Saturday 13 July 2013
FFTK : Love Story 9
LOVE STORY 9
(by. Riema)
Felix
menyetir mobilnya melewati gerbang hitam besar rumah mewahnya. Memarkir mobilnya
sembarang tanpa repot memasukkannya ke garasi. Pria itu tidak hendak tinggal
lama di sana. hanya berniat memenuhi panggilan ayahnya. sedikit banyak dia bisa
menebak, hal yang ingin ayahnya bicarakan dengannya.
"Aku pulang" Felix menyerahkan
mantelnya ke pelayan lalu memasuki ruang tengah luas itu. Tampak ayahnya duduk
di sofa mewah berukiran kayu rumit, ibunya berdiri di sampingnya.
"Sudah datang...." Ibunya
menghampiri
"Hmmm..." Dikecupnya kedua pipi
ibunya. wanita yang masih cantik itu tersenyum. tapi Felix tau, ada sesuatu yang
meresahkan wanita itu.
direngkuhnya
bahu ibunya sembari melangkah ke arah ayahnya.
Diedarkannya pandangannya ke seputar
ruangan. tak tampak adiknya disitu.
"Aku di sini" Suara Ursula
terdengar dari sudut ruangan.
"Hai dik" Ursula duduk di kursi
dekat jendela besar, memandang ke luar.
"Hai Ka..." Gadis itu menoleh
sekikas. tersenyum.
"Duduk" Alex memberi tanda
dengan dagunya, Felix menuruti. Matanya menangkap amplop coklat besar di meja.
ujung kertas bergambar yang diyakininya sebagai foto dirinya menyembul dari
baliknya.
"ngh...." Pria itu
menyeringai. gemas.
"Secepat ini sampai ke tangan ayah.
sama sekali tak buang waktu rupanya
dia" Permainan yang sama. Dia pernah mengalaminya juga dulu. Dia pikir,
selama ini dia sudah cukup hati-hati. ternyata masih terjerat juga. Bersama adiknya
sekaligus, pasti berat untuk orang tua mereka.
"Jadi. Ayah sudah menemukan siapa
dia? Bisa kita selesaikan ini secepatnya?" Felix menyandarkan bahu lebarnya.
Dalam hati dia sungguh berharap ini akan segera berakhir. hingga dia bisa
menemui Mizuki tanpa beban.
"Bisa diam sebentar?" Suara
bariton Alex terdengar menahan kesal. Felix mengenal nada itu, tubuhnya
menegak.
"Ini. " tangan Alex
terulur ke arah meja "Bagaimana bisa?" Matanya menatap Felix tajam
"Bagaimana ini bisa terjadi!!!?"
Ulangnya menghempaskan foto-foto itu ke hadapan anaknya
"Apa kau bodoh!? Bagaimana
mungkin kau membiarkan hal seperti ini terjadi!? LAGI !!?" Nada tinggi itu
tidak membuat Felix takut. Tapi dia yakin ibu dan adiknya pasti menciut sekarang
ini. Dan dia merasa bersalah karenanya.
"Aku sudah sering
memperingatkanmu tentang ini bukan?" Terlihat jelas Alex berusaha keras
meredam amarahnya.
"Ya. Tapi ayah pasti tau kalau
ini tidak mungkin sungguhan kan?" Felix ingin bersikap lunak sebagai
seorang yang bersalah. Tetapi reaksi alaminya jika ayahnya bersikap keras
tidaklah mudah ditahan. Dia selalu ingin membalas lebih keras.
"Nyata atau tidak. Kau pikir
kita akan selamat dari pemberitaan? Kau pikir semua akan baik-baik saja setelah
semua ini?"
"Jadi semua ini tidak nyata
kan?" Yang lebih penting baginya bukanlah pemberitaan. Tapi kebenaran.
Antara dia dan Ursula, apakah itu sungguh terjadi atau tidak. Dia jauh lebih
terbebani membayangkan perasaan adiknya jika semua ini benar terjadi.
"Semua ini tidak nyata kan ayah?"
Felix mengulangi pertanyannya, melihat ayahnya terdiam.
Diliriknya
Ursula di kursinya. Bergeming. Terlihat bahunya bergerak naik turun sesekali. Akhirnya
Felix yakin adiknya tengah menangis mendengar isak tertahannya.
"A... Apa ini? Ayah?
Ibu..." Felix menoleh saat tangan lembut ibunya menyentuhnya. Keiko tengah
tersenyum sendu menatapnya.
"Apa tidak ada yang berniat
bicara!?"
"Aku sudah meminta Ursula cek ke
rumah sakit begitu foto ini datang tadi pagi. mungkin itu maksudnya dia tidak
buang buang waktu. agar kita bisa tau apakah ini nyata atau tidak.
Dan Lagi... Sejak pulang pagi tadi
Ursula tidak bicara apapun. Itu membuat ibumu khawatir. "Alex melirik ke arah
jendela dimana Ursula masih saja duduk membelakangi mereka
"Awalnya ibu tidak tau kenapa
dia begitu murung. Dia tidak mau bicara. Sampai datang paket itu" Keiko
menghela nafas panjang "Kami baru tau"
Felix tertegun. Ingat betapa
galaunya dia pagi itu, Ursulapun pasti begitu.
"Lalu?" Felix kembali
menatap ayahnya
"Berdasrkan pemeiksaan dokter,
sepertinya semuanya sungguh terjadi"
"Sungguhkah? Bagaimana
mungkin aku sama sekali tidak ingat. sedikitpun tidak" Felix menggeleng
"Kau pikir Ursula ingat? Kau
sedang tidak sadar Fe!!"
"Tidak sadar? aneh... Kalau memang
tidak sadar. mungkin aku bahkan tidak bisa melakukan itu!?" nada suaranya
meninggi
"Apa maksudmu!? Kau
bermaksud mengelak dari tanggung jawabmu? Hah!!? " Alex balas berteriak
"Kalau begitu siapa yang melakukannya pada adikmu hah!!?? Kau sungguh akan
bersikap egois seperti ini!?"
"Aku tidak bilang begitu ayah. Aku
hanya berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan" Felix berusaha tetap
tenang, sementara hatinyapun resah dengan kemungkinan kebenaran yang disampaikan
ayahnya.
"Kemungkinan? Kemungkinan yang paling
mungkin adalah, keluarga kita akan dalam masalah kalau hal ini tidak segera
kita selesaikan. Dan cobalah untuk tidak selalu membantah, kali ini" Alex
menatap tajam Felix
"Dan. dengan cara apa ayah berniat
menyelesaikan masalah ini?" Kata Felix setelah terdiam beberapa saat.
Alih alih
menjawab pertanyaan Felix. Pria gagah itu terdiam. menghela nafas berat.
menatap lurus isterinya yang hanya menjawab dengan anggukan kecil.
"Ini berat. Sepagian ini aku terus
berpikir. Juga sudah membicarakannya dengan ibumu. Sebenarnya aku juga ingin pendapat
Ursula. Hanya saja sepertinya dia tidak sedang dalam kondisi baik untuk
bicara" Alex menoleh ke arah jendela, menghela nafas lagi. Felix menyimak
dengan tanda tanya terpampang jelas di wajahnya.
"Menurut kami, sebaiknya kalian
menikah saja. Ursula, dan kau Fe. Itu..."
"What?" Felix terlonjak dari
duduknya. di tempatnya, bahu Ursula mengedik. Kepalanya bergerak seolah hendak
menoleh. tapi kemudian tertunduk lebih dalam.
"Fe! Dengar dulu. Tidak harus
sekarang. Bertunangan saja dulu. It's okay. Paling tidak, kita redam dulu
beritanya"
"Menikah? Ayah? Ayah sudah gila ya?
Ursula dan aku? Menikah?!!?" Nada tingginya tak ditahan lagi, emosinya
meluap mendengar kata kata ayahnya.
"Apa yang ayah pikirkan!? Aku tidak
mungkin bisa menikahi Ursula. Dia" Tangannya menunjuk ke sudut ruangan
dimana adiknya duduk sambil terisak
"Dia. Adikku.!!" Telunjuk
panjangnya menuding dadanya sendiri. "Tidak pernah sekalipun aku berpikir
sebaliknya. Jelas aku merasa sangat bersalah jika memang aku melakukan itu padanya
semalam. Tapi... Aku akan merasa bersalah sepanjang hidupku jika harus
menikahinya juga. Apa sih yang ayah pikirkan? Apa tidak ada pemikiran yang lebih
gila lagi?" Wajah Felix memerah seluruhnya. Sikap berdirinya nyaris goyah
karena amarah.
"Fe..." Keiko menggenggam
pergelangan tangan putranya resah.
"Fe. Semua orang tau kalian bukan
saudara kandung..." Alex bicara
pelan. Tapi sepelan apapun, Ursula mendengarnya. Dan ingatan akan hal itu
membuatnya terisak semakin keras.
"Maaf sayang..."Semua anggota
keluarga Kippemberg tau betapa kenyataan itu menyakiti Ursula.
"Ayah. coba pikirkan lagi."
Felix bicara lebih tenang
"Sepertinya tidak bijaksana
mengungkit masalah itu. Ayah ingat, saat memutuskan menjadikan Ursula adikku.
Ayah mengumumkan pada dunia bahwa dia adalah anak keluarga Kippemberg. Dan saat
pesta debutan Ursula. Ayah menegaskan lagi hal itu. Tak kita ijinkan siapapun
mengatakan sebaliknya. Itu hal tabu untuk diungkit bukan? Apakah menyelamatkan namamu
lebih penting dari pada perasaan Ursula? Siapa yang egois sebenarnya?
Dan ayah
bilang aku egois? Akku!?" Felix ingin meledak rasanya. Tapi cekalan tangan
ibunya membuatnya mampu menahan diri.
"Felix! Jaga bicaramu! Siapa yang
ingin menyelamatkan muka siapa?
Kaupikir aku
melakukan semua ini hanya untukku sendiri? Berani sekali kau berpikir begitu!
Lancang!
Bagaimanapun
kau mengelak. Kau sudah melakukan kesalahan. Kau sudah menodai Ursula. Walau kau
tidak ingin bertanggung jawab untuk keluargamu. Paling tidak kau harus
bertanggung jawab padanya. Kau pikir bagaimana perasaannya? Siapa yang
sebenarnya tidak peduli perasaan Ursula?!" Alex selalu saja sulit
mengendalikan diri jika berhadapan dengan anaknya yang bersikap begini. Pewarisnya
yang sepertinya masih saja mendendam padanya.
"Jadi aku aku harus menikahinya hanya
karena itu?? Hmmm" Bibirnya menyunggingkan senyum miring, mencibir.
"Kalau ayah harus menikahi semua
wanita yang ayah tiduri. Mungkin aku sudah punya selusin ibu tiri!"
PLAKKK!!!!!
Tanpa sadar
apa yang menghantam pipinya, Felix terhuyung. Mungkin saja tubuh tingginya
tersungkur ke lantai jika ibunya tidak mencekal erat lengannya.
"Fe...." Susah payah Keiko
menahan bobot anaknya
"Ayah....!" Ursula berlari menghampiri
ketiga orang di pusat ruang. "Ayah stop" Gadis pirang tersebut
berdiri di depan kakaknya yang terduduk. khawatir ayahnya kembali menjatuhkan
tangan.
"Please?" Disentuhnya lengan
besar ayahnya
"Kau tau.... "Alex menatap Felix
dari balik tubuh Ursula "Perkataanmu barusan, menyakiti semua orang.
itukah maumu?" Ditepiskannya tangan Ursula lalu melangkah meninggalkan
ruangan.
"Fe...." Ursula berbalik menatap
kakaknya.
Felix
mendongak. Menatap wajah ibunya yang pasti terluka karena kata katanya. lalu dilihatnya
mata sembab Ursula.
Dan ayahnya benar.
Kata katanya menyakiti ibu dan adiknya. Dan hanya mereka berdua yang membuat dia
menyesali perkataannya. Bukan ayahnya, dia tidak pernah menyesal untuk ayahnya.
"Maaf....." Dengan lembut
dilepaskannya pegangan tangan ibunya, lalu bangkit berdiri.
"Maaf dik" Disentuhnya puncak
kepala Ursula pelan, kemudian berbalik meninggalkan kedua wanita yang teramat
disayanginya itu.
***
Felix duduk resah dalam mobilnya.
Menikahi
Ursula? Mengingat gagasan itu saja sudah membuatnya merinding. Apalagi bila
terpikir harus berpisah dengan Mizuki. Kekasih yang butuh waktu lama untuk
menemukannya. Satu-satunya wanita yang dia ingin nikahi. Felix selalu berpikir
hanya Mizuki wanita yang dia inginkan. hanya Mizuki. Dan membayangkan tak ada
Mizuki lagi dalam hidupnya, sungguh membuatnya ngeri.
Cepat-cepat
diraihnya laptopnya di kursi belakang, dia butuh untuk melihat Mizuki saat ini.
"Mizu..." Di layar, Mizuki tersenyum.
Mencoba untuk tidak terlihat terlalu senang.
"Fe.... Sedang apa? Sudah menemui
ayahmu?" Felix mengeluh dalam hati mendengar pertanyaan pembuka Mizuki.
"Seperti biasa. memikirkanmu"
Dipasangnya wajah datarnya, tak ingin Mizuki membaca keresahannya.
"Jangan terlalu merindukanku. Nanti
kau bisa sakit" Felix tertawa
"Memang. aku sakit rindu. karena
kau!" Mizuki terkikik
"Makanya, cari kesibukan. jangan hanya
memikirkan aku. Aku akan mulai masuk kantor besok"
"Oya? secepat itu. Bukannya masih
lburan?"
"Liburan? Ahhh... kau kebanyakan
libur, makanya selalu melamum. Kerja sana.!"
"Aku sedang sakit, ingat. Mana bisa
aku bekerja? Dan lagi, aku memang belum harus masuk kantor. Oya, bagaimana
menurutmu kalau aku ke Jepang?" Felix tertawa sendiri mendengar ide
cemerlangnya "Masih ada beberapa hari sebelum masuk kerja. Sepertinya
masih sempat mengunjungimu" Mizuki merengut
"Tidak. Jangan jangan. Kalau kau datang,
aku pasti tidak bisa bekerja. Taruhan, kau pasti akan terus menggangguku"
"Sudah pasti. Untuk itulah aku
datang. Apa lagi?"
"Pokoknya jangan datang! Aku akan
benar-benar mengusirmu" Ancam Mizuki tajam
"Haahhhh Mizu.... Suatu hari aku pasti
datang dan menyeretmu dari Jepang"
"Oya? kau pikir kenepa aku bakal mau?
Kenapa tidak kau saja yang pindah kemari?" Keduanya terdiam. Itu satu hal
yang belum pernah mereka bicarakan.
"Itu perkara mudah" Jawab Felix setelah
beberapa saat. Dibanding apa yang tengah dihadapinya, itu sama sekali bukan
masalah. Dengan senang hati dia akan mengikuti kekasihnya ke antartika andai
itu yang Mizuki inginkan.
"Yah.... sangat mudah" Dalam
hati Mizukipun sebenarnya tidak keberatan. Hanya saja, sudah wataknya untuk
tidak menyerah mudah pada Felix.
Untuk berapa
waktu, mereka bicara. Hingga bahkan Felix lupa dengan masalahnya. Pada saat dia
tak lagi melihat wajah Mizuki, kembali dia dihadapkan pada kenyataan yang tak mungkin
dia bisa lari darinya.
***
Kaori terbangun setelah tiga hari tak
sadar. Mula mula hanya bayangan samar yang tampak dalam pandangannya. Saat penglihatannya
semakin jelas, dia tau itu adalah bayangan wajah Koji.
"Sudah bangun.... Kaori?...Dokter,
dia membuka matanya!" Koji berseru.
"Kaori?"Genggaman tangannya di
tangan gadis itu mengetat
"Koji.... Hai...." Kaori
menyahut lemah, berusaha tersenyum. Tapi sepertinya tidak nampak seperti
senyuman di bibirnya.
"Jangan bicara dulu. Dokter akan
memeriksamu. Ya?" Koji melepaskan tangannya dan mundur, memberikan ruang
pada pria muda berjas putih diiringi susternya.
"Selamat pagi nona. Sudah cukup tidurnya?"
Dokter berwajah bersih itu tersenyum, seraya menyorotkan senter kecil ke mata
Kaori.
"Hmmm... Bagus.... "Sang dokter
menoleh ke arah susternya, mengangguk kecil. Kemudian beralih pada pergelangan
tangan pasiennya dan mulai menghitung denyut nadinya. Lalu mengangguk angguk.
"Oke... bagus bagus. Cukup baik
perkembangannya untuk nona yang baru saja terseret seret" Dokter itu
tersenyum lagi
"Terseret seret?" Kaori bertanya
tak mengerti
"Nanti setelah nona sadar sepenuhnya,
saya akan jelaskan. Nona merasa sakit?"
"Tidak" Kaori ingin
menegaskannya dengan menggelang, tapi tidak sanggup melakukannya.Kepalanya
terasa aneh. Melayang.
"Kalau nona merasa pusing, sebaiknya
tidur lagi. Setelah efek anestasinya hilang. Mungkin akan terasa sakit. Nanti
saya akan datang memeriksa lagi. ok. Istirahatlah. " ditepuknya lengan
Kaori pelan.
"Mmm. Terima kasih"
"Jika dia merasa kesakitan, tolong
beritahu saya. Sementara biarkan nona Kaori istirahat." Dokter bicara pada
Koji di ambang pintu
"Baik. terima kasih banyak dok."
Dokter itu tersenyum dan berlalu, dibuntuti susternya
"Bagaimana perasaanmu? Kau
ngantuk?" Koji duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan Kaori.
"Aku merasa... Ng. Aneh..."
Kaori mengeryit
"Sakit? Apamu yang sakit?" Koji
menatap cemas
"Tidak. Tidak sakit. Aku hanya merasa.
ngh.. mabuk.. Mungkin efek dari obat."
"Ngg... Ya. Pasti begitu. Mungkin dokter
memberikan dosis tinggi agar kau tidak kesakitan"
"Aahh... Memangnya lukaku parah ya?
Aku kok tidak merasa begitu ya.. Bahkan saat kejadianpun. Aku. Tidak merasa
sakit" Kaori tercenung "Bagaimana motormu?" Matanya membesar,
teringat hal itu.
"Aku tidak peduli" Koji menjawab
tak acuh
"Tidak terselamatkan ya... Maaf. Maaf
sekali..." Ungkap gadis itu penuh sesal.
"Apa yang kau bicarakan? kenapa malah
mengkhawatirkan itu? Aku sungguh sungguh tidak peduli, tau tidak. Aku malah
marah, kenapa juga harus meminjamkan motor padamu... Kesal." wajah Koji
disaput mendung
"Jangan begitu. Itu motor
kesayanganmu. Dan lagi aku yang memaksamu. Dan aku sudah pernah bilang bukan.
Aku ini ceroboh. Jangan merasa bersalah. Atau aku akan lebih merasa salah.
Membuatmu membenci motor kesayanganmu"
"Tidak ada artinya...." Koji
tertunduk. Menatap mata Kaori lekat "Semua yang kusayang tidak ada artinya
dibandingkan kamu" Diusapnya pipi Kaori lembut, khawatir menyakiti gadis
itu.
"Nghh... Aku mengantuk. Bolehkah aku tidur
sekarang?" Kaori menghela nafas berat.
"Tentu saja. Tidurlah. Aku akan
menghubungi Maya. Sejak kau tidak sadar dia khawatir sekali"
"Hmmm" Kaori menerawang. Apakah
Hijiri tau keadaannya. Apa dia juga mengkhawatirkannya. Gadis itu menutup
matanya. Perasaan mabuk itu membuatnya enggan membuka mata.
***
"Kaori sudah sadar?" Mata Maya
membesar "Sungguh? Syukurlah.. Aku lega sekali." Dipindahkannya
ponselnya ke tangan kiri sementara tangan kanannya sibuk merapikan rambutnya
yang berantakan.
"Aku juga... Benar benar lega.
Walaupun masih lama untuk sembuh benar" Ujar Koji penuh rasa lega
"Yaa.. pasti butuh waktu untuk pulih
seperti sebelumnya. tapi untuk dia, aku yakin itu tidaklah sulit. Kaori itu wanita
yang sangat kuat tau?" Mata jenakanya mengerling
"Ya. aku tau.. Tapi sebenarnya, tidak
banyak yang aku tau tentang dia. Aku masih sangat buta. Ng.. Maya. Sebenarnya
dia itu apamu? siapamu?"
"Apa maksudmu?" Maya mengeryit.
"Dia manajer. sekaligus temanku. memangnya apa lagi? kenapa pertanyaanmu
aneh begitu?"
"Eh..oh tidak tidak. Lupakan saja.
Maaf aku jadi melantur. Sudahlah. Kapan kau akan datang? Aku akan memberi tau
Kaori kalau dia bangun nanti."
"Mungkin nanti sore. Sekarang aku sedang
di stasiun TV MBC untuk wawancara. Aku akan kesana setelah selesai"
"Baiklah. Sampai nanti"
"ok" Maya memutuskan sambungan
dan memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Bicara dengan siapa? " Masumi
muncul dari belakang Maya dan mencium kening isterinya.
"Kau datang sayang? Koji barusan
meneleponku. Kaori sudah sadar"
"Oya? Syukurlah...." Masumi duduk di samping Maya, menyilangkan
kaki panjangnya.
"Sayang. kenapa kau kesini? Bukankah
katamu kau sibuk hari ini?"
"Yaaahhh. Aku hanya khawatir denganmu.
Kaori kan sedang tidak ada. Aku jadi cemas. Lagi pula, ada Mizuki di kantor. Aku
bisa tenang" Masumi teringat laporan Hijiri pagi ini, tentang dua musuhnya
yang saling bertemu. "Mereka tidak ada hubungan bisnis sebelumnya. Satu
satunya persamaan mereka adalah. Sama sama memusuhi Daito. Anda" Ungkap
orang kepercayaannya saat itu.
Masumi menghela
nafas..
"Cemas? kenapa harus begitu? Aku
hanya ada wawancara sebentar sayang" Nyonya muda itu tersenyum. Senang
dengan perhatian suaminya.
"Kecemasanku sama sekali tidak
berhubungan dengan waktu. Atau sedang apa kau. Yang pasti saat aku tidak bisa
melihatmu, aku tidak tenang" Jari telunjuknya menyingkirkan anak rambut
dari kening Maya
"Karena itulah kau menempatkan Kaori
di sisiku. agar bisa terus melihatku melalui dia?"
"Pintar sekali sayang" Masumi menyeringai
"Maaf sekali aku harus membatasi kebebasanmu, karena kau menikahi
aku" Nadanya berubah sendu. Masih ada hal lain yang dikatakan Hijiri yang
meresahkannya.
"Tidak. Selama aku bisa bersamamu.
Dan" Maya mengacungkan telunjuknya kehadapan Masumi "Selama kau.
Suamiku sayang, mencintaiku tanpa batas.Aku akan terima perlakuan apapun. Juga
jika musuh musuhmu ikut membenciku. Akupun akan tahan dengan itu. Karena aku tau
kau akan selalu menjagaku" Dikatakannya semua itu dengan wajah berbinar.
Membuat Masumi tidak tahan untuk tak memeluknya.
"Sayaaang.... Terima kasih. Aku akan
selalu mencintaimu. Dan pasti akan menjagamu. Pasti kujaga" Dibenamkannya
wajahnya di rambut hitam isterinya. Maya balas memeluk punggung Masumi erat.
Merasakan keresahan suaminya.
***
"Jadi? kau mau menceritakan apa yang
terjadi hari itu? Bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi. Maksudku, kenapa kau
selengah itu." Koji duduk di samping Kaori. merapikan letak selimutnya.
"Aku kan sudah bilang aku ini
ceroboh. ini bukan yang pertama bagiku. Aku ini, ngg... pokoknya terluka bukanlah hal aneh
bagiku..." Kaori menyeringai... "Ukh..." Kaori menyentuk iganya
yeng berdenyut.
"Eits... Hati hati bergerak. lukamu
cukup parah tau..." Refleks Koji bergerak
"Tidak apa. Mm. Bisa jelaskan padaku,
seberapa parah tubuhku?" Gadis itu meraba raba tubuhnya, lalu hidungnya
yang terasa sakit.
"Aww. Hehehe" Lagi lagi gadis
itu menyeringai. Sakit bercampur senyum.
"Kaori! berhentilah bergerak. atau
aku minta kau disuntik obat penahan sakit lagi."
"Ow. Jangan jangan. baiklah, aku akan
diam saja. Jangan biarkan aku disuntik ya... Aku sudah cukup tidur. Pusing
sekali kepalaku. Mungkin karena aku terlalu lama berbaring" Disentuhnya
keningnya pelan
"Atau mungkin karena kepalamu
terbentur cukup keras...?"
"Mungkin. Tapi helmku selamat kan?
Artinya kepalaku selamat. Hanya wajahku yang rasanya agak nyeri" Kali ini
gadis rambut pendek itu tidak menyentuhnya.
"Pasti begitu. Kepalamu tidak apa apa.
Tapi hidungmu patah,.. ini" Koji menyorongkan Cermin tangan bulat kecil.
Diterimanya benda itu ragu
"Ng.. Parahkah?" Kaori menatap
Koji sekilas, lalu beralih ke cermin di tangannya.
"Ughhh.... Wajahku mengerikan" Ujung
telunjuknya menelusuri tulang hidungnya yang bengkak dan tampak sedikit bengkok
baginya. "Rupanya aku terbentur sangat keras" Kaori mendekatkan
cermin. Menatap bibirnya yang bengkak dan dagunya yang bergores dan membiru
"Sekarang aku menyesal kenapa tidak mengenakan helm full face.
Haarrghhh.... Kesal" Kaori membanting cermin ke samping tubuhnya
"Jangan begitu. Kata dokter itu tidak
seberapa. Kau harus lebih mengkhawatirkan luka di tubuhmu. tiga tulang igamu
patah. pastinya pernafasanmu akan terganggu. tempurung lututmu juga sepertinya
sedikit retak. dan kau lihat tangan kirimu? itu juga retak. Untunglah tidak
sampai patah... Ukhh... benar benar deh.... Kau pasti sangat ngebut dan hilang
fokus hingga bisa begini.."
"Hmmm..." Kaori tertunduk. Benar sekali. Dia sangat
ngebut. Dan sekejap saja perhatiannya tertuju pada hal lain. Dan. Tarjadilah..
"Dan lagi. " Lanjut Koji iba
"Kulit lengan dan sebagian tubuh sebelah kirimu terkelupas cukup parah.
rupanya tergerus aspal cukup jauh...."
"Ahhh... Itu rupanya. Aku merasa
seperti terbakar waktu itu. Rupanya begitu" Kepalanya mengangguk angguk
"Tenanglah Koji. Aku ini punya
kemampuan pulih lebih cepat dari pada kebanyakan orang. Jangan khawatir. Aku
pasti cepat sembuh" Kaori tersenyum. Tapi Koji sama sekali tak membalas.
Sebaliknya, pemuda itu menatap Kaori penuh selidik. Menghela nafas berat.
"Rupanya kau sudah berpengalaman menyembuhkan
luka ya.. "
"Ng?" Kaori menatap tak mengerti
"Maaf. Mungkin aku lancang. Saat kau masuk
rumah sakit. Aku tak tau harus menghubungi siapa selain Maya dan Pak Masumi. Aku
yang pertama datang karena motor itu atas namaku. Sebelum Maya datang, maaf.
Aku memposisikan diri sebagai keluargamu dan menemui dokter" Koji menghela
nafas lagi
"Selain luka luka yang kau derita
tadi. Dokter mengatakan padaku, sudah ada cukup banyak luka lama ditubuhmu. Tangan
dan kaki yang pernah patah? bekas jahitan di punggung? bekas luka sayat? semua itu
sama sekali tidak wajar untuk seorang wanita dengan profesi sepertimu. "
Dahi Koji berkerut di tengah. Kaori terdiam.
"Dokter bertanya padaku. sebenarnya
apa pekerjaanmu. Karena dia tidak percaya kau hanyalah manajer artis. Manajer
artis tidak mungkin punya luka sebanyak itu. Dan aku. Aku yang mengaku
keluargamupun bahkan tidak tau jawabannya. Siapa sebenarnya kau?" Keduanya
terdiam.
"Bukannya itu sangat penting untukku.
Aku sungguh tidak peduli, siapapun kau. Aku akan tetap mencintaimu. Hanya saja. Aku ingin tau semua tentang orang
yang aku cintai. Bukan untuk apa apa. Hanya. Aku tak suka merasa buta begini. Aku
tidak tenang."
"Hmmm. Kau benar. Kau memang tidak mengenal
aku. Itulah sebabnya, sering aku bilang padamu agar tidak mencintai aku.
Jangan. Kau sama sekali tidak tau siapa aku"
"Begitu... Akankah kau akan pernah
mengatakan siapa dirimu?. Karena aku. Tidak berniat berhenti mencintaimu. Maaf.
Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu yang satu itu." Pemuda berambut ikal
itu mengusap pipi Kaori lembut "Tidak bisakah? Menjelaskan sedikit saja padaku?"
Tatapan sedihnya membuat Kaori tertunduk.
"Aku akan memikirkannya. Terima kasih
sudah ada di sampingku selama ini. Tapi malam ini aku ingin sendiri. Kau pulanglah
dulu, ok, sudah terlalu lama kau disini. Memangnya kau tidak ada pekerjaan? Sepertinya manajermu mencari kasini kemarin. Pasti
menyuruhmu pulang kan? " Kaori merapikan posisi tidurnya. Melirik ke arah
pintu "Maaf. Aku butuh istirahat sendiri dulu"
"oke. Aku akan datang lagi
besok" Kaori mengangguk. Dibiarkannya Koji mengecup keningnya sebelum berlalu.
"Nyalakan pemanggilnya jika kau butuh
sesuatu ya. aku akan memberitau suster jaga kalau kau sendiri malam ini" Koji berbalik lagi di ambang pintu. Gadis itu
mengangguk lagi
"Terima kasih" Koji menutup pintu
pelan.
Tak seberapa lama Koji berlalu, pintu itu kembali
terbuka dan seseorang melangkah masuk.
"Kau. datang juga? Kupikir kau tak
peduli apa yang terjadi denganku?"
"Kenapa bicara begitu. Kita ini
partner, apa yang terjadi padamu tentu penting untukku. Ini... Aku simpan di sini
ya..." Hijiri menyimpan karangan bunga yang dibawanya di atas nakas.
"Maaf. Bukan maksudku sesinis itu.
Aku hanya. Ng, sedang sensitif saja mungkin"
"Yah... Dengan luka begini, wajar
saja kau begitu. " Hijiri mengambil tempat di kursi smping tempat tidur.
"Sebenarnya. Aku ingin datang sejak
kemarin. Hanya saja, sepertinya penjaga pribadimu hampir selalu ada ya?"
Hijiri tersenyum
"Hmmm... Selalu ada untukku. Pemuda
yang sangat baik" Kaori mengatakan itu dengan tulus
"Dia pasti bisa menjadi priamu yang
baik"
"Tak pernah kuragukan itu. Hanya
saja. Aku tidak yakin kalau aku baik juga untuknya" Hijiri menghembuskan
nafas pendek
"Setidaknya kau mencoba. Mencoba
untuk menerima, mencoba jujur. Kau tau? sebagai teman, aku sungguh sangat
peduli padamu. Bagaimanapun juga, tentu aku akan sangat senang kalau kau
bahagia."
"Aku tau. Akupun sangat mengharapkan
itu. Aku sama sekali tidak menutup hatiku. Hanya saja, aku belum bisa membuka
hati sepenuhnya. Karena sejak lama, hatiku sudah kupercayakan pada seseorang.
Seperti aku mempercayakan nasibku padanya dengan kembali kesini.
Tempat yang
sebenarnya enggan kuinjak lagi. Tapi nyatanya, toh karena dialah aku kembali ke
negeri ini. Bukan. Bukan karena gaji berlipat yang ditawarkan bosmu waktu itu.
Hanya karena kau, aku kembali kesini.
Karena kau
membuatku penasaran, seperti apa orang yang mempekerjakanmu hingga mampu
mempunyai bawahan berdedikasi sepertimu?
Aku
penasaran seperti apa rasanya bekerja denganmu. Karena jujur saja, aku sudah tertarik
sejak pertama kali kita bicara. Heh... konyol ya..." Kaori menyeringai.
Hijiri terdiam mendengarkan penuturan gadis di depannya
"Dan yang paling penting. Waktu itu,
kau meyakinkan aku. Kau akan melindungiku bukan?" Hijiri mengangguk,
membuka mulutnya hendak bicara
"Sebagai partnar kerja, aku tau"
Dipotongnya aebelum pria itu sempat bicara.
"Aku percaya padamu. Entah kenapa,
sejak dulu aku percaya padamu. Aku mempercayakan diriku padamu, aku yakin kau
akan melindungiku. Dan salahnya, alu ikut mempercayakan hatiku padamu. Itu tidak
seharusnya bukan? "
"Hmm. Sangat tidak seharusnya. Aku tidak
berhubungan dengan partner kerja. Maaf." Hijiri tersenyum. Kaori balas
mengangguk angguk.
"Ya ya. Aku sebenarnya sudah paham.
Hanya saja. Kemana hati kita mengarah. Itu bukanlah hal yang mudah diatur.
"
"Mm. Aku mengarti. Tapi kau harus
tetap berusaha. Tidak mudah itu bukannya tidak bisa kan? Sebagai teman. Aku
akan tetap ada di sampingmu. Aku yang membawamu kesini. Paling tidak, aku akan
menepati janji untuk membuatmu tidak menyesal kembali kesini."
"Bagaimana denganmu? bagaimana Rei?"
"Rei?" Tawa gadis tomboy itu
langsung saja mengisi pelupuk mata Hijiri, selalu begitu tiap kali nama itu terdengar.
"Aku. Melihat kalian hari itu. Saat
kejadian itu"
"Hari itu? Saat kecelakaan itu
maksudmu?" Ingatannya melayang pada hari Rei mendandaninya. Hari yang
sangat membahagiakan. Tidak mungkin dia melupakan hari itu.
Tapi
ternyata, hari itu Kaori kecelakaan. Apakah ksjadian itu ada hubungannya dengan
Kaori melihat dirinya bersama dengan Rei?
"Kau melihatku?"
"Kau dan dia. Ya. Kalian terlihat. Mm......
Serasi. Belum pernah aku melihat wajahmu secerah itu" Kaori mencoba
tersenyum tulus, tapi tidak terlalu berhasil.
"Hmmm. Aneh ya kalau aku begitu?
Saking kagetnya sampai kau kehilangan fokusmu pada jalanan?" Ditatapnya
perubahan air muka di wajah gadis itu.
"Tidak. tidak aneh. Melihatnya saja
aku senang"
"Sungguh? Kalau begitu aku akan jujur
padamu. Seperti kau katakan, kita tidak bisa mengatur kemana hati ini kita arahkan.
aku mengerti itu, merasakannya juga. Meski akupun tau, itu tidak sepatutnya aku
lakukan. Tapi, aku tidak bisa menghindarinya.
Aku tidak yakin. Aku sedang berusaha untuk
apa. Mengikuti atau menahan hatiku. Aku tidak yakin. Tapi aku akan tetap
melakukan yang terbaik. Melindungi orang-orang yang penting untukku."
"Melindungi yang kau yakini. Itulah
kau. Aku percaya kau bisa. Aku. Tidak tau harus bilang apa. Aku sendiripun
tidak yakin kalau itu baik untukmu"
"Bagaimana kalau semoga sukses? Dengan
begitu, mungkin aku akan punya sedikit keyakinan"
"Semoga sukses kalu begitu."
"Terima kasih. Aku harap Koji tidak
menyerah padamu" Kaori hanya tersenyum simpul.
***
"Saat yang tepat katamu? sekarangkah?"
Matsumoto membelalakkan mata
"Ya. Ingat yang kukatakan? Jika ingin
menjatuhkan Masumi, potong dulu tangan dan kakinya. Saat ini, tangan yang biasa
menjaga isterinya tengah terbaring di rumah sakit. Ini kesempatan bagus. Sepertinya,
kali ini langit berpihak pada kita.
Bergeraklah
sekarang!"
"Tangan dan kakinya yang lain?"
"Hijiri. Yang paling loyal dan
tangguh" Ada nada tersembunyi dalam perkataannya "Dia hebat"
Imbuhnya datar
"Kau bisa mengatasinya? Dia juga pasti
punya kelemahan kan?" Matanya menatap penasaran ke arah lelaki muda
bercodet di depannya.
"Aku tidak yakin" Jawabnya
setelah terdiam sebentar
"Apa maksudmu? tidak yakin?" sambar
Matsumoto mendelik
"Sejujurnya. Begitulah. Aku tidak
yakin dengan kelemahannya. Rasanya, dulu aku tahu sekali. Tapi sepertinya dia
semakin hebat belakangan ini. Aku tidak yakin bisa mengatasinya atau
tidak." Lelaki itu menjawab tenang
"Tidak yakin? Dan kau bilang kami
bisa mengandalkanmu? Lelucon apa ini?" BRAKK!! Tangannya mengggebrak meja
"Hm.... "Pria itu menyeringai
"Aku tidak sedang bergurau. Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku yang
terbaik yang bisa kau dapatkan untuk menghadapi Hijiri. Kau boleh percaya itu.
Kalau kau tidak membutuhkanku. Aku akan pergi. Dengan senang hati.!" Matanya
melebar, seraya mencondongkan badannya ke depan. Membuat Matsumoto memundurkan
badannya yang tambun. Ciut menatap matanya.
"Sudahlah" Wanita muda yang
sejak tadi hanya mengamati saja angkat bicara.
"Maafkan dia Kyoshiro. Aku percaya
padamu. Mari lanjutkan rencananya" Senyum manis tersungging di bibirnya.
Kyoshiro melirik ke samping
"Itu bagus. Percaya saja. Atau aku
pergi" Ancamnya tajam, membuat Matsumoto kembali bergidik. "Mari kita
mulai saat mereka pergi ke Hokaido munggu ini. Oke? Mungkin ini cara yang licik.
Tapi menghadapi Masumi Hayami, keadilan tidak berlaku"
"Tentu tidak. Masumi Hayami. Jauh
lebih, lebih licik" Mata wanita itu membara oleh dendam. Di atas meja,
tangannya yang mengepal bergetar.
***
Felix memutar kursinya ke arah jendela,
menatap pemandangan sore di luar jendela kantornya. Berkali kali mengeryitkan
dahi, memijitnya sambil menghembuskan nafas.
"Mizu.... Rindu sekali...."
Bisiknya lemah, matanya mengaca.
"Berkas yang harus anda periksa,
Sir" Tanpa disadarinya, Marion Peker, sekretarisnya sudah ada di ruangan.
"Tinggalkan saja"
"Maaf. Tapi ada yang mendesak yang segera
harus anda putuskan. Design interior yang terakhir kali saya kirimkan. Apa anda
sudah memeriksanya? Saya membawa berkas pengesahan untuk anda tanda tangani"
Sial. Felix memaki dalam hati
Aku melupakan itu. Bantinnya kesal, seraya
memutar kursi.
"Aku akan segera memberikan hasilnya
padamu. Tolong kau tahan telepon untukku. Dan jangan biarkan si cerewet itu
menggangguku dulu" Felix menggerakkan kepala memberi isyarat. Marion tau
siapa yang dimaksud bosnya.
"Baik. " Wanita muda berambut
merah itu mengangguk. Meski bos tampannya bersikap aneh, tak urung dia tersenyum.
"Satu lagi Marion. Tolong buatkan aku
kopi. Black." Felix menatap layar laptopnya
"Black?" Mata sekretarisnya melebar
"Kau mendengarnya Miss Peker."
Felix menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
"Oke." Pintu tertutup
Felix
membuka email bersubject new design dari sekretarisnya. Sebisa mungkin
menghindari menatap nama Mizuki yang terpampang pada rangkaian email di
hadapannya.
Dia tidak akan bisa berpikir jernih jika
sudah menyangkut kekasihnya itu. Terlebih, belakangan Mizuki menyadari keanehan
pada dirinya. Kadang dia kesal sendiri dengan kecermatan Muzuki yang super itu.
Sulit sekali untuk berbohong padanya. Makanya belakangan ini Felix menghindari
bertatap muka dengannya. Meski sangat merindukan Mizuki, lelaki itu memilih
meneleponnya saja. Paling tidak, dia tidak harus memperlihatkan wajahnya yang selalu
keruh.
Beranjak petang saat Felix menyelesaikan
pekerjaannya. Diliriknya jam di lengan kirinya
"Uukhh.... " Felix menghitung
perbedaan waktu 7 jamnya
"Sudah lewat tengah malam. Apa dia sudah
tidur?" Felix menghempaskan punggungnya. Berbagai perasaan berkecamuk di
benaknya. Tanpa pikir panjang lagi disambarnya ponsel di mejanya.
"Hmmm?" Teleponnya tersambung
setelah lima deringan
"Sudah tidur babe? Maaf aku
membangunkanmu"
"Tentu saja sudah. kau pikir ini jam
berapa?" Mizuki mendecak. Felix terkekeh
"Kau senang ya, berhasil membangunkan
aku? Dasar pengganggu" Pria tampan itu terkekeh lagi, senangnya bisa
mendengar Mizuki mengomelinya
"Hei, Kau tidak akan bicara?"
Dari suaranya, sepertinya Mizuki sudah sepenuhnya terjaga
"Tidak mau. Aku hanya mau mendengar suaramu.
Kau bicara saja"
"Sinting. Kau kira aku penyiar radio?
bicara terus walau tidak ada yang mendengar?"
"Aku
mendengarkan kok. Kau mengatakan apapun, aku pasti akan mendengarkan" Felix
bicara sungguh sungguh
"Hei Felix Oschin?"
"Hm?"
"Kau itu. Sebenarnya kenapa?"
Suara Muzuki melunak, membuat Felix sesak.
"Aku? tidak kenapa napa. I'm okay"
"Kau yakin? Kenapa jawabanmu selalu
begitu? Aku tahu itu tidak benar. You're not okay." Felix tersenyum. Ini
dia pacarnya. Cepat atau lambat dia harus mengatakan kebenaran. Atau berhenti berhubungan
dengannya.
Felix
memejamkan mata, bergidik dengan kemungkinan itu.
"Tidak. Aku hanya. Sangat
merindukanmu. Setiap hari, aku selalu sangat merindukanmu. " Paling tidak,
dia tidak berbohong tentang itu. "Bagaimana ini Mizu. Hari ini, aku bahkan
ingin menangis. Seperti lelaki cengeng, aku ingin menangis. Kalau kau ada di
depanku, aku pasti akan menangis tersedu sedu sambil memelukmu" Dia juga
tidak berbohong tentang yang satu itu.
"Fe,,,"
"mm..."
"Kau masih di kantor?"
"Ya"
"Nyalakan laptopmu, ayo lihat aku"
Felix tak menjawab
"Aku juga, rindu. Sangat ingin melihatmu"
Suara Mizuki melirih, membuat Felix hampir saja menyerah.
"Mizu sayang.. Maaf, aku tidak bisa
melakukan itu"
"Kenapa? belakangan ini, kenapa?
selalu... menghindari aku...."
"Mizuuu..... Tidak mungkin
aku...."
"Mungkinkah, penyakit playboymu
kambuh lagi?" Seloroh Mizuki dengan nada sedih
"Mizu please.... Jangan.... Jangan
begitu... Aku hanya, Aku tidak yakin bisa bertahan jika melihat wajahmu. Kalau
aku melihatmu sekarang, mungkin kau akan menemukanku di depan pintumu besok
pagi. Kau tau betapa mungkinnya itu bukan?
Jika setelah
melihatmu aku tidak bisa memelukmu. Aku akan gila, aku yakin itu" Felix menunggu
reaksi Mizuki. Selalu alasan itu yang dipakainya untuk menghindar. Felix tidak
tau, apakah kali inipun kekasihnya akan berdecak dan memutuskan sambungan seperti
kali terakhir.
"Kalau kau terus begitu. Aku yang
akan gila."
"Mizu..."
"Aku sungguhan Fe. Kau tau bagaimana
rasanya? Merindukanmu, meragukanmu, mengharapkanmu untuk, untuk... hiks. Aku
kesal!" Mizuki terisak serak
"Mizu?"
"Aku ini bukan wanita cengeng. Aku
tidak menangis. hanya rasanya sangat sesak. Aku ingin berusaha mengarti Fe. Tapi,
sepertinya kau terus saja membuatku kesal.
Membuat
macam macam alasan untuk menghindariku. Aku. Kalau sampai kau menipuku, menipu
cintaku. Aku, Ah... Awas saja kau." Suaranya kembali jernih
"Selalu membuatmu kesal. Aku minta maaf.
Kau harus merindukan aku, tapi sama sekali tidak boleh meragukan aku. Tidak
boleh." Mizuki menjawabnya dengan dengusan.
"Dan. Jangan menangis karena aku, please?
Jika itu sampai terjadi lagi, aku mendengar kau terisak seperti itu lagi. Aku
akan menjemputmu. Aku pastikan akan membawamu kesini. Kau tidak mau itu kan.
Maka rindukanlah aku baik baik. Biar aku saja yang menangis untukmu"
Mizuki terkikik
"Aku lebih senang mengingatmu yang
marah marah dari pada kau yang menangis. Kau cantik kalau sedang marah, kau
tau?"
"Ugh. Dasar gombal!" Felix terkekeh
"Tidurlah lagi sayang. sungguh maaf
sudah mengganggumu. "
"Kau juga. Cepatlah pulang dan
istirahat. Jangan pergi kemana mana sepulang kerja ya!"
"Ok babe. Aku ingin cepat tidur dan
menemuimu dalam mimpi. Sampai jumpa dalam mimpi basahku ya?"
"FEEEE!!!!"
"Bye love"
**
Rei duduk bersantai menyandarkan punggungnya di bangku taman,
menikmati cahaya matahari sore yang menyinari wajahnya. di sampingnya, Hijiri
menopangkan siku ke lutut. Pandangannya lurus ke arah danau buatan di depannya.
memperhatikan riak-riak yang diciptakan angsa-angsa putih yang tengah asik
bermain di permukaannya.
"Jadi, Kau akan ke Hokaido
besok?" Hijiri masih memandang lurus ke tengah danau.
"Mmmm. besok pagi pagi."
"Naik kereta?"
"Ya. tentu. Kami pergi sama-sama.
Kecuali Maya, dia pasti pergi bersama suaminya. Kami akan bertemu di sana"
"Aku ingin sekali mengantarmu" Hijiri
menoleh. Sebenarnya Masumi sudah memerintahkannya untuk mengikuti mereka.
Mengingat Kaori masih belum pulih. Tapi dia bahkan tidak mungkin mengatakan itu
pada Rei.
"Bercanda ya?!" Rei tersenyum
"Mmm. Sebenarnya aku memang sangat
ingin. Hanya saja, memang tidak bisa." Pria tampan itu menyibak rambut
depannya yang panjang, menyeringai. Hanya ingin berjalan bersama orang yang dia
sukai saja, mengapa begitu sulit. Hal yang biasa, seperti mengantar Rei pergi,
jadi hal yang rumit untuknya. Hijiri mendesah.
"Kalau begitu tidak usah bicara"
"Kau marah?"
"Tidak. Aku bercanda. Jangan terlalu
serius dong..." Rei terkekeh, Hijiri balas tersenyum.
"Serius. Apa aku orang yang sangat
serius?" Hijiri kembali menatap ke tengah danau
"Sejujurnya. Aku tidak tahu. Dulu pertama
kali melihatmu, aku hanya berpikir. Tampan sekali tukang bunga ini.
Hihihi" Rei terkikik sendiri, Hijiri menoleh dengan mata melebar.
"Sungguh?"
"Mh hm. Aku tidak pernah tau kau
orang seperti apa. Aku bahkan tidak pernah membayangkan akan pernah banyak
menghabiskan waktu bersamamu. Hhh. Dunia memang aneh."
"Aneh. Aku setuju denganmu. Bagikupun.
Rasanya seperti mimpi ada disini. Duduk di tepi danau dengan seorang gadis. Ng...
Rasanya terlalu aneh untukku" Keduanya tertawa "Apa kau tidak bosan?
menghabiskan waktu bersamaku?. Kau itu gadis yang menyenangkan. Pintar, aku tau. Bagaimanapun, teman-temanmu selalu
bisa mengandalkanmu kan. Gadis sepertimu, bersamaku. Bagimu, pastilah sangat
membosankan. Diam diam begini....."
"Kau itu omong apa sih? Seharian aku
bertemu orang-orang. Di teater, di cafe,
memangnya kau pikir aku tidak ingin sesekali menyepi? Bagiku, ini hanya seperti
sedang berlibur. Menyenangkan" Rei tersenyum lebar, memamerkan giginya
yang berbaris rapi.
"Kau itu. Memang jagonya bikin orang
tenang, aku senang" Hijiri tersnyum.
Diam-diam hatinya berharap lebih. Mungkin bukan tidak mungkin seorang bayangan
seperti dirinya mempunyai kehidupan nyata yang menyenangkan.
"Besok. Hati-hati di jalan. Dan pastikan
kau bersenang-senang. " Hijiri menepuk kepala Rei sekilas.
Gadis itu mengangguk.
Jemari Hijiri yang tak sengaja menyentuh tengkuknya membuat hatinya berdesir.
"Aku akan. Bersenang-senang" Rei
menunduk, menyembunyikan wajahnya yang hangat dan pastinya merona.
***
"Bagaimana, kau sudah siap untuk
besok? Pastikan kau tidak melakukan kesalahan."
"Aku sudah menyuruh Kaito berjaga di
rumah sakit. Siapa tau Gadis penjaga itu tiba-tiba pulih. Bila itu terjadi, dia akan segera di
bereskan."
"Orang sakit itu, bukankah tidak
perlu terlalu dipikirkan. Bagaimana dengan tugasmu sendiri?! sudah tau apa yang
akan kau lakukan?"
"Aku tidak tau dimana Hijiri sekarang.
Tapi besok, aku yakin dia akan datang. Aku akan melakukan apa yang harus
kulakukan jika sampai harus berhadapan dengannya. Kau tidak perlu cemas"
"Bagaimana mungkin aku tidak cemas.
Kau sendiri yang bilang, bahwa terakhir kali kau kalah darinya."
"Terakhir kali, ya. Tapi itu karena aku
masih berpikiran sempit, menyangka dia masih seperti dulu. Setidaknya sekarang
aku tau. Dia kuat. Mungkin bisa sangat mematikan jika dia mau" Kyoshiro mmghisap
rokoknya dalam dalam dan menghembuskannya tepat ke hadapan Matsumoto. "Kau
pastikan saja Hanako hadir dan bersiap. Dia ada tugas penting besok"
"Dia yang paling bersemangat,
bagaimana mungkin dia tidak siap" Matsumoto mengipasi asap di depan
wajahnya.
Kyoshiro
tidak mempedulikan Matsumoto. Benaknya sibuk memikirkan sesuatu. Kabar baru
yang diterimanya tentang Hijiri, mantan teman masa lalunya.
>Teman?. Apa mungkin itu informasi yang
salah?< Kyo bicara dalam hati, mengingat kabar itu. tentang Hijiri yang
terlihat bersama seorang pemuda di pusat perbelanjaan beberapa hari lalu.
Karena masih ragu akan kabar yang diterimanya, maka dia menyimpan sendiri
informasi tersebut.
Sepengetahuannya, Hijiri tidak pernah
berteman dengan siapapun. Tidak semenjak mereka berpisah dulu. Hijiri bekerja
sendiri. Justeru karena itulah dia menjadi begitu kuat. Rasanya dia semakin
ingin berhadapan dengannya. Kali ini, apapun caranya, dia harus bisa menang
dari Hijiri. Bagaimanapun caranya.
***
"Sayang... Rei menelepon. Kau sedang
apa? Belum siap?" Masumi duduk di sofa kamarnya. Kakinya mengetuk ngetuk
lantai berlapis permadani
"Jawab saja. sebentar lagi aku siap.
Mizuki masih menata rambutku!" Teriak Maya dari kamar mandi
"Sabar sebentar Pak Masumi. Anda
tidak akan menyesal menunggu sedikit lama. Aku tidak akan mengecewakan
anda" Mizuki menimpali
"Terserah. Tapi sepertinya semenjak
kemarin dia yang ribut ingin berangkat lebih pagi. Aku kan hanya mengikuti.
Sepertinya teman-temanmu sudah berangkat sayang. Ada sms dari Rei"
"Ya sudah, biarkan saja. Kita bisa
mengebut kan!"
"Hah. kau ini. Ayo cepat Mizuki. Aku
memanggilmu pagi-pagi bukan supaya kau berlama-lama mendandani isteriku"
Di kamar mandi, Mizuki mendengus, mengerucutkan bibirnya. Maya yang melihat
dari cermin besar di hadapannya terkikik.
"Sudah siap. Bagaimana menurutmu?"
Mizuki mengarahkan Maya lurus-lurus ke cermin.
"Wow... Cantik sekali. Ini benar aku
kan?" Mata besar wanita mungil itu berbinar
"Sempurna. Aku bahkan bangga pada
diriku sendiri. Kalau reaksimu begini, bisa kubayangkan bagaimana dengan lelaki
tidak sabar di luar sana." Mizuki mencibir
"Hihihi... Ayo kita lihat reaksi
suamiku" Maya bangun dan berjalan keluar ruangan.
"Aku sudah siap." Maya berdiri
anggun di depan pintu
"Baik. Ayo...... !" Masumi
memutar kepalanya "Wah... wah.... Sayang... Kau akan berdandan seperti ini
ke pesta pernikahan?" Masumi memiringkan kepalanya.
"Ya. Ada yang salah?" Maya
mencoba memandang dirinya sendiri, kemuadian melirik Mizuki yang hanya bisa
mengangkat bahu.
"Tidak bagus ya?" Alisnya
mengeryit
"Hmmmm...." Masumi memandang isterinya
lekat lekat. Gaun tosca tanpa lengan diatas lutut melekat sempurna di tubuh
mungilnya, rambut hitamnya disanggul tinggi dan diberi hiasan jepit mutiara
membuat isterinya tampak begitu anggun. Sepatu dan tas batu alam warna hijau
lumutpun tampak sangat serasi dengan gaunnya.
"Apa?" Maya tidak sabar menunggu
komentar suaminya yang hanya menggeleng
"Apa aku tidak pantas berdandan seperti
ini? Aku bahkan mengenakan ini" Maya mengangkat tangannya, memperlihatkan
cincin zamrudnya yang serasi dengan kalung dan anting-antingnya.
"Tidak pantas. Kau terlihat terlalu
cantik. Kau tidak khawatir tamu-tamu akan keliru menyangka kau sebagai
mempelainya? Seharusnya kau tidak boleh tampak lebih cantik dari mempelai
wanita. Itu tidak sopan tau!"
"Masumi....." Maya bersemu, tersenyum
senang
"Kau cantik sekali, aku khawatir kau
akan terlalu diperhatikan orang. Aku tidak suka kalau pria lain terlalu
memperhatikanmu."
"Rasional saja pak. Huh... anda ini kelewatan..."
Mizuki menggeleng
"Ah. Mizuki. Kau maaih di sini? Aku
pikir kau sudah pulang. Maaf, saking bercahayanya isteriku aku sampai tidak
melihatmu. Silau"
"Masumi...."
"Pak Masumi..!" Maya dan Mizuki
menyahut bersamaan
***
Hijiri melepas kancing jasnya. Duduk di
sudut aula, berlagak menjadi tamu. Tangan kirinya sejak tadi hanya memutar minuman
dalam gelas tanpa niatan meminumnya. Matanya nyalang ke seantero ruang besar
tersebut. Sesekali mengangkat gelas ke bibirnya tanpa menyesapnya sama sekali.
Matanya selalu lebih lama menatap ke arah
itu. Setiap kali mengedarkan pandangan ke segala arah, pada akhirnya dia akan
kembali menatap kesana. Memang seharusnya begitu, orang yang seharusnya dia
lindungi ada di sana. Meja besar tempat beradanya sepasang pengantin baru beserta
teman-temannya.
Masumi tampak
kalem memperhatikan isterinya bercanda bersama para sahabatnya. Tidak tertawa
bersama mereka memang, tapi pria tampan itu tampak bahagia.
"Pak Masumi...." Hijiri
tersenyum, tenang melihat majikannya terlihat bahagia. Pandangan mata Hijiri
mengikuti arah tatapan Masumi, Maya, isteri mungil Masumi yang cantik dan
bersinar. Dan disamping nyonya mungil itu selalu ada Rei. Hijiri tau itu.
"Rei...."Hijiri mendesis. >Ternyata
selama ini aku selalu melihat Rei<. Kesadaran itu menyisip ke benaknya. >Tiap
kali melihat Maya, aku hampir selalu melihat gadis tomboy itu. Itukah sebabnya gambaran
wajahnya melekat di kepalaku?< Rei dengan gaun dan stiletto, pemandangan
yang jarang-jarang bisa dinikmati. Maka dia melihatnya lekat-lekat. postur
tingginya membuat dia mencuat diantara yang lainnya. Dimatanya, gadis itu
berkilau. Gayanya yang tidak anggun membuatnya tersenyum. Suara tawanya yang
terbahak tanpa aturan membuatnya tertawa. Tanpa sadar bibirnya menyunggingkan
senyuman. Dan teringat wajah merona Rei di danau sore itu, membuat senyuman itu
bertahan lama di wajah tampannya.
>Wajah merona Rei....< Bukan tak
sengaja Hijiri membuatnya. Bukan tak sengaja ujung jari-jari panjangnya
menyentuh tengkuk gadis itu. Tapi Hijiri memang ingin, sangat ingin menyentuhnya.
Rambut pendek Rei membuat leher jenjangnya selalu terbuka. Dan itu sedikit
banyak membuat pria itu ingin menyentuhnya.
"Ukh....."Hijiri mengeluh pendek
seraya memalingkan pandangannya jauh dari meja tarsebut. Menggelang gelangkan
kepalanya demi menghilangkan bayangan kurang pantas itu dari kepalanya. Tanpa
pikir panjang, ditandaskannya minuman di gelasnya sambil tertawa dalam hati.
Hijiri
bangkit saat melihat Maya dan Rei melintasi ruangan. Diam-diam mengikuti
meraka. Tapi berhenti agak jauh karena keduanya memasuki toliet wanita. Pria
itu bersandar di dinding lorong, menunggu.
Lima belas menit berlalu, Hijiri mendekati
pintu toilet. kemudian saat dilihatnya wanita lain yang bahkan masuk setelah
Maya dan Rei sudah keluar, pria itu berubah cemas.
"Hijiri!" Masumi sudah ada di
belakangnya
"Terlalu lama. " Jawab Hijiri
cepat. Setelah tiga detik saling bertatapan, kedua pria itu menerobos masuk
"Maya!" Panggil Masumi nyaring.
tak ada jawaban
"Maya! Rei! "Ulang Masumi panik.
Hijiri mengetuk tiap ruang dan membukanya. Kosong. Rasa panik mengendap di bawah
permukaan kulitnya. Maya, Rei! Kemana!? Hanya satu ruang lagi yang belum
terbuka. Hijiri merasa mereka tidak mungkin ada di dalamnya. Hijiri membuka
pintu tersebut, Masumi tepat si belakangnya. Ternyata itu clening station.
Kedua lelaki itu saling pandang. Kemana Maya dan Rei menghilang tanpa Hijiri
melihatnya keluar?
"Pak Masumi,..." Hijiri masuk ke
ruang sempit itu, Masumi mengikutinya
"Pintu lain...." Hijiri
membukanya. Ternyata pintu penghubung dengan lorong samping aula. Mungkin pintu
yang digunakan janitor untuk masuk dan membersihkan toilet.
"Sialan!" Masumi memaki kesal
dan segera menyusul Hijiri yang sudah berlari ke arah kanan lorong. Arah kiri
adalah arah ke aula. Masumi berlari sambil melihat pintu yang dilewatinya.
pantry yang ramai, Ruang kesehatan, gudang, Masumi menyempatkan diri masuk dan
melihat ke dalamnya. Tidak ada apapun selain tumpukan kardus dan barang tak terpakai.
Masumi keluar dari ruangan pengap tersebut dan bergegas mengejar bawahannya yang
sudah melewati pintu ganda di ujung lorong.
"Hijiri...." Masumi tiba di
tempat parkir begitu keluar dari pintu ganda tersebut. lalu segera menghampiri
Hijiri yang tengah berjongkok di lantai. memungut sesuatu.
"Ini....." Diserahkannya benda
kecil berkilau tersebut pada majikannya.
"Anting-anting Maya" Masumi menggenggan
anting-anting zamrud itu erat. teringat wajah ceria isterinya yang bergaya pagi
ini di hadapannya. tanpa sadar matanya berkaca.
"Dari sini mereka dibawa dengan mobil"
terang Hijiri, dilihatnya jejak panjang tipis. Hijiri berpikir itu hak sepatu,
hak sepatu Rei. Mungkin mereka membopong Maya, tapi mereka mendapat tangkapan
lebih, Rei. Dan mereka menyeret Rei. Reinya. Tangan Hijiri mengepal geram.
"Brengsek! Brengsek!!" Masumi
memukul udara kosong
"Maaf." Hijiri membungkuk penuh
sesal, bagaimanapun dia yang seharusnya menjaga Maya.
"Bukan saatnya. Lagipula aku toh
tidak ingin kau mengikuti isteriku ke dalam toilet. Inilah sebabnya aku butuh
Kaori. Hah!. "
"Mungkin sebentar lagi mereka akan
menghubungi anda" Hijiri masih menunduk.
"Matsumoto?"
"Kemungkinan besar begitu. Dan
Takahara juga. Saya yakin dia terlibat"
"Apa tak ada yang bisa kita lakukan?"
"Saya khawatir, sementara ini, kita
hanya bisa menunggu. Setelah yakin siapa penculiknya, kita bisa memutuskan
tindakan selanjutnya."
"Kurang ajar!" Matanya membara
"Pulang ke Tokyo sekarang!" Masumi berbalik. Hijiri membungkuk
dalam-dalam. Dibenaknya terbayang tawa Rei dan Maya, sesaat sebelum keduanya menghilang
dibalik pintu
***
Categories
Author: Riema,
Fanfic: Serial,
Hijiri,
Masumi,
Maya,
Mizuki,
Rei,
Sakurakoji
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
7 comments:
mom riema , kudu diupdate dalam waktu dekat, penasaraaaan tau, hehehe..:D salah satu fftk dengan multi karakter yang ceritanya kaya banget di tiap karakter,keren ajib deh ! :)
ursulla licik sekali, bikin sebellllllllllll...
sista.. lanjut lagi ya... XD
Itu felix sebenarnya dijebak siapa sih? Ursula?
Lanjoot lagi doong siissstt XD
-bella-
mommy..the next story..
udh lama pake banget mommy..penasaran..
go mommy riema..fighting..
hahhahahaha..
Kpn lanjutannya..?? Udah lama bgt lho moms rie... ntar Maya & Rei keburu tua gara2 kelamaan diculiknya... :p
Sist...kapan lanjutnya???
Sudah bertahun-tahun menunggu....
ayolah...kasian Masumi nunggu istrinya pulang
Maya sama Rei juga...
Hijiri juga....
Hiks...hiks...
ayo sist...please...
-agnes-
Updaten ny mana sist pensaran nih..
Post a Comment
Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)