Monday 30 January 2012

FFTK: Can't Take My Eyes Off of You

Posted by Ty SakuMoto at 23:25

Setting : Maya Masumi setelah menikah.
Genre: Drama, angsty
Warning: Sad Ending


Can’t Take My Eyes Off of You


Masumi berdiri di ambang pintu kamar, memandangi pemandangan indah di hadapannya kini. Istrinya tercinta, Maya, sedang bercerita mengenai kisah Putri Kaguya kepada dua anak mereka. Bara dan Rosa, yang menatapnya dengan mata berbinar.
          “Akhirnya, putri Kaguya kembali ke bulan, namun demikian, Putri Kaguya tidak akan pernah melupakan jasa dan kasih sayang Kakek dan Neneknya selama di bumi,” tutup Maya. “Nah, sudah selesai. Sekarang waktunya kalian tidur,” Maya tersenyum seraya beranjak dari tempat tidur Bara.
          “Aku belum mengantuk…” protes Rosa, kakaknya, dari tempat tidur satunya. Rosa sekarang sudah masuk TK.
          “Aku juga,” Bara, adiknya, yang baru masuk pre-school seperti biasa ikut-ikutan.
          “Tapi sudah larut,” bujuk Maya. “Besok kan kalian harus sekolah...”
          “Yaa… Ibuu… satu cerita lagi sajaa…” bujuk Rosa.
          “Iyaa… satu cerita lagi saja,” kembali Bara mengikuti kakaknya.
          “Eh, cepat tidur,” suara gagah ayah mereka terdengar. Masumi masuk ke dalam kamar. “Kalau besok terlambat, nanti akhir pekan kalian tidak boleh nonton sandiwara Ibu!” ancamnya.
          “Ayah!!” Panggil Bara dan Rosa bersamaan.
          Maya berpaling pada suaminya, tersenyum. Tatapan matanya menyapa, sudah pulang?
Dan tatapan mata suaminya menjawab, sudah. Masumi tersenyum.
          “Tidak mau! Aku mau nonton sandiwara Ibuu…!” Kata Rosa.
          “Aku juga mau nonton sandiwara Ibuuu!!!” imbuh Bara.
          “Nah, berarti kalian harus tidur sekarang,” bujuk Masumi. “Ayah dan Ibu juga sudah mau tidur. Sudah larut.”
          “Nanti besok Ibu cerita lagi,” Maya kembali membujuk.
          Anak-anaknya akhirnya setuju. Maya dan Masumi memeluk dan mencium anaknya sebelum mereka keluar dari kamar mereka.
          “Sudah makan?” tanya Maya, menyelipkan jemarinya di jemari Masumi.
          “Sudah,” Masumi menghela nafasnya letih.
          Maya tahu suaminya itu sedang sibuk mengurus sebuah kontrak untuk rencana pementasan teater Broadway di Jepang.

Masumi keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri. Maya tampak sedang membaca naskah untuk pentasnya besok di sebuah sofa. Masumi mengahmpirinya.
          “Kau belum hapal naskahnya?” tanya Masumi sangsi, mengambil tempat di sampingnya.
          Maya menoleh, lantas menyandarkan kepalanya di dada Masumi. “Bukan, hanya ingin membacanya lagi agar aku lebih mengerti mengenai situasi yang dihadapi Alicia hingga dia memutuskan untuk bunuh diri,” gumam Maya.
          “Oh…” Masumi membelai lengan istrinya.
          Maya tiba-tiba tertegun, teringat sesuatu. “Ayah,” Ia menoleh kepada Masumi. “Ayah tidak akan benar-benar membawa anak-anak ke pementasan nanti kan? Ceritanya tidak cocok untuk anak-anak.”
          Masumi tersenyum. “Tentu saja tidak. Tapi kalau aku tidak berkata seperti itu, mereka pasti tidak akan melepaskanmu. Mereka anak-anak yang keras kepala, seperti ibunya.”
          “Ha!? Apa!?” Maya mengangkat tubuhnya. “Kau sendiri juga keras kepala!” gerutunya.
          Masumi tertawa. “Iya, begitulah. Berarti mereka memang anak-anak kita.”
          Maya juga tertawa. Ia kembali memutar tubuhnya dan bersandar. Maya melanjutkan membaca naskahnya. Masumi mengamati kembali istrinya yang dengan senyap tenggelam dalam bacaannya. Masumi terus memandanginya terpesona. Setelah 7 tahun pernikahan mereka, Masumi tidak pernah bosan memandangi istrinya itu. Setiap gerak-geriknya, ataupun saat ia tidak bergerak sama sekali seperti sekarang ini. Beberapa lama keduanya tidak bersuara, sampai Masumi kemudian menciumi kepala istrinya. “Okaa-san* (Ibu),” panggilnya perlahan, lantas kembali menciumi kepala istrinya.
          Maya tertegun, menurunkan naskahnya dan menaikkan pandangannya. Matanya bertemu mata Masumi yang memandanginya dalam. Tajam, namun lembut. Saling mengamati. Cara Masumi menatapnya yang seperti tidak pernah puas, juga tidak pernah gagal membuat hati wanita yang kini sudah menjadi istrinya itu berdebar-debar keras.
          Masumi menundukkan wajahnya dan kemudian keduanya berciuman.
Beberapa kecupan lembut sudah cukup untuk membuat Maya mengabaikan naskahnya. Masumi lantas menarik Maya menuju ke tempat tidur mereka yang sangat besar. Keduanya berlindung di balik selimut. Di luar hujan terdengar cukup deras.
          Naik dari sisi tempat tidur yang berlainan, keduanya kembali saling menghampiri. Saling memeluk dan memanjakan satu sama lain dengan sentuhan-sentuhannya.
          Suara halilintar yang tiba-tiba sempat membuat Maya terkejut, memeluk suaminya. Wanita itu terperanjat dan terpekik. Masumi pun sempat terkejut, lantas tertawa kecil dengan reaksi Maya.
          “Ayaahh…!” Rajuk Maya, memukul pelan dada suaminya.
          Masumi masih saja tertawa, memeluk istrinya.
          Tiba-tiba terdengar teriakan dan ketukan di pintu kamar mereka. Maya dan Masumi saling memandang. Masumi segera turun dari tempat tidur mereka, membukakan pintu.
          “Ayah!” Rosa memeluk kaki Ayahnya, demikian juga dengan Bara.
          “Ada apa?” tanya Masumi khawatir.
          “Kalian kenapa?” Maya hendak beranjak turun.
          Bara segera berlari ke arah ibunya. “Ibu! Ibu! Takuut! Petirnya keras sekali…” anak laki-laki itu hampir menangis. Bara menumbuk Ibunya dan memeluknya.
          “Iya, keras sekali…” Rosa juga hampir terisak.
          Masumi mengangkat anak perempuannya, menggendongnya. “Sudah, sudah, tidak apa-apa,” Masumi berjalan menuju tempat tidur dimana Maya juga sedang memeluk Bara di pangkuannya.
          Suami istri itu berpandangan.
          “Ayo, kembali ke kamar kalian,” ajak Maya. “Sudah kok, tidak apa-apa, petirnya juga sudah berhenti.”
          Rosa menggeleng keras-keras. “Tidak mau! Takuut! Takuut! Mau sama Ayah dan Ibu saja…!”
          “Iya… sama Ayah dan Ibu…!” Bara juga merajuk.
          Masumi terlihat bingung sementara Maya sudah memutuskan. “Baiklah, ayo,” ajaknya, mulai beringsut naik ke tempat tidur sementara Bara masih memeluknya erat.
          Masumi kembali memandangi istrinya dengan sedikit keberatan. “Kalian kan sudah besar, harus belajar tidur sendiri. Apalagi kalian kan sekamar berdu—“
          “Tidak mau…” Rosa menolak mentah-mentah, mata bundarnya menatap Masumi. “Aku sama Bara mau sama Ayah sama ibu,” tuntutnya.
          Masumi menghela nafasnya. Ia kemudian menggendong putrinya ke tempat tidur.
          Bara dan Rosa terbaring diantara Maya dan Masumi. Keempatnya berada di balik selimut.
          “Rosa, kau kan lebih besar, Rosa harus bisa menjaga Bara,” ujar Masumi, seraya mengusap rambut Rosa. Telapak tangannya kemudian beralih kepada Bara yang berada dalam pelukan Maya. “Bara juga. Bara kan laki-laki. Laki-laki itu harus berani. Nanti kalau Ayah tidak ada, Bara yang harus menjaga Ibu dan Kak Rosa,” kata Masumi.
          Raut takut-takut itu masih ada di wajah Bara, tapi anak itu mengangguk. Masumi tersenyum.
          “Memangnya Ayah mau pergi kemana?” tanya Rosa.
          “Pergi! Mitin!” Sambar Bara.
          “Bukan mitin,” Maya tertawa kecil. “Mi-ting! (meeting),” koreksinya.
          Masumi juga tertawa kecil.
“Tapi tadi petirnya keras sekali,” Rosa memberi alasan.
          “Iya, Ayah, petirnya keras sekali,” lagi-lagi Bara membeo.
          Masumi tertawa kecil, melirik tipis pada Maya. Istrinya tadi juga sempat terpekik.
          “Iya. Tapi kita kan ada di dalam rumah. Kalau diam di dalam rumah, petirnya besar juga tidak perlu takut. Apalagi kalau bersama-sama seperti ini,” Masumi menenangkan. “Jadi, tidak boleh takut lagi ya. Harus berani, karena kalian harus bisa saling menjaga, apalagi kalau Ayah sedang tidak ada.”
          Rosa mengangguk. Bara juga ikut-ikutan mengangguk.
          “Sudah, sekarang tidurlah,” ajak Masumi.
          “Ibu, ayo dongeng lagi sebelum tidur,” pinta Rosa.
          “Loh… tadi kan sudah,” ujar Maya.
          “Satu lagi, gratis,” celoteh Bara, mengucapkan kata yang entah didengarnya dari mana.
          “Bukan gratis,” koreksi Rosa, “bonus!”
          Masumi kembali tergelak. Anak-anaknya itu tidak pernah berhenti menghiburnya. Ia tidak pernah lelah bersama mereka tidak peduli betapa penatnya pikiran Masumi akibat pekerjaan.
          Hanya saja, Masumi jarang bisa meluangkan waktu bersama mereka. Apa lagi sejak Eisuke meninggal dan Masumi mewarisi semua usaha Ayah angkatnya itu beberapa bulan yang lalu. Banyak hal yang harus dipelajarinya. Mengurus bisnis keluarga Hayami sangat memusingkannya.
          “Ya sudah, Ayah saja yang cerita, bagaimana?” tawar Masumi.
          “Tidak mau!” Rosa menolak mentah-mentah. “Ayah payah!”
          “Payah!” si Bungsu menimpali.
          “Eh, payah? Berani ya kalian bilang Ayah payah!” Masumi bangun dan mulai menggelitiki tubuh-tubuh mungil yang terbaring di sana.
          Anak-anak itu tergelak dan protes, lalu meminta ampun, lantas kembali tergelak.
          “Ampun! Ampun!” Seru mereka.
          Masumi berhenti. Anak-anaknya terlihat berbinar-binar dan terengah-engah mengatur nafas. Maya masih tertawa renyah melihat tingkah Masumi dan anak-anaknya.
          “Kenapa Ibu tertawa?” tanya Masumi. “Mau juga ya?” tanyanya.
          Maya tidak sempat mengelak saat suaminya mulai menggelitikinya. Wanita itu melarang sambil tertawa, Masumi dengan gemas terus menggelitiki pinggang Maya.
          “Ih… Ayah sama Ibu pacaran!” seru Rosa.
          “Pasaraan!!” Bara ikut-ikutan berseru.
          “Pacaran, adik.. bukan pasaran…” koreksi Rosa.
          “Apa, itu?” tanya Bara dengan suaranya yang imut dan wajah bingung.
          Masumi kembali tertawa gemas, sementara Maya terlihat merona malu-malu digodai anak-anaknya. “Sudah, sudah, ayo tidur lagi…” Masumi kembali meminta mereka terbaring, menyelimutinya sebelum ia pun kembali menenggelamkan diri dalam selimut. “Sudah ayo cepat tidur. Besok jangan sampai mengantuk di sekolah.”
          “Cerita sekali lagi,” pinta Rosa. Anak perempuan itu memang selalu berkeras jika ada yang diinginkannya.
          Masumi dan Maya berpandangan bingung.
          “Tapi tadi kan sudah, Sayang,” kata Maya lembut.
          “Tapi kan belum selesai…” rajuk Rosa, sementara Bara tampaknya sudah mulai mengantuk.
          “Kan Putri Kaguya-nya sudah kembali ke bulan,” kata Maya. “Jadi ceritanya sudah selesai.”
          “Lalu kakek dan neneknya bagaimana? Apa tidak akan bertemu lagi? Kan mereka saling menyayangi, masa tidak bisa bertemu lagi?”
          Maya terdiam sebentar. “Tapi tempat Putri Kaguya memang bukan di bumi, melainkan di bulan. Jadi, karena kakek dan neneknya menyayangi putri kaguya, mereka harus rela putri kaguya kembali ke bulan.”
          “Jadi Putri Kaguyanya tidak kembali ke bumi?” tanya Rosa, sementara Bara sudah terlelap. “Kenapa kakek dan neneknya tidak ikut dibawa ke bulan?”
          “Karena kakek dan neneknya rumahnya di bumi. Nanti, kalau sudah saatnya, kakek dan nenek juga akan pergi ke bulan bertemu Putri Kaguya,” Masumi menambahkan.
          “Jadi nanti kakek sama nenek bertemu Putri Kaguya di bulan?” tanya Rosa.
          “Iya. Sementara itu, mereka berpisah dulu. Tapi, tidak apa-apa. Karena kakek dan nenek sangat menyayangi putri Kaguya, mereka terus mengingat putri kaguya di dalam hati mereka. Jadi sebenarnya, Putri Kaguya juga tidak benar-benar meninggalkan kakek dan neneknya. Selama kita mengingat orang yang kita sayangi, maka orang itu akan tetap hidup dalam kenangan kita, sampai nanti kita bertemu lagi dengan mereka,” kata Masumi lembut.
          Rosa sebentar terdiam. “Seperti kakek?” Ia menanyakan Eisuke.
          “Benar, seperti Kakek,” ucap Masumi sendu.
          “Apa Kakek juga sebenarnya pergi ke bulan?”
          “Iya, benar,” kata Masumi. “Tapi selama Rosa masih mengingat kakek, kakek tidak akan bersedih dan akan selalu ada bersama kita,” kata Masumi.
          Masumi masih ingat, bagaimana Eisuke yang membesarkannya dengan tangan besi, begitu mencintai cucu-cucunya. Begitu juga Rosa dan Bara yang sering bermanja-manja pada kakeknya.
          “Apa nanti kita juga bisa pergi ke bulan ketemu kakek?” tanya Rosa, matanya sudah terlihat sangat berat.
          “Iya, kalau sudah waktunya, kita juga akan pergi ke bulan untuk bertemu kakek,” kata Masumi lembut.
          Rosa akhirnya tertidur. Masumi mengamati wajah polos itu, membelai rambutnya perlahan. Masumi mengecup dahi putrinya dengan lembut.
Rosa memiliki rambut hitam lurus seperti ibunya. Matanya juga bundar. Tapi bibir dan kecerdasannya mirip Masumi. Rosa juga berani dan keras kepala, di sisi lain Rosa anak yang penuh kasih dan pengertian. Dia tidak pernah mengeluh walaupun Masumi selalu bekerja. Tapi Eisuke sekali waktu pernah berkata, Rosa bertanya kepadanya apakah kakeknya itu bisa membuat Ayahnya jangan terlalu lama bekerja di kantor. Mungkin dia rindu kepada Ayahnya.
Lalu tangannya beralih kepada kepala putranya, yang tampak damai dengan tidurnya. Masumi tersenyum, membelai kepala Bara. Rambut berombaknya yang terang, seperti miliknya dulu. Bara seperti Masumi cilik. Sangat mirip, hanya saja sikapnya malu-malu seperti ibunya dan sangat polos. Kalau sudah menyukai sesuatu, Bara sangat terpaku. Misalnya saat berkutat dengan mainan barunya, Bara selalu terlihat serius, sama seperti saat Maya membaca naskah cerita. Saat Bara tertawa pun, caranya tertawa mirip sekali dengan Maya.
Hujan di luar kamarnya terdengar mulai reda. Kemudian tatapan Masumi beralih kepada istrinya, yang wajah tidurnya juga tidak jauh berbeda polosnya dengan buah hati mereka. Masumi bahagia sekali, bisa mengalami momen seperti ini dalam hidupnya. Maya benar-benar sudah menjadi anugerah dan karunia terindah yang pernah didapatkan seorang Masumi Hayami dalam hidupnya. Masumi tersenyum bahagia, tangannya yang panjang membelai lembut rambut hitam Maya. Terasa halus menyentuh ujung-ujung jemarinya. Sudah 7 tahun Maya menjadi istrinya, tidak sedetik pun Masumi bosan memandangnya. Tidak sedetik pun, Masumi berhenti terpesona.
Perlahan Maya membuka matanya. “Masumi…” bisiknya. “Belum tidur?”
“Maaf, apa aku membangunkanmu, Sayang?” tanya Masumi hati-hati, takut terdengar anak-anak mereka.
Maya menggeleng perlahan. “Cepatlah tidur, Ayah, besok terlambat kerja,” Maya mengingatkan.
Masumi menghela nafasnya sementara Maya merapatkan selimut Bara yang tidur terlentang di sampingnya.
“Sayang, terima kasih, sudah memberikan anak-anak yang begini tampan dan cantik,” kata Masumi.
Maya tertawa kecil. “Berkat kau juga kan?” Maya tersenyum.
“Aku bahagia sekali, sungguh,” Masumi kembali mengamati anak-anaknya. “Bisa membangun keluarga ini denganmu. Aku terkadang masih takut bahwa semua ini adalah mimpi,” Masumi mengusap wajah Maya. “Karena semuanya terlalu indah untuk menjadi nyata.”
“Aku juga, sering berpikir demikian,” ujar Maya, mengusap lembut tangan suaminya. “Tapi bukan, Sayang. Ini bukan minpi…” Maya mengecup lembut telapak suaminya. “Ini keluargamu. Keluarga kita,” istrinya berkata.
Masumi masih saja menatap lekat wajah kekasihnya itu. “Sayang, nanti setelah pementasanmu yang ini selesai, aku ingin mengambil cuti,” kata Masumi. “Sejak Ayah meninggal, pekerjaanku semakin banyak. Untunglah Hijiri sangat membantuku. Tapi aku tersadar, waktuku untuk anak-anak dan untukmu semakin sedikit saja. Padahal sejak dulu pun aku sudah sangat sibuk dengan pekerjaanku,” keluh Masumi.
“Benarkah?” Wajah Maya berbinar. “Aku senang sekali. Rasanya tidak sabar.”
“Iya. Tapi jangan dulu mengatakan apa-apa kepada anak-anak. Aku takut tidak bisa memenuhi janjiku nanti mereka ngambek,” Masumi berujar.
Maya tertawa kecil, lantas mengangguk. “Sudah cepatlah tidur, Sayang…”
“Selamat malam,” kata Masumi.
“Selamat malam,” jawab Maya. “Lampunya tidak dimatikan?”
“Nanti saja,” Masumi tersenyum tipis.
“Tapi cepatlah tidur,” Maya mengingatkan sekali lagi seraya memeluk kedua buah hatinya.
“Iya, Ibu, Ayah juga sudah mengantuk kok,” kata Masumi.
Maya akhirnya tersenyum sebelum memejamkan matanya sementara Masumi masih mengamatinya. Ia memandangi lekat wajah istrinya yang selalu membuatnya merasa damai itu untuk sekian lama sebelum kemudian Masumi memejamkan matanya, memeluk kedua buah hati mereka dan menggenggam lengan istrinya kemudian jatuh tertidur.***
“Mmhh…” Masumi membuka matanya perlahan saat merasakan sentuhan lembut membelai kepalanya.
          “Bangun Sayang, katanya mau bangun lebih pagi agar bisa sarapan dengan anak-anak?” kata istrinya lembut.
          Masih memejamkan matanya, pria yang hampir berusia 39 tahun itu tersenyum. “Selamat pagi Sayang,” sapanya saat matanya terbuka. Masumi menoleh, mencari anak-anaknya.
          “Mereka sedang mandi,” terang Maya, seraya berdiri hendak menyiapkan keperluan Masumi. Tapi pergelangannya ditahan suaminya. Maya kembali menoleh.
          Masumi menarik tangannya, meminta istrinya mendekat dan kembali terduduk di sisi tempat tidur. “Tidak ada kecupan selamat pagi untuk Ayah?”
          Maya tertegun. “Sejak kapan ada kecupan selamat pagi?” kata Maya, tersenyum malu-malu.
          “Sejak hari ini,” ujar Masumi, menarik istrinya mendekat.
          Senyuman Maya melebar, ia lantas menciumi suaminya. Dahinya, pipinya, hidungnya. “Cepat bersihkan dirimu,” dan mengecup cepat bibirnya.
          “Aku belum puas!” protes Masumi.
          “Ada apa dengan Direktur Masumi? Banyak sekali mengeluh hari ini, padahal masih pagi,” kata Maya seraya beranjak ke lemari mengeluarkan pakaian yang akan dikenakan suaminya hari itu. “Pertemuannya dengan Tn. Adams?” Maya meraih sebuah dasi.
          “Mmm… mungkin,” Masumi menjawab tanpa minat, kini terduduk di sisi tempat tidurnya.
          “Mungkin?” Maya menoleh cepat. Tidak biasanya suaminya itu terdengar malas membicarakan pekerjaannya. Maya meletakkan pakaian suaminya di sofa, lantas mendekati Masumi, duduk di sampingnya. “Sayang, sebenarnya ada apa?” Maya mengusap punggung suaminya. “Apakah ada yang mengganggu pikiranmu? Atau ada masalah di tempat kerja?” tanya Maya penuh perhatian.
          Masumi menoleh, mengamati wajah khawatir istrinya. Lalu memaksakan tersenyum dan menggeleng. “Tidak,” katanya. “Maaf membuatmu khawatir, Sayang.”
          “Lalu ada apa?”
          “Tidak ada apa-apa. Hanya pekerjaanku, semakin hari semakin banyak. Rasanya dokumen-dokumen di meja kerjaku tidak pernah berkurang malah semakin menumpuk tinggi.”
          “Tapi suamiku hebat,” kata Maya. “Pekerjaannya selalu selesai dengan sempurna,” Maya tersenyum meyakinkan.
          Masumi mengamati lagi wajah mungil itu, tersenyum penuh haru. “Terima kasih, Sayang,” katanya, mengusap wajah Maya, lantas menarik ibu dari anak-anaknya itu ke dalam pelukannya. “Ini yang kuinginkan. Lebih lama bersamamu, bersama anak-anak. Melihat mereka bermain dan bercanda, bertikai, lalu tertawa. Memelukmu lebih lama, menghabiskan waktu lebih banyak bersama kalian, harta paling berharga yang kumiliki saat ini,” kata Masumi. “Rasanya masih belum cukup aku menunjukkan betapa berartinya kalian untukku. Betapa aku sangat menyayangimu dan anak-anak, Sayang. Aku merasa tidak menjadi Ayah yang baik.”
          “Ayah…” Maya melipat bibirnya haru. “Kami tahu,” katanya, meyakinkan. “Kami tahu Ayah sangat menyayangi kami. Ayah bekerja keras untuk kami kan, Sayang? Ayah selalu melindungi kami, memenuhi kebutuhan kami, selalu menjaga kami dan melakukan banyak hal untuk kami. Terutama untukku,” mata Maya berkaca-kaca. “Belasan tahun ini, aku bukanlah apa-apa tanpamu. Waktu aku bilang aku takut tidak akan bisa menjadi istri dan ibu yang baik, Ayah waktu itu bilang, aku tidak perlu takut. Kita akan belajar bersama-sama membangun keluarga yang baik.”
          “Dan kau memang sudah menjadi istri dan ibu yang baik, Sayang,” ucap Masumi lembut.
          “Kau juga, Sayangku,” balas Maya. “Bertemu denganmu saat aku berusia 13 tahun, dan menjadi istrimu sekarang, menjadi Ibu dari anak-anakmu, membuatku sangat bahagia. Kau adalah anugerah dan karunia terbaik yang pernah kudapatkan dalam hidupku.”
          “Maya…” Masumi memeluk istrinya semakin erat.
          “Cepatlah mandi, air panasnya sudah disiapkan,” kata Maya.
          Masumi beranjak, berdiri, menarik Maya bersamanya.
          “Ayah…!?”
          “Ayah sedang tidak ingin sendirian,” katanya, tersenyum menyeringai.
          Wajah istri mungilnya merona, “manja…!” gumamnya perlahan, menghampiri Masumi.***

Maya memasangkan dasi suaminya yang sekarang sedang terduduk di pegangan sofa. “Sudah rapi,” katanya, meraba halus dasi suaminya.
          Masumi menggerakkan dasinya sedikit, membuatnya nyaman di lehernya, sementara matanya mengamati istrinya yang meraih jas dan tas kerjanya. Mata pria itu tidak lepas memandangi Maya sampai Ia kembali mendekat padanya untuk memakaikan jasnya.
          Maya melirik sebentar pada suaminya. Ia tahu Masumi sejak tadi pasti mengamatinya. Itu sudah berlangsung sejak lama. Maya sering mendapati suaminya itu mengamatinya lekat-lekat. Entah apa yang menarik perhatiannya, padahal sedari dulu Maya tidak pernah merasa ada yang istimewa pada dirinya.
          “Kenapa kau selalu memandangku seperti itu? Apakah ada sesuatu?” tanya Maya suatu ketika.
          Saat itu Masumi menjawab, “karena aku ingin memandangmu. Apa tidak boleh?”
          Sejak saat itu Maya tidak pernah bertanya lagi. Dibiarkannya Masumi dengan kesenangannya memandangi dirinya itu.
          “Nah, sudah,” kata Maya, setelah membantu suaminya memakai jas. “Coba berdiri,” pintanya.
          Alih-alih berdiri, Masumi melingkarkan tangannya di pinggang Maya, menariknya mendekat dan mulai menciuminya lagi.
          “A, ayah!” sergah Maya. “Nanti terlambat.”
          “Masih pagi,” ujar Masumi pendek, lantas menciumi bibir mungil istrinya.
          “Nanti jasnya—“ Maya tidak bisa menjawab lagi dan akhirnya membalas ciuman suaminya.
         

“Tolong masukkan ke mobil Tuan,” pinta Maya, menyerahkan tas kerja suaminya kepada seorang pelayan.
“Baik Nyonya,” pelayan itu membungkuk dan berlalu membawa tas kerja Masumi.
Masumi keluar dari kamar, tersenyum pada istrinya dan menggandeng tangannya ke ruang makan.
“Ayah nanti datang sebelum sandiwaranya dimulai ya,” pinta Maya.
“Entahlah, kuharap pertemuanku dan Tn. Adams bisa berlangsung cepat,” kata Masumi.
“Yaa… Ayah…” Maya melingkarkan tangannya manja di pinggang Masumi dan bersandar kepadanya. Kedatangan Masumi ke ruang gantinya selalu bisa membuat Maya merasa jauh lebih tenang sebelum naik panggung.
Masumi tersenyum, mengusap-usap kepala istrinya. “Aku usahakan, katanya.”
“Kakak! Kakak! Kembalikaaan! Itu punya akuuu~!!!” tiba-tiba Bara berlari sambil mengejar kakaknya.
Maya dan Masumi saling memandang.
“Kakaaaaak~!!!!” Jerit Bara lebih keras.
“Bukan! Ini bukan punya adik, ini punya Ayaah…” Ledek Rosa, masih berlari.
“Kakaaaaak~!” Rengek Bara, sudah mau menangis.
“Nona Rosa, Tuan Muda Bara….!” Ayame, pengasuh mereka, juga tampak berlari-lari mengejar keduanya.
Maya dan Masumi saling berpandangan, heran.
“Ada apa pagi-pagi begini sudah bertikai?” gumam Maya.
“Sudah, biar aku saja,” kata Masumi, melepaskan pelukannya.
“Kakak, ade, ada apa pagi-pagi begini sudah bertengkar?” tanya Masumi, menghampiri keduanya yang berlarian di ruang makan.
“Ayaaah!!” Anak laki-laki itu mengadu, “kakak nakal sama akuu~!”
Masumi menoleh kepada Rosa.
“Habis Bara bohong! Masa katanya ini punya Bara, ini kan punya Ayah,” Rosa memperlihatkan sesuatu di tangannya. Sebuah dasi.
Masumi meraihnya dari tangan Rosa. “Apa ini?” tanyanya.
“Tuan Muda bilang, ingin ke sekolah memakai ini,” terang Ayame.
“Masa ke sekolah mau pake dasi? Adik kan masih keciiilll sama dasinya saja besaran dasinya…” ledek Rosa.
“Biariiin!!!” Amuk Bara.
“Kakaak… sudah dong, jangan digodain terus adiknya,” hardik Masumi.
Rosa tersenyum kecil. “Habis, anak laki-laki tapi cengeng!” Ejek Rosa. “Sudah namanya Bara (Mawar), cengeng, badannya kecil lagi!”
“Hiks, hiks,” Bara tidak tahan lagi, dia menangis. “Kakak jaaaaattt benciii…!” teriak Bara, berlari keluar ruang makan.
“Bara!” Panggil Maya.
Masumi berlari mengejarnya keluar.
Maya mengalihkan pandangannya kepada Rosa. “Kak Rosaa…” ujarnya.
Rosa menyeringai jahil, “maaf…” katanya.
Maya duduk di meja makan. “Sini, duduk.”
Rosa naik ke samping ibunya.
“Kenapa sih kakak belakangan ngegodain adik terus?” tanya Maya.
“Habis lucu Bu, adik cengeng!” ujar Rosa.
“Tapi tidak boleh begitu dong Kakak… kalau sama kakaknya saja diganggu, nanti orang lain juga jadi mengganggu Bara,” nasihat Maya.
“Tidak akan! Kalau ada yang ganggu Bara, biar nanti aku yang pukul,” kata Rosa dengan yakin.
“Memukul juga tidak boleh,” Maya mengingatkan.
“Itu kan kalau dia ganggu Bara duluan.”
“Nah, kakak mengganggu Bara, apa harus Ibu pukul juga?” tanya Maya.
“A, aku…” Rosa terbata-bata, “aku kan cuma bercanda Bu…” kata Rosa pelan.
Maya tersenyum. “Tidak boleh begitu. Tidak boleh bercanda dengan cara yang tidak disukai orang lain,” kata Maya lembut. “Walaupun kakak cuma bercanda, tapi Bara kan jadi sedih. Jadi, kalau kakak sayang sama Bara, kakak tidak boleh membuat Bara sedih lagi seperti tadi.”
Rosa menundukkan kepalanya, mengerucutkan bibirnya, cemberut.
“Kak Rosa…”
Rosa melirik kepada ibunya. “Iya, nanti aku minta maaf sama Bara,” katanya perlahan.
Maya tersenyum, “nah, pintar, itu baru putrinya Ayah Masumi sama Ibu Maya.”
Senyuman Rosa melebar, menampakkan gigi-gigi kecilnya.

“Bara! Bara…!” Masumi mencari Bara. “Mana Bara?” tanyanya kepada seorang pelayan.
          “Tadi lari ke ruang mainan, Tuan.”
          Masumi mengangguk lantas menuju ruang yang ditunjuk. “Bara,” panggil Masumi.
          Putra bungsunya itu sedang diam di pojok, di atas sebuah kuda-kudaan dari kayu, menangis.
          Masumi memandanginya, lalu perlahan mendekati. Ia bisa melihat putranya itu sedang terisak-isak.
          “Bara…” panggil Masumi sekali lagi, berjongkok di samping putranya yang memunggunginya. “Kenapa menangis? Kok anak Ayah menangis?” tanya Masumi, membelai punggung mungil putranya yang berusia 4 tahun tersebut.
          “Habis Kak Rosa nakal!” rajuknya.
          “Kak Rosa cuma bercanda,” Masumi menenangkan.
          “Katanya, katanya, hiks, Bara payah… Bara tidak akan bisa kaya ayah. Bara pendek!”
          Masumi menahan tawanya. “Itu, karena Bara masih kecil,” kata Masumi. “Nanti, kalau Bara sudah besar, Bara juga akan tinggi.”
          “Kaya Ayah?” tanyanya. Mata sembap itu menatap Masumi dengan memelas.
          “Iya,” Masumi duduk bersila. Menarik Bara duduk di kakinya. “Seperti Ayah. Nanti Bara juga tinggi dan kuat seperti Ayah.”
          “Lebih tinggi dari Kak Rosa?” Bara menengadah menatap ayahnya.
          “Tentu saja,” kata Masumi.
          “Aku pake dasi?” tanya Bara dengan nada merajuk manja.
          “Tentu, Bara bisa pakai dasi nanti,” Masumi tersenyum.
          Wajah si Bungsu berseri-seri. “Ayah, aku mau sekolah pake dasi Ayah,” pinta Bara.
          Masumi tertegun. Lalu tersenyum lebar. “Sekarang belum boleh,” kata Masumi. Nanti, sudah besar, Bara bisa pakai dasi seperti ayah,” terang Masumi.
          “Sudah besar?” Mata bocah itu membulat.
          “Iya, nanti Bara bisa pakai dasi setiap hari,” kata Ayahnya.
          “Tapi Bara maunya sekarang!” tuntut anaknya, bersandar pada tubuh bidang sang Ayah.
          Masumi diam, berpikir. “Baiklah, coba berdiri,” ia membangkitkan tubuh anaknya. “Lihat Ayah,” dan memutar Bara menghadap ke arahnya.
          Masumi lantas melingkarkan dasinya di leher Bara. “Mulai hari ini, dasi ini jadi milik Bara,” kata Masumi. “Tapi, itu artinya, Bara tidak boleh cengeng lagi, Bara harus jadi anak yang kuat,” pesan Ayahnya. “Bara setuju?”
          Bara mengangguk pasti.
          “Janji ya,” Masumi memberikan kelingkingnya dan mengaitkannya pada putra bungsunya. “Bara harus jadi anak yang berani, dan kuat. Tidak boleh ce…?”
          “… cengeng,” kata Bara malu-malu.
          “Pintar!!” puji Masumi. “Janji?”
“Janji!”
Masumi mulai menyimpulkan dasinya. “Kalau sudah janji, harus dilakukan. Iya?”
“Iya,” Bara mengangguk.
“Tapi, karena Bara masih kecil, Bara pakai dasinya selama sarapan saja ya… nanti, kalau Bara sudah besar, sudah bisa pakai dasinya sendiri, baru Bara bisa pakai dasi ini setiap hari kapan saja Bara mau. Sampai nanti Bara sudah besar, dasinya Bara simpan dulu di tempat rahasia. Setuju?”
Bara mengangguk seraya tersenyum riang.
Masumi bahagia sekali melihat senyuman berseri di wajah putranya itu. Ia tidak akan menukarnya dengan apa pun.
“Nah, sudah selesai,” kata Masumi. Dasi itu menjuntai sampai betis Bara. “Tampan sekali putra Ayah ini,” puji Masumi.
Bara terlihat senang mendengarnya. Bara melipat bibirnya menahan senyuman kemalu-maluannya dan hidungnya mengembang bangga.
“Nah, ayo, sekarang kita sarapan. Ibu sama Kak Rosa pasti sudah menunggu,” ajak Masumi.
Ayah dan anak itu berjalan berdampingan seraya bergenggaman tangan menuju ke meja makan.

“Ibu, coba lihat,” panggil Masumi, saat mereka sudah kembali ke ruang makan.
          Maya dan Rosa menoleh ke arah suara Masumi.
          “Wah…!” Mata Maya melebar, “Bara pakai dasi…!” Katanya riang.
          Bara tersenyum lebar dengan reaksi ibunya.
          “Bagaimana? Cakep kan Bu?” imbuh Masumi.
          “Cakep sekali… iya kan, Hirakawa?” tanya Maya kepada pelayan yang menarikkan kursi untuk Bara duduki dan membantunya naik ke atas kursi.
          “Iya, Tuan Muda Bara tampan sekali pakai dasi itu,” puji pelayannya itu.
          “Bagaimana, Kak Rosa?” tanya Masumi kepada Rosa.
          Rosa memandangi adiknya. “Iya, adik cakep,” kata Rosa kemudian.
          “Kakak, tadi kakak mau bilang apa sama Bara?” Maya membelai rambut putrinya yang duduk di sampingnya.
          Rosa diam sebentar sebelum berkata. “Maaf ya Dik, Kakak tadi cuma bercanda.”
          “Dimaafkan tidak?” tanya Masumi.
          Bara mengangguk.
          “Nah… pintar, kalian jangan bertengkar lagi ya. Kalian kan bersaudara, jadi harus saling membantu, bukannya bertengkar,” nasihat Maya.
          “Iya, Bu…” kata Rosa.
          “Ibu, Ibu, Ayah kasih Bara dasi ini,” kata Bara bangga.
          “Oya? Jadi sekarang dasi ini punya Bara?”
          “Iya,” Bisa terlihat Bara sangat senang.
          “Ayah bilang, kalau Bara tidak cengeng lagi, jadi anak yang kuat dan berani, Bara boleh simpan dasinya buat Bara,” terang Masumi.
          Maya memandang suaminya, keduanya lantas bertukar senyum.

Masumi menciumi anaknya satu persatu sebelum keduanya berhambur naik ke dalam mobil.
          “Hati-hati di jalan, Sayang,” kata Masumi kepada istrinya.
          “Ayah juga,” pesan Maya. “Nanti malam Ibu tunggu di gedung sandiwara ya.”
          Masumi tersenyum, mengangguk. “Baiklah. Aku mencintaimu, Sayang,” bisik Masumi saat mengecup sisi kepala istrinya.
          “Aku juga,” bisik Maya.
          Maya lantas masuk ke dalam mobilnya. Wanita itu dan kedua anaknya melambaikan tangan ke arah Masumi.
          Masumi mengamati mobil ketiganya pergi. Dipandanginya Maya sampai ke luar pagar. Sebelum menghilang, istrinya itu sempat menoleh dan tersenyum kepadanya.
          Maya tahu, suaminya itu selalu memandanginya sampai saat terakhir.
          Masumi masuk ke dalam mobil yang satunya yang telah disiapkan untuknya. Tas kerjanya sudah ada di dalam.
          “Ke Daito,” instruksinya.
          “Baik, Tuan,” dengan kesigapan yang luar biasa sopirnya merespon.
          Mobil segera meluncur menuju Daito.***

Maya menatap wajahnya di cermin, di ruang ganti. Sebentar lagi pementasan perdananya memainkan sandiwara Rumah Kaca akan segera dimulai.
          “Anda sudah siap?” tanya Sasaki, manajernya.
          “Apa suamiku sudah datang?” tanya Maya, merasa gelisah.
          “Saya belum melihatnya,” jawab Sasaki singkat. “Tinggal 10 menit lagi.”
          Maya mengangguk. “Tolong handphoneku,” pintanya.
          Sasaki menyerahkan handphone Maya.
          Maya mencoba menghubungi nomor Masumi, masuk ke dalam mailbox. Ia lalu menghubungi Mizuki yang kini sudah berganti nama menjadi Saeko Hijiri. “Bu Saeko, apa suamiku bersamamu?” tanya Maya.
          “Tidak Bu, saya sudah di dalam gedung sandiwara. Tadi Pak Masumi masih ada pembicaraan dengan Mr. Adams. Beliau meminta saya segera menuju ke sini dan memastikan semuanya lancar untuk pementasan Anda.”
          “Hijiri bersamanya?” tanya Maya.
          “Iya, tadi mereka masih bersama,” terang Saeko.
          “Terima kasih, Saeko.”
          “Anda tidak apa-apa?” Saeko memastikan.
          “Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya sedikit gelisah… Entahlah, entah karena aku akan pentas atau karena aku tidak melihat Pak Masumi,” ujar Maya.
          “Tenanglah Bu, saya akan berusaha mencari kabar dari Pak Hijiri,” kata Saeko.
          “Baik, terima kasih banyak,” kata Maya sekali lagi.
          “Semua pemain segera ke belakang panggung!!” seru seorang staf.
          Deg! Maya bisa merasakan dadanya berdebar. Panggilan untuknya. Ia harus naik panggung.
          Ayah, cepatlah datang… Lihatlah aktingku sampai selesai. Aku berakting hanya untukmu, Sayang. Alicia-ku… Hanya untukmu, Masumi, Kekasihku…
          Aku adalah Alicia… Alicia… ***


“Halo,” Saeko segera mengangkat handphonenya. Suaminya menelpon.
          “Halo, Saeko,” suara Hijiri terdengar.
          “Kau dimana? Kenapa tidak mengangkat telponku? Apa kau bersama Pak Masumi?” berondong Saeko.
          “Aku baru bisa menghubungimu. Iya, aku bersama Pak Masumi,” terang Hijiri. “Di rumah sakit.”
          “Di rumah sakit!?” Mata Saeko melebar. “A, ada apa? Kau baik-baik saja? Lalu, Pak Masumi!?”
          “Kami baik-baik saja,” Hijiri menenangkan. “Aku hanya memar-memar dan luka ringan. Pak Masumi masih dalam pemeriksaan, ada luka di tangan dan pelipisnya .”
          “A, ada apa sebenarnya?” Saeko menuntut penjelasan.
          “Tadi kami dalam perjalanan ke teater. Aku duduk di depan di samping sopir, Pak Masumi dan Mr. Adams duduk di kursi belakang. Dalam perjalanan, ada sebuah mobil menyerobot dari kiri dan membentur mobil kami. Mobil kami masuk jalur kanan dan hampir saja bertabrakan dengan mobil dari arah lain jika saja sopir tidak segera membanting mobil ke kiri, namun Mobil sempat terpelanting dan terguling. Kami tidak apa-apa, syukurlah, hanya memar-memar dan luka-luka yang cukup dijahit saja.”
          “Kau tidak apa-apa?” tanya Saeko khawatir.
          “Tidak apa-apa. Pak Masumi pelipisnya terluka, sekarang sedang dijahit. Tapi tidak ada retak ataupun patah tulang, syukurlah kami tidak sedang mengebut,” terang Hijiri. “Tenanglah, kami tidak apa-apa. Tapi tolong jangan dulu bercerita kepada Ibu Maya mengenai hal ini, Pak Masumi tidak mau Ibu Maya khawatir. Tapi mungkin kami tidak bisa hadir di sana, katakan saja, pertemuan dengan Mr. Adams memakan waktu lebih lama dari yang kami kira.”
          “Baiklah,” kata Saeko. “Sampai jumpa.”
          “Sampai jumpa,” kata Hijiri. “Aku ingin sekali segera bertemu denganmu.”
          “Aku juga,” bisik Saeko, terdengar putus asa.
          Kemudian sambungan diputus.***

Pintu ruang perawatan terbuka dengan cepat.
          “Pak Masumi Hayami, Anda belum boleh pulang. Masih ada—“
          “Saya ada urusan penting!” tegas Masumi kepada perawat tersebut. “Bukankah lukaku sudah selesai dijahit dan dirawat?” tanya Masumi.
          “Iya, Pak, tapi masih harus—“
          “Kalau begitu tidak masalah! Aku tidak akan tinggal lebih lama lagi!”
          “Pak Masumi,” seru Hijiri, terkejut melihat atasannya yang sempat pingsan tadi sekarang sudah berdiri tegak lagi. “Anda mau kemana!?”
          “Aku mau ke gedung sandiwara!!” tegas Masumi.
          “Pak Masumi, aku sudah menghubungi Saeko. Keadaan akan baik-baik saja, aku sudah memberitahu Saeko mengenai masalah ini.
          “Benar, Pak, Anda belum boleh meninggalkan rumah sakit sebelum pemeriksaan lebih lanjut,” tegas si perawat.
          Masumi tidak menghiraukan perawat itu. Ia kembali bicara kepada Hijiri. “Aku harus pergi, Hijiri!” tegasnya. “Aku sudah berjanji kepadanya bahwa aku akan datang,” mata Masumi menatap dalam kepada Hijiri, meminta pengertiannya.
          Hijiri sangat mengeri tuannya itu. Ia tidak sanggup berkata apa-apa.
          Masumi beralih kepada perawat itu. “Dengar, Suster, saya ada keperluan yang sangat penting. Anda ijinkan atau tidak, saya tetap akan pergi, dan saya pasti pergi. Jadi bisakah Anda membuat semuanya lebih mudah bagi saya?”
          Perawat itu menatap Masumi. “Baiklah, jika Anda memaksa, kami tidak dapat melakukan apa-apa. Tapi Anda harus menandatangani pernyataan bahwa Anda meninggalkan rumah sakit karena kehendak Anda sendiri dan melepaskan kami dari tanggung jawab apa pun—“
          “Berikan padaku!”
          Perawat itu kembali mengamati Masumi. “Apakah ada keluhan lain yang Anda rasakan saat ini?” Perawat itu memastikan.
          Masumi menggelengkan kepalanya. “Aku baik-baik saja.”
          “Baiklah, tunggu sebentar,” perawat itu berlalu ke bagian administrasi.
          “Hijiri, minta seseorang menjemputku dan bawakan baju ganti. Handphoneku mati,” pinta Masumi.
          Hijiri mengamati pakaian Masumi dengan bercak-bercak darah. Jika Maya melihatnya, ia pasti sangat panik. Hijiri menyanggupi. ***

Maya segera masuk ke ruang gantinya. Sasaki sudah menunggu di ruang ganti. “Apa kau mendengar kabar mengenai Pak Masumi?” tanya Maya.
          “Tadi Bu Saeko meminta saya menyampaikan, bahwa Pak Masumi dan Pak Hijiri masih ada pertemuan dengan Mr. Adams, kemungkinan masih lama, Pak Masumi sepertinya tidak akan sempat melihat sandiwara ini,” papar Sasaki.
          “Benar begitu?” tanya ibu dua anak tersebut. Maya merasa lega mendengarnya, tapi juga sedih karena Masumi tidak datang. Tapi entah kenapa, rasa gelisahnya juga tidak menghilang. Maya pikir, mungkin karena ia masih juga tidak dapat menghubungi handphone Masumi. Semoga Masumi bisa datang sebelum pesta berakhir nanti, harap Maya.***

“Pak Masumi!!” Seru Saeko, saat melihat Masumi muncul di gedung teater itu dengan membawa buket Mawar Ungu di tangannya.
          “Apa semua baik-baik saja?” tanya Masumi dengan langkah cepat.
          “Bukankah seharunys saya yang bertanya demikian?” tanya Saeko tajam.
          Masumi tidak menghiraukannya.
          “Seberapa terlambat aku?”
          “Babak kedua baru akan dimulai.” Mizuki menahan lengan Masumi. “Mohon maaf, Pak Masumi, mengapa Anda ada di sini? Pak Hijiri bilang anda masih memerlukan—“
          “Aku mau menonton sandiwara istriku!” potong Masumi tajam. “Apa ada yang bisa menghalangiku!?”
          Mizuki tertegun, sangat terkejut. Ia melepaskan tangan Masumi.
          Masumi berbalik pergi dan langkah tegapnya mengantarkannya menuju ke dalam teater. Menuju dunia mimpi tempat istrinya hidup sekarang.

Masumi menonton Maya dari kursinya. Matanya menatap lekat sosok mungil istrinya yang sedang memerankan Alicia, hampir tanpa kedip. Ia begitu terpesona, teramat kagum.
          Kekasihku... bahkan setelah puluhan sandiwaramu yang kusaksikan, tidak sekalipun aku merasa bosan. Aku malah semakin dalam dan lebih dalam lagi jatuh cinta kepadamu.
          Beberapa saat pandangan Maya dan Masumi sempat bertemu. Jantung Masumi berdetak lebih cepat. Tepat sama seperti saat pertama hal seperti itu terjadi. Pandangan sesaat Beth di Young Girls berhasil membuat Masumi terpikat. Dan sekarang Alicia pun membuat Masumi kembali terpesona. Jatuh cinta.
          Sejak dulu, sampai saat ini, perasaan yang Masumi miliki terhadap Maya sama sekali tidak berbeda. Sama besarnya. Sama dalamnya. Si Mungil tidak pernah membiarkannya berpaling.
          Benar, Sayang, buatlah aku terpesona sampai akhir. Seperti yang selalu kau lakukan. Aktris kesayanganku, kekasihku tercinta… Maya…
          Masumi mengerutkan alisnya sedikit. Sakit kepalanya terasa lebih kentara sekarang. Sejak kejadian kecelakaan tadi, kepala Masumi memang agak pusing. Tapi Masumi tidak menghiraukannya. Pasti karena benturan yang cukup keras yang dialaminya pada insiden tersebut. Sekarang rasa sakit itu semakin nyata. Sepertinya efek obat biusnya mulai hilang… batin Masumi, mengusap halus perban di pelipisnya.
          Masumi menghalau rasa tidak nyaman dari tubuhnya. Ia hanya ingin menyaksikan istrinya. Hanya istrinya. Aku akan menyaksikannya sampai akhir. Selama aktingmu bagus… Sampai akhir…
          “Baiklah, Joseph,” ucap Alicia sendu. “Jika hanya kematian jalan satu-satunya aku bertemu denganmu. Aku akan melaluinya…” belati itu terangkat tinggi. “Aku akan datang kepadamu, Joseph... Hidup tanpamu adalah mati.” Mata Alicia terpejam rapat. Wajah takutnya berubah lembut, semakin tenang, sebuah senyuman tipis tampak di wajah Alcia. Bahagia. Dan belati segera terhujam ke ulu hatinya.
          “Haaa~” penonton terkesiap, beberapa menangis.
          Alicia terbaring, darah bersimbah dari perutnya ke lantai. Nafas gadis itu sesak, menyakitkan.
          Nafas Masumi sesak, meyakitkan. Keringat dingin keluar dari pori-porinya. Kepalanya berdenyut. Nyeri. Sejenak pandangannya menghilang kabur. Sesak… batin Masumi. Tak lama Masumi menyadari sesuatu. Tetesan-tetesan berat menyentuh bahunya. Berasal dari telinganya. Masumi merabanya. Ada darah di sana. Mengalir dari dalam kepalanya setetes demi setetes, namun tanpa jeda.
          Tidak…! Jantung pria itu berdetak semakin kuat. Tidak! Badannya semakin lemas dan nyeri. Masumi memaku tatapannya pada Alicia. Sekarat.
          Alicia terengah-engah di lantai. Rasanya nyeri. Sangat nyeri. “Beginikah, Joseph… Mati itu…” suaranya tercekik. “Menyakitkan…” erangnya tertahan. “Jemput aku, Joseph… lebih cepat,” mohon Alicia.
          Sebentar lagi, hanya sebentar lagi,  mohon Masumi. Aku ingin melihatnya, sampai akhir. Kesadaran itu datang dengan sendirinya kepada Masumi. Apa yang berhadapan dengannya kini. Kematian. Sekali lagi saja, Dada pria itu semakin nyeri, pendengarannya menderu. Aku ingin melihatnya sampai akhir. Masumi memaksa matanya tetap terbuka. Buatlah aku terpesona... Untuk terakhir kalinya…
“Joseph…” Alicia mengangkat kedua tangannya, menyambut penjemputnya. Ia menghembuskan nafas terakhirnya dengan senyuman.
Ruangan terdengar senyap. Menahan nafas. Perlahan layar diturunkan. Akhirnya gemuruh itu terdengar begitu memekakkan telinga.
Masumi menghela nafas beratnya,  tersenyum. Bagus sekali, Ibu… Kau semakin pandai… Masumi merasa letih, teramat letih. Berbagai kesakitan itu berganti rasa letih. Matanya semakin berat.
Tirai kembali terangkat. Maya muncul di tengah panggung. Tersenyum lebar, mengangkat tangannya menyambut tepuk tangan riuh di sekelilingnya.
Masumi berdiri, sekuat tenaga dilemparkannya buket bunga mawar ungu dari tangannya. Bunga itu jatuh ke tengah panggung. Diamatinya wajah istrinya yang berbinar. Mengagumkan, puji Masumi. Ia berusaha menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang kering, aus. Sangat dahaga dan tidak bisa lega berapa kali pun ia menelan ludahnya. Semakin sakit di tenggorokannya, semakin sesak.
Bruk! Masumi kembali terduduk. Ia sudah tidak sanggup berdiri. Tapi Masumi masih berusaha bertepuk tangan. Kali ini tepuk tangannya bukan hanya untuk Maya Kitajima seorang Alicia, namun Maya Kitajima, Ibu dari anak-anaknya, istrinya. Masumi tersenyum. Kau dengar itu Sayang? Semua tepuk tangan ini untukmu… Ingatannya beralih kepada Rosa dan Bara. Hartanya. Kakak… Adik… dengar, ini adalah tepuk tangan untuk Ibu. Ibu hebat kan…? Sudah saatnya. Lelah, Ayah lelah… Kembali diingatnya wajah istri dan anak-anaknya. Mereka tidak ada di sini, tidak ada untuk mendengar pernyataan Masumi betapa Ia mencintai mereka untuk terakhir kalinya. Ingin sekali, Ia meluangkan waktu lebih banyak untuk mereka, melukiskan lebih banyak kenangan bersama mereka. Tapi Masumi tidak ingin mengakhiri apa pun dengan penyesalan. Ia ingin bahagia. Setiap detik yang dihabiskannya dengan istrinya tercinta. Setiap tangis dan tawa yang dihadirkan anak-anaknya selama lima tahun ini. Setiap perasaan mengagumkan yang Ia rasakan tiap kali kekasihnya berakting.
Semua kenangannya berputar cepat. Bagaimana Ia dan Maya bertemu, bertikai, saling mencintai. Bagaimana bahagianya saat mereka menikah, repotnya saat Maya hamil, gelisahnya saat Maya melahirkan, dan harunya saat Ia menggendong Rosa dan Bara pertama kali. Mengamati buah hati mereka tumbuh bersama, dan bagaimana ia tidak pernah selesai mengagumi istrinya apa pun yang Maya lakukan.
Bayangan putra putri kecilnya terefleksi dengan jelas di pelupuk mata Masumi. Kak Rosa… Kakak anak paling besar. Harus bisa menjadi contoh yang baik. Terlihat Bara mengenakan dasi menjuntai ke betisnya. Memandang kagum ke arahnya dengan tatapan polos kekanakan. Bara… kamu adalah anak laki-laki. Kamu harus kuat. Jaga Ibu dan Kakak baik-baik… Dan Ibu… Sayang… Dipandanginya Maya yang tengah membungkuk hormat seiring tirai yang kembali turun. Sekali lagi kau membuatku tidak bisa berpaling darimu. Masumi melontarkan senyuman terakhirnya. Aktingmu semakin pandai, Sayang… Kau hebat.
Tak lagi nyeri, tak lagi sesak, tak lagi sakit. Hanya ada rasa hangat. Masumi menghela nafas sangat panjang. Ia sudah selesai menyaksikan sandiwara Maya. Perlahan tirai panggung tertutup rapat.
Kemudian semua sunyi, sepi, senyap.
Gelap.

Tirai telah menutup lagi, namun Maya masih bergeming di tempatnya. Ada kekosongan yang nyata yang Ia rasakan kini. Kenapa tiba-tiba wajah Masumi tampak begitu jelas? Tersenyum lebar dan bertepuk tangan keras. Namun firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tidak seharusnya. Maya mengamati buket mawar ungu di tangannya. Ada setetes darah di sana, Ia baru melihatnya. Mata Maya melebar. Ayah…!?
          Bisikan itu halus dan sangat lembut, seakan-akan hatinya sendiri yang berbicara, namun begitu jelas di telinganya: Belahan jiwaku, aktingmu semakin pandai, Sayang… Kau hebat… Seketika nafas Maya berhenti.

”… Hidup tanpamu adalah mati…”

=//=

<<< Can’t Take My Eyes Off of You… End>>>

44 comments:

aseani said...

bagus ceritanya tyy...udah segini aja deh, ngga usah dilanjut kalo mo dijadiin sad ending mah, hehehe.... (ngga suka SE).
nama anak2nya kayak orang indonesia ya, bara dan rosa.
fb-nya ngga aktif ya jeng? sibuk pisan sigana si eneng teh.

Anonymous said...

betul, betul, betul... segini aja udah bagus kok Ty...
-nadine-

Anonymous said...

setuujuu.. setujuu.. uda cuukuup..
jgn di buat sad endiing :(
biar happily ever after.. :D

*Nanda

Anonymous said...

Iya Ty dilanjut nggak papa tapi dibuat HE... pliiiisssss.... ato dibuat 2 versi aja yang HE dan Se kaya The Ring...
-Vanda-

Mia said...

oh noooo SE...siapa yg akan meninggal nih maya ato masumi ato salah satu anaknya ato kedua2nya...jgn2 masumi deh yg meninggal...huaaaa...cukup sampai disini saja ceritanya dah bagus...

Anonymous said...

Wew....SE ya?
Hmmm jadi penasaran kenapa bisa jadi SE...
Lanjut Ty

*NC*

Anonymous said...

Tissue~Tissue...!! Siapa yang mau? *siap-siap* :(((


-Happy-

mommia kitajima on 31 January 2012 at 12:15 said...

oh no
masumi berbicara ttg kepergian
huhuh... T.T *sob sob*
apakah dia akan pergi lebih dulu

*ngelap ingus*
siap2 hati buwat baca apdetan selanjutnya

Anonymous said...

Aroma - aroma SE-nya udah kecium :( hiks..hiks..tega banget sih neng Ty.. hiks...hiks...hiks... :( :(

Unknown on 31 January 2012 at 12:56 said...

ga kebayang mendengar masumi memanggil maya ibu dan maya memanggil masumi ayah....hehehe...lucuu....pdhl biasanya mereka tuh kaya anjing dan kucing...

vie on 31 January 2012 at 12:56 said...

aduhhh kok dr pembicaraan masumi ke keluarga kecilnya terutama ke anak cowok nya seolah2 dia mau meninggalkan mereka. jaga ibu dan kakak, aduhh kayaknya masumi yg meninggal nih.

regina on 31 January 2012 at 16:23 said...

lanjuuut!! no SE yahhhh XDDD

Anonymous said...

begitu baca warning-nya drama, angsty, sad ending, sudah narik napas...siap-siap (krn tetep mau baca), ceritanya begitu manis, keluarga yg harmonis, tapi takut ujung2nya menangis.....

-khalida-

Tina said...

ini masumi kyk udh mo mati yak XD

Anonymous said...

ty....
menghadapi kesedihan memang sulit, apalagi menghadapi suatu musibah
hanya tawakkal dan penyerahan diri..
mudah2an kesedihannya akan menguatkan keluarga MM
-deggg-

chuubyy on 1 February 2012 at 12:58 said...

Beda dng crita2 yang dulu2 ni pemanggilan nama .. Hihihi.. Mantaaappp... Tp kok SE ciiiii.... Jangan donkkkkk... HE ajaaaa... Okeee... Lanjutttt

Anonymous said...

ty, makin banyak lanjutannya kok makin gak rela kalo SE ya...
-nadine-

Anonymous said...

SE???? oohhhh tidakkkkkk, jangan donk neng Ty....
happy ending aja yaaa, sekarang kan Fbruary, bulan penuh cinta....

wienna

Beatrix on 1 February 2012 at 15:57 said...

Masih bersambungkah????Gelagat Masumi agak anehhh???

Muree on 1 February 2012 at 19:42 said...

Ah,yakin ini mah masumi yg meninggal. Hadeuuuh..udah cekat-cekot duluan deh.

Muree on 1 February 2012 at 20:58 said...

Huaaa! tuuuh kaan! Masumi meninggal. Hiks hiks hiks hiks

betty on 1 February 2012 at 20:58 said...

mantabbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb
n gw suka kalimat terakhir .
bisa menimbulkan interpretasi lain .
hahahaaha n that will be an awesome sad ending !!!!

chuubyy on 1 February 2012 at 21:14 said...

aaaaaaaaaaaaaa.................... akhirnyaa ga enak bgd... hik hik hik..srottt... ty ty.....mantappp ..:)

Anonymous said...

Wheewww...!!! It feels like there's an empty space in my heart :(

mommia kitajima on 1 February 2012 at 21:37 said...

huwaaaa...!!!!
masumi-sama T.T

ini udah tamatkah Ty^^...???

bijimane reaksi maya pas taw suaminya mati..?
gmana anak2 and eisuke...?

huwaaa...!!!

Gracie on 1 February 2012 at 21:46 said...

Tenang...tenang
Masumi hanya pingsan doang kok
Ga mati
Iya kan,Ty? (Please say "Yes")
Aku ga mau ayah meninggal
Ayaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh

#nangisdipojokan


*NC*

Anonymous said...

hiks...hiks....akhirnya beneran menangis....hiks...hiks...akhir cerita manusia memang kematian....tapi ini masumi...Neng Ty...bikin cerita lagi ya, (hiks...hiks... msh belum rela masumi meninggal)

-khalida-

regina on 1 February 2012 at 23:18 said...

....... jadi berpikir keras untuk memperbanyak waktu istirahat buat suamiku biar ga lembur terus......

Anonymous said...

ty...cant say anything
:'( :'( :'(

Anonymous said...

TY...
maya pasti kuat, ya khan ....
-deggg-

Anonymous said...

Harusnya dilanjutin Ty Masuminya cuma pingsan trus He gitu deh...
-Vanda-

Puji Aditya on 2 February 2012 at 09:39 said...

sad ending yang gimanaaa gitu, sampe nyesek bacanya....
seperty biasa.. bagus ty penggambaran akhir masumi nya...

Heri Pujiyastuti on 2 February 2012 at 11:17 said...

T____T deg2an bcanya. Bercucuran airmata.....hikhikhik

Anonymous said...

Ayah cuma pingsaann... gak meninggal... pasti cuma pingsan.. *gak rela*

-happy-

Anonymous said...

baca lagi...masih tetep sedih n membuat mata berkaca-kaca, jadi ingat FF Neng Ty yg dulu...kalo Masumi itu sayapnya (ato sebelah sayapnya?)Maya...skr Masumi-nya tdk ada gmn dg Maya?....kalimat terakhir "nafas Maya seketika berhenti...hidup tanpamu adalah mati"....bikin merinding...sehidup semati-kah mereka?

-khalida-

Anonymous said...

uwaa~~
ada apa denganmuwh..february di awali dgn SE
tapii~
masih ada sekuelnya kan ty?? dibikin HE dooonngg~~
*request*
_aan_

Anonymous said...

ampuuuuunnnn Tyyyyy..jangan diteruskan...atau airmata ini ga akan berhenti mengaliiiirrr....*sesaknafas*
-dian-

Anonymous said...

Ty.... aku bahkan ga tau harus ngomong apa T^T ....... Ga mau bayangin kalo salah satu dari mereka harus meninggal, it's just so sad T^T ..... ayemyours nya harus HE yaa Ty XDD

~Eugeunia~

orchid on 4 February 2012 at 03:51 said...

wats, sedih sedih, tapi kenapa ya klo yg begini2 malah lbh terasa daleeeeeeem kisah kasihnya @,@ hehehe

SheevaSiwonestELF on 4 February 2012 at 12:00 said...

Masuminya jangan mati dong
T,T

SheevaSiwonestELF on 4 February 2012 at 12:00 said...

Masuminya jangan mati dong
T,T

xiaolong li said...

hiks...hiks...hiks (benern ngluarin air mata nie)
manusia hidup pasti akan mati
tp tetep aja g rela klo MM jd sad ending walaupn udah jd kluarga yg bahagia

FF dari mu slalu bs bikin aq nangis, ketawa dan penasaran, lanjut terus ya, sista

Anrid Dayraw on 9 February 2012 at 09:41 said...

baca ini langsung merinding + banjir air mata..

apakah masumi meninggal ??..
apakah maya juga ikut bersamany ?..

penasaran..


akhirny aku berani untuk membacany Ty.. ^^

Anonymous said...

Hidup sudah terlalu rumit... Jd jgn baca yg sedih sedih lg... Baca yg bgs bgs aj ( modus alasan pdhl gak mau liat sad ending kyk gni) hihihi

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting