=//=
Thursday 1 November 2012
Fanfiksi Topeng Kaca : Fallen Up to The Sun 3
Warning: Kissu-kissu, skinship
Overall Rating: 18
Setting: Sampai Bidadari Merah
bersatunya dua jiwa, saat Shiori bunuh diri.
Fallen Up to the Sun 3
(One out of Three)
Istri
Sakurakoji tak sempat banyak berpikir, saat ia kemudian bergegas berlari ke
dalam pelukan hangat Masumi.
Spontan
Masumi membalas pelukan Maya, mendekapnya erat. Perasaan bahagia segera
menyergapnya begitu hangat.
“Maya…”
desah Masumi.
Maya
tak berkata apa-apa dan hanya memeluk Masumi semakin ketat. Menyampaikan
kerinduannya selama ini yang berusaha ia pendam dengan kuat.
Sampai
kemudian Masumi tersadar. Teringat kembali apa alasannya ia mengajak Maya
datang ke vilanya. Perlahan namun setengah memaksa, Masumi memisahkan dirinya
dari Maya.
“Duduklah,”
kata Masumi. “Kuambilkan minum,” ia tersenyum.
Semburat
merah merona di wajah Maya. Gadis itu mengangguk dan duduk di sofa sementara
Masumi beranjak ke sebuah meja. Saat Masumi berbalik, Maya sudah tak ada.
Didapatinya si wanita mungil tengah berdiri di beranda.
Masumi
menghampiri, “lemon soda?” Masumi menyerahkan gelas di tangannya.
Wanita
itu meraihnya, “terima kasih,” katanya. “Padahal aku bisa minum alkohol!” tegas
Maya.
Senyuman
Masumi melebar, “Aku takut kau mabuk dan merusak rencana kita.”
Mata
Maya berbinar. “Rencana apa?”
“Ke
pantai. Aku akan mengajakmu ke sana nanti,” tunjuk Masumi.
“Waa…
indah sekali,” seru Maya. “Aku mau ke sanaa!!’ pekiknya senang.
Gelak
terdengar dari pria di sampingnya. Maya menoleh dan mengamatinya, mulai
berpikir betapa tampan dan bersinarnya Masumi saat tertawa. Sementara Masumi
lupa, kapan terakhir kali ia bisa tertawa lepas seperti baru saja.
“Ayo
kita makan siang dulu,” ajak Masumi.
Maya
mengangguk menyetuji.
Keduanya
lantas menyantap makan siang mereka yang sudah disediakan. Masumi sesekali
bertanya mengenai latihan Karenina dan apakah Maya mengalami kesulitan.
“Ya,
memang sedikit menyulitkan berperan menjadi wanita dewasa yang datang dari
kelas atas. Aku masih harus banyak belajar mengenai bagaimana bersikap yang
seharusnya. Namun sebetulnya, tidak begitu sulit untuk mengerti cara
berpikirnya,” kata Maya. “Mungkin karena aku sudah pernah menonton sandiwara
itu sebelumnya.”
Atau
tengah mengalaminya.
Masumi
tersenyum lega mendengarnya. “Baguslah kalau begitu. Kudengar juga latihan pementasan
Karenina berjalan lancar. Demikian juga dengan Romeo dan Juliet.”
“Ah…
ya…” Maya sedikit menunduk, teringat Yuu.
Sekali
lagi rasa itu datang. Bahwa apa yang tengah dilakukannya adalah salah.
“Kau
bahagia, Maya?” tanya Masumi tiba-tiba.
Maya
tertegun, ia menatap Masumi dengan tanda tanya.
“Kau
bahagia dengan pernikahanmu?” tanya Masumi, memastikan.
Mata
Maya melebar sejenak, dan dengan cepat ia menunduk dan mengangguk beberapa
kali. Masumi hanya mengamati sebelum ia bicara kembali.
“Kurasa
Sakurkoji memperlakukanmu dengan baik…”
Maya
menggigit bibirnya. Menyadari dialah yang selama ini tak bersikap baik dalam
pernikahannya.
“Yuu
sangat baik…” gumam Maya. Ia tiba-tiba merasa sesak dengan rasa bersalahnya.
“Maya….”
Panggil Masumi pelan.
Maya
mengangkat wajahnya dan menatap pria itu. Masumi berusaha mempersiapkan diri
mengatakan apa yang harus dikatakannya. Namun pria itu hanya mematung. Mereka
baru saja bertemu, rasanya tak tepat berbicara mengenai perpisahan sekarang.
“Hijiri
akan menjemputmu nanti sore?”
“Ah,
ya,” Maya mengangguk.
“Kuharap
kau akan merasa senang di sini,” Masumi tersenyum.
Setelah
makan siang keduanya menaiki mobil Masumi menuju pantai. Sepanjang jalan Masumi
menerangkan mengenai apa-apa saja yang ada di sekitarnya. Matahari sedang
bersinar terik saat keduanya tiba di pantai.
“Ayo,”
ajak Masumi, mengulurkan tangan yang disambut Maya.
Masumi
menggandengnya menuju pantai. Keduanya membuka alas kaki mereka dan
bersama-sama menikmati kehangatan pasir putih yang meraba permukaan kulit
keduanya.
Angin
berhembus sepoi-sepoi sejenak dan terkadang kencang. Dari kejauhan tampak kapal
yang mengambang. Lebih atas lagi didapati mereka camar yang terbang melayang.
Rambut
Maya acak-acakan disapa angin. Gadis itu tergelak seraya membenahinya. Masumi
membantunya sesekali, sekaligus menikmati rambut gadis itu terselip diantara
jari jemari.
“Terima
kasih,” kata Maya kepada Masumi saat rambutnya sudah sedikit rapi.
Tapi
tak lama, angin berhembus kencang kembali dan rambut Maya acak-acakan sekali
lagi.
Keduanya
tertawa.
“Anginnya
menyegarkan,” ujar Maya.
Bisa
diciumnya aroma laut dan kehangatan pasir yang dibawa sang angin. Yang selama
ini selalu menemani Masumi dalam kesendiriannya.
Keduanya
beranjak menuju batu karang.
“Hati-hati,”
kata Masumi, mengencangkan pegangannya yang tak pernah lepas sedari tadi.
Keduanya
duduk di sebuah batu karang yang sekali dua kali disapa ombak yang menerjang.
“Kya!!”
Maya terpekik, menyembunyikan wajahnya di dada Masumi agar tak terciprati.
Sekali
lagi Masumi tertawa.
“Nah,
itu,” Masumi menujuk, dan pandangan Maya mengikuti arah tunjuk.
Ditemukannya
kepiting-kepiting kecil yang pernah Masumi ceritakan ada di sana. Berusaha
keras melawan arus ombak, buih-buih keluar dari mulut mereka.
“Aih…
lucunya…” kata Maya dengan gemas. “Aku jadi ingin membawanya pulang,” Maya
tertawa.
“Nanti
saja kita beli di restoran. Kau mau kepiting lada hitam? Kepiting garam? Sup kepiting?”
“Ssshhtt
pak Masumi!!” hardik Maya. “Nanti terdengar oleh mereka!!”
Keduanya
lantas tertawa.
“Nah,
di sana,” Masumi kembali menunjuk ke suatu arah. “Salah satu jalur Astoria.”
Astoria…
Maya mengingat. Sudah sangat lama, namun Maya tak pernah lupa. Kenangan saat
mereka bersama. Berkencan, berdansa. Maya sungguh merasa seperti Cinderella.
Tanpa sadar Maya tersenyum hangat mengenangnya.
“Ayo,”
ajak Masumi, “kita kembali ke pantai.”
“Ung!”
Maya mengangguk.
Keduanya
kembali berjalan seraya bergandengan, menuju pantai, lantas bermain-main dan
tertawa riang.
Pasir
menempel di tubuh Maya saat keduanya berkejaran dan Masumi berhasil menangkap
dan menjatuhkannya.
“Kyaa!!”
pekik Maya dengan riang. Lantas tertawa teramat senang.
Masumi
menggendongnya, mengempaskan Maya ke lautan saat ombak menghampiri mereka.
Sekali
lagi Maya terpekik. Protes dengan kesal kepada Masumi. Lantas dengan keras
kepala menarik Masumi agar basah seperti dia.
Akhirnya
berhasil, Masumi tercebur dan kuyup. Maya kembali teratawa riang. Keduanya
lantas berkejaran di sisi lautan.
Maya
berusaha berlari, namun terasa berat melangkahkan kaki di antara air. Sekali
lagi Masumi berhasil menangkap si Mungil dan memeluknya.
Ombak
datang lagi, menabrak kasar keduanya. Sekali lagi Maya menjerit, sementara
Masumi menahan pinggangnya agar tak tejatuh.
Maya
begitu senang dan tak berenti tertawa riang. Namun waktu kebersamaan mereka
semakin berkurang, tampak dari matahari yang sinarnya mulai semakin menghilang.
“Ayo
pulang,” ajak Masumi. “Kurasa sebentar lagi Hijiri akan kembali.”
Keduanya
bangun dari pembaringan. Tampak pasir menempel di pakaian. Dan sekali lagi
keduanya berjalan seraya bergandengan tangan.
“Pak
Masumi… kapan kembali ke Tokyo?” tanya Maya.
“Mungkin
besok,” Masumi tersenyum.
“Kenapa
tidak kembali hari ini?” tanya Maya. “Apa Anda akan di sini sendirian?”
“Ya.
Ada yang sedang ingin kupikirkan.”
“Apa?”
tanya Maya, sedikit mendesak dan khawatir.
“Sesuatu,”
Masumi berusaha tersenyum menenangkan.
Maya
berhenti melangkah, dan membuat Masumi pun melakukan hal yang sama.
“Ada
apa?” tanya Masumi.
Wanita
itu mengamati kekasihnya. Tiba-tiba merasa iba. Sesuatu mengganggu pikirannya.
Sesuatu yang tak bisa dibagi dengannya?
“Ada
apa?” Maya balik bertanya. “Apa yang Pak Masumi pikirkan?”
Masumi
tertegun, menghela napasnya. “Bukan apa-apa,” Masumi berusaha tersenyum. “Kau
jangan khawatir aku—“
“Pak
Masumi,” Maya berjalan mendekati, menengadah. “Sekarang aku di sini. Sekali
saja, aku ingin Pak Masumi berbagi denganku. Sekali saja, aku ingin merasa
berguna untukmu,” mata wanita itu berkaca-kaca.
“Maya…”
pria itu mendesah. Ia menarik Maya ke arahnya, memeluknya. Menempelkan tubuh
mereka yang sama-sama basah. “Kau datang ke sini hari ini, itu sudah membuatku
sangat bahagia,” ungkap Masumi. Biasanya aku akan melamun dan merenung saat
berada di pantai. Baru kali ini aku bermain-main seperti tadi. Aku benar-benar
senang,” Masumi tersenyum. “Bahkan ini pertama kalinya aku pulang dalam keadaan
begini basah,” ia tergelak.
“Pak
Masumi…” Maya memeluk pria yang dicintainya itu. “Jangan selalu bersedih,”
pintanya.
Maya… Masumi menelan ludahnya berat.
Bagaimana mungkin, jika sumber kebahagiannya sudah bukan lagi miliknya. “Ya,”
jawab Masumi perlahan. “Terima kasih, Maya…”
Keduanya
kembali ke dalam vila dan membersihkan diri. Mereka menunggu Hijiri dengan
menonton televisi.
Maya
dan Masumi duduk di sebuah sofa, bergeming di tempatnya masing-masing.
Sesekali
Masumi melirik Maya, ingin memintanya mendekat, namun ia tak tahu bagaimana
kalimatnya yang tepat.
Maya
pun hanya diam di tempatnya. Berpikir untuk mengurangi jarak, namun kembali
terusik dengan pertanyaan apakah itu layak?
“Hijiri
kenapa belum tiba juga?” Masumi memecah keheningan.
Maya
teringat, menggeleng. “Mungkin sebentar lagi.”
“Ah,
ya…” Masumi menelan ludahnya. Ia kembali hendak mengatakan mengenai rencananya
ke Amerika. Meninggalkan Maya dan semuanya yang ada.
Namun
saat ia mencoba membuka mulutnya, teleponnya berdering. Keduanya terlonjak,
tersadar dari lamunannya masing-masing.
Masumi
berdiri dan mengangkat teleponnya sementara Maya hanya mengamati. Masumi tampak
bicara dengan serius. Sesekali pria itu menatap kepadanya.
Sepertinya hal yang serius… batin Maya.
“Baiklah.
Aku mengerti,” kata Masumi sebelum menutup teleponnya.
Ia
kembali menghampiri Maya lagi.
“Ada
apa?” tanya Maya sedikit khawatir.
“Barusan
Hijiri mengabari,” Masumi menelan ludahnya. “Di Tokyo sedang ada badai, jalan
ditutup dan Hijiri tak bisa datang menjemput.”
“A,
apa!?” Maya terenyak. “Jadi…”
“Aku
pun tak bisa mengantarmu. Jalanan ditutup dimana-mana. Kita tak akan bisa sampai
tujuan,” terang Masumi.
Maya
menatap ke luar vila. Tak ada tanda-tanda badai di tempat mereka. Ia kembali
menatap pria di hadapannya. “Ja, jadi…. Bagaimana?”
“Kau
belum bisa pulang. Mungkin baru besok kau bisa kembali,” terang Masumi dengan
galau.
“Be,
besok?” mata wanita itu melebar. Bermalam…
di sini? Hanya dengan Pak Masumi… berdua saja…? jantung gadis itu
berdebar-debar dengan sangat keras.
“Ya.
Tidak apa-apa kan, Maya?” Masumi memastikan. “Ada kamar tamu di sini yang bisa
kau gunakan,” imbuhnya.
Maya
membuang wajahnya yang merona hangat. Maya mengangguk beberapa kali dengan
gugup. Sampai ia teringat sesuatu. “I, itu… Yuu…” Maya menatap Masumi ragu.
“Hijiri
sudah mengurusnya. Ia sudah menghubungi suamimu dan mengatakan kau tertahan dan
menginap di hotel.”
Mendengarnya,
tanpa sadar, Maya menghela napas lega.
Namun
seharusnya tak begitu. Bagaimana pun ia sudah menipu. Maafkan aku Yuu… batinnya sendu.
Masumi
kembali duduk di samping Maya. “Kurasa sebaiknya kita berbelanja untuk makan
malam?” ajak Masumi.
Rasa
sendu itu tersingkir begitu saja. Maya menatap Masumi dengan riang dan
mengiyakan ajakannya.
Keduanya
berbelanja dan memasak makan malam mereka. Bukan masakan luar biasa. Hanya
masakan yang sederhana namun waktu yang mereka habiskan bersama untuk
membuatnya, yang membuat panganan itu terasa istimewa.
“Ah…
kenyang!” Seru Maya dengan puas. Sejenak pikirannya terlempar kepada Yuu,
memikirkan suaminya sedang makan apa.
Denting
piring membuat Maya tertegun. Dilihatnya Masumi membereskan piring dan Maya
segera bangkit terbangun. “Olehku saja,” kata Maya.
Masumi
hanya tersenyum, dibiarkannya Maya membantu.
“Tidak
usah dicuci, besok pagi akan ada yang datang ke sini,” terang Masumi.
Maya
mengangguk sekali lagi.
Untuk
Maya, Masumi menyalakan televisi. “Kau pasti suka menonton Drama ini,” tebak
Masumi.
Maya
tersenyum malu-malu dan mulai menikmati tayangan di layar kaca itu.
“Pak
Masumi? Mau kemana?” tanya Maya saat melihat Masumi hendak meninggalkannya.
“Aku
mau merokok dulu,” terang Masumi. “Kau menonton saja.”
“Oh...
mmh… baiklah,” Maya tersenyum.
Dilihatnya
Masumi beranjak ke beranda.
Maya
mengamatinya hingga Masumi tak terlihat lagi. Selanjutnya Maya berusaha
berkonsentrasi. Walaupun matanya melekat ke televisi, namun pikirannya tak juga
beranjak dari Masumi. Akhirnya Maya memutuskan untuk pergi menghampiri.
Sekali
lagi Maya melihat pemandangan yang sama. Masumi berdiri di beranda. Sendiri
saja.
“Pak
Masumi…” panggil Maya perlahan.
Tampak
Masumi terkejut sebelum membalikkan badan.
“Maya…?”
alisnya naik. “Kau tidak menonton?”
Maya
menggeleng. “Pak Masumi tak kunjung kembali, Jadi aku…”
“Nanti
aku kembali,” Masumi tersenyum. “Aku hanya tak mau mengganggumu dengan asap
rokokku,” kata Masumi, menunjukkan rokok yang terselip di antara jemari.
Maya
bergeming beberapa lama. “Aku di sini saja… kalau tidak mengganggu.”
Maya…? Masumi tertegun. Ia kembali
tersenyum. “Tentu tidak,” katanya. Ia beranjak ke meja dan mematikan rokoknya
di sana. “Kemarilah,” ajak Masumi kepada Maya.
Wanita
itu menghampiri.
Keduanya
berdiri berdampingan dengan jarak yang berdekatan. Terasa kehangatan saling
berbagi diantara bagian tubuh mereka yang bersentuhan.
“Pak
Masumi memandangi bintang dari sini?” tanya Maya, menengadah menatap langit
yang menghitam.
“Ya.
Tapi belum banyak,” ujar Masumi. “Baru beberapa saja. Semakin malam biasanya
akan semakin banyak.”
“Sepertinya
indah sekali.”
“Sangat
indah…” Masumi mendesah.
“Aku
ingin melihatnya,” ujar Maya.
Angin
dingin malam itu, yang menyentuh kulit Maya yang terbuka, menggelitik organ
pernapasannya. “Hatsyiiii!!!” Maya bersin dengan keras.
Masumi
terlonjak karenanya dan teratawa, sementara wajah Maya sekali lagi merona.
“Kau
kedinginan?” tanya Masumi, seraya membuka jaketnya. “Pakai ini, agar kau tak
sakit.”
“te,
terima kasih,” kata Maya. “Aku sebetulnya membawa jaket,” terangnya. “Tapi…”
“Tak
apa-apa,” kata Masumi, mulai memasangkan jaketnya.
Wanita
itu tertegun.
Masumi
menyampirkan jaketnya di bahu Maya, namun tangan lelaki itu lantas terjulur,
melingkar di tubuhnya seraya merapatkan jaket di tubuh Maya. Namun tangan Masumi
tak pula beranjak. Sebaliknya, lengan kekar itu perlahan semakin membelit,
membuat jarak mereka semakin sempit.
Pak.. Pak Masumi… batin Maya. Ia menelan ludahnya. Dada
wanita itu berdebar semakin keras saat merasakan Masumi sudah memeluk tubuhnya
sepenuhnya.
Begitu
kuat dan erat. Sangat hangat. Bisa dirasakannya dada kokoh pria itu dan
punggung mungilnya yang terus merapat. Membuat Maya menjadi sangat gugup.
Berbuat apapun ia tak sanggup. Tak bisa mengelak, dan tak ingin menolak.
“Maya…”
bisik Masumi dengan lirih.
Wanita
yang dipanggil namanya menoleh, dan sedikit terlonjak menyadari wajah Masumi
yang hampir tak berjarak.
Ia
menyadari kemana pria itu berkehendak, dan si wanita sama sekali tak menolak. Malah,
saat Masumi menyentuhkan bibirnya untuk pertama kali, Maya segera membalasnya
dan membuat ciuman itu tak berhenti hingga berkali-kali.
Masumi
membalikkan tubuh Maya menghadap kepadanya dan mendekapnya.
Bibir
mereka kembali tak lepas saling mengecup seraya mulai saling memanggil. Tak
dihiraukannya jaket Masumi yang terjatuh dari si tubuh mungil. Tak juga
dihiraukan saat Maya mulai kembali menggigil.
“Pak Masu—“
Pria
itu tak memberinya kesempatan saat Maya berusaha menghentikannya. Sekali lagi
bibir Maya disambarnya. Dipagut semampunya. Semakin lama semakin cepat, semakin
sering dan semakin tak terkendali. Akal keduanya sama sekali tak berfungsi dan hanya
mengikuti apa mau hati.
Diam-diam
Masumi khawatir, jika ia berhenti maka wanita itu akan kembali mengingat si suami.
Karena itulah kecupan-kecupan dari bibirnya terus menghujani.
Maya
sendiri sudah tak tahu lagi apa yang tengah terjadi. Tubuh dan pikirannya sudah
berada di luar kendali. Dibiarkannya Masumi melakukan apa yang dimaui dan Maya
hanya mengikuti.
Bahkan
wanita itu tak bersuara saat tangan Masumi mulai meraba bagian-bagian yang tak
seharusnya. Membuat wanita itu merasa semakin tak kuasa dan hanya pasrah di
pelukan kekasihnya.
Bibir
dan tangan mereka tak henti saling membelai, dan kedua jiwa yang saling
merindukan itu semakin hanyut terbuai.
Saat
itulah Masumi meyakini bahwa wanita dalam pelukannya itu pun masih menyimpan
rasa yang sama kepadanya.
Bahwa
Maya pun masih memiliki rindu dan cinta terhadapnya.
Maya
menengadahkan wajah, berusaha mengumpulkan kekuatan agar kakinya tak terlalu
lemah. Disisirnya rambut Masumi dengan jemarinya, menurun ke bagian kerah.
Saat
itulah sebuah kemilau mengusik Maya. Wanita itu memicingkan mata, dan mengamati
dari mana arah cahaya.
Sebuah
cincin adalah sumbernya. Melingkar di jari manis dengan anggunnya. Cincin yang
mengingatkan Maya pada sebuah sumpah.
Sumpah
untuk setia.
Serta
merta Maya terenyak. Matanya melebar dan ia menghindari Masumi dengan sontak.
Didorongnya bahu pria itu dengan sekali gerak.
“Maya…”
desis Masumi dengan terkejut.
Saat
itulah Maya merasakan kesadarannya mendapat hantaman, bahwa ia baru saja
melakukan sebuah pengkhianatan.
Mata
Maya segera berkaca-kaca. Merasa begitu hina, telah membalas cinta dengan
dusta.
“Maya…”
panggil Masumi sekali lagi dengan begitu khawatir. “Ada apa?” tanya si pria.
“Aku
tak bisa,” Maya menatap Masumi dengan pertahanan yang tersisa, “Aku tak boleh…”
dan mulai menangisi noda dalam kesetiaannya yang ia toreh.
Tersadarlah
si pria, kemana ia baru saja menggoda. Penuh sesal dan pahit ia mengeratkan
rahangnya.
Segera
ia menjaraki diri dari wanita yang begitu ia cintai.
“Maaf,
Maya… maaf,” desahnya lirih.
Maya
menutup bibirnya dan menggeleng namun tak juga terucap sepatah kata.
Masumi
berdecak, melemparkan pandangannya yang suram ke lautan kelam, sekelam hatinya
saat ini yang dipenuhi penyesalan.
“Kenapa…?”
tanya Maya serak dengan mata sambab. “Kenapa Pak Masumi membiarkanku menikah?”
tanya Maya penuh tuduhan. “Kenapa hari itu Anda muncul di hadapanku, lantas
hanya membisu?”
Istri
Sakurakoji akhirnya melontarkan pertanyaan terbesar yang bersemayam di hati.
Disodori
pertanyaan itu tak pelak lagi Masumi terkesiap. Ia menoleh tajam dan terdiam
senyap.
“Lantas
apa yang kauingin aku lakukan?” tanya Masumi akhirnya. “Membawamu pergi!?
Lari!? Itu yang kauinginkan?”
“Mungkin!”
jawab Maya. “Setidaknya aku tahu aku punya pilihan! Tahu bahwa aku masih kau
inginkan!”
“Kalau
begitu ikut denganku sekarang!!” tuntut Masumi seraya menggenggam kedua lengan
Maya. “Pergi denganku!!” Ia menggoyang-goyangkan tubuh mungil itu dengan kuat.
“Ayo Maya! Ikutlah denganku!! Jadi milikku! Kau mau!??” seru Masumi dengan
tajam.
Maya
membisu, menatap Masumi dengan pedih. Pria itu pun tahu bahwa gadis itu
sebenarnya mengerti. Kenapa hari itu Masumi tak bicara, dan kenapa Maya
bersedia.
“Pak
Masumi…” isak Maya, menunduk. Membiarkan tetesan dari matanya berjatuhan.
“Kau
pasti mengerti kan, Maya? Aku tak percaya diri. Aku pernah menyia-nyiakanmu.
Dan aku tak mau menjadi penghalang kau mendapatkan kebahagiaanmu…” Masumi
membuat pengakuan. “Apa aku harus merusak hari bahagiamu? Apakah aku sudah yang
terbaik bagimu? Dan aku menyadari… semua sudah terlambat. Kau sudah bertemu
dengan orang yang aku tahu, akan berbuat apapun untuk membahagiakanmu. Kau
telah bertemu orang yang tepat. Bukankah begitu?”
Maya
tak mengelak. Perkataan Masumi memang tepat. Maya tak mungkin sanggup menyakiti
Sakurakoji yang sudah menjadi pelipur laranya selama ini. Semua kelembutan dan
kebaikan hati pria itu. Benar. Sakurakoji telah melakukan apapun yang ia tahu
untuk membuat istrinya bahagia. Sebetulnya, Yuu pria sempurna.
Hanya
satu kekurangan Sakurakoji.
Dia
bukan Masumi.
Maya
mengangguk. “Yuu sangat baik,” katanya lirih. “Dia selalu memikirkanku, dan
melakukan apa saja untuk kebahagiaanku…”
Masumi
melonggarkan genggamannya. Dan kembali membuang pandangan ke lautan luas di
hadapannya. Seharusnya ia bahagia mendengarnya. Namun tidak. Ia ingin dirinya
yang membuat Maya bahagia. Yang menghiburnya saat ia berduka. Namun nyatanya,
Masumi selalu menjadi pihak yang memberi luka.
“Maya…
sebetulnya, ada yang ingin kusampaikan,” ia menoleh kepada kekasihnya. “Aku…
sudah memutuskan untuk kembali ke Amerika.”
“Apa!?”
mata wanita itu membulat. “Ke… Amerika?”
Masumi
mengangguk. “Aku sudah memikirkannya baik-baik. Kurasa ini keputusan paling
tepat untuk kuambil saat ini. Aku… tak bisa melihatmu bersama Sakurakoji,” aku
Masumi. “Aku pun tak sanggup melupakanmu, atau mengabaikanmu,” ungkapnya. Ia
mengangkat tangannya, menyentuh wajah Maya. “Aku tak ingin menyakitimu. Tak bermaksud
mengganggu kebahagiaanmu… Maaf, aku tadi sempat tak mampu menahan diriku.”
“Pak
Masumi…” hati Maya hancur rasanya. Berpisah dengan Masumi? Tak akan melihatnya
lagi?
Ia
tak mau, tapi memang harus begitu.
Walau
sangat ingin mencegahnya, namun Maya tak bisa melakukannya. Ia mengerti, kenapa
Masumi mengambil keputusan ini.
“Kapan,
Pak Masumi?” tanya Maya dengan gemetar.
“Belum
bisa kupastikan, nanti setelah beberapa urusanku selesai.”
“Apa
Anda akan menyaksikan Karenina-ku?”
Masumi
terdiam. Memang awalnya ia baru akan pergi setelah pementasan Maya selesai.
Setelah ia melihat Maya menggenggam penghargaan sekali lagi. Namun Masumi
merubah keputusannya. Ia harus pergi sesegera mungkin. Setelah semua dokumennya
selesai.
“Pak
Masumi, Anda akan menyaksikan Karenina-ku?” tanya Maya sekali lagi.
Masumi
mengamati raut wajah wanita terkasih, “Ingin sekali…” jawabnya.
“Pak
Masumi…” Maya menatapnya sendu. Hatinya sungguh teramat pilu.
Pria
itu tersenyum samar, menatap dalam dan lembut dengan penuh kasih. “Aku
mencintaimu, Maya…”
Akhirnya,
kata itu terucap juga. Terlambat, namun mendapatkan balasannya.
Maya
mendekat dan memeluk Masumi. “Aku juga sangat mencintaimu, Pak Masumi…”
isaknya.
Karena
itulah mereka tak bisa lagi saling berdekatan dan harus saling melupakan.
Masumi
balas memeluk Maya dengan erat. Dibelainya rambut Maya dengan sayang. “Aku tak
akan ada saat kau membutuhkanku. Juga tak akan datang saat kau memanggilku.
Tapi kau sudah punya seseorang yang akan melakukan semuanya untukmu, dengan
cara yang lebih baik dariku.”
Wanita
itu tak bersuara. Ia hanya ingin berada dalam dekapannya selagi bisa. Saat ia
kembali nanti, ia akan menjadi Nyonya Sakurakoji lagi. Hanya malam ini, ia
ingin menikmati sisa-sisa mimpi.
=//=
Sakurakoji
gelisah semalaman saat ia tahu Maya tak akan pulang. Memang, semalam badai
datang menghadang. Namun jauh sebelum itu, Yuu sudah tahu. Kemana dan ada apa
istrinya pergi.
Ia
mencuri dengar saat di telepon Maya dan Hijiri bicara. Bahwa Maya akan menuju
ke tempat Masumi sudah menunggu.
Sempat
ia ragu dan bertanya-tanya, ada apa keduanya harus bersua? Namun kebohongan
Maya membuatnya semakin curiga, saat ia mengatakan akan berjumpa penggemarnya.
Awalnya
Yuu pikir Hijiri bersamanya. Namun saat ia tahu Hijiri sedang berunding dengan
pemakai jasa, tahulah ia mereka ditinggalkan berdua. Menghabiskan malam
bersama.
Malam
ini Yuu kembali ke rumahnya, dan Maya masih belum ada. Dikatakan Maya hanya
sebentar di rumah dan langsung bekerja sesuai jadwanya.
Dan
muncullah perasaan dalam dadanya, bahwa istrinya itu sungguh telah membuatnya
merasa terhina.
Sampai
kapan ia selalu menjadi yang kedua atau ketiga? Dibohongi dan dibodohi?
Rasa
gelisah kini berbuah amarah. Dan rasa kecewa, kini berganti murka.
Maya
kembali malam itu, tersenyum kepada pelayannya dan beranjak ke kamar saat
suaminya menunggu.
“Yuu…”
sapa Maya, seraya tersenyum malu-malu.
Tatapan
tajam adalah apa yang didapatnya. Yuu beranjak dengan cepat mendekat. “Kau
darimana!?” Yuu membentak.
Maya
sangat terkejut. “A, aku habis—“
“Semalam
kau darimana!?” Yuu mendesak.
“Aku—“
“Bersama
Pak MasumI!!? Hah!?”
Deg!!
Maya
sungguh sangat terkejut. Jantungnya berdebar sangat keras dan segera rasa
bersalah melintas.
“A,
aku— kyaa!!“ pekik Maya.
Yuu
menarik tubuh istrinya, mengempaskannya ke atas tempat tidur. Dicumbuinya Maya
dengan kasar. Maya terkejut, berusaha keras menghindarinya.
“Hentikan
Yuu!! Hentikan!!!” teriak Maya. Saat itulah Maya menyadari, aroma minuman keras
pada sang suami. Pria itu sedang tak sadar diri.
“Kenapa
aku harus berhenti, hah!? Kenapa!?” Yuu meraih sweater Maya yang terbaring dan
membukanya dengan kasar.
“Jangan!!
Yuu!! Jangaan!!!” pekik Maya. Teriakan Maya berhenti oleh ciuman Yuu. “Mmphh!!
Mmphh!!” Maya berusaha berontak. “Hentikaan!!” pekik Maya, memukuli suaminya.
“Kau menyakitiku!! Hentikan Yuu!!” ia menangis.
Yuu
menahan kedua lengan Maya, menatapnya getir. “Kaupikir aku tak sakit?”
tanyanya.
Maya
ternanap, dengan perih ia menatap.
“Kaupikir
aku tak tahu? Dia kan, pria yang kaucintai selama ini? Iya kan!!?”
“Yuu…”
Segera air mata mengalir di pipi Maya.
Yuu
meninggalkan tubuh istrinya, terduduk di sisi tempat tidur. Ia tertunduk begitu
pilu. Baru kali ini Maya melihat suaminya seperti itu.
Yuu
berkata dengan berat, “Aku melihatmu. Berpelukan dengannya di pelabuhan setelah
turun dari Astoria. Aku terus ragu-ragu. Apa mungkin… pria itu,” ia menelan
ludahnya pahit. “Pria itu yang selalu ada di hatimu? Yang terus menerus kau
tangisi, yang membuatmu tak bisa berakting lagi?” Sakurakoji menangkupkan kedua
tangannya yang gemetar. “Namun bukankah dia meninggalkanmu? Memilih wanita kaya
itu dan mencampakkanmu? Tapi kenapa… kau…” Yuu menggelengkan kepalanya tak
mengerti.
“Bukan
begitu…” isak Maya. “Kami tak melakukan apapun…”
“Aku
terus menunggu. Berpikir mungkin ada waktunya kau berpaling kepadaku. Kau
menjawab ya saat kuminta menjadi kekasihku, menjawab ya saat kuajak menikah,
juga menjawab ya saat diminta menjadi istriku. Apa kau menipuku?” desak Yuu. “Apa
yang harus kulakukan, Maya, agar menjadi pria seperti yang kau mau? Aku sangat
mencintaimu… Tapi aku tak tahu lagi, apa kita bisa terus begini,” ia mengeratkan
rahangnya dengan gemetar.
Maya
meraba lengan suaminya. “Yuu… Sungguh, kami sudah tak akan—“
Dengan
spontan Yuu mengempaskannya. “Bug!!” pipi Maya terpukul.
“Kya!!”
pekik Maya, kembali terhempas.
Yuu
terenyak, sangat terkejut atas apa yang terjadi, sementara Maya mengusap
wajahnya, dengan airmata menganaksungai di pipi.
“Yuu…”
rintih Maya.
Tampak
kegalauan menyelimuti wajah Yuu yang tampan. “Arrghh!!!” serunya dengan kesal.
Ia lantas beranjak keluar kamar.
Terdengar
pintu kamar yang dibanting saat Yuu meninggalkan Maya sendirian.
Setelah
Yuu pergi, beberapa saat Maya hanya mematung, sebelum kemudian menagis sedih.
Wanita
itu tahu ia salah. Tak seharusnya ia melukai hati Yuu yang sudah menjadi
pelipur laranya. Namun sudah terlanjur basah. Tetap pada akhirnya ia membalas
rasa cinta dengan cara yang nista.
“Maafkan
aku, Yuu… Maafkan aku…” isaknya penuh sesal. “Yuu…”
=//=
Setelah
kejadian tersebut, beberapa hari Yuu tak kunjung kembali. Maya menghabiskan
harinya dengan berdiam diri. Ia menolak permintaan Hijiri agar kembali bekerja
dan jangan terus mengurung diri.
Namun
semua rasa bersalah Maya, mengurungnya tetap di tempatnya. Ia tetap menanti Yuu
kembali.
Ia
tahu ia salah. Ia tahu ia berdosa. Tak pernah sekalipun Maya bermaksud
menyakiti Yuu. Pria yang telah bersamanya lebih dari setahun ini. Menjadi
tempatnya bersandar dan mencari ketenangan jiwa.
Dan
ia malah berbalik menyakiti hatinya.
“Aku
jahat sekali. Aku benar-benar jahat…” isaknya di pelukan Hijiri.
Jika
Maya sedang tenggelam dalam duka, tak ada yang bisa dilakukannya. Hijiri tak
tahu harus berbuat apa, sementara tak lama lagi, waktunya pementasan Karenina.
=//=
“Apa!?”
tanya Masumi. “Ada surat ancaman ditujukan kepada Maya?”
“Ya.
Sepertinya ini dari penggemar beratnya, yang merasa tak dihiraukan Maya. Dia
berkata dalam suratnya bahwa ia memanggil-manggil Maya saat acara festival di Ninomiya.
Ia mengatakan dalam suratnya, ternyata Maya tak seperti yang ia kira. Ia sangat
kecewa, bahkan mengatakan bahwa ia ingin Maya mati saja.”
Masumi
mengeratkan rahangnya dan juga kepalan tangannya.
“Jangan
gegabah, Hijiri, jangan meremehkannya. Kita tidak tahu apakah ini hanya ancaman
main-main atau sungguh akan dilakukannya. Selidiki secermat-cermatnya, cari
sebanyak-banyaknya informasi mengenai siapa pengirim surat itu, namun jangan
sampai diketahui pihak yang tak perlu.”
“Baik,
Pak,” Hijiri mengangguk. Ia lantas memberi jeda sebelum kemudian berkata.
“Maya-sama masih menolak bekerja. Sakurakoji-san pun belum kembali ke rumah,”
terang Hijiri. “Saya sudah meminta Sakurakoji-san kembali, namun ia masih
enggan. Saya tak tahu apa masalahnya, keduanya tak mau bercerita. Namun
Maya-sama terlihat sangat sedih karenanya.” Paparnya. “Apa yang akan Anda
lakukan?”
Masumi
terdiam. Ia sangat sedih mendengarnya. Ia tak tahan mendengar Maya sedang
terluka. Namun…
“Tak
ada,” jawab Masumi. “Itu urusan rumah tangga mereka. Aku tahu benar bagaimana
Sakurakoji sangat mencintai Maya. Ia tak akan melepaskannya. Dan aku tahu
benar, bagaimana Maya tak ingin menyakiti hatinya,” Masumi menelan ludahnya.
“Ia pun tak akan meninggalkan suaminya,” Masumi menghela napasnya berat.
“Biarkan saja, berikan mereka waktu. Keduanya pasti bisa mengatasinya.”
Pak Masumi… Hijiri mengamati Masumi yang begitu
kentara tengah menyembunyikan luka hatinya. “Baik…”
=//=
Dan
dugaan Masumi benar. Hijiri telah mengatakan keadaan Maya kepada Yuu. Pria itu
bersikukuh tak ingin kembali dulu ke rumahnya. Namun Yuu sangat merindukan
Maya. Ia pun tak tega mendengar Maya menyiksa diri karena kepergiannya.
Bagaimana sang istri menghukum diri.
Yuu
sendiri tenggelam dalam kegalauannya. Menenggak minuman keras lebih dari
biasanya. Namun ia tak bisa mengingkari kata hatinya. Ia ingin bersama Maya.
Berada di sisinya.
Setidaknya
mengetahui Maya tak pergi kemana-mana, mungkin membuktikan usaha istrinya untuk
mencoba setia.
Ya,
ia ingin kembali. Ia sangat takut Maya memutuskan untuk pergi, namun lebih baik
baginya mendengar sendiri, apa keputusan yang sudah diambil sang istri.
Yuu
kembali ke rumahnya setelah tak kembali tiga hari tiga malam. Dibukanya pintu
kamar dan didapatinya Maya terdiam di sebuah kursi, tertidur.
Yuu
menghampiri. Ia tertegun mendapati apa yang berada di tangan sang istri.
Foto
pernikahan keduanya.
Maya… Sakurakoji tersentuh. Ia menjulurkan
tangannya, dan membelai kepala Maya dengan lembut. Istriku…
Maya
terusik, perlahan membuka matanya dan mendapati suaminya di sana.
“Maya…”
sapa si pria.
“Yuu…”
sahut Maya lemah. “Yuu…!!” Maya membuka matanya lebar dan segera memeluk
suaminya.
Yuu
balas memeluknya. “Aku pulang,” bisiknya. “Maafkan aku, Maya…”
Maya
menggeleng keras, “Tidak…” isaknya. “Aku yang minta maaf… Maaf Yuu… Maaf…”
katanya penuh sesal, “Aku tak ingin menyakitimu Yuu… Maaf…” Maya menangis.
Yuu
menghela napasnya. Ia tahu benar itulah kenapa, Maya tak pernah
meninggalkannya.
=//=
Yuu
membuka matanya, mendapati istrinya dalam pelukannya. Rasa bersalah itu masih
ada. Ia hampir saja membuat istrinya sakit. Semalam tubuh Maya yang selalu kuat
itu terasa begitu lemah.
Maya… ia mengusap bingkai wajah wanita itu
seraya bertanya-tanya. Jika Maya tidak mencintainya, kenapa Maya rela melakukan
ini semua? Atau mungkinkah jalannya sudah mulai terbuka?
Dikecupnya
dahi Maya. Alis wanita itu bergerak perlahan, dan begitu pula matanya yang
mulai terbuka.
“Selamat
pagi,” sapa Sakurakoji.
“Selamat
pagi…” sapa Maya, mengamati sejenak agar ia tak salah menyebut nama. “Selamat
pagi, Yuu…”
“Bagaimana
perasaanmu?” tanya Yuu dengan lembut.
“Baik,”
Maya tersenyum, membuat tubuhnya lebih rapat kepada suaminya.
“Kau
tidak perlu bekerja dulu, nanti aku akan bicara kepada Pak Hijiri, agar kau—“
“Tidak
bisa,” potong Maya cepat. “Kau mungkin lupa, nanti malam adalah saatnya gladi
resik,” kata Maya. “Jangan khawatir. Aku baik-baik saja, Danna, sekarang sudah
sehat lagi kok!” Maya menenangkan seraya tersenyum lebar.
Yuu
sempat merasa bersalah sudah membuat istrinya bersedih saat pementasan sebentar
lagi.
“Anata…”
Yuu bangun dari pembaringannya. “Ada yang ingin kukatakan,” ia tampak
ragu-ragu.
“Ada
apa?” Maya pun ikut bangun.
Tampak
Yuu menimbang-nimbang beberapa saat. Namun akhirnya ia memutuskan untuk
mengatakan niatnya.
“Maya,
nanti jika kau sudah selesai dengan Karenina, dan aku selesai dengan
sandiwaraku, aku harap kau mau berhenti menjadi aktris Daito. Aku juga akan
berhenti…”
“Apa…?”
desis Maya tak mengira.
“Ya.
Apa kau mau, mengakhiri kontrakmu di Daito?”
“Ta,
tapi… kenapa?”
“Kenapa?”
tanya Yuu dengan nada agak mencela. “Aku tidak bisa merasa tenang, jika Pak Masumi
terus-terusan saja mengatur apa-apa yang harus dan tak bisa kita lakukan,” kali
ini Yuu berterus terang.
Maya
terdiam, menunduk.
“Maya…”
desak Yuu. “Kau sudah berkata kau dan dia tak pernah melakukan apa-apa, juga
tak ada hubungan apa-apa lagi. Aku akan mencoba percaya. Namun aku pun
setidaknya ingin melihat bagaimana kau menunjukkan kesungguhan dengan
kata-katamu.”
“Yuu…”
Maya mendesah berat. “Kau jangan khawatir, Pak Masumi sudah memutuskan pergi ke
Amerika. Aku sungguh-sungguh Yuu… kemarin Pak Masumi dan aku, sudah sepakat
tidak akan lagi,” tenggorokan Maya tercekat, “tidak akan lagi membahas mengenai
hal ini. Kami—“
Yuu
terdiam. Jiwanya benar-benar gelisah. Ia tahu ada yang salah. Jelas sekali Maya
dan Masumi saling mencintai. Yang seharusnya ia lakukan adalah melepaskan,
Namun
ia sungguh tak bisa. Yuu sudah menunggu begitu lama. Mendekap Maya dalam
pelukannya adalah impian terbesarnya. Ia tak bisa melepaskannya begitu saja.
Apalagi, ia yakin akan bisa membuat gadis itu bahagia, seperti yang pernah
dilakukannya. Dan Maya pun sudah berjanji meninggalkan saingannya.
Tidak,
Sakurakoji tak bisa melepas Maya. Ia tak bisa membayangkan hidup tanpa wanita
itu di sisinya.
“Maya…”
Yuu menatap istrinya. “Jika kau sungguh-sungguh ingin membina rumah tangga kita
dengan utuh, tidak saja kau dan dia harus saling menjauh. Tapi kau tak boleh
lagi melibatkan diri dengannya dalam ikatan apa saja,” terang Yuu. “Jika kau
mengira aku masih menaruh curiga, ya. Aku belum bisa percaya. Aku,” Yuu
mengetatkan rahangnya, “Tahu kau tak pernah mencintaiku seperti kau
mencintainya,” Yuu membuang muka, menghela napasnya berat. “Perbedaannya
terlalu nyata. Bahkan saat dia tak ada, aku selalu merasakan kehadirannya di
antara kita. Sedangkan saat aku ada di hadapanmu, kau bahkan tak memandangku,”
tuturnya.
Maya
tertegun, merasa pilu. Ia mengulurkan tangan, menyentuh bahu suamkinya, dan sekali
lagi meminta maaf.
“Maya,”
dengan getir Yuu menatap Maya. “Kau pasti tak tahu keinginanku yang sangat
besar untuk melepaskanmu. Tapi aku tak sanggup, keinginanku untuk memilikimu,
jauh lebih besar lagi. Aku tak bisa membayangkan kau harus lepas dari tanganku,”
pria itu menggeleng. “Aku tak akan bisa bertahan jika tak melihatmu.”
“Yuu,”
Maya menggigit bibirnya dan mulai menangis. Ia kembali memeluk suaminya. “Aku
tak akan kemanapun. Aku sudah memilihmu,” terang Maya. “Aku tak akan
meninggalkanmu.”
Yuu
balas memeluknya dan membuat istrinya itu mengerti betapa ia takut
kehilangannya.
Maya
kembali bicara, “Namun, saat ini aku tak bisa meninggalkan Daito,” Maya
mendongak, menatap suaminya meminta pengertian. “Aku berutang budi kepada Pak
Masumi. Aku tak bisa menjelaskannya, namun dia sudah sangat membantuku,
termasuk membuat pementasan Bidadari Merah berjalan baik, dan karir teman-teman
di Mayuko juga semakin naik. Karena itulah aku masih harus membayar utang
budiku kepadanya, dengan menjadi aktris yang terbaik. Yang memberikan banyak
keuntungan bagi Daito,” aku Maya. “Hanya itu saja, Danna. Hanya itu yang ingin
aku lakukan untuknya.” Pinta Maya. “Tidak lebih, tidak ada apa-apa lagi. Aku
hanya ingin membalas budi. Setelah pak Masumi pergi, kami… kami tak akan saling
mencari.”
Yuu
terdiam, memikirkan perkataan istrinya. Dan ia memutuskan untuk coba
mempercayainya sekali lagi.
“Kau
akan mencintaiku?” tanya Yuu.
Maya
tertegun, lantas menjawab. “Ya…” ia mengangguk.
=//=
Masumi
mendapat kabar bahwa urusan visanya sudah selesai. Begitu juga mengenai
berbagai urusan di Daito. Ia sudah mengabari melalui telepon kepada ayahnya
bahwa ia akan pergi.
Sejak
Masumi kembali dari Amerika, Masumi hanya sekali bertemu dengan ayahnya. Masih ada
rasa muak di hati pria itu, karena Eisuke sudah banyak menuliskan takdir yang
tak ingin dijalaninya. Tak sekalipun Masumi bersikap hangat kepada ayahnya.
Karena
itulah, ia pun sekarang akan lebih berkonsentrasi kepada bisnis Takamiya. Hanya
karena ada Maya. Hanya demo gadis itu, Masumi masih turun tangan mengurus
Daito. Setidaknya hanya dengan cara itu Masumi bisa membantu Maya menapaki jalannya
lebih mulus.
Namun
sekarang keputusannya sudah selesai. Masumi melayangkan surat pengunduran diri
dari Daito. Tak ada pesta perpisahan atau ucapan selamat tinggal. Ia tak perlu
menunggu apa surat pengunduran dirinya diterima atau tidak.
Ia
sudah akan pergi. Dan tak akan pernah kembali.
“Apa
anda sudah yakin?” tanya Mizuki, menyerahkan tiket pesawat Masumi.
“Ya,”
Masumi mengangguk. Ia menerimanya. “Tolong serahkan ini kepada ayahku.”
“Pak
Masumi…” Mizuki menatap atasannya begitu simpati.
Ia
sudah mengenalnya sangat lama. Mengetahui bagian hidup dan kepriabdiannya yang
tak biasa. Bukan sekali dua kali Mizuki pun berdoa agar atasannya itu bahagia.
Namun rupanya, bukan takdir seperti itu yang harus dijalaninya.
“Pak
Masumi, aku mengharapkan yang terbaik untuk Anda,” Mizuki membungkuk sangat
dalam. “Selamat jalan.”
“Terima
kasih, Mizuki-kun,” jawab Masumi dengan tulus.
Ia
lantas beranjak pergi, untuk melihat Maya terakhir kali.
Masumi
menuju teater tempat Maya mengadakan gladi resik, juga dimana Maya nanti akan
memerankan Karenina-nya.
Sayang,
Masumi tak akan pernah bisa melihatnya. Namun ia tahu, gadis kecintaannya itu,
sampai kapanpun akan selalu menjadi artis yang memukai di atas panggung.
Karena
itulah Masumi pun tak menunggu sampai hari itu tiba. Karena ia takut jika
menyaksikannya, sekali lagi ia akan jatuh cinta.
“Bagaimana
semuanya?” tanya Masumi di ruangan teknik.
“Semuanya
baik Pak, sesuai yang direncanakan,” terang Kiritani, pengarah suara.
Masumi
mengecek semuanya satu persatu, untuk memastikan kekasihnya itu mendapatkan
yang terbaik.
Ia
lantas masuk ke dalam teater, mengamati kursi-kursi, termasuk kursi yang sudah
disediakan untuknya. Kursi dimana ia bisa melihat Maya dengan jelas.
Masumi
beranjak dan duduk di sana. Diamatinya hiruk pikuk staf dan pemain yang berada
di atas panggung. Maya tampak naik ke panggung, membacakan dialognya dan
berakting dengan kostumnya.
Gadis
itu bergitu serius dalam dunianya. Sangat bergairah memainkan perannya. Bahkan
sebelum sandiwara sesungguhnya, Masumi sudah terpesona.
Maya… perasaan itu begitu berlebihan,
Masumi rasanya ingin menangis. Berapa tahun ia memuja? Berapa lama ia memendam
cinta? Tak berkesudahan dalam luka, tenggelam dalam duka?
Sekarang
semuanya harus berakhir di sini. Ia tak akan mencintainya lagi, dan harus berhenti
peduli.
Ancaman
surat yang sempat mendatangkan kerisauan pun sudah tak perlu dikhwatirkan lagi.
Tak ada ancaman apa-apa lagi dan tak ada yang terjadi. Keamanan kepada Maya
sudah ditingkatkan. Semua pakaian dan makanan diperiksa dengan seksama sebelum
menyentuh Maya.
Seseorang
mengusik Masumi. Ia mengalihkan pandangannya ke sana. Tampak Sakurakoji tengah
berdiri, di depan panggung mengamati istrinya.
Maya
kembali keluar panggung, sebelum muncul bagiannya lagi.
Saat
itu Masumi berdiri dari kursi. Sudah saatnya ia pergi. Masumi menyempatkan diri
menghampiri Sakurakoji.
Pemuda
itu menoleh dan terlihat tak mengira, ada Masumi di sana.
“Tampaknya
semua lancar,” kata Masumi.
“Ya,”
jawab Sakurakoji datar.
Masumi
mengamati Yuu dengan cukup lekat. Meyakinkan diri bahwa ia bisa menyerahkan
Maya kepadanya.
Masumi
mengangkat tangan dan menepuk bahunya, tampak Sakurakoji sedikit terlonjak.
“Jaga
Maya baik-baik,” hanya itu yang Masumi katakan.
Keduanya
saling bertukar pandang, saling mengerti apa yang dimaksudkan.
“Tentu.”
Masumi
tersenyum samar, meilirk sekilas ke arah panggung yang terasa kosong tanpa
Maya.
Ia
lantas permisi, dan beranjak pergi.
Masumi
baru saja hendak keluar gedung saat Hijiri menghubungi.
“Pak
Masumi, Anda masih di gedung Plaza Daito?” tanya Hijiri dengan mendesak.
Masumi
tertegun. “Ya, aku sudah mau pergi ke bandara sekarang. Ada apa?” tanya Masumi.
“Tolong
Anda kembali!” seru Hijiri, seraya menggenggam erat kertas di tangannya. “Saya
sudah berhasil menemukan alamat dan masuk ke dalam apartemen orang yang
mengancam Maya-sama. Ia berencana mencelakainya!”
“Apa!?”
Mata Masumi melebar. Tak pikir panjang pria itu berbalik kembali.
“Ada
cetakan tanda pengenal staf palsu yang ia buat. Ia menyamar menjadi kru
panggung bernama Haruhi Kotaro. Juga salinan nomor tiket pesawat menuju Tokyo. Ia
mungkin sudah ada di sana saat ini.”
“Terus
bicara Hh!! Hijiri!!” perintah Masumi, seraya dengan cepat berlari, menyusuri
kembali jalan menuju teater tempat Maya berlatih.
Aku harus menemukannya!! Aku harus
menemukan orang itu! Tekad Masumi. Ia kembali masuk ke dalam teater, menyusuri
sekeliling dengan matanya. Tak ada apa-apa, tak ada yang mencurgakan.
Ia
lantas beranjak ke bagian belakang panggung. Melihat dengan sekelilingnya,
mencari orang yang sesuai gambaran yang Hijiri berikan.
Maya
kembali naik ke atas panggung saat bagian adegannya.
Sementara
Hijiri menggeledah meja si penggemar gila. Mencari-cari coretan tangannya, dan
terkesiap saat membongkar isi sebuah laci.
“Pak
Masumi!!”
“Aku
tak bisa menemukannya!” desis Masumi dengan panik.
“Aku
tahu apa yang akan dilakukannya,” kata Hijiri. “Ia akan membuat Maya-sama bernasib
sama dengan gurunya. Orang itu akan—“
Saat
itulah Masumi pergi ke sisi panggung, dan menengadahkan kepalanya.
Seseorang
meniti kayu penyangga lampu panggung.
“Hentikan
dia!!!” teriak Masumi menunjuk ke arahnya.
Namun
terlambat, tali lampu sudah diputuskan. Lampu panggung yang besar dan berat itu
meluncur turun menyasar Maya.
Masumi
dengan cepat bergerak, mendorong Maya sekuat tenaga.
“KYAAA!!”
“BRUAAAAKKK!!!!”
lampu panggung itu jatuh.
Menimpa
Masumi yang ada di bawahnya.
“Kyaaa!!!”
Ruangan riuh seketika, teriakan dari mana-mana.
Sementara
Maya masih tak percaya, mendapati kekasihnya terbaring tak berdaya. Dengan
darah mengucur deras dari kepalanya.
“Pak…
Masumi….” Desisnya, merasakan remasan kuat di dadanya. “Pak…” Air mata mengucur
deras di pipinya. “KYaaaaaaaaaaaa!!!! Tidaaaaaaaaaaaakkk!!!!!!” Maya menjerit
sejadi-jadinya.
=//=
Hijiri
tertegun mendengar kerusuhan itu melalui teleponnya. “Pak Masumi?” panggilnya.
“Pak Masumi!!?”
Tak
ada jawaban. Hanya ada keriuhan dan teriakan histeris. Orang-orang berseru
untuk memanggil ambulan. Mata Hijiri melebar saat ia mendengar ada yang
mengatakan Masumi terluka. Hijiri mengeratkan rahangnya, dadanya berdebar
cepat. Ia tahu sesuatu tengah terjadi. Hijiri melakukan apa yang harus
dilakukannya.
Ia
meraih semua barang bukti itu dan beranjak dari sana.
=//=
“Pak
Masumi!!!” panggil Maya dengan histeris. “Pak Masumiii!! Banguuun!!!” teriak
Maya seraya menggoyang-goyangkan tubuh pria terkasih.
“Maya!
Jangan begitu. Kau mungkin akan melukainya. Biarkan dulu, Maya, petugas sedang
dalam perjalanan,” Yuu mengingatkan.
Darah
masih mengucur dari kepala, membasahi lantai panggung dan juga juga kostum Maya
yang terduduk di sampingnya dan memeluk tubuh kokoh yang tak bergerak itu.
“Pak
Masumiiii!!!! Banguuuunn!!!!” teriak Maya.
“Maya,
sudah, Maya, bangun,” dengan getir Yuu meminta istrinya menjauh dari si korban.
Dua orang petugas ambulan datang hendak membawa Masumi ke rumah sakit. “Bangun,
Maya. Biarkan mereka menolongnya!”
Maya
terenyak, ia melepaskan genggamannya dari Masumi dan kedua orang itu
menandunya.
Maya
tak menghiraukan orang-orang yang mengkhawatirkannya dan bertanya mengenai
keadaannya. Wanita itu tak juga meninggalkan Masumi. Dengan berderaian air
mata, dan gaun yang basah dengan darah si pria, Maya tak mau jauh dari sisinya.
“Maya
kau mau kemana!?” tanya Yuu.
“Aku
mau bersamanya,” kata Maya dengan berderaian air mata. “Aku akan menemaninya.”
“Maya!”
Yuu menahan lengan Maya.
Maya
mengentakkannya dan dengan cepat beranjak pergi mengejar brankart yang membawa
Masumi.
Wanita
itu menemani Masumi di dalam ambulan. Larangan petugas tak ia hiraukan. Tangannya
tak melepaskan tangan Masumi dari genggaman. Ia terus menangis dalam kedukaan
seraya tak henti memanggil-manggil Masumi yang hanya membalas dengan kebisuan.
Tim
medis terus berusaha melakukan pertolongan pertama pada Masumi dengan
menghentikan pendarahan di kepala.
“Denyut
nadinya semakin lemah,” kata perawat yang satu.
Maya
panik mendengarnya.”Tolong, selamatkan dia!” mohonnya. “Katakan apa yang harus
kulakukan. Aku akan melakukan apa saja!”
Petugas
medis itu menoleh. “Saat ini Anda hanya harus tenang. Tenanglah… kami akan
melakukan yang terbaik.”
Masumi
diturunkan di rumah sakit Sanno dibawa terburu-buru menuju ruang IGD.
“Tunggu
di sini!” tegas petugas kepada Maya yang ingin masuk ke dalam.
“Tapi…”
“Biarkan
kami bekerja!”
Maya
terdiam, bibirnya gemetar. “Tolong… selamatkan dia,” pintanya dengan suara
bergetar.
Brankart
Masumi masuk ke dalam ruang gawat darurat, tempat yang tak bisa lagi Maya
lihat. Gadis itu mengepalkan kedua tangannya erat.
“Tuhan…
tolong selamatkan Masumiku… selamatkan Masumiku…” pintanya dengan derai airmata
yang tak ada hentinya.
Detik
demi detik, kerisauan terasa semakin mencekik. Air mata Maya tak kunjung
berhenti seiring rasa khawatir yang terus melanda hati.
“Maya-sama!”
Hijiri datang menghampiri.
“Hijiri-san!”
isak Maya, dan dengan cepat memeluknya. “Pak Masumi… Pak Masumi… gara-gara
aku—“
“Maya-sama,”
Hijiri memotong ucapannya. “Saya sudah tahu apa yang terjadi,” ia balas memeluk
wanita itu. “Tenanglah, Maya sama, tenanglah. Dokter pasti akan melakukan yang
terbaik. Untuk saat ini, Anda sebaiknya pulang dulu, berganti pakaian. Mobil
sudah menunggu di luar,” Hijiri mengingatkan.
Maya
menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku tidak akan kemana-mana… Aku ingin ada di
sini, di sisi Pak Masumi…” tolaknya.
“Tapi
Anda tidak bisa begini terus, lihat pakaian Anda dipenuhi darah. Bersihkan diri
Anda, Maya sama, dan tenangkan dirimu. Pak Asa sedang dalam perjalanan ke sini.
Begitu juga dengan Mizuki san dan Aoki san.”
“Tidak!
Aku tak ingin meninggalkan Pak Masumi!!” pekik Maya.
“Maya-sama,”
desis Hijiri.
“Kau
bisa ke sini lagi nanti,” kali ini Yuu yang bicara. Pria itu baru saja datang membawa
tas Maya yang ditinggalkannya begitu saja di teater.
Maya
dan Hijiri menoleh kepadanya.
“Yuu…”
lirih Maya.
“Ayo
Maya, kita pulang dulu, nanti kita ke sini lagi,” ajak Yuu.
Maya
menatap nanar suaminya.
Yuu
bisa melihat wajah Maya yang begitu sembab, wajahnya merah padam, tampak
teramat sedih. “Ayo, Maya,” ajak Yuu, menggenggam tangan Maya.
Maya
menatap kosong ruang bedah Masumi sebelum kembali beralih menatap sang suami.
“Ayo,”
Sakurakoji tersenyum membujuk, lantas seraya menggandeng tangan istrinya, Yuu
beranjak dari sana.
Maya
mengikutinya dengan lemah. Namun tak seberapa lama, ia menghentikan langkah.
“Yuu…”
Yuu
menoleh kembali menatap istrinya.
Maya
kembali menangis, dan seraya memohon ia berkata, “aku tak bisa pergi… aku,” ia
terisak, “Pak Masu… mi… dia…” maya menunduk dan kembali deraian air mata
berjatuhan.
Sakurakoji
mengeratkan rahangnya. Ia tak tahu harus berkata apa. Semuanya berlangsung
begitu cepat di depan matanya. Masumi mendorong Maya dan mengorbankan dirinya.
Mungkin
Maya merasa bersalah, atau semata-mata memang ingin disamping kekasihnya.
Yuu
tak mengerti bagaimana layaknya bersikap. Cemburukah? Marahkah? Atau sekali
lagi bersikap dewasa dan memberi pengecualian untuk istrinya terdiam di samping
pria yang selama ini bersemayam di hatinya?
“Kumohon,”
suara Maya bergetar, tanpa mengangkat wajahnya. “Yuu…” ia melepaskan tangannya.
Dengan
pahit Yuu menelan ludahnya. Ia menyodorkan tas Maya kepada pemiliknya.
“Tapi
gantilah dulu pakaianmu, jangan mengenakan kostum bernoda darah seperti itu.”
Kali
ini Maya menatap suaminya, meminta maaf tanpa kata.
Ia
meraih tasnya, “Terima kasih,” lirihnya.
Maya
lantas beranjak ke kamar mandi. Sementara Yuu duduk di samping Hijiri.
Keduanya
tak berkata apa-apa untuk sekian lama. Yuu sesekali melirik pria di sampingnya.
Jelas sekali Hijiri tahu apa yang terjadi antara Maya dan Masumi. Mungkin
karena itu Masumi menunjuk Hijiri menjadi manajer mereka, sekaligus
mata-matanya.
“Siapa
pria yang menyebabkan lampu itu terjatuh?” tanya Yuu.
Hijiri
menoleh, “Seorang penggemar yang jiwanya terganggu. Ia terlalu terobsesi kepada
Maya-sama, dan marah karena merasa tak dihiraukan. Polisi sudah menangkap
pelakunya. Ia akan mendapatkan balasannya.”
“Hijiri
san sepertinya, begitu dipercaya oleh Pak Masumi, dan juga mempunyai hubungan
yang sangat dekat dengan istriku,” kata Yuu.
Hijiri
tertegun sejenak, berhasil menyembunyikan keterkejutannya. “Maya sama orang
yang hangat, tidak sulit dekat dengannya,” terang Hijiri. “Ada apa,
Sakurakoji-san bertanya mengenai hal itu?”
Yuu
tampak ragu beberapa saat, namun akhirnya ia mengucapkan apa yang ada dalam
benaknya.
“TIdak,
aku hanya merasa seringkali kau dan istriku menyembunyikan sesuatu dariku.”
Wajah
Hijiri masih tetap bertahan tenang. Sama sekali tak bimbang, “Tak ada yang
perlu kau khawatirkan. Maya-sama sangat menjaga perasaanmu. Ia memang sering bercerita
kepadaku, namun itu biasanya hanya membicarakan hal baik apa yang seharusnya
dilakukan.”
Yuu
tak lagi berkata-kata. Sampai ia kembali teringat istrinya.
“Maya
kemana? Kenapa lama sekali?”
Yuu
dan Hijiri bertukar pandang. Di wajah keduanya terbersit kekhawatiran.
“Aku
akan mencarinya,” Yuu beranjak dari sana dan pergi menuju kamar mandi.
Alangkah
terkejut sang suami saat ia menemukan istri yang dicari.
Wanita
itu tampak menangis di sebuah bangku. Beberapa orang di sekelilingnya tampak
bertanya hendak membantu. Namun Maya hanya menangis dan membisu.
Yuu
mendekatinya, “Maya?” tanyanya.
Namun
Maya hanya menangis di sana. Yuu lantas mengatakan bahwa ia suaminya dan
orang-orang pun beranjak meninggalkan mereka.
“Maya…”
panggil Yuu sekali lagi, namun Maya hanya tetap menangis sendiri. Tak
memandangnya tak juga bicara.
Yuu
duduk di sampingnya. “Maya…” panggilnya sekali lagi dan memeluk pundak sang
istri.
Dan
sekali lagi Maya hanya menangis sendiri.
“Ayo
kita kembali,” ajak Sakurakoji. “Mungkin sebentar lagi operasinya selesai.”
Tanpa
memandang, Maya berdiri dan bersama Yuu ia kembali.
Saat
itu tampak ada orang lain di sana. Dia adalah Pak Asa. Sepertinya diutus Eisuke
untuk menggantikannya berada di sana.
Maya
duduk kembali di tempatnya tadi. Matanya terpasung ke arah pintu sekali lagi.
Berjam-jam berlalu saat kemudian pintu terbuka dan sosok Masumi kembali
tertangkap mata.
Terbaring
lemah di atas brangkart yang ditarik gesit menuju ruang ICU.
“Pak
Masumi!!” seru Maya, segera berdiri. “Pak Masumi…!!” Maya mengejarnya.
“Tunggu
sebentar,” seseorang menahan lengannya. “Saya Dokter Nagase, yang menangani Pak
Masumi,” terangnya. “Tolong Anda tunggu sebentar, kami harus memeriksa dulu
keadaannya.”
Kali
ini Maya menunggu di depan ruangan ICU.
Hijiri,
Yuu dan Asa menyusul kemudian.
“Hijiri-san,”
Maya berkata lirih. “Kenapa Pak Masumi tak membuka matanya. Lalu kepalanya…”
“Tenanglah,
Maya-sama. Ia baru selesai dioperasi. Pasti belum sadar. Kita tunggu saja apa
yang akan dikatakan oleh Dokter,” Hijiri berusaha menenangkan.
Seorang
dokter keluar dari ruang ICU dan berbicara kepada Pak Asa yang merupakan
perwakilan dari keluarga Hayami. Dokter itu mengatakan bahwa kondisi Pak Masumi
stabil. Baik respirasi maupun tekanan darah dan detak jantungnya. Namun Pak
Masumi masih koma, masih belum sadar sejak ia tertimpa lampu tadi, Pak Masumi
masih belum bereaksi apapun. Karenanya pria itu masih dalam pengawasan intensif
pihak rumah sakit. Mereka khawatir jika sampai Pak Masumi tak kunjung terjaga,
maka pria itu bisa kehilangan nyawanya tanpa sempat membuka mata.
Mendengar
hal itu, Maya terenyak. Seketika jantungnya terhenti dan kegelapan
menyelubunginya.
=//=
“Maya,
kau tak apa-apa?” tanya Yuu dengan khawatir saat Maya terjaga.
Kepalanya
terasa sangat pening. Kepada suaminya ia terpaling, “Pak Masumi?” tanyanya
tanpa basa basi.
Yuu
menelan ludahnya. Saat pingsan nama itu yang terus dipanggil istrinya, begitu
pula saat ia meraih kembali kesadarannya.
“Pak
Masumi!?” desak Maya lagi.
“Masih
dirawat di ruang ICU. Dia masih koma.”
Maya
memaksa hendak berdiri dan pergi menemui Masumi. Namun tiba-tiba ia terkena
serangan. Kepalanya terasa ringan dan tubuhnya kehilangan keseimbangan.
“Hati-hati!”
Dengan tanggap Yuu menangkap. “Istirahatlah Maya, makan dulu kau belum—“
“Aku
ingin menemui Pak Masumi! Aku ingin melihat Pak MasumI!!” tegas Maya.
Yuu
mengeratkan rahangnya. “Kau sendiri sedang sakit! Ada Pak Asa yang menunggui—“
Bruk!
Maya mendorong Sakurakoji menjauh mundur. Maya sendiri segera beranjak keluar
kamar menuju kekasihnya yang masih tertidur.
“Maya!!”
Wanita
itu tidak menghiraukannya dan pergi keluar dari sana. Dengan hampa Yuu
memandangi tempat tidur dimana tadi istrinya berada. Ia menghela napasnya, dan
keluar dari sana.
“Pak
Masumi…” bisik Maya seraya terisak saat ia masuk ke dalam ruang ICU Masumi.
Kepala pria itu diperban rapat, serapat matanya yang tengah tertutup.
Alat
bantu pernapasan masih terpasang begitu juga selang infus dan alat detektor
denyut jantung.
“Maya-san,”
Asa menyambut dan membungkuk.
“Bagaimana
keadaan Pak Masumi?” Tanya Maya dengan mata berkaca-kaca dan tanpa melepaskan
pandangan dari kekasihnya tersebut.
“Masih
koma. Perawat akan mengontrolnya dengan teratur. Saya harus permisi dulu karena
harus melaporkan semuanya kepada Tuan Besar.”
“Ya,
tak mengapa, aku akan menjaganya,” Maya menatap nanar kekasihnya dan
menggenggam tangan yang selama ini melindunginya. “Aku tak akan kemana-mana…”
Asa
membungkuk dan keluar dari sana. Di pintu, ia sempat bertemu Yuu. Mereka saling
bertukar pandang dan Asa permisi pergi.
Yuu
mengamati dari pintu. Maya sedang bicara kepada Masumi, dengan lirih dan
lembut. Mengatakan ia tak akan meninggalkannya, akan selalu berada di sisinya.
“Bangun…
Pak Masumi… Maafkan aku. Karena aku kau seperti ini. Semuanya karena aku.
Kumohon buka matamu. Aku tak akan menyakiti hatimu lagi. Tak akan lagi…”
tetesan air matanya menuruni pipi.
Yuu
menelan ludahnya sakit. Pria itu masuk ke dalam, menghampiri Maya yang masih
memandang kosong kepada Masumi. Terpaku menatapnya.
“Anata,”
Yuu menyentuh bahu istrinya. “Ayo pulang. Para perawat akan menjaganya.”
Beberapa
saat Maya bergeming. Terdiam tanpa reaksi.
“Maya…”
Wanita
yang wajahnya bercucuran airmata itu hanya menggeleng. Menolak.
“Tidak
ada yang bisa kita lakukan walaupun—“
“Tidak!!”
Maya memeluk Masumi. “Aku tak akan meninggalkannya!! Tidak!!” ia tergugu. “Pak
Masumi….”
Seorang
perawat masuk ke dalam, “Nyonya!” dengan terburu ia menghampiri. “Tolong
tenanglah! Anda harus tenang!”
“Suster,
bagaimana keadaan Pak Masumi?” tanya Maya dengan getir.
“Pasien
masih koma. Anda harus tenang. Tolong jangan membuat keributan.”
Maya
mengangguk.
Sekali
lagi suster itu memeriksa kondisi organ-organ vital tubuh Masumi.
“Semuanya
normal. Tekan alat ini jika ada apa-apa dan Anda hendak memanggil perawat.”
Terangnya.
Maya
hanya mengangguk.
“Pak
Masumi…” wanita itu mengangkat tangan pria itu dan menciumi punggungnya. “Cepat
sembuh… cepatlah sembuh…” Ia memejamkan matanya dan menangis lagi.
Yuu
tercenung sekian lama. Bingung, marah, lelah.
Maya
sama sekali tak menghiraukannya. Wanita itu sama sekali tak berpura-pura
menutupi perasaannya. Mendekap Masumi dengan sekuatnya. Sejak wanita itu masuk
ke dalam kamar Masumi, tak sekalipun istrinya itu memandangnya.
“Maya,”
panggil Yuu sekali lagi dengan sedikit bergetar.
Tak
ada tanggapan apa-apa. Yuu segera keluar dari sana.
=//=
Yuu
tidak pulang ke rumahnya. Ia pergi ke sebuah bar dan menenggak beberapa gelas
minuman. Ia masih tak percaya apa yang terjadi begitu cepat hari ini.
Semuanya
terjadi di depan matanya. Maya yang sedang berlatih, Masumi yang tiba-tiba
muncul, semua teriakan, suara hantaman yang begitu keras dan tiba-tiba Masumi
sudah tergeletak di sana. Dan teriakan histeris Maya.
Masumi
mengorbankan nyawa demi Maya. Tapi apa hebatnya? Ia pun akan melakukan hal yang
sama demi Maya.
Namun
semuanya mulai semakin jelas sekarang. Baru kali ini Yuu melihatnya lagi. Rasa
cinta Maya yang begitu dalam bagi kekasihnya itu.
“Duk!!”
Yuu menurunkan dengan kasar gelas minumannya.
Suara
seorang gadis terdengar menyapanya. Yuu menoleh, dan seorang gadis asing yang
cantik sudah duduk di sampingnya.
Mengerling
manja, menggodanya.
Ia
memperkenalkan namanya namun Yuu tak mendengarnya. Akan tetapi Yuu jelas tahu
maksudnya.
“Kenapa
pria tampan sepertimu hanya sendirian?” tanyanya seraya semakin condong mendekat,
memamerkan bagian tubuhnya yang mengundang hasrat.
Beberapa
saat Yuu terpaku dalam lamunan, mencoba merasakan bagaimanakah saat diinginkan.
“Kenapa
malah diam saja?” tanya wanita itu, tertawa renyah dengan genit.
Dengan
cepat dan tanpa sadar Yuu meraih leher wanita itu dan mencium bibirnya.
Beberapa kali. Wanita itu membalasnya. Mereka tak peduli ada dimana saat ini
atau mata-mata yang memandang sinis.
“Ayo
kita pergi,” ajak si wanita, di bibir Sakurakoji.
Yuu
merasakan ketidaknyamanan. Berbeda sekali, dari ciuman yang pernah ia rasakan.
Ciuman bersama sang pasangan.
Maya.
Hanya
wanita itu yang ia harapkan. Hanya Maya yang ia inginkan.
Yuu
tertekan, mulai merasa jijik kepada dirinya dan sangat menyesal atas apa yang
ia lakukan. Tanpa bicara ia beranjak meninggalkan si wanita yang terus berteriak
karena merasa ditolak.
Maya… Maya… panggilnya dengan frustasi. Berharap
suara hatinya bisa terdengar sang istri.
=//=
Selesai
latihan Yuu kembali ke rumah sakit. Bukan hanya untuk melihat keadaan masumi,
namun terutama untuk melihat keadaan sang istri.
Maya
ada di sana, masih di tempatnya. Gadis itu tak bicara, hanya sesekali mengusap
kepala Masumi dengan lembut, menyebut nama pria yang tak kunjung menyahut.
Lantas
Maya terpaku, seraya menggenggam tangan Masumi dan mengecupi punggungnya.
Maya…
Yuu menatap sendu dari balikpintu. Ia sedikit terlonjak saat Hijiri menegurnya.
“Sakurakoji
san.”
Yuu
menoleh.
“Maya
sama?”
“Di
dalam,” jawab Yuu lemah.
Hijiri
menatap sebentar ke dalam ruangan sebelum berbicara kembali kepada Yuu.
“Daito
sudah memutuskan, Karenina akan ditunda sampai ditemukan teater baru dan
semuanya tenang kembali. Para pemain dan kru masih banyak yang syok dengan
kejadian itu, dan teater tersebut masih diselidiki Polisi sebagai TKP untuk
mengumpulkan bukti-bukti,” papar Hijiri. “Bukankah Anda masih ada jadwal
latihan? Sebaiknya Anda kembali.”
Yuu
tak tahu apa gunanya tetap berada di sana. Maya pun mengabaikannya.
“Maya…”
“Saya
akan menjaganya.”
Yuu
masih bergeming. Bermaksud bertanya mengenai hubungan sepasang kekasih itu
namun tak jadi.
“Masuklah,”
kata Yuu. “Aku akan segera pergi.”
Hijiri
membungkuk dan masuk ke dalam ruang ICU.
“Maya
sama,” panggilnya.
Maya
tak menoleh. Ia tak lepas menatap Masumi.
“Anda
sudah makan?” tanya Hijiri. “Maya sama?”
“Masumi,”
seraya menangis Maya kembali menciumi punggung tangan pria itu.
Hijiri
tertegun. Diamatinya Masumi yang masih larut dengan tidurnya yang dalam. Ia
menghampiri, menyentuh bahu Maya.
“Maya
sama, makan dulu. Tuan akan khawatir jika Anda tak menjaga kesehatan.”
Maya
menggeleng. “Aku tak akan makan selama Pak Masumi tak makan!” putusnya.
“Maya
sama…” Hijiri mendesah.”Anda tak boleh begitu. Jangan menyiksa diri Anda
sendiri.”
“Tidak!!”
Maya menggeleng kuat-kuat. “Semua ini gara-gara aku. Kalau bukan karena aku, Pak
Masumi tak akan sakit seperti ini!!” Maya tergugu. “Pak Masumi… bangun… Ayo
bangunlah…” pinta Maya dengan menghiba. “Kalau kau tak ada… aku tak bisa… Aku
tak bisa jika tanpamu Pak Masumi… Kumohon bangunlah…”
“Maya-sama,”
Hijiri menelan ludahnya, memandang getir. “Tenanglah. Anda tak boleh seperti
ini. Anda harus ingat bahwa Anda harus tetap tenang, karena bisa mempengaruhi
Pak Masumi. Walaupun dia tak sadar, bukankah suster bilang mungkin ia masih
bisa mendengar?”
Maya
berusaha keras meredam isakannya. Benar apa yang dikatakan Hijiri.
“Hijiri-san,”
Maya berkata lirih. “Aku tak akan meninggalkannya. Aku akan terus berada di
sisinya hingga ia tersadar,” Maya memutuskan.
“Maya
sama..” Hijiri terenyak. “Bagaimana dengan pekerjaan—“
“Tak
ada yang lebih penting dari Pak Masumi. Aku tak akan kemana-mana!”
Yuu
menelan ludahnya. Sudah teramat jelas semuanya. Maya memang sangat mencintai si
pria yang tengah lelap dalam tidurnya.
=//=
Hari
demi hari berlalu, sudah sampai dua minggu. Maya memenuhi ucapannya. Ia sama sekali
tak keluar rumah sakit. Kadang hanya terdiam di samping kekasihnya. Menatap
dengan wajah sendu.
Tak
ada satu pekerjaan pun yang Maya penuhi. Tak juga kewajibannya sebagai seorang
istri.
Di
luaran kehebohan mengenai hal ini sudah sempat memuncak. Mengenai tragedi saat
gladi resik. Mengenai Masumi yang menyelamatkan Maya, dan bagaimana pria itu
masih terbaring tak berdaya dan Maya yang terus menerus berada di sampingnya.
Pihak
manajemen mengatakan bahwa Maya memang merasa sangat bertanggung jawab dengan
semua ini. Karena itu ia memutuskan merawat Masumi hingga pria itu sadarkan
diri.
“Tapi
jangan khawatir. Saat Karenina pentas, Maya-sama akan tampil. Tak perlu peran
pengganti. Maya-sama tetap akan menjadi pemeran utamanya,” Hijiri berkata
selaku corong Daito.
Namun
dibalik kata-katanya yang begitu pasti, Hijiri pun menyembunyikan
kegelisahannya di dalam hati. Ia tahu benar bagaimana Maya, di samping Masumi,
ikut menyiksa diri.
Ia
enggan makan, dan tak mau beranjak dari sisi lelaki yang bagi Maya sudah seperti
seorang pahlawan. Ia bahkan tak peduli dengan berbagai keluhan dari para
pemakai jasanya di dunia hiburan.
“Kalau
seperti ini, aku khawatir popularitasnya terus menurun,” Rei berkata suatu
ketika saat bersama Hijiri di luar ruang rawat Masumi. “Kasihan Maya jika
sampai di-blacklist.”
“Semoga
saja tidak,” Hijiri menghela napasnya. “Mereka sudah tahu tragedi yang terjadi.
Dan masih banyak yang menunggu Maya kembali muncul. Bagaimana pun, dia sedang
berada di puncak karirnya.”
Ada
beberapa pengusaha dan orang-orang penting yang menjenguk Masumi. Tak banyak,
karena rumah sakit masih membatasi tamu bagi Masumi yang masih dirawat di ICU. Kadang
para penjenguk terkejut mendapati Maya di sana.
Dari
merekalah para wartawan biasanya mencari berita, mengenai keadaan Masumi dan
juga keberadaan Maya.
Bahkan
saat Romeo dan Juliet sudah mulai pentas, masih banyak wartawan yang bertanya
kepada Sakurakoji mengenai Maya, dan benarkah bahwa Maya tak pernah pulang dari
rumah sakit.
“Tidak
juga,” Yuu menutupi. “Maya memang sering berada di sana. Ia masih merasa sangat
berutang budi dengan apa yang dilakukan Pak Masumi yang sudah menyelamatkan
nyawanya. Namun demikian, dia sering pulang ke rumah kalau aku sedang pulang.
Aku sendiri memang sangat sibuk belakangan,” dustanya.
Masalah
berlalu saat Daito sudah memutuskan Karenina untuk dipentaskan. Pentas perdana
sudah semakin dekat, namun Maya masih tak ingin pergi dari sisi Masumi. Tak ada
siapa pun yang bisa membujuk Maya untuk latihan lagi. Bahkan saat gladi resik,
Maya tak tampil.
Akiko
Kanzaki adalah aktris pengganti yang sudah disiapkan menggantikan Maya jika hal
yang buruk terjadi. Hijiri berhasil meyakinkan bahwa Maya akan datang saat
pementasan.
Walaupun
sekarang, ia menjadi ragu.
Maya
hanya duduk termangu di samping Masumi, mengusap lengannya, memintanya bangun.
Maya
tak akan menanggapi apapun terkait pekerjaan dan juga pementasan. Namun
sepertinya sekarang sudah keterlaluan.
“Maya-sama,
dua jam lagi pentas perdana Karenina akan dimulai. Anda harus pergi sekarang
juga. Atau Anda tak akan sempat lagi naik pentas.”
Maya
termangu di tempatnya, lantas menggeleng.
“Maya-sama!!”
“Untuk
apa aku berakting jika Pak Masumi tak bisa menyaksikannya?” mata wanita itu
berkaca-kaca, dan mulai meneteskan air mata.
“Anda
tak boleh seperti ini!! Apa yang akan dikatakan Pak Masumi, jika ia tahu Anda
menolak naik panggung!?” Hijiri mengingatkan. “Anda pasti paling tahu, dia
adalah penggemar terbesarmu. Dia akan melakukan apa saja agar Anda tetap bisa
berakting. Jika dia tahu, Anda menyia-nyiakan peran Anda, Pak Masumi pasti akan
sangat kecewa!!”
Maya
tertegun. Mengecewakan Pak Masumi… Ia menunduk dalam-dalam. Aku sudah sering mengecewakan Pak Masumi… batinnya.
“Maya-sama…
Anda pasti tahu apa yang paling Pak Masumi harapkan. Jangan khawatir, Pak
Masumi akan baik-baik saja. Ia pasti sedih, jika menjadi penyebabmu
meninggalkan panggung. Padahal, selama ini Pak Masumi melakukan segalanya agar
kau terus berakting,” Hijiri menyentuh pundak Maya perlahan. “Saya yakin Maya-sama
paling tahu pasti, apa yang Pak Masumi inginkan.”
Maya
membisu. Jelas dia tahu. Apa yang pria itu perjuangkan untuknya sebagai Mawar
Ungu. Tapi… tapi… jika Pak Masumi tak
bisa melihatku… setetes air mata kembali luput.
“Maya
sama… Demi Pak Masumi, naiklah. Beraktinglah,” Hijiri meyakinkan.
Maya
menghela napasnya dalam-dalam. Sedalam tatapannya terhadap Masumi yang terdiam.
“Jika
terjadi sesuatu,” isak Maya. “Minta perawat Memberitahu aku!”
“Ya,”
Hijiri mengangguk.
“Tolong
tinggalkan kami sebentar,” pinta Maya.
Hijiri
membungkuk dan keluar ruangan.
Maya
masih terisak pelan, lantas mencium tangan Masumi perlahan.
“Apa
yang sedang kau lakukan?” tanya Maya, kepada si pria yang tetidur lebih dari
tiga pekan. “Aku akan pergi, tapi nanti kembali. Aku tahu itu pasti yang kau
inginkan kan?”
Maya
memejamkan matanya erat. “Aku akan melakukannya untukmu. Hanya untukmu,
Kekasihku…”
Maya
lantas beranjak dari sana, pertama kalinya keluar dari rumah sakit.
“Saya
sudah mempersiapkan agar Anda bisa ke teater tanpa menemui wartawan,” terang
Hijiri.
=//=
“Maya
Sakurakoji –sama sudah tiba!!” seru seorang kru.
Akiko
Kanzaki terkejut. Gadis itu sudah memakai kostum Karenina. “Sudah datang?” ia
tertegun, melihat aktris mungil itu, yang tampak sangat kurus muncul di
tengah-tengah mereka. Apa ia bisa
melakukannya? Ia tak pernah berlatih di panggung ini dan melewatkan gladi
resik.
“Maya
san, apa kau yakin bisa melakukannya?” Tanya Sutradara Minami.
“Ya,”
jawab Maya mantap. “Aku akan melakukannya.”
“Siapkan
kostumnya!!”
Akhirnya
Maya kembali naik panggung. Berakting. Untuk kekasihnya.
Pak Masumi… lihatlah aku, lihatlah…
Para
Penonton sangat puas saat melihat idolanya muncul. Dengan cepat segala
perhatian mereka tercuri oleh sang Bidadari yang kini berperan sebagai seorang
istri yang memendam cinta kepada kekasih hati.
Saatsandiwara
itu berakhir, tepuk tangan riuh malah terdengar tanpa akhir. Menggema,
menggetarkan sukma.
Maya
sekali lagi merasakan kehangatan mengisi kalbu, baru tersadar bahwa ia
sesungguhnya begitu mencintai akting dan menjalani hidup di atas panggung.
Air
matanya menetes hangat. Sungguh berharap bahwa saat itu Masumi melihat.
Maya
tidak menghadiri pesta syukuran pagelaran perdana. Setelah turun panggung ia
menjadi gelisah tiba-tiba. Teringat Masumi yang menunggu di pembaringannya. Ia
permisi pergi walau tahu banyak orang kecewa. Tapi ia tak bisa lama-lama. Ada
Masumi yang sudah menunggunya di sana.
Malam
hari Maya tiba di rumah sakit. Tampak pengawal Masumi duduk gelisah di luar
kamar ICU. “Ada apa?” tanya Maya. “Kenapa tidak menunggu di dalam?”
“Tuan
Masumi sempat kritis,” jelas sang asisten. “Detak jantungnya sempat berhenti
dan,” wajah si pegawai pucat.
“Apa!?”
Maya dan Hijiri terenyak bersamaan.
“Kenapa
tak memberitahuku?” Kali ini Hijiri yang bertanya.
“Kejadiannya
baru saja. Kami baru mengabari Tuan Besar. Tuan besar bilang jangan dulu
memberi tahu siapa-siapa.”
Mendengarnya
Maya gemetar. Pak Masumi sedang kritis?
“Bruk!” Maya terduduk, kehilangan tenaganya. “Pak
Masumi…” bibirnya bergetar, segentar suaranya.
“Maya
sama, tenanglah,” Hijiri berkata tak kalah gelisah.
Seorang
dokter dan perawat keluar tak lama kemudian. Maya segera menyerbunya. ”Bagaimana
keadaan Pak MasumI!? Bagaimana Dokter!? Dia akan baik-baik saja kan? Dia akan
selamat!?” desak Maya.
Dokter
itu mengamati Maya, mengenalinya sebagai wanita yang selama ini berada di
samping pasiennya. “Jantung Pak Masumi sempat berhenti berdenyut. Kami beberapa
kali menggunakan alat pacu jantung. Syukurlah semuanya bisa kembali membaik.
Malahan, Pak Masumi sempat tersadar sebentar.”
Mata
wanita itu membulat tak percaya. Setelah hampir empat minggu lamanya… “Pak
Masumi tersadar!?” Wajah Maya menyala bahagia. “Aku ingin melihatnya!”
“Tenang
dulu, Nyonya,” kata dokternya. “Sekarang Pak Masumi sedang tertidur. Ia mengaku
sangat lelah. Biarkan ia beristirahat dulu. Anda tenang saja, masa kritisnya
sudah lewat, namun keadaannya masih belum stabil. Kami akan mengontrol perkembangan
keadaannya semalam ini. Tolong jangan diusik dulu, tubuhnya masih sangat lemah.
Kalau bisa, jangan terlalu ramai di kamarnya. Cukup satu orang saja, untuk
mengamati keadaannya.”
Maya
tampak cemas. “Baiklah… Ta, tapi bisakah aku melihatnya, sebentar saja?”
“Baiklah.
Tapi tolong jangan mengusiknya.”
Maya
mengangguk.
Perlahan
wanita itu beranjak masuk ke kamar kekasihnya ditemani manajernya.
Tampak
Masumi yang sedang tidur sekarang. Wajahnya memang nampak tenang. Melihatnya, Maya
teramat senang. Ia ingin sekali menghampiri, menautkan jemari. Namun ia ragu, takut
Masumi tersadar dari mimpi sehingga Maya berusaha menahan diri.
“Hijiri
san, aku ingin berada di sini…”
“Anda
mendengar apa yang Dokter katakan,” bisik Hijiri. “ayo kita keluar terlebih dahulu.”
Keduanya
kembali beranjak keluar kamar.
“Maya
sama, saya rasa, ini waktunya Anda pulang ke rumah.”
“Pulang?”
Maya tertegun, ingatannya akan rumah seakan hilang.
“Ya.
Biar pegawai Tuan Eisuke yang menunggui Pak Masumi. Anda mendengar apa yang
Dokter katakan. Lagipula, sudah berminggu-minggu Anda di sini. Kurang baik.
Mulai saat ini, temui Pak Masumi seperlunya saja.”
“Ta,
tapi, aku belum melihat Pak Masumi terbangun.”
“Anda
bisa menjenguknya lagi besok,” Hijiri memandang mengharap pengertian.
“Ingatlah
suamimu, Maya sama. Kau bahkan meninggalkannya di pesta.”
“Deg!!”
Maya tersadar. Ia telah melakukan apa yang tak seharusnya ia lakukan. Yuu… Wanita itu menunduk. Berada di sini
seakan waktu pergi melewatinya begitu saja. Ia bahkan lupa apa yang telah ia
telantarkan, dan ia bahkan tak merasa kehilangan.
Saat
itulah kesadaran yang tak sempat ia hiraukan, kembalu mengingatkan. Bahwa ada
seorang pria yang sedang menunggunya pulang.
“Pulanglah,
Maya sama. Pak Masumi sudah berada di dekat orang-orang yang ahli.”
Maya
masih tak mau. Tapi ia kembali teringat Yuu. Akhirnya ia mengangguk.
“Besok
aku akan kembali menjenguk.”
=//=
Jantung
wanita itu berdebar sangat kuat. Sekarang ia kembali ke rumah yang ia
tinggalkan untuk beberapa saat.
Ia
merasa bersalah. Amat salah. Seraya menunggu Masumi tersadar, perkataan
siapapun tak pernah ia dengar. Ia hanya dengan setia menanti, hingga pria itu
bangun dari dunia mimpi.
Sekarang
Maya kembali pada realita. Dimana sedang ada suami menantinya. Suami yang entah
seperti apa perasaannya. Karena sekian lama tak dilayaninya.
Maya
takut, gugup. Saat pintu ruang tamunya dibuka.
“Nyonya!
Selamat datang!” Sambut pelayannya yang tampak tak mengira Nyonya kembali ada
di depan mata.
“Tuan
mana?” tanya Maya.
“Belum
kembali. Biasanya Tuan pulang tengah malam.”
Mendengarnya
Maya terkejut. “Tengah malam?”
“Ya,
selama Nyonya tak ada, Tuan memang selalu pulang tengah malam. Kami sudah lihat
beritanya di televisi. Apa Nyonya baik-baik saja?” tanya Tsubaki.
“Aku
baik-baik saja,” jawabnya kalut.
Ia lantas permisi ke kamarnya.
Sungguh
istri macam apa dia, yang tak tahu suaminya dimana dan sedang apa?
Rasa
bersalah itu kembali menyerangnya. Apa-apa yang tak sempat Maya pikirkan, kini
mengisi kepalanya. Mengenai betapa berdosanya ia, mengabaikan suami demi
kekasihnya.
Dalam
gelisah ia menanti, hingga Sakurakoji kembali. Dan saat itu terjadi, hari sudah
menjelang pagi. Maya bahkan tak menyadari, bahwa ia terlanjur masuk dunia
mimpi.
Suara
cicit burung dan kehangatan mentari menjadi penanda bagi Maya menyambut hari.
Sejenak
ia lupa, dimana ia berada. Sampai ia melihat ada suami di sampingnya.
“Yuu!!”
mata wanita itu melebar.
Ia
jatuh tertidur, padahal sudah berniat menunggu Yuu. Namun dengan cepat
pikirannya teralihkan, kepada Masumi yang sudah sadar kembali.Ia ingin melihatnya
lagi.
Maya
berniat menjenguknya dulu sebelum pementasan Karenina untuk hari ini. Dengan
cepat Maya turun dari tempat tidur dan membersihkan diri.
Kembali
dari kamar Mandi, Sakurakoji duduk di sebuah kursi, menikmati kopi.
Maya
menelan ludahnya, mendekat. “Yuu…” pangginya perlahan, dengan sesalnya teringat
kesalahan.
Yuu
melirik. Tanpa ekspresi. “Kau sudah kembali.”
“Ya.
Tadi malam. Kau tak ada. Aku bermaksud menunggumu tapi—“
“Ya,
tak apa-apa,” katanya, dengan mimik sebaliknya. “Kau mau kemana sekarang?”
tanya Yuu masih dengan dingin.
“Pak,
Pak Masumi sudah sadarkan diri. Aku ingin menjenguknya dan…” Maya terdiam,
mengamati Yuu yang tak kunjung memandang. “Yuu… maaf…” sesalnya. “Na, nanti
jika aku sudah yakin Pak Masumi baik kembali, aku tak akan—“
“Aku
mengerti,” potong Yuu. “Bagaimana pun dia sudah menyelamatkanmu. Kau berhak
merawatnya. Mungkin jika bukan karena dia, kau tak ada di sini sekarang.”
Walaupun
memang begitulah nyatanya. Maya tak pernah ada.
“Maaf
Yuu…”
Akhirnya
Yuu menoleh dan tersenyum, “Ya. Aku juga harus bersiap untuk pentas Romeo dan
Juliet.”
Sarapan
dihabiskan dalam diam, masing-masing sibuk dengan pikirannya yang terdalam.
Sesekali Yuu memandang Maya. Berminggu-minggu mereka tak bertemu, namun sama
sekali tak ada ekspresi rindu.
Sudah
semakin jelas sekarang, harga seorang Yuu di mata Maya.
Yuu
mengeratkan rahangnya, menurunkan cangkirnya dan menghela napas dalam-dalam. Ia
sudah mengambil keputusan dalam diam. Biduk rumah tangga mereka memang harus
tenggelam.
=//=
Maya
menghampiri ruang ICU Masumi. Tampak ada beberapa orang di dalam, termasuk Pak
Asa dan Nona Mizuki serta dua pegawainya. Maya tertegun. Kekasihnya kini sudah
membuka mata.
“Pak
Masumi…” wanita itu berkaca-kaca.
Kehadirannya
tertangkap Mizuki. Wanita itu keluar menghampiri.
“Maya-san,”
Mizuki mengangguk.
Maya
balas mengangguk. “Mizuki –san” sapanya. “Bagaimana keadaan Pak Masumi? Dia
sudah tersadar? Aku ingin bertemu dengannya.”
“Ya,
dia sudah sadar. Tapi tunggulah sebentar, Pak Masumi masih tak boleh banyak
bicara. Akan kukatakan kau ingin menemuinya.”
Maya
mengangguk dan Mizuki kembali masuk.
“Pak
Masumi, panggil Mizuki. Di luar Maya-san datang hendak menjenguk. Ia ingin
bertemu.”
Sebentar
Masumi tertegun, mengamati Mizuki. “Maya… Sakurakoji kun?”
“Eh?”
Mizuki terkejut dengan cara Masumi memanggil yang tak biasa. “Ya. Dia menunggu
Anda di luar.”
“Nanti
saja,” kata Masumi. “Aku lelah, ingin beristirahat. Aku belum ingin bertemu
aktris manapun. Biar Hijiri saja yang mengurusnya.”
Pak Masumi? Mizuki mengamati penuh tanya. Ada apa dengan
sikapnya? Ia sempat berpikir Masumi akan senang melihatnya dan meminta mereka
meninggalkannya berdua dengan Maya. Tapi malah sebaliknya.
“Pak
Masumi, saat Anda tak sadarkan diri, Maya san selalu berada di samping Anda,
kurasa—“
“Nanti,
nanti aku menemuinya. Sekarang aku masih sangat lelah. Sampaikan saja terima
kasihku kepadanya.” Ucap Masumi, dengan ketegasan maksimal yang bisa
diusahakannya.
“Baiklah,”
Mizuki tak bisa membantah.
Ia
kembali menghampiri Maya yang menunggu di luar.
“Bisa
aku masuk?” tanyanya penuh harap.
“Maaf,
Pak Masumi bilang, ia masih lelah. Ia belum bisa menemuimu. Katanya nanti saja.
Kalau ada apa-apa, kau bisa bicara kepada Hijiri san.”
“Apa?”
Maya bingung. “Pak Masumi…” ia gelisah menatap pintu kamar yang sedikit terbuka
itu. “Apa dia marah? Apa dia—“
“Tidak,”
sanggah Mizuki. “Dia hanya masih lelah. Nanti saja ia bicara denganmu. Tak
apa-apa kan?”
Maya
terdiam, kembali memandang ke arah kamar tersebut. Lantas mengangguk. Padahal
Maya sudah sangat menantikan untuk berbicara lagi dengan Masumi. Ingin sekali memeluknya.
Akhirnya
tanpa bertemu Masumi, Maya kembali ke teater dan bersiap untuk sandiwara
Karenina.
Sejenak
wajahnya tampak sendu. Memikirkan kapan Masumi akan datang melihatnya.
Tapi tak mengapa, yang penting Pak
Masumi sudah siuman kembali… Maya mencoba gembira.
=//=
=//=
Dua
kali pementasan untuk hari ini berakhir dengan sukses. Selalu ada orang penting
yang datang menyaksikannya. Para penggemar setianya dan juga aktris-aktris
lain.
Namun
kehebohan selalu datang dari para wartawan. Mereka bertanya perihal kejadian
hari saat nyawa Maya diselamatkan, dan kebenaran kabar bahwa maya selalu ada di
sisinya, bahkan hingga tak sempat pulang ke kediaman.
Maya
tak melayani semua pertanyaan itu. Dengan segera Hijiri melindungi Maya dari
serbuan para kuli tinta. “Cepat masuk, Maya sama!”
Maya
mengamati para wartawan yang bermuka masam saat ia tinggalkan.
“Ke
rumah sakit,” perintah Maya kepada sopirnya.
Mobil
itu segera melaju menuju rumah sakit tempat Masumi dirawat.
Di
sana seperti biasa, ada dua orang pegawai Hayami sedang menunggui keadaannya.
“Bagaimana
keadaan Pak Masumi?” tanya Maya, yang sedang melihat mata pria itu terpejam.
“Semua
keadaan organ vitalnya baik-baik. Lukanya di kepala sudah berangsur sembuh.
Namun demikian keadaan Pak Masumi masih sangat lemah. Dan beliau, kehilangan
kemampuan berjalan.”
“Apa!?”
Maya tertegun. “Lumpuh? A, apakah, selamanya—“
“Tidak,
untuk beberapa lama Tuan harus diterapi. Saat kecelakaan kemarin, memang ada
syaraf tulang belakangnya yang rusak terkena hantaman. Namun Dokter mengatakan,
masih banyak harapan Tuan bisa berjalan kembali. Hanya harus banyak berlatih
dan rajin mengikuti terapi.”
Maya
meghela napasnya lega.
“Berapa
lama, Pak Masumi akan kehilangan kemampuannya berjalan?” tanya Hijiri.
“Belum
tahu. Semakin cepat ia berlatih berjalan, semakin baik. Hanya saja saat ini
kondisi Pak Masumi belum memungkinkan. Ia bahkan masih kesulitan untuk bangun
dari tempat tidurnya.”
Termangu
Maya mendengarnya. Ia sangat pilu, tak mengira kejadian hari itu berdampak
hingga begitu.
“Aku
ingin melihatnya,” Maya berkata.
Dan
Maya dipersilakan.
Gadis
itu masuk ke dalam kamar, memandangi nanar kekasihnya yang masih bertubuh
memar. Dan rasa itu perlahan menguar, perasaan rindu dan cinta di hatinya yang terasa
berkobar.
“Pak
Masumi….” Desisnya, meraih tangan pria itu dan menggenggamnya seperti biasanya,
dan tanpa sadar mengusapkan ke pipinya.
“Ah!”
gadis itu terlonjak, saat ujung jemari Masumi bergerak. “Pak.. Pak Masumi…”
Tampak
pria itu mencoba membuka matanya, perlahan dan semakin terbuka, hingga tampak
kedua bola matanya.
Sebentar
Masumi tercenung, kepada Maya matanya terpasung. “Apa… apa yang kaulakukan?”
tanyanya bingung.
“Pak
Masumi…” senyuman wanita itu melebar. “Anda sudah bangun…” wajahnya berbinar.
Namun
Masumi hanya menatap hambar. “Apa yang kaulakukan?” tanyanya lagi, dengan
kegusaran samar.
“Ah,
maaf,” Maya sungkan. “Apa aku membangunkanmu?” tanyanya perhatian.
Sekali
hentak Masumi menarik tangannya, mendelik tajam dengan sontak, “Siapa yang
menyuruhmu masuk?” tanyanya tajam dengan pelak, setajam rautnya yang menolak.
Maya
membisu seketika. Reaksi Masumi sungguh tak ia sangka. Setelah ia menantinya,
mengapa pria itu malah menjaraki dirinya?
Saat
itulah Hijiri masuk, dan memecah kesunyian yang khusyuk.
“Anda
sudah bangun, Pak Masumi?”
Raut
tegang itu mengendur, tantangannya beranjak mundur.
“Ya,”
jawab Masumi, masih dengan lemah. Ia melirik Maya sejenak saja. “Tolong
keluarlah, aku masih ingin beristirahat.”
Maya
masih trauma, dengan perlakuan yang ia terima. Diamatinya Masumi, yang tak lagi
memandanginya.
“A,
aku ingin meminta maaf… karena aku Anda jadi seperti ini. Aku…” Maya hendak
terisak.
Masumi
tetap diam tak bergerak.
Hijiri
bisa melihat, ada sesuatu yang lebih dari sekedar jarak. “Maya-sama, silakan
tunggu di luar dulu, ayo,” ia mengajak.
Maya
ingin menolak, namun akhirnya ia beranjak.
Maya
duduk gelisah di kursinya. Menyadari Masumi membencinya. Mungkin karena ia
penyebab semuanya, termasuk saat Masumi kehilangan kemampuannya untuk
menjejakkan kakinya.
“Anda
baik-baik saja, Pak?” tanya Hijiri.
“Ya,”
jawab Masumi lemah. “Aku hanya terkejut melihatnya. Dan dia tadi…”
Pria
itu terdiam. Ingat bagaimana Maya menggenggam tangan dan mengusapkan ke
pipinya. Ia tak mengerti kenapa Maya melakukan semuanya.
“Selama
ini, Maya-sama sudah menjaga Anda siang dan malam… ia sangat senang Anda sudah
kembali siuman.”
“Tak
ada yang memintanya untuk melakukannya,” Masumi berkata hambar. Direktur Daito
itu lantas kembali berkata, “Aku tahu banyak masalah pekerjaan yang harus
kutangani. Tapi saat ini aku hanya tak ingin dulu memikirkannya.”
Hijiri
mengamati dengan heran. Tidakkah pria ini tahu bahwa urusannya dan Maya lebih
dari sekedar pekerjaan.
“Anda
tak ingin menemui Maya-sama?” Hijiri memastikan.
Masumi
berdecak perlahan. “Tidak. Lebih banyak hal penting lain yang ingin
kupikirkan,” ia menekankan. “Katakan saja kepadanya, ia tak perlu merasa berutang
kepadaku—“
“Kenapa
Anda tak mengatakannya sendiri kepada Maya-sama?” kali ini Hijiri bertanya
dengan mendesak.
Masumi
terdiam, menghela napasnya. “Aku sedang tak ingin berbasa-basi dengan siapa
pun,” katanya dingin. “Nanti jika sudah saatnya, akan ada waktunya aku mulai
bicara masalah pekerjaan lagi,” ia berkata.
“Pekerjaan?”
Hijiri tertegun mendengar ucapan tuannya, “bagi Anda sekarang, Maya sama tak
lebih dari pekerjaan?”
Masumi
mengamati anak buahnya. Sejak kapan Hijiri tak lagi mengenal dirinya?
“Memangnya,
aku harus menganggap dia apa?” tanya Masumi, tak kalah tak mengerti.
Dengan
lekat Hijiri mengamati. Masumi jelas tak pura-pura tak mengerti. Sepertinya,
memang sebatas itulah Maya punya arti.
Perlahan
Hijiri menghampiri. “Pak Masumi, Anda ingat dengan jelas, siapa Maya?”
“Ya,
tentu saja,” Masumi gusar menanggapi pernyataan Hijiri yang tak mendasar.
“Siapa?”
“Dia
Bidadari Merah. Murid Mayuko Chigusa dan aktris kelas A Daito. Ya, aku tahu
itu,” Masumi menekankan. “Tapi saat ini, aku tak punya waktu untuk semua itu!”
“Anda
ingat kenapa Anda di sini?” desak Hijiiri.
“Ya.
Aku tak begitu ingat kejadiannya, hanya saja saat itu di teater, seseorang
menjatuhkan lampu ke arah Maya kun dan aku mendorongnya, lampu itu menimpaku.”
“Siapa
yang menjatuhkan lampu?”
“Seorang
psikopat, penggemar berat,” desis Masumi, menatap penuh selidik kepada Hijiri.
“Kenapa kau mempertanyakan itu semua?”
“Dan
kenapa Anda menyelamatkan Maya-sama?”
“Eh?”
Masumi tertegun sejenak. “Aku spontan melakukannya. Dia sedang melakukan pementasan
yang penting untuk Daito,” jawabnya.
Namun
sesuatu menyangkal di dalam benak. Sesuatu di luar kehendak. Bukan, bukan itu
alasan ia bertindak.
Rahang
Masumi tiba-tiba mengerat dan sakit kepala menyerangnya dengan kuat.
“Arghh!!”
“Tuan
Masumi!!” Hijiri menghampirinya. “Tuan Masumi!!” Hijiri menekan tombol
memanggil petugas.
Maya
bangkit dari bangku, melihat perawat dan dokter masuk ke ruang ICU.
“Ada
apa!?” tanya Maya. “Ada apa dengan Pak Masumi!?” ia bertanya kepada para
petugas yang tak menghiraukannya.
Hijiri
keluar dari ruangan itu dengan wajah khawatir. Dan raut itu malah semakin
kentara setelah bertemu mata dengan Maya.
“Ada
apa dengan Pak Masumi?” tanya Maya dengan mata berkaca-kaca.
“Pak
Masumi tak bisa diganggu. Maya sama, sebaiknya Anda kembali ke rumah. Pak
Masumi benar-benar harus sendirian dulu.”
“Ada
apa dengannya?” desak Maya, dengan mata tak lepas dari pintu kamar Masumi.
“Kepalanya
sakit, bekas benturan itu masih berefek kuat. Kepalanya masih sering diserang
sakit begitu juga pundak dan punggungnya. Beliau benar-benar harus
beristirahat,” Hijiri meyakinkan. “Maya-sama, pulanglah. Sakurakoji-san
menunggumu.”
Sang
istri terkejut, merasa diingatkan dengan siapa ia seharusnya berada dan ia
merasa kalut.
“Tapi…
Pak Masumi…”
“Tak
ada yang bisa Anda lakukan walaupun berdiam diri di sini,” Hijiri meyakinkan.
Maya
menimbang beberapa lama dengan gelisah. “baiklah,” ia mendesah.
Dengan
diantar sopirnya, Maya kembali ke rumah.
Hijiri
kembali masuk ke dalam ruang rawat Masumi saat para dokter dan perawat sudah
keluar. Mereka menyampaikan perkembangan keadaan Masumi.
“Pak
Masumi keadaannya sudah normal. Hanya butuh pemulihan yang tidak sebentar,”
jelas Hijiri kepada Asa, di telepon. “Besok Pak Masumi bisa dipindahkan dari
ruang ICU.”
Ia
memutus sambungan dan mengamati Masumi yang sedang terdiam di tempat tidurnya.
Bergeming. Tak ada semangat hidup dan hanya terbaring lesu dengan mata yang
redup.
“Bagaimana
perasaan Anda?”
“Lebih
baik,” jawabnya lemah. “Mereka sudah memberiku obat dan sepertinya mulai berpengaruh.”
“Anda
masih harus banyak beristirahat, namun ada satu hal yang ingin saya tanyakan
sebelum saya meninggalkan Anda,” kata Hijiri.
“Ya.
Silakan, Hijiri…”
“Pak
Masumi, apa Anda ingat siapa Si Mawar Ungu?”
“Si
Mawar Ungu?” Masumi mengamati Hijiri. “Siapa dia?” tanyanya.
“Deg!”
mata Hijiri melebar dengan jawaban Masumi. Dan ia tahu Masumi tidak berbohong.
=//=
“Bagaimana
keadaan Pak Masumi?” tanya Yuu dengan datar, saat kembali terbaring di tempat
tidur bersama istrinya.
“Masih
sakit,” jelas Maya, dengan wajah khawatir yang nyata.
“Begitu…
semoga dia lekas sembuh,” ujar Yuu.
Maya
mengangguk. Kegelisahan itu masih ada beberapa lama Maya terbaring di
tempatnya. Yuu ingin sekali memeluknya, namun ia menunggu sampai Maya meminta.
Dan ternyata hingga terlelap, Maya tak kunjung berkata.
Yuu
mengamati wajah tidur istrinya, dibelainya perlahan wajah mungil itu.
Sulit
sekali melepaskannya, namun ternyata, lebih sulit bertahan di sisinya.
=//=
Maya
kembali lagi ke rumah sakit setelah ia selesai dengan pentasnya. Hanya Masumi
yang ada di pikiran Maya. Ia belum merasa tenang jika belum bertemu dan
berbicara langsung dengan Masumi.
Saat
ia tiba, kedua pengawal Masumi sedang menunggu di luar. Mereka diminta tidak
mengganggu Masumi.
Namun
Maya tak menghiraukan perkataan mereka dan berkeras masuk ke kamar Masumi. Ia
sangat terkejut saat melihat Masumi yang tengah berusaha berdiri dengan kedua
kakinya.
“Pak
Masumi!!” seru Maya, spontan menghampiri. “Apa yang Anda lakukan? Anda belum
boleh bangun,” dengan cekatan ditangkapnya tubuh Masumi yang hampir hilang
keseimbangan.
Masum
terenyak, menoleh dengan wajah terkejut kepada wanita mungil itu.
“Aku
tak apa-apa!” ujarnya dingin, terdengar sedikit gusar saat melepaskan tangannya
dari tubuh mungil Maya.
“Ta,
tapi, Pak Masumi…”
Masumi
tak menghiraukan. Ia menghela napasnya kasar dan beranjak naik kembali ke atas
tempat tidurnya, dengan dibantu Maya.
Ia
tak punya tenaga untuk mencegah. Bahkan hanya untuk berdiri saja, napasnya
terdengar begitu berat dan terengah…
Masumi
berusaha menenangkan napasnya saat terbaring kembali di atas tempat tidur.
“Anda
baik-baik saja, Pak Masumi?” tanya Maya dengan khawatir.
Masumi
melirik tipis ke arahanya dan bicara, “Maya kun, dengar. Aku tahu kau merasa
berutang budi kepadaku. Namun kau tak harus terus menerus menemuiku. Sudah ada
orang-orang yang mengurusku,” kata Masumi hambar.
Maya kun? Wanita itu mengamati Masumi. “Pa-Pak,
Masumi, aku berada di sini—“
“Maya
sama, Anda di sini rupanya,” Mizuki masuk ke dalam ruangan.
Maya
menoleh, mendapati asisten pribadi Masumi di sana yang kembali bicara kali ini
kepada atasannya, “Pak Masumi, saya dengar dari pegawai Anda, Anda berekras
ingin belajar berjalan? berapa kali saya katakan, Anda jangan memaksakan? Saat
ini Anda harus banyak beristirahat dulu!” Mizuki menekan tombol memanggil
perawat.
Masumi
berdecak, dan wajahnya yang dingin dipalingkan.
Maya
tak mengerti ada apa dengan kekasihnya. Tak hanya wajahnya. Bahkan tatapannya,
intonasinya, bahasa tubuhnya. Semua begitu dingin dan menolaknya.
“Aku
ingin istirahat!” tegas Masumi.
“Sudah
seharusnya Pak,” Mizuki menyetujui. Ia lantas menoleh kepada Maya yang tampak
tertelan kebingungannya. “Anda sebaiknya—“
“Pak
Masumi,” panggil Maya, penuh tanya. “Apa kau marah kepadaku?”
“Eh?”
Masumi dan Mizuki tertegun.
“Kenapa
Anda menghindariku?” desaknya. “Aku… aku tahu, gara-gara aku Anda menjadi
seperti ini. Aku hanya…”
“Kalau
sudah tahu, kenapa masih berdiri di sana?” tegur Masumi dengan dingin. “Aku
enggan melihatmu. Pergilah!” usirnya.
“Deg!”
Mata wanita itu membulat. Masumi mengusirnya… dan dia, menyalahkannya atas apa
yang terjadi. Mata wanita itu tampak berkaca-kaca sementara wajahnya memanas.
“Ma,
Maaf!!” Maya menunduk dan keluar dari kamar Masumi dengan cepat.
Di luar, ia bertemu dengan Hijiri yang melihatnya berkaca-kaca.
“Ada apa?” tanya Hijiri.
“Hijiri-san… Pak, Pak Masumi… dia… membenciku,” isaknya. “Dia bilang,
tak ingin melihaku lagi. Memang, memang salahku hingga dia—“
“Maya-sama, jangan menangis seperti ini,” Hijiri bermaksud menenangkan.
“Pak Masumi pasti tidak bermaksud seperti itu.”
“Tidak, Pak Masumi memang benar. DIa layak membenciku. Seharusnya aku
yang terbaring di sana. Seharusnya akulah yang tak bisa berjalan dan terluka
seperti itu,” isak Maya. “Aku pun tak ingin Pak Masumi seperti itu. Jika saja
bisa, jika saja bisa, aku pun lebih memilih diriku yang terbaring di dalam
sana,” raung Maya.
Di dalam, Masumi mendengar semuanya. “Mizuki,” ia menoleh kepada
asistennya. “Ada yang ingin kubicarakan.”
“Maya sama, dengar…” Hijiri masih berusaha menerangkan, membawa Maya
duduk di sebuah bangku. “Ada yang harus Anda ketahui mengenai keadaan Pak
Masumi. Ini tidak seperti perkiraan Anda, Pak Masumi tidaklah membencimu.”
“Benarkah?” tanya Maya. “Tapi aku bisa melihat, dari caranya
memandangku. Dia banar-benar kesal dan—“
“Tapi dia tidak bermaksud melakukannya untuk melukai hatimu,” tegas
hijiri. ” Maya sama, Pak Masumi…. Beliau…”
“Ada apa Hijiri san? Sebetulnya Pak Masumi kenapa? Jika dia tidak
membenciku,kenapa sikapnya begitu dingin kepadaku?” rintih Maya.
“Itu karena,” berat, hijiri menelan ludahnya. Entah bagaimana cara
terbaik mengatakannya, ia sendiri tak mengerti. “Pak Masumi, telah melupakan
identitasnya sebagai Mawar Ungu.”
“Apa?” Maya terenyak. “Maksudmu apa? Pak Masumi, aku tahu Pak Masumi
sudah tak lagi ingin menjadi mawar unguku,namun…”
“Bukan, karena kejadian itu dengan sendirinya Pak Masumi sudah tak ingat
lagi mengenai Mawar Ungu, juga,” suaranya semakin perlahan. “Bukan saja Pak
Masumi sama sekali tak ingat mengenai Mawar Ungu namun juga mengenai perasaannya
kepadamu. Karena itu, ia tak bermaksud bersikap dingin dan memusuhimu. Ia hanya
tak ingat pernah merasakan cinta kepadamu, Maya sama…”
Maya sejenak hanya membisu, kehilangan semua kata dan juga rasa. Pak Masumi… tidak ingat mengenai perasaannya
kepadaku? Tapi bagaimana mungkin… dia… tenggorokan Maya rasanya tercekat
kuat hingga tak sanggup bernapas.
“Maya sama,” Mizuki yang baru saja keluar dari ruang rawat Masumi,
memanggilnya. Ia sedikit terkejut melihat wajah pucat Maya. “Pak Masumi ingin
menemui Anda. Sebentar saja,” ujarnya.
“Pak Masumi…” Maya menahan isakannya, lantas mengangguk. Sejenak ia
bertukar pandang dengan Hijiri yang menatapnya sedikit iba.
Wanita itu lantas masuk ke dalam ruang rawat Masumi dimana dilihatnya
pria itu tengah duduk di atas tempat tidurnya.
“Pak Masumi…” sapa Maya.
“Maya kun,” sahut pria itu. “Masuklah…”
Maya berusaha keras menahan isakannya. Dipandanginya wajah pria
terkasihnya. Benarkah Masumi tak mengingat kisah cinta mereka? Tak mengingat
perasaannya kepada Maya? Maya sungguh merasa kehilangan karenanya. Ia merasa
ditelantarkan. Mengapa semua ini bisa terjadi?
“Aku hendak meminta maaf, karena kata-kataku tadi,” Masumi bicara. Terdengar
sedikit basa-basi dan tak ada kehangatan di sana. “Aku tidak bermaksud
menyinggungmu. Aku hanya ingin kau tahu, kau tak perlu merasa bersalah atas
keadaanku, Maya kun. Andaikan ada sesuatu yang ingin kaulakukan. Kau cukup
mensukseskan pementasan Karenina saja. Karena itulah inti dari semua ini. Aku
senang karenina tetap berlangsung seperti semestinya. Dan jika Daito untung
besar karenanya, kau sudah bisa menganggap utangmu kepadaku dan Daito lunas.
Karena itu, kau tidak perlu merisaukanku terlalu berlebihan. Cukup jalankan
saja bagianmu sesuai kontrak dengan Daito,” ujar Masumi. “Kita sepaham, Maya
kun?”
Maya menelan ludahnya, menatap Masumi nanar. Ingin berontak namun tak
bisa. Masumi… melupakan semua kisah mereka? Begitu saja?
Apakah ini memang yang terbaik bagi mereka? Benar… apa yang sudah
dihasilkan dari rasa cinta tak kunjung bersama seperti saat ini?
Maya menunduk, merasakan akan ada air mata yang lolos dari cengkeraman
kelopaknya.
“Maya kun?” tegur Masumi lagi.
Gadis itu terenyak sesaat.
“Pak Masumi,” katanya, dengan sedikit gemetar dan sepertinya membuat
Masumi terkejut karenanya. “Apa kau sama sekali tak mengijinkanku membalas
budimu? Karena kaulah aku masih bisa berdiri di sini, dan karena aku kau
berbaring tak berdaya di sana.”
“Seperti sudah kukatakan, kau cukup mensukseskan pementasan. Itulah
tujuanku menyelamatkanmu hari itu. Jadi jangan buat pengorbananku sia-sia
dengan membuat pentas itu gagal. Ini pekan terakhir kan? Buatlah pentas itu
sukses sampai selesai, dan utang kita pun selesai. Tak perlu lagi memikirkanku.
Dokter sudah mengatakan keadaanku beranjak membaik dan cepat lambat akan pulih
kembali.” Ujar Masumi.
Perkataan yang sama yang mungkin akan dilontarkan oleh Kekasihnya, namun
dengan cara yang berbeda. Caranya bicara sekarang benar-benar tanpa rasa dan
membuat Maya seakan diusirnya.
“Keberadaanmu di sini pun tak banyak membantuku. Malah akan menimbulkan
isu-isu yang tak mengenakkan. BIjaksanalah sedikit, Maya kun. Kau wanita
menikah sekarang. Aku sudah melihat beritanya di televisi, dan itu bukan bentuk
promosi yang bagus,” tegas Masumi.
Maya menelan ludahnya. “Maaf…” gumam Maya, menatap nanar kepada
kekasihnya.
“Jadi kita sudah saling mengerti?” Masumi bertanya pasti.
“Ya…” Maya menjawab setengah hati.
“Bagus. Silakan Anda keluar sekarang, saya mau beristirahat.” Pinta pria
itu.
“Ya…” jawab Maya lagi, masih dengan kelemahan yang sama.
Masumi benar-benar tak lagi sama. Ia baru menyadari Masumi bergitu
berbeda dari yang ia tahu selama ini. Setiap kata-katanya begitu penuh
perhitungan dan dingin, juga resmi. Sama sekali tak tampak kehilangan
keberadaannya selama ini.
Dengan lunglai Maya keluar dari kamar. Masih ada Mizuki dan Hijiri di
sana yang tengah membicarakan sesuatu.
“Maya sama, bagimana?” tanya Hijiri, perhatian seperti biasa.
“Aku ingin pulang,” jawab Maya singkat.
Bisa dirasakan Hijiri ada kegetiran di sana. Ia dan Mizuki saling
bertukar tatap dan akhirnya Hijiri mengikuti kemauan wanita mungil itu.
Sepanjang jalan Maya tak banyak bicara. Ia hanya terpekur diam di
tempatnya. Masih memikirkan adegannya tadi bersama Masumi. Ia benar-benar
merasa terbuang saat Masumi sama sekali tak tampak kehilangan. Tak ada kasih
sayang, atau kerinduan. Benar-benar berbeda orang dan juga perasaan.
“Hiks!” akhirnya Maya tak berhasil menahan diri lagi, ia menunduk dan
menangis.
“Maya-sama…” desah Hijiri, terkejut.
Maya membisu, namun air matanya sudah mengatakan segalanya. Segala duka
lara dan kesedihannya ada di sana. Saat mau tak mau ia harus pergi, dari
pikiran dan hati kekasihnya.
=//=
Sakurakoji sudah selesai dengan pementasan terakhirnya.
Bahkan saat pesta penutupan, Maya tak di sana. Ia hanya kesana kemari
seorang diri, sama sekali tak seperti seorang suami. Sudah berbulan-bulan
seperti ini, dan Yuu tak bisa bersabar lagi. Ia sudah membuat keputusannya bagi
sang istri.
Dengan membulatkan tekad ia masuk ke rumahnya dan mencari Maya.
Namun alangkah terkejutnya ia, saat mendapati istrinya tengah dirundung
duka. Melingkar di tempat tidurnya berderaian airmata.
“Maya?” ia menghampiri. “Kau kenapa? Ada apa?” tanyanya dengan sangat
khawatir.
Maya tak berucap apa-apa dan hanya menangis saja. Bagaimana mungkin ia
berkata, bahwa ia tengah menangisi seorang pria.
Namun Yuu tak lagi bertanya. Ia hanya terbaring di belakangnya dan mulai
memeluknya. Seerat-eratnya.
Yuu… isakan Maya
sesaat berhenti, sebelum menderas kembali. Dan tangisannya baru selesai dini
hari.
Wanita itu menoleh, mendapati suaminya yang tak lepas memeluknya.
“Yuu…” suaranya lirih dan serak. Diamatinya Yuu yang sudah setia
menemaninya tiap kali dirundung duka. Sekarang Maya mulai lagi muak kepada
dirinya. Muak karena tak berhenti membagi cinta walau sudah menemukan
pelabuhannya.
Ia ingat semua yang sudah Yuu lakukan untuknya. Semua cinta yang sudah
diberikannya, semua kebaikan yang tak kunjung dibalasnya.
Dan kali ini wanita itu merasa berdosa, karena sudah menyia-nyiakan
suaminya.
“Yuu…” airmatanya turun kembali, kali ini untuk sang suami.
Maya memutar badannya, dan balas
memeluk Yuu-nya.
=//=
“Maaf aku tak datang di pesta penutupan kemarin,” Maya berkata.
“Tidak apa-apa,” Yuu tersenyum tipis, menutupi luka hatinya. “Matamu
sembap.”
“Ah, ya, nanti penata rias bisa mengatasinya,” ujar Maya pelan.
Pria itu terdiam beberapa saat, membulatkan tekadnya.
“Maya—“
“Danna,” potong Maya, lantas menapat Yuu dengan lirih. “Nanti, setelah
pementasan, aku akan kembali ke rumah sakit menemui Pak Masumi.”
Yuu tertegun, rahangnya mengetat.
“Untuk yang terakhir kalinya,” imbuh Maya.
Pria itu menatap istrinya tak percaya. “Maya…”
“Maaf, selama ini sudah tak acuh kepadamu,” wanita itu tampak sangat
menyesal. “Namun aku berjanji, hari ini terakhir kali aku mendahulukan Pak
Masumi darimu. Nanti… aku,” Maya terkejut saat ia ingin terisak lagi, namun
sekuat tenaga ditahannya. Ia tak boleh melukai suaminya. “Aku berjanji akan
menjadi istri yang lebih baik bagimu.”
Yuu gamang beberapa lama. Wanita tercinta yang hendak direlakannya, kini
berkata akan berpaling kepadanya.
“Maya… Aku… Aku…” Yuu menghela napasnya, dan tersenyum tipis. “Sangat
bahagia mendengarnya.”
Maya balas tersenyum dan mengangguk.
=//=
“Selamat malam, Pak Masumi,” sapa Maya di pintu.
Pria yang tengah membaca beberapa dokumen di tangannya, mengangkat
wajahnya.
“Maya kun…” sapanya.
“Maaf mengganggu. Aku takkan lama,” ia meminta ijin.
Masumi berpikir sejenak, mengamati bunga di tangan sang wanita dan
akhirnya mengangguk.
Maya masuk ke dalam kamar, menghampiri seraya bertanya-tanya mengenai
apa yang tengah pria itu pikirkan. Namun tatapan Masumi hampir tanpa makna, tak
terbaca.
“Untuk Anda,” ia menyodorkan sebuket mawar kuning, tersenyum tipis.
“Terima kasih,” jawab Masumi. “Letakkan di sana saja,” ia menunjuk
sebuah meja.
Perlahan Maya beranjak ke sana, meletakkan bunganya, menyiapkan kalimat
perpisahannya.
“Ini yang kedua kalinya kan?” tanya Masumi.
Maya tertegun, membalikkan badannya. “Ya?”
“Ini kedua kalinya kau memberiku mawar kuning. Waktu itu… saat pesta di
rumahku kau dan suamimu memberiku mawar kuning kan? Kalian bilang, itu untuk
memulai awal yang baru?”
“Ya!” wajah Maya sedikit berbinar. Masumi mengingat saat itu. Apa ia
juga ingat yang terjadi selanjutnya?
“Kalian berdua terlihat sangat serasi,” kata Masumi.
Maya mengamatinya. Terlihat Masumi tulus mengatakannya. Tak ada wajah pahit
seperti yang sering tampak jika Masumi berbicara mengenai dia dan suaminya.
Kali ini wajah Direktur Daito itu hanya biasa saja.
Maya menunduk, menguatkan hatinya. “Terima kasih.”
“Jadi, ada apa?” tanya Masumi, “Apa yang ingin kaubicarakan, Maya kun?”
Maya menghampiri mendekati Masumi. Mengamati wajahnya lekat, hingga pria
itu merasa ganjil. “Ada apa?” tanyanya lagi.
Tak ada lagi mata itu, mata yang membuat Maya merasa tersesat didalam
kehangatannya. Semuanya sudah hilang. Namun, sorot kesepian dan sakit itupun
sudah tak ada. Saat Masumi tampak menderita di hadapannya, kini hanya dingin
saja.
Maya tersenyum tipis. “Aku lega, Anda baik-baik saja,” ia bicara. “Maaf
sudah menyebabkan semua kekacauan ini—“
“Ini kecelakaan, Maya kun,” Masumi menenangkan.
“Ya… padahal… dulu, kita… bermusuhan.”
“Kau yang memusuhiku, dan aku tak bisa bersikap ramah. Bukan hal yang
aneh.”
“Ya,” Maya tersenyum pahit. “Tapi aku tak mengira, Anda sampai rela
bertaruh nyawa… demi… aku,” mata gadis itu berkaca-kaca dan Masumi tak lagi
bicara. “Aku tahu, utang budiku ini takkan pernah bisa kubalas. Jika… jika ada
yang bisa kulakukan, Anda jangan segan, aku akan melakukannya. Namun, jika Anda
tak meminta, aku tak akan datang ke sini lagi. Aku hanya akan mendoakan agar
Anda lekas sembuh.”
“Ada yang bisa kaulakukan,” Masumi berkata.
“Ya?” Maya mengamati pria yang dicintainya.
“Maafkan kesalahanku dulu, kepada ibumu,” Masumi berkata dengan berat. “Itu
sebuah kesalahan terbesar yang seharusnya tak kulakukan,” pria itu tampak
getir.
Maya menelan ludahnya. Mengangguk. “Ya…” jawabnya. “Aku sudah lama
memaafkan Anda, dan aku yakin, ibu pun… memaafkan Anda.”
Masumi tersenyum, kali ini dengan hangat. “Terima kasih,” dan terdengar
lega.
Sekali lagi Maya mengamati wajah itu. Wajah yang tanpa beban, tak sendu,
tak pilu, dan damai. Memang inilah yang seharusnya. Yang terbaik bagi mereka.
Maya kembali tersenyum tipis. Ia membungkuk. “Semoga lekas sembuh.”
“Terima kasih, Maya kun… Selamat malam. Dan salam untuk suamimu.”
Maya memaksakan tersenyum. “Ya.”
Keduanya bertatapan, dan Masumi mulai membalikkan badan, melangkah
menjauhi si pria tampan. Selamat tinggal
Pak Masumi.
Pintu ruang rawat itu tertutup, Maya bersandar pelan di sana. Ternyata
ia tak kuasa. Sebentar lagi ia akan tenggelam dalam tangisan. Maya terburu-buru
ke kamar mandi, dan menangis dulu di sana. Untuk terakhir kalinya.
Pintu ruang rawat itu tertutup. Masumi beberapa lama memasung tatapannya
ke sana. Sebenarnya ada apa? Ada sesuatu yang terasa tak seharusnya, namun ia
tak tahu apa. Pria itu menghela napasnya. Sudahlah…
batinnya. Ia tak ingin menerka-nerka yang tak ada. Pandangannya lantas berpaling
pada buket bunga yang tergeletak di sana.
Mawar kuning menandakan awal yang baru.
Ia yang sempat hampir kehilangan nyawa, akan menemukan lagi tujuan
hidupnya. Setidaknya, Masumi akan mencoba.
=//=
Sepanjang jalan Maya berusaha menenangkan diri, tak memikirkan Masumi
dan hanya Sakurakoji.
Yuu… suamiku… Diingatnya lagi bagaimana suaminya sudah berkorban,
melakukan banyak hal untuknya. Mengasihinya, mencintainya. Tak ada sesuatu pun dari
Yuu yang tak bisa dicintainya. Andai saja Maya lebih mencoba.
Wanita itu naik ke kamarnya. Tampak Yuu tengah duduk di sofa, membaca
majalah berisi review dramanya.
“Selamat malam,” sapa Maya dengan tersenyum lebar.
“Selamat malam,” Yuu membalas. “Sudah pulang?”
“Sudah,” si istri beringsut mendekat.
“Sudah menemui Pak Masumi?” Yuu mengantisipasi, merasa galau lagi.
Maya menghela napas, tersenyum. “Sudah.”
“Lalu?”
Wanita itu meraih bibir suaminya dengan bibirnya. Mencium, memagutnya.
Yuu terkejut dan sempat tak bisa bereaksi sebelum membalasnya.
“Ada apa?” tanya si suami takjub dan gembira.
Maya tersenyum lebar. “Aku mencintaimu Danna,” dan memeluk Yuu.
Sejurus kemudian keduanya kembali terlibat adegan yang sama.
Dan malam itu, setelah lima bulan bersama, untuk pertama kalinya mereka
menjadi pasangan sempurna.
<<< Fallen Up to The Sun … END >>>
Categories
Author : Ty SakuMoto,
Fanfic: Serial,
Masumi,
Maya,
Sakurakoji
Subscribe to:
Posts (Atom)