Sunday 25 March 2012

Fanfic TK: Die valentine von Max und Maya

Posted by Ty SakuMoto at 14:53



Die valentine von Max und Maya
(by. Olivia Star)



Pagi itu, Maya bangun dengan perasaan tidak menentu. Ia membereskan futon dan selimutnya tanpa semangat, demikian pula saat ia membantu Rei menyiapkan sarapan.

“Brrrr, dinginnya hari ini!” ujar Rei sambil merapatkan kedua tangan di tubuhnya. “Rasanya malas pergi latihan di hari yang dingin seperti ini.”

Karena Maya tidak memberikan tanggapan, Rei menoleh heran padanya.

“Maya?” tanyanya. “Kamu baik-baik saja?”

Perlu beberapa puluh detik hingga Maya sadar bahwa Rei sedang bertanya padanya. “Oh, eh, ya Rei, ada apa?”

Gadis tampan yang sudah seperti kakaknya sendiri itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Absent-minded Maya, seperti biasa. Kali ini ada apa lagi, Maya?”

Yang ditanya menggelengkan kepalanya saja dengan lemah.

Mereka mulai sarapan. Seperti biasanya dalam beberapa bulan terakhir ini, Maya tidak bersemangat makan.

“Ahh, susah memberi tahu kamu ini, Maya,” Rei mendecak, setengah kesal.

Rei tiba-tiba melemparkan sesuatu pada sahabatnya. Refleks, Maya menangkapnya dengan tangan kanan, kemudian membuka genggamannya dengan hati-hati.

Sebuah benda kecil berbentuk bola, diameternya mungkin hanya sekitar tiga sentimeter. Lapisan luarnya adalah kertas aluminium bermotif segilima hitam dan segienam putih, seperti bola sepak.

“Apa ini, Rei?” tanya Maya takjub. “Coklat?”

“Yeap.” Rei tersenyum lebar. “Selamat hari valentine, Maya!”

“Rei, aku ‘kan bukan cowok?”

“Itu coklat persahabatan,” Rei tertawa. “Aku masih punya banyak di sakuku, nih. Akan kubagikan pada teman-teman cowokku.”

Ia merogoh saku kemejanya dan menunjukkan bola-bola lain yang seukuran bola coklat yang diberikannya pada Maya. Ada bola sepak, bola basket, bola voli, bola tennis dan bola baseball.

Maya tertawa. “Ih, coklat-coklatnya Rei banget!”

“Apa boleh buat,” Rei tersenyum kambing, mengoleskan madu pada roti panggangnya. “Aku ini memang hermaphrodite. Sudah lama aku membantah kenyataan itu. Sekarang kuakui saja.”

“Lalu, mana coklat istimewa untuk cowok yang kamu sukai?”

“Ah, semua cowok kuperlakukan sama saja. Tidak ada yang kuistimewakan.”

“Lalu, bagaimana dia bisa tahu perasaanmu?”

“Dia harus menebaknya sendiri,” Rei tersenyum misterius.

“Seharusnya, kau membuat sebuah coklat yang feminine dan istimewa untuk cowok yang kamu sukai, Rei,” saran Maya sambil meminum teh herbalnya. Dia benar-benar tidak berselera makan.

“Feminin?! Maaf ya, aku tidak sudi mengubah kepribadianku hanya untuk seorang cowok. Kalaupun ada, dia harus menerimaku apa adanya.”

“Kamu hebat, Rei,” puji Maya dengan tulus. “Aku tidak punya kepercayaan diri seperti itu.”

“Lalu bagaimana denganmu? Mana coklat-coklatmu?” Rei balik bertanya. “Siapa yang beruntung mendapatkan coklat istimewa darimu? Sakurakoji?”

Maya tersenyum, kemudian bangkit untuk mengambil kotak coklatnya dari lemari.

“Ini dia, Rei,” gadis itu membuka tutup kotaknya dan memperlihatkan coklat-coklat mungil berbentuk bintang, berlapiskan kertas pembungkus berwarna emas dan perak.

“Aaah, cantik sekali!” seru Rei. “Betapa beruntungnya cowok-cowok yang mendapatkan coklat dari cewek secantik kamu, Maya.”

Maya menatap sahabatnya dengan serius dan heran.

“Rei,” katanya, “kamu tahu persis kalau aku tidak cantik.”

Rei tertawa terbahak-bahak.

“Kamu tetap gadis yang sama, yang sederhana, pemalu, dan kurang kepercayaan diri,” Rei meminum tehnya. “Kuberi tahu ya, kamu sekarang sudah tumbuh, dari anak itik buruk rupa menjadi seekor angsa muda yang manis. Kamu tinggal bergerak dengan luwes dan tanpa malu-malu lagi – maka wush! Pesonamu akan langsung terpancar seperti sinar bulan, Maya.”

Maya balas tertawa.

“Kalau kamu cowok, itu tadi sudah kuanggap ajakan kencan, Rei,” katanya. “Sebagai balasannya, nih…”

Ia memberikan sebuah bintang berwarna perak pada sahabatnya.

“Maya, aku ‘kan bukan cowok?!”

Sahabatnya tertawa. “Di mataku, kamu selalu merupakan seorang cowok pelindung, Rei.”

Ia tertawa tergelak-gelak saat Rei melemparinya dengan kacang polong.

***


Udara di luar masih dingin sekali. Salju menutupi hampir seluruh benda yang ada di  jalanan Tokyo. Semuanya terlihat putih. Cuaca ekstrem yang tengah melanda bumi mempengaruhi juga kota metropolitan ini.

Maya berayun perlahan di atas ayunan kanak-kanak di taman bermain itu. Di tangannya ada sebuah kotak mungil. Ia memandangi kotak itu, merenunginya lama-lama, seolah tidak tahu apa yang harus dia lakukan dengan benda itu.

Semua teman dekat prianya sudah diberinya masing-masing sebuah coklat mungil berbentuk bintang yang telah dia siapkan sejak kemarin. Para pemain ‘Bidadari Merah’ di tempat latihan, beberapa kenalan di seputaran apartemennya, cowok-cowok teater Ikkakuju, dan bahkan Pak Kuronuma yang galak pun tidak terlewatkan. Maya tersenyum mengingat wajah Pak Kuronuma saat menerima coklatnya. Katanya, dia tidak pernah lagi menerima coklat seperti itu sejak lulus SMA. Tetapi raut wajah konyolnya itu hanya bertahan sebentar. Sesaat kemudian, ia sudah merobek bungkus coklat itu dan melemparkan isinya ke dalam mulut dengan gaya tak acuh.

“Itu sebabnya aku suka Pak Kuronuma,” pikir Maya.

Yuu Sakurakoji tentu saja kebagian juga. Jika temannya yang lain hanya mendapat satu-satu, Sakurakoji mendapat sebungkus coklat bintang di dalam plastik mungil berhias pita. Tentu saja ia memberikan bingkisan itu diam-diam, agar tidak menjadi bahan gosip lagi. Dia bosan digosipkan.

Namun, coklat yang diberikannya pada Sakurakoji juga tidak istimewa.

Ia menatap lagi kotak mungil di tangannya. Sebuah kotak karton dengan tutup bening, berhias pita berwarna perak dan ungu yang manis sekali. Isinya dua keping coklat berukuran beberapa kali besar coklat yang dibagi-bagikannya tadi, berbentuk bintang, berlapis kertas aluminium perak dan emas.

Coklat buatannya sendiri.

Pikirannya kosong. Ia seolah-olah lupa, untuk apa dia mempersiapkan coklat ini. Untuk apa dia mencoba begitu banyak resep (secara diam-diam agar jangan sampai ketahuan Rei), sampai dia yakin bisa membuat coklat hitam rempah yang enak, tidak terlalu manis, dan maskulin. Untuk apa dia mempersiapkan kertas pembungkus dan kotak berpita sebagus mungkin.

Untuk siapa coklat ini?

Ia mengeluh pelan, putus asa, seolah-olah sudah berusaha keras mengingat siapa yang berhak atas coklat ini namun gagal. Seolah-olah ia terkena amnesia.

Ia menoleh ke atas, ke arah langit, dan tiba-tiba saja dia sadar bahwa hari sudah senja. Jalanan sudah penuh dengan para karyawan yang pulang dari tempat kerja mereka. Tak lama lagi hari akan beranjak malam.

Panik, ia berusaha mengumpulkan seluruh pikirannya kembali. Untuk siapa benda ini? Untuk siapa, Maya bodoh? Kamu sudah mempersiapkannya baik-baik, dengan penuh perasaan dan ketulusan, dan sekarang kamu lupa untuk apa kamu membuatnya?

Kemudian ia panik pula menyadari bahwa jam kantor sudah hampir usai. Para penghuni gedung-gedung tinggi itu akan kembali ke sarang mereka masing-masing…

Dalam kekalutannya, dia mengambil telepon genggamnya dan menghubungi sebuah nomor.

“Halo. Selamat sore,” sebuah suara alto yang merdu dan berwibawa terdengar di seberang sana. “Dengan Mizuki Saeko di sini.”

“No-nona Mizuki,” nafas Maya memburu dan tidak teratur saat ia berbicara pada mantan manajernya yang sering terlihat kaku namun sebenarnya baik hati itu. “Selamat malam, maaf mengganggu Anda. Maaf saya tidak menelepon ke nomor kantor Daito, soalnya… soalnya…”

“Oh, Maya?” Nona Mizuki mengenali suaranya yang pasti terdengar menggelikan itu. “Ada apa? Ada yang bisa kubantu?”

“Begini –“ tekanan suara Maya naik-turun tidak karuan karena panik, “P-Pak Hayami masih ada di tempat?”

Astaga, Mizuki menghela nafas dengan sabar. Tentu saja Maya menelepon untuk menanyakan musuh yang paling dibencinya di seluruh dunia itu. Dua orang ini benar-benar konyol. Mengapa sih sampai aku harus terjebak di antara mereka, pikirnya.

“Ya, Maya, beliau masih ada di tempat.”

“Sampai malam?”

“Biasanya demikian. Dia tidak akan beranjak dari kantor sampai menjelang tengah malam, biasanya.”

“Bahkan di hari Sabtu seperti sekarang?”

“Terutama di hari Sabtu. Oh, dan hari Minggu juga. Tidak ada bedanya untuk dia.”

“Baiklah,” suara Maya mulai terdengar tenang. “Terima kasih atas infonya, Nona Mizuki. Maaf sudah mengganggu pekerjaan Anda. Selamat sore,”

“Selamat sore,” Mizuki membalasnya dengan sabar.

***


Jadi coklat ini untuk dia! Maya menaruh kotaknya di atas pangkuan, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, kemudian mulai menangis.

Untuk pria itu, orang yang paling dibencinya, musuh setiap orang yang mengaku pencinta keadilan.

Maya menatap langit dan atap gedung-gedung tinggi di kejauhan dengan perasaan sangat sedih. Bintang. Ya, bintang-bintang-lah yang telah mengikatkan mereka berdua. Dan pada sebuah bintang di langit yang tinggi-lah dia ingin menyerahkan coklat ini, bentuk ketulusan dan penyerahan hatinya. Pada sebuah bintang putih yang bersinar dingin dan tidak terjangkau di atas sana. Tiba-tiba saja Maya merasa dirinya benar-benar kecil dan tidak berarti.

“Kecil dan tidak berarti,” pikir gadis itu dengan sedih, “di hadapan dia… ataukah di hadapan Cinta…?”

“Maafkan aku,” Maya tiba-tiba mengingat semua sikap buruknya pada pria itu. Baru sekarang dia merasa benar-benar berdosa. “Maafkan aku. Maafkan aku…”

Ia menyandarkan kepalanya pada rantai besi ayunan itu dan mulai menangis tersedu-sedu.

***

Ketika hari sudah malam, Maya baru bisa berhenti menangis. Lagi-lagi panik, ia sadar bahwa hari ini akan segera berakhir. Besok, coklat ini tidak akan memiliki arti apa-apa lagi.

Ia segera mencari tempat untuk merapikan diri. Di toilet wanita sebuah gedung pusat perbelanjaan, ia berusaha keras menghilangkan bekas-bekas air mata dan garis bibirnya yang muram karena terlalu banyak menangis. Dikenakannya make-up tipis yang dapat menyamarkan ekspresi wajahnya; sedikit blush-on, dan lipstick berwarna peach. Dirapikannya mantel musim dingin dan roknya, kemudian diperbaikinya letak syal tebal dan sarung tangan wol yang dikenakannya.

Bagaimanapun juga, aku tidak mungkin terlihat cantik saat ini, pikirnya dengan putus asa.

Dengan menguatkan hati, ia berjalan menuju gedung kantor Daito.



“Selamat malam,” sapa resepsionis kantor di salah-satu sisi ruangan lobi. Pada pukul delapan malam, gedung itu mulai kelihatan lengang. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Ah, maaf,” ujar Maya pelan. “Saya ingin bertemu dengan Pak Direktur Hayami. Apakah beliau masih ada di tempat?”

Gadis resepsionis itu terheran-heran. “Pak Hayami?” ulangnya. “Sepertinya beliau belum pulang. Maaf, Nona, siapa nama Anda?”

“Saya… saya Maya Kitajima.”

“Sebentar saya tanyakan dulu.” Gadis resepsionis itu mengangkat air phone yang menghubungkan seluruh ruangan kantor.

“Selamat malam, Nona Mizuki,” ujar gadis itu di telepon. “Ada seorang gadis yang ingin bertemu dengan Pak Hayami. Apakah kira-kira beliau bisa menerima?”

Ia mendengarkan jawaban dari seberang sejenak.

“Namanya Maya Kitajima.”

Agak lama dia menunggu, hingga terdengar jawaban lagi dari seberang.

“Begitu. Baiklah, saya suruh dia langsung ke atas saja, Nona? Baik. Terima kasih banyak. Maaf mengganggu Anda.”

Dia menutup teleponnya.

“Silakan langsung ke ruangan beliau, di lantai 24, Nona Kitajima. Silakan gunakan lift di sebelah sana,” gadis itu menunjuk dengan sopan.

“Terima kasih banyak,” Maya mengangguk.

Setelah Maya menghilang dari pandangannya, gadis resepsionis itu menelengkan kepalanya dan mengerutkan kening, bingung dan heran.
“Memangnya siapa sih gadis itu? Aneh…….”


***


Begitu keluar dari lift di lantai 24 dan memasuki ruangan staf direksi, Maya melihat Mizuki masih sibuk bekerja di mejanya.

“Selamat malam, Nona Mizuki,” sapanya dengan sopan.

“Oh, selamat malam, Maya,” balas sekretaris direksi yang selalu berpenampilan resmi itu dengan ramah. Kelihatannya ia senang bertemu dengan Maya. “Ada perlu apa dengan Pak Hayami?”

Maya tidak menjawab.

“Kenapa dia terlihat begitu menderita,” pikir Mizuki. Ia kaget ketika Maya menyodorkan genggamannya padanya.

“Apa ini, Maya?” wanita yang efisien dan kadang-kadang terlihat kurang manusiawi itu kembali terheran-heran ketika membuka genggaman tangannya, yang tadi disusupi sesuatu. Sebuah bintang mungil dengan bungkus kertas aluminium berwarna emas.

“Coklat?” Mizuki memandangi benda itu lama sekali. Pikirannya yang biasanya efisien kini berusaha mencerna keanehan itu. Tiba-tiba otak canggihnya seolah menjadi lemot. “Apa maksudnya ini? Oh…” tiba-tiba dia teringat sesuatu.

“Tanggal 14 Februari!” dia berseru keras dan tertawa. “Astaga, kukira apa, Maya!”

Staf-staf lain yang belum pulang serempak menoleh ke arahnya. Mizuki buru-buru mengecilkan suaranya.

“Maya, aku ‘kan bukan cowok?!”

Maya tersenyum mendengar pernyataan itu lagi.

“Anda temanku yang penting,” jawabnya dengan tulus. Mizuki merasa tersentuh.

“Rupanya kamu bisa melihatku sebagai manusia juga,” ujarnya lembut. “Kadang-kadang kupikir, aku sudah ketularan sifat robotic bos gila kerjaku itu. Orang-orang jadi sering menganggapku kaku juga.”

“Anda memang kaku, tetapi Anda baik hati dan tidak segan menunjukkannya,” Maya tersenyum.

Mizuki tertawa. “Oh, begitu menurutmu. Aku tahu sekarang apa bedanya aku dengan bos kami itu. Dia itu baik hati, tetapi malu menunjukkannya. Dia menganggap kebaikan hati itu sebuah kelemahan.”

Maya ikut tertawa.

“Oh ya, Maya, silakan tunggu sebentar. Pak Hayami masih menyelesaikan beberapa urusan di dalam. Silakan duduk dulu,” Mizuki menunjuk ke arah kursi tunggu di ruangan itu dengan sopan.

Tiba-tiba Maya ingat tujuan sebenarnya datang ke sini. Wajahnya kembali berubah menjadi muram dan keringat dingin mulai menetesi tengkuknya.




Masumi sebenarnya tidak sedang menyelesaikan urusan apapun.

Ia berdiri dengan gelisah di hadapan jendela ruangannya yang menghadap ke pemandangan malam Tokyo yang bermandikan cahaya neon.

Ada apa Maya sengaja datang menemuiku, pikirnya. Apakah ada sesuatu yang dirasanya perlu didampratkannya lagi kepadaku? Soal Bu Tsukikage atau hak pementasan?

Mengapa gadis itu selalu datang untuk menyakiti hatinya?

Dia senang Maya datang. Hati kecilnya selalu berharap dapat melihat gadis itu dan berbicara padanya,
meskipun saat bersama Maya, ia selalu mengatakan hal-hal yang berkebalikan dari isi hatinya. Karena itu Maya membencinya.

Kendalikan dirimu, Masumi, perintahnya pada dirinya sendiri. Jangan bodoh, dia hanya seorang gadis kecil. Biasanya juga kau bisa.

Tetapi setelahnya hatiku selalu terasa babak-belur, ia membantah perintahnya sendiri.

Memangnya kau punya hati, ejek rasionya yang dominan, lagi.

Punya, goblok, seorang anak kecil yang bersarang jauh di dalam hatinya angkat bicara. Di dalam, aku ini benar-benar manusia. Rapuh, lemah, bodoh…

Robot, bukan… robot, bukan… robot, bukan…

Robot, ejek rasionya yang dominan. Kau akan menikah dengan gadis yang sempurna dan memimpin sebuah – atau dua – perusahaan yang sempurna. Otakmu hanya berisi abu dan uang. Kau akan membunuh hatimu dan kau akan menjelma menjadi sempurna. Tidak ada manusia seperti itu.

Bukan, bantah anak kecil itu lagi. Kau benar-benar manusia. Sekarangpun kau sudah siap meledak dan menangis karena kelelahan bersandiwara…

Baiklah, temui dia, atau tidak?

Temui saja dan biarkan pisaunya merobek-robek hatimu lagi, ejek rasionya yang dominan. Kebetulan, supaya hatimu yang tidak berguna itu cepat tamat saja. Kemudian kau balas sakiti hatinya, dan dia akan semakin membencimu.

Temui dia, ujar si anak kecil. Bergembiralah karena kau bisa kembali melihat dan berbicara dengannya. Lepaskan kegembiraanmu dan bersikaplah tulus…

Dia akan menyakiti hatimu, ia memperingatkan diri.

Tidak jika kau tidak menyakiti hatinya, bantah hati nuraninya.

Jangan temui dia, saran sisi reptil kelabu kepribadiannya. Katakan saja ada urusan mendadak…

Pengecut, teriak sisi-sisi lain dirinya.                                                            

Kebahagiaan, ketakutan, topeng, kepalsuan, hati, rasio, harga diri, kejujuran, kebohongan…

Masumi merasa dirinya hampir terkena schizophrenia.





“Mizuki-san,” ujarnya di air phone. “Tolong suruh anak itu masuk ke ruanganku. Aku sudah selesai.”

“Nah, Maya,” Mizuki membukakan pintu ruangan direktur, “silakan.”

Maya memasuki ruangan itu dengan hampir menangis. Ia merasa seperti akan dieksekusi.

Apakah aku akan keluar dari sini sambil berlari, menangis…?





Ditemukannya pria itu, pria dalam hidupnya, tengah menghadapi laptop dan dokumen-dokumen dengan tenang di atas mejanya. Ia tetap sama; tegak, dingin, anggun, dengan sorot mata yang tetap dan hampir tidak menyiratkan apa-apa. Ia tersenyum tenang dan bangkit dari kursinya saat melihat Maya, kemudian mengulurkan tangan dengan sikap beradab.

“Selamat malam, Nona Kitajima. Suatu kehormatan Anda bersedia mengunjungi ruangan saya yang sederhana ini. Apakah ada yang bisa saya lakukan untuk Anda, atau maukah Anda dengan baik hati memberitahukan saya, kesalahan apa lagi yang telah saya perbuat…?”

Menangkap ejekan yang kental dalam kalimat Masumi, Maya merengut.

“Anda selalu saja sinis,” gerutu gadis itu. “Saya kemari bukan untuk menjatuhi Daito dengan bom hidrogen.”

Masumi tertawa tergelak-gelak.

“Nah. Lalu, ada apa, Mungil?”

Maya mencoba mengendalikan tubuhnya yang gemetaran, namun gagal.

“Bagaimana kabar Bu Tsukikage?” Masumi bertanya, sekedar mencari hal yang paling dapat mereka bahas bersama.

“Sejauh ini kondisinya stabil,” jawab Maya susah-payah. “Meskipun begitu, kami takut mengganggu keadaan emosinya. Nyawa Bu Guru benar-benar sudah terulur di tali yang tipis…”

“Aku tahu,” balas Masumi serius. “Beliau selalu berkata, aku akan senang jika melihatnya mati… namun aku sungguh-sungguh prihatin dan khawatir dengan keadaannya, Mungil.”

Maya terdiam. Ada kesunyian yang aneh di antara mereka.

“Kemudian, bagaimana dengan latihanmu?” tanya pria itu lagi, mencoba mengusir ketidakwajaran itu.

“Baik,” jawab Maya singkat. “Aku mengalami banyak kemajuan.”

Sepi lagi.

“Bagaimana kabar Nona Shiori…?” giliran Maya yang bertanya, dengan suara sangat pelan.

“Oh,” Masumi merasakan sedikit perih di hatinya, tapi dienyahkannya dengan segera. “Baik sekali kamu menanyakan dia. Dia sangat antusias menyusun rencana pernikahan kami.”

Bodoh, Maya mengutuk dirinya sendiri karena menanyakan hal yang sudah pasti dan sudah pasti menyakitkan pula seperti itu. Kamu ke sini ingin mengungkapkan sedikit ketulusan dan rasa terima kasih dan sekarang kamu mulai merusaknya sendiri…

Tak tahan akan emosinya yang mulai meluap, Maya terisak perlahan.

“Saya ikut senang mendengar rencana bahagia Anda berdua,” ujar gadis itu dengan susah-payah. “Anda berdua sangat serasi. Dilihat dari sudut manapun, pernikahan kalian – “ suaranya tercekat oleh air mata, “adalah sebuah pernikahan yang sempurna.”

“Soal bahagia,” suara Masumi terdengar angkuh dan dingin, “itu relatif.”

Hati Maya seolah tertusuk pedang oleh kata-kata singkat itu, dan tubuhnya menggigil hebat karena susah-payahnya ia menahan tangis.

“Kamu juga,” Masumi mulai bernafsu untuk balik menyerang Maya, “punya kesempatan berbahagia yang besar dengan lawan mainmu.”

Kini Maya, yang memang tidak pernah sanggup mengendalikan emosinya, menutup wajahnya dengan kedua belah tangan. Tangisnya meledak.

“AKU BENCI KAMU!”

Tuh ‘kan, salah lagi, keluh Masumi dalam hati. Rasionya yang membandel mulai ribut mentertawakan hatinya yang kembali berkeping-keping.

Seperti dugaan gadis itu sebelumnya, Maya berbalik seketika dan berlari menuju pintu.

“Tunggu,” suara Masumi,  tajam dan membekukan urat saraf, menghentikan langkah Maya. “Aku yakin kamu memiliki sesuatu yang lain yang ingin kamu sampaikan kepadaku. Sedikit kata-kata jahat lagi, misalnya.”

Maya berbalik dan mendekat.

“Kemarikan tangan Anda,” pintanya lirih. Max menurut tanpa berkata-kata.

Kemudian semuanya terjadi begitu cepat. Maya menaruhkan sesuatu pada genggamannya, kemudian menyentuhkan pipinya dengan sangat cepat pada tangan pria itu, namun kelembutan sentuhannya membuat jantung Masumi seolah berhenti berdetak. Kemudian tanpa dapat dicegahnya, gadis itu seolah terbang keluar pintu.

“Maya!” terdengar olehnya seruan Mizuki yang berusaha mencegah gadis itu.

Masumi memandangi kotak mungil di tangannya dengan tatapan dan perasaan kosong. Ia tidak mengerti, benda apa ini yang ditaruhkan Maya ke dalam genggamannya. Benda yang begitu manis dan kelihatan dibuatnya sendiri dengan bersungguh-sungguh…

Ada sebuah kartu mungil yang hampir tak terlihat, terselip di antara lembaran pita perak bergaris ungu (ungu…) yang mengikat kotak itu. Masumi membuka dan membacanya.

Für mein schöner Antares…

Pria itu terkesiap, namun seolah dipakukan ke tempatnya berpijak, ia tidak dapat bergerak. Setelah agak pulih, baru ia dapat berjalan perlahan keluar, menuju meja sekretarisnya.

“Mizuki-san,” sapanya seperti orang linglung.

“Kenapa Maya lari?” tuntut sekretarisnya. “Anda berdua bertengkar lagi?”

Masumi menekan keningnya yang tiba-tiba terasa sakit. “Begitulah.”

“Dia tidak memberi Anda coklat juga?” Mizuki hanya bermaksud bercanda.

Coklat?

“Mizuki-san, hari apa ini?”

“Hari Sabtu,” jawab Mizuki polos.

“Bukan… tanggal berapa?”

“14 Februari. Hari Valentine,” jawab Mizuki lagi, juga dengan maksud bercanda.

Apa?!

Untuk Antares-ku yang indah…

Tidak, pikir Masumi kalut. Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak……

Kali ini Mizuki tidak berhasil pula mencegah bosnya yang tiba-tiba berlari menuju lift, turun ke bawah.

***


Masumi berjalan tergesa di antara aliran manusia dan lampu, mencoba mencari bayangan gadis itu dengan sia-sia.

Arah pulang ke rumahnya lewat jalan ini…

Apakah gadis itu? Atau yang itu…? Bukan… bukan dia…

“Mayaaa,” panggilnya lirih, penuh ketakutan dan cinta.

Itu dia! Dia berlari mengikuti arus keramaian, menyeberang jalan, dan…

Lampu penyeberangan berubah menjadi merah begitu Masumi siap untuk menapaki zebra-cross.


Apakah ini sebuah pernyataan cinta…?

Ia menyaksikan Maya berlari menjauh di seberang sana, dan ia merasa ingin berlari saja ke tengah jalan dan menabrakkan diri pada truk yang lewat.


[Bersambung]

Note: Antares atau dikenal juga sebagai Alpha Scorpii, adalah bintang maharaksasa merah di galaksi Bimasakti, bintang keenam belas paling terang di langit malam.


















19 comments:

betty on 25 March 2012 at 15:30 said...

* menggeleparrrrrrrrrrrrrrrr dengan suksessssssssss *

apakah masumi akan berani mengejarnya sampai dapat ? i don't think so ^^

oooooohhhhhhhhhh aku harus kembali ke pekerjaaan kuuuuu :(

Heri Pujiyastuti on 25 March 2012 at 16:11 said...

Loh koq msh kerja Bet???

Masumi kerjalah daku kau ku tangkap...*jlep

xiaolong li said...

so sweet, coklat buatn sendiri dg ketulusn dan kerja kerja keras dari maya bt masumi

knpa lg2 mreka hrs btengkar, knpa sih......

Ditunggu lanjutny

Anonymous said...

kuraaaaang sistaaaaa,,,,, tambah lagiiiii,,,,, ceritanya bagussss,,,,,
Knp sih MM mesti brantem dulu klo ketemu,,,, ditunggu update lanjutannya ya,,,
Mutia na rival

komalasari on 25 March 2012 at 18:38 said...

Sukkaaaa.....
Maya...kemana pun kau akan ku kejar... #eaaa

Anonymous said...

tanggung sista...huaaa.....mau mau mau
narty

orchid on 25 March 2012 at 20:06 said...

aaaaaaaaah, kenapa bersambungggggggggggg, jangan bilang ini hanya imajinasi masumi loch ya

Anonymous said...

Hadeh, sis olivia
Pas banget dah motongnya
Kentang gitu loh
Tollloongg yah, di apdet segera
Tindakan kriminal ini, membuat org penasaran akut :)

-mommia-

Anonymous said...

Kentaaang....... cepetan apdate>>> suka banget ma ceritanya...
-Vanda-

sally on 26 March 2012 at 18:25 said...

penasaran tingkat tinggi... kira2-kira apa yang akan dilakuka masumi ya...!?*_^

Lina Maria on 27 March 2012 at 09:43 said...

lagiii... lagiii.... lagiiii

Bunda Ita on 13 April 2012 at 13:09 said...

Ach kok di cut disitu sih , apdate lagi donk

Anonymous said...

yah. ...lanjutannya kpn.....???

SL said...

Kpn lanjut???

Anonymous said...

Bags bgtt.........gue yg lgi meeting aja jdi ga konsen..dan dipelototi staff.....haduhhh..maaf ya staff kali2 saya yg buat kalia. Pusing... Wkwkwkw mau lanjutannyaaaaa dunkkkkk

Anonymous said...

Sis, menunggu lanjutannya ini...

*nadine*

Unknown on 14 August 2012 at 10:40 said...

*mimisan*
Keren banget... Ga sabaaarr munggu lanjutannya..
Jangan gantung aku spt yang lain ya sis Olive...

Anonymous said...

Aduh sis oliv..sambungannya mana niiii....
Kentang bgt...
Bida kepikiran trus ni.
"Tetty"

Anonymous said...

Sis oliv.....mana sambungan nya ni...
Kentang bgt ni...
Penasaraaaaannnnn...

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting