Monday 22 July 2013
FFTK : Unspoken 4
UNSPOKEN 4
“Sudah cepat tidur,”
pria itu merapatkan selimut kekasihnya lagi.
Maya mengangguk. Ia
membenamkan tubuhnya lagi. Masumi memeluknya, dan mengecup keningnya. Keduanya
memejamkan mata.
Tiba-tiba, mereka
merasa terhuyung. Mata keduanya membuka dan kecupan Masumi terhenti. Mereka
segera mengamati bagian atas kabin. Maya melihat lampu bergoyang.
“Gempa?” ujarnya
bingung.
“Tidak…” tampik
Masumi. “Kita di laut, tidak ada gempa.”
Tetapi, memang
goyangan kapal pesiar ini terlalu kentara. “Tunggu sebentar,” Masumi turun dari
tempat tidur. Ia berjalan menuju jendela kaca dan menyingkirkan tirainya.
Ia mengamati malam
yang tadi tenang, sekarang tampak jauh berbeda. Matanya membulat. Dari kejauhan,
halilintar menyambar-nyambar, dan hujan begitu deras. Sepertinya, lautan
mengamuk. Saat itu, sekali lagi Masumi merasakan dirinya terhuyung.
“Pak Masumi!” panggil
Maya lagi, kali ini dengan cemas karena goyangan itu terasa lebih kentara lagi.
Masumi memicingkan
matanya. Badai? Tampak jauh, namun sangat besar hingga membuat kapal yang
mereka tumpangi bergoyang.
“Apakah ada sesuatu?”
tanya Maya lebih khawatir lagi.
Masumi berbalik, “Tunggu
sebentar,” katanya beranjak hendak keluar.
“Mau kemana?” Maya
turun dari tempat tidur.
“Aku akan menemui awak
kapal, untuk memastikan—“
“Aku ikut!” putus
Maya.
Saat itulah ketukan
terdengar di pintu suite mereka. Masumi segera membukanya, ada seorang awak
kapal di sana. “Selamat malam, Tuan,” ia menoleh kepada Maya, “Nona…”
“Ada apa?” tembak
Masumi.
“Maaf Tuan, harap
mengenakan pelampung yang sudah kami siapkan,” orang itu masuk, “Hanya untuk
berjaga-jaga.”
“Ada kaitannya dengan
badai itu? Apakah badainya besar? Apakah mengarah kemari?” desak Masumi.
Walau sekejap, bisa
terlihat waswas tersirat di wajah awak itu. ‘Tidak, Tuan, tenang saja. saat ini
kita tidak sedang dalam keadaan darurat, jangan panik. Kami sudah diberi rute
untuk menghindari badai tersebut, mungkin akan ada sedikit goncangan, oleh
karena itu harap jangan berada di tempat yang akan membahayakan.”
Masumi tak berkata
apa-apa lagi namun ia tahu ada yang salah.
“Masumi…” Maya
terdengar khawatir. Masumi kembali melihat keluar jendela. Matanya melebar.
Badai itu sangat besar dan cepat. Masumi sudah pernah belajar menjalankan
yachtnya. Ia tahu benar badai seperti apa yang harus dikhawatirkan, dan ini
salah satunya. Pria itu menelan ludah. Kenyataan kedatangan badai itu tak
sempat terdeteksi menjelaskan bahwa badai itu sangat cepat.
“Pak Masumi…” Maya
kembali menghampiri Masumi, takut dengan diamnya pria itu.
Masumi menoleh, Ia
merangkul bahu Maya. “Tak ada apa-apa,” kata seraya tersenyum menenangkan. “Aku
yakin semuanya akan baik-baik saja. Mereka adalah orang-orang ahli,” katanya.
Ia lantas menarik tangan Maya dan meraih pelampung yang sudah dikeluarkan oleh
awak kapal tadi. “Sebaiknya kita memakainya. Seperti yang diperintahkan ABK
tadi,” Masumi meraih sebuah pelampung dan mengenakannya kepada Maya. Ia
mengamati gadis itu dan menatapnya gelisah. Ia tak akan membiarkan apa pun
terjadi kepada Maya. Ia bersumpah untuk itu.
Goncangan itu kembali
terasa, kali ini semakin keras dari sebelumnya. Lantas sebuah hantaman
terdengar. Ombang membentur dinding kapal yang keras. Peraduan keduanya terasa
semakin keras.
“Kyaa…!!” Maya
berteriak semakin keras.
Badai sudah mendekati
Astoria. Kapal pesiar tersebut terlambat untuk menghindari badai, mereka sudah
masuk jalur terluar dari mata badai.
“Pakai kekuatan
penuh!!” perintah kapten.
“Sudah Pak!
Sepertinya…” urat-urat ahli mudi terlihat.
Mata sang kapten
melebar, melihat pemandangan mengerikan di hadapan mereka. Astoria harus segera
keluar dari jalur badai. Jika tidak, mereka bisa terseret ke pusat badai dan
berakhir naas.
“Kyaaa…!!” jeritan
mulai terdengar di kapal saat Astoria semakin miring dan bergoyang. Para
penumpang histeris. Suara badai yang keras terdengar amat bergemuruh.
Sekeliling mereka hitam total.Baik langit dan juga lautnya. Hanya deru dan
angin hujan yang teramat kencang yang ada di sekeliling mereka.
Maya dan Masumi bisa
mendengar jeritan di lorong, sepertinya orang-orang keluar dari kabin mereka,
sementara Maya dan Masumi terdiam di sofa, saling memeluk, sofa itu bergeser lagi
dan Maya memekik. Sekali lagi goncangan terasa. Maya dan Masumi sedang
berpelukan di kamar mereka tersebut. Barang-barang sudah jatuh dan pecah
“Pak Masumi,” kata
Maya takut sekali, ia bisa mendengar tamparan ombak yang semakin keras, dan
goncangan itu terasa lagi. Astoria bergetar, tempat tidur di kabin tersebut bergeser,
menubruk sofa tersebut,mendorongnya mendekat ke tembok. “KYaaa..!!!” Maya
kembali berteriak sementara Masumi memeluknya erat. Saat Maya membuka mata,
dinding hanya beberapa senti darinya.
“Kita harus keluar,”
kata Masumi. “Kita tidak bisa diam saja.”
Tetapi kemana? Masumi
tak tahu. Mereka harus mencari tempat yang sempit tanpa barang-barang yang
mungkin akan menimpa atau mencelakai mereka.
“Aku takut…” Aku Maya,
dan saat itu kapal kembali bergoyang, dan bergerak miring, membuat sofa itu
kembali bergerak dan bergeser ke belakang. Maya kembali berteriak.
“Kita harus pergi!”
Putus Masumi saat menyadari lautan benar-benar mengamuk dan goyangan kapal
tersebut semakin keras dan tanpa henti.
Masumi menarik Maya
keluar kabin. Saat itu kapal kembali miring ke arah berlawanan, miring dengan
sangat tinggi dan saat Masumi menutup pintu, suara hantaman terdengar pada
pintunya. Sudah banyak orang di luar, yang berteriak-teriak. Kapal berayun ke
segala arah diayun ombak. Suara menderus sangat jelas terdengar. Kapal Astoria
yang begitu besar, tampak seperti bukan apa-apa di tengah badai tersebut.
Tak akan ada kapal
yang menolong pada saat seperti ini, karena rute ini adalah rute yang dihindari
oleh semua kapal.
“Jangan keluar!!”
teriak awak kapal. “Jangan ke geladak! Berbahaya! Bisa terseret air laut!”
Masumi dan Maya
berdesak-desakan dengan orang-orang yang berusaha mencari tempat aman.
Tiba-tiba sebuah hantaman terdengar keras, kapal kembali miring, teriakan di
mana-mana bersamaan dengan suara kaca-kaca yang pecah, kali ini dengan cepat
air laut merembes masuk dari mana-mana. Tangan Masumi menggenggam erat tangan
Maya. Menariknya menaiki tangga, menuju lantai bawah ke dek tengah, menuju
lorong sempit yang bisa digunakannya untuk melindungi diri mereka.
Masumi memeluk Maya
erat-erat, mengawalnya melewati orang-orang dan menjaga gadis itu
“Kita sudah berada di
arah yang tepat,” kata sang Kapten, “tak lama lagi kita akan bisa melewatinya.”
Ia optmis. Lantas menelan ludahnya, belum pernah ia melewati badai sebesar ini
sebelumnya. Ombak setinggi benteng-benteng yang sampai menutupi pandangan mereka.
Kapal bergoyang
kembali, orang-orang berdempetan ke satu sisi, saling berteriak kesakitan.
Kembali seruan agar penumpang
yang berada di luar berlindung di tempat sempit kosong juga tidak mendekati
barang-barang yang dapat membuat cedera terdengar. Petugas juga meminta para
penumpang tetap berada di kabin masing-masing.
“Apa kita harus
kembali ke kabin…?” tanya Maya di tengah teriakan. “Pak Masumi!” serunya
khawatir.
“Kamar kita terlalu
luas!” Masumi berkata, “Dan terlalu banyak barang lepas yang bisa mencederai
kita,” katanya. “Kita cari kabin kosong yang lebih sempit dan hanya berisi
tempat tidur di dek bawah,” imbuh Masumi.
“KYaaaa!” sekali lagi
penumpang berteriak, saat ombak yang sangat keras dan tinggi datang dari bagian
belakang kapal, membuat bagian depannya terjungkit, lantai kapal miring ke
belakang, beberapa orang meluncur seraya berteriak. Seorang perempuan menarik
Maya bersamanya.
“Pak Masumi!!!” teriak
gadis itu.
Masumi tersentak, Maya
lepas darinya. “Mayaa!!!” teriak Masumi. Pria itu melepaskan pegangannya pada salah
satu tiang. Tubuh besarnya ikut terbawa menuju bagian belakang. Namun kemudian
kapal kembali oleng ke sisi yang lain, tubuh Masumi menghantam dinding pada
bagian bahunya, lantas kapal kembali berguncang, kepalanya membentur. Ia tak
bisa mengendalikan tubuhnya yang terbawa goncangan kapal. Saat akhirnya keadaan
sedikit stabil, Masumi merasakan tubuhnya yang kesakitan. Ia ingat Mayanya
sudah lepas dari tangannya. Ia kemudian melawan arus, kembali ke arahnya
semula. Memanggil-manggil Maya, mendorong orang-orang di sekitarnya dengan
kasar. “MAYAAAA!!!” panggilnya, namun gadis itu tak terlihat.
=//=
Shiori terdiam,
giginya bergemeletuk. Matanya nyalang penuh kebencian.
Anak itu naik ke kapal… Lapor orang itu tadi. Mereka bertemu. Masumi Hayami dan Maya
Kitajima… Apa yang harus saya lakukan?
Pisahkan mereka. Singkirkan anak itu bagimana pun
caranya… perintahnya.
=//=
Masumi masih berusaha
mencari, di tengah manusia-manusia yang panik, di tengah amukan laut, di tengah
usaha Astoria menyelamatkan dirinya.
Maya kau di mana…!? Gadis itu sama sekali tidak terlihat lagi.
“KYAAAAAAAAA!!!!”
teriakan itu semakin keras, saat kapal miring ke satu sisi.
“KECEPATAN PENUH
SEKARANG!!!” perintah Sang Kapten.
Astoria berjuang
keras, terlepas dari genggaman sang badai yang tampak masih berkecamuk. Kapal
itu tampak sedang melawan arus untuk keluar. Akibatnya, air lautan tumpah ke
geladak. Beberapa jendela kaca kembali terdengar pecah karena hantaman
kemarahan ombak yang menjatuhkan diri ke arah kapal itu. Hingga beberapa lama
jeritan masih terdengar, dengan begitu panik.
“Ada yang jatuh ke
laut!!! Ada yang jatuh ke laut!!!” teriak seseorang saat air laut yang teramat
tinggi masih sempat mengganggu dengan menumpahkan diri dari ketinggian yang
sangat ke atas kapal Astoria.
Hingga lama kelamaan,
ombak yang dihadapi tak setinggi tadi, ayunan kapal itu pun sudah tak lagi
sekeras sebelumnya. Keadaan di dalam semakin tenang, sudah tak ada yang
berteriak-teriak saat Astoria berhasil dengan perjuangannya membebaskan diri
dari ancaman badai. Ombak-ombak yang dihadapi masih tinggi, namun tak setinggi
tadi walaupun masih mampu membuat kapal bergoyang lebih dari normal, namun
tidak membuat kapal itu mengocok-ngocok manusia di dalamnya.
Tinggallah para
penumpang yang masih ketakutan, yang cedera, hingga yang mabuk laut.
Sementara Masumi masih
mencari, mencari, dan mencari. Ia belum menemukan Mayanya lagi. Gadis itu
sebentar lepas dari tangannya tadi, hingga sekarang belum ada lagi tanda-tanda
Maya akan kembali ke pelukannya. Maya kau
kemana… pikir Masumi dengan sangat
gelisah. Kau kemana… kenapa kau sampai lepas dari tanganku… sesalnya teramat
berat.
“Cari daratan yang
paling dekat dari sini, kita labuhkan kapal kita di sana dan minta bantuan
untuk menangani para penumpang yang mengalami cedera dan luka. Kita masih belum
bisa berputar kembali ke Tokyo.” Instruksi sang kapten.
Masumi pergi ke ruang
perawatan para para penumpang yang mengalami cedera. Ruangan itu sangat penuh
dan hanya diobati seadanya. Kru sudah mengumumkan bahwa mereka akan berlabuh di
sebuah pelabuhan terdekat.
Masumi sudah mencari
Maya ke bagian perawatan para tamu kelas vvip hingga kelas biasa. Ia bahkan
membuat pengumuman “Untuk Nona Maya Kitajima, jika mendengar Tuan Masumi
Hayami, harap menunggu di suite sebelumnya. Sekali lagi kepada Nona Maya
KItajima dari Tokyo….”
Keadaan masih hiruk
pikuk, dan Masumi benar-benar merasa kalut. Ia sudah empat kali salah mengenali
perempuan yang dikiranya Maya.
“Tuan, luka Anda
sebaiknya diobati,” dan itu sudah menjadi anjuran kesekian kalinya dari seorang
kru saat melihat luka memanjang di lengan Masumi. Pria itu bahkan tak ingat
lagi daimana luka tersebut didapatnya. Ia tak menghiraukan. Yang ia tahu, ia
harus menemukan Maya.
Masumi kembali ke
kamarnya dan Maya untuk ketiga kalinya. Ia membuka pintu.
“Mayaaaa!!!”
panggilnya putus asa. Tak ada jawaban apa pun. Hanya ada kamar yang berantakan.
Beberapa hiasan dinding pecah belah di lantai. Posisi sofa dan tempat tidur
yang sudah tak beraturan, juga lemari yang tampak terguling.
Namun tak ada
tanda-tanda akan keberadaan Maya.
“Namanya Maya
Kitajima!! Maya Kitajima! Tingginya 154 cm, rambutnya lurus hitam, berponi,
matanya bulat, dan dia… dia mengenakan rok,” Masumi tercekat, memberitahukan
gadis yang sedang dicarinya. “Dia tidak membawa tiket, mungkin… dia tidak bisa
mendapat perawatan,” Masumi meracau, “tapi aku bertanggung jawab untuknya,
kumohon, jika dia ke sini, rawat dia baik-baik,” ia berkata kepada staf
kesehatan yang tampaknya sudah cukupkewalahan tanpa mendapatkan pesan khusus
dari pria itu. Namun mengingat siapa Masumi Hayami, staf itu hanya tersenyum
mengiyakan.
“Tuan, sedikit sulit,
karena kami tidak mempunyai data mengenai Nona Maya. Tetapi akan kami
usahakan…” kata staf lainnya yang mengurus masalah akomodasi penumpang. “Tuan,
sebaiknya tangan Anda segera diobati, tampaknya lukanya cukup besar.”
Masumi hanya
mengangguk-angguk mengambang. Pengumuman terdengar, Astoria akan segera
berlabuh pada dini hari tersebut.
Masumi masih tidak
putus asa. Ia mengitari pelabuhan, melihat satu-persatu orang yang sedang
dirawat. Ada beberapa yang dilarikan ke rumah sakit terdekat oleh ambulan yang
menunggunya karena mengalami luka berat di kepala. Ada yang meninggal karena
serangan jantung, dilaporkan lima orang terseret jatuh ke laut, belum ada yang
tahu identitas mereka. Sebagian yang mengalami luka ringan sudah dirawat di
Astoria dan diperbolehkan pulang setelah dicatat. Sementara ada juga yang baru
mendapat perawatan di pelabuhan.
Ia masih tidak bisa
menemukan Maya. Masumi bahkan tidak menyadari bahwa tubuhnya sendiri sangat
lelah. Seorang perawat menghampirinya.
“Tuan, luka Anda cukup
besar! Anda harus segera dijahit sebelum darah keluar semakin banyak!”
Sadar dan tidak sadar
Masumi mengamati luka yang dipermasalahkan semua orang tersebut. Lukanya memang
cukup lebar. Darah sudah membuat kemeja putih masumi memerah.
“Tuan, luka Anda—“
“Minggir,” Masumi
mendorong perawat tersebut. “Saya harus mencari seseorang.”
“Tuan! Jika luka Anda
tidak segera dijahit, Anda bisa—“
Dan, Masumi jatuh pingsan.
“Pingsan karena
kekurangan darah … “ gumam perawat tersebut.
=//=
Sebuah mobil
meninggalkan pelabuhan.
“Kau berhasil,” kata
yang satu pada rekannya yang menyetir.
“Ya. Untunglah.
Kuharap bayarannya sesuai.” Si sopir bicara.
“Kenapa tidak
kaujatuhkan saja ke laut tadi? Kesempatan bagus kau?”
“Kaupikir dia akan
jatuh sendirian? Bisa-bisa aku ikut jatuh dalam keadaan seperti tadi!”
Mobil itu terus melaju
di tengah kegelapan.
Di jok belakang, Maya
terbaring tak sadarkan diri.
=//=
Masumi merasakan kepalanya
masih pening, saat ia tersadar.
“Masumi, kau sudah
bangun?” tanya Shiori dengan raut sangat khawatir.
“Aku di mana!?” tanya
Masumi.
“Di Tokyo. Saat
diberita ada kabar mengenai Astoria, aku langsung mencari tahu mengenaimu.
Katanya kalian sempat masuk ke jalur badai. Untunglah, kau baik-baik saja…”
Shiori mengelap airmatanya yang menetes. “Aku tak akan bisa memaafkan diriku
sendiri jika sampai terjadi sesuatu kepadamu,” kata Shiori.
“Berapa lama aku
berada di sini?” tanya Masumi tajam.
“Kau dibawa ke sini
tadi pagi. Lukamu sudah dijahit, dan kau diberi obat penenang serta transfusi
darah. Kau kehilangan darah cukup banyak apa kau tak menyadarinya?”
Semua perhatian Shiori
itu hanya dibalas dengan abaian. Masumi segera ingat lagi kepada Maya.
Bagaimana kabar kekasihnya itu? Ia sangat berharap Maya menemukan kembali
jalannya pulang. Ia harus segera mencari kabar mengenainya.
“Masumi? Masumi? Ada
apa? Ada yang kaupikirkan?”
Masumi menoleh kepada
Shiori. “Ya. Shiori, aku harus pergi.”
“Kemana?” Shiori
menahan lengan Masumi.
“Aku bertemu Maya di
kapal tersebut.”
Shiori tersentak. Ia
tahu Maya ada di sana. Yang ia tak mengira, Masumi begitu terus terang mengenai
hal itu. “Ma-Maya…?”
“Ya. Dia datang
mencarimu, hendak mengembalikan cek yang kauberikan kepadanya.”
Shiori terdiam.
“Aku tak mengerti apa
maksdumu melakukan itu semua. Tetapi aku sudah berjanji kepadanya untuk
mengembalikan cek tersebut. Hanya saja sekarang cek itu entah berada di mana.”
“A-aku… Aku mendapat
permintaan, dari gadis itu! Ia yang sudah—“
“Jangan bohong!!”
Masumi berang. “Aku tahu benar siapa Maya. Aku mengenalnya sejak ia masih 13
tahun!” tegasnya. “Panggilkan suster, aku sudah mau pulang.”
“Kau mau kemana?”
“Pulang! Aku mau
mencari Maya. Dia tidak ikut turun denganku tadi. Aku harus menemukannya, aku
harus memastikan dia baik-baik saja!”
“Kau sendiri sedang
sakit.”
“SUSTEER!!! SUSTER!!!”
teriak Masumi.
“MasumI!!” Shiori menahan
lengan pria itu. “Kan ada aku! Ada aku!! Kenapa kau harus mencarinya?”
Masumi mengenyahkan
tangan Shiori darinya.
“SUSTER!!!!”
teriaknya. Makhluk yang dipanggil tak juga muncul. Masumi menarik sendiri
infusnya dan beranjak berdiri, tak menghiraukan luka jahitnya yang masih basah
dan akan terasa sakit sewaktu-waktu.
“MASUMI!!” cegah
Shiori. “Kau mau kemana!!? Kenapa kau masih memikirkan anak itu!!? Kenapa kau
masih saja memikirkannya!?” Shiori histeris.
Masumi menoleh kepada
Shiori. “Kau sudah tahu alasannya! Karena aku mencintainya! Dan dia
mencintaiku.” tegas Masumi. “Karena aku miliknya, dan dia milikku…” Masumi
mengeratkan kepalan tangannya. “Selamanya akan seperti itu.”
Masumi turun dari
tempat tidur dan bergerak cepat ke arah pintu.
“Masumi kau mau kemana!?
MasumI…!!? MASUMI!!!!!” pekik Shiori yang tak dihiraukan.
Seorang suster sempat
mencegah kepergian Masumi saat ia melihat pria itu melangkah keluar. Namun
Masumi mendorongnya menyisi dan tak menghiraukannya.
Shiori menangis,
menutup wajahnya dengan kedua tangannnya. Ia tak bisa menerima perilaku Masumi
kepadanya. Ia jatuh terduduk dan menangis. Dadanya bergerak naik turun penuh
dendam. Aku tak akan memaafkannya! Tak
akan…!
Shiori meraih ponsel
di dalam tasnya. Menghubungi Yamashita. “Kakak…” ia terisak. “Aku ingin dia
mati…” katanya “Mati… mati!! MATI!!! MATIII!!!!” teriaknya.
=//=
Ponsel pria itu
bergetar, ia mengangkatnya.
“Bunuh,” perintah
Yamashita.
“Baik… Tuan.”
Hubungan terputus.
Pria itu meraih sebuah pisau dan berjalan menuju sebuah kamar di mana Maya
dikurung.
=//=
Masumi sama sekali tak
mendapatkan kabar apa pun mengenai Maya. Dia tidak kembali ke tempat
latihannya, maupun ke apartemennya. Maya juga bukan satu dari lima orang yang
jatuh ke laut. Astoria sama sekali tidak menyatakan mereka memiliki data
penumpang bernama Maya Kitajima.
Hilangnya Maya pun
tercium wartawan. Mereka bertanya-tanya ke mana hilangnya calon pemeran
Bidadari Merah tersebut. Hal itu tentu membuat keresahan tersendiri di kalangan
pemerhati drama, terutama grup Bidadari Merah Kuronuma.
Sebuah fax masuk ke
kantor media di Jepang.
“Ada konferensi Pers
di Daito! Pak Masumi Hayami yang mengadakannya!”
Konferensi Pers
tersebut diadakan di sebuah convention hall Daito, ruangan dipenuhi oleh para
wartawan yang bertanya-tanya ada apa Masumi mengadakan konferensi Pers? Kenapa
dia yang harus mengadakan konferensi pers?
Masumi tampak masuk ke
ruangan tersebut bersama Kuronuma dan Onodera juga Ketua Persatuan Drama.
Ketua Persatuan Drama
yang bicara terlebih dahulu dan kemudian Masumi.
“Selamat siang
rekan-rekan Pers terima kasih sudah menyempatkan diri hadir di sini. Saya akan
menyampaikan keputusan yang sudah disepakati antara pihak-pihak yang
berkepentingan dengan pementasan Bidadari Merah,” terang Masumi. “Sudah
diputuskan, terkait insiden yang terjadi kepada Nona Maya Kitajima, maka
pementasan Bidadari Merah akan diundur. Ibu Mayuko sudah menyetujuinya,
demikian juga dengan Ayumi Himekawa, calon Bidadari Merah yang satunya lagi.”
“Pak Masumi, kenapa
konferensi Pers ini diadakan di Daito? Kenapa Anda yang bicara? Apakah sudah
diputuskan bahwa Anda adalah Daito sebagai penyelenggara Bidadari Merah?”
“Tidak, Saya tidak
akan mengintervensi mengenai hal tersebut. Saya berada di sini karena hal lain.
Mengenai hilangnya Maya Kitajima, saya adalah orang terakhir yang bersamanya.”
“Apa?” para wartawan
tersebut bertanya-tanya. Mereka segera memberondongi Masumi dengan berbagai
pertanyaan. Masumi meminta semuanya untuk tenang.
“Saat itu, saya sedang
berada di Astoria, Anda semua pasti sudah tahu apa yang terjadi pada kapal
tersebut. Kami bertemu secara tidak sengaja. Nona Maya naik tanpa tiket, untuk
mencari seseorang. Namun ia tidak dapat menemukannya dan kapal sudah terlanjur
berlayar. Saya sebagai orang yang mengenalnya, kami… bersama…” Masumi terdiam,
sedikit tercekat.
“Anda saat itu
sendirian?”
“Ya, saya sendirian.”
Warrtawan kembali
saling berbisik dengan wajah curiga. Gadis sederhana seperti Maya naik kapal
pesiar? Dan, apa yang Masumi Hayami lakukan sendirian di kapal pesiar. Lantas
keduanya bersama? Ada yang berspekulasi Masumi menjebak Maya naik kapal. Ada
yang berpikir keduanya memiliki pembicaraan rahasia, ada yang berpikir Masumi
mendekati Maya untuk mendapatkan pementasan Bidadari MErah dengan mengundangnya
naik kapal pesiar dan lain sebagainya.
“Namun!” Masumi
memecah keriuhan bisik-bisik tersebut. “Seperti yang saya katakan, hal yang tak
terkira terjadi di Astoria. Saat itulah, saya… kehilangan Maya…”
Kau terasa seperti guling… Masumi teringat adegan itu. Dan Maya tersenyum dengan menggemaskan.
Hatinya segera kembali tersayat sembilu.
“Karena itu, saya
ingin mengatakan, kepada siapa saja yang mempunyai informasi mengenai Maya
Kitajima, tolong kabari kami. Saya akan memberikan imbalan yang layak bagi
siapa saja yang dapat memberikan keterangan, atau mengantarkan Maya kembali,”
tegas Masumi dengan wajah sangat serius.
“Apakah mungkin Maya
terlempar ke laut, teringat—“
“Tidak!” Sanggah
Masumi. “Kami tidak ke geladak. Kami semua berada di dalam kapal. Saya yakin
dia selamat. Hanya saja…” pria itu mengepalkan tangannya dengan erat.
“Pak Masumi, maaf,
bukankah hal yang menguntungkan, jika memang Maya Kitajima menghilang dan Ayumi
yang terpilih sebagai Bidadari Merah tanpa harus berkompetisi? Semua tahu bahwa
peluang Daito lebih besar jika pemeran Bidadari Merahnya adalah Ayumi
Himekawa.”
Masumi menatap tajam kepada
penanya tersebut. “Daito bisa mendapatkan Bidadari Merah tanpa harus mencelakai
Maya Kitajima. Seperti saya katakan, saya akan memberikan imbalan kepada siapa
saja yang dapat mengembalikan Maya Kitajima. Saya, menginginkan dia kembali.
Saya akan melakukan apa saja, untuk mendapatkannya kembal!” tegas Masumi.
“Pak Masumi, maaf, ini
sedikit keluar dari topik. Anda dikabarkan akan menikah sebulan lagi, apakah
mengenai hal tersebut tidak ada perubahan?”
“Mengenai hal
tersebut, saya sudah memutuskan untuk mengundurkan masalah pernikahan.
Informasi selanjutnya akan kami kabarkan lagi. Terima kasih, selamat siang
rekan-rekan semuanya.”
Selanjutnya Masumi
tidak menghiraukan pertanyaan lainnya dari wartawan.
Eisuke mengamati
televisi, alisnya berkerut. Jadi Maya menghilang…. Saat bersama Masumi? Dan,
apa-apaan dia bermaksud mengundurkan pernikahan? Kenapa dia tidak mengatakan
apa pun kepadaku? Kecamnya. Ada yang aneh… pria tua itu menerka. Apakah Masumi
yang begitu perhatian kepada Maya Kitajima… juga sudah menaruh hati kepadanya?
Tak pernah aku melihat anak itu begitu sibuk mengurusi seorang aktris.
=//=
“Aku juga tidak tahu,
Kakek…” Shiori terisak-isak. “Masumi tak mengatakan apa pun kepadaku terkait
pengunduran tanggal pernikahan kami! Dia sering berkata tak sabar untuk
menikah. Tetapi… entah kenapa,” wanita itu mengusap airmatanya dengan
saputangan. “Aku tahu dia begitu memperhatikan Bidadari Merah, tetapi, sampai
mengundur pernikahan kami…”
Tenno Takamiya tampak
geram. “Kenapa dia memutuskannya sebelah pihak, tanpa berkompromi dahulu dengan
pihak kita…!?”
Masumi… Aku tak akan membiarkan! Kau tak akan lolos
begitu saja! Kita harus menikah!! Tekad Shiori. Kau tak bisa
mencampakkanku begitu saja.
“Tuan Besar, ada
tamu…” kata seorang pelayan.
“Siapa?”
“Tuan Masumi Hayami.”
=//=
Masumi membungkuk
memberi salam.
“Kurasa kau kemari
hendak memberikan penjelasan mengenai statemenmu di televisi kan?”
“Benar,” tegas Masumi.
Ia mengangkat tubuhnya. “Tuan Besar Takamiya,” ia menoleh kepada ayah dan ibu
Shiori, “Tuan dan Nyonya Takamiya,” lalu kepada Shiori, “Nona Shiori… Saya
meminta maaf, karena tidak dapat melanjutkan mengenai masalah pernikahan kita.”
“Apa!!?” seru
orangtuan Shiori.
“Maksudmu menunda
pernikahan?” Takamiya menegaskan.
Masumi menggeleng.
“Tidak… Tuan, maksud saya adalah membatalkan rencana penikahan saya dan Nona
Shiori. Saya meminta maaf untuk semua kesulitan dan kekacauan yang saya sebabkan,
namun, saya menyadari, pernikahan ini bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan.”
“Kenapa…!?” tanya ibu
Shizuka. “Bukankah kalian saling menyukai? Saling mencintai?”
Sementara Shiori
membisu, menatap penuh dendam kepada Masumi dengan perasaan hati tercabik-cabik.
Masumi menelan
ludahnya. “Saya akan menanggung semua akibat kesalahan saya ini. Namun…
pernikahan saya dan Shiori, jika diteruskan, akan menjadi sebuah kesalahan
besar. Saya… tidak layak untuk Nona Shiori. Nona Shiori, harus mencari pria
yang lebih baik untuknya, yang bisa membahagiakannya. Pria yang…
sungguh-sungguh mencintainya.”
Semua terenyak dengan
pernyataan Masumi. Jelaslah Masumi mengatakan dia tidak mencintai putri mereka.
Sedangkan semua sudah tahu, besarnya rasa cinta yang dimiliki SHiori kepada
Masumi.
“Kenapa kau baru
mengatakannya sekarang? Kita semua sudah mempersiapkan segalanya…”
“TIDAAAAK!!!” pekik
Shiori tiba-tiba dengan histeris, mengejutkan semua yang berada di ruangan
tersebut. Ia berdiri, menunjuk Masumi. “Kau tidak bisa memperlakukanku seperti
ini!! Tidak!! Tidak bisa!! Kau akan menikah denganku! Dengankuuu!!!!” pekiknya.
“Shiori, tenanglah,
Shiori… tenanglah!!” Ibu Shiori beranjak mendekat berusaha menenangkan
putrinya, tetapi percuma, Shiori sudah terlanjur histeris. Ia berlari meraih
sebuah vas bunga dan memecahkannya, lantas mengarahkan bagiannya yang runcing ke
nadinya. “Kalau pernikahan dibatalkan, aku lebih baik mati saja…!” serunya
dengan lantang, namun air mata mulai mengalir. “Aku akan mati…” isaknya. “Aku
akan mati tanpa kau…. Masumi…” kali ini suaranya begitu menghiba.
Masumi sangat terkejut
dengan reaksi Shiori, ia menelan ludahnya. Ia tak ingin menyebabkan dua orang
wanita celaka karena dirinya.
“Shiori… dengarkan
aku…” Masumi hati-hati mendekatinya. “Kau sudah tahu aku tak mengharapkan lagi
pernikahan ini. Kau pasti sudah menyadarinya bahwa kau dan aku tidak bisa
bahagia. Sekarang turunkan itu…” Masumi mengulurkan tangannya. “Kita harus
menyudahi ini semua… Aku tak ingin mencelakai siapapun. Dan, aku pun yakin, Shiori
yang sebenarnya, adalah wanita lembut, yang…” Masumi menyentuh lengan Shiori.
“Jangan sentuh aku!!”
pekik Shiori, menggerakkan potongan vas di tangannya.
“Akh!!” Masumi
meringis nyeri, saat vas itu bergerak menembus daging lengannya. Ia segera
memegangi tangannya, sementara keluarga Shiori terpekik. Mereka tak mengerti
ada apa dengan wanita itu.
Shiori mengamati
Masumi yang sedang memegangi lengannya di mana darah mulai mengalir. Sejenak
wajahnya penuh kesedihan dan penyesalan. Namun, kembali dingin dan keras.
“Itu bukan salahku…”
kata Shiori. “I-itu salahmu…” ia gemetaran. Lantas menyeringai. “IYa… itu
salahmu… kenapa menggangguku… kenapa mengusikku…” tanyanya dengan dingin,
mengamati darah yang menetes di tangan Masumi.
“Shiori… kau kenapa,
Sayang? Tenanglah… kita bicarakan baik-baik,” kata Tenno Takamiya.
Namun Shiori tak
menghiraukan ia terus menceracau. “Itu juga salahnya…” kata Shiori. “Kenapa dia
menggangguku… kenapa dia mengusik hubungan kita…” ia menyipitkan matanya penuh
kecam.
Masumi terenyak. Ia
menatap Shiori. Dia membicarakan Maya?
“Anak itu layak mati…
dia harus mati… agar tahu diri… Dia harus dibunuh… dan mayatnya dibuang agar
dimakan hewan liar…” desisnya dengan cara yang menakutkan, mengejutkan semua
keluarganya yang tak pernah melihat Shiori seperti itu.
Namun, Masumi mulai
mengerti arah pembicarannya. Ia bergerak cepat ke arah Shiori.
“Kyaaa!!” wanita itu
terpekik Saat Masumi mencengkeram pergelangannya dan melepaskan vas itu dari
tangannya.
“Kau tahu di mana
Maya? Kau tahu dia dimana?” Tanya Masumi tajam tanpa melonggarkan
cengkeramannya dari Shiori.
Shiori menatap Masumi
penuh tantangan, “Kau tak akan tahu,” Shiori menggeleng. “Sudah terlambat…”
desisnya. “Dia tidak akan pernah bisa memilikimu,” Shiori tersenyum. “Per… gi…”
desisnya. “Ke sana…” Ia menggerakkan matanya ke atas.
Masumi tertegun,
jantungnya berdetak keras dan setiap detakannya terasa menusuk. “Kau…”
desisnya. “Kau…” Masumi merasa dirinya timpang, ia tak percaya dengan perkataan
Shiori.
“Kau dan dia, tidak
akan pernah bersama… Selamanya!! Selamanya…!!”
Masumi menatap Shiori
dengan nanar. Perasaannya tidak menentu. Ditatapnya wanita itu dengan gusar.
“Ada atau tidak ada Maya… Aku tidak akan menikah denganmu,” tegas Masumi tanpa
ekspresi. “Aku tidak mencintaimu,” ia melepaskan tangan Shiori.
Masumi meninggalkan
Shiori yang menatapnya benci. Ia benci Masumi tak menghiraukannya, benci Masumi
yang memunggunginya. Benci Masumi yang meninggalkannya.
“Kyaaaa!!!” teriak
Shiori. “Jika aku tak mendapatkanmu!! Tidak ada siapa pun yang bisa!! Kyaaaa!!”
pekik Shiori, kembali meraih vas tersebut dan mengarahkannya ke punggung
Masumi. Untunglah Masumi segera berbalik dan mendapati Shiori yang sedang
menyerang ke arahnya.
“Masumi awaaas!!” seru
Tenno Takamiya.
Masumi segera menghindari
serangan Shiori. Sekali lagi ia menangkap tangan Shiori dan membuat vas itu
terjatuh dari genggamannya. Masumi menendang vas itu menjauh, memelintir tangan
Shiori, dan berdesis di telinganya. “Hentikan, Shiori! Hentikan!!”
“Tidak!!” pekiknya,
berusaha membebaskan tangannya di punggung yang ditahan Masumi. “Tidak akan
pernah!! Tidak akaaaann!!! Dia sudah mati!! Kau juga! Kau jugaaa tak bisa
meninggalkankuu!! Tidaaaakk!!!” teriaknya histeris.
“Masumi, lepaskan dia,
tolong lepaskan…” pinta ibu Shiori dengan air mata mengaliri pipinya. “Kami
mengerti kau ingin membatalkan pernikahan, kami mengerti. Tolong… lepaskan
Shiori…”
Dengan raut penuh
sesal, Masumi melepaskan Shiori. “Maafkan saya…” kata Masumi sekali lagi,
sementara Shiori segera ditarik mendekat oleh ibunya.
“Kau tak boleh pergi!!
Masumi!! Masumii!!!!” pekik Shiori.
Masumi terus melangkah
pergi dengan perasaan gelisah. Ia tidak tenang. Namun, ia mencoba meyakini
sesuatu. Maya. Mayanya, dia berada di suatu tempat. Baik-baik saja. Ia
baik-baik saja…
“Sudah Nak, sudah…
hentikan… sudah, biarkan dia pergi Shiori…”
“Tidak!! Tidak mau!!!
Masumi milikkuu!! Milikkuuuuuu!!!!!” Shiori tak berhenti berteriak-teriak,
membuat suasana di kediaman Takamiya terasa mencekam.
Tenno Takamiya menelan
ludahnya pahit. Ia tak mengira Shiori sampai sedemikian depresi. Akan tetapi,
ia tak ingin masalah ini diketahui pihak luar dan akan mencemari nama baik
keluarga mereka. Apalagi, jelas-jelas di depan mata mereka, Shiori mencoba
melakukan percobaan pembunuhan terhadap Masumi.
Tenno Takamiya
memutuskan tak akan memperpanjang masalah ini lagi. Ia pun yakin, Masumi sudah
cukup mengerti. Ia tak akan mengungkit-ungkit apa pun yang terjadi di rumahnya
tadi.
Masumi sesekali
meringis, seraya melihat luka lain yang sudah bersarang lagi di tangannya.
Belum sembuh benar luka yang didapatkannya dari Astoria, sekarang ia juga
mendapat luka lainnya dari pecahan vas yang digoreskan Shiori.
“Tuan! Tangan Anda…”
sopir Masumi tampak sangat terkejut melihat darah yang bercucuran dari lengan
atasannya itu.
“Ke rumah sakit,
cepat!!”
“Baik Tuan….!”
Sedan hitam itu segera
meluncur pergi menuju rumah sakit.
Sepanjang jalan Masumi
memikirkan Maya. saat tangannya dijahit, Masumi memikirkan Maya. Jika benar apa
yang dikatakan Shiori, jika memang wanita itu tahu di mana Maya berada dan Maya
sudah…
Tidak! Tidak!! Masumi
menampik kemungkinan itu dengan keras. Jika memang hilangnya Maya ada sangkut
pautnya dengan Shiori atau Yamashita, pasti Hijiri dan anak buahnya bisa
mengatasinya. Masumi sudah mengatakan kepada Hijiri agar terus mengawasi
Yamashita dan orang-orang suruhannya. Orang kepercayaannya itu pasti bisa
menjalankan perintah dengan baik. Ia selalu bisa mengandalkan Hijiri.
Akan tetapi, sejak
Maya menghilang, Hijiri belum memberinya kabar.
Ah!! Rasanya Masumi
bisa gila dengan semuaketidakpastian ini. Bagaimana… bagaimana jika ternyata
Maya sudah…
Tidak!! Tidak!!
Tidak!!! tegasnya dalam hati. Maya masih hidup… gadis itu akan kembali ke dalam
pelukannya.
=//=
Saat Masumi selesai
dengan jahitannya, Ia didorong keluar ruang bedah menuju tempat perawatan. Seorang
ajudannya segera menghampiri.
“Aku ingin segera
pulang,” tegas Masumi. “Apa aku bisa langsung pulang?”
Perawat itu menjawab.
“Tuan, luka Anda bisa sakit sewaktu-waktu, karena itu mungkin lebih baik Anda
di sini dulu sehari saja atau—“
“Tidak! Masih banyak
hal yang harus kuselesaikan!” tegas Masumi. “Aku ingin segera keluar dari
sini!”
“Kalau begitu, silakan
diurus masalah administrasinya, agar Tuan bisa segera pulang.”
“Tentu.”
Akhirnya, sesuai
keinginannya. Setengah jam setelah lukanya dijahit, Masumi sudah berada dalam
perjalanan menuju ke rumahnya. Namun, saat dalam perjalanan itu, ponselnya
berbunyai.
Dari Hijiri!!
“Bicaralah! Apakah
Maya—“
“Saya sudah
menemukannya.”
Deg!! Masumi merasakan
jantungnya sejenak berhenti berdenyut. “Dia… di… mana…”
“Di Sendai.”
“Sendai…” desah
Masumi. “Dan… bagaimana…” ia merasa takut. “Keadaannya…?”
“Nona Maya baik-baik
saja. Ia sedang tidur.”
Mendengarnya, Masumi
merasa sangat lega. Teramat lega. Rasanya sesuatu yang membuatnya sulit
bernapas selama ini segera menghilang.
“Dan, Pak Masumi… dia…
menanyakan Anda,” terang Hijiri.
Masumi tertegun. “Menanyakan…
Mawar Ungu?”
“Bukan,” sanggah
Hijiri. “Saat melihatku, dia menanyakan Anda. Pak Masumi Hayami.”
Masumi tertegun. Maya,
menanyakan dirinya, kepada Hijiri?? Gadis itu… dia… Sudah tahu mengenai Mawar
Ungu?
=//=
Masumi mendatangi
sebuah penginapan di Sendai. Saat ia tiba, sudah larut malam. Hijiri sempat
menjelaskan semuanya. Masumi sudah meminta Hijiri mengawasi gerak gerik
Yamashita dan anak buahnya. Namun Hijiri tidak tahu bahwa anak buah Yamashita
mengikuti Maya sampai naik ke Astoria. Karena mengetahui di Astoria ada Masumi,
Hijiri tak mengikuti mereka naik ke atas kapal. Namun dia tak bisa memebritahukan
itu semua, karena Masumi tak membawa ponselnya.
Saat mengetahui bahwa
Astoria akan berlabuh darurat di Sendai, Hijiri segera mengikutinya ke sana. Ia
melihat kendaraan anak buah Yamashita dan mengikutinya. Sampai saat itu, ia
masih belum berhasil menghubungi Masumi, karena pria itu sedang pingsan dan
mendapatkan perawatan. Hijiri memutuskan membuntuti mereka dan menunggu hingga
saat yang tepat untuk bertindak. Ia khawatir, jika sampai terlalu cepat
bertindak, akan membuat Yamashita dan Shiori marah dan bertindak lebih jauh,
sehingga ia membiarkan kedua orang itu berpikir bahwa rencana mereka berhasil.
"Nona Maya ada di
kamar," terang Hijiri, seraya menyerahkan kuncinya kepada Masumi saat
mereka bertemu di parkiran.
"Dia sudah tahu
mengenai Mawar Ungu?"
"Ya, Tuan. Dia
bertanya apa Anda baik-baik saja, dan dia terlihat sangat panik. Masuklah, saya
rasa dia sudah menunggu Anda."
"Terima kasih
banyak Hijiri. Nanti kuhubungi lagi," kata Masumi, yang menyadari mereka
tak bisa berlama-lama terlihat bertemu.
Hijiri mengamati
tangan Masumi, dan ia bisa melihat pria itu baru saja melewati hal yang
menyulitkan. "Saya permisi..." pamitnya.
=//=
Masumi membuka kunci
kamar yang diberikan Hijiri. Ia masuk ke dalamnya. Keadaan sepi. Sepertinya
Maya memang sudah tidur. Hati-hati Masumi menutup kembali pintunya dan berjalan
masuk. Dan dia melihatnya.
Gadis itu, di atas
tempat tidur, di balik selimut.Tanpa sadar Masumi menghela napas sangat dalam.
Ia sempat berpikir kemungkinan akan kehilangan gadis itu, dan sejenak ia seperti
mengerti rasanya mati. Masumi mendekat, matanya tak eplas menatap gadis itu.
Terlihat ada memar di dahinya. Tapi sepertinya semua baik-baik saja.
"Maya...'
panggilnya perlahan.
Masumi tahu,
seharusnya ia membiarkan gadis itu tidur. Namun, ia tak sabar ingin lagi
mendengar suaranya, menatap matanya, Akhirnya Masumi beranjak lebih dekat, dan
mulai menyentuh wajah gadis itu, kemudian bahunya, mengguncangkan perlahan
seraya memanggilnya. "Maya... Maya..."
Sejenak alis Maya
berkerut, dan gadis itu terbangun. Membuka matanya.
"Maya..."
panggil Masumi lagi, seraya tersenyum.
"Pak
Masumi!" dengan cepat Maya bangkit terduduk. "Pak Masumi!!"
serunya, tak mengira pria itu benar-benar sudah berdiri lagi di hadapannya.
Masumi merengkuh Maya
dengan sebelah tangannya, dan gadis itu balas memeluknya.
"Aku lega kau
baik-baik saja..." kata Maya.
"Pak
Masumi!!" Maya baru menyadari sesuatu. "Kemejamu, basah... tubuhmu
dingin... kau..." ia mendongak dan mendapati wajah Masumi yang pucat pasi.
"Kau sakit!!" tanyanya dengan terperangah.
Masumi menggeleng dan
mendesis, "Tidak... hanya jahitannya... mulai terasa sakit..." keluh
Masumi, yang sejak tadi tak merasakan apa pun di tangannya.
"Pak Masumi...
tidurlah, ayo berbaring...!" Maya menarik Masumi ke atas tempat tidur.
"Kau tidak
apa-apa?" tanya Masumi.
"Aku baik-baik
saja! Anda, yang sedang sakit!" tegas Maya. "Obatnya mana? Ada obat
pereda sakit?"
Masumi menggeleng
entah ke mana obat pereda sakitnya.
"Tidak
apa-apa..." kata Masumi seraya membaringkan dirinya. "Nanti juga hilang
sendiri," dan keringat dinginnya mengalir semakkin deras.
"Tidak! di mana
obatnya? dalam mobil?"
"Ya...kurasa..."
"Kuambilkan!"
"Tidak!...
mobilnya, di Tokyo... Maya..."engah Masumi.
"Lalu,
bagaimana?" tanya Maya panik.
"Di sini
saja..." Masumi menarik pergelangan tangan Maya. "Kurasa akan baik
sendiri, jika kau mendekat," pintanya.
“Pak… Masumi…” mata
bening gadis itu melebar melihat pergelangannya yang digenggam Masumi, wajahnya
sontak memanas. Ia mendekat mengikuti permintaan Masumi, dan duduk di tepi
tempat tidur. Raut khawatir belum hilang darinya. Ia mengmati tangan kanan
Masumi yang semenjak tadi tak banyak digerakannya. “Aku ingin melihatnya…” kata
Maya, tanpa mengalihkan tatapannya dari Masumi.
“Aku tidak apa-apa,”
kata Masumi, menahan ringisannya.
“Aku ingin
melihatnya,” Maya bersikukuh dengan mata berkaca-kaca.
“Aku tak akan
memperlihatkannya kalau kau menangis!”
“Tidak!” Maya
cepat-cepat menyusut airmatanya.
“Baiklah, tetapi aku
membutuhkan bantuanmu,” katanya seraya meraih kancing kemejanya. “Dan
berjanjilah kau jangan menangis!!” tegasnya lagi.
Maya mengangguk,
sepertinya Masumi masih kesakitan menggerakkan tangan kanannya. Maka Maya
membantunya membuka kemejanya. Sejenak keduanya sempat merasakan rona wajahnya
lebih banyak ketimbang sebelumnya.
Maya bisa melihat ada
bekas jahitan yang baru dibuka di sana, dan sebuah perban—jahitan baru. Gadis
itu menelan ludahnya getir. Tanpa bisa ditahan airmatanya menggenang lagi. “Ini
kenapa…” Maya memelas.
“Ah, laki-laki, kau
tahulah,” Masumi meringis lagi saat luka barunya berdenyut.
Maya duduk lebih dekat
kepada Masumi, mengamati wajahnya. Sepertinya pria itu benar-benar berusaha
keras menahan rasa sakitnya. Ya, dia kan bukan pmain film yang punya luka
tembak masih bisa berlarian ke sana kemari. Maya menghela napas dalam, “Ini
dari Astoria?” tanyanya, menunjuk luka memanjang di lengan bawah pria itu.
Masumi mengangguk.
“Ini?” ia menunjuk
pada luka baru yang masih diperban di bagian atas.
“Mmh… bertengkar
dengan seseorang, aku terkena pecahan kaca,” terang Masumi.
“bertengkar? Dengan
siapa?” tanya Maya waswas.
“Bukan siapa-siapa,
tidak penting,” tegas Masumi, “Sudahlah,” ia meraih bahu Maya. “Aku ingin
mendengar apa yang terjadi denganmu. Sejak kau terlepas dariku, saat itu…” raut
getir muncul lagi di wajah Masumi.
“Nanti saja,” kata
Maya, “yang penting aku baik-baik saja saat ini. Lebih baik Pak Masumi
beristirahat,” usulnya.
“Sejujurnya… kurasa
aku tak akan bisa beristirahat,” aku Masumi.
“Lalu bagaimana…?”
Maya sudah tak bisa menahan perasaan ingin menangisnya lagi.
“Kau di sini saja
bagaimana?” Masumi menepuk tempat di sebelah kirinya. “Kalau kau ada di
sampingku, perasaanku akan jauh lebih baik, sungguh…”
Pak Masumi… Maya
akhirnya mengangguk. Namun sebelumnya, gadis itu meminta sebuah piyama lengan
pendek untuk Masumi kepada pegawai hotel agar pria itu bisa berganti pakaian
lebih nyaman.
Keduanya lantas
terbaring di tempat tidur mereka dengan jarak yang cukup jauh.
“Jadi, apa yang
terjadi padamu saat di Astoria?” tanya Masumi lagi setelah merasa cukup nyaman.
“saat itu aku terseret
oleh seseorang, hingga ke bagian bawah. Dan yang kuingat, kepalaku membentur
sesuatu, aku lalu pingsan. Saat aku sadar,” Maya sedikit gemetar, "Saat
aku tersadar, aku sudah berada di dalam sebuah mobil. Aku tidak ingat, mungkin
sejak di Astoria mereka mebiusku. Dan, aku tidak tahu siapa mereka. Mereka
membawaku ke hutan, menyekapku di sana. Mereka membuka ikatan dan dekapanku.
tetapi katanya, jika aku berteriak mereka tidak segan membunuhku," Maya
kembali gemetar dan raut ngerinya muncul lagi,
"Apa mereka
memukulmu?" tanya Masumi geram.
Maya menggeleng.
"Mereka memperlakukanku dengan layak, memberiku makan dan minum... namun
aku sama sekali tak ingin makan dan minum... Aku selalu teringat Pak Masumi..."
Maya tiba-tiba terisak.
Pria itu bisa melihat
Maya sepertinya sangat ketakutan saat itu.
"Lalu, kemarin,
tiba-tiba Pak Hijiri menyelamatkanku," kata Maya spontan. "Ah!!"
gadis itu menutup mulutnya. "Mak-maksudku... se-seseorang...
me-menyelamatkanku!" koreksinya.
Masumi hanya menatap
Maya dengan lembut, dan gadis itu menyadari, Masumi sudah tahu mengenai apa
yang Maya ketahui.
"Sejak
kapan?" tanya Masumi, "Kau mengetahuinya?"
"Se-sejak...
uhm... sejak penghargaan festival seni," aku Maya perlahan. "Saat
itu, Anda mengatakan mengenai scraf biru yang hanya dipakai Jean saat
pementasan di kartu yang menyertai buket mawar ungu, dan saat itu hanya ada
Anda yang menonton, jadi... aku menyimpulkan, Mawar Ungu itu... Pak Masumi. Aku
tidak percaya, berusaha menyangkalnya, tetapi dipikir seperti apa pun... jika
Mawar Ungu itu Pak Masumi... memang sesuai, Anda selalu tahu yang terjadi
dan..." Maya menatap Masumi ragu. "Begitulah..."
Masumi tertawa kecil,
"Menyangkalnya ya..."
"I-iya...
soalnya, kan... Anda itu... kita... dulu selalu bertengkar. Habisnya, Anda
menyebalkan..." gerutu Maya.
Masumi tertawa lagi.
"Begitu ya... pantas saja... aku merasa sikapmu jadi aneh," Masumi
mengangguk, mulai menemukan jawaban tepat atas semua keanehan sikap Maya
sebelumnya. "Jadi... kalau aku bukan mawar ungu, atau kau tidak mengetahui
bahwa aku mawar ungu, mungkin saat ini kau masih membenciku ya??"
Maya menelan ludahnya,
"Bukan begitu..." kata Maya, "Aku kesal karena kau selalu
mengganggu dan menggodaku... mungkin... mmhh... jika sikap Anda lebih baik
sedikit... aku juga... tidak akan begitu kesal"
"Sikapku yang
mana yang membuatmu kesal?" tuntut Masumi. "Kurasa sikapku biasa
saja... Kau saja yang selalu berprasangka yang tidak-tidak."
"Tidak! Kau
sangat menyebalkan! caramu bicara, bersikap, belum lagi kalau terus menerus
meledekku!Ih! Sungguh! Kau sangat menyebalkan." ujar Maya.
"Hhh..."
Masumi menghela napas, "Begitu ya... kalau kau belum tahu, mungkin kita
tidak berada di sini ya? Mungkin... kita tidak bisa bersama seperti
ini..." Masumi merenung, dan lukanya lebih sakit lagi.
"Kurasa tidak
begitu," kata Maya, "Kalau memang sudah seharusnya aku jatuh cinta
kepadamu, pasti akhirnya jatuh cinta juga."
Masumi menoleh,
"Kaupikir begitu?" wajahnya berharap.
"Tentu..."
Maya mendekat kepada Masumi. "Tetapi dipikir seperti apa pun, aneh sekali
kau menyembunyikan identitasmu... dasar bodoh..." keluh Maya.
Masumi memeluk Maya
dengan tangan kirinya, "Ya, kalau mengenaimu aku memang mendadak
bodoh..." akunya.
"Pak Masumi...
kau mulai demam," Maya berkata lagi dengan khawatir, saat ia menyandarkan
dirinya di dada pria itu.
"Oh, ya... itu
juga gara-gara kau..."
Maya mendongak,
alisnya berkerut. "Tidak ada hubungannya denganku!' tampiknya. Ia lalu
bangun, "Aku akan mencari obat penurun demam dan pengurang sakit.Obat
antibiotiknya juga tidak ada?"
"Kan sudah ada
kau..."
"Aduh! Pak Masumi!!
Jangan dulu merayu sekarang!" hardik Maya dan segera turun dari tempat
tidur.
"Nanti
boleh?"
Maya menjulurkan
lidahnya. Ia lantas menghubungi resepsionis, minta dibawakan paracetamol dan
kompres ke kamarnya. Ia menutup speakernya. "Mau yang lain?" bisiknya
kepada Masumi.
Pria itu menunjuk pada
Maya dan menggerak-gerakkan telunjuknya minta Maya mendekat. Maya
menyunggingkan bibirnya, dan mencubit pipi Masumi. "Itu saja, terima
kasih," kata Maya.
"Nanti akan ada
yang membawakannya," terang Maya.
"Terima
kasih," ucap Masumi. "Aku sekarang baru menyadari sesuatu..."
"Apa?"
"Kau sepertinya
akan menjadi istri yang baik."
Wajah Maya segera
merah pada mendengarnya, karena mAsumi terus saja menggodanya. Tiba-tiba pria
itu memejamkan matanya dan mendesah berat.
"Sudah Pak
Masumi, beristirahatlah, jangan banyak bicara dulu," kata Maya dengan
resah. "Kau bisa merayuku lain kali, aku janji tidak akan lari."
Masumi tersenyum
setengah meringis. "Maya, aku serius..." katanya. "Setelah
penentuan Bidadari Merah... aku ingin menikah denganmu... Aku sudah berpikir
sejak dulu, memang hanya kau, yang kuinginkan untuk berada di sampingku."
Walaupun saatnya tidak
tepat, karena Masumi terbaring menahan sakit di sana, dengan tubuh yang demam,
tetap saja, Maya sangat tersentuh dengan lamaran itu. Maya berjalan kembali
pada Masumi, berlutut di samping Masumi,mengusap dahinya yang panas dengan satu
tangan, dan menyentuh pipinya dengan tangan yang lain.
"Aku
bersedia..." bisik Maya di bibir Masumi, dan air matanya menetes.
Masumi mengamati mata
Maya yang tak jauh darinya. "Terima kasih." Pria itu tersenyum sangat
bahagia.
Saat itulah pintu
diketuk petugas hotel. "Sebentar," pamit Maya. Saat beranjak membuka
pintu, barulah Maya teringat. bagaimana dengan Shiori?
“Terima kasih,” Maya
berkata kepada petugas hotel seraya menerima parasetamol dan handuk kecil untuk
mengompres. Gadis itu membuat kompres air hangat untuk kekasihnya tersebut.
Saat ia berbalik, Masumi sedang meminum obatnya.
“Terima kasih ya, maaf
kedatanganku malah merepotkan,” kata Masumi dengan lemah.
“Aku senang Anda
datang,” ia mulai mengompres dahi Masumi. “Kalau tidak aku pasti terus gelisah.
Setelah berpisah dari Astoria, aku memang sangat ketakutan karena disekap
orang-orang yang tidak dikenal. Namun, aku terus berpikir mengenai apa yang
terjadi kepada Anda… Aku… Aku takut sekali mereka telah melakukan sesuatu
kepadamu.”
Masumi tersenyum
tipis. Ia menggenggam tangan Maya yang berada di dahinya, dan dibawanya ke
dadanya. “Mengetahui bahwa kau memikirkanku membuatku sangat bahagia.”
Maya yakin pria itu
tidak berbohong. Ia bisa melihat dari caranya menatap yang membuat hati Maya
terjerat. Ia tahu Masumi memang mencintainya.
“Pak Masumi…” Maya
menunduk, karena ia teringat lagi, “Bagaimana dengan Nona Shiori? Bukankah…
Anda bilang masih banyak hal yang harus Anda selesaikan?”
“Tidak lagi,” tukas
Masumi cepat, ia mencoba bangkit dan kompresnya sampai lepas dari dahinya.
“Anda jangan bangun!”
Maya memperingatkan, menyentuh bahu pria itu. “Anda sebaiknya tetap berbaring,
Pak Masumi…” terang gadis itu, dan matanya kembali tertumbuk pada luka baru di
tangan Masumi. “Ini luka dari mana?” tanya Maya. “Kenapa Anda bisa sampai
terkena pecahan kaca?”
“Karena satu dan lain
hal,” kata Masumi cepat. “Mengenai aku dan Shiori… sudah selesai. Aku sudah
mengatakan kepada Shiori dan keluarga Takamiya bahwa aku tak berniat
melanjutkan rencana pernikahan kami.”
“Dan mereka tidak
keberatan?” Maya menatap heran kepada Masumi. Mengingat apa yang pernah
terjadi, dan Shiori bahkan memberinya cek untuk menjauhi Masumi.
“Mereka sudah
mengerti,” hanya itu yang Masumi katakan. “Sekarang, yang sedikit menyulitkan,”
napas Masumi terengah. “Mungkin untuk meyakinkan ayahku.”
“Ayah Pak Masumi? Pak…
Eisuke… Hayami?”
“Ya. Aku tidak tahu
apa reaksinya. Namun aku yakin, reaksinya pasti keras,” Masumi tampak khawatir.
“Tetapi, apa pun yang dikatakannya, niatku tidak akan berubah. Aku akan menikah
denganmu setelah pentas percobaan Bidadari merah,” tekadnya.
“Jika Anda akan bicara
dengan Ayah Anda, bisakah aku ikut?” tanya Maya.
“Ikut? Untuk apa?”
“Untuk bicara
dengannya. Anda bilang ia mungkin menyulitkan. Jadi, kupikir… jika itu hal yang
menyulitkan, bukankah seharusnya aku berada di sampingmu? Bersamamu?” tanya
Maya.
Ucapan kekasihnya
membuat Masumi bahagia. Pria itu tersenyum. “Baiklah...”
“Tetapi, ada yang kuinginkan
darimu sebagai balasannya.”
“Apa?” tanya Masumi
dengan serius.
“Aku ingin kau
memberiku bunga mawar ungu yang banyak! Saaaaaaaangaaat banyaakk!!”
“Oh, boleh… tetapi,
kalau begitu ada yang ingin kuminta juga darimu.”
“Apa?” Maya balik
bertanya.
“Aku ingin kau
memberiku anak yang banyak! Saaaangaat banyaak!!”
Wajah Maya langsung
merah padam dan terasa panas saat mendengarnya. Ia mencubit mesra pinggang
suaminya yang terlonjak geli, lalu tertawa. Maya ikut tertawa. Namun, tak lama
kemudian airmata menetes ke pipinya. Maya menyusutnya. Ia tak mengira,
benar-benar bisa berada di dekat Masumi seperti ini. Mendengarkan pria itu
berbicara mengenai masa depan mereka.
“Dadaku tidak sakit,”
kata Masumi. “Kau boleh memlukku kalau kau mau,” tawarnya dengan murah hati.
Masumi tergelak dan
mulai memeluk pria itu. Piyamanya basah oleh keringat.Semoga Pak Masumi lekas sembuh… harapnya.
Malam itu Maya tidur
di samping Masumi. Dengan keadaannya, walaupun tidak dipisahkan selimut, ia
yakin tidak akan terjadi apa-apa di antara mereka.
Masumi masih tidak
bisa tidur. Walaupun demamnya turun, rasa berdenyut di tangannya hampir tidak
berkurang. Luka yang diperolehnya memang cukup dalam. Ia mengamati Maya yang
tidur merapat kepadanya. Gadis itu tampak sangat manis saat sedang tertidur.
Wajahnya yang polos sangat menggemaskan dan tak bisa ditolak. Masumi terus saja
memandanginya. Setidaknya, perasaannya jauh lebih baik dengan tangan Maya
melingkar kepadanya seperti saat ini.
Tiba-tiba, Masumi
teringat Shiori lagi. Sepertinya, wanita itu benar-benar terpukul. Rasa
bersalah masih sering merambati perasaannya. Mungkin jika tak mengenalnya,
Shiori tak akan kehilangan akal seperti tadi. Atau, jika sejak pertama Masumi
tak memberinya harapan. Tetapi, semua sudah terlambat. Dan, masumi pun tak bisa
membohongi perasaannya lagi. Jika kebohongan terus dilanjutkan, dirinya,
Shiori, dan Maya akan tersakiti.
Semoga saja, Shiori
akan menemukan kebahagiaannya sendiri… harap Masumi.
=//=
Yamashita menatap
sepupu tersayangnya dengan nanar. Shiori diam di kamarnya, menggunting mawar
ungu sebanyak-banyaknya. Jika sudah habis ia akan meminta mawar ungu lagi, dan
melakukan hal yang sama. Mencabutinya, mengguntingnya.
Sejak pagi wanita itu
terus terlihat demikian. Dengan tatapan kosong, tangannya terus mencabuti atau
menggunting mawar ungu di tangannya.
“Mawar Ungu harus
pergi… mawar ungu harus mati… Masumi milikku… hanya milikku…” lalu ia terdiam,
dan mulai terisak, “Kau jahat Masumi…. Jahaat… kau menykitiku.. kau jahat…”
“Shiori…” Ibu Shiori
terisak. Ia tak kuasa melihat putrinya. Ia tak bisa didekati. Ia akan mengamuk
dan mengarahkan gunting ke arah siapa pun yang mendekatinya. Ia hanya ingin
Masumi. Atau ia akan meminta mawar ungu lagi untuk dibinasakannya.
Shiori… kenapa kau jadi seperti ini… batin Yamashita. Ia sudah tahu
bahwa gadis Kitajima itu sudah berhasil diselamatkan oleh seseorang. Tetapi ia
tak akan membiarkan pasangan itu lolos. Ia akan menangani mereka, oleh
tangannya sendiri.
=//=
“Bagaimana sekarang?”
tanya Maya kepada Masumi saat keduanya berada di dalam Shinkansen untuk kembali
ke Tokyo.
“Sudah lebih baik,”
Masumi tersenyum lembut kepada kekasihnya.
Keduanya jelas sempat
menarik perhatian. Selain karena perbedaan secara fisik, juga karena mereka
terlihat begitu mesra. Belum lagi, wajah Maya sempat menghiasi layar kaca.
Gadis itu dikabarkan hilang dan seorang pengusaha—masumi— berjanji memberikan imbalan
bagi orang yang menemukannya.
“Kurasa… orang-orang
melihat dengan aneh kepada kita.Uhm.. tidak, kepadaku…” bisik Maya.
Masumi tersenyum. “Oh,
mungkin karena mereka tahu, kau adalah calon bintang besar di masa yang akan
datang.”
Maya menunduk dan
wajahnya merona. “Menggodaku ya…”
“Tidak. pasti begitu.
Saat pertama melihatmu aku sudah berpikir begitu,” kata Masumi, seraya
menggenggam tangan Maya, tanpa menyembunyikan kemesraan mereka.
Di bangku lainnya,
dengan wajah dingin Yamashita mengamati keduanya. Bayangan Shiori yang naas
kembali muncul di benaknya. Mereka tidak boleh bahagia di atas penderitaan
sepupunya. Mereka juga harus menderita.
=//=
Di Stasiun Tokyo
keduanya turun.
“Aku sudah meminta
sopir menjemput kita,” terang Masumi. Maya mengangguk dan keduanya berjalan
menuju keluar stasiun.
Sebuah sedan
menghampiri keduanya. Seorang sopir keluar dan membukakan pintunya.
“Kau…?” Masumi mengamati
sopir yang tak dikenalnya.
“Saya Noda, Tuan.
Menggantikan Aoyama yang sedang cuti untuk sakit.
“Oh,” Masumi tak
menaruh curiga. “Aku tidak tahu bahwa Noda sakit. Sejak kapan, hari ini?”
Maya masuk ke dalam
mobil.
“Ya, Tuan.”
Masumi masuk ke dalam
mobil. Noda duduk kembali di belakang setir. Saat itulah seorang pria masuk ke
dalam mobil, mendesak Maya. Maya terpekik.
“Hei, ada apa ini!!?”
seru Masumi.
Pintu segera dikunci
oleh Noda.
“Jalan!!” seru pria
itu.
Maya gemetaran, karena
moncong pistol di pelipisnya. Namun, Maya mengenali pria itu. Pria yang saat
itu datang sebagai utusan mawar ungu. Masumi pun mengenalinya.
“Yamashita…” desis
Masumi.
“Halo,” katanya dengan
suara serak. “Maaf jika aku mengganggu kemesraan kalian…”
Mobil segera memacu
dengan cepat meninggalkan stasiun sore itu.
Masumi memeluk pundak
Maya. Ia bisa merasakan kekasihnya itu gemetar.
“Lepaskan Maya,” pinta
Masumi dengan dingin. “Turunkan dia dan kita selesaikan msalah kita,”
terangnya.
Maya masih tidak
mengerti mengenai apa sesungguhnya yang terjadi, sampai kemudian Yamashita
berkata. “Tidak… dia juga bertanggung jawab. Jika bukan karena dia, Shiori pun
tidak akan sakit seperti sekarang.”
Shiori? Nona Shiori..?
“Apa yang terjadi
dengan Nona Shiori?” tanya Maya dengan nada tinggi namun juga gemetar.
“Jangan pura-pura!!”
desis Yamashita.
“Dia memang tidak
tahu!” suara Masumi mengecam. “Lepaskan dia!”
“Dan membiarkannya
melaporkan kepada polisi? Kau pikir aku setolol apa?”
Mobil terus meluncur
ke pinggiran Tokyo, sementara hari semakin gelap. Masumi sendiri tidak bisa
berkutik. Ia tak bisa mengembil resiko yang dapat mencelakai Maya. Masumi
merasa gusar kepada dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia membiarkan dirinya
lengah dan membuat mereka berdua terjebak di sini.
“Kemana kau akan membawa
kami?” tanya Masumi.
“Kau akan tahu nanti,”
ujar Yamashita.
Tiba-tiba, saat itu
ponsel Masumi berbunyi. Mereka semua terkejut. Masumi tidak tahu siapa yang
menghubunginya dan juga tidak tahu ada keperluan apa. Dari rumahnya? Mizuki?
Hijiri? Masumi sangat berharap yang terakhir itu yang sedang menghubungi
ponselnya saat ini.
“Matikan!!” perintah
Yamashita.
“Tidak bisa,” tolak
Masumi.
“Matikan!!” moncong
pistolnya mendorong pelipis Maya. Gadis itu memejamkan matanya takut. Ingin
berteriak dan menangis, tetapi tidak bisa.
“Aku harus
mengangkatnya, ini mungkin dari pihak kepolisian,” Masumi segera menyambung
saat melihat Yamashita merasa gusar. “Aku harus datang sore ini ke kepolisian
untuk membicarakan masalah hilangnya Maya. Kami hendak membuat laporan bahwa
Maya sudah ditemukan. Jika tidak diangkat… mereka akan curiga dan mungkin…
mungkin akan mulai mencari kami.”
Yamashita mengamati Masumi.
Saat itu, ponselnya mati. “Sekarang tidak masalah lagi kan,” kecam Yamashita.
“Aku sungguh-sungguh…”
kata Masumi dengan waspada. “Kau boleh menyalakan televisi. Kami berencana
menghadiri konferensi pers yang akan diadakan satu jam lagi bersama pihak
kepolisian. Aku harus mengabari mereka, jika tidak mereka akan melacakku.
Mereka sudah tahu aku tiba dari Sendai sore ini.”
Masumi bisa melihat
Yamashita merasa bimbang. “Telepon!” perintahnya. “Jika kau melakukan atau
mengatakan sesuatu yang mencurigakan, kepalanya akan hancur, dan aku tak
ragu-ragu,” ancam Yamashita dengan suara bergetar sungguh-sungguh.
Masumi menelan ludahnya.
Kesempatannya hanya satu kali. Ia menekan ponselnya.
“Gunakan speaker!”
perintah Yamashita.
Masumi menelan
ludahnya dan mengeraskan suara teleponnya. Telepon tersebut diangkat.
“Halo, Kapten Yamada
dari Kepolisian Metro Tokyo,” sapa Masumi.
“Ya, ada apa?” suara
di seberang terdengar tegas.
“Saya Masumi Hayami.”
“Ah, Tuan Masumi,
bagaimana kabar Anda?”
“Baik. Saya sudah
berangkat dari Sendai dan tiba di Tokyo. Namun sesuatu terjadi pada mobil
saya.”
“Mobil Anda? Ada apa?”
“Rusak, saya tidak
bisa menanganinya sendiri.”
“Oh, jenis mobil apa
yang Anda gunakan?”
“Audi. Kebetulan saya
kurang tahu di mana harus membereskannya jadi saya akan terlambat selagi
menunggu bantuan. Jadi saya tidak bisa cepat-cepat menghadiri konferensi
persnya.”
“Baiklah Semuanya
baik-baik saja? Anda sendirian?”
“Semua baik-baik saja,
Anda tidak perlu khawatir, saya sudah bersama Maya.”
“Oh, sudah bersama
Nona Maya. Baik Pak Masumi, kami akan menunggu Anda. Saya akan menunda atau
mungkin membatalkan konferensi persnya.”
“Baiklah, Benar.
Terima kasih banyak Kapten, saya sangat menghargai bantuan Anda. Sampai jumpa.”
Masumi memutus sambungannya. “Konferensi persnya akan diundur, sampai aku
datang.”
Yamashita tertawa
senang. Tidak akan ada konferensi pers mengenai Maya yang sudah berhasil
ditemukan. Melainkan, mengenai kedua pasangan keparat yang akan ditemukan tewas
di gudang pelabuhan yang tak pernah digunakan. Mungkin mereka akan ditemukan
beberapa hari kemudian, saat mayatnya sudah membusuk. Atau, dia lemparkan saja
mayat mereka ke hutan?
Yamashita sedang berpikir
mengenai apa yang paling seru dan menyakitkan yang bisa ia lakukan kepada
sepasang kekasih tersebut, saat Hijiri sedang membuat laporan mengenai
kehilangan mobil Audi milik Masumi. Ia masuk ke website GPS untuk melacak
keberadaan mobil Masumi. Hijiri bisa menangkap maksud pria itu. Dia bersama
Maya di dalam mobil audinya, bersama seseorang yang akan membawanya entah ke
mana. Namun Hijiri akan bisa melacaknya. Dan, ia menemukannya. Mobil itu menuju
Odaiba. Mungkin ke suatu bangunan? Atau… menuju pelabuhan?
Hijiri menyalakan GPS
di mobilnya dan mengikuti mobil Masumi. Ia menjalankan mobilnya
sekencang-kencangnya. Dalam perjalanan Hijiri lantas meghubungi kepolisian
Odaiba.
“Selamat sore, saya
ingin melaporkan kehilangan, ya,” dia menyebutkan jenis dan nomor plat mobil
Masumi serta apa yang ditemukannya di GPS. “Ya, saya rasa mobilnya menuju
pelabuhan. Dan, pencurinya berbahaya. Ya, Saya sangat berterima kasih….”
=//=
Masumi berharap Hijiri
akan mengerti maksudnya. Pria itu cerdas. Ia akan tahu Masumi berbicara dengan
cara berbeda. Ia menoleh kepada Maya yang tampak sangat ketakutan. Ia tak bisa
menggenggam tangan Maya. Yamashita membentak dan gusar tiap kali Maya dan
Masumi bersentuhan.
Mobil mereka berbelok
ke sebuah gudang yang tampak tidak pernah digunakan. “Turun!!” perintah
Yamashita.
Keduanya turun. Noda
pun mengeluarkan pistol dan menarik Masumi keluar seraya menodongnya, sementara
Maya ditahan oleh Yamashita.
Saat itu Noda melihat
sesuatu dari kejauhan.
“Tuan!! Ada polisi!”
“Apa!?” Yamashita
melihat sebuah mobil yang meluncur dari
kejauhan, ke arah mereka. Itu memang mobil kepolisian.
“Tangani mereka! Cari
tahu apa yang mereka butuhkan!” perintahnya seraya memborgol tangan Masumi dan
Maya lantas menyeret mereka ke dalam gudang.
“Lepaskan kami! Sudah
ada polisi yang datang! Apa kau—“
“Diam!! Noda akan
menangani mereka!!”
=//=
Kedua orang polisi itu
turun di dekat mobil Masumi, ada Noda di sana. Pria itu memasukkan pistolnya ke
balik jasnya. “Selamat malam Tuan, ada sesuatu?”
“Apakah ini mobil
milik Masumi Hayami?”
“Ah, ya… Tuan.”
“Kami mendapat laporan
mobil ini hilang,” polisi itu mengeluarkan borgol. “Apa kau sendirian? Ikut
dengan kami untuk—“
“Tidak, Pak, saya
sopir keluarga Hayami. Mobil ini tidak hilang, itu laporan palsu…”
=//=
Sial.. batin
Yamashita. Kenapa bisa ada polisi datang ke sini? Namun ia tak bisa mundur
lagi. Nanti setelah Noda mengusir kedua polisi itu, dan dia sudah membunuh Maya
dan Masumi, ia akan membuang mayat mereka ke laut. Benar, begitu saja. Ia tak
bisa membiarkan mayat keduanya di gudang ini. Polisi akan curiga karena sudah
pernah melihat Noda dan mobil Masumi di sana. Atau… dia bunuh saja Yamashita?
“Ke sana!!” perintah
Noda kepada Maya, agar berjalan menjauh ke hadapan mereka, sementara ia
menodongkan pistolnya ke kepala Masumi. “jalan!!’
Maya terisak, dengan
gemetar gadis itu berjalan maju beberapa meter dari mereka.
“Yamashita…” kecam
Masumi dengan suara bergetar.
“Sabar…” desis
Yamashita. “Giliranmu akan tiba.” Katanya. “Sekarang, aku ingin kau melihat
kematian gadis sialan itu tepat di depan matamu sendiri.”
Yamashita berdiri di
belakang Masumi. Tangan kanannya terulur melewati bahu Masumi.
Masumi mengamati Maya
dengan getir. Dia harus melakukan sesuatu. Dia harus berjuang. Masumi berpikir
menyikut Yamashita dan merampas pistolnya jika mungkin. Namun bagaimana jika
pistolnya meletus, dan menembak Maya. Atau… ia akan mendorong tubuh Yamashita
dan bergumul dengannya, tak masalah jika ia yang tertembak, selama bukan Maya.
“Mari kita berhitung,”
kata Yamashita seraya memicingkan tangannya. “Kita antarkan Maya ke akhirat
pada hitungan ketiga.”
Masumi menelan
ludahnya. Saat itulah, ia melihat sesuatu. Sebuah titik merah, di dada kirinya.
Pria itu tertegun, menyadari sesuatu. Matanya berkeliling ke luar gudang, ke
jendela, ke sebuah gedung di seberang sana. Ia melihat sebuah senjata laras
panjang. Hijiri.
Dia sudah datang.
Masumi melirik kepada Yamashita yang berada di belakanganya. Ia tahu Hijiri tak
bisa membidik tepat pria itu.
“Satu…” Yamashita
mulai menghitung.
Masumi mensejajarkan
dirinya dengan Yamashita, agar Hijiri bisa memperhitungkan sasarannya.
“Dua…” hitung
Yamashita. Sementara Maya mulai putus asa, dia menangis seraya menatap Masumi.
“Ti—“ Masumi membungkuk, dan “PRANG!!” Kaca jendela
pecah, segera Yamashita merasakan sesuatu menembus dadanya.
“Kyaa!!” maya
berteriak. Pistol itu jatuh dari tangan Yamashita. Tetapi pria itu, dengan rasa
sakit yang menyayat dadanya, berusaha meraih pistol tersebut. Masumi dengan tangan
masih terborogol, berusaha menyeimbangkan dirinya, berlari menuju pistol
tersebut, dan menendang tangan Yamashita yang berhasil menggenggam pistol
tersebut.
Pistolnya lepas lagi dari
Yamashita. Masumi lantas menendang wajah pria itu.
“Pak Masumi!!” panggil
Maya yang tubuhnya lemas.
Yamashita tampak tak
berdaya, ia terkulai lemas di tempatnya sementara darah sudah mengucur deras
dari dadanya. Masumi menatap Hijiri dan pria itu pergi.
Masumi pergi ke pintu,
menghantamkan tubuhnya ke sana dan menimbulkan bunyi dentaman keras.
“Toloongg!!” teriak Masumi, berharap polisi itu masih ada di luar.
“Apa itu!?” seru
seorang petugas.
Menyadari ada sesuatu
di luar rencana, Noda meraih senjata di belakang pinggangnya. Untunglah petugas
lainnya bersikap sigap. Ia menebak tangan Noda dan pistol itu terpelanting dari
tangannya. Polisi yang satu segera menghampiri dan memborgol Noda, sementara
polisi yang satu masuk ke dalam gudang, dan mendapati Masumi serta Maya, dan
seorang pria yang terkapar tidak berdaya.
=//=
“Kau baik-baik saja?”
tanya Masumi kepada Maya yang sedang meminum kopi dengan gelisah. Maya
mengangguk-angguk. Badannya masih gemetar karena hal tadi,
Apalagi, luka jahit
Masumi terbuka lagi dan harus dijahit kembali.
Setelah mendapatkan perawatan,
Masumi dan Maya dimintai keterangannya. Masumi mengatakan semuanya kecuali
masalah keberadaan Hijiri di lokasi kejadian.
“Ya, saya memberitahu
teman saya agar melaporkan pada kepolisian bahwa mobil saya hilang.”
“Dan mengenai tembakan
pada Tuan Yamashita?”
“Saya tidak tahu, Pak…
Mungkin kebetulan itu saingannya atau… musuhnya. Entahlah. Saya hanya meminta
teman saya mengabari polisi untuk mengejar dan melacak mobil kami,” terang
Masumi.
Polisi sepertinya
mempercayainya. Luka tembak Yamashita cukup serius. Mungkin dia akan tewas,
namun jika dia sembuh, maka dia akan menghadapi pengadilan atas perbuatannya.
Satu jam kemudian,
Yamashita tewas.
=//=
Konferensi pers
berjalan baik. Yamashita tidak diungkapkan karena permintaan pihak Takamiya.
Mereka membayar kepolisian sangat mahal dan meminta secara pribadi kepada
Masumi. Mereka bahkan memohon, tidak ada lagi publikasi mengenai masalah
keluarga mereka. Masumi menyanggupinya.
Dalam konferensi pers
itu hanya dikatakan Maya sempat diculik saat di Astoria. Namun karena
penculiknya ketakutan, ia lantas meninggalkan Maya sendirian. Untunglah ada
yang mengenal Maya dan membawa Maya ke sebuah penginapan sebelum menghubungi
Masumi.
“Saya tidak bisa
memberitahukan siapa yang menemukan Maya, karena dia tidak mengharapkan dirinya
dipublikasikan. Namun kami sangat berterima kasih kepadanya.”
“Jadi, apakah
pementasan Bidadari Merah akan kembali dimulai?”
“Ya, kami akan
menentukan lagi tanggal yang baru untuk pementasan percobaannya. Karena seperti
yang kita ketahui, saat ini Ayumi sedang melakukan pemulihan dari operasi yang
baru dijalaninya. Maya juga, masih harus menenangkan diri dari semua hal yang
menimpanya.”
“Tuan Masumi, benarkah
pernikahan Anda dibatalkan? Kenapa?”
“Ya… pihak keluarga
kami sudah sepakat membatalkannya. Karena… ketidakcocokan. Saya masih kurang
baik untuk Nona Shiori,” terang Masumi.
Dan konferensi Pers
disudahi.
=//=
Categories
Author : Ty SakuMoto,
Fanfic: Serial
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
16 comments:
kerennnnnnnnnnn...mau lnjut lgi neng ty...
lagi tyyyy...... keren mah klo ada hijiri hehehe
heloooh...kog habis sis?? huaaaaaaaaaaa??? tegang abis...ngotot curi baca pdhal juragan bos disamping.....(brbrbrbbrbr)..ntar lagi ya sis Ty
Yeaahy!! Viva Hijiriii...!!!
hanya bisa comment.... kuuuuurrraaaaaannnnggggggg banyaaaaakkk... update lagiii... ; )
ga sabar nungguin undangan nikah mereka ty... hehehehehehe....
Tq Ty. Puasa2 ada updetan, senangnya :D
Bagus bgt....lanjut Ty....ga sabar nich mm meried, tq
Woooowww hijiri.. my herooo <3
Ya syukur deh MM dalam keadaan baik2 aja.kapan meriednya eh apakah ayahnya masumi setuju ? Aq tunggu lanjutanya
Ya syukur deh MM dalam keadaan baik2 aja.kapan meriednya eh apakah ayahnya masumi setuju ? Aq tunggu lanjutanya
akhirny MM lolos dr takamiya, skrg tinggal eisuke, mg lancar aja
akirnyaaa... yamashita tamat, shiory smoga nyusul.. hehe... tinggal hepi ending kan ya ty... senengggg.. tengkyuuu ty..
aahhh.....legaaaa
moga2 eisuke mudah dijinakan..
shiori.. seperti tebakan saya, kehilangan akal sehat. moga-moga di masukin ke RSJ secapatnya biar tidak mengganggu MM ya... :-)
akhirnya semuanya beres juga.. senang rasanya masumi dan maya segera bersama :-)
Post a Comment
Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)