“Mayaaa..!!”
Rekan-rekan Maya menyambut kembalinya Maya dengan gembira. Mereka sangat lega
melihat Maya sudah baik-baik saja, terutama Sakurakoji.
“Maya, bisakah kita
bicara?” pinta pemuda tersebut. Keduanya lantas beranjak menuju tempat yang
agak sepi. Sakurakoji tahu bahwa Maya dan Masumi bersama di Astoria. Dan, Pak
Kuronuma sudah menjelaskan kenapa Maya berada di sana. Namun, Sakurakoji
berusaha tak memikirkan apa pun mengenai Maya dan Masumi, selain bahwa keduanya
kebetulan berada di sana.
“Ada apa, Sakurakoji?”
tanya Maya dengan resah. Sepertinya yang hendak Sakurakoji bicarakan adalah hal
yang serius.
“Kau terlihat… baik-baik
saja…” kata Sakurakoji.
“Ya, sekarang sudah
lebih baik,” Maya tersenyum manis, dan pemuda itu merasakan jantungnya
berdebar-debar. “Terima kasih.”
“Maya… ada yang harus
kau tahu,” tanpa bisa ditahan, wajah Sakurakoji merona merah. “Saat kau
menghilang, aku sangat gelisah. Perasaanku sungguh tidak tenang dan… aku merasa
begitu sesak.”
Alis Maya berkerut,
berusaha mengikuti perkataan Sakurakoji. Ia mengamati pemuda itu dengan heran.
Sebenarnya apa yang hendak Sakurakoji katakan?
Sementara wajah Koji
semakin memerah dan ucapannya kian terbata-bata. “Aku… mulai menyadari, bahwa
aku tidak bisa mengingkari perasaanku lagi. Aku… memang sudah jatuh cinta
kepadamu. Sejak dulu, aku menyukaimu… Dan, perasaan itu.. terasa semakin kuat.
Aku tak bisa mengenyahkannya. Maya…” kali ini pemuda itu menatap Maya penuh
cinta. “Apakah kau mau menjadi kekasihku?” tanyanya dengan resah. “Dan, ini…
bukan hubungan main-main, kurasa, usia kita sudah cukup, untuk mulai memikirkan
sebuah hubungan yang… lebih serius.”
Maya sangat terkejut.
Matanya membulat dan ia kehilangan kata-kata. Sakurakoji, melamarnya? Pemuda
itu menyatakan cinta dan melamarnya? “Ma,maaf…” suara Maya bergetar dan matanya
berkaca-kaca, karena ia tahu ia akan menyakiti Sakurakoji.
“Maya?”
“Maaf…” Maya
menggeleng. “Aku tidak bisa…”
“Aku tahu!” Sakurakoji
meraih tangan Maya dan menggenggamnya. “Ada seseorang, yang selalu mengisi
pikiranmu kan? Tetapi, aku bisa mencintaimu lebih lagi! Melakukan lebih banyak
hal untukmu! Apa saja, apa saja Maya!” tegas Sakurakoji.
Maya tak menemukan
kata yang tepat atau cara yang tepat menjelaskan mengenai perasaannya. Ia hanya
menarik tangannya dan berseru, “Maaf!!” katanya seraya menangis, dan berlalu
pergi.
“Maya!! Mayaa!!” seru
Sakurakoji yang tak dihiraukan. “Ukh!” Sakurakoji memukul dinding. Maya
menolaknya. Rasanya memang sangat menyakitkan. Tetapi, kenapa? Kenapa? Siapa
yang selalu mengisi pikiran Maya dan membuat gadis itu tak juga melihatnya?
=//=
“Sakurakoji!?” Masumi
terlonjak di sofa, saat ia berkunjung ke apartemen yang sekarang ditempati
Maya—dari Mawar ungu.
“I-iya…” Maya menunduk
dan mengangguk.
“Dia melamarmu?” ulang
Masumi tajam.
“Ku-kurang lebih
begitu. Dia bilang ingin menjalin hubungan… serius.”
Masumi mengetatkan
rahangnya. Ia mengamati Maya. Kenapa gadis itu salah tingkah? Kenapa dia gugup?
“Kau menyukainya?”
tanya Masumi tajam.
Maya segera mengangkat
wajahnya. “Suka?”
“Ya! Kau mencintainya?
Kau menyukainya?” Nada suara Masumi semakin lama semakin tinggi.
“Di-dia… orang baik,
dia…” Maya jadi lebih gugup dengan sikap Masumi yang tiba-tiba terlihat galak.
Masumi mendekatkan
wajahnya kepada Maya. “Kau menyukainya sebagai seorang pria? Mencintainya?”
“Ti-tidak begitu!”
Maya menggeleng-geleng cepat. “Selama, ini, dia hanya teman baik.”
“Seharusnya aku sudah
tahu,” keluh Masumi, menyandarkan dirinya ke sofa. “Kau berlari sambil berkata
maaf…” ia berdecak. “Karena kau tidak mau melihat wajah sedihnya. Tidak mau
menyakitinya…” gumam Masumi. Ia lalu berdiri. “Aku pergi.”
“Ke-kenapa?” tanya
Maya dengan heran.
Masumi mengamati Maya
penuh tanya. “Maya… Apa kau sungguh-sungguh tidak mencintai Sakurakoji?”
Dahi gadis itu
berkerut. “Be, benar kok…”
“Kau tak terdengar
yakin.”
“Benar! Sungguh! Dia
hanya teman yang baik.”
“Baik. Kalau begitu,
kenapa dia teman yang baik? Apa yang kau sukai darinya?”
Mungkin seharusnya
Maya tidak menjawab, tetapi gadis itu segera mengingat semua kebaikan
Sakurakoji kepadanya. “Dia ramah,” kata Maya. “Dia lawan main yang baik, bisa
diajak bekerja sama, dan pengertian. Jika aku sedih, dia mengajakku bicara…”
gadis itu mengingat Sakurakoji dan tanpa disadarinya, wajahnya berubah hangat.
“Dia selalu berusaha menghiburku. Dia… tak pernah membiarkanku sendirian…”
sekarang, rasa bersalah itu semakin menguat di dadanya. Ia sudah menyakiti
Sakurakoji.
Sakurakoji… batin Maya
dengan sendu. Maya terlonjak saat Masumi mengempaskan tangannya di sandaran
sofa. Maya menoleh ke arah tangan itu. Ia lalu mendongak, mendapati wajah
dingin Masumi yang menunduk menatapnya. Wajah itu beranjak semakin dekat.
“Lalu aku..?” tanya Masumi.
Maya hanya menatapnya tidak menegrti. “Lalu aku? Apa yang kau sukai dariku?”
“Pak… Pak Masumi…”
Maya menatap Masumi dengan jantung berdebar kuat. Tubuhnya segera terasa panas
dingin. Apa reaksi tubuhnya yang tak biasa ini, tidak dimengerti Masumi? “Anda
baik…” Maya berkata. “A-Anda… juga… perhatian. Anda sudah mendukungku, dan
berbuat banyak untukku,” kata Maya seraya tersenyum lembut, mengingat semua
mawar ungu dan kebaikan yang pernah diterimanya dari Masumi.
“Itu Mawar Ungu,”
Masumi berkata seraya menelan ludahnya. “Jika aku… bukan Mawar Ungu, kau tak
mencintaiku kan?” desak Masumi. “Aku yang di hadapanmu ini, apakah
sungguh-sungguh kau cintai?” Ia menegakkan badannya lagi saat Maya masih
mencari kata-kata. “Aku pergi,” kata Masumi.
“Pak Masumi!!” panggil
Maya, mencegahnya.
“Maya, pikirkanlah
baik-baik,” Masumi menelan ludahnya pahit. “Aku… sudah cukup lelah dengan
permasalahan cinta ini. Aku hanya ingin tahu apakah ini sesuatu yang layak kita
pertahankan? Setelah apa yang terjadi kepada Shiori… sungguh, aku tak ingin
lagi memaksakan mengenai masalah hati ini. Pikirkanlah baik-baik. Sedari dulu,
aku tak pernah merasa punya harapan mengenai dirimu, aku tahu bagaimana kau
memandangku. Begitu juga bagaimana perasaan Sakurakoji kepadamu, atau bagaimana
kau bersikap kepadanya. Aku tahu dia lebih dekat denganmu ketimbang teman
priamu yang lainnya. Aku tahu dari cara kalian berinteraksi. Karena itu,
pikirkanlah baik-baik… siapa yang benar-benar kau cintai.”
“Aku mencintai Pak
Masumi!” tegas Maya.
“Apa kau mengatakannya
kepada Sakurakoji?” kejar Masumi.
“Aku—“ Maya terdiam.
Dia tidak sanggup mengatakannya.
“Maya, pikirkanlah
baik-baik. Jika kau mencintainya,” Masumi menelan ludahnya. “Katakan saja.
Tidak perlu merasa berutang budi kepadaku, atas apa pun juga.”
Pria itu lantas
beranjak ke pintu, dan meninggalkan apartemen Maya dengan perasaan pahit. Yuu
Sakurakoji. Ia hampir saja melupakannya.
Maya masih termangu di tempatnya. "Kenapa
aku... mencintai Pak Masumi..." Maya bergumam.
Ia ingat lagi, saat ia belum mengetahui bahwa
Masumi adalah Mawar Ungu, Maya memang... memang... membencinya. Bahkan, saat ia
tahu Masumi adalah Mawar Ungu, Maya masih berusaha keras menyangkalnya dan tak
mau percaya. Namun, saat ia berusaha memandang Masumi sebagai Mawar Ungu, saat
itulah... Maya merasa,telah jatuh cinta
kepadanya.
Gadis itu termenung. Ia
benar-benar bimbang sendiri. Jemarinya tak berhenti bergerak gelisah. Cara
Masumi meragukan perasaannya, membuat Maya mulai meragukannya juga. Bagaimana
jika...
Maya berusaha mengingat
Sakurakoji. Ia ingat saat pertama bertemu pemuda tampan itu. Sejak dulu,
Sakurakoji memang selalu baik hati.
Benar, dia pemuda yang sangat
baik hati. Dan tadi siang... Maya tak akan bohong. Sakurakoji menyatakan cinta
kepadanya, Maya merasa tersanjung. Dan, itu bukan rasa tersanjung yang sedikit.
Tetapi sangat tersanjung. Namun Maya tak tahu harus bereaksi bagaimana. Maya
sering dibuat tersipu oleh perbuatan pria itu kepadanya, merasakan kehangatan
atas kebaikan sikapnya. Sakurakoji juga sangat pandai menghiburnya. Namun, Maya
tak pernah berusaha memandang Sakurakoji seperti itu. Yang Maya tahu, semenjak
dulu Sakurakoji adalah seorang idola. Maya ingat benar saat ia mendapati
Sakurakoji di tempat makan bersama teman-temannya yang semuanya perempuan. Lalu,
mantan kekasihnya juga. Mai... gadis yang sangat cantik. JAdi, Maya tak pernah
membayangkan Sakurakoji menyukainya seperti itu, atau, membayangkan mereka
berdua sebagai sepasang kekasih. Walaupun ada masanya, dulu, saat Maya berusaha
membayangkan seseorang yang disukainya, yang muncul di benak Maya adalah pemuda
itu. Maya juga pernah menangis karena merindukanny. Dulu... saat sakurakoji
pergi tanpa kabar lagi.
Benar. Maya hampir saja lupa.
Dia dan Sakurakoji, memiliki masa lalu yang aneh. Mereka bukan sepasang
kekasih, tetapi, sempat memiliki hubungan yang lebih... dari sekedar teman.
karena itulah Sakurakoji marah, ketika Maya jatuh cinta pada Satomi. Karena itu
juga, Sakurakoji menghilang. Jika mereka hanya berteman, seharusnya hal yang
aneh seperti 'putus hubungan' itu tidak perlu terjadi kan?
"Ah!! Apa sih
ini...!?" decak Maya dengan resah seraya membenamkan jarinya di rambutnya.
Kenapa ia baru memikirkan masalah hubungannya dan Sakurakoji sekarang? Saat ia
pikir... ia dan Masumi...
Sakurakoji...
"Hhh..!!" Maya
menghempaskan napasnya dan meenyandarkan berat tubuhnya di punggung.
Jika Maya memang memiliki
perasaan istimewa untuk pemuda itu, bukankah seharusnya ada pertanda,
seperti... ia rasanya melihat nama Sakurakoji di mana-mana? Ia menyalakan
televisi dan di sana ada wajah Sakurakoji? atau... maya terantuk batu dan
Sakurakoji menolongnya? Hal-hal seperti itu... Atau... seperti saat dia
memikirkan pemuda itu sekarang, dan, Sakurakoji muncul di hadapannya?
Saat itu bel pintunya berbuny.
Maya sampai terlonjak karena kaget. Ia melirik jam. Rei seharusnya belum
pulang. Sambil bertanya-tanya Maya membuka pintu. Mungkin Masumi kembali lagi?
Atau...
Maya terenyak. Ada Sakurakoji
di sana.
"Sa-Sa-Sakurakoji...."
Maya tercekat, kata yang keluar darinya juga terbata-bata. Pemuda itu
benar-benar ada? maya mengerjap beberapa kali dan Sakurakoji masih berdiri di
sana. Ya ampun, dia bukan hanya fatamorgana.
"Selamat malam,
Maya." Dan, bisa bicara.
"Se-selamat
malam..." kata Maya, masih terbata-bata karena gugup.
"Apa aku
mengganggu?" tanya Sakurakoji.
Maya menggeleng, tak
bisa menatapnya, dan semakin salah tingkah.
Kekikukan itu juga
menular kepada Sakurakoji. Pemuda itu menunduk dan salah tingkah. beberapa
saat, tak ada yang bicara dari keduanya. Yuu melirik Maya sejenak dan mengaku,
"Aku terus
memikirkanmu."
Sepertinya, itu juga
isi kepala Maya. Tetapi Maya tak mungkin mengakuinya, dia hanya menjawab.
"hm hum.. hum, heh..." yang dia sendiri tak mengerti apa artinya.
"Besok... latihan
libur."
"Oh, ya! Aku
juga!" kata maya, senang saat tahu ada sesuatu yang bisa dikatakannya.
"Ya, aku
tahu..."
Dan, Maya merasa
bodoh. Tentu saja, mereka satu kelompok!
Sakurakoji kembali
bicara, "Maksudku... hum... mengenai yang tadi kukatakan."
maya mendongak untuk
pertama kalinya. Dia akan menarik perkataannya!?
"Aku tak akan
menarik yang sudah kukatakan tadi," lanjut Sakurakoji, yang membuat maya
terkejut karena sekali lagi sesuai dengan apa yang dipikirkannya. "Aku mau
meminta kesempatan kepadamu,sekali saja."
"Kesempatan?"
mata Maya memicing bingung.
"Ya. Besok...
berkencanlah denganku. Aku akan membuatmu senang. Dan, di akhir kencan kita,
aku mau... kau membuat keputusan. Apakah kau... bisa menerimaku atau
tidak."
Mata Maya melebar
seketika. Berkencan? Dengan Sakurakoji? Memastikan perasaannya kepada pemuda
itu? tapi, tapi... Bagaimana dengan Masumi?
Tunggu, tadi pria itu
yang menyuruh Maya memikirkan perasaannya baik-baik dan menentukan kepada siapa
sesungguhnya hati Maya telah jatuh. Tapi... apakah berkencan salah satu yang
boleh dilakukannya?
"maya!?"
tegur Sakurakoji.
"ya!?' Maya
tertegun.
"bagaimana...?
jika setelahnya kau menolakku. Aku tak akan memaksamu lagi," tegas
Sakurakoji. "Tapi kumohon, berikan aku satu kesempatan lagi saja."
Sakurakoji...
ditatapnya mata pria itu. Dan perasaan itu datang lagi. Ia takbisa... berkata
tidak.
"Baiklah,"
kata Maya. "Besok."
Wajah Sakurakoji
menyala gembira. "Benar!? terima kasih, Maya. Besok pagi aku akan
menjemputmu, jam 9! eh, tidak, jam 8! Ah, kau mau jam berapa?"
"Jam 9
saja," Maya tersenyum tipis.
"Ba-baiklah!
Sampai besok," Sakurakoji tersenyum semakin lebar. "Terima kasih
Maya. Selamat malam..."
"Selamat...
Malam..."
Maya menutup pintu,
dan menyandarkan punggungnya di sana. Besok...
Sekarang, bagaimana?
apa yang harus ditanyakannya kepada Masumi? Tunggu, apakah Masumi harus
tahu...? atau... tidak? Beri tahu... atau... jangan...?
"Aduuuh!!"
maya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia benar-benar bingung.
Maya tidak bisa terus
resah seperti ini. Ia mengangkat telepon, dan menghubungi Masumi.
Setelah beberapa
deringan, akhirnya diangkat juga, "Halo," terdengar malas.
Pak Masumi... Maya
menunduk gelisah. Ia merindukan pria itu. "Apa aku mengganggu? Anda...
sudah tidur?"
"begitulah."
Dia bohong. Dari tadi Masumi bolak balik di kamarnya dengan resah.
"Ah, maafkan aku!
Maaf..." maya tak enak hati, mengetahui Masumi terganggu.
"Ada apa?"
Masumi pura-pura menguap dengan mata nyalang.
"Be-besok..."
kata Maya, bergumam.
"Besok?"
Masumi tertegun.
"Besok..."
"Besok?"
"Besok..."
"Ya ampun, Maya!
Ada apa dengan besok?" tanya Masumi tajam, kepada kekasihnya yang
berbelit-belit itu.
"Tadi... Anda
bilang... a, aku... harus memastikan perasaanku... kepadamu.. dan...
Sakurakoji."
Masumi tegang.. Ia tak
bicara.
"Dan, Sakurakoji,
memintaku melakukan hal yang sama. DIa ingin aku memastikan perasaanku
kepadanya, besok."
"Lalu?"
"Besok, kami...
akan pergi berkencan. Dan, di akhir kencan itu, aku... akan menjawab pernyataan
Sakurakoji."
Rahang Masumi mengetat
seketika, genggamannya di ponsel menguat. "begitu..." ia menggeram.
"Ya..."
Jelaslah sudah, Maya
juga meragukan perasaannya. Rasa kecewa muncul di hati Masumi. "Ya
sudah,"tanggapnya pendek.
"Tunggu!"
Kata Maya. "Aku... Aku besok, akan memastikan sesuatu, tetapi itu bukanlah
mengenai perasaan cintaku kepada Sakurakoji. Melainkan, untuk memastikan bahwa
aku tak menyukainya seperti itu, dan yang kucintai adalah Anda, Pak
Masumi..."
Masumi menelan
ludahnya. Andai saja yang akan terjadi memang demikian. "Aku akan
menunggumu," kata Masumi. "Berikan juga, jawabanmu untukku."
Telepon diputus dan
Masumi tak bisa menahan rasa marahnya. Ia membanting ponselnya ke atas tempat
tidur--banyak nomor pernting di sana, akal sehatnya mengingatkan agar ia tak
membantingnya ke lantai.
=//=
Maya kembali berkaca untuk
terakhir kali. Ia mengamati pakaian yang ia pilih semalaman dan dandanannya
yang dibantu Sayaka pagi tadi sebelum gadis yang selalu diikat rambutnya ala
indian itu pergi juga untuk berkencan dengan kekasihnya. Sejenak Maya ragu-ragu
lagi. Sebetulnya, ini memang bukan kencannya yang pertama dengan Sakurakoji.
Sebelumnya mereka sudah pernah berkencan, yang berakhir
dengan terseretnya Maya di laut dan diselamatkan Masumi.
Pak Masumi... Maya menunduk.
Dia ingat lagi reaksi dingin dari kekasihnya itu. Sepertinya Masumi memang benar-benar
berharap Maya memastikan perasaannya kepada Sakurakoji.
Itulah yang membuat Maya tegang sendiri sekarang.
Kalau di kencannya sebelumnya Maya hanya berkencan tanpa harus memikirkan apa
yang dia rasakan, kali ini ia harus benar-benar memastikan bahwa ia memang tak
memiliki perasaan istimewa kepada pemuda itu.
Bel Pintu apartemennya berbunyi
lagi. Dengan gugup Maya membuka pintu itu.
"Halo, selamat pagi,"
sapa Sakurkoji yang terlihat sangat tampan hari ini. Pakaiannya rapi, dan, ia
sangat wangi.
Harum... batin Maya, sedikit
terpesona. Tidak, tidak, dia tidak terpesona. Dia tidak menyukai Sakurkoji
seperti itu, Maya meyakinkan dirinya.
"Kau sudah siap?"
tanya Sakurakoji lgi, yang salamnya tak mendapat tanggapan dari Maya.
"Oh, ya, a-aku... sudah
siap," jawab Maya dengan wajah merona.
"Sebelumnya,"
Sakurakoji mengungkapkan tangannya yang sedari tadi tersembunyi di balik
punggungnya. "Ini untukmu."
Buket bunga mawar pink yang
tampak sangat cantik.
"Sakurakoji... kau
seharusnya... tidak perlu repot-repot," kata Maya dengan perasaan
tersentuh.
"Tidak,kurasa, seharusnya
memang seperti ini kan, kencan yang ideal. Dimulai dengan sebuket bunga,"
ia tersenyum hangat. Dan berakhir dengan pernyataan cinta, imbuhnya dalam hati.
Maya menunduk mengamati buket
bungat yang cantik itu. "Terima kasih," ucapnya.
Saat ia turun dari
apartemennya, Maya tak menemukan motor yang biasanya dinaiki Yuu. Sebelum Maya
heran, sakurakoji berkata, “Aku tak ingin rambut dan pakaianmu rusak gara-gara
naik motorku, jadi aku menyewanya.” Ia menerangkan sebuah mobil merci putih
yang menunggunya.
Maya terkejut. Sekali
lagi ia terpesona, dan terkesan. Ia menatap Yu tak percaya. Pemuda itu
melakukannya sejauh ini? Demi dirinya? Ternyata … pemuda itu memang tak
main-main dengan pernyataan cintanya kemarin?
Seorang sopir
membukakan pintunya bagi mereka. “Dia termasuk dalam biaya sewa,” bisik Yu
kepada Maya dengan raut yang kocak. Maya menyeringai.
Di pagi hari itu,
mobil merci putih itu ternyata hanya berkeliling Tokyo untuk beberapa lama.
“Aku akan mengajakmu
menonton opera nanti sore,” terang Yu kepada Maya. “Tetapi, saat ini, aku hanya
akan mengajakmu berkeliling ke tempat yang sudah lama ingin kuajak kau ke sana,”
imbuhnya.
“Oh, baiklah,” kata
Maya seraya tersenyum. Keduanya masuk ke dalam mobil, dan merci itu meluncur.
Sejenak keduanya tak ada yang bicara karena gugup.
“Maya, kau sudah mulai
mengerti mengenai Akoya? Apakah masih ada yang membuatmu bingung?” tanya
Sakurakoji, berusaha mencairkan suasana di antara mereka. Dan, berhasil! Maya
segera saja berbicara seperti biasa dan tanpa rasa canggung lagi. Keduanya
lantas berdialog mengenai peran mereka, apa yang menyulitkan, adegan mana yang
sulit, adegan mana yang mereka sukai, serta usaha apa saja yang mereka lakukan
untuk mendalami peran mereka.
“Sebenarnya, aku tak
pernah begitu mengerti pedihnya perasaan keduanya saat dipisahkan dengan
paksa,” terang Sakurakoji. “Namun, saat aku melihat kabar di televisi, mengenai
Astoria yang terjebak badai, dan… kau menghilang,” tenggorokan Sakurakoji
tercekat. “Saat itu… aku seperti kehilangan arah. Aku gelisah setiap saat,
cemas, entahlah… pikiranku seperti tak berada di tempatnya. Aku… aku sangat…”
pemuda itu menatap maya dengan resah, membuat gadis di sampingnya bisa mengerti
apa yang Yu rasakan tanpa harus dikatakannya.
“Sakurakoji…” desah
Maya, amat tersentuh.
Sakurakoji memalingkan
wajahnya yang merona. “Baru kali ini, aku bisa mengakuinya,” ujar Yu dengan
pipi memanas.
Keduanya turun di
Disneyland Tokyo. “Wah!! Disneyland!” Mata Maya membulat.
“Kau suka taman
bermain kan?”
“Iya!” seru Maya
dengan antusias. “Sudah lama aku ingin pergi ke sini!”
“Kalau begitu, ini
saat yang tepat! Akan ada parade sebentar lagi, juga… saat ini sudah masuk
suasana Halloween,” terang Koji dengan antusias.
“Wah!!” Mata Maya
berbinar. “Pasti menyenangkan~”
Sakurakoji tersenyum
lebar melihat reaksi Maya. Dan, seharian itu keduanya merasa sangat riang,
berkeliling Disneyland dan DisneySea. Ia sangat senang melihat orang-orang
berdandan seperti hantu. Demikian juga dengan paradenya siang itu. Gadis itu
selalu berwajah riang. Keduanya sempat makan siang di sebuah restoran, kembali
berbincang, dan menaiki berbagai wahana yang menyenangkan. Sesuatu yang Maya
pikir, mungkin tidak akan bisa dilakukannya bersama Masumi.
Jika dia pikir-pikir,
semua percakapannya dengan Sakurakoji, semua yang dilakukannya hari ini bersama
pemuda itu, mungkin tidak akan bisa dilakukannya bersama Masumi. Bersama Yu
mereka bisa bercerita mengenai sulitnya melakukan peran. Pengalaman pertama saat
berakting, gairah yang mereka rasakan saat berada di atas panggung.
Dia juga bisa menonton
operet yang kekanakan, naik wahana dengan hiasan-hiasan yang mungkin akan
dianggap memalukan dilakukan oleh seseorang seperti Masumi.
Masumi… Masumi…
Masumi… masalahnya, walaupun semuanya begitu menyenangkan untuk Maya, dan
mungkin tak akan bisa dilakukannya bersama Masumi, ia terus saja memikirkan
pria itu.
Bahkan, bukan sekali
dua kali ia merasa melihat seseorang mirip Masumi. Tetapi, Masumi, di sini? Di
Disneyland? Mustahil! Apa yang dilakukannya? Walaupun Maya akhirnya melakukan
kesalahan konyol. Ia melihat lagi, seseorang mirip Masumi. Benar-benar mirip.
“Sebentar,” pamit Maya
kepada Sakurakoji saat keduanya duduk di bangku taman sambil makan eskrim.
Sakurakoji hanya
mengamati Maya dengan heran, saat gadis itu terburu-buru menghampiri seseorang.
“Pak Masumi!!” Maya
menarik tangan pria menjulang itu.
Pria itu berputar,
tertegun dan menunduk, mengamati Maya. “Ada apa… Nak?”
Bukan Pak Masumi!
Pikir Maya, dan…Dia memanggilku nak! Batinnya terpukul.
“Ti-tidak… maaf…”
dengan wajah memerah Maya menggeleng.
“Ada apa?” pria
berusia pertengahan 30-an itu membungkuk, “Apa kau tersesat?”
“Ti-tidak!” Maya
menggeleng semakin malu. “Maaf!” pamitnya dan berbalik pergi.
Sakurakoji tertawa
mendengar cerita Maya yang dipanggil ‘Nak!’
“Memangnya kau pikir
siapa yang kau lihat?”
“Hm?” Alis Maya
terangkat. “Kukira… dia…” Maya bimbang sejenak, berpikir apakah harus berkata
jujur atau tidak. Ia belum memutuskan saat mulutnya bicara sendiri. “Pak Masumi
Hayami.”
“Masumi Hayami?”
Sakurakoji terlonjak.
“Iya…” kata Maya
perlahan.
“Saat itu kau bersama
Pak Masumi ya?” tanya Sakurakoji lagi. “Saat di Astoria…”
“I-iya…”
“Katanya, kalian
bersama di sana,” ujar Sakurakoji lagi.
Maya terlonjak, “Dia
bilang—“
“Saat di konferensi
Pers,” terang Skaurakoji.
“Oh,” Maya bergumam.
“I-iya… kami tidak sengaja bertemu.”
“Dia memperlakukanmu
dengan baik?” tanya Sakurakoji lagi.
“Oh ya… sa-sangat
baik,” terangnya dengan wajah bersemu. Dan, itu tertangkap Sakurakoji.
Pemuda itu berdiri,
dan Maya mengikutinya. “Tahu tidak, kalau Pak Masumi sangat memperhatikanmu?”
“Eh? Apa?”
“Saat kau hilang,”
terang Sakurakoji lagi. “Dia sangat cemas. Dia sampai mengumumkan akan memberi
hadiah bagi siapa saja yang menemukanmu. Dia bahkan menjemputmu sendiri ke
Sendai. Semua orang membicarakannya,” terang Sakurakoji lagi.
Maya tak pernah
mengetahui hal itu. “Benarkah?” tanya Maya lagi.
“Benar,” Sakurakoji
berbalik. “Apa kau masih membencinya?” tanya Sakurakoji lagi.
Maya tak menjawab
beberapa saat, “Ti-tidak… Aku… sudah tidak membenci Pak Masumi.” Aku
mencintainya… pikir Maya. Ia mengamati Sakurakoji. Sebenarnya, apa yang tengah
ia lakukan di sini? Ia sudah tahu bahwa ia hanya mencintai Masumi. Pasti
seperti itu. Lalu, kenapa dia harus berada di sini bersama Sakurakoji? Apa yang
dicarinya?
“Ayo!” Sakurakoji
menggenggam telapak Maya. “Kita pergi ke DisneySea sekarang. Kurasa semua yang
menarik di sini sudah kita lihat.”
“Sa-Sakurakoji…” Maya
tak melangkah.
“Ya?” Sakurakoji berbalik,
mengamati Maya.
“A-aku… kurasa… ke
DisneySea…” Maya terlihat agak enggan. Dia sudah ingin pulang, ingin bertemu
Masumi.
“Kenapa?” Sakurakoji
menghampiri. “Oh! Tidak apa-apa, kita bisa ke sana besok, aku membeli tiket
terusan dua hari jadi—“
“Bukan…” Maya
menggeleng, namun saat ia melihat wajah pemuda itu, sekali lagi Maya tak
sanggup mengatakan kebenarannya. “Setelah… Astoria… a-aku… sebetulnya, masih….
Agak… entahlah, masih takut dengan air, laut… atau menaiki apapun yang…” Maya
memasang wajah sungkan. Berharap Sakurakoji percaya dengan perkataannya.
“Oh, begitu…”
Sakurakoji tampak tak enak hati. “Maaf ya… bodohnya aku… tak mengingat sejauh
itu. Aku malah berpikir akan mengajakmu naik gondola,” pemuda itu tertawa
kering.
“Maaf… bukan begitu…
Aku juga… sungguh, ingin sekali… tapi…”
“Ya, ya, tidak
apa-apa,” kata Sakurakoji, berusaha menghibur hatinya sendiri. “Jadi, sekarang
mau ke mana? Mau kembali berkeliling, atau …”
“Sebetulnya,
aku…kurang enak badan,” kata Maya pelan.
Sakurakoji
mengamatinya, tadi, gadis itu baik-baik saja. Dia bahkan terlihat riang. Dia
tak berkata apa-apa saat melihat tiket DisneySea, sekarang semua alasan itu
menghambur keluar dari bibirnya. Padahal, masih ada tiket opera untuk sore, dan
makan malam sebagai penutup. Padahal. Sakurakoji sudah merencanakan dengan baik
kencan hari ini, wahana apa saja yang akan disukai Maya, pertunjukan apa yang
akan ditonton mereka, restoran mana yang akan mereka datangi.
“Kau mau pulang…?”
tawar Sakurakoji dengan kecewa.
Maya menelan ludahnya.
Hatinya sangat tak nyaman, ia bahkan merasa ingin menangis karena tak enak hati
hanya dengan mengingat bagaimana Sakurakoji sudah tampil sebaik-baiknya dan dia
bahkan menyewa mobil, membeli tiket terusan, tiket opera, membayar makan di
restoran yang tidak murah. Semua itu…
“Kurasa, hanya
beristirahat sebentar… Aku akan baik-baik saja,” kata Maya akhirnya.
“Ah,” wajah Sakurakoji
menyala lagi. “Kalau begitu, kita ke sana saja, seharusnya kita mengunjunginya
pertama kali, mungkin. Tetapi kupikir tidak seru, tapi, kalau kau lelah…
beristirahat di sana pasti menyenangkan,” Sakurakoji menarik tangan Maya lagi.
Maya menatap bagian
belakang rambut Sakurakoji, ia menghela napas dan mengikutinya. Ia tidak boleh
berbuat seperti itu kepada Sakurakoji. Maya sudah setuju berkencan seharian
dengan pemuda ini. Ia tak boleh membuat keputusan terlalu awal.
Dan, sekarang di
hadapan mereka, ada kastil Cinderella.
“Ayo,” ajak
Sakurakoji. “Kurasa semua perempuan menyukainya.”
Dan, memang. Senyuman
sudah kembali di wajah Maya.
=//=
Masumi benar-benar
lelah. Sangat lelah. Dan, sepertinya bukan karena ia terbiasa menaiki mobil
pribadinya ke sana kemari. Toh, ia orang Jepang. Akan memalukan memiliki
kewarganegaraan Jepang dan dia kelelahan berjalan. Tetapi, sepertinya yang
membuatnya kelelahan memang bukan hanya kakinya yang tak berhenti melangkah
sendirian mengitari wilayah yang luasnya luar biasa ini, tetapi juga karena
pemandangan yang terus tertangkap matanya.
Maya dan Sakurakoji,
berkencan, berduaan. Mengobrol, tertawa riang, merona bersamaan. Dia sangat
kesal melihatnya. Dia sungguh benci! Dan, sekarang… mereka menuju kastil
Cinderella? Yang benar saja. Apa dia juga harus masuk? Seorang laki-laki?
Sendirian? Masuk ke kastil Cinderella? Semoga saja bayangannya tidak akan
tertangkap satelit dan masuk di Google Earth.
Kutunggu di luar saja,
putusnya. Namun, sekonyong-konyong sesuatu menjadikan pikirannya sebuah kanvas
yang bercerita. Maya dan Sakurakoji, memasuki kastil yang penuh cerita cinta.
Sejuk, indah, penuh karya seni. Keduanya terbawa suasana, saling memandang
mesra, mereka kemudian terdiam di sebuah sudut. Dan, Sakurakoji menunduk,
mendekatkan wajahnya kepada Maya yang bersandar terpojok di sudut kastil,
menatapnya malu-malu dengan wajah merona.
Ah, sial!! Rutuknya. Dia harus masuk!
=//=
Semenjak pagi Masumi
sama sekali tak bisa berkonsentrasi. Ia terus saja memikirkan Maya yang tak
bisa membuatnya tidur sepanjang malam. Memang hanya gadis itu sejak dulu yang
bisa membuatnya merasa gila. Akhirnya, walaupun ia berusaha menenggelamkan diri
dalam pekerjaan, ia sama sekali tak bisa melupakan masalah Maya. Bagaimana jika
gadis itu terpikat kepada pemuda itu? Bagaimana jika keputusan Maya adalah
memilih Sakurakoji, bagaimana jika Maya mengatakan tak ingin bersamanya lagi?
Dan semua bagaimana itu semakin jauh dan gila. Ia bahkan sudah memikirkan Maya
menikahi Sakurakoji dan tak akan pernah bisa dimilikinya lagi.
Setelah semua itu?
Semua yang mereka lalui? Maya berakhir di pelukan pria lain? Masumi mungkin
akan sama gilanya dengan Shiori. Jadi di sinilah ia sekarang, menguntit Maya
dan teman kencannya. Menyebalkan memang, karena dialah yang meminta Maya
memikirkan perasaannya baik-baik sehingga akhirnya gadis itu berada di kastil
ini bersama pemuda itu.
Masumi mencoba tebal
muka, saat beberapa orang memandanginya yang berjalan sendirian-dengan tampang
linglung- di dalam kastil tersebut. Kadang-kadang, Masumi sengaja mendekati
seorang anak dan berdiri di dekatnya, berpura-pura menjadi seorang paman yang
mengasuh keponakannya. Namun, perbuatan itu hanya berakhir dengan tatapan takut
dari anak-anak itu, atau tatapan menghardik dari orang tua si anak. Hhh…
memalukan! Pikirnya kenapa direktur Daito yang disegani dan berwibawa, harus
berada di tempat seperti ini?
Ah, itu dia alasannya!
Ia melihat Maya dan Sakurakoji tengah berada di sebuah ruang makan. Keduanya
tampak mengamatinya dengan riang. Masumi menghela napas lagi. Sedari tadi
mereka memang hanya berjalan-jalan, mengobrol, makan, hal paling intim yang
dilakukan adalah bergandengan tangan. Dan, Masumi sangat kesal melihatnya.
Mungkin seharusnya ia menghambur kepada mereka, menarik tangan Maya dan
berseru, “Lepaskan dia! Dia kekasihku!!” Oh ya… seperti jagoan-jagoan di film
Bollywood mungkin. Ah, lupakan. Masumi tak bisa menari.
Ia lalu melihat Maya,
berbicara dengan serius kepada Sakurakoji. Sakurakoji pun tampak menanggapi
dengan serius,keduanya kembali berjalan, memisahkan diri dengan yang lainnya.
Masumi kembali mengikuti.
=//=
“Ada apa?” tanya
Sakurakoji kepada Maya, saat mereka berada di sebuah ruangan kecil yang hanya terdapat
beberapa lukisan mosaik dan jendela besar yang memperlihatkan bagian luar
disneyland. Maya tampak ragu sejenak, namun ia sudah sampai pada keputusannya.
Maya menatap
Sakurakoji dengan segan. “Ma-maaf…” kata Maya dengan resah.
“Maaf?” wajah
Sakurakoji tampak waswas. “Mengenai apa…?”
“Aku tidak bisa
meneruskan kencan kita,” terang Maya, berusaha menegaskan dirinya. “Aku… tidak
ingin mempermainkanmu.”
“Mempermainkanku?”
tanya Sakurkoji bingung.
“Ya. Maksudku…
Sakurakoji, aku… aku sudah tahu, apa keputusanku. Sebenarnya, aku tidak ragu
bahwa itulah yang kuinginkan. Hanya saja, aku memang sempat berpikir mungkin
harus memberimu kesempatan sebelum—“
“Kau… menolakku?”
desis Sakurakoji dengan terkejut.
Di sini? Di salah satu
kastil dongeng legendaris di mana segala sesuatu berakhir bahagia?
“Maaf,” wajah Maya
memucat. “Tetapi… jika diteruskan, aku takut akan lebih menyakitimu,” ujarnya
seraya menunduk. “Aku punya seseorang… yang kucintai,” Maya menahan isakannya.
“Aku sangat mencintainya. Dan, sepanjang hari aku hanya memikirkannya.
Bahkan,aku berada di sini pun, karena dia yang mengatakan bahwa aku harus
benar-benar memastikan perasaanku kepadamu. Dan… kurasa… sudah cukup. Aku tak
ingin memberikan harapan yang tidak seharusnya,” kata Maya dengan sedikit
gemetar. “Aku sangat menyukaimu sebagai teman dan lawan main. Tetapi, aku—“
“Cukup!!” seru
Sakurakoji. Ia menatap Maya dengan mata yang membara.
Masumi hampir saja
memutuskan untuk masuk ke ruangan di mana Maya dan Sakurakoji berada. Namun
saat itu sudah ada beberapa orang yang mendahului Masumi dan tak lama kemudian
keduanya keluar dari sana. Masumi kembali mengamatinya. Keduanya tampak
berjalan berdampingan. Terdiam. Keduanya lantas keluar dari ruangan tersebut.
Masumi membuntutinya, dan keduanya menuju tempat parkir.
Masumi sempat berpikir
mereka mungkin ke suatu tempat lain, namun ternyata mereka segera kembali ke
apartemen Maya.
=//=
“Aku akan
mengantarmu,” kata Sakurakoji saat sudah tiba di gedung apartemen. Sakurakoji
mengantar Maya sampai ke apartemennya. Sepanjang jalan Sakurkakoji tidak banyak
bicara. Maya ingin mengajak bicara, namun ia tak tahu apa yang harus ia
katakan. Beberapa kali mereka sempat berbincang, namun perbincangannya terasa
sangat kaku dan tegang. Akhirnya sebagian besar perjalanan kembali ke apartemen
Maya dihabiskan dalam kebisuan.
Maya sungguh tak enak
hati. Perasaannya sangat berat. Seharusnya, setelah menolak seseorang, mereka
jalan masing-masing kan? Tetapi ternyata, tetap bersama seperti ini malah membuat
semuanya terasa begitu berat. Rasanya ada sesuatu yang sangat membebani pundak
dan dada Maya.
Saat Maya menyampaikan
isi hatinya, Sakurakoji hanya berkata, “Begitu…” ia diam sejenak kembali berkata,
“kalau begitu kuantar kau pulang.”
“Te-terima kasih, ya…”
kata Maya di pintu apartemennya tanpa bisa memandang Sakurakoji.
“Laki-laki ini… kau
bisa memberitahuku siapa dia?” tanya Sakurakoji.
“Ah, dia…” Maya
menatap Sakurakoji bingung dengan mata bulatnya. “Dia…”
“Aku mengenalnya?”
Maya menunduk, dan
mengangguk.
“Kau sangat
mencintainya ya?” Sakurakoji terdiam, lalu tertawa kering. “Apa kami pernah
bertemu?”
Maya kembali tak enak
hati, ingin menangis. Ia mengangguk sekali lagi.
“Kenapa kau
memilihnya?” tanya Sakurakoji. “Kenapa dia bisa mengalahkanku?”
“Ini bukan soal menang
atau kalah,” kata Maya yang mulai berkaca-kaca. Entah kenapa dia sangat sulit
mengatakannya kepada Sakurakoji.
“Ya ampun Maya!
Katakan saja, kenapa kau mencintainya? Siapa dia? Aku hanya ingin tahu mengenai
hal itu.”
“Pokoknya, aku
mencintainya!” tegas Maya. “Aku tak bisa mengatakan kenapa, aku bahkan tidak
tahu sejak kapan! Tetapi… Aku mencintainya, hanya mencintainya. Aku tak bisa
memikirkan orang lain atau berpikir untuk berpisah dengannya. Memikirkannya
saja… sudah menakutkan untukku. Karena itu… ka, karena itu… aku tak bisa
menerima perasaanmu, atau sekedar memberi harapan lagi kepadamu,” air mata
gadis itu menetes. “Maafkan aku…”
Sakurakoji menelan
ludahnya pahit. “Aku tertarik kepadamu sejak pertama kita bertemu. Lalu aku
mulai menyukaimu, dan semakin menyukaimu,” jujur Yu seraya menatap Maya. “Aku
tahu kau tak pernah mendahulukanku dari akting walaupun aku juga tahu tak ada
teman laki-lakimu yang sedekat aku,” ia tersenyum pahit.
“Lalu, kupikir… Ah,
kutunggu saja. Aku tunggu sampai kau tersadar bahwa aku ada di sini untukmu.
Walaupun aku tak pernah menyatakan perasaanku, aku memiliki kepercayaan diri,
jika suatu saat kau harus jatuh cinta kepapa seorang lelaki, kemungkinan besar
akulah laki-laki itu,” Yu jengah.
“Mungkin itu yang
membuatku tak juga merasa harus memastikan hubungan dekat macam apa yang kita
miliki. Lalu, pemuda itu datang. Satomi. Tidak lama dia mengenalmu, dia
menyatakan cinta kepadamu, dan kau menerimanya. Aku sangat terkejut saat itu.
Tidak percaya dan tidak mau terima. Kupikir, mungkin kita punya semacam
kesepakatan tak terkatakan bahwa kita saling menyukai dan akan menjadi sepasang
kekasih suatu hari. Ternyata, itu semua tak lebih dari angan-anganku. Sekian
lama aku pergi, berusaha melupakanmu. Tetapi, saat aku mendengar kau bermain
drama, aku akan mencocokkannya dengan jadwalku, agar bisa datang menontonnya
walau tak sanggup memperlihatkan diri kepadamu. Dan, tawaran padang liar yang
terlupakan itu pun datang. Kupikir, aku sudah bisa menganggapmu hanya sebatas
rekan pentas. Ternyata… tidak begitu,”
Yu kembali tersenyum getir.
“Aku tidak mengerti,
yang pasti aku sangat mencintaimu. Rasanya… kau begitu dekat namun kenyataannya
kau itu sangat jauh dari jangkauanku.” Yu menyentuh bahu Maya. “Aku hanya ingin
kau mengerti, tidak mudah untukku menganggapmu hanya sebatas teman. Dan, dua
kali kalah dari laki-laki lain, juga sangat menyakitkan untukku. Tetapi… kurasa…
kau memang sangat menyukai pria ini. Jadi…” Yu menelan ludahnya, beberapa lama
tercekat napasnya sendiri. “Jadi… Aku hanya ingin mengutarakan apa yang
kurasakan. Aku menyerah sekarang,” ia menghela napas panjang. “Kudoakan semoga
kau bahagia.”
“Sakurakoji…” Maya
memelas. “Maafkan aku… sungguh. Dari dulu… kau, kau adalah teman yang sangat
baik. Andai saja, aku bisa membalas perasaanmu, atau tidak membuatmu sakit hati.
Tetapi, aku tidak bisa.”
“Ya, aku mengerti
Maya,” Sakurakoji mengulurkan tangannya. “Sampai jumpa di tempat latihan,
Akoya.”
“Sakurakoji…” Maya
mendesah, menerima uluran tangannya perlahan. “Terima kasih. Aku juga sungguh
sangat mengharapkan kebahagiaanmu.”
Sakurakoji terenyum
tipis. Ia lantas permisi pergi.
Maya baru saja menutup
pintu saat belnya berbunyi. Gadis itu kembali menuju ke pintu dan membukanya.
Ia sangat terkejut, saat mendapati Masumi berdiri di sana.
=//=
Dengan sedih
Sakurakoji kembali memasuki merci putihnya, kali ini seorang diri. Sekian lama
ia hanya termangu mengamati jalanan di luar jendela. Tatapannya menerawang.
Kosong. Sesak.
Sudah… lupakanlah…
kali ini kau harus benar-benar melupakannya. Sakurakoji mengeluarkan ponselnya.
Dengan menghela napas berat pemuda itu mengamati foto-fotonya dan Maya.
Hapus foto. Ya? Tidak?
Ya.
Pemuda itu pun
melepaskan kalung lumba-lumba yang ia kenakan.
Selamat tinggal… Maya…
Ia membuangnya keluar jendela mobil.
=//=
“Kau sudah kembali,”
kata Masumi.
“I-iya…” dan seketika
itu ada perasaan membuncah mengisi dada gadis itu. Rindu, lega, cinta. “Anda…”
“Aku bodoh,” kata
Masumi, seraya beranjak masuk. “Kupikir bisa membiarkanmu menimbang perasaanmu,
tetapi sepanjang hari aku sangat takut kau memutuskan untuk meninggalkanku,”
ungkapnya. “Kau… sudah memutuskan kan?” tanyanya dengan waswas.
“Sudah,” Maya merajuk.
“Lalu?”
“Anda sudah lama tahu
jawabannya!” sembur Maya. “Dasar bodoh!” gadis itu meninju dada Masumi. “Kalau
tidak ingin aku pergi, tidak usah berpura-pura bijak dengan memintaku menimbang
perasaan! Kau kan tahu aku hanya mencintaimu!!” Maya akhirnya menangis lagi.
“Iya… maaf…” Masumi
menyentuh tangan Maya di dadanya dan menggenggamnya. “Aku hanya ingin kau
memastikan, bahwa memang hanya aku yang kauinginkan dan kaucintai,” pria itu
menarik Maya ke dalam pelukannya. Ia mendengar semua percakapan Maya dan
Sakurakoji tadi. Ia akhirnya tahu bahwa Maya memang sangat mencintainya.
“Hanya kau, Pak Masumi,”
gadis itu memeluk pinggang kekasihnya.
“Maya… jangan pernah
meninggalkanku,” pria itu memeluknya lebih erat. Gadis itu menggelengkan
kepalanya di dada Masumi. Pria itu memisahkan tubuh mereka dan bermaksud
mencium Maya saat sebuah suara terdengar dari arah kamar.
“Maya, kau sudah
pulang?” tanya Rei seraya mengucek-ngucek matanya.
Sepasang kekasih itu
sangat terkejut. Segera mereka saling melepaskan dan berdiri membatu dengan
wajah memerah. Rei teregun mengamati keduanya. Maya, dan Masumi Hayami. Apa
mereka tadi habis berpelukan? Sepertinya ia muncul di saat yang tidak tepat.
“Apa aku mengganggu?”
tanya Rei.
“Tidak!” tampik
keduanya bersamaan.
“Aku baru saja mau
pergi!” sahut Rei.
“Aku baru mau
mengantarnya!” timpal Maya.
“Baiklah, Maya, aku
permisi…” kata Masumi dengan sikap berwibawa. “Aku hanya kebetulan lewat, dan
aku ingat kau tinggal di sini, kupikir mungkin bisa mampir, melihat keadaanmu
dan—”
“Dia sudah tahu,”
bisik Maya, mencondongkan tubuhnya kepada Masumi. “Soal kita… dia sudah tahu.”
“Baiklah, saya mau
pergi ke kamar mandi, saya… mau cuci muka dan gosok gigi. Apa saya harus
memberitahu detail lainnya?” tanya Rei seraya menahan tawanya.
“Tidak perlu, Nona
Aoki,” ujar Masumi menahan malunya. Saat ia melirik kepada Maya, gadis itu juga
sedang menunduk menahan tawanya. Setelah Rei masuk ke kamar mandi, Masumi
menarik pinggang gadis itu dan mencium pipinya dengan gemas.
“Pak Masumi…!” rajuk
Maya, kemudian terkikik geli.
“Besok ayah kembali ke
rumah,” terang Masumi, masih seraya merangkul pinggang kekasihnya. “Aku
bermaksud membawamu bicara dengannya besok, mengenai… hubungan kita.”
Maya mendongak menatap
Masumi, sejenak tampak risau, namun tak lama kemudian rautnya mantap kembali. “Baiklah,
nanti jemput aku.”
“Ya,” Masumi tersenyum
lembut, kembali memeluk Maya. Ia sangat bahagia, gadis itu tak lepas dari
tangannya.
=//=
=//=
Maya sempat gelisah
sendiri, menunggu Masumi menjemputnya. Masumi mengatakan bahwa nanti malam
ayahnya akan pulang. Saat itulah Masumi akan bicara dengan ayahnya.
“Kalau kau berubah
pikiran, masih ada waktu,” Masumi sempat berkata. Namun Maya sudah membulatkan
tekadnya. Ia sudah pernah mendengar bagaimana menyeramkannya Eisuke Hayami.
Namun, menyerah di sini sekarang bukanlah pilihan. Maya harus bersama Masumi
menghadapi pria berkuasa itu.
Namun, ada hal lain
juga yang mengusik Maya di tempat latihan kali ini. Pak Kuronuma mengatakan
bahwa selama dua hari ini, Sakurakoji sudah meminta ijin untuk absen latihan
karena sesuatu yang penting. Maya yakin hal itu memang cukup penting hingga Pak
Kuronuma mengijinkan Sakurkoji tidak berlatih. Namun Maya tidak tahu apa. Ia
sempat berpikir mungkinkah Sakurakoji hanya mencari alasan untuk menghindarinya
saat ini.
Dia pemuda yang sudah
dewasa, Maya mengingatkan kepada dirinya. Sakurakoji pasti tahu benar apa yang
terbaik bagi dirinya. Dengan keyakinan itu, Maya berusaha tidak mengkhawtirkan
Sakurkoji. Ia bahkan tidak menghubungi apartemen pemuda itu.
Masumi akhirnya datang
saat matahari baru saja terbenam. Pria itu menjemput Maya di tempat latihannya.
Saat itu sudah tidak ada siapa-siapa selain Pak Kuronuma, yang sudah mengetahui
bahwa keduanya mulai memiliki hubungan.
“Pak Kuronuma, saya
permisi dulu,” pamit Maya. Masumi pun membungkuk memberi salam sekaligus berpamitan.
Pak Kuronuma hanya
tersenyum sedikit menggoda mereka. Ia sungguh tidak mengira bahwa pria yang
selama ini membuat Maya tidak bisa berakting adalah Masumi Hayami. Dan, ia
menyimpulkan, pria itu juga membatalkan pernikahannya demi gadis mungil itu.
Cinta memang misterius.
Ah… Sakurakoji, semoga
saja kau bisa menjadikan pengalamanmu ini sesuatu yang berharga untuk aktingmu
nanti, pikir Kuronuma.
“Bagaimana latihanmu?”
tanya Masumi saat keduanya sudah berada di dalam mobil Masumi.
“Baik,” jawab Maya
seraya tersenyum hangat kepada pria itu. “Hari ini Sakurakoji tidak latihan,”
terangnya dengan perasaan was-was, khawatir Masumi marah.
“Begitu,” ujar Masumi
pendek. “Ada apa? Kenapa dia tidak latihan?”
“Tidak tahu, tetapi …
Pak Kuronuma bilang ada sesuatu penting yang sedang dilakukannya.”
“Kenapa? Kau
merindukannya?” tanya Masumi dengan nada terlalu tenang dan tanpa ekspresi. Ia
bahkan tak menoleh kepada Maya saat mengatakannya.
“Bukan rindu seperti
itu…” rajuk Maya. “Tetapi… hanya merasa khawatir. Karena… kemarin kurasa aku
sudah menyakiti hatinya.”
“Lalu?” kali ini
Masumi menoleh kepada Maya.
“Tidak apa-apa,” Maya
balas menatap Masumi. “Kurasa ia akan bisa mengatasinya.”
Masumi menghela napas
lega. Ia sesungguhnya mengerti dengan apa yang Maya rasakan. Masumi mendengar
bahwa Shiori mulai dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Mendapatkan penanganan
khusus untuk depresi yang dialaminya. Belum lagi kesehatannya juga memburuk
karena keadaan mentalnya. Sejujurnya, Masumi merasa sangat bersalah. Hubungan
dua keluarga sudah bisa dipastikan memburuk. Dan, walaupun keluarga Takamiya
tak menuntut apa pun dari Masumi karena anggota keluarga mereka lah yang
berniat buruk mencelakai Maya dan Masumi. Namun, melihat keadaan Shiori yang
mengenaskan seperti itu, ia sungguh merasa bersalah.
“Ada apa?” kali ini
Maya yang dengan lembut menegur kekasihnya yang termangu di sampingnya
tersebut,
Masumi menoleh dan
menggeleng.
“Pak Masumi… ayolah….”
Bujuknya. “Ada apa?”
Sejenak Masumi
menimbang sebelum kemudian bicara. “Shiori… aku mendapat kabar bahwa kemarin
dia mencoba bunuh diri,” ungkapnya berat.
“A-apa!?” mata gadis
itu membulat. “Nona Shiori…”
“Ya,” Masumi menelan
ludahnya. “Dia ditemukan melompat ke dalam kolam di pekarangan rumahnya. Lalu
kakeknya menghubungiku dan…”
“Lalu bagaimana?”
tanya Maya dengan nada sarat kekhawatiran. Tangannya sontak meremas tangan
Masumi dengan gelisah. Memikirkan Shiori, juga memikirkan Masumi.
Pria itu menggeleng
lemah, hampir putus asa. “Tidak ada lagi yang bisa kulakukan,” katanya. “Dia
wanita dewasa,” pria itu menoleh kepada Maya. “Seharusnya dia bisa… berpikir
jernih kan? Berusaha hidup dengan baik dan,” Masumi tercekat rasa bersalahnya.
Keduanya lantas
terdiam. Maya juga mengetahui apa yang mengganjal hati Masumi. Wanita itu
sampai mau bunuh diri karena kehilangan pria itu! Apakah mereka sanggup, jika
sampai terjadi apa-apa dengan wanita itu. Apa mereka bisa bahagia?
“Pak Masumi…” desah
Maya perlahan. “Jika… Jika Nona Shiori… berpikir menghilangkan nyawanya sendiri…”
gadis mungil itu tak sanggup meneruskan ucapannya.
Untuk sekian lama
keduanya hanya berada dalam keheningan. Maya beringsut, mendekati Masumi dan
melingkarkan tangannya di lengan pria itu. Ia menyandarkan kepalanya di sana.
Maya… Masumi membisu.
Ada yang tak
terkatakan di antara mereka, yang keduanya sudah saling mengetahui. Mereka
saling mencintai. Sangat saling mencintai. Tetapi… Kenapa harus ada orang lain
yang berduka, bahkan rela kehilangan nyawa, karena apa yang mereka rasakan.
Hanya untuk memisahkan mereka.
“Pak Masumi… Apa kau
akan pergi lagi?” tanya Maya yang tak bisa menahan isakan dalam suaranya.
Sebenarnya, ide itu
melintas lagi di kepalanya. Akan tetapi,meninggalkan Maya? membiarkan gadis
kecintaannya itu bersama pria lain? Itu mimpi terburuk dalam hidupnya.
Masumi menghela napas
dalam, menunduk kepada Maya di sampingnya dan mengusap telapak gadis itu
perlahan. “Aku kan di sini. Kita di sini sekarang, bersama.”
Maya menengadah. “Dan
kau tidak berpikir untuk pergi? Karena, karena jika kau pergi…”
Maya hendak berkata,
aku akan berusaha merelakannya, jika itu untuk menyelamatkan Shiori. Namun,
kata-kata itu tidak bisa keluar dari bibirnya. Seperti yang pernah ia lontarkan
kepada Sakurakoji, hanya berpikir akan berpisah dengan Masumi saja ia sudah
sangat takut. Pegangan tangan Maya di lengan kekasihnya semakin kuat. Ia tidak
sanggup pura-pura rela padahal sesungguhnya tidak.
“Aku tahu kau
mencintaiku, karena itu aku yakin, jika aku tidak bahagia, kau pun tidak akan
bahagia,” kata Masumi. “Dan kebahagiaanku adalah berada di sisimu,” tegasnya.
“Oleh karena itu, aku tidak berencana meninggalkanmu sekarang atau nanti.”
“Pak Masumi…” Maya
menyurukkan wajahnya di lengan pria itu. “Apakah kita egois?” airmata gadis itu
menetes juga. Walaupun ia mengenal Masumi sebagai pria yang dingin, pria itu
sama sekali tidak bersikap tak peduli mengenai hal ini. Ia tahu, diam-diam
Masumi tak mengharapkan hal seperti ini terjadi kepada Shiori atau siapa pun.
Bagaimana mereka bisa menjalaninya, jika tahu ada seseorang yang menderita saat
mereka bahagia?
Masumi tak menjawab
pertanyaan Maya, ia hanya merangkul gadis itu ke dalam pelukannya.
=//=
Keduanya tiba di
kediaman Hayami. Saat tiba, seorang pelayan berkata bahwa Eisuke menunggunya
dan memintanya segera menghadap kepadanya.
“Saya akan katakan
Anda sudah datang.”
“Tidak usah, aku
sendiri yang akan menemuinya langsung,” terang Masumi.
Jantung Maya langsung
saja berdebar-debar tak keruan. Rumah yang luar biasa bersarnya itu,terasa
lebih mengancam lagi baginya saat ini. Ia mengamati Masumi yang berjalan di sampingnya,
dan gadis itu mengeratkan genggaman tangannya.
“Ayah ada di dalam,”
terang Masumi kepada Maya. “Kau tunggulah sebentar di sini, nanti aku akan
memanggilmu.”
Maya tak punya jawaban
lain selain menganggukkan kepalanya. Pria itu mengetuk pintu dan terdengar
sahutan dari dalam. Suara yang tegas dan berat. Masumi masuk.
“Selamat malam, Ayah.”
“Basa-basi!!” desis
Eisuke tajam. “Anak tolol. Apa yang telah kau lakukan? Aku sangat geram
mendengar semua yag terjadi di kediaman Takamiya. Percuma saja terapi yang
kujalani… Jantungku hampir berhenti mendengar kelakuan tololmu!” Kecamnya
keras.
“Aku sudah
mempertimbangkan apa yang hendak kulakukan.”
“Lalu apa hubunganmu
dengan Maya Kitajima!!?” Ayahnya meminta penjelasan.
Pertanyaan itu sungguh
mengejutkan bagi Masumi. Ia kemudian menyadari, mungkin Eisuke sudah mendengar
perihal Maya yang berada di Astoria bersamanya. Tidak masalah, Masumi memang
bermaksud membongkar hubungannya bersama Maya. Akan tetapi, saat ayahnya
melanjutkn bicara, Masumi teramat terkejut.
“Aku yakin kesibukanmu
mengurusinya bertahun-tahun ini bukan tanpa alasan kan? Kenapa Masumi? Apa kau
jatuh cinta kepdanya!!?”
“Ayah-, aku—“
“Putuskan hubunganmu
dengannya!! Hapus perasaanmu kepadanya! Dan aku akan melupakan semua kekonyolan
ini!!”
“A-apa…!?” Masumi
terbeliak.
“Kau dengar
perintahku!! Tenno Takamiya menghubungiku. Dia memberitahu apa yang telah
terjadi. Shiori mengalami depresi karena putus hubungan denganmu! Dengar,
Masumi… Apa kau tahu apa yang dia tawarkan agar kau kembali kepada mereka?”
mata Eisuke berkilat serakah. “Tenno Takamiya akan menyerahkan semua warisannya
untuk Shiori! Jika kau menjadi suaminya, kau akan menjadi penerus Takamiya!!”
serunya ambisius. “Sekarang kau sudah menyadari ketololanmu kan!?”
Otot rahang Masumi
menegang. Manusia apa yang ada di hadapannya ini? Ia sama sekali tak menaruh
perhatian mengenai Shiori. Padahal, masalah itulah yang paling merisaukannya
dengan Maya saat ini. Apakah ayahnya itu tidak peduli, wanita macam apa yang
akan dinikahi putranya selama ia mendapatkan keuntungan dari ini semua.
“Aku menolaknya,”
tegas Masumi. “Aku tidak mau!”
“Apa!!?” Dengan geram
Eisuke menatap Masumi. “Kau membangkang!!? Kau tidak mendengarkan perintahku!?”
“Ya,” pria itu
menjawab dingin. “Aku tidak akan mendengarkan perintahmu lagi. Aku akan
menjalani kehidupanku sendiri.”
“Maksudmu…?” desis
Eisuke. “Kau akan mengejar gadis itu? Maya Kitajima?”
“Aku akan menikahinya,
setelah pentas percobaan Bidadari Merah,” terangnya. “Kami saling mencintai,
dan tak akan ada yang bisa mencegahnya.”
“Maya Kitajima?
Mencintaimu…?” Eisuke menatap Masumi, mencari gurauan di wajahnya, namun anak
angkatnya yang tak pernah bergurau itu memang terlihat sangat serius. Bahkan,
lebih serius dari biasanya. “Dan kalian…” beberapa saat Eisuke meyakinkan diri
bahwa itulah maksud dari perkataan Masumi. Ia lantas berdecak. “Konyol…”
sindirnya. “Kau berniat menikahinya? Konyol!!”
“Tidak ada yang
konyol! Baik Ayah setuju atau tidak, aku akan tetap menikah dengannya. Aku
tidak peduli apa yang akan ayah lakukan kepadaku—“
“Kalau kepadanya?”
Alis Eisuke terangkat mengintimidasi.
Wajah Masumi berubah
pucat sejenak dan segera penuh kecam. “Kalau kau berani melakukan sesuatu
kepadanya, aku tak akan ragu macam-macam denganmu!”
Eisuke tertegun. Baru
kali ini Masumi terang-terangan membangkangnya. Anak angkatnya itu mengecam
bahkan mengancamnya. Demia Maya Kitajima?
“Cih!” Eisuke
tersenyum meremehkan. “Beri aku satu alasan kenapa aku harus mau menerima Maya
sebagai calon istrimu tanpa kita harus saling memusnahkan?”
“Tidak ada,” kata
Masumi. “Aku tak peduli kau menerimanya atau tidak. Dia akan bersamaku. Dia
yang masuk ke rumah ini, atau aku yang pergi dengannya.”
Eisuke tertawa
terbahak-bahak. “Memangnya kau pikir berapa lama kau bisa hidup tenang jika kau
keluar dari rumah ini?” ejeknya.
“Aku tidak peduli,”
desis Masumi.
Anak ini
sungguh-sungguh… batin Eisuke. Ia tak mengira, Masumi yang dingin dan gila
kerja, sekarang tergila-gila oleh cintanya kepada Maya Kitajima.
“Baik, bukannya aku
tak menyukai anak itu, aku tahu benar bagaimana berbakatnya dia. Tetapi, aku
hanya bisa menerimanya, atau membiarkan kalian hidup tenang, hanya jika aku
tahu dia memiliki sesuatu yang paling kuinginkan.”
Masumi menyipitakan
matanya. Sesuatu yang paling ayahnya inginkan…?
“Masuk, Maya!!”
perintah Eisuke, yang sedari tadi telah mengetahui mengenai keberadaan gadis
itu.
Maya tertegun. Ia
menelan ludahnya sendiri dengan tegang. Perlahan Maya masuk ke dalam ruangan
tersebut. Ruang kerja yang cukup besar. Di ujungnya ada meja, dan Eisuke berada
di atas kursi roda, di sudut ruangan, di dekat jendela. Masumi berdiri di
tengah ruangan, tengah menoleh ke arah pintu dari mana Maya masuk. Gadis itu
menatap gugup kepada Masumi.
“Selamat malam, Maya…”
sapa Eisuke yang menggerakkan kursi rodanya mendekat.
Perhatian Maya
teralihkan, ia segera menoleh ke sana. Eisuke Hayami.
Hah!? Alis Maya
terangkat. Itu kan… “Kakek Es krim!!?” Maya terlonjak, “kenapa Anda..”
“Kakek Es Krim!?”
Masumi terkejut, ia beralih menatap Eisuke dan kembali kepada Maya.
“Iya! Kakek kan—“
“Dia Eisuke Hayami,
ayahku,” terang Masumi.
Seketika itu juga
wajah Maya berubah pucat. “Tuan Eisuke… Hayami… Ayah…” Maya menatap dengan
tegang dan beberapa kali matanya mengedip gugup.
“Benar. Kita belum
berkenalan dengan resmi. Aku Eisuke Hayami, presiden Direktur Grup Hayami.”
“A-aku… aku… Maya
KItajima,” Maya seketika canggung.
“Jadi kau ingin
menikah dengan anakku?” tanyanya.
“Iya,” Maya menjawab
spontan tanpa berpikir dan sontak wajahnya merasa panas sendiri. Masumi juga
merasakan wajahnya menghangat dengan jawaban polos Maya.
“Dengar, Maya… Aku
yang sudah membesarkan Masumi. Kau lihat dia sudah dewasa seperti ini? Tanganku
lah yang memberinya makan.”
Masumi tertegun,
Eisuke hendak hitung-hitungan untung rugi?
“Karena itu, jika kau
menginginkan dia, ada harga yang harus kau bayar, kepadaku.”
“Apa-apaan!!” Masumi
geram. “Berapa utangku kepadamu hah!?”
“Oh… menantang!” seru
Eisuke.
“Tunggu!!” lerai Maya.
Ia berjalan mendekat kepada Masumi dan berdiri di sampingnya, menatap Eisuke.
Ini bukan pertama kalinya mereka berinteraksi. Maya yakin sekali, saat Eisuke
bersamanya, pasti ada saatnya pria itu tidak berpura-pura. Kakek Eskrim lucu
dan menyenangkan. “Apa yang harus dilakukan, agar kami bisa menikah?”
“Maya!!” Masumi tidak
setuju.
Gadis itu mendongak. “Tuan
Eisuke benar,” katanya. “Pak Masumi sejak kecil sudah ikut dengannya. Ia yang
menghidupimu, membiayaimu, sehingga Pak Masumi menjadi seperti sekarang ini.”
“Bukan mauku hidup
seperti ini!” desis Masumi. “Aku hanya—“
“Pak Masumi,” Maya
tersenyum tipis, “kita dengarkan dulu, apa yang Tuan Eisuke inginkan,” kali ini
tatapan Maya beralih kepada Eisuke. “Jika memang permintaanya masuk akal,
kenapa tidak kita turuti? Memenuhi permintaan orang tua adalah salah satu bakti
terbaik dari seorang anak.”
Orangtua… Eisuke
menatap Maya. Memang ada sesuatu dari gadis itu, yang membuat orang lain merasa
dengan mudah menerimanya. Kehangatan hatinya.
“Baik. Kau hanya akan
berguna bagi keluarga ini, hanya jika kau mendapatkan Bidadari Merah!” tegas
Eisuke. “barulah saat itu, kau boleh menikah dengan putraku!”
“Omong kosong!!”
bentak Masumi. “Aku akan menikah dengannya apa pun yang terjadi!”
“Kenapa…?” tantang
Eisuke. “Kau tidak yakin dia akan mendapatkan peran itu?”
“Bukan itu!! Aku—“
“Lantas kenapa, kau
tidak mau bertaruh denganku?” ejek Eisuke. “Kalau kau begitu yakin dengan
aktingnya… kenapa kau menolak mempertaruhkan pernikahan kalian dengan Bidadari
Merah?”
“Aku yakin Maya akan
mampu menjadi Bidadari Merah terbaik yang pernah ada, bahkan melebihi Bu
Mayuko!” tegas Masumi.
Mendengar hal itu,
Maya sangat tersentuh. Tak pernah ada yang sebegitu yakin kepada dirinya,
bahkan dirinya sendiri.
“Kalau begitu, apa
masalahnya? Kenapa kau takut dengan tantanganku!?”
“Baiklah!!” seru Maya,
mencuri perhatian kedua ayah dan anak tersebut. “Saya terima tantangannya.
Saya… Akan mendapatkan peran Bidadari Merah!” ujarnya yakin.
Eisuke bertepuk tangan
dan tampak senang. “Bagus!! Bagus!! Aku yakin kau orang baik, Maya. Kita tidak
perlu kontrak untuk memastikan bahwa kau akan menepati ucapanmu kan?”
“Tidak!” tegas Maya.
“Aku akan mendapatkan Bidadari Merah! Dan, jika tidak—“
“Kau tidak akan
berhubungan lagi dengan Masumi.”
“Ini konyol!!” bentak
Masumi geram. Ia menoleh kepada Maya. “Maya, kau tidak harus melakukan
pertaruhan ini! Aku akan menikahimu apapun yang terjadi!”
“Pak Masumi,” Maya
tersenyum tipis. Tak pernah ia merasa seberani ini saat di luar panggung. “Kau
sudah melakukan banyak hal untukku. Sekarang, saatnya aku melakukan sesuatu
untuk bisa bersamamu, kan? Tidak apa-apa… selama ini… Aku hanya berakting
menurut kesenanganku. Tetapi, sekarang, taruhannya lebih besar lagi. Aku akan
berjuang lebih keras, sekuat tenagaku untuk mendapatkan peran itu agar bisa
bersamamu. Jika kita ditakdirkan bersama…” Maya menatap penuh cinta. “Pasti ada
jalannya, kau dan aku bisa menyatu.”
“Maya…” Masumi
trenyuh. Gadis itu akan berjuang untuknya?
“Romantis sekali,”
cela Eisuke yang sejenak merasa tak dihiraukan. “Aku akan bertaruh dengan adil.
Jika kau menang, kau boleh menikah dengan Masumi. Aku tidak akan melakukan apa
pun. Tidak mengusirnya, atau membatalkannya sebagai calon pewaris Daito. Bahkan
aku sendiri yang akan berkata kepada pihak Takamiya mengenai penolakan tawaran
mereka dan menjelaskan mengenai hubungan kalian. Tetapi, jika kau gagal, Maya…
Masumi harus menuruti perkataanku untuk menikahi Shiori, atau dia boleh pergi
dari rumah ini dan dari Daito, namun tetap tak boleh menikah denganmu.” Pria
itu menyeringai puas. “Mulai sekarang, nasib Masumi ada di tanganmu. Dan,
sebelum itu, aku melarang kalian berdua mengumumkan apa pun mengenai hubungan
kalian!”
Nasib Pak Masumi… ada
di tanganku…. Maya gentar, namun semua sudah terlanjur. Ia tak bisa menarik
perkataannya, ia hanya bisa melangkah maju dan berjuang. “Baik! Duduklah dengan
tenang. Dan Anda akan melihat, peran dan hak pementasan itu menjadi milikku,”
tegasnya.
“Ya, kutunggu bukti
ucapanmu. Sekarang keluarlah… Aku lelah!”
Masumi tak berkata
apa-apa. Ia masih geram dengan semua yang terjadi. Ia menggenggam tangan Maya
dan membawanya keluar dari sana.
“Apa yang sudah kau
lakukan!?” hardik Masumi seraya menarik gadis itu menyusuri lorong dengan
geram. “Kau tak harus mengikuti permainannya! Dia itu ahli manipulasi! Tidak
ada jaminan dia akan menepati perkataannya! Dia itu—“ Masumi berhenti bicara
saat Maya tak juga menanggapinya.
Ia menoleh, dan
mendapati Maya yang berkaca-kaca dan gemetar.
“Maya…?” ia segera
menghampirinya. “Kau… kenapa?”
“Bruk!!” Maya memeluk
Masumi dengan tubuh gemetarnya itu. Ia tak berkata apa-apa. Namun Masumi
mengerti. Ia ketakutan.
Kemana gadis pemberani
yang menantang Eisuke Hayami itu tadi?
“Ya ampun… Maya…”
Masumi menghela napasnya, dan balas memeluk gadis itu. Masumi sekarang
mengerti, gadis itu memberanikan diri untuknya.
“Pak Masumi…” suara
Maya juga gemetar. “Aku… aku akan mendapatkan peran Bidadari Merah. Aku akan
mengalahkan Ayumi,” katanya. “Itu janjiku… kepadamu.”
Masumi masih takut,
ragu jika semua akan berjalan tidak sesuai harapan. Namun, Masumi menepiskan
keraguannya. Ia adalah penggemar terbesar Maya. Ia paling yakin tak ada yang
lebih sesuai memerankan Bidadari Merah selain Maya Kitajima, kekasihnya.
“Maaf…” kata Masumi.
“Tidak seharusnya aku marah-marah seperti tadi.” Ia mengangkat dagu Maya. “Aku
tahu kau akan mendapatkan peran itu.”
Senyuman terbit di
antara air mata Maya. “Aku tidak akan kalah!” tegasnya memberanikan diri.
Dan, Masumi mulai
menyadari sesuatu. Tantangan dari Eisuke sudah membangkitkan sesuatu yang
kurang dari diri Maya Kitajima. Rasa bersaing, yang selama ini hanya di dalam
diri Ayumi, tampaknya, sudah mulai tumbuh di dalam diri Maya. Gadis itu tak
akan menyerah, dan berusaha lebih keras lagi.
“Aku tahu kau tidak
akan kalah,” Masumi tersenyum dan memeluk gadis itu, tak menghiraukan pelayan
yang memergoki mereka dan berputar seperti tidak melihatnya.
=//=
Seperti yang Eisuke
inginkan, baik Maya dan Masumi bungkam mengenai hubungan mereka. Hanya
teman-teman Maya dan Pak Kuronuma yang mengetahui mengenai mereka.
Maya berlatih keras
untuk peran ini. Saat Sakurakoji bertemu lagi dengannya, keduanya tak ada yang
membahas mengenai masalah asmara mereka.
“Sepertinya, Maya
berlatih sangat keras belakangan…” kata seorang staf.
“Hmm…” Kuronuma
mengamatinya. Dia sudah mulai sangat serius. Mungkin ia akhirnya mengerti,
seberapa penting peran ini.
=//=
“Apa? Jadi Maya… sudah
mulai berlatih dengan serius?” ujar Ayumi yang penglihatannya sudah mulai bisa
bekerja dengan baik lagi. Kalau begitu….
Aku juga tidak akan kalah… Maya!!
Gadis cantik itu sudah
mulai memahami, apa yang selama ini membuat Maya unggul darinya. Kekuatan imajinasinya.
Saat ia kehilangan penglihatannya, ia juga berusaha mendekati kepribadian
Bidadari Merah, dan ia bisa merasakan apa yang menjadi kekuatan Maya selama ini.
Sebentar lagi, hanya
tinggal sebentar lagi….