Tiba-tiba saja jantung Masumi berdebar sangat keras seperti ada puluhan cheerleader tengah berlompatan dalam hatinya.
=//=
Maya melakukan pemeriksaan kepala dan juga beberapa evaluasi dengan ditemani Masumi. Keduanya berada di ruang dokter, menunggu keputusannya dengan berdebar-debar.
“Nona Maya,” dokter tersebut tersenyum lembut. “Saya tidak mengira akan bertemu Anda lagi dengan masalah yang sama,” katanya, mendesah kecil. “Namun Anda jangan khawatir. Tidak ada kerusakan permanen di dalam kepala Anda. Dan setelah melakukan evaluasi, amnesia yang Anda alami pun berbeda dengan amnesia sebelumnya dimana Anda hampir melupakan semuanya kecuali wajah Paman Anda,” dokter tersebut memandang Masumi.
Maya hanya bergeming mendengarkan.
“Kali ini, Anda masih mengingat banyak hal, walaupun tidak secara keseluruhan. Anda masih bisa mengingat orang-orang yang signifikan dalam hidup Anda, dan Anda pun bisa mengingat sesuatu saat diingatkan, benar? Seperti bahwa Anda adalah seorang aktris, mengenai kematian Ibu Anda, bekas sekolah Anda, Anda bisa meyakinkan diri Anda bahwa semua informasi itu benar setelah Anda berusaha mengingatnya?”
Maya mengangguk.
“Kemungkinan masalahnya ada di sini,” dokter itu diam sejenak. “Saat ingatan Anda sempat pulih, Anda melupakan semua hal yang terjadi selama Anda mengalami amnesia. Benar?”
Maya tidak yakin, menoleh kepada Masumi.
“Benar, dokter. Setelah ingatan Maya kembali, ia tidak ingat semua yang sudah terjadi saat mengalami amnesia.”
“Dan Anda berusaha keras mengingatnya?” dokter itu memastikan.
“ku, kurasa…” ujar Maya.
“Kemungkinan, memang ada sedikit masalah di hippocampus, dimana ingatan Nona Maya saling overlap satu sama lain. Ingatannya saat masih pulih dan ingatannya saat amnesia pertama kali dahulu, akhirnya ingatan-ingatan itu saling beradu dan membuat Nona Maya menjadi tidak yakin mana yang benar terjadi dan tidak. Hal-hal yang terjadi saat ia sehat, ada yang terlupakan, dan hal-hal yang terjadi saat ia sedang amnesia, berusaha muncul kembali. Oleh karena itu, dalam beberapa waktu, entah berapa lama, mungkin Nona Maya masih tidak dapat mengingat dengan jelas urutan realita yang pernah dijalaninya.”
“Apakah berbahaya?” tanya Masumi.
“Tidak berbahaya,” dokter itu tersenyum. “Itu alamiah, malah itu hal yang bagus…”
“Bagus?” Masumi sedikit lega mendengarnya.
“Iya, benar, kemungkinan, ingatan Nona Maya nanti akan bisa kembali utuh seperti semula. Saat semua ingatan-ingatannya sudah bisa muncul dan tersusun dengan rapi, ingatan Nona Maya bisa kembali sempurna. Ia akan bisa mengingat semuanya dengan baik, ingatannya saat sehat dan juga ingatan yang sempat hilang mengenai apa yang terjadi saat ia amnesia pertama dulu. Bisa dikatakan ini adalah proses transisi.”
Masumi merasa seakan-akan nafasnya berhenti. Ia akan bisa mengingat semua yang pernah terjadi…
Direktur itu menjadi gelisah.
“Akan ingat semuanya lagi?” ulang Maya.
“Iya,” dokter itu tersenyum. “Kau jangan takut, jika ada ingatan yang muncul di kepalamu, kau jangan melawannya. Jika kau bingung, kau bisa bertanya pada orang lain apakah hal itu benar pernah terjadi atau tidak. Karena selanjutnya kau akan mempercayai ingatanmu sebagai fakta nyata,” dokter itu menoleh kepada Masumi. “Karena dulu Anda yang sering bersamanya saat Maya amnesia. Anda harus membantunya mengkonfirmasi kejadian-kejadian yang Nona Maya ingat kembali. Jangan menyembunyikan faktanya, karena hal itu akan membingungkan Nona Maya, dan jangan juga memaksanya mengingat sesuatu yang belum diingatnya,” terang dokter tersebut.
Masumi menelan ludahnya, dan mengangguk. =//=
Sepanjang perjalanan, Masumi masih terngiang-ngiang dengan ucapan dokter tersebut. Mungkin ini adalah proses Maya mendapatkan kembali ingatannya dengan utuh… pria itu menelan ludahnya. Semua ingatannya dengan utuh…
Masumi benar-benar kalut. Bagaimana andaikan benar gadis itu berhasil mengingat semuanya tanpa terkecuali? Permusuhan mereka dahulu, dan juga… apa yang sudah Masumi lakukan saat gadis itu hilang ingatannya. Tentu saja, semua yang terjadi saat Maya kehilangan ingatan adalah salahnya. Maya saat itu sedang tidak menjadi dirinya sendiri. Ia tidak ingat apa pun. Tapi Masumi? Masumi tersadar sepenuhnya. Namun dia tetap membiarkan gadis itu salah paham. Dan ia juga yang sudah membiarkan semuanya terjadi. Segala kedekatan dan kemesraan antara mereka dahulu… semua gandengan tangan, pelukan dan.. kecupan itu…
Masumi benar-benar gelisah. Apa pendapat gadis itu mengenai semua hal tersebut jika ingatannya sudah kembali seperti semula? Ia pasti semakin membenciku… batin Masumi. Ia pasti akan sangat membenciku… pikirnya sendu.
Saat ini keduanya tengah berada dalam perjalanan menuju ke rumah Masumi setelah mengambil beberapa pakaian Maya. Rei sedang tidak ada di tempat, mungkin tengah bekerja. Namun Masumi sudah meninggalkan surat pesan untuk gadis tomboy tersebut. Ia yakin pasti gadis itu pun sama terkejutnya seperti dirinya.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Masumi lembut kepada Maya yang masih saja membisu di sampingnya.
“Ba, baik… Paman,” Maya berusaha tersenyum.
Ada yang Masumi sadari. Maya nampak berbeda dengan sebelumnya saat ia mengalami amnesia pertama kali. Dulu wajahnya polos sekali dan sangat lengket kepadanya. Menatapnya dengan berbinar-binar. Namun saat ini, Maya seringkali terdiam dan nampak linglung. Mungkin benar apa yang dokter katakan, Maya sedang dalam masa-masa yang membingungkan karena ingatannya sedang disusun ulang. Masumi pun, menyadari bahwa ada kemungkinan gadis itu kali ini akan bisa mengingat semua yang terjadi di antara mereka walaupun ia sedang amnesia, menjadi sedikit lebih menjaga diri dari Maya.
“Mungil,” panggil Masumi perlahan.
Maya menoleh ke arahnya.
Masumi menggenggam tangan Maya dengan hangat dan tersenyum lembut.
“Kau jangan takut. Semua pasti akan baik-baik saja. Percayalah kepadaku.”
Maya menatap Masumi beberapa saat lantas mengangguk dan tersenyum berterima kasih.
=//=
“Aku akan mengantarmu ke kamar,” ujar Masumi saat keduanya tiba di kediaman Hayami. Sekali lagi Masumi memperkenalkan Maya kepada para pelayan dan pegawai. Masumi menerangkan bahwa Maya akan tinggal bersama mereka untuk sementara waktu.
Masumi memperkenalkan nama mereka satu per satu. Maya berusaha keras mengingat mereka satu per satu, dan tidak begitu sulit. Maya merasa punya kenangan mengenai mereka.
“Ini kamarmu,” Masumi membawa Maya ke kamar tamu yang dulu ditempatinya.
Maya terjegil di pintu. Bayangan itu datang lagi. Ia menoleh ke arah kursi. Di dekat kursi, ia dan Masumi pernah berpelukan dengan begitu hangat. Benarkah hal itu pernah terjadi?
“Mau makan sekarang?” tawar Masumi.
Maya menoleh dan mengangguk seraya tersenyum malu-malu.
“Kita bertemu di ruang makan. Aku ganti baju dulu. Kau ingat dimana ruang makannya?”
“Akan kucari sendiri, sekalian kucoba mengingat-ingatnya,” ujar Maya.
Masumi mengangguk dan keluar dari kamar Maya.
Gadis itu lantas beranjak ke balkon kamar, mengamati pemandangan di bawahnya. Aku pernah berada di sini… batinnya, mencoba mengingat. Perlahan-lahan ingatan itu memang muncul, seperti de javu. Namun kapan tepatnya ia tidak bisa ingat urutan waktunya.
Tempat tidur ini… kamar ini… lemari ini… meja… Maya mengedarkan pandangannya. Benar. Ia pernah berada di sini. Hanya tidak mengingat kapan tepatnya. Gadis itu lantas keluar kamrnya setelah memberekan barang-barang bawaannya. Ia menyusuri lorong di rumah itu, mengamati satu per satu, mengingat sisa kenangan yang coba dibangkitkannya. Sedikit demi sedikit tempat itu terasa tidak asing baginya.
“Nona Maya sudah datang,” terang Sayoko.
Masumi menoleh dari tempat duduknya, dan tersenyum melihat Maya. Gadis mungil tersebut balas tersenyum dan duduk di tempatnya.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Masumi.
“Sudah lebih baik. Terima kasih Paman.”
“Bagus. Nanti setelah makan malam, aku bisa mengajakmu berkeliling.”
“Terima kasih,” Maya mengangguk. Ia lantas mengedarkan pandangannya di ruang makan tersebut. “Aku ingat pernah berada di sini.”
“Iya, tentu. Kita selalu makan malam di sini.”
“Kita?”
Masumi mengangguk, tersenyum sangat hangat. “Kau selalu menungguku pulang agar bisa makan malam denganku. Aku jadi selalu pulang lebih cepat,” ungkap Masumi. “Saat ini, apa saja yang kau ingat Mungil?” tanya Masumi sekali lagi, agar ia yakin sejauh mana gadis itu mengingat kebersamaan mereka.
“Aku ingat aku seorang aktris. Aku ingat teman-temanku. Juga… sandiwara yang sedang kumainkan. Padang Liar… yang terlupakan?”
Masumi tersenyum dan mengangguk.
“Aku ingat Paman, dan Nona Mizuki… Tapi selebihnya…” Maya menggeleng.
“Kau tidak ingat sandiwara yang pernah kau mainkan?”
Maya kembali menggeleng.
Masumi menghela nafasnya benar ternyata ingatan Maya saat ini campur baur.
“Kau ingat orang tuamu?” tanya Masumi.
Maya tertegun, matanya melebar. Nampak sangat terkejut.
“Mungil…?” tanya Masumi perlahan.
Maya mengangguk, dan nampak berkaca-kaca. “Aku ingat mereka sudah meninggal… tapi… kenapa…?” Ia memandang Masumi.
Pertanyaan itu mencekik Masumi, ia menelan ludahnya. “Jangan dipaksakan,” katanya, menunduk menatap makanannya. “Tunggu sampai kau bisa mengingatnya lagi.”=//=
Masumi lantas mengajak Maya berkeliling, memberitahu apa saja yang sempat gadis itu lakukan di rumahnya. Bahwa mereka kadang mengobrol dan bercanda di sofa ruang duduk, kadang gadis itu menghabiskan waktunya seharian di pekarangan belakang main lumpur. Merangkak kesana kemari karena berlatih Jean. Maya juga menjemput Masumi ke kamarnya setiap pagi untuk mengajak sarapan dan menunggunya pulang untuk makan malam.
Maya tertegun, berusaha mengingat itu semua, perlahan-lahan memang beberapa hal diingatnya kembali.
“Paman…” panggil Maya saat mereka masuk lagi dari pekarangan belakang. “Kenapa aku amnesia dulu?”
“Temanmu Rei mengatakan bahwa kau jatuh dari tangga. Kau hendak menuruni tangga dengan sambil merangkak dan kau terjatuh, kepalamu terhantam keras.”
“Kenapa aku meninggalkan rumah?” tanya Maya.
Masumi tertegun. Ia ingat. “Karena kau ingin menjadi aktris,” terangnya singkat.
“Paman, tadi siang, paman sempat menyebut-nyebut Bidadari Merah. Apa itu?”
Masumi lantas menerangkan mengenai Bidadari Merah dan Maya adalah salah satu kandidatnya.
“Aku?”
“Iya. Kau. Kau itu sangat berbakat. Kau dan Ayumi akan bersaing untuk Bidadari merah jika kau berhasil mendapat penghargaan saat festival seni dari peranmu di Padang Liar yang terlupakan.”
“Benarkah?” gadis itu nampak termenung.
“Benar…” Masumi berujar. Ia lantas meraih tangan Maya, bisa dirasakannya gadis itu sedikit tersentak.
“Paman…?”
“Kau jangan khawatir, saat itu pasti ingatanmu sudah pulih lagi. Kau akan baik-baik saja,” Masumi meyakinkan.
Maya memandangi tangan mereka yang bergandengan. Terasa sangat hangat. Maya ingat pernah mengalaminya. Menyusuri ruangan ini… berpegangan tangan seperti ini… dan ingatan itu muncul kembali di kepala Maya yang membuatnya merasakan nyeri.
“Buk!” Gadis itu limbung, menubruk lengan Masumi.
“Mungil!!” Masumi sangat terkejut, menangkapnya. “Kau kenapa? Ada apa?”
Maya memejamkan matanya erat dan menggeleng perlahan. “Aku…” ia terengah.
Masumi segera menggendong gadis itu menuju ke kamarnya dan membaringkannya di atas tempat tidur. “Tunggu kuambilkan air minum,” Masumi segera beranjak keluar kamarnya.
Maya berusaha mengatur nafasnya yang berat, menenangkan dirinya. Ia kembali mengamati ruangan itu kembali, dan bayangan lebih banyak menghampirinya.
Paman… sebuah bayangan muncul. Masumi duduk di sisi tempat tidurnya, tersenyum hangat kepadanya, dan bercerita mengenai dirinya.
Masumi kembali dengan air putih di tangannya. “Ayo diminum,” anjurnya.
Maya bangun dan meminum air tersebut.
“Sudah lebih baik?”
“Aku sudah tidak apa-apa,” Maya berujar. “Maaf membuatmu khawatir.”
“Sudah tidak ada yang sakit?”
Maya menggeleng. “Semuanya sudah baik-baik saja,” Maya tersenyum. “Terima kasih, Paman.”
“Cepatlah tidur, semoga besok sudah lebih baik. Kalau ada yang kaubutuhkan, kau bisa mendatangiku, mengerti?” Masumi tanpa sadar membelai lembut rambut Maya.
Maya mengangguk. Setelah Masumi beranjak dari sana, beberapa saat Maya memandangi pintu tempat Paman jadi-jadiannya itu menghilang. Kembali berusaha mengingat banyak hal mengenai dirinya dan Masumi, dan bertanya-tanya apakah itu semua sungguh terjadi?
=//=
Masumi terdiam nyalang di tempat tidurnya. Hanya terdengar detik jam sementara matanya tak juga terpejam.
Maya… pria itu memanggil gadis tercintanya. Ia tidak mengira Maya sudah kembali berada di rumahnya. Namun dalam keadaan yang tidak membuatnya lega. Kenapa Maya bisa kembali amnesia? Masumi sungguh berharap ucapan dokter tadi siang itu bisa dipercaya, bahwa ini semua adalah proses yang akan membuat kepala Maya kembali ke keadaan semula. Bahwa otaknya sedang menyusun kembali semua ingatannya.
Dan rasa gelisah itu pun datang. Masumi berbalik tidak tenang.
Masih nyalang.
Nafasnya dihempaskan kuat-kuat. Lantas bagaimana, jika semua ingatan Maya kembali? Tentang semua yang pernah terjadi di rumah ini? Tentang Masumi yang sempat lupa diri?
Dan Masumi kembali menjadi pengecut. Jika sudah mengenai Maya, segala nyalinya segera ciut.
Pria itu lantas turun, menapakkan kakinya menyusuri lantai setelah mengenakan mantel kamarnya yang terbuat dari sutera untuk beranjak menemui Maya. Ia ingin melihat keadaannya.
Sejak ingatan lama Maya kembali, Masumi merasa jauh lebih kesepian setelah gadis itu tidak lagi menemani. Tawanya, sentuhannya, tatapannya, tidak pernah bisa dilupakannya. Hanya sempat bersama sekitar seminggu, namun ketidakberadaan Maya membuatnya tersiksa rindu.
Berpakaian di pagi hari seraya menatap pintu, berharap entah bagaimana Maya muncul dan menarik tangannya untuk sarapan berdua. Akhirnya di meja makan Masumi hanya termangu, menatap sepi kursi tempat Maya pernah berada, namun gadis itu sudah tak lagi ada.
Tidak lagi mengantar atau menunggunya sepulang dari kantor. Tidak menemaninya menonton TV atau mengobrol sebelum tidur. Berkejaran di lorong rumah, bermain di pekarangan, tertawa bersama, saling menggoda. Masumi merasakan kehilangan yang begitu besar hanya karena Maya tidak lagi mengingat ia sebagai pamannya.
Sekarang Masumi berdiri di depan pintu kamar Maya. Ragu-ragu. Apa dia sudah tidur?
Masumi ingin memandangnya. Ingin memastikan bahwa Maya memang ada di sana.
Perlahan-lahan ia membuka pintu kamar Maya yang tidak terkunci. Ruangannya temaram, hanya diterangi lampu dari arah beranda.
“Paman?” panggil Maya.
Masumi ternyak. Maya belum tidur.
“Kau belum tidur?” Masumi membuka pintu lebih lebar. “Apa aku mengganggumu?”
Tampak Maya bangkit terduduk.
“Aku belum tidur,” jawab Maya, meraih lampu di atas nakas dan menyalakannya.
“Apa ada yang kau pikirkan?” tanya Masumi seraya menghampiri.
Maya mengamati wajah Masumi yang semakin mendekat kepadanya.
“Pa, Paman sendiri kenapa ke sini? Ada sesuatu?”
“Aku hanya ingin melihat keadaanmu,” Masumi berujar. “Apa ada yang sakit?”
“Tidak ada…” Maya menggeleng perlahan.
Masumi duduk di tepi tempat tidur. “Lantas kenapa belum tidur?”
Gadis mungil itu beberapa saat hanya menatap Masumi dengan mata beningnya yang tidak sanggup disembunyikan malam. “Apa Paman mengkhawatirkanku?”
“Iya. Apa kepalamu sakit lagi?”
Maya menggeleng.
“Lalu? Ada yang kau pikirkan?”
“Sebelumnya pernah seperti ini juga ya?” Maya memastikan. “Paman duduk di sisi tempat tidurku, bicara padaku sambil… mengusap kepalaku?” konfirmasinya.
Masumi mengangguk dan tersenyum hangat. “Kau dulu sedikit manja,” terangnya.
Wajah Maya menghangat seketika. “Aku!?”
“Iya… tapi tidak heran. Kau hanya ingat aku saat itu. Itupun hanya wajahku. Kau tidak ingat siapa namaku,” papar Masumi.
Maya hanya membisu, memasung tatapannya kepada raut Masumi dengan membisu. Hanya ingat wajahnya…
“Aku merepotkanmu?” tanya Maya. “Aku ingat pernah mengacak-ngacak… rambutmu?” tanyanya ragu.
Masumi terbahak. “Iya kau pernah mengacak-ngacak rambutku, tapi tidak. Kau tidak merepotkanku,” Masumi tersenyum hangat.
Wajah Maya semakin menghangat. Kenapa jantungku berdebar keras seperti ini… Kenapa…
“Tidurlah,” Masumi berujar lembut. “Dokter sudah mengatakan kau harus banyak beristirahat dan jangan terlalu banyak berpikir, nanti kau akan ingat sendiri.” Masumi menelan ludahnya saat mengatakan kalimat terakhir.
Maya mengangguk lantas masuk ke dalam selimutnya yang dirapikan Masumi. Sekali lagi gadis itu hanya terus mengamatinya. Masumi menyadari itu. Hal tersebut juga terjadi dulu.
“Cobalah tidak perlu terlalu memikirkan sesuatu. Selamat malam,” Masumi menepuk kepalanya perlahan.
“Ba, baik. Se, selamat malam… Paman,” wajah gadis itu merona dan segera disembunyikannya di balik selimut.
Ada apa ini. Kenapa ia salah tingkah seperti ini? Perilakunya, termasuk juga jantungnya.
Maya mengikuti Masumi dengan matanya hingga tubuh gagah pria itu menghilang di balik pintu. Gadis itu kembali teringat wajah dan suaranya tadi. Selamat malam… Maya menyentuh kepalanya dimana Masumi tadi menyentuhnya. Wajahnya merona banyak. Kenapa perasaanku… aneh begini… Ia menggigit tipis bibir bawahnya. Sebenarnya aku kenapa?
=//=
“Kamar Paman dimana?” tanya Maya kepada Sayoko.
Sayoko tersenyum ramah. “Di sebelah sana…” menunjuk sebuah kamar besar dengan pintu menjulang. “Mau mengajaknya sarapan?”
Maya tersenyum dan mengangguk. Gadis itu menyusuri lorong. Seperti biasa matanya bergerak kesana kemari mengamati semua hal di sekitar dan berusaha mengingat-ingatnya.
“Bruk!!”
“Aduh!”
“Mungil!” seru Masumi.
Keduanya bertabrakan di pintu saat Masumi hendak keluar dan Maya yang tidak awas berada di depan pintunya.
“Kau tidak apa-apa?” Masumi memastikan, memegangi pundaknya.
“Tidak, tidak apa-apa,” gadis itu lalu cengengesan.
Masumi sudah terlihat tampan lagi dengan setelan kerjanya. “Mau mengajakku sarapan?”
“Iya.”
“Ayo,” Masumi meraih telapak tangan Maya dan menggandengnya menuju ruang makan.
Maya tertegun sejenak. Namun kiranya memang seperti inikah ia dan pamannya dulu?
“Bagimana keadaanmu?”
“Eh, aku, anu,” Maya salah tingkah, merasakan genggaman kuat itu kembali mengontak jantungnya dan menyalakan debarannya semakin keras. “Baik-baik saja.”
“Baguslah. Nanti jika ada apa-apa, segera hubungi aku. Aku sudah meminta para pelayan di sini agar memperhatikan keadaanmu.”
“Maaf merepotkan.”
“Tidak. tentu tidak merepotkan,” Masumi berujar. “Tapi ingatlah jangan terlalu memaksakan. Kalau ada yang kau butuhkan, semua orang di sini akan membantumu. Kalau ada yang tidak berkenan untukmu, bilang padaku, biar kupecat.”
“Paman ini… sedikit-sedikit main pecat…” rajuk Maya.
“Aku bercanda,” ujar Masumi.
Maya terkekeh mendengarnya.
=//=
“Ceritakan padaku mengenai Bidadari Merah,” pinta Maya saat mereka sarapan.
“Tentu,” Masumi berkata.
Direktur Daito tersebut lantas menceritakan kembali mengenai apa itu Bidadari Merah dan bagaimana Bu Mayuko mengumpulkan anggota teater Mayuko untuk dididiknya menjadi calon Bidadari Merah dan lain sebagainya.
“Ah, Rei juga, calon Bidadari Merah?” tanya Maya dengan mata membulat. “Dia tampan. Tapi sepertinya jika didandani Rei sangat cantik.”
“Bu Mayuko sudah menetapkan dua calon Bidadari Merah yang bersaing untuk mendapatkan peran itu Mungil… Kau, dan Ayumi Himekawa…”
“Ayumi… Himekawa…” Maya terdiam beberapa lama.
“Apa kau baik-baik saja?” Masumi memastikan, melihat Maya termangu.
“Aku ingat… kami pernah pentas bersama sebagai Helen Keller bukan?” Maya memastikan.
Mata Masumi melebar. “Kau ingat?”
“Iya… saat melihat Ayumi, aku ingat berada dalam audisi yang sama dengannya. Dan latihan bersama,” terang Maya. “Juga aku mulai ingat, sandiwara Padang Liar yang Terlupakan… sutradaranya Pak Kuronuma, dan lawanmainku Sakurakoji Yuu…” gumam Maya.
Masumi mengeratkan rahangnya saat mendengar nama pemuda itu disebut. “Begitu…” gumamnya perlahan.
Keduanya berbincang-bincang mengenai karir keartisan Maya selama sarapan tersebut.
“Paman, sepertinya Bidadari Merah itu… sandiwara yang sangat luar biasa. Aku tidak yakin bahwa aku akan bisa memerankannya…” Maya berkata seraya menunduk. “Apalagi sainganku Ayumi.”
“Jangan bilang begitu,” Masumi menenangkan. “Kau adalah aktris yang sangat luar biasa. Kau pasti bisa. Sekarang, jangan terlalu banyak memikirkan masalah itu, kau lakukan saja yang terbaik untuk Padang Liar yang Terlupakan,” Masumi tersenyum tipis.
“Benarkah? Ke, kenapa Paman begitu yakin bahwa aku bisa melakukannya?” tanya Maya, tidak yakin.
“Karena aku sudah sangat lama mengenalmu, Mungil. Dan aku tahu, kau bisa menghadapi halangan apa pun yang datang menghadangmu…”
“Pa, Paman….” Maya menatap Masumi. Ucapannya terdengar sangat tulus, ia merasa terharu. Bahkan rasanya, tidak pernah ada yang menaruh kepercayaan demikian besar kepada dirinya seperti pria tersebut. “Terima kasih banyak…” tenggorokannya tercekat.***
Selama Masumi di kantornya, Maya hanya menonton televisi. Ia dilayani sangat baik di rumah tersebut. Maya berkeliling kesana kemari dan menanyakan banyak hal.
“Saat ada Nona Maya, Tuan Masumi selelu terlihat riang,” terang Sayoko yang menemani Maya siang itu.
“Benarkah?”
“Benar. Kalian sering bercanda di ruang televisi, kadang berkejaran di lorong, tawa kalian sering terdengar sangat keras dan riang. Kadang berlarian sampai ke pekarangan belakang,” Sayoko menuangkan teh ke cangkir Maya. “Apa nona tidak ingat semua itu?”
“Sedikit…” jawabnya sendu. “Hanya sedikit…”
“Iya, Tuan Muda sudah mengatakan Nona sedang sakit dan kami diminta menjaga Nona baik-baik. Jangan khawatir Nona, kami akan membantu Nona sebisa kami.”
Wajah Maya merona. “Te, terima kasih, Sayoko… mmh… Paman Masumi itu… memang orang yang sangat baik ya…?”
Sayoko tertegun dan tersenyum tipis. “Tuan Muda memperlakukan kami semua dengan baik. Walaupun begitu, Tuan Muda sangat tegas dan sedikit dingin, namun, saat Nona Maya ada di sini… Tuan Muda nampak lebih hangat dan ramah. Pasti Tuan Muda sangat menyayangi Nona…”
Mata Maya melebar, terkejut. “Menyayangi… ku?”
Sayoko mengangguk.
Maya duduk dengan sedikit gelisah dan minum tehnya tergugup, saat teringat sesuatu. “Uhmm… Paman… punya pacar, kan? Yang cantik itu?” Maya memastikan.
“Oh, Nona Shiori… iya, benar. Ini pertama kalinya Tuan Muda berkencan dengan seorang wanita. Mungkin jika semuanya berjalan lancar, bisa sampai menikah.”
Maya bisa merasakan jantungnya berdenyut keras dan menyakitkan. Menikah… dengan wanita cantik yang kemarin itu? Maya merasakan tenggorokannya tercekat. Gadis itu meraih tehnya dan entah kenapa, tangannya gemetar.***
“Coba tebak siapa?”
Maya sempat tersentak saat sepasang tangan menutup matanya. “Paman!” serunya.
Lalu terdengar tawa yang lantang. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Masumi, memutar dan duduk di sampingnya.
“Baik!” jawab Maya dengan ceria. Ia lantas mengamati lekat pamannya tersebut.
“Ada apa?” tanya Masumi dengan heran, karena tatapan gadis itu mulai membuatnya tidak bisa mengendalikan perasaan.
“Tidak!” Maya menggeleng. “Paman! Hari ini aku sudah mulai mengingat beberapa hal yang kulakukan di sini,” terang Maya.
“Oya?” alis Masumi terangkat sedikit, terkejut. “Apa saja?” tanyanya.
“Aku ingat Paman sering menemaniku bermain, dan aku latihan menjadi Jean di sini,” ia menunjuk lantai, “dan di taman…” imbuhnya. “Juga beberapa hal lain.”
“Baguslah,” Masumi tersenyum. Maya…. Masumi menatapnya. Gadis itu sudah semakin banyak mengingat banyak hal. Mungkin waktunya tidak akan lama lagi mereka bisa seperti ini. Masumi masih saja gelisah mengingatnya. Bagaimana reaksi Maya saat ia ingat lagi semuanya nanti. Tiba-tiba nafasnya terasa sangat berat. Masumi meraih kopi di mejanya.
“Paman?”
“Hmm...?”
“Kenapa Paman melarang buah strawberry di rumah ini?”
“Uhuk! Uhuk!” Masumi tersedak. “Uhuk! Uhuk!!”
“Pa, Paman!” Maya meraih tissu dan memberikannya kepada Masumi. “Paman, Paman tidak apa-apa?” tanyanya khawatir. “Paman?”
Masumi menggeleng-gelengkan kepalanya. “A, aku baik-baik saja,” katanya cepat.
Maya menepuk-nepuk punggung Masumi dan mengelusnya perlahan. “Dasar kakek-kakek…” selorohnya.
“Apa kau bilang?” Masumi menoleh cepat kepada gadis mungil itu.
Maya mendekatkan wajahnya kepada Masumi. “Kakek-kakek!!”
Mata pria itu melebar. “A, apa..!?” serunya. “Bocah!”
“Kyaaa!!” Maya berlari dan Masumi mengejarnya.
Gadis itu tergelak senang dan tawa Masumi terdengar lantang. Keduanya berkejar-kejaran, namun tidak lama karena tangan panjang Masumi segera menangkap pergelangan gadis itu. Menariknya. Menyergapnya. Memeluknya.
“Paman!” pekik Maya, sejenak tergelak.
Maya… perasaan Masumi kembali tidak menentu, merasakan gadis mungil itu ada dalam dekapannya setelah begitu tersiksa merindukannya selama ini. Tanpa disadarinya Masumi mengeratkan pelukannya.
“Pa, Paman…?” gumam Maya, setelah sempat terlena dengan kehangatan yang dirasakannya.
Masumi menghela nafasnya walaupun tidak melonggarkan pelukannya. Perasaan pria itu masih tidak menentu. Ia mulai tersiksa dengan kebahagiaan yang datang dan pergi begitu saja, dan kerap menyisakan luka semakin dalam setiap kalinya.
“Cepatlah sembuh, Mungil…” gumam Masumi. “Cepatlah sembuh…” harapnya.
“Paman…?” Maya mendesah.
Saat itulah sekelebat ingatan datang kepada Maya.
Kejadiannya di kamar yang sedang ia tempati sekarang, Maya terisak, memeluk Masumi.
“Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku sendirian.”
“Mungil…”
“Paman jangan kemana-mana. Aku membutuhkan Paman. Kalau Paman tidak ada, aku bagaimana?” Maya terisak semakin keras. Dia tidak ingin Masumi meninggalkannya. Aku mencintaimu, Paman Masumi…
Deg!! Jantung Maya serasa berhenti, kepalanya berdenyut karena kenangan itu. A, apa itu…? A, aku… mencintai…
Maya mengetatkan pegangannya di jas Masumi dan menyurukkan wajahnya lebih jauh.
“Mungil, kau tidak apa-apa?” tanya Masumi yang menyadari nafas Maya tiba-tiba terasa semakin berat. “Mungil?” Masumi menyusupkan jemarinya di rambut gadis itu. Ia gemetaran.
Maya menengadahkan wajahnya, menatap kalut kepada Masumi. Aku mencintai….!!?
“Ada apa!?” tanya Masumi, mendesak dan terdengar khawatir.
Maya bisa merasakan tubuhnya gemetar hebat dan terasa
dingin.
“Kau sakit!?” tanya Masumi dengan wajah tak kalah
pucat dari Maya. “Dimana? Apanya yang sakit?”
Maya menggeleng namun tetap tidak sanggup berkata
apa-apa.
“Hup!!” Masumi menggendong Maya ke kamarnya. “Akan
kupanggilkan dokter!”
“Tidak!” tolak Maya, menggeleng keras. “Tidak
apa-apa, aku tidak apa-apa Pa… man…”
“Bawakan makan malam Maya ke kamar!!” seru Masumi
pada pelayan yang berdiri di sana dan ia segera membawa Maya ke kamar, dan
membaringkannya di tempat tidur.
“Terima kasih,” Maya berkata, masih gemetaran.
Anak ini
kenapa… batin Masumi, penuh rasa khawatir. Masumi meraba dahinya yang
berkeringat dingin. “Apa yang kau rasakan?”
“Mual…” desah Maya dengan berat. “Kepalaku pusing…
aku…”
“Kau harus ke dokter.”
“Tidak mau…” tolak Maya. Tiba-tiba ada sesuatu
menyelinap dalam pikiran Maya.
Ia takut. Takut sekali ingat. Bagaimana kalau benar,
ia mencintai pria ini?
Masumi tertegun, merasa heran dengan Maya yang
menatapnya begitu lekat. “Ada apa?” tanyanya lagi.
Maya menggeleng.
“Kalau setelah makan dan minum obat, kau masih tidak
sembuh, aku akan membawamu ke dokter,” ujar Masumi. “Dan aku tidak mau
dibantah!”
Dia
mengkhawatirkanku…?
“Makan malamnya Tuan,” Sayoko
masuk membawakan makan malam untuk Maya.
“Terima kasih Sayoko, olehku saja,” kata Masumi.
Sayoko membungkuk dan permisi keluar.
“Aku tidak ingin makan,” tolak Maya. “Perutku mual…”
keluhnya.
“Kau harus makan, lalu minum obatmu…”
“Tidak mau!” rajuk Maya, menarik selimut dan
membenamkan dirinya.
“Ayolah Mungil… agar kau cepat sembuh. Atau aku akan
langsung membawamu ke dokter sekarang juga!”
Maya menghela napasnya, terpaksa membuka kembali
selimutnya dan berusaha
duduk, Masumi membantunya.
“Mau kusuapi?” tawar Masumi.
“Eh?” Maya tertegun, wajahnya merona malu, “tidak
usah.”
“Baiklah, tapi aku akan di sini sampai aku yakin kau
menghabiskan makanmu.”
Maya mengangguk dan mulai meraih makan malamnya yang
nampak lezat namun sama sekali tidak membuatnya berselera. Ia memakannya dengan
tidak lahap.
“Apa masih ada yang sakit?” Masumi memastikan,
“dimana sakitnya Mungil?”
Maya menggeleng. “Tadi kepalaku tiba-tiba sakit dan
perutku mual. Tapi sekarang… sudah lebih baik.”
“Apa kau mengingat sesuatu?”
Maya sulit sekali menelan supnya karena pertanyaan
Masumi. Ia lantas mengangguk.
“Apa?’ tanya Masumi. “Apa yang kau ingat?”
Maya menghela napasnya, melirik ragu-ragu kepada Masumi.
“Aku me… menangis, lalu memeluk… Paman,” ia
mengangkat tangannya, menunjuk. “Di sana.”
Masumi menoleh, mengikuti telunjuk Maya.
Di sana… Maya
menangis… Masumi berusaha mengingat. Jantungnya berdebar sangat keras. Ia
kembali mengalihkan pandangannya kepada Maya. “Lalu?” Masumi bertanya waspada.
“I, itu saja. Apa itu pernah terjadi?”
Masumi terdiam sebentar. Ia lalu mengangguk. “Kau
itu,” ia menunjuk hidung Maya. “Ada saatnya jadi sangat cengeng, tahu!”
Maya tertegun, mengerucutkan bibirnya. “Benarkah?”
“Iya. Tidak saat amnesia, sebelumnya pun begitu. Suka
tiba-tiba saja menangis. Tapi tidak lama. Misalkan saat ada yang mengganggumu
saat akan bermain sandiwara. Setelahnya kau akan bangkit dan tidak menangis
lagi.”
“Benarkah?”
Masumi mengangguk.
Mata gadis itu kembali berkaca-kaca.
“Nah kan, benar kataku… kau sudah menangis lagi…”
“Paman…” rajuknya. “Terima kasih, karena sudah begitu
baik dan sangat menjagaku.”
“Iya, yang penting kau segera sembuh Mungil… setelah
itu,” Masumi menelan ludahnya pahit. “Kau tidak akan kebingungan dan kesakitan
lagi seperti ini,” Ia meraih rambut Maya dan membelainya, menatap Maya dengan
sendu.
Maya tertegun, mengamati Masumi. Ia menunduk dan
melipat bibirnya. Masumi memang sangat baik dan hangat, begitu perhatian. Tapi
benarkah? Benarkah apa yang terngiang dalam ingatannya tadi. Dia jatuh cinta?
Pada pria ini? Bagaimana bisa…? Bukankah dia…
“Dimakan,” tegur Masumi. “dipelototi saja tidak akan
habis supnya.”
Maya menoleh dan terkekeh. “Terima kasih, Paman…”
ucapnya tulus.
Aku hanya harus
menunggu… batin Maya. Menunggu hingga
mengingat semuanya… dan ia akan memastikan kembali perasaannya.
“Paman, aku besok, mau latihan sandiwara,” terang
Maya.
Mata Masumi melebar. “Jean?”
Maya mengangguk. “Boleh? Aku sudah ingin berakting
lagi…”
“Tentu, boleh… tapi Mungil…” Masumi terdiam. “Apa
kau… ingat teman-temanmu?”
“Tentu. Tadi siang aku sudah menghapal nama-nama
pemain seperti yang Paman suruh, dan saat melihatnya, aku ingat mereka.”
Masumi termangu, memandangi Maya. Ada apa sebenarnya?
Masumi bertanya-tanya. Kenapa dia tidak salah mengingat semua orang tapi Maya
masih saja salah mengingat dirinya? Masih saja menganggap ia pamannya?
Dokter memang mengatakan, ingatan Maya tumpang tindih
dengan ingatan saat Maya amnesia. Dan saat itu, Maya pun hanya mengingat wajah
Masumi dan melupakan yang lainnya.
Tapi kenapa ia sama sekali tidak ingat siapa Masumi?
Masih saja menganggapnya pamannya. Mungkin di situ masalahnya? Apakah Masumi
harus mengungkapkan siapa ia sebenarnya, agar ingatan Maya bisa kembali secara
sempurna.
“Sekarang Paman yang banyak melamun!” tegur Maya.
Masumi tertegun, tersenyum tipis. “Kau sudah lebih
baik?” tanya Masumi.
Maya mengangguk. “Sepertinya barusan hanya serangan
saja… jika teringat sesuatu, memang seperti itu,” gumam Maya, menunduk.
Teringat lagi dengan pernyataan dalam hatinya tadi, bahwa ia mencintai Masumi. Apa ia tahu? Batin Maya. Apa aku dulu sempat mengatakan
bahwa aku mencintainya? Jantung Maya tiba-tiba saja berdebar sangat keras. Bagaimana jika benar begitu?
“Sekarang kau yang melamun!”
Masumi menusuk pipi Maya dengan telunjuknya hingga gadis mungil itu terperanjat.
“Pa, Paman…!” rajuk Maya.
Masumi tertawa. “Baguslah kalau sudah lebih baik.
Jangan lupa diminum obatnya,” ia tersenyum.
Kembali Maya mengamati wajah pria itu. Ia memang
terlihat hangat.
Saat Nona Maya
ada di sini… Tuan Muda nampak lebih hangat dan ramah. Pasti Tuan Muda sangat
menyayangi Nona.
“Paman… kenapa kau begitu baik
padaku? Padahal kita tidak punya hubungan darah?” tanya Maya.
Masumi terenyak. “Apa?”
“Aku tahu kita tidak punya hubungan darah. Para
pelayan bilang setahu mereka Paman tidak punya saudara. Bagaimana aku bisa jadi
keponakanmu?” desak Maya.
Masumi dengan cepat memutar otaknya. Bukan dia yang
pertama kali mengatakan bahwa mereka Paman dan keponakan, Maya lah yang mengira
ia pamannya dan Masumi tidak menyalahkan. Ia menghela napasnya keras.
“Kita memang tidak punya hubungan darah, Mungil… tapi
aku sudah cukup lama mengenalmu,” terang Masumi. “Tapi tidak penting kan…? Kau
tidak usah memikirkan hal-hal seperti itu, nanti kau akan ingat sendiri dan
semuanya akan jelas. Lagipula ingatanmu sepertinya berkembang pesat. Pasti
tidak akan butuh waktu lama sampai kau bisa mengingat semuanya,” Masumi tidak
bisa menyembunyikan rasa sendunya. Ia menelan ludah. “Sudahlah,” ia meraih obat
Maya. “Diminum obatnya lalu beristirahat. Aku akan meminta Sayoko membereskan
sisa makanmu. Aku membersihkan diriku dulu,” terang Masumi.
Maya menerima obat tersebut dan meminumnya. “Terima
kasih.”
Masumi berbalik dan beranjak.
“Paman!” panggil Maya.
Masumi terdiam, kembali berbalik. “Iya?”
“Wanita cantik yang kemarin itu…” Maya berkata
ragu-ragu. “Paman akan menikah dengannya?”
Deg! Masumi tersentak. Shiori… wanita itu… Kalau
ingat dia, Masumi tersiksa. Siksaan yang lain lagi. Siksaan yang mengingatkan
Masumi bahwa ia bukan seseorang yang dapat bertindak sesuai keinginannya. Bahwa
ia bukan manusia yang memiliki kebebasan.
“Kenapa kau menanyakan hal itu?” tanya Masumi datar.
“A, aku hanya ingin tahu,” ia berkata gugup, sedikit
gelisah. “Apa tidak boleh?”
Masumi berjalan mendekati Maya, memandangi gadis itu.
“Mungkin. Belum ada keputusan apa-apa.”
“Oh…” Maya menurunkan pandangannya sebentar sebelum
kembali menatap Masumi penuh tanya. “Tapi Paman… mencintainya?”
Masumi mengeratkan rahangnya. “Kenapa kau bertanya?”
“Kenapa Paman tidak menjawab?” desak Maya.
“Aku… Mungkin,” Masumi membuang pandangannya. “Dia
cantik, sangat baik, lemah lembut dan penuh kasih. Tentu semua orang akan
menyukai gadis sepertinya.”
Aku ini kenapa…
batin Maya. Kenapa aku memaksanya
menjawab pertanyaanku… Kenapa aku harus peduli apakah mereka berdua akan
menikah… Maya meremas selimutnya.
“Sudahlah,” ucapan Masumi membuyarkan lamunan Maya.
“Beristirahatlah. Nanti aku ke sini lagi.”
Maya mengangguk dan kembali masuk ke dalam
selimutnya.
Sayoko membereskan sisa makan Maya tidak lama
setelahnya.
Gadis itu masih saja merasa tidak tenang. Apa benar
pikiran yang merasuki kepalanya tadi. Dia pernah jatuh cinta pada Masumi? Saat
amnesia dulu, ia… jatuh cinta kepada Masumi? Tapi kenapa? Bagaimana mungkin?
Walaupun dari cerita yang ia dapatkan, para pelayan bilang Masumi sepertinya
sangat menyayanginya. Dan bukan hanya itu, Maya memang bisa merasakan
kehangatan dan perhatian dari Masumi. Tapi…
Jatuh cinta…? Jantung Maya berdebar-debar.
Apakah dulu pernah terjadi sesuatu di antara mereka
saat ia amnesia? Apakah ia sempat mengutarakan perasaannya? Apakah… ia harus
menanyakannya kepada Masumi?
Namun Masumi sama sekali tidak mengatakan apapun
mengenai hal itu. Lagipula…
Bayangan Shiori segera datang.
“Dia cantik,
sangat baik, lemah lembut dan penuh kasih. Tentu semua orang akan menyukai
gadis sepertinya.”
Maya menelan ludahnya, jantungnya berdebar
menyakitkan dan rasa mual itu kembali datang. Aku sebenarnya kenapa? Batin Maya. Ia
meraih guling dan memeluknya erat. Perasaannya benar-benar tidak nyaman. Sebenarnya aku kenapa…!? Aku….
Jantung Maya kembali berdebar
cepat saat ingatan lain menerpanya. Mata gadis itu membulat dan jantungnya
berdebar semakin cepat lagi.
[Masumi menciumnya.
Menempelkan bibirnya pada bibir
gadis itu. Lekat. Rapat.
Maya segera kehilangan haluan,
Ia hanya bisa berpegangan pada pria itu. Meremas kemejanya, menahan jantungnya
agar tidak meledak.Bibir keduanya berpisah kemudian. Terasa cepat namun
membekas pekat. Maya menatap Masumi seraya melipat bibirnya.
Masumi menyentuh wajah gadis itu
lembut, dan berkata, “aku belum pernah merasa sebahagia ini,” akunya.]
“Akh!!!” Maya memegangi kepalanya yang berdenyut sama
keras dengan jantungnya. Sekali lagi napasnya hilang, seakan oksigen di
sekelilingnya direnggut. “Uuu~ukkkh!!!” Mata gadis itu terpejam rapat. “Pa….
akkkhhh…~”
Masumi berdiri di ambang pintu, matanya terbeliak.
“Mungil!” terburu ia menghampiri gadis itu. “Kau kenapa!? Apa yang sakit!?”
“A, aaku…. Ughhh..~!!”
“Aku akan membawamu ke dokter!”
“Grep!!” Maya memegangi lengan Masumi, lantas
menggeleng.
“Mungil, kau harus ke dokter! Kita harus memeriksakan
keadaanmu!” tegas Masumi, wajahnya nampak sangat khawatir. “Kau jangan takut,
aku akan menemanimu!” Masumi meyakinkan, memegangi kedua lengan Maya erat-erat.
“Kau akan baik-baik saja…”
Napas Maya sudah lebih tenang sekarang, begitu juga
sakit kepala dan mualnya yang mulai menghilang. Namun debaran jantungnya tidak
juga berkurang, dan kali ini dikarenakan hal lainnya yang mulai dirasakannya
sekarang.
“Bruk!!” Maya memeluk Masumi erat. “Tidak…” Ia
menggeleng. “Aku tidak mau ke dokter! Aku baik-baik saja!”
“Kau jangan keras kepala!!” seru Masumi.
“Tidak mau! Paman…!!” Maya memeluk pria itu
kuat-kuat.
“Mungil….” Masumi balas memperketat pelukannya. “Aku
mengerti, kau pasti takut, dan bingung… tapi kupastikan semuanya akan baik-baik
saja. Kita harus ke dokter agar lebih yakin, bahwa semua yang kau alami itu memang
wajar,” Masumi memberi jarak dan menyentuh wajah gadis itu, mengangkatnya.
“Percayalah kepadaku. Aku tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi
padamu.”
Maya menatap nanar pria itu. Ia memang sangat baik.
Begitu perhatian, begitu hangat. Dan Maya sangat yakin itu bukan kepura-puraan.
Jika ia memang bermaksud jahat, ia pasti sudah melakukan sesuatu kepada dirinya
yang amnesia. Maya begitu tersentuh, menyadari perasaan yang sempat
dirasakannya dulu saat mengalami amnesia, sebenarnya masih tertanam sangat
dalam di lubuk hatinya. Debaran jantungnya, aliran darahnya, kehangatan
wajahnya, mengkonfirmasi semua itu.
Ia memang telah jatuh cinta pada pria di hadapannya
ini.
“Bagaimana? Mau pergi ke dokter?” tawar Masumi dengan
lembut. “Nanti akan kuturuti keinginanmu. Kau mau apa?” bujuk Masumi, tersenyum
menggodanya. “Boneka Teddy Bear? Hello Kitty? Rumah? Mobil?”
Maya
tertegun. “Rumah? Mobil?”
Senyuman
Masumi melebar. “Iya. Kau mau ke rumah sakit sekarang?”
Maya
terkekeh. “Kalau aku mau gedung teater, bagaimana?”
“Ya.
Nanti kubangunkan untukmu...”
“Paman...”
Maya kembali terkekeh.
“Bagaimana?
Mau ke rumah sakit sekarang?” pria itu menyeringai.
Maya
menggeleng. “Aku sudah lebih baik Paman. Sungguh perasaanku sudah baik-baik
saja sekarang...” Maya menenangkan. “Tadi aku hanya... hanya...” Maya merasakan
wajahnya merona, mengamati Masumi yang masih menatap lekat kepadanya. Ia baru
menyadari betapa tampannya pria ini.
“Kenapa,
Mungil?” tanya Masumi lembut.
“Aku ingat sesuatu…” terang Maya, menatap dengan
memelas kepada Masumi. “I, itu… mengenai…” Maya terbata-bata.
“Apa..?” Masumi mengantisipasi.
“Me.. mengenai…” Maya mulai gelisah lagi. Ia lalu
menggeleng.
“Mungil?”
“Tidak, aku tidak apa-apa…” gadis itu terisak. “A, aku…”
Masumi duduk di samping tempat tidur, mengamati kedua
mata gadis itu.
“Beristirahatlah, jangan dipaksakan, agar kau cepat
sembuh—“
“Paman menciumku…”
“Deg!” Masumi tersentak. Bibirnya terbuka namun ia
tidak sanggup mengatakan apa-apa. “A, a…” tanpa dikomando wajahnya sontak
memanas dan memerah.
“Paman menciumku…! Di sana,” Maya menunjuk lokasinya.
“Iya… kan?” wajah Maya juga memanas dan memerah. “A, aku tidak tahu
apakah itu benar atau tidak... Paman?” Maya memastikan, menunggu jawaban Masumi
dengan berdebar-debar.
Masumi
memalingkan wajahnya tidak sanggup. Perasaannya seketika menjadi kacau dan
tidak tentu, Maya ingat... gadis itu ingat kejadiannya.
“Ju,
juga... juga... di tangga apartemenku...” Maya menunduk, berucap pelan. “Paman
juga—“
“Ka,
kalau itu aku tidak bermaksud!!” koreksi Masumi cepat, setengah berseru. “Ja,
jadi Mungil. Dulu aku pun pernah mengalami amnesia! Lalu, sa, saat itu, aku...”
“Jadi
Paman ingat?” mata gadis itu membulat. “Walaupun Paman amnesia...?“
“Se,
setelahnya aku ingat,” Masumi kembali memalingkan wajahnya. Ia benar-benar
gugup dan salah tingkah. Ia tidak pernah segugup ini sebelumnya, seperti bocah
yang berhadapan dengan cinta monyetnya.
“Lalu
kalau kejadian di kamar ini?” gadis itu
kembali mendesak. “Paman amnesia juga?”
Deg...
deg... deg... “I, itu...”
Maya
menggenggam lengan Masumi kuat. “Katakan, Paman... apa itu benar-benar terjadi
atau tidak...?”
“Mungil...
itu... saat itu...”
“Paman
harus mengatakan yang sesungguhnya, bukankah dokter bilang begitu?”
Maya... akhirnya Masumi mengangkat
wajahnya, menatap Maya. Wajah pria itu nampak merona kemalu-maluan. Ia lalu
mengangguk.
Maya
tertegun. “Pa..man?”
“Itu
memang pernah terjadi,” terang Masumi, masih saja sangat gugup, sampai-sampai
otak direkturnya berteriak-teriak memprotes kelakuan Masumi yang jatuh cinta
seperti anak muda. “Di kamar ini, saat itu... kau sedang amnesia, dan kita...”
Keduanya
berpandangan, sama-sama merona malu, sama-sama salah tingkah.
Maya
menunduk, meremas-remas selimutnya gugup. “Ke, kenapa... Paman melakukannya?
Bu, bukankah Paman... su, sudah punya pacar,” sebentar Maya merasa sangat
cemburu, menggigit bibirnya gelisah. “Tapi kenapa...” gadis itu tidak sanggup
meneruskan kata-katanya.
Masumi
menelan ludahnya, mencuri-curi lirik pada Maya.
“I,
itu karena...”Ia menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Maaf...”
desahnya.
Maya
kembali menoleh kepada Masumi. “Ma... af?”
Masumi
tersenyum miris, menatap gadis itu. “Maaf... saat itu, aku sempat terbawa
perasaan. Aku sungguh... tidak bermaksud mencuri-curi kesempatan,” terang
Masumi.
Maya
menatap bingung pada Masumi. “Terbawa perasaan...?” gadis itu tersenyum sendu.
“Begitu...” ia menghela napasnya. “Tapi kenapa bisa sampai... menciumku...”
gumamnya lirih.
“Itu
karena aku...” Masumi menelan ludahnya. “Karena... aku...”
Ahh...
sisi pengecutnya itu kembali muncul. Begitu banyak pemikiran dan pertimbangan.
Apakah ada gunanya ia mengatakan yang sesungguhnya sekarang? Maya sedang sakit.
Apapun yang dikatakannya tidak akan berguna lagi saat Maya bisa mengingat
semuanya dengan baik. Masumi menghembuskan napasnya sedikit lelah. Pasrah.
“Mungil,”
ia meraih wajah gadis itu. “Jangan dipaksakan. Nanti, setelah kau sembuh, kau
akan tahu semuanya. Semuanya akan jelas bagimu...” ibu jari Masumi membelai
lembut pipi gadis itu. “Sekarang beristirahatlah...”
Mata
gadis itu yang sudah tidak sanggup lagi menampung, akhirnya air matanya
menetes.
“Mungil!?”
Masumi sangat terkejut. “Kau kenapa...!?”
“Tidak...”
Maya menggeleng. “Tidak apa-apa...” Maya berkata. “Maaf aku sudah bertanya yang
aneh-aneh. Padahal Paman menganggapku keponakanmu, dan Paman juga sudah punya
kekasih... seharusnya aku tidak perlu bertanya macam-macam...”
“Mungil...”
desah Masumi. Ia lantas memeluk Maya. “Maafkan aku... tapi aku tidak ingin
membuatmu bingung. Apapun yang kukatakan sekarang, saat kau sembuh nanti, hanya
akan menjadi mimpi. Jadi tunggu saja, tunggulah sampai kau bisa mengingat lagi
semuanya,” bisik Masumi sendu. “Aku mengerti saat ini kau sedang bingung. Tapi
ingatlah, apapun yang kau pikirkan dan kau rasakan sekarang, semuanya tidak
nyata. Karena saat ini, kau sedang tidak menjadi dirimu sendiri...”
Maya
masih saja menangis, lalu mengangguk.
“Sudah,
tidurlah...” bujuk Masumi, melepaskan pelukannya dan menyelimuti Maya. “Sudah
tidak ada yang sakit?”
Maya
mengamati wajah pria itu, lantas menggeleng.
“Selamat
malam,” Masumi membelai rambut Maya perlahan, lantas beranjak.
“Paman!”
panggil Maya untuk terakhir kalinya.
Masumi
tertegun, berhenti melangkah.
“Aku
tahu, aku sedang sakit. Mungkin apa yang aku pikirkan dan aku rasakan, memang
bukan hal yang sebenarnya. Tapi... Paman... kau kan... tidak sedang sakit...”
Masumi
mengetatkan rahangnya, tersenyum kecut sebelum berbalik menatap Maya dengan
sendu.
“Apa
yang kurasakan tidaklah penting, Mungil. Saat kau ingat nanti, kau akan tahu
bahwa kau dan aku... kita berdua... tidak akan bisa bersama,” ungkapnya.
Maya
terpaku di tempatnya.
“Selamat
malam, Mungil. Cepatlah sembuh...” ucap Masumi lembut.
Dan
ia berbalik pergi.
Maya
masih bergeming. Mungkinkah pria itu sebenarnya memang mencintainya?
Gadis itu
turun dari tempat tidur, membuka pintu kamarnya perlahan. Ia melongokkan
kepalanya mengamati lorong dan punggung Masumi yang berjalan menjauh. Maya
melipat bibirnya, sudah ingin terisak lagi. Pria itu ternyata memang sangat
baik. Dan Maya ternyata memang mencintainya.
=//=
Maya hanya
sempat tertidur sebentar, tengah malam ia terbangun dan tidak bisa tidur lagi.
Ia merasa tidak tenang. Ia harus mengetahui perasaan Masumi yang sesungguhnya.
Ia ingin bertemu Masumi. Gadis yang selalu mengambil keputusan dengan impulsif
itu, lantas kembali keluar kamarnya.
Ia
berjalan menuju ruang kerja Masumi. Maya ingat dulu Masumi sering menghabiskan
malam di ruang kerjanya tersebut.
Maya
membuka pintu tempat kerja Masumi dengan perlahan.
Ternyata
benar perkiraannya. Masumi jatuh tertidur di atas meja kerjanya. Maya
menyelinap masuk, perlahan-lahan mendekati Masumi yang tertelungkup.
“Eh!?”
Mata Maya membulat, mengamati sesuatu dalam genggaman Masumi.
Setangkai
Mawar Ungu.
Mawar Ungu...!? Ke, kenapa... ada Mawar Ungu...!? Gadis itu sedikit gemetar. Ke, kenapa... Mawar Ungu...
Rasa
sesaknya kembali muncul, dan sebuah ingatan kembali.
Terima kasih, Hijiri. Ucap Masumi sebelum menutup
teleponnya. Maya menghampiri pria itu, menutup matanya. Keduanya lantas
bercanda. Saat Maya hendak keluar kamar, ia sempat melihat mawar ungu di sudut
ruangan yang tersembunyi.
Maya
semakin gemetar, tangannya terkepal erat. Ia segera berbalik dan beranjak dari
duang kerja Masumi, pergi menuju kamarnya.
Masumi
tersentak dari tidurnya. Ia memicingkan mata lantas membukanya.
“Hm...?” pria
itu menegakkan tubuhnya, berbalik dan menatap ke arah pintu ruang kerjanya. Apa
tadi ada Maya? Atau hanya perasaannya saja?
Mungkin aku mimpi... batin Masumi.
Ia menatap
Mawar Ungu dalam genggamannya. Kapan? Kapan waktunya ia bisa menyerahkan mawar
ungu ini dengan tangannya sendiri? Kapan ia bisa menyampaikan perasaannya
dengan layak kepada gadis mungil yang 11 tahun lebih muda darinya itu?
Tidak akan
ada waktu yang tepat. Bahkan saat ini, saat Maya pun merasa hal yang sama seperti dirinya, namun semuanya
bukan hal yang sesungguhnya. Saat ingatan Maya kembali... saat itulah semuanya
akan berakhir.
Tidak ada
gunanya memaksakan sesuatu yang tidak akan abadi.
Maya... ia menatap semakin sendu mawar ungu di
tangannya. Segeralah lepas dan terbang
tinggi...
Maya
menutup pintu kamarnya, terengah-engah, bersandar di sana. Wajahnya pucat tidak
percaya. Kembali teringat Masumi, mawar ungu...
Terima kasih, Hijiri.
Mungkinkah!?
Benarkah!? Benarkah pria itu yang selama ini ia tunggu-tunggu untuk datang ke
hadapannya? Pria yang begitu banyak membantunya dengan menyembunyikan jati
dirinya? Tapi kenapa? Jika memang Masumi orangnya, kenapa ia harus bersembunyi?
Kenapa ia tidak berterus terang? Dan jika Masumi orangnya...
Tubuh Maya
merosot, ia membenamkan wajahnya dalam-dalam pada tangan yang bertumpu di atas
kedua kakinya, dan mulai terisak.
=//=
“Paman!!” seru Maya dengan ceria dari
balik pintu kamar Masumi.
“Masuk
Mungil!” jawab Masumi dari dalam.
Maya
mendorong pintu kamar Masumi, dan tersenyum malu-malu. Wajah Masumi juga merona
sejenak teringat pembicaraan mereka semalam, tapi dengan cepat ia bisa
mengendalikan perasaannya.
“Sepertinya
keadaanmu sudah jauh lebih baik?” diamatinya wajah Maya yang lebih berseri.
Maya
mengangguk riang. “Iya. Aku sudah sehat...”
Masumi meraih
jas dan mengenakannya. “Ayo, kita sarapan,” ajaknya.
Sepertinya
Maya sudah tidak menghiraukan pembicaraan mereka semalam. Sedikit lega Masumi
rasakan, namun juga sendu dan kesepian. Ia tertegun, saat Maya menghampiri dan
menggandeng tangannya.
“Ayo!” ajak
Maya.
Maya... diamatinya gadis yang sangat riang di
sampingnya itu. Masumi tersenyum tipis. Mungkin Maya sudah tidak lagi
menghiraukan masalah ciuman itu.
“Paman, apa Paman tahu siapa itu Mawar
Ungu?” tanya Maya, saat keduanya tengah sarapan.
Masumi
tertegun. Ia menoleh kepada Maya. “Kau ingat Mawar Ungu?”
Maya
mengangguk. “Aku ingat, ia orang yang sangat baik, dan... sering membantuku,”
Maya tersentuh, diam sejenak. “Dia sering mengirimiku mawar ungu, dan selalu
memberiku mawar saat pementasan. Apa Paman tahu siapa orangnya?”
Masumi
kembali kepada makanannya. “Tidak,” tegasnya. “Setahuku dia penggemarmu sejak
awal kau naik pementasan dan kau pun sangat... sangat ingin bertemu dengannya.”
“Benar!”
Maya menatap Masumi lekat. “A, aku sangat ingin bertemu dengannya. Bahkan saat
ini, aku sungguh berharap bertemu dengannya. Aku ingat bahwa dia adalah orang
yang sangat berjasa bagiku, Paman...!”
Sejenak
Masumi mengetatkan rahangnya, lantas kembali melahap sarapannya.
“Ya.
Kuharap suatu saat kau bisa bertemu dengannya,” Masumi berujar singkat.
Maya
mengamati wajah tenang Masumi. Dingin saja, seperti tidak ada apa-apa. Apakah
Maya salah? Masumi memang bukan Mawar Ungu?
“Paman,
menurutmu, kenapa Mawar Ungu tidak mau menunjukkan identitasnya kepadaku?” tanya
Maya. “Ia pasti tahu bahwa aku ingin sekali berjumpa dengannya. Ia juga sudah
sangat sering menolong dan membantuku. Seingatku, ia juga yang menyekolahkanku
ke SMA. Tapi kenapa...” Maya menunduk dalam. “Kenapa ia tidak mau memberikan
namanya kepadaku?”
Keadaan
di ruang makan itu senyap beberapa lama.
“Mungkin...”
Masumi memecah keheningan. “Mungkin... ia takut, setelah kau tahu siapa dia,
kau tidak akan mau lagi menerima kebaikannya, juga tidak ingin lagi ia hadir
dalam hidupmu.”
“Ti,
tidak mungkin!! Aku tidak mungkin begitu! Siapapun orangnya, aku ingin sekali
tahu dan bertemu dengannya. Aku... aku...” Maya terisak lagi.
“Bagaimana
kalau... Mawar Ungu itu... sebenarnya...”
Maya
tertegun, mengangkat wajahnya menatap lekat Masumi.
“Kalau
Mawar Ungu yang sebenarnya, adalah seseorang yang sangat kau benci...
Mungil...?”
Deg!
Mata Maya
melebar. Seseorang yang sangat... aku benci. Dipandanginya Masumi dengan
gamang.
“A,..
a...” Maya mencari kata-kata.
Suara
handphone Masumi membuat keduanya terlonjak. Masumi segera meraih ke dalam
jasnya. Ia melihat nama di layar, alisnya terangkat sedikit.
“Aku
permisi dulu sebentar, Mungil. Kalau kau mau pergi latihan, kau bisa minta
diantar ke Kids Studio,” kata Masumi.
Maya
mengangguk.
Masumi
lantas beranjak keluar ruang makan.
Maya
memperhatikannya, lantas ia turun dari kursi. “A, aku mau ke kamar mandi dulu,”
terang Maya kepada Sayoko.
Ia
lantas ikut beranjak keluar ruang makan. Diikutinya Masumi dari belakang.
Pamannya itu masuk ke dalam ruang perpustakaan.
“Ada
apa Hijiri?” Masumi menghubungi Hijiri lagi. Pria itu nampak sangat serius.
“Apa kau bilang!? Gedung teater untuk Padang Liar yang Terlupakan juga
dibatalkan!?” sahut Masumi, geram. “Keterlaluan!! Apa kau tahu dimana mereka
akan menempatkan pementasan Padang Liar yang Terlupakan.”
“Belum
tahu Tuan, katanya kemungkinan budget untuk pentas tersebut sangat terbatas,
mungkin mereka akan mencari gedung yang paling murah. Ada kabar tersiar, mereka
akan menggunakan gedung Ugetsu yang sudah lama tidak terpakai.”
“Ugetsu!?”
seru Masumi. Ia tahu gedung itu, sangat kumuh dan bobrok. Bahkan pentas sekolah
saja teaternya lebih bagus. “Kabari aku terus Hijiri, apapun yang terjadi,
Padang Liar yang Terlupakan harus bisa dipentaskan! Ini adalah pementasan yang
sangat penting untuk Maya. Aku tidak mau tahu bagaimanapun caranya, Maya harus
berhasil pentas.”
“Baik
Tuan, akan terus saya selidiki. Bagaimana keadaan Nona Maya sekarang?”
“Maya...
dia... sudah jauh lebih baik. Ia sudah mengingat banyak hal. Bahkan, ia tadi
sempat bertanya mengenai Mawar Ungu kepadaku...” Masumi mengepalkan tangannya,
getir. “Namun sepertinya, ia hanya salah mengingatku,” ucapnya sendu. “Aku
lega, karena ia tidak bersikap memusuhiku lagi, namun hal ini terus membuatku
khawatir. Maya, dia tidak pernah salah mengingat orang lain, nama mereka, apa
saja yang ia lakukan bersama mereka, apa peranan mereka dalam hidupnya,
namun... ia masih saja menganggapku pamannya walaupun ia ingat beberapa
kejadian yang kami lalui bersama sebelumnya, namun, ia masih saja mengingatku
seperti yang terjadi saat amnesia dahulu. Aku pun, tidak bisa mengaku kepadanya
bahwa akulah Mawar Ungu itu. Entah apa yang akan terjadi saat ingatannya
mengenai aku—“
“Bruk!!”
Maya menubruk sebuah meja di belakangannya, sangat terkejut dengan ucapan
Masumi.
“Mungil!”
Seru Masumi, saat menyadari gadis itu berada di belakangnya.
“Tuan
Masumi!?” Hijiri tertegun.
“Nanti
aku hubungi lagi,” ujar Masumi, menutup telponnya.
Pria
itu menelan ludahnya. Melihat raut Maya yang sangat terkejut, ia yakin gadis
itu sudah mendengar perkataannya yang seharusnya tidak ia dengar. Sejak kapan
Maya ada di belakangnya!? Apakah gadis itu...!?
“Pa...
Pa...”
“Mungil...
sejak kapan kau ada di situ...?” Masumi bertanya, pucat.
“Benarkah?
Benarkah kau memang Mawar Ungu?”
“Deg!!”
Mata Masumi melebar, tubuhnya membeku kaku di tempatnya. Ia tidak bisa
mengatakannya. Jika ia mengaku, maka gadis itu akan tahu semuanya, dan ia tidak
akan bisa mendekatinya lagi saat ia ingat nanti.
“Katakan
padaku!” Mata Maya kembali berkaca-kaca. “Apakah benar, bahwa kaulah Mawar
Ungu...? Bahwa kaulah yang selama ini... menjadi Mawar Unguku...” ia menangis.
“Pak... Masumi...”
“Hah!?”
Masumi terenyak. Apa barusan Maya memanggilnya? “Mu, Mungil... kau...”
“Pak
Masumi, aku...” Maya berusaha menenangkan perasaannya. “Su, sudah ingat
semuanya.”
“Apa
kau bilang? Kau sudah ingat semuanya!?” Masumi benar-beanr terkejut. “Sejak
kapan!?” sementara gadis itu masih datang menjemputnya ke kamar untuk sarapan
tadi pagi.
“Semalam...”
terang Maya. “Semalam aku melihatmu tertidur di sini menggenggam sebatang mawar
ungu. A, aku akhirnya ingat, dulu di sinipun aku pernah melhat Mawar Ungu, dan
mendengarmu menyebut nama Pak Hijiri.”
“Mungil...”
Masumi berusaha menelan ludahnya yang tercekat. Ia masih tidak sanggup mengaku.
“Jadi kau sudah tahu semuanya,” Masumi tersenyum sendu. Ia lantas menghela
napasnya. “Jadi kau pun sudah tahu, bahwa aku bukanlah pamanmu kan?”
“Aku
tahu,” Maya berkata, “sejak awal, aku tahu kau bukanlah Pamanku yang sebenarnya,
ataupun Paman angkatku.”
“Mungil...?”
desis Masumi, tidak mengerti.
“A,
aku, setelah amnesia dulu, tidak pernah mengalami amnesia lagi...” paparnya.
“Apa
kau bilang!?”
“Aku
bohong... saat di Daito, aku tidak mengalami gangguan dalam ingatanku. A, aku
hanya lupa apa yang terjadi selama aku amnesia dulu, di sini... Rei sudah
cerita bahwa sekitar satu minggu, aku pernah tinggal di sini dan menganggap Pak
Masumi sebagai Pamanku. Aku tidak ingat sama sekali, tapi aku juga tidak bisa
berhenti memikirkannya. Di kepalaku sering terngiang-ngiang bahwa aku
memanggilmu Paman Masumi, dan terus saja teringat padamu,” terang Maya.
“Akhirnya, saat bertemu di Daito, aku putuskan, aku ingin mencari tahu apa yang
sesungguhnya terjadi di sini dulu, dan juga bagaimana sesungguhnya dirimu itu.
Ternyata...” gadis itu menangis, membekap bibirnya sendiri.
“Mungil...”
desah Masumi, tidak sanggup berkata apa-apa. Jadi selama ini, Maya hanya
berpura-pura salah mengenalinya..?
“Ternyata...
dirimu adalah orang yang paling ingin kutemui selama ini... Mawar Unguku...”
Maya menatap penuh cinta pada pria di hadapannya.
“Mungil...”Masumi
menghela napasnya. “Apakah tidak apa-apa?” Ia menunduk. “Tidak apa-apakah aku
yang sudah menjadi mawar ungumu?” Ia menelan ludahnya pahit. “Aku tahu, akus
udah sering menyakitimu dan—“
“Bruk!!”
Masumi tersentak saat Maya tiba-tiba saja menabrak dan memeluknya.
“Mawar
Ungu!!” Serunya.
Maya....!?
“Benar
Anda orangnya, Pak MasumI!!” Ia memeluknya semakin ketat. “Terima kasih! Terima
kasih!! Kau tidak tahu betapa aku sangat berterima kasih kepadamu! Aku sudah
lama menanti ingin bertemu denganmu! Ternyata kau... orang yang selama ini ada
di dekatku!”
“Mungil...”
Masumi balas memeluknya, lebih erat. “Mungil... kau tidak membenciku?” tanya
Masumi, tidak percaya. “Walaupun aku sudah berkali-kali—“
“Tidak!”
Maya menggeleng keras-keras. “Akhirnya aku ingat semua yang pernah terjadi di
rumah ini. Dan juga... aku... aku tahu, bahwa sebenarnya Pak Masumi... adalah
orang yang sangat baik,” wajah gadis itu merona. “Sangat hangat dan penuh
perhatian. Aku... A, aku...” Maya tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Hanya bisa
memeluknya lebih erat dan menyurukkan wajahnya lebih dalam. Jangan tinggalkan aku, Pak Masumi...
batinnya, saat kemudian ia teringat Shiori, kekasih pria itu.
“Mungil...”
Masumi pun balas memeluknya lebih erat. “Terima kasih. Aku selalu berpikir kau
sangat membenciku, dan semua yang telah kulakukan, tidak akan pernah bisa kau
maafkan. Sekarang perasaanku sangat lega. Dan aku sungguh...” Ia membelai
kepala Maya yang terbenam di dadanya, merengkuhnya lebih banyak lagi dan
benar-benar tidak ingin melepaskannya.
“Pak
Masumi...”Maya tersenyum, sangat bahagia. “A, aku selalu berpikir, Andalah yang
membenciku. Aku tahu di matamu aku ini tidak lebih dari anak kecil yang kurang
ajar—“
“Benar,”
ujar Masumi.
Maya
tertegun, mendongakkan kepalanya. “Apa?” tanyanya, kecewa.
“Kau
memang anak kecil, dan kurang ajar...”
“Pak!
Pak Masumi...!”
“Tapi
aku sama sekali tidak membencimu,” Masumi tersenyum hangat, menyentuh wajah
gadis itu. “Sebaliknya, aku sangat kagum kepadamu. Kau begitu bersemangat dan
mencintai akting. Pantang menyerah dan bergairah. Aktingmu sangat luar biasa.
Aku tidak pernah begitu terpesona melihat akting seseorang, sampai aku melihat
aktingmu. Rasanya mataku tidak bisa lepas memandangmu. Aku sangat menyukaimu...
saat berada di atas panggung.”
Maya
tertegun. Saat berada di atas panggung...
gadis itu mengeratkan rahangnya. Maya
bodoh! Gadis bodoh! Tentu saja Pak Masumi hanya memikirkanku sebagai seorang
aktris. Karena itu dia menjadi Mawar Unguku. Ia adalah penggemar setia, yang
menyukai aktingku... tidak lebih... Maya tidak dapat menahan perasaannya.
Ia kembali menangis. Tidak mungkin Pak
Masumi berpikiran macam-macam pada aku yang sebelas tahun lebih muda darinya...
apa yang kupikirkan? Aku...
“Mungil!? Kenapa
menangis?” Masumi nampak bingung. “Ada apa...?”
Maya
perlahan melepaskan pelukannya, menggeleng perih. “Tidak...” ucapnya serak. “Tidak
apa-apa...” ia menengadah. “Terima kasih banyak , Pak Masumi, Mawar Unguku...
aku tidak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikanmu. Tapi tunggulah aku. Aku
akan menjadi aktris seperti yang Anda inginkan. Aku akan mempersembahkan
aktingku yang terbaik untukmu. Selama kau masih mau melihatku...” air mata Maya
turun semakin deras, gemetar. “Aku akan terus berakting untukmu...”
“Mungil...”
desah Masumi.
Maya
membungkuk. “Aku akan pulang hari ini. Terima kasih sudah menjagaku selama ini,
Pak Masumi,” gadis itu kembali menegakkan badannya, menatap Masumi penuh permohonan,
berharap entah bagaimana, Masumi tahu ungkapan isi hatinya yang tak sanggup ia
katakan. “Dan kuharap... Pak Masumi juga... bisa.. bisa.. bahagia...” ia
semakin gemetaran. “Bersama Nona Shiori,” Maya menggigit bibirnya. “Semoga Anda
bahagia!” Maya membungkuk cepat dan berbalik pergi.
“Tunggu
sebentar!” seru Masumi, memaksa langkah kaki gadis itu terhenti dan tetap
tinggal di sana. Masumi meraih mawar ungu di sudut ruangan, berjalan
menghampiri punggung mungil gadis itu yang gemetar. “Aku masih belum selesai
bicara,” katanya.
Pak Masumi... Maya menunggu, penuh
harap.
“Aku,
sangat menyukaimu... yang berada di atas panggung, dan sejak saat itu, aku jadi
tidak bisa berhenti memperhatikanmu,” kata Masumi, perlahan-lahan memperpendek
jaraknya. “Aku ingin terus melihatmu, ingin bisa berada di sampingmu. Aku
bertanya-tanya, apa yang bisa kulakukan agar bisa berguna untukmu. Dan tanpa
kusadari, perasaanku suka dan kagumku,” Jantung Masumi mulai berdentam-dentam
ke kepalanya. Untuk pertama kalinya dalam seumur hidupnya, ia baru akan
melakukannya sekarang. “Berubah menjadi rasa cinta...” nyatanya.
Maya
terenyak. Pak Masumi...!? Dia... Dia...
Gadis
itu memutar badannya, mengangkat wajahnya, menatap Masumi dengan sekuntum Mawar
Ungu di tangannya.
Pria
itu lantas berlutut di hadapan Maya, menyodorkan setangkai mawar ungu kepada
gadis kecintaannya itu. “Aku mencintaimu, Maya Kitajima,” ucapnya.
Rasanya
tidak lega, malah khawatir hebat. Menunggu reaksi Maya, seperti sebuah
keputusan sidang yang akan menentukan hidup dan matinya.
Maya
menahan haru, ia meraih mawar ungu tersebut, dan dengan cepat kembali memeluk
pria itu. “Aku juga...” isaknya. “Aku pun sangat mencintaimu... Pak Masumi...
Mawar Unguku...” ia memeluknya lebih erat. “Jangan tinggalkan aku. Aku ingin
terus bersama Pak Masumi.”
“Maya...”
desahnya. Pria itu bisa merasakan kebahagiaannya yang membuncah. “Aku tidak
akan meninggalkanmu. Aku tidak akan sanggup meninggalkanmu,” ungkapnya. “Maya...”
Mereka
melepaskan pelukan mereka, memberi sedikit jarak pada tubuhnya. Maya menatap
lekat penuh cinta pria di hadapannya, begitu juga sebaliknya. Masumi membelai
kepala gadis itu, berhenti di tengkuknya. Keduanya saling mendekatkan wajah
mereka, yang sama-sama memerah saga, sama-sama menghangat dan merona malu-malu
bahagia.
“Nona
Shiori bagaimana?” tanya Maya tiba-tiba, saat bibir mereka berjarak dua jari.
“Aku
belum memutuskan apa-apa kepadanya dan keluarga mereka. Aku akan menyampaikan
keputusanku mengakhiri hubungan perjodohan ini, karena aku mencintai gadis
lain,” terang Masumi.
Maya
kembali memandang penuh cinta dan tersenyum tipis.
“Sakurakoji
bagaimana?” tanya Masumi, terdengar jelas sangat cemburu.
“Sakurakoji?
Ada apa dengannya?”
“Dia
mencintaimu. Jangan bilang kau tidak menyadarinya.”
“Dia
sudah punya pacar,” terang Maya.
“Tapi
dia mencintaimu.”
“Aku
hanya menganggapnya teman baik,” Maya berujar. “Aku mencintai laki-laki lain.”
Masumi
balas memandang lembut dan tersenyum bahagia.
Akhirnya
bibir gadis dan laki-laki lain itu saling bersentuhan. Hangat, lembut, dan
penuh cinta. Menyebarkan rasa bahagia ke setiap sudut sel dalam tubuh keduanya.
Tidak
ada yang tertidur, atau yang amnesia.
Dan
para cheerleaders dalam hati mereka berloncatan dan memekik gembira.
68 comments:
kyaaaqaa, kukira langsung end, ternyata bersambung, ya ampun, masumi, nasib nasib,
Omg
Seperti harapankuh
Maya amnesia └∂ģî
Uhuyyy
Yuk mariii tinggal sm paman masumi lagi
Jiahahaha! jd paman lagi.. ^^ Cheerleader berlompatan? Ahahaha ungkapan yg gak masumi bgt. Update-nya ditunggu segera.
Eh..kok ga kluar namanya
-mommia-
aishshsh...masumi jadi paman maya laagi????
jadi pingin ketawa dan menangis dech...seneng krn bisa berdekatan dg maya dg akur, sedih abis cuma dianggap paman...
-khalida-
poor masumi
kyyyyyyaaaaaaa
Jyaaah, bukan one shot ya???
Masumi seneng bennneeerr itu maya tinggal lagi di rumahnya.
Btw, neng ty lg produktif bgt yak bikin ff, cintaaaaa deeeh....
Lanjooot....!!
hohoho...ini die...yg ditunggu2..dateng juga!!!! makacih ya NR~~~ maya amnesia,masumi girang bgt tuh!!
lanjutannya jgn lama2 yaaakkk...
love you so much Miss NR! ♥
Haha... aku sukaaa ty ma serial yg ni.. hehe.. paman.. jd inget paman alex.. hehe... apdet asap ya ty..
ya eyalah itu jantung kaya cheersleaders,,secara masumi emang udah nahan berapa taon tuh sampe bisa meluk2 maya,,
hahaha masumi yang untung kalo gitu
siiiiiipppp....suka deh kalo gini. gak apa daah deket sebagai paman n ponakan...tapi kan tetep hati gak bisa dibohongin.....*aku padamuuu* hihihihiihi
paman masumi hayami.....hmmmmm lebih suka panggilan akang masumi <3<3<3 hihihihi
hiyaaa..... bersambung... apdetannya paman masumi di tunggu ya... ^^
Masumi....seneng tuuuuhhhh....XD
Ikut mendaftar jd cheerleader nya masumi...^_^
Ayooo...paman masumi semangattt!! ^^
Wah, masih berambung...
Jadi makin penasaran...
Ditunggu ya lanjutannya... :)
kalo bisa Maya amnesianya agak lamaan Ty, biar Masumi seneng XD
jadi curiga... jangan2 ini "akting" Maya yang lain nih, hihihiihihiii
et ce reparti pour passer de bon moment,ne ce pas oncle masumi!!!
kasihan masumi
kok sprti ny perasaan masumi dpermainkn oleh maya deh
hwakakakakakak si masumi masih trauma ama strawberry yaks
kya...kok dpotong dsitu
ayo maya, katakan saja pada masumi, klo cinta masumi
lanjut sista
strawberry.....hhmmmmmmmm
ayo mayaaaaa katakan "Aku mencintaimu paman Masumi" xixixixixi
paman masumihhhhh
aku mencintaimuhhh
-mommia-
Haiah! Bersambung..kirain udah tamat. Ayo lah saling nyatain. Biar tau sama tau dan gak muter2. *tendang nenek jambul.
pamannnnn, maya nih suka ma om2 ya
Masumi I luph u....
Paman...aku..aku......padamu....#eeaaa
Derita Loe Masumi...
dipermainkan ama nasib :(
Nambah deh penderitaan masumi :( *rini*
Bagusssssakin membuat penasarannnnn
ckckck bener2 salut ama pertahanan diri masumi
Ayooo..buru apdte lagih.
Sungguh matee aku jd penasaran~~
_aan_
aaaaahhhh l'amor....
miss NR, kau sdh bikin aku mellow stgh mati :) ♥
nanggung nih,moga2 maya cepet ingat
woooooshaaaaahh....aku mencintaimu paman Masumi.....oooowww so soon to realize your felling maya....tapi gak apa daah, biar cepetan pada nyadar n ngaku tuh bedua. jasi shiori cepetan OUT dari dunia MM hihihihihihi *kejamnya dirikuh huo huooo*
ada apa hayoooo XD
akhirnya maya menyadari perasaanya sama masumi...tapi sayang lagi amnesia...
moga2 aja setelah maya sembuh, masumi dan maya mengakui perasaan cintanya...
shiori mah kalaut aja....
-khalida-
Haduh akirnyaaaa g bs jg menikmati kisah mm lagiii disini abisnya g gkbs buka LJ hiksss T___T jadi gkbs baca ayemyors dah
Tyy lanjutkaaannn heheheh
un petit effort maya souvient toiiiiiii.
ya ampuuunn tyyyy....nanggung amaaattt ... hehehehee...mana neeyyy kissunya...masa warning doang huiiiksssssss T_______T
#wakakaakkaka
-reita
aaaaaakkkkk! *lanjoooot Tyyy...
aku mencintai paman Masumi... Aaaarrghh gaaak kuat... langsung pingsan pasti paman masuminya...
Lanjut cepet....
-Vanda-
Aku cinta padamu Paman Masumi... Paman Masuminya langsung pingsan gak kuat...
kayaknya kemarin udah kirim koment 2 kali kenpa ndak masuk trus ya...? iyaa Paman Masumi aku cinta padamu... pingsan deh Masumi ndak kuat dengernya....
-vanda-
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...senangnyaaa.... #bacaulang
Kyaaaa!!!!!!!!Berteriak histerisss...andai..ai...ai...ai...aidi komiknya jg begitu.....tq Ty..........
Terima kasih Ty....
Senangnya....^^
Asyikkkk dah tamatttt....lgs meluncurrrr .....
Makasih yahhhh :D
( Cantik Comique )
akhirnya yaaaa
wakakakakak gw udh curiga juga sih
kyknya si maya pura2 deh
biar tau yg benernya gimana
ternyata beneran
wekekekekekek
thx ya neng ty ...lagi2 oase ditengah gersangnya gurun fftk...hahahaha
Aku jadi salah satu cheerleadernya deh.. horrayyy.!!!.. coba komiknya ky gini.. he..he..
Happy
tumben maya pinter XD
makasih Miss NR!
Gokurosamadeshita..
tumben Maya pinter XD
makasih Miss NR
suka dech mereka jadian disini...jd ga ada pertunangan masumi-shiori, ga ada koji yg ngasih kalung lumba2...akhirna shiori kalaut juga...
wkwkwk..maya jg dapat lompatan cheerleader...
nuhun neng ty...ditunggu cerita yg lainnya ya...
-khalida-
paman masumiiiiii aku padamu dech pokoknya....
merçi beaucoup,c'est vraiment une superbe fin.
merçi pour cette superbe fin.
XD unyu banget ih, ya mbok kenyataannya gini, Maya yg pinter gitu #Plaakk
Unni kalo bisa lagunya diganti miliknya Westlife dong :O, hehe
Horeee Happy Ending ty
ngmg masumini kemana kok ganti nya cheerleader hihihihii
hiks, hiks, akhirnya happy juga, disini nasibmu bagus nak masumi, xixixixi
ri2
yyyeeeeeeeeeeeyyyyyyyyy....... hoooorrrrrreeeeeyyyyyyyyy......... ^^
seneng juga akhirnya happy ending.. makasih ya Ty... kisah yang romantis
-Vanda-
yaaaaayyyyy...!!
nuhunnn miss
tararengkyu so much darlink cinta
baik hati dirimu bkin innih oneshoot jd hepi ending
shiori ke laut ajjeh *tendang*
ahhh maya pinterrr
masumi sekali lagi terpesona dengan akting maya wekekekee...
gud job ^^
-mommia-
makasih ty.... hadiah lebarannya yang satu ini, sukaaaaa....
Post a Comment
Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)