Tuesday 8 February 2011

Fanfic TK : Finally Found You Ch. 1

Posted by Ty SakuMoto at 16:56
Setting: 2 tahun setelah Maya memenangkan hak pementasan Bidadari Merah dan dia pergi ke Perancis untuk memperdalam teknik berakting. Masumi ataupun Maya belum saling mengetahui perasaan satu sama lain.
Tanda { dan }menandakan kejadian di masa lalu/dua tahun yang lalu


---Prolog---


>>>{Dua tahun sebelumnya}

[“Mawar Ungu… Terima kasih untuk segala kebaikan Anda… Walaupun sampai saat ini Anda belum memberikan nama Anda pada saya… Tapi saya ingin Anda tahu bahwa Anda adalah orang yang sangat berarti bagi saya… … (hiks)… Saya akan kembali… dan menjadi aktris… yang lebih baik dan membuat Anda bangga… (hiks)… Mawar Ungu… Saya akan selalu mengingat kebaikan Anda… sampai kapanpun… Anda akan selalu berada di hatiku… (hiks… hiks…) Dan semoga Anda selalu bahagia… (hiks…) Mawar Ungu…”]

Trek!!

“Ini adalah pesan terakhir dari Nona Maya untuk Anda, Tuan.” Hijiri menyerahkan recorder yang baru saja selesai diputarnya tersebut ke hadapan Masumi.

“Semua sudah saya laksanakan sesuai perintah Anda. Saya juga menyertakan Nona Aoki untuk menemani Nona Maya di Paris selama satu minggu sebelum pelajarannya di Teater P dimulai. Nona Maya akan berangkat malam ini dengan penerbangan non-stop dan akan sampai di Paris besok pukul 3.50 sore.” Lanjut Hijiri setelah melihat Masumi diam tidak bereaksi. 

Hijiri meletakkan semua dokumen mengenai Maya baik terkait penerbangannya dan jadwal kegiatannya selama di Perancis serta berbagai info lainnya.

“Terima kasih Hijiri. Kau boleh pergi sekarang.” Kata Masumi lemah setelah terdiam beberapa lama.

Masumi tidak menyentuh dokumen-dokumen tersebut.

“Anda sendiri, Tuan? Bukankah lusa adalah hari pernikahan Anda?” Hijiri mengamati Masumi yang tidak menunjukkan tanda-tanda hendak beranjak dari tempat tersebut.

“Kau tidak perlu mengingatkanku Hijiri. Aku tidak akan lupa…” ujar Masumi dingin.

“Maafkan saya… Hanya saja…” Hijiri tidak meneruskan ucapannya beberapa saat.

“Saya tidak tahu apakah saya harus mengatakannya atau tidak, tapi… Selamat, Tuan, untuk pernikahan Anda.” Hijiri mengamati reaksi Masumi, dan nihil adalah apa yang didapatkannya.

“Kalau begitu, jika memang tidak ada lagi yang Anda butuhkan, saya permisi dulu.” Pamit Hijiri kemudian sambil membungkukkan badannya.

“Hijiri!” panggil Masumi tiba-tiba sebelum Hijiri meraih gagang pintu.

“Tolong katakan pada penjaga villa, mereka boleh pulang dan minta mereka untuk membiarkanku sendiri. Tolong minta mereka jangan mendekati villa ini sebelum kuperintahkan… Aku ingin sendirian dulu.” perintah Masumi yang lebih terdengar seperti permohonan.

“Baik, Tuan” patuh Hijiri.

“Tuan… Apakah Anda sudah benar-benar yakin dengan keputusan Anda?” Tanya Hijiri untuk yang terakhir kalinya.

Masumi terdiam beberapa saat.

“Aku sudah memikirkannya baik-baik…” Jawab Masumi yang sebenarnya tidak menjawab apapun.

“Maafkan saya… namun melihat wajah Nona Maya saat menyampaikan pesan tersebut untuk Anda.... Sekali ini, saya meragukan keputusan Anda, Tuan…” Kata Hijiri sebelum menutup pintu ruang baca di Villa Masumi.

=//=

Mematikan rokoknya, sekian lama Masumi bergeming. Pandangannya menerawang. Ia sudah memutuskan untuk menikahi Shiori Takamiya dan selamanya bersembunyi di balik bayangan Mawar Ungu untuk Maya. Ia tidak tahu sudah berapa lama waktu yang dilewati dengan berdiam diri semenjak Hijiri pergi. Dokumen-dokumen mengenai Maya pun tidak disentuhnya sama sekali. Ia takut, saat membukanya akan merubah semua keputusannya dan dia akan berlari menuju bandara untuk mencegah kepergian wanita yang dicintainya itu.

Tiba-tiba ada kekosongan menyeruak dari dalam jiwanya. Masumi merasakan kehampaan yang sangat dan nafasnya terasa semakin sesak. Masumi melihat ke arah jam yang terletak di mejanya. Jam 11.50 PM. Masumi menyandarkan dirinya pada kursi dan menutup matanya. Ia mengepalkan jari-jari tangannya yang saling terkait satu sama lain di depan torsonya, berusaha menahan rasa sakit yang mulai mengoyak hatinya begitu dalam. Malam ini, separuh jiwanya telah pergi terbang.}

=//=

Finally Found You
(Chapter 1)


Maya tersenyum pada petugas imigrasi Bandara Narita yang memeriksa paspornya dan berlalu mengambil kopernya. Maya mengamati suasana di bandara tersebut. Ada banyak orang di sana tapi tidak ada seorangpun yang Ia kenal.

{Satu hari sebelumnya}

“Jadi kau akan pulang ke Jepang sehari lebih cepat dari yang direncanakan?” Tanya Rei di telepon.

“Iya benar, katanya kedatanganku sudah diketahui wartawan, dan aku sudah membicarakannya dengan perantara Mawar Ungu, akhirnya kami memutuskan untuk mempercepat kepulanganku.” Jelas Maya.

“Tapi kami sedang mempersiapan pementasan pada saat kau datang Maya…” kata Rei penuh sesal.

“Tidak apa Rei… aku masih ingat kok jalan menuju apartemen. Hahaha. Aaahh… Aku merindukan kalian… Rindu ingin main drama lagi bersama kalian.” Kata Maya penuh nostalgia.

“Kami juga merindukanmu Maya… Baiklah! Besok saat kepulanganmu kita akan mengadakan sebuah perayaan, Bagaimana?” Kata Rei dengan bersemangat.

“Aku gembira sekali! Tidak sabar rasanya, terima kasiiiihhh sampaikan salamku pada teman-teman ya…” Jawab Maya dengan riang.

“Baiklah, sampai jumpa besok Maya, hati-hati di jalan…” Kata Rei.

“Terima kasih Rei... selamat malam...”

“Hmm... di sini lebih tepatnya adalah Selamat Pagi, Maya…” koreksi Rei sambil melirik jam yang menunjukkan pukul 6.30 AM.

“Ah! Kau benar! Maafkan aku mengganggumu pagi-pagi begini…” Maya terdengar tidak enak.

“Hahaha tidak apa-apa… Selamat tidur dan sampai ketemu besok Maya.” Pamit Rei sebelum menutup handphonenya.}

=//=

Sekarang di sinilah dia, kembali ke negara yang sudah ditinggalkannya selama dua tahun untuk memperdalam teknik berakting di Paris, Perancis. Maya mengambil travelling-bag-nya dan merapikan posisi kaca mata hitamnya. Maya mulai melangkah menyusuri bandara. Menuruni eskalator sambil berpikir untuk mencari taksi, Maya mengirimkan pesan singkat ke handphone Rei yang memberitahukan bahwa dia sudah sampai di Narita, dan akan segera kembali ke apartemen mereka.

Saat hampir keluar dari Bandara, tiba-tiba sebuah suara yang sangat Ia kenal menyerunya dari belakang.

“Mungil!!”

Deg!!

Tidak mungkin….

Tubuh Maya sesaat membeku. Perlahan, Maya berbalik. Di belakangnya, di sanalah telah berdiri seorang pria yang Ia rindukan lebih dari segalanya. Maya tidak percaya akan apa yang dilihatnya sampai-sampai dia tidak sanggup mengatakan apapun. Pria itu terlihat perlente dengan setelan jas dan celana panjang dengan warna senada, ungu kebiruan. Kemejanya berwarna putih dengan ditambahkan dasi yang berwarna lebih gelap dari setelan jasnya.

Wajahnya tampan dengan rambut dipotong rapi. Dilihat dari segi manapun, pria tersebut terlihat lebih dari sekedar pegawai kantoran biasa. Tangannya memegang sebuah folder dan tas laptop, tampaknya baru pulang dari suatu tempat. Seiring dengan mendekatnya pria itu kepada Maya, semakin meningkat pula degupan jantung Maya.

“Halo Mungil…” Sapa pria tersebut.

“Pak Masumi…?!!” Maya tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

“Kebetulan yang bagus sekali. Apa kau baru sampai?” tanyanya ramah.

“I.. iya…” jawab Maya gugup.

Ya Tuhan… salahkah aku merasa sangat bahagia bertemu dengannya? Batin Maya.

“Aku baru saja pulang dari Sapporo dalam rangka perjalanan bisnis...” Masumi memperlihatkan folder yang dipegangnya.

“Kau sendirian?” Tanya Masumi saat melihat Maya tidak ada yang menjemput.

“Iya... teman-teman teater Mayuko dan Ikkakuju sedang ada pertunjukan.” Terang Maya, masih berusaha mengatasi debaran jantungnya.

“Ahh… Apa kau mau pulang bersamaku?” Tawar Masumi.

“Bersama Anda?” Tanya Maya tidak percaya.

“Iya, aku dijemput oleh sopirku. Aku bisa memintanya mengantar ke apartemenmu terlebih dahulu, Mungil….” Tutur Masumi.

Maya terdiam beberapa saat.

“Apakah tidak akan merepotkan?” Maya sedikit ragu-ragu.

“Merepotkan? Tidak... aku akan senang sekali... ada yang menemaniku di jalan.” jawab Masumi jujur. “Kecuali jika kau keberatan, aku bisa mencarikanmu taksi sekarang,” lanjutnya.

Mawar ungu… kau memang selalu baik hati.

Maya merasakan matanya sudah mau berkaca-kaca.

“Baiklah, aku terima tawaran Anda.” Jawab Maya.

“Bagus, ke sebelah sini.“ Masumi menunjuk jalan keluar menuju tempat mobilnya menunggu.

Keduanya berjalan berdampingan dalam diam. Banyak sekali yang ingin Maya tanyakan, tapi dia tidak siap dengan pertemuan ini, Maya hanya bisa membisu. Satu hal yang pasti, Maya tahu perasaan cintanya pada Masumi sama sekali tidak berkurang. Ada rasa rindu yang meluap-luap dari dalam dirinya yang malah membuatnya jadi merasa sedikit sendu.

=//=

Sebuah mobil berhenti di hadapan mereka. Masumi membukakan pintu untuk Maya saat sopirnya memasukkan travel bag Maya ke dalam bagasi. Lalu mobil melaju dengan kecepatan sedang menuju apartemen Maya dan Rei.

Maya membuka kaca mata hitamnya. Ia tampak mengamati jalanan yang sudah lama tidak dilihatnya.

“Bagaimana Perancis?” Tanya Masumi saat mereka dalam perjalanan.

“Menyenangkan. Banyak tempat-tempat indah di sana.” Kata Maya tidak bersemangat karena kegugupan lebih menguasai dirinya.

“Kau kelihatannya lesu sekali. Ahh… kau pasti sangat kecewa karena orang pertama yang kau temui adalah aku.” Kata Masumi saat melihat Maya yang tampak lesu.

“Itu tidak benar!!” jawab Maya cepat, memutar badannya menghadap Masumi dan mengejutkan pria tersebut.

“Aku malah merasa senang…” kata Maya pelan, "… karena tidak perlu mengeluarkan ongkos taksi.” Tambahnya menutupi kebenaran di balik kata-kata sebelumnya.

Masumi terkesiap, lalu tertawa.

“Harusnya sudah bisa kutebak…” Kata Masumi sambil terbahak.

“Tapi aku lega. Dulu, mungkin kau lebih memilih membayar taksi lebih mahal dari ongkos yang tercantum di argo daripada berada di dalam mobilku, benar?” Tanya Masumi masih sambil tertawa.

“Anda sudah tahu, kenapa bertanya?” jawab Maya berusaha terlihat acuh tidak acuh.

Sekali lagi Masumi tertawa. Maya menggigit bibir bawahnya.

Ahh aku sangat merindukan tawanya…

Supir Masumi diam-diam melirik Masumi dari kaca spion depan. Sudah lama, sangat lama, dia pun tidak pernah mendengar tawa Masumi sampai-sampai dia diam-diam mencubit pahanya sendiri untuk meyakinkan kalau dia tidak sedang bermimpi. Hasilnya, dia sangat kesakitan.

“Ternyata tidak banyak yang berubah…” Ucap Maya saat memandangi jalanan Tokyo.

“Begitulah, Mungil…” kata Masumi.

Tapi kau, berubah banyak… bahkan aku tadi hampir tidak mengenalimu.

Masumi mengamati Maya yang tampak lebih luwes, mungkin hasil dari pembelajaran teknik beraktingnya. Postur dan sikap tubuhnya terlihat lebih bagus. Caranya berbicara, bergerak juga sudah banyak berubah. Walaupun binar dan semangat di matanya tidak berubah. Juga sifat polos dan kekanakannya masih bisa terlihat ada di sana.

Betapa aku merindukanmu… Maya…

“Kau sudah ada rencana selanjutnya, Mungil?” Tanya Masumi.

“Eh?”

“Mengenai Bidadari Merah.” Jelas Masumi.

“Ahh... belum, aku belum tahu. Harus membicarakan mengenai hal ini dengan Pak Kuronuma dan Sakurakoji terlebih dahulu.” Jawab Maya.

Sakurakoji…

Walaupun Masumi tahu bahwa Maya sudah menolak Sakurakoji, tapi nyatanya dia masih sangat cemburu mendengar Maya menyebut-nyebut namanya. Diam-diam Masumi mengeratkan kepalan tangannya.

“Mereka belum tahu kalau aku sudah tiba hari ini.” Terangnya kemudian.

“Para wartawan tampaknya belum tahu mengenai kepulanganmu.” Masumi memperbaiki posisi duduknya dengan gelisah berusaha mengusir rasa cemburunya.

“Hhh…” Maya mendesah perlahan.

“Belum. Membayangkan harus berhadapan dengan mereka saja rasanya sudah cukup melelahkan.” Keluh Maya.

“Apa tidak sebaiknya kau jangan langsung pulang menuju apartemenmu, Mungil? Maksudku... besok saat tahu kau sudah kembali, pasti apartemenmu akan menjadi lautan wartawan.” Masumi mengamati air muka Maya yang semakin pucat.
 
Apakah dia sakit? Pikir Masumi.

“Teman-temanku akan mencarikan jalan keluar untukku. Nanti malam kami akan membicarakannya…” tutur Maya.

Masumi mengangguk perlahan.

“Apa kau senang di Perancis?” Tanyanya kemudian.

“Iya… aku belajar banyak hal. Aku memang harus belajar lebih keras dari yang lain namun sangat banyak pelajaran berharga yang bisa kuambil. Bagaimanapun, aku ingin berusaha keras demi Mawar Ungu yang sudah mengirimku ke sana.” Tutur Maya riang.

“Hmm... Pasti berat… saat kau berangkat ke sana...” gumam Masumi pelan.

“Ah, maaf, aku tidak bermaksud mengingatkanmu.” Sambungnya cepat.

“Tidak, tidak apa Pak Masumi… aku sudah lebih tegar sekarang, kurasa,” Maya menundukkan kepalanya.

“Memang berat sekali saat itu, setelah aku memperoleh peran Bidadari Merah, tidak lama kemudian Bu Mayuko meninggal... aku...” Tangan Maya gemetar menahan perasaan emosional yang tiba-tiba menyergapnya.

“Kau tidak perlu membicarakannya Mungil, maafkan aku…” Masumi terdengar penuh sesal.

“Tidak apa, Pak Masumi…” Maya melirik ke arah Masumi yang tengah memandanginya penuh simpati.

Tapi yang paling berat bagiku adalah ketika aku kehilanganmu. Maya tidak mengatakannya.

“Mawar Ungu sangat baik hati, selama seminggu Rei menemaniku di sana. Aku sedih saat dia harus kembali ke Jepang. Tapi aku tahu, demi Bu Mayuko, demi Bidadari Merah, demi lawan mainku, aku harus belajar lebih keras agar bisa semakin sempurna menjadi Bidadari Merah, maka aku tidak menyerah. Dan terutama demi Si Mawar Ungu.” Maya menggenggam erat tas yang berada di pangkuannya.

Di sampingnya, Masumi mendengarkannya dengan seksama.

=//=

{2 tahun yang lalu}

“KE PERANCIS???” teriak Maya di telepon.

“Benar, Mawar Ungu melihat konferensi pers yang diadakan olehmu. Saat dia tahu kau berniat menunda pementasan Bidadari Merah untuk belajar teknik berakting, beliau menawarkanmu belajar ke Perancis selama 2 tahun. Semua biaya hidup dan sekolahmu selama di sana, beliau yang akan menanggungnya. Tolong pertimbangkankan penawaran ini baik-baik Nona Maya. Melihatmu menjadi aktris yang lebih baik dan lebih baik lagi adalah impian terbesar beliau. Dia ingin selalu mendukung Anda.” Terang Hijiri.

Impiannya…? Impian Mawar Ungu? Impian Pak Masumi?

Maya membisu.

“Bolehkah aku mempertimbangkannya? Aku mau membicarakan hal ini dengan teman-temanku terlebih dahulu.” Pinta Maya.

“Baiklah, saya harap Anda tidak terlalu lama dalam memberikan jawaban karena ada banyak hal yang harus diurus dan diselesaikan,” jelas Hijiri.

Setelah berunding dengan teman-temannya, ternyata mereka semua mendukung Maya untuk menerima tawaran tersebut. Akhirnya Maya memutuskan untuk menerima tawaran Mawar Ungu. Saat tahu bahwa dirinya dijadwalkan untuk pergi dua hari sebelum pernikahan Masumi, Maya merasa bahwa Masumi telah benar-benar menolaknya. 

Masumi tidak juga memberikan identitasnya setelah pertunjukan percobaan Bidadari Merah selesai bahkan setelah Maya berhasil memperoleh peran dan hak pementasan untuk Bidadari Merah. Maya tidak akan pernah bisa lupa rasa sakit yang mengoyak-oyak hatinya saat Ia pergi meninggalkan Jepang sekaligus meninggalkan orang yang sangat Ia cintai. Masumi Hayami.}

“Mengingat kau sudah cukup lama di Perancis, aku ingin mendengarmu berbicara Bahasa Perancis, Nona Maya Kitajima.” Kata Masumi, mengembalikan Maya pada masa kini.

“A… Apa?? A… Aku tidak bisa…” Tolak Maya.

“Walaupun aku sudah berusaha bicara dengan Bahasa Perancis yang kupelajari, sepertinya mereka tidak pernah mengerti apa yang kukatakan, jadi aku menyerah. Aku biarkan Tuan Philippe yang menerjemahkan semuanya untukku. Walaupun aku juga kadang tidak mengerti Bahasa Jepang Tuan Phillipe. Aku hanya mengangguk-angguk saja.” Wajahnya terlihat memerah.

Masumi tertawa. Tidak seperti dahulu, tawanya tidak mengganggu Maya. Dia menyukainya. Maya sudah bisa mulai sedikit santai berada di dekat Masumi. Ia mengamati Masumi yang masih tertawa dengan riang. Di matanya Masumi terlihat lebih matang walaupun ada satu hal yang mengusik Maya. Mata Masumi yang terlihat kesepian tidak hilang dan terlebih lagi jika Maya mengamatinya diam-diam, raut muka Masumi tampak sangat lelah dan muram. Entah kenapa terasa lebih menyedihkan ketimbang terakhir kali dia melihatnya.

“Tapi yang menyenangkan… Kalau guruku memarahiku, aku tidak begitu sakit hati karena aku tidak mengerti. Sepertinya Tuan Philippe yang merasa lebih tertekan daripada aku.” Maya memutuskan untuk melanjutkan ceritanya.

Masumi tidak tahan dan segera tergelak. Dia bisa membayangkan wajah Philippe saat menerima semburan dari guru Maya yang seharusnya ditujukan pada Maya.

“Hahaha… benar-benar tidak pernah membosankan jika bersamamu.” Kata Masumi di sela-sela tawanya.

Maya senang bisa membuat Masumi dapat tertawa seperti itu. Faktanya, saat Masumi memutuskan untuk menikah dan Ia tidak membuangnya, sudah sangat melegakan hati Maya dari ketakutan terbesarnya bahwa Masumi akan melupakannya.

“Ayolah Mungil, satu kalimat saja, aku ingin mendengarnya.” Bujuk Masumi sekali lagi.

Maya menghela nafasnya menyerah.

“Baiklah…” kata Maya akhirnya.

Beberapa saat dia memikirkan kata apa yang harus Ia ucapkan.

“Berjanjilah Anda tidak akan tertawa.” Pinta Maya.

“Janji.” Kata Masumi menahan tawanya.

“Belum apa-apa tapi Anda SUDAH mau tertawa!” protes Maya.

Masumi tertawa kembali. Lalu dia berhenti.

“Aku janji.” Katanya, mengangkat kedua jarinya dengan mimik serius.

Maya akhirnya memutar badannya menghadap Masumi dan menatapnya dengan ragu-ragu.

Je vous aimerai toujours… (*aku akan selalu mencintaimu).” Kata Maya.

Masumi menahan nafasnya beberapa saat. Keduanya terdiam.

“Anda pasti sedang menahan tawa.” Maya memecah keheningan diantara mereka.

“Aku sudah berjanji tidak akan tertawa.” Kata Masumi datar.

Maya merasakan panas dingin menyerang tubuhnya. Tatapan Masumi membuatnya rikuh. Ia takut Masumi menangkap maksudnya.

“Lalu, apa yang harus kukatakan?” Tanya Masumi kemudian.

Eh??

Maya tertegun.

“Kalau ada yang berkata seperti itu, bagaimana menjawabnya?” Masumi mengoreksi pertanyaannya.

Tiba-tiba wajah Maya berubah memerah. Maya lantas memalingkan wajahnya.

“Itu bukan sesuatu yang harus dijawab Pak Masumi…" Maya kembali menatap jendela.

"Hanya perlu dirasakan…” Lanjutnya lirih.

Aku tidak pernah tahu jawabannya, tidak akan pernah tahu…

Sebuah luka lama yang tidak pernah benar-benar sembuh kembali terbuka dalam hati Maya.

Masumi mengamati Maya sambil bertanya-tanya,

Mungkinkah gadis ini masih menyimpan cintanya pada Mawar Ungu?

“Aaahhh memalukan mengatakan hal seperti itu. Seharusnya aku tidak mengatakan itu… seharusnya aku bilang j'ai faim (*aku lapar) saja…” Maya tiba-tiba terdengar frustasi sambil menutup wajahnya.

Masumi tersenyum simpul.

“Lalu kenapa kau memilih kalimat itu? Dan kau mengucapkannya dengan sangat fasih.” Puji Masumi, seakan-akan tidak terpengaruh dengan kata-kata Maya sebelumnya yang mendebarkan hatinya.

Maya kembali mengangkat wajahnya. Mengingat-ingat.

“Itu adalah judul drama dimana aku pernah ikut berpartisipasi saat tahun pertamaku di sana. Sebuah drama pendek untuk menyambut Valentine di akademi kami. Menceritakan tentang seorang gadis SMA yang jatuh cinta pada guru sekaligus calon kaka iparnya. Dalam hatinya gadis itu berkata bahwa Ia suatu saat akan menyatakan perasaannya pada pria itu, dan dia terus mengulang-ulang kalimat tersebut. Tapi pada akhirnya, dia tidak pernah sanggup mengatakannya karena dia takut menyakiti perasaan kakaknya, karena dia tidak yakin bahwa pria tersebut juga mencintainya dan karena dia tidak ingin merebut kebahagiaan mereka. Pada saat pernikahan mereka dia memilih menghilang dari hadapan keduanya karena terlalu menyakitkan baginya untuk melihat mereka. Pada akhirnya Ia tidak pernah bisa mengatakan kata-kata itu sampai derita cinta membawa gadis itu pada kematiannya.” Papar Maya.

“Oleh karena itulah… Aku pun tidak pernah tahu jawaban dari kalimat itu. Tidak ada dalam naskah.” Tutup Maya.

Masumi diam, termenung. Dan lega, karena Ia tahu Maya tidak mendengar kata-kata itu dari laki-laki lain.

“Terlalu mengenaskan untuk sebuah sandiwara Valentine.” Masumi menyuarakan pendapatnya.

“Benar.” Maya tertawa kecil.

“Apa Anda tidak ingin tahu aku berperan jadi apa?” Pancing Maya.

“Ah, memangnya kau berperan jadi apa Mungil?” Tanya Masumi.

“Jadi Pohon.” Kata Maya sambil tersenyum jenaka.

Masumi kembali terdengar tertawa terbahak-bahak. Maya ikut tertawa dengannya.

“Sudah sampai Tuan.” Kata si sopir tepat di depan apartemen Maya.

“Tolong turunkan kopernya.” Perintah Masumi seraya bergegas turun dari mobil.

Masumi memutar ke pintu satunya dan membukakan pintu bagi Maya. Ketika Maya berdiri tiba-tiba saja dia merasa berkunang-kunang dan hampir terjatuh.

“Kau tidak apa-apa, Mungil?!” Dengan sigap Masumi menangkapnya. 

Maya memejamkan matanya beberapa saat.

“Aku…” Maya tidak sanggup melanjutkan kata-katanya dan untuk beberapa saat tanpa sadar dia bersandar di dada Masumi.

“Apakah kau sempat tidur di pesawat Mungil?” Tanya Masumi.

Maya menggelengkan kepalanya lemah. 

"Tidak... karena siang... dan malam... Kya!" Ucapan Maya terpotong, tiba-tiba saja Ia merasakan kakinya melayang dari tanah. 

Maya membuka matanya dan mendapati dirinya tengah digendong oleh Masumi.

“Pak Masumi apa yang Anda lakukan?? Turunkan aku!” berontak Maya.

“Sepertinya 12 jam perjalanan non-stop telah membuatmu jetlag, Mungil…” kata Masumi datar sambil mulai melangkah masuk ke gedung apartemen.

“Pak Masumi tolong turunkan aku… Ini… memalukan!” Protes Maya lemah.

Tapi masumi tidak mendengarkannya.

“Nanti bawa kopernya ke dalam.” Perintahnya pada si sopir seraya membuka pintu menuju gedung apartemen Maya.

“Pak Masumi…” mohon Maya sekali lagi.

“Sebaiknya kau berpegangan Mungil, karena kita akan menaiki tangga.” Kata Masumi.

Tahu bahwa permintaannya tidak akan didengarkan, akhirnya Maya melingkarkan tangannya di bahu Masumi. Masumi tertegun sebentar. Setiap detik yang berlalu menambah cepat degup jantung Masumi sampai-sampai Masumi khawatir Maya akan bisa mendengarnya.

Maya…

Di depan pintu apartemennya Maya mengeluarkan kunci dari tasnya dan membuka pintu tersebut.

“Sudah cukup Pak Masumi, tolong turunkan aku.” Kata Maya saat mereka sudah memasuki ruang apartemen yang Maya tempati bersama Rei.

“Lepaskan sepatumu.” Perintah Masumi, sekali lagi Ia tidak menghiraukan permintaan Maya.

Maya menurutinya. Dengan cara mengaitkan ujung telapak kakinya pada satu sama lain, Maya berusaha melepaskan sepatunya.

“Sekarang, dimana kamarmu, Mungil?” Tanya Masumi sambil mengamati sekeliling apartemen yang baru untuk pertama kali Ia menginjakkan kaki di dalamnya.

“Ka... kamar??” Seru Maya.

“Kau harus beristirahat untuk mengembalikan kondisi tubuhmu agar bisa beradaptasi lagi perlahan-lahan atau keadaanmu akan semakin parah.”

“Aku bilang turunkan aku di sini!!” tuntut Maya.

“Kau memberitahuku atau tidak, aku akan mengantar sampai ke kamarmu. Tapi akan lebih cepat kalau kau membantuku sehingga aku tidak perlu mencari-cari dan kau bisa segera menginjak lantai lagi. Sekarang, dimana kamarmu Mungil?” Masumi mengetatkan dekapannya.

Perdebatan keduanya terhenti saat sopir Masumi menginterupsi.

“Maaf Tuan, ini kopernya.” Katanya sambil meletakkan travel bag Maya.

“Letakkan di sana saja dan tunggu aku di mobil.” Perintah Masumi.

Sopir tersebut menuruti majikannya.

=//=

Sambil menuruni tangga Si sopir bertanya-tanya dalam hati,

Pak Masumi menggendong gadis itu dan mereka menyebut-nyebut kamar??

Dia menampar pipinya sendiri dengan sangat keras.

“AWW!!” Rasa sakit segera menyengat pipinya.

Ternyata betul aku tidak bermimpi… Pikirnya, sedikit menyesal karena tidak percaya dengan rasa sakit pada pahanya yang Ia cubit sebelumnya.

=//=

“Sebelah sana…” Maya menunjuk ke arah kamarnya.

Masumi segera berjalan menurut arah yang ditunjuk Maya.

“Anda tahu… Ternyata Anda tidak berubah, masih suka mendominasi, menyebalkan dan suka memerintah.” Keluh Maya pada Masumi, walaupun cara bicaranya tidak terdengar seperti tengah mengeluh.

“Aku tahu.” Jawab Masumi singkat.

Masumi menggeser pintu kamar Maya dan masuk ke dalamnya lantas mengamati keadaan kamar itu sebentar. Kalau boleh jujur, sebenarnya Masumi enggan untuk melepaskan Maya dari dekapannya.

“Kapan Anda berencana mendaratkanku Pak Masumi?” Tanya Maya, sedikit mengejutkan Masumi.

“Ah, maaf, ini pertama kalinya aku memasuki kamar anak perempuan.” Kata Masumi.

Anak perempuan… Anak??

Masumi mendudukkan Maya di atas sebuah zabuton (bantal duduk) dekat sebuah meja baca yang ada di kamar tersebut. Maya memalingkan wajah pucatnya kesal.

“Eh? Kau kenapa Mungil?” Tanya Masumi.

“Jangan katakan kau mulai betah kugendong ke sana-sini.” Goda Masumi pada Maya yang menghindari tatapannya.

“Aku tidak suka Anda menyebutku anak perempuan… Aku kan…”

“Sudah bukan anak kecil lagi.” Potong Masumi.

Maya menatapnya dengan cemberut, lalu kembali membuang mukanya.

Selamanya hanya jadi anak kecil di matanya. Menyebalkan.

“Kalau aku memandangmu dengan cara yang lain, apa kau pikir aku akan masuk ke sini?” Kata Masumi mengalah.

Maya hanya terdiam.

Masumi tidak tahu kenapa suasana hati Maya berubah-ubah tidak jelas seperti ini, mungkin memang pengaruh dari kondisi badannya.

Maya akhirnya kembali menoleh padanya.

“Kalau begitu kuberitahu. Tidak semua kamar anak perempuan seperti ini, biasanya lebih lucu dan manis dari kamar ini.” Kata Maya, merujuk pada kamarnya yang sangat sederhana.

Masumi tersenyum simpul.

Tapi itu bukan kamarmu, jadi aku tidak tertarik. Pikirnya.

“Baiklah, tunggu sebentar aku akan mengambil travel-bag-mu.” Kata Masumi lantas keluar dari kamar Maya.

Maya menghela nafas. Badannya terasa lesu dan perutnya terasa sedikit mual. Maya menekuk kedua lututnya dan membenamkan kepalanya di sana.

Pak Masumi… Seharusnya Anda jangan sebaik ini padaku, jangan berbuat terlalu banyak untukku. Atau Aku tidak akan pernah bisa berhenti mencintaimu.

Air mata mulai menetes di pipi Maya.

Saat Masumi kembali ke kamar Maya Ia mendapati Maya sedang terisak.

“Mungil, kau tidak apa-apa?” Masumi bergegas meletakkan koper Maya di dekat pintu dan melangkah mendekati Maya.

Ia berlutut di hadapannya.
 

“Kau harus segera berisitirahat. Ini minumlah…” Kata Masumi dengan khawatir sambil menyerahkan air mineral yang Ia bawakan untuk Maya.

“Karena kau tidak tidur di pesawat, efeknya jadi seperti kau telah begadang semalaman. Belum lagi jam biologismu yang berubah. Mungkin 2-3 hari baru akan hilang. Kau masih harus menyesuaikan diri.” Terang Masumi sambil mengamati Maya yang meminum air yang dibawanya.

Masumi masih berpikir bahwa isakan itu karena jetlag yang telah mempengaruhi Maya secara biologis dan psikologis.

Air yang diminum Maya terasa segar di tenggorokan dan badannya.

“Tapi aku sudah biasa bergadang sebelumnya.” Kata Maya lemah.

“Tapi tidak di dalam pesawat ‘kan Mungil?” Kata Masumi lembut.

Tiba-tiba Maya merasakan sebuah sapu tangan menyentuh wajahnya.

Pak Masumi??

“Ternyata kau masih saja suka menangis tanpa sebab... Untuk hal ini ternyata kau tidak berubah.” Masumi menyentuh dagu Maya dengan sebelah tangannya dan menghapus air mata Maya dengan tangan satunya.

Bagaimanapun sentuhan Masumi di wajah Maya membuat darahnya mengalir lebih deras. Maya mempererat genggamannya pada gelasnya. Sebisa mungkin Maya menahan dirinya untuk tidak memeluk Masumi. Hal yang sama berlaku bagi Masumi.

Selesai mengusap air mata Maya, Masumi memasukkan kembali sapu tangannya ke dalam saku jasnya. Ia lalu meraba dahi Maya dengan telapak kirinya.

Dingin… terlalu dingin.

Raut khawatir muncul di wajahnya. Masumi menyadari bahwa Maya masih memandanginya. Masumi balik menatapnya. Beberapa saat mereka bertatapan. Tanpa disadari keduanya saling bertukar pandangan yang saling merindukan satu sama lain. 


Tanpa berkata-kata, Masumi melandaikan posisi badannya pada Maya dan mendekatkan wajahnya pada Maya. Maya menahan nafasnya dan hanya mematung. Sesaat kemudian Masumi menurunkan tangannya dari dahi Maya dan Maya merasakan ujung-ujung jemari Masumi menyentuh pipi kanannya, mengambil sesuatu dari sana.

“Bulu mata.” Kata Masumi sambil memperlihatkan jatuhan bulu mata Maya yang Ia ambil.

Maya susah payah menelan air ludah untuk melegakan tenggorokannya yang tercekat.

“Aku pernah mendengar, katanya ini pertanda ada yang merindukanmu, Mungil.” Kata Masumi tanpa mengurangi jarak antara mereka yang hanya satu depa.

Maya mengalihkan pandangannya dari jemari ke mata Masumi yang masih tidak lepas mengamati dirinya. Jantung Maya berdegup cepat dan badannya semakin lemas. Tapi Maya yakin itu bukanlah karena jetlag.

“Aku tidak tahu kalau Anda percaya mitos.” Maya menundukkan kepalanya, menghindari tatapan Masumi.

Masumi tersenyum simpul.

“Dimana futon*mu?” Tanya Masumi sambil beranjak berdiri.
(*matras tidur khas Jepang)


Maya bingung sebentar lalu menunjuk lemari tempat futonnya berada. Masumi mendekati dan membuka lemari tersebut. Ia mengeluarkan futon Maya yang terlipat rapi, ditumpuk dengan bantal dan selimutnya. Masumi mendekatkan hidungnya pada futon tersebut sebentar.

“Sepertinya temanmu rajin menjemurnya walaupun tidak digunakan. Ia pasti orang yang sangat baik dan perhatian.” Masumi menggelar futon milik Maya.

“Iya. Rei memang sangat baik...” Kata Maya.

“Dan tampan.” Tambah Masumi.

Maya tertawa kecil.

“Jam berapa kau biasanya bangun paling siang Mungil?” Tanya Masumi.

Maya diam mengingat-ingat.

“Jika terlalu lelah atau tidak tidur semalaman…” Tambah Masumi.

“Sekitar jam 9-10… kurasa…” Jawab Maya tidak yakin.

Masumi melihat jam tangannya yang hampir menunjukkan pukul 4 sore. Masumi berpikir sebentar mengkonversi waktu Jepang dan Perancis.

“Kurasa kau bisa tidur beberapa jam dulu untuk mengistirahatkan badanmu.” ujar Masumi saat Ia kembali berdiri dan berbalik setelah selesai menggelar futon untuk Maya.

Kembali ke meja tulis dan duduk di sebelah Maya, Masumi mengambil secarik kertas, mengeluarkan pulpennya dan menuliskan sesuatu di sana.

“Karena aku yakin kau akan lupa, nanti setelah kau beristirahat, jangan lupa ini dibaca.” Kata Masumi, sambil terus menulis.

“Apa itu?” Tanya Maya.

“Beberapa hal yang harus kau lakukan agar kau bisa cepat sehat kembali.” Jelas Masumi.

“Anda ini sebenarnya Direktur Daito atau dokter?” Keluh Maya.

Masumi menoleh ke arahnya sebentar dan tersenyum.

“Sudah bisa menyindirku, bagus, aku lega. Berarti tidak lama lagi kau akan sembuh, Mungil.” Masumi tertawa kecil.

Maya terkesiap saat mulai menyadari ballpoint yang Masumi gunakan adalah ballpoint yang pernah Ia temukan di makam Ibunya.

“Anda masih memilikinya?” Tanya Maya tidak sadar.

Masumi mengangkat alisnya tidak paham.

“Ballpoint itu. Sudah lama aku melihat Anda… dulu... pernah… menggunakannya.” Maya tergugup.

“Ah… Iya, aku hanya tinggal mengganti isinya jika sudah habis…” Jawab Masumi bingung.

Maya mengangguk pelan tidak jelas menyetujui apa.

“Aku tidak mengira kau bisa mengingat ballpointku,” Masumi terheran.

“Apakah kau punya kesan tersendiri dengan ballpoint ini… atau malah pernah membuatmu trauma?” canda Masumi.

Maya menggeleng pelan.

“Entahlah… Aku hanya ingat saja.” Kata Maya.

Pak Masumi…

“Baiklah aku permisi dulu. Aku harus segera kembali ke kantor. Sekarang beristirahatlah, Mungil.” Kata Masumi setelah selesai menuliskan catatannya untuk Maya.

“Kau menginginkannya?” Tanya Masumi, menyodorkan ballpoint yang baru dipakainya saat melihat Maya masih memandangi ballpoint tersebut.

“Eh? Ti… tidak…” Maya menggelengkan kepalanya cepat.

“Tidak apa-apa, ambilah… Sepertinya kau menyukainya.” Masumi mengepalkan ballpoint tersebut pada Maya.

“Ta… Tapi…” Maya terlihat sungkan.

“Kau tidak perlu khawatir aku masih punya banyak ballpoint lainnya.” Kata Masumi, masih menggenggam tangan Maya.

Pak Masumi…

Maya mengucapkan terima kasih dengan pelan. Rasa gugup bukannya pergi malah semakin terasa. Maya kesal pada dirinya yang salah tingkah.

Masumi melepaskan genggamannya saat sadar bahwa Ia sudah terlalu lama menggenggam tangan gadis itu dan segera berdiri.

“Aku sudah tidak sabar… untuk melihat akting Bidadari Merahmu lagi, Mungil…” Masumi menepuk lembut kepala Maya.

Maya merasakan hatinya berdesir pelan.

Masumi berbalik dan melangkah menuju pintu.

Dia pergi…

“Pak Masumi!!!” Panggil Maya.

Terkejut, langkah Masumi terhenti di pintu.

“Mungkin ini sudah terlambat… Tapi.. Aku lupa belum mengucapkan—“ Sesuatu mengganjal tenggorokan Maya.

“…Selamat untuk pernikahan Anda. Maaf aku… baru bisa mengucapkannya.“ Lanjutnya dengan susah payah.

Sesuatu bergerak naik dengan cepat dari ulu hati Maya menuju matanya. Kesedihan.

Beberapa waktu Masumi terdiam. Ia akhirnya berbalik.

“Cepatlah sembuh dan segeralah menjadi Bidadari lagi… AKOYA.” Masumi tersenyum hangat.

Maya tertegun.

“Selamat Datang Kembali, Mungil…” Kata Masumi sebelum kemudian berbalik dan melangkah pergi.

Sekali lagi, Maya menangkap raut kesedihan dan garis-garis muram di wajah Masumi saat Ia melangkah keluar kamarnya.

=//=

Masumi menutup pintu apartemen Maya. Ia melirik jam tangannya, jam 4 PM. Sopir Masumi membukakan pintu untuknya. Lalu memutar menuju kursinya sendiri.

“Daito. Cepat.”

“Baik, Tuan.” Si sopir menganggukkan kepalanya.

“Oshima,” Panggil Masumi saat mobil mulai dinyalakan.

“Iya Tuan?” Sopirnya melirik melalui spion depan.

Masumi melandaikan badannya sedikit ke depan, membuat Oshima dapat melihat dengan jelas wajah dingin Tuannya yang terpantul di spion.

“Kau tidak melihat, tidak mendengar dan tidak bicara.” Masumi menatapnya tajam, memastikan Oshima mengerti mengenai siapa dan apa yang dia maksud.

Oshima menelan ludahnya.

“Saya tidak mengerti apa yang Tuan bicarakan.” Katanya dengan cepat.

Dengan kata lain, Ia sangat mengerti apa yang dikehendaki majikannya itu.

Masumi kembali menyandarkan dirinya di jok. Oshima susah payah berusaha menormalkan kembali jalan nafasnya.

”Pipimu kenapa Oshima?” Tanya Masumi saat menyadari ada tapak berwarna merah pada pipi kanan sopirnya tersebut.

“Ah… tidak Tuan, tadi ada nyamuk menggigit pipi saya dan saya memukulnya terlalu keras.” Oshima memberikan alasan asal-asalan karena terkejut bahwa Tuannya tersebut memperhatikannya.

Saat tidak mendapat tanggapan apa-apa, Oshima melirik kembali spion depannya dan dilihatnya Masumi sedang melamun.

Benar-benar mengherankan Tuan Masumi hari ini…

Tapi Oshima sudah tidak ingin lagi mengkonfirmasi apakah Ia sedang bermimpi atau tidak. Sudah cukup memar yang didapatnya hari ini. Segera, Ia melarikan mobilnya dengan cepat menuju Daito.

=//=

Maya mengamati mobil Masumi yang berlalu dari jendela apartemennya. Bahagia karena bisa melihatnya lagi namun juga menderita karena ternyata rasa sakit yang selama ini dipendamnya terasa semakin dalam.

Pak Masumi… Batinnya dengan pedih.

Maya mengamati mobil Masumi sampai menghilang. Perlahan Ia menutup kembali jendela apartemennya.

Sedikit gontai, Maya kembali ke kamar. Ballpoint yang diberikan oleh Masumi masih dipegangnya dengan erat. Diamatinya futon yang tadi disiapkan Masumi untuknya. Maya berlutut di samping futon itu dan merabanya seperti sebuah benda berharga. Maya merasakan lututnya lemas, dia jatuh terduduk.

Perlahan, sambil menyusuri futon dengan telapaknya, Ia membaringkan diri dalam posisi tengkurap. Isakannya kembali terdengar, dan air mata menganak sungai di wajah Maya. Seraya memanggil-manggil Masumi dalam benaknya, tangis Maya semakin lama semakin keras sampai meraung-raung. Dalam letihnya menangis, gadis itu jatuh tertidur.

=//=

Tiba di Daito kebanyakan pegawai sudah hampir menyelesaikan pekerjaannya dan bersiap pulang. Setiap orang yang berpapasan dengan Masumi akan membungkuk hormat dan dia menanggapi dengan memberikan anggukan.

Menyadari bahwa Direkturnya tersebut memberikan tanggapan sudah cukup membuat heran para bawahannya. Namun kenyataan Masumi tersenyum pada beberapa orang membuat mereka berpikir bahwa mungkin mereka sedang bermimpi dan kemudian mencubit atau menampar diri mereka sendiri saat sang Direktur sudah tidak nampak. Hasilnya, sama seperti Oshima, mereka sangat kesakitan.

=//=

Masumi masuk ke dalam ruangannya. Beberapa dokumen terlihat menumpuk di atas meja. Masumi menghempaskan dirinya di atas sebuah sofa, enggan menghampiri meja kerjanya. Saat ini yang ada di pikiran Masumi, dia lebih memilih menggelar ribuan futon untuk Maya dan memandangi wajah gadis itu daripada harus membuka dokumen-dokumen yang membosankan tersebut. Beberapa saat Masumi memuaskan diri dengan melamunkan gadis itu.

Dan inilah dia, sekretarisnya tercinta memasuki ruangannya dengan setumpuk dokumen lainnya.

“Ini ada beberapa dokumen mengenai--”

“Letakkan saja di sana.” Potong Masumi.

Mizuki mengamati Masumi lantas melangkah menuju meja kerja Masumi yang belum tersentuh. Dia meletakkan dokumen-dokumen tersebut di atas tumpukan dokumen lainnya. Masumi tidak ada tanda-tanda beranjak dari tempatnya. Mizuki menghela nafasnya.

“Pak Masumi, di sini ada banyak pekerjaan menanti Anda yang harus ditangani segera. Jadi bisakah Anda melupakan sejenak apapun yang tadi Anda alami bersama Maya?”

Masumi tertegun. Dia bisa merasakan wajahnya sedikit memanas.

“Aku tidak mengerti maksud perkataanmu Mizuki.” Masumi berusaha tenang, tapi caranya merapikan dasi membongkar semuanya.

“Anda lebih mengetahuinya daripada saya. Mengambil jadwal penerbangan yang berbeda dengan para CEO lain pasti bukan tanpa alasan ‘kan, Pak Masumi?” selidik Mizuki.


Masumi terdiam.

Seperti seorang Jaksa yang melihat terdakwanya terpojok, Mizuki semakin semangat mengajukan bukti-bukti.

“Lagipula Anda terlambat 2 jam kembali ke kantor dari jadwal kedatangan Anda, berbinar-binar, melamun, malas, para pegawai menampari diri mereka sendiri. Kesimpulannya…”

“Aku akan segera membaca dokumen-dokumen tersebut.” Potong sang terdakwa sambil berdiri menuju meja kerjanya.

“Sekarang, kalau kau tidak keberatan…?” Masumi memberi isyarat menunjuk ke arah pintu dengan matanya.

“Baiklah, saya permisi dulu, Pak.” Mizuki tersenyum basa-basi dan segera melangkah ke luar kantor Masumi.

“Tapi saya akan kembali lagi nanti.” Tambahnya sebelum menutup pintu.

Diam-diam Masumi mengutuk siapapun HRD yang pernah menerima Mizuki bekerja di Daito.

=//=

Maya mengerutkan dahi dan memicingkan matanya lalu melirik jam di atas meja. Jam 6:15 PM. Perlu waktu yang tidak sebentar bagi Maya untuk menyadari keberadaannya.

Ah… iya, aku di kamarku, di apartemenku.

Maya merasakan badannya masih terasa lesu walaupun keringat dingin sudah berkurang. Tapi dia tidak bisa melanjutkan tidurnya, Jam 6 sore di Tokyo sama dengan jam 10 pagi di Paris, maka Maya sudah tidak bisa memejamkan matanya lagi. Maya bangkit dari futonnya. Matanya terasa perih.

Saat melihat kertas berisi catatan yang ditulis Masumi, Maya menghampiri meja tulisnya. Mengambil kertas tersebut dan membacanya. Isinya tidak istimewa, hanya beberapa hal yang harus Maya lakukan seperti mandi dengan air hangat, tidak minum kopi dan teh, banyak minum air putih dan sebagainya, tapi terasa sangat istimewa karena Masumi yang menuliskannya.

Matanya mulai berkaca-kaca saat membaca pesan yang tertulis di bagian bawah catatan itu: ‘Cepat sembuh, Mungil’

Dia mengkhawatirkanku…

Maya mendekatkan kertas tersebut ke bibirnya dan mengecupnya.

Terima kasih, Pak Masumi…

Maya menghela nafas mencoba menenangkan dirinya.

Aku tidak boleh membuat Pak Masumi khawatir… Tidak boleh selalu merepotkannya. Tekad Maya.

=//=

Saat Maya sedang mandi, sayup-sayup Ia mendengar suara dari luar kamar mandi. Cepat-cepat Maya menyelesaikan mandinya.

“Ah Maya! Kau sudah pulang!!” Sahut Rei saat melihat Maya yang disambut sorak-sorai anggota teater Mayuko lainnya.

“Pestanya bisa segera dimulai!!.” Sayaka terdengar bersemangat.

Sesaat kognitifnya tersendat. Maya berusaha cukup keras sampai akhirnya teringat bahwa mereka sedang merayakan kedatangannya.

“Kau dapat salam dari teman-teman di Teater Ikkakuju.” Ujar Mina seraya mengeluarkan belanjaan makan malam mereka.

“Aaahhh!!” seru Maya, Ia tiba-tiba memeluk teman-temannya bergiliran.

“Aku merindukan kalian…!” katanya dengan riang.

“Maya, bukankah reaksimu sedikit terlambat??” Taiko tampak heran.

Teman-teman Maya tertawa.

“Maaf… Kata Pak Masumi aku mengalami jetlag... mungkin beberapa hari ini aku akan merepotkan kalian.” Jawab Maya sekenanya.

Teman-teman Maya saling berpandangan. PAK MASUMI???

“Aku berganti pakaian dulu.” Maya berlalu masuk ke dalam kamar meninggalkan teman-temannya yang bingung.

Rei, yang memiliki pengamatan lebih tajam dari yang lainnya, bisa melihat mata Maya yang sembab dan sedikit bengkak. Dia teringat kembali ketika dua tahun yang lalu Maya menghabiskan hari-hari pertamanya di Paris dengan menangis. Rei berpikir betapa terpukulnya keadaan Maya saat kematian Bu Mayuko. Tapi kalau memang Maya habis menangis hari ini, dia tidak bisa menemukan apa alasannya.

Pak Masumi? Kenapa Maya menyebut-nyebut pria itu?

“Rei!” Panggil Mina.

“Eh? Ya?”

“Bisakah kau ambilkan panci itu?” Pinta Mina sambil menunjuk panci yang ada dalam jangkauan Rei.

Rei segera meraih panci tersebut dan pikirannya teralihkan. Dapur terdengar riuh rendah di apartemen Rei dan Maya saat murid-murid teater Mayuko sedang memasak dan menyiapkan reuni mereka malam itu.

=//=

Masumi mengamati keadaan kota yang mulai beranjak malam. Dokumen-dokumen tersebut sudah selesai diurusnya, hanya tinggal beberapa yang tidak mendesak. Ia bisa pulang kalau dia mau, tapi Masumi masih merasa enggan. Masumi mengedarkan pandangannya ke luar jendela, mengamati keadaan di bawahnya. Ingatannya kembali pada Maya. Bagaimana gadis itu sudah banyak berubah. Bagaimana gadis itu membuatnya tertawa di mobil. Aneh, sudah lama dia tidak melihatnya, tapi dia sama sekali tidak merasa canggung.

Sebuah senyum mengembang di bibir Masumi, teringat Maya yang tertawa di sampingnya. Lalu teringat Maya yang terkena jetlag.

Apakah kau sudah merasa lebih baik, Maya…?

Masumi kembali tersenyum memikirkan bagaimana cara pikiran gadis itu bekerja yang terkadang bereaksi terlalu cepat atau terlalu lambat pada sesuatu. Tapi itulah yang membuatnya begitu unik. Karena dia begitu polos.

Maya…

Aroma kopi Blue Mountain membuatnya menoleh. Mizuki meletakkan cangkir yang dibawanya di bagian meja dekat kursi Masumi.

“Terima kasih Mizuki…” Masumi mendekati kursinya dan duduk di sana.

“Anda belum makan malam. Apa ada yang mau saya pesankan?” Tanya Mizuki.

“Tidak perlu. Nanti saja… Sebentar lagi aku selesai.” Masumi mengamati jam tangannya. Jam 7.30 PM.

“Saya tidak yakin ada pekerjaan yang akan selesai hanya dengan dilamunkan saja.” Kata Mizuki.

Masumi meraih kopinya.

“Langsung saja Mizuki katakan apa maksudmu.” Masumi memutar-mutar cangkir kopinya di depan hidungnya.

“Apa rencana Anda mengenai Maya selanjutnya?”

Masumi tertegun sebentar.

Maya? Maksudmu Bidadari Merah?” Koreksinya.

Dengan tenang Masumi menghirup aroma kopi favoritnya tersebut. Dia suka wanginya, memberi efek aromatherapy yang menenangkan, dan dia sangat membutuhkannya terutama jika berhadapan dengan sekretarisnya tersebut.

“Saya bukan sastrawan, Pak Masumi, saya sekretaris. Saya mengatakan apa yang saya maksudkan. Apa rencana Anda mengenai Maya selanjutnya?” Mizuki memperlihatkan bahwa dia tidak hendak mengalah kali ini.

“Bagus jika kau masih ingat apa profesimu di Daito. Beri aku satu alasan kenapa aku harus membicarakan mengenai Maya sedangkan hal tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaanmu.” Setelah yakin kopinya memiliki panas yang bisa ditoleransi lidahnya, Masumi meneguknya perlahan-lahan. Hati-hati. Mengantisipasi andaikan ucapan Mizuki selanjutnya akan membuatnya tersedak.

“Saya bisa memberikan dua alasan. Pertama, karena ini sudah lewat dari jam kerja resmi saya. Kedua, Apapun yang menghilangkan konsentrasi dan mempengaruhi efektivitas kerja Anda adalah urusan saya,” kata Mizuki.

Masumi masih asyik dengan kopinya.

"Saya sangat yakin Anda barusan sedang memikirkan gadis itu." tebak Mizuki.

“Anda baru saja bertemu dengannya lagi, saya sudah bisa melihat pengaruhnya terhadap Anda, Pak Masumi. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana pengaruhnya nanti saat Anda akan lebih sering bertemu dan berurusan dengannya,” Mizuki mengutarakan kekhawatirannya.

“Dan kenapa aku harus berurusan lagi dengannya?” Ujar Masumi, sama sekali tidak dapat membantah fakta yang dipaparkan sekretarisnya tersebut.

“Mungkin karena dia adalah pemilik hak pementasan Bidadari Merah, tapi yang pasti karena Anda masih sangat mencin—”

“Cukup Mizuki…” potong Masumi dingin.

“Karena Anda masih sangat mencintainya!" Tantang Mizuki.

Duk!

Masumi meletakkan cangkirnya.

“Katakan pada saya Pak Masumi, untuk apa Anda menunda penerbangan Anda sampai 3 jam hanya untuk menyamakan jadwal kedatangan Anda dengan Maya?” desak Mizuki.

“Untuk melihat keadaannya? Untuk melihat apakah ada laki-laki lain yang mengantarnya? Atau apakah ada laki-laki lain yang menjemputnya? Untuk melepaskan rasa rindu yang Anda pendam selama 2 ta—“

CUKUP MIZUKI!!!

Masumi mengangkat wajahnya, menatap tajam pada Mizuki.

=//=

Maya dan teman-temannya saling bertukar cerita mengenai apa saja kegiatan mereka selama Maya di Perancis dan Maya menceritakan pengalamannya belajar di Perancis. Juga mengenai Ayumi dan Mr. Hamill yang pernah mengunjunginya di sana.

Mereka lantas mengenang kembali saat-saat kebersamaan mereka sebelum Maya pergi dan mengenai kesuksesan pertunjukan sandiwara yang baru saja mereka adakan.

“Maya, ada satu lagi pengumuman penting yang harus kau tahu.” Kata Sayaka sambil melirik Mina.

Wajah Mina berubah merona.

“Hmm… aku… aku akan menikah akhir tahun ini.” Kata Mina, rona bahagia terlihat di wajahnya.

Godaan-godaan kembali keluar dari teman-temannya yang membuat wajah Mina terlihat semakin memerah karena malu tapi bahagia.

“Kami sengaja menunggu sampai kau kembali untuk memberitahumu.” Tambah Rei.

“Waa Mina… selamat ya… aku ikut senang…” Kata Maya sambil mengangkat air mineral miliknya.

“Maya, dari tadi kau hanya minum air mineral, mau kuambilkan sesuatu? teh untukmu?” tawar Taiko.

“Tidak apa-apa, kata Pak Masumi aku harus banyak minum air putih agar kondisiku bisa segera pulih.” Terang Maya mengulangi isi catatan yang ditulis Masumi untuknya.

Sekali lagi teman-temannya saling berpandangan.

“Maya, apakah kau bertemu dengan Pak Masumi? Dimana?” Tanya Rei.

“Hmm… aku bertemu dengannya di bandara dan dia mengantarku sampai ke sini.” Jawab Maya sambil melahap makanannya.

“Kau bertemu dengannya…” Sayaka melirik Taiko.

“Dan dia mengantarmu ke sini? Ke dalam apartemen?” Taiko mengulangi.

Maya menganggukkan kepalanya.

“Karena badanku tiba-tiba terasa kurang sehat, maka dia mengantarku sampai ke sini.” Terang Maya polos, logikanya saat ini tidak mengerti apa yang membuat teman-temannya begitu heran.

Dia tidak tahu bagaimana reaksi teman-temannya kalau sampai dia bilang bahwa Masumi menyiapkan futon untuknya serta dengan cara bagaimana Masumi mengantarkannya sampai ke kamar.

“Kira-kira apa motifnya ya? Mungkinkah dia kembali mendekati Maya untuk mendapatkan hak pementasan Bidadari Merah?” Raut wajah Rei terlihat serius.

“Tidak. Dia tidak mengatakan apapun mengenai hal itu.” Maya tanpa sadar membelanya.

“Dia hanya ingin menolongku.” Lanjutnya.

“Maya, ini Masumi Hayami loh yang sedang kita bicarakan…” tekan Sayaka.

Maya hanya mengamati teman-temannya berbicara dan berkasak-kusuk. Pikirannya melayang kembali pada Masumi. Maya sama sekali tidak meragukan kebaikan Masumi padanya. Dia merasa apa yang Masumi lakukan untuknya adalah sangat tulus. Sudah terlalu banyak hal yang terjadi antara dia dan Masumi untuk meragukan ketulusan pria itu terhadapnya. Rasa rindu kembali menghampiri Maya dan melarutkan Maya dalam kesenduannya.

“Kurasa hanya tinggal menunggu waktu sampai Daito dan Masumi Hayami kembali mengusik kehidupan kita.” Sayaka mengutarakan kekhawatirannya.

“Untung waktu itu kau menerima tawaran ke Paris, setidaknya kau bisa belajar teknik berakting dengan tenang tanpa Daito dan Masumi Hayami mengejar-ngejarmu.” Mina ikut memberi pendapat.

“Kudengar setelah pernikahannya dan Nona Shiori dibatalkan, dia jadi semakin menyeramkan.” Timpal Sayaka lagi.

“Kudengar juga begitu… karena itulah kurasa dia tidak mungkin mendekati Maya tanpa ada maksud lain.” Taiko menyetujui.

“Bagaimanapun kita harus tetap waspada. Walaupun sudah lama dia tidak pernah mengganggu kita lagi, kurasa tidak ada salahnya kita tetap berhati-hati padanya dan Daito.” Rei menambahkan.

Sedikit linglung, Maya tidak yakin siapa mengatakan apa.

“Apa barusan kau bilang?” Tanya Maya, mengangkat wajahnya dari makanannya dengan raut bingung.

“Yang mana?” Taiko ikut bingung.

“Mengenai Pak Masumi…”

“Kita semua sedang membicarakan Pak Masumi, Maya…” kata Rei.

“Pernikahannya… pernikahannya…” Wajah Maya terlihat syok.

“Kau belum tahu? Waktu itu pernikahan Pak Masumi dan Nona Shiori dibatalkan. Beritanya sempat sangat heboh. Walaupun tidak lama kemudian tertutup berita mengenai Ayumi dan Mr. Hamill. Tapi setelahnya Pak Masumi sempat menghilang beberapa lama entah kemana…” Papar Sayaka.

Taiko dengan semangat melanjutkan, “Tapi kau pasti tahu dengan pengaruh yang dimiliki Daito, jadi isunya—“

Bruk!

Maya tiba-tiba berdiri.

“A… Aku harus pergi…” Kata Maya tiba-tiba.

“Kau mau kemana? Bukankah kau masih kurang sehat…?” Tanya Mina Khawatir, berusaha menahan Maya.

“Aku harus pergi… Sebentar… hanya sebentar…” kata Maya dan segera berlari keluar meninggalkan teman-temannya.

“Maya!!!” Panggil mereka.

Maya tidak menghiraukan panggilan teman-temannya.

{ 2 Tahun lalu, satu hari menjelang pernikahan Masumi-Shiori}

“Nona tenanglah… Kalau Anda panik kami semua jadi ikut panik…” Kata kepala rumah tangga Takamiya berusaha menenangkan Nonanya yang sedari tadi tampak tidak bisa diam.

“Hahaha... akhirnya cucuku akan segera memiliki suami… Dan dia adalah Masumi Hayami dari Daito. Aku sungguh sangat bahagia. Mati sekarangpun tidak menyesal,” Kakeknya menghampiri Shiori yang berada di ruang keluarga yang dipenuhi berbagai perlengkapan menjelang pernikahan.

“Kakek jangan berbicara seperti itu… Aku ingin kakek selalu sehat dan panjang umur...” Rona malu-malu menyebar di wajah Shiori.

“Tapi aku khawatir… Paman Eisuke belum kembali dan Masumi pun belum menghubungiku.” Shiori melirik jam yang menunjukkan pukul 5 PM.

“Kepergian Mayuko Chigusa pasti sangat memukulnya. Kudengar Pak Eisuke sampai harus pergi menyepi. Tapi kabarnya saat ini dia tengah dalam perjalanan kembali ke Tokyo. Kau jangan khawatir, nanti malam mereka pasti sudah kembali. Dia sama tidak sabarnya dengan aku untuk menikahkan putranya denganmu Shiori.” kakek mengelus rambut Shiori menenangkan sebelum beranjak pergi.

Setelah kakeknya pergi, Shiori masih merasa tidak tenang.

“Bibi tolong hubungi kediaman Hayami. Aku tidak tenang karena tidak mendengar kabar apapun sampai saat ini dan aku tidak bisa menghubungi Handphone Masumi.”

Bibi mengikuti kemauan Nonanya. Setelah tersambung, dia memberikan teleponnya pada Shiori. Shiori lantas mengambil alih telepon tersebut.

“Halo..? Apakah Paman Eisuke dan Masumi sudah kembali…?” Tanya Shiori dengan nada khawatir.

“Apa…? Bukankah Masumi pergi menjemput Paman Eisuke?”

Wajah Shiori pucat pasi. Ia lalu menutup teleponnya.

“Ada apa Nona?” Tanya si bibi yang setia.

“Minta supir menyiapkan sebuah mobil untukku!!” seru Shiori sambil memegangi kepalanya.

“Nona?? Anda mau kemana? Besok adalah hari …”

“Aku mau menemui Masumi!!” Shiori bergegas mengambil tasnya.

“Menemui Tuan Masumi??? Tapi sebentar lagi malam menjelang. Bagaimana jika kita menyuruh orang lain--?”

“Cepat siapkan!!!” Teriak Shiori.

=//=

[“Tidak Nona, Tuan Masumi sedari kemarin belum kembali. Kami tidak tahu dia kemana, beliau menyetir sendiri dan belum ada kabar. Tapi Nona jangan khawatir beliau bilang ada sedikit urusan dan sebelum pernikahan pasti segera kembali.”]

“Lebih cepat!!!” Perintah Shiori pada sopirnya .

Kau pasti ada di sana Masumi… pasti kau ada di sana…


Tidak, aku tidak mau semua ini sampai gagal. Aku adalah tunanganmu dan kau adalah tunanganku. Kita akan menikah. Besok kita HARUS menikah. Aku tidak peduli kau mencintai siapa. Kau harus jadi milik Shiori... kau akan belajar mencintaiku seperti aku mencintaimu…

Tekad Shiori, Ia meremas sapu tangannya dengan gelisah.

Dia sudah pergi... tidak ada lagi yang akan menghalangi kita… Kau sudah memilih Shiori, benar ‘kan, Masumi? Benar ‘kan…?

=//=

Sesampainya di depan Villa Masumi, Shiori merasa heran dengan suasana yang sepi dan gelap. Shiori mulai meragukan apakah perkiraannya bahwa Masumi berada di tempat ini salah?

Perlahan Shiori membuka pintu villa dengan kunci cadangan yang diam-diam Ia buat. Keadaan di dalam villa cukup gelap. Shiori mencoba membiasakan matanya untuk melihat dalam gelap

“Masumi…” panggilnya sambil mencoba meraba-raba, mencari saklar lampu yang tidak lama kemudian berhasil ditemukannya.

Saat lampu menyala, Shiori sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya.

Villa tersebut sangat berantakan. Kursi-kursi dan kertas bertebaran di mana-mana. Pecahan vas bunga dan asbak berantakan di lantai. Angin dingin berhembus dengan keras dari jendela yang membuat tirai-tirai tampak melambai menggapai-gapai. Perlu waktu beberapa saat bagi Shiori untuk menyadari bahwa jendela tersebut kacanya sudah pecah. Shiori melihat sebuah kursi tergeletak di balkon yang sepertinya digunakan memecahkan kaca trersebut.

Shiori merinding. Ada ketakutan dan keraguan besar menyerangnya untuk melanjutkan memasuki villa. Ia merasa ngeri.

Tapi perlahan, diantara hembusan angin yang kencang, Ia menangkap sebuah suara, sayup-sayup dari kejauhan. Ragu-ragu, Shiori mencoba mengikuti arah suara tersebut yang terdengar dari lantai atas.

Sambil meraba-raba, Ia menemukan saklar untuk menyalakan lampu dan melihat keadaan yang tidak jauh berbeda dari lantai sebelumnya. Semuanya berantakan seperti diterjang badai. Suara tersebut mengantarkannya ke arah kamar Masumi. Sampai di depan Kamar masumi, Shiori samar-samar melihat ada celah yang terbuka sedikit pada pintunya. Suara tersebut terdengar semakin jelas.

“Masumi…?” panggilnya lagi sambil perlahan mendorong pintu kamar Masumi.

Segera bau alkohol yang sangat menyengat menyerang hidung Shiori dari dalam kamar yang gelap tersebut. Shiori memicingkan mata dan hidungnya untuk mengatasi aroma menyengat tersebut. Namun saat akhirnya Ia melihat Masumi, Shiori terbelalak…

“Masumi!!!” serunya.

Keadaan Masumi sangat mengenaskan. Diam terduduk di lantai di sudut ruangan, sebelah badannya bersandar pada tembok. Sebelah lututnya menekuk, menahan tangannya yang menggenggam sebotol wiski. Banyak botol wiski lainnya bertebaran di sekitarnya. Kepalanya tertunduk dalam dengan rambut menjuntai berantakan. Begitu juga pakaiannya terlihat sangat lusuh, basah oleh wiski. Shiori tidak dapat bergerak.

Siapa dia?? Ini bukan Masumi…. Bukan Masumi yang kukenal.

Perlahan, dengan berdebar-debar Shiori memasuki kamar tersebut. Tangan Masumi yang lainnya menggenggam sesuatu. Shiori mulai tahu dari mana suara yang dia dengar sebelumnya.

Ctak!! … Trek!!

[“Mawar Ungu… Terima kasih untuk segala kebaikan Anda… Walaupun sampai saat ini Anda belum memberikan nama Anda pada saya… Tapi saya ingin Anda tahu bahwa Anda adalah orang yang sangat berarti bagi saya… (hiks)… Saya akan kembali… dan menjadi aktris… yang lebih baik dan membuat Anda bangga… (hiks)… Mawar Ungu… Saya akan selalu mengingat kebaikan Anda… sampai kapanpun… Anda akan selalu berada di hati saya… (hiks… hiks…) Dan semoga Anda selalu bahagia… (hiks…) Mawar Ungu…”]

Ctak!! … Trek!

[“Mawar Ungu…”] dan rekaman itu kembali berulang.

Masumi terus mengulanginya setiap rekaman yang berisi suara Maya selesai. Ia menggenggam recorder itu dengan erat seperti sebuah barang yang sangat berharga.

“Maya….” Lirihnya dengan pedih.

Shiori merasakan tubuhnya gemetar keras melihat keadaan Masumi. Perlahan dia menghampiri pria tersebut. Mana wajahnya yang selalu terlihat tenang? Tubuh yang gagah dan tegap dengan pembawaannya yang berkharisma? Serta bibir yang selalu tersenyum ramah? Walaupun sudah hilang beberapa lama, namun tidak pernah terlihat sepedih ini di hadapannya.

“Masumi…!” panggilnya sekali lagi. Tapi Masumi seperti tidak berada di sana.

Di dalam kamar yang hanya diterangi cahaya pucat rembulan, Masumi merupakan gambaran sempurna dari sebuah penderitaan.

Shiori terjatuh di lututnya, di samping Masumi. Berapa kali Ia memanggil tak sekalipun Masumi menyahut atau mengangkat kepalanya. Air mata mulai menggenang di mata Shiori dan jatuh berderaian.

“Kumohon Masumi… jangan seperti ini. Jangan beginiii….” Shiori mengguncang-guncangkan tubuh Masumi yang seperti sudah kehilangan rohnya.

Shiori sangat terkejut saat merasakan dibalik balutan kemejanya, tubuh Masumi terasa sangat dingin.

“Maya…” Lirih Masumi, memanggil separuh jiwanya yang sudah terbang.

Ctak! … trek!

“Kya!!!" pekik Shiori.

Masumi mendorong tubuh Shiori sampai jatuh terduduk, lantas meneguk kembali wiski dari botol yang dipegangnya.

“Hentikan Masumi!! Kau bisa sakit!! Hentikaann!! Kau jangan seperti ini…!!!” Teriak Shiori.

Saat itu Shiori merasakan sakit yang teramat di hatinya. Dia tidak pernah tahu bahwa Masumi sangat menderita.

Perlahan, Masumi mengangkat wajahnya, tersenyum perih menatap langit di luar jendelanya. Shiori bisa melihat peluh dingin menghias kulit pucat pada wajah dan leher Masumi. Wajahnya terlihat sangat menderita. Perlahan, senyum itu memudar.

“Aku…. Adalah perahu kecil… diayun ombak… tidak bisa merapat… juga… tidak bisa melaut… semuanya… terlalu jauh…” desahnya lelah.

Ctak! … Trek!


[“Mawar Ungu… Terima kasih untuk segala kebaikan Anda…“]

Perlahan, Masumi menutup matanya.

“Ma… ya…” sebutir air mata kepedihan jatuh di pipi Masumi sebelum tubuhnya tersungkur di lantai.

“MASUMIII!!!!!!!!!!!!!!” Teriak Shiori histeris.

Tiba-tiba sesosok pria dengan model rambut yang khas menyerbu masuk.

“Di sini!!” Serunya sambil menyalakan lampu.

Dengan cepat dua orang penjaga villa menghampiri. Dia dan seorang penjaga villa segera mengangkat tubuh Masumi. Botol wiski yang dipegangnya terlepas, tapi recorder-nya tidak.

Shiori bangkit berlutut, meraih pergelangan Masumi yang menjuntai.

“Masumi!!!” Panggilnya lagi. Berharap sekali saja Masumi akan menghiraukannya.

Hijiri menoleh ke arah Shiori yang berurai air mata.

“Jika Anda ingin menyelamatkannya… maka lepaskanlah tangannya, Nona…” pinta Hijiri.

Shiori menengadah menatap pria itu. Putus asa, Shiori melepaskan Masumi. Shiori tidak yakin apa yang terjadi setelahnya. Selanjutnya Shiori terbangun sudah berada di kamarnya.

=//=

Keesokan harinya saat pernikahan Masumi dan Shiori, baik mempelai wanita maupun mempelai laki-laki keduanya tidak hadir. Kabar resmi yang diberitakan adalah pihak keluarga Takamiya membatalkan pertunangan dengan berbagai pertimbangan. Kemudian gosip beredar bahwa Shiori mulai meragukan perasaannya kepada Masumi karena merasa takut menikahi pria dingin dan gila kerja. Semua telunjuk mengarah pada Hayami.}

=//=

“Saya akan keluar jika Anda menghendaki…” kata Mizuki.

Masumi terdiam. Ia memutar kursinya menghadap jalanan Tokyo. Tidak ada kata apapun keluar dari mulutnya.

Mizuki memutuskan untuk meneruskan ucapannya.

“Pak Masumi, bagaimanapun, Anda tidak bisa terus berlari dari perasaan Anda. Saya sudah melihat dengan kepala saya sendiri apa yang terjadi pada Anda saat gadis itu pergi.” Mizuki diam sejenak.

“Mengirimnya ke Perancis, ke Inggris, ke Amerika atau ke Brazil, tidak akan bisa membuat Anda melupakannya jika dia masih ada di dalam hati Anda.” Tambah Mizuki.

Sekali lagi Masumi hanya terdiam.

Setelah sekian lama tidak bersuara, Mizuki bisa mendengar Masumi yang menghela nafasnya berat.

“Mizuki… kau tidak akan mengerti. Jangankan menyatakan perasaanku sambil menatap matanya, membayangkannya saja aku tak berani. Walaupun aku sudah mengumpulkan keberanian sebanyak apapun, saat berhadapan dengannya lidahku akan menjadi kelu. Aku akan kembali teringat saat…” Kata-katanya terputus oleh perasaan menyakitkan yang mendesak tenggorokannya.

“…saat dia memandangku penuh kebencian dan meneriakkan kata pembunuh di hadapanku. Gadis itu… dia benar-benar membenciku dari dasar hatinya.” Masumi mengernyitkan kedua alisnya menahan nyeri.

“Tapi itu lebih baik bagiku. Merasakan rasa sakit lebih baik bagiku karena aku sudah terbiasa. Tapi kalau gadis itu sampai memutuskan hubungan denganku dan tidak menghiraukanku, kalau sampai aku tidak bisa lagi melindunginya walaupun sebagai bayangan… Aku…” Masumi menelan ludahnya dan mencoba menghilangkan rasa perih dalam dadanya.

“LEBIH BAIK MATI.” Lanjutnya tegas.

Mizuki menatap simpati sandaran kursi Masumi. Bahkan tanpa melihat wajahnya pun dia bisa merasakan rasa sakit yang menghimpit dada Masumi.

“Saya mengenalnya Pak Masumi, dan saya yakin Anda juga tahu bahwa gadis itu bereaksi spontan berdasarkan perasaannya. Tapi dia adalah gadis paling tulus yang pernah saya tahu. Bahkan ketika saya menjadi manajernya dan dia dilukai berkali-kali oleh musuhnya, tidak sekalipun dia mendendam pada mereka…” Kata Mizuki.

“Itu berbeda Mizuki! Aku tidak hanya menyakitinya, tapi juga membuatnya kehilangan satu-satunya keluarganya…” Kata Masumi pedih.

Keduanya kembali terdiam.

“Pak Masumi, kapankah terakhir kali Anda mendengar Maya mengatakan bahwa dia membenci Anda?” Tanya Mizuki.

Masumi tertegun dengan pertanyaan Mizuki.

Di tengah keheningan tiba-tiba handphonenya berbunyi. Masumi melihat nama yang tertera di HP-nya.

Hijiri...?

“Kau boleh keluar, Mizuki. Aku akan selesai beberapa menit lagi.” Perintahnya.

Mizuki tahu siapa itu, hanya ada satu orang yang membuat Masumi memintanya keluar saat menerima telepon dari orang itu. Si penghubung Mawar Ungu.

Diam-diam ada rasa iri yang tumbuh dalam hati Mizuki karena orang itu mendapatkan kepercayaan penuh dari Masumi. Mizuki berpikir kapanpun dia menemui orang itu, maka orang itu harus tahu bahwa dirinya bukanlah saingan yang mudah.

Sedikit kesal, Mizuki lantas keluar dari ruangan tersebut menuju ruangannya sendiri.

“Ada apa Hijiri?” Tanya Masumi setelah Mizuki meninggalkan ruangannya.

“Pak, mengenai Bidadari Merah, seperti sudah saya informasikan sebelumnya, penyelenggaraan Bidadari Merah akhirnya digunakan sistem tender. 4 hari mendatang pihak yang berkepentingan, dalam hal ini Pak Ketua Persatuan Drama, Pak Kuronuma dan Maya akan mengadakan pertemuan untuk presentasi bagi para biro yang berminat menjadi penyelenggara pertunjukkan Bidadari Merah. Presentasi belum ditentukan di mana tempatnya. Lalu akhir minggu ini akan diputuskan perusahaan mana yang akan mendapatkan hak mengadakan pertunjukan Bidadari Merah tersebut. Pak Kuronuma menghendaki proses berjalan cepat karena diperlukan persiapan yang tidak sedikit untuk mengadakan kembali pertunjukan Bidadari Merah. Jadwal lengkap mengenai hal ini sudah saya dapatkan.” Terang Hijiri.

“Baiklah, apa kau tahu perusahaan mana saja yang akan hadir mempresentasikan proposalnya?”

“Sudah, saya dapat mengirimkannya ke email Anda segera bersama rencana yang akan mereka ajukan baik sponsor yang menjadi pendukung mereka, budget, panggung teater yang mereka gunakan, rencana promosi dan lain sebagainya.” Lanjut Hijiri.

“Bagus, tolong kirimkan malam ini juga. Aku akan mempelajarinya karena nanti selama 3 hari aku akan berada di Yokohama. Kuharap kau bisa segera mengirimkannya padaku.” Kata Masumi.

“Akan saya kirimkan malam ini.” Jawab Hijiri.

“Ok. Ada lagi?" Tanya Masumi.

“Mengenai tempat tinggal bagi Nona Maya sementara menghindari kejaran wartawan, Sakurakoji dan Pak Kuronuma sepakat bahwa Maya akan tinggal di tempat sepupu perempuan Sakurakoji. Rumah yang sebelumnya pernah dikunjungi Maya dan Sakura….”

“Aku tahu, Hijiri.” Potong Masumi, tangannya mengepal, meremas kursi.

“Apakah Anda setuju? Ada yang harus dilakukan?” Tanya Hijiri.

“Tidak. Kalau gadis itu memang setuju dengan ide tersebut, biarkan saja.” Jawab Masumi datar.

“Baiklah. Tapi Nona Maya belum mengabari saya sampai saat ini jadi sepertinya dia belum tahu.” Terang Hijiri.

Masumi terdiam.

“Baiklah terima kasih, kabari aku terus.”

”Baik Tuan.”

Masumi menutup teleponnya. Masumi berbalik, menghabiskan sisa kopinya yang sudah lebih dingin.

Masumi kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri.

[Pak Masumi, kapankah terakhir kali Anda mendengar Maya mengatakan bahwa dia membenci Anda?]

Terakhir kali gadis itu mengatakan bahwa dia membenciku…

Masumi mengingat-ingat. Memang sudah cukup lama sejak Maya mengatakan bahwa gadis itu membencinya. Tepatnya saat pertunjukan perdana Isadora, saat dia memancing Maya untuk memerankan Jean di pesta pertunjukan tersebut. Masumi terhenyak.

Benar… sudah sangat lama sejak Maya mengatakan bahwa dia membenciku. Apakah itu berarti… dia sudah tidak membenciku? Tidak… itu bukan berarti bahwa dia sudah berhenti membenciku atau sudah memaafkan perbuatanku…

Masumi benar-benar tidak tahu harus berpikir apa.

Masumi mematikan komputernya, menyelipkan ballpointnya di jas, meraih laptop dan beberapa map untuk dipelajarinya di rumah. 


Walaupun besok hari minggu, Masumi memilih menghabiskan harinya membaca dokumen-dokumen tersebut. Berharap menenggelamkan diri dalam pekerjaannya akan dapat membantunya menawarkan perasaan cemburunya setelah tahu Maya akan tinggal di tempat dia dan Sakurakoji pernah menghabiskan waktu bersama. 

Setelah mematikan lampu, Masumi melangkah keluar dari kantornya menuju pintu kantor Mizuki yang terletak di seberang ruangannya.

“Mizuki, aku pulang. Tolong siapkan file-file yang kubutuhkan untuk proyek Yokohama dan jangan lupa siapkan reservasi hotelku selama di sana untuk lusa.” Kata Masumi.


Mizuki mengangguk. “Baik Pak, segera.”

Masumi mengangguk puas. Dia bersyukur memiliki sekretaris seperti Mizuki yang memiliki efisiensi tinggi dan tidak diragukan lagi profesionalitasnya.

“Pak Masumi…” panggil Mizuki saat Masumi hendak keluar.

Masumi kembali menoleh.

“Dulu, Anda menanti Maya menjadi seorang gadis dewasa, saat dia sudah dewasa, lalu Anda menunggunya mendapat pengakuan sebagai aktris hebat, lalu Anda menunggunya mendapatkan peran Bidadari Merah, dan sampai sekarang Anda masih menunggu entah menunggu apa. Padahal Anda tentu tahu berapa lamapun Anda menunggu, perbedaan umur Anda dan Maya tidak akan menyusut. Apa Anda tidak khawatir, pesona Anda sudah luntur saat Anda akhirnya memutuskan mengutarakan perasaan Anda padanya? Sementara Maya terus tumbuh menjadi gadis yang semakin menarik, Anda akan beranjak semakin tu…”

BRAK!!!

Masumi membanting pintu kantor Mizuki dan segera keluar. Dia sangat menyesal sudah memuji wanita itu sebelumnya.

=//=

[…Pernikahan Pak Masumi dan Nona Shiori dibatalkan….]

Dibatalkan… Dibatalkan… Aku tidak pernah tahu… tidak tahu…

Maya terus berlari menyusuri jalanan kota Tokyo. Air mata entah kenapa tidak hentinya meleleh di pipi Maya. Tujuannya hanya satu, Daito.

Pak Masumi… Mawar Ungu…

Maya terdiam di depan pagar gedung Daito.

Apa yang kulakukan di sini? Kenapa aku kesini?
Maya tiba-tiba merasa bimbang.

Pak Masumi… aku ingin bertemu dengannya. Ingin memastikan semuanya…

Maya menengadah memandang gedung Daito yang menjulang di hadapannya.

Tapi…

[“Kudengar setelah pernikahannya dan Nona Shiori dibatalkan, dia jadi semakin menyeramkan.”]

Pak Masumi… pasti dia sangat terpukul dengan batalnya pernikahan tersebut. Apakah Anda sangat mencintai Nona Shiori, dan sangat sedih karena tidak jadi menikah dengannya, Pak Masumi?

“Hei Nona, apa yang kau lakukan malam-malam di sini?” seseorang menghampiri Maya yang terdiam di depan pagar gedung Daito, membuyarkannya dari lamunan.

“Eh… anu… a… aku…” Maya bingung apakah harus mengatakan maksudnya atau tidak.

“Apakah Pak Masumi Hayami masih ada di dalam?” Tanya Maya akhirnya.

“Pak Masumi...? Sayang sekali dia sudah pulang tadi. Kembalilah lagi lusa.” Terang penjaga keamanan tersebut.

Tidak ada… Pak Masumi tidak ada... tapi aku ingin bertemu. Aku ingin agar dia tahu bahwa aku…

“Pak, apakah ada telepon yang bisa kugunakan? Tolong… ini penting sekali.” Pinta Maya saat sebuah ide terlintas di benaknya dengan tiba-tiba.

“Kau bisa menggunakan telepon yang ada di posku.” Kata si penjaga berbalik kembali menuju posnya yang diikuti oleh Maya.

Maya mengangkat gagang telepon yang ada di sana dan menekan sederetan angka yang sudah dihapalnya di luar kepala. Terdengar nada tunggu sebelum suara seorang lelaki dewasa menerima panggilannya.

“Halo…” Sapa suara di seberang telepon.

“Halo... Pak Hijiri. Ini aku, Maya.”

=//=

Maya menutup teleponnya dan berterima kasih pada si penjaga keamanan dengan nama Hatori tersebut.

“Pak Hatori, terima kasih banyak.” Maya membungkukkan badannya.

Saat Maya akan pergi, sebuah mobil bergerak dari arah gedung menuju gerbang pagar. Dengan sigap Hatori membukakan gerbang untuknya. Di depan Maya, mobil itu berhenti dan menurunkan kaca mobilnya yang gelap.

“Maya??” Seru wanita itu yang tidak lain adalah Mizuki.

“Nona Mizuki?” Maya tidak kalah terkejutnya.

“Apa yang kau lakukan di sini?” Tanyanya.

“A... aku...” Maya terlihat agak bingung.

“Nona ini mencari Pak Masumi, tapi saya katakan kalau beliau sudah pulang, Nona.” Kata Hatori, menerangkan dengan senang hati.

Pak Masumi?

Mizuki mengamati Maya yang tampak gugup.

“Beliau sudah pulang. Naiklah ke dalam mobilku, biar kuantar kau pulang.” Kata Mizuki.

Maya terlihat bimbang dan akhirnya mengangguk. Hatori membukakan pintu untuk Maya dan Maya menaiki mobil Mizuki.

“Untuk apa kau mencari-cari Pak Masumi malam-malam begini, Maya?” Tanya Mizuki saat mobil sudah mulai bergerak menyusuri jalanan Kota Tokyo yang ramai dengan orang-orang yang memenuhi kota untuk bermalam-mingguan.

Maya berusaha mencari jawaban yang tepat.

“Mmmhh anu… mengenai Bidadari Merah. Aku masih sangat bingung mengenai apa yang harus kulakukan… Aku mau meminta pendapatnya.” Maya menundukkan wajahnya dan memainkan jarinya gusar.

Meminta pendapat Pak Masumi?

Mizuki melirik sekilas ke arah Maya. Dia tahu ada yang disembunyikan gadis itu yang saat ini sedang terlihat salah tingkah.

“Apakah memang harus malam ini? Kau ‘kan bisa menanyakannya lain kali.” Tanya Mizuki.

Maya hanya mengangguk. Mizuki benar-benar bingung dengan cara berpikir gadis ini yang sepertinya hampir selalu bertindak tanpa pertimbangan apapun.

“Oh iya selamat datang kembali ke Jepang Maya. Kupikir baru besok kau akan kembali ke sini. Tadi kudengar kau bertemu Pak Masumi di bandara.” Kata Mizuki.

Maya kembali mengangguk.

“Maya kenapa? Apa kau sakit?” Tanya Mizuki khawatir saat melihat Maya yang diam saja.

“Mmmh… Nona Mizuki... aku… baru mendengar kabar... mmhh…” Maya terlihat ragu-ragu.

“Apakah benar dulu pernikahan Pak Masumi dibatalkan?” Tanya Maya.

Eh?!

“Benar.” Jawab Mizuki singkat, tidak mengira bahwa Maya akan bertanya mengenai hal tersebut.

“Kenapa?” Tanya Maya lagi yang tidak lepas memandang Mizuki.

Mizuki diam sebentar, mencari kata-kata yang tepat.

“Itu kesepakatan dari kedua pihak keluarga, tapi alasan pastinya hanya Pak Masumi dan Nona Shiori yang tahu.” Jawab Mizuki sambil mencoba menyeimbangkan rasa ingin tahu dan konsentrasinya menyetir.

“Pasti Pak Masumi sangat terpukul karena pernikahan itu sampai gagal.” Gumam Maya prihatin.

Mizuki kembali melirik Maya. Ia merasakan kejanggalan pada gadis itu.

“Pak Masumi memang sempat mengalami banyak kesulitan setelah pernikahan itu… tapi...”

“Kesulitan?” Potong Maya.

Mizuki tidak meneruskan ucapannya.

“Maya, apakah kau mengkhawatirkan Pak Masumi?” Selidiknya.

“A... aku…” Maya kembali terlihat gusar.

“Ah, berhenti di sini!” Seru Maya tiba-tiba.

“Di sini? Tapi kita belum sampai ke apartemenmu?” Tanya Mizuki heran.

“Ada yang harus kulakukan. Tidak apa-apa di sini saja.” Pinta Maya.


Mizuki menyisikan mobilnya.

“Apa kau yakin mau turun di sini saja? Aku bisa mengantar ke apartemenmu.” Kata Mizuki sekali lagi.

Maya mengangguk.

“Baiklah kalau begitu. Kudoakan yang terbaik untuk Bidadari Merahmu Maya, tapi kurasa kau tidak akan sempat bertemu Pak Masumi untuk beberapa hari karena lusa Pak Masumi akan mengurus proyek di Yokohama. Tapi tidak usah khawatir akan kusampaikan kalau kau mencarinya.” Kata Mizuki sebelum menutup jendela mobilnya kembali.

“Yo... Yokohama di mana?” Tanya Maya tiba-tiba, menahan kaca mobil Mizuki dengan tangannya.

“Di Minato Mirai 21. Kalau memang mendesak, kau bisa datang ke rumahnya besok sebelum dia pergi. Kurasa dia tidak akan keberatan terutama jika kau mau membicarakan mengenai Bidadari Merah.” Saran Mizuki.

Maya mengangguk lalu membungkuk berterima kasih.

Yokohama… Tempat asalku... Yokohama...

=//=

Masumi membiarkan penjaga rumahnya membukakan pagar. Dia mengangguk saat Masumi melewatinya. Dengan mulus Masumi memarkir mobilnya di garasi. Masumi meraih laptop dan map-map kerjanya. Matanya sempat terpaku beberapa saat pada benda yang dibawanya di jok depan, sebelah tempatnya menyetir. Sebuah buket Mawar Ungu. 


Mendengar ucapan Mizuki, hampir saja, Masumi mengambil keputusan fatal, mendatangi gadis itu dan membuka identitasnya sebelum dia mengubah fikiran dan berbalik pulang menuju rumahnya.

Masumi baru saja sampai di kamar saat handphonenya bergetar. Kembali dia melihat nama Hijiri di sana.

“Ada apa Hijiri?” Masumi meletakkan laptop dan map-mapnya lantas membuka jas dan menyampirkannya di salah satu kursi.

“Tuan Masumi, tadi Nona Maya menelpon saya…”

Masumi menghentikan kegiatannya. Tidak berkata apa-apa, hanya menunggu Hijiri meneruskan kata-katanya.

“Dia bilang dia ingin bertemu Mawar Ungu, dia akan menunggu Anda di jembatan penyeberangan Asahi malam ini. Dia akan menunggu Anda sampai tengah malam ataupun besok pagi dan dia tidak berencana beranjak sampai Anda datang. Dia sangat ingin bertemu dengan Anda.” Sambung Hijiri.

Masumi tercengang. Berusaha menyerap semua informasi yang tiba-tiba tersebut.

Maya….?

“Kenapa tiba-tiba?” Masumi berusaha terdengar tenang walaupun dia merasa panik.

“Saya tidak tahu Tuan. Apakah Anda ingin saya menemuinya untuk menggantikan Anda?” Tanya Hijiri.

Masumi terdiam. Berpikir.

“Tidak perlu.” Jawabnya singkat.

“Jadi? Apakah Anda akan menemuinya?”

“Hijiri, aku perlu berpikir. Biarkan aku berpikir dulu. Aku akan menghubungimu kalau ada yang kubutuhkan.” Ujar Masumi penuh pertimbangan.

“Baik, Tuan. Mengenai data-data tender Bidadari Merah sudah saya emailkan kepada Anda.” Kata Hijiri.

“Baiklah, terima kasih Hijiri.” Masumi menutup teleponnya.
 

Masumi duduk di atas meja kerjanya. Bimbang. Setelah sekian lama menimbang-nimbang, akhirnya dia kembali meraih jasnya dan menuju keluar.

=//=

“Mau kemana Masumi? Bukankah kau baru saja datang?” Tanya seseorang saat Masumi melintas di ruang keluarga.

Masumi berbalik. Eisuke, dengan Asa dibelakangnya, mendekatkan kursi rodanya hingga beberapa meter di hadapan Masumi.

“Ada sedikit urusan yang harus kuselesaikan.” Jawab Masumi tidak berminat menerangkan lebih jauh.

“Huh! Terakhir kali kau bicara seperti itu, kau hampir kehilangan nyawamu dan mati konyol.” Sindir Eisuke.

Masumi bergeming dan menelan ludahnya.

“Jangan bilang kalau ini ada hubungannya dengan Maya Kitajima.” Ucap Eisuke tajam.

“Kau tahu, Masumi, kau sudah gagal menjalankan pekerjaan besarmu dan jangan kau pikir aku akan melupakannya begitu saja. Kalau sampai… Pekerjaan utamamu mendapatkan Bidadari Merah juga gagal. Aku yang akan mengambil alih tugasmu, dan aku yakinkan dari sekarang, kau tidak akan suka dengan caraku.” Ancam Eisuke.

Masumi menggertakkan giginya.

“Aku tidak akan gagal, aku yakinkan gadis itu akan berpihak pada Daito dan memilih Daito sebagai penyelenggara pagelaran Bidadari Merah.” Masumi terdengar percaya diri.

“Dan kalau tidak?” Eisuke menatapnya tajam.

Masumi mengangkat pandangannya menatap Eisuke namun tetap terdiam.

“Hahahaha….!” Eisuke terbahak dan Masumi tidak menyukainya.

“Kau benar-benar jatuh cinta padanya ternyata…” Ledek Eisuke.

“Kau masih mencintainya, Masumi?” Tanya Eisuke.

Ada keheningan yang mencekam menyusup diantara keduanya.

“Iya, Ayah…” Jawab Masumi datar.

Eisuke kembali terbahak. Kemudian dengan cepat mimiknya berubah dingin.

“Aku tidak peduli, Masumi. Perasaanmu adalah urusanmu, tapi jika gadis Kitajima itu tidak bisa diajak bekerja sama, KAU harus menghancurkannya dengan TANGANMU atau aku dengan suka rela akan meminjamkan TANGANKU. Kau mengerti?” Ancam Eisuke.

Ia lalu berbalik hendak meninggalkan ruang keluarga yang tidak pernah berfungsi sesuai namanya tersebut.

“AKU TIDAK AKAN MEMBIARKAN!” Seru Masumi tiba-tiba.

Eisuke mengangkat tangannya. Kursi roda Eisuke berhenti, dia kembali berbalik.

“Apa… Kau bilang…?” Tanyanya dingin pada Masumi.

Masumi mengeratkan kepalan tangannya pada jas yang dipegangnya.

“Aku… Tidak akan membiarkan…” Masumi menatap Eisuke, “ …Tidak KAU, tidak orang-orang Daito, atau siapapun, menyentuhnya.” Ulang Masumi tidak kalah dingin.

“Orang-orang Daito, kau bilang?? Hahahahaha…. Lalu kau itu siapa?? KAU adalah ORANG DAITO Masumi!! Hahahaha…” Sindir Eisuke.

Tawanya mendadak berhenti, Eisuke meraih vas bunga di dekatnya dan sekuat tenaga melemparkannya ke arah Masumi. Vas bunga tersebut pecah membentur dinding di belakang Masumi. Masumi bergeming di tempatnya.

“Kau mengancamku, ‘Nak?” Tanya Eisuke dengan gemetar menahan amarah.

Ketegangan terasa berkali-kali lipat. Asa dapat merasakan bulu kuduknya yang merinding melihat interaksi ‘Ayah dan Anak’ tersebut.

“Aku tidak mengancam, Ayah… Tapi jika Ayah menganggapnya seperti itu, mungkin Ayah benar. Aku tidak akan sembunyi lagi. Aku akan menghadapi apa yang harus kuhadapi.” Jawab Masumi tidak gentar. 


Senyum ejekan muncul di wajah Eisuke.

“Aku tidak sabar ingin melihatnya, pertunjukan saat gadis itu mendengar pembunuh ibunya menyatakan cinta padanya. Hahaha… pasti akan menjadi tontonan yang sangat menarik.” Ledek Eisuke.

Bagai disambar petir, Masumi hanya terpaku di tempatnya.

“Aku ingin melihat ekspresinya saat itu. Pastikan aku mendapat tempat duduk yang bagus saat hal itu terjadi, Masumi.” Eisuke kembali memberi tanda dengan tangannya, Asa memutar kursi roda Eisuke dan keduanya meninggalkan Masumi.

 =//=


Sekian lama terpaku, Masumi dengan cepat berbalik dan melangkah pergi menuju mobilnya. Masumi membanting pintunya, mencoba menyalakannya dengan gelisah namun mesin mobilnya tidak mau menyala.

“Brengsek!!!” Masumi memukul setirnya.

“BRENGSEK!!!!!” Teriaknya lagi, mengepalkan tangannya kuat-kuat.

=//=

Masumi menghela nafas, lalu mencoba menyalakan lagi mobilnya dan berhasil. Bergegas Masumi memundurkan mobil dari garasi dan meninggalkan kediaman Hayami.

Dengan mengingat Maya di kepalanya, Masumi melaju ke arah tempat Maya menunggunya.

Maya… apakah kau masih ada di sana? Apa kau menungguku?

Masumi menambah kecepatan lari mobilnya dengan tidak sabar. Masumi sedang butuh ketenangan, dan saat ini, melihat Maya adalah satu-satunya cara dia memperoleh kembali ketenangannya.

=//=

Rei membereskan sisa makan malam anggota teater Mayuko. Raut khawatir tergambar di wajahnya.

Maya… Kau kemana? Kau bilang hanya sebentar tapi sudah hampir dua jam kau menghilang. Ternyata kau masih suka nekat seperti dahulu.

Rei kembali berpikir kenapa Maya bereaksi seperti itu dengan berita pernikahan Pak Masumi.

Bahkan dia lupa membawa tasnya.

Saat Rei memasuki kamar mereka, ada yang menarik perhatiannya. Rei menghampiri meja tulis, di sana dia melihat sebuah catatan.
[Cepat sembuh, Mungil]

Mungil...? Hanya Masumi Hayami yang akan memanggil Maya dengan sebutan seperti itu.

Perhatian Rei beralih pada ballpoint yang tergeletak di sebelah catatan tersebut. Dia mengambil dan mengamatinya.

Sepertinya ini ballpoint mahal, mungkinkah ini punya Pak Masumi?

Rei mencoba mencerna semuanya. Ada yang terasa janggal olehnya. Ada apa sebenarnya diantara kedua orang tersebut?

Suara handphone Maya mengejutkan Rei. Rei membuka tas Maya yang tergeletak tidak jauh darinya.

Sakurakoji.

Rei memutuskan untuk mengangkatnya.

“Halo?”

“Maya?”

“Bukan, aku Rei.”

“Ah, Rei. Kemana Maya? Tadi Maya mengabariku kalau dia sudah kembali. Aku mau menjemputnya sekarang. Aku akan membawanya ke tempat sepupuku, Yoko malam ini. Aku sudah mengirimkan email tadi tapi Maya tidak membalas juga.” Terang Koji.

“Koji, Maya sedang pergi. Dia tadi keluar dan belum kembali. Sepertinya dia belum membaca pesanmu dan belum tahu mengenai rencanamu. Kuharap dia akan segera pulang.” Kata Rei.

“Pergi?” Koji terdengar khawatir.

“Baiklah, aku akan mencarinya sekarang. Kalau dia sudah kembali, tolong minta dia hubungi aku dan beritahu mengenai rencana ini secepatnya.” Pinta Koji.

“Baiklah. Terima kasih Koji.”

Rei menutup HP Maya dengan gelisah.

Sebenarnya kemana gadis itu?

=//=

Maya menggosok-gosok lengannya dengan telapaknya.

Dingin sekali malam ini, dan aku tidak membawa jaket karena terburu-buru.

Maya menatap keadaannya sendiri.

Aku sama sekali tidak membawa apa-apa... sesalnya.

Maya menyandarkan badannya ke sisi jembatan penyeberangan.

Sekali-sekali Maya menatap ke arah tangga berharap Masumi akan muncul di sana, namun sampai saat ini harapannya belum terpenuhi.

Kadang ada beberapa orang melaluinya tanpa menghiraukannya. Kadang ada yang sambil lewat, juga menatapnya heran, seperti bertanya apa yang dilakukan anak perempuan sendirian di sini. Maya menundukkan kepalanya malu.

Maya menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Perasaan letih dan tidak nyaman kembali menghinggapi badannya.

Tidak… aku akan menunggunya… sampai Pak Masumi muncul, sampai Mawar Ungu muncul.

Setelah cukup lama, bayangan seorang pria muncul di ekor matanya, maya menolehkan kepalanya. Laki-laki tersebut memakai mantel dan membawa sebuah buket bunga. Bunga mawar ungu.

Maya menengadahkan kepalanya menatap pria tersebut.

“Pak Hijiri…” katanya lemah.

“Selamat malam Nona Maya.” Hijiri berjalan mendekatinya.

Hijiri lantas menyerahkan buket bunga tersebut. Maya menerimanya dengan tertunduk.

“Nona Maya, Tuan meminta maaf karena beliau tidak dapat memenuhi permintaan Nona untuk menemuinya di sini. Beliau…” ucapan Hijiri terhenti.

Setetes air mata jatuh, dan disusul tetesan lainnya. Maya mulai tergugu, pundaknya terguncang semakin keras. Hijiri tidak sanggup berkata apa-apa.

“Kenapa dia tidak mau menemuiku? Kenapa…?” Tanya Maya tanpa meminta jawaban.

“Nona Maya…” Hijiri menyentuh bahunya.

Tiba-tiba Maya mendekat ke arah Hijiri dan memeluknya.

“Aku sangat ingin bertemu dengannya Pak Hijiri… sangat ingin bertemu dengannya. Kenapa bertemu saja tidak boleh?” Kata Maya di tengah tangisnya.

Hijiri merangkul pundak Maya. Ia lalu menoleh ke bawah, ke jalanan dimana mobil berlalu lalang.

Tatapannya tertuju pada sebuah mobil yang sedang terparkir dimana si pengendara sedang memandangi mereka. Mobil Masumi.

Di bawah sana Masumi sedang memandang Maya penuh rindu.


=//=

Masumi mengeratkan pegangan pada setir mobilnya. Menginjak gas dan berlalu meninggalkan area itu.

Maaf Maya… Maaf… tapi tidak sekarang…

Masumi menginjak pedal gasnya semakin dalam meninggalkan keriuhan di sekelilingnya.

Di pinggiran sebuah sungai, Masumi meyisikan mobilnya. Masumi menikmati pemandangan sungai di hadapannya sambil bersandar pada mobil dan menghisap sebatang rokok. Ia berusaha menenangkan dirinya.

Masumi lantas menekan sebuah nomor, tidak berapa lama Ia dapat mendengar suara sekretarisnya di seberang telepon.

“Mizuki, aku akan ke Yokohama malam ini, maaf merepotkanmu tapi bisakah kau reservasi ulang kamarku? Tolong kabari aku secepatnya.”

“Baik Tuan, nanti saya kabari secepatnya. Oya Tuan, tadi saya bertemu Maya di depan gedung Daito. Dia mencari Anda.”

“Mencariku?” Masumi terkejut.

“Iya, katanya Ia ingin bertanya mengenai sesuatu tentang Bidadari Merah pada Anda.” Mizuki tidak menyebutkan mengenai perilaku Maya yang tidak biasanya, karena saat mendengar cara atasannya tersebut berbicara, Mizuki bisa menangkap bahwa Masumi sedang memikirkan banyak hal.

“Baiklah. Terima kasih, Mizuki. Besok dan selama aku di Yokohama, sebisa mungkin jangan ganggu aku dengan apapun. Aku ingin berkonsentrasi untuk proyek pementasan Bidadari Merah dan proyek Yokohama. Jika ada sesuatu yang masih bisa kau atasi, tolong jangan ganggu aku.” Perintah Masumi.

Mizuki menyanggupinya.

“Selamat berakhir pekan, Pak.” Ujar Mizuki berbasa-basi. Ia tahu hari libur atau hari kerja sudah tidak ada bedanya lagi bagi Masumi.

Masumi menutup handphonenya. Sempat terpikir untuk menghubungi Maya tapi Masumi langsung mengabaikan pikirannya tersebut. Masumi kembali menyesap rokoknya, mengingat kembali konfrontasinya dengan Eisuke.

[“…pertunjukan saat gadis itu mendengar pembunuh ibunya menyatakan cinta padanya. Hahaha… pasti akan sangat menarik…”]

Masumi menggertakkan giginya. Ia enggan pulang. Ia Ingin segera pergi menuju Yokohama.

[“KAU harus menghancurkannya dengan TANGANMU atau aku dengan suka rela akan meminjamkan TANGANKU.”]

Ekspresi Masumi berubah sangat dingin. Segera Ia masuk kembali ke dalam mobil, mematikan rokok dan mengeluarkan HP nya lalu menelepon ke kediaman Hayami.

“Aku menuju Yokohama. Besok pagi minta seseorang mengantarkan map-map dan laptop ke tempatku.” Perintahnya.

Masumi mematikan handphonenya dan segera menjalankan kembali mobilnya menuju Yokohama.

=//=

Maya memandangi pemandangan jalanan Tokyo yang ramai. Banyak pasangan kekasih yang sedang berkencan, atau segerombolan rekan kerja yang sepertinya menghabiskan malam minggu dengan bersenang-senang bersama.

Maya lalu mengalihkan pandangannya pada Hijiri yang sedang berkonsentrasi menyetir di jok depan. Maya sudah menganggap Hijiri seperti kakaknya, setidaknya dalam versi yang misterius.

Saat Maya di Perancis, Hijiri sangat sering menelepon dan menanyakan keadaannya. Hijiri juga paling sering mengunjunginya. Pria itu akan mendengarkan cerita-ceritanya dengan seksama. Dia tidak akan tertawa terbahak seperti Masumi, tapi hanya tersenyum simpul atau tersenyum lebar. Hijiri juga akan selalu mendengarkan keluh kesah Maya dan memberikan masukan, tapi laki-laki itu tidak akan berkata apapun mengenai Mawar Ungu.

Kadang Maya kecewa, tapi kesetiaan Hijiri pada Masumi, juga membuatnya kagum.

“Apa yang kau pikirkan?” Tanya Hijiri tiba-tiba melalui kaca spion depannya.

“Eh…? Tidak… Hanya mengingat-ingat saat aku di Perancis. Untung Pak Hijiri sering mengunjungiku. Kalau tidak aku bisa mati bosan.” Kata Maya, berusaha tersenyum diantara matanya yang sembab.
 

Hijiri tersenyum simpul.

“Itu sudah tugasku, untuk memastikan kau baik-baik saja selama di sana.” Terang Hijiri.

“Lalu? Apakah Anda juga melaporkan mengenai keadaanku selama di sana pada Mawar Ungu?” Tanya Maya, mencondongkan badannya agak sedikit ke depan.

“Tentu saja, Nona, sudah kewajibanku melaporkan semua perkembanganmu.” Jawab Hijiri.

Maya mengangguk-angguk tak kentara. Lalu keduanya terdiam beberapa saat.

“Pak Hijiri… Kenapa Mawar Ungu tidak mau menemuiku?” Tanya Maya.

Dia tahu dia tidak seharusnya bertanya dan Hijiri pun tidak akan memberikan jawabannya, tapi Maya hanya ingin bertanya.

“Beliau mempunyai alasannya sendiri.” Jawab Hijiri seperti biasa.

“Tapi apa? Aku sama sekali tidak mengerti hal apa yang membuatnya harus menyembunyikan identitasnya dariku…” Maya berkeras.

“Anda pasti tahu, sejak pertama kali aku menerima kiriman mawar ungu darinya, sejak saat itu aku selalu memimpikan bisa bertemu dengannya. Berbicara langsung dengannya, mengucapkan rasa terima kasihku padanya dan melakukan hal-hal lain. Dia sudah berbuat begitu banyak untukku, dan aku hanya ingin mengungkapkan rasa terima kasihku padanya. Itu saja…” Gumam Maya sambil memandangi buket mawar ungunya.

Hijiri berpikir sebentar.

“Nona Maya, apapun yang kau inginkan, selama tidak berhubungan dengan identitas Mawar Ungu, dia akan senang hati memenuhi keinginanmu tersebut. Namun memintanya datang padamu dan membuka identitasnya adalah satu-satunya hal yang belum bisa dipenuhinya. Setidaknya, tidak untuk saat ini.” Hijiri berusaha memberikan pengertian kepada Maya.

“Iya… Anda benar. Aku sudah lama tahu, tapi malah memaksanya. Dia pasti sangat kesal padaku…” Maya melipat bibirnya dan menghela nafasnya.

“Tidak, apapun yang kau lakukan dia sama sekali tidak pernah merasa kesal padamu, dia hanya merasa menyesal karena tidak dapat memenuhi permintaanmu.” Hijiri kembali tersenyum menenangkan.

Tiba-tiba ada rasa bersalah dalam hati Maya karena sudah mendesak Masumi untuk membuka identitasnya.

“Pak Hijiri… Aku menyesal, tolong sampaikan maafku padanya. Tidak seharusnya aku menuntutnya untuk membuka identitasnya padaku.” sesal Maya.

Hijiri mengangguk. Dia sudah bisa melihat sifat Maya yang sedikit demi sedikit sudah berubah semakin dewasa.

Maya lalu terdiam, memikirkan kata-kata Hijiri.

[Memintanya datang padamu dan membuka identitasnya adalah satu-satunya hal yang belum bisa dipenuhinya. Setidaknya, tidak untuk saat ini.]

Tapi… bukan berarti aku tidak bisa datang menghampirinya… ‘kan? Pikir Maya.

“Pak Hijiri…” panggil Maya.

“Iya?” Hijiri kembali melirik sekilas ke kaca spion depannya.

“Aku ingin pergi ke Yokohama.” Kata Maya.

Eh?

Hijiri terkejut dengan perkataan Maya yang tiba-tiba.

“Kenapa kau mau pergi ke sana?” Tanya Hijiri.

“Anda tahu, Yokohama adalah tempat kelahiranku. Tapi sejak aku pergi ke Tokyo, belum pernah sekalipun aku menginjakkan kakiku di sana lagi karena aku tidak ada saudara, padahal jaraknya tidak jauh. Sekarang aku baru kembali dari Perancis, aku ingin mengunjunginya. Walaupun aku hanya ada beberapa kenalan, tapi aku ingin pergi ke sana.” Kata Maya hati-hati, khawatir motifnya yang lain akan diketahui Hijiri.

Hijiri terdiam beberapa saat.

“Lalu, kau akan tinggal dimana selama di sana?” Tanyanya kemudian.

“Entahlah, mungkin di restoran Manpukuken tempatku dan Ibu pernah menetap. Kuharap mereka tidak keberatan aku tinggal di sana selama 1-2 hari.” Tutur Maya.

“Kau ingin ke sana malam ini? Tapi kau masih kurang sehat Nona Maya…” Hijiri terdengar khawatir.

“Tidak tahu, aku akan membicarakannya dengan Rei, karena aku tidak punya banyak waktu, Pak Kuronuma sudah menegaskan ada banyak hal yang harus dilakukan untuk Bidadari merah. Jadi mungkin sementara sembunyi dari wartawan, aku akan tinggal di sana, kurasa masih ada kereta terakhir ke sana untuk malam ini.”

Hijiri menyadari bahwa Maya belum tahu mengenai rencana Sakurakoji untuk mengajaknya ke tempat Yoko, tapi Hijiri juga tidak berencana memberitahunya.

Yokohama… Tuan Masumi juga akan pergi ke sana.

Memang Yokohama hanya berjarak sekitar 30 KM dari Tokyo dan bisa ditempuh kurang dari 1 jam, tapi Hijiri bisa melihat wajah lelah Maya.

Masih sakit dan dia berkeliaran di pusat kota Tokyo hanya mengenakan baju seadanya. Pantas Pak Masumi sering mengkhawatirkannya. Bahkan melebihi dirinya sendiri…



=//=
{2 Tahun yang lalu}

“Siapa namanya?” Tanya seorang perawat laki-laki sambil mendorong brangkart dimana Masumi terbaring di atasnya menuju ruang gawat darurat.

“Takizawa Takeru.” Jawab Hijiri.

Brangkart*) Masumi menerobos masuk ke dalam pintu ruangan gawat darurat saat seorang perawat perempuan menghampiri Hijiri.

“Tuan, silahkan kemari, saya memerlukan Anda untuk mengurus administrasi pasien.” Kata perawat tersebut, menggiring Hijiri mengikutinya.

“Apakah Anda kerabat dari pasien?” Tanya suster tersebut.

“Saya adiknya.” Jawab Hijiri.

*) tempat tidur bertroli yang digunakan memobilisasi pasien.

=//=

“Tuan, ada telepon penting. Mengenai Tuan Muda Masumi.” Asa mengabari Eisuke yang sedang mengamati kimono Bidadari Merahnya.

“Katakan aku tidak ingin bicara dengan siapa-siapa saat ini. Pastikan saja Masumi bisa hadir besok di pernikahannya. Kecuali dia mau mati, aku tidak ingin diganggu,” Jawab Eisuke dingin.

“Saya khawatirkan seperti itu, Tuan.” Jawab Asa.

Eisuke memutar kursinya.

“Ada apa?” Tanya Eisuke saat dia menerima telepon dari Hijiri.

“Tuan, Tuan Masumi saat ini sedang berada di ruang gawat darurat Rumah Sakit Palang Merah Izu, beliau sedang koma karena mengalami keracunan etanol. Suster mengatakan sebisa mungkin Tuan Masumi dikirim ke rumah sakit yang lebih baik agar mendapat penanganan yang lebih memadai. Saya bermaksud mentransfer Tuan Masumi ke Rumah Sakit Sanno Tokyo.”

“Apakah kalau dia dikirim kembali ke Tokyo, dia akan bisa menghadiri pernikahannya besok?” Tanya Eisuke.

“Mustahil, Tuan.” Hijiri sedikit terkejut dengan pertanyaan Eisuke.

“Maka kau tidak perlu membawanya pulang ke Tokyo.” Putus Eisuke.

“Apa kau menyebut nama Hayami?” Tanyanya lebih lanjut.

“Tidak, Tuan.” Jawab Hijiri.

“Bagus. Aku tidak mau nama Daito dan Hayami dibawa-bawa dalam masalah ini.” Eisuke menekankan.

“Dan ingat agar hal ini tidak bocor ke media manapun.” Tegas Eisuke.

“Baik, Tuan.” Hijiri menuruti kehendak Eisuke.

Hijiri lalu menutup teleponnya. Dia menggertakkan giginya dan meremas gagang telepon menahan emosi. Ia tahu bahwa Eisuke adalah seorang yang tidak berperaaan, tapi tidak mengira bahwa dia bahkan sanggup mengabaikan nyawa anaknya.

=//=

Eisuke membanting barang-barang di atas meja dengan tongkatnya. Cita-citanya mengawinkan perusahaan Daito dengan Takamiya terancam batal, atau bisa dibilang sudah bisa dipastikan batal. Eisuke benar-benar murka.

“Asa!” Serunya.

“Iya Tuan?” Asa mendekati Eisuke.

“Aku ingin kau menghubungi Mizuki. Minta dia mengunjungi Masumi dan menyampaikan beberapa hal. Ingat, jangan sampai menarik perhatian wartawan. Suruh dia mengunjunginya saat keadaan sudah mereda.” Eisuke masih terlihat sangat marah dari dadanya yang turun naik dengan cepat.

“Baik Tuan.” Kata Asa.

=//=

Akhirnya Mizuki tiba juga di Rumah Sakit Palang Merah Izu. Ia terpaksa membuang hari liburnya untuk melaksanakan perintah langsung dari Presiden Direktur Daito, Eisuke Hayami. Tapi bukan itu yang membuat langkahnya terasa berat, tapi apa yang harus disampaikannya pada Masumi.

“Takizawa Takeru.” Kata Mizuki di depan resepsionis rumah sakit.

“Anda bisa naik ke lantai 2, kamarnya no. 4 di sebelah kanan.” Terang perawat tersebut.

Mizuki mengangguk berterima kasih dan mengikuti arah yang ditunjukkan suster tersebut. Mizuki menemukan kamar yang dimaksud, dia lalu mengetuk pintu. Seorang perawat keluar dari sana.

“Saya mau menjenguk Tuan Takizawa.” Kata Mizuki pada perawat tersebut.

“Ah iya silahkan, dia sedang beristirahat. Saya baru mengganti infusnya. Apakah Nona keluarganya?” Tanya perawat tersebut.

“Saya kerabatnya.” Kata Mizuki.

“Syukurlah ada yang menjenguknya. Sejak dia masuk, hanya adik laki-lakinya saja yang suka menjenguk ke sini. Mungkin dia sedikit kesepian. Saya harap Nona dapat menghiburnya, karena bagaimanapun, keadaan mental sangat berpengaruh bagi kesembuhan pasien.” Tutur si perawat.

Adik laki-laki?

Mizuki mengangguk.

Andai saja aku memang datang untuk menghiburnya.

Mizuki memasuki ruang rawat Masumi. Keadaan Masumi benar-benar menyedihkan. Wajahnya pucat dan kurus dengan ekspresi sedingin es. Mizuki jadi kasihan pada para perawatnya.

Mereka pasti sangat ketakutan.

“Pak Masumi, kenapa Anda bisa jadi seperti ini?” Tanya Mizuki tanpa basa-basi.


Masumi tidak menjawab, dia bahkan tidak memandang Mizuki.

“Saya tahu Anda tidak akan menghiraukan saya. Tapi saya harus menyampaikan hal ini, jadi mohon didengarkan.” Mizuki mengambil kursi dan duduk di dekat tempat tidur Masumi.

“Pada saat hari pernikahan Anda, Nona Shiori juga tidak menghadiri pernikahan. Sejak saat itu, sampai saat ini, kabar mengenai pernikahan Anda masih diributkan oleh beberapa pihak, tapi Anda tidak perlu khawatir, masyarakat awam tidak begitu awas mengenai kabar ini, walaupun para kalangan elit dan pengusaha masih banyak yang menggunjingkan dan berdesas desus. Maaf jika saya terlalu berterus terang..." Mizuki menghentikan sebentar ucapannya.

"Pihak Takamiya mengungkapkan bahwa hal ini merupakan kesepakatan bersama. Bagaimanapun, Tuan Eisuke tidak menghendaki hubungan Takamiya dan Daito menjadi buruk. Ia ingin saat Anda pulih dapat segera mendatangi kediaman Takamiya dan meminta maaf. Selain itu juga Anda diharapkan menggelar jumpa pers terkait masalah ini.” Lanjut Mizuki.

Masumi tetap tidak mengindahkannya.

“Selanjutnya masalah Daito.” Mizuki memberi jeda yang agak lama, lebih untuk menyiapkan mentalnya daripada Masumi.

“Tuan Eisuke memberikan skors selama 2 bulan kepada Anda. Saat ini semua pekerjaan Anda di kantor pusat Daito sudah dipegang oleh Tuan Harada. Setelah itu Anda akan ditempatkan di Kyoto sampai batas yang tidak ditentukan, sampai Tuan Eisuke meyakini Anda bisa kembali berpikir jernih dan memberikan kemajuan yang berarti pada cabang Daito di sana, mungkin Anda bisa kembali ke Tokyo. Tuan Eisuke juga memberi peringatan, apabila Anda lalai dalam menangani pekerjaan Anda, dia akan mempertimbangkan kembali untuk mengizinkan Anda menangani proyek pagelaran Bidadari Merah…” Mizuki menghentikan membaca catatannya saat Masumi mengangkat wajahnya dan menoleh pada Mizuki.

“Apa kau bilang?” Tanyanya tajam walau terdengar lemah.

“Saya yakin Anda mendengarkan perkataan saya. Itu adalah keputusan Tuan Eisuke dan…”


Masumi merebut kertas yang ada di tangan Mizuki dan menghempaskannya ke lantai.

“Pak Masumi. Saya harap Anda bisa segera sembuh dan Anda bisa mulai kembali bekerja di kantor pusat Daito.” Kata Mizuki simpati.

“Aku sudah tidak peduli lagi pada apapun. Tidak pada Hayami, tidak pada Daito, tidak pada apapun. Aku tidak peduli dia mau membuangku kemana…” Masumi mengepalkan tangannya.

“Bagaimana dengan Maya?” Tanya Mizuki.

Masumi tertegun, dan kembali membisu.

“Pak, anda jangan lupa kalau Anda adalah penyokong bagi gadis itu. Jika Anda hancur, bagaimana dengan Maya? Dia sekarang adalah pemegang hak pementasan Bidadari Merah. Dia membutuhkan perlindungan Anda lebih dari sebelumnya.” Mizuki berusaha meyakinkan Masumi.

Walaupun berusaha keras menyembunyikannya, garis-garis kesedihan tampak menggurat di wajah Masumi.

Di balik pintu, Hijiri mendengarkan keduanya berbicara.}


=//= 


Sampai di depan apartemen Maya, Hijiri meminggirkan mobilnya lalu turun membukakan pintu untuk Maya.

“Baiklah, terima kasih Pak Hijiri. Nanti aku akan mengabari lagi mengenai…” 

“Nona Maya...” Potong Hijiri.

“Tunggulah sebentar, aku akan menghubungi Tuan terlebih dahulu, mungkin beliau bisa membantumu mengenai keinginanmu pergi ke Yokohama.”

“Ti… tidak usah, aku tidak mau merepotkannya lagi. A.. aku…”

Tapi Hijiri tidak mendengarkan Maya, Ia membalik badannya dan mulai menggunakan handphonenya. Ia lalu terdengar berbicara dengan seseorang di telepon.

“Nona Maya bilang dia ingin pergi ke Yokohama…” Katanya samar-samar.

Selanjutnya Maya hanya bisa mendengar Hijiri berkata ‘iya’ dan ‘baiklah’. Hijiri lalu menutup teleponnya dan kembali mendekati Maya.

“Tuan bilang, sebaiknya kau tidak tinggal di Manpukuken, karena bagaimanapun para wartawan sudah tahu mengenai riwayat hidupmu. Jadi kemungkinan besar mereka juga akan mencarimu di sana saat tahu bahwa kau sudah berada di Jepang.” Kata Hijiri, mengulang apa yang Masumi sampaikan.

Maya terlihat muram.

“Tapi jika kau memang ingin pergi ke Yokohama, Tuan memintaku menyiapkan tempat untukmu. Akan kucarikan tempat yang sesuai agar kau bisa mengunjungi kerabatmu tapi juga agar wartawan tidak bisa melacakmu.” Kata Hijiri.

Maya menatap Hijiri cukup lama, mempertimbangkan penawarannya.

“A… apakah tidak akan merepotkan? Aku benar tidak masalah jika harus ke sana sendiri.” Kata Maya.

Hijiri lalu meyakinkannya sekali lagi bahwa yang terbaik bagi Maya adalah mengikuti sarannya.

“Baiklah, Pak Hijiri. Tunggu sebentar, aku akan mempersiapkan barang-barangku.” Putus Maya kemudian.

Maya segera masuk ke dalam apartemennya

=//=

Hijiri membuka kembali teleponnya.

“Halo, Pak, Nona Maya sudah setuju. Dimana Anda ingin saya menempatkannya?” Tanya Hijiri.

Sejenak Hijiri hanya mendengar keheningan dan suara mobil yang menderu.

“Saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju Minato Mirai. Bawa dia padaku, Hijiri.” Kata Masumi akhirnya.

“Baik, Pak.” Hijiri menutup hubungannya dengan Masumi dan kemudian menekan sebuah nomor.

“Halo selamat malam, saya ingin melakukan sebuah reservasi untuk tamu malam ini, saya akan sampai sekitar 1 jam dari sekarang. Apakah masih ada kamar tersedia?”

=//=

“Maya! Kau kemana saja??” Seru Rei saat Maya akhirnya kembali. Dia mengamati buket Mawar Ungu yang dipegang Maya.

“Kau bertemu Mawar Ungu??” Tanya Rei tidak percaya.

“Tidak…” Maya menggelengkan kepalanya.

“Rei, aku akan pergi ke Yokohama. Aku akan tinggal di sana 1-2 hari. Yang pasti aku akan kembali sebelum konferensi pers hari selasa malam.” Kata Maya sambil membereskan barang-barangnya.

“Ke... Yokohama?? Untuk apa?” Rei terlihat bingung.

“Kau tahu, agar aku besok tidak perlu berhadapan dengan wartawan saat mereka menyerbu ke sini…”

Maya mulai memilih-milih beberapa bajunya untuk dimasukkan ke dalam tasnya.

Mendengar perkataan Maya seperti mengingatkan Rei pada sesuatu. Sakurakoji.

“Ahh!! Maya! Sakurakoji… dia tadi menelpon. Katanya dia hendak mengajakmu tinggal di tempat sepupunya untuk sementara, dan saat ini dia sepertinya masih mencarimu karena kubilang kau sedang berkeliaran sendirian di luar.” Terang Rei.

“Eh? Sakurakoji?” Maya menghentikan persiapannya.

“Iya, coba kau baca pesannya.” Perintah Rei.

“Ta... tapi…” Maya terlihat ragu-ragu, namun membaca pesan di HP-nya tersebut.

Tapi aku ingin pergi ke Yokohama… dan lusa aku berniat mencari tahu pada Nona Mizuki mengenai dimana Pak Masumi menginap…

“Maya?” panggil Rei.

“Rei… Aku sudah memutuskan untuk pergi ke Yokohama, lusa aku akan kembali. Nanti aku akan menghubungi Sakurakoji dalam perjalananku ke sana.” Maya cepat-cepat menyelesaikan persiapannya.

Tidak lupa dia membawa catatan dan ballpoint dari Masumi. Rei mengamati hal tersebut, tapi memutuskan tidak bertanya apa-apa karena sepertinya Maya sangat buru-buru.

“Baiklah kalau kau sudah memutuskan seperti itu. Apa kau mau kutemani?” tawar Rei sambil membantu menutup resleting tas pakaian Maya.

“Tidak usah Rei, kau kan masih ada pertunjukan.” Jawab Maya.

“Tidak apa-apa, aku bisa kembali ke Tokyo sebelum pertunjukan dimulai. Kau masih sakit 'kan Maya…” Rei terlihat khawatir.

“Tidak perlu Rei, terima kasih. Aku hanya perlu istirahat yang cukup dan mengatur jam tidurku saja kok.” Kata Maya berusaha menenangkan sambil beranjak menuju pintu.

“Kau memang keras kepala, baiklah Maya. Kabari aku setelah kau sampai ya…” Rei mengantarnya ke pintu.

“Terima kasih Rei. Selamat malam,” Maya keluar dari ruang apartemennya.

Di bawah, Hijiri sudah menunggu. Hijiri membukakan pintu untuk Maya dan segera menjalankan mobilnya menuju Yokohama.

=//=

Maya membalas pesan dari Sakurakoji. Tidak lama kemudian handphonenya berbunyi.

“Maafkan aku…” gumam Maya pelan sambil tertunduk.

Hijiri mengamati Maya dari kaca spion depannya.


=//=


Hanya 45 menit waktu yang ditempuh oleh keduanya sebelum kemudian mobil yang mereka tumpangi memasuki area Minato Mirai.

“Eh? Ini kan?...” Maya tampak terkejut melihat kemana mobil Hijiri membawanya.

Minato Mirai… bukankah Nona Mizuki bilang bahwa Pak Masumi nanti akan ke sini?

Tanpa sadar sebuah senyum mengembang di bibir Maya. Dia harap misinya mencari Masumi akan lebih mudah daripada yang diperkirakannya.

Di Menara Landmark Hijiri membelokkan mobilnya dan memasuki area parkir.

“Pak Hijiri…!” Maya menatap Hijiri tidak percaya.

“Betul Nona Maya, sementara kau akan tinggal di sini. Aku sudah memesankan kamar untukmu di Yokohama Royal Park Hotel. Dari sini ke daerah Chinatown sangat dekat dan selain itu, gedung ini tidak dapat dimasuki wartawan sembarangan jadi kau bisa aman berada di sini.” Terang Hijiri.

Maya hanya mengangguk senang.

Setelah mobilnya terparkir rapi, Hijiri lalu membalikan badannya.

“Nona, tunggu aku di sini. Kita tidak boleh terlihat bersama,” Kata Hijiri.



Maya menurutinya. Hijiri turun dari mobil dan menghilang ke dalam gedung.

Tidak sampai 15 menit Hijiri sudah kembali menghampirinya dan
membukakan pintu bagi Maya. Hijiri lalu menyerahkan kunci kamar padanya.

“Ini kunci kamarmu. Aku memesan kamarmu untuk 3 malam sampai selasa jam 11 siang. Aku harus pergi sekarang, tidak bisa menemanimu ke atas karena ada sesuatu yang harus kuurus. Kalau ada hal lainnya yang kaubutuhkan, kau bisa menghubungiku kapan saja. Beritahu kapan kau mau checkout.” Kata Hijiri.

“Baiklah Pak Hijiri, terima kasih.” Maya menerima kunci tersebut dan mengangguk.

Maya melangkah menuju gedung dan memasuki lobi hotel. Bahkan lobinya saja sudah mengindikasikan bahwa hotel tersebut merupakan tempat yang sangat mewah. Maya belum pernah ke sana sebelumnya. Lantai marmer dan dinding yang menjulang dihiasi sebuah lampu hias Kristal dengan model anggur membuat kesan sangat ekslusif dari hotel tersebut.

Pasti harga kamar di sini sangat mahal…

Dua orang pegawai hotel menyambutnya dengan senyum ramah dan salam. Maya mengangguk gugup.

“Mau memesan kamar, Nona?” Tanya salah seorang di antaranya.

“Sa… saya… sudah memesan kamar.” Maya memperlihatkan kuncinya.

“Mari saya Antar,” kata seorang pegawai.

“Tidak perlu. Tunjukan saja arah menuju liftnya.” Maya menolak dengan halus. Dia tidak akan mampu memberinya tip.

“Di sebelah sana.” Pegawai tersebut menunjuk dengan tangannya.

Maya kembali mengangguk dan berlalu. Maya merasa sangat gugup dan menyesalkan kenapa dia tidak bisa menginap di Manpukuken saja. Maya lalu mengamati kunci yang ada di telapak tangannya. Sebuah kunci panjang berwarna kuning keemasan seperti dari zaman kerajaan dengan nomor kamar di kepalanya. Tiba-tiba Maya mengaduh. Sempat tidak memperhatikan sekelilingnya membuat Maya menabrak seseorang di depannya yang sedang berdiri menunggu lift.

Maya menengadahkan kepala, orang itu berbalik melihat siapa yang sudah menabrak punggungnya.

“Mungil!” Seru Masumi, terkejut, tidak mengira pertemuannya dan Maya akan berlangsung secepat itu.

“Pak… Pak… Masumi??” Maya terkesiap tidak kurang terkejutnya dari Masumi.

“Apa yang kau lakukan di sini, Mungil?” Tanya Masumi basa basi.

Masumi melihat buket Mawar Ungu yang dipegang Maya. Ada rasa sedih dan rasa bersalah melintas di hatinya.

“Berkencan dengan penggemarmu?” Godanya kemudian.

Maya mengangkat wajahnya marah.

“Bukan urusan Anda!!” Katanya.

Tiba-tiba saja rasa kesal karena Masumi tidak muncul di jembatan Asahi membuat Maya menjadi ketus, seperti seorang wanita yang batal berkencan dengan kekasihnya.

“Ya ampun… galak sekali…” kata Masumi.

Tidak lama lift kemudian berdenting, keduanya memasuki lift.

“Sini kubawakan.” Masumi meraih koper Maya tanpa bisa ditolak.

Masumi membaca nomor yang ada di kunci Maya. Sebuah senyum samar-samar terlihat di wajahnya.

Masumi lalu menekan angka 66, yang menunjukan lantai tempat kamarnya dan Maya berada.

Hati Maya berdebar-debar. Maya mengamati Masumi. Padahal dia tadi sudah merencanakan banyak hal untuk dibicarakan dengan Masumi, tapi sekarang setelah laki-laki itu ada di sebelahnya Maya malah merasa sangat bingung mau bagaimana memulai percakapan.

“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Masumi memecah keheningan.

Beberapa lama Maya terdiam, masih kesal karena Masumi tidak menampakan dirinya tadi.

“Mungil?” Tanya Masumi. Kali ini agak membungkukkan badannya mengamati wajah Maya.


Maya melirik ke arahnya.

“Aku baik-baik saja.” Katanya pendek.

“Suasana hatimu sedang jelek ya?” Masumi menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan tawa.

“Kok Anda malah tertawa?” Maya mengerutkan alisnya.

“Tidak… hanya saja kau terlihat lucu saat sedang marah-marah seperti itu.” Kata Masumi.

Maya membuang nafasnya keras.

“Ah iya! Bukankah kau tadi mencariku? Mizuki bilang padaku…”

Deg!

Maya bisa merasakan wajahnya mulai memanas.

Ting!

Kata-kata Masumi terputus oleh pintu lift yang kembali terbuka. Tidak sampai 30 detik, pintu lift tercepat kedua di dunia tersebut sudah mengantarkan mereka ke lantai 66.

Maya keluar. Begitu juga Masumi.

“Anda mau kemana?” Tanya Maya masih dengan ketus.

“Ke kamarmu.” Masumi tersenyum tidak acuh sambil menunjukan tas Maya yang dipegangnya.

“Tidak perlu, biar kubawa sendiri.” Maya berniat mengambil tasnya dari tangan Masumi tapi Masumi berlalu melewatinya.

“Pak Masumi!!” kejar Maya, terpaksa mengikutinya.

Di depan kamar Maya, Masumi berhenti.

“Di sini ‘kan?” Katanya sambil melihat kunci yang dipegang Maya.

Maya melihat kembali nomor kuncinya lalu mengangguk. Masumi mengambil kunci tersebut dari tangan Maya dan membukakan pintunya.

“Masuklah.” Katanya.

“Tidak Anda suruhpun aku pasti masuk. Ini ‘kan kamarku.” Kata Maya angkuh sambil masuk melewati Masumi.

Masumi menahan tawanya.

Maya bisa melihat ada mini bar di sana, ruang bersolek dan berpakaian lalu sebuah kamar mandi yang sangat bersih dan besar. Tapi yang membuatnya terpesona adalah jendela besar yang berada di dalam kamar berukuran 27 meter persegi tersebut. Maya berlari ke ruang tidurnya, matanya terbelalak melihat pemandangan di bawahnya.

“Waa… bagus sekaliii.” Kata Maya mengagumi pemandangan yang dilihatnya.

“Pak Masumi!” Panggilnya spontan.

Masumi melangkah mendekati Maya. Dia melihat pemandangan di bawah mereka. Saat ini mereka sedang melihat pemandangan di bagian timur Gedung Landmark Tower. Pemandangan malam yang menakjubkan, yang paling indah tentu saja taman bermain Cosmo World dengan bianglala besarnya yang menyala berwarna-warni. Maya juga bisa melihat kesibukan kapal-kapal di Pelabuhan terbesar di Yokohama.

“Ah, di sana!” Tunjuk Maya.

“Apa itu?” Tanya Masumi, mengamati arah telunjuk Maya.

“Tempatku pernah tinggal dulu, restoran Manpukuken.” Sebuah senyum hangat terlihat di wajah maya.

“Kau yakin di sana tempatnya?” goda Masumi.

“Tentu saja, walaupun tidak terlihat begitu jelas, pasti di sana tempatnya. Aku masih ingat suasananya, gapuranya. Aku akan berlari-lari sepulang sekolah untuk membantu mengantarkan ramen.” Kenang Maya.

“Yaa… sebenarnya tidak bisa dibilang membantu sih…” Tambah Maya.

Masumi tertawa.

“Ahh… aku rindu Yokohama. Senang bisa berada di sini.” Maya menoleh ke arah Masumi sambil tersenyum.

Bersama Anda…

Masumi tidak tahu apa arti senyum itu, namun senyum tersebut membuat Masumi akhirnya menyadari bahwa dia dan Maya berada dalam satu kamar hotel. Masumi sempat mengamati sebuah tempat tidur berkasur queen size dengan seprai berwarna putih dan nuansa motif coklat yang berada di sana.

“Ah, aku harus kembali ke kamarku.” Kata Masumi cepat.

Masumi berjalan keluar ruang tidur, Maya mengikutinya.

“Kau tidak perlu mengantarku, Mungil.” Kata Masumi, tapi membiarkan Maya mengikutinya sampai ke dekat pintu.

“Kenapa Anda ada di sini?” Tanya Maya dari belakangnya.

“Urusan bisnis. Daito berencana mengadakan festival yang diisi kelompok orchestra se-Asia Pasific. Aku harus memastikan semua berjalan dengan semestinya.” Jawab Masumi sambil meraih sepatu dan pengait untuk membantunya memakai kembali sepatunya.

“Tapi ini kan akhir pekan…” Maya terdengar bingung.

“Iya, sebenarnya aku dijadwalkan datang hari senin, tapi ada sesuatu yang membuatku memutuskan lebih cepat meninggalkan rumah.” Jawab Masumi, terlihat sedikit muram.

Masumi lalu berbalik menghadap Maya setelah memasang sepatunya. Ternyata mereka berada sangat dekat, tidak ada setengah meter. Masumi merasakan jantungnya berdegup kencang. Sepertinya kemampuan Maya mengatur jarak saat ini sedang tidak akurat.

“Baiklah Mungil, selamat malam. Semoga kau bisa cepat tidur. Sepertinya kau akan segera pulih dari jetlag-mu.” Kata Masumi berusaha terlihat tenang.

Maya diam saja, seperti memikirkan sesuatu.

“Mungil?” Panggil masumi lagi.

“Iya?” Maya menengadahkan kepalanya.

“Hahaha… Tampaknya hari ini pikiranmu sering tidak berada di tempatnya.” Goda Masumi.

“Maafkan aku… hanya saja…” Maya tidak meneruskan ucapannya.

Masumi lalu kembali teringat dengan ucapan Mizuki mengenai Maya yang mencarinya.

“Mungil, apakah ada yang mau kau bicarakan? Mizuki bilang kau mencariku hendak membicarakan sesuatu mengenai Bidadari Merah?” Tanya Masumi memastikan.

“Ah… itu…” Maya terlihat gugup.

“Kalau kau mau, kita bisa membicarakannya besok, aku tidak ada jadwal apapun untuk besok. Kau bisa datang ke tempatku.” Kata Masumi ramah.

Tapi besok aku berencana pergi ke Manpukuken…

“Pak Masumi.” Maya mengangkat kepalanya tiba-tiba.

“Aku hendak menagih hutang Anda padaku.” Ujar Maya sambil menatap Masumi.

“Hutang?” Wajah Masumi terlihat bertanya-tanya.

“Apakah Anda ingat kalau dulu Anda pernah memaksaku menemani Anda seharian? Maka sekarang Aku ingin Anda membalas hutangku. Anda besok harus menemaniku.” Tuntut Maya sambil memasang wajah keras.

Masumi masih bingung dengan maksud perkataan Maya.

“Kau ingin aku menemanimu seharian?” Masumi mencoba mericek informasi yang masuk ke telinganya dan membuat bingung otaknya.

Maya mengangguk pasti.

“Benar, aku sudah lama tidak mengunjungi Yokohama, ada banyak tempat yang ingin kudatangi. Bisakah Anda menemaniku? Bukankah Anda bilang Anda tidak ada kegiatan untuk besok?” Pintanya dengan lebih lunak.

Masumi tidak peduli jika dia sedang bermimpi atau sedang berada di dunia paralel dimana Maya tidak keberatan berada dalam jarak sedekat ini dengannya dan malah mengajaknya berjalan-jalan. Masumi juga tidak peduli, jika ini dilakukan oleh Maya tanpa sadar karena pengaruh jetlag atau apapun, dan lupa kalau yang ada di hadapannya saat ini adalah Masumi Hayami yang dibencinya. Masumi sungguh tidak peduli. Yang ada di kepalanya, dia sangat gembira Maya mengajaknya berkencan. Setidaknya Masumi akan menganggapnya seperti itu.

“Baiklah. Dengan senang hati, Mungil.” Jawab Masumi sambil tersenyum lebar.

Maya tersenyum puas.

“Mana handphonemu?” Tanya Masumi sambil menyodorkan telapak tangannya.

Maya merogoh ke dalam tas dan mengeluarkan handphonenya.

Masumi lalu mengambil handphone milik Maya tersebut dan menekan beberapa tombol. Maya hanya berdiri terdiam di tempatnya.

Masumi lalu menyerahkan kembali handphone Maya pada pemiliknya.

“Aku sudah memasukan nomor dan emailku.” Kata Masumi menerangkan.

“Kau bisa menghubungiku kalau ada apa-apa.” Lanjutnya.

Maya mengangguk.

“Baiklah, aku akan kembali ke kamarku sekarang.” Masumi membuka pintu kamar Maya.

“Baiklah. Terima kasih.” Maya mengantarkannya sampai di luar pintu.

“Di mana kamar Anda Pak masumi?” Tanya Maya kemudian.

“Maaf kau sedang sial Mungil, tapi tempatku adalah di sebelahmu.” Masumi tersenyum penuh arti dan menggerakkan kepalanya ke ujung lorong, ke sebuah kamar besar yang ada di sebelah kamar yang ditempati Maya.

Maya tampak sedikit terkejut tapi dia tidak berkata apa-apa.

“Sampai bertemu besok, Mungil.” Pamitnya.

“Sampai bertemu besok…” jawab Maya.

Maya menutup pintunya. Sebuah senyum mengembang di bibirnya. Dia bertemu dengan Pak Masumi dan besok akan berkencan dengannya. Maya lalu menatap sebuah nomor kontak di handphonenya.
Masumi Hayami

 Maya memejamkan matanya dengan gembira dan memeluk handphonenya.

Dia lalu kembali berlari menuju jendela kamarnya. Pemandangan yang indah dan hatinya yang merasa senang benar-benar membuat Maya bahagia malam itu.

=//=

Masumi membuka pintu kamarnya, sebuah executive suite dengan luas 88 meter persegi. Tidak ada laptop atau map, Masumi bingung dengan apa yang harus dikerjakannya. Ia lalu meraih piyama yang disediakan oleh hotel tersebut bagi tamunya. Masumi baru saja berniat membersihkan diri saat tiba-tiba handphonenya berbunyi. Sebuah pesan masuk.

Masumi membukanya. Isinya singkat tapi Masumi merasa sangat senang saat membacanya.
Ini Maya Kitajima (^_^)/

Masumi tertawa kecil melihat emotikon yang disertakan Maya, karena sebelumnya tidak ada satupun pesan singkat yang masuk ke handphonenya dengan disertai emotikon. Terlebih lagi, Masumi merasa senang karena akhirnya, setelah sekian lama, nomor Maya yang telah lama tersimpan di handphonenya sekarang bisa dia hubungi.


=//=



<<<Finally Found You Chapter 1 ... Bersambung>>>

75 comments:

Anonymous said...

Anonymous said...
sukaaaaaa, lagi lagi lagi.... banyak maunya deh...tak sabar nunggu update selanjutnya...^_^ Ciayo Ty...

- tina-

Anonymous said...

ty...i cant breath 4 a while...(hahaha...masumi fever tambah parah nehhh)

-winda-

Anonymous said...

hihihiihii.. yang one shot ga ada tambahan ya, sis?

Anonymous said...

Ty...one word : "Waiting" :D -dian-

Anonymous said...

Wah Ty...bagus sekali...lagi ya...ditunggu....

Wid Dya

Anonymous said...

LIKE THIS...

-TINA-

Anonymous said...

Kyaaaa adegan tempat tidurrrrrr.....( ngiler nih ) .......sukaaaa......jagan lupa lanjutannya nnnnn jangan lama lama ^^ ( dina ,I ♥ topeng kaca )

resi said...

yaaah, lanjut dong tyyy.

Anonymous said...

Seperti pengantin baru hehehe pake gendong2an...sukaaaa...lagi ya....

Wid Dya

Anonymous said...

lanjuuuuuuttt..... ^^

rany y

Anonymous said...

masumi ga nikah kan ma shiori...noooooooo......

Anonymous said...

kereeeeeennn...lanjuuuuuuttt...

nadine

Mrs.J (Muria Hasni) on 10 February 2011 at 11:42 said...

kerenzzz,, tapi sebenarnya masumi jd nikah gak c ma shiori?????????? tanggung amat ne ceritanya,,,

masumihayami on 10 February 2011 at 12:33 said...

lannnnnnnnnnnnnnjut kan

.... ( masumi ) said

tyas rani said...

tunggu....masumi dah nikah sama sama srigala berkepala ular berbulu domba itu????

Anonymous said...

aku ga rela kalo smp masumi nikah ma si rambut domba itu (kembalikan status masumi hikssss)

Wid Dya

Mrs.J (Muria Hasni) on 12 February 2011 at 20:26 said...

horeeeeeeee masumi gak jd nikah ma shiori,,,,,,,,,,,
tp napa dia harus ngelupain maya???????

Anonymous said...

baru sempeet baca ff yang ini Ty, I must say..:
AWESOME!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
ceritanya fresh, ga kalah ama fanfic yg lain! deskripsi TKPnya jg cukup detail, I like it ^o^
LanjutGan!!!! hahahaha... <3

-ria.sugesti-

ani said...

Sista... kata bergeming :)--bergeming=berdiam diri, maaf, saat membaca memberikan makna bergerak :)

keep fighting

Anonymous said...

Ty.... mantappp. two thumbs up!!! lanjutkan!!! ciayou.
-Lina-

Ty^^ said...

Ria: Riaaa... kalo komen pasti minta bocoran deh.... hahaha. Karena dari dulu juga problemnya masumi itu bukan shiori Ri. tapi masalah ketakutan dia kalau Maya bakalan putus hubungan sama dia :)

Ria sugesti: OkeGan... hahaha apanya Oke TV ni...
makasih ya buuu :p

Ani: salah penggunaan ya sis?? terima kasih koreksinya say, ntar kuedit.. *haruuh dimana ya aku pake kata bergeming, kayanya banyak tapi lupa dimana >.< hahaha
makasih bgt loh ditunggu koreksi lainnya.. <3*

MuTiaRa MawAr uNGu on 13 February 2011 at 03:11 said...

Tyyyyyyyyyyy... aq suka suka suka suka...
LIKE THIS LIKE THIS... ini versi berbeda dan segarrrr... ayoo Ty lanjutkan... I LUV IT... :-*

Anonymous said...

ehh,, baru baca eike..!! SUKA bo!!!!! LANJUTKEUN..TY!!! ONEGAI.. ^0^ cup cup

-FitriaShalala-

ani said...

Sista,,asah terus bakat menulisnya, memang banyak yg salah mengartikan kata bergeming kok. Sekilas memang terkesan bergeming=bergerak.

Semoga suatu hari aku dapat membaca novelmu (^^,)

Anonymous said...

sukaaaaaaaaaaaaaaaaaa.... lagi dunk updatenya.. :D

_iien

Anonymous said...

kya ..... !
keren ... !

lagi ...lagi..lagi ...^,^

Anonymous said...

update lagi...lagi..lagi

Anonymous said...

dear TY
^^ kelihatan sesuai harapan ( hehehehe penyiksaan diri ) berhasil semoga cepet updateee ya
dina I ♥ Topeng kaca

Anonymous said...

horeee, horeee, shiori-masumi gak jd kawin! penyelesaiannya agak dramatis tp muantapp, top bgt dah pokoke...lanjuuuuuutt...
nadine

Anonymous said...

akhirnya bisa membaca dengan tersenyum lebaar..ceritanya sangat2 keren...

Anonymous said...

Ty suka...suka...suka...hehehe semangat ya... ♥ ♥

Sori baru sempat baca...Ty berkhayallah terus setinggi-tingginya...(tp ati2 ya jgn smp jatuh) dan aku akan dgn senang hati menikmati hasil khayalanmu hehehe...seneng deh masumi ga jadi nikah ma shiori (itu aja sih yg aku inginkan...hehehe yg lainnya semua terserah padamu)...thx Ty ♥♥♥♥

Wid Dya

Anonymous said...

love it Ty, baguuusss...suguhan ceritanya sangat kaya rasa dgn rasa manis yg dominan :)..sy percaya sama Ty yg pasti mendambakan MM bahagia..hope so with this story ..*kiss,kiss,kiss* -dian-

Anonymous said...

akhirnya bacaaaa.... TY teruskan :)..duh My Immortal :'(

DeMel

Yusri Cambrichindo on 14 February 2011 at 13:47 said...

Ty.....no other words to say

LOVE ur WORKS!!!!!!

SUka ty...
tengkiu....

Anonymous said...

lanjutannya dong ty...
gak suabaarrrr nie....

Anonymous said...

Ty.... Ga sabar nunggu update-tanx. Ditunggu ya!!! Tetap bersemangat berkreasi demi menyenangkan pembaca. Kan membuat orang lain bahagia bisa dapat pahala he..he..he..
*D-Cee *

Anonymous said...

baguuuuuuuuus. lanjutkan....
(riri)

resi said...

tyyyyy, kpn updatenya? dah ga sabar nih.

Anonymous said...

kpn niy Ty....update-nya...kuangen berat :) miss ur imagination..ty
-eka-

Anonymous said...

wuih...mkin seru aj nih...jd mkin pnasaran...lnjut ty.. ^_^

rany y

Anonymous said...

TY...bagus...bagus...momogi ya...tiap hari gpp deh hehehe...(maunya...)

Wid Dya

Anonymous said...

deg-degan berharap ada apdetan... eh, ternyata ada apdetan!!!

seru ty! tetap semangat dan LANJUTKAN!
-nadine-

Anonymous said...

hebat Ty....tambah smangat niy...luv it..n kan tetap setia menunggu ^.^

-eka-

Anonymous said...

koq how can i not love u -nya ga play ya...hiks..padahal dah ngarep bakal terharu ungu sambil dengerin lagunya ^.~
-eka-

Anonymous said...

ada lagi..uih senangnya hatiq....Ty yg baik hati tetap smangat ya...luv it..boleh tambah porsi ga ya? xixixixi ~.^
-eka-

Anonymous said...

nanggung nih Ty-sen..............

Mrs.J (Muria Hasni) on 20 February 2011 at 21:13 said...

LAGI LAGI LAGI LAGI LAGI,, MANA LAGI SAMBUNGANNYA ????????????????????????? PENASARAN,,,,

Anonymous said...

waduuhhhh kenapa gak ampe maya ktemu masumi di minato mirai??? ty nanggung amat siiih
gila dsini eisukenya bener2 sadiiiissss
anita f4evermania

Ty SakuMoto on 20 February 2011 at 22:39 said...

Doknit, dikau bacanya kecepetan beberapa menit... hahaha udah diapdet ampe minato mirai kok...

Anonymous said...

asyiikkk besok maya dan masumi kencan sehariiaaaan heheheh! akirnya ada yg romantis juga hiks hiks jd terharuuu
ty jgn lama2 donk updetnyaaaa gk sabar nunggu kencannya hehehe ;p
anita f4evermania

Anonymous said...

waaaaaa...akhirnya ketemu juga ama masumi.....suka..suka..suka....besok kencannya komedi romantis ya...qqqqqqqqq...
KATARA HAYAMI

Anonymous said...

pageeeeeeeeeeeeeeeeeeeee.........yuhuuuuuuuuu.....abis bikin sarapan buat masumi ku,lgs lari k laptop, skr pontang panting blm mandi arghhhh.... ini seninnnnnnnnnnnn!!!!! KERJAAAA!!! huwaaaaa

DeMel

Anonymous said...

hihihi...adeeeuuhhh.....MM pacaran euyyy....hehe....penasaran nunggu mereka kencan,Ty!!!!

tapi musti nunggu seminggu yah??? gpp deh...dirapel berarti ya, bareng betsu hihih!!!!
tengkyu darlinggggggg :D


-winda-

Anonymous said...

penasaran...
mo baca kelanjutannya...
ditunggu ya ty !!!

-dina-

Anonymous said...

Bahagianya hatiq Ty.....thanksalot u make me senyum2 sendiri...ga tahan nunggu klanjutannya...berharap besok langsung weekend xixixixixi

-eka-

ANGGUN on 21 February 2011 at 12:26 said...

WAHHHHHH UDAH KG SABARAN NIH PENGEN LIAT KENCANNYA MASUMI AMA MAYA.....TY. LANJUTAN NYA CEPETAN DONG..........PENASARAN NIH.........

Anonymous said...

Good...good...good...^_^....senang deh bacanya...thx Ty...ditunggu kelanjutannya. Semangat !!!

Wid Dya

widya said...

maya n masumi yang senang, kok aq yang deg degan ya.....
ditunggu update terbarunya ya

-widya-

Anonymous said...

wow!dah lama ga OL banyak apdeeeet...
luv you...eh..luv it, Ty ;p...hmmm...jadi ikutan ngayal sehari bersama Masumi di Yokohama...*huaaaa...ngeces!-dian-

Anonymous said...

jadi kepengen...ikut maya.....he..he

-rien-

Anonymous said...

huaaaaa tak sabar menunggu kelanjutannyaaa..
asyik asyik asyik...

- vanny -

Bree said...

Gila.. Berbakat jadi penulis, nih... :)

fad said...

Tyyyyy..up datenya lagi kapannnnnn?????gk sabar nihhhhhh.....cepetan yahhhhhhh

Anonymous said...

update dong ty, pleaseeee...
kalo bs jgn dirapel, kelamaan, penasaran nih..
nadine

Anonymous said...

Kereeen ^^ pas baca ada rasa sedih, terharu, lucu... seneng.. komplit deh... ^^
ditunggu lanjutannya ty....

Arigatou ^^x

LINA

Anonymous said...

kerennnnn... tdk sia2 penantianku.. ty.... minggu depan updatenya sampe tamat ya..^_^(maksa mode on)xixixixiixixix

salam kenal..
sally

Anonymous said...

update lagi dong........

-rien-

Anonymous said...

penasaran......

Anonymous said...

wah kerenn lanjud ...

rosita amalani said...

sudah berapa kali ini aku baca ulang nggak bosen bosen malahan nurut ku bagusan ini lg dari komiknya sendiri hehheheh dari segi romantisnya.untungnya pasa kau baru baca ini sudah tamat jd nggak perlu nunggu desprate dulu ^^

Anonymous said...

keren sdh berapakali aku baca nggak bosennin malah lebih bagus dari komiknya sendiri dari segikeromantisan nya #azeeek#
untung aku baca ini sdh tamat nggak pk nunggu update an heheheehe(rosita amalani)

toephiz on 11 December 2012 at 15:10 said...

romantis bgt...
suka bnget bcany..untung aq bsa nemuin blog ini..
#really love it..
(fibe)

toephiz on 11 December 2012 at 15:12 said...

romantis banget..
kreatif banget..salut buat mbakny..
untung aq nemuin blog ini..
#really love it ^_^

toephiz on 11 December 2012 at 15:13 said...

romantis bgt..untung nemuin blog ini.critany kereennnn abis..
really love it ^_^..

Anonymous said...

Ini fanfic topng kaca terbagusssss!! Sampe suka lupa kalau ini sebenernya bukan cerita lanjutan bidadari merah/2 akoya (asumsi saya, pas cerita ini dibuat, belum keluar bersatunya 2 jiwa, karena kejadian astoria yang heboh tdk pernah disebut2).

penggambaran masing2 karakter juga pas banget. Fave saya itu moment setelah mereka tunangan. Kejadian Masumi cemburu gara2 berita tabloid itu lucu banget.

Mungkin 1 hal kritik saya, the skinship is a bit too much. hahahahha agar lucu bayangin maya+masumi bawaannya kalo ketemu pengen ciuman mulu :)))

tapi keseluruh ... sukaaaaaa!! harusnya ini disubmit aja ke suzie sensei buat inspirasi ngelarin TK. hahahha. drpd pembaca juga galau nungguin mood dia buat ngelarin nih cerita secara happy ending.

- rika-

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting