Tuesday 26 July 2011

Pada Bintang di Ujung Pelangi episode 3

Posted by the lady vintage at 15:56
.... pahitnya sebuah pilihan...
(by farida)

Kegelisahan jiwanya berkeriut resah di antara riuh rendah batinnya yang bergejolak. Berusaha menangkup sisa-sisa asa yang mungkin masih mampu diraihnya. Langkah kakinya terasa berat, kian hari kiat terasa berat beban yang menggelayutinya. Detik-detik yang dilaluinya terasa begitu menyiksa dan seolah tak ada akhirnya. Megahnya bangunan yang menyambutnya memberikan perasaan terbelenggu kelam berkalang sunyi. Sepi dan kosong. Tak berjiwa.



”Apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Masumi?”

”Ayah...”



Wajah tua itu begitu keras. Sinar mata berbingkai wajah keriput tak jua kehilangan ketajamannya. Menuntut jawab dan pertanggungjawaban.



”Apa yang akan perbuat untuk memperbaiki segala kerusakan yang telah kau timbulkan Masumi? Hal apa yang akan kau tawarkan untuk membuat segalanya berjalan sebagaimana mestinya?”



Wajah tampannya mengeras. Dingin dan tandas. Tak bermakna dalam tatap matanya. Kosong menatap, tak berjiwa dan tak bergairah.



”Ayah... Apakah ayah percaya akan cinta? Apakah ayah meyakini adanya belahan jiwa? Kalau boleh aku tahu, apa yang ayah cerna dari obsesi ayah akan Bidadari Merah?”



”Kau...?!?”



”Aku lelah ayah... Segala keriuhan tentang harapan dan obsesi ayah benar-benar membuatku lelah... Bahkan kini aku mulai merasa muak... Muak dengan segala hal yang harus aku laksanakan tanpa memperhatikan hati dan jiwaku sendiri... Aku lelah ayah... Lelah...”



”Tapi, kau tak selayaknya berbuat sekehendak hatimu begitu Masumi! Aku tidak pernah mengajarkanmu bertidak seperti itu, tidak pernah sekalipun! Camkan itu!”



”Benarkah? Benarkah ayah tidak pernah mengajarkan padaku bertindak sekehendak hati? Lantas bagaimana dengan ibuku? Bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan kami? Atas pertimbangan apa kau memilih kami untuk jadi keluargamu kala itu? Hanya sekedar melengkapi kehidupanmu yang sepi kah? Atau mencari teman seperjalanan untuk menemani obsesimu demi Bidadari Merah?”



”Kau?!?!”



”Ayah... Aku tak pernah memilihmu untuk menjadi ayahku... Aku juga tak pernah memilih untuk memanggilmu ayah... Demi pengorbanan ibuku lah aku melakukannya... Semuanya mengalir begitu saja....”



”Namun, kini aku ingin memiliki pilihan dalam jalan hidup yang aku lalui... Aku ingin memilih untuk menentukan jalan nasibku, ayah... Jalan nasib yang bisa aku jalani tanpa beban... Jalan nasib yang ingin aku lalui dengan perasaan bahagia....”



”Aku tidak pernah meminta apapun padamu sebelumnya, ayah... Setiap apa yang aku peroleh darimu selama ini bukanlan pemberian cuma-cuma darimu... Bahkan, ibuku ikut memperjuangkannya... Namun, kali ini... Untuk kali ini, jika memang kau menganggap aku anakmu, aku hanya ingin meminta satu hal padamu, ayah, apakah tidak boleh...?”



Mata tajamnya beradu pandang dengan ketajaman mata tua yang kini berkilat-kilat bara.



”Permintaanmu yang satu ini tidak mungkin bisa aku kabulkan Masumi...! Apakah kau lupa? Aku sudah pernah menawarkan padamu kala itu, aku sudah pernah menanyakan kesediaanmu untuk mejalani rencana pertunangan ini, dan kau, kuingatkan, kau sendiri yang menyanggupinya! Jelas-jelas kau katakan saat itu, kau bersedia melaksanakannya! Tanpa menolak dan tanpa syarat apapun! Kala itu kau masih punya pilihan Masumi, kau masih bisa memilih! Tapi, kini, pilihan itu sudah tidak ada, atau tepatnya, pilihan itu sudah berubah total! Kau terus laksanakan apa yang telah kau sepakati, atau kau akan turut menyeret semua yang terkait menuju kehancuran bersamamu! Bahkan kini, kau sudah mulai ikut menyeret Shiori dalam lubang yang kau gali! Pikirkan baik-baik hal itu!”



Untuk sesaat matanya yang kosong tampak bernyawa. Berkilat amarah, namun hanya sesaat. Tak lebih dari sepenggalan kilat cahaya. Tak lebih.



”Ayah...!”



”Ya... Panggil aku ayah... Dan karena itu kau harus berbakti padaku, sebagaimana yang telah dicontohkan ibumu padamu. Tanpa syarat dan tanpa penawaran apapun. Karena, untuk itulah aku mendidikmu, untuk menjadi seorang Hayami sejati. Yang tahu bagaimana menempatkan diri dalam pilihan yang sulit. Yang tahu bagaimana janji dibuat dan ditepati, secara mutlak!”



”Ma’afkan aku Masumi... Ma’afkan orang tua ini yang menjadi demikian tidak bijaksana menentukan jalan hidupmu...”



Rahang kokoh wajah tampannya mengeras. Menggeretak erat seolah hendak mengunyah lumat rasa sakit yang menusuk tajam di relung hatinya. Ia mampu merasai dan melihat kekalahan yang membayang di jalannya. Perjuangannya begitu besar namun ternyata semua sia-sia belaka, tak pelak kekalahan yang teramat pahit harus ditelannya juga.



Janjinya... Janjinya pada gadis mungil kecintaannya akan hancur tercerai berai. Hancur tak bersisa, menghantam dinding kenyataan yang begitu tinggi dan terjal. Pedih dan perih dirasainya.



Kilasan peristiwa berkelebat liar dalam ingatannya. Membawa benaknya berkelana tak menentu. Dari semuanya terbayang sudah. Kekalahannya begitu mutlak, tak terbantahkan lagi. Jiwa lelakinya berontak. Tak ada lagi celah. Semuanya kini tampak sia-sia... Hampa dan kosong...



”Baiklah ayah... Ma’afkan aku yang lupa bahwa sampai kapanpun ayah tak akan pernah meluluskan apa yang aku minta secara cuma-cuma... Aku mengerti ayah... Aku akan menepati apa yang telah aku sepakati di hadapan banyak orang... Ayah tak perlu khawatir lagi... Akan aku perbaiki semua kerusakan ini, sampai tak ada yang akan menyadari bahwa tadinya telah berantakan dan berkeping-keping... Bukankah ayah telah mendidikku dengan sangat baik?”



Getir senyumnya menyiratkan luka batin yang begitu sarat. Lunglai langkahnya menampakkan kekalahan yang tak terelakkan.



”Ah, ayah... Aku lupa satu hal... Tolong, ajarkan juga padaku, bagaimana caranya bertahan dalam belenggu cinta yang sedemikian erat mengurung... Tolong titiskan padaku ilmu ayah, bagaimana caranya bertahan dari perasaan menyiksa karena kita tak mampu meraih cinta yang tak akan pernah bisa untuk kita miliki... Tolong, ajarkan padaku, bagaimana caranya mampu berdiri tegak sementara sang Bidadari Merah pergi meninggalkan kita... Tolong ayah ajarkan aku, bagaimana bisa terus kuat bertahan...”



”Masumi, apa maksudmu?!?”



Tubuh tegap itu berhenti, mematung dalam diam. Menggantungkan suasana dalam keheningan yang terasa pilu.



”Aku... Aku hatiku telah terenggut sang Bidadari Merah, ayah...”



Hati tuanya terperangah. Begitu pilu pengakuan itu di telinganya. Mengirimkan rasa sesak tak terkira dalam rongga dada tuanya.



”Kau....?!? Apakah kau...?!?”



Senyum getir terukir, mengguratkan kesenduan dalam.



”Begitulah ayah... Begitulah... Aku... Aku jatuh hati pada Maya Kitajima, sang Bidadari Merah-ku... Aku, Masumi Hayami ini mencintai Maya Kitajima, sebagaimana ayah mencintai Mayuko Chigusa, sang Bidadari Merah ayah...”



”Masumi...?!?”



”Menyedihkan bukan...? Kini, kita berdua, ayah dan anak tanpa ikatan darah, terperangkap berdua dalam obsesinya akan Bidadari Merah... Dalam cinta tak tersampaikan...”



Langkah kakinya begitu berat, memikul beban batin yang terkoyak, menapaki anak tangga berliku. Mengantarkan selarit luka di setiap pijakan, menyisakan keheningan panjang berkalang duka.



= # =



Pagi... Selayaknya lembar baru penuh harapan, bermandikan sinar mentari yang menyapa lembut di balik dedaunan. Burung-burung berceloteh riang, mengabarkan harapan-harapan indah akan hari yang baru. Angin musim semi bertiup halus, menggoyangkan setiap ranting pohon yang malu-malu menyembulkan pucuk-pucuk daun.



Perlahan, matanya mengerjap, berusaha menghadirkan kesadaran alam nyata dalam kerterjagaan. Perlahan dan pasti, rasa sakit kembali menyeruak perlahan dalam relung batinnya.



Mimpi... Semua hanya mimpi...



Kebersamaan itu, dalam riang gelak tawa, bertaut jemari di antara rerumpunan semak-semak peony. Mengejar terbangan biji-biji randa tapak bersama desau angin musim semi yang segar. Berbaring bersama memandangi gumpalan awan putih yang berarak. Membaui harum rumput segar, merasai gelitik pucuk-pucuk daunnya di kaki-kaki yang telanjang. Berdua hanya berdua saja. Menikmati lingkaran dunia yang hanya berpusat pada mereka berdua.



”Maya...”



Rasanya, mimpi itu begitu nyata. Nyaris begitu mudah dipercaya itu nyata.



Batinnya bergejolak resah, kadang ingin ia tinggalkan semua. Rasanya tak akan mampu lagi batinnya mengecap letih hati menahan dusta. Pedih dan sakit, yang hanya dirasanya sendiri. Selalu sendiri...



Satu hari saja, ya, satu hari saja, ia ingin merasainya. Merasakan sekelumit kebahagiaan yang mungkin masih bisa disentuhnya. Sebelum semua jalan tertutup. Sebelum semua dinding tinggi didirikan. Ia ingin menemuinya sebentar saja. Hanya sekejap waktu saja. Dan ia berharap itu cukup. Cukup untuk membuatnya kuat. Kuat mengumpulkan serpihan-serpihan hati yang nanti akan dibawanya. Entah akan berbentuk seperti apa nantinya, namun, pastinya serpihan hati itu akan terus di genggam dan dipeluknya erat. Akan dibawanya hingga nafas terakhirnya tersisa.



”Maya... Berat nian rasa sakit ini... Entah... Apakah aku masih sanggup untuk memendam rasa ini sendirian... Entahlah....”



Kegundahan itu makin erat bertahta di relung-relung hatinya. Mengundang mendung gelap di langit jiwanya yang kian kelam. Hatinya tahu dan yakin, dia tak akan pernah menemukan jawaban, betapa dia tak akan pernah bisa melupakan kecintaannya....



= # =



Sosok itu disana, terpekur diam dengan segala rasa yang entah tak mampu dimengertinya. Namun, bagaimanapun ia ingin mengerti, ia ingin mencoba memahami, mengapa semua berubah begitu dingin. Sedingin hembusan angin di akhir musim gugur yang menandai datangnya kelamnya musim dingin yang panjang.



”Sakurakoji-kun....”



Lirih suaranya tak mampu menggugah kesunyian yang begitu pekat dan dalam. Membawanya menghela nafas panjang, demi membebaskan himpitan sesak yang menggumpal di rongga batinnya.



”Sakurakoji-kun...”



”Tolong, jangan ganggu aku, Maya... Hanya tinggalkan aku sendiri...”



”Sakurakoji-kun... Aku mohon... Tolong dengarkan aku...”



Pandangan mata itu begitu dingin, padahal dulunya tidak begitu. Ia ingat, sebenar-benarnya mengingat, mata itu pernah memancarkan kehangatan yang menenangkan saat-saat berbincang dengannya. Menawarkan keceriaan dan penghiburan di setiap waktu ia membutuhkan teman berbagi. Dahulu, di masa-masa segalanya belum menjadi sedemikian rumit untuk diuraikan.



”Mengapa Maya? Mengapa aku harus mendengarkanmu? Apa lagi yang harus aku dengarkan darimu?”



”Sakurakoji-kun... Kumohon... Kau belum mengerti...”



”Dan apakah engkau sudah mengerti Maya-chan? Tidak Maya-chan... Bukan aku belum mengerti, namun, aku tidak mau mengerti! Iya, aku bukannya belum mengerti, namun aku menolak untuk mengerti! Semuanya terlalu menyakitkan bagiku Maya-chan!”



”Sakurakoji-kun...!”



Tercekat pilu hatinya menatap padangan getir itu. Sungguh pilu dan menyesakkan dada. Menggugurkan segala pengharapan akan tempat berbagi kebahagiaan dalam kebimbangan. Sedih hatinya bertemu dengan tatapan dingin. Menyuguhkan keengganan berbagi, jangankan duka bahkan suka pun sepertinya tidak akan.



”Ma’afkan aku, Maya-chan, setidaknya aku harus mulai belajar tahu diri dan tidak lagi berharap apapun padamu...”



”Sakurakoji-kun!”



”Tolong lepaskan tanganku, Maya-chan...! Aku sedang tidak ingin berbincang denganmu... Hatiku sedang tidak hendak bercakap denganmu...”



Begitu saja. Pahit dan getir rasa penolakan seseorang. Seseorang yang diharapkannya bisa menjadi sandaran kegundahan hatinya. Sahabat... Ya, kata sederhana itu kini terasa begitu berharga kini. Di tengah kegundahan hati dan kebimbangan pikir. Betapa ia memerlukannya. Tidak, bukan hanya perlu, tapi ia membutuhkannya. Sangat membutuhkannya.



Namun, apalah dayanya kini... Tangan-tangan mungilnya kehilangan daya untuk meraihnya. Hati rapuhnya telah salah menempatkan, dan kini ia menuainya. Kehilangan yang terasa besar dan meninggalkan ruang hampa kesepian di sudut hatinya. Sosok itu tertatih berlalu meninggalkannya sendiri, berurai airmata sesal yang entah kapan bisa diredamnya...



= # =



”Gadis Mungil, jika kau tak memperhatikan jalanmu, bisa-bisa kau celaka...”



”Kakek!”



”Apa kabarmu, Gadis Mungil?”



”Kakek... Saya sehat, bagaimana dengan kakek? Apakah kakek sehat-sehat?”



”Begitulah... Seperti yang kau saksikan sekarang... Aku sehat bukan? Ah, sore ini begini cerah, bagaimana jika kita menikmati segelas ice cream kesukaanmu?”



”Kakek...!”



= # =



”Apakah kau sudah berubah selera, Maya? Atau kau bosan menikmati ice cream bersama orang tua ini?”



„Oh, kakek... Ma’af...“



„Ada apa Maya? Adakah sesuatu yang mengganggu benakmu? Hari ini kau tampak sangat berbeda... Apakah ada masalah dengan latihanmu?“



Serta merta, jendela jiwanya tergenang. Berusaha sekuatnya membendung cekatan rasa yang begitu menyesakkan. Jiwanya begitu lelah dengan deraan. Membuatnya terkurung dalam gulana.



„Kakek...“



„Ada apa, Maya...? Apa gerangan?“



Pandangan mata tua itu begitu menyejukkan. Menawarkan kedamaian arif bagi hati-hati yang gelisah. Membuka luas perlindungan bagi jiwa-jiwa yang tengah tersesat dalam labirin-labirn keputusasaan. Selayaknya jiwanya kini....



”Saya tengah bimbang, kakek...”



”Bimbang?”



”Benar kakek, hati saya begini bimbang dan terasa sangat gundah... Ini... Ini, berkaitan dengan perasaan cinta saya...”



”Cinta?”



”Iya, kakek... Cinta...”



Lirih suaranya, demikian lirih namun cukup kuat menyuarakan kepedihan hati yang tersirat nyata. Memancarkan kepedihan jiwa yang terpenjara dera siksa asmara.



Hati tuanya begitu tersentuh. Jiwa muda di hadapnya, tampak begitu gundah kini. Serupa kegundahan yang didapatinya di keseharian putranya. Kegelisahan yang persis sama, serupa, hanya saja dalam bentuk yang berbeda.



’Maya...’



”Mengapa dengan cintamu, Maya?”



”Di sini... Di setiap irama detak jantung saya, ada rasa bahagia yang tiada tara kala mengetahui betapa perasaan cinta saya tak bertepuk sebelah tangan, namun, entah mengapa, seolah kami tak berhak untuk mengecap rasa bahagia itu, kakek...”



”Maya...”



”Perasaan cinta kami adalah sesuatu yang melebihi rasa cinta itu sendiri kakek... Perasaan cinta kami begitu agung dan besarnya, hingga mampu melampaui berbagai batasan ruang dan waktu... Bahkan, dalam diam pun, kami bisa saling berbincang... Menciptakan dimensi indah tersendiri akan perwujudan cinta itu... Kami... Kami berdua... Kami berdua adalah selayaknya belahan jiwa yang bertemu setelah sekian lama terpisah....”



Airmatanya meleleh menelusuri pipinya yang pias, tak terbendung lagi.



”Jalan yang kami lalui hingga kami sampai pada titik ini tidaklah mudah, kakek... Amat sangat terjal dan penuh liku... Benci, rindu, penolakan, pengkhianatan, rasa bersalah, ketidakpercayaan, takut, semuanya telah kami lewati dalam kebersamaan yang tak semestinya... Namun, kami menikmatinya, sebagai perjalanan cinta yang penuh makna...”



”Hanya saja, kini semua terasa semakin berat... Di saat kami telah mengetahui sejatinya apa yang kami rasakan satu sama lain dan kami menerimanya dengan segenap kebahagiaan yang mampu kami rasakan, dinding kaca yang begitu tebal berdiri kokoh dihadapan kami berdua... Kami masih dapat melihat satu sama lain... Kami masih bisa mendengar satu sama lain... Namun, kami tak bisa meraih satu sama lain...”



”Ingin kami memecahkan dinding kaca yang begitu tebal menghalangi kami berdua kakek... Ingin sekali... Namun, apabila sekehendak hati kami memperturutkan keinginan, tak pelak lagi, akan banyak yang terluka... Bahkan, kini, telah ada yang terluka parah, amat parah.... Padahal, belum jua kami pecahkan hancurkan dinding itu namun getarannya sudah mampu melukai jiwa-jiwa di sekeliling kami...”



”Maya...”



Jiwa tuanya trenyuh. Hati tuanya begitu pilu, serta merta turut merasakan kepedihan dilema cinta wanita belia dihadapannya.



”Lantas... Apa yang akan kau perbuat selanjutnya, Maya?”



”Entahlah, kakek... Entah...”



Setengah melamun, lirih suaranya menyahut. Matanya menerawang menembus jauh lapisan bening berkilau tertimpa matahari sore. Tak pelak memandang lurus pada sosok yang tengah menatap keramaian jalan. Berdiri di sana, di timpa cahaya mentari sore, begitu indah dan elok. Membangkitkan kerinduan yang menggigit erat kisi-kisi hatinya.



“Masumi-san....”



“Maya...!”



Serta merta Eisuke mengikuti arah pandang sang gadis. Dan, kini jelaslah sudah segalanya. Hati tuanya kian tercekat sendu.



‘Apa yang telah aku perbuat pada kalian berdua, Maya...? Masumi...?’



“Apakah dia, Masumi Hayami-san, Maya....?”



Mata berlinang airmata itu terus menatap lekat sosok nun jauh di sana. Berkeras menyampaikan rasa rindu yang begitu tebal mewarnai sorot matanya.



“Maya...?”



“Benar kakek... Dialah orangnya... Masumi Hayami-san lah pusat kegundahan saya kini...”



Sosok indah itupun berlalu pergi. Menjauh entah kemana. Meninggalkan kerinduan dalam bersemayam di hati wanita belia pecintanya, Maya Kitajima.



“Maya, apakah kau benar-benar mencintai Masumi Hayami-san? Tidakkah ada sosok lain yang mampu menggantikannya? Lawan mainmu mungkin? Sakurakoji-kun?”



Pandangan mata sembab itu meluruh, menatap diam dalam kesenduan jiwa yang tak terperi.



“Pada mulanya, saya berpikir demikian kakek... Namun, entahlah, rasa cinta yang saya rasakan ini selalu bergerak dan tertarik padanya. Ruh jiwa saya yang begitu merana dan kasmaran, selalu ingin kembali kepadanya, gundah meratap, meronta-ronta, mendambakan sambutannya...”



”Dan... Andai saja kami terpisahkan, jiwa kami akan menjerit pilu... Tak ubahnya lengking serunai bambu yang menyayat hati, melantunkan pilunya perpisahan telah dipisahkan dari rumpun bambunya...”



”Maya...”



”Salahkah perasaan cinta ini, kakek...? Salahkah perasaan agung ini dianugerahkan kepada kami berdua? Seyogyanya cinta membawa kebahagiaan, namun mengapa cinta kami terasa begitu menyakitkan dan pilu...?”



”Maya, perasaan cinta tak akan pernah salah... Hanya saja, jalan pilihan kitalah yang seringkali salah...”



Mata tuanya kini berkelana pandang. Jauh di titik nadir tak terkira. Setengah merenung, setengah melamun.



”Demikiankah kek...? Mengapa kakek juga menyampaikan hal serupa? Seorang tua bijak pernah menyampaikan hal tersebut pada saya...”



”Benarkah, Maya? Siapa gerangan yang menyampaikannya padamu?”



”Entahlah kakek... Beliau pun tak hendak memperkenalkan diri pada saya... Hanya saja, beliau begitu serupa dengan kakek... Baik dan bijak...”



’Andai saja kau tahu, kebaikan dan kebijakan macam apa yang aku miliki, Maya...’



”Begitukah? Mungkin karena kami sudah tua, Maya... Mungkin, karena kami sudah sering tertempa kerasnya palu kehidupan... Namun, ternyata, kami masih juga harus belajar, Maya... Belajar... Terus belajar hingga sang malaikat maut menjemput kami....”



= # =
to be continued

8 comments:

Anonymous said...

hiks...hiks...daleeeemmmmmmm :( walaupun ada kemungkinan 99% ending cerita maya-masumi sama seperti akoya-ishin di BM, tapi tetep ngarep 1% for their happiness. Thanks for the story *rini*

Anonymous said...

suka suka suka...mantap

Anonymous said...

bagus sis, ditunggu lanjutannya...
-nadine-

orchid on 26 July 2011 at 22:25 said...

Setelah sekian lama ditunggu, akhirnya datang juga apdetan, ini endingnya msh gamang

Heri Pujiyastuti on 27 July 2011 at 14:06 said...

Penyampaiannya bagus....Tapi koq memilukan...semoga HE...lanjutkan sis...

resi on 28 July 2011 at 23:44 said...

nuuuur, jgn sedih2 doooong hiks...hiks....
baguusss, penantian yg tdk sia2 hehehe. apdetnya jgn lama2 yaaaaa.

ivoneyolanda on 2 August 2011 at 10:50 said...

Jeung Nur...lanjutannya jgn lama2 ya, mau tau sang Jendral mau buat apa, tersentuh gak tuh hatinya weeeew.....

Unknown on 16 May 2018 at 12:47 said...

Maaf tanya ini lanjutannya yg 4 udh ada apa??? Bsa share link nya gk? Sy nyari blm ktemu yg eps 4😭

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting