Wednesday 1 May 2013

Fan Fiksi : Unspoken

Posted by Ty SakuMoto at 19:29




UNSPOKEN


Rating: 17 Kissu, Skinship
Setting: Setting TK asli dipakai sampai Maya dan Koji kencan, Maya kejebur laut. Selanjutnya terserah saya.. XDD
Lagi ngetik sekuel MPS tiba2 cerita ini melintas. Nanti udah banyak aku share di blogger Eternal Rainbow.




Masumi memandangi ke bawah, di mana Maya dan Sakurakoji tampak bercengkrama. Mesra, menurutnya, walaupun mungkin Maya tidak bermaksud demikian, namun setiap Masumi melihatnya tertawa dengan pria lain, ia sangat cemburu. Hatinya sakit. Tak terbatas oleh kematangan usianya, kesuksesan karirnya, atau kemahalan pakaiannya. Di balik jas ternama itu, hatinya berdenyut sakit. Cemburu, pada gadis 11 tahun lebih muda yang tak punya apa-apa.
Tapi malam ini, walau dari kejauhan Masumi bisa melihatnya. Maya berdandan. Jelas terlihat gadis itu sedang berkencan.
Aku tidak bisa di sini lebih lama lagi, pikirnya.
"Masumi," suara lembut si wanita anggun mengusiknya. Mengusik, dalam arti sebenarnya. Ingin sekali ia mengibaskan tangannya kepada Shiori, namun apa salah wanita itu? Masumi hanya bisa menoleh, dan tersenyum hangat. Mengatakan ia sedang menikmati pemandangan, dan melamunkan hal yang tidak penting.
"Eh, lihat! Bukankah itu calon pemeran Bidadari Merah dan pasangannya? ternyata benar... mereka berkencan!!' kata Shiori, "Mereka kelihatan serasi sekali ya, Masumi..." bibir lembut berkilap lipstik satin itu mengatakan kalimat paling tajam yang pernah Masumi dengar. Menusuk langsung ke jantungnya.
"Ya... mereka... sangat serasi," ujar Masumi, menambahkan rasa sakitnya sendiri.
Sakurakoji mengamati ponselnya, sebelum mengangkat wajahnya dan bicara, "Maya, maaf ya... tunggu sebentar." 
"Oh, ya... tidak apa-apa," Maya tersenyum.
Sakurakoji pergi meninggalkan Maya sendiri, dan saat itulah seorang waiter menghampiri.
"Maaf, Nona Kitajima? Ini, ada titipan untuk Anda," katanya, menyodorkan nampan dengan sekuntum Mawar Ungu di sana.
"Eh?" Maya terperanjat. "Mawar ungu..." desisnya.Mawar ungu ada di sini? Gadis itu terenyak, Pak Masumi... ada di sini? Matanya berkeliling mengitari sekitarnya, mencari sosok pria gagah itu, namun ia sama sekali tak melihatnya. Kaki gadis itu mulai melangkah tanpa arah mencari pria yang dicintainya.
"Maaf ya, kita jadi gagal makan malam, aku janji akan menggantinya lain waktu," rayu Masumi saat mengajak Shiori pergi dari restoran tersebut, menutupi ketidakjantanannya yang tak sanggup melihat Maya bersama Sakurakoji.
Sementara Maya, yang terdorong perasaannya ingin bertemu Masumi, mencari si lelaki ke sana kemari. Terengah-engah, berharap matanya bisa menemukan sesosok gagah. Namun, tetap saja ia tak menemukan Masumi, walupun ia mencarinya hingga ke dermaga.
Maya tidak sadar, bahwa kakinya menginjak tali pengikat yacht.
"Mana Maya?" Sakurakoji tertegun, saat mendapati Maya tak lagi berada di tempatnya. Pemuda itu segera mencari gadis yang diajaknya berkencan.
"BYUURR!!!" Kejadiannya berlangsung sangat cepat. Tiba-tiba saja kaki Maya terjerat dan tertarik masuk ke dalam air saat yacht itu dijalankan. Maya sangat terkejut. Ia meronta, berusaha membebaskan diri. Dadanya sesak. Ia tak bisa bernapas dan terus terseret di dalam air. Maya sudah tidak kuasa, ia sudah di ujung kesadarannya. Namun ia tetap berjuang, berusaha meminta tolong.
Tolong....!! Tolong aku Mawar Ungu.... Pak Masumi...!! Permintaan tolong yang tak bisa ia serukan. 
"WAa!!! Waaa!!" seru orang-orang di tepi dermaga. "HEEYY!!! Berhentii!! Berhentii!!!" pekik seseorang.
Pengemudi yacht itu, yang tengah mendengarkan musik dengan earphone, terus saja melajukannya dengan kencang, tanpa menyadari bahwa Maya sudah di ambang pertahanannya.
"Ada apa ribut-ribut?" ujar Masumi saat mengantar Shiori masuk ke dalam mobil. "Tunggu sebentar, nanti aku kembali," pamit Masumi.
Ia berjalan menuju dermaga. Saat itulah ia melihatnya, di dalam air, gaun itu.... gadis itu.... MAYA!Sakurakoji juga melihatnya. Sakurakoji segera berlari ke dermaga.
"BYURR!!!"
Masumi menceburkan diri dan berenang menuju Maya, Maya... bertahanlah, tunggu aku...
Saat si pengemudi yacht akhirnya menghentikan kendaraannya, Maya sudah lemah dan berada di batas kesadarannya. Tubuhnya berat, napasnya sesak. Sekuat tenaga ia menggenggam setangkai Mawar Ungu di tangannya. Dan tetap satu nama yang dipanggilnya.
Pak... Masumi....
Masumi meraih gadis itu, mendekapnya. Ia segera membebaskan kaki Maya dari jeratan tali. Gadis itu di antara sadar dan tak sadar melihat Masumi. Ia merasa tak yakin. Benarkah... Masumi yang sedang mendekapnya sekarang? Pak Masumi...
Maya, bertahanlah, pikir Masumi dengan khawatir. Aku akan membawamu naik, bertahanlah...
Namun sebelum Masumi membawa Maya ke permukaan, ia meniupkan sisa napas dalam paru-parunya ke mulut Maya.
Bertahanlah... Pria itu menutup matanya, membagi oksigennya dengan gadis itu.
Di tengah dinginnya air yang menusuk, setidaknya mereka berdua bisa merasakan kehangatan tipis menyelimuti mereka.
Masumi membawa Maya bersamanya saat ia muncul di permukaan. Napasnya terengah-engah. "Mungil! Mungil!" panggilnya.
Maya hanya terdiam dengan mata terpejam. Masumi sedikit panik namun ia berusaha menenangkan diri. Mendinginkan kepala. Dengan cepat ia berenang ke dermaga dengan sebelah tangannya. Ia sesekali menoleh, memastikan bahwa wajah Maya tetap berada di atas permukaan laut.
Masumi lantas menggendong Maya, berjalan tegap menyusuri dermaga. Orang-orang berkerumunan, menatap khawatir
Masumi lantas membaringkan Maya, dan memompa dada gadis itu, agar mengeluarkan air yang sempat tertelan. Maya cukup lama berada di dalam air tadi. Ia pasti kemasukan banyak air. Masumi dengan ahli memompa dada maya dengan tangannya.
"Ayo maya, muntahkan lagi airnya!" perintah Masumi. Dan seperti biasa Maya tidak menurutinya. Masumi mulai panik dan Maya mulai berhenti bernapas. "Maya!!!" seru Masumi, memompa lebih cepat dan mulai memasukkan kembali udara ke mulut Maya. 
"ukh! Ukh! Ukh!" Masumi memompanya dan meniup mulut Maya lagi. Usahanya berhasil pada percobaan ketiga.
"HHhhh! Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Maya terbatuk-batuk setelah memuntahkan airnya dan mulai bernapas lagi.
Masumi sangat lega, "Mungil..." panggilnya, seraya menghela napas. Begitu juga orang-orang di sekeliling mereka.
Tubuh Maya masih lemah, namun ia mulai menyadari siapa yang tadi telah menolongnya. 
Pak masumi... Batinnya dengan terharu.
"bagaimana perasaanmu? Apa kau baik-baik saja?" tanya Masumi lembut, penuh perhatian.

Maya masih belum bisa bicara. Karena syok, terkejut, lelah, lega, berterima kasih, bahagia... Bertemu Mawar Ungunya. Yang dapat Maya lakukan hanya menyampaikan semua itu dengan pelukan. Dan itu yang ia lakukan selanjutnya.
Memeluk Masumi.
Masumi terenyak, sangat terkejut saat gadis yang bajunya sebasah dia tiba-tiba memeluknya. Untuk beberapa saat Masumi tak yakin apa yang harus dilakukannya.
Maya.... Ia tak mungkin kan, balas memeluknya sementera ada puluhan pasang mata mengamati mereka. Dimana salah satunya adalah Sakurakoji, yang juga sangat terkejut dengan tindakan Maya.
Akhirnya yang Masumi lakukan adalah merangkul tipis bahu Maya, dan berkata perlahan, "Tenanglah. Kau akan baik-baik saja. Semuanya sudah berlalu," kata Masumi, merasakah Maya menggigil dalam rangkulannya. Dalam bayangan Masumi, pastilah Maya masih takut dengan apa yang menimpanya tadi. "Aku akan membawamu ke rumah sakit," kata Masumi kemudian. "Kita harus memastikan bahwa sudah tidak ada lagi yang harus dikhawatirkan."
Masumi berkata tanpa meminta persetujuan Maya. Ia segera menggendong gadis itu.
"Permisi, beri kami jalan," pinta Masumi dengan suara tegasnya. Ia yakin orang-orang itu mengenalinya, teruma para tamu kelas atas. Namun ia tak peduli.
Masumi menggendong Maya, hendak membawanya pergi ke rumah sakit.
"Pak Masumi!!" tiba-tiba ada panggilan dari belakangnya. Masumi berbalik, dan mendapati pasangan kencan Maya lah yang memanggilya. "Pak Masumi, biar, saya yang membawa Maya ke rumah sakit. Ini tanggung jawab saya. Tadi Maya sedang bersama saya!" Ia menjelaskan fakta yang sudah diketahui Masumi.
Masumi terdiam. Ia jelas tidak ingin menyerahkan gadis dalam pelukannya itu kepada Sakurakoji. Ia baru saja hendak menolaknya, sampai kemudian suara lembut wanita itu kembali terdengar memanggilnya, "Masumi...!" serunya, dengan sedikit panik, saat mendapati Masumi dalam keadaan kuyup.
Masumi menelan ludahnya, ia lantas menunduk, menatap Maya yang masih lemah. Gadis itu juga berharap Masumi tidak menyerahkannya. Tanpa sadar ia melingkarkan tangannya di pinggang Masumi. Dan menatap pria itu dengan memelas.
Masumi tertegun, entah keyakinannya datang dari mana, namun ia merasa, untuk kali ini, Maya tidak akan keberatan berdua bersamanya.
"Tidak apa-apa," kata Masumi kepada Sakurakoji, "Aku yang menolongnya tadi, jadi aku yang tahu kondisinya seperti apa. Oleh ku saja," ia menoleh kepada Shiori. "Maaf Shiori, aku terpaksa membuatmu pulang sendirian," sesal Masumi. "Nanti aku akan menghubungimu lagi, saat ini kondisinya mendesak," Masumi meminta pengertian Shiori.
Seperti yang diduganya, Shiori yang berhati lembut tentu saja mau mengerti, "Ya, Masumi, kabari aku... aku juga, mengkhawatirkanmu," pesan Shiori.
Masumi berbalik dan menaiki sebuah taksi, "Ke rumah sakit terdekat," pintanya. "Aku akan mengganti rugi jokmu yang basah," imbuhnya.
Taksi itu meluncur.
Masumi merapatkan mantelnya di tubuh Maya yang menggigil. Ia sendiri cukup menggigil, karena air laut itu, tidak terbayangkan dinginnya di musim seperti ini, apalagi pada malam hari begini. Masumi masih bertanya-tanya bagaimana Maya bisa sampai jatuh dari dermaga, terseret yacht tersebut?
"Bagaimana perasaanmu? Masih ada yang sakit?" tanya Masumi dengan perhatian, mengusap pelan bahu Maya.
Maya berusaha menggeleng.
"Kakimu sakit?" tanya Masumi lagi.
"Se, sedikit..." Maya menjawab terbata-bata, bibir dan lidahnya terasa kelu.
Masumi menyentuh pipi Maya. Gadus itu terkejut. Pak Masumi... jantung gadis itu yang hampir berhenti berdetak tadi, malah berdetak lebih cepat dari biasanya saat ini.
Masumi bisa merasakan, bahkan ketimbang telapaknya yang dingin, wajah Maya jauh lebih dingin.
"Kau sangat dingin," bisik Masumi, khawatir.
Memang. Sekarang badan Maya menggigil dari ujung kepala ke ujung kakinya.
"Akan sedikit lebih baik, jika aku memelukmu seperti tadi," kata Masumi pelan. "Kalau kau mau," imbuhnya--sambil berharap.
Maya menatap pria itu, lalu mengangguk.
Sekarang, malah pria yang menawarkan jasanya yang merasa gugup. Dengan sedikit canggung ia bergeser kepada Maya dan melingkarkan lengan kokohnya ke bahu Maya yang terasa menciut akibat kedinginan.
"Grep," ia memeluk Maya, dan di luar kuasanya sendiri, merengkuh Maya ke pelukannya lebih dalam lagi. 
Maya...
Tidak dinyana cepatnya tubuh Maya bereaksi akan kehangatan Masumi. Wajah Maya merona, jantungnya memacu dan membuat darahnya mengalir lebih deras, lebih cepat, lebih panas. Tubuh mungil gadis itu perlahan tapi pasti sudha semakin hangat.
Dan nyaman.
Maya merasa, dipeluk seperti ini mengingatkan pada saat keduanya di kuil di lembah plum. Masumi juga sehangat ini, senyaman ini dan begitu melindungi, begitu baik hati seperti saat ini.
Pak Masumi... Ternyata, sesungguhnya kau memang orang yang sangat tulus dan baik hati...
Ia diam-diam terisak.
Pria ini sudah menyelamatkan nyawanya... Lagi. Saat ia sakit, Masumi membawa Maya ke rumahnya, merawatnya. Masumi juga pernah menahan sebuah pilar yang terjatuh demi dirinya. Seharusnya Maya tahu, bagaimana Masumi selalu mengawasi dan menjaganya.
"grep.." maya memeluk Masumi lebih erat.
"bajuku juga basah, sepertinya... Tidak begitu membantu keadaanmu?" tanya Masumi yang sebetulnya sangat gugup dengan perbuatan Maya yang samasekali tidak protes dengan kedekatan mereka. Apalagi, Masumi sangat yakin Maya baru saja mengetatkan pelukan kepadanya.
Sepertinya gadis itu sungguh sangat kedinginan hingga ia tidak mempedulikan dengan siapa ia berpelukan saat ini.
"Sebentar lagi kita sampai," Masumi berusaha menenangkan, kembali Maya hanya mengangguk.
Masih diam-diam terisak, menyesali betapa terlambat ia menyadari bahwa Masumilah mawar ungunya. Masumi lah yang sudah menumbuhkan benih-benih cinta di hati Maya. Dan saat gadis itu tahu, perasaan yang tak terkatakan itu sudah memenuhi rongga hatinya, tanpa menyisakan ruang untuk orang lain lagi. Bukannya Maya tidak tahu bahwa Sakurakoji sepertinya menaruh perhatian kepadanya. Maya sudah tidak sepolos dulu lagi. Namun, sebaik apa pun Sakurakoji bersikap kepadanya, Maya hanya mencintai Masumi.
Pak Masumi... entah sejak kapan, aku jadi begitu mencintaimu... Tapi... sekarang... semua sudah terlambat. Selain kau tidak pernah memandangku sebagai seorang wanita, kau juga... sudah memiliki seorang tunangan.
Maya kembali teringat Shiori. Ia ingat wanita itu yang tadi sempat memanggil Masumi saat menggendongnya.
Deg! Jantung Maya berdenyut menyakitkan, baru menyadari sesuatu. Ada Shiori di sana tadi... apakah itu berarti, Masumi tadi... tengah berkencan dengan Shiori? Pikiran itu benar-benar membuat Maya merasa sangat sakit.
Tidak... Aku dan Pak Masumi tidak mungkin sepasang belahan jiwa... cintaku bertepuk sebelah tangan dan ini sangat menyakitkan. Pak Masumi... akan menjadi milik orang lain...
Selamanya...
Air mata Maya akhirnya menetes juga.
Kumohon... biarkan seperti ini, lebih lama lagi... 
Namun harapannya tidak terkabul, saat si sopir taksi berkata, "Sudah sampai..."
Maya terdiam, sementara Masumi berkata perlahan, "Sudah sampai, Maya..." Ia memisahkan pelukan mereka, dan mulai merogoh dompetnya. Untung saja ia sempat melepas jasnya tadi sebelum menceburkan diri ke dalam air, sehingga uangnya masih layak digunakan untuk membayar jasa si sopir taksi. Ia melebihkan bayarannya karena mereka sudah membasahi joknya, seperti yang ia janjikan.
Masumi menggendong Maya masuk ke dalam rumah sakit.
"Pak Masumi, biarkan aku berjalan," pinta Maya perlahan dengan suara yang masih serak dan lemah, "Aku bisa--"
"Kenapa? Kau malu?" tanya Masumi, "bagaimana jika kau tidak mampu berdiri dan terjatuh, lebih memalukan kan? Atau mau kudorong dengan kursi roda?" tanya Masumi, menggodanya.
Maya sedikit mengerucutkan bibirnya. ia sebetulnya sudah cukup malu, muncul berbasah-basahan berdua dengan masumi di rumah sakit ini, apalagi digendong begini.
"Ada yang bisa dibantu?" tanya seorang perawat, ia tampak menaruh perhatian kepada keadaan mereka yang tidak wajar, terutama karena Maya digendong. "Apakah terjadi sesuatu kepada nona ini?" tanyanya.
"Ya, dia tadi sempat tenggelam dan pingsan. Kakinya pun sempat terjerat tali sangat keras," terang Masumi. "Apakah bisa dipastikan keadaannya? Dan terutama, bisakah ia berganti pakaian?"
"Baik," kata perawat tersebut, "Tapi Anda juga, sepertinya harus berganti baju."
Akhirnya, Maya masuk perawatan. Masumi tertegun, dari tadi, Maya masih menggenggam erat Mawar Ungu pemberiannya. 
Maya... Ia tersentuh. Pria itu menyentuh tangan Maya, menggenggamnya dan melepaskan mawar itu dari kepalan tangan Maya. Ia lantas meninggalkan Maya yang akan melakukan check up setelah berganti baju dengan pakaian rumah sakit.
Begitu juga Masumi. Ia pun terpaksa berganti pakaian dengan baju rawat sementara menunggu pelayannya dari rumah datang mengantarkan pakaian.
Masumi lantas menghampiri Maya yang sepertinya sedang beristirahat dan dicek suhu tubuhnya oleh seorang dokter.
"Sudah selesai?" tanya Masumi di pintu.
"Sudah," kata perawat tersebut. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Cukup beristirahat saja sampai kondisinya pulih kembali. Mungkin hanya kaki nona Maya yang membengkak yang membutuhkan perawatan, tapi semoga tidak akan memakan waktu lama semuanya akan baik kembali."
Masumi sangat lega mendengarnya. "Terima kasih, suster..."
Perawat tersebut sepertinya mengerti, tanpa diminta Masumi ia segera keluar dan mengatakan akan kembali nanti.
Masumi masuk ke dalam kamar rawat. Menghampiri Maya yang mengenakan jenis pakaian yang sama dengannya.
Maya canggung, menarik selimut menutup ke dadanya karena ia tidak mengenakan pakaian dalam. Sepertinya Masumi tidak tahu, tapi Maya tetap saja merasa sangat malu.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Masumi.
"Ba, baik," jawab Maya tanpa menatap Masumi. "Pak Masumi?" kali ini ia berusaha memandang pria itu.
"Aku baik-baik saja, tidak ada masalah. Begitu berganti pakaian dan minum kopi, semuanyabaik lagi," gurau Masumi. "Aku sudah meminta seseorang mengabari teman sekamarmu, mungkin ia bisa menjagamu dan membawakan keperluanmu," imbuhnya.
"Pak Masumi mau kemana?" tanya Maya spontan, merasa bahwa perkataan Masumi yang terakhir seakan mengatakan bahwa pria itu akan meninggalkannya.
"Aku?" Masumi tertegun. "Tentu akan kembali ke rumahku, nanti jika aku sudah yakin sudah tidak ada apa-apa lagi," katanya. Ia beranjak ke ujung tempat tidur. "Boleh, aku melihat kakimu?" tanyanya.
Wajah Maya merona, ia mengangguk perlahan.
Masumi menyingkapkan selimut di kaki Maya dan mengangkat celana panjangnya. Pria itu terkejut, menemukan lingkaran biru di pergelangan Maya, ditambah luka-luka baret merah di sana, bekas gesekan tali yang menjerat Maya.
Masumi mengusapnya perlahan. "Sedikit bengkak," gumamnya. "Untunglah tidak sampai terkilir parah, mudah-mudahan tidak akan mengganggu latihanmu nanti," harapnya.
Pak Masumi... gadis itu mengamati pria yang dicintainya itu. Ia amat senang, dengan semua perhatian Masumi. Juga sentuhannya di kaki Maya, yang terasa sangat lembut, membuat jantung Maya bergetar. Ia tidak kuasa, menahan matanya yang mulai kembali berkaca-kaca.
Masumi mengalihkan pandangannya ke wajah Maya, "Kenapa kau bisa sampai jatuh?" tanya Masumi. "Apa yang sedang kaulakukan sampai-sampai terjerat tali pengikat yacht dan terseret masuk ke laut?"
Gadis itu tampak tertegun, ia kembali teringat peristiwa yang menyebabkan ia berduaan dengan Masumi di rumah sakit ini. "A, aku... aku..." ia menelan ludahnya, "Aku mencari seseorang," katanya, menatap mata Masumi.
"Seseorang?" tanya Masumi dengan heran.
"Ya..." gumam Maya perlahan. "Mawar... Ungu..." akunya.
"DEG!" Masumi sangat terkejut. Ia melirik ke sekuntum mawar yang kuyup di atas nakas.
Jadi... gara-gara aku memberinya mawar ungu?
"A, aku sedang mencari Si Mawar Ungu... dan aku tidak menyadarinya... entah bagaimana, tiba-tiba tali itu mengikat kakiku, dan sebelum aku benar-benar sadar... a, aku sudah berada di dalam air..." Maya mulai gemetar, "terseret..." ia menggigit bibirnya tipis.
Maya memang terlihat masih trauma. Ia ingat bagaimana sakit dan tersiksanya ia di dalam air tadi. Ia bahkan sempat terpikir bahwa ia akan mati. Dan pada saat itu, yang Maya harapkan, adalah bertemu... Masumi.
Dan sekarang pria itu ada di hadapannya. Maya sungguh tidak percaya, masih bisa melihat Masumi lagi.
Sementara Masumi tengah merasa bersalah, Gara-gara aku... batinnya. Gara-gara aku Maya sampai mengalami kejadian ini... Ia menatap Maya yang sedang gemetaran.
"Pak Masumi..." gadis itu menelan ludahnya berusaha menenangkan diri. "Te, terima kasih... untuk pertolonganmu..." katanya dengan tulus.
"Mungil..." desah Masumi, dihantui perasaan bersalahnya. Ia kembali melirik mawar ungu tersebut. Rahangnya mengetat, "Mungil... apa kau begitu ingin bertemu dengan Mawar Ungu, hingga kau samasekali mengabaikan keselamatanmu?" tanya Masumi tegas.
Pak Masumi...? Maya sangat terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Masumi. "ya!" jawabnya pasti. "Aku sangat ingin bertemu dengannya..." ia terdengar memelas, "Dia adalah... orang yang paling ingin kutemui saat ini," kata Maya. "Aku..."
"Tapi jangan bertindak bodoh sampai-sampai kau lengah dengan sekelilingmu!" tegas Masumi, suaranya sedikit keras, namun sebetulnya itu karena ia merasa bersalah dan khawatir. "Mungil..." saat ini, yang paling penting kau harus menjaga dirimu untuk pementasan Bidadari Merah. Kau harus ingat itu," kata Masumi.
Maya menelan ludahnya. Ya, Masumi selalu memandangnya sebagai seorang aktris. Ia begitu melindunginya, bersikap lembut dan perhatian kepadanya, karena ia seorang aktris. Tidak lebih. Karena... Bagi Masumi sudah ada wanita lain, Shiori. Tunangannya.
Ukh! Rasanya napas Maya mendadak terhenti karena teringat hal itu. "Pak Masumi! Maaf.. karena, karena aku sudah merusak kencan Anda," kata Maya, dengan suara lemah namun tajam. Ia tidak terlalu mampu menyembunyikan rasa cemburunya.
Eh? Mungil? Masumi tertegun. "Tidak... kami sudah mau pergi saat kejadian itu. Mungkin, seharusnya kau meminta maaf kepada teman kencanmu," kata Masumi, berbalik bicara tajam.
"Te, teman kencanku?" Maya tertegun, hampir lupa dengan keberadaan Sakurakoji. "Di, dia... kami... tidak..."
"Ah... masalah pribadimu bukan urusanku," kata Masumi, pura-pura tak acuh padahal ia sedang jadi pengecut yang tidak berani menghadapi kenyataan. "Aku hanya berharap kau jangan terlalu ceroboh lain kali," tandasnya.
"Ya..." Maya mengangguk, menunduk.
Keduanya lantas saling berpandangan. Saling diam. Masumi sudah tidak tahu apa lagi yang harus dikatakannya, demikian juga dengan Maya. Ia ingin Masumi setidaknya diam dulu di kamarnya. Mungkin membicarakan sesuatu. Tapi keduanya masih kehilangan kata-kata dan hanya saling memandang.
"Kau..." Masumi akhirnya bicara, walau bingung apa kelanjutan kalimatnya. Ia sedikit bingung dengan Maya yang bersikap tenang di depannya. Tidak mencebik, tidak marah.
Memang, Masumi pun merasakan, bahwa Maya sebetulnya sudah banyak berubah. Mungkin karena gadis itu sudah mulai beranjak dewasa? Masumi ingat kembali, saat mereka bermalam di lembah plum. Maya juga tenang seperti saat ini, dan juga begitu melankolis. Ia ingat Maya tiba-tiba saja menangis malam itu, sebelum diam tenang di pelukannya dan jatuh tertidur hingga pagi.
Dan saat itu, Maya tidak menolak uluran tangannya, dan setelahnya, memberikan setangkai buga plum. Hingga saat ini, apa yang Maya lakukan hari itu masih menjadi tanda tanya besar bagi Masumi.
"Ini lambang perasaanku," kata Maya saat itu, sebelum berlari meninggalkannya. Lambang perasaan... apa?
"Apa, Pak Masumi?" tanya Maya, yang merasa mulai rikuh karena Masumi tak lekang memandangiya sedari tadi tanpa berkata apa-apa.
"Hm, apa?" tanya Masumi, tertegun.
"Kenapa... jadi Pak Masumi yang bertanya kepadaku? tadi Pak masumi bilang, kau... lalu tidak melanjutkan," kata Maya. "Apakah ada sesuatu?" tanya Maya, memastikan.
Saat itu, dengan besar kepala Masumi sempat berpikir bahwa Maya mungkin jatuh cinta kepadanya. Cinta sang bidadari merah, itulah yang mau Maya sampaikan dengan memberikannya setangkai bunga plum merah.
Namun, itu tidak mungkin! Mustahil! bunga itu segera gugur setelah dibawa keluar lembah plum. begitu juga perasaan Maya yang mungkin hanya terbawa suasana. Ia hanya ingin mengucapkan terima kasih atas perbuatan Masumi malam sebelumnya.
Namun demikian, Masumi masih ingin memastikan.
"Maya... saat itu, di lembah plum," kata Masumi. "Saat... kita tejebak hujan dan bermalam di kuil..." Masumi berhenti bicara, karena wajah Maya segera merona merah dan ia tertunduk. Tampak canggung.
Pria itu menelan ludahnya, "Aku hanya ingin mengatakan, bahwa... kau ingat tangkai bunga plum yang kau berikan kepadaku keesokan paginya? Begitu keluar dari lembah plum, 
bunganya segera berguguran," Masumi tersenyum tipis dengan sendu.
"Ah, benarkah begitu?" tanya Maya, terkejut.
"Ya. Aku tidak tahu bagaimana denganmu. Tapi di lembah plum itu aku selalu mengalami sesuatu yang luar biasa," ia kembali teringat saat ia bermimpi jiwanya menyatu dengan maya setelah gadis itu memperlihatkan bidadari merah. "Mimpi, yang luar biasa..."
Pak Masumi... mata gadis itu membulat sedikit. Ia juga mengenang hal yang sama. bahkan, tiap kali mengingatnya, Maya masih bisa merasakan kehangatan tubuh Masumi yang dulu mendekapnya. Padahal, mereka terpisahkan sebuah sungai yang sangat besar. Namun setiap senti kulit tubuhnya bisa dengan nyata merasakan sentuhan dengan kulit Masumi.
Gadis itu menunduk,lalu wajahnya sedikit merona mengingat 
kejadian hari itu. Sejak saat itu, sosok Masumi terus melekat kuat di benak Maya. Apalagi setelah kejadian di kuil tua itu. Ia seringkali merindukan sosok Masumi.
"Maya!" tegur Masumi. 
"Ah, ya," kali ini Maya yang melamun. 
"Nah, kan, sekarang kau yang melamun," katanya. "Ada yang kau pikirkan?"
Maya menggeleng pelan, "Anda benar, aku pun... Saat berada di sana, memiliki pengalaman-pengalaman yang luar biasa, indah... Seperti... Mimpi..." maya menatap Masumi penuh arti, sedikit sendu.
"Mungil, bolehkah aku bertanya mengenai sesuatu?" Masumi sedikit berdebar saat bertanya.
"A, apa?"
"Saat itu, ketika kau memberikan tangkai bunga plum merah, kau bilang itu adalah lambang perasaanmu kan...? Apa, maksudmu dengan lambang perasaanmu?" tanya Masumi, memberanikan diri.
Bukannya hal itu akan mengubah keputusannya untuk mulai melupakan Maya, hanya saja, Masumi benar-benar ingin tahu, dan sepertinya saat ini adalah waktu yang tepat untuk menanyakannya. Maya tidak seberingas biasanya. Dan... tidak ada salahnya kan bertanya?
Namun, mendapatkan pertanyaan itu jelas membuat Maya menjadi salah tingkah. Ia menunduk, merasakan wajahnya merona. Jelas saat itu, Maya bermaksud menyampaikan kepada Masumi mengenai isi hatinya yang terdalam. Seperti cinta Bidadari Merah yang tidak mungkin kepada ishin, mungkin seperti itulah cinta Maya yang tak mungkin kepada Masumi.
Perasaan yang tak bisa ditahan, namun juga tidak bisa diungkapkan.
"I,itu... saat itu... aku sangat berterima kasih, karena Pak Masumi ada di sana... untukku," Maya sangat berharap ucapannya benar, "Kalau tidak ada Pak Masumi yang menemukan dan menemaniku, aku tidak tahu apa yang terjadi kepadaku. Mungkin saja, aku jatuh sakit..." kata Maya. "Karena itu, untuk mengungkapkan rasa terima kasihku, aku... hanya bisa, memberikan bunga plum merah itu..." elaknya.
Masumi tertegun, terdiam. ia mendengus dan tersenyum tipis.
"Ya, kurasa, pilihanmu tepat, bunga itu mekar dengan cantik di lembah itu walaupun bukan pada musim semi, namun... saat dibawa keluar dari sana, bunga itu segera berguguran," kata Masumi, "Ya, seperti kau yang menganggapku pahlawan hari itu, tapi setelahnya aku berubah jadi penjahat lagi kan?" guraunya.
"Pak Masumi..." desah Maya, entah kenapa ia sungguh merasa bersalah mendengar ucapan Masumi. Bukan seperti itu... Pak masumi, pikirnya sendu. "Aku... a, aku..." Maya menggigit tipis bibirnya. "Sebetulnya, bagiku..." Maya menatap pria itu,"Bagiku, Pak Masumi..." Maya menunduk, wajahnya merona.
Masumi tertegun mengamati ekspresi gadis itu.Maya...? ia bertanya-tanya. Gadis itu tampak tidak biasa, juga tidak menyetujui bahwa baginya Masumi memang sudah jadi penjahat lagi. Masumi pikir, Maya akan berkata, bahwa melihat wajahnya saja sudah membuat gadis itu merasakan kakinya berdenyut lebih sakit atau perutnya mual.
Jantung pria itu berdebar. Di satu sudut hatinya, kadang, sikap Maya selalu membuatnya berharap, Berharap berlebihan, sebagai seorang pria yang jatuh cinta.Seperti saat Maya mengatakan semoga Masumi bahagia, dan ia berpikir Maya cemburu kepadanya dan Shiori, atau saat gadis itu menyerahkan batang bunga plum merah, dan Masumi sempat memikirkan kemungkinan yang mustahil : Maya jatuh cinta kepadanya. Namun ia harus segera membuang jauh-jauh pemikiran itu. Bagaimana pun itu mustahil... kan? 
Tapi kenapa gadis itu sekarang menunduk malu-malu di hadapannya, "Bagimu... aku... apa? Mungil...?" tanya Masumi, sedikit mendesak. "Bagimu...?"
"Maya, bagaimana keadaanmu?" tanya Rei yang baru tiba, ia menoleh, kepada Masumi dan mengangguk tipis.
"Selamat malam, Rei..." sapa Masumi.
"Ah, Rei... kau sudah datang?" kata Maya, yang jantungnya masih berdebar-debar.
"Ya, dan aku tidak sendiri, aku bersama..."
"Halo Maya," Sakurakoji muncul, masih mengenakan pakaian yang dipakainya saat mereka berkencan tadi.
Jadi Rei datang bersama Sakurakoji. Masumi mengempaskan napasnya tak kentara.
"Baiklah, kurasa aku tak akan mengganggu istirahatmu lagi," kata Masumi.
Ia lantas menjelaskan kepada Rei mengenai keadaan Maya dan bahwa Maya sudah bisa pulang saat sudah merasa baikan. Maya juga tidak perlu membayar biaya apa-apa.
"Pak Masumi! Terima kasih," ucap Maya kemudian.
Masumi hanya tersenyum tipis dan pergi dari sana. Hatinya masih diliputi perasaan tidak tenang. Ada sesuatu, mengenai Maya. 
Maya... pipi pria itu menghangat. Ia sudah lama merindukannya, tak dikira, ia dapat bertemu dengan Maya malam ini, bahkan berbincang dengannya, berpelukan... dengannya.
Maya... perasaan pria itu semakin tak menentu. Mustahil, ia bisa melupakan dan menghapuskan perasaannya begitu saja kepada Maya, walaupun ia sudah memiliki calon istri di sisinya.
Setelah berganti pakaian dan bercengkrama, akhirnya Maya memutuskan untuk pulang.
"Kau naik motor Sakurakoji saja, biar aku naik taksi," kata Rei.
"Eh? mmh... baiklah," Maya setuju.
"Bagaimana? Apa kau bisa berdiri?" tanya Sakurakoji. 
Saat ini kaki Maya sudah dibebat oleh perban.
"Ya, kurasa aku-- kyaaa!!" Maya hilang keseimbangan.
Dan, Sakurakoji menangkapnya.
Dan, Masumi melihatnya.
Maya.... Wajah Sakurakoji menghangat, lengannya yang menangkap, lalu memeluknya.
Maya... Masumi tertegun, hatinya sakit. Ia menelan ludahnya dan menegangkan rahangnya. Dan tangannya perlahan terkepal kuat.
"A, ah, ah! Pak Masumi!" Maya terkejut, ia berusaha menegakkan badannya.
"Hati-hati, Maya..." kata Yuu dengan lembut, tangannya masih memegangi lengan Maya walaupun keduanya sudah tidak berdekapan seperti tadi.
"Maaf mengganggu," kata Masumi dengan dingin. "Mana temanmu?" ia sedikit menyalahkan Rei yang membiarkan keduanya berduaan.
"Se, sedang memanggil taksi," kata Maya.
"Kau naik taksi?" tanya Masumi.
"Tidak, Pak Masumi, Maya ikut denganku naik motor agar cepat sampai," kata Sakurakoji. "Lagipula, dia tadi bersamaku. Sudah tanggung jawabku mengantarkannya sampai kembali."
Jantan sekali, sindir Masumi dalam hatinya. "Begitu," tukasnya pendek. "Baiklah, aku juga sudah harus pulang sekarang. Aku permisi dulu. Hati-hati di jalan," katanya, tidak berlama-lama ia segera memutar tubuhnya. Ia sempat menoleh sebentar, "Sekarang Ishinmu sudah datang, kau pasti segera sembuh ya, Akoya?" 
Ia lantas berlalu dari sana.
Pak.... Pak Masumi... gadis itu mengamati punggung Masumi yang menghilang.
"Ayo, Maya," Sakurakoji menyerahkan tongkat penyangga. "Bisa?"
"I, iya,... kuusahakan..." katanya.
Bayangan Maya dan Sakurakoji yang berpelukan kembali membayang di pelupuk mata Masumi. Wajah pemuda itu... dia... tampak sangat hangat, sangat senang. Bagaimana bisa seorang laki-laki mengekspresikan perasaannya begitu terbuka seperti Sakurakoji. Masumi merasa sangat iri. Tidak perlu pura-pura, bisa mendekatinya kapan saja, dan tidak pernah diusir Maya. 
Ukh!! Masumi cemburu sekali!
Ia ingat gadis itu yang memeluknya tiba-tiba tadi. Ingat gadis itu yang pendiam, yang malu-malu menunduk di hadapannya.
Ada yang tak terkatakan, namun Masumi bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Maya sepertinya... Tidak akan menolaknya.
Pria gagah itu berbalik. Kembali ke kamar Maya.
"Tidak apa-apa, pelan-pelan saja," kata Sakurakoji.
"Rasanya tidak nyaman, sesuatu mengganjal di ketiakku," keluh Maya.
Sakurakoji tertawa renyah. Ia lantas mengamati mawar ungu yang kuyup di tangan Maya. Gadis itu sempat jatuh ke dalam air laut yang dingin, terseret sebuah yacht, bahkan pingsan. Namun tangannya masih dengan kuat mengepal mawar ungu tersebut.
"Maya!" sebuah suara jantan menyapa mereka.
Masumi. Ia kembali.
"Pak Masumi!" seru Maya. "Ada apa?"
"Kurasa, lebih baik aku yang mengantarmu." kata Masumi, tegas.
"Ha? Apa?" Maya dan Sakurakoji sama-sama terkejut.
"Dengan keadaan Maya sekarang, jauh lebih mudah jika dia kuantar. Sedikit mengkhawatirkan jika harus naik motor."
Sakurakoji tertegun, "Kalau begitu, kami bisa menggunakan taksi dan aku bisa kembali mengambil motorku."
"Repot. Lebih mudah kuantar saja," Masumi memutuskan.
"Tapi, pak masumi!" Yuu tidak setuju.
"Bagaimana, Maya?" tanya Masumi.
"Eh?" maya tertegun. Memilih, antara Masumi dan Sakurakoji?
"Mmh... Aku..." Maya bimbang, lantas menoleh kepada Sakurakoji, "Sakurakoji, maaf, tapi kurasa Pak Masumi benar. Dengan membawa tongkat penyangga begini, aku takut malah merepotkanmu."
“Tidak akan merepotkan!" tegas Sakurakoji.
Masumi bergerak lebih cepat, ia meraih tongkat penyangga Maya. "Kyaa!!" pekik Maya saat hampir terjatuh, dan sekali lagi terpekik saat Masumi sudah menggendongnya lagi.
"Begini lebih mudah," katanya, tidak mau dibantah. "Bisa kau pegang kruk-nya?" tanya Masumi.
"Bi, bisa, tapi--"
"Pak Masumi, aku yang akan mengantar Maya," tegas Sakurakoji. "Malam ini dia adalah teman ken--" Sakurakoji terdiam, ia tidak pernah mengatakan terang-terangan kepada Maya bahwa ajakannya ini kencan. Namun, melihat Maya berdandan, Sakurakoji tahu bahwa Maya menyadari bahwa ajakannya ini adalah sebuah kencan.
"Teman kencan?" tanya Masumi, meneruskan ucapan yang terpotong.
Sakurakoji membisu sesaat, "Yang pasti, aku bertanggung jawab dengan keadaan Maya malam ini, hingga ia kembali ke tempat tinggalnya."
"Tidak apa-apa, jangan khawatir," kata Masumi, mendekap Maya lebih erat. "Aku tidak keberatan bertanggung jawab untuknya mulai sekarang. Ia akan sampai tempat tinggalnya dengan selamat, lagipula, Masumi menunduk, menatap Maya. "Ini bukan pertama kalinya kita beradegan seperti ini kan? Kau pasti sudah mulai terbiasa," katanya datar. Dia bermaksud menggoda Maya, namun keberadaan Sakurakoji membuat intonasinya datar saja.
Maya tertegun, wajahnya merona.
Sakurakoji, sedikit merasa kesal. Tidak pernah sebelumnya Masumi terasa begitu menghalang-halanginya seperti hari ini. Namun, Maya pun tidak berontak, Sakurakoji tidak punya alasan untuk mempertahankan keinginannya.
"Ayo, Mungil," kata Masumi. "Kami permisi."
"Maya! Besok... aku akan mengatakan bahwa kau belum bisa latihan lagi. Dan, aku akan berkunjung ke tempat tinggalmu," imbuhnya.
Berkunjung ke tempat tinggal Maya? Masumi benar-benar kesal.
Seakan belum cukup, Sakurakoji menambahkan, "Terima kasih kau sudah bersedia menemaniku hari ini. Aku senang sekali, walaupun ada kejadian yang tidak terduga ini, aku jadi merasa bersalah kepadamu."
"Tidak, ini bukan salahmu," kata Maya, di gendongan masumi, dan benar-benar membuatnya merasa canggung, "Terima kasih Sakurakoji untuk tiket pertunjukan musik dan juga makan malamnya, maaf, aku jadi menyusahkanmu."
"Tidak, bukan begitu, aku yang--"
"Kalau aku," potong Masumi tiba-tiba, yang sudah merasa sedikit gerah dengan adegan Romeo dan Juliet itu. "Kalau aku, tidak akan pernah melepaskan pandanganku dari gadis yang kuajak berkencan," tutupnya.
Ia tidak banyak berkata lagi, dan segera membawa Maya pergi.
Pria itu berjalan menyusuri ruang rumah sakit. Kali ini kembali orang-orang memperhatikan mereka walaupun pakaian keduanya tidak basah.
"Pak Masumi," Ujar Maya, menyatakan ketidaknyamanannya.
Tapi sekali lagi pria itu tampak tidak peduli. "kau mau menggunakan kursi roda?" tanya Masumi.
"Bukan begitu..." tampiknya.
Namun ternyata kejutan sudah menanti mereka saat keluar dari sana.
Ada beberapa wartawan yang memotret mereka. Masumi, yang sedang menggendong Maya. Mereka tampak ramai di luar halaman rumah sakit. Namun lampu blitz nya tampak mencolok di tengah kegelapan malam.
Masumi kembali mengabaikannya. Namun Maya bisa merasakan dekapan pria itu yang semakin erat dan hangat.
Pria itu lantas menaikkan Maya ke dalam mobil dengan hati-hati. Padahal, menurut Maya sakitnya ini tidak seberapa. Hanya sedikit bengkak dan baret-baret saja, mungkin besok atau lusa juga sudah sembuh.
Masumi meminta sopir mengantar ke kediaman Maya. Namun, seperti yang Masumi duga, para wartawan itu menghentikan mobil Masumi.
Mereka mengetuk-ngetuk jendela, memberondonginya dengan berbagai pertanyaan. Masumi yang tahu, hampir mustahil menghindarinya, lantas menurunkan jendela setelah memberikan instruksi agar Maya jangan bicara dan jangan menatap kamera mereka.
Maya bisa merasakan jepretan kamera yang menyerbu mereka saat masumi menurunkan jendela. Mereka bertanya mengenai apa yang terjadi, bagaimana keadaan Maya dan bagaimana Maya bisa berada bersama Masumi.
"Ya, nona Kitajima mengalami sedikit musibah tadi, kebetulan aku sedang berada di tempat yang sama. Tidak, kami tidak pergi bersama. Sekarang keadaannya sudah baik-baik saja, kakinya sedikit bengkak dan terluka namun tidak ada yang parah, namun tetap saja dia harus beristirahat dan absen dari latihannya untuk sementtara waktu. Tidak akan lama." Masumi menjawab satu per satu pertanyaan wartawan.
"Pak Masumi, apakah Anda yang menjaga dan mengantarnya? Apakah kalian berhubungan dekat? Karena selama ini sepertinya tidak ada yang tahu bahwa--"
"Sebagai orang yang mengenal Nona Kitajima tentu aku harus membantunya saat dia terkena musibah kan? Kebetulan aku juga ada di sana. Apalagi Nona Kitajima adalah salah satu calon pemeran Bidadari Merah, aku harus tahu pasti bagaimana keadaannya. Karena apapun yang berkaitan dengan Bidadari Merah, adalah kepentingan Daito, dan apapun kepentingan Daito adalah kepentinganku," ujar Masumi sebelum menyudahi, "Sekarang permisi, aku harus pergi mengantar Nona Kitajima sebelum terlalu larut, aku takut dia terlambat pergi ke sekolah besok," Masumi tersenyum penuh canda.
Akhirnya mobil mereka berhasil kembali melaju setelah Masumi tidak lagi berniat menjawab pertanyaan mereka.
Saat Masumi menoleh kepada Maya, ia sedikit terkejut, Maya sedang mengerucutkan bibirnya dan mendelik dengan kesal.
"Apa?" tanya Masumi, dengan alis sedikit terjungkit. "Apa kau sudah lama memasang wajah seperti itu? Wah... menarik, pasti wajah memberengutmu itu besok akan muncul di koran ternama."
Maya menggesekkan giginya, "Aku ini sudah bukan anak sekolah!!" Kata Maya. "Aku sudah lulus! Sudah dewasa!" tegasnya.
"Oh... jadi karena sudah lulus sekolah otomatis kau sudah dewasa?" sindir Masumi.
"Ya! tentu saja! Aku sudah 20 tahun! Beberapa bulan lagi aku 21 tahun!! Itu usia yang cukup untuk menikah!" tegas Maya dengan kesal.
"Ahh... habis... di mataku kau masih saja seperti anak kecil! Aku malah sedikit terkejut, saat tahu kau sedang berkencan ya, tadi..." ledeknya, walaupun dalam hati Masumi merasa sakit.
Namun, reaksi Maya tidak seperti yang dipikirkan Masumi. Ia tidak marah-marah, malahan, gadis itu membuang muka darinya, dan hanya diam saja. Mungkin... dia malu karena masalah kencannya diungkit-ungkit?
Namun nyatanya, Maya sedih, Masumi masih saja menggoda dan memperlakukannya seperti anak kecil. Dan... sebagai sebuah pekerjaan. 
Apapun yang berkaitan dengan Bidadari Merah, adalah kepentingan Daito, dan apapun kepentingan Daito adalah kepentinganku.
Ah, Maya... memangnya, kau mau dia menganggapmu apa? batin Maya. Kau sudah tahu Pak Masumi hanya memikirkan Bidadari Merah. Dia sudah punya tunangan, wanita yang sangat cantik dan pintar... Nona Shiori... wanita seperti itulah, yang bisa dicintai Pak Masumi.
Hiks... Maya tiba-tiba saja terisak, tidak bisa menahan diri lagi saat teringat Masumi dan Shiori. Membayangkan mereka... airmatanya turun semakin deras.
"Mungil..!?" Masumi sangat terkejut. "Kau kenapa?" tanyanya khawatir. "Kau kenapa, Mungil?"
Maya menunduk dan menggeleng, meminta airmatanya berhenti, tetapi tidak bisa.
"Kenapa? Apa kau sakit? Kakimu sakit lagi?" tanya Masumi penuh perhatian dan terdengar sedikit panik.
Pak Masumi... kenapa kau begitu baik, begitu perhatian kepadaku... kenapa aku baru menyadari semuanya setelah terlambat... setelah kau... menjadi milik orang lain...
"Mungil, katakan kepadaku, ada apa?" desak Masumi.
"Sakit...." isak Maya, dengan airmata bercucuran dan suara bergetar. "Sakit..."
"Kakimu sakit? Mau kembali ke rumah sakit?" tanya Masumi. "Kurota!!"
"Tidak!!" sergah Maya, seraya menggelengkan kepalanya saat Masumi hendak memerintahkan sopirnya kembali ke rumah sakit. "Tidak... usah..."
"Tapi, kenapa kau menangis?" Masumi menyentuh bahu Maya. "Sebaiknya kita kembali saja jika--"
Maya menggeleng, menyandarkan dahinya ke lengan Masumi. "Tidak apa-apa..." isaknya, "Hanya sakit... sedikit...”
Deg! Masumi terkejut. Mungil...? Pria itu tidak mengatakan apa-apa. Tanpa bertanya, ia memeluk gadis itu, entah bagaimana, ia merasa itulah yang dibutuhkan Maya.
Dan Maya tidak menolaknya. Ia membenamkan dirinya di dada Masumi.
"Sakit... sekali... Pak Masumi..." isak Maya.
Keluhan Maya kali ini, membuat Masumi menyadari sesuatu. Sepertinya, Maya bukan mengeluh mengenai kakinya. Ia tidak tahu apa, namun Masumi mengeratkan pelukannya.
Sementara Maya masih saja terisak. Airmatanya tak berhenti meluruh.
Ya Tuhan... Pak Masumi... Aku sangat.... Sangat mencintaimu....
Masumi bertanya-tanya dalam hatinya. Ada apa, hingga Maya begini sedih dan murung. Sepertinya, Masumi bertanya pun, Maya tidak akan bercerita.padahal, tadi ia masih melihat Maya tertawa-tawa dengan riangnya bersama Sakurakoji di tengah makan malam mereka. Sekarang, Maya malah bergeming dalam pelukannya. Sangat sedih dan mengeluh sakit.
Namun... Masumi memandang tangan Maya yang mengepal, menggenggam mawar ungu dengan erat. Yang tidak dilepaskan tak peduli apa yang menimpanya.
Maya jatuh cinta, kepada si pengirim mawar ungu... Ucapan Kuronuma saat itu kembali terngiang. Saat Maya berlari melintasi jalan raya yang ramai, demi menyelamatkan sekuntum Mawar Ungu.
Maya... Jantung Masumi berdebar kuat. Tiba-tiba saja, tubuh pria itu juga bergetar, menyadari rasa cinta Maya yang teramat besar kepada Mawar Ungu.
Kepada... dirinya? Masumi Hayami dari Daito?
Tapi sangat tidak mungkin, ia tidak pernah bertemu penggemarnya itu, dan... Mungkinkah Maya jatuh cinta pada sosok yang tidak dikenalnya? lantas, bagaimana, jika Maya tahu bahwa sosok yang dikaguminya itu, adalah pria yang sama dengan yang selama ini begitu dibencinya? Pria yang pernah menyebabkan kematian ibunya.
Rasa pahit itu kembali menyapa Masumi, menyadarkannya kenapa selama ini bersembunyi.
Maya...
Jiwa Masumi gelisah. Andai saja ia tidak gegabah dulu. Mungkin, semuanya tak harus jadi rumit begini.
Sekarang, Maya juga jadi ikut menderita karena jatuh cinta pada sosok yang tak dapat dijangkaunya. Namun, Masumi khawatir, jika ia tak mengungkapkan diri, akting Maya akan terus terganggu. Sementara, jika ia mengungkapkan diri, maka, mungkin Maya tidak akan pernah bisa lagi dijangkaunya, bahkan sebagai mawar ungu.
Segera terbayang di kepala Masumi, bagaimana Maya akan berteriak menolaknya, memakinya, dan tak akan mau apa-apa lagi darinya. Mungkin saat itu, ia yang akan perlahan-lahan mati.
Tanpa sadar ia mengeratkan kembali pelukannya kepada Maya. Ternyata, gadis itu sudah tak lg bersuara.
Maya tengah terlelap dalam pelukannya.
Keduanya tiba juga di kediaman Maya, "tolong bawakan tongkatnya," pinta Masumi saat si sopir membukakan pintu.
Ia lantas dengan hati-hati menggendong Maya turun dari mobilnya.
Sejenak ia mengamati wajah tidur gadis itu saat membawanya ke dalam apartemen. Cantik sekali. Ia ingin melihatnya seperti ini setiap hari.
Masumi melangkah menaiki tangga. Sepertinya Rei mendengarnya. Ia segera menyambut Maya. 
Gadis tomboi itu terkejut! Bukannya Sakurakoji, malahan Masumi yang datang, dan Maya berada dalam gendongannya. Memejamkan mata.
"Maya kenapa!?" tanya Rei spontan."Mana Sakurakoji?"
"Aku yang mengantarkan dan dia tertidur di dalam. Tubuhnya masih lesu, harus banyak istirahat," terang Masumi.
Akhirnya Rei mempersilakan Masumi masuk.
Gadis itu dengan sigap menyiapkan futon Maya dan sementara itu, Masumi memandangi Maya yang masih berada di gendongannya. Entah kenapa wajah polos Maya saat tidur pun tampak sangat menarik untuknya.
Tanpa sadar Masumi tersenyum tipis, lembut, dan penuh cinta. Dan Rei sempat melihatnya.
Gadis itu terenyak melihat Masumi yang mengamati Maya dengan tak biasa. "Fu, futonnya sudah siap," kata Rei, sedikit canggung dan segan karena merasa telah menginterupsi Masumi yang tampaknya tengah tenggelam di dunianya sendiri.
Masumi tertegun, senyuman itu terhapus begitu saja. Ia segera menghampiri futon itu. "Kruk Maya ada di sopirku," ungkap Masumi.
"Ah, ya, biar kuambilkan," ujar Rei. Ia baru saja hendak keluar kamar saat teringat sesuatu. Ia diam. Memandang was was kepada Masumi.
Pria itu menyadarinya.
"Ada apa Rei? Kau tenang saja, aku tidak akan macam-macam, aku hanya akan meniduri-- kan,nya!" koreksi Masumi cepat.
"Apa!?" rei terperanjat.
"Aku hanya akan membaringkannya di tempat tidurnya!" tandas Masumi.
Rei menatap curiga, namun Masumi tampak kembali bergeming seakan-akan ia tidak pernah salah bicara.
Akhirnya Rei pergi, keluar dari kamar itu dengan keyakinan Masumi tidak akan macam-macam kepada Maya.
"Duh! Bicara apa aku tadi!" Rutuk Masumi pada dirinya sendiri. Rasanya ia ingin memukul kepalanya sendiri dengan palu.
"Mmh..." Maya menggeliat, protes saat tidak lagi merasakan kehangatan Masumi. Dan senyuman simpul yang sempat hilang dari bibir pria itu kembali muncul. Gemas.
Masumi mengamatinya lagi, tanpa bosan. Ia mengusap pipi gadis itu, dan wajah Masumi tanpa bisa ditahan, jadi merona, menatap penuh cinta.
"Mmh... Mawar... Ungu..." gumam Maya dalam tidurnya.
Masumi tertegun mendengar gumaman Maya.
Maya... pria itu bimbang. Apa kau benar-benar begitu mencintai Mawar Ungu? 
Aneh, mungkin. Tapi Masumi sungguh sangat cemburu kepada Mawar Ungu. Kepada dirinya yang tak bisa ia ungkapkan itu. Kenapa pria itu bisa mendapatkan cinta Maya, tanpa harus menunjukkan dirinya. Kenapa Maya, tidak bisa mencintainya yang berada di depan matanya.
Masumi mengamati lagi tangkai Mawar Ungu yang lusuh itu, yang digenggamnya dengan erat. Masumi meraihnya, berusaha melepaskan bunga itu dari genggaman Maya. Berhasil. Alis Maya tampak sedikit berkerut, mungkin kehilangan.
Maya... Masumi kembali memandanginya penuh cinta. Membuat gadis itu menderita seperti dirinya bukanlah keinginan Masumi. Namun mengungkapkan jati diri si Mawar Ungu pun tidak akan menjadi solusinya. Mungkin Maya malah akan semakin menderita, karena ia akan kehilangan tempatnya bergantung.
Masumi menghela napas putus asa.
Rei terkejut, melihat Masumi masih berlutut di samping Maya, mengamati gadis itu dengan tatapan yang tidak dikenalinya. Jelas Masumi sedang memikirkan sesuatu. Ia tak menyadari keberadaan Rei.
"Saya sudah ambil kruk-nya," kata Rei, meminta perhatian.
Masumi tertegun, menoleh. "Ah, ya," ia bangkit berdiri. "Aku permisi kalau begitu," katanya dengan wajah datar.
Ada yang Rei tidak mengerti. Sesuatu, yang berbeda.
Masumi lantas melangkah keluar kamar Maya. Rei mengikutinya dari belakang.
"Kurasa kaki Maya tidak akan sakit terlalu lama, nanti dua-tiga hari lagi minta Maya kembali ke rumah sakit. Masalah biaya tidak perlu khawatir," imbuhnya.
Rei diam tidak menyahut, ada yang dipikirkannya. Dikhawatirkannya saat melihat pria jangkung itu.
"Pak Masumi!" serunya, saat pria itu membuka pintu hendak keluar.
Masumi terdiam.
"Sebenarnya ada apa!? Kenapa Anda begitu memperhatikan Maya!?" tanya Rei.
Masumi tertegun, menelan ludahnya. Aku... perhatian...
"Mungkin, Maya memang terlalu polos. Namun, aku sebagai sahabatnya, cukup lama merasa bahwa Anda memperlakukannya dengan cara berbeda!"
Masumi masih terdiam untuk beberapa saat sebelum memutuskan untuk berbalik dan menatap Rei, "Apa maksudmu Nona Aoki?"
"Anda tahu benar apa maksudku. Anda selama ini, sepertinya selalu saja merencanakan sesuatu untuknya, atau mengetahui banyak hal mengenai Maya. Apa Anda memiliki niat tersembunyi kepadanya!? Katakan, Pak Masumi! Apa yang Anda inginkan darinya? Apa masih tidak cukup apa yang telah Anda lakukan kepada Maya?"
Niat tersembunyi, decak Masumi dalam hatinya.
"Aoki, jika aku menaruh perhatian kepada Maya, itu tentu hal yang wajar. Dia adalah calon Bidadari Merah. Dan aku sebagai Direktur Daito, tidak mungkin mengabaikan seorang maya kitajima."
"Itu saja? Apa Anda melakukan hal yang sama kepada Ayumi?"
"Ya tentu saja. Bagiku, semua calon pemeran sandiwara Bidadari Merah sama pentingnya." tandas Masumi.
"Anda juga akan menggendong Ayumi jika kakinya sakit!?" Rei memicingkan matanya, tidak percaya.
"Tentu saja, jika dia sakit di dekatku."
"Pak Masumi, jika anda, niat macam-macam kepada Maya, Anda harus ingat, bahwa Anda akan berhadapan dengan semua anggota teater Mayuko! Dulu kami membuat kesalahan dengan membiarkan Maya berjuang sendirian. Tapi kali ini, kami tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi."
"Menyentuh sekali," ujar Masumi. "Aoki, boleh aku tahu satu hal mengenai Maya?"
"Maya?" Rei tertegun.
"Ya. Apa pendapat Maya mengenai penggemarnya itu? Sebesar apa arti Mawar Ungu baginya?"
"Kenapa Anda mau tahu? Dan kenapa aku harus memberitahumu!?" 
Seharusnya Masumi tahu, tidak akan mudah bertanya kepada Rei.
"Aku hanya ingin tahu. Dia penggemar Maya sejak dulu kan? Mungkin, siapa tahu, aku punya petunjuk mengenai siapa orangnya. Relasiku sangat banyak." 
"Memangnya, jika Anda tahu, Anda akan membantu Maya?" tanyanya sangsi.
"Aoki, aku hanya bertanya tanpa maksud apa-apa. Saat aku menyelamatkan Maya, dia sedang menggenggam mawar ungu. Dan dia sama sekali tidak melepaskannya, menggenggamnya erat sampai aku melepasnya dari genggamannya. Aku hanya penasaran saja, kenapa gadis itu sampai bisa seperti itu," Masumi beralasan.
Sepertinya Rei percaya. "Pak Masumi, Mawar Ungu adalah orang yang sangat penting bagi Maya. Walaupun dia memiliki kami, para sahabatnya, punya Bu Mayuko, teman-teman sekolahnya, lawan mainnya, juga pernah memiliki banyak sekali penggemar, namun Maya sering sekali berkata, bahwa dia tidak punya siapa-siapa, dia hanya memiliki Mawar Ungu, itulah arti Mawar Ungu bagi Maya. Hampir mendekati segalanya. Mungkin, hanya Mawar Ungu yang mampu menyita perhatian Maya selain akting," ungkap Rei.
Masumi terpaku mendengar penjelasan Rei, HAMPIR MENDEKATI SEGALANYA.
Bagi Maya, Mawar Ungu... segalanya.
Pria itu menelan ludahnya. Ia sungguh tidak pernah mengira, akan berperan begitu penting bagi Maya. Bahwa Maya memikirkannya sejauh itu. Bahwa Maya menyimpan perasaan semendalam itu.
Akhirnya Masumi berpamitan.Namun, perkataan Rei terus terngiang di kepala Masumi.
Bagi Maya, dirinya sebagai mawar ungu, amat berarti bagi gadis itu.
Benarkah? Mungkinkah> Gadis itu sudah jatuh cinta kepada Mawar Ungu?
Masumi gelisah sendiri di atas tempat tidurnya. Teringat Maya.
Ingat gadis itu yang memeluknya. Ingat gadis itu terlelap dalam gendongannya.
Maya... wajah pria itu merona hangat.
Padahal, saat kembali dari Lembah Plum, Masumi sudah memutuskan, akan menganggap apapun yang telah terjadi di sana hanyalah sebatas mimpri belaka. Bahwa ia harus menjalani kenyataannya, bertunangan dengan Shiori, memperkuat kekuasaan Daito, dan melupakan Maya.
Tidak mempedulikan gadis itu lagi.
Tetapi, saat menyadari perasaan mendalam Maya kepada Mawar Ungu, Masumi jadi berharap kembali.
Mungkinkah, ada sedikit saja kesempatan bagi Masumi mewujudkan permohonannya kepada bintang jatuh?
"BRUSSTT!!!" Masumi menyemburkan kembali kopi panas yang diminumnya.
Mizuki sungguh terkejut. Bosnya itu, tanpa basa basi segera menenggak kopi yang ia suguhkan. "Pasti sangat panas," ujar Mizuki, sementara Masumi mengusap bibirnya dengan saputangan.
Kopi yang menyembur dari bibirnya tampak membasahi beberapa berkas penting, yang sejak tadi ia tinjau tanpa ada kemajuan. Rambut Masumi pun, tidak tersisir serapi biasanya. Dan, Tampaknya Masumi mengenakan dasinya dengan terbalik?
Mizuki mengamati takjub bosnya itu.Sangat jarang, hampir tidak pernah terjadi, Masumi berpenampilan berantakan. Apa dia tidak berkaca? Atau—
"Boleh aku tahu, kenapa kau mengamatiku dengan tatapan tidak wajar?" tanya Masumi.
Mizuki tertegun, tidak menyadari bahwa ia sempat tenggelam dalam lamunannya sendiri.
"Pak Masumi, apakah ada sesuatu mengenai Maya Kitajima yang Anda pikirkan?"
"Hah!? APA!?" Masumi berseru lebih keras dari yang ia maksudkan. Ia sangat terkejut Mizuki menyebutkan nama gadis yang sejak kemarin mengisi kepalanya.
Dan, tidak seperti biasa, ada sedikit raut kemalu-maluan yang menghias wajah pria jantan itu. Mizuki jelas sangat terkejut.
"Maya Kitajima," kata Mizuki.
Jantung Masumi kembali berdebar lebih cepat dan sedikit salah tingkah.
"Maya Kitajima," ulang Mizuki, "Maya Kitajiam!" katanya sekali lagi.
"Kau ini...! Apa maksudmu?"
Alis Mizuki terangkat. "Anda marah?"
"Apa maksudmu menyebut-nyebut namanya terus?" Masumi berdecak.
"Nama siapa?" Mizuki menguji.
"Nama..." Masumi menurunkan pandangan grogi, "...nya!"
Sekretaris itu ingin sekali terbahak melihat Masumi yang tampak salah tingkah.
"Pak Masumi, apakah ada sesuatu, yang mengganggu Anda? Banyak dari berkas-berkas itu yang mendesak harus Anda beri keputusan, dan tampaknya beberapa harus saya ketik ulang karena kelakuan Anda. Jadi—"
"Ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan," Masumi kembali berwajah datar.
"Jelas ada, nyatanya pekerjaan Anda tidak ada yang selesai, terlebih, sekarang sudah jam istirahat. Jangan lupa Anda ada janji makan siang dengan tunangan Anda."
Tunangan... Segera terbayang wajah Shiori. Semalam ia sudah mengakhiri kencan mereka yang belum sempat dimulai. Dan seharusnya, hari ini mereka makan siang untuk menggantinya. Namun... Masumi enggan. Ia sedang asyik memikirkan Maya. Menikmati sedikit saja rasa bahagianya karena Maya sudah jatuh cinta kepada dirinya--meskipun gadis itu tidak menyadarinya dan tidak bermaksud demikian, namun sungguh, itu sudah membuat Masumi termata bahagia.
"Baiklah! Cukup, Pak Masumi! Saya tidak akan menghabiskan hari ini dengan mengamati Anda melamun tanpa bekerja." tegas Mizuki. "Katakan, apakah ada yang bisa saya bantu agar pekerjaan Anda segera selesai?"
Masumi tertegun kembali. "Bisa dimulai dengan meminta maaf kepada pihak Shiori dan mengatakan bahwa aku tidak bisa berkencan dengannya hari ini?" pinta Masumi.
=//=
"Apa? Jadi... tidak bisa?" SHiori terdengar kecewa saat Mizuki menghubunginya.
"Ya. Pak Masumi ada keperluan mendadak, beliau benar-benar meminta maaf telah mengecewakan Anda. Sebagai tanda permintaan maaf, PAk Masumi akan mengirimkan buket bunga favorit Anda," kata Mizuki.
Dan basa basi lainnya. Shiori sudah mulai hapal, dan ia sangat kecewa.
Bukannya Shiori tidak mau mengerti. Ia jelas mengerti bahwa Masumi adalah seorang pengusaha sukses, jabatannya penting, urusannya banyak. Semua pria di keluarga Shiori juga seperti Masumi. Sibuk!
Namun, Shiori sering sekali merasakan keberadaan Masumi yang tidak di tempatnya. Ia selalu menerawang jauh, memikirkan sesuatu yang Shiori tak tahu. Pikirannya berada di tempat yang tak bisa didatangi Shiori.
Terlalu banyak teka-teki dari sang calon suami, dan itu meresahkan Shiori. Terutama... walaupun Masumi bersikap teramat baik kepadanya semenjak pertama kali bertemu dahulu, namun Shiori masih sering dilintasi kecurigaan. Walaupun kata-kata manis Masumi seringkali dengan cepat melelehkan hatinya, namun perasaan tak tenang itu masih sering hadir menghampiri Shiori.
Masalahnya, ia sudah sangat jatuh cinta kepada Masumi. Pertama kali, dan satu-satunya. Shiori sudah menyerahkan seluruh hatinya ke genggaman Masumi. Namun, kenapa ia masih merasa, Masumi sangat membatasi diri darinya? Dan hati ini, ada hal lain yang merisaukannya.
Dipandanginya koran hari ini, memperlihatkan Masumi yang menggendong Maya keluar dari rumah sakit. Sangat perhatian.
Maya Kitajima... sekarang hati Shiori jadi sering merasa tak tenang dan gelisah, semenjak ia melihat album foto pementasan Maya di villa pribadi Masumi.
Sesungguhnya ada apa? Kenapa Masumi begitu menaruh perhatian kepada gadis mungil yang selalu terlihat memusuhinya itu? Intuisi Shiori yang sensitif, mengatakan, ada sesuatu yang berarti dan penting, yang Masumi sembunyikan darinya. Dan, Maya Kitajima tampaknya memegang peranan penting dalam hal ini.
"Pak Masumi, apa Anda sadar, bahwa apa yang Anda lakukan kemarin menarik perhatian banyak orang?" tanya Mizuki seraya menunjuk ke arah surat kabar yang memuat saat Masumi menggendong Maya, dan ada banyak. Sebagian besar tentu tidak mengaitkannya dengan asmara, rata-rata bertanya kenapa Masumi begitu perhatian. Apakah itu salah satu triknya demi Bidadari Merah?
"Aku tidak merisaukannya," kata Masumi, perlahan.
"Ya, tapi... saya bisa menyimpulkan, Anda semakin tidak awas dengan sekeliling Anda."
"Saat itu dia jatuh, ke dalam air laut yang dingin! Kau tidak ada di sana--"
"Tidak. Tapi saya tahu ceritanya. Semua orang tahu. Maya sedang berkencan dengan Sakurakoji. Pemuda itu juga datang ke rumah sakit kan? Namun tetap pada akhirnya dia pulang sendiri," Mizuki menunjuk satu gambar yang memperlihatkan Sakurakoji keluar dari rumah sakit dan pulang dengan motor sendiri. "Padahal, Anda sudah tidak harus mengurusinya lagi," imbuhnya.
Masumi hanya terdiam. Inginnya juga demikian. Namun apa daya, ia tidak rela membiarkan Maya kembali dengan Sakurakoji, namun untunglah keputusannya tepat. Semalam mereka berpelukan, Maya tidur dalam dekapannya. Itu sangat berharga. Tanpa sadar, Masumi kembali merona dan tersenyum tipis... Maya mencintaiku... batinnya.
"EHEM!!" Mizuki mengganggu.
"Ya!?"
"Bukan Ya, Pak Masumi, tapi apa yang harus kita lakukan agar Pak Masumi bisa kembali konsentrasi bekerja?"
"Aku selalu konsentrasi!" Masumi tidak suka kapabilitasnya diragukan.
"Ya. Konsentrasi pada hal lain, saya yakin, jika melihat Anda memasang dasi Anda terbalik, dan itu sudah terjadi sejak pagi tadi."
"Eh!?" Masumi menunduk cepat. Dan benar saja, dasinya memang terbalik, dia berdeham dan mulai membereskan dasinya.
Mizuki hanya mampu menahan tawanya.
"Bagaimana keadaan Maya?"
"Ya.. hmm... kakinya bengkak, tapi dokter bilang tidak akan lama, ia bisa berlatih lagi. Tidak ada cedera parah, untungnya."
"Saya lega," Mizuki menghela napas.
Kembali keduanya terdiam, Masumi masih mengurusi dasinya beberapa lama. Sepertinya benar-benar tidak konsesntrasi hingga memasangnya begitu lama, padahal biasanya dia bisa memasang tanpa melihat dan selalu rapi licin.
"Mizuki," kata Masumi akhirnya. "Jika... ada yang mengatakan, Maya, jatuh cinta kepada si pengirim Mawar Ungu, apakah... itu mungkin?" tanya Masumi, dengan wajah sendu dan tanpa memandang Mizuki.
Ia lantas memutar kursinya, beranjak melihat pemandangan di luar, Tokyo.
Mizuki tersenyum tipis. "Saya sama sekali tidak terkejut mendengarnya, Pak Masumi... dan jika Anda bertanya apa itu mungkin? Maka jawabannya. Sangat mungkin... Saya tahu itu, Pak Masumi."
Masumi tertegun, matanya sedikit melebar. Gelisah. Dan berharap.
"Menurutmu begitu?"
"Ya."
"Tapi, bagaimana mungkin? Itu mustahil kan? Dia tidak pernah bertemu! maksudku, dia tidak tahu siapa orangnya! Bagaimana kepribadiannya! Tidak mungkin dengan butanya Maya bisa jatuh cinta kepada orang itu!"
"Kenapa tidak?"
"Apa yang membuat Maya jatuh cinta kepadanya!?"
"Ketulusannya! Dukungannya! Kepercayaannya! Dan kebaikan hatinya!"
"Kebaikan hati!" Masumi berdecak. "Dia bahkan tidak tahu diri Mawar Ungu yang sebenarnya! Aku, tidaklah sebaik itu!"
"Atau mungkin, Anda, yang tidak mengenal diri Anda yang sesungguhnya? Berhentilah menyebut Mawar Ungu seakan-akan dia itu orang lain. Kau adalah Mawar Ungu, Pak Masumi!"
Masumi tidak menentang.
"Jangan terlalu keras kepada diri sendiri, Pak Masumi, dan Anda akan bisa melihat, Maya tidak jatuh cinta tanpa alasan."
Benarkah demikian? Benarkah masih ada harapan untuknya mewujudkan impian?
Masumi terdiam cukup lama untuk menimbang, Meyakinkan dirinya. Sampai kemudian, ia tiba pada sebuah keputusan.
Maya tidak berselera menghabiskan makan malamnya. Ia menghela napasnya tipis.
"Ada apa?" tanya Rei yang berada di hadapannya.
"Tidak apa-apa Rei... Aku hanya..."
"Tadi saat aku berangkat kerja, kau juga bengong terus seperti ini. Setelah aku pulang kerja, kau juga bengong begini, ya ampun Maya, apa kau menghabiskan harimu dengan bengong?"
"A, aku, tidak..."
"Kau memikirkan Pak Masumi?" tembak Rei.
Maya terkesiap. Bagaimana Rei bisa tahu? Memang, sejak semalam, Maya tidak bisa lupa pada Masumi. Pria itu telah menolong nyawanya. Memeluknya, maya bahkan tertidur dalam dekapannya. Mengingat hal itu membuat wajah Maya menghangat. Apalagi Rei mengatakan bahwa Masumi yang sudah membawa Maya dan membaringkannya di futon. Teringat pria itu sempat masuk ke kamarnya, membuat Maya sedikit rikuh dan juga malu. Tapi bahagia, karena Masumi telah melakukan banyak hal untuknya.
"Apa mengenai pemberitaan di koran? Bahwa pak masumi sedang menyusun siasat untuk mendekatimu yang calon pemeran Bidadari Merah?" tanya Rei.
"Tidak!" tampik Maya cepat. "Aku yakin, Pak Masumi tidak memikirkan hal itu!" belanya.
Rei tampak sedikit terkejut melihat pembelaan Maya.
"Lalu, apa yang kau pikirkan?"
"Tidak ada..." gumam Maya pelan. Padahal, gadis itu sedang senang dengan semua kebaikan Masumi dan juga, kenyataan pria itu tetap menjaganya walau sebetulnya sedang berkencan dengan tunangannya, membuat Maya benar-benar senang.
Maya sempat berpikir Masumi akan membuangnya setelah pertunangan itu, namun ternyata tidak begitu...
"A, aku hanya.... memikirkan pementasan Bidadari Merah, aku kecewa, karena harus absen latihan untuk beberapa hari ke depan." Maya berkilah.
"Sudahlah, mereka pasti mengerti." Kata Rei. "Sekarang yang penting makan dulu makan malammu, jangan terlalu banyak melamun," kat Rei.
"Ya. Baiklah."
Maya sedang makan malam saat ketukan di pintu itu terdengar.
"Biar kubukakan," kata Rei.
Gadis tomboi itu sedikit terkejut, mendapati seorang pria berdiri di sana.
Sakurakoji Yuu.
"Apa aku mengganggu?" tanya Sakurakoji.
"Tidak, tidak mengganggu." tampik Rei, "masuklah." Ia lantas berteriak kepada Maya. "Maya, ada Sakurakoji!" katanya. "Dan..." mata gadis itu terbeliak lebih lebar, "Pak Masumi... Hayami..."
Sakurakoji juga terkejut, ia menoleh ke tangga dan mendapati pria menjulang itu sedang berjalan ke arah mereka.
Pak Masumi? Sakurkaoji tertegun. Kenapa Direktur Daito itu datang ke sini?
Masumi bisa melihat, ada Sakurakoji di sana. Saat mobilnya sampai di kediaman Maya, ia bisa melihat ada motor Sakurakoji di sana. Awalnya, Masumi bermaksud membatalkan niatnya menemui Maya, namun tiba-tiba saja ia kesal sendiri. Kenapa ia harus selalu mengalah? Ia direktur Daito. Ia akan menemui siapa pun yang ingin ia temui.
"Selamat malam," sapa Masumi dengan suara jantan dan tenangnya.
"Pak Masumi, Anda... ke sini?" tanya Sakurakoji.
"Ya. Kau juga sepertinya ke sini," ia menekankan bahwa keberadaannya di apartemen sama wajarnya dengan keberadaan pemuda itu.
"Selamat malam," sapa Maya. Ia lantas ternanap, melihat ada pria yang dipikirkannya seharian. Ia tidak begitu pandai menyembunyikannya. Jantungnya jadi berdebar lebih keras dan pipinya sedikit menghangat.
"Ayo, silakan masuk," ajak Rei.
Apartemen mereka yang tidak begitu besar, jadi terasa agak penuh dengan kedatangan kedua pria itu, terutama Masumi.
"Biar kuambilkan minum," kata Rei.
Keduanya duduk di meja, terdiam. Maya duduk berhadapan dengan Masumi sementara Sakurakoji di sisi yang satunya.
"Pak Masumi, ada apa?" tanya Maya, sedikit terbata. Ia tak mengira Masumi yang sangat sibuk meluangkan waktu menjenguknya. "Anda... tidak bekerja?" tanyanya.
Memang, tidak biasanya Masumi keluar dari kantor secepat ini. Namun khusus untuk hari ini Masumi sudah berpikir untuk meluangkan waktu bertemu Maya, setelah obrolannya dengan Mizuki. Ia jadi semakin merindukannya.
"Aku baru pulang dari kantor," terang Masumi.
"Ada salam dari teman-teman, mereka merindukanmu," kata Sakurakoji.
"Oya?" pandangan Maya beralih kepada Sakurakoji, "terima kasih, aku juga merindukan mereka."
Masumi jadi merasa kesal, karena tidak dihiraukan.
"Aku juga sudah rindu, ingin latihan lagi," ujar Maya.
"Silakan," Rei menyajikan minum. Ia beralih kepada Masumi. "Apa Anda juga datang untuk membicarakan Bidadari Merah?" tanyanya.
"ya, begitulah," jawab Masumi cepat. "Aku ingin memastikan semua hal mengenai Bidadari Merah baik-baik saja," imbuhnya.
Maya kembali menatap Masumi. Jantungnya selalu saja berdebar lebih cepat tiap kali bertatap muka dengan pria tampan itu. Te-te-rima kasih, ucapnya tergugup, padahal hanya dalam hati.
Entah mengapa, Maya tak sanggup mengatakannya, juga memandang Masumi lama-lama.
"Ayo diminum," akhirnya Rei kembali bicara, setelah kesunyian yang asing di antara mereka berempat.
Sakurakoji dan Masumi kemudian meminum teh mereka, sembari memikirkan apa yang harus dibicarakan.
"Oh ya," ujar kedua pria itu bersamaan mengajak Maya bicara. Lantas keduanya tertegun, saling memandang.
"Silakan, Anda duluan," tawar Sakurakoji.
Masumi tidak berbasa basi dan segera bicara. "Apakah kakimu masih sakit? Atau ada keluhan lain lagi?" tanyanya. Agar tidak berkesan terlalu perhatian, ia menambahkan, "maksudku, apa latihanmu tidak akan tertunda terlalu lama, bagaimana pun kondisimu jangan sampai menghambat, hingga aktingmu dan grupmu tidak dapat berkembang."
"Pak Masumi! Aku yakin baik Maya atau siapa pun tidak ada yang ingin jatuh sakit dan mengganggu jadwal latihan," tiba-tiba Yuu kembali angkat bicara. 
"Lagipula, jadwal kami tidak terhambat, banyak adegan-adegan lain yang dapat kami latih selagi menunggu Maya sembuh. Jika hanya 2-3 hari saja, sama sekali tidak masalah!" tandasnya.
"Dua tiga hari?" tanggap Masumi dingin. "Setahuku, sudah berhari-hari aktingmu kacau dan mengganggu latihan," ia berkata tajam karena kecemburuan. 
"Apanya yang tidak mengganggu?"
Maya tertegun, sedih mendengarnya.
Tiba-tiba Masumi merasa bersalah dengan apa yang dikatakannya saat melihat raut wajah Maya.
"Maksudku, akan lebih baik jika--"
"Memangnya, apa urusannya denganmu?" tanya Rei yang akhirnya kembali bicara. "Bukankah keuntungan bagimu jika Maya sampai tidak bisa berakting? Itu artinya Ayumi unggul dan kemungkinan Daito untuk mendapatkan hak pementasan Bidadari Merah lebih besar kan?" tembaknya.
"Apa benar Pak Masumi, Anda datang hanya untuk menekan Maya?" tanya Sakurakoji yang mulai terdengar geram.
Masumi baru saja hendak membela diri saat Maya menukas, "Sudahlah," katanya. "Pak Masumi yang menolongku saat aku jatuh, bahkan, bahkan, mengantarku sampai ke sini. Baik Pak Masumi datang karena merasa khawatir... atau... hanya ingin melihat keadaan aktris yang berkaitan dengan Bidadari Merah, aku... mengucapkan banyak terima kasih untuk perhatiannya..." gadis itu yang akhirnya melakukan pembelaan.
Rei, Sakurkoji, termasuk Masumi, sangat terkejut mendengar pernyataan Maya.
Bukan rahasia, biasanya Maya yang paling berpikiran buruk mengenai niatan Masumi kepadanya. Maya adalah gadis terakhir yang akan mempercayai perkataan dan niat Masumi. Biasanya. Namun hari ini tidak begitu. Maya malah membelanya, Dari Rei, dan dari Sakurakoji.
Jangan dipertanyakan, Masumi jelas merasa senang sekaligus heran.
"Ya, aku memang khawatir," katanya, kali ini lebih lembut. "Karena aku tahu benar begaimana keadaanmu malam itu, aku hanya ingin memastikan saja, semuanya sudah lebih baik."
"Sudah lebih baik," balas Maya perlahan, "Te-terima kasih."
Masumi lega mendengarnya. "Baiklah, kurasa sudah saatnya aku pulang. Aku hanya ingin memastikan itu saja. Oh, ini," ia menyerahkan buket bunga yang dibawanya. "Semoga lekas sembuh."
Maya menatap buket bunga yang bukan Mawar Ungu itu. Hatinya sedikit sendu, memikirkan kapan ia akan mendapatkan Mawar Ungu dari tangan Masumi sendiri.
Masumi beranjak berdiri, setelah mengangguk tipis kepada Sakurakoji dan Rei. Sebetulnya ada beberapa hal yang ingin ia bicarakan dengan maya, namun ia tidak memperhitungkan keberadaan koji dan Yuu sebelumnya.
"Kuantar!" ujar Maya spontan, membuat Masumi terkejut.
"Kakimu masih sakit kan?" tolak Masumi.
"Tidak, tidak sakit! Aku bisa berjalan tanpa kruk sekarang! Bengkaknya juga sudah lebih baik," Maya meringis, tertatih mencoba berdiri.
"Maya! Tidak apa-apa?" yuu segera membantunya, meraih lengan atas Maya. Dengan segera rahang Masumi mengeras melihatnya.
"Tidak, tidak, aku tidak apa-apa," kata gadis mungil itu, yang sekarang sudah berdiri, dengan dipegangi Sakurakoji.
Masumi masih kesal dengan bebasnya Sakurakoji memberikan perhatian dan tidak ada yang mempertanyakan.
Maya terpincang-pincang mengantar Masumi ke pintu.
"Sudah di sini saja," kata Masumi. "Kau tidak perlu mengantar sampai bawah."
"Tapi Pak Masumi--"
"Sudahlah," ia menyentuh bahu Maya perlahan. "Kau masuk lagi saja."
Gadis itu menggigit bibirnya tipis dengan tak kentara. Dadanya kembali berdebar keras karena sentuhan Masumi.
"Ba, baiklah. Hati-hati di jalan."
"Terima kasih," Masumi tersenyum tipis. "Semoga kau segera sembuh."
Maya mengangguk. "Pak Masumi... apakah... apakah hanya karena itu, Anda datang menemuiku?" tanya Maya akhirnya.
Sejenak pria itu terdiam, menimbang. "Bukan hanya itu," ia berkata. "Mungil... ada yang ingin kutanyakan. Kau... saat itu terjatuh karena Mawar Ungu kan? Apa... dia... dia begitu berarti bagimu? Maksudku, kau sampai tidak menghiraukan--"
"Dia sangat berarti bagiku, Pak Masumi!" ujar Maya dengan sangat tegas, seraya menatap Masumi lekat. "Dia... orang paling berarti bagiku!"
Maya.... Masumi menelan ludahnya, "Benarkah begitu? Aku... jujur saja, tidak pernah mengerti dengan hal-hal sentimentil seperti itu. Tapi menurutku, ada baiknya, ketimbang kau memikirkan orang yang tidak pernah kau temui, kau harus lebih berhati-hati dan waspada. Jangan ceroboh," katanya. "Karena, bisa saja, setelah semua pengorbananmu, ternyata kau akan sangat kecewa, saat tahu orang itu tidak sesuai harapanmu!"
"Aku tidak mungkin kecewa! Siapa pun dia, bagiku... bagiku, Mawar Ungu adalah orang yang paling istimewa dan berarti. Aku tidak peduli seperti apa dia dan apa yang orang katakan mengenainya," tangan Maya mulai bergetar, suaranya juga. "Aku akan... melakukan apa saja untuknya. Apapun, yang dia minta dariku, untuk membalas semua kebaikannya. Akan aku lakukan."
"Bagaimana jika dia... meminta balasannya... untuk seumur hidupmu?" tanya Masumi, tanpa melepaskan tatapannya dari Maya.
"Jika... dia...?" Mata gadis itu melebar, menatap Masumi sedikit bingung, namun berlawanan dengan itu, ia menjawab pasti. "Akan kupenuhi. Seumur hidupku, aku akan mengabdi kepadanya, menjadi... miliknya."
Maya... remasan Masumi di bahu Maya terasa sedikit kentara. Jantung pria itu berdebar kuat mendengar jawaban Maya. Gadis itu mengatakan akan melakukan apa saja untuk Mawar Ungu? Untuknya? bahkan jika harus mengabdikan sisa hidupnya?
Masumi sungguh tidak mengerti, darimana cinta Maya yang begitu dalam itu bisa tumbuh? Cinta yang membuat Masumi merasa gila, jika tidak bisa memilikinya.
"Maya, Pak Masumi, kalian masih di sini?" tanya Rei, yang terkejut melihat keduanya masih bersama. "Sakurakoji mengkhawatirkanmu, karena itu aku mengecek, dan ternyata..." ia berhenti bicara, saat melihat kedua orang itu bergeming, seraya memandang ke mata masing-masing.
"Baiklah, aku pergi," pamit Masumi sekali lagi, menurunkan tangannya.
"Kuantar," pinta Maya sekali lagi, setengah memelas. "Anda sudah sangat membantuku kemarin. Jadi setidaknya, biarkan aku mengantarmu sampai bawah."
"Tidak, tidak usah. Nanti aku malah harus menggendongmu naik lagi ke sini, jadinya tidak akan selesai urusan kita," Masumi tertawa.
Sedangkan Maya hanya terdiam. Masumi memang menolaknya.
"Baiklah Rei, selama malam," kali ini Masumi berpamitan kepada Rei. "Semoga lekas sembuh," kepada Maya.
Ia berbalik dan menuruni tangga.
Maya masih menunggu beberapa lama, mengamati punggung kokoh itu menghilang di balik pintu.
"Maya!!" tegur Rei, menyadarkan aktris muda itu dari lamunannya. "Sakurakoji menunggumu," katanya.
"Ah, ya..." Maya tersadar. "Sakurakoji..."
***
Sakurakoji menyadari sesuatu selama ia berbincang bersama Maya tadi. Gadis itu, tampaknya lebih banyak melamun dan tengah memikirkan sesuatu. Yuu sudah bertanya ada apa, tapi Maya hanya mengatakan tidak ada apa-apa seraya tersenyum riang. Sepertinya ada sesuatu.
Dan bukan hanya itu keanehannya. Yuu bertemu Masumi yang datang menjenguk Maya. Masumi? Masumi Hayami dari Daito? Berita itu sudah santer beredar di surat kabar mengenai Masumi yang melakukan pendekatan kepada Maya sebagai calon Bidadari Merah. Walaupun itu benar, namun Yuu benar-benar heran dengan masumi yang sungguh tampak perhatian, dan yang lebih mengherankan, Maya tampak tidak keberatan.
Ia tidak marah, tidak menolak, atau berontak. Maya terlihat....
Sakurakoji menelan ludahnya, sebagaimana ia mencoba menelan kembali pemikirannya. Maya gadis yang polos. Ia pasti hanya berterima kasih untuk semua yang sudah Masumi lakukan, tidak lebih. Namun... motif Masumi yang sesungguhnya, itu yang harus dikhawatirkan.
Dan kekhawatiran yang sama juga menghampiri Rei.
Tidak mungkin Maya tidak membaca semua pemberitaan yang beredar mengenai keduanya setelah wartawan--banyak, wartawan--memasang foto mereka pada hari itu. Namun sikap Maya sangat berbeda. Sepertinya, amarah gadis itu benar-benar hilang tak brbekas. Dan adegan itu tadi, di depan apartemen mereka... saat Masumi menyentuh pundak Maya, dan keduanya berpandangan. Apa yang mereka bicarakan.
Rei mengamati Maya yang tengah menaruh bunga bawaan Masumi ke dalam sebuah vas. Gadis itu tampak mengaguminya.
"Maya," panggil Rei. "Entah ini urusanku atau bukan... namun.. apakah Pak Masumi mengatakan sesuatu kepadamu?"
"Mengatakan sesuatu.. apa?"
"Bagaimana aku mengatakannya... maksudku, sepertinya, dia bersikap lain... ya, kau juga, kalian bersikap lain, sangat berbeda dari biasanya,"
"Benarkah?" wajah gadis itu bersemu. "Tidak kok, aku-- sama saja..."
"Sama saja? Tidak ada usiran, tidak ada teriakan dan protes, sepertinya tidak sama.... Maya, apakah Pak Masumi melakukan sesuatu kemarin kepadamu saat--"
"Me, melakukan sesuatu? Melakukan seusatu apa Rei?" wajah Maya bersemu sangat banyak, rikuh, ia menyilangkan kedua tangannya di dada, "Pak, Pak Masumi tidak melakukan apa pun... ka, kami tidak melakukan apapun..." tampik Maya dengan salah tingkah, dan membuat Rei jadi sangat keheranan.
"Ya, Maya, ehm!! Maksudku...Apakah dia mengancam, mengintimidasi atau melakukan hal lainnya?"
"Eh? Umh... tidak..." gumam Maya seraya menggeleng malu.
"Oh... begitu," Rei berkata perlahan. "Aku... hanya khawatir kepadamu. Aku takut, Pak Masumi merencanakan sesuatu kepadamu. Berhati-hatilah Maya..."
"Tidak, Rei, Pak Masumi..." Maya terdiam, dan melanjutkan dalam hatinya. Pak Masumi... orang yang sangat baik. Ia tidak akan menyakitiku.... "Rei... apakah... apakah... menurutmu aneh, uhm.. jika... uhm... aku, eh, maksudku... jika perempuan memberikan hadiah kepada seorang laki-laki? Uhm... anu... maksudku... untuk berterima kasih? anu..."
"Eh?" Rei menangkap sikap canggung dan salah tingkah Maya. Memberikan hadiah, kepada laki-laki untuk berterima kasih? Rei teringat, bahwa kemarin malam saat tragedi itu terjadi, Maya tengah berkencan dengan Sakurakoji. Mungkin, Maya sedang memikirkan pemuda itu. "Kurasa tidak masalah..." kata Rei. "Kalau dia sudah bersikap baik kepadamu, tidak ada salahnya kau membalas, malahan, bisa jadi dia merasa senang..."
"Benarkah!? Jadi... tidak apa-apa ya...?"kata Maya, dengan wajah yang kembali merona dan senyum kemalu-maluannya kembali. 
Ia menatap bunga yang dikirim Masumi dan berpikir, Hadiah apa... yang sekiranya akan membuat senang seorang direktur Daito?
Masumi gelisah sendiri di kamarnya, tidak bisa melupakan Maya yang, menurutnya, bersikap begitu manis. Ia menyadari sikap gadis itu yang berbeda. Mungkin karena dia merasa berterima kasih? Walaupun Maya selalu bersikap memusuhi, Masumi tahu benar Maya bukan gadis yang tidak tahu terima kasih. Hanya saja, biasanya Maya bersikap sinis dan curiga kepadanya.
Namun, sudah dua hari ini, Maya lebih pendiam, dan dia... bersikap lebih tenang di dekatnya. Masumi jadi gelisah memikirkannya. Ia begitu tidak terbiasa diperlakukan dengan baik oleh Maya. Alhasil, sekalinya hal itu terjadi, perasaannya menjadi tidak menentu. Senang, tepatnya bahagia, mungkin juga berharap, menjadi sedikit besar kepala, mungkin saja. Mungkin... walaupun hanya sedikit, Maya mau berhubungan baik dengannya.
"AAh~!!" desah masumi dengan kalut, mengubah posisi berbaringnya. Sudah lewat tengah malam, tapi ia masih tidak bisa tidur.
Seumur hidupku... miliknya...
Maya... hati pria itu kembali gelisah memikirkan, mengkhayalkan berbagai kemungkinan mustahil antara dirinya dan Maya. Ia ingin sekali merasa besar kepala dan melakukan sesuatu sekehendak hatinya. Namun, semuanya masih mustahil. Walaupun Maya bersikap baik, bukan berarti gadis itu jatuh cinta kepadanya. Maya memang baik kepada siapa saja. Dan, jelas Sakurakoji lebih mungkin mendapatkan cinta gadis muda itu. Mereka sedang berkencan kemarin, dan Sakurakoji pun datang ke kediaman Maya. Mereka bertemu dan berlatih setiap hari, bertukar kalimat cinta. Terlebih lagi, Maya dan Yuu sempat menghabiskan malam bersama, Masumi sudah melihat foto-fotonya.
Tapi, Masumi juga sudah pernah bermalam dengan gadis itu! Walaupun, lebih dikarenakan musibah, mereka terjebak di lembah plum di tengah hujan lebat. Tapi Maya tidur dalam pelukannya. Gadis itu juga memintanya sendiri saat ingin dipeluk. Wajah pria itu berseri mengingatnya kembali, senyam senyum sendiri. 
Namun, Maya juga sudah pernah dipeluk Sakurakoji. Ia yakin, sering malah. Salah satunya saat Sakurakoji memasangkan jaket di tubuh Maya. Dan, terlebih Masumi tidak percaya saat Sakurakoji berkata mereka hanya berteman. Ia sempat melihatnya malam itu. Yuu membuka dasinya, mungkin hendak menyelamatkan Maya, ia mengenakan kalung berpendan lumba-lumba seperti yang dikenakan Maya. 
Kalung... kepalan tangan Masumi mengerat. Ia merasa sakit dan kesal tiap kali teringat kalung yang melingkar di leher Maya itu.
"Ck!!" Ia berdecak kesal. Memang pemuda itu lebih mungkin mendapatkan hati Maya, pikirnya, saat kembali rasa pesimis yang membunuh itu menyerangnya lagi. Ia ingat bahwa ia sudah bertunangan, sudah memutuskan melupakan perasaannya kepada Maya. Tentang perbedaan usia mereka, tentang dendam gadis itu, kesalahannya, perbedaan dunia, dan lain sebagainya yang membuat hati Masumi ciut.
Pria itu mengempaskan napasnya kuat-kuat. Seandainya, memang benar apa yang Kuronuma katakan, bahwa Maya jatuh cinta kepada pengirim Mawar Ungu, bukan berarti Masumi juga punya harapan seperti Mawar Ungu. Gadis itu tidak tahu. Jika dia tahu, Maya pasti akan memutuskan semua hubungan mereka. Ia mencintai Mawar Ungu, bukan pria yang ada di balik bayangan ungu itu....
***
"Ya, Shiori, terserah kau saja. Aku yakin kau pasti bisa memilih yang terbaik," kata Masumi, saat Shiori datang ke Daito membawa katalog souvenir pernikahan mereka nanti. "Kurasa sepasang gelas kristal itu juga akan bagus," Masumi tersenyum hangat.
"Benarkah?" Shiori menjawab perlahan, ia kecewa karena Masumi selalu mengatakan terserah dan terserah. "Masumi, cobalah kau lihat-lihat lagi, jika ada yang kauinginkan, kita bisa merundingkannya," ia meletakkan katalog itu di atas meja.
"Shiori, aku khawatir, tidak akan sempat, kau tahu... pekerjaanku... maaf," ia menatap penuh sesal. "Aku yakin sekali dengan seleramu, Shiori, terserah kau saja."
Namun Shiori berkeras, ia ingin Masumi juga melihat dan memilih-milih souvenir mereka. "Apa yang ingin menikah, hanya aku saja?" akhirnya Shiori kembali mendesak. "Kau... sepertinya tidak peduli sama sekali mengenai hal-hal penting untuk pernikahan kita," ujarnya kecewa.
Masumi tertegun, "Bukan, bukan begitu, hanya saja--"
"Bidadari Merah? Begitu!!?" kali ini suara Shiori agak mendesak.
Masumi merasa tak enak hati mendengar cara bicara Shiori. Ia tahu, ia sudah bersikap terlalu acuh tak acuh mengenai pernikahan mereka.
"Baiklah," ia menghela napas tipis. "Nanti aku akan melihatnya."
Beberapa lama Shiori masih terdiam, marah. Namun ia terlalu mencintai pria ini untuk lama-lama marah kepadanya. Ia hanya mendengus tipis namun wajahnya sudah tidak terlalu keras.
"Aku tidak bermaksud mengganggu pekerjaanmu Masumi, aku tahu pekerjaanmu itu penting--"
"Pernikahan kita juga sama pentingnya," Masumi berkata dengan lembut. "Maaf ya, aku kurang peka selama ini. Nanti aku akan meluangkan waktuku melihat-lihat katalog ini," Masumi tersenyum merayu, membuat wajah tunangannya merona.
"Iya, ah!" Shiori terenyak, menyadari di pintu kantor Masumi ada Mizuki.
"Ada apa?" tanya Masumi, ia menoleh dan mendapati Mizuki ada di sana, bersama seseorang di belakangnya.
"Maaf, Pak Masumi, ada Nona Maya Kitajima ingin menemui Anda."
Maya...?? Pria itu terkejut, jantungnya segera berdebar.
Intuisi Shiori sebagai seorang wanita juga semakin tajam. Entah kenapa, sejak ia mendapati foto-foto pertunjukan Maya di villa pribadi Masumi, perlahan-lahan perasaan sentimennya terhadap Maya semakin tumbuh.
"Ma, maaf," Maya menampakkan dirinya dari balik Mizuki. "A, aku lupa membuat janji terlebih dahulu. Na, nanti aku kembali," Kata Maya, segera membalik badannya.
"Tunggu!" Masumi berdiri dan bergerak menghampiri. "Tunggulah sebentar," katanya. Ia beralih kepada Mizuki, "Mizuki, antarkan Maya ke ruang tamu."
"Baik, Pak..." Mizuki menyanggupi. "Ayo, Maya..." ajaknya.
"Ah, ya..." Maya melirik tipis kepada Shiori sebelum kepada Masumi. Ia berbalik mengikuti Mizuki dengan perasaan tak menentu.
Apa yang aku lakukan? pikir Maya dalam hatinya dengan sendu. Untuk apa aku datang ke sini? Untuk apa aku... Maya meremas tas berisi hadiah yang dibawanya. Teringat Masumi yang bicara begitu lembut kepada Shiro, "pernikahan kita juga sama pentingnya..." Maya memjamkan matanya yang berkaca-kaca. Kenapa ia sampai lupa--atau tidak menghiraukan? Masumi yang sudah terikat wanita lain?
"Ada apa, anak itu ke sini?" tanya Shiori, yang terkejut mengetahui Maya bisa seenak hati menghampiri Direktur Daito. Ia ingat kembali bagaimana caranya bertemu pertama kali dengan Maya. Gadis itu pun datang menerobs masuk menemui Masumi yang sedang rapat penting. Dan anehnya, sepertinya Masumi tak pernah marah atau memberi peringatan keras kepada gadis itu, sehingga sikap seenaknya sama sekali tidak berubah. "Sebetulnya, apa hubunganmu dengan anak itu?" tanya Shiori, dengan nada memelas yang tajam.
Disodori pertanyaan itu, Masumi terkejut dengan cara bicaranya. "Aku, dan anak itu?"
“Ya, Masumi… aku merasa, kau memperlakukannya dengan cara yang berbeda,” mata Shiori berkaca-kaca. “Kau sepertinya… menganggap dia istimewa…”
Menganggap dia istimewa… Masumi terdiam. Shiori memang wanita yang sensitif. Masumi lengah, sudah membuat tunangannya itu mencurigainya.

Masumi menutup teleponnya. Untuk beberapa lama ia masih memegang gagangnya erat erat, sedikit gemetar. Ia sudah memutuskan untuk menemui Maya sebagai Mawar Ungu. Namun tiba-tiba saja perasaan ragu dan takut itu datang lagi menyapanya. Ia terkadang memang tak lebih dari seorang pengecut jika sudah menyangkut gadis mungil itu.
Bagaimana jika Maya sama sekali tidak bermaksud apa-apa dengan  memberikan dasi mawar ungu itu? Bagaimana jika Maya akan bereaksi seperti yang dikhawatirkannya? Bagaimana jika semuanya hanya harapan kosong Masumi yang terlalu melambung tinggi?
Dan, bukan hanya itu. Bagaimana, jika ternyata Maya memang menerimanya sebagai Mawar Ungu? Akankah Masumi memperjuangkan perasaannya sementara ia sudah sempat memutuskan untuk menghapusnya? Lalu... bagaimana dengan Shiori?
Masumi jadi gelisah sendiri. Banyak pertanyaan dan keraguan mengisi benaknya. Akan tetapi, hingga terlelap, ia tidak mengubah keputusannya.
***
“Selamat pagi Pak… Pak? Pak Masumi?? Pak…!?” tegur Mizuki kepada atasannya yang sedang khusyuk melamun itu.
Biasanya, pria itu mudah sekali ditarik perhatiannya dengan secangkir Blue Mountain. Namun sekarang, perhatiannya tercurah sepenuhnya ke hadapan layar laptop di hadapannya. Mungkin. Karena sepertinya apa yang ia pikirkan jauh lebih penting.
“Duk,” Mizuki meletakkan kopi itu di dekat atasannya.
Masumi sedikit terlonjak karenanya dan mendongak kepada sekretarisnya itu.
“Melamun Pak?” pertanyaan retoris. “Ada apa dengan Maya?” kali ini meminta jawaban.
“TIdak ada apa-apa,” tukas Masumi. “Kau tidak akan mendapatkan jawaban apa-apa lagi,” imbuhnya, saat melihat Mizuki masih bergeming.
MIzuki menghela napasnya, “Baiklah,” katanya. “Saya akan kembali ke meja saya, menunggu berkas untuk rapat satu jam lagi yang tampaknya belum Anda sentuh sama sekali.”
Masumi tahu Mizuki menyindirnya.Bukan sindiran tepatnya, karena memang demikian adanya. Akan ada pertemuan dengan wakil perusahaan yang hendak menanam modalnya di Daito, dan Masumi belum menyiapkan apa pun.
“Ya, ya, keluarlah,” kata Masumi dengan tajam.
Pintu kantornya tertutup, dan Masumi kembali ke kegiatannya sebelumnya: Melamun.
Ia gelisah lagi, membayangkan pertemuannya dan Maya nanti, bagaimana jika gadis itu pergi meninggalkannya? Atau malah berlari memeluknya?
“Ugh!!” Masumi mengacak-acak rambutnya.
Dengan gelisah diraihnya cangkir kopi itu dan meminumnya.
“Bruuust!! Uhuk! Uhuk! Uhuk!!”
Terulang lagi. Kopi panas yang melukai lidahnya itu sekarang mengotori berkas-berkas di hadapannya. Ia berdecak kesal.
Interkomnya berbunyi. “Ya?” bentaknya.
“Nona Shiori di line 1,” suara Mizuki.
“Sambungkan.”
Tidak berapa lama terdengar, “Halo, Masumi… bagaimana? Kau sudah memutuskan ingin souvenir pernikahan yang mana?”
Pria itu tertegun sesaat. Ya ampun… souvenir pernikahan!! Ia benar-benar lupa. Dimana katalognya saja ia tidak ingat.
“Ah, ya, Shiori… Aku sudah melihat-lihatnya kemarin malam. Kurasa, sepasang gelas kristal itu sudah pilihan paling bagus. Aku sangat menyukainya.”
“Benarkah?” Sumringah. “Aku senang kalau begitu. Nanti malam… kita jadi makan malam bersama?” tanyanya.
Ya ampun, itu juga dia lupa. “Ya, ya… tentu saja. Aku akan menjemputmu.”
“Aku akan menunggu.”
Interkom Mizuki berbunyi. “Ya Pak?”
“Carikan aku restoran untuk nanti malam bersama Shiori, dan tolong ke kantorku, ketikkan ulang beberapa dokumen. Segera, Mizuki.”
“Baik.” Mizuki segera beranjak dan menghampiri atasannya. Memandangi beberapa dokumen bernoda air kopi yang diserahkan Mizuki.
Ia hanya menghela napas diam-diam. Tidak bisa protes, walaupun ia tahu ia tak harus mengerjakan pekerjaan ini andai Masumi tak sembrono.
=//=
Shiori terdiam di ruang keterampilan tempat ia biasa menyulam. Tangannya diturunkan, mengingat Masumi. Pria itu memilih souvenir yang sama dengan pilihannya.
Ia bilang, sudah melihat-lihat katalognya semalam. Nyatanya, Shiori sempat mampir lagi ke kantor Masumi namun pria itu tidak ada. Melihat katalog itu yang tergeletak begitu saja, Shiori mengambilnya. Dan, Masumi sama sekali tidak mengatakan ia kehilangan katalog itu.
Entah kenapa perasaannya mengatakan, Masumi yang selalu bermulut manis, sesungguhnya, tak pernah menaruh perhatian kepada pernikahan mereka. Mungkin, juga kepada dirinya.
Masumi… kau sebetulnya, mau menikah atau tidak? Kau… mencintaiku… atau tidak? Mata gadis itu mulai berkaca-kaca.
Maya benar-benar masih senang dengan telepon dari Masumi tadi malam. Saat ia menutup teleponnya, tiba-tiba saja kakinya jadi lemas dan ia langsung jatuh berlutut di hadapan telepon itu dan mengejutkan induk semangnya.
Sekarang jika bicara dengan Masumi, Maya jadi merasa gugup bukan main, dan juga tegang.
"Pak Masumi suka hadiahnya.." pikir maya dengan senang. Gadis itu tersenyum riang. Akhirnya, ia bisa memberikan kado langsung kepada Masumi Hayami, sebagai Maya Kitajima.
Namun, Maya juga tidak tahu, apakah Masumi mampu menangkap isyaratnya, dengan memberikan dasi bermotif mawar ungu itu?
Semalam Masumi juga menanyakan mengenai hal itu dan Maya sudah menjawab sesuai yang sudah ia persiapkan. Selain karena ia amat berterima kasih untuk keberanian Masumi yang sudah menyelamatkannya di laut, Ia pun ingin, Masumi mengungkapkan jati dirinya.
Maya tahu, ia dan Masumi mustahil untuk bersatu.
Masumi sudah punya tunangan. Yang cantik, lemah lembut, anggun, pintar, kaya... Semua yang tak Maya miliki, gadis itu punya. Siapalah ia, jika hendak dengan tak tahu dirinya bersaing dengan Shiori.
Maya tahu pasti siapa yang akan dipilih Masumi.
Namun, walaupun semua kebaikan Masumi adalah karena ia menyukai akting Maya, tak mengapa. Gadis itu sudah mulai bisa menerima kenyataan cintanya bertepuk sebelah tangan. Namun, Maya hanya ingin, Masumi datang kepadanya, mengungkapkan mengenai Mawar Ungu, dan Maya akan mengucapkan terima kasih secara langsung kepada pria itu.
Mungkin... Maya akan memeluknya? gadis itu membayangkannya, dan wajahnya segera memerah panas.
"Tidak..!!" Maya menggeleng kuat-kuat. Tak mungkin ia memeluk Masumi. Dia... dia kan laki-laki dewasa... juga, sudah punya tunangan, pikir Maya.
Gadis itu masih saja tenggelam dalam khayalannya dapat bertemu dengan Masumi sebagai Mawar Ungu saat lamunannya diinterupsi oleh seseorang.
"Maya...! Kiriman bunga untukmu..." panggil salah seorang kru.
Eh? kiriman bunga?? Maya segera beranjak meninggalkan bentonya yang tak tersentuh. Kakinya berderap menghampiri si tukang bunga.
Pak Hijiri! gadis itu tersenyum lebar.
"Selamat siang Nona," Hijiri menurunkan topinya dan membungkuk, "Kiriman bunga untuk Anda," ia menyerahkan buket Mawar Ungu tersebut.
"Pengirimnya memberikan pesan untuk Anda," kata Hijiri. Biasanya, Hijiri tak mengatakan hal itu. Jadi, mendengar pria itu menekankan bahwa Masumi memberikan pesan, membuat Maya mengerti bahwa sepertinya itu sesuatu yang penting.
Gadis itu meraih kartunya dan membacanya.

Kepada Nona Maya Kitajima

Halo, bagaimana latihanmu selama ini? Aku sudah memikirkan baik-baik. Bahwa sekarang sudah saatnya kita bertemu. Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Namun, jika kau berkenan, aku ingin kita bertemu akhir pekan nanti. Awalnya, aku ingin mengajakmu ke villa ku, namun, karena aku tak ingin membuatmu ketakutan, kita bertemu di restoran saja. Tempatnya akan diberitahukan nanti. Berikan jawabanmu kepada si Pengantar Bunga, apakah kau menerima tawaranku atau tidak.

Penggemarmu.
"Hah!?" Maya tertegun. Ia tak percaya dengan apa yang dibacanya. Berulang kali ia membaca kartu itu. Maaf membuatmu menunggu lama, mengundang bertemu, di restoran...
"I, ini..." suara Maya gemetar, "Ma, Mawar ungu..." matanya segera berkaca-kaca, ia menatap Hijiri tak percaya.
"Ya, Nona Maya, pengirim bunga itu, ingin bertemu denganmu," Hijiri tersenyum hangat.
"Mawar... Ungu..." airmata Maya segera jatuh membasahi pipinya.
"apakah Anda berkenan--"
"Tentu! Tentu saja!" seru Maya dengan semangat dan juga terharu. "A, aku sangat ingin... bertemu Mawar unguku!"
Hijiri menyerahkan sebuah rekaman kepada Maya. "Anda bisa... mengatakannya sendiri."
=//=

Keduanya bertemu di sebuah lift yang jarang dipakai. Hijiri menyerahkan rekaman Maya beserta dokumen rahasia lainnya.
"Dan ini, jawaban Nona Maya atas tawaran Anda..." terang Hijiri.
Masumi tertegun sejenak, menerima rekaman tersebut. "Terima kasih, Hijiri... Apa dia..."
"Tentu saja, dia menerimanya."
Deg! Jantung Masumi berdebar-debar kuat. "Apakah menurutmu keputusanku sudah tepat?" tanya Masumi. "Aku... aku sebetulnya tidak tahu, apa yang kuharapkan dari pertemuanku dengannya, kami..."
"Anda akan mendapatkan semua jawaban dari pertanyaan Anda, Tuan, saat bertemu dengannya." Hijiri menenangkan.
"Tapi anak itu--"
"Tuan, Anda jangan terlalu mengkhawatirkan Maya. Tidak apa-apa, sesekali Anda egois dan melakukan sesuatu berdasarkan kesenangan Anda sendiri."
Masumi mengempaskan napasnya perlahan. Ya, mungkin memang sekarang saatnya, Masumi melakukan saja, apa yang dikehendaki hatinya.
=//=

"melamun," tegur Shiori kepada Masumi saat keduanya tengah makan malam.
"ah, tidak," pria itu tersenyum hangat.
"Kau selalu mengatakan tidak ada apa-apa, tetapi perilakumu berkata lain," protes Shiori.
Masumi tertawa. "Tidak... sungguh, aku tidak sedang memikirkan apa-apa... hanya soal pekerjaanku. Ah, sudahlah, aku hanya akan membuatmu bosan dengan semua itu."
"Atau aku, yang membuatmu bosan?" tukas Shiori.
"Tidak... tak akan ada yang bosan kepadamu, Shiori... Bahkan pria di sebelah sana, sudah berkali-kali melihat ke arahmu, dan yang lainnya, ada yang sama sekali tak berkedip melihatmu," hibur Masumi.
Ya.. Masumi, batin Shiori, tapi aku tak peduli kepada mereka... aku hanya ingin perhatianmu. Gadis itu merasa sendu.
"Masumi..." panggilnya lagi, saat pelayan selesai menuang anggur untuk mereka dan meninggalkan meja keduanya.
"ada apa?"
"Kenapa kau memilih gelas kristal itu?"
"Gelas kristal? oh, souvenir? Ya, tentu saja... karena yang lainnya... ah, ketimbang yang lainnya, aku lebih menyukai gelas kristal itu, entahlah... aku suka saja."
"ya, tapi... aku sedikit bingung, dengan sepasang sumpit perak dengan swarovsky, menurutmu bagaimana?"
"Sumpit..." Masumi tak tahu apa yang harus dikatakannya. "Ya, itu juga cukup bagus, tapi kurasa sepasang gelas kristal masih yang terbaik," kata Masumi yang enggan memperpanjang masalah souvenir tersebut.
Perlahan Shiori mengembuskan napasnya. Berat. Ia juga sebetulnya tak ingin meributkan masalah ini, namun Shiori sangat sedih, menyadari memang masumi tak menaruh perhatian sesuai harapannya.
"Masumi, dimana katalog souvenir pernikahan itu? Besok aku harus mengembalikannya."
"Ah, itu... oh, ada di kamarku, tertinggal, nanti akan kuminta seseorang mengantarkannya langsung ke tempatnya."
Shiori berdecak tipis. "Masumi... kenapa kau berbohong?"
"Apa?"
"Kau bohong!" tegas Shiori dengan suara merajuknya. "Katalog itu sudah ada padaku sejak kemarin... Ada di lantai kantormu!"
"Shiori.." desis Masumi.
"Dan juga, tidak ada souvenir sumpit perak dengan swarovsky! Dan kau tak tahu itu. Kau bohong!" wanita itu ngambek.
Masumi merasa bersalah, jakunnya naik turun karena merasa tak enak. "Maaf," aku Masumi akhirnya. "Aku memang sudah ceroboh, aku tak sempat melihat-lihat souvenir lainnya. Tapi aku sudah melihat sepasang gelas kristal itu, dan aku sungguh-sungguh menyukainya."
"Aneh kan, kalau seorang masumi hayami ceroboh..." ujar Shiori. "Kecuali ada hal penting lainnya yang kau pikirkan dengan sungguh-sungguh."
Masumi tertegun, menyadari bahwa Shiori memang sensitif.
"Ya, ada sedikit masalah dengan pekerjaan, jadi aku--"
"Kalau begitu, jangan berjanji bahwa kau akan melihat-lihat katalognya!"
Sungguh Masumi tak pernah mengerti wanita. Ia sudah setuju, masih dipaksa memilih lagi, saat ia akhirnya setuju untuk melihat-lihat katalog karena terpaksa, sekarang itu yang Shiori katakan. Kenapa wanita ini harus membuat semuanya serba rumit.
"Ya, kupikir... aku akan sempat melihatnya, namun ternyata..." ia menghela napas. "Shiori... aku minta maaf, tapi aku ingn sekali menghabiskan malam ini dengan cara yang menyenangkan. Mengenai souvenir, aku benar-benar menyukai gelas kristal itu. Sungguh..."
Shiori mendengus. dan diam. Masumi tahu wanita itu sudah melunak, namun pertanyaannya selanjutnya mengejutkan direktur daito tersebut.
"Kemarin... ada urusan apa Maya kitajima datang ke kantormu?" tanyanya.
"Eh? Maya..." Masumi terdiam beberapa lama. Ia tak mungkin mengatakan Maya memberikan hadiah kepadanya. "Oh... dia hanya datang mengucapkan terima kasih untuk pertolongan sebelumnya. Ya, aku juga terkejut, biasanya kami tidak akur," terang Masumi. wajahnya tak sengaja berbinar saat membayangkan wajah gadis mungil itu.
Shiori mengamati itu. Masumi selalu saja tertawa dan bereaksi dengan cara lain jika sedang berinterksi dengan maya atau bercerita mengenai anak itu. Dia selalu mengatakan anak itu tidak menyukainya dan sebagainya. Shiori pun melihat bagaimana gadis itu selalu marah dan berbuat tidak sopan kepada Masumi. Namun, tunangannya itu, walaupun mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan, namun wajahnya selalu tampak santai dan berseri apabila bercerita mengenai anak itu.
Ada sesuatu… mengenai Maya Kitajima. Jika memang Masumi memperhatikan gadis itu semata-mata karena dia adalah calon Bidadari Merah, lantas, kenapa Masumi tak menyimpannya bersamaan dengan kumpulan foto Ayumi, misalnya. Dan, kenapa ia harus menyimpannya di villa rahasianya? Masumi pernah bercerita, bahwa di villa itu adalah tempatnya menyendiri, menjauhi kepenatan pekerjaannya.
Memang, Masumi mengatakan, hanya Shiori satu-satunya wanita yang mengetahui mengenai tempat itu. Namun, kenapa di tempat sepribadi itu, ada foto Maya Kitajima? Jika memang gadis itu hanya bagian dari pekerjaannya, bukankah seharusnya Masumi menyimpan kumpulan foto gadis itu di ruang kerjanya? Kenapa harus di vila pribadinya dan diletakkan secara tersembunyi? Shiori kembali gelisah.
“Mau berdansa?” ajak Masumi, membuyarkan lamunan Shiori.
Wanita itu tak pernah bisa menolak pesona Masumi. Tentu saja ia setuju.
Keduanya melantai dengan diiringi alunan musik yang syahdu.
“Masumi, akhir pekan nanti… mau berjalan-jalan? Kau libur kan?” tanya Shiori dengan nada memaksa.
Masumi tertegun mendengar pertanyaan itu. Akhir pekan nanti, Masumi berencana menemui Maya. Membuat pengakuan sebagai dirinya yang Mawar Ungu.
“Shiori, akhir pekan nanti—“
“Tidak bisa? Bekerja?” tanya Shiori tajam namun dengan raut menghiba.
Masumi menelan ludahnya. Namun dia sudah membulatkan tekadnya. “Ya… hari itu, aku sudah ada janji penting dengan—“
“Dan aku tidak penting?” desak Shiori.
“Bukan, bukan begitu. Dia… orang yang penting untuk Daito, jadi—“
“Seharian? Selama akhir pekan kau akan bersamanya?”
Masumi tertegun dengan pertanyaan Shiori. Ia berencana menemui Maya di ruangan vvip sebuah restoran ternama pada siang hari. Mungkin, mereka akan makan siang. Masumi berpikir bertemu siang hari lebih baik ketimbang malam hari agar tak terkesan terlalu intim.
Namun, Masumi sesungguhnya tak pernah memikirkan apa yang akan terjadi setelah itu. Jika dia dan Maya sudah bertemu, apa yang akan dilakukannya? Jika Maya menolaknya? Atau menerima keberadaannya sebagai Mawar Ungu, lantas apa?
Masumi tak pernah memikirkan apa yang akan terjadi setelah itu, karena baginya, kelanjutan hidupnya benar-benar hanya akan ditentukan pada momen itu. Momen ketika Maya mengetahui siapa dia yang sesungguhnya.
“Masumi!?” tegur Shiori, mengoyak lamunan Masumi.
“Mh, ya?”
“Jadi bagaimana?” sudah mulai ngambek.
“Maaf, aku sungguh tak bisa meluangkan waktuku untuk siang hari, namun… kita bisa bertemu untuk makan malam?” bujuk Masumi.
Sejenak Shiori tak bersuara. Ia bermaksud mengajak Masumi berjalan-jalan. Mungkin ke museum, atau ke taman bunga. Kemana saja, selama ia dan Masumi bisa menghabiskan waktu lama dengan berjalan-jalan. Namun, pada akhirnya Shiori terpaksa menerima tawaran Masumi ketimbang ia harus kehlangan kesempatan lainnya untuk bersama kekasihnya tersebut.
“Baiklah…” wajah Shiori berseri. “Apa… kita bisa menonton opera setelahnya?” pinta Shiori.
“Opera?” Masumi terdiam, “Tapi, nanti kau bisa pulang kemalaman. Kakekmu bisa khawatir, dan aku tak mau menjadi sasaran kemarahannya, nanti dia tak mengijikanku mengajakmu keluar lagi,” tutup pria itu, basa basi.
Shiori mengikik kecil. “Tidak apa-apa, kalau denganmu… Kakek tak akan marah. Bahkan, jika aku tidak pulang pun—“ wanita itu terenyak sendiri mendengar perkataannya. Ia malu dan menundukkan wajahnya segera. Ia tak mengira kalimat seperti itu akan meluncur dari bibirnya.
Sementara Masumi yang juga sangat terkejut mendengar ucapan Shiori, hanya bisa membisu dengan pahit, seakan-akan baru saja lehernya dijerat tali gantungan.
=//=
"Masuk..." Shiori berkata.
Kepala rumah tangga Takamiya sekaligus tangan kanan shiori itu masuk.
"Nona, saya sudah mendapat laporan mengenai Maya Kitajima," wanita itu menyerahkan sebuah amplop cokelat.
"Orang itu tahu aku yang menyuruhnya?"
"Tidak Nona, Anda tenang saja."
Raut Shiori sejenak gelisah, lantas dengan ragu ia mengeluarkan beberapa foto yang ada di sana.
Mata wanita itu melebar. Foto-foto tersebut memperlihatkan kegiatan Maya. Orang itu sudah melaksanakan tugasnya dengan baik saat diminta untuk menguntit Maya.
Tampak Maya sedang melakukan kegiatannya, dan beberapa kali Maya terlihat menerima buket mawar ungu. Yang terakhir, gadis itu menerima buket Mawar Ungu serta begitu banyak hadiah di kontrakannya.
Namun, yang membuat Shiori terkejut, adalah saat ia melihat si pengantar paket tersebut. Itu kan...
Shiori ingat, pernah melihat pria itu di vila Masumi, dulu. Pria yang langsung pergi begitu mengetahui kedatangan Shiori.
Tiba-tiba saja jantung Shiori berdebar-debar. Ia tahu ada yang tak seharusnya. Ada yang salah...
Ada sesuatu mengenai Maya dan pengirim paket itu.... dengan Masumi.
Apa? Sebetulnya ada apa di antara mereka bertiga? Mungkinkah...
"Jangan yang itu!" Shiori teringat hardikan Masumi ketika Shiori pernah meminta untuk dibelikan Mawar Ungu. Saat itu, Masumi mengatakan ada bunga lain yang lebih cocok untuknya. Namun, kali ini, ia menyadari... ada sesuatu mengenai bunga itu. Antara Maya, Masumi, dan... Mawar Ungu.
=//=
Shiori mengetahui mengenai mawar ungu keesokan harinya, berdasarkan laporan mata-mata.
Ia membaca laporannya, "Sejak pertama kali Maya Kitajima pentas, ia sudah memiliki seorang penggemar setia yang bernama Mawar Ungu. Selanjutanya, penggemarnya ini selalu mengirimkan mawar ungu dalam setiap pentasnya, karena itulah Maya Kitajima selalu memanggilnya dengan sebutan Manusia Mawar Ungu. Selain itu, Mawar ungu sering mengiriminya berbagai macam hadiah. Orang ini juga menyekolahkan Maya,membantu perawatan gurunya dan memberi bantuan dengan memperbaiki gedung Ugetsu serta banyak bantuan lainnya yang ia berikan kepada Maya.
Shiori mulai merasa gelisah. Sepertinya ada yang salah. Mungkinkah, semua ini ada kaitannya dengan masumi?
Pria pengantar bunga itu sungguh membuatnya curiga. Ia yakin itu pria yang sama yang dilihatnya di vila Masumi.
Mengirimi bunga sejak pertama pentas? Menyekolahkannya? Mungkinkah Masumi melakukan semua itu bertahun-tahun ini? Lantas, apa yang ia lihat selama ini? Keduanya selalu saling menyindir satu sama lain.
"Maya Kitajima akan bertemu dengan pengirim mawar ungu pada tanggal 7 pukul 1 siang di ruangan vvip restoran tropicana premium."
Shiori menatap laporang itu dengan gelisah. Akhir pekan ini? Jadi karena itukah Masumi menolak ajakannya berkencan?
"Bibi," panggil Shiori. wanita tua itu kembali menghampiri. "Tolong hubungi restoran ini, dan pastikan apakah Masumi memesan tempat di sana."
"Baik, Nona."
Wanita tua bersanggul anggun itu lantas menghubungi restoran tropicana premium. Tak lama ia menunggu, restoran yang diperuntukkan bagi orang-orang kaya itu memang selalu memberikan pelayanan prima terutama dari para CS nya.
"Selamat siang, ini dari keluarga Takamiya, kami ingin bertanya apakah sudah ada seseorang yang memesan ruangan VVIP untuk tgl 7 pukul satu siang?"
"Sebentar akan kami konfirmasi," tak lama kemudian, "Maaf, tepat pada waktu itu sudah ada reservasi," terangnya.
"Apakah reservasi itu atas nama Masumi Hayami?" tanyanya. "Bukan. Ini bukan untuk Tuan Masumi Hayami."
"Oh, baiklah. Terima kasih banyak."
"Bagaimana?" tanya Shiori.
"Tidak Nona," kata si Bibi, dan ia mengulang perkataan CS itu.
Jadi... yang akan menemui Maya, bukan Masumi? pikir Shiori. Ia merasa sedikit lega, namun... masih ada sesuatu yang mengganjal perasaannya.
Shiori meraih telepon. Ia harus memastikan. Dihubunginya kediaman Hayami untuk bicara dengan Masumi.

"Ya? Ada apa Shiori?" tanya Masumi, menyembunyikan kekesalan hatinya karena lamunannya mengenai Maya terpaksa dihentikan.
"Mengenai akhir pekan ini... bisa kita bertemu saat makan siang?" tanya Shiori.
"Makan siang?" Masumi tertegun. "Bukankah sudah kukatakan kalau siang aku tidak bisa? Ada urusan yang harus kuselesaikan. Kita bertemu malamnya saja ya," bujuk Masumi dengan lembut.
"Kenapa tidak bisa?" tanya SHiori. "Sebetulnya kau ada urusan apa? dimana?" desaknya.
Masumi bisa merasakan ada sesuatu yang tak wajar dari cara Shiori bicara. Biasanya Shiori lebih pengertian. Namun kali ini tidak.
"Dengan rekan bisnisku," terang Masumi.
"Dimana?"
"Dimana?" kali ini Masumi tak bisa menyembunyikan rasa gusarnya. Kenapa Shiori seingin tahu itu? Bisanya wanita itu tak pernah bertanya terlalu banyak mengenai pekerjaannya.
"Ya. Dimana? Tahu darimana kalau kau tidak berbohong? Bagaimana kalau kau... kau... menemui wanita lain?"
"Deg!" Masumi terenyak.
"HAHAHA..." pria itu tertawa dengan renyah. "Wanita lain? shiori... jika bicara mengenai wanita, hanya ada tiga tipe yang kutemui, rekan bisnisku atau yang berkaitan dengan pekerjaanku, lalu para aktris yang dapat menguntungkan Daito, dan yang ketiga, kau...."
"Masumi...." gumam Shiori, merasakan dadanya berdebar lagi tiap mendengar rayuan pria itu.
"Aku akan menemuimu akhir pekan nanti saat makan malam," Masumi menegaskan dengan lembut.
Shiori terdiam, mengeratkan pegangan tangannya di gagang telepon. "Baiklah... Masumi."
Akhirnya wanita itu mengakhiri hubungan setelah mengobrol beberapa lama.
=//=

Masumi sedikit terkejut dengan pertanyaan Shiori tadi. Ia tak mengira Shiori mulai merasa cemburu kepada wanita lain. Padahal selama ini, ketimbang para wanita di sekeliling Masumi, Shiori sering diibaratkan orang seperti dewi yang tak ada duanya. Dan, shiori pun tak pernah merasa cemburu sma sekali dengan siapa pun. Ia tahu pasti reputasi Masumi yang dingin dan gila kerja, yang menganggap wanita hanya sebuah komoditas yang dinilai dari tinggi rendah harga jualnya saja. Namun, tiba-tiba Shiori bicara mengenai wanita lain. Sepertinya, intuisi calon istrinya itu memang cukup tajam.
Tidak, tidka Masumi, pria itu menggelengkan kepalanya. SHiori tidak akan berpikir sejauh itu, apalagi mengaitkan semuanya dengan Maya. Itu hanyalah kecemburuan wajar dari seorang wanita, ia meyakinkan diri.
Masumi berjalan memasuki sebuah restoran mewah bernama Tropicana.
"Tuan Hayami!" sambut sang manajer. "Maaf kami tidak tahu Anda akan datang! Kami akan mempersiapkan sebuah tempat untuk Anda!" katanya dengan gesit dan sedikit panik.
"Tidak perlu, aku sudah ada tempat. Ruang Mawar."
"Ruang mawar? Ah, Anda tamu Tuan Robert? Maaf Tuan saya tidak tahu. Silakan, silakan."
"Ya. Nanti akan ada seorang gadis, uhm, ehem! Dia akan mengenakan pakaian ungu, tolong antarkan saja kepadaku.
"Baik Tuan."
Masumi berusaha menenangkan diri selama kakinya melangkah menuju ruang Mawar.
Masumi memasuki ruangan yang tampak mewah dan megah itu. Ruangan tersebut lebih tampak seperti lounge bintang empat. Ada sofa dan bar pribadi di sana, ruang makan bahkan video.
Sejenak Masumi salah tingkah, ia tak tahu dimana titik yang tepat untuk menanti Maya. Di meja makan kah? Di sofa? di bar?
Setelah berpikir dengan seksama dalam waktu singkat, Masumi memutuskan menunggu gadis itu di sofa.
Sofanya nyaman, namun tidak dengan perasaan masumi. Kembali pemikiran yang maju mundur itu datang lagi. Pergi saja, pergi! Masih ada waktu sebelum gadis itu datang. Tidak, tinggal saja, aku harus memastikan sikap Maya kepada mawar ungu. Aku harus tahu, dan aku sudah melangkah sejauh ini, batin Masumi, membulatkan tekadnya.
Jemari pria itu saling meremas, dan kedua kakinya bergerak gelisah tanpa sadar. Masumi beberapa kali menatap jam dinding, membandingkannya dengan jam di tangannya yang hanya berbeda sekitar satu setengah menit. Ia tak tahu apakah Maya akan muncul seusai waktu jam dinding atau waktu jam tangannya.
Maya... panggil pria itu, dengan rasa rindu dan sendu, juga cemas.
Tak pernah ada seorang gadis pun yang membuat hatinya diserang rasa panik namun juga penantian tak menentu seperti saat ini.
Maya.... diam-diam Masumi mulai berharap gadis itu segera datang, agar hatinya tidak terlalu tersiksa seperti saat ini.
Pintu apartemen Maya diketuk. Seorang pria kurus tinggi tampak di hadapannya.
"Selamat siang, saya diminta menjemput Nona Maya Kitajima," seorang sopir berpakaian rapi berkata.
"Ah,i, iya, saya..." kata Maya.
Jantung gadis itu berdebar. Ia ingat ini adalah jemputan yang dijanjikan Mawar Ungu.
Maya ikut turun dengan sopir tersebut. Sebuah limousine mewah telah menunggunya.
"Silakan masuk," sopir itu membukakan pintu.
Maya masuk ke dalam mobil. Joknya terbuat dari kulit lembu berkualitas mahal yang sangat nyaman. Walaupun di luar udara cukup panas, di dalam mobil itu terasa sangat sejuk. Ada seorang wanita di dalam sana. Maya cukup terkejut melihatnya.
Wanita itu bernama Sayuri, ia yang akan melayani kebutuhan Maya sepanjang perjalanan.
Maya tak menginginkan apa-apa. Ia hanya mengangguk berkali-kali karena gugup. Diamatinya wanita itu. Ingin sekali Maya bertanya, apakah ia kenal dengan pria yang menyewanya? Namun Maya mengurungkan niatnya. Ia sudah berjanji tak boleh mengorek identitas Mawar Ungu. Ia ingat apa yang hijiri katakan semalam.
Akan ada sebuah mobil dan petugasnya yang akan mengantarkan Maya menemui Masumi. Hijiri sengaja menyewa mereka dan menyebutkan kemana mereka harus membawa Maya. Namun, mereka tidak mengetahui siapa Hijiri dan juga bahwa Maya akan menemui Masumi. Mereka hanya bertugas mengantarkan Maya ke tempat yang telah dikatakan.
"Aku tidak bisa mengantarmu, karena aku tidak boleh terlihat bersamamu ataupun terlihat berada di tempat yang sama dengan manusia mawar ungu," terang Hijiri,
Karena itulah Maya tak diantar oleh Hijiri.
Gadis itu mengeratkan tangannya.
"Gugup?" tanya Sayuri.
Maya tersenyum malu-malu.
"Tampaknya Anda akan menemui seseorang yang sangat penting."
"Ya," ucap Maya perlahan. "Dia orang yang sangat penting."
Pak masumi... jantung gadis itu berdebar hebat. Dia akan bertemu pria itu sebagai Mawar Ungu untuk pertama kalinya. Maya sudah sangat menantikannya, namun juga takut. Semalaman Maya tak bisa tidur, membayangkan bagaimana Masumi akan bereaksi kepadanya. Ia sempat berpikir, "Mawar Ungu pasti kecewa kepadaku." Namun, ia menyadari bahwa pemikirannya itu konyol, karena jelas Masumi sudah tahu benar siapa Maya.
Bahkan saat berada di kamar mandi tadi, Maya sudah berlatih baik-baik mengenai apa yang akan dikatakannya kepada Masumi. Bahkan saat berlatih di depan kaca, Maya tetap saja tak bisa menahan airmatanya. gadis itu jadi menangis saat membayangkan akan bertemu Mawar Ungunya.
Pemandangan indah tak mampu mengalihkan perhatian Maya dari kegugupannya. Dan akhirnya, setelah perjalanan yang terasa begitu panjang dan amat lama. Bahkan saat Sayuri berusaha membuat Maya rileks dengan mengajaknya berbincang, menawarkan majalah, minum dan lain sebagainya, Maya tetap saja tampak tegang, sekarang Maya sudah berjalan menaiki tangga sebuah restoran.

"Selamat siang," seorang pria berpakaian rapi menghampirinya dengan senyum terbaik. "Ada yang bisa saya bantu."
"Ya... uhmm... sa, saya, diundang oleh Pak Ma, eh, Mawar Ungu, anu... oleh seseorang. Mawar Ungu."
"Mawar ungu?" manajer itu tertegun, mengamati Maya. "ah, Ya... ya... Mawar Ungu! Ayo, silakan ikuti saya..."
Maya dengan canggung mengikuti pria berrambut kelimis dengan kumis tipis itu. Ia berjalan menuju sebuah ruangan yang dari pintunya saja sudah terlihat luasnya tempat tersebut.
"Di sini, Nona, silakan masuk, Anda sudah ditunggu. Jika ada yang Anda butuhkan, cukup bunyikan saja buzzernya pelayan kami akan menghampiri."
"Ba, baik..." Maya mengangguk-angguk gugup.
Ditunggu? Jadi... Mawar Ungu sudah ada di dalam?
Dan jantung Maya berdebar semakin kuat. Bahkan tangan dan kakinya kali ini ikut gemetaran.
Mawar Ungu.... Mawar Unguku... Maya menggenggam gagang pintu itu kuat-kuat dan membukanya.
"Krieet..." pintu ruangan itu terbuka lebar. "Per-permisi..."
Ruangan yang megah dan mewah dengan marmer berpola cantik, serta interior klasik yang romantis dengan lampu hias yang menawan.
Jantung Maya berdebar lebih keras. Ia melangkah masuk, dan sepatu dengan hak 3 sentimeter itu mengeluarkan bunyi beradu yang seiring dengan debar jantungnya.
Ia berusaha mencari seseorang di ruangan luas itu. Matanya beredar.Bukankah tadi katanya ia sudah ditunggu? Berarti dia sudah menunggu? Tapi dimana dia?
"Maya..." panggil sebuah suara. Maya menoleh ke arahnya. Jantungnya berdebar semakin keras dan keras. Matanya membulat dan hanya enyakan tertahan yang terdengar pelan terlepas dari bibirnya.
Seorang pria, dengan setelan menawan, berdiri dari sofa yang didudukinya. Tubuhnya gagah menjulang dan wajahnya berkarisma. Ia berjalan mendekat.
"Terima kasih sudah datang," katanya, saat gadis yang ia harapkan telah tiba.
"Nona Maya sudah dijemput dan diantar ke restoran," itu pesan Hijiri tadi ke ponsel Masumi, dan membuat pria itu semakin gelisah. walaupun ia sangat jarang berdoa, kali ini ia tak berhenti melakukannya.Akhirnya, pintu ruangannya dibuka,pria itu terenyak, ia menoleh ke arah pintu. Suara hak tinggi sepatunya semakin dekat.Wanita itu mengenakan gaun ungu, mendekat kepadanya. Masumi sangat terkejut dan berusaha menenangkan diri.Ia bangkit dari sofa.

=//=

"A-Anda..." terbata, Maya menatap lekat pria di hadapannya.
"Halo. Aku sudah menunggumu dari tadi, silakan duduk," kata pria tampan yang Maya tak tahu siapa namanya itu.
Mana Pak Masumi? Batin Maya, bertanya-tanya. Dan pria ini...? Mungkinkah Maya salah, telah mengira Masumi adalah mawar ungu? Tidak, Maya yakin sekali pria yang ia cintai itu Mawar Ungu. "Anda...?" Maya mengamati pria itu dengan bingung dan penuh harap, juga berusaha menekan kecewanya. "Apakah Anda, orang yang mengundang saya?"
Pria itu tersenyum, dan sekali lagi karismanya memancar. "Bukan, saya Yamashita, orang yang diutus oleh Mawar Ungu, yang mengundang Anda."
"Mawar... Ungu..." gumam Maya,"Apakah dia akan datang? Apakah saya bisa bertemu dengannya?" Maya bertanya dengan antusias dan penuh harap.
"Maaf," pria itu berkata dengan tenang. "Saya di sini datang untuk mewakilinya, ada yang harus saya bicarakan denganmu."
"A, apa?" tanya Maya dengan khawatir dan tidak percaya. "Mawar Ungu.... tidak akan datang?" wajah Maya pucat seketika.
Pria itu menggeleng dan kemudian berkata, "Mawar Ungu meminta saya mengatakan kepadamu, bahwa beliau sudah tidak bisa lagi mengurusmu. Dan ia mengatakan tidak akan bisa lagi mengirimimu Mawar Ungu."
"Hah!? A-apa...!?" Wajah Maya pucat seketika.
"Ya... jadi begini, saat ini, Manusia Mawar Ungu sudah memutuskan untuk berhenti membantumu. Ada banyak hal yang harus ia lakukan, dan ia sudah tak bisa lagi mengurusimu. Ia hanya berharap kau bisa sukses dengan karirmu, dan ia tidak akan melupakanmu, Namun ia sudah tidak ingin berurusan lagi denganmu. Ia harap kau bisa mengerti. Beliau adalah orang yang sangat penting dan ada banyak urusan penting yang harus ia tangani. Jadi... jika kau ingin membalas semua kebaikannya, ia harap kau bisa mengerti jika Beliau ingin mengakhiri hubungan kalian berdua selama ini."
Maya tak percaya mendengar semua itu. Hatinya sangat sakit seakan-akan terkena cambukan. Jadi, inikah maksud Mawar Ungu mengundangnya? Untuk mengakhiri semuanya dan meminta Maya tidak mengganggunya lagi?
Ia orang yang sangat penting dan masih banyak urusan penting yang harus diselesaikannya.
Tanpa dikomando airmata Maya luruh juga. Seharusnya ia sudah tahu, itulah yang Masumi inginkan. Pria itu akan menikah, mungkin menjadi salah satu orang yang penting di dunia bisnis Jepang. Ada banyak hal yang harus Masumi selesaikan, dan tak ada lagi ruang untuk Maya. Benar... dia memang bodoh! Bagaimana bisa Maya berharap Masumi menemuinya, mengaku Mawar Ungu dan hubungan keduanya membaik?
Dengan pahit Maya menelan ludah. Ia seharusnya tahu... telah tiba waktunya Masumi ingin memutuskan hubungan di antara mereka.
"Kau bisa mengerti kan, Maya?" tanya pria itu lembut.
Maya tak bisa berkata-kata selain mengangguk. "Saya mengerti," gumamnya. "Tolong katakan kepadanya, saya... saya sangat berterima kasih untuk semua kebaikannya. Dan ini..." Maya mengangsurkan sebuah kado. "Itu... mungkin pemberian terakhir saya untuknya, tolong katakan--"
"Maaf," potong pria itu. "Saya sudah diperintahkan untuk meyakinkan Anda bahwa beliau sudah tidak bisa lagi menerima pemberianmu. Cukup sampai di sini saja."
"TIdak bisa? Tapi..." Maya tertegun, teramat sedih. Sekali lagi ia mengangguk. Ia tak ingin perasaannya membebani Masumi. "Baiklah aku mengerti. Maaf sudah banyak menyusahkannya."
"Beliau sangat senang membantumu selama ini, namun beliau meminta pengertianmu karena sekarang semuanya tak sama lagi. Beliau berharap kau mau mengerti dan tidak akan mengungkit-ungkit atau menyebut-nyebut mengenainya lagi. Hal itu akan sangat membantu. Karena, jika sampai diketahui oleh orang lain mengenai hubungannya denganmu, hal itu akan sangat menyulitkannya."
"Aku mengerti. Aku... tidak akan menyebut-nyebut mengenainya lagi," ucap Maya, dan sedetik kemudian dia menangis dengan airmata semakin deras.
Sangat terluka.
"Shiori...!" Masumi terenyak saat tunangannya muncul di depan matanya.
"Selamat siang, Masumi..." sapa Shiori, berusaha terlihat tenang. "Ternyata benar kau berada di sini. Sedang ada janji?" tanya Shiori.
Masumi tertegun, berusaha mencari alasan. Ia tak mungkin memberitahu bahwa ia sedang menunggu Maya. Lebih tak mungkin lagi membuat Shiori menjadi saksi pengakuannya sebagai mawar ungu kepada Maya.
"Aku..."
"Kau bilang sedang sibuk kan? Kau ada janji dengan siapa? Kenapa tidak mengatakan bahwa kau akan ke sini?"
"Aku... ah, kau sendiri, sedang ada apa di sini?" tanya Masumi, seraya berpikir bagaimana meminta Shiori agar segera pergi.
"Aku sebetulnya ada janji makan siang dengan seseorang. Dia... sepupuku yang sekolah di luar negeri, kebetulan sedang berada di Jepang, dia ingin bertemu di sini," Shiori berkata dengan tenang. "Akan tetapi dia tampaknya belum datang, malahan, manajer restoran ini mengatakan kau sedang berada di sini. Ia mengira aku ingin bertemu denganmu..." terang Shiori.
Masumi hanya membisu. Sungguh kebetulan yang tidak dikehendakinya.
"Bagaimana Masumi? Apakah tamumu sudah datang? apa... kau bisa ikut makan siang denganku? Agar bisa kuperkenalkan kepada sepupuku..."
"Shiori, aku sungguh meminta maaf. Aku ada urusan penting. Dan ini masalah pekerjaan yang cukup rahasia," Masumi masih memutar otak untuk mengusir Shiori. "Aku benar-benar tidak menginginkannya, hanya saja--"
"Oh, ya, ada satu hal lagi!" tukas Shiori. "Aneh sekali, tadi... aku melihat gadis itu. Siapa? Maya Kitajima ya namanya? Yang calon BidadariMerah itu..."
Haha!? Maya...!? Mata Masumi membulat saking terkejutnya mendengar ucapan Shiori. Ia sudah bertemu Maya? Lantas kemana gadis itu? Masumi sedang bingung saat Shiori kembali bicara.
"Dia tadi menangis, tampaknya dia sedih, atau marah... entahlah. Aku sangat terkejut melihatnya di sini. Namun, gadis itu berperilaku kurang sopan. Saat aku menyapanya dan bertanya ada apa, dia hanya menatapku seperti benci, aku tidak mengerti, namun saat aku tanya ada apa, dia hanya berkata, dia baru saja melihat orang yang paling dibencinya dan ingin segera pergi dari sini," Shiori bercerita dengan wajah tanpa dosa. "Aku tidak mengerti siapa yang dia maksud, namun sepertinya dia sangat kecewa, dia bilang tak ingin bertemu dan berhubungan dengannya lagi."
Mendengar perkataan tunangannya, Masumi mematung tak percaya. Apa yang ditakutkannya telah terjadi. Mungkin Maya sudah tahu bahwa dialah yang akan ditemui gadis itu, dan Maya memutuskan untuk segera pergi sebelum menemuinya.
Maya ternyata masih sangat membencinya. Sekarang ia tak bisa lagi mendekatinya bahkan sebagai Mawar Ungu. gadis itu sudah menutup jalan satu-satunya bagi Masumi untuk menuju ke arahnya.
rasanya dunia Masumi jadi menciut, begitu kecil, tanpa makna dan teramat hampa.
Akhirnya Masumi menghabiskan makan siangnya dengan Shiori dan sepupunya. Pria itu bernama Yamashita Satoshi.
"Dia adalah sepupuku yang paling dekat dan melindungiku," terangnya mengenai pria tampan yang ada di sampingnya.
"Ya, aku selalu bertengkar dengan siapa saja yang mengejek Shiori. Kau juga sih, sedikit-sedikit menangis! Sedikit-sedikit menangis!"
"Yaa.. habiiss..." Shiori sedikit merajuk.
"Pokoknya, siapapun yang akan menyakiti Shiori, harus berhadapan denganku. Tapi... Anda sepertinya pria terhormat, dan Shiori sangat mencintaimu. Aku yakin, kau pasti bisa melindungi Shiori, benar kan Masumi? Mungkin... nanti kita akan mengerjakan proyek bersama-sama. Hahaha..."
Masumi hanya tersenyum tipis mendengar ucapan pria bernama Yamashita itu. Sebetulnya hatinya masih teramat sakit dengan kenyataan Maya sudah tak bisa disentuhnya lagi. Gadis itu tahu dia Mawar Ungu... gadis itu tahu dan membencinya...
Masumi mengeratkan kepalan tangannya. Hatinya sakit.
"Masumi? Masumi...!" tegur Shiori.
"Ah, ya?"
"Kau kenapa?" tanya Shiori. "Masih memikirkan pertemuan bisnismu yang tidak berhasil?"
"Uhm... ya..."
"Tampaknya pertemuannya sangat penting. Memangnya pertemuan dengan siapa?" tanya Yamashita.
"Ah, tidak... ini... proyek baru Daito. Dia seseorang yang hendak kulobi untuk proyek besar kami. Namun, sayang sekali dia ada halangan. Ya... aku sedikit kecewa. Daito sangat ingin memakainya."
"Wah... tapi aku tidak ragu. Kudengar, kau selalu mendapatkan apa dan siapa pun yang kauinginkan."
Masumi tersenyum tipis dan membatin. Ya... kecuali dia...

=//=

Maya turun dari limousine yang tadi membawanya. Sepanjang jalan Maya menangis. Ia tak bisa menahan diri. Ia tak mengira, hari yang dipikirnya akan menjadi saat pertemuan dengan Masumi, malah menjadi hari saat ia harus memutuskan hubungan dengannya. Ia terlalu besar kepala, berpikir bahwa Masumi akan memberikan jati dirinya. Berpikir bahwa ia bisa berperan lebih banyak dalam hidup pria itu. Namun yang terjadi malah apa yang paling ditakutkannya. Mawar Ungu tak ingin mengurusinya lagi. Ia akan menikah, menjadi milik wanita lain untuk selamanya dan menghapus Maya dari sejarah hidupnya.
Tidak... Maya tak mau... Ia tak rela!!
Namun... Jika yang terbaik bagi Masumi adalah dengan tidak berhubungan lagi dengannya, maka itulah yang harus dilakukannya. Selamat tinggal Mawar Unguku... Selamat tinggal Pak Masumi... selamat tinggal... Huhuhu.... Maya tergugu dengan airmata menganaksungai. Selamat tinggal... ternyata semuanya hanya mimpi... kita bukan belahan jiwa.Semuanya hanya khayalan, mimpi di siang bolong...
=//=
"Maya... kau harus makan, sedikit saja, tapi kau harus makan!" tegas Rei yang sangat khawatir melihat keadaan Maya.
Matanya sangat sembap karena kemarin ia menangis seharian. Dan gadis itu juga tak mau makan apa-apa. Dia hanya diam saja di sudut ruangan, menggenggam sekuntum mawar ungu dan kado yang gagal ia berikan kepada Mawar Ungu. Rei tidak tahu apa yang terjadi hari itu saat Maya hendak bertemu dengan mawar ungu, namun melihat keadaannya sekarang Rei tahu semuanya tak berlangsung baik.
Saat Maya terbangun, ia sudah berada di sebuah ruang rawat dengan infus melekat di lengannya.
"Maya! Kau sudah bangun? Apa kau baik-baik saja? Ada yang sakit?" tanya sayaka yang segera menghampiri gadis itu.
Mata Maya terbuka dengan sayu.
"Ini... dimana?" tanyanya lemah.
"Kau pingsan karena kondisi tubuhmu lemah! Badanmu demam tinggi. Rei membawamu ke sini dan mengabari kami. Dia bilang kau tidak makan berhari-hari."
Dengan segera pikirannya ingat lagi kepada Masumi. Pria itu tak ingin berhubungan lagi dengannya.
Dan airmata Maya kembali bercucuran.
"Sebetulnya, kondisi badan Maya semuanya baik, hanya tidak ada asupan gizi yang membuatnya jadi lemah dan sepertinya Maya sedang memikirkan hal yang berat. Coba dilupakan dulu masalahnya, kalau kondisi tubuhmu membaik, kau bisa melakukan apa saja. Tapi jika sakit seperti ini, kau tidak bisa melakukan apa pun kan? Termasuk menyelesaikan masalahmu." nasehat Dokter wanita yang menangani Maya.
Maya hanya terdiam membisu mendengar ucapan dokter itu.
Selama Maya berada di rumah sakit beberapa temainnya menjenguk, termasuk teman teaternya dan juga Sakurakoji. Malah sakurakoji sempat menunggui Maya beberapa lama sebelum ia harus pergi untuk latihan.
Maya menghabiskan tiga malam di RS itu sebelum dokter memperbolehkannya untuk pulang.
"Maya, jaga kondisi badanmu baik-baik. Kalau bisa aku tidak ingin melihatmu lagi," kata dokter itu seraya tersenyum.
"Terima kasih Dokter," pamit Rei.

Keduanya lantas berjalan menyusuri selasar rumah sakit. Selama Maya dirawat di sana, Rei menyadari bahwa sama sekali tidak ada kiriman bunga dari Mawar Ungu, juga tidak ada bantuan dana darinya. Rei yakin murungnya Maya juga berhubungan dengan hal itu. Ia masih tidak tahu apa sesungguhnya yang terjadi pada hari itu saat Maya menemui Mawar Ungu. Sejak hari itu juga tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Maya. Ia hanya terdiam dan menangis.
Sekarang pun ekspresinya kosog saja, begitu juga tatapan matanya. Maya memang bisa begitu bersemangat namun di lain waktu ia juga bisa begitu perasa dan tenggelam dalam kesedihannya.
Rei menyampirkan tangannya di bahu gadis itu.
"Maya, kau jangan begini terus... Katakan kepadaku ada apa? Dokter bilang, kau tak boleh memendam masalah, kau harus mencoba bercerita, agar bebanmu lebih ringan," bujuk Rei saat keduanya keluar dari rumah sakit.
Namun sekali lagi Maya hanya membisu. Ia begitu sedih menyadari bahwa orang yang paling penting baginya, kini meninggalkannya.
Saat itulah sebuah ambulan yang baru masuk menurunkan seorang pasien di bagian gawat darurat. Dua orang petugas menurunkan sebuah brankart dengan cepat. Seorang pria tampak terbaring dengan mata terpejam, dari kepalanya darah bercucuran.
"Masumi Hayami, 30 tahun, kecelakaan mobil, kepalanya terluka dan tidak sadarkan diri," terang petugas penyelamat kepada petugas medis yang menerima mereka.
Pak Masumi!? Mata Maya membulat saat melihat tubuh gagah Masumi yang kali ini tanpa daya didorong masuk ke dalam bagian gawat darurat.
Rei terlonjak, "Wah, Maya! Itu barusan--"
"Pak Masumi!" seru Maya. Ia segera melepaskan diri dari rangkulan Rei dan berlari mengejar brankart yang membawa pria yang dicintainya. "Pak Masumi!!" panggilnya.
"Pak Masumi! Pak Masumi!!" panggil Maya dengan panik seraya berhambur menghampirinya.
"Pak Masumi!"
"Nona! Apa yang Anda lakukan? Jangan mendekat!"
"Lepaskan aku! Aku mengenalnya!" seru Maya dengan kekuatan yang entah dari mana datangnya.
"Nona, berhenti Nona," cegah seorang petugas. "Anda mengenalnya?"
"Ya, dia... Dia..."
"Anda kerabatnya?"
"Ya! Dia... Aku mengenalnya! Apa yang terjadi dengannya? Kumohon, beritahu aku..." dan airmatanya kembali berderai.
Petugas itu hanya mengamatinya dengan simpati. "Tenanglah Nona, dia mengalami kecelakaan, tim medis kami akan segera merawatnya. Apa Anda tahu orang yang bisa kami hubungi atau Anda sebaiknya menghubungi orang yang bertanggung jawab--"
"Nona," Maya berbicara dengan menghiba. "Dia akan selamat kan? Katakan dia akan baik-baik saja."
"Kami pasti akan mengusahakan yang terbaik. Anda tenanglah."
"Pak Masumi..." dengan getir Maya mengamati tubuh pria itu menghilang di balik pintu. Ia sungguh tak mengira saat ia bertemu lagi dengan Masumi, ia akan melihat pria itu dalam keadaan sedemikian. Tubuh Maya gemetar dan ia menangis.
Rei menyaksikan itu semua dengan penuh tanya, "Maya...?"
"Pak Masumi, sudah waktunya makan siang. Anda pasti ingat sekarang anda ada janji makan siang dengan--"
"Dan kau pasti ingat bahwa aku tidak ingin bertemu siapa-siapa!" bentak Masumi dengan wajah geram.
Mizuki menelan ludahnya. "Tapi Pak--"
"Batalkan janji makan siangnya, atau kau tak usah lagi datang ke Daito besok!"
"Saya mengerti Pak," jawab Mizuki akhirnya.
Sang sekretaris lantas keluar dari ruangan itu, meninggalkan Masumi hanya dengan rokoknya.
Pria itu menyesap rokoknya kuat-kuat. Lantas menjejalkannya dalam-dalam ke atas asbak.
"Ah, Brengsek!! Sialan!!!" umpatnya dengan penuh kemarahan. Diamatinya setumpuk dokumen yang harus dibacanya.
Sejak kapan ia hanya selalu ditemani setumpuk dokumen? Sejak belasan tahun yang lalu. Namun, mengapa sekarang semua rasanya begitu hampa? Ia begitu tersiksa. Begitu kesepian.
Dengan kedua siku bertumpudi atas meja, kedua kepalannya saling menggenggam erat dan kuat, seakan memohon dengan sangat bahwa semua ini tidak benar. Masumi menyandarkan kepala di lengannya, menunduk, memejamkan matanya dengan dalam.
Maya sudah tahu siapa dia, dan gadis itu tak ingin berhubungan dengannya lagi. Ia membencinya.
Dibenci sebagai Masumi Hayami sudah mulai terbiasa walau selalu menyakitkan. Namun, dibenci sebagai Mawar Ungu ternyata rasanya hampir mematikan. Masumi sangat menderita menyadari ia tak bisa menjamah hati gadis itu lagi bahkan dari balik bayangan.
Ternyata memang keputusannya membuka jati diri Mawar Ungu adalah kesalahan fatal. Sekarang, semua pintu untuknya sudah tertutup/
"Maya...." gumamnya pedih.
Masumi kehilangan selera makannya, bahkan selera hidupnya. Tak ada musik yang merdu di telinganya, tak ada juga drama atau film yang seru baginya. Tak ada makanan lezat, hanya rokok yang membuat dadanya sesak dan alkohol yang mengurangi kesadarannya yang menjadi teman Masumi sejak ia kembali dari Tropicana.
Diamatinya kedua tangannya yang biasa kokoh kini gemetar.
Ia terlonjak saat ponselnya berbunyi. Ia tahu itu dari Hijiri.
Bawahannya itu sudah tahu mengenai apa yang terjadi hari itu. Maya melihat Masumi dan memutuskan tak menemuinya. Gadis itu pergi dengan marah dan kecewa. Maya juga tak mengatakan apa-apa kepada Masumi dan ia tak pula menghubungi Hijiri. Saat mereka bicara di sebuah tempat rahasia, Hijiri mengatakan ia akan bertanya kepada Maya, Masumi mencegahnya. "Tak ada gunanya. Aku tak ingin mengusiknya lagi, Hijiri. Ia sedang mempersiapkan pementasan yang penting. Aku yang bodoh, mendatanginya saat seharusnya aku menghilang."
"Tapi Tuan, mungkin saja Maya hanya terkejut, jika Anda bisa mendekati dan menjelaskan perasaan Anda yang sesungguhnya, aku yakin--"
"Persetan dengan keyakinanmu itu!" tukas Masumi dengan teramat marah. "Sebelumnya kau pun yakin semua baik-baik saja! Kau tidak mengerti! Aku ini makhluk yang paling dibencinya! Kau tidak akan pernah paham berapa dalam rasa sakit yang ia torehkan setiap mengucapkan penolakan!" ucap Masumi getir.
Sejak itu Hijiri tak mengungkit mengenai Maya lagi, hingga hari ini bawahannya itu menghubunginya.
"Pak Masumi, saya mendapat kabar Nona Maya masuk rumah sakit," terang Hijiri.
"Apa!?" Masumi terkesiap. "Dia kenapa!? Ada apa dengannya!? Dimana dia sekarang!?" seru Masumi setengah  terpekik.
"Saya baru mendapat kabar bahwa Maya sudah tidak latihan berhari-hari sejak Maya dan Anda gagal bertemu, setelah itu Maya masuk rumah sakit dikarenakan kondisi tubuhnya melemah. Maya tidak makan berhari-hari dan ia jatuh sakit dan pingsan."
"Maya... dia..." desis Masumi, tangannya sedikit gemetar. "Lalu... keadaannya...?"
"Maya sedang diopname, mungkin untuk beberapa hari Maya tidak bisa beraktivitas. Teman-temannya dari Mayuko bergiliran menjaganya," terang Hijiri dengan nada suara yang tenang, menahan rasa simpatinya. "Tuan... saya rasa, Anda lebih baik..."
"Terima kasih Hijiri," potong Masumi. "Tolong awasi pementasan Bidadari Merah."
"Ha? Lalu...?"
"Cukup awasi persiapan pementasannya saja. Jika semua sudah berjalan baik lagi, kabari aku."
Hijiri mengerti, bahwa Masumi hanya berharap Maya dapat kembali berlatih Bidadari Merah. Jika tim Kuronuma sudah bisa berlatih kembali, artinya Maya sudah sehat lagi.
"Baik kalau begitu," Hijiri menutup sambungannya.
Masumi termangu beberapa waktu. Maya sakit? Hingga diopname...
Maya... Kau kenapa? Apakah kebencianmu kepadaku yang telah membuatmu terpukul hingga jatuh sakit? Apakah ini juga kesalahanku hingga kau sakit seperti ini? Batin Masumi dengan begitu sendu.

Masumi ingat kembali, dengan apa yang terjadi dengannya saat ia menyadari Maya sudah tak ingin berhubungan dengannya lagi. Masumi merasa begitu hampa dan tak berarti, pahit. Ia tak ingin hidup lagi, tak ingin melakukan apapun. Hanya rokok dan alkohol yang menemaninya. Bahkan Masumi sempat menghentikan mobilnya di sebuah jembatan,dan berpikir melompat dari sana. Karena bagamana pun ia berusaha menutup diri dari semua kabar dari Maya, semua tentang gadis itu sudah ia hapal di luar kepala, Jiwanya merindukannya, mengharapkan keberadaannya yang tak pernah benar-benar ada.

Hanya ada satu hal yang mencegah Masumi melompat. Mimpi. Ya, sebuah mimpi. Dan itu bukan mimpinya, melainkan mimpi Maya. Bidadari Merah. Ia tahu ia sudah tak bisa lagi membantunya sebagai mawar ungu, namun Masumi tetap ingin memastikan gadis itu akan mendapatkan impiannya. berdiri di atas panggung sebagai seorang Bidadari Merah.

Pintu yang terbuka mengejutkan Masumi dari lamunannya. Dan wanita itu di sana.
"Masumi..." sapa Shiori dengan datar, dan getir.
"Kau..." sapa MAsumi perlahan.
"Kenapa kau selalu menghindariku?" tanya Shiori. "Kenapa kau tidak menerima teleponku?"
"Shiori..." Masumi mendesah gusar. "Aku sedang banyak pekerjaan, aku--"
"Sibuk mabuk-mabukan? Sibuk menghabiskan waktu sendirian?" tanya Shiori.
Masumi terenyak, menatap Shiori tak suka. "Sejak kapan kau memata-mataiku?" tanyanya sinis. Alkohol sudah membuat sopan santunnya hilang.
"Masumi...!' Shiori terkejut dengan sikap kekasihnya. "Aku ini calon istrimu! Apa kau tidak boleh mengetahui apa yang terjadi dengan tunanganku?"
Masumi menghela napasnya. "Ya Shiori, aku tidak pernah lupa. Namun apa yang kukerjakan, tidak ada sangkut pautnya dengan statusmu sebagai clon istriku."
"Masumi...!" Mata Shiori berkaca-kaca. "Kau ini sebetulnya kenapa!? Sejak makan siang itu kau jadi bersikap aneh! Kau sangat tidak acuh kepadaku! Shiori... Shiori.... Shiori tahu... bahwa Shiori selalu saja merepotkan! Shiori memang wanita yang menyusahkan! Wanita tidak berguna!"
Masumi terkejut mendengar perkataan wanita itu dan tersadar bahwa ia telah menyakiti perasaannya. Namun kali ini, perasaannya juga tengah terluka. APakah ada yang peduli mengenai hal itu?
"Shiori, maaf, ada banyak halyang harus kupikirkan dan kukerjakan, nanti, jika aku sudah punya waktu luang--"
"Masumi, bukan begitu..." Shiori beranjak mendekat, dengan airmata yang mulai menetes. "Apa kau tak juga mengerti, bahwa aku mengkhawatirkanmu, Masumi?" tanyanya, seraya menyentuh lengan MAsumi. "Aku bukan hanya ingin bersamamu saat kau luang, atau hanya ingin pergi bersenang-senang... Aku juga ingin tahu, apa yang mengganjal di hatimu, apa yang kaupikirkan, apa yang menyusahkanmu? Apakah aku begitu tidak bisa diandalkan?" tanya wanita itu dengan suara bergetar. "Bukakah nanti kita akan menjadi suami istri? Menghabiskan waktu bersama seumur hidup... AKu tidak ingin selamanya tak pernah tahu isi kepala dan hatimu Masumi..."
Shiori lantas memeluk pria itu dan menangis di dadanya. "Kumohon Masumi, terimalah aku dengan seluruh hatimu."
Shiori... Masumi mengeratkan rahangnya.
Apa yang telah dilakukannya? Ia sudah menyakiti hati Maya, gadis yang dicintainya. Dan ia juga sudah menyeret-nyeret Shiori dalam keegoisannya. Wanita yang begitu lembut, dan tulus mencintainya dengan rasa cinta yang begitu besar. Pria itu memejamkan matanya getir.
"Maaf Shiori... maaf, aku tak pernah bermaksud seperti itu..." katanya pelan.
"Pulang," perintah Shiori kepada sopirnya.
Mobil itu pun melesat meninggalkan Daito.
Wanita itu memainkan sapu tangannya. Meremasnya gelisah. Ia bisa melihat perubahan dari Masumi. Rautnya yang serius dan tidak ramah. Pria itu tampaknya tak bercukur dan bersolek belakangan. Aroma alkohol dan asap rokok bahkan tak dapat disembunyikan oleh parfumnya yang mahal.Wajah dan tubuhnya semakin kurus.
Ia sungguh tak mengira, ternyata Maya Kitajima begitu berarti bagi calon suaminya.
Saat Maya mendapat undangan dari Mawar Ungu, dan Shiori berhasil mengetahui bahwa memang Mawar Ungu dan Masumi itu berkaitan, Shiori sungguh gelisah. Ia tak tahu perasaan macam apa yang Masumi miliki kepada gadis itu, namun Shiori, sebagai seorang wanita merasakan ancaman dari keberadaan Maya. Pasti bukan semata-mata karena Maya adalah calon Bidadari Merah, karena nyatanya, Maya menerima Mawar Ungu sejak pertama kali ia pentas, 7 tahun yang lalu. Dan, semenjak itu juga Mawar Ungu tak pernah berhenti mengiriminya bunga, bahkan menyekolahkan dan memberikan banyak bantuan lain.
Ia tidak tahu apakah memang Masumi yang akan menemui Maya atau bukan. Dengan berspekulasi bahwa Masumi lah yang menunggu Maya datang ke Tropicana, akhirnya Shiori dengan dibantu sepupunya, Yamashita, berhasil membuat skenario agar Masumi dan Maya tidak bertemu. Yamashita meyakinkan kepada manajer restoran agar gadis yang menyebut-nyebut Mawar Ungu dibawa kepadanya. Dan jika ada Masumi datang ke restoran itu, sang manajer diminta menghubungi Shiori.
Dan alangkah terkejutnya Shiori saat ia diberi tahu, bahwa Masumi memang datang ke sana. Akhirnya Shiori yang datang menemui Masumi sementara Maya dibawa ke ruangan lain dimana Yamashita menunggu dan berpura-pura sebagai asisten Mawar Ungu yang meminta gadis itu tak mengungkit-ungkit masalah mawar ungu lagi.
Aku harus mengawasi mereka... tekad Shiori. Ia harus memastikan Maya dan Masumi tidak akan bisa saling berhubungan lagi. Kalau perlu, ia akan membuat keduanya saling membenci.
=//=
Masumi mengurut-urut kepalanya. Pening. Walaupun baru bangun tidur, Masumi sama sekali tidak merasa segar.
"Tuan Muda, hari ini ingin sarapan apa?" tanya Mariko seperti hari-hari sebelumnya di mana Tuan mudanya itu tidak sarapan.
Masumi tahu seharusnya ia memberikan asupan gizi untuk tubuhnya, namun ia sama sekali tak berselera. Perutnya terasa penuh dan mual dan mulutnya terasa pahit.
"Kopi saja," pinta Masumi.
Mariko menatap Tuan Mudanya dengan khawatir, ia lantas berlalu dari kamar pria itu. Masumi menghela napasnya keras. Ia benar-benar gelisah dan resah. Kepalanya sangat pusing dibebani berbagai pikiran yang mencengkeramnya. rasanya ia ingin berteriak saja, ingin marah, membanting semua yang ada di dekatnya.
Bahkan setelah mandi dan berpakaian lagi, ia masih merasa tak menentu.
"Mizuki, aku akan datang sedikit terlambat," katanya,"Mh, tidak... aku... kurasa hari ini aku tidak akan masuk. Aku kurang enak badan," koreksinya yang untuk pertama kalinya absen bekerja karena sakit. "Ya, Mizuki, aku sakit," ulang Masumi meyakinkan sekretarisnya.
Masumi merasakan tubuhnya sedikit demam. Ia tahu bukan hanya fisiknya yang sakit. Ia harus pergi, menyepi. Masumi bermaksud pergi ke Izu.
"Aku menyetir sendiri saja," katanya kepada sopir, "Dana katakan kepada Ayah aku tak akan pulang hingga akhir pekan aku mau pergi keluar kota," kali ini kepada pelayan mereka.
Masumi lantas pergi dari kawasan rumahnya dengan perasaan tak menentu. Bayangan Maya tak juga meninggalkannya. Menyiksa pria itu kala matanya terbuka juga kala tertidur.
Maya sakit... diopname... tubuhnya lemah... ucapan Hijiri kembali terdengar dan seiring dengan itu denyutan di jantung Masumi menghantarkan kenyeian ke seluruh tubuhnya.
Maya sakit... sakit...
"Ckiit!!" Masumi merem mobilnya. Ia harus melihat keadaannya. Asal melihatnya saja dulu. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan, namun setidaknya Masumi harus tahu keadaan Maya dengan pasti. Ia akan meminta maaf jika perlu, membiarkan gadis itu mencaci dan memakinya jika itu yang diinginkannya. Ia akan menerima hukumannya sebagai seorang pengecut jika itu yang akan membuat Maya bangkit dan bukannya tergolek tak berdaya.
Maya.... Kepala Masumi berdenyut sakit. Ia menyipitkan matanya beberapa detik.
"TIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTTT!!!!" sebuah mobil mengklakson dengan sangat keras.
Masumi membuka matanya, membulat lebar, dengan segera ia membanting setirnya.
"BRUAAAAAKKKK!!!" mobil Masumi terbanting dan menabrak sebuah pohon. "TIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTT" klaksonnya menjerit.
"Ada kecelakaaan!! Ada yang kecelakaan!!"
=//=
Rei memeluk Maya yang tengah tergugu dengan erat. Tanda tanya besar masih memenuhi kepalanya. Kenapa Maya menangisi Masumi sedemikian rupa?
Gadis itu bahkan bersikeras tidak akan meninggalkan Masumi yang kini terbaring.
"Tunggu sebentar, kuambilkan minum ya..." kata Rei.
Ia lantas meninggalkan Maya sendirian untuk mengambilkan air minum bagi Maya.
Gadis itu tampak masih sangat resah saat Rei kembali. "Minumlah Maya."
Gadis itu lantas meminum air yang dibawakan Rei. Ia tampak lebih tenang.
"Bagaimana perasaanmu? Sudah lebih baik?"
Maya hanya mengangguk tipis. Tidak berapa lama para dokter keluar, membawa Masumi. Maya segera berdiri menghampiri. "Bagaimana keadaan Pak Masumi?" tanya Maya.
"Dia masih pingsan, kami akan membawanya ke ruang ICU. Anda tenang saja, sejauh ini tidak ada cedera yang sangat serius, hanya luka di kepala yang cukup mengkhawatirkan dan sudah kami tangani. Saat ini Pak Masumi sedang berada dalam kondisi kritis, semoga saja semuanya bisa berlalu dan Pak Masumi bisa segera sadarkan diri," terang dokter tersebut. "Apakah keluarga korban belum ada yang datang?"
Maya menggeleng. Ia sendiri tidak tahu, kenapa hingga saat ini belum ada yang datang dari pihak keluarga Hayami.
"Pak, bolehkah.... saya melihat keadaannya?"
"Ya, tapi Anda tidak boleh ribut dan mengusiknya," terang dokter itu.
Maya mengangguk.
=//=

"Tuan, ada kabar bahwa tuan Masumi kecelakaan," terang Asa kepada Tuan besarnya yang sedang berobat di sebuah pemandian air panas.
"Kecelakaan? Lantas bagaimana?"
"Saya belum tahu, saya akan pulang sekarang."
"Ya. Kabari aku," ujar eisuke dengan gelisah.
Anak itu, bagaimana bisa di saat genting seperti ini malah kecelakaan!!
=//=

Shiori terbangun dengan kepala berdenyut-denyut.
"Shiori! Kau tidak apa-apa? Jangan dulu bangun!" sergah ibunya.
Shiori berusaha mengingat apa yang tengah terjadi. Oh, benar. Ia sedang di villa keluarga pamannya, merayakan kelahiran cucu mereka. Lantas... berita di televisi bahwa Masumi kecelakaan, Shiori sangat terkejut dan jatuh pingsan.
Masumi....

"Mama! Masumi! Masumi!" Shiori kembali histeris. "AKu harus menemui Masumi!" Ia memaksa untuk beranjak.

"Shiori, jangan! Kau masih--"

"Akh!" Shiori hampir saja tumbang lagi.

"Kau sedang tidak sehat, Shiori! Jangan memaksakan diri..."

"Masumi.... MAsumi..." isaknya lemah, namun ia tak dapat melakukan apapun, tubuhnya begitu tak berdaya.

"Kau tenanglah, kita bisa melihat kabarnya dari berita, nanti kalau kau sudah sehat, kau bisa menemuinya."

Shiori bernapas dengan berat, Masumi... maaf, aku tak bisa berada di sisimu, MAsumi, kuharap kau baik-baik saja.... harapnya. Masumi.... ia terus menangis.

=//=

Maya memasuki ruang rawat Masumi yang sepi senyap. Hanya terdengar alat monitor jantung dan detik jam yang mengisi keheningan itu, dan sesekali isakan tertahan Maya.

"Pak masumi..." Maya menangkup bibirnya, agar tak bersuara terlalu keras. Gadis itu berjalan mendekati Masumi dengan tatapan nanar.

Perban membalut kepala Masumi dan juga telapak tangannya. Untunglah dokter mengatakan tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan anggota tubuh Masumi. Hanya kepalanya yang terluka cukup parah dan ada beberapa luka di wajahnya. Kesadaran Masumi sendiri terancam karena kandungan alkohol dalam tubuhnya.

"Kau... kurus sekali," sapa Maya dengan berbisik dan getir. Diusapnya tangan Masumi perlahan.

Memang Masumi tampak begitu pucat dan kurus. Maya teramat sedih melihatnya. Dipandanginya kekasih hatinya itu.

"Pak Masumi... Mawar Unguku... segeralah sembuh, ayo bangun, buka matamu," harap Maya seraya mengusap pipi Masumi. "Pak Masumi..." maya berdesis perlahan. "Aku tahu, kau tidak mau bertemu denganku lagi. Tapi, aku hanya ingin kau bangun dan sehat lagi seperti dulu. Kalau kau sudah baik, lagi, aku janji... aku berjanji akan mengikuti keinginanmu... aku tak akan mengusikmu... Aku akan pergi..." isak Maya.

Aku akan pergi...

Aku akan pergi...

Gadis itu pergi, menjauh, ke kegelapan.

Maya...! Maya...! panggil Masumi. Kau mau kemana? Pergi kemana? Kenapa kau pergi? Kenapa kau tidak mengijinkanku membantumu lagi? Maya...! Maya....!

Dalam bayangannya Masumi mencari, mengejar Maya. Gadis itu tak juga terlihat, sekelilingnya hanya gelap pekat.

Tidak, Maya.... jangan tinggalkan aku, jangan biarkan aku sendirian... aku takut... aku kesepian... batinnya dengan galau.

Maya.....!!!

Gadis mungil itu duduk, dengan wajah tertelungkup di atas kedua tangannya. Tubuhnya bergetar, dia menangis.

Maya.... Masumi menghampirinya. Kau di sini, akhirnya aku menemukanmu. Kenapa kau menangis? tanyanya.

Maya mengangkat wajahnya yang berderaian airmata.

Kenapa kau menangis? tanya Masumi, mengangkat dagu gadis mungil itu. Kenapa kau pergi dariku.

Maya tak menjawab, dan hanya menangis. Anda membenciku, Maya berkata.

Tidak! Aku tak pernah membencimu. Aku sama sekali tak membencimu.... Aku... aku... Aku mencintaimu Maya... Masumi berkata, Aku sangat mencintaimu. Aku tak sanggup kehilanganmu. Kau jangan meninggalkanku sendirian, kalau kau pergi, aku tak mau hidup lagi!

Pak Masumi? Mata gadis itu menatap nanar, Anda tidak boleh berkata seperti itu! Anda harus bertahan!

Tidak bisa! Aku tidak sanggup jika kau meninggalkanku, jika kau--

Tidak, Pak Masumi! Aku mencintaimu, ucap gadis mungil itu. Aku sangat mencintaimu...! Maya memeluk Masumi erat.
"Aku mencintaimu, Pak Masumi," Maya mengusap wajah Masumi yang masih terpejam.
"Bangunlah..." isaknya. "Bangunlah," dikecupnya halus bibir Masumi. "Aku sangat mencintaimu."
"Mmh..." gumam Masumi, "Ma.... ya...." ucapnya lirih.
Maya terenyak mendengar ucapan Masumi. "Pak.... Pak... Masumi? Kau sudah bangun? Pak Masumi..." desisnya tak percaya. Ia masih berusaha menahan suaranya karena takut megusik Masumi.

"Ma... Ya..." pria itu kembali bergumam dengan sangat lemah.

Pak Masumi.... dia menyebut namaku! Dia mendengarku! Pikir Maya dengan terharu. Aku harus segera memanggil dokter!

Maya beranjak dari ruang ICU, dia memanggil seorang perawat yang kemudian masuk dengan dokter. Maya menunggu dengan gelisah, menanti kabar mengenai kekasihnya.

Dokter memeriksa keadaan Masumi, bertanya ini dan itu, apa yang dia rasakan. Masumi masih sangat lemah. Ia berusaha mengingat, namun ia tak sanggup ingat, kenapa ia sampai ada di sini. Yang masumi tahu, ia tadi mendengar suara Maya. Mayanya.

Maya yang memintanya bertahan, Maya yang mengatakan mencintainya. Apakah itu semua hanya mimpi atau ilusi? Tidak...

"Maya..." gumam Masumi. "Maya..." panggilnya lagi.

"Tuan, Anda jangan dulu terlalu banyak bergerak, istirahatlah, saya akan meminta orang yang menunggui Anda masuk. Anda tenanglah, semua baik-baik saja..."

Masumi tak berkata apa-apa lagi walau hatinya masih memanggil-manggil nama Maya.

Dokter keluar, beberapa saat Masumi hanya ditemani oleh seorang perawat, sebelum kemudian pintu kembali terbuka, seseorang masuk.

Dia gadis mungil, berambut hitam dan bermata bulat. Wajahnya sembap.

Maya... Masumi terkesiap.

"Pak, Pak Masumi..." Maya terisak pelan seraya menghampirinya.

"Mungil..." desis Masumi. Ia tidak bermimpi, gadis itu sungguh ada. Suara yang didengarnya, sentuhan yang dirasakannya...

"Tuan Masumi sudah sadar, namun beliau masih harus beristirahat total," terang perawat itu. "Saya akan meninggalkan kalian berdua, kalau ada apa-apa silakan panggil saya."

Maya mengangguk.

Saat tatapannya beralih kepada Masumi, pria itu tengah menatapnya.

"Pak... Pak Masumi..." Maya berkata, dengan suara serak. wajahnya memanas ingat tadi dia mencium bibir pria itu saat masih belum sadar. Ia yakin Masumi tak mengetahui perbuatannya, namun ia tetap merasa malu.

"Mungil..." sapa Masumi perlahan.

Ia teringat sesuatu. Maya, dia sudah tahu bahwa dirinya Mawar Ungu. GAdis itu menolaknya, tak ingin berhubungan lagi dengannya. Kenyataan itu menyayat hatinya, membuat Masumi merasa pilu dan sendu. Namun ternyata, takdir telah mempertemukan mereka. Di sini.

Ia tahu apa yang terjadi dengan Maya, gadis itu begitu trpukul mengetahui siapa Mawar Ungu hingga dia jatuh sakit. memang sekarang pun wajah Maya begitu kuyu dan sembap. Ini semua... kesalahannya...

"Kau... Apa kabar?" tanya Masumi, berusaha menghalau rasa lemas dan sakit di tubuhnya. Ia berusaha menahan denyutan menyakitkan di kepalanya. Namun suaranya yang begitu lemah tidak bisa bohong.

"Pak Masumi, jangan dulu banyak bicara," kata Maya, menghampiri Masumi dengan wajah khawatir. "Dokter bilang Anda harus istirahat total."

"MUngil..." masumi begitu tersentuh dengan perhatian gadis itu. "Kau baik?" tanya Masumi lagi.

"Ya... ya... a, aku baik. Aku kebetulan sedang berada di sini saat tadi melihat Anda," Maya menegaskan bahwa keberadaannya adalah ketidaksengajaan. Ia tahu MAsumi tak menginginkan kehadirannya. "Nanti, jika... kerabat Anda sudah datang, aku akan pulang," terang Maya, menahan isakannya.
Masumi terdiam mendengar ucapan Maya. Ia berpikir, pastilah Maya memang tak ingin bersamanya terlalu lama. Masumi membisu. Gadis itu sudah mengetahui siapa dia, dan, Maya tak ingin menerimanya sebagai Mawar Ungu.

Padahal, dalam mimpinya tadi, Maya berkata tak akan meninggalkannya. Mengatakan bahwa dia mencintainya. Ternyata semua itu hanya ilusi belaka?

"Mungil," panggil Masumi perlahan. "Ada yang ingin kukatakan..."

"Pak Masumi, Anda jangan mengatakan apa-apa dulu. Anda harus beristirahat."

"Maaf," ujar Masumi.

Maya tertegun. Maaf?

"Maaf, untuk semua yang pernah kulakukan kepadamu... Aku tahu kau membenciku karenanya."

"Pak Masumi? a, aku..."

"Kuharap, walaupun kita tidak akan berhubungan lagi, setidaknya kau akan memaafkan kesalahanku kepadamu."

Tidak akan berhubungan lagi? Maya terdiam. Pak Masumi pasti membicarakan mengenai Mawar Ungu, batin Maya. Seperti yang Pak Yamashita katakan. Jika itu yang Pak Masumi inginkan...

Maya mengangguk.

"aku tidak ingin membicarakannya," Maya menahan isakannya. "Saat ini Anda sedang sakit,jadi--"

"Maya, maukah kau... memberikanku kesempatan bicara?" tanya Masumi penuh harap. "Aku, akan menjelaskan semuanya..."

"Pak Masumi, aku sudah memaafkan kesalahan Anda. Anda jangan khawatir. saat ini, yang penting, Pak Masumi baha--"

"Brak,' pintu terbuka.

Tampak Asa masuk bersama dua orang pegawai hayami. "Tuan Muda," sapanya. "Maaf kami terlambat datang."

Ya, Masumi tahu bahwa Ayahnya dan Asa sedang berada di luar kota.

"Tidak masalah. Kedatanganmu tidak berpengaruh banyak." ujar Masumi. "Semua masalah pembayaran ditangani asuransi, jadi kau ada pun tak ada gunanya."

"Tuan Muda!" tukas Asa dengan kesal.

Maya terdiam ia sedikit rikuh saat Asa mengamatinya.

"Sa, saya MAya kitajima!" Maya membungkuk. "Sa, saya kebetulan sedang beraa di sini, dan, dan sa, saya mengenal Pak masumi, jadi... saya... uhm.. sa, saya pamit dulu!" Ia lantas beralih kepada Masumi. "Pak Masumi, semoga Anda lekas sembuh!" sekali lagi ia membungkuk Maya lantas keluar dari sana.

Namun, saat Maya beranjak, masumi bisa melihat airmata menetes di pipi gadis itu.

Masumi termangu. Ia sebenarnya ingin menjelaskan mengenai perasaannya sebagai mawar ungu yang tulus mendukung Maya. Namun tampaknya gadis itu sudah tak ingin mendengarkannya lagi. Namun, kenapa Maya menangis sedih? Ia sama sekali tak tampak marah... Mungkinkah ada kesempatan Maya akan menerimanya sebagai Mawar ungu? dan... sentuhan itu... ucapan mesra dan lembut itu... ciuman itu... apakah ilusi?

=//=

Rei mengamati maya dengan bingung. "Ada apa, Maya?" tanya Rei. "kenapa kau menangisi Pak masumi seperti itu?"

"Rei.... Pak Masumi itu, Mawar Unguku..." Maya berkata dengan airmata berderaian. "Dia Mawar Unguku... sekarang dia sakit, dia... dia tak ingin bertemu denganku lagi."

"APA!?" Rei benar-benar sangat terkejut dengan ucapan Maya. "Kau bilang apa?"

"Ya. Pak Masumi itu Mawar Ungu," ia menjelaskan. Bagaimana ia sudah mengetahui semuanya, bagaimana Masumi begitu baik hati dan semua kebetulan yang maya temukan. Walaupun masumi belum mengakuinya sendiri dan akhirnya meminta agar hubungan mereka selama ini diputuskan. Maya menangis saat menjelaskan itu semua.

Rei sungguh terkejut dan tak percaya mendengarnya, terutama saat Maya membuat pengakuan, "Aku jatuh cinta kepada Pak Masumi... Aku mencintainya, Rei... tapi tidak boleh..."

Rei benar-benar merasa berada dalam mimpi. Maya? Mencintai masumi? pria itu mawar ungunya? Masumi hayami yang ITU? Namun melihat keadaan Maya, Rei tahu gadis itu tak berbohong. Apalagi, jika dipikir-pikir, Masumi memang puya kemungkinan yg besar sebagai mawar Ungu. Dia selalu tahu apa yang sedang Maya lakukan. Dan, Rei dari dulu bisa melihat perhatian Masumi kepada Maya.

"Lalu bagaimana?" tanya Rei. "Kau akan melaluinya, Maya, tenanglah,sabarlah, pasti ini semua yang terbaik untukmu dan dia."

Ya. Mungkin masumi memang hanya menyukai Maya sebagai aktris, dan sebagai penghormatan kepada calon istrinya, sudah selayaknya ia memutuskan hubungan dengan Maya. Namun, Maya sudah terlanjur jatuh cinta. Rei kasihan kepada sahabatnya itu.

"Rei... Aku tidak bisa tenang jika tidak tahu keadaannya. Aku... aku akan menjenguknya setiap hari," putus Maya.

Seperti yang sudah dikatakannya. Maya mengunjungi Masumi setiap ada waktu. Ia diam-diam mengintip keadaan masumi yang tampaknya sudah lebih baik. Maya tidak berani memperlihatkan dirinya, apalagi jika Shiori sedang ada di sana. ya, sesekali calon istri masumi itu datang, menemani Masumi selama berjam-jam. Jika sudah demikian, Maya akan pergi dari rumah sakit.

Lain halnya saat Masumi sedang dibiarkan sendirian. Maya akan mengintipnya dari balik pintu, melihat pria itu termangu diam saja, dan Maya mulai bertanya-tanya, apa yang ada di dalam pikiran pria yang dicintainya itu. Jika Masumi hampir memergokinya, ia akan sembunyi. Maya jadi diam-diam mengintainya.

Siang ini, Suster mengatakan bahwa Masumi sedang beristirahat tidur siang kepada semua orang yang ingin menjenguknya. namun, saat Maya mengintipnya, Masumi terdiam nyalang. Mungkin ia hanya ingin dibiarkan sendirian.

Saat itulah Masumi tiba-tiba berusaha bangun. Napasnya agak terengah-engah. kakinya berusaha menjejak turun dari tempat tidur. Namun,

"akh!" masumi merasakan kepalanya pusing dan tubuhnya lemas. ia hampir saja ambruk jika pintu tidak tiba-tiba terbuka dan seseorang menangkap tubuhnya.

"Pak Masumi! Anda tidak apa-apa?" tanya Maya dengan khawatir.

Masumi terenyak, menyadari siapa yang menangkapnya. "MUngil?"

"A, anda kenapa turun dari tempat tidur?" tanya Maya dengan khawatir. "Anda masih harus banyak beristirahat. Jika ada yang Anda butuhkan, biar kubantu," Maya berkata.

"Mu,mungil... kau... di sini?"

Setiap hari dia di sini. "Ma, maaf... A, aku mengkhawatirkan Pak Masumi.... Aku..."

Mengkhawatirkanku? Maya...? Diamatinya wajah khawatir Maya yang sembap, yang dengan tubuh mungilnya berusaha menopang Masumi.

"Bruk!" Masumi menarik Maya ke dalam pelukannya dan memeluknya erat.

"Pak... Masumi...?" Maya ternanap. "Pak..."

"Terima kasih," Masumi berkata.
"Terima kasih..." Masumi memeluk Maya semakin erat.
"Pak... Pak Masumi...?" gadis itu masih begitu terkejut, namun akhirnya, dengan airmata menetes, Maya balas memeluk Masumi. "Pak Masumi..." panggilnya lembut.
Keduanya saling berpelukan untuk sekian lama, tanpa suara. Dan, akhirnya Masumi yang pertama kali menyadari, bahwa mereka begitu dekat, Dan, Maya tak menolaknya sama sekali. Malahan, ia merasa begitu hangat.
"Mungil?" ia memberi jarak di antara mereka.
Maya mendongak, jelas terlihat gadis itu tak berhenti menangis. "Pak, Pak Masumi..." wajahnya sangat panas. Ia tidak tahu kenapa Masumi memeluknya, tapi Maya sangat senang, dan yang bisa dilakukannya adalah balas memeluk pria itu.
"Kau... masih marah kepadaku?" pria itu memastikan, dengan sekali-kali meringis.
Maya menggeleng. "Tidak..." jawab maya dengan jujur. "A, anda memang menyebalkan, selalu menggodaku, tapi... Anda sedang sakit. A, aku tidak tega..." dan wajah Maya kembali merona.
Rona yang tidak biasa. Rona yang membuat jantung masumi berdebar liar.
Masumi melepaskan pelukannya. Wajahnya sendiri merona. Ia lantas duduk di sisi tempat tidur, memalingkan wajahnya. "Kupikir... setelah hari itu, kau... kau masih marah kepadaku."
"Hari itu?" tanya Maya. "Hari itu... apa, Pak masumi?" tanya Maya.
Masumi menoleh. "Hari itu... saat kau," Masumi berhenti, mengamati Maya. Apakah gadis ini mengerti arah pembicarannya. Ia tertegun, kenapa Maya tampaknya tidak mengerti dengan pembicaraannya?
"Pak Masumi?" tanya Maya, "hari itu... apa?"
"Kenapa kau ada di sini?" tanya Masumi. "Kau mengkhawatirkanku?"
"I, iya, aku... mengkhawatirkanmu, jadi aku... a, aku..." wajah Maya memerah.
"Tadi kau bersembunyi?" tanya Masumi, "kenapa? Kenapa kau peduli kepadaku?" tanyanya lagi, menggenggam pergelangan Maya dengan erat.
Masumi bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Ia kembali bertanya-tanya apakah Maya sungguh-sungguh sudah mengetahui mengenai Mawar Ungu?
"Karena... karena aku... khawatir," jawab Maya lagi dengan berbelit-belit.
Masumi mengamati Maya dengan lekat, bingung. Seharusnya, jika Maya tahu dia Mawar ungu dan sudah melihatnya hari itu, gadis ini akan mengatakan sesuatu mengenai hal tersebut.
"Mungil..." Masumi mengujinya, menyentuh bahu Maya.
Maya tidak menolaknya, hanya mengamati Masumi dengan gugup dan jantung berdebar kuat.
"Saat aku tidak sadarkan diri... mendengarmu bicara," akunya.
"Deg!" Maya terenyak, :men-mendengarku?" ia gelapagapan. Apakah Masumi mendengarnya menyatakan cinta.
"Apa yang kaukatakan saat itu?" tanya Masumi. "Bisakah kau mengulanginya? Kau mengatakan sesuatu kan?"
Maya semakin salah tingkah, "A-aku... aku.." Maya memalingkan wajahnya.
Masumi menyentuh pipi gadis itu dengan tiba-tiba, Maya terlonjak.
"Kau memintaku bangun," kata Masumi lembut, mengusap wajah Maya perlahan, "Dan kau mengatakan..."
Maya terkesiap, ia sangat takut, wajahnya sangat panas. Ia berdiri dengan cepat dan bermaksud melarikan diri. Namun "Grep!!" Masumi menangkap pergelangan Maya kuat-kuat.
Maya tercekal, jantungnya berdebar kuat. Masumi mengetahuinya? ia mendengar ucapannya?
"Maya..." Masumi berdesis. Meminta gadis itu memastikan perasaannya. "Maya..." panggilnya lagi.
Maya berbalik dengan airmata berderaian. "aku... A-aku..." perlahan ia menatap Masumi. "Aku tidak membencimu... Aku... aku... suka..."
Masumi menarik gadis itu dan memeluknya lagi.
"Pak Masumi...?" Mata gadis itu membulat, mendongak kepada Masumi yang menatapnya penuh rasa tak terkatakan.
Masumi membungkukkan tubuhnya, mencium gadis mungil dalam pelukannya.
Maya masih tak percaya, diamatinya wajah tampan Masumi yang sedikit pucat. Pria yang sedang merengkuhnya sekarang.
"Pak.... Pak... Masumi..." desis Maya. "A-Anda... Anda..."
"Hm...?" pria itu hanya bisa bergumam. Ia kurang menyadari apa saja yang baru dilakukannya, dan ia masih takjub karena Maya sama sekali tidak marah dengan perbuatannya itu. Gadis ini... dia... bahkan masih berada dalam pelukannya. Dan, tadi dia bilang... suka.
"Pak... Masumi..." Maya kembali berusaha bicara, dengan perbendaharaan kata yang tiba-tiba menyusut di kepalanya. Ia tak tahu harus berucap apa. Jantungnya berdebar terlalu kuat, wajahnya memanas beberapa derajat terlebih lagi palukan Masumi yang terasa hangat dan semakin mengetat, membuat lidah Maya merasa terikat.
"Apa, Maya...?" tanya Masumi lagi, masih dengan mendesah pelan seakan tengah berahasia.
"Pak Masumi... An-Anda... Anda... tidak sa-salah... minum obat?"
"Hm!?" Alis Masumi terlonjak kaget. "Apa?" tanyanya.
"Ukh! Maksudku, Anda... sadar? Anda, itu.... tadi... berusan... Anda..." Maya gelagapan.
Masumi tertegun, lantas, "hmmphh..." ia berusaha menahan tawanya. Padahal, ia juga rikuh, ia juga malu dengan tindakan spontannya. Namun pertanyaan Maya benar-benar membuatnya bingung. Ya. Setidaknya, gadis itu sudah memberinya alasan, kalau ternyata Maya menolak perasaannya, Masumi bisa pura-pura pingsan dan perbuatannya barusan adalah efek samping dari salah obat. Akan tetapi memikirkan hal itu malah membuat Masumi hadi ingin tertawa.
"Pak... Pak Masumi..." gumam Maya, menunduk, malu. Ubun-ubunnya tersandar ke dada pria itu dan tangannya meremas baju rawat Masumi. "A-Anda aneh..."

Masumi mengamati gadis yang tak tampak wajahnya itu. "Kau juga aneh. Kau tidak marah kepadaku. Kau juga, diam saja kupeluk seperti ini," Masumi berkata, sejenak ia merasa tersentuh, perasaannya membuncah karena bahagia dan tidak percaya.

"Eh?" Maya tertenyak. Ia melepaskan genggaman tangannya di baju Masumi. Ia lantas bermaksud melepaskan diri dari Masumi, namun pria itu malah menahannya.

"Aku kan tidak bilang kau harus pergi," ujarnya.

Maya jadi tidak bergerak lagi. Ia bingung apa yang pria itu inginkan. Maya mendongak lagi, menatap Masumi dengan memelas, smentara pria itu menatapnya lembut. Sekarang, Maya baru menyadari sesuatu. Ia sudah mengatakan suka. Masumi memeluk dan menciumnya. Masumi juga melakukannya dalam keadaan sadar. Bukankah itu artinya...

Artinya....

Mata Maya membundar tak percaya. "Pak Masumi..." desahnya. Ia termangu, matanya berkaca-kaca.

Masumi tersenyum lembut. "Maya," pria itu menyentuh pipi Maya. "Aku juga, tidak membencimu," ia berkata, dan airmata Maya mulai menetes. "Aku juga--"

Pintu ruang rawat terbuka cepat. Maya dan Masumi segera memisahkan diri. Maya membelakangi pintu dan berusaha menghapus airmatanya.

"Tuan," perawat itu terkejut. "Bukankah tadi Anda sedang istirahat? Apakah Nona ini mengganggu--"

"Tidak, tidak," tukas Masumi cepat. "Dia tidak menggangguku."

"Baiklah. Ini makan siang Anda. Anda bisa makan sendiri kan?" kelakar perawat itu.

"Ya. Terima kasih Suster, aku bisa makan sendiri."

"Baiklah, selamat makan Tuan. Oya, Tadi ada Nona Shiori, namun karena kami pikir Anda sedang beristirahat, kami tak mengijinkannya masuk,"

Maya dan masumi sempat merasa tegang saat mendengarnya, dan lega ketika mengetahui SHiori tak masuk.

"Saya rasa nanti Nona Shiori akan kembali lagi," imbuh perawat itu sebelum pergi.

Saat pintu tertutup lagi, suasana dalam kamar itu menjadi sangat hening.
"Maya..." panggil Masumi kepada gadis yang masih memunggunginya.

Nama Shiori disebut, menyadarkan Maya pada sesuatu yang coba diabaikannya. Masumi, dia kekasih orang lain. Bertunangan. Bukankah... pria itu mencintai wanita cantik itu? lalu yang barusan itu, jika bukan karena Masumi salah obat, lalu apa?

Maya menoleh, dengan mata masih berkaca-kaca.

"Maya, aku, aku... ingin membicarakan sesuatu denganmu," kata Masumi. "Maukah--"

"Pak Masumi, Anda harus beristirahat," tukas Maya, saat ia akhirnya benar-benar menyadari, ia terlibat dalam urusan yang tidak mudah. Urusan hati. Sepertinya, akan ada perasaan yang harus dikorbankan. "Saya juga, sudah harus pergi," ia menatap Masumi lekat. "Selamat makan, dan... semoga lekas sembuh, aku... benar-benar ingin melihat Anda sehat lagi seperti dulu."

Masumi tertegun. Pergi? Maya hendak pergi begitu saja? Bukankah masih ada sesuatu yang harus dibicarakan dan dijelaskan di antara mereka?

Namun gadis mungil itu memang berlalu begitu saja.

"Maya!" Sergah Masumi saat Maya sudah mendekati pintu. "Tunggu sebentar!"

Maya berbalik.

"Aku bohong!" kata Masumi. "aku... tidak bisa makan sendiri. Kau harus membantuku!"

"Eh? tapi..."

"Aku ingin, sesekali makan ditemani seorang gadis yang menyukaiku. Juga... Aku sukai."

Maya terkesiap. Pria itu mengatakannya! Masumi mengatakannya! Dia menyukai... eh, tunggu dulu. Maya menunjuk dirinya sendiri. "Maksudmu.... Aku?"

Masumi tertunduk kecil dan tersenyum dengan merona. Ia mengangkat lagi pandangannya dan menatap Maya. Ia lalu mengangguk.

"Pak Masumi...!" Gadis itu terpana, berjalan perlahan menemui Masumi. "An-Anda menyukaiku? Kenapa? Karena aku seorang aktris?" tanya Maya.

Ternyata gadis itu tidak pernah puas, batin Masumi. "Tentu saja, sebagai seorang aktris," kata Masumi.

Maya mendengus pelan. Seharusnya sudah bisa diduga. Bagi Masumi ia hanya...

"Tapi tentu bukan hanya itu. Tidak ada seorang aktris pun yang pernah kuperlakukan seperti tadi," sambung Masumi. "Kau mengerti kan, Maya? Aku menyukaimu... lebih..."

"Lebih...?" Maya menanti.

"Ya. Lebih..." ulang Masumi, masih saja merasa malu. Kenapa ia harus malu dan salah tingkah seperti ini? Padahal biasanya dia bersikap superior. Biasanya ia bersikap tenang dan penuh percaya diri, bahkan di hadapan Shiori. "Lebih, Maya. Kau mengerti kan?" desak Masumi.

Maya menggeleng dengan wajah polosnya.

"Maksudku," Masumi mencari kata-kata. "Suka seperti... seorang laki-laki... kepada perempuan. Ci..." pria itu diam lagi.

Namun kali ini Maya tersenyum penuh haru. "Aku mengerti kok, Pak Masumi."

Masumi tertegun, menyadari Maya menggodanya. Pria itu lantas tertawa dengan salah tingkah, malu-malu. "Kau ini..." gumamnya.

Maya beranjak semakin dekat, menatap Masumi. "Cinta," katanya. "Anda mau mengatakan itu?"

Masumi tertegun. Kata yang tak pernah terlontar dari bibirnya di depan siapapun. Ia meraih wajah Maya, mengusapnya pelan. Mengangguk. "Cinta," akunya. "Itu namanya."

Dan Maya menangis lagi, ia menyurukkan wajahnya di dada Masumi, "Aku juga cinta... sangat cinta..."

"Maya..." Masumi teramat bahagia.

"Tapi, Pak Masumi... Anda, Anda sudah punya kekasih. Anda sudah bertunangan. Anda--"

"Benar," sahut Masumi dengan pahit.

"Aku tidak boleh mencintaimu."

"Tidak, Maya! Kau jangan berkata seperti itu. Dengar!" Masumi mengangkat dagu Maya. "Kau tidak tahu, arti perkataanmu tadi. Aku akan melakukan apapun Maya, apapun agar kau tetap mencintaiku. Jadi jangan mengatakan tidak boleh."

"Tapi Pak masumi..." Maya memelas.

"Aku akan menyelesaikannya. Masalahku. Tapi tolong, katakan kau tidak akan berhenti mencintaiku."

Maya mengamati mata sungguh-sungguh pria itu. "Aku tidak akan berhenti mencintaimu," janji Maya.

Alangkah bahagianya Masumi, ia tersenyum lebar. "Kalau begitu, tunggulah aku. Tunggu aku datang kepadamu. Kau mau menungguku kan?"

Maya mengangguk.

"Setelah semua masalahnya selesai, aku akan datang ke hadapanmu,, selayaknya laki-laki, dengan cara yang jantan"

"Aku akan menunggumu." Maya memeluk Masuminya erat-erat.
Dia tidak membenciku... batin Masumi. Dia menyukaiku... Dia... mencintaiku...

pria itu memandang keluar jendela ruang rawatnya. Ah, rasanya semua luka di tubuhnya sudah sembuh. Sepertinya, ia melompat sekarang pun tubuhnya tak akan mengalami cidera. Tapi tentu saja, masumi tak ingin mencobanya. Jika taruhannya kalah, dan dia tewas... tidak, dia tidak mau. Dia ingin tetap hidup, dunia ini indah. Sangat indah... Dunia di mana Maya juga mencintainya.

Senyuma pria itu tak kunjung pergi.

Hingga sebuah suara terdengar menegurnya saat pintu terbuka.

"Masumi..."

Pria tu berbalik.

"Shiori..."

=//=

"Dia tidak membenciku..." Maya berkata kepada Rei. "Dia juga bilang... menyukaiku, sebagai seorang aktris... juga... sebagai seorang perempuan," imbuhnya. "Dia... mencin-cin-cin... cin..."

"Cinta?"

Maya mengangguk, dengan senyuman lebar yang menghabiskan separuh wajahnya.

=//=

"Bagaimana keadaanmu?" tanya shiori dengan penuh perhatian.
"Aku baik," jawab Masumi dengan canggung.
"Ah, aku lega sekali," sahut Shiori seraya menghela napas. "kau sudah bisa berdiri..." wanita itu menghampiri lantas mengusap dada masumi dengan lembut.

Masumi menyergap pergelangan Shiori, membuat wanita itu terperangah karena terkejut.

"Shiori, ada yang ingin kubicarakan," Masumi berkata dengan raut keberatan.

Wanita itu dapat menangkap ada yang tidak beres. "Ada apa?" tanyanya dengan khawatir.

Masumi memutar badannya, menghadap beranda, menatap halaman hijau di rumah sakit itu.

"Hari itu... saat kita tidak sengaja bertemu di Tropicana, apa kau benar-benar...." ia menoleh, menatap lekat wanita itu, "bertemu Maya Kitajima?"

"Deg!" Shiori amat terkejut dengan pertanyaan masumi yang tiba-tiba. "Ke-kenapa kau bertanya mengenai hal itu?"

"Jawab aku, Shiori!" suara pria yang masih lemah itu terdengar kuat.

"Ya! Aku bertemu! Lalu kenapa? Apa hubungannya dengan kita? Kau tiba-tiba saja mengungkit-ungkit hal itu!"

Masumi mengamatinya, dan menyadari sesuatu. Shiori berbohong. Dia berdusta mengenai hal itu.Tapi, kenapa? Kenapa Shiori berbohong? Ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Masumi tak ingin memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Yang pasti, ia sudah tahu apa yang ia inginkan.

"Shiori, maaf... kurasa, kita tak bisa lagi berhubungan. Aku... aku ingin memutuskan pertunangan kita."

"APA!?" Shiori tersengat karena pernyataan Masumi. "Memutuskan pertunangan!? Apa maksudmu!? Kau... kau ini bicara apa Masumi!"

"Ya, Shiori,aku, tidak bisa lagi menjadi laki-laki yang kauharapkan. Aku sudah memikirkannya, dan inilah yang terbaik. Shiori... aku bukan pria yang tepat untukmu."

"Plak!!!" Shiori menampar Masumi teramat keras. Matanya berkaca-kaca dan airmata bergulir ke pipinya. Telapak wanita itu terasa amat panas dan gemetar.

Masumi bergeming, merasakan pipinya berdenyut. Ia tak mengatakan apapun.

"Aku tidak mau!" jerit Shiori. "Ke-kenapa kau tiba-tiba bicara seperti itu! Kita sudah akan menikah, Masumi! Semuanya sudah mulai disiapkan," dan nada suaranya berubah menghiba, "Shiori... Shiori mencintaimu. Hanya kamu, Masumi... Bukankah kau sudah menerima Shiori untuk jadi calon istrimu?"

"aku tidak bisa berbohong lagi," Masumi menelan ludahnya. "Kau wanita yang baik... Aku, aku bukanlah pria yang baik. Aku--"

"Bruk!" Shiori memeluk Masumi. "Tidak! Tidak! Berhenti bicara! Kau sedang sakit, Masumi! Kau tidak tahu apa yang kaukatakan," ia menggeleng-geleng. "Kau tidak tahu yang kaukatakan! Masumi, berhenti bicara."

"Tidak!" Dicengkeramnya bahu Shiori dan didorong untuk memisahkan wanita itu darinya. "Dengar Shiori! Aku... aku sudah tidak bisa lagi berpura-pura. Aku... tidak meghendaki pernikahan ini. Aku tidak akan bisa membuatmu bahagia! Kau tidak akan bahagia bersamaku."

"Hanya di dekatmu saja aku sudah bahagia, Masumi... sungguh bahagia..."

"Shiori... Apa kau mau terus berada dalam kebohongan? Kau bisa mendapatkan pria yang lebih baik."

"Tidak! Diam! Diaaaam!!" Shiori menutup telinganya, menggeleng-geleng. "Aku tidak mau dengar! tidak mau dengar!"

"Shori..." Masumi menatap nanar, wanita itu ternyata berkeras mempertahankan hubungan mereka. "Shiori! Dengarkan aku..." Ia menurunkan tangan wanita itu. "Kau wanita yang baik, cantik, cerdas... Kau... akan mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik dariku," MAsumi memandang mata wanita itu lurus.

Shiori mengamati Masumi... Masih tak rela, sangat tak rela. dan teringatlah ia.

"Apa... Ada wanita lain!?" tanya Shiori. "Kau... kau mencintai wanita lain? Siapa!?"

12 comments:

RositaAmalani on 1 May 2013 at 19:39 said...

heheheh pindah di mari juga bok capek ngetiknya nggak ^ ^

Ty SakuMoto on 1 May 2013 at 19:57 said...

Iya, aku cuma ngecopas dan ngerapiin huruf sama paragrafnya aja udah cape.. hehehe. Makanya maaf ya buat typo nya belom bisa dibenerin...

Anonymous said...

Holaaaa....!! rasanya udah lamaaaaa banget gak type comment disini :D I like the new look...!!! And...still love the stories here :) -Flo-

Wita susilowati on 1 May 2013 at 23:24 said...

Gak sabar nunggu lanjutannya ty..
pliz make it this story he
Udah desperado nungguin ceritanya miusen yg gak tamat2 :'(

Loved ur ff

annisa said...

suka...sukaaa....lanjutin teruuus... :))

Wita susilowati on 1 May 2013 at 23:34 said...
This comment has been removed by the author.
nilam on 2 May 2013 at 09:10 said...

sis ty... update donk.... :-)

Anonymous said...

iyyahhh...
sayah wanita lain pak masumi

perkenalkan

-mommia-

Meindy on 2 May 2013 at 23:12 said...

Dipindah juga, thanks ya ty. Bacanya jadi lebih enak. Apdetnya jangan lama2 yaa he3

Anonymous said...

thanks ceritanya. bagus banget. ditunggu update-annya ya..semoga happy ending..semangat!!!

Anonymous said...

sukaaa banget sama masumi yg cemburu...yg galau....yg salah minum obat...yg malu-malu nyatain cinta....

makasih Neng Ty...

-khalida-

adria on 22 July 2013 at 23:08 said...

neng Ty ..kok ada bagian yg ilang ya
apa emang diilangin ?...itu pas maya kasih hadiah buat masumi

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting