♪ ♪
♪
Maya berjalan ke sekolahnya dengan perasaan riang dan
terus menatap ke langit. Ia tidak bosan-bosannya menatap langit biru yang masih
saja menampilkan pemandangan menakjubkan. Maya menyapa beberapa orang yang
lewat di jalan yang dikenalnya. Terkadang ia berhenti sejenak untuk memuaskan
matanya melihat langit biru yang tetap sama seperti yang tadi dilihatnya,
seakan takut jika ia tidak melihatnya sebentar saja, keindahan langit biru itu
akan hilang dari pandangannya. Angin berembus pelan, membuat beberapa helai
rambut Maya dan rok seragamnya ikut bergerak mengikuti irama angin. Maya
memejamkan matanya, menikmati apa yang sedang dirasakannya sekarang.
Kala menutup mata dan duduk di bawah sinar matahari yang
hangat serta langit yang biru dan luas ini.. ah, tidak.. berdiri saja sudah
cukup.. rasanya seperti memeluk seekor kucing yang besar dan lembut..
Srrrrrrrr...
Syuuuu...
Syuuuuu...
Angin terus saja berembus... Ya, benar.. suaranya seperti
ini..
Rasanya seperti ini...
Empuk... Lembut...
Rasanya seperti itu...
“Kyaaaaaa!!!” Maya berteriak. Tiba-tiba, sebuah sepeda
“menyerang” Maya dari belakang. Sepeda itu menyerempet Maya dan membuat Maya
terjatuh ke samping. “Auwwww...,” Maya merasakan sakit dan melihat ke sumber
rasa sakitnya. Tangan kirinya. Telapak tangan kiri Maya terlihat lecet dan
terluka.
“Kau ini, sudah kubilang minggir kataku! Kau ini tuli,
ya!? Sudah kubunyikan bel daritadi juga kau malah terlihat melamun tidak jelas
begitu! Cari mati, ya?” seru orang yang naik sepeda itu kasar. Maya hanya terdiam
melihatnya, salahnya juga mungkin melamun, tapi orang itu ‘kan tidak usah
sampai sekasar itu sampai menyerempet orang! Sampai jatuh lagi! Tidak minta
maaf pula!
Maya hanya terdiam melihat orang kurang ajar itu hingga
orang itu berkata “Cih! Lain kali jangan melamun di jalan!” dan berlalu dari
pandangan Maya. Maya kemudian menjulurkan lidahnya. “Weekkkk! Ada saja, ya,
orang seperti itu. Tidak bisa dipercaya!” Maya merengut kesal. Ia tidak mau
melawan karena ia tidak mau urusannya menjadi tambah panjang. Lagipula, ya,
kejadian tadi juga tidak sepenuhnya salah orang itu.
“Aduh, sakit...,” Maya melihat tangannya dan mengeluh
pelan. Maya mengambil tas yang ad di sampingnya dan mencari sesuatu di
dalamnya, “Aduh, tisu di mana, ya? Apa aku lupa membawanya lagi hari ini?” Maya
mengaduk-aduk isi tasnya.
“Ini...,” tiba-tiba terdengar suara lembut seorang wanita
di samping Maya. Maya menghentikan gerakannya mencari. Ia sedikit menoleh dan
melihat ada sapu tangan yang terjulur ke arahnya. Maya sedikit menoleh ke atas
melihat siapa yang barusan berbicara padanya dan memberikan sapu tangan
kepadanya. Dan ia bisa melihat ada seorang wanita berambut panjang bergelombang
hitam sedikit berantakan, dengan salah satu sisi poninya yang lebih panjang
menutupi salah satu sisi wajahnya. Ia memakai gaun berlengan panjang berwarna
hitam juga. Maya mengernyit. Ia tidak pernah melihat wanita ini sebelumnya.
Dari gaya berpakaiannya, sepertinya wanita ini bukan penduduk desa Maya.
“Kenapa kau diam saja? Ini..,” seru wanita itu menyadarkan
lamunan Maya. Maya menatap sapu tangan yang disodorkan wanita itu, diam. Ia
tidak tahu harus melakukan apa. Wanita itu tersenyum, “Sudah, tidak apa-apa.
Ambil saja, pakailah untuk membersihkan lukamu dan tubuh serta seragammu yang
kotor,” ujarnya lembut.
“Ah, iya..,” akhirnya Maya memutuskan mengambil sapu
tangan yang diberikan oleh wanita tak dikenal di depannya. Tidak apa-apa,
‘kan, menerima perbuatan dari orang lain? ‘Toh sepertinya wanita ini bukan
orang jahat, buktinya ia mau meminjamkan sapu tangannya padaku. pikir Maya
polos. “Terima kasih,” Maya membersihkan lukanya dan beberapa bagian seragam
dan tubuhnya yang kotor karena terjatuh. Kemudian sambil mengambil tasnya, Maya
berdiri
“Maaf, sapu tangan Anda jadi kotor. Mmmm, nanti setelah
saya cuci akan saya kembalikan. Anda tinggal dimana, Nyonya? Ah, hmm.. maaf,
saya belum pernah melihat Anda sebelumnya di desa ini...,”
Wanita itu tersenyum. Ia memejamkan matanya sejenak
kemudian menatap Maya lagi. Entah kenapa Maya merasa pandangan wanita itu
seakan tengah menyelidikinya, hendak menembus pikiran dan hati Maya,
seolah-olah ia ingin tahu apa yang Maya pikirkan. Maya sedikit bergidik,
pandangan wanita ini dalam, seolah ia bisa membaca semua yang Maya rasakan dan
pikirkan.
“Kau benar, aku pendatang di sini. Aku baru saja datang
kemarin dari kota, dan aku tinggal di penginapan Kousei di ujung sana,” kata
wanita itu. “Kau tahu penginapan Kousei?”
Maya mengangguk. “Ya, saya tahu. Tidak banyak penginapan
yang ada di sini. Ehmm, kamar Anda di mana? Nanti saya akan mengantarkannya,
atau saya titipkan di resepsionis saja? Nama Anda siapa?” Maya kemudian
tersadar akan sesuatu dan menutup mulutnya dengan beberapa jarinya. “Ah, eh..
maaf, saya terlalu banyak bertanya, ya?” wajah Maya merona dan ia meringis
malu.
Lagi-lagi yang wanita itu lakukan hanyalah tersenyum. Ia
berbalik menatap ke samping mereka, ke kejauhan, entah apa yang dilihatnya.
Langit yang biru, sungai yang sedang mengalir, pepohonan dan rerumputan yang
hijau, entahlah... “Tidak apa-apa, kau gadis yang ceria dan bersemangat. Itu
bagus,” ia kembali menatap Maya. “Desa ini benar-benar desa yang indah, ya...,”
lalu wanita itu kembali melihat ke kejauhan, seolah-olah banyak hal menarik
yang tengah dilihatnya.
Maya terdiam sejenak, wanita di depannya ini sama sekali
tidak menjawab pertanyaannya tadi, malah mengajukan sesuatu yang entah bisa
dibilang pertanyaan atau pernyataan. Maya hanya tersenyum dan menjawab, sambil
mengarahkan pandangannya mengikuti pandangan wanita itu. “Benar.. meski di desa
ini mungkin tidak ada apa-apanya dibanding dengan kota yang Anda tinggali, tapi
desa ini benar-benar indah. Udaranya sejuk dan bersih, masih cukup bebas dari
asap dan gas kendaraan. Penduduknya baik, ramah, dan dapat saling bekerja
sama,”
Maya mengarahkan pandangannya ke arah langit biru, lagi,
dan lagi-lagi ia tersenyum. Syuuuuu... terdengar angin berhembus. Maya
memejamkan matanya. Ia tersenyum tenang, melodi yang dihasilkan angin
benar-benar lembut. Terdengar juga suara kicauan burung dari kejauhan, gerakan
pepohonan dan rerumputan yang seperti menari. Maya mempertajam indera
penciumannya, ia mencium aroma. Ah, iya... ada aromanya.. aroma rerumputan
dan pepohonan, sungai, langit.. hmmm...
Wanita yang ada di
sebelahnya hanya mengamatinya sambil tersenyum misterius. Maya terus saja
menikmati ‘aktivitas’ nya itu tanpa sadar bahwa ia terus diamati. Suasana
hening cukup lama di antara mereka, sampai kemudian suara wanita itu memecah
keheningan. “Apa yang sedang kau lakukan?”
Maya membuka matanya dan menatap wanita itu, “Merasakan
alam..,”
“Merasakan alam?” dahi wanita di depannya sedikit
mengernyit.
Maya mengangguk dengan wajah yang berseri, “Ung! Jika
kita memejamkan mata dan mempertajam indera pendengaran kita, kita bisa
mendengarkan suara alam. Suara burung, aliran sungai dan hembusan angin yang
seperti orang yang sedang bernyanyi, bahkan gerakan pepohonan dan rerumputan
yang tertiup angin, seperti orang yang sedang menari..,” Maya kembali
memejamkan matanya, dan menaruh kedua tangannya di samping telinganya, seperti
gerakan seseorang yang hendak mempertajam pendengerannya. “Hmm.. benar, ‘kan?
Tidakkah Anda mendengarnya? Benar-benar melodi yang indah, dan gerakan mereka
benar-benar seperti tarian yang indah...,”
Maya kembali sibuk dengan ‘aktivitas’ nya itu, dan ia
seolah lupa diri. Maya seakan berada di dimensi yang berbeda dengan wanita yang
ada di sebelahnya itu. Wanita itu mengeluarkan senyum misteriusnya lagi ketika
ia melihat Maya yang tenggelam dalam kegiatannya merasakan alam tersebut. Gadis
ini...
Sesaat hening lagi. Bagi orang normal, mungkin yang akan
terasa hanyalah angin lembut yang berhembus dan sinar matahari yang mulai
tinggi. Hari sudah semakin siang. “Lalu...,” wanita itu bersuara lagi. “Apa
lagi yang kaurasakan dalam kegiatanmu hmmm.. merasakan alam?”
“Aroma...,” jawab Maya, pelan. Ia menghirup nafas
dalam-dalam lalu membuka matanya. “Biasanya aku tidak menyadarinya, tapi karena
Anda mengatakan desa ini benar-benar indah, maka aku mencoba untuk
merasakannya, mendengarnya, dan mungkin kelihatannya aneh, mencium aromanya.
Entahlah, terjadi begitu saja. Dan, ya, Anda benar,” Maya menatap wanita itu
sambil tersenyum lebar. “Desa ini memang benar-benar indah,”
Maya melanjutkan kata-katanya lagi, “Aku tidak tahu jika
aku bisa merasakan perasaan, mungkin bisa dibilang sensitif, ya seperti ini,
karena yang kulakukan biasanya hanyalah melihat. Langit, sungai, bintang,
matahari... ya, aku belum pernah mencoba mendengarkan dan mencium aromanya...,”
Maya meringis pelan. “Ah, tidak. Dulu waktu aku masih kecil aku pernah
mencobanya, tapi mungkin aku belum mengerti apa-apa dan yah... mungkin
kedengarannya aneh, ya...,”
Terputar kembali memori masa kecil Maya secara samar.
Maya tidak begitu mengingatnya, tapi tubuhnya ingat. Semua indera di tubuhnya ingat
kalau ia pernah melakukan hal ini.
“Tidak.. tidak aneh,” wanita itu menjawab cepat dan
tenang, lalu ia menatap Maya. “Aroma apa yang kau cium?”
“Hmmm.. Pagi ini, pagi yang hangat. Angin yang sejuk,
langit yang biru, dan ya.. ada aromanya. Menenangkan,” jawab Maya, pelan.
Wajahnya sedikit memerah, memangnya aku ini anjing apa bisa mencium aroma
atau bau segala? “Maaf, mungkin bagi Anda aneh, lebih baik tidak usah
dibahas,”
Sebenarnya Maya sedikit heran, ia bisa terlibat
percakapan dengan wanita yang tidak dikenalnya ini, apalagi percakapan yang
mereka lakukan membahas topik tidak biasa seperti ini. Menikmati alam?
Bukankah topiknya cukup aneh? Bersama wanita ini, Maya melakukan hal-hal
yang tidak biasanya, apa mungkin karena wanita ini mengatakan desa ini begitu
indah sehingga Maya melakukan hal ini untuk membuktikannya? Entahlah. Wanita
ini punya aura yang berbeda. Dan Maya merasa ia spontan saja melakukan hal yang
dilakukannya barusan.
“Lalu.. kau mencium aroma apa dariku?”
“Eh?” Maya tersentak, ia tidak menyangka akan ditanya
seperti itu. “A.. Aroma Anda?”
Wanita itu tertawa kecil, “Kalau kau berpikir dirimu
aneh, bukankah diriku juga demikian karena bertanya hal-hal seperti ini padamu?”
ia menatap Maya, tajam. “Nah, sekarang aroma apa yang kau rasakan atau kau cium
dariku?”
Maya terdiam seperti merenung sejenak, kemudian ia
berkata, “Aroma Anda... seperti pohon,”
“Pohon?” pandangan mata wanita itu menyelidik lagi,
seakan tengah menyelidik isi pikiran Maya, sehingga Maya menjadi sedikit salah
tingkah.
“I.. iya... seperti pohon yang tengah berbunga dengan
indahnya, namun bisa juga menjadi pohon yang kering ketika bunga-bunga itu
pergi ditiup angin,” Maya sedikit menunduk. “Maaf, karena Anda bertanya seperti
itu, jadinya...,” Maya sendiri tidak mengerti, kenapa ia bisa menjadi seperti
ini, apa karena pengaruh wanita di sampingnya?
“Tidak, tidak apa-apa. Kau sama sekali tidak berkata hal
yang tidak sopan, tidak perlu merasa bersalah atau salah tingkah seperti itu,”
jawabnya. “Hmmm.. jadi aku... seperti pohon, ya?” wanita itu tertawa kecil.
Maya melihat wanita itu, ekspresi wanita itu sekarang terlihat berbeda dari
yang tadi. Menyembunyikan sesuatu, tidak bisa dibaca. Wanita ini terlihat kuat,
tapi juga rapuh. Entahlah, Maya merasakannya seperti itu.
“Teng! Teng!” terdengar suara bel masuk sekolah berbunyi
dari kejauhan. Maya tersentak. “Celaka!! Aku telat!!” Maya segera berlari dan
berbalik sedikit menghadap wanita di belakangnya, “Ah, maaf Nyonya, saya harus
pergi dulu. Ng, sapu tangannya!” Maya bingung dengan sapu tangan yang ada di
tangannya.
“Tidak apa-apa..,” wanita itu tersenyum tenang menatap
Maya. “Kau simpan dulu saja.. karena aku yakin, pertemuan kita berikutnya tidak
akan lama lagi..,”
“Eh?” Maya bingung dengan jawaban wanita itu. Namun suara
bel yang berbunyi lagi membuatnya tersentak dan segera berbalik seraya berlari,
“Ah, maaf! Saya permisi dulu! Saya janji, sapu tangannya akan segera saya
kembalikan!”
Angin berhembus perlahan, tidak seirama dengan langkah
kaki Maya yang semakin cepat. Tidak ada waktu menikmati alam lagi, dasar
Maya bodoh! Apa yang kaulakukan!? Masa harus telat lagi, ‘sih hari ini? Maya
sedikit menoleh ke belakang, melihat
wanita itu. Ia masih berdiri di tempatnya tadi. Angin berhembus sedikit kencang
sekarang dan sekilas Maya melihat ada sesuatu seperti bekas luka cukup parah di
wajah wanita itu yang tertutupi oleh sebagian poninya. Maya tersentak, namun ia
memutuskan untuk tidak mempedulikannya dan terus saja berlari menuju
sekolahnya.
Wanita itu menatap sosok belakang Maya, hingga Maya
hilang dari pandangan, dan angin yang sempat berhembus kencang tadi kembali
berhembus pelan. Wanita itu membetulkan posisi poninya yang tadi sempat
“diterbangkan” angin dan memperlihatkan bekas lukanya. Kemudian ia teringat apa
yang gadis yang baru saja ditemuinya dan berbicara dengannya itu lakukan.
Merasakan alam, ya tepatnya berinteraksi dengan alam. Dan ia ingat ketika gadis
tadi mengatakan aromanya seperti pohon. Sebuah senyum tersungging di bibir
wanita itu. Lama-kelamaan senyum itu berubah menjadi tawa kecil dan semakin
keras, hingga akhirnya wanita itu tertawa terbahak-bahak.
“Sepertinya baru saja terjadi hal yang menyenangkan,
ya..,” sebuah suara pria yang berat dan serak menghentikan tawanya.
Wanita itu terdiam, lalu ia tersenyum dan sedikit
menolehkan kepalanya ke belakang. “Wah, kejutan yang mengerikan. Gigih juga
perjuanganmu, ya, mencariku. Cepat juga kau bisa sampai sini...”
“Tentu saja. Kaupikir aku siapa, tidak bisa menemukanmu?”
pria itu tertawa. “Kau jelas tahu apa yang kuinginkan. Akhirnya aku menemukanmu
juga, Mayuko Chigusa...,” seru pria itu.
“Entah aku bisa mengatakannya atau tidak, meskipun aku
tidak suka untuk mengatakannya, tapi...,” wanita yang dipanggil Mayuko Chigusa
itu memejamkan matanya sejenak, lalu tersenyum sinis dan berbalik, “Lama tidak
bertemu dan selamat datang... Eisuke Hayami,”
Pria bertubuh gemuk dan pendek, serta berambut sedikit
cepak namun tetap tertata tapi, yang tengah berdiri di depannya hanya
tersenyum. Sedangkan Mayuko hanya bisa menatapnya dalam diam. Angin terus saja
berhembus.
♪ ♪ ♪
“Karena adanya suatu reaksi kimia, maka semua zat bisa
bereaksi dan berubah wujud. Pada percobaan yang tertera di buku, jika asam
benzoat dipanaskan hingga 100˚C, zat padat akan langsung berubah menjadi zat
gas. Kalau didinginkan lagi, akan kembali menjadi seperti semula, yaitu dari
zat gas menjadi zat padat. Gejala ini bisa juga disebut sublimasi, seperti yang
terjadi pada es kering. Berdasarkan jenis dan beratnya, sebuah zat menyimpan
reaksi yang berbeda-beda,” Sora menjelaskan panjang lebar sambil berjalan memutari
kelas dan membawa buku yang tengah dibaca dan dijelaskannya pada para murid di
kelasnya. Lalu ia berhenti di dekat salah meja yang berada di dekat jendela.
“Bagaimana? Apa ada yang tidak dimengerti?” tanya Sora,
berhenti menjelaskan. Buku yang dipegangnya sedikit diturunkan. Pandangannya
sekarang berganti dari buku menuju murid-murid di kelasnya. Dan Sora menghela
nafas pasrah karena yang ia dapatkan ialah pandangan memuja dari para siswi dan
pandangan kesal dari para siswa karena melihat para siswi yang seperti itu. Astaga,
murid-murid ini!
Sora berdeham pelan. “Sekali lagi saya tanyakan, apa ada
yang tidak dimengerti?”
Suasana masih hening, lalu Sora menutup bukunya dan
menghela nafas keras. “Baiklah, kalau tidak ada pertanyaan lagi, saya anggap
kalian sudah mengerti. Dan saya harap, mulai sekarang, kalian
memperhatikan penjelasan saya dengan sebaik-baiknya!” Sora memperkeras
suaranya dan memberikan penekanan terhadap beberapa kata-katanya. Pandangannya
tajam menatap seisi kelasnya, sehingga para siswi yang memandangnya memuja
menjadi tersentak dan menunduk malu, serta para siswa memperhatikan Sora
kembali sambil meringis.
Sora melihat situasi sudah kembali seperti semula dan
berkata, “Bagus, ini yang saya harapkan dari tadi. Kalian semua sudah kelas
tiga, sudah saatnya kalian benar-benar serius. Ini tahun terakhir kalian di
SMA, dan kalian akan menempuh ujian akhir. Bukan hanya itu saja, tapi setelah
lepas dari SMA ini, berarti satu langkah lagi menuju kedewasaan. Langkah yang
sangat menentukan masa depan kalian, entah kalian mau langsung bekerja atau
meneruskan ke jenjang lebih tinggi di kota sana,” Sora terdiam sejenak.
“Kuharap kalian mengerti kalau itu semua bukanlah main-main. Tugas saya di sini
sebagai guru kalian, saya bertanggung jawab terhadap kalian. Saya berharap
kalian semua mau bekerja sama dengan saya hingga kalian bisa mendapatkan nilai
yang baik, tentu saja. Apa kalian mengerti?”
Seisi kelas hanya terdiam dan beberapa ada yang menunduk
dalam. Ada yang tampak malu dan menyesal, kemudian mereka menjawab pelan,
“Mengerti, pak,”
“Bagus kalau kalian mengerti,” Sora menghela nafas pelan.
Ia tidak bermaksud memarahi muridnya, ia hanya ingin tegas dan disiplin, karena
tentu saja ia ingin yang terbaik untuk muridnya. Meski mungkin di mata muridnya
Sora merupakan guru yang cukup menakutkan. “Ngomong-ngomong, beberapa kursi
terlihat kosong. Di mana para penghuni kursi itu?” Sora mengedarkan
pandangannya ke seisi kelas dan memang terlihat beberapa kursi terlihat kosong,
padahal biasanya kelas itu penuh.
Seorang siswa menjawab, “Ah, itu Satomi dan yang lainnya,
pak. Mereka sudah dari tadi pagi berlatih sepak bola untuk mempersiapkan diri
dalam mengikuti kompetisi melawan sekolah-sekolah di desa ini ataupun desa yang
lain, pak. Mereka bilang mungkin akan terlambat, tapi seharusnya tidak sampai
jam pertama berakhir mereka bilang sudah akan masuk,”
“Oh,” jawab Sora pendek. Sudah kelas tiga seharusnya
konsentrasi belajar, bukannya malah memikirkan kompetisi seperti itu. Sora
menghela nafas, mau bagaimana lagi, meskipun hanya di desa, gengsi tetaplah
gengsi, kebanggaan untuk suatu kemenangan pasti tetaplah ada. Apalagi tim sepak
bola dari sekolah ini cukup kuat dan selalu menjadi juara, atau setidaknya
mendapatkan posisi ketika menghadapi kompetisi antar sekolah di desa-desa
daerah Hokkaido ini. Sekolah tentu saja tidak mau kehilangan prestasi itu.
Pemain utama kebanyakan sudah kelas tiga sekarang, dan mau tidak mau mereka
harus ‘mengorbankan’ waktu belajar mereka demi mempertahankan prestasi dan
kebanggaan sekolah. ‘Toh begitu lulus juga kebanyakan akan bekerja di desa
membantu ayah-ibunya, jarang yang melanjutkan ke universitas di kota. Yang
sedikit pintar bisa langsung bekerja menjadi guru, seperti Sora. Sora
sebenarnya tidak setuju dengan cara berpikir seperti itu, mudah sekali menyerah
pasrah!
Tapi Sora juga tidak bisa banyak bicara, ‘toh
kenyataannya dirinya juga tidak menuntut pendidikan hingga ke jenjang
tertinggi, yaitu universitas. Sora ‘berakhir’ sebagai seorang guru di desa.
Namun Sora memiliki alasannya sendiri, ya, karena alasan itu. Sora tertawa
sinis, apa gunanya juga ia menceritakan alasan itu? Akankah mereka peduli?
Bukankah malah akan terlihat dan terdengar konyol serta terkesan hanya membela
diri? Tidak ada gunanya! Yang terpenting Sora melaksanakan tugasnya sekarang
sebagai guru, dengan sebaik-baiknya. Membuat murid-muridnya mendapatkan nilai
baik di ujian akhir dan tidak ada murid yang harus mengulang sehingga mereka
tidak akan merasakan penyesalan.
Sora membetulkan posisi kacamatanya. Ia memang memakai
kacamata jika sedang membaca buku atau mengajar seperti ini. Kemudian, Sora
melihat ke arah jendela dan melihat Maya yang berlari-lari keliling lapangan.
Matanya sedikit melotot dan dahinya mengernyit. Apa? Apa dia sedang dihukum?
Apa mungkin dihukum karena terlambat? Tapi kalau memang ia terlambat, mana
mungkin! Bukankah seharusnya dia bangun lebih pagi hari ini? Bagaimana bisa?
“Benar-benar, ckckck..,” keluh Sora dalam hati. Lalu Sora
kembali menatap seisi kelasnya, beberapa di antara mereka menatap Sora dengan
heran, karena Sora diam saja dari tadi dan sekilas menampilkan ekspresi seperti
terkejut melihat sesuatu. Sora merutuk dirinya sendiri, bukan saatnya
melamun memikirkan hal lain sekarang!
“Baiklah, kita lanjutkan lagi pelajarannya. Sekarang buka
buku kalian halaman 56..,”
♪ ♪ ♪
“Aduhhhh capekkkkkk...,” Maya berhenti dan memegang kedua
lututnya agar tubuhnya yang hampir limbung karena kelelahan tetap bisa bertumpu
dan bertahan. Nafasnya terputus-putus. “Dasar guru gila! Dia mau membunuhku apa,
menyuruhku lari keliling lapangan 20 kali!? Padahal kesalahanku ‘kan kecil,
cuma terlambat saja ‘kok!” gerutu Maya sambil mengelap keringat di dahinya
dengan punggung tangannya. Ya, memang sudah beberapa kali ‘sih terlambatnya,
tepatnya hampir setiap hari. Gerutu Maya dalam hati. Tapi ‘kan masa
karena itu guru pengawas kedisiplinan itu jadi menghukumku setega ini, ‘sih!?
“Haizzzz keringatan banyak begini lagi,” Maya segera
merogoh saku roknya mengeluarkan sesuatu untuk mengelap keringatnya. Sapu
tangan. Maya menatap sapu tangan putih yang sudah sedikit kotor karena tadi
dipakainya untuk mengelap lukanya. Sapu tangan yang dipinjamkan oleh wanita
misterius tadi.
Maya menghela nafas panjang. Hari ini saja aku
memakaimu, setelah ini akan kucuci hingga bersih dan kukembalikan pada
pemilikmu. Aku tidak mau berhutang. Maya mengelap keringatnya dengan sapu
tangan itu dan menatap ke langit. Sinar matahari sudah semakin tinggi, hawa
panas sudah mulai terasa. Untung saja dihukumnya tidak waktu siang hari,
bisa-bisa Maya sudah pingsan duluan sebelum menyelesaikan hukumannya. Langit
biru yang masih sama seperti dengan yang dilihatnya tadi pagi, membuat perasaan
Maya menjadi sedikit lebih tenang.
Maya melanjutkan kembali mengelap keringatnya ketika
tiba-tiba ia merasa ada sebuah bola bergulir ke arahnya. Bola itu berhenti di
dekat kakinya. Maya melihat bola itu dan mengambilnya, serta memutar-mutarnya.
Di bola itu terdapat inisial nama, ‘S.S’.
“Maaf, itu bolaku,” suara itu membuat pandangan Maya
beralih dari bola ke sumber suara yang saat ini berdiri di dekatnya.
Maya melihatnya. Sosok remaja laki-laki, tinggi dan bisa
dibilang... tampan. Sorot matanya tegas tapi juga lembut. Rambutnya kecoklatan
agak panjang seperti model rambut pendek wanita, tapi tetap tertata rapi dan
hal itu sama sekali tidak menimbulkan kesan feminin darinya. Ia terlihat
memakai kaos seperti kaos olahraga, yang dikenali Maya sebagai kaos tim sepak
bola sekolah ini. Kaosnya terlihat sedikit basah karena keringat. Apa dia
pemain sepak bola sekolah ini? Tapi melihat bola yang dipegang Maya
sekarang, bola sepak, memang sepertinya begitu.
“Maaf, itu bolaku. Bisakah kau kembalikan?” tanya
laki-laki itu lagi.
“Ah!” Maya tersentak dari lamunannya. “Maaf,” Maya
melemparkan bola itu ke laki-laki tersebut. Laki-laki itu menangkap bola dari
Maya, “Lemparan bagus!” ia tersenyum menatap Maya, yang dimana Maya yakin
senyuman itu membuatnya merasakan suatu desiran lembut di dadanya.
Maya hanya tersenyum kecil. Desiran ini, debaran ini
berbeda dengan yang dirasakannya terhadap Sora. Senyuman lelaki di depannya ini
cerah dan terkesan ceria, berbeda dengan senyuman Sora yang lembut namun
terkesan misterius. Maya merasa belum pernah melihatnya di sekolah selama ini.
Maklum, mungkin karena Maya juga baru anak kelas 1 dan masa-masa SMA nya juga
belum terlalu lama dimulai.
“Terima kasih,” katanya lagi. Maya hanya mengangguk pelan
lalu berbalik dan kembali mengelap keringatnya. Kemudian ia memasukkan sapu
tangan itu lagi ke dalam roknya. Maya menyadari lelaki di dekatnya ini masih
terus memandangnya. Maya sedikit jengah dilihat terus seperti itu. Lelaki itu
seakan tengah mengamatinya dari atas ke bawah untuk menilai penampilannya.
Kemudian, ia berbalik hendak mengatakan sesuatu tepat ketika lelaki berinisial
‘S.S’ itu berkata, “Kau baik-baik saja?”
“Apa?” tanya Maya, bingung. “Kau bertanya padaku?”
“Ya, iyalah. Tentu saja. Memang kau pikir di sini ada
siapa lagi selain kita?” lelaki itu tertawa.
“Oh..,” Maya meringis. Memang di lapangan yang luas ini
yang sekarang terlihat hanyalah mereka berdua. “Maksudku, kau tadi bertanya
apakah aku baik-baik saja, iya, ‘kan? Aku tidak mengerti, kenapa kau bertanya
begitu padaku?”
Lelaki itu tersenyum. “Sebenarnya sudah dari tadi aku
mengamatimu, melihatmu yang berlari-lari keliling lapangan sambil terus
menggerutu dan mengomel, benar-benar lucu,” lelaki itu tertawa. Wajah Maya
merona, entah malu karena ia dilihat ketika sedang berlari mengenaskan, atau
tersipu karena laki-laki ini mengatakan bahwa ia sudah mengamati Maya dari
tadi. “Lagipula kau terlihat lelah sekali dan hampir berulang kali limbung,
tampangmu seperti orang sakit, sekarat tepatnya. Makanya aku bertanya, apa kau
baik-baik saja?”
Baik-baik saja apanya, kalau kau tahu tampangku sudah
seperti orang sekarat kenapa kau masih bertanya? Gerutu Maya dalam hati.
Belum sempat Maya menjawab pertanyaannya, lelaki itu
sudah bekata lagi, “Lalu...,” lelaki itu menarik tangan kiri Maya, Maya
terkejut. “A.. apa?” Maya tergagap.
“Ini..,” laki-laki itu tersenyum dan menunjukkan luka di
telapak tangan kiri Maya akibat terjatuh diserempet sepeda tadi. “Telapak
tanganmu terluka begini, apa ini juga baik-baik saja? Meski kelihatannya sudah
dibersihkan dengan tisu atau sapu tangan tapi tetap saja harus dibersihkan dan
diobati,” katanya lembut.
Maya diam, tertegun. Aroma laki-laki ini, ia seperti
rerumputan dan dedaunan yang tumbuh dengan segar... Terkesan ceria seperti
rerumputan dan dedaunan yang menari mengikuti angin, dan juga lembut..
“SATOMI!” teriak seorang lelaki berambut cepak jauh di
belakang mereka, membuat Maya dan lelaki yang dipanggil Satomi itu menoleh ke
arah sumber suara yang berada di pinggir lapangan. “Apa yang kau lakukan di
situ? Ayo cepat ganti bajumu dengan seragam dan kita cepat masuk, jam pertama
hampir berakhir! Bisa-bisa nanti kita dimarahi pak guru karena dikira membolos!
Kita ‘kan izin hanya sampai sebelum jam pertama berakhir!” lanjutnya lagi.
Oh, jadi salah satu kepanjangan inisial S dari S.S itu
Satomi rupanya, pikir Maya.
“Iya, Takeshi! Sebentar lagi! Bilang saja aku mau ke
ruang kesehatan dulu mengobati anak ini!” jawab Satomi.
Eh? Maya menatap Satomi. Apa?
Mengobati anak ini... maksudnya.. aku!?
“Hmm, baiklah! Jangan lama-lama, ya, Satomi! Kalau
dimarahi aku tidak tanggung, lho! Kau ‘kan tahu guru yang satu itu mengerikan!”
kata Takeshi.
Satomi tertawa, “Iya, iya, tenang saja! Bilang saja pada
pak guru aku memperpanjang izinku beberapa menit, aku akan segera kembali!”
“Dasar, menyusahkan saja! Pokoknya aku tidak mau jadi
ikut dimarahi!” gerutu Takeshi. “Baiklah, aku duluan, ya!” kata Takeshi sambil
melambai dan berlalu.
Satomi tertawa, “Tidak akan, tenang saja! Terima kasih,
Takeshi!”
Maya terdiam. Tangan kirinya masih dipegang terus oleh
lelaki yang bernama Satomi ini. Ia belum pernah merasa sedekat ini dengan
seorang pria, kecuali Sora. Apalagi saat ini tangannya terus berada dalam
genggaman Satomi, seorang lelaki yang baru saja ditemuinya. Maya merasa ini
tidak benar, ia seharusnya tidak membiarkan dirinya seperti ini.
“Ma.. maaf..,” Maya perlahan melepaskan tangannya dari
genggaman Satomi, membuat Satomi menoleh ke arahnya. “Kau.. tidak usah
mengantarku ke ruang kesehatan, aku baik-baik saja, ‘kok,”
“Kau yakin? Kau baru saja dimarahi oleh guru pengawas
kedisiplinan, dihukum lari keliling lapangan 20 kali, itu bukan hukuman yang
ringan tahu? Dan kau sudah seperti mau pingsan sekarang, belum lagi tanganmu
terluka seperti ini...,”
Ternyata dia juga melihatku dimarahi habis-habisan tadi
di depan gerbang depan sekolah, wajah Maya memerah karena
malu. Kenapa lelaki ini bisa melihat kronologis kesialannya pagi ini dengan
begitu lengkap, ‘sih?
“Aku tidak bermaksud melihat atau mengamatimu, ‘kok.
Hanya saja aku juga latihan bersama tim ku dari tadi pagi dan ketika kami
selesai latihan, saat itulah, yah...,”
“Oh..,” Maya menanggapi pendek. Tetap saja kau
melihatku dalam kondisi memalukan, gerutu Maya. “Aku.. baik-baik saja,
‘kok. Sekarang, aku sudah mau ke kelas,” Maya hendak berjalan melewati Satomi
ketika ia merasa lututnya lemas dan ia hampir limbung jatuh. Satomi segera
menahan tubuh Maya yang hampir jatuh.
“’Tuh, ‘kan, apa kubilang barusan? Lebih baik kau ke
ruang kesehatan dan beristirahat dulu sekarang, sekaligus mengobati lukamu!”
“Aku baik-baik saja, ‘kok!” Maya ngotot, berusaha
melepaskan diri dari Satomi, namun Satomi tetap menahan tubuh Maya agar tidak
lepas darinya. Maya tidak bisa melawan, ia merasa terlalu lelah dan tidak punya
tenaga untuk melawan.
“Sudahlah, lebih baik kau turuti seniormu ini! Kau anak
baru, ‘kan? Aku yakin karena aku belum pernah melihatmu selama ini. Sekarang,
lebih baik kita ke ruang kesehatan sebelum kau benar-benar pingsan di sini karena
aku bahkan sudah meminta izin lebih panjang untuk masuk ke kelas untuk
mengantarmu ke ruang kesehatan!”
Aku ‘kan tidak menyuruhmu meminta izin untuk membawaku ke
ruang kesehatan! gerutu Maya dalam hati.
“Lepaskan aku, aku baik-baik saja,” ujar Maya, pelan.
Satomi tidak menggubrisnya dan ia terus saja memapah
tubuh Maya, berjalan meninggalkan lapangan. “Lebih baik kau turuti aku
sekarang. Hilangkan semua ego dan gengsimu dan lebih baik kau pikirkan
kondisimu saja!”
Maya hanya terdiam dan tidak melawan lagi. Ia merasa
percuma untuk melawan lelaki yang ada di sampingnya ini, dan meskipun Maya
melawanpun, dengan tenaganya yang sekarang, ia tahu ia akan kalah. Lagipula
sebenarnya lelaki yang tengah memapahnya ini, Maya tahu, sama sekali tidak
punya maksud jahat, hanya bermaksud menolongnya. Ia baik, juga lembut. Benar,
ia lembut seperti gerakan rerumputan dan dedaunan yang lembut ditiup angin...
♪ ♪ ♪
“Permisi, pak. Maaf kami terlambat masuk,” ujar Takeshi
masuk kelas diikuti dengan beberapa temannya yang juga merupakan pemain dari tim
sepak bola sekolah mereka. Mereka segera menuju ke tempat duduknya
masing-masing.
Sora hanya mengangguk sekilas melihat mereka, sebelum ia
menyadari sesuatu. Salah satu kursi masih kosong dan ia sadar siapa yang tidak
ada, “Dimana Satomi? Bukankah dia juga ikut latihan bersama kalian?”
“Ah,” Takeshi yang hendak duduk tersadar. “Satomi bilang
tadi dia minta izin sebentar lagi, pak. Dia bilang ingin mengantar seseorang ke
ruang kesehatan,” jawab Takeshi.
“Seseorang? Siapa? Pemain tim sepak bola dari kelas lain?
Apa dia terluka? Tidak sedang mencari alasan untuk bolos, ‘kan?” tanya Sora
tajam dan bertubi-tubi.
Takeshi yang mendapatkan ‘serangan mendadak’ seperti itu
terlihat salah tingkah, “Ti.. tidak, ‘kok, pak. Benar. Satomi bilang dia akan
segera kembali. La... Lagipula...,”
“Lagipula apa?” potong Sora, tajam.
“La.. lagipula,” Takeshi menelan ludahnya sejenak. Kenapa
guru ini menakutkan sekali, ‘sih? Kenapa dia harus banyak bertanya? “Yang
terluka bukan pemain sepak bola, pak. Sepertinya seorang gadis,”
“Seorang gadis? Apa temanmu itu bermaksud kabur dari
pelajaranku untuk berpacaran dengan seorang gadis?” dahi Sora mengernyit, ia
kelihatan tidak suka. “Pelajaranku bukan untuk main-main. Kalau kalian memang
tidak suka bilang saja, tidak usah ikut pelajaran ini,” seisi kelas terdiam.
Suasana hening. Mereka semua tidak berani memandang Sora yang tengah memasang
pandangan tajam. Mempesona sebenarnya, tapi terlihat juga seperti ingin
membunuh. Takeshi merasa ia benar-benar hendak dimangsa oleh ‘macan’ yang ada
di depannya. Padahal sebenarnya yang dimarahi Satomi, bukan dirinya. Tapi tetap
saja ia merasa ia yang kena getahnya. Satomi, awas kau! Gara-gara kau aku
yang jadi kena getahnya! gerutu Takeshi dalam hati.
“Bu.. bukan, pak,” jawab Takeshi akhirnya, setelah
keheningan yang cukup panjang. “Ga.. gadis itu, sepertinya anak kelas satu yang
sedang dihukum karena terlambat, pak. Tadi saya sempat melihat gadis itu
dihukum lari keliling lapangan, cukup lama. Mungkin gadis itu terluka dan
Satomi bermaksud menolongnya,” lanjut Takeshi pelan sambil memandang Sora
takut.
“Seorang gadis yang sedang dihukum lari keliling
lapangan?” dahi Sora mengernyit lagi. Sora tersentak. Apa mungkin...? “Apa
gadis itu.. terluka?” tanya Sora, pelan. Dadanya berdebar kencang, takut.
Sekarang gantian Takeshi yang memandang Sora, heran.
Entah kenapa gurunya ini terkesan tidak segalak yang tadi, di matanya sekilas
terlihat ekpresi takut dan khawatir. “Ng, saya juga kurang tahu, pak. Mungkin
saja, soalnya Satomi sampai ingin membawanya ke ruang kesehatan,”
Sora langsung memasang ekspresi dingin lagi, yang
langsung membuat Takeshi kembali menunduk takut. Apa ekspresi pak guru yang
terlihat khawatir itu hanya perasaanku saja?
“Baiklah,” Sora berkata akhirnya. “Aku akan mengecek
kebenaran kata-katamu itu. Kau boleh duduk, dan sekarang kalian kerjakan
latihan halaman 60 nomor 1 dan 2.
Kuharap ketika aku kembali kalian semua sudah siap dengan jawabannya. Tetap
jaga keheningan, jangan sampai aku mendapatkan laporan ada yang membuat
kegaduhan di kelas ini,” kata Sora tegas. Ia memandang tajam seisi kelas,
sebelum ia keluar kelas.
Ketika Sora keluar dari kelas, seisi kelas langsung
menghela nafas lega. Takeshi langsung duduk dan mengipas-ngipasi dirinya,
seolah ia baru saja keluar dari ruangan yang sangat panas.
“Fiuhhh.. aku kira aku bakal mati tadi. Rasanya umurku
berkurang beberapa tahun,”
Seorang gadis berkuncir kuda yang duduk di depan Takeshi
menoleh ke belakang menghadap Takeshi, “Tapi tetap saja, ‘kan.... dia tampan
dan mempesona,”
Takeshi menatap gadis itu tidak percaya. Ia tertawa
mengejek, “Hahaha, ya, silakan saja kau merasakan tatapan membunuh dari pria yang
tampan dan mempesona itu dan kujamin kau tidak akan mengatakan hal itu lagi,”
Gadis itu mencibir, “Kurasa tidak, mungkin malah aku akan
meleleh ditatap seperti itu, ahhhh...,” gadis itu menerawang membayangkan,
membuat Takeshi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Tiba-tiba sekelompok
gadis menyerbu meja Takeshi yang membuat Takeshi terkejut, “Haizzz kalian ini,
untung saja aku tidak jatuh!” gerutu Takeshi pada sekelompok gadis itu.
Namun gadis-gadis itu tidak menggubris gerutuan Takeshi
dan hanya berkata, “Benarkah Satomi mengantar seorang gadis? Siapa gadis itu?”
“Ah, aku tidak percaya! Aku benar-benar iri pada gadis
itu!”
“Apa gadis itu pura-pura terluka agar mendapatkan
perhatian Satomi?”
“Benarkah, kalau begitu, gadis itu benar-benar licik dan
perlu kita beri pelajaran! Takeshi, katakan pada kami siapa gadis itu!”
“Apa kita perlu menyusul ke ruang kesehatan? Ah, tapi pak
Sora sudah ke sana bisa-bisa kita malah dimarahi!”
“Beruntungnya gadis itu.. dia akan dikelilingi oleh dua
cowok tampan, pak Sora dan Satomi sekaligus...,”
Takeshi hanya menatap gerutuan dan celotehan tidak jelas
dari para gadis di depannya dengan mulut menganga dan tidak percaya. Sora dan
Satomi benar-benar menjadi idola di kelas, ah tidak, di sekolah ini. Sora yang
dingin serta Satomi yang lembut, begitulah kesan dari para gadis di sekolah
ini. Sifat mereka berdua yang bertolak belakang justru menjadi daya tarik
tersendiri, bahkan di sekolah ini terdengar kabar kalau para gadis hendak
membentuk perkumpulan ‘Duo-S Fans Club’, dimana Duo-S yang dimaksud adalah Sora
dan Satomi.
Takeshi menatap ke seisi kelas. Para siswi ribut
sedangkan para siswa berusaha tidak mempedulikan celotehan dari para siswi yang
mereka anggap berisik, cerewet, dan menyebalkan. Mereka lebih memilih
mengerjakan soal yang diperintahkan Sora untuk dikerjakan jika mereka masih
memilih untuk ‘selamat’ dari Sora. Sora bisa baik, meskipun itu kejadian yang
sangat langkah dan hampir tidak pernah terjadi. Kalau Sora sudah sedikit galak,
uh! Amit-amit, ‘deh! Membuat suasana seperti di neraka! Beginilah suasana kelas
jika ada Sora masuk mengajar di kelas.
Entah kenapa Sora yang seperti itu malah bisa menjadi
idola di sekolah ini, mungkin karena sikap dingin dan kejamnya itulah yang
membuatnya terkesan misterius. Apalagi wajahnya yang juga tampan. Takeshi
memutuskan untuk ikut tidak mempedulikan para gadis yang ribut di dekatnya dan
mulai membuka buku tulis dan buku paketnya. Takeshi menumpukan dagunya di atas
tangannya. Ia menggerutu. Aku bisa
gila! Benar-benar.. tidak dapat dipercaya!
♪ ♪ ♪
Bel jam pertama selesai berbunyi. Sora berlari menyusuri
lorong sekolah. Dadanya berdebar kencang, ia merasa cemas dan khawatir. Apa
mungkin gadis itu Maya? Apa mungkin Maya terluka? Entah kenapa Sora
benar-benar merasa takut sesuatu yang buruk terjadi dengan Maya. Jangan
berlebihan, Sora! Mungkin Maya hanya terluka kecil saja! Sora berusaha
berpikiran positif dan meyakinkan dirinya sendiri, namun tetap saja kepanikan
itu tidak bisa hilang. Sora semakin mendekati ruang kesehatan ketika dari
kejauhan, Sora melihat ada dua sosok mendekat. Semakin lama dua sosok itu
terlihat jelas. Sora menghentikan larinya, nafasnya sedikit terengah dan
sedikit keringat mengucur dari dahinya. Kerah kemejanya terlihat sedikit
berantakan.
Sora bisa melihat dua sosok itu sekarang, semakin jelas.
Seorang lelaki tengah memapah seorang gadis mungil. Sora tahu gadis mungil itu,
Maya. Dan lelaki di sebelahnya, Sora yakin itu Satomi. Sora hanya terdiam menatap
mereka yang berjalan semakin mendekati Sora yang sudah berdiri di dekat pintu
ruang kesehatan. Awalnya Maya dan Satomi tidak menyadari keberadaan Sora,
karena Maya berjalan sambil menunduk, ia terus menumpu tubuhnya agar tetap
dapat berjalan dengan benar. Sedangkan Satomi berjalan sambil berulang kali
menatap Maya yang jauh lebih pendek darinya, memastikan apakah ia memapah Maya
dengan benar, agar Maya tidak terjatuh.
Sora melihat mereka dan mengeratkan kepalan tangannya
yang terjatuh di samping tubuhnya. Ia merasa kesal, mengapa bukan dirinya yang
menolong Maya di saat Maya seperti ini, mengapa harus lelaki lain, mengapa
harus Satomi!? Sora tidak tahu ia bisa merasakan perasaan kesal seperti ini, ia
kesal, marah dan... ia tahu perasaan ini. Cemburu.
“Sabar, ya, sebentar lagi sampai ke ruang kesehatan,”
kata Satomi, lembut.
Maya hanya meringis sambil terus berjalan. Ternyata
kakinya sakit juga setelah lari keliling lapangan 20 kali. Untung saja Satomi
memaksanya ke ruang kesehatan untuk beristirahat dulu, jika tidak Maya tidak
yakin dengan kondisi begini ia akan bisa sampai ke kelas, naik tangga saja
sudah susah. Maya berjalan pelan sambil sedikit mengangkat kepalanya, dan
ketika ia menangkap sosok di depannya ia tertegun dan berhenti berjalan. Satomi
heran dengan Maya yang tiba-tiba berhenti berjalan dan mengikuti arah pandangan
Maya.
“Pak Sora..,” gumam Satomi, pelan.
Sora terus saja menatap mereka dengan pandangan yang tak
terbaca. Ia menatap Maya, cemas. Kemudian Sora kembali memasang ekspresi dingin
seperti yang dipasangnya ketika di kelas tadi ketika menatap Satomi,
“Kembali ke kelasmu sekarang, Satomi..,”
Dahi Satomi sedikit mengernyit. “Tapi, pak, gadis ini
terluka dan sedang butuh istirahat, jadi saya...,”
“Apakah kata-kataku kurang jelas, Satomi? Segera ganti
seragammu dan kembali ke kelasmu sekarang! Tanyakan pada teman-temanmu latihan
apa yang harus kau kerjakan, dan kuharap setelah aku kembali kau sudah
mengerjakannya,” ujar Sora, dingin.
Satomi menatap Sora, terlihat sedikit tidak suka. “Tapi,
pak, bagaimana dengan...,”
Sora memotong kata-kata Satomi, “Bagaimana dengan gadis
ini? Ia akan menjadi urusanku. Tidak baik pada jam pelajaran begini seorang murid
berkeliaran dan bukannya berada di kelas. Bukankah kau izin hanya sampai sebelum
jam pertama berakhir? Sekarang jam pertama sudah usai. Pelajaranku masih ada
satu jam pelajaran lagi dan lebih baik kau memanfaatkannya dengan baik. Sudah
cukup peran pahlawanmu sampai di sini. Aku sebagai guru yang akan bertanggung
jawab akan nasib siswi ini, kau tidak usah khawatir dan segera kembali ke
kelas, sekarang juga!”
Suasana hening, dan Maya merasakannya, sedikit tegang.
Sora menatap Satomi dingin, dan Satomi balas menatapnya dengan pandangan tidak
suka juga... menantang. Maya merasa tidak enak, ia tidak ingin berada dalam
situasi seperti ini. Kemudian Maya berkata pada Satomi, “Pak guru Sora benar,
sebaiknya kau kembali ke kelas sekarang agar tidak ketinggalan terlalu banyak
pelajaran,”
“Tapi, bagaimana denganmu?” Satomi menoleh menatap Maya, protes.
Dia enggan meninggalkan Maya dalam kondisi begini, bagaimanapun tadi dialah
yang memaksa membawa Maya ke ruang kesehatan dan Satomi merasa ia harus
bertanggung jawab akan kata-katanya.
“Apa kata-kataku tadi tidak jelas, Satomi?” seru suara
Sora, dingin. “Sudah kukatakan aku yang akan bertanggung jawab, tenang saja.
Lebih baik kau kembali ke kelasmu sekarang,”
Satomi menatap guru di depannya tajam. Maya menghela
nafas melihat kedua pria di dekatnya ini.
“Sudahlah, aku tidak apa-apa. Pak guru Sora bilang beliau
bisa menanganiku, tenang saja. Lagipula ruang kesehatan juga sudah di depan
mata, kau tidak perlu khawatir, ada guru kesehatan juga di dalamnya,” Maya
menatap Satomi untuk meyakinkannya.
“Kau... yakin?” tanya Satomi sekali lagi. Maya mengangguk.
Satomi akhirnya menghela nafas dan melepaskan dirinya dari Maya. Maya berdiri
dengan sedikit tertatih tapi ia berusaha bertahan untuk meyakinkan Satomi bahwa
dirinya baik-baik saja.
Satomi menatap Maya sejenak, ia masih terlihat khawatir.
Tapi Maya memberikannya pandangan ‘pergilah, aku baik-baik saja’.
“Cepat sembuh, ya. Semoga kau baik-baik saja,” ujar
Satomi pada Maya. Maya mengangguk.
Akhirnya Satomi berjalan meninggalkan Maya dan melewati
Sora, “Saya permisi, pak,” ujar Satomi dingin, persis ketika ia berdiri di
sebelah Sora, dan segera berlalu. Sora terdiam tanpa ekspresi, tidak menjawab.
Ketika yakin Satomi benar-benar sudah berlalu dan hilang
dari pandangan, Maya menghela nafas panjang dan seketika kakinya menjadi lemas
lagi. Maya mencoba kembali berjalan namun ia limbung. Sora yang melihatnya
terkejut dan segera menuju ke arah Maya untuk menahan tubuhnya, “Mungil!”
“Sudah, lepaskan tanganmu! Aku baik-baik saja!”
“Yang begini kau sebut baik-baik saja? Lihat wajahmu
pucat dan kakimu lemas begini!” gerutu Sora.
Maya melepaskan diri dari Sora, “Hei, pak guru, kau tahu,
‘kan, ini sedang jam pelajaran? Jangan berteriak menarik perhatian, bisa-bisa
semua keluar dari kelas, tahu? Apa kau mau mereka menduga yang tidak-tidak
melihat posisi kita yang seperti ini? Lebih baik kau juga kembali mengajar dan
aku kembali ke kelas! Bukankah tadi kau bilang pada jam pelajaran ini para
murid sebaiknya jangan berkeliaran?” Maya berusaha kembali berjalan. “Aku
kembali ke kelas dulu,”
Sora menatap Maya gemas, juga kesal. Aku berkata
seperti tadi karena ada alasannya, tahu! Melihat Maya berjalan
tertatih-tatih membuat Sora tertawa mengejek, kemudian ia segera menarik tangan
kiri Maya, dan menariknya menuju ruang kesehatan.
“Auwww!” teriak Maya.
Mendengar Maya berteriak kesakitan, langkah Sora terhenti
ketika ia hendak membuka pintu ruang kesehatan. Ia menatap tangan Maya yang ada
di genggamannya. Di telapak tangannya terlihat ada luka. Sora menatap Maya
dengan dahi mengernyit.
“A.. aku tidak apa-apa, ‘kok,” kata Maya, cepat.
Sora menatap Maya tajam lalu menghela nafas dan kembali
berbalik membuka pintu ruang kesehatan. Ia merangkul tubuh Maya untuk
memapahnya masuk. “Kalau kau memang tidak ingin aku berteriak dan membuat
kegaduhanyang menarik perhatian, lebih baik kau menurut padaku, mungil, untuk
mengistirahatkan kakimu dan mengobati luka di tanganmu. Dan... aku harap kau
bisa menjelaskan kepadaku kenapa kau bisa mendapatkan luka ini,”
Maya hanya pasrah ‘digiring’ Sora masuk ke ruang
kesehatan. Ketika ia mendengar Sora mewajibkannya untuk mengatakan alasan
mengapa ia bisa terluka, Maya seketika menjadi takut dan cemas. Kalau aku
bilang, dia pasti marah padaku... Bagaimana ini? Maya hanya bisa berdoa
dalam hati agar Sora tidak terlalu marah padanya. Oleh karena itu, ia
memutuskan untuk menuruti Sora kali ini karena ia tahu ketika Sora mendengar
alasannya, ia pasti akan marah lagi, seperti kemarin.
♪ ♪ ♪
Satomi menutup lokernya di ruang ganti. Ia sudah memakai
seragamnya kembali sekarang. Satomi duduk di bangku panjang dekat loker. Di
otaknya, ia masih mengingat kejadian tadi. Satomi tahu jika Sora merupakan guru
yang tegas, disiplin, dan dingin. Satomi sendiri mengaku ia tidak terlalu
menyukainya. Tapi tadi... aneh. Entah kenapa Sora memandangnya dengan tatapan
yang tidak pernah dilihatnya di kelas. Wajahnya tanpa ekspresi dan dingin, itu
biasa, tapi tadi Satomi merasakan Sora seakan seperti hendak menantangnya.
Entahlah, Sora terlihat seperti tidak suka melihat
Satomi. Pandangan itu dirasakan Satomi bukan seperti pandangan dingin dari guru
ke muridnya yang dianggap tidak bertanggung jawab menjalankan kewajibannya
sebagai pelajar dengan meninggalkan ruang kelas dan malah terlihat berkeliaran
di lorong sekolah dengan memapah seorang gadis, tapi lebih seperti pandangan
kesal dan tidak suka dari seorang pria melihat ada orang lain yang berada di
samping gadisnya, kekasihnya. Pandangan cemburu. Apalagi tadi Sora juga
terlihat sedikit khawatir melihat kondisi gadis yang dipapah Satomi. Satomi
juga tadi sempat melihat kerah kemeja Sora terlihat berantakan dan ada sedikit
keringat mengucur dari dahinya, nafasnya juga sedikit terengah meskipun itu
semua nyaris bisa ditutupi dengan ekspresi dingin yang kembali ditunjukannya.
Semua itu menunjukkan Sora seperti habis berlari. Tidak biasanya, karena Sora
dikenal dengan pembawaannya yang tenang.
Satomi tersentak. Mungkinkah? Tidak mungkin. Tapi,
kalau itu benar, apa hubungan antara gadis itu dan pak Sora? Apakah mungkin,
Sora, guru yang terkenal dingin itu...? Satomi mengenyahkan pikiran itu, tidak
baik berasumsi sekarang. Untuk apa ia memikirkannya? Kalau memang itu benar,
seharusnya sudah ada gosip yang tersebar dan para gadis di sekolah ini pasti
akan meributkannya. Maklum, Sora ialah idola di sekolah ini. Mungkin Satomi
hanya terbawa perasaan kesal dan tidak sukanya pada guru yang menurutnya sudah
seenaknya tadi padanya, makanya ia jadi berpikir aneh-aneh dan berlebihan. Ya,
pasti seperti itu.
“Siapa juga yang berniat jadi pahlawan? Maksudku ‘kan
hanya untuk menolongnya saja,” gerutu Satomi mengingat kata-kata Sora yang
mengatakan ‘Sudah cukup peran pahlawanmu sampai di sini’. Satomi berdiri
sambil terus memikirkan kemungkinan itu. “Hentikan, Satomi. Jangan berpikir
yang aneh-aneh,” Satomi mendesah pelan dan keluar dari ruang ganti.
♪ ♪ ♪
Maya duduk diam di ruang kesehatan. Ia melihat Sora
mencari barang di lemari yang tersusun atas rak alat dan obat ruang kesehatan.
Sora terlihat sudah melepas kaca matanya, dan kaca mata itu ia taruh di saku
kemejanya.
“Guru kesehatan sedang tidak ada di tempat, jadi aku yang
akan mengobati lukamu dulu, ya,” kata Sora sambil mengambil cairan pembersih
luka.
Maya hanya terdiam menunduk. Sora yang tidak mendengar
jawaban Maya menoleh menghadap Maya. “Kau kenapa, mungil? Kenapa diam? Apa kau
terlalu lelah sampai-sampai tidak bisa menjawab? Kalau memang begitu, sebaiknya
kau tiduran dulu di tempat tidur,” kata Sora, terlihat cemas.
Maya menggeleng cepat. “Ti.. tidak, ‘kok. Aku baik-baik
saja. A.. aku hanya tidak yakin apa kau benar-benar bisa mengobati lukaku?”
Sora tertawa, lega karena melihat Maya yang sudah bisa
ketus menjawabnya, berarti Maya akan baik-baik saja. Sora kembali meneruskan
pekerjaannya mencari barang di rak, “Jangan meremehkanku, mungil. Kau ‘kan
tahu, aku pria serba bisa!”
Maya menggerutu pelan. “Mulai lagi ‘deh narsisnya...,”
Sora yang mendengarnya tertawa. Sora mengambil baki kosong dan menaruh
alat-alat yang diambilnya ke atas baki kosong itu.
“Tidak kusangka kau galak juga, ya, waktu jadi guru,”
kata Maya, membuka pembicaraan.
Sora tertawa kecil. “Menurutmu begitukah, mungil? Ya,
begitulah aku jika mengajar. Tegas, disiplin...”
Maya memotong kata-katanya. “Galak, dingin, kejam,
mengeluarkan aura pembunuh. Kurasa itu lebih tepat. Aku heran dengan sikapmu
yang seperti itu kenapa para siswi di sekolah ini masih mengidolakanmu, ‘sih?”
“Astaga, mungil. Kenapa penggambaranmu kepadaku seburuk
itu, ‘sih? Tidak bisakah kau memujiku sedikit saja?” Sora menahan tawanya.
“Jika mereka masih memujaku ya itu urusan mereka. Mungkin pria sepertiku
terkesan misterius dan membuat penasaran. Yah, berarti selera mereka tinggi,
mungil,”
“Apa di sini ada baskom? Aku merasa ingin muntah,” gerutu
Maya, ketus. Sora tertawa keras. “Memang begitu kenyataannya, ‘kan? Seharusnya
kau tidak perlu sedingin tadi. Satomi, ‘kan, ehmm.. maksudku kak Satomi, karena
bagaimanapun dia juga seniorku...,”
Tawa Sora terhenti dan ia memotong kata-kata Maya, “Hei,
kau curang sekali. Dia saja kau panggil ‘kak’, bagaimana denganku? Umurku jauh
di atas dia juga dirimu, tapi kau malah memanggilku ‘hei’, ‘kau’,” gerutu Sora.
Maya tertawa. “Aku tidak bisa memanggilmu begitu, entah
kenapa,” Sora merengut. “Hei, dengarkan aku. Kau kenapa ‘sih mengeluarkan aura
begitu dingin dan seperti ingin membunuh ke.. kak Satomi? Kau tahu tidak jika para
siswa mengecapmu sebagai guru yang mengerikan!”
Sora menghela nafas sambil terus mencari barang di rak dan
menggerutu. Bukan mauku bersikap seperti tadi, aku bersikap tadi ‘kan
karena... gerakan tangan Sora
terhenti. Ia tersadar akan pemikirannya sendiri. Sora bersikap seperti tadi,
memandang Satomi penuh permusuhan, karena ia tidak suka... melihat Satomi
berada di samping Maya, memapah Maya, begitu dekat dengan Maya. Sora tidak suka
menghadapi kenyataan bukan dirinya lah yang berada di posisi Satomi. Sora...
cemburu terhadap Satomi. Tapi, kenapa? Bukankah Sora sudah meyakinkan dirinya
setelah kejadian kemarin malam jika ia tidak memiliki perasaan lebih dari
saudara terhadap Maya?
“Sekarang giliran kau yang diam,” suara Maya membuyarkan
pikiran dan lamunan Sora. Sora tertawa dipaksakan dan kembali terlihat sibuk
mencari barang, “Ah, aku.. bukan maksudku bermaksud dingin, aku hanya bermaksud
mendisiplinkan muridku agar tidak seenaknya meninggalkan pelajaran apalagi dia
sudah kelas tiga, waktunya menempuh ujian akhir,” ujar Sora, berbohong. Dia
tahu dia memandang Satomi tidak suka bukan karena alasan itu. “Lagipula jika
para siswa memang berpikir seperti itu, ya biarlah. Itu bagus agar mereka lebih
hormat pada guru mereka dan tidak bersikap seenaknya hanya karena usiaku tidak
jauh beda dengan mereka. Hmmm, dimana ya pinsetnya?” Sora bermaksud menyibukkan
diri untuk menenangkan dirinya.
“Dia ‘kan hanya bermaksud menolongku. Jangan
menghukumnya, ya. Jangan galak-galak padanya sebagai seorang guru,” pinta Maya.
Sora yang mendengarnya tidak suka, kenapa ia terus membela Satomi, ‘sih? Kenapa
ia harus membicarakan tentang Satomi? Sora menutup lemari dan membawa baki
yang telah berisi alat-alat yang dibutuhkannya ke dekat Maya. Ia mengambil
kursi, duduk di hadapan Maya, dan menaruh baki di meja kecil di dekatnya. Sora
hendak membuka tutup botol cairan pembersih luka ketika Maya berbicara lagi,
“Hei, kau tidak menjawabku,” Maya menatap Sora heran.
Sora menggerutu. “Baiklah, mungil, akan kupertimbangkan.
Akan kulihat sikapnya, jika dia bersikap baik, maka aku tidak akan
menghukumnya,”
“Kau juga... jangan galak-galak sebagai seorang guru.
Murid-muridmu tentu akan bersikap baik jika kau juga bersikap begitu kepada
mereka. Di kelasku kau tidak begitu... dingin. Tidak mengerikan seperti yang
mereka bicarakan. Setidaknya sedikit lebih manusiawi,”
Itu karena ada kamu, mungil... pikiran itu tidak disuarakan Sora karena Sora sendiri
tidak tahu mengapa ia bisa menjadi seperti itu. Sora menghela nafas, “Kita
hentikan topik ini sampai di sini, mungil. Sekarang giliran aku yang bertanya.
Mengapa kau bisa mendapatkan luka seperti itu di tanganmu?” Sora menutup
kembali tutup botol cairan pembersih luka dan menaruhnya kembali di baki. Ia
menatap Maya.
Deg! Jantung Maya berdegup kencang. Akhirnya mereka
sampai pada topik ini juga. Maya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sora
memandangnya heran, “Mungil?”
Maya kembali tidak menjawab dan hanya bisa menundukkan
kepalanya.
“Mungil, jangan katakan kalau kau berbuat sesuatu yang
tidak benar,” kata Sora, perlahan namun tajam.
Maya memandang Sora, takut. “Kau... janji jangan marah,
ya, tapi...,”
“Tergantung ceritamu, mungil..,”
“Kumohon...,” Maya memandang penuh permohonan pada Sora.
Sora yang dipandang seperti itu menjadi luluh juga, ia tidak tega melihat Maya
yang sudah memandangnya seperti itu meski ia tahu apa yang sudah dilakukan
gadis ini pasti sesuatu yang bisa membuatnya marah.
“Baiklah..., sekarang jelaskan padaku...,” Sora menarik
nafas pelan.
Maya menelan ludahnya dan memberanikan diri menjawab,
“Sebenarnya... tadi waktu aku berjalan ke sekolah, aku melihat ke langit dan
sedikit melamun. Sedang menikmati, lebih tepatnya. Aku tidak menyadari jika ada
seseorang membunyikan bel sepeda dari belakang. Salahku juga aku berdiri agak
ke tengah jalan, jadinya aku... terserempet sepeda dan jatuh,” Maya kembali
menundukkan kepalanya sedangkan Sora menatapnya dengan mata terbelalak.
“Apa!? Jadi kau.. terserempet sepeda!?” tanya Sora lagi,
ia tidak mempercayai apa yang didengarnya.
Maya mengangguk pelan.
“Astaga, mungil! Kemarin kau hampir tertabrak mobil dan
sekarang kau benar-benar terserempet sepeda! Untung saja bukan mobil, mungil!
Bukankah sudah kubilang untuk berhati-hati dan jangan melamun! Bagaimana kalau
yang tadi menyerempetmu itu bukan sepeda dan mobil!? Untung lukamu kecil,
bagaimana jika...,” Sora berteriak frustasi, cemas dan khawatir.
“Kau tadi sudah janji tidak akan marah,” Maya memotong
kata-kata Sora. Sora menghentikan kata-katanya dan melihat Maya menunduk
dalam-dalam. Sora menarik nafas panjang dan dalam, lalu menghembuskannya.
Kemudian ia mengelus rambut Maya, membuat Maya mendongak menatapnya.
“Maaf, aku hanya... cemas. Aku takut, mungil, sesuatu
yang mengerikan terjadi padamu,” Sora menjawab pelan.
Maya tidak memberikan tanggapan, ia tahu jika wajar Sora
marah karena Sora khawatir padanya. Ia melihat kerah kemeja Sora yang berantakan
dan dahi Sora yang sedikit berkeringat, apakah Sora tahu kondisinya yang
seperti orang sekarat setelah berlari keliling lapangan tadi sehingga ia
berlari mencari Maya untuk memastikan apakah Maya baik-baik saja? Apakah itu
benar? Apakah memang Sora begitu khawatir padanya? Sebenarnya, fakta Sora cemas
padanya seperti ini membuatnya... senang. Debaran lembut itu muncul lagi ketika
Sora mengelus kepalanya lembut.
“Lain kali kau harus hati-hati, ya. Jangan melamun di
jalan, sudah kuperingatkan kemarin. Untung saja hanya terserempet sepeda,
bagaimana kalau sampai tertabrak mobil? Kumohon, mungil. Jangan membuatku
khawatir terus, bisa-bisa aku terkena serangan jantung karenamu, mungil..,”
keluh Sora.
“M.. maaf..,” jawab Maya, pelan. “Aku... tidak akan
mengulanginya,”
Sora menghela nafas lagi lalu ia mengambil pinset yang
diujungnya diberi kapas yang telah dibasahi dengan cairan pembersih sebelumnya.
“Aku akan membersihkan lukamu, mungil. Ulurkan tanganmu..,”
“Ah, iya...” Maya menyadari wajahnya sedikit merona.
Dadanya berdegup lembut, namun ketika Sora telah menyentuh telapak tangannya,
jari-jarinya, debaran itu semakin lama semakin kencang.
Apa dari ujung jariku bisa terdengar suara degup
jantungku?
Deg deg deg... suara debaran jantung Maya semakin intens.
Maya menundukkan wajahnya yang merona, ia tidak mau Sora melihatnya.
Saat ini jantungku berdegup kencang...
Maya tidak bisa berkonsentrasi. Ia tidak tahu apa yang
dipikirkannya, ia hanya terus berusaha mengontrol rona wajahnya dan degup
jantungnya agar Sora tidak menyadarinya. Sora sangat dekat, ia terlalu dekat,
begitulah menurut Maya. Sora terlihat berkonsentrasi membersihkan luka Maya
lalu mengobatinya.
Deg deg deg...
Bagaimana ini? Debaran jantungku tidak dapat kukendalikan
lagi.. Apa Sora bisa mendengarnya? Kumohon.. Jangan
terlalu dekat, Sora..
Maya menatap jari-jari Sora yang merawat lukanya dengan
cekatan. Menutupinya dengan perban. Jari-jari yang besar, lembut, dan hangat...
Aku tidak ingin... ada yang tahu saat-saat ini.Aku tidak
ingin... memberitahukan ini pada siapapun... Aku tidak ingin ada yang tahu sisi
Sora yang ini...
“Selesai,” kata Sora menyadarkan Maya dari lamunannya.
Maya melihat telapak tangannya diperban sekarang. “Baiklah, mungil. Kurasa
kakimu masih lemas karena dihukum lari tadi, sekarang kau istirahat, ya. Ketika
nanti sudah merasa baikan baru masuk kelas, tapi jika tidak kau izin saja hari
ini. Akan kubuatkan surat izinnya,” Sora membereskan peralatan yang dipakainya.
“Aku akan mencari guru kesehatan untuk menjagamu di sini dan setelah itu aku
akan langsung kembali mengajar,” Sora berdiri beranjak menuju pintu.
“A, ah..., anu..,” Maya spontan mengatakan sesuatu ketika
ia melihat Sora hendak keluar. Ia tidak rela melihat Sora sudah mau pergi
sekarang. Entah kenapa Maya spontan menghentikannya. Apa yang kau pikirkan,
Maya? Tentu saja Sora harus keluar sekarang, dia ‘kan punya jadwal mengajar!
“Ada apa, mungil?” tanya Sora, heran.
“A... anu, anu... kau... tidak marah padaku, ‘kan?” Maya
merasa pertanyaannya itu bodoh tapi pertanyaan itu keluar begitu saja dari
mulutnya sendiri.
Sora tertegun sejenak, kemudian tertawa, “Kau sudah tahu
jawabannya, ‘kan, mungil? Sudah, lebih baik kau istirahat yang baik, ya. Aku
keluar mengajar dulu,” kata Sora sambil tersenyum lembut lalu keluar dari ruang
kesehatan.
Pintu ruang kesehatan tertutup, meninggalkan Maya yang
terdiam, masih dengan wajah sedikit merona dan debaran jantung yang masih
terdengar berirama.
Dia.. dia tidak membenciku... dia... dia tidak marah
padaku...
Tanpa sadar, Maya tersenyum senang menyadari kenyataan
itu, dan seketika itu juga ia tersentak. Kenapa aku sesenang ini? Bukankah
kemarin aku sudah meyakinkan diriku bahwa aku hanya melihatnya sebagai seorang
kakak? Kenapa aku berdebar? Kenapa wajahku merona? Kenapa?
Maya menatap tangannya yang diperban. Ia masih mengingat
sentuhan lembut Sora di telapak tangannya. Jantung Maya berdebar lagi. Debaran
ini berbeda dengan yang tadi sempat ia rasakan sedikit dengan Satomi. Terhadap
Satomi, debarannya lembut, tidak sekencang ini. Maya hanya terpesona pada
senyumnya yang lembut dan ceria, sikapnya yang baik ya, hanya itu. Mungkin
hanya itu. Tapi, debaran Maya terhadap Sora lebih terasa asing, di satu sisi
terasa menyenangkan, tapi juga menyakitkan sehingga ingin membuatnya menangis,
entahlah... Maya tidak pernah merasakan hal ini pada Sora sebelumnya.
Jika aroma Satomi tadi seperti rerumputan, maka aroma
Sora, dia seperti...
♪ ♪ ♪
“Aku pulang,” seru Rei sambil membawa beberapa kantong
belanjaan dan memasuki penginapan. Rei hendak masuk kamar ketika ia melihat
ketiga temannya hanya berdiri di dekat pintu kamar dan seperti menguping. “Hei,
sedang apa kalian?”
Sayaka, Taiko, dan Mina terlonjak kaget mendengar suara
Rei. Rei heran melihat tingkah ketiga temannya yang tampak salah tingkah itu.
“REI!! Kau mengejutkan kami saja!” seru Sayaka.
“Habisnya kalian sendiri ngapain seperti itu di depan
pintu, aneh,” Rei segera melewati ketiga temannya dan beranjak hendak masuk.
Mina menepiskan tangan Rei yang hendak membuka pintu. Rei
menatapnya heran. “Kau mau apa, Rei?” tanya Mina.
“Tentu saja masuk untuk menaruh belanjaan. Mengapa kau
bertanya begitu, Mina?” Rei menatap Mina, bingung.
Taiko menghela nafas, “Nanti saja, Rei. Kau tidak bisa
masuk sekarang, ibu guru sedang ada tamu penting dari kota. Kelihatannya mereka
berdua sedang berbicara serius sekali,”
“Tamu dari kota? Siapa?”
Sayaka menyandarkan diri ke dinding, “Kejutan besar, Rei.
Kudengar Hayami lah tamu penting ibu guru itu,”
“Hayami!?” mata Rei terbelalak. “Maksudmu, Eisuke Hayami,
Jenderal Besar Daito itu?”
Mina mengangkat bahunya. “Sepertinya, entahlah. Aku tidak
mengerti ada urusan apa orang sepenting itu mendatangi ibu guru,”
“Kita sudah berusaha menguping pembicaraan mereka tapi
tidak terdengar. Haizzz, entah pintunya yang terlalu tebal atau volume suara
mereka yang terlalu kecil,” gerutu Sayaka. “Padahal ‘kan penginapan ini cukup
kecil, suara apapun seharusnya bisa terdengar,”
Rei tidak menggubris gerutuan Sayaka, ia hanya menatap
pintu tertutup di depannya dengan perasaan heran. Sebenarnya apa yang sedang
terjadi?
♪ ♪ ♪
“Selamat sore, Maya!” sapa orang-orang yang berpapasan di
jalan dengan Maya.
“Ah, iya, selamat sore bi!” jawab Maya.
“Baru pulang sekolah, Maya?”
“Iya, bi. Saya baru pulang, hehehe,” jawab Maya sambil
cengengesan, untuk menutupi rasa sakit di kakinya. Kakinya masih terasa lemas
akibat efek lari keliling lapangan 20 kali tadi.
Sore menjelang. Langit senja terlihat berwarna oranye
bercampur jingga. Burung-burung beterbangan kembali menuju sarangnya. Angin
berhembus sedikit kencang. Maya teringat tadi ia tertidur hingga sore karena
kelelahan dan begitu ia terbangun, pelajaran sudah usai. Oleh karena itu Maya
memutuskan untuk segera pulang dan mandi, setelah itu langsung tidur. Ia
benar-benar merasa lelah hari ini.
Dari belakang, Sora melihat Maya berjalan tertatih-tatih
seperti nenek-nenek. Sora menatapnya prihatin bercampur geli, ia tersenyum
dikulum. Kemudian dengan setengah berlari, Sora menghampiri Maya.
“Hei, mungil,” Sora mensejajarkan dirinya di samping
Maya. Maya menoleh, terkejut melihat Sora. “Kenapa? Terkejut melihatku, ya?”
Maya terdiam dan Sora menganggap diamnya Maya sebagai
jawaban ya. “Aku tadi mencarimu ke kelas dan Sugiko bilang kau tidak mengikuti
pelajaran sama sekali hari ini. Lalu aku ke ruang kesehatan dan kau sudah tidak
ada. Makanya, aku berpikir untuk segera menyusulmu karena aku yakin dengan
kondisimu yang... begini, kau pasti belum jauh,” jelas Sora panjang lebar. “Dan
ternyata aku benar,” lanjutnya sambil tersenyum lebar.
Maya terdiam, dalam hati ia terharu dengan perhatian Sora
padanya. Dari dulu hingga sekarang, kau memang selalu baik padaku,
menjagaku, melindinguku. Maya merasa dadanya kembali berdesir pelan. “Mana
sepedamu?” tanya Maya mengalihkan pembicaraan.
“Belum kuperbaiki kemarin, malas. Lagipula aku agak lelah
kemarin. Banyak hal yang harus kukerjakan. Kupikir bagus juga sekali-sekali
jalan begini,” jawab Sora, santai.
“Oh,” Maya hanya menanggapi pendek.
Sejenak hening di
antara mereka. “Kau baik-baik saja?” tanya Sora.
Maya menggerutu. “Apa kau bodoh? Tidak bisakah kau
menebak dari hanya melihat? Apakah menurutmu aku baik-baik saja? Bukankah tadi
siang kau sudah melihat kondisiku? Haizzz, pertanyaanmu bodoh sekali!” jawab
Maya galak lalu berbalik dan berjalan lagi.
“Galak sekali, ‘sih. Aku ‘kan bertanya baik-baik,” Sora
sedikit kesal, tapi ia kasihan juga melihat Maya yang berjalan seperti orang
encok. Apalagi melihat telapak tangan Maya yang terluka saat ini sudah
diperban, meski lukanya tidak dalam. Sora merasa sangat khawatir.“Aku pikir kau
‘kan sudah baikan dengan istirahat cukup lama sampai tidak ikut pelajaran
tadi,”
“Mana mungkin bisa sembuh secepat itu, ‘sih. Dihukum lari
keliling lapangan 20 kali, yang benar saja!” gerutunya. “Tapi sudah sedikit baikan,
‘sih. Kurasa yang kubutuhkan sekarang ialah tidur hingga besok pagi,”
“Dihukum lari keliling lapangan 20 kali!? Astaga, mungil!
Kesalahan apa yang kau perbuat sehingga guru pengawas kedisiplinan menghukummu
seperti itu?” Sora terlihat terkejut. “Kurasa aku perlu membuat perhitungan
dengan guru itu!” kata Sora sambil pura-pura berpikir.
Maya tertawa kecil, “Memang benar-benar guru botak
sinting! Aku ‘kan hanya terlambat kenapa dia menghukumku setega itu, ‘sih!?”
Dahi Sora mengernyit. “Apa? Jadi kau benar-benar
terlambat lagi, mungil? Bagaimana bisa, ‘sih? Pantas saja guru itu menghukummu
karena kau terlambat terus, tidak heran, ‘sih...,”
Maya melotot menatap Sora, “Jadi, kau tidak jadi membuat
perhitungan dengan guru itu?”
Sora mengangkat bahu. “Tentu saja tidak, mungil! Lagipula
kurasa yang dia lakukan tepat, karena terlambatmu sudah keterlaluan. Hampir
setiap hari, mungil. Aku heran, kenapa hari ini kau terlambat lagi, ‘sih?
Bukankah seharusnya kau bangun lebih pagi hari ini?” suara Sora sedikit lebih
pelan di akhir kata-katanya.
Maya menatap Sora, ia tahu arah pembicaraan Sora. Hadiah
dari Sora tadi pagi. Aku sudah bangun lebih pagi, tahu, hanya saja...
Maya mengingat wanita itu dan pembicaraannya dengan wanita itu. Ia merasa tidak
perlu menceritakannya kepada Sora. Ia juga takut Sora menganggapnya aneh, pembicaraan
Maya dan wanita itu membahas hal yang sama sekali tidak lazim. Merasakan
alam, mencium aroma? Apa lagi maksudnya?
“Entahlah!” Maya menggerutu sambil berjalan sedikit lebih
cepat.
Sora berhenti berjalan. “Hei, kau tidak mau
menceritakannya?”
“Aku tidak mau! Sudahlah!”
Sora menghela nafas. Ia tidak bisa memaksa Maya bercerita
karena kelihatannya Maya benar-benar tidak mau. Apa mungkin hal ini berhubungan
dengan terserempetnya Maya oleh sepeda sehingga membuatnya terluka tadi? Sora
merasa tidak enak, apa mungkin aku sudah menyinggungnya dan membuatnya
mengingat lagi kejadian tidak enak tadi pagi? Sora menatap Maya yang terus
saja berjalan perlahan sambil tertatih-tatih dan berulang kali harus berhenti
untuk menahan tubuhnya yang hampir jatuh. Sora menghela nafas kemudian ia
berjalan melewati Maya dan berhenti di depan Maya, sehingga membuat Maya
berhenti berjalan. Sora berjongkok di depan Maya. Maya menatapnya heran.
“Ayo naik,”
Dahi Maya mengernyit. “Apa?”
“Apa kau tidak dengar apa yang kukatakan? Ayo, cepat naik
ke punggungku! Sebelum aku berubah pikiran..,”
Maya terdiam. “Naik... ke punggungmu?”
Sora menggerutu, “Masih pakai bertanya lagi. Bukankah apa
yang mau kulakukan sudah jelas jika aku jongkok di depanmu seperti ini? Cepat
naik, karena aku merasa jika cara jalanmu seperti itu kau tidak akan cepat
sampai rumah. Kurasa baru tengah malam kau sampai rumah. Ayo, naik!”
“Kau... serius?” tanya Maya, tidak percaya.
“Iya..,” jawab Sora pendek.
“Kau... sungguh-sungguh mau menggendongku pulang di
punggungmu?”
“Kau ini banyak bertanya, ya. Mau atau tidak? Kalau tidak
mau ya sudah,” ujar Sora sambil beranjak hendak berdiri.
Maya yang melihat Sora hendak berdiri segera beranjak
memegang lengan baju Sora. Sora menoleh. Maya kemudian memalingkan wajahnya dan
berkata,
“Y.. ya.. kalau kau sungguh-sungguh memaksa, ya baiklah.
Aku akan menerima kebaikan hatimu itu,” ujar Maya dengan gaya angkuh, namun
suaranya tetap terdengar terbata. Sora menatap wajah Maya yang merah, Sora
menduga Maya pasti malu dan gengsi untuk mengatakannya. Sora tersenyum dikulum.
Sora menyerahkan tas kerjanya pada Maya, kemudian Sora
jongkok lagi di depan Maya, “Ayo naik, mungil!”
Maya tersenyum dikulum sambil melingkarkan kedua
tangannya di leher dan bahu Sora. Maya menyenderkan tubuhnya pada punggung Sora
dan Sora segera berdiri memegang kedua kaki Maya sambil membetulkan posisinya
agar Maya tidak jatuh dan nyaman dalam gendongannya. Sora kembali berjalan.
Mereka berjalan dalam hening
“Astaga mungil, kukira kau ringan karena tubuhmu mungil.
Tapi ternyata kau berat juga, ya,” keluh Sora.
“Apakah kau menyesali keputusanmu menggendongku? Sayang
sekali, Tuan, Anda terlambat. Aku tidak berminat untuk turun, kamu yang memaksa
dan bukankah pantang bagi seorang pria untuk menjilat ludahnya sendiri?” gerutu
Maya.
Sora tertawa kecil. “Kau benar-benar seperti Tuan Putri,
mungil. Jangan katakan ini bagian dari aktingmu. Apa mungkin kakimu yang sakit
ini hanya akting saja? Ah, jangan bilang sebenarnya kau ingin aku gendong
seperti ini, ‘kan? Cuma kau saja yang tidak mau mengakuinya!”
“Apa?! Enak saja! Dasar bodoh! Bagaimana mungkin aku
berakting kakiku sakit, ‘sih!?” Maya memukul-mukul punggung Sora. “Apa kau
pikir aku mau digendong olehmu!? Aku juga tidak sudi, tahu?” Maya menggerutu
kesal.
“Heizz, hentikan, mungil! Aku hanya bercanda! Jangan
memukulku dan bergerak terus, kita bisa jatuh! Sudah tahu tubuhmu itu berat
jangan bergerak-gerak terus!”
“Sekali lagi kau bilang berat, aku akan memberimu
pelajaran, Tuan Sora Fujimura!” ancam Maya yang hanya disambut tawa oleh Sora.
Enak saja berat? Tapi
kemudian Maya berpikir, apa benar aku seberat itu? Apa ini karena efek aku
makan terus, ya?
Sora sedikit menolehkan kepalanya ke belakang, “Kenapa
kau diam, mungil? Ah, aku tahu. Kau barusan pasti berpikir kenapa dirimu berat.
Iya, ‘kan?”
Wajah Maya merona. Kenapa orang ini selalu bisa
menebak pikirannya, ‘sih!? “Ti.. tidak! Enak saja! Jangan asal bicara!
Kalau kau asal bicara, aku tidak akan segan-segan memberimu pelajaran!”
“Aiooo, ancamannya itu terus, mungil. Menakutkan, lakukan
saja kalau kau bisa!” Sora tertawa kecil, Maya hanya bisa merengut. “Lebih baik
kau banyak berolahraga agar tidak berat seperti ini dan agar kakimu mungil,
sehingga jika kau terlambat kau sudah kuat untuk dihukum lari keliling lapangan
20 kali!” goda Sora. Maya merengut kesal. Sora tertawa. “Sudah, sudah. Jangan
ngambek seperti anak kecil terus, mungil. Lebih baik sekarang kau istirahat,
bersandar pada punggungku, tidurlah sejenak. Nanti kalau sudah sampai rumah
kubangunkan,” ujar Sora lembut.
Maya terdiam. “Benar aku boleh bersandar?”
Sora tertawa, “Hei, mungil. Kau ini seperti bicara dengan
orang yang tidak kau kenal saja? Aku ini sudah mengenalmu bertahun-tahun, aku
bahkan sudah tahu tubuhmu itu seperti ap...,” Sora menghentikan bicaranya
ketika Maya memukul kepalanya dengan tangannya yang tidak memegang tas. “Awwww
sakit, mungil! Kau mau membuatku amnesia, ya!?”
“Baguslah kalau kau amnesia, setidaknya ketika kau sadar kau
bisa menjadi sedikit waras! Jangan berbicara seperti itu dengan suara keras,
dasar bodoh! Itu ‘kan kejadian waktu masih kecil,” ujar Maya dengan wajah
merah.
“Galak sekali kamu mungil.. Padahal tadi siang kamu
begitu penurut dan memandangku dengan tatapan memohon,” Sora tersenyum lebar.
“Berbanggalah, mungil, karena tidak semua orang bisa kugendong dan kuizinkan
bersandar di punggungku yang lebar dan nyaman ini,” kata Sora, angkuh. “Kujamin
para gadis pasti akan iri denganmu! Untuk bisa dekat denganku saja, mereka
harus memohon-mohon!”
Maya tertawa mengejek, kemudian ia menyandarkan kepalanya
di punggung Sora. Sora tersenyum dan sedikit membetulkan posisi mereka agar
Maya benar-benar nyaman bersandar.
“Maaf, ya, mungil. Tadi aku sudah memaksamu bercerita
kenapa kau bisa terlambat. Padahal aku tahu kau tidak mau bercerita karena itu
akan mengingatkanmu pada kejadian diserempet sepeda tadi. Maaf, ya, aku tidak
bermaksud mengingatkanmu akan kejadian mengerikan itu,” kata Sora, pelan.
“Eh?” Maya tertegun. Padahal bukan itu alasan Maya
sehingga ia tidak bercerita, tapi Sora berpikir seperti itu. Maya tersenyum
lembut, Sora benar-benar baik dan memikirkan perasaannya. Padahal Sora tidak
salah, tapi ia minta maaf. “Kau tidak salah. Tidak ada yang perlu dimaafkan,”
jawab Maya, lembut. Sora tersenyum.
“Sudah lama, ya, mungil, sejak terakhir kali aku
menggendongmu seperti ini...,”
“Iya, kau benar..,” Maya memejamkan matanya. Rasanya
nyaman menyenderkan kepala di punggung Sora seperti ini. Sudah lama
sekali... sejak saat itu..
“Ngomong-ngomong..,” Maya mengangkat kepalanya, lalu
berkata dengan suara pelan.
“Hm?” tanya Sora.
“Tadi kenapa... kau bisa ke ruang kesehatan? Seolah-olah
kau tahu aku ada di sana...,”
Sora terdiam, jantungnya sedikit berdetak lebih kencang.
Lalu ia menjawab, “Hmmm... tadi aku mengajar di kelas... Satomi,” Sora merasa
tidak suka menyebutkan nama itu. “Temannya berkata bahwa Satomi akan sedikit
masuk terlambat masuk ke kelas karena menolong seorang gadis yang terluka, gadis
yang baru saja dihukum lari keliling lapangan, dan hendak membawa gadis itu ke
ruang kesehatan. Tadi waktu aku sedang mengajar, sekilas aku melihat bayanganmu
sedang berlari keliling lapangan lewat jendela. Makanya, aku punya perasaan...
apa mungkin gadis itu... kamu, mungil,” jawab Sora pelan. “Dan ternyata memang
benar. Aku cemas tadi, aku berpikir apa kau benar-benar terluka. Syukurlah kau
baik-baik saja,” Sora sedikit menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat
Maya dan tersenyum.
Senyuman Sora ini... selalu sukses membuat dada Maya
berdetak kencang lagi. Maya terharu, ia sangat senang dengan perhatian Sora
padanya. Kerah kemeja Sora yang tadi dilihatnya sedikit berantakan dan bercak
keringat di dahinya membuktikan bahwa Sora memang berlari menyusuri lorong
menuju ruang kesehatan karena khawatir padanya, memastikan apakah gadis itu
benar dirinya, memastikan apakah gadis itu baik-baik saja. Kecemasan dan
kekhawatiran Sora padanya membuatnya merasa diperhatikan.
Maya kemudian berkata lagi, “Hmmm... lalu...,”
“Hm?”
“Untuk yang tadi pagi...” Maya sedikit bergerak
mendekatkan bibirnya ke telinga Sora. Sora tidak menyadari gerakan Maya
tersentak ketika ia merasakan helaan nafas Maya di dekat telinganya. Entah
kenapa tiba-tiba debaran jantungnya memacu jadi lebih cepat. Telinganya terasa
lebih sensitif. Maya berkata lembut di telinga Sora, “Terima kasih, ya.
Hadiahnya benar-benar indah,” kata Maya. Dalam hatinya, Maya menambahkan, untuk
semuanya... terima kasih...
Sora terdiam. Ia tidak tahu pasti apa yang ia rasakan
sekarang. Debaran jantungnya terasa semakin kencang, tapi juga menyenangkan.
Sekaligus menyakitkan. Ia merasa dunianya terhenti, dimana hanya ada mereka
berdua saat ini, dan ia ingin terus seperti ini. Ia ingin waktu terhenti
sekarang, entah kenapa. Ada godaan di dalam dirinya untuk memeluk erat gadis
yang tengah digendongnya di punggungnya ini, yang sekuat tenaga dilawannya.
“Iya, sama-sama...,” jawab Sora, pelan.
Maya tersenyum kecil dan menyenderkan kepalanya lagi di
punggung Sora. Ia melamun lagi. Ketika nanti Sora punya pacar, kekasih betulan,
bukan ‘adik’ seperti Maya, pasti wanita itu wanita dewasa, bukanlah anak kecil
seperti Maya. Wanita yang sepadan untuk Sora. Dan wanita itulah yang akan
digendong seperti ini, bukanlah Maya. Maya mengeratkan lingkaran tangannya yang
melingkari leher dan bahu Sora. Kenapa aku tidak rela meski hanya dengan
memikirkannya? Bukankah itu wajar dan seharusnya aku sudah menyadarinya sejak
awal?
Maya menghirup nafas dalam-dalam. Ia merasakan, ia
mencium aroma dari Sora. Benar.. jika Satomi seperti rerumputan dan dedaunan,
aroma Sora seperti langit.. tapi juga seperti sungai yang mengalir. Entah apa
lagi yang bisa melukiskan aroma Sora. Banyak sekali. Semua yang biru, jernih,
dan luas, semuanya melukiskan tentang Sora. Maya merasa ia menyukai aroma Sora,
menyenangkan juga menyakitkan. Membuatnya ingin menangis dan mengeluarkan air
mata, seperti debaran yang dirasakannya tadi di ruang kesehatan.
Bagaimana ini? Apa sebenarnya yang kurasakan ini
sebenarnya? Padahal dulu aku rela-rela saja memikirkan kemungkinan Sora
memiliki seorang kekasih, tapi kenapa sekarang tidak?
Maya memejamkan matanya.
Bagaimana ini? Kenapa aku bisa merasakan hal seperti ini?
Perasaan apa ini? Egois. Punggung Sora yang luas, nyaman, dan hangat ini, sekarang
ingin kumiliki hanya untuk diriku
seorang saja...
Sora dan Maya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
Maya yang merasa lelah akhirnya jatuh tertidur di punggung Sora. Sora hanya
terus berjalan dalam diam, menatap ke depan, tidak memandang samping kiri
kanannya. Tanpa Sora sadari, mereka melewati sebuah mobil mewah, modelnya seperti
sedan namun panjang, berwarna putih, yang sedang terparkir di pinggir jalan.
Dari kursi penumpang mobil itu, Eisuke Hayami memandang Sora yang terus saja
berjalan sambil menggendong Maya melewati mobil Eisuke. Tampaknya Sora sibuk
dengan pikirannya sendiri dan tidak menyadari ada mobil disana.
Di wajah Eisuke terukir senyuman misterius. Pelayannya
yang duduk di kursi depan sebelah supir memandang wajah majikannya yang
tersenyum dan berkata, “Ada apa, Tuan? Kenapa tiba-tiba Anda tersenyum seperti
itu? Apakah pertemuan dengan Mayuko Chigusa menghasilkan hasil yang
‘menyenangkan’?”
Eisuke tertawa, “Tidak, Asa. Masih panjang jalanku untuk
mencapai hasil yang ‘menyenangkan’ itu. Aku hanya tidak menyangka aku akan
menemukan orang itu juga di desa ini, sungguh kebetulan yang sangat luar biasa!
Selama ini aku susah payah mencarinya! Ia akan bisa menjadi senjata rahasiaku,
Asa!”
Asa menatap Eisuke, bingung. “Maksud Anda dengan ‘orang
itu’ siapa, Tuan? Senjata rahasia, apa maksudnya?”
Eisuke tersenyum. “Kau akan tahu nanti, Asa. Yang jelas,
yang kau perlukan sekarang hanyalah menunggu perintahku, karena aku merasa
membutuhkan bantuanmu untuk menyelidiki ‘orang itu’. Kebetulan yang sangat
menyenangkan!” Eisuke tertawa lagi, sedangkan Asa hanya bisa diam kebingungan
dan menatap lagi ke depan.
“Tidak kusangka dia dan Mayuko sama-sama berada di desa ini.
Bukan kebetulan, ini benar-benar takdir! Takdir yang menghubungkan aku, dia,
dan sang Bidadari Merah. Sudah kuduga, ia sudah dewasa sekarang, terlihat
matang. Semoga yang kulihat itu benar-benar dia meski perasaanku mengatakan aku
benar. Akhirnya kutemukan juga... calon penggantiku, calon penerus Daito,
dan... calon penantang Mayuko Chigusa dalam merebut hak pementasan Bidadari
Merah...,” ujar Eisuke dalam hati sambil terus tersenyum licik dan misterius.
♪ ♪ ♪
Malam menjelang. Dari suatu ruangan kecil di dalam suatu
kamar penginapan Kousei, terdengar suara sayur yang dipotong juga suara sup
dalam panci yang diaduk. Asap dari masakan tampak mengepul kemana-mana dan bau
masakan tercium. Dalam kamar sekecil itu, bau masakan pasti dapat tercium ke
seluruh ruangan.
“Ah, tidak kusangka kamar sekecil ini bisa punya dapur
juga,” komentar Taiko sambil mengiris bawang.
“Ya, meskipun tetap saja tidak ada pembatas antara ruang
tidur, dapur, dan ruang makan. Sayang kamar mandinya merupakan kamar mandi
umum,” kata Mina sambil mencoba sup yang sedari tadi diaduknya. “Hmmmm, tinggal
ditambah bawang dan sayuran saja,” Mina menoleh pada Sayaka yang tengah
memotong sayuran di meja makan. “Sayaka, bagaimana? Apakah sayurannya sudah
bisa dimasukkan?”
Sayaka mengangguk, “Ya, sudah `kok...,” Sayaka
menghampiri Mina dengan sayuran yang sudah dipotongnya. Mina segera memasukkan
sayuran ke dalam sup dan menoleh pada Taiko yang mengiris bawang di sampingnya,
“Heiii, Taiko. Lelet sekali kau ini kerjanya, padahal hanya mengiris bawang
saja,”
Taiko menggerutu, “Jangan cerewet, Mina. Apa kau tidak
tahu dari tadi mataku menahan pedih sambil mengiris bawang ini, menyebalkan!
Air mataku mau keluar terus dari tadi! Apa kau tidak lihat kedua mataku merah
dan berair?” Taiko mengucek matanya. “Haizzz, aku bersumpah aku tidak akan
mengiris bawang lagi!”
Mina tertawa. Sayaka mencibir, “Kau ini Taikooo...
bagaimana kau bisa menjadi istri yang baik jika mengiris bawang saja kau tidak
bisa?”
Taiko melotot, “Jangan menghinaku, Sayaka. Apa kau pikir
kau sendiri bisa? Ckckckck... Kemampuan seorang istri yang baik tidak hanya
diukur dari mengiris bawang!”
“Heii, kau tidak tahu jika kemampuan memasakku sudah
meningkat dari sebelumnya?” omel Sayaka.
“Oh ya? Benarkah?” tanya Mina pada Sayaka sambil
menatapnya dengan tatapan menyelidik. Sayaka yang dipandang seperti itu jadi
jengah dan ngambek, “Minaaaaa....,” Mina dan Taiko tertawa.
“Lagipula,” lanjut Sayaka. “Aku ‘kan inginnya menjadi
artis yang baik bukan istri yang baik,” sungut Sayaka.
Mina berbalik dan mengecilkan api kompor, “Kehidupan kita
di atas panggung belum tentu abadi dan selamanya, Sayaka...,” Mina menhela
nafas pelan, “Aku sendiri sampai sekarang masih tidak mengerti kenapa ibu guru
mengajak kita ke sini,”
Sayaka dan Taiko yang mendengarkan Mina juga terdiam dan
mereka kembali sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Yang terdengar kembali
hanyalah suara sayur dipotong, bawang yang diiris, dan juga adukan sup.
“Wah, harumnya,” Rei menghampiri teman-temannya. Ada
handuk dikalungkan di kedua bahunya dan rambutnya tampak basah. “Apa makan
malamnya sudah jadi? Aku sudah lapar sekali,”
“Ahhh, enak sekali kau, Rei, kau sudah mandi,” gerutu
Sayaka. “Harusnya sudah jika saja Taiko tidak lelet mengiris bawangnya,” ujar
Sayaka sambil memandang mencela pada Taiko.
“Jangan menyindirku terus, Sayaka, atau kau yang akan
kuiris,” ujar Taiko sambil mengancungkan pisaunya pada Sayaka. Sayaka yang
dibegitukan langsung manyun. “Menakutkan sekali kau, Taiko... Aiooo... Lebih
baik kau beralih profesi menjadi pembunuh bayaran saja,”
Rei tertawa, “Sudah sudah. Bukankah kita sepakat untuk
membagi tugas? Aku sudah belanja bahan makanan yang sangat banyak dan kalian
yang memasak. Lagipula kalian ‘kan bekerja bertiga, sudah cukup enak bukan?”
Taiko dan Sayaka hanya bisa manyun mendengarkan Rei,
sedangkan Mina hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dan akhirnya berusaha
menengahi,
“Ini sudah mau selesai ‘kok, Rei. Lebih baik kau cari ibu
guru dan kau bilang sebentar lagi sudah waktunya makan malam,” saran Mina
sambil menambah sesendok garam ke sup yang diaduknya.
“Ibu guru tidak ada? Memangnya kemana?”
“Jika kita tahu kita tidak akan menyuruhmu mencarinya
Rei,” ujar Sayaka. “Entahlah, sejak berbicara dengan tamunya dari kota itu ibu
guru keluar dari kamar dan entah kemana,”
Dahi Rei mengernyit. Kemudian Rei segera berbalik
bermaksud untuk mencari gurunya. Tepat ketika Rei berbalik, Rei tersentak
dengan adanya Genzo di belakangnya.
“Pa.. pak Genzo?”
“Nona Aoki tidak perlu khawatir. Lebih baik saya saja
yang mencari Nyonya. Nona di sini saja membantu yang lain,”
“Ta... tapi...,” belum sempat Rei protes, Genzo sudah
berlalu keluar kamar. Rei menatap kepergian Genzo dengan heran dan penasaran.
“Sudah, Rei. Pak Genzo ada benarnya. Lebih baik kau
gantikan aku saja, sebelum aku benar-benar muak dan menghancurkan semua bawang
ini atau membuangnya. Aku juga mau mandi dulu,” ujar Taiko sambil melepaskan
celemeknya lalu menyerahkannya kepada Rei. “Sudah, ya...,” Taiko menyusul Genzo
keluar kamar, masih meninggalkan Rei yang berdiri terpaku memegang celemek di
tangannya, dengan beragam pertanyaan terus saja terlintas di kepalanya.
“Rei?” seru Sayaka, heran memandang Rei yang terdiam.
“Kenapa kau diam saja? Ayo cepat iris bawangnya, agar makan malamnya cepat
siap,”
“Ah, iya...,” Rei segera memakai celemek dan mengambil
pisau yang ditaruh Taiko serta melanjutkan pekerjaan Taiko yang belum
terselesaikan.
♪ ♪ ♪
Mayuko terdiam di teras penginapan sambil menatap langit.
Ia memejamkan matanya. Terputar kembali memori pembicaraannya tadi siang dengan
Eisuke Hayami,
“Aku tidak suka berputar-putar, Mayuko. Kau jelas tahu
apa yang kuinginkan...,” ujar Eisuke. Mayuko hanya menatapnya tajam.
“Dan kau seharusnya sudah mengerti jika kau hanya
membuang-buang waktumu sampai ke sini untuk hal itu, karena sampai kapanpun aku
tidak akan memberikannya kepadamu,”
Eisuke tertawa sinis. “Aku ragu akan hal itu, Mayuko,”
“Apa maksudmu?” tanya Mayuko, waspada.
“Karya agung itu sudah lama tidak dipentaskan sejak
kejadian yang menimpa... dirimu,” Eisuke memelankan suaranya di akhir
kata-katanya. “Aku prihatin, benar-benar prihatin dengan kondisi yang menimpamu
sehingga kau tidak bisa melanjutkan karir keartisanmu,”
Mayuko memotong kata-kata Eisuke, “Terima kasih atas
keprihatinmu, kalau begitu, meskipun itu tidak kubutuhkan. Bukankah kau sendiri
tadi yang bilang kau tidak suka berputar-putar, mengapa sekarang malah kau yang
berbasa-basi?” tanya Mayuko tajam.
Eisuke tertawa hambar, “Ternyata...mulut tajammu itu
masih belum berubah juga, ya. Padahal aku tulus dan bukan maksudku untuk
berbasa-basi,”
“Dan kau pun tahu bahwa sejak dulu... aku tidak pernah
bermaksud beramah-tamah denganmu,” sambar Mayuko, pedas. “Aku tidak pernah tahu
kapan kau tulus dan tidak, karena bagiku... kau akan tetap sama saja dan tidak
pernah berubah,”
Eisuke menatap Mayuko, lurus tepat di matanya, “Kalau
begitu, aku menyesal... karena hubungan kita ternyata tidak dapat
diperbaiki...,” sorot matanya sekilas menampakkan kesedihan. “Tetap menjadi
musuh,”
“Tidak ada yang perlu diperbaiki,” Mayuko menatapnya
menantang. “Kau yang memintanya, Tuan Hayami. Kau yang menyebabkan semua
menjadi seperti ini. Kurasa takdir yang kejam yang telah ikut kau atur itu pula
yang menyebabkan hubungan kita menjadi seperti ini,”
Helaan nafas keras terdengar dari Eisuke. Sorot mata
kesedihan yang sekilas tadi diperlihatkannya telah menghilang dan ia kembali
menatap Mayuko dengan tatapan dingin, “Kembali ke topik kedatanganku ke sini. Karya
agung itu... kau pun sendiri tahu... sudah lama tidak dipentaskan lagi. Sungguh
sayang mengingat bagaimana sakral dan ajaibnya karya agung itu. Sayang sekali
jika hanya terkubur sebagai suatu sejarah. Aku hanya ingin... membangkitkan
karya agung itu lagi,”
“Karya agung itu tidak pernah mati, tidak pernah,”
tegas Mayuko. “Tidak akan pernah kubiarkan berakhir menjadi suatu sejarah saja,
yang bisa terkubur begitu saja,”
“Cihhh! Apa kau bermaksud memperbodoh para masyarakat
awam yang bertindak sebagai penonton, Mayuko Chigusa yang terhormat?” cibir
Eisuke. “Kenyataannya hal itulah yang kau lakukan sekarang. Membiarkan karya
agung itu tidak dipentaskan lagi. Ahhh.. jangan katakan ini salah satu bentuk
keserakahanmu?”
“Apa maksudmu mengatakan aku serakah?”
“Ya, kau serakah!” tekan Eisuke, tajam. “Buktinya
kau terkesan hanya ingin karya agung itu dipentaskan oleh dirimu saja! Tapi kau
tahu dengan kondisimu itu tidak mungkin! Sudah berpuluh tahun berlalu, apakah
kau akan membiarkan karya agung itu
tidak dipentaskan lagi dan menunggu kau terlahir kembali?” ejek Eisuke.
Mayuko tertawa, “Tidak kusangka kau memandangku serendah
itu,”
“Bukankah kau juga menganggapku demikian?” Eisuke sedikit
mengeratkan pegangannya di tongkat yang menopang tubuhnya yang tua. Ia
merasakan sedikit perih mengucapkan kata-kata ini kepada wanita di depannya,
juga mendengar respon dingin dan tajam dari wanita di depannya.
“Lalu, apa maumu?” tanya Mayuko.
“Kau tahu, Daito sekarang merupakan perusahaan paling top
di bidang hiburan di Jepang. Semua aktor, artis, drama, hampir semua yang
bergerak di bidang hiburan, yang terbaik, berasal dari Daito. Dan kurasa kau
pun bisa menebak jika dari dulu aku sudah menginginkan hak pementasan karya
agung, Sang Bidadari Merah itu...,” jelas Eisuke, dan sesungguhnya aku juga
menginginkan Sang Bidadari Merah itu sendiri, bisik Eisuke sendu namun
tidak disuarakannya.
Mayuko tertawa mengejek, “Maksudmu kau ingin aku
menyerahkan hak pementasan pada Daito, ah tidak, padamu?”
“Pintar sekali, meski seharusnya tanpa kujelaskan seperti
ini kau pun sudah mengerti! Itulah alasanku aku terus mengejarmu bahkan sampai
mencarimu ke desa seperti ini, meski aku tidak tahu apa maumu ke sini, entah
bersembunyi ataupun mencari udara segar,” ujar Eisuke. “Dengan dipentaskannya
karya agung tercintamu itu di Daito, maka karya agung itu bisa
dibangkitkan kembali, dengan sangat sukses. Respon masyarakat dijamin
sukses dan aku pastikan karya agung itu akan kembali meledak dan fenomenal,
tetap dikenang sepanjang masa. Tentu aku akan mencari sutradara dan para
pemeran terbaik untuk mementaskannya. Tentu saja Sang Bidadari Merah akan
diperankan oleh aktris terbaik, sekaliber dirimu!”
Mayuko terdiam, hanya menatap Eisuke. Eisuke melanjutkan
kembali kata-katanya,
“Dan dengan kemampuanmu yang sekarang, Mayuko, dengan
dirimu yang sekarang, aku tidak yakin kau bisa melakukan seperti yang bisa
Daito, dan aku lakukan!” tandas Eisuke.
“Jangan meremehkanku, Eisuke Hayami,” desis Mayuko tajam.
“Kau tidak tahu apa yang bisa kulakukan,”
“Aku bodoh jika melakukannya, Mayuko Chigusa. Tapi itulah
kenyataannya,” kata Eisuke. “Dan kau pun tak tahu apa yang bisa kulakukan,”
“Nyonya...,” panggil Genzo pelan, menyentakkan Mayuko
kembali ke alam nyata. Memori itu seketika terhenti. Terhenti pada ekspresi
Eisuke Hayami yang dingin dan tak terbaca. Ia membuka matanya kembali.
“Ada apa, Genzo?”
“Makan malam telah siap, Nyonya,”
“Ah, begitukah...,” Mayuko hanya merespon pendek, dan
kembali menengadahkan kepalanya ke langit, sedikit sendu. Memori itu
menyadarkannya kembali kepada satu hal, ia harus bertindak, secepatnya.
Genzo heran memandang Mayuko yang sepertinya kembali
melamun, “Apa ada hal penting yang mengganggu pikiran Anda, Nyonya?”
Mayuko terdiam, sebelum kemudian ia mengalihkan
pandangannya dari langit dan berdiri, “Tidak, tidak ada yang begitu penting
sekarang...,”
♪ ♪ ♪
Sora memasuki kamarnya dengan kondisi rambut yang basah
dan handuk membungkus bagian bawah tubuhnya, dari pinggang sampai beberapa
senti di bawah lutut. Sejenak ia terdiam menatap kamar itu. Sepi... Tidak
ada dia lagi seperti kemarin malam. Sora tersentak dan segera mengenyahkan
pikiran itu. Ia segera membuka lemari dan mengambil baju serta celana.
Apa yang kau pikirkan, Sora? rutuknya dalam hati. Setelah memakai baju dan celana
pendek, Sora mengeringkan rambutnya sedikit dengan handuk. Rambutnya terlihat
acak-acakan, meski hal itu malah menambah kesan segar dari penampilannya. Sora
mengambil buku dari rak untuk dibacanya, ketika pandangannya tertumbuk pada
sebuah buku biru yang cukup tebal tidak jauh dari buku yang diambilnya. Sora
terdiam sejenak, kemudian ia mengambil buku biru yang tebal itu.
Sudah sedikit berdebu, sudah lama tidak kulihat... Sora membawa kedua buku yang sudah diambilnya itu ke
tempat tidur. Buku yang pertama diambilnya ditaruh di sebelah kanannya dan Sora
mengkonsentrasikan dirinya pada buku biru tebal yang berdebu itu. Sora meniup
sampul depan buku itu untuk menyingkirkan debu di atasnya dan menghapus sisa
debu yang ada dengan tangannya. Terlihat tulisan di sampul buku itu, ‘Album’.
Sora tersenyum kecil. Album ini memiliki banyak
kenangan, baik manis ataupun pahit. Sora mulai membuka halaman pertama dari
album itu dan foto-foto yang menjumpainya ialah foto seorang bayi mungil dan
tampan dalam berbagai ekspresi. Ada ekspresi diam, tertawa, ataupun menangis.
Sora tersenyum melihat foto-foto bayi itu, bayi itu tidak lain adalah dirinya
sendiri.
“Ternyata waktu kecil pun aku begini lucu dan tampan,”
gumam Sora. Sora langsung membayangkan Maya, jika saja Maya mendengarkan
ucapannya sekarang pasti wajah Maya akan merengut tidak percaya, matanya
melebar, dan mengatai Sora “narsis” atau berbagai macam julukan lainnya. Namun
semua hal itu sebenarnya tidak pernah membuat Sora tersinggung ataupun kesal,
justru ia merasa itulah Maya. Maya yang seperti itulah yang selalu membuatnya
merasa nyaman dan gembira, yang menatapnya dengan pandangan polos seperti anak
kecil, tingkahnya yang spontan, dan semua gerak-geriknya, semuanya membuat Sora
gemas padanya.
Sora membuka beberapa halaman berikutnya, dan ekspresi
wajahnya langsung berubah menjadi dingin. Sorot matanya penuh dengan kemarahan,
kesedihan, juga... kerinduan. Ia melihat foto-foto dimana terdapat sosok dirinya
ketika masih bayi digendong oleh seorang wanita. Sosoknya ketika berumur
sekitar 2 tahun dan digandeng oleh wanita yang sama seperti yang menggendongnya
ketika ia masih bayi. Juga ada foto ketika ulang tahunnya yang ke-3, dimana ia
yang masih kecil bersama dengan wanita itu memakai topi ulang tahun dan
terlihat bahagia. Ada foto dirinya yang
masih kecil sedang mencolekkan krim kue ke wajah wanita itu. Banyak lagi
ekpresi bahagia dirinya dengan wanita itu di foto-foto yang mengisi banyak
halaman di album itu.
Ada foto ketika ia baru masuk TK, SD, dan SMP. Ketika ia
mengikuti festival olahraga di sekolahnya. Ada juga ketika mereka sedang
mengikuti festival di desa itu, pesta kembang api, berfoto di dekat sungai,
foto ketika Sora menangis di dekapan wanita itu. Banyak hal bahagia tergambar
di foto-foto itu. Wanita itu, meskipun ia berusaha keras untuk melupakannya,
bayangannya tidak akan pernah hilang. Bagaimanapun, wanita itu... ibunya.
Terlintas memori itu kembali dalam pikirannya. Banyak
memori berkelebat menjadi satu, teriakan dan tangisan anak kecil memanggil
ibunya di tengah hujan, tawa gembira anak kecil itu ketika ibunya memeluknya.
Memori itu terhenti pada suatu momen di ruang makan, terdapat anak kecil yang
sedang makan kue dengan riang sampai beberapa remah kue menempel di sekeliling
mulutnya dan ada wanita duduk di sebelahnya yang tersenyum sayang melihat anak
kecil itu.
“Ah, lihatlah, anak ibu yang tampan lucu sekali,” katanya
sambil mencubit pipi anak kecil itu gemas.
Anak kecil itu hanya tertawa senang dan terus saja makan
kuenya dengan lahap. Ibunya hanya menatapnya penuh sayang kemudian membersihkan
remah-remah kue di sekitar mulut anaknya itu dengan lembut.
“Anak ibu sudah bertumbuh besar rupanya, sudah 6 tahun.
Tapi, lihat, makan saja masih berantakan,” ujar ibunya tertawa kecil. Anak
kecil itu hanya mengerucutkan bibinya. Pipi gemuknya terlihat menggelembung dan
menggemaskan. Ibunya hanya tertawa melihat tingkah lucu anaknya itu.
“Cepat sekali, ya, kuenya sudah habis. Mau kuenya lagi?
Kebetulan ibu membuatkan banyak khusus untuk Sora,”
Anak kecil yang lucu dan tampan itu hanya mengangguk
cepat sambil tersenyum riang, kemudian ia memeluk ibunya erat, “Sora sayanggg
sekalii sama ibuuu,” kata anak kecil itu sambil membenamkan kepalanya di
pelukan ibunya.
Ibunya tersenyum haru, memeluknya erat dan penuh sayang,
“Sora merupakan harta paling berharga bagi ibu di dunia ini, sampai kapanpun
ibu tidak akan pernah meninggalkan Sora,”
Sora kecil menengadah menatap ibunya, tepat di matanya.
Sora menatapnya polos. “Benarkah Sora akan terus bersama-sama dengan ibu
selamanya?”
Ibunya balik menatap Sora tersenyum, “Tentu saja, memang
kapan ibu pernah berbohong?”
Sora tersenyum lebar, kemudian ia mengangkat jari
kelingkingnya pada ibunya, “Sora pernah melihat ini di televisi, katanya kalau
kita mengaitkan janji kelingking kita itu tandanya kita berjanji, dimana janji
itu akan bertahan sampai kapanpun, jadi...,” Sora menatap ibunya sambil
tersenyum hangat. “Janji ya?”
“Aihhh, anak ibu benar-benar pintar, sudah tahu hal yang
seperti ini,” Ibu Sora tersenyum sayang sambil membelai rambut Sora, lalu
mengangkat jari kelingkingnya, lalu mengaitkannya ke jari kelingking Sora.
“Baik, ibu janji..., ibu dan Sora akan bersama selamanya...,”
Sora kecil tersenyum senang lalu memeluk ibunya erat.
Momen membahagiakan yang Sora pikir akan terus abadi untuk selamanya. Sora
mengeratkan pegangannya pada album foto itu. Janji bersama selamanya? Janji
apa itu? Janji sampah! Cih! Matanya menatap wajah ibunya yang sedang menggendongnya
yang berusia 7 tahun, tepat ketika ia akan masuk SD. Foto-foto itu menunjukkan
bagaimana keduanya sangat bahagia, janji yang mereka ucapkan terkesan akan
terus terlaksana dan ikatan mereka tak pernah terputus, sampai saat itu tiba.
Memori itu berputar lagi dimana Sora yang saat itu
berusia sekitar 14 tahun, terbangun di tengah malam karena suara ribut. Ia menggosok
pelan matanya yang mengantuk dan menatap sosok punggung seorang wanita di
tengah keremangan suasana kamar yang gelap. Sora mengenal sosok itu, ibunya.
Suara ribut yang membangunkannya itu berasal dari aktivitas ibunya yang tampak
melipat baju dan memasukannya ke tas koper yang besar. Di dekat tas koper itu
terdapat beberapa tas kecil dan barang bawaan. Ia juga mendengarkan suara isakan
ibunya, apakah ibu sedang menangis? Tas koper dan semua barang bawaan yang
ibu susun itu, apakah aku dan ibu akan pergi ke suatu tempat? Tepat ketika
ibunya menarik resleting untuk menutup tas koper, Sora memanggil ibunya,
“Ibu...,”
Sora dapat melhat ibunya tersentak dan berbalik menatap
Sora yang terbangun. Ibunya segera mengusap bekas air mata di pipinya dan
dengan suara sedikit serak seperti habis menangis, ibunya menghampirinya, “Ah,
nak.. Sora... kau terbangun rupanya. Maaf, ibu membangunkanmu, ya?”
Sora terdiam dan melihat ibunya menghampirinya. Sora
melihat, mata ibunya basah, masih ada bekas air mata di sana.
“Ibu, ibu habis... menangis?”
Ibunya hanya menatapnya sendu dengan wajah yang mulai
kembali berlinang air mata. Sora hanya bisa memandangnya dengan tatapan penuh
tanya. Ibu Sora menaruh kedua tangannya di kedua pipi Sora. Sora tidak
merasakan kehangatan di sentuhan ibunya, semuanya terasa dingin. Terasa asing
dan menakutkan bagi Sora.
“Ibu? Kenapa ibu menangis?” tanya Sora. “Ibu jangan
menangis, Sora sudah pernah bilang jika Sora tidak suka melihat ibu menangis,”
Sora mengusap air mata ibunya. Ibunya tersenyum sedih dan menatap Sora tepat di
matanya,
“Sora...,” bisik ibunya, serak. Seakan ia tidak rela
untuk mengucapkan kata-kata yang akan dikatakannya nanti.
“Ibu? Ada apa?”
Ibunya hanya bisa terisak dan memeluk Sora erat, sangat
erat. “Maafkan ibu, nak..., ibu sungguh-sungguh minta maaf,”
Sora bingung melihat tingkah ibunya, “Ibu... apa ada
sesuatu yang terjadi? Kenapa ibu minta maaf? Ibu ‘kan tidak melakukan kesalahan
apa-apa,” kemudian Sora melihat banyak tas koper dan barang bawaan yang tadi
disusun ibunya, “Ibu, kenapa ibu menyusun baju dan banyak barang bawaan
lainnya, lalu ada tas koper juga, apa kita akan pergi ke suatu tempat? Kenapa
ibu tidak bilang apa-apa jika kita akan pergi?”
Ibunya tidak menjawab, hanya bisa terus terisak dan
memeluk Sora dengan semakin erat. Sora semakin bingung dengan tingkah ibunya,
ia tidak pernah melihat ibunya seperti ini. Tiba-tiba Sora merasakan ada suara
pintu dibuka dan sinar lampu dari luar kamar menusuk matanya. Sora menyipitkan
matanya untuk melihat siapa yang masuk ke kamar mereka.
Sora melihat ada sosok laki-laki tinggi besar memakai
pakaian sangat formal, bisa dibilang jas, ada dua orang. Satunya berambut cepak
dan sedikit lebih pendek dibanding yang berambut jeprak. Mereka hanya berdiri
di dekat pintu, bergeming menatap adegan Sora berpelukan dengan ibunya, tanpa
ekspresi. Sora menatap keduanya bingung, “Ibu, siapa mereka?”
“Eh?” ibunya melepaskan pelukannya dari Sora dan menatap
ke belakang mereka. Dua sosok laki-laki itu mengingatkannya akan apa yang akan
dilakukannya sebentar lagi. Kemudian ibu Sora menatap Sora, “Ah, mereka itu...
teman-teman ibu, sebentar, ya, ibu mau berbicara dengan mereka dulu,” ibu Sora
berdiri dan menghampiri kedua sosok laki-laki itu. Ibu Sora seperti membisikkan
sesuatu kepada kedua sosok laki-laki itu, kemudian Sora melihat ibunya menatapnya
sekilas, terlihat sangat sedih, sebelum kemudian keluar dan menutup pintu
perlahan, menyisakan celah kecil yang masih terbuka.
Sora terdiam, bingung. Tidak biasanya teman-teman ibu
bertamu malam-malam begini, lagipula aku belum pernah melihat mereka. Sora
kemudian beranjak berdiri dan mengintip lewat celah kecil yang terbuka itu.
Sora dapat melihat ibunya yang menatap kedua sosok laki-laki tinggi besar itu
penuh permohonan. Sora tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang mereka
bicarakan, namun ia sempat mendengar ibunya berkata,
“Kumohon, apakah kau tidak bisa melihat dan mengerti kondisinya?
Berikan aku waktu sebentar saja, hanya sampai besok pagi. Aku janji tidak akan
mengulur waktu atau melarikan diri lagi, kumohon,”
Dahi Sora mengernyit. Besok pagi, memangnya ada apa?
Siapa yang akan melarikan diri ataupun mengulur waktu? Sora terus saja
menatap ibunya yang tampak sedang memohon dan bernegoisasi dengan kedua
laki-laki itu dengan tidak mengerti. Ia tidak dapat mendengar dengan jelas isi
percakapan mereka. Ia hanya dapat melihat gerak-gerik mereka tanpa mengerti
maksudnya. Laki-laki yang berambut cepak tampak mengeluarkan sesuatu seperti
telepon genggam dan menekan beberapa angka dan sepertinya... menelpon
seseorang. Selang berapa lama setelah laki-laki itu berbicara di telepon, laki-laki
itu menutup telponnya dan menatap ibunya, mengatakan sesuatu, yang bisa
didengar oleh Sora hanyalah kata-kata, “.... Baiklah, kalau kau ingkar, kau
tahu sendiri resikonya,”
Sora tidak mengerti maksudnya, apakah ia salah dengar?
Meskipun tidak salah dengar pun ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang
terjadi. Ia bisa melihat ibunya membungkukkan badannya ke kedua laki-laki itu,
seperti mengucapkan terima kasih. Ibu, sebenarnya ada apa?
Melihat ibunya yang beranjak hendak memasuki kamar, Sora
segera kembali ke tempat tidurnya dan duduk. Ia tidak ingin ketahuan oleh
ibunya sedang menguping pembicaraan mereka. Ibunya masuk ke kamar dan
menghampiri Sora, lalu ia membelai lembut rambut Sora, perlahan. “Sekarang
sudah tengah malam, Sora tidur, ya... Jangan karena sedang libur sekolah makanya
Sora tidur malam dan bangun siang,” ujar ibunya lembut. Sora hanya menatap
ibunya, dengan banyak pertanyaan di kepalanya.
“Ibu... apakah benar... kita akan pergi ke suatu tempat,
makanya ibu menyiapkan tas koper dan barang bawaan?” tanya Sora, polos. Gerakan
ibunya yang membelai rambutnya terhenti. “Lalu, siapa teman-teman ibu itu? Aku
tidak pernah melihatnya, apakah mereka tidak pulang? Atau akan menginap di
sini?”
Tatapan ibunya tampak menahan sakit dan luka yang sangat
dalam, yang saat itu tidak disadari Sora maksud tatapan ibunya itu. Ibunya
hanya tersenyum lemah dan berkata, “Iya, kita akan berlibur besok. Padahal ibu
hendak menyiapkan... kejutan, untuk Sora,” suara ibunya terdengar serak,
seperti hendak menangis lagi. “Tapi, malah sudah ketahuan oleh Sora,” ibunya
tertawa kecil. “Dua laki-laki itu teman ibu... mereka akan mengantarkan kita
untuk pergi berlibur. Mereka tahu... tempat yang bagus,” lanjut ibunya sambil
terus membelai rambut Sora.
Mata Sora tampak berbinar, “Benarkah? Kita akan pergi
berlibur, ibu? Kemana?”
“Kalau ibu bilang sekarang bukan kejutan namanya,” ujar
ibunya sambil terus membelai rambut Sora. Sora menatap ibunya, heran. Tidak
biasanya ibunya begini.
“Ibu? Ibu kenapa? Kenapa rasanya... ibu terkesan berbeda
sekali malam ini?”
“Benarkah?” tanya ibunya.
Sora mengangguk pelan. “Iya, ibu tidak biasanya
membelaiku seperti ini, secara terus-menerus. Aku ‘kan bukan anak kecil lagi,
ibu , sampai harus dibelai terus...,” ujar Sora, cemberut.
Ibunya hanya tersenyum menatap anaknya itu. Kemudian ia
berkata sambil merentangkan kedua tangannya, “Kesini, nak, peluk ibu,”
Sora terdiam heran menatap ibunya. Kemudian ibunya
berkata, “Apa Sora sudah tidak mau memeluk ibu lagi sekarang?”
Sora menggeleng cepat kemudian segera memeluk ibunya.
Ibunya balas memeluknya, sangat erat, seakan-akan ia ingin mencurahkan seluruh
kasih sayang yang dimilikinya, seolah-olah apa yang ia berikan selama ini belum
pernah cukup untuk menunjukkan betapa ia sangat menyayangi anak di pelukannya
ini. Ibunya memeluk Sora sambil terus membelai rambut Sora, Sora hanya terdiam
menikmati kehangatan pelukan ibunya.
“Anak ibu yang tampan sudah bertumbuh besar sekarang...
Ibu sayang sekali sama Sora, Sora tahu itu, ‘kan?” kata ibunya lembut.
Sora mengangguk, “Iya, Sora tahu. Dan Sora juga sayanggg
sekaliiii sama ibu,”
Tanpa Sora sadari, ibunya menahan air matanya yang hendak
jatuh. Ibunya memperat pelukannya pada Sora dan terus membelai rambut Sora
dengan penuh kasih sayang. Maafkan ibu, Sora... bisik ibunya terus menerus
dalam hati.
“Sora tahu, ‘kan, apapun yang ibu lakukan semuanya demi
kebaikan Sora? Dan sampai kapanpun, ibu akan terus menyayangi Sora dan...
bersama Sora dimanapun Sora berada,”
“Hemmm... ibu ‘kan sudah bilang kita akan terus bersama,
iya, ‘kan? Sora tidak akan pernah pergi kemana-mana, ‘kok, bu. Jadi, ibu juga
tidak akan pergi kemana-mana, ‘kan?”
Ibunya tidak menjawab, namun tidak menimbulkan masalah
bagi Sora karena dulu mereka pernah berjanji dan Sora percaya, ibunya tidak
akan pernah bohong. Ibunya tidak pernah bohong dan ingkar janji padanya
sebelumnya. Ia dan ibunya akan terus bersama sampai kapanpun. Kemudian ibunya
melepaskan pelukannya dan berkata, “Sekarang Sora tidur, ya. Supaya besok tidak
bangun kesiangan,”
Sora mengangguk dan tersenyum riang, “Iya, Sora tidak
sabar menanti besok, bu! Pasti akan menyenangkan! Jika Sora bangun siang,
bangunkan Sora saja, ya, bu, ah tunggu!” Sora segera mengambil jam weker di
atas laci dekat tempat tidurnya dan menyetelnya. “Nah, Sora sudah menyetelnya jam
5 pagi, sudah cukup pagi, ‘kan, bu?”
Ibunya hanya mengangguk sambil tersenyum lemah, sangat
lemah. Namun karena Sora terlalu gembira dengan ‘rencana liburannya’ besok, ia
tidak terlalu memperhatikan ekspresi sedih di wajah ibunya. Apalagi mengingat
pikiran Sora sendiri masih belum cukup dewasa untuk memahami semuanya. Ibunya
menatap Sora dan menyentuh pipinya, “Anak ibu sudah besar, anak ibu sangat
pintar...,” bisiknya pelan.. dan kuharap mulai besok, ia bisa menjaga
dirinya sendiri... tambah ibunya pelan dalam hati.
“Tentu saja!” dengus Sora bangga.
Ibunya tersenyum dan berkata, “Sora harus berjanji sama
ibu, jika Sora akan tumbuh menjadi anak yang semakin mandiri dan dewasa. Sora
akan bisa menjaga diri sendiri, akan menjadi anak yang kuat dan tegar. Apapun
yang menanti di depan, Sora harus belajar untuk menghadapinya dan melewatinya,
meskipun tanpa ibu...,”
“Ibu, kenapa bicara seperti itu?” dahi Sora mengernyit,
ia tidak suka mendengar ibunya berkata seperti itu.
“Berjanjilah...,” pinta ibunya. “Kau mau berjanji, ‘kan?
Bukankah kau pernah bilang kau akan membuat ibu bangga suatu saat nanti? Maka
dari itu, penuhilah janji ini, jadilah anak yang kuat, tegar, dan sukses...
buatlah ibu bangga, ya, nak...,” lanjut ibunya, menatap Sora dalam. Sora hanya
terdiam tak mengerti, namun kemudian ia hanya bisa mengangguk pelan. Ia memang
pernah bilang jika ia ingin membuat ibunya bangga, dan meskipun ia tidak
mengerti maksud ibunya, ia tidak akan banyak bertanya. Ia percaya pada ibunya,
dan sebagai anak yang berbakti tentu saja ia akan memenuhi apapun keinginan
ibunya.
“Iya, aku berjanji...,” kata Sora, pelan.
Ibunya tersenyum dan sambil menahan isakannya, ia
membelai rambut Sora lagi, “Ya, ya benar... seperti itu..., Sora memang
benar-benar anak yang baik, benar-benar anak ibu,” ibunya kembali memeluk Sora
erat. “Ibu sayang sekali sama Sora, sampai kapanpun...,”
Banyak pertanyaan berkelebat di pikiran Sora saat itu.
Tetapi ia memutuskan tidak menanyakannya, apalagi ia juga mulai mengantuk.
Ibunya merebahkan kepala Sora ke bantal, Sora menatap ibunya,
“Ibu... ibu juga harus tidur sekarang. Biar besok kita
sama-sama segar untuk pergi berlibur,” ibunya hanya tersenyum menatapnya. “Iya,
sebentar lagi, Sora tidur saja dulu, ya...,”
Sora memandang ibunya dengan mata yang setengah
mengantuk, “Besok... kita akan bersenang-senang, mengambil banyak foto, bermain
bersama, ya ‘kan bu? Berenang di laut... bermain di gunung... menangkap
serangga dan kupu-kupu....,” suara Sora semakin pelan, matanya sudah hendak
benar-benar menutup. “Sora... juga sayang sekali... sama ibu...,” kemudian Sora
segera masuk ke alam mimpinya.
Samar-samar Sora bisa mendengar ibunya menangis sambil
membelai rambutnya, wajahnya, pipinya, dan mengatakan kata-kata yang sama,
“Maafkan ibu, nak... Maafkan ibu, Sora... Ibu, harus mengingkari janji kita...
namun ibu harap kau jangan mengingkari janjimu..., maafkan ibu, nak...,” namun
Sora tidak mempedulikannya dan terus saja melanjutkan tidurnya.
Dan keesokan paginya, ketika Sora terbangun, ia menemukan
tidak ada ibunya di sebelahnya. Sora menatap weker di sebelah bantalnya, jam 8
pagi, dan weker itu dalam posisi mati, alarm yang dipasang Sora dimatikan oleh
seseorang. Apakah Sora yang mematikannya sendiri tanpa sadar? Ataukah
ibunya? Atau apakah Sora sendiri lupa memasang alarm? Sora terdiam, ia
yakin sekali ia sudah memasang alarm pukul 5 pagi dan ia tidak merasa
mematikannya. Lagipula bukankah ibunya bilang akan membangunkannya jika ia
bangun kesiangan? Di mana ibunya?
Di luar hujan deras, sangat deras. Sora terbangun,
mencari ibunya ke segala penjuru rumah itu dan tidak menemukannya. Sora mulai
panik, semua tas koper dan barang bawaan ibunya yang kemarin dilihatnya tidak
ada, kedua sosok laki-laki itu juga sudah tidak ada. Sora mengecek lemari,
hanya ada bajunya saja, semua baju ibunya tidak ada. Sora mengecek kamar mandi
tidak ada alat mandi ibunya, hanya ada miliknya saja. Sora mulai frustasi dan
melihat ada dua amplop yang diletakkan di atas meja rias ibunya. Amplop tebal
berukuran besar dan amplop tipis berukuran kecil.
Sora mengambil amplop tipis berukuran kecil dan
membukanya, sebuah surat. Mata Sora membelalak membaca surat itu, ia tidak
percaya. Nafasnya mulai memburu tidak beraturan, surat yang dibacanya terjatuh.
Ia segera keluar dari rumah, meneriakkan nama ibunya, tidak peduli hujan deras
yang terus saja mengguyur tubuhnya, dan tatapan dari orang-orang yang keluar
dari rumahnya melihatnya berteriak seperti orang gila. Jelas sudah, sangat
jelas... ibunya telah meninggalkannya begitu saja, kata-kata ibunya kemarin
malam ialah salam perpisahan... ibunya telah pergi entah kemana, hanya
meninggalkan sepucuk surat dan amplop besar tebal yang berisi segepok uang.
Memori itu terhenti lagi, menyisakan mata Sora yang
memanas. Ia membencinya, ia sangat membenci memori itu, baik yang bahagia
maupun yang tidak. Sekarang semuanya sama-sama menjadi hal yang sangat
memuakkan baginya. ‘Benar-benar anak ibu?’ Cih! Apakah wanita itu
benar-benar menganggapnya anaknya? Sekeras apapun Sora berusaha
melupakannya, namun hal itu tidak dapat hilang. Sora bersumpah akan melupakan
wanita itu, wanita yang telah meninggalkannya begitu saja dan tidak pernah lagi
mempedulikannya sampai saat ini. Hanya mengirimkan uang dan mengirimkan surat setiap
bulan yang tidak pernah dibaca Sora. Uang yang didapatkannya tidak pernah lagi
dipakainya ketika ia sudah bisa mulai bekerja sendiri dan disumbangkannya
kepada warga desa yang membutuhkan. Aku tidak membutuhkannya! Aku tidak
membutuhkan uang wanita itu! Wanita yang seenaknya saja mengingkari
janji itu! Oleh karena itu, Sora tidak pernah memasang foto wanita itu di
kamar ini, setidaknya foto itu tidak berada dalam tempat yang bisa dilihat dan
dijangkau Sora, agar Sora tidak terus mengingatnya.
Melakukan segala hal demi kebaikanku? Maksudnya
meninggalkanku ialah demi kebaikanku? Terus menyayangiku? Hanya kata-kata manis
saja rupanya. Sora tertawa getir. Ia
merasa keputusannya untuk membuka album ini salah karena mengingatkannya lagi
pada rasa sakit dan lemah yang sangat dibencinya. Ia berusaha keras menjadi
kuat dan tegar, bukan demi wanita yang pernah dipanggilnya ibu itu! Bukan untuk
membuatnya bangga! Tapi untuk dirinya sendiri agar ia tidak lagi merasakan
perasaan lemah dan terluka seperti yang disebabkan wanita itu!
“Brakkk!!” Sora membanting album itu ke lantai. Ia
mencengkram rambutnya dengan kedua tangannya dan menundukkan kepalanya
dalam-dalam.
Memori itu berputar lagi, tepat saat kelulusannya dari
SMP. Ia melihat teman-temannya merayakan kelulusan mereka dengan ayah dan ibu
mereka. Sedangkan Sora hanya bisa melihat semua itu sambil memegang ijazahnya,
termenung seorang diri. Salah seorang temannya datang menghampiri Sora,
“Hei, Sora. Dimana ibumu? Apakah ibumu tidak datang?
Tidak mungkin, ‘kan, jika ibumu tidak datang di acara penting seperti ini?
Apalagi kau meraih predikat siswa terbaik dan peraih nilai tertinggi dalam
ujian akhir,”
Sora tersenyum getir. “Ah, iya... ibuku bilang ia akan
sedikit terlambat,”
Kemudian Sora dapat mendengar suara seorang wanita
memanggil nama temannya dan menghampiri mereka berdua. Wanita itu ialah ibu
dari temannya. “Satoshi, ayo! Ayah dan nenek menunggu di sana untuk berfoto
bersama merayakan kelulusanmu!” kemudian wanita itu menatap Sora, “Ah, Sora.
Selamat, ya, atas keberhasilanmu menjadi siswa terbaik dan meraih nilai
tertinggi! Aku benar-benar iri pada ibumu bisa memiliki anak sepertimu,”
Sora hanya tersenyum getir, “Terima kasih, tante,”
“Aku duluan, ya, Sora! Ayah dan nenekku menungguku,” ujar
Satoshi. “Dahhhh!” ia melambaikan tangannya dan Sora membalasnya. Sora hanya
bisa menatap Satoshi dan ibunya yang meninggalkannya dan bergabung dengan
keramaian di depan matanya, meninggalkannya sendiri lagi. Benar-benar sendiri
dan merasa terisolasi.
Memori itu berputar lagi pada saat kelulusannya dari SMA.
Teman-temannya menghampirinya dan mengejeknya,
“Mana ibumu, Sora? Apa ia tidak datang? Aku tidak pernah
melihatnya!”
“Bagaimana mungkin ibumu tidak datang di acara sepenting
ini? Ah... jangan-jangan ibumu sendiri tidak mempedulikanmu? Sifatmu juga buruk
seperti ini, ‘sih, meskipun kau pintar...,”
Mereka tertawa dan Sora hanya bisa terdiam geram
mengepalkan tangannya erat. Sora memisahkan diri dari keramaian dan kegembiraan
itu. Ia merasakan benar-benar sendirian, tidak ada ibu dan ayahnya. Tidak ada
orang tua yang mengucapkan selamat padanya dan memeluknya, memujinya atas
usahanya hingga berhasil lulus dari SMA dengan nilai hampir sempurna.
Sora mendudukkan tubuhnya di balik salah satu pilar
gedung sekolahnya, membanting ijazahnya dan menundukkan kepalanya, ia marah
pada nasibnya sendiri.
“Arghhhh!!” Sora berteriak frustasi. Ia kembali lagi ke
masa sekarang, membuang semua memori itu jauh-jauh di belakang. Ia membenci
dirinya sendiri yang masih mengingat dengan begitu jelas semua kenangannya
dengan wanita itu. Ia membenci dirinya sendiri yang merasakan sampai saat ini
masih bisa dipengaruhi oleh wanita yang bahkan sudah pergi entah kemana itu.
Bahkan wajah wanita yang merupakan ibunya itu masih teringat jelas di
kepalanya.
Sora berniat hendak membuang album itu sebelum kemudian
ketika ia mengangkat kepalanya, ia melihat halaman album yang sudah dibuangnya
itu terbuka dan menunjukkan fotonya dan seorang gadis mungil. Sora berdiri dan
mengambil album itu lagi. Ia menatap fotonya yang sedang menggendong seorang
gadis mungil berambut hitam legam. Fotonya dengan gadis mungil itu ketika
festival olahraga di sekolah gadis itu. Foto ketika mereka sedang makan
bersama, bermain bersama. Ada juga fotonya dengan keluarga gadis mungil itu.
Sora tertegun sejenak, ia melihat foto-foto itu, ia masih bisa melihat dirinya
masih bisa tertawa, dan tawanya itu ada
ketika ia di dekat gadis mungil itu. Gadis mungil itu, ia tahu, Maya...
Tidak semua penduduk desa ini tahu masa lalu Sora yang
seperti itu. Sora tahu wanita itu meminta keluarga Maya untuk menjaganya, dan
oleh karena itu Sora sudah dianggap menjadi bagian keluarga oleh Maya. Ia tidak
menyadari, pertemuannya dengan gadis mungil ini memberikan warna baru dalam
hidupnya, yang ia kira hidupnya setelah itu akan menjadi gelap, tapi Maya masih
bisa memberikan warna dalam kesehariannya. Sora tidak menyadarinya selama ini,
karena ia merasakan sudah terbiasa begitu saja ada Maya dalam hidupnya.
Ia ingat ketika ia sedang sedih, Maya selalu berada di
sampingnya untuk membuatnya tertawa. Termasuk saat momen kelulusannya saat ia
merasa frustasi, Maya muncul dan membuatnya tertawa, mengucapkan selamat dan
bernyanyi untuknya. Keluarga Maya menyiapkan pesta kecil untuknya, membuat
kesedihannya dan kekecewaannya hilang. Ia juga ingat pada saat pertama kali
bertemu Maya, saat itu, ya saat itu juga... Semua tingkah Maya selalu bisa
membuatnya tersenyum dan melupakan kesedihannya. Ajaib. Sora merenung, Maya
memang ajaib, entah kekuatan apa yang dimilikinya hingga bisa membuat Sora selalu
merasa nyaman di sampingnya, tidak peduli apapun yang dilakukan Maya
terhadapnya. Ia bisa menjadi bahagia ataupun marah maupun khawatir terhadap
Maya. Ia menjadi lebih manusiawi jika ada Maya. Tidak pernah terbayangkan ia
masih tetap bisa hidup sebagai manusia normal sejak ditinggalkan wanita itu
begitu saja. Apakah Maya memang sengaja diutus datang ke kehidupannya untuk
membuatnya mendapatkan kembali tawanya?
Sora menatap ke penjuru kamarnya, foto-foto yang
terpasang di sana kebanyakan merupakan fotonya dengan Maya. Sejak Maya masih
kecil hingga sudah beranjak remaja seperti sekarang. Sora membayangkan, bagaimana
jika suatu saat Maya tidak ada dalam hidupnya? Apa jadinya jika Maya tidak
pernah muncul dalam hidupnya? Sora bergidik. Mengerikan, ia tahu itu.
Membayangkannya saja ia tidak mau.
“Hhhhhhh...,” Sora menghela nafas menatap foto-fotonya
dengan Maya di album itu. Selama ini ia menganggap Maya seperti adiknya, dan
begitupun dengan Maya. Setahu Sora, Maya selalu menganggapnya seperti kakaknya
ataupun setidaknya orang yang selalu siap untuk menjahilinya. Sora tertawa
mengingat tampang Maya yang ngambek dan kesal ketika Sora menjahilinya,
terkadang merona ketika Sora menggodanya, sehingga Sora tidak berani mengambil
kesimpulan ataupun prediksi jika Maya memandangnya secara berbeda. Sampai
kapan Maya akan menjadi seperti itu? Bagaimana nantinya jika Maya memandangku
secara berbeda? Sora terdiam, bagaimanapun mau tidak mau ia harus
mengakuinya, ia sudah memandang Maya secara berbeda sekarang. Bukan lagi sebagai
saudara, sebagai adiknya, namun sebagai seorang wanita. Ia mengingat semua
kejadian hari ini dimana ia bisa cemburu melihat Maya bersama Satomi, berdebar
kencang ketika menggendong Maya di punggungnya, sampai-sampai ia berharap Maya
tidak dapat mendengarkan Maya mendengarkan debaran jantungnya. Ia juga ingat
rasa khawatir yang dirasakannya ketika melihat Maya terluka. Ia juga ingat rasa
bahagia dimana ia tahu ia bisa membuat Maya tertawa juga membuat Maya merasa
dilindungi.
Ya, ajaib, benar-benar ajaib. Lagi-lagi hanya dengan
memikirkan Maya, rasanya semua beban dan memori buruk yang diingatnya
terlupakan begitu saja, meski Sora tahu ia tidak bisa menjamin memori itu tidak
akan muncul lagi. Tapi Sora tahu ia akan baik-baik saja, selama ada Maya.
Bagaimana jika nantinya Maya memandangnya secara berbeda, sebagai seorang pria?
Entah kenapa Sora menyukai pemikiran itu. Ia mulai merasa lelah menjadi kakak
bagi Maya. Namun Sora juga takut, bagaimana jika nantinya Maya malah
menjauhinya jika ia tahu perasaan Sora yang mulai berubah padanya? Sora tidak
mau! Sora berusaha meyakinkan dirinya sendiri, untuk saat ini, ya untuk saat
ini, yang terpenting ia bisa menjaga dan melindungi Maya, menjaga senyumnya dan
tawanya, sebagai balasan tawa dan kebahagiaan yang Maya berikan dalam hidupnya.
Ya, untuk saat ini...
♪ ♪ ♪
“Aku berangkattt....,” ujar Maya sambil berjalan
tertatih-tatih keluar dari rumah. Dengan sangat terpaksa ia berangkat jauh
lebih pagi hari ini, yang membuatnya harus bangun lebih pagi. Meskipun tidak
mau, tetapi mengingat kondisi kakinya yang belum benar-benar baikan dan membuatnya
berjalan seperti orang pincang, ia harus berangkat lebih awal agar tidak
terlambat ke sekolah. Ia tentu tidak mau terlambat lagi dan mendapatkan hukuman
lari keliling lapangan seperti kemarin, sama saja mati, ‘deh! Dengan kondisi
kaki seperti ini mau lari keliling lapangan? Bisa-bisa Maya akan berakhir
menjadi orang yang tidak bisa berjalan (oke lebai deh, hahaha!)
“Auwwww...,” Maya berjalan sambil berulang kali bersandar
pada dinding yang dilewatinya di jalan agar tidak jatuh. Maya mengingat
kata-kata Sora yang mengatakannya jarang berolahraga sehingga kaki Maya lemah
dan tidak terbiasa berlari. Bibir Maya mengerucut mengingat ekspresi Sora
ketika mengatakan hal itu kepadanya kemarin, “Sombong sekali dia,
mentang-mentang setiap hari berolahraga,”
Namun mau tidak mau sebenarnya Maya mengakui kata-kata
Sora ada benarnya juga. Maya merasa dirinya tidak pernah membiasakan kakinya
melakukan aktivitas olahraga sedikit saja sehingga kakinya disuruh berlari
sebentar saja sudah merasa lelah. “Tapi, ‘kan tetap saja lari 20 kali keliling
lapangan sama saja dengan penyiksaan secara perlahan-lahan, siapapun yang
normal juga pasti akan mengalami kondisi sepertiku,” bela Maya sambil
menggerutu dalam hatinya. Kemudian Maya melanjutkan jalannya menuju sekolah lagi sambil
terpincang-pincang.
Sedangkan Sora sendiri sedang membersihkan sepedanya yang
sudah dipompanya kemarin dengan kain lap. Sora tidak berolahraga pagi ini karena
ia merasakan badannya agak lelah setelah menggendong Maya cukup lama kemarin. Meskipun
lelah, tapi Sora merasa senang bisa menggendong Maya seperti itu. Ketika
membayangkannya lagi, Sora jadi tersenyum sendiri. Wajah Sora menjadi sedikit
merona. Tersadar sedang melamunkan hal yang konyol, Sora segera menggelengkan
kepalanya cepat untuk mengembalikannya ke dunia nyata. Sebenarnya Sora
memutuskan untuk mengendarai sepedanya pagi ini karena ada alasan khusus.
Setelah Sora merasa sepedanya bersih, ia menaruh kain
lapnya ke tempatnya kembali, kemudian mengambil tas kerjanya yang ia taruh di
teras depan dan menaruhnya di keranjang depan sepedanya. Sora mengunci pintu
depan rumahnya dan mengayuh sepedanya meninggalkan rumah. Baru sedikit Sora
mengayuh sepedanya menjauhi rumah, Sora berhenti. Ia merasa ada seseorang yang
sedang mengawasi dirinya. Sora menoleh dan tidak menemukan siapa-siapa di sana.
Mungkin hanya perasaanku saja, gumam Sora dalam hati.
Sora melanjutkan kembali mengayuh sepedanya dan berhenti
di depan rumah Maya, tepat ketika ibu Haru sedang keluar dari rumah membawa
beberapa kantong plastik yang berisi sampah.
“Selamat pagi, bi,” seru Sora sambil menghentikan
sepedanya.
“Ah, selamat pagi, Sora,” sapa ibu Haru, menoleh sedikit
kepada Sora kemudian kembali melanjutkan kegiatannya membuang sampah. Setelah
semua sampah yang dibawanya dibuang ia berbalik menghadap Sora lagi,
“Ngomong-ngomong, kemarin bibi belum sempat bilang, terima kasih ya sudah
mengantar Maya. Benar-benar merepotkanmu, sampai kau harus menggendongnya
sampai ke rumah,”
“Tidak masalah, bi,” jawab Sora, sopan. “Mmmmm... Apa
Maya masih tidur, bi? Bagaimana kondisi kakinya, apa sudah baikan?”
“Ah, tidak nak Sora. Maya sudah bangun dan baru saja
berangkat sekolah,”
“Sudah berangkat?” dahi Sora tampak mengernyit, heran.
“Tumben sekali sudah bangun dan bisa berangkat pagi,” tambah Sora, pelan,
dengan harapan ibu Haru tidak mendengarnya.
Ibu Haru tersenyum, tampaknya ia mendengarkan perkataan
Sora. “Iya, lebih tepatnya Maya terpaksa bangun lebih pagi karena jika tidak ia
bisa terlambat dengan kondisi kakinya yang seperti itu,”
“Oh, begitu rupanya,” Sora manggut-manggut. “Ehm, kalau
begitu saya juga berangkat duluan, ya, bi. Supaya saya tidak kesiangan juga,”
Sora tersenyum sopan pada ibu Haru sambil menganggukkan kepalanya sedikit.
“Iya, hati-hati, ya, Sora,” ibu Haru balas tersenyum dan
menatap punggung Sora yang perlahan menghilang dari kejauhan, sebelum kemudian
menghela nafas pendek dan masuk kembali ke dalam rumah.
Pada jarak beberapa meter dari tempat Sora dan ibu Haru
tadi berdiri, tampak Asa tengah mengamati. Ia berdiri diam di tempat itu
sejenak dan tampak memikirkan sesuatu, sebelum ikut berlalu dari tempat itu.
♪ ♪ ♪
Sora mengayuh sepedanya sambil menoleh ke kanan dan ke
kiri. Ketika berpapasan dengan beberapa orang di jalan yang dikenalnya, Sora
tersenyum menyapa sekedarnya. “Mana, ‘sih anak itu?” gumamnya dalam hati.
Sora menghentikan sepedanya ketika mata Sora menangkap punggung
seorang gadis mungil yang sedang berjalan tertatih-tatih beberapa meter di
depannya dengan posisi badan agak membungkuk ke depan. Sora mengulum senyumnya,
menahan tawa melihat Maya yang berjalan seperti itu. Kemudian Sora mengayuh sepedanya
perlahan hingga sejajar dengan Maya.
“Aioooo... aku kira tadi melihat nenek-nenek memakai
seragam SMA sedang encok tengah berjalan, ternyata kamu rupanya, mungil,”
Maya menatap pria menyebalkan di sebelahnya dan wajahnya
berubah menjadi semakin mendung. Kenapa
pagi-pagi begini aku sudah harus bertemu dengan orang ini, ‘sih? Maya hanya
terdiam dan menatap jalan di depannya, berusaha tidak mempedulikan Sora.
“Mau naik sepeda juga tidak?”
Maya berhenti berjalan, menatap Sora penuh selidik.
“Apa matahari hari ini terbit dari barat?” Maya menyindir
dan kembali berjalan tanpa mempedulikan Sora.
Sora tertawa mengejek. “Hei, aku serius,”
Maya berhenti berjalan dan menatap Sora lagi. Tatapannya
tetap tidak menunjukkan keramahan. “Benarkah? Kau serius?”
Sora hanya mengedikkan kepalanya sedikit, entah itu
artinya ‘ya’ atau ‘tidak’. “Yah, mumpung aku sedang membawa sepeda hari ini dan
aku juga sedang berbaik hati. Lagipula...,” Sora mendekatkan wajahnya pada
wajah Maya membuat Maya spontan sedikit mundur karena terkejut. Wajah mereka
hanya berjarak beberapa senti saja.
“Ap... apa...?” Maya gelagapan.
“Dibonceng oleh pria seperti aku akan menjadi suatu
kehormatan besar bagimu, nona mungil,” ujar Sora sambil mengangkat-angkat
alisnya. “Ibarat kau mendapat jackpot!”
“Apa?! KAU GILA!” Maya segera melengoskan wajahnya tidak
mau menatap Sora.
Sora hanya mengangkat bahunya sedikit seakan tidak peduli
dengan sikap Maya yang seperti itu dan memperbaiki posisinya menjadi posisi
siap mengendarai sepeda lagi. “Jadi, bagaimana? Mau ikut denganku tidak?”
Maya menatap Sora sambil mendecak keras. Apa, ‘sih yang ada
di otak cowok gila ini? Sebenarnya dia mau dan tulus memberikan bantuan atau
tidak? Sebenarnya ajakan dibonceng Sora merupakan tawaran yang sangat menggiurkan.
Bukan karena dibonceng oleh pria yang katanya mempesona, berkharisma, ya apapun
itu lah, tapi karena mengingat kondisi Maya yang seperti ini, dibonceng Sora
akan sangat menghemat tenaganya. Tapi kalau aku ikut nanti pasti dia makin besar
kepala lagi dan tidak akan berhenti menggodaku! Maya terlihat sedikit gelisah,
menimbang-nimbang.
“Jadi?” Sora mendekatkan wajahnya lagi ke wajah Maya,
membuat Maya kembali gelagapan dan spontan menjawab,
“Si... siapa yang mau ikut denganmu?” ujarnya gengsi.
“Tidak terima kasih! Daripada ikut denganmu lebih baik aku berjalan saja!”
Ingat Maya, harga diri sebagai wanita! Jangan biarkan orang ini merasa menang,
grrrr!
“Benar tidak mau?” tanya Sora lagi. Maya hanya terdiam,
tidak menjawab. Ekspresinya sedikit merengut. Selang beberapa detik kemudian,
Sora mengangkat bahunya sedikit dan berkata, “Ya sudah kalau tidak mau, aku
juga tidak rugi. Dahhh mungilll...,” ujarnya dengan nada tak peduli dan
mengayuh sepedanya kembali, meninggalkan Maya begitu saja.
Maya terperangah menatap Sora yang benar-benar pergi
begitu saja. Maya menatap Sora dan sepedanya yang perlahan-lahan menjauh. Maya
sedikit berharap Sora akan membalikkan badannya dan kembali menawarkan lagi
pada Maya atau memaksanya untuk ikut dengannya. Tapi ternyata tidak, Sora benar-benar pergi begitu saja hingga
akhirnya lenyap dari pandangan Maya.
Maya terperangah. Apa!?
Begitu saja!? Tidak adakah adegan seperti di film-film dimana sang pria tidak
tega dan di saat-saat terakhir membalikkan badannya, memaksa sang wanita untuk
naik ke sepedanya?
“Benar-benar keterlaluan, begitukah sikap yang patut
ditunjukkan seorang pria!? Para wanita dan gadis yang memilihnya sebagai pria
idaman nomor satu pasti sudah gila!” gerutu Maya. “Arrgghhhhh!!!” Maya
menghentak-hentakkan kakinya untuk menunjukkan ekspresi kekesalannya sebelum ia
sadar kakinya sakit dan Maya segera merintih kesakitan.
Maya kembali mengumpulkan tenaganya untuk berjalan menuju
sekolah. Sudah cukup marah-marahnya, tidak ada waktu untuk hal itu sekarang.
Yang terpenting ialah tidak terlambat sampai ke sekolah, meski sekarang Maya
ragu bahwa ia bisa sampai ke sekolah tepat waktu melihat jalannya bahkan lebih
lambat dari siput yang sedang encok (emang siput bisa encok ya?).
Meskipun sudah berusaha untuk tidak dipikirkan, kepala
Maya terus saja terisi dengan sosok Sora Fujimura. Maya kembali menggerutu
kesal, meskipun sebenarnya Maya sedikit menyesal karena bagaimanapun dia yang
menolak ajakan Sora. Tapi namanya juga Maya, ia tidak akan mau mengakuinya!
Pokoknya semua salah pria itu! Kenapa dia tidak memaksa Maya saja, ‘sih? Sudah
tahu kondisi Maya seperti ini!
Sora Fujimura, dasar cowok
tidak berperasaan! Brengsek! Kejam! Raja tega!!! maki Maya terus-menerus dalam hati.
Peluh membasahi dahi Maya. Akhirnya Maya sampai di ujung
jalan dan ia sudah mencapai belokan sekarang. Meski begitu tetap saja
perjalanan ke sekolah Maya masih cukup jauh. Maya sudah pasrah ia akan telat
lagi. Rasanya hanya keajaiban yang bisa membantunya untuk tepat waktu sampai di
sekolah dengan kondisinya yang sekarang. Dan mengharapkan keajaiban itu bisa
datang sekarang jelas tidak mungkin.
Ternyata anggapan Maya salah, karena begitu Maya berbelok
ia dapat melihat sosok tidak jauh di depannya yang sudah sangat dikenalnya.
Sosok itu tampak menunggu seseorang, ia berdiri di samping sepedanya. Maya
tertegun, bukankah seharusnya dia...?
Maya hanya terdiam di tempat sampai sosok itu kemudian menyadari ada seseorang
yang menatapnya dan ia menoleh melihat Maya. Sekilas Maya melihat ada senyum
kecil tersungging di sudut bibir Sora.
“Lama juga kau sampai di sini, mungil,” ujar Sora.
Maya hanya terdiam.
“Lihatlah tampangmu, kacau sekali!” Sora mengeluarkan
sapu tangan dari saku celananya, kemudian beranjak mendekati Maya. “Wajahmu
penuh keringat, ckckck... Mengerikan sekali tampangmu ini! Kalau pria melihatmu
seperti ini, pasti mereka akan kabur dan tidak akan tertarik padamu!” omel Sora
sambil mengusap peluh di dahi Maya dengan sapu tangannya.
Maya tertegun, melihat wajah Sora untuk ketiga kalinya
pagi ini begitu dekat dengannya. Tapi kali ini berbeda karena Maya tidak
langsung melengoskan wajahnya. Maya tidak bisa berkutik. Tangan Sora ada di
dagunya dan tangan yang satunya memegang sapu tangan mengusap peluh di dahinya.
Ia bisa merasakan hembusan nafas Sora di wajahnya, dan juga detak jantungnya
sendiri yang sedari tadi sudah berloncatan tidak karuan. Maya bisa merasakan
suhu wajahnya naik beberapa derajat dan tangannya mulai berkeringat. Maya
sangat berharap wajahnya tidak menampakkan ekspresi aneh-aneh di hadapan Sora. Kumohon, jangan sampai dia mendengar detak
jantungku ini...
Merasa sudah tidak tahan lagi, Maya segera mengambil sapu
tangan dari tangan Sora. Sora menatapnya heran dan Maya langsung menundukkan
kepalanya, menolak menatap Sora. “A... aku bisa sendiri,” ujar Maya, pelan.
Sora hanya mengangkat bahunya. Sepertinya ia tidak
terlihat peduli terhadap reaksi Maya, mungkin dianggapnya sebagai hal yang
biasa. Kemudian Sora kembali menuju sepedanya dan berkata pada Maya, “Ayo...,”
“Eh?”
“Kamu mau ikut atau tidak? Ayo, cepat! Nanti kamu
terlambat!” Sora berkata dengan nada seperti memerintah, dimana perintahnya itu
tidak dapat dibantah.
Maya hanya tertegun dan tidak menjawab, hanya terdiam di
tempat.
“Aduh, anak ini benar-benar...,” ujar Sora gemas dan
bergegas menghampiri Maya dan menarik lengannya. “Ayo...,”
“Tu... tunggu...,” ujar Maya, membuat Sora menghentikan
langkahnya dan menoleh ke arahnya. “Bukankah tadi... kamu...,” Maya tidak
melanjutkan kata-katanya, karena ia sendiri bingung menyusun kata-katanya.
Semuanya terlalu mengejutkan.
Sora tertawa, “Haizz, mungil! Apa kau pikir aku
benar-benar berniat meninggalkanmu? Apa kau pikir aku setega itu padamu?
Sepertinya tadi setelah kutinggalkan, kau sudah memaki-maki aku dengan kamus
kata-kata makian mengerikan, ya?” selidik Sora, geli. Maya hanya melotot dan
tampak gelagapan, tidak menjawab. Ia merasa tertangkap basah. Sora selalu saja
bisa membaca pikirannya.
“Sudahlah, ayo!” Sora menarik lengan Maya lagi, dan kali
ini Maya menurut saja “diseret” Sora tanpa mengeluarkan kata-kata atau tindakan
memberontak. Maya terus saja terdiam meskipun ia sudah duduk di “tempat duduk
penumpang” sepeda Sora dan sepeda Sora mulai meluncur menyusuri jalanan di desa
mereka. Sora pun tampaknya tidak berniat untuk membuka pembicaraan.
Maya sedikit menyandarkan kepalanya di punggung Sora.
Hangat. Nyaman rasanya. Sensasinya berbeda dengan waktu Maya digendong Sora
kemarin namun tetap saja rasanya menyenangkan. Maya pasti sudah gila jika ia
merasa seperti itu, tapi itulah yang dirasakannya sekarang dan Maya tidak mau
menolak. Ia lelah dan ingin istirahat sebentar, menikmati perasaan menyenangkan
ini untuk sesaat saja. Maya memejamkan matanya, sedikit mencium sapu tangan
Sora yang masih berada di tangannya. Ada aroma Sora yang khas pada sapu tangan
itu dan Maya... menyukainya. Lagi-lagi ketika semua terkesan tidak mungkin,
Sora lah yang selalu muncul membuat keajaiban baginya. Ketika Maya mengira Sora
tidak mempedulikannya, ternyata tidak. Mungkin justru Sora lah orang yang
paling peduli pada Maya. Entahlah, Maya tidak mau memikirkannya. Ia benar-benar
hanya menikmati saat-saat ini. Sejenak Maya membiarkan imajinasinya bermain
sepuasnya. Ia merasa sepeda yang dinaikinya saat ini tengah melintasi langit
biru yang luas, favoritnya, ada banyak awan, matahari bersinar terang. Di jauh
sana terlihat gunung dan laut, ada pelangi juga, tampaknya di daerah sana baru
saja turun hujan. Pokoknya semua hal yang menyenangkan, dan tentu saja dalam
imajinasinya itu ada Sora yang mengendarai sepeda itu. Perlahan Maya
mengalungkan lengannya di perut Sora. Entah bagaimana reaksi Sora, tapi
sepertinya tidak ada.
Beberapa saat kemudian, sepeda Sora mulai mendekati
gerbang sekolah. Banyak sekali tampak murid-murid yang berjalan mendekati gerbang
sekolah. Sora memberhentikan sepedanya agak jauh dari gerbang sekolah, agar
tidak menarik perhatian dan menghindari gosip dari para murid. Beberapa saat
hening. Sora heran kenapa tidak ada reaksi apapun dari gadis di belakangnya
padahal sepedanya sudah ia berhentikan dari tadi.
Apa dia tidur? Yang benar
saja...
Sora sedikit menoleh ke belakang, melihat Maya yang masih
memejamkan matanya, tenggelam dalam imajinasinya sendiri. Sora mendecak
mengejek, dan sedikit menggerakkan badannya. Sedikit tersentak, Maya langsung
membuka kedua matanya. Sudah berhenti?
Apa sudah sampai? Kenapa cepat sekali? Maya sedikit mendongakkan kepalanya
dan menatap Sora. Sora sadar sekarang mereka sedikit menarik perhatian dan
beberapa murid di sekeliling mereka menatap mereka terkejut. Bagaimana tidak,
Maya masih tidak turun-turun dari sepedanya dan posisi lengan Maya terlihat
masih dikalungkan di perut Sora dan wajah Maya masih bersandar pada
punggungnya. Dalam pandangan orang biasa mereka pasti terlihat seperti sepasang
kekasih yang dimabuk asmara.
Sora hanya menghela nafas dan Maya hanya menatapnya dalam
diam, sedikit heran. Kemudian Sora menatap Maya dan memberi tanda dengan
kepalanya, menyuruhnya turun.
“Apa?” Maya masih tidak mengerti maksud Sora. Rasanya
Maya masih berada di perbatasan antara imajinasi dan dunia nyata.
Sora tidak menjawab hanya terus saja memberi tanda yang
sama dengan kepalanya. Kemudian beberapa saat kemudian Maya sedikit tersadar
dan menatap ke sekelilingnya. Ia tersentak ketika mendapati tatapan beberapa
murid yang lewat menatap ke arah mereka, tampak sangat terkejut. Dan Maya
sendiri terkejut menatap dirinya yang masih bersandar pada Sora dengan
tangannya masih memeluk erat perut Sora. Maya tersentak dan refleks ia segera
berdiri dan pura-pura membetulkan rambut dan seragamnya, tampak sangat salah
tingkah.
“Eh.. hm, ehm...,” Maya masih sulit menemukan
kata-katanya dan kemudian ia menoleh ke sekelilingnya dan tersadar akan
sesuatu.
“Kenapa kita berhenti di sini? Di sini ‘kan belum masuk
gerbang sekolah?”
Sora tertawa mengejek dan mengetuk dahi Maya. “Dasar
bodoh! Apa kau mau membuat gosip, mungil? Ah, tunggu dulu... Kalau kau pasti
tidak keberatan, ya, tapi itu bisa jadi masalah buatku. Bagaimana nanti jika
pesonaku luntur hanya karena aku membonceng gadis SMA yang tengah encok
sepertimu?”
Maya tersadar akan maksud Sora dan segera menggerutu
kesal, “Dalam mimpimu!” Maya segera beranjak meninggalkan Sora dengan kesal.
Sora tersenyum geli, sebelum ia melihat Maya berhenti berjalan dan membalikkan
badannya. Ia tampak ragu namun terlihat tengah memantapkan diri.
“Sapu tangannya akan kucuci bersih dan kukembalikan,
dan...,” Maya sedikit mengatur nada suaranya agar tetap terlihat tidak ramah.
“Terima kasih, ya atas semuanya pagi ini!” Maya segera melengos lagi dan
berjalan cepat tertatih-tatih menuju gerbang sekolah.
Sora tertegun sejenak, sebelum kembali menatap Maya yang
menjauh sambil tersenyum dikulum. Kemudian setelah Sora memastikan Maya telah
memasuki halaman sekolah, Sora melanjutkan mengayuh sepedanya sampai menuju
tempat parkir sepeda.
♪ ♪ ♪
“Ohayouuuu,” sapa Maya lemah sambil memasuki pintu
kelasnya. Maya melangkah tertatih-tatih menuju ke mejanya.
“Maya-chan, selamat pagi,” sapa seorang gadis
bermata sipit, berambut tebal-berponi helm, dan berkacamata, yang langsung
menghampirinya. “Apa kau baik-baik saja?” tanyanya, tampak khawatir.
“Apa kau pikir aku baik-baik saja, Kusaki? Haaiiizzz, aku
mau mati rasanya..,” Maya menelungkupkan kepalanya ke dalam dua tangannya yang
menempel di atas meja. “Mengingat kemarin rasanya aku ingin mengutuk guru itu. Guru
satu itu benar-benar ingin melihatku mati rupanya, kakiku sakit sekaliiiii,”
gerutu Maya seperti mau menangis.
“Sabar, ya, Maya. Untung saja kamu tidak terlambat lagi
hari ini,” kata Kusaki, tampak ikut prihatin. “Makanya lain kali jangan telat
lagi, ya...,”
“Akan kuusahakan,” jawab Maya, nyengir. Ya, untunglah
Maya tidak terlambat lagi hari ini, semuanya berkat Sora.
Ya... Berkat Sora.
“Wah, selamat pagi, Maya!” tampak seorang gadis berambut
bergelombang dan dikuncir dua menghampirinya. “Tampaknya kau terlihat kacau
sekali, ya, apa kau baik-baik saja?”
Mulai lagi, ‘deh, gadis ini! pikir Maya kesal. Maya
benar-benar sedang tidak ingin meladeni gadis di depannya ini sekarang.
“Ya, begitulah, Sugiko,” jawab Maya, singkat. Maya masih
menghargainya karena ia adalah anak dari atasan ibunya di toko mie tempat
ibunya bekerja.
“Ah, ngomong-ngomong...,” kata Sugiko dengan suara
mendayu-dayu yang dibuat-buat, sehingga membuat Maya ingin muntah. “Apa kau
sudah punya rencana untuk Natal nanti, Maya?”
“Natal?” dahi Maya mengernyit.
“Oww, astaga, MAYA!” Sugiko menunjukkan ekspresi
keterkejutan yang amat sangat dibuat-buat. Maya yakin dengan kemampuannya yang
begitu Sugiko bisa mendapatkan piala Oscar untuk kategori pemeran bermuka dua
(eh ngga ada kategori begitu ya?) “Apa kau lupa kalau sebentar lagi Natal!?
Yang benar saja, Maya... Ckckckck...,” tampak sekarang ia memperlihatkan
ekspresi prihatinnya yang lebai. Maya melirik Kusaki, Kusaki sepertinya
terlihat ingin menerkam Sugiko. Maya tertawa dalam hati.
Natal? Benarkah sudah
dekat? Maya benar-benar tidak menyadarinya,
sebelum ia sadar jika sekitar sebulan lagi Natal akan tiba.
“Ah... ya, tentu saja aku tidak lupa,” Maya berusaha
menjaga ekspresinya agar tidak ketahuan bahwa ia benar-benar lupa, meski
sepertinya tidak terlihat meyakinkan. “Aku... belum memikirkannya. Masih lama
juga...,”
“Untuk momen seperti Natal harusnya kau sudah
mempersiapkan suatu acara yang spesial! Misalnya seperti aku! Apa kau tidak
ingin tahu apa yang sudah kupersiapkan untuk Natal nanti?”
Maya sebenarnya tidak ingin tahu. Tepatnya bahkan ia
tidak akan peduli. Dia mau ke Amerika kek, Afrika kek, Kutub Utara kek, peduli
amat. Tapi ia tidak mungkin mengatakannya. Ia memilih diam dan Sugiko
menganggap diamnya Maya sebagai tanda ia boleh melanjutkan kata-katanya.
“Tadahhhh! Aku akan pergi ke sini!” Sugiko menaruh suatu
brosur di meja Maya dan menunjuk-nunjuknya dengan jari telunjuknya. Maya segera
mengarahkan pandangannya ke brosur itu. Di brosur itu tertulis besar-besar huruf
‘Pertunjukan Natal Tahun Ini, ANNA KARENINA’. Dan berbagai tulisan-tulisan
kecil lain yang menunjukkan informasi tempat, waktu, harga tiket, dan lain
sebagainya. Terlihat seorang wanita yang sangat cantik di brosur itu.
Sepertinya ia yang memerankan menjadi Anna Karenina. Maya melirik nama pemeran
yang terpampang di brosur itu. Utako
Himekawa sebagai Anna Karenina.
“Ini merupakan suatu pertunjukan drama besar! Di kota
dekat desa sini pula! Dari teater yang sangat besar dan ternama! Ah, aku
benar-benar sudah tidak sabar! Tentu saja aku akan pergi bersama pacarku yang
baru itu. Benar-benar akan menjadi Natal yang menyenangkan! Aku sudah tidak
sabar! Ah, maaf, Maya, bukannya aku bermaksud pamer atau apa, atau menyinggung
perasaanmu, aku hanya memberikan contoh bagaimana kau seharusnya merayakan
Natal! Agar kau tidak menyesal, percayalah! Aku
memang benar-benar orang yang baik, ya...” ujarnya sambil terus heboh
sendiri dan berlalu. Entah meja mana lagi yang akan jadi “sasaran” Sugiko
berikutnya.
Maya dan Kusaki sambil berhadapan dan mengulangi
kata-kata terakhir Sugiko barusan dalam saat yang bersamaan, “Aku memang benar-benar orang yang baik,
ya...” dengan gaya dibuat-buat seperti halnya Sugiko, kemudian mereka
membuat gerakan seperti orang muntah, dan kemudian tertawa kecil.
“Aishhh, benar-benar membuat gila! Apa kau tahu kalau
dari tadi pagi Sugiko terus menggembor-gemborkan hal itu di depan teman-teman
sekelas? Aku ragu kabar bahagianya itu tidak menyebar ke seluruh penjuru
sekolah ini. Hahhhh, aku kesal sekali melihat sikap soknya itu! Rasanya ingin
kucakar dan kurobek saja mulutnya!” kata Kusaki geram, sambil membuat gerakan
mencakar dan merobek sesuatu dengan tangannya. Maya hanya tertawa kecil.
“Ah, sudahlah, aku kembali ke mejaku dulu, ya, Maya. Sudah
mau jam pelajaran pertama. Jangan dengarkan perkataan gadis gila tadi,”
Maya hanya mengangguk kecil sambil tersenyum, lalu
menghela nafas pelan.
Hmmm... Anna Karenina,
ya...
Maya terus saja menatap brosur yang tadi diberikan oleh
Sugiko kepadanya dengan tatapan penuh minat. Sebelum kemudian ia buru-buru
memasukkan brosur itu ke dalam kolong mejanya ketika ia mendengar suara
teman-temannya mengucapkan salam pertanda guru sudah memasuki kelas.
♪ ♪ ♪
(Paris, 20xx, saat ini)
Suasana ruang ganti tampak ramai. Meski wajah para pemain
teater Onodera terlihat kelelahan, namun pancaran kebahagiaan tidak dapat
disembunyikan. Mereka sangat senang karena pementasan mereka malam ini sukses
besar. Tentu saja hal ini merupakan suatu prestasi yang sangat membanggakan
karena ini pementasan drama perdana mereka di tingkat internasional dan
mendapatkan sambutan sangat positif dari para kritikus ternama. Pasti nama
teater mereka akan terpampang besar-besaran di headline koran di Paris dan Jepang, dan akan membuat nama teater
mereka semakin terkenal. Kesuksesan teater Onodera juga tidak lepas dari peran
dua bintang utama mereka, Yu Sakurakoji dan Ayumi Himekawa. Koji dan Ayumi
tampak dielu-elukan di tengah para pemain di ruang ganti.
“Pementasan kali sukses besar karena kalian berdua!
Kalian hebat, Koji! Ayumi!” seru seorang gadis yang diikuti teriakan setuju
dari yang lainnya.
“Benar! Nama kalian setelah ini pasti akan semakin mendunia!
Kalian memang hebat! Akting kalian mengagumkan! Kalian calon bintang besar!”
Dan masih begitu banyak lagi seruan pujian terlontar
secara terus menerus dari para pemain teater Onodera. Koji dan Ayumi yang
mendengarnya hanya tersenyum, tetap tenang, sambil mengucapkan kata terima kasih
dan basa-basi lainnya seperti, “Tidak, pementasan kali ini juga bisa sukses
berkat kalian,”
Tiba-tiba pintu terbuka dan tampak Onodera masuk.
Wajahnya tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan karena kesuksesan pementasan
teater asuhannya kali ini. “Koji, Ayumi, pementasan kali ini benar-benar sukses
besar! Aku sungguh berterima kasih pada kalian berdua! Kalian berdua luar
biasa!”
“Anda berlebihan, pak Onodera. Kalau bukan berkat Anda
juga, kami tidak akan bisa sampai ke tahap ini,” kata Ayumi.
“Ayumi benar, pak. Semuanya ikut berperan sehingga
pementasan malam ini sukses besar,” sambung Koji.
Onodera hanya terkekeh. “Banyak wartawan ingin
mewawancarai kalian dan para kritikus serta produser juga sutradara ternama
ingin berbicara dengan kalian! Aku harap kalian bisa! Di luar sambutannya
benar-benar meriah sekali! Aku juga tidak bisa lama-lama di sini, masih banyak
yang harus kuurusi dan kuajak bicara,” katanya seraya berlalu dari ruangan itu.
Kemudian para pemain pun ada yang mengobrol, membereskan
barangnya, membersihkan make-up, dan
banyak lagi hal lainnya. Ayumi menatap Koji,
“Apa kau ikut, Koji?”
“Entahlah, Ayumi. Aku lelah, ingin istirahat. Mungkin
hanya sebentar untuk memberi salam,”
Ayumi tersenyum maklum. “Baiklah kalau begitu. Aku
duluan, ya,” katanya seraya beranjak keluar ruangan. Koji hanya mengangguk
sambil tersenyum.
Koji berbalik dan membereskan barang-barangnya, sambil
sesekali membalas sapaan teman-temannya yang hendak keluar ruangan. Sayup-sayup
Koji mendengar bisik-bisik di antara para pemeran lain di sekitarnya,
“Apa kau tahu? Kudengar salah satu pemain Teater Mayuko
menghilang!”
“Apa!? Kau yakin itu benar? Kau tidak bercanda?”
“Tidak! Tadi aku sempat dengar kasak-kusuk di luar sana.
Sepertinya benar, karena sepertinya aku juga melihat beberapa orang Teater
Mayuko sepertinya panik kelabakan mencari pemain yang hilang itu!”
“Astaga, apa mereka bermaksud main-main!? Ini bukan
pertunjukan biasa tapi di tingkat internasional! Harusnya mereka berterima
kasih bisa mendapatkan kesempatan tampil di panggung dan gedung ini! Apa mereka
bisa tampil setelah ini!?”
“Apa, ‘sih yang mereka pikirkan!? Mencoreng nama teater
Jepang saja! Apa teater mereka mau mati? Ckckckk...”
Koji tidak melanjutkan mendengarkan pembicaraan mereka.
Pikirannya mendadak sibuk setelah mendengarkan pembicaraan itu. Ada pemain teater Mayuko yang hilang?
Mungkinkah... Ingatan Koji melayang pada sosok seorang gadis mungil yang
sudah lama tidak dijumpainya.
♪ ♪ ♪
“TING!” terdengar suara elevator berhenti di suatu
lantai. Gadis berambut bergelombang dan berdandan tebal itu muncul dari dalam
elevator itu. Ia berjalan tanpa memperhatikan kanan dan kirinya. Pikirannya
terus melayang akan kejadian yang baru saja dialaminya bersama gadis itu.
Bersama Maya. Maya yang awalnya ceria menemuinya, Maya yang tampak terpukul dan
tidak percaya setelah mendengar ceritanya, Maya yang tidak menangis setelah ia pergi
meninggalkannya sendirian tadi. Tapi ia tahu dan bisa menduga, pasti tidak lama
setelah itu Maya menangis sesenggukkan. Wajah gadis berambut bergelombang itu
tampak menahan sakit.
Tiba-tiba, ia mendengar suara ribut tidak jauh di
depannya dan ia mendekati sumber keributan itu. Ia tahu bahwa di lantai ini
banyak terkumpul wartawan serta orang-orang teater dan perfilman yang terkenal
dan punya nama besar di dunia teater dan film. Mereka tengah sibuk mewawancarai
dan berbincang dengan tokoh-tokoh dibalik suksesnya pementasan teater Onodera,
dan juga menunggu pementasan teater berikutnya, teater Mayuko. Gadis itu merasa
sedikit ngilu, mengingat kondisi Maya tadi, ia tidak yakin apakah akan ada
pementasan setelah ini. Dan keraguan itu memang benar. Ia sekarang bisa melihat
bahwa sumber keributan itu bukan berasal dari wartawan dan orang-orang terkenal
seperti yang disangkanya tadi. Sumber keributan tersebut berasal dari teman-teman
Maya dari kelompok drama yang sama tengah panik mencari Maya. Kerumunan para
wartawan dan yang lainnya justru berada di belakangnya.
“Apakah kamu sudah menemukan Maya?” teriak Rei.
“Tidak ada! Aku sudah mencari di seluruh ruangan di
lantai ini dan tidak berhasil kutemukan! Aku juga sudah meminta bantuan
beberapa penjaga gedung, tapi belum ada kabar mengenai tanda-tanda keberadaan
Maya!” jawab Sayaka, panik.
“Ayo terus kita cari! Jangan menyerah!” ujar Rei. “Aishhh,
apa ‘sih yang dipikirkan anak itu menghilang begini!?”
Gadis berambut bergelombang itu, Sugiko, terhenyak. Maya menghilang? Apa mungkin Maya masih di
tempat yang tadi? Sugiko sedikit menimbang dan hendak membuka mulutnya,
memberitahukan bahwa ia bisa memberikan informasi mengenai Maya, mungkin saja Maya masih di tempat tadi, ketika
tiba-tiba saja tatapannya terpasung pada seorang wanita yang sedang berjalan ke
arahnya. Wanita berambut panjang hitam bergelombang itu tampak berjalan anggun
dan memberinya tatapan yang membuatnya langsung menutup mulutnya. Wanita itu
kemudian kembali menatap ke depan dan melewatinya begitu saja, menuju kerumunan
orang di belakang Sugiko. Ketika wanita itu melewati Sugiko, Sugiko bisa
merasakan jantungnya berhenti berdetak. Tatapan wanita itu menghunjam dirinya,
mengingatkan dirinya akan janji di antara mereka.
Sugiko berbalik dan melihat wanita itu masuk ke kerumunan
dan menghampiri seorang pria yang terlihat menonjol di kerumunan itu. Pria itu
tinggi tegap, tampan, berwibawa, dan penuh dengan aura kuasa. Wanita itu
tersenyum lembut pada pria itu, yang dibalas pria itu dengan senyumannya yang
maskulin. Sugiko terus menatap pria itu sambil kembali mengingat tentang
bagaimana reaksi Maya ketika ia mengatakan kabar buruk itu. Seketika ia
merasakan sedikit rasa perih di hatinya dan matanya memanas.
Maafkan aku, Maya... batinnya pedih.
Sugiko segera berbalik meninggalkan kerumunan itu. Ia
ingin segera pergi dari sini. Malam ini ia sudah banyak melakukan perbuatan
buruk, mungkin minuman bisa membantu menghilangkan stress dan sakit kepala
serta kesedihan di hatinya. Tiba-tiba Sugiko berhenti. Ia mengeluarkan sesuatu
dari kantung roknya, sebuah kalung di mana terdapat dua cincin berukuran
berbeda tergantung di situ. Sugiko ingat ia menemukan kalung itu dari tumpukan
barang dimana terdapat pakaian, celana, dan berbagai macam barang lainnya milik
seseorang, yang dulu diberikan oleh wanita kaya berambut hitam bergelombang itu
padanya.
Sugiko menatapnya. Pada cincin yang berukuran besar
tertulis inisial huruf M.K., pada cincin yang berukuran kecil tertulis inisial
huruf S.F. Ya... Sudah jelas, sangat jelas.
Ini bukti... bahwa Sora Fujimura memang milik Maya
Kitajima. Baik hidup ataupun mati... sampai kapanpun...
♪ ♪ ♪
35 comments:
kayaknya Sora kecelakaan, hilang ingatan, ganti nama jd Masumi Hayami...
hooo...penasaran nih..apakah sora sudah tiada? atau sora itu adalah teman baik masumi? dan sora pernah cerita soal maya ke masumi.hm...disini masumi udah tunangan sama shiori.
Keren...
Alurnya maju mundur... :)
makin penasaran....
beneran sora meninggal..??? apakah sora sepupunya masumi..???
jangan lama2 sis Airin apdetnya....
tq
Masumi merasa mengenal nama Maya...jadi Masumi=Sora yg amnesia? aishsh...tambah penasaran bae...lanjuuuuut :)
kayaknya sora bukan masumi beda usia , mungkin spupu atau adik yg tak terduga , aisss penasaran kapan maya ketemuan sama masumi
boleh aja sora cinta pertama maya tapi cinta sejati tetep masumi halaaahhh
ayooo apdate lagi bikin penasarn
alurnya keren maju mundur....
Sora become masumi kah...kyk bc TK tp dirancang ulang,....
michan, kita sehati yah
nurutkuh juga yah
sora itu hilangg ingatan
trus di angkat anak sm eisuke
terus jadi masumi
hahahhaa... *sotoy sangad*
untung aja shodong2 cuma temen
lom jd tunangan
ahhh masumi-sama, misss u soooo muchhhh
ahhhh... lum konek ni... critanya pegimane... huwaaa..... masumi lum kenal maya disini... jd binun ndiri.. betul2 berbeda bgd... hikk hik hik... jd lum bs ngebayangin epsod selanjutnya dew,,, hufff.. lanjutin iahhh... thx atas ff nyaa :)
tetep kekeuh , kekna si sora adeknya si masumi deh .wekekekekekek ....
maya, sma, umur +- 16 - 17 th
sora, guru 27 th
maya, aktris mayuko, +- 19 - 20 th
masumi, direktur, +- 29 - 30 th
*kyk ny emang sora = masumi yg amnesia, dlm wktu 3 th bljr bisnis, awalny kn emang sora anak yg pintar skali
*ini kn beda ma TK asliny
menurut q sih
airin....ditunggu updateannya
Hahaha... pada berspekulasi dehh... Airin... jangan lama2 membiarkan kami menerka-nerka...
hihii.. maap bertapa cari ide sama alur yg enak :p
bsok ya diusahakan update :)
asyik besok ada apdetan...ditunggu
khalida
sora itu = masumi kah? ???
sifatnya mirip...
ganti nama untuk menghindari eisuke...???
penasaraaaaaan.....jgn lama2 apdetnya ya sis Airin....
tq
jadi sora dijadikan masumi oleh eisuke, untuk jd penerus Daito???....
-khalida-
So Sweet banget....Jadi pengen digendong sama Sora aka Masumi...^^
hmmmmmmm makin menarik nih
* gosok2 tangan * jadiiii apakah si masumi ini si sora yaks ?
tp ada beda usia tuh ... * elus2 jemb...eh jenggot eh .. udh ga punya jenggot *
sora=masumi, kec ulah eisuke ya buat ambil sora....
go...go...go...airin ditunggu updateannya
bedaaa... beda bgd... mm.. tapi bikin pensaran,,,, jng2 masumi ntu adalah sora nya mayaaa kaaa.... trus diculik ma eisuke kemudian soranya dicuci otak...wew,,, grr..... HE pliss.... >_<
wuih...bingung nih...bacanya kalaau nggak serius, tapi di tunggu updateannya
yah belum dilanjutkan lagi????
belum ada lanjutannya lagi kah ???
Ty...
Yang ini Airin blom kirim lanjutannya yah ???
Penasaran....
Lanjutannya dunkkkk
Huaa!shiori bikin gara2 lg! Kasian maya. Masumi segera ingat dong! Tapiii apdet selanjutnya yg bnyak ya sis.
jadi masumi hayami dan sora fujimura tuh orang yg sama....dan shiori tetep jd nenek sihir...
-khalida-
Wow...
Makin seru nih..
Ayo Airinn...
Smangat ngelanjutinnya....
*keluarin pom-pom*
Tlg bgt lanjutin dnk ceritanya..sumpah aku ga bakal mati tenang penasaran gini..aku mohon airin..tlg lanjutin.. please...
Erlin^^
lanjutannya mana? Q penasaran banget, akhir cerita.a gmn?
lanjutannya mana? Q penasaran banget, akhir cerita.a gmn?
mulai seru, ditunggu lanjutannya....
~ meliana ~
Kok gak ada lanjutan2nya yah?
Post a Comment
Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)