Friday 29 June 2012

Fanfic TK: Keep Reminds Me of You

Posted by Ty SakuMoto at 15:18
Setting: Bayang-bayang Jingga 3. Cerita ini adalah sekuel terakhir dari I Remember You dan Amnesia.
Warning: Kissu-kissu


Keep Reminds Me of You
(Sekuel I Remember You)



Selama kau sakit, kau tinggal di rumah Pak Masumi, kata-kata Rei terngiang di kepala Maya saat gadis itu tengah berlatih untuk Jean Manusia Serigalanya.
                Memang sejak Maya sembuh dari amnesianya, Maya tidak ingat apa yang tengah terjadi selama dia amnesia. Namun bukan berarti semuanya ia lupakan begitu saja. Sekali dua kali ada bayangan mengenai ia dan Masumi, namun Maya tidak yakin apakah semua itu benar terjadi? Ia dan Masumi bercanda di rumahnya, kadang ia sedang belepotan di taman dan menyambut Masumi pulang dari kantornya. Ada juga bayangan mereka bergandengan tangan.
                Rasanya sangat mengusik pikiran saat bayangan-bayangan itu datang namun Maya tidak ingat kapan hal itu terjadi atau benarkah hal itu terkajadi? Saat Maya berkata kepada Rei, bahwa suka ada bayangan-bayangan berkelebat mengenai Ia yang berada di rumah Masumi, saat itulah Rei memberitahu, bahwa Maya sempat mengalami amnesia dan tinggal di rumah Masumi. Maya syok bukan main mendengarnya. Namun Rei tidak mau menerangkan lebih jauh. Ia bilang, ia tidak tahu pasti apa yang terjadi selama Maya di sana, dan lebih jauh lagi, dokter meminta agar membiarkan ingatan Maya kembali dengan sendirinya agar Maya tidak lebih bingung lagi karena tidak mampu membedakan mana yang benar terjadi dan mana yang tidak pernah benar-benar terjadi.
                Terkadang Maya sampai sakit kepala berusaha mengingat apa sesungguhnya yang terjadi di rumah itu. Namun ia ingat, berakali-kali adegan ia menghampiri Masumi dan memanggilnya ‘Paman’ berkelebat di kepalanya. Sekali lagi Maya mengungkapkan hal tersebut kepada Rei dan jawaban sahabatnya itu sungguh mengejutkan.
                “Kau sempat mengira Pak Masumi sebagai Pamanmu,” terang Rei. “Saat kau amnesia, kau hanya bisa mengingat wajah Pak Masumi, dan setelah bertemu dengannya, kau mengira ia Pamanmu dan tidak mau jauh-jauh darinya. Karena itu kau sempat tinggal di tempatnya selama seminggu lebih,” papar Rei saat itu.
                Ya Tuhan…! Pikir Maya, apa sebenarnya yang sudah kulakukan? Wajahnya memerah setiap kali teringat dan kepalanya berdenyut-denyut. Ia gelisah memikirkan apa kemungkinan yang pernah terjadi antara dirinya dan Masumi saat ia sedang hilang ingatan.
                Aku mengira ia pamanku? Batin Maya. Lalu kenapa Pak Masumi mau saja menerima kehadiranku di rumahnya? Sebenarnya… apa yang terjadi saat itu? Perasaan Maya gundah.
                Sejak itu Maya tidak pernah berhenti memikirkan Masumi. Bahkan saat ia tahu Daito hendak mementaskan Isadora atas persetujuan Masumi, Maya malah lebih memikirkan, bayangan yang sempat muncul; Masumi dan Maya berpelukan di sebuah kamar. Sempat juga muncul bayangan Masumi duduk di sisi tempat tidurnya, memandangnya lembut dan mengatakan sesuatu kepadanya. Maya tidak tahu apa yang Masumi katakan, juga apakah semua itu benar-benar terjadi. Dan jika Maya berusaha keras mengingat semuanya, kepala gadis itu akan berdenyut sangat keras dan menyakitkan terkadang hingga kehilangan nafasnya.
                “Maya, telpon!!” Seru induk semangnya.
                Maya terenyak dari lamunannya. Ia lantas turun dan menerima telpon tersebut.
                “AyumI!!” Serunya, saat mendengar suara saingannya yang ia kagumi tersebut.
                “Halo Maya, kau terdengar sehat. Apa kabarmu?”
                “Aku baik-baik saja,” jawab Maya dengan bersemangat. “Ada apa, Ayumi?”
                “Mmh… begini, apa kau sudah mendengar kabar mengenai Ibu Mayuko?”
                “Ibu Mayuko?” Maya tertegun. “Tidak, belum,” jawabnya sendu. Sejak Ia mengetahui Bu Mayuko menghilang—dan saat itu Masumi tengah menyeretnya paksa untuk menemaninya seharian—Maya tidak pernah berhenti mengkhawatirkan gurunya tersebut.
                “Iya, kudengar Bu Mayuko sudah ditemukan,” bisik Ayumi.
                Maya terkejut mendengarnya> “Ditemukan!? Dimana!?”
                “Entahlah, aku tidak tahu pasti. Tapi Pak Onoda sedang berada di rumahku dan dia mengatakan bahwa Ibu Mayuko sudah ditemukan. Tidak begitu jelas, katanya yang tahu pasti hanya Pak Masumi dari Daito.”
                Maya tersentak. Pak Masumi… dari Daito?
                Aku berjanji, kalau mendapat kabar mengenai Ibu Mayuko, kau yang akan pertama kali aku kabari. Maya mengetatkan giginya. Dia itu!!
                “Maya, kudengar kau sedang mempersiapkan pentasmu selanjutnya?” tanya Ayumi.
                Dan keduanya kemudian terlibat perbincangan mengenai pementasan Maya selanjutnya.
=//=

Maya bergegas menuju Daito setelah mendapatkan telepon dari Ayumi.
                Si Dingin itu! Sudah berbohong lagi…! Pikirnya dengan geram.
                Namun tiba-tiba ucapan Rei kembali terngiang.
                “Sepertinya dia memperlakukanmu dengan baik saat kau berada di rumahnya. Karena saat aku berkunjung, kau terlihat berseri-seri dan kau bilang kau betah berada di sana…”
                Maya tertegun, menengadahkan kepalanya memandang gedung Daito. Hatinya was-was… entah kenapa menjadi ragu.
                Ada Pak Masumi di sana… batin Maya. Dan segera wajah hangat dan ramah Masumi muncul di kepalanya. Gadis itu sangat terkejut. Memang belakangan raut Masumi yang tidak biasa itu selalu muncul mengisi pikirannya.
                Pak Masumi itu… sebetulnya orang yang bagaimana?
                Maya menghela nafasnya, kembali teringat gurunya.  Bu Mayuko… Maya mengeratkan kepalan tangannya dan melangkah tegap masuk ke dalam gedung Daito.
=//=

“Dimana Pak Masumi Hayami? Aku harus bertemu dengannya,” Maya berkata pada resepsionis di sana.
                “Direktur Masumi? Beliau sedang rapat. Apa kau sudah punya janji?”
                “Belum. Dimana rapatnya? Aku—“
                “Dia sangat sibuk. Kalau kau belum membuat janji kau tidak bisa bertemu dengannya!” tegas resepsionis tersebut.
                “Aku tidak akan mengganggu! Aku akan menunggu sampai rapatnya selesai. Katakan saja dimana ruang rapatnya.”
                “Tidak bisa. Nona Anda sebaiknya datang lagi lain waktu setelah membuat janji.”
                “Ini penting sekali! Biar aku mencari ruangannya sendiri!” Maya berlalu tanpa menghiraukan himbauan resepsionis tersebut.
                “Tolong hentikan anak itu!” Seru si resepsionis.
                “Hei, mau kemana kamu!?” Seorang pegawai menghampiri dan menahan lengan Maya.
                “Lepaskan! Aku harus bertemu Pak Masumi Hayami!!” berontak Maya. “Ini penting sekali!”
                “Pak DIrektur tidak adak waktu bertemu kamu!!”
                “Aku akan menunggunya!”
                “Kamu itu mengganggu kami bekerja tahu!” seru si karyawan dengan kasar. “Sudah pulang sana!!” ia mendorong Maya. Ternyata kekuatannya lebih besar dari yang dikiranya.
                Maya terhempas keras.
                “Bledug!!” si Mungil menabrak dinding sebelum terjatuh ke lantai.
                Maya bisa merasakan kesakitan di bahu dan kepalanya yang tadi membentur dinding. Gadis itu memejamkan matanya berusaha menahan rasa sakit dengan masih tersungkur di lantai.
                “Jangan kasar sama anak perempuan,” suara itu terdengar lembut.
                Maya tertegun, berusaha mengatur nafasnya yang sempat sesak, memicingkan matanya berusaha melihat dari mana suara itu berasal. Matanya segera terpaku, terpana dengan begitu cantiknya wanita yang berdiri di hadapannya. Seperti seorang yang keluar dari sebuah lukisan. Sangat cantik. Maya tidak kenal dia, namun merasa pernah melihatnya.
                “Kamu tidak apa-apa? Pakailah ini?” Ia menjulurkan sapu tangannya.
                Segera sekelebat bayangan mengisi kepalanya. Wanita itu, berpelukan dengan Masumi, di ruang sebuah ruang tamu seraya menangis.
                “Ada apa ini ribut-ribut!?” Seru sebuah suara.
                Maya mengalihkan pandangannya ke sana. Nampak Masumi terenyak melihatnya di sana.
                “Mungil!” Seru Masumi, segera menghampiri dan meraih lengannya. “Kau kenapa!? Sesuatu terjadi padamu?” tanyanya khawatir.
                “A, a…” Maya masih tidak bisa bicara.
                Masumi menolehkan kepala ke sekelilingnya.
                “Siapa yang melakukan ini kepadanya!?” Serunya dengan sangat marah. Tatapannya kemudian terpasung pada pegawai yang ada di sana. “Apa kau yang melakukannya!?” bentaknya. “Apa kau tidak tahu bahwa dia ini calon pemeran Bidadari Merah!?” Masumi murka.
                Calon pemeran Bidadari Merah… batin Maya.
                Suasana sangat senyap dan tegang seketika. Wajah si pegawai nampak sangat ketakutan, begitu juga Shiori yang sungguh terkejut melihat Masumi mengamuk.
                “Sa, saya—“ pegawai itu tergugup ngeri.
                Masumi baru saja hendak beranjak memecat pegawai itu jika saja Maya tidak bersuara.
                “Paman,” panggilnya pelan, memegang lengan Masumi.
                Pria itu tersentak, segera menoleh kembali kepada Maya, memandangnya dengan mata terbuka lebar. “Mungil…” desisnya.
                “Paman… Masumi,” sekali lagi Maya memanggil.
                Masumi masih tidak tahu harus berkata apa. Kenapa Maya memanggilku… Paman?
                “Kepalaku sakit,” lanjut Maya. “Kenapa aku… berada di sini, Paman?”
                Direktur Daito tersebut sangat terkejut dan raut panik segera terlihat di wajahnya.
                “Mizuki!” panggilnya.
                Asistennya tersebut menghampiri. “iya Pak?”
                “Minta mereka meneruskan rapat. Aku akan membawa Maya ke klinik,” perintah Masumi.
                “Klinik?” Maya nampak panik. “Ke, kenapa aku harus ke klinik, Paman?”
                Mizuki juga terlihat kaget dengan ucapan Maya, ia dan bosnya bertukar pandang. Namun ia memiliki pendapat lain.               
                “Biar saya yang membawa Maya ke klinik. Anda teruskan saja rapatnya. Ini rapat yang sangat penting bukan?”
                Masumi menelan ludahnya, kembali ditatapnya Maya yang masih menatapnya. Sesuatu terjadi dengan gadis ini… batin Masumi, tidak tenang.
                “Pergi kalian semua! Kembali bekerja!!” seru Masumi kepada orang-orang yang tengah memperhatikan mereka.
                Para pegawai itu dengan sigap segera membubarkan diri.
                “Kepalamu masih sakit?” Masumi membantu Maya bangun. “Kau baik-baik saja?” tanyanya khawatir.
                “Tidak tahu…” jawab Maya yang tidak melepaskan pandangannya dari Masumi.
                “Pak Masumi,” Mizuki sekali lagi mengingatkan.
                Masumi menghela nafasnya. Ia tahu apa kewajibannya.
                “Kau ingat ini Nona Mizuki?” tanya Masumi, memastikan.
                Maya menoleh menatap Mizuki, mengangguk ragu.
                “Kau ikut dengannya. Ia akan membawamu ke klinik. Nanti aku ke sana,” kata Masumi.
                “Paman…” Maya memanggilnya sekali lagi.
                “Iya?” Masumi memandangnya penuh perhatian.
                Maya tersenyum tipis. “Selamat bekerja.”
                Masumi bisa merasakan jantungnya berdegup sangat keras. Apakah kejadian sebelumnya terulang lagi? Sesuatu terjadi lagi pada ingatannya? Kenapa bisa begitu? Apakah barusan Maya mengalami…
                “Periksakan dia secepatnya,” instruksi Masumi kepada Mizuki.
                Mizuki akhirnya membawa Maya ke klinik yang ada di sana, dan Masumi memperhatikan dengan pandangannya. Saat ia berbalik hendak masuk kembali ke ruang rapat, barulah ia tersadar bahwa teman kencannya ada di sana.
                “Shiori…” desisnya, terkejut karena sama sekali tidak menyadari keberadaannya sejak tadi.
                Shiori nampak sangat kalut. Ia terkejut melihat Masumi begitu murka, itu pertama kali ia melihatnya dan sedikit ketakutan karenanya. Namun ia juga nampak sangat perhatian kepada gadis mungil tadi.
                “Maaf, apa aku mengganggu?” tanya Shiori.
                Dan Masumi baru teringat dengan rencananya berkencan menyaksikan konser musik hari itu. Ia berjalan menghampiri wanita tersebut.
                “Shiori, aku mohon maaf, sepertinya aku tidak bisa memenuhi janjiku hari ini—“ Masumi berhenti, melihat kekecewaan di wajah wanita itu. “Maaf, aku janji akan menggantinya lain waktu. Namun ini terkait sesuatu yang sangat penting. Aku tidak tahu kapan rapatnya akan selesai,” Masumi beralasan, walaupun sebenarnya rapat itu sudah hampir selesai. “Kumohon kau mau mengerti.”
                Shiori memandang sendu, namun lantas berusaha tersenyum tipis. “Aku mengerti, kalau ini tanggung jawabmu. Aku akan menunggu kau menghubungiku lagi,” katanya lembut.
                Masumi menelan ludahnya. “Kuharap aku bisa menggantinya secepatnya.”
                Shiori hanya tersenyum dan kemudian pergi. Namun benaknya masih dipenuhi keheranan dengan kemarahan Masumi yang meledak tadi. Dia seperti orang yang berbeda… batinnya.
=//=

“Bagaimana keadaan Maya? Aku segera ke sini setelah rapat selesai,” kata Masumi menghampiri Mizuki.
                “Maya sedang istirahat di dalam,” terang Mizuki. “Dokter bilang mungkin Maya harus dibawa ke rumah sakit, melakukan pemeriksaan kepala. Sejauh ini pemeriksaan dokter tidak menemukan luka berat, namun mungkin riwayat medis Maya ada pengaruhnya. Karena itu lebih baik diperiksakan lagi kepada dokter yang sebelumnya,” terang Mizuki.
                Masumi menghela nafasnya berat. Ada apa Maya datang ke Daito? Apakah sesuatu terjadi kepadanya? Atau hal ini baru saja terjadi? Pikir Masumi.
                “Apa ingatannya mengalami masalah?” tanya Masumi lagi.
                “Saya rasa demikian. Maya… mengatakan ia mengalami kesulitan mengingat hal-hal di sekelilingnya.” Jawab Mizuki berat.
                Masumi menelan ludahnya. Sakit. Kenapa hal ini terjadi pada gadis yang dicintainya.
                “Pak Masumi,” tegur Masumi.
                Pria itu menoleh pada Mizuki.
                “Anda pasti sadar bahwa Anda sudah berreaksi berlebihan tadi,” Mizuki berujar.
                Masumi mengakui itu. Ia sangat terkejut melihat Maya tersungkur di lantai setelah sebelumnya mendengar suara berdebam. Tanpa sadar ia jadi bereaksi ekstrim.
                “Aku akan menemui Maya,” ujarnya tanpa menghiraukan Mizuki.

“Mungil,” panggil Masumi, saat masuk ke dalam ruangan tempat Maya beristirahat.
                Gadis yang tengah berbaring itu menoleh. “Paman…” sahutnya.
                Kepalanya dililit perban tapi Masumi sudah diberitahu bahwa itu hanya untuk mengobati memar yang Maya dapat di kepalanya.
                “Kau baik-baik saja?” tanya Masumi lembut.
                Gadis itu memandangi Masumi dengan lekat, membuat Masumi bisa merasakan jantungnya berdebar sangat keras. Hampir sama dengan kejadian beberapa minggu lalu saat gadis itu amnesia.
                Maya kemudian mengangguk. “Baik.”
                “Masih ada yang sakit?”
                Maya menggeleng.
                Masumi mengulurkan tangannya, mengusap kepala Maya. Gadis itu sedikit terkejut, Masumi mengamatinya.
                “Apa kau ingat apa yang terjadi sebelum kau dibawa ke sini?” tanya Masumi.
                Maya terdiam beberapa saat, lantas menggeleng.
                “Kau tahu kenapa kau datang ke Daito?”
                Sekali lagi Maya menggeleng.
                Masumi terenyak. Gadis ini… amnesia… lagi? Dan hal ini pasti karena perlakuan yang tadi didapatnya dari salah satu anak buahnya itu. Kurang ajar… batin Masumi. Anak buahnya itu akan mendapat balasan karena sudah membuat Mayanya jadi begini.
                “Paman,” tegur Maya, saat melihat wajah Masumi berubah sangat seius. “Ada apa?”
                Masumi tertegun. “Tidak. Hanya saja, aku berpikir untuk memecat orang yang sudah—”
                “Memecat?” Maya sangat terkejut. “Paman tidak boleh memecat orang sembarangan!” Ia mengingatkan. “Dia kan bekerja karena perlu uang, ada keluarga yang bergantung kepadanya. Apa kesalahannya sampai Paman mau langsung memecatnya?” desak Maya.
                Mendengar perkataan Maya, Masumi jadi tersadar. “Kau tidak ingin aku memecatnya?”
                “Kenapa Paman mau memecatnya?”
                “Karena dia sudah membuatmu—“ ucapan Masumi terpotong saat ia dan Maya kembali saling menatap lekat.
                Tiba-tiba Masumi teringat sesuatu. Maya, kembali menganggap ia sebagai Pamannya. Apa ia ingat apa saja yang sudah terjadi dulu saat gadis itu berada di rumahnya? Sepertinya tidak. Masumi ingin memastikannya.
                “Aku akan mengantarkanmu ke rumah sakit,” Masumi berkata.
                “Untuk apa?”
                “Mungil. Bukankah kau tidak bisa mengingat banyak hal?”
                Maya mengangguk.
                “Karena itu kita harus memeriksa keadaanmu.. agar tahu pasti kondisimu yang sebenarnya,” Masumi berkata. “Jadi, kau mengingatku?” Masumi memastikan.
                Maya mengangguk. “Kau Pamanku, kan? Paman Masumi?”
                Masumi menghela nafasnya berat, mengangguk. “Apa lagi yang kau ingat mengenai aku?”
                Maya nampak berpikir sebentar. “Bukankah, aku tinggal bersamamu?”
                Pria itu terkejut. “Lalu?”
                Tiba-tiba Maya menunduk, menutup wajahnya dan menangis. Baru sekarang ia terlihat kalut padahal sedari tadi Maya nampak cukup tenang. “Aku tidak tahu…” isaknya. “Aku tidak ingat lagi. Ada beberapa hal di kepalaku… tapi aku bingung… apa semua itu benar pernah terjadi.”
                Mungil… Masumi memandangnya penuh simpati. Ia menjulurkan tangannya dan memeluk Maya. “Tidak apa-apa… tidak apa-apa…” ia berusaha menenangkan. “Semua akan baik-baik saja.”
                Maya hanya terdiam. Merasakan pelukan hangat pria yang disebutnya paman dan merasakan jantungnya berdebar semakin lama semakin keras.
                “Kau sama sekali tidak ingat apa-apa lagi?” tanya Masumi.
                Maya mengangkat wajahnya, menatap Masumi. “Ada beberapa hal, yang kurasa aku ingat. Tapi aku tidak tahu apakah hal itu sungguh-sungguh pernah terjadi atau tidak…” desahnya pilu. “Seperti misalnya… saat tadi, melihat wanita cantik itu…”
                “Wanita cantik?” Masumi tertegun. “Mizuki?” tanyanya ragu.
                Maya menggeleng, “bukan… yang rambutnya hitam bergelombang, yang sangat cantik tadi, memakai baju ungu,” Maya berkata.
                Shiori…. Masumi menyadari. “Ada apa dengannya?”
                “Saat melihatnya, aku teringat pernah melihat Paman dan dia berpelukan, di sebuah ruang tamu. Tapi aku tidak tahu apa itu benar-benar terjadi atau tidak…”
                Masumi tidak menjawab. “Ada lagi?”
                “Aku ingat seorang gadis tinggi yang rambutnya pendek dan berpakaian seperti laki-laki… Re..i?” tanyanya.
                Masumi mengangguk. “Dia temanmu.”
                “yang tadi itu… Nona Mizuki…?”
                “Asistenku,” terang Masumi.
                “Lalu, aku… ingat pernah berada di pekarangan rumahmu, main lumpur… dan sebuah sandiwara… Padang…” Maya terenyak. “Aku ini… aktris!?”
                Masumi tersenyum dan kembali mengangguk.
                “Ada beberapa hal yang kuingat, tapi aku tidak tahu pasti,” terang Maya.
                “Tapi kau ingat aku?”
                “Ingat,” Maya mengangguk. “Tapi aku tidak begitu ingat semuanya, hanya beberapa hal yang sepertinya pernah kita lakukan bersama… sama?” tanya Maya tidak yakin, kepada Masumi yang masih tidak melepaskan pelukannya.
                “Baiklah,” ujar Masumi. “Kuantar ke rumah sakit sekarang. Setelah itu…” Masumi mengamati Maya. “Tinggallah lagi di tempatku, aku akan menjagamu sampai keadaanmu lebih baik.”
                Gadis itu tertegun sebentar lalu mengangguk. “Tentu, Paman,” dan tersenyum hangat.
                Tiba-tiba saja jantung Masumi berdebar sangat keras seperti ada puluhan cheerleader tengah berlompatan dalam hatinya.
=//=


Maya melakukan pemeriksaan kepala dan juga beberapa evaluasi dengan ditemani Masumi. Keduanya berada di ruang dokter, menunggu keputusannya dengan berdebar-debar.
                “Nona Maya,” dokter tersebut tersenyum lembut. “Saya tidak mengira akan bertemu Anda lagi dengan masalah yang sama,” katanya, mendesah kecil. “Namun Anda jangan khawatir. Tidak ada kerusakan permanen di dalam kepala Anda. Dan setelah melakukan evaluasi, amnesia yang Anda alami pun berbeda dengan amnesia sebelumnya dimana Anda hampir melupakan semuanya kecuali wajah Paman Anda,” dokter tersebut memandang Masumi.
                Maya hanya bergeming mendengarkan.
                “Kali ini, Anda masih mengingat banyak hal, walaupun tidak secara keseluruhan. Anda masih bisa mengingat orang-orang yang signifikan dalam hidup Anda, dan Anda pun bisa mengingat sesuatu saat diingatkan, benar? Seperti bahwa Anda adalah seorang aktris, mengenai kematian Ibu Anda, bekas sekolah Anda, Anda bisa meyakinkan diri Anda bahwa semua informasi itu benar setelah Anda berusaha mengingatnya?”
                Maya mengangguk.
                “Kemungkinan masalahnya ada di sini,” dokter itu diam sejenak. “Saat ingatan Anda sempat pulih, Anda melupakan semua hal yang terjadi selama Anda mengalami amnesia. Benar?”
                Maya tidak yakin, menoleh kepada Masumi.
                “Benar, dokter. Setelah ingatan Maya kembali, ia tidak ingat semua yang sudah terjadi saat mengalami amnesia.”
                “Dan Anda berusaha keras mengingatnya?” dokter itu memastikan.
                “ku, kurasa…” ujar Maya.
                “Kemungkinan, memang ada sedikit masalah di hippocampus, dimana ingatan Nona Maya saling overlap satu sama lain. Ingatannya saat masih pulih dan ingatannya saat amnesia pertama kali dahulu, akhirnya ingatan-ingatan itu saling beradu dan membuat Nona Maya menjadi tidak yakin mana yang benar terjadi dan tidak. Hal-hal yang terjadi saat ia sehat, ada yang terlupakan, dan hal-hal yang terjadi saat ia sedang amnesia, berusaha muncul kembali. Oleh karena itu, dalam beberapa waktu, entah berapa lama, mungkin Nona Maya masih tidak dapat mengingat dengan jelas urutan realita yang pernah dijalaninya.”
                “Apakah berbahaya?” tanya Masumi.
                “Tidak berbahaya,” dokter itu tersenyum. “Itu alamiah, malah itu hal yang bagus…”
                “Bagus?” Masumi sedikit lega mendengarnya.
                “Iya, benar, kemungkinan, ingatan Nona Maya nanti akan bisa kembali utuh seperti semula. Saat semua ingatan-ingatannya sudah bisa muncul dan tersusun dengan rapi, ingatan Nona Maya bisa kembali sempurna. Ia akan bisa mengingat semuanya dengan baik, ingatannya saat sehat dan juga ingatan yang sempat hilang mengenai apa yang terjadi saat ia amnesia pertama dulu. Bisa dikatakan ini adalah proses transisi.”
                Masumi merasa seakan-akan nafasnya berhenti. Ia akan bisa mengingat semua yang pernah terjadi…
Direktur itu menjadi gelisah.
                “Akan ingat semuanya lagi?” ulang Maya.
                “Iya,” dokter itu tersenyum. “Kau jangan takut, jika ada ingatan yang muncul di kepalamu, kau jangan melawannya. Jika kau bingung, kau bisa bertanya pada orang lain apakah hal itu benar pernah terjadi atau tidak. Karena selanjutnya kau akan mempercayai ingatanmu sebagai fakta nyata,” dokter itu menoleh kepada Masumi. “Karena dulu Anda yang sering bersamanya saat Maya amnesia. Anda harus membantunya mengkonfirmasi kejadian-kejadian yang Nona Maya ingat kembali. Jangan menyembunyikan faktanya, karena hal itu akan membingungkan Nona Maya, dan jangan juga memaksanya mengingat sesuatu yang belum diingatnya,” terang dokter tersebut.
                Masumi menelan ludahnya, dan mengangguk. =//=


Sepanjang perjalanan, Masumi masih terngiang-ngiang dengan ucapan dokter tersebut. Mungkin ini adalah proses Maya mendapatkan kembali ingatannya dengan utuh… pria itu menelan ludahnya. Semua ingatannya dengan utuh…
                Masumi benar-benar kalut. Bagaimana andaikan benar gadis itu berhasil mengingat semuanya tanpa terkecuali? Permusuhan mereka dahulu, dan juga… apa yang sudah Masumi lakukan saat gadis itu hilang ingatannya. Tentu saja, semua yang terjadi saat Maya kehilangan ingatan adalah salahnya. Maya saat itu sedang tidak menjadi dirinya sendiri. Ia tidak ingat apa pun. Tapi Masumi? Masumi tersadar sepenuhnya. Namun dia tetap membiarkan gadis itu salah paham. Dan ia juga yang sudah membiarkan semuanya terjadi. Segala kedekatan dan kemesraan antara mereka dahulu… semua gandengan tangan, pelukan dan.. kecupan itu…
                Masumi benar-benar gelisah. Apa pendapat gadis itu mengenai semua hal tersebut jika ingatannya sudah kembali seperti semula? Ia pasti semakin membenciku… batin Masumi. Ia pasti akan sangat membenciku… pikirnya sendu.
                Saat ini keduanya tengah berada dalam perjalanan menuju ke rumah Masumi setelah mengambil beberapa pakaian Maya. Rei sedang tidak ada di tempat, mungkin tengah bekerja. Namun Masumi sudah meninggalkan surat pesan untuk gadis tomboy tersebut. Ia yakin pasti gadis itu pun sama terkejutnya seperti dirinya.
                “Bagaimana perasaanmu?” tanya Masumi lembut kepada Maya yang masih saja membisu di sampingnya.
                “Ba, baik… Paman,” Maya berusaha tersenyum.
                Ada yang Masumi sadari. Maya nampak berbeda dengan sebelumnya saat ia mengalami amnesia pertama kali. Dulu wajahnya polos sekali dan sangat lengket kepadanya. Menatapnya dengan berbinar-binar. Namun saat ini, Maya seringkali terdiam dan nampak linglung. Mungkin benar apa yang dokter katakan, Maya sedang dalam masa-masa yang membingungkan karena ingatannya sedang disusun ulang. Masumi pun, menyadari bahwa ada kemungkinan gadis itu kali ini akan bisa mengingat semua yang terjadi di antara mereka walaupun ia sedang amnesia, menjadi sedikit lebih menjaga diri dari Maya.
                “Mungil,” panggil Masumi perlahan.
                Maya menoleh ke arahnya.
                Masumi menggenggam tangan Maya dengan hangat dan tersenyum lembut.
                “Kau jangan takut. Semua pasti akan baik-baik saja. Percayalah kepadaku.”
                Maya menatap Masumi beberapa saat lantas mengangguk dan tersenyum berterima kasih.
=//=

“Aku akan mengantarmu ke kamar,” ujar Masumi saat keduanya tiba di kediaman Hayami. Sekali lagi Masumi memperkenalkan Maya kepada para pelayan dan pegawai. Masumi menerangkan bahwa Maya akan tinggal bersama mereka untuk sementara waktu.
                Masumi memperkenalkan nama mereka satu per satu. Maya berusaha keras mengingat mereka satu per satu, dan tidak begitu sulit. Maya merasa punya kenangan mengenai mereka.
                “Ini kamarmu,” Masumi membawa Maya ke kamar tamu yang dulu ditempatinya.
                Maya terjegil di pintu. Bayangan itu datang lagi. Ia menoleh ke arah kursi. Di dekat kursi, ia dan Masumi pernah berpelukan dengan begitu hangat. Benarkah hal itu pernah terjadi?
                “Mau makan sekarang?” tawar Masumi.
                Maya menoleh dan mengangguk seraya tersenyum malu-malu.
                “Kita bertemu di ruang makan. Aku ganti baju dulu. Kau ingat dimana ruang makannya?”
                “Akan kucari sendiri, sekalian kucoba mengingat-ingatnya,” ujar Maya.
                Masumi mengangguk dan keluar dari kamar Maya.
                Gadis itu lantas beranjak ke balkon kamar, mengamati pemandangan di bawahnya. Aku pernah berada di sini… batinnya, mencoba mengingat. Perlahan-lahan ingatan itu memang muncul, seperti de javu. Namun kapan tepatnya ia tidak bisa ingat urutan waktunya.
                Tempat tidur ini… kamar ini… lemari ini… meja… Maya mengedarkan pandangannya. Benar. Ia pernah berada di sini. Hanya tidak mengingat kapan tepatnya. Gadis itu lantas keluar kamrnya setelah memberekan barang-barang bawaannya. Ia menyusuri lorong di rumah itu, mengamati satu per satu, mengingat sisa kenangan yang coba dibangkitkannya. Sedikit demi sedikit tempat itu terasa tidak asing  baginya.
                “Nona Maya sudah datang,” terang Sayoko.
                Masumi menoleh dari tempat duduknya, dan tersenyum melihat Maya. Gadis mungil tersebut balas tersenyum dan duduk di tempatnya.
                “Bagaimana perasaanmu?” tanya Masumi.
                “Sudah lebih baik. Terima kasih Paman.”
                “Bagus. Nanti setelah makan malam, aku bisa mengajakmu berkeliling.”
                “Terima kasih,” Maya mengangguk. Ia lantas mengedarkan pandangannya di ruang makan tersebut. “Aku ingat pernah berada di sini.”
                “Iya, tentu. Kita selalu makan malam di sini.”
                “Kita?”
                Masumi mengangguk, tersenyum sangat hangat. “Kau selalu menungguku pulang agar bisa makan malam denganku. Aku jadi selalu pulang lebih cepat,” ungkap Masumi. “Saat ini, apa saja yang kau ingat Mungil?” tanya Masumi sekali lagi, agar ia yakin sejauh mana gadis itu mengingat kebersamaan mereka.
                “Aku ingat aku seorang aktris. Aku ingat teman-temanku. Juga… sandiwara yang sedang kumainkan. Padang Liar… yang terlupakan?”
                Masumi tersenyum dan mengangguk.
                “Aku ingat Paman, dan Nona Mizuki… Tapi selebihnya…” Maya menggeleng.
                “Kau tidak ingat sandiwara yang pernah kau mainkan?”
                Maya kembali menggeleng.
                Masumi menghela nafasnya benar ternyata ingatan Maya saat ini campur baur.
                “Kau ingat orang tuamu?” tanya Masumi.
                Maya tertegun, matanya melebar. Nampak sangat terkejut.
                “Mungil…?” tanya Masumi perlahan.
                Maya mengangguk, dan nampak berkaca-kaca. “Aku ingat mereka sudah meninggal… tapi… kenapa…?” Ia memandang Masumi.
                Pertanyaan itu mencekik Masumi, ia menelan ludahnya. “Jangan dipaksakan,” katanya, menunduk menatap makanannya. “Tunggu sampai kau bisa mengingatnya lagi.”=//=

Masumi lantas mengajak Maya berkeliling, memberitahu apa saja yang sempat gadis itu lakukan di rumahnya. Bahwa mereka kadang mengobrol dan bercanda di sofa ruang duduk, kadang gadis itu menghabiskan waktunya seharian di pekarangan belakang main lumpur. Merangkak kesana kemari karena berlatih Jean. Maya juga menjemput Masumi ke kamarnya setiap pagi untuk mengajak sarapan dan menunggunya pulang untuk makan malam.
                Maya tertegun, berusaha mengingat itu semua, perlahan-lahan memang beberapa hal diingatnya kembali.
                “Paman…” panggil Maya saat mereka masuk lagi dari pekarangan belakang. “Kenapa aku amnesia dulu?”
                “Temanmu Rei mengatakan bahwa kau jatuh dari tangga. Kau hendak menuruni tangga dengan sambil merangkak dan kau terjatuh, kepalamu terhantam keras.”
                “Kenapa aku meninggalkan rumah?” tanya Maya.
                Masumi tertegun. Ia ingat. “Karena kau ingin menjadi aktris,” terangnya singkat.
                “Paman, tadi siang, paman sempat menyebut-nyebut Bidadari Merah. Apa itu?”
                Masumi lantas menerangkan mengenai Bidadari Merah dan Maya adalah salah satu kandidatnya.
                “Aku?”
                “Iya. Kau. Kau itu sangat berbakat. Kau dan Ayumi akan bersaing untuk Bidadari merah jika kau berhasil mendapat penghargaan saat festival seni dari peranmu di Padang Liar yang terlupakan.”
                “Benarkah?” gadis itu nampak termenung.
                “Benar…” Masumi berujar. Ia lantas meraih tangan Maya, bisa dirasakannya gadis itu sedikit tersentak.
                “Paman…?”
                “Kau jangan khawatir, saat itu pasti ingatanmu sudah pulih lagi. Kau akan baik-baik saja,” Masumi meyakinkan.
                Maya memandangi tangan mereka yang bergandengan. Terasa sangat hangat. Maya ingat pernah mengalaminya. Menyusuri ruangan ini… berpegangan tangan seperti ini… dan ingatan itu muncul kembali di kepala Maya yang membuatnya merasakan nyeri.
                “Buk!” Gadis itu limbung, menubruk lengan Masumi.
                “Mungil!!” Masumi sangat terkejut, menangkapnya. “Kau kenapa? Ada apa?”
                Maya memejamkan matanya erat dan menggeleng perlahan. “Aku…” ia terengah.
                Masumi segera menggendong gadis itu menuju ke kamarnya dan membaringkannya di atas tempat tidur. “Tunggu kuambilkan air minum,” Masumi segera beranjak keluar kamarnya.
                Maya berusaha mengatur nafasnya yang berat, menenangkan dirinya. Ia kembali mengamati ruangan itu kembali, dan bayangan lebih banyak menghampirinya.
                Paman… sebuah bayangan muncul. Masumi duduk di sisi tempat tidurnya, tersenyum hangat kepadanya, dan bercerita mengenai dirinya.       
                Masumi kembali dengan air putih di tangannya. “Ayo diminum,” anjurnya.
                Maya bangun dan meminum air tersebut.
                “Sudah lebih baik?”
                “Aku sudah tidak apa-apa,” Maya berujar. “Maaf membuatmu khawatir.”
                “Sudah tidak ada yang sakit?”
                Maya menggeleng. “Semuanya sudah baik-baik saja,” Maya tersenyum. “Terima kasih, Paman.”
                “Cepatlah tidur, semoga besok sudah lebih baik. Kalau ada yang kaubutuhkan, kau bisa mendatangiku, mengerti?” Masumi tanpa sadar membelai lembut rambut Maya.
                Maya mengangguk. Setelah Masumi beranjak dari sana, beberapa saat Maya memandangi pintu tempat Paman jadi-jadiannya itu menghilang. Kembali berusaha mengingat banyak hal mengenai dirinya dan Masumi, dan bertanya-tanya apakah itu semua sungguh terjadi?
=//=

Masumi terdiam nyalang di tempat tidurnya. Hanya terdengar detik jam sementara matanya tak juga terpejam.
                Maya… pria itu memanggil gadis tercintanya. Ia tidak mengira Maya sudah kembali berada di rumahnya. Namun dalam keadaan yang tidak membuatnya lega. Kenapa Maya bisa kembali amnesia? Masumi sungguh berharap ucapan dokter tadi siang itu bisa dipercaya, bahwa ini semua adalah proses yang akan membuat kepala Maya kembali ke keadaan semula. Bahwa otaknya sedang menyusun kembali semua ingatannya.
                Dan rasa gelisah itu pun datang. Masumi berbalik tidak tenang.
Masih nyalang.
                Nafasnya dihempaskan kuat-kuat. Lantas bagaimana, jika semua ingatan Maya kembali? Tentang semua yang pernah terjadi di rumah ini? Tentang Masumi yang sempat lupa diri?
                Dan Masumi kembali menjadi pengecut. Jika sudah mengenai Maya, segala nyalinya segera ciut.
                Pria itu lantas turun, menapakkan kakinya menyusuri lantai setelah mengenakan mantel kamarnya yang terbuat dari sutera untuk beranjak menemui Maya. Ia ingin melihat keadaannya.
                Sejak ingatan lama Maya kembali, Masumi merasa jauh lebih kesepian setelah gadis itu tidak lagi menemani. Tawanya, sentuhannya, tatapannya, tidak pernah bisa dilupakannya. Hanya sempat bersama sekitar seminggu, namun ketidakberadaan Maya membuatnya tersiksa rindu.
                Berpakaian di pagi hari seraya menatap pintu, berharap entah bagaimana Maya muncul dan menarik tangannya untuk sarapan berdua. Akhirnya di meja makan Masumi hanya termangu, menatap sepi kursi tempat Maya pernah berada, namun gadis itu sudah tak lagi ada.
                Tidak lagi mengantar atau menunggunya sepulang dari kantor. Tidak menemaninya menonton TV atau mengobrol sebelum tidur. Berkejaran di lorong rumah, bermain di pekarangan, tertawa bersama, saling menggoda. Masumi merasakan kehilangan yang begitu besar hanya karena Maya tidak lagi mengingat ia sebagai pamannya.
                Sekarang Masumi berdiri di depan pintu kamar Maya. Ragu-ragu. Apa dia sudah tidur?
                Masumi ingin memandangnya. Ingin memastikan bahwa Maya memang ada di sana.
                Perlahan-lahan ia membuka pintu kamar Maya yang tidak terkunci. Ruangannya temaram, hanya diterangi lampu dari arah beranda.
                “Paman?” panggil Maya.
                Masumi ternyak. Maya belum tidur.
                “Kau belum tidur?” Masumi membuka pintu lebih lebar. “Apa aku mengganggumu?”
                Tampak Maya bangkit terduduk.
                “Aku belum tidur,” jawab Maya, meraih lampu di atas nakas dan menyalakannya.
                “Apa ada yang kau pikirkan?” tanya Masumi seraya menghampiri.
                Maya mengamati wajah Masumi yang semakin mendekat kepadanya.
                “Pa, Paman sendiri kenapa ke sini? Ada sesuatu?”
                “Aku hanya ingin melihat keadaanmu,” Masumi berujar. “Apa ada yang sakit?”
                “Tidak ada…” Maya menggeleng perlahan.
                Masumi duduk di tepi tempat tidur. “Lantas kenapa belum tidur?”
                Gadis mungil itu beberapa saat hanya menatap Masumi dengan mata beningnya yang tidak sanggup disembunyikan malam. “Apa Paman mengkhawatirkanku?”
                “Iya. Apa kepalamu sakit lagi?”
                Maya menggeleng.
                “Lalu? Ada yang kau pikirkan?”
                “Sebelumnya pernah seperti ini juga ya?” Maya memastikan. “Paman duduk di sisi tempat tidurku, bicara padaku sambil… mengusap kepalaku?” konfirmasinya.
                Masumi mengangguk dan tersenyum hangat. “Kau dulu sedikit manja,” terangnya.
                Wajah Maya menghangat seketika. “Aku!?”
                “Iya… tapi tidak heran. Kau hanya ingat aku saat itu. Itupun hanya wajahku. Kau tidak ingat siapa namaku,” papar Masumi.
                Maya hanya membisu, memasung tatapannya kepada raut Masumi dengan membisu. Hanya ingat wajahnya…
                “Aku merepotkanmu?” tanya Maya. “Aku ingat pernah mengacak-ngacak… rambutmu?” tanyanya ragu.
                Masumi terbahak. “Iya kau pernah mengacak-ngacak rambutku, tapi tidak. Kau tidak merepotkanku,” Masumi tersenyum hangat.
                Wajah Maya semakin menghangat. Kenapa jantungku berdebar keras seperti ini… Kenapa…
                “Tidurlah,” Masumi berujar lembut. “Dokter sudah mengatakan kau harus banyak beristirahat dan jangan terlalu banyak berpikir, nanti kau akan ingat sendiri.” Masumi menelan ludahnya saat mengatakan kalimat terakhir.
                Maya mengangguk lantas masuk ke dalam selimutnya yang dirapikan Masumi. Sekali lagi gadis itu hanya terus mengamatinya. Masumi menyadari itu. Hal tersebut juga terjadi dulu.
                “Cobalah tidak perlu terlalu memikirkan sesuatu. Selamat malam,” Masumi menepuk kepalanya perlahan.
                “Ba, baik. Se, selamat malam… Paman,” wajah gadis itu merona dan segera disembunyikannya di balik selimut.
                Ada apa ini. Kenapa ia salah tingkah seperti ini? Perilakunya, termasuk juga jantungnya.
                Maya mengikuti Masumi dengan matanya hingga tubuh gagah pria itu menghilang di balik pintu. Gadis itu kembali teringat wajah dan suaranya tadi. Selamat malam… Maya menyentuh kepalanya dimana Masumi tadi menyentuhnya. Wajahnya merona banyak. Kenapa perasaanku… aneh begini… Ia menggigit tipis bibir bawahnya. Sebenarnya aku kenapa?
                =//=
“Kamar Paman dimana?” tanya Maya kepada Sayoko.
                Sayoko tersenyum ramah. “Di sebelah sana…” menunjuk sebuah kamar besar dengan pintu menjulang. “Mau mengajaknya sarapan?”
                Maya tersenyum dan mengangguk. Gadis itu menyusuri lorong. Seperti biasa matanya bergerak kesana kemari mengamati semua hal di sekitar dan berusaha mengingat-ingatnya.
                “Bruk!!”
                “Aduh!”
                “Mungil!” seru Masumi.
                Keduanya bertabrakan di pintu saat Masumi hendak keluar dan Maya yang tidak awas berada di depan pintunya.
                “Kau tidak apa-apa?” Masumi memastikan, memegangi pundaknya.
                “Tidak, tidak apa-apa,” gadis itu lalu cengengesan.
                Masumi sudah terlihat tampan lagi dengan setelan kerjanya. “Mau mengajakku sarapan?”
                “Iya.”
                “Ayo,” Masumi meraih telapak tangan Maya dan menggandengnya menuju ruang makan.
                Maya tertegun sejenak. Namun kiranya memang seperti inikah ia dan pamannya dulu?
                “Bagimana keadaanmu?”
                “Eh, aku, anu,” Maya salah tingkah, merasakan genggaman kuat itu kembali mengontak jantungnya dan menyalakan debarannya semakin keras. “Baik-baik saja.”
                “Baguslah. Nanti jika ada apa-apa, segera hubungi aku. Aku sudah meminta para pelayan di sini agar memperhatikan keadaanmu.”
                “Maaf merepotkan.”
                “Tidak. tentu tidak merepotkan,” Masumi berujar. “Tapi ingatlah jangan terlalu memaksakan. Kalau ada yang kau butuhkan, semua orang di sini akan membantumu. Kalau ada yang tidak berkenan untukmu, bilang padaku, biar kupecat.”
                “Paman ini… sedikit-sedikit main pecat…” rajuk Maya.
                “Aku bercanda,” ujar Masumi.
                Maya terkekeh mendengarnya.
=//=

“Ceritakan padaku mengenai Bidadari Merah,” pinta Maya saat mereka sarapan.
                “Tentu,” Masumi berkata.
                Direktur Daito tersebut lantas menceritakan kembali mengenai apa itu Bidadari Merah dan bagaimana Bu Mayuko mengumpulkan anggota teater Mayuko untuk dididiknya menjadi calon Bidadari Merah dan lain sebagainya.
                “Ah, Rei juga, calon Bidadari Merah?” tanya Maya dengan mata membulat. “Dia tampan. Tapi sepertinya jika didandani Rei sangat cantik.”
                “Bu Mayuko sudah menetapkan dua calon Bidadari Merah yang bersaing untuk mendapatkan peran itu Mungil… Kau, dan Ayumi Himekawa…”
                “Ayumi… Himekawa…” Maya terdiam beberapa lama.
                “Apa kau baik-baik saja?” Masumi memastikan, melihat Maya termangu.
                “Aku ingat… kami pernah pentas bersama sebagai Helen Keller bukan?” Maya memastikan.
                Mata Masumi melebar. “Kau ingat?”
                “Iya… saat melihat Ayumi, aku ingat berada dalam audisi yang sama dengannya. Dan latihan bersama,” terang Maya. “Juga aku mulai ingat, sandiwara Padang Liar yang Terlupakan… sutradaranya Pak Kuronuma, dan lawanmainku Sakurakoji Yuu…” gumam Maya.
                Masumi mengeratkan rahangnya saat mendengar nama pemuda itu disebut. “Begitu…” gumamnya perlahan.
                Keduanya berbincang-bincang mengenai karir keartisan Maya selama sarapan tersebut.
                “Paman, sepertinya Bidadari Merah itu… sandiwara yang sangat luar biasa. Aku tidak yakin bahwa aku akan bisa memerankannya…” Maya berkata seraya menunduk. “Apalagi sainganku Ayumi.”
                “Jangan bilang begitu,” Masumi menenangkan. “Kau adalah aktris yang sangat luar biasa. Kau pasti bisa. Sekarang, jangan terlalu banyak memikirkan masalah itu, kau lakukan saja yang terbaik untuk Padang Liar yang Terlupakan,” Masumi tersenyum tipis.
                “Benarkah? Ke, kenapa Paman begitu yakin bahwa aku bisa melakukannya?” tanya Maya, tidak yakin.
                “Karena aku sudah sangat lama mengenalmu, Mungil. Dan aku tahu, kau bisa menghadapi halangan apa pun yang datang menghadangmu…”
                “Pa, Paman….” Maya menatap Masumi. Ucapannya terdengar sangat tulus, ia merasa terharu. Bahkan rasanya, tidak pernah ada yang menaruh kepercayaan demikian besar kepada dirinya seperti pria tersebut. “Terima kasih banyak…” tenggorokannya tercekat.***

Selama Masumi di kantornya, Maya hanya menonton televisi. Ia dilayani sangat baik di rumah tersebut. Maya berkeliling kesana kemari dan menanyakan banyak hal.
                “Saat ada Nona Maya, Tuan Masumi selelu terlihat riang,” terang Sayoko yang menemani Maya siang itu.
                “Benarkah?”
                “Benar. Kalian sering bercanda di ruang televisi, kadang berkejaran di lorong, tawa kalian sering terdengar sangat keras dan riang. Kadang berlarian sampai ke pekarangan belakang,” Sayoko menuangkan teh ke cangkir Maya. “Apa nona tidak ingat semua itu?”
                “Sedikit…” jawabnya sendu. “Hanya sedikit…”
                “Iya, Tuan Muda sudah mengatakan Nona sedang sakit dan kami diminta menjaga Nona baik-baik. Jangan khawatir Nona, kami akan membantu Nona sebisa kami.”
                Wajah Maya merona. “Te, terima kasih, Sayoko… mmh… Paman Masumi itu… memang orang yang sangat baik ya…?”
                Sayoko tertegun dan tersenyum tipis. “Tuan Muda memperlakukan kami semua dengan baik. Walaupun begitu, Tuan Muda sangat tegas dan sedikit dingin, namun, saat Nona Maya ada di sini… Tuan Muda nampak lebih hangat dan ramah. Pasti Tuan Muda sangat menyayangi Nona…”
                Mata Maya melebar, terkejut. “Menyayangi… ku?”
                Sayoko mengangguk.
                Maya duduk dengan sedikit gelisah dan minum tehnya tergugup, saat teringat sesuatu. “Uhmm… Paman… punya pacar, kan? Yang cantik itu?” Maya memastikan.
                “Oh, Nona Shiori… iya, benar. Ini pertama kalinya Tuan Muda berkencan dengan seorang wanita. Mungkin jika semuanya berjalan lancar, bisa sampai menikah.”
                Maya bisa merasakan jantungnya berdenyut keras dan menyakitkan. Menikah… dengan wanita cantik yang kemarin itu? Maya merasakan tenggorokannya tercekat. Gadis itu meraih tehnya dan entah kenapa, tangannya gemetar.***

“Coba tebak siapa?”
                Maya sempat tersentak saat sepasang tangan menutup matanya. “Paman!” serunya.
                Lalu terdengar tawa yang lantang. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Masumi, memutar dan duduk di sampingnya.
                “Baik!” jawab Maya dengan ceria. Ia lantas mengamati lekat pamannya tersebut.
                “Ada apa?” tanya Masumi dengan heran, karena tatapan gadis itu mulai membuatnya tidak bisa mengendalikan perasaan.
                “Tidak!” Maya menggeleng. “Paman! Hari ini aku sudah mulai mengingat beberapa hal yang kulakukan di sini,” terang Maya.
                “Oya?” alis Masumi terangkat sedikit, terkejut. “Apa saja?” tanyanya.
                “Aku ingat Paman sering menemaniku bermain, dan aku latihan menjadi Jean di sini,” ia menunjuk lantai, “dan di taman…” imbuhnya. “Juga beberapa hal lain.”
                “Baguslah,” Masumi tersenyum. Maya…. Masumi menatapnya. Gadis itu sudah semakin banyak mengingat banyak hal. Mungkin waktunya tidak akan lama lagi mereka bisa seperti ini. Masumi masih saja gelisah mengingatnya. Bagaimana reaksi Maya saat ia ingat lagi semuanya nanti. Tiba-tiba nafasnya terasa sangat berat. Masumi meraih kopi di mejanya.
                “Paman?”
                “Hmm...?”
                “Kenapa Paman melarang buah strawberry di rumah ini?”
                “Uhuk! Uhuk!” Masumi tersedak. “Uhuk! Uhuk!!”
                “Pa, Paman!” Maya meraih tissu dan memberikannya kepada Masumi. “Paman, Paman tidak apa-apa?” tanyanya khawatir. “Paman?”
                Masumi menggeleng-gelengkan kepalanya. “A, aku baik-baik saja,” katanya cepat.
                Maya menepuk-nepuk punggung Masumi dan mengelusnya perlahan. “Dasar kakek-kakek…” selorohnya.
                “Apa kau bilang?” Masumi menoleh cepat kepada gadis mungil itu.
                Maya mendekatkan wajahnya kepada Masumi. “Kakek-kakek!!”
                Mata pria itu melebar. “A, apa..!?” serunya. “Bocah!”
                “Kyaaa!!” Maya berlari dan Masumi mengejarnya.
                Gadis itu tergelak senang dan tawa Masumi terdengar lantang. Keduanya berkejar-kejaran, namun tidak lama karena tangan panjang Masumi segera menangkap pergelangan gadis itu. Menariknya. Menyergapnya. Memeluknya.
                “Paman!” pekik Maya, sejenak tergelak.
                Maya… perasaan Masumi kembali tidak menentu, merasakan gadis mungil itu ada dalam dekapannya setelah begitu tersiksa merindukannya selama ini. Tanpa disadarinya Masumi mengeratkan pelukannya.
                “Pa, Paman…?” gumam Maya, setelah sempat terlena dengan kehangatan yang dirasakannya.
                Masumi menghela nafasnya walaupun tidak melonggarkan pelukannya. Perasaan pria itu masih tidak menentu. Ia mulai tersiksa dengan kebahagiaan yang datang dan pergi begitu saja, dan kerap menyisakan luka semakin dalam setiap kalinya.
                “Cepatlah sembuh, Mungil…” gumam Masumi. “Cepatlah sembuh…” harapnya.
                “Paman…?” Maya mendesah.
                Saat itulah sekelebat ingatan datang kepada Maya.
Kejadiannya di kamar yang sedang ia tempati sekarang, Maya terisak, memeluk Masumi.
“Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku sendirian.”
            “Mungil…”
          “Paman jangan kemana-mana. Aku membutuhkan Paman. Kalau Paman tidak ada, aku bagaimana?” Maya terisak semakin keras. Dia tidak ingin Masumi meninggalkannya. Aku mencintaimu, Paman Masumi…
               
Deg!! Jantung Maya serasa berhenti, kepalanya berdenyut karena kenangan itu. A, apa itu…? A, aku… mencintai…
                Maya mengetatkan pegangannya di jas Masumi dan menyurukkan wajahnya lebih jauh.
             “Mungil, kau tidak apa-apa?” tanya Masumi yang menyadari nafas Maya tiba-tiba terasa semakin berat. “Mungil?” Masumi menyusupkan jemarinya di rambut gadis itu. Ia gemetaran.
              Maya menengadahkan wajahnya, menatap kalut kepada Masumi. Aku mencintai….!!?
                “Ada apa!?” tanya Masumi, mendesak dan terdengar khawatir.
                Maya bisa merasakan tubuhnya gemetar hebat dan terasa dingin.
                “Kau sakit!?” tanya Masumi dengan wajah tak kalah pucat dari Maya. “Dimana? Apanya yang sakit?”
                Maya menggeleng namun tetap tidak sanggup berkata apa-apa.
                “Hup!!” Masumi menggendong Maya ke kamarnya. “Akan kupanggilkan dokter!”
                “Tidak!” tolak Maya, menggeleng keras. “Tidak apa-apa, aku tidak apa-apa Pa… man…”
                “Bawakan makan malam Maya ke kamar!!” seru Masumi pada pelayan yang berdiri di sana dan ia segera membawa Maya ke kamar, dan membaringkannya di tempat tidur.
                “Terima kasih,” Maya berkata, masih gemetaran.
                Anak ini kenapa… batin Masumi, penuh rasa khawatir. Masumi meraba dahinya yang berkeringat dingin. “Apa yang kau rasakan?”
                “Mual…” desah Maya dengan berat. “Kepalaku pusing… aku…”
                “Kau harus ke dokter.”
                “Tidak mau…” tolak Maya. Tiba-tiba ada sesuatu menyelinap dalam pikiran Maya.
                Ia takut. Takut sekali ingat. Bagaimana kalau benar, ia mencintai pria ini?
                Masumi tertegun, merasa heran dengan Maya yang menatapnya begitu lekat. “Ada apa?” tanyanya lagi.
                Maya menggeleng.
                “Kalau setelah makan dan minum obat, kau masih tidak sembuh, aku akan membawamu ke dokter,” ujar Masumi. “Dan aku tidak mau dibantah!”
                Dia mengkhawatirkanku…?
                “Makan malamnya Tuan,” Sayoko masuk membawakan makan malam untuk Maya.
                “Terima kasih Sayoko, olehku saja,” kata Masumi.
                Sayoko membungkuk dan permisi keluar.
                “Aku tidak ingin makan,” tolak Maya. “Perutku mual…” keluhnya.
                “Kau harus makan, lalu minum obatmu…”
                “Tidak mau!” rajuk Maya, menarik selimut dan membenamkan dirinya.
                “Ayolah Mungil… agar kau cepat sembuh. Atau aku akan langsung membawamu ke dokter sekarang juga!”
                Maya menghela napasnya, terpaksa membuka kembali selimutnya dan                berusaha duduk, Masumi membantunya.
                “Mau kusuapi?” tawar Masumi.
                “Eh?” Maya tertegun, wajahnya merona malu, “tidak usah.”
                “Baiklah, tapi aku akan di sini sampai aku yakin kau menghabiskan makanmu.”
                Maya mengangguk dan mulai meraih makan malamnya yang nampak lezat namun sama sekali tidak membuatnya berselera. Ia memakannya dengan tidak lahap.
                “Apa masih ada yang sakit?” Masumi memastikan, “dimana sakitnya Mungil?”
                Maya menggeleng. “Tadi kepalaku tiba-tiba sakit dan perutku mual. Tapi sekarang… sudah lebih baik.”
                “Apa kau mengingat sesuatu?”
                Maya sulit sekali menelan supnya karena pertanyaan Masumi. Ia lantas mengangguk.
                “Apa?’ tanya Masumi. “Apa yang kau ingat?”
                Maya menghela napasnya, melirik ragu-ragu kepada Masumi.
                “Aku me… menangis, lalu memeluk… Paman,” ia mengangkat tangannya, menunjuk. “Di sana.”
                Masumi menoleh, mengikuti telunjuk Maya.
                Di sana… Maya menangis… Masumi berusaha mengingat. Jantungnya berdebar sangat keras. Ia kembali mengalihkan pandangannya kepada Maya. “Lalu?” Masumi bertanya waspada.
                “I, itu saja. Apa itu pernah terjadi?”
                Masumi terdiam sebentar. Ia lalu mengangguk. “Kau itu,” ia menunjuk hidung Maya. “Ada saatnya jadi sangat cengeng, tahu!”
                Maya tertegun, mengerucutkan bibirnya. “Benarkah?”
                “Iya. Tidak saat amnesia, sebelumnya pun begitu. Suka tiba-tiba saja menangis. Tapi tidak lama. Misalkan saat ada yang mengganggumu saat akan bermain sandiwara. Setelahnya kau akan bangkit dan tidak menangis lagi.”
                “Benarkah?”
                Masumi mengangguk.
                Mata gadis itu kembali berkaca-kaca.
                “Nah kan, benar kataku… kau sudah menangis lagi…”
                “Paman…” rajuknya. “Terima kasih, karena sudah begitu baik dan sangat menjagaku.”
                “Iya, yang penting kau segera sembuh Mungil… setelah itu,” Masumi menelan ludahnya pahit. “Kau tidak akan kebingungan dan kesakitan lagi seperti ini,” Ia meraih rambut Maya dan membelainya, menatap Maya dengan sendu.
                Maya tertegun, mengamati Masumi. Ia menunduk dan melipat bibirnya. Masumi memang sangat baik dan hangat, begitu perhatian. Tapi benarkah? Benarkah apa yang terngiang dalam ingatannya tadi. Dia jatuh cinta? Pada pria ini? Bagaimana bisa…? Bukankah dia…
                “Dimakan,” tegur Masumi. “dipelototi saja tidak akan habis supnya.”
                Maya menoleh dan terkekeh. “Terima kasih, Paman…” ucapnya tulus.
                Aku hanya harus menunggu… batin Maya. Menunggu hingga mengingat semuanya… dan ia akan memastikan kembali perasaannya.
                “Paman, aku besok, mau latihan sandiwara,” terang Maya.
                Mata Masumi melebar. “Jean?”
                Maya mengangguk. “Boleh? Aku sudah ingin berakting lagi…”
                “Tentu, boleh… tapi Mungil…” Masumi terdiam. “Apa kau… ingat teman-temanmu?”
                “Tentu. Tadi siang aku sudah menghapal nama-nama pemain seperti yang Paman suruh, dan saat melihatnya, aku ingat mereka.”
                Masumi termangu, memandangi Maya. Ada apa sebenarnya? Masumi bertanya-tanya. Kenapa dia tidak salah mengingat semua orang tapi Maya masih saja salah mengingat dirinya? Masih saja menganggap ia pamannya?
                Dokter memang mengatakan, ingatan Maya tumpang tindih dengan ingatan saat Maya amnesia. Dan saat itu, Maya pun hanya mengingat wajah Masumi dan melupakan yang lainnya.
                Tapi kenapa ia sama sekali tidak ingat siapa Masumi? Masih saja menganggapnya pamannya. Mungkin di situ masalahnya? Apakah Masumi harus mengungkapkan siapa ia sebenarnya, agar ingatan Maya bisa kembali secara sempurna.
                “Sekarang Paman yang banyak melamun!” tegur Maya.
                Masumi tertegun, tersenyum tipis. “Kau sudah lebih baik?” tanya Masumi.
                Maya mengangguk. “Sepertinya barusan hanya serangan saja… jika teringat sesuatu, memang seperti itu,” gumam Maya, menunduk. Teringat lagi dengan pernyataan dalam hatinya tadi, bahwa ia mencintai Masumi. Apa ia tahu?  Batin Maya.  Apa aku dulu sempat mengatakan bahwa aku mencintainya? Jantung Maya tiba-tiba saja berdebar sangat keras. Bagaimana jika benar begitu?
                “Sekarang kau yang melamun!” Masumi menusuk pipi Maya dengan telunjuknya hingga gadis mungil itu terperanjat.
                “Pa, Paman…!” rajuk Maya.
                Masumi tertawa. “Baguslah kalau sudah lebih baik. Jangan lupa diminum obatnya,” ia tersenyum.
                Kembali Maya mengamati wajah pria itu. Ia memang terlihat hangat.
                Saat Nona Maya ada di sini… Tuan Muda nampak lebih hangat dan ramah. Pasti Tuan Muda sangat menyayangi Nona.
                “Paman… kenapa kau begitu baik padaku? Padahal kita tidak punya hubungan darah?” tanya Maya.
                Masumi terenyak. “Apa?”
                “Aku tahu kita tidak punya hubungan darah. Para pelayan bilang setahu mereka Paman tidak punya saudara. Bagaimana aku bisa jadi keponakanmu?” desak Maya.
                Masumi dengan cepat memutar otaknya. Bukan dia yang pertama kali mengatakan bahwa mereka Paman dan keponakan, Maya lah yang mengira ia pamannya dan Masumi tidak menyalahkan. Ia menghela napasnya keras.
                “Kita memang tidak punya hubungan darah, Mungil… tapi aku sudah cukup lama mengenalmu,” terang Masumi. “Tapi tidak penting kan…? Kau tidak usah memikirkan hal-hal seperti itu, nanti kau akan ingat sendiri dan semuanya akan jelas. Lagipula ingatanmu sepertinya berkembang pesat. Pasti tidak akan butuh waktu lama sampai kau bisa mengingat semuanya,” Masumi tidak bisa menyembunyikan rasa sendunya. Ia menelan ludah. “Sudahlah,” ia meraih obat Maya. “Diminum obatnya lalu beristirahat. Aku akan meminta Sayoko membereskan sisa makanmu. Aku membersihkan diriku dulu,” terang Masumi.
                Maya menerima obat tersebut dan meminumnya. “Terima kasih.”
                Masumi berbalik dan beranjak.
                “Paman!” panggil Maya.
                Masumi terdiam, kembali berbalik. “Iya?”
                “Wanita cantik yang kemarin itu…” Maya berkata ragu-ragu. “Paman akan menikah dengannya?”
                Deg! Masumi tersentak. Shiori… wanita itu… Kalau ingat dia, Masumi tersiksa. Siksaan yang lain lagi. Siksaan yang mengingatkan Masumi bahwa ia bukan seseorang yang dapat bertindak sesuai keinginannya. Bahwa ia bukan manusia yang memiliki kebebasan.
                “Kenapa kau menanyakan hal itu?” tanya Masumi datar.
                “A, aku hanya ingin tahu,” ia berkata gugup, sedikit gelisah. “Apa tidak boleh?”
                Masumi berjalan mendekati Maya, memandangi gadis itu. “Mungkin. Belum ada keputusan apa-apa.”
                “Oh…” Maya menurunkan pandangannya sebentar sebelum kembali menatap Masumi penuh tanya. “Tapi Paman… mencintainya?”
                Masumi mengeratkan rahangnya. “Kenapa kau bertanya?”
                “Kenapa Paman tidak menjawab?” desak Maya.
                “Aku… Mungkin,” Masumi membuang pandangannya. “Dia cantik, sangat baik, lemah lembut dan penuh kasih. Tentu semua orang akan menyukai gadis sepertinya.”
                Aku ini kenapa… batin Maya. Kenapa aku memaksanya menjawab pertanyaanku… Kenapa aku harus peduli apakah mereka berdua akan menikah… Maya meremas selimutnya.
                “Sudahlah,” ucapan Masumi membuyarkan lamunan Maya. “Beristirahatlah. Nanti aku ke sini lagi.”
                Maya mengangguk dan kembali masuk ke dalam selimutnya.
                Sayoko membereskan sisa makan Maya tidak lama setelahnya.
                Gadis itu masih saja merasa tidak tenang. Apa benar pikiran yang merasuki kepalanya tadi. Dia pernah jatuh cinta pada Masumi? Saat amnesia dulu, ia… jatuh cinta kepada Masumi? Tapi kenapa? Bagaimana mungkin? Walaupun dari cerita yang ia dapatkan, para pelayan bilang Masumi sepertinya sangat menyayanginya. Dan bukan hanya itu, Maya memang bisa merasakan kehangatan dan perhatian dari Masumi. Tapi…
                Jatuh cinta…? Jantung Maya berdebar-debar.
                Apakah dulu pernah terjadi sesuatu di antara mereka saat ia amnesia? Apakah ia sempat mengutarakan perasaannya? Apakah… ia harus menanyakannya kepada Masumi?
                Namun Masumi sama sekali tidak mengatakan apapun mengenai hal itu. Lagipula…
                Bayangan Shiori segera datang.
                “Dia cantik, sangat baik, lemah lembut dan penuh kasih. Tentu semua orang akan menyukai gadis sepertinya.”
                Maya menelan ludahnya, jantungnya berdebar menyakitkan dan rasa mual itu kembali datang. Aku sebenarnya kenapa? Batin Maya. Ia meraih guling dan memeluknya erat. Perasaannya benar-benar tidak nyaman. Sebenarnya aku kenapa…!? Aku….
                Jantung Maya kembali berdebar cepat saat ingatan lain menerpanya. Mata gadis itu membulat dan jantungnya berdebar semakin cepat lagi.

[Masumi menciumnya.
                Menempelkan bibirnya pada bibir gadis itu. Lekat. Rapat.
                Maya segera kehilangan haluan, Ia hanya bisa berpegangan pada pria itu. Meremas kemejanya, menahan jantungnya agar tidak meledak.Bibir keduanya berpisah kemudian. Terasa cepat namun membekas pekat. Maya menatap Masumi seraya melipat bibirnya.
                Masumi menyentuh wajah gadis itu lembut, dan berkata, “aku belum pernah merasa sebahagia ini,” akunya.]

                “Akh!!!” Maya memegangi kepalanya yang berdenyut sama keras dengan jantungnya. Sekali lagi napasnya hilang, seakan oksigen di sekelilingnya direnggut. “Uuu~ukkkh!!!” Mata gadis itu terpejam rapat. “Pa…. akkkhhh…~”
                Masumi berdiri di ambang pintu, matanya terbeliak. “Mungil!” terburu ia menghampiri gadis itu. “Kau kenapa!? Apa yang sakit!?”
                “A, aaku…. Ughhh..~!!”
                “Aku akan membawamu ke dokter!”
                “Grep!!” Maya memegangi lengan Masumi, lantas menggeleng.
                “Mungil, kau harus ke dokter! Kita harus memeriksakan keadaanmu!” tegas Masumi, wajahnya nampak sangat khawatir. “Kau jangan takut, aku akan menemanimu!” Masumi meyakinkan, memegangi kedua lengan Maya erat-erat. “Kau akan baik-baik saja…”
                Napas Maya sudah lebih tenang sekarang, begitu juga sakit kepala dan mualnya yang mulai menghilang. Namun debaran jantungnya tidak juga berkurang, dan kali ini dikarenakan hal lainnya yang mulai dirasakannya sekarang.
                “Bruk!!” Maya memeluk Masumi erat. “Tidak…” Ia menggeleng. “Aku tidak mau ke dokter! Aku baik-baik saja!”
                “Kau jangan keras kepala!!” seru Masumi.
                “Tidak mau! Paman…!!” Maya memeluk pria itu kuat-kuat.
                “Mungil….” Masumi balas memperketat pelukannya. “Aku mengerti, kau pasti takut, dan bingung… tapi kupastikan semuanya akan baik-baik saja. Kita harus ke dokter agar lebih yakin, bahwa semua yang kau alami itu memang wajar,” Masumi memberi jarak dan menyentuh wajah gadis itu, mengangkatnya. “Percayalah kepadaku. Aku tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi padamu.”
                Maya menatap nanar pria itu. Ia memang sangat baik. Begitu perhatian, begitu hangat. Dan Maya sangat yakin itu bukan kepura-puraan. Jika ia memang bermaksud jahat, ia pasti sudah melakukan sesuatu kepada dirinya yang amnesia. Maya begitu tersentuh, menyadari perasaan yang sempat dirasakannya dulu saat mengalami amnesia, sebenarnya masih tertanam sangat dalam di lubuk hatinya. Debaran jantungnya, aliran darahnya, kehangatan wajahnya, mengkonfirmasi semua itu.
                Ia memang telah jatuh cinta pada pria di hadapannya ini.
                “Bagaimana? Mau pergi ke dokter?” tawar Masumi dengan lembut. “Nanti akan kuturuti keinginanmu. Kau mau apa?” bujuk Masumi, tersenyum menggodanya. “Boneka Teddy Bear? Hello Kitty? Rumah? Mobil?”
                Maya tertegun. “Rumah? Mobil?”
                Senyuman Masumi melebar. “Iya. Kau mau ke rumah sakit sekarang?”
                Maya terkekeh. “Kalau aku mau gedung teater, bagaimana?”
                “Ya. Nanti kubangunkan untukmu...”
                “Paman...” Maya kembali terkekeh.
                “Bagaimana? Mau ke rumah sakit sekarang?” pria itu menyeringai.
                Maya menggeleng. “Aku sudah lebih baik Paman. Sungguh perasaanku sudah baik-baik saja sekarang...” Maya menenangkan. “Tadi aku hanya... hanya...” Maya merasakan wajahnya merona, mengamati Masumi yang masih menatap lekat kepadanya. Ia baru menyadari betapa tampannya pria ini.
                “Kenapa, Mungil?” tanya Masumi lembut.
                “Aku ingat sesuatu…” terang Maya, menatap dengan memelas kepada Masumi. “I, itu… mengenai…” Maya terbata-bata.
                “Apa..?” Masumi mengantisipasi.
                “Me.. mengenai…” Maya mulai gelisah lagi. Ia lalu menggeleng.
                “Mungil?”
                “Tidak, aku tidak apa-apa…” gadis itu terisak. “A, aku…”
                Masumi duduk di samping tempat tidur, mengamati kedua mata gadis itu.
                “Beristirahatlah, jangan dipaksakan, agar kau cepat sembuh—“
                “Paman menciumku…”
                “Deg!” Masumi tersentak. Bibirnya terbuka namun ia tidak sanggup mengatakan apa-apa. “A, a…” tanpa dikomando wajahnya sontak memanas dan memerah.
                “Paman menciumku…! Di sana,” Maya menunjuk lokasinya. “Iya… kan?” wajah Maya juga memanas dan memerah. “A, aku tidak tahu apakah itu benar atau tidak... Paman?” Maya memastikan, menunggu jawaban Masumi dengan berdebar-debar.
                Masumi memalingkan wajahnya tidak sanggup. Perasaannya seketika menjadi kacau dan tidak tentu, Maya ingat... gadis itu ingat kejadiannya.
                “Ju, juga... juga... di tangga apartemenku...” Maya menunduk, berucap pelan. “Paman juga—“
                “Ka, kalau itu aku tidak bermaksud!!” koreksi Masumi cepat, setengah berseru. “Ja, jadi Mungil. Dulu aku pun pernah mengalami amnesia! Lalu, sa, saat itu, aku...”
                “Jadi Paman ingat?” mata gadis itu membulat. “Walaupun Paman amnesia...?“
                “Se, setelahnya aku ingat,” Masumi kembali memalingkan wajahnya. Ia benar-benar gugup dan salah tingkah. Ia tidak pernah segugup ini sebelumnya, seperti bocah yang berhadapan dengan cinta monyetnya.
                “Lalu kalau kejadian di kamar ini?”  gadis itu kembali mendesak. “Paman amnesia juga?”
                Deg... deg... deg... “I, itu...”
                Maya menggenggam lengan Masumi kuat. “Katakan, Paman... apa itu benar-benar terjadi atau tidak...?”
                “Mungil... itu... saat itu...”
                “Paman harus mengatakan yang sesungguhnya, bukankah dokter bilang begitu?”
                Maya... akhirnya Masumi mengangkat wajahnya, menatap Maya. Wajah pria itu nampak merona kemalu-maluan. Ia lalu mengangguk.
                Maya tertegun. “Pa..man?”
                “Itu memang pernah terjadi,” terang Masumi, masih saja sangat gugup, sampai-sampai otak direkturnya berteriak-teriak memprotes kelakuan Masumi yang jatuh cinta seperti anak muda. “Di kamar ini, saat itu... kau sedang amnesia, dan kita...”
                Keduanya berpandangan, sama-sama merona malu, sama-sama salah tingkah.
                Maya menunduk, meremas-remas selimutnya gugup. “Ke, kenapa... Paman melakukannya? Bu, bukankah Paman... su, sudah punya pacar,” sebentar Maya merasa sangat cemburu, menggigit bibirnya gelisah. “Tapi kenapa...” gadis itu tidak sanggup meneruskan kata-katanya.
                Masumi menelan ludahnya, mencuri-curi lirik pada Maya.
                “I, itu karena...”Ia menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Maaf...” desahnya.
                Maya kembali menoleh kepada Masumi. “Ma... af?”
                Masumi tersenyum miris, menatap gadis itu. “Maaf... saat itu, aku sempat terbawa perasaan. Aku sungguh... tidak bermaksud mencuri-curi kesempatan,” terang Masumi.
                Maya menatap bingung pada Masumi. “Terbawa perasaan...?” gadis itu tersenyum sendu. “Begitu...” ia menghela napasnya. “Tapi kenapa bisa sampai... menciumku...” gumamnya lirih.
                “Itu karena aku...” Masumi menelan ludahnya. “Karena... aku...”
                Ahh... sisi pengecutnya itu kembali muncul. Begitu banyak pemikiran dan pertimbangan. Apakah ada gunanya ia mengatakan yang sesungguhnya sekarang? Maya sedang sakit. Apapun yang dikatakannya tidak akan berguna lagi saat Maya bisa mengingat semuanya dengan baik. Masumi menghembuskan napasnya sedikit lelah. Pasrah.
                “Mungil,” ia meraih wajah gadis itu. “Jangan dipaksakan. Nanti, setelah kau sembuh, kau akan tahu semuanya. Semuanya akan jelas bagimu...” ibu jari Masumi membelai lembut pipi gadis itu. “Sekarang beristirahatlah...”
                Mata gadis itu yang sudah tidak sanggup lagi menampung, akhirnya air matanya menetes.
                “Mungil!?” Masumi sangat terkejut. “Kau kenapa...!?”
                “Tidak...” Maya menggeleng. “Tidak apa-apa...” Maya berkata. “Maaf aku sudah bertanya yang aneh-aneh. Padahal Paman menganggapku keponakanmu, dan Paman juga sudah punya kekasih... seharusnya aku tidak perlu bertanya macam-macam...”
                “Mungil...” desah Masumi. Ia lantas memeluk Maya. “Maafkan aku... tapi aku tidak ingin membuatmu bingung. Apapun yang kukatakan sekarang, saat kau sembuh nanti, hanya akan menjadi mimpi. Jadi tunggu saja, tunggulah sampai kau bisa mengingat lagi semuanya,” bisik Masumi sendu. “Aku mengerti saat ini kau sedang bingung. Tapi ingatlah, apapun yang kau pikirkan dan kau rasakan sekarang, semuanya tidak nyata. Karena saat ini, kau sedang tidak menjadi dirimu sendiri...”
                Maya masih saja menangis, lalu mengangguk.
                “Sudah, tidurlah...” bujuk Masumi, melepaskan pelukannya dan menyelimuti Maya. “Sudah tidak ada yang sakit?”
                Maya mengamati wajah pria itu, lantas menggeleng.
                “Selamat malam,” Masumi membelai rambut Maya perlahan, lantas beranjak.
                “Paman!” panggil Maya untuk terakhir kalinya.
                Masumi tertegun, berhenti melangkah.
                “Aku tahu, aku sedang sakit. Mungkin apa yang aku pikirkan dan aku rasakan, memang bukan hal yang sebenarnya. Tapi... Paman... kau kan... tidak sedang sakit...”
                Masumi mengetatkan rahangnya, tersenyum kecut sebelum berbalik menatap Maya dengan sendu.
                “Apa yang kurasakan tidaklah penting, Mungil. Saat kau ingat nanti, kau akan tahu bahwa kau dan aku... kita berdua... tidak akan bisa bersama,” ungkapnya.
                Maya terpaku di tempatnya.
                “Selamat malam, Mungil. Cepatlah sembuh...” ucap Masumi lembut.
                Dan ia berbalik pergi.
                Maya masih bergeming. Mungkinkah pria itu sebenarnya memang mencintainya?
Gadis itu turun dari tempat tidur, membuka pintu kamarnya perlahan. Ia melongokkan kepalanya mengamati lorong dan punggung Masumi yang berjalan menjauh. Maya melipat bibirnya, sudah ingin terisak lagi. Pria itu ternyata memang sangat baik. Dan Maya ternyata memang mencintainya.
=//=
Maya hanya sempat tertidur sebentar, tengah malam ia terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Ia merasa tidak tenang. Ia harus mengetahui perasaan Masumi yang sesungguhnya. Ia ingin bertemu Masumi. Gadis yang selalu mengambil keputusan dengan impulsif itu, lantas kembali keluar kamarnya.
Ia berjalan menuju ruang kerja Masumi. Maya ingat dulu Masumi sering menghabiskan malam di ruang kerjanya tersebut.
Maya membuka pintu tempat kerja Masumi dengan perlahan.
Ternyata benar perkiraannya. Masumi jatuh tertidur di atas meja kerjanya. Maya menyelinap masuk, perlahan-lahan mendekati Masumi yang tertelungkup.
“Eh!?” Mata Maya membulat, mengamati sesuatu dalam genggaman Masumi.
Setangkai Mawar Ungu.
Mawar Ungu...!? Ke, kenapa... ada Mawar Ungu...!?  Gadis itu sedikit gemetar. Ke, kenapa... Mawar Ungu...
Rasa sesaknya kembali muncul, dan sebuah ingatan kembali.
Terima kasih, Hijiri. Ucap Masumi sebelum menutup teleponnya. Maya menghampiri pria itu, menutup matanya. Keduanya lantas bercanda. Saat Maya hendak keluar kamar, ia sempat melihat mawar ungu di sudut ruangan yang tersembunyi.
Maya semakin gemetar, tangannya terkepal erat. Ia segera berbalik dan beranjak dari duang kerja Masumi, pergi menuju kamarnya.
Masumi tersentak dari tidurnya. Ia memicingkan mata lantas membukanya.
“Hm...?” pria itu menegakkan tubuhnya, berbalik dan menatap ke arah pintu ruang kerjanya. Apa tadi ada Maya? Atau hanya perasaannya saja? Mungkin aku mimpi... batin Masumi.
Ia menatap Mawar Ungu dalam genggamannya. Kapan? Kapan waktunya ia bisa menyerahkan mawar ungu ini dengan tangannya sendiri? Kapan ia bisa menyampaikan perasaannya dengan layak kepada gadis mungil yang 11 tahun lebih muda darinya itu?
Tidak akan ada waktu yang tepat. Bahkan saat ini, saat Maya pun merasa hal  yang sama seperti dirinya, namun semuanya bukan hal yang sesungguhnya. Saat ingatan Maya kembali... saat itulah semuanya akan berakhir.
Tidak ada gunanya memaksakan sesuatu yang tidak akan abadi.
Maya... ia menatap semakin sendu mawar ungu di tangannya. Segeralah lepas dan terbang tinggi...
Maya menutup pintu kamarnya, terengah-engah, bersandar di sana. Wajahnya pucat tidak percaya. Kembali teringat Masumi, mawar ungu...
Terima kasih, Hijiri.
Mungkinkah!? Benarkah!? Benarkah pria itu yang selama ini ia tunggu-tunggu untuk datang ke hadapannya? Pria yang begitu banyak membantunya dengan menyembunyikan jati dirinya? Tapi kenapa? Jika memang Masumi orangnya, kenapa ia harus bersembunyi? Kenapa ia tidak berterus terang? Dan jika Masumi orangnya...
Tubuh Maya merosot, ia membenamkan wajahnya dalam-dalam pada tangan yang bertumpu di atas kedua kakinya, dan mulai terisak.
=//=
“Paman!!” seru Maya dengan ceria dari balik pintu kamar Masumi.
“Masuk Mungil!” jawab Masumi dari dalam.
Maya mendorong pintu kamar Masumi, dan tersenyum malu-malu. Wajah Masumi juga merona sejenak teringat pembicaraan mereka semalam, tapi dengan cepat ia bisa mengendalikan perasaannya.
“Sepertinya keadaanmu sudah jauh lebih baik?” diamatinya wajah Maya yang lebih berseri.
Maya mengangguk riang. “Iya. Aku sudah sehat...”
Masumi meraih jas dan mengenakannya. “Ayo, kita sarapan,” ajaknya.
Sepertinya Maya sudah tidak menghiraukan pembicaraan mereka semalam. Sedikit lega Masumi rasakan, namun juga sendu dan kesepian. Ia tertegun, saat Maya menghampiri dan menggandeng tangannya.
“Ayo!” ajak Maya.
Maya... diamatinya gadis yang sangat riang di sampingnya itu. Masumi tersenyum tipis. Mungkin Maya sudah tidak lagi menghiraukan masalah ciuman itu.


“Paman, apa Paman tahu siapa itu Mawar Ungu?” tanya Maya, saat keduanya tengah sarapan.
                Masumi tertegun. Ia menoleh kepada Maya. “Kau ingat Mawar Ungu?”
                Maya mengangguk. “Aku ingat, ia orang yang sangat baik, dan... sering membantuku,” Maya tersentuh, diam sejenak. “Dia sering mengirimiku mawar ungu, dan selalu memberiku mawar saat pementasan. Apa Paman tahu siapa orangnya?”
                Masumi kembali kepada makanannya. “Tidak,” tegasnya. “Setahuku dia penggemarmu sejak awal kau naik pementasan dan kau pun sangat... sangat ingin bertemu dengannya.”
                “Benar!” Maya menatap Masumi lekat. “A, aku sangat ingin bertemu dengannya. Bahkan saat ini, aku sungguh berharap bertemu dengannya. Aku ingat bahwa dia adalah orang yang sangat berjasa bagiku, Paman...!”
                Sejenak Masumi mengetatkan rahangnya, lantas kembali melahap sarapannya.
                “Ya. Kuharap suatu saat kau bisa bertemu dengannya,” Masumi berujar singkat.
                Maya mengamati wajah tenang Masumi. Dingin saja, seperti tidak ada apa-apa. Apakah Maya salah? Masumi memang bukan Mawar Ungu?
                “Paman, menurutmu, kenapa Mawar Ungu tidak mau menunjukkan identitasnya kepadaku?” tanya Maya. “Ia pasti tahu bahwa aku ingin sekali berjumpa dengannya. Ia juga sudah sangat sering menolong dan membantuku. Seingatku, ia juga yang menyekolahkanku ke SMA. Tapi kenapa...” Maya menunduk dalam. “Kenapa ia tidak mau memberikan namanya kepadaku?”
                Keadaan di ruang makan itu senyap beberapa lama.
                “Mungkin...” Masumi memecah keheningan. “Mungkin... ia takut, setelah kau tahu siapa dia, kau tidak akan mau lagi menerima kebaikannya, juga tidak ingin lagi ia hadir dalam hidupmu.”
                “Ti, tidak mungkin!! Aku tidak mungkin begitu! Siapapun orangnya, aku ingin sekali tahu dan bertemu dengannya. Aku... aku...” Maya terisak lagi.
                “Bagaimana kalau... Mawar Ungu itu... sebenarnya...”
                Maya tertegun, mengangkat wajahnya menatap lekat Masumi.
                “Kalau Mawar Ungu yang sebenarnya, adalah seseorang yang sangat kau benci... Mungil...?”
                Deg!
                Mata Maya melebar. Seseorang yang sangat... aku benci. Dipandanginya Masumi dengan gamang.
                “A,.. a...” Maya mencari kata-kata.
                Suara handphone Masumi membuat keduanya terlonjak. Masumi segera meraih ke dalam jasnya. Ia melihat nama di layar, alisnya terangkat sedikit.
                “Aku permisi dulu sebentar, Mungil. Kalau kau mau pergi latihan, kau bisa minta diantar ke Kids Studio,” kata Masumi.
                Maya mengangguk.
                Masumi lantas beranjak keluar ruang makan.
                Maya memperhatikannya, lantas ia turun dari kursi. “A, aku mau ke kamar mandi dulu,” terang Maya kepada Sayoko.
                Ia lantas ikut beranjak keluar ruang makan. Diikutinya Masumi dari belakang. Pamannya itu masuk ke dalam ruang perpustakaan.
                “Ada apa Hijiri?” Masumi menghubungi Hijiri lagi. Pria itu nampak sangat serius. “Apa kau bilang!? Gedung teater untuk Padang Liar yang Terlupakan juga dibatalkan!?” sahut Masumi, geram. “Keterlaluan!! Apa kau tahu dimana mereka akan menempatkan pementasan Padang Liar yang Terlupakan.”
                “Belum tahu Tuan, katanya kemungkinan budget untuk pentas tersebut sangat terbatas, mungkin mereka akan mencari gedung yang paling murah. Ada kabar tersiar, mereka akan menggunakan gedung Ugetsu yang sudah lama tidak terpakai.”
                “Ugetsu!?” seru Masumi. Ia tahu gedung itu, sangat kumuh dan bobrok. Bahkan pentas sekolah saja teaternya lebih bagus. “Kabari aku terus Hijiri, apapun yang terjadi, Padang Liar yang Terlupakan harus bisa dipentaskan! Ini adalah pementasan yang sangat penting untuk Maya. Aku tidak mau tahu bagaimanapun caranya, Maya harus berhasil pentas.”
                “Baik Tuan, akan terus saya selidiki. Bagaimana keadaan Nona Maya sekarang?”
                “Maya... dia... sudah jauh lebih baik. Ia sudah mengingat banyak hal. Bahkan, ia tadi sempat bertanya mengenai Mawar Ungu kepadaku...” Masumi mengepalkan tangannya, getir. “Namun sepertinya, ia hanya salah mengingatku,” ucapnya sendu. “Aku lega, karena ia tidak bersikap memusuhiku lagi, namun hal ini terus membuatku khawatir. Maya, dia tidak pernah salah mengingat orang lain, nama mereka, apa saja yang ia lakukan bersama mereka, apa peranan mereka dalam hidupnya, namun... ia masih saja menganggapku pamannya walaupun ia ingat beberapa kejadian yang kami lalui bersama sebelumnya, namun, ia masih saja mengingatku seperti yang terjadi saat amnesia dahulu. Aku pun, tidak bisa mengaku kepadanya bahwa akulah Mawar Ungu itu. Entah apa yang akan terjadi saat ingatannya mengenai aku—“
                “Bruk!!” Maya menubruk sebuah meja di belakangannya, sangat terkejut dengan ucapan Masumi.
                “Mungil!” Seru Masumi, saat menyadari gadis itu berada di belakangnya.
                “Tuan Masumi!?” Hijiri tertegun.
                “Nanti aku hubungi lagi,” ujar Masumi, menutup telponnya.
                Pria itu menelan ludahnya. Melihat raut Maya yang sangat terkejut, ia yakin gadis itu sudah mendengar perkataannya yang seharusnya tidak ia dengar. Sejak kapan Maya ada di belakangnya!? Apakah gadis itu...!?
                “Pa... Pa...”
                “Mungil... sejak kapan kau ada di situ...?” Masumi bertanya, pucat.
                “Benarkah? Benarkah kau memang Mawar Ungu?”
                “Deg!!” Mata Masumi melebar, tubuhnya membeku kaku di tempatnya. Ia tidak bisa mengatakannya. Jika ia mengaku, maka gadis itu akan tahu semuanya, dan ia tidak akan bisa mendekatinya lagi saat ia ingat nanti.
                “Katakan padaku!” Mata Maya kembali berkaca-kaca. “Apakah benar, bahwa kaulah Mawar Ungu...? Bahwa kaulah yang selama ini... menjadi Mawar Unguku...” ia menangis. “Pak... Masumi...”
                “Hah!?” Masumi terenyak. Apa barusan Maya memanggilnya? “Mu, Mungil... kau...”
                “Pak Masumi, aku...” Maya berusaha menenangkan perasaannya. “Su, sudah ingat semuanya.”
                “Apa kau bilang? Kau sudah ingat semuanya!?” Masumi benar-beanr terkejut. “Sejak kapan!?” sementara gadis itu masih datang menjemputnya ke kamar untuk sarapan tadi pagi.
                “Semalam...” terang Maya. “Semalam aku melihatmu tertidur di sini menggenggam sebatang mawar ungu. A, aku akhirnya ingat, dulu di sinipun aku pernah melhat Mawar Ungu, dan mendengarmu menyebut nama Pak Hijiri.”
                “Mungil...” Masumi berusaha menelan ludahnya yang tercekat. Ia masih tidak sanggup mengaku. “Jadi kau sudah tahu semuanya,” Masumi tersenyum sendu. Ia lantas menghela napasnya. “Jadi kau pun sudah tahu, bahwa aku bukanlah pamanmu kan?”
                “Aku tahu,” Maya berkata, “sejak awal, aku tahu kau bukanlah Pamanku yang sebenarnya, ataupun Paman angkatku.”
                “Mungil...?” desis Masumi, tidak mengerti.
                “A, aku, setelah amnesia dulu, tidak pernah mengalami amnesia lagi...” paparnya.
                “Apa kau bilang!?”
                “Aku bohong... saat di Daito, aku tidak mengalami gangguan dalam ingatanku. A, aku hanya lupa apa yang terjadi selama aku amnesia dulu, di sini... Rei sudah cerita bahwa sekitar satu minggu, aku pernah tinggal di sini dan menganggap Pak Masumi sebagai Pamanku. Aku tidak ingat sama sekali, tapi aku juga tidak bisa berhenti memikirkannya. Di kepalaku sering terngiang-ngiang bahwa aku memanggilmu Paman Masumi, dan terus saja teringat padamu,” terang Maya. “Akhirnya, saat bertemu di Daito, aku putuskan, aku ingin mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi di sini dulu, dan juga bagaimana sesungguhnya dirimu itu. Ternyata...” gadis itu menangis, membekap bibirnya sendiri.
                “Mungil...” desah Masumi, tidak sanggup berkata apa-apa. Jadi selama ini, Maya hanya berpura-pura salah mengenalinya..?
                “Ternyata... dirimu adalah orang yang paling ingin kutemui selama ini... Mawar Unguku...” Maya menatap penuh cinta pada pria di hadapannya.
                “Mungil...”Masumi menghela napasnya. “Apakah tidak apa-apa?” Ia menunduk. “Tidak apa-apakah aku yang sudah menjadi mawar ungumu?” Ia menelan ludahnya pahit. “Aku tahu, akus udah sering menyakitimu dan—“
                “Bruk!!” Masumi tersentak saat Maya tiba-tiba saja menabrak dan memeluknya.
                “Mawar Ungu!!” Serunya.
                Maya....!?
                “Benar Anda orangnya, Pak MasumI!!” Ia memeluknya semakin ketat. “Terima kasih! Terima kasih!! Kau tidak tahu betapa aku sangat berterima kasih kepadamu! Aku sudah lama menanti ingin bertemu denganmu! Ternyata kau... orang yang selama ini ada di dekatku!”
                “Mungil...” Masumi balas memeluknya, lebih erat. “Mungil... kau tidak membenciku?” tanya Masumi, tidak percaya. “Walaupun aku sudah berkali-kali—“
                “Tidak!” Maya menggeleng keras-keras. “Akhirnya aku ingat semua yang pernah terjadi di rumah ini. Dan juga... aku... aku tahu, bahwa sebenarnya Pak Masumi... adalah orang yang sangat baik,” wajah gadis itu merona. “Sangat hangat dan penuh perhatian. Aku... A, aku...” Maya tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Hanya bisa memeluknya lebih erat dan menyurukkan wajahnya lebih dalam. Jangan tinggalkan aku, Pak Masumi... batinnya, saat kemudian ia teringat Shiori, kekasih pria itu.
                “Mungil...” Masumi pun balas memeluknya lebih erat. “Terima kasih. Aku selalu berpikir kau sangat membenciku, dan semua yang telah kulakukan, tidak akan pernah bisa kau maafkan. Sekarang perasaanku sangat lega. Dan aku sungguh...” Ia membelai kepala Maya yang terbenam di dadanya, merengkuhnya lebih banyak lagi dan benar-benar tidak ingin melepaskannya.
                “Pak Masumi...”Maya tersenyum, sangat bahagia. “A, aku selalu berpikir, Andalah yang membenciku. Aku tahu di matamu aku ini tidak lebih dari anak kecil yang kurang ajar—“
                “Benar,” ujar Masumi.
                Maya tertegun, mendongakkan kepalanya. “Apa?” tanyanya, kecewa.
                “Kau memang anak kecil, dan kurang ajar...”
                “Pak! Pak Masumi...!”
                “Tapi aku sama sekali tidak membencimu,” Masumi tersenyum hangat, menyentuh wajah gadis itu. “Sebaliknya, aku sangat kagum kepadamu. Kau begitu bersemangat dan mencintai akting. Pantang menyerah dan bergairah. Aktingmu sangat luar biasa. Aku tidak pernah begitu terpesona melihat akting seseorang, sampai aku melihat aktingmu. Rasanya mataku tidak bisa lepas memandangmu. Aku sangat menyukaimu... saat berada di atas panggung.”
                Maya tertegun. Saat berada di atas panggung... gadis itu mengeratkan rahangnya. Maya bodoh! Gadis bodoh! Tentu saja Pak Masumi hanya memikirkanku sebagai seorang aktris. Karena itu dia menjadi Mawar Unguku. Ia adalah penggemar setia, yang menyukai aktingku... tidak lebih... Maya tidak dapat menahan perasaannya. Ia kembali menangis. Tidak mungkin Pak Masumi berpikiran macam-macam pada aku yang sebelas tahun lebih muda darinya... apa yang kupikirkan? Aku...
                “Mungil!? Kenapa menangis?” Masumi nampak bingung. “Ada apa...?”
                Maya perlahan melepaskan pelukannya, menggeleng perih. “Tidak...” ucapnya serak. “Tidak apa-apa...” ia menengadah. “Terima kasih banyak , Pak Masumi, Mawar Unguku... aku tidak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikanmu. Tapi tunggulah aku. Aku akan menjadi aktris seperti yang Anda inginkan. Aku akan mempersembahkan aktingku yang terbaik untukmu. Selama kau masih mau melihatku...” air mata Maya turun semakin deras, gemetar. “Aku akan terus berakting untukmu...”
                “Mungil...” desah Masumi.
                Maya membungkuk. “Aku akan pulang hari ini. Terima kasih sudah menjagaku selama ini, Pak Masumi,” gadis itu kembali menegakkan badannya, menatap Masumi penuh permohonan, berharap entah bagaimana, Masumi tahu ungkapan isi hatinya yang tak sanggup ia katakan. “Dan kuharap... Pak Masumi juga... bisa.. bisa.. bahagia...” ia semakin gemetaran. “Bersama Nona Shiori,” Maya menggigit bibirnya. “Semoga Anda bahagia!” Maya membungkuk cepat dan berbalik pergi.
                “Tunggu sebentar!” seru Masumi, memaksa langkah kaki gadis itu terhenti dan tetap tinggal di sana. Masumi meraih mawar ungu di sudut ruangan, berjalan menghampiri punggung mungil gadis itu yang gemetar. “Aku masih belum selesai bicara,” katanya.
                Pak Masumi... Maya menunggu, penuh harap.
                “Aku, sangat menyukaimu... yang berada di atas panggung, dan sejak saat itu, aku jadi tidak bisa berhenti memperhatikanmu,” kata Masumi, perlahan-lahan memperpendek jaraknya. “Aku ingin terus melihatmu, ingin bisa berada di sampingmu. Aku bertanya-tanya, apa yang bisa kulakukan agar bisa berguna untukmu. Dan tanpa kusadari, perasaanku suka dan kagumku,” Jantung Masumi mulai berdentam-dentam ke kepalanya. Untuk pertama kalinya dalam seumur hidupnya, ia baru akan melakukannya sekarang. “Berubah menjadi rasa cinta...” nyatanya.
                Maya terenyak. Pak Masumi...!? Dia... Dia...
                Gadis itu memutar badannya, mengangkat wajahnya, menatap Masumi dengan sekuntum Mawar Ungu di tangannya.
                Pria itu lantas berlutut di hadapan Maya, menyodorkan setangkai mawar ungu kepada gadis kecintaannya itu. “Aku mencintaimu, Maya Kitajima,” ucapnya.
                Rasanya tidak lega, malah khawatir hebat. Menunggu reaksi Maya, seperti sebuah keputusan sidang yang akan menentukan hidup dan matinya.
                Maya menahan haru, ia meraih mawar ungu tersebut, dan dengan cepat kembali memeluk pria itu. “Aku juga...” isaknya. “Aku pun sangat mencintaimu... Pak Masumi... Mawar Unguku...” ia memeluknya lebih erat. “Jangan tinggalkan aku. Aku ingin terus bersama Pak Masumi.”
                “Maya...” desahnya. Pria itu bisa merasakan kebahagiaannya yang membuncah. “Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tidak akan sanggup meninggalkanmu,” ungkapnya. “Maya...”
                Mereka melepaskan pelukan mereka, memberi sedikit jarak pada tubuhnya. Maya menatap lekat penuh cinta pria di hadapannya, begitu juga sebaliknya. Masumi membelai kepala gadis itu, berhenti di tengkuknya. Keduanya saling mendekatkan wajah mereka, yang sama-sama memerah saga, sama-sama menghangat dan merona malu-malu bahagia.
                “Nona Shiori bagaimana?” tanya Maya tiba-tiba, saat bibir mereka berjarak dua jari.
                “Aku belum memutuskan apa-apa kepadanya dan keluarga mereka. Aku akan menyampaikan keputusanku mengakhiri hubungan perjodohan ini, karena aku mencintai gadis lain,” terang Masumi.
                Maya kembali memandang penuh cinta dan tersenyum tipis.    
                “Sakurakoji bagaimana?” tanya Masumi, terdengar jelas sangat cemburu.
                “Sakurakoji? Ada apa dengannya?”
                “Dia mencintaimu. Jangan bilang kau tidak menyadarinya.”
                “Dia sudah punya pacar,” terang Maya.
                “Tapi dia mencintaimu.”
                “Aku hanya menganggapnya teman baik,” Maya berujar. “Aku mencintai laki-laki lain.”
                Masumi balas memandang lembut dan tersenyum bahagia.
                Akhirnya bibir gadis dan laki-laki lain itu saling bersentuhan. Hangat, lembut, dan penuh cinta. Menyebarkan rasa bahagia ke setiap sudut sel dalam tubuh keduanya.
                Tidak ada yang tertidur, atau yang amnesia.
                Dan para cheerleaders dalam hati mereka berloncatan dan memekik gembira.



 

<<<Keep Remind Me of You ... END>>>

68 comments:

orchid on 29 June 2012 at 15:34 said...

kyaaaqaa, kukira langsung end, ternyata bersambung, ya ampun, masumi, nasib nasib,

Anonymous said...

Omg
Seperti harapankuh
Maya amnesia └∂ģî
Uhuyyy
Yuk mariii tinggal sm paman masumi lagi

Muree on 29 June 2012 at 15:45 said...

Jiahahaha! jd paman lagi.. ^^ Cheerleader berlompatan? Ahahaha ungkapan yg gak masumi bgt. Update-nya ditunggu segera.

Anonymous said...

Eh..kok ga kluar namanya

-mommia-

Anonymous said...

aishshsh...masumi jadi paman maya laagi????
jadi pingin ketawa dan menangis dech...seneng krn bisa berdekatan dg maya dg akur, sedih abis cuma dianggap paman...

-khalida-

Miarosa on 29 June 2012 at 16:17 said...

poor masumi

vina said...

kyyyyyyaaaaaaa

aseani said...

Jyaaah, bukan one shot ya???
Masumi seneng bennneeerr itu maya tinggal lagi di rumahnya.

Btw, neng ty lg produktif bgt yak bikin ff, cintaaaaa deeeh....

Lanjooot....!!

adirha on 29 June 2012 at 18:16 said...

hohoho...ini die...yg ditunggu2..dateng juga!!!! makacih ya NR~~~ maya amnesia,masumi girang bgt tuh!!
lanjutannya jgn lama2 yaaakkk...

nisa_na on 29 June 2012 at 19:39 said...

love you so much Miss NR! ♥

ferra_fam said...

Haha... aku sukaaa ty ma serial yg ni.. hehe.. paman.. jd inget paman alex.. hehe... apdet asap ya ty..

aan on 29 June 2012 at 21:42 said...

ya eyalah itu jantung kaya cheersleaders,,secara masumi emang udah nahan berapa taon tuh sampe bisa meluk2 maya,,

Anonymous said...

hahaha masumi yang untung kalo gitu

WonderfulDewi on 29 June 2012 at 22:48 said...

siiiiiipppp....suka deh kalo gini. gak apa daah deket sebagai paman n ponakan...tapi kan tetep hati gak bisa dibohongin.....*aku padamuuu* hihihihiihi

Mawar Jingga on 29 June 2012 at 23:49 said...

paman masumi hayami.....hmmmmm lebih suka panggilan akang masumi <3<3<3 hihihihi

Puji Aditya on 30 June 2012 at 09:47 said...

hiyaaa..... bersambung... apdetannya paman masumi di tunggu ya... ^^

komalasari on 30 June 2012 at 12:32 said...

Masumi....seneng tuuuuhhhh....XD

risa on 30 June 2012 at 18:43 said...

Ikut mendaftar jd cheerleader nya masumi...^_^
Ayooo...paman masumi semangattt!! ^^

Anonymous said...

Wah, masih berambung...
Jadi makin penasaran...

Ditunggu ya lanjutannya... :)

Anonymous said...

kalo bisa Maya amnesianya agak lamaan Ty, biar Masumi seneng XD

regina on 30 June 2012 at 23:40 said...

jadi curiga... jangan2 ini "akting" Maya yang lain nih, hihihiihihiii

Anonymous said...

et ce reparti pour passer de bon moment,ne ce pas oncle masumi!!!

xiaolong li on 4 July 2012 at 09:54 said...

kasihan masumi
kok sprti ny perasaan masumi dpermainkn oleh maya deh

betty on 10 July 2012 at 11:03 said...

hwakakakakakak si masumi masih trauma ama strawberry yaks

xiaolong li on 10 July 2012 at 11:18 said...

kya...kok dpotong dsitu
ayo maya, katakan saja pada masumi, klo cinta masumi

lanjut sista

Mawar Jingga on 10 July 2012 at 11:43 said...

strawberry.....hhmmmmmmmm

ayo mayaaaaa katakan "Aku mencintaimu paman Masumi" xixixixixi

Anonymous said...

paman masumihhhhh
aku mencintaimuhhh

-mommia-

Muree on 10 July 2012 at 11:57 said...

Haiah! Bersambung..kirain udah tamat. Ayo lah saling nyatain. Biar tau sama tau dan gak muter2. *tendang nenek jambul.

aydhie on 10 July 2012 at 12:11 said...

pamannnnn, maya nih suka ma om2 ya

Beatrix on 10 July 2012 at 12:18 said...

Masumi I luph u....

komalasari on 10 July 2012 at 12:38 said...

Paman...aku..aku......padamu....#eeaaa

Anonymous said...

Derita Loe Masumi...
dipermainkan ama nasib :(

Anonymous said...

Nambah deh penderitaan masumi :( *rini*

Anonymous said...

Bagusssssakin membuat penasarannnnn

Anonymous said...

ckckck bener2 salut ama pertahanan diri masumi

Anonymous said...

Ayooo..buru apdte lagih.
Sungguh matee aku jd penasaran~~

_aan_

nisa_na on 10 July 2012 at 20:08 said...

aaaaahhhh l'amor....

miss NR, kau sdh bikin aku mellow stgh mati :) ♥

Mia said...

nanggung nih,moga2 maya cepet ingat

dewi said...

woooooshaaaaahh....aku mencintaimu paman Masumi.....oooowww so soon to realize your felling maya....tapi gak apa daah, biar cepetan pada nyadar n ngaku tuh bedua. jasi shiori cepetan OUT dari dunia MM hihihihihihi *kejamnya dirikuh huo huooo*

regina on 11 July 2012 at 00:30 said...

ada apa hayoooo XD

Anonymous said...

akhirnya maya menyadari perasaanya sama masumi...tapi sayang lagi amnesia...
moga2 aja setelah maya sembuh, masumi dan maya mengakui perasaan cintanya...
shiori mah kalaut aja....

-khalida-

anita f4evermania on 12 July 2012 at 09:30 said...

Haduh akirnyaaaa g bs jg menikmati kisah mm lagiii disini abisnya g gkbs buka LJ hiksss T___T jadi gkbs baca ayemyors dah
Tyy lanjutkaaannn heheheh

lucie70 on 13 July 2012 at 23:44 said...

un petit effort maya souvient toiiiiiii.

Anonymous said...

ya ampuuunn tyyyy....nanggung amaaattt ... hehehehee...mana neeyyy kissunya...masa warning doang huiiiksssssss T_______T

#wakakaakkaka

-reita

Pastel Mood on 18 July 2012 at 10:23 said...

aaaaaakkkkk! *lanjoooot Tyyy...

Anonymous said...

aku mencintai paman Masumi... Aaaarrghh gaaak kuat... langsung pingsan pasti paman masuminya...
Lanjut cepet....
-Vanda-

Anonymous said...

Aku cinta padamu Paman Masumi... Paman Masuminya langsung pingsan gak kuat...

Anonymous said...

kayaknya kemarin udah kirim koment 2 kali kenpa ndak masuk trus ya...? iyaa Paman Masumi aku cinta padamu... pingsan deh Masumi ndak kuat dengernya....
-vanda-

Pastel Mood on 19 July 2012 at 19:26 said...

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...senangnyaaa.... #bacaulang

Beatrix on 19 July 2012 at 19:58 said...

Kyaaaa!!!!!!!!Berteriak histerisss...andai..ai...ai...ai...aidi komiknya jg begitu.....tq Ty..........

komalasari on 19 July 2012 at 20:14 said...

Terima kasih Ty....
Senangnya....^^

Anonymous said...

Asyikkkk dah tamatttt....lgs meluncurrrr .....
Makasih yahhhh :D

( Cantik Comique )

betty on 19 July 2012 at 21:24 said...

akhirnya yaaaa
wakakakakak gw udh curiga juga sih
kyknya si maya pura2 deh
biar tau yg benernya gimana
ternyata beneran
wekekekekekek

thx ya neng ty ...lagi2 oase ditengah gersangnya gurun fftk...hahahaha

Unknown on 19 July 2012 at 23:14 said...

Aku jadi salah satu cheerleadernya deh.. horrayyy.!!!.. coba komiknya ky gini.. he..he..

Happy

nisa_na on 19 July 2012 at 23:16 said...

tumben maya pinter XD

makasih Miss NR!
Gokurosamadeshita..

nisa_na on 19 July 2012 at 23:18 said...

tumben Maya pinter XD

makasih Miss NR

Anonymous said...

suka dech mereka jadian disini...jd ga ada pertunangan masumi-shiori, ga ada koji yg ngasih kalung lumba2...akhirna shiori kalaut juga...

wkwkwk..maya jg dapat lompatan cheerleader...

nuhun neng ty...ditunggu cerita yg lainnya ya...

-khalida-

ephie lazuardy on 20 July 2012 at 00:01 said...

paman masumiiiiii aku padamu dech pokoknya....

lucie70 on 20 July 2012 at 00:30 said...

merçi beaucoup,c'est vraiment une superbe fin.

lucie70 on 20 July 2012 at 00:45 said...

merçi pour cette superbe fin.

SheevaSiwonestELF on 20 July 2012 at 09:58 said...

XD unyu banget ih, ya mbok kenyataannya gini, Maya yg pinter gitu #Plaakk

Unni kalo bisa lagunya diganti miliknya Westlife dong :O, hehe

SheevaSiwonestELF on 20 July 2012 at 10:01 said...
This comment has been removed by the author.
lyohana on 20 July 2012 at 11:09 said...

Horeee Happy Ending ty
ngmg masumini kemana kok ganti nya cheerleader hihihihii

Anonymous said...

hiks, hiks, akhirnya happy juga, disini nasibmu bagus nak masumi, xixixixi

ri2

Puji Aditya on 20 July 2012 at 16:24 said...

yyyeeeeeeeeeeeyyyyyyyyy....... hoooorrrrrreeeeeyyyyyyyyy......... ^^

Anonymous said...

seneng juga akhirnya happy ending.. makasih ya Ty... kisah yang romantis
-Vanda-

Anonymous said...

yaaaaayyyyy...!!
nuhunnn miss
tararengkyu so much darlink cinta
baik hati dirimu bkin innih oneshoot jd hepi ending
shiori ke laut ajjeh *tendang*

ahhh maya pinterrr
masumi sekali lagi terpesona dengan akting maya wekekekee...
gud job ^^

-mommia-

ive purwanto on 17 August 2012 at 09:11 said...

makasih ty.... hadiah lebarannya yang satu ini, sukaaaaa....

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting