Thursday 19 January 2012

FFTK: Fated to Love You, Only You Ch. 1

Posted by Ty SakuMoto at 05:16
Fated to Love You, Only You Ch. 1
(by. Airin)


Genre : Romance
Warning : 18+
Setting: Original, agak melenceng jauh dari plot Topeng Kaca aslinya.


Pertama kali lelaki itu melihat mata gadis itu, ia terpesona seakan ia tengah melihat sinar matahari terindah..
Pertama kali lelaki itu mencium aroma gadis itu, ia seakan baru pertama kali mencium aroma paling harum yang ada di hidupnya..
Pertama kali lelaki itu menggandeng tangannya, ia tidak rela untuk terlepas dari kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya..
Pertama kali lelaki itu memeluknya, ia tahu ia tidak akan dapat berpisah dari gadis itu sampai kapanpun..

Pertama kali gadis itu melihat lelaki itu, ia langsung membayangkan 4 hal dalam pikirannya, tentang apa yang ada dilihatnya pada pria itu : matahari, bintang, sungai, dan.. langit..
Pertama kali gadis itu menatap mata lelaki itu, ia tidak menyangka akan jatuh cinta padanya..
Pertama kali gadis itu mendekap lelaki itu, ia tidak pernah berpikir akan dapat merasakan perasaan bahagia dan sakit yang begitu dalam..
Pertama kali gadis itu merasakan sentuhan lelaki itu, ia merasakan kedamaian dan perlindungan yang amat sangat..


Selalu saja ada kata “pertama” dan semua itu tidak disadari pada awalnya..
Semuanya terjadi alami..Tanpa mereka sadari.. Ya, begitu saja..
Kisah mereka bisa terjadi, ya, begitu saja..
Laki-laki dan gadis itu jatuh cinta, begitu saja..
Seperti bermimpi, makan, minum, menari, berjalan, bahkan seperti bernafas..
Mereka terikat dan ditakdirkan untuk bertemu dan bersama..

Kisah ini bukan kisah Romeo dan Juliet, hanya kisah dari dua insan biasa yang jatuh cinta.. Kisah ini punya awal, bagaimana dengan akhirnya? Adakah? Akankah bahagia? Entahlah..

Kisah ini.. semuanya.. bermula dari sini..

(Paris, Desember 20xx, saat ini)
“Cring cringg..” terdengar suara lonceng kecil di tengah keriuhan jalanan besar kota Paris. Saat itu mendekati hari Natal, jalanan terlihat sangat ramai. Meskipun biasanya juga ramai namun tidak seramai saat itu. Banyak orang keluar dari rumahnya untuk berbelanja atau sekedar memanfaatkan waktu pergi bersama pasangan ataupun keluarganya, mengingat selama hari kerja mereka tidak dapat melakukan hal itu. Bahkan keramaian saat itu tidak terpengaruh oleh suara lonceng yang tengah dibunyikan oleh seorang gadis yang berumur sekitar 20-an, berambut hitam legam, yang berjalan gontai di tengah kerumunan orang tersebut.

Tatapan matanya kosong dan dia berjalan seolah tanpa arah. Tangannya terus saja membunyikan lonceng yang ada di tangannya, yang kalau dilihat baik-baik lonceng yang ada di kalung itu seperti lonceng yang biasanya di taruh di leher hewan peliharaan, seperti kucing dan anjing.

“Cringg.. cringg...,” lonceng kecil itu terus saja berbunyi. Gadis itu segera beranjak menuju tempat untuk menyeberang, dari kejauhan ia dapat lampu pejalan kaki tampak berubah terus dari warna hijau ke merah, merah ke hijau. Banyak orang yang berdesakan untuk menyeberang. Ia tidak memperhatikannya. Ia tidak peduli. Ia tidak benar-benar ingin menyeberang. Yang ia ingat hanya satu, satu orang saja.

Pembohong...

“Kalau kamu rindu padaku, segera bunyikan lonceng ini..” ujar seorang lelaki bertubuh tinggi memakaikan kalung berbentuk lonceng yang ukurannya cukup besar ke leher seorang gadis berambut hitam legam yang bertubuh jauh lebih mungil daripadanya. Gadis itu, ia tahu.. itu dirinya.

Pembohong..

Lonceng itu terus saja dibunyikannya.

Tidak jauh dari tempatnya berdiri, ada sebuah mobil mewah yang tampak mencolok, yang sedang “mengantri” giliran untuk berjalan, menunggu para pejalan kaki yang saat ini tengah menyeberang. Seorang pria di dalam mobil itu, ia duduk di kursi penumpang belakang, tampak melihat ke arah jalan, entah kenapa keramaian hari itu menarik perhatiannya.

“Masumi, ada apa?” tanya seorang wanita berambut hitam panjang dan agak sedikit bergelombang, menyentuh bahunya lembut.

Pria yang disapa Masumi itu menoleh, ia tersenyum. “Tidak apa-apa, rasanya hari ini jalanan sangat ramai, ya,”

“Bukankah itu wajar, Masumi? Beberapa hari lagi sudah Natal,” dahi wanita itu sedikit mengernyit. “Akhir-akhir ini `kan seperti itu, Masumi. Lagipula, ini Paris. Tidak biasanya kau memperhatikan hal seperti itu,”

“Ah, benarkah? Mungkin hari ini aku sedang ingin memperhatikannya saja,” ujar Masumi sambil melihat lagi ke arah jalan diiringi dengan tatapan heran dari wanita di sampingnya. Tepat saat itu, lampu pejalan kaki telah berubah warna menjadi merah kembali, mobil Masumi dan juga mobil lain yang telah “mengantri” berebut untuk maju duluan agar tidak mendapat nomor antrian berikutnya. Tidak jarang terdengar suara klakson mobil bersahutan dimana-mana. Tepat saat mobil pria bernama Masumi itu berlalu, gadis tanpa arah yang membawa lonceng itu sampai di tepi jalan tempat penyebrangan, menunggu saat menyebrang.

Lonceng kecil itu terus saja berbunyi, seakan-akan seperti memanggil seseorang, berharap orang itu akan menemukannya dengan mendengar suara lonceng yang dari tadi terus saja dibunyikannya. Namun suara lonceng itu tetap saja lenyap ditelan keramaian. Lampu pejalan kaki telah terus berubah warna tanpa diperhatikannya. Ia seperti tengah berada dalam dunianya sendiri saat itu, sendiri, untuk waktu beberapa lama. Akhirnya, gadis itu berjalan menyeberang tanpa menyadari jika lampu pejalan kaki sudah berwarna merah dan ada mobil melintas mendekatinya. Pengemudi mobil yang juga agak mengantuk itu terkejut dan refleks menginjak rem.

“.. aku akan langsung terbang ke tempatmu...”

Pembohong..

Air mata menggenang di pelupuk matanya, tinggal menunggu saat untuk diturunkan..

“BRAKKKK!!” terdengar suara mobil menabrak seseorang. Terlambat, entah bisa dibilang naas atau tidak, tapi gadis itu tidak bisa dielakkan dari kecelakaan yang menimpanya. Kerumunan orang di sekitarnya langsung berteriak dan suasana menjadi lebih ramai lagi, yang pastinya bukan disebabkan oleh euforia mereka menjelang Natal seperti sebelumnya.

“(Panggil ambulans)!!”teriak seseorang dalam bahasa Perancis.

“(Apakah dia baik-baik saja?)”

“(Dia kelihatannya seperti bukan orang sini..)”

“(Eh, lihat dia menangis..)”

Gadis itu tidak bisa ingat apa saja yang dibicarakan orang-orang di sekelilingnya. Meski ia mengerti, ia tidak mau mengerti.

“Kapan saja..” lelaki itu tersenyum pada gadis mungil itu.

Pembohong.. Katanya akan datang.. aku tinggal membunyikan lonceng kecil ini saja, `kan? Kenapa tidak datang? Kak Sora..

Sebelum kehilangan kesadarannya, gadis itu teringat lelaki itu mengucapkan sesuatu padanya.. Lelaki yang bertubuh tinggi besar dan berwajah tampan itu mengelus rambutnya dan menatapnya dengan tatapan mata lembut yang ia tahu selalu berhasil membuat jantungnya melompat dari tempatnya dan berdebar melebihi kecepatan maksimum. Dengan suara yang tak kalah lembutnya, seperti aliran sungai yang tenang, lelaki itu berkata, “Aku pasti akan pulang ke tempatmu.. Maya..”

Dan gadis itu menutup matanya dengan air matanya terus mengalir. Ia lelah, ia terlalu lelah. Tangannya terus memegang erat kalung lonceng itu. Sementara orang-orang di sekitarnya terus saja berteriak dengan kencang dan panik.

“(Di mana ambulans nya?! Cepatt!!!)”
                                                              
(Hokkaido, 6 tahun lalu)
Langit senja tampak cerah, tidak tampak tanda-tanda jika tadi baru saja terjadi hujan deras meskipun jalanan masih tampak becek dan tumbuhan basah. Anak-anak tampak berlarian ke sana kemari, jalanan juga sudah kembali dilewati oleh beberapa pejalan kaki ataupun yang naik sepeda. Maklum, karena di situ desa, masih jarang kendaraan seperti mobil atau motor yang lewat. Yang sering mungkin hanya mobil pengantar bahan makanan seperti sayuran dan buah-buahan dari desa sebelah atau kota. Atau setiap beberapa tahun sekali akan ada banyak calon presiden yang kampanye ke tempat mereka. Toh tidak penting juga, penduduk desa bahkan tidak peduli.

Seorang pria bertubuh tinggi dan tampan tampak keluar dari tempat berteduhnya. Sebuah kuil tua. Meskipun kuil tua itu kecil, kuno, dan tampaknya memerlukan renovasi, tetap terlihat bersih dan terawat. Pohon sakura besar menjulang terdapat di halaman kuil itu dengan tidak ada satupun bunga ataupun daun yang menempel padanya. Belum musimnya untuk berbunga. Pria itu berdiri dan segera mengembalikan posisi celana panjangnya yang tadi sempat ia gulung karena kehujanan. Kemeja putih lengan panjangnya juga sudah tampak berantakan. Namun `toh semua hal itu tetap saja tidak mengurangi ketampanannya dan pembawaannya yang terlihat tenang dan berwibawa. Pria itu tersenyum lega melihat ke arah langit.

Hujan, sialan! rutuknya dalam hati. Memori itu berkelebat lagi dalam pikirannya, wajah seorang anak kecil, anak lelaki, yang menangis dan berteriak memanggil ibunya, seorang ibu yang juga ikut menangis penuh penyesalan sambil memeluk anak lelaki itu dan meminta maaf. Pria itu berusaha mengusir jauh-jauh memori itu sebelum memori itu kembali meracuninya.

“Sepertinya hujan sudah reda,” seru suara di belakangnya. Pria itu menoleh, tersadar dari lamunanya, seorang Bhikkhu berdiri di belakangnya. Pembawaannya tenang, sama tenangnya dengan pembawaan pria itu. Tersungging senyum di wajahnya, membuat pria tinggi dan tampan itu ikut tersenyum.

“Ya, sepertinya begitu. Syukurlah,” pria itu mendekati Bhikkhu itu dan menunduk. “Terima kasih, Bhikkhu...” pria itu berhenti sejenak sampai Bhikkhu di depannya menjawab ”Oda”,”Bhikkhu Oda.. sudah mengizinkan saya untuk berteduh di sini,”

“Tidak masalah, anak muda. Sudah lama kuil tua ini tidak kedatangan tamu,” jawab Bhikkhu Oda sambil menepuk pundaknya. “Siapa namamu, anak muda?”

“Sora..,”jawab pria yang bernama Sora itu.

Alis Bhikkhu itu tampak terangkat sedikit, kemudian senyuman kembali menghiasi wajahnya. “Ahhh...,”Bhikkhu Oda kembali menepuk pundak Sora. “Nama yang bagus. Artinya “langit”, bukan? Ayah dan ibumu benar-benar pintar dalam memilih nama,” Sora hanya tersenyum kecil. Sekilas, kenangan tidak mengenakkan itu muncul lagi tapi buru-buru ditepisnya. Bhikkhu Oda tampak menyadari perubahan sesaat raut wajah anak muda di depannya, tetapi dengan bijak ia memilih untuk diam saja.

“Apa kau bermaksud kembali, anak muda?”

Sora mengangguk, “Iya. Sudah sore, Bhikkhu Oda. Lagipula saya tidak enak merepotkan Anda, Anda sudah memberikan saya tempat berteduh dan menyajikan teh hangat untuk saya,” kata Sora sambil menunjuk gelas kosong di atas meja kecil di dekat mereka. Di atas meja itu terdapat juga beberapa gelas yang masih dalam posisi telungkup dan satu teko berisi teh.

Bhikkhu Oda tersenyum, “Tidak masalah. Hanya secangkir teh hangat, cukup untuk menghangatkan diri di tengah hujan yang dingin ini,” pandangan Bhikkhu Oda menerawang menatap langit. “Meski, tidak cukup untuk menghangatkan hati yang dingin,” ujar Bhikhkhu Oda sambil menatap lurus mata Sora. Sora sedikit tersentak, “Anda seperti bisa melihat langsung jauh ke dalam hatiku,” sahut Sora sambil menelan sedikit ludahnya.

“Benarkah begitu?” Bhikkhu Oda kembali menatap langit. “Aku tidak seperti langit yang bisa melihat apapun dengan jelas yang ada di bawahnya. Aku tidak pernah bisa meramalkan hati manusia. Hati manusia lebih dalam daripada samudera, seperti labirin, yang belum tentu sang pemiliknya mengetahui isi hatinya. Jika aku bisa meramalkannya lebih dari si pemilik itu sendiri, tentulah aku tidak akan berada di sini, menjadi seorang Bhikkhu di kuil kecil dan tua di desa terpencil,” Bhikkhu Oda berjalan melewati Sora mendekati meja kecil tempat gelas berada, termasuk gelas yang dipakai Sora untuk minum, duduk, mengambil salah satu gelas dari posisi telungkup, dan menuangkan teh ke dalamnya. Sora mengamati Bhikkhu Oda yang meminum tehnya dalam diam. Bhikkhu Oda meminum tehnya sedikit dan kembali menatap Sora, “Apakah kau mau tambah tehnya, anak muda? Memang sudah sedikit dingin, tapi rasanya tetap sama,”

Sora menggeleng sopan. “Tidak, terima kasih. Saya rasa.. hmm.. sudah waktunya saya pulang sekarang,” Sora mengambil tas kerja dan jas hujan yang terletak di pojokan. “Terima kasih sudah menemani saya, Bhikkhu. Saya mohon diri dulu,” ujar Sora sambil beranjak keluar sebelum suara Bhikkhu Oda kembali menghentikan langkahnya. “Tidak selamanya hujan akan turun. Langit pasti akan menampilkan ekspresi yang berbeda-beda. Bisa senang, sedih, bahkan malu. Tidak akan pernah terbaca dan terprediksi secara tepat. Begitulah dengan kehidupan juga.. hati manusia,” Bhikkhu Oda kembali meminum tehnya. Tenggorokan Sora terasa tercekat, entah kenapa ia merasa kata-kata Bhikkhu di depannya begitu menusuk hatinya. Ia tersenyum kecil dan menundukkan badannya, mohon diri. “Terima kasih. Saya, pamit dulu,” kemudian Sora benar-benar beranjak keluar dan menuju sepedanya yang ditaruhnya di bawah sebuah pohon dekat pohon sakura. Bedanya, pohon ini memiliki banyak daun yang cukup rindang juga beberapa bunga dengan hinggap di atasnya. Entahlah, Sora tidak terlalu memperhatikannya.

Sora menaruh jas hujannya dan tas kerjanya di keranjang depan sepedanya. Ia tampak menghilangkan beberapa tetes air di atas jok sepedanya. Ia menghela nafas panjang, sudah cukup untuk hari ini. Jangan lagi kamu kembali berkelebat di dalam pikiranku terlalu sering! Sora kembali menaiki sepedanya. Ia sekilas menatap ke langit, cerah, senja yang cukup indah. Memang benar tidak tampak tanda-tanda baru saja turun hujan. Hal itu ia butuhkan untuk sedikit memperbaiki suasana hatinya, namun dengan melihat langit ia jadi teringat kata-kata Bhikkhu Oda di dalam tadi. Sora kembali menghela nafas keras dan memacu sepedanya meninggalkan kuil. Bhikkhu Oda yang telah berdiri, menatap kepergian Sora yang meninggalkan kuil hingga akhirnya sosok punggungnya tak terlihat lagi. Bhikkhu Oda lalu menatap ke langit, “Hari ini banyak yang memandang ke arahmu, entah mereka bisa menjadi lebih baik atau buruk setelah itu. Tidak ada yang pernah memaksa seseorang untuk bisa menjadi langit. Itu akan menjadi pilihannya sendiri,” kemudian Bhikkhu Oda berbalik untuk masuk ke dalam. “Sudah sore, lebih baik aku sembahyang lagi dulu,”

♪ ♪ ♪

Sora bersepeda santai melewati jalan di desanya yang sudah ia hafal karena ia melewati jalan itu tiap harinya selama beberapa tahun, entah sudah berapa tahun, sudah lama rasanya. Meskipun tidak rutin melewatinya pun, Sora tetap saja merasa akan mengingatnya, jalanan di desa ini tidak banyak dan tidak begitu rumit serta berliku. Di tengah jalan, Sora berpapasan dengan beberapa kenalannya. Dan tiap kali disapa, Sora akan menganggukkan kepalanya dan membalas sapaan mereka atau setidaknya tersenyum. Sora menyukai orang-orang di desa ini, ramah dan hangat. Meskipun kenangan buruk itu, yang tiba-tiba ia ingat lagi karena pembicaraannya dengan Bhikkhu Oda, terus saja tidak bisa hilang dari pikirannya, mungkin tidak akan bisa, tapi setidaknya berada di sekeliling orang yang benar-benar tulus baik padanya, sudah membuatnya lega dan senang. Daripada di kota, penuh kemunafikan dan persaingan. Tidak jarang orang akan saling menghancurkan satu sama lain meskipun itu temannya sendiri. Mengerikan. Untung aku tidak tinggal di kota, pikir Sora. Tiba-tiba, Sora merasa ada yang aneh dengan sepedanya. Sepedanya seperti tidak bisa dikontrol. Sora segera memberhentikan sepedanya dan menghela nafas, firasat buruk. Ia berjongkok di sebelah sepedanya dan terlihat seperti memeriksa ban.

“Haizzzz, sial sekali aku hari ini. Sudah tadi hujan, ban bocor pula. Masa aku harus menuntun sepeda ini? Aiooooo..” Sora menghela nafasnya. Ia melihat ada paku kecil di dekat ban sepedanya. “Astaga, kerjaan anak nakal mana pula ini? Ckckckk..,”

“Nak Sora sudah pulang?” sapa seorang pria tua, meski tidak terlihat begitu tua, yang sedang bersepeda dari arah yang berlawanan. Ia menghentikan sepedanya di dekat Sora.

“Ah, paman Kitajima, selamat sore,” Sora segera berdiri, tersenyum dan membungkukkan tubuhnya, sopan. “Iya, saya baru saja kembali dari mengajar di sekolah. Paman juga baru kembali dari bekerja? Kenapa lewat sini, bukannya arah rumah paman sama dengan saya, di sana?” Sora menunjuk ke arah yang hendak dilewatinya dengan telunjuknya, sambil tertawa kecil.

“Iya, paman mau membeli beberapa bahan makanan. Anak paman yang bandel itu entah kemana, sedangkan bibi sedang tidak enak badan dari tadi pagi, jadi paman yang membelikan makanan. Biar tidak usah memasak, istirahat dulu,” ujar pak Kitajima.

“Bibi sakit?” Sora terdengar khawatir. “Apa keadaan bibi sekarang sudah baikan, paman? Saya ingin menjenguknya,”

“Sudah, tenang saja. Mungkin hanya masuk angin, terlalu lelah. Istirahat juga sudah baikan nanti. Jika memang nak Sora mau menjenguk, pasti bibi akan senang sekali,” pak Kitajima tampak tersenyum senang melihat kepedulian anak muda tampan di depannya. “Paman juga kebetulan sekalian kembali dari bekerja menyelesaikan proyek bangunan yang ada di situ,” pak Kitajima menunjukkan suatu tempat di belakangnya dengan jari telunjuknya. Sora tidak mengerti sebenarnya pak Kitajima menunjuk ke mana, tapi ia hanya ber-“oh” untuk tetap menunjukkan kesopanannya. “Katanya mau dibuat semacam gereja atau apa di sini, aku juga tidak begitu mengerti. Yah, aku tidak mengerti lah cara berpikir orang-orang kota bagaimana, cuma orang desa begini, yang penting dibayar,” seloroh pak Kitajima. “Entah mau dijadikan tempat wisata, beribadah, atau malah tempat pertunjukan. Aku tidak mengerti pola pikir mereka membangun gereja di sini,” sahut pak Kitajima sambil mengangkat kedua bahunya.

Sora tertawa, gereja jadi tempat pertunjukan? Yang benar saja! Tapi, memang di sini tidak ada gereja, adanya di desa sebelah. Kebanyakan penduduk di desa sini beribadah di kuil. Yah, apa peduliku lah, lagipula apa alasan orang-orang kota membangun tempat itu di sini? Ada alasan yang menarik kah, entahlah, pikir Sora tidak peduli dalam hati.

“Ah, ngomong-ngomong soal pertunjukan,” Sora teringat sesuatu. “Bukankah Maya juga senang melihat pertunjukan, pak? Buktinya kalau dia sedang menonton TV dia bisa melupakan sekitarnya?”

Pak Kitajima terlihat menghela nafas pasrah dan mengusap keningnya. “Itu dia. Aku tidak habis pikir dengan anak tunggalku yang satu itu, Sora. Mau jadi apa dia? Kerjanya menonton TV dan sinetron saja. Prestasi di sekolah juga payah, yah, kau tahu sendirilah. Sukanya melamun dan ceroboh. Entah apa yang bisa dibanggakan,” pak Kitajima menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sora tersenyum dikulum. Bisa dibayangkannya tampang Maya yang cemberut jika ia mendengar ayahnya sendiri mengatakan hal ini. Ia teringat Maya, gadis itu memang terlihat sangat menyukai TV dan sinetron, apapun yang berbau dengan seni peran, entah apa yang dilihatnya. Sora sendiri tidak begitu tertarik. Ia malah lebih sering mengkritik apa yang ditonton oleh Maya, baik dari segi aktor aktrisnya, visual effect, dan segi yang lainnya, sehingga tidak jarang ia mendapat hadiah pelototan dari Maya yang menganggap Sora telah mengganggu keasikannya dalam menonton. Sora sendiri, entah kenapa ia hanya tertarik melihat Maya yang sedang tenggelam dalam keasikannya menonton, atau bahkan reaksinya ketika ia sedang menonton, entah tertawa sendiri (wah gila dong :p), marah, sedih, atau yang lainnya. Maya terlihat sangat menggemaskan.

“Beda dengan nak Sora, mandiri dan cerdas. Sudah bisa bekerja sekarang, jadi guru yang baik dan pintar. Saya ingin sekali Maya bisa belajar dari nak Sora. Tapi yang ada Maya hanya bisa merepotkan nak Sora saja,” keluh pak Kitajima. “Dia kerjanya pulang sekolah pergi entah kemana, bukannya belajar atau melakukan hal yang berguna. Malah saya sering merepotkan nak Sora dengan mencarinya jika dia hilang,” pak Kitajima terlihat malu dan pasrah dengan kelakuan anaknya yang satu itu. Sora tersenyum kecil.

“Tidak apa-apa, `kok, paman. Lagipula saya sudah mengenal Maya sejak kecil, sudah seperti saudara. Dia sudah seperti adik saya sendiri.Jadi saya juga bertugas menjaganya. Apalagi paman dan bibi, dan kedua orang tua saya sudah berteman lama, bukan? Saya bisa malu dan dianggap anak tidak tahu diri jika tidak memperhatikan keluarga teman baik orang tua saya. Apalagi paman dan bibi juga sudah menjaga saya di sini,” Sora tersenyum menenangkan. Padahal dalam hatinya, mengingat kedua sosok orang itu, sedikit membuat hatinya sakit. “Lagipula saya yakin Maya pasti memiliki kelebihan, pak. Yah, hanya saja.. kita ataupun dia sendiri belum menyadarinya,” Sora memelankan suaranya, ia sendiri tidak yakin Maya memiliki kelebihan atau tidak (wah, minta dikeplak Maya juga nih.. wkwkwk.. *ups writer kok protes terus :p)

Pak Kitajima menghela nafas untuk yang kesekian kalinya, “Ya, semoga itu memang benar ya jika anak satu itu memiliki kelebihan. Paman yakin dia juga sekarang belum pulang, entah kemana.. Ckckck..,”pak Kitajima seperti berbicara sendiri sebelum ia melihat Sora lagi. “Nak Sora sendiri tadi saya lihat sedang jongkok dekat sepeda, memangnya kenapa?”

“Iya, paman. Sepeda saya rusak, bannya bocor. Terkena paku di jalan. Tapi tidak apa-apa, paman, hitung-hitung saya olahraga dengan menuntun sepedanya ke rumah,” ujar Sora basa-basi, padahal dalam hatinya ia merutuki sepeda tersebut. Kamu enak dituntun, rumah masih jauh lagi! Oke, sepeda. Hari ini, kamu RAJANYA! gerutu Sora tanpa disuarakannya. Namun Sora berhasil menutupinya dengan ekspresi wajahnya yang tampak begitu tenang seimbang dan tak tergoyahkan (apa lagi pula ini? Hahaha)

“Pasti kerjaan anak-anak sekitar sini, bahaya juga terkadang mereka main paku, orang tua juga tidak mengawasi. Ya, sudahlah. Kalau begitu saya duluan ya, nak Sora. Mau cepat-cepat membeli makanan, sudah mau malam. Nak Sora juga sebaiknya cepat pulang, ya!”

“Iya, paman. Hati-hati, ya!” Sora membungkukkan badannya sedikit lagi.

Setelah melihat bayangan pak Kitajima menjauh dari pandangan, Sora kembali merutuki sepedanya. Mood nya sudah cukup berantakan hari ini. Sebenarnya tidak ada masalah dengan hujan, hanya saja hujan selalu mengingatkannya kembali pada sesuatu yang tidak ingin sering-sering diingatnya. Apalagi kata-kata Bhikkhu Oda tadi juga ikut membangkitkan kenangannya. Sekarang ditambah lagi ban sepeda bocor. Parah! Yang ingin ia lakukan sekarang ialah segera pulang dan beristirahat, mendinginkan kepalanya. Ketika Sora berpikir untuk segera kembali saja ke rumah untuk mendinginkan kepalanya, ia teringat kata-kata pak Kitajima, “Paman yakin dia juga sekarang belum pulang, entah kemana..”

Astaga anak satu itu kemana lagi, hilang terus kerjaannya. Sora menghela nafas, kemudian teringat sesuatu. Tunggu, apa mungkin... Sora bermaksud menaiki sepedanya, namun ia teringat keadaan sepedanya dan menghela nafas kesal. “Haizzzzz.. Lupa!” gerutunya. Ia kembali menimbang-nimbang dan akhirnya menghembuskan nafas keras, “Apa boleh buat! Salahku sendiri terlalu peduli padanya!” ia memutar balik sepedanya dan kembali menuntunnya. Gadis itu.. ia pasti ada di sana!

♪ ♪ ♪
Aliran sungai terdengar tenang seperti melodi lembut yang mengalir. Cocok sekali untuk menemani langit senja yang anggun sore itu. Banyak anak-anak duduk berkerumun di tepi sungai, tapi bukan suara sungai yang bagaikan melodi yang membuat mereka diam dan terpesona hingga mau duduk di tepian sungai tersebut, namun sosok gadis di depan mereka lah yang membuat mereka terhipnotis. Bukan karena wajahnya, karena wajahnya juga tidak bisa dibilang cantik, tubuhnya pun mungil. Namun ekspresi dan gerakan tubuhnya lah yang membuat anak-anak itu terpesona.

“Lalu, sang Ratu berkata pada cermin ajaib yang ada di depannya,” tatapan matanya berubah jadi angkuh dan senyumnya mengerikan. Anak-anak yang duduk berkerumun di depannya seketika memasang wajah sedikit ngeri dan takut, “Wahai cermin di dinding, siapakah yang paling cantik di dunia?”

Lalu, gadis mungil itu kembali merubah ekspresinya dan posisi tubuhnya. Tegap dan diam. Ekspresi wajahnya datar, tidak terbaca, seperti sebuah benda. Anak-anak di depannya seperti berbisik-bisik dan mengira-ngira, sekarang gadis mungil di depannya ini sedang berakting sebagai apa.

“Yang paling tercantik di dunia ini bukanlah Anda lagi, Yang Mulia Ratu..,” suara gadis mungil itu berubah menjadi serak dan berat.

Anak-anak di depannya mengerti. “Ah, itu si cermin ajaib,” tapi tidak sampai lima detik anak-anak itu memahami peran cermin yang tengah diperankan gadis itu, gadis itu merubah ekspresinya lagi, menjadi ratu yang angkuh, keji, dan licik.

“Apa kau bilang?! Ada yang lebih cantik daripada aku? Siapa, katakan siapa!!” ekspresinya berubah menjadi lebih mengerikan, bengis. Auranya membara, membuat anak-anak di depannya ikut terbawa suasana.

Dari jauh, Sora melihat gadis mungil itu sambil menghela nafas. Ternyata benar, dia di sini... Maya, gadis itu, dia ada di situ, lagi-lagi terlihat sedang mendongeng pada anak-anak. Entahlah, Sora juga tidak mengerti apa yang sedang Maya lakukan di sini, bercerita dan berakting di depan anak-anak. Sora memperhatikannya dari tadi, Maya memang sangat pandai dalam berakting. Mungkin itu pengaruh dari hobinya juga yang suka menonton sinetron.

Sora hanya bisa melihat sosok Maya dari kejauhan, ia tidak mendekat. Ia tidak ingin mengganggu. Ia memang tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana akting dan gerak-gerik Maya, namun ia tahu bahwa ada sesuatu dalam ekspresi wajah dan gerakan tubuh Maya yang berhasil membuat anak-anak di depannya tetap terdiam dan terpesona.

Maya, gadis itu sudah menjelma menjadi gadis remaja sekarang. Gadis SMA kelas 1, gadis yang memiliki perbedaan usia 8 tahun dengan Sora. Sora masih mengingat bagaimana pertemuan pertama mereka. Benar, saat itu.. Terputar kembali memori dimana seorang anak lelaki mendekati seorang anak gadis kecil yang sedang menangis. Entah sudah berapa tahun berlalu, anak gadis itu sudah beranjak semakin dewasa sekarang, meski terkadang yang ada di pikiran Sora ialah Maya masih seorang anak kecil, bukan karena tubuhnya yang mungil, tapi entah kenapa Sora menyukai pikiran itu. Karena dengan adanya pikiran itulah, Sora akan selalu memiliki keinginan untuk menjaga dan melindunginya. Entahlah, Sora menyukai gagasan itu.

“Hati-hati, ya, semuanya! Terima kasih sudah mau menjadi penonton setia kak Maya!” ujar Maya sambil melambaikan tangannya kepada anak-anak.

“Iya, kak! Besok lagi, ya, dilanjutkan ceritanya! Daahhhhh!!!” seru gerombolan anak-anak itu ceria dan segera berlalu.

Maya tersenyum dan menghembuskan nafasnya pelan. Maya mengambil tasnya, bermaksud untuk beranjak pulang. Ketika ia berbalik, ia menangkap sosok pria di atas, bertubuh tinggi, menatap lurus ke depan, sedang menerawang (bayangkan saja Sora di atas, Maya sedang ada di bawah, ya, jadi jalanan menuju ke sungai itu menurun, hehehe :p). Maya tersenyum, sejak kapan dia di situ? Dan, sedang apa dia melamun begitu? Karena pria itu juga tidak menyadari kehadiran Maya yang mendekat, maka Maya mengendap-ngendap pelan, dan beranjak ke belakang pria itu. Dia masih juga tidak menyadarinya, pikir Maya geli. Maya menarik nafasnya sekali lagi, bersiap-siap, dan “menghantamkan” kedua lututnya tepat di bagian belakang yang merupakan “daerah perbatasan” paha belakang dan kaki belakang pria itu. Pria itu terkejut “Oucchhhh!”, dan segera terguling jatuh ke depan, tepatnya ke bawah, karena jalannya menurun).

Pria itu segera terbangun, melihat siapa biang keladi dari semua ini. Ketika dia tengah mengusap-usap kemejanya yang kotor terkena beberapa dedaunan dan tanah becek, ia menangkap sesosok gadis mungil sedang tertawa terbahak-bahak.

“Hei, mungil! Tidakkah kau tahu bahwa tindakanmu ini bisa disebut sebagai “percobaan pembunuhan”?” gerutunya.

“Oh, ya? Kurasa lebih tepat untuk mengkategorikan tindakanku sebagai tindakan untuk “menyadarkan orang yang sedang melamun berkepanjangan,” sindirnya. “Masih untung, `kan, aku menyadarkanmu daripada nanti ada roh-roh halus yang datang dan memasuki tubuhmu karena lamunanmu yang tidak jelas itu, Tuan Sora yang terhormat! Melamun menjelang malam begini, ckckck.. Hihhh!!” kata Maya sambil memperagakan gerakan menakut-nakuti dan orang yang merinding. “Ah, ya, dan satu lagi! Namaku bukan mungil! Aku Maya, Maya Kitajima!” kata Maya sambil berkacak pinggang dan memasang wajah angkuh.

Sora tertawa mengejek, “Sedang mencoba berakting menjadi Ratu jahat kah mungil? Tidak mempan bagiku. Lagipula, aku tidak melamun, aku hanya sedang memikirkan sesuatu yang penting,” ujar Sora sambil berdiri dan melanjutkan pekerjaannya membersihkan kemeja dan celananya dari rerumputan dan dedaunan yang menempel. “Untung saja aku jatuh di rerumputan, coba ada batu besar, kalau aku kenapa-kenapa bagaimana?”

“Jangan berlebihan! Tidak ada batu besar di situ, yang ada hanya rerumputan dan tanah yang sedikit becek karena hujan,”

“Mana ada yang tahu kalau ternyata ada yang aneh-aneh di sini? Jika misalnya aku sampai terkena serangan jantung karena terkejut lalu kepalaku membentur tanah atau bebatuan dengan keras bagaimana? Batu yang kecil pun bisa membunuh, mungil! Apa kau mau kugentayangi arwahku seumur hidupmu?” gerutu Sora.

“HEI! Kau mulai aneh sekarang, Tuan! Tidak ada cerita yang seperti itu! Tidak akan pernah terjadi seperti itu! Tidak pernah ada pembunuhan hanya karena jatuh didorong begitu!”

“Kalau begitu, ini akan jadi yang pertama! Korban pertama adalah Sora Fujimura yang tampan, pelakunya adalah Maya Kitajima si mungil yang cengeng, sedangkan tempatnya ialah di desa ini. Sudah kubayangkan akan terjadi kegemparan macam apa. Penggemarku mungkin akan menangis semua, mungil. Jangan salahkan aku juga jika aku akan menggentayangimu karena kau membuat dunia menangis dengan kehilangan diriku. Ahhhhh... Mungkin akan banyak wartawan datang ke sini dan desa ini akan jadi terkenal!” kata Sora sambil berpikir serius.

Maya menatap Sora tidak percaya. “Penggemar? Kau gila! Dan sangat narsis, tentunya. Terlalu percaya diri. Kupikir kau cukup logis, ckckck.. Mungkin yang wartawan itu tulis ialah kekonyolanmu karena kau bisa mati dengan cara begitu! Bukankah kau cukup percaya diri dengan ketahanan tubuhmu? Coba saja arwahmu berani menggentayangiku, akan kupastikan arwahmu itu akan mengalami penyesalan, bukannya diriku!” ujar Maya angkuh. “Dan sudah kukatakan, berhenti memanggilku mungil!”

“Memangnya kau apa? Pembasmi arwah, pembasmi hantu?” Sora tertawa mengejek. “Ahhhh... Kau protes kupanggil mungil? Salah sendiri.. kau mungil!” ejek Sora.

Maya merengut. “Dasar om-om menyebalkan!”

“Apa kau bilang?”

“Om-om! Om-om sok, sombong, angkuh, menyebalkan, narsis, tukang melamun, raksasa!”

“Tarik kata-katamu, mungil, atau kupastikan kau akan menyesal!”

“Tidak mau! Ooohhh.. takut!” Maya segera berakting selayaknya orang yang ketakutan.

“Jangan macam-macam dan tidak sopan, mungil! Aku jauh lebih tua darimu!”

“Aku tahu kau lebih tua dariku, tapi sejak kapan kata “sopan” berlaku dalam kamusku dalam menghadapimu, om Sora yang terhormat?” ledek Maya sambil memberikan penekanan pada kata “om”.

“Kau tidak akan bisa membayangkan apa yang dapat kulakukan mungil jika kau terus memanggilku seperti itu,” ancam Sora.

“Coba saja, om Sora!” ujar Maya sambil menjulurkan lidahnya.

“Awas kau mungil!” Sora hendak beranjak naik ke atas, namun sepatunya ternyata tengah tidak bersahabat dengan kondisi tanah dan rerumputan yang licin, sehingga Sora berulang kali hampir terjatuh ketika hendak lari ke atas. Maya tertawa terbahak-bahak dan menggoyang-goyangkan tubuhnya, menjulurkan lidahnya, puas mengerjai Sora.

”Siapa suruh pakai sepatu model begitu? Telapak sepatumu licin, tahu? Sudah tahu tanjakannya licin, beda dengan jalan yang biasa kau lewati! Bisa apa kau, ini daerah kekuasaanku... om Sora!” ledek Maya dengan tawa penuh kemenangan.

Sora benar-benar kesal dikerjai habis-habisan oleh gadis mungil yang ada di depannya ini. Ia bersumpah akan memberinya pelajaran. Sora berusaha untuk terus naik meskipun terus berakhir dengan hampir terpeleset atau benar-benar terpeleset, yang akhirnya akan dihadiahi tawa keras oleh Maya. Akhirnya, ia memutuskan untuk melepaskan sepatu “pembawa bencana” nya dan segera naik.

“O-oooo...,” Maya yang menyadari jika Sora akan berhasil sampai ke tempatnya segera berlari menjauhi Sora.

“Hei, mungil! Tunggu kau, jangan kabur!” ujar Sora yang telah berhasil naik sampai atas dan memakai sepatunya dengan tergesa. Ia hendak berlari mengejar Maya ketika teringat akan sepedanya. “Haizzzz, benar-benar!” Sora segera berbalik dan berlari mengejar Maya sambil menuntun sepedanya. “Tunggu, mungil! Jangan lari kau!”

Maya berbalik melihat Sora yang kepayahan berlari sambil menuntun sepedanya. Ia menyadari pasti ada yang rusak dengan sepeda Sora sehingga Sora terpaksa harus menuntunnya bukannya malah menaikinya. Maya tertawa melihat gaya berlari Sora yang seperti perempuan, “Hahahahaha! Sepertinya, ini memang hari kemenanganku, om Sora!”

Sora yang mendengarnya segera menambah kecepatan larinya, meskipun tetap saja tidak bisa dibilang cepat karena ia harus menuntun sepedanya juga. Sial! rutuknya dalam hati. Ia benar-benar sial hari ini, kesialan yang sempurna. “Awas kau mungiilll!!!”

Maya tertawa-tawa sambil berlari-lari kecil sedangkan Sora memasang tampang merengut kesal sambil berusaha terus mengejarnya. Tak jauh dari mereka, tampak seorang wanita paruh baya berambut panjang bergelombang tebal, sebagian rambutnya ada yang menutupi wajahnya. Ia memakai gaun terusan berlengan panjang serba hitam. Ia sudah mengamati gadis itu daritadi, jauh sebelum pria yang saat ini tengah mengejar gadis mungil itu datang. Sekarang ia mengamati gadis mungil dan pria yang tengah berkejar-kejaran itu dari kejauhan. Di wajahnya tersungging senyum penuh makna.

“Nyonya, sedang apa di sini?” panggil seorang pria yang umurnya sekitar 50-an, bertubuh agak pendek dan gemuk.

“Tidak apa-apa, Genzo. Aku hanya ingin berjalan-jalan saja. Udaranya segar dan bagus untuk kesehatanku,” jawab wanita itu sambil berbalik menghadap pria yang bernama Genzo tersebut.

“Memang bagus untuk kesehatan Anda, Nyonya. Tapi Anda jangan tiba-tiba menghilang, saya dan anak-anak jadi khawatir mencari Anda. Apalagi ini pertama kalinya kita datang ke desa ini,” ujar Genzo memasang wajah khawatir.

“Maafkan aku, Genzo. Hanya saja aku sedang benar-benar ingin berjalan-jalan, entah kenapa aku tertarik dengan desa ini. Aku punya firasat ada yang menarik dari desa ini. Dan biasanya...” wanita itu mengambil jeda. “Firasatku tidak akan pernah salah,” ujar wanita itu sambil tersenyum menenangkan.

Genzo menghela nafas, mengalah. “Baiklah, Nyonya. Tapi lain kali jika Nyonya hendak pergi sebaiknya Nyonya bilang dulu kepada saya ataupun anak-anak, jadi kami bisa lebih tenang,” melihat wanita di depannya tersenyum, Genzo menganggap senyuman itu sebagai jawaban “iya”. “Lebih baik kita segera kembali, Nyonya. Sudah mau malam, ayo. Mobil saya parkirkan di sana,” ujar Genzo sambil menunjuk ke suatu arah.

Wanita itu beranjak untuk berjalan menuju ke arah yang ditunjuk oleh Genzo, sebelum sesaat ia berbalik menatap ke arah hilangnya Maya dan Sora. Senyum penuh makna itu muncul lagi. Setelah itu ia kembali berbalik berjalan diikuti oleh Genzo di belakangnya.

♪ ♪ ♪
       
“Aahhhhhhh... langitnya benar-benar indah. Hari ini benar-benar hari yang indah!” ujar Maya sambil meregangkan kedua tangannya ke atas.

“Hari yang indah bagimu, namun hari yang sangat sial bagiku!” gerutu Sora yang tengah berjalan di sampingnya sambil menuntun sepeda “kesayangannya”. Maya yang melihatnya tertawa. “Puas kau menertawaiku hari ini?” Sora mendelik menatapnya, Maya segera menghentikan tawanya dan tersenyum dikulum.

“Heii, jangan marah-marah begitu! Memangnya salahku jika sepedamu itu bocor? Paling kerjaan anak-anak nakal di sekitar sini, biasa lah! Maklum mereka tidak ada banyak alat dan sarana yang bisa mereka pakai untuk bermain seperti anak-anak di kota sana, jadi mereka mencari kesenangan baru,”

“Dengan merusak ban kendaraan yang lewat? Itu gila! Bagaimana jika terkena kaki para pejalan kaki yang sedang lewat? Aku tidak habis pikir dengan orang tua yang mendidik mereka, bisa-bisanya mereka dibiarkan seperti itu!” gerutu Sora.

Maya mengangkat bahunya. “Memangnya juga kita bisa apa? Mau menangkap mereka satu-satu? Lalu menasehati mereka?”

Sora menghela nafas, “Ide yang buruk. Dan aku juga yakin mereka sudah melakukannya di tempat yang lain. Dinasehati juga belum tentu mereka mau dengar,”

Maya mengangguk setuju. Yah, mau bagaimana lagi, anak-anak di desa memang tidak terdidik seperti anak-anak di kota, yang mereka tahu hanya mencari kesenangan. Mereka berpikir, untuk apa belajar terlalu serius, `toh nantinya hanya akan bekerja di desa juga. Jadi petani, pedagang, ya semacam itulah. Hanya beberapa saja yang benar-benar serius belajar. Dan hanya beberapa pulalah yang berhasil mendapatkan kesempatan untuk bekerja di kota. Namun itu pun tidak bertahan lama. Yang di kota tidak tahan dengan kerasnya dan jahatnya kehidupan di sana dan memilih untuk kembali.

Maya menatap Sora. Lelaki di sampingnya ini berbeda dengan lelaki lain yang ada di desanya. Dia tinggi dan tegap, serta tampan meskipun pakaiannya sederhana. Ia cerdas dan terpelajar meskipun ia hanya belajar di desa dan akhirnya bekerja sebagai guru di sini. Maklum, Sora sangat senang membaca buku dan mencari tahu meskipun buku-buku di desa ini juga tidak banyak yang bisa dipelajari. Ia pekerja keras. Pembawaannya tenang dan berwibawa. Sebenarnya Sora tidak narsis, `sih waktu mengatakan bahwa dia memiliki banyak penggemar di desa ini, karena itu memang benar. Banyak gadis di desa ini yang bermimpi menjadi pasangan hidupnya, banyak pula orang tua yang mengharapkan Sora menjadi menantu mereka kelak, ketika Sora sudah benar-benar dalam umur yang siap untuk menikah. Sora ada di urutan nomor satu dalam “daftar pasangan hidup dan menantu impian”, jauh di atas semua lelaki yang ada di desa ini. Yah, kecuali dirinya tidak masuk dalam barisan penggemar Sora. Namun Maya melihat, selama ini Sora juga tidak tertarik untuk mencari pasangan hidup. Jika ditanya pasti alasan Sora ialah umurnya. Memang usia Sora sekarang masih 24 tahun, belum cukup matang, namun orang-orang desa sebenarnya tidak masalah untuk menikah muda, entahlah. Lagipula 24 tahun juga tidak bisa dibilang terlalu muda. Sora pasti punya pertimbangan sendiri dan Maya tidak ingin ikut campur.

Satu hal yang mau tidak mau Maya harus akui. Ia tidak cocok menjadi orang desa, ia lebih cocok menjadi orang kota, pikir Maya. Luar biasa! dengus Maya dalam hati. Dan orang luar biasa ini sekarang berjalan di sampingku.

“Apa lihat-lihat, mungil?” tanya Sora mengagetkan lamunan Maya. Maya tidak sadar daritadi ia melamun sambil terus saja melihat Sora.

“Ti.. tidak.. Tidak ada apa-apa,” ujar Maya gelagapan sambil segera memalingkan wajahnya dari Sora dan menunduk. Wajahnya sedikit memerah. Ughhh, malunya! Dasar Maya bodoh, kenapa kau melihatnya terus! Sudah dipergoki begini, aku harus mengatakan alasan apa? Apalagi aku tadi juga memujinya dalam pikiranku, dasar bodoh!

Sora heran, lalu kemudian ia tersenyum, “Ahhhh... aku tahu. Jangan bilang kau mulai jatuh cinta padaku, iya, `kan, mungil? Tidak masalah mungil, aku sudah tahu jika ini akan terjadi. Aku akan dengan senang hati `kok, menerimamu dalam barisan penggemarku,” goda Sora sambil tertawa.

Maya berhenti berjalan, melotot menatapnya. “Maaf saja, ya! Aku tidak tertarik! Aku melihatmu karena aku berpikir jangan-jangan kau dirasuki roh sial sehingga kau sangat sial hari ini!” ujar Maya berbohong.

“Begitukah?” Sora menghela nafas. “Kau melukai harga diriku, mungil. Tak kusangka, kau satu-satunya yang tidak takluk oleh pesonaku. Malah mengejekku habis-habisan,” Sora memasang tampang kecewa.

“Dan aku rasa para penggemarmu harus membuka matanya lebar-lebar untuk melihat sosokmu yang seperti ini! Kurasa mereka akan menyesal telah menyukai orang narsis sepertimu. Apa `sih yang mereka lihat darimu? Bah!” Maya merengut.

“Astaga, mungil! Apakah kau cemburu? Maafkan aku, aku tidak menyadarinya!” kata Sora menatap Maya dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. “Jangan khawatir, mungil, kau tetap akan menjadi favoritku! Mana ada anak kecil yang berani menolakku selain dirimu, mungil? Ahhh, ternyata itu untuk menutupi kecemburuanmu. Maafkan aku, aku tidak menyadarinya!” ujar Sora sambil mengusap-usap kepala Maya. “Jangan menangis, ya,”

“Hahahaha! Jangan bermimpi! Hentikan memanggilku mungil dan singkirkan tanganmu dari kepalaku, atau aku akan menggigitmu,” ancam Maya. Wajahnya benar-benar merah, entah karena malu atau kesal atau marah. Sora yang melihatnya tertawa terbahak.

“Ya ampun, galak sekali. Kau pikir kau itu gadis serigala atau vampir ya?” keluh Sora sambil melepaskan tangannya dari kepala Maya. Entah kenapa Sora sedikit enggan melepaskannya, namun perasaan yang muncul sekilas itu ditepisnya dan dibuangnya jauh-jauh. “Satu sama, mungil!” ujar Sora puas. “Lagipula aku tidak pernah memaksa mereka menjadi penggemarku, mungil. Mereka yang memilih. Jika ingin berhenti jadi penggemarku, silakan saja, aku juga lega tidak terus didekati mereka. Aku bukanlah artis. Terkadang mereka terlalu berisik,” ujar Sora sambil berjalan menuntun sepedanya lagi.

Maya menatapnya heran. “Katakan itu di depan mereka, coba saja! Kujamin mereka tidak akan mendekatimu lagi dan berhenti jadi penggemarmu!”

Sora tertawa tak percaya dan menatap Maya di belakang yang masih belum mengikutinya berjalan, “Dengan menyakiti mereka, mungil? Ohhh, itu caramu, bukan caraku. Kejujuran memang menyakitkan meski itu diperlukan. Tapi, aku tidak akan pernah melakukan tindakan seperti itu!” tegas Sora.

“Enak saja caraku! Aku `kan hanya mengikuti apa yang kau katakan tadi! Bilang saja kau sebenarnya tidak rela kehilangan para penggemarmu itu!” Maya merengut sambil berjalan cepat mendahului Sora. Siapa suruh tidak ada lelaki lain sepertimu di desa ini! Dan kenapa aku marah-marah juga, `sih? Ini pasti gara-gara dia menggodaku, aku jadinya kesal begini! rutuknya. Sora yang melihat Maya ngambek hanya bisa menahan tawanya. Wajah Maya ketika sedang ngambek benar-benar menggemaskan.

“Tiiinn tiinnnn!!” terdengar suara mobil dari belakang. Sora beranjak minggir, ia melihat mobil berwarna hitam, kuno tapi sepertinya berkelas. Dahi Sora berkerut, tidak biasanya ada mobil semacam ini lewat di desa ini. Namun Sora segera menghentikan pikirannya tentang mobil itu ketika ia melihat sepertinya Maya tidak menyadarinya dan terus saja berjalan hingga ke tengah jalan. Gadis bodoh, jangan melamun! Sora membuang sepedanya dan segera beranjak mengejar lalu menarik tangan Maya. Maya yang terkejut tidak sempat menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja ia sudah berbalik dan berada dalam dekapan Sora. Sora mendekapnya , dan...

“Cpraatttt!!” terdengar suara cipratan air di jalan mengenai sesuatu. Sora tahu apa itu. Maya juga bisa menduga apa yang baru saja terjadi, namun Maya tidak benar-benar bisa berpikir saat itu. Semuanya terjadi begitu cepat, dan tiba-tiba saja ia sudah berada dalam pelukan Sora. Beberapa saat setelah mobil itu lewat, Sora melepaskan pelukannya dan berkata,

”Lihat, siapa yang melamun sekarang? Jangan lakukan itu lagi, mungil! Kau benar-benar membuat jantungku hampir copot! Apa kamu tidak berpikir jika nantinya mobil itu..,” Sora tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia menelan ludahnya, dan menatap Maya penuh kekesalan, juga kekhawatiran. Sora segera beranjak melewati Maya menuju sepedanya yang tadi sempat ia “buang” untuk menyelamatkan Maya.

Maya menatap Sora yang melewatinya. Ia menatap bagian belakang kemeja Sora. Kotor, terkena cipratan dari air di jalanan karena mobil yang lewat tadi. Maya merasa bersalah dan menyesal, bukan hanya karena kemeja itu, tapi ia tahu Sora kini benar-benar marah. Dan itu karena dirinya, Sora marah karena mengkhawatirkannya.

Sora yang telah “membangunkan” kembali sepedanya kembali menuntun sepedanya dan berjalan kembali melewati Maya yang hanya bisa terdiam menatapnya. Maya resah, ia benar-benar tidak mau Sora mendiamkannya. Maya ingin sekali mengatakan sesuatu, setidaknya permintaan maaf, namun ia tidak tahu harus mulai dari mana. Namun melihat Sora yang hanya berjalan begitu saja melewatinya, tidak bisa membuat Maya diam begitu saja. Ia tidak mau seperti ini!

“Maaf!” seru Maya sambil menunduk. Sora yang tengah menuntun sepedanya menghentikan langkahnya. Maya tahu Sora telah berhenti berjalan, namun Maya tidak berani menatapnya. Ia hanya bisa terdiam sambil menunduk, “Maaf.. aku.., aku sungguh tidak..,” Maya menelan ludahnya, berat. “Maaf..,”

Sesaat hening. Keheningan yang membuat Maya semakin resah dan takut. Ia ingin sekali mengangkat wajahnya untuk melihat ekpresi Sora, namun ia juga tidak berani. Bagaimana jika Sora terus saja berjalan dan mendiamkannya? Bagaimana jika Sora meninggalkannya dan ia pulang sendiri? Padahal Maya tahu, Sora juga tadi mencarinya sampai ke sungai. Semua yang Sora lakukan karena Sora khawatir padanya dan ingin menjaganya. Semua karena.. Sora sudah menganggapnya seperti adiknya, ya, adiknya. Maya memejamkan matanya erat-erat, dadanya berdebar kencang. Ia mendengar langkah kaki mendekat, namun ia tetap tidak berani membuka matanya. Ia takut langkah kaki yang mendekat itu hanya khayalannya saja karena ia ingin Sora tidak meninggalkannya. Tiba-tiba ia merasa sesuatu yang lembut menyentuh kepalanya dan mengusapnya. Maya tersentak. Ia membuka matanya perlahan-lahan. Ia mendapati Sora tengah menunduk, menyesuaikan tingginya dengan tinggi badan Maya, menatapnya lembut dan tersenyum padanya. Maya tertegun, ia merasa ada debaran aneh di dadanya, apakah ini debaran yang sama dengan ketika ia takut Sora marah dan meninggalkannya tadi?

“Ayo kita pulang, mungil. Sudah hampir malam. Ibumu sedang sakit, `kan? Lebih baik kita cepat pulang agar kamu bisa segera membantu ayahmu mengurus rumah, menggantikan ibumu yang sedang sakit. Jangan membuat ayah ibumu khawatir terus mungil, mereka pasti resah menunggu kepulanganmu,” ujar Sora dengan lembut.

Maya terdiam, menelan ludahnya. Air mata menggenang di kelopak matanya. Sora tersenyum dan menghapus air matanya, lalu mengacak-acak rambut Maya. Maya terkejut dan segera menatap Sora kesal, “Jangan mengacak-acak rambutku!” begitu kira-kira arti tatapan Maya.

“Begitu saja cengeng! Ayo, kita pulang!” ujar Sora tertawa puas dan kembali menuju sepedanya yang kembali ditinggalkannya untuk menghampiri Maya. Ia menoleh ke belakang dan heran mendapati Maya masih tidak beranjak dari tempatnya, “Ayo, mungil, kita pulang!”

Maya menatap Sora, ia menghapus air matanya dan segera tersenyum lebar. Sora tersenyum melihat Maya telah ceria lagi. “Siapp!!” Maya menghampiri Sora dan mereka kembali berjalan lagi. “Ngomong-ngomong, kapan kau membetulkan sepedamu?”

“Entahlah, aku rasa ada pompa di rumah, nanti aku pompa sendiri saja. Kuharap pompanya tidak rusak mengingat hari ini belum berakhir, aku takut pula kesialanku masih belum berakhir,”

“Apa aku termasuk dalam daftar kesialanmu hari ini?” selidik Maya.

Sora menatap Maya lalu menarik nafas serta menghembuskanny lagi, “Sayangnya.. iya, mungil..,”

Maya melotot, “Enak saja!” ia memukul lengan Sora.

“Hei, sakit, tahu! Jangan buat tubuh bak pangeran ini babak belur! Para penggemarku akan menangis nanti!” keluh Sora sambil mengusap-usap lengannya. “Lagipula mungil, tenagamu besar juga, ya, meski tubuhmu mungil,”

“Hentikan memanggilku mungil!”

“Aku akan berhenti memanggilmu ‘mungil’, jikaaa...” Sora mengangkat sebelah alisnya menatap Maya. “Kauuu.. memanggilku “Kak Sora...”.. “Sora-sama”...,” ujar Sora dengan suara wanita centil yang memuja.

“Jangan bermimpi!! Hihhhh!!”

“Kalau begitu.. Kamu juga jangan bermimpi aku berhenti memanggilmu ‘mungil’! Lagipula mungil, kau ini selalu memanggilku ‘kau’, aku ini lebih tua darimu, tahu!”

“Siapa peduli?!” Maya menjulurkan lidahnya dan segera berjalan dengan angkuh melewati Sora. Sora tertawa ditahan, ya inilah Maya. Maya, gadis mungilnya, yang sudah dianggapnya sebagai adiknya sendiri, yang membuat Sora selalu ingin menjaga dan melindunginya, entah kenapa. Apa mungkin karena pertemuan pertama mereka?

Sora tersenyum. Pertemuan pertama mereka saat itu, mungkin, Maya sendiri juga sudah lupa. Gadis mungil yang cengeng.. Sora tersenyum dalam hatinya. Bersama Maya, mengingat kenangan pertemuan pertamanya dengan Maya membuat hatinya hangat, membuatnya melupakan kenangan buruk yang diingatnya tadi siang. Kenangan buruk itu memang tidak akan pernah bisa dilupakannya, tapi setidaknya saat ini ia sudah merasa lebih baik.

Maya tersenyum. Lelaki yang tengah berjalan di belakangnya ini, yang sudah seperti kakaknya sendiri, yang selalu menjaga dan melindunginya, Maya kembali menyadarinya. Hari ini, ia melihat kilauan Sora yang lain. Sora seperti matahari, ya matahari. Ia bersinar. Senyum dan tawanya seperti matahari. Maya merasa hangat. Namun terkadang, Maya merasa Sora terlalu menyilaukan. Sinar yang dipancarkannya terlalu kuat. Akankah kilauan itu akan menyakitkan nantinya baginya?

♪ ♪ ♪

Mobil hitam yang tadi sempat hampir menabrak Maya dan telah berhasil menyebabkan kemeja Sora jadi kotor menerobos jalanan sepi di desa. Di kursi penumpang belakang duduk wanita itu, wanita yang bergaun hitam itu. Ia mengingat kejadian tadi, ketika mobilnya hendak menabrak gadis mungil itu dan lelaki itu menyelamatkannya. Dan ia teringat ketika tadi gadis mungil itu tengah mendongeng kepada anak-anak di tepi sungai dan lelaki itu menatapnya. Ia tersenyum.

“Apakah ada hal bagus yang sedang terjadi, Nyonya?” tanya Genzo yang sedang menyetir sambil menatap Nyonya-nya lewat kaca spion depan.

“Ya, begitulah..,” jawab wanita itu singkat.

“Di sini tidak ada banyak penginapan yang layak, Nyonya. Bagaimana kalau kita percepat segera saja pertunjukannya dan segera pergi dari desa ini? Saya heran, Nyonya, kenapa Anda memilih melakukan pertunjukan ke desa-desa, termasuk desa ini?”

“Lebih baik daripada di kota, Genzo. Penuh ketidak-tulusan dan kemunafikan, tidak bisa melihat jiwa dari seni peran yang sesungguhnya,” jawab wanita itu. Genzo terdiam, ia tahu pasti ada alasan dari keinginan Nyonya-nya untuk melakukan pertunjukan keliling seperti saat ini, di daerah terpencil seperti pedesaan, dengan sarana seadanya.

“Apakah hal itu berkaitan dengan... karya agung itu, Nyonya?”

“Tentu saja, Genzo. Aku masih belum menyerah dalam mencari penerusnya,” wanita itu menerawang menatap keluar lewat jendela mobilnya. “Dan jika tadi kau bilang kau ingin kita segera meninggalkan desa ini karena tidak layak, justru sebaliknya, Genzo. Kupikir aku akan tinggal untuk beberapa saat di sini, karena seperti yang sudah kubilang tadi. Aku menemukan hal yang menarik di sini. Sepertinya tidak akan membosankan,” ujar wanita itu sambil tersenyum penuh makna, membuat Genzo hanya bisa bertanya-tanya dalam diam.

♪ ♪ ♪

Sora dan Maya telah sampai di depan rumah mereka. Rumah mereka bersebelahan, namun perbedaannya sangat terlihat. Rumah Maya sederhana, sedangkan rumah Sora,  meskipun hanya sedikit lebih besar dibanding rumah Maya, namun interiornya terasa lebih modern. Meski pintu depan rumah Sora merupakan pintu geser, namun tetap saja itu tidak menghilangkan unsur keeleganan dari rumahnya. Mungkin jika di kota rumah Sora tidak akan masuk kategori elegan, namun bagaimanapun ini di desa, dan rumah Sora tampak mencolok. Banyak yang bergosip karena ayah Sora telah tiada maka ibu Sora yang meninggalkannya telah menikah dengan pria kaya di kota dan mengirimkan banyak uang untuk Sora pakai, sehingga hidup Sora berkecukupan. Entahlah, Maya tidak menanyakannya. Karena ia tahu itu akan membangkitkan sesuatu yang buruk bagi Sora. Dulu setiap Maya bertanya mengenai masalah orang tuanya, wajah Sora akan segera berubah menjadi dingin dan mengeras.

“Aku masuk dulu, ya. Terima kasih sudah diantar,” ujar Maya.

“Sama-sama mungil. Salam buat ayah dan ibumu, ya. Jika ibumu belum sembuh hingga besok, akan kupastikan untuk menjenguknya,“ ujar Sora. Maya hanya tersenyum. “Aku masuk dulu, ya,” Ketika Maya berbalik dan hendak masuk, Sora memanggilnya, “Mungil!”

Maya berbalik, “Ya?”

Sora hanya menatapnya dalam , membuat Maya bingung. “Ada apa memanggilku?”

Sora tersenyum, “Jangan lupa kerjakan PR mu!”

Maya tertawa, “Dasar pak guru bawel!” lalu ia segera masuk.

Sora tersenyum. Ketika Maya telah menutup pintu depan rumahnya, senyum itu hilang dari wajahnya. Sora segera berbalik dan menuju ke rumahnya. Ia mengecek kotak pos yang ada di depannya, membukanya. Kosong. Hari ini juga tidak ada kabar.. Sora menghela nafas. Kenapa aku masih saja memikirkannya? Dasar bodoh.. Sora menutup lagi kotak posnya dan beranjak masuk.

♪ ♪ ♪

“Sregg!” terdengar suara pintu geser dibuka. Sora masuk ke dalam, melepaskan sepatunya, memakai sandal rumah, dan menyalakan tombol lampu di dekatnya. Suasana rumah yang tidak ada bedanya dengan yang biasanya, sepi.

Sora beranjak memasuki ruang tamu dan menyalakan lampunya. Ia menaruh tas kerjanya di sofa. Sora menuju dapur yang jadi satu ruangan dengan ruang makan, ia membuka kemejanya yang kotor dan menyampirkannya di salah satu lengan kursi. Sora membuka kulkas dan mengambil botol berisi air putih dingin. Sora meminumnya, mendinginkan kepalanya. Kemudian ia beranjak membuka tudung saji, masih sama dengan makanan yang dimakannya tadi pagi. Beberapa potong ikan dan sayuran. Sora menutup kembali makanan tersebut. Sora menatap sekeliling rumahnya. Sama seperti biasanya. Tidak ada yang berubah. Dan, Sora sudah terbiasa dengan hal ini.

“Aku pulang,” gumam Sora, pelan.

♪ ♪ ♪

“Menyebalkann!!” gerutu Maya. “Masa aku tidak boleh nonton TV, `sih? Padahal hari ini ada episode kelanjutan dari “Gadis Koboi” yang sedang seru-serunya, menyebalkannnnn!!” Maya mengepalkan tangan dan memukul-mukul meja belajarnya.

“Huaaaaaa...,” Maya menaruh bulpennya dan menjatuhkan kepalanya di atas buku PR nya. Halaman bukunya tampak kosong. Sudah setengah jam Maya duduk di depan meja belajarnya dan memegang bulpen namun tetap saja ia tidak mengerti. Bukan hanya karena ia tidak pintar dalam pelajaran, namun karena otaknya hanya tertuju pada sinetron yang sedang sangat ingin ditontonnya.

Teringat ia akan kata-kata ayah ibunya yang melarangnya untuk menonton TV di ruang tamu dan diperintahkan untuk segera kembali ke kamarnya untuk belajar dan mengerjakan PR, mengingat nilai-nilai Maya yang sangat buruk. Maya merutuk, pelajaran SMA itu susah tahu! Aku lulus SMP saja sudah merupakan keberuntungan!

Maya mengingat ketika ia hendak ujian akhir di SMP, Sora memberikan privat kepadanya selama sebulan penuh, yang bagi Maya serasa di neraka. Sora benar-benar berlaku tegas, disiplin, dan tanpa belas kasihan. Ayah dan ibunya juga ikut mendukung Sora. 3 lawan 1, 3 iblis kejam melawan 1 malaikat tidak bersalah, tidak adil!! Begitulah ratapan Maya saat itu. Namun mau tidak mau Maya mengakui neraka selama sebulan itu terbayar dengan lulusnya Maya dengan nilai pas-pasan dan bisa melanjutkan ke SMA. Dan di SMA dia bertemu lagi dengan Sora yang mengajar beberapa mata pelajaran yang diikutinya. Maya menghela nafas, ia sudah banyak berhutang pada Sora.

Ia teringat pertemuan pertamanya dengan Sora, sejak awal Sora sudah selalu menjaganya. Menghiburnya ketika ia sedih. Benar-benar sosok saudara yang baik. Maya tersenyum, meskipun ia sering bertengkar dengan Sora, namun ia sama sekali tidak pernah berpikir bagaimana hidupnya tanpa Sora. Meskipun tidak disuarakannya jelas saja Maya tidak mau Sora tidak ada dalam hidupnya. Sora... berharga dalam hidupnya.

Maya sedikit tersentak dengan adanya debaran aneh yang tiba-tiba menyusup di dadanya. Debaran ini sama dengan debaran yang dirasakannya sore tadi ketika Sora menatapnya lembut. Maya jadi mengingat bagaimana Sora memeluknya tadi, ya meskipun itu untuk menyelamatkannya. Hangat, Maya merasa sangat nyaman. Maya segera menggeleng-gelengkan kepalanya, apa yang kupikirkan, `sih? Kenapa aku jadi aneh begini? Maya meregangkan tubuhnya dan beranjak berdiri. Ia ingin sekali menonton sinetron itu. Ia melihat jam kecil di meja belajarnya, pukul 8 malam, sudah dimulai. Maya menggerutu, bagaimanapun caranya, ia harus bisa menonton lanjutan sinetron itu! Tapi bagaimana caranya? Mau ke ruang tamu? Jelas tidak mungkin, ia akan segera diusir ke kamar.

Tiba-tiba Maya teringat sesuatu, kamar Sora. Iya, benar! Seingat Maya, di kamar Sora ada TV. Maya tersenyum dengan pemikirannya itu, dan ia segera beranjak ke balkon kamarnya. Balkon kamarnya bersebelahan dengan balkon kamar Sora, dan jaraknya cukup dekat. Maya masih ingat bagaimana dulu waktu kecil sering bermain ke kamar Sora dengan melompati balkon, demikian pula sebaliknya, sehingga tidak jarang mereka mendapatkan ceramah panjang dari ayah-ibu juga... ayah-ibu Sora karena tindakan mereka itu. Sekarang `sih mereka sudah tidak pernah lagi melakukan hal itu, mengingat mereka sudah lepas dari masa anak kecil. Meski terkadang Maya merindukannya namun Maya tidak mau terjebak dalam perasaan sentimentil dan cengeng semacam itu.

Maya mengambil ancang-ancang dan melompat menuju balkon kamar Sora. Pendaratan selamat, berhasil! Maya sempat berpikir jendela kamar Sora dikunci, namun ternyata tidak. Jendela kamar Sora dan Maya sama, bentuknya seperti pintu geser dari kaca. Maya segera masuk. Tidak ada siapa-siapa di kamar. Apa mungkin dia sedang makan atau di bawah? pikir Maya, namun ia juga tidak begitu peduli. Kamar Sora benar-benar khas kamar cowok, tapi kamar ini rapi, berbeda dengan kamar Maya yang berantakan. Maya jadi malu sendiri. Sora memang termasuk cowok yang rapi, semua barang ditata, barang yang telah dipakai dikembalikan ke tempatnya. Maya melihat rak buku Sora, penuh buku-buku yang dari judulnya kelihatannya merupakan buku berat yang pasti jika di tangan Maya hanya akan berakhir sebagai bantal. Selain itu Maya melihat ada beberapa mainan yang dulu pernah dimainkan Sora bersama Maya, Maya tersenyum. Ada bola berwarna hitam putih, seperti bola sepak, yang sering dimainkannya dulu bersama Sora. Maya mengambilnya dan memutar-mutarnya, kelihatannya Sora masih merawatnya dengan sangat baik. Untung tidak berada di tangan Maya, jika tidak, Maya sendiri tidak tahu akan bagaimana nasib bola itu.

Sebenarnya Maya sendiri tidak begitu ingat akan bola itu sampai ia melihatnya lagi. Sora masih mengingat kenangannya bersama Maya, setidaknya itu membuat Maya merasa senang. Maya pikir Sora sudah melupakannya, apakah ia ingat bagaimana pertemuan pertama mereka dulu?

Maya melihat ada beberapa pigura foto di kamar itu. Ada fotonya dan foto Sora berdua ketika masih kecil, sebenarnya yang kecil hanya Maya, karena usia Sora berbeda 8 tahun dengannya. Ada juga foto mereka berempat dengan ayah-ibu Maya. Ada foto ketika Sora SD, SMP, dan SMA. Sora tidak kuliah karena tidak ada universitas di desa ini, dan Sora menolak untuk pergi ke kota. Lulusan SMA bisa menjadi guru di sini karena bagaimanapun juga semua guru di sini kebanyakan juga lulusan SMA. Apalagi Sora termasuk guru yang unggul.

Maya menyadari, ia tidak melihat foto ayah dan ibu Sora. Dahi Maya mengernyit, seburuk itukah kenangan masa lalu mereka? Seingat Maya, dulu mereka baik-baik saja, sebelum ayah Sora meninggal dan ibu Sora pergi meninggalkan desa untuk ke kota. Maya menghela nafasnya, tidak bijak untuk menghakimi dari sisi ini. Aku tidak merasakan apa yang dirasakan Sora. Maya segera beranjak untuk menyalakan TV, mengingat tujuan awalnya. Ia menyalakan TV menggunakan tombol yang ada di TV. Channel pertama yang terlihat ialah program tentang dunia hewan dan tumbuhan.

“Haizzz tontonannya seperti ini, yang benar saja,” Maya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Di rumahku saja tidak ada channel ini, ya memang tidak diperlukan, `sih, aku juga tidak akan menontonnya. Kenapa dia senang menonton tontonan yang membuat sakit kepala, `sih?” gumamnya.

Maya mencoba untuk untuk mengganti channel nya. Remote TV, pikirnya. Maya mencari-cari remote TV tapi tidak menemukannya. Di dekat TV, di meja, di rak, tidak ada. Maya memutuskan untuk mencoba mencari di tempat tidur Sora. Maafkan aku, nanti aku bereskan. Maya mencari di balik bantal, guling, dan selimut. Tidak ada juga. Maya menggerutu.

“Di mana, `sih remotenya?” gerutu Maya sambil terus mencari di tempat tidur, tanpa menyadari ada sosok yang mendekatinya di belakangnya.

“Kamu sedang mencari apa?” tanya suara di belakangnya itu.

“Mencari remote TV, di mana, `sih?” Maya terus mengobrak-abrik tempat tidur Sora sebelum berbalik dan berkata, “Kamu tahu di... Kyaaaaaaa!!!” Maya berteriak seraya segera menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Di depannya berdiri sosok Sora yang baru saja mandi, bertelanjang dada, dengan rambutnya yang masih basah, hanya mengenakan sehelai handuk yang menutupi dari bagian pinggang ke bawah, tengah melipat kedua tangannya dan memandangnya.

“Sedang apa kamu di sini, mungil?” dahi Sora mengernyit, heran. “Apakah kamu ingin mencuri sesuatu? Remote TV? Bukankah lebih baik kamu mencuri TV nya saja sekalian?”

Maya menggelengkan kepalanya, masih menutupi wajahnya. “Aku tidak akan melakukan tindakan serendah itu!”

Sora melepaskan lipatan tangannya. “Lalu apa yang kau lakukan di sini? Ahhhhh..,” Sora tersadar akan suatu pemikiran. “Jangan katakan kau ingin mengintipku. Mencari remote TV sesungguhnya hanya kau jadikan sebagai alasan. Sayang sekali, mungil, aku sudah selesai mandi. Jika kau ingin mengintipku kau bisa kembali lagi besok. Atau kau ingin tahu jadwal mandiku? Hmm, pagi hari sekitar pukul..,”

“Oh, Tuhan! Apa kau benar-benar berpikir aku ingin mengintipmu?” suara Maya tidak terdengar terlalu jelas karena tertutup kedua tangannya.

“Kenapa tidak? Lihatlah, tubuhku sempurna!” ujar Sora dengan angkuh. Dalam hatinya ia ingin sekali tertawa terbahak-bahak melihat reaksi gadis mungil di depannya, karena ia tahu gadis mungil itu saat ini bisa saja melotot kepadanya bahkan yang terburuk, “membunuh”nya, jika saja keadaan Sora tidak sedang seperti ini (baca : hanya memakai handuk). “Jika kau benar-benar ingin melihat tubuhku bukankah sebaiknya kau lepaskan kedua tangan yang menutupi wajahmu itu, mungil?”

Maya menggeram rendah. Ia melepaskan salah satu tangannya, sementara tangan yang satunya lagi ia pakai untuk tetap menutup kedua matanya. Tangannya yang bebas ia pakai untuk meraba-raba sesuatu di sekelilingnya, dan ketika ia menyentuh sesuatu, ia segera mengambil benda itu dan segera melemparkannya ke depan dengan harapan akan terkena Sora.

“Eitsss! Wow woww..,” Sora mengelak dari lemparan guling Maya. “Lebih baik kau hati-hati dengan apa yang kau lemparkan, Nona. Untung saja itu hanya sebuah guling yang empuk,”

“Kau beruntung. Aku sungguh berharap aku bisa menemukan benda sekeras batu sekarang untuk dilemparkan ke kepalamu agar setidaknya kau bisa sedikit waras,” gerutu Maya.

Sora menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap Maya dengan tatapan mengejek meski ia tahu Maya tidak akan bisa melihatnya. “Astaga, mungil, hari ini rasanya kau berbahaya sekali. Tadi sore kau sudah hampir membunuhku dan kau berkata ingin menggigitku, sekarang kau bilang kau ingin, katakanlah, membunuhku. Apa malam ini malam bulan purnama dimana kau akan menjelma menjadi seekor serigala buas mungil? Jangan-jangan tanpa kuketahui selama ini, kau ini termasuk spesies serigala ya?”

“Lalu ayah-ibuku apa? Induk serigala?!” Maya merengut, meski Sora tidak bisa melihatnya, tapi Sora bisa menebaknya dari nada bicara Maya.

“Haizzz, kecilkan suaramu, mungil. Tidak usah teriak-teriak aku juga sudah dengar. Ya, kau yang bilang ya kalau ayah dan ibumu itu induk serigala, mungil. Bukan aku,” Sora tersenyum dikulum.

Maya menggerutu. “Astaga mungil, kau sudah mulai menggeram, apakah sebentar lagi kau mengaum?”

“Lebih buruk, aku bisa benar menggigitmu dan mengoyakmu. Sudah diam saja, cepat pakai bajumu!”

“Woowoww, galak sekali, Nona! Aku mau pakai baju atau tidak bukankah itu urusanku? Ini kamarku, kau yang seenaknya masuk kesini. Jika kau ingin menggigitku silakan saja! Taruhan, kau tidak akan bisa melakukannya, apalagi daritadi wajahmu tertutup oleh kedua tanganmu itu,” terdengar suara pintu lemari dibuka. Sora mengambil sepotong kaos berlengan panjang dan celana panjang, tidak lupa pakaian dalamnya. “Aku mau pakai baju, jangan mengintip!”

“Siapa yang mau mengintip?! Dasar geer!” gerutu Maya. Maya sedikit lega mendengar Sora yang mengatakan ingin memakai pakaiannya. Untunglah, pikir Maya. Namun tidak lama kelegaan itu datang, suara-suara yang ditimbulkan oleh Sora yang sedang memakai pakaiannya entah kenapa membawa suatu sensasi tak terduga dalam diri Maya. Kelegaan itu lenyap digantikan debaran aneh yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, sama seperti debaran yang ia rasakan tadi sore ketika Sora mengelus kepalanya dan tadi di kamarnya ketika ia sedang mengingat Sora. Bedanya, ini lebih kuat. Parahnya, Maya menyadari wajahnya mulai merona karena pikirannya tentang Sora.

Jujur, Maya sudah merasa debaran ini muncul lagi ketika ia melihat Sora keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai handuk. Ya sebenarnya tidak masalah, `sih, karena bagaimanapun `toh Sora tidak telanjang. Mungkin itu karena ia baru pertama kali melihat tubuh lelaki dewasa (selain ayahnya) untuk pertama kalinya, entahlah. Apalagi tubuh Sora terlihat seperti pahatan sempurna, otot-ototnya kekar, dadanya bidang. Tetesan air di rambutnya membuat penampilannya semakin terlihat berkilauan. Satu kata, mempesona. Ia sempurna.

Aduh, Maya, stop! Mikir apa kamu ini? Maya menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. Jangan  mikir aneh-aneh, ayo pikiran aneh, hilanglah! Maya memejamkan matanya erat-erat dan menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. Kedua tangannya yang sudah ia “bebaskan” dari wajahnya memukul-mukul kepalanya untuk menghilangkan pikiran aneh itu jauh-jauh.

Sora yang tengah memakai celana panjangnya heran melihat tingkah gadis mungil di depannya, “Kamu ini sedang apa, `sih? Kenapa kamu bertingkah aneh begitu? Apa kepalamu sedang bermasalah, mungil?”

Maya menggelengkan kepalanya cepat, masih memejamkan matanya erat. “Tidak! Tidak ada apa-apa! Sudah belum ganti bajunya? Lama sekali, seperti tuan putri saja!”

“Hei, kenapa kau jadi protes terus, ‘sih? Ini kamarku dan tubuhku, seenaknya saja kau memerintahku! Yang justrunya harusnya protes itu aku, kenapa kau tiba-tiba muncul di kamarku? Jangan-jangan memang benar, `kan kalau kamu memang ingin mengintipku mandi?” selidik Sora sambil menarik resleting celananya dan mengancingkan celananya.

“SUDAH KUBILANG TIDAK!! ENAK SAJA!!” Maya langsung membuka matanya, dan ia mendapati lelaki di depannya belum memakai atasan. Ia melihat tubuh itu, lagi. Kali ini sangat jelas, dan Maya membeku tidak bereaksi. Tidak menutupi wajahnya dengan kedua tangannya lagi seperti tadi. Ia tidak tahu harus melakukan apa, tidak ada reaksi spontan yang terlintas di pikirannya. Pikirannya serasa kosong. Wajahnya langsung merona merah, dan hal itu disadari oleh Sora.

“Kenapa? Berdebar-debar melihatku kah? Tidak pernah melihat cowok setampan dan sekekar aku? Garis-garis ototku sempurna, bukan? Padahal aku tidak pernah fitness seperti pria di kota. Hanya olahraga biasa saja,” goda Sora. Maya terdiam. Melihat Maya yang tidak bereaksi, Sora berjalan mendekati Maya, “Kenapa kau diam, mungil? Bukankah tadi kau cerewet sekali? Kemana kekuatanmu dan keganasanmu yang tadi? Menyerah kalah setelah melihat tubuhku?”

Maya segera waspada. “Ap.. apa yang ingin kau lakukan? Ja.. Jangan mendekat!” suara Maya terdengar sangat gugup. Ia terlihat seperti orang yang salah tingkah.

“Bukankah ini yang kau inginkan mungil, makanya kau masuk ke sini?”

“Ti.. tidak! Sudah kubilang tidak! Cepat pakai kaosmu, jangan dekat-dekat! Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan!”

“Kesempatan dalam kesempitan? Aku tidak pernah melakukannya. Bukankah itu kamu, mungil? Aku memberikan kesempatan ini kepadamu sekarang, seluas-luasnya. Apa kau tidak mau?” tanya Sora, dengan nada suara penuh keangkuhan sekaligus menggoda. Ia semakin mendekati Maya. Hanya tinggal beberapa langkah lagi ia sudah akan mencapai Maya.

“Sudah kubilang, jangan mendekat! Aku bersumpah, kau mendekat lagi, aku tidak akan segan-segan...”

“Menggigitku? Memukulku? Memakiku? Menendangku, ahh.. atau membunuhku? Yang mana, mungil?” Sora semakin mendekat dengan ekspresi dan gerakan tubuh yang menantang sekaligus.. menggoda. Maya menelan air liurnya, takut juga berdebar. Ia tidak pernah berada dalam posisi ini sebelumnya. “Kalau kau memang ingin melakukannya, bukankah sudah akan kau lakukan dari tadi?”

“A.. aku.. aku akan..,” belum sempat Maya menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba Sora melakukan gerakan yang membuat mata Maya melotot lebar dan jantung Maya serasa ingin melompat dari tempatnya. Sora membuka kancing celananya. ASTAGA!! Alarm di kepala Maya mulai berbunyi keras.

“Ap.. apa yang mau kau lakukan!? Hentikan!!” Maya yang tadinya duduk di tepi tempat tidur mulai beranjak mundur ke belakang. Ia benar-benar merasa takut.

Sora tidak menggubrisnya dan semakin maju, senyum di wajahnya mungkin dapat menggoda para gadis di desanya, namun bagi Maya senyum di wajah Sora itu, belum pernah dilihatnya, dan itu hanya memberikan satu arti, pertanda bahaya.

“Kalau kau benar-benar tidak berhenti, aku akan teriak!” Maya mulai mengancam, namun nada suaranya benar-benar terdengar seperti orang ketakutan.

Sora menelengkan kepalanya sedikit dan tertawa mengejek, “Mau berteriak? Silakan, mungil. Ini kamarku, dan yang pasti akan mereka tanyakan terlebih dahulu ialah maksud tindakanmu masuk ke kamarku tanpa sepengetahuan dan seizinku. Kaulah yang akan mereka curigai, jangan-janganlah kaulah yang memiliki motif untuk menggodaku namun kau malah melimpahkannya padaku.” Sora menatap Maya tajam. “Jangan licik, mungil,” senyuman “berbahaya” itu kembali tersungging di wajahnya.

Maya langsung ciut. Bagaimana jika yang dikatakan Sora itu benar? Maya ‘kan sama sekali tidak ada maksud menggodanya! Maya benar-benar tidak bisa berpikir sekarang. Ia tidak bisa beranjak, padahal seharusnya ia bisa saja memukul Sora seperti biasanya, namun Maya sekarang merasa ia tidak punya tenaga untuk melakukannya. Halo, Maya! Inikah kelemahanmu? Apakah setelah melihat tubuh seorang pria kau jadi terdiam begini? Tidak! Hanya saja.. ini beda, ini Sora.. ini..

Maya tertegun. Memangnya kenapa kalau Sora? Tidak masalah, ‘kan? Ini hanya Sora, Maya. Teman masa kecilmu. Anggap saja seperti kakakmu, sama saja seperti melihat ayahmu. Maya tahu itu pikiran logisnya, namun entah kenapa kenyataannya tidak semudah itu. Melihat Sora dan terjebak bersamanya dalam kondisi seperti ini, Maya tidak bisa berpikir jernih dan melihat Sora hanya sebatas kakak dan teman masa kecilnya. Maya sendiri tidak yakin ia benar-benar memikirkan apa yang saat ini terbesit di pikirannya. Namun sosok Sora kali ini belum pernah dilihatnya, ia tidak mengenalnya.

Sora sudah sampai di tepi tempat tidur. Maya tersentak dari pikirannya, dan semakin mundur hingga terpojok ke dinding. Maya tidak bisa kemana-mana, sebenarnya bisa, namun ia tidak punya tenaga selain mundur. Maya melempar bantal dan guling, segala yang ia bisa temukan di tempat tidur, ke arah Sora, namun tidak mempan. Seperti yang sudah dikatakan Sora tadi, itu barang empuk, bukan barang keras yang bisa melukai dan membunuh orang.

Suara televisi yang masih menayangkan program tentang dunia hewan dan tumbuhan masih terdengar di tengah keheningan yang mencekam bagi Maya. “So.. ra.., televisinyaa... Televisi nya masih menyala..,” Maya berusaha mencari alasan agar Sora menjauh darinya.

“Televisi bisa menunggu, tapi aku tidak...,” jawab Sora, tenang. Namun jawaban Sora yang tenang itu malah membuat Maya semakin takut.

“Sora, kumohon, mundurlah, jangan mendekat lagi,” Maya benar-benar takut, sekarang ia lebih terdengar seperti memohon daripada mengancam. Ia tidak punya sesuatu yang bisa ia jadikan pertahanan. Tangannya terangkat ke depan seperti untuk menahan Sora mendekat. Alarm di kepala Maya semakin keras. Meskipun ia tidak tahu apa yang benar-benar akan terjadi, namun setidaknya dari pelajaran Biologi tentang reproduksi juga beberapa sinetron yang telah ditontonnya, ia bisa menduga apa yang akan terjadi. Namun haruskah seperti itu? Maya datang ke kamar Sora hanya ingin mencari remote TV dan menonton TV, bukannya untuk mengalami hal seperti ini.

Sora mulai menaiki tempat tidur. Matanya menatap tajam pada Maya, hanya pada Maya, seperti elang yang tidak akan melepaskan buruannya. Buruannya sudah terpojok, dan ia tahu dengan satu gerakan pamungkas saja, buruannya akan “tewas”, takluk dan menyerah kalah. Maya merasa ia hampir gila, Sora terlihat begitu kuat, tidak bisa dilawan, dan oh, tidak, kurasa aku benar-benar mulai gila.. mempesona. Rambut Sora yang masih basah terlihat berkilauan, dan tetesan air dari rambut Sora ke tubuhnya dan ke tempat tidur membuat Sora terlihat menggoda. Dan detik berikutnya, Sora melakukan gerakan yang semakin membuat Maya benar-benar gila. Sora mulai menarik turun resleting celananya, perlahan-lahan (Kyaaaa, writer nya mikir apa, ‘sih? :p)

“So... Sora, kumohon henti.. kan. Kau.. membuat..ku takut..,” suara Maya mulai tenggelam. Matanya berkaca-kaca. Dadanya berdebar keras, takut.

Sora tertegun sejenak. Ada sedikit debaran dan sensasi membara menyusup ke dadanya, yang segera ditepisnya. “Kenapa aku harus berhenti, mungil? Aku sudah sampai tahap ini. Kaulah yang memulainya,” Sora memegang tangan Maya yang terangkat ke depan. “Dan kau.. kusadari sekarang, terus memanggilku Sora? Tidak seperti biasanya. Kemajuan. Wah, mungil, kau benar-benar bermaksud untuk “ini”, `kan?”

“Ti.. tidak, sudah kubilang aku hanya...,” Maya tidak melanjutkan kata-katanya, tepatnya tidak sanggup untuk berbicara apa-apa. Tangannya yang terangkat ke depan sudah digenggam oleh Sora dan diturunkan. Sora mendekat, semakin mendekat ke wajahnya. Wajah Maya memanas, ia tidak bisa lagi menghindar. Maya memejamkan matanya erat-erat, pasrah.

“Maya...” panggil Sora, dengan suara selembut beledu. Maya tertegun, tidak pernah Sora memanggil namanya langsung, selembut itu. Tenaga Maya serasa hilang, pikirannya melayang entah kemana. Ia tidak pernah berada dalam situasi ini sebelumnya. Oh, ayah, ibu, maafkan anakmu ini. Anakmu sudah menjadi anak yang tak berbakti. Anakmu yang masih perawan ini, anakmu yang sudah berperilaku sangat bodoh dengan masuk ke kamar seorang pria dewasa. Maafkan aku, ratap Maya dalam hatinya seakan ia tengah menyampaikan pesan terakhir. Maya hanya bisa terus memejamkan matanya, sangat erat, tangannya terus dipegang Sora. Ia bisa merasakan Sora semakin mendekati wajahnya, ia bisa merasakan helaan nafas Sora. Tetesan air di rambut Sora yang masih basah sedikit jatuh di wajahnya. Jemari Sora yang menyibakkan poni Maya lembut, telunjuknya menyusuri dahi Maya yang sudah tertutupi poni, dan..

“Ctakkkk!!” terdengar suara sentilan keras di dahi Maya.

“Auwwwww!!” Maya refleks memegangi dahinya yang sakit dan membuka matanya, mendapati sosok Sora yang sudah turun dari tempat tidur dan tertawa terbahak-bahak. Maya merasa, ia benar-benar dikerjai sekarang, dengan sangat sukses!

“Aduhh mungill, tampangmu benar-benar lucu sekali! Sayang aku tidak punya kamera untuk mengabadikannya. Jika ada, aku pasti akan mencetaknya dengan ukuran super besar dan memajangnya di kamar sebagai bahan untuk membuatku tertawa jikalau aku sedang sedih,” Sora terus saja tertawa keras, tanpa mempedulikan tampang Maya yang menahan kesal dan amarah, “Aduhh, perutku sampai sakit,”

Maya segera menghampiri Sora dan memukul-mukulnya dengan kedua tangannya, “Kau kejam, keterlaluan, tidak berperasaan! Apa maksudmu tadi? Aku benar-benar takut, tahu!”

Sora menangkap kedua tangan Maya yang memukulnya. “Hei, mungil. Masih untung ini aku!”

Masih untung? Apa maksudmu?” Maya meronta, berusaha melepaskan kedua tangannya yang digenggam Sora. “Lepaskan tanganku!” Maya terus saja berusaha melepaskan tangannya, tapi gagal. Sora terlalu kuat, hal yang belum pernah Maya sadari dan rasakan sebelumnya.

“Apakah kau merasakannya sekarang, mungil? Seperti inilah tenaga pria, yang kukeluarkan ini belum ada separuhnya. Mengapa aku bilang untung, mungil? Benar, masih untung ini aku! Bagaimana jika aku adalah pria lain? Aku yakin yang tadi akan berlanjut ke dalam tahap yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya. Dan dengan tenagamu itu, kau tidak akan bisa melawan mereka, sia-sia mungil!” Sora melepaskan kedua tangan Maya, dan berbalik. Menarik kembali resleting celananya, menutup kancingnya, dan memakai kaos yang tadi digeletakannya di lantai. Maya masih sempat melihat bagaimana menawannya punggung Sora dari belakang ketika ia hendak memakai kaosnya, namun Maya segera menepis pikiran itu. Sora juga mengambil bantal dan guling di lantai yang dilemparkan Maya ke arahnya tadi dan menaruhnya ke tempat tidur.

“Dengan alasan apapun, mungil, tetap saja tindakanmu masuk ke kamar seorang pria tidak bisa dibenarkan. Berbahaya, mencari risiko. Pria itu berbahaya, mungil. Meskipun itu aku, yang sudah kau kenal,” Sora menghela nafas. “aku bisa saja lepas kendali, aku pria normal. Yah, meskipun...,” Sora menatap Maya yang masih berjongkok di tepi tempat tidur, dari atas ke bawah, seperti menilainya.

“Apa?” Maya mengernyit.

“Yah, meskipun.. sebenarnya hal itu tidak mungkin, ‘sih. Bagaimanapun, kau bukan tipeku, MUNGIL!” Sora segera tergelak lagi. “Aduh, mungil, kalau saja kau melihat wajahmu yang ketakutan tadi, hahahahaa...,” tawa keras Sora kembali terdengar memenuhi seluruh kamar. Maya hanya bisa terdiam ngambek, dengan bibir mengerucut.

Sesaat yang terdengar hanya suara tawa keras Sora, sampai lama-kelamaan suara tawa itu mulai mengecil. Rasanya Sora sudah mulai merasa lelah tertawa. “Hei.. kau tidak benar-benar berpikir aku masuk ke kamarmu untuk menggodamu, ‘kan?” tanya Maya, pelan.

“Hah? Apa?”

“Jangan membuatku mengulangi pertanyaanku, bodoh!”

“Haizzzz... kembali lagi. Bukankah kau tadi sudah memanggilku ‘Sora’, dengan suara yang sangat manja lagi,” wajah Maya memerah, Sora mendekatkan wajahnya pada wajah Maya, Maya tersentak. “Ayo, panggil aku lagi seperti tadi, ‘Soraaa...’, ‘Kak Soraaa...’, ‘Sora-samaa...’,”

Maya merengut dan langsung menempelkan telapak tangannya ke wajah Sora, mendorong wajah Sora ke belakang. “Jangan macam-macam kau!”

Sora manyun. “Tanganmu benar-benar perlu diikat mungil agar tidak bergerak seenaknya. Kau bermaksud merusak wajah tampanku, ‘kah, mungil?”

“Sebaiknya kau segera menatap cermin dengan jelas, untuk melihat apakah dirimu benar-benar tampan!”

“Sudah setiap hari kulakukan,” Sora berdiri. “Dan, cermin itu jujur mengatakan, “Pria di depanku ini sangat tampan dan mempesona”,” kata Sora sambil merentangkan kedua tangannya ke samping tubuhnya seperti untuk menunjukkan dirinya, tidak ada yang salah dengan dirinya. “Lihat saja, memang benar, ‘kan? Siapa gadis di desa ini yang tidak mau berebut mendapatkanku? Iya, ‘kan, mungil?”

“AKU! Aku tidak mau denganmu!”

“Oh, ya? Bukankah kau tadinya sudah terpesona denganku, mungil?” goda Sora. “Buktinya kau tidak melawan, dan kau tidak segalak biasanya,” Sora tersenyum dikulum.

“I.. itu beda! Sudahlah! Jangan membahas-bahas yang tadi,” Maya merengut.

Sora tertawa, “Kau benar-benar lucu, mungil. Tenang saja, aku masih cukup waras untuk memikirkan kemungkinan jika kau memang masuk ke kamarku untuk menggodaku, meskipun sebenarnya aku sedikit berharap kau melakukannya,” Sora tidak melanjutkan bicaranya ketika melihat Maya melotot tajam kepadanya. Sora tertawa ditahan.

“Kalau begitu, bercandamu benar-benar keterlaluan! Kalau kau memang tahu, kenapa kau menggodaku seperti tadi?” Maya merajuk, ngambek.

“Bukankah sudah kubilang, mungil? Untuk memberimu sedikit pelajaran, agar kau tidak melakukan hal seperti itu lagi,” Sora mendekati Maya lagi untuk mengelus kepalanya, lembut. Maya merasakan debaran keras itu datang lagi, beda dengan yang tadi. Ia merasa nyaman dan lega. “Maafkan aku, ya, aku membuatmu takut tadi. Aku terpaksa, kau juga, ‘sih, bandel, tiba-tiba pakai acara ke sini. Jika pria lain pasti akan mengira kau benar-benar menggoda mereka, mungil,” kata Sora, penuh perhatian.

Maya hanya bisa terdiam menatap Sora. Tangan Sora perlahan turun, dan jarinya menyentuh dahi Maya. “Sakit, tidak?”

“Eh?”

“Sakit tidak? Bagian yang kusentil tadi?” tanya Sora sambil mengusapnya lembut. Maya benar-benar merasa gila, yang sekarang ini seperti bukan dirinya. Ia hanya bisa terdiam membiarkan Sora melakukan hal ini padanya, padahal biasanya Maya akan melawannya. Apakah ini efek dari kejadian barusan? Yang aneh, Maya tidak ingin Sora berhenti melakukan hal ini padanya, jujur, Maya menyukainya. Tidak! Maya, kembalikan kewarasanmu saat ini juga!

“Tentu saja sakit! Sentilanmu keras sekali, tahu!” Maya menepiskan tangan Sora. Sora tertawa dan menjauh dari Maya. Maya sedikit tidak rela melihat Sora menjauh, namun ia berusaha membuang perasaan itu jauh-jauh.

“Makanya jangan lagi melakukan hal itu, anggap saja itu peringatan dariku, mungil,” Sora menarik kursi di dekatnya dan duduk di sana. “Ngomong-ngomong, kau sedang apa di kamarku, mungil? Seingatku kau mau mencari remote TV? Untuk apa? Jika kau ingin menonton TV, bukankah di rumahmu juga ada, meskipun mungkin channel nya tidak selengkap channel di TV ku, tapi channel TV ku juga kebanyakan tentang..,”

“AHHHHH!!!” Maya tersentak dan segera melihat jam dinding. Sudah pukul setengah sembilan malam. “Gawat, sudah lewat setengah jam!” Maya langsung menatap Sora. “Cepat katakan, dimana remote TV mu?”

Sora menatap Maya, heran dan berdiri. “Bukankah ada di atas TV?”

“Tidak ada! Jika ada, aku tidak akan mencarinya!” ujar Maya menggerutu.

“Aneh, kurasa biasanya kutaruh di situ,” Sora berjalan mendekati TV dan melihat bahwa di atas TV tidak ada apa-apa, kemudian ia melihat ke bagian belakang TV. “Ah, ada. Kurasa jatuh dan tersangkut di kabel bagian belakang,” Sora mengambil remote itu dan berbalik menatap Maya. “Ini remote..,”

Belum sempat Sora menyelesaikan kata-katanya, Maya sudah beranjak, sedikit berlari, menuju Sora dan merebut remote itu dari tangan Sora. Sora terkejut, “Astaga, tahan, mungil! Kau benar-benar tertarik dengan remote TV ku, kah? Adakah yang menarik di sana?”

Maya tidak menggubrisnya dan segera duduk kembali di tempat tidurnya. Ia segera mengganti-ganti channel TV dan tak berapa lama ia berhenti di salah satu channel yang menayangkan seorang gadis cantik berambut begelombang dikuncir, memakai topi koboi, sedang naik kuda. “Ini dia... Akhirnyaaa..” wajah Maya berseri-seri gembira.

Sora yang sudah heran sejak reaksi Maya yang mengambil remote nya segera menolehkan wajahnya ke program TV yang sedang ditonton Maya.

“Apa itu? Seorang gadis seperti koboi yang sedang naik kuda?” tanya Sora tidak mengerti.

“Ssssttt! Oh, diamlah!” Maya tampak menonton dengan serius. Tiba-tiba dahinya mengernyit dan wajahnya tampak kecewa, “Ahhhh.. aku terlambat. Aku sudah ketinggalan bagian awalnya. Sekarang Misa sudah sampai di perbatasan Hutan Wood, aku tidak tahu bagaimana ia melawan makhluk buas juga para penyamun di dalam hutan yang mengepungnya dalam episode minggu kemarin. Sayang sekali,” Maya menghembuskan nafasnya kecewa. “Kau tahu? Itu pasti sangat seru sekali, huahhhh...,”

Sekarang, Sora menatap adegan dimana gadis bertopi koboi itu sekarang sedang turun dari kuda dan tampak bercakap-cakap dengan seorang pria tua. Dan Sora tetap pada satu hal yang pasti, ia tidak mengerti dan ia tidak peduli. “Nggg.. oke..,” ia berbalik menatap Maya. “Aku tidak peduli dengan bagaimana serunya kejadian itu, mungil. Yang aku tidak mengerti, mungil, apa maksud semua ini sebenarnya?”

“Oh, kumohon diamlah. Aku sudah ketinggalan awal yang seru dan sekarang aku tidak mau ketinggalan lagi!” Maya tampak terus menyimak televisi tanpa memperhatikan Sora.

Sora menatap Maya tidak percaya dan menghela nafas kesal. Gadis ini...pikir Sora. Kemudian Sora segera maju dan menutupi televisi, membuat Maya tidak bisa menonton.

“Heiiii!” Maya memprotes. “Apa maksudmu menutupi televisi dengan tubuhmu? Ingin menunjukkan bagaimana tubuhmu padaku? Aku tidak tertarik, dan oh, minggirlah!”

“Apakah kau begitu terpengaruh dengan kejadian tadi sehingga yang ada di pikiranmu aku hanya ingin menunjukkan tubuhku padamu, mungil?” Sora menggelengkan kepalanya tidak percaya. “Meski aku tahu tubuhku, yah katakanlah, mempesona, aku tidak cukup gila, mungil, untuk melakukan hal itu, kecuali jika kau menginginkannya,” Sora melihat tampang Maya yang merengut menatapnya dan Sora bisa melihat wajah Maya itu melukiskan jawaban ‘Berhenti memuji tubuhmu sendiri dan berhenti bermimpi jika aku memiliki kemungkinan untuk menginginkannya!’, Sora berhenti sejenak untuk menarik nafas dan melanjutkan, “Jika kau ingin aku minggir, mungil, jelaskan dulu maksud semua ini!”

“Maksud apa yang harus kujelaskan?” Maya menatap Sora, polos. Benar-benar tidak memiliki ide arah pembicaraan Sora.

“Astaga, mungil, kau masih bertanya?” Sora memejamkan matanya, terlihat lelah. “Yang aku ingin tanyakan ialah, aku harap otakmu bisa mengingat alasannya, mengapa sebenarnya kau ada di kamarku, tiba-tiba seperti kesetanan mencari dan merebut remote TV dari tanganku, lalu sekarang duduk menonton sinetron gadis bertopi koboi dan naik kuda tidak jelas itu?”

“Judul sinetron ini ialah ‘Gadis Koboi’, kudanya jelas, ‘kok. Mananya yang tidak jelas? Jelas-jelas itu seekor kuda!” Maya menatap Sora seakan-akan Sora baru saja mengucapkan sesuatu yang bodoh.

“Munggilllll,” Sora menatap Maya, gemas. “Aku tidak peduli dengan judulnya dan juga kudanya! Yang aku ingin tanyakan, apa maksud dari semua tindakanmu itu hingga kau sampai di kamarku dan duduk dengan tenang menonton televisi di atas tempat tidurku?”

“Ya, aku ingin menonton ‘Gadis Koboi’ ini.. Aku penasaran sekali dengan ceritanya, makanya aku ke kamarmu dan..,”

“Aku mengerti dengan itu, sangat mengerti melihat kamu ingin menonton sinetron ini, mungil. Yang tidak aku mengerti,” Sora menarik nafas dalam. “Mengapa harus di kamarku? Memangnya ada apa dengan televisi di rumahmu? Rusak?”

Maya menatap Sora, mengerti dengan arah pembicaraan Sora sekarang. “Ahhh.. aku mengerti sekarang,” Maya ikut menarik nafas pelan. “Hmmm.. tidak rusak, ‘sih, hanya saja aku ada dalam kondisi dimana aku tidak bisa menonton televisi di rumahku,”

“Apa aku boleh tahu kondisi apa itu, mungil?” selidik Sora.

“Hmmm... itu..,” Maya terlihat menunduk, mulai gelisah. “Sebenarnya, ya.. ng, itu...,”

“Tunggu...,” Sora menatap Maya, sedikit tajam. “Apa paman bibi tahu kamu kesini?” melihat Maya yang hanya menunduk tidak menjawab, Sora sudah bisa menebak. “Ahh, bodoh sekali. Tidak mungkin mereka tahu, karena jika paman dan bibi tahu, kamu tidak akan masuk ke kamarku lewat balkon kamar, ‘kan? Apa kamu tidak sadar, mungil? Kamu bisa dikira maling, tahu, jika ada orang yang lewat rumah ini,”

“Aku tahu,” jawab Maya, pelan. “Tapi tenang saja, tidak ada orang, ‘kok, ketika aku meloncat ke balkon kamarmu tadi,”

“Oke, balik ke pertanyaanku tadi. Kondisi apa yang menyebabkan kamu tidak bisa menonton televisi di rumahmu, yang membuatmu sampai harus ke kamarku diam-diam begini?” Sora melihat Maya masih menunduk tidak menjawab. “Baiklah, mungil, jika kamu tidak menjawab aku akan bilang pada paman dan bibi jika anaknya sudah melakukan tindakan seperti ini,” Sora beranjak tidak menutupi televisi lagi, dan hendak menuju ke pintu kamar.

“JANGAN!!” Maya segera berdiri menyambar lengan Sora. “Kumohon, jangan! Aku... benar-benar bisa dimarahi habis-habisan nanti...,”

“Kamu tidak mau mengatakannya alasannya padaku, ‘kan, mungil?” Maya hanya bisa terdiam sambil terus memegangi lengan Sora. “Baiklah, lepaskan tanganku sekarang, mungil. Kalau kau tidak mau cerita, maka aku tidak punya pilihan,” Sora sedikit meronta untuk melepaskan cengkraman Maya di lengannya.

Maya semakin mempererat cengkramannya di lengan Sora. “Kumohon, jangan...,” wajah Maya benar-benar terlihat gelisah. “Baiklah, aku akan cerita. Tapi... janji jangan lapor ke ayah dan ibu, ya...,” Maya terlihat tidak punya pilihan dan hanya bisa pasrah.

Sora terlihat berpikir, menimbang-nimbang, sebelum akhirnya berkata, “Oke, it’s a deal!” Maya melepaskan cengkramannya dan kembali duduk. Sora berdiri di depannya dan melipat kedua tangannya. “Sekarang, bisa ceritakan padaku sejujur-jujurnya, mungil?”

Maya menggigit bibir bawahnya. “Tapi, janji jangan tertawa, mengejek, marah, berkomentar aneh-aneh atau yang lainnya, ya?”

Sora menatap Maya, ia tahu yang akan gadis ini ceritakan ialah sesuatu yang tidak benar. “Baiklah, tergantung ceritamu, mungil,”

Maya menghela nafas sebelum bercerita, “Baiklah. Ya, kau tahu bagaimana nilaiku, ‘kan selama di SMA ini. Yahh... tidak begitu baik...,”

“Mengerikan, tepatnya..,” timpal Sora.

“Aku tahu, dan kau tidak usah memperjelasnya seperti itu,” Maya menggerutu, Sora tertawa kecil. “Yah, karena itulah, ayah ibuku menghukumku tidak boleh menonton televisi, aku disuruh belajar di kamar dan mengerjakan PR ku dulu hingga tuntas. Sedangkan hari ini, ada lanjutan ‘Gadis Koboi’ yang seru-serunya, dan yah..,” Maya memainkan tangannya, gelisah. “Kau tahu sendiri bagaimana aku kalau sudah berhubungan dengan sinetron dan hal-hal semacam pertunjukan. Aku benar-benar ingin menontonnya sampai aku tidak bisa mengerjakan PR ku, hei! Kenapa kau menatapku seperti itu? Aku benar-benar tidak bisa mengerjakan PR ku karena aku ingin menonton televisi! Sebenarnya, aku mau dan bisa, ‘kok!” Maya merengut.

“Benarkah? Sejak kapan kau bisa dan berniat mengerjakan PR mu, mungil? Bukankah juga pada akhirnya kau akan mencontek pekerjaan temanmu di kelas?”

“Kau sudah janji tidak akan berkomentar ataupun mengejekku tadi!”

“Aku sudah bilang, tergantung ceritamu, ‘kan, mungil?”

“Kalau begitu, aku tidak akan melanjutkan ceritaku,”

“Ya sudah, tidak masalah. Aku akan pergi menceritakan tindakanmu ini ke paman dan bibi sekarang,”

Maya terdiam. Kesal. Ia tahu ia kalah. Percuma berdebat melawan lelaki di depannya ini. Suasana hening, yang terdengar hanyalah suara televisi.

“Baiklah, malam ini, kau menang,” ucap Maya, tidak rela. “Yah, karena aku begitu ingin menontonnya, aku terus saja mencari cara agar aku tetap bisa menontonnya. Lalu aku teringat... dirimu,” Maya memelankan suaranya, karena di kamarnya ia teringat ia bisa memikirkan Sora berawal dari lamunannya tentang Sora memeluk dirinya, yah, menyelamatkannya lebih tepatnya.

“Kenapa tiba-tiba kau memelankan suaramu, mungil?”

“Tidak, perasaanmu saja!” jawab Maya, cepat, untuk menutupi rona wajahnya. Ia harap Sora tidak melihatnya karena ia tahu Sora bisa mengejeknya habis-habisan lagi. “Yah, intinya, aku teringat di kamarmu ada televisi juga, dan akhirnya beginilah... aku sampai di kamarmu,”

Sora menatap Maya, mengeluarkan suara tawa tidak percaya, lalu duduk di samping Maya. “Astaga, mungil, kau ini... tidak kusangka alasan kau masuk ke kamarku hanya untuk... menonton televisi? Jahat sekali kau, mungil...,”

“Memangnya apa yang kau harapkan? Menggodamu? Merayumu? Mencuri sesuatu darimu? Jangan mimpi!”

Sora berdiri, “Kelihatannya hari ini memang benar-benar hari sialku, mungil. Kau benar-benar mencobai aku,” Maya menatapnya bingung, “Apa maksudmu?”

“Hahaha.. Lupakan saja apa yang kukatakan, mungil. Baiklah, hari ini aku sedang berbaik hati padamu, menontonlah sesukamu. Jika kau ingin mengambil cemilan dan air minum, kau bisa mengambilnya di bawah. Kuharap kau ingat tempatnya, mungil, karena aku masih menaruhnya di tempat yang sama seperti dulu,” Sora beranjak mendekati jendela kamarnya yang tadi dimasuki Maya, yang sudah seperti pintu menuju balkon.

“Kau mau kemana?”

“Menghirup udara segar di luar. Aku tidak akan menemanimu menonton karena aku tahu kau tidak butuh ditemani karena pada akhirnya kau juga hanya akan mempedulikan apa yang kau tonton. Di luar aku tidak akan bisa mendengar televisi atau kehebohanmu yang sedang menonton. Lagipula...” Sora membuka jendela dan berbalik menatap Maya. “Kau tidak ingin kejadian yang tadi terjadi lagi, ‘kan, mungil? Atau kau ingin.. kelanjutannya?” goda Sora sambil mengangkat-angkat alisnya.

Maya melemparkan bantal ke arah Sora. “Dalam mimpimu, Tuan!”

Sora tertawa, “Hahahhaa.., aku tak ingat pernah bermimpi seperti itu, mungil, atau jangan-jangan kamu yang bermimpi seperti itu? Upss...,” Sora segera ke balkon dan menutup jendela sebelum terkena lemparan  bantal dan guling lanjutan dari Maya yang sudah tengah bersiap melemparkan bantal berikutnya.

Maya menggerutu. Orang itu, benar-benar! Maya memungut bantal di lantai dan menaruhnya lagi di tempat tidur, sebelum beranjak untuk kembali menonton televisi. Tepat saat itu, televisi menayangkan program berita terkini yang memotong sinetron ‘Gadis Koboi’ yang tengah ditonton Maya. Terdengar suara reporter wanita yang tengah melaporkan dari suatu tempat kejadian yang terlihat seperti habis terkena kebakaran. “Haizzz, baru saja mau nonton malah yang muncul berita. Gara-gara terlalu lama berdebat dengan orang itu, banyak yang jadinya aku lewatkan. Sudahlah, lebih baik aku ambil cemilan dan minuman saja dulu,” Maya segera beranjak dari tempat tidur dan keluar dari kamar, tepat saat reporter itu mengatakan,

“....terjadi kebakaran besar di rumah Jenderal Besar sekaligus Pendiri dan Pemimpin Daito, Eisuke Hayami. Terdapat satu korban tewas yang merupakan pembantu rumah tangga di rumah Eisuke Hayami. Laporan terakhir yang kami dapatkan, nama korban tewas tersebut ialah Mitsuki Fujimura. Kerugian yang didapat dari peristiwa ini diperkirakan sebesar...,”

♪ ♪ ♪

Sora menghela nafas, ia menatap langit gelap yang ada di atasnya. Udara malam yang dingin berhembus menerpa kulit wajahnya. Untung saja Sora memakai kaos lengan panjang jadi ia tidak merasa begitu kedinginan, namun sebenarnya tidak masalah karena Sora tahan dingin. Tidak tampak banyak bintang, tapi setidaknya cukup untuk membuat Sora menenangkan dirinya. Ia harus bisa mengembalikan akal sehatnya, secepatnya. Jujur, Sora benar-benar hampir lepas kendali tadi. Niatnya hanya untuk menggoda Maya, juga untuk menyadarkan Maya mengenai bahayanya masuk ke kamar seorang pria. Namun saat ia melihat ekpresi wajah Maya yang memohon, mata beningnya yang berkaca-kaca, suara Maya yang memanggil namanya, ia terlihat begitu rapuh dan mempesona, entahlah. Sora sadar ia sempat tertegun melihat Maya seperti itu. Ada suatu sensasi seperti bara api membara yang muncul dan memaksa untuk dikeluarkan. Tidak pernah hal itu terjadi sebelumnya. Maya terlihat seperti suatu godaan yang sangat kuat baginya. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar tidak melihat sosok Maya sebagai sosok gadis mungil lagi, tetapi sebagai sosok remaja yang beranjak dewasa. Sora tersentak dengan pemikirannya sendiri.

Demi Tuhan, Sora! Hentikan pikiranmu sekarang atau kau akan benar-benar gila! rutuk Sora. Ia baru berusia 16 tahun, masih kelas 1 SMA! Apa yang kau pikirkan?! Sora sendiri tidak tahu mengapa ia bisa jadi seperti ini. Ia mengalami debaran dan sensasi yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya terhadap Maya. Padahal sebelumnya tidak. Sora selama ini yakin, ia hanya memandang Maya sebagai adiknya saja, sebagai saudaranya. Ia memang menyayangi Maya, sangat menyayangi Maya, tapi itu karena Maya temannya sejak kecil, dan seperti yang diyakininya selama ini, sudah seperti adiknya sendiri. Namun malam ini semua hal itu terasa berubah. Sora teringat, sore tadi juga, ketika ia menyelamatkan Maya, ia merasa benar-benar khawatir jika ia kehilangan Maya. Benarkah hal itu merupakan kekhawatiran sebatas saudara? Sedekat apapun mereka, selama apapun mereka telah bersama sebagai teman dan saudara, Maya bukanlah saudara kandungnya. Sejak kapan ia memandang Maya secara berbeda? Apa mungkin ia hanya terbawa suasana saja?

Sebenarnya alasan Sora keluar ke balkon untuk mencari udara segara bukanlah basa-basi belaka. Itu yang Sora butuhkan, udara segar mengembalikan kewarasannya. Selain itu, ia harus menjauhi Maya untuk beberapa saat sampai akal sehatnya benar-benar kembali. Ia tidak berani menjamin akan apa yang terjadi jika ia terus saja berada dalam satu ruangan bersama Maya, dimana Maya berada dalam jangkauannya. Segalak apapun Maya, ia tetap hanyalah seorang gadis biasa. Ia rapuh dan lemah, jika dibandingkan dengan seorang pria dewasa. Apa dayanya jika ia dihadapkan dengan seorang pria seperti Sora? Apalagi tidak bisa dipungkiri, Sora seorang pria normal. Ia bisa punya rasa tertarik terhadap seorang wanita. Seperti inikah rasa tertarik itu? Menakutkan. Ketika Sora berusaha mengenyahkan pemikiran itu, pikiran lainnya muncul. Pikiran tentang ada pria lain yang melakukan hal seperti yang ia lakukan tadi kepada Maya tiba-tiba membuatnya kesal dan marah. Ia tidak rela, tidak boleh ada yang melakukan hal itu kepada Maya! Dan lagi-lagi, Sora tersentak dengan pemikirannya sendiri.

Sora tidak berani menoleh ke belakang untuk melihat wajah Maya yang sedang menonton. Tidak, lebih baik jangan dekat-dekat dengan Maya dulu. Sora menghela nafas, jika saja Maya tahu dirinya memikirkan hal seperti ini, Maya pasti akan benar-benar marah, kecewa, dan kesal. Maya pasti tidak akan mau dekat-dekat dengannya lagi. Terbayang wajah Maya yang jijik memandangnya. Tidak, tidak boleh! Aku tidak mau! Sora tidak mau memikirkan kemungkinan Maya yang menjauhinya dan ia merasa aneh dengan dirinya yang bisa berpikir seperti itu. Sora merasa kalut dengan semua yang terjadi malam ini dan bingung dengan pikirannya sendiri yang berjalan tanpa arah. Ia benar-benar butuh sesuatu seperti obat penenang.

“Ahhhhhh... bintangnya sedikit sekali,” Sora mendengar suara Maya di belakangnya, dan ia segera berbalik. Ia melihat Maya sudah berada di balkon dan berjalan mengambil tempat di sebelahnya. Sora gelisah. Maya sudah berada di dekatnya lagi sekarang, dan ia belum benar-benar berhasil menenangkan dirinya. Ia berharap akal sehatnya mau berkompromi dengannya saat ini.

“Sudah selesai menontonnya, mungil?” Maya mengangguk sambil terus mengarahkan pandangannya ke langit. “Cepat sekali?” tanya Sora, heran.

“Tentu saja cepat. Aku sudah ketinggalan banyak tadi di awal karena kau,” Maya merasa wajahnya memanas mengingat kejadian tadi. Sora juga langsung tegang, sensasi itu muncul lagi. Namun dengan sekuat tenaga, Sora membuangnya jauh-jauh. Ia berusaha untuk tetap tampak tenang. “Awas jika kau berani melakukannya lagi. Aku bersumpah benar-benar akan membunuhmu,” ujar Maya sambil menatapnya tajam.

Sora tertawa, berusaha untuk terus menenangkan dirinya. “Kalau begitu, kenapa tadi kau tidak membunuhku, mungil?”

“Entahlah, mungkin aku sedang baik hati padamu. Ada malaikat yang bilang padaku belum saatnya untuk membunuhmu,” jawab Maya asal. Sora dan Maya tahu, alasannya bukan itu. Tapi mereka sendiri tidak berminat untuk membahasnya. Sora tahu efek yang akan terjadi pada dirinya jika ia menanyakan alasan yang sebenarnya. Sejenak keduanya terdiam.

“Ngomong-ngomong, kulihat kau sedang melamun tadi. Kau melamun apa, ‘sih? Serius sekali. Jangan melamun malam-malam begini, kesambet, lho!” ujar Maya.

Sora tertawa. Kali ini ia sudah bisa merasa lebih tenang. Maya yang membuatnya tertawa seperti ini, bukanlah yang memasang ekspresi yang bisa menghilangkan akal sehatnya, ialah Maya yang ia butuhkan sekarang. Setidaknya di samping Maya yang seperti ini mungkin saja bisa membuatnya merasa lebih baik. “Tidak apa-apa, aku sedang mencari bintang. Seperti katamu tadi, malam hari ini bintangnya sedikit sekali,”

“Bintang? Kau suka melihat bintang?”

“Ya, begitulah. Dengan melihat bintang, perasaanku akan menjadi lebih baik,”

“Memangnya kenapa? Kau ada masalah?” tanya Maya. Ugh! Sora tidak sanggup menatap mata bening Maya yang menatap lurus ke arahnya, polos tanpa prasangka. Masalahnya kamu, mungil! gerutunya. Dengan sangat perlahan, Sora menjauh satu langkah dari posisinya semula. “Tidak apa-apa, hanya banyak pikiran saja,” Sora mengalihkan pandangannya ke langit, terlihat seperti benar-benar sibuk mencari bintang.

Maya heran, namun ia memutuskan untuk tidak membahasnya. Jika Sora ingin cerita, maka ia pasti akan cerita sendiri. Maya ikut mengalihkan pandangannya ke arah langit, “Memang benar, bintangnya malam ini sedikit sekali. Tapi setidaknya bintang di desa lebih banyak daripada di kota. Yahhh... langitnya jadi terlihat lebih gelap,” keluh Maya, kecewa.

“Kau terdengar kecewa. Kau suka melihat langit?”

“Suka sekali! Secara pribadi, aku lebih suka melihat langit dibanding bintang! Aku iri kepada langit, terlihat begitu luas dan bebas, tahu apa saja. Memiliki banyak ekspresi, menakjubkan,” jawab Maya, wajahnya berbinar. “Ah, tapi jangan karena kau memiliki nama yang artinya ‘langit’ kau berpikir aku juga suka padamu, ya!”

Sora tertawa keras. “Kenapa kau terlihat takut sekali akan suka padaku, mungil? Memangnya merupakan hal tabu dan terlarang jika kau suka padaku, ya? Lagipula, kita juga tidak punya hubungan darah ataupun keluarga, ‘kan, mungil?”

“Aku takut terkena kutukan menjadi penggemarmu. Aku tidak mau anak-anakku memiliki sifat narsis sepertimu! Aku sudah cukup bangga menjadi satu-satunya gadis waras yang tidak tergoda olehmu sampai detik ini!” sungut Maya. Sora hanya bisa tertawa. “Hei, sungguh penghinaan yang besar bagiku, mungil! Apa mungkin kau perlu memeriksakan matamu? Aku khawatir ada kelainan dengan matamu karena kau tidak dapat melihat ciptaan sempurna dan mempesona yang terpampang jelas di depanmu saat ini,”

“Kurasa yang butuh pemeriksaan mata ialah para gadis di desa ini!” sambar Maya. “Dan, kurasa kau juga butuh!”

“Aku? Apa yang salah dengan mataku? Apakah aku salah jika aku melihat bahwa diriku ini tampan dan merasa begitu? Apa aku salah memanggilmu ‘mungil’ karena aku memang melihatmu benar-benar mungil,” Sora memasang ekspresi tak bersalah. Maya melotot menatapnya.

“Otakmu! Kau harus segera memeriksakan otakmu, karena siapa tahu kepalamu terbentur sesuatu atau ada alasan lain sehingga ada yang tak beres dengan bagian otakmu! Jadinya kau narsis seperti ini! Dan berhenti memanggilku mungil!”

Sora tersenyum dikulum. Ini dia, Maya yang galak. Maya yang berani memakinya. Maya telah kembali sepenuhnya sekarang. Sora menghela nafas, Maya yang seperti ini bisa membantu mengembalikan akal sehatnya.

“Kurasa otakmu juga perlu diperiksa, mungil. Kau benar-benar galak dan ‘buas’ seperti serigala, auwwww!!” Maya mencubit lengan Sora keras. “Hei, sakit tahu! Bagaimana kalau sampai merah dan bengkak?” Sora mengusap lengannya yang dicubit Maya.

“Biarin, tahu rasa!” Maya menjulurkan lidahnya, kemudian menatap langit lagi. “Ahhhh... aku sungguh berharap bisa melihat bintang jatuh,”

“Bintang jatuh? Kenapa?” tanya Sora sambil terus mengusap lengannya yang terasa sakit. “Tunggu, apa kau percaya dengan mitos bahwa bintang jatuh bisa mengabulkan permohonan?”

Maya mengangkat bahunya. “Entahlah, aku tidak pernah tahu kebenarannya. Tapi, tidak ada salahnya dicoba, `kan? Siapa tahu bisa jadi kenyataan,”

“Memangnya ada yang kau inginkan?” selidik Sora.

“Tentu saja!” Maya terlihat bersemangat. “Andai saja aku diberi kesempatan, aku ingin sekali... bisa seperti mereka yang ada di sinetron dan pertunjukan yang aku tonton di televisi. Mereka bersinar. Misalnya, ya, seperti Ayumi Himekawa yang main jadi pemeran utama di ‘Gadis Koboi’ tadi,” Maya teringat gadis berambut bergelombang bertopi koboi yang menunggang kuda dengan keanggunan dan keberanian yang menyatu. “Dia... mempesona. Aku benar-benar ingin sepertinya, padahal dia seumurku. Dia sangat beruntung sekali, ayahnya sutradara ternama dan ibunya Utako Himekawa, seorang artis terkenal. Aku... benar-benar iri...,” Maya segera menunduk dan tertawa hambar. “Hahaha, ngomong apa aku ini? Melantur. Mana mungkin aku bisa seperti Ayumi. Tapi, kalau diberi kesempatan, sekali saja...,” Maya tampak merenung.

Sora menatap Maya. Ia tidak tahu harus berkomentar apa, namun ia sadar Maya begitu mencintai akting. Ia bisa meniru dengan baik dari apa yang ditontonnya meskipun tidak banyak orang menyadarinya. Sora sendiri sebenarnya tidak terlalu memperhatikannya. “Apa kau menyesal memiliki ayah ibumu yang seperti sekarang dan bukannya seperti ayah ibu Ayumi Himekawa itu?”

“Tentu saja tidak!” Maya terkejut dengan pertanyaan Sora. “Aku sama sekali tidak pernah memikirkan hal seperti itu. Hanya saja... aku merasa Ayumi benar-benar beruntung. Ia cantik, serba bisa, aktingnya mempesona, punya ayah dan ibu seperti itu pula. Kadang-kadang, aku merasa dunia ini tidak adil,” Maya mendesah pelan.

Sora menatapnya kemudian mengalihkan pandangannya lagi kepada langit. “Baguslah jika memang begitu, mungil. Karena setidaknya, kau masih memiliki ayah dan ibu, lengkap, dan mereka bersamamu. Kau jauh lebih beruntung daripada mereka yang tidak memiliki ayah dan ibu, atau terpisah dari ayah dan ibunya...,” ujar Sora, pelan.

Maya tersentak dan segera menatap Sora. Sora... Maya menatap Sora sendu. Ia merasa tidak enak, ia merasa telah menyinggung perasaan Sora. Maya benar-benar merasa bodoh. Padahal ia tahu ini topik pembicaraan yang sangat sensitif bagi Sora. Padahal ia selama ini sudah berusaha menghindarinya. Namun dengan bodohnya ia membawa topik pembicaraan ini, meskipun tidak disadarinya. Bodoh, dasar Maya bodoh! Maya berpikir untuk segera minta maaf. Namun ketika ia baru akan membuka mulutnya, Sora sudah menyelanya,

“Jangan minta maaf, mungil, karena aku tahu kamu pasti hendak mengucapkannya, iya, ‘kan?” Sora menatap Maya sambil tersenyum kecil. Maya segera menutup mulutnya dan menunduk. “Aku bosan setiap kali kau ataupun orang lain mengatakan ‘maaf’ setiap kali membahas masalah ayah dan ibuku. Aku tidak butuh kata ‘maaf’ karena kamu juga tidak bersalah kepadaku, mungil. Ayahku sudah lama meninggal, dan ibuku...,” Sora tampak menelan ludahnya dan mengeratkan pegangannya pada pegangan di balkon. Ia kembali menatap langit. “Aku tidak apa-apa, mungil...,”

Maya menatap Sora, prihatin. Benarkah tidak apa-apa? Tadi Maya bisa menangkap, meskipun sekilas, pandangan mata Sora yang terlihat suram. Maya tahu, meskipun Sora tidak mengatakannya, namun ia merindukan ibunya. Sora mungkin tidak menyukai ibunya, tapi ia juga merindukan ibunya. Ia merindukan kehangatan seorang ibu yang sudah lama meninggalkannya. Meninggalkannya ketika usianya masih belum terlalu dewasa. Entah alasannya apa, tapi Maya tahu ibu Sora meninggalkan Sora bukan karena ia ingin membuang Sora. Maya berharap Sora tidak berpikir ibunya membuangnya. Tapi, apa urusannya? Maya tidak boleh ikut campur dengan urusan pribadi Sora. Setidaknya Maya bisa melakukan satu hal, ia bisa menjadi teman Sora, saudara Sora, memberikan kasih sayang untuk Sora, membuat Sora tertawa.

Maya menghela nafasnya. Saatnya topik ini ditutup. “Kau sendiri? Apa tidak punya keinginan?”

Sora masih menatap langit dan menjawab pelan, “Tidak ada. Aku sedang tidak menginginkan apa-apa saat ini,” Maya menatap Sora. Benarkah kamu tidak menginginkan apa-apa? Maya bisa melihat tatapan Sora yang masih terlihat suram. Carilah topik pembicaraan lain, Maya!

“Eh, hmm... Tapi, hebat juga ya, televisimu. Layarnya jernih, banyak channel nya. Beda dengan rumahku, kadang-kadang televisinya bermasalah sehingga hanya muncul warna hitam-putih,” Maya mengalihkan pembicaraan.

Sora tertawa kecil. “Mungkin karena kau sering menggunakannya untuk menonton sinetron bukannya hal-hal yang berguna jadinya televisimu itu tidak mau. Ia merasa sia-sia digunakan hanya untuk menyiarkan sinetron, apalagi penggunanya orang sepertimu,”

“Hahaha, lucu sekali! Apa televisi punya kehendak sendiri? Dan apa kau bermaksud membuatku menonton prgoram televisi tentang dunia hewan dan tumbuhan atau semacamnya? Kau tahu sekali caranya untuk membuatku langsung tertidur atau sakit kepala,” gerutu Maya.

“Hei, itu bagus untuk otakmu setidaknya agar dipakai berpikir. Jika tidak otakmu itu akan cepat karatan,”

“Kau tahu aku tidak bisa memikirkan hal yang berat-berat. Jangan samakan otakku dengan otakmu yang sukanya memikirkan hal-hal yang bisa membuat sakit kepala!”

“Setidaknya otakku ini aku fungsikan sebagaimana seharusnya. Tidak sepertimu. Dan, jangan menggerutu terus, mungil. Nanti kau bisa cepat tua! Kenapa semakin lama kau semakin galak, ‘sih? Padahal dulu waktu kecil kau manis dan penurut sekali. Aku bahkan ingat saat-saat kita bermain bersama, mandi bersama...,”

“Iihhhh, apaan, `sih? Dasar bodoh! Kenapa kau mengungkit-ungkit masalah mandi bersama, ‘sih? Jangan bicara keras-keras, dasar bodohhhh!!!”

“Tidak apa-apa, `kan? Lagipula aku juga sudah pernah melihat SEMUANYA!” Sora tertawa penuh kemenangan. Wajah Maya langsung merah padam.

Sora tergelak, “Memangnya siapa yang mau dengar? Sudah malam juga. Jarang orang yang lewat. Kalau mereka dengar, salah kau sendiri yang teriak-teriak,” Maya langsung diam, menutup mulutnya, dan melotot menatap Sora. Sora tertawa, “Jangan salahkan aku. Kau masih kecil saat itu, mungil. Bukan mauku mandi bersama denganmu, bukankah waktu itu kau yang memintaku untuk mandi bersamamu dengan wajah cengeng dan merengek? Apa kau lupa?” goda Sora sambil mengangkat-angkat alisnya.

Maya menjadi semakin malu dan ia mengerucutkan mulutnya. Ia memang ingat, dulu dirinya dan Sora sering bermain hingga baju dan tubuh mereka kotor. Maya ingat saat itu ia dekat sekali dengan Sora dan menempel terus pada Sora. Ia bahkan lebih memilih untuk mandi bersama Sora daripada ayah dan ibunya. Ayah dan ibu Maya sampai heran melihat Maya bisa begitu menempel erat pada Sora dan sulit dilepaskan. Maya mengutuk dirinya sendiri ketika kecil, dasar anak kecil bodoh! Kenapa kamu bisa seperti itu waktu kecil, ’sih? Wajah Maya memerah dan Sora semakin gemas melihatnya. Ia mengacak-acak rambut Maya, “Hahahaha! Tampangmu seperti kodok rebus, mungil. Lucu sekali!”

Mata Maya melotot. “Jangan panggil aku mungil terus. Aku lelah terus menerus memperingatkanmu akan hal itu untuk kesekian kalinya! Aku sudah dewasa, menyebalkan! Mana aku tahu kejadian mandi bersama itu? Aku melakukannya karena aku masih kecil dan aku tidak tahu apa-apa! Dan lagipula aku baru tahu, apa kodok rebus itu warnanya merah?”

Sora mendesah perlahan dan menatap Maya dengan tatapan meremehkan, “Kalau begitu, bagaimana dengan bunglon? Habisnya wajahmu mudah berubah warna, ‘sih, sebentar putih, sebentar merah,” Sora tergelak dan Maya merengut. “Lalu, dewasa katamu? Masih SD iya!” ledeknya. “Lihatlah,
” Sora menaruh salah satu tangannya dengan posisi menyamping di samping dahi kanan Maya, seperti tengah mengukur tinggi badan. “Tubuhmu semungil ini, kau bilang sudah dewasa? Ckckckk..,” Sora menggeleng-gelengkan kepalanya.

Maya menepis tangan Sora, “Kau saja yang terlalu dewasa dan besar seperti raksasa! Tua seperti om-om! Bisa-bisa kau dikira om-om mesum dan paedofil soalnya pernah mandi sama anak kecil!” balas Maya sambil memeletkan lidahnya. Sora langsung melotot menatap Maya dan mencubit pipinya. “Aduh sakit!” Maya merengut sambil mengelus pipinya yang merah.

“Anak kecil tahu rasa, makanya jangan nakal! Tahu apa, `sih? Mana mungkin dikira paedofil, soalnya `kan kamu yang mengajakku untuk mandi bersama, mungil!” Sora mengangkat alisnya menggoda Maya, muka Maya semakin merah padam, dan dahinya tampak berkerut dalam. Lagipula apa juga yang kulihat dari tubuh anak kecil, tidak ada yang menarik. Kalau aku sampai tertarik, berarti aku memang benar-benar sudah gila dan menjadi paedofil,”

Maya merengut. Ia tidak tahu ia kesal dengan Sora yang terus saja meledeknya atau Sora yang mengatakan bahwa ia tidak tertarik melihat tubuh Maya. Astaga, Maya! Apa yang kau pikirkan? Sepertinya kejadian malam ini tidak hanya membuat Sora gila, namun Maya merasa pikirannya sudah melantur kemana-mana. Peduli apa, ‘sih, Sora tertarik dengannya atau tidak?! Lagipula waktu itu, ‘kan Maya juga masih kecil!

Sora tertawa dalam hati. Ia mengira Maya terdiam kesal karena ledekan Sora yang tadi, tanpa tahu bahwa sebenarnya Maya juga kesal dengan hal lain. Sebelum Maya sempat memprotes lagi, ia mengacak rambut Maya dengan sayang. “Sudah selesai nontonnya, `kan? Sudah sana tidur, kembali ke kamarmu! Jangan lupa cuci muka terus sikat gigi, ya. Anak kecil nggak boleh tidur malam-malam,” ujar Sora sambil tertawa.

Maya merengut membalasnya dengan tatapan “Aku bukan anak kecil lagi”, yang hanya disambut dengan gelak tawa oleh Sora. Maya segera berbalik, “Memang aku mau kembali ke kamarku, menyebalkan lama-lama di sini!” Maya berbalik dengan angkuh, melompat melewati balkon, dan dengan seketika sudah sampai di depan jendela kamarnya.

“Wowww... lompatan yang hebat, mungil! Sepertinya kau sudah terbiasa. Ingatkan aku, ya, kalau kau ini anak perempuan bukannya anak laki-laki,”

“Setidaknya aku tidak sampai memanjat pohon dan masih memakai rok, jadi aku masih berada pada kategori anak perempuan! Eh, salah! Aku sudah jadi remaja, bukan anak lagi!” ujar Maya ketus sambil membalikkan badannya, tidak menatap Sora lagi.

“Aihhh jahatnya, ke kamarku hanya ingin nonton televisi,” keluh Sora dengan nada sedih.

Maya bersikap tidak peduli. Ketika Maya sudah membuka jendelanya dan hendak masuk, Sora memanggilnya, “Hei, mungil..,”

Maya berbalik, kesal. Ingin sekali meneriaki Sora lagi karena masih saja terus-terusan memanggilnya ‘mungil’. Kemudian Sora berkata, “Jangan salahkan aku kalau aku menganggapmu mungil dan masih anak kecil, mungil.. Habisnya..,” Sora sedikit menunduk. Pandangannya menatap ke arah di bawah wajah dan leher Maya, memandangnya penuh selidik. “Yang itu juga.. tidak bertumbuh, `sih. Masih sama saja seperti ketika aku melihatnya dulu,” ujar Sora sambil menggelengkan kepalanya dengan ekpresi kecewa yang dibuat-buat.

Maya menjadi bingug dan melihat ke arah bawah tubuhnya. Apa ada yang salah? Apa yang tidak bertumbuh? “Itu? Tidak bertumbuh? Itu apa?”

Sora memegang dadanya sendiri dengan menghembuskan nafas keras. Wajahnya menunjukkan ekspresi kecewa dan pasrah yang sangat terlihat dibuat-buat. “Ahhhhh.... Benar-benar mungil, mungil..,”

Maya segera tersadar dan melihat ke arah yang dimaksudkan Sora. Wajah Maya sesegera mungkin menjadi sangat merah, lagi. Campuran antara marah dan malu, kemudian ia segera masuk dan membanting jendela. “Selamat malam!!!!” Maya segera menutup gorden jendela kamarnya.

Sora yang melihatnya hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Gadis itu selalu bereaksi spontan, tidak ada kepura-puraan. Yang ada hanya kepolosan dan kespontanan. Semua hal itulah yang membuat Sora gemas dan sangat senang menggodanya. Apalagi melihat raut wajahnya yang merengut dan ngambek, bibirnya yang mengerucut, wajahnya yang mudah memerah. Itu semua hiburan bagi Sora, di tengah kehidupannya yang “membosankan”. Maya.. memang tidak pernah membosankan jika bersamamu... Setidaknya bersama Maya yang ini, ia tidak akan kehilangan kewarasan dan akal sehatnya lagi. Sora meyakinkan dirinya sendiri bahwa kejadian yang tadi, ia hanya terbawa suasana saja. Semuanya pasti akan baik-baik saja dan kembali normal, seperti biasanya.

Sora menatap ke langit. Matanya terus saja mengamati bintang-bintang yang ada di langit, ia terus mengamatinya, entah apa yang dilihatnya. Berharap jumlah bintang akan bertambah atau berharap akan ada bintang jatuh? Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Benarkah ada bintang jatuh? Benarkah bintang jatuh itu bisa mengabulkan permohonan? Ia teringat, Maya sempat bertanya padanya apakah dia punya keinginan atau tidak. Bukannya ia tidak punya keinginan atau permohonan, hanya saja ia merasa percuma memohon hal itu. Karena bagaimanapun, ia tahu hal itu tidak akan pernah terkabul. Tidak akan pernah...

Di kamarnya, Maya merenung. Ia masih berdiri bersandar pada jendela kamarnya. Mengingat kejadian tadi. Ia marah karena Sora memanggilnya ‘mungil’, kenapa? Apa benar alasannya karena ia sudah bukan anak kecil lagi? Akankah ia marah jika temannya yang lain memanggilnya seperti itu? Ataukah, Maya tidak mau dilihat sebagai anak kecil di hadapan Sora?

Maya merasa pikirannya ruwet hari ini. Ia beranjak menuju tempat tidurnya dan menarik selimutnya, berusaha untuk segera tidur. Namun otaknya tidak mau menuruti perintah tubuhnya. Ia teringat kata-katanya tadi kepada Sora, ‘Aku sudah cukup bangga menjadi satu-satunya gadis waras yang tidak tergoda olehmu sampai detik ini! ’ Benarkah ia tidak tergoda oleh pesona Sora? Bukankah tadi, ia sempat sedikit... Maya segera teringat lagi kejadian yang tadi, ia melihat sosok Sora yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Sora terasa asing. Dan Maya sendiri merasa ia tidak mengenal dirinya sendiri saat itu. Ada debaran dan sensasi asing yang timbul dalam dirinya. Maya menjadi takut, namun ia juga merasa... menginginkannya. Meski Sora terasa asing, namun ia juga menggoda, mempesona, daya tariknya sangat kuat. Maya tersentak. Astaga... Pikiran gila ini muncul, lagi.

“Lebih baik aku segera tidur dan berhenti memikirkannya atau aku akan benar-benar menjadi gila sekarang,” Maya segera memejamkan matanya erat dan menarik selimutnya hingga menutupi kepalanya, dengan harapan hal itu tidak akan terbawa sampai mimpinya dan besok ketika ia bangun semuanya akan kembali seperti semula. Ia berharap pikiran gila tersebut akan lenyap ditelan malam.

♪ ♪ ♪

Di sebuah kamar di sebuah penginapan yang kecil dan tua, terlihat sekelompok gadis sedang membereskan barang-barangnya. Beberapa ada yang tampak mengeluarkan futon dan mereka semua sudah memakai piyama. Tampaknya mereka tengah bersiap untuk segera tidur.

“Aku tidak percaya kita benar-benar terdampar di sini,” ucap seorang gadis berambut gelap dan dikuncir dua. “Apa yang dipikirkan oleh bu guru, ‘sih, untuk melakukan pertunjukan keliling desa seperti ini?” keluhnya.

“Kau benar, Sayaka,” timpal seorang gadis kurus dan tinggi, berambut sebahu. “Tidakkah kau lihat tempat ini? Mengerikan! Aku sangsi tempat ini bersih. Bagaimana jika ada binatang aneh nanti merayap ke tubuhku? Aku alergi binatang aneh, kau tahu!”

“Tidak hanya alergi saja yang akan kau dapatkan, Mina. Aku ingin tahu, apa yang kita dapatkan dari melakukan pertunjukan di desa-desa seperti ini? Kenapa tidak di kota saja? Akankah ada keuntungan yang kita dapat di sini? Akankah akting kita maju pesat?” timpal gadis bertubuh gemuk berambut pendek, yang  bernama Taiko.

“Sudahlah,” ujar seorang gadis berwajah tampan dan berambut pirang. Ia merebahkan kepalanya di bantal dan menarik selimut hingga ke atas lehernya. “Lebih baik kita segera tidur. Memang ini belum terlalu larut, tapi kita semua pasti lelah setelah menempuh perjalanan untuk menuju ke sini. Bukankah besok kita berencana untuk berolahaga dan melatih vokal di tepi sungai yang sempat kita lewati tadi?” gadis itu kemudian tampak memejamkan matanya.

Yang lain saling berpandangan satu sama lain, kemudian menghela nafas. “Kau benar, Rei. Lebih baik kita segera tidur,” salah satu dari mereka mematikan lampu dan tidak lama setelah itu mereka menyusul Rei untuk tidur. Namun tenyata Rei sendiri belum tidur. Ia membuka matanya lagi.

Ibu guru pasti punya tujuan mengajak kami ke tempat-tempat seperti ini, namun apa? Ibu guru pun tidak mengatakan alasannya, hanya meminta kami untuk ikut saja. Memang biasanya bu guru jarang mengatakan alasannya, namun kali ini benar-benar tidak biasanya... Rei tampak mengeratkan kepalan tangannya. Ia tidak punya firasat apapun akan maksud dari tindakan gurunya mengajak mereka ke desa seperti ini, dan ia tidak suka itu.


Wanita bergaun hitam lengan panjang itu tampak duduk di teras suatu penginapan. Ia menatap langit yang hanya dipenuhi sedikit bintang, tidak ada bulan. Sudah saatnya aku mulai bergerak dan bertindak. Tidak akan kubiarkan karya agung itu jatuh ke tangan orang sepertimu!

Ia ke sini, mengajak murid-muridnya, bukanlah tanpa suatu alasan. Ia tidak akan mengatakan alasannya, ia berharap murid-muridnya akan mengerti sendiri. Lagipula ia melakukan ini bukan hanya untuk muridnya, tapi juga untuk dirinya sendiri. Untuk memenuhi keinginan egoisnya, untuk melindungi miliknya dan belahan jiwanya.

“Ichiren, doakan aku... Semoga perasaan dan firasatku benar... Kurasa aku sudah menemukannya, tidak kusangka akan secepat ini di kunjunganku ke desa yang pertama, calon penerus Bidadari Merah...,” ujar wanita itu, pelan, sambil terus menatap langit.

♪ ♪ ♪

Fated to Love You, Only You – bersambung ke chapter 2

NB :
Maaf sebelumnya untuk para pembaca ya, terutama untuk yang bingung. Cerita yang aku buat kali ini memang benar-benar melenceng jauh dari alur Topeng Kaca yang sebenarnya, karena ide ini juga munculnya tiba-tiba. Jadi kalau bingung, anggap aja kayak orang yang gak tau tentang Topeng Kaca baca cerita ini.. Hehehee =p

Semoga nanti semakin ke depannya makin gak bingung ya.. Banyak misteri yang nantinya lama-kelamaan akan terungkap sendiri, `kok, hehee ;D
Terima kasih untuk perhatiannya dan happy reading! ^^
*Thank You too for Ty atas bantuannya di publish di blog ini! *kissandhug*

 




29 comments:

mommia kitajima on 19 January 2012 at 06:25 said...

ahhh...
semuanya masih kabur kabur kabur
itu masumi sama syapa..? shiori kah *sotoy*
terus apa hub maya sama sora..?

lanjuttttt sista GPL yah...

bagus gaya penulisannya
loph it ^_^

Anonymous said...

huhu..gak suka gak suka
karena terlalu dikit..hehehe..
lanjut sista

Bunda Ita on 19 January 2012 at 08:20 said...

masih belum ketahuan nih apa sora itu masumi atau beda org ,jadi penasaran ayo lanjutttttkan

Beatrix on 19 January 2012 at 09:18 said...

masih banyak yang belum jelas.....flash backnya waktu Maya masih kumpul sm ortunya ya....masih kecil ya....

Anonymous said...

Masih belum jelas...ada hubungan apa antara Sora - Maya - Masumi, kayanya kurang banyak ya...:)

Miarosa on 19 January 2012 at 14:14 said...

Sora cinta pertama Maya...menarik

airinvandana said...

whamponnnnnnnn... masih sedikit ya emang itu? wakakaka =p

iya emng semuanya masih sengaja ga dijelasin, this is just a pice of the beggining of this story! ;D Kalo uda ketauan dari awal semuanya kyak gmana ga seru dungg =p kikikikk..

nanti coba deh ya ditambah ntar malem, banyak ga nya trgantung ide ngalirnya lancar ga hehehe ;D
Jadinya bakal panjanga ato ga, MM bakal happy end ato ga, well, let's see! ;D

#kaborrrrrr
Airin

Anonymous said...

ow..ow..ow..
siapakah Sora ????

Lanjooottt sis....

-Sari_

Tina said...

sapa itu sora ?
ceritanya fresh euy...lanjutkaan GPL

Anonymous said...

kayanya sora tuh adiknya masumi dh #sotoy

Ismi

komalasari on 20 January 2012 at 08:10 said...

suka ceritanya...<3

Lanjut lagi...jgn lama2 ya sis....hehehe...

Anonymous said...

Sora Fujimura??? Masumi punya adik??? atau....ada cerita apa diantara mereka bertiga? wah bakalan penasaran terus nih....

-khalida-

Anonymous said...

ayo... ditunggu lanjutannya..

nisa

mommia kitajima on 20 January 2012 at 12:08 said...

gyaahhh
sora ga pake baju

kayaknya sora itu = masumi yah, ganti nama gituh wakakakak *sotoy*

Bunda Ita on 20 January 2012 at 12:29 said...

wah kok fill....nya sora itu adiknya masumi , pemaparan penokohannya hampir sama ama masumi nih..ayoyo update

imme summer said...

Arrgghhh... Ayo sis semangaat apdet nya... Ga sabar... :(

Tina said...

tk versi yg fresh bgt....

sora fujimura=masumi hayami jadi nantinya ketika diadopsi ma eisuke ganti nama...XDD *sotoy marotoy*

LANJUTKAN...GPL

Anonymous said...

aku bingung bacanya....maaf....bener2 ganti setting total ya sista...semoga update nya gak lama2 biar gak penasaran tingkat dewa diriku...

airinvandana said...

Hehehe, bagi yang bingung maaf yaa ><
krn ini aq rombak total dr versi aslinya, jd biar g bngung mgkn coba ilangin bayangan ttg versi tk yg asli ktika baca fated to love you :)
but dun worry, bbrp unsur tk asli akan ttp aq masukin k sni kq ;D

smoga ntr makin ke depan makin jelas ya, masih sgt awl si =p
update diusahakan scptnya wkwkw..

Anonymous said...

jangan lama2...makin penasaran ada hub ap antara sora ama masyumi

mommia kitajima on 24 January 2012 at 11:15 said...

maya sama sora jg gpp kok LOLs

huwaa....kayaknya masih panjang nih cerita yah

kok maya tiba2 bs ada di prancis yah..?

Tina said...

LANJOOTKAN...XD

Tina said...

mitsuki fujimura ibunya sora ya ?

komalasari on 24 January 2012 at 21:41 said...

FFnya panjang ga masalah...
tapi harus HE...

Truuuussss.....
apdetnya jgn lama2 ya sis...^^

Anonymous said...

jadi ngebayangin Sora, sperti siapakah Sora?

-khalida-

airinvandana said...

beneran gpp nii maya sma sora?
trus masumi sma siapa dung?
sma writernya aja yah?
wkwkwkw :p

diusahain scepetnya.. trgantung cpet dateng inspirasinya kgak :p
habisnya kdang ide dateng ga trduga si hehehe ;D

aan on 3 February 2012 at 19:38 said...

emang hrs ngelupain cerita TK versi miuchi baru bisa terima ide cerita mu sis airin,,
tp,,sora okeh jg,,apakah doi titisannya masumi?? trus masumi yg lg di mobil itu ??
aahh~ drpd bingung lanjutin rapelann ajah

Anonymous said...

baru baca story ini msh agak bingung tp sptnya bagus ceritanya.
~ meliana ~

Anonymous said...

baru baca story ini msh agak bingung, tp sepertinya bagus ceritanya....
~ meliana ~

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting