya yang kini dikenakan Maya.
Dia lantas kembali mengenakan ikat pinggangnya.
“Sebaiknya kita pulang sekarang, tapi kita mungkin harus membeli pakaian dulu Mungil. Apakah jauh dari sini?”
“Kurasa begitu…” gumam Maya. Semakin terlihat kedinginan.
“Apa kita biarkan saja sampai kering ya? Mataharinya masih cukup panas, tapi aku takut nanti kulitmu terbakar dan kau terserang flu,” kata Masumi.
Akhirnya dari taman tersebut Maya dan Masumi menaiki sebuah taksi.
“Ke toko pakaian terdekat,” kata Masumi.
“Baik, Tuan,” jawab si sopir taksi.
Sopir itu mengamati kedua pasangan tersebut. Aneh sekali, musim semi belumlah datang dan kedua pasangan tersebut dengan nekat berkeliaran dengan tubuh yang basah.
“Apakah terjadi sesuatu Tuan?” tanya si sopir taksi.
“Oh, ini…” Masumi tiba-tiba merangkul bahu Maya dan memeluknya.
Hah?
Maya sangat terkejut.
“Istriku sedang hamil muda, dia ngidam, tiba-tiba ingin berenang di danau taman ini,” terang Masumi seenaknya.
“A, aku…!” Maya mengerutkan kedua alisnya pada Masumi, hendak memprotes.
“Wah, sedang hamil ya, selamat Nyonya,” kata si sopir dengan ramah dari kaca spion.
“A, aku…” Maya melirik kesal pada Masumi namun akhirnya menjawab, “terima… kasih.” Sambil memandang pada si sopir taksi melalui spion depan.
Masumi tersenyum puas.
“Sudah lebih hangat, SAYANG?” tanya Masumi sambil mendekap Maya lebih erat.
“Menyebalkan, kau benar-benar menyebalkan!” desis Maya.
Masumi tidak menghiraukannya.
“Sudah sampai,” terang si sopir.
Masumi memandang ke luar jendelanya sebentar lantas membayar taksinya.
“Terima kasih Tuan, dan semoga semuanya lancar sampai hari kelahirannya, Nyonya,” ucap si sopir sebelum pergi.
“Terima kasih,” jawab Masumi dengan riang.
“Menyebalkan! Anda kan tidak perlu berbohong seperti itu!” omel Maya setelah taksinya pergi.
“Lalu kau punya ide lebih baik? Mengatakan bahwa kita berperahu dan terjungkal?”
“Itu lebih baik!”
“Itu lebih memalukan!” kata Masumi. “Sudahlah, Ayo!” Masumi menarik tangan Maya memasuki butik tersebut.
“Selamat datang Tuan, ada yang bisa kami bantu?” sapa seorang pramuniaga yang segera menghampiri keduanya.
“Ah, ya…” Masumi tersenyum ramah, “aku dan istriku perlu pakaian,” lanjutnya.
Hah?
Maya menoleh tidak percaya dan memicingkan matanya pada Masumi.
Orang ini…
“Kau tahu, isteriku ini, sedang hamil muda. Dia tiba-tiba ingin berenang di danau saat kami sedang berjalan-jalan di taman,” terang Masumi, mulai menikmati cerita yang dikarangnya.
Sementara Maya menggerutu habis-habisan dalam hatinya.
Benar-benar pria menyebalkaaann!!! Amnesia tetap saja menyebalkaaan~!!!!
Setelah mendapatkan pakaian yang diinginkannya, Masumi membayar pakaian tersebut. Saat menarik kartu kreditnya, tiba-tiba, sesuatu tersembul dari dompetnya.
Eh?
Masumi tertegun. Ditariknya perlahan kertas itu, sebuah foto. Foto  Maya. Basah, seperti juga isi dompetnya yang lain. Masumi terkesiap.
Foto gadis ini…
Diamatinya Maya yang kini sedang berdiri di sebelahnya dengan tidak awas. Masumi mengamati wajahnya.
Benar.  Jadi… aku jatuh cinta kepada gadis ini?
Masumi masih mengamatinya.
Apakah begitu? Dan si rambut kotak mengetahuinya? Pantas dia begitu yakin bahwa gadis inilah yang kuingat..
Sebuah senyuman yang lembut tersungging dari bibir Masumi.
“Tuan, ini kartunya,” kasir tersebut menyerahkan kembali kartu kredit itu pada si suami yang sepertinya begitu terpesona pada sang isteri.
“Eh, ah, iya…” Masumi tertegun, dia cepat-cepat memalingkan wajahnya saat Maya menoleh ke arahnya. “Terima kasih,” kata Masumi sambil mengambil kembali kartu kreditnya.
Gadis ini jelas-jelas tidak mengetahui perasaanku. Kenapa, aku menyembunyikan hal itu darinya?
Pikir Masumi.
Apakah aku sudah punya kekasih? Atau… gadis ini sudah punya kekasih?
“Ada hal lainnya yang kau inginkan, Pendek?” tanya masumi saat keduanya keluar dari toko pakaian.
“Tidak ada. Aku hanya ingin kembali ke apartemenku dengan selamat,” jawab Maya.
Masumi tertawa.
“Itu seharusnya kalimatku, Pendek.” ujar Masumi.
“Huh!” Maya membuang mukanya.
Gadis ini… jelas menganggap aku sangat mengganggu.. pikir Masumi.
Jantung Masumi mulai berdenyut sakit, seiring pemikiran yang melintas, teringat kembali kenangan yang sempat berkelebat di atas perahu.
[Kembalikan Ibuku!! Pembunuh!!!”]
Masumi menghirup nafas dalam, mencoba menenangkan perasaannya.
“Pendek, apakah aku… pernah melakukan kesalahan kepadamu? Kesalahan besar yang… menyakiti hatimu?” Tanya Masumi ragu-ragu.
Deg!
Maya sangat terkejut Masumi menanyakan hal tersebut. Sejenak pikirannya limbung. Maya hanya membisu. Haruskah dia mengatakan kebenarannya? Tapi Masumi yang berada di sampingnya sekarang, dia bahkan tidak tahu siapa dirinya. Kenapa dia harus mengingatkan pria itu akan kesalahan besarnya? Haruskah seseorang didakwa atas sebuah kesalahan yang bahkan tidak ingat pernah dilakukannya?
“Ke, kenapa Anda menanyakan hal seperti itu?” tanya Maya, menghindari tatapan Masumi.
“Oh… kupikir, kau sangat tidak menyukaiku,” nada suara Masumi terdengar sedikit kesepian saat mengatakannya, karena pria itu memang benar-benar merasakan sebuah kesedihan saat memikirkan gadis mungil ini mungkin memang sangat membencinya. “Hanya saja, aku ingin tahu, mungkin kau… punya alasan kuat untuk membenciku, jadi aku…”
“Sudahlah,” potong Maya. “Anda tidak perlu memikirkannya.”
Kenapa aku tidak ingin membuatnya khawatir?
Batin Maya. Tidak mengerti dengan pemikirannya sendiri.
“Kita memang sudah terbiasa seperti ini…” terang Maya kemudian. “Anda suka meledekku, mengganggu, menggodaku setiap kali bertemu. Tidak kenal waktu dan tempat. Karena itu aku selalu merasa kesal setiap kali melihatmu! Tapi sudahlah,” Maya pura-pura tidak acuh. “Toh aku juga sudah mulai terbiasa,” imbuhnya, sedikit menggerutu.
Masumi memperhatikan gadis itu dan tersenyum samar.
Saat keduanya melalui sebuah toko bunga, Maya tampak terpesona dengan bunga-bunga yang ada di sana. Tiba-tiba Masumi menariknya masuk ke dalam.
“Eh?”
“Ada yang mau kau beli?” tawar Masumi saat keduanya sudah berada di dalam toko.
“Eh, a…” Maya terlihat sungkan dan salah tingkah.
“Jangan malu-malu Mungil,” kata Masumi, memanggilnya Mungil tanpa sadar.
Mungil?
Maya tertegun. Itu adalah panggilan yang biasa Masumi gunakan untuknya.
“Ah, uhm…” Maya menggeleng perlahan, “tidak, Pak Masumi…”
“Hei, bunga ini bagus, cantik sekali,” ujar Masumi pada sebuah bunga yang dipajang di sana.
Maya menoleh pada bunga yang Masumi maksud. Sedikit terkejut, karena bunga yang Masumi maksud adalah…
“Mawar ungu…” gumam Maya.
“Kau suka, Pendek? Mau kubelikan yang ini saja?” tawar Masumi.
“Ah, tapi…”
Tapi hanya Si Mawar Ungu yang boleh memberikannya untukku...
Tolak Maya dalam hati. Namun dia tidak bisa mengatakannya.
“Tolong dirangkaikan ya,” pinta Masumi pada si penjaga bunga.
“Baik Pak,” kata pelayan tersebut. Dia lalu membungkusnya menjadi sebuah buket bunga yang cantik dan menyerahkannya kepada Masumi.
“Ini, ambillah,” Masumi menyodorkan buket bunga itu kepada Maya.
“A, aku…” Maya mengamati Masumi.
Diterimanya juga bunga itu, “terima kasih…” ucapnya tulus.
“Kau suka bunga itu?” tanya Masumi.
Maya mengangguk pendek.
“Aku sangat menyukainya,” kata gadis itu.
“Baguslah,” Masumi tersenyum lega.
Setelah membayar dan berterima kasih, keduanya kembali berjalan untuk pulang.
=//=
“Kurasa sebentar lagi jemputanku akan datang,” terang Masumi sambil mengeluarkan pakaiannya dari mesin pengering dan menuju ruang tamu.
       Maya menghidangkan teh untuk mereka berdua.
“Terlalu pahitt!!” ujar Masumi, menjulurkan lidahnya keluar.
“Protes terus!!” Maya kesal mendengarnya.
“Kau coba saja kalau tidak percaya!”
“Huh!” Maya lantas mencoba tehnya. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan kalau ucapan Masumi memang benar, “iya, pahit sekaliii~” Maya sampai bergidik.
Masumi kembali tertawa melihat gadis itu, Maya ikut tertawa dengannya.
Sebuah klakson berbunyi.
“Ah, sepertinya itu jemputanku,” kata Masumi, beranjak ke jendela. “Iya benar, aku sudah harus pulang, Pendek.” Pamitnya.
Pulang…
Tiba-tiba Maya merasa sedikit kesepian. Dipandanginya Masumi tanpa suara. Laki-laki itu sedang melipat pakaiannya ke dalam tas plastik.
“Kapan teman sekamarmu pulang?” tanya Masumi.
“Nanti malam, dia kerja di kafe, biasanya datang saat makan malam,” terang Maya.
“Oh, begitu…” Masumi memandangi Maya, “jaga dirimu baik-baik ya,” dipegangnya bahu gadis itu.
“I, iya…” Maya mengangguk gugup.
“Baiklah, aku permisi sekarang,” Masumi berdiri untuk beranjak.
“Pak… Pak Masumi, tunggu sebentar,” pinta Maya, gadis itu memetik sekuntum mawar ungu dari buketnya.
Maya memasangkannya di jas Masumi, menyelipkannya di sakunya.
Maya…
“Semoga Anda cepat sembuh…” harapnya. Gadis itu menengadahkan wajahnya.
“Terima kasih,” ucap Masumi tulus, “terima kasih sudah menemaniku, kau sudah sangat membantuku,” katanya.
Aneh, kalau tidak bersikap menyebalkan, pria di hadapannya ini selalu bersikap seperti pria yang sangat hangat dan baik hati. Maya benar-benar bingung.
“Biar kuantar,” katanya.
=//=
“Pak Masumi…” panggil Maya, saat mengikuti pria itu dari belakang.
          “Iya?” Masumi baru selesai mengenakan sepatunya.
          “Memangnya… jika ingatan Anda kembali, apakah Anda bisa mengingat yang terjadi saat ini?” Tanya Maya.
“Entahlah, aku tidak tahu. Sepertinya kemungkinan besar, aku akan melupakannya,” terang Masumi.
Eh?
Jadi, apa yang terjadi hari ini, Pak Masumi akan melupakannya…?
Ada sesuatu mengisi relung hati gadis itu. Entah kenapa dia merasa... sedih? Atau apapun itu, mengetahui bahwa Masumi akan melupakan kebersamaan mereka hari ini. Maya tertegun, aneh sekali, kenapa dia berpikir seperti ini?
“Hey, kenapa Pendek? Kau terlihat sedih…?” tanya Masumi.
“EH? A, aku…”
“Wah, jangan katakan kalau kau sudah benar-benar jatuh cinta padaku…” goda Masumi.
“Enak saja!!” Sungut Maya, dan pria itu kembali terbahak.
Keduanya menuruni tangga sebelum mencapai pintu keluar gedung apartemen Maya.
“Ah, pendek… “ tiba-tiba Masumi berhenti dan memutar badannya.
“Iya?” Maya tertegun, gadis itu masih di atas anak tangga, tingginya hampir sejajar dengan Masumi.
“CUP!!” Masumi mengecup bibir gadis itu dengan cepat.
Degg!!
“Hah??” Maya ternanap.
Matanya  melebar saat Masumi tiba-tiba menempelkan bibirnya ke bibir gadis itu. Maya masih terpana saat pria itu mengangkat wajahnya, sedikit merona.
“A, apa itu?” tanya Maya berdesis, setelah akhirnya bisa kembali berbicara dan bernafas.
“Itu kenang-kenangan dariku,” jawab Masumi enteng, “kupikir, jika aku nanti tidak bisa mengingat yang terjadi pada hari ini, ada salah satu dari kita yang harus mengenangnya. Dan tentu saja, orang itu kau…”
“Ka… kau….” Maya sangat marah mendengarnya. “Jangan main-main dengan mencium orang sembarangan!!!” Teriak Maya emosi, wajahnya merah padam.
Keduanya tertegun.
“Be… belum lagi.. I, itu ciuman pertamaku…” Maya menyentuh bibirnya. “Ka, kau menyebalkaaan~~!!!” serunya pada Masumi.
“Aku tidak main-main…” kata Masumi, sedikit bergumam.
Hah?
“Aku tidak main-main, Maya…” pria itu kembali mendekatkan bibirnya pada Maya. “Kurasa… aku…” bisiknya di bibir gadis itu.
Hah?!
“Dasar pengganggu!!!” Maya mendorong Masumi sekuat tenaga. “Berhenti menggodaku!” serunya.  “Pergi kau!!”
Masumi kembali berdiri tegak. Pria itu lalu tertawa lantang.
“Hahaha… sampai jumpa, Pendek. Terima kasih sudah membuat hatiku gembira hari ini…” Masumi melambaikan tangannya sambil berbalik.
“Selamat tinggal! Bukan sampai jumpa! Selamat tinggaaalll!!!” teriak Maya.
Dia masih bisa mendengar Masumi tertawa lebar saat meninggalkan gedung apartemennya.
“Ukh…” Maya menyentuh bibirnya. Pria itu menciumnya. Masumi Hayami menciumnya.
“Aduuuhhhh…!!!” kepala Maya berdenyut keras, benar-benar tidak tahu harus berpikir apa. Dia membencinya! Dia pikir begitu. Tapi nyatanya,  perasaannya berkata lain. Ciuman itu mendebarkan, sangat hangat dan lembut. Sebenarnya, Maya menyukainya. Dan dia mulai membenci dirinya karena menyukai ciuman iseng laki-laki menyebalkan itu.
=//=
Masumi masih tertawa riang saat memasuki mobilnya. Kemudian tersenyum tipis, mengingat Maya. Gadis itu, dia menyukainya, sangat menyukainya. Lebih tepatnya, dia jatuh cinta padanya.
Bagaimana sebenarnya hubunganku dengannya, pikir Masumi.
Pria itu tertegun, diambilnya sekuntum bunga yang tadi diselipkan Maya pada jasnya.
Mawar ungu…
[“Penggemarku Mawar Ungu…”]
Tiba-tiba terdengar suara Maya.
“Penggemar… Mawar Ungu…?” desisnya.
Kepalanya mulai sakit kembali, berputar, berkelebatan. Kali ini bayangannya sangat cepat dan menyakitkan.
[“Gadis itu sedang sakit panas 40 derajat!”]
Kata sebuah suara. Kemudian disusul suara-suara lainnya yang terngiang menyakitkan di telinga dan pikirannya.
[“Serahkan Bidadari Merah kepadaku!”]
[“Catherine!!!”]
[“Seseorang menukar skenarionya!!”]
“Aaarrgghhh….” Masumi memegangi kepalanya erat, wajahnya nampak sangat kesakitan.
“Tuan Masumi, Anda tidak apa-apa?” seru sopirnya.
[“Dia orang yang sangat berarti bagiku, penggemarku satu-satunya.”]
[“Anda jatuh cinta kepada gadis itu!”]
[“Aku juga menyukai Shigeru”]
[Baiklah Maya, aku akui… aku telah jatuh cinta kepadamu.”]
[“Pembunuh!! Kembalikan ibuku!!! Aku benci kau, benciii!!!”]
[Jika dalam dua tahun Maya tidak dapat meraih penghargaan yang sama…]
[“Ibu…!”]
[“Jadilah anak yang berguna bagi Ayahmu.”]
[“Lakukan pekerjaan besarmu!”]
[“Saya Shiori Takamiya...”]
Lantas semuanya gelap. Senyap. Masumi kehilangan kesadarannya.
=//=
          Maya membuka matanya. Melihat ke kiri dan kanan. Semalaman dia tidak bisa tidur. Hanya berpura-pura memejamkan matanya tapi sama sekali tidak tertidur. Kesadarannya berfungsi sepenuhnya. Dan hanya ada satu peristiwa yang terus berputar di kepalanya.
          Menyebalkaaaaaaaannn!!!! Rutuknya dalam hati.
          Seenaknya saja! Benar-benar menyebalkan Masumi Hayami…! Dia mungkin melupakannya, dan aku… akan terus mengingatnya seumur hidupku!
          “Pria menyebalkaaannn!!!!!!!” teriak Maya pagi itu.
          “Ada apa, Maya?!” Rei muncul di balik pintu kamar, khawatir mendengar teriakan Maya.
          “Ti, tidak apa-apa…” Maya dengan cepat menggelengkan kepalanya.
          “Benar kau tidak apa-apa?” tanya Rei.
          Maya mengangguk cepat.
          “Baiklah, aku sudah harus pergi. Untuk sarapan, dengan roti saja tidak apa-apa kan?”
          “Baiklah, terima kasih Rei…”
          “Kau bisa memasak telur, atau, aku kemarin membeli selai strawberry, kau bisa memakannya dengan selai tersebut,” suara Rei semakin lama semakin pelan saat gadis itu berlalu pergi.
          Strawberry…
          Kejadian memalukan di pinggir danau kembali berulang. Wajah Maya merah padam. Maya kembali membenamkan dirinya ke dalam selimut.
=//=
Masumi membuka matanya. Dia semalam sempat pingsan beberapa jam. Saat dia tersadar, dia bisa mengingatnya. Semuanya. Masa lalunya, termasuk apa yang sudah dilakukannya seharian dengan Maya.
          Aku mencium gadis itu…
Batin Masumi.
          Sungguh bodoh… aaargghh!!
Masumi sangat kesal pada dirinya dan tingkah lakunya. Seharusnya dia mendengarkan Mizuki untuk tidak berbuat macam-macam. Dan seperti yang dikatakannya, sekarang dia menyesal dengan kelakuannya. Gadis itu pasti semakin membencinya.
Tok! Tok!
Pintu kamarnya diketuk.
“Masuk!” seru Masumi.
“Apa kabar Tuan Muda? Sudah lebih baik?” kepala rumah tangga sekaligus pengasuhnya dulu, menyapanya. Di tangannya membawa baki yang berisi sarapan Masumi pagi itu.
“Saya pikir Tuan masih harus beristirahat, jadi saya bawakan saja sarapannya ke sini,” katanya lembut.
“Terima kasih Bu,” kata Masumi.
Ditatapnya sarapan yang disediakan untuknya pagi itu, omelet mix dengan sayuran dan segelas jus strawberry.
Strawberry…
Dengan cepat otaknya memutarkan kembali kejadian di danau. Masumi bisa merasakan wajahnya memanas. Dia tenggelam kembali ke dalam selimutnya.
“Tu, Tuan, Anda tidak apa-apa??” Seru Bu Michie khawatir.
“Aku tidak ingin strawberry. Aku tidak ingin melihat strawberry! Pokoknya aku tidak ingin melihat strawberry lagi…!” Kata Masumi dari dalam selimutnya.
Bu Michie terkejut.
“Ba, baik, akan saya ganti Tuan.” Dia tidak pernah tahu bahwa tuan mudanya tidak menyukai makanan tertentu.
Menciumnya, memandangi pakaian dalamnya… aku benar-benar laki-laki paling rendah.
Batinnya.

“Aaaargghhh bagaimana iniii aku tidak akan sanggup melihatnya lagiii…” seru Maya dan Masumi bersamaan dari tempat yang berbeda.


<<< Amnesia … End >>>

21 comments:

Anonymous said...

jiakakakakak ....luuucccccuuu banget deh . gw bisa bayangin kesengsaraan maya ama masumi selanjutnya ....

orchid on 4 July 2011 at 13:05 said...

ohhh, ternyata ini ff yg pernah kau pikir sama dengan punyaku yg amnesia juga, tapi emank pernah jg terlintas buat nulis berperahu di taman itu, tapi mungkin karena kita ada benang merah kali ty, saya ndak jadi masukin itu tulisan saat itu, wkwkwk

vie on 4 July 2011 at 13:15 said...

Suka bgtttttttt Ty, walaupun masumi nya out of character aku suka bgtttt. lucu jadinya sukses buat hari ini jadi ceria^______^

Anonymous said...

Lucu lucu romantis... suka banget, bikin senyum-senyum sendiri baca ini.
sumpah deh masumi iseng banget!

like it so muuuchh tyy......!

-ani-

Nalani Karamy on 4 July 2011 at 15:23 said...

suka ty lucu...gokil...romantis...

dewjaz on 4 July 2011 at 18:00 said...

sangaaaaaaaaaaaaat sukaaaaaaaaa

Anonymous said...

hahaha...ga nahan Masuminya....gokil...-khalida-

Anonymous said...

whuakakakakakkkk....!!!! luccuuuuuuu.....! two thumbs up, ty :-D *rini*

Anonymous said...

wkwkwkwwkwkwk..bener2 suka Masumi yang amnesia.......dasarr mesummmm....hihihihihi...
bacanya sampe sakit perut cekikikan...tapi maya waktu BBJ 1 itu kan umurnya 18 ya bukan 20
-KATARA HAYAMI-

Anonymous said...

huahaahahaha....lucuuuuu...sukaaaaaa....
thanks a lot ty!!! -murie-

Fagustina on 4 July 2011 at 20:40 said...

bwahahahahahaha kocak bener dah kereeennnnnnnn

Anonymous said...

wakakakkkkk ;D lucuuuu sukaaaa biarpun masuminya rada nyeleeneh n gokil hahahah! namanya jg lagi amnesia gakpapaaaa dooonk wkwkwkkwk ;p
thxu tyyyy lo sukses membuat sakit kepala g ilanggg lenyap hahahah! stress gara2 kena macet ud ilang deeeh
anita f4evermania

Anonymous said...

akakakakakakkakakak....duduuuullllll seeppp daaahhhh

Anonymous said...

Bagus. I like it soooo much. Light and fluffy just the way I like it.
Sangking bagusnya jd ngebayangin kalo Ada sequelnya. Gimana mbak? Nggak tertarik buat lanjutin. :)
-serendipity

Anonymous said...

Kyaaaaaaaaaaaa.....ty, BRAVOOO!!!!suka bangeettt..hahhahahahhahahaaaaaaaa...gapapa, masuminya kaya gitu,,,namanya juga lagi amnesia hahahahahhahaaa....aahhhh...andaikan masumi lebih berani di cerita nyatanya yaa..kan udah ada kemajuan kayak gini ;P

mantap ty!!4 jempol gue terangkat!hahahaha...

- reita

Demel on 7 July 2011 at 10:55 said...

Romantisnyaaa...jd ngebayangin how it feels to be loved like that! walo amnesia yg diinget tetep Maya...isengnya masumi.... sepet2nya liat strawberry dan cm bilang : sudah tidak apa2, ini kan hanya aku! .... :).... ga perlu sequel, biarlah pembaca berimajinasi sendiri selanjutnya gmn..... keep up a good work ya neng...:*:*:*

Anonymous said...

jiaaaaaaaaaaaaaahahahahahaahaha
g berenti ngakak bacanya, ditunggu kalo ada lanjutannya!

Anonymous said...

ty~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
doyan banget ma cerita ini! rasanya pengen ku-print spy bisa dibaca ulang2
BRAVOOO

6 jempol terangkat *yang2 minjem punya orang* :DDDD

Resi said...

lucuuuuuu, gemeeees, segaaar, pokoknya sukaaaa. mengungkap sisi lain karakter masumi hayami.
aku juga jatuh cinta sama masumi hayami yg ini hehehehe.
Ty Sakumoto emang teope begete dah....

Anonymous said...

suuuukkkkkaaaaaa bangeeeetttt......, lucu abis, menggemaskn, jd ikut cengar cengir sendiri. seru pokoknya, sekali aku suuukkkkkkaaaaaa bangeeettt...!!!

*ephie*

Anonymous said...

qiqiqi,,,,ceritnya ngegantung ya ty,,,,

tp malah bikin penasaran akhirnya bakal gimana,,,

bikin yg lucu romantis lg dong ty,,,

_a2n_

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting