To Make You Love Me
(Chapter 4)
Maya sangat terkejut dengan apa yang Masumi lakukan.
Walaupun begitu, butuh waktu beberapa lama bagi Maya membebaskan dirinya dari
pria itu.
"Lepaskaaaann iih!!!" Maya mendorong
Masumi kuat-kuat dan membuang wajahnya dari pria itu.
Akhirnya, Maya terbebas juga. Matanya berkaca-kaca
dan memandang Masumi dengan gusar, "Ka-kau... kau..." gadis itu
gemetaran, karena sebenarnya Maya masih tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Kepalanya mendadak kosong, masih terkejut dengan apa yang Masumi lakukan dan
tidak benar-benar mengerti dengan apa yang dia rasakan.
Sementara Masumi bergeming dengan dominannya.
Wajahnya sama sekali tanpa ekspresi sesal atau lainnya. Pria itu berkata,
"Aku tidak mau lagi mendengar mengenai keinginanmu membatalkan pernikahan.
Jika memang harus gagal, biarlah rumah tangga kita gagal nanti di tengah jalan!
Jangan menghalangi satu-satunya caraku berbakti kepada ibuku, kau mengerti!?
Kalau kau mau menjadi anak yang tidak berbakti, jangan menyeretku jadi tidak
berbakti juga!" tandas Masumi.
"Si-si-si... siapa yang tidak berbakti! Aku
juga mau berbakti! Tetapi kalau menikah..."
"Hah! Itu seperti mengatakan ingin mendapatkan
nilai yang bagus tetapi tidak mau belajar!" tukas Masumi dengan keras.
Maya gelagapan, tidak tahu lagi harus berkata apa.
Ia ingin sekali bertemu ibunya dan bertanya apa dia sungguh-sungguh harus
menikah dengan pria kasar ini? Sama sekali bukan pria idaman yang dia pikir
bisa dijadikan suaminya.
"Jawab!!" seru Masumi keras.
"A!! A!!" sahut Maya spontan tidak kalah
keras.
"A?" dahi Masumi berkerut. "Kau
terbiasa menjawab soal pilihan ganda dengan acak ya? Tiba-tiba saja menyahut A!
A!" sindirnya.
Wajah Maya langsung merah padam. Rahasianya
terbongkar.
Maya menatap Masumi memelas, dan agak takut-takut.
"Bi-bisa tidak sih... jangan... jangan kasar begitu!" seru Maya,
hampir menangis. "Kenapa jadi aku yang dibentak-bentak, padahal...
padahal... tadi aku yang marah..."
"Karena kau selalu berkata seenaknya! Sebentar
bilang ini, lalu bilang itu, lantas anu, dan tiba-tiba saja, A! A! Apa itu!?
Masa mau berbakti kepada orang tua saja harus berpikir sebanyak itu?"
Akhirnya, Masumi menemukan kata ajaibnya: berbakti
kepada orang tua.
Maya menunduk dan memainkan jemarinya.
"I-iya.... maaf... maaf..."
Hebat, Masumi! Kau yang menciumnya, dia yang meminta
maaf kepadamu, pikiran culas Direktur Daito itu memuji dirinya sendiri.
"Sudahlah," Masumi menghela napasnya.
"Jaga dirimu baik-baik. Saat hari pertunangan kita dan pernikahan kita
nanti, kau harus sehat dan segar bugar, dan ingat, jangan berpikir kabur dari
kewajibanmu. Kalau kau kabur ke manapun, aku akan mencarimu. Kalau kau sakit,
aku akan membawa pendeta ke rumah sakit!" ancam Masumi.
Maya memonyongkan bibirnya lima senti, tetapi sekali
lagi dia tidak bisa menampik. Akhirnya dengan bersungut-sungut Maya turun dari
mobil. Tampaknya, ia benar-benar tidak bisa kabur dari pria yang berjodoh
dengannya ini.
=//=
“Reeiii!!!” Maya segera memeluk Rei saat masuk ke
dalam apartemennya.
“Ada apa Maya?” tanya Rei tidak kalah panik.
“Masumi Hayami….” Maya mengadu.
“Pak Masumi? Ada apa dengan Pak Masumi?”
Maya terlalu malu mengatakan Masumi tadi menciumnya,
dua kali! Dan ciumannya berbeda dengan kecelakaan saat pertemuan keluarga
dahulu. Sampai sekarang saja masih membekas di kepalanya (juga bibirnya). Tuh
kan, mengingatnya lagi saja jantung Maya berdebar sangat keras dan wajahnya
begitu panas.
“Ada apa?” tanya Rei lagi karena Maya tidak kunjung
menjawab. “Jawab Maya!”
“C! C!!” seru Maya spontan.
“C?” Alis Rei berkerut. “Kau ini bicara apa sih?”
“Ah, ma-maaf… kebiasaan…” Maya segera membungkam
mulutnya dengan telapak tangan.
“Jadi, kenapa? Apa yang
terjadi? Bukankah kau habis melihat gedung untuk pertunangan nanti? Kau tidak
menyukainya?”
“Yang benar saja!
Ruangannya sangat bagus… masa aku tidak suka? Tapi… tapi Pak Masumi
memarahiku…”
“Kenapa?”
Maya menunduk kesal dan
sedih, “Karena aku bilang ingin membatalkan pernikahannya…”
Mata Rei membundar, “Apa?
Kau mengatakan itu? Jadi… kalian tidak jadi menikah?”
“Bukan,” tampik Maya dan
berkata dengan kalut. “Pokoknya dia bilang mengenai ini dan itu… soal mencari
kemana pun, membawa pendeta ke rumah sakit…”
“Hah? Dia mau
merumahsakitkan pendetanya kalau tidak jadi menikah?” Rei terbelalak, “Apa
salah pendeta yang tidak berdosa itu?”
“Bukan, Rei! Bukan…! Bukan
begitu dia mengatakannya, tetapi seperti ini…”
Tiba-tiba Maya diam,
membisu. Rei memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan menyadari Maya masuk pada
saat-saat trans. Maya memejamkan matanya dan memikirkan Masumi Hayami.
Masumi Hayami.. Masumi
Hayami…
Aku adalah Masumi Hayami…
Saat gadis itu membuka
matanya lagi, Rei merasakan dadanya berdebar keras. Maya si jago akting
melihatnya dengan ekspresi yang berbeda. Tatapannya begitu percaya diri dan
tajam, sikap tubuhnya mendominasi dan dia berkata dengan dalam dan mantap, “Aku
tidak mau lagi mendengar mengenai keinginanmu membatalkan pernikahan. Jika
memang harus gagal, biarlah rumah tangga kita gagal nanti di tengah jalan!
Jangan menghalangi satu-satunya caraku berbakti kepada ibuku, kau mengerti!?
Kalau kau mau menjadi anak yang tidak berbakti, jangan menyeretku jadi tidak
berbakti juga!"
Rei tertegun, hatinya
gentar dengan cara Maya menatapnya dan mencondongkan tubuh kepadanya. Mendadak
Maya terlihat berambut pendek dan berwajah tampan.
“Kau selalu berkata
seenaknya! Sebentar bilang ini, lalu bilang itu, lantas anu, dan tiba-tiba
saja, A! A! Apa itu!? Masa mau berbakti kepada orang tua saja harus berpikir
sebanyak itu?”
“A…? A…? Maafkan aku sudah
plin plan,” ujar Rei, agak takut sekaligus bingung dengan cara bicara gadis itu
yang mendominasi.
“Sudahlah! Jaga dirimu
baik-baik. Saat hari pertunangan kita dan pernikahan kita nanti, kau harus
sehat dan segar bugar, dan ingat, jangan berpikir kabur dari kewajibanmu. Kalau
kau kabur ke manapun, aku akan mencarimu. Kalau kau sakit, aku akan membawa
pendeta ke rumah sakit!"
“Ba-baiklah!” Rei
mengangguk-angguk.
“Itu Rei, yang dia
katakan….” Rajuk Maya yang sudah kembali ke aslinya.
“Eh!?” Rei tertegun,
kembali menjadi dirinya lagi. Apa yang
baru saja terjadi? Pikir Rei, seraya mengamati Maya yang tadi berakting sempurna
menjadi Masumi.
“Dasar pria menyebalkan!
Sama sekali tidak bisa bicara dengan lembut.”
“Tapi… kurasa perkataannya
ada benarnya juga,” tukas Rei. “Kau memang harus ditegasi. Kalau tidak, kau
terus saja plin-plan. Padahal, Pak Masumi yang mengurus semuanya. Mulai dari
pertemuan keluarga, pertunangan, bahkan masalah pernikahan, kau kan hanya
tinggal mengikutinya saja. Wajar sekali kalau dia kesal, tiba-tiba saja kau
berkata, ‘tidak jadi! Batal!’ Kalau kau ada di pihaknya, bagaimana perasaanmu?”
Maya terdiam. Ia tak
mengira Rei malah membela Masumi.
“Ta-tapi kan… wajar jika
aku ragu-ragu. Ini masalah besar. Menikah! Aku malah heran dia sama sekali
tidak terlihat memikirkannya, seperti hendak main nikah-nikahan saja, enteng
sekali.”
“Tetapi nyatanya, dia mempersiapkan
semuanya kan? Tidak hanya diam saja dan menyerahkan ini itu kepada pihak lain.
Itu artinya, dia memang memikirkannya, dan sudah yakin menikah denganmu.”
Maya diam. Ia sama sekali
tidak berpikir sejauh itu. Tetapi, kalau dipikir-pikir Rei benar juga. Masumi
menangani semuanya dengan baik. Mulai soal gaun, gedung dan sebagainya. Apakah
yang ragu-ragu berbakti kepada orang tuanya memang hanya dirinya?
“Sekarang, Maya,
pikirkanlah baik-baik, dengan sebaik-baiknya. Tanggung jawab menjalankan amanat
ini hanya kau dan Pak Masumi yang bisa melakukannya. Tetapi kau memang berhak
memutuskan menjalankannya atau tidak. Hanya saja, putuskan sekali lagi.
Benar-benar keputusan final, apa kau hendak menikah dengannya, atau tidak?”
Maya diam, termangu.
Masumi Hayami…
Maya memikirkan pria itu,
dan ingat kembali semua sikap menyebalkannya. Semua kejahatannya untuk teater
Mayuko dan bahkan menahan ibunya dahulua.
Tetapi…
Maya juga ingat pria itu
beberapa kali menolongnya, dan…
Wajah Masumi Hayami yang
mendekat tiba-tiba terbayang. Menciumnya. Sentuhan bibir Masumi di bibirnya.
Wajah Maya merah padam seketika, tubuhnya mendadak panas dingin lagi dan
kepalanya jadi kosong.
Mulai saat ini aku akan berusaha bersikap baik, dan
membuatmu bisa menerima dan mencintaiku. Begitu juga aku mengharapkan hal yang
sama darimu. Kuharap kau mau membuka hatimu, dan berusaha setidaknya
menerimaku, dan mungkin... nanti... Mungkin nanti kau bisa belajar mencintaiku.
Maya merasakan jantungnya
berderap amat cepat dan seakan hendak meledak mengingat dengan jelas ucapan
Masumi malam itu.
Pak Masumi… Maya menggigit bibirnya tipis, merasakan kegalauan
yang tidak biasa.
“Maya, kenapa diam saja?”
tegur Rei. “Jawab, Maya!”
“Ah!! D! D!!” seru Maya
spontan, seperti biasa mengacak jawaban.
=//=
"Rei, apa yang akan kita lakukan? Kau jadi
terbawa aneh seperti Pak Masumi." keluh Maya saat Rei menyeretnya ke sana
kemari di sebuah mall besar.
"Sudahlah, kau ikut saja. Setelah mendengar
perkataanmu semalam, kurasa karena kau sudah memutuskan menikah dengan pak
masumi dan juga tentang perkataan pak masumi tentang berusaha saling mencintai,
maka sekarang saatnya kau juga berusaha memperbaiki diri, siapa tahu dengan
begitu benar-benar akan tumbuh cinta
antara kalian berdua. Nah jika begitu, bagus bukan?" Rei menepuk tangannya
senang.
"Hah! Cinta??? Musta... Hmph!!"
"Sudah diam! Jangan protes terus! Kita sudah
sampai!" Rei membekap mulut Maya yang banyak protes.
"Hah di
sini!?" Maya terkejut melihat salon kecantikan di hadapannya.
"Ya. Kau kan hendak bertemu ayah mertuamu
pertama kali. Jadi kau harus tampil cantik!"
"Ukh! Kenapa aku harus tampil cantik!"
keluh Maya. "Aku sama sekali tidak ingin berusaha membuat siapa pun
terkesan!"
"Kau boleh berpikir begitu tetapi ini demi nama
baik ayah dan ibumu. Kau harus tahu bahwa perjodohan itu tidak hanya menyangkut
kepentinganmu tetapi juga nama baik dua keluarga yang diwakili olehmu dan Pak Masumi.
Jadi lakukan ini demi nama baik keluargamu. Jangan sampai Eisuke Hayami
memandang rendah dirimu dan keluargamu."
Maya mengerutkan dahinya
dalam. "Wah kau benar Rei. Jangan sampai mereka memandang rendah
Kitajima!" semangat juang Maya kembali terpacu.
"Terima kasih Rei, kau baik sekali. Tapi, apa
kau baru gajian sehingga bisa membawaku ke sini?"
"Aku?" Rei tertegun. "Memangnya siapa
yang hendak membayarkan untukmu? Kau kan baru menerima bayaran dari dua
putri." jawab Rei enteng.
Haa??? Maya hanya bisa bengong.
"Baiklah. Aku harus pergi kerja sekarang.
Sampai nanti. Ingat jangan sampai kalah oleh Hayami!"
"Baiklah Rei aku akan berjuang!"
Sementara Maya sibuk mempercantik diri, Rei sibuk
menguntit seseorang. Seorang pria yang gerak geriknya mencurigakan. Pria itu
turun ke lantai dasar menggunakan tangga. Ia lantas melalui tempat parkir yang
sepi. Saat pria itu hendak masuk ke dalam mobil, Rei menyeru.
"Hei kau! Tunggu sebentar! Laki-laki dengan
rambut panjang sebelah!"
Deg!
Hijiri terenyak dan membatu.
Hijiri memutar badannya. Antara yakin dan tidak
yakin dia yang dimaksud. Tetapi Hijiri jelas tahu suara siapa itu. Saat ia
berbalik, dia melihat gadis tampan itu berjalan cepat ke arahnya dengan wajah
geram.
"Hei, kau!" tegur Rei.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanya
Hijiri.
"Kenapa kau mengikuti kami?"
Hijiri terkejut mendengarnya. Rei menyadari
keberadaannya?
"Saya tidak mengikuti kalian..." tampik
Hijiri.
"Bohong! Kau pikir aku tidak mengenalimu? Aku
ingat beberapa kali kau mengirimkan bunga kepada Maya. Potongan rambutmu itu
tidak mungkin kulupakan," Rei menyipitkan matanya penuh kecam.
Kesal juga Hijiri karena potongan rambutnya
berkali-kali disinggung.
"Maaf, Nona, jika saya bekerja sebagai tukang
bunga apakah itu salah? Lagipula, ini tempat umum. Keberadaan saya di sini,
apakah salah? Kenapa Anda berpikir saya membuntuti? Dan apa alasan Anda
berpikir saya mencurigakan?"
"Satu!" Rei mengacungkan telunjuknya.
"Tukang bunga tidak akan memiliki mobil sebagus itu! Dua! Ini memang
tempat umum tetapi kenapa aku terus melihatmu di tempat Maya dan aku berada?
Lagipula, kau tidak mengantar bunga! Ketiga, tidak ada orang yang berpotongan
rambut seaneh kau, yang menutupi sebelah wajahnya dengan poni begitu. Di antara
semua orang di mal ini, jelas kau yang paling mencurigakan!!" tuding Rei.
Hijiri menelan ludahnya. Ia tak mengira Rei begitu
pandai menganalisa. Agak berbeda dengan teman satu apartemennya yang sudah
menerima bunga selama hampir 6 tahun dan tidak juga berpikir kemungkinan Masumi
yang menjadi mawar ungu padahal sudah jelas-jelas Masumi muncul di tengah janji
acara makan malamnya dan Mawar ungu.
"Ayo, jawab!" tantang Rei.
Hijiri mendengus. "Saya tidak terima dengan
tudinganmu! Ini tempat umum, tidak ada siapa pun bisa melarang saya berada di
sini baik sebagai pembawa bunga atau bukan! Dan bicara tentang potongan rambut,
apa potongan rambutmu wajar, Nona dengan ekor rambut kriwil-kriwil? Bukankah
aneh sekali ekor rambut berada di depan dan bukannya di belakang!?" tuding
Hijiri seraya menyentuh sejumput rambut ikal panjang Rei.
"Ha! Tidak tahu diri!" balas Rei.
"Ini apa? apa ini? Kau juga punya ekor rambut di depan telingamu!"
Rei meraih rambut Hijiri. "Lagipula potongan rambutmu jauh lebih aneh!
Kenapa ponimu harus menjuntai menutupi sebelah wajahmu! Potongan rambut teraneh
abad ini!" ejek Rei.
"Wah!! Mengejutkan sekali! Itu komentar dari
murid Mayuko Chigusa yang potongan rambutnya menutupi wajah lebih banyak
dariku?? Jadi menurutmu potongan rambut gurumu super aneh kalau begitu?"
serang Hijiri.
"Hei! jangan membawa-bawa ibu... eh, tunggu!!
Bagaimana bisa kau tahu aku murid Bu Mayuko kalau kau tidak menguntit!!?"
tuntut Rei.
"Itu karena—" Hijiri tertegun, saat
menyadari wajahnya dan wajah Rei tidak berjarak jauh dan mereka saling
menggenggam ekor rambut masing-masing.
Saat Hijiri terdiam dan mengamati Rei sedikit lekat,
saat itu Rei pun baru menyadari bahwa posisi mereka berdua benar-benar aneh.
"Le-lepaskan rambutku!" tuntut Rei
tiba-tiba saat merasakan wajahnya memanas.
"Kau dulu!" Hijiri balik menuntut.
"Kau dulu! Kau yang
menggenggam rambutku duluan!" Rei tidak mau kalah.
"Baiklah!! Kita hitung sampai tiga, dan kita
lepaskan rambutnya bersamaan!" usul Hijiri.
"Baik! Satu..." Rei menghitung.
"Dua..." Hijiri menghitung.
"TIGA!!" seru keduanya. "KAU TIDAK
MELEPASKAN RAMBUTKU!!" mereka berseru lagi bersamaan.
Keduanya saling menatap dengan geram kepada satu
sama lain dengan dahi mulai saling beradu dan berputar ke kiri dan ke kanan
seraya saling menggeram. Saat itulah seorang petugas keamanan datang mendekati
mereka.
"Hei! Hei! Hei!" seru petugas itu.
"Apa yang kalian lakukan di sini! Apa kalian tidak bisa membaca?" ia
menunjuk sebuah tanda.
Rei dan Hijiri tertegun, lantas menoleh ke arah
tanda yang dimaksud. Terdapat tulisan, "No Gay Please."
"AKU INI PEREMPUAN!!" seru Rei.
Dan Hijiri tertawa
terbahak-bahak.
Sementara Rei dan Hijiri mengatasi masalahnya
sendiri, Maya pun menjerit-jerit di ruang salon. Baru pertama kali wajahnya
diperlakukan tidak manusiawi seperti saat ini, digosok-gosok dan dipencet sana
sini. Saat hendak pertemuan dua keluarga saja tidak separah ini. Tetapi, mengingat
kembali harga diri keluarga yang dia pertaruhkan, Maya berusaha menahan semua
derita itu. Orang bilang, kecantikan hanya bisa didapatkan melalui kesakitan.
Ini mungkin setimpal.
Dan sepertinya memang begitu. Saat Masumi datang ke
apartemennya siang itu, dan Maya membukakan pintunya, calon suaminya itu tampak
agak terkejut dan sempat kehilangan kata-kata.
"Pak Masumi! Kenapa diam saja? Apakah kita jadi
bertemu ayahmu atau tidak?" tanya Maya yang mulai merasa rikuh dengan cara
Masumi menatapnya.
"Ah, ya..." Masumi mengangguk-angguk
canggung. "Kau... kau tampak berbeda," kata Masumi takjub.
"Be-benarkah?" wajah Maya agak merona.
"Iya. Wah..." mata Masumi membulat,
"Kau sengaja berdandan untuk pertemuan ini? Wah, aku tersanjung..."
"E-enak saja!" Sembur Maya, dengan wajah
memanas. "Ini bukan untukmu! Tetapi untuk harga diri Kitajima!" tukas
Maya gagah seraya membusungkan dadanya.
"Wah... luarnya saja yang berubah ya...
dalamnya masih sama saja ternyata," decak Masumi pura-pura kecewa.
"Huh! Karena itu... jangan besar kepala!"
tandas Maya.
"Tetapi aku terpaksa mengecewakanmu,"
tukas Masumi. "Ayahku sedang ada keperluan. Pertemuanmu dengannya terpaksa
dibatalkan saat ini."
"Hah? APA?"
Setelah dirinya tampil habis-habisan, dan juga uang
bayaran dari Dua Putri dia habiskan, dia tidak jadi berhadapan dengan Eisuke
Hayami.
"Tetapi kau jangan khawatir. Aku sudah
mempersiapkan acara penggantinya."
"Acara pengganti?" Maya mendongak penuh
antisipasi.
"Ya! Kita pergi berkencan."
"Ha? berkencan!?"
"Ya.
Ber-ken-can..." Masumi mengangguk-angguk mantap.
"Pak Masumi mau mengajakku berkencan
kemana?" tanya Maya curiga.
"Sudah ikut saja! Kau ingat perjanjiannya kan?
Kau akan ikut kemana pun aku mengajakmu."
"Jangan begitu! Aku tidak mau kalau kau
mempermainkanku..." rajuk Maya.
"HHh..." Masumi menghela napasnya dan
mengeluarkan dua buah tiket dari balik jasnya. "Nonton drama."
"Wah!!" Mata Maya berbinar-binar.
"Karenina!!"
"Nah, kan! Aku tahu kau pasti suka. Karena itu
jangan banyak protes!"
Maya hanya cengengesan. Matanya tak lepas dari tiket
sandiwara tersebut. Masumi rasanya ingin menyerah saja. Sepertinya semua hal
begitu menarik perhatian bagi Maya kecuali dirinya.
Beberapa
kali Masumi melirik kepada Maya. Gadis itu benar-benar cantik. Rasanya Masumi
ingin sekali memelototi bahkan menerkamnya kalau saja bisa.
"Kau
tadi.. Ke salon mana?" tanya Masumi
membuka percakapan.
"Kenapa?
Pak Masumi mau ke sana juga?" tuding Maya dengan semena mena.
Masumi
mendengus kesal. "Kalau bisa, cobalah menyesuaikan antara riasan dan cara
bicara. Sayang sekali, jangan sampai ribuan yen terbuang percuma," sindir
Masumi.
"Memangnya
siapa yang berdandan untukmu!?" Maya meradang.
"Sudah
kubilang ini demi harga diri Kitajima!"
Masumi
tidak mengerti ada apa dengan harga diri Kitajima yang berkali-kali Maya
sebutkan itu. Tetapi Masumi bisa melihat
gadis itu sangat kesal dengan tegurannya. Masumi menjangkaukan tangannya dan
menjentik bibir gadis itu.
"Sudah
jangan cemberut, jadi berkurang lagi cantiknya," goda Masumi.
Maya
terperanjat dan berseru dengan gugup. "Ja, jangan sentuh bibirku!"
seru Maya seraya menutupi bibirnya sendiri yang terasa sangat sensitif setelah
apa yang Masumi lakukan kemarin kepadanya.
Wajah
Maya benar-benar terasa panas dan jantungnya berdebar begitu keras. Lantas
pandangannya jatuh di bibir Masumi dan rasanya dadanya mau meledak!
Ada apa dengannya? Kenapa mendadak panas
dingin begini?
"Masih
saja galak," keluh Masumi.
"Jangan
menyentuhku semaumu!" Maya memperingatkan.
Masumi melirik Maya beberapa kali. Dan dengan berusaha tenang ia
berkata, "Ingat ciuman yang kemarin ya?" tanyanya.
Ditembak
demikian, Maya semakin gelagapan
Bagaimana bisa Masumi mangungkitnya dengan cara yang begitu santai dan
ringan? Padahal Maya sampai tidak bisa tidur semalaman gara-gara setiap
memejamkan mata, bayangan Masumi yang menciumnya muncul lagi.
"Diam!
Berisik!! Dasar genit!" protes Maya dengan sebal. "A-aku tidak
mengira, Direktur Daito berani melakukan hal semacam itu!" kecam Maya.
"Salah
siapa?"
"Apa?"
"Kutanya,
salah siapa!?" sifat menindas Masumi keluar lagi. "Kau tahu Newton?
Aksi reaksi? Aku tidak akan melakukannya kalau kau tidak bicara yang
tidak-tidak. Lain kali kau mengatakannya lagi, aku akan melakukannya lagi!
Begitulah caranya menghukum bibir yang bicara sembarangan!" Masumi membuat
hukumnya sendiri.
"HAH!?
Newton?" alis Maya berkerut. "Dari mana Pak Masumi mengenalnya?
Bagaimana bisa dia membuat hukum seenaknya sendiri!" protes Maya.
Newton
yang malang. Namanya tercemar karena Masumi yang jelas-jelas senang
memanfaatkan keadaan.
"Tidak
usah membawa-bawa Newton. Intinya, kau sudah tahu kesalahanmu kan?" desak
Masumi.
"Kau
yang membawa-bawa Newton terlebih dahulu," protes Maya.
"Tidak
penting! Yang penting, apa kau sudah mengerti apa kesalahanmu?"
Maya
mengerucutkan bibirnya sebal.
"Jawab,
Maya!!"
"E!
E!!" seru Maya spontan.
=//=
Akhirnya
keduanya tiba di teater yang dimaksud. Masumi mengulurkan tangannya membawa
Maya turun.
"Tidak
perlu!" Maya menampik uluran tangan kekasihnya.
Masumi
bergeming di depan pintu.
Maya
mendongak. "Minggir!! Aku bisa turun sendiri!"
Masumi
menatap Maya dengan tajam dan tak terbantahkan. "Kau mau kugandeng masuk
ke dalam, atau kugendong?" desak Masumi.
Maya
terenyak. Ia tahu dari cara bicaranya bahwa Masumi sangat serius.
"Digandeng,
atau digendong!?"
"Iya!
Iya!!" Maya menerima uluran tangan tunangannya itu.
Huhuhuhu.... Ibuuu!!! Kenapa aku terjebak bersama pria seperti ini....!!? batin
Maya menjerit.
Sementara Masumi dengan senang hati menggandeng Maya
masuk ke dalam teater.
"Pak
Masumi..." desis Maya, mengeluh. Ia ingin Masumi melepaskan tangannya,
tetapi pria itu malah memegangnya semakin kuat. Apalagi, di sana juga banyak
wartawan, dan Masumi benar-benar tidak menyembunyikan hubungan mereka.
"Maya,
halo Maya..." sapa para wartawan yang agak segan mengganggu Masumi. Mereka
sempat berpikir bahwa Masumi akan memberikan delikan tajam, namun ternyata hal
tersebut sama sekali tidak terjadi.
Malahan,
Direktur Daito itu tersenyum!! Sampai-sampai para wartawan begitu terkejut
saking takjubnya.
"Pak
Masumi, Maya, jadi benar kabar yang mengatakan bahwa kalian berdua saat ini
menjalin hubungan intim?"
"Apakah
benar cincin yang Maya kenakan adalah pemberian Pak Masumi?"
"Apakah
benar kalian berdua dijodohkan?"
"Maya,
silakan jawab!"
"C!
C!" seru Maya.
"C!!?"
para wartawan itu saling bertukar pandang.
Masumi
tersenyum lebar. "Terima kasih atas perhatiannya, tetapi kami datang untuk
menyaksikan pertunjukan. Akan ada saatnya kami berbicara mengenai hal
itu."
"Pak
Masumi, sedikit saja,hanya satu pertanyaan, benarkah kalian berdua
dijodohkan?"
"Berjodoh,"
koreksi Masumi mantap. "Kami akan menikah."
"Aaaaa
Pak Masumii...!" mata Maya membulat karenanya. Ia sangat terkejut Masumi
bersikap blak-blakan seperti itu.
"Satu
pertanyaan saja, sekarang kami permisi," tukas Masumi dan menyeret Maya
bersamanya.
Para wartawan
itu sekali lagi saling menoleh kepada satu sama lain.
Masumi
Hayami, akan menikah dengan Maya Kitajima?? Ini baru berita!!
Dengan
penuh semangat para wartawan itu mulai mengembangkan berita versinya
masing-masing hanya berbekal dua kalimat dari Masumi. "Berjodoh."
"Kami akan menikah."
"Pak
Masumi... kenapa Anda mengatakannya kepada mereka, i-itu kan, belum
dipastikan!"
"Kau
mau kucium!!?" tantang Masumi.
"Kya!
Ti-tidak! Tidak!!" Maya menggeleng cepat.
"Pertunangannya
hanya tinggal seminggu lagi. Awas saja kau bicara macam-macam. Apa bedanya
mengabarkan mengenai hal itu sekarang atau nanti. Toh hari ini undangan untuk
pertunangan itu sudah disebarkan."
"Hah!?
Apa!!?"
"200
orang," Masumi menyebutkan jumlah tamunya.
"Anda
bilang tertutup dan pribadi!"
"Kedua
ratus orang itu harus diundang jika Daito masih ingin sukses," Masumi
berterus terang."Dengan pasangannya, sekitar 400 orang yang akan
datang."
"Pak
Masumi..." Maya ketakutan. Saat ia hendak protes, sapaan terdengar dari
seorang wanita.
"Wah, Pak Masumi Hayami, kita bertemu lagi di
sini," Shiori tersenyum anggun dan memesona.
“Nona Shiori Takamiya,” sapa Masumi hangat, masih
senang dengan keberadaan Maya di sampingnya.
“Selamat siang, Nona Shiori,” sapa Maya seraya agak
membungkuk.
Tidak salah lagi, wanita di hadapannya itu memang
memiliki kecantikan seperti bidadari. Bahkan hanya tersenyum saja, sudah
membuat cuaca terik terasa semakin menyilaukan… batin Maya.
“Kalian menyaksikan drama ini juga?” tanya Shiori,
masih dengan senyuman yang tak lepas dari bibirnya.
“Ya. Maya sangat menyukai drama,” terang Masumi,
semakin mengeratkan genggamannya di tangan calon istrinya.
“Ah… begitu… ya, Karenina memang karya yang luar
biasa menyentuh dari Tolstoy. Romantis sekaligus tragis. Memperlihatkan
bagaimana status sosial sering kali meminta terlalu banyak korban untuk
memuaskan hasratnya, sehingga ada begitu banyak cinta yang diakhiri dengan
derita,” ujar Shiori mengenai karya sastra fenomenal itu.
Maya sama sekali tak bisa berkomentar sejauh itu,
sementara Masumi menanggapi
“Ya. Tetapi bukankah dari sekian banyak yang berakhir
bencana, masih ada pasangan yang berakhir baik? Seperti Levin dan Kitty. Harus
kukatakan, sangat lega melihat akhir dari mereka berdua,” Masumi berpendapat.
“Wah, Pak Masumi,” mata Shiori bersinar. “Saya tidak
mengira Anda begitu tertarik dengan hal-hal sentimentil. Saya bisa mengatakan
Anda memiliki pandangan positif dalam hal percintaan bukan?” goda Shiori, ia lantas
melirik Maya.
Maya hanya salah tingkah dan benar-benar tidak tahu
harus berkata apa. Ia rasanya seperti tertinggal di stasiun sementara melihat
Masumi dan Shiori sedang berbincang-bincang di atas kereta yang membawa
keduanya semakin jauh darinya.
“Harus kukatakan, ini paradigma baru untukku,”
Masumi berkata seraya tersenyum. “Sebelumnya aku tidak pernah berpikir seperti
itu, pandanganku mengenai cinta sangat buruk,” aku Masumi. “Hingga aku bertemu
Maya,” ia menoleh kepada Maya.
Lagi-lagi Maya tidak benar-benar tahu apa yang harus
dikatakannya. Jika penumpang di atas kereta tiba-tiba menoleh kepadanya yang
tertinggal di stasiun. Dia hanya tahu mereka membicarakannya tetapi tidak benar-benar
tahu apa yang mereka bicarakan, bukan?
Pak Masumi
ini bicara apa, pikir Maya. Kenapa dia begitu berusaha membuat orang berpikir dia mencintaiku?
Shiori agak terkejut mendengar perkataan Masumi.
Jadi, Masumi Hayami memang telah jatuh cinta kepada Maya Kitajima? Pria dengan
berbagai rumornya yang tidak bagus itu? gila kerja, dingin, tidak berperasaan,
tidak beminat kepada perempuan, dan lain sebagainya… itu salah? Karena Shiori
bisa melihat, sepertinya Masumi memang bersungguh-sungguh kepada Maya.
Ataukah… ada sesuatu? Ada settingan? Ada proyek
bersama antara Daito dan Maya Kitajima?
“Baiklah, kurasa kami harus masuk terlebih dahulu,”
pamit Masumi dan Maya sekali lagi hanya membungkuk.
Shiori mengamati keduanya untuk beberapa lama. Ia
masih tidak percaya keduanya benar-benar saling jatuh cinta setelah semua
informasi yang pernah didengarnya.
“Oh, jadi, Masumi Hayami dan Maya Kitajima itu
dijodohkan?” ujar seorang wartawan kepada wartawan lainnya.
“Ya. Kudengar, ternyata ibu Masumi dan ibu Maya,
bersahabat sejak kecil. Mereka dijodohkan atas permintaan Jin Miyake, dari perusahaan
Chiyoda. Katanya, Jin menolak membantu Hayami dan Takamiya yang bermaksud
meluaskan bisnisnya ke Hong Kong jika permintaannya tidak dipenuhi.”
Shiori tertegun. Takamiya? Hayami?
Ia berusaha mengingat-ingat, sedang ada bisnis apa
di antara mereka yang berkaitan dengan Hong Kong. Dan… Jin… Miyake? Di mana dia
pernah mendengar nama itu?
Shiori berpikir cukup lama, hingga dia teringat di
mana pernah melihatnya. Mata Shiori melebar. Saat di café! Pria setengah baya
itu, yang menghampirinya dan bertanya mengenai usia serta status
kekeluargaannya…
Benar!
Jin Miyake… tetapi, kenapa dia mencariku saat itu?
“Kenapa kau diam saja tadi?” tanya Masumi saat
keduanya duduk di kursi undangan, menunggu Anna Karenina dimainkan. “Kau tidak
menyukai Shiori?”
“A-aku? Tidak suka? Tidak mungkin…” tampik Maya. “Dia
sangat cantik, dan cerdas… tidak ada orang yang tidak menyukainya,” tukas gadis
itu. “Aku hanya tidak tahu apa yang harus kukatakan. Dia sangat memesona, jadi
saja, aku mendadak gugup di dekatnya.”
Hah? Dia
gugup dan terpesona kepada Shiori, dan sama sekali tidak merasakan apapun
kepadaku? Pikir Masumi dengan kecewa.
“Anda sebaliknya. Cocok sekali berbincang dengannya.
Sepertinya obrolan kalian sangat sesuai satu sama lain,” aku Maya.
Masumi tak menanggapi hal itu. Ada hal lainnya yang
mengisi pikiran Masumi. Kenapa Maya sama sekali tidak bereaksi saat Masumi
katakan bahwa pandangannya mengenai cinta mulai berubah setelah dia bersama
Maya? Apakah gadis itu juga tidak berpikir bahwa ucapannya serius? Bahwa Masumi
sangat menghargai kesempatan yang jatuh dari langit secara tiba-tiba untuknya
saat ia dijodohkan dengan Maya?
Masumi meraih tangan Maya dan meremasnya erat-erat.
Maya terpekik kecil karena terkejut. Ia menoleh kepada Masumi yang wajahnya
terlihat serius.
“Pak… Pak Masumi… le-lepaskan…” tuntut Maya, bola
matanya mengembara ke sana kemari. Ia takut apa yang Masumi lakukan dilihat
orang lain.
Namun pria itu tidak melepaskannya. Ia malah menggenggam
tangan Maya lebih erat.
“Pak Masumi…” Maya memohon, saat jantungnya segera
berderap semakin cepat. “Lepaskan…”
“Tidak!” tegas Masumi.
“Ta-ta-tapi…”
Ruangan lantas mulai gelap dan pengumuman terdengar
bahwa pementasan segera dimulai. Penonton diharap tenang dan tidak mengganggu
jalannya pertunjukan.
“Sudah. Diam,” ujar Masumi tanpa melepaskan
genggaman tangannya dari Maya.
Maya sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Telapak
Masumi yang menyandera tangannya, sama sekali tidak berhasil membuat Maya memerhatikan
pentas yang telah berlangsung beberapa menit. Dan sepertinya, Masumi sama sekali
tidak ada niat untuk melepaskan genggaman tangannya.
“Pak Masumi… lepaskan,” pinta Maya, kali ini
terdengar putus asa. “Aku jadi tidak bisa konsentrasi kalau Anda memegangi
tanganku seperti ini.”
Beberapa saat Masumi sama sekali tidak menanggapi.
“Tapi kau harus berjanji dulu.”
“Janji apa?” tanya Maya, memberengut lagi.
“Kau tidak akan pulang sampai aku membawamu kembali
ke apartemenmu.”
“Ha? Ta-tapi…”
“Ayo berjanjilah,” desak Masumi.
Maya tidak punya pilihan lain. “Ba-baiklah! Tapi…
Anda pasti mengijinkanku pulang kan?” Maya memastikan.
“Mungkin.”
“Pak Masumi!” Maya menghardik.
“Iya,” janji Masumi. “Nanti kuantar. Tetapi jangan
minta pulang sampai saat itu.”
Maya sebetulnya tidak rela. Namun tampaknya dia
tidak memiliki pilihan lain. Akhirnya Maya mengiyakan. “Baiklah… tetapi,
lepaskan tanganku sekarang juga,” tuntutnya, merasakan jantungnya terus saja
menolak ditenangkan.
Masumi mengetatkan rahangnya. Ia masih tidak rela
melepaskan tangan Maya. Ia suka menyaksikan sandiwara ini sambil berpegangan
tangan dengan calon istrinya. Ia suka merasakan tangan mungil Maya dalam
genggamannya. Ia suka kehalusan kulit tangan gadis itu, juga kehangatannya. Ia
masih tidak ingin melepaskannya.
“Nanti,” putus Masumi. “Nanti aku lepaskan.”
Maya tertegun, “Tadi… katanya—“
“Sebentar lagi saja,” Masumi berkata. “AC-nya
terlalu dingin, seperti ini sedikit lebih hangat,” seperti biasa Masumi
beralasan.
Maya tidak punya pilihan. Ia hanya bisa
bersungut-sungut lagi. Tetapi, dia jadi mulai memikirkan alasan Masumi. Dan
ternyata, pria itu benar juga. Memang tangannya terasa lebih hangat. Akhirnya
Maya membiarkan Masumi menggenggam tangannya sedikit lebih lama.
Dan sedikit lagi.
Dan sedikit lagi.
Sedikit lagi.
Maya baru menyadari mereka masih berpegangan tangan
hingga babak pertama selesai.
=//=
“Maaf, saya ingin sekali tetap tinggal. Tetapi ada
hal yang harus kami lakukan,” pamit Masumi kepada sutradara Anna Karenina yang
memberinya tiket undangan premier.
Sutradara itu melirik Maya yang seperti biasa
berdiri dengan canggung di sampingnya. “Oh, ya, tentu. Dan aku mendengar dari
asistenku, ada undangan darimu, yah… dari Anda berdua, kurasa?” tanyanya seraya
tersenyum lebar.
Maya menyadari pasti maksudnya tentang undangan pesta
pertunangan mereka.
“Saya sangat berharap kau akan datang,” sahut
Masumi.
“Tentu. Tentu… wah, aku sangat tidak mengira
akhirnya Pak Masumi Hayami dari Daito benar-benar akan menikah. Dan…
pasangannya… juga…” sutradara itu tampak tidak punya kata-kata yang tepat bagi
Maya. Akhirnya ia berkata, “Sangat manis. Dan aku bisa melihat bakatmu dari
beberapa sandiwara yang kulihat. Oh, dan Aldis! Luar biasa… Aku yakin kau bisa
kembali menjadi aktris terkenal nanti.”
“Te-terima kasih,” jawab Maya dengan canggung.
Beberapa orang sempat kembali menyapa Masumi dan
juga tersenyum kepada Maya. Walaupun begitu, entah bagaimana Maya merasa tidak percaya
diri berada di tengah-tengah mereka. Sama sekali tidak berada pada tempatnya.
“Masumi! Ya Tuhan…” Onodera menatap Masumi tidak
percaya. Lantas tatapan menghina terhujam kepada Maya. “Jadi benar kabar yang
kudengar bahwa kau dan anak ini dijodohkan? Hahaha….” Onodera tertawa keras. “Lelucon
tahun ini!”
Rahang Maya segera mengetat saat hatinya teriris
perih. Dan ternyata reaksi Masumi tidak kalah keras.
“Ini bukan lelucon!” tegas Masumi dengan raut sangat
dingin. “Aku dan Maya memang akan menikah. Apa kau tidak pernah mendengar,
Onodera, bahwa jodoh tidak pernah ada yang tahu? Aku malah sangat beruntung,
ternyata gadis penuh bakat seperti Maya Kitajima ini yang berjodoh denganku.
Sekarang permisi, tunanganku sudah ingin pergi ke tempat lain dan aku harus
mengantarnya,” ujar Masumi dengan angkuh. “Oh, kau tidak perlu datang ke pesta
kami jika tidak ingin terlibat dalam lelucon tahun ini.”
Onodera sangat terkejut dengan serangan dari Masumi
dan begitu juga orang-orang di after party tersebut. Semuanya membeku melihat
kemarahan Masumi yang memang menyeramkan.
Saat Maya masih tidak tahu harus berbuat apa, Masumi
dengan tangan kokohnya sudah menyeret Maya dari sana.
Pak… Pak
Masumi… dengan berkaca-kaca Maya mengamati punggung Masumi
yang sedang merasa geram. Ia tak mengira Masumi membelanya sedemikian rupa.
Padahal, selama ini Masumi selalu menjadi sosok yang
menyebalkan baginya dan sering mengejeknya. Tetapi, sebenarnya, jika Maya ingat
lagi, seharian ini Masumi tidak pernah berhenti memuji dan menyanjungnya di
hadapan orang lain.
Dia bahkan, membela Maya dari serangan Onodera.
Maya begitu terharu, dan… sangat berterima kasih.
“Pak Masumi…” panggil Maya lirih saat keduanya
hendak keluar dari gedung teater.
Masumi menoleh dan mengamati mata Maya yang
berkaca-kaca.
“Ada apa??”
“A-aku… aku…” Maya menangis juga. “Terima kasih!”
ucap Maya sungguh-sungguh.
Ia tidak tahu apakah Masumi tulus membelanya, atau
ia hanya berusaha mempertahankan harga dirinya sebagai calon tunangan Maya.
Apapun itu, pembelaan Masumi tadi, sudah membuat Maya bertahan dan tidak
berlari dari tempat itu karena perasaan sakit hati.
“Te-terima kasih…. Karena sudah membelaku.”
Masumi terenyak, dan bisa merasakan hatinya perlahan
berdebar semakin keras dan semakin hangat. Pria itu tersenyum lembut.
“Tidak perlu berterima kasih. Aku sudah seharusnya
membelamu. Kau itu tunanganku. Tidak ada yang boleh menghina calon istriku.”
Tunanganku….
Calon istriku… kata-kata itu tidak terdengar terlalu
menyiksa telinganya dan mencekik lehernya lagi. Maya hanya menggigit bibir
bawahnya, merasa haru. Mungkin inilah yang Masumi maksud, bahwa pria itu akan
berusaha menjadi orang yang lebih baik baginya, dan membuat rasa cinta tumbuh
di antara mereka.
“Omong-omong, Maya… kau sadar kan, kalau kau sedang
memelukku sekarang dan ada banyak orang yang memperhatikan?” bisik Masumi,
menundukkan kepalanya kepada Maya yang berada dalam dekapannya.
Maya tertegun, dan berusaha mengembalikan
kesadarannya kembali. Benar saja. Dia memang sedang berpelukan dengan Masumi.
“Kya!” Maya terpekik kecil.
Karena terbawa perasaan berterima kasihnya tadi dia
langsung saja memeluk Masumi. Aduh! Bodohnya… kenapa dia sering bertindak tanpa
berpikir.
Namun saat Maya hendak memisahkan dirinya, pelukan
Masumi malah mengerat.
“Biar saja,” ujar Masumi. “Kita seperti ini dulu
sebentar.”
Pak… Pak
Masumi… wajah Maya terasa sangat panas dan benar-benar
malu, tetapi Masumi tidak juga membebaskannya.
“Biarkan para wartawan mendapatkan foto yang bagus
untuk adegan ini,” tukas Masumi.
“Pak Masumi…!” rajuk Maya, memprotes, namun gadis
itu sama sekali tidak berusaha membebaskan diri dari Masumi.
=//=
“Jadi, kau belum memutuskan peran mana yang akan kau
ambil?” tanya Masumi saat keduanya berjalan menuju gedung pusat kebudayaan.
“Belum. Aku tidak tahu pasti harus mengambil yang
mana. Yang pasti, peran ini sangat penting, harus bisa mengantarku ke
penghargaan seni. Rei bilang, aku harus mengambil peran yang besar.”
“Ophelia, Juliet. Itu peran-peran besar,” ujar
Masumi. “Wah… benar-benar tak mengira sampai-sampai peran gadis-gadis cantik
itu juga akhirnya ditawarkan kepadamu. Sepertinya Aldismu benar-benar
meyakinkan mereka.”
“Ya… begitulah,” ujar Maya agak malu. “Mungkin
mereka akan terkejut dengan bentuk asliku.”
“Hahaha…” Masumi tertawa. “Kau kan bukan siluman.
Lagipula,” Masumi mengamati Maya yang berdiri di sampingnya. Aku sudah bilang,
kau terlihat cantik hari ini?” tanyanya.
Napas Maya tertahan, dan ia membuang wajahnya. “Su-sudah!!”
“Percaya tidak?” tanya Masumi.
“Be-berisik!!” Maya tidak mau menoleh lagi. Karena
dengan begitu, Masumi tidak akan bisa melihat wajahnya yang sangat panas dan
semerah kepiting rebus.
Keduanya lantas memasuki gedung pusat kebudayaan,
dan Masumi menghampiri seorang pria tua. Setelah berbincang, Maya akhirnya tahu
bahwa Masumi sering datang ke tempat ini dahulu. Malahan, pria tua itu menyebut
Masumi dengan sebutan si kecil Masumi.
Dan, Masumi luar biasa ramahnya. Hal itu membuat
Maya terkejut.
“Naiklah melalui lift, pertunjukan sudah dimulai,”
terang pria tua itu.
“Baik, Paman. Nanti kita berbincang lagi,” pamit
Masumi yang membawa Maya menaiki lift.
“Ada apa?” tanya Masumi kepada Maya yang
mengamatinya dengan terheran-heran.
“Ternyata… Pak Masumi bisa bersikap ramah juga…”
ujar Maya.
“Tentu saja, memangnya aneh ya, jika aku bersikap
ramah?” tanya masumi.
Maya hanya diam dan kemudian mengangguk.
Tampaknya, hari ini ia akan melihat sisi Masumi yang
berbeda dari biasanya.
Saat keduanya memasuki planetarium, ruangan itu
sudah digelapkan dan mereka hampir tidak bisa melihat apa pun selain
bintang-bintang yang begitu banyak di atas mereka.
“Kita di sini saja,” kata Masumi.
Maya mengangguk.
Bintang-bintang itu sangat mengagumkan, berputar dan
membuat Maya merasa melayang di angkasa.
Luar biasa… pikir Maya. Aku merasa seperti terbang…
“Dulu aku sering datang ke sini,” terang Masumi. “Rasanya
semua masalah menjadi lebih ringan…”
Pak
Masumi… Maya bisa merasakan tangan pria itu yang meremas
bahunya.
Maya merasa seakan-akan mereka berdua melayang,
terbang ke angkasa. Maya sangat terpesona walaupun tidak melihat langit yang
sesungguhnya… namun rasanya begitu syahdu dan romantis.
Indah
sekali… batin Maya.
Keduanya kembali tersadar saat pengumuman bahwa
pertunjukan sudah selesai dan lampu dinyalakan kembali.
“Akh!!” Maya sempat merasa pusing saat ruangan
kembali benderang.
“Ups!” Masumi menangkap bahu Maya.
Maya tertegun dan menoleh. “Te-te-terima kasih,”
Maya berusaha membenahi dirinya. Ia mengamati Masumi yang tampak hangat, dan
terlihat lebih muda.
“Aku yang seharusnya berterima kasih. Kau sudah
menemaniku ke tempat kenangan. Terima kasih, ya,” kata Masumi dengan lembut dan
tersenyum.
Maya bisa merasakan wajahnya mendadak panas karena
senyuman itu.
“Bagaimana pertunjukannya?” tanya paman yang tadi
menyapa Masumi di lantai bawah.
“Paman!” sapa Masumi, “Masih menyenangkan seperti
dahulu, dan tampaknya sekarang peralatannya sudah semakin modern.”
“Ya, benar sekali, kami berusaha selalu
memperbaharuinya dengan teknologi yang berkembang,” terang Paman itu.
“Boleh aku melihat proyektornya?” pinta Masumi.
“Ya, tentu saja,” sambut paman itu dengan ramah. Tak
lama pandangannya jatuh kepada Maya. “Apa kau… keponakannya?” tanyanya.
“Ah, eh… bu-bukan… saya…” Maya agak canggung, tak
tahu harus bicara apa. “Saya…”
“Calon isteriku,” sambung Masumi seraya menahan
hidungnya supaya tidak terlihat terlalu senang dan bangga.
“Ha? Calon… isteri?” Paman itu pun terlihat tidak
bisa menyembunyikan semua keterkejutannya seperti semua orang yang mendengar
kabar tersebut.
“Ya, rencananya kami akan segera menikah,” imbuh
Masumi.
“Wah... selamat ya… aku tidak mengira bahwa anak
laki-laki yang dulu sering menangis sendirian itu sekarang sudah mau menikah.”
Eh? Maya tertegun. Menangis… sendirian? Pak Masumi?
“Ya, terima kasih Paman... Aku tak mengira Paman
masih saja ingat dengan kejadian tersebut,” aku Masumi, agak malu. “Baiklah,
kami harus segera pergi. Kapan-kapan kami akan datang lagi ke sini.”
“Ya, Masumi, datanglah lagi kapan-kapan…” sahut
Paman itu dengan keramahan yang sama seperti dahulu.
“Pak Masumi… benarkah kau dulu suka datang ke sini dan
menangis sendirian?” tanya Maya dengan tatapan heran dan tidak percaya.
Masumi melirik tipis sebelum menjawab, “Kenapa? Kau
mau mengejekku?”
“Tidak. aku hanya tidak mengira Pak Masumi bisa
menangis.” Maya menatap Masumi lekat-lekat. “Saat itu sedang kepedasan ya? Atau
habis mengiris bawang?”
Masumi menahan tawanya yang geli. “Aku juga bisa
menangis, tahu! Karena mataku berfungsi sama seperti yang lainnya.”
“Ya… tapi hatimu tidak!” sindir Maya dengan pedas.
Masumi berdecak, kesal lagi. Maya memang tak bisa
diberi kesempatan, langsung saja hobinya menindas Masumi muncul lagi.
“Aku saat itu sedang sangat kesal,” aku Masumi.
“Saudara tiriku datang berkunjung,mengejek aku dan ibuku. Aku tidak terima dan
kemudian aku menantangnya lalu berkelahi. Sepupuku itu menangis tetapi orangtua
mereka mengejekku, mengatakan aku anak pembantu, tidak tahu adat, kurang ajar
dan lain sebagainya. Mereka juga mendesak dan menghina ibuku, mengatakan tidak
bisa mendidikku,” Masumi tercekat. Itu memang kenangan masa kecil, tetapi sesaknya
masih saja sama walaupu sudah berlalu belasan tahun. “Dan ibu menyuruhku
meminta maaf kepada mereka walaupun aku tidak salah apa-apa. Aku menolak dan
pergi dari rumah. Itu… pertama kalinya aku menentang perintah ibu…”
Maya trenyuh mendengar pengakuan Masumi. Ia tak
mengira pria itu begitu menyayangi ibunya dan sepertinya masa lalunya kurang
menyenangkan. Pak Masumi…
Tentu saja, Masumi pasti menyayangi ibunya. Jika
tidak, mana mungkin Masumi setuju dijodohkan dengan gadis sepertinya kan?
Saat Maya tengah memikirkan hal itu, keduanya sudah
masuk ke dalam arus manusia di tengah festival. Maya bahkan tidak menyadari
bahwa mereka menuju keramaian.
“Nah, mau jajan sesuatu? Mau main sesuatu?”
“Tidak,” sahut Maya cepat. Ia ingin cepat pulang.
Berapa lama Masumi berniat menahannya?
“Benar? Ayolah… jangan malu-malu,” ajak Masumi.
“Kapan kau terakhir datang ke festival?”
Maya mengerutkan dahinya saat berpikir. Masumi benar
juga, sudah sangat lama Maya tak pernah mengunjungi festival. Dan juga, melihat
orang-orang di sekelilingnya yang terlihat riang di tengah berbagai keseruan
festival, Maya memang jadi tergiur menikmati suasana yang sama.
“Baiklah!” putus Maya. “Aku tidak akan malu-malu.
Aku mau main itu!” Maya menunjuk tangkap ikan koki. “Tetapi aku mau Pak Masumi
juga main denganku!”
“Ha? Aku? Tapi aku—“
“Apa!?” Maya mengangkat dagunya, “malu-malu?”
“Bukannya malu-malu, aku kan… sudah… dewasa, jadi
aku…” Masumi dengan bingung mengamati para pemuda di sekelilingnya.
“Payah!” ejek Maya. “Calon suami macam apa ini?
Pengecut.”
“Ha?” Masumi tertegun. Calon suami… Maya baru saja menyebutku calon suami…? Jantung Masumi
berdegup bahagia, matanya mendadak bersinar-sinar dan dia menukas keras. “Baik!
Aku akan melakukannya!”
Wah…
dasar tak mau kalah… batin Maya.
Namun berapa kali pun mencoba, Maya tidak bisa
menangkap ikan koki tersebut. Masumi sebaliknya. Ia dengan mudah melakukannya.
“Jangan terlalu keras,” ujar Masumi, saat Maya sudah
menghabiskan tujuh buah saringan kertas. “Seperti ini,” Masumi lantas
menggenggam tangan Maya yang sedang memegang saringan kertas kelima.
Maya terkejut bukan main karena sekali lagi Masumi
seenaknya saja menggenggam tangannya. Entah kenapa tubuhnya mendadak kaku.
Masumi menggerakkan tangan mereka dengan gemulai dan
penuh perhitungan, hingga akhirnya berhasil menangkap seekor ikan koki dan
langsung dimasukkan ke dalam plastik.
“Nah, bisa kan?” Masumi tersenyum.
Maya hanya menatap pria itu dengan perasaan tak
menentu dan tangannya juga masih menggenggam erat tangan Maya. Tiba-tiba tepuk
tangan diberikan orang-orang di sekeliling mereka. Tampaknya orang-orang itu
juga ikut senang Maya berhasil menangkap ikan kokinya.
“A-ah… a…” Maya terbata, tak sanggup bicara apa-apa
selain wajahnya yang menghangat.
“Wah, akhirnya bisa dapat ikannya ya, kalau sudah
bisa dibantu pamannya,” ujar si tukang ikan yang segera saja merasakan
jantungnya berhenti berebar saat tatapan mengecam Masumi mengarah kepadanya.
“Saya calon suaminya. Kami ini bertunangan,” tegas
Masumi.
“Wah… eh, ya, wah… serasi ya, kalian serasi…” tukang
ikan itu cengengesan ngeri. “Sangat serasi,” dia bertepuk tangan dan disusul
para pengunjung lainnya yang juga bertepuk tangan.
Masumi akhirnya tersenyum senang. “Terima kasih,”
tukasnya.
Sementara Maya agak cemberut karena malu dengan
sambutan meriah itu.
Akhirnya tak berapa lama Maya sudah memegangi begitu
banyak mainan di tangannya. Tiba-tiba…
“Pak Masumi…” desis Maya saat mengamati seorang anak
kecil yang tampak terisak-isak sendirian di tengah keramaian festval itu.
Masumi segera menghampirinya bersama Maya.
“Ada apa?” tanya Masumi, agak membungkukkan badannya
kepada anak itu. “Ibumu ke mana?”
“Tidak tahu…” anak itu menggeleng dengan sedih dan
kembali tersedu-sedu.
Masumi meraih anak itu dan menaikkannya ke bahunya.
“Nah, kalo begitu, ayo panggil ibumu keras-keras,” perintah Masumi. “Ayo…”
Dan anak itu pun menangis dengan lantang. Suaranya
begitu keras hingga sekeliling mereka menoleh dan mengamatinya.
Maya merasa agak rikuh sekaligus iba, ia tidak tahu
kenapa Masumi melakukannya. Namun dia akhirnya tahu saat seorang ibu menoleh
dan menghampiri mereka dengan beruraian air mata. Ternyata dialah ibu si anak
itu.
“Terima kasih banyak, terima kasih… saya benar-benar
kebingungan. Maaf sudah merepotkan, terima kasih… terima kasih,,,” Ibu itu
membungkuk berkali-kali.
Maya tertegun, ia mengamati Masumi. Kenapa pria itu
memedulikan anak tadi? Bukankah dia bisa saja bersikap cuek dan tidak peduli?
“Ada apa?” tanya Masumi. “Kau terpesona dengan
ketampananku,” Masumi tersenyum menggodanya.
Maya terenyak dan memanyunkan bibirnya. “Tidak!”
alisnya mulai berkerut sebal. “Aku hanya heran… Pak Masumi bisa juga berbuat
baik.”
“Waah… kau berpikir aku baik?” Masumi terbahak. “Kau
keterlaluan. Aku juga pernah kecil, dan aku tahu bagaimana rasanya saat
terpisah dari ibuku di tengah keramaian…”
“Hah!? Pak Masumi pernah kecil juga?” tanya Maya
dengan suara lantang.
“Ya tentu saja! Kau pikir aku tiba-tiba saja sebesar
ini?”
“Tapi aku tidak bisa membayangkan masa kecil Pak
Masumi…” Maya bicara seperti kumur-kumur.
“Menurutmu, bagaimana saat aku kecil?” tanya Masumi.
“Ha? Saat Pak Masumi kecil? Hummm….” Maya sekali
lagi mengerutkan dahi dan berpikir serius. “Pasti Pak Masumi nakal,
menyebalkan, dan suka menindas orang lain!”
“Hahaha…” Masumi terbahak. “Kau ini jahat sekali. Saat
aku masih kecil, aku ini anak yang sangat baik…”
“Oh, ya? Lalu tiba-tiba berubah, begitu?” sindir
Maya.
“Ya…” Masumi menghela napas berat. Ia segera
teringat bagaimana kasarnya Eisuke si tangan besi memperlakukannya.
“Aneh…” gumam Maya saat mendengar penjelasan Masumi.
“Pak Masumi kan bukan Satria Baja Hitam, kenapa bisa tiba-tiba berubah?” tukas
gadis itu seraya menggaruk-garuk kepalanya dan mengendikkan bahunya cuek.
“Heh?” Masumi mendelik sebal dengan pernyataan tak
acuh Maya. “Memangnya hanya Satria Baja Hitam yang bisa tiba-tiba berubah? Aku
juga bisa!” debat Masumi.
“Tidak. Sailormoon juga bisa. Tapi Pak Masumi kan
tidak cocok memakai rok mini! Atau… Aku salah ya?” Maya menyeringai mengejek.
Masumi mendengus gemas sementara Maya berlalu dengan
sikap cueknya. Kesal juga, Maya sangat sulit menganggapnya serius. Ah,
sudahlah. Yang pasti Maya tidak terus menerus berbicara mengenai rencana
membatalkan pernikahan mereka.
Keduanya melanjutkan makan malam di sebuah restoran
mewah. Rencana Masumi sekarang, apalagi kalau bukan melakukan pendekatan.
Mungkin… dia bisa membacakan puisi? Atau… merayu gadis itu? Mengatakan dia
gadis tercantik yang Masumi pernah lihat? Bahwa Maya memiliki mata terindah
yang bisa dimiliki seorang wanita?
“Apa sih?” bentak Maya lagi. Ia tak mengerti kenapa
Masumi suka mengamatinya lekat-lekat seperti itu. Apa pria ini tidak mengerti
bahwa dirinya merasa jengah? Dipelototi seperti sepotong paha ayam.
“Oh, tidak!” Masumi sendiri tak menyadari tindakan
kurang sopannya itu. “Itu… salon yang kaudatangi… mereka bekerja dengan baik,”
tukasnya.
“Anda benar-benar berniat mau ke salon itu ya? Kan
sudah kubilang, itu salon khusus wanita! Pak Masumi ini kenapa sih? Aneh
sekali…” gerutu Maya. “Tadi mau jadi Sailormoon, lalu sekarang mau pergi ke salon
wanita. Jangan-jangan Anda dingin kepada wanita karena memang—“
“Hhmmm!!??’ Masumi mengangkat sebelah alisnya. “Kau
mau aku memberikan pembuktian? Kau mau kejadian kemarin terjadi lagi?”
Maya langsung saja ingat bagaimana Masumi menciumnya
saat di dalam mobil. “Hummph!!” Maya membekap mulutnya sendiri dan
menggeleng-geleng takut. “Tidak… tidak…” tolaknya.
Masumi mendengus dan menatap Maya tajam. “Jadi
jangan bicara yang tidak-tidak lagi. Mengerti!?”
Maya mengerucutkan bibirnya sebal. Ia tidak bisa
apa-apa kalau Masumi sudah mengintimidasinya seperti itu. Keduanya lantas makan
malam. Seperti biasa Masumi begitu royal. Ia memesan menu lengkap pembuka, menu
utama, bahkan dua makanan penutup. Maya benar-benar heran dengan cara pria itu menghabiskan
uang. Apalagi jika melihat harga-harga di menu yang membuatnya menggelengkan
kepala.
Tetapi keheranannya tidak pernah melebihi rasa heran
karena ia menyadari Masumi yang duduk di hadapannya itu sering sekali
menatapnya lekat.
“A-ada apa sih?” tanya Maya dengan risi. “Ada yang
salah dengan mukaku ya?”
Ya ampun anak ini memang tidak bisa mengerti? Bahwa
dia terlihat sangat cantik hari ini? Pikir Masumi.
“Aku akan melihat apa saja yang ingin kulihat,”
terang Masumi.
Maya mendengus sebal. “Tapi ini wajahku! Aku tidak
suka ditatap seperti itu!”
“Apa masalahnya!? Aku calon suamimu!”
“Itu lagi! Itu lagi! Bicaranya ke situ-situ lagi!
Bisa tidak jangan mengatakannya terus!?”
“Aku akan mengatakannya berapa kali pun! Aku calon
suamimu! Aku calon suamimu! Aku calon suamimu!!” ujar Masumi keras kepala.
“Cih!!” Maya mengecam. Ia sebal bagaimana Masumi
selalu melakukan apa yang tidak disukainya. Pasti Masumi mengatakannya pun
bukan karena pria itu senang menjadi calon suaminya. Pasti hanya karena dia
tahu hal itu akan membuat Maya kesal.
Saat itu tiba-tiba saja ponsel Masumi berbunyi.
Masumi permisi sejenak untuk mengangkatnya. Ia sangat terkejut saat mendengar
kabar mengenai Bu Mayuko.
“Maya, kita harus segera pergi,” terang Masumi
dengan resah.
“Ada apa?” Dahi Maya berkerut.
“Ada sesuatu… dengan Bu Mayuko.”
“Bu Mayuko?” wajah Maya pucat seketika. “A-ada apa
dengan Bu Mayuko…?”
“Bu Mayuko…” Masumi menelan ludahnya pahit. “Dia…”
=//=
Mobil Masumi memacu dengan cepat menuju tempat Bu
Mayuko.
Bu Mayuko… kenapa harus sekarang? Di saat aku sedang
berduaan dengan Maya… Kenapa…!!? Masumi mengeratkan pegangannya di setir.
Mobil itu tiba di teater Hayami yang halamannya
tampak ramai dipenuhi orang-orang. Maya dan Masumi menerobosnya.
“Lihat! Itu Bu Mayuko…!” tunjuk seseorang dengan tak
percaya.
Mata Maya membulat kaget dengan apa yang dilihatnya.
Mayuko berada di atap, berjalan di pembatasnya
dengan memakai baju balet berwarna hitam dan stoking berwarna senada.
“Ibu!!!” panggil Maya tak percaya, mendongak
mengamati Mayuko yang masih lincah menari. “I-ibu Mayuko, kenapa…?” tanya Maya
dengan mata berkaca-kaca. Ia tampak sangat khawatir, takut gurunya jatuh.
“Maya!!” Sayaka berhambur menghampiri Maya. “Kau
kemana saja? Kami sedari tadi mencarimu…”
“Ah, a-aku… aku…” Maya melirik Masumi yang bersamanya.
Sayaka sepertinya mengerti bahwa calon suami isteri
itu tadi pergi berkencan.
“Ada apa dengan Bu Mayuko?” tanya Masumi dengan
suaranya yang berwibawa.
“Ah… itu…” Taiko tampak resah. “Tadi Pak Genzo
menghubungi. Dia bilang… Bu Mayuko terlalu banyak minum karena memikirkan
mengenai Bidadari Merah. Tiba-tiba… Bu Mayuko mengatakan ia akan menarikan
tarian balet swan lake di pesta tunanganmu nanti.”
“Hah!? APA!!?” Maya dan Masumi terlonjak bersamaan.
“Tanpa bisa dicegah Pak genzo, Bu Mayuko sudah
berganti pakaian balet. Awalnya dia hanya berlatih di dalam teater. Tiba-tiba
Bu Mayuko bersikeras ingin berlatih di luar dan sudah berada di atap sana….”
terang Mina.
“A-apa…?” Maya tak percaya. Ia kembali mendongak,
menatap Bu Mayuko dan kulit tangannya yang terlihat kisut terentang seperti
hendak terbang. Ibu… Maya trenyuh. “Mana Pak Genzo!!?” bentak Maya.
“Di-di sana…” Mina menunjuk kepada Pak Genzo yang
tampak kahwatir—sekaligus kagum—kepada kelincahan Mayuko yang meniti tepi
pembatas.
“Pak Genzo!!” Labrak Maya, “Apa yang Anda lakukan!!?
Kenapa Bu Mayuko bisa sampai mabuk!!? Dari mana bu Mayuko bisa memiliki baju
baleet!!?” tanya Maya dengan geram.
“I-itu… aku… aku…” Pak Genzo gelagapan, merasa
bersalah.
“Bagaimana bisa Anda lalai sampai Bu Mayuko
membahayakan dirinya sendiri seperti itu! Dan… dan kenapa kau tidak memintanya
turun!!?”
“Bu Mayuko tidak memperbolehkan siapa pun mendekat…
Jika kami mendekat… Dia akan loncat!”
“Apa!!?” Maya terenyak. “I.. ibu…” Mata Maya kembali
berkaca-kaca, mengamati Mayuko yang dengan lincah melompat-lompat di ujung
jemarinya.
“Tenanglah Maya, aku akan coba mengatasinya,” ujar
Masumi tiba-tiba. Sifat kepahlawanannya senantiasa tergugah jika Maya terlihat
sedih seperti itu.
Akhirnya, setelah Masumi mengajak Bu Mayuko bicara,
menjanjikan kenaikan gaji, dan bahwa Mayuko akan menari balet di pesta
pertunangannya, Mayuko setuju menghentikan ‘latihannya’ malam itu.
Kejadian mengejutkan sempat terjadi saat Bu Mayuko
tiba-tiba saja pingsan. Namun ternyata, saat dihampiri, Bu Mayuko ternyata hanya
jatuh tertidur.
“Ibu…” Maya menggenggam tangan tua ibu guru yang
sangat dicintainya itu. Ia sangat terharu ibu gurunya itu sangat ingin ikut
berpartisipasi pada pesta pertunangannya nanti. Ia sangat lega melihat ibu
gurunya baik-baik saja dan tidak cedera. Setelah memastikan Mayuko baik-baik
saja, Masumi mengantar Maya dan ketiga
temannya kembali ke tempatnya masing-masing.
“Terima kasih sudah menemaniku,” ucap Masumi saat
mereka tiba di apartemen Maya dan hanya berdua saja. Maya tampak agak kerepotan
memegangi semua barang yang didapatkannya dari berjalan-jalan di festival.
“Sama-sama,” jawab Maya dengan wajah menghangat
karena sikap sopan Masumi. Ia tidak tahu pasti bagaimana harus mengakhiri
kencan mereka hari ini. Jadi Maya hanya diam saja dan menunduk. Saat ia
mengangkat wajahnya lagi, Maya sangat terkejut karena Masumi mengamatinya
dengan lekat dan… wajah pria itu mendekat!
E… eh! Eh…! Maya panik bukan kepalang. Matanya
membulat dan jantungnya berdebar cepat. Langsung saja ia ingat kejadian sebelumnya.
Apakah Masumi hendak menciumnya lagi?
Maya benar-benar panik! Tetapi dia tidak bisa
berbuat apa-apa. Tangannya juga tidak bisa mencegah pria itu mendekat, dan
entah kenapa suaranya langsung tercekat.
Tidak!! Maya memecamkan matanya erat-erat dan menundukkan
wajahnya untuk menghindar. Ia lantas merasakan sentuhan di bibirnya.
Sejenak rasanya jantung Maya berhenti berdetak.
“Kau kenapa?” tanya Masumi heran.
Eh? Maya tertegun. Ia membuka matanya lagi dan
mendapati ibu jari Masumi menyentuh bibirnya. Eh… eh…!? Maya masih linglung
karena apa yang Masumi lakukan tidak sesuai yang ia harapkan. Eh, ehm!! Maksudnya
yang dia perkirakan.
“Ada krim di bibirmu,” terang Masumi setelah
menurunkan ibu jarinya lagi. “Kau sengaja ya menyisakannya sebagai oleh-oleh?”
ledek Masumi sebelum tergelak cukup keras.
Maya yang masih salah tingkah karena salah berpikir,
tidak bisa menimpali walaupun dia sebal bukan main dengan selorohan Masumi.
Maya hanya bisa cemberut dan mendelik keki.
“Kenapa?” tanya Masumi heran. Ia lantas menyeringai
lagi, “Kau pikir tadi aku hendak menciummu ya?”
“HAH!?” Maya terkesiap.
“Wah… kenapa tidak bilang?” Masumi tak berhenti
menggodanya. “Kalau memang mau, aku bisa kok… AWWWW!!! Adduuhh…” Masumi
memegangi kakinya yang baru saja diinjak sangat keras oleh Maya.
“Laki-laki menyebalkan!! Si-siapa yang mau dicium
olehmu!! Ukh!! Weeeekk!!!” Maya menjulurkan lidahnya panjang-panjang sebelum
berusaha keras masuk ke dalam apartemennya dan sekali lagi melemparkan lirikan
sebal sebelum menghilang di balik pintu.
Sementara Masumi masih meringis kesakitan karena
kakinya berdenyut-denyut. Gadis itu sungguh-sungguh menginjak kakinya dengan
sekuat tenaga.
“Dasar menyebalkan…! Siapa yang ingin diciumnya? Ih!
Melihatnya saja aku sebal…” Maya merinding. “Apa-apaan sih dia itu… memangnya
siapa dia? Seenaknya bicara yang bukan-bukan mengenai aku!” Maya masih
menggerutu panjang pendek saat masuk ke dalam apartemennya dan mendapati Rei
yang baru saja selesai membersihkan diri.
“Maya! Bagaimana bu Mayuko? Maaf, aku tidak bisa ke
sana tadi… di café-ku sedang sangat banyak pengunjung dan master tidak
mengijinkanku untuk pergi…” sesal Rei.
“Tidak apa-apa Rei, sudah beres… Pak Masumi
mengatakan Bu Mayuko boleh menari balet di pesta pertunangan kami nanti.”
“Hah!!? Menari balet? Memangnya… Bu Mayuko bisa?”
“Aku tidak tahu…” ujar Maya, tidak mau menambah
beban pikirannya. Sudah banyak hal yang membuatnya pusing. Jadi, jika menari
balet bisa membuat Bu Mayuko senang, Maya juga akan ikut senang.
“Apa itu di tanganmu?” tanya Rei.
“Oh, i-ini… oleh-oleh dari festival.”
“Festival? Kau pergi ke festival dengan siapa? Tadi
teman-teman bilang mereka tidak bisa menemukanmu. Lalu bagaimana pertemuanmu
dengan keluarga Hayami? Kau membuat mereka terkesan kan?” Rei tersenyum yakin.
“Oh, i-itu…” Maya akhirnya menceritakan bahwa
pertemuannya dan keluarga Hayami yang batal dan berakhir dengan berkencan
bersama Masumi. “Huh! Melelahkan seharian bersama dia! Mudah-mudahan saja… aku
tidak harus melihatnya sampai waktu pertunangan kami!” harap Maya.
Namun, tampaknya harapan itu sia-sia. Karena, di
pagi-pagi buta, Maya harus sudah melihat calon suaminya itu di ambang pintu
apartemennya lagi.
“HA!!? A-ada apa!!? Sedang apa pagi-pagi begini
sudah mencemari pemandangan di apartemenku!!?” hardik Maya.
Ya ampun… apa tidak ada kata-kata lain yang lebih
sadis lagi? Batin Masumi.
Wajah Masumi berubah tegas. “Ikut aku!” perintahnya.
“Ha!? Ke mana lagi?” Maya protes.
“Temani aku. Seharian ini, kau harus berada di
sisiku dan membantuku melakukan banyak hal!”
“A-apa!!? Kepalamu terbentur meteor ya? Kenapa aku
harus…”
“Ini!” Masumi menunjuk ke arah kakinya.
Maya menunduk, dan ia mendapati ibu jari kaki Masumi
diperban dan pria itu menggunakan sandal, bukan sepatu.
“Gara-gara kau menginjakku semalam, ibu jari kakiku
jadi bengkak dan aku tidak bisa bergerak bebas ke sana kemari,” tegas Masumi.
“Aku menuntut tanggung jawabmu! Kau harus membantuku sampai ibu jari kakiku
sembuh!”
“Hah!? Ta-tapi… tapi…” Maya gelagapan, bingung.
Antara enggan dan merasa bersalah. Sepertinya Masumi sangat kesakitan.
“Kenapa? Mau lari dari tanggung jawab? Kau tahu
tidak sakitnya berjalan ke sana kemari dengan kaki seperti ini? Karena itu, kau
harus membantuku!" tuntut Masumi, meminta keadilan.
Maya menunduk. Masumi benar. Ia jadi iba dan merasa
sangat bersalah.
“Baiklah…” Maya akhirnya setuju. “Tapi… tunggu
sebentar, aku mau mandi dulu,” ungkap Maya yang teringat dia masih berada dalam
kondisi memalukan.
“Ya. Cepatlah!” perintah Masumi dengan kesal. “Aku
ada rapat penting pagi ini, tidak boleh terlambat!” terangnya.
“Iya, iya, tunggu sebentar!!” sahut Maya.
Masumi menyeringai. Semoga saja gadis itu tidak tahu
bahwa dia hanya berpura-pura. Aduh, Masumi rasanya tidak tahan. Ingin tertawa
terbahak-bahak karena rencananya berhasil.
Namun wajahnya berubah serius dan keki saat Maya
kembali berbalik.
“Pak Masumi tunggulah di dalam. Bisa duduk di
zabuton tidak?” tanya Maya khawatir.
“Bisa. Sudah, sana cepat mandi! Aku tidak boleh
terlambat.”
“Iya! Iya!” tukas Maya. Apa sih dia ini… kenapa marah-marah terus? Aku kan hanya khawatir.
Tapi… bagaimana pun ini adalah kesalahanku… batin Maya. Baiklah… aku harus menebusnya. Aku akan
membantu Pak Masumi selama dia membutuhkanku.
Bersambung ke 2MakeU 5
28 comments:
Toooo tweettt....
sukaaa dee..... biar tetap seperti iniiiiiiii.... jng mpe du ganggu ma shiori lagii..
Sweet part dr to make u. Berharap lebih banyak sweet part 2 yg lain..
maya mulai cinta sama masumiii....lanjutkannnnn....
Yaayyyyy.. melihat bintang yaaa...
Jeleesss deh ama maya...
Masumi, aishiterun
Yaah kelebihan n jd ga romantis haha, pake tab susyeeeh
wuih.... sepertinya maya mulai merasakan sedikit cinta masumi..... >_<
lanjut lg sis ty..... ^^
Sweeeeeeetttt and lucuuuuu bnget, sukaaaaa
Bikin ketawa ketawa sendiri
Hahahahaahahahha
~Rizky Muazarah
aih mayaaaa kenapa so oon sekali huhuhuhu
maya, aku ingin bertukar tempat denganmu... *melting
berdua melihat bintang, romantisnyaaaaaaaa.....
~meliana~
duhhh duhhh cara Masumi bela Maya juga bikin sayahh ga sadar meluk Masumi hehehehe
So sweeeeeeeeeettt.....!!! (^_^)...
sukaaaa.....sukaaaa....sukaaaaa!!!!
~ afniazma ~
Sigh.....berharap masumi asli se gentle masumi disinih...
kocak abis. si shiori kayanya lg cari amunisi buat ngegerecokin maya masumi nih.
(nadine)
Kyaaa... liciiikkkk masumi.. tp stujuuu aja.. hehe..
Wkwkwkwkwwk
Bu mayuko lucu
@medina dina
Awwwwww...so sweet!!! Gitu dong Masumi..never give up!!! --- Isma Ryan---
wkwkwk.... terus.... aja... perjuangan masumi dalam mendapatkan hati maya..... jln nya kyanya masih pjg.... ^^
lnjut.... lagi... sis ty....
Sukaaaaa cepet update lg yah ty
Tetap seperti ini yaaaaahhhhhhhhh sweeeeeeettttt
wakakkakakkkk!!! jempol kaki juga dibawa-bawaaaaaa mantapppp dah!! lanjutkaannnn tyyyyyy...ngekek ini bacanya hahahhaha - reita
Kocak bu mayuko hahahahahahaha
~Rizky Muazarah
hahahaha ..... masumi mmg pling bisa deh. ayo masumi bkin maya jatuh cinta
Wkwkwkkk...masumi seruuuu beneer
bu mayuko pake baju balet wkwkwkwkwk..... ty paling bisa deh.... masumi.... masumi.... modus nya menjadi-jadi.... hahahahahaha
bu mayuko pake baju balet? haddddeeeeuh ty ni paling bisa deh.... n masumi juga, modus nya makin jadi... hahahahahaha sukaaaaa......
Post a Comment
Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)