Thursday 26 January 2012

Fanfik TK : Fated to love you, only you ch 2

Posted by Miarosa at 08:46
Rate : 18 +

Warning : Mature Relationship
Genre : Romance

Fated  To Love You, Only You ch 2
(BY AIRIN )

(Paris, 20xx, saat ini)



Di sebuah kamar kecil dalam sebuah gedung pertunjukan, terlihat seorang gadis mungil berambut hitam legam sedang duduk diam di atas kloset. Tangannya terlihat menggenggam sebuah kalung berbentuk lonceng kecil, seperti lonceng yang dipakaikan ke hewan-hewan peliharaan. Pandangannya lurus ke depan, tampak kosong dan menerawang. Tubuhnya sedikit membungkuk ke depan. Suara seorang gadis terus terlintas di otaknya, bergema liar dalam pikirannya.



“Kak Sora sudah tidak ada lagi, Maya!”



Genggaman gadis itu di kalung berbentuk lonceng semakin erat. Ia teringat ketika gadis berdandan tebal dan berambut bergelombang itu menemuinya, menyampaikan kabar itu.



“Aku tidak bohong. Kak Sora memang sudah meninggal.”



Tidak.. tidak... kak Sora tidak mungkin... Kak Sora tidak mungkin.. Dia, dia sudah berjanji...



Dada Maya terasa nyeri. Tangannya gemetar, tak selang berapa lama tubuhnya juga ikut bergetar. Mulutnya yang bergetar membuka, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak bisa.



“Terimalah kenyataan ini, Maya. Kak Sora sudah tiada. Sebenarnya sudah dari dulu ingin kusampaikan kabar ini, tapi aku tidak berani. Aku sendiri juga shock...”



“Hahhh.. hahhh...,” yang terdengar dari mulutnya yang bergetar hanya seperti suatu rintihan.



Dari dulu? Kapan? Kenapa.. Kenapa baru sekarang... Tidak.. Tidak.. Ini pasti mimpi, ya, semua mimpi buruk...



Maya memejamkan matanya erat. Ia berharap semua yang baru saja terjadi, semua yang baru saja ia dengar, benar-benar hanyalah merupakan sebuah mimpi buruk. Beberapa detik kemudian, ia membuka matanya dan yang dilihatnya tetap sama. Ia masih berada di dalam sebuah kamar mandi, duduk di atas kloset. Kecuali suasana yang hening tadi berubah dengan terdengarnya tepuk tangan membahana dari suatu ruangan dalam gedung pertunjukan ternama di Paris tersebut. Tampaknya baru saja ada suatu pertunjukan yang selesai ditampilkan dan mendapatkan sambutan positif serta sukses dari para penonton.



Namun Maya tidak bisa mendengar semua itu. Yang bisa ia dengarkan sekarang hanyalah gemuruh dalam dadanya, seperti ada badai yang datang dan bersiap untuk memporak-pondakan dirinya. Maya sama sekali tidak mengerti dan tidak ingat, mengapa ia bisa di sini sekarang, apa yang ia lakukan di sini. Yang ia ingat hanyalah kata-kata gadis itu dan satu wajah yang sangat dirindukannya selama bertahun-tahun.



Kak Sora.. Kak Sora... Kak Sora... Apa itu benar? Jadi alasannya kau tidak membalas suratku lagi... kau tidak menemuiku.. itu karena...



Maya mengangkat salah satu tangannya, sementara tangannya yang lain tetap menggenggam erat kalung berbentuk lonceng tersebut. Tangannya yang terangkat sedikit ia kepalkan dan pukul-pukulkan ke dadanya. Sesak, sesak sekali. Maya merasa tidak bisa bernafas dengan benar. Nafasnya terdengar tidak teratur. Bahunya bergerak naik turun.



Tidak.. Itu bohong, ‘kan? Semua itu bohong, ‘kan? Yang dikatakannya bohong, ‘kan, kak Sora?



Maya merintih dan sekarang suaranya terdengar seperti orang yang sedang sesenggukan. Bibirnya bergetar kencang, begitu pula tubuhnya. Ia terus memukul dadanya. Kalung lonceng yang ada di tangannya perlahan digerakannya, dan bunyi pelan dari lonceng terdengar.



Sementara dari ruangan besar tempat suatu pertunjukan berlangsung, tepuk tangan terus. Kerasnya gemuruh di dada Maya sekarang sama besarnya dengan kerasnya suara tepuk tangan itu. Maya menutup mulutnya agar tangisnya yang hampir pecah tidak terdengar sampai keluar. Seluruh tubuhnya bergetar dan terasa mati rasa, yang ia rasakan hanyalah rasa sakit dan sesak yang amat sangat di dadanya.



Tidak mau.. aku tidak mau percaya... itu tidak benar, ‘kan? Kak Sora, kumohon jawab aku.. katakan kalau itu semua tidak benar...



Bunyi lonceng terus terdengar perlahan. Maya membunyikannya terus tanpa sadar. Separuh jiwa Maya terbang entah kemana dan ia mencarinya. Ia tidak mau percaya apa yang didengarnya tadi. Badai yang datang itu sekarang telah sukses memporak-pondakan dirinya, juga dunianya.



♪ ♪ ♪



Dari sebuah ruangan kecil yang di depannya tertempel tulisan “Ruang Ganti Teater Mayuko, Jangan Masuk Selain yang Berkepentingan”, terlihat Mina mengintip sedikit dari balik pintu, lalu menutup pintu itu kembali. Mina menghela nafas. “Tidakkah kau dengar tepuk tangan itu? Hebat sekali... Aiooo... Teater Hayami memang tidak perlu diragukan lagi,”



Taiko terlihat mondar-mandir gelisah, “Bagaimana ini? Aku gugup. Mengapa kita harus tampil setelah mereka, ‘sih? Bagaimana jika penampilan kita buruk?”



“Selain itu, kali ini pertama kalinya kita dapat kesempatan untuk tampil di luar Jepang. Ini Paris, Tuan dan Nyonya! Untung saja kita tidak perlu berlatih bahasa Perancis karena penonton mendapatkan panduan dialognya dalam bahasa Perancis. Kalau saja kita disuruh belajar bahasa juga, aku bisa gila!” kata Mina.



Pemain lain yang berada dalam ruangan itu juga tampak berbisik-bisik, tampaknya mereka juga merasakan kegugupan yang sama.



“Hei, sudahlah, teman-teman. Tenang saja, jangan panik!” kata Rei sambil menutup kotak riasnya setelah membetulkan bedaknya.



“Wow, seperti biasa kau terlihat tampan, Rei! Hmm, mungkin sebaiknya kupanggil Lysander?” ujar Mina tertawa menggoda.



“Terima kasih atas pujiannya, Ratu Titania. Tapi maaf saja, aku sama sekali tidak senang dipuji tampan seperti itu,” Rei sedikit menggerutu.



“Salahkan wajahmu yang tampan, Rei. Tapi teater kita juga setidaknya berterima kasih pada wajah tampanmu karena kau populer di kalangan para gadis. Jadinya banyak gadis yang datang untuk menonton,” kata Mina.



“Dan semoga hal itu berlaku juga di Paris, Rei. Semoga para wanita berambut pirang itu tertarik padamu, mengingat rambutmu juga berwarna sama seperti mereka,” lanjut Taiko, tertawa.



Rei hanya menggerutu dan menghela nafas. Ya, sudah biasa... Rei meniupkan nafasnya dari mulut ke atas sehingga menerbangkan beberapa helai poninya.



“Aku juga gugup, kau tahu? Tapi, kita sendiri tahu bahwa kita sudah berlatih sebaik-baiknya, pasti bisa!” kata Rei sambil mengeratkan pegangannya pada pedang plastik yang terletak menyamping di bagian pinggang kostumnya. Rei mengambil kursi kosong di dekatnya dan beranjak duduk, diikuti teman-temannya yang lain yang ikut untuk menenangkan diri dari kegugupan mereka.



“Ngomong-ngomong Puck kita dimana, ya? Bukankah sebaiknya dia sudah di sini dan segera bersiap-siap,” suara Taiko memecah keheningan.



“Maya? Katanya ada teman jauhnya datang dan dia mau menemuinya sebentar. Maya tinggal ganti baju saja, ‘kok. Lagipula Sayaka sedang memanggilnya sekarang,” jawab Mina sambil membetulkan riasan matanya.



Tiba-tiba pintu menjeblak terbuka, membuat semua yang awalnya sudah mulai tenang menjadi terkejut dan melihat ke arah sumber pembuat gaduh.



“Aduh, Sayaka! Kau membuatku kaget saja, aku bisa terkena serangan jantung tahu! Untung saja eye shadow ku tidak tercoret dan merusak riasan mataku,” gerutu Mina sambil menaruh alat riasnya. “Ada apa, ‘sih, kau tampak panik begitu?”



“Jangan lari-lari, Sayaka. Lihat saja, kau keringatan! Masa yang berperan jadi Hermia, sang gadis cantik pusat perhatian, keringatan? Penonton bisa kabur semua, tahu!” ujar Taiko, geli.



Sayaka terlihat terengah-engah. “Apa Maya tidak ke sini?”



“Tidak. Bukankah dia tadi bilang mau keluar sebentar bertemu teman jauhnya? Dan bukankah tadi kau bilang mau keluar memanggilnya?” tanya Taiko, heran.



Sayaka menelan ludahnya, wajahnya terlihat pucat. Mina terlihat heran dan menghampiri Sayaka, “Hei, ada apa Sayaka? Mengapa kau terlihat pucat begitu? Riasanmu bisa rusak, tahu,” tegur Mina.



“Gawat! Maya tidak ada!!” seru Sayaka, akhirnya.



“Apa?!” Rei segera berdiri. “Bagaimana bisa? Bukankah tadi dia bilang katanya mau keluar untuk menemui temannya?”



“Aku pikir juga begitu. Tadinya aku pikir mau mengingatkan Maya untuk segera bersiap, tapi ternyata dia tidak ada. Aku mencarinya kemana-mana, lalu aku pikir dia sudah kesini. Ternyata...,” Sayaka menghentikan ucapannya. “Bagaimana ini?” Sayaka terdengar sangat panik.



Rei berdiri dan ikut panik. Ia menoleh kepada setiap orang yang ada di dalam ruangan tersebut. “CEPAT! Kita semua harus segera mencari Maya di seluruh gedung ini! Kita harus temukan dia secepatnya!”



“BAIK!!” semua yang ada di ruangan itu segera berdiri dan bersiap untuk mencari Maya.



Rei menoleh kepada Sayaka, “Apa ibu guru sudah tahu?”



“Belum. Bagaimana ini, Rei?” seru Sayaka, panik.



“Ada apa ini? Kenapa ribut dan semuanya belum bersiap-siap?” terdengar suara dari pintu yang masih terbuka. Semua yang ada di dalam ruangan menoleh kepada asal suara itu dan seketika wajah mereka menjadi pucat pasi. Sayaka dan Mina yang berada paling dekat terdiam, tidak bisa menjawab. Mereka berdua terlihat mundur perlahan.



“Ibu guru Mayuko?” seru Rei. Ia tidak menyangka gurunya akan muncul secepat ini sebelum mereka sempat menemukan Maya.



“Ada apa? Kenapa tidak ada yang menjawab?” semua orang di dalam ruangan itu terdiam dan menundukkan kepala mereka. Mayuko menatap Rei. “Rei, jawab aku. Ada apa ini?”



“Bu.. bu guru..,” Rei menjawab terbata, takut. “Maya...,”



“Ada apa dengan Maya? Mana dia? Aku tidak melihatnya...,” Mayuko mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan dan tiba-tiba ia tersentak. Ia menoleh pada Rei lagi, “Rei, jangan katakan kalau anak itu...”



Rei menatap Mayuko, lemah. “Iya, bu.. Maya, dia hilang, bu...”



“APA!? HILANG!? ” seru Mayuko, tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.



♪ ♪ ♪



Dari ruangan tempat pertunjukan berlangsung, suasana tampak hening setelah tepuk tangan yang sempat terdengar membahana tadi. Tiba-tiba lampu yang awalnya gelap dinyalakan. Tirai di panggung yang tadinya tertutup terlihat terbuka lagi dan ada beberapa orang keluar dari tirai tersebut. Mereka ialah para pemeran pertunjukan drama yang baru saja berlangsung, yang keluar lagi ke panggung untuk melakukan penghormatan kepada para penonton. Tepuk tangan kembali terdengar.



“(Benar-benar pertunjukan drama yang luar biasa, ya!)” komentar dari beberapa penonton terdengar dalam bahasa Perancis.



“(Benar, pasangan pemeran utamanya memerankan dengan sangat baik sekali! Tidak heran jika Yuu Sakurakoji dan Ayumi Himekawa disebut sebagai aktor dan aktris terfavorit di Jepang. Hebatnya, usia mereka juga masih sangat belia!)” timpal yang lain.



“(Aku masih teringat jika aku sempat menahan nafas ketika melihat akting mereka berdua, apalagi saat adegan perpisahan. Mereka bisa menampilkan emosi mereka dengan sangat baik sekali!)”



“(Tinggal menunggu waktu saja hingga mereka berdua menjadi selebritis di Perancis!)”



Dan sambutan semakin meriah ketika kedua orang yang dibicarakan tersebut keluar. Tampak seorang lelaki, ia masih terlihat sebagai seorang remaja, tinggi dan tampan, berumur sekitar 20-an. Di sebelahnya tampak seorang gadis yang cantik bagai bidadari dengan rambutnya yang panjang dan bergelombang dengan indah, ditata dengan sedemikian rupa. Gadis itu mengalungkan lengannya di lengan lelaki tersebut. Mereka berdua tampak tersenyum ramah dan memberikan penghormatan dengan melambaikan tangan lalu membungkukkan badan ke arah penonton. Lelaki dan gadis itu ialah kedua pemeran utama, Yuu Sakurakoji dan Ayumi Himekawa.



Sementara itu, di tengah kerumunan dan histeria serta tepuk tangan para penonton, tampak seorang pria yang hanya duduk memandang ke panggung tanpa minat. Wajahnya tampak dingin. Tidak tampak senyum dari bibirnya dan ia tidak tampak berminat dengan pertunjukan drama yang baru saja berlangsung. Ia tidak ikut berteriak, bertepuk tangan ataupun mengeluarkan sedikit kata-kata pujian. Mulutnya terkunci. Salah satu kakinya terletak menyilang di atas kakinya yang satu lagi, dan salah satu tangannya mengepal menopang dagunya. Benar-benar posisi duduk seorang pemimpin, seorang penguasa.



“Tampaknya kau tenang sekali, Masumi,” seru wanita berambut panjang dan hitam bergelombang di sebelahnya yang sedang ikut bertepuk tangan. “Kau daritadi diam saja, apa kau tidak senang? Lihatlah, pertunjukan malam ini dapat sambutan yang sangat positif dari penonton. Dengarkan tepuk tangan yang tiada henti ini. Kau sukses malam ini, Masumi. Apakah kau tidak senang?” tanya wanita itu.



“Begitukah?” Masumi membetulkan posisi duduknya ke posisi “orang biasa”, dan menatap wanita di sampingnya. “Apakah kau senang dengan pertunjukannya, Shiori?” tanya Masumi lembut.



Wanita bernama Shiori itu merona, mendengar Masumi menatapnya dan memanggilnya dengan lembut. “A... aku senang. Tentu saja aku senang sekali. Luar biasa, Masumi. Terima kasih telah mengajakku,”



“Tidak masalah,” Masumi kembali mengarahkan pandangannya ke arah panggung. “Lagipula, aku juga senang sekali dengan kesuksesan kali ini, ‘kok...” jawab Masumi, tenang.



Meski diam, bukan berarti Masumi tidak tahu bagaimana reaksi para penonton di sekelilingnya. Ia tidak tuli. Ia tahu respon penonton sangat positif dan memang malam ini pertunjukannya bisa dikatakan sangat sukses. Tepuk tangan terus terdengar tiada hentinya dan hal itu sudah biasa bagi Masumi. Ia biasa mendengarkan respon semacam itu. Masumi tersenyum samar, pandangan matanya terlihat tajam. Sedikit lagi... Paris akan ada dalam genggaman Daito, genggamanku. Sedikit lagi...



♪ ♪ ♪



“Selamat, Masumi Hayami. Dengan suksesnya pertunjukan malam ini, Daito akan semakin terkenal. Tidak hanya di pasar nasional, tetapi juga internasional,” seru seorang pria gemuk pendek setengah botak dan berkaca mata menghampiri Masumi. Masumi Hayami, Direktur Daito, menjadi pusat perhatian sekarang, dimana banyak blitz kamera mengarah padanya.



Pertunjukan drama telah berakhir dan ada waktu break selama satu jam sebelum menuju ke pertunjukan berikutnya oleh teater yang lain. Sesuai rencana akan ada dua teater yang akan tampil dalam gedung pertunjukan ternama tersebut, yaitu teater dari Daito dan teater Mayuko. Kedua teater itu menampilkan drama yang berbeda. Adanya pertunjukan drama dari kedua teater Jepang tersebut dimaksudkan untuk mengundang para penonton yang tinggal di Paris, dari kalangan atas hingga bawah untuk datang menonton. Biaya yang masuk akan digunakan sebagai sumbangan kepada Yayasan Anak Asuh yang tersebar di Paris. Dengan kata lain, pertunjukan malam itu merupakan pertunjukan amal.



Masumi hanya tersenyum. “Terima kasih atas sanjungannya dan kesediaan Anda untuk menghadiri pertunjukan ini di tengah kesibukan Anda, pak Kurokawa. Saya harap ke depannya perusahaan Anda tetap setia untuk mendukung Daito,” jawab Masumi tenang.



“Tentu, tentu saja! Anda bicara apa, Tuan Hayami? Saya akan selalu menyediakan waktu untuk Anda dan Daito, sama sekali bukan masalah besar!” seru produser Kurokawa, terkekeh. “Semoga kita bisa bekerja sama untuk ke depannya dan Anda akan bersedia untuk memakai beberapa artis dari teater kami,”



Masumi hanya tersenyum tenang. “Saya permisi dulu, pak Kurokawa. Saya harus menemui yang lain,” kata Masumi sambil berlalu.



“Ah, ya, silakan. Kaulah Rajanya malam ini, Tuan Hayami,” teriak pak Kurokawa dari kejauhan, dengan harapan Masumi yang sudah menjauh bisa mendengarnya.



Penjilat. pikir Masumi. Ia sudah terbiasa dikelilingi oleh orang-orang semacam itu. Orang yang sebenarnya hanya ingin menebeng nama besar Daito. Berharap artis-artis dari teater mereka bisa diorbitkan menjadi artis terkenal oleh Daito. Namun mereka tidak tahu bahwa usaha mereka untuk “memanfaatkan” Daito dibalikkan begitu saja oleh seorang Masumi Hayami. Merekalah yang justru akan aku manfaatkan. Pertunjukan amal malam ini sebenarnya secara finansial tidak menguntungkan bagi Daito, malah Daito harus mengeluarkan cukup banyak biaya untuk pertunjukan di Paris kali ini. Masumi cukup sadar, pertunjukan berkaliber internasional bukanlah untuk main-main.



Namun bukan Masumi namanya jika tidak memikirkan efek jangka panjangnya. Dengan berpartisipasinya Daito di pertunjukan amal semacam ini, Daito tentu akan dianggap sebagai perusahaan yang cukup peduli terhadap aksi sosial dan penderitaan kalangan bawah. Tentu saja akan menimbulkan respon positif dari masyarakat terhadap Daito. Daito tidak akan dianggap sebagai perusahaan yang dingin dan tertutup, sulit dijangkau, seperti yang dikesankan ketika Daito masih dalam kendali Eisuke Hayami. Masumi tertawa dalam hati, penderitaan mereka adalah keuntungan bagiku. Dan tentu saja Masumi tidak akan sembarangan memilih pertunjukan amal untuk mementaskan suatu pertunjukan drama profesional dari teater Daito. Masumi tahu jika akan banyak wartawan juga orang kalangan atas di Paris, baik yang merupakan penduduk asli Paris ataupun tidak, akan datang malam ini. Mengingat harga tiketnya mahal dan juga gengsi yang tinggi dari para penonton yang datang, hampir bisa dipastikan penontonnya merupakan orang kalangan atas yang rela mengeluarkan biaya berapapun. Mereka tidak hanya membayar tiket masuk tapi ada juga yang memberikan sumbangan secara pribadi.



Masumi tertawa memikirkan semua itu. Orang-orang kalangan atas membuatnya muak, berbuat baik dengan harapan dilihat orang. Tapi, yah, tidak masalah, tindakan mereka membawa keuntungan bagi Masumi dan Daito, karena mereka semua rata-rata juga merupakan penjilat. Para anggota kalangan atas tersebut menghampiri Masumi dan memujinya, memuji Daito, mengingat Daito lah pusat kesuksesan malam itu. Mereka mengatakan dengan suara keras mereka sangat senang karena dengan adanya pertunjukan teater dari Daito bisa menyumbangkan kekayaan mereka, dan segala macam alasan mulia dan kata-kata mutiara lainnya, di tengah banyaknya wartawan juga blitz kamera. Tidak masalah asalkan Daito mendapatkan posisi di Paris, ibu kota sekaligus pusat daya tarik Perancis. Masumi Hayami tidak akan mengomentari tindakan mereka selama mereka menguntungkan. Ya, semuanya sudah sangat diperhitungkan oleh seorang Masumi Hayami.



Yang berguna, manfaatkan. Yang tidak, singkirkan. Masumi terbiasa bekerja dengan prinsip seperti itu, prinsip yang selama ini diwariskan oleh ayahnya, Eisuke Hayami. Mungkin berbeda dari ayahnya, tapi bukankah hasilnya sama bahkan bisa memberikan keuntunga berlipat untuk Daito? Aku tidak peduli dengan cara ayah, ini adalah caraku.



“Masumi,” panggil Shiori dari belakangnya. Masumi yang sedang berbicara dengan beberapa orang menoleh, “Ah, Shiori. Maafkan aku, aku jadinya meninggalkanmu sendirian,”



Shiori tersenyum dan mengambil tempat di samping Masumi, “Tidak apa-apa. Aku maklum dengan kesuksesanmu yang luar biasa malam ini kau akan menjadi pusat perhatian,”



Masumi tersenyum. “Terima kasih atas perhatianmu, Shiori,”



“(Wah, Tuan Hayami. Siapakah wanita cantik ini?)” tanya para pengusaha yang sedang berbicara dengan Masumi.



“(Ah, maafkan aku lupa memperkenalkan kalian. Ini Shiori, dia... temanku),” Masumi memperkenalkan Shiori kepada mereka. “Shiori, mereka adalah para pengusaha dari Perancis yang memberikan sumbangan cukup signifikan bagi pertunjukan amal kali ini,” Shiori membungkukkan badannya pada mereka sambil tersenyum anggun. Masumi bersyukur Shiori tidak mengerti bahasa Perancis, sehingga dia bisa mengenalkan Shiori sebagai temannya, bukan sebagai yah... status yang tengah disandang Shiori sekarang, tunangannya.



“(Beruntung sekali kau memiliki teman wanita secantik ini, Tuan Hayami. Yakin bukan tunanganmu?)” tanya yang lain sambil terkekeh.



“(Siapapun yang akan menjadi pendampingmu nantinya pasti adalah wanita yang sangat beruntung, Tuan Hayami. Aku sebenarnya memiliki rencana mengenalkanmu dengan putriku. Pasti akan sangat menyenangkan),”sambung yang lain.



“(Hei, kau melangkahiku, kawan! Aku sebenarnya juga berencana begitu),” sambung yang lain. Dan akhirnya mereka berakhir dengan tertawa bersama.



Masumi ikut tertawa. Menggelikan, pikirnya.



Tiba-tiba dari kejauhan ada seseorang yang memanggil namanya. Seorang pria bertubuh gemuk berambut agak gondrong, memakai topi dan berkacamata hitam. Masumi tersenyum dan mengatakan permisi kepada para pengusaha yang dianggapnya menggelikan untuk menghampiri orang yang memanggilnya.



“Selamat malam, pak Onodera,” sapa Masumi, sopan.



“Kau luar biasa, Masumi Hayami. Menakjubkan! Kau memaksa para pemainku untuk belajar bahasa Perancis untuk pertunjukan kali ini dengan ancaman yang tidak bisa tidak akan dicoret namanya dari teater Daito. Dan, lihatlah! Hasilnya benar-benar luar biasa, para penonton tidak usah membaca buku petunjuk dialog dan para pemain bisa berakting dan berdialog dalam bahasa Perancis dengan baik sekali,” kata Onodera, puas. “Itu dikarenakan karena mereka tahu kau ada di antara para penonton yang bisa menilai kesalahan mereka, sekecil apapun. Mereka benar-benar takut dikeluarkan dari teater Daito,” lanjut Onodera, terkekeh.



Baguslah jika mereka memang takut dikeluarkan. Pemain yang cengeng tidak akan pernah bisa bertahan di Daito dan hanya akan mencoreng nama Daito saja. “Bukankah kau sendiri tahu bahwa kita harus bersikap profesional, pak Onodera?” jawab Masumi, tenang. “Lagipula kesuksesan kali ini juga berkat campur tangan Anda sebagai sutradara juga akting para pemain yang handal. Saya berterima kasih kepada Anda atas semua itu,”



Onodera tertawa dan menepuk bahu Masumi, “Jangan rendah hati begitu, Masumi. Kau sendiri seharusnya tahu, tidak akan sesukses ini jika tidak ada campur tanganmu!” Masumi hanya tersenyum. Kemudian pandangan Onodera tertumbuk pada Shiori yang berdiri di sebelah Masumi Hayami. “Owww... dan siapakah wanita cantik ini, Masumi? Apakah dia tunanganmu seperti yang tengah santer diberitakan itu?”



Wajah Shiori merona senang. Masumi tersenyum tenang dan berkata, “Perkenalkan, ini Shiori Takamiya. Shiori, ini Hajime Onodera, sutradara dalam pertunjukan kali ini,” Onodera dan Shiori saling membungkukkan badan.



“Wow, Hayami dan Takamiya. Kombinasi yang hebat sekali! Ternyata ini dia wanita yang beruntung itu, sepadan denganmu, Masumi. Keponakanku pasti akan patah hati kalau kuberitahu kabar pertunanganmu itu benar,”



Wajah Shiori semakin merona, sedangkan ekspresi Masumi tetap sama seperti tadi, tersenyum tenang. Tidak terbaca. Kemudian, Shiori meminta izin untuk ke toilet, meninggalkan Masumi dan Onodera berbincang-bincang. Tiba-tiba, Masumi melihat ada beberapa orang yang berkeliaran kesana kemari memakai kostum yang... seperti kostum pertunjukan saja. Mereka terlihat panik. Onodera yang menyadari pandangan Masumi fokus kepada sesuatu di belakangnya, ikut berbalik mencari tahu apa yang terjadi.



“Ada apa, ya? Kenapa orang-orang itu terlihat panik dan daritadi berkeliaran kesana-kemari?” tanya Masumi.



 “Ah, mereka orang-orang dari teater Mayuko yang akan pentas setelah ini. Kudengar salah satu pemain teater Mayuko menghilang. Hah, menggelikan. Apa mereka pikir pentas di sini main-main? Ini pentas pertunjukan internasional, meski hanya untuk amal tetap saja internasional! Ternyata mereka hanya banyak omong saja, tidak patut diperhitungkan. Hanya menyandang nama besar nama pendirinya saja,” sindir Onodera. “Sudah bagus mereka mendapatkan kesempatan bermain di sini,”



“Begitukah?” Masumi tampak terus menatap kerumunan orang yang ribut, yang merupakan orang-orang teater Mayuko.



“Apakah kau tertarik, Masumi? Wah, tidak biasanya,”



“Hahaha, seharusnya Anda tahu bukan apa yang kuinginkan dari mereka, Pak Onodera? Rasa tertarikku pada mereka tidak lebih dari untuk kepentingan bisnis. Aku tidak akan tertarik pada hal yang tidak bisa memberikan keuntungan pada Daito,” ucap Masumi. “Dan kau seharusnya tahu sendiri bukan bagaimana mereka bisa berada di sini,”



Onodera terdiam. “Apakah... kau terlibat dalam hilangnya salah satu pemain mereka itu, Masumi?”



Masumi tersenyum, yang bagi Onodera senyum itu terlihat menakutkan. “Tentu saja tidak, pak Onodera. Aku tidak akan melakukan tindakan serendah itu,”



Onodera menatap Masumi. Pria yang penuh perhitungan. Tepatnya, mengerikan. Tidak heran di usia nya yang masih 30-an, ia bisa membawa Daito ke puncak kesuksesannya, lebih dari pemimpin sebelumnya, Eisuke Hayami. Yang menghalangi jalannya untuk mencapai tujuan dan targetnya, akan disingkirkan tanpa ampun. Itulah cara kerja Daito, baik Eisuke maupun Masumi. Dan sekarang rupanya Hayami bermaksud memperluas kekuasaannya dengan menggabungkan kekuatan dengan Takamiya, pemilik Takutsu Group, suatu perusahaan fenomenal yang ada di Jepang. Entah itu ide Eisuke atau keinginan Masumi sendiri, yang jelas itu akan membawa keuntungan bagi Daito dan Hayami. Cara berpikir dan tindakan Masumi tidak akan bisa ditebak, tidak akan pernah. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Masuimi Hayami. Menakutkan.



“Apa kau sudah menemukan Maya?” tanya Mina, terengah-engah.



“Belum,” jawab Sayaka, panik. “Jangan menyerah, ayo kita cari sekali lagi!”



Mina mengangguk dan dengan segera mereka berdua berlalu entah kemana, berlalu dari pandangan Masumi. Tadi Masumi sempat mendengar mereka menyebutkan satu nama meski samar. Maya... Masumi merasa akrab dengan nama itu, ia merasa pernah mendengarnya entah dimana. Nama itu menimbulkan perasaan akrab dalam dirinya, perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya



“Masumi?” panggil Shiori menyadarkan lamunan Masumi. “Ada apa? Ayo kita segera masuk. Pertunjukan berikutnya akan segera dimulai,”



“Ah, ya. Sudah kembali rupanya kau, Shiori. Baiklah, ayo kita masuk,” Masumi segera mengikuti Shiori yang masuk mendahuluinya. Onodera terlihat tertawa dan berjalan mendahului mereka berdua, “Belum tentu akan ada pertunjukan malam ini jika pemain mereka tidak ditemukan,”



Masumi terdiam tidak merespon, pikirannya sibuk dengan satu nama itu. Mungkin hanya perasaanku saja, pikir Masumi. Banyak orang yang memiliki nama seperti itu dan karena itu aku merasa pernah mendengarnya. Lagipula belum tentu nama itu yang kudengar, suasana sedang ramai, mungkin aku salah dengar. Dengan keyakinan seperti itulah, akhirnya Masumi segera masuk dan tidak lagi mempedulikan orang-orang yang sedang mencari ‘orang hilang’ tersebut.



Mayuko tampak memperhatikan Onodera yang masuk diikuti dengan Shiori dan... Masumi Hayami. Mayuko tengah sibuk dengan pikirannya sendiri ketika Rei menghampirinya.



“Sudah menemukannya?”



“Belum, bu,” jawab Rei, panik. “Bagaimana ini, bu guru? Pertunjukan sebentar lagi sudah harus dimulai,”



Mayuko memejamkan matanya perlahan dan menghembuskan nafas, “Apa boleh buat jika sampai 15 menit sebelum pertunjukan Maya belum muncul... Kita... terpaksa membatalkan pertunjukan kita...,” jawaban Maya membuat Rei pucat pasi. Batal? Tidak! Rei segera melangkahkan kakinya meninggalkan Mayuko untuk kembali mencari Maya.



Gadis bodoh itu! Apa yang dia pikirkan!? Menghilang sebelum pertunjukan? Sebenarnya ada dimana dia sekarang?



♪ ♪ ♪



(Hokkaido, 6 tahun yang lalu)



Pagi menjelang, terdengar suara burung berkicauan. Jam weker di kamar Sora berbunyi. Sora yang masih tersembunyi di balik selimut menggapai-gapai tangannya untuk mematikan sumber bunyi yang mengganggu tidurnya. Setelah berhasil mencapai weker dan mematikannya, Sora bergelung di dalam selimutnya sejenak dan beranjak bangun. Ia mengambil weker yang tadi ia matikan di atas meja kecil di sebelah tempat tidurnya.



Jam 6 pagi. Sora segera berdiri dari tempat tidur dan beranjak membuka gorden jendelanya. Ia membuka jendela dan melangkahkan kakinya ke balkon. Ia menatap ke langit dan seketika ia tersenyum. Pagi yang indah dengan langit yang indah sekali.



Dari atas balkon, Sora melihat seorang gadis berambut keriting berkuncir dua sedang berjalan sambil menggerutu. Di kedua tangannya terlihat ada kotak besar, seperti kotak untuk mengantarkan pesanan makanan. Itu Sugiko, anak pemilik kedai ramen, tempat ibu Maya bekerja. Pasti Sugiko sedang mengantar mie pesanan orang. Pasti karena bibi sedang sakit dan tidak masuk kerja makanya ia yang disuruh mengantar, gumam Sora, geli. Ia tahu Sugiko merupakan tipe gadis yang tidak bisa bekerja terlalu keras dan lebih memilih bergaya, namun karena ayah dan ibunya merupakan pemilik kedai mie yang cukup ramai, mau tidak mau ia harus ikut membantu, meski dengan menggerutu. Karena jika tidak begitu Sugiko pasti tidak akan mendapatkan uang jajan untuk membeli segala macam keinginannya.



“Ada juga ya, orang yang pagi-pagi pesan mie. Banyak lagi,” Sora menatap Sugiko hingga Sugiko hilang dari pandangan. Seperti halnya Sora mengenal Maya sejak Maya masih kecil, begitu pula dengan Sugiko. Sora pernah mengantar Maya ke kedai mie Sugiko untuk menjemput ibu Maya sekaligus untuk makan mie di sana. Saat itu pulalah Sora pertama kali bertemu dengan Sugiko yang langsung terpesona dengannya, sampai saat ini. Sora tertawa mengingat hal itu juga mengingat Maya merupakan satu-satunya gadis yang tidak terpesona padanya. Mungkin ketika kecil Maya pernah terpesona, tapi hanya sebagai seorang anak kecil yang mendambakan figur seorang kakak. Dan Sora memenuhi itu, ia sosok kakak yang sangat baik, meski usil.



Sora menoleh melihat balkon kamar Maya. Gordennya masih tertutup, sepertinya dia belum bangun. Dan Sora sudah bisa menduga hal itu, sudah kebiasaan Maya setiap harinya untuk bangun mepet. Tidak jarang pula Maya terlambat masuk sekolah karena kebiasaan buruknya itu.



“Haizzz malas sekali, padahal temannya saja sudah bangun dan mengantar mie,” meski terpaksa, tambah Sora dalam hatinya. “Ckckckk...”, Sora mendecak. Ia kembali menengadahkan pandangannya ke arah langit sambil geleng-geleng kepala.



Seketika Sora tersenyum, ia mendapat sebuah ide. Ia segera kembali ke kamarnya. Bersiaplah menerima kejutanku pagi ini, mungil!



♪ ♪ ♪



“Selamat pagi, Sora!” sapa pak Shinichi Kitajima, ayah Maya, yang melihat Sora berlari kecil melewati rumah Maya.



“Ah, pagi, paman,” Sora menghentikan larinya. “Paman sudah mau berangkat kerja? Bagaimana keadaan bibi? Apa sudah baikan?” Sora ingat dia lupa menanyakan keadaan ibu Maya kepada Maya karena kejadian kemarin. Wajah Sora sedikit merona dan segera dienyahkan ingatan akan kejadian semalam. Untunglah Shinichi tidak menyadari perubahan rona di wajah Sora.



“Iya, sudah baikan. Rencananya hari ini sudah mau bekerja lagi, ‘kok... Nak Sora sedang olahraga lagi ya? Rajin sekali,”



“Hahaha, iya paman. Harus dibiasakan agar tubuh tidak mudah terserang penyakit. Sekedar lari kecil saja,”



“Hebat sekali, ya. Benar-benar tidak bisa dibandingkan dengan putriku yang satu itu, aduh, pemalas sekali anak gadis jam segini belum bangun...,” Shinichi tampak menggeleng-gelengkan kepalanya.



Sora tersenyum dikulum.



“Pak, tunggu jangan berangkat dulu!” terlihat ibu Maya, ibu Haru, tergopoh-gopoh keluar dari pintu dan menghampiri ayah Maya. “Lihat bekalnya ketinggalan!”



“Ah, ya, hampir saja lupa. Terima kasih, ya, bu...,”



“Aiooo.. selalu saja begitu. Sifatmu yang teledor dan pelupa itu benar-benar menurun ke putri kita yang satu itu. Ah,” Haru menyadari keberadaan Sora. “Selamat pagi, Sora,”



“Selamat pagi, bibi...,” Sora sedikit membungkuk. “Bagaimana keadaan bibi? Sehat-sehat saja, ‘kan?”



“Tentu saja! Aku tidak bisa sakit lama-lama, Sora. Nanti siapa yang mengawasi pasangan ayah dan anak yang sama-sama teledor dan ceroboh itu? Kau tahu kemarin pamanmu ini sukses menghancurkan beberapa buah telur ketika memasak menggantikan bibi, jadinya kemarin aku menyuruhnya membeli bahan makanan yang sudah ia hancurkan dan juga makanan yang bisa kami makan langsung,” Sora melihat ayah Maya cemberut sambil menaruh bekal di keranjang depan sepedanya dan ia tertawa kecil. Sedikit banyak, Maya memang lebih seperti ayahnya. “Untung saja aku tidak menyuruh Maya memasak, bisa tambah gawat,” keluh Haru.



Sora tertawa melihat wajah Shinichi yang merah padam. “Sudahlah, bu, ayah berangkat dulu. Bisa tambah malu ayah di sini, dipermalukan di depan Sora. Sora, paman duluan, ya!” seru Shinichi sambil mengayuh sepedanya.



“Iya, paman, hati-hati!” seru Sora. Kemudian, Sora menoleh kepada Haru, “Ah, ngomong-ngomong, bi. Aku baru ingat jika hari ini Maya ada pelajaran tambahan Bahasa Jepang untuk jam pertama di sekolah, makanya semua siswa di kelas Maya diwajibkan jangan sampai terlambat dan kalau bisa bangun lebih awal. Lebih baik Maya dibangunkan sekarang, bi, agar dia tidak terlambat,”



“Begitukah? Ah, anak itu tidak bilang apa-apa padaku. Terima kasih, ya, Sora. Coba tidak ada nak Sora, bibi juga tidak tahu,”



Sora tersenyum mengangguk. Tak lama kemudian, Haru berpamitan padanya dan beranjak masuk. Sora tersenyum penuh makna dan kembali melanjutkan lari paginya.



♪ ♪ ♪



“Maya, ayo bangun!” seru Haru sambil menggoyang-goyangkan tubuh Maya yang sedang meringkuk di balik selimut. Tidak ada respon. Haru menghela nafas lalu menarik selimut Maya. “Ayo bangun, anak malas!”



“Aduh, buu... Ada apa, ‘sih? Masih ngantuk, nanti saja, yaa..,” Maya menarik selimutnya lagi menutupi kepalanya.



Haru menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dasar gadis nakal, apa kau mau terlambat? Sora bilang kau ada pelajaran tambahan Bahasa Jepang pada jam pertama sehingga kau harus datang lebih pagi. Kenapa kau tidak bilang pada ibu, ‘sih? Apa kau lupa?”



Maya memunculkan wajahnya sedikit dari balik selimut. “Apa? Pelajaran tambahan?”



“Kau tidak tahu?” dahi Haru mengernyit heran. “Haizz, benar-benar anak ini. Kau tidak memperhatikan apa-apa selama di sekolah, ya? Lebih baik kau segera rubah sifatmu itu, jika kau tidak ingin sampai tidak naik kelas. Benar-benar, kenapa aku bisa punya putrimu sepertimu, ‘sih?”



“Heii, ibuuu...,” Maya langsung manyun.



“Sudahlah, sekarang sebaiknya kau cepat bangun dan bersiap-siap, jangan sampai terlambat. Sudah untung ada Sora yang mengingatkan. Ibu tunggu di bawah untuk sarapan, cepat, ya. Ibu juga sudah mau berangkat kerja. Ibu mau berangkat lebih awal sebagai tebusan ibu tidak masuk kemarin,” perintah Haru sambil beranjak dari tempat tidur Maya dan keluar kamar.



“Ahhhh... aku tahu. Ibu kalau sudah sembuh bawel sekali...,” gerutu Maya. Kenapa aku jadinya dimarahi, ‘sih? Menyebalkan.



Maya menggerutu dan segera terbangun dari tidurnya. Memangnya ada pemberitahuan, ya, jika ada pelajaran tambahan Bahasa Jepang pada jam pertama? Jam pertama pelajaran hari ini, ‘kan Matematika, bukannya bahasa Jepang. Apa aku yang lupa? Kenapa bisa dia yang lebih tahu? Maya melihat jam dan menggerutu, masih jam 6 lebih, apa ‘sih yang orang itu pikirkan? Maya beranjak dari tempat tidur dan mendekati jendela serta membuka gordennya. Pagi ini benar-benar berbeda dari biasanya, karena Maya tidak biasa membuka gorden jendela pada pagi hari. Yah, biasanya ‘kan aku bangun telat dan langsung bergegas mandi lalu berangkat sekolah. Baru sedikit gorden jendelanya terbuka seluruhnya, tatapan Maya tertumbuk pada secarik kertas yang menempel di jendela. Maya membuka jendela sedikit dan mengambil kertas itu. Surat? pikir Maya.



Maya menutup gordennya lagi dan sambil menguap ia beranjak menuju tempat tidurnya. Setelah duduk di atas tempat tidurnya, Maya mulai membaca suratnya.



Hei, mungil, bacalah suratku sampai tuntas dan jangan berkomentar hingga kau membacanya surat pendek ini sampai habis. Aku harap kau cepat bangun dan membaca surat ku ini, gadis mungil yang malas.



Maya berhenti membaca. Ia kenal tulisan ini. Surat ini pasti dari orang sinting itu.



“Gadis mungil yang malas? Heizzz, apa orang ini bermaksud cari gara-gara denganku pagi-pagi begini? Ckckckck..,”



Maya melanjutkan kembali membaca surat itu.



Simpan amarahmu mungil.. Maya tertawa kecil, tahu saja orang ini kalau aku baru saja menggerutu dan marah padanya... karena aku yakin kau akan berterima kasih padaku, mungil, karena pagi ini aku membawa hadiah spesial untukmu, yang pasti kau sukai.



Maya berhenti membaca lagi. “Hadiah? Aku ‘kan tidak ulang tahun hari ini. Apa maksudnya, ‘sih?”



Kemudian, Maya melanjutkan membaca baris berikutnya.



Sudah kubilang selesaikan membacanya mungil, jangan banyak berkomentar!



Maya tertawa, “Orang ini benar-benar... di surat pun ternyata dia bawel sekali,” Maya merasa Sora benar-benar sudah sangat mengenal dirinya sehingga Sora tahu kapan dia akan menggerutu ataupun berhenti membaca. “Baiklah, aku tidak akan berkomentar lagi,” Maya tertawa geli.



Kurasa kau sudah bisa menutup mulutmu sekarang, ‘kan? Baguslah! Baiklah, mungil, bersiap-siaplah dengan hadiahnya! Apa kau siap? Ini kejutan!



“Ya, kurasa..,” Maya sendiri merasa heran ia bisa berbicara dengan secarik kertas seperti itu, seolah-olah ia sedang berbicara dengan Sora.



Kau harus menghargainya, ah tidak, kau pasti akan menyukainya! Aku memberimu hadiah ini dengan penuh perngorbanan mungil, karena demi mengantarkan surat ini aku harus melompat menuju balkon kamarmu!



“Haizzz, pemaksa sekali! Apa kau bilang? Aku harus dan pasti menyukai hadiah darimu? Ckckckk... Benar-benar penyakit narsismu sudah akut! Dan kau juga melompati balkon kamarku, apa bedanya dengan yang kulakukan kemarin? Tidak adil sekali, kemarin kau sampai mengomel dan menginterogasiku? Lihat saja apa yang akan kulakukan padamu!”



Maya mengingat kejadian semalam dan seketika wajahnya merona. Ia cepat-cepat mengindahkan ingatan itu dan kembali membaca suratnya.



Sudah kukatakan jangan cerewet terus, mungil! Jika kau ingin membalasku seperti yang kulakukan kemarin, tahan dulu sampai kau melihat bagaimana menakjubkannya hadiahku padamu.



Dahi Maya mengernyit, hadiah yang menakjubkan? Maya tidak merasa menemukan apapun di luar jendela ketika dia menemukan secarik kertas ini. Apa mungkin karena tadi dia cuma membuka gorden jendelanya sedikit? Tapi kalau memang Sora mau memberikan hadiah, mengapa mesti dipisahkan dari surat penuh instruksi aneh begini?



Kau ini susah, ya, disuruh tidak berkomentar, mungil! Maya tertawa kecil. Oke, karena aku yakin ketika kau membaca surat ini kau sudah kembali berada di atas tempat tidurmu, sekarang turunlah dan bukalah jendela kamarmu lalu segeralah menuju ke balkon! Lakukan sekarang! Dalam hitungan ketiga, kau harus sudah sampai di balkon, ya.. Baiklah, mulai kuhitung sekarang...



“He.. hei, tunggu dulu!” ujar Maya terburu-buru turun dari tempat tidur sambil masih terus membaca seolah-olah memang ada Sora yang sedang menghitung.



1...



Maya beranjak mendekati jendela kamarnya.



2...



Maya mulai membuka jendela..



3..



Kedua kaki Maya telah menyentuh balkon. “Sampai!” Maya benar-benar sudah sampai di balkon sekarang, sebelum tersadar akan suatu hal. “Hei, kenapa aku jadi orang bodoh begini, ‘sih?” Maya bingung dengan tindakannya sendiri.



Bagaimana? Sudah sampai di balkon mungil? Benar-benar sampai hitungan ketiga saja, lho! Dan aku bisa membayangkan kau benar-benar melakukannya sehingga aku tidak tahan untuk tertawa! Hahaha...



Menyebalkan, Maya menggerutu dalam hati. Meski begitu, mau tidak mau Maya tersenyum kecil, geli dengan dirinya sendiri yang bisa melakukan hal itu.



Ahhh.. kau pasti sedang tersenyum, ‘kan mungil? Dahi Maya mengernyit, “Hei, suratmu mengerikan. Apa di suratmu kau tempeli dengan kamera pengawas sehingga kau tahu apa yang kulakukan sekarang?” Sebentar lagi, mungil. Hadiahmu sudah semakin dekat. Tariklah nafas dan hembuskan perlahan karena sekali lagi kukatakan hadiahku ini benar-benar spektakuler dan kau pasti akan menyukainya!



Maya melakukan seperti apa yang diperintahkan dalam surat Sora. Awas saja jika hadiahnya tidak menarik, kau harus bersiap untuk yang akan kulakukan nantinya padamu! ancam Maya dalam hatinya.



Ah, mungil.. Aku tahu kau sudah mulai kesal padaku, bukan? Tahan, mungil. Nah, sekarang.. hadiahku akan kuberikan padamu.. Jreng jreng! Pejamkan matamu dulu ya, mungil.. Lalu, lihatlah ke atas...



Maya menggerutu kecil. Dari tadi aku diperintah terus dan dengan bodohnya aku menurutinya. Baiklah, tidak ada ruginya juga kuikuti, ‘toh memang sudah kuikuti instruksi anehnya dari awal. Kalau ternyata hadiahnya aneh-aneh atau bahkan tidak ada, kalau dia memang berniat mengerjaiku saja, Soralah yang akan bersiap-siap menerima pelajaran! Maya memejamkan matanya.



Kemudian, Maya membuka matanya perlahan dan menatap ke atas, dan seketika ia takjub. Ia bisa melihat langit biru yang terlihat sangat cantik di pagi hari, di lengkapi dengan awan-awan yang terlihat bergerombol dan membentuk berbagai macam bentuk. Dan yang membuat langit itu tampak semakin menakjubkan, di langit juga terlihat awan yang membentuk goresan panjang, tampaknya seperti bekas dari pesawat jet yang menembus awan dan melewati langit.



(kira-kira seperti ini pemandangan yang dilihat maya. ga nemu gambar yang benar-benar pas, ’sih. nemunya cuma ini, ini pun gambarnya dapet dari adegan film entah apa gitu. jadi para pembaca boleh berimajinasi sebebas-bebasnya :p)


Maya merasa sangat senang, ia tersenyum bahagia. Indah sekali. Kemudian, ia teringat surat Sora dan ia membaca kelanjutannya. Masih ada beberapa baris terakhir yang belum ia baca.



Bagaimana? Kau lihat? Ini hadiah dariku, apa kau suka? Aku tahu kau pasti suka! Selamat pagi, mungil!
NB : Sampaikan permintaan maafku pada ibumu, ya, aku terpaksa harus membohonginya untuk menyerahkan hadiah ini padamu. Aku benar-benar minta maaf padanya dari lubuk hatiku yang paling dalam.



Maya tertawa. “Hahaha, dasar! Mau memperlihatkan ini saja harus repot-repot pakai surat dan segala macam instruksi aneh begini. Bilang saja langsung ‘kan bisa!” tapi ya namanya kejutan. Maya tersenyum riang, “Ya, aku sudah lihat hadiah darimu dan tentu saja aku suka hadiahnya, bodoh!” Maya kembali mengarahkan pandangannya ke arah langit dan senyum itu tidak jua hilang dari wajahnya. “Berterima kasihlah! Aku jadi urung marah padamu, meski kau telah membuatku kesal dengan membangunkanku pagi-pagi, memberiku instruksi aneh, dan terus saja memanggilku ‘mungil’ di suratmu!” Bagaimana mau marah? Hadiahnya indah begini, sangat indah malah!



Maya tersenyum bahagia menikmati suasana pagi hari saat itu. Ini pagi terindah yang pernah Maya lewatkan. Biasanya Maya akan melewatkan pagi dengan terburu-buru bersiap menuju sekolah karena ia selalu bangun telat dan ia tidak akan sempat membuka gorden jendela ataupun jendela, apalagi mampir ke balkon kamarnya. Biasanya ibunya yang akan melakukannya sebelum berangkat kerja. Dalam perjalanan ke sekolahnya juga belum tentu Maya akan memperhatikan kondisi langit kalau dia memang sudah dalam kondisi sudah hampir dipastikan terlambat, dan hal itulah yang terjadi setiap harinya. Ia sudah sangat disibukkan dengan masalahnya sendiri yaitu keterlambatan (yang juga disebabkan dirinya sendiri), sehingga melihat langit pada pagi hari tidak akan terlihat menarik dan penting.



Jadi karena ini Sora berpesan pada ibu untuk membangunkanku lebih awal. Maya tersenyum kecil. Pakai berbohong dengan alasan ada pelajaran tambahan pula. Apalagi ia meminta maaf dari lubuk hati paling dalam katanya? Maya tersenyum geli. Ia terharu, Sora teringat akan Maya yang suka melihat langit, sampai-sampai menyiapkan semua ini. Simpel, tapi khas Sora, dan Maya menyukainya. Sangat menyukainya. Maya kira Sora lupa dengan perkataan Maya yang sambil lalu itu. Maya menatap langit dengan perasaan yang hangat dan bahagia. Ia tidak akan bosan menatap langit pagi itu, pagi paling indah dan spesial dalam hidupnya.



“Terima kasih, ya... Sora...,”



♪ ♪ ♪



Sora menatap langit. Ia tersenyum. Apakah ia sudah melihatnya? Sora menghela nafas dan ia kembali melanjutkan olahraga paginya, yaitu jogging atau berlari kecil.



Di tengah perjalanan, Sora bertemu dengan sekelompok gadis yang berlari dengan arah berlawanan dengannya. Sekelompok gadis itu berlalu begitu saja melewatinya, tanpa melihat Sora. Sora berhenti sejenak dan menoleh ke arah mereka. Sepertinya aku belum pernah melihat mereka, apakah mereka penduduk baru? Penampilan mereka begitu mencolok, tidak seperti gadis-gadis desa biasanya. Dan tadi, ada seorang.. Sora tidak yakin ia pria atau wanita.. berambut pirang seperti orang asing. Tidak biasanya.



Sora memutuskan untuk tidak terlalu mempedulikannya dan melanjutkan aktivitas lari paginya.



♪ ♪ ♪

Maya berjalan ke sekolahnya dengan perasaan riang dan terus menatap ke langit. Ia tidak bosan-bosannya menatap langit biru yang masih saja menampilkan pemandangan menakjubkan. Maya menyapa beberapa orang yang lewat di jalan yang dikenalnya. Terkadang ia berhenti sejenak untuk memuaskan matanya melihat langit biru yang tetap sama seperti yang tadi dilihatnya, seakan takut jika ia tidak melihatnya sebentar saja, keindahan langit biru itu akan hilang dari pandangannya. Angin berembus pelan, membuat beberapa helai rambut Maya dan rok seragamnya ikut bergerak mengikuti irama angin. Maya memejamkan matanya, menikmati apa yang sedang dirasakannya sekarang.



Kala menutup mata dan duduk di bawah sinar matahari yang hangat serta langit yang biru dan luas ini.. ah, tidak.. berdiri saja sudah cukup.. rasanya seperti memeluk seekor kucing yang besar dan lembut..



Srrrrrrrr...



Syuuuu...



Syuuuuu...



Angin terus saja berembus... Ya, benar.. suaranya seperti ini..



Rasanya seperti ini...



Empuk... Lembut...



Rasanya seperti itu...



“Kyaaaaaa!!!” Maya berteriak. Tiba-tiba, sebuah sepeda “menyerang” Maya dari belakang. Sepeda itu menyerempet Maya dan membuat Maya terjatuh ke samping. “Auwwww...,” Maya merasakan sakit dan melihat ke sumber rasa sakitnya. Tangan kirinya. Telapak tangan kiri Maya terlihat lecet dan terluka.



“Kau ini, sudah kubilang minggir kataku! Kau ini tuli, ya!? Sudah kubunyikan bel daritadi juga kau malah terlihat melamun tidak jelas begitu! Cari mati, ya?” seru orang yang naik sepeda itu kasar. Maya hanya terdiam melihatnya, salahnya juga mungkin melamun, tapi orang itu ‘kan tidak usah sampai sekasar itu sampai menyerempet orang! Sampai jatuh lagi! Tidak minta maaf pula!



Maya hanya terdiam melihat orang kurang ajar itu hingga orang itu berkata “Cih! Lain kali jangan melamun di jalan!” dan berlalu dari pandangan Maya. Maya kemudian menjulurkan lidahnya. “Weekkkk! Ada saja, ya, orang seperti itu. Tidak bisa dipercaya!” Maya merengut kesal. Ia tidak mau melawan karena ia tidak mau urusannya menjadi tambah panjang. Lagipula, ya, kejadian tadi juga tidak sepenuhnya salah orang itu.



“Aduh, sakit...,” Maya melihat tangannya dan mengeluh pelan. Maya mengambil tas yang ad di sampingnya dan mencari sesuatu di dalamnya, “Aduh, tisu di mana, ya? Apa aku lupa membawanya lagi hari ini?” Maya mengaduk-aduk isi tasnya.



“Ini...,” tiba-tiba terdengar suara lembut seorang wanita di samping Maya. Maya menghentikan gerakannya mencari. Ia sedikit menoleh dan melihat ada sapu tangan yang terjulur ke arahnya. Maya sedikit menoleh ke atas melihat siapa yang barusan berbicara padanya dan memberikan sapu tangan kepadanya. Dan ia bisa melihat ada seorang wanita berambut panjang bergelombang hitam sedikit berantakan, dengan salah satu sisi poninya yang lebih panjang menutupi salah satu sisi wajahnya. Ia memakai gaun berlengan panjang berwarna hitam juga. Maya mengernyit. Ia tidak pernah melihat wanita ini sebelumnya. Dari gaya berpakaiannya, sepertinya wanita ini bukan penduduk desa Maya.



“Kenapa kau diam saja? Ini..,” seru wanita itu menyadarkan lamunan Maya. Maya menatap sapu tangan yang disodorkan wanita itu, diam. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Wanita itu tersenyum, “Sudah, tidak apa-apa. Ambil saja, pakailah untuk membersihkan lukamu dan tubuh serta seragammu yang kotor,” ujarnya lembut.



“Ah, iya..,” akhirnya Maya memutuskan mengambil sapu tangan yang diberikan oleh wanita tak dikenal di depannya. Tidak apa-apa, ‘kan, menerima perbuatan dari orang lain? ‘Toh sepertinya wanita ini bukan orang jahat, buktinya ia mau meminjamkan sapu tangannya padaku. pikir Maya polos. “Terima kasih,” Maya membersihkan lukanya dan beberapa bagian seragam dan tubuhnya yang kotor karena terjatuh. Kemudian sambil mengambil tasnya, Maya berdiri



“Maaf, sapu tangan Anda jadi kotor. Mmmm, nanti setelah saya cuci akan saya kembalikan. Anda tinggal dimana, Nyonya? Ah, hmm.. maaf, saya belum pernah melihat Anda sebelumnya di desa ini...,”



Wanita itu tersenyum. Ia memejamkan matanya sejenak kemudian menatap Maya lagi. Entah kenapa Maya merasa pandangan wanita itu seakan tengah menyelidikinya, hendak menembus pikiran dan hati Maya, seolah-olah ia ingin tahu apa yang Maya pikirkan. Maya sedikit bergidik, pandangan wanita ini dalam, seolah ia bisa membaca semua yang Maya rasakan dan pikirkan.



“Kau benar, aku pendatang di sini. Aku baru saja datang kemarin dari kota, dan aku tinggal di penginapan Kousei di ujung sana,” kata wanita itu. “Kau tahu penginapan Kousei?”



Maya mengangguk. “Ya, saya tahu. Tidak banyak penginapan yang ada di sini. Ehmm, kamar Anda di mana? Nanti saya akan mengantarkannya, atau saya titipkan di resepsionis saja? Nama Anda siapa?” Maya kemudian tersadar akan sesuatu dan menutup mulutnya dengan beberapa jarinya. “Ah, eh.. maaf, saya terlalu banyak bertanya, ya?” wajah Maya merona dan ia meringis malu.



Lagi-lagi yang wanita itu lakukan hanyalah tersenyum. Ia berbalik menatap ke samping mereka, ke kejauhan, entah apa yang dilihatnya. Langit yang biru, sungai yang sedang mengalir, pepohonan dan rerumputan yang hijau, entahlah... “Tidak apa-apa, kau gadis yang ceria dan bersemangat. Itu bagus,” ia kembali menatap Maya. “Desa ini benar-benar desa yang indah, ya...,” lalu wanita itu kembali melihat ke kejauhan, seolah-olah banyak hal menarik yang tengah dilihatnya.



Maya terdiam sejenak, wanita di depannya ini sama sekali tidak menjawab pertanyaannya tadi, malah mengajukan sesuatu yang entah bisa dibilang pertanyaan atau pernyataan. Maya hanya tersenyum dan menjawab, sambil mengarahkan pandangannya mengikuti pandangan wanita itu. “Benar.. meski di desa ini mungkin tidak ada apa-apanya dibanding dengan kota yang Anda tinggali, tapi desa ini benar-benar indah. Udaranya sejuk dan bersih, masih cukup bebas dari asap dan gas kendaraan. Penduduknya baik, ramah, dan dapat saling bekerja sama,”



Maya mengarahkan pandangannya ke arah langit biru, lagi, dan lagi-lagi ia tersenyum. Syuuuuu... terdengar angin berhembus. Maya memejamkan matanya. Ia tersenyum tenang, melodi yang dihasilkan angin benar-benar lembut. Terdengar juga suara kicauan burung dari kejauhan, gerakan pepohonan dan rerumputan yang seperti menari. Maya mempertajam indera penciumannya, ia mencium aroma. Ah, iya... ada aromanya.. aroma rerumputan dan pepohonan, sungai, langit.. hmmm...



 Wanita yang ada di sebelahnya hanya mengamatinya sambil tersenyum misterius. Maya terus saja menikmati ‘aktivitas’ nya itu tanpa sadar bahwa ia terus diamati. Suasana hening cukup lama di antara mereka, sampai kemudian suara wanita itu memecah keheningan. “Apa yang sedang kau lakukan?”



Maya membuka matanya dan menatap wanita itu, “Merasakan alam..,”



“Merasakan alam?” dahi wanita di depannya sedikit mengernyit.



Maya mengangguk dengan wajah yang berseri, “Ung! Jika kita memejamkan mata dan mempertajam indera pendengaran kita, kita bisa mendengarkan suara alam. Suara burung, aliran sungai dan hembusan angin yang seperti orang yang sedang bernyanyi, bahkan gerakan pepohonan dan rerumputan yang tertiup angin, seperti orang yang sedang menari..,” Maya kembali memejamkan matanya, dan menaruh kedua tangannya di samping telinganya, seperti gerakan seseorang yang hendak mempertajam pendengerannya. “Hmm.. benar, ‘kan? Tidakkah Anda mendengarnya? Benar-benar melodi yang indah, dan gerakan mereka benar-benar seperti tarian yang indah...,”



Maya kembali sibuk dengan ‘aktivitas’ nya itu, dan ia seolah lupa diri. Maya seakan berada di dimensi yang berbeda dengan wanita yang ada di sebelahnya itu. Wanita itu mengeluarkan senyum misteriusnya lagi ketika ia melihat Maya yang tenggelam dalam kegiatannya merasakan alam tersebut. Gadis ini...



Sesaat hening lagi. Bagi orang normal, mungkin yang akan terasa hanyalah angin lembut yang berhembus dan sinar matahari yang mulai tinggi. Hari sudah semakin siang. “Lalu...,” wanita itu bersuara lagi. “Apa lagi yang kaurasakan dalam kegiatanmu hmmm.. merasakan alam?”



“Aroma...,” jawab Maya, pelan. Ia menghirup nafas dalam-dalam lalu membuka matanya. “Biasanya aku tidak menyadarinya, tapi karena Anda mengatakan desa ini benar-benar indah, maka aku mencoba untuk merasakannya, mendengarnya, dan mungkin kelihatannya aneh, mencium aromanya. Entahlah, terjadi begitu saja. Dan, ya, Anda benar,” Maya menatap wanita itu sambil tersenyum lebar. “Desa ini memang benar-benar indah,”



Maya melanjutkan kata-katanya lagi, “Aku tidak tahu jika aku bisa merasakan perasaan, mungkin bisa dibilang sensitif, ya seperti ini, karena yang kulakukan biasanya hanyalah melihat. Langit, sungai, bintang, matahari... ya, aku belum pernah mencoba mendengarkan dan mencium aromanya...,” Maya meringis pelan. “Ah, tidak. Dulu waktu aku masih kecil aku pernah mencobanya, tapi mungkin aku belum mengerti apa-apa dan yah... mungkin kedengarannya aneh, ya...,”



Terputar kembali memori masa kecil Maya secara samar. Maya tidak begitu mengingatnya, tapi tubuhnya ingat. Semua indera di tubuhnya ingat kalau ia pernah melakukan hal ini.



“Tidak.. tidak aneh,” wanita itu menjawab cepat dan tenang, lalu ia menatap Maya. “Aroma apa yang kau cium?”



“Hmmm.. Pagi ini, pagi yang hangat. Angin yang sejuk, langit yang biru, dan ya.. ada aromanya. Menenangkan,” jawab Maya, pelan. Wajahnya sedikit memerah, memangnya aku ini anjing apa bisa mencium aroma atau bau segala? “Maaf, mungkin bagi Anda aneh, lebih baik tidak usah dibahas,”



Sebenarnya Maya sedikit heran, ia bisa terlibat percakapan dengan wanita yang tidak dikenalnya ini, apalagi percakapan yang mereka lakukan membahas topik tidak biasa seperti ini. Menikmati alam? Bukankah topiknya cukup aneh? Bersama wanita ini, Maya melakukan hal-hal yang tidak biasanya, apa mungkin karena wanita ini mengatakan desa ini begitu indah sehingga Maya melakukan hal ini untuk membuktikannya? Entahlah. Wanita ini punya aura yang berbeda. Dan Maya merasa ia spontan saja melakukan hal yang dilakukannya barusan.



“Lalu.. kau mencium aroma apa dariku?”



“Eh?” Maya tersentak, ia tidak menyangka akan ditanya seperti itu. “A.. Aroma Anda?”



Wanita itu tertawa kecil, “Kalau kau berpikir dirimu aneh, bukankah diriku juga demikian karena bertanya hal-hal seperti ini padamu?” ia menatap Maya, tajam. “Nah, sekarang aroma apa yang kau rasakan atau kau cium dariku?”



Maya terdiam seperti merenung sejenak, kemudian ia berkata, “Aroma Anda... seperti pohon,”



“Pohon?” pandangan mata wanita itu menyelidik lagi, seakan tengah menyelidik isi pikiran Maya, sehingga Maya menjadi sedikit salah tingkah.



“I.. iya... seperti pohon yang tengah berbunga dengan indahnya, namun bisa juga menjadi pohon yang kering ketika bunga-bunga itu pergi ditiup angin,” Maya sedikit menunduk. “Maaf, karena Anda bertanya seperti itu, jadinya...,” Maya sendiri tidak mengerti, kenapa ia bisa menjadi seperti ini, apa karena pengaruh wanita di sampingnya?



“Tidak, tidak apa-apa. Kau sama sekali tidak berkata hal yang tidak sopan, tidak perlu merasa bersalah atau salah tingkah seperti itu,” jawabnya. “Hmmm.. jadi aku... seperti pohon, ya?” wanita itu tertawa kecil. Maya melihat wanita itu, ekspresi wanita itu sekarang terlihat berbeda dari yang tadi. Menyembunyikan sesuatu, tidak bisa dibaca. Wanita ini terlihat kuat, tapi juga rapuh. Entahlah, Maya merasakannya seperti itu.



“Teng! Teng!” terdengar suara bel masuk sekolah berbunyi dari kejauhan. Maya tersentak. “Celaka!! Aku telat!!” Maya segera berlari dan berbalik sedikit menghadap wanita di belakangnya, “Ah, maaf Nyonya, saya harus pergi dulu. Ng, sapu tangannya!” Maya bingung dengan sapu tangan yang ada di tangannya.



“Tidak apa-apa..,” wanita itu tersenyum tenang menatap Maya. “Kau simpan dulu saja.. karena aku yakin, pertemuan kita berikutnya tidak akan lama lagi..,”



“Eh?” Maya bingung dengan jawaban wanita itu. Namun suara bel yang berbunyi lagi membuatnya tersentak dan segera berbalik seraya berlari, “Ah, maaf! Saya permisi dulu! Saya janji, sapu tangannya akan segera saya kembalikan!”



Angin berhembus perlahan, tidak seirama dengan langkah kaki Maya yang semakin cepat. Tidak ada waktu menikmati alam lagi, dasar Maya bodoh! Apa yang kaulakukan!? Masa harus telat lagi, ‘sih hari ini? Maya sedikit menoleh ke  belakang, melihat wanita itu. Ia masih berdiri di tempatnya tadi. Angin berhembus sedikit kencang sekarang dan sekilas Maya melihat ada sesuatu seperti bekas luka cukup parah di wajah wanita itu yang tertutupi oleh sebagian poninya. Maya tersentak, namun ia memutuskan untuk tidak mempedulikannya dan terus saja berlari menuju sekolahnya.



Wanita itu menatap sosok belakang Maya, hingga Maya hilang dari pandangan, dan angin yang sempat berhembus kencang tadi kembali berhembus pelan. Wanita itu membetulkan posisi poninya yang tadi sempat “diterbangkan” angin dan memperlihatkan bekas lukanya. Kemudian ia teringat apa yang gadis yang baru saja ditemuinya dan berbicara dengannya itu lakukan. Merasakan alam, ya tepatnya berinteraksi dengan alam. Dan ia ingat ketika gadis tadi mengatakan aromanya seperti pohon. Sebuah senyum tersungging di bibir wanita itu. Lama-kelamaan senyum itu berubah menjadi tawa kecil dan semakin keras, hingga akhirnya wanita itu tertawa terbahak-bahak.



“Sepertinya baru saja terjadi hal yang menyenangkan, ya..,” sebuah suara pria yang berat dan serak menghentikan tawanya.



Wanita itu terdiam, lalu ia tersenyum dan sedikit menolehkan kepalanya ke belakang. “Wah, kejutan yang mengerikan. Gigih juga perjuanganmu, ya, mencariku. Cepat juga kau bisa sampai sini...”



“Tentu saja. Kaupikir aku siapa, tidak bisa menemukanmu?” pria itu tertawa. “Kau jelas tahu apa yang kuinginkan. Akhirnya aku menemukanmu juga, Mayuko Chigusa...,” seru pria itu.



“Entah aku bisa mengatakannya atau tidak, meskipun aku tidak suka untuk mengatakannya, tapi...,” wanita yang dipanggil Mayuko Chigusa itu memejamkan matanya sejenak, lalu tersenyum sinis dan berbalik, “Lama tidak bertemu dan selamat datang... Eisuke Hayami,”



Pria bertubuh gemuk dan pendek, serta berambut sedikit cepak namun tetap tertata tapi, yang tengah berdiri di depannya hanya tersenyum. Sedangkan Mayuko hanya bisa menatapnya dalam diam. Angin terus saja berhembus.



♪ ♪ ♪



“Karena adanya suatu reaksi kimia, maka semua zat bisa bereaksi dan berubah wujud. Pada percobaan yang tertera di buku, jika asam benzoat dipanaskan hingga 100˚C, zat padat akan langsung berubah menjadi zat gas. Kalau didinginkan lagi, akan kembali menjadi seperti semula, yaitu dari zat gas menjadi zat padat. Gejala ini bisa juga disebut sublimasi, seperti yang terjadi pada es kering. Berdasarkan jenis dan beratnya, sebuah zat menyimpan reaksi yang berbeda-beda,” Sora menjelaskan panjang lebar sambil berjalan memutari kelas dan membawa buku yang tengah dibaca dan dijelaskannya pada para murid di kelasnya. Lalu ia berhenti di dekat salah meja yang berada di dekat jendela.



“Bagaimana? Apa ada yang tidak dimengerti?” tanya Sora, berhenti menjelaskan. Buku yang dipegangnya sedikit diturunkan. Pandangannya sekarang berganti dari buku menuju murid-murid di kelasnya. Dan Sora menghela nafas pasrah karena yang ia dapatkan ialah pandangan memuja dari para siswi dan pandangan kesal dari para siswa karena melihat para siswi yang seperti itu. Astaga, murid-murid ini!



Sora berdeham pelan. “Sekali lagi saya tanyakan, apa ada yang tidak dimengerti?”



Suasana masih hening, lalu Sora menutup bukunya dan menghela nafas keras. “Baiklah, kalau tidak ada pertanyaan lagi, saya anggap kalian sudah mengerti. Dan saya harap, mulai sekarang, kalian memperhatikan penjelasan saya dengan sebaik-baiknya!” Sora memperkeras suaranya dan memberikan penekanan terhadap beberapa kata-katanya. Pandangannya tajam menatap seisi kelasnya, sehingga para siswi yang memandangnya memuja menjadi tersentak dan menunduk malu, serta para siswa memperhatikan Sora kembali sambil meringis.



Sora melihat situasi sudah kembali seperti semula dan berkata, “Bagus, ini yang saya harapkan dari tadi. Kalian semua sudah kelas tiga, sudah saatnya kalian benar-benar serius. Ini tahun terakhir kalian di SMA, dan kalian akan menempuh ujian akhir. Bukan hanya itu saja, tapi setelah lepas dari SMA ini, berarti satu langkah lagi menuju kedewasaan. Langkah yang sangat menentukan masa depan kalian, entah kalian mau langsung bekerja atau meneruskan ke jenjang lebih tinggi di kota sana,” Sora terdiam sejenak. “Kuharap kalian mengerti kalau itu semua bukanlah main-main. Tugas saya di sini sebagai guru kalian, saya bertanggung jawab terhadap kalian. Saya berharap kalian semua mau bekerja sama dengan saya hingga kalian bisa mendapatkan nilai yang baik, tentu saja. Apa kalian mengerti?”



Seisi kelas hanya terdiam dan beberapa ada yang menunduk dalam. Ada yang tampak malu dan menyesal, kemudian mereka menjawab pelan, “Mengerti, pak,”



“Bagus kalau kalian mengerti,” Sora menghela nafas pelan. Ia tidak bermaksud memarahi muridnya, ia hanya ingin tegas dan disiplin, karena tentu saja ia ingin yang terbaik untuk muridnya. Meski mungkin di mata muridnya Sora merupakan guru yang cukup menakutkan. “Ngomong-ngomong, beberapa kursi terlihat kosong. Di mana para penghuni kursi itu?” Sora mengedarkan pandangannya ke seisi kelas dan memang terlihat beberapa kursi terlihat kosong, padahal biasanya kelas itu penuh.



Seorang siswa menjawab, “Ah, itu Satomi dan yang lainnya, pak. Mereka sudah dari tadi pagi berlatih sepak bola untuk mempersiapkan diri dalam mengikuti kompetisi melawan sekolah-sekolah di desa ini ataupun desa yang lain, pak. Mereka bilang mungkin akan terlambat, tapi seharusnya tidak sampai jam pertama berakhir mereka bilang sudah akan masuk,”



“Oh,” jawab Sora pendek. Sudah kelas tiga seharusnya konsentrasi belajar, bukannya malah memikirkan kompetisi seperti itu. Sora menghela nafas, mau bagaimana lagi, meskipun hanya di desa, gengsi tetaplah gengsi, kebanggaan untuk suatu kemenangan pasti tetaplah ada. Apalagi tim sepak bola dari sekolah ini cukup kuat dan selalu menjadi juara, atau setidaknya mendapatkan posisi ketika menghadapi kompetisi antar sekolah di desa-desa daerah Hokkaido ini. Sekolah tentu saja tidak mau kehilangan prestasi itu. Pemain utama kebanyakan sudah kelas tiga sekarang, dan mau tidak mau mereka harus ‘mengorbankan’ waktu belajar mereka demi mempertahankan prestasi dan kebanggaan sekolah. ‘Toh begitu lulus juga kebanyakan akan bekerja di desa membantu ayah-ibunya, jarang yang melanjutkan ke universitas di kota. Yang sedikit pintar bisa langsung bekerja menjadi guru, seperti Sora. Sora sebenarnya tidak setuju dengan cara berpikir seperti itu, mudah sekali menyerah pasrah!



Tapi Sora juga tidak bisa banyak bicara, ‘toh kenyataannya dirinya juga tidak menuntut pendidikan hingga ke jenjang tertinggi, yaitu universitas. Sora ‘berakhir’ sebagai seorang guru di desa. Namun Sora memiliki alasannya sendiri, ya, karena alasan itu. Sora tertawa sinis, apa gunanya juga ia menceritakan alasan itu? Akankah mereka peduli? Bukankah malah akan terlihat dan terdengar konyol serta terkesan hanya membela diri? Tidak ada gunanya! Yang terpenting Sora melaksanakan tugasnya sekarang sebagai guru, dengan sebaik-baiknya. Membuat murid-muridnya mendapatkan nilai baik di ujian akhir dan tidak ada murid yang harus mengulang sehingga mereka tidak akan merasakan penyesalan.



Sora membetulkan posisi kacamatanya. Ia memang memakai kacamata jika sedang membaca buku atau mengajar seperti ini. Kemudian, Sora melihat ke arah jendela dan melihat Maya yang berlari-lari keliling lapangan. Matanya sedikit melotot dan dahinya mengernyit. Apa? Apa dia sedang dihukum? Apa mungkin dihukum karena terlambat? Tapi kalau memang ia terlambat, mana mungkin! Bukankah seharusnya dia bangun lebih pagi hari ini? Bagaimana bisa?



“Benar-benar, ckckck..,” keluh Sora dalam hati. Lalu Sora kembali menatap seisi kelasnya, beberapa di antara mereka menatap Sora dengan heran, karena Sora diam saja dari tadi dan sekilas menampilkan ekspresi seperti terkejut melihat sesuatu. Sora merutuk dirinya sendiri, bukan saatnya melamun memikirkan hal lain sekarang!



“Baiklah, kita lanjutkan lagi pelajarannya. Sekarang buka buku kalian halaman 56..,”



♪ ♪ ♪



“Aduhhhh capekkkkkk...,” Maya berhenti dan memegang kedua lututnya agar tubuhnya yang hampir limbung karena kelelahan tetap bisa bertumpu dan bertahan. Nafasnya terputus-putus. “Dasar guru gila! Dia mau membunuhku apa, menyuruhku lari keliling lapangan 20 kali!? Padahal kesalahanku ‘kan kecil, cuma terlambat saja ‘kok!” gerutu Maya sambil mengelap keringat di dahinya dengan punggung tangannya. Ya, memang sudah beberapa kali ‘sih terlambatnya, tepatnya hampir setiap hari. Gerutu Maya dalam hati. Tapi ‘kan masa karena itu guru pengawas kedisiplinan itu jadi menghukumku setega ini, ‘sih!?



“Haizzzz keringatan banyak begini lagi,” Maya segera merogoh saku roknya mengeluarkan sesuatu untuk mengelap keringatnya. Sapu tangan. Maya menatap sapu tangan putih yang sudah sedikit kotor karena tadi dipakainya untuk mengelap lukanya. Sapu tangan yang dipinjamkan oleh wanita misterius tadi.



Maya menghela nafas panjang. Hari ini saja aku memakaimu, setelah ini akan kucuci hingga bersih dan kukembalikan pada pemilikmu. Aku tidak mau berhutang. Maya mengelap keringatnya dengan sapu tangan itu dan menatap ke langit. Sinar matahari sudah semakin tinggi, hawa panas sudah mulai terasa. Untung saja dihukumnya tidak waktu siang hari, bisa-bisa Maya sudah pingsan duluan sebelum menyelesaikan hukumannya. Langit biru yang masih sama seperti dengan yang dilihatnya tadi pagi, membuat perasaan Maya menjadi sedikit lebih tenang.



Maya melanjutkan kembali mengelap keringatnya ketika tiba-tiba ia merasa ada sebuah bola bergulir ke arahnya. Bola itu berhenti di dekat kakinya. Maya melihat bola itu dan mengambilnya, serta memutar-mutarnya. Di bola itu terdapat inisial nama, ‘S.S’.



“Maaf, itu bolaku,” suara itu membuat pandangan Maya beralih dari bola ke sumber suara yang saat ini berdiri di dekatnya.



Maya melihatnya. Sosok remaja laki-laki, tinggi dan bisa dibilang... tampan. Sorot matanya tegas tapi juga lembut. Rambutnya kecoklatan agak panjang seperti model rambut pendek wanita, tapi tetap tertata rapi dan hal itu sama sekali tidak menimbulkan kesan feminin darinya. Ia terlihat memakai kaos seperti kaos olahraga, yang dikenali Maya sebagai kaos tim sepak bola sekolah ini. Kaosnya terlihat sedikit basah karena keringat. Apa dia pemain sepak bola sekolah ini? Tapi melihat bola yang dipegang Maya sekarang, bola sepak, memang sepertinya begitu.



“Maaf, itu bolaku. Bisakah kau kembalikan?” tanya laki-laki itu lagi.



“Ah!” Maya tersentak dari lamunannya. “Maaf,” Maya melemparkan bola itu ke laki-laki tersebut. Laki-laki itu menangkap bola dari Maya, “Lemparan bagus!” ia tersenyum menatap Maya, yang dimana Maya yakin senyuman itu membuatnya merasakan suatu desiran lembut di dadanya.



Maya hanya tersenyum kecil. Desiran ini, debaran ini berbeda dengan yang dirasakannya terhadap Sora. Senyuman lelaki di depannya ini cerah dan terkesan ceria, berbeda dengan senyuman Sora yang lembut namun terkesan misterius. Maya merasa belum pernah melihatnya di sekolah selama ini. Maklum, mungkin karena Maya juga baru anak kelas 1 dan masa-masa SMA nya juga belum terlalu lama dimulai.



“Terima kasih,” katanya lagi. Maya hanya mengangguk pelan lalu berbalik dan kembali mengelap keringatnya. Kemudian ia memasukkan sapu tangan itu lagi ke dalam roknya. Maya menyadari lelaki di dekatnya ini masih terus memandangnya. Maya sedikit jengah dilihat terus seperti itu. Lelaki itu seakan tengah mengamatinya dari atas ke bawah untuk menilai penampilannya. Kemudian, ia berbalik hendak mengatakan sesuatu tepat ketika lelaki berinisial ‘S.S’ itu berkata, “Kau baik-baik saja?”



“Apa?” tanya Maya, bingung. “Kau bertanya padaku?”



“Ya, iyalah. Tentu saja. Memang kau pikir di sini ada siapa lagi selain kita?” lelaki itu tertawa.



“Oh..,” Maya meringis. Memang di lapangan yang luas ini yang sekarang terlihat hanyalah mereka berdua. “Maksudku, kau tadi bertanya apakah aku baik-baik saja, iya, ‘kan? Aku tidak mengerti, kenapa kau bertanya begitu padaku?”



Lelaki itu tersenyum. “Sebenarnya sudah dari tadi aku mengamatimu, melihatmu yang berlari-lari keliling lapangan sambil terus menggerutu dan mengomel, benar-benar lucu,” lelaki itu tertawa. Wajah Maya merona, entah malu karena ia dilihat ketika sedang berlari mengenaskan, atau tersipu karena laki-laki ini mengatakan bahwa ia sudah mengamati Maya dari tadi. “Lagipula kau terlihat lelah sekali dan hampir berulang kali limbung, tampangmu seperti orang sakit, sekarat tepatnya. Makanya aku bertanya, apa kau baik-baik saja?”



Baik-baik saja apanya, kalau kau tahu tampangku sudah seperti orang sekarat kenapa kau masih bertanya? Gerutu Maya dalam hati.



Belum sempat Maya menjawab pertanyaannya, lelaki itu sudah bekata lagi, “Lalu...,” lelaki itu menarik tangan kiri Maya, Maya terkejut. “A.. apa?” Maya tergagap.



“Ini..,” laki-laki itu tersenyum dan menunjukkan luka di telapak tangan kiri Maya akibat terjatuh diserempet sepeda tadi. “Telapak tanganmu terluka begini, apa ini juga baik-baik saja? Meski kelihatannya sudah dibersihkan dengan tisu atau sapu tangan tapi tetap saja harus dibersihkan dan diobati,” katanya lembut.



Maya diam, tertegun. Aroma laki-laki ini, ia seperti rerumputan dan dedaunan yang tumbuh dengan segar... Terkesan ceria seperti rerumputan dan dedaunan yang menari mengikuti angin, dan juga lembut..



“SATOMI!” teriak seorang lelaki berambut cepak jauh di belakang mereka, membuat Maya dan lelaki yang dipanggil Satomi itu menoleh ke arah sumber suara yang berada di pinggir lapangan. “Apa yang kau lakukan di situ? Ayo cepat ganti bajumu dengan seragam dan kita cepat masuk, jam pertama hampir berakhir! Bisa-bisa nanti kita dimarahi pak guru karena dikira membolos! Kita ‘kan izin hanya sampai sebelum jam pertama berakhir!” lanjutnya lagi.



Oh, jadi salah satu kepanjangan inisial S dari S.S itu Satomi rupanya, pikir Maya.



“Iya, Takeshi! Sebentar lagi! Bilang saja aku mau ke ruang kesehatan dulu mengobati anak ini!” jawab Satomi.



Eh? Maya menatap Satomi. Apa? Mengobati anak ini... maksudnya.. aku!?



“Hmm, baiklah! Jangan lama-lama, ya, Satomi! Kalau dimarahi aku tidak tanggung, lho! Kau ‘kan tahu guru yang satu itu mengerikan!” kata Takeshi.



Satomi tertawa, “Iya, iya, tenang saja! Bilang saja pada pak guru aku memperpanjang izinku beberapa menit, aku akan segera kembali!”



“Dasar, menyusahkan saja! Pokoknya aku tidak mau jadi ikut dimarahi!” gerutu Takeshi. “Baiklah, aku duluan, ya!” kata Takeshi sambil melambai dan berlalu.



Satomi tertawa, “Tidak akan, tenang saja! Terima kasih, Takeshi!”



Maya terdiam. Tangan kirinya masih dipegang terus oleh lelaki yang bernama Satomi ini. Ia belum pernah merasa sedekat ini dengan seorang pria, kecuali Sora. Apalagi saat ini tangannya terus berada dalam genggaman Satomi, seorang lelaki yang baru saja ditemuinya. Maya merasa ini tidak benar, ia seharusnya tidak membiarkan dirinya seperti ini.



“Ma.. maaf..,” Maya perlahan melepaskan tangannya dari genggaman Satomi, membuat Satomi menoleh ke arahnya. “Kau.. tidak usah mengantarku ke ruang kesehatan, aku baik-baik saja, ‘kok,”



“Kau yakin? Kau baru saja dimarahi oleh guru pengawas kedisiplinan, dihukum lari keliling lapangan 20 kali, itu bukan hukuman yang ringan tahu? Dan kau sudah seperti mau pingsan sekarang, belum lagi tanganmu terluka seperti ini...,”



Ternyata dia juga melihatku dimarahi habis-habisan tadi di depan gerbang depan sekolah, wajah Maya memerah karena malu. Kenapa lelaki ini bisa melihat kronologis kesialannya pagi ini dengan begitu lengkap, ‘sih?



“Aku tidak bermaksud melihat atau mengamatimu, ‘kok. Hanya saja aku juga latihan bersama tim ku dari tadi pagi dan ketika kami selesai latihan, saat itulah, yah...,”



“Oh..,” Maya menanggapi pendek. Tetap saja kau melihatku dalam kondisi memalukan, gerutu Maya. “Aku.. baik-baik saja, ‘kok. Sekarang, aku sudah mau ke kelas,” Maya hendak berjalan melewati Satomi ketika ia merasa lututnya lemas dan ia hampir limbung jatuh. Satomi segera menahan tubuh Maya yang hampir jatuh.



“’Tuh, ‘kan, apa kubilang barusan? Lebih baik kau ke ruang kesehatan dan beristirahat dulu sekarang, sekaligus mengobati lukamu!”



“Aku baik-baik saja, ‘kok!” Maya ngotot, berusaha melepaskan diri dari Satomi, namun Satomi tetap menahan tubuh Maya agar tidak lepas darinya. Maya tidak bisa melawan, ia merasa terlalu lelah dan tidak punya tenaga untuk melawan.



“Sudahlah, lebih baik kau turuti seniormu ini! Kau anak baru, ‘kan? Aku yakin karena aku belum pernah melihatmu selama ini. Sekarang, lebih baik kita ke ruang kesehatan sebelum kau benar-benar pingsan di sini karena aku bahkan sudah meminta izin lebih panjang untuk masuk ke kelas untuk mengantarmu ke ruang kesehatan!”



Aku ‘kan tidak menyuruhmu meminta izin untuk membawaku ke ruang kesehatan! gerutu Maya dalam hati. “Lepaskan aku, aku baik-baik saja,” ujar Maya, pelan.



Satomi tidak menggubrisnya dan ia terus saja memapah tubuh Maya, berjalan meninggalkan lapangan. “Lebih baik kau turuti aku sekarang. Hilangkan semua ego dan gengsimu dan lebih baik kau pikirkan kondisimu saja!”



Maya hanya terdiam dan tidak melawan lagi. Ia merasa percuma untuk melawan lelaki yang ada di sampingnya ini, dan meskipun Maya melawanpun, dengan tenaganya yang sekarang, ia tahu ia akan kalah. Lagipula sebenarnya lelaki yang tengah memapahnya ini, Maya tahu, sama sekali tidak punya maksud jahat, hanya bermaksud menolongnya. Ia baik, juga lembut. Benar, ia lembut seperti gerakan rerumputan dan dedaunan yang lembut ditiup angin...



♪ ♪ ♪



“Permisi, pak. Maaf kami terlambat masuk,” ujar Takeshi masuk kelas diikuti dengan beberapa temannya yang juga merupakan pemain dari tim sepak bola sekolah mereka. Mereka segera menuju ke tempat duduknya masing-masing.



Sora hanya mengangguk sekilas melihat mereka, sebelum ia menyadari sesuatu. Salah satu kursi masih kosong dan ia sadar siapa yang tidak ada, “Dimana Satomi? Bukankah dia juga ikut latihan bersama kalian?”



“Ah,” Takeshi yang hendak duduk tersadar. “Satomi bilang tadi dia minta izin sebentar lagi, pak. Dia bilang ingin mengantar seseorang ke ruang kesehatan,” jawab Takeshi.



“Seseorang? Siapa? Pemain tim sepak bola dari kelas lain? Apa dia terluka? Tidak sedang mencari alasan untuk bolos, ‘kan?” tanya Sora tajam dan bertubi-tubi.



Takeshi yang mendapatkan ‘serangan mendadak’ seperti itu terlihat salah tingkah, “Ti.. tidak, ‘kok, pak. Benar. Satomi bilang dia akan segera kembali. La... Lagipula...,”



“Lagipula apa?” potong Sora, tajam.



“La.. lagipula,” Takeshi menelan ludahnya sejenak. Kenapa guru ini menakutkan sekali, ‘sih? Kenapa dia harus banyak bertanya? “Yang terluka bukan pemain sepak bola, pak. Sepertinya seorang gadis,”



“Seorang gadis? Apa temanmu itu bermaksud kabur dari pelajaranku untuk berpacaran dengan seorang gadis?” dahi Sora mengernyit, ia kelihatan tidak suka. “Pelajaranku bukan untuk main-main. Kalau kalian memang tidak suka bilang saja, tidak usah ikut pelajaran ini,” seisi kelas terdiam. Suasana hening. Mereka semua tidak berani memandang Sora yang tengah memasang pandangan tajam. Mempesona sebenarnya, tapi terlihat juga seperti ingin membunuh. Takeshi merasa ia benar-benar hendak dimangsa oleh ‘macan’ yang ada di depannya. Padahal sebenarnya yang dimarahi Satomi, bukan dirinya. Tapi tetap saja ia merasa ia yang kena getahnya. Satomi, awas kau! Gara-gara kau aku yang jadi kena getahnya! gerutu Takeshi dalam hati.



“Bu.. bukan, pak,” jawab Takeshi akhirnya, setelah keheningan yang cukup panjang. “Ga.. gadis itu, sepertinya anak kelas satu yang sedang dihukum karena terlambat, pak. Tadi saya sempat melihat gadis itu dihukum lari keliling lapangan, cukup lama. Mungkin gadis itu terluka dan Satomi bermaksud menolongnya,” lanjut Takeshi pelan sambil memandang Sora takut.



“Seorang gadis yang sedang dihukum lari keliling lapangan?” dahi Sora mengernyit lagi. Sora tersentak. Apa mungkin...? “Apa gadis itu.. terluka?” tanya Sora, pelan. Dadanya berdebar kencang, takut.



Sekarang gantian Takeshi yang memandang Sora, heran. Entah kenapa gurunya ini terkesan tidak segalak yang tadi, di matanya sekilas terlihat ekpresi takut dan khawatir. “Ng, saya juga kurang tahu, pak. Mungkin saja, soalnya Satomi sampai ingin membawanya ke ruang kesehatan,”



Sora langsung memasang ekspresi dingin lagi, yang langsung membuat Takeshi kembali menunduk takut. Apa ekspresi pak guru yang terlihat khawatir itu hanya perasaanku saja?



“Baiklah,” Sora berkata akhirnya. “Aku akan mengecek kebenaran kata-katamu itu. Kau boleh duduk, dan sekarang kalian kerjakan latihan halaman 60 nomor 1  dan 2. Kuharap ketika aku kembali kalian semua sudah siap dengan jawabannya. Tetap jaga keheningan, jangan sampai aku mendapatkan laporan ada yang membuat kegaduhan di kelas ini,” kata Sora tegas. Ia memandang tajam seisi kelas, sebelum ia keluar kelas.



Ketika Sora keluar dari kelas, seisi kelas langsung menghela nafas lega. Takeshi langsung duduk dan mengipas-ngipasi dirinya, seolah ia baru saja keluar dari ruangan yang sangat panas.



“Fiuhhh.. aku kira aku bakal mati tadi. Rasanya umurku berkurang beberapa tahun,”



Seorang gadis berkuncir kuda yang duduk di depan Takeshi menoleh ke belakang menghadap Takeshi, “Tapi tetap saja, ‘kan.... dia tampan dan mempesona,”



Takeshi menatap gadis itu tidak percaya. Ia tertawa mengejek, “Hahaha, ya, silakan saja kau merasakan tatapan membunuh dari pria yang tampan dan mempesona itu dan kujamin kau tidak akan mengatakan hal itu lagi,”



Gadis itu mencibir, “Kurasa tidak, mungkin malah aku akan meleleh ditatap seperti itu, ahhhh...,” gadis itu menerawang membayangkan, membuat Takeshi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Tiba-tiba sekelompok gadis menyerbu meja Takeshi yang membuat Takeshi terkejut, “Haizzz kalian ini, untung saja aku tidak jatuh!” gerutu Takeshi pada sekelompok gadis itu.



Namun gadis-gadis itu tidak menggubris gerutuan Takeshi dan hanya berkata, “Benarkah Satomi mengantar seorang gadis? Siapa gadis itu?”



“Ah, aku tidak percaya! Aku benar-benar iri pada gadis itu!”



“Apa gadis itu pura-pura terluka agar mendapatkan perhatian Satomi?”



“Benarkah, kalau begitu, gadis itu benar-benar licik dan perlu kita beri pelajaran! Takeshi, katakan pada kami siapa gadis itu!”



“Apa kita perlu menyusul ke ruang kesehatan? Ah, tapi pak Sora sudah ke sana bisa-bisa kita malah dimarahi!”



“Beruntungnya gadis itu.. dia akan dikelilingi oleh dua cowok tampan, pak Sora dan Satomi sekaligus...,”



Takeshi hanya menatap gerutuan dan celotehan tidak jelas dari para gadis di depannya dengan mulut menganga dan tidak percaya. Sora dan Satomi benar-benar menjadi idola di kelas, ah tidak, di sekolah ini. Sora yang dingin serta Satomi yang lembut, begitulah kesan dari para gadis di sekolah ini. Sifat mereka berdua yang bertolak belakang justru menjadi daya tarik tersendiri, bahkan di sekolah ini terdengar kabar kalau para gadis hendak membentuk perkumpulan ‘Duo-S Fans Club’, dimana Duo-S yang dimaksud adalah Sora dan Satomi.



Takeshi menatap ke seisi kelas. Para siswi ribut sedangkan para siswa berusaha tidak mempedulikan celotehan dari para siswi yang mereka anggap berisik, cerewet, dan menyebalkan. Mereka lebih memilih mengerjakan soal yang diperintahkan Sora untuk dikerjakan jika mereka masih memilih untuk ‘selamat’ dari Sora. Sora bisa baik, meskipun itu kejadian yang sangat langkah dan hampir tidak pernah terjadi. Kalau Sora sudah sedikit galak, uh! Amit-amit, ‘deh! Membuat suasana seperti di neraka! Beginilah suasana kelas jika ada Sora masuk mengajar di kelas.



Entah kenapa Sora yang seperti itu malah bisa menjadi idola di sekolah ini, mungkin karena sikap dingin dan kejamnya itulah yang membuatnya terkesan misterius. Apalagi wajahnya yang juga tampan. Takeshi memutuskan untuk ikut tidak mempedulikan para gadis yang ribut di dekatnya dan mulai membuka buku tulis dan buku paketnya. Takeshi menumpukan dagunya di atas tangannya.  Ia menggerutu. Aku bisa gila! Benar-benar.. tidak dapat dipercaya!



♪ ♪ ♪



Bel jam pertama selesai berbunyi. Sora berlari menyusuri lorong sekolah. Dadanya berdebar kencang, ia merasa cemas dan khawatir. Apa mungkin gadis itu Maya? Apa mungkin Maya terluka? Entah kenapa Sora benar-benar merasa takut sesuatu yang buruk terjadi dengan Maya. Jangan berlebihan, Sora! Mungkin Maya hanya terluka kecil saja! Sora berusaha berpikiran positif dan meyakinkan dirinya sendiri, namun tetap saja kepanikan itu tidak bisa hilang. Sora semakin mendekati ruang kesehatan ketika dari kejauhan, Sora melihat ada dua sosok mendekat. Semakin lama dua sosok itu terlihat jelas. Sora menghentikan larinya, nafasnya sedikit terengah dan sedikit keringat mengucur dari dahinya. Kerah kemejanya terlihat sedikit berantakan.



Sora bisa melihat dua sosok itu sekarang, semakin jelas. Seorang lelaki tengah memapah seorang gadis mungil. Sora tahu gadis mungil itu, Maya. Dan lelaki di sebelahnya, Sora yakin itu Satomi. Sora hanya terdiam menatap mereka yang berjalan semakin mendekati Sora yang sudah berdiri di dekat pintu ruang kesehatan. Awalnya Maya dan Satomi tidak menyadari keberadaan Sora, karena Maya berjalan sambil menunduk, ia terus menumpu tubuhnya agar tetap dapat berjalan dengan benar. Sedangkan Satomi berjalan sambil berulang kali menatap Maya yang jauh lebih pendek darinya, memastikan apakah ia memapah Maya dengan benar, agar Maya tidak terjatuh.



Sora melihat mereka dan mengeratkan kepalan tangannya yang terjatuh di samping tubuhnya. Ia merasa kesal, mengapa bukan dirinya yang menolong Maya di saat Maya seperti ini, mengapa harus lelaki lain, mengapa harus Satomi!? Sora tidak tahu ia bisa merasakan perasaan kesal seperti ini, ia kesal, marah dan... ia tahu perasaan ini. Cemburu.



“Sabar, ya, sebentar lagi sampai ke ruang kesehatan,” kata Satomi, lembut.



Maya hanya meringis sambil terus berjalan. Ternyata kakinya sakit juga setelah lari keliling lapangan 20 kali. Untung saja Satomi memaksanya ke ruang kesehatan untuk beristirahat dulu, jika tidak Maya tidak yakin dengan kondisi begini ia akan bisa sampai ke kelas, naik tangga saja sudah susah. Maya berjalan pelan sambil sedikit mengangkat kepalanya, dan ketika ia menangkap sosok di depannya ia tertegun dan berhenti berjalan. Satomi heran dengan Maya yang tiba-tiba berhenti berjalan dan mengikuti arah pandangan Maya.



“Pak Sora..,” gumam Satomi, pelan.



Sora terus saja menatap mereka dengan pandangan yang tak terbaca. Ia menatap Maya, cemas. Kemudian Sora kembali memasang ekspresi dingin seperti yang dipasangnya ketika di kelas tadi ketika menatap Satomi,



“Kembali ke kelasmu sekarang, Satomi..,”



Dahi Satomi sedikit mengernyit. “Tapi, pak, gadis ini terluka dan sedang butuh istirahat, jadi saya...,”



“Apakah kata-kataku kurang jelas, Satomi? Segera ganti seragammu dan kembali ke kelasmu sekarang! Tanyakan pada teman-temanmu latihan apa yang harus kau kerjakan, dan kuharap setelah aku kembali kau sudah mengerjakannya,” ujar Sora, dingin.



Satomi menatap Sora, terlihat sedikit tidak suka. “Tapi, pak, bagaimana dengan...,”



Sora memotong kata-kata Satomi, “Bagaimana dengan gadis ini? Ia akan menjadi urusanku. Tidak baik pada jam pelajaran begini seorang murid berkeliaran dan bukannya berada di kelas. Bukankah kau izin hanya sampai sebelum jam pertama berakhir? Sekarang jam pertama sudah usai. Pelajaranku masih ada satu jam pelajaran lagi dan lebih baik kau memanfaatkannya dengan baik. Sudah cukup peran pahlawanmu sampai di sini. Aku sebagai guru yang akan bertanggung jawab akan nasib siswi ini, kau tidak usah khawatir dan segera kembali ke kelas, sekarang juga!”



Suasana hening, dan Maya merasakannya, sedikit tegang. Sora menatap Satomi dingin, dan Satomi balas menatapnya dengan pandangan tidak suka juga... menantang. Maya merasa tidak enak, ia tidak ingin berada dalam situasi seperti ini. Kemudian Maya berkata pada Satomi, “Pak guru Sora benar, sebaiknya kau kembali ke kelas sekarang agar tidak ketinggalan terlalu banyak pelajaran,”



“Tapi, bagaimana denganmu?” Satomi menoleh menatap Maya, protes. Dia enggan meninggalkan Maya dalam kondisi begini, bagaimanapun tadi dialah yang memaksa membawa Maya ke ruang kesehatan dan Satomi merasa ia harus bertanggung jawab akan kata-katanya.



“Apa kata-kataku tadi tidak jelas, Satomi?” seru suara Sora, dingin. “Sudah kukatakan aku yang akan bertanggung jawab, tenang saja. Lebih baik kau kembali ke kelasmu sekarang,”



Satomi menatap guru di depannya tajam. Maya menghela nafas melihat kedua pria di dekatnya ini.



“Sudahlah, aku tidak apa-apa. Pak guru Sora bilang beliau bisa menanganiku, tenang saja. Lagipula ruang kesehatan juga sudah di depan mata, kau tidak perlu khawatir, ada guru kesehatan juga di dalamnya,” Maya menatap Satomi untuk meyakinkannya.



“Kau... yakin?” tanya Satomi sekali lagi. Maya mengangguk. Satomi akhirnya menghela nafas dan melepaskan dirinya dari Maya. Maya berdiri dengan sedikit tertatih tapi ia berusaha bertahan untuk meyakinkan Satomi bahwa dirinya baik-baik saja.



Satomi menatap Maya sejenak, ia masih terlihat khawatir. Tapi Maya memberikannya pandangan ‘pergilah, aku baik-baik saja’.



“Cepat sembuh, ya. Semoga kau baik-baik saja,” ujar Satomi pada Maya. Maya mengangguk.



Akhirnya Satomi berjalan meninggalkan Maya dan melewati Sora, “Saya permisi, pak,” ujar Satomi dingin, persis ketika ia berdiri di sebelah Sora, dan segera berlalu. Sora terdiam tanpa ekspresi, tidak menjawab.



Ketika yakin Satomi benar-benar sudah berlalu dan hilang dari pandangan, Maya menghela nafas panjang dan seketika kakinya menjadi lemas lagi. Maya mencoba kembali berjalan namun ia limbung. Sora yang melihatnya terkejut dan segera menuju ke arah Maya untuk menahan tubuhnya, “Mungil!”



“Sudah, lepaskan tanganmu! Aku baik-baik saja!”



“Yang begini kau sebut baik-baik saja? Lihat wajahmu pucat dan kakimu lemas begini!” gerutu Sora.



Maya melepaskan diri dari Sora, “Hei, pak guru, kau tahu, ‘kan, ini sedang jam pelajaran? Jangan berteriak menarik perhatian, bisa-bisa semua keluar dari kelas, tahu? Apa kau mau mereka menduga yang tidak-tidak melihat posisi kita yang seperti ini? Lebih baik kau juga kembali mengajar dan aku kembali ke kelas! Bukankah tadi kau bilang pada jam pelajaran ini para murid sebaiknya jangan berkeliaran?” Maya berusaha kembali berjalan. “Aku kembali ke kelas dulu,”



Sora menatap Maya gemas, juga kesal. Aku berkata seperti tadi karena ada alasannya, tahu! Melihat Maya berjalan tertatih-tatih membuat Sora tertawa mengejek, kemudian ia segera menarik tangan kiri Maya, dan menariknya menuju ruang kesehatan.



“Auwww!” teriak Maya.



Mendengar Maya berteriak kesakitan, langkah Sora terhenti ketika ia hendak membuka pintu ruang kesehatan. Ia menatap tangan Maya yang ada di genggamannya. Di telapak tangannya terlihat ada luka. Sora menatap Maya dengan dahi mengernyit.



“A.. aku tidak apa-apa, ‘kok,” kata Maya, cepat.



Sora menatap Maya tajam lalu menghela nafas dan kembali berbalik membuka pintu ruang kesehatan. Ia merangkul tubuh Maya untuk memapahnya masuk. “Kalau kau memang tidak ingin aku berteriak dan membuat kegaduhanyang menarik perhatian, lebih baik kau menurut padaku, mungil, untuk mengistirahatkan kakimu dan mengobati luka di tanganmu. Dan... aku harap kau bisa menjelaskan kepadaku kenapa kau bisa mendapatkan luka ini,”



Maya hanya pasrah ‘digiring’ Sora masuk ke ruang kesehatan. Ketika ia mendengar Sora mewajibkannya untuk mengatakan alasan mengapa ia bisa terluka, Maya seketika menjadi takut dan cemas. Kalau aku bilang, dia pasti marah padaku... Bagaimana ini? Maya hanya bisa berdoa dalam hati agar Sora tidak terlalu marah padanya. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk menuruti Sora kali ini karena ia tahu ketika Sora mendengar alasannya, ia pasti akan marah lagi, seperti kemarin.



♪ ♪ ♪



Satomi menutup lokernya di ruang ganti. Ia sudah memakai seragamnya kembali sekarang. Satomi duduk di bangku panjang dekat loker. Di otaknya, ia masih mengingat kejadian tadi. Satomi tahu jika Sora merupakan guru yang tegas, disiplin, dan dingin. Satomi sendiri mengaku ia tidak terlalu menyukainya. Tapi tadi... aneh. Entah kenapa Sora memandangnya dengan tatapan yang tidak pernah dilihatnya di kelas. Wajahnya tanpa ekspresi dan dingin, itu biasa, tapi tadi Satomi merasakan Sora seakan seperti hendak menantangnya.



Entahlah, Sora terlihat seperti tidak suka melihat Satomi. Pandangan itu dirasakan Satomi bukan seperti pandangan dingin dari guru ke muridnya yang dianggap tidak bertanggung jawab menjalankan kewajibannya sebagai pelajar dengan meninggalkan ruang kelas dan malah terlihat berkeliaran di lorong sekolah dengan memapah seorang gadis, tapi lebih seperti pandangan kesal dan tidak suka dari seorang pria melihat ada orang lain yang berada di samping gadisnya, kekasihnya. Pandangan cemburu. Apalagi tadi Sora juga terlihat sedikit khawatir melihat kondisi gadis yang dipapah Satomi. Satomi juga tadi sempat melihat kerah kemeja Sora terlihat berantakan dan ada sedikit keringat mengucur dari dahinya, nafasnya juga sedikit terengah meskipun itu semua nyaris bisa ditutupi dengan ekspresi dingin yang kembali ditunjukannya. Semua itu menunjukkan Sora seperti habis berlari. Tidak biasanya, karena Sora dikenal dengan pembawaannya yang tenang.



Satomi tersentak. Mungkinkah? Tidak mungkin. Tapi, kalau itu benar, apa hubungan antara gadis itu dan pak Sora? Apakah mungkin, Sora, guru yang terkenal dingin itu...? Satomi mengenyahkan pikiran itu, tidak baik berasumsi sekarang. Untuk apa ia memikirkannya? Kalau memang itu benar, seharusnya sudah ada gosip yang tersebar dan para gadis di sekolah ini pasti akan meributkannya. Maklum, Sora ialah idola di sekolah ini. Mungkin Satomi hanya terbawa perasaan kesal dan tidak sukanya pada guru yang menurutnya sudah seenaknya tadi padanya, makanya ia jadi berpikir aneh-aneh dan berlebihan. Ya, pasti seperti itu.



“Siapa juga yang berniat jadi pahlawan? Maksudku ‘kan hanya untuk menolongnya saja,” gerutu Satomi mengingat kata-kata Sora yang mengatakan ‘Sudah cukup peran pahlawanmu sampai di sini’. Satomi berdiri sambil terus memikirkan kemungkinan itu. “Hentikan, Satomi. Jangan berpikir yang aneh-aneh,” Satomi mendesah pelan dan keluar dari ruang ganti.



♪ ♪ ♪



Maya duduk diam di ruang kesehatan. Ia melihat Sora mencari barang di lemari yang tersusun atas rak alat dan obat ruang kesehatan. Sora terlihat sudah melepas kaca matanya, dan kaca mata itu ia taruh di saku kemejanya.



“Guru kesehatan sedang tidak ada di tempat, jadi aku yang akan mengobati lukamu dulu, ya,” kata Sora sambil mengambil cairan pembersih luka.



Maya hanya terdiam menunduk. Sora yang tidak mendengar jawaban Maya menoleh menghadap Maya. “Kau kenapa, mungil? Kenapa diam? Apa kau terlalu lelah sampai-sampai tidak bisa menjawab? Kalau memang begitu, sebaiknya kau tiduran dulu di tempat tidur,” kata Sora, terlihat cemas.



Maya menggeleng cepat. “Ti.. tidak, ‘kok. Aku baik-baik saja. A.. aku hanya tidak yakin apa kau benar-benar bisa mengobati lukaku?”



Sora tertawa, lega karena melihat Maya yang sudah bisa ketus menjawabnya, berarti Maya akan baik-baik saja. Sora kembali meneruskan pekerjaannya mencari barang di rak, “Jangan meremehkanku, mungil. Kau ‘kan tahu, aku pria serba bisa!”



Maya menggerutu pelan. “Mulai lagi ‘deh narsisnya...,” Sora yang mendengarnya tertawa. Sora mengambil baki kosong dan menaruh alat-alat yang diambilnya ke atas baki kosong itu.



“Tidak kusangka kau galak juga, ya, waktu jadi guru,” kata Maya, membuka pembicaraan.



Sora tertawa kecil. “Menurutmu begitukah, mungil? Ya, begitulah aku jika mengajar. Tegas, disiplin...”



Maya memotong kata-katanya. “Galak, dingin, kejam, mengeluarkan aura pembunuh. Kurasa itu lebih tepat. Aku heran dengan sikapmu yang seperti itu kenapa para siswi di sekolah ini masih mengidolakanmu, ‘sih?”



“Astaga, mungil. Kenapa penggambaranmu kepadaku seburuk itu, ‘sih? Tidak bisakah kau memujiku sedikit saja?” Sora menahan tawanya. “Jika mereka masih memujaku ya itu urusan mereka. Mungkin pria sepertiku terkesan misterius dan membuat penasaran. Yah, berarti selera mereka tinggi, mungil,”



“Apa di sini ada baskom? Aku merasa ingin muntah,” gerutu Maya, ketus. Sora tertawa keras. “Memang begitu kenyataannya, ‘kan? Seharusnya kau tidak perlu sedingin tadi. Satomi, ‘kan, ehmm.. maksudku kak Satomi, karena bagaimanapun dia juga seniorku...,”



Tawa Sora terhenti dan ia memotong kata-kata Maya, “Hei, kau curang sekali. Dia saja kau panggil ‘kak’, bagaimana denganku? Umurku jauh di atas dia juga dirimu, tapi kau malah memanggilku ‘hei’, ‘kau’,” gerutu Sora.



Maya tertawa. “Aku tidak bisa memanggilmu begitu, entah kenapa,” Sora merengut. “Hei, dengarkan aku. Kau kenapa ‘sih mengeluarkan aura begitu dingin dan seperti ingin membunuh ke.. kak Satomi? Kau tahu tidak jika para siswa mengecapmu sebagai guru yang mengerikan!”



Sora menghela nafas sambil terus mencari barang di rak dan menggerutu. Bukan mauku bersikap seperti tadi, aku bersikap tadi ‘kan karena... gerakan tangan  Sora terhenti. Ia tersadar akan pemikirannya sendiri. Sora bersikap seperti tadi, memandang Satomi penuh permusuhan, karena ia tidak suka... melihat Satomi berada di samping Maya, memapah Maya, begitu dekat dengan Maya. Sora tidak suka menghadapi kenyataan bukan dirinya lah yang berada di posisi Satomi. Sora... cemburu terhadap Satomi. Tapi, kenapa? Bukankah Sora sudah meyakinkan dirinya setelah kejadian kemarin malam jika ia tidak memiliki perasaan lebih dari saudara terhadap Maya?



“Sekarang giliran kau yang diam,” suara Maya membuyarkan pikiran dan lamunan Sora. Sora tertawa dipaksakan dan kembali terlihat sibuk mencari barang, “Ah, aku.. bukan maksudku bermaksud dingin, aku hanya bermaksud mendisiplinkan muridku agar tidak seenaknya meninggalkan pelajaran apalagi dia sudah kelas tiga, waktunya menempuh ujian akhir,” ujar Sora, berbohong. Dia tahu dia memandang Satomi tidak suka bukan karena alasan itu. “Lagipula jika para siswa memang berpikir seperti itu, ya biarlah. Itu bagus agar mereka lebih hormat pada guru mereka dan tidak bersikap seenaknya hanya karena usiaku tidak jauh beda dengan mereka. Hmmm, dimana ya pinsetnya?” Sora bermaksud menyibukkan diri untuk menenangkan dirinya.



“Dia ‘kan hanya bermaksud menolongku. Jangan menghukumnya, ya. Jangan galak-galak padanya sebagai seorang guru,” pinta Maya. Sora yang mendengarnya tidak suka, kenapa ia terus membela Satomi, ‘sih? Kenapa ia harus membicarakan tentang Satomi? Sora menutup lemari dan membawa baki yang telah berisi alat-alat yang dibutuhkannya ke dekat Maya. Ia mengambil kursi, duduk di hadapan Maya, dan menaruh baki di meja kecil di dekatnya. Sora hendak membuka tutup botol cairan pembersih luka ketika Maya berbicara lagi,



“Hei, kau tidak menjawabku,” Maya menatap Sora heran.



Sora menggerutu. “Baiklah, mungil, akan kupertimbangkan. Akan kulihat sikapnya, jika dia bersikap baik, maka aku tidak akan menghukumnya,”



“Kau juga... jangan galak-galak sebagai seorang guru. Murid-muridmu tentu akan bersikap baik jika kau juga bersikap begitu kepada mereka. Di kelasku kau tidak begitu... dingin. Tidak mengerikan seperti yang mereka bicarakan. Setidaknya sedikit lebih manusiawi,”



Itu karena ada kamu, mungil... pikiran itu tidak disuarakan Sora karena Sora sendiri tidak tahu mengapa ia bisa menjadi seperti itu. Sora menghela nafas, “Kita hentikan topik ini sampai di sini, mungil. Sekarang giliran aku yang bertanya. Mengapa kau bisa mendapatkan luka seperti itu di tanganmu?” Sora menutup kembali tutup botol cairan pembersih luka dan menaruhnya kembali di baki. Ia menatap Maya.



Deg! Jantung Maya berdegup kencang. Akhirnya mereka sampai pada topik ini juga. Maya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sora memandangnya heran, “Mungil?”



Maya kembali tidak menjawab dan hanya bisa menundukkan kepalanya.



“Mungil, jangan katakan kalau kau berbuat sesuatu yang tidak benar,” kata Sora, perlahan namun tajam.



Maya memandang Sora, takut. “Kau... janji jangan marah, ya, tapi...,”



“Tergantung ceritamu, mungil..,”



“Kumohon...,” Maya memandang penuh permohonan pada Sora. Sora yang dipandang seperti itu menjadi luluh juga, ia tidak tega melihat Maya yang sudah memandangnya seperti itu meski ia tahu apa yang sudah dilakukan gadis ini pasti sesuatu yang bisa membuatnya marah.



“Baiklah..., sekarang jelaskan padaku...,” Sora menarik nafas pelan.



Maya menelan ludahnya dan memberanikan diri menjawab, “Sebenarnya... tadi waktu aku berjalan ke sekolah, aku melihat ke langit dan sedikit melamun. Sedang menikmati, lebih tepatnya. Aku tidak menyadari jika ada seseorang membunyikan bel sepeda dari belakang. Salahku juga aku berdiri agak ke tengah jalan, jadinya aku... terserempet sepeda dan jatuh,” Maya kembali menundukkan kepalanya sedangkan Sora menatapnya dengan mata terbelalak.



“Apa!? Jadi kau.. terserempet sepeda!?” tanya Sora lagi, ia tidak mempercayai apa yang didengarnya.



Maya mengangguk pelan.



“Astaga, mungil! Kemarin kau hampir tertabrak mobil dan sekarang kau benar-benar terserempet sepeda! Untung saja bukan mobil, mungil! Bukankah sudah kubilang untuk berhati-hati dan jangan melamun! Bagaimana kalau yang tadi menyerempetmu itu bukan sepeda dan mobil!? Untung lukamu kecil, bagaimana jika...,” Sora berteriak frustasi, cemas dan khawatir.



“Kau tadi sudah janji tidak akan marah,” Maya memotong kata-kata Sora. Sora menghentikan kata-katanya dan melihat Maya menunduk dalam-dalam. Sora menarik nafas panjang dan dalam, lalu menghembuskannya. Kemudian ia mengelus rambut Maya, membuat Maya mendongak menatapnya.



“Maaf, aku hanya... cemas. Aku takut, mungil, sesuatu yang mengerikan terjadi padamu,” Sora menjawab pelan.



Maya tidak memberikan tanggapan, ia tahu jika wajar Sora marah karena Sora khawatir padanya. Ia melihat kerah kemeja Sora yang berantakan dan dahi Sora yang sedikit berkeringat, apakah Sora tahu kondisinya yang seperti orang sekarat setelah berlari keliling lapangan tadi sehingga ia berlari mencari Maya untuk memastikan apakah Maya baik-baik saja? Apakah itu benar? Apakah memang Sora begitu khawatir padanya? Sebenarnya, fakta Sora cemas padanya seperti ini membuatnya... senang. Debaran lembut itu muncul lagi ketika Sora mengelus kepalanya lembut.



“Lain kali kau harus hati-hati, ya. Jangan melamun di jalan, sudah kuperingatkan kemarin. Untung saja hanya terserempet sepeda, bagaimana kalau sampai tertabrak mobil? Kumohon, mungil. Jangan membuatku khawatir terus, bisa-bisa aku terkena serangan jantung karenamu, mungil..,” keluh Sora.



“M.. maaf..,” jawab Maya, pelan. “Aku... tidak akan mengulanginya,”



Sora menghela nafas lagi lalu ia mengambil pinset yang diujungnya diberi kapas yang telah dibasahi dengan cairan pembersih sebelumnya. “Aku akan membersihkan lukamu, mungil. Ulurkan tanganmu..,”



“Ah, iya...” Maya menyadari wajahnya sedikit merona. Dadanya berdegup lembut, namun ketika Sora telah menyentuh telapak tangannya, jari-jarinya, debaran itu semakin lama semakin kencang.



Apa dari ujung jariku bisa terdengar suara degup jantungku?



Deg deg deg... suara debaran jantung Maya semakin intens. Maya menundukkan wajahnya yang merona, ia tidak mau Sora melihatnya.



Saat ini jantungku berdegup kencang...



Maya tidak bisa berkonsentrasi. Ia tidak tahu apa yang dipikirkannya, ia hanya terus berusaha mengontrol rona wajahnya dan degup jantungnya agar Sora tidak menyadarinya. Sora sangat dekat, ia terlalu dekat, begitulah menurut Maya. Sora terlihat berkonsentrasi membersihkan luka Maya lalu mengobatinya.



Deg deg deg...



Bagaimana ini? Debaran jantungku tidak dapat kukendalikan lagi.. Apa Sora bisa mendengarnya? Kumohon.. Jangan terlalu dekat, Sora..



Maya menatap jari-jari Sora yang merawat lukanya dengan cekatan. Menutupinya dengan perban. Jari-jari yang besar, lembut, dan hangat...



Aku tidak ingin... ada yang tahu saat-saat ini.Aku tidak ingin... memberitahukan ini pada siapapun... Aku tidak ingin ada yang tahu sisi Sora yang ini...



“Selesai,” kata Sora menyadarkan Maya dari lamunannya. Maya melihat telapak tangannya diperban sekarang. “Baiklah, mungil. Kurasa kakimu masih lemas karena dihukum lari tadi, sekarang kau istirahat, ya. Ketika nanti sudah merasa baikan baru masuk kelas, tapi jika tidak kau izin saja hari ini. Akan kubuatkan surat izinnya,” Sora membereskan peralatan yang dipakainya. “Aku akan mencari guru kesehatan untuk menjagamu di sini dan setelah itu aku akan langsung kembali mengajar,” Sora berdiri beranjak menuju pintu.



“A, ah..., anu..,” Maya spontan mengatakan sesuatu ketika ia melihat Sora hendak keluar. Ia tidak rela melihat Sora sudah mau pergi sekarang. Entah kenapa Maya spontan menghentikannya. Apa yang kau pikirkan, Maya? Tentu saja Sora harus keluar sekarang, dia ‘kan punya jadwal mengajar!



“Ada apa, mungil?” tanya Sora, heran.



“A... anu, anu... kau... tidak marah padaku, ‘kan?” Maya merasa pertanyaannya itu bodoh tapi pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya sendiri.



Sora tertegun sejenak, kemudian tertawa, “Kau sudah tahu jawabannya, ‘kan, mungil? Sudah, lebih baik kau istirahat yang baik, ya. Aku keluar mengajar dulu,” kata Sora sambil tersenyum lembut lalu keluar dari ruang kesehatan.



Pintu ruang kesehatan tertutup, meninggalkan Maya yang terdiam, masih dengan wajah sedikit merona dan debaran jantung yang masih terdengar berirama.



Dia.. dia tidak membenciku... dia... dia tidak marah padaku...



Tanpa sadar, Maya tersenyum senang menyadari kenyataan itu, dan seketika itu juga ia tersentak. Kenapa aku sesenang ini? Bukankah kemarin aku sudah meyakinkan diriku bahwa aku hanya melihatnya sebagai seorang kakak? Kenapa aku berdebar? Kenapa wajahku merona? Kenapa?



Maya menatap tangannya yang diperban. Ia masih mengingat sentuhan lembut Sora di telapak tangannya. Jantung Maya berdebar lagi. Debaran ini berbeda dengan yang tadi sempat ia rasakan sedikit dengan Satomi. Terhadap Satomi, debarannya lembut, tidak sekencang ini. Maya hanya terpesona pada senyumnya yang lembut dan ceria, sikapnya yang baik ya, hanya itu. Mungkin hanya itu. Tapi, debaran Maya terhadap Sora lebih terasa asing, di satu sisi terasa menyenangkan, tapi juga menyakitkan sehingga ingin membuatnya menangis, entahlah... Maya tidak pernah merasakan hal ini pada Sora sebelumnya.



Jika aroma Satomi tadi seperti rerumputan, maka aroma Sora, dia seperti...



♪ ♪ ♪



“Aku pulang,” seru Rei sambil membawa beberapa kantong belanjaan dan memasuki penginapan. Rei hendak masuk kamar ketika ia melihat ketiga temannya hanya berdiri di dekat pintu kamar dan seperti menguping. “Hei, sedang apa kalian?”



Sayaka, Taiko, dan Mina terlonjak kaget mendengar suara Rei. Rei heran melihat tingkah ketiga temannya yang tampak salah tingkah itu.



“REI!! Kau mengejutkan kami saja!” seru Sayaka.



“Habisnya kalian sendiri ngapain seperti itu di depan pintu, aneh,” Rei segera melewati ketiga temannya dan beranjak hendak masuk.



Mina menepiskan tangan Rei yang hendak membuka pintu. Rei menatapnya heran. “Kau mau apa, Rei?” tanya Mina.



“Tentu saja masuk untuk menaruh belanjaan. Mengapa kau bertanya begitu, Mina?” Rei menatap Mina, bingung.



Taiko menghela nafas, “Nanti saja, Rei. Kau tidak bisa masuk sekarang, ibu guru sedang ada tamu penting dari kota. Kelihatannya mereka berdua sedang berbicara serius sekali,”



“Tamu dari kota? Siapa?”



Sayaka menyandarkan diri ke dinding, “Kejutan besar, Rei. Kudengar Hayami lah tamu penting ibu guru itu,”



“Hayami!?” mata Rei terbelalak. “Maksudmu, Eisuke Hayami, Jenderal Besar Daito itu?”



Mina mengangkat bahunya. “Sepertinya, entahlah. Aku tidak mengerti ada urusan apa orang sepenting itu mendatangi ibu guru,”



“Kita sudah berusaha menguping pembicaraan mereka tapi tidak terdengar. Haizzz, entah pintunya yang terlalu tebal atau volume suara mereka yang terlalu kecil,” gerutu Sayaka. “Padahal ‘kan penginapan ini cukup kecil, suara apapun seharusnya bisa terdengar,”



Rei tidak menggubris gerutuan Sayaka, ia hanya menatap pintu tertutup di depannya dengan perasaan heran. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?



♪ ♪ ♪



“Selamat sore, Maya!” sapa orang-orang yang berpapasan di jalan dengan Maya.



“Ah, iya, selamat sore bi!” jawab Maya.



“Baru pulang sekolah, Maya?”



“Iya, bi. Saya baru pulang, hehehe,” jawab Maya sambil cengengesan, untuk menutupi rasa sakit di kakinya. Kakinya masih terasa lemas akibat efek lari keliling lapangan 20 kali tadi.



Sore menjelang. Langit senja terlihat berwarna oranye bercampur jingga. Burung-burung beterbangan kembali menuju sarangnya. Angin berhembus sedikit kencang. Maya teringat tadi ia tertidur hingga sore karena kelelahan dan begitu ia terbangun, pelajaran sudah usai. Oleh karena itu Maya memutuskan untuk segera pulang dan mandi, setelah itu langsung tidur. Ia benar-benar merasa lelah hari ini.



Dari belakang, Sora melihat Maya berjalan tertatih-tatih seperti nenek-nenek. Sora menatapnya prihatin bercampur geli, ia tersenyum dikulum. Kemudian dengan setengah berlari, Sora menghampiri Maya.



“Hei, mungil,” Sora mensejajarkan dirinya di samping Maya. Maya menoleh, terkejut melihat Sora. “Kenapa? Terkejut melihatku, ya?”



Maya terdiam dan Sora menganggap diamnya Maya sebagai jawaban ya. “Aku tadi mencarimu ke kelas dan Sugiko bilang kau tidak mengikuti pelajaran sama sekali hari ini. Lalu aku ke ruang kesehatan dan kau sudah tidak ada. Makanya, aku berpikir untuk segera menyusulmu karena aku yakin dengan kondisimu yang... begini, kau pasti belum jauh,” jelas Sora panjang lebar. “Dan ternyata aku benar,” lanjutnya sambil tersenyum lebar.



Maya terdiam, dalam hati ia terharu dengan perhatian Sora padanya. Dari dulu hingga sekarang, kau memang selalu baik padaku, menjagaku, melindinguku. Maya merasa dadanya kembali berdesir pelan. “Mana sepedamu?” tanya Maya mengalihkan pembicaraan.



“Belum kuperbaiki kemarin, malas. Lagipula aku agak lelah kemarin. Banyak hal yang harus kukerjakan. Kupikir bagus juga sekali-sekali jalan begini,” jawab Sora, santai.



“Oh,” Maya hanya menanggapi pendek.



Sejenak  hening di antara mereka. “Kau baik-baik saja?” tanya Sora.



Maya menggerutu. “Apa kau bodoh? Tidak bisakah kau menebak dari hanya melihat? Apakah menurutmu aku baik-baik saja? Bukankah tadi siang kau sudah melihat kondisiku? Haizzz, pertanyaanmu bodoh sekali!” jawab Maya galak lalu berbalik dan berjalan lagi.



“Galak sekali, ‘sih. Aku ‘kan bertanya baik-baik,” Sora sedikit kesal, tapi ia kasihan juga melihat Maya yang berjalan seperti orang encok. Apalagi melihat telapak tangan Maya yang terluka saat ini sudah diperban, meski lukanya tidak dalam. Sora merasa sangat khawatir.“Aku pikir kau ‘kan sudah baikan dengan istirahat cukup lama sampai tidak ikut pelajaran tadi,”



“Mana mungkin bisa sembuh secepat itu, ‘sih. Dihukum lari keliling lapangan 20 kali, yang benar saja!” gerutunya. “Tapi sudah sedikit baikan, ‘sih. Kurasa yang kubutuhkan sekarang ialah tidur hingga besok pagi,”



“Dihukum lari keliling lapangan 20 kali!? Astaga, mungil! Kesalahan apa yang kau perbuat sehingga guru pengawas kedisiplinan menghukummu seperti itu?” Sora terlihat terkejut. “Kurasa aku perlu membuat perhitungan dengan guru itu!” kata Sora sambil pura-pura berpikir.



Maya tertawa kecil, “Memang benar-benar guru botak sinting! Aku ‘kan hanya terlambat kenapa dia menghukumku setega itu, ‘sih!?”



Dahi Sora mengernyit. “Apa? Jadi kau benar-benar terlambat lagi, mungil? Bagaimana bisa, ‘sih? Pantas saja guru itu menghukummu karena kau terlambat terus, tidak heran, ‘sih...,”



Maya melotot menatap Sora, “Jadi, kau tidak jadi membuat perhitungan dengan guru itu?”



Sora mengangkat bahu. “Tentu saja tidak, mungil! Lagipula kurasa yang dia lakukan tepat, karena terlambatmu sudah keterlaluan. Hampir setiap hari, mungil. Aku heran, kenapa hari ini kau terlambat lagi, ‘sih? Bukankah seharusnya kau bangun lebih pagi hari ini?” suara Sora sedikit lebih pelan di akhir kata-katanya.



Maya menatap Sora, ia tahu arah pembicaraan Sora. Hadiah dari Sora tadi pagi. Aku sudah bangun lebih pagi, tahu, hanya saja... Maya mengingat wanita itu dan pembicaraannya dengan wanita itu. Ia merasa tidak perlu menceritakannya kepada Sora. Ia juga takut Sora menganggapnya aneh, pembicaraan Maya dan wanita itu membahas hal yang sama sekali tidak lazim. Merasakan alam, mencium aroma? Apa lagi maksudnya?



“Entahlah!” Maya menggerutu sambil berjalan sedikit lebih cepat.



Sora berhenti berjalan. “Hei, kau tidak mau menceritakannya?”



“Aku tidak mau! Sudahlah!”



Sora menghela nafas. Ia tidak bisa memaksa Maya bercerita karena kelihatannya Maya benar-benar tidak mau. Apa mungkin hal ini berhubungan dengan terserempetnya Maya oleh sepeda sehingga membuatnya terluka tadi? Sora merasa tidak enak, apa mungkin aku sudah menyinggungnya dan membuatnya mengingat lagi kejadian tidak enak tadi pagi? Sora menatap Maya yang terus saja berjalan perlahan sambil tertatih-tatih dan berulang kali harus berhenti untuk menahan tubuhnya yang hampir jatuh. Sora menghela nafas kemudian ia berjalan melewati Maya dan berhenti di depan Maya, sehingga membuat Maya berhenti berjalan. Sora berjongkok di depan Maya. Maya menatapnya heran.



“Ayo naik,”



Dahi Maya mengernyit. “Apa?”



“Apa kau tidak dengar apa yang kukatakan? Ayo, cepat naik ke punggungku! Sebelum aku berubah pikiran..,”



Maya terdiam. “Naik... ke punggungmu?”



Sora menggerutu, “Masih pakai bertanya lagi. Bukankah apa yang mau kulakukan sudah jelas jika aku jongkok di depanmu seperti ini? Cepat naik, karena aku merasa jika cara jalanmu seperti itu kau tidak akan cepat sampai rumah. Kurasa baru tengah malam kau sampai rumah. Ayo, naik!”



“Kau... serius?” tanya Maya, tidak percaya.



“Iya..,” jawab Sora pendek.



“Kau... sungguh-sungguh mau menggendongku pulang di punggungmu?”



“Kau ini banyak bertanya, ya. Mau atau tidak? Kalau tidak mau ya sudah,” ujar Sora sambil beranjak hendak berdiri.



Maya yang melihat Sora hendak berdiri segera beranjak memegang lengan baju Sora. Sora menoleh. Maya kemudian memalingkan wajahnya dan berkata,



“Y.. ya.. kalau kau sungguh-sungguh memaksa, ya baiklah. Aku akan menerima kebaikan hatimu itu,” ujar Maya dengan gaya angkuh, namun suaranya tetap terdengar terbata. Sora menatap wajah Maya yang merah, Sora menduga Maya pasti malu dan gengsi untuk mengatakannya. Sora tersenyum dikulum.



Sora menyerahkan tas kerjanya pada Maya, kemudian Sora jongkok lagi di depan Maya, “Ayo naik, mungil!”



Maya tersenyum dikulum sambil melingkarkan kedua tangannya di leher dan bahu Sora. Maya menyenderkan tubuhnya pada punggung Sora dan Sora segera berdiri memegang kedua kaki Maya sambil membetulkan posisinya agar Maya tidak jatuh dan nyaman dalam gendongannya. Sora kembali berjalan. Mereka berjalan dalam hening



“Astaga mungil, kukira kau ringan karena tubuhmu mungil. Tapi ternyata kau berat juga, ya,” keluh Sora.



“Apakah kau menyesali keputusanmu menggendongku? Sayang sekali, Tuan, Anda terlambat. Aku tidak berminat untuk turun, kamu yang memaksa dan bukankah pantang bagi seorang pria untuk menjilat ludahnya sendiri?” gerutu Maya.



Sora tertawa kecil. “Kau benar-benar seperti Tuan Putri, mungil. Jangan katakan ini bagian dari aktingmu. Apa mungkin kakimu yang sakit ini hanya akting saja? Ah, jangan bilang sebenarnya kau ingin aku gendong seperti ini, ‘kan? Cuma kau saja yang tidak mau mengakuinya!”



“Apa?! Enak saja! Dasar bodoh! Bagaimana mungkin aku berakting kakiku sakit, ‘sih!?” Maya memukul-mukul punggung Sora. “Apa kau pikir aku mau digendong olehmu!? Aku juga tidak sudi, tahu?” Maya menggerutu kesal.



“Heizz, hentikan, mungil! Aku hanya bercanda! Jangan memukulku dan bergerak terus, kita bisa jatuh! Sudah tahu tubuhmu itu berat jangan bergerak-gerak terus!”



“Sekali lagi kau bilang berat, aku akan memberimu pelajaran, Tuan Sora Fujimura!” ancam Maya yang hanya disambut tawa oleh Sora.



Enak saja berat? Tapi kemudian Maya berpikir, apa benar aku seberat itu? Apa ini karena efek aku makan terus, ya?



Sora sedikit menolehkan kepalanya ke belakang, “Kenapa kau diam, mungil? Ah, aku tahu. Kau barusan pasti berpikir kenapa dirimu berat. Iya, ‘kan?”



Wajah Maya merona. Kenapa orang ini selalu bisa menebak pikirannya, ‘sih!? “Ti.. tidak! Enak saja! Jangan asal bicara! Kalau kau asal bicara, aku tidak akan segan-segan memberimu pelajaran!”



“Aiooo, ancamannya itu terus, mungil. Menakutkan, lakukan saja kalau kau bisa!” Sora tertawa kecil, Maya hanya bisa merengut. “Lebih baik kau banyak berolahraga agar tidak berat seperti ini dan agar kakimu mungil, sehingga jika kau terlambat kau sudah kuat untuk dihukum lari keliling lapangan 20 kali!” goda Sora. Maya merengut kesal. Sora tertawa. “Sudah, sudah. Jangan ngambek seperti anak kecil terus, mungil. Lebih baik sekarang kau istirahat, bersandar pada punggungku, tidurlah sejenak. Nanti kalau sudah sampai rumah kubangunkan,” ujar Sora lembut.



Maya terdiam. “Benar aku boleh bersandar?”



Sora tertawa, “Hei, mungil. Kau ini seperti bicara dengan orang yang tidak kau kenal saja? Aku ini sudah mengenalmu bertahun-tahun, aku bahkan sudah tahu tubuhmu itu seperti ap...,” Sora menghentikan bicaranya ketika Maya memukul kepalanya dengan tangannya yang tidak memegang tas. “Awwww sakit, mungil! Kau mau membuatku amnesia, ya!?”



“Baguslah kalau kau amnesia, setidaknya ketika kau sadar kau bisa menjadi sedikit waras! Jangan berbicara seperti itu dengan suara keras, dasar bodoh! Itu ‘kan kejadian waktu masih kecil,” ujar Maya dengan wajah merah.



“Galak sekali kamu mungil.. Padahal tadi siang kamu begitu penurut dan memandangku dengan tatapan memohon,” Sora tersenyum lebar. “Berbanggalah, mungil, karena tidak semua orang bisa kugendong dan kuizinkan bersandar di punggungku yang lebar dan nyaman ini,” kata Sora, angkuh. “Kujamin para gadis pasti akan iri denganmu! Untuk bisa dekat denganku saja, mereka harus memohon-mohon!”



Maya tertawa mengejek, kemudian ia menyandarkan kepalanya di punggung Sora. Sora tersenyum dan sedikit membetulkan posisi mereka agar Maya benar-benar nyaman bersandar.



“Maaf, ya, mungil. Tadi aku sudah memaksamu bercerita kenapa kau bisa terlambat. Padahal aku tahu kau tidak mau bercerita karena itu akan mengingatkanmu pada kejadian diserempet sepeda tadi. Maaf, ya, aku tidak bermaksud mengingatkanmu akan kejadian mengerikan itu,” kata Sora, pelan.



“Eh?” Maya tertegun. Padahal bukan itu alasan Maya sehingga ia tidak bercerita, tapi Sora berpikir seperti itu. Maya tersenyum lembut, Sora benar-benar baik dan memikirkan perasaannya. Padahal Sora tidak salah, tapi ia minta maaf. “Kau tidak salah. Tidak ada yang perlu dimaafkan,” jawab Maya, lembut. Sora tersenyum.



“Sudah lama, ya, mungil, sejak terakhir kali aku menggendongmu seperti ini...,”



“Iya, kau benar..,” Maya memejamkan matanya. Rasanya nyaman menyenderkan kepala di punggung Sora seperti ini. Sudah lama sekali... sejak saat itu..



“Ngomong-ngomong..,” Maya mengangkat kepalanya, lalu berkata dengan suara pelan.



“Hm?” tanya Sora.



“Tadi kenapa... kau bisa ke ruang kesehatan? Seolah-olah kau tahu aku ada di sana...,”



Sora terdiam, jantungnya sedikit berdetak lebih kencang. Lalu ia menjawab, “Hmmm... tadi aku mengajar di kelas... Satomi,” Sora merasa tidak suka menyebutkan nama itu. “Temannya berkata bahwa Satomi akan sedikit masuk terlambat masuk ke kelas karena menolong seorang gadis yang terluka, gadis yang baru saja dihukum lari keliling lapangan, dan hendak membawa gadis itu ke ruang kesehatan. Tadi waktu aku sedang mengajar, sekilas aku melihat bayanganmu sedang berlari keliling lapangan lewat jendela. Makanya, aku punya perasaan... apa mungkin gadis itu... kamu, mungil,” jawab Sora pelan. “Dan ternyata memang benar. Aku cemas tadi, aku berpikir apa kau benar-benar terluka. Syukurlah kau baik-baik saja,” Sora sedikit menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat Maya dan tersenyum.



Senyuman Sora ini... selalu sukses membuat dada Maya berdetak kencang lagi. Maya terharu, ia sangat senang dengan perhatian Sora padanya. Kerah kemeja Sora yang tadi dilihatnya sedikit berantakan dan bercak keringat di dahinya membuktikan bahwa Sora memang berlari menyusuri lorong menuju ruang kesehatan karena khawatir padanya, memastikan apakah gadis itu benar dirinya, memastikan apakah gadis itu baik-baik saja. Kecemasan dan kekhawatiran Sora padanya membuatnya merasa diperhatikan.



Maya kemudian berkata lagi, “Hmmm... lalu...,”



“Hm?”



“Untuk yang tadi pagi...” Maya sedikit bergerak mendekatkan bibirnya ke telinga Sora. Sora tidak menyadari gerakan Maya tersentak ketika ia merasakan helaan nafas Maya di dekat telinganya. Entah kenapa tiba-tiba debaran jantungnya memacu jadi lebih cepat. Telinganya terasa lebih sensitif. Maya berkata lembut di telinga Sora, “Terima kasih, ya. Hadiahnya benar-benar indah,” kata Maya. Dalam hatinya, Maya menambahkan, untuk semuanya... terima kasih...



Sora terdiam. Ia tidak tahu pasti apa yang ia rasakan sekarang. Debaran jantungnya terasa semakin kencang, tapi juga menyenangkan. Sekaligus menyakitkan. Ia merasa dunianya terhenti, dimana hanya ada mereka berdua saat ini, dan ia ingin terus seperti ini. Ia ingin waktu terhenti sekarang, entah kenapa. Ada godaan di dalam dirinya untuk memeluk erat gadis yang tengah digendongnya di punggungnya ini, yang sekuat tenaga dilawannya.



“Iya, sama-sama...,” jawab Sora, pelan.



Maya tersenyum kecil dan menyenderkan kepalanya lagi di punggung Sora. Ia melamun lagi. Ketika nanti Sora punya pacar, kekasih betulan, bukan ‘adik’ seperti Maya, pasti wanita itu wanita dewasa, bukanlah anak kecil seperti Maya. Wanita yang sepadan untuk Sora. Dan wanita itulah yang akan digendong seperti ini, bukanlah Maya. Maya mengeratkan lingkaran tangannya yang melingkari leher dan bahu Sora. Kenapa aku tidak rela meski hanya dengan memikirkannya? Bukankah itu wajar dan seharusnya aku sudah menyadarinya sejak awal?



Maya menghirup nafas dalam-dalam. Ia merasakan, ia mencium aroma dari Sora. Benar.. jika Satomi seperti rerumputan dan dedaunan, aroma Sora seperti langit.. tapi juga seperti sungai yang mengalir. Entah apa lagi yang bisa melukiskan aroma Sora. Banyak sekali. Semua yang biru, jernih, dan luas, semuanya melukiskan tentang Sora. Maya merasa ia menyukai aroma Sora, menyenangkan juga menyakitkan. Membuatnya ingin menangis dan mengeluarkan air mata, seperti debaran yang dirasakannya tadi di ruang kesehatan.



Bagaimana ini? Apa sebenarnya yang kurasakan ini sebenarnya? Padahal dulu aku rela-rela saja memikirkan kemungkinan Sora memiliki seorang kekasih, tapi kenapa sekarang tidak?



Maya memejamkan matanya.



Bagaimana ini? Kenapa aku bisa merasakan hal seperti ini? Perasaan apa ini? Egois. Punggung Sora yang luas, nyaman, dan hangat ini, sekarang ingin kumiliki hanya  untuk diriku seorang saja...



Sora dan Maya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Maya yang merasa lelah akhirnya jatuh tertidur di punggung Sora. Sora hanya terus berjalan dalam diam, menatap ke depan, tidak memandang samping kiri kanannya. Tanpa Sora sadari, mereka melewati sebuah mobil mewah, modelnya seperti sedan namun panjang, berwarna putih, yang sedang terparkir di pinggir jalan. Dari kursi penumpang mobil itu, Eisuke Hayami memandang Sora yang terus saja berjalan sambil menggendong Maya melewati mobil Eisuke. Tampaknya Sora sibuk dengan pikirannya sendiri dan tidak menyadari ada mobil disana.



Di wajah Eisuke terukir senyuman misterius. Pelayannya yang duduk di kursi depan sebelah supir memandang wajah majikannya yang tersenyum dan berkata, “Ada apa, Tuan? Kenapa tiba-tiba Anda tersenyum seperti itu? Apakah pertemuan dengan Mayuko Chigusa menghasilkan hasil yang ‘menyenangkan’?”



Eisuke tertawa, “Tidak, Asa. Masih panjang jalanku untuk mencapai hasil yang ‘menyenangkan’ itu. Aku hanya tidak menyangka aku akan menemukan orang itu juga di desa ini, sungguh kebetulan yang sangat luar biasa! Selama ini aku susah payah mencarinya! Ia akan bisa menjadi senjata rahasiaku, Asa!”



Asa menatap Eisuke, bingung. “Maksud Anda dengan ‘orang itu’ siapa, Tuan? Senjata rahasia, apa maksudnya?”



Eisuke tersenyum. “Kau akan tahu nanti, Asa. Yang jelas, yang kau perlukan sekarang hanyalah menunggu perintahku, karena aku merasa membutuhkan bantuanmu untuk menyelidiki ‘orang itu’. Kebetulan yang sangat menyenangkan!” Eisuke tertawa lagi, sedangkan Asa hanya bisa diam kebingungan dan menatap lagi ke depan.



“Tidak kusangka dia dan Mayuko sama-sama berada di desa ini. Bukan kebetulan, ini benar-benar takdir! Takdir yang menghubungkan aku, dia, dan sang Bidadari Merah. Sudah kuduga, ia sudah dewasa sekarang, terlihat matang. Semoga yang kulihat itu benar-benar dia meski perasaanku mengatakan aku benar. Akhirnya kutemukan juga... calon penggantiku, calon penerus Daito, dan... calon penantang Mayuko Chigusa dalam merebut hak pementasan Bidadari Merah...,” ujar Eisuke dalam hati sambil terus tersenyum licik dan misterius.



♪ ♪ ♪

Malam menjelang. Dari suatu ruangan kecil di dalam suatu kamar penginapan Kousei, terdengar suara sayur yang dipotong juga suara sup dalam panci yang diaduk. Asap dari masakan tampak mengepul kemana-mana dan bau masakan tercium. Dalam kamar sekecil itu, bau masakan pasti dapat tercium ke seluruh ruangan.



“Ah, tidak kusangka kamar sekecil ini bisa punya dapur juga,” komentar Taiko sambil mengiris bawang.



“Ya, meskipun tetap saja tidak ada pembatas antara ruang tidur, dapur, dan ruang makan. Sayang kamar mandinya merupakan kamar mandi umum,” kata Mina sambil mencoba sup yang sedari tadi diaduknya. “Hmmmm, tinggal ditambah bawang dan sayuran saja,” Mina menoleh pada Sayaka yang tengah memotong sayuran di meja makan. “Sayaka, bagaimana? Apakah sayurannya sudah bisa dimasukkan?”



Sayaka mengangguk, “Ya, sudah `kok...,” Sayaka menghampiri Mina dengan sayuran yang sudah dipotongnya. Mina segera memasukkan sayuran ke dalam sup dan menoleh pada Taiko yang mengiris bawang di sampingnya, “Heiii, Taiko. Lelet sekali kau ini kerjanya, padahal hanya mengiris bawang saja,”



Taiko menggerutu, “Jangan cerewet, Mina. Apa kau tidak tahu dari tadi mataku menahan pedih sambil mengiris bawang ini, menyebalkan! Air mataku mau keluar terus dari tadi! Apa kau tidak lihat kedua mataku merah dan berair?” Taiko mengucek matanya. “Haizzz, aku bersumpah aku tidak akan mengiris bawang lagi!”



Mina tertawa. Sayaka mencibir, “Kau ini Taikooo... bagaimana kau bisa menjadi istri yang baik jika mengiris bawang saja kau tidak bisa?”



Taiko melotot, “Jangan menghinaku, Sayaka. Apa kau pikir kau sendiri bisa? Ckckckck... Kemampuan seorang istri yang baik tidak hanya diukur dari mengiris bawang!”



“Heii, kau tidak tahu jika kemampuan memasakku sudah meningkat dari sebelumnya?” omel Sayaka.



“Oh ya? Benarkah?” tanya Mina pada Sayaka sambil menatapnya dengan tatapan menyelidik. Sayaka yang dipandang seperti itu jadi jengah dan ngambek, “Minaaaaa....,” Mina dan Taiko tertawa.



“Lagipula,” lanjut Sayaka. “Aku ‘kan inginnya menjadi artis yang baik bukan istri yang baik,” sungut Sayaka.



Mina berbalik dan mengecilkan api kompor, “Kehidupan kita di atas panggung belum tentu abadi dan selamanya, Sayaka...,” Mina menhela nafas pelan, “Aku sendiri sampai sekarang masih tidak mengerti kenapa ibu guru mengajak kita ke sini,”



Sayaka dan Taiko yang mendengarkan Mina juga terdiam dan mereka kembali sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Yang terdengar kembali hanyalah suara sayur dipotong, bawang yang diiris, dan juga adukan sup.



“Wah, harumnya,” Rei menghampiri teman-temannya. Ada handuk dikalungkan di kedua bahunya dan rambutnya tampak basah. “Apa makan malamnya sudah jadi? Aku sudah lapar sekali,”



“Ahhh, enak sekali kau, Rei, kau sudah mandi,” gerutu Sayaka. “Harusnya sudah jika saja Taiko tidak lelet mengiris bawangnya,” ujar Sayaka sambil memandang mencela pada Taiko.



“Jangan menyindirku terus, Sayaka, atau kau yang akan kuiris,” ujar Taiko sambil mengancungkan pisaunya pada Sayaka. Sayaka yang dibegitukan langsung manyun. “Menakutkan sekali kau, Taiko... Aiooo... Lebih baik kau beralih profesi menjadi pembunuh bayaran saja,”



Rei tertawa, “Sudah sudah. Bukankah kita sepakat untuk membagi tugas? Aku sudah belanja bahan makanan yang sangat banyak dan kalian yang memasak. Lagipula kalian ‘kan bekerja bertiga, sudah cukup enak bukan?”



Taiko dan Sayaka hanya bisa manyun mendengarkan Rei, sedangkan Mina hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dan akhirnya berusaha menengahi,



“Ini sudah mau selesai ‘kok, Rei. Lebih baik kau cari ibu guru dan kau bilang sebentar lagi sudah waktunya makan malam,” saran Mina sambil menambah sesendok garam ke sup yang diaduknya.



“Ibu guru tidak ada? Memangnya kemana?”



“Jika kita tahu kita tidak akan menyuruhmu mencarinya Rei,” ujar Sayaka. “Entahlah, sejak berbicara dengan tamunya dari kota itu ibu guru keluar dari kamar dan entah kemana,”



Dahi Rei mengernyit. Kemudian Rei segera berbalik bermaksud untuk mencari gurunya. Tepat ketika Rei berbalik, Rei tersentak dengan adanya Genzo di belakangnya.



“Pa.. pak Genzo?”



“Nona Aoki tidak perlu khawatir. Lebih baik saya saja yang mencari Nyonya. Nona di sini saja membantu yang lain,”



“Ta... tapi...,” belum sempat Rei protes, Genzo sudah berlalu keluar kamar. Rei menatap kepergian Genzo dengan heran dan penasaran.



“Sudah, Rei. Pak Genzo ada benarnya. Lebih baik kau gantikan aku saja, sebelum aku benar-benar muak dan menghancurkan semua bawang ini atau membuangnya. Aku juga mau mandi dulu,” ujar Taiko sambil melepaskan celemeknya lalu menyerahkannya kepada Rei. “Sudah, ya...,” Taiko menyusul Genzo keluar kamar, masih meninggalkan Rei yang berdiri terpaku memegang celemek di tangannya, dengan beragam pertanyaan terus saja terlintas di kepalanya.



“Rei?” seru Sayaka, heran memandang Rei yang terdiam. “Kenapa kau diam saja? Ayo cepat iris bawangnya, agar makan malamnya cepat siap,”



“Ah, iya...,” Rei segera memakai celemek dan mengambil pisau yang ditaruh Taiko serta melanjutkan pekerjaan Taiko yang belum terselesaikan.



♪ ♪ ♪



Mayuko terdiam di teras penginapan sambil menatap langit. Ia memejamkan matanya. Terputar kembali memori pembicaraannya tadi siang dengan Eisuke Hayami,



“Aku tidak suka berputar-putar, Mayuko. Kau jelas tahu apa yang kuinginkan...,” ujar Eisuke. Mayuko hanya menatapnya tajam.



“Dan kau seharusnya sudah mengerti jika kau hanya membuang-buang waktumu sampai ke sini untuk hal itu, karena sampai kapanpun aku tidak akan memberikannya kepadamu,”



Eisuke tertawa sinis. “Aku ragu akan hal itu, Mayuko,”



“Apa maksudmu?” tanya Mayuko, waspada.



“Karya agung itu sudah lama tidak dipentaskan sejak kejadian yang menimpa... dirimu,” Eisuke memelankan suaranya di akhir kata-katanya. “Aku prihatin, benar-benar prihatin dengan kondisi yang menimpamu sehingga kau tidak bisa melanjutkan karir keartisanmu,”



Mayuko memotong kata-kata Eisuke, “Terima kasih atas keprihatinmu, kalau begitu, meskipun itu tidak kubutuhkan. Bukankah kau sendiri tadi yang bilang kau tidak suka berputar-putar, mengapa sekarang malah kau yang berbasa-basi?” tanya Mayuko tajam.



Eisuke tertawa hambar, “Ternyata...mulut tajammu itu masih belum berubah juga, ya. Padahal aku tulus dan bukan maksudku untuk berbasa-basi,”



“Dan kau pun tahu bahwa sejak dulu... aku tidak pernah bermaksud beramah-tamah denganmu,” sambar Mayuko, pedas. “Aku tidak pernah tahu kapan kau tulus dan tidak, karena bagiku... kau akan tetap sama saja dan tidak pernah berubah,”



Eisuke menatap Mayuko, lurus tepat di matanya, “Kalau begitu, aku menyesal... karena hubungan kita ternyata tidak dapat diperbaiki...,” sorot matanya sekilas menampakkan kesedihan. “Tetap menjadi musuh,”



“Tidak ada yang perlu diperbaiki,” Mayuko menatapnya menantang. “Kau yang memintanya, Tuan Hayami. Kau yang menyebabkan semua menjadi seperti ini. Kurasa takdir yang kejam yang telah ikut kau atur itu pula yang menyebabkan hubungan kita menjadi seperti ini,”



Helaan nafas keras terdengar dari Eisuke. Sorot mata kesedihan yang sekilas tadi diperlihatkannya telah menghilang dan ia kembali menatap Mayuko dengan tatapan dingin, “Kembali ke topik kedatanganku ke sini. Karya agung itu... kau pun sendiri tahu... sudah lama tidak dipentaskan lagi. Sungguh sayang mengingat bagaimana sakral dan ajaibnya karya agung itu. Sayang sekali jika hanya terkubur sebagai suatu sejarah. Aku hanya ingin... membangkitkan karya agung itu lagi,”



“Karya agung itu tidak pernah mati, tidak pernah,” tegas Mayuko. “Tidak akan pernah kubiarkan berakhir menjadi suatu sejarah saja, yang  bisa terkubur begitu saja,”



“Cihhh! Apa kau bermaksud memperbodoh para masyarakat awam yang bertindak sebagai penonton, Mayuko Chigusa yang terhormat?” cibir Eisuke. “Kenyataannya hal itulah yang kau lakukan sekarang. Membiarkan karya agung itu tidak dipentaskan lagi. Ahhh.. jangan katakan ini salah satu bentuk keserakahanmu?”



“Apa maksudmu mengatakan aku serakah?”



“Ya, kau serakah!” tekan Eisuke, tajam. “Buktinya kau terkesan hanya ingin karya agung itu dipentaskan oleh dirimu saja! Tapi kau tahu dengan kondisimu itu tidak mungkin! Sudah berpuluh tahun berlalu, apakah kau akan membiarkan  karya agung itu tidak dipentaskan lagi dan menunggu kau terlahir kembali?” ejek Eisuke.



Mayuko tertawa, “Tidak kusangka kau memandangku serendah itu,”



“Bukankah kau juga menganggapku demikian?” Eisuke sedikit mengeratkan pegangannya di tongkat yang menopang tubuhnya yang tua. Ia merasakan sedikit perih mengucapkan kata-kata ini kepada wanita di depannya, juga mendengar respon dingin dan tajam dari wanita di depannya.



“Lalu, apa maumu?” tanya Mayuko.



“Kau tahu, Daito sekarang merupakan perusahaan paling top di bidang hiburan di Jepang. Semua aktor, artis, drama, hampir semua yang bergerak di bidang hiburan, yang terbaik, berasal dari Daito. Dan kurasa kau pun bisa menebak jika dari dulu aku sudah menginginkan hak pementasan karya agung, Sang Bidadari Merah itu...,” jelas Eisuke, dan sesungguhnya aku juga menginginkan Sang Bidadari Merah itu sendiri, bisik Eisuke sendu namun tidak disuarakannya.



Mayuko tertawa mengejek, “Maksudmu kau ingin aku menyerahkan hak pementasan pada Daito, ah tidak, padamu?”



“Pintar sekali, meski seharusnya tanpa kujelaskan seperti ini kau pun sudah mengerti! Itulah alasanku aku terus mengejarmu bahkan sampai mencarimu ke desa seperti ini, meski aku tidak tahu apa maumu ke sini, entah bersembunyi ataupun mencari udara segar,” ujar Eisuke. “Dengan dipentaskannya karya agung tercintamu itu di Daito, maka karya agung itu bisa dibangkitkan kembali, dengan sangat sukses. Respon masyarakat dijamin sukses dan aku pastikan karya agung itu akan kembali meledak dan fenomenal, tetap dikenang sepanjang masa. Tentu aku akan mencari sutradara dan para pemeran terbaik untuk mementaskannya. Tentu saja Sang Bidadari Merah akan diperankan oleh aktris terbaik, sekaliber dirimu!”



Mayuko terdiam, hanya menatap Eisuke. Eisuke melanjutkan kembali kata-katanya,



“Dan dengan kemampuanmu yang sekarang, Mayuko, dengan dirimu yang sekarang, aku tidak yakin kau bisa melakukan seperti yang bisa Daito, dan aku lakukan!” tandas Eisuke.



“Jangan meremehkanku, Eisuke Hayami,” desis Mayuko tajam. “Kau tidak tahu apa yang bisa kulakukan,”



“Aku bodoh jika melakukannya, Mayuko Chigusa. Tapi itulah kenyataannya,” kata Eisuke. “Dan kau pun tak tahu apa yang bisa kulakukan,”



“Nyonya...,” panggil Genzo pelan, menyentakkan Mayuko kembali ke alam nyata. Memori itu seketika terhenti. Terhenti pada ekspresi Eisuke Hayami yang dingin dan tak terbaca. Ia membuka matanya kembali.



“Ada apa, Genzo?”



“Makan malam telah siap, Nyonya,”



“Ah, begitukah...,” Mayuko hanya merespon pendek, dan kembali menengadahkan kepalanya ke langit, sedikit sendu. Memori itu menyadarkannya kembali kepada satu hal, ia harus bertindak, secepatnya.



Genzo heran memandang Mayuko yang sepertinya kembali melamun, “Apa ada hal penting yang mengganggu pikiran Anda, Nyonya?”



Mayuko terdiam, sebelum kemudian ia mengalihkan pandangannya dari langit dan berdiri, “Tidak, tidak ada yang begitu penting sekarang...,”



♪ ♪ ♪



Sora memasuki kamarnya dengan kondisi rambut yang basah dan handuk membungkus bagian bawah tubuhnya, dari pinggang sampai beberapa senti di bawah lutut. Sejenak ia terdiam menatap kamar itu. Sepi... Tidak ada dia lagi seperti kemarin malam. Sora tersentak dan segera mengenyahkan pikiran itu. Ia segera membuka lemari dan mengambil baju serta celana.



Apa yang kau pikirkan, Sora? rutuknya dalam hati. Setelah memakai baju dan celana pendek, Sora mengeringkan rambutnya sedikit dengan handuk. Rambutnya terlihat acak-acakan, meski hal itu malah menambah kesan segar dari penampilannya. Sora mengambil buku dari rak untuk dibacanya, ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah buku biru yang cukup tebal tidak jauh dari buku yang diambilnya. Sora terdiam sejenak, kemudian ia mengambil buku biru yang tebal itu.



Sudah sedikit berdebu, sudah lama tidak kulihat... Sora membawa kedua buku yang sudah diambilnya itu ke tempat tidur. Buku yang pertama diambilnya ditaruh di sebelah kanannya dan Sora mengkonsentrasikan dirinya pada buku biru tebal yang berdebu itu. Sora meniup sampul depan buku itu untuk menyingkirkan debu di atasnya dan menghapus sisa debu yang ada dengan tangannya. Terlihat tulisan di sampul buku itu, ‘Album’.



Sora tersenyum kecil. Album ini memiliki banyak kenangan, baik manis ataupun pahit. Sora mulai membuka halaman pertama dari album itu dan foto-foto yang menjumpainya ialah foto seorang bayi mungil dan tampan dalam berbagai ekspresi. Ada ekspresi diam, tertawa, ataupun menangis. Sora tersenyum melihat foto-foto bayi itu, bayi itu tidak lain adalah dirinya sendiri.



“Ternyata waktu kecil pun aku begini lucu dan tampan,” gumam Sora. Sora langsung membayangkan Maya, jika saja Maya mendengarkan ucapannya sekarang pasti wajah Maya akan merengut tidak percaya, matanya melebar, dan mengatai Sora “narsis” atau berbagai macam julukan lainnya. Namun semua hal itu sebenarnya tidak pernah membuat Sora tersinggung ataupun kesal, justru ia merasa itulah Maya. Maya yang seperti itulah yang selalu membuatnya merasa nyaman dan gembira, yang menatapnya dengan pandangan polos seperti anak kecil, tingkahnya yang spontan, dan semua gerak-geriknya, semuanya membuat Sora gemas padanya.



Sora membuka beberapa halaman berikutnya, dan ekspresi wajahnya langsung berubah menjadi dingin. Sorot matanya penuh dengan kemarahan, kesedihan, juga... kerinduan. Ia melihat foto-foto dimana terdapat sosok dirinya ketika masih bayi digendong oleh seorang wanita. Sosoknya ketika berumur sekitar 2 tahun dan digandeng oleh wanita yang sama seperti yang menggendongnya ketika ia masih bayi. Juga ada foto ketika ulang tahunnya yang ke-3, dimana ia yang masih kecil bersama dengan wanita itu memakai topi ulang tahun dan terlihat bahagia.  Ada foto dirinya yang masih kecil sedang mencolekkan krim kue ke wajah wanita itu. Banyak lagi ekpresi bahagia dirinya dengan wanita itu di foto-foto yang mengisi banyak halaman di album itu.



Ada foto ketika ia baru masuk TK, SD, dan SMP. Ketika ia mengikuti festival olahraga di sekolahnya. Ada juga ketika mereka sedang mengikuti festival di desa itu, pesta kembang api, berfoto di dekat sungai, foto ketika Sora menangis di dekapan wanita itu. Banyak hal bahagia tergambar di foto-foto itu. Wanita itu, meskipun ia berusaha keras untuk melupakannya, bayangannya tidak akan pernah hilang. Bagaimanapun, wanita itu... ibunya.



Terlintas memori itu kembali dalam pikirannya. Banyak memori berkelebat menjadi satu, teriakan dan tangisan anak kecil memanggil ibunya di tengah hujan, tawa gembira anak kecil itu ketika ibunya memeluknya. Memori itu terhenti pada suatu momen di ruang makan, terdapat anak kecil yang sedang makan kue dengan riang sampai beberapa remah kue menempel di sekeliling mulutnya dan ada wanita duduk di sebelahnya yang tersenyum sayang melihat anak kecil itu.



“Ah, lihatlah, anak ibu yang tampan lucu sekali,” katanya sambil mencubit pipi anak kecil itu gemas.



Anak kecil itu hanya tertawa senang dan terus saja makan kuenya dengan lahap. Ibunya hanya menatapnya penuh sayang kemudian membersihkan remah-remah kue di sekitar mulut anaknya itu dengan lembut.



“Anak ibu sudah bertumbuh besar rupanya, sudah 6 tahun. Tapi, lihat, makan saja masih berantakan,” ujar ibunya tertawa kecil. Anak kecil itu hanya mengerucutkan bibinya. Pipi gemuknya terlihat menggelembung dan menggemaskan. Ibunya hanya tertawa melihat tingkah lucu anaknya itu.



“Cepat sekali, ya, kuenya sudah habis. Mau kuenya lagi? Kebetulan ibu membuatkan banyak khusus untuk Sora,”



Anak kecil yang lucu dan tampan itu hanya mengangguk cepat sambil tersenyum riang, kemudian ia memeluk ibunya erat, “Sora sayanggg sekalii sama ibuuu,” kata anak kecil itu sambil membenamkan kepalanya di pelukan ibunya.



Ibunya tersenyum haru, memeluknya erat dan penuh sayang, “Sora merupakan harta paling berharga bagi ibu di dunia ini, sampai kapanpun ibu tidak akan pernah meninggalkan Sora,”



Sora kecil menengadah menatap ibunya, tepat di matanya. Sora menatapnya polos. “Benarkah Sora akan terus bersama-sama dengan ibu selamanya?”



Ibunya balik menatap Sora tersenyum, “Tentu saja, memang kapan ibu pernah berbohong?”



Sora tersenyum lebar, kemudian ia mengangkat jari kelingkingnya pada ibunya, “Sora pernah melihat ini di televisi, katanya kalau kita mengaitkan janji kelingking kita itu tandanya kita berjanji, dimana janji itu akan bertahan sampai kapanpun, jadi...,” Sora menatap ibunya sambil tersenyum hangat. “Janji ya?”



“Aihhh, anak ibu benar-benar pintar, sudah tahu hal yang seperti ini,” Ibu Sora tersenyum sayang sambil membelai rambut Sora, lalu mengangkat jari kelingkingnya, lalu mengaitkannya ke jari kelingking Sora. “Baik, ibu janji..., ibu dan Sora akan bersama selamanya...,”



Sora kecil tersenyum senang lalu memeluk ibunya erat. Momen membahagiakan yang Sora pikir akan terus abadi untuk selamanya. Sora mengeratkan pegangannya pada album foto itu. Janji bersama selamanya? Janji apa itu? Janji sampah! Cih! Matanya menatap wajah ibunya yang sedang menggendongnya yang berusia 7 tahun, tepat ketika ia akan masuk SD. Foto-foto itu menunjukkan bagaimana keduanya sangat bahagia, janji yang mereka ucapkan terkesan akan terus terlaksana dan ikatan mereka tak pernah terputus, sampai saat itu tiba.



Memori itu berputar lagi dimana Sora yang saat itu berusia sekitar 14 tahun, terbangun di tengah malam karena suara ribut. Ia menggosok pelan matanya yang mengantuk dan menatap sosok punggung seorang wanita di tengah keremangan suasana kamar yang gelap. Sora mengenal sosok itu, ibunya. Suara ribut yang membangunkannya itu berasal dari aktivitas ibunya yang tampak melipat baju dan memasukannya ke tas koper yang besar. Di dekat tas koper itu terdapat beberapa tas kecil dan barang bawaan. Ia juga mendengarkan suara isakan ibunya, apakah ibu sedang menangis? Tas koper dan semua barang bawaan yang ibu susun itu, apakah aku dan ibu akan pergi ke suatu tempat? Tepat ketika ibunya menarik resleting untuk menutup tas koper, Sora memanggil ibunya,



“Ibu...,”



Sora dapat melhat ibunya tersentak dan berbalik menatap Sora yang terbangun. Ibunya segera mengusap bekas air mata di pipinya dan dengan suara sedikit serak seperti habis menangis, ibunya menghampirinya, “Ah, nak.. Sora... kau terbangun rupanya. Maaf, ibu membangunkanmu, ya?”



Sora terdiam dan melihat ibunya menghampirinya. Sora melihat, mata ibunya basah, masih ada bekas air mata di sana.



“Ibu, ibu habis... menangis?”



Ibunya hanya menatapnya sendu dengan wajah yang mulai kembali berlinang air mata. Sora hanya bisa memandangnya dengan tatapan penuh tanya. Ibu Sora menaruh kedua tangannya di kedua pipi Sora. Sora tidak merasakan kehangatan di sentuhan ibunya, semuanya terasa dingin. Terasa asing dan menakutkan bagi Sora.



“Ibu? Kenapa ibu menangis?” tanya Sora. “Ibu jangan menangis, Sora sudah pernah bilang jika Sora tidak suka melihat ibu menangis,” Sora mengusap air mata ibunya. Ibunya tersenyum sedih dan menatap Sora tepat di matanya,



“Sora...,” bisik ibunya, serak. Seakan ia tidak rela untuk mengucapkan kata-kata yang akan dikatakannya nanti.



“Ibu? Ada apa?”



Ibunya hanya bisa terisak dan memeluk Sora erat, sangat erat. “Maafkan ibu, nak..., ibu sungguh-sungguh minta maaf,”



Sora bingung melihat tingkah ibunya, “Ibu... apa ada sesuatu yang terjadi? Kenapa ibu minta maaf? Ibu ‘kan tidak melakukan kesalahan apa-apa,” kemudian Sora melihat banyak tas koper dan barang bawaan yang tadi disusun ibunya, “Ibu, kenapa ibu menyusun baju dan banyak barang bawaan lainnya, lalu ada tas koper juga, apa kita akan pergi ke suatu tempat? Kenapa ibu tidak bilang apa-apa jika kita akan pergi?”



Ibunya tidak menjawab, hanya bisa terus terisak dan memeluk Sora dengan semakin erat. Sora semakin bingung dengan tingkah ibunya, ia tidak pernah melihat ibunya seperti ini. Tiba-tiba Sora merasakan ada suara pintu dibuka dan sinar lampu dari luar kamar menusuk matanya. Sora menyipitkan matanya untuk melihat siapa yang masuk ke kamar mereka.



Sora melihat ada sosok laki-laki tinggi besar memakai pakaian sangat formal, bisa dibilang jas, ada dua orang. Satunya berambut cepak dan sedikit lebih pendek dibanding yang berambut jeprak. Mereka hanya berdiri di dekat pintu, bergeming menatap adegan Sora berpelukan dengan ibunya, tanpa ekspresi. Sora menatap keduanya bingung, “Ibu, siapa mereka?”



“Eh?” ibunya melepaskan pelukannya dari Sora dan menatap ke belakang mereka. Dua sosok laki-laki itu mengingatkannya akan apa yang akan dilakukannya sebentar lagi. Kemudian ibu Sora menatap Sora, “Ah, mereka itu... teman-teman ibu, sebentar, ya, ibu mau berbicara dengan mereka dulu,” ibu Sora berdiri dan menghampiri kedua sosok laki-laki itu. Ibu Sora seperti membisikkan sesuatu kepada kedua sosok laki-laki itu, kemudian Sora melihat ibunya menatapnya sekilas, terlihat sangat sedih, sebelum kemudian keluar dan menutup pintu perlahan, menyisakan celah kecil yang masih terbuka.



Sora terdiam, bingung. Tidak biasanya teman-teman ibu bertamu malam-malam begini, lagipula aku belum pernah melihat mereka. Sora kemudian beranjak berdiri dan mengintip lewat celah kecil yang terbuka itu. Sora dapat melihat ibunya yang menatap kedua sosok laki-laki tinggi besar itu penuh permohonan. Sora tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan, namun ia sempat mendengar ibunya berkata,



“Kumohon, apakah kau tidak bisa melihat dan mengerti kondisinya? Berikan aku waktu sebentar saja, hanya sampai besok pagi. Aku janji tidak akan mengulur waktu atau melarikan diri lagi, kumohon,”



Dahi Sora mengernyit. Besok pagi, memangnya ada apa? Siapa yang akan melarikan diri ataupun mengulur waktu? Sora terus saja menatap ibunya yang tampak sedang memohon dan bernegoisasi dengan kedua laki-laki itu dengan tidak mengerti. Ia tidak dapat mendengar dengan jelas isi percakapan mereka. Ia hanya dapat melihat gerak-gerik mereka tanpa mengerti maksudnya. Laki-laki yang berambut cepak tampak mengeluarkan sesuatu seperti telepon genggam dan menekan beberapa angka dan sepertinya... menelpon seseorang. Selang berapa lama setelah laki-laki itu berbicara di telepon, laki-laki itu menutup telponnya dan menatap ibunya, mengatakan sesuatu, yang bisa didengar oleh Sora hanyalah kata-kata, “.... Baiklah, kalau kau ingkar, kau tahu sendiri resikonya,”



Sora tidak mengerti maksudnya, apakah ia salah dengar? Meskipun tidak salah dengar pun ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia bisa melihat ibunya membungkukkan badannya ke kedua laki-laki itu, seperti mengucapkan terima kasih. Ibu, sebenarnya ada apa?



Melihat ibunya yang beranjak hendak memasuki kamar, Sora segera kembali ke tempat tidurnya dan duduk. Ia tidak ingin ketahuan oleh ibunya sedang menguping pembicaraan mereka. Ibunya masuk ke kamar dan menghampiri Sora, lalu ia membelai lembut rambut Sora, perlahan. “Sekarang sudah tengah malam, Sora tidur, ya... Jangan karena sedang libur sekolah makanya Sora tidur malam dan bangun siang,” ujar ibunya lembut. Sora hanya menatap ibunya, dengan banyak pertanyaan di kepalanya.



“Ibu... apakah benar... kita akan pergi ke suatu tempat, makanya ibu menyiapkan tas koper dan barang bawaan?” tanya Sora, polos. Gerakan ibunya yang membelai rambutnya terhenti. “Lalu, siapa teman-teman ibu itu? Aku tidak pernah melihatnya, apakah mereka tidak pulang? Atau akan menginap di sini?”



Tatapan ibunya tampak menahan sakit dan luka yang sangat dalam, yang saat itu tidak disadari Sora maksud tatapan ibunya itu. Ibunya hanya tersenyum lemah dan berkata, “Iya, kita akan berlibur besok. Padahal ibu hendak menyiapkan... kejutan, untuk Sora,” suara ibunya terdengar serak, seperti hendak menangis lagi. “Tapi, malah sudah ketahuan oleh Sora,” ibunya tertawa kecil. “Dua laki-laki itu teman ibu... mereka akan mengantarkan kita untuk pergi berlibur. Mereka tahu... tempat yang bagus,” lanjut ibunya sambil terus membelai rambut Sora.



Mata Sora tampak berbinar, “Benarkah? Kita akan pergi berlibur, ibu? Kemana?”



“Kalau ibu bilang sekarang bukan kejutan namanya,” ujar ibunya sambil terus membelai rambut Sora. Sora menatap ibunya, heran. Tidak biasanya ibunya begini.



“Ibu? Ibu kenapa? Kenapa rasanya... ibu terkesan berbeda sekali malam ini?”



“Benarkah?” tanya ibunya.



Sora mengangguk pelan. “Iya, ibu tidak biasanya membelaiku seperti ini, secara terus-menerus. Aku ‘kan bukan anak kecil lagi, ibu , sampai harus dibelai terus...,” ujar Sora, cemberut.



Ibunya hanya tersenyum menatap anaknya itu. Kemudian ia berkata sambil merentangkan kedua tangannya, “Kesini, nak, peluk ibu,”



Sora terdiam heran menatap ibunya. Kemudian ibunya berkata, “Apa Sora sudah tidak mau memeluk ibu lagi sekarang?”



Sora menggeleng cepat kemudian segera memeluk ibunya. Ibunya balas memeluknya, sangat erat, seakan-akan ia ingin mencurahkan seluruh kasih sayang yang dimilikinya, seolah-olah apa yang ia berikan selama ini belum pernah cukup untuk menunjukkan betapa ia sangat menyayangi anak di pelukannya ini. Ibunya memeluk Sora sambil terus membelai rambut Sora, Sora hanya terdiam menikmati kehangatan pelukan ibunya.



“Anak ibu yang tampan sudah bertumbuh besar sekarang... Ibu sayang sekali sama Sora, Sora tahu itu, ‘kan?” kata ibunya lembut.



Sora mengangguk, “Iya, Sora tahu. Dan Sora juga sayanggg sekaliiii sama ibu,”



Tanpa Sora sadari, ibunya menahan air matanya yang hendak jatuh. Ibunya memperat pelukannya pada Sora dan terus membelai rambut Sora dengan penuh kasih sayang. Maafkan ibu, Sora... bisik ibunya terus menerus dalam hati.



“Sora tahu, ‘kan, apapun yang ibu lakukan semuanya demi kebaikan Sora? Dan sampai kapanpun, ibu akan terus menyayangi Sora dan... bersama Sora dimanapun Sora berada,”



“Hemmm... ibu ‘kan sudah bilang kita akan terus bersama, iya, ‘kan? Sora tidak akan pernah pergi kemana-mana, ‘kok, bu. Jadi, ibu juga tidak akan pergi kemana-mana, ‘kan?”



Ibunya tidak menjawab, namun tidak menimbulkan masalah bagi Sora karena dulu mereka pernah berjanji dan Sora percaya, ibunya tidak akan pernah bohong. Ibunya tidak pernah bohong dan ingkar janji padanya sebelumnya. Ia dan ibunya akan terus bersama sampai kapanpun. Kemudian ibunya melepaskan pelukannya dan berkata, “Sekarang Sora tidur, ya. Supaya besok tidak bangun kesiangan,”



Sora mengangguk dan tersenyum riang, “Iya, Sora tidak sabar menanti besok, bu! Pasti akan menyenangkan! Jika Sora bangun siang, bangunkan Sora saja, ya, bu, ah tunggu!” Sora segera mengambil jam weker di atas laci dekat tempat tidurnya dan menyetelnya. “Nah, Sora sudah menyetelnya jam 5 pagi, sudah cukup pagi, ‘kan, bu?”



Ibunya hanya mengangguk sambil tersenyum lemah, sangat lemah. Namun karena Sora terlalu gembira dengan ‘rencana liburannya’ besok, ia tidak terlalu memperhatikan ekspresi sedih di wajah ibunya. Apalagi mengingat pikiran Sora sendiri masih belum cukup dewasa untuk memahami semuanya. Ibunya menatap Sora dan menyentuh pipinya, “Anak ibu sudah besar, anak ibu sangat pintar...,” bisiknya pelan.. dan kuharap mulai besok, ia bisa menjaga dirinya sendiri... tambah ibunya pelan dalam hati.



“Tentu saja!” dengus Sora bangga.



Ibunya tersenyum dan berkata, “Sora harus berjanji sama ibu, jika Sora akan tumbuh menjadi anak yang semakin mandiri dan dewasa. Sora akan bisa menjaga diri sendiri, akan menjadi anak yang kuat dan tegar. Apapun yang menanti di depan, Sora harus belajar untuk menghadapinya dan melewatinya, meskipun tanpa ibu...,”



“Ibu, kenapa bicara seperti itu?” dahi Sora mengernyit, ia tidak suka mendengar ibunya berkata seperti itu.



“Berjanjilah...,” pinta ibunya. “Kau mau berjanji, ‘kan? Bukankah kau pernah bilang kau akan membuat ibu bangga suatu saat nanti? Maka dari itu, penuhilah janji ini, jadilah anak yang kuat, tegar, dan sukses... buatlah ibu bangga, ya, nak...,” lanjut ibunya, menatap Sora dalam. Sora hanya terdiam tak mengerti, namun kemudian ia hanya bisa mengangguk pelan. Ia memang pernah bilang jika ia ingin membuat ibunya bangga, dan meskipun ia tidak mengerti maksud ibunya, ia tidak akan banyak bertanya. Ia percaya pada ibunya, dan sebagai anak yang berbakti tentu saja ia akan memenuhi apapun keinginan ibunya.



“Iya, aku berjanji...,” kata Sora, pelan.



Ibunya tersenyum dan sambil menahan isakannya, ia membelai rambut Sora lagi, “Ya, ya benar... seperti itu..., Sora memang benar-benar anak yang baik, benar-benar anak ibu,” ibunya kembali memeluk Sora erat. “Ibu sayang sekali sama Sora, sampai kapanpun...,”



Banyak pertanyaan berkelebat di pikiran Sora saat itu. Tetapi ia memutuskan tidak menanyakannya, apalagi ia juga mulai mengantuk. Ibunya merebahkan kepala Sora ke bantal, Sora menatap ibunya,



“Ibu... ibu juga harus tidur sekarang. Biar besok kita sama-sama segar untuk pergi berlibur,” ibunya hanya tersenyum menatapnya. “Iya, sebentar lagi, Sora tidur saja dulu, ya...,”



Sora memandang ibunya dengan mata yang setengah mengantuk, “Besok... kita akan bersenang-senang, mengambil banyak foto, bermain bersama, ya ‘kan bu? Berenang di laut... bermain di gunung... menangkap serangga dan kupu-kupu....,” suara Sora semakin pelan, matanya sudah hendak benar-benar menutup. “Sora... juga sayang sekali... sama ibu...,” kemudian Sora segera masuk ke alam mimpinya.



Samar-samar Sora bisa mendengar ibunya menangis sambil membelai rambutnya, wajahnya, pipinya, dan mengatakan kata-kata yang sama, “Maafkan ibu, nak... Maafkan ibu, Sora... Ibu, harus mengingkari janji kita... namun ibu harap kau jangan mengingkari janjimu..., maafkan ibu, nak...,” namun Sora tidak mempedulikannya dan terus saja melanjutkan tidurnya.



Dan keesokan paginya, ketika Sora terbangun, ia menemukan tidak ada ibunya di sebelahnya. Sora menatap weker di sebelah bantalnya, jam 8 pagi, dan weker itu dalam posisi mati, alarm yang dipasang Sora dimatikan oleh seseorang. Apakah Sora yang mematikannya sendiri tanpa sadar? Ataukah ibunya? Atau apakah Sora sendiri lupa memasang alarm? Sora terdiam, ia yakin sekali ia sudah memasang alarm pukul 5 pagi dan ia tidak merasa mematikannya. Lagipula bukankah ibunya bilang akan membangunkannya jika ia bangun kesiangan? Di mana ibunya?



Di luar hujan deras, sangat deras. Sora terbangun, mencari ibunya ke segala penjuru rumah itu dan tidak menemukannya. Sora mulai panik, semua tas koper dan barang bawaan ibunya yang kemarin dilihatnya tidak ada, kedua sosok laki-laki itu juga sudah tidak ada. Sora mengecek lemari, hanya ada bajunya saja, semua baju ibunya tidak ada. Sora mengecek kamar mandi tidak ada alat mandi ibunya, hanya ada miliknya saja. Sora mulai frustasi dan melihat ada dua amplop yang diletakkan di atas meja rias ibunya. Amplop tebal berukuran besar dan amplop tipis berukuran kecil.



Sora mengambil amplop tipis berukuran kecil dan membukanya, sebuah surat. Mata Sora membelalak membaca surat itu, ia tidak percaya. Nafasnya mulai memburu tidak beraturan, surat yang dibacanya terjatuh. Ia segera keluar dari rumah, meneriakkan nama ibunya, tidak peduli hujan deras yang terus saja mengguyur tubuhnya, dan tatapan dari orang-orang yang keluar dari rumahnya melihatnya berteriak seperti orang gila. Jelas sudah, sangat jelas... ibunya telah meninggalkannya begitu saja, kata-kata ibunya kemarin malam ialah salam perpisahan... ibunya telah pergi entah kemana, hanya meninggalkan sepucuk surat dan amplop besar tebal yang berisi segepok uang.



Memori itu terhenti lagi, menyisakan mata Sora yang memanas. Ia membencinya, ia sangat membenci memori itu, baik yang bahagia maupun yang tidak. Sekarang semuanya sama-sama menjadi hal yang sangat memuakkan baginya. ‘Benar-benar anak ibu?’ Cih! Apakah wanita itu benar-benar menganggapnya anaknya? Sekeras apapun Sora berusaha melupakannya, namun hal itu tidak dapat hilang. Sora bersumpah akan melupakan wanita itu, wanita yang telah meninggalkannya begitu saja dan tidak pernah lagi mempedulikannya sampai saat ini. Hanya mengirimkan uang dan mengirimkan surat setiap bulan yang tidak pernah dibaca Sora. Uang yang didapatkannya tidak pernah lagi dipakainya ketika ia sudah bisa mulai bekerja sendiri dan disumbangkannya kepada warga desa yang membutuhkan. Aku tidak membutuhkannya! Aku tidak membutuhkan uang wanita itu! Wanita yang seenaknya saja mengingkari janji itu! Oleh karena itu, Sora tidak pernah memasang foto wanita itu di kamar ini, setidaknya foto itu tidak berada dalam tempat yang bisa dilihat dan dijangkau Sora, agar Sora tidak terus mengingatnya.



Melakukan segala hal demi kebaikanku? Maksudnya meninggalkanku ialah demi kebaikanku? Terus menyayangiku? Hanya kata-kata manis saja rupanya. Sora tertawa getir. Ia merasa keputusannya untuk membuka album ini salah karena mengingatkannya lagi pada rasa sakit dan lemah yang sangat dibencinya. Ia berusaha keras menjadi kuat dan tegar, bukan demi wanita yang pernah dipanggilnya ibu itu! Bukan untuk membuatnya bangga! Tapi untuk dirinya sendiri agar ia tidak lagi merasakan perasaan lemah dan terluka seperti yang disebabkan wanita itu!



“Brakkk!!” Sora membanting album itu ke lantai. Ia mencengkram rambutnya dengan kedua tangannya dan menundukkan kepalanya dalam-dalam.



Memori itu berputar lagi, tepat saat kelulusannya dari SMP. Ia melihat teman-temannya merayakan kelulusan mereka dengan ayah dan ibu mereka. Sedangkan Sora hanya bisa melihat semua itu sambil memegang ijazahnya, termenung seorang diri. Salah seorang temannya datang menghampiri Sora,



“Hei, Sora. Dimana ibumu? Apakah ibumu tidak datang? Tidak mungkin, ‘kan, jika ibumu tidak datang di acara penting seperti ini? Apalagi kau meraih predikat siswa terbaik dan peraih nilai tertinggi dalam ujian akhir,”



Sora tersenyum getir. “Ah, iya... ibuku bilang ia akan sedikit terlambat,”



Kemudian Sora dapat mendengar suara seorang wanita memanggil nama temannya dan menghampiri mereka berdua. Wanita itu ialah ibu dari temannya. “Satoshi, ayo! Ayah dan nenek menunggu di sana untuk berfoto bersama merayakan kelulusanmu!” kemudian wanita itu menatap Sora, “Ah, Sora. Selamat, ya, atas keberhasilanmu menjadi siswa terbaik dan meraih nilai tertinggi! Aku benar-benar iri pada ibumu bisa memiliki anak sepertimu,”



Sora hanya tersenyum getir, “Terima kasih, tante,”



“Aku duluan, ya, Sora! Ayah dan nenekku menungguku,” ujar Satoshi. “Dahhhh!” ia melambaikan tangannya dan Sora membalasnya. Sora hanya bisa menatap Satoshi dan ibunya yang meninggalkannya dan bergabung dengan keramaian di depan matanya, meninggalkannya sendiri lagi. Benar-benar sendiri dan merasa terisolasi.



Memori itu berputar lagi pada saat kelulusannya dari SMA. Teman-temannya menghampirinya dan mengejeknya,



“Mana ibumu, Sora? Apa ia tidak datang? Aku tidak pernah melihatnya!”



“Bagaimana mungkin ibumu tidak datang di acara sepenting ini? Ah... jangan-jangan ibumu sendiri tidak mempedulikanmu? Sifatmu juga buruk seperti ini, ‘sih, meskipun kau pintar...,”



Mereka tertawa dan Sora hanya bisa terdiam geram mengepalkan tangannya erat. Sora memisahkan diri dari keramaian dan kegembiraan itu. Ia merasakan benar-benar sendirian, tidak ada ibu dan ayahnya. Tidak ada orang tua yang mengucapkan selamat padanya dan memeluknya, memujinya atas usahanya hingga berhasil lulus dari SMA dengan nilai hampir sempurna.



Sora mendudukkan tubuhnya di balik salah satu pilar gedung sekolahnya, membanting ijazahnya dan menundukkan kepalanya, ia marah pada nasibnya sendiri.



“Arghhhh!!” Sora berteriak frustasi. Ia kembali lagi ke masa sekarang, membuang semua memori itu jauh-jauh di belakang. Ia membenci dirinya sendiri yang masih mengingat dengan begitu jelas semua kenangannya dengan wanita itu. Ia membenci dirinya sendiri yang merasakan sampai saat ini masih bisa dipengaruhi oleh wanita yang bahkan sudah pergi entah kemana itu. Bahkan wajah wanita yang merupakan ibunya itu masih teringat jelas di kepalanya.



Sora berniat hendak membuang album itu sebelum kemudian ketika ia mengangkat kepalanya, ia melihat halaman album yang sudah dibuangnya itu terbuka dan menunjukkan fotonya dan seorang gadis mungil. Sora berdiri dan mengambil album itu lagi. Ia menatap fotonya yang sedang menggendong seorang gadis mungil berambut hitam legam. Fotonya dengan gadis mungil itu ketika festival olahraga di sekolah gadis itu. Foto ketika mereka sedang makan bersama, bermain bersama. Ada juga fotonya dengan keluarga gadis mungil itu. Sora tertegun sejenak, ia melihat foto-foto itu, ia masih bisa melihat dirinya masih  bisa tertawa, dan tawanya itu ada ketika ia di dekat gadis mungil itu. Gadis mungil itu, ia tahu, Maya...



Tidak semua penduduk desa ini tahu masa lalu Sora yang seperti itu. Sora tahu wanita itu meminta keluarga Maya untuk menjaganya, dan oleh karena itu Sora sudah dianggap menjadi bagian keluarga oleh Maya. Ia tidak menyadari, pertemuannya dengan gadis mungil ini memberikan warna baru dalam hidupnya, yang ia kira hidupnya setelah itu akan menjadi gelap, tapi Maya masih bisa memberikan warna dalam kesehariannya. Sora tidak menyadarinya selama ini, karena ia merasakan sudah terbiasa begitu saja ada Maya dalam hidupnya.



Ia ingat ketika ia sedang sedih, Maya selalu berada di sampingnya untuk membuatnya tertawa. Termasuk saat momen kelulusannya saat ia merasa frustasi, Maya muncul dan membuatnya tertawa, mengucapkan selamat dan bernyanyi untuknya. Keluarga Maya menyiapkan pesta kecil untuknya, membuat kesedihannya dan kekecewaannya hilang. Ia juga ingat pada saat pertama kali bertemu Maya, saat itu, ya saat itu juga... Semua tingkah Maya selalu bisa membuatnya tersenyum dan melupakan kesedihannya. Ajaib. Sora merenung, Maya memang ajaib, entah kekuatan apa yang dimilikinya hingga bisa membuat Sora selalu merasa nyaman di sampingnya, tidak peduli apapun yang dilakukan Maya terhadapnya. Ia bisa menjadi bahagia ataupun marah maupun khawatir terhadap Maya. Ia menjadi lebih manusiawi jika ada Maya. Tidak pernah terbayangkan ia masih tetap bisa hidup sebagai manusia normal sejak ditinggalkan wanita itu begitu saja. Apakah Maya memang sengaja diutus datang ke kehidupannya untuk membuatnya mendapatkan kembali tawanya?



Sora menatap ke penjuru kamarnya, foto-foto yang terpasang di sana kebanyakan merupakan fotonya dengan Maya. Sejak Maya masih kecil hingga sudah beranjak remaja seperti sekarang. Sora membayangkan, bagaimana jika suatu saat Maya tidak ada dalam hidupnya? Apa jadinya jika Maya tidak pernah muncul dalam hidupnya? Sora bergidik. Mengerikan, ia tahu itu. Membayangkannya saja ia tidak mau.



“Hhhhhhh...,” Sora menghela nafas menatap foto-fotonya dengan Maya di album itu. Selama ini ia menganggap Maya seperti adiknya, dan begitupun dengan Maya. Setahu Sora, Maya selalu menganggapnya seperti kakaknya ataupun setidaknya orang yang selalu siap untuk menjahilinya. Sora tertawa mengingat tampang Maya yang ngambek dan kesal ketika Sora menjahilinya, terkadang merona ketika Sora menggodanya, sehingga Sora tidak berani mengambil kesimpulan ataupun prediksi jika Maya memandangnya secara berbeda. Sampai kapan Maya akan menjadi seperti itu? Bagaimana nantinya jika Maya memandangku secara berbeda? Sora terdiam, bagaimanapun mau tidak mau ia harus mengakuinya, ia sudah memandang Maya secara berbeda sekarang. Bukan lagi sebagai saudara, sebagai adiknya, namun sebagai seorang wanita. Ia mengingat semua kejadian hari ini dimana ia bisa cemburu melihat Maya bersama Satomi, berdebar kencang ketika menggendong Maya di punggungnya, sampai-sampai ia berharap Maya tidak dapat mendengarkan Maya mendengarkan debaran jantungnya. Ia juga ingat rasa khawatir yang dirasakannya ketika melihat Maya terluka. Ia juga ingat rasa bahagia dimana ia tahu ia bisa membuat Maya tertawa juga membuat Maya merasa dilindungi.



Ya, ajaib, benar-benar ajaib. Lagi-lagi hanya dengan memikirkan Maya, rasanya semua beban dan memori buruk yang diingatnya terlupakan begitu saja, meski Sora tahu ia tidak bisa menjamin memori itu tidak akan muncul lagi. Tapi Sora tahu ia akan baik-baik saja, selama ada Maya. Bagaimana jika nantinya Maya memandangnya secara berbeda, sebagai seorang pria? Entah kenapa Sora menyukai pemikiran itu. Ia mulai merasa lelah menjadi kakak bagi Maya. Namun Sora juga takut, bagaimana jika nantinya Maya malah menjauhinya jika ia tahu perasaan Sora yang mulai berubah padanya? Sora tidak mau! Sora berusaha meyakinkan dirinya sendiri, untuk saat ini, ya untuk saat ini, yang terpenting ia bisa menjaga dan melindungi Maya, menjaga senyumnya dan tawanya, sebagai balasan tawa dan kebahagiaan yang Maya berikan dalam hidupnya. Ya, untuk saat ini...



♪ ♪ ♪

“Aku berangkattt....,” ujar Maya sambil berjalan tertatih-tatih keluar dari rumah. Dengan sangat terpaksa ia berangkat jauh lebih pagi hari ini, yang membuatnya harus bangun lebih pagi. Meskipun tidak mau, tetapi mengingat kondisi kakinya yang belum benar-benar baikan dan membuatnya berjalan seperti orang pincang, ia harus berangkat lebih awal agar tidak terlambat ke sekolah. Ia tentu tidak mau terlambat lagi dan mendapatkan hukuman lari keliling lapangan seperti kemarin, sama saja mati, ‘deh! Dengan kondisi kaki seperti ini mau lari keliling lapangan? Bisa-bisa Maya akan berakhir menjadi orang yang tidak bisa berjalan (oke lebai deh, hahaha!)

“Auwwww...,” Maya berjalan sambil berulang kali bersandar pada dinding yang dilewatinya di jalan agar tidak jatuh. Maya mengingat kata-kata Sora yang mengatakannya jarang berolahraga sehingga kaki Maya lemah dan tidak terbiasa berlari. Bibir Maya mengerucut mengingat ekspresi Sora ketika mengatakan hal itu kepadanya kemarin, “Sombong sekali dia, mentang-mentang setiap hari berolahraga,”

Namun mau tidak mau sebenarnya Maya mengakui kata-kata Sora ada benarnya juga. Maya merasa dirinya tidak pernah membiasakan kakinya melakukan aktivitas olahraga sedikit saja sehingga kakinya disuruh berlari sebentar saja sudah merasa lelah. “Tapi, ‘kan tetap saja lari 20 kali keliling lapangan sama saja dengan penyiksaan secara perlahan-lahan, siapapun yang normal juga pasti akan mengalami kondisi sepertiku,” bela Maya sambil menggerutu dalam hatinya. Kemudian Maya melanjutkan jalannya  menuju sekolah lagi sambil terpincang-pincang.

Sedangkan Sora sendiri sedang membersihkan sepedanya yang sudah dipompanya kemarin dengan kain lap. Sora tidak berolahraga pagi ini karena ia merasakan badannya agak lelah setelah menggendong Maya cukup lama kemarin. Meskipun lelah, tapi Sora merasa senang bisa menggendong Maya seperti itu. Ketika membayangkannya lagi, Sora jadi tersenyum sendiri. Wajah Sora menjadi sedikit merona. Tersadar sedang melamunkan hal yang konyol, Sora segera menggelengkan kepalanya cepat untuk mengembalikannya ke dunia nyata. Sebenarnya Sora memutuskan untuk mengendarai sepedanya pagi ini karena ada alasan khusus.

Setelah Sora merasa sepedanya bersih, ia menaruh kain lapnya ke tempatnya kembali, kemudian mengambil tas kerjanya yang ia taruh di teras depan dan menaruhnya di keranjang depan sepedanya. Sora mengunci pintu depan rumahnya dan mengayuh sepedanya meninggalkan rumah. Baru sedikit Sora mengayuh sepedanya menjauhi rumah, Sora berhenti. Ia merasa ada seseorang yang sedang mengawasi dirinya. Sora menoleh dan tidak menemukan siapa-siapa di sana. Mungkin hanya perasaanku saja, gumam Sora dalam hati.

Sora melanjutkan kembali mengayuh sepedanya dan berhenti di depan rumah Maya, tepat ketika ibu Haru sedang keluar dari rumah membawa beberapa kantong plastik yang berisi sampah.

“Selamat pagi, bi,” seru Sora sambil menghentikan sepedanya.

“Ah, selamat pagi, Sora,” sapa ibu Haru, menoleh sedikit kepada Sora kemudian kembali melanjutkan kegiatannya membuang sampah. Setelah semua sampah yang dibawanya dibuang ia berbalik menghadap Sora lagi, “Ngomong-ngomong, kemarin bibi belum sempat bilang, terima kasih ya sudah mengantar Maya. Benar-benar merepotkanmu, sampai kau harus menggendongnya sampai ke rumah,”

“Tidak masalah, bi,” jawab Sora, sopan. “Mmmmm... Apa Maya masih tidur, bi? Bagaimana kondisi kakinya, apa sudah baikan?”

“Ah, tidak nak Sora. Maya sudah bangun dan baru saja berangkat sekolah,”

“Sudah berangkat?” dahi Sora tampak mengernyit, heran. “Tumben sekali sudah bangun dan bisa berangkat pagi,” tambah Sora, pelan, dengan harapan ibu Haru tidak mendengarnya.

Ibu Haru tersenyum, tampaknya ia mendengarkan perkataan Sora. “Iya, lebih tepatnya Maya terpaksa bangun lebih pagi karena jika tidak ia bisa terlambat dengan kondisi kakinya yang seperti itu,”

“Oh, begitu rupanya,” Sora manggut-manggut. “Ehm, kalau begitu saya juga berangkat duluan, ya, bi. Supaya saya tidak kesiangan juga,” Sora tersenyum sopan pada ibu Haru sambil menganggukkan kepalanya sedikit.

“Iya, hati-hati, ya, Sora,” ibu Haru balas tersenyum dan menatap punggung Sora yang perlahan menghilang dari kejauhan, sebelum kemudian menghela nafas pendek dan masuk kembali ke dalam rumah.

Pada jarak beberapa meter dari tempat Sora dan ibu Haru tadi berdiri, tampak Asa tengah mengamati. Ia berdiri diam di tempat itu sejenak dan tampak memikirkan sesuatu, sebelum ikut berlalu dari tempat itu.


♪ ♪ ♪

Sora mengayuh sepedanya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Ketika berpapasan dengan beberapa orang di jalan yang dikenalnya, Sora tersenyum menyapa sekedarnya. “Mana, ‘sih anak itu?” gumamnya dalam hati.

Sora menghentikan sepedanya ketika mata Sora menangkap punggung seorang gadis mungil yang sedang berjalan tertatih-tatih beberapa meter di depannya dengan posisi badan agak membungkuk ke depan. Sora mengulum senyumnya, menahan tawa melihat Maya yang berjalan seperti itu. Kemudian Sora mengayuh sepedanya perlahan hingga sejajar dengan Maya.

“Aioooo... aku kira tadi melihat nenek-nenek memakai seragam SMA sedang encok tengah berjalan, ternyata kamu rupanya, mungil,”

Maya menatap pria menyebalkan di sebelahnya dan wajahnya berubah menjadi semakin mendung. Kenapa pagi-pagi begini aku sudah harus bertemu dengan orang ini, ‘sih? Maya hanya terdiam dan menatap jalan di depannya, berusaha tidak mempedulikan Sora.

“Mau naik sepeda juga tidak?”

Maya berhenti berjalan, menatap Sora penuh selidik.

“Apa matahari hari ini terbit dari barat?” Maya menyindir dan kembali berjalan tanpa mempedulikan Sora.

Sora tertawa mengejek. “Hei, aku serius,”

Maya berhenti berjalan dan menatap Sora lagi. Tatapannya tetap tidak menunjukkan keramahan. “Benarkah? Kau serius?”

Sora hanya mengedikkan kepalanya sedikit, entah itu artinya ‘ya’ atau ‘tidak’. “Yah, mumpung aku sedang membawa sepeda hari ini dan aku juga sedang berbaik hati. Lagipula...,” Sora mendekatkan wajahnya pada wajah Maya membuat Maya spontan sedikit mundur karena terkejut. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti saja.

“Ap... apa...?” Maya gelagapan.

“Dibonceng oleh pria seperti aku akan menjadi suatu kehormatan besar bagimu, nona mungil,” ujar Sora sambil mengangkat-angkat alisnya. “Ibarat kau mendapat jackpot!”

“Apa?! KAU GILA!” Maya segera melengoskan wajahnya tidak mau menatap Sora.

Sora hanya mengangkat bahunya sedikit seakan tidak peduli dengan sikap Maya yang seperti itu dan memperbaiki posisinya menjadi posisi siap mengendarai sepeda lagi. “Jadi, bagaimana? Mau ikut denganku tidak?”

        Maya menatap Sora sambil mendecak keras. Apa, ‘sih yang ada di otak cowok gila ini? Sebenarnya dia mau dan tulus memberikan bantuan atau tidak? Sebenarnya ajakan dibonceng Sora merupakan tawaran yang sangat menggiurkan. Bukan karena dibonceng oleh pria yang katanya mempesona, berkharisma, ya apapun itu lah, tapi karena mengingat kondisi Maya yang seperti ini, dibonceng Sora akan sangat menghemat tenaganya. Tapi kalau aku ikut nanti pasti dia makin besar kepala lagi dan tidak akan berhenti menggodaku! Maya terlihat sedikit gelisah, menimbang-nimbang.

“Jadi?” Sora mendekatkan wajahnya lagi ke wajah Maya, membuat Maya kembali gelagapan dan spontan menjawab,

“Si... siapa yang mau ikut denganmu?” ujarnya gengsi. “Tidak terima kasih! Daripada ikut denganmu lebih baik aku berjalan saja!” Ingat Maya, harga diri sebagai wanita! Jangan biarkan orang ini merasa menang, grrrr!

“Benar tidak mau?” tanya Sora lagi. Maya hanya terdiam, tidak menjawab. Ekspresinya sedikit merengut. Selang beberapa detik kemudian, Sora mengangkat bahunya sedikit dan berkata, “Ya sudah kalau tidak mau, aku juga tidak rugi. Dahhh mungilll...,” ujarnya dengan nada tak peduli dan mengayuh sepedanya kembali, meninggalkan Maya begitu saja.

Maya terperangah menatap Sora yang benar-benar pergi begitu saja. Maya menatap Sora dan sepedanya yang perlahan-lahan menjauh. Maya sedikit berharap Sora akan membalikkan badannya dan kembali menawarkan lagi pada Maya atau memaksanya untuk ikut dengannya. Tapi ternyata tidak, Sora benar-benar pergi begitu saja hingga akhirnya lenyap dari pandangan Maya.

Maya terperangah. Apa!? Begitu saja!? Tidak adakah adegan seperti di film-film dimana sang pria tidak tega dan di saat-saat terakhir membalikkan badannya, memaksa sang wanita untuk naik ke sepedanya?

“Benar-benar keterlaluan, begitukah sikap yang patut ditunjukkan seorang pria!? Para wanita dan gadis yang memilihnya sebagai pria idaman nomor satu pasti sudah gila!” gerutu Maya. “Arrgghhhhh!!!” Maya menghentak-hentakkan kakinya untuk menunjukkan ekspresi kekesalannya sebelum ia sadar kakinya sakit dan Maya segera merintih kesakitan.

Maya kembali mengumpulkan tenaganya untuk berjalan menuju sekolah. Sudah cukup marah-marahnya, tidak ada waktu untuk hal itu sekarang. Yang terpenting ialah tidak terlambat sampai ke sekolah, meski sekarang Maya ragu bahwa ia bisa sampai ke sekolah tepat waktu melihat jalannya bahkan lebih lambat dari siput yang sedang encok (emang siput bisa encok ya?).

Meskipun sudah berusaha untuk tidak dipikirkan, kepala Maya terus saja terisi dengan sosok Sora Fujimura. Maya kembali menggerutu kesal, meskipun sebenarnya Maya sedikit menyesal karena bagaimanapun dia yang menolak ajakan Sora. Tapi namanya juga Maya, ia tidak akan mau mengakuinya! Pokoknya semua salah pria itu! Kenapa dia tidak memaksa Maya saja, ‘sih? Sudah tahu kondisi Maya seperti ini!

Sora Fujimura, dasar cowok tidak berperasaan! Brengsek! Kejam! Raja tega!!! maki Maya terus-menerus dalam hati.

Peluh membasahi dahi Maya. Akhirnya Maya sampai di ujung jalan dan ia sudah mencapai belokan sekarang. Meski begitu tetap saja perjalanan ke sekolah Maya masih cukup jauh. Maya sudah pasrah ia akan telat lagi. Rasanya hanya keajaiban yang bisa membantunya untuk tepat waktu sampai di sekolah dengan kondisinya yang sekarang. Dan mengharapkan keajaiban itu bisa datang sekarang jelas tidak mungkin.

Ternyata anggapan Maya salah, karena begitu Maya berbelok ia dapat melihat sosok tidak jauh di depannya yang sudah sangat dikenalnya. Sosok itu tampak menunggu seseorang, ia berdiri di samping sepedanya. Maya tertegun, bukankah seharusnya dia...? Maya hanya terdiam di tempat sampai sosok itu kemudian menyadari ada seseorang yang menatapnya dan ia menoleh melihat Maya. Sekilas Maya melihat ada senyum kecil tersungging di sudut bibir Sora.

“Lama juga kau sampai di sini, mungil,” ujar Sora.

Maya hanya terdiam.

“Lihatlah tampangmu, kacau sekali!” Sora mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya, kemudian beranjak mendekati Maya. “Wajahmu penuh keringat, ckckck... Mengerikan sekali tampangmu ini! Kalau pria melihatmu seperti ini, pasti mereka akan kabur dan tidak akan tertarik padamu!” omel Sora sambil mengusap peluh di dahi Maya dengan sapu tangannya.

Maya tertegun, melihat wajah Sora untuk ketiga kalinya pagi ini begitu dekat dengannya. Tapi kali ini berbeda karena Maya tidak langsung melengoskan wajahnya. Maya tidak bisa berkutik. Tangan Sora ada di dagunya dan tangan yang satunya memegang sapu tangan mengusap peluh di dahinya. Ia bisa merasakan hembusan nafas Sora di wajahnya, dan juga detak jantungnya sendiri yang sedari tadi sudah berloncatan tidak karuan. Maya bisa merasakan suhu wajahnya naik beberapa derajat dan tangannya mulai berkeringat. Maya sangat berharap wajahnya tidak menampakkan ekspresi aneh-aneh di hadapan Sora. Kumohon, jangan sampai dia mendengar detak jantungku ini...

Merasa sudah tidak tahan lagi, Maya segera mengambil sapu tangan dari tangan Sora. Sora menatapnya heran dan Maya langsung menundukkan kepalanya, menolak menatap Sora. “A... aku bisa sendiri,” ujar Maya, pelan.

Sora hanya mengangkat bahunya. Sepertinya ia tidak terlihat peduli terhadap reaksi Maya, mungkin dianggapnya sebagai hal yang biasa. Kemudian Sora kembali menuju sepedanya dan berkata pada Maya, “Ayo...,”

“Eh?”

“Kamu mau ikut atau tidak? Ayo, cepat! Nanti kamu terlambat!” Sora berkata dengan nada seperti memerintah, dimana perintahnya itu tidak dapat dibantah.

Maya hanya tertegun dan tidak menjawab, hanya terdiam di tempat.

“Aduh, anak ini benar-benar...,” ujar Sora gemas dan bergegas menghampiri Maya dan menarik lengannya. “Ayo...,”

“Tu... tunggu...,” ujar Maya, membuat Sora menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahnya. “Bukankah tadi... kamu...,” Maya tidak melanjutkan kata-katanya, karena ia sendiri bingung menyusun kata-katanya. Semuanya terlalu mengejutkan.

Sora tertawa, “Haizz, mungil! Apa kau pikir aku benar-benar berniat meninggalkanmu? Apa kau pikir aku setega itu padamu? Sepertinya tadi setelah kutinggalkan, kau sudah memaki-maki aku dengan kamus kata-kata makian mengerikan, ya?” selidik Sora, geli. Maya hanya melotot dan tampak gelagapan, tidak menjawab. Ia merasa tertangkap basah. Sora selalu saja bisa membaca pikirannya.

“Sudahlah, ayo!” Sora menarik lengan Maya lagi, dan kali ini Maya menurut saja “diseret” Sora tanpa mengeluarkan kata-kata atau tindakan memberontak. Maya terus saja terdiam meskipun ia sudah duduk di “tempat duduk penumpang” sepeda Sora dan sepeda Sora mulai meluncur menyusuri jalanan di desa mereka. Sora pun tampaknya tidak berniat untuk membuka pembicaraan.

Maya sedikit menyandarkan kepalanya di punggung Sora. Hangat. Nyaman rasanya. Sensasinya berbeda dengan waktu Maya digendong Sora kemarin namun tetap saja rasanya menyenangkan. Maya pasti sudah gila jika ia merasa seperti itu, tapi itulah yang dirasakannya sekarang dan Maya tidak mau menolak. Ia lelah dan ingin istirahat sebentar, menikmati perasaan menyenangkan ini untuk sesaat saja. Maya memejamkan matanya, sedikit mencium sapu tangan Sora yang masih berada di tangannya. Ada aroma Sora yang khas pada sapu tangan itu dan Maya... menyukainya. Lagi-lagi ketika semua terkesan tidak mungkin, Sora lah yang selalu muncul membuat keajaiban baginya. Ketika Maya mengira Sora tidak mempedulikannya, ternyata tidak. Mungkin justru Sora lah orang yang paling peduli pada Maya. Entahlah, Maya tidak mau memikirkannya. Ia benar-benar hanya menikmati saat-saat ini. Sejenak Maya membiarkan imajinasinya bermain sepuasnya. Ia merasa sepeda yang dinaikinya saat ini tengah melintasi langit biru yang luas, favoritnya, ada banyak awan, matahari bersinar terang. Di jauh sana terlihat gunung dan laut, ada pelangi juga, tampaknya di daerah sana baru saja turun hujan. Pokoknya semua hal yang menyenangkan, dan tentu saja dalam imajinasinya itu ada Sora yang mengendarai sepeda itu. Perlahan Maya mengalungkan lengannya di perut Sora. Entah bagaimana reaksi Sora, tapi sepertinya tidak ada.

Beberapa saat kemudian, sepeda Sora mulai mendekati gerbang sekolah. Banyak sekali tampak murid-murid yang berjalan mendekati gerbang sekolah. Sora memberhentikan sepedanya agak jauh dari gerbang sekolah, agar tidak menarik perhatian dan menghindari gosip dari para murid. Beberapa saat hening. Sora heran kenapa tidak ada reaksi apapun dari gadis di belakangnya padahal sepedanya sudah ia berhentikan dari tadi.

Apa dia tidur? Yang benar saja...

Sora sedikit menoleh ke belakang, melihat Maya yang masih memejamkan matanya, tenggelam dalam imajinasinya sendiri. Sora mendecak mengejek, dan sedikit menggerakkan badannya. Sedikit tersentak, Maya langsung membuka kedua matanya. Sudah berhenti? Apa sudah sampai? Kenapa cepat sekali? Maya sedikit mendongakkan kepalanya dan menatap Sora. Sora sadar sekarang mereka sedikit menarik perhatian dan beberapa murid di sekeliling mereka menatap mereka terkejut. Bagaimana tidak, Maya masih tidak turun-turun dari sepedanya dan posisi lengan Maya terlihat masih dikalungkan di perut Sora dan wajah Maya masih bersandar pada punggungnya. Dalam pandangan orang biasa mereka pasti terlihat seperti sepasang kekasih yang dimabuk asmara.

Sora hanya menghela nafas dan Maya hanya menatapnya dalam diam, sedikit heran. Kemudian Sora menatap Maya dan memberi tanda dengan kepalanya, menyuruhnya turun.

“Apa?” Maya masih tidak mengerti maksud Sora. Rasanya Maya masih berada di perbatasan antara imajinasi dan dunia nyata.

Sora tidak menjawab hanya terus saja memberi tanda yang sama dengan kepalanya. Kemudian beberapa saat kemudian Maya sedikit tersadar dan menatap ke sekelilingnya. Ia tersentak ketika mendapati tatapan beberapa murid yang lewat menatap ke arah mereka, tampak sangat terkejut. Dan Maya sendiri terkejut menatap dirinya yang masih bersandar pada Sora dengan tangannya masih memeluk erat perut Sora. Maya tersentak dan refleks ia segera berdiri dan pura-pura membetulkan rambut dan seragamnya, tampak sangat salah tingkah.

“Eh.. hm, ehm...,” Maya masih sulit menemukan kata-katanya dan kemudian ia menoleh ke sekelilingnya dan tersadar akan sesuatu.

“Kenapa kita berhenti di sini? Di sini ‘kan belum masuk gerbang sekolah?”

Sora tertawa mengejek dan mengetuk dahi Maya. “Dasar bodoh! Apa kau mau membuat gosip, mungil? Ah, tunggu dulu... Kalau kau pasti tidak keberatan, ya, tapi itu bisa jadi masalah buatku. Bagaimana nanti jika pesonaku luntur hanya karena aku membonceng gadis SMA yang tengah encok sepertimu?”

Maya tersadar akan maksud Sora dan segera menggerutu kesal, “Dalam mimpimu!” Maya segera beranjak meninggalkan Sora dengan kesal. Sora tersenyum geli, sebelum ia melihat Maya berhenti berjalan dan membalikkan badannya. Ia tampak ragu namun terlihat tengah memantapkan diri.

“Sapu tangannya akan kucuci bersih dan kukembalikan, dan...,” Maya sedikit mengatur nada suaranya agar tetap terlihat tidak ramah. “Terima kasih, ya atas semuanya pagi ini!” Maya segera melengos lagi dan berjalan cepat tertatih-tatih menuju gerbang sekolah.

Sora tertegun sejenak, sebelum kembali menatap Maya yang menjauh sambil tersenyum dikulum. Kemudian setelah Sora memastikan Maya telah memasuki halaman sekolah, Sora melanjutkan mengayuh sepedanya sampai menuju tempat parkir sepeda.

♪ ♪ ♪

“Ohayouuuu,” sapa Maya lemah sambil memasuki pintu kelasnya. Maya melangkah tertatih-tatih menuju ke mejanya.

“Maya-chan, selamat pagi,” sapa seorang gadis bermata sipit, berambut tebal-berponi helm, dan berkacamata, yang langsung menghampirinya. “Apa kau baik-baik saja?” tanyanya, tampak khawatir.

“Apa kau pikir aku baik-baik saja, Kusaki? Haaiiizzz, aku mau mati rasanya..,” Maya menelungkupkan kepalanya ke dalam dua tangannya yang menempel di atas meja. “Mengingat kemarin rasanya aku ingin mengutuk guru itu. Guru satu itu benar-benar ingin melihatku mati rupanya, kakiku sakit sekaliiiii,” gerutu Maya seperti mau menangis.

“Sabar, ya, Maya. Untung saja kamu tidak terlambat lagi hari ini,” kata Kusaki, tampak ikut prihatin. “Makanya lain kali jangan telat lagi, ya...,”

“Akan kuusahakan,” jawab Maya, nyengir. Ya, untunglah Maya tidak terlambat lagi hari ini, semuanya berkat Sora.

Ya... Berkat Sora.

“Wah, selamat pagi, Maya!” tampak seorang gadis berambut bergelombang dan dikuncir dua menghampirinya. “Tampaknya kau terlihat kacau sekali, ya, apa kau baik-baik saja?”

Mulai lagi, ‘deh, gadis ini! pikir Maya kesal. Maya benar-benar sedang tidak ingin meladeni gadis di depannya ini sekarang.

“Ya, begitulah, Sugiko,” jawab Maya, singkat. Maya masih menghargainya karena ia adalah anak dari atasan ibunya di toko mie tempat ibunya bekerja.

“Ah, ngomong-ngomong...,” kata Sugiko dengan suara mendayu-dayu yang dibuat-buat, sehingga membuat Maya ingin muntah. “Apa kau sudah punya rencana untuk Natal nanti, Maya?”

“Natal?” dahi Maya mengernyit.

“Oww, astaga, MAYA!” Sugiko menunjukkan ekspresi keterkejutan yang amat sangat dibuat-buat. Maya yakin dengan kemampuannya yang begitu Sugiko bisa mendapatkan piala Oscar untuk kategori pemeran bermuka dua (eh ngga ada kategori begitu ya?) “Apa kau lupa kalau sebentar lagi Natal!? Yang benar saja, Maya... Ckckckck...,” tampak sekarang ia memperlihatkan ekspresi prihatinnya yang lebai. Maya melirik Kusaki, Kusaki sepertinya terlihat ingin menerkam Sugiko. Maya tertawa dalam hati.

Natal? Benarkah sudah dekat? Maya benar-benar tidak menyadarinya, sebelum ia sadar jika sekitar sebulan lagi Natal akan tiba.

“Ah... ya, tentu saja aku tidak lupa,” Maya berusaha menjaga ekspresinya agar tidak ketahuan bahwa ia benar-benar lupa, meski sepertinya tidak terlihat meyakinkan. “Aku... belum memikirkannya. Masih lama juga...,”

“Untuk momen seperti Natal harusnya kau sudah mempersiapkan suatu acara yang spesial! Misalnya seperti aku! Apa kau tidak ingin tahu apa yang sudah kupersiapkan untuk Natal nanti?”

Maya sebenarnya tidak ingin tahu. Tepatnya bahkan ia tidak akan peduli. Dia mau ke Amerika kek, Afrika kek, Kutub Utara kek, peduli amat. Tapi ia tidak mungkin mengatakannya. Ia memilih diam dan Sugiko menganggap diamnya Maya sebagai tanda ia boleh melanjutkan kata-katanya.

“Tadahhhh! Aku akan pergi ke sini!” Sugiko menaruh suatu brosur di meja Maya dan menunjuk-nunjuknya dengan jari telunjuknya. Maya segera mengarahkan pandangannya ke brosur itu. Di brosur itu tertulis besar-besar huruf ‘Pertunjukan Natal Tahun Ini, ANNA KARENINA’. Dan berbagai tulisan-tulisan kecil lain yang menunjukkan informasi tempat, waktu, harga tiket, dan lain sebagainya. Terlihat seorang wanita yang sangat cantik di brosur itu. Sepertinya ia yang memerankan menjadi Anna Karenina. Maya melirik nama pemeran yang terpampang di brosur itu. Utako Himekawa sebagai Anna Karenina.

“Ini merupakan suatu pertunjukan drama besar! Di kota dekat desa sini pula! Dari teater yang sangat besar dan ternama! Ah, aku benar-benar sudah tidak sabar! Tentu saja aku akan pergi bersama pacarku yang baru itu. Benar-benar akan menjadi Natal yang menyenangkan! Aku sudah tidak sabar! Ah, maaf, Maya, bukannya aku bermaksud pamer atau apa, atau menyinggung perasaanmu, aku hanya memberikan contoh bagaimana kau seharusnya merayakan Natal! Agar kau tidak menyesal, percayalah! Aku memang benar-benar orang yang baik, ya...” ujarnya sambil terus heboh sendiri dan berlalu. Entah meja mana lagi yang akan jadi “sasaran” Sugiko berikutnya.

Maya dan Kusaki sambil berhadapan dan mengulangi kata-kata terakhir Sugiko barusan dalam saat yang bersamaan, “Aku memang benar-benar orang yang baik, ya...” dengan gaya dibuat-buat seperti halnya Sugiko, kemudian mereka membuat gerakan seperti orang muntah, dan kemudian tertawa kecil.

“Aishhh, benar-benar membuat gila! Apa kau tahu kalau dari tadi pagi Sugiko terus menggembor-gemborkan hal itu di depan teman-teman sekelas? Aku ragu kabar bahagianya itu tidak menyebar ke seluruh penjuru sekolah ini. Hahhhh, aku kesal sekali melihat sikap soknya itu! Rasanya ingin kucakar dan kurobek saja mulutnya!” kata Kusaki geram, sambil membuat gerakan mencakar dan merobek sesuatu dengan tangannya. Maya hanya tertawa kecil.

“Ah, sudahlah, aku kembali ke mejaku dulu, ya, Maya. Sudah mau jam pelajaran pertama. Jangan dengarkan perkataan gadis gila tadi,”

Maya hanya mengangguk kecil sambil tersenyum, lalu menghela nafas pelan.

Hmmm... Anna Karenina, ya...

        Maya terus saja menatap brosur yang tadi diberikan oleh Sugiko kepadanya dengan tatapan penuh minat. Sebelum kemudian ia buru-buru memasukkan brosur itu ke dalam kolong mejanya ketika ia mendengar suara teman-temannya mengucapkan salam pertanda guru sudah memasuki kelas.

♪ ♪ ♪

(Paris, 20xx, saat ini)

Suasana ruang ganti tampak ramai. Meski wajah para pemain teater Onodera terlihat kelelahan, namun pancaran kebahagiaan tidak dapat disembunyikan. Mereka sangat senang karena pementasan mereka malam ini sukses besar. Tentu saja hal ini merupakan suatu prestasi yang sangat membanggakan karena ini pementasan drama perdana mereka di tingkat internasional dan mendapatkan sambutan sangat positif dari para kritikus ternama. Pasti nama teater mereka akan terpampang besar-besaran di headline koran di Paris dan Jepang, dan akan membuat nama teater mereka semakin terkenal. Kesuksesan teater Onodera juga tidak lepas dari peran dua bintang utama mereka, Yu Sakurakoji dan Ayumi Himekawa. Koji dan Ayumi tampak dielu-elukan di tengah para pemain di ruang ganti.

“Pementasan kali sukses besar karena kalian berdua! Kalian hebat, Koji! Ayumi!” seru seorang gadis yang diikuti teriakan setuju dari yang lainnya.

“Benar! Nama kalian setelah ini pasti akan semakin mendunia! Kalian memang hebat! Akting kalian mengagumkan! Kalian calon bintang besar!”

Dan masih begitu banyak lagi seruan pujian terlontar secara terus menerus dari para pemain teater Onodera. Koji dan Ayumi yang mendengarnya hanya tersenyum, tetap tenang, sambil mengucapkan kata terima kasih dan basa-basi lainnya seperti, “Tidak, pementasan kali ini juga bisa sukses berkat kalian,”

Tiba-tiba pintu terbuka dan tampak Onodera masuk. Wajahnya tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan karena kesuksesan pementasan teater asuhannya kali ini. “Koji, Ayumi, pementasan kali ini benar-benar sukses besar! Aku sungguh berterima kasih pada kalian berdua! Kalian berdua luar biasa!”

“Anda berlebihan, pak Onodera. Kalau bukan berkat Anda juga, kami tidak akan bisa sampai ke tahap ini,” kata Ayumi.

“Ayumi benar, pak. Semuanya ikut berperan sehingga pementasan malam ini sukses besar,” sambung Koji.

Onodera hanya terkekeh. “Banyak wartawan ingin mewawancarai kalian dan para kritikus serta produser juga sutradara ternama ingin berbicara dengan kalian! Aku harap kalian bisa! Di luar sambutannya benar-benar meriah sekali! Aku juga tidak bisa lama-lama di sini, masih banyak yang harus kuurusi dan kuajak bicara,” katanya seraya berlalu dari ruangan itu.

Kemudian para pemain pun ada yang mengobrol, membereskan barangnya, membersihkan make-up, dan banyak lagi hal lainnya. Ayumi menatap Koji,

“Apa kau ikut, Koji?”

“Entahlah, Ayumi. Aku lelah, ingin istirahat. Mungkin hanya sebentar untuk memberi salam,”

Ayumi tersenyum maklum. “Baiklah kalau begitu. Aku duluan, ya,” katanya seraya beranjak keluar ruangan. Koji hanya mengangguk sambil tersenyum.

Koji berbalik dan membereskan barang-barangnya, sambil sesekali membalas sapaan teman-temannya yang hendak keluar ruangan. Sayup-sayup Koji mendengar bisik-bisik di antara para pemeran lain di sekitarnya,

“Apa kau tahu? Kudengar salah satu pemain Teater Mayuko menghilang!”

“Apa!? Kau yakin itu benar? Kau tidak bercanda?”

“Tidak! Tadi aku sempat dengar kasak-kusuk di luar sana. Sepertinya benar, karena sepertinya aku juga melihat beberapa orang Teater Mayuko sepertinya panik kelabakan mencari pemain yang hilang itu!”

“Astaga, apa mereka bermaksud main-main!? Ini bukan pertunjukan biasa tapi di tingkat internasional! Harusnya mereka berterima kasih bisa mendapatkan kesempatan tampil di panggung dan gedung ini! Apa mereka bisa tampil setelah ini!?”

“Apa, ‘sih yang mereka pikirkan!? Mencoreng nama teater Jepang saja! Apa teater mereka mau mati? Ckckckk...”

Koji tidak melanjutkan mendengarkan pembicaraan mereka. Pikirannya mendadak sibuk setelah mendengarkan pembicaraan itu. Ada pemain teater Mayuko yang hilang? Mungkinkah... Ingatan Koji melayang pada sosok seorang gadis mungil yang sudah lama tidak dijumpainya.

♪ ♪ ♪

“TING!” terdengar suara elevator berhenti di suatu lantai. Gadis berambut bergelombang dan berdandan tebal itu muncul dari dalam elevator itu. Ia berjalan tanpa memperhatikan kanan dan kirinya. Pikirannya terus melayang akan kejadian yang baru saja dialaminya bersama gadis itu. Bersama Maya. Maya yang awalnya ceria menemuinya, Maya yang tampak terpukul dan tidak percaya setelah mendengar ceritanya, Maya yang tidak menangis setelah ia pergi meninggalkannya sendirian tadi. Tapi ia tahu dan bisa menduga, pasti tidak lama setelah itu Maya menangis sesenggukkan. Wajah gadis berambut bergelombang itu tampak menahan sakit.

Tiba-tiba, ia mendengar suara ribut tidak jauh di depannya dan ia mendekati sumber keributan itu. Ia tahu bahwa di lantai ini banyak terkumpul wartawan serta orang-orang teater dan perfilman yang terkenal dan punya nama besar di dunia teater dan film. Mereka tengah sibuk mewawancarai dan berbincang dengan tokoh-tokoh dibalik suksesnya pementasan teater Onodera, dan juga menunggu pementasan teater berikutnya, teater Mayuko. Gadis itu merasa sedikit ngilu, mengingat kondisi Maya tadi, ia tidak yakin apakah akan ada pementasan setelah ini. Dan keraguan itu memang benar. Ia sekarang bisa melihat bahwa sumber keributan itu bukan berasal dari wartawan dan orang-orang terkenal seperti yang disangkanya tadi. Sumber keributan tersebut berasal dari teman-teman Maya dari kelompok drama yang sama tengah panik mencari Maya. Kerumunan para wartawan dan yang lainnya justru berada di belakangnya.

“Apakah kamu sudah menemukan Maya?” teriak Rei.

“Tidak ada! Aku sudah mencari di seluruh ruangan di lantai ini dan tidak berhasil kutemukan! Aku juga sudah meminta bantuan beberapa penjaga gedung, tapi belum ada kabar mengenai tanda-tanda keberadaan Maya!” jawab Sayaka, panik.

“Ayo terus kita cari! Jangan menyerah!” ujar Rei. “Aishhh, apa ‘sih yang dipikirkan anak itu menghilang begini!?”

Gadis berambut bergelombang itu, Sugiko, terhenyak. Maya menghilang? Apa mungkin Maya masih di tempat yang tadi? Sugiko sedikit menimbang dan hendak membuka mulutnya, memberitahukan bahwa ia bisa memberikan informasi mengenai Maya, mungkin saja Maya masih di tempat tadi, ketika tiba-tiba saja tatapannya terpasung pada seorang wanita yang sedang berjalan ke arahnya. Wanita berambut panjang hitam bergelombang itu tampak berjalan anggun dan memberinya tatapan yang membuatnya langsung menutup mulutnya. Wanita itu kemudian kembali menatap ke depan dan melewatinya begitu saja, menuju kerumunan orang di belakang Sugiko. Ketika wanita itu melewati Sugiko, Sugiko bisa merasakan jantungnya berhenti berdetak. Tatapan wanita itu menghunjam dirinya, mengingatkan dirinya akan janji di antara mereka.

Sugiko berbalik dan melihat wanita itu masuk ke kerumunan dan menghampiri seorang pria yang terlihat menonjol di kerumunan itu. Pria itu tinggi tegap, tampan, berwibawa, dan penuh dengan aura kuasa. Wanita itu tersenyum lembut pada pria itu, yang dibalas pria itu dengan senyumannya yang maskulin. Sugiko terus menatap pria itu sambil kembali mengingat tentang bagaimana reaksi Maya ketika ia mengatakan kabar buruk itu. Seketika ia merasakan sedikit rasa perih di hatinya dan matanya memanas.

Maafkan aku, Maya... batinnya pedih.

Sugiko segera berbalik meninggalkan kerumunan itu. Ia ingin segera pergi dari sini. Malam ini ia sudah banyak melakukan perbuatan buruk, mungkin minuman bisa membantu menghilangkan stress dan sakit kepala serta kesedihan di hatinya. Tiba-tiba Sugiko berhenti. Ia mengeluarkan sesuatu dari kantung roknya, sebuah kalung di mana terdapat dua cincin berukuran berbeda tergantung di situ. Sugiko ingat ia menemukan kalung itu dari tumpukan barang dimana terdapat pakaian, celana, dan berbagai macam barang lainnya milik seseorang, yang dulu diberikan oleh wanita kaya berambut hitam bergelombang itu padanya.

Sugiko menatapnya. Pada cincin yang berukuran besar tertulis inisial huruf M.K., pada cincin yang berukuran kecil tertulis inisial huruf S.F. Ya... Sudah jelas, sangat jelas.

Ini bukti... bahwa Sora Fujimura memang milik Maya Kitajima. Baik hidup ataupun mati... sampai kapanpun...

♪ ♪ ♪




>>> Fated to Love You, Only You ch 2 bersambung <<<

35 comments:

Miarosa on 26 January 2012 at 09:04 said...

kayaknya Sora kecelakaan, hilang ingatan, ganti nama jd Masumi Hayami...

Ervina on 26 January 2012 at 09:53 said...

hooo...penasaran nih..apakah sora sudah tiada? atau sora itu adalah teman baik masumi? dan sora pernah cerita soal maya ke masumi.hm...disini masumi udah tunangan sama shiori.

imme summer on 26 January 2012 at 10:37 said...

Keren...
Alurnya maju mundur... :)

komalasari on 26 January 2012 at 11:07 said...

makin penasaran....
beneran sora meninggal..??? apakah sora sepupunya masumi..???

jangan lama2 sis Airin apdetnya....
tq

Anonymous said...

Masumi merasa mengenal nama Maya...jadi Masumi=Sora yg amnesia? aishsh...tambah penasaran bae...lanjuuuuut :)

Bunda Ita on 26 January 2012 at 14:59 said...

kayaknya sora bukan masumi beda usia , mungkin spupu atau adik yg tak terduga , aisss penasaran kapan maya ketemuan sama masumi
boleh aja sora cinta pertama maya tapi cinta sejati tetep masumi halaaahhh
ayooo apdate lagi bikin penasarn
alurnya keren maju mundur....

Beatrix on 26 January 2012 at 16:36 said...

Sora become masumi kah...kyk bc TK tp dirancang ulang,....

mommia kitajima on 26 January 2012 at 19:52 said...

michan, kita sehati yah
nurutkuh juga yah
sora itu hilangg ingatan
trus di angkat anak sm eisuke
terus jadi masumi
hahahhaa... *sotoy sangad*

untung aja shodong2 cuma temen
lom jd tunangan

ahhh masumi-sama, misss u soooo muchhhh

chuubyy on 26 January 2012 at 20:55 said...

ahhhh... lum konek ni... critanya pegimane... huwaaa..... masumi lum kenal maya disini... jd binun ndiri.. betul2 berbeda bgd... hikk hik hik... jd lum bs ngebayangin epsod selanjutnya dew,,, hufff.. lanjutin iahhh... thx atas ff nyaa :)

betty on 27 January 2012 at 09:12 said...

tetep kekeuh , kekna si sora adeknya si masumi deh .wekekekekekek ....

xiaolong li said...

maya, sma, umur +- 16 - 17 th
sora, guru 27 th

maya, aktris mayuko, +- 19 - 20 th
masumi, direktur, +- 29 - 30 th

*kyk ny emang sora = masumi yg amnesia, dlm wktu 3 th bljr bisnis, awalny kn emang sora anak yg pintar skali
*ini kn beda ma TK asliny

menurut q sih

Anonymous said...

airin....ditunggu updateannya

imme summer on 31 January 2012 at 16:30 said...

Hahaha... pada berspekulasi dehh... Airin... jangan lama2 membiarkan kami menerka-nerka...

airinvandana said...

hihii.. maap bertapa cari ide sama alur yg enak :p

bsok ya diusahakan update :)

Anonymous said...

asyik besok ada apdetan...ditunggu

khalida

komalasari on 3 February 2012 at 09:01 said...

sora itu = masumi kah? ???
sifatnya mirip...
ganti nama untuk menghindari eisuke...???

penasaraaaaaan.....jgn lama2 apdetnya ya sis Airin....

tq

Anonymous said...

jadi sora dijadikan masumi oleh eisuke, untuk jd penerus Daito???....

-khalida-

Heri Pujiyastuti on 3 February 2012 at 09:52 said...

So Sweet banget....Jadi pengen digendong sama Sora aka Masumi...^^

betty on 3 February 2012 at 13:33 said...

hmmmmmmm makin menarik nih
* gosok2 tangan * jadiiii apakah si masumi ini si sora yaks ?
tp ada beda usia tuh ... * elus2 jemb...eh jenggot eh .. udh ga punya jenggot *

aydhie on 5 February 2012 at 05:23 said...

sora=masumi, kec ulah eisuke ya buat ambil sora....

Anonymous said...

go...go...go...airin ditunggu updateannya

chuubyy on 13 February 2012 at 20:09 said...

bedaaa... beda bgd... mm.. tapi bikin pensaran,,,, jng2 masumi ntu adalah sora nya mayaaa kaaa.... trus diculik ma eisuke kemudian soranya dicuci otak...wew,,, grr..... HE pliss.... >_<

Anonymous said...

wuih...bingung nih...bacanya kalaau nggak serius, tapi di tunggu updateannya

Beatrix on 18 April 2012 at 14:31 said...

yah belum dilanjutkan lagi????

Beatrix on 18 April 2012 at 14:32 said...

belum ada lanjutannya lagi kah ???

imme hutajulu said...

Ty...
Yang ini Airin blom kirim lanjutannya yah ???
Penasaran....

Anonymous said...

Lanjutannya dunkkkk

Muree on 21 August 2012 at 19:54 said...

Huaa!shiori bikin gara2 lg! Kasian maya. Masumi segera ingat dong! Tapiii apdet selanjutnya yg bnyak ya sis.

Anonymous said...

jadi masumi hayami dan sora fujimura tuh orang yg sama....dan shiori tetep jd nenek sihir...

-khalida-

imme hutajulu on 28 August 2012 at 12:11 said...

Wow...
Makin seru nih..
Ayo Airinn...
Smangat ngelanjutinnya....
*keluarin pom-pom*

Anonymous said...

Tlg bgt lanjutin dnk ceritanya..sumpah aku ga bakal mati tenang penasaran gini..aku mohon airin..tlg lanjutin.. please...
Erlin^^

Unknown on 6 June 2014 at 11:07 said...

lanjutannya mana? Q penasaran banget, akhir cerita.a gmn?

Unknown on 6 June 2014 at 11:10 said...

lanjutannya mana? Q penasaran banget, akhir cerita.a gmn?

Anonymous said...

mulai seru, ditunggu lanjutannya....
~ meliana ~

Anonymous said...

Kok gak ada lanjutan2nya yah?


Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting