Sunday 20 March 2011

Fanfic TK: Uncertainty

Posted by Ty SakuMoto at 14:10
Setting cerita pada saat Ayumi akan memainkan peran solo Juliet


UNCERTAINTY



“Bagus sekali…” seorang berkata.

“Sempurna…” kata seorang lainnya.

Banyak pujian mengiringi tepuk tangan yang terdengar di akhir sesi latihan gladi resiknya, Ayumi tersenyum dan mengangguk anggun. Ia lalu meraih tasnya dan berjalan menuju ruang ganti.

Juliet… Seorang Juliet yang jatuh cinta pada Romeo pada pandangan pertama.

Walaupun pentas solo Julietnya akan dimulai esok malam, Ayumi masih belum bisa memahami sepenuhnya mengenai perasaan Juliet. Belum lagi selama ini latihannya memang lebih dititikberatkan pada kemampuan pantomimnya.

Berakting jatuh cinta, bahkan saat memiliki pasangan bermain, bukanlah hal yang mudah. Apalagi saat ini dia akan memerankan Juliet yang jatuh cinta seorang diri. Tanda tanya besar mengenai sosok Romeo seperti apa yang akan membuat Julietnya jatuh cinta, Ayumi sama sekali tidak punya gambaran.

Kenapa dia bisa jatuh cinta pada seorang Romeo? Karena ketampanannya? Karena matanya yang indah? Kenapa Juliet sampai kehilangan akal sehatnya? 

Romeo dari Juliet-ku…  ROMEOKU…
 
Ayumi merasa masih banyak yang tidak dipahaminya, dan dia terus memikirkan hal tersebut sambil membereskan semua barang-barangnya.

Ayumi tersenyum dan menyapa orang-orang yang dilaluinya sebelum keluar dari teater Hayami dan menaiki mobilnya.

Aku masih belum mengerti…

Pentas solo Juliet adalah pentas terakhirnya di bawah Teater Hayami Anak-anak sebelum dia pindah ke Teater Hayami Remaja. Ayumi ingin mementaskannya sesempurna mungkin oleh karena itu dia melakukan latihan habis-habisan dan tidak jarang pulang sampai malam seperti hari ini.

Selain itu, penampilannya dalam drama ini juga akan dinilai oleh para Juri Festival Seni. Belakangan dia selalu merasa segala latihannya tidak pernah cukup saat teringat akan saingannya, Maya Kitajima.

Apa yang sedang dilakukan olehnya saat ini? Maya… Aku akan menunggumu mengejarku dan kita akan kembali bersaing secara sehat. Aku pasti menang darimu…

“Pak Nakamura, berhenti di sini. Aku ingin berjalan-jalan, pulanglah terlebih dahulu. Aku akan menghubungimu jika ada yang kuperlukan.” Kata Ayumi kepada sopirnya.

“Nona, apa Anda akan baik-baik saja? Belakangan ini Anda sudah latihan sangat berat.” Sopirnya terdengar khawatir.

“Tidak apa-apa Pak, hanya sebentar saja. Aku ingin memikirkan sesuatu.” Kata Ayumi.

“Baik Nona,” Sopirnya meminggirkan mobilnya.

Ayumi turun di tempat keramaian dan hanya membawa tas tangannya. Jalanan tampak sedikit becek karena baru saja hujan menyiram Tokyo.

Ayumi berjalan-jalan sendirian, mengamati beberapa pasangan yang ditemuinya. Kadang langkahnya terhenti saat ada yang memberanikan diri meminta tanda tangannya, walaupun kebanyakan hanya memandangi dengan terkagum-kagum saat mereka menyadari ada Ayumi di sana.

Masih belum mengerti Romeo seperti apa yang ada di benaknya, tidak jarang Ayumi mengamati pria yang berpapasan dengannya.

Ayumi lalu memasuki sebuah café langganannya.

“Halo Ayumi…” Sapa seorang pelayan yang sudah mengenalnya.

Ayumi memesan sepotong blueberry cheesecake dan lemon tea hangat pada pelayan tersebut yang memintanya menunggu sebentar.

Ayumi duduk di sebuah kursi yang berkesan antik dengan tempat duduk berbentuk bundar dari kayu dan sandaran elips dari besi yang diukir dengan cantik sedemikian rupa. Itu adalah tempat favoritnya di café tersebut. Tapi kali ini, ada perasaan tidak nyaman menghinggapinya. 

Ayumi menyadari bahwa dia sudah sangat memforsir tubuhnya dengan terus menambah porsi latihannya. Ayumi tidak pernah puas dan berusaha keras mencapai kesempurnaan tanpa menghiraukan orang-orang di sekitar yang mengkhawatirkannya. 

Ayumi memandang keluar dari jendela di sampingnya. Masih memikirkan peran Juliet dan bentuk Romeo yang dicintainya.

“Silahkan Nona,” Seorang pelayan menyajikan pesanannya.

Ayumi tersenyum dan berterima kasih.

Saat itulah Ayumi menangkap sesosok pria yang sedang duduk sendirian di pojok café. Secangkir minuman, sepertinya kopi, terletak di atas mejanya. Mengenakan setelan gelap dan sebuah mantel disampirkan pada kursi di depannya.

Ayumi mengamati pria tampan itu. Entah kenapa Ayumi merasa tertarik pada pria tersebut yang dengan sangat serius membaca sesuatu di tangannya. Seperti menyadari, pria itu tiba-tiba menoleh pada Ayumi. 

Ayumi sedikit terkesiap. Namun sebelum Ayumi mengalihkan pandangan, pria tersebut sudah mendahului dengan kembali berkutat pada bacaannya. Ayumi, tidak seperti biasanya, merasa sedikit malu sudah tertangkap basah mengamati orang tersebut. Ia lalu berkonsentrasi pada cake dan lemon tea-nya.

Tujuan Ayumi adalah Ia bermaksud mengamati para pasangan yang ada di sana, ingin memahami bahasa tubuh dan sorot mata mereka.Tapi sejak kejadian barusan, dia merasa sedikit resah. Tanpa disadari, beberapa kali Ayumi melihat ke arah pria tersebut yang tidak pernah lepas membaca kertas-kertas di tangannya.

=//=

Setelah selesai dan membayar pesanannya, termasuk beberapa potong cheese cake untuk dibawa pulang, Ayumi melangkah keluar. Di pintu café dia bisa merasakan hujan rintik-rintik kembali membasahi Tokyo. Angin malam yang dingin berebut menyentuh kulitnya yang tidak terlindungi dan Ayumi merasakan tubuhnya mulai menggigil.

Tak lama kemudian keadaan di sekelilingnya mulai berputar seakan-akan Ia sedang menaiki carrousel sebelum semuanya lantas menjadi gelap.

=//=

Ayumi membuka matanya perlahan. Mengerjap-kerjapkannya. Rasa sakit di kepala mengiringi setiap bias cahaya yang menembus matanya. Tiba-tiba Ayumi mengangkat tubuhnya waspada, mengamati sekeliling yang tidak dikenalnya.

Ini… dimana?!

Ayumi berusaha mengingat-ingat. Ia berusaha keras sebelum akhirnya berhasil mengumpulkan kepingan ingatan terakhir yang direkam otaknya. Dia keluar dari café, hujan rintik-rintik, keramaian… dan… Ayumi tidak ingat apa-apa lagi.

Apakah semalam aku pingsan? Ini di mana? Siapa yang membawaku ke sini?

Ayumi turun dari tempat tidur. Ia berada di sebuah apartemen yang minimalis dan sangat bersih. Melihat keadaan apartemen tersebut, Ayumi yakin penghuninya pastilah seorang pria. Tapi Ayumi tidak menemukan sebuah foto pun di ruangan tersebut. Lalu pandangannya tertumpu pada sebuah meja. Ayumi menghampirinya.

Ada makanan dan sebuah kertas di sana. Ayumi meraih dan membacanya.

[Untuk Nona yang sedang sakit,
Ini adalah sarapan untukmu, makanlah. Tasmu ada di atas meja di samping tempat tidur bersama obat dari dokter. Gunakan apa saja yang perlu kau gunakan. Setelah pulang, simpan saja kuncinya di bawah keset.]

Ayumi mengerutkan alisnya penasaran.

Siapa sebenarnya dia?

Ayumi mengamati sekelilingnya. Yang paling menarik perhatiannya adalah tumpukan majalah dan surat kabar yang tertata rapi di sebuah meja sudut. Ayumi membuka-bukanya. Tidak hanya satu-dua judul surat kabar yang dibeli orang tersebut setiap harinya. 

Pandangan Ayumi berkeliling, mengamati ruangan tersebut. Ia lantas menarik lemari pakaian, laci-laci, lemari buku. Semua terkunci. Tentu saja, ada orang asing ditinggal sendiri di rumahnya, memang sudah seharusnya semua dikunci.

Orang itu pasti sangat waspada… pikir Ayumi.

Ayumi lantas kembali pada meja makan dan mulai menyantap sarapan paginya.

=//= 

Sekitar jam 10 AM, Ayumi tengah membaca sebuah majalah saat didengarnya sebuah langkah kaki mendekati apartemen tersebut. Ayumi beranjak ke pintu. Terdengar suara-suara di balik pintu sebelum akhirnya disusul dengan sebuah ketukan. Dengan cepat Ayumi meraih kunci dan membukanya. Seorang pria berdiri di sana.

“A… anda?” Ayumi membelalakkan matanya sedikit saat melihat sosok di hadapannya. 

Pria itu pun terlihat sedikit terkejut tapi tidak kentara,

“Kau masih di sini?” Tanyanya datar namun masih sopan.

“Iya. Setidaknya aku ingin melihat orang yang sudah menolongku.” Kata Ayumi dengan nada percaya dirinya.

Ayumi menggeser tubuhnya saat pria tersebut masuk.

“Tuan…” Panggil Ayumi setelah menutup pintu dan berbalik mengikuti pria tersebut, “kalau tidak salah, kita bertemu tadi malam di café?”

Pria itu melirik Ayumi sekilas sebelum membuka mantelnya dan menggantungkannya di samping lemari pakaian.

“Benar, saat itu aku ada di belakangmu pada saat kau pingsan.” Terangnya. 

Dengan tangannya Ia mempersilahkan Ayumi duduk. Ayumi lantas duduk di sebuah sofa. Ia mengamati pria tersebut mengambil dua buah cangkir.

“Terlalu pagi untuk lemon tea hangat?” Tanyanya kemudian.

“Tidak. Terima kasih Tuan.” Jawab Ayumi sambil menggeleng pelan.

Dari mana dia tahu aku suka lemon tea? Apa hanya kebetulan?

“Aku melihat kau memesan lemon tea tadi malam, kupikir kau pasti menyukainya.” Terang pria tersebut seakan-akan membaca pikiran Ayumi.

Ayumi tertegun. Dia tidak ingat orang tersebut melihatnya lagi setelah pandangan mereka yang beradu pertama kali.

Ayumi masih diliputi kebingungan, tanpa disadarinya dia merasakan ketertarikan pada pria yang sepertinya berusia beberapa tahun di atasnya tersebut.

Pria itu menghampiri Ayumi dan meletakkan salah satu cangkir di hadapannya.

“Terima kasih.” Kata Ayumi dengan sopan.

“Tidak perlu sungkan…” jawab pria tersebut dan duduk di hadapan Ayumi.

“Namaku Ayumi Himekawa, Tuan. Dan Anda…” Ayumi memperkenalkan dirinya.

“Akira Kurozawa. Kau bisa memanggilku Kurozawa.” Kurozawa meminum tehnya.

“Apa kau sudah merasa baikan? Tadi malam dokter mengatakan bahwa tekanan darahmu turun karena kondisi badanmu yang melemah. Kau terlalu bekerja keras, kau harus lebih banyak memperhatikan kesehatanmu. Kau bahkan tidak menyadari kalau badanmu sedang demam, Nona?”

“Kau bisa memanggilku Ayumi,” kata Ayumi.

Kurozawa tersenyum tipis dan mengangguk mengerti. Ayumi merasakan desiran aneh melihat senyumnya.

“Rasanya… aku pernah melihatmu dan mendengar namamu…” gumam Kurozawa, sedikit menyipitkan matanya mengamati Ayumi.

Ayumi tidak tahu lagi. Apakah tatapan matanya yang tajam tapi memancarkan kelembutan, cara berbicaranya yang efisien namun terdengar begitu santun, atau kenyataan bahwa pria itu telah berbuat baik dan memberi perhatian pada dirinya walaupun mereka tidak saling mengenal, yang telah membuat Ayumi merasakan kehangatan di hatinya. 

Ayumi tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Setidaknya, tidak dengan lawan main yang pernah dimanfaatkannya untuk memperdalam akting atau dengan pria manapun yang baru ditemuinya dalam hitungan menit atau jam.

“Aku adalah seorang aktris. Memang belakangan aku berlatih sangat keras untuk peran yang akan kumainkan dalam pertunjukanku. Tapi sekarang aku sudah merasa jauh lebih baik. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih banyak Kak Kurozawa untuk pertolonganmu. Kau tidak keberatan ‘kan aku memanggilmu kakak?” Tanya Ayumi.

Kurozawa kembali tersenyum, kali ini lebih ramah, menandakan bahwa dia tidak keberatan.

“Ah, maafkan aku... Aku yakin kau pastilah aktris hebat dan berbakat Ayumi, jika mengingat betapa seriusnya kau dalam berlatih. Aku menyesal aku tidak banyak tahu mengenai dunia akting dan pertunjukan.” Sesalnya.

“Tidak, aku justru senang jika kakak tidak mengenalku. Aku terbiasa dikelilingi oleh orang-orang yang berbuat baik hanya karena nama keluarga yang kumiliki sehingga membuatku terkadang meragukan orang lain…" Ayumi menggeleng sambil tersenyum riang. 

"Setidaknya aku tahu kalau kau adalah orang yang tulus…” Puji Ayumi dengan gembira.

Kurozawa terdiam sesaat, mengamati Ayumi meminum lemon tea-nya.

“Tapi sekeras apapun latihanmu, hal itu tidak akan berguna jika kau jatuh sakit saat akan berakting kan?” nasehat Kurozawa.

“Iya… hanya saja… belakangan ini, aku merasa tidak tenang. Kalau teringat sainganku… Aku...” Mata Ayumi terlihat bertekad dengan rahang yang dikatupkan.

“Sainganmu?”

“Iya… namanya Maya Kitajima. Dia gadis yang sangat berbakat. Setiap melihatnya berakting dia selalu membuatku merasa kalah. Teringat padanya membuatku merasa tak tenang… Aku… sangat iri padanya… pada bakatnya…” papar Ayumi.

Di mata Ayumi menari-nari bayangan akting Maya yang pernah dilihatnya. Semangat bersaing terpancar jelas di matanya. Kurozawa bisa merasakannya dan muncul benih kekaguman pada tekad gadis anggun di hadapannya tersebut.

“Aku yakin, kau pasti akan mampu melakukan yang terbaik, Ayumi,” dukung Kurozawa.

Eh?!

Ayumi menoleh pada Kurozawa.

“Terima kasih…” Ayumi tersenyum merasakan ketulusan Kurozawa dari setiap kata-katanya.

Ayumi sangat senang mendengarnya dan dia sama sekali tidak menyembunyikannya.

“Kau bekerja dimana Kak Kurozawa?” Tanya Ayumi kemudian.

Kurozawa sedikit terkejut, tapi kembali tenang.

“Aku bekerja pada sebuah perusahaan Jepang namun ditempatkan di cabangnya yang berada di Seoul, Korea, kebetulan saat ini sedang ada urusan di Tokyo. Aku bekerja di sebuah perusahaan perdagangan,” terang Kurozawa.

Ayumi mengangguk, mendengarkan.

“Apakah kakak masih lama berada di sini? Aku ingin mengundangmu pada pertunjukanku.” Kata Ayumi.

“Maaf… Ayumi… tapi ini hari terakhirku di Tokyo. Besok malam aku sudah harus kembali ke Korea. Hari ini aku berencana membereskan barang-barangku.” Raut sesal kembali tergambar di wajah Kurozawa.

Ayumi tertegun.

“Besok…?” Ada rasa tidak rela mendatangi perasaannya.

“Kak Kurozawa… aku…” Ayumi berusaha menahan diri agar tidak terlalu emosional, “aku... nanti malam ada pertunjukan dan pesta syukuran… Tapi besok pagi… aku bisa menemuimu sebentar sebelum kau pergi. Bolehkah?” Harap Ayumi.

Kurozawa bergeming.

“Aku sangat senang jika kau mau kembali bertemu denganku,” katanya kemudian sambil kembali tersenyum ramah.

“Baiklah, aku harus pergi sekarang. Oh iya, tadi aku menggunakan telepon untuk menghubungi kediamanku, mereka mengkhawatirkanku karena tidak pulang semalaman.” Terang Ayumi.

“Ahh… tidak masalah. Kuharap mereka belum menghubungi polisi.” Canda Kurozawa.

Ayumi tertawa, “Ya. Mereka sempat mengira aku diculik, tapi karena tidak ada yang meminta tebusan, mereka mengurungkan niatnya memanggil polisi dan memutuskan menunggu. Mamaku sempat memarahiku, walaupun bukan satu dua kali aku menghilang untuk mendalami peranku,” tutur Ayumi.

“Sepertinya keluarga yang hangat…” Kurozawa tersenyum.

“Kapan-kapan kakak datanglah ke rumah, mereka pasti ingin bertemu dengan orang yang sudah menolongku. Terutama bibi pengasuhku.” Undang Ayumi sambil meraih tasnya.

“Ya, kuharap suatu saat kalau aku datang lagi ke Jepang aku bisa bertemu kembali denganmu dan berkunjung ke rumahmu.” Kurozawa mengantar Ayumi ke pintu.

Ayumi memasang sepatunya dan berputar ke arah Kurozawa.

Sejenak keduanya berpandangan. Ayumi merasakan getaran-getaran di tubuhnya yang bereaksi tidak biasa saat mata mereka bertemu dan membuat Ayumi tidak yakin karena dia baru pertama kali mengenal perasaan itu.

“Kak Kurozawa… Apakah ada nomor yang bisa kuhubungi…? Maksudku… Aku menyukaimu. Setidaknya aku tidak ingin tidak berhubungan lagi denganmu.” Kata Ayumi terus terang.

Dari dahulu dia selalu berusaha keras, dan saat ini itulah yang ada di benak Ayumi. Dia tidak ingin tidak melihat pria itu lagi.

Kurozawa tersenyum, “Bolehkah aku saja yang menyimpan nomormu, Ayumi? Kalau aku akan datang kembali ke Jepang, aku akan mengabarimu. Akupun sangat menyukaimu dan kuharap kita bisa bertemu lagi,” jawab Kurozawa.

Ayumi mengangguk setuju. Ia mengeluarkan secarik kertas dan menuliskan nomor telepon rumahnya di sana. Ia menyerahkannya pada Kurozawa.

“Terima kasih,” ucap Kurozawa setelah mengamati kertas tersebut beberapa saat.

“Baiklah, aku permisi. Sampai bertemu besok,” kata Ayumi melambaikan tangannya dan melangkah keluar.

Kurozawa mengangguk sambil tersenyum sopan.

“Ayumi!” Panggilnya sekali lagi.

“Iya?” Ayumi memutar badannya.

“Sandiwara apa yang akan kau mainkan?” Tanya Kurozawa sambil melangkah menuju pintu.

“Aku memainkan peran solo sebagai Juliet,” terang Ayumi.

“Aku yakin, kau… pasti akan memerankannya dengan sempurna dan luar biasa. Semoga pertunjukanmu sukses,” Kata Kurozawa memberi semangat.

Ayumi tertegun sebentar. Ayumi sangat tersentuh dengan dukungan yang diberikan Kurozawa. Perasaan emosional yang sedari tadi berusaha keras ditekannya, mendesak keluar.

Hasilnya, Ayumi melangkah mendekati pria itu. Sedikit menjinjitkan kakinya, Ayumi mengecup ringan pipi Kurozawa.

“Terima kasih…” katanya dengan tulus.

Bibir Kurozawa sedikit terbuka, terkejut.

Ayumi…

Ayumi kembali melambaikan tangannya dan berjalan meninggalkan apartemen tersebut.


=//=

Kurozawa melangkah masuk, mengunci pintunya.

Dia masih bisa merasakan keberadaan Ayumi di sana. Wangi yang tidak pernah ada di ruangan tersebut masih dapat diciumnya. Dilihatnya cangkir Ayumi. Ia ingat bagaimana bibir gadis cantik itu menyentuh ujung cangkir dengan anggun dan bibir yang sama menyentuh pipinya belum lama ini. Bahkan degupan jantungnya belum mereda sampai sekarang.

Pria itu berjalan ke arah jendela, dilihatnya Ayumi di bawah sedang menunggu taksi. Sebuah taksi berhenti. Ayumi menengadahkan kepalanya sebentar. Kembali pandangan keduanya bertemu. Ayumi tersenyum mempesonakan pria itu, lalu melambaikan tangannya sebelum akhirnya masuk ke dalam taksi yang membawanya pergi. Kurozawa mengamati Ayumi berlalu. Terakhir kalinya dia memandang gadis itu sebagai seseorang yang mengenalnya.

Sekian lama Kurozawa masih bergeming di tempatnya seakan-akan Ayumi masih berdiri di sana. Ia akhirnya menjauh dari jendela dan mengangkat teleponnya untuk menghubungi seseorang.

“Halo…” terdengar suara seorang pria di seberang telepon.

“Tuan Masumi…” Sapanya.

“Hijiri…? Ada apa?” Tanya Masumi di telepon, menyebutkan nama asli pria itu.

“Tuan Masumi, saya sudah mendapatkan data-data perusahaan X yang Anda minta, namun mengenai Tuan Tachibana saya belum memperoleh info karena…" Hijiri memberi jeda sejenak, tidak ingin membuat Tuannya khawatir.

"...barusan ada hal mendesak yang harus saya selesaikan.” Hijiri menyelesaikan kalimatnya yang tertunda.

“Mendesak?”

“Iya, Anda tidak perlu khawatir Tuan, semua sudah teratasi, namun saya harus segera berpindah tempat tinggal karena saya terpaksa memberitahukan tempat tinggal saya pada seseorang tadi malam.” Terang Hijiri.

Masumi kembali terdiam.

“Aku percaya padamu, kau lakukan saja apa yang menurutmu paling baik.” Ujar Masumi.

“Baik Tuan, nanti saya akan mengabari lagi.”

“Baiklah. Hijiri…” panggil Masumi.

“Iya Tuan?”

“Besok… bisakah kau pergi ke SMA Hitotsuboshi dan mengirimkan mawar ungu dariku untuk Maya?”

“Baik, Tuan. Saya juga akan melaporkan semua hal mengenai pementasannya kepada Anda…”

“Terima kasih, Hijiri. Temui aku lusa di tempat yang sudah ditentukan,” perintah Masumi.

“Baik, Tuan.” Patuh Hijiri.

Hijiri menutup teleponnya. Dipandanginya kembali kertas berisi nomor telepon Ayumi yang sedari tadi masih dipegangnya. 

Nona Ayumi…

Pikirannya resah, menimbang apakah akan menyobek kertas tersebut atau tidak. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Hijiri tidak yakin dengan apa yang harus dilakukannya.


<<< Uncertainty .... END >>> 

5 comments:

Anonymous said...

ty ty ty n_n' kuereeeeeeeeen

Anonymous said...

aku memang berharap hijiri bisa jadian sama ayumi(gak mungkin bgt ya?!). suka ty, bagus!
-nadine-

Anonymous said...

Tyyyy....
buat yg lain Hayoooooo!!!!!!!!!!!

BULAT!

dina ( I ♥ Topeng kaca ) on 30 March 2011 at 23:18 said...

TYYYYYYY lanjutin jadi in ayumi ama hijiri ,biar mizuki ama himillllll

Anonymous said...

sumpaaaah... SUKA!! berkesan bacanya,, TYYYYYYY.. lupyu.mwaaah



HeniHid

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting