Tuesday, 1 April 2014

To Make You Love Me Ch.5

Posted by Ty SakuMoto at 10:29


To Make You Love Me
(Chapter 5)








Maya tidak bisa mengerti bagaimana ia bisa terlibat keadaan ini. Masumi benar-benar menyeretnya ke Daito, dan memperlakukannya seperti kruk!
Lengan pria itu tersampir di pundak Maya dan berjalan terpincang-pincang di sampingnya. Masumi sepertinya tak peduli dengan tatapan heran yang dilemparkan kepada mereka. Maya sih malu, tapi sepertinya Masumi tidak. Malahan, saat mereka berada di dalam lift, walaupun tidak ada yang bertanya, Masumi mengumumkan dengan lantang, "Ini tunanganku. Dia membantuku karena kakiku sedang sakit."

Terdengar sangat bangga dan para pegawainya akan mengangguk-angguk sungkan lantas menyampaikan rasa simpati mereka sambil bertanya-tanya dalam hati kenapa Masumi tidak memilih memakai kruk saja ketimbang harus merangkul seorang gadis ke sana kemari.
Sedangkan Maya benar-benar salah tingkah. Rasanya sangat tidak tahu diri jika ada sepasang pria dan wanita terus menerus berkeliaran sambil berrangkulan di tempat yang tidak semestinya seperti yang Maya dan Masumi lakukan.
 
Ah, sekali lagi Masumi tak peduli. Ia sangat senang bisa merangkul Maya demikian dekat. Bisa merasakan kehangatan gadis itu di sisinya. Dan dia sama sekali tidak protes. Masumi bahagia sekali membayangkan dia bisa seperti ini seharian.
Eh, tunggu, sehari? Kenapa hanya sehari? Dia bisa meminta Maya menemaninya seminggu kalau dia mau. Benar, seminggu!!  Bahkan sebulan!!
Eh, tunggu, pesta pertunangannya hanya sebentar lagi. Dia tidak mau jika harus merayakan pertunangan sambil pura - pura sakit jempol kaki. Ya baiklah. Seminggu saja. Seminggu sudah cukup untuknya memuas-muaskan diri merangkul-rangkul Maya sebelum jadi istrinya. Membayangkan ide briliannya, Masumi tanpa sadar menyeringai licik.
"Ada yang menarik, Pak?" tegur Mizuki.
Saat Masumi tersadar, tiba-tiba wajah sekretarisnya sudah muncul di hadapannya. Ternyata mereka sudah tiba di depan pintu kantor Masumi.
"Mizuki," sapa Masumi, lebih ramah dari biasanya.
"Ha-halo... Nona Mizuki," sapa Maya dengan kaku dan canggung.
Mizuki kembali melontarkan tatapan penuh tanda tanya kepada Masumi.
"Hari ini kakiku sakit, Maya dengan baik hati bersedia membantuku. Sukarela," terangnya dengan suara tegas.
Maya diam-diam mendengus sebal. Sukarela? Yang ada Masumi memaksanya berada di sini.
"Kaki Anda kenapa?" tanya Mizuki.
"Bengkak."
"Ini salahku," terang Maya segan. "Aku yang menyebabkan kakinya bengkak. Semalam... uhm... aku menginjak kaki Pak Masumi," terang Maya dengan polos.
"Semalam?" kedua alis Mizuki terangkat. Tatapannya berpindah kepada Masumi. "Semalam?" ulangnya. Bukankah semalam mereka sempat bertemu untuk membicarakan persiapan rapat hari ini dan Masumi sama sekali...
Mizuki tersenyum jahil.
Saat Masumi melihat senyuman tak kentara di wajah sekretarisnya, Masumi tahu Mizuki pasti menyadari kebohongannya. Semalam mereka memang sempat bertemu sebentar setelah Masumi mengantar Maya. Dan saat itu, tentu saja kaki Masumi masih baik-baik saja. Walaupun injakan kaki Maya memang sempat membuatnya sakit, tetapi bukan sakit yang berkepanjangan. Apalagi, sampai bengkak. Semuanya kebohongan belaka.

Dan sekarang, Masumi muncul sambil merangkul-rangkul Maya ke sana kemari. Tentulah sekretarisnya itu menaruh curiga dengan akal bulus Masumi.
Masumi mungkin bisa saja menampik dengan mengatakan ini dan itu. Tetapi, Masumi dan Mizuki tahu sama tahu bahwa Masumi pasti sedang berbohong. Oleh karena itu, Masumi memutuskan tidak mengatakan apa pun selain melemparkan tatapan menyuruh bungkam kepada Mizuki.
"Sakit sekali, Pak?" tanya Mizuki, menggodanya. "Kenapa tidak membawanya ke dokter?" tanyanya lagi.
Maya pun segera menoleh dan mendongak, menunggu jawaban dari calon suaminya itu.
"Uhm!! Kurasa tidak perlu," ungkap Masumi dengan tenang. "Ini hanya bengkak saja..."
"Tapi kalau sampai kesulitan berjalan, apalagi sampai harus ditopang seperti ini, sepertinya lebih baik ke dokter. Anda juga bisa memakai kursi roda atau kruk..."
"Tidak perlu!" Masumi gemas dengan sekretarisnya dan kembali memberikan tatapan, 'jangan coba-coba!' kepada Mizuki, yang tampak diabaikan sekretarisnya itu. "Begini saja sudah cukup!"
"Tapi Anda nanti ada rapat. Juga ada pertemuan dengan beberapa orang. Apa Maya selama itu juga akan mendampingi Anda?"
"Ah! A-aku-"
"Tentu saja!" tukas Masumi cepat. "Aku tahu benar, anggota teater Mayuko, adalah orang-orang yang mengerti tanggung jawab," tegasnya.
Maya menutup mulutnya. Tidak bisa bicara lagi karena Masumi juga membawa-bawa kehormatan teater Mayuko.
"Begitu..." mizuki berdecak tak kentara. Entah kenapa atasannya ini lebih memilih menggunakan trik-trik memperdaya Maya ketimbang mengakui secara gentle bahwa dia ingin bersama Maya. Toh mereka sudah mau bertunangan. "Lalu, sampai kapan Anda berencana seperti ini?"
"Seminggu!" putus Masumi.
"HAH!!?" Maya terlonjak kaget. "Seminggu?? Seminggu seperti ini??"
"Ya. Maya! Kakiku akan bengkak selama satu minggu!" Masumi menekankan.
"Darimana Anda akan tahu bengkaknya sampai seminggu? katanya hanya bengkak saja, tidak parah." tanya Mizuki.
"Yah, dokter bilang begitu." Masumi meyakinkan.
"Dokter?" Alis mizuki berkerut. "Tadi Anda bilang tidak pergi ke dokter..."
Masumi tertegun, dan segera gelagapan. "Ti-tidak... tidak! Maksudku... yaah... aku pernah bengkak seperti ini juga. Saat itu dokterku bilang, bengkaknya akan hilang da-dalam seminggu!"
Fiuuuhh.... memang hebat Masumi Hayami! ia memuji diri sendiri.
Mizuki tersenyum tak percaya tetapi dia tak berkata apa-apa.
"Pak Masumi memang menyebalkan sih. Aku tidak heran jika banyak orang ingin menginjak kakimu!" celetuk Maya dengan keki.
"Hm?" Masumi tertegun mendengarnya, sementara Mizuki tidak tahan untuk tidak terkekeh.
Akhirnya, keinginan Masumi benar-benar terlaksana. Maya menempel terus kepadanya. Atau sebaliknya?
Tak pernah rasanya Masumi begitu semangat bekerja seperti saat ini. Ketika Masumi duduk di meja kerjanya, Maya duduk di sofa membaca majalah, menunggu perintah. Masumi memang jahat. Tetapi sebetulnya keberadaan Maya juga membuatnya sulit bekerja. Ketimbang membaca dokumen. Masumi hanya akan diam-diam mengamati sang calon istri yang duduk di sofa di hadapannya itu.
Saat Maya menoleh mengamati Masumi, Masumi segera pura-pura menunduk dan memasang wajah serius yang berkata : aku sedang sangat serius bekerja, begitu konsentrasi hingga tidak bisa memperhatikanmu.
Setelah itu, Maya kembali menunduk membaca majalahnya dan Masumi mengamatinya lagi penuh cinta.
 
Ruangan itu hening dan dingin sekali. Masih jam 10 siang tetapi Maya jadinya mengantuk lagi. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dari tadi hanya duduk-duduk saja di sofa...
"Maya," panggil Masumi akhirnya.
"Ya!?" Maya segera menoleh.
"Ke sini, aku harus rapat sekarang."
"Rapat?" Maya berdiri menghampiri dengan segera. "Rapat di mana?"
"Tentu saja di ruang rapat direksi. Kemarikan bahumu," pinta Masumi sesantai mungkin. Padahal jantungnya berdebar-debar lagi. "Kau antarkan aku ke sana."
"A-aku?"
"Ya. Kau tahu kan aku kesulitan berjalan sendirian?"
Maya mengerucutkan bibirnya namun tak berkata apa-apa lagi.
Saat Maya sedang membantu Masumi yang mengaduh-aduh pura-pura kesulitan berdiri,saat itulah Mizuki masuk.
"Pak, sudah saatnya...." Mizuki tidak melnjutkan perkataannya dan hanya menggeleng-geleng perlahan, melihat ribetnya sandiwara Masumi yang biasanya melakukan segala sesuatu dengan efisien.
"Ah, Mizuki. Kebetulan kau sudah datang. Tolong siapkan satu kursi lagi di ruang rapat untuk Maya." pinta Masumi.
"Apa?" Mizuki tertegun. "Maya akan ikut... rapat?"
"Tidak! Tidak!" takut-takut Maya menggeleng kepalanya keras-keras. "Aku hanya akan mengantarmu sampai ke sana!"
"Enak saja!" tolak Masumi.
"Pak, ini rapat..."
"Ya. Aku tahu ini rapat. Tetapi, ini hanya rapat mengenai evaluasi acara Daito saja kan? Tidak masalah ada Maya di sana. Dia juga belum tentu mengerti."
"Hei! Aku ada di sini!" protes Maya yang berada di bawah lengan Masumi. "Maksudmu aku bodoh?"
"Maksudku, kau bisa dipercaya," bujuk Masumi. "Lagipula," dia kembali bicara kepada Mizuki. "Maya calon istriku. Tidak ada salahnya dia tahu bagaimana aku bekerja."
Mizuki menghela napasnya. Dia tahu Masumi hanya ingin pamer saja, bukan? Tetapi sekali lagi, dia hanya sekretarisnya.
"Saya akan meminta Ota menyiapkannya."
"Bagus," Masumi puas. Ia menoleh kepada Maya. "Ayo, Maya..."
Sepanjang jalan Maya masih membujuk Masumi bahwa dia tidak harus ikut hadir dalam rapat tersebut, tetapi Masumi bersikukuh. Dia bilang, Maya harus membantunya berdiri, danmelakukan hal lainnya. Dia tidak ingin Mizuki atau pegawainya yang lain. "Ini tanggung jawabmu," dia menegaskan.
Maya sebagai anggota teater Mayuko yang baik, tidak bisa lari dari tanggung jawabnya.
Akhirnya, di sinilah Maya sekarang. Ia duduk persis di samping Masumi. Mendapat tatapan penuh tanya dari orang-orang bagian manajemen artis.
Tentu saja, Masumi tidak lupa memperkenalkan. "Ini calon istriku. Maya Kitajima. Dia sedang ada di sini untuk membantuku," terangnya.
"Ohh... ya.. ya..." orang-orang itu saling mengangguk dan bertukar tatapan heran satu sama lain.
Rapat itu berlangsung dengan hal-hal yang tidak menyenangkan. Terkait beberapa artis Daito yang sedang menurun prestasinya, juga berpengaruh pada film dan dorama mereka.
Namun, jika biasanya Masumi sangat keras dan tegas. Kali ini, walaupun sikap tegasnya tidak berkurang, Masumi sama sekali tidak penuh amarah. Ia begitu tenang. Apalagi jika dia bicara kepada calon istrinya. "Maya, bisa tolong pegang dokumen ini sebentar?" pinta pria itu dengan hangat dan lembut.
Benar-benar mengejutkan! Masumi memang terlihat seperti jompo, tetapi semua juga bisa melihat, pria itu sepertinya sedang jatuh cinta.
Akhirnya rapat selesai saat menjelang jam makan siang dengan beberapa keputusan yang telah diambil untuk para artis Daito. Sejenak Masumi mengamati Maya. Dulu, dia juga terpaksa mengambil keputusan berat terkait Maya karena skandal yang menghadangnya. Masumi masih ingat dengan bagaimana berat dan sakitnya saat masumi memutuskan Maya ditarik dari perannya.
Gadis itu mengamati beberapa profil artis Daito dan proyek yang sedang mereka jalankan sekarang. Ia tidak tahu hanya mengurus artis saja tenyata begitu repot dan melibatkan banyak pihak dan pertimbangan.
Tiba-tiba, bahu Maya terlonjak, karena lagi-lagi Masumi menyampirkan lengannya di pundak Maya.
Jantung Maya segera berdebar keras dan ia menoleh kepada Masumi dengan wajah menghangat.
"Ayo kita makan siang..."
"Ha? Di-di-di mana?" tanya Maya.
"Anda tidak berpikir untuk membawa Maya keluar dan pergi dengan keadaan seperti ini bukan?" Mizuki memastikan.
"Tentu saja tidak. Tolong pesankan makanan untuk kami dan bawa ke kantorku," pinta Masumi.
Saat mereka keluar, seorang sekretaris menghampiri Masumi.
"Pak, ada Nona Shiori, menunggu Anda di ruang tamu."
"Nona Shiori Takamiya?" Masumi memastikan.
"Ya."
Masih dengan kondisi ya sama, ditopang si Mungil, Masumi beranjak ke ruang tamu sambil terpincang-pincang. Masumi cukup terkejut mengetahui ada Shiori di sana. Memang mereka ada janji temu, tetapi masih beberapa jam lagi.
Sepertinya Shiori pun tidak kalah terkejutnya mendapati Masumi, terpincang-pincang, ditopang oleh calon isterinya.
"Nona Shiori..." sapa Masumi. "Apakah aku salah mengingat jadwal, atau..."
"Ah, tidak! Tidak! Bukan," dengan cepat Shiori menyanggah. "Saya memang datang lebih cepat. Saya mohon maaf, hanya saja," sekilas Shiori melirik Maya dan agak jengah dengan kondisi keduanya yang merapat seperti kembar siam. "Saya kebetulan barusan ada urusan di sekitar sini, dan saya pikir... mungkin... bisa yah, bisa membicarakan masalahnya sambil makan siang..." ungkap Shiori jujur. "Tetapi..." alisnya berkerut menyelidik. "Sepertinya..."
"Maaf sekali," tukas Masumi. "Kondisiku sedang tidak prima. Jadi... aku tidak bisa makan di luar. Untunglah, calon isteriku mendampingiku hari ini. Jadi, maaf sekali..." tolaknya dengan halus.
Agak sedih, Shiori berusaha menyembunyikannya. "Ah, ya, tidak mengapa... nanti saja, saya kembali lagi sesuai jadwal pertemuan kita. Maaf sudah tiba-tiba mengganggu tanpa pemberitahuan terlebih dahulu," sesal Shiori. "Omong-omong... kaki Anda... sakit?" tanya Shiori saat mendapati Masumi memakai sandal dan perban di ibu jarinya.
"Oh, ya... kemarin kakiku... terinjak gajah," seloroh Masumi.
"ha? Gajah?" Shiori tertegun.
"Apa kau bilang!!?" geram Maya dengan sangat kesal. Wajahnya berubah sangat keki. "Kau mau kuinjak lagi!!?" ancamnya.
"Hahaha... tidak! Tidak! Maaf... aku bercanda... pasti gajahnya kesal sekali kutuding seperti itu."
"Aku yang kesal!!" sembur Maya.
Masumi terbahak keras sementara Maya berwajah dongkol. Dan Shiori, mengamati semua itu dengan perasaan tidak nyaman.
Akhirnya Shiori permisi pergi masih dengan perasaan tidak nyaman itu. Ia tidak pernah mengira hubungan Masumi dan Maya begitu akrab. Mereka dijodohkan, bukan? Dan lagi... Ada apa dengan gadis itu? Kenapa dia bersikap kasar dan kurang ajar kepada Masumi? Sementara Masumi hanya tertawa-tawa saja.
Jika saja... jika saja dirinya yang berpasangan dengan Masumi, dia tidak akan bersikap kurang ajar seperti Maya tadi.
Jika saja... Otomatis langkah kaki Shiori terhenti. Kenapa... kenapa dia berpikir seperti itu? Apakah mungkin....
Wajah Shiori langsung menghangat dan jantungnya pun memacu lebih cepat. Mungkinkah... dia memiliki ketertarikan yang lebih dari sekadar profesionalisme kepada Masumi?
Shiori harus mengakui, Masumi memiliki karisma yang mengagumkan sebagai seorang pria, dan Shiori sudah mengaguminya sejak pertama mereka berjumpa. Hanya saja... Shiori sama sekali tidak mengira, semua ketertarikannya kepada Masumi, ternyata mengarah ke jalur yang lain.
Apakah dia, sudah jatuh cinta kepada Masumi?
Sepertinya, itulah jawabannya. karena Shiori sama sekali tidak bisa menampik apa yang tercetus dari hatinya itu.
Shiori menggenggam tas kerjanya erat-erat. Ia merasa galau.
Masumi kan, sudah punya calon istri. Dijodohkan, mereka bilang.
Tiba-tiba, ingatannya terlempar kembali kepada Pak Miyake yang sempat menjumpainya. Ia tahu pria itulah yang meminta Masumi dan Maya dijodohkan terkait janji masa lalu. Eisuke Hayami yang bercerita kepada ayahnya, dan Shiori mengetahui hal itu dari ayahnya.
Tetapi, ada urusan apa Miyake mendatanginya saat itu?
Sebuah firasat mengatakan, sepertinya, Shiori harus bicara dan menemui Miyake lagi.
"AAAA...." Masumi membuka mulutnya lebar-lebar.
Dengan kasar Maya menjejalkan sendok ke dalam mulut Masumi. Pria itu mengaduh dan menyentuh bibirnya. mengunyah makanannya dan mulai protes.
"Jangan memasukkannya keras-keras!" hardik Masumi.
"Suka-suka aku! Begitulah caraku menyuapi!" timpal Maya dengan kesal. "Lagipula, yang sakit kan hanya kakimu! Kenapa aku juga harus menyuapimu? Kau kan bisa gunakan tanganmu!" Maya mengulangi protesannya yang sedari tadi tidak dihiraukan masumi.
"Aku tidak peduli! Salahmu menginjak kakiku sampai bengkak! Sakitnya sampai ke kepalaku,kau tahu! Berdenyut-denyut, benar-benar menyakitkan..." Masumi membuat Maya merasa bersalah. "Karena itu kau harus tanggung jawab dengan seluruh tubuhmu!"
Bibir Maya mengerucut lagi dan dia memasukkan sendok ke mulut Masumi masih dengan kasar.
"Pelan-pelan!" hardik Masumi lagi.
Maya kali ini tidak menjawab dan hanya mengerucutkan bibirnya saja sebagai protes.
"Kau juga makanlah..." perintah Masumi.
Maya menurutinya. Masumi bisa melihat gadis itu masih marah.
"Maaf, apa aku terlalu keras kepadamu?" tanya Masumi.
Maya mendengus tipis. Tetapi jika seseorang sudah meminta maaf, tentu saja dia hanya bisa memaafkan.
"Sudahlah. Ini memang salahku, kakimu bengkak sampai sakit sekali. Ini memang sudah tanggung jawabku," kata Maya sambil menyuapi lebih lembut kali ini.
Masumi hanya diam saja. Sebenarnya, mungkin hanya dia yang begitu repot dengan ibu kaki yang bengkak--dan bengkaknya pun hanya bohongan. Orang yang kakinya patah saja mungkin tidak akan serepot ini.
"Pak Masumi, seharian ini di kantor saja. Tidak ke mana-mana?"
"Tidak. Mungkin besok aku ada urusan meninjau beberapa lokasi syuting dan persiapan pementasan. Wah! Besok kau juga ikut!" ajak Masumi antusias.
"Pak Masumi... pakai kruk saja..." keluh Maya. "Aku kan malu... muncul di tengah-tengah orang-orang yang tidak kukenal..."
"Kenapa malu? Kau kan calon istriku. Tidak aneh jika mereka tahu mengenai hal itu, bahwa kau ada mendampingiku yang sedang sakit."
Mendampingi saja sih memang tidak masalah. Tetapi... harus menempel seperti kembar siam? Yang benar saja. Seminggu?? Maya hanya bisa berdecak dalam hatinya.
"Omong-omong, sudah ada pementasan yang akan kau ambil?"
Maya menggeleng.
"Kau harus pentas tahun ini jika kau ingin mendapatkan penghargaan di festival seni nanti. Kau pasti ingat kan, bahwa itu adalah kesempatan terakhirmu mendapatkan penghargaan sekaligus kesempatan mengejar Ayumi."
Ayumi.... Maya merasakan beban berat itu lagi.
"Aku percaya kepadamu," Masumi menepuk bahu Maya perlahan.
Gadis itu mengamati Masumi tak percaya. Jantungnya berdebar sangat cepat.
"Bo-bohong...." ujar Maya. "Kau pasti berharap aku gagal!"
"Kenapa begitu?" tanya Masumi. "Kau kan calon istriku. Tentu saja... aku akan sangat senang kalau kau memang menjadi calon Bidadari Merah..."
"Kau pikir aku mampu?" desak Maya.
Masumi tercenung, mengamati Maya... dan seringai menggoda terbit di bibirnya. "Hmmmm.... Bidadari Merah ya..."
Maya manyun lagi. "Pak Masumi!!!" dia menurunkan tangannya dengan kasar. "Aku tahu kau sama sekali tidak yakin kepadaku!!"
"Hahahaha... bukan begitu, bukan..." bujuk Masumi. "Bukan aku yang harus memastikan kau mampu atau tidak. Tapi dirimu," telunjuk Masumi menyentuh dada gadis itu.
Maya menunduk, mengamati telunjuk itu. Tatapannya yang kesal segera terlontar kepada calon suaminya.
"Ah!!" Wajah Masumi langsung merah padam. "Ini... aku..." Masumi menggulung telunjuknya lagi. "Tidak... bermaksud..."
"Messsuuuuuuuummmm!!!" Maya menonjok pipi Masumi.
"Adduuuhh!!!" Masumi mengerang keras seraya mengusap tulang pipinya.
"Pak Masumi. Anda baik-baik saja?" tanya Mizuki yang masuk dengan setumpuk dokumen. Ia melihat pria itu mengerang dan memegangi pipinya.
"Ukh..." Masumi berusaha menenangkan dirinya. Denyutan itu terasa cukup menyakitkan di wajahnya. Ternyata Maya benar-benar beringas.
"Pak Masumi, Anda kenapa?" Mizuki lantas beralih kepada Maya, meminta jawaban.
 
"Uhmm... dia..." Maya melirik kesal, masih sebal, juga malu. Tidak mungkin dia mengatakan apa yang sudah Masumi lakukan tadi.
"Ak-aku terantuk meja," jelas Masumi.
"Meja?"alis Mizuki terlonjak. Heran.
Maya hanya melirik keki saja.
"Bagaimana bisa wajah anda terantuk meja?" tanya Mizuki sangsi.
"Itu bukan urusanmu!!!" seru Masumi akhirnya, kesal juga. Dia baru saja dihajar calon istrinya dan wajahnya sekarang berdenyut-denyut.
"Ta-tapi Pak... pipi Anda lebam..." terang Mizuki.
"Deg!" Maya tertegun. Ia melirik gelisah, tidak tega juga. Dan ternyata memang tampak tulang pipi Masumi agak biru seperti memakai blush-on. Ukh.... dia jadi merasa bersalah lagi.
"Biar saja!" tukas Masumi. "Ada apa kau mengganggu acara makan siangku?"
"Maaf, ini baru saja ada laporan mengenai masalah kontrak Naoki Kitazawa yang dilanggar, juga tuntutan untuk Daito dari Haruyama mengenai bayaran yang tidak sampai kepadanya karena dibawa kabur Tanabe dan--"
"Sudah letakkan saja di mejaku!! nanti kubaca!!!" bentak Masumi dengan galak.
Kesal sekali rasanya, sudah pipinya berdenyut-denyut, kebersamaannya dan Maya terganggu, sekarang Mizuki datang dengan sederetan berita buruk.
"Baik Pak..." Mizuki melirik ngeri. Dia akhirnya meninggalkan Masumi dan Maya.
"Sebentar, aku cari es batu dulu," ujar Maya yang segera bangun.
"Minta kepada OB. Di dapur ada es batu," terang Masumi, mengamati Maya yang beranjak keluar.
Masumi menghela napasnya lalu meringis. Benar-benar sakit. Padahal tadi dia sungguh-sungguh tidak sengaja. Tadi...
Masumi mengamati telunjuknya yang berbuat nakal tadi. Ia lantas mengamatinya. Dasar telunjuk kurang ajar... batin Masumi. Tapi...
Dia menekuk-nekuk telunjuknya. Telunjuk yang beruntung! Sasarannya bisa tepat seperti itu! Benar-benar telunjuk Masumi Hayami!
Saat Masumi tersadar, Maya sudah berdiri di hadapannya masih dengan wajah masam.
"Ah!" Masumi kembali salah tingkah. Untung dia belum sempat menyeringai aneh. "Kau sudah kembali..."
Maya tak berkata apa-apa dan duduk di samping Masumi. Duh, masih saja merasa sangat malu. Padahal dia ini korbannya. Kenapa harus dia yang merasa begini malu? Kesal juga!
Maya mulai menyentuh-nyentuhkan celemek dengan es batu di dalamnya pada tulang pipi Masumi.
"Sakit tidak!?" tanya Maya.
"Sedikit," jawab masumi. "Terima kasih."
Maya tak menjawab.
"Mengenai hal yang tadi. aku tidak sengaja--ADUH!!! Pelan-pelan! Jangan ditekan keras-keras begitu!"
"Jangan dibicarakan lagi!!" bentak Maya dengan kesal, wajahnya jadi panas lagi dan pasti sangat merah.
"Maaf ya..." Masumi berkata sungguh-sungguh. "Benar-benar... Maaf..."
Sekian lama Maya tak berkata apa-apa, tetapi akhrnya luluh juga. "Pegang!!" perintah Maya kepada Masumi. "aku mau membereskan bekas makannya dulu..."
Masumi menurut.
Ini apdetan terakhir ya...
Saat Maya kembali ke kantor Masumi, pria itu masih duduk di sofa.
"Apalagi?" tanya Maya.
"Bawa aku ke sana," ia menunjuk meja kerjanya. "Ada banyak pekerjaan yang menungguku."
Masumi melingkarkan lagi lengannya di pundak Maya yang membantunya berdiri.
"Kakinya sudah tidak begitu sakit?" tanya Maya. "Kau sudah tidak pincang..."
Eh! Masumi tertegun. Ya ampun!! Dia lupa! Karena fokus pada nyut-nyutan di pipinya, dia sampai lupa kalau harusnya berjalan pincang.
"Sudah sembuh?" tanya Maya lagi. "Sudah tidak sakit lagi?"
"Ah! i-ini... masih... aku... hanya memaksakan... ini..."
Maya menatap Masumi yang gelagapan penuh curiga.
Untunglah saat itu ketukan di pintu terdengar. "Masuk!" seru Masumi cepat.
Sosok cantik dan anggun itu masuk lagi. Shiori menyapa dan berkata, "Pak Masumi.. maaf... saya ternyata ada urusan mendesak nanti sore di kantor saya. Karena itu, mungkin pertemuannya kita tunda saja? Saya akan meninggalkan dokumennya di sini untuk Anda baca," terang Shiori seraya tersenyum tipis. Sekali lagi merasa jengah melihat kembar siam tersebut.
Apa sepanjang hari mereka menempel begitu? batin Shiori terheran.
"Oh, ya," Masumi menjawab cepat, melepaskan rangkulannya dari bahu Maya. "Kemarikan saja, nanti saya pelajari."
Saat Shiori hendak menghampiri, kaki gadis itu terpeleset dan tubuhnya tiba-tiba limbung hendak jatuh.
"Nona Shiori!!" Dengan tanggap Masumi menangkap Shiori yang jatuh ke hadapannya. Walaupun sempat hendak jatuh ke belakang, Masumi berhasil menahan tubuh mereka tetap berdiri.
Wajah Shiori tampak tekejut. Dia menatap wajah Masumi yang sangat dekat dengannya. Jantung gadis itu mendadak berdebar semakin hebat.
"Kau tidak apa-apa?" Masumi mengulangi pertanyaannya sekali lagi.
Shiori masih kehilangan kata-kata. "A.. aku..." jantungnya berdentam semakin keras dan wajahnya menghangat. Lantas... lamat-lamat rasanya ia mendengar lagu unchained melody, sontrek film favoritnya, Ghost, yang sangat romantis. Dan berbagai adegan romantis antara dirinya dan Masumi berputar indah di kepalanya.
"Nona Shiori..." tegur Masumi, Yang berusaha melepaskan pegangan mereka. "Kurasa ponselmu berbunyi."
"AAh... ah... ya..." Shiori kembali tersadar. Ia dengan kikuk mencari ponselnya di dalam tas dan tidak bisa menemukannya.
"Kurasa... ini, yang kau cari?" Masumi menunjuk ponsel di tangan wanita itu.
"O-oh! Ah! Yaaa..." Shiori semakin salah tingkah dan malu. Ia menekan sebuah tombol dan lagu Unchained Melody itu pun berhenti. "Email... da-dari kantor," terang Shiori walau tidak ada yang bertanya.
Saat itulah perhatian Masumi teralih kepada Maya yang sejak beberapa lama tidak ada suaranya. Alangkah terkejutnya MAsumi, mendapati tatapan tajam dan gahar dari calon istrinya itu.
"A-ada apa?" tanya Masumi. Apakah sesuatu membuat Maya marah? Apakah gadis itu cemburu atau...
"kau!!!" Maya ngambek."Bohong!!!" ia menunjuk ke arah ibu jari kaki Masumi.
Ya Tuhan! Perban itu dengan polosnya lepas dari ibu jarinya. Masumi tidak menyadarinya dan sekarang...
"Ah! Kakimu baik-baik saj!" Shiori mengumumkan sesuatu yang sudah jelas.
"E- Maya! Ini... i-ini..."
Maya kesal bukan kepalang. Jadi, setelah dia dibebani tubuh besar pria itu seharian di bahunya, merasa bersalah dan bertanggung jawab... ternyata Masumi hanya pura-pura? mempermainkannya?
"Bisa kujelaskan," terang masumi cepat, kepada Maya yang mendengus-dengus seperti gajah mengamuk.
"tidak perlu! Rasakan ini!!!!" Maya menginjak kaki Masumi dengan sekeras-kerasnya dan pergi dengan kesal dari sana.
Masumi sekali lagi mengerang. Ia melompat dengan satu kaki sambil memegangi kaki yang satunya.
"Adduuuhh!! Maya! Maya! hei! Maya! Tunggu dulu!" Masumi meringis, dan dengan terpincang-pincang bermaksud mengejar MAya. Tetapi...
"Grep!!" Shiori menahan pergelangan tangan Masumi. "Jangan..." sergahnya. "Jangan dikejar... gadis seperti itu..." genggaman tangan Shiori semakin erat. "Tidak perlu mengejarnya!"
Masumi tertegun. Bingung dengan perkataan Shiori, tetapi di tengah kekalutan itu Masumi masih tahu apa yang harus dilakukannya.
"Lepaskan!!!" bentaknya, seraya menghempaskan tangannya kasar, dan mulai mengejar Maya dengan terpincang-pincang.
"Maya! Maya! Hei... Maya tunggu sebentar!" panggil Masumi. Kali ini kakinya benar-benar sakit, dan kali ini dia benar-benar pincang.
Maya tak menghiraukan. Ia tak peduli para pegawai itu mengamati kedua kembar siam yang sekarang saling berjauhan.
"Maya!!" Masumi terlambat, di balik pintu lift, wajah dongkol dan sebal Maya menghilang. "Ah!! Sial!!!" rutuknya. "Apa kau lihat-lihat!!?" bentak Masumi kepada pegawai yang numpang lewat di dekatnya--dan sebenarnya sama sekali tidak melihat ke arahnya.
"A-ah!! Maafkan saya Pak!!" sahut pegawai itu spontan.
Masumi bergegas ke lift yang satunya lagi dan menekan-nekannya dengan tidak sabar. Saat lift itu terbuka, dan ternyata penuh, Masumi dengan garang memerintah semua penghuni lift itu keluar.
"Keluar kalian semua!!' bentaknya lagi.
Tanpa bertanya lebih lanjut semuanya berhambur keluar dan Masumi masuk ke dalam lift, menekan-nekan tombolnya lagi dengan tak sabar.
Setiap kali pintu lift terbuka pada lantai yang lampunya menyala, Masumi akan memelototi orang-orang itu hingga mereka tidak berani masuk ke dalam lift. Ada yang terlonjak saat hendak masuk dan dihadiahi tatapan seram oleh Masumi yang seperti serigala lepas. Bahkan lantai tak berpenghuni pun Masumi pelototi dengan garang.
Akhirnya setelah melalui belasan lantai, Masumi turun dan tak melihat Maya walaupun ia sudah mengedarkan tatapannya berkeliling. Dengan gusar Masumi berlari keluar gedung, mencari Maya.
=//=
Maya turun dari lift dan menghela napas sebal. Bibirnya manyun dan Maya memaksakan menyeret dirinya menyusuri lorong di mana kantor Masumi berada. Jika saja bukan karena dompetnya yang tertinggal, Maya benar-benar enggan untuk kembali dan melihat wajah menyebalkan Masumi lagi.
Maya mengetuk perlahan dan mendorong pintu kantor yang terbuka. Ternyata, Masumi tidak ada di tempat. Tetapi, wanita muda yang cantik itu masih ada di sana. Duduk dengan rapi di sebuah sofa.
"ah, kau..." Shiori segera berdiri melihat Maya masuk. Ia pikir, Maya datang bersama Masumi, namun ternyata gadis itu sendiri saja.
Maya sendiri wajahnya bersemu, agak malu karena ingat tidak bisa menahan kekesalannya di hadapan Shiori tadi.
"A-anu... dompetku... tertinggal," ujarnya.
"Oh ya," Shiori yang sudah melihatnya terlebih dahulu, meraih dan menyrahkannya kepada Maya.
"Terima kasih," ucap Maya. "Uhm, anu... Pak Masumi... ke mana...?"
Shiori dapat menyembunyikan rasa terkejutnya dengan baik. "Oh... kurasa... Pak Masumi ke kamar mandi. Tadi dia mengeluh kakinya sakit."
Maya berdecak spontan. "Menyebalkan sih..." lirihnya.
Shiori mengamati Maya agak tajam. Bisa dilihat Maya tampaknya memang bersikap kurang ajar kepada Masumi.
"Uhm, maaf," Shiori berdeham tipis. "Bolehkah aku... bertanya sesuatu?"
"Ya? Apa?"
"Kau dan Pak Masumi... dijodohkan, benar kan?"
Maya tertegun sejenak dan dengan wajah merona, ia mengangguk.
"Apa kau... tidak ada perasaan apa pun kepadanya?" Shiori memastikan.
"Tentu saja ada!" tukas Maya. "Aku membencinya! Aku sebal bukan main kalau melihatnya!" Maya terbawa perasaan dan mendeklarasikan kembali permusuhannya dengan Masumi. Saat ia tersadar, dan Shiori mengamatinya dengan bingung, Maya benar-benar malu dan menunduk lagi.
"Jadi sebenarnya... kau... tidak ingin menikah dengannya?"
"eh, itu...." maya tidak bisa menjawab. Rasanya itu bukan urusan Shiori, lagipula, masa ia harus mengatakan kepada wanita yang tidak begitu dikenalnya, bahwa dia tidak ingin menikah dengan calon suaminya. "Itu..."
"Kalau... ada gadis lain, yang bisa menggantikanmu dijodohkan dengan Pak Masumi, apa kau mau?"
"Eh!?" alis Maya melonjak naik. "Menggantikanku?" tanyanya bingung.
"Ya. Maaf... tetapi, ayah tiriku adalah rekan bisnis dari Pak Hayami dan Pak Miyake. Kurang lebih... mengenai masalah kalian, aku juga tahu," terang Shiori.
"Oh..." Maya masih saja merasa tak nyaman dengan pertanyaan Shiori. Karena, apa pun jawabannya, pertunangannya dan Masumi hanya sebentar lagi. "Baik aku, dan Pak masumi.... kami sudah sepakat melakukannya sebagai pengabdian kepada ibu kami," terang Maya.
"Tapi kalau ada wanita lain, kau tak harus menikah dengannya kan? kalau... Pak masumi misalkan ingin menikah dengan wanita lain. wanita yang benar-benar mencintainya?"
"Eh? I-itu sih...." Jantung Maya tiba-tiba berdebr tak menentu entah apa sebabnya. Masumi? Menikah dengan perempuan lain selain dirinya? "I-itu sih, terserah dia!" seru Maya dengan nada tinggi yang membuat Shiori terkejut. Maya juga jadi malu lagi karena perkataannya yang tak bisa dijaga. "Maaf... Aku permisi!" Maya membungkuk dan keluar dari kantor itu.
Ia menaiki sebuah lift hendak pulang. Saat liftnya tertutup, pintu lift yang satunya lagi terbuka, dan Masumi keluar dari sana.
Masumi masuk kembali ke kantornya dengan lelah, nyeri dan sangat kesal. Ia tak mengira akal bulusnya untuk membuat Maya menempel kepadanya selama seminggu berakhir dengan gadis itu marah kepadanya.
Pasti, kali ini, walaupun kaki Masumi benar-benar bengkak, gadis itu sudah tidak mau tahu dan tak ingin didekatinya lagi. Hhh...!! Sialan! Masumi besumpah serapah lagi.
Ia agak terkejut melihat Shiori masih ada di sana dengan tenang. Dia sempat lupa bahwa ada Shiori di sana. Dan sekonyong-konyong, ingatannya saat tadi membentak Shiori pun kembali.
"Ah, Nona Shiori," tegur Masumi.
"Pak Masumi," Shiori bangkit.
"Maaf aku jadi membuatmu menunggu," Masumi berkata dengan formal.
"Tidak mengapa," jawab Shiori sungkan. Kali ini, ada sedikit rasa takut mengingat bagaimana Masumi tadi membentaknya. Bukannya tidak biasa, Shiori juga kadang mendapat bentakan ceo stasiun TV-nya yang tidak bukan ayahnya sendiri, tetapi tadi pertama kalinya Shiori melihata Masumi segusar itu.
"Mengenai hal yang tadi," Masumi berkata agak sungkan walaupun sepertinya bukan penyesalan besar, "Aku sangat menyesal, aku tidak bermaksud membentakmu seperti itu..."
"Tidak. tidak, saya yang salah... seharusnya saya tidak mencampuri urusanmu," Shiori berkata rendah hati. "Omong-omong.... bagaimana... Maya? Ketemu?"
Masumi mengeratkan rahangnya, ingat lagi calon istrinya yang gahar itu. "Kita langsung saja ke pokok masalahnya?" elak Masumi, tidak ingin membicarakan mengenai hal itu dengan Shiori.
"Pak Masumi, kaki Anda...?" Shiori bisa melihat lebam di ibu jari pria itu. "BUkankah lebih baik kita merawatnya terlebih dahulu?"
"Tidak perlu, ini--"
"Pak Masumi, jangan begitu! Luka yang tidak dirawat akan semakin parah, dan mungkin nanti Anda bisa bengkak lama dan benar-benar kesulitan bekerja."
Tanpa diminta, Shiori pergi keluar dan mencari es batu untuk luka lebam di kaki masumi. Membuat bagian pantry agak heran, karena seharian ini, tamu Masumi, baik Maya atau Shiori--sibuk mencari es batu ke sana.
Shiori dengan telaten mengompres ibu jari Masumi. Berapa kali pun Masumi melarangnya, dia tetap bersikeras. masumi sangat tidak nyaman, karena tdak ada satu pun rekan kerjanya yang memperlakukannya seperti ini tentu saja.
"Nona Shiori, aku benar-benar tidak enak, kenapa... Anda jadi.."
"ah, tidak apa-apa," timpal Shiori, yang merasa senang bisa melayani Masumi walaupun ini memang sangat jauh dari imejnya yang seorang putri konglomerat sekaligus produser stasiun TV ternama.
"Pak Masumi... walaupun saya melihat Anda dan calon isteri bertengkar, tetapi... sepertinya Pak Masumi... cukup perhatian kepada Nona Maya ya?" Dengan mulus Shiori mewawancarai.
Masumi tertegun, tak tahu harus berkata apa. Menceritakan masalah percintaan bukan hal yang biasa dia lakukan. Masumi tak menjawab beberapa lama. Namun, Shiori yang mendongak ke arahnya, tampak mengharapkan jawaban itu.
"Kami sudah sepakat menikah," tegas Masumi. "Otomatis aku hanya memikirkannya saja," Masumi dengan tersamar mengungkapkan perasaannya.
"Lalu... bagaimana dengan Nona Maya? Saya lihat, mungkin karena usianya yang masih sangat muda ya," Shiori tertawa kecil, "sepertinya belum benar-benar serius memikirkan tentang pernikahan ya?"
"Ah, ya, begitulah. Tetapi, kurasa setelah menikah, perlahan-lahan kami bisa belajar menjai pasangan yang baik bagi satu sama lain," Masumi optimis. "Bukankah cinta datang setelah terbiasa, juga hal yang umum terjadi?"
"Ya... Mungkin..." Shiori menggumam. "Tetapi.... Pak Masumi... saya tahu benar ada banyak wanita yang mengharapkan Anda. Oh, saya membacanya dari majalah," Shiori tertawa renyah, berusaha bersikap hangat. "Jujur saya sangat terkejut mendengar kabar Anda mengikuti perjodohan demi ibu Anda. Tetapi, menurutku... seorang ibu, pasti lebih bahagia jika putranya menikah dengan wanita yang benar-benar dicintainya dan bisa mengimbanginya. JIka... maaf, kuharap Anda tidak terisnggung," Shiori menatap Masumi yang hanya berwajah datar saja. "Saya hanya merasa, Anda dan Nona Maya... sangat jauh berbeda, yah, secara fisik. Dan... sepertinya... Anda berdua cukup sering adu argumen?"
Masumi dengan tenang menangapi, "Aku tidak memikirkannya sejauh itu," tukasnya. "Tetapi ada satu hal yang kurang tepat," ungkap Masumi. "Sebetulnya, hingga saat ini, memang hanya Maya Kitajima yang membuat saya ingin menikahinya. Di luar masalah perjodohan, atau perbedaan di antara kami dan juga masalah seringnya kami bertengkar, aku sama sekali tidak ragu ingin menikahinya," Masumi berkata dengan sangat yakin.
Shiori terenyak mendengar pengakuan Masumi. Direktur Daito itu, sungguh ingin menikahi Maya, dari dasar hatinya.
Mustahil. Kenapa bisa begitu? Sementara gadis itu.... gadis yang tidak tahu diuntung itu, bahkan bersikap hormat kepada calon suaminya saja tidak bisa. Bagaimana bisa hal seperti ini terjadi? Shiori masih tak mengerti dengan keduanya.
"Ada apa?" tanya Masumi, melihat Shiori tampak tenggelam dalam lamunanya sendiri.
Shiori tertegun dan menggeleng perlahan. Ia mengamati wajah Masumi dan jantungnya berdebar. Dia memang telah jatuh cinta kepada Masumi. Tetapi, Masumi menjatuhkan pilihan kepada gadis yang tak tahu bersyukur itu.
Seandainya saja, Shiori memiliki sedikit kesempatan untuk mendapatkan Masumi, ia tidak akan pernah menyia-nyiakannya, apalai sampai memperlakukan masumi dengan begitu kurang ajar.
=//=
Maya sangat terkejut saat dia mendapati mobil Masumi terparkir di depan apartemennya. baru saja Maya bertanya-tanya kemana si empunya mobil, Masumi turun dari mobilnya dan memandang Maya yang tangannya penuh belanjaan dari minimarket.
Maya segera mengeratkan pelukannya di kantong belanjaan dan membuang wajahnya sebal.
"Maya!" Sapa Masumi.
Maya masih enggan menoleh. Ia berlalu begitu saja dengan wajah kesal.
"Maya!" Panggil Masumi lagi. "Maya! Kali ini ibu jariku benar-benar bengkak dan sakit! Wajahku juga lebam!" Masumi menunjuk pipinya.
Maya masih tak peduli dan dengan dagu terangkat serta wajah terpaling, ia hendak masuk ke dalam gedung apartemennya. Tetapi Masumi dengan jari bengkaknya masih bisa berjalan dengan cepat dan menghalangi Maya masuk.
"Minggir!!"  bentak Maya.
"Aku mau bicara," terang Masumi.
"Aku tidak mau dengar!!" seru Maya.
"Aku punya alasan kenapa aku--"
Maya meraih ke dalam kantong belanjannya. "Bicara lagi kulempr kau dengan tomat!!" ancam Maya.
"Aku hanya ingin kita bisa bersama dan lebih dekat saja," Masumi kukuh bicara.
Maya tertegun. Mengamati Masumi heran. "Apa maksudmu?" tanyanya, dengan jantung yang tiba-tiba berdebar semakin keras tanpa ia tahu alasannya.
Masumi sendiri terkejut dengan ucapannya. "A-aku... Maksudku..." Duh! Kenapa aku berkata begitu! Sesal Masumi.
Karena pria itu tak kunjung bicara, akhirnya Maya melengos dan memutuskan untuk masuk saja ke dalam apartemen untuk meninggalkan Masumi.

"hei! Tunggu dulu!"
"kau ini mau bicara atau tidak?" tuntut maya.
Sama sekali tak ada permintaan maaf untuk ibu jarinya yang berdenyut-denyut sekarang.
Masumi berusaha tenang.
"Ya maksudku... Tak lama lagi kita bertunangan dan jika setelah menikah tentu kita akan hidup bersama."
"Mengerikan sekali.." tukas Maya spontan.
Masumi berusaha tidak menghiraukan. "Jadi sesuai dengan yang kukatakan saat itu, aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat dan... Dan... Berusaha membuatmu... Ehem!!! Ja jatuh cinta."
"Dengan mengatakan kakimu sakit dan bengkak!?" 
"Kakiku memang sakit dan bengkak..." 
"Sebelumnya tidak!" Maya merengut kesal. "Membuatku menopang tubuh besar dan beratmu itu ke sana kemari,"Maya geram lagi. "Ukh! Rasanya ingin ku...." Maya melakukan gerakan memelintir dengan kedua tangannya. 
Masumi menelan ludahnya.
"hei! Aku sudah minta maaf  kan!"
Bibir Maya mengerucut sangat jauh.
"Maya!" tergur si calon suami kepada istrinya yang masih tidak mau memandangnya. "Maya!"
"Pokoknya aku tidak bisa memaafkanmu!"
"Hei,seharusnya aku yang marah! Kau menginjak kakiku!"
"Nah, itu juga!" Maya menunjuk hidung Masumi, hingga Masumi ikut-ikutan menunjuk hidungnya sendiri. "Kau sudah membuatku merasa bersalah! Berkali-kali bilang gara-gara aku kau tidak bisa berjalan dan bergerak bebas ke sana kemari. Nyatanya ibu jarimu baik-baik saja!" telunjuknya beralih ke ibu jari Masumi. Rasanya Maya ingin menginjak kaki yang satunya lagi agar sama bengkaknya.
"Ya, ya, maaf... tapi itu kan salahmu..."
"Salahku lagi kau bilang!?" Maya berang.
"Ya! Karena, rasanya hanya aku saja yang berusaha. Kau tidak!"
"Berusaha apa?" Mata Maya berkedut bingung.
"Di restoran itu, kau juga sudah janji kan, akan berusaha menyukaiku... ya... hanya berusaha saja... karena bagaimana pun kita akan menikah."
"Tidak usah diulang-ulang terus bagian yang itu! Sengaja ya ingin menyiksaku!?" Maya masih sengit.
"Tapi berusaha saja tidak!" Masumi tak kalah sengit. "Aku saja yang terus mencoba. Kau kerjanya hanya marah-marah saja... Sepertinya walaupun badanmu pendek, tapi kau punya tekanan darah tinggi."
"Tak perlu bawa-bawa tinggi badanku!"
"Tuh, kan, dari tadi setiap bicara pakai tanda seru..."
"Karena kau memang menyebalkaaann!!!" Maya memejamkan matanya dan menggeleng-geleng gemas.
Masumi menghela napasnya. Gadis ini... sangat mungil dengan kepala yang sangat keras. Masumi benar-benar tidak tahu bagimana menaklukannya.
Masumi menghela napasnya dan menunduk, tak sadar mengaku kalah.
"Jadi, maumu apa?" tanya Maya ketus.
Masumi mengangkat wajahnya lagi. "Ya, apa sajalah... setidaknya aku tahu kau memenuhi janjimu mau mencoba menerima dan menyukaiku."
"Aku sudah berusaha!" tegas Maya.
"Mana buktinya?" rajuk Masumi. "Aku sudah mengirimimu penyanyi serenada, sudah mengirimi boneka sapi dan kuda... sudah mengajakmu berkencan, makan malam,"Masumi menghitung dengan jarinya. "Apa yang kau lakukan?" tuntutnya.
"A-aku... aku..." sekarang Maya yang gelagapan. Kenapa jadi dia yang disudutkan? "A... aku sudah... sudah..."
"Apa? marah-marah? Meledak-ledak terus seperti merecon."
"Hei! Mengejekku tidak akan membuatku jadi suka kepadamu, tahu!" Maya geram, wajahnya merah.
"Jadi?" Masumi mengangkat dagunya, "Apa? apa yang sudah kau lakukan Maya Kitajima? Apa? Apa? tidak ada!!"
"Uuh!! berisiiikkk....! Aku kan sudah melakukan tanggung jawabku! Aku menemanimu seharian ini, padahal aku tidak harus melakukannya!"
"Itu kan karena kau sudah menginjak kakiku dulu," sekarang Masumi yang pura-pura marah dan melengos. "Haa... ternyata Maya Kitajima itu tidak bisa menepati janjinya..."
"Kalau bicara jangan sembarangan ya!" hardik Maya.
"Tapi kenyataannya memang begitu kan? Ya sudahlah, biarlah alamarhum ibu kita melihat, bahwa hanya diriku saja yang sungguh-sungguh berusaha mewujudkan harapan mereka. Sementara gadis pendek darah tinggi di hadapanku ini hanya setengah hati..."
"Maksudmu aku!?" Maya tidak terima.
"Ya siapa lagi," Masumi mengangkat bahunya tak acuh. Dilihatnya Maya cemberut lagu, tetapi sepertinya ucapannya mengena. Maya kelihatan sedang berpikir keras dan kesal. "Baiklah... aku permisi. Maaf karena aku terpaksa berbohong demi memenuhi harapan orang tua kita. Juga karena sudah membebani bahumu seharian ini. Aku permisi sekarang," Masumi membalikkan badannya sambil meringis.
Maya memain-mainkan jemarinya gelisah. Pria itu memang paling tahu cara membuatnya resah. Yang benar saja! Masa masumi terang-terangan menyatakan dia lebih berusaha berbakti kepada orangtua mereka ketimbang dirinya.
"Hei, tu-tu-tu-tunggu!!" Maya mengulurkan tangannya, menggenggam pergelangan Masumi.
Masumi diam-diam tersenyum, dan kemudian berbalik sambil memasang wajah malas. "Ya?"
"I-itu... anu..." Maya mengamati Masumi dengan gelisah. "Me... memangnya... Ba-bagaimana... uhm... agar...Pak Masumi... menyukaiku..." Maya bergumam semakin lama semakin perlahan dan menuduk.
"Hm? Apa?" tanya Masumi yang tak bisa mendengarnya.
"Kau sudah dengar barusan," protes Maya dengan wajah merah padam.
"Kalau aku sudah dengar, aku tidak akan bertanya," tandas Masumi.
"Ck! Dasar jompo!!" decak Maya.
"Nah! Itu aku dengar!!" hardik Masumi.
"Uukh!!" Maya kesal sekali dan matanya berkali-kali berkedip gusar. "Kubilang... memangnya... ba-bagaimana... apa yang harus kulakukan... a-agar... kau menyukaiku!!" ulang Maya dengan wajah sangat panas jantungnya berdebar kuat.
Entah kenapa dia harus menanyakn hal itu kepada pria yang sangat dibencinya. Maya kesal sekali dengan keadaannya sekarang. Jika saja ini bukan untuk berbakti kepada ibunya... jika saja dia bukan satu-satunya yang harus menikahi Masumi...
"Nah..." Masumi tersenyum lebar. "Yang itu baru aku bisa dengar," katanya senang. Dalam hati Masumi terbahak-bahak lagi dan mulai memuji diri sendiri. Kau memang hebat, Masumi!!
"Jadi.... apa?" tanya Maya setengah hati.
"Ya... aku..." Ada banyak permintaan dalam kepalanya untuk dipenuhi Maya, Masumi berusaha menyortirnya dengan cepat. "Ya... aku... aku biasanya menyukai sesuatu setelah terbiasa... melihatnya," terang Masumi.
"Terbiasa melihatnya? memang kau pikir aku alien? atau makhluk langka!?" Maya mengerundel.
"bukan... maksudku... semakin sering aku melihatmu, semakin baik.... Karena itulah aku sering mengajakmu bertemu, dan apa yang kulakukan hari ini juga, untuk alasan yang sama," terangnya. "Karena itu kubilang kau tidak boleh menolak jika aku mengajakmu pergi."
"Lalu?" tanya Maya. "Berarti kau sudah cukup sering melihatku kan?"
"Masih belum," tegas Masumi.
"Jadi, bagaimana!?" Maya kesal.
"Pokoknya, kau harus sering-sering menemuiku, menyetorkan wajah, mengerti? Awas saja jika sehari saja kau absen."
"Hah!? Ke-kenapa aku jadi..."
"Nah... nah... nah... setengah hati kan..."
"Baik! Baik!!" Maya menggeleng-gelengkan lagi kepalanya kesal. "Tapi bukankah kau sibuk dengan pekerjaanmu?"
Selalu ada waktu untuk Maya Kitajima... pikir Masumi. "Begitulah, kau tahu sendiri. Tapi aku akan berusaha menyisihkan waktuku yang berharga untuk menemuimu. Ini semua... demi keinginan orang tua kita..."
"Hanya setor muka saja kan?" Maya memastikan.
"Tentu saja tidak! Kau pikir aku mesin absensi!"
"Jadi, apa lagi??"
"Itu nanti kupikirkan, pokoknya, ingat untuk menemuiku setiap hari!"
"Setuju??" tanya Masumi.
Maya mengerucutkan bibirnya jauh-jauh dan mengangguk.
"Jangan cemberut begitu. Bagaimana bisa aku menyukaimu kalau wajahmu menekuk seperti melihat lipan?"
"Yang ingin kau suka kepadaku siapa?" jawab Maya sengit.
"Hei! Kau sudah janji tadi, mau berusaha membuatku menyukaimu."
Cih! Maya meludah dalam hatinya. memangnya dia peduli andai Masumi membencinya?

"Baiklah, Aku setuju!!"
"Bagus. Sekarang, senyum."
"Hah?"

"Senyum. Kurasa aku lebih suka melihatmu tersenyum." perintah Masumi.

Ukkhh...!! hati Maya mendongkol. Calon suaminya itu banyakmaunya.
Maya nyengir selebar mungkin dengan tidak ikhlas.
"Hei, aku bukan dokter hewan. Jangan hanya menunjukkan gigimu seperti kuda. Senyum! Ayo senyum!!"
"Duuh Pak Masumi!!!" Maya geram. "Salah terus!!"
"Karena kau tidak tersenyum!" tukas Masumi. "Ayo senyum dengan benar, yang tulus... seperti... saat... kau menerima mawar ungu, misalnya."
Maya tertegun, teringat mawar ungu. Akhirnya, dia mengikuti kemauan Masumi agar semuanya segera selesai. Maya tersenyum dengan tulus da gembira, seperti saat menerima mawar ungu.
Masumi balas tersenyum tak kalah hangat. Dia merangkum wajah Maya dengan kedua telapaknya. "Manis sekali," puji Masumi.
Wajah Maya memerah panas seketika mendengar pujian Masumi yang terdengar tulus. Masumi pasti bisa merasakannya di telapak tangannya.
"A-a-apa-apaan.... Ja-jangan... menggodaku!" hardik Maya yang salah tingkah dan jadi tidak bisa berkata apa-apa.
Masumi tertawa dan melepaskan tangannya dari wajah Maya. "Nah, kan, berhasil. Kurasa... aku sudah lebih menyukaimu satu level," katanya.
Maya menatap Masumi curiga, sama sekali tidak percaya pria itu mengatakan yang sesungguhnya. Kalau hanya disenyumi saja Masumi suka, pasti pacarnys sudah banyak di mana-mana, pikir Maya.
"Sekarang peluk aku," Masumi merentangkan tangannya.
"Hah!!? Melunjak ya!!" Maya memukul bahu Masumi dengan telapaknya.
"Tidak... aku mau pulang sekarang... satu pelukan dari calon isteriku tidak masalah kan?"
"Enak saj!! Tidak mau!!"
"Ah... levelnya turun lagi," keluh Masumi, sedih.
"Apa-apaan sih Pak Masumi..." Maya memicingkan matanya dan menggeram.
"Kakiku jadi benar-benar sakit karena kau injak. Lihat... bengkak..." rintih Masumi tiba-tiba lesu seperti samson kehilangan rambutnya.
Maya menunduk gelisah.
"Orang bilang, pelukan itu sangat efektif mengurangi rasa sakit. Tahu tidak? Jadi, karena kau yang menyebabkannya, sudah tanggung jawabmu mengurangi sakitnya. Jadi, sebagai calon isteriku," Masumi merentangkan tangannya lagi. "Ayo sin, peluk aku." perintahnya.
Maya memandangi Masumi yang merentangkan tangan kepadanya itu. Masa, dia harus memeluk pria itu. Yang benar saja?
Tapi memang dia yang menyebabkan kaki Masumi bengkak, dan juga... dia sudah berbuat sesuatu agar Masumi bisa menyukainya.
Ukh, tunggu dulu! Kenapa sih dia jadi harus berusaha agar disukai Masumi? Menyebalkan...
"Ayo cepat..." Masumi mulai tidak sabar. "Cepat peluk aku.""Tidak mau ah," Maya membuang mukanya yang entah sudah berwarna apa.
"Bu Haruuuu...!!!" Masumi mengadu.
"Eh! Iya! Iya! Kupeluk!! Kupeluk!!" tukas Maya cepat.
Masumi menatap Maya serius sedang hatinya tertawa. "Sini."
Maya menghampiri Masumi dengan kaku, lantas dia mulai melingkarkan tangannya di pinggang masumi dan menempelkan pipi ke dadanya. "Su-sudah..." Hanya sekilas dan Maya sudah mau melepaskannya lagi.
Tetapi Masumi lebih sigap. Dia balas memeluk Maya erat hingga gadis itu tak bisa membebaskan diri dari kungkungan tangan si calon suami.
"Belum," kata Masumi, memeluk Maya erat-erat.
Maya sangat terkejut, rasanya dadanya mau meledak saat itu juga. Ini pertama kalinya dia dipeluk seseorang seperti ini. Jantungnya berdebar kuat.
"Caramu memeluk payah sekali," Masumi bergumam, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Jika Maya melihat wajahnya sekrang, gadis itu akan melihat rona yang memenuhi wajah maskulinnya. "Coba peluk aku lebih erat. Kalau begini, namanya bukan memeluk, hanya seperti sedang mengukur lingkar pinggang," ujar Masumi. "Peluk yang benar atau tidak akan kulepaskan."
"Pak masumi! Nan-nanti ada yang lihat..." maya panik, mengingat mereka berada di luar.
Memangnya Masumi peduli? Tentu saja tidak. "Karena itu cepat lakukan dengan benar, atau kita akan seperti ini lebih lama lagi..."
Ukkh!! Hati Maya sudah kacau balau rasanya. Kenapa dia jadi berpelukan dengan masumi Hayami? Kenapa dia tidak bisa melepaskan diri? Dan kenapa... pelukan Masumi rasanya hangat sekali?
Maya mengikuti kemauan Masumi, memeluk pinggangnya lebih erat, antara sadar dan tidak sadar.
Maya... Masumi merasakan jantungnya berdebar-debar. Akhirnya dia bisa merasakan memeluk gadis itu, dan dipeluknya. Seharian dia memang sudah merangkul bahunya, tetapi sekarang, rasanya berbeda. Masumi rasanya tak ingin melepaskannya lagi. Maya... jadilah milikku selamanya... pinta Masumi dalam hatinya. Suatu saat dia akan bisa mengatakannya dengan bibirnya.
"10 ribu yen per jam," seloroh Masumi tentang tarif memeluknya.
"Hm? apa?" Maya yang sedang terhanyut dengan kenyamanan pelukan pria itu, jadi terkejut. Dia mendongak.
Ditemukannya wajah tampan pria itu yang sedang mengurai senyum untuknya.
Deg!! Maya tertegun. Ia malu. Berapa lama Maya sudah memeluknya tadi? Maya baru saja hendak melepaskannya sebelum tiba-tiba terdengar sesuatu terjatuh.
"Bruk!!"
Maya dan masumi menoleh ke arah suara dan dilihatnya Rei yang menjatuhkan kantong belanjaan, memasang wajah sangat terkejut melihat pasangan itu tengah berpelukan.
"Akh, Rei!!" Maya melotot, dan langsung menjauhkan dirinya dari Masumi. "Anu, ini! Begitu... ini, begini... anuu... aku dan... dia... ini... sakit... obat..."
Kedua alis Rei yang berkerut, jadi semakin dalam karena penjelasan Maya.
"Sudahlah, " kata Masumi tenang dan bangga. "Rei kan sudah tahu kita mau menikah. Sedikit pelukan tidak memerlukan alasan," ujarnya ringan. "benar kan?"
"Uhm..." Rei jadi ikut malu menyaksikannya.
"A-apa-apaan sih Pak masumi!" Maya memukul lengan masumi dan pura-pura lupa dia sempat merasakan kenyamanan dari sana. "Jelaskan! Soal yang tadi... obat, sakit kaki... itu..." rajuk Maya, hampir menangis karena takut salah paham.
"Apa?" Masumi mengangkat alisnya. "Kubilang aku mau pulang, lalu kau memberikan pelukan perpisahan. Wajar kan?"
"Bukan yang itu!!" bentak Maya.
"Ah, ya, ya, sudahlah... aku mengerti...." Rei cengengesan bingung. Ia memungut lagi kantong yang jatuh dan berdoa semoga tidak ada telur yang pecah. "Ku-kurasa.. aku akan menunggumu di, atas, Maya?" kata Rei gugup dan melewati keduanya.
"Aku mengukur lingkar pinggangnya!!" terang Maya. "Sungguh..."
"Ya, ya, aku percaya," Rei melirik tipis kepada Masumi yang diam saja tak membantu Maya.
Maya memberikan tatapan sebal kepada Masumi yang sudah membuat Rei menangkap kesan yang salah dari pelukan mereka. "Menyebalkan!"
"Ya, sayang sekali ya... pelukannya diinterupsi."
"Bukan itu!!" Maya memukul dada Masumi. "kenapa kau diam saja? Kenapa tidak jelaskan hal yang sebenarnya, soal tadi?? soal.. itu... jari kakimu... yang kau bilang pelukan jadi obat... penawar itu!!" Maya kesal dan ingin menangis. Ia sangat malu, gengsi, ketahuan memelukMasumi yang sudah dia gadang-gadang sebagai musuh besanya.
"Ohhh... yaa soal pelukan bisa menawarkan sakit? memang benar, saat kau memelukku tadi, aku tak ingat sakit di ibu jariku," masumi tersenyum.
"Tadi kau tak mengatakan itu kepada Rei! Dia jadi salah paham!"
"Masalahnya di mana?" tanya Masumi, wajahnya jadi dingin lagi. "KIta kan mau tunangan. Kau kan calon istriku... apa perlunya menjelaskan sesuatu kepada orang asing? Apa aku harus juga menjelaskan apa yang aku dan kau lakukan setiap kali kita bersama?"
"apa maksudmu dengan kita bersama?" Maya memberengut.
"Sudahlah, toh dia sahabatmu. Jangan terlalu dipikirkan," Masumi menepuk-nepuk kepala Maya. "Kau hanya harus mulai membiasakannya saja," Masumi tersenyum.
Ukh! Menyebalkan!! geram Maya.
"Sampai jumpa besok, Maya. Atau... harus kupanggil, Sayang??"
"Kugigit kau jika memanggilku begitu!!"
Masumi terbahak. "Baiklah, kabari aku jika hendak menemuiku. Jika tidak, aku yang akan mencarimu. Oke? Sampai jumpa."
masumi agak terpincang kembali ke mobilnya. Dia lega, semuanya berakhir baik. Ia khawatir Maya ngambek dan memutuskan perjodohan mereka. Tetapi nyatanya tidak.
Sementara Maya termangu memikirkan perkataan Masumi. Harus mulai membiasakan? Apa artinya akan ada lagi pelukan antara dirinya dan Masumi? Maya bergidik.
Tetapi, tiba-tiba, dia ingat lagi bagaimana tadi saat Masumi memeluknya. Hangat dan nyaman sekali. Maya berdebar-debar sendiri jadinya.
Maya menggeleng-gelengkan wajahnya yang masih belum hilang panasnya, dan dia segera beranjak masuk ke apartemennya.
Sudah ada Rei yang sedang membereskan belanjaan mereka di dalam sana.
“Pak Masumi sudah pulang?” tanya Rei berusaha tenang.
“Su-sudah…” jawab Maya, berdoa Rei tak perlu bertanya lagi soal hal yang tadi karena dia masih malu membicarakannya.
“Bantu aku masak makan malam ya—“
“Baik!”
“Nyonya Hayami!”
“Ha!?” Maya melongo. “Re-reeeeii!!!” Maya menutup wajahnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Jangan memanggilku seperti itu!”
“Wah, sudah sampai berpelukan! Aku tak mengira perkembangan hubungan kalian begitu pesat!”
“Bukan begitu Rei!! Itu maunya dia…”
“Dia yang meminta?”
“Tentu saja! Untuk apa aku memeluknya jika bukan dia yang perintahkan? Katanya… karena aku sudah menyakiti kakinya, aku harus memeluknya, karena pelukan bisa mengurangi rasa sakit. Itu yang dia bilang!”
“Jadi kau memeluknya?”
“Apa aku punya pilihan lain?” tuntut Maya.
Rei bengong saja melihat Maya yang sepertinya sudah lebih luluh terhadap Masumi. Entah apa yang direktur Daito itu katakan kepadanya. Yang pasti itulah yang Rei lihat.
“Dia itu memang banyak maunya!” maya melepas kardigannya dan mulai berdiri di samping Rei membantu mencuci sayuran untuk makan malam.
“Memang, dia minta apa saja?” tanya Rei.
“Dia… Uhmm…”
“ayolah, jangan malu-malu kepadaku!” Rei gemas. “Kalau dia melakukan hal menyebalkan kepadamu, aku akan mendatanginy!” terang Rei.
“Bukan menyebalkan sih… tapi dia banyak sekali menuntut. Kau ingat yang kukatakan dia ingin kami berusaha untuk… saling menyukai satu sama lain itu?”
Rei mengangguk.
“Dia bilang, agar dia lebih menyukaiku, aku harus banyak senyum kepadanya. Cih!” Maya tak tahan untuk tak berdecak setiap kali ingat hal tersebut. “Dan katanya dia harus sering melihatku… Entahlah, dasar menyebalkan hanya bisa bicara omong kosong,” Maya mengangkat bahunya kesal.
“Oh ya? Ternyata… dugaanku benar,” Rei tersenyum.
Maya menoleh dan mendongak, “Dugaan apa, Rei?”
“Dugaan bahwa Pak Masumi serius mengenai pernikahannya denganmu. Kurasa dia benar-benar berusaha menyukaimu dan membuatmu menyukainya.”
Apa Rei juga berpikir, memang hanya Masumi yang bekerja keras menjalankan keinginan orang tua mereka?
“Tapi dia kan…. Membenciku…”
“Untuk seorang Masumi Hayami, entah kenapa aku merasa, bukan begitu caranya membenci seseorang,” ujar Rei. “Aku tidak tahu bagaimana dia dahulu, tapi, coba kau buka hatimu dan pikirkan baik-baik. Walaupun aku tidak tahu dia mulai menyukaimu atau tidak, kurasa dia benar-benar berusaha untuk itu. Jika tidak? Mana mungkin, dia memintamu memeluknya?”
“Itu kan hanya—“
“Pikirkan saja baik-baik, Maya…” potong Rei. “Jika kalian bisa mulai saling menyukai sebelum pernikahan, itu akan baik sekali.”
Maya menunduk, tak punya kata-kata untuk membantahnya.
=//=
“Halo,” Masumi mengangkat sambungannya.
“Ini Maya Kitajima.”
“Aku tahu.”
“Aku akan datang menemuimu.”
“Aku tunggu.”
“…”
“…?”
“…”
“Maya?” tegur Masumi. “Ada lainnya?”
“Uhm… A-ada yang kauinginkan?” tanya Maya. “Aku kan… tidak bisa datang begitu saja. Kau bilang kau bukan mesin absensi.”
Masumi terkejut mendengar Maya memikirkannya. Dia mulai tersenyum. “Tidak ada. Aku akan mengajakmu nonton dan makan malam, jadi nanti kita pergi bersama.”
“Katanya tidak ada…” keluh Maya.
“Tadi kau yang bertanya apa mauku!” tandas Masumi.
“Itu kan hanya basa basi.”
“Aku tidak suka basa-basi. Cepat ke sini!”
“Jangan memerintahku!”
“Tadi kau yang bilang mau ke sini!”
“Kau yang menyuruhku kemarin!”
“Dan kau sudah setuju!”
“Terpaksa!”
“Aku tidak peduli.”
“Menyebalkan!”
“Mau melanggar janjimu?”
“Ukkkh!! Bruk!!!” Maya membanting gagang teleponnya.
Masumi tertegun, mengamati gagang telepon dengan kesal. Awalnya baik-baik saja, kenapa tiba-tiba mereka jadi bertengkar?
Masumi menghela napas dan menutup teleponnya.
“Bertengkar lagi?” tanya Mizuki.
“aku tak butuh komentarmu.”
“Hanya bertanya,” jawab Mizuki santai. “Pak Masumi, mau saran saya?”
“Tidak perlu.” Geram Masumi kesal.
“Ya, baiklah. Saya yakin Anda memang jago masalah percintaan.”
“Ck!! Cepat katakan saja!”
“Hh… tadi katanya tidak perlu. Baik. Baik,” Mizuki menenangkan saat Masumi mendelik ke arahnya. “Bagaimana jika Anda sekali-kali jujur saja, bertanya kepadanya apa yang bisa disukainya dari seorang pria? Maksudku… yah, kalian kan minggu depan bertunangan. Wajar kan jika Anda sekarang bertanya mengenai apa yang akan membuatnya senang?”
Masumi terdiam. Masuk akal. Selama ini Masumi yang selalu memanipulasi keadaan hingga Maya terjebak dalam keadaan di mana dia tidak ada pilihan lain selain mengikuti kemauan Masumi dan membuatnya senang. Tetapi… kenapa hal itu tidak terpikir sebelumnya? Masumi yang akan mengikuti kemauan Maya.
“Penyanyi serenada tidak dia sukai… boneka sapi dan kuda juga gagal…” gumam Masumi lemah. Mizuki benar, sepertinya, Masumi lebih baik bertanya langsung kepada gadis itu saja.
=//=
Maya mengetuk pintu dan langsung masuk ke dalam kantor Masumi. Wajahnya ditekuk dan pria itu sudah menunggu di sofa sambil membaca sesuatu.
“aku sudah datang,” sapa Masumi.
“Seperti yang kau lihat,” Maya membuang wajahnya.
Masumi meletakkan bacaannya dan meraih tasnya. “Senyum!”
Maya manyun lebih banyak tapi kemudian tersenyum.
“Masih saja terpaksa ya…”
“HEHEHE….” Nyengirnya semakin lebar.
“Ckckckck jelek sekali.”
“KAU!!” Maya mengepalkan tangannya.
“Ya… ya… salahku,” Masumi menghela napasnya.
“Eh? Kenapa?” Maya terkejut mendengar Masumi yang biasanya arogan mengaku salah.
“Kubilang, salahku. Karena itu kau tidak bisa tersenyum dengan tulus. Jadi, katakan kepadaku. Apa yang harus aku lakukan agar kau bisa tersenyum dengan tulus?’
“Eh? Apa?” Baru kali ini pria itu bertanya kepadanya. Biasanya, Masumi semau-maunya sendiri berpikir apa yang dia lakukan akan membuat Maya senang.
“Katakan kepadaku,” Masumi mendekati Maya dan menunduk. “Apa yang akan membuatmu senang?”
“UHm….Kau suka drama kan?”
“Ya…… kau sudah tahu itu.”
“Ya. Nanti aku akan mengajakmu nonton sandiwara sering-sering. Ada lagi?”
“Uhm… aku…”
“Bilang saja,” Masumi terlihat bersungguh-sungguh. “Bukankah aku juga harus menjalankan bagianku untuk membuatmu menyukaiku?”
“Aku… suka…”
“Ya? Katakan saja…” Masumi tersenyum berwibawa
“Kau akan melakukannya?”
“Apa saja!” Masumi meyakinkan.
“Baiklah,” Maya menatap mantap. “Aku suka… main ayunan.”
“Hm?” kedua alis Masumi terlonjak.
“Aku suka main ayunan… tetapi aku selalu melakukannya sendirian. Mungkin, jika ada yang menemani, aku akan lebih senang?”
Masumi diam. Tak bersuara.
“Aku sih, tidak yakin aku akan jadi menyukaimu hanya karena kau mau melakukannya untukku. Tetapi, kau yang bertanya apa yang kusukai, jadi…”
“Baiklah,” Masumi menelan ludahnya. “Ada lagi?”
“Uhmm… sejak dulu aku ingin main waterboom…”
Main lagi… desah Masumi ngeri. Waterboom!!?
“Ada lagi?” tanya Masumi datar.
“Kau pernah melihat orang menari Hawaii?? Apa kau pernah berpikir sepertinya menyenangkan belajar menari Hawaii? Atau, naik unta atau gajah, aku selalu ingin tahu bagaimana rasanya. Lalu aku juga ingin sekali datang ke festival cosplay di Akihabara. Lalu berpiknik dan—“
“Cukup!” potong Masumi, urat di dahinya tampak berdenyut-denyut.
Main ayunan, waterboom, menari hawai, menonton cosplay…!??
Hampir saja dia lupa bahwa calon istrinya ini bahkan belum 20 tahun. Masumi mengamati Maya yang kembali mengerucutkan bibirnya. Sebal karena Masumi meninggikan suaranya.
“Jadi… Main ayunan ya…? Waterboom?”
“Oh, aku tidak bisa berenang,” terang Maya. “Yaah… kau kan tadi bertanya mengenai hal-hal yang kusukai. Sudah lama aku berpikir semua itu sepertinya menyenangkan…” ungkap Maya terus terang.
Masumi mengetuk-ngetukkan ujung kakinya. APakah dia harus melakukan itu semua untuk merebut hati Maya? Jika dia bisa merebut hati Maya…
“Saat ini, jariku masih sakit,” terang Masumi.
“Aku sudah minta maaf…” gumam Maya.
“Ya, maksudku… aku belum bisa melakukan itu semua. Tapi, nanti jika aku uhm… ibu jariku sudah membaik, aku… akan mengajakmu ke sana.’
“Eh, sungguh!!?” Mata Maya membundar antusias. “Kau serius?”
“Ya… kalau… itu yang kau inginkan.”
“Aku sangat menginginkannya! Wah… Rei dan Sayaka pasti senang sekali jika mereka—“
“Maya! Ehm!!” Masumi berdeham dan Maya memperhatikannya lagi.
“Hanya kau, dan aku. Maya Kitajima dan Masumi Hayami.”
“Hanya…”
“Ya. Kenapa Rei dan teman-temanmu harus ikut? Ini kan acara kita. Apa gunanya kita pergi bersama jika ada teman-temanmu?”
“Tapi…” Maya termangu. “Tanpa Rei dan teman-teman?”
“Ya! Hanya KITA. BERDUA,” Masumi menekankan.
Jantung Maya berdebar-debar. Maksud Masumi, berkencan lagi? Tetapi, jika dia pikirkan baik-baik, tentu saja Masumi mengajaknya memang dalam rangka pendekatan kepada satu sama lain. Jelas-jelas itu kencan!
Aduh! Maya bodoh! Kenapa dia baru menyadarinya.
“I-iya… ba-baiklah…”
“Sekarang, hari ini,” Masumi menegakkan badannya. “Aku ingin mengajakmu mengunjungi lokasi syuting film taiga baru yang diadakan di studio Nikkei.”
“Wah!! Sepertinya menyenangkan!” cetus Maya.
“Kurasa kau pasti menyukainya,” ujar Masumi. “Tapi tentu saja kau harus melakukannya sesuai caraku agar aku menyukaimu.”
“Apa?” ALis Maya berkerut sebal.
Masumi meraih tangan Maya dan menggenggamnya. “Begini, kita harus berjalan seperti ini, dan aku melarangmu melepaskannya!”
“Ke-ke-kenapa… harus…?”
“Kemarin kau membiarkan aku merangkulmu seharian.”
“Itu karena kau membohongiku!”
“Ini adalah caraku agar bisa menyukai seseorang,” ujar Masumi. “Jika aku terbiasa memegang tanganmu, kurasa aku bisa jadi sangat menyukaimu.”
Maya kehilangan kata-katanya karena ucapan Masumi yang dia pikir hanya melantur. Tetapi Maya tidak berkata apa-apa. Dia akhirnya setuju Masumi menggandeng tangannya.
Tapi sekarang dia jadi salah tingkah. Tangan pria itu yang hangat dan menyelimuti tangannya, menyalurkan getaran-getaran aneh ke jantung dna perutnya. Belum lagi wajahnya yang mulai perlahan-lahan memanas seperti setrika.
“Selamat malam Pak,” para pegawai membungkuk saat melihat Masumi dan juga Maya. Maya hanya melirik-lirik canggung kepada Masumi yang berlainan dengannya, sangat tenang dan percaya diri.
Genggaman tangan itu sama sekali tidak dilepaskan saat mereka berada di mobil. Namun ada yang Maya sadari, terlepas dari Masumi yang berperban di jari kakinya, pria itu selalu terlihat tersenyum dan wajahnya berbinar-binar. Apa ada hal baik terjadi kepadanya hari ini?
Maya agak gelisah di kursinya. Tegang sekali bergenggaman tangan dengan calon suaminya itu. Sopir mereka pun tampaknya terkejut melihat kemesraan yang Masumi tunjukkan. Apalagi, raut tak biasa di wajah atasannya itu memang sangat menyolok.
“Ayo,” ajak Masumi, memasuki studio Nikkei.
“Wahh…” mata Maya membulat melihat kemegahan setting itu. Maya jadi ingat lagi dengan pengalamannya main serial Kemilau langit dahulu. Bagaimana setting studio bisa jadi begitu megah dan menawan.
“Pak Masumi,” sapa seorang staf, pria itu tertegun mengamati Maya dan membungkuk ke arahnya, “Nona Maya,” sapanya segan dan hormat.
Maya tertegun. Baru kali ini dia diperlakukan penuh hormat seperti itu.Maya balas mengangguk canggung.
Dia dan Masumi—yang sama sekali tidak melepaskan genggaman tangannya—berkeliling studio itu. Masumi sedikit terpincang-pincang tetapi dia baik-baik saja, bahkan suasana hatinya terlihat begitu bagus.
Pria itu memuji penampilan salah satu aktris dan kerja para tim.
“Kurasa ratingnya akan terus naik, apalagi Hayakawa Ami sekarang juga menjadi BA dari SKII, kuharap semuanya berjalan lancar,” Masumi berkata dengan senyuman memesona terpasang di wajahnya.
“Terima kasih Pak Masumi, kami jadi bersemangat mendengarnya,” Sutradara serial itu berkata. “Dan, saya harap pertunangan Anda berdua juga akan berjalan baik.”
Senyuman Masumi tampak semakin lebar. “Terima kasih banyak,” katanya. Ia lantas menoleh kepada Maya, meminta gadis itu mengatakan hal yang sama.
“Te-terima kasih banyak…” Maya membungkuk tipis.
Baiklah. Sekarang dia mulai benar-benar merasa menjadi pasangan Masumi.
Ya ampun… aku benar-benar… akan menghabiskan hidupku dengan pria ini? Setiap kali dia teringat hal itu, ada perasaan ingin melarikan diri yang muncul di hatinya. Tetapi Maya pun mulai merasa, menilai dari cara Masumi menggenggam tangannya yang begitu erat, sepertinya Maya tidak akan bisa lari lagi.
“Kau senang?” tanya Masumi saat keduanya makan malam.
“Ya! Ternyata mereka sangat ramah… Dan, waahh settingnya bagus sekali. Aku pasti tidak akan melewatkan tayangannya satu episode pun!” terang Maya dengan berbinar-binar.
Masumi hanya menyimak perkataan Maya dengan tatapan yang lembut dan senyum berbinar seperti sebelumnya.
“Ah, Eh… uhm…. Terima kasih… sudah… mengajakku ke sana, ya…” kata Maya dengan gugup.
“Bagaimana? Kau sudah lebih menyukaiku?” tanya Masumi.
“Eh!! Uhmmm…” Maya mengamati Masumi. Pria itu sungguh-sungguh dengan pertanyaannya. Maya mengendikkan bahunya.
“Apa artinya itu?” tuntut Masumi.
“Aku senang dan…. Berterima kasih…” ujar Maya tanpa bisa menatap Masumi.
“Jadi? Suka kepadaku?”
“Ya tidak semudah itu!” tampik Maya. “Siapa pun yang mengajakku ke sana aku pasti senang. Tidak harus kau…”
Masumi diam-diam berdecak. Tapi yang mengajak Maya, dia kan? Kalau bukan karena dia, Maya mana bisa melihat pembuatan drama sampai sedetail itu. Tapi sudahlah…
Masumi menelan kekecewaannya sendirian. Dia tidak berkata apa-apa lagi.
Maya menangkap Masumi sepertinya kecewa dengan jawaban Maya. Tapi pertanyaan seperti itu, mana bisa dijawab dengan terus terang oleh perempuan?
Walaupun Maya sangat berterima kasih dan senang dengan yang Masumi lakukan, bahkan, bagaimana pria itu tak pernah melepas tangannya, juga menjadi pertimbangan Maya. Masumi sama sekali tidak gengsi berdampingan dengannya. Itu juga, sedikit mengusik pikiran Maya yang merasa tersanjung atas apa yang dia lakukan.
Setidaknya, Maya tidak merasa malu dan rendah diri bertemu orang-orang di dunia pertelevisian yang pasti sudah pernah tahu soal skandalnya dulu. Bagaimana Maya digosipkan kabur dari panggung, mabuk-mabukan dengan berandalan, bahkan sampai peran Satoko ditarik darinya.
Tapi, bersama Masumi tadi, semua orang berperilaku hormat dan baik terhadapnya.
Maya mengamati sekali lagi Masumi yang masih membisu. Sepertinya pria itu jadi malas buka suara. Mungkin… dia kecewa kepada Maya.
Memikirkan hal itu, Maya jadi tak enak hati sendiri.
Saat keduanya duduk bersebelahan di dalam mobil, kali ini Masumi sudah tidak menggenggam tangannya lagi. Aneh, padahal dia sebal saat Masumi terus-terusan memegangi tangannya seakan-akan dia hendak kabur. Tetapi, tangannya jadi kesepian saat masumi tak memeganginya lagi. Padahal, baru sebentar Maya merasakan kehangatan tangan Masumi. Apa dia sudah mulai terbiasa? Mulai merasa kehilangan?
Maya mengamati tangan Masumi yang tergeletak tak jauh dari tangannya. Jantung Maya jadi berdebar-debar, ingin memegangnya. Maya melirik diam-diam mengamati wajah Masumi yang dipalingkan darinya.
Pria itu mengamati keluar jendela.
Entah ada apa dengan Maya. Tiba-tiba dia menggerakkan tangannya sendiri hendak menyentuh tangan Masumi.
“Berhenti!” pinta Masumi.
Maya terlonjak kaget, dan mobil langsung berhenti.
Dengan jantung berdebar Maya mengamati Masumi yang sekarang menoleh kepadanya.
“Ayo,” ajak Masumi yang menggenggam tangan Maya dan menariknya keluar.
“A! Eh…! Mau ke mana?” tanya Maya, yang mulai merasakan lagi kehangatan di telapaknya yang tadi sempat kesepian.
Masumi tak berkata apa-apa, dan menarik Maya terus masuk ke taman. Maya mulai menyadari di mana dia berada.
Ini kan…
“Nah,” Masumi menarik Maya ke hadapan ayunan yang biasa dia mainkan. “Ayo duduk…” Dia mendudukkan Maya di ayunan itu.
“Eh? A-apa ini?” tanya Maya.
“Kau bilang, kau suka main ayunan dan ini bisa membuatmu lebih menyukaiku,” kata Masumi.
“I-ya tapi… ini…”
“Sudahlah, aku akan mendorong ayunanmu. Oh, sebentar,” Masumi melepas jasnya dan memasangkannya kepada Maya. “Pakai ini, jangan sampai masuk angin,” katanya.
Maya mengenakan jas yang kebesaran untuknya itu. Dia bisa mencium aroma wangi Masumi lebih jelas lagi dari sana.
Masumi mulai mendoronga ayunan Maya, semakin lama semakin keras. Maya senang sekali, dia tertawa-tawa dan berseru gembira. Masumi mengamatinya dari belakang sambil tersenyum melihat Maya yang tergelak-gelak di atas ayunannya. Dia memang sangat senang jika melihat Maya bahagia seperti ini.
Tiba-tiba Masumi menangkap ayunan Maya dan menghentikannya. Maya menoleh, “Loh? Kenapa dihentikan?” tanyanya dengan senyumlebar masih menghias wajahnya yang kemerahan dan napasnya juga masih ngos-ngosan.
Masumi mengeratkan rahangnya dan mulai memeluk Maya dari belakang. Maya sangat terkejut, tubuhnya mengejang dan tak bisa berkata apa-apa karena tak mengira.
“Kau terlihat senang,” Masumi berkata dengan suara rendahnya. “Apa aku…. Sudah membuatmu lebih menyukaiku?”
Maya tertegun, susah payah menelan ludahnya yang dia harap bisa lebih melancarkan pernapasannya.
“Maya…” panggil Masumi lagi, pelukannya di tubuh gadis itu semakin erat.
Maya membuang wajahnya yang terasa sangat panas. Maya akhirnya mengangguk gugup. “Sa-satu level…” terangnya.
Mata Masumi melebar mendengarnya, tetapi dia sangat senang karenanya.

22 comments:

nisa_na on 1 April 2014 at 11:10 said...

Satu level...

Gong banget deh

ferra_fam said...

huaaaa... kok aku yang jd blushing yaaa... seneng ty.. kereeennn....

Anonymous said...

Waahhhhh maya ko cm 1 level
Sy aja yg bacanya ampe ikutan merah mukanya

#Medina dina

Unknown on 1 April 2014 at 12:20 said...

Ahhhh mau dong yang kayak gitu.... maya mah bener dah kurang apalagi itu si akang hahahha

Anonymous said...

Haha menghibur bgt ceritanya....tengkyuuuu ty (vonny)

Anonymous said...

hmm.. yakin cuma 1 level ? mhihihii...

nilam on 1 April 2014 at 16:05 said...

pria yg sempuna ya... :)
ampun deh maya... udah deg2 an jg, belum sadar2 deh maya. ntar d rebut org baru sadar dah... tenyata..... cinta.... ih gemezzz.... lihat maya nih....

Unknown on 1 April 2014 at 16:45 said...

baca ini berulang-ulang ga bosen2, ketawa ngakak sendiri ngebayangin adegan demi adegan MM, lagiiiii teteh hihihiii

bunda zilfi said...

satu level ????bo'ong tuh maya, aq yg baca aja suka nya dah naek 10 level, hihihi.....apdet lg dunk mbak?!

Anonymous said...

aq udah 10 level :-)

-mommia-

resi on 1 April 2014 at 21:12 said...

Tyyy, aku padamuuu

Happy on 2 April 2014 at 00:13 said...

Ahh... maya. Kok cuma satu level.? Harusnya berlevel-level doong. Kqlau aku.jadi kamu, aku pasti peluk balik tuh si Ganteng Masumi...
*brasa jadi Shiori, mwahaaha*

Anonymous said...

duh mesranya....beruntungnya maya....
buruan sadar neng!...kalo diambil shiomay
nyesel loh...

-pio-

Anonymous said...

so sweeeeeeettttt, jadi iri nich. levelnya harusnya yg tinggi tuh, kacian masuminya kalau cuman 1 level doank XD

~ meliana ~

Beatrix on 2 April 2014 at 20:50 said...

Satu level...+ satu level + satu level....xixixixixi

Unknown on 3 April 2014 at 05:31 said...

senangnyaa satu level hehehe

Heri Pujiyastuti on 3 April 2014 at 18:29 said...

Mayanlah.....liat Maya bsa blushing2

Unknown on 4 April 2014 at 21:52 said...

Hi..hi...ceritanya simpel dan mengalir jenaka ty..pasti km heppy nulisnya.love you...annisa amalia

Unknown on 4 April 2014 at 21:52 said...

Hi..hi...ceritanya simpel dan mengalir jenaka ty..pasti km heppy nulisnya.love you...annisa amalia

Pastel Mood on 12 April 2014 at 15:35 said...

awww...setelah sekian lama ga buka kompi...kangeeeeeeennnn #mudah2an shiori ga mengacaukan

Pastel Mood on 12 April 2014 at 15:35 said...

awww...setelah sekian lama ga buka kompi...kangeeeeeeennnn #mudah2an shiori ga mengacaukan

dwi on 10 May 2014 at 14:45 said...

Heuheu...mantap kaa..teruskan ceritanyaa!!

Post a Comment

Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)

 

An Eternal Rainbow Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting