UNSPOKEN
Rating:
17 Kissu, Skinship
Setting:
Setting TK asli dipakai sampai Maya dan Koji kencan, Maya kejebur laut.
Selanjutnya terserah saya.. XDD
Lagi
ngetik sekuel MPS tiba2 cerita ini melintas. Nanti udah banyak aku share di
blogger Eternal Rainbow.
Masumi memandangi ke bawah, di mana Maya dan Sakurakoji tampak
bercengkrama. Mesra, menurutnya, walaupun mungkin Maya tidak bermaksud
demikian, namun setiap Masumi melihatnya tertawa dengan pria lain, ia sangat
cemburu. Hatinya sakit. Tak terbatas oleh kematangan usianya, kesuksesan
karirnya, atau kemahalan pakaiannya. Di balik jas ternama itu, hatinya
berdenyut sakit. Cemburu, pada gadis 11 tahun lebih muda yang tak punya
apa-apa.
Tapi malam ini, walau dari kejauhan Masumi bisa melihatnya. Maya
berdandan. Jelas terlihat gadis itu sedang berkencan.
Aku tidak bisa di sini lebih lama lagi, pikirnya.
"Masumi," suara lembut si wanita anggun mengusiknya. Mengusik,
dalam arti sebenarnya. Ingin sekali ia mengibaskan tangannya kepada Shiori,
namun apa salah wanita itu? Masumi hanya bisa menoleh, dan tersenyum hangat.
Mengatakan ia sedang menikmati pemandangan, dan melamunkan hal yang tidak
penting.
"Eh, lihat! Bukankah itu calon pemeran Bidadari Merah dan
pasangannya? ternyata benar... mereka berkencan!!' kata Shiori, "Mereka
kelihatan serasi sekali ya, Masumi..." bibir lembut berkilap lipstik satin
itu mengatakan kalimat paling tajam yang pernah Masumi dengar. Menusuk langsung
ke jantungnya.
"Ya... mereka... sangat serasi," ujar Masumi, menambahkan rasa
sakitnya sendiri.
Sakurakoji mengamati ponselnya, sebelum mengangkat wajahnya dan bicara,
"Maya, maaf ya... tunggu sebentar."
"Oh, ya... tidak apa-apa," Maya tersenyum.
Sakurakoji pergi meninggalkan Maya sendiri, dan saat itulah seorang waiter
menghampiri.
"Maaf, Nona Kitajima? Ini, ada titipan untuk Anda," katanya,
menyodorkan nampan dengan sekuntum Mawar Ungu di sana.
"Eh?" Maya terperanjat. "Mawar ungu..." desisnya.Mawar
ungu ada di sini? Gadis itu terenyak, Pak Masumi... ada di sini? Matanya
berkeliling mengitari sekitarnya, mencari sosok pria gagah itu, namun ia sama
sekali tak melihatnya. Kaki gadis itu mulai melangkah tanpa arah mencari pria
yang dicintainya.
"Maaf ya, kita jadi gagal makan malam, aku janji akan menggantinya
lain waktu," rayu Masumi saat mengajak Shiori pergi dari restoran
tersebut, menutupi ketidakjantanannya yang tak sanggup melihat Maya bersama
Sakurakoji.
Sementara Maya, yang terdorong perasaannya ingin bertemu Masumi, mencari
si lelaki ke sana kemari. Terengah-engah, berharap matanya bisa menemukan
sesosok gagah. Namun, tetap saja ia tak menemukan Masumi, walupun ia mencarinya
hingga ke dermaga.
Maya tidak sadar, bahwa kakinya menginjak tali pengikat yacht.
"Mana Maya?" Sakurakoji tertegun, saat mendapati Maya tak lagi
berada di tempatnya. Pemuda itu segera mencari gadis yang diajaknya berkencan.
"BYUURR!!!" Kejadiannya berlangsung sangat cepat. Tiba-tiba saja
kaki Maya terjerat dan tertarik masuk ke dalam air saat yacht itu dijalankan.
Maya sangat terkejut. Ia meronta, berusaha membebaskan diri. Dadanya sesak. Ia
tak bisa bernapas dan terus terseret di dalam air. Maya sudah tidak kuasa, ia
sudah di ujung kesadarannya. Namun ia tetap berjuang, berusaha meminta tolong.
Tolong....!! Tolong aku Mawar Ungu.... Pak Masumi...!! Permintaan tolong
yang tak bisa ia serukan.
"WAa!!! Waaa!!" seru orang-orang di tepi dermaga. "HEEYY!!!
Berhentii!! Berhentii!!!" pekik seseorang.
Pengemudi yacht itu, yang tengah mendengarkan musik dengan earphone, terus
saja melajukannya dengan kencang, tanpa menyadari bahwa Maya sudah di ambang
pertahanannya.
"Ada apa ribut-ribut?" ujar Masumi saat mengantar Shiori masuk
ke dalam mobil. "Tunggu sebentar, nanti aku kembali," pamit Masumi.
Ia berjalan menuju dermaga. Saat itulah ia melihatnya, di dalam air, gaun
itu.... gadis itu.... MAYA!Sakurakoji juga melihatnya. Sakurakoji segera
berlari ke dermaga.
"BYURR!!!"
Masumi menceburkan diri dan berenang menuju Maya, Maya... bertahanlah,
tunggu aku...
Saat si pengemudi yacht akhirnya menghentikan kendaraannya, Maya sudah
lemah dan berada di batas kesadarannya. Tubuhnya berat, napasnya sesak. Sekuat
tenaga ia menggenggam setangkai Mawar Ungu di tangannya. Dan tetap satu nama
yang dipanggilnya.
Pak... Masumi....
Masumi meraih gadis itu, mendekapnya. Ia segera membebaskan kaki Maya dari
jeratan tali. Gadis itu di antara sadar dan tak sadar melihat Masumi. Ia merasa
tak yakin. Benarkah... Masumi yang sedang mendekapnya sekarang? Pak Masumi...
Maya, bertahanlah, pikir Masumi dengan khawatir. Aku akan membawamu naik,
bertahanlah...
Namun sebelum Masumi membawa Maya ke permukaan, ia meniupkan sisa napas
dalam paru-parunya ke mulut Maya.
Bertahanlah... Pria itu menutup matanya, membagi oksigennya dengan gadis
itu.
Di tengah dinginnya air yang menusuk, setidaknya mereka berdua bisa
merasakan kehangatan tipis menyelimuti mereka.
Masumi membawa Maya bersamanya saat ia muncul di permukaan. Napasnya
terengah-engah. "Mungil! Mungil!" panggilnya.
Maya hanya terdiam dengan mata terpejam. Masumi sedikit panik namun ia
berusaha menenangkan diri. Mendinginkan kepala. Dengan cepat ia berenang ke
dermaga dengan sebelah tangannya. Ia sesekali menoleh, memastikan bahwa wajah
Maya tetap berada di atas permukaan laut.
Masumi lantas menggendong Maya, berjalan tegap menyusuri dermaga. Orang-orang
berkerumunan, menatap khawatir
Masumi lantas membaringkan Maya, dan memompa dada gadis itu, agar
mengeluarkan air yang sempat tertelan. Maya cukup lama berada di dalam air
tadi. Ia pasti kemasukan banyak air. Masumi dengan ahli memompa dada maya
dengan tangannya.
"Ayo maya, muntahkan lagi airnya!" perintah Masumi. Dan seperti
biasa Maya tidak menurutinya. Masumi mulai panik dan Maya mulai berhenti
bernapas. "Maya!!!" seru Masumi, memompa lebih cepat dan mulai
memasukkan kembali udara ke mulut Maya.
"ukh! Ukh! Ukh!" Masumi memompanya dan meniup mulut Maya lagi.
Usahanya berhasil pada percobaan ketiga.
"HHhhh! Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Maya terbatuk-batuk setelah
memuntahkan airnya dan mulai bernapas lagi.
Masumi sangat lega, "Mungil..." panggilnya, seraya menghela
napas. Begitu juga orang-orang di sekeliling mereka.
Tubuh Maya masih lemah, namun ia mulai menyadari siapa yang tadi telah
menolongnya.
Pak masumi... Batinnya dengan terharu.
"bagaimana perasaanmu? Apa kau baik-baik saja?" tanya Masumi
lembut, penuh perhatian.
Maya masih belum bisa bicara. Karena syok, terkejut, lelah, lega, berterima
kasih, bahagia... Bertemu Mawar Ungunya. Yang dapat Maya lakukan hanya
menyampaikan semua itu dengan pelukan. Dan itu yang ia lakukan selanjutnya.
Memeluk Masumi.
Masumi terenyak, sangat terkejut saat gadis yang bajunya sebasah dia
tiba-tiba memeluknya. Untuk beberapa saat Masumi tak yakin apa yang harus
dilakukannya.
Maya.... Ia tak mungkin kan, balas memeluknya sementera ada puluhan pasang
mata mengamati mereka. Dimana salah satunya adalah Sakurakoji, yang juga sangat
terkejut dengan tindakan Maya.
Akhirnya yang Masumi lakukan adalah merangkul tipis bahu Maya, dan berkata
perlahan, "Tenanglah. Kau akan baik-baik saja. Semuanya sudah
berlalu," kata Masumi, merasakah Maya menggigil dalam rangkulannya. Dalam
bayangan Masumi, pastilah Maya masih takut dengan apa yang menimpanya tadi.
"Aku akan membawamu ke rumah sakit," kata Masumi kemudian. "Kita
harus memastikan bahwa sudah tidak ada lagi yang harus dikhawatirkan."
Masumi berkata tanpa meminta persetujuan Maya. Ia segera menggendong gadis
itu.
"Permisi, beri kami jalan," pinta Masumi dengan suara tegasnya.
Ia yakin orang-orang itu mengenalinya, teruma para tamu kelas atas. Namun ia
tak peduli.
Masumi menggendong Maya, hendak membawanya pergi ke rumah sakit.
"Pak Masumi!!" tiba-tiba ada panggilan dari belakangnya. Masumi
berbalik, dan mendapati pasangan kencan Maya lah yang memanggilya. "Pak
Masumi, biar, saya yang membawa Maya ke rumah sakit. Ini tanggung jawab saya.
Tadi Maya sedang bersama saya!" Ia menjelaskan fakta yang sudah diketahui
Masumi.
Masumi terdiam. Ia jelas tidak ingin menyerahkan gadis dalam pelukannya
itu kepada Sakurakoji. Ia baru saja hendak menolaknya, sampai kemudian suara
lembut wanita itu kembali terdengar memanggilnya, "Masumi...!"
serunya, dengan sedikit panik, saat mendapati Masumi dalam keadaan kuyup.
Masumi menelan ludahnya, ia lantas menunduk, menatap Maya yang masih
lemah. Gadis itu juga berharap Masumi tidak menyerahkannya. Tanpa sadar ia
melingkarkan tangannya di pinggang Masumi. Dan menatap pria itu dengan memelas.
Masumi tertegun, entah keyakinannya datang dari mana, namun ia merasa,
untuk kali ini, Maya tidak akan keberatan berdua bersamanya.
"Tidak apa-apa," kata Masumi kepada Sakurakoji, "Aku yang
menolongnya tadi, jadi aku yang tahu kondisinya seperti apa. Oleh ku
saja," ia menoleh kepada Shiori. "Maaf Shiori, aku terpaksa membuatmu
pulang sendirian," sesal Masumi. "Nanti aku akan menghubungimu lagi,
saat ini kondisinya mendesak," Masumi meminta pengertian Shiori.
Seperti yang diduganya, Shiori yang berhati lembut tentu saja mau
mengerti, "Ya, Masumi, kabari aku... aku juga, mengkhawatirkanmu,"
pesan Shiori.
Masumi berbalik dan menaiki sebuah taksi, "Ke rumah sakit
terdekat," pintanya. "Aku akan mengganti rugi jokmu yang basah,"
imbuhnya.
Taksi itu meluncur.
Masumi merapatkan mantelnya di tubuh Maya yang menggigil. Ia sendiri cukup
menggigil, karena air laut itu, tidak terbayangkan dinginnya di musim seperti
ini, apalagi pada malam hari begini. Masumi masih bertanya-tanya bagaimana Maya
bisa sampai jatuh dari dermaga, terseret
yacht tersebut?
"Bagaimana perasaanmu? Masih ada yang sakit?" tanya Masumi
dengan perhatian, mengusap pelan bahu Maya.
Maya berusaha menggeleng.
"Kakimu sakit?" tanya Masumi lagi.
"Se, sedikit..." Maya menjawab terbata-bata, bibir dan lidahnya
terasa kelu.
Masumi menyentuh pipi Maya. Gadus itu terkejut. Pak Masumi... jantung
gadis itu yang hampir berhenti berdetak tadi, malah berdetak lebih cepat dari
biasanya saat ini.
Masumi bisa merasakan, bahkan ketimbang telapaknya yang dingin, wajah Maya
jauh lebih dingin.
"Kau sangat dingin," bisik Masumi, khawatir.
Memang. Sekarang badan Maya menggigil dari ujung kepala ke ujung kakinya.
"Akan sedikit lebih baik, jika aku memelukmu seperti tadi," kata
Masumi pelan. "Kalau kau mau," imbuhnya--sambil berharap.
Maya menatap pria itu, lalu mengangguk.
Sekarang, malah pria yang menawarkan jasanya yang merasa gugup. Dengan
sedikit canggung ia bergeser kepada Maya dan melingkarkan lengan kokohnya ke
bahu Maya yang terasa menciut akibat kedinginan.
"Grep," ia memeluk Maya, dan di luar kuasanya sendiri, merengkuh
Maya ke pelukannya lebih dalam lagi.
Maya...
Tidak dinyana cepatnya tubuh Maya bereaksi akan kehangatan Masumi. Wajah Maya merona,
jantungnya memacu dan membuat darahnya mengalir lebih deras, lebih cepat, lebih
panas. Tubuh mungil gadis itu perlahan tapi pasti sudha semakin hangat.
Dan nyaman.
Maya merasa, dipeluk seperti ini mengingatkan pada saat keduanya di kuil
di lembah plum. Masumi juga sehangat ini, senyaman ini dan begitu melindungi,
begitu baik hati seperti saat ini.
Pak Masumi... Ternyata, sesungguhnya kau memang orang yang sangat tulus
dan baik hati...
Ia diam-diam terisak.
Pria ini sudah menyelamatkan nyawanya... Lagi. Saat ia sakit, Masumi
membawa Maya ke rumahnya, merawatnya. Masumi juga pernah menahan sebuah pilar
yang terjatuh demi dirinya. Seharusnya Maya tahu, bagaimana Masumi selalu
mengawasi dan menjaganya.
"grep.." maya memeluk Masumi lebih erat.
"bajuku juga basah, sepertinya... Tidak begitu membantu
keadaanmu?" tanya Masumi yang sebetulnya sangat gugup dengan perbuatan
Maya yang samasekali tidak protes dengan kedekatan mereka. Apalagi, Masumi
sangat yakin Maya baru saja mengetatkan pelukan kepadanya.
Sepertinya gadis itu sungguh sangat kedinginan hingga ia tidak
mempedulikan dengan siapa ia berpelukan saat ini.
"Sebentar lagi kita sampai," Masumi berusaha menenangkan,
kembali Maya hanya mengangguk.
Masih diam-diam terisak, menyesali betapa terlambat ia menyadari bahwa
Masumilah mawar ungunya. Masumi lah yang sudah menumbuhkan benih-benih cinta di
hati Maya. Dan saat gadis itu tahu, perasaan yang tak terkatakan itu sudah
memenuhi rongga hatinya, tanpa menyisakan ruang untuk orang lain lagi. Bukannya
Maya tidak tahu bahwa Sakurakoji sepertinya menaruh perhatian kepadanya. Maya
sudah tidak sepolos dulu lagi. Namun, sebaik apa pun Sakurakoji bersikap
kepadanya, Maya hanya mencintai Masumi.
Pak Masumi... entah sejak kapan, aku jadi begitu mencintaimu... Tapi...
sekarang... semua sudah terlambat. Selain kau tidak pernah memandangku sebagai
seorang wanita, kau juga... sudah memiliki seorang tunangan.
Maya kembali teringat Shiori. Ia ingat wanita itu yang tadi sempat memanggil
Masumi saat menggendongnya.
Deg! Jantung Maya berdenyut menyakitkan, baru menyadari sesuatu. Ada
Shiori di sana tadi... apakah itu berarti, Masumi tadi... tengah berkencan
dengan Shiori? Pikiran itu benar-benar membuat Maya merasa sangat sakit.
Tidak... Aku dan Pak Masumi tidak mungkin sepasang belahan jiwa... cintaku
bertepuk sebelah tangan dan ini sangat menyakitkan. Pak Masumi... akan menjadi
milik orang lain...
Selamanya...
Air mata Maya akhirnya menetes juga.
Kumohon... biarkan seperti ini, lebih lama lagi...
Namun harapannya tidak terkabul, saat si sopir taksi berkata, "Sudah
sampai..."
Maya terdiam, sementara Masumi berkata perlahan, "Sudah sampai,
Maya..." Ia memisahkan pelukan mereka, dan mulai merogoh dompetnya. Untung
saja ia sempat melepas jasnya tadi sebelum menceburkan diri ke dalam air,
sehingga uangnya masih layak digunakan untuk membayar
jasa si sopir taksi. Ia melebihkan bayarannya karena mereka sudah membasahi
joknya, seperti yang ia janjikan.
Masumi menggendong Maya masuk ke dalam rumah sakit.
"Pak Masumi, biarkan aku berjalan," pinta Maya perlahan dengan
suara yang masih serak dan lemah, "Aku bisa--"
"Kenapa? Kau malu?" tanya Masumi, "bagaimana jika kau tidak
mampu berdiri dan terjatuh, lebih memalukan kan? Atau mau kudorong dengan kursi
roda?" tanya Masumi, menggodanya.
Maya sedikit mengerucutkan bibirnya. ia sebetulnya sudah cukup malu,
muncul berbasah-basahan berdua dengan masumi di rumah sakit ini, apalagi
digendong begini.
"Ada yang bisa dibantu?" tanya seorang perawat, ia tampak
menaruh perhatian kepada keadaan mereka yang tidak wajar, terutama karena Maya
digendong. "Apakah terjadi sesuatu kepada nona ini?" tanyanya.
"Ya, dia tadi sempat tenggelam dan pingsan. Kakinya pun sempat
terjerat tali sangat keras," terang Masumi. "Apakah bisa dipastikan
keadaannya? Dan terutama, bisakah ia berganti pakaian?"
"Baik," kata perawat tersebut, "Tapi Anda juga, sepertinya harus
berganti baju."
Akhirnya, Maya masuk perawatan. Masumi tertegun, dari tadi, Maya masih
menggenggam erat Mawar Ungu pemberiannya.
Maya... Ia tersentuh. Pria itu menyentuh tangan Maya, menggenggamnya dan
melepaskan mawar itu dari kepalan tangan Maya. Ia lantas meninggalkan Maya yang
akan melakukan check up setelah berganti baju dengan pakaian rumah sakit.
Begitu juga Masumi. Ia pun terpaksa berganti pakaian dengan baju rawat
sementara menunggu pelayannya dari rumah datang mengantarkan pakaian.
Masumi lantas menghampiri Maya yang sepertinya sedang beristirahat dan
dicek suhu tubuhnya oleh seorang dokter.
"Sudah selesai?" tanya Masumi di pintu.
"Sudah," kata perawat tersebut. "Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Cukup beristirahat saja sampai kondisinya pulih kembali. Mungkin
hanya kaki nona Maya yang membengkak yang membutuhkan perawatan, tapi semoga
tidak akan memakan waktu lama semuanya akan baik kembali."
Masumi sangat lega mendengarnya. "Terima kasih, suster..."
Perawat tersebut sepertinya mengerti, tanpa diminta Masumi ia segera
keluar dan mengatakan akan kembali nanti.
Masumi masuk ke dalam kamar rawat. Menghampiri Maya yang mengenakan jenis
pakaian yang sama dengannya.
Maya canggung, menarik selimut menutup ke dadanya karena ia tidak
mengenakan pakaian dalam. Sepertinya Masumi tidak tahu, tapi Maya tetap saja
merasa sangat malu.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Masumi.
"Ba, baik," jawab Maya tanpa menatap Masumi. "Pak Masumi?"
kali ini ia berusaha memandang pria itu.
"Aku baik-baik saja, tidak ada masalah. Begitu berganti pakaian dan
minum kopi, semuanyabaik lagi," gurau Masumi. "Aku sudah meminta
seseorang mengabari teman sekamarmu, mungkin ia bisa menjagamu dan membawakan
keperluanmu," imbuhnya.
"Pak Masumi mau kemana?" tanya Maya spontan, merasa bahwa
perkataan Masumi yang terakhir seakan mengatakan bahwa pria itu akan
meninggalkannya.
"Aku?" Masumi tertegun. "Tentu akan kembali ke rumahku,
nanti jika aku sudah yakin sudah tidak ada apa-apa lagi," katanya. Ia
beranjak ke ujung tempat tidur. "Boleh, aku melihat kakimu?"
tanyanya.
Wajah Maya merona, ia mengangguk perlahan.
Masumi menyingkapkan selimut di kaki Maya dan mengangkat celana
panjangnya. Pria itu terkejut, menemukan lingkaran biru di pergelangan Maya,
ditambah luka-luka baret merah di sana, bekas gesekan tali yang menjerat Maya.
Masumi mengusapnya perlahan. "Sedikit bengkak," gumamnya.
"Untunglah tidak sampai terkilir parah, mudah-mudahan tidak akan mengganggu
latihanmu nanti," harapnya.
Pak Masumi... gadis itu mengamati pria yang dicintainya itu. Ia amat
senang, dengan semua perhatian Masumi.
Juga sentuhannya di kaki Maya, yang terasa sangat lembut, membuat jantung Maya bergetar. Ia tidak kuasa,
menahan matanya yang mulai kembali berkaca-kaca.
Masumi mengalihkan pandangannya ke wajah Maya, "Kenapa kau bisa
sampai jatuh?" tanya Masumi.
"Apa yang sedang kaulakukan sampai-sampai terjerat tali pengikat yacht dan
terseret masuk ke laut?"
Gadis itu tampak tertegun, ia kembali teringat peristiwa yang menyebabkan
ia berduaan dengan Masumi di rumah sakit ini. "A, aku... aku..." ia
menelan ludahnya, "Aku mencari seseorang," katanya, menatap mata
Masumi.
"Seseorang?" tanya Masumi dengan heran.
"Ya..." gumam Maya perlahan. "Mawar... Ungu..."
akunya.
"DEG!" Masumi sangat terkejut. Ia melirik ke sekuntum mawar yang
kuyup di atas nakas.
Jadi... gara-gara aku memberinya mawar ungu?
"A, aku sedang mencari Si Mawar Ungu... dan aku tidak menyadarinya...
entah bagaimana, tiba-tiba tali itu mengikat kakiku, dan sebelum aku
benar-benar sadar... a, aku sudah berada di dalam air..." Maya mulai
gemetar, "terseret..." ia menggigit bibirnya tipis.
Maya memang terlihat masih trauma. Ia ingat bagaimana sakit dan
tersiksanya ia di dalam air tadi. Ia bahkan sempat terpikir bahwa ia akan mati.
Dan pada saat itu, yang Maya harapkan, adalah bertemu... Masumi.
Dan sekarang pria itu ada di hadapannya. Maya sungguh tidak percaya, masih
bisa melihat Masumi lagi.
Sementara Masumi tengah merasa bersalah, Gara-gara aku... batinnya.
Gara-gara aku Maya sampai mengalami kejadian ini... Ia menatap Maya yang sedang
gemetaran.
"Pak Masumi..." gadis itu menelan ludahnya berusaha menenangkan
diri. "Te, terima kasih... untuk pertolonganmu..." katanya dengan
tulus.
"Mungil..." desah Masumi, dihantui perasaan bersalahnya. Ia
kembali melirik mawar ungu tersebut. Rahangnya mengetat, "Mungil... apa
kau begitu ingin bertemu dengan Mawar Ungu, hingga kau samasekali mengabaikan
keselamatanmu?" tanya Masumi tegas.
Pak Masumi...? Maya sangat terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan
oleh Masumi. "ya!" jawabnya pasti. "Aku sangat ingin bertemu
dengannya..." ia terdengar memelas, "Dia adalah... orang yang paling
ingin kutemui saat ini," kata Maya. "Aku..."
"Tapi jangan bertindak bodoh sampai-sampai kau lengah dengan
sekelilingmu!" tegas Masumi, suaranya sedikit keras, namun sebetulnya itu
karena ia merasa bersalah dan khawatir. "Mungil..." saat ini, yang
paling penting kau harus menjaga dirimu untuk pementasan Bidadari Merah. Kau
harus ingat itu," kata Masumi.
Maya menelan ludahnya. Ya, Masumi selalu memandangnya sebagai seorang
aktris. Ia begitu melindunginya, bersikap lembut dan perhatian kepadanya,
karena ia seorang aktris. Tidak lebih. Karena... Bagi Masumi sudah ada wanita
lain, Shiori. Tunangannya.
Ukh! Rasanya napas Maya mendadak terhenti karena teringat hal itu.
"Pak Masumi! Maaf.. karena, karena aku sudah merusak kencan Anda,"
kata Maya, dengan suara lemah namun tajam. Ia tidak terlalu mampu menyembunyikan
rasa cemburunya.
Eh? Mungil? Masumi tertegun. "Tidak... kami sudah mau pergi saat
kejadian itu. Mungkin, seharusnya kau meminta maaf kepada teman kencanmu,"
kata Masumi, berbalik bicara tajam.
"Te, teman kencanku?" Maya tertegun, hampir lupa dengan
keberadaan Sakurakoji. "Di, dia... kami... tidak..."
"Ah... masalah pribadimu bukan urusanku," kata Masumi, pura-pura
tak acuh padahal ia sedang jadi
pengecut yang tidak berani menghadapi kenyataan. "Aku hanya berharap kau jangan terlalu ceroboh lain kali,"
tandasnya.
"Ya..." Maya mengangguk, menunduk.
Keduanya lantas saling berpandangan. Saling diam. Masumi sudah tidak tahu
apa lagi yang harus dikatakannya, demikian juga dengan Maya. Ia ingin Masumi
setidaknya diam dulu di kamarnya. Mungkin membicarakan sesuatu. Tapi keduanya
masih kehilangan kata-kata dan hanya
saling memandang.
"Kau..." Masumi akhirnya bicara, walau bingung apa kelanjutan
kalimatnya. Ia sedikit bingung dengan Maya yang bersikap tenang di depannya.
Tidak mencebik, tidak marah.
Memang, Masumi pun merasakan, bahwa Maya sebetulnya sudah banyak berubah.
Mungkin karena gadis itu sudah mulai beranjak dewasa? Masumi ingat kembali,
saat mereka bermalam di lembah plum. Maya juga tenang seperti saat ini, dan
juga begitu melankolis. Ia ingat Maya tiba-tiba saja menangis malam itu,
sebelum diam tenang di pelukannya dan jatuh tertidur hingga pagi.
Dan saat itu, Maya tidak menolak uluran tangannya, dan setelahnya,
memberikan setangkai buga plum. Hingga saat ini, apa yang Maya lakukan hari itu
masih menjadi tanda tanya besar bagi Masumi.
"Ini lambang perasaanku," kata Maya saat itu, sebelum berlari
meninggalkannya. Lambang perasaan... apa?
"Apa, Pak Masumi?" tanya Maya, yang merasa mulai rikuh karena
Masumi tak lekang memandangiya sedari tadi tanpa berkata apa-apa.
"Hm, apa?" tanya Masumi, tertegun.
"Kenapa... jadi Pak Masumi yang bertanya kepadaku? tadi Pak masumi
bilang, kau... lalu tidak melanjutkan," kata Maya. "Apakah ada sesuatu?"
tanya Maya, memastikan.
Saat itu, dengan besar kepala Masumi sempat berpikir bahwa Maya mungkin
jatuh cinta kepadanya. Cinta sang bidadari merah, itulah yang mau Maya
sampaikan dengan memberikannya setangkai bunga plum merah.
Namun, itu tidak mungkin! Mustahil! bunga itu segera gugur setelah dibawa
keluar lembah plum. begitu juga perasaan Maya yang mungkin hanya terbawa
suasana. Ia hanya ingin mengucapkan terima kasih atas perbuatan Masumi malam
sebelumnya.
Namun demikian, Masumi masih ingin memastikan.
"Maya... saat itu, di lembah plum," kata Masumi. "Saat...
kita tejebak hujan dan bermalam di kuil..." Masumi berhenti bicara, karena
wajah Maya segera merona merah dan ia tertunduk. Tampak canggung.
Pria itu menelan ludahnya, "Aku hanya ingin mengatakan, bahwa... kau
ingat tangkai bunga plum yang kau berikan kepadaku keesokan paginya? Begitu
keluar dari lembah plum,
bunganya segera berguguran," Masumi tersenyum tipis dengan sendu.
"Ah, benarkah begitu?" tanya Maya, terkejut.
"Ya. Aku tidak tahu bagaimana denganmu. Tapi di lembah plum itu aku
selalu mengalami sesuatu yang luar biasa," ia kembali teringat saat ia
bermimpi jiwanya menyatu dengan maya setelah gadis itu memperlihatkan bidadari
merah. "Mimpi, yang luar biasa..."
Pak Masumi... mata gadis itu membulat sedikit. Ia juga mengenang hal yang
sama. bahkan, tiap kali mengingatnya, Maya masih bisa merasakan kehangatan
tubuh Masumi yang dulu mendekapnya. Padahal, mereka terpisahkan sebuah sungai
yang sangat besar. Namun setiap senti kulit tubuhnya bisa dengan nyata merasakan
sentuhan dengan kulit Masumi.
Gadis itu menunduk,lalu wajahnya sedikit merona mengingat
kejadian hari itu. Sejak saat itu, sosok Masumi terus melekat kuat di benak
Maya. Apalagi setelah kejadian di kuil tua itu. Ia seringkali merindukan sosok
Masumi.
"Maya!" tegur Masumi.
"Ah, ya," kali ini Maya yang melamun.
"Nah, kan, sekarang kau yang melamun," katanya. "Ada yang
kau pikirkan?"
Maya menggeleng pelan, "Anda benar, aku pun... Saat berada di sana,
memiliki pengalaman-pengalaman yang luar biasa, indah... Seperti...
Mimpi..." maya menatap Masumi penuh arti, sedikit sendu.
"Mungil, bolehkah aku bertanya mengenai sesuatu?" Masumi sedikit
berdebar saat bertanya.
"A, apa?"
"Saat itu, ketika kau memberikan tangkai bunga plum merah, kau bilang
itu adalah lambang perasaanmu kan...? Apa, maksudmu dengan lambang
perasaanmu?" tanya Masumi, memberanikan diri.
Bukannya hal itu akan mengubah keputusannya untuk mulai melupakan Maya,
hanya saja, Masumi benar-benar ingin tahu, dan sepertinya saat ini adalah waktu
yang tepat untuk menanyakannya. Maya tidak seberingas biasanya. Dan... tidak
ada salahnya kan bertanya?
Namun, mendapatkan pertanyaan itu jelas membuat Maya menjadi salah
tingkah. Ia menunduk, merasakan wajahnya merona. Jelas saat itu, Maya bermaksud
menyampaikan kepada Masumi mengenai isi hatinya yang terdalam. Seperti cinta Bidadari Merah yang tidak
mungkin kepada ishin, mungkin seperti itulah cinta Maya yang tak mungkin kepada
Masumi.
Perasaan yang tak bisa ditahan, namun juga tidak bisa diungkapkan.
"I,itu... saat itu... aku sangat berterima kasih, karena Pak Masumi
ada di sana... untukku," Maya sangat berharap ucapannya benar, "Kalau
tidak ada Pak Masumi yang menemukan dan menemaniku, aku tidak tahu apa yang
terjadi kepadaku. Mungkin saja, aku jatuh sakit..." kata Maya.
"Karena itu, untuk mengungkapkan rasa terima kasihku, aku... hanya bisa,
memberikan bunga plum merah itu..." elaknya.
Masumi tertegun, terdiam. ia mendengus dan tersenyum tipis.
"Ya, kurasa, pilihanmu tepat, bunga itu mekar dengan cantik di lembah
itu walaupun bukan pada musim semi, namun... saat dibawa keluar dari sana,
bunga itu segera berguguran," kata Masumi, "Ya, seperti kau yang
menganggapku pahlawan hari itu, tapi setelahnya aku berubah jadi penjahat lagi
kan?" guraunya.
"Pak Masumi..." desah Maya, entah kenapa ia sungguh merasa
bersalah mendengar ucapan Masumi. Bukan seperti itu... Pak masumi, pikirnya
sendu. "Aku... a, aku..." Maya menggigit tipis bibirnya.
"Sebetulnya, bagiku..." Maya menatap pria itu,"Bagiku, Pak
Masumi..." Maya menunduk, wajahnya
merona.
Masumi tertegun mengamati ekspresi gadis itu.Maya...? ia bertanya-tanya.
Gadis itu tampak tidak biasa, juga tidak menyetujui bahwa baginya Masumi memang
sudah jadi penjahat lagi. Masumi pikir, Maya akan berkata, bahwa melihat
wajahnya saja sudah membuat gadis itu merasakan kakinya berdenyut lebih sakit
atau perutnya mual.
Jantung pria itu berdebar. Di satu sudut hatinya, kadang, sikap Maya
selalu membuatnya berharap, Berharap berlebihan, sebagai seorang pria yang
jatuh cinta.Seperti saat Maya mengatakan semoga Masumi bahagia, dan ia berpikir
Maya cemburu kepadanya dan Shiori, atau saat gadis itu menyerahkan batang bunga
plum merah, dan Masumi sempat memikirkan kemungkinan yang mustahil : Maya jatuh
cinta kepadanya. Namun ia harus segera membuang jauh-jauh pemikiran itu.
Bagaimana pun itu mustahil... kan?
Tapi kenapa gadis itu sekarang menunduk malu-malu di hadapannya,
"Bagimu... aku... apa? Mungil...?" tanya Masumi, sedikit mendesak.
"Bagimu...?"
"Maya, bagaimana keadaanmu?" tanya Rei yang baru tiba, ia
menoleh, kepada Masumi dan mengangguk tipis.
"Selamat malam, Rei..." sapa Masumi.
"Ah, Rei... kau sudah datang?" kata Maya, yang jantungnya masih
berdebar-debar.
"Ya, dan aku tidak sendiri, aku bersama..."
"Halo Maya," Sakurakoji muncul, masih mengenakan pakaian yang
dipakainya saat mereka berkencan tadi.
Jadi Rei datang bersama Sakurakoji. Masumi mengempaskan napasnya tak
kentara.
"Baiklah, kurasa aku tak akan mengganggu istirahatmu lagi," kata
Masumi.
Ia lantas menjelaskan kepada Rei mengenai keadaan Maya dan bahwa Maya
sudah bisa pulang saat sudah merasa
baikan. Maya juga tidak perlu membayar biaya apa-apa.
"Pak Masumi! Terima kasih," ucap Maya kemudian.
Masumi hanya tersenyum tipis dan pergi dari sana. Hatinya masih diliputi
perasaan tidak tenang. Ada sesuatu, mengenai Maya.
Maya... pipi pria itu menghangat. Ia sudah lama merindukannya, tak dikira,
ia dapat bertemu dengan Maya malam ini, bahkan berbincang dengannya,
berpelukan... dengannya.
Maya... perasaan pria itu semakin tak menentu. Mustahil, ia bisa melupakan
dan menghapuskan perasaannya begitu saja kepada Maya, walaupun ia sudah
memiliki calon istri di sisinya.
Setelah berganti pakaian dan bercengkrama, akhirnya Maya memutuskan untuk
pulang.
"Kau naik motor Sakurakoji saja, biar aku naik taksi," kata Rei.
"Eh? mmh... baiklah," Maya setuju.
"Bagaimana? Apa kau bisa berdiri?" tanya Sakurakoji.
Saat ini kaki Maya sudah dibebat oleh perban.
"Ya, kurasa aku-- kyaaa!!" Maya hilang keseimbangan.
Dan, Sakurakoji menangkapnya.
Dan, Masumi melihatnya.
Maya.... Wajah Sakurakoji menghangat, lengannya yang menangkap, lalu memeluknya.
Maya... Masumi tertegun, hatinya sakit. Ia menelan ludahnya dan
menegangkan rahangnya. Dan tangannya perlahan terkepal kuat.
"A, ah, ah! Pak Masumi!" Maya terkejut, ia berusaha menegakkan
badannya.
"Hati-hati, Maya..." kata Yuu dengan lembut, tangannya masih
memegangi lengan Maya walaupun keduanya sudah tidak berdekapan seperti tadi.
"Maaf mengganggu," kata Masumi dengan dingin. "Mana
temanmu?" ia sedikit menyalahkan Rei yang
membiarkan keduanya berduaan.
"Se, sedang memanggil taksi," kata Maya.
"Kau naik taksi?" tanya Masumi.
"Tidak, Pak Masumi, Maya ikut denganku naik motor agar cepat
sampai," kata Sakurakoji. "Lagipula, dia tadi bersamaku. Sudah
tanggung jawabku mengantarkannya sampai kembali."
Jantan sekali, sindir Masumi dalam hatinya. "Begitu," tukasnya
pendek. "Baiklah, aku juga sudah harus pulang sekarang. Aku permisi dulu.
Hati-hati di jalan," katanya, tidak berlama-lama ia segera memutar
tubuhnya. Ia sempat menoleh sebentar, "Sekarang Ishinmu sudah datang, kau pasti segera sembuh ya,
Akoya?"
Ia lantas berlalu dari sana.
Pak.... Pak Masumi... gadis itu mengamati punggung Masumi yang menghilang.
"Ayo, Maya," Sakurakoji menyerahkan tongkat penyangga.
"Bisa?"
"I, iya,... kuusahakan..." katanya.
Bayangan Maya dan Sakurakoji yang berpelukan kembali membayang di pelupuk
mata Masumi. Wajah pemuda itu... dia... tampak sangat hangat, sangat senang.
Bagaimana bisa seorang laki-laki mengekspresikan perasaannya begitu terbuka
seperti Sakurakoji. Masumi merasa sangat iri. Tidak perlu pura-pura, bisa mendekatinya
kapan saja, dan tidak pernah diusir Maya.
Ukh!! Masumi cemburu sekali!
Ia ingat gadis itu yang memeluknya tiba-tiba tadi. Ingat gadis itu yang
pendiam, yang malu-malu menunduk di hadapannya.
Ada yang tak terkatakan, namun Masumi bisa merasakan ada sesuatu yang
berbeda. Maya sepertinya... Tidak akan menolaknya.
Pria gagah itu berbalik. Kembali ke kamar Maya.
"Tidak apa-apa, pelan-pelan saja," kata Sakurakoji.
"Rasanya tidak nyaman, sesuatu mengganjal di ketiakku," keluh
Maya.
Sakurakoji tertawa renyah. Ia lantas mengamati mawar ungu yang kuyup di
tangan Maya. Gadis itu sempat jatuh ke dalam air laut yang dingin, terseret
sebuah yacht, bahkan pingsan. Namun tangannya masih dengan kuat mengepal mawar
ungu tersebut.
"Maya!" sebuah suara jantan menyapa mereka.
Masumi. Ia kembali.
"Pak Masumi!" seru Maya. "Ada apa?"
"Kurasa, lebih baik aku yang mengantarmu." kata Masumi, tegas.
"Ha? Apa?" Maya dan Sakurakoji sama-sama terkejut.
"Dengan keadaan Maya sekarang, jauh lebih mudah jika dia kuantar.
Sedikit mengkhawatirkan jika harus naik motor."
Sakurakoji tertegun, "Kalau begitu, kami bisa menggunakan taksi dan
aku bisa kembali mengambil motorku."
"Repot. Lebih mudah kuantar saja," Masumi memutuskan.
"Tapi, pak masumi!" Yuu tidak setuju.
"Bagaimana, Maya?" tanya Masumi.
"Eh?" maya tertegun. Memilih, antara Masumi dan Sakurakoji?
"Mmh... Aku..." Maya bimbang, lantas menoleh kepada Sakurakoji,
"Sakurakoji, maaf, tapi kurasa Pak Masumi benar. Dengan membawa tongkat
penyangga begini, aku takut malah merepotkanmu."
“Tidak akan merepotkan!" tegas Sakurakoji.
Masumi bergerak lebih cepat, ia meraih tongkat penyangga Maya.
"Kyaa!!" pekik Maya saat hampir terjatuh, dan sekali lagi terpekik
saat Masumi sudah menggendongnya lagi.
"Begini lebih mudah," katanya, tidak mau dibantah. "Bisa
kau pegang kruk-nya?" tanya Masumi.
"Bi, bisa, tapi--"
"Pak Masumi, aku yang akan mengantar Maya," tegas Sakurakoji.
"Malam ini dia adalah teman ken--" Sakurakoji terdiam, ia tidak
pernah mengatakan terang-terangan kepada Maya bahwa ajakannya ini kencan.
Namun, melihat Maya berdandan, Sakurakoji tahu bahwa Maya menyadari bahwa ajakannya
ini adalah sebuah kencan.
"Teman kencan?" tanya Masumi, meneruskan ucapan yang terpotong.
Sakurakoji membisu sesaat, "Yang pasti, aku bertanggung jawab dengan
keadaan Maya malam ini, hingga ia kembali ke tempat tinggalnya."
"Tidak apa-apa, jangan khawatir," kata Masumi, mendekap Maya
lebih erat. "Aku tidak keberatan bertanggung jawab untuknya mulai
sekarang. Ia akan sampai tempat tinggalnya dengan selamat, lagipula, Masumi
menunduk, menatap Maya. "Ini bukan pertama kalinya kita beradegan seperti
ini kan? Kau pasti sudah mulai terbiasa," katanya datar. Dia bermaksud menggoda Maya, namun keberadaan Sakurakoji membuat
intonasinya datar saja.
Maya tertegun, wajahnya merona.
Sakurakoji, sedikit merasa kesal. Tidak pernah sebelumnya Masumi terasa
begitu menghalang-halanginya seperti hari ini. Namun, Maya pun tidak berontak,
Sakurakoji tidak punya alasan untuk mempertahankan keinginannya.
"Ayo, Mungil," kata Masumi. "Kami permisi."
"Maya! Besok... aku akan mengatakan bahwa kau belum bisa latihan
lagi. Dan, aku akan berkunjung ke tempat tinggalmu," imbuhnya.
Berkunjung ke tempat tinggal Maya? Masumi benar-benar kesal.
Seakan belum cukup, Sakurakoji menambahkan, "Terima kasih kau sudah
bersedia menemaniku hari ini. Aku senang sekali, walaupun ada kejadian yang
tidak terduga ini, aku jadi merasa bersalah kepadamu."
"Tidak, ini bukan salahmu," kata Maya, di gendongan masumi, dan
benar-benar membuatnya merasa canggung, "Terima kasih Sakurakoji untuk
tiket pertunjukan musik dan juga makan malamnya,
maaf, aku jadi menyusahkanmu."
"Tidak, bukan begitu, aku yang--"
"Kalau aku," potong Masumi tiba-tiba, yang sudah merasa sedikit
gerah dengan adegan Romeo dan Juliet itu. "Kalau aku, tidak akan pernah
melepaskan pandanganku dari gadis yang kuajak berkencan," tutupnya.
Ia tidak banyak berkata lagi, dan segera membawa Maya pergi.
Pria itu berjalan menyusuri ruang rumah sakit. Kali ini kembali
orang-orang memperhatikan mereka walaupun pakaian keduanya tidak basah.
"Pak Masumi," Ujar Maya, menyatakan ketidaknyamanannya.
Tapi sekali lagi pria itu tampak tidak peduli. "kau mau menggunakan
kursi roda?" tanya Masumi.
"Bukan begitu..." tampiknya.
Namun ternyata kejutan sudah menanti mereka saat keluar dari sana.
Ada beberapa wartawan yang memotret mereka. Masumi, yang sedang
menggendong Maya. Mereka tampak ramai di luar halaman rumah sakit. Namun lampu
blitz nya tampak mencolok di tengah kegelapan malam.
Masumi kembali mengabaikannya. Namun Maya bisa merasakan dekapan pria itu
yang semakin erat dan hangat.
Pria itu lantas menaikkan Maya ke dalam mobil dengan hati-hati. Padahal,
menurut Maya sakitnya ini tidak seberapa. Hanya sedikit bengkak dan baret-baret
saja, mungkin besok atau lusa juga sudah sembuh.
Masumi meminta sopir mengantar ke kediaman Maya. Namun, seperti yang
Masumi duga, para wartawan itu menghentikan mobil Masumi.
Mereka mengetuk-ngetuk jendela, memberondonginya dengan berbagai
pertanyaan. Masumi yang tahu, hampir mustahil menghindarinya, lantas menurunkan
jendela setelah memberikan instruksi agar Maya jangan bicara dan jangan menatap
kamera mereka.
Maya bisa merasakan jepretan kamera yang menyerbu mereka saat masumi
menurunkan jendela. Mereka bertanya mengenai apa yang terjadi, bagaimana keadaan
Maya dan bagaimana Maya bisa berada bersama Masumi.
"Ya, nona Kitajima mengalami sedikit musibah tadi, kebetulan aku
sedang berada di tempat yang sama. Tidak, kami tidak pergi bersama. Sekarang
keadaannya sudah baik-baik saja, kakinya sedikit bengkak dan terluka namun
tidak ada yang parah, namun tetap saja dia harus beristirahat dan absen dari
latihannya untuk sementtara waktu. Tidak akan lama." Masumi menjawab satu per satu pertanyaan wartawan.
"Pak Masumi, apakah Anda yang menjaga dan mengantarnya? Apakah kalian
berhubungan dekat? Karena selama ini sepertinya tidak ada yang tahu
bahwa--"
"Sebagai orang yang mengenal Nona Kitajima tentu aku harus
membantunya saat dia terkena musibah kan? Kebetulan aku juga ada di sana.
Apalagi Nona Kitajima adalah salah satu calon pemeran Bidadari Merah, aku harus
tahu pasti bagaimana keadaannya. Karena apapun yang berkaitan dengan Bidadari
Merah, adalah kepentingan Daito, dan apapun kepentingan Daito adalah
kepentinganku," ujar Masumi sebelum menyudahi, "Sekarang permisi, aku
harus pergi mengantar Nona Kitajima sebelum terlalu larut, aku takut dia
terlambat pergi ke sekolah besok," Masumi tersenyum penuh canda.
Akhirnya mobil mereka berhasil kembali melaju setelah Masumi tidak lagi
berniat menjawab pertanyaan mereka.
Saat Masumi menoleh kepada Maya, ia sedikit terkejut, Maya sedang
mengerucutkan bibirnya dan mendelik dengan kesal.
"Apa?" tanya Masumi, dengan alis sedikit terjungkit. "Apa
kau sudah lama memasang wajah seperti itu? Wah... menarik, pasti wajah
memberengutmu itu besok akan muncul di koran ternama."
Maya menggesekkan giginya, "Aku ini sudah bukan anak sekolah!!"
Kata Maya. "Aku sudah lulus! Sudah dewasa!" tegasnya.
"Oh... jadi karena sudah lulus sekolah otomatis kau sudah dewasa?"
sindir Masumi.
"Ya! tentu saja! Aku sudah 20 tahun! Beberapa bulan lagi aku 21
tahun!! Itu usia yang cukup untuk menikah!" tegas Maya dengan kesal.
"Ahh... habis... di mataku kau masih saja seperti anak kecil! Aku
malah sedikit terkejut, saat tahu kau sedang berkencan ya, tadi..." ledeknya,
walaupun dalam hati Masumi merasa sakit.
Namun, reaksi Maya tidak seperti yang dipikirkan Masumi. Ia tidak
marah-marah, malahan, gadis itu membuang muka darinya, dan hanya diam saja.
Mungkin... dia malu karena masalah kencannya diungkit-ungkit?
Namun nyatanya, Maya sedih, Masumi masih saja menggoda dan
memperlakukannya seperti anak kecil. Dan... sebagai sebuah pekerjaan.
Apapun yang berkaitan dengan Bidadari Merah, adalah kepentingan Daito, dan
apapun kepentingan Daito adalah kepentinganku.
Ah, Maya... memangnya, kau mau dia menganggapmu apa? batin Maya. Kau sudah
tahu Pak Masumi hanya memikirkan Bidadari Merah. Dia sudah punya tunangan,
wanita yang sangat cantik dan pintar... Nona Shiori... wanita seperti itulah,
yang bisa dicintai Pak Masumi.
Hiks... Maya tiba-tiba saja terisak, tidak bisa menahan diri lagi saat
teringat Masumi dan Shiori. Membayangkan mereka... airmatanya turun semakin
deras.
"Mungil..!?" Masumi sangat terkejut. "Kau kenapa?"
tanyanya khawatir. "Kau kenapa, Mungil?"
Maya menunduk dan menggeleng, meminta airmatanya berhenti, tetapi tidak
bisa.
"Kenapa? Apa kau sakit? Kakimu sakit lagi?" tanya Masumi penuh
perhatian dan terdengar sedikit panik.
Pak Masumi... kenapa kau begitu baik, begitu perhatian kepadaku... kenapa
aku baru menyadari semuanya setelah terlambat... setelah kau... menjadi milik
orang lain...
"Mungil, katakan kepadaku, ada apa?" desak Masumi.
"Sakit...." isak Maya, dengan airmata bercucuran dan suara
bergetar. "Sakit..."
"Kakimu sakit? Mau kembali ke rumah sakit?" tanya Masumi.
"Kurota!!"
"Tidak!!" sergah Maya, seraya menggelengkan kepalanya saat
Masumi hendak memerintahkan sopirnya
kembali ke rumah sakit. "Tidak... usah..."
"Tapi, kenapa kau menangis?" Masumi menyentuh bahu Maya.
"Sebaiknya kita kembali saja jika--"
Maya menggeleng, menyandarkan dahinya ke lengan Masumi. "Tidak
apa-apa..." isaknya, "Hanya sakit... sedikit...”
Deg! Masumi terkejut. Mungil...? Pria itu tidak mengatakan apa-apa. Tanpa
bertanya, ia memeluk gadis itu, entah bagaimana, ia merasa itulah yang dibutuhkan
Maya.
Dan Maya tidak menolaknya. Ia membenamkan dirinya di dada Masumi.
"Sakit... sekali... Pak Masumi..." isak Maya.
Keluhan Maya kali ini, membuat Masumi menyadari sesuatu. Sepertinya, Maya
bukan mengeluh mengenai kakinya. Ia tidak tahu apa, namun Masumi mengeratkan
pelukannya.
Sementara Maya masih saja terisak. Airmatanya tak berhenti meluruh.
Ya Tuhan... Pak Masumi... Aku sangat.... Sangat mencintaimu....
Masumi bertanya-tanya dalam hatinya. Ada apa, hingga Maya begini sedih dan
murung. Sepertinya, Masumi bertanya pun, Maya tidak akan bercerita.padahal,
tadi ia masih melihat Maya tertawa-tawa dengan riangnya bersama Sakurakoji di
tengah makan malam mereka. Sekarang, Maya malah bergeming dalam pelukannya. Sangat
sedih dan mengeluh sakit.
Namun... Masumi memandang tangan Maya yang mengepal, menggenggam mawar
ungu dengan erat. Yang tidak dilepaskan tak peduli apa yang menimpanya.
Maya jatuh cinta, kepada si pengirim mawar ungu... Ucapan Kuronuma saat
itu kembali terngiang. Saat Maya berlari melintasi jalan raya yang ramai, demi
menyelamatkan sekuntum Mawar Ungu.
Maya... Jantung Masumi berdebar kuat. Tiba-tiba saja, tubuh pria itu juga
bergetar, menyadari rasa cinta Maya
yang teramat besar kepada Mawar Ungu.
Kepada... dirinya? Masumi Hayami dari Daito?
Tapi sangat tidak mungkin, ia tidak pernah bertemu penggemarnya itu,
dan... Mungkinkah Maya jatuh cinta pada sosok yang tidak dikenalnya? lantas,
bagaimana, jika Maya tahu bahwa sosok yang dikaguminya itu, adalah pria yang
sama dengan yang selama ini begitu dibencinya? Pria yang pernah menyebabkan
kematian ibunya.
Rasa pahit itu kembali menyapa Masumi, menyadarkannya kenapa selama ini
bersembunyi.
Maya...
Jiwa Masumi gelisah. Andai saja ia tidak gegabah dulu. Mungkin, semuanya tak
harus jadi rumit begini.
Sekarang, Maya juga jadi ikut menderita karena jatuh cinta pada sosok yang
tak dapat dijangkaunya. Namun, Masumi khawatir, jika ia tak mengungkapkan diri,
akting Maya akan terus terganggu. Sementara, jika ia mengungkapkan diri, maka,
mungkin Maya tidak akan pernah bisa lagi dijangkaunya, bahkan sebagai mawar
ungu.
Segera terbayang di kepala Masumi, bagaimana Maya akan berteriak
menolaknya, memakinya, dan tak akan mau apa-apa lagi darinya. Mungkin saat itu,
ia yang akan perlahan-lahan mati.
Tanpa sadar ia mengeratkan kembali pelukannya kepada Maya. Ternyata, gadis
itu sudah tak lg bersuara.
Maya tengah terlelap dalam pelukannya.
Keduanya tiba juga di kediaman Maya, "tolong bawakan
tongkatnya," pinta Masumi saat si sopir membukakan pintu.
Ia lantas dengan hati-hati menggendong Maya turun dari mobilnya.
Sejenak ia mengamati wajah tidur gadis itu saat membawanya ke dalam
apartemen. Cantik sekali. Ia ingin
melihatnya seperti ini setiap hari.
Masumi melangkah menaiki tangga. Sepertinya Rei mendengarnya. Ia segera
menyambut Maya.
Gadis tomboi itu terkejut! Bukannya Sakurakoji, malahan Masumi yang datang, dan
Maya berada dalam gendongannya. Memejamkan mata.
"Maya kenapa!?" tanya Rei spontan."Mana Sakurakoji?"
"Aku yang mengantarkan dan dia tertidur di dalam. Tubuhnya masih
lesu, harus banyak istirahat," terang Masumi.
Akhirnya Rei mempersilakan Masumi masuk.
Gadis itu dengan sigap menyiapkan futon Maya dan sementara itu, Masumi
memandangi Maya yang masih berada di gendongannya. Entah kenapa wajah polos
Maya saat tidur pun tampak sangat menarik untuknya.
Tanpa sadar Masumi tersenyum tipis, lembut, dan penuh cinta. Dan Rei
sempat melihatnya.
Gadis itu terenyak melihat Masumi yang mengamati Maya dengan tak biasa.
"Fu, futonnya sudah siap," kata Rei, sedikit canggung dan segan
karena merasa telah menginterupsi Masumi yang tampaknya tengah tenggelam di
dunianya sendiri.
Masumi tertegun, senyuman itu terhapus begitu saja. Ia segera menghampiri
futon itu. "Kruk Maya ada di sopirku," ungkap Masumi.
"Ah, ya, biar kuambilkan," ujar Rei. Ia baru saja hendak keluar kamar
saat teringat sesuatu. Ia diam. Memandang was was kepada Masumi.
Pria itu menyadarinya.
"Ada apa Rei? Kau tenang saja, aku tidak akan macam-macam, aku hanya
akan meniduri-- kan,nya!" koreksi Masumi cepat.
"Apa!?" rei terperanjat.
"Aku hanya akan membaringkannya di tempat tidurnya!" tandas
Masumi.
Rei menatap curiga, namun Masumi tampak kembali bergeming seakan-akan ia
tidak pernah salah bicara.
Akhirnya Rei pergi, keluar dari kamar itu dengan keyakinan Masumi tidak
akan macam-macam kepada Maya.
"Duh! Bicara apa aku tadi!" Rutuk Masumi pada dirinya sendiri.
Rasanya ia ingin memukul kepalanya sendiri dengan palu.
"Mmh..." Maya menggeliat, protes saat tidak lagi merasakan
kehangatan Masumi. Dan senyuman simpul yang sempat hilang dari bibir pria itu
kembali muncul. Gemas.
Masumi mengamatinya lagi, tanpa bosan. Ia mengusap pipi gadis itu, dan
wajah Masumi tanpa bisa ditahan, jadi merona, menatap penuh cinta.
"Mmh... Mawar... Ungu..." gumam Maya dalam tidurnya.
Masumi tertegun mendengar gumaman Maya.
Maya... pria itu bimbang. Apa kau benar-benar begitu mencintai Mawar Ungu?
Aneh, mungkin. Tapi Masumi sungguh sangat cemburu kepada Mawar Ungu.
Kepada dirinya yang tak bisa ia ungkapkan itu. Kenapa pria itu bisa mendapatkan
cinta Maya, tanpa harus menunjukkan dirinya. Kenapa Maya, tidak bisa
mencintainya yang berada di depan matanya.
Masumi mengamati lagi tangkai Mawar Ungu yang lusuh itu, yang digenggamnya
dengan erat. Masumi meraihnya, berusaha melepaskan bunga itu dari genggaman
Maya. Berhasil. Alis Maya tampak sedikit berkerut, mungkin kehilangan.
Maya... Masumi kembali memandanginya penuh cinta. Membuat gadis itu
menderita seperti dirinya bukanlah keinginan Masumi. Namun mengungkapkan jati
diri si Mawar Ungu pun tidak akan
menjadi solusinya. Mungkin Maya malah akan semakin menderita, karena ia akan kehilangan
tempatnya bergantung.
Masumi menghela napas putus asa.
Rei terkejut, melihat Masumi masih berlutut di samping Maya, mengamati
gadis itu dengan tatapan yang tidak dikenalinya. Jelas Masumi sedang memikirkan
sesuatu. Ia tak menyadari keberadaan Rei.
"Saya sudah ambil kruk-nya," kata Rei, meminta perhatian.
Masumi tertegun, menoleh. "Ah, ya," ia bangkit berdiri.
"Aku permisi kalau begitu," katanya dengan wajah datar.
Ada yang Rei tidak mengerti. Sesuatu, yang berbeda.
Masumi lantas melangkah keluar kamar Maya. Rei mengikutinya dari belakang.
"Kurasa kaki Maya tidak akan sakit terlalu lama, nanti dua-tiga hari
lagi minta Maya kembali ke rumah sakit. Masalah biaya tidak perlu
khawatir," imbuhnya.
Rei diam tidak menyahut, ada yang dipikirkannya. Dikhawatirkannya saat
melihat pria jangkung itu.
"Pak Masumi!" serunya, saat pria itu membuka pintu hendak
keluar.
Masumi terdiam.
"Sebenarnya ada apa!? Kenapa Anda begitu memperhatikan Maya!?"
tanya Rei.
Masumi tertegun, menelan ludahnya. Aku... perhatian...
"Mungkin, Maya memang terlalu polos. Namun, aku sebagai sahabatnya,
cukup lama merasa bahwa Anda memperlakukannya dengan cara berbeda!"
Masumi masih terdiam untuk beberapa saat sebelum memutuskan untuk berbalik
dan menatap Rei, "Apa maksudmu Nona Aoki?"
"Anda tahu benar apa maksudku. Anda selama ini, sepertinya selalu
saja merencanakan sesuatu untuknya, atau mengetahui banyak hal mengenai Maya.
Apa Anda memiliki niat tersembunyi kepadanya!? Katakan, Pak Masumi! Apa yang
Anda inginkan darinya? Apa masih tidak cukup apa yang telah Anda lakukan kepada
Maya?"
Niat tersembunyi, decak Masumi dalam hatinya.
"Aoki, jika aku menaruh perhatian kepada Maya, itu tentu hal yang
wajar. Dia adalah calon Bidadari Merah. Dan aku sebagai Direktur Daito, tidak
mungkin mengabaikan seorang maya kitajima."
"Itu saja? Apa Anda melakukan hal yang sama kepada Ayumi?"
"Ya tentu saja. Bagiku, semua calon pemeran sandiwara Bidadari Merah
sama pentingnya." tandas Masumi.
"Anda juga akan menggendong Ayumi jika kakinya sakit!?" Rei memicingkan
matanya, tidak percaya.
"Tentu saja, jika dia sakit di dekatku."
"Pak Masumi, jika anda, niat macam-macam kepada Maya, Anda harus
ingat, bahwa Anda akan berhadapan dengan semua anggota teater Mayuko! Dulu kami
membuat kesalahan dengan membiarkan Maya berjuang sendirian. Tapi kali ini,
kami tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi."
"Menyentuh sekali," ujar Masumi. "Aoki, boleh aku tahu satu
hal mengenai Maya?"
"Maya?" Rei tertegun.
"Ya. Apa pendapat Maya mengenai penggemarnya itu? Sebesar apa arti
Mawar Ungu baginya?"
"Kenapa Anda mau tahu? Dan kenapa aku harus memberitahumu!?"
Seharusnya Masumi tahu, tidak akan mudah bertanya kepada Rei.
"Aku hanya ingin tahu. Dia penggemar Maya sejak dulu kan? Mungkin,
siapa tahu, aku punya petunjuk mengenai siapa orangnya. Relasiku sangat
banyak."
"Memangnya, jika Anda tahu, Anda akan membantu Maya?" tanyanya
sangsi.
"Aoki, aku hanya bertanya tanpa maksud apa-apa. Saat aku
menyelamatkan Maya, dia sedang menggenggam mawar ungu. Dan dia sama sekali
tidak melepaskannya, menggenggamnya erat sampai aku melepasnya dari
genggamannya. Aku hanya penasaran saja, kenapa gadis itu sampai bisa seperti
itu," Masumi beralasan.
Sepertinya Rei percaya. "Pak Masumi, Mawar Ungu adalah orang yang
sangat penting bagi Maya. Walaupun dia memiliki kami, para sahabatnya, punya Bu
Mayuko, teman-teman sekolahnya, lawan mainnya, juga pernah memiliki banyak
sekali penggemar, namun Maya sering sekali berkata, bahwa dia tidak punya
siapa-siapa, dia hanya memiliki Mawar Ungu, itulah arti Mawar Ungu bagi Maya.
Hampir mendekati segalanya. Mungkin, hanya Mawar Ungu yang mampu menyita
perhatian Maya selain akting," ungkap Rei.
Masumi terpaku mendengar penjelasan Rei, HAMPIR MENDEKATI SEGALANYA.
Bagi Maya, Mawar Ungu... segalanya.
Pria itu menelan ludahnya. Ia sungguh tidak pernah mengira, akan berperan
begitu penting bagi Maya. Bahwa Maya memikirkannya sejauh itu. Bahwa Maya menyimpan
perasaan semendalam itu.
Akhirnya Masumi berpamitan.Namun, perkataan Rei terus terngiang di kepala
Masumi.
Bagi Maya, dirinya sebagai mawar ungu, amat berarti bagi gadis itu.
Benarkah? Mungkinkah> Gadis itu sudah jatuh cinta kepada Mawar Ungu?
Masumi gelisah sendiri di atas tempat tidurnya. Teringat Maya.
Ingat gadis itu yang memeluknya. Ingat gadis itu terlelap dalam
gendongannya.
Maya... wajah pria itu merona hangat.
Padahal, saat kembali dari Lembah Plum, Masumi sudah memutuskan, akan
menganggap apapun yang telah terjadi di sana hanyalah sebatas mimpri belaka.
Bahwa ia harus menjalani kenyataannya, bertunangan dengan Shiori, memperkuat
kekuasaan Daito, dan melupakan Maya.
Tidak mempedulikan gadis itu lagi.
Tetapi, saat menyadari perasaan mendalam Maya kepada Mawar Ungu, Masumi
jadi berharap kembali.
Mungkinkah, ada sedikit saja kesempatan bagi Masumi mewujudkan
permohonannya kepada bintang jatuh?
"BRUSSTT!!!" Masumi menyemburkan kembali kopi panas yang
diminumnya.
Mizuki sungguh terkejut. Bosnya itu, tanpa basa basi segera menenggak kopi
yang ia suguhkan. "Pasti sangat panas," ujar Mizuki, sementara Masumi
mengusap bibirnya dengan saputangan.
Kopi yang menyembur dari bibirnya tampak membasahi beberapa berkas
penting, yang sejak tadi ia tinjau tanpa ada kemajuan. Rambut Masumi pun, tidak
tersisir serapi biasanya. Dan, Tampaknya Masumi mengenakan dasinya dengan
terbalik?
Mizuki mengamati takjub bosnya itu.Sangat jarang, hampir tidak pernah
terjadi, Masumi berpenampilan berantakan. Apa dia tidak berkaca? Atau—
"Boleh aku tahu, kenapa kau mengamatiku dengan tatapan tidak
wajar?" tanya Masumi.
Mizuki tertegun, tidak menyadari bahwa ia sempat tenggelam dalam
lamunannya sendiri.
"Pak Masumi, apakah ada sesuatu mengenai Maya Kitajima yang Anda
pikirkan?"
"Hah!? APA!?" Masumi berseru lebih keras dari yang ia maksudkan.
Ia sangat terkejut Mizuki menyebutkan
nama gadis yang sejak kemarin mengisi kepalanya.
Dan, tidak seperti biasa, ada sedikit raut kemalu-maluan yang menghias
wajah pria jantan itu. Mizuki jelas sangat terkejut.
"Maya Kitajima," kata Mizuki.
Jantung Masumi kembali berdebar lebih cepat dan sedikit salah tingkah.
"Maya Kitajima," ulang Mizuki, "Maya Kitajiam!"
katanya sekali lagi.
"Kau ini...! Apa maksudmu?"
Alis Mizuki terangkat. "Anda marah?"
"Apa maksudmu menyebut-nyebut namanya terus?" Masumi berdecak.
"Nama siapa?" Mizuki menguji.
"Nama..." Masumi menurunkan pandangan grogi, "...nya!"
Sekretaris itu ingin sekali terbahak melihat Masumi yang tampak salah
tingkah.
"Pak Masumi, apakah ada sesuatu, yang mengganggu Anda? Banyak dari
berkas-berkas itu yang mendesak harus Anda beri keputusan, dan tampaknya
beberapa harus saya ketik ulang karena kelakuan Anda. Jadi—"
"Ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan," Masumi kembali
berwajah datar.
"Jelas ada, nyatanya pekerjaan Anda tidak ada yang selesai, terlebih,
sekarang sudah jam istirahat. Jangan lupa Anda ada janji makan siang dengan
tunangan Anda."
Tunangan... Segera terbayang wajah Shiori. Semalam ia sudah mengakhiri
kencan mereka yang belum sempat dimulai. Dan seharusnya, hari ini mereka makan
siang untuk menggantinya. Namun... Masumi enggan. Ia sedang asyik memikirkan
Maya. Menikmati sedikit saja rasa bahagianya karena Maya sudah jatuh cinta
kepada dirinya--meskipun gadis itu tidak menyadarinya dan tidak bermaksud
demikian, namun sungguh, itu sudah membuat Masumi termata bahagia.
"Baiklah! Cukup, Pak Masumi! Saya tidak akan menghabiskan hari ini
dengan mengamati Anda melamun tanpa bekerja." tegas Mizuki. "Katakan,
apakah ada yang bisa saya bantu agar pekerjaan Anda segera selesai?"
Masumi tertegun kembali. "Bisa dimulai dengan meminta maaf kepada
pihak Shiori dan mengatakan bahwa aku tidak bisa berkencan dengannya hari
ini?" pinta Masumi.
=//=
"Apa? Jadi... tidak bisa?" SHiori terdengar kecewa saat Mizuki
menghubunginya.
"Ya. Pak Masumi ada keperluan mendadak, beliau benar-benar meminta
maaf telah mengecewakan Anda. Sebagai tanda permintaan maaf, PAk Masumi akan
mengirimkan buket bunga favorit Anda," kata Mizuki.
Dan basa basi lainnya. Shiori sudah mulai hapal, dan ia sangat kecewa.
Bukannya Shiori tidak mau mengerti. Ia jelas mengerti bahwa Masumi adalah
seorang pengusaha sukses, jabatannya penting, urusannya banyak. Semua pria di
keluarga Shiori juga seperti Masumi. Sibuk!
Namun, Shiori sering sekali merasakan keberadaan Masumi yang tidak di
tempatnya. Ia selalu menerawang jauh, memikirkan sesuatu yang Shiori tak tahu.
Pikirannya berada di tempat yang tak bisa didatangi Shiori.
Terlalu banyak teka-teki dari sang calon suami, dan itu meresahkan Shiori.
Terutama... walaupun Masumi bersikap
teramat baik kepadanya semenjak pertama kali bertemu dahulu, namun Shiori masih sering dilintasi
kecurigaan. Walaupun kata-kata manis Masumi seringkali dengan cepat melelehkan hatinya, namun perasaan tak tenang itu
masih sering hadir menghampiri Shiori.
Masalahnya, ia sudah sangat jatuh cinta kepada Masumi. Pertama kali, dan
satu-satunya. Shiori sudah menyerahkan
seluruh hatinya ke genggaman Masumi. Namun, kenapa ia masih merasa, Masumi sangat membatasi diri
darinya? Dan hati ini, ada hal lain yang merisaukannya.
Dipandanginya koran hari ini, memperlihatkan Masumi yang menggendong Maya
keluar dari rumah sakit. Sangat perhatian.
Maya Kitajima... sekarang hati Shiori jadi sering merasa tak tenang dan
gelisah, semenjak ia melihat album foto pementasan Maya di villa pribadi Masumi.
Sesungguhnya ada apa? Kenapa Masumi begitu menaruh perhatian kepada gadis
mungil yang selalu terlihat memusuhinya
itu? Intuisi Shiori yang sensitif, mengatakan, ada sesuatu yang berarti dan penting, yang Masumi sembunyikan
darinya. Dan, Maya Kitajima tampaknya memegang
peranan penting dalam hal ini.
"Pak Masumi, apa Anda sadar, bahwa apa yang Anda lakukan kemarin
menarik perhatian banyak orang?" tanya Mizuki seraya menunjuk ke arah
surat kabar yang memuat saat Masumi menggendong Maya, dan ada banyak. Sebagian
besar tentu tidak mengaitkannya dengan asmara, rata-rata bertanya kenapa Masumi
begitu perhatian. Apakah itu salah satu triknya demi Bidadari Merah?
"Aku tidak merisaukannya," kata Masumi, perlahan.
"Ya, tapi... saya bisa menyimpulkan, Anda semakin tidak awas dengan
sekeliling Anda."
"Saat itu dia jatuh, ke dalam air laut yang dingin! Kau tidak ada di
sana--"
"Tidak. Tapi saya tahu ceritanya. Semua orang tahu. Maya sedang
berkencan dengan Sakurakoji. Pemuda itu
juga datang ke rumah sakit kan? Namun tetap pada akhirnya dia pulang
sendiri," Mizuki menunjuk satu gambar yang memperlihatkan Sakurakoji
keluar dari rumah sakit dan pulang dengan motor sendiri. "Padahal, Anda
sudah tidak harus mengurusinya lagi," imbuhnya.
Masumi hanya terdiam. Inginnya juga demikian. Namun apa daya, ia tidak
rela membiarkan Maya kembali dengan Sakurakoji, namun untunglah keputusannya
tepat. Semalam mereka berpelukan, Maya tidur dalam dekapannya. Itu sangat
berharga. Tanpa sadar, Masumi kembali merona dan tersenyum tipis... Maya
mencintaiku... batinnya.
"EHEM!!" Mizuki mengganggu.
"Ya!?"
"Bukan Ya, Pak Masumi, tapi apa yang harus kita lakukan agar Pak
Masumi bisa kembali konsentrasi bekerja?"
"Aku selalu konsentrasi!" Masumi tidak suka kapabilitasnya
diragukan.
"Ya. Konsentrasi pada hal lain, saya yakin, jika melihat Anda
memasang dasi Anda terbalik, dan itu sudah terjadi sejak pagi tadi."
"Eh!?" Masumi menunduk cepat. Dan benar saja, dasinya memang
terbalik, dia berdeham dan mulai membereskan dasinya.
Mizuki hanya mampu menahan tawanya.
"Bagaimana keadaan Maya?"
"Ya.. hmm... kakinya bengkak, tapi dokter bilang tidak akan lama, ia
bisa berlatih lagi. Tidak ada cedera parah, untungnya."
"Saya lega," Mizuki menghela napas.
Kembali keduanya terdiam, Masumi masih mengurusi dasinya beberapa lama.
Sepertinya benar-benar tidak konsesntrasi hingga memasangnya begitu lama,
padahal biasanya dia bisa memasang tanpa melihat dan selalu rapi licin.
"Mizuki," kata Masumi akhirnya. "Jika... ada yang
mengatakan, Maya, jatuh cinta kepada si pengirim Mawar Ungu, apakah... itu
mungkin?" tanya Masumi, dengan wajah sendu dan tanpa memandang Mizuki.
Ia lantas memutar kursinya, beranjak melihat pemandangan di luar, Tokyo.
Mizuki tersenyum tipis. "Saya sama sekali tidak terkejut
mendengarnya, Pak Masumi... dan jika Anda bertanya apa itu mungkin? Maka
jawabannya. Sangat mungkin... Saya tahu itu, Pak Masumi."
Masumi tertegun, matanya sedikit melebar. Gelisah. Dan berharap.
"Menurutmu begitu?"
"Ya."
"Tapi, bagaimana mungkin? Itu mustahil kan? Dia tidak pernah bertemu!
maksudku, dia tidak tahu siapa orangnya! Bagaimana kepribadiannya! Tidak
mungkin dengan butanya Maya bisa jatuh cinta kepada orang itu!"
"Kenapa tidak?"
"Apa yang membuat Maya jatuh cinta kepadanya!?"
"Ketulusannya! Dukungannya! Kepercayaannya! Dan kebaikan
hatinya!"
"Kebaikan hati!" Masumi berdecak. "Dia bahkan tidak tahu
diri Mawar Ungu yang sebenarnya! Aku, tidaklah sebaik itu!"
"Atau mungkin, Anda, yang tidak mengenal diri Anda yang sesungguhnya?
Berhentilah menyebut Mawar Ungu
seakan-akan dia itu orang lain. Kau adalah Mawar Ungu, Pak Masumi!"
Masumi tidak menentang.
"Jangan terlalu keras kepada diri sendiri, Pak Masumi, dan Anda akan
bisa melihat, Maya tidak jatuh cinta
tanpa alasan."
Benarkah demikian? Benarkah masih ada harapan untuknya mewujudkan impian?
Masumi terdiam cukup lama untuk menimbang, Meyakinkan dirinya. Sampai
kemudian, ia tiba pada sebuah keputusan.
Maya tidak berselera menghabiskan makan malamnya. Ia menghela napasnya
tipis.
"Ada apa?" tanya Rei yang berada di hadapannya.
"Tidak apa-apa Rei... Aku hanya..."
"Tadi saat aku berangkat kerja, kau juga bengong terus seperti ini.
Setelah aku pulang kerja, kau juga bengong begini, ya ampun Maya, apa kau
menghabiskan harimu dengan bengong?"
"A, aku, tidak..."
"Kau memikirkan Pak Masumi?" tembak Rei.
Maya terkesiap. Bagaimana Rei bisa tahu? Memang, sejak semalam, Maya tidak
bisa lupa pada Masumi. Pria itu telah menolong nyawanya. Memeluknya, maya
bahkan tertidur dalam dekapannya. Mengingat hal itu membuat wajah Maya
menghangat. Apalagi Rei mengatakan bahwa Masumi yang sudah membawa Maya dan
membaringkannya di futon. Teringat pria itu sempat masuk ke kamarnya, membuat
Maya sedikit rikuh dan juga malu. Tapi bahagia, karena Masumi telah melakukan
banyak hal untuknya.
"Apa mengenai pemberitaan di koran? Bahwa pak masumi sedang menyusun
siasat untuk mendekatimu yang calon pemeran Bidadari Merah?" tanya Rei.
"Tidak!" tampik Maya cepat. "Aku yakin, Pak Masumi tidak
memikirkan hal itu!" belanya.
Rei tampak sedikit terkejut melihat pembelaan Maya.
"Lalu, apa yang kau pikirkan?"
"Tidak ada..." gumam Maya pelan. Padahal, gadis itu sedang
senang dengan semua kebaikan Masumi dan
juga, kenyataan pria itu tetap menjaganya walau sebetulnya sedang berkencan
dengan tunangannya, membuat Maya benar-benar senang.
Maya sempat berpikir Masumi akan membuangnya setelah pertunangan itu,
namun ternyata tidak begitu...
"A, aku hanya.... memikirkan pementasan Bidadari Merah, aku kecewa,
karena harus absen latihan untuk
beberapa hari ke depan." Maya berkilah.
"Sudahlah, mereka pasti mengerti." Kata Rei. "Sekarang yang
penting makan dulu makan malammu, jangan terlalu banyak melamun," kat Rei.
"Ya. Baiklah."
Maya sedang makan malam saat ketukan di pintu itu terdengar.
"Biar kubukakan," kata Rei.
Gadis tomboi itu sedikit terkejut, mendapati seorang pria berdiri di sana.
Sakurakoji Yuu.
"Apa aku mengganggu?" tanya Sakurakoji.
"Tidak, tidak mengganggu." tampik Rei, "masuklah." Ia
lantas berteriak kepada Maya. "Maya, ada Sakurakoji!" katanya.
"Dan..." mata gadis itu terbeliak lebih lebar, "Pak Masumi...
Hayami..."
Sakurakoji juga terkejut, ia menoleh ke tangga dan mendapati pria
menjulang itu sedang berjalan ke arah mereka.
Pak Masumi? Sakurkaoji tertegun. Kenapa Direktur Daito itu datang ke sini?
Masumi bisa melihat, ada Sakurakoji di sana. Saat mobilnya sampai di
kediaman Maya, ia bisa melihat ada motor Sakurakoji di sana. Awalnya, Masumi
bermaksud membatalkan niatnya menemui Maya, namun tiba-tiba saja ia kesal
sendiri. Kenapa ia harus selalu mengalah? Ia direktur Daito. Ia akan menemui
siapa pun yang ingin ia temui.
"Selamat malam," sapa Masumi dengan suara jantan dan tenangnya.
"Pak Masumi, Anda... ke sini?" tanya Sakurakoji.
"Ya. Kau juga sepertinya ke sini," ia menekankan bahwa
keberadaannya di apartemen sama wajarnya dengan keberadaan pemuda itu.
"Selamat malam," sapa Maya. Ia lantas ternanap, melihat ada pria
yang dipikirkannya seharian. Ia tidak begitu pandai menyembunyikannya.
Jantungnya jadi berdebar lebih keras dan pipinya sedikit menghangat.
"Ayo, silakan masuk," ajak Rei.
Apartemen mereka yang tidak begitu besar, jadi terasa agak penuh dengan
kedatangan kedua pria itu, terutama Masumi.
"Biar kuambilkan minum," kata Rei.
Keduanya duduk di meja, terdiam. Maya duduk berhadapan dengan Masumi
sementara Sakurakoji di sisi yang satunya.
"Pak Masumi, ada apa?" tanya Maya, sedikit terbata. Ia tak
mengira Masumi yang sangat sibuk meluangkan waktu menjenguknya. "Anda...
tidak bekerja?" tanyanya.
Memang, tidak biasanya Masumi keluar dari kantor secepat ini. Namun khusus
untuk hari ini Masumi sudah berpikir untuk meluangkan waktu bertemu Maya,
setelah obrolannya dengan Mizuki. Ia jadi semakin merindukannya.
"Aku baru pulang dari kantor," terang Masumi.
"Ada salam dari teman-teman, mereka merindukanmu," kata
Sakurakoji.
"Oya?" pandangan Maya beralih kepada Sakurakoji, "terima
kasih, aku juga merindukan mereka."
Masumi jadi merasa kesal, karena tidak dihiraukan.
"Aku juga sudah rindu, ingin latihan lagi,"
ujar Maya.
"Silakan," Rei menyajikan minum. Ia
beralih kepada Masumi. "Apa Anda juga datang untuk membicarakan Bidadari
Merah?" tanyanya.
"ya, begitulah," jawab Masumi cepat. "Aku
ingin memastikan semua hal mengenai Bidadari Merah baik-baik saja,"
imbuhnya.
Maya kembali menatap Masumi. Jantungnya selalu saja
berdebar lebih cepat tiap kali bertatap muka dengan
pria tampan itu. Te-te-rima kasih, ucapnya tergugup, padahal hanya dalam hati.
Entah
mengapa, Maya tak sanggup mengatakannya, juga memandang Masumi lama-lama.
"Ayo diminum," akhirnya Rei kembali
bicara, setelah kesunyian yang asing di antara mereka berempat.
Sakurakoji dan Masumi kemudian meminum teh mereka,
sembari memikirkan apa yang harus dibicarakan.
"Oh ya," ujar kedua pria itu bersamaan
mengajak Maya bicara. Lantas keduanya tertegun, saling memandang.
"Silakan, Anda duluan," tawar Sakurakoji.
Masumi tidak berbasa basi dan segera bicara. "Apakah kakimu masih
sakit? Atau ada keluhan lain lagi?" tanyanya. Agar tidak berkesan terlalu
perhatian, ia menambahkan, "maksudku, apa latihanmu tidak akan tertunda
terlalu lama, bagaimana pun kondisimu jangan sampai menghambat, hingga aktingmu
dan grupmu tidak dapat berkembang."
"Pak Masumi! Aku yakin baik Maya atau siapa pun tidak ada yang ingin
jatuh sakit dan mengganggu jadwal latihan," tiba-tiba Yuu kembali angkat
bicara.
"Lagipula, jadwal kami tidak terhambat, banyak adegan-adegan lain
yang dapat kami latih selagi menunggu Maya sembuh. Jika hanya 2-3 hari saja,
sama sekali tidak masalah!" tandasnya.
"Dua tiga hari?" tanggap Masumi dingin. "Setahuku, sudah
berhari-hari aktingmu kacau dan mengganggu latihan," ia berkata tajam
karena kecemburuan.
"Apanya yang tidak mengganggu?"
Maya tertegun, sedih mendengarnya.
Tiba-tiba Masumi merasa bersalah dengan apa yang dikatakannya saat melihat
raut wajah Maya.
"Maksudku, akan lebih baik jika--"
"Memangnya, apa urusannya denganmu?" tanya Rei yang akhirnya
kembali bicara. "Bukankah keuntungan bagimu jika Maya sampai tidak bisa
berakting? Itu artinya Ayumi unggul dan kemungkinan Daito untuk mendapatkan hak
pementasan Bidadari Merah lebih besar kan?" tembaknya.
"Apa benar Pak Masumi, Anda datang hanya untuk menekan Maya?"
tanya Sakurakoji yang mulai terdengar geram.
Masumi baru saja hendak membela diri saat Maya menukas,
"Sudahlah," katanya. "Pak Masumi yang menolongku saat aku jatuh,
bahkan, bahkan, mengantarku sampai ke sini. Baik Pak Masumi datang karena
merasa khawatir... atau... hanya ingin melihat keadaan aktris yang berkaitan
dengan Bidadari Merah, aku... mengucapkan banyak terima kasih untuk
perhatiannya..." gadis itu yang akhirnya melakukan pembelaan.
Rei, Sakurkoji, termasuk Masumi, sangat terkejut mendengar pernyataan
Maya.
Bukan rahasia, biasanya Maya yang paling berpikiran buruk mengenai niatan
Masumi kepadanya. Maya adalah gadis terakhir yang akan mempercayai perkataan
dan niat Masumi. Biasanya. Namun hari ini tidak begitu. Maya malah membelanya,
Dari Rei, dan dari Sakurakoji.
Jangan dipertanyakan, Masumi jelas merasa senang sekaligus heran.
"Ya, aku memang khawatir," katanya, kali ini lebih lembut.
"Karena aku tahu benar begaimana keadaanmu malam itu, aku hanya ingin
memastikan saja, semuanya sudah lebih baik."
"Sudah lebih baik," balas Maya perlahan, "Te-terima
kasih."
Masumi lega mendengarnya. "Baiklah, kurasa sudah saatnya aku pulang.
Aku hanya ingin memastikan itu saja. Oh, ini," ia menyerahkan buket bunga
yang dibawanya. "Semoga lekas sembuh."
Maya menatap buket bunga yang bukan Mawar Ungu itu. Hatinya sedikit sendu,
memikirkan kapan ia akan mendapatkan Mawar Ungu dari tangan Masumi sendiri.
Masumi beranjak berdiri, setelah mengangguk tipis kepada Sakurakoji dan
Rei. Sebetulnya ada beberapa hal yang ingin ia bicarakan dengan maya, namun ia
tidak memperhitungkan keberadaan koji dan Yuu sebelumnya.
"Kuantar!" ujar Maya spontan, membuat Masumi terkejut.
"Kakimu masih sakit kan?" tolak Masumi.
"Tidak, tidak sakit! Aku bisa berjalan tanpa kruk sekarang!
Bengkaknya juga sudah lebih baik," Maya meringis, tertatih mencoba
berdiri.
"Maya! Tidak apa-apa?" yuu segera membantunya, meraih lengan
atas Maya. Dengan segera rahang Masumi mengeras melihatnya.
"Tidak, tidak, aku tidak apa-apa," kata gadis mungil itu, yang
sekarang sudah berdiri, dengan dipegangi Sakurakoji.
Masumi masih kesal dengan bebasnya Sakurakoji memberikan perhatian dan tidak
ada yang mempertanyakan.
Maya terpincang-pincang mengantar Masumi ke pintu.
"Sudah di sini saja," kata Masumi. "Kau tidak perlu
mengantar sampai bawah."
"Tapi Pak Masumi--"
"Sudahlah," ia menyentuh bahu Maya perlahan. "Kau masuk
lagi saja."
Gadis itu menggigit bibirnya tipis dengan tak kentara. Dadanya kembali
berdebar keras karena sentuhan Masumi.
"Ba, baiklah. Hati-hati di jalan."
"Terima kasih," Masumi tersenyum tipis. "Semoga kau segera
sembuh."
Maya mengangguk. "Pak Masumi... apakah... apakah hanya karena itu,
Anda datang menemuiku?" tanya Maya akhirnya.
Sejenak pria itu terdiam, menimbang. "Bukan hanya itu," ia
berkata. "Mungil... ada yang ingin kutanyakan. Kau... saat itu terjatuh
karena Mawar Ungu kan? Apa... dia... dia begitu berarti bagimu? Maksudku, kau
sampai tidak menghiraukan--"
"Dia sangat berarti bagiku, Pak Masumi!" ujar Maya dengan sangat
tegas, seraya menatap Masumi lekat. "Dia... orang paling berarti
bagiku!"
Maya.... Masumi menelan ludahnya, "Benarkah begitu? Aku... jujur
saja, tidak pernah mengerti dengan hal-hal sentimentil seperti itu. Tapi
menurutku, ada baiknya, ketimbang kau memikirkan orang yang tidak pernah kau
temui, kau harus lebih berhati-hati dan waspada. Jangan ceroboh," katanya.
"Karena, bisa saja, setelah semua pengorbananmu, ternyata kau akan sangat
kecewa, saat tahu orang itu tidak sesuai harapanmu!"
"Aku tidak mungkin kecewa! Siapa pun dia, bagiku... bagiku, Mawar
Ungu adalah orang yang paling istimewa
dan berarti. Aku tidak peduli seperti apa dia dan apa yang orang katakan
mengenainya," tangan Maya mulai bergetar, suaranya juga. "Aku akan...
melakukan apa saja untuknya. Apapun, yang dia minta dariku, untuk membalas
semua kebaikannya. Akan aku lakukan."
"Bagaimana jika dia... meminta balasannya... untuk seumur
hidupmu?" tanya Masumi, tanpa melepaskan tatapannya dari Maya.
"Jika... dia...?" Mata gadis itu melebar, menatap Masumi sedikit
bingung, namun berlawanan dengan itu, ia menjawab pasti. "Akan kupenuhi.
Seumur hidupku, aku akan mengabdi kepadanya, menjadi... miliknya."
Maya... remasan Masumi di bahu Maya terasa sedikit kentara. Jantung pria
itu berdebar kuat mendengar jawaban Maya. Gadis itu mengatakan akan melakukan
apa saja untuk Mawar Ungu? Untuknya?
bahkan jika harus mengabdikan sisa hidupnya?
Masumi sungguh tidak mengerti, darimana cinta Maya yang begitu dalam itu
bisa tumbuh? Cinta yang membuat Masumi merasa gila, jika tidak bisa
memilikinya.
"Maya, Pak Masumi, kalian masih di sini?" tanya Rei, yang
terkejut melihat keduanya masih bersama. "Sakurakoji mengkhawatirkanmu,
karena itu aku mengecek, dan ternyata..." ia berhenti bicara, saat melihat
kedua orang itu bergeming, seraya memandang ke mata masing-masing.
"Baiklah, aku pergi," pamit Masumi sekali lagi, menurunkan
tangannya.
"Kuantar," pinta Maya sekali lagi, setengah memelas. "Anda
sudah sangat membantuku kemarin. Jadi setidaknya, biarkan aku mengantarmu
sampai bawah."
"Tidak, tidak usah. Nanti aku malah harus menggendongmu naik lagi ke
sini, jadinya tidak akan selesai urusan kita," Masumi tertawa.
Sedangkan Maya hanya terdiam. Masumi memang menolaknya.
"Baiklah Rei, selama malam," kali ini Masumi berpamitan kepada
Rei. "Semoga lekas sembuh," kepada
Maya.
Ia berbalik dan menuruni tangga.
Maya masih menunggu beberapa lama, mengamati punggung kokoh itu menghilang
di balik pintu.
"Maya!!" tegur Rei, menyadarkan aktris muda itu dari lamunannya.
"Sakurakoji menunggumu," katanya.
"Ah, ya..." Maya tersadar. "Sakurakoji..."
***
Sakurakoji menyadari sesuatu selama ia berbincang bersama Maya tadi. Gadis itu,
tampaknya lebih banyak melamun dan tengah memikirkan sesuatu. Yuu sudah
bertanya ada apa, tapi Maya hanya mengatakan tidak ada apa-apa seraya tersenyum
riang. Sepertinya ada sesuatu.
Dan bukan hanya itu keanehannya. Yuu bertemu Masumi yang datang menjenguk
Maya. Masumi? Masumi Hayami dari Daito? Berita itu sudah santer beredar di
surat kabar mengenai Masumi yang melakukan pendekatan kepada Maya sebagai calon
Bidadari Merah. Walaupun itu benar, namun Yuu benar-benar heran dengan masumi
yang sungguh tampak perhatian, dan yang lebih mengherankan, Maya tampak tidak keberatan.
Ia tidak marah, tidak menolak, atau berontak. Maya terlihat....
Sakurakoji menelan ludahnya, sebagaimana ia mencoba menelan kembali
pemikirannya. Maya gadis yang polos. Ia pasti hanya berterima kasih untuk semua
yang sudah Masumi lakukan, tidak lebih. Namun... motif Masumi yang sesungguhnya,
itu yang harus dikhawatirkan.
Dan kekhawatiran yang sama juga menghampiri Rei.
Tidak mungkin Maya tidak membaca semua pemberitaan yang beredar mengenai
keduanya setelah wartawan--banyak, wartawan--memasang foto mereka pada hari
itu. Namun sikap Maya sangat berbeda.
Sepertinya, amarah gadis itu benar-benar hilang tak brbekas. Dan adegan itu
tadi, di depan apartemen mereka... saat Masumi menyentuh pundak Maya, dan
keduanya berpandangan. Apa yang mereka bicarakan.
Rei mengamati Maya yang tengah menaruh bunga bawaan Masumi ke dalam sebuah
vas. Gadis itu tampak mengaguminya.
"Maya," panggil Rei. "Entah ini urusanku atau bukan...
namun.. apakah Pak Masumi mengatakan sesuatu kepadamu?"
"Mengatakan sesuatu.. apa?"
"Bagaimana aku mengatakannya... maksudku, sepertinya, dia bersikap
lain... ya, kau juga, kalian bersikap lain, sangat berbeda dari biasanya,"
"Benarkah?" wajah gadis itu bersemu. "Tidak kok, aku-- sama
saja..."
"Sama saja? Tidak ada usiran, tidak ada teriakan dan protes,
sepertinya tidak sama.... Maya, apakah Pak Masumi melakukan sesuatu kemarin
kepadamu saat--"
"Me, melakukan sesuatu? Melakukan seusatu apa Rei?" wajah Maya
bersemu sangat banyak, rikuh, ia menyilangkan kedua tangannya di dada,
"Pak, Pak Masumi tidak melakukan apa pun... ka, kami tidak melakukan
apapun..." tampik Maya dengan salah tingkah, dan membuat Rei jadi sangat
keheranan.
"Ya, Maya, ehm!! Maksudku...Apakah dia mengancam, mengintimidasi atau
melakukan hal lainnya?"
"Eh? Umh... tidak..." gumam Maya seraya menggeleng malu.
"Oh... begitu," Rei berkata perlahan. "Aku... hanya
khawatir kepadamu. Aku takut, Pak Masumi merencanakan sesuatu kepadamu. Berhati-hatilah
Maya..."
"Tidak, Rei, Pak Masumi..." Maya terdiam, dan melanjutkan dalam
hatinya. Pak Masumi... orang yang
sangat baik. Ia tidak akan menyakitiku.... "Rei... apakah... apakah...
menurutmu aneh, uhm.. jika... uhm... aku, eh, maksudku... jika perempuan
memberikan hadiah kepada seorang laki-laki? Uhm... anu... maksudku... untuk berterima
kasih? anu..."
"Eh?" Rei menangkap sikap canggung dan salah tingkah Maya.
Memberikan hadiah, kepada laki-laki untuk berterima kasih? Rei teringat, bahwa
kemarin malam saat tragedi itu terjadi, Maya tengah berkencan dengan
Sakurakoji. Mungkin, Maya sedang memikirkan pemuda itu. "Kurasa tidak
masalah..." kata Rei. "Kalau dia sudah bersikap baik kepadamu, tidak
ada salahnya kau membalas, malahan, bisa jadi dia merasa senang..."
"Benarkah!? Jadi... tidak apa-apa ya...?"kata Maya, dengan wajah
yang kembali merona dan senyum kemalu-maluannya kembali.
Ia menatap bunga yang dikirim Masumi dan berpikir, Hadiah apa... yang
sekiranya akan membuat senang seorang
direktur Daito?
Masumi gelisah sendiri di kamarnya, tidak bisa melupakan Maya yang,
menurutnya, bersikap begitu manis. Ia menyadari sikap gadis itu yang berbeda.
Mungkin karena dia merasa berterima kasih? Walaupun Maya selalu bersikap
memusuhi, Masumi tahu benar Maya bukan gadis yang tidak tahu terima kasih.
Hanya saja, biasanya Maya bersikap sinis dan curiga kepadanya.
Namun, sudah dua hari ini, Maya lebih pendiam, dan dia... bersikap lebih
tenang di dekatnya. Masumi jadi gelisah memikirkannya. Ia begitu tidak terbiasa
diperlakukan dengan baik oleh Maya. Alhasil, sekalinya hal itu terjadi,
perasaannya menjadi tidak menentu. Senang, tepatnya bahagia, mungkin juga
berharap, menjadi sedikit besar kepala, mungkin saja. Mungkin... walaupun hanya
sedikit, Maya mau berhubungan baik dengannya.
"AAh~!!" desah masumi dengan kalut, mengubah posisi
berbaringnya. Sudah lewat tengah malam, tapi ia masih tidak bisa tidur.
Seumur hidupku... miliknya...
Maya... hati pria itu kembali gelisah memikirkan, mengkhayalkan berbagai
kemungkinan mustahil antara dirinya dan Maya. Ia ingin sekali merasa besar
kepala dan melakukan sesuatu sekehendak hatinya. Namun, semuanya masih
mustahil. Walaupun Maya bersikap baik, bukan berarti gadis itu jatuh cinta
kepadanya. Maya memang baik kepada siapa saja. Dan, jelas Sakurakoji lebih
mungkin mendapatkan cinta gadis muda itu. Mereka sedang berkencan kemarin, dan
Sakurakoji pun datang ke kediaman Maya. Mereka bertemu dan berlatih setiap
hari, bertukar kalimat cinta. Terlebih lagi, Maya dan Yuu sempat menghabiskan
malam bersama, Masumi sudah melihat foto-fotonya.
Tapi, Masumi juga sudah pernah bermalam dengan gadis itu! Walaupun, lebih dikarenakan
musibah, mereka terjebak di lembah plum di tengah hujan lebat. Tapi Maya tidur
dalam pelukannya. Gadis itu juga memintanya sendiri saat ingin dipeluk. Wajah
pria itu berseri mengingatnya kembali, senyam senyum sendiri.
Namun, Maya juga sudah pernah dipeluk Sakurakoji. Ia yakin, sering malah.
Salah satunya saat Sakurakoji memasangkan jaket di tubuh Maya. Dan, terlebih
Masumi tidak percaya saat Sakurakoji berkata mereka hanya berteman. Ia sempat
melihatnya malam itu. Yuu membuka dasinya, mungkin hendak menyelamatkan Maya,
ia mengenakan kalung berpendan lumba-lumba seperti yang dikenakan Maya.
Kalung... kepalan tangan Masumi mengerat. Ia merasa sakit dan kesal tiap
kali teringat kalung yang melingkar di leher Maya itu.
"Ck!!" Ia berdecak kesal. Memang pemuda itu lebih mungkin
mendapatkan hati Maya, pikirnya, saat kembali rasa pesimis yang membunuh itu
menyerangnya lagi. Ia ingat bahwa ia sudah bertunangan, sudah memutuskan
melupakan perasaannya kepada Maya. Tentang perbedaan usia mereka, tentang dendam
gadis itu, kesalahannya, perbedaan dunia, dan lain sebagainya yang membuat hati
Masumi ciut.
Pria itu mengempaskan napasnya kuat-kuat. Seandainya, memang benar apa
yang Kuronuma katakan, bahwa Maya jatuh cinta kepada pengirim Mawar Ungu, bukan
berarti Masumi juga punya harapan seperti Mawar Ungu. Gadis itu tidak tahu.
Jika dia tahu, Maya pasti akan memutuskan semua hubungan mereka. Ia mencintai
Mawar Ungu, bukan pria yang ada di balik bayangan ungu itu....
***
"Ya, Shiori, terserah kau saja. Aku yakin kau pasti bisa memilih yang
terbaik," kata Masumi, saat Shiori datang ke Daito membawa katalog
souvenir pernikahan mereka nanti. "Kurasa sepasang gelas kristal itu juga
akan bagus," Masumi tersenyum hangat.
"Benarkah?" Shiori menjawab perlahan, ia kecewa karena Masumi
selalu mengatakan terserah dan terserah. "Masumi, cobalah kau lihat-lihat
lagi, jika ada yang kauinginkan, kita bisa merundingkannya," ia meletakkan
katalog itu di atas meja.
"Shiori, aku khawatir, tidak akan sempat, kau tahu... pekerjaanku...
maaf," ia menatap penuh sesal. "Aku yakin sekali dengan seleramu,
Shiori, terserah kau saja."
Namun Shiori berkeras, ia ingin Masumi juga melihat dan memilih-milih
souvenir mereka. "Apa yang ingin menikah, hanya aku saja?" akhirnya
Shiori kembali mendesak. "Kau... sepertinya tidak peduli sama sekali
mengenai hal-hal penting untuk pernikahan kita," ujarnya kecewa.
Masumi tertegun, "Bukan, bukan begitu, hanya saja--"
"Bidadari Merah? Begitu!!?" kali ini suara Shiori agak mendesak.
Masumi merasa tak enak hati mendengar cara bicara Shiori. Ia tahu, ia
sudah bersikap terlalu acuh tak acuh mengenai pernikahan mereka.
"Baiklah," ia menghela napas tipis. "Nanti aku akan
melihatnya."
Beberapa lama Shiori masih terdiam, marah. Namun ia terlalu mencintai pria
ini untuk lama-lama marah kepadanya. Ia hanya mendengus tipis namun wajahnya
sudah tidak terlalu keras.
"Aku tidak bermaksud mengganggu pekerjaanmu Masumi, aku tahu
pekerjaanmu itu penting--"
"Pernikahan kita juga sama pentingnya," Masumi berkata dengan
lembut. "Maaf ya, aku kurang peka selama ini. Nanti aku akan meluangkan
waktuku melihat-lihat katalog ini," Masumi tersenyum merayu, membuat wajah
tunangannya merona.
"Iya, ah!" Shiori terenyak, menyadari di pintu kantor Masumi ada
Mizuki.
"Ada apa?" tanya Masumi, ia menoleh dan mendapati Mizuki ada di
sana, bersama seseorang di belakangnya.
"Maaf, Pak Masumi, ada Nona Maya Kitajima ingin menemui Anda."
Maya...?? Pria itu terkejut, jantungnya segera berdebar.
Intuisi Shiori sebagai seorang wanita juga semakin tajam. Entah kenapa,
sejak ia mendapati foto-foto pertunjukan Maya di villa pribadi Masumi,
perlahan-lahan perasaan sentimennya terhadap Maya semakin tumbuh.
"Ma, maaf," Maya menampakkan dirinya dari balik Mizuki. "A,
aku lupa membuat janji terlebih dahulu. Na, nanti aku kembali," Kata Maya,
segera membalik badannya.
"Tunggu!" Masumi berdiri dan bergerak menghampiri.
"Tunggulah sebentar," katanya. Ia beralih kepada Mizuki,
"Mizuki, antarkan Maya ke ruang tamu."
"Baik, Pak..." Mizuki menyanggupi. "Ayo, Maya..." ajaknya.
"Ah, ya..." Maya melirik tipis kepada Shiori sebelum kepada
Masumi. Ia berbalik mengikuti Mizuki dengan perasaan tak menentu.
Apa yang aku lakukan? pikir Maya dalam hatinya dengan sendu. Untuk apa aku
datang ke sini? Untuk apa aku... Maya meremas tas berisi hadiah yang dibawanya.
Teringat Masumi yang bicara begitu lembut kepada Shiro, "pernikahan kita
juga sama pentingnya..." Maya memjamkan matanya yang berkaca-kaca. Kenapa
ia sampai lupa--atau tidak menghiraukan? Masumi yang sudah terikat wanita lain?
"Ada apa, anak itu ke sini?" tanya Shiori, yang terkejut
mengetahui Maya bisa seenak hati menghampiri Direktur Daito. Ia ingat kembali
bagaimana caranya bertemu pertama kali dengan Maya. Gadis itu pun datang
menerobs masuk menemui Masumi yang sedang rapat penting. Dan anehnya,
sepertinya Masumi tak pernah marah atau memberi peringatan keras kepada gadis
itu, sehingga sikap seenaknya sama sekali tidak berubah. "Sebetulnya, apa
hubunganmu dengan anak itu?" tanya Shiori, dengan nada memelas yang tajam.
Disodori pertanyaan itu, Masumi terkejut dengan cara bicaranya. "Aku,
dan anak itu?"
“Ya, Masumi… aku merasa, kau memperlakukannya dengan cara yang berbeda,”
mata Shiori berkaca-kaca. “Kau sepertinya… menganggap dia istimewa…”
Menganggap dia
istimewa… Masumi terdiam. Shiori memang wanita yang sensitif. Masumi lengah, sudah
membuat tunangannya itu mencurigainya.
Masumi menutup
teleponnya. Untuk beberapa lama ia masih memegang gagangnya erat erat, sedikit
gemetar. Ia sudah memutuskan untuk menemui Maya sebagai Mawar Ungu. Namun
tiba-tiba saja perasaan ragu dan takut itu datang lagi menyapanya. Ia terkadang
memang tak lebih dari seorang pengecut jika sudah menyangkut gadis mungil itu.
Bagaimana jika Maya
sama sekali tidak bermaksud apa-apa dengan
memberikan dasi mawar ungu itu? Bagaimana jika Maya akan bereaksi
seperti yang dikhawatirkannya? Bagaimana jika semuanya hanya harapan kosong
Masumi yang terlalu melambung tinggi?
Dan, bukan hanya itu.
Bagaimana, jika ternyata Maya memang menerimanya sebagai Mawar Ungu? Akankah
Masumi memperjuangkan perasaannya sementara ia sudah sempat memutuskan untuk
menghapusnya? Lalu... bagaimana dengan Shiori?
Masumi jadi gelisah
sendiri. Banyak pertanyaan dan keraguan mengisi benaknya. Akan tetapi, hingga
terlelap, ia tidak mengubah keputusannya.
***
“Selamat pagi Pak…
Pak? Pak Masumi?? Pak…!?” tegur Mizuki kepada atasannya yang sedang khusyuk
melamun itu.
Biasanya, pria itu
mudah sekali ditarik perhatiannya dengan secangkir Blue Mountain. Namun sekarang,
perhatiannya tercurah sepenuhnya ke hadapan layar laptop di hadapannya.
Mungkin. Karena sepertinya apa yang ia pikirkan jauh lebih penting.
“Duk,” Mizuki
meletakkan kopi itu di dekat atasannya.
Masumi sedikit
terlonjak karenanya dan mendongak kepada sekretarisnya itu.
“Melamun Pak?” pertanyaan
retoris. “Ada apa dengan Maya?” kali ini meminta jawaban.
“TIdak ada apa-apa,”
tukas Masumi. “Kau tidak akan mendapatkan jawaban apa-apa lagi,” imbuhnya, saat
melihat Mizuki masih bergeming.
MIzuki menghela
napasnya, “Baiklah,” katanya. “Saya akan kembali ke meja saya, menunggu berkas
untuk rapat satu jam lagi yang tampaknya belum Anda sentuh sama sekali.”
Masumi tahu Mizuki
menyindirnya.Bukan sindiran tepatnya, karena memang demikian adanya. Akan ada
pertemuan dengan wakil perusahaan yang hendak menanam modalnya di Daito, dan
Masumi belum menyiapkan apa pun.
“Ya, ya, keluarlah,”
kata Masumi dengan tajam.
Pintu kantornya
tertutup, dan Masumi kembali ke kegiatannya sebelumnya: Melamun.
Ia gelisah lagi,
membayangkan pertemuannya dan Maya nanti, bagaimana jika gadis itu pergi
meninggalkannya? Atau malah berlari memeluknya?
“Ugh!!” Masumi
mengacak-acak rambutnya.
Dengan gelisah
diraihnya cangkir kopi itu dan meminumnya.
“Bruuust!! Uhuk! Uhuk!
Uhuk!!”
Terulang lagi. Kopi
panas yang melukai lidahnya itu sekarang mengotori berkas-berkas di hadapannya.
Ia berdecak kesal.
Interkomnya berbunyi.
“Ya?” bentaknya.
“Nona Shiori di line
1,” suara Mizuki.
“Sambungkan.”
Tidak berapa lama
terdengar, “Halo, Masumi… bagaimana? Kau sudah memutuskan ingin souvenir pernikahan
yang mana?”
Pria itu tertegun
sesaat. Ya ampun… souvenir pernikahan!! Ia benar-benar lupa. Dimana katalognya
saja ia tidak ingat.
“Ah, ya, Shiori… Aku
sudah melihat-lihatnya kemarin malam. Kurasa, sepasang gelas kristal itu sudah
pilihan paling bagus. Aku sangat menyukainya.”
“Benarkah?” Sumringah.
“Aku senang kalau begitu. Nanti malam… kita jadi makan malam bersama?”
tanyanya.
Ya ampun, itu juga dia
lupa. “Ya, ya… tentu saja. Aku akan menjemputmu.”
“Aku akan menunggu.”
Interkom Mizuki
berbunyi. “Ya Pak?”
“Carikan aku restoran
untuk nanti malam bersama Shiori, dan tolong ke kantorku, ketikkan ulang
beberapa dokumen. Segera, Mizuki.”
“Baik.” Mizuki segera
beranjak dan menghampiri atasannya. Memandangi beberapa dokumen bernoda air
kopi yang diserahkan Mizuki.
Ia hanya menghela
napas diam-diam. Tidak bisa protes, walaupun ia tahu ia tak harus mengerjakan
pekerjaan ini andai Masumi tak sembrono.
=//=
Shiori terdiam di
ruang keterampilan tempat ia biasa menyulam. Tangannya diturunkan, mengingat
Masumi. Pria itu memilih souvenir yang sama dengan pilihannya.
Ia bilang, sudah
melihat-lihat katalognya semalam. Nyatanya, Shiori sempat mampir lagi ke kantor
Masumi namun pria itu tidak ada. Melihat katalog itu yang tergeletak begitu
saja, Shiori mengambilnya. Dan, Masumi sama sekali tidak mengatakan ia
kehilangan katalog itu.
Entah kenapa
perasaannya mengatakan, Masumi yang selalu bermulut manis, sesungguhnya, tak
pernah menaruh perhatian kepada pernikahan mereka. Mungkin, juga kepada
dirinya.
Masumi… kau
sebetulnya, mau menikah atau tidak? Kau… mencintaiku… atau tidak? Mata gadis
itu mulai berkaca-kaca.
Maya benar-benar masih
senang dengan telepon dari Masumi tadi malam. Saat ia menutup teleponnya,
tiba-tiba saja kakinya jadi lemas dan ia langsung jatuh berlutut di hadapan
telepon itu dan mengejutkan induk semangnya.
Sekarang jika bicara
dengan Masumi, Maya jadi merasa gugup bukan main, dan juga tegang.
"Pak Masumi suka
hadiahnya.." pikir maya dengan senang. Gadis itu tersenyum riang.
Akhirnya, ia bisa memberikan kado langsung kepada Masumi Hayami, sebagai Maya
Kitajima.
Namun, Maya juga tidak
tahu, apakah Masumi mampu menangkap isyaratnya, dengan memberikan dasi bermotif
mawar ungu itu?
Semalam Masumi juga
menanyakan mengenai hal itu dan Maya sudah menjawab sesuai yang sudah ia
persiapkan. Selain karena ia amat berterima kasih untuk keberanian Masumi yang
sudah menyelamatkannya di laut, Ia pun ingin, Masumi mengungkapkan jati
dirinya.
Maya tahu, ia dan
Masumi mustahil untuk bersatu.
Masumi sudah punya
tunangan. Yang cantik, lemah lembut, anggun, pintar, kaya... Semua yang tak
Maya miliki, gadis itu punya. Siapalah ia, jika hendak dengan tak tahu dirinya
bersaing dengan Shiori.
Maya tahu pasti siapa
yang akan dipilih Masumi.
Namun, walaupun semua
kebaikan Masumi adalah karena ia menyukai akting Maya, tak mengapa. Gadis itu
sudah mulai bisa menerima kenyataan cintanya bertepuk sebelah tangan. Namun,
Maya hanya ingin, Masumi datang kepadanya, mengungkapkan mengenai Mawar Ungu,
dan Maya akan mengucapkan terima kasih secara langsung kepada pria itu.
Mungkin... Maya akan
memeluknya? gadis itu membayangkannya, dan wajahnya segera memerah panas.
"Tidak..!!"
Maya menggeleng kuat-kuat. Tak mungkin ia memeluk Masumi. Dia... dia kan
laki-laki dewasa... juga, sudah punya tunangan, pikir Maya.
Gadis itu masih saja
tenggelam dalam khayalannya dapat bertemu dengan Masumi sebagai Mawar Ungu saat
lamunannya diinterupsi oleh seseorang.
"Maya...! Kiriman
bunga untukmu..." panggil salah seorang kru.
Eh? kiriman bunga??
Maya segera beranjak meninggalkan bentonya yang tak tersentuh. Kakinya berderap
menghampiri si tukang bunga.
Pak Hijiri! gadis itu
tersenyum lebar.
"Selamat siang
Nona," Hijiri menurunkan topinya dan membungkuk, "Kiriman bunga untuk
Anda," ia menyerahkan buket Mawar Ungu tersebut.
"Pengirimnya
memberikan pesan untuk Anda," kata Hijiri. Biasanya, Hijiri tak mengatakan
hal itu. Jadi, mendengar pria itu menekankan bahwa Masumi memberikan pesan,
membuat Maya mengerti bahwa sepertinya itu sesuatu yang penting.
Gadis itu meraih
kartunya dan membacanya.
Kepada Nona Maya
Kitajima
Halo, bagaimana
latihanmu selama ini? Aku sudah memikirkan baik-baik. Bahwa sekarang sudah
saatnya kita bertemu. Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Namun, jika kau
berkenan, aku ingin kita bertemu akhir pekan nanti. Awalnya, aku ingin
mengajakmu ke villa ku, namun, karena aku tak ingin membuatmu ketakutan, kita
bertemu di restoran saja. Tempatnya akan diberitahukan nanti. Berikan jawabanmu
kepada si Pengantar Bunga, apakah kau menerima tawaranku atau tidak.
Penggemarmu.
"Hah!?" Maya
tertegun. Ia tak percaya dengan apa yang dibacanya. Berulang kali ia membaca
kartu itu. Maaf membuatmu menunggu lama, mengundang bertemu, di restoran...
"I, ini..."
suara Maya gemetar, "Ma, Mawar ungu..." matanya segera berkaca-kaca,
ia menatap Hijiri tak percaya.
"Ya, Nona Maya,
pengirim bunga itu, ingin bertemu denganmu," Hijiri tersenyum hangat.
"Mawar...
Ungu..." airmata Maya segera jatuh membasahi pipinya.
"apakah Anda
berkenan--"
"Tentu! Tentu
saja!" seru Maya dengan semangat dan juga terharu. "A, aku sangat
ingin... bertemu Mawar unguku!"
Hijiri menyerahkan
sebuah rekaman kepada Maya. "Anda bisa... mengatakannya sendiri."
=//=
Keduanya bertemu di
sebuah lift yang jarang dipakai. Hijiri menyerahkan rekaman Maya beserta
dokumen rahasia lainnya.
"Dan ini, jawaban
Nona Maya atas tawaran Anda..." terang Hijiri.
Masumi tertegun
sejenak, menerima rekaman tersebut. "Terima kasih, Hijiri... Apa
dia..."
"Tentu saja, dia
menerimanya."
Deg! Jantung Masumi
berdebar-debar kuat. "Apakah menurutmu keputusanku sudah tepat?"
tanya Masumi. "Aku... aku sebetulnya tidak tahu, apa yang kuharapkan dari
pertemuanku dengannya, kami..."
"Anda akan
mendapatkan semua jawaban dari pertanyaan Anda, Tuan, saat bertemu
dengannya." Hijiri menenangkan.
"Tapi anak
itu--"
"Tuan, Anda
jangan terlalu mengkhawatirkan Maya. Tidak apa-apa, sesekali Anda egois dan
melakukan sesuatu berdasarkan kesenangan Anda sendiri."
Masumi mengempaskan
napasnya perlahan. Ya, mungkin memang sekarang saatnya, Masumi melakukan saja,
apa yang dikehendaki hatinya.
=//=
"melamun,"
tegur Shiori kepada Masumi saat keduanya tengah makan malam.
"ah, tidak,"
pria itu tersenyum hangat.
"Kau selalu
mengatakan tidak ada apa-apa, tetapi perilakumu berkata lain," protes
Shiori.
Masumi tertawa.
"Tidak... sungguh, aku tidak sedang memikirkan apa-apa... hanya soal
pekerjaanku. Ah, sudahlah, aku hanya akan membuatmu bosan dengan semua
itu."
"Atau aku, yang
membuatmu bosan?" tukas Shiori.
"Tidak... tak
akan ada yang bosan kepadamu, Shiori... Bahkan pria di sebelah sana, sudah
berkali-kali melihat ke arahmu, dan yang lainnya, ada yang sama sekali tak
berkedip melihatmu," hibur Masumi.
Ya.. Masumi, batin
Shiori, tapi aku tak peduli kepada mereka... aku hanya ingin perhatianmu. Gadis
itu merasa sendu.
"Masumi..."
panggilnya lagi, saat pelayan selesai menuang anggur untuk mereka dan
meninggalkan meja keduanya.
"ada apa?"
"Kenapa kau
memilih gelas kristal itu?"
"Gelas kristal?
oh, souvenir? Ya, tentu saja... karena yang lainnya... ah, ketimbang yang
lainnya, aku lebih menyukai gelas kristal itu, entahlah... aku suka saja."
"ya, tapi... aku
sedikit bingung, dengan sepasang sumpit perak dengan swarovsky, menurutmu
bagaimana?"
"Sumpit..."
Masumi tak tahu apa yang harus dikatakannya. "Ya, itu juga cukup bagus,
tapi kurasa sepasang gelas kristal masih yang terbaik," kata Masumi yang
enggan memperpanjang masalah souvenir tersebut.
Perlahan Shiori
mengembuskan napasnya. Berat. Ia juga sebetulnya tak ingin meributkan masalah
ini, namun Shiori sangat sedih, menyadari memang masumi tak menaruh perhatian
sesuai harapannya.
"Masumi, dimana
katalog souvenir pernikahan itu? Besok aku harus mengembalikannya."
"Ah, itu... oh,
ada di kamarku, tertinggal, nanti akan kuminta seseorang mengantarkannya
langsung ke tempatnya."
Shiori berdecak tipis.
"Masumi... kenapa kau berbohong?"
"Apa?"
"Kau
bohong!" tegas Shiori dengan suara merajuknya. "Katalog itu sudah ada
padaku sejak kemarin... Ada di lantai kantormu!"
"Shiori.."
desis Masumi.
"Dan juga, tidak
ada souvenir sumpit perak dengan swarovsky! Dan kau tak tahu itu. Kau
bohong!" wanita itu ngambek.
Masumi merasa
bersalah, jakunnya naik turun karena merasa tak enak. "Maaf," aku
Masumi akhirnya. "Aku memang sudah ceroboh, aku tak sempat melihat-lihat
souvenir lainnya. Tapi aku sudah melihat sepasang gelas kristal itu, dan aku
sungguh-sungguh menyukainya."
"Aneh kan, kalau
seorang masumi hayami ceroboh..." ujar Shiori. "Kecuali ada hal
penting lainnya yang kau pikirkan dengan sungguh-sungguh."
Masumi tertegun,
menyadari bahwa Shiori memang sensitif.
"Ya, ada sedikit
masalah dengan pekerjaan, jadi aku--"
"Kalau begitu,
jangan berjanji bahwa kau akan melihat-lihat katalognya!"
Sungguh Masumi tak
pernah mengerti wanita. Ia sudah setuju, masih dipaksa memilih lagi, saat ia
akhirnya setuju untuk melihat-lihat katalog karena terpaksa, sekarang itu yang
Shiori katakan. Kenapa wanita ini harus membuat semuanya serba rumit.
"Ya, kupikir...
aku akan sempat melihatnya, namun ternyata..." ia menghela napas.
"Shiori... aku minta maaf, tapi aku ingn sekali menghabiskan malam ini
dengan cara yang menyenangkan. Mengenai souvenir, aku benar-benar menyukai
gelas kristal itu. Sungguh..."
Shiori mendengus. dan
diam. Masumi tahu wanita itu sudah melunak, namun pertanyaannya selanjutnya
mengejutkan direktur daito tersebut.
"Kemarin... ada
urusan apa Maya kitajima datang ke kantormu?" tanyanya.
"Eh? Maya..."
Masumi terdiam beberapa lama. Ia tak mungkin mengatakan Maya memberikan hadiah
kepadanya. "Oh... dia hanya datang mengucapkan terima kasih untuk
pertolongan sebelumnya. Ya, aku juga terkejut, biasanya kami tidak akur,"
terang Masumi. wajahnya tak sengaja berbinar saat membayangkan wajah gadis
mungil itu.
Shiori mengamati itu.
Masumi selalu saja tertawa dan bereaksi dengan cara lain jika sedang
berinterksi dengan maya atau bercerita mengenai anak itu. Dia selalu mengatakan
anak itu tidak menyukainya dan sebagainya. Shiori pun melihat bagaimana gadis
itu selalu marah dan berbuat tidak sopan kepada Masumi. Namun, tunangannya itu,
walaupun mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan, namun wajahnya selalu
tampak santai dan berseri apabila bercerita mengenai anak itu.
Ada sesuatu… mengenai
Maya Kitajima. Jika memang Masumi memperhatikan gadis itu semata-mata karena
dia adalah calon Bidadari Merah, lantas, kenapa Masumi tak menyimpannya
bersamaan dengan kumpulan foto Ayumi, misalnya. Dan, kenapa ia harus
menyimpannya di villa rahasianya? Masumi pernah bercerita, bahwa di villa itu
adalah tempatnya menyendiri, menjauhi kepenatan pekerjaannya.
Memang, Masumi
mengatakan, hanya Shiori satu-satunya wanita yang mengetahui mengenai tempat
itu. Namun, kenapa di tempat sepribadi itu, ada foto Maya Kitajima? Jika memang
gadis itu hanya bagian dari pekerjaannya, bukankah seharusnya Masumi menyimpan
kumpulan foto gadis itu di ruang kerjanya? Kenapa harus di vila pribadinya dan
diletakkan secara tersembunyi? Shiori kembali gelisah.
“Mau berdansa?” ajak
Masumi, membuyarkan lamunan Shiori.
Wanita itu tak pernah
bisa menolak pesona Masumi. Tentu saja ia setuju.
Keduanya melantai
dengan diiringi alunan musik yang syahdu.
“Masumi, akhir pekan
nanti… mau berjalan-jalan? Kau libur kan?” tanya Shiori dengan nada memaksa.
Masumi tertegun
mendengar pertanyaan itu. Akhir pekan nanti, Masumi berencana menemui Maya.
Membuat pengakuan sebagai dirinya yang Mawar Ungu.
“Shiori, akhir pekan
nanti—“
“Tidak bisa? Bekerja?”
tanya Shiori tajam namun dengan raut menghiba.
Masumi menelan
ludahnya. Namun dia sudah membulatkan tekadnya. “Ya… hari itu, aku sudah ada
janji penting dengan—“
“Dan aku tidak
penting?” desak Shiori.
“Bukan, bukan begitu.
Dia… orang yang penting untuk Daito, jadi—“
“Seharian? Selama
akhir pekan kau akan bersamanya?”
Masumi tertegun dengan
pertanyaan Shiori. Ia berencana menemui Maya di ruangan vvip sebuah restoran
ternama pada siang hari. Mungkin, mereka akan makan siang. Masumi berpikir
bertemu siang hari lebih baik ketimbang malam hari agar tak terkesan terlalu
intim.
Namun, Masumi
sesungguhnya tak pernah memikirkan apa yang akan terjadi setelah itu. Jika dia
dan Maya sudah bertemu, apa yang akan dilakukannya? Jika Maya menolaknya? Atau
menerima keberadaannya sebagai Mawar Ungu, lantas apa?
Masumi tak pernah
memikirkan apa yang akan terjadi setelah itu, karena baginya, kelanjutan
hidupnya benar-benar hanya akan ditentukan pada momen itu. Momen ketika Maya
mengetahui siapa dia yang sesungguhnya.
“Masumi!?” tegur
Shiori, mengoyak lamunan Masumi.
“Mh, ya?”
“Jadi bagaimana?”
sudah mulai ngambek.
“Maaf, aku sungguh tak
bisa meluangkan waktuku untuk siang hari, namun… kita bisa bertemu untuk makan
malam?” bujuk Masumi.
Sejenak Shiori tak
bersuara. Ia bermaksud mengajak Masumi berjalan-jalan. Mungkin ke museum, atau
ke taman bunga. Kemana saja, selama ia dan Masumi bisa menghabiskan waktu lama
dengan berjalan-jalan. Namun, pada akhirnya Shiori terpaksa menerima tawaran
Masumi ketimbang ia harus kehlangan kesempatan lainnya untuk bersama kekasihnya
tersebut.
“Baiklah…” wajah
Shiori berseri. “Apa… kita bisa menonton opera setelahnya?” pinta Shiori.
“Opera?” Masumi
terdiam, “Tapi, nanti kau bisa pulang kemalaman. Kakekmu bisa khawatir, dan aku
tak mau menjadi sasaran kemarahannya, nanti dia tak mengijikanku mengajakmu
keluar lagi,” tutup pria itu, basa basi.
Shiori mengikik kecil.
“Tidak apa-apa, kalau denganmu… Kakek tak akan marah. Bahkan, jika aku tidak
pulang pun—“ wanita itu terenyak sendiri mendengar perkataannya. Ia malu dan
menundukkan wajahnya segera. Ia tak mengira kalimat seperti itu akan meluncur
dari bibirnya.
Sementara Masumi yang
juga sangat terkejut mendengar ucapan Shiori, hanya bisa membisu dengan pahit,
seakan-akan baru saja lehernya dijerat tali gantungan.
=//=
"Masuk..."
Shiori berkata.
Kepala rumah tangga
Takamiya sekaligus tangan kanan shiori itu masuk.
"Nona, saya sudah
mendapat laporan mengenai Maya Kitajima," wanita itu menyerahkan sebuah
amplop cokelat.
"Orang itu tahu
aku yang menyuruhnya?"
"Tidak Nona, Anda
tenang saja."
Raut Shiori sejenak
gelisah, lantas dengan ragu ia mengeluarkan beberapa foto yang ada di sana.
Mata wanita itu
melebar. Foto-foto tersebut memperlihatkan kegiatan Maya. Orang itu sudah
melaksanakan tugasnya dengan baik saat diminta untuk menguntit Maya.
Tampak Maya sedang
melakukan kegiatannya, dan beberapa kali Maya terlihat menerima buket mawar
ungu. Yang terakhir, gadis itu menerima buket Mawar Ungu serta begitu banyak
hadiah di kontrakannya.
Namun, yang membuat
Shiori terkejut, adalah saat ia melihat si pengantar paket tersebut. Itu kan...
Shiori ingat, pernah
melihat pria itu di vila Masumi, dulu. Pria yang langsung pergi begitu
mengetahui kedatangan Shiori.
Tiba-tiba saja jantung
Shiori berdebar-debar. Ia tahu ada yang tak seharusnya. Ada yang salah...
Ada sesuatu mengenai
Maya dan pengirim paket itu.... dengan Masumi.
Apa? Sebetulnya ada
apa di antara mereka bertiga? Mungkinkah...
"Jangan yang
itu!" Shiori teringat hardikan Masumi ketika Shiori pernah meminta untuk
dibelikan Mawar Ungu. Saat itu, Masumi mengatakan ada bunga lain yang lebih
cocok untuknya. Namun, kali ini, ia menyadari... ada sesuatu mengenai bunga
itu. Antara Maya, Masumi, dan... Mawar Ungu.
=//=
Shiori mengetahui
mengenai mawar ungu keesokan harinya, berdasarkan laporan mata-mata.
Ia membaca laporannya,
"Sejak pertama kali Maya Kitajima pentas, ia sudah memiliki seorang
penggemar setia yang bernama Mawar Ungu. Selanjutanya, penggemarnya ini selalu
mengirimkan mawar ungu dalam setiap pentasnya, karena itulah Maya Kitajima selalu
memanggilnya dengan sebutan Manusia Mawar Ungu. Selain itu, Mawar ungu sering
mengiriminya berbagai macam hadiah. Orang ini juga menyekolahkan Maya,membantu
perawatan gurunya dan memberi bantuan dengan memperbaiki gedung Ugetsu serta
banyak bantuan lainnya yang ia berikan kepada Maya.
Shiori mulai merasa
gelisah. Sepertinya ada yang salah. Mungkinkah, semua ini ada kaitannya dengan
masumi?
Pria pengantar bunga
itu sungguh membuatnya curiga. Ia yakin itu pria yang sama yang dilihatnya di
vila Masumi.
Mengirimi bunga sejak
pertama pentas? Menyekolahkannya? Mungkinkah Masumi melakukan semua itu
bertahun-tahun ini? Lantas, apa yang ia lihat selama ini? Keduanya selalu
saling menyindir satu sama lain.
"Maya Kitajima
akan bertemu dengan pengirim mawar ungu pada tanggal 7 pukul 1 siang di ruangan
vvip restoran tropicana premium."
Shiori menatap
laporang itu dengan gelisah. Akhir pekan ini? Jadi karena itukah Masumi menolak
ajakannya berkencan?
"Bibi,"
panggil Shiori. wanita tua itu kembali menghampiri. "Tolong hubungi restoran
ini, dan pastikan apakah Masumi memesan tempat di sana."
"Baik,
Nona."
Wanita tua bersanggul
anggun itu lantas menghubungi restoran tropicana premium. Tak lama ia menunggu,
restoran yang diperuntukkan bagi orang-orang kaya itu memang selalu memberikan
pelayanan prima terutama dari para CS nya.
"Selamat siang,
ini dari keluarga Takamiya, kami ingin bertanya apakah sudah ada seseorang yang
memesan ruangan VVIP untuk tgl 7 pukul satu siang?"
"Sebentar akan
kami konfirmasi," tak lama kemudian, "Maaf, tepat pada waktu itu
sudah ada reservasi," terangnya.
"Apakah reservasi
itu atas nama Masumi Hayami?" tanyanya. "Bukan. Ini bukan untuk Tuan
Masumi Hayami."
"Oh, baiklah.
Terima kasih banyak."
"Bagaimana?"
tanya Shiori.
"Tidak
Nona," kata si Bibi, dan ia mengulang perkataan CS itu.
Jadi... yang akan
menemui Maya, bukan Masumi? pikir Shiori. Ia merasa sedikit lega, namun...
masih ada sesuatu yang mengganjal perasaannya.
Shiori meraih telepon.
Ia harus memastikan. Dihubunginya kediaman Hayami untuk bicara dengan Masumi.
"Ya? Ada apa
Shiori?" tanya Masumi, menyembunyikan kekesalan hatinya karena lamunannya
mengenai Maya terpaksa dihentikan.
"Mengenai akhir
pekan ini... bisa kita bertemu saat makan siang?" tanya Shiori.
"Makan
siang?" Masumi tertegun. "Bukankah sudah kukatakan kalau siang aku
tidak bisa? Ada urusan yang harus kuselesaikan. Kita bertemu malamnya saja
ya," bujuk Masumi dengan lembut.
"Kenapa tidak
bisa?" tanya SHiori. "Sebetulnya kau ada urusan apa? dimana?"
desaknya.
Masumi bisa merasakan
ada sesuatu yang tak wajar dari cara Shiori bicara. Biasanya Shiori lebih
pengertian. Namun kali ini tidak.
"Dengan rekan
bisnisku," terang Masumi.
"Dimana?"
"Dimana?"
kali ini Masumi tak bisa menyembunyikan rasa gusarnya. Kenapa Shiori seingin
tahu itu? Bisanya wanita itu tak pernah bertanya terlalu banyak mengenai
pekerjaannya.
"Ya. Dimana? Tahu
darimana kalau kau tidak berbohong? Bagaimana kalau kau... kau... menemui
wanita lain?"
"Deg!"
Masumi terenyak.
"HAHAHA..."
pria itu tertawa dengan renyah. "Wanita lain? shiori... jika bicara
mengenai wanita, hanya ada tiga tipe yang kutemui, rekan bisnisku atau yang
berkaitan dengan pekerjaanku, lalu para aktris yang dapat menguntungkan Daito,
dan yang ketiga, kau...."
"Masumi...."
gumam Shiori, merasakan dadanya berdebar lagi tiap mendengar rayuan pria itu.
"Aku akan
menemuimu akhir pekan nanti saat makan malam," Masumi menegaskan dengan
lembut.
Shiori terdiam,
mengeratkan pegangan tangannya di gagang telepon. "Baiklah...
Masumi."
Akhirnya wanita itu
mengakhiri hubungan setelah mengobrol beberapa lama.
=//=
Masumi sedikit
terkejut dengan pertanyaan Shiori tadi. Ia tak mengira Shiori mulai merasa
cemburu kepada wanita lain. Padahal selama ini, ketimbang para wanita di
sekeliling Masumi, Shiori sering diibaratkan orang seperti dewi yang tak ada
duanya. Dan, shiori pun tak pernah merasa cemburu sma sekali dengan siapa pun.
Ia tahu pasti reputasi Masumi yang dingin dan gila kerja, yang menganggap
wanita hanya sebuah komoditas yang dinilai dari tinggi rendah harga jualnya
saja. Namun, tiba-tiba Shiori bicara mengenai wanita lain. Sepertinya, intuisi
calon istrinya itu memang cukup tajam.
Tidak, tidka Masumi,
pria itu menggelengkan kepalanya. SHiori tidak akan berpikir sejauh itu,
apalagi mengaitkan semuanya dengan Maya. Itu hanyalah kecemburuan wajar dari
seorang wanita, ia meyakinkan diri.
Masumi berjalan memasuki sebuah restoran mewah bernama Tropicana.
"Tuan Hayami!" sambut sang manajer. "Maaf kami tidak tahu
Anda akan datang! Kami akan mempersiapkan sebuah tempat untuk Anda!"
katanya dengan gesit dan sedikit panik.
"Tidak perlu, aku sudah ada tempat. Ruang Mawar."
"Ruang mawar? Ah, Anda tamu Tuan Robert? Maaf Tuan saya tidak tahu.
Silakan, silakan."
"Ya. Nanti akan ada seorang gadis, uhm, ehem! Dia akan mengenakan
pakaian ungu, tolong antarkan saja kepadaku.
"Baik Tuan."
Masumi berusaha menenangkan diri selama kakinya melangkah menuju ruang
Mawar.
Masumi memasuki ruangan
yang tampak mewah dan megah itu. Ruangan tersebut lebih tampak seperti lounge
bintang empat. Ada sofa dan bar pribadi di sana, ruang makan bahkan video.
Sejenak Masumi salah
tingkah, ia tak tahu dimana titik yang tepat untuk menanti Maya. Di meja makan
kah? Di sofa? di bar?
Setelah berpikir
dengan seksama dalam waktu singkat, Masumi memutuskan menunggu gadis itu di
sofa.
Sofanya nyaman, namun
tidak dengan perasaan masumi. Kembali pemikiran yang maju mundur itu datang
lagi. Pergi saja, pergi! Masih ada waktu sebelum gadis itu datang. Tidak,
tinggal saja, aku harus memastikan sikap Maya kepada mawar ungu. Aku harus
tahu, dan aku sudah melangkah sejauh ini, batin Masumi, membulatkan tekadnya.
Jemari pria itu saling
meremas, dan kedua kakinya bergerak gelisah tanpa sadar. Masumi beberapa kali
menatap jam dinding, membandingkannya dengan jam di tangannya yang hanya
berbeda sekitar satu setengah menit. Ia tak tahu apakah Maya akan muncul seusai
waktu jam dinding atau waktu jam tangannya.
Maya... panggil pria itu,
dengan rasa rindu dan sendu, juga cemas.
Tak pernah ada seorang
gadis pun yang membuat hatinya diserang rasa panik namun juga penantian tak
menentu seperti saat ini.
Maya.... diam-diam
Masumi mulai berharap gadis itu segera datang, agar hatinya tidak terlalu
tersiksa seperti saat ini.
Pintu apartemen Maya
diketuk. Seorang pria kurus tinggi tampak di hadapannya.
"Selamat siang,
saya diminta menjemput Nona Maya Kitajima," seorang sopir berpakaian rapi
berkata.
"Ah,i, iya,
saya..." kata Maya.
Jantung gadis itu
berdebar. Ia ingat ini adalah jemputan yang dijanjikan Mawar Ungu.
Maya ikut turun dengan
sopir tersebut. Sebuah limousine mewah telah menunggunya.
"Silakan
masuk," sopir itu membukakan pintu.
Maya masuk ke dalam
mobil. Joknya terbuat dari kulit lembu berkualitas mahal yang sangat nyaman.
Walaupun di luar udara cukup panas, di dalam mobil itu terasa sangat sejuk. Ada
seorang wanita di dalam sana. Maya cukup terkejut melihatnya.
Wanita itu bernama
Sayuri, ia yang akan melayani kebutuhan Maya sepanjang perjalanan.
Maya tak menginginkan
apa-apa. Ia hanya mengangguk berkali-kali karena gugup. Diamatinya wanita itu.
Ingin sekali Maya bertanya, apakah ia kenal dengan pria yang menyewanya? Namun
Maya mengurungkan niatnya. Ia sudah berjanji tak boleh mengorek identitas Mawar
Ungu. Ia ingat apa yang hijiri katakan semalam.
Akan ada sebuah mobil
dan petugasnya yang akan mengantarkan Maya menemui Masumi. Hijiri sengaja
menyewa mereka dan menyebutkan kemana mereka harus membawa Maya. Namun, mereka
tidak mengetahui siapa Hijiri dan juga bahwa Maya akan menemui Masumi. Mereka
hanya bertugas mengantarkan Maya ke tempat yang telah dikatakan.
"Aku tidak bisa
mengantarmu, karena aku tidak boleh terlihat bersamamu ataupun terlihat berada
di tempat yang sama dengan manusia mawar ungu," terang Hijiri,
Karena itulah Maya tak
diantar oleh Hijiri.
Gadis itu mengeratkan
tangannya.
"Gugup?"
tanya Sayuri.
Maya tersenyum
malu-malu.
"Tampaknya Anda
akan menemui seseorang yang sangat penting."
"Ya," ucap
Maya perlahan. "Dia orang yang sangat penting."
Pak masumi... jantung
gadis itu berdebar hebat. Dia akan bertemu pria itu sebagai Mawar Ungu untuk
pertama kalinya. Maya sudah sangat menantikannya, namun juga takut. Semalaman
Maya tak bisa tidur, membayangkan bagaimana Masumi akan bereaksi kepadanya. Ia
sempat berpikir, "Mawar Ungu pasti kecewa kepadaku." Namun, ia
menyadari bahwa pemikirannya itu konyol, karena jelas Masumi sudah tahu benar
siapa Maya.
Bahkan saat berada di
kamar mandi tadi, Maya sudah berlatih baik-baik mengenai apa yang akan
dikatakannya kepada Masumi. Bahkan saat berlatih di depan kaca, Maya tetap saja
tak bisa menahan airmatanya. gadis itu jadi menangis saat membayangkan akan
bertemu Mawar Ungunya.
Pemandangan indah tak
mampu mengalihkan perhatian Maya dari kegugupannya. Dan akhirnya, setelah
perjalanan yang terasa begitu panjang dan amat lama. Bahkan saat Sayuri
berusaha membuat Maya rileks dengan mengajaknya berbincang, menawarkan majalah,
minum dan lain sebagainya, Maya tetap saja tampak tegang, sekarang Maya sudah
berjalan menaiki tangga sebuah restoran.
"Selamat
siang," seorang pria berpakaian rapi menghampirinya dengan senyum terbaik.
"Ada yang bisa saya bantu."
"Ya... uhmm...
sa, saya, diundang oleh Pak Ma, eh, Mawar Ungu, anu... oleh seseorang. Mawar
Ungu."
"Mawar
ungu?" manajer itu tertegun, mengamati Maya. "ah, Ya... ya... Mawar
Ungu! Ayo, silakan ikuti saya..."
Maya dengan canggung
mengikuti pria berrambut kelimis dengan kumis tipis itu. Ia berjalan menuju
sebuah ruangan yang dari pintunya saja sudah terlihat luasnya tempat tersebut.
"Di sini, Nona,
silakan masuk, Anda sudah ditunggu. Jika ada yang Anda butuhkan, cukup bunyikan
saja buzzernya pelayan kami akan menghampiri."
"Ba,
baik..." Maya mengangguk-angguk gugup.
Ditunggu? Jadi...
Mawar Ungu sudah ada di dalam?
Dan jantung Maya
berdebar semakin kuat. Bahkan tangan dan kakinya kali ini ikut gemetaran.
Mawar Ungu.... Mawar
Unguku... Maya menggenggam gagang pintu itu kuat-kuat dan membukanya.
"Krieet..." pintu ruangan itu terbuka lebar.
"Per-permisi..."
Ruangan yang megah dan mewah dengan marmer berpola cantik, serta interior
klasik yang romantis dengan lampu hias yang menawan.
Jantung Maya berdebar lebih keras. Ia melangkah masuk, dan sepatu dengan
hak 3 sentimeter itu mengeluarkan bunyi beradu yang seiring dengan debar
jantungnya.
Ia berusaha mencari seseorang di ruangan luas itu. Matanya
beredar.Bukankah tadi katanya ia sudah ditunggu? Berarti dia sudah menunggu?
Tapi dimana dia?
"Maya..." panggil sebuah suara. Maya menoleh
ke arahnya. Jantungnya berdebar semakin keras dan keras. Matanya membulat dan
hanya enyakan tertahan yang terdengar pelan terlepas dari bibirnya.
Seorang pria, dengan setelan menawan, berdiri dari
sofa yang didudukinya. Tubuhnya gagah menjulang dan wajahnya berkarisma. Ia
berjalan mendekat.
"Terima kasih sudah datang," katanya,
saat gadis yang ia harapkan telah tiba.
"Nona Maya sudah
dijemput dan diantar ke restoran," itu pesan Hijiri tadi ke ponsel Masumi,
dan membuat pria itu semakin gelisah. walaupun ia sangat jarang berdoa, kali
ini ia tak berhenti melakukannya.Akhirnya, pintu ruangannya dibuka,pria itu
terenyak, ia menoleh ke arah pintu. Suara hak tinggi sepatunya semakin
dekat.Wanita itu mengenakan gaun ungu, mendekat kepadanya. Masumi sangat
terkejut dan berusaha menenangkan diri.Ia bangkit dari sofa.
=//=
"A-Anda..."
terbata, Maya menatap lekat pria di hadapannya.
"Halo. Aku sudah
menunggumu dari tadi, silakan duduk," kata pria tampan yang Maya tak tahu
siapa namanya itu.
Mana Pak Masumi? Batin
Maya, bertanya-tanya. Dan pria ini...? Mungkinkah Maya salah, telah mengira
Masumi adalah mawar ungu? Tidak, Maya yakin sekali pria yang ia cintai itu
Mawar Ungu. "Anda...?" Maya mengamati pria itu dengan bingung dan
penuh harap, juga berusaha menekan kecewanya. "Apakah Anda, orang yang
mengundang saya?"
Pria itu tersenyum,
dan sekali lagi karismanya memancar. "Bukan, saya Yamashita, orang yang
diutus oleh Mawar Ungu, yang mengundang Anda."
"Mawar...
Ungu..." gumam Maya,"Apakah dia akan datang? Apakah saya bisa bertemu
dengannya?" Maya bertanya dengan antusias dan penuh harap.
"Maaf," pria
itu berkata dengan tenang. "Saya di sini datang untuk mewakilinya, ada
yang harus saya bicarakan denganmu."
"A, apa?"
tanya Maya dengan khawatir dan tidak percaya. "Mawar Ungu.... tidak akan
datang?" wajah Maya pucat seketika.
Pria itu menggeleng
dan kemudian berkata, "Mawar Ungu meminta saya mengatakan kepadamu, bahwa
beliau sudah tidak bisa lagi mengurusmu. Dan ia mengatakan tidak akan bisa lagi
mengirimimu Mawar Ungu."
"Hah!?
A-apa...!?" Wajah Maya pucat seketika.
"Ya... jadi
begini, saat ini, Manusia Mawar Ungu sudah memutuskan untuk berhenti
membantumu. Ada banyak hal yang harus ia lakukan, dan ia sudah tak bisa lagi
mengurusimu. Ia hanya berharap kau bisa sukses dengan karirmu, dan ia tidak
akan melupakanmu, Namun ia sudah tidak ingin berurusan lagi denganmu. Ia harap
kau bisa mengerti. Beliau adalah orang yang sangat penting dan ada banyak
urusan penting yang harus ia tangani. Jadi... jika kau ingin membalas semua
kebaikannya, ia harap kau bisa mengerti jika Beliau ingin mengakhiri hubungan
kalian berdua selama ini."
Maya tak percaya
mendengar semua itu. Hatinya sangat sakit seakan-akan terkena cambukan. Jadi,
inikah maksud Mawar Ungu mengundangnya? Untuk mengakhiri semuanya dan meminta
Maya tidak mengganggunya lagi?
Ia orang yang sangat
penting dan masih banyak urusan penting yang harus diselesaikannya.
Tanpa dikomando
airmata Maya luruh juga. Seharusnya ia sudah tahu, itulah yang Masumi inginkan.
Pria itu akan menikah, mungkin menjadi salah satu orang yang penting di dunia
bisnis Jepang. Ada banyak hal yang harus Masumi selesaikan, dan tak ada lagi
ruang untuk Maya. Benar... dia memang bodoh! Bagaimana bisa Maya berharap
Masumi menemuinya, mengaku Mawar Ungu dan hubungan keduanya membaik?
Dengan pahit Maya
menelan ludah. Ia seharusnya tahu... telah tiba waktunya Masumi ingin
memutuskan hubungan di antara mereka.
"Kau bisa
mengerti kan, Maya?" tanya pria itu lembut.
Maya tak bisa
berkata-kata selain mengangguk. "Saya mengerti," gumamnya.
"Tolong katakan kepadanya, saya... saya sangat berterima kasih untuk semua
kebaikannya. Dan ini..." Maya mengangsurkan sebuah kado. "Itu...
mungkin pemberian terakhir saya untuknya, tolong katakan--"
"Maaf,"
potong pria itu. "Saya sudah diperintahkan untuk meyakinkan Anda bahwa
beliau sudah tidak bisa lagi menerima pemberianmu. Cukup sampai di sini
saja."
"TIdak bisa?
Tapi..." Maya tertegun, teramat sedih. Sekali lagi ia mengangguk. Ia tak
ingin perasaannya membebani Masumi. "Baiklah aku mengerti. Maaf sudah
banyak menyusahkannya."
"Beliau sangat
senang membantumu selama ini, namun beliau meminta pengertianmu karena sekarang
semuanya tak sama lagi. Beliau berharap kau mau mengerti dan tidak akan
mengungkit-ungkit atau menyebut-nyebut mengenainya lagi. Hal itu akan sangat
membantu. Karena, jika sampai diketahui oleh orang lain mengenai hubungannya
denganmu, hal itu akan sangat menyulitkannya."
"Aku mengerti.
Aku... tidak akan menyebut-nyebut mengenainya lagi," ucap Maya, dan
sedetik kemudian dia menangis dengan airmata semakin deras.
Sangat terluka.
"Shiori...!"
Masumi terenyak saat tunangannya muncul di depan matanya.
"Selamat siang,
Masumi..." sapa Shiori, berusaha terlihat tenang. "Ternyata benar kau
berada di sini. Sedang ada janji?" tanya Shiori.
Masumi tertegun,
berusaha mencari alasan. Ia tak mungkin memberitahu bahwa ia sedang menunggu Maya.
Lebih tak mungkin lagi membuat Shiori menjadi saksi pengakuannya sebagai mawar
ungu kepada Maya.
"Aku..."
"Kau bilang
sedang sibuk kan? Kau ada janji dengan siapa? Kenapa tidak mengatakan bahwa kau
akan ke sini?"
"Aku... ah, kau
sendiri, sedang ada apa di sini?" tanya Masumi, seraya berpikir bagaimana
meminta Shiori agar segera pergi.
"Aku sebetulnya
ada janji makan siang dengan seseorang. Dia... sepupuku yang sekolah di luar
negeri, kebetulan sedang berada di Jepang, dia ingin bertemu di sini,"
Shiori berkata dengan tenang. "Akan tetapi dia tampaknya belum datang,
malahan, manajer restoran ini mengatakan kau sedang berada di sini. Ia mengira
aku ingin bertemu denganmu..." terang Shiori.
Masumi hanya membisu.
Sungguh kebetulan yang tidak dikehendakinya.
"Bagaimana
Masumi? Apakah tamumu sudah datang? apa... kau bisa ikut makan siang denganku?
Agar bisa kuperkenalkan kepada sepupuku..."
"Shiori, aku
sungguh meminta maaf. Aku ada urusan penting. Dan ini masalah pekerjaan yang
cukup rahasia," Masumi masih memutar otak untuk mengusir Shiori. "Aku
benar-benar tidak menginginkannya, hanya saja--"
"Oh, ya, ada satu
hal lagi!" tukas Shiori. "Aneh sekali, tadi... aku melihat gadis itu.
Siapa? Maya Kitajima ya namanya? Yang calon BidadariMerah itu..."
Haha!? Maya...!? Mata
Masumi membulat saking terkejutnya mendengar ucapan Shiori. Ia sudah bertemu
Maya? Lantas kemana gadis itu? Masumi sedang bingung saat Shiori kembali
bicara.
"Dia tadi
menangis, tampaknya dia sedih, atau marah... entahlah. Aku sangat terkejut melihatnya
di sini. Namun, gadis itu berperilaku kurang sopan. Saat aku menyapanya dan
bertanya ada apa, dia hanya menatapku seperti benci, aku tidak mengerti, namun
saat aku tanya ada apa, dia hanya berkata, dia baru saja melihat orang yang
paling dibencinya dan ingin segera pergi dari sini," Shiori bercerita
dengan wajah tanpa dosa. "Aku tidak mengerti siapa yang dia maksud, namun
sepertinya dia sangat kecewa, dia bilang tak ingin bertemu dan berhubungan
dengannya lagi."
Mendengar perkataan
tunangannya, Masumi mematung tak percaya. Apa yang ditakutkannya telah terjadi.
Mungkin Maya sudah tahu bahwa dialah yang akan ditemui gadis itu, dan Maya
memutuskan untuk segera pergi sebelum menemuinya.
Maya ternyata masih
sangat membencinya. Sekarang ia tak bisa lagi mendekatinya bahkan sebagai Mawar
Ungu. gadis itu sudah menutup jalan satu-satunya bagi Masumi untuk menuju ke
arahnya.
rasanya dunia Masumi
jadi menciut, begitu kecil, tanpa makna dan teramat hampa.
Akhirnya Masumi
menghabiskan makan siangnya dengan Shiori dan sepupunya. Pria itu bernama
Yamashita Satoshi.
"Dia adalah
sepupuku yang paling dekat dan melindungiku," terangnya mengenai pria
tampan yang ada di sampingnya.
"Ya, aku selalu
bertengkar dengan siapa saja yang mengejek Shiori. Kau juga sih, sedikit-sedikit
menangis! Sedikit-sedikit menangis!"
"Yaa..
habiiss..." Shiori sedikit merajuk.
"Pokoknya,
siapapun yang akan menyakiti Shiori, harus berhadapan denganku. Tapi... Anda
sepertinya pria terhormat, dan Shiori sangat mencintaimu. Aku yakin, kau pasti
bisa melindungi Shiori, benar kan Masumi? Mungkin... nanti kita akan
mengerjakan proyek bersama-sama. Hahaha..."
Masumi hanya tersenyum
tipis mendengar ucapan pria bernama Yamashita itu. Sebetulnya hatinya masih
teramat sakit dengan kenyataan Maya sudah tak bisa disentuhnya lagi. Gadis itu
tahu dia Mawar Ungu... gadis itu tahu dan membencinya...
Masumi mengeratkan
kepalan tangannya. Hatinya sakit.
"Masumi?
Masumi...!" tegur Shiori.
"Ah, ya?"
"Kau
kenapa?" tanya Shiori. "Masih memikirkan pertemuan bisnismu yang
tidak berhasil?"
"Uhm...
ya..."
"Tampaknya
pertemuannya sangat penting. Memangnya pertemuan dengan siapa?" tanya
Yamashita.
"Ah, tidak...
ini... proyek baru Daito. Dia seseorang yang hendak kulobi untuk proyek besar
kami. Namun, sayang sekali dia ada halangan. Ya... aku sedikit kecewa. Daito
sangat ingin memakainya."
"Wah... tapi aku
tidak ragu. Kudengar, kau selalu mendapatkan apa dan siapa pun yang
kauinginkan."
Masumi tersenyum tipis
dan membatin. Ya... kecuali dia...
=//=
Maya turun dari
limousine yang tadi membawanya. Sepanjang jalan Maya menangis. Ia tak bisa
menahan diri. Ia tak mengira, hari yang dipikirnya akan menjadi saat pertemuan
dengan Masumi, malah menjadi hari saat ia harus memutuskan hubungan dengannya.
Ia terlalu besar kepala, berpikir bahwa Masumi akan memberikan jati dirinya.
Berpikir bahwa ia bisa berperan lebih banyak dalam hidup pria itu. Namun yang
terjadi malah apa yang paling ditakutkannya. Mawar Ungu tak ingin mengurusinya
lagi. Ia akan menikah, menjadi milik wanita lain untuk selamanya dan menghapus
Maya dari sejarah hidupnya.
Tidak... Maya tak
mau... Ia tak rela!!
Namun... Jika yang
terbaik bagi Masumi adalah dengan tidak berhubungan lagi dengannya, maka itulah
yang harus dilakukannya. Selamat tinggal Mawar Unguku... Selamat tinggal Pak
Masumi... selamat tinggal... Huhuhu.... Maya tergugu dengan airmata menganaksungai.
Selamat tinggal... ternyata semuanya hanya mimpi... kita bukan belahan
jiwa.Semuanya hanya khayalan, mimpi di siang bolong...
=//=
"Maya... kau
harus makan, sedikit saja, tapi kau harus makan!" tegas Rei yang sangat
khawatir melihat keadaan Maya.
Matanya sangat sembap
karena kemarin ia menangis seharian. Dan gadis itu juga tak mau makan apa-apa.
Dia hanya diam saja di sudut ruangan, menggenggam sekuntum mawar ungu dan kado
yang gagal ia berikan kepada Mawar Ungu. Rei tidak tahu apa yang terjadi hari
itu saat Maya hendak bertemu dengan mawar ungu, namun melihat keadaannya
sekarang Rei tahu semuanya tak berlangsung baik.
Saat Maya terbangun, ia sudah berada di sebuah ruang rawat dengan infus
melekat di lengannya.
"Maya! Kau sudah bangun? Apa kau baik-baik saja? Ada yang
sakit?" tanya sayaka yang segera menghampiri gadis itu.
Mata Maya terbuka dengan sayu.
"Ini... dimana?" tanyanya lemah.
"Kau pingsan karena kondisi tubuhmu lemah! Badanmu demam tinggi. Rei
membawamu ke sini dan mengabari kami. Dia bilang kau tidak makan
berhari-hari."
Dengan segera pikirannya ingat lagi kepada Masumi. Pria itu
tak ingin berhubungan lagi dengannya.
Dan airmata Maya kembali bercucuran.
"Sebetulnya,
kondisi badan Maya semuanya baik, hanya tidak ada asupan gizi yang membuatnya
jadi lemah dan sepertinya Maya sedang memikirkan hal yang berat. Coba dilupakan
dulu masalahnya, kalau kondisi tubuhmu membaik, kau bisa melakukan apa saja.
Tapi jika sakit seperti ini, kau tidak bisa melakukan apa pun kan? Termasuk
menyelesaikan masalahmu." nasehat Dokter wanita yang menangani Maya.
Maya hanya terdiam
membisu mendengar ucapan dokter itu.
Selama Maya berada di
rumah sakit beberapa temainnya menjenguk, termasuk teman teaternya dan juga
Sakurakoji. Malah sakurakoji sempat menunggui Maya beberapa lama sebelum ia
harus pergi untuk latihan.
Maya menghabiskan tiga
malam di RS itu sebelum dokter memperbolehkannya untuk pulang.
"Maya, jaga
kondisi badanmu baik-baik. Kalau bisa aku tidak ingin melihatmu lagi,"
kata dokter itu seraya tersenyum.
"Terima kasih
Dokter," pamit Rei.
Keduanya lantas
berjalan menyusuri selasar rumah sakit. Selama Maya dirawat di sana, Rei
menyadari bahwa sama sekali tidak ada kiriman bunga dari Mawar Ungu, juga tidak
ada bantuan dana darinya. Rei yakin murungnya Maya juga berhubungan dengan hal
itu. Ia masih tidak tahu apa sesungguhnya yang terjadi pada hari itu saat Maya
menemui Mawar Ungu. Sejak hari itu juga tidak ada kata-kata yang keluar dari
mulut Maya. Ia hanya terdiam dan menangis.
Sekarang pun
ekspresinya kosog saja, begitu juga tatapan matanya. Maya memang bisa begitu
bersemangat namun di lain waktu ia juga bisa begitu perasa dan tenggelam dalam
kesedihannya.
Rei menyampirkan
tangannya di bahu gadis itu.
"Maya, kau jangan
begini terus... Katakan kepadaku ada apa? Dokter bilang, kau tak boleh memendam
masalah, kau harus mencoba bercerita, agar bebanmu lebih ringan," bujuk
Rei saat keduanya keluar dari rumah sakit.
Namun sekali lagi Maya
hanya membisu. Ia begitu sedih menyadari bahwa orang yang paling penting
baginya, kini meninggalkannya.
Saat itulah sebuah
ambulan yang baru masuk menurunkan seorang pasien di bagian gawat darurat. Dua
orang petugas menurunkan sebuah brankart dengan cepat. Seorang pria tampak
terbaring dengan mata terpejam, dari kepalanya darah bercucuran.
"Masumi Hayami,
30 tahun, kecelakaan mobil, kepalanya terluka dan tidak sadarkan diri,"
terang petugas penyelamat kepada petugas medis yang menerima mereka.
Pak Masumi!? Mata Maya
membulat saat melihat tubuh gagah Masumi yang kali ini tanpa daya didorong
masuk ke dalam bagian gawat darurat.
Rei terlonjak,
"Wah, Maya! Itu barusan--"
"Pak
Masumi!" seru Maya. Ia segera melepaskan diri dari rangkulan Rei dan
berlari mengejar brankart yang membawa pria yang dicintainya. "Pak
Masumi!!" panggilnya.
"Pak Masumi! Pak Masumi!!" panggil Maya dengan panik seraya
berhambur menghampirinya.
"Pak Masumi!"
"Nona! Apa yang Anda lakukan? Jangan mendekat!"
"Lepaskan aku! Aku mengenalnya!" seru Maya dengan kekuatan yang
entah dari mana datangnya.
"Nona, berhenti Nona," cegah seorang petugas. "Anda mengenalnya?"
"Ya, dia... Dia..."
"Anda kerabatnya?"
"Ya! Dia... Aku mengenalnya! Apa yang terjadi dengannya?
Kumohon, beritahu aku..." dan airmatanya kembali berderai.
Petugas itu hanya mengamatinya dengan simpati.
"Tenanglah Nona, dia mengalami kecelakaan, tim medis kami akan segera
merawatnya. Apa Anda tahu orang yang bisa kami hubungi atau Anda sebaiknya
menghubungi orang yang bertanggung jawab--"
"Nona," Maya berbicara dengan menghiba.
"Dia akan selamat kan? Katakan dia akan baik-baik saja."
"Kami pasti akan mengusahakan yang terbaik.
Anda tenanglah."
"Pak Masumi..." dengan getir Maya
mengamati tubuh pria itu menghilang di balik pintu. Ia sungguh tak mengira saat
ia bertemu lagi dengan Masumi, ia akan melihat pria itu dalam keadaan
sedemikian. Tubuh Maya gemetar dan ia menangis.
Rei menyaksikan itu semua dengan penuh tanya,
"Maya...?"
"Pak Masumi,
sudah waktunya makan siang. Anda pasti ingat sekarang anda ada janji makan
siang dengan--"
"Dan kau pasti
ingat bahwa aku tidak ingin bertemu siapa-siapa!" bentak Masumi dengan
wajah geram.
Mizuki menelan
ludahnya. "Tapi Pak--"
"Batalkan janji
makan siangnya, atau kau tak usah lagi datang ke Daito besok!"
"Saya mengerti
Pak," jawab Mizuki akhirnya.
Sang sekretaris lantas
keluar dari ruangan itu, meninggalkan Masumi hanya dengan rokoknya.
Pria itu menyesap
rokoknya kuat-kuat. Lantas menjejalkannya dalam-dalam ke atas asbak.
"Ah, Brengsek!!
Sialan!!!" umpatnya dengan penuh kemarahan. Diamatinya setumpuk dokumen
yang harus dibacanya.
Sejak kapan ia hanya
selalu ditemani setumpuk dokumen? Sejak belasan tahun yang lalu. Namun, mengapa
sekarang semua rasanya begitu hampa? Ia begitu tersiksa. Begitu kesepian.
Dengan kedua siku
bertumpudi atas meja, kedua kepalannya saling menggenggam erat dan kuat, seakan
memohon dengan sangat bahwa semua ini tidak benar. Masumi menyandarkan kepala
di lengannya, menunduk, memejamkan matanya dengan dalam.
Maya sudah tahu siapa
dia, dan gadis itu tak ingin berhubungan dengannya lagi. Ia membencinya.
Dibenci sebagai Masumi
Hayami sudah mulai terbiasa walau selalu menyakitkan. Namun, dibenci sebagai
Mawar Ungu ternyata rasanya hampir mematikan. Masumi sangat menderita menyadari
ia tak bisa menjamah hati gadis itu lagi bahkan dari balik bayangan.
Ternyata memang
keputusannya membuka jati diri Mawar Ungu adalah kesalahan fatal. Sekarang,
semua pintu untuknya sudah tertutup/
"Maya...."
gumamnya pedih.
Masumi kehilangan
selera makannya, bahkan selera hidupnya. Tak ada musik yang merdu di
telinganya, tak ada juga drama atau film yang seru baginya. Tak ada makanan
lezat, hanya rokok yang membuat dadanya sesak dan alkohol yang mengurangi
kesadarannya yang menjadi teman Masumi sejak ia kembali dari Tropicana.
Diamatinya kedua
tangannya yang biasa kokoh kini gemetar.
Ia terlonjak saat
ponselnya berbunyi. Ia tahu itu dari Hijiri.
Bawahannya itu sudah
tahu mengenai apa yang terjadi hari itu. Maya melihat Masumi dan memutuskan tak
menemuinya. Gadis itu pergi dengan marah dan kecewa. Maya juga tak mengatakan
apa-apa kepada Masumi dan ia tak pula menghubungi Hijiri. Saat mereka bicara di
sebuah tempat rahasia, Hijiri mengatakan ia akan bertanya kepada Maya, Masumi mencegahnya.
"Tak ada gunanya. Aku tak ingin mengusiknya lagi, Hijiri. Ia sedang
mempersiapkan pementasan yang penting. Aku yang bodoh, mendatanginya saat
seharusnya aku menghilang."
"Tapi Tuan,
mungkin saja Maya hanya terkejut, jika Anda bisa mendekati dan menjelaskan
perasaan Anda yang sesungguhnya, aku yakin--"
"Persetan dengan
keyakinanmu itu!" tukas Masumi dengan teramat marah. "Sebelumnya kau
pun yakin semua baik-baik saja! Kau tidak mengerti! Aku ini makhluk yang paling
dibencinya! Kau tidak akan pernah paham berapa dalam rasa sakit yang ia
torehkan setiap mengucapkan penolakan!" ucap Masumi getir.
Sejak itu Hijiri tak
mengungkit mengenai Maya lagi, hingga hari ini bawahannya itu menghubunginya.
"Pak Masumi, saya
mendapat kabar Nona Maya masuk rumah sakit," terang Hijiri.
"Apa!?"
Masumi terkesiap. "Dia kenapa!? Ada apa dengannya!? Dimana dia
sekarang!?" seru Masumi setengah
terpekik.
"Saya baru
mendapat kabar bahwa Maya sudah tidak latihan berhari-hari sejak Maya dan Anda
gagal bertemu, setelah itu Maya masuk rumah sakit dikarenakan kondisi tubuhnya
melemah. Maya tidak makan berhari-hari dan ia jatuh sakit dan pingsan."
"Maya...
dia..." desis Masumi, tangannya sedikit gemetar. "Lalu...
keadaannya...?"
"Maya sedang
diopname, mungkin untuk beberapa hari Maya tidak bisa beraktivitas.
Teman-temannya dari Mayuko bergiliran menjaganya," terang Hijiri dengan
nada suara yang tenang, menahan rasa simpatinya. "Tuan... saya rasa, Anda
lebih baik..."
"Terima kasih
Hijiri," potong Masumi. "Tolong awasi pementasan Bidadari
Merah."
"Ha?
Lalu...?"
"Cukup awasi
persiapan pementasannya saja. Jika semua sudah berjalan baik lagi, kabari
aku."
Hijiri mengerti, bahwa
Masumi hanya berharap Maya dapat kembali berlatih Bidadari Merah. Jika tim
Kuronuma sudah bisa berlatih kembali, artinya Maya sudah sehat lagi.
"Baik kalau
begitu," Hijiri menutup sambungannya.
Masumi termangu
beberapa waktu. Maya sakit? Hingga diopname...
Maya... Kau kenapa?
Apakah kebencianmu kepadaku yang telah membuatmu terpukul hingga jatuh sakit?
Apakah ini juga kesalahanku hingga kau sakit seperti ini? Batin Masumi dengan
begitu sendu.
Masumi ingat kembali,
dengan apa yang terjadi dengannya saat ia menyadari Maya sudah tak ingin
berhubungan dengannya lagi. Masumi merasa begitu hampa dan tak berarti, pahit.
Ia tak ingin hidup lagi, tak ingin melakukan apapun. Hanya rokok dan alkohol
yang menemaninya. Bahkan Masumi sempat menghentikan mobilnya di sebuah
jembatan,dan berpikir melompat dari sana. Karena bagamana pun ia berusaha
menutup diri dari semua kabar dari Maya, semua tentang gadis itu sudah ia hapal
di luar kepala, Jiwanya merindukannya, mengharapkan keberadaannya yang tak
pernah benar-benar ada.
Hanya ada satu hal
yang mencegah Masumi melompat. Mimpi. Ya, sebuah mimpi. Dan itu bukan mimpinya,
melainkan mimpi Maya. Bidadari Merah. Ia tahu ia sudah tak bisa lagi
membantunya sebagai mawar ungu, namun Masumi tetap ingin memastikan gadis itu
akan mendapatkan impiannya. berdiri di atas panggung sebagai seorang Bidadari
Merah.
Pintu yang terbuka
mengejutkan Masumi dari lamunannya. Dan wanita itu di sana.
"Masumi..."
sapa Shiori dengan datar, dan getir.
"Kau..."
sapa MAsumi perlahan.
"Kenapa kau
selalu menghindariku?" tanya Shiori. "Kenapa kau tidak menerima
teleponku?"
"Shiori..."
Masumi mendesah gusar. "Aku sedang banyak pekerjaan, aku--"
"Sibuk
mabuk-mabukan? Sibuk menghabiskan waktu sendirian?" tanya Shiori.
Masumi terenyak,
menatap Shiori tak suka. "Sejak kapan kau memata-mataiku?" tanyanya
sinis. Alkohol sudah membuat sopan santunnya hilang.
"Masumi...!'
Shiori terkejut dengan sikap kekasihnya. "Aku ini calon istrimu! Apa kau
tidak boleh mengetahui apa yang terjadi dengan tunanganku?"
Masumi menghela
napasnya. "Ya Shiori, aku tidak pernah lupa. Namun apa yang kukerjakan,
tidak ada sangkut pautnya dengan statusmu sebagai clon istriku."
"Masumi...!"
Mata Shiori berkaca-kaca. "Kau ini sebetulnya kenapa!? Sejak makan siang
itu kau jadi bersikap aneh! Kau sangat tidak acuh kepadaku! Shiori...
Shiori.... Shiori tahu... bahwa Shiori selalu saja merepotkan! Shiori memang
wanita yang menyusahkan! Wanita tidak berguna!"
Masumi terkejut
mendengar perkataan wanita itu dan tersadar bahwa ia telah menyakiti
perasaannya. Namun kali ini, perasaannya juga tengah terluka. APakah ada yang
peduli mengenai hal itu?
"Shiori, maaf,
ada banyak halyang harus kupikirkan dan kukerjakan, nanti, jika aku sudah punya
waktu luang--"
"Masumi, bukan
begitu..." Shiori beranjak mendekat, dengan airmata yang mulai menetes.
"Apa kau tak juga mengerti, bahwa aku mengkhawatirkanmu, Masumi?"
tanyanya, seraya menyentuh lengan MAsumi. "Aku bukan hanya ingin bersamamu
saat kau luang, atau hanya ingin pergi bersenang-senang... Aku juga ingin tahu,
apa yang mengganjal di hatimu, apa yang kaupikirkan, apa yang menyusahkanmu?
Apakah aku begitu tidak bisa diandalkan?" tanya wanita itu dengan suara
bergetar. "Bukakah nanti kita akan menjadi suami istri? Menghabiskan waktu
bersama seumur hidup... AKu tidak ingin selamanya tak pernah tahu isi kepala
dan hatimu Masumi..."
Shiori lantas memeluk
pria itu dan menangis di dadanya. "Kumohon Masumi, terimalah aku dengan
seluruh hatimu."
Shiori... Masumi
mengeratkan rahangnya.
Apa yang telah
dilakukannya? Ia sudah menyakiti hati Maya, gadis yang dicintainya. Dan ia juga
sudah menyeret-nyeret Shiori dalam keegoisannya. Wanita yang begitu lembut, dan
tulus mencintainya dengan rasa cinta yang begitu besar. Pria itu memejamkan
matanya getir.
"Maaf Shiori...
maaf, aku tak pernah bermaksud seperti itu..." katanya pelan.
"Pulang,"
perintah Shiori kepada sopirnya.
Mobil itu pun melesat
meninggalkan Daito.
Wanita itu memainkan
sapu tangannya. Meremasnya gelisah. Ia bisa melihat perubahan dari Masumi.
Rautnya yang serius dan tidak ramah. Pria itu tampaknya tak bercukur dan
bersolek belakangan. Aroma alkohol dan asap rokok bahkan tak dapat
disembunyikan oleh parfumnya yang mahal.Wajah dan tubuhnya semakin kurus.
Ia sungguh tak
mengira, ternyata Maya Kitajima begitu berarti bagi calon suaminya.
Saat Maya mendapat
undangan dari Mawar Ungu, dan Shiori berhasil mengetahui bahwa memang Mawar
Ungu dan Masumi itu berkaitan, Shiori sungguh gelisah. Ia tak tahu perasaan
macam apa yang Masumi miliki kepada gadis itu, namun Shiori, sebagai seorang
wanita merasakan ancaman dari keberadaan Maya. Pasti bukan semata-mata karena
Maya adalah calon Bidadari Merah, karena nyatanya, Maya menerima Mawar Ungu
sejak pertama kali ia pentas, 7 tahun yang lalu. Dan, semenjak itu juga Mawar
Ungu tak pernah berhenti mengiriminya bunga, bahkan menyekolahkan dan memberikan
banyak bantuan lain.
Ia tidak tahu apakah
memang Masumi yang akan menemui Maya atau bukan. Dengan berspekulasi bahwa
Masumi lah yang menunggu Maya datang ke Tropicana, akhirnya Shiori dengan
dibantu sepupunya, Yamashita, berhasil membuat skenario agar Masumi dan Maya
tidak bertemu. Yamashita meyakinkan kepada manajer restoran agar gadis yang
menyebut-nyebut Mawar Ungu dibawa kepadanya. Dan jika ada Masumi datang ke
restoran itu, sang manajer diminta menghubungi Shiori.
Dan alangkah
terkejutnya Shiori saat ia diberi tahu, bahwa Masumi memang datang ke sana.
Akhirnya Shiori yang datang menemui Masumi sementara Maya dibawa ke ruangan
lain dimana Yamashita menunggu dan berpura-pura sebagai asisten Mawar Ungu yang
meminta gadis itu tak mengungkit-ungkit masalah mawar ungu lagi.
Aku harus mengawasi
mereka... tekad Shiori. Ia harus memastikan Maya dan Masumi tidak akan bisa
saling berhubungan lagi. Kalau perlu, ia akan membuat keduanya saling membenci.
=//=
Masumi mengurut-urut
kepalanya. Pening. Walaupun baru bangun tidur, Masumi sama sekali tidak merasa
segar.
"Tuan Muda, hari
ini ingin sarapan apa?" tanya Mariko seperti hari-hari sebelumnya di mana
Tuan mudanya itu tidak sarapan.
Masumi tahu seharusnya
ia memberikan asupan gizi untuk tubuhnya, namun ia sama sekali tak berselera.
Perutnya terasa penuh dan mual dan mulutnya terasa pahit.
"Kopi saja,"
pinta Masumi.
Mariko menatap Tuan
Mudanya dengan khawatir, ia lantas berlalu dari kamar pria itu. Masumi menghela
napasnya keras. Ia benar-benar gelisah dan resah. Kepalanya sangat pusing
dibebani berbagai pikiran yang mencengkeramnya. rasanya ia ingin berteriak
saja, ingin marah, membanting semua yang ada di dekatnya.
Bahkan setelah mandi
dan berpakaian lagi, ia masih merasa tak menentu.
"Mizuki, aku akan
datang sedikit terlambat," katanya,"Mh, tidak... aku... kurasa hari
ini aku tidak akan masuk. Aku kurang enak badan," koreksinya yang untuk
pertama kalinya absen bekerja karena sakit. "Ya, Mizuki, aku sakit,"
ulang Masumi meyakinkan sekretarisnya.
Masumi merasakan
tubuhnya sedikit demam. Ia tahu bukan hanya fisiknya yang sakit. Ia harus
pergi, menyepi. Masumi bermaksud pergi ke Izu.
"Aku menyetir
sendiri saja," katanya kepada sopir, "Dana katakan kepada Ayah aku
tak akan pulang hingga akhir pekan aku mau pergi keluar kota," kali ini
kepada pelayan mereka.
Masumi lantas pergi
dari kawasan rumahnya dengan perasaan tak menentu. Bayangan Maya tak juga
meninggalkannya. Menyiksa pria itu kala matanya terbuka juga kala tertidur.
Maya sakit...
diopname... tubuhnya lemah... ucapan Hijiri kembali terdengar dan seiring
dengan itu denyutan di jantung Masumi menghantarkan kenyeian ke seluruh
tubuhnya.
Maya sakit... sakit...
"Ckiit!!"
Masumi merem mobilnya. Ia harus melihat keadaannya. Asal melihatnya saja dulu.
Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan, namun setidaknya Masumi harus tahu
keadaan Maya dengan pasti. Ia akan meminta maaf jika perlu, membiarkan gadis
itu mencaci dan memakinya jika itu yang diinginkannya. Ia akan menerima
hukumannya sebagai seorang pengecut jika itu yang akan membuat Maya bangkit dan
bukannya tergolek tak berdaya.
Maya.... Kepala Masumi
berdenyut sakit. Ia menyipitkan matanya beberapa detik.
"TIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTTT!!!!"
sebuah mobil mengklakson dengan sangat keras.
Masumi membuka
matanya, membulat lebar, dengan segera ia membanting setirnya.
"BRUAAAAAKKKK!!!"
mobil Masumi terbanting dan menabrak sebuah pohon.
"TIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTT" klaksonnya menjerit.
"Ada
kecelakaaan!! Ada yang kecelakaan!!"
=//=
Rei memeluk Maya yang tengah tergugu dengan erat. Tanda tanya besar masih
memenuhi kepalanya. Kenapa Maya menangisi Masumi sedemikian rupa?
Gadis itu bahkan bersikeras tidak akan meninggalkan Masumi yang kini
terbaring.
"Tunggu sebentar, kuambilkan minum ya..." kata Rei.
Ia lantas meninggalkan Maya sendirian untuk
mengambilkan air minum bagi Maya.
Gadis itu tampak masih sangat resah saat Rei kembali.
"Minumlah Maya."
Gadis itu lantas meminum air yang dibawakan Rei. Ia
tampak lebih tenang.
"Bagaimana perasaanmu? Sudah lebih baik?"
Maya hanya mengangguk tipis. Tidak
berapa lama para dokter keluar, membawa Masumi. Maya segera berdiri
menghampiri. "Bagaimana keadaan Pak Masumi?" tanya Maya.
"Dia masih pingsan, kami akan membawanya ke
ruang ICU. Anda tenang saja, sejauh ini tidak ada cedera yang sangat serius,
hanya luka di kepala yang cukup mengkhawatirkan dan sudah kami tangani. Saat
ini Pak Masumi sedang berada dalam kondisi kritis, semoga saja semuanya bisa
berlalu dan Pak Masumi bisa segera sadarkan diri," terang dokter tersebut.
"Apakah keluarga korban belum ada yang datang?"
Maya menggeleng. Ia sendiri tidak tahu, kenapa
hingga saat ini belum ada yang datang dari pihak keluarga Hayami.
"Pak, bolehkah.... saya melihat
keadaannya?"
"Ya, tapi Anda tidak boleh ribut dan
mengusiknya," terang dokter itu.
Maya mengangguk.
=//=
"Tuan, ada kabar bahwa tuan Masumi
kecelakaan," terang Asa kepada Tuan besarnya yang sedang berobat di sebuah
pemandian air panas.
"Kecelakaan? Lantas bagaimana?"
"Saya belum tahu, saya akan pulang
sekarang."
"Ya. Kabari aku," ujar eisuke dengan
gelisah.
Anak itu, bagaimana bisa di saat genting seperti
ini malah kecelakaan!!
=//=
Shiori terbangun dengan kepala berdenyut-denyut.
"Shiori! Kau tidak apa-apa? Jangan dulu
bangun!" sergah ibunya.
Shiori berusaha mengingat apa yang tengah terjadi.
Oh, benar. Ia sedang di villa keluarga pamannya, merayakan kelahiran cucu
mereka. Lantas... berita di televisi bahwa Masumi kecelakaan, Shiori sangat
terkejut dan jatuh pingsan.
Masumi....
"Mama! Masumi! Masumi!" Shiori kembali
histeris. "AKu harus menemui Masumi!" Ia memaksa untuk beranjak.
"Shiori, jangan!
Kau masih--"
"Akh!"
Shiori hampir saja tumbang lagi.
"Kau sedang tidak
sehat, Shiori! Jangan memaksakan diri..."
"Masumi....
MAsumi..." isaknya lemah, namun ia tak dapat melakukan apapun, tubuhnya
begitu tak berdaya.
"Kau tenanglah,
kita bisa melihat kabarnya dari berita, nanti kalau kau sudah sehat, kau bisa
menemuinya."
Shiori bernapas dengan
berat, Masumi... maaf, aku tak bisa berada di sisimu, MAsumi, kuharap kau
baik-baik saja.... harapnya. Masumi.... ia terus menangis.
=//=
Maya memasuki ruang rawat Masumi
yang sepi senyap. Hanya terdengar alat monitor jantung dan detik jam yang
mengisi keheningan itu, dan sesekali isakan tertahan Maya.
"Pak masumi..." Maya
menangkup bibirnya, agar tak bersuara terlalu keras. Gadis itu berjalan
mendekati Masumi dengan tatapan nanar.
Perban membalut kepala Masumi dan
juga telapak tangannya. Untunglah dokter mengatakan tak ada yang perlu
dikhawatirkan dengan anggota tubuh Masumi. Hanya kepalanya yang terluka cukup
parah dan ada beberapa luka di wajahnya. Kesadaran Masumi sendiri terancam
karena kandungan alkohol dalam tubuhnya.
"Kau... kurus sekali,"
sapa Maya dengan berbisik dan getir. Diusapnya tangan Masumi perlahan.
Memang Masumi tampak begitu pucat
dan kurus. Maya teramat sedih melihatnya. Dipandanginya kekasih hatinya itu.
"Pak Masumi... Mawar Unguku...
segeralah sembuh, ayo bangun, buka matamu," harap Maya seraya mengusap
pipi Masumi. "Pak Masumi..." maya berdesis perlahan. "Aku tahu,
kau tidak mau bertemu denganku lagi. Tapi, aku hanya ingin kau bangun dan sehat
lagi seperti dulu. Kalau kau sudah baik, lagi, aku janji... aku berjanji akan
mengikuti keinginanmu... aku tak akan mengusikmu... Aku akan pergi..."
isak Maya.
Aku akan pergi...
Aku akan pergi...
Gadis itu pergi, menjauh, ke
kegelapan.
Maya...! Maya...! panggil Masumi.
Kau mau kemana? Pergi kemana? Kenapa kau pergi? Kenapa kau tidak mengijinkanku
membantumu lagi? Maya...! Maya....!
Dalam bayangannya Masumi mencari,
mengejar Maya. Gadis itu tak juga terlihat, sekelilingnya hanya gelap pekat.
Tidak, Maya.... jangan tinggalkan
aku, jangan biarkan aku sendirian... aku takut... aku kesepian... batinnya
dengan galau.
Maya.....!!!
Gadis mungil itu duduk, dengan wajah
tertelungkup di atas kedua tangannya. Tubuhnya bergetar, dia menangis.
Maya.... Masumi menghampirinya. Kau
di sini, akhirnya aku menemukanmu. Kenapa kau menangis? tanyanya.
Maya mengangkat wajahnya yang
berderaian airmata.
Kenapa kau menangis? tanya Masumi,
mengangkat dagu gadis mungil itu. Kenapa kau pergi dariku.
Maya tak menjawab, dan hanya
menangis. Anda membenciku, Maya berkata.
Tidak! Aku tak pernah membencimu.
Aku sama sekali tak membencimu.... Aku... aku... Aku mencintaimu Maya... Masumi
berkata, Aku sangat mencintaimu. Aku tak sanggup kehilanganmu. Kau jangan
meninggalkanku sendirian, kalau kau pergi, aku tak mau hidup lagi!
Pak Masumi? Mata gadis itu menatap
nanar, Anda tidak boleh berkata seperti itu! Anda harus bertahan!
Tidak bisa! Aku tidak sanggup jika
kau meninggalkanku, jika kau--
Tidak, Pak Masumi! Aku
mencintaimu, ucap gadis mungil itu. Aku sangat mencintaimu...! Maya memeluk
Masumi erat.
"Aku mencintaimu,
Pak Masumi," Maya mengusap wajah Masumi yang masih terpejam.
"Bangunlah..."
isaknya. "Bangunlah," dikecupnya halus bibir Masumi. "Aku sangat
mencintaimu."
"Mmh..."
gumam Masumi, "Ma.... ya...." ucapnya lirih.
Maya terenyak mendengar ucapan
Masumi. "Pak.... Pak... Masumi? Kau sudah bangun? Pak Masumi..."
desisnya tak percaya. Ia masih berusaha menahan suaranya karena takut megusik
Masumi.
"Ma... Ya..." pria itu
kembali bergumam dengan sangat lemah.
Pak Masumi.... dia menyebut namaku!
Dia mendengarku! Pikir Maya dengan terharu. Aku harus segera memanggil dokter!
Maya beranjak dari ruang ICU, dia
memanggil seorang perawat yang kemudian masuk dengan dokter. Maya menunggu
dengan gelisah, menanti kabar mengenai kekasihnya.
Dokter memeriksa keadaan Masumi,
bertanya ini dan itu, apa yang dia rasakan. Masumi masih sangat lemah. Ia
berusaha mengingat, namun ia tak sanggup ingat, kenapa ia sampai ada di sini.
Yang masumi tahu, ia tadi mendengar suara Maya. Mayanya.
Maya yang memintanya bertahan, Maya
yang mengatakan mencintainya. Apakah itu semua hanya mimpi atau ilusi? Tidak...
"Maya..." gumam Masumi.
"Maya..." panggilnya lagi.
"Tuan, Anda jangan dulu terlalu
banyak bergerak, istirahatlah, saya akan meminta orang yang menunggui Anda
masuk. Anda tenanglah, semua baik-baik saja..."
Masumi tak berkata apa-apa lagi
walau hatinya masih memanggil-manggil nama Maya.
Dokter keluar, beberapa saat Masumi
hanya ditemani oleh seorang perawat, sebelum kemudian pintu kembali terbuka,
seseorang masuk.
Dia gadis mungil, berambut hitam dan
bermata bulat. Wajahnya sembap.
Maya... Masumi terkesiap.
"Pak, Pak Masumi..." Maya
terisak pelan seraya menghampirinya.
"Mungil..." desis Masumi.
Ia tidak bermimpi, gadis itu sungguh ada. Suara yang didengarnya, sentuhan yang
dirasakannya...
"Tuan Masumi sudah sadar, namun
beliau masih harus beristirahat total," terang perawat itu. "Saya
akan meninggalkan kalian berdua, kalau ada apa-apa silakan panggil saya."
Maya mengangguk.
Saat tatapannya beralih kepada
Masumi, pria itu tengah menatapnya.
"Pak... Pak Masumi..."
Maya berkata, dengan suara serak. wajahnya memanas ingat tadi dia mencium bibir
pria itu saat masih belum sadar. Ia yakin Masumi tak mengetahui perbuatannya,
namun ia tetap merasa malu.
"Mungil..." sapa Masumi
perlahan.
Ia teringat sesuatu. Maya, dia sudah
tahu bahwa dirinya Mawar Ungu. GAdis itu menolaknya, tak ingin berhubungan lagi
dengannya. Kenyataan itu menyayat hatinya, membuat Masumi merasa pilu dan
sendu. Namun ternyata, takdir telah mempertemukan mereka. Di sini.
Ia tahu apa yang terjadi dengan
Maya, gadis itu begitu trpukul mengetahui siapa Mawar Ungu hingga dia jatuh
sakit. memang sekarang pun wajah Maya begitu kuyu dan sembap. Ini semua...
kesalahannya...
"Kau... Apa kabar?" tanya
Masumi, berusaha menghalau rasa lemas dan sakit di tubuhnya. Ia berusaha
menahan denyutan menyakitkan di kepalanya. Namun suaranya yang begitu lemah
tidak bisa bohong.
"Pak Masumi, jangan dulu banyak
bicara," kata Maya, menghampiri Masumi dengan wajah khawatir. "Dokter
bilang Anda harus istirahat total."
"MUngil..." masumi begitu
tersentuh dengan perhatian gadis itu. "Kau baik?" tanya Masumi lagi.
"Ya... ya... a, aku baik. Aku
kebetulan sedang berada di sini saat tadi melihat Anda," Maya menegaskan
bahwa keberadaannya adalah ketidaksengajaan. Ia tahu MAsumi tak menginginkan
kehadirannya. "Nanti, jika... kerabat Anda sudah datang, aku akan
pulang," terang Maya, menahan isakannya.
Masumi terdiam mendengar ucapan
Maya. Ia berpikir, pastilah Maya memang tak ingin bersamanya terlalu lama.
Masumi membisu. Gadis itu sudah mengetahui siapa dia, dan, Maya tak ingin
menerimanya sebagai Mawar Ungu.
Padahal, dalam mimpinya tadi, Maya
berkata tak akan meninggalkannya. Mengatakan bahwa dia mencintainya. Ternyata
semua itu hanya ilusi belaka?
"Mungil," panggil Masumi
perlahan. "Ada yang ingin kukatakan..."
"Pak Masumi, Anda jangan
mengatakan apa-apa dulu. Anda harus beristirahat."
"Maaf," ujar Masumi.
Maya tertegun. Maaf?
"Maaf, untuk semua yang pernah
kulakukan kepadamu... Aku tahu kau membenciku karenanya."
"Pak Masumi? a, aku..."
"Kuharap, walaupun kita tidak
akan berhubungan lagi, setidaknya kau akan memaafkan kesalahanku
kepadamu."
Tidak akan berhubungan lagi? Maya
terdiam. Pak Masumi pasti membicarakan mengenai Mawar Ungu, batin Maya. Seperti
yang Pak Yamashita katakan. Jika itu yang Pak Masumi inginkan...
Maya mengangguk.
"aku tidak ingin membicarakannya,"
Maya menahan isakannya. "Saat ini Anda sedang sakit,jadi--"
"Maya, maukah kau...
memberikanku kesempatan bicara?" tanya Masumi penuh harap. "Aku, akan
menjelaskan semuanya..."
"Pak Masumi, aku sudah
memaafkan kesalahan Anda. Anda jangan khawatir. saat ini, yang penting, Pak
Masumi baha--"
"Brak,' pintu terbuka.
Tampak Asa masuk bersama dua orang
pegawai hayami. "Tuan Muda," sapanya. "Maaf kami terlambat
datang."
Ya, Masumi tahu bahwa Ayahnya dan
Asa sedang berada di luar kota.
"Tidak masalah. Kedatanganmu
tidak berpengaruh banyak." ujar Masumi. "Semua masalah pembayaran
ditangani asuransi, jadi kau ada pun tak ada gunanya."
"Tuan Muda!" tukas Asa
dengan kesal.
Maya terdiam ia sedikit rikuh saat
Asa mengamatinya.
"Sa, saya MAya kitajima!"
Maya membungkuk. "Sa, saya kebetulan sedang beraa di sini, dan, dan sa,
saya mengenal Pak masumi, jadi... saya... uhm.. sa, saya pamit dulu!" Ia
lantas beralih kepada Masumi. "Pak Masumi, semoga Anda lekas sembuh!"
sekali lagi ia membungkuk Maya lantas keluar dari sana.
Namun, saat Maya beranjak, masumi
bisa melihat airmata menetes di pipi gadis itu.
Masumi termangu. Ia sebenarnya ingin
menjelaskan mengenai perasaannya sebagai mawar ungu yang tulus mendukung Maya.
Namun tampaknya gadis itu sudah tak ingin mendengarkannya lagi. Namun, kenapa
Maya menangis sedih? Ia sama sekali tak tampak marah... Mungkinkah ada
kesempatan Maya akan menerimanya sebagai Mawar ungu? dan... sentuhan itu...
ucapan mesra dan lembut itu... ciuman itu... apakah ilusi?
=//=
Rei mengamati maya dengan bingung.
"Ada apa, Maya?" tanya Rei. "kenapa kau menangisi Pak masumi
seperti itu?"
"Rei.... Pak Masumi itu, Mawar
Unguku..." Maya berkata dengan airmata berderaian. "Dia Mawar
Unguku... sekarang dia sakit, dia... dia tak ingin bertemu denganku lagi."
"APA!?" Rei benar-benar
sangat terkejut dengan ucapan Maya. "Kau bilang apa?"
"Ya. Pak Masumi itu Mawar
Ungu," ia menjelaskan. Bagaimana ia sudah mengetahui semuanya, bagaimana
Masumi begitu baik hati dan semua kebetulan yang maya temukan. Walaupun masumi
belum mengakuinya sendiri dan akhirnya meminta agar hubungan mereka selama ini
diputuskan. Maya menangis saat menjelaskan itu semua.
Rei sungguh terkejut dan tak percaya
mendengarnya, terutama saat Maya membuat pengakuan, "Aku jatuh cinta
kepada Pak Masumi... Aku mencintainya, Rei... tapi tidak boleh..."
Rei benar-benar merasa berada dalam
mimpi. Maya? Mencintai masumi? pria itu mawar ungunya? Masumi hayami yang ITU?
Namun melihat keadaan Maya, Rei tahu gadis itu tak berbohong. Apalagi, jika
dipikir-pikir, Masumi memang puya kemungkinan yg besar sebagai mawar Ungu. Dia
selalu tahu apa yang sedang Maya lakukan. Dan, Rei dari dulu bisa melihat
perhatian Masumi kepada Maya.
"Lalu bagaimana?" tanya
Rei. "Kau akan melaluinya, Maya, tenanglah,sabarlah, pasti ini semua yang
terbaik untukmu dan dia."
Ya. Mungkin masumi memang hanya
menyukai Maya sebagai aktris, dan sebagai penghormatan kepada calon istrinya,
sudah selayaknya ia memutuskan hubungan dengan Maya. Namun, Maya sudah
terlanjur jatuh cinta. Rei kasihan kepada sahabatnya itu.
"Rei... Aku tidak bisa tenang
jika tidak tahu keadaannya. Aku... aku akan menjenguknya setiap hari,"
putus Maya.
Seperti yang sudah dikatakannya. Maya
mengunjungi Masumi setiap ada waktu. Ia diam-diam mengintip keadaan masumi yang
tampaknya sudah lebih baik. Maya tidak berani memperlihatkan dirinya, apalagi
jika Shiori sedang ada di sana. ya, sesekali calon istri masumi itu datang,
menemani Masumi selama berjam-jam. Jika sudah demikian, Maya akan pergi dari
rumah sakit.
Lain halnya saat Masumi sedang
dibiarkan sendirian. Maya akan mengintipnya dari balik pintu, melihat pria itu
termangu diam saja, dan Maya mulai bertanya-tanya, apa yang ada di dalam
pikiran pria yang dicintainya itu. Jika Masumi hampir memergokinya, ia akan
sembunyi. Maya jadi diam-diam mengintainya.
Siang ini, Suster mengatakan bahwa
Masumi sedang beristirahat tidur siang kepada semua orang yang ingin
menjenguknya. namun, saat Maya mengintipnya, Masumi terdiam nyalang. Mungkin ia
hanya ingin dibiarkan sendirian.
Saat itulah Masumi tiba-tiba
berusaha bangun. Napasnya agak terengah-engah. kakinya berusaha menjejak turun
dari tempat tidur. Namun,
"akh!" masumi merasakan
kepalanya pusing dan tubuhnya lemas. ia hampir saja ambruk jika pintu tidak
tiba-tiba terbuka dan seseorang menangkap tubuhnya.
"Pak Masumi! Anda tidak
apa-apa?" tanya Maya dengan khawatir.
Masumi terenyak, menyadari siapa
yang menangkapnya. "MUngil?"
"A, anda kenapa turun dari
tempat tidur?" tanya Maya dengan khawatir. "Anda masih harus banyak
beristirahat. Jika ada yang Anda butuhkan, biar kubantu," Maya berkata.
"Mu,mungil... kau... di
sini?"
Setiap hari dia di sini. "Ma,
maaf... A, aku mengkhawatirkan Pak Masumi.... Aku..."
Mengkhawatirkanku? Maya...?
Diamatinya wajah khawatir Maya yang sembap, yang dengan tubuh mungilnya
berusaha menopang Masumi.
"Bruk!" Masumi menarik
Maya ke dalam pelukannya dan memeluknya erat.
"Pak... Masumi...?" Maya
ternanap. "Pak..."
"Terima
kasih," Masumi berkata.
"Terima
kasih..." Masumi memeluk Maya semakin erat.
"Pak... Pak
Masumi...?" gadis itu masih begitu terkejut, namun akhirnya, dengan
airmata menetes, Maya balas memeluk Masumi. "Pak Masumi..."
panggilnya lembut.
Keduanya saling
berpelukan untuk sekian lama, tanpa suara. Dan, akhirnya Masumi yang pertama
kali menyadari, bahwa mereka begitu dekat, Dan, Maya tak menolaknya sama
sekali. Malahan, ia merasa begitu hangat.
"Mungil?" ia
memberi jarak di antara mereka.
Maya mendongak, jelas
terlihat gadis itu tak berhenti menangis. "Pak, Pak Masumi..."
wajahnya sangat panas. Ia tidak tahu kenapa Masumi memeluknya, tapi Maya sangat
senang, dan yang bisa dilakukannya adalah balas memeluk pria itu.
"Kau... masih
marah kepadaku?" pria itu memastikan, dengan sekali-kali meringis.
Maya menggeleng.
"Tidak..." jawab maya dengan jujur. "A, anda memang menyebalkan,
selalu menggodaku, tapi... Anda sedang sakit. A, aku tidak tega..." dan
wajah Maya kembali merona.
Rona yang tidak biasa.
Rona yang membuat jantung masumi berdebar liar.
Masumi melepaskan
pelukannya. Wajahnya sendiri merona. Ia lantas duduk di sisi tempat tidur,
memalingkan wajahnya. "Kupikir... setelah hari itu, kau... kau masih marah
kepadaku."
"Hari itu?"
tanya Maya. "Hari itu... apa, Pak masumi?" tanya Maya.
Masumi menoleh.
"Hari itu... saat kau," Masumi berhenti, mengamati Maya. Apakah gadis
ini mengerti arah pembicarannya. Ia tertegun, kenapa Maya tampaknya tidak
mengerti dengan pembicaraannya?
"Pak
Masumi?" tanya Maya, "hari itu... apa?"
"Kenapa kau ada
di sini?" tanya Masumi. "Kau mengkhawatirkanku?"
"I, iya, aku...
mengkhawatirkanmu, jadi aku... a, aku..." wajah Maya memerah.
"Tadi kau
bersembunyi?" tanya Masumi, "kenapa? Kenapa kau peduli
kepadaku?" tanyanya lagi, menggenggam pergelangan Maya dengan erat.
Masumi bisa merasakan
ada sesuatu yang mengganjal. Ia kembali bertanya-tanya apakah Maya
sungguh-sungguh sudah mengetahui mengenai Mawar Ungu?
"Karena... karena
aku... khawatir," jawab Maya lagi dengan berbelit-belit.
Masumi mengamati Maya
dengan lekat, bingung. Seharusnya, jika Maya tahu dia Mawar ungu dan sudah
melihatnya hari itu, gadis ini akan mengatakan sesuatu mengenai hal tersebut.
"Mungil..."
Masumi mengujinya, menyentuh bahu Maya.
Maya tidak menolaknya,
hanya mengamati Masumi dengan gugup dan jantung berdebar kuat.
"Saat aku tidak
sadarkan diri... mendengarmu bicara," akunya.
"Deg!" Maya
terenyak, :men-mendengarku?" ia gelapagapan. Apakah Masumi mendengarnya
menyatakan cinta.
"Apa yang
kaukatakan saat itu?" tanya Masumi. "Bisakah kau mengulanginya? Kau
mengatakan sesuatu kan?"
Maya semakin salah
tingkah, "A-aku... aku.." Maya memalingkan wajahnya.
Masumi menyentuh pipi
gadis itu dengan tiba-tiba, Maya terlonjak.
"Kau memintaku
bangun," kata Masumi lembut, mengusap wajah Maya perlahan, "Dan kau
mengatakan..."
Maya terkesiap, ia
sangat takut, wajahnya sangat panas. Ia berdiri dengan cepat dan bermaksud
melarikan diri. Namun "Grep!!" Masumi menangkap pergelangan Maya
kuat-kuat.
Maya tercekal,
jantungnya berdebar kuat. Masumi mengetahuinya? ia mendengar ucapannya?
"Maya..."
Masumi berdesis. Meminta gadis itu memastikan perasaannya. "Maya..."
panggilnya lagi.
Maya berbalik dengan
airmata berderaian. "aku... A-aku..." perlahan ia menatap Masumi.
"Aku tidak membencimu... Aku... aku... suka..."
Masumi menarik gadis
itu dan memeluknya lagi.
"Pak
Masumi...?" Mata gadis itu membulat, mendongak kepada Masumi yang
menatapnya penuh rasa tak terkatakan.
Masumi membungkukkan
tubuhnya, mencium gadis mungil dalam pelukannya.
Maya masih tak percaya, diamatinya wajah tampan Masumi yang sedikit pucat.
Pria yang sedang merengkuhnya sekarang.
"Pak.... Pak... Masumi..." desis Maya. "A-Anda...
Anda..."
"Hm...?" pria itu hanya bisa bergumam. Ia kurang menyadari apa
saja yang baru dilakukannya, dan ia masih takjub karena Maya sama sekali tidak
marah dengan perbuatannya itu. Gadis ini... dia... bahkan masih berada dalam
pelukannya. Dan, tadi dia bilang... suka.
"Pak... Masumi..." Maya kembali berusaha
bicara, dengan perbendaharaan kata yang tiba-tiba menyusut di kepalanya. Ia tak
tahu harus berucap apa. Jantungnya berdebar terlalu kuat, wajahnya memanas
beberapa derajat terlebih lagi palukan Masumi yang terasa hangat dan semakin
mengetat, membuat lidah Maya merasa terikat.
"Apa, Maya...?" tanya Masumi lagi, masih
dengan mendesah pelan seakan tengah berahasia.
"Pak Masumi... An-Anda... Anda... tidak
sa-salah... minum obat?"
"Hm!?" Alis Masumi terlonjak kaget.
"Apa?" tanyanya.
"Ukh! Maksudku, Anda... sadar? Anda, itu....
tadi... berusan... Anda..." Maya gelagapan.
Masumi tertegun,
lantas, "hmmphh..." ia berusaha menahan tawanya. Padahal, ia juga
rikuh, ia juga malu dengan tindakan spontannya. Namun pertanyaan Maya
benar-benar membuatnya bingung. Ya. Setidaknya, gadis itu sudah memberinya
alasan, kalau ternyata Maya menolak perasaannya, Masumi bisa pura-pura pingsan
dan perbuatannya barusan adalah efek samping dari salah obat. Akan tetapi
memikirkan hal itu malah membuat Masumi hadi ingin tertawa.
"Pak... Pak Masumi..."
gumam Maya, menunduk, malu. Ubun-ubunnya tersandar ke dada pria itu dan
tangannya meremas baju rawat Masumi. "A-Anda aneh..."
Masumi mengamati gadis yang tak
tampak wajahnya itu. "Kau juga aneh. Kau tidak marah kepadaku. Kau juga,
diam saja kupeluk seperti ini," Masumi berkata, sejenak ia merasa
tersentuh, perasaannya membuncah karena bahagia dan tidak percaya.
"Eh?" Maya tertenyak. Ia
melepaskan genggaman tangannya di baju Masumi. Ia lantas bermaksud melepaskan
diri dari Masumi, namun pria itu malah menahannya.
"Aku kan tidak bilang kau harus
pergi," ujarnya.
Maya jadi tidak bergerak lagi. Ia
bingung apa yang pria itu inginkan. Maya mendongak lagi, menatap Masumi dengan
memelas, smentara pria itu menatapnya lembut. Sekarang, Maya baru menyadari
sesuatu. Ia sudah mengatakan suka. Masumi memeluk dan menciumnya. Masumi juga
melakukannya dalam keadaan sadar. Bukankah itu artinya...
Artinya....
Mata Maya membundar tak percaya.
"Pak Masumi..." desahnya. Ia termangu, matanya berkaca-kaca.
Masumi tersenyum lembut.
"Maya," pria itu menyentuh pipi Maya. "Aku juga, tidak
membencimu," ia berkata, dan airmata Maya mulai menetes. "Aku
juga--"
Pintu ruang rawat terbuka cepat.
Maya dan Masumi segera memisahkan diri. Maya membelakangi pintu dan berusaha
menghapus airmatanya.
"Tuan," perawat itu
terkejut. "Bukankah tadi Anda sedang istirahat? Apakah Nona ini
mengganggu--"
"Tidak, tidak," tukas
Masumi cepat. "Dia tidak menggangguku."
"Baiklah. Ini makan siang Anda.
Anda bisa makan sendiri kan?" kelakar perawat itu.
"Ya. Terima kasih Suster, aku
bisa makan sendiri."
"Baiklah, selamat makan Tuan.
Oya, Tadi ada Nona Shiori, namun karena kami pikir Anda sedang beristirahat,
kami tak mengijinkannya masuk,"
Maya dan masumi sempat merasa tegang
saat mendengarnya, dan lega ketika mengetahui SHiori tak masuk.
"Saya rasa nanti Nona Shiori
akan kembali lagi," imbuh perawat itu sebelum pergi.
Saat pintu tertutup lagi, suasana
dalam kamar itu menjadi sangat hening.
"Maya..." panggil Masumi
kepada gadis yang masih memunggunginya.
Nama Shiori disebut, menyadarkan
Maya pada sesuatu yang coba diabaikannya. Masumi, dia kekasih orang lain.
Bertunangan. Bukankah... pria itu mencintai wanita cantik itu? lalu yang
barusan itu, jika bukan karena Masumi salah obat, lalu apa?
Maya menoleh, dengan mata masih
berkaca-kaca.
"Maya, aku, aku... ingin
membicarakan sesuatu denganmu," kata Masumi. "Maukah--"
"Pak Masumi, Anda harus
beristirahat," tukas Maya, saat ia akhirnya benar-benar menyadari, ia
terlibat dalam urusan yang tidak mudah. Urusan hati. Sepertinya, akan ada
perasaan yang harus dikorbankan. "Saya juga, sudah harus pergi," ia
menatap Masumi lekat. "Selamat makan, dan... semoga lekas sembuh, aku...
benar-benar ingin melihat Anda sehat lagi seperti dulu."
Masumi tertegun. Pergi? Maya hendak
pergi begitu saja? Bukankah masih ada sesuatu yang harus dibicarakan dan
dijelaskan di antara mereka?
Namun gadis mungil itu memang
berlalu begitu saja.
"Maya!" Sergah Masumi saat
Maya sudah mendekati pintu. "Tunggu sebentar!"
Maya berbalik.
"Aku bohong!" kata Masumi.
"aku... tidak bisa makan sendiri. Kau harus membantuku!"
"Eh? tapi..."
"Aku ingin, sesekali makan
ditemani seorang gadis yang menyukaiku. Juga... Aku sukai."
Maya terkesiap. Pria itu
mengatakannya! Masumi mengatakannya! Dia menyukai... eh, tunggu dulu. Maya
menunjuk dirinya sendiri. "Maksudmu.... Aku?"
Masumi tertunduk kecil dan tersenyum
dengan merona. Ia mengangkat lagi pandangannya dan menatap Maya. Ia lalu
mengangguk.
"Pak Masumi...!" Gadis itu
terpana, berjalan perlahan menemui Masumi. "An-Anda menyukaiku? Kenapa?
Karena aku seorang aktris?" tanya Maya.
Ternyata gadis itu tidak pernah
puas, batin Masumi. "Tentu saja, sebagai seorang aktris," kata
Masumi.
Maya mendengus pelan. Seharusnya
sudah bisa diduga. Bagi Masumi ia hanya...
"Tapi tentu bukan hanya itu.
Tidak ada seorang aktris pun yang pernah kuperlakukan seperti tadi,"
sambung Masumi. "Kau mengerti kan, Maya? Aku menyukaimu... lebih..."
"Lebih...?" Maya menanti.
"Ya. Lebih..." ulang
Masumi, masih saja merasa malu. Kenapa ia harus malu dan salah tingkah seperti
ini? Padahal biasanya dia bersikap superior. Biasanya ia bersikap tenang dan
penuh percaya diri, bahkan di hadapan Shiori. "Lebih, Maya. Kau mengerti
kan?" desak Masumi.
Maya menggeleng dengan wajah
polosnya.
"Maksudku," Masumi mencari
kata-kata. "Suka seperti... seorang laki-laki... kepada perempuan. Ci..."
pria itu diam lagi.
Namun kali ini Maya tersenyum penuh
haru. "Aku mengerti kok, Pak Masumi."
Masumi tertegun, menyadari Maya
menggodanya. Pria itu lantas tertawa dengan salah tingkah, malu-malu. "Kau
ini..." gumamnya.
Maya beranjak semakin dekat, menatap
Masumi. "Cinta," katanya. "Anda mau mengatakan itu?"
Masumi tertegun. Kata yang tak
pernah terlontar dari bibirnya di depan siapapun. Ia meraih wajah Maya,
mengusapnya pelan. Mengangguk. "Cinta," akunya. "Itu
namanya."
Dan Maya menangis lagi, ia
menyurukkan wajahnya di dada Masumi, "Aku juga cinta... sangat
cinta..."
"Maya..." Masumi teramat
bahagia.
"Tapi, Pak Masumi... Anda, Anda
sudah punya kekasih. Anda sudah bertunangan. Anda--"
"Benar," sahut Masumi
dengan pahit.
"Aku tidak boleh
mencintaimu."
"Tidak, Maya! Kau jangan
berkata seperti itu. Dengar!" Masumi mengangkat dagu Maya. "Kau tidak
tahu, arti perkataanmu tadi. Aku akan melakukan apapun Maya, apapun agar kau
tetap mencintaiku. Jadi jangan mengatakan tidak boleh."
"Tapi Pak masumi..." Maya
memelas.
"Aku akan menyelesaikannya.
Masalahku. Tapi tolong, katakan kau tidak akan berhenti mencintaiku."
Maya mengamati mata sungguh-sungguh
pria itu. "Aku tidak akan berhenti mencintaimu," janji Maya.
Alangkah bahagianya Masumi, ia
tersenyum lebar. "Kalau begitu, tunggulah aku. Tunggu aku datang kepadamu.
Kau mau menungguku kan?"
Maya mengangguk.
"Setelah semua masalahnya
selesai, aku akan datang ke hadapanmu,, selayaknya laki-laki, dengan cara yang
jantan"
"Aku akan menunggumu."
Maya memeluk Masuminya erat-erat.
Dia tidak membenciku... batin
Masumi. Dia menyukaiku... Dia... mencintaiku...
pria itu memandang keluar jendela
ruang rawatnya. Ah, rasanya semua luka di tubuhnya sudah sembuh. Sepertinya, ia
melompat sekarang pun tubuhnya tak akan mengalami cidera. Tapi tentu saja,
masumi tak ingin mencobanya. Jika taruhannya kalah, dan dia tewas... tidak, dia
tidak mau. Dia ingin tetap hidup, dunia ini indah. Sangat indah... Dunia di
mana Maya juga mencintainya.
Senyuma pria itu tak kunjung pergi.
Hingga sebuah suara terdengar
menegurnya saat pintu terbuka.
"Masumi..."
Pria tu berbalik.
"Shiori..."
=//=
"Dia tidak membenciku..."
Maya berkata kepada Rei. "Dia juga bilang... menyukaiku, sebagai seorang
aktris... juga... sebagai seorang perempuan," imbuhnya. "Dia...
mencin-cin-cin... cin..."
"Cinta?"
Maya mengangguk, dengan senyuman
lebar yang menghabiskan separuh wajahnya.
=//=
"Bagaimana keadaanmu?"
tanya shiori dengan penuh perhatian.
"Aku baik," jawab Masumi
dengan canggung.
"Ah, aku lega sekali,"
sahut Shiori seraya menghela napas. "kau sudah bisa berdiri..."
wanita itu menghampiri lantas mengusap dada masumi dengan lembut.
Masumi menyergap pergelangan Shiori,
membuat wanita itu terperangah karena terkejut.
"Shiori, ada yang ingin
kubicarakan," Masumi berkata dengan raut keberatan.
Wanita itu dapat menangkap ada yang
tidak beres. "Ada apa?" tanyanya dengan khawatir.
Masumi memutar badannya, menghadap
beranda, menatap halaman hijau di rumah sakit itu.
"Hari itu... saat kita tidak
sengaja bertemu di Tropicana, apa kau benar-benar...." ia menoleh, menatap
lekat wanita itu, "bertemu Maya Kitajima?"
"Deg!" Shiori amat
terkejut dengan pertanyaan masumi yang tiba-tiba. "Ke-kenapa kau bertanya
mengenai hal itu?"
"Jawab aku, Shiori!" suara
pria yang masih lemah itu terdengar kuat.
"Ya! Aku bertemu! Lalu kenapa?
Apa hubungannya dengan kita? Kau tiba-tiba saja mengungkit-ungkit hal
itu!"
Masumi mengamatinya, dan menyadari
sesuatu. Shiori berbohong. Dia berdusta mengenai hal itu.Tapi, kenapa? Kenapa
Shiori berbohong? Ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Masumi tak ingin
memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Yang pasti, ia sudah tahu apa yang ia
inginkan.
"Shiori, maaf... kurasa, kita
tak bisa lagi berhubungan. Aku... aku ingin memutuskan pertunangan kita."
"APA!?" Shiori tersengat
karena pernyataan Masumi. "Memutuskan pertunangan!? Apa maksudmu!? Kau...
kau ini bicara apa Masumi!"
"Ya, Shiori,aku, tidak bisa
lagi menjadi laki-laki yang kauharapkan. Aku sudah memikirkannya, dan inilah
yang terbaik. Shiori... aku bukan pria yang tepat untukmu."
"Plak!!!" Shiori menampar
Masumi teramat keras. Matanya berkaca-kaca dan airmata bergulir ke pipinya.
Telapak wanita itu terasa amat panas dan gemetar.
Masumi bergeming, merasakan pipinya
berdenyut. Ia tak mengatakan apapun.
"Aku tidak mau!" jerit
Shiori. "Ke-kenapa kau tiba-tiba bicara seperti itu! Kita sudah akan
menikah, Masumi! Semuanya sudah mulai disiapkan," dan nada suaranya
berubah menghiba, "Shiori... Shiori mencintaimu. Hanya kamu, Masumi...
Bukankah kau sudah menerima Shiori untuk jadi calon istrimu?"
"aku tidak bisa berbohong
lagi," Masumi menelan ludahnya. "Kau wanita yang baik... Aku, aku
bukanlah pria yang baik. Aku--"
"Bruk!" Shiori memeluk
Masumi. "Tidak! Tidak! Berhenti bicara! Kau sedang sakit, Masumi! Kau tidak
tahu apa yang kaukatakan," ia menggeleng-geleng. "Kau tidak tahu yang
kaukatakan! Masumi, berhenti bicara."
"Tidak!" Dicengkeramnya
bahu Shiori dan didorong untuk memisahkan wanita itu darinya. "Dengar
Shiori! Aku... aku sudah tidak bisa lagi berpura-pura. Aku... tidak meghendaki
pernikahan ini. Aku tidak akan bisa membuatmu bahagia! Kau tidak akan bahagia
bersamaku."
"Hanya di dekatmu saja aku
sudah bahagia, Masumi... sungguh bahagia..."
"Shiori... Apa kau mau terus
berada dalam kebohongan? Kau bisa mendapatkan pria yang lebih baik."
"Tidak! Diam! Diaaaam!!"
Shiori menutup telinganya, menggeleng-geleng. "Aku tidak mau dengar! tidak
mau dengar!"
"Shori..." Masumi menatap
nanar, wanita itu ternyata berkeras mempertahankan hubungan mereka.
"Shiori! Dengarkan aku..." Ia menurunkan tangan wanita itu. "Kau
wanita yang baik, cantik, cerdas... Kau... akan mendapatkan pengganti yang jauh
lebih baik dariku," MAsumi memandang mata wanita itu lurus.
Shiori mengamati Masumi... Masih tak
rela, sangat tak rela. dan teringatlah ia.
"Apa... Ada wanita lain!?"
tanya Shiori. "Kau... kau mencintai wanita lain? Siapa!?"
12 comments:
heheheh pindah di mari juga bok capek ngetiknya nggak ^ ^
Iya, aku cuma ngecopas dan ngerapiin huruf sama paragrafnya aja udah cape.. hehehe. Makanya maaf ya buat typo nya belom bisa dibenerin...
Holaaaa....!! rasanya udah lamaaaaa banget gak type comment disini :D I like the new look...!!! And...still love the stories here :) -Flo-
Gak sabar nunggu lanjutannya ty..
pliz make it this story he
Udah desperado nungguin ceritanya miusen yg gak tamat2 :'(
Loved ur ff
suka...sukaaa....lanjutin teruuus... :))
sis ty... update donk.... :-)
iyyahhh...
sayah wanita lain pak masumi
perkenalkan
-mommia-
Dipindah juga, thanks ya ty. Bacanya jadi lebih enak. Apdetnya jangan lama2 yaa he3
thanks ceritanya. bagus banget. ditunggu update-annya ya..semoga happy ending..semangat!!!
sukaaa banget sama masumi yg cemburu...yg galau....yg salah minum obat...yg malu-malu nyatain cinta....
makasih Neng Ty...
-khalida-
neng Ty ..kok ada bagian yg ilang ya
apa emang diilangin ?...itu pas maya kasih hadiah buat masumi
Post a Comment
Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)