To Make You Love Me
(Chapter 5)
Maya tidak bisa mengerti bagaimana ia bisa terlibat
keadaan ini. Masumi benar-benar menyeretnya ke Daito, dan memperlakukannya
seperti kruk!
Lengan pria itu tersampir di pundak Maya dan
berjalan terpincang-pincang di sampingnya. Masumi sepertinya tak peduli dengan
tatapan heran yang dilemparkan kepada mereka. Maya sih malu, tapi sepertinya
Masumi tidak. Malahan, saat mereka berada di dalam
lift, walaupun tidak ada yang bertanya, Masumi mengumumkan dengan lantang,
"Ini tunanganku. Dia membantuku karena kakiku sedang sakit."
Terdengar sangat bangga dan para pegawainya akan
mengangguk-angguk sungkan lantas menyampaikan rasa simpati mereka sambil
bertanya-tanya dalam hati kenapa Masumi tidak memilih memakai kruk saja
ketimbang harus merangkul seorang gadis ke sana kemari.
Sedangkan
Maya benar-benar salah tingkah. Rasanya sangat tidak tahu diri jika ada sepasang
pria dan wanita terus menerus berkeliaran sambil berrangkulan di tempat yang
tidak semestinya seperti yang Maya dan Masumi lakukan.
Ah,
sekali lagi Masumi tak peduli. Ia sangat senang bisa merangkul Maya demikian
dekat. Bisa merasakan kehangatan gadis itu di sisinya. Dan dia sama sekali
tidak protes. Masumi bahagia sekali membayangkan dia bisa seperti ini seharian.
Eh,
tunggu, sehari? Kenapa hanya sehari? Dia bisa meminta Maya menemaninya seminggu
kalau dia mau. Benar, seminggu!! Bahkan
sebulan!!
Eh,
tunggu, pesta pertunangannya hanya sebentar lagi. Dia tidak mau jika harus
merayakan pertunangan sambil pura - pura sakit jempol kaki. Ya baiklah.
Seminggu saja. Seminggu sudah cukup untuknya memuas-muaskan diri
merangkul-rangkul Maya sebelum jadi istrinya. Membayangkan ide briliannya,
Masumi tanpa sadar menyeringai licik.
"Ada
yang menarik, Pak?" tegur Mizuki.
Saat
Masumi tersadar, tiba-tiba wajah sekretarisnya sudah muncul di hadapannya.
Ternyata mereka sudah tiba di depan pintu kantor Masumi.
"Mizuki,"
sapa Masumi, lebih ramah dari biasanya.
"Ha-halo...
Nona Mizuki," sapa Maya dengan kaku dan canggung.
Mizuki
kembali melontarkan tatapan penuh tanda tanya kepada Masumi.
"Hari
ini kakiku sakit, Maya dengan baik hati bersedia membantuku. Sukarela,"
terangnya dengan suara tegas.
Maya
diam-diam mendengus sebal. Sukarela? Yang ada Masumi memaksanya berada di sini.
"Kaki
Anda kenapa?" tanya Mizuki.
"Bengkak."
"Ini
salahku," terang Maya segan. "Aku yang menyebabkan kakinya bengkak.
Semalam... uhm... aku menginjak kaki Pak Masumi," terang Maya dengan
polos.
"Semalam?"
kedua alis Mizuki terangkat. Tatapannya berpindah kepada Masumi.
"Semalam?" ulangnya. Bukankah semalam mereka sempat bertemu untuk
membicarakan persiapan rapat hari ini dan Masumi sama sekali...
Mizuki tersenyum jahil.
Saat Masumi melihat senyuman tak kentara di wajah
sekretarisnya, Masumi tahu Mizuki pasti menyadari kebohongannya. Semalam mereka
memang sempat bertemu sebentar setelah Masumi mengantar Maya. Dan saat itu,
tentu saja kaki Masumi masih baik-baik saja. Walaupun injakan kaki Maya memang
sempat membuatnya sakit, tetapi bukan sakit yang berkepanjangan. Apalagi, sampai bengkak. Semuanya kebohongan belaka.
Dan sekarang, Masumi muncul sambil
merangkul-rangkul Maya ke sana kemari. Tentulah sekretarisnya itu menaruh
curiga dengan akal bulus Masumi.
Masumi mungkin bisa saja menampik dengan mengatakan
ini dan itu. Tetapi, Masumi dan Mizuki tahu sama tahu bahwa Masumi pasti sedang
berbohong. Oleh karena itu, Masumi memutuskan tidak mengatakan apa pun selain
melemparkan tatapan menyuruh bungkam kepada Mizuki.
"Sakit sekali, Pak?" tanya Mizuki,
menggodanya. "Kenapa tidak membawanya ke dokter?" tanyanya lagi.
Maya pun segera menoleh dan mendongak, menunggu
jawaban dari calon suaminya itu.
"Uhm!! Kurasa tidak perlu," ungkap Masumi
dengan tenang. "Ini hanya bengkak saja..."
"Tapi kalau sampai kesulitan berjalan, apalagi
sampai harus ditopang seperti ini, sepertinya lebih baik ke dokter. Anda juga
bisa memakai kursi roda atau kruk..."
"Tidak perlu!" Masumi gemas dengan
sekretarisnya dan kembali memberikan tatapan, 'jangan coba-coba!' kepada
Mizuki, yang tampak diabaikan sekretarisnya itu. "Begini saja sudah
cukup!"
"Tapi Anda nanti ada rapat. Juga ada pertemuan
dengan beberapa orang. Apa Maya selama itu juga akan mendampingi Anda?"
"Ah! A-aku-"
"Tentu saja!" tukas Masumi cepat.
"Aku tahu benar, anggota teater Mayuko, adalah orang-orang yang mengerti
tanggung jawab," tegasnya.
Maya menutup mulutnya. Tidak bisa bicara lagi karena
Masumi juga membawa-bawa kehormatan teater Mayuko.
"Begitu..." mizuki berdecak tak kentara.
Entah kenapa atasannya ini lebih memilih menggunakan trik-trik memperdaya Maya
ketimbang mengakui secara gentle bahwa dia ingin bersama Maya. Toh mereka sudah
mau bertunangan. "Lalu, sampai kapan Anda berencana seperti ini?"
"Seminggu!" putus Masumi.
"HAH!!?" Maya terlonjak kaget.
"Seminggu?? Seminggu seperti ini??"
"Ya. Maya! Kakiku akan bengkak selama satu
minggu!" Masumi menekankan.
"Darimana Anda akan tahu bengkaknya sampai
seminggu? katanya hanya bengkak saja, tidak parah." tanya Mizuki.
"Yah, dokter bilang begitu." Masumi
meyakinkan.
"Dokter?" Alis mizuki berkerut. "Tadi
Anda bilang tidak pergi ke dokter..."
Masumi tertegun, dan segera gelagapan.
"Ti-tidak... tidak! Maksudku... yaah... aku pernah bengkak seperti ini
juga. Saat itu dokterku bilang, bengkaknya akan hilang da-dalam seminggu!"
Fiuuuhh.... memang hebat Masumi Hayami! ia memuji
diri sendiri.
Mizuki tersenyum tak percaya tetapi dia tak berkata
apa-apa.
"Pak Masumi memang menyebalkan sih. Aku tidak
heran jika banyak orang ingin menginjak kakimu!" celetuk Maya dengan keki.
"Hm?" Masumi tertegun mendengarnya,
sementara Mizuki tidak tahan untuk tidak terkekeh.
Akhirnya,
keinginan Masumi benar-benar terlaksana. Maya menempel terus kepadanya. Atau
sebaliknya?
Tak
pernah rasanya Masumi begitu semangat bekerja seperti saat ini. Ketika Masumi
duduk di meja kerjanya, Maya duduk di sofa membaca majalah, menunggu perintah.
Masumi memang jahat. Tetapi sebetulnya keberadaan Maya juga membuatnya sulit
bekerja. Ketimbang membaca dokumen. Masumi hanya akan diam-diam mengamati sang
calon istri yang duduk di sofa di hadapannya itu.
Saat Maya
menoleh mengamati Masumi, Masumi segera pura-pura menunduk dan memasang wajah
serius yang berkata : aku sedang sangat serius bekerja, begitu konsentrasi
hingga tidak bisa memperhatikanmu.
Setelah
itu, Maya kembali menunduk membaca majalahnya dan Masumi mengamatinya lagi
penuh cinta.
Ruangan
itu hening dan dingin sekali. Masih jam 10 siang tetapi Maya jadinya mengantuk
lagi. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dari tadi hanya duduk-duduk saja
di sofa...
"Maya,"
panggil Masumi akhirnya.
"Ya!?"
Maya segera menoleh.
"Ke
sini, aku harus rapat sekarang."
"Rapat?"
Maya berdiri menghampiri dengan segera. "Rapat di mana?"
"Tentu
saja di ruang rapat direksi. Kemarikan bahumu," pinta Masumi sesantai
mungkin. Padahal jantungnya berdebar-debar lagi. "Kau antarkan aku ke
sana."
"A-aku?"
"Ya.
Kau tahu kan aku kesulitan berjalan sendirian?"
Maya
mengerucutkan bibirnya namun tak berkata apa-apa lagi.
Saat Maya
sedang membantu Masumi yang mengaduh-aduh pura-pura kesulitan berdiri,saat
itulah Mizuki masuk.
"Pak, sudah saatnya...." Mizuki tidak
melnjutkan perkataannya dan hanya menggeleng-geleng perlahan, melihat ribetnya
sandiwara Masumi yang biasanya melakukan segala sesuatu dengan efisien.
"Ah,
Mizuki. Kebetulan kau sudah datang. Tolong siapkan satu kursi lagi di ruang
rapat untuk Maya." pinta Masumi.
"Apa?"
Mizuki tertegun. "Maya akan ikut... rapat?"
"Tidak!
Tidak!" takut-takut Maya menggeleng kepalanya keras-keras. "Aku hanya
akan mengantarmu sampai ke sana!"
"Enak
saja!" tolak Masumi.
"Pak,
ini rapat..."
"Ya.
Aku tahu ini rapat. Tetapi, ini hanya rapat mengenai evaluasi acara Daito saja
kan? Tidak masalah ada Maya di sana. Dia juga belum tentu mengerti."
"Hei!
Aku ada di sini!" protes Maya yang berada di bawah lengan Masumi.
"Maksudmu aku bodoh?"
"Maksudku,
kau bisa dipercaya," bujuk Masumi. "Lagipula," dia kembali
bicara kepada Mizuki. "Maya calon istriku. Tidak ada salahnya dia tahu
bagaimana aku bekerja."
Mizuki
menghela napasnya. Dia tahu Masumi hanya ingin pamer saja, bukan? Tetapi sekali
lagi, dia hanya sekretarisnya.
"Saya
akan meminta Ota menyiapkannya."
"Bagus,"
Masumi puas. Ia menoleh kepada Maya. "Ayo, Maya..."
Sepanjang
jalan Maya masih membujuk Masumi bahwa dia tidak harus ikut hadir dalam rapat
tersebut, tetapi Masumi bersikukuh. Dia bilang, Maya harus membantunya berdiri,
danmelakukan hal lainnya. Dia tidak ingin Mizuki atau pegawainya yang lain.
"Ini tanggung jawabmu," dia menegaskan.
Maya sebagai anggota teater Mayuko yang baik, tidak
bisa lari dari tanggung jawabnya.
Akhirnya,
di sinilah Maya sekarang. Ia duduk persis di samping Masumi. Mendapat tatapan
penuh tanya dari orang-orang bagian manajemen artis.
Tentu saja,
Masumi tidak lupa memperkenalkan. "Ini calon istriku. Maya Kitajima. Dia
sedang ada di sini untuk membantuku," terangnya.
"Ohh...
ya.. ya..." orang-orang itu saling mengangguk dan bertukar tatapan heran
satu sama lain.
Rapat itu
berlangsung dengan hal-hal yang tidak menyenangkan. Terkait beberapa artis
Daito yang sedang menurun prestasinya, juga berpengaruh pada film dan dorama
mereka.
Namun,
jika biasanya Masumi sangat keras dan tegas. Kali ini, walaupun sikap tegasnya
tidak berkurang, Masumi sama sekali tidak penuh amarah. Ia begitu tenang.
Apalagi jika dia bicara kepada calon istrinya. "Maya, bisa tolong pegang
dokumen ini sebentar?" pinta pria itu dengan hangat dan lembut.
Benar-benar
mengejutkan! Masumi memang terlihat seperti jompo, tetapi semua juga bisa
melihat, pria itu sepertinya sedang jatuh cinta.
Akhirnya
rapat selesai saat menjelang jam makan siang dengan beberapa keputusan yang
telah diambil untuk para artis Daito. Sejenak Masumi mengamati Maya. Dulu, dia
juga terpaksa mengambil keputusan berat terkait Maya karena skandal yang
menghadangnya. Masumi masih ingat dengan bagaimana berat dan sakitnya saat
masumi memutuskan Maya ditarik dari perannya.
Gadis itu
mengamati beberapa profil artis Daito dan proyek yang sedang mereka jalankan
sekarang. Ia tidak tahu hanya mengurus artis saja tenyata begitu repot dan
melibatkan banyak pihak dan pertimbangan.
Tiba-tiba,
bahu Maya terlonjak, karena lagi-lagi Masumi menyampirkan lengannya di pundak
Maya.
Jantung
Maya segera berdebar keras dan ia menoleh kepada Masumi dengan wajah
menghangat.
"Ayo
kita makan siang..."
"Ha?
Di-di-di mana?" tanya Maya.
"Anda
tidak berpikir untuk membawa Maya keluar dan pergi dengan keadaan seperti ini
bukan?" Mizuki memastikan.
"Tentu
saja tidak. Tolong pesankan makanan untuk kami dan bawa ke kantorku,"
pinta Masumi.
Saat
mereka keluar, seorang sekretaris menghampiri Masumi.
"Pak,
ada Nona Shiori, menunggu Anda di ruang tamu."
"Nona
Shiori Takamiya?" Masumi memastikan.
"Ya."
Masih dengan kondisi ya sama, ditopang si Mungil,
Masumi beranjak ke ruang tamu sambil terpincang-pincang. Masumi cukup terkejut
mengetahui ada Shiori di sana. Memang mereka ada janji temu, tetapi masih
beberapa jam lagi.
Sepertinya Shiori pun tidak kalah terkejutnya
mendapati Masumi, terpincang-pincang, ditopang oleh calon isterinya.
"Nona Shiori..." sapa Masumi. "Apakah
aku salah mengingat jadwal, atau..."
"Ah, tidak! Tidak! Bukan," dengan cepat
Shiori menyanggah. "Saya memang datang lebih cepat. Saya mohon maaf, hanya
saja," sekilas Shiori melirik Maya dan agak jengah dengan kondisi keduanya
yang merapat seperti kembar siam. "Saya kebetulan barusan ada urusan di
sekitar sini, dan saya pikir... mungkin... bisa yah, bisa membicarakan
masalahnya sambil makan siang..." ungkap Shiori jujur. "Tetapi..."
alisnya berkerut menyelidik. "Sepertinya..."
"Maaf sekali," tukas Masumi.
"Kondisiku sedang tidak prima. Jadi... aku tidak bisa makan di luar.
Untunglah, calon isteriku mendampingiku hari ini. Jadi, maaf sekali..."
tolaknya dengan halus.
Agak sedih, Shiori berusaha menyembunyikannya.
"Ah, ya, tidak mengapa... nanti saja, saya kembali lagi sesuai jadwal
pertemuan kita. Maaf sudah tiba-tiba mengganggu tanpa pemberitahuan terlebih
dahulu," sesal Shiori. "Omong-omong... kaki Anda... sakit?"
tanya Shiori saat mendapati Masumi memakai sandal dan perban di ibu jarinya.
"Oh, ya... kemarin kakiku... terinjak
gajah," seloroh Masumi.
"ha? Gajah?" Shiori tertegun.
"Apa kau bilang!!?" geram Maya dengan
sangat kesal. Wajahnya berubah sangat keki. "Kau mau kuinjak lagi!!?"
ancamnya.
"Hahaha... tidak! Tidak! Maaf... aku
bercanda... pasti gajahnya kesal sekali kutuding seperti itu."
"Aku yang kesal!!" sembur Maya.
Masumi terbahak keras sementara Maya berwajah
dongkol. Dan Shiori, mengamati semua itu
dengan perasaan tidak nyaman.
Akhirnya
Shiori permisi pergi masih dengan perasaan tidak nyaman itu. Ia tidak pernah
mengira hubungan Masumi dan Maya begitu akrab. Mereka dijodohkan, bukan? Dan
lagi... Ada apa dengan gadis itu? Kenapa dia bersikap kasar dan kurang ajar
kepada Masumi? Sementara Masumi hanya tertawa-tawa saja.
Jika
saja... jika saja dirinya yang berpasangan dengan Masumi, dia tidak akan
bersikap kurang ajar seperti Maya tadi.
Jika
saja... Otomatis langkah kaki Shiori terhenti. Kenapa... kenapa dia berpikir
seperti itu? Apakah mungkin....
Wajah
Shiori langsung menghangat dan jantungnya pun memacu lebih cepat. Mungkinkah...
dia memiliki ketertarikan yang lebih dari sekadar profesionalisme kepada
Masumi?
Shiori
harus mengakui, Masumi memiliki karisma yang mengagumkan sebagai seorang pria,
dan Shiori sudah mengaguminya sejak pertama mereka berjumpa. Hanya saja...
Shiori sama sekali tidak mengira, semua ketertarikannya kepada Masumi, ternyata
mengarah ke jalur yang lain.
Apakah
dia, sudah jatuh cinta kepada Masumi?
Sepertinya,
itulah jawabannya. karena Shiori sama sekali tidak bisa menampik apa yang
tercetus dari hatinya itu.
Shiori
menggenggam tas kerjanya erat-erat. Ia merasa galau.
Masumi
kan, sudah punya calon istri. Dijodohkan, mereka bilang.
Tiba-tiba,
ingatannya terlempar kembali kepada Pak Miyake yang sempat menjumpainya. Ia
tahu pria itulah yang meminta Masumi dan Maya dijodohkan terkait janji masa
lalu. Eisuke Hayami yang bercerita kepada ayahnya, dan Shiori mengetahui hal
itu dari ayahnya.
Tetapi,
ada urusan apa Miyake mendatanginya saat itu?
Sebuah firasat mengatakan, sepertinya, Shiori harus
bicara dan menemui Miyake lagi.
"AAAA...."
Masumi membuka mulutnya lebar-lebar.
Dengan
kasar Maya menjejalkan sendok ke dalam mulut Masumi. Pria itu mengaduh dan
menyentuh bibirnya. mengunyah makanannya dan mulai protes.
"Jangan
memasukkannya keras-keras!" hardik Masumi.
"Suka-suka
aku! Begitulah caraku menyuapi!" timpal Maya dengan kesal. "Lagipula,
yang sakit kan hanya kakimu! Kenapa aku juga harus menyuapimu? Kau kan bisa
gunakan tanganmu!" Maya mengulangi protesannya yang sedari tadi tidak
dihiraukan masumi.
"Aku
tidak peduli! Salahmu menginjak kakiku sampai bengkak! Sakitnya sampai ke
kepalaku,kau tahu! Berdenyut-denyut, benar-benar menyakitkan..." Masumi
membuat Maya merasa bersalah. "Karena itu kau harus tanggung jawab dengan
seluruh tubuhmu!"
Bibir
Maya mengerucut lagi dan dia memasukkan sendok ke mulut Masumi masih dengan
kasar.
"Pelan-pelan!"
hardik Masumi lagi.
Maya kali
ini tidak menjawab dan hanya mengerucutkan bibirnya saja sebagai protes.
"Kau
juga makanlah..." perintah Masumi.
Maya
menurutinya. Masumi bisa melihat gadis itu masih marah.
"Maaf,
apa aku terlalu keras kepadamu?" tanya Masumi.
Maya
mendengus tipis. Tetapi jika seseorang sudah meminta maaf, tentu saja dia hanya
bisa memaafkan.
"Sudahlah.
Ini memang salahku, kakimu bengkak sampai sakit sekali. Ini memang sudah
tanggung jawabku," kata Maya sambil menyuapi lebih lembut kali ini.
Masumi hanya diam saja. Sebenarnya, mungkin hanya
dia yang begitu repot dengan ibu kaki yang bengkak--dan bengkaknya pun hanya
bohongan. Orang yang kakinya patah saja mungkin tidak akan serepot ini.
"Pak
Masumi, seharian ini di kantor saja. Tidak ke mana-mana?"
"Tidak.
Mungkin besok aku ada urusan meninjau beberapa lokasi syuting dan persiapan
pementasan. Wah! Besok kau juga ikut!" ajak Masumi antusias.
"Pak
Masumi... pakai kruk saja..." keluh Maya. "Aku kan malu... muncul di
tengah-tengah orang-orang yang tidak kukenal..."
"Kenapa
malu? Kau kan calon istriku. Tidak aneh jika mereka tahu mengenai hal itu,
bahwa kau ada mendampingiku yang sedang sakit."
Mendampingi
saja sih memang tidak masalah. Tetapi... harus menempel seperti kembar siam?
Yang benar saja. Seminggu?? Maya hanya bisa berdecak dalam hatinya.
"Omong-omong,
sudah ada pementasan yang akan kau ambil?"
Maya
menggeleng.
"Kau
harus pentas tahun ini jika kau ingin mendapatkan penghargaan di festival seni
nanti. Kau pasti ingat kan, bahwa itu adalah kesempatan terakhirmu mendapatkan
penghargaan sekaligus kesempatan mengejar Ayumi."
Ayumi....
Maya merasakan beban berat itu lagi.
"Aku
percaya kepadamu," Masumi menepuk bahu Maya perlahan.
Gadis itu
mengamati Masumi tak percaya. Jantungnya berdebar sangat cepat.
"Bo-bohong...."
ujar Maya. "Kau pasti berharap aku gagal!"
"Kenapa
begitu?" tanya Masumi. "Kau kan calon istriku. Tentu saja... aku akan
sangat senang kalau kau memang menjadi calon Bidadari Merah..."
"Kau
pikir aku mampu?" desak Maya.
Masumi
tercenung, mengamati Maya... dan seringai menggoda terbit di bibirnya.
"Hmmmm.... Bidadari Merah ya..."
Maya
manyun lagi. "Pak Masumi!!!" dia menurunkan tangannya dengan kasar.
"Aku tahu kau sama sekali tidak yakin kepadaku!!"
"Hahahaha...
bukan begitu, bukan..." bujuk Masumi. "Bukan aku yang harus
memastikan kau mampu atau tidak. Tapi dirimu," telunjuk Masumi menyentuh
dada gadis itu.
Maya
menunduk, mengamati telunjuk itu. Tatapannya yang kesal segera terlontar kepada
calon suaminya.
"Ah!!"
Wajah Masumi langsung merah padam. "Ini... aku..." Masumi menggulung
telunjuknya lagi. "Tidak... bermaksud..."
"Messsuuuuuuuummmm!!!"
Maya menonjok pipi Masumi.
"Adduuuhh!!!" Masumi mengerang keras
seraya mengusap tulang pipinya.
"Pak
Masumi. Anda baik-baik saja?" tanya Mizuki yang masuk dengan setumpuk
dokumen. Ia melihat pria itu mengerang dan memegangi pipinya.
"Ukh..."
Masumi berusaha menenangkan dirinya. Denyutan itu terasa cukup menyakitkan di
wajahnya. Ternyata Maya benar-benar beringas.
"Pak
Masumi, Anda kenapa?" Mizuki lantas beralih kepada Maya, meminta jawaban.
"Uhmm...
dia..." Maya melirik kesal, masih sebal, juga malu. Tidak mungkin dia
mengatakan apa yang sudah Masumi lakukan tadi.
"Ak-aku
terantuk meja," jelas Masumi.
"Meja?"alis
Mizuki terlonjak. Heran.
Maya
hanya melirik keki saja.
"Bagaimana
bisa wajah anda terantuk meja?" tanya Mizuki sangsi.
"Itu
bukan urusanmu!!!" seru Masumi akhirnya, kesal juga. Dia baru saja dihajar
calon istrinya dan wajahnya sekarang berdenyut-denyut.
"Ta-tapi
Pak... pipi Anda lebam..." terang Mizuki.
"Deg!"
Maya tertegun. Ia melirik gelisah, tidak tega juga. Dan ternyata memang tampak
tulang pipi Masumi agak biru seperti memakai blush-on. Ukh.... dia jadi merasa
bersalah lagi.
"Biar
saja!" tukas Masumi. "Ada apa kau mengganggu acara makan
siangku?"
"Maaf,
ini baru saja ada laporan mengenai masalah kontrak Naoki Kitazawa yang dilanggar,
juga tuntutan untuk Daito dari Haruyama mengenai bayaran yang tidak sampai
kepadanya karena dibawa kabur Tanabe dan--"
"Sudah
letakkan saja di mejaku!! nanti kubaca!!!" bentak Masumi dengan galak.
Kesal
sekali rasanya, sudah pipinya berdenyut-denyut, kebersamaannya dan Maya
terganggu, sekarang Mizuki datang dengan sederetan berita buruk.
"Baik
Pak..." Mizuki melirik ngeri. Dia akhirnya meninggalkan Masumi dan Maya.
"Sebentar,
aku cari es batu dulu," ujar Maya yang segera bangun.
"Minta
kepada OB. Di dapur ada es batu," terang Masumi, mengamati Maya yang
beranjak keluar.
Masumi
menghela napasnya lalu meringis. Benar-benar sakit. Padahal tadi dia
sungguh-sungguh tidak sengaja. Tadi...
Masumi
mengamati telunjuknya yang berbuat nakal tadi. Ia lantas mengamatinya. Dasar
telunjuk kurang ajar... batin Masumi. Tapi...
Dia
menekuk-nekuk telunjuknya. Telunjuk yang beruntung! Sasarannya bisa tepat
seperti itu! Benar-benar telunjuk Masumi Hayami!
Saat
Masumi tersadar, Maya sudah berdiri di hadapannya masih dengan wajah masam.
"Ah!"
Masumi kembali salah tingkah. Untung dia belum sempat menyeringai aneh.
"Kau sudah kembali..."
Maya tak
berkata apa-apa dan duduk di samping Masumi. Duh, masih saja merasa sangat
malu. Padahal dia ini korbannya. Kenapa harus dia yang merasa begini malu?
Kesal juga!
Maya
mulai menyentuh-nyentuhkan celemek dengan es batu di dalamnya pada tulang pipi
Masumi.
"Sakit
tidak!?" tanya Maya.
"Sedikit,"
jawab masumi. "Terima kasih."
Maya tak
menjawab.
"Mengenai
hal yang tadi. aku tidak sengaja--ADUH!!! Pelan-pelan! Jangan ditekan
keras-keras begitu!"
"Jangan
dibicarakan lagi!!" bentak Maya dengan kesal, wajahnya jadi panas lagi dan
pasti sangat merah.
"Maaf
ya..." Masumi berkata sungguh-sungguh. "Benar-benar... Maaf..."
Sekian
lama Maya tak berkata apa-apa, tetapi akhrnya luluh juga. "Pegang!!"
perintah Maya kepada Masumi. "aku mau membereskan bekas makannya
dulu..."
Masumi menurut.
Ini
apdetan terakhir ya...
Saat Maya
kembali ke kantor Masumi, pria itu masih duduk di sofa.
"Apalagi?"
tanya Maya.
"Bawa
aku ke sana," ia menunjuk meja kerjanya. "Ada banyak pekerjaan yang
menungguku."
Masumi
melingkarkan lagi lengannya di pundak Maya yang membantunya berdiri.
"Kakinya
sudah tidak begitu sakit?" tanya Maya. "Kau sudah tidak
pincang..."
Eh!
Masumi tertegun. Ya ampun!! Dia lupa! Karena fokus pada nyut-nyutan di pipinya,
dia sampai lupa kalau harusnya berjalan pincang.
"Sudah
sembuh?" tanya Maya lagi. "Sudah tidak sakit lagi?"
"Ah!
i-ini... masih... aku... hanya memaksakan... ini..."
Maya
menatap Masumi yang gelagapan penuh curiga.
Untunglah
saat itu ketukan di pintu terdengar. "Masuk!" seru Masumi cepat.
Sosok
cantik dan anggun itu masuk lagi. Shiori menyapa dan berkata, "Pak
Masumi.. maaf... saya ternyata ada urusan mendesak nanti sore di kantor saya. Karena
itu, mungkin pertemuannya kita tunda saja? Saya akan meninggalkan dokumennya di
sini untuk Anda baca," terang Shiori seraya tersenyum tipis. Sekali lagi
merasa jengah melihat kembar siam tersebut.
Apa
sepanjang hari mereka menempel begitu? batin Shiori terheran.
"Oh,
ya," Masumi menjawab cepat, melepaskan rangkulannya dari bahu Maya.
"Kemarikan saja, nanti saya pelajari."
Saat
Shiori hendak menghampiri, kaki gadis itu terpeleset dan tubuhnya tiba-tiba
limbung hendak jatuh.
"Nona
Shiori!!" Dengan tanggap Masumi menangkap Shiori yang jatuh ke hadapannya.
Walaupun sempat hendak jatuh ke belakang, Masumi berhasil menahan tubuh mereka
tetap berdiri.
Wajah
Shiori tampak tekejut. Dia menatap wajah Masumi yang sangat dekat dengannya.
Jantung gadis itu mendadak berdebar semakin hebat.
"Kau
tidak apa-apa?" Masumi mengulangi pertanyaannya sekali lagi.
Shiori
masih kehilangan kata-kata. "A.. aku..." jantungnya berdentam semakin
keras dan wajahnya menghangat. Lantas... lamat-lamat rasanya ia mendengar lagu
unchained melody, sontrek film favoritnya, Ghost, yang sangat romantis. Dan
berbagai adegan romantis antara dirinya dan Masumi berputar indah di kepalanya.
"Nona
Shiori..." tegur Masumi, Yang berusaha melepaskan pegangan mereka.
"Kurasa ponselmu berbunyi."
"AAh...
ah... ya..." Shiori kembali tersadar. Ia dengan kikuk mencari ponselnya di
dalam tas dan tidak bisa menemukannya.
"Kurasa...
ini, yang kau cari?" Masumi menunjuk ponsel di tangan wanita itu.
"O-oh!
Ah! Yaaa..." Shiori semakin salah tingkah dan malu. Ia menekan sebuah
tombol dan lagu Unchained Melody itu pun berhenti. "Email... da-dari
kantor," terang Shiori walau tidak ada yang bertanya.
Saat
itulah perhatian Masumi teralih kepada Maya yang sejak beberapa lama tidak ada
suaranya. Alangkah terkejutnya MAsumi, mendapati tatapan tajam dan gahar dari
calon istrinya itu.
"A-ada
apa?" tanya Masumi. Apakah sesuatu membuat Maya marah? Apakah gadis itu
cemburu atau...
"kau!!!"
Maya ngambek."Bohong!!!" ia menunjuk ke arah ibu jari kaki Masumi.
Ya Tuhan!
Perban itu dengan polosnya lepas dari ibu jarinya. Masumi tidak menyadarinya
dan sekarang...
"Ah!
Kakimu baik-baik saj!" Shiori mengumumkan sesuatu yang sudah jelas.
"E-
Maya! Ini... i-ini..."
Maya
kesal bukan kepalang. Jadi, setelah dia dibebani tubuh besar pria itu seharian
di bahunya, merasa bersalah dan bertanggung jawab... ternyata Masumi hanya
pura-pura? mempermainkannya?
"Bisa
kujelaskan," terang masumi cepat, kepada Maya yang mendengus-dengus
seperti gajah mengamuk.
"tidak
perlu! Rasakan ini!!!!" Maya menginjak kaki Masumi dengan sekeras-kerasnya
dan pergi dengan kesal dari sana.
Masumi
sekali lagi mengerang. Ia melompat dengan satu kaki sambil memegangi kaki yang
satunya.
"Adduuuhh!!
Maya! Maya! hei! Maya! Tunggu dulu!" Masumi meringis, dan dengan
terpincang-pincang bermaksud mengejar MAya. Tetapi...
"Grep!!"
Shiori menahan pergelangan tangan Masumi. "Jangan..." sergahnya.
"Jangan dikejar... gadis seperti itu..." genggaman tangan Shiori
semakin erat. "Tidak perlu mengejarnya!"
Masumi
tertegun. Bingung dengan perkataan Shiori, tetapi di tengah kekalutan itu
Masumi masih tahu apa yang harus dilakukannya.
"Lepaskan!!!"
bentaknya, seraya menghempaskan tangannya kasar, dan mulai mengejar Maya dengan
terpincang-pincang.
"Maya! Maya! Hei... Maya tunggu sebentar!"
panggil Masumi. Kali
ini kakinya benar-benar sakit, dan kali ini dia benar-benar pincang.
Maya tak menghiraukan. Ia tak peduli para pegawai
itu mengamati kedua kembar siam yang sekarang saling berjauhan.
"Maya!!" Masumi terlambat, di balik pintu
lift, wajah dongkol dan sebal Maya menghilang. "Ah!! Sial!!!"
rutuknya. "Apa kau lihat-lihat!!?" bentak Masumi kepada pegawai yang numpang lewat di dekatnya--dan
sebenarnya sama sekali tidak melihat ke arahnya.
"A-ah!! Maafkan saya Pak!!" sahut pegawai
itu spontan.
Masumi bergegas ke lift yang satunya lagi dan
menekan-nekannya dengan tidak sabar. Saat lift itu terbuka, dan ternyata penuh,
Masumi dengan garang memerintah semua penghuni lift itu keluar.
"Keluar kalian semua!!' bentaknya lagi.
Tanpa bertanya lebih lanjut semuanya berhambur
keluar dan Masumi masuk ke dalam lift, menekan-nekan tombolnya lagi dengan tak
sabar.
Setiap
kali pintu lift terbuka pada lantai yang lampunya menyala, Masumi akan
memelototi orang-orang itu hingga mereka tidak berani masuk ke dalam lift. Ada
yang terlonjak saat hendak masuk dan dihadiahi tatapan seram oleh Masumi yang
seperti serigala lepas. Bahkan lantai tak berpenghuni pun Masumi pelototi
dengan garang.
Akhirnya
setelah melalui belasan lantai, Masumi turun dan tak melihat Maya walaupun ia
sudah mengedarkan tatapannya berkeliling. Dengan gusar Masumi berlari keluar
gedung, mencari Maya.
=//=
Maya
turun dari lift dan menghela napas sebal. Bibirnya manyun dan Maya memaksakan
menyeret dirinya menyusuri lorong di mana kantor Masumi berada. Jika saja bukan
karena dompetnya yang tertinggal, Maya benar-benar enggan untuk kembali dan
melihat wajah menyebalkan Masumi lagi.
Maya
mengetuk perlahan dan mendorong pintu kantor yang terbuka. Ternyata, Masumi
tidak ada di tempat. Tetapi, wanita muda yang cantik itu masih ada di sana.
Duduk dengan rapi di sebuah sofa.
"ah,
kau..." Shiori segera berdiri melihat Maya masuk. Ia pikir, Maya datang
bersama Masumi, namun ternyata gadis itu sendiri saja.
Maya
sendiri wajahnya bersemu, agak malu karena ingat tidak bisa menahan
kekesalannya di hadapan Shiori tadi.
"A-anu...
dompetku... tertinggal," ujarnya.
"Oh
ya," Shiori yang sudah melihatnya terlebih dahulu, meraih dan
menyrahkannya kepada Maya.
"Terima
kasih," ucap Maya. "Uhm, anu... Pak Masumi... ke mana...?"
Shiori
dapat menyembunyikan rasa terkejutnya dengan baik. "Oh... kurasa... Pak
Masumi ke kamar mandi. Tadi dia mengeluh kakinya sakit."
Maya
berdecak spontan. "Menyebalkan sih..." lirihnya.
Shiori
mengamati Maya agak tajam. Bisa dilihat Maya tampaknya memang bersikap kurang
ajar kepada Masumi.
"Uhm,
maaf," Shiori berdeham tipis. "Bolehkah aku... bertanya
sesuatu?"
"Ya?
Apa?"
"Kau
dan Pak Masumi... dijodohkan, benar kan?"
Maya
tertegun sejenak dan dengan wajah merona, ia mengangguk.
"Apa
kau... tidak ada perasaan apa pun kepadanya?" Shiori memastikan.
"Tentu
saja ada!" tukas Maya. "Aku membencinya! Aku sebal bukan main kalau
melihatnya!" Maya terbawa perasaan dan mendeklarasikan kembali
permusuhannya dengan Masumi. Saat ia tersadar, dan Shiori mengamatinya dengan
bingung, Maya benar-benar malu dan menunduk lagi.
"Jadi
sebenarnya... kau... tidak ingin menikah dengannya?"
"eh,
itu...." maya tidak bisa menjawab. Rasanya itu bukan urusan Shiori,
lagipula, masa ia harus mengatakan kepada wanita yang tidak begitu dikenalnya,
bahwa dia tidak ingin menikah dengan calon suaminya. "Itu..."
"Kalau...
ada gadis lain, yang bisa menggantikanmu dijodohkan dengan Pak Masumi, apa kau
mau?"
"Eh!?"
alis Maya melonjak naik. "Menggantikanku?" tanyanya bingung.
"Ya.
Maaf... tetapi, ayah tiriku adalah rekan bisnis dari Pak Hayami dan Pak Miyake.
Kurang lebih... mengenai masalah kalian, aku juga tahu," terang Shiori.
"Oh..."
Maya masih saja merasa tak nyaman dengan pertanyaan Shiori. Karena, apa pun
jawabannya, pertunangannya dan Masumi hanya sebentar lagi. "Baik aku, dan
Pak masumi.... kami sudah sepakat melakukannya sebagai pengabdian kepada ibu
kami," terang Maya.
"Tapi
kalau ada wanita lain, kau tak harus menikah dengannya kan? kalau... Pak masumi
misalkan ingin menikah dengan wanita lain. wanita yang benar-benar
mencintainya?"
"Eh?
I-itu sih...." Jantung Maya tiba-tiba berdebr tak menentu entah apa
sebabnya. Masumi? Menikah dengan perempuan lain selain dirinya? "I-itu
sih, terserah dia!" seru Maya dengan nada tinggi yang membuat Shiori
terkejut. Maya juga jadi malu lagi karena perkataannya yang tak bisa dijaga.
"Maaf... Aku permisi!" Maya membungkuk dan keluar dari kantor itu.
Ia menaiki sebuah lift hendak pulang. Saat liftnya
tertutup, pintu lift yang satunya lagi terbuka, dan Masumi keluar dari sana.
Masumi
masuk kembali ke kantornya dengan lelah, nyeri dan sangat kesal. Ia tak mengira
akal bulusnya untuk membuat Maya menempel kepadanya selama seminggu berakhir
dengan gadis itu marah kepadanya.
Pasti,
kali ini, walaupun kaki Masumi benar-benar bengkak, gadis itu sudah tidak mau
tahu dan tak ingin didekatinya lagi. Hhh...!! Sialan! Masumi besumpah serapah
lagi.
Ia agak
terkejut melihat Shiori masih ada di sana dengan tenang. Dia sempat lupa bahwa
ada Shiori di sana. Dan sekonyong-konyong, ingatannya saat tadi membentak
Shiori pun kembali.
"Ah,
Nona Shiori," tegur Masumi.
"Pak
Masumi," Shiori bangkit.
"Maaf
aku jadi membuatmu menunggu," Masumi berkata dengan formal.
"Tidak
mengapa," jawab Shiori sungkan. Kali ini, ada sedikit rasa takut mengingat
bagaimana Masumi tadi membentaknya. Bukannya tidak biasa, Shiori juga kadang
mendapat bentakan ceo stasiun TV-nya yang tidak bukan ayahnya sendiri, tetapi
tadi pertama kalinya Shiori melihata Masumi segusar itu.
"Mengenai
hal yang tadi," Masumi berkata agak sungkan walaupun sepertinya bukan
penyesalan besar, "Aku sangat menyesal, aku tidak bermaksud membentakmu
seperti itu..."
"Tidak.
tidak, saya yang salah... seharusnya saya tidak mencampuri urusanmu,"
Shiori berkata rendah hati. "Omong-omong.... bagaimana... Maya?
Ketemu?"
Masumi
mengeratkan rahangnya, ingat lagi calon istrinya yang gahar itu. "Kita
langsung saja ke pokok masalahnya?" elak Masumi, tidak ingin membicarakan
mengenai hal itu dengan Shiori.
"Pak
Masumi, kaki Anda...?" Shiori bisa melihat lebam di ibu jari pria itu.
"BUkankah lebih baik kita merawatnya terlebih dahulu?"
"Tidak
perlu, ini--"
"Pak
Masumi, jangan begitu! Luka yang tidak dirawat akan semakin parah, dan mungkin
nanti Anda bisa bengkak lama dan benar-benar kesulitan bekerja."
Tanpa diminta, Shiori pergi keluar dan mencari es
batu untuk luka lebam di kaki masumi. Membuat bagian pantry agak heran, karena
seharian ini, tamu Masumi, baik Maya atau Shiori--sibuk mencari es batu ke
sana.
Shiori
dengan telaten mengompres ibu jari Masumi. Berapa kali pun Masumi melarangnya,
dia tetap bersikeras. masumi sangat tidak nyaman, karena tdak ada satu pun
rekan kerjanya yang memperlakukannya seperti ini tentu saja.
"Nona
Shiori, aku benar-benar tidak enak, kenapa... Anda jadi.."
"ah,
tidak apa-apa," timpal Shiori, yang merasa senang bisa melayani Masumi
walaupun ini memang sangat jauh dari imejnya yang seorang putri konglomerat
sekaligus produser stasiun TV ternama.
"Pak
Masumi... walaupun saya melihat Anda dan calon isteri bertengkar, tetapi...
sepertinya Pak Masumi... cukup perhatian kepada Nona Maya ya?" Dengan
mulus Shiori mewawancarai.
Masumi
tertegun, tak tahu harus berkata apa. Menceritakan masalah percintaan bukan hal
yang biasa dia lakukan. Masumi tak menjawab beberapa lama. Namun, Shiori yang
mendongak ke arahnya, tampak mengharapkan jawaban itu.
"Kami
sudah sepakat menikah," tegas Masumi. "Otomatis aku hanya
memikirkannya saja," Masumi dengan tersamar mengungkapkan perasaannya.
"Lalu...
bagaimana dengan Nona Maya? Saya lihat, mungkin karena usianya yang masih
sangat muda ya," Shiori tertawa kecil, "sepertinya belum benar-benar
serius memikirkan tentang pernikahan ya?"
"Ah,
ya, begitulah. Tetapi, kurasa setelah menikah, perlahan-lahan kami bisa belajar
menjai pasangan yang baik bagi satu sama lain," Masumi optimis.
"Bukankah cinta datang setelah terbiasa, juga hal yang umum terjadi?"
"Ya...
Mungkin..." Shiori menggumam. "Tetapi.... Pak Masumi... saya tahu
benar ada banyak wanita yang mengharapkan Anda. Oh, saya membacanya dari
majalah," Shiori tertawa renyah, berusaha bersikap hangat. "Jujur
saya sangat terkejut mendengar kabar Anda mengikuti perjodohan demi ibu Anda.
Tetapi, menurutku... seorang ibu, pasti lebih bahagia jika putranya menikah
dengan wanita yang benar-benar dicintainya dan bisa mengimbanginya. JIka...
maaf, kuharap Anda tidak terisnggung," Shiori menatap Masumi yang hanya
berwajah datar saja. "Saya hanya merasa, Anda dan Nona Maya... sangat jauh
berbeda, yah, secara fisik. Dan... sepertinya... Anda berdua cukup sering adu
argumen?"
Masumi dengan tenang menangapi, "Aku tidak
memikirkannya sejauh itu," tukasnya. "Tetapi ada satu hal yang kurang
tepat," ungkap Masumi. "Sebetulnya, hingga saat ini, memang hanya
Maya Kitajima yang membuat saya ingin menikahinya. Di luar masalah perjodohan,
atau perbedaan di antara kami dan juga masalah seringnya kami bertengkar, aku
sama sekali tidak ragu ingin menikahinya," Masumi berkata dengan sangat
yakin.
Shiori
terenyak mendengar pengakuan Masumi. Direktur Daito itu, sungguh ingin menikahi
Maya, dari dasar hatinya.
Mustahil.
Kenapa bisa begitu? Sementara gadis itu.... gadis yang tidak tahu diuntung itu,
bahkan bersikap hormat kepada calon suaminya saja tidak bisa. Bagaimana bisa
hal seperti ini terjadi? Shiori masih tak mengerti dengan keduanya.
"Ada
apa?" tanya Masumi, melihat Shiori tampak tenggelam dalam lamunanya
sendiri.
Shiori
tertegun dan menggeleng perlahan. Ia mengamati wajah Masumi dan jantungnya
berdebar. Dia memang telah jatuh cinta kepada Masumi. Tetapi, Masumi
menjatuhkan pilihan kepada gadis yang tak tahu bersyukur itu.
Seandainya
saja, Shiori memiliki sedikit kesempatan untuk mendapatkan Masumi, ia tidak
akan pernah menyia-nyiakannya, apalai sampai memperlakukan masumi dengan begitu
kurang ajar.
=//=
Maya
sangat terkejut saat dia mendapati mobil Masumi terparkir di depan
apartemennya. baru saja Maya bertanya-tanya kemana si empunya mobil, Masumi
turun dari mobilnya dan memandang Maya yang tangannya penuh belanjaan dari
minimarket.
Maya
segera mengeratkan pelukannya di kantong belanjaan dan membuang wajahnya sebal.
"Maya!"
Sapa Masumi.
Maya
masih enggan menoleh. Ia berlalu begitu saja dengan wajah kesal.
"Maya!"
Panggil Masumi lagi. "Maya! Kali ini ibu jariku benar-benar bengkak dan
sakit! Wajahku juga lebam!" Masumi menunjuk pipinya.
Maya
masih tak peduli dan dengan dagu terangkat serta wajah terpaling, ia hendak
masuk ke dalam gedung apartemennya. Tetapi Masumi dengan jari bengkaknya masih
bisa berjalan dengan cepat dan menghalangi Maya masuk.
"Minggir!!" bentak Maya.
"Aku
mau bicara," terang Masumi.
"Aku
tidak mau dengar!!" seru Maya.
"Aku
punya alasan kenapa aku--"
Maya
meraih ke dalam kantong belanjannya. "Bicara lagi kulempr kau dengan
tomat!!" ancam Maya.
"Aku
hanya ingin kita bisa bersama dan lebih dekat saja," Masumi kukuh bicara.
Maya tertegun. Mengamati Masumi heran. "Apa
maksudmu?" tanyanya, dengan jantung yang tiba-tiba berdebar semakin keras
tanpa ia tahu alasannya.
Masumi sendiri terkejut dengan ucapannya.
"A-aku... Maksudku..." Duh! Kenapa aku berkata begitu! Sesal Masumi.
Karena pria itu tak kunjung bicara, akhirnya Maya
melengos dan memutuskan untuk masuk saja ke dalam apartemen untuk meninggalkan
Masumi.
"hei! Tunggu dulu!"
"kau ini mau bicara atau tidak?" tuntut
maya.
Sama sekali tak ada permintaan maaf untuk ibu jarinya
yang berdenyut-denyut sekarang.
Masumi berusaha tenang.
"Ya maksudku... Tak lama lagi kita bertunangan
dan jika setelah menikah tentu kita akan hidup bersama."
"Mengerikan sekali.." tukas Maya spontan.
Masumi berusaha tidak menghiraukan. "Jadi sesuai
dengan yang kukatakan saat itu, aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat dan...
Dan... Berusaha membuatmu... Ehem!!! Ja jatuh cinta."
"Dengan
mengatakan kakimu sakit dan bengkak!?"
"Kakiku
memang sakit dan bengkak..."
"Sebelumnya
tidak!" Maya merengut kesal. "Membuatku menopang tubuh besar dan
beratmu itu ke sana kemari,"Maya geram lagi. "Ukh! Rasanya ingin
ku...." Maya melakukan gerakan memelintir dengan kedua tangannya.
Masumi
menelan ludahnya.
"hei!
Aku sudah minta maaf kan!"
Bibir
Maya mengerucut sangat jauh.
"Maya!"
tergur si calon suami kepada istrinya yang masih tidak mau memandangnya.
"Maya!"
"Pokoknya
aku tidak bisa memaafkanmu!"
"Hei,seharusnya
aku yang marah! Kau menginjak kakiku!"
"Nah,
itu juga!" Maya menunjuk hidung Masumi, hingga Masumi ikut-ikutan menunjuk
hidungnya sendiri. "Kau sudah membuatku merasa bersalah! Berkali-kali
bilang gara-gara aku kau tidak bisa berjalan dan bergerak bebas ke sana kemari.
Nyatanya ibu jarimu baik-baik saja!" telunjuknya beralih ke ibu jari Masumi.
Rasanya Maya ingin menginjak kaki yang satunya lagi agar sama bengkaknya.
"Ya,
ya, maaf... tapi itu kan salahmu..."
"Salahku
lagi kau bilang!?" Maya berang.
"Ya!
Karena, rasanya hanya aku saja yang berusaha. Kau tidak!"
"Berusaha
apa?" Mata Maya berkedut bingung.
"Di
restoran itu, kau juga sudah janji kan, akan berusaha menyukaiku... ya... hanya
berusaha saja... karena bagaimana pun kita akan menikah."
"Tidak
usah diulang-ulang terus bagian yang itu! Sengaja ya ingin menyiksaku!?"
Maya masih sengit.
"Tapi
berusaha saja tidak!" Masumi tak kalah sengit. "Aku saja yang terus
mencoba. Kau kerjanya hanya marah-marah saja... Sepertinya walaupun badanmu
pendek, tapi kau punya tekanan darah tinggi."
"Tak
perlu bawa-bawa tinggi badanku!"
"Tuh,
kan, dari tadi setiap bicara pakai tanda seru..."
"Karena
kau memang menyebalkaaann!!!" Maya memejamkan matanya dan
menggeleng-geleng gemas.
Masumi menghela napasnya. Gadis ini... sangat mungil
dengan kepala yang sangat keras. Masumi benar-benar tidak tahu bagimana
menaklukannya.
Masumi
menghela napasnya dan menunduk, tak sadar mengaku kalah.
"Jadi,
maumu apa?" tanya Maya ketus.
Masumi
mengangkat wajahnya lagi. "Ya, apa sajalah... setidaknya aku tahu kau
memenuhi janjimu mau mencoba menerima dan menyukaiku."
"Aku
sudah berusaha!" tegas Maya.
"Mana
buktinya?" rajuk Masumi. "Aku sudah mengirimimu penyanyi serenada,
sudah mengirimi boneka sapi dan kuda... sudah mengajakmu berkencan, makan
malam,"Masumi menghitung dengan jarinya. "Apa yang kau lakukan?"
tuntutnya.
"A-aku...
aku..." sekarang Maya yang gelagapan. Kenapa jadi dia yang disudutkan?
"A... aku sudah... sudah..."
"Apa?
marah-marah? Meledak-ledak terus seperti merecon."
"Hei!
Mengejekku tidak akan membuatku jadi suka kepadamu, tahu!" Maya geram,
wajahnya merah.
"Jadi?"
Masumi mengangkat dagunya, "Apa? apa yang sudah kau lakukan Maya Kitajima?
Apa? Apa? tidak ada!!"
"Uuh!!
berisiiikkk....! Aku kan sudah melakukan tanggung jawabku! Aku menemanimu
seharian ini, padahal aku tidak harus melakukannya!"
"Itu kan karena kau sudah menginjak kakiku
dulu," sekarang Masumi yang pura-pura marah dan melengos. "Haa...
ternyata Maya Kitajima itu tidak bisa menepati janjinya..."
"Kalau
bicara jangan sembarangan ya!" hardik Maya.
"Tapi
kenyataannya memang begitu kan? Ya sudahlah, biarlah alamarhum ibu kita
melihat, bahwa hanya diriku saja yang sungguh-sungguh berusaha mewujudkan
harapan mereka. Sementara gadis pendek darah tinggi di hadapanku ini hanya
setengah hati..."
"Maksudmu
aku!?" Maya tidak terima.
"Ya
siapa lagi," Masumi mengangkat bahunya tak acuh. Dilihatnya Maya cemberut
lagu, tetapi sepertinya ucapannya mengena. Maya kelihatan sedang berpikir keras
dan kesal. "Baiklah... aku permisi. Maaf karena aku terpaksa berbohong
demi memenuhi harapan orang tua kita. Juga karena sudah membebani bahumu seharian
ini. Aku permisi sekarang," Masumi membalikkan badannya sambil meringis.
Maya
memain-mainkan jemarinya gelisah. Pria itu memang paling tahu cara membuatnya
resah. Yang benar saja! Masa masumi terang-terangan menyatakan dia lebih
berusaha berbakti kepada orangtua mereka ketimbang dirinya.
"Hei,
tu-tu-tu-tunggu!!" Maya mengulurkan tangannya, menggenggam pergelangan
Masumi.
Masumi
diam-diam tersenyum, dan kemudian berbalik sambil memasang wajah malas.
"Ya?"
"I-itu...
anu..." Maya mengamati Masumi dengan gelisah. "Me... memangnya...
Ba-bagaimana... uhm... agar...Pak Masumi... menyukaiku..." Maya bergumam
semakin lama semakin perlahan dan menuduk.
"Hm?
Apa?" tanya Masumi yang tak bisa mendengarnya.
"Kau sudah dengar barusan," protes Maya
dengan wajah merah padam.
"Kalau
aku sudah dengar, aku tidak akan bertanya," tandas Masumi.
"Ck!
Dasar jompo!!" decak Maya.
"Nah!
Itu aku dengar!!" hardik Masumi.
"Uukh!!"
Maya kesal sekali dan matanya berkali-kali berkedip gusar. "Kubilang...
memangnya... ba-bagaimana... apa yang harus kulakukan... a-agar... kau
menyukaiku!!" ulang Maya dengan wajah sangat panas jantungnya berdebar
kuat.
Entah
kenapa dia harus menanyakn hal itu kepada pria yang sangat dibencinya. Maya
kesal sekali dengan keadaannya sekarang. Jika saja ini bukan untuk berbakti
kepada ibunya... jika saja dia bukan satu-satunya yang harus menikahi Masumi...
"Nah..."
Masumi tersenyum lebar. "Yang itu baru aku bisa dengar," katanya
senang. Dalam hati Masumi terbahak-bahak lagi dan mulai memuji diri sendiri.
Kau memang hebat, Masumi!!
"Jadi....
apa?" tanya Maya setengah hati.
"Ya...
aku..." Ada banyak permintaan dalam kepalanya untuk dipenuhi Maya, Masumi
berusaha menyortirnya dengan cepat. "Ya... aku... aku biasanya menyukai
sesuatu setelah terbiasa... melihatnya," terang Masumi.
"Terbiasa
melihatnya? memang kau pikir aku alien? atau makhluk langka!?" Maya
mengerundel.
"bukan...
maksudku... semakin sering aku melihatmu, semakin baik.... Karena itulah aku
sering mengajakmu bertemu, dan apa yang kulakukan hari ini juga, untuk alasan
yang sama," terangnya. "Karena itu kubilang kau tidak boleh menolak
jika aku mengajakmu pergi."
"Lalu?"
tanya Maya. "Berarti kau sudah cukup sering melihatku kan?"
"Masih
belum," tegas Masumi.
"Jadi,
bagaimana!?" Maya kesal.
"Pokoknya,
kau harus sering-sering menemuiku, menyetorkan wajah, mengerti? Awas saja jika
sehari saja kau absen."
"Hah!?
Ke-kenapa aku jadi..."
"Nah...
nah... nah... setengah hati kan..."
"Baik!
Baik!!" Maya menggeleng-gelengkan lagi kepalanya kesal. "Tapi
bukankah kau sibuk dengan pekerjaanmu?"
Selalu
ada waktu untuk Maya Kitajima... pikir Masumi. "Begitulah, kau tahu
sendiri. Tapi aku akan berusaha menyisihkan waktuku yang berharga untuk
menemuimu. Ini semua... demi keinginan orang tua kita..."
"Hanya
setor muka saja kan?" Maya memastikan.
"Tentu
saja tidak! Kau pikir aku mesin absensi!"
"Jadi,
apa lagi??"
"Itu nanti kupikirkan, pokoknya, ingat untuk
menemuiku setiap hari!"
"Setuju??" tanya Masumi.
Maya mengerucutkan bibirnya jauh-jauh dan
mengangguk.
"Jangan cemberut begitu. Bagaimana bisa aku
menyukaimu kalau wajahmu menekuk seperti melihat lipan?"
"Yang ingin kau suka kepadaku siapa?"
jawab Maya sengit.
"Hei! Kau sudah janji tadi, mau berusaha
membuatku menyukaimu."
Cih! Maya meludah dalam hatinya. memangnya dia peduli
andai Masumi membencinya?
"Baiklah, Aku setuju!!"
"Bagus. Sekarang, senyum."
"Hah?"
"Senyum. Kurasa aku lebih suka melihatmu
tersenyum." perintah Masumi.
Ukkhh...!! hati Maya mendongkol. Calon suaminya itu
banyakmaunya.
Maya nyengir selebar mungkin dengan tidak ikhlas.
"Hei, aku bukan dokter hewan. Jangan hanya
menunjukkan gigimu seperti kuda. Senyum! Ayo senyum!!"
"Duuh Pak Masumi!!!" Maya geram.
"Salah terus!!"
"Karena kau tidak tersenyum!" tukas
Masumi. "Ayo senyum dengan benar, yang tulus... seperti... saat... kau
menerima mawar ungu, misalnya."
Maya tertegun, teringat mawar ungu. Akhirnya, dia
mengikuti kemauan Masumi agar semuanya segera selesai. Maya tersenyum dengan
tulus da gembira, seperti saat menerima mawar ungu.
Masumi balas tersenyum tak kalah hangat. Dia
merangkum wajah Maya dengan kedua telapaknya. "Manis sekali," puji
Masumi.
Wajah
Maya memerah panas seketika mendengar pujian Masumi yang terdengar tulus.
Masumi pasti bisa merasakannya di telapak tangannya.
"A-a-apa-apaan....
Ja-jangan... menggodaku!" hardik Maya yang salah tingkah dan jadi tidak
bisa berkata apa-apa.
Masumi
tertawa dan melepaskan tangannya dari wajah Maya. "Nah, kan, berhasil.
Kurasa... aku sudah lebih menyukaimu satu level," katanya.
Maya
menatap Masumi curiga, sama sekali tidak percaya pria itu mengatakan yang
sesungguhnya. Kalau hanya disenyumi saja Masumi suka, pasti pacarnys sudah
banyak di mana-mana, pikir Maya.
"Sekarang
peluk aku," Masumi merentangkan tangannya.
"Hah!!?
Melunjak ya!!" Maya memukul bahu Masumi dengan telapaknya.
"Tidak...
aku mau pulang sekarang... satu pelukan dari calon isteriku tidak masalah
kan?"
"Enak
saj!! Tidak mau!!"
"Ah...
levelnya turun lagi," keluh Masumi, sedih.
"Apa-apaan
sih Pak Masumi..." Maya memicingkan matanya dan menggeram.
"Kakiku
jadi benar-benar sakit karena kau injak. Lihat... bengkak..." rintih
Masumi tiba-tiba lesu seperti samson kehilangan rambutnya.
Maya
menunduk gelisah.
"Orang bilang, pelukan itu sangat efektif
mengurangi rasa sakit. Tahu tidak? Jadi, karena kau yang menyebabkannya, sudah
tanggung jawabmu mengurangi sakitnya. Jadi, sebagai calon isteriku,"
Masumi merentangkan tangannya lagi. "Ayo sin, peluk aku."
perintahnya.
Maya
memandangi Masumi yang merentangkan tangan kepadanya itu. Masa, dia harus
memeluk pria itu. Yang benar saja?
Tapi
memang dia yang menyebabkan kaki Masumi bengkak, dan juga... dia sudah berbuat
sesuatu agar Masumi bisa menyukainya.
Ukh,
tunggu dulu! Kenapa sih dia jadi harus berusaha agar disukai Masumi?
Menyebalkan...
"Ayo
cepat..." Masumi mulai tidak sabar. "Cepat peluk
aku.""Tidak mau ah," Maya membuang mukanya yang entah sudah
berwarna apa.
"Bu
Haruuuu...!!!" Masumi mengadu.
"Eh!
Iya! Iya! Kupeluk!! Kupeluk!!" tukas Maya cepat.
Masumi
menatap Maya serius sedang hatinya tertawa. "Sini."
Maya menghampiri
Masumi dengan kaku, lantas dia mulai melingkarkan tangannya di pinggang masumi
dan menempelkan pipi ke dadanya. "Su-sudah..." Hanya sekilas dan Maya
sudah mau melepaskannya lagi.
Tetapi
Masumi lebih sigap. Dia balas memeluk Maya erat hingga gadis itu tak bisa
membebaskan diri dari kungkungan tangan si calon suami.
"Belum,"
kata Masumi, memeluk Maya erat-erat.
Maya
sangat terkejut, rasanya dadanya mau meledak saat itu juga. Ini pertama kalinya
dia dipeluk seseorang seperti ini. Jantungnya berdebar kuat.
"Caramu
memeluk payah sekali," Masumi bergumam, berusaha menyembunyikan rasa
gugupnya. Jika Maya melihat wajahnya sekrang, gadis itu akan melihat rona yang
memenuhi wajah maskulinnya. "Coba peluk aku lebih erat. Kalau begini,
namanya bukan memeluk, hanya seperti sedang mengukur lingkar pinggang,"
ujar Masumi. "Peluk yang benar atau tidak akan kulepaskan."
"Pak
masumi! Nan-nanti ada yang lihat..." maya panik, mengingat mereka berada
di luar.
Memangnya
Masumi peduli? Tentu saja tidak. "Karena itu cepat lakukan dengan benar,
atau kita akan seperti ini lebih lama lagi..."
Ukkh!!
Hati Maya sudah kacau balau rasanya. Kenapa dia jadi berpelukan dengan masumi
Hayami? Kenapa dia tidak bisa melepaskan diri? Dan kenapa... pelukan Masumi
rasanya hangat sekali?
Maya
mengikuti kemauan Masumi, memeluk pinggangnya lebih erat, antara sadar dan
tidak sadar.
Maya... Masumi merasakan jantungnya berdebar-debar.
Akhirnya dia bisa merasakan memeluk gadis itu, dan dipeluknya. Seharian dia
memang sudah merangkul bahunya, tetapi sekarang, rasanya berbeda. Masumi
rasanya tak ingin melepaskannya lagi. Maya... jadilah milikku selamanya...
pinta Masumi dalam hatinya. Suatu saat dia akan bisa mengatakannya dengan
bibirnya.
"10
ribu yen per jam," seloroh Masumi tentang tarif memeluknya.
"Hm?
apa?" Maya yang sedang terhanyut dengan kenyamanan pelukan pria itu, jadi
terkejut. Dia mendongak.
Ditemukannya
wajah tampan pria itu yang sedang mengurai senyum untuknya.
Deg!!
Maya tertegun. Ia malu. Berapa lama Maya sudah memeluknya tadi? Maya baru saja
hendak melepaskannya sebelum tiba-tiba terdengar sesuatu terjatuh.
"Bruk!!"
Maya dan
masumi menoleh ke arah suara dan dilihatnya Rei yang menjatuhkan kantong
belanjaan, memasang wajah sangat terkejut melihat pasangan itu tengah
berpelukan.
"Akh,
Rei!!" Maya melotot, dan langsung menjauhkan dirinya dari Masumi.
"Anu, ini! Begitu... ini, begini... anuu... aku dan... dia... ini...
sakit... obat..."
Kedua
alis Rei yang berkerut, jadi semakin dalam karena penjelasan Maya.
"Sudahlah,
" kata Masumi tenang dan bangga. "Rei kan sudah tahu kita mau
menikah. Sedikit pelukan tidak memerlukan alasan," ujarnya ringan.
"benar kan?"
"Uhm..."
Rei jadi ikut malu menyaksikannya.
"A-apa-apaan
sih Pak masumi!" Maya memukul lengan masumi dan pura-pura lupa dia sempat
merasakan kenyamanan dari sana. "Jelaskan! Soal yang tadi... obat, sakit
kaki... itu..." rajuk Maya, hampir menangis karena takut salah paham.
"Apa?"
Masumi mengangkat alisnya. "Kubilang aku mau pulang, lalu kau memberikan
pelukan perpisahan. Wajar kan?"
"Bukan
yang itu!!" bentak Maya.
"Ah,
ya, ya, sudahlah... aku mengerti...." Rei cengengesan bingung. Ia memungut
lagi kantong yang jatuh dan berdoa semoga tidak ada telur yang pecah.
"Ku-kurasa.. aku akan menunggumu di, atas, Maya?" kata Rei gugup dan
melewati keduanya.
"Aku
mengukur lingkar pinggangnya!!" terang Maya. "Sungguh..."
"Ya,
ya, aku percaya," Rei melirik tipis kepada Masumi yang diam saja tak
membantu Maya.
Maya
memberikan tatapan sebal kepada Masumi yang sudah membuat Rei menangkap kesan
yang salah dari pelukan mereka. "Menyebalkan!"
"Ya,
sayang sekali ya... pelukannya diinterupsi."
"Bukan
itu!!" Maya memukul dada Masumi. "kenapa kau diam saja? Kenapa tidak
jelaskan hal yang sebenarnya, soal tadi?? soal.. itu... jari kakimu... yang kau
bilang pelukan jadi obat... penawar itu!!" Maya kesal dan ingin menangis.
Ia sangat malu, gengsi, ketahuan memelukMasumi yang sudah dia gadang-gadang
sebagai musuh besanya.
"Ohhh...
yaa soal pelukan bisa menawarkan sakit? memang benar, saat kau memelukku tadi,
aku tak ingat sakit di ibu jariku," masumi tersenyum.
"Tadi
kau tak mengatakan itu kepada Rei! Dia jadi salah paham!"
"Masalahnya
di mana?" tanya Masumi, wajahnya jadi dingin lagi. "KIta kan mau
tunangan. Kau kan calon istriku... apa perlunya menjelaskan sesuatu kepada
orang asing? Apa aku harus juga menjelaskan apa yang aku dan kau lakukan setiap
kali kita bersama?"
"apa
maksudmu dengan kita bersama?" Maya memberengut.
"Sudahlah,
toh dia sahabatmu. Jangan terlalu dipikirkan," Masumi menepuk-nepuk kepala
Maya. "Kau hanya harus mulai membiasakannya saja," Masumi tersenyum.
Ukh!
Menyebalkan!! geram Maya.
"Sampai
jumpa besok, Maya. Atau... harus kupanggil, Sayang??"
"Kugigit
kau jika memanggilku begitu!!"
Masumi
terbahak. "Baiklah, kabari aku jika hendak menemuiku. Jika tidak, aku yang
akan mencarimu. Oke? Sampai jumpa."
masumi
agak terpincang kembali ke mobilnya. Dia lega, semuanya berakhir baik. Ia
khawatir Maya ngambek dan memutuskan perjodohan mereka. Tetapi nyatanya tidak.
Sementara
Maya termangu memikirkan perkataan Masumi. Harus mulai membiasakan? Apa artinya
akan ada lagi pelukan antara dirinya dan Masumi? Maya bergidik.
Tetapi, tiba-tiba, dia ingat lagi bagaimana tadi
saat Masumi memeluknya. Hangat dan nyaman sekali. Maya berdebar-debar sendiri
jadinya.
Maya menggeleng-gelengkan wajahnya yang masih belum
hilang panasnya, dan dia segera beranjak masuk ke apartemennya.
Sudah ada Rei yang sedang membereskan belanjaan
mereka di dalam sana.
“Pak Masumi sudah pulang?” tanya Rei berusaha
tenang.
“Su-sudah…” jawab Maya, berdoa Rei tak perlu
bertanya lagi soal hal yang tadi karena dia masih malu membicarakannya.
“Bantu aku masak makan malam ya—“
“Baik!”
“Nyonya Hayami!”
“Ha!?” Maya melongo. “Re-reeeeii!!!” Maya menutup
wajahnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Jangan memanggilku seperti itu!”
“Wah, sudah sampai berpelukan! Aku tak mengira
perkembangan hubungan kalian begitu pesat!”
“Bukan begitu Rei!! Itu maunya dia…”
“Dia yang meminta?”
“Tentu saja! Untuk apa aku memeluknya jika bukan dia
yang perintahkan? Katanya… karena aku sudah menyakiti kakinya, aku harus
memeluknya, karena pelukan bisa mengurangi rasa sakit. Itu yang dia bilang!”
“Jadi kau memeluknya?”
“Apa aku punya pilihan lain?” tuntut Maya.
Rei bengong saja melihat Maya yang sepertinya sudah
lebih luluh terhadap Masumi. Entah apa yang direktur Daito itu katakan
kepadanya. Yang pasti itulah yang Rei lihat.
“Dia itu memang banyak maunya!” maya melepas
kardigannya dan mulai berdiri di samping Rei membantu mencuci sayuran untuk
makan malam.
“Memang, dia minta apa saja?” tanya Rei.
“Dia… Uhmm…”
“ayolah, jangan malu-malu kepadaku!” Rei gemas.
“Kalau dia melakukan hal menyebalkan kepadamu, aku akan mendatanginy!” terang
Rei.
“Bukan menyebalkan sih… tapi dia banyak sekali
menuntut. Kau ingat yang kukatakan dia ingin kami berusaha untuk… saling
menyukai satu sama lain itu?”
Rei mengangguk.
“Dia bilang, agar dia lebih menyukaiku, aku harus
banyak senyum kepadanya. Cih!” Maya tak tahan untuk tak berdecak setiap kali
ingat hal tersebut. “Dan katanya dia harus sering melihatku… Entahlah, dasar
menyebalkan hanya bisa bicara omong kosong,” Maya mengangkat bahunya kesal.
“Oh ya? Ternyata… dugaanku benar,” Rei tersenyum.
Maya menoleh dan mendongak, “Dugaan apa, Rei?”
“Dugaan bahwa Pak Masumi serius mengenai
pernikahannya denganmu. Kurasa dia benar-benar berusaha menyukaimu dan
membuatmu menyukainya.”
Apa Rei juga berpikir, memang hanya Masumi yang
bekerja keras menjalankan keinginan orang tua mereka?
“Tapi dia kan…. Membenciku…”
“Untuk seorang Masumi Hayami, entah kenapa aku
merasa, bukan begitu caranya membenci seseorang,” ujar Rei. “Aku tidak tahu
bagaimana dia dahulu, tapi, coba kau buka hatimu dan pikirkan baik-baik.
Walaupun aku tidak tahu dia mulai menyukaimu atau tidak, kurasa dia benar-benar
berusaha untuk itu. Jika tidak? Mana mungkin, dia memintamu memeluknya?”
“Itu kan hanya—“
“Pikirkan saja baik-baik, Maya…” potong Rei. “Jika
kalian bisa mulai saling menyukai sebelum pernikahan, itu akan baik sekali.”
Maya menunduk, tak punya kata-kata untuk
membantahnya.
=//=
“Halo,” Masumi mengangkat sambungannya.
“Ini Maya Kitajima.”
“Aku tahu.”
“Aku akan datang menemuimu.”
“Aku tunggu.”
“…”
“…?”
“…”
“Maya?” tegur Masumi. “Ada lainnya?”
“Uhm… A-ada yang kauinginkan?” tanya Maya. “Aku kan…
tidak bisa datang begitu saja. Kau bilang kau bukan mesin absensi.”
Masumi terkejut mendengar Maya memikirkannya. Dia
mulai tersenyum. “Tidak ada. Aku akan mengajakmu nonton dan makan malam, jadi
nanti kita pergi bersama.”
“Katanya tidak ada…” keluh Maya.
“Tadi kau yang bertanya apa mauku!” tandas Masumi.
“Itu kan hanya basa basi.”
“Aku tidak suka basa-basi. Cepat ke sini!”
“Jangan memerintahku!”
“Tadi kau yang bilang mau ke sini!”
“Kau yang menyuruhku kemarin!”
“Dan kau sudah setuju!”
“Terpaksa!”
“Aku tidak peduli.”
“Menyebalkan!”
“Mau melanggar janjimu?”
“Ukkkh!! Bruk!!!” Maya membanting gagang teleponnya.
Masumi tertegun, mengamati gagang telepon dengan
kesal. Awalnya baik-baik saja, kenapa tiba-tiba mereka jadi bertengkar?
Masumi menghela napas dan menutup teleponnya.
“Bertengkar lagi?” tanya Mizuki.
“aku tak butuh komentarmu.”
“Hanya bertanya,” jawab Mizuki santai. “Pak Masumi,
mau saran saya?”
“Tidak perlu.” Geram Masumi kesal.
“Ya, baiklah. Saya yakin Anda memang jago masalah
percintaan.”
“Ck!! Cepat katakan saja!”
“Hh… tadi katanya tidak perlu. Baik. Baik,” Mizuki
menenangkan saat Masumi mendelik ke arahnya. “Bagaimana jika Anda sekali-kali
jujur saja, bertanya kepadanya apa yang bisa disukainya dari seorang pria?
Maksudku… yah, kalian kan minggu depan bertunangan. Wajar kan jika Anda
sekarang bertanya mengenai apa yang akan membuatnya senang?”
Masumi terdiam. Masuk akal. Selama ini Masumi yang
selalu memanipulasi keadaan hingga Maya terjebak dalam keadaan di mana dia
tidak ada pilihan lain selain mengikuti kemauan Masumi dan membuatnya senang.
Tetapi… kenapa hal itu tidak terpikir sebelumnya? Masumi yang akan mengikuti
kemauan Maya.
“Penyanyi serenada tidak dia sukai… boneka sapi dan
kuda juga gagal…” gumam Masumi lemah. Mizuki benar, sepertinya, Masumi lebih
baik bertanya langsung kepada gadis itu saja.
=//=
Maya mengetuk pintu dan langsung masuk ke dalam
kantor Masumi. Wajahnya ditekuk dan pria itu sudah menunggu di sofa sambil
membaca sesuatu.
“aku sudah datang,” sapa Masumi.
“Seperti yang kau lihat,” Maya membuang wajahnya.
Masumi meletakkan bacaannya dan meraih tasnya.
“Senyum!”
Maya manyun lebih banyak tapi kemudian tersenyum.
“Masih saja terpaksa ya…”
“HEHEHE….” Nyengirnya semakin lebar.
“Ckckckck jelek sekali.”
“KAU!!” Maya mengepalkan tangannya.
“Ya… ya… salahku,” Masumi menghela napasnya.
“Eh? Kenapa?” Maya terkejut mendengar Masumi yang
biasanya arogan mengaku salah.
“Kubilang, salahku. Karena itu kau tidak bisa
tersenyum dengan tulus. Jadi, katakan kepadaku. Apa yang harus aku lakukan agar
kau bisa tersenyum dengan tulus?’
“Eh? Apa?” Baru kali ini pria itu bertanya
kepadanya. Biasanya, Masumi semau-maunya sendiri berpikir apa yang dia lakukan
akan membuat Maya senang.
“Katakan kepadaku,” Masumi mendekati Maya dan
menunduk. “Apa yang akan membuatmu senang?”
“UHm….Kau suka drama kan?”
“Ya…… kau sudah tahu itu.”
“Ya. Nanti aku akan mengajakmu nonton sandiwara
sering-sering. Ada lagi?”
“Uhm… aku…”
“Bilang saja,” Masumi terlihat bersungguh-sungguh.
“Bukankah aku juga harus menjalankan bagianku untuk membuatmu menyukaiku?”
“Aku… suka…”
“Ya? Katakan saja…” Masumi tersenyum berwibawa
“Kau akan melakukannya?”
“Apa saja!” Masumi meyakinkan.
“Baiklah,” Maya menatap mantap. “Aku suka… main
ayunan.”
“Hm?” kedua alis Masumi terlonjak.
“Aku suka main ayunan… tetapi aku selalu
melakukannya sendirian. Mungkin, jika ada yang menemani, aku akan lebih
senang?”
Masumi diam. Tak bersuara.
“Aku sih, tidak yakin aku akan jadi menyukaimu hanya
karena kau mau melakukannya untukku. Tetapi, kau yang bertanya apa yang
kusukai, jadi…”
“Baiklah,” Masumi menelan ludahnya. “Ada lagi?”
“Uhmm… sejak dulu aku ingin main waterboom…”
Main
lagi… desah Masumi ngeri. Waterboom!!?
“Ada lagi?” tanya Masumi datar.
“Kau pernah melihat orang menari Hawaii?? Apa kau
pernah berpikir sepertinya menyenangkan belajar menari Hawaii? Atau, naik unta
atau gajah, aku selalu ingin tahu bagaimana rasanya. Lalu aku juga ingin sekali
datang ke festival cosplay di Akihabara. Lalu berpiknik dan—“
“Cukup!” potong Masumi, urat di dahinya tampak
berdenyut-denyut.
Main ayunan, waterboom, menari hawai, menonton cosplay…!??
Hampir saja dia lupa bahwa calon istrinya ini bahkan
belum 20 tahun. Masumi mengamati Maya yang kembali mengerucutkan bibirnya.
Sebal karena Masumi meninggikan suaranya.
“Jadi… Main ayunan ya…? Waterboom?”
“Oh, aku tidak bisa berenang,” terang Maya. “Yaah…
kau kan tadi bertanya mengenai hal-hal yang kusukai. Sudah lama aku berpikir
semua itu sepertinya menyenangkan…” ungkap Maya terus terang.
Masumi mengetuk-ngetukkan ujung kakinya. APakah dia
harus melakukan itu semua untuk merebut hati Maya? Jika dia bisa merebut hati
Maya…
“Saat ini, jariku masih sakit,” terang Masumi.
“Aku sudah minta maaf…” gumam Maya.
“Ya, maksudku… aku belum bisa melakukan itu semua.
Tapi, nanti jika aku uhm… ibu jariku sudah membaik, aku… akan mengajakmu ke
sana.’
“Eh, sungguh!!?” Mata Maya membundar antusias. “Kau
serius?”
“Ya… kalau… itu yang kau inginkan.”
“Aku sangat menginginkannya! Wah… Rei dan Sayaka
pasti senang sekali jika mereka—“
“Maya! Ehm!!” Masumi berdeham dan Maya
memperhatikannya lagi.
“Hanya kau, dan aku. Maya Kitajima dan Masumi
Hayami.”
“Hanya…”
“Ya. Kenapa Rei dan teman-temanmu harus ikut? Ini
kan acara kita. Apa gunanya kita pergi bersama jika ada teman-temanmu?”
“Tapi…” Maya termangu. “Tanpa Rei dan teman-teman?”
“Ya! Hanya KITA. BERDUA,” Masumi menekankan.
Jantung Maya berdebar-debar. Maksud Masumi,
berkencan lagi? Tetapi, jika dia pikirkan baik-baik, tentu saja Masumi
mengajaknya memang dalam rangka pendekatan kepada satu sama lain. Jelas-jelas
itu kencan!
Aduh! Maya bodoh! Kenapa dia baru menyadarinya.
“I-iya… ba-baiklah…”
“Sekarang, hari ini,” Masumi menegakkan badannya.
“Aku ingin mengajakmu mengunjungi lokasi syuting film taiga baru yang diadakan
di studio Nikkei.”
“Wah!! Sepertinya menyenangkan!” cetus Maya.
“Kurasa kau pasti menyukainya,” ujar Masumi. “Tapi
tentu saja kau harus melakukannya sesuai caraku agar aku menyukaimu.”
“Apa?” ALis Maya berkerut sebal.
Masumi meraih tangan Maya dan menggenggamnya.
“Begini, kita harus berjalan seperti ini, dan aku melarangmu melepaskannya!”
“Ke-ke-kenapa… harus…?”
“Kemarin kau membiarkan aku merangkulmu seharian.”
“Itu karena kau membohongiku!”
“Ini adalah caraku agar bisa menyukai seseorang,”
ujar Masumi. “Jika aku terbiasa memegang tanganmu, kurasa aku bisa jadi sangat
menyukaimu.”
Maya kehilangan kata-katanya karena ucapan Masumi
yang dia pikir hanya melantur. Tetapi Maya tidak berkata apa-apa. Dia akhirnya
setuju Masumi menggandeng tangannya.
Tapi sekarang dia jadi salah tingkah. Tangan pria
itu yang hangat dan menyelimuti tangannya, menyalurkan getaran-getaran aneh ke
jantung dna perutnya. Belum lagi wajahnya yang mulai perlahan-lahan memanas
seperti setrika.
“Selamat malam Pak,” para pegawai membungkuk saat
melihat Masumi dan juga Maya. Maya hanya melirik-lirik canggung kepada Masumi
yang berlainan dengannya, sangat tenang dan percaya diri.
Genggaman tangan itu sama sekali tidak dilepaskan
saat mereka berada di mobil. Namun ada yang Maya sadari, terlepas dari Masumi
yang berperban di jari kakinya, pria itu selalu terlihat tersenyum dan wajahnya
berbinar-binar. Apa ada hal baik terjadi kepadanya hari ini?
Maya agak gelisah di kursinya. Tegang sekali
bergenggaman tangan dengan calon suaminya itu. Sopir mereka pun tampaknya
terkejut melihat kemesraan yang Masumi tunjukkan. Apalagi, raut tak biasa di
wajah atasannya itu memang sangat menyolok.
“Ayo,” ajak Masumi, memasuki studio Nikkei.
“Wahh…” mata Maya membulat melihat kemegahan setting
itu. Maya jadi ingat lagi dengan pengalamannya main serial Kemilau langit
dahulu. Bagaimana setting studio bisa jadi begitu megah dan menawan.
“Pak Masumi,” sapa seorang staf, pria itu tertegun
mengamati Maya dan membungkuk ke arahnya, “Nona Maya,” sapanya segan dan
hormat.
Maya tertegun. Baru kali ini dia diperlakukan penuh
hormat seperti itu.Maya balas mengangguk canggung.
Dia dan Masumi—yang sama sekali tidak melepaskan
genggaman tangannya—berkeliling studio itu. Masumi sedikit terpincang-pincang
tetapi dia baik-baik saja, bahkan suasana hatinya terlihat begitu bagus.
Pria itu memuji penampilan salah satu aktris dan
kerja para tim.
“Kurasa ratingnya akan terus naik, apalagi Hayakawa
Ami sekarang juga menjadi BA dari SKII, kuharap semuanya berjalan lancar,”
Masumi berkata dengan senyuman memesona terpasang di wajahnya.
“Terima kasih Pak Masumi, kami jadi bersemangat
mendengarnya,” Sutradara serial itu berkata. “Dan, saya harap pertunangan Anda
berdua juga akan berjalan baik.”
Senyuman Masumi tampak semakin lebar. “Terima kasih
banyak,” katanya. Ia lantas menoleh kepada Maya, meminta gadis itu mengatakan
hal yang sama.
“Te-terima kasih banyak…” Maya membungkuk tipis.
Baiklah. Sekarang dia mulai benar-benar merasa
menjadi pasangan Masumi.
Ya ampun…
aku benar-benar… akan menghabiskan hidupku dengan pria ini? Setiap
kali dia teringat hal itu, ada perasaan ingin melarikan diri yang muncul di
hatinya. Tetapi Maya pun mulai merasa, menilai dari cara Masumi menggenggam
tangannya yang begitu erat, sepertinya Maya tidak akan bisa lari lagi.
“Kau senang?” tanya Masumi saat keduanya makan
malam.
“Ya! Ternyata mereka sangat ramah… Dan, waahh
settingnya bagus sekali. Aku pasti tidak akan melewatkan tayangannya satu
episode pun!” terang Maya dengan berbinar-binar.
Masumi hanya menyimak perkataan Maya dengan tatapan
yang lembut dan senyum berbinar seperti sebelumnya.
“Ah, Eh… uhm…. Terima kasih… sudah… mengajakku ke
sana, ya…” kata Maya dengan gugup.
“Bagaimana? Kau sudah lebih menyukaiku?” tanya
Masumi.
“Eh!! Uhmmm…” Maya mengamati Masumi. Pria itu
sungguh-sungguh dengan pertanyaannya. Maya mengendikkan bahunya.
“Apa artinya itu?” tuntut Masumi.
“Aku senang dan…. Berterima kasih…” ujar Maya tanpa
bisa menatap Masumi.
“Jadi? Suka kepadaku?”
“Ya tidak semudah itu!” tampik Maya. “Siapa pun yang
mengajakku ke sana aku pasti senang. Tidak harus kau…”
Masumi diam-diam berdecak. Tapi yang mengajak Maya,
dia kan? Kalau bukan karena dia, Maya mana bisa melihat pembuatan drama sampai
sedetail itu. Tapi sudahlah…
Masumi menelan kekecewaannya sendirian. Dia tidak
berkata apa-apa lagi.
Maya menangkap Masumi sepertinya kecewa dengan
jawaban Maya. Tapi pertanyaan seperti itu, mana bisa dijawab dengan terus
terang oleh perempuan?
Walaupun Maya sangat berterima kasih dan senang
dengan yang Masumi lakukan, bahkan, bagaimana pria itu tak pernah melepas
tangannya, juga menjadi pertimbangan Maya. Masumi sama sekali tidak gengsi
berdampingan dengannya. Itu juga, sedikit mengusik pikiran Maya yang merasa
tersanjung atas apa yang dia lakukan.
Setidaknya, Maya tidak merasa malu dan rendah diri
bertemu orang-orang di dunia pertelevisian yang pasti sudah pernah tahu soal
skandalnya dulu. Bagaimana Maya digosipkan kabur dari panggung, mabuk-mabukan
dengan berandalan, bahkan sampai peran Satoko ditarik darinya.
Tapi, bersama Masumi tadi, semua orang berperilaku
hormat dan baik terhadapnya.
Maya mengamati sekali lagi Masumi yang masih
membisu. Sepertinya pria itu jadi malas buka suara. Mungkin… dia kecewa kepada
Maya.
Memikirkan hal itu, Maya jadi tak enak hati sendiri.
Saat keduanya duduk bersebelahan di dalam mobil,
kali ini Masumi sudah tidak menggenggam tangannya lagi. Aneh, padahal dia sebal
saat Masumi terus-terusan memegangi tangannya seakan-akan dia hendak kabur.
Tetapi, tangannya jadi kesepian saat masumi tak memeganginya lagi. Padahal,
baru sebentar Maya merasakan kehangatan tangan Masumi. Apa dia sudah mulai
terbiasa? Mulai merasa kehilangan?
Maya mengamati tangan Masumi yang tergeletak tak
jauh dari tangannya. Jantung Maya jadi berdebar-debar, ingin memegangnya. Maya
melirik diam-diam mengamati wajah Masumi yang dipalingkan darinya.
Pria itu mengamati keluar jendela.
Entah ada apa dengan Maya. Tiba-tiba dia
menggerakkan tangannya sendiri hendak menyentuh tangan Masumi.
“Berhenti!” pinta Masumi.
Maya terlonjak kaget, dan mobil langsung berhenti.
Dengan jantung berdebar Maya mengamati Masumi yang
sekarang menoleh kepadanya.
“Ayo,” ajak Masumi yang menggenggam tangan Maya dan
menariknya keluar.
“A! Eh…! Mau ke mana?” tanya Maya, yang mulai
merasakan lagi kehangatan di telapaknya yang tadi sempat kesepian.
Masumi tak berkata apa-apa, dan menarik Maya terus
masuk ke taman. Maya mulai menyadari di mana dia berada.
Ini kan…
“Nah,” Masumi menarik Maya ke hadapan ayunan yang
biasa dia mainkan. “Ayo duduk…” Dia mendudukkan Maya di ayunan itu.
“Eh? A-apa ini?” tanya Maya.
“Kau bilang, kau suka main ayunan dan ini bisa
membuatmu lebih menyukaiku,” kata Masumi.
“I-ya tapi… ini…”
“Sudahlah, aku akan mendorong ayunanmu. Oh,
sebentar,” Masumi melepas jasnya dan memasangkannya kepada Maya. “Pakai ini,
jangan sampai masuk angin,” katanya.
Maya mengenakan jas yang kebesaran untuknya itu. Dia
bisa mencium aroma wangi Masumi lebih jelas lagi dari sana.
Masumi mulai mendoronga ayunan Maya, semakin lama
semakin keras. Maya senang sekali, dia tertawa-tawa dan berseru gembira. Masumi
mengamatinya dari belakang sambil tersenyum melihat Maya yang tergelak-gelak di
atas ayunannya. Dia memang sangat senang jika melihat Maya bahagia seperti ini.
Tiba-tiba Masumi menangkap ayunan Maya dan
menghentikannya. Maya menoleh, “Loh? Kenapa dihentikan?” tanyanya dengan
senyumlebar masih menghias wajahnya yang kemerahan dan napasnya juga masih
ngos-ngosan.
Masumi mengeratkan rahangnya dan mulai memeluk Maya
dari belakang. Maya sangat terkejut, tubuhnya mengejang dan tak bisa berkata
apa-apa karena tak mengira.
“Kau terlihat senang,” Masumi berkata dengan suara
rendahnya. “Apa aku…. Sudah membuatmu lebih menyukaiku?”
Maya tertegun, susah payah menelan ludahnya yang dia
harap bisa lebih melancarkan pernapasannya.
“Maya…” panggil Masumi lagi, pelukannya di tubuh
gadis itu semakin erat.
Maya membuang wajahnya yang terasa sangat panas.
Maya akhirnya mengangguk gugup. “Sa-satu level…” terangnya.
Mata Masumi melebar mendengarnya, tetapi dia sangat
senang karenanya.
22 comments:
Satu level...
Gong banget deh
huaaaa... kok aku yang jd blushing yaaa... seneng ty.. kereeennn....
Waahhhhh maya ko cm 1 level
Sy aja yg bacanya ampe ikutan merah mukanya
#Medina dina
Ahhhh mau dong yang kayak gitu.... maya mah bener dah kurang apalagi itu si akang hahahha
Haha menghibur bgt ceritanya....tengkyuuuu ty (vonny)
hmm.. yakin cuma 1 level ? mhihihii...
pria yg sempuna ya... :)
ampun deh maya... udah deg2 an jg, belum sadar2 deh maya. ntar d rebut org baru sadar dah... tenyata..... cinta.... ih gemezzz.... lihat maya nih....
baca ini berulang-ulang ga bosen2, ketawa ngakak sendiri ngebayangin adegan demi adegan MM, lagiiiii teteh hihihiii
satu level ????bo'ong tuh maya, aq yg baca aja suka nya dah naek 10 level, hihihi.....apdet lg dunk mbak?!
aq udah 10 level :-)
-mommia-
Tyyy, aku padamuuu
Ahh... maya. Kok cuma satu level.? Harusnya berlevel-level doong. Kqlau aku.jadi kamu, aku pasti peluk balik tuh si Ganteng Masumi...
*brasa jadi Shiori, mwahaaha*
duh mesranya....beruntungnya maya....
buruan sadar neng!...kalo diambil shiomay
nyesel loh...
-pio-
so sweeeeeeettttt, jadi iri nich. levelnya harusnya yg tinggi tuh, kacian masuminya kalau cuman 1 level doank XD
~ meliana ~
Satu level...+ satu level + satu level....xixixixixi
senangnyaa satu level hehehe
Mayanlah.....liat Maya bsa blushing2
Hi..hi...ceritanya simpel dan mengalir jenaka ty..pasti km heppy nulisnya.love you...annisa amalia
Hi..hi...ceritanya simpel dan mengalir jenaka ty..pasti km heppy nulisnya.love you...annisa amalia
awww...setelah sekian lama ga buka kompi...kangeeeeeeennnn #mudah2an shiori ga mengacaukan
awww...setelah sekian lama ga buka kompi...kangeeeeeeennnn #mudah2an shiori ga mengacaukan
Heuheu...mantap kaa..teruskan ceritanyaa!!
Post a Comment
Silahkan kritik, saran, sapa dan salamnya... :)