Rating: 18+
Intimacy : Skinship, kissu
Genre : Young Adult Comedy Romance
Setting: Setelah Maya selesai memerankan Aldis di Dua Putri
Dilarang mempalgiat sebagian/seluruh cerita dan kopi paste di tempat lain.
To Make You Love Me
(Chapter 1)
“Ayah, sudah berapa kali kukatakan bahwa aku belum
memikirkan masalah perjodohan!” tegas Masumi kepada ayahnya, Eisuke Hayami.
“Tidak!! Kali ini, kau harus melihatnya! Dia berbeda
dengan calon-calon sebelumnya!!” Eisuke tak kalah tegas.
“Tetapi, Ayah…!!?”
“Ambil!!” bentak ayahnya.
Masumi menelan ludahnya. Dan menegangkan rahangnya. Ia
meraih sebuah map. Di baliknya, ada calon istri—lagi—untuknya.
Baiklah, batin Masumi. Aku
akan meraihnya, membukanya dengan malas dan mencari alasan pertama yang bisa
kugunakan untuk menolaknya.
Dengan enggan Masumi membuka foto tersebut. Sejenak ia
terenyak. Matanya membulat dan beberapa saat jantungnya terasa berhenti
berdetak.
Tidak
mungkin! Gadis ini…? Dia…. Jantung
Masumi segera berdebar keras. Apa ini?
Permainan takdir? Lelucon yang tidak lucu…? Atau… Mukjizat? Jantungnya berpacu
semakin keras, lagi, dan lagi.
“A-Ayah….” Desis Masumi, menatap bingung kepada
ayahnya.
“Itu calon istrimu. Jika kau bisa menikah dengannya,
aku yakin akan mendatangkan keuntungan bagi Daito, dan akan semakin mudah—“
“Tetapi tidak mungkin!” seru Masumi. “Dia itu… dia…
Dia tak mungkin setuju dengan perjodohan ini! Maya Kitajima tidak akan mau
dijodohkan denganku!”
“Dia harus mau!” tegas Ayahnya. “Dia tidak akan bisa
menolak! Pokoknya, kau harus menikah dengannya, minimal sampai dipastikan
apakah dia atau Ayumi yang mendapatkan Bidadari Merah. Jika dia tidak berguna,
kau bisa menceraikannya nanti!” ujar ayahnya dengan dingin namun cukup gearm.
“A-apa… maksud Ayah?”
“Ini adalah caraku berterima kasih kepada ibumu,”
tegasnya Eisuke seraya mengangguk-angguk kaku. “Pak Miyake!”
Saat itu, seseorang yang cukup tua masuk ke dalam
ruangan. Ia menghormat.
“Dia akan memberitahumu mengenai sesuatu! Setelah itu,
cepat putuskan apakah kau mau menerima perjodohan ini atau menolaknya!”
Menolak? Menolak dijodohkan dengan bintang hatinya?
Cahaya hidupnya? Idamannya? Pujaannya? Mustahil. Sangat mustahil. Masumi tidak
tahu mukjizat apa yang sedang bekerja saat ini. Namun Masumi mungkin bisa
membuat satu jilid buku berisi puisi-puisi cinta saat ini. Ia sangat bahagia!
Tetapi… bagaimana dengan Maya…!?
=//=
Maya masih bisa merasakan setiap bagian tubuhnya saat
menjadi Aldis. Walaupun banyak yang berpendapat bahwa Origeld Ayumi jauh lebih
baik dari Aldis yang Maya perankan, namun Maya tidak peduli. Baginya ia sudah
sangat bahagia bisa menjadi seorang putri walaupun hanya dalam dunia mimpi.
Dunia sejuta pelangi. Putri Aldis. Ia pasti akan merindukan perasaan ini.
"Maya." panggil Rei. "kau sudah
ditunggu di ruang pesta."
"Ah... Baik!" Maya bergegas mengikuti rei
keluar menuju tempat diadakannya pesta.
“Aldis sudah tiba,” kata seseorang. Maya tertegun saat
tatapan orang_orang di sana beralih kepadanya. Ia mematung, tak tahu apa yang
harus dilakukannya. Ia tahu orang _orang itu pasti bingung karena sekarang
putri angsa sudah kembali menjadi itik buruk rupa kembali. “Ah, uhm., anu.,” Maya
yang tidak tahu apa yang harus dilakukannya tampak kikuk. Walaupun ia tidak
tahu apa yang harus dikatakannya, ia juga merasa harus mengatakan sesuatu
tetapi… Apa?
“Selamat datang Putri Aldis.”
Ya ampun, suara itu!
Maya menoleh dan mendapati pria menyebalkan itu berjalan
menghampirinya. Ukh! Kenapa harus dia! Rutuk Maya dalam hatinya.
Belum sempat Maya menghardik Masumi agar jangan
mendekatinya, tiba-tiba tangan pria itu meraih telapaknya dan mencium punggung
tangannya!
Maya sangat terkejut dan otomatis tubuhnya merinding
dengan perlakuan tak biasa Masumi kepadany. Dan masalahnya, ini kan di tempat
umum! Bukan berarti ia akan mengijinkan pria itu melakukannya di tempat yang
lebih sepi.
Dengan kasar Maya menarik tangannya dan menerutkan
dahinya kesal namun rupanya tingkah pria itu tidak berhenti sampai di sana ia
lantas menyerahkan sebuah buket bunga yang semenjak tadi dibawanya.
“Semoga Tuan Putri berkenan.” katanya.
Maya menatap buket bunga itu dengan bingung.
“Apa ini?” tanya Maya ingung sekaligus enggan
sementara pria di hadapannya hanya tersenyum menyebalkan dengan penuh muslihat.
“Bukankah kita pernah bertaruh, kubilang aku akan
memberimu banyak bunga jika kau berhasil memerankannya kan?”
Maya mengamati Masumi. Apa maksud pria itu
melakukannya di sini? Sekarang? Di hadapan orang-orang ini?
Tetapi akhirnya Maya menerimanya. “Te te terima kasih,”
ujarnya dengan tak rela.
“Sama-sama,” jawab pria itu dengan senyuman
menyebalkan yang masih terpasang di wajahnya. Namun selanjutnya apa yang Masumi
lakukan cukup mengejutkan Maya. Pria itu tersenyum hangat dan bertepuk tangan.
Begitu juga orang-orang yang ada di sekitar mereka. Wajah Maya merona dengan
sambutan mereka. Bahkan Ayumi dan juga bu Mayuko yang sudah berada di ruangan
itu terlebih dahulu juga bertepuk tangan untuknya. Maya sangat terharu
karenanya. Beberapa orang lantas menghampiri dan mengucapkan selamat kepadanya
yang sudah sukses memerankan Aldis. Beberapa hadirin dan juga wartawan
membicarakan mengenai buket bunga yang diberikan oleh Masumi.
“Wah. Pak Masumi sampai memberikan buket bunga. Dia
kan sangat jarang melakukannya, hanya aktris yang patut diperhitungkan yang
dikiriminya buket bunga.”
Maya terkejut mendengar pernyataan itu. Ah, tapi dia
kan tahu alasan kenapa pria itu memberinya bunga, bukan karena Masumi memang
menganggapnya sehebat itu melainkan karena Masumi memang kalah bertaruh
dengannya. Pria itu yakin sekali Maya tidak akan mampu memerankan putri Aldis
sekarang pria itu harus menjilat ludahnya sendiri.
Huh!
Aku kan memang layak mendapat bunga ini. Dia sendiri yang mengajakku bertaruh.
Namun ternyata Maya tidak begitu saja terbebas dari
pria itu. Setiap kali Maya bicara dengan seseorang, tiba-tiba saja dia sudah
berada di samping Maya dan ikut bicara. Anehnya, tidak lama kemudian Masumi
jadi mengendalikan pembicaraan.
Maya jadi teringat saat mawar ungu mengajaknya makan
malam dan yang muncul malah Masumi Hayami. Walaupun dia itu tamu tak diundang
dia malah jadi moderatornya. Begitu juga dengan saat ini.
Maya tengah menatap bingung pria asing di hadapannya
saat orang itu menyapa dan menyelamati Maya. Tiba-tiba Masumi muncul dan
berseru, “Wah, pak kaname apa kabar? Kudengar anda mendapat penghargaan di
festival cannes sebagai penata musik terbaik,” kata Masumi seraya menghampiri
keduanya. Maya akhirnya tahu bahwa pria di hadapannya adalah seorang penata
musik internasional.
“Kenapa sih anda mengikutiku terus?” desis Maya dengan
kesal saat ia hanya berdua dengan Masumi.
“Mengikutimu? Kenapa aku harus mengikutimu?” tanya Masumi
dengan lagak.
“Tapi memang begitu kan? Dari tadi kemanapun aku pergi
selalu saja ada kau!”
“Wah, perhatian sekali, padahal aku sama sekali tidak
menyadari kehadiranmu.” Seperti biasa dengan lihai Masumi berbohong. “Dengar ya
Mungil, hampir semua orang di ruangan ini aku kenal, terutama jika mereka
orang-orang yang penting. Jadi tidak aneh kan jika aku menyapa dan bicara
dengan banyak orang. Kebetulan saja kau ada di sana.”
Maya cemberut. “Terserah, pokoknya jangan dekat-dekat
aku lagi!”tegas Maya.
Tetapi rupanya Masumi tak menghiraukan. Tatapannya
teralih kepada seseorang “Pak hanazono,” sapanya dengan ramah. Maya baru saja
hendak pergi saat Masumi berkata, “Mari kuperkenalkan ini Maya kitajima yang
memerankan putri Aldis,” terang Masumi seraya mengarahkan tangannya kepada Maya.
Gadis itu tertegun dan mengurungkan niatnya untuk
beranjak. Tak kentara Maya melirik kesal kepada Masumi yang tiba-tiba melibatkannya.
“Ah, Maya kitajima. Kau luar biasa sekali memerankan
aldis,” pria itu sejenak menurunkan kacamatanya lantas mengenakannya lagi dan
berdecak kagum. “Wah wah wah, kau sangat berbeda. Yang tadi itu kau? Hebat
sekali. Aktingmu sungguh hebat. Aku yakin sekali itu bukan hanya sekadar
keajaiban makeup,”
Maya hanya bengong mendengar perkataan blakblakan dari
pak hanazono. Ia tidak tahu apakah itu pujian atau bukan dan hanya bisa
berterima kasih dengan kaku. Setelah sempat berbincang dan mengetahui bahwa Pak
Hanazono adalah seorang produser
ternama, Masumi lantas menahan tawanya. Ia memang menyadari Pak Hanazono adalah
orang yang selalu bicara apa adanya. Sementara Maya mendelik kesal kepada pria
tersebut.
“Senang ya kalau sudah mempermalukanku?”
“Yang tadi itu pujian, mungil.”
“Pujian pujian...” Maya menggerundel. “Kalau pak Masumi
tidak di dekatku aku tidak harus berbicara dengan orang seperti mereka dan
mempermalukan diriku.”
Masumi terbahak. Ia tahu beberapa orang dan juga
wartawan sedang membicarakan kedekatan mereka dan Masumi memang
mengharapkannya. Gadis itu memang tidak terlihat dekat dengan siapa-siapa.
Berlainan dengan Ayumi yang sedari tadi tidak berhenti berbincang dengan banyak
orang.
“Mungil, saat pesta seperti ini, adalah waktumu
mempromosikan diri. Kau harus banyak berbicara dengan orang-orang dan mencari
koneksi agar pementasanmu selanjutnya bisa lebih mudah.” terang Masumi.
Sebenarnya tanpa Maya sadari Masumi memang telah
banyak membantunya. Ia yang baru kembali pada pentas profesional memang masih
malu dan gugup berhadapan dengan orang-orang setelah skandal yang menimpanya.
Jika mengingat hal tersebut
Jika
teringat semua skandal yang pernah menimpanxa tersebut Maya semakin merasa
rendah diri. Namun jika dipikir-pikir memang seharusnya Maya berterimakasih
kepada Masumi yang berada di sampingnya tanpa sengaja itu. Jika ada orang yang
mengungkit-ungkit mengenai skandal yang menimpanya dahulu, saat Maya sedang
bingung mencari jawaban, Masumi yang akan menjawab untuknya atau bahkan
mengalihkan topik pembicaraan. Walaupun Maya menyadarinya dan merasa heran,
namun ia merasa mengetahui apa jawabannya. Jelas saja jika Masumi tidak ingin
orang-orang membicarakan hal itu, dia kan dulu aktris daito! Ha! Pasti karena
itu hingga Masumi terkesan membelanya. Dasar picik, pasti pria itu tidak ingin
nama daito terbawa-bawa lagi, pikir Maya.
“hei mungil, kenapa bengong saja?” tanya Masumi kepada gadis yang tak berhenti
menatapnya sinis, namun anehnya, membuat jantung Masumi berdebar tak menentu
karena alasan tertentu.
“aku sedang berpikir, apa lagi niat busukmu saat ini? Jangan memasang wajah sok
ramah seperti itu! Aku tahu benar kau orang yang paling mengharapkan
kegagalanku kan? Kau bahkan bertaruh bahwa aku tidak akan bisa memerankan
Aldis! Sekarang jangan berpura-pura lagi, tidak usah sok baik dan pura-pura
ramah, katakan saja apa yang kau inginkan.”
Masumi terdiam, memandang Maya dengan rasa sedih yang berusaha
disembunyikannya.
“kau benar, aku memang mempunyai niat tertentu kepadamu. Kau boleh menyebutnya
niat busuk atau apa pun, tetapi aku tidak menerima penolakan sebagai
jawaban."
perlahan Masumi menghampiri Maya dan dengan waswas gadis itu menatapnya penuh
kecam.
“grep!” tangan Masumi mencengkeram pergelangan Maya. “ayo kita berdansa!”
ajaknya.
“hah? Apa!?” Maya terlonjak dan hendak menolak, tetapi terlambat. Seperti yang Masumi
katakan, ia tidak menerima kata tidak dan menyeret gadis itu ke tengah ruang
pesta.
“e.eh pak Masumi!” tolak Maya berusaha melepaskan diri. Tetapi tangan Masumi
malah melingkar ketat di pinggang gadis mungil itu.
“mari berdansa denganku, putri Aldis...”
“a, aku
tidak bisa berdansa!” desis Maya seraya mengedarkan tatapannya dengan resah ke
sekeliling mereka yang sekarang tengah menatap keduanya penuh tanya.
“kau bisa. Kau melakukannya dengan baik saat berdansa dengan Julius.” Masumi
menyebutkan adegan yang membuatnya cemburu.
“ta, tapi
itu...” Maya mulai panik karena sepertinya Masumi sama sekali tidak berniat
melepaskannya.
“lakukan
seperti itu saja,” Masumi berkata dengan raut lembut yang membuat Maya
terkejut. “aku tidak akan mempermalukanmu,” janjinya sungguh-sungguh.
"Nah, itu kau bisa..." puji Masumi seraya
tersenyum.
"A, aku... ini...." wajah Maya merona dan
terasa hangat dengan pujian Masumi. Namun gadis itu tertegun. Kenapa dia harus
merasa tersanjung dengan perkataan pria menyebalkan ini? Beberapa kali ia
melirik ke arah mata Masumi, dan tatapan pria itu sama sekali tak lepas
darinya. Aduh... kenapa dia melihatku terus menerus! Batin Maya antara kesal
dan salah tingkah. Namun bukan hanya itu, Maya juga jadi kehilangan
konsentrasinya.
"Ukh," Masumi mengerang tertahan, saat kaki Maya
menginjak kakinya dengan keras.
"Ah! Ma-maaf... maaf...." ujar Maya dengan
spontan.
Masumi tertawa,"Tidak apa-apa... Aku sudah
mengira dan mengantisipasinya. Tidak kukira cukup lama juga sebelum kau
menginjak kakiku."
"Ha?" Alis Maya berkerut kesal saat ia
mendongak mendengar perkataan Masumi.
"Itu pujian," pria itu menegaskan.
"Pujian..." Maya menggerutu. "Apanya
yang pujian? Benar kan apa yang kukatakan! Anda memang hanya mengharapkan
kegagalanku." Gadis itu berontak, berusaha melepaskan dirinya dari Masumi.
Dengan kesal ia berbalik dan menjejakkan langkahnya kuat-kuat.
Dasar pria menyebalkan! Kenapa dia selalu ada di
mana-mana! Menyebalkan! Menyebalkan!Menyebalkan! gadis itu menyingkir dari Masumi
tanpa menoleh.
Masumi hanya mengamati punggung Maya dengan sendu,
sementara sekeliling mereka masih mengamati dan berbisik-bisik mengenai
keduanya.
Masumi bisa melihat gadis itu amat membencinya dan tak
bisa berlama-lama di dekatnya. Kemungkinannya sangat kecil Maya bersedia
dijodohkan apalagi sampai jatuh cinta! Tidak ada yang bisa Masumi lakukan untuk
membuat Maya menerima Masumi dalam hidupnya.
=//=
"Kau sudah memutuskan kan?" tanya Eisuke.
Masumi diam di tempatnya dengan koran terbuka di atas
pangkuannya.
"Jawab, Masumi! Apakah kau mau melaksanakan
wasiat ibumu atau tidak? Jika tidak," Eisuke melemparkan sebuah map
lainnya ke hadapan Masumi. "Kau bisa melihat gadis itu. Dia--"
"Baiklah!" seru Masumi.
Alis Eisuke berkerut. "Baiklah? Jadi dengan
siapa--"
"Maya Kitajima," kata Masumi. "Aku
menerima perjodohan ini. Kapan kita akan memberitahunya?"
=//=
May tengah
menangis karena tayangan dorama yang ditontonnya malam itu saat pintunya
tiba-tiba diketuk.
"Siapa?"
pikirnya. Rei tidak pernah mengetuk pintu, begitu juga teman-teman teaternya.
Apa jangan-jangan induk semangnya? Aduh! Maya belum mendapatkan bayaran dari
dua putri dan begitu juga Rei yang masih belum gajian.
Maya sedang
ketakutan saat seruan di pintu terdengar, memanggil nama Maya. Suara seorang
laki laki yang sangat dikenalnya. Ha? Dia!? Ya ampun! Apa itu hanya suara dalam
kepalanya saja? Tetapi kenapa terdengar begitu keras dan nyata. Nah! Terdengar
lagi! Dan semakin keras.
Untuk
meyakinkan bahwa dia tidak hanya berkhayal yang tidak-tidak,ih, cih! Amit-amit!
Tentang pria itu? Mustahil! Maya beranjak menuju pintu dan ia masih mendengar
suara seruan dari pita suara yang sama. Apa benar Masumi Hayami berkunjung ke
apartemennya? Maya membuka pintu apartemennya dan tampaklah dia.
Benar!
Direktur daito itu berada di balik pintunya.
"Halo mungil." dan, bisa
bicara! "mungil, kau- Aduh!!"
"Ngeee~k" Maya menarik pipi Masumi
sekencang-kencangnya. Eh! Dia
berteriak dan kulitnya tidak lepas! Dia sungguh-sungguh...
"Masumi
Hayami! Apa yang kau lakukan di apartemenku!!?" seru Maya, kesal dan tak
percaya.
"Bertamu,
Mungil! Ya ampun!" Masumi memaksa cubitan Maya yang masih bertahan itu
lepas. "kau itu tak pernah kedatangan tamu ya, sampai tidak tahu cara
memperlakukan tamu!" hardik Masumi yang merasakan pipinya berdenyut.
"Benar!
Memang begitu caraku menyambut tamu. Kau belum pernah datang ke sini kan?"
tantang Maya. puas.
"Pantas
saja tidak da yang mau bertamu ke sini, aku yakin begitu, karena da gadis genit
yang senang mencubit pipi orang lain."
"Gadis
geniiit !!?" Mata Maya yang sembap membundar. "Kau mau apa datang ke
sini? Merusak suasana Cepat pergi dari sini!"
Masumi
menghela napas dengan keras. "Kau ini apa tidak berpikir bahwa aku datang
kemari karena ada urusan?"
"Bukan
urusanku!" Maya cemberut habis-habisan.
"Kalau
bukan urusanmu, untuk apa aku ke sini?" Masumi menaikkan alisnya.
"Mana
aku tahu! Aku juga tidak peduli," jawab Maya asal-asalan.
Masumi
mengamati Maya dengan heran. Gadis ini sama sekali tidak mau memberinya
kesempatan bicara?
"Maya,"
seseorang bicara. kali ini bukan Masumi. Maya tertegun dan menoleh kepada sosok
yang berdiri di samping Masumi yang tadi tidak terlihat olehnya.
Raut
wajah gadis itu berubah bingung. Siapa itu?
"Kau
Maya kan? Maya Kitajima?" tanya pra tua itu memastikan.
"Ah,
i-iya, Saya Maya Kitajima," jawab Maya seraya merapatkan kedua tangannya
di antara paha dan membungkuk kecil."
Lain
sekali.... batin Masumi melihat perubahan sikap Maya.
"Bapak
siapa?" tanya Maya lagi.
"Ahh...
akhirnya! Akhirya aku bisa bertemu dengan putrinya Haru Kitajima! Wah..."
matanya berkca-kaca begitu saja.
"Eh,
Ha-Haru...? Ibu?" Wajah Maya semakin bingung ia menoleh kepada Maya dan
pak tua itu berkali-kali. "Ada apa dengan ibu?" tanyanya.
"Sekarang
boleh kami masuk?" tanya Masumi dengan datar.
Maya
mengamati pria tua itu. "Ah, maaf, silakan Pak... silakan masuk..."
Pria tua
itu masuk, Maya lantas berbalik menatap Masumi dengan alis berkerut sebal.
"Apa Anda juga harus ikut masuk!?"
Masumi
menahan gusar dengan merapatkan gigi-giginya. "Ya, tentu saja aku juga harus
masuk. Karena dalam hal ini aku berkepentingan." tegas Masumi.
Dipikirnya
makhluk mungil seperti Maya bisa menakutinya? Ia hanya takut ditolak,
selebihnya tidak.
"Ukh, dasar menyebalkan! Tukang ikut
campur!!” Maya menggerutu seraya beranjak masuk.
Masumi
tidak menunggu dipersilakan. Ia segera masuk ke apartemen beratap pendek itu.
Sempit, bahkan kamar mandi rumahnya lebih luas. Dan, Maya tinggal di sini
berdua? “pantas saja tubuhnya tidak besar-besar,” gumam Masumi yang tanpa sadar
menggumam lebih keras dari yang ia maksudkan.
Maya yang
telinga kecilnya masih sangat tajam segera menoleh kepada Masumi.
"Maksudmu aku!?" tantangnya.
Awalnya Masumi
hendak mengelak namun akhirnya pria itu berkata, "Ya, kau. Tahu diri juga
rupanya."
"KAAUU!!"
pekik Maya dengan kedua tangan terangkat membentuk cakar hendak menerkam Masumi.
Andai saja Pak Miyake tak kembali bicara.
"Wah,
ternyata kalian berdua sudah akrab, syukurlah..."
"Kami
berdua tidak akrab!" tampik keduanya bersamaan seraya menoleh kepada Pak
Miyake.
"Tapi
sepertinya akrab," Miyake tersenyum lega. "Kalau begitu akan lebih
mudah mewujudkan keinginan Haru dan Aya mewujudkan impian mereka menjadi
saudara."
"Ha,
haru? Ibu?" tanya Maya sekali lagi yang masih bingung kenapa nama ibunya
masih saja disebut-sebut.
"Benar,"
sahut Miyake lagi. "Namaku adalah Jin Miyake, aku adalah teman sekolah
Haru dan Aya. Dulu, kami bertiga bersahabat sejak kecil."
"Aya?"
Alis Maya berkerut.
"Ibuku,"
jawab Masumi.
"HAH!!?"
Maya menoleh dan melotot menatap Masumi. "Anda... punya ibu?"
"Tentu
saja!!" Masumi mendelik kesal. "Kau pikir aku keluar dari batu?"
"Tidak...
yang keluar dari batu itu berbulu emas, Anda..." ia mengamati rambut tipis
yang mengintip dari kemeja lengan panjang Masumi. "Tidak. Kupikir Anda
hasil pengendapan lumpur, apa sih itu namanya? Seperti kalau di hilir sungai,
yang--"
"Cukup!"
desis Masumi dengan gusar.
"Tidak,"
tampik Miyake seraya menahan tawam, "Masumi bukan hasil pengendapan
lumpur, tidak mungkin kan hasil pengendapan lumpur sebagus ini?"
Masumi
hampir tidak bisa menahan hidungnya untuk tidak mengembang mendengar dirinya
dipuji di hadapan Maya andai saja ia itu menangkap suara "cih!"
perlahan yang terlontar dari bibir gadis di sampingnya itu.
"Jadi,
intinya, dahulu ibu kalian saling mengenal satu sama lain mereka bersahabat,
ya, denganku juga. Lalu kami sepakat bahwa suatu saat kami harus menjadi
saudara dengan menikahkan putra putri kami."
Perlahan
tapi pasti alis Maya berkerut, sepertinya mulai ada yang ganjil.
"Saat
itu Haru menikah terlebih dahulu, ia pergi ke Yokohama bersama suaminya.
Tetapi, untuk waktu yang lama, kudengar Haru tidak kunjung hamil. Karena itu,
aku sama sekali tidak tahu bahwa dia mempunyai putri. Aku sendiri sempat
menikah dan memiliki seorang putri tetapi putriku... dia... meninggal saat
masih remaja. Sementara Aya, dia pergi ke Tokyo mengikuti suaminya. Aku tahu
dia memiliki seorang putra, Masumi. Namun aku tidak pernah tahu bahwa Aya juga
menikah dengan... Ayah Masumi sekarang. Karena, aku sendiri pergi ke Hong Kong
mengurus usahaku dan syukurlah mengalami banyak kemajuan di sana. Saat aku
kembali, barulah aku mendengar bahwa Haru ternyata mempunyai putri Maya
Kitajima yang sudah menjadi aktris, dan Aya... menjadi nyonya besar. Saat
itulah aku teringat, dengan janji kami dahulu," ia menatap Maya dan Masumi
bergantian.
Masumi
tampak tenang dan datar saja, tetapi sesungguhnya ia sangat gelisah. Apakah ini
harus diteruskan? Atau dia seret saja Pak Miyake sekarang juga keluar apartemen
itu?
"Ja,
jadi...." Maya berkata perlahan-lahan.
"Benar,
kami pernah berjanji menikahkan putra dan putri kami, karena itu... Masumi...
dan..."
"Ya
ampun!!!" seru Maya dengan mata terbelalak. "Pak Masumi! Pak...
Pak.... Masumi..." ia menunjuk kepada pria itu. “Tidak akan bisa menikah
seumur hidup! Karena putrimu sudah meninggal, Pak Miyake?" tanya Maya
dengan prihatin.
"Hah?"
Masumi menoleh kaget kepada Maya.
"Bukan,
bukan," Miyake menggeleng. "Maksudnya bukan itu. Tetapi, kau, Maya,
putri Haru..."
"Ha??
Aku? aku.... harus menikah.... dengan putra pak Miyake??" tanya Maya
dengan shock.
"Bukan,
bukan," MIyake kembali menggeleng. "Aku hanya memiliki seorang putri,
dan dia sudah lama meninggal...."
"Lalu...?"
tanya Maya. "Siapa yang akan menikah dengan anakmu?"
"Bukan
anakku. Aku hanya menyampaikan wasiat, dan sudah kewajibanku untuk mengatakan
kepada kalian apa yang mendiang ibu kalian harapkan, dan aku wajib
mewujudkannya. Jadi, Maya... Masumi... kalianlah yang dijodohkan, agar---"
"Ha??"
Maya bengong, ia mengucek-ngucek telinganya. Dari berjuta kemungkinan mengenai
siapa menikah dengan siapa, walaupun hanya Tuhan yang tahu siapa jodoh
seseorang, Maya hampir seratus persen yakin jodohnya tidak mungkin makhluk
endapan lumpur di sampingnya! "APA!?" tanya Maya lagi, berusaha
tenang tetapi tidak bisa. "Bisa diulangi?"
"Ya,
Maya, kau harus menikah dengan Masumi."
"HAH!!!???"
Maya di ambang ketenangannya. Ia shock berat. Ia menoleh kepada Masumi,
menunjuk pria itu tanpa bisa bersuara.
"Benar,
Masumi Hayami, putra Aya Fujimura, sahabat ibumu dahulu di Kyoto."
Ditatapnya
wajah datar pria itu yang bola matanya sedang menatapnya. Si dingin, gila
kerja, gila hormat, pria menyebalkan, menjengkelkan, yang membuat kepalanya
gatal hanya karena melihat bayangannya, yang sudah menyebabkan ibunya...
yang.... yang....
"MAYA!!!"
seru Masumi panik, saat Maya pingsan saat itu juga.
Maya bisa
merasakan kepalanya begitu berat dan matanya perlahan terbuka. Ia juga merasa
sedikit pusing.
"Kau
sudah bangun?" tanya Rei yang ternyata sedang berada di sisinya.
Perlahan Maya
menoleh kepada Rei, matanya masih terasa berat. "Kau sudah pulang?"
"Ya...
Maya..."
"Aduh
Rei..." Maya memegangi kepalanya.
"Kenapa,
Maya? Ada apa?"
"Ukh!
Aku mimpi buruk..." keluh Maya berusaha bangkit dari pembaringannya.
"Mimpi
yang sangat buruk, kepalaku sampai sakit..."
"Mimpi
buruk?" Alis Rei berkerut.
"Ya...
Itu, Masumi Hayami..." Maya tak sanggup meneruskan, ia segera merinding.
"Tidak!
Tidak! Tidak! Tidak!!" Maya menggeleng-geleng keras seraya memejamkan
matanya. "Aku tidak ingin mengatakannya! Katanya mimpi buruk kalau
dibicarakan bisa menjadi kenyataan. Hiiy!! AKu tidak mauu!!" seru Maya.
"Maya,"
Rei menghampiri dengan khawatir, "di luar--"
"Sreek!"
pintu apartemen terbuka lebar, Masumi masuk terburu-buru. "Kau sudah
bangun?" tanyanya.
Mendengar
suara pria itu Maya terlompat sangat kaget, ia menatap pria menjulang yang
tiba-tiba muncul itu dengan ngeri. "Ka-kau!!" pekik Maya tanpa
menghiraukan sopan santun. "Apa yang kau lakukan di sini!!?" seru Maya
ngeri, ia benar-benar takut mimpinya menjadi kenyataan.
Bagaimana
bisa begitu ia bermimpi buruk mengenai si makhluk lumpur dan dia benar-benar
berada di hadapannya!
"Mungil,
kau tadi tiba-tiba--"
"Maya
sudah sadar?" tanya sebuah suara lainnya.
Maya melihat seorang pria muncul di belakang Masumi.
Mata gadis itu segera membulat.
"Pak Miyake!!" serunya.
"Maya,
kau sudah sadar?" tanya Pak Miyake dengan khawatir. "Kau tiba-tiba
pingsan tadi... Kami angat khawatir..."
Jadi.... jadi... yang tadi itu
bukan mimpi...? batin Maya dengan sangat terkejut. Ia membatu di tempatnya.
Suara Pak Miyake juga tidak terdengar begitupun suara Rei memanggil-manggil
namanya, atau pun goncangan pada bahunya. Maya sekali lagi mati rasa. Ia hanya
bisa menatap Masumi dan terngiang kembali semua perkataan yang ia pikir mimpi
buruk tadi.
Kau di
jodohkan dengan Masumi Hayami... putra sahabat ibumu... kau harus menikah
dengan Masumi Hayami... si makhluk endapan lumpur...
"Tidak...
tidak... tidak mauuu!!" Maya berteriak-teriak dan mulai menangis, membuat
Rei sangat terkejut dan khawatir, begitu juga Pak Miyake. Sementara Masumi
hanya bisa terdiam merasa miris.
"Mungil,
dengarkan dulu--"
"KeluaR!!"
tolak Maya, meraih apa pun yang berada dalam jangkauannya dan ia lemparkan
kepada Masumi. "Pergi kau! Pergi! Pergiii!! Aku benci kau!! Aku tak mau melihatmu!!
Pergii!!!" pekik Maya mengusir Masumi agar menyingkir.
Masumi
berusaha menahan lemparan-lemparan itu dengan kedua tangannya sementara Rei
berusaha menenangkan Maya yang tampaknya begitu emosi.
"Pak
Masumi! Anda sebaiknya cepat pergi!" saran Rei dengan panik dan berusaha
menenangkan Maya.
Masumi
menghela napasnya sangat berat. Ia menatap Maya yang masih tampak kalap. Ia
berdiri tanpa bicara dan keluar dari sana.
"Saya
juga sebaiknya permisi, tetapi..." Pak Miyake menatap Maya. "Nanti
saya akan kembali," katanya.
Pria tua
itu keluar mengikuti Masumi yang sama sekali tak mengatakan apa pun. Ia tak
bisa membaca perasaannya, namun tampaknya, memang ada sesuatu di antara
keduanya, dan Pak Miyake yakin, itu bukan hal yang diharapkan Masumi.
"Silakan
Pak, saya antar kembali ke apartemen," Masumi membuka pintu mobil.
"Tidak
perlu," pria itu menatap Masumi dan tersenyum. "Saya lapar, bisa kita
makan? Ada yang ingin saya bicarakan. Lalu saya juga nanti, ingin bicara dengan
Maya."
Masumi
terdiam sejenak. Ia merasa bisa menebak apa yang hendak dibicarakan Pak Miyake.
Masumi mengangguk. Keduanya meluncur ke restoran.
=//=
"Sudah
Maya, tenanglah, sebenarnya ada apa?" tanya Rei. "Aku sangat terkejut
mendengar kau pingsan, padahal kau tak pernah pingsan sebelumnya. Aku tanya
kepada Pak Masumi namun mereka tak bicara." Memang, Rei tadi panik dan
sempat menuduh Masumi mengenai apa yang sudah ia lakukan kepada Maya, namun
pria itu sudah merawat Maya saat pingsan dan ia pun terlihat resah, akhirnya
Rei tak memojokkan pria itu.
"Rei...
Rei..." isak Maya. "A-aku... Aku... dan Pak Masumi... katanya, kami
ini dijodohkan," isaknya.
"HAH!!?
HAH!!? HAH!!? HAAAHH!!!!???" Rei tak punya cukup Hah untuk menggambarkan
rasa terkejutnya. "A-ap!!??"
"I-iya...
ternyata, ibuku dan ibu Pak Masumi bersahabat dan... entahlah! Pokoknya,
katanya mereka sepakat menikahkan kami! Huhuhu... Reiii... aku tidak
mauu~"
Sekarang
Rei yang bengong, sekejap kepalanya terasa snagat ringan dan ia hampir saja
pingsan jika saja Maya tidak menahan bahunya dan berseru memanggi-manggil
namanya, "Rei! Rei!! kau kenapa! Rei!!"
"Ah!
Ah, ya, ya..." Rei berusaha menangkan dirinya. Tidak heran Maya yang
snagat sehat bisa pingsan. Ia saja yang tak ada hubungan apa-apa, amat terkejut
mendengarnya.
"AKu
harus bagaimana Rei??? Aku tidak mau menikah dengannya!!"
"Tolak
saja," kata Rei singkat dan serius menatap Maya "Kalau kau tidak
mencintainnya--"
"Aku
sangat membencinya!"
"Kalau
begitu, kau tak mungkin menikah dengannya kan?"
=//=
"Jadi...
hubungan kalian berdua kurang bagus..." gumam Pak Miyake seraya
mengangguk-angguk tipis saat Masumi menjelaskan bahwa perusahaannya dan teater Maya,
ayahnya dan guru Maya, juga dirinya dan gadis itu memiliki hubungan yang buruk.
"Saya
sudah tahu bahwa Maya akan menolaknya. karena itu, saya rasa ide mengenai
perjodohan ini mungkin sebaiknya..." Masumi ragu sejenak. "Dibatalkan
saja. Saya rasa, Anda pasti mengerti setelah Anda melihat sendiri reaksi Maya.
Maaf... perjalanan Anda jauh-jauh ke sini tidak membuahkan hasil."
"Hm..."
Pak Miyake bergumam. "Aku bisa melihat Maya memang masih belum mau
menerima perjodohan ini, tetapi, di lain pihak... kau sepertinya sama sekali
tidak keberatan?" Pak Miyake memastikan.
Masumi
tertegun sejenak. Ia berusaha keras tidak terlihat begitu bernafsu menikahi
gadis itu. Masumi menghela napas perlahan. "Bagiku, menikahi siapa pun
sama saja. Aku tidak pernah memikirkan hal semacam itu. jadi, jika... memang
itu yang diharapkan ibu, jika aku memang harus menikah dengannya, ya
sudah."
Pak
Miyake mengamati Masumi. "Hmm... kau seseorang yang dingin ya..."
katanya, "Pantas saja Maya bereaksi seperti itu. Kalau dipikir-pikir...
memang kasihan juga jika dia harus menikah dengan pria sepertimu."
Masumi
terdiam, ia menahan ludahnya perlahan. Apakah dia juga harus kehilangan
pendukungnya yang hanya seorang ini juga? Apakah dia harus melepaskan
kesempatan yang mungkin akan menjadi satu-satunya kesempatan bagi Masumi untuk
bisa mendapatkan Maya? Apakah cukup berharga hanya memiliki gadis itu sebagai
istrinya, tetapi tidak hatinya? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar terus
menerus di kepala Masumi sementara pelayan menghidangkan pesanan mereka.
Apakah ia
siap, melihat pria lain membahagiakan Maya? Untuk yang satu itu jawabannya
sangat nyata. Tidak. Ia tak tahan melihat Maya berdansa mesra dengan aktor
pasangannya padahal hanya akting. Bagaimana jika dia sungguh-sungguh melihat Maya
menjadi milik orang lain? Sama sekali tak bisa dijangkaunya lagi? Masumi
mengetatkan pegangan di pisau dan garpunya. Jika hal itu sampai terjadi, mungkin
pisau itu akan melayang pada pria tersebut atau malah kepada dirinya sendiri.
"Masumi,"
tegur Miyake yang mengejutkan Masumi dari lamunannya. "Aku tahu hal ini
sangat mengejutkan, apalagi bagiku. Dua orang wanita yang bersahabat, sahabatku
sendiri,ternyata anak-anak mereka bermusuhan. Belum lagi, menikah tanpa rasa
cinta tentu sedikit menyulitkan, melihat bagaimana kalian berdua begitu
berbeda.
Namun...
mungkin saja jika dicoba, kalian berdua bisa saling jatuh cinta. Jika hal itu
mau kau usahakan, maksudku, kau mau mencoba mencintai Maya dan
membahagiakannya, aku akan berusaha membujuknya, karena keinginan kedua orang
tua kalian dahulu juga sudah menjadi keinginanku. Tetapi,jika kau hanya menikah
karena memenuhi kewajiban,dan tidak akan menganggap Maya ada,lebih baik...
ya... hal ini memang tidak usah diteruskan... daripada ada dua hati yang akan
terluka."
=//=
Maya baru
selesai menenangkan diri saat ketukan di pintu terdengar.
"Biar
aku yang bukakan," kata Rei. Gadis tomboi itu beranjak ke pintu dan mendapati
pria tua yang tadi bersama Masumi kembali ke sana. "Ah, Pak
Miyake..."
"Bagaimana
keadaan Maya?"
"Dia
sudah lebih baik."
"Boleh
aku masuk? Ada yang ingin kubicarakan dengannya."
"Ah,
ya, ya... silakan..." Rei bergeser mempersilakan.
Pak
Miyake menatap Maya dan dia kembali tersenyum kepadanya. Maya mengangguk gugup.
Tiap kali melihat pria itu, Maya teringat misi yang diembannya. Karena itu, Maya
juga jadi merasa takut dan gelisah sendiri.
"Bagaimana
perasaanmu?" tanya Pak Miyake.
"Ba-baik..."
"Maaf
ya, aku tiba-tiba saja muncul dan membawa kabar yang mengejutkan," pria
itu tersenyum kebapakan. Maya hanya bisa temangu dan tidak bisa menjawab.
"Maya... aku mengerti kalau semua ini benar-benar di luar dugaanmu. Akan
tetapi, aku pun mempunyai kewajibanku sendiri untuk menyampaikan hal ini. Maya...
Aku sudah bicara dengan Masumi. Dan, mungkin kalian memang tidak akur antara
satu sama lain, karena itu... kau memiliki kebebasan untuk memutuskan. Tetapi, Maya...
dulu, ibumu dan ibu Masumi, mereka sangat dekat seperti saudara. Malahan, Aya
pernah menolong Haru dengan memberikan semua tabungannya untuk bayaran sekolah
Haru. Sayang sekali, memang setelah menikah kami tidak bisa terus menjaga
komunikasi, kami memiliki masalah hidup kami sendiri-sendiri. Walaupun begitu,
aku sempat bertemu Haru dan Aya secara terpisah, saat itu Masumi baru berusia
satu tahun dan kami bertemu di Kyoto karena ibu Aya meninggal dunia. Ia masih
berharap agar bisa menikahkan anak-anak kami suatu saat. Ketika aku tak sengaja
bertemu haru di Yokohama, ia mengatakan hal yang sama. Hanya saja, saat itu ia
masih belum juga hamil. Coba pikirkanlah baik-baik... Haru bahkan berkata, ia
ingin sekali membantu Aya jika mereka bertemu kembali, haru sempat mengira
dirinya tak bisa hamil dan dia berkata, akan menyenangkan jika dia bisa
menganggap anakku atau anak Aya sebagai anaknya."
Maya
terdiam, dia menelan ludahnya. Ibu pasti tak tahu, bahwa Pak Masumilah... yang
sudah mengurungnya, pikir Maya murung.
"Maya...
mungkin, kau akan berpikir bahwa ini permintaan yang egois dan tidak masuk
akal. tetapi, coba pikirkanlah baik-baik. Kurasa, jika kau dan Masumi mau
mengikuti permintaan mendiang orang tua kalian,arwah mereka pasti akan lebih
tenang dan bahagia di alam sana..." pinta Miyake. "Selain itu,
syukurlah usahaku selama ini sukses di Hongkong. Aku sudah tidak memiliki
putri. Melihatmu, membuatku teringat kepada Haru. Jika... kau memerlukan
bantuan, apap pun itu... jangan sungkan," Miyake meraih tangan Maya dan
menepuk telapaknya. "Aku pun... akan menganggap kau dan Masumi seperti
anak-anakku sendiri."
Maya
terharu, ia rasanya ingin menangis. Ia sepertinya mengerti, bagaimana kuatnya
persahabatan orang tua mereka dahulu.
"A..
aku... aku..." Maya masih tidak tahu harus mengatakan apa. Menikah itu
bukan hanya dipikirkan beberapa menit dan mengatakan YA begitu saja...
"Pikirkanlah
baik-baik... aku sudha mengatakan kepada Eisuke Hayami mengenai masalah ini.
JIka kau setuju, maka pertunangan dan pernikahan--"
"Tunggu
dulu!" sergah Maya. "Bagaimana dengan Pak Masumi?" Maya hampir
saja lupa hal yang penting. "Bagaimana pendapatnya mengenai hal ini?
apakah dia...?"
"Mungkin
dia memang terlihat dingin, tetapi, Masumi sangat menyayangi dna menghormati
ibunya, juga harapan ibunya tersebut. Masumi sudha setuju dijodohkan denganmu,
jika kau juga bersedia."
Maya
tersengat tak percaya. Apa Pak Miyake serius? Masumi Hayami, tidak menolak
dijodohkan dengannya? Maya Kitajima yang selalu saja diejek si Mungil olehnya
ini? Maya jadi linglung dan tidak lagi mengerti, yang mana mimpi dan mana
kenyataan.
Maya tampak
bengong termangu seperti kurang kesadaran. Rei sangat prihatin melihatnya.
Sudah tiga hari berlalu semenjak Masumi dan Pak Miyake datang ke apartemen
mereka dan memberikan kabar yang terlalu luar biasa hingga begitu sulit
diterima akal Maya.
Dia dan Masumi
Hayami sudah dijodohkan sebelum keduanya lahir? Awalnya Maya memang memutuskan
untuk menolak mentah-mentah kenyataan itu, namun, ada hal yang mengganjal yang
sempat ia ungkapkan kepada Rei.
"Aku
ini anak yang tidak berbakti Rei..." isak Maya seraya menatap sahabatnya
getir.
"Jika
teringat ibu, aku masih sering teringat kesalahanku... yang sudah meninggalkan
rumah, meninggalkan ibu sendirian padahal dia sudah tidak punya siapa-siapa
lagi. Hingga dia sakit-sakitan dan... meninggal..." Maya tergugu.
"Sekarang,
ibu sudah di alam baka, tak ada lagi yang bisa kulakukan untuk berbakti
kepadanya. Tetapi... mengetahui ibu pernah menghendaki menjalin ikatan saudara
dengan para sahabatnya, mungkin... ini jalan satu-satunya yang bisa kulakukan
untuk menunjukkan baktiku kepadanya."
"Maya..."
Rei mendesah simpati. Ia mengerti benar kegundahan yang sedang mengisi hati
sahabatnya.
"Tetapi
kenapa dia Rei? Kenapa harus dia? Jika... jika saja putranya itu orang lain,
seseorang yang tidak kukenal, misalnya. Aku tidak akan menolak, sungguh! Aku
tidak akan berpikir dua kali untuk menikah dengan orang itu jika memang hal itu
yang ibu inginkan! Andai saja dia bukan Masumi Hayami!" Bibir Maya gemetar
dan dia kembali menangisi dilema yang dihadapinya.
"Maya...
pikirkanlah baik-baik, karena ini bukan hanya menyangkut keinginan ibumu,
tetapi juga hatimu. Menikah itu bukan hanya masalah mengatakan YA untuk saat
ini, tetapi konsekuensi dari ucapan YA yang harus kau tanggung seumur
hidupmu..."
=//=
"Jadi bagaimana?" tanya Eisuke dengan tak
sabar. "Apa jawaban anak itu?"
"Belum
ayah," jawab Masumi seraya berusaha menyembunyikan kegundahan hatinya.
"Belum
ada jawaban juga?" suara Ayahnya meninggi karena terkejut dan terhibur.
"Hahahaa....
ternyata dia memikirkannya? Kupikir ia akan langsung menolakmu, atau
menerimamu. Gadis kebanyakan pasti akan menerimamu, tetapi Maya KItajima...
Ayah pikir dia akan langsung menolakmu!" katanya tanpa perasaan.
"Jika
tidak menyangkut ibunya, kurasa dia memang sudah pasti segera
menolakku..." ujar Masumi.
Maya... Masumi tahu
benar apa yang merisaukan gadis itu. Pasti dia tidak ingin mengecewakan
almarhumah ibunya. Ibu Haru...
maafkan saya... tetapi, saya mohon... serahkan Maya kepada saya. Saya akan
membahagiakannya jika dia bersedia menikah denganku.
"Sebetulnya
aku kesal juga," ayahnya kembali berceloteh tanpa menghiraukan kegundahan
hati Masumi. "Jika saja Pak Miyake itu bukan pemilik perusahaan yang
sedang kulobi untuk mengembangkan bisnis Hayami ke Hongkong, aku akan menjodohkanmu
dengan gadis lain. Gadis yang lebih berkelas dan istimewa. Karena itu, aku
tidak bisa menunggu lama. Aku yang akan memutuskan untukmu. Jika kalian belum
sepakat hingga akhir pekan ini. Kau yang harus membuat keputusan. Batalkan
masalah perjodohan antara kau dan Maya Kitajima. Carilah alasan apa saja, itu
kan keahlianmu, agar perjodohan ini tidak menjadi masalah yang panjang dan Pak
Miyake masih bersedia bekerja sama dengan perusahaan kita. Lagipula, kau kan
putra sahabatnya dulu..." Eisuke kembali memerintah.
Masumi
geram. Namun ia hanya menahannya.
Hingga
akhir pekan ini... Seharusnya, ia bisa mendapatkan
apa pun itu keinginanya, termasuk masalah Maya Kitajima. Jika saja ada sedikit
jalan. Sesempit apa pun...
=//=
"Kurasa
sudah waktunya aku mengambil keputusan" ujar Masumi.
"Lalu?"
Hijiri menanti.
"Mungkin
aku memang seharusnya... Membatalkannya saja? Setidaknya hal itu tidak akan
terlalu memukul Maya jika dia tidak bisa memenuhi keinginan ibunya?"
"Apakah
itu yang Anda inginkan?"
"Tentu
saja tidak, kau yang paling tahu mengenai hal itu. Tetapi, anak itu bahkan baru
berusia 18 tahun. Dan aku... Tak lama lagi aku menginjak 29 tahun. Andaikan kami
menikah, pasti tidak dalam waktu yang singkat kan? Itu pun kalau dia mau."
Hijiri
menahan senyumnya melihat Masumi yang berharap sekaligus gelisah. Saat itulah
ponsel Hijiri berbunyi. Dari asistennya. Ia mendengarkan sebentar, lantas
menutupnya dan berkata kepada Masumi. "Katanya Maya ingin bertemu
denganku. Penting sekali."
Masumi
tertegun, firasatnya mengatakan ini semua berkaitan dengan masalah perjodohan
mereka.
=//=
Hijiri
mengundang Maya bertemu di sebuah atap gudang kosong di tepi Tokyo yang sangat
jauh dari keramaian, pokonya sangat terkucil dari keramaian dan Hijiri yakin
orang-orang yang mengenalinya tidak akan datang ke sana. Setelah tersesat tiga
kali, akhirnya Maya menemukan atap gudang tersebut yang bangunannya berbentuk
segi lima. Maya mendongak. Masalahnya, ia tidak tahu bagaimana bisa naik ke
atap tersebut. Saat tengah berpikir keras itulah, sebuah teguran terdengar.
"Maya!"
panggil Hijiri. Dengan cepat Maya menoleh.
"Pak
Hijiri!" serunya dengan terharu,
"Kau
sedang apa?" tanya Hijiri.
"A-aku...
sedang berpikir bagaimana caranya naik ke atas sana..." terang Maya dengan
gundah.
"Ah....
ya.. rupanya tangga yang menuju ke atap sudah tidak ada," Hijiri mengamati
tangga semen yang sudah dirubuhkan. "Ya sudahlah, kalau begitu..."
"Tidak
bisa!" Maya menggeleng. "Katanya Pak Hijiri mau bicara di atap."
"Ya,
benar, tetapi.... kalau tidak ada tangganya, di sini juga tidak mengapa,"
kata pria itu dengan murha hati.
"Oh!
Tidak apa-apa? Baiklah!" Maya tertawa riang karena tidak harus memanjat
dinding.
"Ya,
ya, jadi... Maya, ada apa? Katanya ada hal penting yang ingin kau
bicarakan?"
"Oh,
iya!" Maya akhirnya ingat lagi dengan inti pertemuan mereka. Bukan
mengenai naik ke atas atap, melainkan masalah... "hiks!" dengan cepat
Maya menangis.
"Maya!!"
seru Hijiri dengan dramatis dan mata membulat. "Ada apa?"
"Pak
Hijiri! Aku ingin bertemu Mawar Ungu! Toloong... Aku harus bertemu dengannya!
Aku tidak tahu lagi kepada siapa aku harus mengadu."
"Maya....
tenang Maya, tenang..." pinta Hijiri. "Bicaralah pelan-pelan,"
katanya.
"A-aku...
aku... harus bertemu dan bicara dengan Mawar Ungu... kumohon, Pak Hijiri. Hanya
dia yang bisa kumintai pendapat mengenai masalahku. A-aku... aku benar0benar
bingung. Aku ingin dia menolongku."
"Tetapi..."
"Kumohon...
bisakah kau mempertemukan kami? Aku sudah menganggapnya seperti ayahku sendiri
walaupun aku belum pernah berjumpa dengannya. Aku bahkan... membelikannya
selimut lutut yang ingin kuserahkan sendiri," pinta Maya dengan terisak.
"Maafkan
aku... Maya... tetapi kau tahu sendiri apa peraturan yang sudah ditetapkan
olehnya. Kau tidak boleh mencari tahu siapa dia dan... mungkin suatu saat dia
akan menemuimu, setelah waktunya tepat."
"Tetapi...
ini darurat..."
"Kau
bisa menyampaikannya kepadaku, biar aku..."
"Tidak!
Aku ingin bicara langsung kepadanya, hanya dia..."
"Maya...
maafkan aku... tetapi.. tidak bisa. Dia akan datang sendiri saat dia memutuskan
untuk mengungkapkan siapa dirinya kepadamu, namun sebelum saat itu...
maaf..."
"Tidak
bisa?"
"Tidak
bisa."
Mata
menunduk, menghela napas kecewa. "Baiklah..." katanya . "Karena
aku sudah mengira bahwa Anda tidak akan mengijinkanku bertemu dengannya," Maya
merogoh saku roknya. "Ini," ia menyerahkan sebuah surat. "Ini
sudah kupersiapkan untuk Mawar Ungu. Tolong berikan kepadanya bersama dengan
hadiah ini untuknya," pinta Maya.
"Jadi
kau sudah mempersiapkan surat?" tanya Hijiri dengan heran seraya menerima
hadiah dari Maya.
"Ya..
tetapi tidak ada salahnya jika aku mencoba dulu meminta bertemu dengannya
kan?" isak Maya.
Hijiri
menghela napasnya dan mengamati gadis itu.
Jadi
baginya Mawar Ungu sudah seperti ayahnya? Mungkin, gadis itu ingin mengadu
mengenai nasibnya yang dijodohkan dengan Masumi.
Dengan
gundah Masumi membaca surat dari Maya. Pria itu masih diam beberapa. Diamatinya
selimut lutut pemberian Maya. Untuk sekian lama waktu berlalu di antara Masumi
dan Hijiri dalam keheningan. Besok adalah waktu terakhir yang diberikan ayahnya
untuk memutuskan Maya. Jadi,Masumi akan menganggap surat ini sebagai kesempatan
terakhirnya untuk mendapatkan Maya.
Ia mulai
mengetik di laptopnya. Ia memastikan Hijiri tidak akan membaca isinya. Dengan
wajah serius Masumi merangkai kata di lcdnya.
"Kepada
Maya Kitajima.
Halo Maya,
Hijiri telah menyampaikan suratmu kepadaku. Aku sangat terkejut, mengingat
betapa mudanya dirimu, kau ternyata telah dipertemukan dengan jodohmu."
(Masumi
memutuskan akan menghindari kata dijodohkan dan memilih memakai kata lain yang
lebih persuasif dan provokatif)
"Aku
sangat mengerti kalau kau merasa terpukul dan bingung. Tetapi, aku benar-benar
meminta maaf, karena aku masih belum bisa menemuimu. Walaupun begitu, aku akan
mencoba mengungkapkan pendapatku dan semoga saja hal tersebut bisa menjadi
pertimbanganmu untuk mengambil keputusan yang terbaik.
Mengetahui
kenyataan kau berjodoh dengan Masumi Hayami (Sekali lagi ia sengaja tidak
menggunakan kata dijodohkan) memang luar biasa ya, maksudku, tidak bisa
dipercaya. Walaupun begitu, aku cukup tahu Masumi Hayami. Sejauh yang kukenal,
ia pria yang pekerja keras dan kompeten dengan pekerjaannya. Aku tahu banyak
isu yang mengatakan bahwa ia pria yang dingin, namun aku yakin ia tidak akan
memperlakukan semua wanita demikian. Sepertinya, Masumi Hayami bisa
memperlakukan gadis yang istimewa dengan lebih baik, dan kurasa jika kalian
sudah saling mengenal lebih baik, ia pasti tahu bahwa kau gadis yang istimewa,
dan, siapa tahu, dia pun mungkin akan menjadi seseorang yang istimewa
bagimu."
Jangan
merona Masumi... jangan merona... batin Masumi dalam hatinya saat ia mencoba
mempromosikan dirinya sendiri dan di seberang sana masih ada Hijiri yang dengan
tekun mengamatinya.
"Jadi,
menurut pendapatku, kau sebaiknya jangan menolak Masumi Hayami mentah-mentah.
Apalagi seperti yang kau katakan, bahwa dengan menerima Masumi Hayami sebagai
jodohmu, ini mungkin kesempatan kalian berdua untuk berbakti kepada kedua orang
tua kalian yang telah meninggal. Kau jangan yakin dulu bahwa Masumi Hayami
tidak akan bisa mencintaimu dan demikian juga sebaliknya. Jika kau menerima Masumi
Hayami, cinta bisa saja tumbuh setelah kalian berdua mencoba saling mengenal
lebih jauh dan menjalin hubungan. Jadi kurasa kau sebaiknya mencoba menerima Masumi
Hayami, siapa tahu ia malah bisa menjadi pasangan terbaik untukmu. Karena itu,
cobalah bertemu dan bicara dengan Masumi Hayami dan dengarkan pandangannya
mengenai hal ini, agar kau bisa lebih yakin untuk menerima Masumi Hayami."
Bagus...
bagus.. bagus.. surat yang positif dan optimis, batin Masumi saat ia membaca
paragraf terakhir dan meyakini ia sudah cukup membubuhkan kata
"menerima" untuk memperngaruhi alam bawah sadar Maya untuk lebih
memikirkan kata "menerima" ketimbang "menolak". Ah! Satu
lagi saja... imbuhnya dalam hati.
"Kuharap
apa yang kusampaikan bisa memberikan masukan yang berarti. Aku senantiasa
mendoakan yang terbaik untukmu dan kebahagiaanmu. Semoga saat kau akhirnya
memutuskan untuk menerima Masumi Hayami, kalian akan menjadi pasangan yang
bahagia dan luar biasa.
Kurasa
hanya itu saja yang bisa kukatakan. Kuharap bisa memberikan pertimbangan yang
kau butuhkan. Jika masih ada yang kau butuhkan, kau bisa mengatakannya melalui Hijiri
dan aku akan membantumua. Juga, jika kau memerlukan sesuatu untuk pernikahanmu
dengan Masumi Hayami, jangan sungkan mengatakannya. Aku pasti membantumu
semampuku.
Salam
hangat selalu.
Penggemarmu."
Saat
surat selesai, dalam hatinya Masumi sedang terkikik dengan culas. Ia membacanya
lagi. Dan, surat itu memang lebih mirip kampanye untuk memilih Masumi Hayami.
Ia tidak memberikan ruang bagi Maya memikirkan alternatif lain selain menerima
perjodohan itu--dengan cara yang bijak.
Ia
mencetak suratnya dan memasukkannya ke dalam amplop, menyerahkannya kepada Hijiri,
dengan wajah serius.
"Tolong,
serahkan ini kepada Maya Kitajima," perintahnya dengan suara berwibawa.
"Baik,
Pak," Hijiri menerimanya dan bertanya-tanya, seperti apa gerangan isi
surat dari pria itu. Melihat wajah Masumi yan datar saja mungkin memang tidak
ada yang istimewa dari surat tersebut selain Masumi seperti biasa memberikan
pandangannya yang bijak dan objektif.
=//=
Maya
menerima surat Masumi di apartemennya. Ia sedang melamun dengan sedih saat pria
tampan dan ramping itu menyerahkannya lengkap dengan buket bunga mawar ungu
untuk Maya. Seperti biasa Maya tampak
riang menerimanya walaupun wajahnya masih tampak sembap.
Beberapa
lama Maya membaca surat itu dan alisnya berkerut. Ia lantas tampak tertegun.
Sedikit gundah, lantas mendongak menatap Hijiri.
"Jadi, Mawar Ungu mengenal Pak Masumi Hayami?" tanya Maya kepada Hijiri.
Tampak Hijiri
terkejut dengan pertanyaan itu. "yaa saya rasa begitu," jawab Hijiri
agak ragu. "Memangnya apa yang beliau katakan?"
"Katanya
dia cukup mengenal Pak Masumi dan memiliki kesan yang baik..."
Hijiri
tertegun. Ia ingin tertawa tetapi ditahannya. Hanya sebuah senyuman geli yang
akhirnya terurai si wajahnya. Ternyata Masumi masih berniat memanfaatkan
kesempatan terakhirnya. "Ya saya rasa begitu. Lagipula Pak Masumi Hayami
adalah figur yang cukup populer di kalangan pebisnis terutama yang
memperhatikan bisnis hiburan." Hijiri turut berpromosi. "Lalu, Pak Masumi
juga terpilih sebagai salah satu produser hebat yang dari tangannya sudah
menghasilkan aktris dengan keuntungan ratusan juta yen bagi perusahaannya. Ia
diprediksi akan menjadi salah satu orang paling berpengaruh di industri hiburan
Jepang di masa yang akan datang."
Alis Maya
kembali bertaut. "Pak Hijiri tahu banyak ya, mengenai Pak Masumi?"
"Ah,
yaa... mengumpulkan informasi adalah keahlian saya," terang Hijiri.
Maya
kembali diam termangu, dan mengangguk. "Tolong sampaikan rasa terima
kasihku kepada Mawar Ungu. Kuharap.. dia menyukai hadiahku."
"Beliau
sangat menyukainya," Hijiri tersenyum hangat. "Dan, beliau berkata,
jika kau dan Tuan Masumi Hayami menikah, ia akan memberikan hadiah yang
istimewa untuk pernikahan kalian."
"Ah!
Be-begitu ya..." wajah Maya segera memerah. "Sa-sampaikan ucapan
terima kasihku sebelumnya..."
Hijiri
tertegun, Maya sama sekali tidak menampik perkataannya. Mungkin Maya tidak
menyadarinya, namun sepertinya sekarang ide menikahi Masumi Hayami sudah bukan
ide yang ditolak mentah-mentah oleh otaknya.
Hijiri
lantas permisi pergi dan meninggalkan Maya sendirian. Berkali-kali gadis itu
membaca lagi surat yang dikirimkan oleh Mawar Ungu.
Berjodoh
dengan Masumi Hayami... menerima Masumi Hayami... pasangan luar biasa..
berbakti kepada orang tua...
Maya
menghela napas, entah bagaimana ia sudah sedikit bisa menerima kenyataan bahwa
memang ada kemungkinan makhluk endapan lumpur itu jodohnya. Maksudnya, pasti
bukan tanpa sebab kan jika dulu ketiga orang sahabat itu tiba-tiba berikrar
ingin menjodohkan anak-anak mereka, dan, nyatanya hanya Maya dan Masumi yang
berjodoh merealisasikan harapan tersebut.
Tanpa
sadar, kata-kata dijodohkan mulai terhapus dan berganti menjadi berjodoh.
Sepertinya,
aku harus bicara dengan Pak Masumi... putus Maya.
=//=
Maya pergi
menuju telepon umum terdekat. Sepanjang jalan ia terus berpikir mengenai
kemungkinan bahwa ia memang berjodoh dengan Masumi Hayami dan juga mengenai
masalah berbakti kepada ibunya. Memang Pak Miyake sudah mengatakan bahwa bagi
Masumi perjodohan ini bukanlah masalah jika Maya menghendakinya namun tetap
saja dia harus tahu keseriusan pria itu untuk berumah tangga. Atau, mengingat
usia Maya yang masih muda, mungkin pria itu juga punya pandangan lain apakah
mereka benar-benar harus menikah atau tidak.
Masumi tengah menatap kosong dokumen di hadapannya
saat interkom berbunyi dan berita yang ditunggunya terdengar.
"Telepon
dari Maya Kitajima," kata Mizuki.
Deg!!
Masumi bisa merasakan jantungnya berdebar kuat. Maya...
"Halo..." ia berusaha
terdengar tenang.
"Ha, ha, lo..." sapa maya
gugup. Aduh! Apa yang kupikirkan! Masa aku...
"Kebetulan
sekali kau menghubungiku, aku baru saja berpikir perlu bicara lagi
denganmu," ungkap Masumi. "Berdua saja. Nanti malam di restoran
Diamond ya jam 7 aku tunggu. Eh, kau mau datang sendiri atau mau
kujemput?"
"Eh,
datang sendiri saja."
"Bagus.
Sampai jumpa."
"Sampai
jumpa."
Saat
telpon berbunyi tut... Tut... Tut... Barulah Maya sadar dengan apa yang
terjadi. Masumi Hayami tidak memberinya kesempatan bicara! Walaupun apa yang
ingin dikatakannya memang-kebetulan- sama, tapi kan yang menelepon dia! Kenapa
yang bicara dan mengakhiri percakapan malah Masumi Hayami!
Dasar tukang manipulatif. Semaunya sendiri!
Sebenarnya Masumi memang sengaja langsung
mengundang Maya bertemu. Ia lega usulan Mawar Ungu agar mereka bertemu diterima
oleh gadis itu. Namun, tadi Masumi takut sekali Maya langsung memutuskan dan
menolaknya di telepon. Karena itulah ia langsung membuat janji temu dan tidak
memberi gadis itu kesempatan bicara.
Baiklah. Nanti malam. Itu akan menjadi
awalnya membuat Maya jatuh cinta kepadanya.
=//=