Monday 22 July 2013

FFTK : Unspoken 4

Posted by Ty SakuMoto at 11:40

UNSPOKEN 4




“Sudah cepat tidur,” pria itu merapatkan selimut kekasihnya lagi.
Maya mengangguk. Ia membenamkan tubuhnya lagi. Masumi memeluknya, dan mengecup keningnya. Keduanya memejamkan mata.
Tiba-tiba, mereka merasa terhuyung. Mata keduanya membuka dan kecupan Masumi terhenti. Mereka segera mengamati bagian atas kabin. Maya melihat lampu bergoyang.
“Gempa?” ujarnya bingung.
“Tidak…” tampik Masumi. “Kita di laut, tidak ada gempa.”
Tetapi, memang goyangan kapal pesiar ini terlalu kentara. “Tunggu sebentar,” Masumi turun dari tempat tidur. Ia berjalan menuju jendela kaca dan menyingkirkan tirainya.
Ia mengamati malam yang tadi tenang, sekarang tampak jauh berbeda. Matanya membulat. Dari kejauhan, halilintar menyambar-nyambar, dan hujan begitu deras. Sepertinya, lautan mengamuk. Saat itu, sekali lagi Masumi merasakan dirinya terhuyung.
“Pak Masumi!” panggil Maya lagi, kali ini dengan cemas karena goyangan itu terasa lebih kentara lagi.
Masumi memicingkan matanya. Badai? Tampak jauh, namun sangat besar hingga membuat kapal yang mereka tumpangi bergoyang.
“Apakah ada sesuatu?” tanya Maya lebih khawatir lagi.
Masumi berbalik, “Tunggu sebentar,” katanya beranjak hendak keluar.
“Mau kemana?” Maya turun dari tempat tidur.
“Aku akan menemui awak kapal, untuk memastikan—“
“Aku ikut!” putus Maya.
Saat itulah ketukan terdengar di pintu suite mereka. Masumi segera membukanya, ada seorang awak kapal di sana. “Selamat malam, Tuan,” ia menoleh kepada Maya, “Nona…”
“Ada apa?” tembak Masumi.
“Maaf Tuan, harap mengenakan pelampung yang sudah kami siapkan,” orang itu masuk, “Hanya untuk berjaga-jaga.”
“Ada kaitannya dengan badai itu? Apakah badainya besar? Apakah mengarah kemari?” desak Masumi.
Walau sekejap, bisa terlihat waswas tersirat di wajah awak itu. ‘Tidak, Tuan, tenang saja. saat ini kita tidak sedang dalam keadaan darurat, jangan panik. Kami sudah diberi rute untuk menghindari badai tersebut, mungkin akan ada sedikit goncangan, oleh karena itu harap jangan berada di tempat yang akan membahayakan.”
Masumi tak berkata apa-apa lagi namun ia tahu ada yang salah.
“Masumi…” Maya terdengar khawatir. Masumi kembali melihat keluar jendela. Matanya melebar. Badai itu sangat besar dan cepat. Masumi sudah pernah belajar menjalankan yachtnya. Ia tahu benar badai seperti apa yang harus dikhawatirkan, dan ini salah satunya. Pria itu menelan ludah. Kenyataan kedatangan badai itu tak sempat terdeteksi menjelaskan bahwa badai itu sangat cepat.
“Pak Masumi…” Maya kembali menghampiri Masumi, takut dengan diamnya pria itu.
Masumi menoleh, Ia merangkul bahu Maya. “Tak ada apa-apa,” kata seraya tersenyum menenangkan. “Aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Mereka adalah orang-orang ahli,” katanya. Ia lantas menarik tangan Maya dan meraih pelampung yang sudah dikeluarkan oleh awak kapal tadi. “Sebaiknya kita memakainya. Seperti yang diperintahkan ABK tadi,” Masumi meraih sebuah pelampung dan mengenakannya kepada Maya. Ia mengamati gadis itu dan menatapnya gelisah. Ia tak akan membiarkan apa pun terjadi kepada Maya. Ia bersumpah untuk itu.
Goncangan itu kembali terasa, kali ini semakin keras dari sebelumnya. Lantas sebuah hantaman terdengar. Ombang membentur dinding kapal yang keras. Peraduan keduanya terasa semakin keras.
“Kyaa…!!” Maya berteriak semakin keras.
Badai sudah mendekati Astoria. Kapal pesiar tersebut terlambat untuk menghindari badai, mereka sudah masuk jalur terluar dari mata badai.
“Pakai kekuatan penuh!!” perintah kapten.
“Sudah Pak! Sepertinya…” urat-urat ahli mudi terlihat.
Mata sang kapten melebar, melihat pemandangan mengerikan di hadapan mereka. Astoria harus segera keluar dari jalur badai. Jika tidak, mereka bisa terseret ke pusat badai dan berakhir naas.
“Kyaaa…!!” jeritan mulai terdengar di kapal saat Astoria semakin miring dan bergoyang. Para penumpang histeris. Suara badai yang keras terdengar amat bergemuruh. Sekeliling mereka hitam total.Baik langit dan juga lautnya. Hanya deru dan angin hujan yang teramat kencang yang ada di sekeliling mereka.
Maya dan Masumi bisa mendengar jeritan di lorong, sepertinya orang-orang keluar dari kabin mereka, sementara Maya dan Masumi terdiam di sofa, saling memeluk, sofa itu bergeser lagi dan Maya memekik. Sekali lagi goncangan terasa. Maya dan Masumi sedang berpelukan di kamar mereka tersebut. Barang-barang sudah jatuh dan pecah
“Pak Masumi,” kata Maya takut sekali, ia bisa mendengar tamparan ombak yang semakin keras, dan goncangan itu terasa lagi. Astoria bergetar, tempat tidur di kabin tersebut bergeser, menubruk sofa tersebut,mendorongnya mendekat ke tembok. “KYaaa..!!!” Maya kembali berteriak sementara Masumi memeluknya erat. Saat Maya membuka mata, dinding hanya beberapa senti darinya.
“Kita harus keluar,” kata Masumi. “Kita tidak bisa diam saja.”
Tetapi kemana? Masumi tak tahu. Mereka harus mencari tempat yang sempit tanpa barang-barang yang mungkin akan menimpa atau mencelakai mereka.
“Aku takut…” Aku Maya, dan saat itu kapal kembali bergoyang, dan bergerak miring, membuat sofa itu kembali bergerak dan bergeser ke belakang. Maya kembali berteriak.
“Kita harus pergi!” Putus Masumi saat menyadari lautan benar-benar mengamuk dan goyangan kapal tersebut semakin keras dan tanpa henti.
Masumi menarik Maya keluar kabin. Saat itu kapal kembali miring ke arah berlawanan, miring dengan sangat tinggi dan saat Masumi menutup pintu, suara hantaman terdengar pada pintunya. Sudah banyak orang di luar, yang berteriak-teriak. Kapal berayun ke segala arah diayun ombak. Suara menderus sangat jelas terdengar. Kapal Astoria yang begitu besar, tampak seperti bukan apa-apa di tengah badai tersebut.
Tak akan ada kapal yang menolong pada saat seperti ini, karena rute ini adalah rute yang dihindari oleh semua kapal.
“Jangan keluar!!” teriak awak kapal. “Jangan ke geladak! Berbahaya! Bisa terseret air laut!”
Masumi dan Maya berdesak-desakan dengan orang-orang yang berusaha mencari tempat aman. Tiba-tiba sebuah hantaman terdengar keras, kapal kembali miring, teriakan di mana-mana bersamaan dengan suara kaca-kaca yang pecah, kali ini dengan cepat air laut merembes masuk dari mana-mana. Tangan Masumi menggenggam erat tangan Maya. Menariknya menaiki tangga, menuju lantai bawah ke dek tengah, menuju lorong sempit yang bisa digunakannya untuk melindungi diri mereka.
Masumi memeluk Maya erat-erat, mengawalnya melewati orang-orang dan menjaga gadis itu
“Kita sudah berada di arah yang tepat,” kata sang Kapten, “tak lama lagi kita akan bisa melewatinya.” Ia optmis. Lantas menelan ludahnya, belum pernah ia melewati badai sebesar ini sebelumnya. Ombak setinggi benteng-benteng yang sampai menutupi pandangan mereka.
Kapal bergoyang kembali, orang-orang berdempetan ke satu sisi, saling berteriak kesakitan.
Kembali seruan agar penumpang yang berada di luar berlindung di tempat sempit kosong juga tidak mendekati barang-barang yang dapat membuat cedera terdengar. Petugas juga meminta para penumpang tetap berada di kabin masing-masing.
“Apa kita harus kembali ke kabin…?” tanya Maya di tengah teriakan. “Pak Masumi!” serunya khawatir.
“Kamar kita terlalu luas!” Masumi berkata, “Dan terlalu banyak barang lepas yang bisa mencederai kita,” katanya. “Kita cari kabin kosong yang lebih sempit dan hanya berisi tempat tidur di dek bawah,” imbuh Masumi.
“KYaaaa!” sekali lagi penumpang berteriak, saat ombak yang sangat keras dan tinggi datang dari bagian belakang kapal, membuat bagian depannya terjungkit, lantai kapal miring ke belakang, beberapa orang meluncur seraya berteriak. Seorang perempuan menarik Maya bersamanya.
“Pak Masumi!!!” teriak gadis itu.
Masumi tersentak, Maya lepas darinya. “Mayaa!!!” teriak Masumi.  Pria itu melepaskan pegangannya pada salah satu tiang. Tubuh besarnya ikut terbawa menuju bagian belakang. Namun kemudian kapal kembali oleng ke sisi yang lain, tubuh Masumi menghantam dinding pada bagian bahunya, lantas kapal kembali berguncang, kepalanya membentur. Ia tak bisa mengendalikan tubuhnya yang terbawa goncangan kapal. Saat akhirnya keadaan sedikit stabil, Masumi merasakan tubuhnya yang kesakitan. Ia ingat Mayanya sudah lepas dari tangannya. Ia kemudian melawan arus, kembali ke arahnya semula. Memanggil-manggil Maya, mendorong orang-orang di sekitarnya dengan kasar. “MAYAAAA!!!” panggilnya, namun gadis itu tak terlihat.
=//=
Shiori terdiam, giginya bergemeletuk. Matanya nyalang penuh kebencian.
Anak itu naik ke kapal… Lapor orang itu tadi. Mereka bertemu. Masumi Hayami dan Maya Kitajima… Apa yang harus saya lakukan?
Pisahkan mereka. Singkirkan anak itu bagimana pun caranya… perintahnya.
=//=
Masumi masih berusaha mencari, di tengah manusia-manusia yang panik, di tengah amukan laut, di tengah usaha Astoria menyelamatkan dirinya.
Maya kau di mana…!? Gadis itu sama sekali tidak terlihat lagi.
“KYAAAAAAAAA!!!!” teriakan itu semakin keras, saat kapal miring ke satu sisi.
“KECEPATAN PENUH SEKARANG!!!” perintah Sang Kapten.
Astoria berjuang keras, terlepas dari genggaman sang badai yang tampak masih berkecamuk. Kapal itu tampak sedang melawan arus untuk keluar. Akibatnya, air lautan tumpah ke geladak. Beberapa jendela kaca kembali terdengar pecah karena hantaman kemarahan ombak yang menjatuhkan diri ke arah kapal itu. Hingga beberapa lama jeritan masih terdengar, dengan begitu panik.
“Ada yang jatuh ke laut!!! Ada yang jatuh ke laut!!!” teriak seseorang saat air laut yang teramat tinggi masih sempat mengganggu dengan menumpahkan diri dari ketinggian yang sangat ke atas kapal Astoria.
Hingga lama kelamaan, ombak yang dihadapi tak setinggi tadi, ayunan kapal itu pun sudah tak lagi sekeras sebelumnya. Keadaan di dalam semakin tenang, sudah tak ada yang berteriak-teriak saat Astoria berhasil dengan perjuangannya membebaskan diri dari ancaman badai. Ombak-ombak yang dihadapi masih tinggi, namun tak setinggi tadi walaupun masih mampu membuat kapal bergoyang lebih dari normal, namun tidak membuat kapal itu mengocok-ngocok manusia di dalamnya.
Tinggallah para penumpang yang masih ketakutan, yang cedera, hingga yang mabuk laut.
Sementara Masumi masih mencari, mencari, dan mencari. Ia belum menemukan Mayanya lagi. Gadis itu sebentar lepas dari tangannya tadi, hingga sekarang belum ada lagi tanda-tanda Maya akan kembali ke pelukannya. Maya kau kemana…  pikir Masumi dengan sangat gelisah. Kau kemana… kenapa kau sampai lepas dari tanganku… sesalnya teramat berat.
“Cari daratan yang paling dekat dari sini, kita labuhkan kapal kita di sana dan minta bantuan untuk menangani para penumpang yang mengalami cedera dan luka. Kita masih belum bisa berputar kembali ke Tokyo.” Instruksi sang kapten.
Masumi pergi ke ruang perawatan para para penumpang yang mengalami cedera. Ruangan itu sangat penuh dan hanya diobati seadanya. Kru sudah mengumumkan bahwa mereka akan berlabuh di sebuah pelabuhan terdekat.
Masumi sudah mencari Maya ke bagian perawatan para tamu kelas vvip hingga kelas biasa. Ia bahkan membuat pengumuman “Untuk Nona Maya Kitajima, jika mendengar Tuan Masumi Hayami, harap menunggu di suite sebelumnya. Sekali lagi kepada Nona Maya KItajima dari Tokyo….”
Keadaan masih hiruk pikuk, dan Masumi benar-benar merasa kalut. Ia sudah empat kali salah mengenali perempuan yang dikiranya Maya.
“Tuan, luka Anda sebaiknya diobati,” dan itu sudah menjadi anjuran kesekian kalinya dari seorang kru saat melihat luka memanjang di lengan Masumi. Pria itu bahkan tak ingat lagi daimana luka tersebut didapatnya. Ia tak menghiraukan. Yang ia tahu, ia harus menemukan Maya.
Masumi kembali ke kamarnya dan Maya untuk ketiga kalinya. Ia membuka pintu.
“Mayaaaa!!!” panggilnya putus asa. Tak ada jawaban apa pun. Hanya ada kamar yang berantakan. Beberapa hiasan dinding pecah belah di lantai. Posisi sofa dan tempat tidur yang sudah tak beraturan, juga lemari yang tampak terguling.
Namun tak ada tanda-tanda akan keberadaan Maya.
“Namanya Maya Kitajima!! Maya Kitajima! Tingginya 154 cm, rambutnya lurus hitam, berponi, matanya bulat, dan dia… dia mengenakan rok,” Masumi tercekat, memberitahukan gadis yang sedang dicarinya. “Dia tidak membawa tiket, mungkin… dia tidak bisa mendapat perawatan,” Masumi meracau, “tapi aku bertanggung jawab untuknya, kumohon, jika dia ke sini, rawat dia baik-baik,” ia berkata kepada staf kesehatan yang tampaknya sudah cukupkewalahan tanpa mendapatkan pesan khusus dari pria itu. Namun mengingat siapa Masumi Hayami, staf itu hanya tersenyum mengiyakan.
“Tuan, sedikit sulit, karena kami tidak mempunyai data mengenai Nona Maya. Tetapi akan kami usahakan…” kata staf lainnya yang mengurus masalah akomodasi penumpang. “Tuan, sebaiknya tangan Anda segera diobati, tampaknya lukanya cukup besar.”
Masumi hanya mengangguk-angguk mengambang. Pengumuman terdengar, Astoria akan segera berlabuh pada dini hari tersebut.
Masumi masih tidak putus asa. Ia mengitari pelabuhan, melihat satu-persatu orang yang sedang dirawat. Ada beberapa yang dilarikan ke rumah sakit terdekat oleh ambulan yang menunggunya karena mengalami luka berat di kepala. Ada yang meninggal karena serangan jantung, dilaporkan lima orang terseret jatuh ke laut, belum ada yang tahu identitas mereka. Sebagian yang mengalami luka ringan sudah dirawat di Astoria dan diperbolehkan pulang setelah dicatat. Sementara ada juga yang baru mendapat perawatan di pelabuhan.
Ia masih tidak bisa menemukan Maya. Masumi bahkan tidak menyadari bahwa tubuhnya sendiri sangat lelah. Seorang perawat menghampirinya.
“Tuan, luka Anda cukup besar! Anda harus segera dijahit sebelum darah keluar semakin banyak!”
Sadar dan tidak sadar Masumi mengamati luka yang dipermasalahkan semua orang tersebut. Lukanya memang cukup lebar. Darah sudah membuat kemeja putih masumi memerah.
“Tuan, luka Anda—“
“Minggir,” Masumi mendorong perawat tersebut. “Saya harus mencari seseorang.”
“Tuan! Jika luka Anda tidak segera dijahit, Anda bisa—“
Dan, Masumi jatuh pingsan.
“Pingsan karena kekurangan darah … “ gumam perawat tersebut.
=//=
Sebuah mobil meninggalkan pelabuhan.
“Kau berhasil,” kata yang satu pada rekannya yang menyetir.
“Ya. Untunglah. Kuharap bayarannya sesuai.” Si sopir bicara.
“Kenapa tidak kaujatuhkan saja ke laut tadi? Kesempatan bagus kau?”
“Kaupikir dia akan jatuh sendirian? Bisa-bisa aku ikut jatuh dalam keadaan seperti tadi!”
Mobil itu terus melaju di tengah kegelapan.
Di jok belakang, Maya terbaring tak sadarkan diri.
=//=
Masumi merasakan kepalanya masih pening, saat ia tersadar.
“Masumi, kau sudah bangun?” tanya Shiori dengan raut sangat khawatir.
“Aku di mana!?” tanya Masumi.
“Di Tokyo. Saat diberita ada kabar mengenai Astoria, aku langsung mencari tahu mengenaimu. Katanya kalian sempat masuk ke jalur badai. Untunglah, kau baik-baik saja…” Shiori mengelap airmatanya yang menetes. “Aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu kepadamu,” kata Shiori.
“Berapa lama aku berada di sini?” tanya Masumi tajam.
“Kau dibawa ke sini tadi pagi. Lukamu sudah dijahit, dan kau diberi obat penenang serta transfusi darah. Kau kehilangan darah cukup banyak apa kau tak menyadarinya?”
Semua perhatian Shiori itu hanya dibalas dengan abaian. Masumi segera ingat lagi kepada Maya. Bagaimana kabar kekasihnya itu? Ia sangat berharap Maya menemukan kembali jalannya pulang. Ia harus segera mencari kabar mengenainya.
“Masumi? Masumi? Ada apa? Ada yang kaupikirkan?”
Masumi menoleh kepada Shiori. “Ya. Shiori, aku harus pergi.”
“Kemana?” Shiori menahan lengan Masumi.
“Aku bertemu Maya di kapal tersebut.”
Shiori tersentak. Ia tahu Maya ada di sana. Yang ia tak mengira, Masumi begitu terus terang mengenai hal itu. “Ma-Maya…?”
“Ya. Dia datang mencarimu, hendak mengembalikan cek yang kauberikan kepadanya.”
Shiori terdiam.
“Aku tak mengerti apa maksdumu melakukan itu semua. Tetapi aku sudah berjanji kepadanya untuk mengembalikan cek tersebut. Hanya saja sekarang cek itu entah berada di mana.”
“A-aku… Aku mendapat permintaan, dari gadis itu! Ia yang sudah—“
“Jangan bohong!!” Masumi berang. “Aku tahu benar siapa Maya. Aku mengenalnya sejak ia masih 13 tahun!” tegasnya. “Panggilkan suster, aku sudah mau pulang.”
“Kau mau kemana?”
“Pulang! Aku mau mencari Maya. Dia tidak ikut turun denganku tadi. Aku harus menemukannya, aku harus memastikan dia baik-baik saja!”
“Kau sendiri sedang sakit.”
“SUSTEER!!! SUSTER!!!” teriak Masumi.
“MasumI!!” Shiori menahan lengan pria itu. “Kan ada aku! Ada aku!! Kenapa kau harus mencarinya?”
Masumi mengenyahkan tangan Shiori darinya.
“SUSTER!!!!” teriaknya. Makhluk yang dipanggil tak juga muncul. Masumi menarik sendiri infusnya dan beranjak berdiri, tak menghiraukan luka jahitnya yang masih basah dan akan terasa sakit sewaktu-waktu.
“MASUMI!!” cegah Shiori. “Kau mau kemana!!? Kenapa kau masih memikirkan anak itu!!? Kenapa kau masih saja memikirkannya!?” Shiori histeris.
Masumi menoleh kepada Shiori. “Kau sudah tahu alasannya! Karena aku mencintainya! Dan dia mencintaiku.” tegas Masumi. “Karena aku miliknya, dan dia milikku…” Masumi mengeratkan kepalan tangannya. “Selamanya akan seperti itu.”
Masumi turun dari tempat tidur dan bergerak cepat ke arah pintu.
“Masumi kau mau kemana!? MasumI…!!? MASUMI!!!!!” pekik Shiori yang tak dihiraukan.
Seorang suster sempat mencegah kepergian Masumi saat ia melihat pria itu melangkah keluar. Namun Masumi mendorongnya menyisi dan tak menghiraukannya.
Shiori menangis, menutup wajahnya dengan kedua tangannnya. Ia tak bisa menerima perilaku Masumi kepadanya. Ia jatuh terduduk dan menangis. Dadanya bergerak naik turun penuh dendam. Aku tak akan memaafkannya! Tak akan…!
Shiori meraih ponsel di dalam tasnya. Menghubungi Yamashita. “Kakak…” ia terisak. “Aku ingin dia mati…” katanya “Mati… mati!! MATI!!! MATIII!!!!” teriaknya.
=//=
Ponsel pria itu bergetar, ia mengangkatnya.
“Bunuh,” perintah Yamashita.
“Baik… Tuan.”
Hubungan terputus. Pria itu meraih sebuah pisau dan berjalan menuju sebuah kamar di mana Maya dikurung.
=//=
Masumi sama sekali tak mendapatkan kabar apa pun mengenai Maya. Dia tidak kembali ke tempat latihannya, maupun ke apartemennya. Maya juga bukan satu dari lima orang yang jatuh ke laut. Astoria sama sekali tidak menyatakan mereka memiliki data penumpang bernama Maya Kitajima.
Hilangnya Maya pun tercium wartawan. Mereka bertanya-tanya ke mana hilangnya calon pemeran Bidadari Merah tersebut. Hal itu tentu membuat keresahan tersendiri di kalangan pemerhati drama, terutama grup Bidadari Merah Kuronuma.
Sebuah fax masuk ke kantor media di Jepang.
“Ada konferensi Pers di Daito! Pak Masumi Hayami yang mengadakannya!”
Konferensi Pers tersebut diadakan di sebuah convention hall Daito, ruangan dipenuhi oleh para wartawan yang bertanya-tanya ada apa Masumi mengadakan konferensi Pers? Kenapa dia yang harus mengadakan konferensi pers?
Masumi tampak masuk ke ruangan tersebut bersama Kuronuma dan Onodera juga Ketua Persatuan Drama.
Ketua Persatuan Drama yang bicara terlebih dahulu dan kemudian Masumi.
“Selamat siang rekan-rekan Pers terima kasih sudah menyempatkan diri hadir di sini. Saya akan menyampaikan keputusan yang sudah disepakati antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pementasan Bidadari Merah,” terang Masumi. “Sudah diputuskan, terkait insiden yang terjadi kepada Nona Maya Kitajima, maka pementasan Bidadari Merah akan diundur. Ibu Mayuko sudah menyetujuinya, demikian juga dengan Ayumi Himekawa, calon Bidadari Merah yang satunya lagi.”
“Pak Masumi, kenapa konferensi Pers ini diadakan di Daito? Kenapa Anda yang bicara? Apakah sudah diputuskan bahwa Anda adalah Daito sebagai penyelenggara Bidadari Merah?”
“Tidak, Saya tidak akan mengintervensi mengenai hal tersebut. Saya berada di sini karena hal lain. Mengenai hilangnya Maya Kitajima, saya adalah orang terakhir yang bersamanya.”
“Apa?” para wartawan tersebut bertanya-tanya. Mereka segera memberondongi Masumi dengan berbagai pertanyaan. Masumi meminta semuanya untuk tenang.
“Saat itu, saya sedang berada di Astoria, Anda semua pasti sudah tahu apa yang terjadi pada kapal tersebut. Kami bertemu secara tidak sengaja. Nona Maya naik tanpa tiket, untuk mencari seseorang. Namun ia tidak dapat menemukannya dan kapal sudah terlanjur berlayar. Saya sebagai orang yang mengenalnya, kami… bersama…” Masumi terdiam, sedikit tercekat.
“Anda saat itu sendirian?”
“Ya, saya sendirian.”
Warrtawan kembali saling berbisik dengan wajah curiga. Gadis sederhana seperti Maya naik kapal pesiar? Dan, apa yang Masumi Hayami lakukan sendirian di kapal pesiar. Lantas keduanya bersama? Ada yang berspekulasi Masumi menjebak Maya naik kapal. Ada yang berpikir keduanya memiliki pembicaraan rahasia, ada yang berpikir Masumi mendekati Maya untuk mendapatkan pementasan Bidadari MErah dengan mengundangnya naik kapal pesiar dan lain sebagainya.
“Namun!” Masumi memecah keriuhan bisik-bisik tersebut. “Seperti yang saya katakan, hal yang tak terkira terjadi di Astoria. Saat itulah, saya… kehilangan Maya…”
Kau terasa seperti guling… Masumi teringat adegan itu. Dan Maya tersenyum dengan menggemaskan. Hatinya segera kembali tersayat sembilu.
“Karena itu, saya ingin mengatakan, kepada siapa saja yang mempunyai informasi mengenai Maya Kitajima, tolong kabari kami. Saya akan memberikan imbalan yang layak bagi siapa saja yang dapat memberikan keterangan, atau mengantarkan Maya kembali,” tegas Masumi dengan wajah sangat serius.
“Apakah mungkin Maya terlempar ke laut, teringat—“
“Tidak!” Sanggah Masumi. “Kami tidak ke geladak. Kami semua berada di dalam kapal. Saya yakin dia selamat. Hanya saja…” pria itu mengepalkan tangannya dengan erat.
“Pak Masumi, maaf, bukankah hal yang menguntungkan, jika memang Maya Kitajima menghilang dan Ayumi yang terpilih sebagai Bidadari Merah tanpa harus berkompetisi? Semua tahu bahwa peluang Daito lebih besar jika pemeran Bidadari Merahnya adalah Ayumi Himekawa.”
Masumi menatap tajam kepada penanya tersebut. “Daito bisa mendapatkan Bidadari Merah tanpa harus mencelakai Maya Kitajima. Seperti saya katakan, saya akan memberikan imbalan kepada siapa saja yang dapat mengembalikan Maya Kitajima. Saya, menginginkan dia kembali. Saya akan melakukan apa saja, untuk mendapatkannya kembal!” tegas Masumi.
“Pak Masumi, maaf, ini sedikit keluar dari topik. Anda dikabarkan akan menikah sebulan lagi, apakah mengenai hal tersebut tidak ada perubahan?”
“Mengenai hal tersebut, saya sudah memutuskan untuk mengundurkan masalah pernikahan. Informasi selanjutnya akan kami kabarkan lagi. Terima kasih, selamat siang rekan-rekan semuanya.”
Selanjutnya Masumi tidak menghiraukan pertanyaan lainnya dari wartawan.
Eisuke mengamati televisi, alisnya berkerut. Jadi Maya menghilang…. Saat bersama Masumi? Dan, apa-apaan dia bermaksud mengundurkan pernikahan? Kenapa dia tidak mengatakan apa pun kepadaku? Kecamnya. Ada yang aneh… pria tua itu menerka. Apakah Masumi yang begitu perhatian kepada Maya Kitajima… juga sudah menaruh hati kepadanya? Tak pernah aku melihat anak itu begitu sibuk mengurusi seorang aktris.
=//=
“Aku juga tidak tahu, Kakek…” Shiori terisak-isak. “Masumi tak mengatakan apa pun kepadaku terkait pengunduran tanggal pernikahan kami! Dia sering berkata tak sabar untuk menikah. Tetapi… entah kenapa,” wanita itu mengusap airmatanya dengan saputangan. “Aku tahu dia begitu memperhatikan Bidadari Merah, tetapi, sampai mengundur pernikahan kami…”
Tenno Takamiya tampak geram. “Kenapa dia memutuskannya sebelah pihak, tanpa berkompromi dahulu dengan pihak kita…!?”
Masumi… Aku tak akan membiarkan! Kau tak akan lolos begitu saja! Kita harus menikah!! Tekad Shiori. Kau tak bisa mencampakkanku begitu saja.
“Tuan Besar, ada tamu…” kata seorang pelayan.
“Siapa?”
“Tuan Masumi Hayami.”
=//=
Masumi membungkuk memberi salam.
“Kurasa kau kemari hendak memberikan penjelasan mengenai statemenmu di televisi kan?”
“Benar,” tegas Masumi. Ia mengangkat tubuhnya. “Tuan Besar Takamiya,” ia menoleh kepada ayah dan ibu Shiori, “Tuan dan Nyonya Takamiya,” lalu kepada Shiori, “Nona Shiori… Saya meminta maaf, karena tidak dapat melanjutkan mengenai masalah pernikahan kita.”
“Apa!!?” seru orangtuan Shiori.
“Maksudmu menunda pernikahan?” Takamiya menegaskan.
Masumi menggeleng. “Tidak… Tuan, maksud saya adalah membatalkan rencana penikahan saya dan Nona Shiori. Saya meminta maaf untuk semua kesulitan dan kekacauan yang saya sebabkan, namun, saya menyadari, pernikahan ini bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan.”
“Kenapa…!?” tanya ibu Shizuka. “Bukankah kalian saling menyukai? Saling mencintai?”
Sementara Shiori membisu, menatap penuh dendam kepada Masumi dengan perasaan hati tercabik-cabik.
Masumi menelan ludahnya. “Saya akan menanggung semua akibat kesalahan saya ini. Namun… pernikahan saya dan Shiori, jika diteruskan, akan menjadi sebuah kesalahan besar. Saya… tidak layak untuk Nona Shiori. Nona Shiori, harus mencari pria yang lebih baik untuknya, yang bisa membahagiakannya. Pria yang… sungguh-sungguh mencintainya.”
Semua terenyak dengan pernyataan Masumi. Jelaslah Masumi mengatakan dia tidak mencintai putri mereka. Sedangkan semua sudah tahu, besarnya rasa cinta yang dimiliki SHiori kepada Masumi.
“Kenapa kau baru mengatakannya sekarang? Kita semua sudah mempersiapkan segalanya…”
“TIDAAAAK!!!” pekik Shiori tiba-tiba dengan histeris, mengejutkan semua yang berada di ruangan tersebut. Ia berdiri, menunjuk Masumi. “Kau tidak bisa memperlakukanku seperti ini!! Tidak!! Tidak bisa!! Kau akan menikah denganku! Dengankuuu!!!!” pekiknya.
“Shiori, tenanglah, Shiori… tenanglah!!” Ibu Shiori beranjak mendekat berusaha menenangkan putrinya, tetapi percuma, Shiori sudah terlanjur histeris. Ia berlari meraih sebuah vas bunga dan memecahkannya, lantas mengarahkan bagiannya yang runcing ke nadinya. “Kalau pernikahan dibatalkan, aku lebih baik mati saja…!” serunya dengan lantang, namun air mata mulai mengalir. “Aku akan mati…” isaknya. “Aku akan mati tanpa kau…. Masumi…” kali ini suaranya begitu menghiba.
Masumi sangat terkejut dengan reaksi Shiori, ia menelan ludahnya. Ia tak ingin menyebabkan dua orang wanita celaka karena dirinya.
“Shiori… dengarkan aku…” Masumi hati-hati mendekatinya. “Kau sudah tahu aku tak mengharapkan lagi pernikahan ini. Kau pasti sudah menyadarinya bahwa kau dan aku tidak bisa bahagia. Sekarang turunkan itu…” Masumi mengulurkan tangannya. “Kita harus menyudahi ini semua… Aku tak ingin mencelakai siapapun. Dan, aku pun yakin, Shiori yang sebenarnya, adalah wanita lembut, yang…” Masumi menyentuh lengan Shiori.
“Jangan sentuh aku!!” pekik Shiori, menggerakkan potongan vas di tangannya.
“Akh!!” Masumi meringis nyeri, saat vas itu bergerak menembus daging lengannya. Ia segera memegangi tangannya, sementara keluarga Shiori terpekik. Mereka tak mengerti ada apa dengan wanita itu.
Shiori mengamati Masumi yang sedang memegangi lengannya di mana darah mulai mengalir. Sejenak wajahnya penuh kesedihan dan penyesalan. Namun, kembali dingin dan keras.
“Itu bukan salahku…” kata Shiori. “I-itu salahmu…” ia gemetaran. Lantas menyeringai. “IYa… itu salahmu… kenapa menggangguku… kenapa mengusikku…” tanyanya dengan dingin, mengamati darah yang menetes di tangan Masumi.
“Shiori… kau kenapa, Sayang? Tenanglah… kita bicarakan baik-baik,” kata Tenno Takamiya.
Namun Shiori tak menghiraukan ia terus menceracau. “Itu juga salahnya…” kata Shiori. “Kenapa dia menggangguku… kenapa dia mengusik hubungan kita…” ia menyipitkan matanya penuh kecam.
Masumi terenyak. Ia menatap Shiori. Dia membicarakan Maya?
“Anak itu layak mati… dia harus mati… agar tahu diri… Dia harus dibunuh… dan mayatnya dibuang agar dimakan hewan liar…” desisnya dengan cara yang menakutkan, mengejutkan semua keluarganya yang tak pernah melihat Shiori seperti itu.
Namun, Masumi mulai mengerti arah pembicarannya. Ia bergerak cepat ke arah Shiori.
“Kyaaa!!” wanita itu terpekik Saat Masumi mencengkeram pergelangannya dan melepaskan vas itu dari tangannya.
“Kau tahu di mana Maya? Kau tahu dia dimana?” Tanya Masumi tajam tanpa melonggarkan cengkeramannya dari Shiori.
Shiori menatap Masumi penuh tantangan, “Kau tak akan tahu,” Shiori menggeleng. “Sudah terlambat…” desisnya. “Dia tidak akan pernah bisa memilikimu,” Shiori tersenyum. “Per… gi…” desisnya. “Ke sana…” Ia menggerakkan matanya ke atas.
Masumi tertegun, jantungnya berdetak keras dan setiap detakannya terasa menusuk. “Kau…” desisnya. “Kau…” Masumi merasa dirinya timpang, ia tak percaya dengan perkataan Shiori.
“Kau dan dia, tidak akan pernah bersama… Selamanya!! Selamanya…!!”
Masumi menatap Shiori dengan nanar. Perasaannya tidak menentu. Ditatapnya wanita itu dengan gusar. “Ada atau tidak ada Maya… Aku tidak akan menikah denganmu,” tegas Masumi tanpa ekspresi. “Aku tidak mencintaimu,” ia melepaskan tangan Shiori.
Masumi meninggalkan Shiori yang menatapnya benci. Ia benci Masumi tak menghiraukannya, benci Masumi yang memunggunginya. Benci Masumi yang meninggalkannya.
“Kyaaaa!!!” teriak Shiori. “Jika aku tak mendapatkanmu!! Tidak ada siapa pun yang bisa!! Kyaaaa!!” pekik Shiori, kembali meraih vas tersebut dan mengarahkannya ke punggung Masumi. Untunglah Masumi segera berbalik dan mendapati Shiori yang sedang menyerang ke arahnya.
“Masumi awaaas!!” seru Tenno Takamiya.
Masumi segera menghindari serangan Shiori. Sekali lagi ia menangkap tangan Shiori dan membuat vas itu terjatuh dari genggamannya. Masumi menendang vas itu menjauh, memelintir tangan Shiori, dan berdesis di telinganya. “Hentikan, Shiori! Hentikan!!”
“Tidak!!” pekiknya, berusaha membebaskan tangannya di punggung yang ditahan Masumi. “Tidak akan pernah!! Tidak akaaaann!!! Dia sudah mati!! Kau juga! Kau jugaaa tak bisa meninggalkankuu!! Tidaaaakk!!!” teriaknya histeris.
“Masumi, lepaskan dia, tolong lepaskan…” pinta ibu Shiori dengan air mata mengaliri pipinya. “Kami mengerti kau ingin membatalkan pernikahan, kami mengerti. Tolong… lepaskan Shiori…”
Dengan raut penuh sesal, Masumi melepaskan Shiori. “Maafkan saya…” kata Masumi sekali lagi, sementara Shiori segera ditarik mendekat oleh ibunya.
“Kau tak boleh pergi!! Masumi!! Masumii!!!!” pekik Shiori.
Masumi terus melangkah pergi dengan perasaan gelisah. Ia tidak tenang. Namun, ia mencoba meyakini sesuatu. Maya. Mayanya, dia berada di suatu tempat. Baik-baik saja. Ia baik-baik saja…
“Sudah Nak, sudah… hentikan… sudah, biarkan dia pergi Shiori…”
“Tidak!! Tidak mau!!! Masumi milikkuu!! Milikkuuuuuu!!!!!” Shiori tak berhenti berteriak-teriak, membuat suasana di kediaman Takamiya terasa mencekam.
Tenno Takamiya menelan ludahnya pahit. Ia tak mengira Shiori sampai sedemikian depresi. Akan tetapi, ia tak ingin masalah ini diketahui pihak luar dan akan mencemari nama baik keluarga mereka. Apalagi, jelas-jelas di depan mata mereka, Shiori mencoba melakukan percobaan pembunuhan terhadap Masumi.
Tenno Takamiya memutuskan tak akan memperpanjang masalah ini lagi. Ia pun yakin, Masumi sudah cukup mengerti. Ia tak akan mengungkit-ungkit apa pun yang terjadi di rumahnya tadi.
Masumi sesekali meringis, seraya melihat luka lain yang sudah bersarang lagi di tangannya. Belum sembuh benar luka yang didapatkannya dari Astoria, sekarang ia juga mendapat luka lainnya dari pecahan vas yang digoreskan Shiori.
“Tuan! Tangan Anda…” sopir Masumi tampak sangat terkejut melihat darah yang bercucuran dari lengan atasannya itu.
“Ke rumah sakit, cepat!!”
“Baik Tuan….!”
Sedan hitam itu segera meluncur pergi menuju rumah sakit.
Sepanjang jalan Masumi memikirkan Maya. saat tangannya dijahit, Masumi memikirkan Maya. Jika benar apa yang dikatakan Shiori, jika memang wanita itu tahu di mana Maya berada dan Maya sudah…
Tidak! Tidak!! Masumi menampik kemungkinan itu dengan keras. Jika memang hilangnya Maya ada sangkut pautnya dengan Shiori atau Yamashita, pasti Hijiri dan anak buahnya bisa mengatasinya. Masumi sudah mengatakan kepada Hijiri agar terus mengawasi Yamashita dan orang-orang suruhannya. Orang kepercayaannya itu pasti bisa menjalankan perintah dengan baik. Ia selalu bisa mengandalkan Hijiri.
Akan tetapi, sejak Maya menghilang, Hijiri belum memberinya kabar.
Ah!! Rasanya Masumi bisa gila dengan semuaketidakpastian ini. Bagaimana… bagaimana jika ternyata Maya sudah…
Tidak!! Tidak!! Tidak!!! tegasnya dalam hati. Maya masih hidup… gadis itu akan kembali ke dalam pelukannya.
=//=
Saat Masumi selesai dengan jahitannya, Ia didorong keluar ruang bedah menuju tempat perawatan. Seorang ajudannya segera menghampiri.
“Aku ingin segera pulang,” tegas Masumi. “Apa aku bisa langsung pulang?”
Perawat itu menjawab. “Tuan, luka Anda bisa sakit sewaktu-waktu, karena itu mungkin lebih baik Anda di sini dulu sehari saja atau—“
“Tidak! Masih banyak hal yang harus kuselesaikan!” tegas Masumi. “Aku ingin segera keluar dari sini!”
“Kalau begitu, silakan diurus masalah administrasinya, agar Tuan bisa segera pulang.”
“Tentu.”
Akhirnya, sesuai keinginannya. Setengah jam setelah lukanya dijahit, Masumi sudah berada dalam perjalanan menuju ke rumahnya. Namun, saat dalam perjalanan itu, ponselnya berbunyai.
Dari Hijiri!!
“Bicaralah! Apakah Maya—“
“Saya sudah menemukannya.”
Deg!! Masumi merasakan jantungnya sejenak berhenti berdenyut. “Dia… di… mana…”
“Di Sendai.”
“Sendai…” desah Masumi. “Dan… bagaimana…” ia merasa takut. “Keadaannya…?”
“Nona Maya baik-baik saja. Ia sedang tidur.”
Mendengarnya, Masumi merasa sangat lega. Teramat lega. Rasanya sesuatu yang membuatnya sulit bernapas selama ini segera menghilang.
“Dan, Pak Masumi… dia… menanyakan Anda,” terang Hijiri.
Masumi tertegun. “Menanyakan… Mawar Ungu?”
“Bukan,” sanggah Hijiri. “Saat melihatku, dia menanyakan Anda. Pak Masumi Hayami.”
Masumi tertegun. Maya, menanyakan dirinya, kepada Hijiri?? Gadis itu… dia… Sudah tahu mengenai Mawar Ungu?
=//=
Masumi mendatangi sebuah penginapan di Sendai. Saat ia tiba, sudah larut malam. Hijiri sempat menjelaskan semuanya. Masumi sudah meminta Hijiri mengawasi gerak gerik Yamashita dan anak buahnya. Namun Hijiri tidak tahu bahwa anak buah Yamashita mengikuti Maya sampai naik ke Astoria. Karena mengetahui di Astoria ada Masumi, Hijiri tak mengikuti mereka naik ke atas kapal. Namun dia tak bisa memebritahukan itu semua, karena Masumi tak membawa ponselnya.
Saat mengetahui bahwa Astoria akan berlabuh darurat di Sendai, Hijiri segera mengikutinya ke sana. Ia melihat kendaraan anak buah Yamashita dan mengikutinya. Sampai saat itu, ia masih belum berhasil menghubungi Masumi, karena pria itu sedang pingsan dan mendapatkan perawatan. Hijiri memutuskan membuntuti mereka dan menunggu hingga saat yang tepat untuk bertindak. Ia khawatir, jika sampai terlalu cepat bertindak, akan membuat Yamashita dan Shiori marah dan bertindak lebih jauh, sehingga ia membiarkan kedua orang itu berpikir bahwa rencana mereka berhasil.

"Nona Maya ada di kamar," terang Hijiri, seraya menyerahkan kuncinya kepada Masumi saat mereka bertemu di parkiran.
"Dia sudah tahu mengenai Mawar Ungu?"
"Ya, Tuan. Dia bertanya apa Anda baik-baik saja, dan dia terlihat sangat panik. Masuklah, saya rasa dia sudah menunggu Anda."
"Terima kasih banyak Hijiri. Nanti kuhubungi lagi," kata Masumi, yang menyadari mereka tak bisa berlama-lama terlihat bertemu.
Hijiri mengamati tangan Masumi, dan ia bisa melihat pria itu baru saja melewati hal yang menyulitkan. "Saya permisi..." pamitnya.
=//=
Masumi membuka kunci kamar yang diberikan Hijiri. Ia masuk ke dalamnya. Keadaan sepi. Sepertinya Maya memang sudah tidur. Hati-hati Masumi menutup kembali pintunya dan berjalan masuk. Dan dia melihatnya.
Gadis itu, di atas tempat tidur, di balik selimut.Tanpa sadar Masumi menghela napas sangat dalam. Ia sempat berpikir kemungkinan akan kehilangan gadis itu, dan sejenak ia seperti mengerti rasanya mati. Masumi mendekat, matanya tak eplas menatap gadis itu. Terlihat ada memar di dahinya. Tapi sepertinya semua baik-baik saja.
"Maya...' panggilnya perlahan.
Masumi tahu, seharusnya ia membiarkan gadis itu tidur. Namun, ia tak sabar ingin lagi mendengar suaranya, menatap matanya, Akhirnya Masumi beranjak lebih dekat, dan mulai menyentuh wajah gadis itu, kemudian bahunya, mengguncangkan perlahan seraya memanggilnya. "Maya... Maya..."
Sejenak alis Maya berkerut, dan gadis itu terbangun. Membuka matanya.
"Maya..." panggil Masumi lagi, seraya tersenyum.
"Pak Masumi!" dengan cepat Maya bangkit terduduk. "Pak Masumi!!" serunya, tak mengira pria itu benar-benar sudah berdiri lagi di hadapannya.
Masumi merengkuh Maya dengan sebelah tangannya, dan gadis itu balas memeluknya.
"Aku lega kau baik-baik saja..." kata Maya.
"Pak Masumi!!" Maya baru menyadari sesuatu. "Kemejamu, basah... tubuhmu dingin... kau..." ia mendongak dan mendapati wajah Masumi yang pucat pasi. "Kau sakit!!" tanyanya dengan terperangah.
Masumi menggeleng dan mendesis, "Tidak... hanya jahitannya... mulai terasa sakit..." keluh Masumi, yang sejak tadi tak merasakan apa pun di tangannya.
"Pak Masumi... tidurlah, ayo berbaring...!" Maya menarik Masumi ke atas tempat tidur.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Masumi.
"Aku baik-baik saja! Anda, yang sedang sakit!" tegas Maya. "Obatnya mana? Ada obat pereda sakit?"
Masumi menggeleng entah ke mana obat pereda sakitnya.
"Tidak apa-apa..." kata Masumi seraya membaringkan dirinya. "Nanti juga hilang sendiri," dan keringat dinginnya mengalir semakkin deras.
"Tidak! di mana obatnya? dalam mobil?"
"Ya...kurasa..."
"Kuambilkan!"
"Tidak!... mobilnya, di Tokyo... Maya..."engah Masumi.
"Lalu, bagaimana?" tanya Maya panik.
"Di sini saja..." Masumi menarik pergelangan tangan Maya. "Kurasa akan baik sendiri, jika kau mendekat," pintanya.
“Pak… Masumi…” mata bening gadis itu melebar melihat pergelangannya yang digenggam Masumi, wajahnya sontak memanas. Ia mendekat mengikuti permintaan Masumi, dan duduk di tepi tempat tidur. Raut khawatir belum hilang darinya. Ia mengmati tangan kanan Masumi yang semenjak tadi tak banyak digerakannya. “Aku ingin melihatnya…” kata Maya, tanpa mengalihkan tatapannya dari Masumi.
“Aku tidak apa-apa,” kata Masumi, menahan ringisannya.
“Aku ingin melihatnya,” Maya bersikukuh dengan mata berkaca-kaca.
“Aku tak akan memperlihatkannya kalau kau menangis!”
“Tidak!” Maya cepat-cepat menyusut airmatanya.
“Baiklah, tetapi aku membutuhkan bantuanmu,” katanya seraya meraih kancing kemejanya. “Dan berjanjilah kau jangan menangis!!” tegasnya lagi.
Maya mengangguk, sepertinya Masumi masih kesakitan menggerakkan tangan kanannya. Maka Maya membantunya membuka kemejanya. Sejenak keduanya sempat merasakan rona wajahnya lebih banyak ketimbang sebelumnya.
Maya bisa melihat ada bekas jahitan yang baru dibuka di sana, dan sebuah perban—jahitan baru. Gadis itu menelan ludahnya getir. Tanpa bisa ditahan airmatanya menggenang lagi. “Ini kenapa…” Maya memelas.
“Ah, laki-laki, kau tahulah,” Masumi meringis lagi saat luka barunya berdenyut.
Maya duduk lebih dekat kepada Masumi, mengamati wajahnya. Sepertinya pria itu benar-benar berusaha keras menahan rasa sakitnya. Ya, dia kan bukan pmain film yang punya luka tembak masih bisa berlarian ke sana kemari. Maya menghela napas dalam, “Ini dari Astoria?” tanyanya, menunjuk luka memanjang di lengan bawah pria itu.
Masumi mengangguk.
“Ini?” ia menunjuk pada luka baru yang masih diperban di bagian atas.
“Mmh… bertengkar dengan seseorang, aku terkena pecahan kaca,” terang Masumi.
“bertengkar? Dengan siapa?” tanya Maya waswas.
“Bukan siapa-siapa, tidak penting,” tegas Masumi, “Sudahlah,” ia meraih bahu Maya. “Aku ingin mendengar apa yang terjadi denganmu. Sejak kau terlepas dariku, saat itu…” raut getir muncul lagi di wajah Masumi.
“Nanti saja,” kata Maya, “yang penting aku baik-baik saja saat ini. Lebih baik Pak Masumi beristirahat,” usulnya.
“Sejujurnya… kurasa aku tak akan bisa beristirahat,” aku Masumi.
“Lalu bagaimana…?” Maya sudah tak bisa menahan perasaan ingin menangisnya lagi.
“Kau di sini saja bagaimana?” Masumi menepuk tempat di sebelah kirinya. “Kalau kau ada di sampingku, perasaanku akan jauh lebih baik, sungguh…”
Pak Masumi… Maya akhirnya mengangguk. Namun sebelumnya, gadis itu meminta sebuah piyama lengan pendek untuk Masumi kepada pegawai hotel agar pria itu bisa berganti pakaian lebih nyaman.
Keduanya lantas terbaring di tempat tidur mereka dengan jarak yang cukup jauh.
“Jadi, apa yang terjadi padamu saat di Astoria?” tanya Masumi lagi setelah merasa cukup nyaman.
“saat itu aku terseret oleh seseorang, hingga ke bagian bawah. Dan yang kuingat, kepalaku membentur sesuatu, aku lalu pingsan. Saat aku sadar,” Maya sedikit gemetar, "Saat aku tersadar, aku sudah berada di dalam sebuah mobil. Aku tidak ingat, mungkin sejak di Astoria mereka mebiusku. Dan, aku tidak tahu siapa mereka. Mereka membawaku ke hutan, menyekapku di sana. Mereka membuka ikatan dan dekapanku. tetapi katanya, jika aku berteriak mereka tidak segan membunuhku," Maya kembali gemetar dan raut ngerinya muncul lagi,
"Apa mereka memukulmu?" tanya Masumi geram.
Maya menggeleng. "Mereka memperlakukanku dengan layak, memberiku makan dan minum... namun aku sama sekali tak ingin makan dan minum... Aku selalu teringat Pak Masumi..." Maya tiba-tiba terisak.
Pria itu bisa melihat Maya sepertinya sangat ketakutan saat itu.
"Lalu, kemarin, tiba-tiba Pak Hijiri menyelamatkanku," kata Maya spontan. "Ah!!" gadis itu menutup mulutnya. "Mak-maksudku... se-seseorang... me-menyelamatkanku!" koreksinya.
Masumi hanya menatap Maya dengan lembut, dan gadis itu menyadari, Masumi sudah tahu mengenai apa yang Maya ketahui.
"Sejak kapan?" tanya Masumi, "Kau mengetahuinya?"
"Se-sejak... uhm... sejak penghargaan festival seni," aku Maya perlahan. "Saat itu, Anda mengatakan mengenai scraf biru yang hanya dipakai Jean saat pementasan di kartu yang menyertai buket mawar ungu, dan saat itu hanya ada Anda yang menonton, jadi... aku menyimpulkan, Mawar Ungu itu... Pak Masumi. Aku tidak percaya, berusaha menyangkalnya, tetapi dipikir seperti apa pun... jika Mawar Ungu itu Pak Masumi... memang sesuai, Anda selalu tahu yang terjadi dan..." Maya menatap Masumi ragu. "Begitulah..."
Masumi tertawa kecil, "Menyangkalnya ya..."
"I-iya... soalnya, kan... Anda itu... kita... dulu selalu bertengkar. Habisnya, Anda menyebalkan..." gerutu Maya.
Masumi tertawa lagi. "Begitu ya... pantas saja... aku merasa sikapmu jadi aneh," Masumi mengangguk, mulai menemukan jawaban tepat atas semua keanehan sikap Maya sebelumnya. "Jadi... kalau aku bukan mawar ungu, atau kau tidak mengetahui bahwa aku mawar ungu, mungkin saat ini kau masih membenciku ya??"
Maya menelan ludahnya, "Bukan begitu..." kata Maya, "Aku kesal karena kau selalu mengganggu dan menggodaku... mungkin... mmhh... jika sikap Anda lebih baik sedikit... aku juga... tidak akan begitu kesal"
"Sikapku yang mana yang membuatmu kesal?" tuntut Masumi. "Kurasa sikapku biasa saja... Kau saja yang selalu berprasangka yang tidak-tidak."
"Tidak! Kau sangat menyebalkan! caramu bicara, bersikap, belum lagi kalau terus menerus meledekku!Ih! Sungguh! Kau sangat menyebalkan." ujar Maya.
"Hhh..." Masumi menghela napas, "Begitu ya... kalau kau belum tahu, mungkin kita tidak berada di sini ya? Mungkin... kita tidak bisa bersama seperti ini..." Masumi merenung, dan lukanya lebih sakit lagi.
"Kurasa tidak begitu," kata Maya, "Kalau memang sudah seharusnya aku jatuh cinta kepadamu, pasti akhirnya jatuh cinta juga."
Masumi menoleh, "Kaupikir begitu?" wajahnya berharap.
"Tentu..." Maya mendekat kepada Masumi. "Tetapi dipikir seperti apa pun, aneh sekali kau menyembunyikan identitasmu... dasar bodoh..." keluh Maya.
Masumi memeluk Maya dengan tangan kirinya, "Ya, kalau mengenaimu aku memang mendadak bodoh..." akunya.
"Pak Masumi... kau mulai demam," Maya berkata lagi dengan khawatir, saat ia menyandarkan dirinya di dada pria itu.
"Oh, ya... itu juga gara-gara kau..."
Maya mendongak, alisnya berkerut. "Tidak ada hubungannya denganku!' tampiknya. Ia lalu bangun, "Aku akan mencari obat penurun demam dan pengurang sakit.Obat antibiotiknya juga tidak ada?"
"Kan sudah ada kau..."
"Aduh! Pak Masumi!! Jangan dulu merayu sekarang!" hardik Maya dan segera turun dari tempat tidur.
"Nanti boleh?"
Maya menjulurkan lidahnya. Ia lantas menghubungi resepsionis, minta dibawakan paracetamol dan kompres ke kamarnya. Ia menutup speakernya. "Mau yang lain?" bisiknya kepada Masumi.
Pria itu menunjuk pada Maya dan menggerak-gerakkan telunjuknya minta Maya mendekat. Maya menyunggingkan bibirnya, dan mencubit pipi Masumi. "Itu saja, terima kasih," kata Maya.
"Nanti akan ada yang membawakannya," terang Maya.
"Terima kasih," ucap Masumi. "Aku sekarang baru menyadari sesuatu..."
"Apa?"
"Kau sepertinya akan menjadi istri yang baik."
Wajah Maya segera merah pada mendengarnya, karena mAsumi terus saja menggodanya. Tiba-tiba pria itu memejamkan matanya dan mendesah berat.
"Sudah Pak Masumi, beristirahatlah, jangan banyak bicara dulu," kata Maya dengan resah. "Kau bisa merayuku lain kali, aku janji tidak akan lari."
Masumi tersenyum setengah meringis. "Maya, aku serius..." katanya. "Setelah penentuan Bidadari Merah... aku ingin menikah denganmu... Aku sudah berpikir sejak dulu, memang hanya kau, yang kuinginkan untuk berada di sampingku."
Walaupun saatnya tidak tepat, karena Masumi terbaring menahan sakit di sana, dengan tubuh yang demam, tetap saja, Maya sangat tersentuh dengan lamaran itu. Maya berjalan kembali pada Masumi, berlutut di samping Masumi,mengusap dahinya yang panas dengan satu tangan, dan menyentuh pipinya dengan tangan yang lain.
"Aku bersedia..." bisik Maya di bibir Masumi, dan air matanya menetes.
Masumi mengamati mata Maya yang tak jauh darinya. "Terima kasih." Pria itu tersenyum sangat bahagia.
Saat itulah pintu diketuk petugas hotel. "Sebentar," pamit Maya. Saat beranjak membuka pintu, barulah Maya teringat. bagaimana dengan Shiori?
“Terima kasih,” Maya berkata kepada petugas hotel seraya menerima parasetamol dan handuk kecil untuk mengompres. Gadis itu membuat kompres air hangat untuk kekasihnya tersebut. Saat ia berbalik, Masumi sedang meminum obatnya.
“Terima kasih ya, maaf kedatanganku malah merepotkan,” kata Masumi dengan lemah.
“Aku senang Anda datang,” ia mulai mengompres dahi Masumi. “Kalau tidak aku pasti terus gelisah. Setelah berpisah dari Astoria, aku memang sangat ketakutan karena disekap orang-orang yang tidak dikenal. Namun, aku terus berpikir mengenai apa yang terjadi kepada Anda… Aku… Aku takut sekali mereka telah melakukan sesuatu kepadamu.”
Masumi tersenyum tipis. Ia menggenggam tangan Maya yang berada di dahinya, dan dibawanya ke dadanya. “Mengetahui bahwa kau memikirkanku membuatku sangat bahagia.”
Maya yakin pria itu tidak berbohong. Ia bisa melihat dari caranya menatap yang membuat hati Maya terjerat. Ia tahu Masumi memang mencintainya.
“Pak Masumi…” Maya menunduk, karena ia teringat lagi, “Bagaimana dengan Nona Shiori? Bukankah… Anda bilang masih banyak hal yang harus Anda selesaikan?”
“Tidak lagi,” tukas Masumi cepat, ia mencoba bangkit dan kompresnya sampai lepas dari dahinya.
“Anda jangan bangun!” Maya memperingatkan, menyentuh bahu pria itu. “Anda sebaiknya tetap berbaring, Pak Masumi…” terang gadis itu, dan matanya kembali tertumbuk pada luka baru di tangan Masumi. “Ini luka dari mana?” tanya Maya. “Kenapa Anda bisa sampai terkena pecahan kaca?”
“Karena satu dan lain hal,” kata Masumi cepat. “Mengenai aku dan Shiori… sudah selesai. Aku sudah mengatakan kepada Shiori dan keluarga Takamiya bahwa aku tak berniat melanjutkan rencana pernikahan kami.”
“Dan mereka tidak keberatan?” Maya menatap heran kepada Masumi. Mengingat apa yang pernah terjadi, dan Shiori bahkan memberinya cek untuk menjauhi Masumi.
“Mereka sudah mengerti,” hanya itu yang Masumi katakan. “Sekarang, yang sedikit menyulitkan,” napas Masumi terengah. “Mungkin untuk meyakinkan ayahku.”
“Ayah Pak Masumi? Pak… Eisuke… Hayami?”
“Ya. Aku tidak tahu apa reaksinya. Namun aku yakin, reaksinya pasti keras,” Masumi tampak khawatir. “Tetapi, apa pun yang dikatakannya, niatku tidak akan berubah. Aku akan menikah denganmu setelah pentas percobaan Bidadari merah,” tekadnya.
“Jika Anda akan bicara dengan Ayah Anda, bisakah aku ikut?” tanya Maya.
“Ikut? Untuk apa?”
“Untuk bicara dengannya. Anda bilang ia mungkin menyulitkan. Jadi, kupikir… jika itu hal yang menyulitkan, bukankah seharusnya aku berada di sampingmu? Bersamamu?” tanya Maya.
Ucapan kekasihnya membuat Masumi bahagia. Pria itu tersenyum. “Baiklah...”
“Tetapi, ada yang kuinginkan darimu sebagai balasannya.”
“Apa?” tanya Masumi dengan serius.
“Aku ingin kau memberiku bunga mawar ungu yang banyak! Saaaaaaaangaaat banyaakk!!”
“Oh, boleh… tetapi, kalau begitu ada yang ingin kuminta juga darimu.”
“Apa?” Maya balik bertanya.
“Aku ingin kau memberiku anak yang banyak! Saaaangaat banyaak!!”
Wajah Maya langsung merah padam dan terasa panas saat mendengarnya. Ia mencubit mesra pinggang suaminya yang terlonjak geli, lalu tertawa. Maya ikut tertawa. Namun, tak lama kemudian airmata menetes ke pipinya. Maya menyusutnya. Ia tak mengira, benar-benar bisa berada di dekat Masumi seperti ini. Mendengarkan pria itu berbicara mengenai masa depan mereka.
“Dadaku tidak sakit,” kata Masumi. “Kau boleh memlukku kalau kau mau,” tawarnya dengan murah hati.
Masumi tergelak dan mulai memeluk pria itu. Piyamanya basah oleh keringat.Semoga Pak Masumi lekas sembuh… harapnya.
Malam itu Maya tidur di samping Masumi. Dengan keadaannya, walaupun tidak dipisahkan selimut, ia yakin tidak akan terjadi apa-apa di antara mereka.
Masumi masih tidak bisa tidur. Walaupun demamnya turun, rasa berdenyut di tangannya hampir tidak berkurang. Luka yang diperolehnya memang cukup dalam. Ia mengamati Maya yang tidur merapat kepadanya. Gadis itu tampak sangat manis saat sedang tertidur. Wajahnya yang polos sangat menggemaskan dan tak bisa ditolak. Masumi terus saja memandanginya. Setidaknya, perasaannya jauh lebih baik dengan tangan Maya melingkar kepadanya seperti saat ini.
Tiba-tiba, Masumi teringat Shiori lagi. Sepertinya, wanita itu benar-benar terpukul. Rasa bersalah masih sering merambati perasaannya. Mungkin jika tak mengenalnya, Shiori tak akan kehilangan akal seperti tadi. Atau, jika sejak pertama Masumi tak memberinya harapan. Tetapi, semua sudah terlambat. Dan, masumi pun tak bisa membohongi perasaannya lagi. Jika kebohongan terus dilanjutkan, dirinya, Shiori, dan Maya akan tersakiti.
Semoga saja, Shiori akan menemukan kebahagiaannya sendiri… harap Masumi.
=//=
Yamashita menatap sepupu tersayangnya dengan nanar. Shiori diam di kamarnya, menggunting mawar ungu sebanyak-banyaknya. Jika sudah habis ia akan meminta mawar ungu lagi, dan melakukan hal yang sama. Mencabutinya, mengguntingnya.
Sejak pagi wanita itu terus terlihat demikian. Dengan tatapan kosong, tangannya terus mencabuti atau menggunting mawar ungu di tangannya.
“Mawar Ungu harus pergi… mawar ungu harus mati… Masumi milikku… hanya milikku…” lalu ia terdiam, dan mulai terisak, “Kau jahat Masumi…. Jahaat… kau menykitiku.. kau jahat…”
“Shiori…” Ibu Shiori terisak. Ia tak kuasa melihat putrinya. Ia tak bisa didekati. Ia akan mengamuk dan mengarahkan gunting ke arah siapa pun yang mendekatinya. Ia hanya ingin Masumi. Atau ia akan meminta mawar ungu lagi untuk dibinasakannya.
Shiori… kenapa kau jadi seperti ini… batin Yamashita. Ia sudah tahu bahwa gadis Kitajima itu sudah berhasil diselamatkan oleh seseorang. Tetapi ia tak akan membiarkan pasangan itu lolos. Ia akan menangani mereka, oleh tangannya sendiri.
=//=
“Bagaimana sekarang?” tanya Maya kepada Masumi saat keduanya berada di dalam Shinkansen untuk kembali ke Tokyo.
“Sudah lebih baik,” Masumi tersenyum lembut kepada kekasihnya.
Keduanya jelas sempat menarik perhatian. Selain karena perbedaan secara fisik, juga karena mereka terlihat begitu mesra. Belum lagi, wajah Maya sempat menghiasi layar kaca. Gadis itu dikabarkan hilang dan seorang pengusaha—masumi— berjanji memberikan imbalan bagi orang yang menemukannya.
“Kurasa… orang-orang melihat dengan aneh kepada kita.Uhm.. tidak, kepadaku…” bisik Maya.
Masumi tersenyum. “Oh, mungkin karena mereka tahu, kau adalah calon bintang besar di masa yang akan datang.”
Maya menunduk dan wajahnya merona. “Menggodaku ya…”
“Tidak. pasti begitu. Saat pertama melihatmu aku sudah berpikir begitu,” kata Masumi, seraya menggenggam tangan Maya, tanpa menyembunyikan kemesraan mereka.
Di bangku lainnya, dengan wajah dingin Yamashita mengamati keduanya. Bayangan Shiori yang naas kembali muncul di benaknya. Mereka tidak boleh bahagia di atas penderitaan sepupunya. Mereka juga harus menderita.
=//=
Di Stasiun Tokyo keduanya turun.
“Aku sudah meminta sopir menjemput kita,” terang Masumi. Maya mengangguk dan keduanya berjalan menuju keluar stasiun.
Sebuah sedan menghampiri keduanya. Seorang sopir keluar dan membukakan pintunya.
“Kau…?” Masumi mengamati sopir yang tak dikenalnya.
“Saya Noda, Tuan. Menggantikan Aoyama yang sedang cuti untuk sakit.
“Oh,” Masumi tak menaruh curiga. “Aku tidak tahu bahwa Noda sakit. Sejak kapan, hari ini?”
Maya masuk ke dalam mobil.
“Ya, Tuan.”
Masumi masuk ke dalam mobil. Noda duduk kembali di belakang setir. Saat itulah seorang pria masuk ke dalam mobil, mendesak Maya. Maya terpekik.
“Hei, ada apa ini!!?” seru Masumi.
Pintu segera dikunci oleh Noda.
“Jalan!!” seru pria itu.
Maya gemetaran, karena moncong pistol di pelipisnya. Namun, Maya mengenali pria itu. Pria yang saat itu datang sebagai utusan mawar ungu. Masumi pun mengenalinya.
“Yamashita…” desis Masumi.
“Halo,” katanya dengan suara serak. “Maaf jika aku mengganggu kemesraan kalian…”
Mobil segera memacu dengan cepat meninggalkan stasiun sore itu.
Masumi memeluk pundak Maya. Ia bisa merasakan kekasihnya itu gemetar.
“Lepaskan Maya,” pinta Masumi dengan dingin. “Turunkan dia dan kita selesaikan msalah kita,” terangnya.
Maya masih tidak mengerti mengenai apa sesungguhnya yang terjadi, sampai kemudian Yamashita berkata. “Tidak… dia juga bertanggung jawab. Jika bukan karena dia, Shiori pun tidak akan sakit seperti sekarang.”
Shiori? Nona Shiori..?
“Apa yang terjadi dengan Nona Shiori?” tanya Maya dengan nada tinggi namun juga gemetar.
“Jangan pura-pura!!” desis Yamashita.
“Dia memang tidak tahu!” suara Masumi mengecam. “Lepaskan dia!”
“Dan membiarkannya melaporkan kepada polisi? Kau pikir aku setolol apa?”
Mobil terus meluncur ke pinggiran Tokyo, sementara hari semakin gelap. Masumi sendiri tidak bisa berkutik. Ia tak bisa mengembil resiko yang dapat mencelakai Maya. Masumi merasa gusar kepada dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia membiarkan dirinya lengah dan membuat mereka berdua terjebak di sini.
“Kemana kau akan membawa kami?” tanya Masumi.
“Kau akan tahu nanti,” ujar Yamashita.
Tiba-tiba, saat itu ponsel Masumi berbunyi. Mereka semua terkejut. Masumi tidak tahu siapa yang menghubunginya dan juga tidak tahu ada keperluan apa. Dari rumahnya? Mizuki? Hijiri? Masumi sangat berharap yang terakhir itu yang sedang menghubungi ponselnya saat ini.
“Matikan!!” perintah Yamashita.
“Tidak bisa,” tolak Masumi.
“Matikan!!” moncong pistolnya mendorong pelipis Maya. Gadis itu memejamkan matanya takut. Ingin berteriak dan menangis, tetapi tidak bisa.
“Aku harus mengangkatnya, ini mungkin dari pihak kepolisian,” Masumi segera menyambung saat melihat Yamashita merasa gusar. “Aku harus datang sore ini ke kepolisian untuk membicarakan masalah hilangnya Maya. Kami hendak membuat laporan bahwa Maya sudah ditemukan. Jika tidak diangkat… mereka akan curiga dan mungkin… mungkin akan mulai mencari kami.”
Yamashita mengamati Masumi. Saat itu, ponselnya mati. “Sekarang tidak masalah lagi kan,” kecam Yamashita.
“Aku sungguh-sungguh…” kata Masumi dengan waspada. “Kau boleh menyalakan televisi. Kami berencana menghadiri konferensi pers yang akan diadakan satu jam lagi bersama pihak kepolisian. Aku harus mengabari mereka, jika tidak mereka akan melacakku. Mereka sudah tahu aku tiba dari Sendai sore ini.”
Masumi bisa melihat Yamashita merasa bimbang. “Telepon!” perintahnya. “Jika kau melakukan atau mengatakan sesuatu yang mencurigakan, kepalanya akan hancur, dan aku tak ragu-ragu,” ancam Yamashita dengan suara bergetar sungguh-sungguh.
Masumi menelan ludahnya. Kesempatannya hanya satu kali. Ia menekan ponselnya.
“Gunakan speaker!” perintah Yamashita.
Masumi menelan ludahnya dan mengeraskan suara teleponnya. Telepon tersebut diangkat.
“Halo, Kapten Yamada dari Kepolisian Metro Tokyo,” sapa Masumi.
“Ya, ada apa?” suara di seberang terdengar tegas.
“Saya Masumi Hayami.”
“Ah, Tuan Masumi, bagaimana kabar Anda?”
“Baik. Saya sudah berangkat dari Sendai dan tiba di Tokyo. Namun sesuatu terjadi pada mobil saya.”
“Mobil Anda? Ada apa?”
“Rusak, saya tidak bisa menanganinya sendiri.”
“Oh, jenis mobil apa yang Anda gunakan?”
“Audi. Kebetulan saya kurang tahu di mana harus membereskannya jadi saya akan terlambat selagi menunggu bantuan. Jadi saya tidak bisa cepat-cepat menghadiri konferensi persnya.”
“Baiklah Semuanya baik-baik saja? Anda sendirian?”
“Semua baik-baik saja, Anda tidak perlu khawatir, saya sudah bersama Maya.”
“Oh, sudah bersama Nona Maya. Baik Pak Masumi, kami akan menunggu Anda. Saya akan menunda atau mungkin membatalkan konferensi persnya.”
“Baiklah, Benar. Terima kasih banyak Kapten, saya sangat menghargai bantuan Anda. Sampai jumpa.” Masumi memutus sambungannya. “Konferensi persnya akan diundur, sampai aku datang.”
Yamashita tertawa senang. Tidak akan ada konferensi pers mengenai Maya yang sudah berhasil ditemukan. Melainkan, mengenai kedua pasangan keparat yang akan ditemukan tewas di gudang pelabuhan yang tak pernah digunakan. Mungkin mereka akan ditemukan beberapa hari kemudian, saat mayatnya sudah membusuk. Atau, dia lemparkan saja mayat mereka ke hutan?
Yamashita sedang berpikir mengenai apa yang paling seru dan menyakitkan yang bisa ia lakukan kepada sepasang kekasih tersebut, saat Hijiri sedang membuat laporan mengenai kehilangan mobil Audi milik Masumi. Ia masuk ke website GPS untuk melacak keberadaan mobil Masumi. Hijiri bisa menangkap maksud pria itu. Dia bersama Maya di dalam mobil audinya, bersama seseorang yang akan membawanya entah ke mana. Namun Hijiri akan bisa melacaknya. Dan, ia menemukannya. Mobil itu menuju Odaiba. Mungkin ke suatu bangunan? Atau… menuju pelabuhan?
Hijiri menyalakan GPS di mobilnya dan mengikuti mobil Masumi. Ia menjalankan mobilnya sekencang-kencangnya. Dalam perjalanan Hijiri lantas meghubungi kepolisian Odaiba.
“Selamat sore, saya ingin melaporkan kehilangan, ya,” dia menyebutkan jenis dan nomor plat mobil Masumi serta apa yang ditemukannya di GPS. “Ya, saya rasa mobilnya menuju pelabuhan. Dan, pencurinya berbahaya. Ya, Saya sangat berterima kasih….”
=//=
Masumi berharap Hijiri akan mengerti maksudnya. Pria itu cerdas. Ia akan tahu Masumi berbicara dengan cara berbeda. Ia menoleh kepada Maya yang tampak sangat ketakutan. Ia tak bisa menggenggam tangan Maya. Yamashita membentak dan gusar tiap kali Maya dan Masumi bersentuhan.
Mobil mereka berbelok ke sebuah gudang yang tampak tidak pernah digunakan. “Turun!!” perintah Yamashita.
Keduanya turun. Noda pun mengeluarkan pistol dan menarik Masumi keluar seraya menodongnya, sementara Maya ditahan oleh Yamashita.
Saat itu Noda melihat sesuatu dari kejauhan.
“Tuan!! Ada polisi!”
“Apa!?” Yamashita melihat sebuah mobil  yang meluncur dari kejauhan, ke arah mereka. Itu memang mobil kepolisian.
“Tangani mereka! Cari tahu apa yang mereka butuhkan!” perintahnya seraya memborgol tangan Masumi dan Maya lantas menyeret mereka ke dalam gudang.
“Lepaskan kami! Sudah ada polisi yang datang! Apa kau—“
“Diam!! Noda akan menangani mereka!!”
=//=
Kedua orang polisi itu turun di dekat mobil Masumi, ada Noda di sana. Pria itu memasukkan pistolnya ke balik jasnya. “Selamat malam Tuan, ada sesuatu?”
“Apakah ini mobil milik Masumi Hayami?”
“Ah, ya… Tuan.”
“Kami mendapat laporan mobil ini hilang,” polisi itu mengeluarkan borgol. “Apa kau sendirian? Ikut dengan kami untuk—“
“Tidak, Pak, saya sopir keluarga Hayami. Mobil ini tidak hilang, itu laporan palsu…”
=//=
Sial.. batin Yamashita. Kenapa bisa ada polisi datang ke sini? Namun ia tak bisa mundur lagi. Nanti setelah Noda mengusir kedua polisi itu, dan dia sudah membunuh Maya dan Masumi, ia akan membuang mayat mereka ke laut. Benar, begitu saja. Ia tak bisa membiarkan mayat keduanya di gudang ini. Polisi akan curiga karena sudah pernah melihat Noda dan mobil Masumi di sana. Atau… dia bunuh saja Yamashita?
“Ke sana!!” perintah Noda kepada Maya, agar berjalan menjauh ke hadapan mereka, sementara ia menodongkan pistolnya ke kepala Masumi. “jalan!!’
Maya terisak, dengan gemetar gadis itu berjalan maju beberapa meter dari mereka.
“Yamashita…” kecam Masumi dengan suara bergetar.
“Sabar…” desis Yamashita. “Giliranmu akan tiba.” Katanya. “Sekarang, aku ingin kau melihat kematian gadis sialan itu tepat di depan matamu sendiri.”
Yamashita berdiri di belakang Masumi. Tangan kanannya terulur melewati bahu Masumi.
Masumi mengamati Maya dengan getir. Dia harus melakukan sesuatu. Dia harus berjuang. Masumi berpikir menyikut Yamashita dan merampas pistolnya jika mungkin. Namun bagaimana jika pistolnya meletus, dan menembak Maya. Atau… ia akan mendorong tubuh Yamashita dan bergumul dengannya, tak masalah jika ia yang tertembak, selama bukan Maya.
“Mari kita berhitung,” kata Yamashita seraya memicingkan tangannya. “Kita antarkan Maya ke akhirat pada hitungan ketiga.”
Masumi menelan ludahnya. Saat itulah, ia melihat sesuatu. Sebuah titik merah, di dada kirinya. Pria itu tertegun, menyadari sesuatu. Matanya berkeliling ke luar gudang, ke jendela, ke sebuah gedung di seberang sana. Ia melihat sebuah senjata laras panjang. Hijiri.
Dia sudah datang. Masumi melirik kepada Yamashita yang berada di belakanganya. Ia tahu Hijiri tak bisa membidik tepat pria itu.
“Satu…” Yamashita mulai menghitung.
Masumi mensejajarkan dirinya dengan Yamashita, agar Hijiri bisa memperhitungkan sasarannya.
“Dua…” hitung Yamashita. Sementara Maya mulai putus asa, dia menangis seraya menatap Masumi.
“Ti—“  Masumi membungkuk, dan “PRANG!!” Kaca jendela pecah, segera Yamashita merasakan sesuatu menembus dadanya.
“Kyaa!!” maya berteriak. Pistol itu jatuh dari tangan Yamashita. Tetapi pria itu, dengan rasa sakit yang menyayat dadanya, berusaha meraih pistol tersebut. Masumi dengan tangan masih terborogol, berusaha menyeimbangkan dirinya, berlari menuju pistol tersebut, dan menendang tangan Yamashita yang berhasil menggenggam pistol tersebut.
Pistolnya lepas lagi dari Yamashita. Masumi lantas menendang wajah pria itu.
“Pak Masumi!!” panggil Maya yang tubuhnya lemas.
Yamashita tampak tak berdaya, ia terkulai lemas di tempatnya sementara darah sudah mengucur deras dari dadanya. Masumi menatap Hijiri dan pria itu pergi.
Masumi pergi ke pintu, menghantamkan tubuhnya ke sana dan menimbulkan bunyi dentaman keras. “Toloongg!!” teriak Masumi, berharap polisi itu masih ada di luar.
“Apa itu!?” seru seorang petugas.
Menyadari ada sesuatu di luar rencana, Noda meraih senjata di belakang pinggangnya. Untunglah petugas lainnya bersikap sigap. Ia menebak tangan Noda dan pistol itu terpelanting dari tangannya. Polisi yang satu segera menghampiri dan memborgol Noda, sementara polisi yang satu masuk ke dalam gudang, dan mendapati Masumi serta Maya, dan seorang pria yang terkapar tidak berdaya.
=//=
“Kau baik-baik saja?” tanya Masumi kepada Maya yang sedang meminum kopi dengan gelisah. Maya mengangguk-angguk. Badannya masih gemetar karena hal tadi,
Apalagi, luka jahit Masumi terbuka lagi dan harus dijahit kembali.
Setelah mendapatkan perawatan, Masumi dan Maya dimintai keterangannya. Masumi mengatakan semuanya kecuali masalah keberadaan Hijiri di lokasi kejadian.
“Ya, saya memberitahu teman saya agar melaporkan pada kepolisian bahwa mobil saya hilang.”
“Dan mengenai tembakan pada Tuan Yamashita?”
“Saya tidak tahu, Pak… Mungkin kebetulan itu saingannya atau… musuhnya. Entahlah. Saya hanya meminta teman saya mengabari polisi untuk mengejar dan melacak mobil kami,” terang Masumi.
Polisi sepertinya mempercayainya. Luka tembak Yamashita cukup serius. Mungkin dia akan tewas, namun jika dia sembuh, maka dia akan menghadapi pengadilan atas perbuatannya.
Satu jam kemudian, Yamashita tewas.
=//=
Konferensi pers berjalan baik. Yamashita tidak diungkapkan karena permintaan pihak Takamiya. Mereka membayar kepolisian sangat mahal dan meminta secara pribadi kepada Masumi. Mereka bahkan memohon, tidak ada lagi publikasi mengenai masalah keluarga mereka. Masumi menyanggupinya.
Dalam konferensi pers itu hanya dikatakan Maya sempat diculik saat di Astoria. Namun karena penculiknya ketakutan, ia lantas meninggalkan Maya sendirian. Untunglah ada yang mengenal Maya dan membawa Maya ke sebuah penginapan sebelum menghubungi Masumi.
“Saya tidak bisa memberitahukan siapa yang menemukan Maya, karena dia tidak mengharapkan dirinya dipublikasikan. Namun kami sangat berterima kasih kepadanya.”
“Jadi, apakah pementasan Bidadari Merah akan kembali dimulai?”
“Ya, kami akan menentukan lagi tanggal yang baru untuk pementasan percobaannya. Karena seperti yang kita ketahui, saat ini Ayumi sedang melakukan pemulihan dari operasi yang baru dijalaninya. Maya juga, masih harus menenangkan diri dari semua hal yang menimpanya.”
“Tuan Masumi, benarkah pernikahan Anda dibatalkan? Kenapa?”
“Ya… pihak keluarga kami sudah sepakat membatalkannya. Karena… ketidakcocokan. Saya masih kurang baik untuk Nona Shiori,” terang Masumi.
Dan konferensi Pers disudahi.
=//=


16 comments:

toephiz on 22 July 2013 at 11:51 said...

kerennnnnnnnnnn...mau lnjut lgi neng ty...

Puji Aditya on 22 July 2013 at 12:15 said...

lagi tyyyy...... keren mah klo ada hijiri hehehe

Unknown on 22 July 2013 at 12:18 said...

heloooh...kog habis sis?? huaaaaaaaaaaa??? tegang abis...ngotot curi baca pdhal juragan bos disamping.....(brbrbrbbrbr)..ntar lagi ya sis Ty

Happy on 22 July 2013 at 12:29 said...

Yeaahy!! Viva Hijiriii...!!!

Anonymous said...

hanya bisa comment.... kuuuuurrraaaaaannnnggggggg banyaaaaakkk... update lagiii... ; )

ive purwanto on 22 July 2013 at 12:40 said...

ga sabar nungguin undangan nikah mereka ty... hehehehehehe....

komalasari on 22 July 2013 at 12:50 said...

Tq Ty. Puasa2 ada updetan, senangnya :D

santy on 22 July 2013 at 14:32 said...

Bagus bgt....lanjut Ty....ga sabar nich mm meried, tq

nisa_na said...

Woooowww hijiri.. my herooo <3

Anonymous said...

Ya syukur deh MM dalam keadaan baik2 aja.kapan meriednya eh apakah ayahnya masumi setuju ? Aq tunggu lanjutanya

Anonymous said...

Ya syukur deh MM dalam keadaan baik2 aja.kapan meriednya eh apakah ayahnya masumi setuju ? Aq tunggu lanjutanya

xiaolong li on 22 July 2013 at 21:35 said...

akhirny MM lolos dr takamiya, skrg tinggal eisuke, mg lancar aja

ferra fam said...

akirnyaaa... yamashita tamat, shiory smoga nyusul.. hehe... tinggal hepi ending kan ya ty... senengggg.. tengkyuuu ty..

Anonymous said...

aahhh.....legaaaa
moga2 eisuke mudah dijinakan..

Unknown on 25 July 2013 at 11:33 said...

shiori.. seperti tebakan saya, kehilangan akal sehat. moga-moga di masukin ke RSJ secapatnya biar tidak mengganggu MM ya... :-)

Unknown on 28 September 2013 at 11:47 said...

akhirnya semuanya beres juga.. senang rasanya masumi dan maya segera bersama :-)

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting