Tuesday 2 August 2011

Fanfic TK: The Ring

Posted by Ty SakuMoto at 15:15
The Ring



Maya menundukkan kepala, tidak mampu menatap Masumi di matanya. Setelah sekian lama, sangat lama, pria itu masih mampu membuat jantungnya berdebar lebih cepat dan dunianya berputar lebih lambat.
          “Kau suka cakenya?” tanya Masumi sambil menggerakkan kepalanya sedikit ke arah sepotong strawberry shortcake di hadapan Maya.
          “Suka…” jawab Maya, memotongnya dengan sendoknya dan memasukkan potongan tersebut ke mulutnya.
          Masumi mengamati gadis itu. Tidak kentara menghembuskan nafasnya, rindu…
          “Aku tidak tahu kau sedang berada di sini,” kata Masumi, “di Tokyo,” imbuhnya.
          Maya mengangkat pandangannya sekilas pada Masumi lantas kembali menundukkan matanya. Dilihatnya cincin yang melingkar di jari manis Masumi. Hatinya berdenyut sakit.
          “Aku kemari mendadak, karena ada salah satu pementasan yang ditunda, akhirnya aku bisa datang ke pernikahan Sakurakoji dan Ayumi,” terang Maya, gelisah.
          Cincin Masumi mengingatkannya bahwa pria yang kini duduk di hadapannya, sudah menikah, milik orang lain. Shiori Takamiya. Maya tidak mengira, niatnya kembali ke Jepang untuk menghadiri pernikahan kedua sahabatnya, berujung pada pertemuannya dengan Masumi. Walaupun sejujurnya, Maya sempat berharap untuk dapat melihat pria itu lagi, pria yang begitu sering datang dalam mimpinya. Namun sekarang, hanya rasa sesak yang didapatkannya. Tangan Maya sedikit gemetar, ingin menangis. Sudah lima tahun. Lima tahun sejak dia memutuskan untuk pergi dan ternyata dia masih sangat jatuh cinta kepada Masumi.
          “Kau datang ke sini sendiri?” tanya Masumi, memecah keheningan dan menyadarkan Maya dari lamunannya. “Tidak bersama… Satomi?” Pria itu menatap cincin yang dikenakan Maya. Sekilas saja. Namun rasa sakitnya tidak tertahankan.
          “Tidak…” Maya menggeleng. “Satomi sedang…” Maya tertegun sejenak. “Sibuk,” lanjutnya.
          Masumi mengamati gadis itu. Ada sesuatu dari caranya berbicara.
          “Kau tidak apa-apa?” Tanya Masumi kemudian.
          Maya mengangkat wajahnya.
          “Tidak…” dia menggelengkan kepalanya, “kenapa Anda menanyakannya?” tanya Maya.
          “Tidak apa-apa, kupikir… ada sesuatu yang merisaukanmu,” kata Masumi. “Apa aku membuatmu tidak nyaman?”
          “Tidak, Pak Masumi…” Maya menggeleng perlahan. “Aku tidak apa-apa.” Maya tersenyum.
          Kembali kesunyian mengambil tempat di antara keduanya.
          “Bagaimana kabar Nona Shiori? Maksudku… Nyonya?” tanya Maya ragu-ragu.
Menyebutkan nama wanita itu masih terasa menyakitkan bagi Maya. Dia ingat, kejadian lima tahun yang lalu saat dia dan Masumi sudah saling mengetahui perasaan satu sama lain. Sejenak dia sempat berharap, bermimpi indah, bahwa dirinya dan Masumi dapat bersatu. Namun keputusan Shiori untuk melakukan bunuh diri, walaupun tidak sanggup merenggut nyawanya, membuyarkan impian keduanya. Maya dan Masumi sepakat mengakhiri perasaan mereka bagi satu sama lain. Sebenarnya, Maya yang berkeras memutuskan segala hubungan dan Masumi tahu memang tidak ada jalan lain yang dapat mereka lakukan.
Maya akhirnya mendapatkan peran Bidadari Merahnya, tapi dia kehilangan Masumi, belahan jiwanya. Satomi yang datang pada pementasan Bidadari Merah, akhirnya kembali menemui Maya. Seiring waktu Maya dan Satomi kembali dekat. Pria itu kemudian mengajaknya ikut ke Amerika, mencoba berkarir di sana. Maya tidak melihat ada pilihan yang lebih baik selain menerima tawaran dari Satomi.
Masumi sendiri menikahi satu-satunya cucu perempuan keluarga Takamiya, lantas diserahi tanggung jawab besar memimpin salah satu perusahaan besar hasil merjer Daito dan Takatsu. Masumi tidak pernah mengungkapkan jati dirinya sebagai Mawar Ungu kepada Maya, namun pria itu masih mengiriminya Mawar ungu sampai dia pergi ke Amerika dan Maya tidak pernah mendapatkannya lagi.
“Kau dan Satomi… bertunangan?” Masumi mengarahkan pandangannya kepada cincin Maya, mengalihkan pembicaraan.
Maya mengangkat wajahnya dan tersenyum.
Masumi menelan ludahnya.
“Sudah menentukan tanggal?” tanya Masumi.
Maya terdiam cukup lama, memainkan cangkirnya.
“Sebentar lagi,” gumam gadis itu kemudian.
“Selamat ya,” Masumi tersenyum hangat walaupun hatinya dingin.
Maya mengangguk perlahan.
“Terima kasih,” ucapnya.
Kembali keduanya terdiam.
“Lucu ya,” ujar Masumi, tiba-tiba. “Dulu saat di Astoria, walaupun hanya sesaat, aku sempat berpikir, mungkin aku, sudah menemukan belahan jiwaku,” ucap Masumi, menatap lurus-lurus pada Maya.
Jantung gadis itu berdebar kuat. Asa yang pernah muncul dalam hatinya dan dipadamkan dengan paksa, masih menyisakan arang yang mengganjal menyakitkan di dadanya setiap kali teringat saat itu. Maya tidak mengira Masumi akan mengungkitnya lagi.
Gadis itu tertawa kecil, berakting.
“Iya,” katanya, lantas meminum kopinya. “Kenyataannya kita hanya terbawa suasana, Pak Masumi. Kau dan aku begitu berbeda. Aku bahkan tidak pernah mengira akan mengalami saat-saat dimana aku dan Anda membicarakan hal-hal seperti itu, seakan-akan kita ini sepasang—“ Maya tidak sanggup meneruskan.
“Kekasih?” Masumi melanjutkan untuknya.
“Iya,” kata Maya dengan riang. “Konyol sekali.” Imbuhnya, sambil kembali tertawa kecil.
“Padahal sebenarnya bukan?” Masumi mencari keyakinan bahwa Maya memang tidak pernah benar-benar merasakan apa-apa kepadanya.
“Bukan.” Maya meyakinkan.
Maya yang kini di hadapannya begitu tenang dan terkendali. Terlihat begitu anggun dan jelas sangat dewasa. Mungkin benar, sebenarnya hanya dia yang banyak berharap tali takdirnya terhubung dengan Maya. Tapi semuanya hanya ilusi. Tidak pernah benar-benar terjadi apa pun antara dia dan Maya.
Begitu Shiori masuk rumah sakit, tanpa berkata-kata keduanya memisahkan diri. Tepatnya Maya yang pergi. Tidak mau dihubungi, tidak mau membicarakan apa pun. Saat dia kemudian pergi dengan Satomi, semuanya yang terjadi di Astoria memang hanya bagai mimpi bagi Masumi. Hanya dengan mengingatnya dan membicarakannya, Masumi baru yakin bahwa hari itu memang pernah dialaminya.
Keduanya lalu beranjak dari café tersebut. Masumi mengajak Maya jalan-jalan sebentar. Gadis itu sempat ragu, tapi dia kemudian menyetujuinya. Dia tidak tahu kapan akan bisa bertemu lagi dengan pria yang masih sangat dicintainya ini.
“Kau sedang memerankan apa sekarang, Mungil?” tanya Masumi.
“Sodako,” jawab Maya singkat, “dalam versi Amerika,” imbuhnya.
Masumi mengangkat alisnya.
“Benarkah? Pasti seru sekali…” kata Masumi.
“Ya, kami punya pekerjaan baru. Menghitung penonton yang tersisa di babak kedua. Tidak jarang begitu selesai istirahat babak pertama penontonnya berkurang karena ketakutan,” jelas Maya, kembali tawanya yang renyah terdengar.
Masumi tersenyum simpul.
“Bukankah hal itu tidak bagus?” tanya Masumi.
“Tidak juga, permintaan untuk pentas tambahan banyak sekali yang masuk. Yang tertunda ini, adalah pentas tambahannya. Malah kami berencana mengadakan tour karena banyaknya permintaan. Aku heran, ternyata orang-orang itu senang ditakut-takuti dan merasa terancam,” papar Maya.
“Atau mungkin karena aktingmu yang istimewa seperti biasanya hingga memikat mereka, Mungil.” Kata Masumi, sedikit canggung memanggilnya ‘Mungil’ karena gadis ini jelas sudah tidak cocok lagi disebut demikian.
“Terima kasih,” ujar Maya. “Ah!” Sesuatu menarik perhatiannya, mawar ungu.
Maya menghampirinya dan Masumi mengikuti.
“Aku ingin membeli ini,” kata Maya, sambil melongok mencari-cari penjaga tokonya.
“Akan kubelikan,” ujar Masumi.
Eh?
Maya menoleh dengan cepat kepada Masumi.
“Anggap saja sebagai kenang-kenangan untuk kunjunganmu ke Jepang, dariku Direktur Daito yang pernah menjadi relasi bisnismu,” kata Masumi, datar. “Kau tidak keberatan kan?”
Maya terdiam. Lalu mengangguk.
“Baiklah,” katanya kemudian.
“Bagaimana dengan penggemar Mawar Ungu-mu?” tanya Masumi tidak acuh, berusaha terdengar sewajar mungkin.
“Aku tidak pernah mendengar kabar darinya lagi. Setelah pementasan Bidadari Merah, perantaranya mengirimiku mawar ungu terakhir darinya.” Nada suara Maya terdengar getir.
Gadis itu masih mengingat dengan jelas kejadian lima tahun yang lalu seperti baru terjadi kemarin.
Langkah Maya tiba-tiba berhenti. Masumi ikut menghentikan langkahnya.
“Tapi dimanapun dia berada,” Maya menatap Masumi, “aku sungguh berharap dia bahagia…” mata gadis itu berkaca-kaca.
Deg…
Masumi mengamati gadis itu. Caranya memandang… Masumi melihat ada sesuatu yang berbeda.
Mungkinkah…?
Terbersit pemikiran bahwa mungkin Maya sudah tahu bahwa sebenarnya dialah Mawar Ungu.
“Maya…” gumam Masumi.
“Maaf, aku sudah harus kembali,” kata Maya terburu-buru melihat jamnya. “Aku bisa ketinggalan pesawat,” tambahnya.
“Mau kuantar?” tawar Masumi cepat. “Mobilku di sebelah sana, berjalan sebentar saja!” Masumi memohon. Ingin bersama lebih lama lagi, walaupun hanya beberapa menit atau beberapa detik saja.
“Tidak, tidak perlu Pak Masumi,” Maya melambaikan tangan, menghentikan taksi dengan cepat.
Maya…
Masumi mengeratkan kepalan tangannya. Dia merasa tidak rela Maya akan segera meninggalkannya, berpisah dengannya. Jantungnya berdenyut sakit.
“Maya!” Panggil Masumi pada Maya yang sedang membuka pintu taksi.
Maya terdiam.
“Apa kau bahagia?!” seru Masumi.
Sesaat Maya terdiam. Berusaha mengeraskan hatinya sebelum menolehkan wajahnya ke arah Masumi.
“Iya,” katanya, sambil tersenyum. “Saya sangat bahagia, Pak Masumi.”
Gadis itu menjawab sambil tersenyum lebar. Tidak ingin membuat pria itu khawatir.
“Anda?” dia balik bertanya. “Juga bahagia, ‘kan Pak Masumi?”
“Iya,” pria itu tersenyum palsu. “Aku bahagia,” jawabnya.
Maya tersenyum lebih lebar, berusaha menahan air matanya, lalu mengangguk dan masuk ke dalam taksi.
Taksi Maya melewatinya, tapi Masumi hanya bergeming. Dia lantas memutar badannya. Pandangannya dan Maya masih bertemu melalui spion, beberapa lama tidak saling melepaskan.
Pak Masumi…
Gadis itu menundukkan wajahnya, air matanya menetes membasahi buket bunga di pangkuannya.
Dipandanginya cincin yang melingkar di jarinya.
Mungkin sudah saatnya… aku melepaskan cincin ini…
Batin Maya.
“Nona…” panggilan sopir taksi mengagetkannya.
“Iya?” Maya menghapus air matanya dan mengangkat wajahnya.
“Bukankah itu, teman Nona yang tadi?” tanya si sopir sambil melihat pada spion.
Eh?
Maya mengamati spion, dilihatnya Masumi yang sedang mengejar taksinya.
Pak Masumi??!!!
Maya segera menoleh ke belakang.
Benar!! Itu Pak Masumi…! Kenapa… kenapa dia… berlari? Apakah dia mengejarku??!
Maya masih bingung dan tidak konsentrasi. Dia hanya mematung mengamati Masumi masih berusaha mengejar taksinya.
“Nona,” panggil si sopir tadi yang masih sesekali mengamati Masumi dari spionnya. “apakah saya harus lebih cepat atau berhenti?”
“Lebih cepat Pak!” Kata Maya spontan.
Sopir itu menuruti.
Eh!
Gadis itu tertegun.
“Berhenti! Berhenti!! Berhenti!!!” seru Maya, tersadar.
Ckiiiiiitt!!!!
Masumi berlari sekuat tenaga berusaha mengejar Maya. Dia ingin mencoba, sekali lagi. Setidaknya hanya ingin menyampaikan perasaannya yang tersimpan selama ini, yang belum sempat diakuinya dengan terus terang kepada cinta sejatinya itu.
Dia tahu, dia memang sudah tidak seharusnya mengharapkan apa-apa lagi. Tapi dia tidak tenang saat melihat Maya. Hatinya gelisah mengingat mungkin tidak akan pernah bertemu lagi dan saat dia tersadar, dia sudah mengejar taksi yang membawa Mayanya pergi.
Maya segera turun dari taksinya dan berlari kecil menghampiri Masumi dengan membawa buket mawar ungu.
“Pak Masumi!!” seru Maya, khawatir.
“Maya…!” Nafas pria itu terengah-engah, menghambatnya bicara.
“Ada apa?” tanya Maya. “Ada apa Pak Masumi?” mimik khawatir belum juga hilang dari wajah gadis itu.
“Aku… Hhh,” Masumi mencoba bernafas, “Aku, Hhh… ada yang harus kukatakan… Hhh…” Pria itu menyentuh bahu Maya.
Maya masih memandanginya dengan tatapan bertanya.
“Aku mencintaimu Maya…!” katanya tegas.
“A, apa?!!” Maya sangat terkejut.
“Aku sangat mencintaimu…” ulang pria itu.
“Pak Masumi…” gadis itu merasa terharu dan bahagia mendengarnya. “Anda mengejarku hanya untuk mengatakan—”
Pria itu mengangguk.
“Aku tahu ini sudah terlambat. Tapi aku, ingin mengatakannya sekali saja. Ingin agar kau tahu,” pria itu kembali mengambil nafas. “Bahwa aku benar-benar mencintaimu. Saat itu, saat bersamamu di Astoria. Adalah hari paling membahagiakan dalam hidupku. Bahkan sampai saat ini, perasaan cintaku, kepadamu, tidak pernah berkurang apalagi hilang.”
Bruk!
Gadis itu menangis dan spontan memeluk Masumi.
“Aku juga…” isaknya, “aku juga sangat mencintaimu, Pak Masumi…”
Maya…?
Masumi terhenyak.
Benarkah? Benarkah gadis ini juga mencintaiku?
“Benarkah… Maya?” tanya Masumi tidak percaya.
Maya mengangguk cepat.
Keduanya berpelukan lebih lama. Mereka tidak menghiraukan orang-orang yang memandangi heran saat melihat pertunjukan drama cuma-cuma di pinggir jalan tersebut.
Keduanya lalu memisahkan diri, saling memandang.
“Maya, aku…” ucap Masumi ragu. “Aku tidak tahu kalau kau sudah bertunangan dengan Satomi,” pria itu terlihat tidak rela.
Pak Masumi…
“Saat ini aku dan Shiori sedang dalam proses perceraian. Kami berdua sudah sepakat untuk bercerai.” Jelas Masumi.
Mata gadis itu melebar.
“Aku berencana mencarimu setelah proses perceraianku dan Shiori selesai. Tapi aku…” pria itu menelan ludahnya, “tidak tahu bahwa kau sudah bertunangan…” ucapnya sendu.
“Aku tidak bertunangan,” ujar Maya.
Eh?!
Masumi mengangkat pandangannya menatap Maya.
“Kau…”
“Aku tidak bertunangan. Tidak dengan Satomi atau siapapun. Kami memang pernah menjalin hubungan, tapi tidak berhasil. Karena aku tidak bisa melupakanmu,” kata Maya.
“Maya…” ucap Masumi, lirih sambil menyentuh pipinya.
          “Tapi kami masih berteman baik,” gadis itu tersenyum.
          “Lalu cincin ini?” tanya Masumi, mengangkat tangan Maya dan mengamati cincinnya.
          “Aku membelinya sendiri. Kupikir, selama aku tidak bisa melupakanmu, aku tidak akan sanggup bersama siapapun. Karena itulah aku memakainya,” jelas gadis itu, menatap penuh cinta kepada Masumi.
          “Maya…!” Masumi terkejut.
          Jadi cincin yang dikenakan Maya adalah bukti kesetiaan gadis itu kepadanya. Masumi segera memeluk Maya lagi, kali ini lebih erat.
          “Aku tahu aku tidak berhak meminta kepadamu lebih banyak lagi. Tapi maukah kau menunggu, sebentar lagi sampai perceraianku dan Shiori selesai?” Masumi melonggarkan pelukannya, mengangkat dagu gadis itu. “Dan menjadi kekasihku?”
          Air mata masih belum berhenti mengaliri wajah gadis itu. Maya kemudian mengangguk.
          “Aku bersedia,” jawabnya.
        “Cincin ini…” Masumi mengamati cincin yang melingkar di jari manis Maya, menyentuhnya dengan ibu jari serta telunjuknya. “Aku akan membuat pasangannya.”
  Maya kembali mengangguk. Wajah keduanya berbinar, tersenyum bahagia. Kali ini, benar-benar bahagia.



<<< The Ring ... End >>>

17 comments:

juliana on 2 August 2011 at 15:53 said...

sweet...
adegan kejar taxi, jadi inget meteor garden
hehehe
good job sist :)

Anonymous said...

yahhhhhh kenapa ga dibikin sad ending aja sihhhh .... huahahahaha .... * kabor ah sebelon ditimpukin rame2 *

bagus nih ceritanya . untungnya masumi mau ngejar ya .coba klo engga , bakalan terus pergi deh si maya .

purple on 2 August 2011 at 16:31 said...

walopun ending manis tapi kenapa ya masih terasa sesak
hhmmmfff

Ty^^ said...

Ini cerita emang aslinya sad ending kok sebelum dibuat alternatif happy nya. Buat yang mau tahu versi sad nya ini aku posting :

Mungkin sudah saatnya… aku melepaskan cincin ini…
Batin Maya.
Cincin ini, bukanlah cincin pertunangannya dengan Satomi atau siapapun. Maya membelinya sendiri untuk dia kenakan. Maya memang sempat menjalin hubungan dengan Satomi. Tapi dia tidak pernah bisa benar-benar melupakan Masumi. Akhirnya mereka sepakat untuk mengakhiri hubungan dan hanya menjadi teman baik.
Maya akhirnya mengenakan cincin tersebut untuk menghindari pria-pria yang mendekatinya. Selama dia masih mencintai Masumi, dia tidak berniat melepasnya. Itu adalah cincin bukti kesetiaan Maya pada ikatannya dan Masumi yang mungkin tidak pernah ada.
Namun sekarang dia sudah bertemu kembali dengan Masumi. Pria itu sudah bahagia. Dia kembali teringat bahwa Masumi sampai kapanpun tidak akan menjadi miliknya. Dia harus melanjutkan hidupnya dan melupakan Masumi. Benar-benar melupakannya.
Maya melepas cincin itu dari jemarinya.
“Selamat tinggal Pak Masumi, Mawar Ungu-ku…” Maya membuang cincinnya melalui jendela taksi.
=//=
Masumi mematung mengamati taksi Maya yang berlalu pergi. Dia ingin mengejarnya, sangat ingin mengejarnya namun sekuat tenaga dia menahan diri.
Relakan dia pergi Masumi, relakan dia bahagia…
Hatinya melarang.
Masumi mengeratkan kepalan tangannya dan mengetatkan rahanganya. Kenapa dia tidak kunjung terbiasa dengan perpisahan ini?
Masumi tahu dia sudah tidak punya hak untuk Maya, kesempatannya mendapatkan gadis itu sudah habis. Sudah tidak penting lagi siapa meninggalkan siapa, yang pasti mereka berdua sudah menyerah.
Dia bahagia, Masumi. Dia bahagia… Bukankah itu yang terpenting?
Masumi memutar arahnya, mulai melangkah menuju mobilnya berada. Dipandanginya cincin yang melingkar di jarinya. Cincin yang dia benci, seperti sebuah kutukan.
Masumi melepasnya. Sudah lama dia tidak mengenakannya. Hari ini dia memakainya karena dia tidak mau gadis itu mengkhawatirkannya. Masumi sedang mengurus perceraiannya sekarang. Dia berpikir untuk pergi ke Amerika dan mencari Maya setelah urusan perceraiannya selesai. Namun ternyata, gadis itu sudah bertunangan. Sudah menemukan orang lain yang akan membahagiakannya. Jalan untuknya sudah tertutup, dan dia tidak boleh menghalangi gadis itu mendapatkan ke bahagiaannya.
Masumi melepaskan cincinnya. Menjatuhkannya ke jalanan dan memasuki mobilnya. Pulang menuju kesendiriannya.
=//=

Anonymous said...

idem with purple ... walaupun akhirnya maya-masumi bisa bersatu, sedihnya masih kerasa. karena jujur walaupun gua tau pernikahan shiori - masumi kemungkinan besar pasti terjadi tapi gua gak pernah ngarapin pernikahan itu terjadi walaupun cuma sehari :-D rasanya itu mengurangi kesakralan hubungan maya-masumi *halah...halaaahhhh...* ( rini )

Anonymous said...

Whoooaaaaa....!! Versi original-nya lebih bikin sesak, Ty!! Tetep aja di akhirnya mereka nutupin perasaan masing2 yg sebenar2nya. Kalo udah kayak gitu, gua cuma bisa bilang itu permainan takdir ( rini )

mommia kitajima on 2 August 2011 at 17:49 said...

vote happy ending

Anonymous said...

wiiihhhhh sad endingnya mantabbbb oiiiii .... kerasa banget lonelinessnya .... sigh seperti kata patkai - itulah cinta , deritanya tiada akhir - * sambil menatap matahari tenggelam *

Muree on 2 August 2011 at 17:52 said...

Hwaaa nyesek deh bacanya. Berasa sakitnya nahan perasaan gt. Original storynya jg bikin ... Hh,..

orchid on 2 August 2011 at 18:11 said...

saya menyukai ke2 versinya, sama besar, gugugugu, kirain masuminya ketabrak jadi si maya minta taxinya berhenti, akakak, untung2

Anonymous said...

happy dan sad ending sama2 menyayat hatinya...abis Masumi menikahi shiori....

anita f4evermania on 3 August 2011 at 08:20 said...

huwaaa tyyyyy untung lo gk jd bikin sad endinnnnggg klo gak bisa g timpukkkkkk lo ;p
hahahahah sad nya berassaaa bagnet lonely hiks hiks. hepi hepi aja aaah hidup ud susah jgn ditambah sediiih

Anonymous said...

Sedihnya berasa banget ty..
Kasih tak sampai (untuk yg sad end)

Resi said...

pokoknya MM hrs happy endiiing, percuma dong nunggu bertahun2 kl sad ending hehehe.
Bagus tyy, i like it. Tp judulnya kyk film hantu xixixi....

Anonymous said...

Untung diganti jadi HE... leganya... suka banget...
-Fefe-

Anonymous said...

kalo beneran yg sad ending yg diposting, musti ada scene tambahan.. 'seorang gelandangan yang sedari tadi mengamati mereka berdua, merasa kegirangan. segera setelah taksi Maya berlalu dan Masumi menuju mobilnya, dipungutnya cincin Masumi. Lalu disusurinya jalan hingga ditemukannya cincin Maya. "Lumayan... kaya deh gue kalo tiap hari ada yang buang-buang cincin kayak gini" *hahahahahahahahhahaa, maap ya Ty*

bagus Ty, menusuk banget alurnya *apasih?*
eh, ngomong2 itu yg menikah Koji dan Ayumi? atau Koji dengan someone dan Ayumi dgn someone? maap lagi kalo OOT, hehehe

-jewel in the palace-

ladangdandelion said...

Kayaknya klo berhenti di adegan Maya pergi dengan taksi, sad ending, lebih berdarah-darah deh bacanya.... Hehehe...

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting