Kuronuma
menatap jam tangannya. Pukul 18.30. Sudah waktunya pentas dimulai. Apa boleh
buat…
“Saudara-saudara, karena hingga saat ini tidak ada
seorang pun yang datang, maka dengan terpaksa, pentas ini—“
“Krriiieeett…” suara pintu teater terbuka.
Semua perhatian sontak teralihkan ke sana.
Apakah pintu itu terbuka karena angin? Ataukah…
Semua orang terhenyak bersamaan, saat sosok di balik
terbukanya pintu terungkap. Masumi Hayami, dalam keadaan basah kuyup, muncul di
hadapan mereka.
“Pak Masumi Hayami!!” seru mereka.
Kompak sekali.
Masumi bergerak masuk, menuruni bangku penonton.
“Kenapa saudara-saudara? Seharusnya kan sudah mulai. Apa aku salah membaca
waktu dimulainya pentas ini?” tanya Masumi dengan gaya superiornya yang sangat
khas.
“lihat… dia basah kuyup…” desah seorang kru tak
percaya.
Pak
Masumi… Maya tercengang mengamati pria itu.
Dengan tenang Masumi membuka mantelnya dan duduk di
kursinya. “Silakan dimulai, saudara-saudara.”
Kuronuma langsung bersemangat. “Baiklah!! Ayo
semuanya naik ke panggung! Kita mulai pentasnya!!”
“HOREEE!!!” sambut yang lainnya, tak lagi
menghiraukan badai yang semakin mengamuk di luar.
Maya melangkah mendekati Masumi dengan penuh tanya. Tak
percaya, takjub, terharu, gembira… berbagai perasaan berkecamuk di hatinya.
Tapi yang pasti, rasanya seperti mimpi melihat
Masumi di sini. Dan, pria itu memang di sini!
Masumi menoleh kepada gadis yang dirinduinya itu.
“Pak… Masumi… kenapa kau datang… di hari seperti
ini…?”
“Kau sudah mengundangku kan? Tentu saja aku akan
datang.”
“Ha-hanya karena aku mengundangmu?” Maya tercengang.
“Wa-walaupun di hari seperti ini, kau tetap datang… demi pentas… ini?”
“Ya. Aku memang sangat menantikan pentas ini. Tapi
yang paling aku nantikan adalah melihat aktingmu.”
Maya melongo. Perlahan ia menggigit bibirnya.
Benarkah apa yang didengarnya?
“Bagaimana? Kau terkesan kan kepadaku?” Masumi
mengangkat dagunya.
Maya mengerucutkan bibirnya pura-pura merajuk tanpa
suara. Tetapi sebenarnya, Maya ingin sekali memeluk Masumi. Ia tak menyadari
rasa rindunya hingga dia melihat Masumi di sini, tak menyadari bahwa dirinya
menantikan kehadiran pria itu di hadapannya hingga sosoknya benar-benar berada
di hdapannya sekarang.
“Pak… Pak Masumi…” Maya menatap pria itu nanar.
“Kau… sudah datang di tengah badai seperti ini, tentu saja… a-aku… terkesan…”
Mata Maya berkaca-kaca.
“Tapi aku tidak datang semata-mata untuk menemuimu,”
tegas Masumi. “Melainkan untuk melihat aktingmu. Kalau aktingmu buruk, aku akan
langsung berdiri dan pergi tanpa basa-basi.”
“Di luar kan masih badai!” tukas Maya.
“Ah, aku sudah akrab dengan badai,” lagaknya.
Maya mengetatkan rahangnya. “Aku tidak akan
mengecewakanmu! Aku akan berakting sebaik-baiknya dan kau tidak akan beranjak
sampai pentasnya selesai!” janji Maya.
“Kalau begitu, aku tunggu kau membuktikannya.”
“Maya!” panggil Sakurakoji. “ayo cepat, semuanya
sudah siap…”
Maya menoleh kepada Sakurakoji, lalu kembali menatap
Masumi. “Akan kupastikan kau tidak akan beranjak ke mana-mana!” tegas Maya.
Masumi tersenyum mendengar tantangan Maya.
=//=
Maya mengoleskan semir ke tubuh dan wajahnya, sambil
mengingat Masumi. Airmata itu menggenang lagi, hendak menangis. Ia sangat
bahagia dan terharu melihat Masumi muncul. Seorang diri.
Entah apa yang ada di pikiran pria itu datang ke
pentasnya di tengah badai seperti ini. Tetapi, dia ada di sini sekarang, dan
Maya akan melakukan yang terbaik untuknya.
Pak Masumi, aku akan menjadi Jean… hanya untukmu.
Lihatlah aktingku dan tetaplah di kursimu, jangan beranjak sampai selesai.
Pentas dimulai. Masumi merasakan jantungnya
berdebar, keras. Itulah yang selalu dirasakannya saat hendak menyaksikan drama
Maya. berbeda dari sandiwara lainnya, sandiwara mana pun, ia begitu penuh
antisipasi dan tak sabar jika sandiwara yang hendak dipentaskan dimainkan oleh
Maya.
Sebuah lengkingan tinggi yang mendebarkan jiwa
membuka pentas itu. Masumi bisa merasakan tengkuknya merinding. Maya… apakah itu kau? Itu suaramu?
Mata pria itu melebar, lantas merona, saat melihat
Maya dan kostum berwarna kulitnya yang sempat tertangkap mata. Ia sempat
mengira gadis itu tak berbusana. Ah, dasar saja, otaknya sudah menafsirkannya
berlebihan, Masumi melirik ke sana sini sedikit malu.
Walaupun di luar badai semakin keras menghantam,
bahkan suaranya terdengar begitu jelas, namun dengan tenang para pemain
sandiwara Padang Liar yang Terlupakan tetap konsisten berakting. Mereka seperti
hidup di dunia mereka sendiri.
Maya… Masumi terkadang iri bagaimana gadis itu bisa
menjalani berbagai macam kehidupan yang menyenangkan, bisa menjadi siapa saja…
Tak harus terjebak dalam dunia monokrom sepertinya. Dunia Maya begitu penuh
warna.
“PRAAANG!!!” Sebuah suara yang memekakkan terdengar,
saat badai berhasil memecahkan kaca jendela gedung Ugetsu. Pasti, di belakang
panggung para staf sedang kocar-kacir. Tetapi para pemain tetap dengan peranan
mereka, tetap sibuk di dunia mereka sendiri.
Bahkan para pemain awam sama sekali tidak terlihat
gugup atau bingung.
Hebat, mereka hebat.
Terutama si Mungil yang sangat digemarinya. Begitu
bersemangat, bergairah. Masumi hampir tak mengenalinya.
Maya… Kau
benar-benar luar biasa.
Tiba-tiba kejutan lain datang.
Lampu padam! Semua gelap gulita.
Masumi mendengar suara riuh dari arah panggung.
“Senter! Ambilkan senter!” seru mereka.
Masumi menelan ludahnya, dan menghela napasnya
getir. Jadi… pada akhirnya pentas ini akan berhenti?
Nyatanya, tidak.
Saat lampu senter diarahkan ke panggung.
Dia, gadis itu, gadis kecintaannya, tetap berdiri di
tengah panggung dengan perannya sebagai Jean!
Masumi terperangah tak percaya. Maya… Kau… Kau… tetap di sana sebagai Jean? Masumi menggelengkan
kepalanya. Apakah ada yang bisa memadamkan semangatnya? Menghentikan
perjuangannya? Tidak.
Itulah yang istimewa dari seorang Maya Kitajima,
yang merasuk ke dalam jiwanya, yang membuat Masumi tak bisa berhenti
mengaguminya, mencintainya.
Yang membuatnya terus melangkah melawan badai hingga
sampai di tempatnya sekarang, Maya…
Kekasihku…
Sakurakoji terpaku menatap Maya, yang masih berdiri
sebagai Jean, di tengah gulita seperti ini.
Padahal, hanya ada seorang penonton dan lampu dalam
keadaan padam. Tetapi, Maya tak melepaskan topengnya.
Sejenak, Sakurakoji merasa malu. Dia, yang
bersekolah di sekolah akting ternama, bisa kalah oleh Maya yang teaternya saja
tak jelas berada di mana.
“Plok!!” Sakurkoji menepuktangannya, sekaligus
memberikan kepada pemain lain bahwa sandiwara akan tetap berjalan. “Bagus
Jean!! Bagus!! Ayo Jean… jalan ke sini… gunakan kedua kakimu Jean!!” Sakurakoji
sudah kembali menjadi Stewart.
Para kru sibuk memasang senter di sekeliling
panggung.
Dan, sandiwara itu kembali berjalan.
Masumi menghela napas lega, kembali menyaksikan
sandiwara dalam kegelapan.
Maya… kau selalu saja mengejutkanku. Dari manakah
semangatmu yang tak pernah padam itu… Masumi menatap Maya penuh kekaguman.
Benar, buatlah aku terpesona hingga akhir, seperti yang selalu kau lakukan.
“Plok!! Plok!! Plok!! Plok!!” Masumi berdiri dan
bertepuk tangan keras saat sandiwara itu telah selesai. Para pemain hanya
bengong melihatnya.
“Loh, kenapa? Aku kan sedang bertepuk tangan.”
“Ah, eh… te-terima kasih…” Maya membungkuk dan juga
para peserta lainnya.
“Sandiwara yang sangat bagus! Kudoakan semoga sukses
hingga hari terakhir pementasan.”
Tepat pada saat itu, lampu menyala kembali.
“Waahh lampunya menyala!!” semua bersorak.
“Hei, Direktur Masumi!! Kami akan mengadakan
syukuran nanti, bergabunglah dengan kami!!’ undang Pak Kuronuma. “Berkat kau,
sandiwara ini bisa dipentaskan!!” Dengan riang sutradara itu menggiring
punggung Masumi bersamanya.
Masumi hanya tertawa menanggapinya.
Maya mengamati pria itu, jantungnya berdebar keras.
Pak Masumi… berkat dia… Berkat dia… sandiwara ini berhasil dipentaskan, walau
di tengah badai seperti ini.
Para kru dan pemain drama Padang Liar yang
Terlupakan tampak riang merayakan suksesnya sandiwara mereka, terlepas bahwa
masih ada badai di luar sana, ataupun bagaimana susah payahnya mereka tadi
berusaha menyelesaikan pementasan.
“Semoga saja, besok sudah bisa memperbaiki jendela
yang tadi pecah,” ujar seorang kru.
Masumi sendiri asyik menyesap rokoknya, untuk
mengurangi sedikit rasa dingin yang sebenarnya masih menggerogoti tubuh
gagahnya sedari tadi.
Maya mengamati pria itu, menggigiti bibirnya salah
tingkah. Ia tak tahu harus bagaimana. Ia ingin menyapa pria itu, tapi tidak
tahu bagaimana cara terbaik melakukannya. Hatinya masih penuh haru melihat pria
itu di sini, demi dramanya. Demi dirinya…?
Maya segera menyingkirkan rasa marah dan sakit
hatinya atas semua yang pernah Masumi lakukan kepadanya. Sekarang, hanya ada begitu
banyak ucapan terima kasih yang rasanya tidak akan pernah cukup dia ucapkan
kepada pria itu.
Sesekali kilat masih tampak dari jendela. Badai
masih berlangsung. Maya mengamati langit gelap di luar sana. Langit yang tadi
menaungi mantan tunangannya hingga ke sini, yang mengiringi langkahnya dengan
tetesan hujan deras.
Tetesan hujan yang masih membekas di rambut pria
itu, dan sebagian besar bajunya.
Maya tak menyadari, perhatiannya terhadap keadaan
Masumi sudah membawa langkahnya mendekat ke arah pria itu.
Pak Masumi… rambutnya basah… pikirnya, sambil
membuka scraft yang melingkar di lehernya. Maya mendekat, berjinjit untuk melap
rambut Masumi yang basah.
Masumi terperanjat, tak menyadari kedatangan Maya
yang mendekat tanpa suara—atau suaranya teralihkan suasana riuh rendah anggota
teater lain yang tengah berpesta.
“Ma-Maya….” Masumi berdesis, terkejut gadis itu
menyentuh rambutnya.
“A-ah, i-itu… rambut… rambutmu basah… nanti… sakit…”
terang Maya, gelagapan.
Masumi mengamati gadis itu lekat. Rindu sekali
dirinya kepada Maya. Masumi menangkap tangan Maya dan menurunkannya. Pria itu
tersenyum, senang mendapat perhatian Maya. Mungkin hanya kebaikan hatinya. Dia
tahu Maya gadis yang baik hati.
“Terima kasih, tapi aku tidak apa-apa,” ujarnya,
tanpa melepaskan genggaman tangannya di tangan Maya. Ia malah menggenggamnya
semakin erat, lantas perlahan melepaskannya, meraih scraft Maya.
“Scraft biru Stewart, adegan saat Jean menyadari
bahwa dia manusia, benar-benar adegan yang menyentuh,” Masumi tersenyum tipis,
menatap Maya. “Kau memerankannya dengan sangat baik… Sakurakoji juga.”
Dia teringat bahwa dia sekali lagi sempat merasakan
cemburu buta kepada keduanya tadi saat dengan begitu meyakinkan memainkan
peranan mereka sebagai Jean dan Stewart, bagaimana Jean dengan polos mencintai
Stewart, dan bagaimana Stewart sempat memeluk Jean begitu erat.
“Kau memujiku dengan tulus kan?” Maya menyipitkan
matanya.
“Tentu saja,” jawab Masumi, tersenyum.
Maya tertegun. Aduh… kenapa Masumi tersenyum? Dia
jadi salah tingkah.
“Maya,” tegur Sakurakoji. “Jangan mengganggu Pak
Masumi, dia pasti masih lelah. Cepatlah berganti baju,” saran Sakurakoji.
“Aku tidak lelah,” timpal Masumi, menunjukkan rasa
senang hatinya ditemani oleh Maya.
“Baiklah, aku ganti pakaian dulu ya,” pamit Maya. Dia
melangkah, sempat berbalik, menatap Masumi yang tengah menatapnya, lalu kembali
melanjutkan langkahnya.
Maya cepat-cepat mengganti pakaiannya.
Pakaian
Pak Masumi basah… batin Maya. Apa aku bisa meminjam baju seseorang agar Pak Masumi bisa berganti
pakaian? Aku khawatir dia sakit. Maya tiba-tiba malu sendiri, memikirkan
Masumi sudah seperti istrinya saja.
PaK
Masumi… Maya mengepalkan kedua tangannya di dada, dan Maya
tersenyum. Dia masih sangat bahagia Masumi datang di hari ini.
Kilat tiba-tiba menyambar dan petir tersengar.
“Kya!!” Maya berjongkok dan menundukkan kepalanya
karena kaget.
Maya mengintip dari tirai jendela. Badainya masih besar… Sekali lagi kilat
terlihat dan Maya buru-buru keluar kamar gantinya dengan ketakutan.
Saat Maya kembali ke ruang pesta, dia tidak melihat
sosok Masumi.
“Pak Masumi ke mana?” tanyanya kepada salah satu
staf. Dia berkeliling bertanya Masumi di mana, tapi tidak ada yang tahu.
Pak
Masumi ke mana? Maya mulai panik.
Maya keluar dari aula, menyusuri lorong ke pintu
depan.
Jangan
bilang, dia akan…
“Pak MASUMI!!!” seru Maya, saat pria itu hendak membuka
pintu keluar gedung.
Masumi tertegun. Genggaman tangannya terhenti, dia
berbalik. “Maya…” matanya membulat, gadis itu menghembur ke arahnya, memeluknya
kuat. “Ma… ya…” Napas Masumi tertahan, merasakan pelukan gadis itu.
Alis Maya berkedut, “Pak Masumi mau ke mana!!?”
tanya Maya cemas. “Di luar badai masih sangat kuat,” pelukannya semakin ketat. “Jangan
pergi…” pintanya.
Maya… memintanya jangan pergi? Memeluknya begini
kuat… dan memintanya jangan pergi? Gadis ini pasti tidak tahu perasaan bahagia
tak terkira yang mengisi hati pria itu saat ini.
“Kenapa… aku tidak boleh pergi?”
“Ka-karena… karena…” Maya menelan ludahnya, baru
menyadari dia sudah memeluk Masumi sangat erat. Dia mengkhawatirkannya. Takut
terjadi sesuatu kepada pria itu.
“Karena apa?”
Maya mendongak. “Kau bodoh ya!!!? Di luar kan badai
sedang besar! Masa kau mau pergi dalam keadaan seperti itu!?” sentak Maya,
dengan suara gemetar.
Masumi mengamati Maya, lantas menjauhkan gadis itu,
melepaskan pelukannya.
“Tadi saat aku ke sini, keadaannya tidak jauh
berbeda.”
“Memangnya Pak Masumi mau ke mana? Sampai harus buru-buru
pergi!?”
“Memangnya kenapa kau ingin aku tetap tinggal? Kalau
pun aku kenapa-kenapa—“
“Jangan!!” sanggah Maya.
“Kenapa jangan?”
“Ka-karena… karena aku tidak mau… kalau Pak Masumi
sampai…” Maya menggigit bibirnya.
“Kau mencemaskanku?”
“Ti…ti….” Maya menelan ludahnya. “Iya…” ucap Maya
perlahan. “Kau sudah datang ke pentas kami di hari seperti ini… Aku tidak mau
sampai terjadi apa-apa kepadamu.”
“Oh, begitu saja,” Masumi berbalik dan kembali
meraih kenop pintunya.
“eh, Pak Masumi!!!” Maya jas Masumi.
Masumi berbalik. “Apa lagi? Hanya itu saja yang mau
kau katakan?”
“Bukan hanya itu!” Mata Maya berkaca-kaca. “Aku
tidak mau… tidak mau terjadi apa-apa kepadamu… karena.. karena itu juga… akan
menyakitiku.”
Masumi berbalik, menatap Maya lekat. Gadis itu
menangis.
“Kalau Pak Masumi keluar, aku akan ikut!!” tegasnya.
“Aku tak sanggup membayangkan Pak Masumi sendirian, di tengah badai seperti
itu! Ka-kalau aku… kalau aku pasti takut! Tapi… kalau Pak Masumi keluar, aku
akan ikut!!!” Maya mengeratkan rahangnya dan menatap Masumi tegas.
Masumi melepaskan genggamannya dari kenop pintu, dan
berbalik, menarik tangan Maya di jasnya, membuat tubuh gadis itu tertumbuk
kepadanya dan memeluknya.
“Pak Masumi…” Maya balas memeluknya, erat. “Jangan
pergi…” isaknya.
“Aku tidak akan pergi, kalau kau katakan bahwa kau
mencintaiku.”
Napas Maya tertahan sejenak dengan tuntutan Masumi.
Tetapi, Masumi hanya meminta kejujuran Maya, sementara pria itu sudah menunjukan
perjuangan yang besar bagi sesuatu yang sangat penting untuk Maya.
“Aku… Mencintaimu…” ucap Maya, “Aku… sangat
mencintaimu, Pak Masumi!” Maya menyurukkan wajahnya lebih dalam. “Jangan pergi…”
Walaupun Masumi yang memintanya, mendengar Maya
mengucapkannya seperti sebuah mimpi yang jadi nyata. Mengejutkan, menakjubkan!!
Masumi memeluk Maya semakin erat.
“Aku mencintaimu melebihi apa pun,” Masumi berkata. “Sampai
kapan pun. Hanya mencintaimu…”
“Pak Masumi… kau… sungguh-sungguh…. Mencintaiku?”
Masumi menjaraki tubuh mereka mengangkat dagu Maya
hingga gadis itu menatapnya. Masumi tersenyum. “Aku tak pernah seserius ini
seumur hidupku,” ucapnya. “Kau boleh meminta apa saja, menyuruhku melakukan apa
saja, akan kupenuhi, agar kau percaya bahwa aku mencintaimu.”
“Aku percaya!” tukas Maya penuh haru. “Kau, berada
di hadapanku, sekarang. Aku tidak akan pernah meragukanmu lagi, Pak Masumi… Kau…
tidak tahu, betapa berartinya kehadiranmu saat ini untukku.”
“Ya, bagaimana lagi… Aku sudah berjanji kepadamu.
Kau mengundangku hari ini, dan… Hijiri sudah mengatakan aku akan datang pada
pementasan perdanamu, bukan?”
Dahi Maya berkerut. Hijiri? Bagaimana bisa Pak Masumi mengetahui tentang Pak Hijiri??
“A-apa?” Maya mengedipkan matanya berkali-kali. “Kau
bilang… a-pa?”
Masumi lantas merogoh ke dalam jasnya. Ia
mengeluarkan sekuntum mawar ungu dari baliknya. “Hanya ini… yang tersisa.”
Maya menangkupkan kedua tangannya menutupi bibir,
matanya terbelalak tak percaya.
Sekuntum mawar ungu.
Mawar Ungu?? Masumi?? Benarkah?
Tetapi, Masumi tahu mengenai Hijiri, tidak mungkin
pria itu berbohong kan?
“Pak Masumi…. Kau… kau…”
“Kau kecewa?” tanya Masumi, sendu. “Apa kau kecewa,
bahwa akulah penggemarmu selama ini?”
Air mata Maya yang belum benar-benar berhenti, kini
menderas. Dia meraih bunga itu dan menggeleng.
“Ti-tidak…” lirih Maya. “Aku… aku… bahagia,” akunya.
“Akhirnya, hari ini tiba. Kau… datang, memberikan mawar ungu dengan tanganmu…
Oh, Pak Masumi… kau… ternyata kaulah orang yang kunanti-nantikan selama ini,”
haru Maya. “Terima kasih… terima kasih banyak untuk semua hal yang telah kau
lakukan untukku. Aku… aku tidak mungkin bisa membalasnya dengan apa pun…”
“Kau bisa membalas dengan cintamu, hanya itu yang
kuinginkan, Maya.” Masumi membelai pipi Maya dengan telunjuknya. “Dicintai
olehmu.”
Sekarang semuanya masuk akal, kenapa Masumi berada
di sini sekarang, kenapa Mawar Ungu selalu tahu mengenai dirinya dan
membantunya.
Maya tersenyum lebar. “Aku mencintaimu!” tandasnya.
Masumi mendekatkan wajahnya kepada Maya, membuat
hidung mereka hampir bertemu. “Aku mencintaimu,” balas Masumi.
Maya tersenyum bahagia. “Kau berutang banyak
penjelasan kepadaku!” tuntutnya. “Kenapa suka berbuat menyebalkan kalau kau…
adalah Mawar Ungu.
Masumi tersenyum, lega, bahagia. Digenggamnya tangan
Maya. “Akan kuceritakan, saat waktunya tepat, jika kita berdua saja,” bisiknya
di bibir Maya.
“Pak Masumi, tanganmu dingin sekali. Tubuhmu juga.
Ayo… ganti baju dulu, kita pinjam baju Pak Kuronuma. Tadi siang aku lihat ada
laundry yang mengantarkan baju Pak Kuronuma. Kurasa pakaiannya paling besar di
antara yang lain,” ajak Maya.
“Tapi saat ini, ada yang lainnya yang terasa lebih
dingin.”Masumi mendekatkan wajahnya kepada Maya, gadis itu mengangkat alisnya,
terkejut. “Bibirku,” bisiknya.
Ia lantas mencium Maya, mendengar gadis itu terenyak
dan menahan napasnya, bergumam pelan, tetapi tak melepaskan ciumannya. Masumi
kembali merapatkan tubuh Maya kepadanya, menciumi bibir gadis itu beberapa
kali. Maya membalasnya, Masumi mencium Maya lebih dalam, semakin dalam. Ia baru
menyadari betapa besar kerinduannya kepada gadis itu, dan demikian juga
sebaliknya. Maya agak kewalahan karena Masumi menciuminya seakan-akan itu akan
menjadi ciuman terakhir mereka. Masumi berkali-kali melumat bibirnya, Maya
terengah-engah, tak pernah menyadari Masumi ternyata begitu memendam rasa
teramat dalam hingga saat ini. Dia berusaha mengimbanginya, tetapi percuma.
Masumi menguasainya, menciuminya hingga hampir gila, hingga Maya kehilangan
tenaga dan akal sehatnya. Namun satu hal yang terasa begitu nyata.
Maya bahagia. Dia benar-benar sangat bahagia.
=//=
“Pak Masumi, sudah?” Maya mengetuk pintu ruang ganti
sebelum memasukinya. Masumi tampak sudah memakai baju Kuronuma yang
dipinjamkannya. “Anda mungkin terpaksa menginap di sini, di TV, katanya
badainya masih cukup lama…” terang Maya.
“Ya, tidak apa-apa,” sahut Masumi. “Bagaimana
menurutmu?” Masumi meminta Maya menilai baju yang dikenakannya.
“Anda terlihat seperti raksasa,” Maya terkikik geli.
Memang benar. Pakaian Kuronuma agak menggantung
dipakai Masumi yang lebih tinggi dari sutradara itu.
“Ya, sudahlah, asal kau masih tetap menyukaiku,
tidak masalah.”
Maya tergelak, ia mengaitkan lengannya ke lengan
Masumi. “Suka!”
“Sepertinya, hari ini aku sudah berhasil membuatmu
semakin menyukaiku ya?” Masumi mengangkat sebelah alisnya.
Maya mengangguk-angguk.
“Berapa level?” Masumi mencondongkan dirinya kepada
Maya.
“Uhmm….” Maya berpikir, lantas tersenyum lebar. “Tidak
terhingga!”
“Benar…?”
Wajah Maya merona. “Benaaarr….!”
Masumi memeluk Maya. “Jadi… kalau aku mengajakmu
menikah lagi, kau tidak akan menolak kan?”
Maya menggeleng.
“Benar?”
“Benar…” Maya menyeringai bahagia. “Memangnya… Pak
Masumi, kau benar-benar mau menikah denganku? Aku? Aku kan… tidak punya
apa-apa. Dan juga… Ada… Nona Shiori…”
“Jadi, kau lebih senang aku memilih Shiori?”
“Jangan!!” sanggah Maya, lantas mengerucutkan
bibirnya manja. “Tidak boleh…”
Masumi tertawa senang. “Aku tidak pernah ingin
bersama dengan siapa pun kecuali denganmu,” akunya.
Maya merasa sangat bahagia, matanya jadi
berkaca-kaca lagi. Dia membenamkan wajahnya di dada Masumi.
“Aku tidak percaya… Pak Masumi benar-benar
mencintaiku. Dan kau… Mawar Unguku. Hari ini, aku sungguh bahagia… Mendapatkan
dua orang yang paling berarti dalam hidupku, berada di sisiku. Kau, dan Mawar
Ungu.”
Masumi membelai rambut Maya.
“Sekarang kau tahu, kenapa Mawar Ungu memintamu
menerima perjodohan kita.’
Maya tertegun, ia lantas mendongak, menyadari
sesuatu.
Ya, benar!! Saat Maya menyuratinya mengenai
kegalauan hatinya masalah perjodohan itu, Mawar Ungu begitu menyemangatinya.
Sekarang, semakin jelas alasannya.
“Dasar kau itu!” Maya memukul lengan Masumi manja.
Tetapi, sekarang dia benar-benar yakin bahwa Masumi,
mawar ungunya, memang mencintainya.
Maya kembali membenamkan wajahnya di dada Masumi. “Terima
kasih, sudah hadir dalam hidupku…”
Masumi mengeratkan rahangnya. Perasaan membuncah
mengisi hatinya, mendengar Maya mengatakan bahwa gadis itu mencintainya, bahkan
berterima kasih untuk keberadaannya. Rasanya, semua luka yang mengisi hati
Masumi hilang begitu saja. Semua badai dalam hatinya, mereda seketika.
=//=
Maya terbangun, badai sudah reda.
“Hei badainya sudah reda!!” Serunya riang, saat
melihat mentari bersinar cerah di luar jendela. “Hei, Pak Masumi—“
Maya termangu, Masumi sudah tidak ada di tempatnya
semalam tertidur. Pria itu, bersama Maya dan para kru lainnya tidur berserakan
di gedung Ugetsu. Tetapi, sekarang Masumi sudah pergi.
“Dia ituu…. Kenapa sih selalu pergi diam-diam!”
gerutu Maya kesal. Tapi… Sekarang badai sudah berhenti. Kami bisa pentas
seperti biasa…. Pikirnya lega.
Semalam, hanya ada Pak Masumi, mawar unguku di sini.
Pak Masumi… terima kasih. Aku… tak sabar ingin bertemu denganmu lagi. Aku sudah
merindukanmu lagi sekarang.
=//=
“Jadi… kau sudah berhenti mengharapkan Masumi?”
tanya Eisuke kepada Shiori yang mengunjunginya siang ini.
“Begitulah, Paman,” Shiori tersenyum. “Kurasa kami
memang tidak cocok. Aku harus mencari pria lain yang lebih… Ya… lebih baik dari
Masumi.”
“Menurutmu anakku itu masih kurang baik?”
“Bukan,” Shiori menggeleng sambil tersenyum tipis. “Tapi…
Masumi hanya akan menjadi yang terbaik saat dia bersama Maya Kitajima, dan
sebaliknya. Aku tidak bisa menyaingi itu… Sepertinya.”
Eisuke Hayami memberengut. Sejujurnya, dia sempat
merasa senang saat Soichiro Takamiya mengungkapkan ketertarikan Shiori terhadap
Masumi. Bagaimana pun, bersama gadis di hadapannya ini lebih baik bagi Daito
ketimbang bersama Maya Kitajima.
“Saya dengar, Pak Masumi semalam pergi ke
pertunjukan Maya Kitajima di tengah badai, bukan?”
Eisuke menggeram. “Kudengar begitu… Dia belum
pulang, mungkin langsung ke Daito.”
“Dari situ saja… Anda pasti tahu ‘kan, Paman Eisuke,
seberapa besar perasaan Masumi untuk Maya? Aku tidak mau membodohi diriku
sendiri. Lagipula, siapa tahu ada yang lebih baik untukku nanti. Dan, aku rasa,
jika aku menjadi Maya, melihat ada Masumi yang datang di tengah badai seperti
itu, mungkin… Aku sudah melamar Masumi saat itu juga.”
Eisuke menyunggingkan bibirnya. “Yah… kuharap
pernikahan mereka memang akan berguna, setidaknya bagi Daito.”
“Sepertinya Masumi yakin sekali Maya bisa menjadi
calon Bidadari Merah. Jika itu terjadi, itu hal yang bagus kan?”
Eisuke seakan tersadar dari sesuatu. Tentu saja!
Dari dahulu putranya itu memang memiliki perhatian lebih kepada Maya Kitajima.
Eisuke pikir itu karena posisinya sebagai direktur Daito. Tetapi ternyata…
“Paman, aku sudah mendapatkan tiket padang Liar yang
Terlupakan. Apa kau tidak tertarik menyaksikannya denganku? Tiket pertunjukan
itu sudah menjadi rebutan di mana-mana,” ujar Shiori.
Eisuke tercenung sebentar. “Tentu, aku sangat
tertarik…”
=//=
14 comments:
Cb dikomik jg kaya gini ceritanya T_T
Melted daaaaah
ejieeeee..... selamat yaaa... pas loh di hari ulang tahunnya pak masumi... *tebarbunga* jieeee.... *prokprokprok*
Bikin melting yg terakhir..^^ sukaaaa :D
so sweeettttttttt... thank you for make me happy before sleeping.. sambil cengar-cengir sendiri :)
Whuaaaaa cooo cuiiitttttt bingits
Uwoo... Masumiii.. <3
Aku terharuu.......#tisumanatisu
WAHH... SENENG BANGEEETTTTTT... akhirnya.. maya masumi bisa bersatu... ini akhir bukan?
sukaaaaaaaaaaaa banget sama part iniiihhh...
Bener2 moment yg tepat untuk ngakuuuuuu<3 <3 <3 :* :* :*
duhai ty sakumoto.u have succesfully made me go to seventh heaven.senengnya liat mereka bersatu lg.sampai nikah ya ty....please...annisa amalia
ikutan happy nich, ga sabar baca endingnya :-D
~ meliana ~
Nah nah nah.... Eisuke ada modus apalagi neh? Tamat kan Ty? Uda deh nikahin aja trus the end hehehehehe
Senangnya shiomay mundur mundur cantikkk hihihihiii
Ini ga lama lg kan?
HE ya..
Post a Comment
Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)